STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)
JENAL ABIDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, 19 Juni 2010
Jenal Abidin NRP H252074125
ABSTRACT JENAL ABIDIN. Strategies in Alleviating Poverty through Agricultural Development in Bogor Regency (Case Study in Pamijahan and Leuwiliang Subdistrict). Under direction of RINA OKTAVIANI and FREDIAN TONNY NASDIAN. Bogor Regency, West Java has a big potential in agriculture resources, which has area 2.301 km2, population approximately about 4,2 million people and 20,4 per cent of population work as farmers. By possessing its big potential, people in Bogor Regency should not live in poverty. In fact the number of people who live under poverty is about 1,1 million or 24,02 per cent from total number of population. Therefore a researches to study the strategy in alleviating poverty through agricultural development in Bogor Regency is absolutely important. . The main objective of this research is to formulate stategies in alleviating poverty by agricultural development in Bogor Regency. The specific purposes in this researches are : 1) Identifying the characteristic and the buying power of people in Bogor Regencies; 2) Analyzing the correlation between the rate of poverty and the characteristic of household in Bogor Regencies; 3) Analyzing the potential commodities of agriculture in Bogor Regency for alleviating poverty and 4) Evaluating of Government Policy in alleviating poverty at Bogor Regency. The method in this research is Quantitative Descriptive Analysis Method for identifying the characteristic and buying power of people who live under poverty and evaluating government policy to alleviate poverty at Bogor Regency, Correlation Analysis Method for analyzing the correlation between the rate of poverty and the characteristic of household in Bogor Regencies and Location Analysis Method (LQ) for analyzing potential commodities of agriculture in Bogor Regency. The method to formulate strategies in alleviating poverty by the agricultural development in Bogor Regencies using SWOT Analysis Method and QSPM Analysis Method. There are some programe to alleviate poverty which can be implemented in Bogor Regency. They are : 1) Quality Development of human resources for the farmers; 2) Development of potential commodities; 3) Development of infrastructure of agriculture, 4) Making policy and financial system for the farmers; 5) Socialization of poverty alleviiation program for the farmers intensively; 6) Economic development of farmer; 7) Increasing the quality of farmer groups, 8) Making a policy and system to build an area contributing for farmers and 9) Increasing collaboration between agriculture and entreupreneurship to the farmers.
Key words : Strategies, Bogor Regency, Poverty, Policy, Agriculture
RINGKASAN JENAL ABIDIN. Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang). Komisi pembimbing terdiri dari RINA OKTAVIANI sebagai ketua dan FREDIAN TONNY NASDIAN sebagai anggota komisi pembimbing. Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat yang memiliki potensi sumberdaya alam pertanian untuk dikembangkan. Dengan luas wilayah sebesar 2.301 km2 dan jumlah penduduk mencapai 4,2 juta jiwa serta sebanyak 20,4 % penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, seharusnya penduduk Kabupaten Bogor berada dalam kondisi yang sejahtera. Namun kenyataannya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor masih sangat besar yaitu lebih dari 1,1 juta jiwa atau sekitar 24,02% dari total jumlah penduduk. Dengan kondisi seperti diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk membuat strategi penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan pertanian di Kabupaten Bogor. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi dan program penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan pertanian di Kabupaten Bogor dengan tujuan khususnya antara lain : 1) Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor; 2) Menganalisis hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor; 3) Menganalisis komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bogor untuk penanggulangan kemiskinan; dan 4) Mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di Kabupaten Bogor. Metode kajian yang digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik kemiskinan dan kemampuan daya beli masyarakat serta mengevaluasi kebijakan pemerintah di Kabupaten Bogor menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif, untuk mengetahui hubungan antara tingkat kemiskinan dengan karakteristik RTM menggunakan analisis korelasi, untuk dapat mengetahui komoditas unggulan di Kabupaten Bogor menggunakan analisis LQ. Metode yang digunakan untuk merumuskan strategi alternatif penanggulangan kemiskinan adalah metode analisis SWOT dan untuk menentukan strategi prioritas digunakan metode QSPM. Berdasarkan hasil analisis kajian bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang masih tergolong rendah, hal ini dapat terlihat dari karakteristik penduduk miskin dan kemampuan daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor. Karakteristik kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Bogor, terutama di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang dapat terlihat dari : Jumlah penduduk miskin yang masih banyak pada dua Kecamatan tersebut, yaitu mencapai 47,94 % di Kecamatan Pamijahan dan 48,99% di Kecamatan Leuwiliang, yang sebagian besar tinggal di perdesaan, Kondisi tempat tinggal (perumahan) yang sebagaian besar terbuat dari bambu, di Kecamatan Pamijahan 60,92 % dan Kecamatan Leuwiliang 60,33 %, Tempat pembuangan kotoran (WC) sebagian besar masyarakat masih membuang
kotoran di sungai di Kecamatan Pamijahan 57,56 %, Leuwiliang 57,81 %, Kepemilikan terhadap asset terutama kemampuan membeli pakaian di Kecamatan Pamijahan 50,27 % tidak mampu membeli pakaian setahun, Leuwiliang 71,20 % tidak mampu membeli pakaian setahun, Pendidikan kepala keluarga di Kecamatan Pamijahan 60,06 % yang hanya tamat SD dan Leuwiliang 49,46 % tamat SD, Jumlah penerima raskin masih banyak dan karakteristik seperti diatas akibat dari akses terhadap sarana dan prasarana di semua segi terbatas, sehingga pada dua kecamatan tersebut kemiskinan yang terjadi merupakan kemiskinan struktural (kurangnya akses kepada pemerintah). Sementara dilihat dari kemampuan daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor secara umum masih rendah. Di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang kemampuan daya beli masyarakat masih kurang dari standar BPS (Rp. 600.000/bln). Di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang ratarata kemampuan daya beli masyarakat hanya 475.026 di perdesaan dan Rp. 576.209 di masyarakat perkotaan. Hasil kajian ini dapat menunjukkan hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM di Kabupaten Bogor. Beberapa karakteristik tersebut antara lain : 1) Pendapatan rumah tangga, 2) Status kepemilikan luas lahan pertanian, 3) Jumlah tanggungan keluarga, 4) Tingkat pendidikan, 5) Usaha sampingan. Berdasarkan analisis korelasi spearman terdapat hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM di Kabupaten Bogor. di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang terdapat hubungan korelasi negative antara tingkat kemiskinan dengan pendapatan, luas lahan dan usaha sampingan, sementara korelasi positif antara jumlah tanggungan dan tingkat pendidikan. Hubungan tingkat kemiskinan dengan karakteristik RTM di dua kecamatan tersebut ada karakteristik yang memiliki tingkat signifikansi kuat dan lemah dengan α= 5 %. Kajian ini juga menghasilkan beberapa komoditas unggulan pertanian yang dapat dikembangkan dalam rangka penanggulangan kemiskinan pada dua kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu tanaman ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah Kabupaten Bogor telah melaksanakan beberapa program diantaranya adalah Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM), Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP), Program Ketahanan Pangan (PKP) dan KUBE (Kelompok Usaha Bersama Ekonomi). Secara keseluruhan program yang dijalankan oleh pemerintah dapat dikatakan berjalan hanya saja belum optimal. Sehingga perlu dilakukan evaluasi dan dipertimbangkan kembali mengenai ketepatan program yang dilakukan. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan 10 orang perwakilan masyarakat dari kecamatan pamijahan dan kecamatan leuwiliang, terlihat bahwa penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah terjadi beberapa kekeliruan diantaranya adalah Keliru dalam hal sasaran, Program yang dijalankan lebih bernuansa karitatif belum kearah pengembangan produktivitas, Masyarakat hanya dijadikan objek bukan sebagai subjek, Pemerintah lebih bertindak sebagai penguasa dan bukan sebagai fasilitator, Hanya berorientasi pada aspek ekonomi tidak kepada aspek multidimensi. Inilah beberapa evaluasi dari program pemerintah yang harus diperbaiki kedepan. Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan masih belum optimal, masih banyak
kekurangan yang perlu di evaluasi, evaluasi program harus dilakukan dari segi sifat, segi pendekatan dan segi sasaran. Oleh karenanya program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah harus tepat sasaran, lebih kearah produktif, partisipatif dan menjadikan masyarakat sebagai subjek. Hasil kajian ini menetapkan 9 Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pengembangan Pertanian di Kabuapaten Bogor, yang merupakan alternatif strategi yang dapat dijalankan ke depan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor harus di fokuskan kepada 3 strategi yaitu : 1) Peningkatan kualitas SDM petani; 2) Pengembangan komoditas unggulan padi sawah, ubi jalar, jeruk siam dan manggis; dan 3) Peningkatan sarana dan prasarana pertanian.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENAGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)
JENAL ABIDIN
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji luar pada ujian tugas akhir : Ir. Said Rusli, MA
Judul Tugas Akhir
:
Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pengembangan Pertanian Di Kabupaten Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)
Nama
:
Jenal Abidin
NRP
:
H252074125
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Yusman Syaukat,M.Ec
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar N, MS
Tanggal Ujian : 19 Juni 2010
Tanggal Lulus :
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang)”. Penulisan ini merupakan salah satu tugas yang harus dipenuhi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional dalam program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku anggota komisi pembimbing dan Bapak Ir. Said Rusli, MA sebagai penguji. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para dosen dan pimpinan serta pengelola Program Magister Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga secara khusus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. H. Herry Suhardiyanto, M.Sc yang telah memberikan dukungan kepada penulis berupa materil maupun non materil sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ini. Kepada Orang tua, istri dan buah hati tercinta beserta seluruh keluarga besar yang telah banyak mendorong, menyemangati dan memberikan perhatian sampai selesainya pendidikan ini. Tak lupa kepada Bappeda Kabupaten Bogor, BPS Kabupaten Bogor, BP3K Wilayah Cibungbulang dan Leuwiliang, Petani dan kelompok tani di kecamatan Pamijahan dan leuwiliang serta temanteman di kelas yang tak dapat
disebutkan satu persatu, penulis ucapkan
terimakasih atas kerjasamanya yang selama ini di bangun. Terlepas dari berbagai bentuk kekurangan dari kajian ini, penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor,
Juni 2010 Jenal Abidin
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Agustus 1982 sebagai anak pertama dari enam bersaudara, dari pasangan Baban Subandi (Alm) dan Lilis Adhuri. Pendidikan Dasar penulis diselesaikan di SD Negeri Ciasmara II pada tahun 1989-1995. Penulis melanjutkan ke SLTP Negeri I Pamijahan pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan ke SMU Negeri I Leuwiliang Bogor pada tahun 1998 dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2001 kemudian penulis melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan IPB dan lulus sebagai Sarjana Peternakan pada tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan kuliah di Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2010. Penulis sementara bekerja sebagai Asisten Rektor IPB dan sebagai Aktivis Lembaga Kajian Kepemudaan “Cendekia Muda Bogor” sebagai Ketua, serta sebagai pengamat pembangunan daerah di Kabupaten Bogor. Penulis menikah dengan Annisa Rahmawati, S.Pt pada tanggal 26 Juli 2008 dan sudah dikaruniai satu putra dengan nama Faza Fauzan Abidin
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...............................................................................................xvii DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xx DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xxi
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 2 1.3 Tujuan ........................................................................................................ 4 1.4 Manfaat ...................................................................................................... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 6 2.1 Pengertian dan Konsep Dasar Kemiskinan................................................ 6 2.2 Indikator Kemiskinan................................................................................. 9 2.3 Pembangunan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan....................... 12 2.4 Pengembangan Komoditas Pertanian Potensial dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Rumah Tangga Tani................................................... 14 2.5 Kelembagaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan .............. 15 2.6 Strategi Penanggulangan Kemiskinan ....................................................... 16 2.7 Paradigma Pembangunan Pertanian........................................................... 18 2.8 Penelitian sebelumnya mengenai Penanggulangan Kemiskinan ............... 19 III. METODOLOGI KAJIAN ........................................................................... 23 3.1 Kerangka Pemikiran................................................................................... 23 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian........................................................................... 26 3.3 Data dan Metode Analisis .......................................................................... 26 3.3.1 Teknik Sampling .............................................................................. 27 3.3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 28
3.3.2.1 Analisis Deskriptif Kuantitatif ............................................ 28 3.3.2.2 Analisis Korelasi ................................................................. 29 3.3.2.3 Analisis Location Quotient (LQ)......................................... 29 3.3.2.4 Matriks IFE dan EFE........................................................... 30 3.3.2.5 Analisis Matriks Internal – Eksternal.................................. 32 3.3.2.6 Matriks S.W.O.T ................................................................. 33 3.4 Metode Perumusan Strategi dan Perancangan Program ............................ 35 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH................................................................. 38 4.1 Kondisi Geografis dan Administratif......................................................... 38 4.1.1 Letak dan Batas Wilayah ................................................................. 38 4.1.2 Keadaan Alam Kabupaten Bogor .................................................... 39 4.1.3 Kondisi Pemerintahan Kabupaten Bogor......................................... 40 4.2 Keadaan Penduduk Kabupaten Bogor ....................................................... 40 4.2.1 Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin ......................................... 40 4.2.2 Persebaran dan Kepadatan Penduduk .............................................. 44 4.2.3 Struktur Penduduk Menurut Pekerjaan ............................................ 44 4.3 Perekonomian Kabupaten Bogor ............................................................... 45 4.4 Kondisi Mata Pencaharian ......................................................................... 47 4.5 Kemiskinan di Kabupaten Bogor............................................................... 48 4.6 Pendidikan dan Kesehatan ......................................................................... 49 4.7 Kultur Masyarakat dan Kelembagaan........................................................ 50 4.8 Potensi Pertanian di Kabupaten Bogor ...................................................... 51 4.8.1 Potensi Sumberdaya Alam Pertanian ............................................... 51 4.8.2 Potensi Sektor Perkebunan............................................................... 52 4.8.3 Potensi Sektor Tanaman Pangan ...................................................... 54 4.8.4 Potensi Sektor Peternakan................................................................ 54 4.8.5 Potensi Sektor Kehutanan ................................................................ 56 4.9 Penggunaan dan Kepemilikan Lahan di Kabupaten Bogor ...................... 56 4.10 Ikhtisar ...................................................................................................... 58
V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR .....................
