STUDI ATAS PENDAPAT AL-IMAM AN-NAWAWI DALAM KITAB AL-MAJMU’ SYARH AL-MUHAZZAB TENTANG HAK ḤAḌĀNAH KARENA ISTRI KAFIR SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 ( S.1 ) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: MOHAMMAD TAUFIQUL HUDA NIM : 0 6 2 1 1 1 0 1 4
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
ii
iii
MOTTO
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
iv
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, berkat do’a dan segenap asa merayu nan suci teruntuk mereka yang arif, maka skripsi ini penulis persembahkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah dan tali kasih pada hambanya, kepada:
Orang
tuaku, ayahanda tercinta Sujoko Khairil Anwar Alm. yang selalu
menjadi inspirasi, dan menjadi spirit penulis dalam segala hal. Doaku selalu menyertaimu ayahanda dan semoga Engakau diberikan tempat yang terbaik di sisi Allah SWT, love you Dad. Ibunda tersayang Su’aidah yang tak lelah memberikan motivasi, materi, dan mendoakan dengan kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik serta senantiasa mengharapkan kesuksesan untuk putra-putrinya. Ta’dzimku untukmu. Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.
Adik-adikku,
Durrotun Nihlah, Ulfatun Masruroh, yang selalu menghiburku
dan membuatku sadar akan sebuah cita-cita yang besar. Thank’s to all.
Sandaran dan penyejuk hatiku terima kasih atas segala dukungan, pengertian, dan motivasinya selama ini. Semoga Allah SWT selalu menyertai langkahmu.
Guru-guruku di seluruh jenjang pendidikan yang telah membekali ilmu yang bermanfaat baik akademik maupun non akademik dan mendidikku dengan penuh kesabaran serta memberikan barokah doa padaku.
Semua rekan-rekan yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi
yang
terdapat
dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 21 Juni 2011 Deklarator
Mohammad Taufiqul Huda NIM: 0 6 2 1 1 1 0 1 4
vi
ABSTRAK
Dalam Islam, Mengasuh dan memelihara anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab kedua orang tua. Jika terjadi perceraian yang disebabkan karena istri kafir, maka terdapat perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya istri melaksanakan pengasuhan terhadap anaknya. Sebagian ulama’ mazhab yaitu alImam al-Malik dan al-Imam al-Hanafi membolehkan isteri kafir melakukan ḥaḍānah dengan alasan karena ibu mempunyai kasih sayang yang lebih kepada anaknya. Akan tetapi al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya majmu’ syarh almuhazzab, berpendapat bahwa hak ḥaḍānah tidak ditetapkan bagi isteri yang kafir dikarenakan khawatir akan dapat mempengaruhi keimanan atau agama anak. Selain itu ḥaḍānah merupakan masalah perwalian, seperti dalam hal perkawinan ataupun harta benda dan Allah SWT melarang orang Islam berada dibawah perwalian orang kafir. Berdasarkan pemaparan di atas, pokok masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pendapat al-Imam an-Nawawi mengenai hak ḥaḍānah karena istri kafir? Kemudian bagaimana metode istinbaṭ yang digunakan al-Imam an-Nawawi terhadap hak ḥaḍānah karena istri kafir? Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian, sedangkan metode yang digunakan oleh penulis yaitu dengan library research. Data primer yang digunakan adalah kitab al-Majmu’ Syarh alMuhazzab, sedangkan data sekunder adalah semua bahan informasi yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam skripsi ini. Data-data yang terkumpul disusun dan disistematisir dan selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif analisis dan pendekatan yang bersifat normatif. Berdasarkan hasil analisis, penulis menyimpulkan bahwa al-Imam anNawawi berpendapat hak ḥaḍānah itu akan gugur apabila pengasuhnya itu seorang yang kafir, alasannya adalah menjaga agama merupakan hal yang paling utama, karena apabila pemegang hak asuhnya itu kafir, Di samping itu juga pengasuhan bagi anak yang masih dalam masa penyusuan bisa dilakukan oleh ibu yang kafir. Tetapi setelah masa penyusuan itu selesai, maka hak asuhnya diberikan pada pihak lain yang beragama Islam (dalam ini diberikan kepada kerabatnya yang Islam). Jadi dalam hal ini perlu adanya hak asuh sementara. Dalam konteks Indonesia pendapat an-Nawawi ini bisa dijadikan sebagai legitimasi oleh hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan masalah ḥaḍānah karena istri kafir ini dengan mengelaborasikan pasal 156 poin (c) Kompilasi Hukum Islam yang menjadi landasan hukum di Indonesia. Al-Imam an-Nawawi menggunakan al-Qur’an dan hadits dalam pengambilan istinbaṭ hukumnya mengenai hak ḥaḍānah karena istri kafir. Karena persoalan hak ḥaḍānah karena istri kafir mengandung maslaḥah serta mafsadah, maka konsekwensi hukum yang dimunculkan dari hal ini adalah hukum yang ditetapkan berupa haram atau makruh. Oleh karena itu, penetapan hukum ḥaram merupakan hal yang wajar dan bisa diterima, dengan catatan yang dimaksud ḥaram di sini adalah ḥaram dalam konteks ḥaram li gairih.
vii
TRANSLITERASI A. Umum Transliterasi yang dimaksud di sini adalah pemindahalihan dari Bahasa Arab ke dalam tulisan Bahasa Indonesia, bukan terjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. B. Konsonan ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص
= Tidak dilambangkan =b =t = ts =j =ḥ = kh =d =ż =r =z =s = sy =ṣ
ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
=ḍ =ṭ =ẓ = ‘ (koma menghadap keatas) =g =f =q =k =l =m =n =w =h =ˈ =y
Hamzah ( )ءyang sering dilambangkan dengan alif, apabila terletak diawal kata maka dalam transliterasinya mengikuti vokalnya, tidak dilambangkan, namun apabila terletak di tengah atau di akhir kata maka dilambangkan dengan tanda koma diatas (ˈ), berbalik dengan koma (‘), untuk pengganti lambang “”ع. C. Vokal, panjang dan diftong Setiap penulisan Bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vokal fathah ditulis dengan “a”, kasrah dengan “i”, ḍammah dengan “u”, sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara sebagai berikut:
viii
Vokal (a) panjang
=ā
Misalnya
ﻗﺎ ل
Menjadi
qāla
Vokal (i) panjang
=ī
Misalnya
ﻗﯿﻞ
Menjadi
qīla
Vokal (u) panjang
=ū
Menjadi
دون
Menjadi
dūna
Khusus untuk bacaan ya’ nisbat, maka digantikan dengan “i”, Begitu juga untuk suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah ditulis dengan “au” dan “ai”. Perhatikan contoh berikut: Diftong (u)
=
و
Misalnya
ﻗﻮل
Menjadi
qaulun
Diftong (i)
=
ي
Misalnya
ﺧﯿﺮ
Menjadi
khairun
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim, Segala puji bagi Allah SWT. Yang senantiasa menerima taubat hambahamba-Nyayang ingin kebijakan, kedamaian, dan kesejahteraan hidup didunia dan akhirat. Sesungguhnya tiada kasih yang melebihi kasih Allah. Tiada perhatian yang mengungguli perhatian Allah. Adalah hamba yang bodoh bila tak tahu berterima kasih atas segala kemurahan dan karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah untuk baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Bagi penulis, penyusunan skripsi merupakan suatu tugas yang tidak ringan. Penulis sadar banyak hambatan yang menghadang dalam proses penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Suatu kebanggaan tersendiri jika suatu tugas dapat terselesaikan dengan sebaikbaiknya. Walaupun banyak halangan dan rintangan tetapi penulis yakin sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan niat dan semangat yang sangat besar dalam waktu yang cukup lama dan setelah melewati beragam tantangan atau kendala akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga menghasilkan karya tulis ini. Namun demikian penulis sangat menyadari bahwa hal tersebut tidak akan terwujud dengan baik manakala tidak ada bantuan yang telah penulis terima dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis menyampaikan rasa terimakasih secara tulus kepada:
x
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag Selaku Rektor IAIN Walisongo, Drs. H. Machasin, M.Si selaku PR II, Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.Ag selaku PR III. 2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak Saifullah M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III. 3. Bapak Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku pembimbing I, serta Muhammad Shoim, S.Ag., M.H. selaku pembimbing II, yang telah bersedia membimbing dalam proses penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya, serta saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari revisirevisinya, penulis juga bisa mengerti banyak hal tentang bagaimana menulis dengan baik dan juga mengetahui tentang dunia hokum, baik hukum positif maupun hukum Islam serta bahasan-bahasan lainnya. sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak pak, jasa Panjenengan sulit untuk penulis lupakan. 4. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku Kepala Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah dan Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal AlSyakhsiyah, selamat atas terpilihnya ibu “mengepalai” AS dan semoga bisa mengemban amanah dengan baik. Semoga Jurusan AS semakin lebih maju dan lebih baik tentunya. 5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang terima kasih yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini.
xi
6. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan Fakultas Syariah, terimakasih banyak atas pinjaman bukunya Pak. 7. Sembah sujud saya haturkan kepada Orang Tua kami tercinta, terutama ibu saya yang telah mencurahkan kasih sayang, memberikan dukungan serta do’anya dan semuanya yang tak ternilai, adik dan keponakan-keponakanku, dan sahabat-sahabatku yang selalu mendukung dan mendo’akan tiap langkah penulis. Tiada kata-kata yang dapat saya ungkapkan karena begitu besar pengorbanan, perhatian, motivasi dan bimbingan hingga penulis bisa sampai pada saat ini. 8. Kepada mas-masku dan mbak-mbaku ponakan, Mas Ulin, Mas Faris, Mas Farid, Mas Dul, Mas Mail, Mbak Nining, Mbak Utik, Mbak Widya, Mbak Zum, yang tercinta dan tersayang terima kasih atas masukan-masukannya, untuk Mas Irin dan Mba Nik terima kasih banyak atas arah-arahannya selama di Semarang, untuk Mas Udin terima kasih atas motivasi selama ini, darimu saya tahu bagaimana berorganisasi dengan baik dan juga terima kasih atas masukan-masukannya dalam skripsi penulis. 9. Pengurus PMII Rayon Syari’ah periode 2008-2009. Yayan, Fian, Nikmah, Ubed, Ani “Komting”, Hima “Atul”, Ani “Bendum”, Uswatun pengantin baru, Tamam Ucil, you’re my friends. 10. Mantan Pengurus PMII Komisariat Walisongo 2009. Sahabat Naryoko, Rofiq, Arifin, Supri “Nggacuk” yang selalu buat penulis tertawa, Pidul, Uplik, dll. Tetap semangat sahabat tangan terkepal dan maju ke muka.
xii
11. Pengurus DEMA 2010, si Zaki Jeknong, Arifuddin, Tabi’in, Coco (tiga bersaudara harus rukun ya), dll. Tetaplah berjuang, tetap semangat. 12. Senior-senior PMII, Mas Ricard, Mas Saifuddin, Mas Gupong, Mbak Evi, Mbak Ovi, Mas Iman, Mbak Viroh, Mas Qosim (Al-Khos), Mas Koyin, Mas Yoni dll. Terima kasih telah memberikan penulis arti tentang kehidupan kampus. 13. Adik-adikku pengurus Rayon Syariah 2010, Arif Kera Slanker’s, Endang, Asiroh al-Ebeli, Aslamiyah, Aqil, Juki, Nirma dll. Teruslah Berjuang. 14. Pengurus JQH dan demisionernya, Mas Qosim, Mbak Laili, Munif, Anam, Sofil dengan suara emasnya, Qodir, Huda, ayo kapan kita RnBnan bareng, untuk adek-adek pengurus, Munir dan para “bolo kurawa”nya tetap berjuang. 15. Konco-konco” NAFILAH, Dur Gedhe, Dora (Dur Cilik), Jahid dengan katakatanya yang “ngereff”, Mas Ahlisin dengan panggilan Ustadz kalo di PKM, Misbah dengan ta’dzimnya sampai yang bicara padanya jadi “pekewoh”, “gojekan-gojekan” kepada kalian tak terlupakan. 16. Teman-teman satu angkatan 2006 Jurusan AS A, Khairul Anam biasa dipanggil Ghanam seorang Pujangga yang “nylempang” dengan saduran puisi-puisinya, Suyanto si Raja “Sok Yes” dan Qori’, Mughni al-Mukorex si roker dari Batang yang juga pujangga malam alias Lowo” yang gak karuan kocaknya dengan slempangannya juga, Misbahul Huda sang Vokalis RnB JQH dengan panggilan akrabnya TAHU, Galih Gendut yang sok imut ketawamu bikin orang sakit perut karena ketawanya yang “kepingkel-pingkel” sampai perutnya bergoyang, Tamam “Ucil/Mamat” dengan wajah bocahnya
xiii
tapi tua umurnya, Vian dengan panggilannya Al-Jancukinya yang kontroversi dan terkadang ada lucunya sedikit, Syaifuddin Blenko yang juga termasuk golongan tua dan Khanif dengan gaya berjalannya “undal-undul” The Girls of ASA 06‘ Ani, Nailul, Irma, Leni, Inayah, Nikmah kalian adalah dulunya dianggap sebagai the best beautiful woman di Syari’ah 2006 kata orang-orang, kalian semua tidak akan terlupakan, ayo kumpul-kumpul bareng lagi. 17. “Bolo-Bolo” KOS KORUT 122, Pian, Tamam, Husein, Aqil, Juki, David, Arif Jundan, Shirot, Inul, Maz Heri Lukman Jigug al-Trontoni, gelak tawa dan kekocakan kalian tidak pernah aku lupakan. 18. Tim Rewo-Rewo 2005. Tomi Tomblok Penguasa Pandana, Hamdani alMungili, Rouf si Budak Dani yang putus asa dengan Alfu, SuBam’s, Faizin, Bu Widya dll. 19. Bolo-bolo IKAMAKSUTA Semarang (alumni MAKN Solo) yang tidak pernah aku lupakan, canda tawa kalian membuatku sampai tidak bisa berkatakata, ana baḥi buku.
xiv
20. Dan Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga amal baik dan keikhlasan yang telah mereka perbuat menjadi amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Semarang, 21 Juni 2011 Penulis,
Mohammad Taufiqul Huda NIM: 0 6 2 1 1 1 0 1 4
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI .......................................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK ..........................................................................
vii
HALAMAN TRANSLITERASI................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
x
DAFTAR ISI .............................................................................................
xvi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
10
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
10
D. Telaah Pustaka ........................................................................
11
E. Metode Penelitian.....................................................................
13
F. Sistematika Penulisan...............................................................
16
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ḤAḌĀNAH A. Definisi Ḥaḍānah .....................................................................
18
B. Dasar Hukum Ḥaḍānah ............................................................
21
C. Syarat-Syarat Ḥaḍānah ............................................................
25
D. Urutan Pelaku Ḥaḍānah ...........................................................
32
E. Tenggang Waktu Ḥaḍānah ......................................................
36
F. Biaya Ḥaḍānah ........................................................................
39
G. Peranan Ibu Dalam Mendidik Anak..........................................
41
H. Konsep Maṣlaḥah Dalam Persoalan Hak Ḥaḍānah Terhadap Orang Kafir .............................................................. xvi
46
BAB III : PENDAPAT AL-IMAM AN-NAWAWI TENTANG HAK ḤAḌĀNAH KARENA ISTRI KAFIR A. Biografi Al-Imam An-Nawawi .................................................
53
1. Riwayat hidup al-Imam an-Nawawi....................................
53
2. Latar belakang pendidikan al-Imam an-Nawawi .................
55
3. Karya-karya al-Imam an-Nawawi .......................................
58
B. Metode Istinbaṭ Hukum Al-Imam An-Nawawi .........................
60
C. Pendapat Al-Imam An-Nawawi Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir .....................................................................
69
D. Metode Istinbaṭ Hukum Al-Imam An-Nawawi Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir ..............................................
73
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PENDAPAT AL-IMAM AN-NAWAWI TENTANG HAK ḤAḌĀNAH KARENA ISTRI KAFIR A. Analisis Pendapat Al-Imam An-Nawawi Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir .....................................................................
76
B. Analisis Metode Istinbaṭ Al-Imam An-Nawawi Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir ..............................................
93
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................
111
B. Saran-Saran..............................................................................
112
C. Penutup ....................................................................................
113
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvii
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam hukum Islam, pernikahan adalah suatu akad yang sangat kuat atau mīṡāqan galīzan untuk mentaati Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan dari perkawinan itu menjadikan pranata bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peran positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Dengan suasana yang demikian, pasangan suami istri akan mampu menunaikan misi perkawinan, yaitu untuk melangsungkan keturunan yang baik, menjadikan keturunan yang ṣālih dan selalu mendo’akan kedua orang tuanya. Dari perkawinan inilah timbul hubungan suami istri dan kemudian orang tua dengan anaknya (keturunan). Kelanggengan perkawinan menjadi tujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakīnah, mawaddah dan
raḥmah.1 Allah telah menetapkan perkawinan sebagai jalan untuk halalnya hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga.2 Dengan dilangsungkannya perkawinan yang sah, timbullah hak dan kewajiban suami isteri secara timbal balik.3 Demikian juga setelah kelahiran anak, mulailah muncul hak dan kewajiban orang tua terhadapnya. 1
Amiur Nuruddin dan Akmal Tarigan Azhari, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, Cet. ke-III, 2004, h. 43. 2 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta:UII press, Cet. ke-XI, 2007, h. 14. 3 Ibid, h. 53.
1
2
Anak merupakan amanah dari Allah SWT diberikan kepada orang tua (suami-istri). Setiap amanah harus dijaga dan dipelihara, dan setiap pemeliharaan mengandung unsur-unsur kewajiban dan tanggung jawab.
Memelihara anak merupakan kewajiban orang tua. Di dalam fikih, pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian biasanya dikenal dengan istilah ḥaḍānah.
Menurut
al-Sayyid
al-Sabiq
ḥaḍānah
adalah
melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki atau perempuan maupun yang sudah besar tetapi belum tamyiz, dan tidak dapat mengurus dirinya sendiri, yaitu dengan menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu bediri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.4 Kewajiban ḥaḍānah tidaklah berakhir dengan terjadinya perceraian, karena kedua orang tuanya masih dibebani tanggung jawab atas segala apa yang dibutuhkan oleh anak. Ayah dibebani untuk memberi biaya pemeliharaan anak sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri, sedangkan kewajiban ibu adalah mengasuh atau memelihara serta mendidik dan membimbing hidup sampai pandai, karena ibu di pandang sebagai figur yang pemurah, penyantun, dan penyayang serta halus.5
Sebagaimana Allah mewajibkan setiap orang yang beriman untuk memelihara diri dan keluarganya termasuk isteri dan anak dari api neraka. Hal ini selaras dengan firman Allah yang berbunyi:
4 Al-Sayyid al-Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Moh. Thalib, Jakarta: PT. al-Ma’arif, Cet. ke-I, 1980, h. 160. 5 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004, h. 426.
3
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”6 (QS. atTahrim: 6) Seorang anak akan bahagia jika berada dalam asuhan kedua orang tuanya. Karena dengan pengawasan dan perlakuan mereka kepadanya secara baik akan menumbuhkan jasmani dan akalnya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Hal itu hanya bisa terwujud jika kedua orang tuanya tetap bersatu dalam sebuah rumah tangga. Akan tetapi, dalam realitas kehidupan sehari-hari tidak sedikit suami istri yang terpaksa menempuh jalan dan memutuskan untuk bercerai. Mengingat betapa pentingya pemeliharaan terhadap anak, maka putusnya perkawinan karena terjadi perceraian tidak akan menghilangkan kewajiban pemeliharaan anak. Artinya, ketika terjadi perceraian kedua orang tuanya berkewajiban melaksanakan pemeliharaan anak. Dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.
6
Lajnah Pentashih Al-Qur’an Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. asy-
Syifa’, 1992, h. 951.
4
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.7 Dalam ketentuan pasal 41 Undang-Undang Perkawinan tersebut lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material, tanggung jawab menjadi beban suami atau mantan suami. Jika suami ini tak mampu, istri juga wajib membantu untuk menafkahi anaknya. Menurut jumhur fuqahaʹ, bahwa apabila terjadi perceraian antara suami isteri yang telah mempunyai anak, maka ibulah yang lebih berhak mengasuh anak tersebut selama belum menikah dengan laki-laki lain sedangkan anak itu masih kecil.8 Apabila ibunya menikah lagi, maka praktis hak ḥaḍānah tersebut beralih kepada ayahnya. Walaupun demikian menurut pendapat Mazhab al-Hanafi, ketika si ibu sudah menikah lagi dengan laki-laki lain maka ia tetap lebih berhak atas hak asuh anak tersebut, sebab perempuan mempunyai kasih sayang yang lebih besar terhadap anaknya.9 Hak ḥaḍānah ini kemudian menjadi amat rumit ketika terdapat suatu realitas dalam masyarakat seperti di Indonesia, yaitu ada seorang anak yang masih kecil dilahirkan dari orang tua yang beragama Islam dan menikah secara islami. Kemudian terjadi perceraian antara keduanya dan ibu dari anak tersebut keluar
7 Tim Penyusun Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, h. 102-103. 8 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang , Cet. ke-I, 1988, h. 400-401. 9 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. keV, 2003, h. 252.
5
dari agama Islam (murtad). Dari masing-masing pihak (suami atau istri) berkeinginan mendapatkan hak ḥaḍānah terhadap anak tersebut dengan argumentasi masing-masing. Dari pihak isteri berasumsi bahwa anaknya membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. Sedangkan dari pihak suami berasumsi bahwa ia khawatir dengan agama anaknya, karena anak itu lahir dari orang tua yang beragama Islam dan nikah secara islami. Maka dengan sendirinya anak tersebut harus dididik dan dibesarkan dalam keluarga yang beragama Islam.10 Dalam hal ini al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab berpendapat bahwa jika salah satu dari orang tuanya itu muslim dan anaknya juga muslim, maka hak asuh tidak diberikan kepada orang tuanya yang kafir. Artinya bahwa baik itu ibu maupun bapak apabila mereka berdua adalah seorang yang kafir, maka tidak berhak melakukan ḥaḍānah terhadap orang Islam, demikian juga dengan anak-anaknya. Sebab ditakutkan akan mempengaruhi agamanya, dan hal ini merupakan dampak negatif paling besar.11 Rasulullah SAW bersabda:
10
Kasus tersebut pernah terjadi di Pengadilan Agama Tebing Tinggi, dengan putusan No. PA.b/8/PTS/144/1986, yang memenangkan dari pihak suami (penggugat), Lihat Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kerjasama Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam UIN Jakarta dengan Balitbang DEPAG RI, 2004, h. 168-169. 11 Al-Imam an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Juz XIX, Beirut: Daar al-Fikr, Cet. ke-XVII, 2005, h. 426.
6
و ﻋﻦ راﻓﻊ ﺑﻦ ﺳﻨﺎن رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ اﻧﻪ اﺳﻠﻢ و اﺑﺖ اﻣﺮأﺗﻪ ان ﺗﺴﻠﻢ ﻓﺄﻗﻌﺪ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ "اﻟﻠﻬﻢ:ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ اﻷم ﻧﺎﺣﻴﺔ و اﻷب ﻧﺎﺣﻴﺔ وأﻗﻌﺪ اﻟﺼﱯ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﻤﺎل اﱃ أﻣﻪ ﻓﻘﺎل ( )اﺧﺮﺟﻪ اﺑﻮ داود و اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ و ﺻﺤﺤﻪ اﳊﺎﻛﻢ.اﻫﺪﻩ" ﻓﻤﺎل اﱃ اﺑﻴﻪ ﻓﺄﺧﺬﻩ 12
Artinya: “Dari Rafi’ bin Sinan r.a ia masuk Islam, tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk islam. Maka Nabi SAW mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukan si anak di antara keduanya. Tenyata si anak condong kepada ibunya. Maka beliau berdoa,”Ya Allah, berilah petunjuk.” Dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya.13 (HR. Abu Daud dan Nasa’i. hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim) Hadits ini menunjukkan bahwa masalah ḥaḍānah pemeliharaan anak oleh ibu yang bukan Islam dipandang tidak berhak karena kekafirannya itu. Alasannya adalah ruang lingkup ḥaḍānah meliputi pendidikan agama anak tersebut. Hal ini juga beralasan bahwa ketika Rasulullah Saw. mendoakan anak ini supaya diberikan petunjuk oleh Allah SWT untuk memilih ayahnya yang beragama Islam dan bukan memilih ibunya.14 Dalam al-Qur’an juga disebutkan:
Artinya: “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”15 (QS. AnNisa’: 141). Oleh karena itu penjagaan terhadap agama (hifd ad-din) merupakan hal yang signifikan. Karena hal ini juga menyangkut kehidupan anak tersebut di 12
Al-Imam Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, Juz II, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, , 1996, h. 139. 13 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh al-Maram Min Adillat al-Ahkam, alih bahasa Abdul Rosyad Siddiq, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Cet. ke-II, 2009, h. 525. 14 Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, 1969, h. 277. 15 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Depag RI, op. cit., h. 146.
