STRATEGI PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA GULA PASIR DI JAWA TENGAH
NURUL PUSPITA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014
Nurul Puspita NIM H44100091
ABSTRAK NURUL PUSPITA. Strategi Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah. Dibimbing oleh Adi Hadianto Gula merupakan komoditas pangan yang sampai saat ini belum tergantikan dengan bahan pangan lain sebagai pemanis buatan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengestimasi konsumsi dan produksi gula di Jawa Tengah dan merumuskan alternatif strategi yang sesuai untuk mencapai target swasembada. Penelitian ini menggunakan metode ARIMA untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat dan metode AHP untuk menentukan strategi yang tepat dan efektif. Hasil dari penelitian ini adalah Jawa Tengah belum mampu mencapai swasembada sesuai target 2014-2018 terkait dengan permasalahan baik dalam on-farm maupun offfarm. Kriteria yang perlu ditingkatkan adalah rendemen dan produktivitas (29,5%), revitalisasi pabrik gula (27,1%) dan teknologi atau alat ukur rendemen (19,3%) . Untuk mendukung tiga kriteria tersebut perlu adanya kerjasama antara pabrik gula dan petani yaitu dalam sistem bagi hasil, kredit murah dan mudah, dan kerjasama maupun kemitraan supaya program swasembada dapat dicapai secara berkelanjutan. Kata kunci: AHP, ARIMA, gula, strategi, swasembada
ABSTRACT The Strategy to Achieve Sugar Self-Sufficiency Program in Central Java. Supervised by Adi Hadianto. Sugar is a food commodities that until now has not been replaced by other foodstuffs as sweetener. The aim of this research was to estimate the consumption and production of sugar in Central Java and to formulate the alternative strategy which is suitable to obtain the self-sufficiency target. This research used ARIMA method to produce an accurate short-term forecasting and AHP method to determine the right and effective strategy. The results showed that Central Java had not been able to reach self-suffiency as targeted 2014-1018 related to both problems, on-farm or off-farm. The criteria that must be increased were the yield and productivity (29%), revilatization of sugar plant (27,1%) and technology and yield measuring instrument (19,3%). To support those three criteria, the cooperation between sugar plant and farmer is needed. The cooperation could be in the forms of income sharing system, cheap and easy credit, and cooperation or partherships so that the self-sufficiency program could be obtained continously. Keywords: AHP, ARIMA, Self-Suffiency, Strategy, Sugar
STRATEGI PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA GULA PASIR DI JAWA TENGAH
NURUL PUSPITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Strategi Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini, Bapak Novindra, SP, M.Si selaku dosen penguji utama dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M,Si selaku dosen penguji akademisi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dudung selaku kepala bagian arsip gula Indonesia, Ibu Dyah selaku Kabid Pengolahan Hasil Perkebunan, Ibu Respati selaku Kasbid SDAP Bidang Perekonomian, Bapak Masyhudi selaku Kasi Sarana Produksi, Ibu Riskha selaku staf Budidaya Perkebunan, Bapak Yuda selaku pemilik perkebunan tebu, Bapak Eddy selaku Dosen Universitas Diponegoro, Bapak Sugiyanto selaku Manager PG Pakis Baru yang telah membantu memberikan informasi terkait dengan penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Suprijadi, Ibu Kunarni, Mas Kunto, Mbak Lina dan seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan dukungannya. Terakhir penulis ucapkan terimakasih atas semangat dan dukungannya kepada Bemby, Dewi, Agustin, Nana, Amalia, Suci, Puti, Summayah, Bintang, rekan satu bimbingan, Organisasi Daerah IKMP, Wisma Sakinah, sahabat terdekat dan rekan-rekan ESL 47. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Nurul Puspita
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii I PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..............................................................................
8
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................
9
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................
9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................
10
II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 11 2.1 Konsep Produksi ...................................................................................
11
2.2 Konsep Konsumsi .................................................................................
12
2.3 Usahatani Tebu .....................................................................................
12
2.4 Perkembangan Industri Gula di Indonesia ............................................
13
2.5 Swasembada Gula .................................................................................
14
2.6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ..............
14
2.7 Jenis Gula di Indonesia .........................................................................
15
2.8 Bongkar Ratoon ....................................................................................
16
2.9 Hablur ...................................................................................................
17
2.10 Metode ARIMA ..................................................................................
17
2.11 Analytical Hierarchy Process (AHP) .................................................
19
2.12 Penelitian Terdahulu ...........................................................................
27
III KERANGKA PEMIKIRAN........................................................................ 31 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................
31
3.1.1 Metode ARIMA .............................................................................
31
3.1.2 Analytical Hierarchy Process (AHP) .............................................
33
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .........................................................
35
IV METODE PENELITIAN ............................................................................ 37 4.1 Waktu dan Tempat ................................................................................
37
4.2 Jenis dan Sumber Data ..........................................................................
37
4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data .................................................
37
4.3.1 Metode ARIMA ............................................................................
37
4.3.2 Analitycal Hierarchy Process (AHP) ............................................
42
V MODEL ARIMA UNTUK PRODUKSI HABLUR DAN KONSUMSI GULA RUMAH TANGGA ........................................................................ 45 5.1 Perkembangan Gula di Jawa Tengah ....................................................
45
5.2 Peramalan Produksi hablur dan Konsumsi Gula ...................................
45
5.2.1 Identifikasi Pola Data Produksi Hablur .........................................
46
5.2.2 Identifikasi Pola Data Konsumsi Gula Rumah Tangga ..................
51
5.3 Identifikasi Model Sementara 54 5.4 Uji Diagnostik untuk Evaluasi Model ..................................................
56
5.5 Peramalan Produksi Hablur dan Konsumsi Gula di Jawa Tengah ......
58
5.6 Implikasi Peramalan Terhadap Produksi dan Konsumsi Gula Rumah Tangga di Jawa Tengah tahun 2014-2018 ............................................
58
VI STRATEGI PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA GULA PASIR DI JAWA TENGAH ................................................................................... 61 6.1 Analisis Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah
61
6.2 Analisis Alternatif Strategi Secara Horisontal yang Mendukung dalam Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah ........... 65 6.3 Analisis Alternatif Strategi Secara Vertikal atau Keseluruhan yang Mendukung dalam Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah .........................................................................................
68
VII SIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 70 7.1 Simpulan ................................................................................................
70
7.2 Saran .....................................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 72 RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... 94
DAFTAR TABEL Nomor 1
Halaman Data realisasi giling pabrik gula di Indonesia sd Desember 2013 (MTT 2012/2013) ..............................................................................
3
Data realisasi hasil giling pabrik gula di Jawa Tengah sd 31 Desember 2013 (MTT 2012/2013) ....................................................
7
3
Intensitas kepentingan ........................................................................
21
4
Contoh matriks untuk pembandingan berpasangan ...........................
22
5
Contoh kasus matriks sederhana untuk pembandingan berpasangan
22
6
Matriks pendapatan gabungan ...........................................................
24
7
Matriks pendapatan individu .............................................................
24
8
Nilai indeks acak matriks berorde 1 sampai dengan 15 ....................
26
9
Matriks penelitian terdahulu ..............................................................
27
10
Keuntungan dalam pemecahan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP ...............................................................
34
11
Pola ACF dan PACF pada model ARIMA ........................................
39
12
Data produksi hablur, produktivitas hablur dan rendemen di Jawa Tengah 1993 - 2013 ........................................................................... 48
13
Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Jawa Tengah tahun 2003 - 2013 ................................................................. 53
14
Model ARIMA (1,2,1) untuk data produksi hablur di Jawa Tengah .
57
15
Model ARIMA (2,2,1) untuk data konsumsi gula rumah tangga di Jawa Tengah ......................................................................................
57
2
16
Hasil peramalan produksi hablur dan konsumsi gula RT dalam bentuk Logaritma Natural (ln) ........................................................... 58
17
Hasil peramalan model ARIMA (1,2,1) untuk produksi hablur dan ARIMA (2,2,1) untuk konsumsi gula RT ..........................................
58
Matriks bobot alternatif produk secara horisontal .............................
66
18
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Peta Jawa Tengah ...............................................................................
4
2
Pertumbuhan penduduk 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah .............
5
3
Pertumbuhan PDRB 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah ...................
5
4
Kiri (Gula Putih) dan kanan (Gula Rafinasi) ......................................
16
5
Metode peramalan Box - Jenkins ........................................................
32
6
Alur Pemikiran Operasional ...............................................................
36
7
Struktur hierarki strategi pencapaian swasembada gula pasir di Jawa Tengah ................................................................................................ 44
8
Grafik plot data produksi hablur .........................................................
46
9
Grafik plot data konsumsi gula RT.....................................................
52
10
Plot ACF data produksi hablur ...........................................................
54
11
Plot PACF data produksi hablur .........................................................
55
12
Plot ACF data konsumsi gula RT .......................................................
55
13
Plot PACF data konsumsi RT.............................................................
56
14
Tingkat produksi dan konsumsi gula di Jawa Tengah serta hasil peramalan tahun 2010 - 2018 .............................................................
59
Struktur hierarki model penentuan strategi pencapaian swasembada gula pasir di Jawa Tengah ..................................................................
62
Struktur hierarki aspek prioritas pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah ..................................................................
67
Bobot level pertama aspek prioritas pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah .............................................
68
15 16 17 18
Hierarki prioritas faktor kriteria yang mendukung progam pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah ............ 69
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah ................................................
77
2
Produksi hablur dan konsumsi gula tahun 1993 – 2013 ....................
80
3
Nilai Logaritma Natural (ln) produksi hablur dan konsumsi gula tahun 1993 – 2013 .............................................................................
81
Grafik plot data dan uji statistik ADF pada level untuk data ln produksi hablur tahun 1993 – 2013 ...................................................
82
Grafik plot uji data statistik ADF pada Second Difference untuk data ln produksi hablur tahun 1993 – 2013 ...............................................
83
6
Uji ACF data ln produksi hablur pada Second Difference ...............
84
7
Uji PACF data ln produksi hablur pada Second Difference .............
84
8
Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk produksi hablur ..........
85
9
Hasil peramalan produksi hablur tahun 2014 - 2018 dalam bentuk Logaritma Natural (ln) ...................................................................... 85
10
Grafik plot data dan uji statistik ADF pada level untuk data ln konsumsi gula tahun 1993 - 2013 ..................................................... 86
11
Grafik plot data uji statistik ADF pada Second Difference untuk data ln konsumsi gula tahun 1993 - 2013 .................................................
87
12
Uji ACF data ln konsumsi gula pada Second Difference .................
88
13
Uji PACF data ln konsumsi gula pada Second Difference ...............
88
14
Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk konsumsi gula rumah tangga ...............................................................................................
89
4 5
15
Hasil peramalan konsumsi gula tahun 2014 - 2018 dalam bentuk Logaritma Natural (ln) ...................................................................... 89
16
Matriks bobot alternatif produk secara hoisontal .............................
90
17
Struktur hierarki penentuan prioritas produk ....................................
91
18
Kebijakan umum dan program pembangunan dalam Misi 2 point 3 pada RPJMD Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 - 2018 ..................
92
96
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) merupakan tanaman asli tropika basah. Gula merupakan komoditas pangan yang sampai saat ini belum tergantikan dengan bahan pangan lainnya sebagai pemanis buatan. Gula merupakan komoditas pangan yang saat ini mempunyai prospek yang tinggi untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia. Rata-rata penduduk di Indonesia mengkonsumsi gula sebanyak 12-18 kg per tahun (Departemen Pertanian 2009). Menurut Sugiyanto (2007), konsumsi gula oleh rumah tangga dapat dibedakan atas konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung. Konsumsi gula secara langsung adalah konsumsi gula oleh rumah tangga dalam wujud aslinya guna dijadikan makanan dan minuman, sedangkan konsumsi gula secara tidak langsung adalah gula oleh rumah tangga melalui makanan dan minuman yang mengandung gula. Penggunaan gula pasir oleh industri meningkat lebih cepat dibandingkan dengan konsumsi langsung oleh rumah tangga. Selain karena dorongan kenaikan pendapatan, permintaan gula terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk. Diberlakukannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1996 tentang Sistem Budidaya Tanaman, semakin memberikan tekanan terhadap industri gula nasional dimana petani bebas dalam mengusahakan lahannya. Pabrik gula di Indonesia mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku gula sehingga mengakibatkan industri gula tidak efisien. Inefisiensi menyebabkan petani beralih dari usahatani tebu ke usahatani lainnya khususnya padi, yang selanjutnya semakin memperburuk masalah kelangkaan bahan baku dan inefisiensi pabrik gula di Indonesia. Pada umumnya, petani mengusahakan lahan berdasarkan rasional ekonomi dan prioritas yang lebih cepat mengembalikan modal dan keuntungan. Hal ini mendorong konversi lahan tebu terjadi, bahan baku tebu yang berkurang berdampak pada produksi tebu di Indonesia. Perekonomian Indonesia tidak terlepas dari peranan penting industri gula Indonesia. Produksi tebu semakin menurun akibat lahan yang semakin berkurang, teknologi kurang memadai dan juga distribusi yang kurang baik sedangkan penduduk Indonesia semakin meningkat. Berkembangnya industri makanan dan
2
minuman mendorong pemerintah Indonesia untuk mengimpor gula dari negara lain. Untuk menekan impor gula tersebut, pemerintah Indonesia mencanangkan swasembada gula pada tahun 2014. Menurut Hakim (2010), untuk mencapai swasembada gula ini perlu perubahan kebijakan yang mendasar. Tebu merupakan salah satu makanan pokok, tetapi kurang mendapat perhatian sehingga pengembangannya tidak banyak. Pengembangan yang dilakukan diantaranya harus didukung dengan teknologi seperti irigasi, high density planting, pemupukan dengan harapan produktivitas gula dan tebu di Indonesia akan meningkat. Dilihat dari sisi Sumberdaya Alam (SDA) dan iklim, Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai produsen tebu, karena tebu merupakan tanaman tropis yang secara alamiah tumbuh meluas dan subur di daerah tropis. Hal ini terlihat dari berkembangnya perkebunan tebu yang tumbuh sejak 1940an di daerah pesisir utara dari Cirebon hingga Semarang di sebelah selatan Gunung Muria hingga Juwana, Madiun, Kediri, Besuki, disepanjang Probolinggo hingga Malang, dan dari Surabaya barat daya sampai ke Jombang. Perkembangan industri gula memberikan keuntungan yang besar bagi pemiliknya dan memberikan pajak untuk pemerintah. Berkat keuntungan dari perdagangan gula, beberapa kota di Pulau Jawa bekembang pesat, seperti Semarang dan Surabaya dan kota-kota lainnya. Pengolahan tebu di Indonesia menghasilkan gula pasir sebagai produksi utama dan beberapa hasil pengolahan (Tambunan 2003). Meningkatnya permintaan gula dalam kehidupan manusia baik digunakan untuk industri maupun konsumsi langsung, Direktorat Jendral Perkebunan menyelenggarakan kegiatan Pertemuan Pemantapan Kegiatan Pengembangan Tebu Tahun 2013 dalam Pencapaian Swasembada Gula tahun 2014 yang dihadiri 11 provinsi pengembangan tebu termasuk Jawa Tengah. Dalam pertemuan ini membahas pengembangan tebu yang berkaitan dengan kegiatan perluasan dan bongkar ratoon yang perlu disesuaikan dengan potensi masing-masing provinsi. Swasembada gula ini perlu sistem pengendalian intern yang dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja, transparasi, akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, dan pengamanan asset negara. Fokus kegiatan pada rencana pengembangan tebu tahun 2013 meliputi: bongkar ratoon, pemberdayaan atau pelatihan petani, panataan
3
varietas, operasional TKP (Tenaga Kontrak Pendamping) /PLP-TKP (Pembantu Lapang Petugas – Tenaga Kontrak Pendamping), serta persiapan, pengawalan dan pendampingan. Tabel 1 Data realisasi giling pabrik gula di Indonesia sd Desember 2013 (MTT 2012/2013) Perusahaan/ pabrik gula
Luas Tanaman (ha)
Jumlah Tebu ton/ (ton) ha
Jumlah Hablur ton/ (ton) ha
Jawa Barat Jumlah 23.504,8 1.566.479,3 99.262,0 Rata - rata 66,6 Jawa Tengah Jumlah 57.475,1 3.971.161,5 236.834,6 Rata - rata 69,1 D.I. Yogyakarta Jumlah 7.351,7 564.047,0 35.929,8 Rata - rata 76,7 Jawa Timur Jumlah 215.031,9 17.496.446,9 1.241.958,6 Rata - rata 81,4 Sumatera Utara Jumlah 9.535,1 573..877,5 37.347,0 Rata – rata 60,2 Sumatera Selatan Jumlah 21.593,2 1.359.108,6 95.477,7 Rata - rata 62,9 Lampung Jumlah 116.197,7 9.043.322,0 744.911,4 Rata - rata 77,8 Sulawesi Selatan Jumlah 11.744,6 489.791,7 31.377,1 Rata - rata 41,7 Gorontalo Jumlah 6.749,0 461.835,0 27.926,0 Rata - rata 71,6 Sumber : Perusahan – perusahaan Gula diolah Set.DGI (2014)
Rendemen (%)
4.22
6.34
4,12
5,96
4,89
6,37
5,78
7,10
3,92
6,51
4,42
7,03
6,41
8,24
2,67
6,41
4,98
6,41
Dari Tabel 1, Jawa Tengah menempati posisi ketiga dari seluruh Pabrik Gula (PG) seluruh Indonesia. Posisi pertama yaitu Jawa Timur dengan luas lahan tebu sebesar 215.031,9 ha, kedua Lampung dengan luas lahan tebu sebesar 116.197,7 ha dan ketiga Jawa Tengah dengan luas lahan tebu sebesar 23.504,8 ha. Selain itu, Jawa Tengah memiliki kekayaan sumberdaya alam yang bervariasi dan sangat banyak. Sumberdaya ini baik berasal dari pertanian, perikanan, peternakan, maupun kehutanannya. Potensi infrastruktur yang memadai juga merupakan salah
4
satu keunggulan dalam percepatan pembangunan yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Tengah. Industri yang beragam dan berkembang adalah salah satu penyumbang perekonomian yang tertinggi di Jawa Tengah, termasuk industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan dasar gula.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (2013)
Gambar 1 Peta Jawa Tengah Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Batang, Kabupaten Blora, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Jepara, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Kendal, Kabupaten Klaten, Kabupaten Kudus, Kabupaten Klaten, Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Rembang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Tegal, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Wonosobo,
Kota
Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Surakarta dan Kota Tegal. Jumlah penduduk Jawa Tengah pada tahun 2012 berdasarkan proyeksi Sensus Penduduk (SP) 2010 sebanyak 33.270.207 jiwa atau sekitar 13,52 % dari jumlah penduduk Indonesia. Sehingga petumbuhan penduduk di Jawa Tengah ini berpengaruh dengan meningkatnya penduduk terhadap konsumsi gula di Jawa Tengah.
5
Pertumbuhan penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2012 pada Gambar 2. 33400000 33270207
Jumlah (orang)
33200000 33000000 32800000 32626390
32600000
32684563
32400000
32643612 32382657
32200000 32000000 31800000 2008
2009
2010
Tahun
2011
2012
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (2013)
Gambar 2 Pertumbuhan penduduk 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah Terlihat pada Gambar 2 laju pertumbuhan penduduk di Jawa Tengah terjadi peningkatan, meskipun pada tahun 2010 pertumbuhan menurun yaitu 32.382.657 jiwa dan pada tahun 2012 meningkat sebesar 33.270.207 jiwa. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa penduduk Jawa Tengah sangat berkembang pesat, sehingga berbanding lurus dengan permintaan gula yang semakin meningkat. Pada aspek kesejahteraan masyarakat pertumbuhan PDRB selama kurun waktu 2008-2012 ditunjukkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah meningkat meskipun secara perlahan, yaitu sebesar 5,61% pada tahun 2008 menjadi 6,34% pada tahun 2012, terlihat pada Gambar 3.
