STRUKTUR INDUSTRI TAS KAMERA UNTUK MENENTUKAN STRATEGI BERSAING DI INDONESIA http://www.kopertis12.or.id/wp-content/uploads/2014/12/4.-PEDOMAN-OPERASIONAL-update6-Des-2014.pdf David Sukardi Kodrat Pascasarjana, Universitas Ciputra, email:
[email protected] 1. Latar Belakang Industri fashion di Indonesia sedang menjadi sorotan. Hal ini disebabkan produk-produk fashion Tanah Air semakin diminati pecinta fashion di mancanegara (Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Hong Kong, dan Australia).
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) selama periode tahun 2007 sampai 2011, nilai ekspor fashion Indonesia terus meningkat sebesar 12,4%. Selama periode Januari - Oktober 2012, ekspor fashion mencapai US$ 11,64 miliar atau meningkat sebesar 1,76% dibanding nilai ekspor periode sebelumnya (Metrotvnews.com, 2013) dan menyerap 3,9 juta tenaga kerja. Target tahun 2013 sebesar 170 triliun (detikfinance, 2013). Industri Fashion terdiri dari: pakaian, sepatu, tas, dompet, jam tangan, kaca mata, dan aksesoris. Ada berbagai jenis tas. Salah satunya adalah tas kamera. Tas ini diperlukan untuk menampung semua komponen dan aksesoris kamera. Bisnis tas kamera ini merupakan potret jeli merebut peluang yang sedang berkembang saat ini (Kompas.com, 2011). Era digital menjadi berkah tersendiri, ditandai banyaknya anak yang masih remaja yang sudah punya kamera digital berkualitas. Pada tahun 2012, total penjualan kamera saku sebanyak 1,1 juta unit dan dan total penjualan kamera profesional (DSLR) sebanyak 300.000 unit (Pitoyo, 2013). Fungsi utama tas kamera adalah untuk melindungi kamera dan aksesoris kamera lainnya seperti lensa dan flash. Peta persaingan dalam industri tas kamera dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan five forces analysis (Kodrat, 2009). Menurut pendekatan ini ada lima kekuatan industri yang mempengaruhi persaingan yaitu: persaingan dalam industri (kompetitor), pendatang baru, konsumen, produk substitusi, dan suplier. Walaupun bisnis tas kamera termasuk baru namun persaingan dalam bisnis ini sangat kompetitif. Variasi tas kamera dapat dilihat dari: jenis, model, ukuran, bahan, dan merek. Dari jenis, tas kamera dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: tas kamera dsir, tas kamera prosumer, dan tas kamera poket. Dari segi model, muncul berbagai tas kamera mulai dari: tas koper, tas selempang (shoulder bag), tas pinggang, tas ransel, dan tas toploading. Dari segi ukuran, tas kamera terdiri dari berbagai macam ukuran mengikuti jumlah aksesori dan komponen yang dimiliki. Dari segi bahan, tas kamera dapat dibuat dari cordura, nilon, kulit asli, dan kulit imitasi. Dari merek lokal (Eibag, Eiger, Consina, Caseman, Quarzel, Thunder) hingga merek global (Lowepro, Crumpler, Nikon, Canon, Natgeo (National Geographic), Keystone, Tamrac), Vanguard, Winner). Bahkan akhir-akhir ini muncul beberapa merek lokal baru seperti Valltrex (Bandung), MIB (Bandung), MaxBag, Oagio, dan Zano (Yogyakarta). Pengguna tas kamera adalah pencinta photography, apalagi 35% dari keseluruhan fotografer pro adalah perempuan (Belfot.com, 2012). Jika kamera digital Single-Lens Reflex (SLR) atau DSLR (Digital Single Lens Reflex) tergores atau terbentur, mereka akan amat kecewa. Untuk mengurangi risiko pastilah dibutuhkan tempat khusus untuk menyimpan kamera. Terlebih lagi, jika ingin membawanya berpergian atau hunting foto. Biasanya, kamera diletakkan dalam sebuah tas khusus yang memiliki lapisan tebal guna meredam benturan. Bentuknya dapat berupa tas ransel, tas koper, tas selempangan, dan tas pinggang. Tak hanya berfungsi sebagai tempat aman untuk menyimpan kamera tapi juga berfungsi sebagai aksesoris sehingga model dan disainnya pun beragam. Oleh karena itu, pengguna tas kamera biasanya memiliki lebih dari dua tas. Produk substitusi tas kamera adalah dry box model travelling. Dry box digunakan oleh pencinta photography sekaligus suka travelling demi kepraktisan. Ada dua perusahaan yang memproduksi jenis ini yaitu: X dry di Surabaya dan Ultradry Silicagel di Jakarta.
Produsen tas kamera tidak terlalu banyak. Ada produsen lokal dan produsen global. Produsen lokal memproduksi merek-merek lokal (Jawa Tengah ada 3 perusahaan, Jawa Barat ada 7 perusahaan, dan DKI ada 2 perusahaan, dan DIY ada 1 perusahaan) dan produsen global memproduksi merek-merek global. Five forces analysis telah digunakan untuk menganalisa struktur industri dan analisa struktur perusahaan. Hasil analisis terhadap struktur industri “Usaha Kecil Menengah” menunjukkan bahwa pendatang baru, barang substitusi, kompetitor, daya tawar pembeli, dan daya tawar suplier (Faktor Eksternal) secara simultan berpengaruh terhadap daya saing perusahaan (Handriani, 2011). Hasil analisa terhadap struktur perusahaan di Jordan Phospate Mines Company (JPMC) menunjukkan JPMC memiliki keunggulan dalam aspek: daya tawar suplier, ancaman pendatang baru, dan ancaman produk substitusi. Sebaliknya JPMC tidak memiliki keunggulan dalam aspek: daya tawar pembeli dan persaingan dalam industri (Alrawasdeh, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur kekuatan industri tas kamera di Indonesia dan menganalisis besarnya pengaruh kekuatan para pelaku dalam struktur industri tas kamera terhadap strategi bersaing. 2. Telaah Pustaka dan Pengembangan Hiptotesis 2.1. Strategi bersaing Pokok perumusan strategi bersaing adalah menghubungkan perusahaan dengan lingkungannya (Porter, 1980). Struktur industri mempunyai pengaruh yang kuat dalam menentukan aturan permainan persaingan. Keadaan persaingan dalam suatu industri tergantung pada lima kekuatan persaingan pokok sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. - Jumlah suplier - Switching cost - Integration forward - Ada tidaknya barang subtitusi
Threat of New Entrants
- Skala Ekonomi - Switching Cost - Akses ke saluran distribusi - Kebijakan pemerintah - Produk Diferensiasi - Faktor Keberanian
Industry Competitors Bargaining Power of Suplier
- Availibility and performance of subtitutes - Switching cost - Brand loyalty
Rivalry Among Existing Firms
Threat of Subtitutes
Bargaining Power of Buyer
- Jumlah pembeli - Volume pembelian - Switching cost - Nilai Produk
Sumber: Porter (1980) dan Peng (2009) Gambar 1: Framework Five Forces Model yang dimodifikasi
Gabungan dari kelima kekuatan ini menentukan potensi laba bersih (net profit) dalam industri. Tidak semua industri mempunyai potensi yang sama. Industri-industri berbeda secara fundamental, dalam potensi labanya karena struktur kekuatan industrinya berbeda. Industri ban, kertas, dan baja mempunyai struktur kekuatan industri yang kuat sehingga tidak ada perusahaan yang menghasilkan laba yang spektakuler. Sebaliknya, industri perlengkapan dan perbaikan alat-alat operasi minyak, kosmetik, dan kebutuhan kamar mandi mempunyai struktur kekuatan industri yang
tidak terlalu kuat sehingga perusahaan didalamnya mampu menghasilkan laba yang besar. Tujuan strategi bersaing dari sebuah unit bisnis dalam sebuah industri adalah untuk menemukan posisi dalam industri tersebut di mana perusahaan dapat melindungi diri sendiri dengan sebaik-baiknya dari tekanan (kekuatan) persaingan dan untuk dapat mempengaruhi tekanan tersebut secara positif. Kemungkinan kekuatan kolektif tersebut terlihat pula oleh semua pesaing sehingga kunci untuk mengembangkan strategi adalah melakukan bisnis inteligen dan menganalisis sumber masing-masing kekuatan tersebut. Analisis struktural merupakan penunjang fundamental untuk merumuskan strategi bersaing. Ada tiga pendekatan strategis generik yang secara potensial mampu mengungguli perusahaan lain dalam suatu industri yaitu: keunggulan biaya menyeluruh (cost leadership), diferensiasi, dan fokus sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2. KEUNGGULAN STRATEGIS Keunikan yang Posisi Biaya Dirasakan Rendah Pelanggan DIFERENSIASI Seluruh Industri
Segmen Tertentu
COST LEADERSHIP
FOKUS
TINGKAT STRATEGIS
Sumber: Porter (1980) Gambar 2: Strategi Generik
Diferensiasi adalah mendiferensiasikan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan dengan menciptakan sesuatu yang baru yang dirasakan oleh seluruh industri sebagai hal yang unik. Diferensiasi produk mencakup content (isi), context (kemasan), dan infrastruktur (cara penyajiannya). Diferensiasi merupakan strategi yang baik untuk menghasilkan laba di atas rata-rata industri karena strategi ini menciptakan posisi yang aman untuk mengatasi kelima kekuatan persaingan. Diferensiasi menimbulkan loyalitas terhadap merek sehingga menyebabkan berkurangnya kepekaan terhadap harga. Keunikan ini menimbulkan hambatan masuk sekaligus menghambat pencapaian pangsa pasar yang lebih tinggi. Cost leadership merupakan strategi yang lazim di tahun 1970-an karena popularisasi konsep kurva pengalaman. Cost leadership dicapai melalui seperangkat kebijakan fungsional yang ditujukan pada target market. Perhatian manajerial yang besar terhadap pengendalian biaya diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Biaya yang rendah relatif terhadap pesaing menjadi tema yang menjiwai keseluruhan strategi meskipun mutu, pelayanan, dan bidang-bidang lainnya tidak dapat diabaikan. Memiliki posisi biaya rendah akan membuat perusahaan mendapatkan hasil laba diatas ratarata industri meskipun ada kekuatan persaingan yang besar. Posisi biayanya memberikan kepada perusahaan ketahanan terhadap persaingan dari para kompetitor karena biayanya yang lebih rendah memungkinkannya untuk tetap dapat menghasilkan laba setelah para pesaingnya mengorbankan laba mereka demi persaingan. Jadi posisi biaya rendah melindungi perusahaan terhadap kelima kekuatan persaingan tawar menawar hanya akan terus mengikis laba sampai para pesaing yang paling efisien berikutnya gugur dan pesaing yang paling kurang efisien akan merupakan perusahaan pertama menderita dalam menghadapi tekanan persaingan. Fokus adalah memusatkan pada kelompok pembeli, segmen lini produk, dan pasar geografis tertentu. Fokus dapat bermacam-macam bentuknya. Strategi ini didasarkan pada pemikiran bahwa perusahaan akan lebih mampu melayani target