7
masa yang akan datang, ketika dia sudah beranjak dewasa nantinya. Memang pada realitanya menjaga diri (hifd an-nafs) termasuk hal yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Sebab penjagaan diri meliputi makan dan minum dan lain-lain diperlukan bagi pertumbuhan anak itu sendiri, dan perlu diketahui bahwa ini hanya mengindikasikan untuk kesehatan jasmaninya saja. Hal ini menjadi bertentangan dengan tujuan dari syari’at Islam apabila anak diasuh oleh ibunya yang kafir, karena otomatis anak akan didoktrin serta diberikan hal-hal yang tentunya menurut agama mereka (non-Islam) itu dianggap benar tanpa memperhatikan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Di sisi lain teoritisi hukum Islam juga mengemukakan beberapa persyaratan yang terkait dengan pengasuhan anak yang harus dimiliki oleh pengasuhnya, antara lain: 1. Mukallaf atau balig 2. Berakal 3. Sanggup melaksanakan pengasuhan anak 4. Dapat dipercaya dan berakhlaq mulia 5. Beragama Islam16 Dalam permasalahan mengenai Islam ini yang dijadikan sebagai syarat bagi pelaku ḥaḍānah. Ulama’ Mazhab al-Syafi’i dan al-Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh harus seorang muslim atau muslimah dan bukan mensyaratkan non muslim, sebab orang non-Islam tidak mempunyai wewenang dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, di samping itu 16
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-III, 1993, h. 143-144.
8
dikhawatirkan pengasuh akan menyeret anak ke dalam agamanya.17 Hal ini juga sejalan dengan argumentasi al-Imam an-Nawawi yang mengatakan bahwa hak asuh tidak diberikan kepada orang tua yang kafir. Artinya seorang ibu atau bapak yang kafir tidak berhak melakukan ḥaḍānah terhadap orang Islam, demikian juga terhadap anak-anaknya. Sedangkan ulama’ mazhab lainnya yaitu ulama’ Mazhab al-Hanafi dan Mazhab al-Maliki tidak mensyaratkan pengasuh harus seorang muslimah, jika anak tersebut juga wanita. Hal tersebut berarti bahwa ibu yang kafir boleh melakukan ḥaḍānah.18 Dengan demikian kafir maupun beda agama tidak dapat menggugurkan hak bagi pelaku ḥaḍānah, dan kasih sayang seorang ibu kepada anak tidak akan berpengaruh karena perbedaan agama. Sedangkan jika ditinjau dalam hukum Islam (yuridis-formal) di Indonesia hak ḥaḍānah bagi istri kafir belum diatur secara baku. Namun mengenai kewajiban orang tua terhadap anaknya setelah terjadi perceraian telah diatur.19 Kemudian istilah ḥaḍānah itu baru muncul dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu yang tertera dalam pasal 156 berbunyi: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan ḥaḍānah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: a. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu b. Ayah c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 17 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 122. 18 Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Fiqh 'Alā Al-Mażāhib Al-Khamsah, Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari', Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Terj. Mansur A.B, et. al., Jakarta: Lentera, Cet. ke-IV, 1999, h. 417. 19 Tim Penyusun Depag RI, op. cit., h. 102-103.
9
2. 3.
4.
5.
6.
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan ḥaḍānah dari ayah atau ibunya. Apabila pemegang ḥaḍānah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan haḍānah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak ḥaḍānah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula Semua biaya ḥaḍānah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) Bilamana terjadi perselisihan mengenai ḥaḍānah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.20
Secara keseluruhan pasal di atas menjelaskan bahwa anak berhak mendapatkan ḥaḍānah baik itu dari ayah atau ibunya sebelum maupun sesudah si anak itu mumayyiz dan pemegang ḥaḍānah dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak. Dalam hal ini aturan mengenai ḥaḍānah terhadap istri yang kafir mempunyai relevansi yang cukup erat meskipun dijelaskan secara implisit, dan juga belum diatur secara baku yaitu terdapat pada pasal 156 poin (c) yang mensyaratkan bagi pemegang ḥaḍānah harus bisa menjaga keselamatan jasmani dan rohani anak atau dalam hal ini disebut akidah atau agama anak. Oleh karena itu, apabila salah satu pemegang ḥaḍānah itu kafir otomatis si anak akan mengikuti agamanya. Melihat dari problematika di atas bahwa ketika hukum di Indonesia masih mengatur secara implisit mengenai aturan tersebut kemudian pendapat 20
Soesilo, et. al., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penerbit: Rhedbook Publisher, Cet. ke-I, 2008, h. 469.
10
al-Imam an-Nawawi yang tidak membolehkan hak asuh anak karena si istri itu adalah kafir (beragama selain Islam) ini menarik untuk dikaji secara mendalam, yaitu dengan melakukan penelitian ilmiah tentang bagaimana hukum hak ḥaḍānah terhadap istri yang kafir dan metode istinbāṭ hukum dari al-Imam an-Nawawi. Maka penulis bermaksud mengkaji pendapat al-Imam an-Nawawi tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul: “Studi Atas Pendapat Al-Imam An-Nawawi Dalam Kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhazzab Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir” B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi pokok masalah adalah: 1. Bagaimana pendapat al-Imam an-Nawawi terhadap hak ḥaḍānah karena istri kafir? 2. Bagaimana metode istinbāṭ hukum yang digunakan oleh al-Imam anNawawi terhadap hak ḥaḍānah karena istri kafir? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan pendapat al-Imam an-Nawawi terhadap hak ḥaḍānah karena istri kafir. 2. Untuk menjelaskan metode istinbāṭ hukum yang digunakan oleh al-Imam an-Nawawi terhadap hak ḥaḍānah karena istri kafir.
11
D. TELAAH PUSTAKA Al-Imam an-Nawawi adalah seorang tokoh fiqih Islam yang bermazhab al-Syafi’i yang bisa dijadikan sumber inspirasi penafsiran hukum Islam oleh kaum muslimin. Pengaruhnya yang meluas di kalangan kaum muslimin adalah bukti bahwa al-Imam an-Nawawi dan pemikirannya memiliki tempat khusus dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Dalam menyusun skripsi ini penyusun telah melakukan berbagai kajian dan penulusuran terhadap karya-karya yang membahas tentang ḥaḍānah serta pemikiran al-Imam an-Nawawi dan berbagai karya yang membahas tentang ḥaḍānah itu sendiri khusunya ḥaḍānah bagi istri yang kafir. Seperti dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab karya al-Imam anNawawi menjelaskan bahwa jika salah satu dari orang tuanya itu muslim dan anaknya juga muslim, maka hak asuh tidak diberikan kepada kepada orang tuanya yang kafir artinya bahwa baik itu ibu maupun bapak ketika sudah memeluk agama lain tidak berhak melakukan hak ḥaḍānah terhadap orang Islam, demikian juga dengan anak-anaknya, sebab ditakutkan akan mempengaruhi agamanya, dan hal ini merupakan dampak negatif paling besar. Untuk menghindari duplikasi karya tulis ilmiah serta untuk menunjukan keaslian dalam skripsi ini, maka dirasakan perlu untuk mengkaji berbagai pustaka yang berkaitan dengan penulisan ini. Skripsi karya
Asmuni
yang berjudul “Studi Analisis Putusan
Pengadilan Agama Demak No. 768/pdt.g/ 2003/ pa. Dmk. Tentang Hak Ḥaḍānah Bagi Anak yang Belum Mumayiz”. Dalam penelitian ini menjelaskan
12
bahwa majelis hakim dalam memutus perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk tentang hak ḥaḍānah bagi anak yang belum mumayyiz, majlis hakim menetapkan hak ḥaḍānah jatuh kepada ayahnya sebab diketahui ibu ingin memutus tali silaturrahmi anak dengan anaknya. Namun keputusan hal ini tidak sesuai dengan pasal 105 dan 156 KHI yang dijadikan dasar hukum oleh majlis hakim tersebut, karena pasal itu menerangkan bahwa yang wajib membiayai kebutuhan hidup anak adalah ayah. Kemudian dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam memutus yaitu pasal 45 ayat 1 UU tahun 1974 jo 105 dan 156 KHI belum cukup kuat untuk mendukung alasan-alasan hakim. Skripsi karya Muhammad Anshari yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Hak Ḥaḍānah Bagi Ibu yang Menikah Lagi”. Penelitian ini lebih menekankan tentang hak ḥaḍānah bagi ibu yang menikah lagi menurut Ibnu Hazm. Dalam hal ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa hak ḥaḍānah bagi ibu yang menikah lagi tidak gugur haknya. Dengan alasan tidak ada perbedaan antara perhatian dan kasih sayang dari pihak ibu atau ayah tiri dalam masalah ḥaḍānah. Karena yang utama adalah perhatian dalam soal agama dan dunia. Ibnu Hazm ber-istinbāṭ
hukum dengan hadits dalam
menetapakan hukum tersebut, disebabkan dalam al-Qur’an tidak ada keterangan yang jelas dalam masalah hak mengasuh anak bagi ibu yang menikah lagi itu tidak gugur. Kemudian Skripsi karya Misbahun yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Pasal 116 ayat (h) Tentang Perceraian Dengan Alasan Murtad”. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa dengan murtadnya suami maupun istri
13
dalam ikatan pernikahan harus cerai, baik jika terjadi pertengakaran maupun tidak. Melihat dari kasus ini disimpulkan bahwa skripsi ini melihat dari sisi pasal 116 KHI yang bertolak belakang dari al-Qur’an dan hukum-hukum fikih yang ada sebab menurut pendapat penulis skripsi ini, pasal tersebut hanya melihat dampak terjadinya perceraian dan bukan melihat proses terjadinya perceraian. Dari deskripsi di atas nampak bahwa skripsi yang akan penulis bahas mengenai “Studi Atas
Pendapat Al-Imam An-Nawawi Dalam Kitab Al-
Majmu' Syarh Al-Muhazzab Tentang Hak Hadhanah Karena Istri Kafir” berbeda dengan penelitian sebelumnya. Pada penulisan skripsi ini penulis lebih menekankan pada argumentasi al-Imam an-Nawawi tentang pendapatnya yang tidak memperbolehkan istri kafir untuk memperoleh hak ḥaḍānah , juga akibat hukum yang terjadi bagi kedudukan istri yang kafir untuk melakukan ḥaḍānah tersebut. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas tema ini. Namun, apabila terdapat kesamaan atau kemiripan dengan karya ilmiah lain itu merupakan sesuatu yang tidak disengaja atau ketidaksengajaan dan tentunya memiliki objek kajian serta pembahasan permasalahan yang berbeda dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. E. METODE PENELITIAN Dalam melakukan penelitian terhadap masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
14
1. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.21 Dengan menekankan pada penelusuran dan penelaahan bahan-bahan pustaka atau literatur yang berhubungan dengan pendapat al-Imam anNawawi. 2. Sumber data Data-data yang penulis peroleh ini berdasarkan dari sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu sebagai berikut: a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari data-data primer yaitu sumber asli yang memuat informasi.22 Secara sederhana data ini disebut juga data asli. Adapun sumber data primer ini adalah kitab karangan al-Imam an-Nawawi yaitu kitab Al-Majmu’ Syarh AlMuhazzab dan Ṭabaqāt Al-Syāfi’iyah. b. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli dan memuat infomasi,23 sebab data tersebut sudah diperoleh dari sumber kedua atau ketiga.24Adapun sumber data sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
21
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Lkis, 1999, h. 9. Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsito, Cet. ke-VII, 1989, h. 163. 23 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. keVIII, 2003, h. 126. 24 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-I, 1998, h. 91. 22
15
1. Kitab Minhāj Aṭ-Ṭālibīn karangan al-Imam an-Nawawi, kitab ini merupakan kitab fiqih yang berbicara mengenai hukum-hukum Islam terutama mengenai ḥaḍānah. 2. Kitab Al-Hāwī Al-Kabīr karangan al-Imam al-Mawardi, kitab ini adalah Syarh Mukhtaṣar Al-Muzni yang bermazhab al-Syafi’i pula. Kitab ini juga berisi mengenai fiqh disertai dengan dalil-dalil yaitu al-Qur’an dan hadits. 3. Kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Mazhab Al-Imam Al-Syafi’i karangan Muhammad Alkhan dan Mustofa Al-Baghiy.
4. Kemudian buku-buku yang lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
3. Metode pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi yaitu mencari dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini.25 Yaitu mengenai pendapat al-Imam an-Nawawi tentang hak ḥaḍānah terhadap istri yang kafir dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab. 4. Analisis data Dilihat dari cara menganalisisnya, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan metode deskriptif-analisis.26 Metode ini dimaksudkan untuk menggambarkan data yang berkaitan dengan pendapat al-Imam an-Nawawi tentang kafirnya istri sebagai alasan
25 26
Winarno Surakhmad, op. cit, h. 163. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, h. 47-59.
16
hilangnya hak ḥaḍānah, untuk kemudian dianalisis bagaimana metode istinbāṭ hukum yang digunakan al-Imam an-Nawawi dalam permasalahan penelitian ini. Selain metode di atas penulis juga menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif. Pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan terhadap kepustakaan atau studi dokumen. Pendekatan ini dilakukan, sebab lebih banyak menekankan terhadap data yang diperoleh secara langsung dari dari bahan-bahan pustaka.27
F. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan membagi ke dalam lima bab, di antara di suatu bab dengan bab lain merupakan rangkaian (kesatuan) yang berkaitan. Adapun bab tersebut meliputi sub bab yaitu : Pada bab satu ini penulis akan mengemukakan latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Pada bab dua dipaparkan tinjauan umum ḥaḍānah untuk mengantarkan pada pengertian ḥaḍānah secara umum sehingga dapat diketahui posisi kriteria ḥaḍānah bagi istri kafir menurut an-Nawawi. Untuk merealisasikan maksud tersebut, maka pada bab ini dijelaskan tentang pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, urutan pelaku, tenggang waktu, biaya ḥaḍānah, dan peran ibu dalam mendidik anak, kemudian konsep maṣlaḥah dalam persoalan hak ḥaḍānah terhadap orang kafir.
27
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-I, 2010, h. 34-35.
17
Pada bab tiga ini penyusun mendeskripsikan tentang biografi al-Imam an-Nawawi, agar pembaca mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang riwayat al-Imam an-Nawawi. Selain itu, disebutkan juga karya-karyanya. Lalu masuk dalam ranah deskripsi pemikiran al-Imam an-Nawawi yaitu mengenai pendapatnya tentang hak ḥaḍānah karena istri kafir. Kemudian mengenai metode istinbāṭ hukum al-Imam an-Nawawi. Pada bab empat ini merupakan analisis pembahasan skripsi, yaitu analisis pendapat al-Imam an-Nawawi tentang hak ḥaḍānah karena istri kafir, kemudian analisis metode istinbāṭ hukum yang digunakan oleh al-Imam anNawawi tentang hak ḥaḍānah karena istri kafir. Pada bab kelima, skripsi ini ditutup dengan kesimpulan yang menjawab pokok masalah dan juga saran-saran. Hal ini sangat relevan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana telaah pemikiran al-Imam an-Nawawi tentang hak ḥaḍānah karena istri kafir ini dilakukan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ḤAḌĀNAH
A. Definisi ḥaḍānah Secara bahasa yang dimaksud dengan ḥaḍānah atau pemeliharaan anak adalah meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya.1 Adapun pemeliharaan anak diambil dari pengertian istilah bahasa Arab ُ ﯾَﺤ ْﻀ ُﻦ-َ ﺣ َﻀ َﻦyang berarti mengasuh, merawat.2 Adapun lafal “ ”ﺣ َ ﻀﺎﻧﺔitu diambil dari kata ُ اﻟﺤ ِ ﻀﻦyang artinya: sisi, samping, lambung, rusuk,3 anggota tubuh dari ketiak sampai ke pinggul, dan meletakkan sesuatu pada tulang rusuk atau pangkuan,4 karena sewaktu menyusukan anaknya, ibu meletakkan pada pangkuan atau sebelah rusuknya, yang seakan-akan ia melindungi dan memelihara anaknya.5 Secara terminologis banyak dirumuskan oleh para ulama’ dengan berbagai definisi. Diantaranya menurut al-Imam an-Nawawi adalah memelihara orang yang tidak dapat menjaga dirinya sendiri dari hal yang dapat menyakitinya
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. keIII, 2008, h. 175. 2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, Edisi ke-II, 1997, h. 274. 3 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-III, 1993, h. 137. 4 Dewan Redaksi Depag RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993, h. 366. 5 Ibid.
18
19
karena dia tidak cakap (belum mumayyiz), mendidik serta menjaganya dengan baik serta memberikan makan dan minum dan sebagainya.6 Kemudian menurut Abdurrahman al-Jaziri ḥaḍānah didefinisikan sebagai menjaga anak kecil, orang yang lemah, dan orang yang tidak waras dari segala yang membahayakan dengan segala kemampuan dan merawat mereka dengan baik.7 Menurut
al-Mawardi
ḥaḍānah
adalah
mendidik
dan
menjaga
kepentingan anak dalam waktu yang ditentukan dan tidak membedakan baik itu bermanfaat ataupun tidak.8 Kemudian menurut Wahbah Zuhaili yaitu mendidik dan memelihara orang yang tidak dapat menjaga dirinya sendiri dari hal yang dapat menyakitinya karena tidak cakap (‘adami tamyīz) seperti anak kecil dan orang gila.9 Al-Sayyid al-Sabiq mendefinisikan ḥaḍānah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki maupun perempuan dan sudah besar tetapi belum mumayyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikan baginya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan
6
Al-Imam an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Juz XIX, Beirut: Daar al-Fikr, Cet. ke-XVII, 2005, h. 423. 7 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alā Mażāhib Al-Arba’ah, Juz IV, Beirut: Dār al-Kutub al‘Ilmiyah, t.th, h. 455. 8 Al-Imam al-Mawardi, Al-Hāwi Al-Kabīr Fī Fiqh Mazhab Al-Imām Al-Syāfi’i, Juz XI, Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Cet. ke-I, 1994, h. 498. 9 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islām Wa Adillatuhu, Jus X, Dimasyq: Dār al-Fikr, t.th, h. 7295.
20
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.10 Dalam Ensiklopedia Islam, pemeliharaan atau ḥaḍānah yaitu tugas menjaga atau mengasuh bayi atau anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri.11 Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ḥaḍānah mengandung beberapa pengertian sebagai berikut: a. Pemeliharaan anak dari segala bahaya fisik yang mungkin menimpanya seperti penyakit dan kecelakaan. b. Perlindungan terhadap anak dari kemungkinan gangguan psikis dan rohani misalnya pergaulan dengan teman atau lingkungan yang dapat merusak perkembangan kepribadiannya. c. Pemberian makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. d. Pemberian pengajaran dan pendidikan tahap awal kepada anak. e. Ḥaḍānah dalam hal ini hanya terbatas pada anak yang masih kecil atau orang yang kurang waras, sedangkan pada anak yang telah balig tidak wajib melakukan ḥaḍānah. Dari berbagai definisi tersebut menurut penulis, ḥaḍānah adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makanan, minuman, pakaian,
10
Al-Sayyid al-Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Moh. Thalib, Jakarta: PT. Al-Ma’arif, Cet. ke-I, 1980, h. 160. 11 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 269.
21
kebersihan, pendidikan, kebutuhan materiil ataupun spirituil sampai mumayyiz (usia 21 tahun), sehingga anak tersebut selamat, tetap dalam Islām, Īmān, Iḥsān serta hidup dalam lingkungan keluarga Islam yang taat terhadap agama. Dan anak tersebut mempunyai masa depan yang cerah dan dalam hidupnya tidak selalu dibayang-bayangi rasa trauma yang mendalam yang diakibatkan oleh putusnya perkawinan ayah serta ibunya. B. Dasar Hukum Ḥaḍānah Dasar disyari’atkannya ḥaḍānah adalah sebagaimana dijelaskan dalam: a. Al-Qur’an Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan ini meliputi berbagai hal yaitu masalah pendidikan, ekonomi dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Meskipun dalam hal ekonomi tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerja sama dan saling tolong menolong antara suami dan istri dalam memelihara, mendidik anak dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa. Sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nisa’ayat 9, yaitu:
.
22
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”12 (QS. An-Nisa’: 9) Maksud dari ayat di atas adalah generasi atau anak-anak yang lemah baik fisik maupun mental harus dirawat dan dijaga sebagaimana mestinya. Untuk itu menjadi kewajiban bagi setiap orang tua untuk memelihara dan mengasuh anak dalam menghadapi masa depannya. Berdasarkan prinsipprinsip tersebut maka hukum melakukan ḥaḍānah adalah wajib. Karena meninggalkan pemeliharaan anak akan menyebabkan kehancuran masa depan dan mental anak. Sebagaimana wajibnya nafkah bagi anak juga dimaksudkan untuk menyelamatkan dari kehancuran masa depan. Kemudian QS. an-Nisa’ ayat 58, yaitu:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”13 (QS. An-Nisa’: 58) Ayat ini menjelaskan bahwa orang tua (bapak dan ibu) yang mendapatkan amanat dari Allah hendaklah menjaganya, merawatnya dan
12
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. As-Syifa’, 1992, h. 116. 13 Ibid, h. 128.
23
memeliharanya dengan baik. Karena Allah memberikan amanat kepada orang yang
berhak
menerimanya
dan
kelak
ia
akan
dimintakan
pertanggungjawabannya. Kemudian firman Allah SWT Surat at-Tahrim ayat 6:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”14 (QS. At-Tahrim: 6) Maksud dari ayat di atas bahwa anak merupakan karunia dan amanat yang dititipkan oleh Allah SWT kepada manusia yang wajib dipelihara, dijaga dan dibina. Sebagai wujud pemeliharaan terhadap anak, orang tua harus mengajarkan anak untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hal itu dapat diberikan dengan memberikan bekal pendidikan agama, sebab agama itu menjadi ujung tombak untuk membentuk karakter anak dalam segala yakni tingkah laku, akhlak dan aqidahnya. b. Hadits
و ﻋﻦ راﻓﻊ ﺑ ﻦ ﺳﻨﺎن رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ اﻧﻪ اﺳﻠﻢ و اﺑﺖ اﻣﺮأﺗﻪ ان ﺗﺴﻠﻢ ﻓﺄﻗﻌﺪ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ :اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ اﻷم ﻧﺎﺣﻴﺔ و اﻷب ﻧﺎﺣﻴﺔ وأﻗﻌﺪ اﻟﺼﱯ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﻤﺎل اﱃ أﻣﻪ ﻓﻘﺎل )اﺧﺮﺟﻪ اﺑﻮ داود و اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ و ﺻﺤﺤﻪ."اﻟﻠﻬﻢ اﻫﺪﻩ" ﻓﻤﺎل اﱃ اﺑﻴﻪ ﻓﺄﺧﺬﻩ (اﳊﺎﻛﻢ 15
14 15
h. 139.
Ibid, h. 1143-1144. Al-Imam Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, Juz II, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, , 1996,
24
Artinya: “Dari Rafi’ bin Sinan r.a ia masuk Islam, tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk Islam. Maka Nabi SAW mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukan si anak di antara keduanya. Tenyata si anak condong kepada ibunya. Maka beliau berdoa,”Ya Allah, berilah petunjuk.” Dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya.16 (HR. Abu Daud dan Nasa’i. hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim) Hadits ini menunjukkan bahwa masalah ḥaḍānah pemeliharaan anak oleh ibu yang bukan Islam, dipandang tidak berhak karena kekafirannya itu. Alasannya adalah ruang lingkup ḥaḍānah meliputi pendidikan agama anak tersebut. Hal ini juga beralasan bahwa ketika Rasulullah Saw. mendoakan anak ini supaya diberikan petunjuk oleh Allah SWT untuk memilih ayahnya yang beragama Islam dan bukan memilih ibunya. Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, menyatakan:
ان اﻣﺮأة ﻗﺎﻟﺖ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ان زوﺟﻲ ﻳﺮﻳﺪ ان:ﻋﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ﻳﺬﻫﺐ ﺑﺎﺑﲏ وﻗﺪ ﻧﻔﻌﲏ وﺳﻘﺎﱐ ﻣﻦ ﺑﺌﺮ اﰉ ﻋﻨﺒﺔ ﻓﺠﺎء زوﺟﻬﺎ ﻓﻘﺎل اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻳﺎ ﻏﻼم ﻫﺬا اﺑﻮك و ﻫﺬا اﻣّﻚ ﻓﺨﺬ ﺑﻴﺪ اﻳﻬﻤﺎ ﺷﺌﺖ ﻓﺄﺧﺬ ﺑﻴﺪ اﻣﻪ:ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠّﻢ .ﻓﺎﻧﻄﻠﻘﺖ ﺑﻪ 17
Artinya: “Dari Abu Hurairah: Bahwa seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah suami ku menghendaki pergi bersama anakku, sementara ia telah memberi manfaat kepada ku dan mengambil air minum untukku dari sumur Abi “Imbah”. Maka datanglah suaminya. Rasulullah bersabda kepadanya :”Wahai anak kecil, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan keduanya mana yang kamu kehendaki”, lalu anak itu memegang ibunya”.(H.R. Ahmad dan Imam Empat).