Pertumbuhan PDRB (%)
7 6
5.61
5
5.84
6.34
6.03
5.14
4 3 2 1 0 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah (2013)
Gambar 3 Pertumbuhan PDRB 2008 - 2012 Provinsi Jawa Tengah
6
Pada Gambar 3, potensi Jawa Tengah yang begitu besar baik sumberdaya alam, sektor perekonomian, infrastuktur, industri, luas wilayah yang cukup besar yaitu 3.254.412 ha atau 25,04% dari luas Pulau Jawa. Sehingga berbagai potensi tersebut sangat mendukung program pemerintah mengenai swasembada gula. Gula yang erat dikenal dengan tanaman tebu pertumbuhannya cocok di daerah tropis. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah mengupayakan peningkatan areal tanaman tebu di Jawa Tengah, sehingga mampu memenuhi kapasitas seluruh industri gula di Jawa Tengah. Peningkatan areal ini harus ditunjang dari berbagai aspek baik kemampuan Sumberdaya Manusia (SDM), teknologi, sarana prasarana, bibit tanaman dan lain-lain. Perkebunan tebu di wilayah Jawa Tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu: (1) wilayah Pantura Barat (Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes), pengelolaan kebun oleh Pabrik Gula (PG) pada tanaman pertama, kemudian keprasannya dilanjutkan oleh petani, serta (2) wilayah Pantura Selatan dan Timur (Sragen, Tasikmadu, Klaten, Rembang, Pati, Kudus), pengelolaan kebun oleh rakyat. Saat ini, wilayah Jawa Tengah memiliki 11 PG, 8 Pabrik Gula (PG) merupakan milik pemerintah dan 3 Pabrik Gula (PG) merupakan milik swasta. Swasembada gula ini penting karena bisa menekan impor gula dari luar negeri, dapat memenuhi kebutuhan konsumsi langsung maupun industri makanan dan
minuman,
meningkatkan
kesejahteraan
petani/produsen
stakeholder,
memperluas kesempatan kerja dan peluang usaha sehingga secara nyata berdampak positif terhadap pemberantasan kemiskinan. Program pemerintah mengenai swasembada gula sangat didukung, terlihat dari Surat Edaran Gubernur Nomor 525/01568, tanggal 30 Januari 2012, tentang Pengembangan Tebu Rakyat Musim Tanam tahun 2012/2013 di Jawa Tengah. Diharapkan, seluruh bupati/walikota se-Jawa Tengah segera menjabarkan Surat Edaran Gubernur, melalui Surat Edaran Bupati/Walikota yang merinci dan menjabarkan rencana pengembangan areal tebu tersebut hingga ke tingkat lapangan. Swasembada ini tidak terlepas dari campur tangan seluruh pabrik gula yang berada di Provinsi Jawa Tengah. 11 pabrik gula di Jawa Tengah ini berbeda dari
7
pabrik gula lainnya di Jawa Tegah dari segi kemampuan, teknologi dan kapasitas. Berikut daftar pabrik gula yang ada di Jawa Tengah pada Tabel 2. Tabel 2 Data realisasi hasil giling pabrik gula di Jawa Tengah sd 31 Desember 2013 (MTT 2012/2013) Perusahaan/ pabrik gula PTPN IX Persero PG Jatibarang PG Bangka PG Sumberharjo PG Sragi PG Rendeng PG Mojo PG Tasikmadu PG Gondang Baru PT RNI PG Trangkil PT IGN PG Pakis Baru Jumlah Rata - rata
Luas Tanaman (ha)
Jumlah Tebu (ton) ton/ha
Jumlah Hablur (ton) ton/ha
Rendemen (%)
3.304,2 3.539,3 2.351,6 5.366,0 4.689,8 5.308,2 6.965,9 2.466,4
208.090,1 240.949,3 179.806,3 401.457,9 312.075,4 354.375,1 460.319,5 155.892,4
63,0 68,1 76,5 74,8 66,5 66,8 66,1 63,2
11.582,1 13.823,4 9.676,8 22.062,5 18.291,4 20.884,4 28.910,5 9.361,3
3,5 3,9 4,1 4,1 3,9 3,9 4,1 3,8
5,6 5,7 5,4 5,5 5,9 5,9 6,3 6,0
14.149,8 2.368,0 6.965,9 57.475,1
1.053.189,0 167.638,3 437.368,2 3.971.162,0
74,4 70,8 62,8
63.247,0 11.836,0 27.159,3 236.835,0
4,5 5,0 3,9
6,0 7,0 6,2
4,1
5,9
69,0
Sumber : Perusahaan-perusahaan Gula diolah Set.DGI (2014)
Tabel 2 menunjukkan realisasi hasil giling pada tiap-tiap pabrik pada tahun 2013. Dari data diatas menunjukkan luas areal tebu mencapai 57.475,1 ha, jumlah tebu 3.971.162,0 ton, rata –rata produktivitas tebu 69,0 ton/ha, jumlah hablur 236.835,0 ton, rata – rata produktivitas hablur 4,1 dan rendemen 5,9 % dari total keseluruhan pabrik yang terdiri dari 8 Pabrik Gula (PG) milik pemerintah dan 3 Pabrik Gula (PG) milik swasta. Untuk menghindari adanya impor gula di Jawa Tengah, Dinas Perkebunan Jawa Tengah melakukan upaya swasembada gula Jawa Tengah 2013, sekaligus mendukung swasembada gula nasional 2014. Swasembada gula artinya tercukupinya gula berbasis tebu, minimal 90 persen dari kebutuhan konsumsi seluruh masyarakat Jawa Tengah (Dinas Perkebunan 2012). Menurut BPS Jawa Tengah diasumsikan penduduk Jawa Tengah pada Tahun 2014 diprediksi 34 juta jiwa, dengan konsumsi gula pertahun 12 kg (sesuai standar nasional), maka kebutuhan gula di Jawa Tengah diperkirakan sebanyak 90% x 12 kg x 34.000.000 = 367.200.000 kg dibulatkan menjadi 368.000 ton. Kebutuhan ideal lahan tebu di
8
Jawa Tengah adalah untuk mendukung percepatan swasembada gula dengan cepat, seiring dengan HPP gula yang mengalami kenaikan. 1.2 Perumusan Masalah Permintaan gula secara nasional diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan industri makanan dan minuman yang berbahan dasar gula. Tetapi untuk mencukupi permintaan gula terdapat berbagai permasalahan yang perlu diatasi. Permasalahan umum yang dihadapi industri gula meliputi on-farm dan offfarm. Disisi on-farm masalah yang cukup menonjol rendahnya produktivitas gula yang saat ini hanya mencapai kisaran 6 ton/ha, disamping itu masalah ketersediaan lahan di Jawa yang tergeser oleh komoditi lain dan alih fungsi (Kementrian Pertanian 2012). Begitu juga disisi off-farm dengan bertambahnya umur pabrik maka tingkat efisiensi mengalami penurunan sehingga memerlukan revitalisasi pabrik gula atau peningkatan teknologi yang terkendala dengan terbatasnya ketersediaan dana investasi untuk industri gula tersebut. Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tebu telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah namun dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Di sisi on-farm terdapat kesulitan dalam pengembangan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada, kurangnya sarana irigasi, terbatasnya pemodalan bagi produsen/petani sehingga mereka belum secara optimal dalam memanfaatkan teknologi, ketersediaan bibit dan pupuk yang harga dan mutunya belum terjamin. Di sisi off-farm tingkat efisiensi pabrik di Jawa Tengah masih dibawah standar karena terdapat pabrik peninggalan Belanda yang masih belum direvitalisasi, biaya produksi yang tinggi dan kualitas gula relatif rendah. Banyak kendala dalam melaksanakan program swasembada gula tersebut. Areal lahan tebu semakin menurun dan teknologi pabrik yang kurang memadai. Masalah sistem distribusi setelah panen tebu salah satunya yaitu waktu penggilingan tebu harus dilaksanakan secepatnya setelah panen. Hal ini dikarenakan jika terlalu lama terkena sinar matahari langsung, berpengaruh terhadap berkurangnya rendemen pada tebu. Pengetahuan petani kurang dalam
9
sistem panen, petani seharusnya memanen tebu sesuai dengan waktu tanam. Namun, kebanyakan petani memanen tebu menunggu sampai bulan Mei karena pada bulan tersebut merupakan bulan terpanas dan waktu yang paling tepat untuk memanen tebu. Panas yang baik bisa membuat rendemen tebu semakin meningkat, tetapi sebenarnya anggapan seperti itu salah. Tebu yang dipanen tidak sesuai dengan masa tanamnya akan cenderung memiliki batang kecil dan bobot timbang sedikit walaupun rendemen tinggi. Sistem distribusi dan pengetahuan inilah yang selama ini salah dalam industri pergulaan Indonesia. Sering terjadi penumpukan tebu di bulan Mei, mengakibatkan tebu yang seharusnya memiliki kualitas bagus akan berkurang rendemennya. Antrian masuk truk ke dalam pabrik membuat kemacetan disekitar tempat tersebut. Terlebih lagi kapasitas mesin sebuah pabrik berbeda-beda dan apabila terjadi penumpukan tebu kerusakan mesin akan sering terjadi sehingga menyebabkan inefisiensi dalam produksi gula. Program swasembada merupakan salah satu pemecahan masalah diatas. Dari permasalahan diatas muncul pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana tercapainya peramalan produksi dan konsumsi gula pasir pada program pemerintah Jawa Tengah mengenai Swasembada? 2. Bagaimana alternatif strategi untuk mencapai target swasembada? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan permasalahan diatas maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengestimasi produksi dan konsumsi gula pasir untuk menilai target pencapaian swasembada gula pasir Jawa Tengah 2. Merumuskan alternatif strategi untuk swasembada gula pasir. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: 1. Bagi
peneliti
penelitian
ini
diharapkan
mampu
bermanfaat
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Bagi akademisi penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam strategi pencapaian swasembada gula Jawa Tengah.
10
3. Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai strategi yang tepat untuk mendukung target pencapaian sesuai RPJMD tahun 2014-2018. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peramalan konsumsi dan produksi gula untuk mencapai target swasembada tahun 2014-2018, data yang dibutuhkan berupa data produksi hablur dan konsumsi gula Rumah Tangga (RT) pada 8 Pabrik Gula (PG) milik pemerintah dan 3 Pabrik Gula (PG) milik swasta yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan pada penelitian ini mulai tahun 1993-2013 melalui data sekunder. Dalam hal mencapai swasembada tersebut terdapat beberapa kriteria dan alternatif strategi yang mendukung.
11
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Produksi Fungsi produksi menggambarkan hubungan antara tingkat produksi maksimum yang dapat dihasilkan oleh setiap alternatif kombinasi input yang spesifik berdasarkan pemakaian teknologi tertentu yang tidak berubah. Model hubungan antara input dan output adalah formulasi fungsi produksi dari bentuk q = f (K, L, M…), dimana Q merupakan barang keluaran yang mempunyai nilai tambah (value added), K mewakili model dalam kurun waktu tertentu, L mewakili jam masukan tenaga kerja, dan M mewakili penggunaan bahan baku. Menurut Nicholson (1990) produktivitas fisik marginal dari suatu masukan adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut sambil mempertahankan masukan tetap konstan. Fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan produksi. Masukan seperti pupuk, tanah, tenaga kerja, modal, dan iklim yang mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua masukan yang dipakai untuk analisis, hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh masukan itu terhadap produksi. Jika fungsi produksi diketahui, maka informasi harga dan biaya yang dikorbankan dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi masukan yang terbaik. Namun biasanya petani sukar melakukan kombinasi ini, menurut Soekartawi (1990) karena : 1. Adanya ketidaktentuan mengenai cuaca, hama dan penyakit tanaman 2. Data yang dipakai untuk melakukan pendugaan fungsi produksi mungkin tidak benar. 3. Pendugaan fungsi produksi tidak hanya diartikan sebagai gambaran rata-rata suatu pengamatan. 4. Data harga dan biaya dikorbankan mungkin tidak dilakukan secara pasti 5. Setiap petani dan usahataninya mempunyai sifat khusus. Oleh karena itu keputusan penggunaan faktor produksi, baik dalam kuantitas maupun kombinasi yang dibutuhkan dalam suatu tingkat produksi ditentukan oleh petani. Dalam suatu penelitian biasanya faktor-faktor yang relatif kurang dapat dikontrol biasanya diperhitungkan sebagai galat.
12
Bentuk persamaan matematis dari fungsi produksi pada dasarnya merupakan abstraksi dari proses produksi yang disederhanakan, sebab dengan melakukan penyederhanaan kejadian-kejadian atau gejala-gejala alam yang sesungguhnya begitu kompleks dapat digambarkan tingkah lakunya. Dari fungsi produksi dapat dilihat hubungan teknis antara faktor produksi dengan produksinya, serta satu gambaran dari semua metode produksi yang efisien. 2.2 Konsep Konsumsi Konsumsi merupakan suatu aktifitas memakai atau menggunakan suatu produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen. Kegiatan konsumsi merupakan tindakan pemuasan atas berbagai jenis tuntutan kebutuhan manusia. Untuk menganalisis konsumsi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan kardinal dan ordinal. Pendekatan kardinal menyatakan bahwa kegunaan dapat dihitung secara nominal, keputusan untuk mengkonsumsi suatu barang berdasarkan perbandingan antara manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Sedangkan pendekatan ordinal, kegunaannya tidak bisa dihitung melainkan dengan menggunakan kurva yang disebut kurva indeferens dimana kurva ini menggambarkan tingkat kepuasan dua barang (jasa) yang disukai konsumen. Semakin tinggi kurva indiferens semakin tinggi pula tingkat kepuasan konsumen (Manarung 2004). 2.3 Usahatani Tebu Menurut Malian (2002), usahatani tebu di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur diusahakan dengan tiga pola yaitu: kredit, swadana dan sinergi sewa lahan oleh Pabrik Gula (PG). Pertanaman tebu dilahan sawah umumnya dilakukan dengan pola kredit, baik secara kolektif maupun koorperatif, dengan luas hamparan berkisar antara 25-50 ha. Apabila dikaji secara seksama, kelompok kolektif hanyalah pengelompokan lahan untuk ditanami tebu, bukan kelompok dari orang yang bertanam tebu. Pengelolaan secara penuh ditangani oleh ketua kelompok TRIK (Tebu Rakyat Intensifikasi dengan Kredit). Sedangkan kelompok koorperatif merupakan kelompok petani peserta program TRIK, tetapi pengelolaannya dilakukan secara individual. Pada usahatani kolektif petani tidak dapat mengontrol biaya usahatani, berbeda dengan usahatani koorperatif dimana pengelolaan
13
usahatani dilakukan sendiri sehingga petani langsung dapat mengendalikan biaya usahatani. Sedangkan petani swadana, memiliki karakteristik usahatani yang lebih luas, pengelolaan usahatani yang lebih intensif, motivasi yang tinggi untuk mendapatkan keuntungan sehingga memiliki bergaining position yang lebih kuat pada pemasaran tebu dalam hal memilih PG yang memiliki kinerja lebih baik (Malian 1999). Pola sewa lahan oleh PG terbatas hanya pada lahan-lahan bengkok atau lungguh pada pamong desa, serta pada areal tanaman pangan yang sering mengalami kegagalan panen akibat hama. 2.4 Perkembangan Industri Gula di Indonesia Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005), tipe pengusahaan tanaman tebu terbagi dalam dua tipe yaitu: 1) kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana Pabrik Gula (PG) sekaligus lahan Hak Guna Usaha (HGU) untuk penanaman tebunya, dan 2) tanaman tebu dikelola oleh rakyat. Pada umumnya, petani merupakan pemasok bahan baku tebu sedangkan Pabrik Gula (PG) lebih berkonsentrasi pada pengelolaan. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah sekitar 66% dari produksi gula untuk petani dan 34% untuk Pabrik Gula (PG). Industri gula merupakan suatu proses yang mencakup dua kegiatan pokok, yaitu usaha penanaman tebu dan usaha memperoleh gula kristal dari bahan baku tebu (Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula 1981). Usaha penanaman tebu merupakan suatu penerapan teknologi budidaya, yaitu melakukan penanaman tebu pada lahan yang sesuai dengan input sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh hasil tebu dengan kualitas yang cocok untuk diolah menjadi gula serta dengan kualitas secara ekonomi dapat bersaing dengan usaha tanaman lain pada lahan yang sama. Usaha pengelolaan tebu menjadi gula merupakan penerapan teknologi maju yang cukup rumit berupa perpaduan teknologi fisikawi dan kimiawi. Sifat-sifat industri gula tersebut menerangkan bahwa pada masa sebelum perang, industri gula hanya ditangani oleh perusahaan-perusahaan besar baik dalam usaha penanaman tebu maupun dalam usaha pengelolaannya. Husodo (2000) menyebutkan bahwa secara umum kondisi pergulaan nasional memilii tiga persoalan utama. Pertama, rendahnya harga gula dipasaran
14
dunia. Kedua, produktivitas pabrik gula rendah dan banyak yang tidak efisien. Ketiga, perkembangan industri gula nasional terus merosot. Selanjutnya, Husodo (2000) juga menyatakan bahwa persoalan makro pergulaan nasional adalah 1) yang wajar bagi produsen tanpa memberatkan konsumen, dan 2) dalam jangka panjang: bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktivitas pergulaan nasional, dan mengarah pada swasembada dan ekspor. Pulau Jawa memegang peranan penting dalam menunjang industri gula nasional. Dilihat dari jumlah pabrik gula secara nasional, sekitar 80% pabrik gula berada di Pulau Jawa dan dari total produksi gula nasional, sekitar 60% dihasilkan di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sebagian besar produksi gula (sekitar 80%) dihasilkan oleh petani tebu. Petani tebu sebagian mengusahakan tanaman tebu di lahan sawah dan sebagian lahan kering. Namun, pertanaman tebu di lahan sawah semakin tidak mampu bersaing dengan komoditas lain terutama padi. 2.5 Swasembada Gula Swasembada gula adalah suatu keadaan tercukupinya kebutuhan konsumsi gula dalam negeri oleh produksi gula nasional (Dinas Perkebunan 2012). Pemerintah berupaya untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia yang akan ditempuh melalui tiga tahap, yaitu: 1) tahap jangka pendek (sampai dengan 2009), pencapaian swsembada ditujukan untuk memenuhi konsumsi langsung rumah tangga (swasembada gula konsumsi), sedangkan kebutuhan gula industri sepenuhnya dipasok dari gula impor, 2) tahap jangka menengah (2010-2014), pada tahap ini produksi gula dalam negeri sudah dapat memenuhi konsumsi gula dalam negeri, baik untuk konsumsi langsung rumah tangga, industri, dan sekaligus dapat menutup neraca perdagangan gula nasional (swasembada gula nasional, dan 3) tahap jangka panjang (swasembada gula berdaya saing) mulai tahun 2015 sampai dengan 2025, difokuskan pada modernisasi industri berbasis tebu melalui pengembangan industri Produk Pendamping Gula Tebu (PPGT) yang memiliki nilai tambah (Kementrian Pertanian 2012). 2.6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Perencanaan pembangunan daerah merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan dan memberdayakan kapasitas masyarakat dan potensi yang dimiliki
15
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gubernur yang menjabat di Jawa Tengah berkewajiban untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJMD merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman kepada Rencana Pembanguan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Surat Edaran Gubernur merupakan salah satu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Tengah tahun 2014-2018. Perencanaan pembangunan daerah merupakan upaya dalam memberdayakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat
dan potensi yang dimiliki daerah dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya RPJMD menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), yang dijabarkan menjadi kebijakan, program strategis dan operasional dalam rangka menangani isu strategis dan peningkatan pelayanan publik untuk jangka 5 tahun termasuk Surat Edaran Gubernur dalam mencapai swasembada gula yang mencakup produksi hablur dan konsumsi gula rumah tangga. 2.7 Jenis Gula di Indonesia Gula di Indonesia terdiri dari tiga jenis ( GKM, GKR dan GKP). Gula ini dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commision For Uniform Methods of Sugar Analysis). ICUMSA merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyusun metode analisis kualitas gula dengan anggota lebih dari 30 negara. Warna gula ICUMSA telah membuat rating atau grade kualitas warna gula. Sistem rating berdasarkan warna gula yang menunjukkan kemurnian dan banyaknya kotoran dalam gula tersebut. 1. Raw Sugar (Gula Kristal mentah) Raw Sugar adalah gula mentah berwarna kecoklatan dengan bahan baku tebu. Memiliki nilai ICUMSA sekitar 600 -1200 IU5. Gula ini adalah produksi gula setengah jadi dari pabrik – pabrik yang tidak mempunyai unit pemutihan, biasanya jenis gula ini banyak diimpor untuk kemudian diolah menjadi gula kristal putih maupun gula rafinasi.
