PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK KARENA ISTRI MAFQUD (Analisa Yurisprudensi No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy)
Oleh:
Siti Munawaroh NIM: 107044202135
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK KARENA ISTRI MAFQUD (Analisa Yurisprudensi No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy) Oleh:
Siti Munawaroh NIM: 107044202135
Dibawah Bimbingan : Pembimbing
Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA NIP :195703121985031003
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka sata bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 April 2011 M
Siti Munawaroh
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم Segala puji bagi Allah SWT, Maha Adil dan Maha Pengasih yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada semua makhluknya dan penulis terutamanya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam semoga Allah selalu curahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat yang telah banyak berkorban dalam mensyiarkan Islam sehingga kita dapat merasakan nikmatnya iman sampai saat ini. Skripsi ini ditullis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar starata satu (S.l), dalam jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan HukunrUIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul: PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK KARENA ISTR1 MAFQUD (Analisis Yurisprudensi No: 88IPdt. G/2008/PA. JB DiPA Jakarta Bar at). Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang terlibat dan berpartisipasi dalam rangka membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Karenanya penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
2. Drs. H . A Basiq Djalil SI I. MH Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyyah, Hj Rosdiana, MA Sekertaris Jurusan, serta Dr. Supriyadi Ahmad, MA Dosen Pcmbimbing Akademik. Terima kasih atas segala bantuan, perhatian, arahan, serta bimbingan yang selama ini diberikan. 3. Dr. H. A. Mukri Aji, MA Selaku dosen pembimbing yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi arahan, koreksi, dan bimbingan yang sang at berarti demi kelancaran pembuatan skripsi ini. 4. Para narasumber dan staf Pengadilan Agama Jakarta Barat yang telah memberikan izin dan arahan dalam melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian, khususnya H. Muhiddin, SH, MH, Hakim yang terlah bersedia diwawancarai dalam menggali keterangan seputar judul yang penulis angkat. 5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang selama tiga setengah tahun dengan ikhlas dan sabar memberikan ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diajarkan dapat menjadi bekal hidup penulis dalam menghadapi samudra kehidupan dan dapat diamalkan dalam keseharian. Serta, para pimpinan dan staff perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 6. H. Muhammad Bakri ayahanda yang selama ini menjadi motivator dan inspirator dalam melangkah, Hj. Masrifah ibunda yang menjadi tempat bersandar dikala kejenuhan dan kegelisahan melanda, curahan cinta, kasih,
ii
perhatian yang beliau berikan dengan tulus, sehingga dapat menyelesaikan studi ini dengan lancer. Serta kakak-kakakku Hj. Badiah, Muhammad Syafiq, Siti Aisyah, S.Ag, Solihah, S.Pdi, serta adikku tersayang, Ahmad Murodi yang turut memotivasi penulis agar menjadi yang terbaik. Doakan ananda semoga kelak menjadi insan yang berguna bagi diri sendiri dan sesama, dan dapat mewujudkan segala cita dan impian yang diharapkan. 7. Sofyan Suri kanda yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan dengan sabar selalu mengiringi sulca duka penulis dalam menjalani masa studi. 8. Sahabat-sahabatku Alumni Pon-Pes At-Taqwa Puteri Pusat Angkatan 2007 yang banyak memberi masukan dan tempat berbagi pengalaman. 9. Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2007, kawan-kawan SCC 2010, serta kakak kelasku Hilma Yuniasti yang banyak memberikan masukan dan informasi. 10. Kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun yang tidak membantu penulisan skripsi ini. Atas segala bantuannya penulis menghaturkan jazakumullah khoiron katsiron. Semoga skripsi ini dapar bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Jakarta, 10 Maret 2011 M
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………….
i
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………….
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………..
9
D. Metode Penelitian…………………………………..
10
E. Review Studi Terdahulu……………………………
14
F. Sistematika Penulisan………………………………
15
PERCERAIAN DAN HAK ASUH ANAK KARENA ISTRI MAFQUD A. Pengertian Perceraian………………………………..
17
B. Pengertian Hadhanah dan Dasar Hukumnya………..
20
1) Perspektif Fikih………………………………….
20
2) Perspektif UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam(KHI)……………………………………… C. Syarat-syarat Hadhanah dan Akibat Hukum Hadhanah..
24 32
D. Pengertian Istri Mafqud Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI……………………………………………………. iv
45
BAB III
BAB IV
BAB V
E. Hubungan Istri Mafqud Dengan Perceraian…………….
48
F. Akibat Hukum Istri Mafqud Terhadap Hak Asuh Anak …
52
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat………
53
B. Letak Geografis………………………………………….
59
C. Struktur Organisasi………………………………………
65
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA A. Duduk Perkara………………………………………….
66
B. Profil Dan Pihak yang terlibat………………………….
69
C. Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim……………..
69
D. Analisis Penulis…………………………………………
73
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………….
81
B. Saran……………………………………………………
82
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...
v
83
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………… 1. Pedoman Wawancara 2. Hasil wawancara 3. Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat 4. Keterangan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat 5. Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi 6. Putusan Perkara No.881/Pdt.G/2008/PA.JB
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Rumah tangga adalah wadah yang pertama dalam masyarakat. Rumah tangga adalah salah satu dari sekian banyak batu bata masyarakat. Masyarakat tidak akan menjadi baik kecuali jika rumah tangga ini baik, dan masyarakat tidak akan rusak kecuali jika rumah tangga ini rusak. Rumah tangga ini terdiri dari rumah. Sebuah rumah harus mencerminkan ketenangan, kedamaian, kerjasama dan rasa cinta. Disinilah anak akan tumbuh membentuk ciri kebersamaan dan hubungan.1 Rumah tangga adalah hubungan jiwa dengan jiwa, hubungan ketentraman dan ketenangan, hubungan kasih dan sayang, hubungan saling menutupi rahasia dan memeberikan keindahan, dan apapun yang mencerminkan kecintaan yang bisa dirasakan manusia. Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak bisa dirawat bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang, dan suami istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya,
1
Ummu Ibrahim Ilham, Bagaimana Menjadi Istri yang Shalihah dan Ibu Yang Sukses, (Jakarta: Darul Falah, 1420 H), cet-II, h. 52
1
2
akan berakibat negatif bagi anaknya. Oleh karena itu, upaya kembali memulihkan kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.2 Perceraian diakui dalam Islam sebagai satu jalan keluar terakhir dari kemelut keluarga, di mana bila hal tersebut tidak dilakukan, maka sebuah rumah tangga menjadi seperti neraka bagi kedua belah pihak atau bagi salah satunya. Dan hal seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan disyariatkan pernikahan3 yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, yaitu: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanaknnya merupakan ibadah.”4 Salah satu bentuk perkawinan adalah dengan talak. Thalak secara harfiah berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya dengan masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis kelihatan ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama. Selain thalak, bentuk perceraian yang lain adalah dengan fasakh. Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti membatalkan. Sedangkan secara terminologis fasakh berarti pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat 2
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004) h. 137 3
Mashuri Kurtubi, Menikah Itu Indah, (Jakarta: Insan Madani, 2007) h. 44
4
DEPAG RI, UU No. 1 Tahin 1974 dan Pedoman Akad Nikah, (Jakarta: DEPAG RI, 2006) h. 62
3
dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Faktor-faktor penyebab terjadinya fasakh antara lain: syiqaq (pertengkaran), fasakh karena cacat, fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah, fasakh karena suami ghaib (mafqud), fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan.5 Dalam hal ini penulis melakukan penelitian tentang faktor salah satu pasangan suami istri mafqud (hilang). Mafqud secara bahasa berarti hilang atau menghilangkan sesuatu, sedangkan secara terminologis berarti orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama.6 Dalam kenyataan, tujuan mulia perkawinan tidak selamanya berjalan secara baik. Kehidupan berumah tangga memang tidak selamanya berjalan mulus tanpa konflik, perbedaan, atau perdebatan, bahkan adakalanya hubungan perkawinan tersebut di landa problem yang berakhir dengan perceraian. Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbul perbedaaan pendapat antara keduanya, berubahnya kecendrungan hati pada masing-masing pihak memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, kesetiaan menjadi pengkhianatan.
5 6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2007),hal.190
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid III, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), hal.1037
4
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebut dengan mitsaqan ghaliza (ikatan yang kuat), namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas ditengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan. Menurut pasal 38 Undang-undang Perkawinan menyatakan: perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan. Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian, Undang-undang Perkawinan memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci, dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan putusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. Undangundang Perkawinan tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu. Bahkan didalam penjelasan Undang-undang Perkawinan, pasal 38 tersebut dipandang “cukup jelas”. Jika merujuk kepada hukum perdata pada pasal 493 dinyatakan: apabila selain terjadinya meninggalkan tempat tinggal dengan sengaja, seorang diantara suami istri selama genap sepuluh tahun telah tak hadir ditempat tinggalnya, sedangkan kabar tentang hidup atau matinya pun tak pernah diperolehnya, maka si istri atau suami yang ditinggalkanya, atas izin Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri bersama berhak memanggil pihak yang tak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum berturut-turut dengan cara seperti diatur dalam pasal 467 dan 468 yaitu ketentuan
5
yang berkenaan dengan dianggap meninggalnya seseorang dimana antara lain disyaratkan paling tidak, tidak terdengar kabar beritanya untuk masa lima (5) tahun atau lebih, yakni dari jangka terakhir terdengar berita orang itu masih hidup.7 Dalam literatur-literatur fikih banyak ditemukan tentang status perkawinan karena suami mafqud (hilang). Akan tetapi tidak dijelaskan secara jelas tentang istri mafqud (hilang). Untuk itu adalah suatu yang penting dan menarik untuk diteliti permasalahan tentang permohonan thalak suami karena istri mafqud serta pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Suatu gugatan perceraian, bisa mengundang berbagai permasalahan. Disamping gugatan carai itu sendiri, muncul pula masalah-masalah lain sebagai akibat dari dikabulkannya perceraian tersebut, seperti masalah pembagian harta bersama, dan bila mana mempunyai keturunan timbul pula masalah tentang siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah terhadap anak. Hadhanah secara bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu waktu menyusukan,meletakan anak dipangkuannya, dan melindunginya dari segala sesuatu yang menyakiti. Erat kaitannya dengan itu, hadhanah secara istilah adalah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai ia mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri. Seorang anak pada permulaanya hidup sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan fisiknya, maupun dalam 7
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal.216-218
6
pembentukan akhlaknya. Seorang yang melakukan tugas hadhanah sangat berperan dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah hadhanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran islam. Diatas pundak kedua orangtualah terletak kewajiban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana orang tuanya atau salah satunya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas tersebut dikarenakan suatu hal, maka hendaklah ditentukan pengasuh yang memenui kriteria dan syarat-syarat yang memenuhi ketentuan untuk melakukan pengasuhan tersebut, terlebih ketika terjadi percerain antara keduanya 8. Ketentuan tentang hak hadhanah akibat terjadi perceraian orang tuanya telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156, yaitu Akibat putusnya pernikahan karena perceraian ialah: A. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bilamana ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping dari ayah B. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hak hadhanah dari ayah atau ibunya C. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah diculupi, maka atas 8
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, hal. 169
7
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.9 Seperti keterangan tersebut diatas, dalam perkara perceraian yang terjadi antara Muhammad Arief bin Achmad dengan Survita Widiyanti binti Moch Surip yang dikarunia 2 orang anak, anak pertama berusia 10 thn, dan anak kedua berusia 7 tahun. Pernikahan mereka telah terbina selama 11 tahun, akan tetapi dengan kehadiran kedua anak dalam hubungan pernikahan mereka, tetap saja sering terjadi percekcokan yang disebabkan berbagai hal, diantaranya yang diutarakan suami dalam posita nya adalah karena adanya perselingkuhan istrinya dengan pria lain yang NonMuslim. Pada puncak keretakan hubungan rumah tangga mereka, sang istri pergi meninggalkan rumah selama beberapa bulan tanpa alasan yang jelas dan tidak diketahui keberadaannya, serta tidak pernah memberi kabar berita kepada keluarganya. Sampai akhirnya suami menjatuhkan cerai kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat dan dijatuhkanlah talak 1 kepada pasangan suami istri tersebut. Tapi permasalahan yang penulis ingin soroti adalah keputusan hakim menetapkan hak hadhanah kepada bapak/suami. Oleh karena itu berawal dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi tentang PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK KARENA ISTRI MAFQUD (Analisa Yurisprudensi No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB). 9
Departement Agama RI, Kompilasi Hukum Islam dan Tanya Jawab Seputar Kepenghuluan, (Jakarta: DEPAG RI. 2003) h. 91
8
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1.Pembatasan Masalah Bertitik tolak pada latar belakang di atas, maka penulis membatasi bahwa fokus dari penelitian adalah berkenaan dengan pada apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak karena Istri Mafqud dalam pokok bahasan analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 881/Pdt.G/PA.JB. Dalam putusan No.881/Pdt.G/2008/PA.JB hakim memutuskan bahwa suami dapat menjatuhkan talak pada istri yang mafqud (hilang) selama 7 (tujuh) bulan. Sehingga pelimpahan Hak Asuh Anak ditetapkan kepada bapak. Putusan ini menarik untuk diteliti guna mengetahui proses sampai putusan ini ditetapkan hakim. 2. Rumusan Masalah Menurut peraturan yang berlaku dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156 bahwa hak hadhanah apabila ibu tidak ada maka, jatuh kepada wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu. Sedang dengan kenyataan yang ada dilapangan hadhanah diberikan langsung kepada bapak seperti yang diputuskan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam putusan perkara No.881/Pdt.G/2008/PA.JB. Kemudian untuk memecahkan masalah yang ada, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah metode ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam
menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB?
9
2. Apa dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam menetapkan pelimpahan
hak
hadhanah
kepada
bapak
dalam
putusan
No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB?
B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Dengan menganalisa latar belakang dan rumusan tersebut maka penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui metode ijtihad yang digunakan oleh majelis hakim dalam menentukan
hak
hadhanah
akibat
perceraian
dalam
putusan
No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB. 2. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam menetapkan
hak
hadhanah
kepada
bapak
dalam
putusan
No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB. II. Manfaat Penelitian Adapun manfaat skripsi ini adalah sebagai berikut: A. Terapan 1. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Syariah (S.Sy) di Fakultas Syariah & Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2.
Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi para hakim di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam menentukan kepada siapa hak hadhnah harus diberikan ketika terjadi perceraian antara suami istri.
10
B. Ilmiah. Skripsi ini diharapkan mampu manambah wawasan bagi penulis khususnya dan masyarakat luas umumnya terutama terkait penentuan hak hadhanah setelah terjadi perceraian antara suami istri.
D. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Dilihat dari jenis datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma-norma atau aturan-aturan dari kasus yang diteliti, oleh karena itu penulis berupaya mencermati mengenai hak hadhanah atas anak kepada bapak setelah terjadinya perceraian yang diakibatkan karena istri mafqud. Dilihat dari segi tujuan, penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data dan informasi dilapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Dan dari segi tipe penelitian hukum, penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research), penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan
buku-buku,
kitab-kitab
fiqih,
perundang-undanganan,
Yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini. 2. Tekhnik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:
dan
11
a) Dokumentasi, yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari data
primer
dari
dokumen-dokumen
berkas
putusan
perkara
No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB Di samping itu dilakukan penelusuran dan pengkajian terhadap berbagai tulisan yang berkaitan dengan pembahasan ini, dalam aspek hukum untuk mempertajam analisis terhadap putusan pengadilan tersebut. b) Interview (wawancara) yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan pedoman wawancara. Adapun pihak yang diwawancarai adalah hakim Pengadilan Agama Jakarta barat yang memutus perkara ini. Metode ini dipakai untuk memperoleh gambaran yang
jelas tentang pertimbangan hukum dan upaya
majelis hakim untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga dapat membantu proses analisis data. 3. Sumber Data A. Data Primer Data primer adalah berkas putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam perkara No.881/Pdt.G/2008/PA.JB, buku-buku, internet, Yurisprudensi dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan hak hadhanah atas anak, lalu dikumpulkan serta diklasifikasikan berdasarkan jenisnya. B. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari wawancara terhadap hakim untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.
12
4. Analisa Data Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis mengenai alasan dan dasar hukum yang dijadikan pegangan hakim dalam menetapkan keputusan terhadap kasus yang dibahas. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisa yurisprudensi dan mengidentifikasi apa yang menjadi perhatian penulis yaitu terhadap putusan hakim yang berkenaan dengan hak asuh anak kepada bapak akibat permohonan talak suami pada istri yang mafqud (hilang) di Pengadilan agama Jakarta Barat. Serta apa yang merupakan persoalan. Dalam melakukan identifikasi ini proses yang akan penulis lakukan antara lain: 1. Proses katagorisasi, yaitu proses menyusun kembali catatan dari hasil observasi atau wawancara menjadi bentuk yang lebih sistematis. 2. Proses Prioritas, yaitu dengan memilih mana katagori yang dapat ditampilkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan. 3. Proses penentuan kelengkapan, yaitu untuk mengetahui apakah katagori yang dihasilkan sudah cukup atau belum. Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan konten analisis, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dengan mendeskripsikan putusan perceraian dengan No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB dan menghubungkannya dengan hasil interview dari hakim yang memutus perkara tersebut. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Artinya penyusun lebih mempertajam analisis dengan memahami kualitas dari data yang diperoleh.
13
Kemudian dibahas secara mendalam tentang putusan Pengadilan Agama terkait dengan pertimbangan hakim terhadap penentuan hak hadhanah atas anak yang muncul dari ketentuan yurisprudensi. 5. Teknik Penulisan Dalam penyusunan skripsi ini, secara tekhnis penulisan berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, diterbitkan oleh: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, cet. Pertama.
E. STUDI KAJIAN TERDAHULU No 1
Identitas
Substantif
Perbedaan
Skripsi oleh Firman Judul “Hak Pemeliharaan Dari segi isi skripsi, skripsi Suleman, Tahun 2009, anak
yang
belum tersebut membahas tentang
Program Studi Ahwal mumayyiz Syakhsiyyah,
akibat efektivitas penerapan pasal
perceraian (Studi Kritis 105 point A KHI dalam
konsentrasi Peradilan terhadap tentang Pasal menyelesaikan Agama
105 point A KHI)”. Berisi
hadhnah
tentang Pengadilan
di
sengketa lingkungan Agama,
pembahasan
mengenai dengan melakukan studi
efektifitas
penerapan kritis terhadap pasal 105
pasal 105 point A KHI point A KHI, sedangkan sebagai
sumber
dalam penulis
dengan
14
menyelesaikan
sengketa menganalisis
putusan
hadhanah di lingkungan hakim tentang hak anak Pengadilan Agama
dan
juga
menganalisis
pertimbangan dalam
hakim memutuskan
perkara 2
Skripsi
oleh
Arifin,
tahun
Program
Zainul Judul “Prioritas hak asuh Secara
skripsi
2004, ayah terhadap anak di tersebut membahas tentang Studi bawah umur (Studi Kasus sejauh
Akhwal Syakhsiyyah, di
Pengadilan
Berisi
prioritas
kepada
ayah
dalam masalah hak asuh tentang anak
pembahasan
mana
Agama diberikan
Konsentrasi Peradilan Jakarta Selatan). Agama
umum,
yang
mengenai mumayyiz
belum akibat
prioritas hak asuh ayah perceraian di Pengadilan terhadap anak yang masih Agama Jakarta dibawah
umur
secara sedangkan
teoritis maupun praktis.
Selatan, penulis
melakukan yurisprudensi
analisa terhadap
salah satu putusan hakim di
Pengadilan
Jakarta
Barat
Agama dengan
15
putusan
No.
881/Pdt.G/2008/PA.JB. 3
Skripsi oleh Aditya Judul “:Pencabutan hak Secara
umum,
skripsi
Nur Pratama, tahun asuh anak dari ibu (Studi tersebut mambahas tentang 2009 Program Studi Analisis
Putusan pencabutan
Akhwal Syakhsiyyah, Pengadilan
Agama (hadhanah) anak dari ibu,
konsentrasi Peradilan Depok
hak
No. sedangkan
asuh
penelitian
Agama, UIN Syarif 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk). penulis tentang hak asuh Hidayatullah Jakarta
Berisi tentang landasan anak
yang
belum
teori seputar hak asuh mumayyiz kepada bapak (hadhanah)anak meliputi akibat perceraian karena pengertian
hadhanah, istri mafqud. Walaupun
dasar hokum hadhanah, cara yang dilakukan sama syarat-syarat dan
hadhin,
hadhinah yaitu
menganalisis
masa putusan, namun hal ini
hadhanah, serta analisa jelas
berbeda tersebut,
dengan
terhadap
putusan skripsi
karena
Pengadilan
Agama penelitian penulis bukan
Depok
tentang berkaitan
dengan
pencabutan hak asuh anak pencabutan hak asuh anak, dari ibu.
melainkan hak hadhanah
16
kepada bapak karena istri mafqud. 4
Skripsi
oleh
Jamil Judul
Fathoni, tahun 2009, gugat
“Perkara
cerai Secara
umum,
skripsi
karena
suami tersebut
berisi
tentang
Jurusan
Peradilan mafqud(analisa beberapa cerai gugat kerena suami
Agama,
Konsentrasi putusan PA Jakarta Pusat mafqud, sedangkan penulis
Akhwal Syakhsiyyah, dari Persfektif Fiqih)”. UIN Jakarta
menitik
beratkan
pada
Berisi tentang perceraian ketetapan hak hadhanah (khulu’)
serta
mafqud yang diakubatkan karena
dalam persfektif fiqih dan istri mafqud, dan skripsi undang-undang
No.
1 tersebut
menganalisis
Tahun 1974, serta analisa beberapa putusan sehingga tentang putusan-putusan dasar pengadilan
keputusan
Agama berbeda-beda
Jakarta Pusat perceraian tidak akibat suami mafqud.
dan
efisien
memerlukan
hakim juga karena
waktu
dan
tenaga yang lebih banyak dalam data.
mengumpulkan
17
F. Sistematika Penulisan Untuk lebih memudahkan pembahasan dan agar penulisan skripsi ini lebih terfokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasi permasalahan dalm beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab Pertama
: Pada bab ini berisi pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang skripsi dengan menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, analisa data dan sistematika penelitian.
Bab Kedua
: Pada bab ini peneliti berusaha menjelaskan tentang hak asuh anak kepada bapak terhadap istri mafqud menurut hukum Islam dan hukum positif yaitu undang-undang N0. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Bab Ketiga
: Pada bab ini tentang eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Barat, kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Barat, Pengadilan Agama Jakarta Barat secara organisasi dan perkara hak asuh anak kepada bapak karena istri mafqud yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Bab Keempat
: pada bab ini penulis berusaha menjelaskan permasalahan yang dijadikan objek kajian dengan menganalisa dan menjelaskan putusan pengadilan yang dijadikan objek penelitian penulis. Menjelaskan hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan
18
putusan serta menjelaskan metode ijtihad hakim, juga sumber hokum yang dijadikan sandaran hakim dalam mengambil keputusan. Bab Kelima
: pada bab ini berisi kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan serta saran-saran dan harapan penulis.
BAB II PERCERAIAN DAN HAK ASUH ANAK KARENA ISTRI MAFQUD
A. Pengertian Perceraian Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 38, bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian sering disebut oleh masyarakat dengan istilah cerai mati. Sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian ada dua sebutan yaitu cerai gugat dan cerai talak. Talak terambil dari kata „‟ithlaq‟‟ yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan‟‟. Menurut istilah syara‟ talak yaitu : 1
Melepas perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Al-Jaziry mendefinisikan :
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, talak adalah:
Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.
1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h.192.
19
20
Jadi, talak itu adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba‟in sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj‟i.2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada dasarnya mempersulit terjadinya perceraian, alasan-alasan mempersulit itu adalah : 1. Perkawinan itu tujuannya suci dan mulia sesuai dengan pasal 1 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan perceraian dalah perbuatan yang dibenci Allah. 2. Untuk membatasi kesewenang-wenangan suami terhadap istri. 3. Untuk mengangkat derajat dan martabat istri (wanita) sehingga setaraf dengan derajat dan martabat suami. Hukum Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian, kalau perceraian itu lebih baik dari pada tetap berada dalam ikatan perkawinan. Walaupun maksud dari perkawinan itu mencapai kebahagiaan dan kerukunan hati masing-masing, dan kebahagiaan, akan tetapi hal itu tidak dapat dipaksakan. Karena itulah Islam tidak mengikat mati perkawinan, tetapi tidak pula mempermudah perceraian. Artinya perceraian adalah tindakan terakhir yang dilakukan setelah terlebih dahulu menempuh usaha-usaha perdamaian. Demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah
2
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 193.
21
terjadinya perceraian tanpa ada rasa penyesalan. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal yaitu :3 1. Cerai Talak Cerai talak biasanya hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Islam menetapkan hak talak itu berada di tangan suami, yakni memiliki hak mentalak istri sampai tiga kali talak. Namun demikian hak itu tidak dapat digunakan oleh suami begitu saja dengan sewenang-wenang. Suami yang hendak melakukan talak terhadap istrinya harus didepan pengadilan agama yang berwenang dan memperlihatkan kepentingan para istri. Cerai talak menurut hukum agama ada tiga macam yaitu talak raj‟i, talak bain shugra dan talak bain kubra. 2. Gugatan Perceraian Gugatan perceraian hanya dilakukan para istri, karena dalam hukum agama Islam istri tidak mempunyai hak mentalak suami. Dalam hukum perkawinan agama islam sendiri diberi hak untuk menuntut perceraian dari sang suami dengan cara khulu. Adapun alasan terjadinya perceraian terdapat dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.4
3
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam , (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 247.
4
Ibid., h. 249
22
B. Pengertian Hadhanah dan Dasar Hukumnya 1.
Perspektif Fikih Konsep pemeliharaan dan perlindungan anak dalam hukum Islam (fiqh) lebih
dikenal dengan hadhanah yang merupakan salah satu dari hak anak yang wajib dipenuhi. Menurut Muhammad Mugniyah, pemeliharaan dan pengawasan harta itu bukan hanya untuk anak yatim saja tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang masih kecil, safih dan bangkrut.5 a. Menurut Etimologi
6
Hadhanah berasal dari hadlan, yaitu berarti samping, yakni masuk kesamping. Sedangkan menurut Syara' ialah pendidikan dan pengajaran terhadap anak bagi yang berhak melakukan hadhanah. Ataupun pendidikan dan pengasuhan orang yang tidak dapat mandiri terhadap hal-hal yang membahayakan dirinya, karena masih kanakkanak atau karena tidak waras. Dengan demikian diperlukan pemeliharaan kondisinya, dan penyediaan makanan, pakaian dan tempat tidurnya, juga tentang kebersihannya, cuci pakaian pada usia tertentu, dan lain sebagainya.
5 6
Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.166.
Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islam Wa adillatuhu Juz IV, (Damaskus: Daar Fikr, 14041984), h. 717.
23
Menurut Wahbah Al Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.7 Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam Islam, yakni حضَانَة َ ال, memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik. Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:8 1. Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan 2. Hak anak dalam kesucian keturunannya. 3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4. Hak anak dalam menerima susuan. 5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan. 6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya. 7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
7
Wahbah Al Zuahili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h. 279. 8
Neng Djubaedah,dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005), h. 177.
24
Hadhanah berarti di samping atau berada di bawah ketiak.9 Hadhanah (pemeliharaan anak) berasal dari kata
َضن َ ح َت ْ ِ إ- ًحضْنا َ – ُضن ُ ح ْ َضنَ – ي َ ح َ
yang artinya
mengasuh anak atau memeluk anak. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, hadhanah َ ح َ berasal dari kata ( ) الحضنyang artinya lambung.10 Seperti dalam ungkapannya: ( َضن ُّطّيِ ُر َب ّْيضَه َ )اَلyang diartikan11“burung itu mengapit telur yang ada di bawah sayapnya”. Begitu pula seorang perempuan (ibu) yang memelihara anaknya. Selain itu hadhanah diambil dari kata الحضنyang berarti pendamping. Karena seorang pengasuh akan senantiasa mendampingi anak yang ada dalam asuhannya. Arti kata حضَانَة َ الadalah المريبةatau pengasuhan.12 Kata hadhanah berasal dari kata hadhana yang berarti menempatkan sesuatu di antara ketiak dan pusar13. Seekor burung betina yang mengeram telurnya diantara sayap dan badannya disebut juga hadhanah. Menurut Satria Efendi bahwa حضَانَة َ الberasal dari kata َضن َ ح َ yang berarti meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk yakni menggendong atau meletakan sesuatu dalam pangkuan sedangkan menurut istilah tugas menjaga dan mengasuh atau
9
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II ,(Jakarta: PT.Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), h.415. 10
Muhammad Ibn Ismail al-Shan‟ani al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz. III, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), h.227. 11
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,Jilid II , Cet.IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h.288.