60
5.1 Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan di Kabupaten Bogor ........ 60 5.2 Karakteristik Kemiskinan di Kabupaten Bogor ......................................... 62 5.3 Daya Beli Masyarakat di Kabupaten Bogor............................................... 67 5.4 Ikhtisar........................................................................................................ 69 VI.HUBUNGAN TINGKAT KEMISKINAN DENGAN KARAKTERISTIK RTM DI KABUPATEN BOGOR............................. 71 6.1 Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor ................................................ 71 6.2 Kemiskinan di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang............................ 72 6.3 Hubungan Kemiskinan dengan Karakteristik Rumah tangga miskin di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor............................................. 75 6.4 Hubungan Kemiskinan dengan Karakteristik Rumah tangga miskin di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor ............................................ 76 6.5 Ikhtisar ...................................................................................................... 77 VII. KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN BOGOR...................... 79 7.1 Komoditas Unggulan di Kecamatan Pamijahan........................................ 79 7.2 Komoditas Unggulan di Kecamatan Leuwiliang ...................................... 81 7.3 Prioritas Pengembangan Komoditas Unggulan......................................... 83 7.3.1 Perkembangan Ubi Jalar .................................................................. 84 7.3.2 Perkembangan Padi Sawah.............................................................. 85 7.3.3 Perkembangan Manggis................................................................... 86 7.3.4 Perkembangan Jeruk Siam............................................................... 87 7.4 Ikhtisar ...................................................................................................... 88 VIII. EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN ..... 90 8.1 Program Pemerintah dalam Penggulangan Kemiskinan............................ 90 8.2 Bentuk Kekeliruan Program yang Pernah dijalankan Pemerintah ............ 91 8.3 Evaluasi Program Penanggulangan Kemiskinan ....................................... 93 8.4 Prinsip-prinsip Penanggulangan Kemiskinan............................................ 96
IX. PERUMUSAN STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR 98 9.1 Analisis Faktor Internal dan Eksternal ...................................................... 98 9.1.1 Faktor Internal .................................................................................. 98 9.1.2 Faktor Ekternal.................................................................................104 9.1.3 Evaluasi Faktor Internal (IFE) .........................................................109 9.1.4 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)......................................................110 9.2 Perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan.....................................112 9.3 Penentuan Strategi Penanggulangan Kemiskinan......................................115 9.4 Perancangan Program Penanggulangan Kemiskinan.................................117 X. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................123 10.1 Kesimpulan...............................................................................................123 10.2 Saran .........................................................................................................124 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................126 LAMPIRAN.........................................................................................................129
xvii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Potensi Sumberdaya Alam di Kabupaten Bogor ..........................................
1
2. Data dan Metoda Analisis .............................................................................
27
3. Matrik Analisis IFE.......................................................................................
32
4. Matrik Analisis EFE......................................................................................
32
5. Matrik SWOT ...............................................................................................
34
6. Matrik Analisis QSPM..................................................................................
36
7. Jumlah Penduduk dan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor Tahun 2006....................................................................................................... 41 8. Jumlah Keluarga Miskin di Kabupaten Bogor Tahun 2006..........................
43
9. Persentase Serapan Tenaga Kerja Per Sektor................................................
45
10. Kontribusi Setiap Sektor pada Perekonomian Kabupaten Bogor ...............
46
11. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor ..........................................
47
12. Potensi Sumberdaya Alam Pertanian di Kabupaten Bogor.........................
52
13. Luas Areal Tanaman Muda Perkebunan Rakyat dirinci menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007 ..............................
53
14. Luas Areal Tanaman Muda Perkebunan Besar dirinci menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007 .......................................... 53 15. Luas Penanaman dan Produksi Palawija 2008 dan Harapan Peningkatan Produktivitas Tanaman dengan Intensifikasi ................................................. 54 16. Potensi Hasil Ternak di Kabupaten Bogor..................................................... 54 17. Perkembangan Populasi Ternak Unggas di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2008 ........................................................................................... 55 18. Perkembangan Populasi Ternak Ruminansia Besar di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2008 ........................................................................................... 55 19. Jenis,Luas, Produksi, Jumlah Pemilik, dan Jumlah Tenaga Kerja Terlibat di Hutan Rakyat................................................................................ 56 20. Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor ............................................... 57 21. Status Kepemilikan Lahan Petani .................................................................. 58 22. Dasar Perwilayahan di Kabupaten Bogor ...................................................... 60
xviii
23. Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan di Kabupaten Bogor.............................................................................................................. 61 24. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Jumlah Penduduk............................. 62 25. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kondisi Tempat Tinggal.................. 63 26. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kepemilikan WC ............................. 63 27. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kepemilikan pakaian ...................... 64 28. Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Tingkat Pendidikan Kepala keluarga 64 29. Jumlah Penerima Raskin di Kecamatan Pamijahan ....................................... 65 30. Jumlah Penerima Raskin di Kecamatan Leuwiliang...................................... 66 31. Besarnya Rata-rata Daya Beli Masyarakat .................................................... 69 32. Jumlah KK Miskin di Kecamatan Pamijahan ................................................ 73 33. Jumlah KK Miskin di Kecamatan Leuwiliang............................................... 74 34. Koefisien Korelasi Hubungan antara Kemiskinan dengan karakteristik RTM di Kecamatan Pamijahan ...................................................................... 75 35. Koefisien Korelasi Hubungan antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Leuwiliang .................................................................... 76 36. Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor................................................... 79 37. Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Buah-buahan di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor ................................................. 80 38. Indeks Location Quotient berdasarkan produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor ................................................. 81 39. Indeks Location Quotient berdasarkan produksi buah-buahan di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor ..................................................... 82 40. Jenis Komoditas Unggulan Per Kecamatan di Kawasan Zona 2 Kabupaten Bogor........................................................................................... 83 41. Perkembangan Ubi Jalar di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang ............. 84 42. Perkembangan Padi Sawah di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang ......... 85 43. Produksi Manggis di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang........................ 87 44. Produksi Jeruk Siam di Kecamatan Pamijahan.............................................. 87 45. Matriks IFE dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor.............................................................................................................. 109
xix
46. Matriks EFE dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor .............................................................................................................111 47. Matrik SWOT Perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor........................................................................................115 48. Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ..........................116 49. Matriks Program Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ...........122
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka Pemikiran Kajian ..........................................................................
25
2. Analisis Internal dan Eksternal .....................................................................
33
3. Hubungan Analisis SWOT dengan Tujuan 5......................................................
35
4. Peta Lokasi Kabupaten Bogor.......................................................................
38
5. Jumlah RTM Penerima Raskin di Kabupaten Bogor....................................
67
6. Kemampuan Daya Beli Masyarakat Kabupaten Bogor ................................
68
7. Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor ............................................
71
8. Jumlah Pengangguran di Kabupaten Bogor (2004-2008).............................
72
9. Analisis Internal- Eksternal dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor .......................................................................................... 112
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Matriks QSPM ................................................................................................. 129 2. Matrik Rating Faktor Internal .......................................................................... 130 3. Matrik Rating Faktor Eksternal........................................................................ 131 4. Matrik Rekapitulasi Bobot IFE ........................................................................ 132 5. Matrik Rekapitulasi Bobot EFE ....................................................................... 133 6. Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Pamijahan..................................... 134 7. Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Leuwiliang.................................... 134 8. Produksi Buah-buahan di Kecamatan Pamijahan. ........................................... 135 9. Produksi Buah-buahan di Kecamatan Leuwiliang........................................... 136 10. Analisis Korelasi Antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor ...................................................... 137 11. Analisis Korelasi antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor ..................................................... 138
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat yang memiliki berbagai potensi yang belum dikembangkan secara optimal. Kabupaten Bogor dalam rangka mengembangkan potensi tersebut, membutuhkan peran dari pemerintah dan masyarakat untuk mengelola dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Salah satu potensi yang dimiliki Kabupaten Bogor adalah sumberdaya alam pertanian berupa lahan yang masih luas yang dapat menjadi basis perekonomian daerah sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Potensi sumberdaya alam di Kabupaten Bogor yang berupa luas lahan pertanian dari tahun ke tahun masih terluas jika dibandingkan dengan sektor lainnya walaupun mengalami fluktuasi. Bertambahnya luas lahan pertanian pada tahun 2007 terjadi karena reboisasi dan pembukaan hutan menjadi lahan pertanian, pada tahun 2008 terjadi alih fungsi lahan menjadi pemukiman sehingga menyebabkan luas lahan pertanian berkurang. Potensi ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel. 1 Potensi Sumberdaya Alam di Kabupaten Bogor (Ha) Potensi
2006
2007
2008
Pertanian
149.748
180.898
175.320
Perkebunan
24.063
22.126
23.577
Kehutanan
108.033
79.380
79.436
Lainnya
28.189
27.629
31.700
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2009)
Potensi lain disamping luas lahan pertanian, Kabupaten Bogor juga memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar. Luas wilayah yang mencapai 2.301, 95 kilometer persegi yang terdiri dari 40 kecamatan dan 428 desa dengan jumlah penduduk yang besarnya mencapai 4.215.585 jiwa pada tahun 2006 (Susda, 2006) tampaknya tidak mampu mencerminkan tingkat kesejahteraan di Kabupaten Bogor. Besarnya luas wilayah dan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor malah menjadi permasalahan tersendiri dengan banyaknya masyarakat miskin. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor mencapai 1.026.789 jiwa (24, 15 % ), artinya setiap 100 orang penduduk terdapat 24 orang
2 miskin. Jika dilihat dari berbagai potensi yang dimiliki seperti diatas, seharusnya kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat ditanggulangi dengan baik oleh pemerintah, namun faktanya kemiskinan masih tetap menjadi permasalahan yang belum tuntas diselesaikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan sebuah kajian “Bagaimana Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor?”
1.2 Perumusan Masalah Pembangunan daerah di Kabupaten Bogor yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah sejak masa orde baru hingga sekarang, pada dasarnya telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Salah satu program pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan ini adalah program revitalisasi pertanian pada 40 kecamatan. Kecamatan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan pertanian diantaranya : untuk pengembangan pertanian padi sawah, palawija dan buah-buahan adalah Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang. Pengembangan wilayah menuju kesejahteraan, pemerintah telah melakukan beberapa langkah strategis sebagai upaya penanggulangan kemiskinan, baik itu yang diluncurkan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. beberpa program yang telah dilaksanakan antara lain : Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM), Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP), Program Ketahanan Pangan (PKP) dan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) (Susda, 2006). Program-program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin perdesaan melalui peningkatan dan pemerataan pendapatan. Namun program yang dilaksanakan belum banyak berpengaruh terhadap adanya peningkatan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan, hal ini di indikasikan lemahnya ekonomi masyarakat menghadapi gejolak perekonomian. Kondisi yang terjadi ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang belum menyelaraskan program yang ada dengan karakteristik dan kondisi sosial rumah tangga miskin, serta potensi wilayah perdesaan sebagai
3 basis penggerak ekonomi rakyat, sehingga pendapatan penduduk miskin masih tetap rendah. Rendahnya
pendapatan
penduduk
miskin
semakin
menambah
permasalahan kemiskinan sehingga menyebabkan lemahnya motivasi masyarakat berperan serta pada program pembangunan ekonomi perdesaan, rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola asset yang menyebabkan terbiarnya lahan-lahan
yang
menjadi
potensi
sumber
ekonomi
produktif,
dan
ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi krisis ekonomi, sehingga melengkapi kesengsaraan komunitas masyarakat miskin dalam mempertahankan diri untuk tetap hidup. Pertanyaannya adalah Bagaimana karakteristik masyarakat miskin dan kemampuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor? Dalam upaya mengatasi kemiskinan di perdesaan, diperlukan pemahaman mengenai karakteristik rumah tangga miskin (RTM), apa penyebab dan bagaimana hubungannya dengan tingkat kemiskinan, sehingga menjadikan masyarakat menjadi miskin. Apakah lebih kepada kemiskinan secara struktural atau kultural. Berdasarkan pola hidup dan karakteristik masyarakat di Kabupaten Bogor yang sebagian besar bergantung pada sektor pertanian (20,21%) maka perlu dilakukan suatu kajian dalam rangka menggali informasi mengenai karakteristik kemiskinan yang terjadi yang menimpa 24,02% penduduk di Kabupaten Bogor (BPS Kabupaten Bogor, 2008). Pertanyaannya adalah bagaimana
hubungan
antara
tingkat
kemiskinan
dengan
beberapa
karakteristik rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Bogor? Kabupaten Bogor merupakan daerah yang kaya akan komoditas pertanian. Banyak ragam mulai dari tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan buahbuahan. Bahan komoditas ini harus dijadikan sebagai bentuk usaha rakyat yang dikelola dengan baik dan profesional. Pemerintah perlu mengembangkan ragam komoditas yang ada pada masyarakat menjadi usaha komoditas unggulan untuk di kembangkan. Pengembangan usaha komoditas tersebut dikelola secara terintegrasi dan berkelanjutan sehingga dapat dijadikan sebagai dasar petimbangan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan sebagai upaya penanggulangan
4 kemiskinan
yang
sesuai
dengan
kondisi
sosial
ekonomi
masyarakat.
Pertanyaannya adalah Komoditas unggulan pertanian apa yang dapat dikembangkan guna meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin tersebut? Penanggulangan kemiskinan memerlukan pendekatan yang integral baik secara sosial, ekonomi dan budaya. Berbagai program pembangunan yang dikaitkan dengan kemiskinan, dianggap masih bersifat parsial dan tidak terintegrasi dengan baik di lintas sektoral, sehingga masih belum dapat meningkatkan kualitas dan taraf hidup rumah tangga secara signifikan. Pendekatan pelaksanaan program pengentasan kemiskinan masih bersifat sentralistik, karena pemerintah daerah hanya diikutsertakan pada tahap pelaksanaan dilapangan. Pendekatan lainnya tidak melihat kemiskinan dari indikator keluaran (output indicator), artinya kemiskinan dilihat dari gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya. Bentuk program yang dilakukan oleh pemerintah belum mencerminkan aspirasi masyarakat miskin seutuhnya, lemahnya pengendalian pelaksanaan program dan mekanisme pelaksanaan kurang transparan, sehingga menyebabkan program tidak efektif dan efisien, sehingga perlunya evaluasi program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah di Kabupaten Bogor, menjadi pertanyaan yang perlu di jawab dalam kajian ini.