strategisnya yang sempit secara lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaing yang bersaing lebih luas. Sebagai akibatnya, perusahaan akan mencapai diferensiasi karena mampu memenuhi kebutuhan target tertentu dengan lebih baik, atau bahkan mencapai biaya yang lebih rendah dalam melayani target ini, atau bahkan mencapai kedua-duanya. 2.2. Porter’s Five Competitive Forces Theory Five forces analysis dikenalkan sejak tahun 1979 ketika Universitas Harvard mempublikasikan artikel “How Competitive Forces Shape Strategy” yang ditulis oleh Michael Porter. Pada tahun 1980, Porter menjelaskan secara detail tentang Five Competitive Forces Model. (Porter, 1980). Setiap perusahaan mengembangkan strategi bisnis untuk memiliki keunggulan dibandingkan para pesaingnya (Ronquillo, 2012). Five forces analysis merupakan dasar bagi perusahaan untuk memperoleh keunggulan bersaing (Bertrand, 2013). Dalam five forces analysis, industri merupakan kumpulan dari pembeli, suplier, pendatang baru, pesaing dan produk subtitusi. Kelima struktur industri ini merupakan “pesaing” bagi perusahaan-perusahaan dalam industri dan dapat lebih atau kurang menonjol tergantung pada situasi tertentu. Persaingan dalam artian yang luas ini disebut extended rivalry (persaingan yang diperluas) (Porter, 1980). Setiap aspek dalam struktur industri menyimpan keungulan bersaing. Semakin tinggi tingkat ancaman dari kelima aspek tersebut menandakan bahwa suatu perusahaan memiliki daya saing yang lemah dan tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut akan rendah. Berikut ini penjelasan kelima poin dalam five forces analysis (Cunningham, 2012). a. Rivalry Among Existing Firms (Persaingan Dalam Industri) Dalam suatu industri selalu ada kompetitor yang berlomba untuk mendapatkan posisi. Kompetitor menyebabkan suatu usaha atau perusahaan bersaing dengan menggunakan taktik-taktik seperti persaingan harga, perang iklan, peluncuran produk baru, dan meningkatan pelayanan atau jaminan kepada pelanggan. Persaingan terjadi karena satu atau lebih pesaing merasakan adanya tekanan atau melihat peluang untuk memperbaiki posisi. Artinya perusahaan saling tergantung satu sama lain (mutualy dependent). Ada beberapa hal yang mempengaruhi tingkat persaingan dalam industri yaitu jumlah pesaing, high exit cost, dan diferensiasi produk. Jumlah pesaing menunjukkan semakin banyak jumlah pesaing maka tingkat persaingan akan semakin tinggi, sebaliknya jika jumlah pesaing sedikit maka tingkat persaingan rendah. High Exit Cost menunjukkan semakin tinggi biaya untuk menutup bisnis maka jumlah pemain dalam industri tersebut akan semakin sedikit karena mereka tidak bisa dengan sembarangan masuk ke dalam industri tersebut. Namun, hal ini juga menyebabkan para pemain yang telah masuk ke dalam industri tersebut harus berjuang keras agar bisnis dan perusahaan mereka tidak bangkrut. Diferensiasi produk menunjukkan apabila produk yang dijual di pasar yang sama namun tidak memiliki keunikan maka persaingan akan menjadi semakin ketat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat persaingan dalam industri (Peng, 2009). Pertama, jika pesaing memiliki skala atau ukuran yang sama dan produk yang ditawarkan sama maka akan terjadi tingkat persaingan yang ketat dalam industri. Oleh karena itu, perusahaan harus menawarkan produk yang berbeda atau memiliki diferensiasi. Kedua, jika perkembangan industri lamban atau menurun maka akan menyulitkan pemain dalam suatu industri karena mereka harus berebut pasar. b. Threat of New Entrants (Ancaman Pendatang Baru) Pendatang baru adalah seseorang atau perusahaan yang mencoba masuk ke sebuah industri. Semakin berkembang industrinya, semakin menarik perhatian orang untuk masuk ke industri tersebut. Pendatang baru pada suatu industri akan membawa kapasitas baru, keinginan untuk merebut pangsa pasar, dan sering kali menuntut sumberdaya yang besar. Akibatnya harga jual dapat menjadi turun atau biaya menjadi lebih besar sehingga mengurangi kemampuanlabaan. Perusahaan-perusahaan yang melakukan diversifikasi melalui akuisisi ke dalam industri dari
pasar lain seringkali memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menimbulkan kegoncangan di pasar lain tersebut. Jadi, akuisisi ke dalam suatu industri dengan tujuan membangun posisi pasar harus dipandang sebagai pendatang baru meskipun tidak menciptakan suatu lingkungan yang benarbenar baru. Hal-hal penting yang dapat menimbulkan ancaman pendatang baru adalah skala ekonomi. biaya beralih, akses menuju saluran distribusi, dan kebijakan pemerintah. Skala Ekonomi, apabila skala usaha para pemain lama sudah besar maka akan sulit bagi pemain baru untuk masuk ke dalam industri tersebut. Biaya Beralih atau Switching Cost merupakan biaya yang dikeluarkan pembeli untuk pindah dari satu suplier ke suplier yang lainnya. Semakin besar biaya beralih semakin sulit bagi pemain baru untuk masuk ke dalam industri tersebut. Akses menuju saluran distribusi menunjukkan semakin mudah menuju saluran distribusi maka akan memudahkan pemain baru untuk masuk dalam industri tersebut. Contoh saluran distribusi industri fashion adalah mall, ruko, internet dan butik. Kebijakan Pemerintah menunjukkan semakin banyak kebijakan pemerintah yang berlaku untuk suatu industri maka akan semakin sulit bagi pemain baru untuk masuk ke dalam industri tersebut. Bagi pemain baru yang akan masuk dalam industri ini dapat dilakukan dengan menambahkan keunikan produknya atau melakukan diferensiasi produk. Faktor keberanian dari pemain baru juga sangat mempengaruhi kemungkinan datangnya ancaman. Kebanyakan pemain baru takut masuk ke dalam suatu industri karena pemain baru takut langsung dikalahkan oleh pemain lama (Peng, 2009). c. Bargaining Power of Buyer (Daya Tawar Pembeli) Daya tawar pembeli merupakan kemampuan pembeli untuk melakukan negosiasi. Daya tawar pembeli mempengaruhi daya saing perusahaan dalam suatu industri. Pembeli bersaing dengan industri dengan cara memaksa harga turun, tawar-menawar untuk mendapatkan mutu yang lebih baik, dan pelayanan yang lebih baik. Tuntutan pembeli ini pada akhirnya akan mengorbankan kemampuanlabaan industri. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kekuatan daya tawar pembeli yaitu jumlah pembeli, volume pembelian, dan switching cost. Jumlah pembeli menunjukkan semakin banyak jumlah pembeli, maka daya tawar pembeli akan makin lemah. Namun sebaliknya, jika jumlah pembeli sedikit maka daya tawar pembeli semakin kuat. Volume pembelian menunjukkan semakin banyak jumlah produk yang dibeli maka daya tawar pembeli akan semakin tinggi. Namun sebaliknya, apabila jumlah produk yang dibeli sedikit maka daya tawar pembeli akan semakin rendah. Switching Costs merupakan biaya yang diperlukan untuk beralih ke produk dengan merek lain. Peng menambahkan satu faktor yang mempengaruhi daya tawar pembeli yaitu nilai produk atau produk diferensiasi (Peng, 2009). Jika perusahaan tidak mampu memberikan price atau product value atau service yang baik kepada pembeli maka daya tawar pembeli akan semakin kuat. Begitu juga sebaliknya, apabila produk yang ditawarkan tidak memiliki diferensiasi maka daya tawar pembeli akan semakin kuat, begitu juga sebaliknya. Gambar 1 merupakan framework dari Porter’s five forces analysis. d. Threat of Subtitutes (Ancaman Produk Subtitusi) Semua perusahaan dalam suatu industri bersaing dengan industri-industri yang menghasilkan produk pengganti. Produk subtitusi adalah produk pengganti atau produk alternatif. Misalnya, produk subtitusi coca-cola adalah pepsi atau subtitusi teh adalah kopi. Produk pengganti membatasi laba potensial dari industri dengan menetapkan harga pagu (ceiling price) yang dapat diberikan oleh perusahaan dalam industri. Makin menarik alternatif harga yang ditawarkan oleh produk pengganti, makin ketat pembatasan laba industri. Ada beberapa hal yang mempengaruhi ancaman produk subtitusi yaitu kualitas dan fungsi produk subtitusi, biaya beralih, dan brand loyalty. Kualitas dan Fungsi Produk Subtitusi menunjukkan semakin baik kualitas dan fungsi produk subtitusi maka tingkat ancaman ke dalam industri akan semakin tinggi. Namun, jika kualitas dan