12
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Depok: Gema Insani, 2000), h.748.
13
Syaikh Hasan Ayuub, Fiqih Keluarga, Cet.IV, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.391.
25
mendidik bayi masih kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.14 b. Menurut Terminologi Para ulama ahli fiqih mendefinisikan hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil atau perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya15. Dan menurut istilah fiqih, hadhanah adalah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak lahir sampai mampu menjaga atau dapat mengatur dirinya sendiri. Anak yang sah nasabnya berarti bahwa tugas hadhanah akan dipikul oleh kedua orang tuanya sekaligus.16 Menurut Imam Taqiyudin hadhanah adalah ibarat menjalankan untuk menjaga orang (anak) yang belum mumayyiz atau tidak berakal dan mengajarkannya akan kebaikan serta menjaganya dari sesuatu yang sangat membahayakannya.17
14
Satria Effendi, Probelmatika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, h.166. 15
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan), Cet I, Jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h.237. 16
Neng djubaedah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005), h.181. 17
Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al Husaini, Kifayah Al-Akhyar, (Beirut Dar: alFikr, 1994), h. 49.
26
Peunoh Daly, mengemukakan definisi hadhanah adalah pekerjaan yang berhubungan dengan memelihara, merawat dan mendidik anak yang masih kecil, bodoh atau lemah fisik.18 Dalam buku hukum Perdata Islam di Indonesia, dikatakan bahwa hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.19
2. Perspektif UU No 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) a. Perspektif UU No 1 Tahun 1974 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan telah
disebutkan tentang penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-kitab fikih ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah 18
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h.399.
19
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), h.67.
27
menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama di beri wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.20 Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai nak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus menerus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhandan tingkat sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.21 Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan. Di dalam Pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan:
20
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h.428-429. 21
Ibid., h. 429.
28
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya; 2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.22 Pada pasal 45 bab X mengenai hak dan kewajiban antara Orang tua dan anak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajin memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. Pada ayat 2 menyatakan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban
22
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet.V, (Jakarta: UI Press, 1986), h.149.
29
tersebut berlaku selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.23 Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dari kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. b. Perspektif KHI ( Kompilasi Hukum Islam) Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf g dikatakan bahwa: “Hadhanah atau memelihara anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau berdiri sendiri.” Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menjelaskan secara rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.24
23
Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14. 24
138.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2007), h.
30
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan: 1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.25 Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali, M. Yahya Harahap (1975:216) menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakmampuan oarng tua atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk
25
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, h. 328.
31
meliputi segala tingakh laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.26 Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka ia tidak berhak lagi mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.27 Oleh karena itu walaupun ulama sepakat bahwa ibu yang lebih kuat dalam melaksanakan hadhanah, namun dalam kenyataannya jika sang ibu tersebut tidak memiliki perilaku atau akhlak yang baik atau jika sang ibu mempunyai keyakinan yang berbeda yaitu seorang yang bukan beragama Islam maka demi kemaslahatan anak, bahkan sang ibu pergi meninggalkan rumah dan tidak diketahui keberadaannya walaupun telah dilakukan upaya pencarian namun tidak juga diketahui. Maka
26
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 431. 27
h. 15.
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
32
hadhanah digantikan oleh ayahnya , jika sang ayah memang telah memenuhi syaratsyarat untuk melaksanakan hadhanah. 28 3. Dasar Hukum Hadhanah Para ulama sepakat bahwa pemeliharaan anak itu adalah wajib, sebagaimana wajib memelihara selama dalam pernikahan, adapun dasar hukum dari hadanah atau pengasuhan anak adalah pada Surat At-Tahrim ayat 629
6 66
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan‘’. Yang dimaksud dengan memelihara keluarga pada ayat diatas yakni mengasuh dan mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang berguna bagi agama.30 Dan dasar hukum dari hadhanah yang lain sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah pada surat Al Baqarah,(2):233:31
31
28
Satria Effendi M.Zen, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h.181.
29
Slamet Abidin, dkk, Fiqih Munakahat II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h.171.
30
Syaikh Hasan Ayuub, Fiqih Keluarga, Cet.IV, h. 391.
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Inodonesia, 2000), h. 149.
33
2
233
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Maksud dalil diatas adalah bahwasanya orang tua berkewajiban untuk menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya serta kesehatan baik secara fisik maupun psikis, karena masa-masa itualah sangat mempengaruhi anak dari segi perawatan, asuhan dan pendidikan yang harus diberikan dan diperhatikan oleh kedua orangtuamya. Hal tersebur merupakan upaya mewujudkan manusia yang berkualitas dan berakhlak tinggi.32
32
Ibid,. h. 150.
34
C. Syarat-syarat Hadhanah dan Akibat Hukum Hadhanah Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau disebut madhun atau hadinah. Baik masih dalam ikatan perkawinan atau setelah perceraian, kedua orang tua berkewajiban untuk memelihara anaknya dengan baik. Adapun syarat-syarat dari hadhin adalah sebagai berikut :33 1. Sudah dewasa, orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukan itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan. 2. Berpikiran sehat, orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain. 3. Beragama Islam, ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuh itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau oleh orang yang bukan agama Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya. 4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama, orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh anak yang masih kecil. 33
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan. H. 328.
35
Sayyid sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah memberikan persyaratan untuk hadhinah sebagai berikut :34 1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh menangani hadhanah. 2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya. 3. Mampu mendidik, karena tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus. 4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan ntidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. 5. Islam, anak kecil tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Sebab hadanah merupakan masalah perwalian, sedangkan Allh tidak membolehkan orang Mukmin dibawah perwalian orang kafir, sesuai yang tersirat dalam firman Allah Swt. Surat Annisa Ayat 141 :35
141 4
34
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289.
35
Ibid., h. 290.
36
„„(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi Keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.’’
6. Ibunya belum kawin lagi 7. Merdeka Para ulama sepakat bahwa, dalam mengasuh anak disyaratkan bahwa orang yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, bukan penari, bukan peminum khamr, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari keharusan dari adanya sifat-sifat tersebut diatas adalah untuk memelihara dan menjamin kesehatan anak dan pertumbuhan moralnya.36 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan berdampak kepada hubungan suami istri menjadi bekas suami, bekas istri, tempat tinggal dan sebagainya. Tetapi yang lebih penting mengenai nasib anak dan kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak yang masih kecil-kecil atau dibawah umur, dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah :37 a.
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita
h. 138.
36
M. Jawad Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet.17, (Jakarta:Lentera, 2006), h.416.
37
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2007),
37
dalam garis lurus keatas dari ibu, ayah, wanita dalam garis lurus dari ayah, saudara perempuan dari anak tersebut, wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping ayah. b. Anak yang belum mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibu. c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anank tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusnya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d). f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.38 1. Akibat Hukum Hadhanah Dari suatu perbuatan tentulah ada suatu akibat hukum yang harus di tanggung oleh seseorang yang berbuat perbuatan tersebut. Begitu juga dengan pemeliharaan 38
Ibid., h. 138.
38
anak tentulah ada suatu akibat dari orang tua yang mendapat hak tersebut atau pihakpihak yang memelihara anak tersebut. 1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan. Pada dasarnya kedua orang tua berkewajiban memelihara anak yang masih dibawah umur akibat perceraian. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 47 huruf a UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa ibu dan bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata demi kepentingan anak.39 2.
Menurut Hukum Islam. Menurut hukum Islam ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang mendapat hak hadhanah anak yang belum dewasa yang diakibatkan dari perceraian, hal ini diatur dalam pasal 106 Kompilasi Hukum Islam : 1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. 2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
39
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2009, h. 18.
39
2. Pihak-pihak Yang Berhak Melakukan Hadhanah Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama ahli fiqh menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada keluarga bapaknya. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebagai berikut :40 1. Ibu anak tersebut 2. Nenek dari pihak ibu dan terus ke atas 3. Nenek dari pihak ayah 4. Saudara kandung perempuan anak tersebut 5. Saudara perempuan ibuikut 6. Saudara perempuan ayah 7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung 8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya 10. Saudara perempuan ibunyang se ibu dengannya (bibi) 11. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi) 12. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 13. anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung 14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu 15. anak perempuan dari saudara laki-laki seayah 16. Bibi yang sekandung dengan ayah 17. Bibi yang seibu dengan ayah 40
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 529..
40
18. Bibi yang seayah dengan ayah 19. Bibinya ibu dari pihak ibunya 20. Bibinya ayah dari dari pihak ibunya 21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya 22. Bibinya ayah dari pihak ayah Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas, atau ada tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memiliki hubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing. Pengasuhan anak beralih kepada :41 1. Ayah kandung anak itu 2. Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas 3. Saudara laki-laki sekandung 4. Saudara laki-laki seayah 5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 7. Paman yang seayah dengan ayah 8. Pamanya ayah yang sekandung 9. Pamanya ayah yang seayah dengan ayah42
41 42
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h.394 Ibid.,h. 395.
41
Apabila tidak ada seorang pun kerabat dari mahram laki-laki tersebut atau ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu : 1. Ayah ibu (kakek) 2. saudara laki-laki seibu 3. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu 4. Paman yang seibu dengan ayah 5. Paman yang sekandung dengan ibu 6. Paman yang seayah dengan ibu Selanjutnya jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya. Menurut Sayyid sabiq urutan orang yang berhak dalam hadhanah adalah ibu yang yang pertama kali berhak atas hak asuhan tersebut. 43 Para ahli fiqh kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu didahulukan daripada kerabat ayah dalam menangani hadhanah. Urutannya adalah sebagi berikut : Pertama, Ibu. Jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukan (umpamanya karena salah satu syarat-syaratnya tidak terpenuhi), berpindahlah hak hadhanah ke tangan ibunya ibu (nenek) dan ke atas. Jika ternyata ada suatu halangan, berpindahlah ke tangan ayah, kemudian saudara perempuannya sekandung, kemudian saudara perempuannya seibu, saudar perempuen seayah, kemudian kemenakan perempuannya sekandung, 43
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (terjemahan), h.239.
42
kemenakan perempuannya seibu, saudara perempuan ibu yang seayah, kemenakan perempuan ibu yang seayah, anak perempuan saudara laki-lakinya sekandung , anak perempuan saudara laki-lakinya yang seibu, anak perempuan saudara laki-lakinya yang seayah. Kemudian bibi dari ibu yang sekandung, bibi dari ibu yang seibu, bibi dari ibu yang seayah. Lalu bibinya ibu, bibinya ayah dari ayahnya ayah. Begitulah urutannya dengan mendahulukan yang sekandung dari masing-masing keluarga iu dan ayah.44 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf a, anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh : 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.45 a. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dinyatakan: (1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara
44 45
Ibid., h.239.
. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2007),
h. 72.
43
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi keputusan. (2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bila bapak tidak memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. b. Menurut Hukum Islam 1. Dalam menentukan urutan para pihak yang berhak mengasuh atau memelihara anak ketika terjadi perceraian adalah; a. Ibu 46
47
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata: Ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya dan air susukulah minumannya, Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah Rasulullah: Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum nikah (dengan laki-laki lain). b. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa hak pemeliharaan seseorang anak adalah:48 1. Ibu 46
Syaikh Nashiruddin al-Albani, Sunan Abi Daud, Juz.II, (Riyad: Maktabah al-Ma‟rif li alNashir wa Tawzi 1998), h.32. 47 48
Ibid., h. 35 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh lima Mazhab, h. 417.
44
2. Nenek dari pihak ibu 3. Nenek dari pihak ayah 4. Saudara perempuan 5. Bibi dari pihak ibu 6. Anak perempuan dari saudara laki-laki 7. Anak perempuan dari saudara perempuan 8. Bibi dari pihak ayah dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapat warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. c. Kalangan madzhab Hanbali berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai dari:49 1. Ibu Kandung 2. Nenek dari ibu 3. Kakek dari ibu 4. Bibi dari kedua orang tua 5. Saudara perempuan seibu 6. Saudara perempuan seayah 7. Bibi dari kedua orang tua 8. Bibinya ibu, bibinya ayah 9. Bibinya ibu dari jalur ibu
49
Ibid., h.418.
45
10. Bibinya ayah dari jalur ibu 11. Bibinya ayah dari pihak ayah 12. Anak peempuan dar saudara laki-laki 13. Anak perenpuan dari paman ayah dari pihak ayah, kemudian kerabat terdekat. 3. Masa Hadhanah Tidak terdapat ketentuan ayat-ayat dan hadis yang khusus yang menerangkan tentang masa hadhanah atau kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat perceraian. Dalam menentukan masa tersebut para ulama fikih hanya melihat dari suatu isyarat dengan menggunakan ijtihad untuk menentukannya.50 Dalam kitab Fikih Sunnah dikatakan, pengasuhan anak berakhir ketika anak kecil, laki-laki maupun perempuan, tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita dewasa, mencapai masa tamyiz dan sudah bisa mandiri, yakni dapat mengerjakan sendiri
kebutuhan-kebutuhan
dasarnya,
seperti
makan,
berpakaian,
dan
membersihkan diri (mandi dan lainnya). Masa ini tidak dapat ditentukan pada usia tertentu, melainkan ukurannya adalah tamyiz dan lepas dari ketergantungan. Selama anak kecil sudah mumayyiz dan tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita, serta
50
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.185.
