ANALISIS PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu ( S.1 ) Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh: ABDULLAH ANIQ NIM. 0 6 2 1 1 1 0 0 3
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011 i
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag. Perum Beringin Indah Jl. Mahoni blok.D IV/03, Ngaliyan Semarang H. Ahmad Furqon, Lc., MA. Jl. Karonsih Timur Raya V/ No. 128, Ngaliyan Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 Naskah eks Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Abdullah Aniq Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Assalamu’alaikum Wr.Wb Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini kami kirimkan naskah skripsi Saudara : Nama
: Abdullah Aniq
NIM
: 062111003
Jurusan
: Ahwal al-Syakhsiyyah
Judul Skripsi
: Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa
Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Semarang, 08 Desember 2011 Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag. NIP. 19690709 199703 1 001
H. Ahmad Furqon, Lc., MA. NIP. 19751218 200501 1002
ii
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
PENGESAHAN
Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
: Abdullah Aniq : 062111003 : Ahwal Al-Syahsiyah : Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaud / baik / cukup, pada tanggal : 28 Desember 2011 dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2011. Semarang, 9 Januari 2011 Mengetahui, Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
H. Johan Arifin, S. Ag., MM. NIP. 19710908 200212 1001
H. Ahmad Furqon, Lc., MA . NIP. 19751218 200501 1002
Penguji I,
Penguji II,
Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag NIP. 19630801 199203 1001
Muhammad Shoim, S.Ag., MH. NIP. 19711101 200604 1003
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag NIP. 19690709 199703 1 001
H. Ahmad Furqon, Lc., MA. NIP. 19751218 200501 1002
iii
MOTTO
Artinya: “ Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya”. (QS. Ali „Imran: 159) 1
1
Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. As-Syifa‟, 1992, hlm. 102.
iv
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, dengan segenap rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karya ini penulis persembahkan untuk: 1.
Bapak Abdul Hamid dan Ibu Chunnaiyah, selaku orang tuaku yang selalu menjadi teladan dan spirit dalam segala aktifitasku, do‟a dan kasih sayang yang telah engkau berikan tak akan pernah bisa ku lupakan, dan tak mungkin dapat terbalaskan. Engkau tak pernah lelah dan selalu sabar dalam mendidik serta selalu tulus memberikan segala sesuatu demi kebahagiaan putranya. Sembah sungkem kepada bapak ibu, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, dan selalu diberikan kesehatan dan kenikmatan. Ya Allah, Ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku dan kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasihiku ketika waktu kecil. Adik-Adikku, Zuhairizzaman & Lathoiful Mahasin, yang membuat penulis ingat akan cita-cita, perjuangan hidup dan kekeluargaan. Qurrata‟Ain ku, terima kasih atas segala dukungan, pengertian dan motivasinya selama ini. Semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya.
2.
Bapak Prof. Dr. H. Abdul Jamil, M.A., yang telah menjabat sebagai Rektor IAIN Walisongo sebelumnya, Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M. Ag., sebagai Pembantu Rektor I sebelumnya, Bapak Drs. H. Machasin, M.Si., selaku Pembantu Rektor II sebelumnya, dan Bapak Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag., sebagai Pembantu Rektor III sebelumnya. Terima kasih atas segala kebijakan yang telah bapak berikan. v
3.
Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag., sebagai Dekan Fakultas Syari‟ah sebelumnya, Bapak Drs. Musahadi, M.Ag., sebagai Pembantu Dekan I sebelumnya, Bapak Drs. H. Maksun, M.Ag., sebagai Pembantu Dekan II sebelumnya, dan Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag sebagai Pembantu Dekan III sebelumnya, terima kasih atas segala kebijakan dan jasa yang telah bapak diberikan.
4.
Bapak Drs. Ahmadi Jaya‟ Selaku Pembina UKM WSC, terima kasih banyak atas jasa-jasanya, sehingga penulis dapat mengerti tentang arti sebuah kepemimpinan, dan terima kasih atas masukan-masukannya sehingga penulis dapat mengambil kebijakan dalam mengambil sebuah keputusan berdasarkan saran dari bapak ketika di UKM WSC.
5.
Bapak
Priyono,
M.
Pd.
Selaku
Kepala
Bagian
Akademik
dan
Kemahasiswaan IAIN Walisongo, Ibu Sutinah dan tidak lupa staf kemahasiswaan yang lain. Terima kasih atas jasa dan pelayanannya kepada mahasiswa. Jasa bapak / ibu sulit penulis lupakan. 6.
Bapak/Ibu Guru MA Riyadhlotut Thalabah, Bapak Guru Madin Tuhfatus Sibyan, Bapak Guru di Pontren Bicharul Muta‟allimin Sedan Rembang, dan semua bapak/ibu guru di jenjang pendidikan sebelumnya, terima kasih banyak
atas
ilmu
yang
engkau
berikan.
Semoga penulis dapat
mengamalkannya dan semoga amal kebaikan bapak ibu guru diterima oleh Allah SWT serta mendapatkan balasan dengan sebaik-baiknya. 7.
Kepada mas-masku, mas Dain Fazani, SHI., Khoirul Huda, SHI., Dwi Hartanto, S. Fil.I, M. Hanif S. Pd. I., Ainun Nafi‟ S. Pd., mbak Dewi
vi
Kurniasari, S. Pd., Muhammad Amin, S. Sos.I, yang tercinta dan tersayang, terima kasih atas saran dan nasehatnya. Untuk mas Dain Fazani, SHI., terima kasih atas ilmu dan motivasinya dalam pengembangan Tenis Meja sehingga penulis dapat meraih apa yang dicita-citakan, sungguh luar biasa kesabarannya dalam melatih dan membina penulis pada khususnya dan anggota Table Tennis Division UKM WSC (Walisongo Sport Club) pada umumnya, untuk maz Khoirul Huda, SHI., terima kasih atas nasehat dan ilmunya dalam berorganisasi, dan juga dalam memahami arti hidup. Untuk mas Dwi Hartanto, S. Fil.I, dan M. Hanif S. Pd. I., terima kasih atas ilmunya dalam memahami arti perjuangan, pengorbanan dan loyalitas. Untuk mas Muhammad Amin, S. Sos.I, terima kasih atas ilmu nya dalam pembangunan karakter dan ubudiyah penulis. 8.
Semua pengurus dan keluarga besar UKM WSC, tetaplah sholid dan semangat berjuang, raih prestasi setinggi-tingginya dengan menjunjung tinggi nilai sportivitas.
9.
Adik-adikku tercinta di cabang Tenis Meja UKM WSC, Arif Tongklo pemain blok yang ita-itu, Farid Schlager spesialis pemanasan, aziz tapi bukan gagap yang cekithang-cekithing, Rifqi robot, Nafi‟ pemain specialis chop, kamal pujangga melankolis yang mang-meng kalau lagi maen, fachry, vita, susy, rizka, tetaplah semangat dan tunjukkan permainan terbaik kalian, jagalah tali kekekuargaan ini hingga akhir hayat.
10.
Mantan Pengurus UKM WSC 2010, Desma, Ah.Aniq, Sabiq, Halim Nyingnying, Upi Cute, Rafika Haque, pak Dhe Muttakin, Faris Darsono, dkk.,
vii
yang telah bekerja keras selama kepengurusannya. Terima kasih atas waktu, dan loyalitasnya kepada UKM WSC. 11.
Team Centra Comp Jl.Ringin Sari 02: Bagus Juwantoro A.Md, M. Latief S.Sos.I, M. Zamroni A.Md, Fajar Agus Arifin, S.Sos.I, Beni Dolo, S.Sos. I, M. Mu‟innudin SHI., Gendut, Jarjit,
terima kasih atas saran dan
motivasinya sehingga penulis dapat mengerti arti sebuah persahabatan. 12.
Bapak Sutikno dan Ibu Kusminah sekeluarga, (Hendro, Pipin, Amir, Azhar, Sukron)
Terima kasih banyak atas tumpangannya. Jasa Bapak dan Ibu
sekeluarga sulit penulis lupakan, bapak ibu lah yang mengajari tentang kekeluargaan. 13.
Konco-konco HMJ ASA 2006, Vian, Tamam, Wahyu Galih, Misbakul tahu, Anam, Suyanto, Isnan, Hanif, Saefuddin blenko, Gus mus, Mugni korek, Ani, Irma, Inayah, Leni F, semoga semuanya sukses dan tercapai semua cita-citanya. Amien.
14.
Konco-konco Kost, Muhib, Sofian, Rifqi Gendut, terima kasih atas motivasinya, terus berjuang dan semangat.
15.
Teman-temanku semuanya, yang telah memberikan dorongan dan semangat kepadaku
viii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi
yang
terdapat
dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 08 Desember 2011 Deklarator
Abdullah Aniq NIM : 62111003
ix
ABSTRAK Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri. Termasuk dalam memilih pasangan hidup, seorang perempuan dewasa yang sehat akalnya berhak untuk memilih calon suaminya sendiri. Menurut Al-Auza‟i dan ulama‟ Hanafiyah apabila orang tua ingin menikahkan anak gadisnya dengan pilihannya maka harus izin terlebih dahulu kepada gadis dewasa tersebut, karena akad nikah tanpa adanya kerelaan calon mempelai maka pernikahan itu dianggap tidak sah dan batal demi hukum. Tetapi menurut ulama‟ Syafi‟iyah seperti alImam al-Syirazi dalam kitabnya al-Muhazzab, ia menyatakan bahwa seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa kerelaan darinya, karena ayah atau kakek lebih berhak atas gadis tersebut. Berdasarkan pemaparan diatas, pokok masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pendapat al-Imam al-Syirazi mengenai bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin dari gadis tersebut? bagaimana pula istinbat hukum al-Imam al-Syirazi dalam menguatkan pendapatnya tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin? Untuk menjawab permasalahan diatas, perlu dilakukan upaya penelitian, sedangkan metode yang dipakai penulis dalam penelitian tersebut adalah library research. Data primer yang digunakan adalah kitab al-Muhazzab dan al-Tanbih, karya al-Imam al-Syirazi, sedangkan data sekundernya adalah semua bahan yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Data-data yang telah terkumpul disusun, ditelaah kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, dan pendekatan yang bersifat normatif. Berdasarkan hasil analisis, penulis berkesimpulan bahwa pendapat AlImam al-Syirazi tentang bolehnya ayah / kakek selaku wali menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa meminta izin darinya terlebih dahulu merupakan pendapat yang lemah. Menurut ulama‟ Muta‟akhirin pendapat yang rajih adalah tidak boleh menikahkan gadis dewasa tanpa izin dari gadis tersebut. Unsur kerelaan merupakan salah satu syarat bagi keabsahan suatu akad, oleh karena itu apabila unsur tersebut tidak terpenuhi dan terdapat unsur pemaksaan, maka akad nikah tersebut fasid (rusak). Sebagaimana syarat perkawinan dalam pasal 16 KHI, bahwa “ Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai ”. Jika dilihat dari istinbat hukum yang dipakai al-Imam al-Syirazi dalam menguatkan pendapatnya, maka hadits tersebut lebih menjelaskan kepada anjuran seorang ayah untuk meminta pendapat dan izin terlebih dahulu kepada anak gadisnya ketika menikahkan, bukan menjelaskan tentang hak ayah yang lebih berhak atas anak perawannya. Dalam hadist riwayat Abu Hurairah, sangat jelas sekali menunjukkan larangan terhadap pemaksaan menikah terhadap gadis dewasa. Dan hadits inilah yang paling kuat dalam segi periwayatannya, karena yang paling banyak diriwayatkan. Jadi meminta izin terlebih dahulu merupakan sebuah keharusan, bukan hanya sebuah anjuran. Penyusun sepakat bahwa tolok ukur seseorang perempuan dalam hal ini bukan dilihat dari gadis atau janda, tetapi kedewasaannya lah yang menghilangkan unsur pemaksaan tersebut. karena kultur masyarakat sekarang tentu sangat berbeda dengan masyarakat dahulu.
x
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim, Segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa memberi kenikmatan dan kasih sayang tiada terkira kepada hamba-Nya . Sungguh hamba yang tidak tahu diri apabila sepanjang hidupnya tidak pernah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan Tuhannya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Beliulah sang revolusioner sejati, pembawa kebenaran dan kedamaian. Dalam proses penyusunan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan peran serta berbagai pihak baik berupa ide, kritik, saran maupun lainnya. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang, Bapak Prof. Dr. H. Achmad Gunaryo, M. Soc. Sc., selaku Pembantu Rektor I, Bapak Dr. H. Ruswan, M.A., selaku Pembantu Rektor II, Bapak Dr. H. M. Darori Amin, M.A., selaku Pembantu Rektor III, selamat atas terpilihnya bapak, semoga dapat membawa amanah dan bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan. 2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku Pembantu Dekan I,
xi
Bapak Saifullah M.Ag selaku Pembantu Dekan II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku Pembantu Dekan III. 3. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku ketua jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah, Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku sekretaris jurusan, serta Ibu Novita Dewi Masithoh, SH., M. Hum, selaku staf ahli jurusan, atas kebijakannya khususnya yang berkitan dengan kelancaran penulisan skripsi ini. 4. Bapak Dr. H. M. Arja Imroni, M.Ag selaku pembimbing I, dan Bapak H. Ahmad Furqan, Lc., MA yang telah bersedia membimbing dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya serta saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari bimbingan tersebut, penulis dapat mengerti tentang banyak hal tentang sesuatu yang berhubungan dengan hukum Islam. Penulis merasa masih harus banyak menimba ilmu dari bapak, penulis tidak dapat membalas keikhlasan dan jasa bapak, hanya ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas waktu yang diluangkan buat penulis. 5. Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang terima kasih yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini. 6. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan Fakultas Syariah, terimakasih banyak atas pelayanan dan pinjaman bukunya. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
xii
Semoga amal baik dan keikhlasan yang telah mereka perbuat menjadi amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Semarang, 08 Desember 2011
Penulis, Abdullah Aniq NIM: 62111003
xiii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI .......................................................................
ix
HALAMAN ABSTRAK ...........................................................................
x
HALAMAN KATA PENGANTAR ...........................................................
xi
DAFTAR ISI .............................................................................................
xiv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
10
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
10
D. Telaah Pustaka .........................................................................
10
E. Metode Penelitian .....................................................................
13
F. Sistematika Penulisan ..............................................................
16
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN GADIS DEWASA A. Pengertian Wali Nikah ..............................................................
17
B. Dasar Hukum Wali Nikah .........................................................
22
C. Syarat-Syarat Wali Nikah .........................................................
31
D. Macam-Macam Wali Nikah ......................................................
34
E. Urutan Wali Nikah ...................................................................
36
F. Pengertian Gadis Dewasa .........................................................
41
xiv
BAB III : PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA A. Biografi Al-Imam Al-Syirazi
...............................................
44
1. Riwayat Hidup Al-Imam Al-Syirazi ...................................
44
2. Karya-karya Al-Imam Al-Syirazi ......................................
46
B. Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa ........................................
51
C. Istinbat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin ...................................
54
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA A. Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa .............................
57
B. Analisis Istinbat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin ..................................
68
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................
83
B. Saran-Saran ..............................................................................
85
C. Penutup ....................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena tujuan perkawinan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual belaka, tetapi
memiliki tujuan yang lebih mulia yaitu untuk
menciptakan keluarga yang hidup dengan aman dan tenteram (sakīnah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).1 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Rum ayat 21:
Artinya: " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ”. 2 Perkawinan merupakan suatu akad yang tidak hanya sekedar menjalin hubungan dua pihak secara individual antara suami istri namun lebih jauh dapat mempererat tali hubungan antara keluarga pihak suami dan pihak istri. Agar terjalin sebuah hubungan yang harmonis dalam 1
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 4. 2 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: CV. As-Syifa’, 1992, hlm. 644.
