OTORITAS WALI DALAM PERNIKAHAN TERHADAP GADIS DAN JANDA (STUDI KOMPARASI PENDAPAT SYAFI’IYAH DAN HANAFIYAH)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Dalam Ilmu Syari’ah dan Hukum Program Studi al- Ahwal al-Syakhshiyyah
Oleh: NOR ICHSAN NIM.1211074
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA' (UNISNU)
JEPARA
2015
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: NOR ICHSAN
NIM
: 1211074
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Progdi
: Ahwal Syakhshiyyah
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk diruju sumbernya.
Jepara, September 2015 Penulis
NOR ICHSAN NIM.1211074
ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING Lampiran : Hal
: Naskah Skripsi
Jepara, September 2015
Sdr. NOR ICHSAN
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU NISNU Jepara Di Jepara
Assalamualaikum wr. Wb. Setelah saya mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya, maka bersama ini saya kirimkan Naskah Skripsi Saudara: Saudar Nama
: NOR ICHSAN
NIM
: 1211074
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Judul
:
“OTORITAS OTORITAS TERHADAP
WALI GADIS
DALAM DAN
PERNIKAHAN
JANDA
(STUDI
KOMPARASI PENDAPAT SYAFI’IYAH DAN HANAFIYAH)” Dengan ini saya mohon agar skripsi saudara saudar tersebut dapat dimunaqosahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. Wb. Pembimbing
HUDI,, S.HI., M.SI
iii
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, penulis panjatkan atas segala limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam, semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan para pengikutnya yang telah membawa dan mengembangkan Islam hingga seperti sekarang ini. Penulis menyadari bahwa terselesainya skripsi ini berkat adanya usaha dan bantuan baik berupa moral maupun spiritual dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis tidak akan lupa untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom, HM, selaku Rektor UNISNU Jepara 2. Bapak Drs. H. Ahmad Bahrowi, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UNISNU Jepara yang telah memberikan ijin penelitian. 3. Bapak Hudi, S.HI., M.SI., selaku pembimbing yang memberi bimbingan dan arahan, sehingga menambah wawasan kepada penulis 4. Semua Dosen UNISNU Jepara yang memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis dari mata kuliah yang ada 5. Kepada istri dan anak-anakku yang memberikan motivasi dan dukungan baik moril maupun spirituil dalam rangka menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir
v
6. Kepada teman-temanku temanku senasib seperjuangan angan yang memberikan saran dan motivasi dalam rangka menyelesaikan skripsi
Jepara, September 2015 Penulis
NOR ICHSAN NIM.1211074
vi
ABSTRAK Nor Ichsan dengan Judul Skripsi "Otoritas Wali Dalam Pernikahan Terhadap Gadis Dan Janda (Studi Komparasi Pendapat Syafi’iyah Dan Hanafiyah)" Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Pendapat madzhab Syafi’iyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda 2. Pendapat madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda. 3. Perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’iyah dan madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda Penelitian ini termasuk jenis jenis penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang tidak menggunakan angka-angka statistik, melainkan dalam bentuk katakata. Di samping itu penelitian ini hanya menggunakan penelitian kepustakaan (Library research). Hasil penelitian ini sebagai berikut: 1. Pendapat Madzhab Syafi’iyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda bahwa hukum wali dalam pernikahan adalah wajib karena termasuk dalam syarat dan rukun nika. Tentang otoritasnya ada perbedaan yaitu ketika seorang gadis menikah maka wali atau orang tua mempunyai otoritas yang tinggi dalam menikahkan anak gadisnya yaitu boleh memaksa jika tidak mau menikah karena anak perempuan tersebut masih dibawah kekuasaan orang tua. Akan tetapi ketika anaknya sudah janda baik jandanya masih di bawah umur atau sudah dewasa, orang tua tidak berbak memilih hanya sebatas pesetujuan dalam pernikahan anak yang sudah janda tersebut karena anak yang sudah janda itu bukan lagi di bawah kuasa dari orang tua. 2. Pendapat Madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda berpendapat bahwa wali dalam nikah hukumnya sunah, tentang otoritas wali dalam pernikahan yaitu ketika menikahkan anak gadisnya cukup minta persetujuan anak gadisnya walau cukup dengan diam, tetapi kalau menikahkan anak yang janda, maka harus ada kata-kata yang jelas dari anak tersebut, karena menurut Imam Hanafi bahwa anak perempuan baik gadis maupun janda dapat menikah sendiri dengan wali yang mereka kehendaki dengan syarat sekufu atau sepadan. 3. Perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’iyah dan madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda yaitu pertama wali nikah dalam pernikahan menurut Madzhab Syafi’iyah adalah wajib sedangkan dalam Madzhab Hanafiyah hukumnya adalah sunah. Kedua adalah otoritas wali dalam menikahkan anak gadis dan janda menurut Madzhab Syafi’iyah adalah hak wewenang wali terhadap gadis boleh sampai memaksa karena anak gadis masih kuasa atau tanggungan orang tua, tetapi kalau wewenang wali terhadap janda baik di bawah umur maupun sudah dewasa, maka hanya minta persetujuannya. Sedangkan otoritas wali dalam menikahkan anak gadis dan janda menurut Madzhab Hanafiyah adalah ketika menikahkan anak gadisnya minta persetujuan terhadap anak gadis walau hanya diam, tetapi ketika menikahkan anak yang janda maka secara jelas minta persetujuan dari anak tersebut. Kata Kunci: Otoritas Wali Dalam Pernikahan, Pendapat Syafi’iyah Dan Hanafiyah
vii
MOTTO
*
( )رواه ا د وا ر
و
حا
Tidak sah nikah kecuali (dinikahkan) oleh wali (Riwayat Ahmad dan Imam Empat).
*
Al-Sa’any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, (Kairo: Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby, 1379H/1960M), hlm. 117-118.
viii
PERSEMBAHAN Skripsi Ini Kupersembahkan Untuk 1. Istriku Tersayang Yang dengan setulus hati Memberiku semangat untuk menggapai cita-cita dan harapan Dan kehangatan dalam meniti arti kehidupan Walaupun segalanya penuh dengan rintangan, cobaan serta ujian
2. Putri-Putri Tersayang Kehadirannya bagaikan matahari bagiku Kelucuannya bagaikan obat hatiku Kelincahaanya adalah semangat bagiku Kecantikannya bagaikan cahaya di mataku Keluguannya adalah setitik embum dalam kalbuku Merekalah harapan dan pelita hidupku
3. Kedua Orang Tuaku Yang selalu mendo’akan dan merestuiku
4. Ibu Mertua Yang selalu merestuiku
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………….………………… i HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN……………………………………. ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING………………………….……………….. iii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………….…………. iv HALAMAN KATA PENGANTAR..................................................................... v ABSTRAK……………………………………………………………………… vi HALAMAN MOTTO.......................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN......................................................................... viii HALAMAN DAFTAR ISI.................................................................................. ix BABI
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………………. 1 B. Pembatasan Masalah……………………………………………… 4 C. Rumusan Masalah ……………………………………………….... 5 D. Tujuan Penelitian………………………………………………….. 5 E. Manfaat Peenelitian……………………………………………..... 5 F. Telaah Pustaka……………………………………………………. 6 G. Metode Penelitian………………………………………………… 9 H. Sistematika Penulisan Skripsi…………………………………….. 11
BAB II
: KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan………………………………………………………. 13 1. Pengertian Pernikahan ……………………………................. 13 2. Dasar Hukum Pernikahan……..…………………………….. 15 x
3. Syarat dan Rukun Pernikahan……………………………….
17
B. Wali Nikah………………………………………………………
20
1. Pengertian Wali Nikah ………………………………............ 20 2. Dasar Hukum Wali Nikah …………………………………..
21
3. Macam-macam Wali Nikah…………………………………. 24 4. Syarat-Syarat Wali Nikah…………………………………… 27 5. Fungsi Wali Nikah………………………………………….. 30 C. Pandangan Wali Nikah menurut Imam Syafi’i………………… 32 D. Pandangan Wali Nikah menurut Imam Hanafi………………… 34 BAB III : GAMBARAN OTORITAS WALI DALAM PERNIKAHAN TERHADAP GADIS DAN JANDA MENURUT PENDAPAT SYAFI’IYAH DAN HANAFIYAH A. Biografi dan Pendapat Imam Syafi’i…………………............... 37 1.
Latar Belakang…………………………………………….. 37
2.
Pendidikan………………………………………………… 41
3.
Karya………………………………………………………. 42
4.
Pendapat Imam Syafi’I tentang Wali Nikah bagi Gadis dan Janda………………………………………………….. 43
B. Biografi dan Pendapat Imam Hanafi ………………………….. 45 1.
Latar Belakang…………………………………………….. 45
2.
Pendidikan………………………………………………… 46
3.
Karya………………………………………………………. 47
xi
4.