1.3 Tujuan Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan umum dari kajian ini adalah untuk merumuskan Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pengembangan Pertanian di Kabupaten Bogor. Sedangkan tujuan spesifik dari kajian ini dimaksudkan untuk : 1. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis hubungan antara tingkat kemiskinan dengan karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bogor untuk penanggulangan kemiskinan.
5 4. Mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan di Kabupaten Bogor.
1.4 Manfaat Berdasarkan tujuan yang ingin di capai, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk pemerintah daerah
Kabupaten
Bogor
dalam
menanggulangi
kemiskinan
dengan
mengembangkan komoditas pertanian unggulan guna mencapai kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Konsep Dasar Kemiskinan Kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana seseorang, sejumlah atau segolongan orang yang berada dalam tingkatan kekurangan dibandingkan dengan standar kehidupan umum yang layak berlaku di masyarakat. Standar kehidupan yang rendah ini langsung berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral dan harga diri mereka sebagai orang miskin. Seseorang dimasukan ke dalam golongan miskin apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Menurut Darwis (2004), kebutuhan dasar itu sendiri dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu 1) Kebutuhan fisik primer yang merupakan kebutuhan gizi, perumahan, kesehatan; 2) Kebutuhan kultural yang terdiri dari pendidikan, rekreasi dan ketenangan hidup; 3) Kebutuhan lainnya yang lebih tinggi jika kebutuhan primer dan kultural sudah terpenuhi dan ada kelebihan pendapatan. Pengertian kebutuhan dasar menurut ILO (International Labour Organization) membagi kebutuhan dasar ke dalam dua unsur, yaitu 1) Kebutuhan meliputi tuntutan minimum tertentu suatu keluarga sebagai konsumsi pribadi seperti makanan, perumahan, pakaian, peralatan dan perlengkapan rumah tangga; dan 2) Kebutuhan yang meliputi pelayanan sosial yang diberikan oleh dan untuk masyarakat seperti minum, angkutan umum, kesehatan, pendidikan, dan fasilitas kebudayaan. Kemiskinan merupakan permasalahan pembangunan yang dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang. Kemiskinan sangat berkaitan erat dengan faktor-faktor tertentu misalnya pendapatan, pendidikan, kesehatan, akses terhadap barang dan jasa, dan kondisi lingkungan. Menurut Ritonga (2003), miskin adalah kondisi kehidupan masyarakat yang sangat serba kekurangan yang dialami seseorang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimalnya (kebutuhan dasarnya). Menurut Sumodiningrat (1999), kemiskinan bila ditinjau dari penyebabnya dapat dibedakan menjadi kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan Struktural terjadi disebabkan oleh faktor eksternal atau faktor yang berada di luar jangkauan individu, secara kongkrit faktor ini merupakan hambatan
7 kelembagaan atau struktur yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Artinya, bukan karena seseorang tidak mau bekerja tetapi struktur yang ada menjadi hambatan. Kemiskinan kultural timbul disebabkan karena faktor internal yang berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya sebagai akibat nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut sekelompok masyarakat. Kemiskinan sesungguhnya merupakan masalah multidimensi yang erat kaitannya dengan kesejahteraan, dikaitkan dengan keterbatasan hak-hak sosial sehingga jika seseorang dianggap miskin biasanya cenderung tidak sejahtera. Banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau Well Being, misalnya dikatakan bahwa kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum. Seseorang dikatakan mampu jika dia memiliki kemampuan ekonomi yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki (kekayaan) atau secara paralel dapat dianalogikan tentang kemampuan seseorang untuk memperoleh jenis barang-barang konsumsi tertentu (misalnya makan dan perumahan). Seseorang yang kurang mampu untuk berperan dalam masyarakat mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Sen, 1999) atau lebih rentan (vulnerable) terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan iklim. Jadi dalam konteks ini, kemiskinan dapat berarti kurangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum yaitu keterbatasan terhadap kelompok pilihan komoditas (Watts, 1968) atau jenis konsumsi tertentu, misalnya terlalu sedikit mengkonsumsi makanan yang dirasa sangat esensial atau perlu untuk memenuhi standar hidup dalam masyarakat, maupun dalam arti kurangnya kemampuan untuk berperan dalam masyarakat. Kemiskinan memiliki konsep yang sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Berdasarkan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak hal inilah yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin,
8 tetapi definisi ini sangat kurang memadai karena 1) Tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; 2) Dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; 3) Tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontra produktif. BAPPENAS (2004), mendifiniskan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain: pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective Badan Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan dan non pangan (sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar). Berdasarkan indikator internasional seperti terdefinisi miskin dalam kategori MDGs (Millenium Development Goals) adalah warga miskin yang berpendapatan dibawah satu dolar AS setiap harinya. Kemudian Asian Development menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia sebesar US$ 2 perkapita per hari, setelah dikonversi kedalam rupiah menjadi sekitar Rp. 540.000 per bulan. Menurut Nurkse (1953), ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi pada seseorang, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi karena antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat
9 anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin. Sajogyo (1987), mengungkapkan kemiskinan merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada dibawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sajogyo dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan perdesaan masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun. Beberapa konsep dasar mengenai kemiskinan diatas merupakan konsep yang berkembang di masyarakat, masih banyak konsep lain mengenai kemiskinan yang dapat kita pelajari sebagai definisi kemiskinan, tetapi pada intinya hampir semua sumber sepakat bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kehidupan sehari-hari.
2.2 Indikator Kemiskinan Banyak indikator tentang kemiskinan yang di tuliskan oleh para ahli dan institusi
yang
bergerak
dibidangnya.
Hendrakusumaatmaja
(2002),
mengungkapkan bahwa kemiskinan dicirikan oleh tiga hal, yaitu pertama rendahnya penguasaan asset dimana skala usaha tidak efisien dan mengakibatkan produktivitas menjadi rendah; kedua rendahnya kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kepemilikan atau penguasaan akan asset; ketiga rendahnya kemampuan dalam mengelola asset. Menurut BKKBN indikator kemiskinan disebut sebagai keluarga pra sejahtera yang dikeluarkan secara nasional adalah seluruh anggota keluarga yang mampu untuk makan dua kali sehari atau lebih, seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan bepergian, bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah dan apabila anak atau anggota keluarga lainnya sakit dapat di bawa ke sarana/ petugas kesehatan, kemudian pasangan usia subur (PUS) ingin berkeluarga berencana (KB) dibawa ke sarana atau petugas kesehatan dan diberi obat dengan cara KB Modern.
10 Menurut Sumardjo (2004), ciri masyarakat miskin yang diambil dari berbagai sumber rujukan (Patnership GRI, Cresescent dan IPB, 2003) adalah : 1) Secara politik tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka; 2) Secara sosial tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada; 3) Secara ekonomi rendahnya SDM termasuk kesehatan, pendidikan, keterampilan yang berdampak pada penghasilan; 4) Secara budaya dan tata nilai, terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM, seperti rendahnya etos kerja, berfikir pendek dan fatalisme; 5) Secara lingkungan hidup rendahnya pemilikan asset fisik termasuk asset lingkungan seperti air bersih dan penerangan. Menurut Salim (1980), ada lima yang termasuk ciri-ciri orang miskin, yaitu: 1) Umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal atau keterampilan. 2) Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri 3) Tingkat pendidikan yang rendah, tidak tamat sekolah dasar 4) Sebagian besar tinggal diperdesaan,umumnya menjadi buruh tani atau pekerja kasar diluar pertanian 5) Kebanyakan yang hidup dikota dan masih berusia muda yang tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan. Badan Pusat Statistik (2004), telah menetapkan empat belas kriteria keluarga miskin seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi, bahwa rumah tangga yang tergolong kedalam rumah tangga miskin yaitu : 1.
Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2.
Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan.
3.
Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ kayu/ rumbia berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester.
4.
Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.
11 5.
Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6.
Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
7.
Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah
8.
Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu.
9.
Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan satu atau dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000 per bulan 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000 seperti sepeda motor (kredit/ non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. Kemiskinan adalah suatu situasi atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi (Bappenas, 2004). Dimensi utama kemiskinan adalah politik, sosial budaya, dan psikologi, ekonomi dan akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait dan saling mengunci atau membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak memiliki biaya untuk berobat. Orang miskin pada umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit akibat kekurangan air bersih, kemiskinan adalah ketidak berdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas.
12 2.3 Pembangunan Ekonomi dalam Penanggulangan Kemiskinan Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama dalam persoalan pembangunan. Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutuskan mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan sumberdaya manusianya, penambahan modal investasi dan mengembangkan teknologi melalui berbagai suntikan pendanaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas. Menurut Suharto (2003), untuk mengatasi kemiskinan diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program anti kemiskinan, hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigm). Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neo klasik dan model yang berpusat pada produksi. Pembangunan sering kali dianggap sebagai suatu obat terhadap berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, khususnya pada negara yang sedang berkembang.
Permulaan
implementasi
pendekatan
pembangunan
ketika
dikemukakannya teori pertumbuhan oleh kelompok ekonom ortodok. Teori ini menjelaskan bahwa pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi akhirnya diasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan. Penggunaan GNP sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan, tetapi jika di perhatikan lebih jauh ternyata pertumbuhan yang ada hampir tidak bermakna bagi masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan, karena GNP tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Trolleer (1978), ada beberapa pendekatan pembangunan, antara lain : pendekatan pertumbuhan, pertumbuhan dan pemerataan, ketergantungan, tata ekonomi baru, kebutuhan pokok. Menurut Rostow (1980), dalam teori pendekatan pembangunan yang menggambarkan tahapan dalam pembangunan yang pada intinya terkait investasi “modal besar”
atau mengenai “suntikan investasi yang padat modal untuk
mendongkrak sumberdaya dan potensi yang ada pada masyarakat”. Pendekatan yang dianggap mujarab untuk negara-negara kaya di utara ini dicangkokkan dan diterapkan guna mengobati negara-negara selatan. Dalam penerapannya, strategi untuk
melakukan
pembangunan
dilakukan
dengan
memperhatikan
laju
13 pertumbuhan ekonomi yang dikehendaki sebagai indikator utamanya. Dengan menggunakan teori tersebut, sebagai negara dunia ke tiga mengerahkan para teknokrat dan pakarnya untuk melaksanakan “strategi pembangunan” yang dirancang dengan sasaran tunggal yaitu bagaimana untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu yang singkat. Untuk memenuhi hal tersebut, sangat diperlukan modal investasi dalam jumlah yang besar, yang tentunya tidak dimiliki oleh negara-negara dunia ke tiga, dan sebagai jalan pintas dibukalah pintu lebar-lebar untuk investasi modal asing beserta teknologi untuk masuk kenegara tersebut. Asumsi teori ini adalah bila terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagai konsekuensinya akan terjadi “tetesan rejeki kebawah” (trickle down effect). Tetesan rejeki kebawah ini diharapkan juga akan mencapai kelompok masyarakat di lapisan bawah. Kenyataannya, hasil pembangunan yang terjadi memicu permasalahan lain, seperti : bertambahnya angka pengangguran pada angkatan kerja, bertambahnya kejahatan, tingkat migrasi dari desa ke kota, dan ketimpangan pada negara dunia ke tiga. Pembangunan dalam kerangka otonomi daerah harus berdasarkan teori/ konsep yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan pembangunan. Terdapat teori-teori yang masih relevan untuk diterapkan sebagai suatu pola dalam mengembangkan pembangunan. Konsep pembangunan menurut Malthus tidak menganggap proses pembangunan ekonomi terjadi dengan sendirinya, malahan proses pembangunan ekonomi memerlukan berbagai usaha yang konsisten di pihak rakyat. Proses tersebut memberikan gambaran adanya gerakan menuju keadaan
stasioner
tetapi
menekankan
bahwa
perekonomian
mengalami
kemerosotan beberapa kali sebelum mencapai tingkat tertinggi dari pembangunan. Jadi menurut Malthus proses pembangunan adalah suatu proses naik turunnya aktivitas ekonomi lebih daripada sekedar lancar atau tidaknya aktivitas ekonomi (Jhingan, 2003). Teori ini menitikberatkan perhatian pada perkembangan kesejahteraan suatu negara, yaitu pembangunan ekonomi yang dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan suatu negara sebagian tergantung pada kuantitas
14 produk yang dihasilkan oleh tenaga kerjanya, dan sebagian lagi pada nilai atas produk tersebut. Pembangunan dan tujuannya memiliki pengertian ataupun persepsi baik secara individual maupun sebagai kelompok yang tentu menaruh harapan yang besar pada pembangunan, bahwa keadaan masyarakat akan menjadi lebih baik melalui pembangunan. Pembangunan sering menjadi perdebatan akademik dan perdebatan ideologi. Negara yang semula dibawah penjajahan kolonial, setelah merdeka hanya melihat pembangunan sebagai salah satu cara untuk survive dan sekaligus
untuk
mengejar
ketertinggalan.
Rusli
(2004),
memberi
arti
pembangunan ekonomi dengan membedakan antara pertumbuhan (Growth) dan perkembangan (development) pertumbuhan dan perkembangan terjadi bersamasama, tetapi pertumbuhan dapat terjadi tanpa perkembangan. Sebenarnya pembangunan atau perkembangan dapat diberikan makna lebih luas sebagai contoh pemberian makna dalam arti lebih luas dimana pembangunan mengandung tiga nilai inti, yaitu : dapat mempertahankan hidup (life sustainance), mempunyai harga diri (self esteem), dan kebebasan (freedom) Todaro (2000). Pendapat ini berasumsi suatu komunitas atau masyarakat mempunyai kemampuan atau kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan dasar dengan selalu berpegang kepada harga diri dan martabat ataupun kepribadian.