2
rumah tangga sebagaimana tujuan perkawinan maka perkawinan harus didasari dengan rasa kasih sayang yang dimiliki oleh suami istri maupun orang tua. Tanpa kasih sayang maka tujuan perkawinan tidak akan tercapai. Menurut pasal 1 undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam definisi tersebut disebutkan tujuan pernikahan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan perkawinan secara temporal seperti nikah mut’ah. Selain itu juga dijelaskan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam: “ Perkawinan menurut hukum islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsāqon ghōlidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Ungkapan " akad yang sangat kuat atau mitsāqon ghōlidhon " merupakan penjelasan dari ungkapan “ ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan undang-undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Sedangkan
ungkapan
"
untuk
menaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah " merupakan penjelasan dari ungkapan “ Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ” dalam undangundang. Hal ini lebih menjelasakan bahwa perkawinan bagi umat Islam
3
merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang telah melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. 3 Disamping agama memandang perkawinan sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan Sunnah Allah dan Sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradah Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. 4 Karena melaksanakannya merupakan ibadah maka dalam perkawinan haruslah terpenuhi syarat-syarat dan rukunnya, salah satu rukunnya adalah wali nikah, meskipun ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, wali merupakan rukun dalam sebuah perkawinan. Apabila pernikahan dilakukan tanpa adanya wali maka pernikahan itu tidak sah. Begitu juga tidak sah pernikahan tanpa wali menurut ulama Hanabilah, meskipun dalam pengambilan dalilnya berbeda dengan Malikiyah dan Syafi’yah. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, wali bukanlah termasuk rukun nikah yang wajib terpenuhi melainkan hanya sebagai syarat sahnya perkawinan bagi anak kecil, orang gila laki-laki / perempuan meskipun dewasa.
5
Jadi wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suaminya dan boleh pula melakukan aqad nikah sendiri baik perawan atau janda. Tidak seorang pun yang mempunyai wewenang atas 3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahah dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenata Media, Cet ke-II, hlm. 41. 4 Ibid. 5 Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahah Perbandingan, Dari Tekstualitas sampai Legislasi, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011, Cet ke-I, hlm. 33-50.
4
dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat orang yang dipilihnya itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.6 Dalam sebuah perkawinan yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah selaku orang tua. Bagi orang tua anak adalah bagian dari harapan terbesar untuk meneruskan tugas kekhalifahan di muka bumi. Demi regenerasi itu, para orang tua senantiasa menginginkan seluruh keturunannya menjadi putra - putri yang shalih dan shalihah, serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih dari itu, setiap manusia menginginkan seluruh keturunannya menjadi perhiasan, penyejuk mata (qurrota a‟yun) bagi mereka. Allah swt berfirman dalam surat Al-Furqan ayat 74:
Artinya: " Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orangorang yang bertakwa “. 7 Namun demikian, anak tetap bukanlah hak milik bagi orang tua. Ia adalah titipan Allah swt semata. Orang tua berkewajiban mengasuh, membesarkan, mendidik, dan menikahkan putra-putri mereka apabila telah waktunya tiba. Walaupun demikian, apakah kewajiban ini menjadikan
6
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „Ala Al-Mazāhib Al-Khamsah, Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,Hambali ,Terj. Masykur. A. B. et. Al., Jakarta: Lentera, 2007, Cet. ke-VI, hlm. 345. 7 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 569.
5
orang tua berhak sepenuhnya menentukan calon pasangan bagi anakanaknya terutama anak perempuannya. Dalam hal memilihkan pasangan hidup ini, masih kita jumpai pemaksaan kehendak orang tua atas anak gadisnya. Bahkan tidak jarang orang tua memaksakan kehendak dengan semena-mena terhadap anaknya dengan alasan kasih sayang dan demi kebaikan anaknya. Hal itu terjadi, apakah karena masih banyak pemahaman di kalangan orang tua bahwa anak adalah hak milik bagi mereka. Orang tua berhak sepenuhnya untuk menentukan kehidupan sang anak, termasuk menentukan calon suami yang hendak menjadi pasangan hidup bagi si anak gadis untuk sepanjang umurnya. Oleh sebab itu, jika seorang anak gadis menolak calon suami pilihan orang tua, seorang ayah merasa berhak memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkan persetujuan calon mempelai. Padahal telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 16 yang menyatakan bahwa: “ Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai ”. Hal ini didasarkan pada pemahaman ajaran agama mengenai hak ijbār yang dimiliki oleh orang tua yaitu ayah atau kakek selaku wali mujbir. Bagi orang yang kehilangan kemampuannya seperti gila, anakanak yang masih belum mencapai usia tamyiz, boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya sebagaimana dengan orang-orang yang kurang kemampuannya seperti orang yang akalnya belum sempurna tetapi sudah
6
berusia tamyiz (abnormal). 8 Yang dimaksud berlakunya wali mujbir yaitu seorang wali berhak mengakadnikahkan orang yang diwakilkan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu. Akadnya berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha atau tidaknya. 9 Seorang perempuan yang masih perawan yang akan dinikahkan cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk persetujuan izin tersebut adalah diam. Tetapi, ayah dan kakek memiliki hak istimewa untuk memaksa menentukan pilihan pasangan hidupnya. Hak ijbar oleh banyak orang dipahami sebagai hak bagi wali (ayah atau kakek) untuk menjodohkan anak atau cucu perempuan. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya seorang ayah atau kakek menikahkan anak / cucu gadisnya yang sudah dewasa tanpa izinnya. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang ayah yang bertindak sebagai wali tidak diperkenankan menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa sepengetahuan atau izinnnya. Dan juga tidak boleh memaksanya, karena pemaksaan hanya berlaku bagi anak kecil, orang gila laki-laki / perempuan walaupun dewasa. 10
8
Sayid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Fiqih Sunnah, Terj. Nor Hasanuddin, dkk., Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2007, Cetakan ke-II, hlm. 18. 9 Ibid. 10 Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul Wahid Ibnu Al-Hammam Al-Hanafi, Fathul Qadīr, Juz III, Libanon: Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 251.
7
Menurut ulama Malikiyah, paksaan dapat diberlakukan pada gadis dewasa dan janda kecil (belum dewasa). 11 Al-Imam al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, mengatakan bahwa : “ janda yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh menikahkan perawan / gadis kecuali dengan izinnya pula, tidak boleh menikahkan gadis kecil kecuali ayah atau kakeknya setelah kematian ayahnya “ . 12 Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang berbunyi:
13
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya ”. Tetapi pendapat ini berbeda dengan pendapat para muridnya dan ulama Syafi’iyah yang lain. Al-Imam al-Mawardi mengatakan: “ gadis itu 11
Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Alih Bahasa Imam Ghazali Said, Bidāyatul Mujtahīd wa Nihāyatul Muqtashīd, Jakarta: Pustaka Amani, Cet ke-II, hlm. 404. 12 Imam Abi Abdillah bin Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Al-Umm, Juz VIII, Libanon: Beirut, Dar al-Fikr, hlm. 265. 13 Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al- Salmi (209-279 H ), Sunan alTirmidzi, Juz II, Naskah ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir dan Kawan-kawan, Libanon: Beirut, Dar al-Kitab al-Alamiyah, Hadis 1108, hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, Abu Al-Husayn Muslim bin al-Hajaj al-Naisabury ( 206-261 H ), Sahih Muslim, Juz I, Libanon: Beirut, Dar alFikr, Cet.ke-I, hlm. 650., Abu Daud Sulayman bin al-Asy’ats al-Sijistani al-Azdi (202-275 H), Sunan Abu Daud, Naskah ini ditahqiq oleh Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 232., Al-Nasa'i, Sunan al-Nasā'i, Beirut: Dar al-Fikr, Juz 5, hlm. 84.
8
boleh dipaksa menikah oleh sebagian walinya (ayah / kakek) baik itu masih kecil, dewasa, berakal atau gila “. 14 Menurut al-Imam al-Ramli boleh bagi ayah menikahkan gadis yang masih kecil dan dewasa (baik berakal atau gila) tanpa izinnya dengan mahar mitsil tunai (berlaku umum) di negaranya. 15 Sedangkan al-Imam al-Syirazi juga berpendapat sama dengan alImam al-Mawardi dan al-Imam al-Ramli sebagaimana dalam kitabnya alMuhazzab:
Artinya: “ Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa ”. Dalam kitabnya al-Tanbīh ia juga menyatakan:
Artinya: “ Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpa persetujuannya ” . Jika melihat problematika diatas maka nampak sekali perbedaan pendapat antara mazhab satu dengan yang lain. Perbedaan pendapat
14
Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hāwī al-Kabīr, Juz IX, Libanon: Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 69. 15 Imam Syamsuddin al-Ramli, Nihāyatul Muhtāj ila as-Syarhi al- Minhāj, Libanon: Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1996, hlm. 228-229. 16 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Syirazi, Al-Muhazzab, Juz II, Beirut: Dar alKutub al-Alamiyah, hlm. 429. 17 Al-Imam al-Syirazi, Al-Tanbīh, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, hlm. 222.
9
tersebut tentunya tidak terlepas dari keumuman hadis dan juga illat hukum yang menjadi akar munculnya perbedaan pendapat itu sendiri. Perbedaan pendapat tersebut tidak hanya antar mazhab saja, tetapi terjadi antar ulama syafi’iyah, yaitu antara al-Imam al-Syafi’i sendiri dengan murid-muridnya. Mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang ayah atau kakek selaku wali memang boleh menikahkan gadis dewasa tanpa izinnya, hanya saja mereka berbeda dalam hal istinbat hukumnya. Salah satunya adalah al-Imam al-Syirazi. Adapun dasar hukum yang dipakai al-Imam al-Syirazi untuk menguatkan pendapatnya adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur, kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “ janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya, sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ”. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud mengkaji lebih mendalam dalam bentuk skripsi dengan judul: “ Analisis Pendapat al-Imam al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa ”
18
Al-Nasa'i, op.cit., hlm. 85., Abu Daud, op.cit., hlm. 233.
10
B. Rumusan Masalah Dari Latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa? 2. Bagaimana istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa. 2. Untuk mengetahui istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin.
D. Telaah Pustaka Al-Imam al-Syirazi adalah seorang tokoh fiqih Islam yang bermazhab Syafi’i yang merupakan salah satu mujtahid dikalangan mazhab syafi’i. Oleh karena itu fatwa-fatwanya digunakan rujukan bagi para ulama fiqih dan murid-muridnya dalam perkembangan fiqih. Dalam menyusun skipsi ini penulis telah melakukan beberapa kajian dan penelusuran mengenai karya karya yang berhubungan dengan wali nikah khususnya kitab karya al-Imam al-Syirazi yaitu al-Muhazzab dan al-Tanbīh yang menjelaskan bahwa ayah boleh menikahkan gadis (
11
baik kecil maupun dewasa ) tanpa izinnya. Dalam penelusuran, penulis belum menemukan skripsi yang membahas tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa. Tetapi untuk kajian yang lebih mendalam, penulis perlu melakukan penelaahan terhadap skripsi lain yang mempunyai relevansi dengan masalah tersebut. Skrispi yang disusun oleh Abdul Ghufron (NIM 2104035) yang berjudul “ Analisis Pendapat Imam al-Syafi'i Tentang Wali Nikah Bagi Janda Di Bawah Umur ”. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang pendapat Imam al-Syafi’i bahwa wali nikah merupakan suatu keharusan sebagai syarat sahnya perkawinan dan tidak sah nikah tanpa wali meskipun bagi janda dibawah umur. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa janda yang masih kecil tidak boleh dipaksa menikah oleh walinya. Tetapi dalam analisinya skripsi ini lebih menekankan bahwa wali nikah merupakan suatu rukun yang wajib terpenuhi sebagai syarat sahnya nikah berdasarkan dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum. Apabila pernikahan itu tanpa harus ada wali nikah maka aspek madharatnya lebih besar. Skripsi yang disusun oleh Wirdah Rosalin (NIM 2100105 ) yang berjudul “ Analisis Pendapat Ahmad Hassan Tentang Bolehnya Wanita Gadis Menikah Tanpa Wali ”. Skripsi ini menjelaskan pendapat salah seorang ulama di Indonesia yaitu Ahmad Hassan yang membolehkan wanita gadis menikah tanpa wali. Menurutnya, keterangan-keterangan yang mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan itu tak dapat dijadikan alasan untuk mewajibkan perempuan menikah harus disertai wali, karena
12
berlawanan dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an, Hadis dan riwayatnya yang sahih dan kuat. Dengan tertolaknya keteranganketerangan yang mewajibkan wali itu, berarti wali tidak perlu, artinya tiaptiap wanita boleh menikah tanpa wali. Jika sekiranya seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada wali, tentunya al-Qur'an menyebutkan tentang itu. Demikian pendapat A. Hassan. Sedangkan jumhur ulama mensyaratkan adanya wali nikah dalam akad perkawinan dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri. Dengan kata lain pendapat yang lebih maslahat adalah yang menganggap nikah tanpa wali adalah batal. Karena peran dan fungsi wali sangat penting. Skripsi yang susun oleh Khoirul Jaza (NIM 2103220) yang berjudul “ Studi Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Wali Washi‟ Dari Bapak Lebih Didahulukan Sebagai Wali Nikah Dari Pada Wali Nasab “. Skripsi ini menjelaskan tentang pendapat Imam Malik bahwa wali yang timbul karena sebab wasiat artinya wasiat dari bapak itu lebih didahulukan untuk menikahkan seorang perempuan dari pada wali nasab, karena wali washi dari bapak termasuk wali mujbir, sehingga wali-wali yang lainnya tidak bisa menduduki kedudukan untuk menikahkan seorang perempuan jika masih ada wali washi dari bapak. Menurut Imam Syafi’i wali washi tidak berhak menjadi wali bagi perempuan yang diasuhnya. Dalam analisisnya penulis skripsi ini sependapat dengan pendapat Imam Malik. Skripsi yang disusun oleh Basyid (NIM 210584) yang berjudul “ Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i Tentang Hak Wali Nikah Bagi Anak
13
Angkat ”. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang hak wali anak angkat menurut Imam Syafi’i tetap pada orang tua kandung, bukan orang yang mengadopsinya (orang tua angkat). Anak angkat bukanlah anak kandung, tetapi hanya mendapatkan asuhan dalam kehidupannya. Hak wali berpindah manakala orang tua tidak ada atau adhal. Sedangkan yang berhak menjadi pengganti bagi orang yang tidak punya wali adalah hakim. Dari berbagai penelitian diatas maka sudah jelas terdapat perbedaan yang signifikan dengan skripsi yang akan penulis susun. Dalam skripsi ini penulis lebih menekankan pada argumentasi pendapat al-Imam al-Syirazi mengenai hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa dan bagaimana istinbat hukum yang digunakan al-Imam al-Syirazi serta akibat hukumnya ketika gadis dinikahkan oleh walinya tanpa kerelaaan darinya.
E. Metode Penelitian Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini sebagai berikut: 19
19
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 21-22.
14
1. Jenis Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakakaan (Library Research) yaitu Penelitian yang mengandalkan data dari bahan pustaka untuk dikumpulkan dan kemudian diolah sebagai bahan penelitian.20 Adapun bahan yang dikumpulkan meliputi beberapa teori, kitab-kitab dan pendapat para ahli dan karangan ilmiah lain yang mempunyai kaitan dengan pembahasan skripsi ini.