fungsi produk subtitusi mendekati produk yang sebenarnya maka pembeli akan dengan mudah beralih ke produk subtitusi. Biaya Beralih atau Switching Costs menunjukan apabila switching cost ke produk subtitusi rendah maka tingkat ancaman ke dalam industri semakin tinggi karena pembeli bisa dengan mudah beralih ke produk subtitusi. Kemudahan ini karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk beralih ke produk subtitusi. Brand Loyalty merupakan kesetiaan masyarakat terhadap suatu merek. Brand loyalty membuat masyarakat sulit untuk beralih ke produk dengan merek lain. Produk pengganti yang perlu mendapatkan perhatian besar adalah produk-produk yang: (1) mempunyai kecenderungan memiliki harga atau kinerja produk yang lebih baik dibandingkan dengan produk industri, dan (2) dihasilkan oleh industri yang mempunyai laba tinggi. e. Bargaining Power of Supplier (Daya Tawar Suplier) Daya tawar suplier adalah kemampuan suplier untuk bisa menaikkan harga, menurunkan pelayanan, dan menurunkan kualitas produk yang suplier berikan kepada perusahaan. Daya tawar suplier mempengaruhi kemampuan bersaing sebuah perusahaan dalam suatu industri. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kekuatan daya tawar suplier yaitu jumlah suplier, switching cost, ada tidaknya barang subtitusi, dan kemampuan suplier untuk melakukan integrasi ke depan. Jumlah Suplier menunjukkan semakin banyak jumlah suplier maka daya tawar suplier akan semakin menurun. Namun sebaliknya, jika jumlah suplier sedikit maka daya tawar suplier akan semakin tinggi. Switching Cost merupakan biaya yang diperlukan untuk berlaih ke suplier lain dalam suat industri. Ada tidaknya barang subtitusi menunjukkan jika terdapat banyak barang subtitusi menyebabkan daya tawar suplier menjadi lemah. Namun, jika sedikit barang subtitusi menyebabkan daya tawar suplier menjadi kuat. Kemampuan suplier untuk melakukan integrasi kedepan menunjukkan apabila suplier mampu menjual produk langsung ke pasar maka suplier akan memiliki daya tawar yang kuat. Namun, jika suplier tidak mampu menjual produk langsung ke pasar maka suplier akan memiliki daya tawar yang lemah. 2.3. Pengaruh Kompetitor Terhadap Strategi Bersaing Semakin banyak kompetitor akan semakin ketat tingkat persaingannya (Porter, 1980). Apalagi bila ukuran perusahaan dan produk yang ditawarkan sama serta industrinya sedang menurun (Peng, 2009). H1: Kompetitor memiliki pengaruh terhadap strategi bersaing 2.4. Pengaruh Pendatang Baru Terhadap Strategi Bersaing Semakin berkembang industri akan semakin menarik perhatian orang atau perusahaan untuk masuk (Porter, 1980). Apalagi bila pendatang baru memiliki keberanian dan produknya mempunyai keunikan (Peng, 2009) maka akan semakin banyak pendatang baru yang masuk. H2: Pendatang baru memiliki pengaruh terhadap strategi bersaing bersaing 2.5. Pengaruh Pembeli Terhadap Strategi Bersaing Semakin besar kemampuan pembeli untuk bernegosiasi dengan perusahaan akan semakin besar pengaruhnya terhadap daya saing perusahaan (Porter, 1980). Apalagi bila perusahaan tidak mampu memberikan harga atau nilai produk yang baik kepada pembeli. Begitu juga bila produk yang ditawarkan tidak memiliki diferensiasi (Peng, 2009). H3: Pembeli memiliki pengaruh terhadap strategi bersaing 2.6. Pengaruh Produk Subtitusi Terhadap Strategi Bersaing Semakin baik kualitas dan fungsi barang subtitusi maka tingkat persaingan akan semakin ketat (Porter, 1980). Apalagi bila biaya untuk beralih ke produk lain rendah. H4: Produk subtitusi memiliki pengaruh terhadap strategi bersaing
2.7. Pengaruh Suplier Terhadap Strategi Bersaing Daya tawar suplier mempengaruhi kemampuan bersaing perusahaan (Porter, 1980). Suplier yang kuat akan mampu meminta kenaikan harga, menurunkan pelayanan, dan menurunkan kualitas produk yang diberikan kepada perusahaan. Semakin banyak jumlah suplier maka daya tawar suplier akan semakin menurun. H5: Suplier memiliki pengaruh terhadap strategi bersaing 3. Metode Penelitian 3.1. Jenis Penelitian Untuk mempotret struktur industri tas kamera di Indonesia dan untuk menganalisis besarnya pengaruh kekuatan para pelaku dalam struktur industri tas kamera terhadap strategi bersaing maka akan digunakan penelitian trianggulasi. 3.2. Populasi dan Sampel Ada lima struktur industri yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kompetitor (13 perusahaan), pendatang baru, pembeli, produk subtitusi (2 perusahaan), dan suplier utama untuk bahan cordura, nilon, kulit imitasi. dan kulit. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling. Cluster sampling digunakan didasarkan pada jenis struktur industrinya yang terbagi menjadi kompetitor (pesaing dalam industri), pendatang baru, pembeli, produk subtitusi, dan suplier.
3.3. Metode Pengumpulan Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode kuisioner dan indepth interview. Kuisioner disusun dengan menggunakan skala likert dan disebarkan pada kompetitor (pesaing dalam industri), pendatang baru, pembeli, produk subtitusi, dan suplier. Setelah kuisioner dibagikan dan dianalisa kemudian dilakukan Indepth interview untuk mendapatkan potret yang jelas tentang peta pesaingan dalam industri tas kamera. 3.4. Pengukuran Variabel Pengukuran variabel penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan perseptual dimana didasarkan atas persepsi para kompetitor, pendatang baru, pembeli, produk subtitusi, dan suplier pada sampel yang telah ditetapkan. Variabel penelitian terbagi dua yaitu variabel dependen yaitu strategi bersaing (Y) dan variabel independen adalah: daya tawar supplier (X1), daya tawar pembeli (X2), ancaman pendatang baru (X3), ancaman barang subtitusi (X4) dan persaingan dalam industri (X5). Indikator dalam penelitian ini mengacu pada Cunningham (2012), Alrawasdeh (2013), dan Kodrat (2009). Strategi bersaing (Y) adalah keunggulan relatif dibandingkan dengan perusahaan dalam suatu industri. Indikator yang digunakan untuk mengukur strategi bersaing adalah: perolehan bahan baku yang murah, jaringan pemasaran yang murah, nilai produk dan kemampuan pemasaran yang baik. Daya tawar suplier (X1) adalah kemampuan relatif suplier dalam suatu industri. Indikator yang digunakan untuk mengukur daya tawar suplier adalah: jumlah suplier, kemampuan suplier untuk langsung menjual produk ke pasar, dan kemudahan untuk berpindah ke produk suplier lain. Daya tawar pembeli (X2) adalah kemampuan relatif pembeli dalam suatu industri. Indikator yang digunakan untuk mengukur daya tawar pembeli adalah: jumlah pembeli, produk memiliki keunikan, pengetahuan atau informasi tentang produk kita, dan kemudahan untuk beralih ke produk kompetitor lain. Ancaman pendatang baru (X3) adalah perusahaan yang mencoba masuk ke dalam industri. Indikator yang digunakan untuk mengukur ancaman pendatang baru adalah: loyalitas pelanggan terhadap merek, biaya untuk membuka bisnis baru, dan ketentuan membuka usaha dan kebutuhan akan lisensi.
Ancaman barang subtitusi (X4) adalah barang pengganti atau barang alternatif atau barang yang memiliki fungsi hampir sama. Indikator yang digunakan untuk mengukur ancaman barang subtitusi adalah: kualitas dan fungsi produk dibandingkan produk subtitusi, biaya yang diperlukan untuk beralih ke produk lain, dan loyalitas pelanggan terhadap produk. Persaingan dalam industri (X5) adalah persaingan dengan para pemain bisnis yang ada dalam suatu industri berupa persaingan dalam: iklan, harga, dan pelayanan. Indikator yang digunakan untuk mengukur persaingan dalam industri adalah: jumlah pesaing yang ada, keunikan produk yang dimiliki, ada tidak adanya pemimpin pasar, dan cepat atau tidaknya pertumbuhan industri. 3.5. Model dan Teknik Analisis Data Sebelum kuisioner dibagikan pada responden dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Adapun hasil uji validitasnya berikut ini. Tabel : Hasil Uji Validitas Indikator Penelitian / Daftar Pertanyaan
Nilai Korelasi
Sig.
Keterangan
X1.1. Terdapat sedikit suplier tas kamera
0.97
0,00
Valid
X1.2. Suplier langsung menjual produknya ke pasar
0.94
0,00
Valid
X1.3. Tidak mudah beralih ke suplier lain
0.92
0,00
Valid
X2.1. Sedikit orang yang membeli tas kamera
0.85
0,00
Valid
X2.2. Tas kamera tidak memiliki keunikan khusus
0.8
0,00
Valid
X2.3. Konsumen tidak mengerti informasi tentang tas kamera
0.86
0,00
Valid
X2.4. Mudah untuk beralih menggunakan tas kamera lain
0.81
0,00
Valid
X3.1. Pelanggan tidak loyal terhadap merek tas kamera tertentu
0.9
0,00
Valid
X3.2. Membutuhkan biaya yang tidak besar untuk membuka bisnis baru
0.9
0,00
Valid
X3.3. Tidak membutuhkan lisensi untuk membuka bisnis tas kamera
0.87
0,00
Valid
X4.1. Tas kamera memiliki kualitas dan fungsi yang sama dengan tas biasa
0.85
0,00
Valid
X4.2. Membutuhkan biaya yang tidak besar untuk beralih ke produk subtitusi
0.88
0,00
Valid
X4.3. Konsumen tidak loyal terhadap tas kamera merek tertentu
0.94
0,00
Valid
X5.1. Terdapat banyak merek tas kamera di pasaran
0.78
0,00
Valid
X5.2. Terdapat merek tas kamera yang selalu dibeli konsumen
0.81
0,00
Valid
X5.3. Pertumbuhan industri tas kamera berkembang sangat pesat
0.78
0,00
Valid
Y1.1. Harga tas kamera tertentu sangat murah
0.75
0,00
Valid
Y1.2. Biaya pengiriman tas kamera tertentu murah
0.83
0,00
Valid
Y1.3. Tas kamera tertentu memiliki keunggulan mutu dan kualitas
0.82
0,00
Valid
Y1.4. Tas kamera tertentu melakukan promosi dengan baik
0.76
0,00
Valid
Catatan: Tingkat signifikansi 5% Berdasarkan uji validitas ini, semua butir pertanyaan dinyatakan valid. Tabel berikut ini menunjukkah hasil uji reliabilitas. Tabel : Hasil Uji Reliabilitas Indikator Penelitian / Daftar Pertanyaan
Cronbach Alpha (CA)
CA if item Deleted.