16
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulūg Al-Marām Min Adillat Al-Ahkām, alih bahasa Abdul Rosyad Siddiq, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Cet. ke-II, 2009, h. 525. 17 Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Juz I, Beirut: Dār Al-Fikr, 1995, h. 739.
25
Berdasarkan hadits di atas, dipahami bahwa kategori anak yang dimaksud adalah seorang anak yang sudah mampu membantu ibunya mengambil air di sumur yang diperkirakan berumur di atas tujuh tahun atau mumayyiz. Dengan demikian hadits di atas menunjukan bahwa anak yang sudah mumayyiz diberi hak memilih sendiri untuk memilih bapak maupun ibunya.18 Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits di atas maka jelas bahwa tanggung jawab untuk mengasuh dan memelihara anak merupakan kewajiban bagi orang tua, karena anak merupakan rahmat Allah SWT yang akan dimintakan pertanggungjawaban atas segala suatu yang dilakukan orang tua pada anak. Dan apabila salah satu orang tuanya itu tidak mampu melaksanakan kewajibannya dalam hal ini dia seorang yang kafir, fasiq, tidak dapat dipercaya ataupun yang lainnya maka bagi kedua orangnya itu hak asuhnya menjadi gugur. C. Syarat-syarat Ḥaḍānah Ḥaḍānah dimaksudkan untuk mempersiapkan anak ke dalam suatu kondisi, baik secara fisik maupun mental. Dan hal ini menjadi kewajiban bagi orang yang mengasuh untuk menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak yang diasuhnya dengan memperhatikan kemaslahatan, yakni dengan adanya
18
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kerjasama Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam UIN Jakarta dengan Balitbang DEPAG RI, 2004, h. 168-169.
26
kecakapan dan kecukupan. Oleh karena itu, untuk dapat menyelenggarakan hal itu diperlukan cara-cara tertentu yang harus dimiliki oleh pelaku ḥaḍānah. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan ḥaḍānah. Syarat-syarat itu antara lain: a. Balig Bahwa pelaku ḥaḍānah harus balig, sebab anak kecil sekalipun sudah tamyīz, tetap masih membutuhkan orang lain untuk mengurusi urusannya dan mengasuhnya. Oleh karena itu, ia tidak boleh mengurusi orang lain.19 b. Berakal sehat Bahwa orang yang gila dan kurang akalnya tidak diperbolehkan untuk melakukan ḥaḍānah.20 Karena mereka ini termasuk orang yang tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, ia tidak boleh diberi tanggung jawab untuk mengurusi orang lain. Orang gila tidak memiliki kewajiban untuk mengasuh, kecuali jika ia gila sebanyak satu kali dalam setahun misalnya, maka dapat menghilangkan kewajiban mengasuh.21 Jadi kejiwaan seseorang pengasuh sangat menentukan diperbolehkannya atau tidak dalam memelihara anak. Sebagai orang yang terganggu jiwanya dipandang tidak mampu memelihara anak dan orang yang
19
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-I, 1988, h. 402-403. 20 Al-Sayyid al-Sabiq, op. cit., h. 166. 21 Ibid.
27
semacam ini tidak dipaksa untuk memegang hak ḥaḍānah, sebagaimana disyari’atkan Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 286:
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.22 Orang yang memelihara anak terganggu kesehatan jiwanya, akan dapat mempengaruhi anak asuhanya baik secara tingkah laku maupun psikologis. c. Mampu melakukan tugas pengasuhan anak (mampu mendidik). Orang yang karena lemah badannya, sakit, cacat jasmaninya, atau sudah tua dan tidak mampu melakukan tugas untuk mengasuh anak, maka tidak berhak melakukan ḥaḍānah.23 d. Memiliki sifat amanah dalam mendidik anak. Orang yang curang atau tidak memiliki sifat amanah tidak aman bagi anak yang diasuhnya dan tidak dapat dipercaya untuk melakukan kewajibannya dengan baik. Bahkan mungkin anak itu akan meniru atau berkelakuan seperti orang yang mengasuhnya.24
22 23
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Depag RI, op. cit., h. 72. Zakariya Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977,
h. 57. 24
Al-Sayyid al-Sabiq, loc. cit., h. 166.
28
e. Merdeka Karena budak tidak berkuasa atas dirinya sendiri (berada di bawah kekuasaan tuannya), sehingga tidak mampu mengurusi urusan orang lain.25 Ibnu Qayyim berkata: tentang syarat-syarat merdeka ini tidaklah ada dalilnya yang menyakinkan hati. Al-Imam al-Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka punya anak dari budak perempuannya: 26
.إن اﻻم اﺣﻖ ﺑﻪ اﻻّ ان ﺗﺒﺎع ﻓﺘﻨﺘﻘﻞ ﻓﻴﻜﻮن اﻻب اﺣﻖ ﺑﻪ
Artinya: “Sesungguhnya ibunya lebih berhak terhadap anaknya selama ibunya tidak dijual, jika ia jual maka hak ḥaḍānah-nya berpindah dan ayahnya yang lebih berhak atas anaknya”. Seorang budak, tidak berhak memelihara anak, meskipun pemiliknya mengizinkan, sebab budak dikuasai oleh tuannya, apapun yang dikerjakan untuk tuannya. Jadi kesimpulannya bahwa anak yang merdeka itu hak pemeliharaannya jatuh pada ibu kemudian ayah. Kalau anak hamba hak pemeliharaanya jatuh pada pemiliknya.27 f. Jika pelaku ḥaḍānah itu ibunya, maka disyaratkan dia belum menikah dengan laki-laki lain. Dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dijelaskan sebagai berikut :
25
Abdurrahman al-Jaziri, op. cit., h. 457-458 Al-Sayyid al-Sabiq, op. cit., h. 170. 27 Moh Rifa’i, Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: CV. Thoha Putra, 1978, h. 26
352.
29
ﻳﺎ: ان اﻣﺮأة ﻗﺎﻟﺖ، ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻋﻦ اﺑﻴﻪ،ﺣﺪﺛﲏ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ وإن، وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء، وﺛﺪﻳﻲ ﻟﻪ ﺳﻘﺎء، إن اﺑﲏ ﻫﺬا ﻛﺎن ﺑﻄﲏ ﻟﻪ وﻋﺎء،رﺳﻮل اﷲ أﻧﺖ: ﻓﻘﺎل ﳍﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ، و أراد ان ﻳﻨﺘﺰﻋﻪ ﻣﲏ،اﺑﺎﻩ ﻃﻠﻘﲏ ( )رواﻩ اﺑﻮ داود.أﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎ ﱂ ﺗﻨﻜﺤﻲ 28
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Abdullah bin ‘Amr: Bahwa ada seorang perempuan berkata (kepada Rasulullah): Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini aku yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dan di bilikku tempat berkumpulnya (bersamaku). Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku, dan ingin memisahkannya dariku. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kamulah yang lebih berhak (memelihara)nya, selama kamu tidak menikah”.(H.R. Abu Dawud).
Hukum ini berkaitan dengan ibu kalau menikah lagi dengan laki-laki lain. Tetapi kalau menikah dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya maka hak ḥaḍānahnya tidaklah hilang. Sebab paman itu masih berhak dalam masalah ḥaḍānah. Dan juga karena hubungannya dan kekerabatannya dengan anak kecil tersebut, sehingga dengan begitu akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya, maka terjadilah kerja sama yang sempurna di dalam menjaga si anak, antara si ibu dengan suami yang baru ini. Berbeda halnya kalau suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya jika laki-laki lain ini mengawini ibu dari anak kecil tadi, maka dianggap tidak bisa mengasihinya dan tidak dapat memperhatikan kepentingan anak dengan baik.
28
150
Al-Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996, h.
30
Karena nanti akan dapat mengakibatkan suasana anak tanpa kasih sayang, keadaan ini dapat menimbulkan bakat dan pembawaan anak kurang baik. 29 Menurut Imamiyah (al-Syafi'i, al-Maliki, al-Hanafi, al-Hambali, alJa'fari), bahwa hak asuh bagi ibu gugur secara mutlak karena perkawinannya dengan laki-laki lain, baik suaminya itu memiliki kasih sayang kepada anak maupun tidak.30 Senada dengan itu, ibu yang menikah dengan seorang laki-laki yang asing bagi anak yang diasuh, yakni orang yang tidak mempunyai hubungan kerabat atau nasab, maka hak ibu tersebut gugur untuk melakukan ḥaḍānah. Kecuali jika ada keperluan-keperluan mendesak yang menuntut agar ibu tetap menjadi pengasuh anak tersebut demi kemaslahatannya. g. Islam Para ulama’ fikih berbeda pendapat mengenai syarat ini. Fuqaha Mazhab al-Syafi’i dan al-Hambali mensyaratkan Islam bagi pelaku ḥaḍānah, sehingga seorang istri yang kafir tidak berhak melakukan ḥaḍānah terhadap orang Islam, karena tidak ada hak penguasaan terhadapnya dan dikhawatirkan akan menyesatkan anak dari agamanya. Namun berbeda jikalau orang yang
29
Al-Sayyid al-Sabiq, op. cit., h. 170 Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Fiqh 'Ala Al-Mażāhib Al-Khamsah, Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari', Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Terj. Mansur A.B, et. al., Jakarta: Lentera, Cet. ke-IV, 1999, h. 417. 30
31
diasuh itu kafir maka orang tua yang muslim maupun kafir kedua-duanya berhak melakukan ḥaḍānah.31 Sedang fuqaha’ Mazhab al-Hanafi dan al-Maliki tidak mensyaratkan Islam bagi pelaku ḥaḍānah, karena Rasulullah telah memberikan hak pilih kepada seorang anak untuk diasuh oleh ayahnya yang Islam atau ibunya yang kafir. Di samping itu dasar ḥaḍānah adalah kasih sayang dan hal itu tidak akan terpengaruh dengan adanya perbedaan agama.32 Jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka hak seseorang akan gugur. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah hak ḥaḍānah kembali kepada seseorang jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi atau kembali, yaitu: 1. Ulama’ Mazhab al-Maliki berpendapat bahwa jika gugurnya hak itu karena użur, seperti sakit, tidak mempunyai tempat tinggal atau pergi haji, kemudian penghalang itu telah hilang, maka hal tersebut kembali lagi kepadanya, tetapi jika penghalang itu berupa menikahnya ibu dengan lakilaki lainnya yang bukan mahram anak atau bepergian dengan tanpa użur kemudian penghalang itu hilang, yakni dengan adanya perceraian baik karena ṭalāq, fasakh, maupun meninggalnya suami atau telah kembali dari bepergian, maka hal tersebut tidak bisa kembali lagi kepadanya, karena
31
Muhammad Alkhan dan Mustofa Al-Baghiy, Al-Fiqh Al-Manhajī ‘Alā Mazhab Al-Imam Al-Syafi’i, Damaskus: Dār al-Qalām, Cet. ke-VIII, 2008, h. 186. 32 Wahbah Zuhaili, op. cit., h. 7297.
32
menurut mazhab ini penghalang dalam ḥaḍānah adalah unsur yang iḍṭirāri (memaksa). 2. Ulama’ Mazhab al-Hanafi, al-Syafi’i, dan al-Hambali berpendapat bahwa jika hak ḥaḍānah itu gugur karena adanya penghalang, maka hak itu kembali lagi kepadanya setelah penghalang itu hilang, baik penghalang iḍṭirāri (tidak dapat diusahakan, seperti sakit) maupun penghalang yang ikhtiyāri (dapat diusahakan, seperti menikah lagi, bepergian atau fāsiq). D. Urutan Pelaku Ḥaḍānah Dalam hal terjadinya perceraian, selama tidak ada hal-hal yang melarang dan anak belum memiliki kemampuan untuk memilih, maka ibulah yang paling berhak untuk mengasuh anaknya, karena ibu mempunyai kasih sayang yang lebih. Di samping itu wanita pada umumnya lebih sering di rumah sedang laki-laki banyak mempunyai pekerjaan di luar rumah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi:
ﻳﺎ: ان اﻣﺮأة ﻗﺎﻟﺖ، ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ، ﻋﻦ اﺑﻴﻪ،ﺣﺪﺛﲏ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ وإن، وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء، وﺛﺪﻳﻲ ﻟﻪ ﺳﻘﺎء، إن اﺑﲏ ﻫﺬا ﻛﺎن ﺑﻄﲏ ﻟﻪ وﻋﺎء،رﺳﻮل اﷲ أﻧﺖ: ﻓﻘﺎل ﳍﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ، و أراد ان ﻳﻨﺘﺰﻋﻪ ﻣﲏ،اﺑﺎﻩ ﻃﻠﻘﲏ ( )رواﻩ اﺑﻮ داود.أﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎ ﱂ ﺗﻨﻜﺤﻲ 33
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Abdullah bin Amr: Bahwa ada seorang perempuan berkata (kepada Rasulullah): Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini aku yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dan di bilikku tempat berkumpulnya (bersamaku). Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku, dan ingin memisahkannya dariku. Maka 33
Al-Imam Abi Dawud, op. cit., h. 150.
33
Rasulullah SAW bersabda: “Kamulah yang lebih berhak (memelihara)nya, selama kamu tidak menikah”.(H.R. Abu Dawud). Hadits tersebut menjelaskan bahwa ibulah yang berhak untuk memelihara anaknya selama ibu itu tidak menikah lagi dengan laki-laki lain. Apabila ibunya menikah lagi maka hak ḥaḍānah tersebut beralih kepada ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu dari anak tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru dan mengalahkan atau mengorbankan anak kandungnya.34 Demikian pula seharusnya dengan bapak, karena kalau bapak kawin dengan perempuan lain, besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada istrinya yang baru dan ini pun dapat mengurangi bahkan mengabaikan hak ḥaḍānah-nya. Namun para ulama’ belum ada yang memberikan syarat ini (belum kawin dengan perempuan lain) berlaku pada pelaku ḥaḍānah laki-laki, mungkin karena bapak dalam keluarga adalah sebagai kepala rumah tangga sehingga mempunyai otoritas yang lebih dari pada perempuan. Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab menyebutkan bahwa apabila ibu sudah menikah, atau seorang budak, atau kafir, kemudian ibunya ibu sakit maka si ayah yang berhak melakukan ḥaḍānah apabila belum menikah.35 Jika anak tersebut telah mumayyiz maka hak ḥaḍānah diberikan sepenuhnya kepada anak untuk memilih diantara kedua orang tuanya. Dalam hal
34
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, h.
35
Al-Imam an-Nawawi, op. cit., h. 428.
250.
34
urut-urutan orang yang berhak melakukan ḥaḍānah Mazhab al-Syafi’i menetapkan tiga kemungkinan, yaitu: a. Apabila anak mempunyai kerabat laki-laki dan perempuan, maka didahulukan ibu dari pada ayah, kemudian ibu dari ibu dan seterusnya ke atas dengan syarat ada hubungan hak waris dengan anak. Apabila mereka tidak ada hubungan hak waris maka ayah yang lebih berhak melakukan hak ḥaḍānah. Kemudian ibu dari ayah dan seterusnya ke atas dengan syarat ada hubungan waris. Apabila pada tingkat ini tidak ada, maka yang berhak adalah kerabat yang paling dekat dengan ketentuan kerabat yang perempuan didahulukan dari kerabat laki-laki. Apabila mereka juga tidak ada, maka yang berhak adalah keturunan menyamping seperti: saudara perempuan, saudara laki-laki dan seterusnya. b. Apabila anak hanya mempunyai keluarga perempuan saja maka ibu didahulukan, kemudian ibu dari ibu, ibu dari ayah dan seterusnya ke atas. Kemudian saudara perempuan, saudara perempuan ibu, anak perempuan dari saudara perempuan ayah, anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, dengan ketentuan didahulukan yang sekandung dari pada yang tidak, dan didahulukan yang seayah dari pada ibu. c. Apabila anak hanya mempunyai keluarga yang laki-laki saja, mereka didahulukan ayah, kemudian kakek, saudara laki-laki kandung seayah,
35
saudara laki-laki dari ayah yang sekandung atau seayah, kemudian anak dari saudara laki-laki ayah.36 Al-Sayyid al-Sabiq dalam kitabnya al-Fiqih al-Sunnah menambahkan mengenai anak yang tidak mempunyai kerabat satupun, yaitu: 37
. ﻓﺈن اﳊﺎﻛﻢ ﻣﺴﺆو ل ﻋﻦ ﺗﻌﻴﲔ ﻣﻦ ﻳﺼﻠﺢ ﻟﻠﺤﻀﺎﻧﺔ,ﻓﺈن ﱂ ﻳﻜﻦ ﲦﺔ ﻗﺮﻳﺐ
Artinya: “Maka apabila sudah tidak ada satupun kerabatnya, maka hakim bertanggung jawab untuk menetapkan siapakah orang yang patut menangani ḥaḍānah”. Jika anak yang masih kecil tersebut tidak mempunyai kerabat di antara muhrim-muhrimnya di atas, atau punya tetapi tidak mampu melakukan ḥaḍānah (asuhan) maka berpindahlah tugas tersebut ke tangan para aṣābah yang laki-laki dari muhrim-muhrimnya di atas sesuai dengan hukum yang ada dalam hukum waris. Hak asuh tersebut berpindah ke ayah si anak, kemudian ayah dari ayah (kakek), kemudian ke saudara laki-laki sekandung dari ayah, dan seterusnya. Seperti dalam urusan para ahli waris dan yang dianggap lebih menguntungkan bagi kepentingan si anak. Demikianlah urut-urutan kerabat yang berhak untuk melakukan ḥaḍānah, namun jika sudah tidak ada di antara kerabat-kerabat tersebut di atas maka pengadilan (hakim) bertanggung jawab untuk menetapkan siapakah orang yang berhak atau patut untuk menangani ḥaḍānah ini.
36 37
Kamal Muchtar, op. cit., h. 141-142. Al-Sayyid al-Sabiq, loc. cit., h. 165.
36
Meskipun demikian, tugas mengasuh anak merupakan kewajiban istri, jika seorang ayah yang lebih mampu untuk mendidik dan mengasuh anak maka tidak menutup kemungkinan itu akan diserahkan kepada ayah. Secara psikologis anak ketika diasuh seorang ayah lebih baik dan menjadi orang yang lebih bermanfaat dan berguna, begitupun sebaliknya. E. Tenggang Waktu Ḥaḍānah Pada dasarnya masa ḥaḍānah tidak terdapat batasan-batasan tertentu dalam perkembangan anak, ketika anak tersebut hidup bersamaan dengan orang tua. Anak akan selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang anak menjadikan anak tersebut lebih baik dalam kehidupannya. Di samping itu seorang anak mempunyai kewajiban untuk berbakti pada kedua orang tua. Ḥaḍānah berhenti (habis) bila si anak kecil tersebut sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu mengurus sendiri kebutuhan pokoknya seperti: makan sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri dan sebagainya. Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu tentang waktu habisnya. Hanya saja ukuran yang digunakan ialah tamyīz dan kemampuan untuk berdiri sendiri. Jika anak kecil dapat membedakan yang benar dan salah, dan tidak memerlukan pelayanan serta dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, maka ḥaḍānah-nya telah habis. Para ulama’ sepakat hak ḥaḍānah terhadap anak itu di mulai sejak anak masih kecil sampai tamyīz. Dan mereka berbeda pendapat apakah hak ḥaḍānah
37
itu tetap setelah masa tamyīz. Menurut Ulama’ Syafi’iyyah, tidak ada batasan masa waktu tertentu untuk mengasuh anak. Anak akan tetap tinggal bersama ibunya sampai bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibunya atau bapaknya. Apabila anak sudah sampai pada tingkat ini dia disuruh memilih, apakah akan tinggal bersama bapaknya atau ibunya? Kalau anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya di siang hari, agar bapak bisa mendidiknya, jika anak itu perempuan maka ia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam, tetapi bila anak memilih tinggal bersama ayah dan ibunya maka dilakukan undian, bila anak diam (tidak memberi pilihan) maka anak diputuskan ikut bersama ibunya. 38 Sementara menurut Ulama’ Malikiyah, masa asuhan anak laki-laki adalah dari lahir sampai balig, sementara masa asuhan anak perempuan adalah sampai menikah dan didukhuli oleh suaminya. 39 Adapun masalah khiyar,40 Mazhab al-Syafi’i berpendapat bahwa anak laki-laki yang sudah berumur tujuh tahun, maka berhak memilih antara ibu dan bapaknya. Menurut Mazhab al-Maliki dan al-Hanafi tidak ada khiyar, akan tetapi jika anak sudah mampu berdiri sendiri, makan, berpakaian dan beristinja’ sendiri, maka ayah lebih berhak terhadapnya.41
38
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit., h. 418. Hasby Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fikih Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-V, 1978, h. 311. 40 Khiyar adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi. 41 Muhammad Jawad Mughniyyah, lct. cit, h. 419. 39
38
Mengenai hak khiyar anak perempuan, al-Syafi’i mendasarkan bahwa apabila anak laki-laki punya hak khiyar maka anak perempuan juga mempuyai hak yang sama. Sedang Abu Hanifah berkata ibu lebih berhak kepadanya sampai haid dan menikah. Al-Maliki juga berpendapat bahwa ibu lebih berhak kepadanya sebelum menikah dan didukhuli oleh suaminya, sebab tidak ada hukum yang menyuruh mereka untuk memilih, dan tidak mungkin dipisahkan dari ibunya. Maka ibu lebih berhak terhadapnya sebagaimana sebelum berumur tujuh tahun.42 Dalam kaidah fiqhiyyah mengatakan: 43
ﺗﺼﺮف اﻻﻣﺎم ﻋﻠﻰ اﻟﺮﻋﻴﺔ ﻣﻨﻮط ﺑﺎﳌﺼﻠﺤﺔ
Artinya: “Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaṣlaḥahan.” Kaidah tersebut bersumber dari perkataan al-Syafi’i bahwa kedudukan Imam terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Sehingga dapat dikatakan bahwa pertimbangan ke-maṣlaḥah-an sangat dituntut dalam konsepsi hukum Islam dengan syarat ke-maṣlaḥah-an yang dimaksud
adalah
ke-maṣlaḥah-an
seutuhnya.
Oleh
karena
itu,
faktor
pertimbangan maṣlaḥah yang dijadikan kerangka acuan penetapan hak khiyar anak haruslah yang sesuai dengan kepentingan anak dan bukan kepentingan orang tua. Lain dari pada itu, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) di Indonesia Bab XIV Pasal 98 ayat 1 disebutkan bahwa: 42 43
Ibid, h. 419. Muchlis Usman, op. cit, h. 150.
39
“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.44 Setelah anak tersebut mumayyiz yang berwajib (pemerintah atau pengadilan yang berhak menentukan siapa di antara keduanya yang berhak mengasuhnya demi kebaikan anak) sekiranya keduanya sama baiknya, anak yang bersangkutan diserahkan untuk menentukan pilihannya, apakah ikut ibu atau bapaknya? Mendidik anak pada dasarnya merupakan kewajiban orang tua. Maka dalam mendidik anak tidak ada batasan waktu yang jelas, karena hal ini merupakan hak bagi anak. Untuk memperoleh hak dan kewajiban sebagai anak dari orang tua, maka kedua orang tua masih mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakannya. Dalam Islam setelah anak lahir telah dibuat ketetapan bagi orang tua atau orang yang bertanggung jawab. Agar mengasuh secara layak dan berbuat baik pada anak dengan menegakkan hak-haknya baik yang berkaitan dengan kehidupan dunia ataupun akhiratnya. Maka bagi pengasuh atau pemegang ḥaḍānah wajib untuk melakukan yang terbaik bagi kepentingan anaknya. F. Biaya Ḥaḍānah Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi
44
Direktorat Pembinaan dan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001, h. 58.
40
kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat terus menerus sampai anak tersebut mencapai batas umur legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.45 Biaya pengasuhan sama halnya dengan biaya menyusukan anak. Biaya tersebut termasuk bagian kewajiban memberi nafkah, yaitu dengan penjelasan sebagai berikut: a.
Apabila suami istri masih terikat dengan tali perkawinan atau istri dalam masa ‘iddah karena dicerai oleh bapak si anak maka istrinya hanya mendapat nafkahnya sebagai seorang istri atau nafkah karena menjalani masa iddah.
b. Dan apabila ibu telah menjalani masa ‘iddah-nya ia tidak berhak lagi menerima nafkah dari bekas suaminya, karena itu ia mendapat biaya susuan dari ayah anaknya. c. Apabila yang melaksanakan pengasuhan itu selain dari pada ibu, ia berhak mendapat ongkos hidup anak, karena ia terikat dengan tugas melaksanakan pengasuhan itu. Berikut ini pendapat ulama’ mengenai upah ḥaḍānah sebagai berikut: 1. Menurut al-Imam al-Syafi’i dan al-Hambali Bagi ḥaḍīnah berhak mendapat upah atas upah bagi pengasuhan yang diberikan ayah, baik dia berstatus ibu sendiri maupun orang lain bagi anak itu. Al-Imam al-Syafi’i menegaskan bahwa manakala anak yang diasuh itu
45
Amir Nurruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Prenada Media, Cet. ke-I, 2004, h. 294.