2. Sumber Data a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber asli yang memuat informasi. 21 Sumber data primer ini adalah kitab karya alImam al-Syirazi yaitu al-Muhazzab dan al-Tanbīh. b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli dan memuat informasi.
22
Adapun data sekunder dalam
penulisan skripsi ini diantaranya adalah: 1. Kitab Al-Umm karangan al-Imam al-Syafi’i 2. Kitab Al-Hāwī al-Kabīr karangan al-Imam al-Mawardi 3. Kitab Minhāj al-Thālibīn karangan al-Imam an-Nawawi. 4. Kitab Nihāyatul Muhtāj karya al-Imam al-Ramli 5. Kitab Fathul Qadir karangan Ibnu al-Hammam al-Hanafy
20
Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, Bogor: Prenada Media, 2003, hlm. 89. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Lkis, 1999, hlm. 9. 22 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. keVIII, hlm. 126. 21
15
6. Buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode dokumentasi yaitu dengan mencari dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. 23 Dengan metode ini maka penulis tidak hanya mengumpulkan kitab-kitab fiqih saja, tetapi juga kitab-kitab lain yang saling berkaitan agar dapat dikaji secara komprehensif.
4. Metode Analisis Data Setelah data-data hasil penelitian kepustakaan terkumpul maka kemudian
penulis
menganalisis
dengan
menggunakan
metode
deskriptif-analisis yaitu dengan cara menggambarkan data yang berkaitan dengan pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa untuk kemudian dianalisis bagaimana istinbat hukum wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin yang digunakan oleh al-Imam al-Syirazi.
23
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Tekhnik, Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 163.
16
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang mempunyai korelasi antara satu dengan yang lainnya. Bab pertama berisi pendahuluan, yaitu gambaran secara umum dengan memuat: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi
tinjauan secara umum tentang wali nikah
meliputi: pengertian wali nikah, dasar hukum wali nikah, syarat-syarat wali nikah, macam-macam wali nikah, urutan wali nikah, pengertian gadis dewasa. Bab ketiga berisi pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa yang meliputi: biografi al-Imam al-Syirazi, karya-karyanya, pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa, serta istinbat hukum alImam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin. Bab keempat berisi analisis terhadap pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa dan analisis istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin. Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH
A. Pengertian Wali Nikah Secara bahasa wali nikah merupakan gabungan dari kata wali dan nikah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wali mempunyai
banyak makna, antara lain: 21 1. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa. 2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki). 3. Orang saleh (suci), penyebar agama. 4. Kepala pemerintah dan sebagainya. Secara spesifik, perwalian, dalam literatur fiqih disebut dengan /
, seperti kata
. Secara etimologis, adalah
yang juga bisa disebut dengan /
, memiliki beberapa arti. Diantaranya
yang berarti cinta, dan
yang berarti pertolongan.22
Seperti Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 56:
21
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1975, hlm. 1175. 22 Ahmad Warsan Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren AlMunawwir Krapyak, 1984, hlm. 1690.
18
Artinya: " Barang siapa yang mengambil Allah dan Rasul-Nya dan orangorang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah orang-orang yang pasti menang ”. (QS. Al-Ma‟idah: 56).23 Dan surat at-Taubah Ayat 71
Artinya: " Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."24 Selain itu wali juga berarti kekuasaan / otoritas ( as-sulthah walqudrah), seperti dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah tawally al-amr ( mengurus/ menguasai sesuatu). 25 Secara istilah wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai bidang hukumnya.
26
Menurut
Wahbah al-Zuhayli, wali ialah “ kekuasaan / otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) kepada izin orang lain.”
23
27
Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 170. Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 291. 25 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2004, hlm. 134. 26 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 11. 27 Wahbah Al-Zuhayli, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, 1409 H / 1989 M, Beirut: Libanon: Darul Fikr, Jil.VII, hlm. 718. 24
19
Sedangkan kata nikah secara bahasa diartikan adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtilāth (bercampur). Dalam bahasa Arab misalnya dikatakan:
Artinya: " Pohon-pohon itu kawin ”. Dimaksudkan ketika bergabung satu dengan yang lain. Atau dikatakan:
Artinya: " Hujan itu bergabung dengan tanah ”. Maksudnya ketika air hujan itu bercampur dengan tanah. Kata lain yang sama artinya dengan nikah adalah az-zawāj, yang berasal dari kata
yang diartikan pasangan, mengawinkan atau
menjodohkan. Sebagaimana disebut dalam surat Ad-Dukhan ayat 54:
Artinya: " Dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari ”.
Para ulama memerinci makna lafal nikah ada empat macam. Pertama, nikah diartikan akad dalam arti sebenarnya dan diartikan percampuran suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya, nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti kiasan. Ketiga, lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama).
20
Keempat, nikah diartikan adh-dhamm (bergabung secara mutlak) dan alikhtilāth (percampuran).28 Diantara ayat-ayat yang menunjukkan kata nikah adalah surat AlBaqarah ayat 230, yang berbunyi:
Artinya : " Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami lain menceraikannya maka tidak ada dosa keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui ”. 29 Ayat ini menjelaskan bahwa jika seorang perempuan telah bercerai dengan suaminya dengan talak tiga, maka tidak halal lagi bagi perempuan itu kawin dengan bekas suaminya itu, kecuali ia lebih dahulu kawin dengan laki-laki lain. Kemudian setelah dia bercerai dengan suaminya yang kedua, barulah dia boleh menikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama. Said bin Musayyab, seorang tabi‟in dan murid Abu Hurairah dalam menafsirkan, “ sehingga perempuan itu kawin dengan suami yang lain” telah mengambil zahir ayat itu saja dan berkata, cukuplah semata-mata
28
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Al-Usrah Wa-Ahkamuhā Fi- al- Tasyrī'i al-Islāmi, Fiqih Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak.Terj. Dr.H. Abdul Majid Khon, M. Ag., Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-I, hlm.38. 29 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 56.
21
akad yang baru. Artinya sesudah itu ia kembali kepada suaminya yang pertama. Tetapi pendapatnya itu ditolak oleh jumhur, salaf, dan khalaf dengan menyatakan, bahwa disamping akad nikah dengan suami yang kedua, disyaratkan keduanya harus bersetubuh dan tidak memadai sematamata akad saja dengan tidak campur.30 Dalam pengertian secara istilah, ulama Syafi‟iyah merumuskan pengertian nikah sebagaimana berikut:
Artinya: " Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz nakaha atau zawaja ” . Apabila kata wali dan nikah digabungkan maka berarti orang yang menjadi wali dalam pernikahan. Menurut Prof. Amir Syarifuddin wali nikah adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan dilakukan oleh walinya. 31 Sedangkan Menurut Muhammad Jawad Mughniyyah, “ Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas golongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna,
30
Syeikh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsīr Ahkām, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-I,
hlm. 121. 31
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 69.
22
karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri ”. 32 Atas dasar pengertian tersebut, kata wali dapat dipahami alasan hukum Islam menetapkan ayah sebagai orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya. Hal ini karena ayah adalah orang yang paling dekat, siap menolong, serta mengasuh dan membiayai anakanaknya, barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah, dan seterusnya. 33
B. Dasar Hukum Wali Nikah Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Memang tidak ada satu pun ayat Al-Qur‟an yang jelas secara ibārat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Tetapi dari ayat tersebut secara isyārat nash dapat dipahami menghendaki adanya wali . 34 Diantara ayat-ayat Al-Qur‟an yang mengisyaratkan adanya wali adalah surat Al-Baqarah ayat 232 yang berbunyi:
32
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 345. Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 32. 34 Amir Syarifuddin, loc. cit., hlm. 69. 33
23
Artinya: " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui ”. 35 Kalau sang istri telah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan lain yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali, atau siapapun tidak boleh melakukan ‘adhl, yakni menghalang-halangi mereka, wanita itu menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja
yang
dipilihnya
baik
suami
mereka
yang
telah
pernah
menceraikannya, maupun pria lain yang ingin dikawininya dan bakal menjadi suami-suami mereka, maka itu adalah haknya secara penuh, karena janda berhak atas dirinya daripada yang lain.36 Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalanghalangi. 37 Ayat lain yang menunjukkan tentang wali nikah adalah surat AlBaqarah (2) ayat 221 yang berbunyi:
35
Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 56. M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian Dalam Al-Qur’an, Juz I, Jakarta: Lentera Hati, 2000, hlm. 501. 37 Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 366. 36
24
Artinya: "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran ”. 38 Ayat di sini mengandung pengertian bahwa para wali dilarang mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan musyrik. Paling tidak ada dua hal yang perlu digaris bawahi: Pertama, penggalan ayat tersebut ditujukan kepada para wali, memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada dibawah perwaliannya. Peranan tersebut dibahas oleh para ulama dan menghasilkan aneka pendapat. Ada yang berpendapat sangat ketat, sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti dari para wali dalam penentuan calon suami bagi putrinya. Tidak sah perkawinan dalam pandangan ini tanpa persetujuan itu. Tetapi ada juga yang hanya memberi sekedar hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan jika perkawinan berlangsung tanpa
38
Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 53.
25
restunya. Menurut penganut pandangan ini, tuntutan tersebut pun tidak serta merta dapat dibenarkan, kecuali setelah memenuhi sejumlah syarat. 39 Betapapun demikian perlu diingat, bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam adalah perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antara suami istri, sekaligus antar keluarga, bukan saja keluarga masingmasing tetapi juga antara kedua keluarga mempelai. Dari sini peranan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting. Baik dengan memberi kepada orang tua wewenang yang besar, maupun sekedar restu, tanpa mengurangi hak anak. Oleh karena itu, walaupun Rasul memerintahkan orang tua supaya meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolak ukur anak itu tidak jarang berbeda dengan tolak ukur orang tua, maka tolak ukur anak, ibu dan bapak harus dapat menyatu dan mengambil keputusan perkawinan. Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama dapat memasukkan ahl al-kitāb dalam kelompok dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria ahl al-kitāb untuk mengawini wanita muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di atas,berlanjut hingga mereka beriman, sedang ahl al-kitāb tidak dinilai beriman dengan iman yang dibenarkan oleh Islam. Maka bagi para wali dilarang menikahkan
39
M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 475.
26
wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik dan juga ahl alkitāb. 40 Selain itu dijelaskan dalam surat Al-Nur (24) ayat 32 yang berbunyi:
Artinya: " Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui ”. Ibarāt nash ketiga ayat tersebut tidak menunjukkan keharusan adanya wali, karena yang pertama merupakan larangan menghalangi perempuan yang habis masa iddahnya untuk kawin, ayat kedua larangan perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik, sedangkan ayat ketiga suruhan untuk mengawinkan orang-orang yang masih bujang. Namun karena dalam ketiga ayat itu khitāb Allah berkenaan dengan perkawinan dialamatkan kepada wali, dapat pula dipaham daripada keharusan adanya wali dalam perkawinan. Dari pemahaman ketiga ayat tersebut diatas, jumhur ulama (Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah ) menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan.
40
M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 476.
27
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syi‟ah Imamiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat
melakukan
sendiri
perkawinannya
dan
tidak
perlu
wali
mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan bantuan walinya. Adapun ayat Al-Qur‟an yang dijadikan dasar hukum ulama Hanafiyah dan ulama Syi‟ah Imamiyah adalah: Surat Al-Baqarah (2) ayat 232:
Artinya: " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui ”. 41 Surat Al-Baqarah (2) ayat 230:
41
Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 56.
28
Artinya : " Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain ”. Kemudian jika suami lain menceraikannya maka tidak ada dosa keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. Surat Al-Baqarah (2) ayat 234:
Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. Menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syi‟ah Imamiyah ayat pertama diatas dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini bekas suaminya dan wali dilarang mencegahnya. Ayat kedua jelas menyatakan perempuan itu melakukan perkawinan dengan laki-laki lain dan ayat ketiga perempuan itu berbuat atas dirinya (maksudnya kawin). Dalam ketiga ayat tersebut fā’il atau pelaku dari perkawinan itu adalah perempuan itu sendiri tanpa disebutkan wali. 42
42
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 72.
29
Pendapat Hazairin yang dikutip oleh Sayuti Thalib menerangkan bahwa memang wali tidak menjadi syarat bagi sahnya perkawinan seorang perempuan yang telah dewasa. 43 Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat diatas sebagai dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan pendapatnya itu dengan serangkaian hadis dibawah ini: a. Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa menurut riwayat Ahmad
Artinya: " Tidak boleh nikah tanpa wali ". b. Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain al-Nasa‟i
Artinya: " Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya batal ". c. Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi:
Artinya: " Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri ". Golongan Hanafiyah dan Syi‟ah Imamiyah yang tidak mewajibkan adanya wali bagi perempuan dewasa dan akal sehat, menanggapi hadis
43
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UII press, 1986, Cet ke-V, hlm. 64. Dalam hal ini, meskipun Sayuti Thalib sependapat dengan Hanafiyah dan Hazairin, tetapi menurutnya alangkah baiknya wanita itu memakai wali dalam melakukan ijab qabul.
30
pertama diatas dengan menyatakan bahwa hadis tersebut mengandung dua arti: Pertama: Tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, bukan berarti tidak sah. Kedua: Bila kata itu tidak diartikan dengan tidak sah, maka arahnya adalah kepada perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya, karena terhadap dua perempuan tersebut ulama hanafiyah juga mewajibkan adanya wali sebagaimana ulama jumhur. 44 Sedangkan terhadap hadis yang kedua ulama Hanafiyah dan pengikutnya mengatakan bahwa perkawinan yang batal itu adalah bila perkawinan yang dilakukan tanpa izin wali, bukan yang mengawinkannya hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan mengawinkan dirinya atau perempuan lain itu adalah bila perempuan itu masih kecil sedangkan yang sudah dewasa boleh saja ia mengawinkan dirinya atau orang lain. Disamping pembelaan Hanafiyah terhadap hadis-hadis yang dikemukakan jumhur ulama, ulama Hanafiyah juga mengemukakan hadis Nabi yang mendukung pendapatnya. Diantaranya adalah hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat Muslim yang berbunyi:
Artinya: " Janda itu berhak atas dirinya sendiri daripada walinya ". Juga hadis dari Ibnu Abbas menurut riwayat Abu Daud, dan alNasa‟i dan disahkan oleh Ibnu Hibban yang bunyinya:
44
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 73.
31
Artinya: " Tidak ada urusan wali terhadap perempuan yang sudah janda". Dua hadis tersebut diatas digunakan oleh ulama Hanafiyah dan pengikutnya untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali bila yang melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan akal sehat.
C. Syarat-Syarat Wali Nikah Seseorang dapat menjadi wali dalam pernikahan apabila telah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:45 1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil dan orang gila tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan aqad. 2. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. Ulama Hanafiyah dan ulama Syi‟ah mempunyai pendapat yang berbeda dalam persyaratan ini. Menurut mereka perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain yang mengharuskan adanya wali. 3. Muslim. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim. Hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 28: 45
Amir Syarifuddin, op.cit., hlm.76.