Keterangan
X1.1. Terdapat sedikit suplier tas kamera
0.93
0.85
Reliabel
X1.2. Suplier langsung menjual produknya ke pasar
0.93
0.93
Reliabel
X1.3. Tidak mudah beralih ke suplier lain
0.93
0.92
Reliabel
X2.1. Sedikit orang yang membeli tas kamera
0.85
0.8
Reliabel
X2.2. Tas kamera tidak memiliki keunikan khusus
0.85
0.83
Reliabel
X2.3. Konsumen tidak mengerti informasi tentang tas kamera
0.85
0.79
Reliabel
X2.4. Mudah untuk beralih menggunakan tas kamera lain
0.85
0.82
Reliabel
X3.1. Pelanggan tidak loyal terhadap merek tas kamera tertentu
0.87
0.81
Reliabel
X3.2. Membutuhkan biaya yang tidak besar untuk membuka bisnis baru
0.87
0.79
Reliabel
X3.3. Tidak membutuhkan lisensi untuk membuka bisnis tas kamera
0.87
0.84
Reliabel
X4.1. Tas kamera memiliki kualitas dan fungsi yang sama dengan tas biasa
0.85
0.83
Reliabel
X4.2. Membutuhkan biaya yang tidak besar untuk beralih ke produk subtitusi
0.85
0.78
Reliabel
X4.3. Konsumen tidak loyal terhadap tas kamera merek tertentu
0.85
0.76
Reliabel
X5.1. Terdapat banyak merek tas kamera di pasaran
0.7
0.67
Reliabel
X5.2. Terdapat merek tas kamera yang selalu dibeli konsumen
0.7
0.54
Reliabel
X5.3. Pertumbuhan industri tas kamera berkembang sangat pesat
0.7
0.6
Reliabel
Y1.1. Harga tas kamera tertentu sangat murah
0.75
0.76
Reliabel
Y1.2. Biaya pengiriman tas kamera tertentu murah
0.83
0.72
Reliabel
Y1.3. Tas kamera tertentu memiliki keunggulan mutu dan kualitas
0.82
0.72
Reliabel
Y1.4. Tas kamera tertentu melakukan promosi dengan baik
0.76
0.78
Reliabel
Catatan: Reliabel bila cronbach alpha > cronbach alpha if item deleted Berdasarkan uji reliabilitas ini, semua butir pertanyaan dinyatakan reliabel. Setelah seluruh butir pertanyaan dinyatakan valid dan reliabel, selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan analisis regresi berganda. Model regresi berganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Y= α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + ε Y: Strategi Bersaing α: Konstanta β1: Koefisien regresi untuk daya tawar suplier. β2: Koefisien regresi untuk daya tawar pembeli. β3: Koefisien regresi untuk ancaman pendatang baru. β4: Koefisien regresi untuk ancaman barang subtitusi. β5: Koefisien regresi untukpersaingan dalam industri. X1: Daya tawar suplier X2: Daya tawar pembeli X3: Ancaman pendatang baru X4: Ancaman barang subtitusi X5: Persaingan dalam industri ε : Standar error Untuk mengukur pengaruh antara variabel dilakukan pengujian hipotesis dengan uji F dan uji t. Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas dalam model secara bersamaan mempengaruhi variabel terikat. Uji t digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas mempengaruhi variabel terikat. Tingkat keeratan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat ditunjukkan dengan koefisien korelasi (R). Untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variabel terikat ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R2). Untuk mendapatkan model regresi yang baik dan benar-benar mampu memberikan estimasi yang handal dan tidak bias sesuai dengan kaidah Best Linier Unbiased Eslimator (BLUE) dan
untuk meyakini bahwa model regresi yang diperoleh mempunyai kemampuan untuk memprediksi, maka model tersebut harus memenuhi asumsi-asumsi yang melandasinya. Pelanggaran terhadap asumsi berarti model yang diperoleh tidak banyak bermanfaat dalam pengambilan keputusan. Uji asumsi klasik yang dilakukan adalah uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinieritas, dan uji heterokedastisitas. Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah model regresi nilai residual memiliki distribusi normal. Jika nilai residual tidak berdistribusi normal maka bisa dikatakan bahwa ada masalah dalam asumsi normalitas sehingga uji statistik yang dilakukan tidak valid. Uji ini dilakukan dengan uji Kolmogorov Smirnov. Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui adanya korelasi antara kesalahan pada periode t dan periode sebelum t (t-1). Apabila model memiliki autokorelasi maka model dianggap tidak layak dan tidak baik untuk memprediksi karena akan menyebabkan penaksiran menjadi tidak efisien, uji F dan uji t menjadi tidak sah dan jika diterapkan dapat memberikan kesimpulan yang menyesatkan mengenai arti statistik dari koefisien regresi yang ditaksir. Uji ini dilakukan dengan uji Durbin Watson. Uji Multikolinieritas digunakan untuk mengetahui adanya korelasi antara variabel bebas dalam model regresi. Semakin kuat hubungan antar variabel bebas maka akan semakin sulit untuk membuat kesimpulan dari masing-masing koefisien regresi yang pada akhirnya akan berdampak pada variabel terikat. Multikolinieritas biasanya terjadi ketika sebagian besar variabel yang digunakan saling terikat dalam suatu model regresi. Indikasi masalah multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF (Variace Inflation Factor). Uji Heterokedastisitas adalah uji mengenai sama atau tidak varians dari residual dari observasi yang satu dengan observasi yang lain. Jika residualnya mempunyai varians yang sama disebut terjadi homokedastisitas dan jika variansnya tidak sama atau berbeda disebut terjadi heterokedastisitas. Jika terjadi heterokedastisitas maka akan menyebabkan varians yang diperoleh menjadi tidak efisien atau tidak minimum dan cenderung membesar. Jika varians cenderung membesar maka akan menyebabkan uji hipotesis menjadi tidak valid. Uji ini dilakukan dengan scatter plot. 4. Hasil dan Diskusi Penelitian Hasil analisis regresi berganda untuk mengetahui pengaruh daya tawar suplier (X1), daya tawar pembeli (X2), ancaman pendatang baru (X3), ancaman barang subtitusi (X4), dan persaingan dalam industri (X5) terhadap strategi bersaing ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1: Hasil Analisis Regresi Berganda Unstandardized Coefficients Model B Std. Error
Standardized Coefficients
t
Sign
VIF
Beta
X1
-0.17
0.08
-0.23
-2.03
0.05
1.23
X2
-0.23
0.09
-0.28
-2.48
0.02
1.21
X3
-0.19
0.09
-0.25
-2.05
0.05
1.45
X4
-0.03
0.08
-0.04
-0.41
0.69
1.03
X5
-0.42
0.11
-0.42
-3.88
'0.00
1.12
Konstanta
6.83
0.55
12.41
'0.00
11.96
'0.00
F 2
R Square (R )
0.61
Durbin- Watson
2.14
Kolmogorov Smirnov 0.66 Keterangan: Variabel dependen = Strategi bersaing Sumber: Data olahan SPSS
0.78
Hasil uji asumsi klasik untuk uji normalitas dengan uji kolmogorov smirnov menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0.78 > 0.05 sehingga dapat disimpulkan residual model regresi berdistribusi normal. Untuk uji autokorelasi dengan uji Durbin-Watson nilainya sebesar 2.141 di antara nilai 1.55 dan 2.46 sehingga dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi dalam model regresi. Untuk uji multikolinieritas nilai VIF < 10 sehingga dapat disimpulkan dalam model regresi tidak ada multikolinieritas. Untuk uji heteroskedastisitas dengan scatter plot menghasilkan titik-titik yang tidak membentuk pola tertentu serta menyebar di atas dan di bawah angka nol sumbu Y, maka dapat disimpulkan tidak ada heteroskedastisitas pada model regresi. Dari hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model regresi baik dan benar-benar mampu memberikan estimasi yang handal dan tidak bias sesuai dengan kaidah Best Linier Unbiased Eslimator (BLUE) dan mempunyai kemampuan untuk memprediksi. Hasil uji F menunjukkan bahwa daya tawar suplier (X1), daya tawar pembeli (X2), ancaman pendatang baru (X3), ancaman produk subtitusi (X4) dan persaingan dalam industri (X5) secara bersama-sama memiliki pengaruh signifikan terhadap strategi bersaing (Y). Dari hasil uji t menunjukkan semua variabel bebas memiliki pengaruh signifikan terhadap strategi bersaing kecuali ancaman produk subtitusi (X4). Dari model summary menunjukkan koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0.611 menunjukkan kemampuan daya tawar suplier (X1), daya tawar pembeli (X2), ancaman pendatang baru (X3), ancaman produk subtitusi (X4), dan persaingan dalam industri (X5) dalam menjelaskan strategi bersaing (Y) sebesar 61.1% sedangkan sisanya 38.9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Dari hasil koefisien korelasi parsial, yang paling besar pengaruhnya terhadap strategi bersaing adalah persaingan dalam industri (X5) sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 2. Threat of New Entrants
Industry Competitors
-0,187
Bargaining Power of Suplier
-0,420 STRATEG I BERSAIN G
-0,166
Bargaining Power of Buyer -0,226
-0,034 Threat of Subtitutes
Gambar 2: Struktur Kekuatan Industri Tas Kamera di Indonesia Gambar 2 menunjukkan nilai koefisien regresi daya tawar suplier (X1) terhadap strategi bersaing sebesar -0,166 artinya jika daya tawar suplier (X1) naik satu satuan (semakin kuat), maka