16
2. Refined Sugar (Gula Kristal Rafinasi) Refined Sugar merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah atau raw sugar melalui proses defikasi yang tidak dapat secara langsung dikonsumsi manusia sebelum diproses lebih lanjut. Gula rafinasi memiliki standar mutu khusus yaitu mutu 1 memiliki nilai ICUMSA < 45 dan mutu 2 memiliki nila ICUMSA 46 – 806. Gula rafinasi inilah yang digunakan untuk bahan baku industri makanan dan minuman. 3. White Sugar (Gula Kristal Putih) Gula Kristal putih memiliki ICUMSA antara 250 -450 IU. Departemen Perindustrian mengelompokkan gula Kristal putih menjadi tiga bagian yaitu Gula Kristal Putih 1 (GKP 1) dengan nilai ICUMSA 250, Gula Kristal Putih 2 (GKP 2) dengan nilai ICUMSA 250 – 350 dan Gula Kristal Putih 3 (GKP 3) dengan nilai ICUMSA 350 -4507. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka semakin coklat warna gula tersebut dan rasanya semakin manis. Gula tipe ini umumnya digunakan untuk rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik – pabrik gula didekat perkebunan tebu dengan cara menggiling tebu dan melakukan proses pemutihan.
Sumber : agrirafinasi.org
Gambar 4 Kiri (Gula Putih) dan kanan (Gula Rafinasi) 2.8 Bongkar Ratoon Bongkar ratoon adalah mengganti tanaman tebu lama yang sudah dikepras minimal 3 kali (setelah R3) dengan tanaman baru menggunakan varietas unggul yang telah direkomendasikan. Tanaman tebu mempunyai spesifikasi tersendiri dibanding dengan tanaman semusim lainnya. Spesifikasi tersebut terletak pada
17
tanaman tahun pertama (PC/Plane Cane), setelah tanaman pertama panen/sistem kepras pada pangkal batang menjadi tanaman tahun ke dua (R1/Ratoon 1). Tanaman tahun kedua dipanen/dikepras menjadi tanaman ke tiga (R2/Ratoon 2), demikian seterusnya sampai tanaman tersebut dibongkar dan kembali pada tanaman pertama atau Plane Cane . Tanaman tebu pengganti merupakan varietas tebu yang bersertifikat dan direkomendasikan oleh P3GI. Penanaman varietas unggul tersebut diikuti dengan pengairan dan rasionalisasi pemupukan. Dengan cara demikian diharapkan tanaman tebu memiliki produktivitas yang tinggi (Nastiti 2009). 2.9 Hablur Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalkan. Dalam sistem produksi gula, pembentukan gula terjadi di dalam proses metabolisme tanaman. Pabrik gula sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengeluarkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi gula kristal. Hablur yang dihasilkan mencerminkan dengan rendemen tebu. Dalam prosesnya rendemen yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses penggilingan di pabrik. Untuk mendapatkan rendemen tinggi, tanaman tebu harus merupakan varietas yang unggul. Namun sebaik apapun tebu yang ditanam, jika pabrik dalam pengolahannya tidak baik maka hablur yang didapat akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada di batang. 2.10 Metode ARIMA Metode peramalan Box-Jenkins adalah suatu metode yang tepat untuk menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi dibanding peramalan lainnya (Assuari 1984). Box-Jenkins merupakan metode peramalan yang berbeda dengan metode-metode lainnya, karena model ini mengasumsikan pola variasi data historis deret yang diramalkan. Model ini sangat cocok untuk residual yang kecil. Jika model yang diterapkan kurang memuaskan, prosesnya diulangi menggunakan model baru yang dirancang untuk memperbaikinya dan hingga model yang didapat memuaskan (Hanke 2005). ARIMA atau model Box-Jenkins memfokuskan pada kombinasi prinsipprinsip regresi dan pemulusan (smoothing). Model ARIMA merupakan gabungan model AR (p) dan MA (q). ARIMA sangat bermanfaat untuk peramalan jangka pendek. ARIMA menggunakan informasi dari deret waktu (time series) sendiri
18
untuk melakukan forecast. Model ARIMA berbeda dengan model regresi biasa dalam melakukan forecasting, dengan model regresi biasa dibutuhkan peramalan mengenai independen variabel. ARIMA sangat bermanfaat dalam peramalan jangka pendek. Dalam ARIMA diperlukan kestasioneran data yang dimodelkan dalam deret waktu. Deret waktu dikatakan stasioner apabila pola data konstan dari waktu ke waktu. Data yang tidak stasioner pada nilai tengah dapat diatasi dengan diferensiasi derajat (d) pertama dan kedua dan pada derajat keberapa data tersebut mencapai kestasioneran. Sedangkan data yang tidak stasioner dapat diatasi dengan transformasi. Tahapan dalam ARIMA Ada beberapa tahapan dalam model ARIMA: 1. Identifikasi dari model a. Identifikasi dari kestasioneran data b. Identifikasi ordo ARIMA 2. Estimasi parameter dari model yang telah dipilih sesuai hasil identifikasi 3. Diagnostic checking dan pemilihan model yang terbaik, berdasarkan kriteria: a. Memiliki koefisien yang signifikan secara statistik b. Memiliki error yang random c. Memiliki standar error of regression yang paling kecil 4. Forecasting Seansonal ARIMA (SARIMA) merupakan metodologi serupa yang dikembangkan oleh Box-Jenkins. Prosedur dilakukan pada dasarnya sama dengan model ARIMA. Perbedaannya terletak pada proses pembedaan serta identifikasi perilaku ACF dan PACF data deret mengandung unsur musiman. Suatu deret waktu musiman (seasonal time series) harus stasioner terlebih dahulu sebelum diestimasi dalam suatu model peramalan. Jika plot data asli mengandung trend, maka pembedaan perlu dilakukan untuk mentransformasi data asli menjadi data stasioner, baik pembedaan pertama atau kedua, yaitu Zt = ΔYt = Yt – Yt-1 …………………………………………………… (2.1) atau Zt = Δ2 Yt = (Yt – Yt-1) – (Yt-1 –Yt-2) ……………………………….. (2.2)
19
Pembedaan diatas dilakukan baik terhadap data level yang disebut pembedaan regular (regular differenced), maupun pembedaan terhadap deret waktu yang sudah mengalami pembedaan musiman (seasonal difference). Pembedaan musiman adalah pembedaan yang dilakukan terhadap bagian musimannya. Dalam prosedur peramalan data musiman diperlukan plot data asli untuk melihat variasi musiman signifikan pada data yang dianalisis (Firdaus 2006). 2.11 Analytical Hierarchy Process (AHP) Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1970-an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgment) dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty 1983). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan akan diselesaikan dalam suatu kerangka pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin 2011). Adapun konsep dasar matematis yang dipakai dalam AHP adalah matriks. Kerangka kerja AHP terdiri dari delapan langkah utama (Saaty, 1991) yang akan dijabarkan sebagai berikut: 1.
Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan persoalan yang diinginkan. Pada tahap ini hal yang perlu diperhatikan adalah penguasaan masalah secara mendalam, karena yang menjadi fokus utama pada tahap ini adalah pemilihan tujuan, kriteria, kreativitas, dan elemen-elemen yang menyusun hierarki. Komponen sistem dalam hierarki dapat diidentifikasi berdasarkan kemampuan para analis untuk menemukan unsur-unsur yang dilibatkan dalam suatu sistem
20
dan dapat dilakukan dengan memperoleh informasi yang relevan dengan masalah yang sedang dihadapi. 2. Struktur hierarki dari sudut pandang manajerial menyeluruh (dari tingkat puncak sampai ke tingkat dimana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan persoalan tersebut). Penyusunan hierarki berdasarkan pada jenis keputusan yang akan diambil, dimana setiap elemen dalam hierarki menduduki satu tingkat hierarki. Pada tingkat puncak hierarki hanya terdiri dari satu elemen yang disebut fokus, yaitu sasaran keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat berikutnya dapat terdiri dari beberapa elemen yang dibagi dalam kelompok homogen, yang berjumlah antara lima sampai sembilan elemen, agar dapat dibandingkan dengan elemen - elemen yang berada diatasnya. Tahap ini tetap melibatkan responden
dengan tujuan
pertimbangan
yang
agar
responden
mulai
memahami
alur
akan dilakukan berdasarkan struktur hierarki yang
dihasilkan. 3. Membuat sebuah matriks banding berpasangan untuk kontribusi atau pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat diatasnya. Dalam matriks ini pasangan-pasangan elemen dibandingkan berkenaan dengan suatu kriteria ditingkat yang lebih tinggi. Dalam membandingkan dua elemen, hal yang dipertimbangkan adalah dengan menunjukan dominasi sebagai suatu bilangan bulat. Dan pada matriks ini memiliki satu tempat untuk memasukan bilangan
tersebut
dan
satu
tempat
lain
untuk
memasukan
nilai
resiprokalnya. Jadi jika suatu elemen tidak berkontribusi lebih dari elemen lainnya, elemen lainnya ini pasti berkontribusi lebih dari elemen tersebut. Bilangan ini dimasukan dalam tempat yang semestinya dalam matriks dan nilai kebalikannya dalam tempat yang lain pada matriks. 4. Dapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat matriks di langkah 3. Setelah matriks pembadingan berpasangan selesai dibuat, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pembandingan berpasangan antara elemen pada kolom ke-i dengan setiap elemen pada baris ke-j yang berhubungan dengan
21
fokus goal. Pembandingan berpasangan antar elemen dilakukan dengan pertanyaan. Seberapa kuat elemen baris ke-i didominasi atau dipengaruhi oleh fokus goal dibandingkan dengan kolom ke-j. Untuk mengisi matriks banding berpasangan digunakan skala banding yang dijelaskan pada Tabel 3. Pada Tabel 3, intensitas kepentingan apabila bobot nilai 1 maka kedua aktivitas A dan B memberikan kontribusi yang sama atau sama penting. Bobot nilai 3 maka aktivitas A sedikit lebih penting dari aktivitas B. Bobot nilai 5 maka aktivitas A lebih penting dari aktivitas B. Bobot nilai 7 maka aktivitas A sangat jelas lebih penting dari aktivitas B. Bobot nilai 9 aktivitas A mutlak lebih penting dari aktivitas B. Tabel 3 Intensitas kepentingan Intensitas Kepentingan 1
Definisi Equal Importance
3
Moderate Importance
5
Strong Importance
7
Very Strong Importance
9
Extreme Importance
2,4,6,8
Nilai kompromi atas nilai-nilai di atas
Penjelasan Dua aktivitas memberikan kontribusi sama terhadap tujuan (A dan B sama penting) Pengalaman dan penilaian memberikan nilai tidak jauh berbeda antara satu aktivitas terhadap aktivitas lainnya (A sedikit lebih penting dari B) Pengalaman dan penilaian memberikan nilai kuat berbeda antara satu aktivitas terhadap aktivitas lainnya (A lebih penting dari B) Satu aktivitas sangat lebih disukai dibandingkan aktivitas lain (A sangat jelas lebih penting dari B) Satu aktivitas secara pasti menempati urutan tertinggi dalam tingkatan preferensi (A mutlak lebih penting dari B) Penilaian kompromi secara numeris dibutuhkan semenjak tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan
Sumber : Marimin (2010)
5. Setelah mengumpulkan semua data banding berpasangan dan memasukan nilainilai kebalikannya beserta entri bilangan 1 sepanjang diagonal utama, prioritas dicari dan konsistensi diuji. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat Tabel 4.
22
Tabel 4 Contoh matriks untuk pembandingan berpasangan
C
Peningkatan Rendemen dan Produktivitas (F1)
Peningkatan rendemen dan produktivitas (F1) Meningkatkan mutu pabrik (F2) Meningkatkan areal luas tebu (F3) Revitalisasi pabrik gula (F4) Peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen (F5) Sumber : Saaty (1991)
Meningkatkan mutu pabrik (F2)
Meningkatkan areal luas tebu (F3)
Revitalisasi pabrik gula (F4)
Peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen (F5)
1
1
1
Tabel 5 Contoh kasus matriks sederhana untuk pembandingan berpasangan
C
Peningkatan Rendemen dan Produktivitas (F1)
Peningkatan rendemen dan 1 produktivitas (F1) Meningkatkan 1/2 mutu pabrik (F2) Meningkatkan 1/4 areal luas tebu (F3) Revitalisasi 6 pabrik gula (F4) Peningkatan teknologi atau 3 alat pengukur rendemen (F5) Sumber : Saaty (1991)
Peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen (F5)
Meningkatkan mutu pabrik (F2)
Meningkatkan areal luas tebu (F3)
Revitalisasi pabrik gula (F4)
2
4
1/4
9
1
5
3
1/7
1/5
1
1
1
3
1
1/3
3
1
1
1/3
1
23
Matriks
di
bawah
kebalikannya. Misalnya
diagonal
utama
diisi
elemen F11 memiliki
dengan
nilai
nilai-nilai
1 artinya antara
peningkatan rendemen dan produktivitas (F1) horisontal dan peningkatan rendemen dan produktivitas (F1) vertikal sama pentingnya. Nilai elemen F21 adalah kebalikannya, yaitu 1/2 artinya meningkatkan mutu pabrik (F2) dua kali lebih penting dari peningkatan rendemen dan produktivitas (F1), setelah itu prioritas dicari dan konsistensinya diuji. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat Tabel 5. 6. Melakukan langkah 3,4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki. Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen atau elemen pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hierarki, berkenaan dengan kriteria elemen di atas. Ada dua macam matriks pembanding yang dipakai dalam AHP, yaitu: a. Matriks Pendapat Gabungan (MPG) Matriks baru yang elemennya berasal dari rata-rata geometrik pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 0.1 atau 10%. Elemen disimbolkan oleh Gij yaitu elemen matriks baris ke-i dan kolom ke-j. Pada gambar 3 dapat dilihat matriks pendapat gabungan. Syaratsyarat MPG yang bebas dari konflik tersebut adalah: a. Pendapat masing-masing individu pada baris dan kolom yang sama memiliki selisih kurang dari empat satuan antara nilai dari pendapat individu yang tertinggi dengan yang terendah. b. Tidak terdapat angka kebalikan pada baris dan kolom yang sama. Rumus matematika untuk rata-rata geometrik: Gij
= 𝑛√∏𝑚 𝑘=1(𝐹𝑖𝑗)𝐾 ………………………………..……….… (2.3)
Gij
= elemen MPG baris ke-i kolom ke-j
(Fij)
= elemen baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-1
k
= indeks MPI dari individu ke-k yang memenuhi syarat
m
= jumlah MPI yang memenuhi syarat
24
Tabel 6 Matriks pendapatan gabungan G1
G2
G3
G4
G5
G1
Gij
G12
G13
G14
G15
G2
G21
G22
G23
G24
G25
G3
G31
G32
G33
G34
G35
G4
G41
G42
G43
G44
G45
G5
G51
G52
G53
G54
G55
Sumber : Saaty (1991)
b. Matriks Pendapat Individu (MPI) MPI
adalah
matriks
pembandingan
oleh
individu. Elemennya
disimbolkan oleh aij yaitu elemen matriks baris ke-i dan kolom ke-j. Contohnya pada F25 maka meningkatakan mutu petani (F2) dibandingkan dengan peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen (F5), dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Matriks pendapatan individu
C
Peningkatan Rendemen dan Produktivitas (F1)
Peningkatan rendemen dan produktivitas (F1) Meningkatkan mutu pabrik (F2) Meningkatkan areal luas tebu (F3) Revitalisasi pabrik gula (F4) Peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen (F5) Sumber : Saaty (1991)
Peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen (F5)
Meningkatkan mutu pabrik (F2)
Meningkatkan areal luas tebu (F3)
Revitalisasi pabrik gula (F4)
Fij
F12
F13
F14
F15
F21
F22
F23
F24
F25
F31
F32
F33
F34
F35
F41
F42
F43
F44
F45
F51
F52
F53
F54
F55
7. Gunakan komposisi secara hierarki (sintesis) untuk membobotkan vektorvektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan jumlahkan semua entri prioritas terbobot yang bersangkutan dengan entri prioritas dari tingkat bawah
25
berikutnya dan seterusnya. Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruhkan untuk tingkat hierarki paling bawah. Jika hasilnya ada beberapa buah, boleh diambil nilai rata-rata aritmatiknya. Pada tahap ini, pengolahan hierarki terdiri dari dua tahap yakni: 1. Tahap pengolahan horizontal, yaitu penentuan vektor prioritas, uji konsistensi dan revisi pendapat jika diperlukan. Adapun rumus dan tahapan dalam tahap pengolahan horizontal adalah sebagai berikut:
Perkalian baris (Z) Zi = 𝑛√∏𝑛𝑗=1 𝑎𝑖𝑗 …………………………………………………………...…... (2.4) (i,j = 1,2,3,4,5)
Perhitungan vektor prioritas atau eigen vektor 𝑛
√∏𝑛 𝑗=1 𝑎𝑖𝑗
eVPi = ∑𝑛
𝑛 𝑖=1 ∏𝑗=1 𝑎𝑖𝑗
………………………………………….……. (2.5)
eVPi adalah elemen vector prioritas ke-i
Perhitungan eigen maks VA = (aij) x VP dengan VA = (Vai)…………………………...…. (2.6) VB = VA/VP dengan VB = (Vbi)……………………………….… (2.7) 1
λmax = 𝑛 ∑𝑛1=𝑖 𝑉𝐵𝑖 untuk I = 1, 2, 3, 4, 5 …………….....…………. (2.8) VA = VB = Vektor Antara
Perhitungan Indeks Konsistensi (CI) CI =
𝜆 max − 𝑛 𝑛−1
………………………………….…………………. (2.9)
Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) CR =
𝐶𝐼 𝐶𝑅
…………………………....…………………………..... (2.10)
RI : Indeks acak yang dikeluarkan oleh Oakridge Laboratory Dibawah ini adalah daftar nilai RI dengan matriks berorde 1 sampai dengan 15 yang menggunakan sampel berukuran 100. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 8.
26
Tabel 8 Nilai indeks acak matriks berorde 1 sampai dengan 15 Orde (n) 1 2 3 4 5
Indeks Acak (RI) 0,00 0,00 0,52 0,89 1,11
Orde (n) 6 7 8 9 10
Indeks Acak (RI) 1,25 1,35 1,40 1,45 1,50
Orde (n) 11 12 13 14 15
Indeks Acak (RI) 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
Sumber: Ferwidarto (1996)
2. Tahap pengolahan vertikal yakni menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Apabila CVij diartikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama maka, NP pq = ∑𝑠𝑡=1 𝑁𝑃𝐻 𝑝𝑞 (𝑡, 𝑞 − 1) × 𝑁𝑃𝑇 𝑡 (𝑞 − 1) Untuk p = 1,2,3,4,5 t = 1,2,3,4,5 Dimana : NP pq = nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama NPH = nilai prioritas elemen ke-q pada tingkat ke-q NPTt = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat q-1 8. Evaluasi konsistensi untuk seluruh hierarki dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Dengan menggunakan cara yang sama setiap indeks konsistensi acak dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Rasio konsistensi hierarki harus 10 persen atau kurang. Jika hasil perhitungan lebih dari 10 persen, maka mutu informasi tersebut harus diperbaiki, yakni dengan memperbaiki cara menggunakan pertanyaan ketika membuat perbandingan berpasangan. Jika hal ini gagal memperbaiki konsistensi, terdapat kemungkinan persoalan ini tidak terstruktur secara tepat, yaitu elemenelemen sejenis tidak dikelompokan dibawah suatu kriteria yang bermakna. Pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan komputer dimana rasio konsistensi diperoleh secara otomatis setelah input setiap nilai hierarki dimasukan seluruhnya pada program Expert Choice.