2.4 Pengembangan Komoditas Unggulan dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Rumah Tangga Tani Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai 4,69% diperoleh dari sektor pertanian. Walapun lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor yang lain terutama sektor industri yang mencapai 64,30% dan sektor perdagangan yang mencapai 15,48%, namun PDRB sektor pertanian dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Artinya sektor pertanian menjadi sektor potensial dalam menambah nilai pendapatan daerah dari tahun ke tahun walaupun secara jumlah menjadi sektor penyumbang ke-tiga terbesar terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Menurut Adiwijoyo (2005), apabila petani di daerah mau dan mampu merubah keadaan bertani dari pola bertani secara konvensional, dengan sistem
15 olah tanah menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia ke pola bertani organik terpadu, ada langkah-langkah yang dapat dilakukan : Pertama model pertanian lahan basah yang dikembangkan saat ini harus ditinggalkan, karena akan mengeksploitasi habis-habisan unsur hara yang sangat di butuhkan oleh tanaman padi, sehingga sawah semakin lama akan semakin banyak memerlukan pupuk dan obat-obatan anti hama tanaman yang dibutuhkan. Kedua model pertanian lahan kering, pertanian ini merupakan sumber bahan pangan yang sangat potensial, sehingga untuk meningkatkan jumlah hasil panen secara massal dikembangkan secara konvensional, secara monokultur dan dimekanisasi. Model ini adalah model pertanian organik terpadu dan tanpa olah tanah (TOT), yaitu dengan menanam berbagai tanaman musiman (heterokultur) secara tumpang sari dan tumpang gilir tanpa olah tanah, memadukan dengan usaha peternakan. Pembangunan
ekonomi
perdesaan
sebagai
satu
kesatuan
antara
pembangunan sektor pertanian dan industri. Arah dari pembangunan tersebut terdapat pada upaya pemberdayaan agro industri. Pengembangan agro industri ini, sekaligus dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa yang sejalan dengan berkembangnya kegiatan di dalam sektor pertanian (on farm) dan di luar pertanian (off farm) melalui proses pengolahan, serta kegiatan jasa perdagangan komoditas primer. Berkembangnya kegiatan tersebut akan dapat meningkatkan nilai tambah di perdesaan, diversifikasi produksi perdesaan, pendapatan petani dan akan mempercepat akumulasi kapital perdesaan, Sandra (2002). Menurut Kurniawati (2002), program yang perlu dikembangkan di perdesaan untuk sektor pertanian dan industri kecil adalah komoditas yang berpotensi meningkatkan nilai tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran yang tidak terdistorsi, penyediaan sarana transfortasi dan distribusi produk, serta pengembangan kemitraan dan restrukturisasi sistem kelembagaan pertanian dan agroindustri.
2.5 Kelembagaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan Pengembangan masyarakat tidak terlepas dari pengertian pembentukan modal manusia. Jhingan (2003) menyatakan bahwa pembentukan modal manusia
16 adalah proses memperoleh dan meningkatkan jumlah orang yang mempunyai keahlian, pendidikan dan pengalaman yang menentukan bagi pembangunan ekonomi dan politik suatu negara. Pembentukan modal manusia karenanya dikaitkan dengan investasi pada manusia tersebut dan pengembangan menuju kearah yang kreatif dan produktif. Jhingan
(2003),
menyatakan
terdapat
lima
cara
pengembangan
sumberdaya manusia, antara lain dengan memberikan: 1) Fasilitas dan pelayanan kesehatan, pada umumnya mencakup semua pengeluaran yang mempengaruhi harapan hidup, kekuatan dan stamina, tenaga serta vitalitas rakyat; 2) Latihan jabatan, termasuk jenis pelatihan pengembangan SDM yang diorganisasikan oleh perusahaan; 3) Pendidikan yang diorganisasikan secara formal pada tingkat dasar, menengah dan tinggi; 4) Pelatihan bagi orang dewasa yang tidak diorganisasikan oleh perusahaan, termasuk program penyuluhan khususnya pada pertanian; 5) Rotasi jabatan kepemimpinan perorangan dan keluarga untuk menyesuaikan diri dengan kesempatan kerja yang selalu berubah. Sumardjo (2004), menyatakan bahwa seseorang akan berpartisipasi dalam masyarakat apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi sebagai berikut : 1) Kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa seseorang berpeluang untuk berpartisipasi; 2) Kemauan, adanya suatu yang menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut; dan 3) Kemampuan, adanya kesadaran dan keyakinan pada dirinya bahwa ia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, dapat berupa pikiran, tenaga, waktu atau sarana dan material lainnya. Apabila salah satu saja dari ketiga prasyarat diatas itu tidak dapat dilaksanakan maka partisipasi yang sebenarnya dalam pembangunan tidak akan pernah terjadi.
2.6 Strategi Penanggulangan Kemiskinan Hakikat
pembangunan
pertanian
diarahkan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat petani. Namun, seringkali kronologi yang diterapkan tidak netral terhadap initial endowment petani, maka tidak semua petani dapat langsung memanfaatkan atau terlibat dalam program-program pembangunan
17 pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut, program pembangunan pertanian yang langsung
terkait
dengan
penanggulangan
kemiskinan
yang
perlu
diimplementasikan adalah berupa pembagian benih atau bibit tanaman dan hewan bagi pengembangan di daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus seperti daerah lahan kering marjinal, daerah transmigrasi dan daerah pantai, Kasryno dan Suryana, (1987). Badan Pusat Statistik (2005), menjelaskan bahwa ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam menanggulangi masalah kemiskinan, diantaranya adalah melalui kebijakan makro ekonomi, pendekatan kewilayahan, dan pendekatan pemenuhan hak-hak dasar kebutuhan manusia. Kebijakan makro ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pendekatan kewilayahan yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan percepatan pembangunan perdesaan, pembangunan perkotaan, pengembangan kawasan pesisir, dan percepatan pembangunan di daerah tertinggal. Strategi penanngulangan kemiskinan yang dilakukan melalui pendekatan pemenuhan hak-hak dasar adalah dengan melakukan pemenuhan hak atas pangan, sandang, pendidikan, kesehatan, akses terhadap sumberdaya sosial dan ekonomi, kegiatan usaha produktif, perumahan air bersih dan rasa aman. Menurut Saharia (2003), paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan yaitu melakukan pembangunan perdesaan, dimana pertanian diposisikan sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan dan hasil yang memadai. Pertanian dapat menjadi sumber pendapatan yang memadai apabila setiap program melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang ada di wilayah perdesaan (sekitar 75%) dari total penduduk dan tentunya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki dalam hal ini potensi sumber daya manusianya dan potensi sumberdaya alamnya. Dalam PP No 13 tahun 2009 tentang koordinasi penanggulangan kemiskinan, terdapat 3 kelompok program penanggulangan kemiskinan diantaranya yaitu : 1) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan dan perlindungan sosial yang terdiri atas program-program yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta
18 perbaikan
kualitas
hidup
masyarakat
miskin;
2)
Kelompok
program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang terdiri atas program-program yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat; 3) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil terdiri atas program-program yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil.
2.7 Paradigma Pembangunan Pertanian Paradigama pembangunan pertanian dapat dicapai apabila potensi sumberdaya manusia di wilayah perdesaan yang sebelumnya menjadi objek diposisikan menjadi subjek pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan di sektor pertanian. Menurut Saharia (2003), dalam menyikapi perubahan paradigma pembangunan di perdesaan, ada beberapa langkah yang harus dipertimbangkan yaitu : 1) Menghubungi para tokoh masyarakat dan tokoh petani 2) Menjelaskan latar belakang dan tujuan dari program pertanian yang akan diterapkan 3) Menumbuhkan motivasi pada diri para tokoh masyarakat dan tokoh petani agar program yang akan diterapkan dirasakan sebagai kebutuhan mereka dengan jalan mendiskusikan bersama apa alasan-alasan dan tujuan dari pelaksanaan program tersebut. Ada
beberapa
pendekatan
yang
dapat
dilakukan
dalam
upaya
mengentaskan kemiskinan di perdesaan melalui pengembangan komoditas pertanian, diantaranya ialah seperti yang disampaikan oleh Wahab (2004), bahwa kemiskinan petani disebabkan oleh beberapa permasalahan pokok. Pertama, pendidikan petani yang rendah sehingga mempunyai kemampuan terbatas untuk mengikuti perkembangan dunia agribisnis yang berkembang cepat seperti teknologi, selera konsumen, pemilihan jenis komoditi yang menguntungkan. Kedua, akibat terbatasnya akses terhadap petani sehingga petani mendapatkan kesulitan untuk mengakses sarana produksi, teknologi dan informasi yang mereka
19 butuhkan dengan harga yang wajar. Ketiga, letak lahan pertanian yang dikelola petani tersebar diberbagai tempat dengan luasan masing-masing yang sempit dan pengelolaannya belum mengarah pada usaha yang intensif. Keempat, lemah dan rendahnya teknologi, produktivitas, tenaga kerja, SDM dan modal menyebabkan rendahnya volume dan kualitas produksi serta mengakibatkan naiknya biaya produksi. Kelima, kelembagaan sosial dan ekonomi ditingkat petani belum mampu mendukung kegiatan usaha tani, distribusi dan pemasaran serta informasi dan ahli teknologi. Keenam, harga jual hasil produksi berfluktuasi sebagai akibat dari supply yang fluktuatif, mutu yang rendah, serta lemahnya sistem distribusi, pemasaran dan posisi tawar petani. Solusi dari enam permasalahan yang dapat menjadikan kemiskinan petani ialah melalui pembanguan ekonomi petani perdesaan sebagai satu kesatuan antara pembangunan sektor pertanian dan industri kecil. Kurniawati (2002), menjelaskan bahwa program yang perlu dikembangkan di perdesaan untuk membangun dan mengembangkan sektor pertanian dan industri kecil adalah dengan mengembangkan komoditas unggulan, peningkatan nilai tambah produk pertanian, pengembangan sistem pemasaran yang tidak terdistorsi, penyediaan sarana transportasi dan distribusi produk, pengembangan kemitraan dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan pertanian dan agroindustri.
2.8 Penelitian sebelumnya mengenai Strategi Penanggulangan Kemiskinan Penelitian mengenai strategi penanggulangan kemiskinan di berbagai kabupaten di wilayah Indonesia sudah banyak dilakukan, hal ini terlihat dari beberapa penelitian kemiskinan yang sudah dilakukan oleh Hidayad (2009), Nugroho (2009) dan Firdaus (2006). Hidayad
(2009),
melakukan
penelitian
dengan
judul
strategi
penanggulangan kemiskinan di tingkat petani melalui pengembangan komoditas perkebunan di Kabupaten Muna, Nugroho (2009) melakukan penelitian dengan judul strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Lampung Barat (studi kasus di Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat), dan Firdaus (2006) melakukan penelitian dengan judul strategi penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan komoditas pertanian potensial di Kabupaten Kuantan Singingi.
20 Hidayad (2009), dalam penelitiannya membahas kemiskinan dilihat dari sisi produktivitas lahan perkebunan yang dimiliki oleh petani di Kabupaten Muna kemudian diarahkan strategi penanggulangannya pada pengembangan komoditas perkebunan yang dianggap unggulan. Komoditas unggulan perkebunan yang di bahas dalam penelitian tersebut yaitu komoditas Jambu mete. Hasil penelitian dari Hidayad (2009) hanya membahas secara umum tentang kemiskinan di Kabupaten Muna dilihat dari sisi produktivitas lahan perkebunan yang dimiliki oleh petani dengan melihat komoditas unggulan dan karakteristik masyarakat secara umum pada wilayah satu kabupaten. Bedanya dengan penelitiaan penulis adalah pembahasan mengenai kemiskinan tidak hanya pada karakteristik rumah tangga miskin dan komoditas unggulan yang ada, tetapi pada penelitian ini dilihat juga hubungan antara karakteristik RTM dengan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan, faktor yang dilihat tidak hanya dari sisi produktivitas lahan tetapi juga dari sisi pendapatan, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan usaha sampingan masyarakat. Hidayad (2009) memilih wilayah kabupaten sebagai unit penelitian, pada penelitian ini unit penelitian hanya terbatas pada zona pengembangan pertanian dan strategi yang digunakan lebih akurat dengan menggunakan analisis SWOT dan QSPM jika dibandingkan dengan strategi yang digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayad (2009) yang hanya menggunakan
metode
analisis
deskriptif
pada
perancangan
program
penanggulangan kemiskinan. Nugroho (2009), dalam penelitiannya membahas kemiskinan dari sisi faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi miskin. Adapun faktorfaktor tersebut adalah pendapatan, lamanya tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan yang dikelola, ada atau tidaknya pekerjaan tambahan, serta beberapa program penanggulangan kemiskinan yang sudah dijalankan oleh pemerintah yang terdiri dari Bantuan Tunai Langsung (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan masyarakat (PNPM), dan Program Gerakan Pembangunan Beguai Jejama Sai Betik (BJSB). Hasil penelitian Nugroho (2009) hanya membahas secara umum mengenai kemiskinan yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan jenis-jenis
21 program yang sudah dijalankan oleh pemerintah. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa luas lahan dan pekerjaan tambahan adalah faktor yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan seseorang untuk menjadi miskin. Pemerintah daerah diharapkan dapat menyusun strategi penanggulangan kemiskinan yang di fokuskan pada pengembangan dan optimalisasi luas lahan yang ada dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2009) dengan penelitian ini terletak pada strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan. Pada penelitian Nugroho (2009), strategi penanggulangan kemiskinan masih terlihat global hanya terdapat pada pengembangan hutan dan sumberdaya alam sebagai basis untuk penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Balik Bakit Kabupaten Lampung Barat, sementara pada penelitian yang dilakukan penulis strategi penanggulangan kemiskinan lebih spesifik yaitu melalui pengembangan pertanian berbasis komoditas unggulan dan tidak hanya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan tetapi juga menganalisis karakteristik rumah tangga miskin yang ada di wilayah penelitian. Firdaus (2006), dalam penelitiannya membahas mengenai fenomena kemiskinan yang terjadi di masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. Fenomena kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh sulitnya petani untuk mengembangkan usaha karena rendahnya pendapatan rata-rata petani. Kondisi ini disebabkan oleh komunitas petani miskin tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, tatanan kelembagaan yang tidak berfungsi, sehingga menyebabkan mereka tetap miskin. Penelitian Firdaus (2006) juga membahas permasalahan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan menganalisis program-program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan. Strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Firdaus ini berbasis pada potensi pertanian dengan subsektor perkebunan sebagai komoditas yang perlu dikembangkan untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan Singingi. Komoditas lokal yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah pohon kelapa sawit, karet dan kelapa hibrida. Hasil penelitian Firdaus (2006) merekomendasikan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan
22 Singingi harus berbasis pada sub sektor perkebunan. Perbedaannya dengan penelitian penulis yaitu terletak pada wilayah sasaran, penelitian Firdaus (2006) sasaran penelitian dilakukan untuk sebuah wilayah kabupaten sementara penelitian yang penulis lakukan merupakan studi kasus dari dua kecamatan yang ada pada satu wilayah kabupaten sehingga dapat lebih fokus, kemudian perbedaan juga terletak pada basis komoditas yang akan dikembangkan, dalam penelitian Firdaus (2006) menekankan pada pengembangan sub sektor perkebunan yaitu komoditas kelapa sawit, karet dan kelapa hibrida untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuantan Singingi, sementara pada penelitian penulis penanggulangan kemiskinan terletak pada pengembangan komoditas unggulan pertanian yaitu komoditas ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya jelas terlihat baik dari segi metode yang digunakan, unit analisis, faktor yang dianalisis, dan komoditas yang dijadikan sebagai basis pengembangan ekonomi yang harus dilakukan pada daerah penelitian. Penelitian sebelumnya menggunakan metode analisis deskriptif sementara penelitian penulis menggunakan SWOT dan QSPM sehingga dapat lebih akurat, unit analisis pada penelitian sebelumnya wilayah kabupaten, sementara pada penelitian penulis wilayah kecamatan, faktor yang dianalisis pada penelitian sebelumnya tidak ada faktor pakaian dan jumlah tanggungan, dan komoditasnya berbeda sesuai dengan potensi daerah yang diteliti.