strategi bersaing (Y) akan turun sebesar 0,166, dengan asumsi keempat variabel bebas lainnya dalam keadaan konstan atau tidak berubah. Nilai koefisien regresi daya tawar pembeli (X2) terhadap strategi bersaing sebesar -0,226 artinya jika daya tawar pembeli (X2) naik satu satuan (semakin kuat), maka strategi bersaing (Y) akan turun sebesar 0.226 dengan asumsi keempat variabel bebas lainnya dalam keadaan konstan atau tidak berubah. Nilai koefisien regresi ancaman pendatang baru (X3) terhadap strategi bersaing sebesar 0,187 artinya jika ancaman pendatang baru (X3) naik satu satuan (semakin kuat), maka strategi bersaing (Y) akan turun sebesar 0.187 dengan asumsi keempat variabel bebas lainnya dalam keadaan konstan atau tidak berubah. Nilai koefisien regresi ancaman produk subtitusi (X4) terhadap strategi bersaing sebesar -0,034 artinya jika ancaman produk subtitusi (X4) naik satu satuan (semakin kuat), maka strategi bersaing (Y) akan turun sebesar 0.034 dengan asumsi keempat variabel bebas lainnya dalam keadaan konstan atau tidak berubah. Nilai koefisien regresi persaingan dalam industri (X5) terhadap strategi bersaing sebesar -0,420 artinya jika persaingan dalam industri (X5) naik satu satuan (semakin kuat), maka strategi bersaing (Y) akan turun sebesar 0.420 dengan asumsi keempat variabel bebas lainnya dalam keadaan konstan atau tidak berubah. Gambar 2 menunjukkan bahwa strategi bersaing industri tas kamera sangat dipengaruhi oleh persaingan dalam industri itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dalam industri tas kamera di Indonesia selalu ada kompetitor yang berlomba untuk mendapatkan posisi seperti meluncurkan produk baru, memberikan fasilitas tambahan (seperti tudung hujan), meningkatkan jaminan kepada pelanggan, ataupun bersaing dalam hal harga. Persaingan ini terjadi karena satu atau lebih pesaing merasakan adanya tekanan atau melihat peluang untuk memperbaiki posisinya dalam industri tas kamera. Artinya perusahaan saling tergantung satu sama lain (mutualy dependent). Bila suatu perusahaan akan menggunakan strategi cost leadership atau diferensiasi untuk meraih keunggulan bersaing, maka perusahaan tersebut harus secara konsisten mempertahankan strategi tersebut. Bila kompetitornya membuat produk tas kamera yang lebih unik atau menjual tas kamera yang lebih murah maka perusahaan tersebut dapat dikatakan kurang responsif terhadap perubahan struktur industrinya. Untuk itu, perusahaan sebaiknya secara rutin mengevaluasi struktur industrinya dengan menerapkan bisnis inteligen agar menjadi perusahaan yang dinamis memimpin perubahan struktur industrinya. Untuk menerapkan strategi overall cost leadership, perusahaan perlu memperhatikan keterampilan dan sumber daya perusahaan dan organisasi perusahaan. Keterampilan dan sumber daya yang diperlukan adalah (Kodrat, 2009): (1) investasi modal yang terus menerus dan akses ke modal, (2) keterampilan perekayasaan proses, (3) supervisi tenaga kerja yang ketat, (4) produk didesain untuk kemudahaan dalam produksi dan (5) sistem distribusi yang berbiaya rendah. Persyaratan organisasi yang diperlukan adalah: (1) pengendalian biaya yang ketat, (2) laporan yang rutin dan laporan pengendalian yang rinci, dan (3) insentif berdasarkan target kuantitatif yang ketat. Sebagai contoh perbandingan harga tas kamera lokal dengan tas kamera impor berikut ini. Merekmerek tas kamera impor seperti Lowepro, Crumpler Keystone, Tamrac, dan National Geographic harga jualnya bisa lebih dari Rp1.000.000,00 sebaliknya tas kamera lokal dengan merek Eibag hanya dijual dengan harga Rp170.000,00 – Rp350.000,00. Jika dihitung dari harga termahal tas kamera lokal dengan harga termurah tas kamera impor, maka harga tas kamera lokal 4 kali lebih murah dengan kualitas yang berbeda tipis (Majalah Pengusaha Indonesia, 2012). Tabel 4: Perbandingan Harga Berbagai Merek Tas Kamera 2014 No Merek Tas Kamera Termurah
Termahal
Merek Global 1
Lowepro (Clip 140 – Flipside 400 AW)
Rp220.900
Rp1.359.000
2
Crumpler (Thirsty AL – Brazillion Dollar)
Rp305.560
Rp5.482.834,00
3
Tamrac (Aero Zoom 20 – 3385 Aero 85)
Rp225.339
Rp1.652.850
4
National Geographic (NG 1146 - A5270)
Rp300.900
Rp2.856.786
5
Vanguard (Dakar 5B – Xcenior 62T)
Rp139.000
Rp3.994.938
6
Winner (Armor A S1552)
Rp751.275
7
Canon (DSLR Canon – XL H, JVC HD
Rp175.310
8
Nikon (DSLR)
Rp2.150.688
Rp90.135
Merek Lokal 1
Eibag (1726 Hitam - 1732)
Rp185.000
Rp450.000
2
Eiger (D300 - 3338)
Rp190.000
Rp325.000
3
Consina (boot -firewall)
Rp105.000
Rp450.000
4
Caseman (CA 05 – CA 11)
Rp230.000
Rp360.000
5 Quarzel (Sierra - Potlatch) Rp180.000 Rp549.000 Sumber: http://www.telunjuk.com/all/jual/crumpler_:_portofolio:tas/24 ; http://www.quarzel.com/ ; dan http://www.tokopedia.com/ Berdasarkan Tabel 4, bila perusahaan saat ini menerapkan strategi keunggulan biaya maka akan sangat berat karena produk dengan merek import pun sudah ada yang harganya dibawah Rp100.000,00. Sebaliknya strategi diferensiasi lebih fokus pada pelanggan ketimbang pada biaya. Strategi ini berusaha untuk membangun persepsi pelanggan akan keunggulan kualitas, desain produk, teknologi, jaringan distribusi, berat, bahan, dan pelayanan. Bila perusahaan mengimpelemtasikan strategi ini, maka perusahaan dapat menaikkan harga untuk mendapatkan keuntungan yang optimal tetapi harus menciptakan produk yang bagi pelanggan tampak berbeda ketimbang produk lain yang sudah ada. Perbedaan atau ciri khas produk inilah yang akan dibayar mahal dan menjadi suatu persepsi tersendiri bagi pelanggan. Jika suatu saat produk-produk yang sudah dipersepsi berbeda oleh pelanggan menurunkan harga, maka pelanggan akan meragukan mutu produk tersebut. Untuk menerapkan strategi diferensiasi, perusahaan perlu memperhatikan keterampilan dan sumber daya dan organisasi perusahaan. Keterampilan dan sumber daya yang diperlukan adalah (Kodrat, 2009): (1) kemampuan pemasaran yang kuat, (2) bakat yang kreatif, (3)perekayasa produk, (4) kemampuan yang kuat dalam riset dasar, (5) reputasi perusahaan untuk kepemimpinan mutu dan teknologi, (6) tradisi yang lama dalam industri atau gabungan yang unik dari keterampilan yang diambil dari usaha-usaha yang lain, dan (7) kerjasama yang kuat dari saluran-saluran. Persyaratan organisasi yang diperlukan adalah: (1) koordinasi yang kuat antara fungsi-fungsi dalam riset dan pengembangan produk dengan pemasaran, (2) pengukuran dan insentif yang subyektif daripada tolak ukur kuantitatif, dan (3) suka untuk menarik tenaga yang berketerampilan tinggi, ilmuwan, dan orang-orang kreatif. Setelah melakukan analisis terhadap struktur kekuatan industri tas kamera, berikutnya adalah memotret kelima struktur kekuatan dalam industri tas kamera. Adapun potret kelima stuktur kekuatan dalam industri tas kamera berikut ini. Daya Tawar Suplier Tas Kamera (X1) Daya tawar suplier adalah kemampuan suplier untuk bisa menaikkan harga, menurunkan pelayanan, dan menurunkan kualitas produk yang suplier berikan kepada perusahaan tas kamera. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kekuatan daya tawar suplier tas kamera yaitu jumlah suplier, switching cost, ada tidaknya barang subtitusi, dan kemampuan suplier untuk melakukan integrasi ke depan. Secara nasional API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) memiliki anggota kurang lebih 1.070 perusahaan TPT (berskala besar dan menengah) dan ± 500 Usaha Kecil Menengah (UKM), TPT
yang terdiri dari sektor fiber (serat), sektor spinning (pemintalan), sektor weaving (pertenunan), sektor knitting/embroidery (perajutan/pembordiran), sektor dyeing/printing/finishing (pencelupan/pencetakan/penyempurnaan), sektor pembatikan, sektor garment (pakaian jadi), dan sektor pembuat tekstil jadi lainnya (http://apidki-jakarta.weebly.com/). Daya saing suplier ditentukan oleh jenis dan kualitas material yang dihasilkan. Secara garis besar material utama tas kamera berdasarkan bahan pembuatannya dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) bahan dari tumbuh-tumbuhan (kapas, lenan, rayon, nanas, dan pisang) seperti: Blaco, Mori, Poplin, Berkolin, Sanforis, Tobralco, Matting, Drill, Voile, Edel katun, dan Tetra dimana sifatnya adalah: kuat, tahan cuci, tahan panas / setrika, dan mudah menyerap keringat; (2) bahan dari binatang seperti: Wol dan Sutra dimana sifatnya adalah: kuat namun tidak tahan cuci, tidak tahan panas / setrika, mudah mengisap keringat, jika dibakar berbau seperti tanduk dibakar, sulit dalam pemeliharaan, tidak tahan obat-obatan, tidak dapat dikelantang dan direbus / direndam air panas; dan (3) bahan sintetis / buatan seperti: Nilon, Tetoron, Tetrex, Decron, Orlon, Kain renda, Rayon, Crepe, Bemberg, Organsa dan Brokat, dimana sifatnya adalah: kuat, tahan cuci, tidak tahan panas / setrika, tidak menghisap keringat, jika dibakar berbau asam dan merangsang hidung. Umumnya bahan yang digunakan untuk membuat tas adalah : Bahan Dinier, Bahan Ribstop, Bahan Good Soft Lexus, Bahan Dolby, Bahan Cordura, dan Bahan Nylon. Dari enam jenis bahan tersebut, terbagi lagi jenis dan harganya. Sederhananya semakin tebal dan semakin lembut tekstur bahannya, semakin mahal harga bahan tersebut. Jika disederhanakan, bahan dinir lebih murah daripada bahan nylon karena bahan nylon lebih lembut tekstur dan permukaannya sedikit bergelombang dibandingkan bahan dinir. Bahan yang digunakan selain berasal dari produk lokal seringkali pula menggunakan bahan impor yang kualitasnya lebih bagus dan lebih mahal. Jenis bahan di tiap-tiap negara mewakili kualitasnya. Oleh karena itu, belum tentu bahan maupun produk yang berasal dari luar negeri lebih berkualitas daripada produk dalam negeri. Bahan-bahan dalam negeri khususnya Indonesia, lebih seringnya diekspor ke luar negeri seperti negara-negara Eropa dan Asia, daripada digunakan sendiri. Jenis Denier terdiri dari: D 70, D 300, D 420, dan D 600. Semakin tinggi angka yang mengikuti huruf “D” menandakan bahan