46
dapat mengerjakan sendiri seluruh kebutuhan dasarnya, maka berakhirlah masa pengasuhannya.51 Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang batas usia bagi anak kecil laki-laki tidak memerlukan hadhanah. Sebagian mereka menetapkan 7 (tujuh) tahun, sebagian lagi 9 (sembilan) tahun, dan yang lain lagi adalah 11 tahun. Kementerian kehakiman berpendapat bahwa kemaslahatanlah yang harus dijadikan pertimbangan hakim untuk secara bebas menetapkan kepentingan anak laki-laki kecil sampai usia 11 (sebelas) tahun. Apabila hakim menganggap kemaslahatan bagia anak ini tetap tinggal dalam asuhan seorang wanita, maka ia boleh memutuskan demikian sampai usia 9 (sembilan) tahun bagi laki-laki, dan 11 (sebelas) tahun bagi perempuan. Akan tetapi apabila hakim menganggap bahwa kemaslahatan anak ini menghendaki yang lain, maka ia dapat memutuskan untuk menyerahkan anak-anak tersebut kepada selain perempuan.52 Adapun lamanya masa hadhanah, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa Imam Mazhab: 1. Imam Syafi‟i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa hadhanah adalah sampai 7 (tujuh) tahun atau 8 (delapan) tahun. 2. Ulama-ulama Hanafiyah dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaia sendiri, sedang anak perempuan sampai ia haidh. 51
Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqh Sunnah, h. 537
52
Slamet Abidin dkk, Fikih Munakahat 2,h.184.
47
3. Imam Malik mengatakan bahwa ibu berhak mengasuh anak perempuan sampai ia menikah. Sedang bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia baligh.53 Dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan tentang kapan berakhirnya masa hadhanah : 1. Pasal 105 menyatakan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. 2. Pasal 98 ayat 1 menyatakan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun belum pernah melangsungkan perkawinan. D. Pengertian Istri Mafqud Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI Kata mafqud secara etimologis merupakan isim maf‟ul dari lafaz faqadayafqudu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu. Jadi yang dimaksud dengan mafqud dalam konteks ini adalah seorang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang tidak diketahui apakah ia masih hidup sehingga bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah ia sudah meninggal dunia sehingga kuburannya dapat diketahui.54 Namun dalam skripsi ini yang dibahas berbeda dengan sebelumnya yaitu yang mafqud adalah isteri bukanlah suami.
53
Ibid., h. 185
54
Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islam Wa adillatuhu Juz IV, h. 750.
48
Dalam bahasa istilah Mafqud bisa diterjemahkan dengan al-Ghaib. Kata ini secara etimologis memiliki arti ghaib, tiada hadir, bersembunyi, mengumpat. Hilang dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada berita atau informasi tentangnya. 2. Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya serta tidak ditemukan informasi tentangnya. Dari dua definisi diatas, nampak telah jelas bahwa yang dimaksud dengan mafqud disisni orang yang meninggalkan keluarganya yang sampai pada saat tertentu keluarganya tidak mengetahui apakah ia masih hidup ataukah sudah meninggalkan dunia ataukah kabarnya masih tersambung atau akan terputus. Sebagaimana disebut dalam pasal 1 UU No.1 /1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluaraga yang bahagia, kekal, berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam KHI disebut dengan Mitsaqan Ghaliza (ikatan yang kuat), namun dalam realitanya sering kali perkawinan tersebut kandas tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.55 Dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 38 dinyatakan: Perkawinan dapat putus karena, (a) kematian, (b)perceraian dan (c) atas keputusan pengadilan. 55
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawianan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Central Publishing, 2002), h.41.
49
Adapun dalam masalah ini putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang cukup lama. Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu.56 Dalam PP No.9 Tahun 1975 Pasal 19 point (b) dinyatakan: Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. Selanjutnya menurut Lili Rasjidi, jika tidak terdengar kabar beritanya untuk masa lima tahun atau lebih, yakni dari jangka terakhir terdengar berita orang itu masih hidup. Atas permohonan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri akan memanggil orang yang hilang itu melalui selebaran umum untuk menghadap dalam jangka waktu tiga bulan. Panggilan ini akan diulangi sampai tiga kali jika panggilan yang pertama dan kedua tidak mendapat sambutan. Setelah itu barulah pengadilan akan membuat suatu ketetapan tentang telah dianggapnya meninggal orang itu. Mungkin inilah yang disebut dengan Putusan Pengadilan bahwa orang tersebut telah wafat, lalu ia kembali maka ia tidak memiliki hak kembali terhadap suaminya tersebut. Jika suaminya telah menikah kembali, maka ia pun boleh menikah lagi.
56
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h.291.
50
E. Hubungan Istri Mafqud Dengan Perceraian Ta‟rif talak menurut bahasa Arab adalah „‟melepaskan ikatan‟‟. Yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan pernikahan. Adapun tujuan pernikahan adalah sebagai berikut : 1. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna. 2. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan. 3. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali peraudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (istri) sehingga pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa satu kaum (golongan) untuk tolong-menolong dengan kaum yang lainnya.57 Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suami istri, maka dengan keadilan Allah Swt. DibukakanNya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yaitu perceraian yang diharapkan dapat terjadi ketertiban dan ketentraman antara kedua belah pihak, dan supaya masing-masing dapat mencari pasangan yang cocok dan dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Apalagi bila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat diperbaiki lagi, maka
57
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h.401.
51
talak (perceraian) itulah sebagai jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara mereka sebab menurut asalnya hukum talak itu makruh. Dalam Islam sebuah perkawinan terdapat hak dan kewajiban masing-masing antara suami istri dalam menjalankan rumah tangga yang diatur sangat jelas untuk membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.58 Dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia terdapat tiga kategori tentang hak dan kewajiban suami istri, yaitu : 1. hak dan kewajiban bersama ; 2. kewajiban-kewajiban suami ; dan 3. kewajiban-kewajiban istri. Adapun kewajiban bersama suami istri yaitu : 1. Wajib menegakkan rumah tangga59 dan hal-hal penting dalam rumah tangga diputuskan bersama oleh suami dan istri,60 2. Mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat,61 3. Berhak melakukan perbuatan hukum,62
58
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.198. Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 30,”suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dari susunan masyarakat”. (KHI pasal 77 ayat 1). 59
60
Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 1,” suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal- urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama. 61
UU No. 1/1974 pasal 31 ayat 1,‟‟ Hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat‟‟. (KHI pasal 79 ayat 2). 62
UU No. 1/1974 pasal 31 ayat 2” Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”. (KHI pasal 79 ayat 3).
52
4. Musyawarah bersama dalam menentukan tempat tinggal (rumah),63 5. Wajib saling mencintai, hormat menghormati dan saling membantu,64 6. Mempunyai hak gugat apabila salah satu melalaikan kewajibannya,65 7. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,66 8. Masing-masing berhak menguasai dan menggunakan harta bawaan, hadiah dan warisan masing-masing, 9. Harus persetujuan bersama untuk menggunakan harta bersama, dan jika terjadi perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing, 10. suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.67 Adapun kewajiban-kewajiban suami ada empat yaitu : 1. Suami wajib membimbing istri dan rumah tangga. 2. Suami wajib melindungi istri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang meliputi nafkah, kiswah, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan, biaya pengobatan dan biaya pendidikan.68
63
U No.1/1974 pasal 32 ayat 2,” Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama‟‟. (KHI 78 ayat 2). 64
UU No.1/1974 pasal 33,‟‟Suami istri wajib saling cinta mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”. (KHI pasal 77 ayat 2). 65
UU No.1/1974 pasal 34 ayat 3,‟‟ Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. (KHI pasal 77 ayat 5). 66
UU No. 1/1974 pasal 35 ayat 1,‟‟harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama‟‟. 67
UU No. 1/1974 pasal 36 ayat 2,‟‟ Mengenai harta bawaan masing-masing , suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. 68
KHI pasal 80 ayat 4,” Sesuai dengan penghasilannya suami menaggung: (a) nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istr; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; (c) biaya pendidikan bagi anak”. KHI pasal 81 ayat 4,” suami wajib melengkapi
53
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istri dan memberi kesempatan belajar. 4. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak atau bekas istri yang masih dalam masa iddah. Diantara beberapa kewajiban istri terhadap suami adalah sebagai berikut : 1. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman. 2. Mengatur rumah dengan baik. 3. Menghormati keluarga suami. 4. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami. 5. Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk maju. 6. Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami. 7. Selalu berhemat dan suka menabung. 8. Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami. 9. Jangan selalu cemburu buta. Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai kewajiban istri terhadap suami dijelaskan dalam Pasal 83 dan pasal 84 sebagai berikut: (1) Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Islam,(2) istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.dan dalam Pasal 84 (1)Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana dimaksud dlam pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alasan yang sah, (2)Selama istri tempat kediaman sesuai sengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
54
dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya, (3)Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz, (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah. 69 F. Akibat Hukum Istri Mafqud Terhadap Hak Asuh Anak Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan berdampak kepada misalnya mengenai hubungan suami istri menjadi bekas suami, bekas istri, tempat tinggal dan sebagainya. Tetapi yang lebih penting mengenai nasib anak dan kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak yang masih kecil-kecil atau dibawah umur, hal tersebut diatur dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam.70 Sesuai dengan ketentuan Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, bahwa : „‟Dalam hal terjadinya perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya‟‟. 71 Namun demikian, Pengadilan Agama Jakarta Barat telah menetapkan hak asuh anak (hadhanah) anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun kepada bapaknya ‘’akibat talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang mafqud’’, sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor : 881/Pdt.G/2008/PA.JB. 69
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 164.
70
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2007),
71
Ibid,.h. 158.
h. 138.
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat Keberadaan Pengadilan Agama merupakan fenomena khas yang terdapat di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Di Indonesia cikal bakal Pengadilan Agama telah ada sejak zaman kesultanan pada abad ke-15 Muslim dibeberapa wilayah nusantara. Kedudukan Pengadilan Agama selanjutnya bahkan mendapat pengakuan dari kolonial Belanda pada abad ke-19 M. Namun, sungguhpun mempunyai status yuridis baru diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19 Januari 1882 dengan dikeluarkannya surat keputusan No 241, keberadaan peradilan Agama hingga hampir 50 tahun Indonesia merdeka lebih bersifat semu dan tetap berada di posisi marjinal. Padahal kedudukan dan peran mereka sangatlah sentral dalam tatanan masyarakat di Indonesia.2 Lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membuka babak baru bagi proses penguatan yang signifikan untuk struktur dan kapasitas yurisdiksi Peradilan Agama. Boleh dibilang bahwa sejak dekade 1990-an, konsilidasi peradilan agama berlangsung dengan cukup intensif dan mengalami perkembangan institusional yang pesat dari waktu ke waktu. Intergrasi struktur peradilan agama sejak tahun 2004 yang sebelumnya berada di bawah 1
Staatblad 1882 No. 152 Tentang Pengadilan Agama Di Jawa Dan Madura
2
Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia,cet. Pertama,( Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Hukum dan HAM (PUSKUMHAM) UIN Syarif Hidayatullah ,2009), h. 78.
55
56
koordinasi Departemen Agama, ke dalam wilayah administrasi Mahkamah Agung mendorong percepatan proses kemajuan di berbagai bidang, temasuk peningkatan anggaran belanja tahunan dan kualitas sumber daya manusia. Terhadap Stb. 1882 No. 152 para ahli hukum bersepakat bahwa hal tersebut merupakan hasil dari teori Receptio In Complexu LWC Van den Berg. Keberadaan Peradilan Agama mulai digugat ketika lahirnya teori Hukum Adat oleh Van VollenHoven dan Snouck Hurgronje dengan teori Receptie, akibat dari teori tersebut pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali kedudukan Peradilan Agama karena Stb. 1882 No. 152 dianggap merupakan suatu kesalahan pemerintah Hindia Belanda yang mengakui terbentuknya Peradilan Agama Stb. 1882 No. 152 yang intinya "memperlakukan undang-undang agama", diganti dengan Stb. Tahun 1907 No. 204, Stb. Tahun 1919 No. 262 yang intinya "memperhatikan undang-undang agama".3 Pasca proklamasi kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan kemudian dipertegas dengan Peraturan Presiden No. 2 pada tanggal 10 Oktober 1945 dalam Pasal 1, dijelaskan: "Segala badan-badan negara yang ada sampai berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar, maka tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang
3
Dadang Muttaqien, “Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Persfektif Sosiologi Hukum”, artikel diakses pada 19 April 2010 dari http://msiuii.net.baca.asp?kategori=rubrik&menu=259 3
Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, ( Yogyakarta : UII Press, 1999), h.39
57
tersebut".4 Dengan demikian Peradilan Agama sebagai produk hukum kolonial Hindia Belanda masih dipergunakan di Indonesia. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda Pengadilan Agama berkembang, daerah demi daerah dalam keadaan yang tidak sama, baik namanya, wewenangnya maupun strukturnya. Legitimasi keberadaan Pengadilan Agama waktu itu didasarkan pada pasal 75 ayat (2) Regerings Reglement (RR) yang berbunyi : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan-ketentuan agama mereka”.5 Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang yaitu: a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarat Utara b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah c. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk6 Ketiga kantor cabang tersebut termasuk dalam wilayah yuridiksi hukum cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian pada tanggal 16 Desember 1976 telah keluar Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tentang
4
Peraturan Presiden No.2 tahun 1945 Tentang Pembaharuan Tata Hukum Kolonial Menjadi Tata Hukum Nasional. 5 6
Regerings Reglement pasal 75 ayat 2 Tentang Tata Hukum Kolonial.
Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, h.40
58
pembentukan cabang Mahkamah Islam, yang menyatakan bahwa semua Pengadilan Agama di propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum Makhamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Istilah Mahkamah Islam Tinggi kemudian berkembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).7 Setelah itu perpindahan Pengadilan Tinggi Agama Surakarta ke Jakarta didasari oleh Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985, akan tetapi realisasi pelaksanaannya terjadi pada tanggal 30 Oktober 1987 lalu secara otomatis wilayah hukum pengadilan agama di wilayah DKI Jakarta menjadi wilayah hukum hukum pengadilan tinggi agama Jakarta.8 Perkembangan yang terjadi dari masa ke masa bahwa terbentuknya kantor pengadilan agama Jakarta Barat merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta. Faktor terbentuknya kantor cabang pengadilan agama Jakarta Barat adalah sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk di wilayah Jakarta Barat dan bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Barat yang wilayahnya cukup luas.9
7
Indolaw, “Keputusan Menteri Agama No. 71 Tahun 1976 Tentang Pembentukan Cabang Mahkamah Islam”, artikel diakses pada 19 April 2010, dari www.indolaw.net/Seiten/SachindexHead.html 8
Ibid., h.41
9
Wawancara Pribadi dengan Muhiddin, Jakarta, 7 Februari 2011
59
Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat mengalami perpindahan tempat. Pertama kali kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat berada di jalan Limo Kebayoran Lama, yang merupakan dana dari sebuah yayasan. Dikarenakan status kepemilikan bangunan masih Hak Guna Bangunan (HGB) maka gedung Pengadilan Agama lalu berpindah tempat, yang terletak di jalan Flamboyan II/2, Cengkareng Barat Jakarta Barat. Tergolong tidak strategis karena tidak dilewati kendaraan umum atau jaraknya ± 1500 M dari jalan Kamal Raya dan berdampingan dengan rumah susun Cengkareng.10 Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dibangun pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 1997 adalah milik Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Kemudian olehnya diserahterimakan kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tanggal 19 Mei 199711 untuk dipergunakan sebagai tempat kegiatan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam melaksanakan tugas penegakan hukum dan keadilan. Pada saat ini kondisinya sebagai berikut: 1. Luas Tanah Luas tanah kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya adalah 3.056 M² yang seluruhnya berupa tanah darat. 2. Luas Bangunan kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya 2.400 M².12
10
Laporan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009, h. 45
11
Ibid., h.45
12
Ibid., h.46
60
Pengadilan Agama Jakarta Barat sebagaimana instansi yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugasnya yang menjadi landasan hukum dan landasan kerjanya adalah: 1.