32
Artinya: " Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu) " . Dan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 51:
Artinya: " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang lalim " . 4. Orang merdeka 5. Tidak berada dalam pengampuan atau mahjūr ‘alaih, alasannya ialah bahwa orang yang berada dibawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukan sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum. 6. Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya (pikun) tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
33
7. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil, serta tetap memlihara murū’ah atau sopan santun. Ulama Syi‟ah tidak mensyaratkan adilnya wali dalam perkawinan. Menurut Sayyid sabiq seorang wali tidak disyaratkan adil. Jadi, seorang yang durhaka tidak kehilangan hak menjadi wali dalam perkawinan kecuali bila kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan yang berat. Ia tidak bias menjadi wali karena ia jelas tidak mententramkan jiwa orang yang diurusnya. Karena itu, haknya menjadi wali menjadi hilang.46 Keharusan wali itu adil berdasarkan sabda Nabi dalam hadis dari Aisyah menurut riwayat Daruquthniy:
Artinya: " Tidak sah niklah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil " . 8. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. Hal ini berdasarkan hadis Nabi dari „Utsman menurut riwayat Muslim yang mengatakan:
Artinya:" Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang ".
46
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 11.
34
Dalam hal persyaratan ini ulama Hanafiyah mengemukakan pendapat yang berbeda. Menurut mereka wali yang melakukan ihram dapat menikahkan pasangan yang sedang ihram.
D. Macam-Macam Wali Nikah Bagi fuqaha‟ yang memegangi keharusan adanya wali dalam perkawinan, macam-macam wali itu ada tiga, yaitu:47 1. Wali
nasab
(keturunan),
yaitu
wali
yang
berhubungan tali
kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah. 2. Wali mu’thiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya. 3. Wali hakim atau wali sulthan, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa. Dalam menetapkan wali nasab terdapat beda pendapat dikalangan ulama. Beda pendapat ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari Nabi, sedangkan Al-Qur‟an tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi‟iyah, Hanabilah, Zahiriyah, dan Syi‟ah Imamiyah membagi wali itu menjadi dua kelompok: Pertama: wali dekat atau wali qarīb, yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap
47
anak
perempuan
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 75.
yang
akan dikawinkannya.
Ia
dapat
35
mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa meminta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali mujbir. Ketidakharusan meminta pendapat dari anaknya yang masih muda itu adalah karena orang yang masih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memberikan persetujuan. Ulama Hanabilah menempatkan orang yang diberi wasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya berkedudukan sebagai ayah. Kedua: wali jauh atau wali ab’ad, yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah atau kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut: a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada e. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada f. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada g. Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada h. Anak paman seayah i.
Ahli waris kerabat lainnya
36
Ulama Hanafiyah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai ashābah dalam kewarisan atau tidak sebagai wali nasab, termasuk zaul arhām. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan dikawinkan itu adalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya. Ulama Malikiyah menempatkan seluruh kerabat nasab yang ashābah sebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya, bahkan kedudukannya lebih utama dari pada ayah atau kakek. Golongan ini menambahkan orang yang diberi wasiat oleh ayah sebagai wali dalam kedudukan sebagaimana kedudukan ayah. Berbeda dengan ulama Hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar hanya kepada ayah saja dan menempatkannya dalam kategori wali aqrāb.
E. Urutan Wali Nikah Menurut ulama Syafi‟iyah, orang yang harus didahulukan untuk menjadi wali nikah adalah ayah dari perempuan yang bersangkutan. Kalau ayahnya telah meninggal dunia atau disebabkan tidak memenuhi syaratsyarat yang ditentukan syari‟at semisal; hilang ingatan, pikun, pergi tidak diketahui rimbanya dan sebagainya, maka yang berhak menjadi wali adalah kakek (ayah dari ayah), kalau kakeknya tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah buyutnya (ayah dari kakek), demikian seterusnya sampai ke atas.
37
Kalau yang disebutkan di atas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah saudara laki-laki yang sekandung (seayah seibu). Kalau saudara laki-laki yang dimaksud tidak ada, maka walinya adalah saudara laki-laki yang seayah. Kalau wali yang disebut di atas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung. Kalau masih tidak ada juga, maka yang berhak menjadi wali adalah anak dari saudara laki-laki yang seayah, demikian seterusnya sampai ke bawah. Kalau wali yang diatas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah paman (saudara ayah yang sekandung). Kemudian yang berhak menjadi wali setelah urutan di atas adalah paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah. Urutan berikutnya kalau masih tidak ada walinya adalah sepupu (anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayahnya sekandung. Sedangkan urutan berikutnya, yang berhak menjadi wali adalah saudara sepupu (anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah). Dan begitulah seterusnya sampai ke bawah. 48 Apabila diuraikan secara rinci, wali nikah menurut ulama Syafi‟iyah sebagai berikut: a. Ayah kandung b. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalam garis laki-laki; c. Saudara laki-laki sekandung; d. Saudara laki-laki seayah; 48
Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004, hlm. 69
38
e. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung; f. Anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah; g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung; h. Anak laki-laki dari anak laki-laki seayah; i.
Saudara laki-laki ayah kandung;
j.
Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah);
k. Anak laki-laki paman sekandung; l.
Anak laki-laki paman seayah
m. Saudara laki-laki kakek sekandung; n. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung; o. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.49 Sedangkan menurut ulama Malikiyah urutan wali nikah adalah: a. Ayah (al-Ab) b. Al-Washi yaitu orang yang menerima wasiat dari ayah (al-Ab) untuk menjadi wali nikah. c. Anak laki-laki, meskipun itu hasil dari hubungan perzinaan. d. Cucu laki-laki. e. Saudara laki-laki yang sekandung. f. Saudara laki-laki yang seayah; g. Anak laki-laki dari saudara yang sekandung; h. Anak laki-laki dari saudara yang seayah; i. 49
Kakek yang seayah;
Muhammad Syarbini, Al-Iqna’ fī hilli al Alfād Abī Sujā’, Bandung: Daar al-Ikhya‟ alKutubiyyah al-Alamiyyah, t.th., Juz II, hlm.246.
39
j.
Paman yang sekandung dengan ayah;
k. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah; l.
Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah;
m. Ayah dari kakek. 50 Adapun urutan wali dalam mazhab Hanabilah sebagai berikut; a. Bapak (al-Ab) b. Washi dari bapak setelah meninggalnya c. Hakim ketika dalam keadaan tertentu Ketiga wali inilah yang dijadikan sebagai wali mujbir, menurut Imam Hambali. Sedangkan wali aqrāb dari nasab menurut Imam Hambali adalah sebagaimana dalam hal waris antara lain: a. Bapak b. Kakek (ayah bapak) sampai derajat ke atas c. Anak laki-laki d. Cucu laki-laki dari anak laiki-laki sampai derajat ke bawah e. Paman (saudara laki-laki bapak sekandung) f. Paman (saudara laki-laki dari ayah yang seayah) g. Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki ayah sekandung) h. Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah)ke bawah i.
Paman-pamannya kakek
j.
Anak-anak pamannya kakek
50
hlm. 366.
Abu Bakar bin Hasan al-Kusnawi, Ashal al-Madārik, Jilid 1, Beirut: Daar al-Fikr, 1996,
40
Ulama Hanafiyah berpandangan bahwa status wali hanyalah syarat perkawinan, bukan rukun perkawinan. Oleh karena itu mereka meringkas rukun nikah hanya terdiri atas ijāb dan qabūl .Rasionalitas tentang wali didasarkan bahwa akad nikah sama dengan akad jual beli. Status wali hanya berlaku pada orang yang masih kecil (belum dewasa), baik laki-laki maupun perempuan, dan orang gila perempuan atau laki-laki meskipun dewasa. 51 Meskipun status wali menurut ulama Hanafiyah seperti itu, tetapi ulama Hanafiyah memliki urutan perwalian sebagai berikut: a. Anak laki-laki, cucu laki-laki seterusnya sampai ke bawah b. Ayah, kakek (ayah dari ayah) dan seterusnya sampai ke atas c. Saudara laki-laki yang sekandung d. Saudara laki-laki yang seayah e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung; f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah; g. Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung; h. Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah; i.
Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung
j.
Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah. Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi
wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat
51
Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 33.
41
menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali. Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarīb. Bila wali qarīb tersebut tidak memenuhi syarat balīgh, berakal, Islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan tersebut diatas. Bila wali qarīb sedang dalam ihram haji atau umrah, maka kewalian tidak pindah kepada wali ab’ad, tetapi pindah kepada wali hakim secara kewalian umum. Demikian pula hakim menjadi wali nikah bila keseluruhan wali nasab tidak ada, atau wali qarīb dalam keadaan „adhal atau enggan mengawinkan tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Begitu pula akad perkawinan dilakukan oleh wali hakim bila wali qarīb sedang berada di tempat lain yang jaraknya mencapai dua marhalah (sekitar 60 km). Demikian adalah menurut pendapat jumhur ulama.52
F. Pengertian Gadis Dewasa Menurut Fiqih, seseorang dapat dikatakan dewasa apabila ia telah baligh. Para ulama sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti kebaligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki. 53
52 53
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 78. Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit, hlm. 317.
42
Imamiyah, Maliki, Syafi‟i dan Hambali mengatakan bahwa tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Sedangkan Hanafiyah menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Jika dilihat dari aspek usia, Syafi‟i dan Hambali menyatakan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun. Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah minimal dua belas tahun dan maksimal delapan belas tahun, sedangkan anak perempuan minimal sembilan tahun dan maksimal tujuh belas tahun. Adapun menurut Imamiyah usia baligh bagi laki-laki adalah lima belas tahun, sedangkan bagi perempuan adalah sembilan tahun. Sementara itu, pengalaman membuktikan bahwa kehamilan dapat terjadi pada anak gadis usia sembilan tahun. 54 Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan tahun 1974, seseorang dapat dikatakan dewasa apabila telah mencapai usia sembilan belas tahun bagi laki-laki dan enam belas tahun bagi perempuan. 55 Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, seseorang belum dapat dikatakan dewasa apabila belum mencapai umur dua puluh satu tahun atau belum pernah menikah. Sedangkan batas
54
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit, hlm. 318. Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat 1 dan Undang-undang Perkawinan tahun 1974 Pasal 7, Trinity Optima Media, Cet.ke-I, 2007. 55
43
minimal usia minimal untuk menikah adalah delapan belas tahun bagi lakilaki dan lima belas tahun bagi perempuan. 56 Terkadang kita temukan seseorang yang sudah mencapai umur dewasa bahkan sudah tua tetapi masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dalam perilaku maupun cara berfikirnya. Begitu juga sebaliknya, terkadang seseorang yang masih belia tetapi cara berfikirnya seperti halnya orang dewasa. Hal ini menandakan bahwa ukuran seseorang dapat dikatakan dewasa adalah relatif. Oleh karena itu, yang dimaksud gadis dewasa dalam pembahasan skripsi ini adalah anak perempuan yang sudah baligh, masih perawan, belum pernah melangsungkan pernikahan, sehat akalnya dan juga dewasa dari sisi psikologis sehingga ia dipandang dapat menentukan masa depannya sendiri. Jadi seseorang dapat dikatakan dewasa tidak hanya dilihat dari usia atau fisiknya saja, tetapi juga dewasa cara berfikirnya.
56
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Visimedia, Cet. ke-I, 2008.
44
BAB III PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA
A. Biografi Al-Imam Al-Syirazi 1. Riwayat Hidup Al-Imam Al-Syirazi Ibrahim bin „Ali bin Yusuf bin Abdullah, yang dikenal dengan Abu Ishaq, adalah pemikir fiqh Syafi‟i, sejarawan dan sastrawan. Ia dilahirkan pada tahun 393 H di desa Firz Abaz, sebuah kota dekat Syiraz, Persia. Ketika dewasa ia pindah ke Syiraz. Di Syiraz ia belajar fiqh pada Abu Abdillah al-Baidawi dan Ibnu Ramin. Kemudian ke Bashrah untuk belajar fiqh pada Al-Jazari. Tahun 415 H pindah ke Baghdad dan berguru ilmu ushul fiqh pada Abu Hatim al-Qazwaini dan al-Zajjaj. Selanjutnya ilmu hadis diterimanya dari Aba Bakar al-Barqani, Abi „Ali bin Syazan dan Aba Tayyib al-Tabari, bahkan menjadi asistennya.21 Sementara murid-muridnya antara lain adalah: a. Abu Abdullah bin Muhammad bin Abu Nasr al-Humaidi b. Abu Bakar bin al-Hadinah c. Abu al-Hasan bin Abd al-Salam d. Abu al-Qasim al-Samarqandi 21
Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Fath Al-Mubīn fi Tabaqāt al-Ushūliyyīn: Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Terj. Hussein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001, Cet. Ke-I, hlm. 159.
45
Dalam sebuah riwayat ia mengatakan: “ ketika saya berjalan-jalan ke Khurasan, saya tidak menjumpai hakim, mufti atau khatib, selain murid-murid atau teman-teman saya”. Abu Ishaq adalah seorang yang bersahaja bahkan sangat fakir sampai untuk melaksanakan hajipun ia tidak mampu. Makanannya juga sangat sederhana. Nama Abu Ishaq popular dimana-mana sebagai cendekiawan yang tangguh, bahasanya bagus, ahli berdebat, berdiskusi dan pembela mazhab Syafi‟i. Ia pernah menjadi dosen pada Universitas Nizhamiyah di Baghdad, sebuah Perguruan Tinggi Islam yang didirikan oleh seorang wazir (Menteri ) kerajaan Saljuq. 22 Ia menempati kedudukan tersendiri di hati Khalifah Al-Muqtadi bi Amrillah, sampai-sampai ketika ia meninggal, Madrasah Nizhamiyah, sebuah perguruan tinggi yang dibangunnya dimana al-Syirazi juga mengajar, harus ditutup, sebagai penghormatan dan rasa duka cita yang mendalam atas kematiannya. Abu Ishaq al-Syirazi merupakan salah satu mujtahid muqayyad dari kalangan Syafi‟iyah. Mujtahid muqayyad adalah Seseorang yang berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya dalam kitabkitab madzhab. Selain Abu Ishaq al-Syirazi, mujtahid muqayyad lainnya dari kalangan Syafi‟iyah adalah Al-Mawardi, Muhammad bin Jarir, Abi Nashr, dan Ibnu Khuzaimah.
22
Sirajuddin Abbas, Thabaqāt Al-Syāfi‟iyyah, Ulama Syafi‟i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, hlm. 128.
46
Dari kalangan Hanafiyah antara lain Al-Hashafi, Al-Thahawi, AlKarkhi, Al-Halwani, Al-Sarkhasi, Al-Bazdawi dan Qadli Khan. Sedangkan dari kalangan Mazhab Al-Malikiyah misalnya: Al-Abhari, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani. Al-Qadli Abu Ya‟la. Adapun Al-Qadli Abi Ali bin Abi Musa merupakan mujtahid fatwa dari kalangan MadzhabAlHanabilah. Mereka semua disebut para imam Al-Wujūh, karena mereka dapat menyimpulkan suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab madzhab mereka. Hal ini dinamakan wajhān dalam madzhab ( satu segi dalam madzhab) atau satu pendapat dalam madzhab. Mereka berpegang kepada madzhab bukan kepada Imamnya (gurunya), hal ini tersebar dalam dua madzhab yaitu, Al-Syafi‟iyah dan Al-Hanabilah.
2. Karya-karya Al-Imam Al-Syirazi Ia menulis sejumlah buku yang banyak dipakai dan menjadi referensi utama generasi pengikut mazhab Syafi‟i sesudahnya. Antara lain: Al-Tanbīh dan Al-Muhazzab. Kedua kitab tersebut merupakan kitab fiqh yang sangat popular dalam mazhab Syafi‟i. Kitab Al-Tanbīh adalah kitab yang sangat istimewa karena banyak para ulama yang men syarah yaitu memperjelas, menguraikan isinya dengan panjang lebar, dan memberikan komentar terhadap kitab tersebut. Diantara syarah bagi kitab Al-Tanbīh ada sebanyak 37 kitab yakni: 23
23
Ibid, hlm. 129.