tersebut semakin kuat dan tahan lama dibandingkan dengan jenis bahan tas dengan angka yang lebih rendah. Bahan Ribstop adalah bahan jenis nylon. Kain ini tersedia dalam berbagai tekstur dan warna. Bahan ini cocok untuk berbagai keperluan termasuk: pakaian, bendera, peralatan berkemah, seragam pertempuran, dan bahkan layar kapal pesiar. Berbagai tekstur memungkinkan produsen untuk memilih jenis untuk memproduksi barang-barang tertentu seperti pakaian atau parasut. Kain nylon Ripstop adalah bahan yang tahan air, tahan api, dan kedap udara. Katun dolby adalah campuran dari bahan katun dan polyester. Ciri utama dari katun dolby adalah terdapat motif serat yang menarik (kotak, garis, abstrak). Cordura adalah nama merek untuk bahan kain yang digunakan dalam berbagai macam produk termasuk koper, ransel, celana, pakaian militer dan pakaian yang dipergunakan untuk kebutuhan kinerja tingkat tinggi. Kain Cordura dikenal karena daya tahannya terhadap abrasi, rembesan air serta tahan lecet. Cordura awalnya dikembangkan dan terdaftar sebagai merek dagang dari EI deNemours duPont and Company (DuPont) pada tahun 1929 yang sekarang dimiliki oleh Invista (anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Koch Industries, Inc). Kain Cordura ini dibuat dari benang atau serat yang dibuat oleh Invista. Bahannya dapat dibuat dari serat sintetis 100% atau campuran dengan kapas atau serat alam lainnya. Untuk dapat menggunakan nama merek Cordura, bahan kain ini terlebih dahulu harus lulus uji dan disetujui oleh Invista. Nylon adalah bahan yang lebih kuat dari polyester. Banyak yang belum memahami perbedaan Nylon dan Polyester yang merupakan serat paling populer digunakan dalam berbagai industri. Dalam bahasa indonesia biasanya disebut sebagai nilon dan poliester Walaupun banyak yang menganggap bahwa Nylon dan Polyester ini memiliki fungsi dan kekuatan yang hampir sama, namun banyak terdapat perbedaaan di antara keduanya. Perbedaan Nylon dan Polyester dapat dilihat dari: sisi kekuatan, bahan, keluwesan, dan media penggunaan. Dari sisi kekuatannya Nylon sedikit lebih kuat dari Polyester di bawah
tekanan dan bidang kerja yang stabil. Nylon memiliki ketahanan yang sangat baik terhadap abrasi, jamur, serangga, bahan kimia, jamur, dan bila dibakar nylon akan meleleh dan lebih cepat terbakar. Sebaliknya, polyester lebih cepat menyusut pada saat pemanasan. Dari segi bahannya: senyawa polyester dapat dibuat dari termoset maupun berbagai serat tanaman (kutikula) sedangkan Nylon terbuat dari bahan kimia. Polyester juga merupakan produk sintetis tetapi dapat dibuat juga dari berbagai serat tanaman. Dari segi keluwesan, Nylon memang lebih cocok digunakan untuk pekerjaan dengan latar yang tidak stabil atau landasan yang bergelombang karena nylon lebih fleksibel dan luwes. Nylon dapat meregang ketika besar gaya diterapkan tiba-tiba, dan kemudian kembali ke panjang aslinya. Peregangan dapat menyerap dan tidak mengubah kekuatan tarik tali. Berdasarkan media penggunaannya, Nylon dan polyester memiliki beberapa karakteristik di berbagai media penggunaan seperti air dan sinar matahari. Nylon atau pun poliester sangat cocok di gunakan di media air karena keduanya merupakan jenis tali wastafel. Perbedaannya Nylon menyerap air, sedangkan Poliester tidak. Kedua jenis ini sangat tahan terhadap sinar matahari, jauh lebih baik untuk serat alami. Perbedaannya Nylon akan mengalami kerusakan pada tingkat sinar matahari lebih tinggi, walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama. Keduanya sangat resisten terhadap jenis paparan, seperti bahan kimia. Daya Tawar Pembeli Tas Kamera (X2) Daya tawar pembeli merupakan kemampuan pembeli untuk melakukan negosiasi. Pembeli bersaing dengan industri dengan cara memaksa harga turun, tawar-menawar untuk mendapatkan mutu yang lebih baik, dan pelayanan yang lebih baik. Tuntutan pembeli ini pada akhirnya akan mengorbankan kemampuanlabaan industri. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kekuatan daya tawar pembeli yaitu jumlah pembeli, volume pembelian, dan switching cost. Di industri tas kamera, konsumen mempunyai banyak pilihan baik jenis, model, ukuran, bahan, dan merek. Akibatnya, konsumen dengan mudah mencoba-coba merek baru ketika mereka merasa ada yang kurang dengan tas yang ada. Hal ini diungkapkan secara jelas oleh Sigit Arif Wicaksono berikut ini: “Tas kamera “Apex 140 AW” cukup simpel dan nyaman saat dibawa jalan-jalan. Namun, tas ini tidak begitu banyak isinya. ... Tas ini sudah terasa gendut dan sesak sekali. Kelebihan tas slempang ini punya rain coat. Setelah tas ini, saya mengganti dengan tas slempang “Van Guard Pampas 57”. Tas ini lumayan mempunyai ruangan yang cukup lega dan bisa membawa banyak peralatan. ... , namun tas ini kalau di pakai lama akan membuat sakit pundak sebelah kanan. Tas ini ndak bisa di pindah posisinya. Namun cukup muat banyak gear yang bisa di bawa. Kemudian, saya mengganti ke “Kata 467i”, tas ini model backpack karena kebetulan saya banyak jalan maka saya berpikir mencari tas yang simpel tapi bisa sekalian membawa laptop biar tidak banyak tentengan, tas ini cukup nyaman untuk perjalanan jauh maupun traveling. Tas ini bisa membawa ..., karena tas ini punya sekat untuk memposisikan kamera kita dalam tas. Ada sekat antara bagian bawah dengan atas. Saat membawa lensa 80-200, saya harus membuka sekat antara atas dengan bawah karena lensa ini cukup panjang, akhirnya saya harus mengorbankan tempat penyimpanan accesoris di atas, yang sebelumnya saya pakai nyimpan ipad, serta kotak untuk batterai dan memory card. Namun bisa membawa lap top Mac 13 inchi, juga tas ini memiliki rain coat. Finally, saya mengganti lagi dengan tas backpack “Booq python blur”. Tas kamera ini memberikan cukup ruang yang besar untuk membawa alat kamera serta perlatan lainnya. dalam tas ini saya bisa membawa, 1 buah kamera (d300s) dengan lensa 17-50, lensa 18-270, lensa fix 50 mm, lensa 80-200, blits, lap top mac 13 inchi, ipad serta accesoris kamera. Kalau lagi bepergian jauh saya juga memasukkan 1 time capsule dan masih bisa membawa board 3 biji. Tas ini masih mempunyai ruang untuk menyimpan barang kecil lainnya. Untuk pemakaian lama cukup nyaman karena bantalan untuk punggungnya cukup tebal cuma jadi gampang berkeringat karena saya emang gampang keringatan. Tas ini yang saya pakai sampai sekarang ini.”
Alasan konsumen tas kamera beralih dari satu merek ke merek yang lain adalah: tas kamera tidak begitu banyak isinya, membuat sakit pengguna, tidak bisa dipindah-pindah dari pundak kanan ke pundak kiri, fasilitas tambahan seperti rain coat, dan tidak praktis. Alasan-alasan tersebut mendorong konsumen tas kamera berpindah dari satu model ke model yang lain. Yang juga tampaknya menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli tas kamera adalah daya tampung tas, terutama bagi konsumen yang senang jalan jauh dan travelling. Ungkapan ini menunjukkan bahwa konsumen tas kamera sangat mudah beralih dari satu merek ke merek yang lain. Bahkan terhadap merek asing pun, mereka mempunyai persepsi yang sama dengan merek lokal, sebagaimana ungkapan berikut ini: “Bikinan Lokal ? Ga masalah. Mungkin cuman beda "kehalusan" bahan dan “jahitan” serta restleting yang lebih "lancar". Tapi soal ketahanan, ya sami mawon... Kenyamanan? Nyaman aja tuh... Masing-masing tas udah bertugas 2 tahun dan masih akan bertugas” Senada dengan ungkapan di atas, Uchin Mahazaki mengungkapkannya berikut ini: “prinsip saya semua tas itu merk dan tipe apa saja akan nyaman kalau sesuai kapasitas dan peruntukannya.” Beda konsumen beda pendapat terkait dengan ukuran tas. Bagi Widianto H. Didiet, tas kamera tidak perlu terlalu besar, sebagaimana ungkapannya berikut ini: “... kelemahan tas ini adalah ukurannya yang terlalu besar. Jika hanya membawa satu kamera dengan satu lensa misalnya, maka tas menjadi kosong dan malah merepotkan. Jadi selanjutnya, aku nyoba nyari tas yang cocok untuk bawaan yang lebih sedikit, dimana “Computrekker” hanya aku gunakan untuk berpergian luar kota atau saat ada job yang membutuhkan peralatan komplit.” Baik tas besar ataupun tas kecil yang digunakan sangat ditentukan oleh kemampuan konsumen untuk menahan beban. Hal ini ini diungkapkan oleh Uchin Mahazaki berikut ini: “ ... semakin besar tas baik itu tas bahu ataupun tas punggung memang semakin bisa dijejali dengan banyak barang, tapi belum tentu bahu kita mampu menahan beban seperti kemampuan si tas. ... ” Bagi Muhammad Fariz memilih tas yang penting adalah kualitasnya cukup baik dan mempunyai tingkat kenyamanan tinggi. Sedangkan harga terkait dengan kualitas produknya. Adapun ungkapannya berikut ini: "saya pakai “Lowepro fastpack 100” dan “Crumpler 5 million dollar”, saya sih milih tas yang "cukup" bagus karena untuk kenyamanan pundak, bawa ... kadang bahkan ditambah ... pun saya masukin no problem masih nyaman di pundak. Dulu pas pertama pakai yang 150 ribuan, back pack pas awal-awal udah semangat, tapi lama-lama bikin pegal juga. Harga, kadang emang gak bisa dibohongi. Kalau menurut saya om, sebetulnya masih ada yang lebih tinggi lagi, sayangnya harga kurang sahabat seperti “Pacsafe” atau “Thinktank” Hal yang menarik adalah ungkapan Wilson. Pengalaman menggunakan suatu merek tidak mempengaruhi keputusan pembeliannya ketika Wilson akan mengganti dengan tas kamera baru. Wilson tidak memilih merek yang sudah dikenalnya. Meskipun pengalaman menggunakan merek yang baru tidak menyenangkan, Wilson ketika akan membeli tas kamera yang baru, tetap memilih merek yang lain. Adapun ungkapan Wilson tersebut berikut ini:
“Pertama kali sekali, sebelum punya DSLR, masih pake “Sony H1”, saya dibelikan “Lowepro” kategori toploader (serinya lupa), kemudian setelah akhirnya mampu beli DSLR+kit, tas tersebut ternyata kekecilan untuk dimasuki d80+18-135, bisa masuk dengan catatan stapnya dilepas atau dilipat sedemikian rupa. Karena keterbatasan dana, jadinya saya hanya pakai tas bekas “Camcorder Canon”, lumayan lah. Setelah akhirnya, ada rezeki nambah lensa lagi dan keperluan traveling. Saya memutuskan membeli “Compuday Pack”, cukup menyesal sih, spacenya terlalu sempit untuk gear-gear saya miliki dan punggung sangat menderita membawa gear+laptop 15'+charger walaupun pada akhirnya bisa menaklukan Bromo dan Kawah Ijen (lumayan bok, 17 kilo naik gunung salah bawa barang). Akhirnya, saya memutuskan menambah “Lowepro Nova 5 AW” karena pada saat itu ada keperluan ke luar negeri. Dalam keadaan full gear, awal-awal perjalanan tentu saja punggung saya menjerit-jerit pegal. Ujung-ujungnya, tas ini hanya saya gunakan bila terpaksa musti full gear saja, diluar itu saya usahakan pakai “Lowepro Edit 140” yang lumayan enteng. Sekarang udah nambah bodi lagi dan bingung mau beli tas kamera apa, pilihan saya sekarang masih antara “Fastpack 350” atau “Kata 467i”, mungkin ada saran?” Terkait dengan model tas kamera, konsumen tas kamera Arief Akbar Ali Rifai mempunyai pendapat yang sama dengan Sigit Arif Wicaksono yang mengatakan berikut ini: “ ... nambah macam flash, lensa-lensa manual, jadi terobsesi punya model backpack. Keliatannya juga keren gitu loh..he he he. Akhirnya, beli “Mini-Trekker 200”. Tapi lamalama males pake backpack. Repot kalo mau ganti-ganti lensa atau ambil aksesoris. Akhirnya dijual tuh. ... saya beli “Lowepro Nova 2” bekas temen. Lumayan nyaman. meski agak kecil. Saya juga udah terbiasa akhirnya untuk hanya membawa kamera dan lensa serta aksesoris pilihan sebelum di pake. Sisanya tinggal di rumah. Makin yakin sama model selempang. Simpel dan nyaman untuk hunting. ... “ Alex Pangestu menyatakan pendapatnya secara jelas terkait dengan model. Menurut Alex, model saja tidak cukup karena warna juga menjadi pertimbangan dalam memutuskan pembelian tas kamera. Adapun ungkapan Alex berikut ini: “ .... “Eiger” modelnya kaku, ngga ada yang modis, dan warnanya semua hitam. Pengennya ada yang modelnya modis dan warnanya ngga dominan hitam seperti “Crumpler” gitu.” Alasan konsumen memilih tas kamera juga terkait dengan hobi dan kebiasaan, kelainan tertentu yang dialaminya, dan keamanan. Ungkapan ini dinyatakan secara jelas oleh Leonardo Karahap berikut ini: “ . . . mengingat kebiasaan jelek saya yang doyan gonta-ganti lensa secara cepat, makanya milih sengaja pilih Slingshot. Supaya bisa akses cepat ke dalem tas tanpa perlu dilepas dari badan. ... ” Widianto H. Didiet mengungkapkannya sebagai berikut: “ ... Struktur tas juga sangat baik, keseimbangan dan bentuk yang pas dengan punggung sehingga mengurangi kepegalan kalau dibawa berjalan jauh. Cocok buat aku yang ada masalah dengan syaraf tulang belakang. Tudung hujan anti air yang di klaim merupakan paten dari “Lowepro” juga sangat berguna buat melindungi tas ini kala hujan lebat. ... Sebetulnya bisa saja menggunakan tas kecil merek asal yang banyak ditemui di toko ataupun kaki lima. Tapi kelebihan menggunakan merek “Lowepro” ini adalah, tas kecil mereka bisa dipasangkan di tas yang besar seperti “Computrekker” ataupun di offtrail misalnya, jadi
bisa menyatu. Bukan berarti aku fanatik merek, walaupun aku memang salut dengan kenyamanan dan kekuatan tas merek ini. Untuk itu aku mencoba tas yang bentuknya dan tentu mereknya tidak terlalu terlihat dan tidak ngetop sebagai tas pengangkut barang fotografi mahal. Aku mencoba “Pacsafe Camsafe 200” ... Tas ini bentuknya tidak terlihat seperti tas kamera, apalagi warnanya hijau jreng ... .Oh ya, kelebihan tas ini adalah keamanannya. “Pacsafe” melapisi strapnya dengan kawat baja, begitu pula bagian tasnya juga ada gembok terpasang. Sehingga akan menyulitkan bagi orang-orang jahil. ... Walaupun rada berat tapi layak untuk dipergunakan untuk sehari-hari. Bahkan jika tidak sedang mengangkut kamera.” Daya tawar pembeli pada industri tas kamera sangat kuat. Selain konsumen memperhatikan jenis, model, bahan, ukuran, dan merek, konsumen pun sangat memperhatikan tujuan penggunaan tas. Konsumen yang suka travelling akan memilih tas yang kapasitasnya besar namun mudah dimasukkan ke bagasi pesawat serta tidak membuat sakit penggunanya.
Ancaman Produk Substitusi (X4) Produk subtitusi adalah produk pengganti atau produk alternatif. Produk pengganti membatasi laba potensial dari industri dengan menetapkan harga pagu (ceiling price) yang dapat diberikan oleh perusahaan dalam industri. Makin menarik alternatif harga yang ditawarkan oleh produk pengganti, makin ketat pembatasan laba industri. Ada beberapa hal yang mempengaruhi ancaman produk subtitusi yaitu kualitas dan fungsi produk subtitusi, biaya beralih, dan brand loyalty. Salah satu ancaman produk substitusi pada tas kamera adalah permintaan untuk memproduksi tas vespa yang fungsinya membawa kamera dan juga tablet komputer. Produk substitusi tas kamera lainnya adalah dry box model travelling. Dry box digunakan oleh pencinta photography sekaligus suka travelling demi kepraktisan. Ada dua perusahaan yang memproduksi jenis ini yaitu: X dry di Surabaya dan Ultradry Silicagel di Jakarta. Persaingan dalam Industri (X5) Semakin banyak jumlah pesaing maka tingkat persaingan akan semakin tinggi, sebaliknya jika jumlah pesaing sedikit maka tingkat persaingan rendah. Produsen tas kamera di Indonesia ada tiga belas perusahaan tersebar di Pulau Jawa mulai dari Jawa Barat, Daerah Khusus Ibukota (DKI), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Tengah. Di Jawa Barat, ada tujuh produsen tas kamera yaitu: No
Produsen
Alamat
1
Eigner Bag Collection
Cigadog RT 03 RW 06 Desa Jangkurang, Leles – Garut 44152
2
Taskamera.info / Throjan
Jl. Wiradimaja No. 1 Bandung 40172
3
Gaban Bag Production
Kompleks Pasirpogor Blok RC – 3, Bandung 40296
4
Wiratas Collection
Jl. Paledang Bandung 40261
5
Taskameraku
Jl. Pajajaran Bandung 40173
6
Usaha Mandiri
Kopo Permai I, Blok J – 8, Bandung 40227
7
Taskamera.com
Jl. Citepus III No. 3, Bandung 40173
Di Jakarta, ada dua produsen tas kamera yaitu: No 1
Produsen Tas Kamera Jakarta
Alamat Jl. Menceng Raya RT 003/11 No. 27, Tegal alur, Kalideres, Jakarta Barat
2
Tas Promosi
Kosambi Baru Blok FX 2 No. 9, Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ada satu produsen tas kamera yaitu: No 1
Produsen Abekani.com
Alamat Potorono C-18, Jl. Wonosari Km. 8, Banguntapan, Yogyakarta 55196
Di Jawa Tengah, ada tiga produsen tas kamera yaitu: No
Produsen
Alamat
1
C.2 Fashion
Rembang
2
Rumah Tasku
Jl. Kedungmundu 100 Semarang 50210
3
Kaiross Zone
Jl. Perintis Kemerdekaan Tegal 52112
Secara geografis, produsen tas kamera di Jawa Barat terpusat di Bandung. Dengan banyaknya produsen tas kamera di Bandung membuat konsumen baik yang dipakai sendiri atau dijual kembali sangat mudah mendapatkan mode dan variasi tas kamera yang sangat beragam dari jenis, model, ukuran, bahan, dan merek dengan harga kompetitif. Dari jenis, tas kamera dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: tas kamera dsir, tas kamera prosumer, dan tas kamera poket. Dari segi model, muncul berbagai tas kamera mulai dari: tas koper, tas selempang (shoulder bag), tas pinggang, tas backpack, tas ransel, dan tas toploading. Dari segi ukuran, tas kamera terdiri dari berbagai macam ukuran mengikuti jumlah aksesori dan komponen yang dimiliki. Dari segi bahan, tas kamera dapat dibuat dari cordura, nilon, kulit asli, dan kulit imitasi. Dari merek lokal (Eibag, Eiger, Consina, Caseman, Quarzel, Thunder) hingga merek global (Lowepro, Crumpler, Nikon, Canon, Natgeo (National Geographic), Keystone, Tamrac, Vanguard, Winner). Bahkan akhir-akhir ini muncul beberapa merek lokal baru seperti Valltrex (Bandung), MIB (Bandung), MaxBag, Oagio, dan Zano (Yogyakarta). Faktor yang mempengaruhi persaingan dalam industri adalah intensitas persaingan dan hambatan masuk. Dari intensitas tingkat persaingan dalam industri tas kamera di Indonesia, persaingan akan sangat ketat terjadi pada perusahaan yang memiliki skala atau ukuran yang sama dan produk yang ditawarkan pun sama. Dari hambatan masuk industri tas kamera pun rendah. Modal awal untuk menjalankan bisnis tas kamera sebesar Rp15.500.000,00. Uang tersebut digunakan untuk investasi peralatan mesin jahit Rp2.000.000,00; perlengkapan jahit (gunting, jarum, dan lain-lain) Rp500.000,00; bahan baku awal (kain, benang, resliting, dan lain-lain) Rp3.000.000,00; dan biaya sewa tempat setahun Rp10.000.000,00. Kesimpulan Semua komponen dalam struktur industri tas kamera yang mencakup: daya tawar suplier (X1), daya tawar pembeli (X2), ancaman pendatang baru (X3), ancaman produk subtitusi (X4) dan persaingan dalam industri (X5) secara bersama-sama memiliki pengaruh signifikan terhadap strategi bersaing (Y) sebesar 61,1%. Jumlah suplier (X1) tas kamera berjumlah 1.070 industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Namun tidak setiap TPT menghasilkan bahan baku tas kamera. Daya tawar suplier dalam industri tas ditentukan oleh jenis dan kualitas bahan yang dihasilkan. Secara umum bahan yang digunakan untuk membuat tas adalah : Bahan Dinier, Bahan Ribstop, Bahan Good Soft Lexus, Bahan Dolby, Bahan Cordura, dan Bahan Nylon. Dari enam jenis bahan tersebut, terbagi lagi jenis dan harganya. Sederhananya semakin tebal dan semakin lembut tekstur bahannya, semakin mahal harga bahan tersebut. Jika disederhanakan, bahan dinir lebih murah daripada bahan nylon karena bahan nylon lebih lembut tekstur dan permukaannya sedikit bergelombang dibandingkan bahan dinir. Bahan yang digunakan selain berasal dari produk lokal seringkali pula menggunakan bahan impor