41
mempunyai harta sendiri, maka upah tersebut diambil dari hartanya. Sedang bila tidak, upah itu merupakan tanggung jawab ayahnya atau orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada anak.46 2. Menurut al-Imam al-Maliki Ḥaḍīnah tidak berhak mendapat upah atas pekerjaannya atas ḥaḍānah, akan tetapi Imamiyah berpendapat bahwa ḥaḍīnah mendapatkan upah dari menyusui.47 3. Menurut al-Imam al-Hanafi Pengasuhan wajib memperoleh upah manakala sudah tidak ada lagi ikatan perkawinan antara ibu dan bapak si anak, dan tidak pula dalam masa ‘iddah dalam talak raj’i. Kemudian mengenai siapa yang harus menanggung upah ḥaḍānah, Ulama’ Imamiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa upah ḥaḍīnah diambil dari harta anak tersebut, apabila anak tersebut tidak punya harta, maka upah ḥaḍānah menjadi tanggung jawab ḥaḍānah ayah atau orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada anak tersebut.48 G. Peranan Ibu Dalam Mendidik Anak Anak dilahirkan di dunia dalam kondisi serba kurang lengkap. Sebab semua naluri, fungsi jasmaniah serta rohaniahnya belum berkembang dengan sempurna. Oleh karena itu, anak mempunyai kemungkinan yang panjang untuk 46
Abdul Rahman al-Jaziri, loc. cit, h. 603. Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit., h. 418. 48 Ibid. 47
42
bebas berkembang, yaitu untuk survive mempertahankan hidup dan untuk menyesuaikan diri dalam lingkungannya.49 Bentuk dan banyaknya pengaruh selama perkembangan anak bergantung pada dua kondisi, yaitu pola keluarga dan siapa anggota-anggota keluarga yang ikut berperan? Dalam keluarga, hubungan anak dengan ibunya akan sangat berbeda dibandingkan dengan hubungan ayahnya. Sebab ibu lebih berperan aktif dan lebih dominan dalam hal merawat dan mendidik anak. Kemudian jika ibu bekerja di luar rumah dan anak diasuh oleh sanak saudara, tetangga atau tempat penitipan anak maka hubungan ibu dengan anaknya akan sangat berbeda.50 Dalam fase penyusuan, setiap bayi yang normal akan mendambakan cinta kasih dan indungan mesra dari ibunya. cinta kasih itu merupakan kebutuhan primer dan kebutuhan kodrati, di samping kebutuhan vital mendapatkan air susu dan pemeliharaan. Kebutuhan akan kasih sayang Ibu itu sudah tumbuh sejak awal sekali dari kehidupan bayi. Yaitu sejak bayi ada dalam kandungan dan menjadi kebutuhan vital yang terbesar. Unsur cinta kasih merupakan semen-pengokoh bagi pembentukan kepribadian. Oleh karena itu, support psikologis berupa indungan ibu dan kontak jasmaniah sewaktu menyusui bayi itu sama nilainya dengan perlindungan fisik dan kehangatan di dalam rahim ibu.51 Peranan ibu dalam keluarga adalah sangat penting. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kesuksesan dan kebahagiaan keluarga sangat ditentukan oleh 49
Kartini Kartono, Psikhologi Anak, Bandung: Alumni, 1981, h. 112. Meitasari Tjandrasa, Perkembangan Anak, Semarang: Erlangga, 1978, h. 201. 51 Kartini Kartono, op. cit, h. 101.
50
43
peran seorang ibu. Jika ibu adalah seorang wanita yang baik, maka kondisi keluarganya juga baik. Sebaliknya, apabila ibu adalah wanita yang bersikap buruk, maka kondisi keluarganya juga buruk. Ibu adalah orang dan tempat pertama di mana anak mendapatkan pendidikan. Apabila ibu dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam mendidik serta mengarahkan anak dengan baik, maka muncullah generasi yang baik. Generasi unggul yang tumbuh menjadi seseorang yang berbudi luhur, bertanggung jawab, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Sebab dalam prinsip-prinsip pendidikan menurut ajaran Islam,52 kedua orang tua terutama ibu harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Menanamkan jiwa keimanan kepada Allah secara murni, yaitu keimanan “tauhid” yang tidak berbau kemusyrikan sedikit pun. 2. Menanamkan rasa wajib memuliakan Allah atas kesadaran bahwa Allah Maha Mengetahui kepada semua perbuatan manusia. 3. Menanamkan rasa wajib menjalankan ibadah kepada Allah, terutama ibadah shalat yang merupakan sarana komunikasi continue antara manusia dan Allah, dengan cara langsung tanpa perantara apa dan siapa pun. 4. Menanamkan rasa tanggung jawab kemasyarakatan.
52
hlm. 114.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta:UII press, Cet. ke-XI, 2007,
44
5. Menanamkan rasa wajib bersikap hormat kepada sesama, tidak congkak dan sombong, baik dalam perbuatan maupun perkataan. 6. Menanamkan rasa wajib bersikap sopan santun dalam hidup, berjalan sedang, tidak terlampau cepat dan tidak terlampau lambat, berbicara sedang, tidak terlampau keras dan tidak pula terlalu lembut. Meskipun demikian, pada realitanya masih banyak ibu yang tidak dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Sebagian ibu ada yang sibuk dengan kariernya, ada yang malas melaksanakan tanggung jawabnya, dan ada juga yang menyerah untuk mendidik anak karena ia merasa putus asa dan tidak mengerti apa yang harus ia lakukan (tidak memiliki ilmu). Dengan demikian, pendidikan dan perkembangan jiwa anak menjadi terbengkalai dan pada akhirnya rusaklah kepribadian sang anak. Sejatinya, anak yang tumbuh dari keluarga yang tidak memiliki kepedulian antara satu dengan yang lainnya, tidak mendapatkan kasih sayang, tidak mendapatkan bimbingan serta arahan yang benar dari orang tua dan keluarganya akan menyebabkan anak tidak mengenal makna dari ikatan keluarga. Bahkan tidak diragukan lagi jika orang tua dalam hal ini ibu mengabaikan tugas dan kewajibannya maka akan membuat pribadi anak menjadi buruk, baik di mata keluarga maupun di masyarakat. Apabila telah terjadi demikian, orangtua tidak dapat menyalahkan siapapun, kecuali dirinya sendiri. Baik buruknya kepribadian anak adalah bukan mutlak kesalahannya. Tetapi, faktor dominan yang menyebabkan ia demikian adalah orangtua (ibu). Ibu yang tidak mendidik,
45
mengarahkan, dan membimbing anak sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat akan melahirkan generasi yang buruk. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”53 (QS. An-Nisa’: 9) Mengingat bahwa ibu mempunyai keterkaitan batin yang lebih kuat dari ayah. Maka, hal pertama yang harus diciptakan oleh keluarga terutama seorang Ibu adalah menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif sehingga kendala dalam mendidik anak, mengarahkan mereka terhadap ajaran agama, menciptakan kepribadian yang salih akan lebih mudah. Karena adanya rasa saling percaya dan ikatan kasih sayang yang kuat antara Ibu dan anak, dari seluruh pihak keluarga akan membentuk pribadi anak yang mandiri, kokoh, agamis, serta hormat dan patuh terhadap kedua orang tua.54
53
Tim Penyusun Disbintalad, Al-Qur’an Terjemah Indonesia, Jakarta: PT. Sari Agung, Cet. ke- XX, 2005, h. 142. 54 http://www.bayisehat.com/child-development-mainmenu-35/784-peranan-ibu-dalampendidikan-anak.html diambil pada hari Selasa tanggal 31 Mei 2011.
46
H. Konsep Maṣlaḥah Dalam Persoalan Hak Ḥaḍānah Terhadap Orang Kafir Secara sederhana maṣlaḥah itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat.55 Diterima akal, mengandung arti bahwa akal itu dapat mengetahui dengan jelas mengapa bisa demikian. Setiap perintah Allah dapat dipahami oleh akal, mengapa Allah memerintahkan demikian, maksudnya yaitu karena segala sesuatu itu mengandung ke-maṣlaḥah-an untuk manusia baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau tidak. Sebagaimana dijelaskan al-Syatibi bahwa maṣlaḥah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia merupakan sebuah doktrin dari maqāṣid alsyarī’ah.56 Maqāṣid al-syarī’ah yang secara substansial mengandung kemaṣlaḥah-an dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqāṣid al-syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqāṣid al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dalam Islam, tolok ukur (mi’yar) manfaat maupun madharat (kemaṣlaḥah-an), sebagaimana dinyatakan al-Ghazali, tidak dapat dikembalikan pada penilaian manusia karena amat rentan akan pengaruh dorongan nafsu insaniah. Sebaliknya, tolok ukur manfaat dan maḍarat harus dikembalikan pada kehendak atau tujuan syari’at yang pada intinya terangkum dalam al-mabādi’ al-khamsah,57 yaitu:
55
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid II, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-V, 2009, h. 220. 56 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Terj. Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 225 57 Abu Yasid, Islam Akomodatif (Rekronstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal), Yogyakarta: LkiS, Cet. ke-1, 2004, h. 77.
47
1. Perlindungan Agama (hifd ad-dīn) Perlindungan terhadap agama dalam Islam bisa dalam bentuk aktif-ofensif, tetapi bisa pula dalam bentuk pasif-defensif. Perlindungan secara aktif-ofensif bisa diwujudkan dalam bentuk penegakan sendi-sendi agama secara maksimal, seperti menyangkut prinsip-prinsip keimanan Allah dan hari kemudian serta penghambaan secara total kepada sang pencipta melalui amalan ritual. Sedangkan yang bersifat pasif-defensif dapat dilihat , misalnya dalam anjuran jihad membela agama, pembasmian aliran-aliran sesat dan sebagainya. Oleh karena itu, perlidungan agama ini sebenarnya meng-cover pula jenis-jenis perlindungan terhadap prinsip-prinsip dasar agama yang lain.58 2. Perlindungan Jiwa (hifḍ an-nafs) Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai. Termasuk dalam kategori memelihara jiwa adalah memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh berbuat zina), mencaci maki serta perbuatanperbuatan serupa.59 3. Perlindungan Akal (hifḍ al-‘aql)
58
Ibid, h. 92. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum, et. al, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, Cet. ke-II, 1994, h. 549-550. 59
48
Adalah menjaga akal agar tidak terkena bahaya (kerusakan) yang mengakibatkan orang yang bersangkutan tak berguna lagi di masyarakat, menjadi sumber keburukan dan penyakit bagi orang lain.60 4. Perlindungan Keturunan (hifḍ an-nasl) Adalah memelihara kelestarian jenis makhluk manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar terjalin rasa persahabatan dan persatuan di antara sesama umat manusia. Misalnya, setiap anak dididik langsung oleh kedua orang tuanya, perilakunya terus-menerus dijaga dan diawasi.61 5. Perlindungan Harta (hifḍ al-māl) Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan manusia akan harta benda merupakan keniscayaan demi melangsungkan hidupnya di dunia sebagai bekal bagi kehidupan akhirat. Sebagai perhiasan hidup, harta benda sebenarnya ibarat pisau bermata dua. Ia berdimensi positif bila penggunannya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, namun ia juga bisa berdimensi negatif apabila ditaṣaruf-kan secara zalim dan sewenang-wenang.62 Dari penjabaran di atas dikatakatan bahwa maṣlaḥah yang paling mendasar dalam Islam adalah mashalah agama, yang mesti diprioritaskan atas maṣlaḥah-maṣlaḥah lainnya. Anjuran menegakkan sendi-sendi maṣlaḥah agama dalam Islam, sampai pada batas harus mengorbankan jenis-jenis maṣlaḥah lain bilamana antar keduanya terjadi polarisasi. Hal ini tampak jelas, misalnya, dalam 60
Ibid, h. 550. Ibid, h. 551. 62 Abu Yasid, op. cit., h. 95. 61
49
anjuran berjihad atau berperang demi tegaknya agama dari ancaman luar sampai pada batas-batas harus mengorbankan jiwa dan harta benda sebagai taruhannya. Sungguh pun pemeliharaan dan perlindungan terhadap jiwa dan harta benda tersebut merupakan bagian dari menegakkan maṣlaḥah, namun ia berada di bawah tingkatan maṣlaḥah agama.63 Kenyataan seperti ini berbeda dengan pandangan filsafat hukum barat yang sedari awal memang tidak memperhatikan porsi yang cukup terhadap konstelasi agama (akhirat). Bahkan mereka tidak segan-segan menjadikan akidah maupun fitrah agama sebagai medium bagi tercapainya kepentingan sesaat, seperti mengeksploitasi akidah demi kepentingan politik yang sesungguhnya sangat temporal.64 Dengan kata lain, mereka memandang agama sebagaimana hal lain yang tidak memiliki kelebihan, apalagi sakralitas. Prioritas maṣlaḥah agama atas maṣlaḥah-maṣlaḥah lain dalam Islam dilandaskan, paling tidak, pada beberapa argumen, yakni:65 a. Kehidupan dunia pada hakikatnya merupakan sarana untuk menggapai kebahagiaan di akhirat. b. Pokok-pokok maṣlaḥah dalam Islam terangkum secara hierarkis ke dalam lima jenis perlindungan, yakni perlindungan agama, perlindungan jiwa, perlindungan akal, perlindungan keturunan, perlindungan harta benda.
63
Ibid, h. 65 Said Ramadhan Al-Buthi, Ḍawābiṭ Al-Maṣlaḥah Fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, Beirut: Muassasah al-Risālah, t.th., h. 55-56. 65 Abu Yasid, op. cit., h. 86-87. 64
50
Pokok-pokok maṣlaḥah di atas sengaja dibuat secara hierarkis, dan mengandung makna yang dalam, bahwa perlindungan terhadap ke-maṣlaḥahan yang berada pada posisi lebih tinggi harus didahulukan dari pada perlindungan terhadap ke-maṣlaḥah-an yang berada di bawahnya. Berdasar urutan ini, perlindungan maṣlaḥah yang pertama (agama) harus ditegakkan sungguh pun harus mengorbankan jenis maṣlaḥah yang ada di bawahnya. Demikian juga dengan penegakan maṣlaḥah urutan kedua (perlindungan jiwa) harus diupayakan penerapannya bahwa sampai pada batas-batas menafikkan maṣlaḥah di bawahnya. Sebagai contoh adalah diperbolehkannya meminum khamer yang sesungguhnya dapay menyumbat berfungsinya akal (maṣlaḥah urutan ketiga) dalam kondisi tertentu di mana pemeliharaan jiwa (urutan maṣlaḥah kedua) terancam.
Dengan
demikian,
keberadaan
maṣlaḥah
urutan
kedua
(perlindungan jiwa) diprioritaskan atas keberadaan maṣlaḥah urutan ketiga (perlindungan akal). Hierarki di atas menunjukkan kepada kita bahwa maṣlaḥah dunyāwiyyah sebenarnya hanyalah bagian suboordinat dari maṣlaḥah dīniyyah, yakni sebagai pengantar bagi kehidupan manusia. c. Maṣlaḥah dunyawiyyah tidak dapat berdiri sendiri tanpa maṣlaḥah dīniyyah, dalam arti bahwa sebagai cabang agama, maṣlaḥah dunyāwiyyah mesti berada dalam bingkai syari’at. Oleh karena itu, keberadaan maṣlaḥah dunyāwiyyah mesti mengacu pada sumber-sumber ajaran agama, baik al-Qur’an maupun
51
hadits. Dari sini, menjadi jelas bahwa sebagai wujud nyata dari tesa, maṣlaḥah adalah cabang dari hakikat agama, maka maṣlaḥah (begitu juga mafsadah) sebenarnya bisa ditangkap sebagai buah dari hukum-hukum syara’ yang berupa wujūb, sunnah, ḥarām, dan ibāḥah. Oleh karena itu, pensyaratan Islam dalam konteks ḥaḍānah
memang
diperlukan dan dapat dikatakan sangat krusial. Ini berarti bahwa ketika ḥaḍānah itu jatuh ke tangan orang kafir, maka akan membahayakan keselamatan agama dari anak tersebut. Jadi, calon pemegang hak ḥaḍānah itu wajib mengupayakan ke-maṣlaḥah-an jasmani dan rohani anak sesuai kemampuannya, dan lebih mengutamakan ke-maṣlaḥah-an rohani dari pada ke-maṣlaḥah-an jasmani. Memang permasalahan hadanah lebih diprioritaskan pada wanita terutama ibu, bila ia tidak bisa menjamin keselamatan rohani anak maka baginya gugur hak ḥaḍānah-nya. Dalam pengasuhan bagi anak yang masih dalam masa penyusuan bisa dilakukan oleh ibu yang telah murtad, karena ke-maṣlaḥah-an ḍarūriyyah bagi anak yang masih dalam masa penyusuan adalah hifḍ an-nafs dan hifḍ al-’aql, sedangkan kemaslahatan aqidah atau rohani anak (hifḍ ad-dīn) pada usia tersebut ada pada tingkatan ḥajiyyah bahkan mungkin taḥsīniyyah karena anak belum bisa menalar sesuatu. Setelah selesai masa penyusuan, maka hak asuhnya diberikan pada pihak lain yang beragama Islam, kemudian setelah mumayyiz anak diberikan hak memilih dengan siapa dia akan ikut pengasuhan.
52
Jadi, bisa disimpulkan bahwa penjagaan agama itu tetap harus didahulukan dari pada penjagaan jiwa karena setelah masa penyusuan selesai, anak harus diberikan kepada orang yang beragama Islam supaya anak tersebut tidak terus menerus diasuh oleh orang kafir sebab nantinya dapat membahayakan agamanya.
BAB III PENDAPAT AL-IMAM AN-NAWAWI TENTANG HAK ḤAḌĀNAH KARENA ISTRI KAFIR
A. Biografi Al-Imam An-Nawawi 1. Riwayat hidup al-Imam an-Nawawi Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Marri al-Khazami.1 Dia dikenal dengan sebutan an-Nawawi, karena namanya dinisbahkan kepada tempat kelahiran dan tempat wafatnya di Nawa, sebuah Negeri di Hawran dalam kawasan Syam (Syiria). Dia lahir pada bulan Muharram 631 H (1233 M),2 di Desa Nawa. Dia dididik oleh ayahnya yang bernama Syaraf Ibnu Muri, dia terkenal dengan keshalehan dan ketakwaannya. Diriwayatkan bahwa anNawawi yang terkenal pintar itu, di masa kecilnya selalu menyendiri dari teman-temannya yang suka menghabiskan waktu untuk bermain. Dalam kondisi yang demikian an-Nawawi yang dari kecilnya mendapat perhatian besar dari orang tuanya, banyak menggunakan waktunya untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an.3 Dan dia mengkhatamkan al-Qur’an sebelum mencapai baligh. Ketika berumur 19 (sembilan belas) tahun, ayahnya mengajak an-Nawawi pergi ke Damaskus untuk menuntut ilmu dan ayahnya menempatkan an-Nawawi di Madrasah ar-Rawahiyyah. Dalam 1 Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. ke-I, 1996, h. 1315. 2 Dewan Redaksi Depag RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993, h. 844-845. 3 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 735.
53
54
kurun waktu empat setengah bulan dia hafal Tanbīh, kemudian dalam waktu kurang dari setahun hafal Rubu’ ‘Ibādat dari kitab Muhazzab.4 Setiap hari dia menelaah 12 (dua belas) pelajaran, yaitu dua pelajaran dalam al-Wasit, satu pelajaran dalam Muhazzab, satu pelajaran dalam Jam’u Baina Saḥīḥain, satu pelajaran dalam Sahih Muslim, satu pelajaran dalam Luma’ oleh Ibnu Jinny, satu pelajaran dalam Islāh alanṭiq, satu pelajaran dalam Tasrif, satu pelajaran dalam Ushul Fiqh, satu pelajaran dalam Asma’ Rijāl, dan satu pelajaran dalam Ushuluddin.5 Al-Imam an-Nawawi dalah seorang sayyid dan dapat menjaga dirinya dari hawa nafsu, meninggalkan sesuatu yang bersifat keduniawian dan menjadikan agamanya sebagai suatu yang dapat membawa kemakmuran, dia juga seorang yang zuhud
6
dan qana’ah7, pengikut
ulama’ salaf dari Ahlun al-Sunnah wal Jama’ah, dan sabar dalam mengajarkan kebaikan, tidak menghabiskan waktunya selain hanya dalam ketaatan, dan dia juga seorang seniman dalam berbagai bidang keilmuan, seperti ilmu fiqih, hadits, bahasa, tasawuf, dan sebagainya.8 Dia terus melakukan usaha-usaha yang sempurna untuk menghasilkan dan mengembangkan ilmu, mengerjakan amal-amal yang sulit, menyucikan jiwa dari kotoran hawa, akhlak tercela dan keinginan-keinginan yang 4 Ibnu Qadhi al-Syuhba al-Dimasyqi, Thabaqāt Al-Syafi’iyah, India: The Da’iratul Ma’arifil Osmania, 1979, h. 195. 5 Ibid, hlm. 196. 6 Zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akherat. Lihat, http://www.g-excess.com/id/pengertianzuhud-dalam-islam.html diambil pada hari Selasa 12 April 2011. 7 Qana’ah artinya menerima dengan cukup 8 Tajuddin Abi Nasr Abdul Wahab al-Subki, Thabaqāt Al-Syafi’iyyah Al-Kubra, Kairo: Dār Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th, h. 395.
55
tercela, menguasai hadits beserta yang berkaitan dengannya, hafal mazhab dan mempunyai wawasan luas dalam islamologi.9 Secara umum al-Imam an-Nawawi termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun dia tidak ma’sum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada ulama’-ulama’ di zamannya yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah SWT. Dia kadang men-ta’wil dan kadang-kadang men-tafwidh. Al-Imam an-Nawawi wafat pada malam Rabu tanggal 24 Rajab 676 H bertepatan dengan tanggal 22 Desember 1277M dalam usia 45 tahun.10 Sebelum meninggal, dia sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji beserta orang tuanya dan menetap di Madinah selama satu setengah bulan, dan sempat juga berkunjung ke Baitul Maqdis di Yerussalem. Dan dia juga tidak menikah sampai akhir hayatnya.11 2. Latar belakang pendidikannya Al-Imam an-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 (delapan belas) tahun. Kemudian pada tahun 649 H dia memulai perjalanan dalam pencarian Ilmunya ke Damaskus dengan menghadiri diskusi-diskusi ilmiah yang diadakan oleh para ulama’ pada kota tersebut.
9
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, Cet. ke-I, 2005, h. 761. 10 Dewan Redaksi Depag RI, op. cit., h. 846. 11 Abdul Aziz Dahlan, et. al., op. cit., h. 1315.
56
Pada mulanya dia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama’ulama’ terkemuka di desa tempat kelahirannya. Kemudian setelah umurnya menginjak dewasa, ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di dusun tempat kelahirannya itu. Maka pada tahun 649 H, bersama ayahnya an-Nawawi berangkat ke Damaskus. Pada waktu itu tempat berkumpulnya ulama’-ulama’ terkemuka, dan tempat kunjungan orang dari berbagai pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di kota itu juga terdapat beberapa sekolah agama, dan ada yang mengatakan tidak kurang dari 300 buah sekolah tersebar di Damaskus waktu itu.12 Begitu asl-Imam an-Nawawi sampai di Damaskus, dia langsung berhubungan dengan seorang alim terkenal, yaitu Syekh Abdul Kafi Ibnu Abdul Malik al-Rabi, dan dari mereka al-Imam an-Nawawi banyak belajar. Beberapa waktu kemudian, dia dikirim oleh gurunya itu ke sebuah lembaga pendidikan yang terkenal dengan Madrasah ar-Rawahiyyah, dan di situlah dia tinggal dan banyak belajar.13 Pada tahun 651 al-Imam an-Nawawi menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian dia pergi ke Madinah dan menetap di sana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Damaskus. Dan pada tahun 665 H dia mengajar di Darul Hadits al-Asyrafiyyah (Damaskus) dan menolak untuk mengambil gaji. Al-Imam an-Nawawi digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama), namun dia sendiri tidak senang diberi gelar tersebut. 12 13
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, op. cit., h. 735-736. Ibid, h. 736.