Undang-undang Dasar 1945.
2.
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.
3.
Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
4.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
5.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
7.
Keputusan Ketua Menteri Agama RI Nomor KMA/ 004/ SK/ II/ 1992 tanggal 24 Februari 1992 tentang susunan organisasi dan tata kerja kepanitraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 tahun 1990 tentang susunan organisasi dan tata kerja
kesekertariatan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. 8.
Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/ 001/ SK/ I/ 1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang pola pidana dalam Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
9.
Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/ 006/ SK/ III/ 1994 tentang pengawasan dan evaluasi atas hasil pengawasan oleh pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama.
61
10. Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Pengadilan Agama. 11. Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 2004 tentang perubahan satu bab dibawah Mahkamah Agung RI.13
B. Letak Geografis Secara geografis wilayah Jakarta Barat terletak antara 6º 10’ LS dan 106º 49’ BT. Wilayah hukum Pengadilan agama Jakarta Barat meliputi wilayah kota Jakarta Barat yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan 49 (empat puluh sembilan) Kelurahan yaitu: 1.
Kecamatan Cengkareng Kecamatan Cengkareng terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu: 1) Kelurahan Cengkareng Timur 2) Kelurahan Cengkareng Barat 3) Kelurahan Kapuk 4) Kelurahan Rawa Buaya 5) Kelurahan Duri Kosambi 6) Kelurahan Kedaung Kali Angke14
2.
Kecamatan Grogol Pertamburan Kecamatan Grogol Pertamburan terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu: 13
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 19 April 2010 dari http://pajb.net
14
Ibid.
62
1) Kelurahan Grogol 2) Kelurahan Tanjung Duren Utara 3) Kelurahan Tanjung Duren Selatan 4) Kelurahan Tomang 5) Kelurahan Jelambar 6) Kelurahan Jelambar Baru 7) Kelurahan Wijaya Kusuma15 3.
Kecamatan Tambora Kecamatan Tambora terdiri dari 11 (sebelas) Kelurahan, yaitu: 1) Kelurahan Tambora 2) Kelurahan Tanah Sareal 3) Kelurahan Duri Utara 4) Kelurahan Duri Selatan 5) Kelurahan Angke 6) Kelurahan Roa Malaka 7) Kelurahan Pekojan 8) Kelurahan Jembatan Besi 9) Kelurahan Jembatan Lima 10) Kelurahan kali Anyar 11) Kelurahan Krendang16
15
Ibid.
63
4. Kecamatan Taman Sari Kecamatan Taman Sari terdiri dari 8 (delapan) Kelurahan, yaitu: 1) Kelurahan Taman Sari 2) Kelurahan Glodok 3) Kelurahan Keagungan 4) Kelurahan Krukut 5) Kelurahan Tangki 6) Kelurahan Maphar 7) Kelurahan Mangga Besar 8) Kelurahan Pinangsia17 5. Kecamatan Palmerah Kecamatan Palmerah terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu: 1) Kelurahan Palmerah 2) Kelurahan Kota Bambu Utara 3) Kelurahan Kota Bambu Selatan 4) Kelurahan Kemanggisan 5) Kelurahan Jati Pulo 6) Kelurahan Slipi18 6. Kecamatan Kembangan
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid.
64
Kecamatan Kembangan terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu: 1) Kelurahan Kembangan Selatan 2) Kelurahan Kembangan Utara 3) Kelurahan Meruya Utara 4) Kelurahan Meruya Selatan 5) Kelurahan Srengseng 6) Kelurahan Joglo19 7. Kecamatan Kalideres Kecamatan Kalideres terdiri dari 5 (lima) Kelurahan, yaitu: 1) Kelurahan Kalideres 2) Kelurahan Tegal Alur 3) Kelurahan Kamal 4) Kelurahan Semanan 5) Kelurahan Pegadungan20 Adapun batas wilayah Pengadilan Agama Jakarta Barat, yaitu: 1) Utara
: Kabupaten Tangerang dan Kota Madya Jakarta Utara
2) Timur
: Kota Madya Jakarta Utara dan Kota Madya Jakarta Pusat
3) Selatan
: Kota Madya Jakarta Selatan dan Kota Madya Tangerang
4) Barat
: Kota Madya Tangerang.21
19
Ibid.
20
Ibid.
65
C. Strukur Organisasi Berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 004 tahun 1992 tentang susunan organisasi serta surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 tahun 1990 tentang susunan organisasi ditetapkan bahwa struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Barat sebagaimana berlaku pada Pengadilan Agama di lingkungan Departemen Agama RI, adalah sebagai berikut: a. Ketua
: Drs. H. Musfizal Musa, SH, MH
b. Wakil Ketua
: Drs. Masrur, SH, MH
c. Dewan Hakim
:
- Dra. Nuraini Saladin, SH - Drs. Asep Gupron, SH - Drs. TB A Murtaqi, S.Y, SH - Drs. Muhiddin, SH, MH - Dra. Ida Hamidah, MH - H. M. Ali Syarifuddin, M.LC, SH - Dra. Hj. A. Salimah, SH, MH - Drs. Abu Thalib Zisma - Drs. M. Rosyid Ya’kub - Drs. M. Rizal, SH, MH
21
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009, h.41
66
d. Panitera/ Sekertaris
: Eliakim Sihotang, SH
e. Wakil Sekertaris
: Neneng Kurniati, S.Ag
f. Wakil Panitera
: Hj. Umi Salamah T, SH, MH
g. Ka. Sub. Keuangan
: Imron Rosyidi, SH
h. Ka. Sub Kepegawaian
: Nisrin, SH
i. Ka. Sub. Umum
: Suryatiningsih
j. Panmud Permohonan
: Ruslan P, SH
k. Panmud Gugatan
: Endang. P, SH
l. Panmud Hukum
: Drs. H. Abdul Chaer HN, SH
m. Panitera Pengganti
:
- Turchamun Ichwanuddin, SH - Saparanto, SH - Abdul Hamid, S.Ag - Atiyah Shaufanah, SH - Patimah, SH - Junaedi, SH - Muhlis, SH n. Jurusita
: Ahlan, SH
o. Jurusita Pengganti
:
- Djuhdan Muharom - H. Jamhur - Toto Sudarto
67
- Imam Suwardi - Rostina, Shi - Abdul Ghofur.22
STRUKTUR ORGANISASI23 PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT (UNDANG-UNDANG No. 7/1989/ Jo UU No. 3/2006 )
22 23
Ibid., h.42
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 24 April 2010 dari http://www.pajb.net/index.php/struktur-organisasi
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
A. Deskripsi Perkara/Duduk Perkara Dalam surat gugatan duduk perkara/posita sangat eksistensinya, setiap surat gugatan memuat posita. Pada hakikatnya posita atau fundamentum petendi yaitu menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa.1 Biasanya dalam praktik baik dalam putusan ataupun surat gugatan lebih dikenal atau lebih lazim disebut dengan tentang duduk perkara yang menjadi dasar gugatan atau menguraikan secara kronologis duduk perkaranya kemudian penguraian tentang hukumnya, tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan.2 Tentang posita atau duduk perkara dalam surat gugatan yang tertanggal 10 Oktober 2008 yang terdaftar di bagian Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakara Barat dengan register perkara Nomor: 881/Pdt.G/2008/PA.JB. Telah mengajukan Permohonan talak sebagai berikut: 1. Bahwa, pada tanggal 06 Juni 1997, Pemohon dengan Termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
1
Faizal Kamil, Asas Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Badan Penerbi Iblam, 2005),h.60.
2
Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia, 2006), h.9.
68
69
Kecamatan Palmerah Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta (Kutipan Akta Nikah Nomor: 227/19/VI/1997 tanggal 06 Juni 1997); 2. Bahwa, setelah pernikahan tersebut PEMOHON dengan TERMOHON bertempat tinggal dirumah kontrakan di Jalan KS. Tubun III-B, Kelurahan Slipi, Jakarta Barat; 3. Bahwa, selama pernikahan tersebut PEMOHON dan TERMOHON telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 2 orang anak yang bernama: 1. AHMD MUZAMIL, lahir tanggal 5Juni 1998. 2.
NUR KHALIZAH, lahir tanggal 9 November 2001.
4. Bahwa, kurang lebih sejak bulan April tahun 2008 ketentraman rumah tangga PEMOHON dan TERMOHON mulai goyah, yang disebabkan oleh: 1. Termohon sering menolak ajakan untuk berhubungan suami isteri terhadap Pemohon. 2. Termohon sering meninggalkan anak-anak disaat Pemohon kerja. 3. Pemohon dan Termohon pisah tempat tinggal sejak tanggal 14 Agustus 2008. 4. Termohon telah berselingkuh dengan Pria lain Non Muslim. 5. Bahwa puncak keretakan hubungan rumah tangga antara pemohon dan termohon tersebut terjadi pada bulan Agustus tahun 2008, yang akibatnya termohon telah pergi meninggalkan pemohon hingga sekarang tanpa alasan yang jelas dan sah dan selama itu Termohon tidak pernah pulang dan tidak pernah kirim kabar serta
70
tidak diketahui alamatnya yang jelas dan pasti di wilayah Republik Indonesia (GHOIB). 6. Bahwa Pemohon telah berusaha keras mencari Termohon, kemudian Pemohon mencari keberadaan Termohon di rumah Paman Termohon di CipondohTangerang namun Pemohon tidak mengetahui keberadaan Termohon sampai sekarang. 7. Bahwa pemohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan musyawarah namun tidak berhasil. 8. Bahwa akibat tindakan tersebut diatas, Pemohon sudah tidak sanggup lagi memberikan nasehat dan bimbingan kepada Termohon dan Pemohon sudah tidak sanggup lagi melanjutkan rumah tangga dengan Termohon, maka jalan keluar yang terbaik bagi Pemohon menceraikan Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Barat. 9. Bahwa 2 orang anak hasil perkawinan Pemohon dan Termohon saat ini masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dari Pemohon sebagai Ayah kandungnya, oleh karenanya mohon Pemohon ditunjuk sebagai pengasuh dan pemelihara atas anak tersebut.3
3
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB
71
B. Profil dan Pihak Yang Terlibat a. Pemohon adalah Mohammad Arief bin Achmad, umur 39 tahun, agama Islam, pendidikan SLTA, Pekerjaan Karyawan Swasta, Tempat tinggal di Jalan KS.Tubun III RT.008 RW. 007 No. 15, Kelurahan Slipi Kecamatan Palmerah Kota Jakarta Barat. b. Tergugat adalah , Survita Widiyanti binti Moch. Surip H.U, Umur 29 tahun, agama Islam, Pendidikan SMP, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga, dahulu bertempat tinggal di Jalan KS. Tubun III-B RT.008 RW. 007 No. 15, Kelurahan Slipi Kecamatan Palmerah Kota Jakarta Barat. c. Ahamad Syaikhu bin Ilyas adalah sebagai saksi dari pihak pemohon yang telah memberikan keterangan dimuka persidangan. d. M.Satri bin Umar adalah sebagai saksi dari pihak pemohon yang telah memberikan keterangan dimuka persidangan. e. Drs. H. Muhiddin, SH.MH yaitu sebagai Hakim Ketua. f. H. M. Ali Syarifuddin, M.Lc,SH yaitu sebagai Hakim Anggota I. g. Drs. H. Nemin Aminuddin, SH.MH yaitu sebagai Hakim Anggota II. h. Saparanto, SH sebagai Panitera Pengganti.
C. Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang terjadi dalam proses persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku di lingkungan
72
peradilan. Putusan-putusan hakim pada dasarnya tidak boleh melewati apa yang dimohon atau digugat. Salah satu celah yang dapat memanfaatkan untuk memaksimalkan tuntutan, misalnya melalui permintaan menetapkan putusan berdasarkan pada prinsip ex aequo et bono, yang memberikan kelonggaran bagi hakim untuk menggali hukum seluasluasnya demi menegakkan keadilan.4 Majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa dan fakta-fakta yang ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari pembuktian, mengklasifikasikan antara yang penting dan tidak penting (mengkualifikasi), dan menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan saksi-saksi dan faktafakta yang ada.5 Adapun pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara ini adalah bahwa majelis hakim telah berupaya mendamaikan pemohon agar bersabar dahulu akan tetapi tidak berhasil dan Majelis telah memanggil pihak Termohon dengan patut akan tetapi tidak hadir dipersidangan, dan tidak hadirnya Termohon tersebut tidak disertai dengan alasan yang sah, maka Majelis menyatakan bahwa perkara ini dapat diperiksa tanpa hadirnya pihak Termohon (verstek).