27
2.12 Penelitian Terdahulu Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Data yang digunakan merupakan data deret waktu dengan rentan waktu dari tahun 1993 hingga 2013. Pada tiap peramalan, metode yang digunakan adalah ARIMA dengan menggunakan program Minitab version 14 dalam mencari model ARIMA yang paling baik menggunakan program Eviews 6 untuk dapat melihat produksi hablur dan konsumsi gula rumah tangga untuk mencapai program pemerintah Jawa Tengah dalam swasembada gula tahun 2014-2018. Penelitian ini juga memberikan strategi untuk pencapaian swasembada kepada pemerintah dengan secara langsung, dengan melakukan wawancara kepada stakeholder yang terkait langsung dalam membuat keputusan baik pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Kepala Bidang Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, manager salah satu pabrik gula, pemilik perkebunan tebu, dan akademisi salah satu universitas di Jawa Tengah. Dalam penyusunan strategi menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) yang diolah menggunakan metode Expert Choice. Tabel 9 Matriks penelitian terdahulu Judul/Peneliti
Tujuan
Analisis 1. Menganalisis Peramalan perkembangan Tingkat Produksi tingkat produksi dan Konsumsi dan konsumsi gula Gula Indonesia nasional hingga dalam Mencapai tahun 2014 Swasembada 2. Menganalisis Gula Nasional / upaya yang Nindya dijadikan alternatif Hernanda, 2011 dalam mendorong pencapaian swasembada gula nasional tahun 2104 Kinerja Industri 1. Mempelajari Gula Indonesia / kinerja industri Alvino gula di Indonesia Maryandani, dari segi wilayah 2012 penghasil gula 2. Mengetahui dayasaing industri gula dari segi
Metode
Keterangan
Pengolahan data dilakukan menggunakan software Minitab version 14 dengan metode ARIMA untuk meramalkan data produksi dan konsumsi gula nasional.
Hasil peramalan diperoleh bahwa pada tahun 20112014 masih terdapat defisit pada neraca gula dan pada tahun 2014 Indonesia belum mampu mencapai swasembada gula nasional.
Menggunakan analisis matriks perbandingan berpasangan dan analisis berlian Porter.
Jawa Timur menempati posisi pertama karena memiliki jumlah pabrik banyak, selanjutnya Lampung pada posisi kedua
28
Judul/Peneliti
Tujuan
Metode
keunggulan kompetitif yang terdapat pada industri gula tersebut
Perkembangan dan Prospek Konsumsi Gula Pasir di Indonesia / Henri Fitriadi, 2000
1. Menganalisis perkembangan konsumsi gula di Indonesia 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi langsung gula pasir 3. Memproyeksikan kebutuhan gula pasir di Indonesia periode 20002010
Model yang digunakan dalam menduga parameter dari permintaan langsung gula pasir oleh rumah tangga adalah model log-inverse-log. Pendugaan fungsi langsung gula pasir dengan regresi tergabung (pooled regression) dam model regresi terpisah. Model yang digunakan dalam menduga fungsi adalah Ordinary Least Square (OLS).
Keterangan dikarenakan PG dikelola oleh swasta dan efisien secara teknis dan ekonomis. Gorontalo dan Sulawesi menempati posisi kedua terbawah karena wilayah tersebut masih dalam tahap perkembangan. Jumlah gula pasir yang dibutuhkan per tahun peroide 2000-2010 berada diatas angka 3 juta ton pertahun. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka jumlah gula pasir yang dibutuhkan semakin besar. Ketersediaan gula pasir dipasar harus dijaga untuk menghindari fluktuasi harga dan perlu mengembangkan produksi pemanis non gula yang tidak membahayakan kesehatan konsumen. Upaya pemantauan, pendataan dan pengawasan mutu produk dan penggunaan bahan pemanis
29
Judul/Peneliti
Tujuan
Metode
Mungkinkah Indonesia Mencapai Swasembada Gula Secara Berkelanjutan?/ Widyastutik, 2005
1. Menganalisis kemungkinan Indonesia mencapai swasembada secara berkelanjutan. 2. Menganalisis seberapa besar petani tebu menikmati proteksi tinggi yang diberikan pada industri gula nasional.
Metode analisis yang dipakai adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Pengambilan sampel petani dilakukan secara acak berlapis pada musim tanam 2004-2005.
Analisis Efisiensi Produksi Gula di PG Madukismo, Yogyakarta / Idha Tri Wahyuni, 2007
1. Menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi gula di PG Madukismo. 2. Menganalisis tingkat efisiensi produksi gula di PG Madukismo.
Analisis Faktorfaktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik dan Pengaruh Kebijakan Pergulaan Nasional / Andina Oktriani, 2007
1. Menganalisa pekembangan kebijakan pergulaan nasional selama periode 1975 hingga 2005. 2. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik.
Pengolahan data dan informasi diolah secara umum menggunakan model regresi. Sedangkan rasio efisiensi menggunakan rasio NPM dan BKM. Perumusan model produksi menggunakan fungsi produksi linear. Menganalisa perkembangan kebijakan pergulaan nasional dilakukan secara deskriptif menggunakan metode Regulatory Impact
Keterangan buatan pelu ditingkatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekonomi pengusahaan gula pada berbagai pola tidak menguntungkan. Keunggulan privat yang dimiliki oleh pengusahaan gula lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Faktor-faktor efisiensi perbandingan dari NPM dan BKM yaitu jumlah tebu, tenaga kerja tetap dan tingkat kerja musiman. Dari ketiga faktor tersebut pengalokasiannya belum optimal.
Kebijakan proteksi dan promosi mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional. Namun, adanya disparitas harga gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor menunjukkan
30
Judul/Peneliti
Tujuan
Metode
Keterangan
3. Merekomendasikan kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan.
Assesment (RIA). Menganalisa faktor yang mempengaruhi harga dengan metode TwoStage Least Square (2SLS)
gejala penurunan daya saing, sehingga kebijakan ini belum mampu meningkatkan daya saing gula domesti. Oleh karena itu, kebijakan proteksi dan promosi harus didukung dengan kebijakan lain untuk meningkatkan daya saing gula domestik dari hulu ke hilir.
31
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai acuan berfikir dalam melakukan penelitian. Teori dan konsep yang digunakan dalam menentukan Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah antara lain metode Box-Jenkins (ARIMA) dan Analytical Hierarchy Process (AHP). 3.1.1 Metode ARIMA Metode peramalan Box-Jenkins atau biasa disebut ARIMA sangat baik ketepatannya untuk peramalan jangka pendek, yang membentuk model struktural baik itu persamaan tunggal atau simultan yang berbasis pada teori ekonomi atau logika, namun dengan menganalisis probabilistik atau stokastik dari deret waktu (time series) dengan menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat dengan mengabaikan variabel independennya. Beberapa keuntungan model ARIMA : 1. Merupakan model tanpa teori karena variabel yang digunakan adalah nilai-nilai lampau dan kesalahan yang mengikutinya 2. Memiliki tingkat akurasi peramalan yang cukup tinggi karena setelah mengalami pengukuran kesalahan peramalan mean absolute error, nilainya mendekati nol. 3. Cocok digunakan untuk meramal sejumlah variabel dengan cepat, sederhana, akurat dan murah karena hanya membutuhkan data variabel yang akan diramal. Selain memiliki keunggulan, metode ARIMA juga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Adapun beberapa kekurangan yang dimiliki oleh model ARIMA adalah : 1. Diperlukan data dalam jumlah yang besar. Untuk data nonmusiman dibutuhkan kurang lebih 30 atau lebih pengamatan. Sementara untuk data musiman diperlukan sekitar 6 atau 10 tahun data, tergantung panjangnya periode musim untuk model ARIMA.
32
2. Tidak terdapat cara yang mudah untuk memperbaharui model ARIMA begitu data baru tersedia. Model harus secara berkala disesuaikan kembali secara menyeluruh dan kadang model baru harus dikembangkan. Model ARIMA ini menggunakan pendekatan interatif dalam identifikasi terhadap suatu model. Model yang dipilih diuji lagi dengan data masa lampau untuk melihat apakah model tersebut menggambarkan keadaan data secara akurat atau tidak. Berdasarkan hal tersebut, ARIMA dikembangkan dalam suatu diagram skema untuk dapat menggambarkan pendekatan ini. Diagram tersebut dapat dilihat di Gambar 5.
Rumuskan model umum dan uji stasioneritas data
Identifikasi model tentatif (sementara) dengan memilih (p,d,q)
Estimasi parameter model
Tidak
Pemeriksaan (uji) diagnosa apakah model memadai?
Penggunaan model untuk peramalan
Sumber : Firdaus (2011)
Gambar 5 Metode peramalan Box - Jenkins Pada Gambar 5, langkah awal dalam melakukan peramalan Box – Jenkins yaitu merumuskan model umum dan menguji kestasioneritasan data. Selanjutnya mengidentifikasi model tentatif (sementara) dengan memilih (p,d,q), berikutnya mengestimasi parameter model, setelah itu pemeriksaan uji apakah model yang kita
33
punya itu mamadai atau tidak apabila tidak prosesnya harus diulangi lagi dari mengidentifikasi model. Setelah model yang kita punyai sudah mamadai, maka model tersebut dapat digunakan untuk peramalan. 3.1.2 Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan alat untuk menyelesaikan suatu persoalan dalam suatu pemikiran yang terorganisir, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan – keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu AHP menguji konsistensi penilaian jika terjadi penyimpangan lebih jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal tersebut perlu diperbaiki atau hierarki harus distruktur ulang. AHP mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari : 1. Reciprocal Comparison Matriks perbandingan berpasangan yang berbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A adalah k kali lebih penting daripada B maka B adalah 1/k kali lebih penting dari A. 2. Homogenity Kesamaan dalam melakukan perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenis dalam hal rasa, akan lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat. 3. Dependence Setiap jenjang (level) mempunyai kaitan (complete hierarchy) walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy). 4. Expectation Menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi dan persepsi dari pengambilan keputusan. Jadi yang diutamakan bukanlah rasionalitas, tetapi dapat juga yang bersifat irrasional.
34
Tabel 10 Keuntungan dalam pemecahan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP Kesatuan
Kompleksitas
Saling ketergantungan
Penyusunan hierarki
Pengukuran
Konsistensi
Sintesis
Tawar menawar
Penilaian dan konsensus
Pengulangan proses
Sumber : Marimin (2010)
AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstuktur. AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linear. AHP mencerminkan kecenderungan alami pemikiran untuk memilah-milah elemen sautu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan prioritas. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. AHP mempertimbangankan prioritasprioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan mereka. AHP tidak memaksakan konsensus, tetapi mensintesiskan sesuai hasil yang representatif dari berbagai pnelitian yang berbeda. AHP memungkinkan oganisasi memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
35
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Gula merupakan komoditas yang penting baik untuk konsumsi langsung dan untuk kegiatan produksi industri makanan dan minuman. Sejak tahun 1967 sampai sekarang Indonesia sudah tidak mampu lagi memenuhi permintaan gula domestik akibat berbagai kendala yang menimpa perindustrian gula Indonesia. Permasalahan yang menyebabkan turunnya produksi gula domestik antara lain disebabkan oleh menurunnya luas areal tanaman tebu serta produktivitas tebu yang dihasilkan, rendahnya produktivitas pabrik gula serta manajemen pabrik gula yang tidak efisien adalah pemicu rendahnya produksi gula nasional (Nainggolan 2005). Beberapa faktor diatas ditambah lagi rendahnya teknologi, kualitas mutu petani, sistem bagi hasil yang kurang sesuai antara pabrik dan petani, pengetahuan petani dalam mengelola tanaman tebu mereka, pendistribusian, sehingga pemerintah membuat keputusan mengenai program swasembada Jawa Tengah. Apabila faktor-faktor tersebut tidak diperbaiki maka program swasembada tersebut tidak akan tercapai dan akan merugikan baik pihak pabrik maupun petani. Permintaan akan gula akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, pendapatan dan industri yang berkembang di Provinsi Jawa Tengah. Permintaan konsumsi gula pasir yang meningkat ini tidak didukung dengan Sumberdaya Manusia (SDM) dan Sumberdaya Alam (SDA), dimana luas areal yang dimiliki semakin menurun, distribusi yang belum optimal, teknologi yang belum memadai, pengetahuan petani yang masih rendah dan sistem bagi hasil yang belum adil. Untuk mencapai target pencapaian swasembada gula diperlukan peramalan produksi dan konsumsi menggunakan ARIMA, karena ARIMA bermanfaat untuk peramalan jangka pendek. Untuk mencapai target swasembada diperlukan strategi yang tepat menggunakan AHP. Sehingga didapatkan hasil streategi yang sesuai untuk mencapai target swasembada gula di Jawa Tengah. Adapun alur kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
36
- Konsumsi - Penduduk - Tingkat Pendapatan - Industri berkembang
-
Luas areal Distribusi Teknologi Pengetahuan petani - Sistem bagi hasil
Target Pencapaian Swasembada
Analisis Produksi dan Konsumsi (ARIMA)
Peramalan Swasembada
Strategi Swasembada (AHP)
Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah Gambar 6 Alur Pemikiran Operasional
37
IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari – Maret 2014. Pengambilan data yang berupa data produksi hablur dan konsumsi gula rumah tangga yang dimiliki tiap pabrik gula dari tahun 1993-2013 diperoleh dari Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Pengambilan data primer juga dilakukan pada tujuh responden yang merupakan stakeholder, data primer diambil di Dinas Perkebunan Jawa Tengah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Pabrik Gula Laju Perdana Indah. 4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis data primer dan sekunder. Data primer berupa data kualitatif yang diperoleh dari personal judgement dari peneliti setelah itu pemberian kuisioner kepada ke tujuh responden yaitu Kepala Bidang Pengelolaan Hasil Perkebunan, Kepala Sub Bidang SDAP Bidang Perekonomian, Kepala Seksi Sarana Produksi, Staf Budidaya Perkebunan, Manager Pabrik Gula (PG) Pakis Baru dan akademisi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa data produksi hablur dan konsumsi gula rumah tangga yang dimiliki oleh 8 Pabrik Gula (PG) milik pemerintah dan 3 Pabrik Gula (PG) milik swasta dari tahun 1993-2013. 4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data Dalam penelitian ini data sekunder diolah menggunakan program Eviews 6 dan Minitab14 untuk memproyeksikan data yang dimiliki tiap pabrik gula dari tahun 1993-2013 model yang digunakan adalah metode ARIMA. Penggunaan metode AHP dengan menerapkan pendekatan matematis yang kompleks, namun berdasarkan pendekatan kualitatif yang dapat diterima oleh semua stakeholder dan pengelola program, pengolahan data menggunakan program Expert Choice. 4.3.1 Metode ARIMA Pada penelitian ini menggunakan metode ARIMA karena untuk peramalan dalam jangka pendek. Model ini juga mengabaikan independen variabel dalam
38
membuat peramalan dan menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen. Peramalan model Autoregressive (AR) didasarkan pada fungsi dari pengamatan nilai masa lalu dalam jumlah terbatas, sedangkan peramalan model Moving Average (MA) berdasarkan kombinasi linear galat masa lalu dalam jumlah terbatas. Gabungan dari Autoregressive (p) dan Moving Average (q) akan membentuk model ARIMA (p, d, q) dimana p adalah ordo dari AR, d merupakan ordo dari intregasi dan q adalah ordo dari MA. Bentuk dasar dari model ARIMA adalah (Hanke 2005) Model Autoregressive (AR) : Yt = ϕ0 + ϕ1 Yt -1 + ϕ2 Y t – 2 + … + ϕp Y t-p + ɛt ………………………………… (4.1) Model Moving Average (MA) : Yt = μ + ɛt – ω1 ɛt – 1 – ω2 ɛt - 1 - ... – ωq ɛt – q ………………………………….. (4.2) Model ARMA (p,q) : Yt = ϕ0 + ϕ1 Yt - 1 + ϕ2 Yt – 2 + … + ϕp Yt – p + ɛt – ω1 ɛt - 1 – ω2 ɛt – 2 – … - ωq ɛt – q (4.3) Model ARIMA (p,d,q) : φ(B)ΔdYt = μ + ϕ (B) et ……………………………………………………… (4.4) Dimana : Yt
: variable dependen pada waktu ke-t
Yt – 1, Yt – 2, …, Yt – p
: variable time lag
ϕ0, ϕ1, ϕ2, …, ϕp
: koefisien yang diestimasi
ɛt
: error term pada period ke-t
μ
: konstanta
ω1, ω2, …, ωq
: koefisien yang diestimasi
ɛt – 1, ɛt – 2, …, ɛt – q
: error dari time lag
Model ARIMA dibentuk melalui rangkaian tahapan sebagai berikut: 1. Identifikasi model Dilakukan
dengan
menentukan
kestasioneran
data.
Deret
waktu
nonstasioner terindikasi apabila deret muncul dengan pertumbuhan atau penurunan sepanjang waktu dan autokolerasi sampel tidak dapat menghilang dengan cepat. Deret nonstasioner dapat diubah menjadi deret stasioner melalu proses differencing yaitu dengan mengganti deret asli menjadi deret selisih. Kestasioneran dapat dilihat
39
dari uji Augmented Dicky Fuller (ADF) melalui pengamatan pola AFC dan PACF dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Pola ACF dan PACF pada model ARIMA Model MA (q)
AFC
PACF
Terpotong (cut off) setelah lag q Perlahan-lahan menghilang (q=1 atau q=2)
AR (p)
(dies down)
Perlahan-lahan menghilang (dies Terpotong (cut off) setelah down)
ARMA (p,q)
lag q (q=1 atau q=2)
Perlahan-lahan menghilang (dies Perlahan-lahan menghilang down)
(dies down)
Sumber : Hanke (2005)
Apabila data yang menjadi model input tidak stasioner , perlu dilakukan modifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang digunakan adalah metode differencing. Second order difference dilakukan apabila pada first order difference data belum juga stasioner (Firdaus 2006). First order difference
: ΔYt
= Yt – Yt – 1 ……………………. (4.5)
Second order difference
: Δ2Yt
= Δ(ΔYt) = Δ(Yt - Yt – 1) = Yt – 2Yt – 1 + Yt – 2 … (4.6)
2. Estimasi Parameter Model Setelah melalui proses identifikasi model melalui uji ADF, dilakukan estimasi parameter model dengan menentukan terlebih dahulu ordo maksimum dari AR dan MA dengan melihat ACF untuk ordo MA (q) dan PACF untuk ordo AR (p). Ordo dari integrasi (d) juga harus ditentukan. Ada dua cara mendasar yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi terhadap parameter-parameter tersebut, yaitu: a. Dengan cara mencoba-coba (trial and error) Melakukan pengujian terhadap beberapa nilai yang berbeda dan memilih diantaranya yang memiliki jumlah kuadrat nilai sisa (galat) yang minimum (sum squared residual). b. Perbaikan secara iterative (pengulangan) Cara ini dilakukan dengan memilih nilai taksiran awal dan membiarkan program komputer untuk memperhalus penaksiran dengan cara iterative
40
(berulang). Metode ini lebih banyak dilakukan dan telah tersedia alogaritma (proses komputer) yang kuat dan dapat digunakan. 3. Pengujian Parameter Model Sebelum menggunakan model untuk peramalan, model hendaknya diperiksa
terlebih
dahulu
kecukupannya.
Pengujian
dilakukan
dengan
menggunakan model-model yang telah diestimasi pada tahap sebelumnya, sesuai dengan kombinasi model ARIMA. Pengujian parameter model terdiri dari:
Pengujian masing-masing parameter model secara parsial
Pengujian model secara keseluruhan
4. Pemilihan model terbaik Model harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat menjadi model yang terbaik, yaitu (Firdaus 2006): a) Residual bersifat acak dan tersebar normal Model yang sesuai dengan data dapat diindikasikan oleh error yang bersifat acak yang ditunjukkan dengan ACF dan PACF dari residual secara statistik harus sama dengan nol. Untuk menguji autokolerasi residual dapat menggunakan uji statistic Ljung Box (Q). Hipotesis: H0 : ρ 1 = ρ 2 = ρ m = 0 H1 : ρ 1 ≠ ρ 2 ≠ … ≠ ρ m ≠ 0 Statistik Uji: 𝑟 2
𝑘 Q = n(n + 2) ∑𝑚 𝑘 𝑛−𝑘
……………………………...… (4.7)
Dimana: n
= jumlah observasi
k
= selang waktu
m
= jumlah selang waktu uji
rk
= fungsi autokolerasi sampel dari residual berselang k
kesimpulan: bila Q> χ2α(m-p-q) (disimpulkan tolak H0). Atau apabila nilai p (p-value) terkait denagn statistic Q kecil (misalkan : P < 0,005), maka tolak H0 dan model dipertimbangkan tidak memadai.