57
Ketidaksukaan itu disebabkan rasa tawadhu’ yang tumbuh pada diri alImam an-Nawawi, sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dia menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf, mencegah perbuatan yang munkar dan memberikan manfaat kepada umat Islam dengan karya-karyanya.14 Banyak ilmu keislaman yang dikuasai oleh al-Imam an-Nawawi. Dalam bidang fiqih dia belajar dari ulama’-ulama’ terkemuka dari Mazhab Syafi’i. Oleh sebab itu, al-Imam an-Nawawi terbilang sebagai seorang pembela Mazhab Syafi’i.15 Di antara guru-gurunya dala ilmu fiqih dan ushul fiqih adalah Abdul Fatah Umar ibnu Bandar ibnu Umar at-Taflisi, Syekh Abu Ibrahim Ishaq ibnu Ahmad ibnu Usman al-Maghribi, Syamsuddin Abdurrahman ibnu Nuh al-Maqdasy, Syekh Abu Hasan Sallar ibnu al-Hasan alDimasyqi.16 Adapun guru-gurunya dalam bidang ilmu hadits adalah Ibrahim bin Isa al-Muradi al-Andalusi al-Mashri al-Dimasyqi, Abu Ishaq Ibrahim Bin Abi Hafsh Umar bin Mudhar al-Wasithi, Zainuddin Abu al-Baqa’ Khalid bin Yusuf bin Sa’ad al-Ridha bin al-Burhan dan Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdil Muhsin al-Anshari. Kemudian guru-gurunya dalam bidang Nahwu dan Lughah adalah Ahmad bin Salim Al-Mashri, Ibnu Malik dan Al-Fakhr Al-Maliki.17
14
Syaikh Ahmad Farid, op. cit., h. 756-757 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, op. cit., h. 736. 16 Ibnu Qadhi al-Syuhba al-Dimasyqi, op. cit., h. 197. 17 Syaikh Ahmad Farid, loc. cit., h. 773. 15
58
Di antara murid-murid yang pernah dia ajar adalah, Al-Khatib Sadar Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin Ahmad bin Ja’wan, Syihabuddin al-Arbadi,
Alanuddin bin Attar, Ibn Abi al-Fath dan Al-Minahi munkar, al-Mizzi.18 Dan perhatian dia terhadap kondisi sosial juga sangat besar. Dia
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, membimbing para pemimpin dan orang zalim serta munkar kepada agama. 3. Karya-karya al-Imam an-Nawawi Al-Imam an-Nawawi adalah ulama’ yang dikenal sebagai pengarang. Sejak usianya berumur 25 tahun dia banyak menulis karyakarya ilmiah. Di antara karya-karyanya adalah: a) Kitab Hadits dan Ilmu Hadits, yakni: 1. Kitab Ṣaḥīh Muslim bi Syarh an-Nawawi, kitab ini berisi tentang pendapat atau komentar al-Imam an-Nawawi terhadap kitab Ṣāḥih Muslim karya dari al-Imam al-Muslim. 2. Kitab Riyaḍ al-Ṣāliḥīn, kitab tersebut memuat berbagai macam hadits, yang tidak hanya diriwayatkan oleh al-Imam al-Muslim saja, tetapi dari riwayat imam yang lain secara umum. 3. Kitab al-‘Arba’īn an-Nawāwiyah, kitab yang di dalamnya berisi 40 (empat puluh) hadits yang dihimpun oleh al-Imam an-Nawawi. 4. Kitab ‘Ulum al-Hadīṡ, kitab tersebut membahas tentang ilmu hadits. 5. Kitab al-Isyārah Ilā al-Mubhamad, kitab yang membahas tentang hadits-hadits yang diragukan. 18
Abdul Aziz Dahlan, et. al., loc. cit., h. 1315.
59
6. Kitab al-Irsyād fī ‘Ulūm al-Ḥadīṡ. 7. Kitab Khulāsah fī al-Ḥadīṡ. 8. Kitab al-Akār al-Muntakhabah Min Kalām Sayyid al-Abrar. 9. Kitab Taqrīb Wa at-Taisīr Li Ma’rifah Sunan an-Nasyīr an-Nazīr. b) Kitab Fiqh, yakni: 1.
Kitab al-Majmu’, yakni salah satu kitab karya al-Imam anNawawi yang merupakan syarh al-Muhadzab yang terdiri dari beberapa permasalahan, antara lain yang menyangkut ibadah, muamalah, munakahat, jinayat
dan masalah-masalah yang
berhubungan dengan ‘ubudiyah. Masalah-masalah tersebut dibahas secara rinci dengan menggunakan tafsiran al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, fatwa-fatwa sahabat yang mauquf dan lain-lainnya, beberapa kaidah-kaidah dan cabang ilmu pengetahuan yang perlu diketahui. 2. Kitab Rauḍah aṭ-Ṭālibīn, yakni slah satu kitab fiqh karya al-Imam an-Nawawi yang terdiri dari beberapa pembahasan, yakni yang menyangkut ibadah, muamalah, munakahat, dan lain-lainnya. 3. Kitab Minhāj. 4. Kitab al-Fatwa, yakni kitab tentang fiqh yang kemudian dikenal dengan masāil al-mansūrah. 5. Kitab al-Īḍāḥ fī al-Manāsik, yakni kitab yang membahas secara khusus perihal manasik haji. Kitab ini disyarahi oleh Ali bin Abdullah bin Ahmad bin al-Hasan.
60
6. Kitab At-Taḥqīq. 7. Kitab Hāsiyah, yakni kitab yang membahas tentang fiqh secara luas. c) Kitab yang berisi tentang biografi dan sejarah, yaitu: 1. Kitab Ṭabaqāt al-Fuqahaʹ, yakni kitab yang berisi tentang biografi para ahli fiqh. 2. Kitab Tahẓīb al-Asmaʹ Wa al-Lugāh. d) Kitab yang berisi tentang bahasa, yakni 1. Kitab Taḥrīr al-Faẓ al-Tanbīh. 2. Kitab Tahẓīb al-Asma’ Wa al-Lughāh bagian kedua. e) Kitab yang berisi tentang bidang pendidikan dan etika, yaitu: 1. Kitab Adab Ḥamalah al-Qur’an. 2. Kitab Bustān al-‘Ārifīn.19 B. Metode Istinbaṭ Hukum Al-Imam An-Nawawi Istinbaṭ merupakan sistem atau metode para mujtahid yang digunakan untuk menemukan atau menetapkan suatu hukum. Istinbaṭ erat kaitannya dengan fikih, karena sesungguhnya fikih, dan segala hal yang berkaitan dengannya, merupakan hasil ijtihad para mujtahid dalam menetapkan hukum dari sumbernya. Metode istinbaṭ hukum yang dipakai al-Imam an-Nawawi pada dasarnya adalah sama dengan istinbaṭ hukum yang dipergunakan oleh alImam al-Syafi’i, hal ini disebabkan karena al-Imam an-Nawawi merupakan
19
Syaikh Ahmad Farid, loc. cit., h. 775-776.
61
salah satu ulama’ golongan Syafi’iyah. Oleh karena itu, untuk mengetahui metode istinbaṭ hukum yang dipergunakan al-Imam an-Nawawi sangat perlu kiranya terlebih dahulu penulis paparkan metode istinbaṭ hukum al-Imam alSyafi’i. Mazhab al-Syafi’i ini dibangun oleh al-Imam Muhammad ibnu Idris al-Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib.20 Aliran keagamaan al-Imam al-Syafi’i ini sama dengan Imam mazhab lainnya dari mazhab imam empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad ibnu Hambal adalah termasuk golongan Ahlu al-Sunnah wa alJamā’ah. Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah dalam bidang furu’ terbagi kepada dua aliran diantaranya adalah aliran Ahlu al-Hadīṡ dan aliran Ahlu al-Raʹyi. Dan al-Imam al-Syafi’i termasuk dalam aliran Ahlu al-Hadīṡ. Oleh karena itu, meskipun al-Imam al-Syafi’i digolongkan sebagai orang yang beraliran Ahlu al-Hadīṡ, namun pengetahuannya tentang fiqih Ahlu Al-Raʹyi tentu akan memberi pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan hukum. 21 Dalam metodologinya, al-Risalah, al-Imam al-Syafi’i menjelaskan kerangka dan dasar-dasar madzhabnya dan juga beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum-hukum far’iyah. Menurut al-Imam al-Syafi’i, al-Qur’an dan hadits adalah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori istidlāl seperti qiyas, istiḥsan, dan lainnya hanyalah
20 21
124.
Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, h. 119. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997, h.
62
merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi. Pemahan integral terhadap al-Qur’an dan hadits ini merupakan karakteristik yang menarik dari pemikiran fiqh al-Syafi’i. Menurut al-Imam al-Syafi’i, kedudukan hadits dalam banyak hal adalah sebagai penjelas dan penafsir sesuatu yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Oleh karena sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan al-Qur’an. Al-Imam al-Syafi’i juga mempunyai pandangan yang dikenal dengan qaul al-qādim dan qaul al-jadīd. Qaul al-qadīm juga terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Ḥujjah, yang dicetuskan di Irak. Sedangkan qaul al-jadīdnya terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Umm yang dicetuskan di Mesir.22 Menurut al-Imam al-Syafi’i struktur hukum Islam dibangun di atas sumber-sumber hukum yang terdiri atas al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Meskipun ulama’ sebelumnya juga menggunakan empat dasar di atas, tetapi rumusan al-Imam al-Syafi’i punya nuansa dan paradigma baru, penggunaan ijma’ misalnya tidak sepenuhnya mengikuti rumusan al-Imam al-Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas. Bagi al-Imam al-Syafi’i ijma’ merupakan metode dan prinsip dan karenanya ia memandang konsensus orang-orang umum sebagaimana dinyatakan al-Imam al-Malik dan ulama’ulama’ Madinah.
22
Ibid.
63
Pemikiran-pemikiran al-Imam al-Syafi’i tersebut di atas kemudian diteruskan oleh murid-murid atau para pengikutnya (Syafi’iyah) termasuk di dalamnya adalah al-Imam an-Nawawi. Oleh karenanya dalam hal ini, kerangka berpikir al-Imam an-Nawawi selalu berpegang pada metode-metode istinbaṭ hukum yang telah digariskan oleh al-Imam al-Syafi’i dan tidak membuat metode-metode baru selain yang telah ada. Metode tersebut adalah : 1. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah hujah hukum yang pertama dan utama, sekaligus menjadi dasar pokok dalam menetapkan hukum syara’ berdasarkan dalālah-nya yang qat’i. Dalam berhujjah dengan al-Qur’an, al-Imam alSyafi’i berdalil dengan ẓāhir-ẓāhir nash al-Qur’an, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan ẓāhir-nya. 2. Hadits Hadits adalah semua perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah yang berposisi sebagai petunjuk tasyri’.23 Al-Imam al-Syafi’i memandang hadits berada dalam satu martabat, karena menurutnya hadits itu menjelaskan al-Qur’an, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir. Disamping itu, karena al-Qur’an dan hadits keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan hadits secara terpisah tidak sekuat seperti al-Qur’an. Dalam pelaksanaannya, al-Imam al-Syafi’i menempuh cara bahwa apabila di dalam al-Qur’an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, dia 23
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. ke-III, 2007, h. 20.
64
menggunakan hadits mutawatir. Jika tidak ditemukan dalam hadits mutawatir, maka dia menggunakan khabar aḥad, jika tidak ditemukan dalil yang dicari dengan kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan ẓāhir al-Qur’an atau hadits secara berturut. Dengan teliti dia mencoba untuk menemukan mukhassis dari al-Qur’an dan hadits. Walaupun al-Imam al-Syafi’i berhujjah dengan hadits ahad, dia tidak menempatkannya sejajar dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir. alImam al-Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut: a. Perawinya terpercaya. b. Perawinya berakal artinya memahami apa yang diriwayatkannya. c. Perawinya ḍābiṭ (kuat ingatannya). d. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya. e. Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadits. 3. Ijma’ Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw atas hukum syara’.24 Al-Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa ijma’ adalah hujjah dan dia menempatkan ijma’ sesudah al-Qur’an, hadits dan sebelum qiyas. Al-Imam al-Syafi’i menerima ijma’ sebagai 24
http://orgawam.wordpress.com/2008/09/28/ijma-dan-qiyas-adalah-juga-sumberhukum-islam/ diambil pada hari Selasa tanggal 12 April 2011.
65
hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits. Ijma’ menurut pandangan al-Imam al-Syafi’i adalah ijma’ ulama’ pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ di suatu negeri saja dan bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Namun al-Imam al-Syafi’i mengakui bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat. Di samping itu, al-Imam al-Syafi’i berteori bahwa tidak mungkin segenap masyarakat muslim bersepakat dalam hal-hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Dia juga menyadari bahwa dalam prakteknya tidak mungkin membentuk atau mengetahui kesepakatan seperti itu semenjak Islam meluas keluar dari batas-batas wilayah Madinah.25 Ijma’ yang dipakai al-Imam al-Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma’ yang disandarkan kepada nash atau landasan riwayat Rasulullah secara tegas dia mengatakan bahwa ijma’ yang berstatus dalil hukum adalah ijma’ sahabat. Al-Imam al-Syafi’i hanya mengambil ijma’ ṣārih sebagai dalil hukum dan menolak ijma’ sukūti menjadi dalil hukum. Alasan dia menerima ijma’ ṣārih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari seorang mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan keraguan. Sementara alasan menolak ijma’ sukūti karena bukan merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.
25
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., h. 130.
66
4. Qiyas Menurut para ulama’ ushul fiqh qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.26 Al-Imam al-Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat al-Qur’an, hadits dan ijma’ dalam menetapkan hukum. Al-Imam al-Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asasasasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad namun belum membuat rumusan kepada asasasasnya. Bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Dia juga berpendapat bahwa tidak wajib bagi seseorang memberikan pendapatnya dalam hukum syara’ melainkan perkara itu ada kaitannya dengan qiyas, maksudnya menghubungkan antara satu hukum yang tidak ada nashnya dengan satu hukum yang ada nashnya (al-Qur’an dan hadits), karena ada sebab (‘illat) kedua-duanya hukum itu adalah sama.27
26
http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-qiyas.html diambil pada hari Selasa tanggal 12 April 2011. 27 Ahmad Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Terj. Sabil Huda dan A. Ahmad, Cet. ke-V, 2008, h. 158.
67
Dari sinilah al-Imam al-Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologisnya dalam bentuk kaidah rasional namun praktis. Untuk itu dia pantas diakui dengan penuh penghargaan sebagai peletak pertama metodologi pemahaman hukum dalam Islam. Demikianlah qiyas dijadikan hujjah hukum oleh al-Imam al-Syafi’i sebagai pengembangan ra’yu terhadap persoalan-persoalan yang muncul dan belum ada ketentuan hukumnya. 5. Metode istidlal lainnya, sebagai berikut: a. Al-aṣlu fī al-asyyaˈ al-ibāḥah artinya bahwa segala sesuatu itu pada dasarnya boleh. b. Al-Istiṣḥāb, teori ini menurut caulson juga diamalkan oleh Al-Imam alSyafi’ibahkan dinilai lebih utama dari pada teori istiḥsān dan maṣlaḥah al-mursalah yang digunakan oleh imam Abu Hanifah dan Imam Malik. c. Al-Istiqraʹ adalah meneliti permasalahan-permasalahan cabang (juz’i) dengan mendetail guna menemukan sebuah hukum yang diterapkan pada seluruh permasalahan (kulli).28 d. Al-Akhżu bi al-Aqal adalah mengambil segala sesuatu dengan sesuatu yang sedikit.
28
Sya’ban Isma’il, Tażhīb Syarh al-Asnawi, Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah Li AtTuraṡ, 2007, h. 117.
68
e. Al-munāsib al-mursal adalah suatu sifat yang tidak didukung oleh nash yang bersifat rinci, tetapi juga tidak ditolak oleh syara’, namun, sifat ini mengandung suatu kemaslahatan yang didukung oleh sejumlah makna nash. f. Qaul ash-ṣahābi adalah hal-hal yang sampai kepada kita dari sahabat baik itu berupa fatwa atau ketetapannya, perkataan dan perbuatannya dalam sebuah permasalahan yang menjadi objek ijtihad yang belum ada nash yang jelas baik dari al-Qur’an atau hadits yang menjelaskan hukum permasalahan tersebut. Menurut satu riwayat juga diamalkan oleh Al-Imam al-Syafi’idalam qaul al-qadīm dan qaul al-jadīd-nya. Al-Imam
an-Nawawi
merupakan
mujtahid
fatwa
yaitu
dia
menbenarkan apa yang merupakan pandangan Mazhab al-Syafi‘i. Pada waktu itu, dia jarang sekali mengemukakan pandangannya sendiri. Adakalanya apa yang rajih di sisi mazhab berbeda dengan pendapatnya sendiri. Ini karena tugasnya dalam menyatakan pandangan mazhab hanyalah menyampaikan saja. Dia berbeda dengan ulama’ lainnya dalam menilai pelbagai pendapat ulama’ yang memerlukan proses mentarjih dalil. An-Nawawi memilih untuk tidak keluar dari kaedah dan usul Mazhab al-Syafi‘i sekalipun dia mempunyai kelayakan untuk berijtihad dan menilai dalil. Namun beberapa pilihan pendapat yang dia pegang berbeda dari pada apa yang masyhur di dalam mazhab. Hal ini membuktikan betapa dia sebenarnya tidak terikat dengan keputusan Mazhab al-Syafi‘i yang terdahulu.
69
Bahkan dia berpegang dengan kaedah mazhab yang lain untuk memilih pendapat yang berbeda tetapi mempunyai dalil yang lebih kuat. Pemikiran fikih an-Nawawi sebenarnya boleh difahami dengan cara meneliti beberapa pilihan pendapat tersebut. Kebiasaannya menyatakan bahwa pilihannya itu adalah lebih kuat dari sudut dalil berbanding dengan qaul yang satu dan yang lainnya. Dia juga menyandarkan pendapatnya itu kepada ulama’ yang terdahulu sekalipun ia bercanggah dengan qaul jumhur. Adakalanya dia sekedar mengisyaratkan bahwa pendirian mazhab tidak berdasarkan dalil yang kuat. Ini berarti bahwa an-Nawawi menggunakan metode istinbaṭ yang sama dengan al-Imam al-Syafi’i meskipun terkadang dia tidak sama dalam hal beristinbaṭ hukumnya. C. Pendapat Al-Imam An-Nawawi Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir Tanggung jawab memelihara anak bagi orang tua tidak hanya sebatas dalam keluarga yang hidup rukun saja, tetapi juga ketika hubungan perkawinan mengalami kegagalan karena terjadi perceraian, tanggung jawab itu masih tetap ada. Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dikenal dengan istilah ḥaḍānah. Dalam hal ini al-Imam an-Nawawi banyak berpendapat mengenai ḥaḍānah. Jika suami berpisah sedangkan mereka memiliki seorang anak yang masih kecil, yang belum mumayyiz, yaitu seorang anak yang berusia kurang dari tujuh tahun, maka anak tersebut wajib diasuh. Dalam hal ini ibulah yang
70
lebih berhak untuk memelihara anaknya. Akan tetapi bila ibu dari anak tersebut menikah maka ia tidak berhak melakukan ḥaḍānah.29 Namun jika anak itu telah mumayyiz (7-8 tahun) dan berakal. Ia diberi hak pilih untuk ikut salah satu dari keduanya. Bila ia memilih ikut ibunya maka ayah wajib memberi nafkah dan ayah tidak boleh melarang ibu untuk mendidiknya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan.30 Adapun bila terjadi pertentangan antara ayah dan ibu si anak dalam masalah musafir, seperti ibu berkata: “bepergian (musafir) itu menyibukkan untuk menjaga kemashlahatan dan kebutuhan si anak, sehingga tidak akan terpenuhi upaya pemeliharaan anak, maka aku lebih berhak atasnya”, atau ayah berkata: “aku bepergian untuk pindah menetap, maka aku lebih berhak atasnya”. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah ayah, karena lebih mengetahui maksud musafirnya.31 Sedangkan dalam riwayat lain Imam Abu Hanifah menjelaskan jika ibu pindah ke suatu daerah (masih dalam negeri), maka yang berhak adalah ayah. Sedangkan bila pindah ke negeri atau kota lain, ibu yang lebih berhak karena di kota lebih memungkinkan untuk mendidik anak. Dalam hal pengutamaan kerabat pihak ibu dari kerabat pihak ayah ini, al-Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa apabila ayah ada bersama saudara perempuan dan bibi, terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama, mengatakan bahwa ayah anak tersebut lebih berhak memeliharanya dari
29
Al-Imam an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Juz XIX, Beirut: Dār al-Fikr, Cet. ke-XVII, 2005, h. 424. 30 Ibid, h. 423. 31 Ibid, h. 438.
71
keduanya, ini didasarkan pada ẓahir naṣ, karena ayah itu adalah orang tua dan ahli warisnya, sehingga harus didahulukan dari keduanya. Pendapat kedua dikemukakan
oleh Abu Sa’id al-Isthakhri, mengatakan bahwa kedua
prempuan itu lebih berhak untuk memelihara anak itu dari ayah, karena mereka berdua adalah
orang yang berhak atas ḥaḍānah dan dapat
mendidiknya, serta merupakan kerabat dari pihak ibu yang harus lebih didahulukan dari kerabat ayah.32 Adapun pihak-pihak yang mempunyai hak untuk memelihara anak terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok perempuan dan kelompok lakilaki, yang perinciannya adalah sebagai berikut: 1. Kelompok perempuan terdiri dari: ibu, ibu dari ibu, nenek dari ibu ke atas, ibu dari bapak ke atas, saudara perempuan seayah dan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, saudara perempuan ibu, saudara perempuan ayah. 2. Kelompok laki-laki terdiri dari: ayah, ayah dari ayah, kakek dari ayah ke atas, saudara laki-laki seayah dan seibu, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu, anak laki-laki saudara lakilaki seayah, paman seayah, anak laki-laki dari paman seayah dan seibu dan anak laki-laki dari paman seayah.33 Islam sangat menghargai ibu dalam pengasuhan anak. Tetapi lain masalah apabila istri atau ibu dari anak yang diasuhnya itu kafir. Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab al-Imam an-Nawawi menyatakan: 32 33
Ibid, h. 431. Ibid, h. 429.
72
ﻓﻼ ﺣﻖ ﳍﺎ ﰱ, واﻻب ﻣﺴﻠﻢ, أو ﻛﺎﻓﺮة,و ان ﻛﺎﻧﺖ اﻻم رﻗﻴﻘﺔ او ﻏﲑ ﻣﺄﻣﻮﻧﺔ .اﳊﻀﺎﻧﺔ 34
Artinya: “Dan apabila ibu itu seorang budak, tidak dapat dipercaya atau kafir, dan bapaknya Islam maka ibu tidak berhak melakukan ḥaḍānah. Kemudian dalam kitab Minhāj Aṭ-Ṭālibīn al-Imam an-Nawawi berkata: 35
. و ﻓﺎﺳﻖ و ﻛﺎ ﻓﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ,وﻻ ﺣﻀﺎﻧﺔ ﻟﺮﻗﻴﻖ و ﳎﻨﻮن
Artinya: “Dan ḥaḍānahnya orang Islam tidak diperbolehkan bagi budak, orang gila, orang fasiq dan orang yang kafir”. Dari uraian al-Imam an-Nawawi di atas jelas bahwa jika seorang ibu yang kafir itu tidak boleh melakukan ḥaḍānah. Kemudian beliau juga menegaskan kembali dalam syarat bagi pelaku ḥaḍānah, yaitu: a. Merdeka b. Tidak fasiq c. Islam d. Berakal sehat e. Menetap di kota atau negara anak yang diasuh f. Jika pelaku ḥaḍānah itu ibunya, maka disyaratkan belum menikah dengan laki-laki lain. Dalam syarat yang ketiga ini al-Imam an-Nawawi mensyaratkan Islam apabila seseorang melakukan ḥaḍānah, hal ini sesuai dengan pernyataan beliau sebagai berikut: 34 35
Ibid, h. 424. Al-Imam an-Nawawi, Minhāj Aṭ-Ṭālibīn, Beirut: Dār al-Minhāj, 2005, h. 465.