III. METODOLOGI KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Kemiskinan merupakan penyakit ekonomi pada suatu daerah yang harus di tanggulangi. Kemiskinan akan menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan modal. Kemiskinan banyak terjadi di wilayah perdesaan yang identik dengan wilayah pertanian. Menurut Sinaga dan White (1979), petani yang memiliki lahan cukup besar akan berpeluang memiliki pendapatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani yang memiliki lahan lebih kecil. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten yang dekat dengan Ibu kota Jakarta, memiliki permasalahan berkaitan dengan kemiskinan. Memahami kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat dilakukan dengan memahami permasalahan kemiskinan yang berkaitan dengan karakteristik masyarakat miskin, kemampuan daya beli masyarakat dan perlu juga mengetahui hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik masyarakat di Kabupaten Bogor. Pertama, dari sisi karakterisik kemiskinan. Sejak dulu masalah kemiskinan di Kabupaten Bogor merupakan permasalahan yang belum dapat di selesaikan secara optimal. Penyelesaian permasalahan kemiskinan perlu dilakukan secara sitematis dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Beberapa hal yang harus diketahui dalam penyelesaian permasalahan kemiskinan antara lain dengan mengetahui berbagai karakteristik masyarakat miskin. Dalam penelitian ini, karakteristik masyarakat miskin meliputi jumlah penduduk miskin, kondisi tempat tinggal, kemampuan membeli pakaian per tahun, pendapatan dan luas lahan yang dimiliki. Kedua, dari sisi kemampuan daya beli. Kemapuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor tergolong rendah. Rendahnya daya beli ini disebabkan oleh rendahnya pendapatan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan maka daya beli akan semakin tinggi pula. Rendahnya daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor merupakan permasalahan kemiskinan yang harus di tuntaskan. Ketiga, dalam memahami permasalahan kemiskinan perlu mengetahui hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik seperti pendapatan rumah tangga, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan usaha sampingan.
24
Kabupaten Bogor memiliki potensi pertanian yang cukup besar. Potensi pertanian di Kabupaten Bogor harus menjadi sektor basis dalam penenggulangan kemiskinan. Dari berbagai potensi yang ada, maka ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis sebagai komoditas unggulan yang dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan pada lintas sektoral maupun regional. Beberapa program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah seperti program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP), Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM), PNPM, Raskin, Program Ketahanan Pangan (PKP) dan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) belum mampu mengurangi jumlah keluarga miskin di Kabupaten Bogor. Hal ini karena program yang dilakukan masih belum tepat sasaran, program yang dibuat sifatnya seragam untuk semua wilayah padahal setiap wilayah di Kabupaten Bogor memiliki kebiasaan masyarakat yang berbeda, masyarakat lebih sebagai objek dan tidak dilibatkan sebagai subjek, hampir setiap program yang dilakukan lebih bersifat karitatif ketimbang peningkatan produktivitas. Beberapa upaya penangggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut belum dapat dikatakan optimal, sehingga belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam bentuk program tersebut belum dapat dianggap berhasil, sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk melihat tingkat keberhasilan, efektivitas dan ketepatan sasaran. Evaluasi program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah juga harus dilakukan oleh masyarakat sebagai sasaran program dan untuk bahan masukan perbaikan terhadap program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan. Dengan belum optimalnya program yang dilakukan oleh pemerintah, maka diperlukan sebuah rancangan program alternatif dan strategi penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pertanian sesuai dengan potensi yang dimiliki Kabupaten Bogor guna mencapai masyarakat. Seperti terlihat pada Gambar 1.
kesejahteraan pada
25
Permasalahan Kemiskinan di Kabupaten Bogor
Karakteristik Masyarakat Miskin: (Jumlah penduduk miskin, kondisi tempat tinggal, kemampuan membeli pakaian, pendapatan, luas lahan)
Kemampuan daya beli masyarakat
Hubungan tingkat kemiskinan dengan (Pendapatan, luas lahan, jumlah tanggungan, pendidikan dan h i )
Potensi Pertanian di Kabupaten Bogor
Komoditas Unggulan di Kabupaten Bogor 1. 2. 3. 4.
Ubi jalar Padi sawah Jeruk siam Manggis
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor
Evaluasi Kebijakan
Strategi dan Perancangan Program Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor
Gambar. 1 Kerangka Pemikiran Kajian
26
3.2 Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilaksanakan di Kabupaten Bogor bagian barat tepatnya di wilayah zona II pengembangan pertanian dan perdesaan dengan mengambil dua kecamatan sebagai daerah sampel, yaitu Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang. Kedua kecamatan ini diambil sebagai daerah sampel dengan pertimbangan : Pertama, kedua Kecamatan ini terletak pada Zona yang sama yaitu wilayah zona II di Kabupaten Bogor dengan basis pertanian sebagai mata pencaharian utama. Kedua, Kecamatan Pamijahan memiliki jumlah penduduk miskin terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk miskin sebesar 64.651 jiwa dan memiliki jumlah rumah tangga miskin sebanyak 13.382 KK. Ketiga, Kecamatan Leuwiliang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, yaitu sebesar 53,76 % dari seluruh total rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor. keempat, ciri-ciri rumah tangga miskin pada dua kecamatan tersebut hampir homogen. Kelima, pada dua kecamatan ini sebagian besar penduduknya bermata pencaharian utama pada sektor pertanian. Waktu pelaksanaan kajian ini selama 3 bulan yaitu dari bulan Januari-Maret 2010. 3.3 Data dan Metode Analisis Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa jumlah penduduk miskin, luas lahan, pendidikan, jumlah tanggungan, usaha sampingan dan kepemilikan pakaian diperoleh dari data SUSDA 2006, BAPPEDA Kabupaten Bogor, PSP3 IPB, BPS Kabupaten Bogor, Kantor BP3K wilayah Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Sementara data primer yang berupa komoditas unggulan, evaluasi program penanggulangan kemiskinan dan perumusan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor diperoleh dari hasil survey, wawancara, focus group discussion (FGD) dengan para petani, penyuluh pertanian dan kepala BP3K masing-masing kecamatan. Lebih legkapnya untuk jenis dan sumber data serta metode analisis dapat dilihat pada Tabel 2.
27
Tabel. 2 Data dan Metoda Analisis Tujuan Kajian 1.
Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan Daya Beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor
2.
Menganalisis hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM di Kabupaten Bogor
3.
Menganalisis komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bogor untuk penanggulangan kemiskinan
4.
Mengevaluasi Kebijakan Pemerintah mengenai Program penanggulangan Kemiskinan Merumuskan strategi dan program penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bogor
5.
Data Jenis Sekunder : Jumlah penduduk miskin tiap kecamatan, Kondisi dan keadaan tempat tinggal, Kepemilikan aset dan Tingkat pendidikan. Sekunder : Tingkat kemiskinan, Pengeluaran rumah tangga, Status kepemilikan lahan, Jumlah tanggungan, Tingkat pendidikan, Usaha sampingan. Sekunder : Jenis Komoditas Pertanian Unggulan di Kabupaten Bogor Sekunder : Program Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan Primer
Sumber SUSDA 2006, BAPPEDA PSP3 IPB
Metode analisis Deskriptif Kuantitatif
BAPPEDA, PSP3 IPB, Bogor Dalam Angka 2007
Korelasi
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, BAPPEDA dan PSP3 IPB BAPPEDA, BP3K Wilayah Pamijahan dan Leuwiliang
LQ
Survey
Analisis SWOT Analisis QSPM
FGD, Deskriptif Kuatitatif
3.3.1 Teknik Sampling Untuk mendapatkan gambaran mengenai strategi penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan pertanian di Kabupaten Bogor (di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang) yang konkrit, valid dan obyektif, dilakukan wawancara terhadap responden yang ada di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling, artinya
responden
keterkaitannya
baik
diambil secara
secara langsung
sengaja
berdasarkan
maupun
tidak
keahlian
langsung
atau
terhadap
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Jumlah responden sebanyak 10 orang, terdiri dari enam orang warga masyarakat petani di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, dua orang aparatur pemerintah (penyuluh pertanian di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang), dan dua orang kepala BP3K Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang.
28
Pemilihan responden yang terdiri dari enam orang (ketua kelompok) perwakilan dari tiga kelompok tani yang terdapat pada dua kecamatan yaitu dikarenakan penguasaan mereka terhadap persoalan para petani, penguasaan wilayah pertanian, dan pengetahuan akan kondisi kemiskinan yang terjadi di tingkat rumah tangga miskin yang ada di dua kecamatan. Dua orang responden yang berasal dari penyuluh pertanian (PNS) ini diambil karena mereka memiliki wawasan pertanian yang luas, menguasai permasalahan petani, mengetahui kondisi wilayah, dan sudah lama berinteraksi dengan warga terutama petani sehingga mengetahui kondisi kemiskinan yang terjadi. Dua orang kepala BP3K pada dua kecamatan dijadikan sebagai sampel karena mereka memiliki pengaruh terhadap masyarakat petani, dekat dengan akses kebijakan dan memahami permasalahan kemiskinan petani di wilayah tugasnya. Pemilihan 10 orang sampel ini sudah cukup representative untuk memenuhi kebutuhan dalam penelitian ini.
3.3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.3.2.1 Analisis Deskriptif Kuantitatif Analisis Deskriptif Kuatitatif ini digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor. Menganalisis kondisi dan keadaan tempat tinggal, kepemilikan aset, jumlah tanggungan keluarga, usaha sampingan RTM, dan tingkat pendidikan rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor, menganalisis hubungan tingkat kemiskinan dengan beberpa karakteristik RTM yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor, mengidentifikasi komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bogor untuk penanggulangan kemiskinan dan mengevaluasi kebijakan pemerintah mengenai program penanggulangan kemiskinan Analisis deskriptif kuantitatif merupakan teknik analisis yang dilakukan dalam bentuk tabel-tabel data atau angka yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dalam bentuk uraian. Tabel-tabel tersebut meliputi seperti yang tercantum dalam tujuan kajian 1-4 pada tabel data dan analisis.
29
3.3.2.2 Analisis Korelasi Analisis Korelasi digunakan untuk menguji adanya hubungan antara tingkat kemiskinan (persentase jumlah keluarga miskin) di Kabupaten Bogor dengan beberapa karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor. Korelasi yang digunakan untuk menguji kedua variabel tersebut adalah korelasi Spearman yang diolah dengan menggunakan Microsoft Excel. Koefisien korelasi (r) berkisar antara -1 sampai dengan +1. Tanda minus (-) menyatakan hubungan negatif antar kedua variabel. Tanda positif (+) menyatakan ada hubungan positif antar variabel. Tinggi rendahnya koefisien korelasi mencerminkan tinggi rendahnya hubungan antar kedua variabel. Uji hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM tersebut dilakukan pada tingkat signifikansi 5 persen. Hipotesis yang akan diuji dalam analisis korelasi ini adalah : H0 : r = 0, artinya tidak ada hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM di Kabupaten Bogor H1 : r = 1, artinya ada hubungan antara tingkat kemiskinan dengan beberapa karakteristik RTM di Kabupaten Bogor 3.3.2.3 Analisis Location Quotient (LQ) Analisis Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang umum digunakan dalam ekonomi geografi terutama di tingkat kecamatan. Analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan atau basis aktivitas dan mengetahui kapasitas ekspor perekonomian wilayah serta tingkat kecukupan barang atau jasa dari produksi lokal suatu wilayah. Nilai LQ merupakan indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah atau dapat dikatakan bahwa LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas pada sub wilayah ke i terhadap persentase aktivitas total terhadap wilayah yang diamati (Budiharsono, 2001). Asumsi yang digunakan dalam analisis LQ adalah : 1) kondisi geografis relatif seragam; 2) pola aktivitas bersifat seragam; 3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang seragam. Dalam teknik ini kegiatan ekonomi suatu daerah di bagi menjadi 2 golongan, yaitu :
30
a. Kegiatan industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun diluar daerah yang bersangkutan. Industri seperti ini dinamakan industry basic. Nilai LQ lebih besar dari satu (LQ > 1) b. Kegiatan ekonomi atau industri yang melayani pasar di daerah tersebut, jenis ini dinamakan industry non basic atau industri lokal. Nilai LQ kurang dari satu (LQ < 1) Analisis LQ dalam kajian ini digunakan untuk mencari komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Bogor. Adapun rumus LQ adalah : Koefisien LQ = ei/et Ei/Et Dimana : ei = Jumlah produksi komoditas i di kecamatan tertentu et = Jumlah produksi total komoditas di kecamatan tertentu Ei = Jumlah produksi komoditas i di Kabupaten Bogor Et = Jumlah produksi total komoditas di Kabupaten Bogor Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut : 1. Apabila nilai LQ > 1, komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan. 2. Apabila nilai LQ < 1, komoditas tersebut bukan merupakan komoditas unggulan.