41
b) Berlaku prisip parsimonious Model yang dipilih merupakan model yang paling sederhana, yang memiliki jumlah parameter terkecil. c) Semua parameter estimasi harus berbeda nyata dari nol Dengan menngunakan t-rasio. Hipotesis: H0 : tidak terdapat autokolerasi pada deret waktu (H0 : ρk = 0) H1 : terdapat autokolerasi yang nyata pada selang ke-k (H1 : ρ1 ≠0) Statistik Uji: t=
𝑟 2 −𝑝𝑘 √𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑐𝑒
𝑟𝑘
, atau sama dengan t = 𝑆𝐸 (𝑟 𝑘) …………….... (4.8)
dimana: k = lag atau selang n = jumlah observasi kriteria uji : statistik H0 menyebar dengan derajat bebas (n-1). Untuk α tertentu dari table Tα/2 (n-1) atau pada tingkat signifikan 0,05. Berdasarkan pengalaman dapat menggunakan t-table = 2 sebagai nilai kritis untuk menguji ρk Kesimpulan : Bila t hitung > Tα/2
(n-1)
(dapat disimpulkan tolak H0) atau jika nilai
absolut dari t hitung < 2 berarti tidak ada autokolerasi. d) Harus memenuhi kondisi invertibilitas dan stasioneritas Zt adalah fungsi linear dari data stasioner yang lampau (Zt-1, Zt-2, …) dengan mengaplikasikan analisis regresi pada nilai lag deret stasioner, maka dapat diperoleh autoregresi karena komponen trend sudah dihilangkan. Data stasioner Zt saat ini adalah fungsi linear dari galat masa kini dan masa lamapu. Zt = μ + ɛt - θ1 ɛt-1 – θ2 ɛt – 2 - … - θq ɛt – qs ………………...… (4.9) Jumlah koefisien MA harus kurang dari 1 Θ1 + Θ2 + …+ Θq < 1 (kondisi invertibiliti) …………….. (4.10) Zt = δ + Θ1 Zt-1 – Θ2 Zt – 2 +…+ɛt …………………………... (4.11)
42
Jumlah koefisien AR harus selalu kurang dari 1 Φ1 + Φ2 +… + Φp < 1 (kondisi stasioner) …………………. (4.12) e) Proses iterasi harus konvergen Prosesnya harus terhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter dengan SSE terkecil. Jika telah memenuhi syarat tersebut maka pada session akan terdapat pertanyaan relative change in each estimate less than 0,0010. f) Nilai MSE model harus kecil 1
MSE = 𝑛 ∑𝑛𝑡=1 ɛ𝑡 2 …………………………………………… (4.13) Semakin kecil nilai MSE, menunjukan model secara keseluruhan lebih baik. Suatu model dikatakan baik apabila model tersebut memenuhi kriteriakriteria yang telah diuraikan. Model tersebut dianggap sebagai model terbaik yang mampu menggambarkan hubungan antar variabelnya baik variabel dependen dengan variabel independen maupun hubungan antar variabel independen. 5. Peramalan Proses peramalan dilakukan dengan menggunakan model terbaik yang memenuhi kriteria pada poin 4 untuk menjadi model terbaik. Peramalan dilakukan untuk memenuhi nilai pada masa yang akan datang sehingga membantu memberi gambaran keadaan pada masa yang akan datang yang berguna dalam perencanaan suatu kebijakan. 4.3.2 Analitycal Hierarchy Process (AHP) Model Analitycal Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. Model yang berada di wilayah probabilistik ini merupakan model pengambilan keputusan dan perencanaan strategis. Ciri khas dari model ini adalah penentuan skala prioritas atas alternatif pilihan berdasarkan suatu proses analitis berjenjang, terstruktur atas variabel keputusan. Sejalan dengan itu, dalam memecahkan persoalan dengan AHP (decomposition), prinsip penilaian komparatif (comparative judgement), prinsip
43
sintesa prioritas (synthesis of priority) dan prinsip konsistensi logis (logical consistency). 1. Decomposition, yaitu pemecahan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan (hierarki) dari persoalan tadi. 2. Comparative Judgement. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian itu merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penelitian disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan matriks pairwise comparison. 3. Synthesis of Priority. Pada setiap matriks pairwise comparison terdapat prioritas lokal. Oleh karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan keseluruhan prioritas harus dilakukan sintesa diantara prioritas lokal tersebut. Pengurutan elemen-elemen tersebut menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa yang dinamakan priority setting. 4. Logical consistency. Konsistensi dalam hal ini mempunyai dua makna. Pertama bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dari relevasinya. Kedua bahwa tingakat hubungan antara objek-objek didasarkan pada kriteria tertentu misalnya sama penting, jelas lebih penting, mutlak lebih penting.
44
Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah
Tujuan
Kriteria/ Faktor
F1
F2
F3
F4
F5
Alternatif Strategi
A
B
C
D
E
Sumber : Marimin (2011)
Gambar 7 Struktur hierarki strategi pencapaian swasembada gula pasir di Jawa Tengah Keterangan : Tingkat Faktor F1
: Peningkatan rendemen dan produktivitas
F2
: Meningkatkan mutu pabrik
F3
: Meningkatkan areal luas tebu
F4
: Revitalisasi pabrik gula
F5
: Peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen
Alternatif Strategi A
: Sistem bagi hasil dan kerja antara petani dan pabrik gula
B
: Memfasilitasi petani dalam kredit murah dan mudah
C
: Kerjasama dan kemitraan petani dan pabrik gula
D
: Ketersediaan bahan baku (bibit)
E
: Sarana pendukung petani (pupuk)
45
V MODEL ARIMA UNTUK PRODUKSI HABLUR DAN KONSUMSI GULA RUMAH TANGGA 5.1 Perkembangan Gula di Jawa Tengah Gula merupakan salah satu komoditas yang sangat strategis dalam meningkatkan perekonomian di Jawa Tengah. Luas areal perkebunan tebu di Jawa Tengah sekitar 57.475,1 ha pada tahun 2013. Industri gula berbasis tebu merupakan industri yang sangat penting, karena gula merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok masyarakat yang permintaannya tinggi. Hal tersebut dapat terlihat dari total konsumsi gula di Jawa Tengah tahun 2013 mencapai 207.290,09 ton (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah 2013) Budidaya tanaman tebu sangat tergantung pada luas lahan, iklim, bibit dan teknik budidaya yang merupakan kegiatan produksi di hulu. Dengan berbagai kegiatan tersebut belum sepenuhnya menjamin permintaan gula di Jawa Tengah dapat terpenuhi. Terlihat dari produktivitas hablur pada tahun 2013 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 4,3% atau sebesar 10.739,8 ton. Oleh karena itu perlu pengoptimalan penggunaan lahan pada daerah-daerah di Jawa Tengah yang memiliki potensi lebih unggul daripada daerah lain. Peningkatan produksi tanaman tebu juga dapat diperoleh dengan pemanfaatan varietas unggul dan pemanfaatan saprodi yang lebih efisien dan efektif serta didukung oleh kemampuan teknologi budidaya, proses tebang dan pengangkutan. Sementara pada kegiatan hilir, yaitu kondisi mesin yang sudah berumur tua merupakan masalah yang menyebabkan produksi di pabrik gula terkendala sehingga produktivitas gula menurun (Kementrian Pertanian 2012) 5.2 Peramalan Produksi hablur dan Konsumsi Gula Meramalkan produksi hablur dan konsumsi gula Rumah Tangga (RT) menggunakan Autoregressive Intergrated Moving Average (ARIMA). Peramalan atau forecasting merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam perencanaan suatu keputusan. Pada data produksi hablur dan konsumsi gula Rumah Tangga (RT) ini merupakan pola data trend (data bergerak naik atau turun dalam jangka waktu yang panjang).
46
5.2.1 Identifikasi Pola Data Produksi Hablur Grafik plot data dari produksi hablur di Jawa Tengah tahun 1993-2013 menunjukan pola trend yang meningkat meskipun terjadi penurunan yang cukup basar pada tahun 1997 dan 1998 (Gambar 8). Data produksi tersebut sangat berfluktuasi dan memiliki trend yang semakin meningkat sehingga termasuk ke dalam data nonstasioner. Data nonstasioner harus distasionerkan terlebih dahulu dengan pembeda dua kali atau second difference dapat dilihat bahwa data sudah stasioner yang ditunjukkan pada Lampiran 4. 500000 450000
produksi (ton)
400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
0
Tahun Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia Diolah 2014
Gambar 8 Grafik plot data produksi hablur Data produksi hablur menunjukkan adanya fluktuasi dan trend. Penurunan produksi hablur di Jawa Tengah cukup tajam terjadi pada tahun 1998 sebesar 37,4% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1999 merupakan produksi hablur terendah selama 21 tahun yaitu hanya sebesar 155.918 ton. Rendahnya produksi hablur tersebut disebabkan karena penghapusan Inpres No.9 tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sebagai suatu kebijakan baru dalam industri gula yang akan mengganti tata hubungan produksi gula tebu dari sistem penyewaan tanah petani oleh pabrik gula menjadi sistem produksi langsung oleh petani pemilik tanah sendiri. Peraturan tersebut diganti dengan Inpres No. 5 Tahun 1998 yang intinya memberikan kebebasan kepada petani untuk
47
menanam komoditas apa saja (tidak lagi terkait TRI) yang memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan. Dengan adanya penghapusan peraturan tersebut industri gula kehilangan petani pemilik lahan karena pemilik lahan lebih cenderung memanfaatkan lahannya untuk komoditas yang menurut mereka lebih menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Industri gula pun memerlukan waktu untuk mencari petani pemilik lahan yang memiliki keinginan untuk menyewakan lahan kepada pabrik, karena pada tahun 1999 industri gula juga sedang mengalami kemunduran dimana harga gula dipasar internasional terus menurun dan mencapai titik terendah. Akibatnya, petani pemilik lahan enggan menyewakan lahan mereka ke industri gula. Luas lahan yang dimiliki industri gula menurun, produksi tebu mengalami penurunan sehingga berdampak pula pada produksi hablur. Selain akibat dihapuskannya kebijakan TRI luas areal berkurang karena adanya konversi lahan. Konversi lahan dapat berupa pengalihan penggunaan lahan untuk industri, perumahan dan komoditi pertanian yang lain. Misalnya, penggunaan lahan yang awalnya ditanami tebu beralih ke komoditi padi. Kredit yang disediakan oleh pemerintah juga merupakan salah satu penyebab menurunnya luas areal tebu, karena kredit usahatani tebu sering terlambat dan jumlahnya tidak memadai sehingga petani mengalihkan usahatani tebu ke usahatani yang mempunyai masa pengambilan modalnya lebih cepat, seperti padi atau bawang merah. Luas areal tebu di Jawa Tengah juga cenderung menurun disebabkan selama tahun 2000 sampai 2007 terdapat dua PG di Jawa Tengah yang ditutup, yaitu PG Pakis Baru dan PT IGN. Penurunan luas areal tebu ini berdampak pula dengan penurunan produksi hablur. Permasalahan lainnya adalah tidak efisiennya Pabrik Gula (PG) yang ada dan menurunnya produksivitas tebu. PG di Jawa Tengah memiliki kapasitas giling yang relatif kecil. Umur mesin dan teknologi yang sudah tua turut memberikan andil terhadap rendahnya efisiensi pabrik gula. Kombinasi permasalahan mesin dan peralatan yang telah tua dan kualitas bahan baku tebu yang rendah pada akhirnya menyebabkan rendahnya produktivitas gula hablur. Penanaman varietas yang umumnya sudah tua seperti BZ 148 (M442-51) dibanding dengan varietas baru. Sebagai ilustrasi, produktivitas varietas BZ 148 untuk Plant Cane (PC) hanya
48
berkisar 94,40 ton tebu/ha atau 4,17 ton hablur/ha, sedangkan produktivitas varietas baru seperti PS 86-17538 mencapai 123,90 ton tebu/ha setara dengan sekitar 12,50 ton hablur/ha. Masalah terakhir, umumnya petani tidak melakukan peremajaan pada tanamannya. Sehingga sebagian besar berupa tanaman keprasan (ratoon) yang mengakibatkan produksi hablur menurun (Susila et al. 2005). Terlihat pada Tabel 12, rendahnya produksi hablur diikuti dengan turunnya rendemen yaitu hanya mencapai 5,2%. Penurunan produksi gula diakibatkan inefisiensi ditingkat PG mencapai 30%. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pabrik gula umumnya sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal. Kedua, ketersedian bahan baku yang terbatas sehingga pabrik beroperasi dibawah kapasitas optimal. Penurunan areal tebu menyebabkan ketersediaan bahan baku berkurang sehingga PG sering mengalami kesulitan untuk mencapai kapasitas minimal. Selain itu, adanya Undang-undang No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman membebaskan petani dalam mengusahakan lahannya sehingga menanam tebu tidak lagi merupakan kewajiban tetapi pilihan bebas petani berdasarkan rasional ekonomi. Sehingga pabrik gula semakin tidak efisien karena kesulitan dalam mendapatkan pasokan bahan baku tebu. Tabel 12 Data produksi hablur, produktivitas hablur dan rendemen di Jawa Tengah 1993 - 2013 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Produksi Hablur (ha) 450.111 437.981 330.525 333.436 313.195 195.761 155.918 180.742 183.475 249.430
Produktivitas Hablur (ton/ha) 5,3 5,3 4,5 4,6 4,7 3,2 3,3 3,9 3,8 4,6
Rendemen 7,6 8,2 7,0 7,2 7,4 5,2 6,3 6,5 6,1 7,2
Sumber: Sekertarian Dewan Gula (2014)
Pada Gambar 8, tahun 2004 produksi hablur berangsur-angsur mengalami kenaikan dikarenakan tahun 2002 Departemen Pertanian menetapkan program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional, yang meliputi rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (bongkar ratoon) guna memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial.
49
Selain itu, tahun 2004 hingga 2013 produksi tebu mulai meningkat, disebabkan pada tahun 2003, khusus Jawa telah diprogramkan kegiatan bongkar ratoon dan rawat ratoon dengan upaya harmonisasi komposisi tanaman tebu rakyat seluas 301.760 ha dengan perbandingan tanaman pertama (Plant Cane/PC) dan tanaman keprasan (ratoon) yakni 33% : 67%. PC merupakan hasil dari bongkar ratoon dan perluasan areal sedangkan ratoonnya hanya maksimal 3 hingga 4 kali. Selain itu Kementrian Pertanian 2013, melakukan kegiatan berupa peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman semusim yang dibiayai oleh APBN TA 2013, meliputi: 1. Bongkar Ratoon Bongkar ratoon adalah mengganti tanaman tebu lama yang sudah dikepras minimal 3 kali (setelah R3) dengan tanaman baru menggunakan varietas unggul yang telah direkomendasikan. Pengadaan benih dan pupuk dilakukan oleh Dinas yang membidangi perkebunan Provinsi, mengacu kepada PERPRES No. 54 Tahun 2010 jo PERPRES No. 70 Tahun 2012 serta Pedoman Pengadaan dan Penatausahaan Barang Satker Lingkup Ditjen Perkebunan Tahun 2013. 2. Penataan Varietas Tebu Penataan varietas tebu dilaksanakan pada wilayah binaan PG bersama petugas yang menangani perkebunan Provinsi dan Kabupaten, pihak PG selaku mitra. Kegiatan tersebut berupa menentukan varietas yang digunakan, menyusun komposisi varietas, melaksanakan rating varietas yang dilakukan setiap tahun dan capaian realisasi komposisi varietas di lapangan. 3. Pemberdayaan dan Penguatan Kelembagaan Petani Kegiatan ini dilakukan melalui kapabilitas petani dalam hal kemampuan teknis budaya, manajemen dan perkembangan organisasi, serta usaha Kelompok dan atau Koperasi melalui Penyuluhan atau pendampingan dalam implementasi di lapangan. 4. Operasional TKP dan PL-TKP Tebu Kegiatan ini mendapatkan honor sarta bantuan operasional untuk kegiatan pendampingan, pengawalan dan monev untuk pengembangan tebu di setiap Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan TKP dan PL-TKP. Bantuan biaya
50
transportasi untuk kegiatan pembinaan dan peningkatan motivasi dilaksanakan di Pusat oleh Ditjen Perkebunan. 5. Bantuan Alat Tebang dan Muat Tebu Pengadaan alat tebang tebu dan muat tebu dilakukan oleh Dinas yang membidangi perkebunan Provinsi, mengacu kepada PERPRES No. 54 Tahun 2010 jo PERPRES No. 70 Tahun 2012, Pedoman Pengadaan dan Penatausahaan Barang Satker Lingkup Ditjen Perkebunan Tahun 2013 dan pemerataan No. 05/Permentan/OT.140/1/2007 tentang syarat dan tata cara pengujian dan pemberian sertifikat alat dan mesin budidaya. Bantuan alat tebang ini diserahkan kepada Koperasi/KPTR melalui keputusan Kepala Dinas Provinsi yang membidangi perkebunan Kabupaten/Kota, untuk dikelola secara bersama. 6. Bantuan Traktor Pengadaan traktor dan implementasinya merupakan belanja modal oleh direktorat Jendral Perkebunan mengacu kepada PERPRES No. 54 Tahun 2010 jo PERPRES No. 70 tahun 2012, Pedoaman Pengadaan dan Penatausahaan Barang Satker Lingkup Ditjen Perkebuanan Tahun 2013 dan Permentan No. 05/Permentan/OT.140/1/2007 tentang syarat dan tata cara pengujian dan pemberian sertifikat alat dan mesin budidaya tanaman. Bantuan alat pengolah tanah berupa traktor dan implement merupakan kebutuhan dasar petani tebu dalam rangka pembukaan lahan untuk perluasan areal tebu dan bongkar ratoon, untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan khususnya tebu. 7. Sensus Database Tebu Sistem On-line Sensus ini dilaksanakan oleh Ditjen Perkebunan dan Dinas yang membidangi perkebunan di Provinsi serta Kabupaten. Dinas Provinsi dan Kabupaten melaksanakan kegiatan dengan tahapan sebagai berikut: 1) Rapat koordinasi dan pembentukan tim teknis pelaksanaan kegiatan sensus database online, 2) pelaksanaan pengumpulan data oleh petugas ditunjuk melalui SK Kepala Dinas Perkebuanan, dilanjutkan dengan mengikuti pelatihan penggunaan aplikasi SIG dan penggunaan GPS untuk lapangan, 3) pengolahan data yang dilakukan oleh masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota serta kopersai sebagai penginput
51
data, 4) melakukan rapat sinkronisasi dan validasi data awal di masing-masing Provinsi maupun Kabupaten/Kota. 8. Pengawalan oleh Tim Teknis Provinsi dan Kabupaten berupa bimbingan teknis dan manajemen yang dimulai dari perencanaan, proses administrasi, pelaksanaan kegiatan, panen, sampai dengan pelapooran hasil kegiatan. Semua kegiatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Teknis Pengembangan Tebu Tahun 2013 yang disusun mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, PERPRES No. 54 tahun 2010 jo PERPRES No. 70 Tahun 2012 tentang pedoman Pengadaan dan Penatausahaan Barang Satker Lingkup Ditjen Perkebunan Tahun 2013, serta Permentan No. 05/Permentan /OT.140/1/2007 tentang syarat dan Tata Cara Pengujian dan Pemberian Sertifikat Alat dan Mesin Budidaya Tanaman. Sedangkan pelaksanaan di lapangan mengacu Petunjuk Pelaksanaan yang disusun oleh Provinsi dan Petunjuk Teknis oleh Kabupaten. Dalam produksi hablur, rendemen sangat memegang peranan penting kerena dalam sistem bagi hasil antara petani dan pabrik pada dasarnya berpegang pada hasil analisa rendemen pada saat tebu ditebang dan diterima pabrik. Ketetapan ini diterapkan dalam pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 1975 sesuai SK Menteri Pertanian nomor 013/1976 yang berisi baik pemerintah maupun petani memperhatiakan masalah rendemen adalah merupakan hal yang sudah pada tempatnya. Sebab industri gula dan usahatani tebu memang dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memproduksi gula. Sedangkan rendemen merupakan suatu ukuran tentang banyaknya gula yang bisa diperoleh dari setiap satuan berat tebu yang dihasilkan. Bagi petani penentuan rendemen oleh pabrik dirasa begitu rumit karena petani harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk mengetahui hasil rendemen dari tebu mereka. 5.2.2 Identifikasi Pola Data Konsumsi Gula Rumah Tangga Grafik plot data konsumsi gula rumah tangga di Jawa Tengah tahun 19932013 menunjukkan trend yang menurun. Data nonstasioner pada level tetapi
52
stasioner pada second difference. Penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2011 sebesar 8,83% (Gambar 9). 350000
Konsumsi (ton)
300000 250000 200000 150000 100000 50000
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
0
Tahun
Sumber : Data Sekunder Diolah (2014)
Gambar 9 Grafik plot data konsumsi gula RT Data konsumsi gula rumah tangga menunjukan penurunan tiap tahun. Menurut data dari BPS konsumsi gula secara langsung oleh rumah tangga mengalami penurunan. Menurut Sugiyanto, penurunan konsumsi gula di Jawa Tengah diakibatkan oleh beberapa masalah. Pertama, pergeseran pola konsumsi gula, dari mengkonsumsi gula di dalam rumah tangga sebagai akibat dari perubahan pola kerja dan semakin meningkatnya jumlah rumah makan yang menyediakan fast food. Kedua, peningkatan konsumsi penduduk atas produk makanan dan minuman olahan yang mengandung gula sehingga penggunaan gula sebagai bahan baku dalam industri makanan dan minuman meningkat. Ketiga, peningkatan pendapatan. Keempat, penduduk lebih cenderung untuk membeli syrup untuk keperluan seharihari karena lebih praktis dan tidak perlu menambahkan gula pasir. Kelima, beralihnya pola konsumsi masyarakat ketika acara keagamaan, hajatan, adat, dan kegiatan lainnya, dari konsumsi teh manis ke air mineral dikarenakan masyarakat merasa air mineral lebih efisien dan praktis. Keenam, masyarakat sekarang lebih
53
peduli akan kesehatan. 1Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) Kementrian Kesehatan 2007 menyebutkan penderita diabetes tipe 2 mencapai 5.7% dari total jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 14.3 juta jiwa.