47
1. Taujīhut Tanbīh, karangan Abul Hasan Muhammad bin Mubarak yang terkenal dengan nama Ibnul Khilli. ( Wafat : 552 ). 2. Al-Ikmāl Limā Waqa‟a fi al-Tanbīh min al-Isykāl, karangan Syamsuddin Muhammad bin Abdirrahman al-Hadlrami. ( wafat: 613H). 3. Syarah Tanbīh, karangan Abdul Fadhal Ahmad bin Kamaluddin alIrbili. (Wafat: 662 H). 4. Syarah Tanbīh, karangan Abul „Abbas, Ahmad bin Imam Musa bin Yunus al-Maushili. (Wafat: 662 H). 5. Raf‟ut Tamwīh‟ an Musykilatit Tanbīh, karangan Al-Dizmari.( Wafat: 643 H ). 6. Syarah Tanbīh, karangan Syafarudin Abdullah bin Muhammad al Fihri al-Tilmisani. (Wafat: 644 H). 7. Syarah
Tanbīh,
karangan
Abu
Muhammad
al-Mundziri.
(Wafat:565H) 8. Syarah Tanbīh, karangan Abdul „Abbas as-Sibti, Ahmad bin Yahya al-Hadlrami. (Wafat: 675 H ). 9. Tuhfatut Thālib, karangan Imam Nawawi. (Wafat: 676 H ). 10. Syarah Tanbīh, karangan Al-Disyani. (Wafat: 677 H ). 11. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu Nafis. (Wafat: 687 H ). 12. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu al-Qaliyubi. (Wafat: 689 H). 13. Syarah Tanbīh, karangan Abul „Abbas, Ahmad bin Abdillah alThabari. (Wafat: 694 H ).
48
14. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu Sibti, (Wafat: 710 H ). 15. Syarah Tanbīh, karangan Syihabuddin al-Yamani. (Wafat: 731 H ). 16. Syarah Tanbīh, karangan Najmuddin al-Balisi. (Wafat: 729 H ). 17. Syarah Tanbīh, karangan Burhanuddin bin Ibrahim Ibnu al-Farkah. (Wafat: 729 H ). 18. Tuhfatun Nabih fi Syarhi al- Tanbīh, karangan syeikh Majdudin alSankalumi. (Wafat: 740 H ). 19. Al-Wadlihun Nabih fi Syarhi al-Tanbīh, karangan al-Manawi. (Wafat: 746 H ). 20. Syarah Tanbīh, karangan „Alaudin bin „Ali bin Abdul Kafi Al-Subki. (Wafat: 747 H ). 21. Syarah Tanbīh, karangan „Alaudin al-Subki. (Wafat: 747 H ). 22. Syarah Tanbīh, karangan Abul „Abbas al-Nasa‟i. (Wafat: 757 H ). 23. Syarah Tanbīh, karangan Qadhi Jama‟ah. (Wafat: 760 H ). 24. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu-al-Naqib al-Mishri. (Wafat: 758 H ). 25. Tashhih at-Tanbīh, karangan al-Asnawi. (Wafat: 772 H ). 26. Nashul Faqih fi Syarhi al-Tanbīh, karangan al-Mardini. (Wafat: 788 H). 27. Tafqiyah fi Syarhi al- Tanbīh, karangan Qadli Jamaluddin al-Yamani. (24 Jilid). Wafat: 792 H. 28. Syarah Tanbīh, karangan Zarkasyi. (Wafat: 794 H ). 29. Irsyādun Nabih ilā Syarhi al- Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin. (Wafat: 804 H ).
49
30. Umniyatun Nabih Syarah al- Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin. 31. „Ajalut Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin. 32. Ghāyatul Faqīh fi Syarhi al-Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin. 33. Hadin Nabih fi Syarhi al-Tanbīh, karangan Ibnu al-Mulqin. “ Sepanjang sejarah, Ibnu al-Mulqin mengarang lima buah kitab syarah atas kitab al-Tanbih ”, demikian diterangkan dalam Kashfu alZhunun. 34. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu Hasyani. (Wafat: 828 H ). 35. Syarah Tanbīh, karangan Ibnu Shabah. (Wafat: 851 H ). 36. Majmū‟ul „Usyā Syarah al-Tanbīh karangan Khaidlari.(Wafat:894 H ) 37. Syarah Tanbīh, karangan Khatib Syarbani. (Wafat: 977 H ). Sedangkan kitab al-Muhazzab dikarang pada tahun 455 H dan selesai pada bulan Jumadil Akhir tahun 469 H. jadi, selama 14 tahun lamanya Abu Ishaq al-syirazi menyelesaikan kitab al-Muhazzab. Diantara ulama yang mensyarah al-Muhazzab sebagai berikut:24 1. Abu Ishaq al-Iraqi. (Wafat: 596 H). 2. Al-Ashbahani. (Wafat: 600 H ). Dengan nama kitabnya Syarah alMuhazzab. 3. Ibnui Baththal Muhammad bin Ahmad al-Yamani. (Wafat: 630 H ). Dengan nama kitabnya: al-Musta‟dzab fi Syarhi Garībi al-Muhazzab. 4. Imam Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf anNawawi. (Wafat: 676 H ). Dengan nama kitabnya: al-Majmū‟ fi
24
Sirajuddin Abbas, Ibid, hlm. 132.
50
Syarhi al-Muhazzab, yang terdiri dari 12 Jilid: kairo. (Disyarahnya sampai bab riba saja. Kemungkinan beliau wafat sampai disini). 5. Syeikh jamaluddin Al-Suyuthi. ( Wafat: 911 H ). Dengan nama kitabnya al-Kāfī fī-Zawidil Muhazzab. Kitab-kitab lain karangan Abu Ishaq al-Syirazi sebagai berikut: 1. Al-Luma‟ ( Ushul Fiqh ). 2. At-Tabsīrah ( Ushul Fiqh ). 3. Tabaqāt Fuqahā‟ (Nama-nama ahli Fiqih). 4. Al-Aqīdah ( Ilmu Kalam ) 5. Al-Madzhab fil Madzhab. 6. Al-Ma‟ūnah fil Jidāl. 7. Al-Mulkhish fil Jidāl. 8. An-Nukāt fi „ilmil Jidāl. 9. Tadzkīrah al-Mas‟ulīn ( Perbedaan pendapat mazhab Syafi‟i-Hanafi). Buku terakhir ini ditulis setelah ia mendengar ucapan Ibnu AlSabbagh “ Kalau saja tidak ada perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Al-Syafi‟i, niscaya Abu Ishaq tidak punya apa-apa. Ini merupakan sindiran akan keterbatasan pengetahuan Abu Ishaq. Ia dianggap hanya tahu tentang perbedaan antara Abu Hanifah dan Al-Syafi‟i. 25 Ia meninggal di rumah Abu al-Muzaffar bin Rais al Ruasa, malam ahad jumada al-Akhir 476 H. Jenazahnya dishalati oleh Khalifah alMuqtadi bin Amrillah, setelah lebih dulu dimandikan oleh Abu al-Wafa
25
Abdullah Mustofa Al-Maraghi, op.cit, hlm. 159.
51
bin „Aqil al-Hambali kemudian dikubur di pemakaman Bab al-Harbi Baghdad.
B. Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah, sebagai wali nikah, seorang bapak atau kakek mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan wali yang lain. Ulama Syafi‟iyah menempatkan bapak dan kakek sebagai wali mujbīr. Maksud wali mujbir adalah seorang wali berhak menikahkan perempuan yang diwakilkan tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang-orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha atau tidaknya pihak yang berada dibawah perwaliannya. 26 Dalam kitab Al-Muhazzab, al-Imam al-Syairazi menyatakan:
Artinya: “ Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa ”. Hal ini menunjukkan bahwa ayah atau kakek berhak menikahkan anak / cucu gadisnya baik masih kecil atau dewasa meskipun tanpa persetujuannya. Tetapi selanjutnya dalam kitab Al-Muhazzab ia juga berpendapat:
26
Tihami, Fiqih Munakahah: Kajian Fiqih Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 101. 27 Al-Imam Al-Syirazi, Al-Muhazzab, op.cit., hlm. 429.
52
Artinya: ” Apabila gadis itu baligh maka disunnahkan untuk meminta izinnya, dan tidak boleh selain ayah atau kakek menikahkan gadis tersebut kecuali ia telah baligh dan mengizinkan ” . Pernyataan al-Imam al-Syirazi tersebut diatas menjelaskan bahwa ia mensunnahkan untuk meminta izinnya terlebih dahulu, apabila gadis tersebut telah baligh. Sedangkan selain ayah dan kakek maka tidak boleh menikahkannya kecuali ia telah baligh dan atas persetujuannya. Dalam kitab al-Tanbīh al-Imam al-Syirazi mengatakan:
Artinya: “ Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpa persetujuannya. Dan disunnahkan meminta persetujuan gadis tersebut apabila ia telah baligh, dan izinnya adalah diam. Apabila wanita itu janda, baligh, berakal maka seseorang tidak boleh menikahkannya kecuali atas persetujuannya, dan izinnya adalah dengan ucapan. Apabila wanita itu gila, masih kecil, maka bagi ayah atau kakek boleh menikahkannya, dan apabila telah dewasa, ayah, kakek, dan hakim juga boleh menikahkannya”.
28 29
Al-Imam al-Syirazi, loc.cit. Al-Imam Al-Syirazi, Al-Tanbih, op. cit., hlm. 222..
53
Dalam Al-Muhazzab al-Imam al-Syirazi juga menjelaskan bahwa " bagi janda yang telah dewasa, berakal, maka walinya tidak boleh menikahkannya tanpa seizinnya dan izin tersebut haruslah diucapkan. Sedangkan janda yang masih kecil, maka bagi wali selain ayah dan kakek harus menunggu sampai ia dewasa apabila ingin menikahkannya. Adapun ayah dan kakek diperbolehkan menikahkan janda yang masih kecil ".30 Apabila wanita itu gila, maka ayah atau kakek boleh menikahkannya baik masih kecil ataupun sudah dewasa. Bagi asobah selain ayah dan kakek, tidak boleh menikahkannya karena tidak memliki hak ijbār. Sedangkan hakim juga tidak boleh mengawinkannya apabila wanita gila itu masih kecil, karena tidak adanya kebutuhan untuk menikah. Tetapi apabila ia telah dewasa, maka hakim diperbolehkan untuk menikahkannya dengan alasan diyakini bahwa terkadang dibalik pernikahannya ia dapat sembuh dari penyakit gilanya. 31 Apabila wanita itu telah hilang keperawanannya disebabkan selain persetubuhan, maka dalam hal ini ada dua pendapat: yang pertama, wanita itu disamakan sebagaimana orang yang telah melakukan persetubuhan. Yang kedua, wanita tersebut pernikahannya dikiaskan sebagaimana menikahkan gadis. sesungguhnya bagi janda, pertimbangan atas izinnya adalah hilangnya malu sebab persetubuhan sedangkan rasa malu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan persetubuhan.
30 31
Al-Imam al-Syirazi, Al-Muhazzab, op. cit, hlm. 430. Al-Imam al-Syirazi, op. cit. hlm. 431.
54
C. Istinbat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin Dasar hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izinnya adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur, kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “ janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya, sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ”. Al- Imam al-Syirazi berpendapat bahwa " hadis ini menunjukkan seorang wali (ayah atau kakek) lebih berhak atas anak gadisnya". Oleh karena itu boleh-boleh saja apabila ayah atau kakek hendak menikahkan anak gadisnya tanpa ridha/ persetujuannya. Meskipun demikian, ia mensunnahkan untuk meminta persetujuan anak gadisnya terlebih dahulu apabila gadis tersebut telah baligh. Hal ini didasarkan atas hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang berbunyi:
32
Al-Nasa'i , op.cit, hlm. 85., Abu Daud, op.cit, hlm. 233.
55
33
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya ”. Menurut al-Imam al-Syirazi seorang gadis itu cenderung malu untuk menyatakan izinnya dengan sebuah ucapan kepada ayah atau kakek selaku walinya. Oleh karena itu dianggaplah diamnya sang gadis merupakan izin/ persetujuan darinya. Sedangkan janda yang telah hilang keperawanannya sebab hubungan sexual, baligh, dan berakal maka tidak seorangpun dapat menikahkannya kecuali atas izin-persetujuan darinya. Sedangkan izinnya adalah dengan ucapan. Hal ini didasarkan atas hadis:
Artinya: “ Diriwayatkan dari Khansa' ibn Khizam al-Anshariyah bahwa ayahnya telah mengawinkannya, sedangkan dia sudah janda dan tidak senang dengan perkawinan itu. Kemudian dia datang ( 33
Al-Tirmidzi, op.cit. hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit, hlm. 650., Abu Daud, op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84. 34 Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Isma'il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Barzabah Al-Bukhari Al-Ja'fi, Shahīh al-Bukhāri, Juz V, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, hlm. 460.
56
mengadukan halnya) kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW membatalkan pernikahan itu ”. Hadis tersebut menyatakan bahwa apabila kita menikahkan wanita yang sudah tsayyib, tanpa izinnya, dan dia tidak suka, maka dia berhak menolaknya. 35
35
Muhammad Hasbi Al-Siddieqy, Koleksi hadis-Hadis Hukum 8, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2001, hlm. 48.
57
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA
A. Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa Dalam bab ini penulis akan menganalisis pendapat al-Imam alSyirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa dengan jalan membandingkan dengan pendapat ulama lain serta dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Pernikahan dalam Islam merupakan sesuatu yang diagungkan, karena bertujuan membentuk keluarga yang sakīnah, mawaddah dan rahmah. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an surat Al-Rum ayat 21.
Artinya: " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ”. 21 Tujuan perkawinan memliki dua sisi, yaitu primer dan sekunder. Tujuan primer (utama) dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual dan 21
Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op.ci.t, hlm 644.
58
kemandirian. Sedangkan tujuan sekunder adalah hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Tujuan primer adalah menjadi hak perempuan sendiri sedangkan sekunder melibatkan hubungan antara perempuan itu dengan keluarganya. 22 Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam pelaksanaan perkawinan tentunya unsur kerelaan calon mempelai harus terpenuhi. Sebagaimana tertuang dalam pasal 16 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “ perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai ”. Dalam sebuah perkawinan, wali mempunyai peranan penting untuk menentukan sah dan tidaknya suatu akad. Karena menurut jumhur ulama pernikahan itu tidak sah apabila tanpa adanya wali, walaupun ulama Hanafiyah menafsirkan lain. Menurut ulama Hanafiyah, wali bukan sebuah keharusan, tetapi tidaklah dianggap sempurna apabila pernikahan itu dilaksanakan tanpa adanya seorang wali. Selama ini masih ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fiqih Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Terlebih dalam kalangan ulama Syafi‟iyah ayah dan kakek tergolong dalam wali mujbir. Seorang ayah atau kakek mempunyai hak ijbār (hak memaksa) untuk menikahkan putrinya tanpa persetujuannya. Termasuk ulama Syafi‟iyah yang berpendapat demikian adalah alImam al-Syirazi. Dalam kitabnya al-Muhazzab ia mengungkapkan: 22
Hussein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: Lkis, Cet ke-I, 2001, hlm. 84.