Pendapat Imam Hanafi tentang Wali Nikah bagi Gadis dan Janda………………………………………………….. 48
BAB IV : ANALISIS OTORITAS WALI DALAM PERNIKAHAN TERHADAP GADIS DAN JANDA (STUDI KOMPARASI PENDAPAT SYAFI’IYAH DAN HANAFIYAH) A. Analisis Pendapat Madzhab Syafi’iyah Tentang Otoritas Wali Nikah Dalam Menikahkan Anak Gadis Dan Janda….................. 50 B. Analisis Pendapat Madzhab Hanafiyah Tentang Otoritas Wali Nikah Dalam Menikahkan Anak Gadis Dan Janda……………... 52 C. Analisis Perbedaan Pendapat antara Madzhab Syafi’iyah dan Pendapat Madzhab Hanafiyah Tentang Otoritas Wali Nikah Dalam Menikahkan Anak Gadis Dan Janda…………….......................... 55 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………………. 56 B. Saran-Saran………………………………………………………. 57 C. Kata Penutup …………………………………………………….. 58 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan dan menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna, agar supaya tercipta kehidupan yang tentram, teratur dan sejahtera. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan dari jenis laki-laki dan perempuan agar untuk saling mengenal, menjalin hubungan yaitu berupa ikatan pernikahan sehingga terjalin keturunan yang akan melanjutkan roda kehidupan. Sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an
šΡà$©! ÏΒ ’Í< ó=yγsù #\Ï%%tæ ’ÎAr&tøΒ$# ÏMtΡ$Ÿ2uρ “Ï!#u‘uρ ÏΒ u’Í<≡uθyϑø9$# àMø Åz ’ÎoΤÎ)uρ (٥:) ا ر م
∩∈∪ $wŠÏ9uρ
Dan Sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. (Q.S Maryam:5)1 Pernikahan juga merupakan suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridlai Allah SWT.2 Dalam Islam dalam pembentukan keluarga dengan menyatukan antara laki-laki dan
1
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Perca, 1989), hlm. 306. Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jilid II, (Jakarta: Depag RI, 1985), hlm. 49. 2
1
2
perempuan diawali dengan ritual yang suci yaitu kontrak perkawinan atau ikatan perkawinan, kontrak ini mensyaratkan dari masing-masing pasangan serta perwujudan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bersama. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 UU Perkawinan No 1 tahun 1974 yang berbunyi: “perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa”.3 Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersamadalam menempuh bahtera rumah tangga. Namun demikian, pernikahan itu sendiri mempunyai syarat dan rukun yang sudah ditetapkan baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadis. Menurut Sayuti Thalib perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.4 Sementara Mahmud Yunus menegaskan, perkawinan ialah akad antara calon lelaki dan perempuan untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.5 Sedangkan Zahry Hamid merumuskan nikah menurut syara ialah akad (ijab qabul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan memenuhi rukun serta syaratnya.6 Pada dasarnya pernikahan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan dianjurkan oleh syara’. Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an 3
UU No. 1 Th. 1974, Undang-Undang Perkawinan, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, tt),
hlm. 8. 4
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 47. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), hlm. 1. 6 Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hlm. 1. 5
3
(#θçΡθä3tƒ βÎ) 4 öΝà6Í←!$tΒÎ)uρ ö/ä.ÏŠ$t6Ïã ôÏΒ tÅsÎ=≈¢Á9$#uρ óΟä3ΖÏΒ 4‘yϑ≈tƒF{$# (#θßsÅ3Ρr&uρ (٣٢:) ا ور
∩⊂⊄∪ ÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝÎγÏΨøóムu!#ts)èù
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui. (Q.S An-Nur: 32)7 UU Perkawinan No 1 tahun 1974 Pasal 14 menjelaskan bahwa yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.8 Dari Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa dalam perkawinan terdapat syarat dan rukun. Salah satu rukun nikah adalah wali nikah. Wali nikah ada beberapa syarat yang diatur dalam agama Islam, ada beberapa syarat yang menjadikan seseorang jadi wali dalam pernikahan yaitu dalam garis keturunan (darah). Seperti dalam praktiknya dalam suatu pernikahan yang mengucapkan ijab adalah dari pihak mempelai wanita dan mengucapkan ikrar qabul ialah dari pihak pria. Oleh karena itu disinilah letak seorang wali sangat menentukan dan juga dibutuhkan sebagai wakil dari pihak calon mempelai wanita.9 Hal juga dijelaskan dalam hadits bahwa wali merupakan salah satu rukun nikah yang berbunyi:
7
Yayasan Penyelenggara/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1986), hlm. 549. 8 UU No. 1 Th. 1974, Undang-Undang Perkawinan, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, tt), hlm. 11. 9 Mawardi, Hukum Perwalian dalam Islam, (Yogyakarta: UGM, 1975), hlm. 42.
4
ل: ل
ﷲ 10
* +رواه أ
ر
أ
$" ح إ# $ % و
أ ﷲ
دة
أ ر لﷲ
Artinya: Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali (HR Ahmad) Wali nikah merupakan seseorang yang berhak menikahkan seorang gadis atau janda dalam sebuah perkawinan. Namun ada beberapa perbedaan pendapat mengenai ketentuan wali nikah dan hak-hak wali dalam perkawinan seorang wanita. Perbedaan ini terjadi karena tidak ada ketentuan yang pasti setelah wafat Nabi Muhammad SAW terutama dalam hal otoritas wali. Perbedaan atau ikhtilaf dalam hal syari’at itu terjadi mulai wafat Nabi Muhammad SAW. Sehingga dalam syari’ah terkenal dengan empat Madzhab yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Dari latar belakang dan alasan pemilihan judul tersebut, maka peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul: Otoritas Wali Dalam Pernikahan Terhadap Gadis Dan Janda (Studi Komparasi Pendapat Syafi’iyah Dan Hanafiyah) B. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dalam skripsi ini yaitu tentang otoritas wali dalam pernikahan gadis dan janda menurut paham madzhab Syafi’iyah dan paham madzhab Hanafiyah. Kedua Madzhab ini mempunyai pandangan masing-masing berkaitan dalam wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan anak yang sudah nikah atau janda. 10
Ibnu Hajar Al Asqolani, Bulugul Maram, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 204.
5
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka sebagai perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pendapat madzhab Syafi’iyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda?. 2. Bagaimana pendapat madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda?. 3. Bagaimana perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’iyah dan madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda?. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pendapat madzhab Syafi’iyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda 2. Untuk mengetahui pendapat madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda 3. Untuk mengetahui perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’iyah dan madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang akan diperoleh dalam penelitian ini sebagai berikut:
6
1. Secara Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan hukum tentang hak-hak wali dalam menikahkan anak-anaknya 2. Secara praktis a. Bagi masyarakat, menambah wawasan bahwa orang tua atau wali nikah mempunyai hak dan kewajiban dalam menikahkan anakanaknya. Hak tersebut yaitu tentang wewenang dalam menikahkan anak-anaknya. b. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan, pengetahuan dalam bidang penelitian. c. Bagi akademik, hasil penelitian ini menjadikan bahan pustaka di perpustakaan akademik F. Telaah Pustaka Telaah pustaka ini menjelaskan tentang teori atau kajian yang memotivasi peneliti untuk mengangkat judul dalam mengadakan penelitian. Adapun teori-teori atau kajian yang berhubungan dengan judul adalah sebagai berikut: Achmad Hadi Sayuti dalam skripsinya berjudul Wali Nikah dalam Perspektif Dua Madzhab dan Hukum Positif.11 Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa dalam permasalahan kehadiran seorang wali dalam pernikahan sebenarnya kedua madzhab memiliki argumentasi yang samasama kuat dan memiliki sumber yang sangat akurat, akan tetapi di Negara 11
Achmad Hadi Sayuti dalam skripsinya berjudul Wali Nikah dalam Perspektif Dua Mazdhab dan Hukum Positif.
7
Indonesia telah diatur permasalahan wali dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) jadi alangkah lebih baik permasalahan ini kita kembalikan lagi kepada pemerintah yang sudah jelas mengatur permasalahan pernikahan di dalam peraturannya yaitu KHI. Taufiq Hidayat dalam jurnalnya berjudul “Rekontruksi Konsep Ijbar”.12 Hasil penelitian ini menjelaskan bagi kaum perempuan (mungkin juga bias terjadi pada kaum laki-laki yang dipaksa untuk menikahi pilihan orang tua) ijbar adalah suatu pemaksaan terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman baru terhadap konsep ijbar. Konsep ijbar bukan berarti ayah atau kakek memaksa anak perempuan untuk menikah tanpa seijin anak perempuan namun perlu adanya musyawarah antara orang tua dengan anak untuk meminta persetujuan. Abdul Munir dalam skripsinya berjudul “Dampak Dispensasi Nikah Terhadap Eksistensi Pernikahan (Studi Analisis di Pengadilan Agama Kendal)”.13 Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat diketahui bahwa majelis hakim mendasarkan pada pertimbangan kemaslahatan bagi kedua calon mempelai. Majelis hakim lebih banyak menggunakan pertimbangan maslahah yang bersifat daruriyyah dalam hal memelihara keturunan. Dispensasi nikah tidak berdampak terhadap eksistensi pernikahan akan tetapi dispensasi nikah lebih berdampak pada
12
Taufiq Hidayat, Rekonstruksi Konsep Ijbar, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1 Nomor 2
2009. 13
Abdul Munir dalam skripsinya berjudul “Dampak Dispensasi Nikah Terhadap Eksistensi Pernikahan (Studi Analisis di Pengadilan Agama Kendal)”.
8
keharmonisan kehidupan keluarga hal ini disebabkan kurangnya persiapan untuk membina keluarga yang sesuai dengantujuan perkawinan. Yuni Zulfiani Riski Ahmad dalam jurnalnya berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin dari Orang Tua (studi kasus Nomor 397/Pdt.G/2009/PA.Mks).14 Hasil penelitian tersebut
ini dapat diketahui bahwa dalam melangsungkan perkawinan haruslah memenuhi syarat maupun rukun di dalam perkawinan. Syarat dan rukun perkawinan yang sudah ditentukan terkadang diabaikan, hingga akhirnya tidak
tertutup
kemungkinan
perkawinannya
batal
atau
dibatalkan.
Pertimbangan hukum pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Makassar ialah dimana perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat dan rukun untuk melakukan perkawinan, hasil wawancara dengan beberapa pihak menyetujui dan membenarkan alasan pembatalan perkawinan ini. Kurang telitinya pemeriksaan administrasi calon suami istri, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ketentuan hukum Islam dan UndangUndang Perkawinan, bahwa untuk melakukan perkawinan tanpa wali nasab harus mendapat izin dari pengadilan Dari kajian di atas, maka dapat memotivasi peneliti mengadakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan judul.
14
Yuni Zulfiani Riski Ahmad edalam jurnalnya berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin dari Orang Tua (studi kasus Nomor 397/Pdt.G/2009/PA.Mks).
9
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang tidak menggunakan angka-angka statistik, melainkan dalam bentuk kata-kata. Di samping itu penelitian ini hanya menggunakan penelitian kepustakaan (Library research). Yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menggunakan data-data dari buku sebagai sumber kajian.15 Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pemikiran madzhab Syafi’iyah dan Hanafiyah yang berkaitan tentang otoritas wali dalam pernikahan 2. Jenis dan Sumber Data Dalam mencari data dalam penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu: a. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian
dengan
menggunakan
alat
pengukuran
atau
alat
pengambilan data langsung pada obyek sebagai obyek informasi yang dicari.16 Data primer ini peneliti dapat memperoleh dari Kitab Al-Um, Ar-Risalah, Fiqul Akbar, Al Fiqih Ala Mazahibil Arba’ah karangan Imam Abdurrahman Azzaziri. 15
Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah: Panduan Berbasis penelitian Kualitatif Lapangan dan Perpustakaan, (Jakarta: Gaung Press Persada, 2009), hlm. 188. 16 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 91.