2
Kadar gula tinggi dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh. Jika seseorang mengkonsumsi gula sebanyak 100 gram, bisa menurunkan kemampuan sel darah putih untuk membunuh virus atau bakteri dalam tubuh sebesar 40%. Mengkonsumsi sekaleng soda atau semangkuk es krim sama saja memasukkan gula sebanyak 12 sendok teh. Menurut Pusat Data dan Informasi Pertanian 2014, mengkonsumsi gula pasir yang berlebihan mempunyai dampak kurang baik bagi kesehatan pankreas dan tubuh. Gula pasir merupakan karbohidrat sederhana yang sulit dicerna dan diubah menjadi energi. Untuk mengubah gula pasir menjadi gula darah tubuh memerlukan 3 menit, tetapi untuk mengubah gula darah menjadi energi pankreas membutuhkan 140 menit. Pankreas normal hanya mampu mengubah setengah sendok makan gula pasir menjadi energi setiap harinya. Bila kita mengkonsumsi lebih dari setengah sendok gula, maka sisanya akan menjadi gula darah dan lemak tubuh. Akibatnya adalah orang bertambah gemuk dan lama kelamaan akan menderita diabetes. Tabel 13 Perkembangan konsumsi gula pasir dalam rumah tangga di Jawa Tengah tahun 2003 - 2013 Tahun
Konsumsi Setahun (kg/tahun)
Pertumbuhan (%)
2003
266.802,2
2,9
2004
263.225,8
-1.3
2005
252.246,3
-4,1
2006
248.638,9
-1,4
2007
256.467,9
3,1
2008
256.035,5
-0,1
2009
245.909,0
-,3,9
2010
229.301,5
-6,7
2011
209.042,0
-8,8
2012
195.353,1
-6,5
2013
207.290,0
6,1
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia Diolah (2014)
1
12 Minggu Makan Menu Mentah, Gula turun 2 Persen. Tempo.co. diakses tanggal 26 Mei
2014 2
Kekebalan Tubuh Menurun Akibat Konsumsi Gula Berlebih. Health.detik.com. diakses 26 Mei 2014
54
5.3 Identifikasi Model Sementara Model ARIMA merupakan model yang memfokuskan pada prinsip-prinsip regresi dan metode pemulusan (smoothing). Model ARIMA merupakan gabungan dari Autoregressive (p), Moving Average (q) dan differencing (d). Identifikasi model sementara dilakukan dengan menganalisis Auto Correlation Function (ACF) dan Partial Auto Corellation Function (PACF) untuk menentukan ordo AR dan MA. Model AR dipilih apabila ACF menunjukan pola dying down dan PACF menunjukan pola yang cut off, sedangkan model MA dipilih apabila ACF menunjukan pola cut off dan PACF menunjukan pola dying down. a. Produksi Hablur Identifikasi model sementara dilakukan dengan cara melihat autokolerasi data baik fungsi Auto Correlation Function (ACF) dan Partial Auto Correlation Function (PACF). Hasil dari analisis ACF dan PACF dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7. Hasil tersebut menunjukan model ARIMA optimal yaitu model ARIMA (1,2,1). Autocorrelation Function for Produksi Hablur (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 2
4
6
8
10 Lag
12
14
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia Diolah (2014)
Gambar 10 Plot ACF data produksi hablur
16
18
55
Partial Autocorrelation Function for Produksi Hablur (with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1.0
Partial Autocorrelation
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 2
4
6
8
10 Lag
12
14
16
18
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia Diolah (2014)
Gambar 11 Plot PACF data produksi hablur Pada Gambar 10, plot Autocorelation Function (ACF) untuk produksi hablur ACF menurun secara drastis setelah lag 1. Namun, pada plot PACF (Partial Autocorelation) produksi hablur (Gambar 11) menunjukkan penurunan secara eksponensial. Oleh karena itu, identifikasi model sementara produksi hablur dapat dikatakan stasioner pada second difference. b. Konsumsi Gula RT Hasil dari analisis Auto Correlation Function (ACF) dan Partial Auto Correlation Function (PACF) dapat dilihat pada lampiran 12 dan 13. Hasil tersebut menunjukkan model ARIMA optimal yaitu model ARIMA (2,2,1). Autocorrelation Function for Konsumsi Gula RT (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8
Autocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 2
4
6
8
10 Lag
12
14
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia Diolah (2014)
Gambar 12 Plot ACF data konsumsi gula RT
16
18
56
Partial Autocorrelation Function for Konsumsi Gula RT (with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1.0
Partial Autocorrelation
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 2
4
6
8
10 Lag
12
14
16
18
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia Diolah (2014)
Gambar 13 Plot PACF data konsumsi RT Pada Gambar 12, plot Autocorelation (ACF) menurun secara eksponensial. Namun, pada plot Partial Autocorelation (PACF) (Gambar 13) terjadi penurunan secara exponential – oscillation. Oleh karena itu, pada plot data konsumsi gula RT stasioner pada Second Difference. 5.4 Uji Diagnostik untuk Evaluasi Model Model ARIMA terdiri dari kombinasi p, d, q yang merupakan simbol dari AR, MA dan differencing sehingga perlu diagnostic checking pada model ARIMA untuk model terbaik yang memenuhi beberapa kriteria evaluasi model Box-Jenkins berikut (Firdaus 2011): a. Residual atau error bersifat random Untuk memastikan model sudeh memenuhi syarat, digunakan indikator BoxLjung Statistic. Apabila model koefisien autokorelasi bersifat cut off (langsung tidak nyata) setelah beberapa lag pertatama atau kedua maka termasuk model ARIMA, sedangkan jika koefisien autokorelasi tidak cut off tetapi menurun mendekati nol dalam suatu pola yang cepat disebut pola yang dying down (menurun secara cepat) maka termasuk model ARMA. b. Model parsimonious Model yang dipilih merupakan model yang paling sederhana dan memiliki parameter terkecil.
57
c. Parameter yang diestimasi berbeda nyata dengan nol. Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value koefisien yang kurang dari 0,05. d. Kondisi harus memenuhi invertibilitas ataupun stasioneritas. Dapat terlihat oleh jumlah koefisien MA atau AR yang masing-masing harus kurang dari satu. e. Proses intersai harus convergance Prosesnya harus terhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter dengan SSE terkecil. Jika telah memenuhi syarat tersebut maka pada session akan terdapat pernyataan relative change in each estimate less than 0,001. f. Nilai MSE model harus kecil Semakin kecil nilai MSE, menunjukan model secara keseluruhan lebih baik. a. Produksi Hablur Model terbaik untuk menggambarkan pola produksi hablur di Jawa Tengah adalah model ARIMA (1,2,1) dengan nilai MS = 0,037389 yang dilihat pada Tabel 14 (Lampiran 8). Tabel 14 Model ARIMA (1,2,1) untuk data produksi hablur di Jawa Tengah Type AR 1 MA 1 Constant
Coef -0,2340 0,9212 0,014497
SE Coef 0,2771 0,2726 0,006563
T
P 0,84 3,38 2,21
0,411 0,004 0,042
Persamaan model ARIMA (1,2,1) untuk produksi hablur adalah: (Y – Yt-1 )
= ϕ [ Yt-1 – Yt-2] + ɛt – ω1 ɛt-1 …….…....………….. (5.1)
(Yt – Yt-1) – (Yt-1 – Yt-2)
= ϕ [Yt-1 – 2Yt-2 + Yt-3] + ɛt + ω1 ɛt-1 ….……..……. (5.2)
Yt
= 0,2340 Yt-1 – 0,468 Yt-2 – 0,2340 Yt-3 + ɛt + 0,9212 ɛt-1 ………………………………….. (5.3)
b. Konsumsi Gula RT Model terbaik untuk menggambarkan pola konsumsi gula rumah tangga di Jawa Tengah adalah model ARIMA (2,2,1) dengan nilai MS = 0,0011446 yang dapat dilihat pada Tabel 15 (Lampiran 14). Tabel 15 Model ARIMA (2,2,1) untuk data konsumsi gula rumah tangga di Jawa Tengah Type AR 1 AR 2 MA 1 Constant
Coef 0,7451 -0,4830 1,1407 0,000138
SE Coef 0,3973 0,3386 0,4929 0,001142
T
P 1,88 -1,43 -2,31 0,12
0,080 0,174 0,035 0,906
58
Persamaan model ARIMA (2,2,1) untuk konsumsi gula adalah: (Y – Yt-1 – Yt-2)
= ϕ1 [ Yt-1 – 2Yt-2 + Yt-3] + ϕ2 [Yt-2 -2Yt-3 + Yt-4] + ɛt – ω1 ɛt-1 ………………………………………….………… (5.5) = 2Yt-1 – Yt-2 + ϕ1 Yt-1 - 2ϕ1 Yt-2 + ϕ1 Yt-3 + ϕ2 Yt-2 - 2ϕ2 Yt-3
Yt
+ ϕ2 Yt-4 + ɛt – ϕ1 ɛt-1 ………………………………..…... (5.6) = (2 + ϕ1) Yt-1 + (ϕ2 - 2ϕ1) Yt-2 + (ϕ1 - 2ϕ2) Yt-3 + ϕ2 Yt-4 –
Yt
ω1 ɛt-1 + ɛt ………………………………………………. (5.7) = 2,7451 Yt-1 – 1,007 Yt-2 – 0,2209 Yt-3 – 0,4830 Yt-4 – 1,1407
Yt
+ ɛt ……………………………………………….……. (5.8) 5.5 Peramalan Produksi Hablur dan Konsumsi Gula di Jawa Tengah Hasil pengujian model menunjukkan model terbaik untuk produksi hablur ARIMA (1,2,1) (Lampiran 8) dan konsumsi gula ARIMA (2,2,1) (Lampiran 14). Setelah dilakukan pemilihan terbaik yang mewakili keragaan produksi hablur dan konsumsi gula RT selanjutnya adalah melakukan peramalan guna mengetahui produksi hablur dan konsumsi gula RT dimasa yang akan datang. Hasil peramalan model ARIMA (1,2,1) untuk produksi hablur dan model ARIMA (2,2,1) untuk konsumsi gula ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel 16 Hasil peramalan produksi hablur dan konsumsi gula RT dalam bentuk Logaritma Natural (ln) Tahun
Produksi Hablur 2014 2015 2016 2017 2018 Sumber : Data Sekunder Diolah (2014)
Konsumsi Gula 12,5004 12,6006 12,7211 12,8513 12,9939
13,3153 13,3243 13,2882 13,2461 13,2213
5.6 Implikasi Peramalan Terhadap Produksi dan Konsumsi Gula Rumah Tangga di Jawa Tengah tahun 2014-2018 Tabel 17 Hasil peramalan model ARIMA (1,2,1) untuk produksi hablur dan ARIMA (2,2,1) untuk konsumsi gula RT Tahun
Peramalan Produksi Hablur (ton) Konsumsi Gula (ton) 2014 268.444,6 606.402,9 2015 296.736,5 611.885,2 2016 334.736,8 590.190,1 2017 381.284,0 565.858,8 2018 439.678,9 555.998,1 Sumber : Data Sekunder Diolah (2014)
Defisit (ton) -337.958,3 -315.148.7 -255.453,3 -184.574,8 -116.319,2
59
Dari hasil peramalan pada tingkat produksi menggunakan ARIMA (1,2,1) menunjukan bahwa produksi hablur di Jawa Tengah tahun 2014-2018 mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 peningkatan produksi hablur mencapai 13,4% atau 11.375,1 ton. Produksi hablur tersebut mengalami peningkatan hingga tahun 2018. Peramalan pada tingkat konsumsi gula
rumah tangga dengan
menggunakan ARIMA (2,2,1) menunjukkan bahwa tingkat konsumsi gula rumah tangga tahun 2014-2018 mengalami penurunan. Pada tahun 2014 penurunan konsumsi gula rumah tangga sebesar 6,7% atau 38.484,9 ton. Dari tahun 2014 hingga 2018 konsumsi gula mengalami penurunan rata-rata tiap tahunnya 3,5%. Pengguna gula pasir adalah konsumen rumah tangga untuk jenis Gula Kristal Putih (GKP) dan industri makanan dan minuman untuk Gula Kristal Rafinasi (GKR). Konsumsi gula di daerah pedesaan relatif lebih tinggi dibanding dearah perkotaan. Faktor ini disebabkan masyarakat perkotaan mempunyai kesadaran akan bahaya diabetes akibat konsumsi gula berlebihan. Produksi gula di Jawa Tengah belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi rumah tangga, warung, rumah makan dan industri (Direktorat Pangan dan Pertanian 2013). Produksi
Konsumsi
PRODUKSI DAN KONSUMSI (TON)
700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
TAHUN
Sumber : Data Sekunder (diolah) 2014
Gambar 14 Tingkat produksi dan konsumsi gula di Jawa Tengah serta hasil peramalan tahun 2010 - 2018 Peramalan konsumsi gula menunjukkan data dengan trend yang cenderung mengalami penurunan, penurunan konsumsi dapat diakibatkan oleh berbagai faktor diantaranya jumlah penduduk, pendapatan perkapita dan harga gula.
60
Pendapatan mempengaruhi daya beli masyarakat sedangkan jumlah penduduk mempengaruhi jumlah gula yang dikonsumsi secara langsung. Berdasarkan pemantauan harga yang dilakukan oleh Kementrian Perdagangan, menunjukkan harga gula pasir mengalami penurunan (Pusat Data dan Informasi 2014). Harga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seberapa besar konsumsi suatu barang yang dilakukan oleh masyarakat. Peramalan produksi gula yang menunjukkan fluktuasi peningkatan, disebabkan belum efisiennya pabrik gula di Jawa Tengah. Peran pemerintah dalam menangani masalah di industri gula sangat membantu dalam menstabilkan kondisi industri gula saat ini. Program revitalisasi baik pada sektor on farm dan off farm dilakukan oleh pemerintah dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri gula. Pada sektor on farm yaitu pemantapan areal lahan, rehabilitasi tanaman, penyediaan agro input, penyediaan sarana dan prasarana, peningkatan produktivitas lahan, antisipasi perubahan iklim. Sedangkan pada off farm yaitu rehabilitasi dan peningkatan kapasitas giling sejalan dengan peningkatan pasokan tebu, peningkatan mutu produk, diversifikasi produk, peningkatan peran lembaga pendidikan SDM untuk pengembangan pergulaan, peningkatan peran industri permesinan, optimalisasi operasional peralatan pabrik dalam rangka peningkatan mutu produk gula. Pendukung lainnya adalah penguatan kelembagaan petani, penguatan struktur industri gula dalam negeri, pengelolaan industri gula terpadu dan monitoring (Kementrian Pertanian 2012). Berdasarkan data yang diperoleh dari DGI, luas areal lahan dan produksi tebu dari tahun 1993 hingga 2013 mengalami peningkatan. Sehingga, berpengaruh pada peningkatan produksi hablur di Jawa Tengah. Tetapi walaupun terjadi peningkatan produksi hablur di Jawa Tengah, konsumsi gula RT di Jawa Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan produksi hablur. Dari hasil peramalan menunjukkan bahwa pada tahun 2014-2018 Jawa Tengah belum mampu mencapai swasembada gula pasir. Hal tersebut terlihat dari masih terdapat kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula di Jawa Tengah (Gambar 12). Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa swasembada gula adalah terpenuhinya konsumsi gula domestik oleh produksi di Jawa Tengah, baik konsumsi langsung oleh rumah tangga maupun konsumsi untuk industri.
61
VI STRATEGI PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA GULA PASIR DI JAWA TENGAH 6.1 Analisis Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah Tahap awal dalam metode AHP adalah penyusunan hierarki atau lazim disebut dekomposisi. Permasalahan yang kompleks dan tidak terstruktur diuraikan menjadi kelompok-kelompok yang homogen dan kemudian menyusunnya ke dalam suatu hierarki melalui proses dekomposisi. Masing-masing elemen pada setiap level dalam struktur hierarki didapatkan melalui wawancara dengan pakar serta melalui pengisian kuisioner. Dalam prinsip penilaian menggunakan AHP adalah melakukan perbandingan berpasangan dalam sebuah matriks. Matriks tersebut merupakan tabel untuk membandingkan elemen satu dengan elemen lain terhadap suatu kriteria yang ditentukan. Skala 1-9 ditetapkan sebagai pertimbangan dalam membandingkan pasangan elemen di setiap level hierarki terhadap suatu elemen yang berada di level atasnya. Penilaian tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan sertifikasi. Nilai inconsistency ratio dari setiap level masing-masing pakar harus kurang dari 0,1. Apabila nilainya lebih besar dari 0,1 maka dilakukan revisi penilaian atau pemberian bobot kembali oleh pakar yang bersangkutan (Marimin 2011). a. Penyusunan Hierarki Awal Struktur hierarki dari strategi pencapaian swasembada gula pasir di Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar 14. Tujuan (level 1) atau sasaran yang ingin dicapai adalah untuk memperoleh strategi yang tepat untuk mencapai swasembada gula pasir. Kriteria (level 2) adalah potensi dampak/manfaat (benefit), biaya yang diperlukan (cost) dan biaya waktu pencapaian (time). Alternatif strategi terletak pada level 3. Terdapat lima alternatif yaitu sistem bagi hasil dan kerja antara petani dan pabrik gula, memfasilitasi petani dalam kredit murah dan mudah, kerjasama dan kemitraan petani dan pabrik gula, ketersediaan bahan baku (bibit) dan sarana pendukung petani (pupuk).