4
Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia,cet. Pertama,( Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Hukum dan HAM (PUSKUMHAM) UIN Syarif Hidayatullah ,2009), h.78. 5
Wawancara Pribadi dengan Muhiddin, Senin, 7 Februari 2011
73
Majelis hakim juga mempertimbangkan hal lainnya yaitu, bahwa gugatan penggugat dapat dibuktikan dengan mengajukan alat bukti berupa fhotocopy salinan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama dengan No: 277/19/VI/1997 dan fhotocopy akta kelahiran kedua anaknya serta surat keterangan ghaib dari kelurahan No. 730/1.755.0/08. Selain bukti surat, penggugat juga menghadirkan 2 orang saksi yang menerangkan mengenai dalil gugatan pemohon yang pada intinya menguatkan dalildalil permohonan Pemohon dan telah berusaha merukunkan akan tetapi tidak berhasil kini rumah tangga Pemohon pisah tempat tinggal sejak bulan agustus 2008 dan saksi sudah berusaha mencari tidak berhasil. Berdasarkan hasil penelitian dalam petitum dari gugatan penggugat, putusan No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB, maka pertimbangan hukum majelis hakim yang mencakup hal-hal pokok tersebut, yang salah satunya: Pertimbangan pertama, menimbang bahwa berdasarkan pernyataan pemohon yang dikuatkan dengan adanya bukti P.1 kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat yaitu bahwa pemohon dan termohon terikat dalam perkawinan yang sah. Pertimbangan kedua, menimbang berdasarkan relaas panggilan nomor 881/Pdt.G/2008/PA.JB tanggal 21 Oktober 2008 dan nomor yang sama tanggal 21 Nopember terbukti bahwa pihak termohon telah dipanggil secara patut akan tetapi tidak hadir dan tidak hadirnya pihak termohon tersebut tidak disertai dengan alasan yang sah. Pertimbangan ketiga, menimbang bahwa yang menjadi permasalahan pemohon mengajukan permohonannya adalah karena rumah tangga pemohon dan
74
termohon tidak harmonis, sering berselisih dan bertengkar. Antara pemohon dan termohon sudah bermusyawarah akan tetapi tidak berhasil untuk itu pemohon mengajukan untuk mengikrarkan talak terhadap pemohon. Pertimbangan keempat, menimbang bahwa saksi-saksi keluarga dari pemohon di dalam persidangan telah menerangkan yang pada intinya menguatkan dalil-dalil permohonan pemohon. Hal ini diperkuat oleh saksi dari pihak pemohon bahwa rumah tangga pemohon telah pisah tempat tinggal sejak bulan Agustus 2008 dan saksi sudah berusaha mencari namun tidak berhasil. Pertimbangan kelima, menimbang bahwa berdasarkan pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal namun yang terjadi dalam rumah tangga pemohon adalah sebaliknya yaitu suatu rumah tangga yang dibarengi dengan perselisihan dan pertengkaran dan pihak pemohon telah menghadirkan saksi keluarga yang keterangannya menguatkan dalil-dalil pemohon sementara termohon meskipun telah dikaruniai 2 (dua) dipanggil dengan patut tidak hadir dipersidangan, untuk itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa termohon mengetahui adanya persidangan untuk itu gugurlah hak jawab termohon dengan demikian alasan pemohon patut untuk dinyatakan terbukti. Pertimbangan keenam, menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti tersebut alasan pemohon telah sesuai dengan Pasal 19 huruf (F) PP.9 tahun 1975 Jo.Pasal 116 huruf (F) Kompilasi Hukum Islam, selain itu bahwa Pengadilan telah memanggil termohon secara patut akan tetapi tidak hadir dalam persidangan maka berdasarkan
75
Pasal 125 HIR Jo Pasal 39 ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 permohonan pemohon patut untuk dikabulkan. Pertimbangan ketujuh, menimbang bahwa selama perkawinan antara pemohon dan termohon telah dikaruniai 2 (dua) orang anak. Berdasarkan ketentua pasal 41 huruf (a) UU nomor 1 tahun 1974 bahwa akibat putusnya perkawinan baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak maka berdasarkan tuntutan pemohon tersebut dan karena termohon tidak hadir dan dengan memperhatikan bukti P.2 dan P.3. Majelis hakim mengabulkan permohonan dengan menetapkan bahwa anak pemohon dan termohon ditetapkan pengasuhan dan pemeliharaannya kepada pemohon yaitu bapaknya.
D. Analisis Penulis Kasus ini adalah mengenai perkara permohonan talak yang diajukan karena berbagai polemik rumah tangga yang terjadi karena istri telah meninggalkan rumah dan Pengadilan Agama menyatakan istri mafqud/ghoib. Mengenai putusan hakim No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB, dengan memperhatikan dalil-dalil serta bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat yang menguatkan keterangannya, maka pada tanggal 24 Februari 2009 Majelis Hakim yang diketuai oleh Drs. H. Muhiddin, S.H, M.H dan panitera pengganti Suparanto, S.H, serta di hadiri oleh pihak pemohon tanpa hadirnya termohon memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek untuk mengikrarkan talaknya
76
kepada istrinya selaku pihak termohon serta menetapkan hak asuh kedua anaknya jatuh kepada diri pemohon. Landasan yang dijadikan sandaran majelis hakim untuk mengabulkan gugatan pemohon tentang permohonan ikrar talak sebagai tuntutan primer adalah sebagaimana ternyata bahwa kedua belah pihak telah kehilangan hakekat dan makna dari perkawinan tersebut, dimana ikatan perkawinan antara keduanya sudah demikian rapuh, tidak terdapat lagi rasa sakinah (ketenangan), dan telah luput dari rasa mawadah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) dan mempertahankan perkawinan seperti itu tidak akan membawa maslahat, bahkan mungkin melahirkan mudharat yang lebih besar bagi pemohon dan termohon. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat bahwa dalil-dalil gugatan penggugat telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf (F) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (F) KHI sehingga majelis hakim memandang patut untuk mengabulkan permohonan pemohon tersebut untuk mengucapkan ikrar talak. Dan mengenai ketentuan yang di pakai dalam menentukan hak hadhanah kepada pihak pemohon adalah berdasarkan ketentuan pasal 41 huruf (a) Undangundang No. 1 Tahun 1974 yang di dalamnya mengatur bahwa akibat putusnya perkawinan itu baik ibu ataupun bapak tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan si anak, dan dengan memperhatikan bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon seperti keterangan mafqudnya pihak istri,
77
maka majelis hakim menetapkan bahwa hak asuh anak jatuh kepada pemohon yakni bapak. Setelah penulis mengadakan interview dengan salah satu dari majelis hakim yang memutus perkara ini yakni Drs. H. Muhiddin, S.H, M.H. di Pengadilan Agama Jakarta Barat perihal mengenai permasalahan yang menjadi obyek permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mendapatkan kejelasan mengenai masalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini, khususnya mengenai hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada bapak. Dalam perkara tersebut, ibu/istri sebagai pihak termohon tidak diketahui keberadaannya, dan dari hasil perkawinan mereka telah dikaruniai anak yang ketika perceraian diajukan oleh ayahnya anak tersebut belum mumayyiz, memang dalam aturannya anak yang belum mumayyiz jatuh kepada ibunya, akan tetapi karena ibunya tidak diketahui keberadaannya, jelas hak hadhanah anak tersebut jatuh kepada bapaknya yang jelas keberadaannya untuk selanjutnya mengasuhnya.6 Dalam mengambil sebuah putusan, tentunya majelis hakim mengadakan musyawarah terlebih dahulu, selanjutnya melihat kepada acuan hukum yang telah ada, dan dalam perkara hak hadhanah dalam putusan tersebut telah diatur ketika seorang anak yang belum mumayyiz maka hak hadhanahnya jatuh kepada ibunya, akan tetapi istrinya dinyatakan tidak diketahui keberadaannya, maka hak hadhanah atas anak tersebut jatuh kepada bapaknya. Kedekatan antara anak dengan ayahnya dapat menjadikan suatu alasan yang menjadikan hak hadhanah diberikan kepada si 6
Wawancara Pribadi dengan Muhiddin, pada tanggal 7 Februari 2011.
78
ayah tersebut, apalagi dalam kasus ini si ibu dinyatakan tidak diketahui keberadaannya, jelas si ayah yang berhak atas hadhanah anaknya tersebut.7 Adapun analisa yang dapat penulis jabarkan dan jelaskan dalam kasus ini adalah bahwa landasan hukum yang digunakan oleh majelis hakim sudahlah tepat yakni dengan menggunakan Pasal 19 huruf (F) PP No. 8 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (F) KHI untuk landasan dalam perceraiannya, dan pasal pasal 41 huruf (a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengenai ketentuan hak hadhanah. Akan tetapi majelis hakim tidak menggunakan pasal 105 dari KHI yang menjelaskan secara detail ketentuan mengenai kepada siapa hak hadhanah itu diserahkan sebagai akibat dari perceraian. Serta Majelis Hakim tidak menggunakan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam mengenai urutan penerima hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz, terlebih ketika istri dinyatakan tidak diketahui keberadaannya. Kepentingan anak dalam hal ini perlu didahulukan, karena mereka sebagai salah satu korban dari perceraian orang tuanya, jangan sampai karena orang tua yang bercerai hak anak pun diabaikan. Kedua orang tua masih mempunyai tanggung jawab penuh terhadap anak-anak mereka, dari segi perawatan, pendidikan, pemberian kasih sayang, dan pemenuhan kebutuhannya (nafkah). Kalau kita melihat kasus antara Mohammad Arief dengan Survita Widiyanti yang dalam putusan dinyatakan bahwa Survita sering kali menolak ajakan untuk berhubungan suami isteri terhadap suaminya, ia sering kali meninggalkan anak-anak
7
Ibid.
79
disaat suaminya kerja, bahkan mereka telah pisah tempat tinggal sejak tanggal 14 Agustus 2008, dan Survita telah berselingkuh dengan pria Non Muslim. Maka jelaslah dari kasus tersebut bahwa Survita tidak layak mendapatkan hak asuh anak. Salah satu persyaratan seorang yang berhak menerima hak tersebut adalah amanah dan berakhlak. Kalau dilihat Survita sebagai ibu sudah termasuk orang yang tidak amanah dan berakhlak. Terbukti dengan sering meninggalkan anak-anak ketika suaminya sedang bekerja, bahkan ia telah meninggalkan suami dan anak-anaknya tanpa kabar. Padahal anak-anak mereka masih kecil yang sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuannya. Karena anak adalah makhluk yang mulia sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Isra ayat 70:
70 17
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan’’. Selain itu anak dibawah umur, terutama anak kecil, disamping belum memiliki fisik yang kuat, juga belum memiliki daya nalar yang sempurna sehingga mereka sangat rentan dengan penindasan, baik yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, Islam memberikan perlindungan khusus kepada anak kecil, bukan saja sejak lahir tetapi juga sejak mereka masih dalam kandungan sampai usia dewasa. Di antara perlindungan Islam terhadap anak adalah
80
ditemukan berbagai ketetapan mengenai hak-hak yang dimiliki anak, seperti hak untuk disusui, diberi nama yang baik, dirawat dan dididik secara benar dan lain sebagainya.8 Dengan adanya ketentua khusus yang berkaitan dengan anak, khususnya anak kecil, maka seharusnya para pengasuh, baik orang tua atau bukan, harus memahami ketentuan yang ada dalam ajaran agama Islam, sebab ketidaktahuan tentang ketentuan-ketentuan khusus bagi anak dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hakhak anak. Mengingat anak-anak kelak akan menjadi orang-orang dewasa yang mempunyai peran penting di masa mendatang, bahkan di pundaknya tergantung nasib dunia ini karena mereka tumpuan harapan generasi tua sekarang, maka syariat Islam banyak mengungkap dan membahas mereka. Adanya ketentuan hukum-hukum yang berkenaan dengan anak-anak merupakan peringatan bagi para orang tua atau pengasuh dan pendidik akan pentingnya memperhatikan anak-anaksejak kelahirannya dan memperhatikan segala urusannya sejak ia mulai merasakan angin kehidupan dunia. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak anak dapat terlindungi dan dapat tumbuh dewasa menjadi seorang manusia yang sehat dan kuat jasmani dan rohaninya.9 Berdasarkan hal tersebutlah seorang anak yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi 8
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h. 145. 9 Ibid,. h. 146
81
perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang semua itu membutuhkan orang dewasa yang penuh totalitas memperhatikan fase-fase perkembangan anak, karena perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi selanjutnya. Selain totalitas harus dibutuhkan pula seseorang yang amanah dan berakhlak. Dalam hal pengasuhan anak terlebih sebagai akibat dari perceraian orang tuanya, yang pertama harus diperhatikan adalah kepentingan anak. Analisis jender dapat membantu mengeliminasi kemungkinan adanya stereotype jender yang seolaholah memandang setiap perempuan memilki kemampuan dan kesanggupan untuk memelihara anak, sebaliknya seolah-olah laki-laki tidak memilki kemampuan tersebut. Namun hal tersebut adalah benar karena selam ini secara adat dan sosiokultural pengasuhan anak ada dibawah ibunya, hubungan anak dan ibu umumnya jauh lebih dekat sebagai kelanjutan dari fungsi biologisnya yang melahirkan dan menyusuinya. Dalam konteks itu, KHI nampaknya menggunakan alasan kebiasaan dan kelaziman anak berada dalam asuhan ibunya terutama dibawah umur 12 tahun. Sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105, dalam hal terjadinya perceraian:(1(Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) Pemeliharaan anak sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara
ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya; (3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
82
Seorang hakim juga dapat menggunakan analisis jender untuk mendudukan posisi dan kepentingan anak. Demikian juga apabila anak telah berusia 12 tahun, anak bisa saja masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya. Dalam hal yang semacam ini, sensitivitas jender dapat membantu hakim untuk memupuskan streoptype tentang peran ibu dan bapak dalam pengasuhan anak. Pegangan utama hakim adalah bagaimana memberi perlindungan dan kebijakan bagi anak.10 Oleh karena itu penulis setuju dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor: 881/Pdt.G/2008/PA.JB yang memutuskan bahwa hak pemeliharaan (hadhanah) anak jatuh kepada Mohammad Arief sebagai bapak bukan kepada Survita sebagai ibu. Lebih anjut Hakim Pengadilan Agama menyatakan dalam memutuskan perkara tersebut Hakim lebih berdasarkan kemaslahatan anak.11
10
Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, h. 42
11
Wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Senin, 7 Februari 2011
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan menjadi beberapa bagian sebagai berikut: 1. Landasan hukum yang digunakan dalam memutus perkara dengan putusan No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB dengan menggunakan Pasal 19 huruf (F) PP No. 8 Tahun
1975 jo. Pasal 116 huruf (F) KHI untuk landasan dalam perceraiannya, dan pasal pasal 41 huruf (a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengenai ketentuan hak hadhanah. Akan tetapi majelis hakim tidak menggunakan pasal 105 dari KHI yang menjelaskan secara detail ketentuan mengenai kepada siapa hak hadhanah itu diserahkan sebagai akibat dari perceraian. Serta Majelis Hakim tidak menggunakan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam mengenai urutan penerima hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz, terlebih ketika istri dinyatakan tidak diketahui keberadaannya dan harus di gantikan. 2. Metode ijtihad yang digunakan hakim dalam menetapkan hak hadhanah merujuk pada KHI Pasal 105 (a) yang menjelaskan bahwa hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Dan di dalam Pasal 49 Undang-undang no. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa hak kekuasaan mengasuh anak oleh masing-masing pihak dapat ditarik oleh pihak lain bila: 1) ia
85
86
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; 2) Ia berkelakuan buruk. Kelalaian dan ketidak bertanggung jawaban istri sebagai ibu inilah yang membuat majelis hakim menjatuhkan hak hadhanah kepada bapaknya dalam putusan No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB.