10
b. Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.17 Data skunder ini diambil dari kitab-kitab fiqih seperti fathul Muin, Fathul Wahhab. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan). Pemilihan kepustakaan dilakukan secermat mungkin dengan mempertimbangkan otoritas pengarangnya terhadap bidang yang dikaji. Adapun langkah-langkah dalam teknik pengumpulan data adalah: a. Menghimpun atau mencari literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian b. Mengklasifikasi buku berdasarkan content/jenisnya (primer atau skunder) c. Mengutip data/teori atau konsep lengkap dengan sumbernya d. Mengecek/melakukan konfirmasi atau cross check data atau teori dari sumber lainnya e. Mengelompokkan data berdasarkan outline atau sistematika penelitian yang telah disiapkan.18 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data, peneliti menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.19 Teknik analisis data menggunakan analisis deduktif yaitu menarik suatu sintesis (simpul-simpul) pembahasan dari beragam
17
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 309. Mukhtar, op.cit., hlm. 198. 19 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 134. 18
11
sumber yang telah dikemukakan oleh para pakar atau data-data yang relevan dengan penelitian.20 H. Sistematika Penulisan Skripsi Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 Bab, dan masing-masing bab memuat sub bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut: 1. Bagian Muka Pada bagian ini memuat:
Halaman Judul, Halaman Nota
Pembimbing, Halaman Pengesahan, Kata Pengantar, Abstrak, Motto, Persembahan, Deklarasi, dan Daftar Isi. 2. Bagian Isi ( Batang tubuh) BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini memuat: Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat
Penelitian,
Metode
Penelitian,
Sistematika Penulisan Skripsi. BAB II
: KAJIAN PUSTAKA berisi: Pengertian Wali, Syarat-Syarat Wali menurut Imam Syafi’i, Syarat-Syarat Wali menurut Imam Hanafi.
BAB III : GAMBARAN OTORITAS WALI DALAM PERNIKAHAN TERHADAP
GADIS
DAN
JANDA
MENURUT
PENDAPAT SYAFI’IYAH DAN HANAFIYAH meliputi: Biografi Imam Syafi’i, pendapat Madzhab Syafi’iyah tentang Otoritas Wali dalam Pernikahan gadis dan Janda, pendapat
20
Mukhtar, Op.Cit., hlm. 202.
12
Madzhab Hanafiiyah tentang Otoritas Wali dalam Pernikahan gadis dan Janda, Biografi Imam Hanafi, Pendapat Madzhab Hanafiiyah tentang Otoritas Wali dalam Pernikahan gadis dan Janda BAB
IV
:ANALISIS
ANALISIS
PERNIKAHAN
OTORITAS
TERHADAP
GADIS
WALI
DALAM
DAN
JANDA
(STUDI KOMPARASI PENDAPAT SYAFI’IYAH DAN HANAFIYAH)
meliputi:
Analisis
pendapat
Madzhab
Syafi’iyah tentang Otoritas Wali dalam Pernikahan gadis dan Janda, Analisis Pendapat Madzhab Hanafiiyah tentang Otoritas Wali dalam Pernikahan gadis dan Janda, Analisis Perbedaan pendapat Madzhab Syafi’iyah dan Madzhab Hanafiiyah tentang Otoritas Wali dalam Pernikahan gadis dan Janda BAB V
: PENUTUP meliputi: Kesimpulan, Saran dan Penutup
3. Bagian Akhir (Referensi) Pada Bagian ini memuat tentang Daftar Pustaka, Daftar Riwayat Hidup Penulis Dan Lampiran-Lampiran.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Nikah dalam Kamus Besar Indonesia mempunyai arti hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri secara resmi.1 Sedangkan arti nikah menurut syara’ yaitu akad yang membolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada akad menggunakan akad nikah.2 Jadi apabila antara laki-laki dan perempuan yang sudah siap untuk membentuk suatu rumah tangga, maka mereka harus melakukan akd nikah terlebih dahulu. Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 3:
4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? āωr& ÷Λäø Åz ÷βÎ)uρ y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFø Åz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ (٣:ء
( ∪⊂∩ ) ا#θä9θãès? āωr& #’oΤ÷Šr&
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
1
Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
hlm. 614. 2
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. I, (Yogyakarta: Bulan Bintang,1980), hlm. 104.
13
14
miliki yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S An Nisa’: 3).3 Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya Fath Al Mu’in mengupas tentang pernikahan, syarat, rukun, talak dan macammacamnya, ruju serta tentang wali. Pengarang kitab tersebut menyatakan nikah
adalah
suatu
akad
yang
berisi
pembolehan
melakukan
persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan atau menikahkan. Kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan.4 Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi dalam Kitab Fath alQarib menerangkan pula tentang masalah hukum-hukum pernikahan di antaranya dijelaskan kata nikah menurut makna bahasanya yaitu kumpul, wati, jimak dan akad. Menurut pengertian syara’ yaitu suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.5 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1; "Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".6 Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang menjadikan halalnya berhubungan intim
3
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Perca: 1989), hlm. 77. Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in, (Surabaya: Al Hidayah, t.th), hlm. 72. 5 Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, (Surabaya: Al Hidayah, t.th), hlm. 48. 6 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 203. 4
15
atau persetubuhan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" 2. Dasar Hukum Pernikahan a. Dalil Al-Quran Surat Al-A’raf ayat 189 berbunyi:
( $pκös9Î) zä3ó¡uŠÏ9 $yγy_÷ρy— $pκ÷]ÏΒ Ÿ≅yèy_uρ ;οy‰Ïn≡uρ <§ø ¯Ρ ÏiΒ Νä3s)n=s{ “Ï%©!$# uθèδ * ©!$# #uθt㨊 Mn=s)øOr& !$£ϑn=sù ( ϵÎ/ ôN§yϑsù $Z ‹Ï yz ¸ξôϑym ôMn=yϑym $yγ8¤±tós? $£ϑn=sù (١٨٩ :اف
∇⊇∩ )ا∪ šÌÅ3≈¤±9$# zÏΒ ¨sðθä3uΖ©9 $[sÎ=≈|¹ $oΨtGøŠs?#u ÷È⌡s9 $yϑßγ−/u‘
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (Q.S Al A’raf: 189).7 Surat Ar Rum ayat 21 sebagai berikut:
Ÿ≅yèy_uρ $yγøŠs9Î) (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 %[`≡uρø—r& öΝä3Å¡à Ρr& ôÏiΒ /ä3s9 t,n=y{ ÷βr& ÿϵÏG≈tƒ#u ôÏΒuρ ∩⊄⊇∪ tβρã©3x tGtƒ 5Θöθs)Ïj9 ;M≈tƒUψ y7Ï9≡sŒ ’Îû ¨βÎ) 4 ºπyϑômu‘uρ Zο¨Šuθ¨Β Νà6uΖ÷t/ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S Ar Rum: 21)8
7 8
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Perca, 1989), hlm. 175. Ibid., hlm. 407.
16
b. Dalil Hadits Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a dari Rasulullah yang bersabda:
رة
ّ
ش ل
ا
ّ
أ
ّ
! ث
ّ $ د *) & ﷲ (' ل & ﷲ,- و ا/ '* 01 2*3ل د
ّ
"# 454
ن
ّ & ا
&&: =ّ*- و7 * *) ﷲ8 ّ &ّ ا01 َ َH-ْ ِ ْ ا1َ ب َ َ&*ْ ِ ﱡCَ!َُ أ7ِ<ﱠFَ( َْ ﱠوج5َHَ *ْ َ( َ ْ= ا ْ&َ َءةIُ ْ 1ِ َعK ِ َ &M َ ا ﱠMَ Nْ 1َ َ4" =ّ*-و ِ @ 9 ْ َ ْ ََوأ ( رىP& )رواه ا."ج ِ ْ َ#*ِ ُ @
7 * *) ﷲ8 ل ﷲ,-ر
(' ل9 : ;<
Diceritakan kepada kami oleh Umar bin Hafis bin Giyas, diceritakan kepada kami oleh Bapakku, Diceritakan kepada kami oleh ‘Amas ia berkata: Diceritakan kepada kami oleh I’maroh dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata: Saya datang bersama al-Qomah dan Aswad kepada Abdullah ia berkata: Ketika kami bersama Nabi Saw bertemu beberapa pemuda yang tidak mempunyai sesuatu untuk menikah. Maka Rosulullah berkata kepada kami: “Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantaramu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang buruk/liar) dan lebih menjaga kehormatan.”(HR. al-Bukhari) c. Hukum Positif di Indonesia Hukum positif di Indonesia ini terdapat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan Undang-undang yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan segala permasalahan yang terkait dengan perkawinan atau nikah, talak, cerai dan rujuk, yang ditandatangani pengesahannya pada tanggal 2 Januari 1974 oleh Presiden Soeharto agar Undang-undang perkawinan dapat dilaksanakan dengan
9
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ihya alKutub Arabi), Juz III, hlm. 238.
17
seksama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975.10 3. Syarat dan Rukun Pernikahan Adapun syarat dan rukun nikah sebagai berikut: sebagaimana diketahui bahwa menurut UU No 1/1974 Tentang Pernikahan Bab: 1 pasal 2 ayat 1 dinyatakan, bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.11 Rukun akad pernikahan ada lima, yaitu: a. Calon suami, syarat-syaratnya: 1) Beragama Islam. 2) Jelas ia laki-laki. 3) Tertentu orangnya. 4) Tidak sedang berihram haji/umrah. 5) Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah thalak raj'iy. 6) Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai perempuan, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah thalak raj'iy. 7) Tidak dipaksa. 8) Bukan mahram calon isteri
10
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, (Surabaya: Pustaka Bina, tt), hlm. 1. 11 Arso Sosroatmodjo dan A.Wasit Aulawi, Hukum Pernikahan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 80.
18
b. Calon Isteri, syarat-syaratnya: 1) Beragama Islam, atau Ahli Kitab. 2) Jelas ia perempuan. 3) Tertentu orangnya. 4) Tidak sedang berihram haji/umrah. 5) Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami. 6) Tidak bersuami, atau tidak sedang menjalani iddah .dari lelaki lain. 7) Telah memberi idzin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk menikahkannya. 8) Bukan mahram calon suami.12 c. Wali. Syarat-syaratnya: 1) Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam. 2) Jelas ia laki-laki. 3) Sudah baligh (telah dewasa). 4) Berakal (tidak gila). 5) Tidak sedang berihram haji/umrah. 6) Tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewajibannya). 7) Tidak dipaksa. 8) Tidak rusak fikirannya sebab terlalu tua atau sebablainnya. 9) Tidak fasiq.
12
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 64.
19
d. Dua orang saksi laki-laki. Syarat-syaratnya: 1)
Beragama Islam.
2)
Jelas ia laki-laki.
3)
Sudah baligh (telah dewasa).