73
اذا ﻻ ﺗﺜﺒﺖ ﺣﻀﺎﻧﺔ,ﻓﺎذا ﻛﺎن اﺣﺪ اﺑﻮي اﳌﻮﻟﻮد ﻛﺎﻓﺮا ﺳﻘﻄﺖ ﻛﻔﺎﻟﺘﻪ ﺑﻜﻔﺮﻩ . ﻫﺬا اذا ﻛﺎن اﻟﻮﻟﺪ ﻣﺴﻠﻤﺎ,ﻟﻜﺎﻓﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ 36
Artinya: “Apabila salah satu orang tuanya itu kafir (baik itu bapak maupun ibunya) maka haknya akan gugur karena kekafirannya, jadi tidak ada ketentuan bagi orang kafir yang melakukan hadhanah atas orang Islam, hal ini berlaku jika anaknya adalah Islam.” Penjelasan di atas sangat jelas sekali bahwa apabila salah seorang pemegang ḥaḍānah itu kafir baik ayah maupun ibunya maka ia tidak berhak karena kekafirannya itu, sebab dikhawatirkan akan mempengaruhi agama dari si anak tersebut. D. Metode Istinbaṭ Hukum Al-Imam An-Nawawi Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir Al-Imam an-Nawawi dalam ber-istinbaṭ mengenai tidak adanya hak ḥaḍānah karena istri atau ibu yang kafir terhadap anak yang beragama Islam, berhujjah dengan dalil di bawah ini:
و ﻋﻦ راﻓﻊ ﺑﻦ ﺳﻨﺎن رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ اﻧﻪ اﺳﻠﻢ و اﺑﺖ اﻣﺮأﺗﻪ ان ﺗﺴﻠﻢ ﻓﺄﻗﻌﺪ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ اﻷم ﻧﺎﺣﻴﺔ و اﻷب ﻧﺎﺣﻴﺔ وأﻗﻌﺪ اﻟﺼﱯ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﻤﺎل اﱃ أﻣﻪ )اﺧﺮﺟﻪ اﺑﻮ داود و اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ و ﺻﺤﺤﻪ. "اﻟﻠﻬﻢ اﻫﺪﻩ" ﻓﻤﺎل اﱃ اﺑﻴﻪ ﻓﺄﺧﺬﻩ:ﻓﻘﺎل (اﳊﺎﻛﻢ 37
Artinya: “Dari Rafi’ bin Sinan r.a ia masuk Islam, tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk islam. Maka Nabi SAW mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukan si anak di antara keduanya. Tenyata si anak condong kepada ibunya. Maka beliau berdoa,”Ya Allah, berilah petunjuk.” Dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah 36
Al-Imam an-Nawawi, op. cit., h. 426. Al-Imam Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, Juz II, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, , 1996, h. 139. 37
74
mengambilnya.38 (HR. Abu Daud dan Nasa’i. hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim) Hadits ini menunjukkan bahwa masalah ḥaḍānah pemeliharaan anak oleh ibu yang bukan Islam, dipandang tidak berhak karena kekafirannya itu. Alasannya adalah ruang lingkup ḥaḍānah meliputi pendidikan agama anak tersebut. Hal ini juga beralasan bahwa ketika Rasulullah Saw. mendoakan anak ini supaya diberikan petunjuk oleh Allah SWT untuk memilih ayahnya yang beragama Islam dan bukan memilih ibunya.39 Lain dari pada itu bahwa menurut ijma’ para ulama’, bahwa dasar hukum tentang ketidakbolehan ḥaḍānah karena istri kafir didasarkan pada alQur’an yang berbunyi:
Artinya: “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”40 (QS. AnNisa’: 141). Kemudian Hadits Nabi SAW, yaitu:
أن، ﻋﻦ ﻗﻴﺲ، ﻋﻦ إﲰﺎﻋﻴﻞ، ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﺧﺎﻟﺪ اﻷﲪﺮ: ﻗﺎل،اﺧﱪﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻌﻼء ﻓﺎﺳﺘﻌﺼﻤﻮا،رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﺑﻌﺚ ﺳﺮﻳﺔ إﱃ ﻗﻮم ﻣﻦ ﺧﺜﻌﻢ أﻧﺎ: وﻗﺎل، ﻓﻘﻀﻰ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﺑﻨﺼﻒ اﻟﻌﻘﻞ،ﺑﺎﻟﺴﺠﻮد ﻓﻘﺘﻠﻮا أﻻ ﻻ: ﰒ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ،ﺑﺮيء ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻊ ﻣﺸﺮك .ﺗﺮاءى ﻧﺎراﳘﺎ 41
38
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Marām Min Adillat Al-Aḥkām, alih bahasa Abdul Rosyad Siddiq, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Cet. ke-II, 2009, h. 525. 39 Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, 1969, h. 277. 40 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. As-Syifa’, 1992, h. 146. 41 Al-Imam an-Nasa’i, Sunan al-Kubra Li Al-Nasā’i, Juz VI, Beirut: Maktabah AlRisālah, 2001, h. 347.
75
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Alak, kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Khalid al-Ahmar dari Ismail dari Qays, bahwa Rasulullah SAW mengutus pasukan dari kaum Khats’am, kemudian mereka berlindung dengan cara bersujud lalu mereka dibunuh, kemudian Rasulullah SAW memutuskan dengan hukuman seperti halnya dalam hal jarimah, dan Rasulullah bersabda: “Aku membebaskan diri dari setiap orang Islam yang berada pada wilayah orang kafir”, kemudian Rasulullah SAW berkata: hai, apakah kalian tidak melihat mereka berdua berada dikobaran api yang besar. (HR. Nasa’i) Kedua dalil di atas adalah bersifat umum dan tidak menjelaskan secara spesifik mengenai hak ḥaḍānah karena istri kafir. Akan tetapi kedua dalil di atas dijadikan sebagai landasan hukum oleh sebagian ulama’ untuk menghukumi persoalan hak ḥaḍānah karena istri kafir. Bila ditinjau kembali bahwa hadits riwayat an-Nasa’i itu juga dijadikan landasan oleh al-Imam anNawawi dalam pengambilan istinbaṭ hukumnya, karena hadits di atas mempunyai makna yang lebih spesifik dalam hal ketidakbolehan orang kafir melakukan ḥaḍānah. Jadi, ketiga dalil tersebut digunakan oleh an-Nawawi dalam berhujjah mengenai hal tersebut, yaitu untuk lebih menguatkan bahwa orang kafir itu memang tidak diperbolehkan mengasuh anak karena akan membahayakan agamanya. Tujuan
syara’
dalam
pelaksanaan
ḥaḍānah
adalah
untuk
kemashlahatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, jika seorang anak Islam diserahkan kepada pelaku ḥaḍānah yang bukan Islam, maka hal itu dianggap kurang memperhatikan kemashlahatan anak di akhirat nanti. Sebagai wujud pemeliharaan tersebut adalah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hal itu dapat diberikan dengan memberikan bekal pendidikan agama.
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT AL-IMAM AN-NAWAWI TENTANG HAK ḤAḌĀNAH KARENA ISTRI KAFIR
A. Analisis Pendapat Al-Imam An-Nawawi Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir Dalam bab ini penulis akan menganalisis pendapat al-Imam an-Nawawi mengenai hak ḥaḍānah karena istri kafir dengan jalan membandingkan pendapat ulama’-ulama’ lain dan dalil-dalil yang berkenaan dalam hal-hal permasalahan tersebut. Secara terminologis ḥaḍānah merupakan pemeliharaan anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil (belum balig atau belum mumayyiz), menjaga kepentingannya, melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya anak dapat berkembang dan dapat mengatasi problematika kehidupan yang akan dihadapinya di masa mendatang.1 Dalam tradisi Islam perbincangan mengenai persoalan ḥaḍānah tentunya bukan hal yang tidak asing lagi untuk didengar. Bahkan persoalan tersebut sering kali menimbulkan kontroversi di kalangan para ahli hukum Islam. Salah satu problem yang menjadi ambivalensi adalah perbedaan pendapat mengenai hak pemegang ḥaḍānah di mana pihak bapak atau ibunya beragama non-Islam (kafir 1
http://abimuslih.wordpress.com/2007/07/26/hak-jagaan-anak-ḥaḍānah diambil pada hari Rabu tanggal 13 April 2011
76
-selepas-cerai/
77
atau murtad). Perbedaan itu timbul karena adanya perselisihan pendapat terhadap pemahaman hukum ḥaḍānah yang jatuh pada pengasuh yang beragama nonIslam. Menurut sebagian pendapat ulama’, orang yang kafir tidak boleh melakukan ḥaḍānah karena akan mempengaruhi agama anak. Sedangkan ulama’ yang lain justru berpendapat sebaliknya. Menurut mereka ḥaḍānah boleh dilakukan oleh orang kafir. Al-Imam an-Nawawi adalah salah seorang ulama’ yang berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh melakukan ḥaḍānah. Dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab al-Imam an-Nawawi mengungkapkan: 2
. ﻓﻼ ﺣﻖ ﳍﺎ ﰱ اﳊﻀﺎﻧﺔ, واﻷب ﻣﺴﻠﻢ, أو ﻛﺎﻓﺮة,و إن ﻛﺎﻧﺖ اﻷم رﻗﻴﻘﺔ او ﻏﲑ ﻣﺄﻣﻮﻧﺔ
Artinya: “Dan apabila ibu itu seorang budak, tidak dapat dipercaya atau kafir, dan bapaknya Islam maka ibu tidak berhak melakukan ḥaḍānah. Secara maknawi, pendapat al-Imam an-Nawawi ini mengidentifikasikan bahwa ibu yang beragama non-Islam tidak diperbolehkan untuk melakukan hak asuh karena kekafirannya, tidak dapat dipercaya (fāsiq), dan ibu adalah seorang budak. Hal ini juga dipertegas kembali oleh al-Imam an-Nawawi dalam syarat ḥāḍin yang mengharuskan beragama Islam bagi orang yang melakukan ḥaḍānah, sebagai berikut:
إذا ﻻ ﺗﺜﺒﺖ ﺣﻀﺎﻧﺔ ﻟﻜﺎﻓﺮ ﻋﻠﻰ,ﻓﺈذا ﻛﺎن أﺣﺪ أﺑﻮي اﳌﻮﻟﻮد ﻛﺎﻓﺮا ﺳﻘﻄﺖ ﻛﻔﺎﻟﺘﻪ ﺑﻜﻔﺮﻩ . ﻫﺬا إذا ﻛﺎن اﻟﻮﻟﺪ ﻣﺴﻠﻤﺎ,ﻣﺴﻠﻢ 3
2
Al-Imam an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Juz XIX, Beirut: Dār al-Fikr, Cet. keXVII, 2005, h. 424.
78
Artinya: “Apabila salah satu orang tuanya itu kafir (baik itu bapak maupun ibunya) maka haknya akan gugur karena kekafirannya, jadi tidak ada ketentuan bagi orang kafir yang melakukan ḥaḍānah atas orang Islam, hal ini berlaku jika anaknya adalah Islam.” Senada dengan pendapat Mazhab al-Syafi’i dalam kitab Al-Fiqh AlIslām Wa Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa seseorang yang diberi hak asuh untuk menjaga dan memelihara anak seharusnya beragama Islam. Sebab apabila pemegang ḥaḍānah itu beragama non-Islam dikhawatirkan akan menjadikan fitnah kepada agama anak di bawah pengasuhannya.4 Al-Imam al-Hambali dalam kitab Kasyf al-Qina’ juga menyatakan bahwa tidak ada ketetapan ḥaḍānah orang kafir atas orang muslim bahkan maḍārat-nya lebih besar. Maḍārat yang dimaksud adalah mendidik anak untuk belajar kufur terhadap Allah dapat mempengaruhi agama serta berimplikasi pada anak yang diasuhnya keluar dari Islam.5 Pada akhirnya anak akan mengikuti tradisi dan budaya pengasuhnya yang non Islam serta berindikasi pula pada tingkah laku dan akhlak anak terpengaruh oleh pengasuhnya tersebut. Oleh karena itu, kesemuanya itu menjadi ke-maḍārat-an. Kemudian al-Imam al-Mawardi dalam kitabnya AlHāwī Al-Kabīr mengatakan bahwa apabila anak beragama Islam dan salah
3 4
Ibid, h. 426. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, Juz X, Dimasyq: Dār al-Fikr, t.th., h.
7306 . 5
Syaikh Mansur bin Yunus bin Idris Al-Buhuti, Kasyf al-Qina’ ‘An Matan Al-Iqna’, Juz XVIII, Riyadh: Dār al-‘Ālim al-Kutub, 2003, h. 2850.
79
seorang dari kedua orang tuanya kafir maka tidak mendapatkan ḥaḍānah karena kekafirannya.6 Menyoroti ketiga argumentasi di atas, penyebab seseorang tidak dapat melakukan hak dalam mengasuh anak disebabkan orang tersebut adalah kafir. Allah SWT telah menjelaskan sifat-sifat orang yang kafir ataupun murtad dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”7 (QS. Al-Baqarah: 217)
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”8 (QS. An-Nahl: 106) Secara logis gambaran dari nash di atas adalah orang yang bukan Islam ibarat orang yang meninggal dalam kondisi kafir dan orang tersebut akan merugi 6
Al-Imam al-Mawardi, Al-Hāwī Al-Kābīr Fī Fiqh Mazhab Al-Imām Al-Syafī’i, Juz XI, Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Cet. ke-I, 1994, h. 503. 7 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. As-Syifa’, 1992, h. 52-53. 8 Ibid, h. 418.
80
dunia dan akhirat karena amal perbuatannya tidak diterima oleh Allah SWT sebab kekafirannya itu. Kemudian jika dia murtad setelah memeluk agama Islam Allah tidak akan mengampuni dosa-dosanya. Keterkaitan ayat di atas sangatlah rasional bila dikorelasikan dengan masalah ḥaḍānah terhadap istri yang kafir. Logikanya orang murtad itu dibenci dan dimurkai oleh Allah SWT sebab mengingkari agama yang telah disyari’atkan oleh-Nya. Kemudian bila dikaitkan dengan konsep kewarisan beda agama, perbedaan agama juga merupakan salah satu penghalang dalam memperoleh warisan karena kemurtadannya itu. Landasan hukum dari halangan tersebut ialah ayat al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”9(QS. An-Nisa’: 141) Dan ditegaskan pula oleh Rasulullah dalam sabdanya yang berbunyi:
ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﺷﻬﺎب ﻋﻦ ﻋﻠﻲ اﺑﻦ ﺣﺴﲔ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ اﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﻻ ﻳﺮث اﳌﺴﻠﻢ:ﻋﻦ اﺳﺎﻣﺔ اﺑﻦ زﻳﺪ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ان اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ( )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري و اﳌﺴﻠﻢ.اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ اﳌﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ 10
9
Tim Penyusun Disbintalad, Al-Qur’an Terjemah Indonesia, Jakarta: PT. Sari Agung, Cet. ke- XX, 2005, h. 181. 10 Al-Imam al-Bukhari, Ṣahīh Al-Bukhārī, Beirut: Dār Ibnu Kaṡīr, Cet. ke-I, 2002, h. 1675.
81
Artinya: “Seorang muslim tidak mewarisi kepada orang-orang kafir, begitu pula orang kafir tidak bisa mewarisi kepada orang muslim.” (HR. Bukhori dan Muslim) Meninjau dari sisi historisitasnya bahwa ketika Abu Tholib meninggal dunia, harta warisannya oleh Nabi Muhammad hanya dibagikan kepada anakanaknya yang masih kafir, yaitu Uqail dan Tholib. Sedangkan Ali dan Ja’far yang telah muslim tidak diberi bagian.11 Secara normatif, antara orang muslim dengan non muslim tidak bisa saling mewarisi dan begitu juga sebaliknya. Ulama’ empat madzhab berpendapat bahwa orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam lantaran status orang kafir lebih rendah dari pada orang Islam.12 Begitu juga dengan orang Islam tidak bisa mewarisi orang kafir. Oleh karena itu suami yang muslim tidak bisa mewarisi harta istrinya yang kafir kitabiyah, begitu juga dengan kerabat muslim tidak bisa mewarisi harta peninggalan kerabatnya yang kafir. Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan antara kerabat yang berbeda agama hanya terbatas pada pergaulan dan hubungan baik. Hubungan tersebut tidak menyangkut pelaksanaan agama, seperti hukum
kewarisan.
Hukum
tersebut
termasuk
urusan
agama
karena
pelaksanaannya atas kehendak Allah semata. Perolehan warisan bisa diperoleh dengan adanya hubungan kekarabatan atau ahli waris nasabiyah dan dengan hubungan perkawinan atau ahli waris sababiyah.13 Sedangkan anak disini
11
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Waris, Semarang: Mujahidin, 1981, h. 15. Muhammad Jawad Mugniyyah, al-Fiqh 'Alā Al-Mażāhib Al-Khamsah, Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari', Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Terj. Mansur A.B, et. al., Jakarta: Lentera, Cet. ke-IV, 1999, h. 542. 13 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-I, 2004, h. 197. 12
82
termasuk dalam golongan ahli waris nasabiyah. Dalam keadaan apapun, anak tersebut tidak bisa terhijab oleh ahli waris yang lain. Dengan demikian anak sebagai ahli waris utama dalam suatu keluarga. Sebagai ahli waris utama, anak tidak mempunyai halangan apapun dalam memperoleh warisan. Akan tetapi berbeda dengan anak dari perkawinan beda agama,. Anak dari perkawinan tersebut tidak mewarisi harta orang tuanya, karena berdasarkan hadits sebelumnya, perbedaan agama tidak bisa untuk saling mewarisi. Dengan demikian dalam keadaan seperti ini, anak tidak lagi sebagai ahli waris utama karena terhalang karena perbedaan agama. Oleh karena itu dalam hal kehidupan, seorang ḥaḍīnah harus menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik jasmani dan rohani serta akalnya, supaya anak mampu mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya nanti. Begitu juga dalam soal agama, anak akan terjaga dari segala yang diperintahkan Allah dan menjahui segala larangannya. Barang siapa yang meninggalkan anak laki-laki atau anak perempuan, sehingga anak tersebut mengikuti orang kafir dan menyuruh untuk membenci kepada Rasullullah SAW. meninggalkan shalat, makan pada bulan Ramadhan, minumminuman keras dan mengganggap mudah syari’at. Sehingga ia kafir atau tidak menemani orang yang tidak baik dan tidak peduli dengan balak, tidak tolong menolong dalam perbuatan baik dan taqwa serta tidak menegakkan keadilan,14 melakukan dosa besar atau kecil maka, ini semua merupakan hukumnya ḥaram 14
Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz X, Kairo: Idārah aṭ-Ṭabā’ah al-Munīroh, t.th., h. 146.
83
dan maksiat. Tapi sebaliknya, barang siapa yang menempatkan anak untuk mengetahui dan menyuruh dalam masalah shalat, puasa, belajar al-Qur’an, syari’at Islam dan mengetahui kenabian. Meninggalkan minuman keras dan perbuatan keji, maka ia tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Itu semua merupakan kewajiban dalam mengasuh anak. Jadi, ibu dalam mengasuh seharusnya memperhatikan masalah agamanya juga, antara lain meninggalkan perbuatan dosa, menegakkan kebenaran, keadilan dan taqwa. Menurut penulis ḥaḍānah itu sama dengan perwalian. Dalam hal perwalian dan penguasaan atas harta benda, wanita kafir tidak dibenarkan mengasuh anak yang beragama Islam, karena dikhawatirkan anak akan terpengaruh oleh agama pengasuhnya, sehingga anak akan meninggalkannya agama Islam dan masuk ke agama ibunya. Dalam hadits Nabi SAW dijelaskan:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﻮﻟﻮد إﻻ ﻳﻮﻟﺪ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ: أﻧﻪ ﻛﺎن ﻳﻘﻮل:ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﻓﻄﺮة اﷲ اﻟﱵ ﻓﻄﺮ اﻟﻨﺎس: واﻗﺮأوا إن ﺷﺌﺘﻢ:ﲢﺴﻮن ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺟﺪﻋﺎء؟ ﰒ ﻳﻘﻮل أﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮة ( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.(۳۰: اﻵﻳﺔ )اﻟﺮوم.ﻋﻠﻴﻬﺎ 15
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwasannya dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: tak ada seorang bayi pun yang dilahirkan melainkan atas dasar fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau menjadikannya seorang Nasrani atau menjadikannya seorang Majusi, sama halnya dengan seekor hewan yang melahirkan anak yang sempurna anggota tubuhnya, apakah ada yang engkau lihat yang tidak mempunyai hidung (yang terpotong hidungnya)? Kemudian Abu Hurairah membaca: Fitrah (fitrah Allah yang telah menciptakan 15
Al-Imam al-Muslim, Ṣaḥīh Muslim, Juz IV, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992, h. 52.
84
manusia menurut fitrah itu) (sampai akhir ayat) (ar-Rum: 30).16 (HR. Muslim) Tegasnya anak itu hendaknya dididik dengan akhlak yang baik waktu menjelang tamyīz, dan juga hendaklah diarahkan untuk melakukan shalat lima waktu serta diajari tentang ilmu pengetahuan. Sehingga anak yang berada dibawah bimbingan ibu yang menjadi suami serta ayahnya, dapat mengetahui kondisi anak dengan baik. Hubungan suami tersebut merupakan tempat bernaung yang sangat baik bagi anak, bagaikan dalam naungan ayah kandungnya sendiri. Karena dalam soal ḥaḍānah yang harus ditekankan adalah kasih sayang terhadap anak, membimbing dan mengarahkannya, supaya anak menjadi baik ketika masih dalam proses pertumbuhan. Hadits di atas juga menjelaskan pengaruh ibu maupun bapak kepada anak. Oleh karena itu, apabila menyerahkan anak untuk diasuh oleh istri atau suaminya yang non-Islam tentunya anak tersebut akan dipengaruhi oleh kedua orang tuanya untuk menganut agama mereka. Jadi, kedua orang tua diwajibkan untuk memelihara masa depan agama anaknya, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya: “Wahai orang-orang beriman! jagalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka”17 (QS. at-Tahrim: 6)
16
Hasby ash-Shiddiqqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Jilid IX, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. ke-III, 2001, h. 258. 17 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Depag RI, op.cit., h. 951.
85
Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki yang berasumsi bahwa seseorang yang berhak menjaga dan memelihara anak tidak disyaratkan beragama Islam. Bahkan Islam memberikan hak pengasuhan dan pemeliharaan itu kepada mereka yang berhak, walaupun dia tidak beragama Islam.18 Kemudian Ibnu Hazm dalam hal ini berpendapat bahwa apabila ibu adalah seorang yang kafir, ibu berhak menjaga anak kecil sepanjang masa penyusuan. Setelah anak tersebut mencapai balig dan sudah habis masa penyusuannya, serta anak dapat makan sendiri serta memahami agama maka bagi ibu yang kafir maupun fasiq tidak ada lagi hak ḥaḍānah. Secara garis besarnya bahwa setelah masa penyusuan itu habis, hak ḥaḍānah harus dikembalikan kepada orang yang berhak yaitu orang Islam. Sebab ketika membiarkan anak (laki-laki atau perempuan) diasuh oleh orang kafir setelah masa penyusuan atau anak sudah bisa menalar mengenai segala sesuatu termasuk agama, tentunya membiarkan anak berlatih mendengar kekufuran, belajar mengingkari kenabian Muhammad SAW sebagai Rasul, sehingga dalam jiwa mereka tertanam subur akan kekufuran, termasuk dalam perbuatan bantu-membantu dalam dosa dan permusuhan. Maka hal demikian itu merupakan perbuatan ḥaram dan maksiat.19 Secara garis besarnya Ibnu hazm kurang menyepakati bahwa apabila ibu yang kafir mendapatkan hak asuh dan anak itu masih kecil berarti pengasuh anak
18 19
Wahbah Zuhaili, op. cit., h. 7306. Ibnu Hazm, op. cit., h. 323-324.
86
tersebut akan mendidik dan membesarkannya berdasarkan agama dan tradisi yang dianut dan dipercayainya. Terhadap sikap Ibnu Hazm ini penulis sepakat. Sebab ketika masih dalam masa penyusuan, anak membutuhkan ASI dari ibu dalam membentuk ketahanan tubuh seorang bayi dari penyakit, dan juga dalam pembentukan karakter dan kecerdasan seorang bayi. Dalam hal ini masa penyusuan anak dibatasi apabila sudah berumur dua tahun. Oleh karena itu ketika masa penyusuan itu sudah habis dan yang menyusui anak tersebut ibunya itu adalah kafir, hak asuh anak harus diserahkan kepada orang yang beragama Islam. Dalam konteks hukum di Indonesia pun sebagaimana KHI yang dijadikan landasan hukumnya juga mengatur permasalahan ini, yaitu pada pasal 156 poin (c) menyatakan bahwa “apabila pemegang ḥaḍānah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan ḥaḍānah telah mencukupi, maka atas permintaan keluarga yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak ḥaḍānah kepada kerabat lain yang mempunyai hak ḥaḍānah pula”.20 Hal ini juga diartikan bahwa apabila pemegang ḥaḍānah (dalam hal ini ibu) itu tidak bisa menyelamatkan jasmani dan rohani anak (dalam konteks ini kafir) maka hak asuhnya itu menjadi gugur. Dari uraian di atas dapat dipahami oleh penulis bahwa alasan al-Imam an-Nawawi dalam hal tidak memperbolehkan ibu yang kafir mengasuh anaknya
20
Soesilo, et. al., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penerbit: Rhedbook Publisher, Cet. ke-I, 2008, h. 469.