Di
samping
itu,
pertimbangan
psikologis
dan
kemaslahatan anak yang memang menjadi pertimbangan utama dalam pemberian hak hadhanah yang dijadikan acuan majelis hakim. B. Saran 1. Pembahasan masalah hak hadhanah hendaknya diajarkan di sekolah-sekolah, baik pada tingkat SMP/MTS ataupun SMA/MA. Selain itu, para ulama, da’i, dan khatib pun hendaknya menyampaikan hukum masalah hadhanah kepada masyarakat dalam kuliah keagamaan dan ceramah agar anak yang menjadi korban perceraian tetap terpelihara kemaslahatannya. Tapi yang paling utama adalah bagaimana perceraian itu sendiri sebagai penyebab timbulnya hadhanah tidak sampai terjadi, atau minimal dapat diminimalisir. 2. Bagi pemerintah perlunya sosialisasi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang hadhanah berkaitan dengan hak asuh anak. 3. Kepada Pengadilan Agama agar lebih aktif lagi mentelusuri dan menggali hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Serta lebih peka terhadap sensititas gender, karena dengan begitu maka para hakim akan dapat mewujudkan keadilan yang berbasis sensitivitas gender.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Kementrian Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 2009. Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat 2. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademia Pressindo, 2007. al Husaini, Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad. Kifayah a-Akhyar. Beirut Dar: al-Fikr,1994. Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Depok: Gema Insani, 2000. Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafindo, 2006 Al-Zuhaily, Wahbah. Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Daar Fikr, 1989. Al-Kahlani, Muhammad Ibn Maktabah Dahlan, t.th.
Ismail al-Shan’ani. Subul al-Salam. Bandung:
Amir Syarifudin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2006. Amir, Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007. Artikel
diakses pada tanggal 25 Desember 2010, WordPress.com/12/25/Hadhanah-hak-asuh-anak-html.
http//:
Abiyazid
Ayub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta: Al-Kautsar, 2005. Aziz Dahlan, Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT.Ictiar Baru Van Hoeve, 1999. Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Rajawali, 2000.
87
88
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008. Muttaqien, Dadang.“Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Persfektif Sosiologi Hukum”, artikel diakses pada 19 April 2010 dari http://msi-uii.net.baca.asp?kategori=rubrik&menu=259. -----------, Dadang dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 1999. Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988. Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia,cet. Pertama, Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Hukum dan HAM (PUSKUMHAM) UIN Syarif Hidayatullah ,2009. DEPAG RI, Kompilasi Hukum Islam dan Tanya Jawab Seputar Kepenghuluan. Jakarta: DEPAG RI, 2003. DEPAG RI, UU No. Tahun 1974 dan Pedoman Akad Nikah, Jakarta: DEPAG RI, 2006. Djubaedah, Neng. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005. Effendi,Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Kencana, 2004. Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: CV Zahir, 1975. Hasan Ayuub, Syaikh. Fiqih Keluarga. Cet. Ke-4, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005. Ilham, Ummu Ibrahim. Bagaimana Menjadi Istri yang Shalihah dan Ibu yang Sukses. Jakarta: Darul Falah, 1420.
89
Indolaw, “Keputusan Menteri Agama No. 71 Tahun 1976 Tentang Pembentukan Cabang Mahkamah Islam”, artikel diakses pada 9 Februari 2011, dari www.indolaw.net/Seiten/SachindexHead.html. Ismail al Kahlani, Muhammad. Subulussalam Juz III. Bandung: Dahlan Tth,2000. Kamil, Faizal. Asas Hukum Acara Perdata. Jakarta: Badan Penerbi Iblam, 2005. Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004. Kurtubi, Mashuri. Menikah Itu Indah. Jakarta: Insan Madani, 2007. Laporan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009. M. Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2004. Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005. Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, t.th. Mugniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab.Cet.II, Jakarta: Lentera, 2006. Nashiruddin al-Albani, Syaikh. Sunan Abi Daud. Juz II, Riyad: Maktabah al-Ma’rif li al-Nashir wa Tawzi 1998. Nuruddin, Amiur dan Akmal, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Kencana, 2004. Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 19 April 2010 http://pajb.net
dari
90
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 24 April 2010 dari http://www.pajb.net/index.php/struktur-organisasi Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawianan Indonesia. Jakarta: Indonesia Legal Central Publishing, 2002. Rahman Ghazali, Abdul. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006 Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994. Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: Alumni, 1982. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983. -----------------, Fiqh Sunnah Tarjamah Jilid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006. Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2006. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986. Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, Cet.I, . Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999. Wawancara Pribadi dengan Muhiddin. Jakarta, 14 Februari 2011. Yusuf Hasibuan, Fauzie. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia, 2006.
91
LAMPIRAN-LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Hari/ Tanggal
: Senin, 7 Februari 2011
Waktu
: 10.00-11.30
Tempat
: Ruang Hakim IV Pengadilan Agama Jakarta Barat
Nama Responden
: Drs. H. Muhiddin, SH, M.H.
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Apa konsep hadhanah menurut bapak? Hadhanah adalah ketentuan mengenai hak asuh anak ketika orang tua memutuskan untuk bercerai, hak hadhanah diajukan ketika para pihak yang berperkara telah mempunyai anak, terkadang gugatan mengenai hak hadhanah tidak dipersengketakan apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak untuk tetap mengurus anak bersama-sama, tetapi memang dipersengketakan ketika salah satu pihak merasa yang paling berhak atas hak asuh anak tersebut dan ingin mengurusnya langsung.
2.
Biasanya perkara hadhanah di ajukan terjadi setelah perkawinan putus, siapa yang paling banyak dari yang berperkara mengajukan hak asuh anak? Setahu saya selama menjabat sebagai seorang hakim, yaitu isteri yang biasa mengajukan hak asuh anak setelah putusnya perkawinan yang berkekuatan
hukum tetap, dan anakpun jatuh padanya. Dari pihak suami juga tidak keberatan apabila anak diasuh oleh isterinya. Kecuali pihak yang mengajukan hak asuh anak adalah suami/bapak, ini jarang terjadi di pengadilan agama. Sebab kenapa suami/bapak mengajukan hak asuh anak berada padanya, karena ada faktorfaktor yang mengharuskan anak berada dalam asuhannya. Apabila pihak-pihak dari istri/ibu anak-anak juga tidak bisa mengurus, merawat serta mendidik anakanak, tentu saja anak jatuh pada bapak dari anak-anak, selama bapak bisa memberikan pengajaran, merawat anak-anak yang masih kecil agar tumbuh dengan baik.
3. Bagaimana proses menyelesaikan perkara hadhanah yang selama ini terjadi? Dan apakah perlu melibatkan keterangan anak dalam proses persidangan tersebut? Perkara hadhanah ini terkadang diajukan dalam sebuah pokok perkara yaitu apabila para pihak ingin melakukan pengasuhan dan merasa yang paling berhak atas hak asuh/hadhanah tersebut atau para pihak merasa pasangannya mempunyai tabiat yang buruk sehingga timbul kekhawatiran apabila anak diasuh olehnya, karenanya ia merasa perlu memasukkan gugatan mengenai hak hadhanah tersebut, dalam proses penyelesaiannya sama seperti dalam proses persidangan yang diatur dalam aturan hukum acara, karena biasanya gugatan hak hadhanah ini menjadi salah bagian yang akan dibuktikan dalam persidangan (kumulasi obyektif).
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 105, bahwa keterangan anak yang disengketakan diperlukan ketika anak tersebut telah mumayyiz, yaitu telah berusia 12 tahun. Karena dia mempunyai hak pilih kepada siapa ia ingin diasuh, akan tetapi untuk anak yang belum mumayyiz, maka pertimbangannya adalah fakta yang terungkap di persidangan.
4. Berapa lamakah waktu yang dibutuhkan dalam proses persidangan? Apakah hambatan yang ditemui dalam menyelesaikan perkara hadhanah dalam putusan ini? Dalam proses persidangan ini dilakukan 2X (dua kali) relaas berdasarkan Hukum Acara Perdata, dan adapun hambatan dalam memeriksa sebuah perkara pasti ada, seperti dalam perkara ini, pihak istri selaku termohon tidak diketahui keberadaannya sehingga keterangan dari pihak tergugat tidak didapatkan, selain itu perlu waktu lama untuk memastikan bahwa termohon tidak diketahui keberadaannya. Adapun pemanggilan (relaas) bagi pihak perkara yang Ghaib yaitu selam 4 (empat) bulan.
5. Selama
menangani
perkara
hadhanah,
apakah
putusan
No.
881/Pdt.G/2008/PA.JB ini berbeda dengan perkara hadhanah lainnya? Dalam perkara tersebut, ibu/istri sebagai pihak termohon tidak diketahui keberadaannya, dan dari hasil perkawinan mereka telah dikaruniai anak yang ketika perceraian diajukan oleh ayahnya anak tersebut belum mumayyiz,
memang dalam aturannya anak yang belum mumayyiz jatuh kepada ibunya, akan tetapi karena ibunya tidak diketahui keberadaannya, jelas hak hadhanah anak tersebut jatuh kepada bapaknya yang jelas keberadaannya untuk selanjutnya mengasuhnya. Jadi perbedaannya hanya karena ibu/istri tidak ada dan tidak diketahui keberadaannya.
6. Sebenarnya apa yang dimaksud pernyataan pihak termohon ghaib atau mafqud dalam putusan ini?kenapa dikatakan ghaib? Dalam putusan No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB, ghaib yang dimaksud adalah karena sistem pemanggilannya atau proses hukum formilnya. Sedang mafqud adalah hukum materiilnya. Ghaib ini karena relaas pengadilan tidak sampai kepada termohon dan pengumuman persidangan ini sudah diumumkan melalui radio, namun pihak termohon tidak juga hadir dalam persidangan. Sehingga putusan pengadilan menyatakan pihak termohon atau ibu tidak diketahui keberadaannya.
7. Bukti apa saja yang ditunjukkan oleh pemohon yang mengajukan hak asuh anak jatuh kepada Bapak? Kenapa tidak kepada saudara dari pihak ibu? Bukti yang diajukan pihak pemohon diantaranya adalah fhoto copy akta nikah, foto copy akta kelahiran kedua anaknya dari hasil pernikahan dengan pihak termohon, serta fhoto copy surat keterangan ghoib dari kelurahan yang menyatakan bahwa termohon tidak diketahui keberadaannya, selain itu berdasarkan keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa termohon telah
meninggalkan rumah dan pemohon telah berusaha mencarinya tetapi tidak menemukannya, dari bukti-bukti tersebutlah maka majelis hakim memutuskan untuk memberikan hak asuh kepada pihak pemohon sebagai ayah kandung si anak. Mengenai ketentuan kepada siapa hak hadhanah diberikan, KHI telah mengatur masalah tersebut, kalau tidak jatuh kepada ibu, maka setelahnya hak hadhanah jatuh kepada bapak, sebab bapak mempunyai ikatan batin yang kuat dengan anak kandungnya sendiri. . Kedekatan antara anak dengan ayahnya dapat menjadikan suatu alasan yang menjadikan hak hadhanah diberikan kepada si ayah tersebut, apalagi dalam kasus ini si ibu dinyatakan tidak diketahui keberadaannya, jelas si ayah yang berhak atas hadhanah anaknya tersebut.
8. Apa yang menjadi landasan hukum putusan yang di putuskan oleh Majelis Hakim? Landasan hukum tentang hak hadhanah anak jelas terdapat dalam Pasal 41 huruf (a) Undang-undang No 1 tahum 1974 dimana akibat perceraian baik ibu ataupun bapak tetap berkewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan si anak.
9. Para Ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai batas usia anak belum mumayiz, lalu menurut bapak/ibu hakim kapan seorang anak itu dapat dikatakan belum mumayiz dan mumayiz?
Dalam menetapkan putusan yang menjadi landasan setelah adanya kodifikasi hukum, maka yang menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan yang tertulis yakni undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai hukum positif di Indonesia, dalam hal ini ketentuan mengenai mumayiz seorang anak telah terdapat dalam KHI yakni usia 12 tahun, hal inipun (aturan dalam KHI) merupakan pengolahan dari berbagai pendapat ulama yang kemudian dilihat unsur kesesuaian dan maslahatnya.
10. Bagaimanakah metode ijtihad Majelis Hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan Nomor 228/Pdt.G/2009/PAJB? Dalam mengambil sebuah putusan, tentunya majelis hakim mengadakan musyawarah terlebih dahulu, selanjutnya melihat kepada acuan hukum yang telah ada, dan dalam perkara hak hadhanah dalam putusan tersebut telah diatur ketika seorang anak yang belum mumayyiz maka hak hadhanahnya jatuh kepada ibunya, akan tetapi istrinya dinyatakan tidak diketahui keberadaannya, maka hak hadhanah atas anak tersebut jatuh kepada bapaknya.
11. Apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim, sehingga hak hadhanah anak belum mumayiz diberikan kepada bapak? Seperti yang dijelaskan pada pertanyaan sebelumnya, bahwa terdapat acuan hukum yang mengatur rentetan pemberian hak hadhanah anak yang menjadi
korban perceraian orangtuanya, dan dalam persidangan diungkap bahwa ibu dari anak tidak diketahui keberadaannya, maka hal itu pulalah yang menjadi dasar pertimbangannya.