4)
Berakal (tidak gila)
5)
Dapat menjaga harga diri (bermuru’ah)
6)
Tidak fasiq.
7)
Tidak pelupa.
8)
Melihat (tidak buta atau tuna netra).
9)
Mendengar (tidak tuli atau tuna rungu).
10) Dapat berbicara (tidak bisu atau tuna wicara). 11) Tidak ditentukan menjadi wali nikah. 12) Memahami arti kalimat dalam ijab qabul.13 e. Ijab dan Qabul Ijab akad pernikahan ialah: "Serangkaian kata yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya dalam akad nikah, qabul adalah serangkaian kata untuk menerimakan nikah calon suami atau wakilnya".14
13 14
Zahry Hamid, op. cit., hlm. 24-27. Ibid., hlm. 28.
20
B. Wali Nikah 1. Pengertian Wali Nikah Sebelum penulis membicarakan masalah wali dalam perkawinan perlu dikemukakan pengertian perwalian. Adapun pengertian perwalian dalam istilah fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.15 Mengenai perwalian ini mayoritas ulama membagi wali menjadi tiga macam, perwalian atas barang, perwalian atas orang, dan perwalian atas barang dan orang secara bersama-sama.16 Kata wali dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang. Perwalian dari bahasa Arab adalah Walayah atau wilayah yaitu hak yang diberikan oleh syariat yang membuat si wali mengambil dan melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang diperwalikan.17 Istilah perwaliaan berasal dari bahasa arab dari kata dasar, waliya, wilayah atau walayah.
dalam literatur fiqih islam disebut dengan al-
walayah (alwilayah) secara etimologis, wali mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah), juga berarti kekuasaan/otoritas seperti dalam ungkapan al-wali, yakni
15
Kamal Muchtar, Azas-Azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Tiga A, 1974), hlm. 89. 16 Abû Zahrah, Al-Ahwal al-Syahsiyah, (Beirût: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1957), hlm. 122. 17 Muhammad Bagir al-Habsy, Fiqh Praktis: (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 56.
21
orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah “tawally al-amri” (mengurus/mengusai sesuatu).18 Perwalian dalam terminologi para fuqaha (pakar hukum Islam) seperti di formulasikan oleh Wahbah Al-zuhayli ialah “kekuasaan/otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain. Dalam literatul fiqih, kata al-wilayah digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi sesorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita di mana hak itu dipegang oleh wali nikah.19 Adapun yang di maksud dengan perwalian di sini adalah perwalian terhadap jiwa seseorang wanita dalam hal perkawinanya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wali nikah adalah perwalian terhadap jiwa seseorang wanita dalam hal perkawinanya. 2. Dasar Hukum Wali Nikah Masalah
perwalian
dalam
perkawinan,
mayoritas
ulama
berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan tidak pula mengawinkan wanita lainya karena akad perkawinan tidak di anggap sah apabila tanpa seorang wali.20 Hal tersebut dikemukakan oleh
18
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 134. 19 Ibid., hlm. 35. 20 Dedy Junaidi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta: Akademi Pressindo, 2003), hlm. 104.
22
Imam Maliki dan Imam Syafi’i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan.21 Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak jelas mengatur tentang wali nikah, tetapi di syaratkan harus ada izin dari orang tua bagi yang akan melangsungkan pernikahan dan apabila belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun disebutkan bahwa: perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.22 Menurut madzhab hanafi, wali tidak merupakan sayrat untuk sahnya suatu pernikahan, tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh tidak ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada saat akan menikah baik pria maupun wanita. Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah konsep perwalian dalam perkawinan di atur dalam pasal 14 dan pasal 19 yang berbunyi: a. Pasal 14 Untuk melaksankan perkawinan harus ada: 1) calon suami, 2) calon isteri, 3) wali nikah, 4) dua orang saksi dan, 5) ijab kabul. b. Pasal 19 “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkanya.‟23 Dasar hukum yang dipakai dalam keharusan adanya wali bagi seorang wanita yang hendak menikah, para ulama berpedoman dengan dalil dalil diantaranya Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 21
Slamet Abidin-Aminudin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 82. M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradialn Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 12. 23 Departemaen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan agama Islam, 2003), hlm. 20-22. 22
23
(#θçΡθä3tƒ βÎ) 4 öΝà6Í←!$tΒÎ)uρ ö/ä.ÏŠ$t6Ïã ôÏΒ tÅsÎ=≈¢Á9$#uρ óΟä3ΖÏΒ 4‘yϑ≈tƒF{$# (#θßsÅ3Ρr&uρ ( ٣٢:ر, ∪⊄⊂∩ )اÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝÎγÏΨøóムu!#ts)èù Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S An Nur: 32).24 Surat Al-Baqoroh ayat 221
öθs9uρ 7πx.Îô³•Β ÏiΒ ×öyz îπoΨÏΒ÷σ•Β ×πtΒV{uρ 4 £ÏΒ÷σム4®Lym ÏM≈x.Îô³ßϑø9$# (#θßsÅ3Ζs? Ÿωuρ ÏiΒ ×öyz íÏΒ÷σ•Β Ó‰ö7yès9uρ 4 (#θãΖÏΒ÷σム4®Lym tÏ.Îô³ßϑø9$# (#θßsÅ3Ζè? Ÿωuρ 3 öΝä3÷Gt6yfôãr& Ïπ¨Ψyfø9$# ’n<Î) (#þθããô‰tƒ ª!$#uρ ( Í‘$¨Ζ9$# ’n<Î) tβθããô‰tƒ y7Íׯ≈s9'ρé& 3 öΝä3t6yfôãr& öθs9uρ 78Îô³•Β (٢٢١ : ∪⊇⊄⊄∩ ) ا &' ةtβρã©.x‹tGtƒ öΝßγ¯=yès9 Ĩ$¨Ψ=Ï9 ϵÏG≈tƒ#u ßÎit7ãƒuρ ( ϵÏΡøŒÎ*Î/ ÍοtÏ øóyϑø9$#uρ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Q.S Al Baqarah: 221)25 Sebagian Ulama Fiqih kedua ayat ini, ditafsirkan bahwa yang diberi perintah untuk mengawinkan adalah kaum lelaki bukan kaum
24 25
Depag RI, op.cit., hlm. 355. Ibid., hlm. 35.
24
perempuan.26 Dan dalam Hadis riwayat dari Abu Burdah, Ibn Abu Musa dari bapaknya mengatatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 27
(7N وا ر
)رواه ا
,
ح اI<
Tidak sah nikah kecuali (dinikahkan) oleh wali (Riwayat Ahmad dan Imam Empat). 3. Macam-Macam Wali Nikah Dalam beberapa refrensi hukum Islam, baik yang berbahasa arab atau berbahasa Indonesia, ulama berbeda-beda dalam menyebutkan macam-macam wali dalam pernikahan, semisal Imam Taqiyuddin Abi Bakrin in Muhammad Al-Husainy Al-Hishny al-Damasyqy as-Syafi’i yang dikutip oleh Zahri Hamid menyebutkan empat wali yang dapat menikahkan mempelai perempuan, yaitu wali nasab, wali maula, wali tahkim dan wali hakim. Adapun rinciannya sebagai berikut: a. Wali nasab, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan darah nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.28 Adapun urutan wali nasab sebagai berikut: 1) Ayah. 2) Kakek (Bapak ayah). 3) Ayah Kakek (ayah tingkat tiga) dan seterusnya keatas. 4) Saudara laki-laki sekandung.
26
Ali Imron, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Keluarga, (Perspektif Al-qur’an melalui pendekatan Ilmu Tafsir), (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 69. 27 Al-Sa’any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, (Kairo: Darul Ihya’, Al-Turas, Al-Araby, 1379H/1960M), hlm. 117-118. 28 Slamet Abidin Dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Juz 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 89.
25
5) Saudara laki-laki seayah. 6) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung. 7) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah. 8) Paman sekandung (Saudara laki-laki ayah sekandung). 9) Paman seayah (Saudara laki-laki ayah seayah) 10) Anak laki-laki paman sekandung 11) Anak laki-laki paman seayah. 12) Saudara kakek sekandung (Bapak ayah sekandung). 13) Saudara kakek seayah (Bapak ayah seayah). 14) Anak laki-laki saudara kakek sekandung. 15) Anak laki-laki saudara kakek seayah.29 b. Wali maula, Sedangkan yang dimaksud dengan wali Maula adalah pewalian yang digunakan dalam menikahkan budak yang telah dimerdekakan, dengan kata lain wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwalian, bilamana perempuan yang berada dalam pewaliannya rela menerimanya. Perempuan yang dimaksudkan disini adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya. Sedangkan wanita yang wali nasabnya tidak diketahui siapa dan dimana hamba sahaya yang telah dimerdekakan), maka walinya adalah orang yang memerdekakan, selanjutnya adalah famili-famili atau ashabah dari orang yang telah memerdekakannya. 29
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hlm. 29-31.
26
c. Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon mempelai suami dan atau calon istri. Hal itu diperbolehkan, karena akte tersebut dianggap tahkim. Sedang muhakkamnya bertindak sebagaimana layaknya hakim. Seperti yang telah diriwayatkan olehYunus bin Abdil A’la, bahwa Syafi’i pernah berkata “seandainya ada seorang perempuan dalam suatu perkumpulan, ia memasrahkan wali kepada seorang laki-laki, sedang perempuan tersebut tidak mempunyai wali, maka hal tersebut dianggap boleh dilakukan, ada pula yang mengemukakan, bahwa wali nikah dapat diangkat dari orang yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqhnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan lakilaki; demikian pendapat Hanafi, yang dikutip oleh Moh. Idris Ramulyo.30 Sejalan dengan pendapat-pendapat tersebut di atas, apayang dikemukakan oleh al- Bikri, pengarrang kitab I’anatuh at-Thalibin “seorang perempuan yang tidak ada walinya, baik wali nasab, wali hakim atau Qhadi, maka perempuan tesebut diperbolehkan mengangkat seorang laki-laki untuk menikahkan dirinya dengan laki-laki yang dicintainya dan sekufu. Bahkan, sekalipun ada wali hakim atau Qhadi yang diangkat oleh penguasa, ketika mereka berbelit-belit dan memungut uang untuk menikahkannya.31 Bahkan ada pendapat yang mengatakan jika tidak ada orang yang siap menjadi muhakkam, sedang dirinya dikhawatirkan akan berbuat zina, maka perempuan tersebut
30
Moh. Idrris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam ( Jakarta: Ind-Hillco,1985), hlm.177. 31 Sayyid Al Bakar Al-Manshur bil Sayyid al-Bikri, I' anatu Al-Thalibin, Juz 39, (Surabaya: Al- idayah, Tth), hlm. 318-319.