87
yang muslim adalah ketika masa penyusuan berakhir anak dianggap sudah mampu mengetahui segala sesuatu yang diajarkan orang tuanya meskipun secara nalar pikiran anak tersebut belum sepenuhnya mampu menyerap karena anak masih labil (belum mumayyiz). Namun hal tersebut menjadi bertolak belakang terhadap syarat ḥaḍānah yang mewajibkan pengasuh beragama Islam, jika hak asuh diserahkan kepada orang tua yang kafir. Sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas bahwa orang kafir atau murtad merupakan orang yang dilaknat oleh Allah SWT dan mengenai hak waris orang yang murtad atau kafir tidak mendapatkan hak warisnya karena kemurtadannya. Perihal ini pun sama halnya dengan ḥaḍānah, bahwa hak pengasuhan yang harus diperoleh setiap anak juga mencakup hak mendapatkan nama, aqiqah, pengenalan terhadap lingkungan dan penanaman ideologi serta pendidikan khususnya dalam agama Islam. Dalam hadits Rasulullah Saw. riwayat al-Imam al-Muslim yang tertera di atas mengatakan bahwa tiap bayi dilahirkan dalam kadaan suci. Ayah dan ibunya itulah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hal ini diartikan orang tua yang non muslim itu jangan sampai mengasuh anak yang berpribadi muslim karena dapat menyeretnya untuk mengikuti agama orang tuanya. Itulah alasan an-Nawawi tidak memperbolehkan anak yang beragama Islam diasuh oleh ibunya yang kafir. Jika ditinjau kembali bahwa pendidikan anak diarahkan dalam rangka penanaman keagamaan. Sebagai contoh pendidikan tentang shalat sebagaimana
88
yang dianjurkan oleh Rasululah Saw. sebab masa depan dan pendidikan anak menjadi kewajiban utama bagi orang tuanya.21 Memang secara garis besarnya seorang ibu lebih mempunyai hubungan emosional yang sangat erat terhadap anak, sehingga peran ayah ketika masih dalam masa penyusuan tidak diperkenankan untuk melakukan ḥaḍānah. Akan tetapi sesuai dengan fakta historis yang mengatakan bahwa ketika Ibnu ‘Abbas (semasa kecilnya) tinggal bersama ibunya (yang Islam) beserta golongan mustaḍ’afīn (yang menganut Islam). Dan Ibnu ‘Abbas tidak tinggal bersama bapaknya yang masih menganut agama kaumnya (yakni agama musyrik). Kemudian Ibnu ‘Abbas menegaskan: “Islam adalah tinggi dan tidak ada yang boleh mengatasi ketinggian Islam”. 22 Kemudian menurut al-Hasan, sebagaimana dikutip oleh al-Sayyid al-Sabiq bahwa al-Hasan berkata: “Didiklah anak-anakmu! Didiklah mereka dan pahamkanlah ajaran agama kepada mereka!”.23 Dari pernyataan Ibnu ‘Abbas ini sudah jelas bahwa ḥaḍānah itu mengedepankan pendidikan agama, sebab semangat dalam pengasuhan adalah untuk kepentingan anak dan masa depannya. Jadi dalam pengasuhan, selain memelihara anak juga harus mendidik mereka dalam memproyeksikan kebaikannya di hari mendatang, bukan hanya pada kepentingan hari ini saja. Demikian pula bagaimana hukum Islam juga mengatur ketatnya aturan dalam kasus berpindahnya pengasuh dari suatu tempat ke tempat lain yang 21
http://aghifaris.blogspot.com/2010/12/hak-hak-anak-dalam-berbagsi-tinjauan.html diambil pada hari ahad tanggal 5 Juni 2011. 22 Al-Imam al-Bukhori, op. cit., h. 326. 23 Al-Sayid al-Sabiq, Al-Fiqh Al-Sunnah, Juz II, Kairo: al-Fath Li al-‘Ilām al-‘Arabi, t. th, h. 225.
89
memiliki fungsi kontrol dalam masa pengasuhan ini agar pengasuh tidak semenamena dan memenuhi kewajiban dalam pengasuhan itu sendiri. Selain itu, dalam kaitannya antara pendidikan dengan pengasuhan adalah sangat erat. Pada dasarnya pendidikan dalam Islam sesungguhnya berkisar seputar membangun akidah, menjernihkan jiwa, membentuk kepribadian (disiplin), membangun akhlak. melatih akal, pendidikan jasmani, melengkapinya dengan perangai budi pekerti yang umum. Dari perincian di atas dapat dipahami bahwa konsep pendidikan dalam Islam secara umum berkisar seputar pedidikan agama, akhlak, ilmu, dan jasmani tanpa membenturkan satu sama lain. Oleh karena itu melihat dari uraian di atas penulis tidak sependapat dengan al-Imam al-Hanafi dan al-Maliki yang memperbolehkan ḥaḍānah terhadap istri yang kafir sama halnya membiarkan anak mengikuti agama ibu. Sebab dari pendidikan agamalah anak akan mengetahui beberapa hal yang menyangkut persoalan ‘ubudiyah, akidah, serta tingkah laku anak dalam lingkup Islam khususnya. Dan lebih cenderung terhadap pendapat al-Imam an-Nawawi, alasannya adalah menjaga agama merupakan hal yang paling utama, karena agama adalah salah satu dari ḍarūriyat yang lima yang harus dipertahankan dan dibela secara optimal. Pada dasarnya kebutuhan seorang anak adalah meliputi kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual. Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Kebutuhan psikis meliputi
90
kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, diterima dan dihargai. Sedang kebutuhan sosial akan diperoleh anak dari kelompok di luar lingkungan keluarganya. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, ibu hendaknya memberi kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Kebutuhan spiritual, adalah pendidikan yang menjadikan anak mengerti kewajiban kepada Allah, kepada Rasul-Nya, orang tuanya dan sesama saudaranya. Dalam pendidikan spiritual, juga mencakup mendidik anak berakhlak mulia, mengerti agama, bergaul dengan teman-temannya dan menyayangi sesama saudaranya, menjadi tanggung jawab ayah dan ibu. Karena memberikan pelajaran agama sejak dini merupakan kewajiban orang tua kepada anaknya dan merupakan hak untuk anak atas orang tuanya, maka jika orang tuanya tidak menjalankan kewajiban ini berarti menyia-nyiakan hak anak.24 Bila ditinjau dari maqāṣid syari’ah-nya, boleh ditegaskan bahwa maṣlaḥah menuntut agar hak penjagaan anak diberikan kepada orang yang beragama Islam yaitu untuk memelihara akidah dan agama bayi tersebut agar tidak terjadi ke-mafsadah-an atau kerusakan. Karena menghindari mafsadah itu harus didahulukan dari pada menarik maṣlaḥah. Lebih baiknya menghindari mafsadah dengan tidak memberikan hak ḥaḍānah kepada istri yang kafir. Apalagi mafsadah di sini berkaitan dengan hal yang paling esensi bagi manusia yaitu
24
Sofia Retnowati Noor, Peran Perempuan Dalam Keluarga Islami Tinjuan Psikologis, disampaikan pada Seminar Setengah Hari “ Peran Perempuan Dalam membangun Keluarga Dengan Nilai-nilai yang Islami” diselenggarakan oleh Wanita Islam bekerjasama dengan Forum Pengajian Ibuibu Al Kautsar Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 1 Juni 2002.
91
menjaga agama sebab dari pendidikan agama seseorang itu akan terbentuk akhlaqnya, kepribadiannya dan juga tingkah lakunya dalam menjalakan segala perintah Allah SWT. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi: 25
درء اﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﳌﺼﺎﱀ
Artinya:“Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlahatan.” Menurut hemat penulis bahwa kaidah di atas lebih berorientasi pada akibat perbuatan yang dilakukan seseorang, yakni akibat negatif yang ditimbulkan dan juga bersifat preventif. Pada dasarnya semua perbuatan itu dibolehkan, tetapi kemudian perbuatan yang dibolehkan itu dilarang. Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang agama. Perbuatan atau tindakan yang dilarang oleh agama di sini adalah beralihnya agama anak kepada agama yang dianut oleh ibunya yang kafir. Jadi, hak anak dalam mendapatkan asuhan perawatan dan pemeliharaan serta dalam menetapkan pendidikan, dalam hal ini termasuk juga pendidikan agama yang merupakan hak paling esensial karena hal ini menyangkut keberlangsungan kehidupan bagi sang anak agar dapat tumbuh dengan sempurna. Untuk memenuhi semua ini maka diperlukan orang tua yang sempurna baik jasmani maupun rohani yang berimplikasi secara langsung pada pemberi asuhan, perawatan dan pendidikan anak, kemudian untuk memenuhi hal ini tidak harus mutlak kepada 25
h. 75.
ibu.
Karena hak ḥaḍānah
adalah
semata-mata
untuk
Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-Qaidah Fiqhiyyah, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-I, 1976,
92
kemashlahatan, kebaikan, dan kepentingan terbaik anak itu sendiri tanpa memandang pengasuhan. Karena fitrah seorang ibu adalah melahirkan dan menyusui. Mengenai pengasuhan adalah kelayakan seseorang untuk berhak mendapatkan hak ḥaḍānah anak, supaya hak-hak anak terpenuhi dan dijamin masa depannya dan menjadi manusia yang tumbuh sempurna seutuhnya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Menurut penulis dengan melihat alasan al-Imam an-Nawawi tentang tidak adanya hak asuh bagi ibu yang kafir terhadap anak muslim dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat al-Imam an-Nawawi tersebut dapat dijadikan pertimbangan dengan tetap mempertimbangkan pada ke-maṣlaḥah-an yaitu baik dalam hal pemeliharaannya maupun pendidikan agamanya. Kemudian di dalam KHI yang dijadikan sumber hukum di Indonesia juga melarang apabila seorang pengasuh itu merusak jasmani dan rohani si anak maka hak asuhnya akan gugur, secara makna implisitnya adalah ibu beragama selain Islam. Oleh karena itu, jika seorang ibu sebagai orang yang lebih berhak menjadi pemegang ḥaḍānah terhadap anak yang lahir dari orang tua yang beragama Islam dan nikah secara islami, ternyata membahayakan keimanan anak dikarenakan kekafiran sang ibu itu dikhawatirkan akan membawa pengaruh bagi agama anak. Maka hak ḥaḍānah ibu perlu dipertimbangkan kembali, karena hal itu tentunya akan mempengaruhi pula pada perkembangan akhlak, sikap, sifat, dan watak kepribadian anak terlebih lagi ditakutkan anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama
93
yang dianut oleh pengasuhnya, dididik dengan tradisi agamanya, sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya tersebut. Sebab anak merupakan generasi penerus kehidupan bangsa, negara dan agama sudah selayaknya diperhatikan dan diperlakukan secara wajar. Jadi secara singkatnya, apabila dari kedua orang tuanya ditemukan suatu kerusakan dalam hal ini mengajarkan anak untuk mengingkari agama Allah, maka yang lain itu lebih utama untuk mengasuh anak tersebut.26 Dan ini berlaku ketika anak sudah selesai dalam masa penyusuan. Jadi dalam hal ini, persoalan tersebut mempunyai keterikatan hukum yang cukup erat dengan pendapat al-Imam an-Nawawi. Oleh karena itu, apabila terjadi demikian, maka ḥaḍānah akan diberikan kepada kerabat dekatnya yang Islam sesuai dengan urutan yang telah telah ditentukan, dan apabila tidak ada seorang pun kerabat yang muslim maka ḥaḍānah diberikan kepada orang yang beragama Islam selain dari kerabatnya. Dan dalam hukum di Indonesia (KHI), hal tersebut dikembalikan ke Pengadilan Agama yang notabenenya sebagai lembaga hukum yang sah untuk memberikan wewenang kepada kerabatnya yang beragama Islam. B. Analisis Metode Istinbaṭ Al-Imam An-Nawawi Tentang Hak Ḥaḍānah Karena Istri Kafir Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam hubungan dengan Tuhan, manusia
26
Shalih bin fauzan, Ringkasan Fiqih lengkap, Terj. Asmuni, Jakarta: Darul Falah, Cet. ke-II, 2008, h. 957.
94
maupun alam. Hukum yang universal ini memberikan petunjuk bagi manusia untuk melaksanakan apa yang harus dilakukan dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan melalui al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Sebab kedua-duanya merupakan sumber pokok dari hukum Islam yang disepakati oleh para ulama’. Hampir tidak ada ulama’ sedikitpun yang mengingkari keberadaan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum atau hujjah dalam menetapkan sebuah ketetapan hukum. Akan tetapi, meskipun petunjuk bagi manusia (al-Qur’an dan hadits) itu sudah lengkap dan sesuai dengan keadaan zaman dan waktu, bukan berarti semua permasalahan itu bisa dijelaskan secara mendalam dan secara terperinci oleh al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, manusia melakukan ijtihad dengan tetap berpedoman pada al-Qur’an dan hadits terhadap permasalahan yang tidak ada nash hukumnya secara qaṭ’i. Ijtihad yang dimaksudkan adalah adanya upaya dan kesungguhan secara optimal yang dilakukan oleh seorang mujtahid (perumus hukum) dalam usaha merumuskan hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia.27 Dan hasil dari interpretasi ulama’ itu kemudian dikenal dengan istilah fikih, yang tentunya sangat erat kaitannya dengan setting sosial di mana rumusan itu muncul dan tidak menutup kemungkinan adanya intervensi yang berlaku subyektif dari mujtahid yang tidak mendekatkan kemaslahatan. Sehingga menimbulkan suatu keraguan terhadap label hukum yang telah ditetapkan.
27
Abdul Salam Arie, Pembaharuan Hukum Islam Antara Fakta Dan Realita Pemikiran Hukum Muhammad Syaltut, Yogyakarta: LESFI, Cet. ke.I, 2003, h. 20.
95
Telah penulis paparkan pada bab terdahulu, bahwa metode istinbaṭ hukum al-Imam an-Nawawi adalah sama seperti halnya metode istinbaṭ hukum yang dipakai oleh al-Imam al-Syafi’i. Di dalam mengemukakan pendapatnya tentang hak ḥaḍānah karena istri kafir juga menggunakan metode istinbaṭ yang sama sebagai mana yang digunakan oleh al-Imam al-Syafi’i, yakni : al-Qur’an, hadits, ijma’, qiyas dan istidlāl. Islam sangat menghargai ibu dalam hal pengasuhan anak. Tetapi lain masalah apabila istri atau ibu dari anak yang diasuhnya itu kafir. Dalam permasalahan ini al-Imam an-Nawawi dalam berijtihad mengenai hak ḥaḍānah karena istri kafir, berhujjah dengan dalil dibawah ini yang berbunyi:
و ﻋﻦ راﻓﻊ ﺑﻦ ﺳﻨﺎن رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ اﻧﻪ اﺳﻠﻢ و اﺑﺖ اﻣﺮأﺗﻪ ان ﺗﺴﻠﻢ ﻓﺄﻗﻌﺪ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ "اﻟﻠﻬﻢ:ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ اﻷم ﻧﺎﺣﻴﺔ و اﻷب ﻧﺎﺣﻴﺔ وأﻗﻌﺪ اﻟﺼﱯ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﻤﺎل اﱃ أﻣﻪ ﻓﻘﺎل ( )اﺧﺮﺟﻪ اﺑﻮ داود و اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ و ﺻﺤﺤﻪ اﳊﺎﻛﻢ.اﻫﺪﻩ" ﻓﻤﺎل اﱃ اﺑﻴﻪ ﻓﺄﺧﺬﻩ 28
Artinya: “Dari Rafi’ bin Sinan r.a ia masuk Islam, tetapi istrinya tidak mau (mengikutinya) masuk islam. Maka Nabi SAW mendudukkan sang ibu di satu sudut dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukan si anak di antara keduanya. Tenyata si anak condong kepada ibunya. Maka beliau berdoa,”Ya Allah, berilah petunjuk.” Dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka sang ayah mengambilnya.29 (HR. Abu Daud dan Nasa’i. hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim) Hadits ini menunjukkan bahwa masalah ḥaḍānah pemeliharaan anak oleh ibu yang bukan Islam, dipandang tidak berhak karena kekafirannya itu. Alasannya 28
Al-Imam Abu Dawud, Sunan Abī Dāwud, Juz II, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, , 1996,
h. 139. 29
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulūg Al-Marām Min Adillat Al-Ahkām, alih bahasa Abdul Rosyad Siddiq, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Cet. ke-II, 2009, h. 525.
96
adalah ruang lingkup ḥaḍānah meliputi pendidikan agama anak tersebut. Hal ini juga beralasan bahwa ketika Rasulullah Saw. mendoakan anak ini supaya diberikan petunjuk oleh Allah SWT untuk memilih ayahnya yang beragama Islam dan bukan memilih ibunya.30 Lain dari pada itu bahwa menurut ijma’ para ulama’, bahwa dasar hukum tentang ketidakbolehan ḥaḍānah karena istri kafir didasarkan pada al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”31(QS. An-Nisa’: 141) Maksud dari ayat di atas adalah bahwa orang-orang kafir tidak akan diberikan jalan sekecil apapun menuju surganya atau jalan berupa argumentasi yang menunjukkan kekeliruan ajaran orang-orang mukmin, oleh karena hal ini bersyarat bagi orang-orang mukmin untuk menjaga keteguhannya dalam melaksanakan tuntunan agama Islam agar orang-orang kafir tidak dapat mempengaruhinya.32 Kemudian hadits Nabi SAW, yaitu:
أن، ﻋﻦ ﻗﻴﺲ، ﻋﻦ إﲰﺎﻋﻴﻞ، ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﺧﺎﻟﺪ اﻷﲪﺮ: ﻗﺎل،اﺧﱪﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻌﻼء ﻓﺎﺳﺘﻌﺼﻤﻮا ﺑﺎﻟﺴﺠﻮد،رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﺑﻌﺚ ﺳﺮﻳﺔ إﱃ ﻗﻮم ﻣﻦ ﺧﺜﻌﻢ أﻧﺎ ﺑﺮيء ﻣﻦ ﻛﻞ: وﻗﺎل، ﻓﻘﻀﻰ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﺑﻨﺼﻒ اﻟﻌﻘﻞ،ﻓﻘﺘﻠﻮا 30
Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, 1969, h. 277. Tim Penyusun Disbintalad, op. cit., h. 181. 32 M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. ke- IV, 2005, h. 626. 31
97
)رواﻩ. أﻻ ﻻﺗﺮاءى ﻧﺎراﳘﺎ: ﰒ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ،ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻊ ﻣﺸﺮك .(اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ 33
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Alak, kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Khalid al-Ahmar dari Ismail dari Qays, bahwa Rasulullah SAW mengutus pasukan dari kaum Khats’am, kemudian mereka berlindung dengan cara bersujud lalu mereka dibunuh, kemudian Rasulullah SAW memutuskan dengan hukuman seperti halnya dalam hal jarimah, dan Rasulullah bersabda: “Aku membebaskan diri dari setiap orang Islam yang berada pada wilayah orang kafir”, kemudian Rasulullah SAW berkata: hai, apakah kalian tidak melihat mereka berdua berada dikobaran api yang besar. (HR. Nasa’i) Hadits di atas menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Saw. menyatakan bahwa tidak akan ikut campur apabila orang kafir berada di wilayah orang kafir, hal tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat Arab waktu itu. Berdasarkan fakta historisnya orang-orang Muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup untuk melakukannya. Kemudian mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir untuk ikut bersama mereka pergi ke perang Badar dan pada akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.34 Al-Imam an-Nawawi dalam hal tidak memperbolehkan ḥaḍānah terhadap istri atau ibu yang kafir menganalogikan permasalahan tersebut dengan perwalian, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
33
Al-Imam Abdurrahman bin Syu’aib An-Nasa’I, Sunan Al-Kubrā Lī An-Nasā’i, Juz VI, Beirut: Maktabah Al-Risālah, 2001, h. 347. 34 Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Sunan Al-Kubrā Li Al-Baihaqī, Juz VIII, Beirut: Dār alKutub al-‘Ilmiyah, Cet. ke-III, 2003, h. 225.
98
Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).35 (QS. Ali Imran: 28) Berdasarkan ayat tersebut bahwa orang-orang mukmin jangan menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasihnya, yaitu menjadikan hubungan perwalian baik dalam hal perkawinan atau saling mewariskan. Kata اوﻟﯿﺎءdalam ayat ini merupakan jamak dari kata وﻟﻲyang berarti menolong atau yang mengurus perkara orang lain.36 Dalam hal ini al-Ragīb juga berpendapat, sebagaimana dikutib oleh as-Sabuni bahwa walī adalah setiap orang yang mengurus urusan orang lain.37 Sebagaimana kata walī dalam surat al-Baqarah ayat 257, dikatakan sebagai berikut:
35
Tim Penyusun Disbintalad, loc. cit., h. 96. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, Edisi ke-II, 2002, h. 1582. 37 Muhammad Ali Al-Ṣabuni, Rawāi’ Al-Bayān Tafsir Ayat Ahkam Min Al-Qur’an, Juz I, Damaskus: Maktabah al-Ghazāli, Cet. ke-III, 1980, h. 397. 36
99
Artinya: “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” 38 (QS. Al Baqarah: 257) Dengan demikian, pelaku ḥaḍānah termasuk wali bagi anak yang diasuh karena dalam ḥaḍānah terkandung pemeliharaan dan pelayanan terhadap anak, sehingga masih memerlukan orang lain untuk mengurusnya, yaitu oleh pelaku ḥaḍānah. Di sisi lain juga, al-Jassas menyatakan bahwa ada ayat yang menunjukkan bahwa orang kafir dilarang untuk menjadi wali orang Islam, demikian juga jika orang kafir itu mempunyai anak yang Islam dan salah satu orang tuanya itu beragama Islam pula, maka baginya tidak ada berhak menjadi wali baik dalam harta, perkawinan maupun yang lainnya.39 Seperti firman Allah SWT pada surat al-Maidah Ayat 51, sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya 38 39
h. 15-16.
Tim Penyusun Disbintalad, loc. cit., h. 77. Abi Bakar Ahmad Ar-Razi Al-Jassas, Aḥkām Al-Qur’an, Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, 1993,
100
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”40 (QS. Al-Maidah: 51) Di samping itu, anak merupakan karunia dan amanat yang dititipkan oleh Allah SWT kepada manusia yang wajib dipelihara, dijaga dan dibina. Sebagai wujud pemeliharaan terhadap anak, orang tua harus mengajarkan anak untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hal itu dapat diberikan dengan memberikan bekal pendidikan agama, sebab agama itu menjadi ujung tombak untuk membentuk karakter anak dalam segala yakni tingkah laku, akhlak dan aqidahnya. Sebagaimana perintah Allah SWT dalam firman-Nya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”41 (QS. At-Tahrim: 6) Dalam mengasuh anak Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk tidak meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah karena anak merupakan generasi yang sudah selayaknya diperhatikan dan diperlakukan secara wajar, yang harus dijaga baik secara fisik maupun mental. Maka dalam hal ini Allah SWT telah memberikan prinsip-prinsip dasarnya yaitu dalam QS. an-Nisa’ ayat 9, yaitu:
40 41
Tim Penyusun Disbintalad, loc. cit., h. 209. Ibid, h. 1143-1144.
101
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”42 (QS. An-Nisa’: 9) Demikian juga dalam hal mendidik anak hendaknya diperhatikan perintah-perintah Allah SWT, seperti dalam QS. an-Nisa’ ayat: 36, yaitu:
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”43 (QS. An-Nisa’: 36) Maksud dari ayat di atas adalah bahwa sebagai mahluk ciptaan-Nya, kita senantiasa menjalankan perintah-Nya dan beribadah kepada-Nya serta tidak mempersekutukan Allah SWT kepada seorang pun selain pada-Nya dalam beribadah kepada-Nya dan melarangnya secara mutlak dan menyeluruh bagi semua jenis sembahan yang dikenal oleh manusia, serta diperintahkan untuk
42 43
Ibid, h. 142. Ibid, h. 152.
102
berbuat baik kepada orang tua (secara khusus) dan kerabat (secara umum). Dan mayoritas perintahnya mengarah pada anak keturunannya, sebab anak-anak secara khusus memang sangat memerlukan arahan untuk berbakti kepada orang tua dan generasi yang mendidik serta merawatnya dan juga biasanya keberadaan, perhatian anak-anak itu diarahkan untuk generasi yang akan menggantikan mereka.44 Maka apabila yang mendidik dan merawat anak-anak itu adalah kafir, tentunya generasi berikutnya akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan dari mereka dan tentunya melanggar perintah-perintah Allah SWT. Selain itu, Allah SWT telah mengabadikan Luqman Hakim untuk dijadikan teladan yang baik yaitu sistem pendidikan bagi anak, sesuai dengan firman Allah SWT surat al-Luqman ayat 12, yaitu:
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".”45 (QS. Al-Luqman: 12) Dalam ayat di atas jelas bahwa Luqman al-Hakim lebih mendahulukan pendidikan
ketauhidan
dari
pada
yang
lainnya.
Karena
menurutnya
menyekutukan Allah merupakan perbuatan zalim. Selain itu, ḥaḍānah dimaksudkan untuk kemashlahatan anak, karena jika anak berada di bawah asuhan orang kafir, dikhawatirkan anak tersebut akan 44
Al-Sayyid al-Sabiq, Tafsīr Fī Żilāl Al-Qur’an, Alih Bahasa As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insan, juz III, cet. ke-II, 2004, h. 365. 45 Tim Penyusun Disbintalad, op. cit., h. 808.