yang kualitasnya lebih bagus dan lebih mahal. Daya tawar pembeli (X2) pada industri tas kamera sangat kuat. Selain konsumen memperhatikan jenis, model, bahan, ukuran, dan merek, konsumen pun sangat memperhatikan tujuan penggunaan tas. Konsumen yang suka travelling akan memilih tas yang kapasitasnya besar namun mudah dimasukkan ke bagasi pesawat serta tidak membuat sakit penggunanya. Salah satu ancaman produk substitusi (X4) pada tas kamera adalah permintaan untuk memproduksi tas vespa yang fungsinya membawa kamera dan juga tablet komputer. Produk substitusi tas kamera lainnya adalah dry box model travelling. Dry box digunakan oleh pencinta photography sekaligus suka travelling demi kepraktisan. Ada dua perusahaan yang memproduksi jenis ini yaitu: X dry di Surabaya dan Ultradry Silicagel di Jakarta. Produsen tas kamera (X5) di Indonesia ada tiga belas perusahaan tersebar di Pulau Jawa mulai dari Jawa Barat, Daerah Khusus Ibukota (DKI), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Tengah. Secara geografis, produsen tas kamera di Jawa Barat terpusat di Bandung. Dengan banyaknya produsen tas kamera di Bandung membuat konsumen baik yang dipakai sendiri atau dijual kembali sangat mudah mendapatkan mode dan variasi tas kamera yang sangat beragam dari jenis, model, ukuran, bahan, dan merek dengan harga kompetitif. Dari jenis, tas kamera dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: tas kamera dsir, tas kamera prosumer, dan tas kamera poket. Dari segi model, muncul berbagai tas kamera mulai dari: tas koper, tas selempang (shoulder bag), tas pinggang, tas backpack, tas ransel, dan tas toploading. Dari segi ukuran, tas kamera terdiri dari berbagai macam ukuran mengikuti jumlah aksesori dan komponen yang dimiliki. Dari segi bahan, tas kamera dapat dibuat dari cordura, nilon, kulit asli, dan kulit imitasi. Dari merek lokal (Eibag, Eiger, Consina, Caseman, Quarzel, Thunder) hingga merek global (Lowepro, Crumpler, Nikon, Canon, Natgeo (National Geographic), Keystone, Tamrac, Vanguard, Winner). Bahkan akhir-akhir ini muncul beberapa merek lokal baru seperti Valltrex (Bandung), MIB (Bandung), MaxBag, Oagio, dan Zano (Yogyakarta). Komponen struktur industri tas kamera yang paling besar pengaruhnya terhadap strategi bersaing adalah persaingan dalam industri itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dalam industri tas kamera di Indonesia selalu ada kompetitor yang berlomba untuk mendapatkan posisi seperti meluncurkan produk baru, memberikan fasilitas tambahan (seperti tudung hujan), meningkatkan jaminan kepada pelanggan, ataupun bersaing dalam hal harga. Persaingan ini terjadi karena satu atau lebih pesaing merasakan adanya tekanan atau melihat peluang untuk memperbaiki posisinya dalam industri tas kamera. Artinya perusahaan saling tergantung satu sama lain (mutualy dependent). Bila suatu perusahaan akan menggunakan strategi cost leadership atau diferensiasi untuk meraih keunggulan bersaing, maka perusahaan tersebut harus secara konsisten mempertahankan strategi tersebut. Bila kompetitornya membuat produk tas kamera yang lebih unik atau menjual tas kamera yang lebih murah maka perusahaan tersebut dapat dikatakan kurang responsif terhadap perubahan struktur industrinya. Untuk itu, perusahaan sebaiknya secara rutin mengevaluasi struktur industrinya dengan menerapkan bisnis inteligen agar menjadi perusahaan yang dinamis memimpin perubahan struktur industrinya. Untuk menerapkan strategi overall cost leadership, perusahaan perlu memperhatikan keterampilan dan sumber daya perusahaan dan organisasi perusahaan. Keterampilan dan sumber daya yang diperlukan adalah (Kodrat, 2009): (1) investasi modal yang terus menerus dan akses ke modal, (2) keterampilan perekayasaan proses, (3) supervisi tenaga kerja yang ketat, (4) produk didesain untuk kemudahaan dalam produksi dan (5) sistem distribusi yang berbiaya rendah. Persyaratan organisasi yang diperlukan adalah: (1) pengendalian biaya yang ketat, (2) laporan yang rutin dan laporan pengendalian yang rinci, dan (3) insentif berdasarkan target kuantitatif yang ketat. Sebagai contoh perbandingan harga tas kamera lokal dengan tas kamera impor berikut ini. Merekmerek tas kamera impor seperti Lowepro, Crumpler Keystone, Tamrac, dan National Geographic harga jualnya bisa lebih dari Rp1.000.000,00 sebaliknya tas kamera lokal dengan merek Eibag hanya dijual dengan harga Rp170.000,00 – Rp350.000,00. Jika dihitung dari harga termahal tas kamera lokal dengan harga termurah tas kamera impor, maka harga tas kamera lokal 4 kali lebih
murah dengan kualitas yang berbeda tipis (Majalah Pengusaha Indonesia, 2012). Bila saat ini, perusahaan akan menerapkan strategi keunggulan biaya maka akan sangat berat karena produk dengan merek import pun sudah ada yang harganya dibawah Rp100.000,00. Sebaliknya strategi diferensiasi lebih fokus pada pelanggan ketimbang pada biaya. Strategi ini berusaha untuk membangun persepsi pelanggan akan keunggulan kualitas, desain produk, teknologi, jaringan distribusi, berat, bahan, dan pelayanan. Bila perusahaan mengimpelemtasikan strategi ini, maka perusahaan dapat menaikkan harga untuk mendapatkan keuntungan yang optimal tetapi harus menciptakan produk yang bagi pelanggan tampak berbeda ketimbang produk lain yang sudah ada. Perbedaan atau ciri khas produk inilah yang akan dibayar mahal dan menjadi suatu persepsi tersendiri bagi pelanggan. Jika suatu saat produk-produk yang sudah dipersepsi berbeda oleh pelanggan menurunkan harga, maka pelanggan akan meragukan mutu produk tersebut. Untuk menerapkan strategi diferensiasi, perusahaan perlu memperhatikan keterampilan dan sumber daya dan organisasi perusahaan. Keterampilan dan sumber daya yang diperlukan adalah (Kodrat, 2009): (1) kemampuan pemasaran yang kuat, (2) bakat yang kreatif, (3)perekayasa produk, (4) kemampuan yang kuat dalam riset dasar, (5) reputasi perusahaan untuk kepemimpinan mutu dan teknologi, (6) tradisi yang lama dalam industri atau gabungan yang unik dari keterampilan yang diambil dari usaha-usaha yang lain, dan (7) kerjasama yang kuat dari saluran-saluran. Persyaratan organisasi yang diperlukan adalah: (1) koordinasi yang kuat antara fungsi-fungsi dalam riset dan pengembangan produk dengan pemasaran, (2) pengukuran dan insentif yang subyektif daripada tolak ukur kuantitatif, dan (3) suka untuk menarik tenaga yang berketerampilan tinggi, ilmuwan, dan orang-orang kreatif.
DAFTAR PUSTAKA Alrawasdeh, Rami. 2013. The Competitiveness of Jordan Phospate Mines Company (JPMC) Using Porter Five Forces Analysis. International Journal of Economics and Finance, Vol. 5 No. 1: 191-200. Asosiasi Pertekstilan Indonesia, http://apidki-jakarta.weebly.com/ diunduh tanggal 19 Januari 2014. Belfot.com. 2012. Kilas Balik Tren Fotografi Tahun 2012. belfot.com diunduh tgl. 16 September 2013. Cunningham, 2012. Strategy and Strategists. United Kingdom: Oxford University Press. Detikfinance. 2013. Mari Pangestu: 2020 Indonesia Jadi Kiblat Pakaian Muslim, http://finance.detik.com/read/2013/07/11/161517/2299743/1036/ diunduh tgl. 13 September 2013. Handriani, Eka. 2011. Pengaruh Faktor Eksternal, Faktor Internal, Entrepreneurial Skill, Strategi, dan Kinerja Terhadap Daya Saing UKM di Kabupaten. Dinamika Sosial Ekonomi, Vol. 7 No. 1 Edisi Mei 2011. Kodrat, David Sukardi. 2009. Manajemen Strategi: Membangun Keunggulan Bersaing Era Global di Indonesia Berbasis Kewirausahaan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kompas.com. 2013. Dari Tas Kamera, Manca Mendunia, http://female.kompas.com/read/2011/03/03/04330291/ diunduh tgl 13 September 2013. Kompas.com. 2013. Rahmansyah: Tas Kamera Buatannya Diminati Fotografer Ternama Dunia. Diunduh tgl 13 September 2013.
Majalah Pengusaha Indonesia. 2012. Eibeg, Harga dan Mutu Boleh Diadu. www. Facebook.com/majalah pengusahaindonesia diunduh tgl 7 Januari 2014. Pitoyo, Arif. 2013. Ponsel berkamera dinilai belum bisa gantikan kamera digital. m.merdeka.com. Diunduh tanggal 16 September 2013. Metrotvnew.com. 2013. Industri Fashion Indonesia Jadi Sorotan Dunia, diunduh tgl 13 September 2013 Porter., Michael. 1980. Competitive Strategy. US: The Free Press A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. Ronquillo, Tarzo A. 2012. Analysis of Competitiveness of Batanga State University Collenge of Engineering Using Porter's Five Competitive Forces Model. AA33 Conference Melbourne, Australia.