27
diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri.32 Sebagaimana juga dikemukakan oleh syaikh Muhammad bin Abdurrahman ad- Damasyqi, bahwa perempuan yang ada disuatu tempat yang tidak ada hakim dan wali, maka ada dua macam hukumnya. Pertama, dia boleh menikahkan dirinya. Kedua, perempuan tersebut menyerahkan pernikahan kepada orang lain yang beragama islam. Bahkan, beliau mengutip sebuah pendapat Abu Ishak Asy-Syirazi yang mengemukakan bahwa masalah yang seperti di atas boleh memilih hukum yang telah ditetapkan oleh seorang faqih diantara ahli ijtihad, berdasarkan suatu prinsip bahwa diperbolehkan mentahkim dalam nikah. d. Wali Hakim, adapun yang dimaksud dengan wali hakim adalah penguasa atau orang yang ditunjuk oleh penguasa (pemerintah) untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, baik dia itu orang yang curang atau yang adil. Ada juga yang berpendapat bahwa dia termasuk
penguasa
yang
adil,
bertanggung
jawab
mengurusi
kemaslahatan umat Allah, bukan para sultan atau penguasa yang curang, karena mereka tidak termasuk orang yang berhak mengurusi hal itu. 4. Syarat-syarat Wali Nikah Seseorang dapat bertindak menjadi wali apabila memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan dalam hukum Islam, dan para ulama ada yang
32
hlm. 126.
Syaikh Muhammad As-sabini al-khathib, Al-Aqna' Juz 1, (Semarang: Toha Putra Tth),
28
sepakat dan ada yang berbeda pendapat dalam masalah syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang wali yaitu sebagai berikut: a. Beragama Islam Ulama Syâfi’îyah dan ulama Hanafiyah tidak berbeda pendapat mengenai persyaratan pertama ini. Antara wali dan orang yang dibawah perwaliannya disyaratkan harus sama-sama beragama Islam, apabila yang akan nikah beragama Islam (muslim) disyaratkan walinya juga seorang muslim dan tidah boleh orang kafir menjadi walinya.33 b. Baligh Baligh (orang mukallaf), karena orang yang mukallaf itu adalah orang yang dibebankan hukum dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Karena itu baligh merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali, dan ulama Syâfi’îyah dan ulama Hanafiyah sepakat tentang hal ini. Wali tidak boleh seorang yang masih kecil.34 c. Berakal sehat Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum dan mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatannya, karena orang yang akalnya tidak sempurna baik itu karena masih kecil atau gila itu tidak terbebani hukum. Karena itu seorang wali disyaratkan harus berakal sehat.35
33
Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillahtuh, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2004), hlm.
6700. 34
Al-Syairazi, op.cit., hlm. 32. Abi Ishak al-Syairazi, Al-Muhaddzab fi Fiqh Imâm al-Syafi’î, (Semarang: Thaha Putra t.t.), h. 32. 35
29
d. Merdeka Ulama Syâfi’îyah mensyaratkan seorang wali harus orang yang merdeka, sebab orang yang berada di bawah kekuasaan orang lain (budak) itu tidak mimiliki kebebasan untuk melakukan akad buat dirinya apalagi buat orang lain, karena itu seorang budak tidak boleh menjadi wali dalam perkawinan. e. Laki-laki Syarat wali yang keempat adalah laki-laki,36 syarat ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh jumhur ulama yakni ulama Safi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Mengenai syarat laki-laki ulama Syâfi’îyah berpendapat wanita tidak boleh menjadi wali bagi orang lain dan tidak boleh wanita mengawinkan dirinya sendiri. f. Adil, Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan adil sebagai persyaratan bagi wali antara lain: 1) Bagi ulama mensyaratkan wali harus adil, maka berdasarkan pada Hadits Nabi yang artinya: ”tidak ada pernikahan kecuali dengan wali yang memberikan bimbingan dan dua orang saksi yang adil” pendapat yang pertama ini disepakati oleh beberapa ulama fiqh terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengannya.
36
Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 6701.
30
2) Bagi ulama yang tidak mensyaratkan wali harus adil, mereka berdasarkan pada suatu riwayat Mutsanna bin Jami’, dia menukil bahwa dia pernah bertanya pada Ahmad, jika orang menikah dengan wali yang fasik dan beberapa saksi yang adil, maka Ahmad berpendapat bahwa hal tersebut tidak membatalkan pernikahan, itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah serta salah satu pendapat Syafi’i.37 5. Fungsi Wali Nikah Dari beberapa rukun dalam perkawinan menurut Hukum Islam, wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut Syafi`i tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi pihak perempuan sedangkan untuk pihak laki-laki tidak diperlukan adanya wali nikah. Pendapat lain mengatakan bahwa fungsi wali nikah sebenarnya adalah sebagai wakil dari perempuan, sebenarnya wali tersebut tidak diperlukan apabila yang mengucapkan ikrar ijab adalah laki-laki. Namun dalam praktek selalu pihak perempuan yang mengucapkan ijab (penawaran) sedangkan pengantin laki-laki mengucapkan ikrar qabul (penerimaan), karena pada dasarnya wanita itu pemalu maka pengucapan ijab tersebut diwakilkan pada walinya, jadi wali di sini hanya sekedar sebagai wakil karena yang paling berhak adalah perempuan tersebut.38 Hikmah disyari`atkanya wali dalam pernikahan disebabkan dalam Islam hubungan anak dengan orang tua harus tetap terjaga jangan sampai 37 38
Slamet Abidin Dan Aminuddin, op.cit., hlm. 69. Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 214.
31
terjadi perpecahan sampai anak tersebut memiliki rumah tangga sendiri, penyebab perpecahan tersebut sering terjadi karena calon suami dari anak perempuan tersebut tidak direstui oleh orang tua, oleh sebab itu ketika seorang perempuan mencari calon suami perlu adanya perantara dari wali supaya dikemudian hari tidak terjadi permasalahan dengan walinya. Hikmah wali dalam pernikahan juga disebabkan karena perempuan jarang berteman dengan laki-laki, jadi wajar kalau perempuan tersebut tidak begitu paham tentang tabiat seorang laki-laki maka agar perempuan tersebut tidak tertipu oleh seorang laki-laki dibutuhkanlah seorang wali, karena wali lebih tahu tentang tabiat seorang laki-laki sebab sering bergaul dengan mereka atau karena sesama lelakinya jadi lebih paham mana laki-laki yang baik dan tidak baik.39 Hikmah yang terkandung dibalik keharusan adanya wali dalam pernikahan sebenarnya lebih ditekankan pada permasalahan kecocokan antara calon suami dengan keluarga perempuan, maksudnya adalah jika hubungan antara calon suami mulai awal tidak disetujui oleh wali maka selanjutnya bagi keluarga anak perempuan dengan keluarga orang tua akan mengalami permasalahan, padahal dalam Islam sangat ditekanan masalah silaturrahmi, permasalahan di atas bisa dicegah manakala dalam proses perkawinan wali ikut di dalamnya, apabila dikemudian hari ada permasalahan, wali juga akan membantu menyelesaikan perkara tersebut, karena sejak awal wali dilibatkan dalam perkawinannya. 39
hlm.24.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989),
32
Berdasarkan pendapat di atas menjelaskan bahwa fungsi wali adalah sebagai pengganti dari perempuan yang akan melangsungkan akad nikah, akan tetapi yang berlaku pada masyarakat di jazirah Arab pada waktu awal Islam, wali dapat menikahkan anak perempuanya tanpa melalui izin anak perempuan yang akan dinikahkan, ketika Islam datang praktek menikahkan tanpa persetujuan dari anak perempuan kemudian dilarang oleh Nabi Muhammad. C. Pandangan Wali Nikah Menurut Imam Syafi’i Menurut imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 232 sebagai berikut:
#sŒÎ) £ßγy_≡uρø—r& zósÅ3Ζtƒ βr& £èδθè=àÒ÷ès? Ÿξsù £ßγn=y_r& zøón=t6sù u!$|¡ÏiΨ9$# ãΛäø)¯=sÛ #sŒÎ)uρ ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ ßÏΒ÷σムöΝä3ΖÏΒ tβ%x. tΒ ÏµÎ/ àátãθムy7Ï9≡sŒ 3 Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ ΝæηuΖ÷t/ (#öθ|Ê≡ts? (٢٣٢ : ∪⊄⊂⊄∩ )ا &' ةtβθßϑn=÷ès? Ÿω ÷ΛäΡr&uρ ãΝn=÷ètƒ ª!$#uρ 3 ãyγôÛr&uρ ö/ä3s9 4’s1ø—r& ö/ä3Ï9≡sŒ 3 ÌÅzFψ$# Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S Al-Baqarah: 232).40 40
Depag RI, op.cit., hlm. 355.
33
Surat An-Nisa ayat 24 berbunyi
!$yϑÎ/uρ <Ù÷èt/ 4’n?tã óΟßγŸÒ÷èt/ ª!$# Ÿ≅āÒsù $yϑÎ/ Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’n?tã šχθãΒ≡§θs% ãΑ%y`Ìh9$# 4 ª!$# xáÏ ym $yϑÎ/ É=ø‹tóù=Ïj9 ×M≈sàÏ ≈ym ìM≈tGÏΖ≈s% àM≈ysÎ=≈¢Á9$$sù 4 öΝÎγÏ9≡uθøΒr& ôÏΒ (#θà)x Ρr& £èδθç/ÎôÑ$#uρ ÆìÅ_$ŸÒyϑø9$# ’Îû £èδρãàf÷δ$#uρ ∅èδθÝàÏèsù ∅èδy—θà±èΣ tβθèù$sƒrB ÉL≈©9$#uρ ∩⊂⊆∪ #ZÎ6Ÿ2 $wŠÎ=tã šχ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 ¸ξ‹Î6y™ £Íκön=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& ÷βÎ*sù ( ( ٢٤:)ا ء Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. An Nisa’: 24).41 Berdasarkan ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i wali adalah rukun nikah yang ada dalam pernikahan. Dengan adanya pandangan wali adalah salah satu rukun nikah, maka wali dalam pernikahan harus ada. Menurut Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun
41
Ibid., hlm. 82.
34
perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus Al-Khansa’a.42 D. Pandangan Wali Nikah menurut Imam Hanafi Abu Hanifah membolehkan perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis
atau
janda.