12. Apakah dalam perkara hak hadhanah ini, majelis mempertimbagkan faktor psikologi? Dalam masalah hak hadhanah tentunya yang menjadi tujuan utama adalah untuk mendapatkan kemaslahatan bagi si anak, karena kepentingan mereka harus di dahulukan. Tentunnya pertimbangan psikologi diperlukan, seperti bagi anak yang sudah mumayyiz di persilahkan memilih antara kedua orang tuanya yang akan mengasuhnya, kemudian proses pemeriksaan si anak pun kami (Majelis Hakim) terlebih dahulu melepas baju toga kami agar si anak tidak takut. Dan untuk anak yang belum mumayyiz, ketika majelis hakim mendapati si anak lebih dominan nyaman dan baik kepada bapaknya, maka hak hadhanah akan di serahkan kepada bapak, karema sekali lagi kepentingan anak harus di dahulukan.
Jakarta, 7 Februari 2011
Instrumen Pengumpulan Data
No 1
Masalah Fiqh Munakahat
Dassolen
Dassein
Jenis alat Pengumpul Data
1) Pernikahan: Tujuan pernikahan ialah untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa
Faktanya, tujuan penikahan tidak tercapai karena hubungan keluarga yang tidak rukun dan
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan pihak yang berperkara (baik pihak Penggugat maupun
rahmah, suatu keluarga
tidak harmonis dapat
tergugat).
yang hidup rukun dan harmonis serta untuk memperoleh keturunan yang dirawat, diasuh, dan dipelihara dengan baik secara bersamasama oleh kedua orang tuanya.
menyebabkan terjadi perceraian sehingga anak dari hasil pernikahan yang sah tidak dapat dirawat, diasuh, dan dipelihara secara bersama-sama oleh kedua orang tuanya. Perceraian merupakan solusi atau jalan keluar terbaik yang dapat ditempuh apabila pasangan suami istri tidak dapat hidup
2) Perceraian: Perceraian merupakan sesuatu yang dibolehkan, namun dibenci oleh Allah SWT.
rukun dan harmonis. 2
Konsep Hadhanah
Pemeliharaan anak yang masih kecil atau belum mumayiz adalah hak ibunya selama ia belum menikah dengan
Faktanya, dalam putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat No.228/Pdt.G/2009/P
laki-laki lain.
AJB memutuskan bahwa pemeliharaan anak belum mumayiz
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat.
adalah hak bapaknya. 3
Perspektif Undang-undang
Kewajiban orang tua dalam pemeliharaan anak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, KHI, dan UU Perlindungan Anak terkait dengan hak-hak anak terhadap orang tua baik dalam hubungan
Faktanya, terjadinya perceraian menyebabkan kepentingan anak terabaikan dan perlindungan atas hak-hak anak tidak terealisasi dengan baik.
pernikahan maupun setelah perceraian. 4
Psikologi Anak Pasca Perceraian
Keutuhan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
Ketidak utuhan keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan serta pembentukan kepribadian anak secara fisik dan mental menjadi pribadi yang baik.
pembentukan kepribadian anak secara fisik dan mental menjadi terhambat.
Wawancara dengan Psikolog Anak dan Anak korban Perceraian
PEDOMAN WAWANCARA HAKIM Nama
: Drs. Muhiddin SH.MH
Jabatan
: Hakim Ketua
Alamt Kantor : Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Sudah berapa lama bapak/ibu menjabat sebagai hakim? 2. Apa pengetahuan bapak/ibu hakim tentang hadhanah yang terjadi di Pengadilan Agama? 3. Bagaimana proses penyelesaian perkara hadhanah selama ini yang anda lakukan sebagai seorang hakim? 4. Perkara hadhanah biasanya diajukan setelah putusnya perkawinan, lalu siapakah yang paling banyak dari pihak yang berperkara yang mengajukan hak asuh anak? 5. Dalam menyelesaikan perkara hadhanah ini, butuh waktu berapa lama? Dan perlu berapa kali sidang? 6. Apakah dalam menyelesaikan perkara hadhanah banyak hambatan alias terulurnya waktu dalam memutuskan perkara? 7. Selama menangani perkara hadhanah, apakah putusan No. 228/Pdt.G/2009/PAJB
ini
berbeda dengan perkara hadhanah yang lain? 8. Bukti apa saja yang ditunjukkan oleh Penggugat yang mengajukan hak asuh anak jatuh padanya bukan kepada Tergugat? 9. Menurut bapak/ibu hakim, faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hak hadhanah anak diberikan kepada pihak suami/bapak bukan kepada pihak istri/ibu? 10. Para Ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai batas usia anak belum mumayiz, lalu menurut bapak/ibu hakim kapan seorang anak itu dapat dikatakan belum mumayiz dan mumayiz? 11. Bagaimanakah metode ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan Nomor 881/Pdt.G/2008/PAJB? 12. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim, sehingga hak hadhanah anak belum mumayiz diberikan kepada bapak? 13. Apa keterangan anak yang disengketakan diperlukan dalam persidangan? 14. Bagaimanakah bapak/ibu hakim mengadili kasus sengketa hak asuh anak, jika kedua orang tua anak tersebut masing-masing mempertahankan hak asuhnya?
Tentang Mafqudnya seorang Istri 1. Apa sebenarnya definisi mafqud sesuai dengan konteks perkara dalam putusan No.881/Pdt.G/2008/PA.JB? 2. Bagaimana pendapat para ulama mengenai mafqud? Pada umumnya yang banyak terjadi adalah suami yang dinyatakan mafqud, apakah ada perbedaan diantara keduanya? 3. Bagaimana pertimbangan hakim atau landasan majelis hakim bahwa seorang istri dinyatakan ghaib atau mafqud dalam perkara tersebut? 4. Berapa lamakah seseorang dikatakan mafqud? 5. Ketentuan apa sajakah yang harus diterima oleh seseorang yang mafqud dalam perkara ini? 6. Kenapa dalam perkara ini putusan menyatakan bahwa hak asuh anak jatuh kepada bapak? Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) urutan pemeliharaan anak itu jelas diatur dalam pasal 156, bahwa urutan pertama adalah wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu, bagaimana pertimbangan hakim sebenarnya dalam memberikan amar putusan dalam perkara ini?
WAWANCARA PIHAK YANG BERPERKARA
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ibu menggugat cerai suami ibu? 2. Apa pengetahuan ibu mengenai anak belum mumayiz? 3. Apa yang ibu ketahui mengenai perkara hadhanah di Pengadilan? 4. Apa yang ibu ketahui mengenai syarat-syarat mengasuh anak (hadhanah)? 5. Bukti apa saja yang dapat ibu tunjukkan kepada majelis hakim agar hak hadhanah anak diberikan kepada ibu bukan kepada bapak/pihak suami? 6. Bagaimana perasaan ibu jika salah satu dari keempat anak ibu hak hadhanahnya diberikan kepada bapak/pihak suami? 7. Apakah ibu dapat menerima keputusan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam putusan Nomor 228/Pdt.G/2009/PAJB yang memutuskan hak hadhanah anak ibu diberikan kepada bapak/pihak suami? 8. Apakah ibu akan mengajukan upaya banding terhadap putusan hakim tersebut?
HASIL WAWANCARA Hari/ Tanggal
: Senin, 7 Februari 2011
Waktu
: 10.00-11.30
Tempat
: Ruang Hakim IV Pengadilan Agama Jakarta Barat
Nama Responden
: Drs. H. Muhiddin, SH, M.H.
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Apa konsep hadhanah menurut bapak? Hadhanah adalah ketentuan mengenai hak asuh anak ketika orang tua memutuskan untuk bercerai, hak hadhanah diajukan ketika para pihak yang berperkara telah mempunyai anak, terkadang gugatan mengenai hak hadhanah tidak dipersengketakan apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak untuk tetap mengurus anak bersama-sama, tetapi memang dipersengketakan ketika salah satu pihak merasa yang paling berhak atas hak asuh anak tersebut dan ingin mengurusnya langsung. 2.
Biasanya perkara hadhanah di ajukan terjadi setelah perkawinan putus, siapa yang paling banyak dari yang berperkara mengajukan hak asuh anak? Setahu saya selama menjabat sebagai seorang hakim, yaitu isteri yang biasa mengajukan hak asuh anak setelah putusnya perkawinan yang berkekuatan hukum tetap, dan anakpun jatuh padanya. Dari pihak suami juga tidak keberatan apabila anak diasu oleh isterinya. Kecuali pihak yang mengajukan hak asuh anak adalah suami/bapak, ini jarang terjadi di pengadilan agama. Sebab kenapa suami/bapak mengajukan hak asuh anak berada padanya, karena ada faktor-faktor yang mengharuskan anak berada dalam asuhannya. Apabila pihak-pihak dari istri/ibu anak-anak juga tidak bisa mengurus, merawat serta mendidik anak-anak, tentu saja anak jatuh pada bapak dari anak-anak, selama bapak bisa memberikan pengajaran, merawat anak-anak yang masih kecil agar tumbuh dengan baik.
3.
Bagaimana proses menyelesaikan perkara hadhanah yang selama ini terjadi? Perkara hadhanah ini terkadang diajukan dalam sebuah pokok perkara yaitu apabila para pihak ingin melakukan pengasuhan dan merasa yang paling berhak atas hak asuh/hadhanah tersebut atau para pihak merasa pasangannya mempunyai tabiat yang buruk sehingga timbul kekhawatiran apabila anak diasuh olehnya, karenanya ia merasa perlu memasukkan gugatan
mengenai hak hadhanah tersebut, dalam proses penyelesaiannya sama seperti dalam proses persidangan yang diatur dalam aturan hukum acara, karena biasanya gugatan hak hadhanah ini menjadi salah bagian yang akan dibuktikan dalam persidangan (kumulasi obyektif). 4. Apakah dalam menyelesaikan perkara hadhanah dalam putusan ini, banyak hambatan alias butuh waktu yang cukup lama? Hambatan dalam memeriksa sebuah perkara pasti ada, seperti dalam perkara ini, pihak istri selaku termohon tidak diketahui keberadaannya sehingga keterangan dari pihak tergugat tidak didapatkan, selain itu perlu waktu lama untuk memastikan bahwa termohon tidak diketahui keberadaannuya 5. Apa keterangan anak yang disengketakan diperlukan dalam persidangan? Keterangan anak yang disengketakan diperlukan ketika anak tersebut telah mumayyiz, karena dia mempunyai hak pilih kepada siapa ia ingin diasuh, akan tetapi untuk anak yang belum mumayyiz, maka pertimbangannya adalah fakta yang terungkap di persidangan. 6. Selama menangani perkara hadhanah, apakah putusan No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB ini berbeda dengan perkara hadhanah lainnya? Dalam perkara tersebut, ibu/istri sebagai pihak termohon tidak diketahui keberadaannya, dan dari hasil perkawinan mereka telah dikaruniai anak yang ketika perceraian diajukan oleh ayahnya anak tersebut belum mumayyiz, memang dalam aturannya anak yang belum mumayyiz jatuh kepada ibunya, akan tetapi karena ibunya tidak diketahui keberadaannya, jelas hak hadhanah anak tersebut jatuh kepada bapaknya yang jelas keberadaannya untuk selanjutnya mengasuhnya. Jadi perbedaannya hanya karena ibu/istri tidak ada dan tidak diketahui keberadaannya. 7. Bukti apa saja yang ditunjukkan oleh pemohon yang mengajukan hak asuh anak jatuh kepada Bapak? Kenapa tidak kepada saudara dari pihak ibu? Bukti yang diajukan pihak pemohon diantaranya adalah fhoto copy akta nikah, foto copy akta kelahiran kedua anaknya dari hasil pernikahan dengan pihak termohon, serta fhoto copy surat keterangan ghoib dari kelurahan yang menyatakan bahwa termohon tidak diketahui keberadaannya, selain itu berdasarkan keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa termohon telah meninggalkan rumah dan pemohon telah berusaha mencarinya tetapi tidak menemukannya, dari bukti-bukti tersebutlah maka majelis hakim memutuskan untuk memberikan hak asuh kepada pihak pemohon sebagai ayah kandung si anak. Mengenai
ketentuan kepada siapa hak hadhanah diberikan, KHI telah mengatur masalah tersebut, kalau tidak jatuh kepada ibu, maka setelahnya hak hadhanah jatuh kepada bapak, sebab bapak mempunyai ikatan batin yang kuat dengan anak kandungnya sendiri. . Kedekatan antara anak dengan ayahnya dapat menjadikan suatu alasan yang menjadikan hak hadhanah diberikan kepada si ayah tersebut, apalagi dalam kasus ini si ibu dinyatakan tidak diketahui keberadaannya, jelas si ayah yang berhak atas hadhanah anaknya tersebut. 8. Apa yang menjadi landasan hukum putusan yang di putuskan oleh Majelis Hakim? Landasan hukum tentang hak hadhanah anak jelas terdapat dalam Pasal 41 huruf (a) Undang-undang No 1 tahum 1974 dimana akibat perceraian baik ibu ataupun bapak tetap berkewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan si anak 9. Para Ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai batas usia anak belum mumayiz, lalu menurut bapak/ibu hakim kapan seorang anak itu dapat dikatakan belum mumayiz dan mumayiz? Dalam menetapkan putusan yang menjadi landasan setelah adanya kodifikasi hukum, maka yang menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan yang tertulis yakni undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai hukum positif di Indonesia, dalam hal ini ketentuan mengenai mumayiz seorang anak telah terdapat dalam KHI yakni usia 12 tahun, hal inipun (aturan dalam KHI) merupakan pengolahan dari berbagai pendapat ulama yang kemudian dilihat unsur kesesuaian dan maslahatnya. 10. Bagaimanakah metode ijtihad Majelis Hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan Nomor 228/Pdt.G/2009/PAJB? Dalam mengambil sebuah putusan, tentunya majelis hakim mengadakan musyawarah terlebih dahulu, selanjutnya melihat kepada acuan hukum yang telah ada, dan dalam perkara hak hadhanah dalam putusan tersebut telah diatur ketika seorang anak yang belum mumayyiz maka hak hadhanahnya jatuh kepada ibunya, akan tetapi istrinya dinyatakan tidak diketahui keberadaannya, maka hak hadhanah atas anak tersebut jatuh kepada bapaknya.
11. Apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim, sehingga hak hadhanah anak belum mumayiz diberikan kepada bapak? Seperti yang dijelaskan pada pertanyaan sebelumnya, bahwa terdapat acuan hukum yang mengatur rentetan pemberian hak hadhanah anak yang menjadi korban perceraian
orangtuanya, dan dalam persidangan diungkap bahwa ibu dari anak tidak diketahui keberadaannya, maka hal itu pulalah yang menjadi dasar pertimbangannya