62
Perhitungan pembobotan setiap kriteria dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice dimana hasil perhitungannya langsung dapat diperoleh setelah memasukkan masing-masing bobot oleh tiap pakar
Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah
Tujuan
Kriteria/ Faktor
F1
F2
F3
F4
F5
Alternatif Strategi
A
B
C
D
E
Gambar 15 Struktur hierarki model penentuan strategi pencapaian swasembada gula pasir di Jawa Tengah Bentuk dan struktur dari hierarki dalam pembuatan prioritas kebijakan tersebut sebagai berikut: 1. Tingkat pertama adalah tujuan keputuasan (Goal). Dalam analisis ini yang menjadi keputusan (goal) dari penyusunan hierarki adalah strategi pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah yang didasarkan dengan kemampuan sumberdaya Provinsi Jawa Tengah. 2. Tingkatan kedua adalah : Aspek strategi kebijakan dalam rangka pencapaian program swasembada sesuai potensi sumberdaya yang terdiri dari lima aspek, yaitu: a. Peningkatan Rendemen dan Produktivitas Produktivitas dan rendahnya rendemen tebu yang diterima petani dari Pabrik Gula (PG) umumnya masih rendah. Rendahnya rendemen dan produktivitas gula hablur ini dipicu oleh ketidakefisienan Pabrik Gula (PG) BUMN, yang ditunjukkan oleh beberapa indikator efisiensi teknis yang berada di bawah garis normal. Sehingga perlu adanya sinergi hubungan antara petani tebu dan Pabrik Gula (PG). Dijalankannya program bongkar ratoon yang bertujuan untuk mendapatkan
63
kondisi ideal pertanaman sampai kepras tiga untuk peningkatan rendemen dan produktivitas. b. Meningkatkan Mutu Pabrik Dalam meningkatkan mutu pabrik yaitu dengan meningkatkan kualitas orang yang bekerja dalam pabrik tersebut. Pertama, dalam memilih atasan yang berkualitas yang mau mendengarkan keluhan bawahan dan mampu memberikan solusi. Kedua, integritas yaitu menciptakan rasa kepercayaan kepada setiap karyawan bahwa pabrik ini memiliki keberhasilan yang tinggi yang dapat membawa karyawan lebih terjamin kesejahteraannya. Ketiga yaitu komitmen dan yang keempat adalah controlling terhadap kinerja karyawan yang berada di pabrik tersebut. c. Meningkatkan Areal Luas Tebu Fungsi lahan yang berawal dari lahan pertanian beralih fungsi penggunaannya menjadi industri, perumahan dan komoditi pertanian lain yang dapat memberikan keuntungan yang tinggi. Sehingga areal luas tebu berkurang dan mengakibatkan penurunan produksi tebu. d. Revitalisasi Pabrik Gula Revitalisasi PG adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pabrik. Revitalisasi ini dilaksanakan secara selektif sehingga dapat mencapai tujuan secara efisien. Dana untuk konsilidasi dan rehabilitasi diharapkan diperoleh dari investor dan perbankan. e. Peningkatan Teknologi dan Alat Pengukur Rendemen Pada umumnya proses penetapan rendemen diukur dengan mengambil contoh nira pada gilingan pertama, dari hasil pengukuran tersebut dimasukkan kedalam rumus. Pengukuran ini menggunakan rumus dan cara yang rumit serta melibatkan banyak manusia sehingga petani mencurigai adanya rekayasa. Penggunaan rumus tersebut bukan merupakan standar baku di negara maju, namun hanya pada kondisi di Indonesia. Cara ini tidak akurat untuk kapasitas besar, tidak memberi variasi terhadap kadar nira dalam tebu, kurang dipercaya petani dan kurang dapat terawasi dengan baik. Dengan keadaan seperti itu maka diperlukan teknologi yang berkualitas dalam mengukur rendemen.
64
3. Tingkatan ketiga adalah : Alternatif strategi yang mendukung faktor (tingkat dua) dalam program pencapaian swasembada gula di Jawa Tengah yaitu: a. Sistem Bagi Hasil dan Kerja Antara Petani dan Pabrik Gula Perbaikan sistem bagi hasil antara petani dan PG perlu diperbaiki untuk memberi insentif kepada petani dalam peningkatan produktivitas. Sistem bagi hasil dengan proporsi 65% produksi untuk petani dan 35% untuk PG dinilai petani belum memadai. Salah satu alternatif yang diusulkan adalah proporsi biaya pengolahan berbanding terbalik dengan produktivitas yang ada dalam rendemen sebagai indikator. Dengan kata lain, semakin tinggi rendemen tebu petani, semakin kecil proporsi yang diterima (Pabrik Gula) PG. Selain lebih adil, pendekatan tersebut diharapkan memberi insentif kepada petani untuk memperbaiki mutu tebu yang dihasilkan. b. Memfasilitasi Petani dalam Kredit Murah dan Mudah Sekarang PG mendapat fasilitas dari BRI dengan kredit dan bunga yang rendah. Dengan fasilitas itu petani lebih mudah dalam mengelola lahan tebu mereka, seperti dalam membayar tenaga kerja, biaya membajak sawah sehingga meringankan petani. Dalam pembayarannya pun dipotong pabrik dari hasil panen tebu. c. Kerjasama dan Kemitraan Petani dan Pabrik Gula Memberikan bantuan teknis bagaimana cara pengolahan tebu dengan baik, bantuan penyuluhan dan evaluasi atau pelatihan bagi petani supaya pengetahuan mereka bertambah. d. Ketersediaan Bahan Baku (bibit) Untuk mengatasi kekurangan bibit tebu bermutu tinggi, Kementrian Pertanian pada tahun 2012 mewacanakan membuka impor bibit tebu untuk pembangunan Kebun Bibit Dasar (KBD). Bahan tanaman unggul tersebut dapat didatangkan dari Kolombia atau Australia, yang rendemen gulanya bisa mencapai 12%. Ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan Kementrian Pertanian untuk meningkatkan produksi.
65
e. Sarana Pendukung Petani (pupuk) Pencabutan subsidi pupuk akan meningkatkan biaya produksi dan tidak adanya jaminan harga menyebabkan penerapan teknik budidaya kurang optimal sehingga produktivitas menurun. Penyusunan dari hierarki tersebut dimaksudkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dengan memperhatikan seluruh elemen keputusan yang terlibat dalam sistem tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan lebih dari satu responden dengan pertimbangan agar proses pengambilan keputusan dengan metode AHP dapat dirumuskan dari berbagai sudut pandang terkait dengan proses pemilihan strategi yang akan dihasilkan suatu kebijakan publik yang berdampak pada banyak pihak. Untuk keperluan analisis strategi tersebut, penulis menghubungi tujuh responden yang terdiri dari para stakeholder antara lain Kepala Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan, Kepala Sub Bidang SDAP Bidang Perekonomian, Kepala Seksi Sarana Produksi, Staf Budidaya Perkebunan, Manager PG Pakis Baru dan akademisi. Daftar kuisioner dibuat dengan jelas dan sesederhana mungkin, sehingga diharapkan responden dapat memberikan penilaian terhadap variabel yang diperbandingkan dengan benar tanpa ada keragu-raguan. Bagian muka daftar kuisioner memuat penjelasan singkat penelitian, prinsip dasar metode AHP, hierarki pemilihan strategi program swasembada gula pasir, petunjuk pengisian kuisioner AHP beserta skala penilaian satu sampai sembilan (1-9) serta beberapa contoh pengisian kuisioner AHP dengan mengacu pada salah satu level dalam hierarki. 6.2 Analisis Alternatif Strategi Secara Horisontal yang Mendukung dalam Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah Pembobotan matriks secara horizontal adalah memilih alternatif yang paling diutamakan atau memilih bobot paling besar diantara alternatif yang lain dalam kriteria. Kriteria peningkatan rendemen dan produk alternatif yang diutamakan adalah sistem bagi hasil dan kerja antara petani dan pabrik gula sebesar 26,3%. Kriteria peningkatan mutu petani, alternatif yang diutamakan adalah kerjasama dan kemitraan petani dan pabrik gula sebesar 22,9%. Kriteria peningkatan areal luas
66
tebu, alternatif yang diunggulkan adalah memfasilitasi petani dalam kredit murah dan mudah sebesar 30,5%. Kriteria keempat revitalisasi pabrik gula, alternatif yang diutamakan adalah sistem bagi hasil dan kerja antara petani dan pabrik gula sebesar 31,7%. Kriteria terakhir yaitu peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen, alternatif yang diutamakan adalah sistem bagi hasil dan kerja antara petani dan pabrik gula. Tabel 18 Matriks bobot alternatif produk secara horisontal
Kriteria
Sistem bagi hasil dan kerja Antara petani dan pabrik gula
Memfasilitasi petani dan kredit murah dan mudah
Peningkatan rendemen 26,3 dan produk Peningkatan 20,9 mutu petani Peningkatan areal luas 11,4 tebu Revitalisasi 31,7 pabrik gula Peningkatan teknologi atau alat 28,7 pengukur rendemen Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Alternatif Produk Kerjasama Ketersediaan dan bahan baku kemitraan (bibit) petani dan pabrik gula
Sarana pendukung petani (pupuk)
16,5
25,5
16,4
15,3
21,6
22,9
17,1
17,6
30,5
13,6
23,1
21,5
13,0
29,4
13,4
12,5
16,6
24,4
15,4
14,9
Dari pengolahan data menggunakan Expert Choice diperoleh skala prioritas dan masing-masing aspek. Pada aspek pertama dalam hal ini adalah peningkatan rendemen dan produktivitas, para responden berkesimpulan bahwa aspek ini dianggap sangat berprioritas dalam pencapaian program swasembada gula, dengan total 29,5%. Selanjutnya, aspek yang dianggap berprioritas dalam pencapaian swasembada gula adalah revitalisasi pabrik gula dengan bobot nilai sebesar 27,1%, aspek peningkatan teknologi atau alat ukur rendemen menempati urutan ketiga dengan bobot nilai sebesar 19,3%. Urutan keempat adalah aspek peningkatan mutu petani dengan bobot sebesar 16,5% dan terakhir aspek peningkatan areal luas tebu sebesar 7,6%. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 16.
67
Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah
Peningkatan Rendemen dan Poduktivitas (29,5%)
Meningkatkan Mutu Pabrik (16,5%)
Meningkatkan Areal Luas Tebu (7,6%)
Revitalisasi Pabrik Gula (27,1%)
Peningkatan Teknologi atau Alat Pengukur Rendemen (19,3%)
Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Gambar 16 Struktur hierarki aspek prioritas pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah Hasil kesimpulan dari beberapa responden seperti terlihat pada Tabel 18 (bobot level pertama) tersebut menunjukkan bahwa aspek yang menduduki posisi terpenting dan menjadi prioritas dalam pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah adalah aspek peningkatan rendemen dan produktivitas karena jika hal tersebut terlaksana maka PG di Jawa Tengah sudah efisien dimana telah ada sinergi antara petani dan PG dan program bongkar ratoon telah berjalan dengan baik. Dalam kaitannya dengan revitalisasi pabrik gula yaitu memperbaiki manajemen dengan penutupan PG yang sudah tidak mempunyai peluang untuk bertahan (tidak efisien) dan merehabilitasi PG yang udah tua tetapi masih dapat meningkatkan efisiensinya. Aspek strategi lain yang dianggap penting dan berprioritas dalam pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah adalah peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen karena apabila teknologi sudah memadai maka kapasitas pabrik dalam menggiling dan menghasilkan gula dapat lebih efisien dan prosesnya cepat. Alat pengukur rendemen pun sangat berpengaruh dengan tingkat kepercayaan petani karena menurut petani sistem pengukuran rendemen begitu rumit dan prosesnya lama dan melibatkan banyak manusia.
68
Berikut adalah gambar level pertama yakni urutan rangking dari aspek prioritas pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah. Peningkatan Rendemen dan Produktivitas Peningkatan Mutu Petani
19%
29% Peningkatan Areal Luas Tebu
27%
17%
Revitalisasi Pabrik Gula
8% Peningkatan Teknologi atau Alat Pengukur Rendemen
Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Gambar 17 Bobot level pertama aspek prioritas pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah 6.3 Analisis Alternatif Strategi Secara Vertikal atau Keseluruhan yang Mendukung dalam Pencapaian Program Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah Dari gambaran mengenai swasembada gula di Jawa Tengah maka pada penelitian ini mencoba memberikan alternatif prioritas dalam rangka pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah. Dari analisis tersebut diperoleh bobot prioritas dan total persepsi responden yang pada akhirnya memberikan bobot final dari aspek dan kriteia yang menjadi stretegi prioritas dalam rangka pencapaian program swasembada gula di Jawa Tengah. Untuk menganalisis alternatif prioritas, maka dilakukan prosedur perhitungan bobot pada level kedua dari kriteria hierarki yang dibuat sebelumnya dan kemudian diolah. Setelah diketahui bobot level pertama dan bobot level kedua, maka langkah selanjutnya adalah menghitung bobot nilai final (Lampiran 17). Hasil yang didapatkan menunjukkan besaran bobot nilai yang mengindikasikan urutan prioritas dari suatu hierarki tehadap program swasembada tersebut (Gambar 18). Berdasarkan hasil analisis AHP secara keseluruhan diperoleh nilai inkonsistensi sebesar 0,001. Nilai tersebut menunjukkan informasi yang diperoleh terdapat pada tingkat kepercayaan yang cukup tinggi dan dapat diterima dan dengan tingkat penyimpangan yang kecil.
69
Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah
Peningkatan Rendemen dan Poduktivitas (29,5%)
Meningkatkan Mutu Pabrik (16,5%)
Meningkatkan Areal Luas Tebu (7,6%)
Sistem Bagi Hasil dan Kerja Antara Petani dan Pabrik Gula (25,9%)
Memfasilitasi Petani dalam Kredit Murah dan Mudah (17,7)
Kerjasama dan Kemitraan Petani dan Pabrik Gula (24,9)
Revitalisasi Pabrik Gula (27,1%)
Ketersediaan Bahan Baku (bibit) (16,1%)
Peningkatan Teknologi atau Alat Pengukur Rendemen (19,3%)
Sarana Pendukung Petani (pupuk) (15,5)
Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Gambar 18 Hierarki prioritas faktor kriteria yang mendukung progam pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, alternatif strategi pertama adalah sistem bagi hasil dan kerja antara petani dan pabrik gula. Alternatif tersebut menjadi prioritas pertama karena pada faktor peningkatan rendemen dan produktivitas, revitalisasi pabrik gula dan peningkatan teknologi atau alat ukur rendemen merupakan alternatif utama yang dipilih stakeholder dalam program pencapaian swasembada gula pasir di Jawa Tengah yaitu sebesar 25,9%. Sedangkan urutan alternatif berikutnya berdasarkan perhitungan tersebut adalah kerjasama dan kemitraan petani dan pabrik gula sebesar 24,9%. Alternatif dalam memfasilitasi petani dalam kredit murah dan mudah tedapat pada urutan ketiga yaitu sebesar 17,7%. Sedangkan pada urutan keempat dan kelima adalah ketersediaan bahan baku (pupuk) dan sarana pendukung petani (pupuk) yang masing-masing memiliki bobot 16,1% dan 15,5%.
70
VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Peramalan swasembada gula pasir tahun 2014 sampai 2018 belum dapat tercapai. Hal ini disebabkan karena penurunan luas areal, konversi lahan tebu, kredit usaha yang belum efisien, penanaman varietas yang sudah tua, petani tidak melakukan peremajaan pada tanamannya (bongkar ratoon), pengatahuan petani dalam tata pengelolaan tanaman tebu masih kurang, tidak efisiennya pabrik gula di Jawa Tengah dan umur mesin atau teknologi yang dimiliki pabrik sudah tua. 2. Strategi untuk mendukung program swasembada gula pasir di Jawa Tengah, faktor atau kriteria yang perlu ditingkatkan yaitu pertama rendemen dan produktivitas, kedua revitalisasi pabrik gula dan ketiga teknologi atau alat pengukur rendemen. Untuk mendukung faktor atau kriteria tersebut alternatif yang diprioritaskan dalam program swasembada gula di Jawa Tengah adalah sistem bagi hasil dan kerja antara petani dan pabrik gula 7.2 Saran 1. Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas hablur maka diperlukan alternatif yang sesuai baik untuk petani, pemilik lahan dan pabrik gula. Alternatif tersebut adalah: a. Distribusi pupuk dari pabrik gula ke petani harus sesuai dengan waktu petani akan menanam tebu. Sehingga, rencana penanaman tebu dan standart teknik pertanian dapat dilaksanakan tepat waktu. b. Perlunya monitoring oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) baik dari pabrik maupun pemerintah mengenai teknis penanaman tebu yang tepat. Sehingga, dapat meningkatkan bobot tebu, produksi tebu dan rendemen. c. Dengan pengembangan varietas baru, yang mampu mendorong perbaikan pendapatan petani untuk memasok bahan baku yang berkualitas kepada pabrik-pabrik gula.
71
2. Tujuan faktor atau kriteria dan alternatif yang diutamakan dalam strategi pencapaian program swasembada gula pasir di Jawa Tengah yaitu: a. Peningkatan rendemen dan produktivitas : perlu adanya bongkar ratoon bertujuan untuk mendapatkan kondisi ideal pertanaman kepras tiga untuk peningkatan rendemen dan produktivitas b. Revitalisasi pabrik gula : alokasi anggaran dana untuk konsilidasi dan rehabilitasi pabrik gula yang sudah tua sehingga dapat meningkatkan efektivitas pabrik gula dan diharapkan dana tersebut diperoleh dari investor dan perbankan. c. Peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen : memerlukan teknologi yang lebih berkualitas dan canggih untuk mengolah tebu dan mengukur rendemen, agar petani tidak mencurigai rekayasa dalam pengukuran rendemen. d. Sistem bagi hasil dan kerja petani dan pabrik gula : perbaikan sistem bagi hasil antara petani dan PG perlu diperbaiki guna memberi insentif kepada petani dalam peningkatan produktivitas. Dengan kata lain, semakin tinggi rendemen tebu petani, semakin kecil proporsi yang diterima Pabrik Gula (PG).
72
DAFTAR PUSTAKA Assauri S. 1984. Teknik dan Metode Peramalan. Jakarta (ID) : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Departemen Pertanian. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2012a. Laju Pertumbuhan Penduduk menurut Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah 2008-2012. Jawa Tengah: Badan Pusat Statistik. ___________________________________. 2012b. Nilai PDRB tahun 2008-2012. Jawa Tengah: Badan Pusat Statistik. Badri, Sutrisno. 2006. Proses Keputusan dengan Menggunakan AHP (Aplikasi Model untuk Mengembangkan Klaster Kelapa Sawit) [Internet]. 10 Juli 2014. Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula. 1984. Proceedings Diskusi Teknis dan Ilmiah Tahun 1984. Pasuruan. Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula. 1981. Temu Karya Pembangunan Industri Gula. Lembaga pendidikan perkebunan. Jakarta. [DGI] Dewan Gula Indonesia. 2013. Gula Jawa Tengah. Jakarta: Dewan Gula Indonesia. Dinas Perkebunan Jawa Tengah. 2012. Segalaku Untukmu, Membangun Perkebunan untuk Kesejahteraan Rakyat. Ungaran : Jawa Tengah. Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian. 2009. Profil Tanaman Tebu. Jakarta. Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Pertemuan Pemantapan Kegiatan Pengembangan Tebu Tahun 2013 dalam Pencapaian Swasembada Gula Tahun 2014 [Internet]. Kementerian Pertanian. 13 Mei 2014. Direktorat Pangan dan Pertanian Kementrian Pertanian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Jakarta: Kementrian Pertanian. Ferwidarto P. D. 1996. Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process). Materi Khusus Pascasarjana Departemen Teknolgi Industri Pertanian. Bogor : IPB Firdaus M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam : ARIMA, SARIMA dan ARCHGARCH. Bogor (ID): IPB Pr.
73
__________. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Pr. Fitriadi H. 2000. Perkembangan dan Prospek Konsumsi Gula Pasir di Indonesia [skripsi]. IPB (ID) : Bogor. Hafsah M.J. 2003. Bisnis gula indonesia. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Hakim M. 2010. Potensi Sumberdaya Lahan untuk Tanaman Tebu di Indonesia. Jurnal Agronomi [Internet]. 12 Mei 2014; 21(1): 5-12. Hanke J.E, Wichern D.W. 2005 Bussines Fourth Edition. Pearson Education : New Jersey. Hessie R. 2009. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras dalam Negeri serta Implikasi terhadap Swasembada Beras di Indonesia [skripsi]. IPB(ID) : Bogor. Hernanda N. 2011. Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional. IPB (ID) : Bogor. Husodo S. Y. 2000. Menuju Penyelamatan Industri Gula Nasional, hlm 26 – 42. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Bogor. Indraningsih K, Malian A. 2004. Perspektif Pengembangan Industri Gula di Indonesia. Pusat Analisis Sosial ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor [Internet]. 16 Mei 2014 [Kementan] Kementrian Pertanian, 2012. Road Map Swasembada Gula Nasional 2010 – 2014 (Revisi). Jakarta : Kementrian Pertanian Republik Indonesia Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU). 2010. Position paper Komisi Pengawas Persaingan Usaha Terhadap Kebijakan Dalam Industri Gula. Jakarta (ID) : KPPU. Malian A.M. 1999. Analisis Komparatif Kebijakan Harga Provenue dan Tarif Impor Gula. Jurnal Agro Ekonomi. Volume 18, Nomor 1, hal: 14-36. Pusat Studi Ekonomi Bogor. Bogor Malian A.H dkk. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi, dan Harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan. [Jurnal] Agro Ekonomi. Volume 22 Nomor 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Manurung dkk. 2004. Uang, Perbankan dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Lembaga Penerbit FEUI : Jakarta. Marimin Nurul M. 2011. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Rantai Pasok. Bogor (ID): IPB Pr.