Hanya
saja
kalau
tidak
sekufu,
wali
berhak
membatalkannya. Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut abu hanifah diantaranya Surat Al-Baqarah ayat 230, 240. Ditambah dengan hadits tentang kasus Al-Khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi. Surat Al Baqarah yang menjadi dasar Abu Hanifah tersebut berbunyi sebagai berikut: 1. Surat Al-Baqarah 230
Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù 3 …çνuöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4®Lym ߉÷èt/ .ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù «!$# ߊρ߉ãn y7ù=Ï?uρ 3 «!$# yŠρ߉ãn $yϑŠÉ)ムβr& !$¨Ζsß βÎ) !$yèy_#utItƒ βr& !$yϑÍκön=tæ yy$uΖã_ (٢٣٠ : ∪⊃⊂⊄∩ )ا &' ةtβθßϑn=ôètƒ 5Θöθs)Ï9 $pκß]ÍhŠu;ムKemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Q.S Al Baqarah: 230).43 42
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet 2, hlm. 145. 43 Ibid., hlm. 36.
35
2. Surat Al-Baqarah 240
’n<Î) $·è≈tG¨Β ΟÎγÅ_≡uρø—X{ Zπ§‹Ï¹uρ %[`≡uρø—r& tβρâ‘x‹tƒuρ öΝà6ΨÏΒ šχöθ©ùuθtGムtÏ%©!$#uρ þ’Îû š∅ù=yèsù $tΒ ’Îû öΝà6ø‹n=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù zô_tyz ÷βÎ*sù 4 8l#t÷zÎ) uöxî ÉΑöθy⇔ø9$# ( ٢٤٠:× ∪⊃⊆⊄∩ )ا &' ةΛÅ6ym ͕tã ª!$#uρ 3 7∃ρã÷è¨Β ÏΒ ∅ÎγÅ¡à Ρr& Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al Baqarah: 240). Menurut Abu Hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas. Abu Hanifah dan Dawud membolehkan bagi seorang wanita yang bersatatus janda ketika ia melangsungkan pernikahan kembali tanpa harus memakai wali. Berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
*ﱠ) ﱠ8 ْ 1ِ َV ِ #ْ َ ِ W ﱢ ُ= أَ َ ﱡ4َ ْ *ﱠ َ= َ َل ا-َ َو7ِ ْ *َ َ ُﷲ َ (`ي1 H َ )رواه اVُ[ َ 8 ُ َVُ<َوإِ ْذ
َل ﱠ,ُ-س أَ ﱠن َر ِﷲ ٍ َ ْ ا ْ ِ َ &ﱠ َV ِ #ْ َ< ِ( َ^ْ َذ ُنH ْ ُ[ ُ Iْ ِ&ْ َ َواVَو ِ ﱢ
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janda `itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya.”44
44
Imam At Turmudhi, Sunan Turmudhi, (Beirut: Al Arabiya, t.th), hlm. 245.
36
*ﱠ) ﱠ8 َل ﱠ,ُ-س أَ ﱠن َر a َ َ *ﱠ َ= َ َل-َ َو7ِ ْ َ* َ ُﷲ َ ِﷲ ِ ﱠ ﱢb ا0َ 1َ ِ ﱢ,َ *ْ ِ cْ ٍ َ ْ ا ْ ِ َ &ﱠ (دود وا ئ, رھَ )رواه ا ُ َ إِ ْ َ اVُH ْ 8 َ ُ َو1َ ْ^َH ْ ُ[ ُ/ َ ِHَ ْ ٌ َوا1ْ َأ Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wali tidak memiliki kuasa memaksa terhadap seorang janda, dan seorang wanita yatim dimintai pertimbangannya, dan diamnya adalah persetujuannya.”45
45
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Darul Ihya’ al-Kutub Arabi), Juz II, hlm. 154.
BAB III GAMBARAN OTORITAS WALI DALAM PERNIKAHAN TERHADAP GADIS DAN JANDA MENURUT PENDAPAT SYAFI’IYAH DAN HANAFIYAH
A. Biografi dan Pendapat Imam Syafii 1. Latar Belakang Imam al-Syafi'i adalah imam ketiga dari empat imam madzhabi menurut urutan kelahirannya.1 Nama lengkap Imam al-Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al- Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.2 Imam al-Syafi'i Lahir di Ghaza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H/767 M, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun 204 H/820 M.3 Imam al-Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan
1
Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat Imam Madzhabi", (Jakarta: Pustaka Qalami, 2003), hlm. 127. 2 Syeikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60, "Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm. 355. 3 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 27.
37
38
berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan mereka. Imam al-Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal alQur'an dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian menghafal hadiś. Ia menerima hadits dengan jalan membaca dari atas tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat dipakai.4 Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam al-Syafi'i tinggal di pedusunan itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah kabilah Huzail itu, amat
indah susunan
bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam al-Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal hadits, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah. Imam al-Syafi'i belajar pada ulama-ulama Mekkah, baik pada ulama-ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadits, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam al4
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 17.
39
Syafi'i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.5 Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah al-Munawwarah ada seorang ulama besar yaitu Imam Malik, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadits. Imam al-Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu menghafal
al-Muwatta'’,
susunan Imam Malik yang telah berkembang pada masa itu. Kemudian ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur Mekkah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping mempelajari
al-
Muwatta'’. Imam al-Syafi'i mengadakan mudarasah dengan ImamMalik dalam masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam al-Syafi'i telah
mencapai usia
dewasa dan matang.6 Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam alSyafi'i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan sunnah atau metode istinbat (ushul fiqih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam al-Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul 5
Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 28. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 480 - 481. 6
40
fiqih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang ahli hadits bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar Imam al-Syafi'i menyusun metodologi istinbat.7 Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M, ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan buku itu disusun ketika Imam alSyafi'I berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada di Mekkah. Imam al-Syafi'i memberi judul bukunya dengan "alKitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku), kemudian lebih dikenal dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat." Dinamakan demikian, karena buku itu merupakan surat Imam al-Syafi'i kepada Abdurrahman bin Mahdi. Kitab al-Risalahyang pertama ia susun dikenal dengan ar-Risalah al-Qadimah (Risalah Lama). Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah-buah pikiran: Imam al-Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah al-Jadidah(Risalah Baru). Jumhur ulama ushulfiqih sepakat menyatakan bahwa kitab ar-Risalahkarya Imam al-Syafi'i ini merupakan kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.8
7
Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 29. Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar,2006, hlm. 361. 8
41
2. Pendidikan Imam al-Syafi'i menerima fiqih dan hadits dari banyak guru yang masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat berjauhan bersama lainnya. Imam al-Syafi'i menerima ilmunya dari ulamaulama Mekkah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan ulamaulama Yaman.9 Ulama Mekkah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan IbnUyainah, Muslim ibn Khalid al-Zanzi, Said ibn Salim al-Kaddlah, Daud ibn abdRahman al-Atthar, dan Abdul Hamid ibn Abdul Azizi Ibn Abi Zuwad. Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Imam Malik ibn Annas, Ibrahim ibn Saad al-Anshari Abdul Aziz ibn Muhammad adDahrawardi, Ibrahim ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad ibn Said Ibn Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi’ teman ibn Abi Zuwaib. Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf ibn Mazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn abi Salamah, teman Auza’in dan Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits. Ulama-ulama Iraq yang menjadi gurunya ialah: Waki’ ibn Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, dua ulama Kuffah Ismail ibn ‘Ulaiyah dan Abdul Wahab ibn Abdul Majid, dua ulama Basrah. Juga menerima ilmu dari Muhammad ibn al-Hasan yaitu dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya. Dari padanyalah dipelajari fiqih Iraqi.10
9 10
Mahmud Syalthut, op.cit., hlm. 18. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm, 486-487.
42
Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H Imam al-Syafi'i kembali ke Makah. Di Masjidil Haramia mulai mengajar dan mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197 H), dan akhirnya di Mesir (198-204 H). Dengan demikian ia sempat membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhabi Hanbali), Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270 H). tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam alSyafi'i.11 Imam al-Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 30 Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.12 3. Karya Karya-karya Imam al-Syafi'i yang berhubungan dengan judul di atas di antaranya: 11
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 1680. 12 Ibid., hlm. 18.
43
a. Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam al-Syafi'i secara sistematis sesuai dengan bab-bab fiqih dan menjadi rujukan utama dalam Madzhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam al-Syafi'i dalam berbagai masalah fiqih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam al-Syafi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fiqih Imam al-Syafi'i yang berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.13 b. Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali dikarang dan karenanya Imam al-Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi'i dalam menetapkan hukum.14 c. Kitab Imla al-Shagir, Amali al-Kubra, Mukhtasar al-Buwaithi, Mukhtasar al-Rabi, Mukhtasar al-Muzani, kitab Jizyah, kitab tafsir, sastra, dan lain-lain. 4. Pendapat Imam Syafi’I tentang Wali Nikah Bagi Gadis dan Janda Imam al-Syafi'i berpendapat tentang wali nikah bagi gadis dan janda sebagaimana ia tegaskan dalam kitabnya: Dan tidak boleh bagi bapak (sebagai wali nikah) mengawinkan (anaknya) apabila dia (anak perempuan) itu sudah tsayyib (janda), walaupun dia (anak perempuan) itu di bawah umur. Sesungguhnya 13 14
Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm, 488. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 131-132.
44
bapak itu mengawinkan yang masih kecil, apabila dia itu bikr gadis), karena tiada urusan baginya pada dirinya, apabila dia masih kecil dan tiada yang dewasa bersama bapaknya. Tiadalah bagi seseorang selain bapak, bahwa mengawinkan wanita bikir dan wanita tsayyib (janda) yang masih kecil, yang tiada izinnya dan tiada dengan tiada izinnya. Tiadalah yang bukan bapak itu mengawinkan akan seseorang dari keduanya itu, sehingga ia dewasa. Lalu la mengizinkan mengenai dirinya kalau dikawinkan oleh seseorang yang bukan bapak, akan wanita kecil. Maka perkawinan itu dibatalkan. Keduanya tidak pusaka mempusakai dan tidak jatuh kepadanya talak. Hukumnya itu hukum perkawinan batal pada semua urusannya, yang tidak terjadi padanya talaq dan pusaka. Bapak dan yang lain dari bapak dari wali-wali mengenai wanita tsayyibitu sama. Tidak dikawinkan oleh seseorang akan wanita tsayyib, selain dengan izinnya. Dan izinnya itu perkataan. Dan izin wanita bikiritu diam. Apabila dikawinkan oleh bapak akan wanita tsayyib dengan tidak setahunya, maka perkawinan itu dibatalkan. Setujukah wanita itu kemudian atau tidak setuju. Seperti demikian juga, wali-wali yang lain mengenaiwanita bikir dan wanita tsayyib.15 Berdasarkan penjelasan Imam Syafi’i di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Imam Syafi’i ada perbedaan otoritas wali nikah terhadap gadis dan janda. Ketika seorang gadis menikah maka wali atau orang tua mempunyai otoritas yang tinggi dalam menikahkan anak gadisnya yaitu boleh memaksa jika tidak mau menikah karena anak perempuan tersebut masih dibawah kekuasaan orang tua. Akan tetapi ketika anaknya sudah janda baik jandanya masih di bawah umur atau sudah dewasa, orang tua tidak berbak memilih hanya sebatas pesetujuan dalam pernikahan anak yang sudah janda tersebut karena anak yang sudah janda itu bukan lagi di bawah kuasa dari orang tua.