3.3.2.4 Matriks IFE dan EFE Untuk merumuskan strategi dan program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor, maka digunakan analisis Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT), yang diawali dengan membuat analisis Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) Matriks IFE digunakan untuk meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama, sedangkan matriks EFE digunakan untuk pengambilan keputusan dalam meringkas dan mengevaluasi semua informasi lingkungan eksternal meliputi peluang dan ancaman (David, 2002). David (2002) menyebutkan langkah - langkah yang diperlukan untuk menyusun matriks EFE dan IFE, yaitu :
31
1. Daftarkan semua faktor-faktor eksternal dan internal yang diidentifikasi, termasuk peluang, ancaman, kelemahan dan kekuatan. 2. Berikan pembobotan untuk setiap faktor yang menunjukan kepentingan relatif semua faktor. Pembobotan berkisar antara 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (sangat penting). Setiap variabel menggunakan skala 0,1,2. Untuk menentukan bobot yang digunakan adalah : a. A varibel baris/sebelah kiri kurang penting daripada variabel kolom/bagian atas, maka pada kotak pertemuan antra A (kiri) dan B (atas) nilai = 0 b. A variabel baris/sebelah kiri sama penting dengan C pada variabel bagian atas, maka pada kotak pertemuan antara A (kiri) dan C (atas) nilainya = 1 c. A variabel baris/sebelah kiri lebih penting daripada D pada variabel bagian atas, maka pada kotak pertemuan antara A (kiri) dan C (atas) nilainya = 2. 3. Tentukan rating setiap faktor, yaitu peringkat 1 sampai 4 pada setiap faktor sukses kritis untuk menunjukkan seberapa efektif pengaruh faktor-faktor tersebut. Untuk EFE yaitu : 4 = peluang utama, 3 = peluang, 2 = ancaman, 1 = ancaman utama. Sedangkan untuk IFE, rating 4 = kekuatan utama, 3 = kekuatan, 2 = kelemahan kecil dan 1 = kelemahan utama. 4. Setiap rating dikalikan dengan masing-masing bobot untuk setiap variabelnya. Selanjutnya dilakukan penjumlahan dari pembobotan untuk mendapatkan skor pembobotan 5. Jumlah skor pembobotan berkisar antara 1,0 – 4,0 dengan rata-rata 2,5. Jika jumlah skor pembobotan IFE dibawah 2,5, maka kondisi internalnya lemah. Untuk jumlah skor bobot faktor eksternal berkisar 1,0 – 4,0 dengan rata-rata 2,5. Jika jumlah skor pembobotan EFE 1,0 menunjukkan ketidakmampuan memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman yang ada. Jumlah skor 4 menunjukkan kemampuan merespon peluang maupun ancaman yang dihadapi dengan sangat baik.
32
Tabel. 3 Matriks IFE Faktor Internal
Bobot
Rating
Skor
Bobot
Rating
Skor
Kekuatan 1. 2. Kelemahan 1. 2. Tabel. 4 Matriks EFE Faktor Eksternal Peluang 1. 2. Ancaman 1. 2.
3.3.2.5 Analisis Matriks Internal – Eksternal Menurut David (2002) setelah melakukan analisis faktor internal dan eksternal, selanjutnya adalah analisis matriks internal – eksternal (IE). Matriks IE didasarkan pada dua dimensi kunci, yaitu total nilai IFE yang diberi bobot pada sumbu x dan total nilai EFE yang diberi bobot pada sumbu y, sebagaimana disajikan pada Gambar. Pada sumbu x matriks IE, total nilai IFE yang diberi bobot dari 1,0 sampai 1,99 menunjukkan posisi internal yang lemah, nilai 2,0 sampai 2,99 dianggap sedang, dan nilai 3,0 sampai 4,0 kuat. Demikian pula pada sumbu y, total nilai EFE yang diberi bobot dari 1,0 sampai 1,99 menunjukkan posisi eksternal yang rendah, nilai 2,0 samai 2,99 dianggap sedang, dan nilai 3,0 sampai 4,0 tinggi. Matriks IE dibagi menjadi tiga bagian utama yang mempunyai dampak strategis yang berbeda. Pertama, divisi yang masuk dalam sel I, II atau IV disebut tumbuh dan bina. Strategi yang dapat diterapkan adalah strategi intensif atau integratif (integrasi ke belakang, integrasi ke depan, dan integrasi horizontal). Kedua, divisi yang masuk dalam sel III, V, VII terbaik dapat dikelola dengan strategi pertahankan dan pelihara. Ketiga, divisi yang masuk dalam sel VI, VIII, IX
33
disebut panen atau divestasi. Organisasi yang sukses bila diposisikan dalam atau sekitar sel I matriks IE. Seperti terlihat pada Gambar. 2 TOTAL SKOR FAKTOR STRATEGI IFE-EFE KUAT
4,0
RATA-RATA
3,0
LEMAH
2,0
1,0
TINGGI
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
3,0 MENENGAH
1,0 RENDAH
2.0 1,0
Gambar. 2 Analisis Internal- Eksternal Sumber : David, 2002.
3.3.2.6 Matriks SWOT Analisis Strenght Weakness Opportunity Threat (SWOT) yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan unit analisis berupa wilayah untuk basis penelitian, yaitu berupa dua kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor bagian barat. Dua kecamatan itu adalah Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang. Sebelum melakukan analisis SWOT, maka perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang sudah ditentukan yang disebut dengan analisis faktor internal dan analisis faktor eksternal. Hasil analisis faktor internal dan eksternal dilanjutkan kepada analisis Strenght Weakness Opportunity Threat (SWOT). Analisis SWOT merupakan alat untuk memaksimalkan peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang ada serta menekan dampak ancaman yang timbul. Analisis SWOT memiliki matriks dengan empat kuadran yang merupakan perpaduan strategi antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
34
Tabel. 5 Matriks SWOT Faktor Internal STRENGTHS (S)
WEAKNESSES (W)
STRATEGI S-O
STRATEGI W-O
Faktor Eksternal
Menggunakan kekuatan Meminimalkan OPPORTUNITIES (O)
untuk
memanfaatkan kelemahan
peluang
untuk
memanfaatkan peluang
STRATEGI S-T
STRATEGI W-T
Menggunakan kekuatan Meminimalkan THREATS (T)
untuk
mengatasi kelemahan
ancaman
dan
menghindari ancaman
Dari Tabel 5 matrik SWOT dapat dilihat bahwa terdapat dua faktor internal yang terdiri dari Strength dan Weaknesses dan dua faktor eksternal yaitu Opportunities dan Threats. Kedua faktor yang terdapat dalam analisis SWOT tersebut akan menghasilkan empat strategi, yaitu: 1) Strategi (S-O), yaitu strategi dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang; 2) Strategi (S-T), yaitu strategi dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman; 3) Strategi (W-O), yaitu strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang; 4) Strategi (W-T), yaitu strategi dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Berdasarkan matrik SWOT diatas, hubungan antara analisis SWOT dengan tujuan kajian ditunjukkan pada Gambar. 3. Analisis SWOT yang dilakukan dalam kajian ini adalah untuk menjawab tujuan kelima dari kajian yaitu untuk merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan komoditas pertanian di Kabupaten Bogor.
35
Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor
Faktor Internal Kekuatan
Kelemahan
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4
STRATEGI
STRATEGI
Faktor Eksternal Peluang Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4
Ancaman Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4
STARTEGI
STRATEGI
Tujuan 5 : Rumusan Strategi Penanggulangan Gambar. 3 Hubungan Analisis SWOT dengan Tujuan 5
3.4
Metode Perumusan Strategi dan Perancangan Program Dalam melakukan perumusan strategi dan perancangan program
digunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). QSPM merupakan alat yang memungkinkan untuk mengevaluasi strategi alternatif secara objektif berdasarkan pada faktor-faktor kunci internal dan eksternal. Analisis QSPM juga merupakan teknik yang digunakan pada tahap pengambilan keputusan karena menunjukkan strategi alternatif yang paling baik dipilih. Pada matriks QSP terdapat komponen-komponen utama yang terdiri dari : Key Factors, Strategic Alternatives, Weights, Attractiveness Score, Total Attractiveness Score dan Sum Total Attractiveness Score, sebagaimana tersaji dalam Tabel 6.
36
Tabel. 6 Matriks Analisis QSPM Strategi Alternatif Faktor Kunci
Bobot
I AS
II TAS
AS
III TAS
AS
TAS
INTERNAL Kekuatan …………….. Kelemahan ……………. EKSTERNAL Peluang …………….. Ancaman …………….. JUMLAH RANKING Langkah-langkah dalam analisis QSPM adalah sebagai berikut : 1. Menyusun daftar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman di kolom sebelah kiri QSPM. 2. Memberi bobot (weight) pada masing-masing external dan internal key success factors. 3. Mengidentifikasi
strategi
alternatif
yang
pelaksanaannya
harus
dipertimbangkan. Mencatat strategi-strategi ini di bagian atas baris QSPM. Mengelompokkan strategi-strategi tersebut ke dalam kesatuan yang mutually exclusive, jika memungkinkan. 4. Menetapkan Attractiveness Scores (AS), yaitu nilai yang menunjukkan kemenarikan
relative untuk
masing-masing strategi yang terpilih.
Attractiveness Scores ditetapkan dengan cara meneliti masing-masing external dan internal key success factors. Batasan nilai Attractiveness Scores adalah :
37
1 2 3 4 5. Menghitung Total Attractiveness Scores (TAS). Total Attractiveness Scores (TAS) didapat dari perkalian bobot (weight) dengan Attractiveness Scores pada masing-masing baris. Total Attractiveness Scores menunjukkan relative attractiveness dari masing-masing alternative strategi Menghitung Sum Total Attractiveness Scores, dengan cara menjumlahkan semua TAS yang didapat. Nilai TAS dari alternative strategi yang tertinggi yang menunjukkan bahwa alternative strategi itu yang menjadi pilihan utama. Nilai TAS terkecil menunjukkan bahwa alternative strategi ini menjadi pilihan terakhir.
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH
4.1 Kondisi Geografis dan Administratif 4.1.1 Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta yang secara geografis terletak antara 6’19° - 6’47° lintang selatan dan 106° 1'-107° 103' bujur timur, dengan luas sekitar 2.301,95 km2. Secara administratif batas-batas wilayah Kabupaten Bogor adalah seperti pada Gambar 4. a) Sebelah utara
: Kota Depok
b) Sebelah barat
: Kabupaten Lebak
c) Sebelah barat daya
: Kabupaten Tangerang
d) Sebelah timur
: Kabupaten Purwakarta
e) Sebelah timur laut
: Kabupaten Bekasi
f)
: Kabupaten Sukabumi
Sebelah selatan
g) Sebelah tenggara
: Kabupaten Cianjur
Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan dan 428 desa/kelurahan. Hampir sebagian besar desa di Kabupaten Bogor sudah terklasifikasi sebagai desa swakarya yakni 237 desa dan 191 desa merupakan desa swasembada, Kabupaten Bogor tidak memiliki desa swadaya.
Gambar. 4 Peta Lokasi Kabupaten Bogor
39
Dari 40 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor ada dua kecamatan yang di jadikan sebagai lokasi kajian yaitu Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang. Kedua kecamatan ini merupakan kecamatan yang berbatasan antara keduanya. Adapun secara batas-batas wilayah kedua kecamatan tersebut adalah sebagai berikut : Batas-batas wilayah Kecamatan Pamijahan : a) Sebelah utara
: Kecamatan Leuwiliang dan Cibungbulang
b) Sebelah barat
: Kecamatan Leuwiliang dan Nanggung
c) Sebelah timur
: Kecamatan Tenjolaya
d) Sebelah selatan
: Kabupaten Sukabumi
Batas-batas Kecamatan Leuwiliang :
4.1.2
Sebelah utara
: Kecamatan Cibungbulang
Sebelah barat
: Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung
Sebelah timur
: Kecamatan Ciampea
Sebelah selatan
: Kecamatan Pamijahan
Keadaan Alam Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan daerah yang identik dengan sektor pertanian.
Topografi wilayah Kabupaten Bogor sangat bervariasi, yaitu berupa daerah pegunungan di bagian selatan hingga daerah dataran rendah di sebelah utara, daerah dataran rendah industri di sebelah timur dan daerah pegunungan, perkebunan dan pertanian di sebelah barat. Fungsi lahan di Kabupaten Bogor tidak hanya di jadikan sebagai pemukiman dan industri, tetapi juga masih banyak potensi lahan yang digunakan untuk pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Umumnya struktur tanah di wilayah Kabupaten Bogor terdiri dari tanah regosol dan tanah latosol dengan curah hujan antara 2500 sampai 5000 mm per tahun. Di Kabupaten Bogor terdapat enam Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang memiliki cabang-cabang yang sangat banyak hingga 339 cabang, yaitu meliputi Daerah Aliran Sungai Cisadane, DAS Ciliwung, DAS Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Angke dan DAS Citarum.
40
4.1.3
Kondisi Pemerintahan Kabupaten Bogor Pemerintahan Kabupaten Bogor di pimpin oleh seorang Bupati dengan
dibantu oleh seorang Wakil Bupati. Bupati sebagai kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat daerah yang di pimpin oleh sekretaris daerah yang bertanggungjawab secara langsung kepada Bupati. Dinas-dinas merupakan unsur pelaksana pemerintahan Kabupaten Bogor yang di pimpin oleh seorang kepala dinas yang bertanggungjawab kepada Bupati melalui sekretaris daerah. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pelaksana tugas tertentu yang karena sifatnya tidak tercakup oleh sekretaris daerah dan dinas daerah. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 428 desa/kelurahan, yang terdiri dari 411 desa dan 17 kelurahan, 3639 RW dan 14.403 RT.
4.2 Keadaan Penduduk Kabupaten Bogor 4.2.1
Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Jumlah penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan hasil sensus daerah tahun
2006 adalah sebanyak 4.215.585 jiwa, sementara jumlah penduduk miskinnya mencapai 24,15% atau mencapai 1.026.789 jiwa. Jumlah penduduk ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 yang berjumlah 4.100.934 jiwa, berarti pada tahun 2006 terjadi penambahan jumlah penduduk sebanyak 114.651 jiwa atau laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2006 mencapai 2,80%. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat yang mencapai 1,94% maka laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor relatif tinggi. Kecamatan yang paling banyak jumlah penduduknya adalah Kecamatan Cibinong dengan jumlah penduduk 270.057 jiwa sedangkan kecamatan yang jumlah penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan Cariu dengan jumlah penduduk 45.921 jiwa. Kecamatan dengan jumlah penduduk miskin terbanyak yaitu Kecamatan Pamijahan dengan jumlah penduduk miskin 64.651 jiwa, Kecamatan Cibungbulang dengan jumlah penduduk miskin 58.039 jiwa dan Kecamatan Leuwiliang dengan jumlah penduduk miskin 54.719 jiwa. Secara persentase, kecamatan yang jumlah penduduk miskin terbesar yaitu Kecamatan Leuwisadeng sebesar 60,27% hanya saja jumlah penduduk miskinnya sedikit yaitu 42.566 jiwa.