74
Maryandani A. 2012. Kinerja Industri Guka Indnesia. IPB (ID) : Bogor . Nainggolan K. 2005. Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global. Agrimedian. volume 10. Nomor 2:52-65. Nastiti. 2009. Evaluasi Kebijakan Bongkar Ratoon dan Keragaan Pabrik Gula di Jawa Timur [tesis]. UPN “Veteran” : Surabaya. Nicholson W. 1999. Teori Mikro Ekonomi I dan II. Deliarnov, penerjemah. Jakarta : Rajawali Pr. Oktariani A, 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gula Domestik dan Pengaruh Kebijakan Pergulaan Nasional. IPB (ID) : Bogor. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 2013. Rancangan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. 2012. Ekonomi Gula. Bayu K, editor. Jakarta (ID): Penerbit Gramedia. [Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral Kementrian Pertanian. 2014. Buletin Analisis Perkembangan Harga Komoditas Pertanian [Internet]. 16 Mei 2014. Saaty TL. 1991. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sawit M.H. and D. T. O’Brien. 1991. Applying Agricultural Household Theory To The Analysis Of Income And Employment: A Preliminary Study For Rural Java. Deaprtement of Economics University of Wollongong . Wollongong. Singh I, L. Squire and J. Strauss. 1986. Agricultural Household Models. Extensions, Application, and Policy. The Jhon Hopkins University Press. Baltimore. Soekartawi, dkk. 1990. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Cetakan ke -3. Jakarta: Universitas Indonesia. Sugiyanto C. 2007. Permintaan Gula Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan [Internet]. 12 Mei 2014, hal 113-127. Susila W, Bonar MS. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia yang Kompetitif pada Situasi Pesaingan yang Adil. Jurnal Litbang Pertanian [internet]. 17 Mei 2014
Tambunan. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Wahyuni. IT. 2007. Analisis Efisiensi Produksi Gula di PG. Madukismo, Yogyakarta. IPB (ID) : Bogor.
75
Widyastutik. 2005. Mungkinkah Indonesia Mencapai Swasembada Gula Secara Berkelanjutan? [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
76
LAMPIRAN
77
Lampiran 1 Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah SURAT EDARAN A. DASAR HUKUM : a. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang –Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4344); b. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, (Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan
berkelanjutan,
keterpaduan,
kebersamaan,
keterbukaan,
serta
berkeadilan); c. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); B. Memperhatikan surat usulan Kabupaten/Kota, maka dalam upaya mendukukng suksesnya Program Pengembangan Tebu Rakyat pada Musim Tanam Tahun 2012/2013, dan sekaligus sebagai langkah tindak lanjut Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula guna mewujudkan swasembada gula di Jawa Tengah Tahun 2013, dengan ini kami sampaikan bahwa: 1. Sesuai usulan dari SKPD yang membidangi perkebunan di kabupaten wilayah pengembangan tebu, ditetapkan bahwa sasaran pengembangan Tebu Rakyat Musim Tanam Tahun 2012/2013 di Jawa Tengah, seluas 74.307 ha, dengan produktivitas tebu sebesar 68,50 ton per ha, sehingga perkiraan produksi tebu mencapai 5.090.029,50 ton, dan dengan asumsi rata-rata rendemen 7,50%, maka menghasilkan gula Kristal 381.752,21 ton, dan rata – rata prduktivitas gula Kristal 5,14 ton per ha teralokasi di 28 (dua puluh delapan) kabupaten.
78
2. Agar para Bupati/Walikota dapat segera menjabarkan areal dimaksud sampai ke tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan. Yang ditetapkan melalui Surat Edaran Bupati/Walikota, selaras dengan kondisi Agroklimat dan potensinya. 3. Dalam rangka meningkatkan produksi, produktivitas dan rendemen tebu, maka pengembangan Tebu rakyat di Jawa Tengah Musim Tanam Tahun 2012/2013, harus ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Meningkatkan sumberdaya lahan tebu yang sudah ada dengan menggunakan pupuk organik (pupuk kandang) tanpa mengurangi dosis pupuk yang telah ditentukan (pupuk anorganik); b. Pengembangan areal tebu pada lahan – lahan produktif/potensial; c. Pabrik Gula (PG) sebagai Pembina teknis lapangan agar mengawal serta memfasilitasi bantuan kredit modal usaha dan saprodi, sekaligus mendukung ketersediaan bibit Varietas Unggul Baru (VUB) serta melaksanaan penataan varietas sesuai tipologi daerah, yang disesuai dengan rencana dan kapasitas giling pabrik; d. Peningkatan kinerja mesin pabrik gula, diikuti dengan penyediaan bahan baku tebu yang berkualitas melalui peningkatan harmonisasi hubungan kemitraan Antara petani dengan PG; e. Dinas Teknis yang membidangi perkebunan di Kabupaten agar lebih insentif mengkoordinir Tim Teknis, supaya secara terpadu mampu melaksanakan pendampingan terhadap petani dalam membudidayakan komoditas tebu. 4. Pengembangan Tebu Rakyat Musim Tanam Tahun 2012/2013 di Jawa Tengah diselenggarakan bekerjasama dengan 13 Pabrik Gula (PG) dan masing – masing sebagai Pimpinan Kerja Operasional Lapangan (PKOL), yakni : a. Binaan PTPN IX (Persero) sebanyak 8 Pabrik Gula (PG) yaitu PG. Jati Barang di Kabupaten Brebes, PG. Pangka di Kabupaten Tegal, PG. Sumberharjo di Kabupaten Pemalang, PG. Sragi di Kabupaten Pekalongan, PG. Gondang Baru di kabupaten Klaten, PG. Rendeng di
79
Kabupaten Kudus, PG. Tasik Madu di Kabupaten Karanganyar dan PG. Mojo di Kabupaten Sragen; b. Binaan PT Madu Baru 1 (satu) Pabrik Gula (PG) yaitu PG. madu Kismo di Yogyakarta; c. Binaan PT Rajawali Nusantara Indonesiaa II (RNI) 1 (satu) Pabrik Gula (PG) yaitu PG. Tresna Baru di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat; d. Binaan PT Kebon Agung 1 (satu) Pabrik Gula (PG) yaitu PG. Trangkil di Kabupaten Pati; e. Binaan PT Laju Perdana Indah (LPI) 1 (satu) Pabrik Gula (PG) yaitu PG. Pakis Baru di kabupaten Pati; dan f. Binaan PT Industri Gula Nusantara (IGN) 1 (satu) Parik Gula (PG) yaitu PG Cepiring di kabupaten Kendal. 5. Penyediaan Sarana Produksi berupa pupuk untuk petani/kelompok tani dapat disediakan melalui kerjasama Antara Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR), PTPN IX/PT Gula dan Distributor Pupuk dengan memanfaatkan fasilitas pupuk bersubsidi, yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Jawa Tengah. 6. Dana pelaksanaan Pengembangan Tebu Rakyat Musim Tanam Tahun 2012/2013, dapat diupayakan secara optimal, melalui: a. Dana Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK), APBN Tugas Pembantuan/Dekonsentrasi, yang telah dikucurkan sebanyak Rp. 67,4076 milyar; b. Dana APBN DK & TP dan APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010; c. Dana APBN Kabupaten/Kota tahun 2012.
80
Lampiran 2 Produksi hablur dan konsumsi gula tahun 1993 - 2013 Tahun
Produksi Hablur (ton)
Konsumsi Gula (ton)
1993
450.111,0
303.297,9
1994
137.981,0
300.128,0
1995
330.525,0
292.691,9
1996
333.436,0
288.562,8
1997
313.195,0
284.640,7
1998
195.761,0
283.145,2
1999
155.918,0
280.527,7
2000
180.742,0
274.539,0
2001
183.475,0
270.928,5
2002
249.430,0
259.112,8
2003
201.789,0
266.802,2
2004
183.693,8
263.225,9
2005
184.782,0
256.467,9
2006
192.908,4
248.638,9
2007
209.190,0
256.467,9
2008
231.355,6
245.035,6
2009
204.793,9
245.909,1
2010
220.561,4
229.301,6
2011
187.344,1
209.042,1
2012
247.574,5
195.353,1
2013
236.834,7
207.290,1
81
Lampiran 3 Nilai Logaritma Natural (ln) produksi hablur dan konsumsi gula tahun 1993 - 2013 Tahun
ln Produksi Hablur
ln Konsumsi
1993
13,0
13,6
1994
12,9
13,6
1995
12,7
13,6
1996
12,7
13,6
1997
12,6
13,6
1998
12,1
13,6
1999
11,9
13,5
2000
12,1
13,5
2001
12,1
13,5
2002
12,4
13,4
2003
12,2
13,5
2004
12,1
13,4
2005
12,1
13,4
2006
12,2
13,4
2007
12,3
13,4
2008
12,4
13,4
2009
12,2
13,4
2010
12,3
13,3
2011
12,1
13,2
2012
12,4
13,1
2013
12,4
13,2
82
Lampiran 4 Grafik plot data dan uji statistik ADF pada level untuk data ln produksi hablur tahun 1993 - 2013 Time Series Plot of ProduksiHablur 13.0
ProduksiHablur
12.8
12.6
12.4
12.2
12.0 2
4
6
8
10 12 Tahun
14
16
Hasil Uji Unit Root Data ln Produksi Hablur Pada Level Null Hypothesis: JUMLAHHABLUR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-2.460421 -3.857386 -3.040391 -2.660551
0.1407
18
20
83
Lampiran 5 Grafik plot uji data statistik ADF pada Second Difference untuk data ln produksi hablur tahun 1993 - 2013 Time Series Plot of ProduksiHablur 0.4 0.3
ProduksiHablur
0.2 0.1 0.0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 -0.5 2
4
6
8
10 12 Tahun
14
16
18
Hasil Uji Unit Root Data ln Produksi Hablur Pada Second Difference Null Hypothesis: D(PRODUKSIHABLUR,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-4.960619 -4.004425 -3.098896 -2.690439
0.0019
20
84
Lampiran 6 Uji ACF data ln produksi hablur pada Second Difference Autocorrelation Function for Produksi Hablur (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8
A utocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 2
4
6
8
10 Lag
12
14
16
18
Lampiran 7 Uji PACF data ln produksi hablur pada Second Difference Partial Autocorrelation Function for Produksi Hablur (with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1.0
Partial A utocorrelation
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 2
4
6
8
10 Lag
12
14
16
18
85
Lampiran 8 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk produksi hablur ARIMA (1,2,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 MA 1 Constant
Coef -0.2340 0.9212 0.014497
SE Coef 0.2771 0.2726 0.006563
T -0.84 3.38 2.21
P 0.411 0.004 0.042
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 21, after differencing 19 Residuals: SS = 0.598231 (backforecasts excluded) MS = 0.037389 DF = 16 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 11.7 9 0.233
24 * * *
36 * * *
48 * * *
Lampiran 9 Hasil peramalan produksi hablur tahun 2014 - 2018 dalam bentuk Logaritma Natural (ln) Forecasts from period 21 Period 22 23 24 25 26
Forecast 12.5004 12.6006 12.7211 12.8513 12.9938
95% Limits Lower Upper 12.1214 12.8795 12.1043 13.0968 12.1057 13.3365 12.1262 13.5764 12.1613 13.8262
Actual
86
Lampiran 10 Grafik plot data dan uji statistik ADF pada level untuk data ln konsumsi gula tahun 1993 - 2013 Time Series Plot of konsumsi_pddk
konsumsi_pddk
13.6
13.5
13.4
13.3
13.2 2
4
6
8
10 12 Tahun
14
16
18
Hasil Uji Unit Root Data ln Konsumsi Gula Pada Level Null Hypothesis: D(KONSUMSI_PDDK,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-3.565187 -4.004425 -3.098896 -2.690439
0.0220
20
87
Lampiran 11 Grafik plot data uji statistik ADF pada Second Difference untuk data ln konsumsi gula tahun 1993 - 2013 Time Series Plot of Konsumsi Gula RT 0.15
Konsumsi Gula RT
0.10
0.05
0.00
-0.05 2
4
6
8
10 12 Tahun
14
16
18
Hasil Uji Unit Root Data ln Konsumsi Gula Pada Second Difference Null Hypothesis: D(KONSUMSI_PDDK,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-3.565187 -4.004425 -3.098896 -2.690439
0.0220
20
88
Lampiran 12 Uji ACF data ln konsumsi gula pada Second Difference Autocorrelation Function for Konsumsi Gula RT (with 5% significance limits for the autocorrelations) 1.0 0.8
A utocorrelation
0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 2
4
6
8
10 Lag
12
14
16
18
Lampiran 13 Uji PACF data ln konsumsi gula pada Second Difference Partial Autocorrelation Function for Konsumsi Gula RT (with 5% significance limits for the partial autocorrelations) 1.0
Partial A utocorrelation
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 2
4
6
8
10 Lag
12
14
16
18
89
Lampiran 14 Hasil evaluasi model ARIMA terbaik untuk konsumsi gula rumah tangga ARIMA (2,2,1) Final Estimates of Parameters Type AR 1 AR 2 MA 1 Constant
Coef 0.7451 -0.4830 1.1407 0.000138
SE Coef 0.3973 0.3386 0.4929 0.001142
T 1.88 -1.43 2.31 0.12
P 0.080 0.174 0.035 0.906
Differencing: 2 regular differences Number of observations: Original series 21, after differencing 19 Residuals: SS = 0.0171690 (backforecasts excluded) MS = 0.0011446 DF = 15 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag Chi-Square DF P-Value
12 10.0 8 0.268
24 * * *
36 * * *
48 * * *
Lampiran 15 Hasil peramalan konsumsi gula tahun 2014 - 2018 dalam bentuk Logaritma Natural (ln) Forecasts from period 21 Period 22 23 24 25 26
Forecast 13.3153 13.3243 13.2882 13.2461 13.2213
95% Limits Lower Upper 13.2490 13.3816 13.1989 13.4497 13.1310 13.4455 13.0786 13.4136 13.0518 13.3908
Actual
90
Lampiran 16 Matriks bobot alternatif produk secara hoisontal
Kriteria Peningkatan rendemen dan produk Peningkatan mutu petani Peningkatan areal luas tebu Revitalisasi produk gula Peningkatan teknologi atau alat pengukur rendemen
Alternatif Produk Kerjasama Ketersediaan dan bahan baku kemitraan (bibit) petani dan pabrik gula
Sistem bagi hasil dan kerja Antara petani dan pabrik gula
Memfasilitasi petani dan kredit murah dan mudah
Sarana pendukung petani (pupuk)
26,3
16,5
25,5
16,4
15,3
20,9
21,6
22,9
17,1
17,6
11,4
30,5
13,6
23,1
21,5
31,7
13,0
29,4
13,4
12,5
28,7
16,6
24,4
15,4
14,9
91
Lampiran 17 Struktur hierarki penentuan prioritas produk
Strategi Pencapaian Swasembada Gula Pasir di Jawa Tengah
Peningkatan Rendemen dan Poduktivitas (29,5%)
Meningkatkan Mutu Pabrik (16,5%)
Meningkatkan Areal Luas Tebu (7,6%)
Sistem Bagi Hasil dan Kerja Antara Petani dan Pabrik Gula (25,9%)
Memfasilitasi Petani dalam Kredit Murah dan Mudah (17,7)
Kerjasama dan Kemitraan Petani dan Pabrik Gula (24,9)
Revitalisasi Pabrik Gula (27,1%)
Ketersediaan Bahan Baku (bibit) (16,1%)
Peningkatan Teknologi atau Alat Pengukur Rendemen (19,3%)
Sarana Pendukung Petani (pupuk) (15,5)
Tujuan
Kriteria
Alternatif
1
92
Lampiran 18 Kebijakan umum dan program pembangunan dalam Misi 2 point 3 pada RPJMD Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 - 2018
Sasaran
Strategi
Terjaminnya a. Peningkatan kedaulatan produksi dan pangan melalui produktivitas ketersediaan pertanian, (produksi dan perkebunan, cadangan peternakan, pangan), perikanan dan keterjangkehutanan kauan, b. Peningkatan konsumsi akses masyarakat pangan dan terhadap pangan gizi serta keamanan pangan berbasis bahan baku, sumberdaya dan kearifan lokal
c. Peningakatan diversivikasi dan konsumsi melalui sumberdaya lokal d. Perlindungan petani dan lahan pertanian serta
Arah Kebijakan
Indikator Kinerja (Outcome)
1) Optimali- a) Jumlah regulasi sasi pangan penerapan sapta b) Ketersediaan usahatani pangan utama di didukung pemanfaat an c) Persentase teknologi ketersediaan dan informasi modernipasokan, harga sasi alat dan akses mesin pangan daerah pertanian yang berwawasan lingkungan 2) Mengem- d) Pesentase bangkan penguatan regulasi cadangan ketahanpangan an pangan/ e) Persentase kedaulatpenanganan an pangan
Capaian Kinerja Kondisi Awal (2013) a) 6
Kondisi Akhir (2018) a) 11
b) 5.701.257
b) 5.816.198
c)
c) 100
95
d) 60
d) 100
e) 50
e) 60
Program Pembangunan Daerah 1) Peningkatan Ketahanan Pangan 2) Pengembangan diversivikasi dan pola konsumsi 3) Peningkatan mutu dan keamanan pangan
4) Pengembangan agribisnis 5) Pengembangan perikanan tangkap
Bidang Urusan Ketahanan pangan, pertanian, kelautan dan perikanan, perencanaan pembangu nan
SKPD Penanggun g Jawab BKP, Dinas Pertanian & THP. DIsnakesw an, Disbun, Dislutkan, Balitbang
pengendalian alih fungsi lahan
termasuk alih fungsi lahan pertanian yang didukung 3) Meningkatkan ketersedia an distribusi, keterjangkauan, kualitas, keamanan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penanganan rawan pangan, serta penyediaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat
daerah rawan pangan f) Skor Pola Pangan Harapan g) Persentase pengawasan dan pembinaan keamanan pangan h) Jumlah produksi padi (juta ton) i) Jumlah produksi tebu (juta ton) j) Jumlah produksi daging (juta kg) k) Produksi perikanan tangkap (ton) l) Produksi perikanan budidaya (ton) m) Tingkat konsumsi ikan (kg/kapita/tahun ) n) Persentase penyuluh yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang keahlian o) Jumlah desa inovatif
f) 90,00
f) 92,23
g) 80%
g) 80%
h) 10,4
h) 10,35
i) 5,02
i) 5,548
j) 265,14
j) 308,871
k) 286.797,18
k) 339.638,91
l) 267.760,99
l) 386.017,37
m) 17,82
m) 22,59
n) 34,01%
n) 80%
o) 5
o) 58
6) Pengembangan perikanan budidaya 7) Pengembangan SDM dan penyuluhan pertanian 8) Optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan 9) Program pengembangan Iptek dan inovasi daerah
93
94
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Nurul Puspita lahir pada tanggal 23 Maret 1992 di Pati. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Supriyadi dan Kunarni Hariyadiningsih. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN 02 Pakis, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Tayu dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Tayu dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis meninggalkan kota untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai bagian dari kepanitiaan diberbagai kegiatan kampus seperti GreenBase 2011 dan 2012, Pemilihan Raya (PEMIRA) 2012, IPB’s Dedication for Education (IDEA) 2012, dan turut menjadi bagian dari kepengurusan Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP). Selain itu penulis juga merupakan Mahasiswa Berprestasi di Bidang Ekstrakulikuler yaitu sebagai pemenang “PPS Betako Merpati Putih se Jawa-Bali 2012” pada semester tiga.