15
Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. 5, (Beirut: DârulKutub al-Ilmiah, tth), hlm. 20.
45
B. Biografi dan Pendapat Imam Hanafi 1. Latar Belakang Sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat Islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.16 Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri. Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga 16
Jam 14.00.
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.html Tanggal 20/09/2015
46
mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i “Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh“. Karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang didalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.17 2. Pendidikan Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulamaulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.
17
Jam 14.00.
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.html Tanggal 20/09/2015
47
Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah. Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.18 3. Karya Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam Hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar. Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan jenazah beliau secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”
18
Jam 14.00.
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-imam-hanafi.html Tanggal 20/09/2015
48
Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah. Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.19 4. Pendapat Imam Hanafi tentang Wali Nikah Bagi Gadis dan Janda Abu Hanifah, Zufar, Sya’by dan Zuhry berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, asal saja calon suami itu kufu (mempunyai kedudukan yang sederajat = setara). Kesepadaan (kekufuan), para ulama memandang penting adanya kafa’ah hanya pada laki-laki dan tidak pada wanita. Sebab, kaum laki-laki (berbeda dengan kaum wanita) tidak direndahkan jika mengawini wanita yang lebih rendah derajat dari dirinya.20 Abu Hanifah dan Abu Yusuf malahan mengatakan wanita yang baligh dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri dan anak perempuannya yang masih belum dewasa (kecil) dan dapat juga sebagai
19
http://kisahmuslim.com/biografi-imam-abu-hanifah/ Tanggal 20/09/2015 Jam 15.25
WIB 20
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet 2, hlm, 131-134.
49
wakil dari orang lain.21 Hal tersebut yang menjadi landasan Abu Hanifah adalah ayat dari Surat Al Baqoroh ayat 230 berbunyi:
Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù 3 …çνuöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4®Lym ߉÷èt/ .ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù «!$# ߊρ߉ãn y7ù=Ï?uρ 3 «!$# yŠρ߉ãn $yϑŠÉ)ムβr& !$¨Ζsß βÎ) !$yèy_#utItƒ βr& !$yϑÍκön=tæ yy$uΖã_ (٢٣٠ :ة
∪⊃⊂⊄∩ )اtβθßϑn=ôètƒ 5Θöθs)Ï9 $pκß]ÍhŠu;ãƒ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukumhukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Q.S Al Baqarah: 230). Selain itu pula sebagai landasan bahwa wali dalam nikah menurut Abu Hanifah adalah sunnah. Hal tersebut dijelaskan dalam Hadits Nabi sebagai berikut:
)!ﱠ( ﱠ س أَ ﱠن َر"ُ* َل ﱠ /ْ 0ِ َ ِ ْ َ ِ َو َ"!ﱠ َ َ َل ا ْ َ ﱢ ُ أَ َ ﱡ$ِ %ْ !َ &َ ُﷲ َ ِﷲ ٍ َ& ﱠ/ِْ ا/َْ & (<ي0 9 ُ َ )رواه ا1 2َ ) ُ َ ُ3َ ْ ِ َ َوإِ ْذ3 6ِ7 ْ َذ ُن8َ9 ْ ُ1 ُ :ْ ِ ْ ﱢ َ َوا%ِ َو Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janda `itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya.”22
21 22
Ibid., hlm. 135. Imam At Turmudhi, Sunan Turmudhi, (Beirut: Al Arabiya, t.th), hlm. 245.
BAB IV ANALISIS OTORITAS WALI DALAM PERNIKAHAN TERHADAP GADIS DAN JANDA (STUDI KOMPARASI PENDAPAT SYAFI’IYAH DAN HANAFIYAH)
A. Analisis Pendapat Madzhab Syafi’iyah Tentang Otoritas Wali Nikah Dalam Menikahkan Anak Gadis Dan Janda Dalam pernikahan terdapat beberapa syarat dan rukun dalam pernikahan. Salah satu syarat dan rukun tersebut adalah wali nikah. Adanya wali nikah ini terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan itu rukun dalam pernikahan dan ada juga yang mengatakan sunah dalam pernikahan. Madzhab Syafi’iyah mengatakan wali dalam pernikahan itu hukumnya adalah wajib karena sebagai rukun dalam pernikahan. Hal tersebut berdasarkan dasar-dasar sebagai berikut: Surat Al-Baqarah: 232 sebagai berikut:
#sŒÎ) £ßγy_≡uρø—r& zósÅ3Ζtƒ βr& £èδθè=àÒ÷ès? Ÿξsù £ßγn=y_r& zøón=t6sù u!$|¡ÏiΨ9$# ãΛäø)¯=sÛ #sŒÎ)uρ ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ ßÏΒ÷σムöΝä3ΖÏΒ tβ%x. tΒ ÏµÎ/ àátãθムy7Ï9≡sŒ 3 Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ ΝæηuΖ÷t/ (#öθ|Ê≡ts? (٢٣٢ :ة
∪⊄⊂⊄∩ )اtβθßϑn=÷ès? Ÿω ÷ΛäΡr&uρ ãΝn=÷ètƒ ª!$#uρ 3 ãyγôÛr&uρ ö/ä3s9 4’s1ø—r& ö/ä3Ï9≡sŒ 3 ÌÅzFψ$#
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S Al-Baqarah: 232).1 1
Depag RI, op.cit., hlm. 355.
50
51
Surat An-Nisa ayat 24 berbunyi
!$yϑÎ/uρ <Ù÷èt/ 4’n?tã óΟßγŸÒ÷èt/ ª!$# Ÿ≅āÒsù $yϑÎ/ Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’n?tã šχθãΒ≡§θs% ãΑ%y`Ìh9$# 4 ª!$# xáÏ ym $yϑÎ/ É=ø‹tóù=Ïj9 ×M≈sàÏ ≈ym ìM≈tGÏΖ≈s% àM≈ysÎ=≈¢Á9$$sù 4 öΝÎγÏ9≡uθøΒr& ôÏΒ (#θà)x Ρr& £èδθç/ÎôÑ$#uρ ÆìÅ_$ŸÒyϑø9$# ’Îû £èδρãàf÷δ$#uρ ∅èδθÝàÏèsù ∅èδy—θà±èΣ tβθèù$sƒrB ÉL≈©9$#uρ ∩⊂⊆∪ #ZÎ6Ÿ2 $wŠÎ=tã šχ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 ¸ξ‹Î6y™ £Íκön=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& ÷βÎ*sù ( ( ٢٤:)ا ء Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (QS. An Nisa’: 24).2 Berdasarkan ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i wali adalah rukun nikah yang ada dalam pernikahan. Dengan adanya pandangan wali adalah salah satu rukun nikah, maka wali dalam pernikahan harus ada. Tentang kewenangan dalam wali nikah menurut Imam Syafi’i terdapat perbedaan antara wali nikah terhadap gadis dan janda. Menurut Imam Syafi’i ketika seorang gadis menikah maka wali atau orang tua mempunyai otoritas yang tinggi dalam menikahkan anak gadisnya yaitu boleh memaksa jika tidak mau menikah karena anak perempuan tersebut masih
2
Ibid., hlm. 82.
52
dibawah kekuasaan orang tua. Akan tetapi ketika anaknya sudah janda baik jandanya masih di bawah umur atau sudah dewasa, orang tua tidak berbak memilih hanya sebatas pesetujuan dalam pernikahan anak yang sudah janda tersebut karena anak yang sudah janda itu bukan lagi di bawah kuasa dari orang tua. B. Analisis Pendapat Madzhab Hanafiyah Tentang Otoritas Wali Nikah Dalam Menikahkan Anak Gadis Dan Janda Berdasarkan penjelasan-penjelasan di bab II dan bab III, maka perlu adanya analisis terhadap pendapat Madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda. Menurut Imam Hanafi bahwa perwalian dalan nikah hukumnya adalah sunah yaitu boleh ada dan boleh tidak ada. Hal tersebut mempunyai dasar dalam Surat Al-Baqarah ayat 230, 240 serta mengartikan “al-aima” adalah wanita yang tidak mempunyai suami baik gadis maupun janda. Ditambah dengan hadits tentang kasus AlKhansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi. Adapun dasar-dasar yang menyatakan bahwa nikah itu hukumnya sunah sebagai berikut: 1. Surat Al-Baqarah 230
Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù 3 …çνuöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4®Lym ߉÷èt/ .ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)¯=sÛ βÎ*sù «!$# ߊρ߉ãn y7ù=Ï?uρ 3 «!$# yŠρ߉ãn $yϑŠÉ)ムβr& !$¨Ζsß βÎ) !$yèy_#utItƒ βr& !$yϑÍκön=tæ yy$uΖã_ (٢٣٠ :ة
∪⊃⊂⊄∩ )اtβθßϑn=ôètƒ 5Θöθs)Ï9 $pκß]ÍhŠu;ãƒ
53
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukumhukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Q.S Al Baqarah: 230).3 2. Surat Al-Baqarah 240
’n<Î) $·è≈tG¨Β ΟÎγÅ_≡uρø—X{ Zπ§‹Ï¹uρ %[`≡uρø—r& tβρâ‘x‹tƒuρ öΝà6ΨÏΒ šχöθ©ùuθtGムtÏ%©!$#uρ þ’Îû š∅ù=yèsù $tΒ ’Îû öΝà6ø‹n=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù zô_tyz ÷βÎ*sù 4 8l#t÷zÎ) uöxî ÉΑöθy⇔ø9$# ( ٢٤٠:ة
× ∪⊃⊆⊄∩ )اΛÅ6ym ͕tã ª!$#uρ 3 7∃ρã÷è¨Β ÏΒ ∅ÎγÅ¡à Ρr&
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al Baqarah: 240). Sedangkan dasar dari hadits adalah sebagai berikut:
ﱠ+ﱠ$, ْ ِ َ ِ ْ َ ِ ﱠ َ "َ َل ا ْ َ ﱢ ُ أَ َ ﱡ$%َ ْ( ِ' َو$َ )َ ُﷲ َ ( =ي: ُ َ )رواه ا2 3َ , ُ َ ُ4َوإِ ْذ
َل ﱠ-ُ%س أَ ﱠن َر ِﷲ ٍ َ) ْ ا ْ ِ َ) ﱠ َ ِ ْ َ4 7ِ8 ْ َذ ُن9َ: ْ ُ2 ُ ;ْ ِ ْ َو ِ(ﱢ َ َوا
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janda `itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya.”4
3
Ibid., hlm. 36. Imam At Turmudhi, Sunan Turmudhi, (Beirut: Al Arabiya, t.th), hlm. 245.