59
Artinya: “ Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa ”. Secara tekstual, pendapat al-Imam al-Syirazi mengidentifikasikan bahwa ayah atau kakek boleh memaksa kepada anak atau cucunya yang masih gadis baik kecil maupun dewasa untuk menikah dengan pilihannya walapun tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Selanjutnya
dalam
kitab
al-Muhazzab,
al-Imam
al-Syirazi
menjelaskan lebih lanjut:
Artinya:” Apabila gadis itu baligh maka disunnahkan untuk meminta izinnya, dan tidak boleh selain ayah atau kakek menikahkan gadis tersebut kecuali ia telah baligh dan mengizinkan ”. Dalam kitab al-Tanbīh, ia juga menjelaskan:
Artinya: “ Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpa 23
Al-Imam Al-Syirazi, Al-Muhazzab, op.cit., hlm. 429. Ibid. 25 Al-Imam Al-Syirazi, Al-Tanbih, op. cit., hlm. 222.. 24
60
persetujuannya. Dan disunnahkan meminta persetujuan gadis tersebut apabila ia telah baligh, dan izinnya adalah diam. Apabila wanita itu janda, baligh, berakal maka seseorang tidak boleh menikahkannya kecuali atas persetujuannya, dan izinnya adalah dengan ucapan. Apabila wanita itu gila, masih kecil, maka bagi ayah atau kakek boleh menikahkannya, dan apabila telah dewasa, ayah, kakek, dan hakim juga boleh menikahkannya“ .
Pernyataan diatas menjelaskan bahwa walaupun seorang ayah atau kakek boleh menikahkan tanpa persetujuan dari anak gadisnya, tetapi ia menganjurkan untuk meminta izin / persetujuan terlebih dahulu apabila anak gadis tersebut telah baligh / dewasa. Menurut beliau meminta izin kepada calon mempelai tidaklah sebuah keharusan / kewajiban yang harus terpenuhi, melainkan hanya sebuah anjuran apabila gadis tersebut telah dewasa. Oleh karena itu sah-sah saja apabila ayah memaksa anak gadisnya menikah dengan pilihannya tanpa persetujuan dari sang gadis. Senada dengan pendapat al-Imam al-Syirazi, al-Imam al-Mawardi mengatakan: “ gadis itu boleh dipaksa menikah oleh sebagian walinya (ayah / kakek) baik itu masih kecil, dewasa, berakal atau gila.” 26. Sedangkan al-Imam al-Ramli menyatakan : “ boleh bagi ayah menikahkan gadis yang masih kecil dan dewasa (baik berakal atau gila) tanpa izinnya dengan mahar mitsil tunai (berlaku umum) di negaranya ”. 27. Dalam kitabnya Mughni al-Muhtāj, al-Syarbini juga mengatakan hal serupa bahwa: “ seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya baik kecil
26 27
Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, op.cit., hlm. 69. Imam Syamsuddin al-Ramli, op.cit.,, hlm. 228-229.
61
maupun dewasa tanpa izinnya”. Tetapi ia menggantungkan kebolehan tersebut dengan syarat-syarat sebagai berikut:28 1. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak. 2. Hendaklah dinikahkan dengan orang yang setara (sekufu). 3. Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil (sebanding). 4. Tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar. 5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan (membahayakan) si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu. Misalnya: orang itu buta, atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan mendapatkan kebahagiaan dalam pergaulannya. 6. Tidak dalam keadaan menunaikan ibadah ihram / haji. Pada dasarnya mayoritas ulama Syafi‟iyah berpendapat sama, yakni membolehkan seorang ayah atau kakek menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa izinnya, meskipun kebolehan tersebut digantungkan dengan beberapa syarat. Pendapat ulama Syafi‟iyah ini, berbeda dengan pendapat al-Imam alSyafi‟i yang menyatakan bahwa “ janda yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh menikahkan perawan / gadis kecuali dengan izinnya pula, tidak boleh menikahkan gadis kecil kecuali ayah atau kakeknya setelah kematian ayahnya ”. 29
28
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtāj, AlQahirah: Darul Hadis, 2006, hlm. 250. 29 Imam Al-Syafi‟i, op.cit. hlm. 265.
62
Menurut ulama Malikiyah, paksaan dapat diberlakukan pada gadis dewasa dan janda kecil (belum dewasa). 30 Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, seorang ayah yang bertindak sebagai wali tidak diperkenankan menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa sepengetahuan atau izinnnya. Dan juga tidak boleh memaksanya, karena pemaksaan hanya berlaku bagi anak kecil, orang gila laki-laki / perempuan walaupun dewasa. 31 Menurut al-Sayyid al-Sabiq, “ sekalipun ada pendapat tentang hak wanita menjadi wali, wajib bagi wali untuk terlebih dahulu menanyakan pendapat calon istri dan mengetahui keridhaannya sebelum diakadnikahkan.” Hal ini karena perkawinan merupakan pergaulan abadi dan persekutuan suami istri, kelanggengan, keserasian, kekalnya cinta dan persahabatan, yang tidak akan terwujud apabila keridhaan pihak calon istri belum diketahuai sebelumnya. Karena itu, Islam melarang kita menikahkan dengan paksa, baik gadis maupun janda, dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut. 32 Hal senada juga disampaikan oleh Abu Zahrah yang menyatakan bahwa ia lebih condong kepada pendapat ulama Hanafiyah yang mencegah wilāyatul ijbāriyah setelah gadis itu baligh. 33
30 31
Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 404. Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul wahid Ibnu al-Hammam al-Hanafi, op.cit.,,
hlm. 251. 32 33
Sayid Sabiq, op.cit.,, hlm. 16. Muhammad Abu Zahrah, Aqdu al-Zawāj Wa‟ Atsāruhu, Darul Fikr, hlm. 157.
63
Menurut Wahbah al-Zuhaily, “ adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka berdua ”. Jika salah satunya dipaksa secara ikrāh dengan suatu ancaman misalnya membunuh atau memukul atau memenjarakan, maka akad perkawinan tersebut menjadi fāsid (rusak) ” . 34 Dalam bukunya “ Menggugat Peran Wali Dalam Pernikahan: Studi Kritis atas Hadis-hadis Wali Nikah ”, Muhibbin menjelaskan bahwa dalam hadis tentang wali nikah disebutkan setiap perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal dan apabila kemudian mereka berkumpul atau bersetubuh, maka perempuan tersebut berhak atas maskawin atau mahar sebagai akibat dari persetubuhan yang dianggap halal tersebut.
35
Sama
halnya ketika pernikahan itu terjadi dengan tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari gadis, maka nikahnya juga batal. Akibat dari batalnya pernikahan, maka segala konsekwensi yang ada kaitannya dengan pernikahan menjadi batal termasuk status suami istri dan karena itu kalau mereka mengadakan hubungan sebadan, hukumnya sama dengan zina. Tetapi dalam teks hadis dinyatakan bahwa walaupun pernikahan tersebut batal, akan tetapi ketika mereka melakukan hubungan sebadan tetap dianggap halal, dan seorang istri berhak atas mahar atas hubungan sebadan tersebut. pernyataan ini menyesatkan, karena sepintas ada upaya untuk melegalkan perzinaan dengan memberikan mas kawin. Pernyataan ini
34
Wahbah Al-Zuhaily, op.cit, hlm. 6567. Muhibbin, Menggugat Peran Wali Dalam Pernikahan: Studi Kritis atas Hadis-hadis Wali N Ikah, Penelitian Individual: IAIN Walisongo Semarang, 2005, hlm. 71. 35
64
sekaligus memberikan justifikasi tentang ketidakberdayaan perempuan.
36
Dengan kata lain, kalau pernikahan dinyatakan batal, maka sesunguhnya tidak atau belum ada sebuah perkawinan. Dari beberapa pendapat diatas, maka penulis kurang sepakat dengan pendapat al-Imam al-Syirazi yang menyatakan bahwa “ seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa”, karena unsur kerelaan merupakan salah satu syarat bagi keabsahan suatu akad. Jika melihat sistem kekerabatan di Indonesia, masyarakat kita menganut sistem kekerabatan masyarakat di kawasan Timur Tengah yaitu patrilineal. Otoritas bapak (suami) menempati posisi yang dominan dan peran penting dalam keluarga. Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan keluarga. Ibu atau istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa hak istimewa sebagai konsekuensi dari tanggung jawab mereka yang sedemikian besar dibanding pihak istri atau perempuan secara umum.
37
Termasuk hak istimewa tersebut adalah ketika dalam pernikahan, maka ayah berhak menentukan calon suami putrinya. Karena menurut budaya bangsa Arab, martabat sosial diukur dari garis keturunan bapaknya. Jika putri seorang tokoh kawin dengan laki-laki biasa yang sangat jarang terjadi di timur tengah, maka status sosial anak-anaknya mengikuti bapaknya. Untuk 36
Ibid. Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur‟an, Jakarta: Paramadina, Cet. Ke-I, 1999, hlm. 128. 37
65
melestarikan status social berlaku konsep kesetaraan (kafa‟ah). Seorang lakilaki dari golongan budak tidak bolah kawin dengan seorang perempuan bangsawan, karena akan menurunkan derajat keturunan. Sebaliknya laki-laki bangsawan bebas mengawini semua jenis perempuan lebih dari satu.38 Dalam masyarakat patriarki, silsilah keturunan ditentukan melalui jalur ayah dan peran lebih besar diberikan kepada laki-laki, baik dalam urusan rumah tangga maupun dalam urusan masyarakat luas. Sebaliknya perempuan mendapatkan peran yang tidak menonjol didalam masyarakat. Konsep patriarki menurut para feminis dianggap salah satu indikasi struktur sosial yang paling menonjol diberbagai kelompok. Didalam masyarakat ini, jenis kelamin laki-laki memperoleh keuntungan secara budaya, sedangkan perempuan mengalami beberapa pembatasan dan tekanan. Dalam tradisi masyarakat bangsa Arab, pembagian peran sudah terpola jelas. Laki-laki yang berperan mencari nafkah dan melindungi keluarga, sementara perempuan berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak dan menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga. 39 Dalam hal pernikahan, memilih jodoh atau pasangan bukan lagi hak istimewa laki-laki, anak perempuan juga berhak memberikan pandangan dan pendapat yang berbeda dari pilihan ayahnya. Perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri, kapan dan dengan siapa ia akan menikah. Sebab hal ini
38 39
Nasaruddin Umar, op. cit. hlm. 134. Nasaruddin Umar, op. cit. hlm. 128-129.
66
sangat terkait dengan kesiapan lahir dan batin, dan yang lebih mengetahui hal itu adalah dirinya sendiri. 40 Jika dilihat dari sudut pandang perempuan dalam predikatnya sebagai seorang anak, dalam hal ini sangatlah dilematis, disatu sisi ia harus berbakti kepada kedua orang tua dengan menuruti kemauan orang tua, disatu sisi ketika ia dinikahkan dengan seseorang yang tidak ia cintai maka ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Seorang anak diwajibkan untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua. Dalam al-Qur‟an surat Al-Isra' ayat 23 dijelaskan:
Artinya: “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharamu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya „‟ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia ”. (QS. Al-Isra: 23).41 Bagi orang tua anak adalah bagian dari harapan terbesar untuk meneruskan tugas kekhalifahan di muka bumi. Demi regenerasi itu, para orang tua senantiasa menginginkan seluruh keturunannya menjadi putra - putri yang shalih dan shalihah, serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih dari itu, setiap manusia menginginkan seluruh keturunannya menjadi 40
Sri Suhanjati Sukri, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002 Cet. ke-I, hlm. 25-26. 41 Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 427.
67
perhiasan, penyejuk mata (qurrota a‟yun) bagi mereka. Allah swt berfirman dalam surat Al-Furqan ayat 74:
Artinya: " Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orangorang yang bertakwa ”. 42 Namun demikian, anak tetap bukanlah hak milik bagi orang tua. Ia adalah titipan Allah swt semata. Orang tua berkewajiban mengasuh, membesarkan, mendidik, dan menikahkan putra-putri mereka apabila telah waktunya tiba. Walaupun demikian, kewajiban tersebut tidak menjadikan orang tua berhak sepenuhnya untuk menentukan calon pasangan bagi anakanaknya terutama anak perempuannya. Jika ditinjau dari maqāsidus syarī'ah-nya, boleh ditegaskan bahwa dalam hal menikahkan anak yang sudah dewasa merupakan maslahah, karena kepedulian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Mengingat nikah sendiri sunnah hukumnya, tetapi untuk menghindari mafsadah yang timbul yaitu terjadinya perceraian akibat tidak adanya kasih sayang calon mempelai karena tidak adanya izin serta persetujuan dari sang gadis maka menghindari mafsadah lebih didahulukan dari pada menarik maslahah. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
42
Lajnah Pentashih Al-Qur‟an Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 569.
68
43
Artinya: " Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan ". Jadi antara orang tua dan anak hendaklah saling mengerti dan memahami hak dan kewajiban masing-masing. Dalam hal memilih jodoh maka antara anak dan orang tua agar menyatukan pandangan, manakah yang terbaik bagi keduanya, karena tujuan perkawinan tidak hanya sekedar menjalin hubungan dua pihak secara individual antara suami istri namun lebih jauh mempererat tali hubungan antara keluarga pihak suami dan pihak istri.
B. Analisis Istinbat Hukum Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin Hukum Islam sebagai ajaran wahyu dipetakan menjadi dua kelompok. Pertama ajaran Islam yang bersifat absolut, universal, permanen tidak berubah dan tidak dapat dirubah. Termasuk dalam kelompok ini adalah ajaran Islam yang tercantum dalam Al-qur‟an dan hadis mutawatir, yang penunjukannya telah jelas (qath‟i al-dalālah). Kedua, ajaran Islam yang bersifat relatif, lokal dan temporal yang senantiasa mengadaptasi perkembangan dan perubahan zaman (zhanny al-dalālah). Termasuk dalam kelompok kedua ini adalah ajaran islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad. 44
43
Abdul Hamid Hakim, Mabādi‟u al-Awwaliyyah: Fī Ushūli al-Fiqhi Wa al-Qawāidi AlFiqhiyyah, Jakarta: Sa'adiyah Putera, hlm. 34. 44 Fatkhurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, hlm. 43.
69
Adalah tugas ulama kontemporer sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawi, memperbarui dan mereformulasi produk ijtihad tersebut dengan mengadaptasi perubahan dan perkembangan mutakhir di kalangan masyarakat. 45 Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Fleksibilitas yang dimilki hukum Islam menyebabkan hukum Islam mampu mengikuti dan menghadapi era globalisasi karena ia telah mengalami pengembangan pemikiran melalui hasil ijtihad. 46 Permasalahan wali nikah memang telah menjadi problem klasik dan menjadi perbincangan diantara ulama fiqih dari dahulu sampai sekarang. Perbedaan pendapat ini terjadi karena tidak ada nash al-Qur‟an yang menjelaskan secara pasti mengenai keharusan wali dalam perkawinan. Tetapi pada prinsipnya ulama jumhur menganggap bahwa nash Al-Quran menunjukkan
khitab
kepada
wali
nikah.
Diantara
ayat-ayat
yang
mengisyaratkan keharusan adanya wali nikah adalah surat Al-Baqarah ayat 232, ayat 221 dan surat Al-Nur ayat 32. Dan juga hadis Nabi SAW yang dipahami sebagai larangan terhadap pernikahan tanpa adanya wali. Islam sangat menjunjung tinggi nilai kebebasan dan hak asasi manusia, oleh karena itu islam tidak menganjurkan pemaksaan. Tetapi dalam 45
Yusuf al-Qardhawi, Syari‟at Islam Ditantang Zaman, alih bahasa Abu Zaky, Surabaya: Pustaka Progresif, 1990, hlm. 115. 46 Amir Syarifudin, op.cit., hlm. 4.