103
mengikuti atau terpengaruh oleh agama orang yang mengasuhnya. Dan juga, pada usia dini seorang anak baru menerima pendidikan dari orang yang mengasuh dan dari dalam lingkungan keluarganya. Di tangan merekalah masa depan seorang anak. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW sebagai berikut:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﻮﻟﻮد إﻻ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ: أﻧﻪ ﻛﺎن ﻳﻘﻮل:ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﻓﻄﺮة اﷲ اﻟﱵ: واﻗﺮأوا إن ﺷﺌﺘﻢ: ﻫﻞ ﲢﺴﻮن ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺟﺪﻋﺎء؟ ﰒ ﻳﻘﻮل أﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮة،ﲨﻌﺎء ( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.(۳۰: اﻵﻳﺔ )اﻟﺮوم.ﻓﻄﺮ اﻟﻨﺎس ﻋﻠﻴﻬﺎ 46
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwasannya dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: tak ada seorang bayi pun yang dilahirkan melainkan atas dasar fitrah. Kedua orang tuanyalah uang menjadikan dia seorang Yahudi atau menjadikannya seorang Nasrani atau menjadikannya seorang Majusi, sama halnya dengan seekor hewan yang melahirkan anak yang sempurna anggota tubuhnya, apakah ada yang engkau lihat yang tidak mempunyai hidung (yang terpotong hidungnya)? Kemudian Abu Hurairah membaca: Fitrah (fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu) (sampai akhir ayat) (ar-Rum: 30).47 (HR. Muslim) Bahwa masa ḥaḍānah adalah masa pertama kali anak mendapat kasih sayang, perhatian dan pendidikan dari orang tuanya. Oleh karena itu, ḥaḍānah merupakan awal dari segala bentuk perwalian terhadap anak. Al-Imam al-Hanafi dan al-Maliki berpendapat bahwa seseorang yang berhak menjaga dan memelihara anak tidak disyaratkan beragama Islam, bahkan Islam memberikan hak pengasuhan dan pemeliharaan itu kepada mereka yang
46 47
Al-Imam al-Muslim, op. cit., h. 52. Hasby ash-Shiddieqy, op. cit., h. 258.
104
berhak Walaupun dia tidak beragama Islam dengan syarat dia tidak mempengaruhi agama anak di bawah pengasuhannya.48 Oleh karena itu, pada masa belum mumayyiz seorang anak belum mampu
mengurus
dan
menjaga
keperluannya
sendiri,
belum
mampu
menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakan dan belum bisa membedakan yang baik dan yang buruk sebab dia belum mencapai balig (dewasa) atau belum mumayyiz. Dan hal tersebut menjadi tanggung jawab orang tua atau pengasuhnya untuk mengasuh dan mendidiknya dengan baik. Kemudian orang tua atau orang yang mengasuhnya ibarat dihadapkan pada sebuah tabung yang harus diisi dengan sesuatu yang berharga dan bermanfaat, jika tabung tersebut diisi dengan kebaikan maka hasilnya akan baik dan jika diisi dengan keburukan maka hasilnya akan buruk pula. Jadi, itulah sebabnya kekhawatiran yang akan timbul apabila anak di bawah pengasuhan orang kafir yang berimplikasi kepada kekufurannya adalah sangat beralasan sebab ditakutkan anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan tradisi agamanya, sehingga sukar bagi anak untuk
meninggalkan
agamanya tersebut. Lain dari pada itu, dikhawatirkan anak akan tumbuh dan berkembang dalam suasana yang tidak kondusif untuk pengenalan nilai-nilai agama bagi anak.
48
Imam Sirajuddin Umar bin Ibrahim Ibnu Najim Al-Hananahru , Al-Nahru Al-Fāiq, Juz I, Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Cet. ke-I, 2002, h. 503.
105
Oleh karena itu, menurut penulis ketika al-Imam an-Nawawi dalam menarik hukum-hukum dari hadits Abu Dawud, kemudian al-Qur’an surat anNisa’ ayat 141 dan hadits riwayat an-Nasa’i, bahwa dalil hadits riwayat Abu Dawud tersebut lebih spesifik dibandingkan kedua dalil al-Qur’an dan hadits riwayat an-Nasa’i yang sifatnya lebih umun. Hal ini berarti bahwa al-Imam anNawawi mengambil ketiga dalil tersebut guna melandasi persoalan ḥaḍānah karena istri kafir, sebab ketiga dalil tersebut saling menguatkan satu sama lainnya. Dalam arti hadits Abu Dawud itu sudah menjelaskan secara gamblang bahwa memang hukum hak ḥaḍānah karena istri kafir itu tidak diperbolehkan. Hanya saja perlu dalil pendukung untuk menguatkan permasalahan tersebut. Akan tetapi Mazhab al-Hanafi dan al-Maliki mempunyai pandangan yang berbeda dengan hal ini, mereka mendasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud guna melandasi hak ḥaḍānah terhadap pemegang kafir diperbolehkan. Dan penulis tidak sependapat dengan pandangan Mazhab al-Hanafi dan al-Maliki karena hadits tersebut bukan menunjukkan kebolehan atas hak ḥaḍānah karena istri kafir, melainkan melarang bagi ibu atau istri yang kafir melakukan ḥaḍānah karena kekafirannya itu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ḥaḍānah meliputi dua hal pokok yaitu dalam hal perawatan dan pendidikan. Perawatan masuk dalam hal fisik sedangkan pendidikan masuk dalam hal psikis yakni dalam
106
hal agama anak tersebut. Sehingga pada intinya ḥaḍānah adalah menjaga jasmani dan rohani anak.49 Mengingat bahwa maṣlaḥah ḥaḍānah sendiri itu adalah menjaga akal dan menjaga diri dari anak itu pada waktu menyusui adalah sesuatu hal yang sangat signifikan. Sebab hal tersebut dibutuhkan untuk membentuk karakter anak. kemudian juga menjaga rohani dan akidah anak itu perlu dijaga karena hal tersebut termasuk hifd ad-dīn. Maka menghindarkan mafsadah itu lebih baik, sebab dengan kekafiran atau kemurtadan seseorang dapat menggugurkan haknya dalam mengasuh dan mendidik anak. Dengan melihat hujjah yang digunakan al-Imam an-Nawawi dalam hak ḥaḍānah karena istri kafir, bahwa al-Imam an-Nawawi menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai metode Istinbaṭnya. Di samping itu pula, Ulama’ Syafi’iyyah dalam hal ini juga mazhab yang dianut oleh an-Nawawi dikenal dengan teori atau metode maṣlaḥah, yakni metode penerapan hukum berdasarkan kepentingan umum. Hanya saja maṣlaḥah yang digunakan terbatas pada maṣlaḥah yang mu’tabarah artinya kemaslahatan yang didukung oleh syariat. Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.50
49
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, Cet. ke-III, 1995, h. 272. 50 Abu Yasid, Islam Akomodatif (Rekronstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal), Yogyakarta: LkiS, Cet. ke-1, 2004, h. 89.
107
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa ḥaḍānah merupakan masalah perwalian dan apabila ada seorang kafir menjadi wali bagi anaknya yang Islam tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, menurut penulis penggunaan dalil di atas untuk dijadikan sebagai hujjah dalam menghukumi ḥaḍānah karena istri kafir sangatlah tepat. Jadi, jelas bahwa apabila orang kafir itu mengasuh anaknya yang Islam, tentunya akan membawa maḍārat yakni menimbulkan kerusakan anak dalam hal agama. Dalam kaidah fiqihnya yang berbunyi: 51
Artinya:
“Menolak kerusakan kemashlahatan.”
درء اﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﳌﺼﺎﱀ
diutamakan
ketimbang
mengambil
Penggunaan kaidah fiqih di atas sangatlah tepat, karena lebih baik menghindari mafsadah dengan tidak memberikan hak ḥaḍānah kepada istri yang kafir, apalagi mafsadah di sini berkaitan dengan hal yang paling esensi bagi manusia yaitu menjaga agama. Sebab agama itu adalah termasuk dalam salah satu ḍarūriyah yang lima. Memang ketika masih dalam masa pengasuhan bagi anak yang masih menyusu bisa dilakukan oleh ibu yang telah murtad, karena kemaṣlaḥah-an ḍarūriyyah bagi anak yang masih dalam masa penyusuan adalah hifz an-nafs dan hifz al-’aql, sedangkan kemaslahatan aqidah atau rohani anak (hifz ad-din) pada usia tersebut ada pada tingkatan ḥajiyyah bahkan mungkin taḥsīniyyah karena anak belum bisa menalar sesuatu. Setelah selesai masa penyusuan, maka hak asuhnya diberikan pada pihak lain yang beragama Islam, 51
Asjmuni Abdurrahman, op. cit., h. 75
108
kemudian setelah mumayyiz anak diberikan hak memilih dengan siapa dia akan ikut pengasuhan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa penjagaan agama itu tetap harus didahulukan dari pada penjagaan jiwa karena setelah masa penyusuan selesai, anak harus diberikan kepada orang yang beragama Islam supaya anak tersebut tidak terus menerus diasuh sebab nantinya dapat membahayakan agamanya. Berdasarkan urutannya juga, menjaga agama merupakan hal yang paling utama dalam maqāṣid al-syarī’ah. Sedangkan bila dikaitkan dengan permasalahan ḥaḍānah bahwa apabila hak ḥaḍānah diserahkan kepada istri yang kafir adalah ditakutkan anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan tradisi agamanya, sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya tersebut. Artinya jika melihat keberadaannya yang mengancam pemeliharaan terhadap aspek agama yang merupakan unsur maṣlaḥah,52 maka berdasarkan urutan ini, perlindungan maṣlaḥah yang pertama (agama) harus ditegakkan sungguh pun harus mengorbankan jenis maṣlaḥah yang ada di bawahnya. Demikian juga dengan penegakan maṣlaḥah urutan kedua (perlindungan jiwa) harus diupayakan penerapannya bahwa sampai pada batas-batas menafikkan maṣlaḥah di bawahnya. Kemudian konsekwensi hukum yang dimunculkan dari permasalahan ini adalah hukum yang ditetapkan berupa ḥaram atau makruh.
52
Maṣlaḥah adalah mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak
109
Dalam terminologi syara’ ḥaram adalah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil yang qaṭ’i maupun dalil yang ẓannī.53 ḥaram dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ḥaram li żātih dan ḥaram li gairih.54 ḥaram li żātih merupakan keḥaraman langsung dan sejak semula memang ditentukan bahwa hal itu ḥaram, sedangkan ḥaram li gairih bermula dari sesuatu yang pada mulanya disyari’atkan tetapi dibarengi oleh sesuatu yang bersifat maḍārah bagi manusia, sehingga keḥaramannya adalah disebabkan adanya madharah tersebut. Terhadap perbuatan ḥaram li gairih, Ulama’ Hanafiyah menetapkan hukum fasid, sedangkan jumhur ulama’ berpendapat bahwa hukumnya adalah batal.55 Oleh karena itu, dengan melihat dan mempertimbangkan segala dampaknya, maka menurut penulis bahwa pandangan al-Imam an-Nawawi terhadap hak ḥaḍānah karena istri kafir ini dikategorikan dalam perbuatan yang mengarah ke arah yang mendatangkan kemafsadatan, dengan menempatkannya pada kondisi tidak terpeliharanya aspek agama dan aspek-aspek yang lain sebagaimana mestinya. Jadi menurut hemat penulis, penetapan hukum ḥaram merupakan hal yang wajar dan bisa diterima, dengan catatan yang dimaksud
53
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum, et. al, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, Cet. ke-II, 1994, h. 50. 54 Haram li żātih adalah sesuatu yang ditetapkan apabila keharaman terkait dengan esensi perbuatan haram itu sendiri, sedangkan haram li gairih adalah sesuatu yang ditetapkan apabila terkait dengan sesuatu yang di luar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk kemafsadatan. Lihat, Nasroen harun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. ke-I, 1996, h. 243. 55 Ibid, h. 244.
110
ḥaram di sini adalah ḥaram dalam konteks ḥaram li gairih. Maka sesuai dengan batasannya, ḥaram li gairih ini dapat diperbolehkan untuk dilakukan manakala timbul keperluan atau kebutuhan yang lebih penting, yang tidak terlepas dari pemeliharaan unsur agama, jiwa dan akal yang merupakan aspek maṣlaḥah, khususnya dalam pembahasan masalah ḥaḍānah terhadap istri kafir ini.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa pendapat al-Imam an-Nawawi tentang hak ḥaḍānah karena istri kafir dapat dijadikan pertimbangan dengan tetap mempertimbangkan pada kemaṡlaḥah-an yaitu baik dalam hal pemeliharaannya maupun pendidikan agamanya. Di samping itu juga pengasuhan bagi anak yang masih dalam masa penyusuan bisa dilakukan oleh ibu yang kafir, tetapi setelah masa penyusuan itu selesai, maka hak asuhnya diberikan pada pihak lain yang beragama Islam (dalam ini diberikan kepada kerabatnya yang Islam). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perlu adanya hak asuh sementara. Dalam konteks Indonesia pendapat an-Nawawi ini bisa dijadikan sebagai legitimasi oleh hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan masalah ḥaḍānah karena istri kafir ini dengan mengelaborasikan pasal 156 poin (c) Kompilasi Hukum Islam yang menjadi landasan hukum di Indonesia. 2. Bahwa al-Imam an-Nawawi menggunakan al-Qur’an dan hadits dalam pengambilan istinbath hukumnya mengenai hak ḥaḍānah karena istri kafir. Karena persoalan hak ḥaḍānah karena istri kafir mengandung maslaḥah serta mafsadah, maka konsekwensi hukum yang dimunculkan dari hal ini adalah
111
112
hukum yang ditetapkan berupa haram atau makruh. Oleh karena itu, penetapan hukum ḥaram merupakan hal yang wajar dan bisa diterima, dengan catatan yang dimaksud ḥaram di sini adalah ḥaram dalam konteks ḥaram li gairih. Maka sesuai dengan batasannya, ḥaram li gairih ini dapat diperbolehkan untuk dilakukan manakala timbul keperluan atau kebutuhan yang lebih penting, yang tidak terlepas dari pemeliharaan unsur agama, jiwa dan akal yang merupakan aspek maslaḥah. B. Saran-Saran Setelah penulis membahas pendapat pendapat al-Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhazzab tentang hak ḥaḍānah karena istri kafir, maka perkenankanlah penulis perlu memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Dalam hal mengasuh anak merupakan pembawaan asli yang dititipkan Allah
pada hati kedua orang tua, khususnya sang ibu, yang merupakan makhluk paling sayang kepada anak-anaknya dan paling mencintainya. Maka sebaiknya kedua orang tuanya itu adalah yang seagama, karena hal ini dimungkinkan untuk mengajarkan anak kepada nilai-nilai agamis yang dianut oleh orang tuanya. Oleh karena itu, dengan peran kedua orang tua memberikan kasih sayang dan pendidikan yang layak bagi anak baik dari segi jasmani maupun rohaninya, maka anak-anaknya tersebut bisa membiasakan dirinya untuk menyayangi dan mengasihi orang lain sebagai akhlak dan etikanya sehari-hari berdasarkan nilai-nilai agama yang diajarkannya.
113
2. Dalam menggunakan hak dan kewajiban hendaklah selalu mengacu kepada
suatu kemaslahatan anak, demi terwujudnya ketentraman dalam melindungi dari segala yang membahayakan dirinya dan menjaga haknya, karena si-anak memerlukan asuhan dan kasih sayang ketika dalam proses pertumbuhan hidupnya. 3. Kesimpulan di atas janganlah dijadikan pedoman final, tetapi jadikan sebagai landasan awal untuk proses pengkajian lebih lanjut. Sehingga upaya pencarian dan pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran Islam perlu dilakukan secara terus menerus supaya lebih dinamis.
C. Penutup Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Ilāhi Rabbi, karena hanya dengan rahmat serta inayahnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw yang kita tunggu-tunggu syafa'atnya besok di hari kiamat nanti. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan, terutama dalam segi bahasa dan analisis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari seluruh pihak, demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga karya ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Akhir kata penulis ucapkan Wassalamu ‘alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.
DAFTAR PUSTAKA
‘Atha, Muhammad Abdul Qadir, Sunan Al-Kubrā Li Al- Baihaqī, Juz VIII, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet. ke-III, 2003. Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. ke-III, 2007. Abdurrahman, Asjmuni, Qaidah-Qaidah Fiqhiyyah, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. keI, 1976. Ahmad, Idris, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, 1969. Alam, Andi Syamsu, dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulūg Al-Marām Min Adillat Al-Ahkām, alih bahasa Abdul Rosyad Siddiq, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Cet. ke-II, 2009. Al-Barry, Zakariya Ahmad, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Al-Buhuti, Syaikh Mansur bin Yunus bin Idris, Kasyf al-Qina’ ‘An Matan Al-Iqna’, Juz XVIII, Riyadh: Dār al-‘Ālim al-Kutub, 2003. Al-Buthi, Said Ramadhan, Ḍawābiṭ Al-Maṣlaḥah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, Beirut: Muassasah al-Risālah, t.th. Al-Dimasyqi, Ibnu Qadhi Al-Syuhba, Thabaqāt Al-Syafi’iyah, India: The Da’iratul Ma’arifil Osmania, 1979. Al-Hananahru, Imam Sirajuddin Umar bin Ibrahim Ibnu Najim, Al-Nahru Al-Fāiq, Juz I, Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Cet. ke-I, 2002. Al-Imam al-Bukhari, Ṣaḥīh Al-Bukhārī, Beirut: Dār Ibnu Kaṡīr, Cet. ke-I, 2002. Al-Imam al-Mawardi, Al-Hāwī Al-Kābīr Fī Fiqh Mazhab Al-Imām Al-Syafī’i, Juz XI, Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Cet. ke-I, 1994. Al-Imam al-Muslim, Ṣaḥīh Muslim, Juz IV, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
Al-Imam an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Juz XIX, Beirut: Daar al-Fikr, Cet. ke-XVII, 2005. -----------, Minhāj Aṭ-Ṭālibīn, Beirut: Dār al-Minhāj, 2005. Al-Jassas, Abi Bakar Ahmad Ar-Razi, Ahkām Al-Qur’an, Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, 1993. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Alā Mazāhib Al-Arba’ah, Juz IV, Beirut: Dār alKutub al-‘Ilmiyah, t.th. Alkhan, Muhammad, dan Mustofa Al-Baghiy, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Mazhab AlImam Al-Syafi’i, Damaskus: Dār al-Qalām, Cet. ke-VIII, 2008. Al-Sabiq, Al-Sayid, Al-Fiqh Al-Sunnah, Juz II, Kairo: al-Fath Li al-‘Ilām al-‘Arabi, t. th. -----------, Fikih Sunnah, Terj. Moh. Thalib, Jakarta: PT. al-Ma’arif, Cet. ke-I, 1980. -----------, Tafsīr Fi Żilāl Al-Quran, Alih Bahasa As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insan, Juz III, cet. ke-II, 2004. Al-Ṣabuni, Muhammad Ali, Rawāi’ Al-Bayān Tafsīr Ayat Ahkam Min Al-Qur’an, Juz I, Damaskus: Maktabah al-Ghazāli, Cet. ke-III, 1980. Al-Subki, Tajuddin Abi Nasr Abdul Wahab, Thabaqāt Al-Syafi’iyyah Al-Kubrā, Kairo: Dār Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th. An-Nasa’i, Al-Imam Abdurrahman bin Syu’aib, Sunan Al-Kubrā Lī An-Nasā’i, Juz VI, Beirut: Maktabah Al-Risālah, 2001. Arie, Abdul Salam, Pembaharuan Hukum Islam Antara Fakta Dan Realita Pemikiran Hukum Muhammad Syaltut, Yogyakarta: LESFI, Cet. ke.I, 2003. Ash-Shiddieqy, Hasby, Hukum-Hukum Fikih Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. keV, 1978. -----------, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Jilid IX, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. ke-III, 2001. -----------, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-I, 1998.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta:UII press, Cet. ke-XI, 2007. Dahlan, Abdul Aziz, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. ke-I, 1996. Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-I. 1988. Dawud, Al-Imam Abu, Sunan Abī Dāwud, Juz II, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996. Depag RI, Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993. Depag RI, Lajnah Pentashih Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. As-Syifa’, 1992. Depag RI, Tim Penyusun, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000. Dewata, Mukti Fajar Nur, dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-I, 2010. Direktorat Pembinaan dan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001. Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kerjasama Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam UIN Jakarta dengan Balitbang DEPAG RI, 2004. Farid, Syaikh Ahmad, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, Cet. keI, 2005. Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-III, 2008. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Lkis, 1999. Harun, Nasroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. ke-I, 1996.
Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz X, Kairo: Idārah aṭ-Ṭabā’ah al-Munīroh, t.th. Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Juz I, Beirut: Daar Al-Fikr, 1995. Isma’il, Sya’ban, Tażhīb Syarh Al-Asnawi, Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyah Li AtTuraṡ, 2007. Kartono, Kartini, Psikhologi Anak, Bandung: Alumni, 1981. Maruzi, Muslich, Pokok-Pokok Waris, Semarang: Mujahidin, 1981. Mas'ud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Terj. Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995. Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-III, 1993. Mugniyyah, Muhammad Jawad, Al-Fiqh 'Ala Al-Maẓāhib Al-Khamsah, Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari', Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Terj. Mansur A.B, et. al., Jakarta: Lentera, Cet. ke-IV, 1999. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, Edisi ke-II, 1997. Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. keVIII, 2003. Noor, Sofia Retnowati, Peran Perempuan Dalam Keluarga Islami Tinjuan Psikologis, disampaikan pada Seminar Setengah Hari “ Peran Perempuan Dalam membangun Keluarga Dengan Nilai-nilai yang Islami” diselenggarakan oleh Wanita Islam bekerjasama dengan Forum Pengajian Ibu-ibu Al Kautsar Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 1 Juni 2002. Nurruddin, Amir, dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Prenada Media, Cet. ke-I, 2004. Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004. Rifa’i, Moh., Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: CV. Thoha Putra, 1978. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Shalih bin Fauzan, Ringkasan Fiqih lengkap, Terj. Asmuni, Jakarta: Darul Falah, Cet. ke-II, 2008. Shihab, M. Quraisy, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. ke- IV, 2005. Soesilo, et. al, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penerbit: Rhedbook Publisher, cet. ke-I, 2008. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsito, Cet. ke-VII, 1989. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih, Jilid II, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. ke-V, 2009. -----------, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-I, 2004. Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Terj. Sabil Huda dan A. Ahmad, Cet. ke-V, 2008. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. Tim Penyusun Disbintalad, Al-Qur’an Terjemah Indonesia, Jakarta: PT. Sari Agung, Cet. ke- XX, 2005. Tjandrasa, Meitasari, Perkembangan Anak, Semarang: Erlangga, 1978. Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, Cet. ke-III, 1995. Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997. Yasid, Abu, Islam Akomodatif (Rekronstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal), Yogyakarta: LkiS, Cet. ke-1, 2004. Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum, et. al, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, Cet. ke-II, 1994. Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islām Wa Adillatuhu, Juz X, Dimasyq: Dār al-Fikr, t.th. http://abimuslih.wordpress.com/2007/07/26/hak-jagaan-anak-ḥaḍānah -selepas-cerai/ diambil pada hari Rabu tanggal 13 April 2011
http://aghifaris.blogspot.com/2010/12/hak-hak-anak-dalam-berbagsi-tinjauan.html diambil pada hari ahad tanggal 5 Juni 2011. http://orgawam.wordpress.com/2008/09/28/ijma-dan-qiyas-adalah-juga-sumberhukum-islam/ diambil pada hari Selasa tanggal 12 April 2011. http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-qiyas.html Selasa tanggal 12 April 2011.
diambil
pada hari
http://www.bayisehat.com/child-development-mainmenu-35/784-peranan-ibu-dalampendidikan-anak.html diambil pada hari Selasa tanggal 31 Mei 2011. http://www.g-excess.com/id/pengertian-zuhud-dalam-islam.html diambil pada hari Selasa 12 April 2011.
BIODATA PENULIS
Nama
: Mohammad Taufiqul Huda
Tempat/Tanggal Lahir
: Kudus, 19 November 1988
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Desa Hadiwarno Rt. 01/Rw. 01, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus
Pendidikan 1. 2. 3. 4.
:
SDN 2 Bulungkulon Jekulu Kudus lulus tahun 2000. MTs. Nurul Ulum Jekulo Kudus lulus tahun MAKN 1 Surakarta lulus tahun 2006. Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah IAIN Walisongo Semarang.
Pengalaman Organisasi : 1. Pengurus PMII Rayon Syari’ah IAIN Walisongo periode 2008/2009 sebagai Anggota Departemen Bakat dan Minat. 2. Pengurus PMII Komisariat Walisongo periode 2009/2010 sebagai Anggota Departemen Bakat dan Minat. 3. Pengurus DEMA IAIN Walisongo periode 2009/2010 sebagai Anggota Departemen Dalam Negeri. 4. Pengurus HMJ AS IAIN Walisongo periode 2008/2009 sebagai Koordinator Departemen Hukum dan Advokasi. 5. Pengurus UKM JQH Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo periode 2007/2008 sebagai Koordinator Departemen Kaligrafi. 6. Pengurus UKMI NAFILAH IAIN Walisongo periode 2008/2009 sebagai Koordinator Departemen Kesenian Islam. 7. Pengurus Keluarga Mahasiswa Kudus Semarang (KMKS) periode 2008/2009 sebagai Koordinator Departemen Bakat Minat. Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya. Semarang, 21 Juni 2011 Penulis,
Mohammad Taufiqul Huda NIM: 0 6 2 1 1 1 0 1 4