4
54
ﱠ+ﱠ$, َل ﱠ-ُ%َر @ َ (َ ﱠ َ "َ َل$%َ َ ْ( ِ' َو$)َ ُﷲ َ ِﷲ ِ ﱠ(ﱢA اBَ َ 7 ِ ﱢ-َ $ْ ِ ?ْ (دود وا ئ- رھَ )رواه ا ُ ُ َ إِ ْ" َ ا:3ْ , َ ُ َو
س أَ ﱠن ٍ َ) ْ ا ْ ِ َ) ﱠ َ ْ9َ: ْ ُ2 ُD3َ (ِ:(َ ْ أَ ْ ٌ َوا
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wali tidak memiliki kuasa memaksa terhadap seorang janda, dan seorang wanita yatim dimintai pertimbangannya, dan diamnya adalah persetujuannya.”5 Menurut Abu Hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dianalisis bahwa pendapat hanafiyah menyatakan bahwa wali dalam nikah itu hukumnya adalah sunah. Sedangkan otoritas atau kewenangan wali dalam pernikahan ada dua yaitu ketika menikahkan anak gadisnya cukup minta persetujuan anak gadisnya walau cukup dengan diam, tetapi kalau menikahkan anak yang janda, maka harus ada kata-kata yang jelas dari anak tersebut, karena menurut Imam Hanafi bahwa anak perempuan baik gadis maupun janda dapat menikah sendiri dengan wali yang mereka kehendaki dengan syarat sekufu atau sepadan.
5
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Darul Ihya’ al-Kutub Arabi), Juz II, hlm. 154.
55
C. Analisis Perbedaan Pendapat Antara Madzhab Syafi’iyah Dan Madzhab Hanafiyah Tentang Otoritas Wali Nikah Dalam Menikahkan Anak Gadis Dan Janda. Berdasarkan analisis tersebut di atas tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda menurut Madzhab Syafi’iyah dan Madzhab Hanafiyah ada beberapa perbedaan yaitu sebagai berikut: 1. Wali nikah dalam pernikahan menurut Madzhab Syafi’iyah adalah wajib sedangkan dalam Madzhab Hanafiyah hukumnya adalah sunah. Pandangan Madzhab Syafi’iyah tersebut Surat Al-Baqarah: 232 dan Surat An-Nisa ayat 24. Sedangkan pandangan Madzhab Hanafiyah menyatakan hukum tersebut adalah dari Surat Al-Baqarah ayat 230, 240, hadits Nabi yang menceritakan kasus Al-Khansa’a, dan hadits yang diriwayatkan Turmudhi, dan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan An Nasa’i. 2. Otoritas wali dalam menikahkan anak gadis dan janda menurut Madzhab Syafi’iyah adalah hak wewenang wali terhadap gadis boleh sampai memaksa karena anak gadis masih kuasa atau tanggungan orang tua, tetapi kalau wewenang wali terhadap janda baik di bawah umur maupun sudah dewasa, maka hanya minta persetujuannya. Sedangkan otoritas wali dalam menikahkan anak gadis dan janda menurut Madzhab Hanafiyah adalah ketika menikahkan anak gadisnya minta persetujuan terhadap anak gadis walau hanya diam, tetapi ketika menikahkan anak yang janda maka secara jelas minta persetujuan dari anak tersebut.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan teori dan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pendapat Madzhab Syafi’iyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda bahwa hukum wali dalam pernikahan adalah wajib karena termasuk dalam syarat dan rukun nika. Tentang otoritasnya ada perbedaan yaitu ketika seorang gadis menikah maka wali atau orang tua mempunyai otoritas yang tinggi dalam menikahkan anak gadisnya yaitu boleh memaksa jika tidak mau menikah karena anak perempuan tersebut masih dibawah kekuasaan orang tua. Akan tetapi ketika anaknya sudah janda baik jandanya masih di bawah umur atau sudah dewasa, orang tua tidak berbak memilih hanya sebatas pesetujuan dalam pernikahan anak yang sudah janda tersebut karena anak yang sudah janda itu bukan lagi di bawah kuasa dari orang tua. 2. Pendapat Madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda berpendapat bahwa wali dalam nikah hukumnya sunah, tentang otoritas wali dalam pernikahan yaitu ketika menikahkan anak gadisnya cukup minta persetujuan anak gadisnya walau cukup dengan diam, tetapi kalau menikahkan anak yang janda, maka harus ada kata-kata yang jelas dari anak tersebut, karena menurut Imam Hanafi
56
57
bahwa anak perempuan baik gadis maupun janda dapat menikah sendiri dengan wali yang mereka kehendaki dengan syarat sekufu atau sepadan. 3. Perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’iyah dan madzhab Hanafiyah tentang otoritas wali nikah dalam menikahkan anak gadis dan janda yaitu pertama wali nikah dalam pernikahan menurut Madzhab Syafi’iyah adalah wajib sedangkan dalam Madzhab Hanafiyah hukumnya adalah sunah. Kedua adalah otoritas wali dalam menikahkan anak gadis dan janda menurut Madzhab Syafi’iyah adalah hak wewenang wali terhadap gadis boleh sampai memaksa karena anak gadis masih kuasa atau tanggungan orang tua, tetapi kalau wewenang wali terhadap janda baik di bawah umur maupun sudah dewasa, maka hanya minta persetujuannya. Sedangkan otoritas wali dalam menikahkan anak gadis dan janda menurut Madzhab Hanafiyah adalah ketika menikahkan anak gadisnya minta persetujuan terhadap anak gadis walau hanya diam, tetapi ketika menikahkan anak yang janda maka secara jelas minta persetujuan dari anak tersebut B. Saran-Saran Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Kepada
orang
tua,
bahwa
orang
tua
merupakan
orang
yang
bertanggungjawab pada anak perempuannya, maka dalam menikahkan anak perempuan tersebut harus sesuai dengan syarat dan rukunnya. 2. Kepada Masyarakat bahwa kita sebagai manusia sosial tidak lepas dari peraturan agama, untuk itu kita dalam melakukan sesuatu dalam kehidupan
58
sehari-hari berlandaskan peraturan yang ada dalam masyarakat dan agama yang kiat anut. C. Kata Penutup Dengan asma Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, segala puji syukur kepada Allah SWT yaitu Tuhan pencipta alam semesta. Dan kami mohon rahmat serta salam untuk baginda Rosul yang paling mulia sebagai pemimpin umat manusia. Selanjutnya sebagai hamba yang penuh dengan keterbatasan, tentunya dalam penelitian ini banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, karena hasil karya seseorang pasti terbatasi dengan ruang dan waktu. Oleh karena itu kritik dan saran konstuktif yang penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini. Akhirnya dengan mengharap ridho Allah swt, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca yang ingin mengambil manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999 Al-Bikri, Sayyid Al Bakar Al-Manshur bil Sayyid I' anatu Al-Thalibin, Juz 39, Surabaya: Al- idayah, Tth Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail, Sahih al-Bukhari Beirut: Dar Ihya al-Kutub Arabi Al-Ghazzi, Syekh Muhammad bin Qasim, Fath al-Qarib, Surabaya: Al Hidayah, t.th Al-Habsy, Muhammad Bagir, Fiqh Praktis: Bandung: Mizan, 2002 Al-khathib, Syaikh Muhammad As-sabini Al-Aqna' Juz 1, Semarang: Toha Putra Tth Al-Malibary, Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz Fath al- Mu’in, (Surabaya: Al Hidayah, t.th Al-Sa’any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo: Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby, 1379H/1960M Al-Syairazi, Abi Ishak, Al-Muhaddzab fi Fiqh Imâm al-Syafi’î, Semarang: Thaha Putra t.t. Al-Zuhaylî, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillahtuh, Bayrût: Dâr al-Fikr, 2004 Aminudin, Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999 Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. I, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1980 Departemaen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan agama Islam, 2003
Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 1990 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Perca, 1989 Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Depag RI, 1985 Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978 Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000 Hidayat, Taufiq, Rekonstruksi Konsep Ijbar, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1Nomor 2 2009 Imam At Turmudhi, Sunan Turmudhi, Beirut: Al Arabiya, t.th Imron, Ali, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Keluarga, (Perspektif Al-qur’an melalui pendekatan Ilmu Tafsir, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 Junaidi, Dedy, Bimbingan Perkawinan, Jakarta: Akademi Pressindo, 2003 Mawardi, Hukum Perwalian dalam Islam, Yogyakarta: UGM, 1975 Muchtar, Kamal, Azas-Azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Yogyakarta: Tiga A, 1974 Mukhtar, Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah, Jakarta: Gaung Persada Press, 2009 Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradialn Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Sosroatmodjo, Arso dan A.Wasit Aulawi, Hukum Pernikahan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2008 Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004 Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986
UU No. 1 Th. 1974, Undang-Undang Perkawinan, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, tt Yayasan Penyelenggara/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1986 Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990 Zahrah, Abû, Al-Ahwal al-Syahsiyah, Beirût: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1957
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap
: NOR ICHSAN
NIM
: 1211074
Alamat
: Desa Bugel RT. 06/02 Kedung Jepara
Tempat Tgl lahir
: Jepara, 12 Agustus 1971
Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-Laki Laki
Riwayat Pendidikan Formal 1. SD Negeri 01 Sowan Lor Kedung Jepara Lulus Tahun 1984 2. MTs. Matholi’ul Huda Bugel Kedung Jepara Lulus Tahun 1987 19 3. PGAN Kudus Lulus Tahun 1991 199 Riwayat Pekerjaan PNS pada Kantor Kementerian ementerian Agama Kabupaten Jepara pada bagian Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Pesant
Demikian riwayat penulis dibuat dengan sesungguhnya dan apabila terdapat kekurangan harap maklum.
Jepara, September 2015 Penulis
NOR ICHSAN NIM.1211074