70
kaitannya terhadap wali nikah, memang agama membenarkan terhadap adanya wali mujbir. Ulama sepakat terhadap wali mujbir didalam pernikahan, tetapi bagi orang-orang tertentu, yakni anak kecil, dan orang safīh (baik kecil maupun dewasa). Sedangkan terhadap gadis dewasa maka ulama berbeda pendapat. Apakah meminta izin terhadap gadis dewasa tersebut merupakan sebuah keharusan atau tidak. Al-Imam al-Syirazi dalam berijtihad mengenai bolehnya ayah atau kakek menikahkan gadis dewasa tanpa izinnya berhujjah dengan hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur, kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “ janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya, sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ”. Menurut al-Imam al-Syirazi, Hadis tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya ayah selaku wali nikah lebih berhak atas perawan. Jadi walaupun seorang gadis tidak ridha atas pernikahannya, maka wali boleh memaksanya, dan sahlah pernikahan tersebut. Dalam pernyataannya, menurut al-Imam al-Syirazi meminta pendapat kepada gadis dewasa tersebut hanyalah
47
Al-Nasa'i, op.cit , hlm. 85., Abu Daud, op.cit, hlm. 233.
71
sebuah anjuran dan bukan merupakan sebuah keharusan. Hal ini didasarkan atas hadis Nabi yang berbunyi:
48
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya ”. Sedangkan al-Imam al-Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitamy, walaupun sependapat dengan al-Imam al-Syirazi, tetapi dalam menguatkan pendapatnya keduanya berbeda dalam beristinbat hukum. Adapun hadis yang digunakan sebagai dasar hukum adalah hadis riwayat al-Imam al-Daruquthni yang berbunyi:
Artinya: “ Janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya sedangkan gadis maka ayahnya lah yang mengawinkannya”. Dalam kitabnya al-Umm, al-Imam al-Syafi'i menjelaskan bahwa janda yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh menikahkan perawan / gadis kecuali dengan izinnya pula, tidak boleh
48
Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud, op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84.
72
menikahkan gadis kecil kecuali ayah atau kakeknya setelah kematian ayahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapat ulama Syafi'iyah berbeda dengan pendapat al-Imam al-Syafi'i sendiri. Adapun hadis yang dijadikan dasar alImam al-Syafi'i adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
49
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya ”. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang ayah yang bertindak sebagai wali tidak diperkenankan menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa sepengetahuan atau izinnnya. Dan juga tidak boleh memaksanya, karena pemaksaan hanya berlaku bagi anak kecil, orang gila laki-laki / perempuan walaupun dewasa.
50
Dasar hukum yang digunakan
adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
49
Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud, op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84. 50
hlm. 251.
Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul wahid Ibnu al-Hammam al-Hanafi, op.cit.,
73
Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur, kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “ janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya, sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ” Dan Hadis Nabi SAW:
52
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya ”. Ibnu Rusd menjelaskan didalam Bidāyah al-Mujtahid bahwa sebab adanya pertentangan tersebut disebabkan oleh pertentangan antara dalil umum dengan dalil khitāb. Dalil umum tersebut adalah hadis Imam Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berbunyi:
51
Al-Nasa'i, op.cit., hlm. 85., Abu Daud, op. cit., hlm. 233. Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud, op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84. 52
74
Arttinya:“ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟id, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa‟d dari Abd Allah bin Fadhol ia telah mendengar dari Nafi‟ bin Jubair yang menceritakan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW telah bersabda: “ Janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya dan gadis itu dimintai persetujuannya, dan izinnya adalah diamnya ”. Sedangkan dalil khitab nya adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya:” Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin Umar dan dari Abi Salamah dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda: “ anak yatim itu dimintai persetujuan atas dirinya, apabila dia diam itulah izinnya, dan apabila menolak maka tidak boleh menikahkan atas dirinya ”. Dalam hal ini, Ibnu Rusd menyimpulkan bahwa dalil umum lebih kuat dari pada dalil khitāb. Selain itu ia menyatakan bahwa sebab lain yang menimbulkan silang pendapat adalah pengambilan qiyās dari ijmā‟. Ijmā‟nya adalah para fuqāha sepakat bahwa ayah boleh memaksa gadis belum dewasa, sedang janda belum dewasa tidak boleh dipaksa. Kemudian mereka berselisih
53 54
Muslim al-Qusyayri, op.cit. hlm. 650., Abu Daud, op.cit, hlm. 231.
75
pendapat mengenai sebab bolehnya pemaksaan, apakah karena masih gadis atau karena belum dewasa. 55 Menanggapi pendapat Ibnu Rusd, alasan lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat ini adalah pengambilan qiyās. Jika yang menjadi illat hukum (sebab bolehnya pemaksaan) adalah karena masih kecil (belum dewasa), sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, maka sangat logis ketika anak kecil dinikahkan, maka ia belum belum dapat berfikir jernih sebagimana orang dewasa. Tetapi itu pun ketika dilihat pada masa sekarang maka hal itu akan berlawanan dengan kultur dan juga hukum positif di negara kita. Oleh karena itu, ulama Hanafiyah menyamakan gadis dengan janda dalam hal meminta persetujuannya. Jadi penulis sepakat bahwa tolok ukur seseorang perempuan dalam hal ini bukan dilihat dari status gadis atau janda nya, tetapi kedewasaannya lah yang menghilangkan unsur pemaksaan tersebut. Menurut Hasbi Al-Shiddieqy, hadis yang mengisyaratkan tentang keharusan seorang wali meminta izin kepada gadis dewasa diantaranya adalah sebagai berikut: 56
57
55
Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusd, op.cit., hlm. 403. Muhammad Hasbi Al-Siddieqy, op.cit, hlm. 44. 57 Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud, op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84. 56
76
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya ”.
Artinya: ” Telah menceritakan kepada kami Mu'az bin Fudhalah telah bercerita kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abi Salamah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada Sahabat bahwa Nabi SAW bersabda: " tidak dinikahkan janda sehingga dia memintanya, tidak dinikahkan wanita bikr sehingga diminta izinnya " . Para Sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana izinnya? Nabi SAW menjawab: " Dia berdiam diri " . Menurut beliau hadis yang pertama menunjukkan bahwa wanita yang sudah janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, sedang wanita bikr, harus diminta izin untuk dikawinkan, sedang diamnya dapat dipandang sebagai izin. Hadis yang kedua menyatakan bahwa wanita janda dinikahkan sesudah diminta supaya menyuruh kita untuk menikahkannya, sedang wanita bikr dinikahkan sesudah meminta izinnya pula, dan izinnya cukup dengan diamnya saja. 59
58
Al-Imam Al-Bukhari, op.cit., hlm. 460., Muslim al- Qusyayri, op.cit., hlm. 649., alNasa‟i, op.cit., hlm. 85., Abu Daud, op.cit., hlm. 231., Al-Tirmidzi, op.cit. hlm. 415., Ibnu Majah al-Qazwayni, Muhammad bin Yazid Abu Abd Allah (207-275 H), Sunan Ibnu Majah, Naskah ini ditahqiq oleh Muhammad Fu‟ad Abd Al-Baqi, Beirut: Libanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983 M, hadis 1871, hlm. 601. 59 Muhammad Hasbi Al-Siddieqy, op.cit, hlm. 48.
77
Al-Auza'y, Al-Tsaury, dan Hanafiyah berpendapat bahwa apabila dikawinkan si bikr yang telah sampai umur tanpa izinnya, tidak sahlah akad itu. Sedangkan Malik, Syafi'iyah, Al-Laits, Ibnu Abi Lailal, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa ayah boleh menikahkan si bikr tanpa izin. Menurut Hasbi Al-Assiddieqy, Hadis-hadis ini terang dan tegas, menyatakan bahwasannya ayah tidak dapat memaksakan anak gadisnya untuk dikawinkan. Jika ayah tidak dapat memaksa, maka wali-wali yang lain tentu lebih-lebih lagi. Dan hadis ini sifatnya umum, tidak hanya mengenai wanita bikr yang datang bertanya itu saja. Maka dalam masalah ini pendapat AlAuza'i lah yang tidak membenarkan ayah memaksa si anak untuk dikawinkan yang harus kita pilih dan kita kuatkan, walaupun Al-Baihaqy dan Al-Asqalani menguatkan Syafi'iyah. 60 Menurut hemat penulis, dari beberapa dasar hukum yang telah diutarakan oleh beberapa ulama diatas, yang menjadi akar perbedaan pendapat adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:
61
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, Telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari ibnu Abbas bahwa 60
Muhammad Hasbi Al-Siddieqy, op.cit, hlm. 50. Al-Tirmidzi, op.cit., hlm. 416., Muslim al-Qusyayri, op.cit., hlm. 650., Abu Daud, op.cit., hlm. 232., Al-Nasa‟i, op.cit., hlm. 84. 61
78
sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya ”. Hadis ini dapat dipahami sebagai bentuk perintah (wajib hukumnya) untuk meminta persetujuan terlebih dahulu kepada gadis sebelum menikahkan dan juga dapat dipahami hanya sebagai anjuran / sunnah untuk meminta izin terlebih dahulu. Menurut penulis, dalam hal menikahkan seorang gadis dewasa maka seorang ayah atau kakek wajib hukumnya meminta izin terlebih dahulu kepada gadis tersebut dan tidak boleh memaksakan kepada gadis untuk menikah dengan calon suami yang tidak ia cintai, sebagaimana pendapat alAuza‟i, al-Tsauri, Abu Hanifah, Ibnu Rusd, Hasbi al-Siddieqy, Wahbah alZuhaily, Abu Zahrah, Sayid al-Sabiq dan ulama lain yang sependapat. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya: ” Telah menceritakan kepada kami Mu'az bin Fudhalah telah bercerita kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abi Salamah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada Sahabat bahwa Nabi SAW bersabda: " tidak dinikahkan janda sehingga dia memintanya, tidak dinikahkan wanita bikr sehingga diminta
62
Al-Imam Al-Bukhari, op.cit., hlm. 460., Muslim al- Qusyayri, op.cit., hlm. 649., alNasa‟i, op.cit., hlm. 85., Abu Daud, op.cit., hlm. 231., Al-Tirmidzi, op.cit. hlm. 415., Ibnu Majah, op.cit., hadis 1871, hlm. 601.
79
izinnya " . Para Sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana izinnya? Nabi SAW menjawab: " Dia berdiam diri " . Dari segi periwayatan, hadis ini merupakan dasar hukum yang paling kuat tentang larangan ayah atau kakek menikahkan secara paksa terhadap anak gadisnya / perawan yang sudah dewasa, karena hadis inilah yang paling banyak diriwayatkan. Hadis ini merupakan penjelasan tentang larangan menikahkan janda sebelum dia memerintahkan untuk menikahkannya, dan larangan menikahkan gadis sebelum dimintai izinnya, dan diamnya gadis tersebut adalah izinnya, selama tidak ada hal-hal yang menunjukkan penolakan secara jelas. Janda dan gadis dalam pernikahan sama-sama dimintai pendapatnya. Perbedaan keduanya hanya terletak pada cara mengungkapkan pendapatnya saja. Diamnya seorang gadis diterima karena itu menunjukkan kata sepakat, sedangkan yang diterima dari janda adalah jawaban yang jelas.
63
Dalam hadis
tersebut terdapat kata Isti‟mār dan Isti‟dzān yang mempunyai pengertian sama, hanya persetujuan perawan tandanya diam, karena malunya masih kuat, lain halnya dengan janda, maka persetujuannya harus dengan ucapannya. 64 Dalam kitab Irsyād al-Syārī Syarh Sahīh al-Bukhāri dijelaskan bahwa lafal Isti‟dzān lebih umum dibandingkan Isti‟mār. Isti‟mār mengandung pengertian persetujuannya harus dengan ucapan (lafaz) yang jelas, sedangkan Isti‟dzān persetujuannya dapat berupa ucapan dan juga lainnya seperti isyarat 63
Muhammad Al-Syarif, Lin Nisa‟i Ahkamun Wa Adabun: Syarah Arba‟in Nisa‟iyah, 40 Hadis Wanita: Bunga Rampai Hadis dan Akhlak, Terj. Sarwedi Hasibuan, dkk., Solo: Aqwam Media Profetika, Cet ke-I, 2009, hlm. 201. 64 Manshur Ali Nashif, al-Tāj Al-Jāmi‟ Lil Ushuli Fi Ahāditsi Al-Rasul, Mahkota Pokokpokok Hadis Rasulullah SAW, Jilid II, Terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet Ke-I, 1993, hlm.885.
80
atau diam. 65 Intinya walaupun keduanya berbeda dalam bentuk kata, tetapi mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama merupakan bentuk izin / persetujuan. Lafaz Isti‟dzān dan Isti‟mār digunakan untuk membedakan bentuk persetujuan antara gadis dan janda. Jika dilihat secara tekstual, dalam hadis tersebut terdapat lā nahi (
yang
bermakna
larangan
“
jangan
menikahkan....,”
meskipun
)
ada
kemungkinan menunjukkan arti nafi ( peniadaan ) “ tiada seorang pun yang dinikahkan”, akan tetapi larangan lebih tepat.
66
Artinya pernikahan yang
dilaksanakan tanpa sepengetahuan gadis (dewasa), maka hukumnya tidak sah, dan gadis tersebut berhak untuk membatalkan (fasakh) dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan setempat Oleh karena itu, dalam sahih nya al-Imam al-Bukhari membuat judul “ Seorang ayah dan lainnya tidak boleh menikahkan anaknya yang gadis atau janda, kecuali dengan ridhanya. Setelah itu, ia langsung menerangkan bab “ bila seorang menikahkan putrinya dan ia tidak suka maka nikahnya tidak sah”. Hadis lain yang menunjukkan larangan pemaksaan orang tua atas pernikahan anaknya yang gadis / perawan dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi:
65
Abi al-Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyād al-Syārī Syarh Sahīh al-Bukhāri, Jilid VIII, Dar al-Fikr, Cet Ke-VI. hlm.54. 66 Muhammad Al-Syarif, op.cit., hlm. 202.
81
Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah telah bercerita kepada kami Husain bin Muhammad telah bercerita kepada kami Jarir bin Hazim dari Ayyub dari Ikrimah dari Ibn Abbas bahwa seorang anak gadis datang kepada Nabi SAW, lalu menceritakan bahwa ayahnya mengawinkannya padahal ia tidak menyukainya, maka Nabi SAW menyuruh untuk memilih ”. Hadis ini menjelaskan bahwa seorang gadis diberikan hak khiyār (memilih) antara meneruskan pernikahan apabila ia setuju dengan pilihan ayahnya, dan ia berhak membatalkan pernikahan apabila ia menolak untuk meneruskan pernikahan karena ia tidak suka dengan pilihan ayahnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila ternyata pernikahan tetap dilaksanakan tanpa persetujuan dari gadis tersebut, maka pernikahan tersebut dinyatakan batal. Dan juga hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Siti „Aisyah yang berbunyi:
67
Ibnu Majah, op.cit. hlm. 603., Al-Nasa‟i, op.cit. hlm. 85., Abu Daud, op.cit. hlm. 232.