Kecamatan dengan laju pertumbuhan tertinggi adalah
Kecamatan Bojonggede (22,19%), sementara yang terendah adalah Kecamatan
41
Cariu (-9,63%). Lengkapnya untuk jumlah penduduk dan jumlah penduduk miskin dapat dilihat pada Tabel. 7 Tabel. 7 Jumlah Penduduk dan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor tahun 2006
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (jiwa)
Dominasi (%) (Xi/{X*100)
Jumlah Penduduk Miskin
Dominasi (%) (Xi/{X*100)
Persentase Penduduk Miskin (%)
1
Nanggung
81.425
1,93
26.993
2,33
33,15
2
Leuwiliang
111.705
2,65
54.719
4,73
48,99
3
Leuwisadeng
70.631
1,68
42.566
3,68
60,27
4
Pamijahan
134.865
3,20
64.651
5,59
47,94
5
Cibungbulang
123.879
2,94
58.039
5,01
46,85
6
Ciampea
139.98
3,32
42.276
3,65
30,20
7
Tenjolaya
53.583
1,27
24.359
2,10
45,46
8
Dramaga
91.279
2,17
37.020
3,20
40,56
9
Ciomas
127.087
3,01
24.156
2,09
19,01
10
Tamansari
84.332
2,00
23.829
2,06
28,26
11
Cijeruk
74.607
1,77
28.937
2,50
38,79
12
Cigombong
84.195
2,00
27.856
2,41
33,09
13
Caringin
111.603
2,65
33.974
2,94
30,44
14
Ciawi
93.442
2,22
28.347
2,45
30,34
15
Cisarua
105.02
2,49
22.626
1,95
21,54
16
Megamendung
92.796
2,20
19.135
1,65
20,62
17
Sukaraja
147.595
3,50
28.095
2,43
19,04
18
Babakan Madang
76.278
1,81
19.014
1,64
24,93
19
Sukamakmur
74.490
1,77
29.940
2,59
40,19
20
Cariu
45.921
1,09
11.929
1,03
25,98
21
Tanjungsari
49.165
1,17
15.368
1,33
31,26
22
Jonggol
110.889
2,63
26.834
2,32
24,20
23
Cileungsi
178.931
4,24
18.322
1,58
10,24
24
Klapanunggal
77.568
1,84
15.927
1,38
20,53
25
Gunung Putri
204.454
4,85
11.500
0,99
5,62
42
Lanjutan Tabel. 7
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (jiwa)
Dominasi (%) (Xi/{X*100)
Jumlah Penduduk Miskin
Dominasi (%) (Xi/{X*100)
Persentase Penduduk Miskin (%)
26
Citeureup
170.489
4,04
24.741
2,14
14,51
27
Cibinong
270.057
6,41
22.667
1,96
8,39
28
Bojong Gede
192.792
4,57
20.976
1,81
10,88
29
Tajur haling
84.815
2,01
12.455
1,08
14,68
30
Kemang
81.459
1,93
17.446
1,51
21,42
31
Rancabungur
48.058
1,14
12.604
1,09
26,23
32
Parung
97.822
2,32
14.136
1,22
14,45
33
Ciseeng
83.703
1,99
17.694
1,53
21,14
34
Gunung sindur
82.940
1,97
17.058
1,47
20,57
35
Rumpin
126.113
2,99
24.221
2,09
19,21
36
Cigudeug
115.150
2,73
25.883
2,24
22,48
37
Sukajaya
57.937
1,37
17.104
1,48
29,52
38
Jasinga
93.575
2,22
29.631
2,56
31,67
39
Tenjo
64.104
1,52
15.692
1,36
24,48
40
Parungpanjang
100.851
2,39
18.159
1,57
18,01
Jumlah
4.215.585
1.026.879
24,15
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor (2006)
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa kemiskinan masih banyak terjadi di Kabupaten Bogor. hal ini disebabkan oleh luasnya wilayah Kabupaten Bogor yang menjadi wilayah tertinggal dan juga jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini menjadi permasalahan bagi pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Kemiskinan juga terjadi karena akses masyarakat kepada sarana dan prasarana yang terdapat di Kabupaten Bogor sangat terbatas. Jumlah penduduk dan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor dapat dilihat juga dari jumlah kepala keluarga dan jumlah rumah tangga miskin yang dapat dilihat pada Tabel 8.
43
Tabel. 8 Jumlah Keluarga Miskin di Kabupaten Bogor tahun 2006 No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunung Putri Citeureup Cibinong Bojong Gede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunung Sindur Rumpin Cigudeug Sukajaya Jasinga Tenjo Parung Panjang Jumlah
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Jumlah KK 19.505 25.759 16.300 30.822 28.203 33.389 12.364 21.801 31.283 20.673 17.057 18.946 25.190 22.228 24.602 22.675 36.907
Jumlah Rumah Tangga (RTM) Miskin 6.784 13.849 8.725 13.382 9.744 8.537 5.081 7.469 6.047 6.025 7.252 7.002 8.536 7.135 5.705 4.840 7.059
17.847
4.806
26,93
18.318 13.903 13.694 31.127 49.843 21.235 56.445 43.819 71.226 45.993 21.641 20.481 11.734 23.663 19.185 20.297 27.820 24.706 13.435 20.612 14.363 32.810 1.041.900
4.626 4.151 5.061 9.096 6.180 5.266 2.895 8.502 7.551 6.994 4.159 5.769 4.164 4.670 5.852 5.644 8.009 8.579 5.628 9.713 5.176 5.973 274.636
25,25 29,86 36,96 29,22 12,40 24,80 5,13 19,40 10,60 15,21 19,22 28,17 35,49 19,74 30,50 27,81 28,79 34,72 41,89 47,12 36,04 18,20 26,36
Persentase (%) 34,78 53,76 53,53 43,42 34,55 25,57 41,10 34,26 19,33 29,14 42,52 36,96 33,89 32,10 23,19 21,35 19,13
Sumber : Bappeda (Hasil SUSDA Kabupaten Bogor, 2006)
Dari Tabel. 8 dapat dilihat bahwa di kawasan Zona 2 Kabupaten Bogor khususnya bagian barat terlihat sekali bahwa kemiskinan menjadi sesuatu yang
44
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Berdasarkan jumlah rumah tangga miskin, maka Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Pamijahan merupakan dua kecamatan dengan jumlah rumah tangga miskin paling banyak yaitu masingmasing 13.849 KK (53,76%) dan 13.382 KK (43,42%) dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Sementara secara umum di Kabupaten Bogor, kecamatan dengan jumlah rumah tangga miskin terbesar terdapat di Kecamatan Leuwiliang sebesar 53,76% sedangkan kecamatan dengan jumlah rumah tangga miskin terkecil yaitu Kecamatan Gunung putri sebesar 5,13%. Dari data ini dapat dilihat bahwa Kabupaten Bogor bagian barat lebih miskin jika dibandingkan dengan Kabupaten Bogor dibagian timur.
4.2.2 Persebaran dan Kepadatan Penduduk Besarnya jumlah penduduk akan membawa implikasi tertentu pada sebuah wilayah utamanya terhadap persebaran dan densitas (kepadatan) penduduknya. pada tahun 2006 kepadatan penduduk yang tinggi berada di Kecamatan Ciomas, Bojong Gede dan Cibinong. Sedangkan kepadatan terendah adalah Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Sukamakmur. Salah satu upaya dalam mengurangi tingginya densitas penduduk dan tingkat persebaran telah dilakukan pemerintah Kabupaten Bogor melalui program transmigrasi, baik itu transmigrasi umum, PIR, dan Non P1R. sebagai salah satu program yang telah berjalan adalah pada tahun 2005 telah diberangkatkan lebih dari 80 Kepala Keluarga ( > 792 jiwa) ke wilayah lain di Indonesia.
4.2.3 Struktur Penduduk Menurut Pekerjaan Partisipasi angkatan kerja merupakan perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk berumur 10 tahun lebih. Tahun 2005 tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Kabupaten Bogor untuk laki-laki 75,13 persen, perempuan 32,92 persen, dan secara total 54,67 persen. Jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 991.634 orang untuk laki-laki, 339.680 orang untuk perempuan dan 1.331.314 orang untuk total Kabupaten Bogor. Sedangkan jumlah pengangguran sebanyak 152.424 untuk laki-laki dan 131.618 untuk perempuan dari 284.042 untuk total Kabupaten Bogor.
45
Penduduk di Kabupaten Bogor banyak yang bekerja pada sektor pertanian. Hal ini sesuai dengan potensi alam yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor, bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor yang paling banyak dalam menyerap tenaga kerja setelah sektor perdagangan. jika dibandingkan dengan sektor lain yang terdapat di Kabupaten Bogor, sektor pertanian memiliki urutan ke dua dalam menyerap tenaga kerja. Secara umum dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel. 9 Persentase Serapan Tenaga Kerja per Sektor Sektor Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri Listrik, gas dan air minum Konstruksi Perdagangan Angkutan dan komunikasi Keuangan Jasa-jasa Lainnya Total
Jumlah Tenaga Kerja (orang) 326.260 27.840 319.575 4.383 75.509 357.147 110.701 37.777 320.848 34.424 1.614.464
Persentase 20,21 1,72 19,79 0,27 4,68 22,12 6,86 2,34 19,87 2,13 100
Sumber: BPS Propinsi Jawa Barat (2007)
Dari Tabel. 9 terlihat bahwa jumlah lapangan kerja yang ada di Kabupaten Bogor, sebesar 20,21% tenaga kerja bekerja pada sektor pertanian. Sektor pertanian masih mampu menyerap tenaga kerja diatas sektor industri dan sektor jasa yang selama ini menjadi mata pencaharian banyak orang di wilayah lain. Walaupun secara kontribusi pada PDRB Kabupaten Bogor hanya 4,81% pada tahun 2007, tetapi serapan terhadap tenaga kerja masih sangat mempengaruhi penduduk untuk bekerja pada sektor pertanian.
4.3 Perekonomian Kabupaten Bogor Struktur perekonomian suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor ekonomi dalam menciptakan nilai tambah. Makin besar nilai tambah yang diraih oleh suatu sektor maka semakin besar peranan dalam perekonomian daerah tersebut. Berdasarkan distribusi PDRB atas harga berlaku menurut lapangan usaha, maka sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi terbesar ke tiga di Kabupaten Bogor setelah sektor industri
46
dan perdagangan. Dari tahun ke tahun kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Bogor cenderung meningkat, dari 4,67% pada tahun 2006 menjadi 4,81% pada tahun 2007. Secara umum kontribusi setiap sektor dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel. 10 Kontribusi setiap Sektor pada Perekonomian Kabupaten Bogor. Sektor Primer 1. pertanian 2. Pertambangan
2004 7,01 5,65 1,36
2005 6,13 5,03 1,10
2006 5,81 4,67 1,14
2007 5,96 4,81 1,15
Sekunder 3. Industri 4. LGA 5. Bangunan
70,50 63,73 3,63 3,14
70,56 64,13 3,28 3,15
70,79 64,30 3,27 3,23
70,32 63,72 3,27 3,33
Tersier 6. Perdagangan 7. Angkutan 8. Keuangan 9. Jasa-jasa PDRB
22,49 14,21 2,58 1,64 4,06 100,00
23,31 15,22 2,85 1,59 3,66 100,00
23,40 15,48 2,92 1,48 3,52 100,00
23,72 15,85 2,90 1,48 3,48 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2007)
Laju Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor pada sektor pertanian dari tahun 2004 sampai tahun 2007 juga meningkat dari 0,15% mejadi 4,63%. Untuk dapat mempertahankan kontribusi dan laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor khususnya pada sektor pertanian maka diperlukan kebijakan pemerintah yang memberikan perhatian kepada sektor pertanian sehingga dapat terus meningkatkan kontribusi dan laju pertumbuhan ekonominya. Secara umum laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 11.
47
Tabel. 11 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Sektor 1. Pertanian 2. Pertambangan 3. Industri 4. LGA 5. Bangunan 6. Perdagangan 7. Angkutan 8. Keuangan 9. Jasa-jasa PDRB Kabupaten Bogor
2004 0,15 7,50 5,96 5,92 6,68 6,65 7,34 6,08 6,19 5,58
2005 2,95 10,11 5,91 7,23 5,12 8,13 7,30 6,39 4,25 5,85
2006 1,21 8,73 5,93 7,82 4,97 8,03 8,02 6,78 4,87 5,95
2007 4,63 4,56 5,34 8,02 6,55 8,38 9,32 7,63 5,45 6,04
Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2007)
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor secara umum dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi terjadi pada sektor jasa angkutan (9,32%), perdagangan (8,38%) dan LGA (8,02%). Hal ini terjadi karena wilayah Kabupaten Bogor berdekatan dengan wilayah Ibu kota Jakarta, sehingga sebagian besar masyarakat Kabupaten Bogor bergerak pada sektor jasa dan perdagangan. Sementara pada sektor pertanian laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 sebesar 4,63%, namun demikian laju pertumbuhan ekonomi pada sektor pertanian dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
4.4 Kondisi Mata Pencaharian Kabupaten Bogor merupakan suatu wilayah yang masih dikatakan sebagai wilayah agraris. Dilihat dari sumberdaya alam yang masih luas dengan lahan pertanian maka sudah seharusnya masyarakat memiliki mata pencaharian pada sektor pertanian. Berdsarkan pada hasil sensus daerag Kabupaten Bogor tahun 2006, dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja yang bekerja di masing-masing sektor di Kabupaten Bogor diketahui bahwa penduduk Kabupaten Bogor sebagian besar bekerja pada sektor pertanian, industri, perdagangan dan jasa-jasa, dengan persentase berturut-turut adalah 20.21%, 19.79%, 22.12%, dan 19.87%. Secara kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Bogor memang tidak besar yang didapat dari sektor pertanian, namun tingkat penyerapan tenaga kerja dan jumlah masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian masih cukup banyak. Dari
48
1.614.464 jiwa jumlah tenaga kerja di Kabupaten Bogor, sebanyak 326.260 jiwa bekerja pada sektor pertanian. Hal ini menunjukan bahwa mata pencaharian sebagian besar masyarakat di Kabupaten Bogor masih menggantungkan diri pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama setelah perdagangan.