82
Artinya: “ Telah bercerita kepada kami Ziyad bin Ayyub ia berkata telah bercerita kepada kami „Ali bin Ghurab ia berkata telah menceritakan kepada kami Kahmas bin Hasan dari Abdullah bin Buraidah dari „Aisyah bahwa seorang gadis mendatangi „Aisyah, istri Nabi SAW, dan berkata kepadanya: “ ayahku ingin mengawinkan aku dengan kemenakannya agar dengan itu ia meningkatkan derajatnya, sedangkan aku sebenarnya tidak menyukainya ”. „Aisyah berkata kepadanya: “ tunggu sampai Rasulullah datang ! ” maka ketika ketika beliau datang, „Aisyah menyampaikan kepada Rasulullah tentang keluhan dari gadis tersebut. Beliau segera mengutus orang untuk memanggil ayah dari gadis tersebut dan setelah itu ia menyerahkan urusan itu kepada gadis tersebut. Namun segera setelah menyadari bahwa pilihan itu kini berada ditangannya, gadis itu berkata: “ ya Rasulullah, kini aku menyetujui apa yang dikehendaki ayahku. Aku hanya ingin menyampaikan kepada kaum perempuan, bahwa ayahayah mereka tidak memliki apa pun dalam urusan ini “ . Hadis ini menjelaskan bahwa seorang ayah tidak mempunyai hak penuh atas pernikahan anak gadisnya dengan laki-laki pilihannya, meskipun sang anak mau mengikuti kemauan ayahnya untuk memilih meneruskan pernikahan tersebut setelah diberikan hak khiyar (memilih) oleh Rasulullah SAW. Sedangkan hadis yang dijadikan dasar hukum oleh Al-Imam Al-Syirazi merupakan penjelasan mengenai perbedaan antara janda dan gadis. Janda lebih berhak atas dirinya sendiri dalam menentukan perkawinan dari pada ayahnya, sedangkan gadis maka ayahnya diberikan hak istimewa untuk memilihkan calon pasangan, tetapi bukan berarti hak ayah lebih dimenangkan dari pada anak gadisnya dalam hal memilih meneruskan pernikahan tersebut. 68
602-603.
Al-Nasa‟i, op.cit., Hadis No. 3217. Hal. 86-87., Ibnu Majah, op.cit., Hadis no.1874, hlm.
83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Bahwa
menurut
Al-Imam
Al-Syirazi,
hukum
wali
nikah
(bapak/kakek) meminta izin terlebih dahulu kepada gadis dewasa sebelum menikahkan tidaklah sebuah keharusan (wajib), tetapi hanya sebuah anjuran (sunnah). Menurut ulama muta’akhirin pendapat yang rajih adalah wajib hukumnya wali nikah (bapak/kakek) meminta izin terlebih dahulu kepada gadis dewasa. Unsur kerelaan merupakan salah satu syarat bagi keabsahan suatu akad, oleh karena itu apabila unsur tersebut tidak terpenuhi dan terdapat unsur pemaksaan, maka akad nikah tersebut fāsid (rusak). 2.
Memang seorang anak wajib hukumnya menghormati kedua orang tuanya, tetapi dalam hal memilih jodoh, gadis dewasa boleh menolak terhadap pilihan orang tuanya, apabila dalam pernikahannya nanti akan menimbulkan kehancuran dalam rumah tangganya. Oleh karena itu sangat perlu adanya pengkajian ulang dan perubahan pemahaman terhadap konsep wali mujbir. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko perceraian dini yang marak terjadi dilingkungan masyarakat kita.
84
3.
Berdasarkan hadis yang diambil, dalam kitab Al-Muhazzab Al-Imam Al-Syirazi berpendapat bahwa ayah itu lebih berhak atas anak gadisnya.
Walaupun anak
gadis
tersebut
tidak
ridha
atas
perkawinannya, maka ayah boleh saja memaksa menikah dengan pilihannya. Hadis tersebut secara tekstual dapat dipahami sebagai anjuran kepada ayah untuk meminta izin terlebih dahulu kepada anak gadisnya, bukan diartikan hak seorang ayah yang lebih berhak atas anak gadisnya. Padahal dalam hal perkawinan gadislah yang menjalani dan menentukan masa depan dan kebahagiaan rumah tangganya. 4.
Dalam hadis riwayat Abu Hurairah, sangat jelas sekali menunjukkan larangan terhadap pemaksaan menikah terhadap gadis dewasa. Jadi meminta izin terlebih dahulu merupakan sebuah keharusan (wajib hukumnya) bukan hanya sebuah anjuran (sunnah). Jika dilihat dari Dari segi periwayatan, hadis ini merupakan dasar hukum yang paling kuat tentang larangan ayah atau kakek menikahkan secara paksa terhadap anak gadisnya / perawan yang sudah dewasa, karena hadis inilah yang paling banyak diriwayatkan. Penyusun sepakat bahwa tolok ukur seseorang perempuan dalam hal ini bukan dilihat dari gadis atau janda, tetapi kedewasaan dari segi usia, berfikir dan juga dalam menentukan masa depannya lah yang menghilangkan unsur pemaksaan tersebut. karena kultur masyarakat sekarang tentu sangat berbeda dengan masyarakat dahulu.
85
B. Saran-saran Setelah penulis membahas tentang pendapat Al-Imam Al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa , maka perkenankanlah penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Sebagai orang tua, ketika mempunyai anak gadis yang sudah memenuhi kriteria dewasa, maka berikanlah hak memilih pasangan hidup kepadanya. Jangan sampai kita sebagai orang tua merasa paling berhak terhadap anak apalagi sampai memaksa kehendak walaupun orang tua lah yang mengurus dan membiayai hidup anaknya. Karena pada dasarnya anak yang akan menjalani kehidupan rumah tangganya sendiri. Jika mempunyai kehendak untuk menikahkan maka tanyakan terlebih dahulu terhadap pendapat gadis tersebut, dan izin darinya perlu kita perhatikan, agar tidak menyesal dikemudian hari. 2. Sebagai anak, wajib hukumnya menghormati kedua orang tua, meskipun terkadang orang tua mempunyai keinginan lain, karena pada dasarnya orang tua tetap menyayangi anaknya. Anak tetap harus menghargai pendapat orang tua, oleh karena itu
segala sesuatu
haruslah disampaikan dengan baik dan sopan, agar orang tua dapat menerima pendapat dan keinginan kita. Jika ternyata orang tua masih bertahan dengan keinginannya, maka yakinkanlah kepadanya bahwa semua itu demi kebaikan kita semua. Segala sesuatu jika didasarkan atas kemaslahatan tentu akan berbuah kebaikan. Dan selalu mintalah
86
petunjuk dari-Nya
agar kita selalu diberikan petunjuk dan jalan
terbaik. 3. Kesimpulan diatas merupakan hipotesa dari penulis yang tentunya bersifat subyektif. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam menganalisis pendapat tersebut. Untuk itulah penulis sangat mengharapkan ada pengkajian lebih lanjut dan komprehensif demi tercapainya pengembangan pemikiran yang dinamis dan terus menerus terhadap hukum-hukum Islam. C. Penutup Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat hidayah dan inayah-Nya lah skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat salam kita haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafaa’atnya dihari akhir nanti. Dalam penulisan skripsi ini tentu masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca
pada
Wabarakātuh.
umumnya.
Wassalāmu’alaikum
Warahmatullāhi
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin, Thabaqāt Al-Syāfi’iyah, Ulama’ Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah. Abi Al-Abbas Syihab Al-Din Ahmad bin Muhammad Al-Qasthalani, Irsyād alSyārī Syarh Sahīh al-Bukhāri, Jilid VIII, Dar al-Fikr, Cet Ke-VI. Abu Daud, Sulayman bin al-Asy’ats al-Sijistani al-Azdi (202-275 H), Sunan Abu Daud, Naskah ini ditahqiq oleh Muhammad Muhy al-Din Abd alHamid, Beirut: Dar al-Fikr. Abu Zahrah, Muhammad, Aqdu al-Zawāj Wa Atsāruhu, Dar al-Fikr. Al-Bukhari, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Isma'il bin Ibrahim bin AlMughirah bin Barzabah, Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Dar al-Kitab alAlamiyah, Juz V. Al-Hammam, Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul Wahid al-Hanafi, Fathul Qadīr, Beirut: Dar al-kutub al-Alamiyah: Juz III. Ali Nashif, Manshur, Al-Tāj Al-Jāmi’ Lil Ushuli Fi Ahāditsi Al-Rasul, Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasulullah SAW, Jilid II, Terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet Ke-I, 1993. Al-Kusnawi, Abu Bakar bin Hasan, Ashal al-Madārik, Jilid I, Beirut: Daar alFikr, 1996. Al-Maraghi, Abdullah Mustofa, Fath Al-Mubīn fī Tabaqāt al-Ushūliyyīn: Pakarpakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Terj. Hussein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, Cet ke-I, 2001. Al-Mawardi Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Hāwī Al-Kabīr, Beirut: Dar al-kutub al-Alamiyah: Juz IX. Al-Nasa'i, Sunan al-Nasā'i, Beirut: Darul al-Fikr, Juz V. Al-Qardhawi, Yusuf, Syari’at Islam Ditantang Zaman, alih bahasa Abu Zaky, Surabaya: Pustaka Progresif, 1990. Al-Syafi’i, Imam abi Abdillah bin Muhammad bin Idris, Al-Umm, Beirut: Dar alFikr, Juz VIII.
Al-Syarif, Muhammad , Lin Nisa’i Ahkamun Wa Adabun: Syarah Arba’in Nisa’iyah, 40 Hadits Wanita: Bunga Rampai Hadits dan Akhlak, Terj. Sarwedi Hasibuan, dkk., Solo: Aqwam Media Profetika, Cet ke-I, 2009. Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al- Salmi (209-279 H ), Sunan al-Tirmidzi, Juz II, Naskah ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir dan Kawan-kawan, Beirut: Libanon, Dar al-Kitab al-Alamiyah. Al-Zuhayli, Wahbah, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1409 H / 1989 M (BeirutLibanon: Darul Fikr), Jil VIII. Amin Summa, Muhammad, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Ar-Ramli, Imam Syamsuddin, Nihāyatul Muhtāj ilā al-Syarhi al- Minhāj, Beirut: Dar al-kutub al-Alamiyah, 1996. Asmawi, Muhammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004. As-Syarbini, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib, Mughnī alMuhtāj, Al-Qahirah: Darul Hadis, 2006. As-Syirazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Muhazzab, Beirut: Dar alkutub al-Alamiyah: Juz II. As-Syirazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Tanbīh, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah. Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Al-Usrah Wa-Ahkamuhā Fī- Al-Tasyrī'i AlIslāmi, Fiqih Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak.Terj. Dr.H. Abdul Majid Khon, M. Ag., Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-I. Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqih, Bogor: Prenada Media, 2003. Departemen Agama RI, Lajnah pentashih Al-Qur’an , Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. As-Syifa’, 1992. Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1975. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Lkis, 1999. Hasan Binjai, Abdul Halim, Tafsir Ahkam, Jakarta: Kencana, Cet. ke-I, 2006.
Hasbi Ash-Siddieqy, Muhammad, Koleksi hadis-Hadis Hukum 8, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2001. Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid Abu Abd Allah Al-Qazwayni (207-275 H), Sunan Ibnu Majah, Naskah ini ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi, Beirut: Libanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983 M, hadis 1871, hlm. 601. Ibnu Rusyd, Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, Alih Bahasa Imam Ghazali Said, Bidāyatul Mujtahīd wa Nihāyatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani, Cet ke-II. Jamil, Fatkhurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Jawad Mughniyah, Muhammad, Al-Fiqh ‘Alā Al-Mazāhib Al-Khamsah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali , Terj. Masykur. A. B. et. Al., Jakarta: Lentera, Cetakan Ke-VI, 2007. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Visimedia, Cet. ke-I, 2008. Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan tahun 1974, Trinity Optima Media, Cet.ke-I, 2007. Muhammad, Hussein, Fiqih Perempuan: Refleksi kyai atas wacana agama dan Gender, Yogyakarta: Lkis, Cet Ke-I, 2001. Muhibbin, Menggugat Peran Wali Dalam Pernikahan: Studi Kritis atas Hadishadis Wali Nikah, Penelitian Individual: IAIN Walisongo Semarang, 2005. Muslim al-Qusyayri, Abu Al-Husayn Muslim bin al-Hajaj al-Naisabury ( 206-261 H ), Sahih Muslim, Juz I, Libanon: Beirut, Dar al-Fikr. Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet keVIII, 2003. Quraish Shihab, Muhammad, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, Juz I, 2000. Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Sabiq, Sayyid, Fiqhu al-Sunnah, Fiqih Sunnah, Terj. Nor Hasanuddin, dkk., Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, Cetakan ke-II, 2007. Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Sukri, Sri Suhanjati, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta: Gama Media, Cet ke-I, 2002. Supriyadi, Dedi, Fiqih Munakahah Perbandingan, Dari Tekstualitas sampai Legislasi, Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet ke-I, 2011. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Tekhnik, Bandung: Tarsito, 1989. Syarbini, Muhammad, Al-Iqnā’ Fī Hilli al-Alfād Abī Sujā’, Bandung: Daar alIkhya’ al-Kutubiyyah al-Alamiyyah, , t.th., Juz II. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahah dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenata Media, Cet ke-II. Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UII Press, Cet ke-V, 1986. Tihami, Fiqih Munakahah: Kajian Fiqih Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, Cet. Ke-I, 1999. Warsan Munawwir, Ahmad, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Abdullah Aniq
Tempat/Tanggal Lahir
: Rembang, 25 Maret 1986
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Sumurtawang Rt. 01 / Rw. 01, Kragan, Rembang.
Pendidikan
:
1. SDN 01 Sumurtawang Kragan Rembang lulus tahun 1997. 2. SLTP N 01 Kragan Rembang lulus tahun 2000. 3. MA Riyadhlotut Thalabah Sidorejo Sedan Rembang lulus tahun 2003. 4. Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah IAIN Walisongo Semarang.
Pengalaman Organisasi : 1. Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Bina Olah Raga (UKM BINORA ) Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo periode 2007-2008 sebagai Koordinator cabang Tenis Meja. 2. Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Bina Olah Raga (UKM BINORA ) Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo periode 2008-2009 3. Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Walisongo Sport Club (UKM WSC) IAIN Walisongo periode 2009-2010 sebagai Koordinator cabang Tenis Meja. 4. Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Walisongo Sport Club (UKM WSC) IAIN Walisongo periode 2010-2011.
Prestasi yang pernah diraih: 1. Juara I Orsenik cabang tenis meja kategori single perorangan tahun 2006. 2. Juara I WSC CUP cabang tenis meja kategori single perorangan tahun 2007. 3. Juara I WSC CUP cabang tenis meja kategori ganda tahun 2007. 4. Juara III PIONIR (Pekan Ilmiah Olah Raga dan Riset) antar Mahasiswa PTAIN SeIndonesia cabang tenis meja kategori beregu tahun 2007 di Pontianak Kalimantan Barat.
5. Juara I Liga Tenis Meja Divisi 5 PTM SIMPANG LIMA tahun 2010 di Semarang. 6. Juara II PIONIR (Pekan Ilmiah Olah Raga dan Riset) antar Mahasiswa PTAIN SeIndonesia cabang tenis meja kategori perorangan single putra tahun 2010 di Watampone, Sulawesi Selatan 7. Juara I PIONIR (Pekan Ilmiah Olah Raga dan Riset) antar Mahasiswa PTAIN SeIndonesia cabang tenis meja kategori perorangan ganda putra tahun 2010 di Watampone, Sulawesi Selatan. 8. Juara II Kejuaraan tenis Meja Beregu Putra Antar Koperasi se-Kabupaten Rembang tahun 2011.
Demikian Daftar iwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 08 Desember 2011 Penulis
Abdullah Aniq NIM: 62111003