4.5 Kemiskinan di Kabupaten Bogor Penduduk di Kabupaten Bogor cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun berjalan seiring dengan perkembangan ekonomi daerah. Perkembangan jumlah penduduk miskin atau keluarga miskin memang mengalami penurunan tetapi penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak signifikan. Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor mencapai 1.026.789 jiwa (susda, 2006). Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bogor 2008, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 sebanyak 1.017.879 jiwa atau sekitar 24,02% dari total jumlah penduduk Kabupaten Bogor yaitu 4.215.585 jiwa. Terjadi penurunan penduduk yang tidak signifikan di Kabupaten Bogor dari tahun 2006 ke tahun 2007. Adapun untuk jumlah keluarga miskin (KK/kepala keluarga) di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 berdasarkan dari data tersebut adalah 274.636 KK atau 26,36% dari jumlah kepala keluarga. Besarnya jumlah penduduk miskin yang terjadi di Kabupaten Bogor ini, sangat ironis apabila dibandingkan dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Sumberdaya alam yang dihasilkan oleh Kabupaten Bogor seperti potensi pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan masih cukup besar. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa memang kemiskinan masih terjadi. Kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Bogor, banyak terjadi pada wilayah pedalaman, perdesaan, dan wilayah perbatasan dengan kabupaten lain seperti kabupaten Sukabumi. Kemiskinan juga lebih banyak terjadi pada wilayah pembangunan bogor barat yang identik dengan perdesaan dan identik dengan masyarakat petani. Oleh karenanya benar jika kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Bogor itu identik dengan perdesaan dan kalangan petani.
49
4.6 Pendidikan dan Kesehatan Salah satu tugas dari pemerintahan termasuk pemerintah daerah adalah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tercantum dalam mukadimah pembukaan UUD 1945. Pendidikan merupakan sarana dalam rangka untuk mencapai kemajuan suatu bangsa, tanpa pendidikan sebuah bangsa akan tertinggal dan terbelakang. Berdasarkan dari data Susda tahun 2006, jumlah SD/MI baik negeri maupun swasta berjumlah 2.157 unit, SLTP sebanyak 471 unit dan SMA sebanyak 265 unit. Jumlah penduduk usia 15 tahun keatas yang buta aksara di Kabupaten Bogor adalah 100.194 jiwa. Jumlah siswa putus sekolah (drop out) pada jenjang SD/MI sebanyak 3.959 orang, sementara yang lulus SD/MI sebanyak 80.745 orang tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SLTP/MTS sebanyak 7.458 orang dan putus sekolah di SLTP/MTS sebanyak 7.037 orang. Sementara itu, pada jenjang SLTP/MTS terdapat 7.798 siswa yang putus sekolah (drop out) dan terancam DO pada jenjang SMA/SMK/MA terdapat 8.319 siswa putus sekolah (drop out) dan terancam DO. Pada kedua jenjang tersebut, siswa DO dan terancam DO belum tertangani seluruhnya sehingga mengakibatkan program wajar dikdas sembilan tahun belum terselesaikan dengan baik di Kabupaten Bogor. Angka Partisipasi Murni (APM) masyarakat terhadap sektor pendidikan belum merata pada setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. APM masyarakat pada tingkat Sekolah Dasar (SD)/MI rata-rata baru mencapai 98,31% sedangkan APM masyarakat pada tingkat SLTP/MTS baru mencapai 69,78% dan APM pada tingkat SMA/SMK/MA rata-rata mencapai 29,82%. Sehingga belum semua penduduk usia wajib sekolah dapat mengikuti pendidikan formal sebagaimana ketentuan yang berlaku. Hal ini menunjukan bahwa partisipasi masyarakat untuk pendidikan masih rendah. Berbagai kendala terjadi pada masyarakat diantaranya adalah kesadaran yang masih rendah, kendala ekonomi dimana anak usia sekolah harus membantu orang tua di sawah dan penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah masih sangat kurang terhadap masyarakat. Pada tahun 2006, pembangunan sektor kesehatan di Kabupaten Bogor belum cukup menggembirakan. Hal ini terjadi karena berkaitan dari luas wilayah, sarana dan prasarana kesehatan yang belum memadai serta besarnya jumlah penduduk di Kabupaten Bogor. Pembangunan sarana dan prasarana sektor kesehatan belum
50
merata pada setiap kecamatan sehingga tidak cukup memadai untuk menampung jumlah orang miskin yang sakit. Dari 40 Kecamatan, 428 Desa Di Kabupaten Bogor hanya terdapat 3 rumah sakit pemerintah, 1 rumah sakit khusus, dan 4 rumah sakit swasta. Sedangkan jumlah puskesmas sebanyak 101puskesmas dan 63 puskesmas pembantu. Fasilitas tersebut ditunjang dengan jumlah dokter sebanyak 769 praktek dokter. Jika dilihat dari jumlah dokter yang tersedia sudah memadai namun sarana rumah sakit masih perlu di tingkatkan seiring dengan luas dan banyaknya jumlah penduduk. Pembangunan fasilitas kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara mudah dan terjangkau oleh masyarakat desa, namun demikian masih terdapat kecamatan dan desa yang belum memiliki puskesmas dan menginduk pada kecamatan yang ada puskesmasnya.
4.7 Kultur Masyarakat dan Kelembagaan Kabupaten Bogor merupakan suatu wilayah yang masyarakatnya memiliki nilai budaya yang tinggi. Pelestarian dan pengembangan potensi budaya yang terdapat di Kabupaten Bogor perlu ditingkatkan. Banyak sekali nilai budaya yang perlu dijaga dan dikembangkan di Kabupaten Bogor. Salah satu kegiatan yang perlu dilaksanakan adalah penggalian potensi, inventarisasi kuantitas dan kualitas budaya yang terdapat di Kabupaten Bogor. Saat ini potensi budaya daerah Kabupaten Bogor yang terinventarisir berjumlah sekitar 108 potensi yang terdiri dari 43 makam keramat, 33 batu megalit, 27 benda cagar budaya dan 5 potensi yang bernilai tradisi budaya. Sementara yang telah mendapat penggalian lebih dalam berjumlah 14 potensi budaya. Potensi budaya yang ada di Kabupaten Bogor berpeluang besar untuk dijadikan daerah wisata yang dapat menghasilkan pendapatan penduduk dan mencerminkan nilai budaya masyarakat yang tinggi. Budaya masyarakat Kabupaten Bogor tidak dapat dipisahkan dari gamelan/ alat kesenian dan fasilitas kesenian. Sampai saat ini terdapat 98 buah jenis kesenian yang beraneka ragam dan menambah daya tarik wisatawan di Kabupaten Bogor. Di Kabupaten Bogor kesenian sejenis angklung, calung, menjadi alat musik tersendiri yang menarik untuk dikembangkan. Selain itu, kultur masyarakat Kabupaten Bogor merupakan sebuah kultur yang sedikit berbeda dengan daerah lain. Hal ini terjadi karena Kabupaten Bogor berdekatan
51
dengan daerah/ provinsi lain. Misalnya saja, kultur masyarakat di bagian barat Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Propinsi Banten (Kabupaten Lebak) masih sangat tradisional, sedikit kasar dari segi bahasa dan tinggal di perdesaan. Sementara kultur masyarakat di sebelah timur yang berbatasan dengan kota Jakarta, masyarakatnya lebih modern, bahasa yang digunakan lebih teratur dan tinggal di daerah perkotaan. Kelembagaan masyarakat di Kabupaten Bogor jumlahnya cukup banyak. Beberapa terdapat kelembagaan masyarakat yang mulai berani dan muncul menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Kabupaten Bogor. Misalnya saja, terdapat banyak kelompok tani di wilayah perdesaan, Lembaga Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh Kesbanglinmas pemerintah Kabupaten Bogor yang berdiri dan eksis di wilayah perdesaan dan perkotaan, paguyuban-paguyuban yang merekatkan hubungan antar masyarakat, dan beberapa lembaga koperasi. Semua ini masih berkembang di Kabupaten Bogor. Potensi kelembagaan masyarakat yang terdapat di Kabupaten Bogor ini memang belum teroptimalkan dengan baik, bahkan banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaannya. Sehingga perlu menjadi perhatian dari pemerintah daerah adalah adanya sosialisasi dan peran pembinaan dan pemberdayaan yang terstruktur untuk mendukung program-program dari kelembagaan yang ada di masyarakat Kabupaten Bogor.
4.8 Potensi Pertanian Kabupaten Bogor 4.8.1 Potensi Sumberdaya Alam Pertanian Kabupaten Bogor memiliki potensi sumberdaya alam pertanian yang besar dan beragam, jika dikembangkan akan menjadi sebuah kekuatan untuk membangun masyarakat dalam rangka menanggulangi kemiskinan. Potensi sumberdaya alam pertanian yang tampak terlihat di Kabupaten Bogor amatlah banyak diantaranya potensi pertanian untuk pengembangan padi sawah, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Dari potensi yang ada dan memiliki berbagai keunggulan yang khas jika dimanfaatkan dan dikelola dengan profesional akan dapat membantu pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Potensi ini dapat kita lihat pada luasan lahan pertanian di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki luas lahan pertanian
52
sebesar 149.748 Ha, luasan ini masih lebih luas jika dibandingkan dengan luasan lahan di Kabupaten bogor untuk peruntukan yang lain seperti perikanan, perkebunan kehutanan dan lainnya. Secara umum dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel. 12 Potensi Sumberdaya Alam Pertanian di Kabupaten Bogor Potensi Pertanian Perkebunan Kehutanan Lainnya
Luas (Ha) 149.748 29.857,89 108.033,69 29.462,43
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2006
4.8.2 Potensi sektor Perkebunan Sektor pertanian di Kabupaten Bogor ternyata tidak hanya terlihat pada banyaknya pesawahan yang ada, namun juga terlihat pada sub sektor perkebunan yang merupakan salah satu sub sektor yang memiliki potensi besar di Kabupaten Bogor. Sektor ini perlu perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman khususnya dalam pemanfaatan luas lahan yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2008, potensi luas lahan perkebunan di Kabupaten Bogor masih cukup tinggi. Tanaman seperti kelapa, karet dan kopi yang masih dapat dioptimalkan untuk di jadikan komoditas unggulan, walapun ada kecenderungan setiap tahun luas areal lahan untuk perkebunan semakin berkurang. Namun ada harapan untuk melakukan perbaikan dengan kebijakan pemerintah daerah untuk menempatkan perkebunan menjadi salah satu leading sector dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Luasan lahan perkebunan di Kabupaten Bogor terdiri dari potensi perkebunan rakyat dan potensi luas perkebunan yang dikelola oleh negara dan perkebunan besar yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Di Kabupaten Bogor, luas areal perkebunan rakyat dari tahun 2004-2007 secara umum menurun. Hal ini disebabkan adanya alih fungsi lahan perkebunan menjadi pemukiman, hanya saja pada tahun 2006 ke tahun 2007 ada beberapa tanaman yang luas arealnya bertambah yaitu karet dan kopi. Hal ini disebabkan adanya komitmen dari pemda untuk menungkatkan produsi karet dan kopi di Kabupaten Bogor. Seperti terlihat pada Tabel 13.
53
Tabel. 13 Luas Areal Tanaman Muda Perkebunan Rakyat dirinci menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Jenis Tanaman 2004 2005 Karet 530,58 1.581,65 Kelapa 8.452,886 8.606,43 Kopi 2.234,19 2.244,37 The 96,11 2.747,37 Kapuk 0,00 0,00 Pala 551,01 573,02 Cengkeh 1.086,96 1.354,92 Aren 126,94 132,97 Melinjo 12,0 0,00 Kencur/Obat-obatan 32,0 39,00 Kapolaga 34,20 96,05 Vanili 39,00 39,00 Pandan Kelapa Hibrida 159,00 159,00 Kayu Manis Lada 35,58 35,58 Jambu Mete Kunyit 29,00 42,40 Jahe 24,00 48,50 Jumlah 13.429,43 17.700,21 Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor, 2008
2006 102,70 1.219,84 350,62 21,81 0,00 105,56 192,14 27,31 97,00 60,82 1,07 6,24 7,00 0,00 0,00 0,00 2.192,11
2007 232,79 1.212,84 504,62 21,81 0,00 205,56 234,14 27,31 997,00 0,00 0,00 0,00 0,00 19,00 0,00 0,00 0,00 2.554,98
Dari Tabel 13 terlihat luas areal perkebunan besar juga cenderung mengalami penurunan, hal ini terlihat juga pada luas perkebunan karet dan kopi pada tahun 2006 jika dibandingkan dengan tahun 2007. Baik PBSN maupun PT.P mengalami penurunan jumlah luas areal untuk perkebunan. Lihat pada Tabel 14. Tabel. 14 Luas Areal Tanaman Muda Perkebunan Besar dirinci menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007. 2006 PBSN PT.P 1. Karet 268,09 2. Kopi 5,00 3. The 50,00 20,50 4. Cengkeh 10,00 5. Coklat 236,00 6. Kelapa Hibrida 7. Kelapa 8. Kelapa Sawit 2.075,62 Jumlah 587,09 2.096,62 Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab.Bogor, 2008 No
Jenis Tanaman
2007 PBSN 219,82 0,00 50,00 10,000 236,00 515,82
PT.P 20,50 20,50
54
4.8.3 Potensi Sektor Tanaman Pangan Tabel. 15 Luas Penanaman dan Produksi Palawija 2008 dan Harapan Peningkatan Produktivitas Tanaman dengan Intensifikasi. Harapan Program Intensifikasi
Kondisi Existing 2008 No.
Jenis Tanaman
Prod/ha Total prod (ton) (ton) 1. Ubi kayu 9.101 19,69 179.222 2. Ubi jalar 3.916 13,92 60.832 3. Jagung 959 3,57 3.216 4. Kacang tanah 1.758 1,27 2.234 5. Kacang hijau 276 1,01 278 6. Kedelai 55 1,13 62 7. Talas 424 13,98 5.932 Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2008 Luas (ha)
Prod/ha (ton) 25 20 5 1,5 1,5 1,25 20
Dari Tabel 15 terlihat bahwa tanaman palawija pada tahun 2008 kondisi existing pada tanaman pangan belum optimal antara harapan dengan kondisi sebenarnya dilapangan. Produksi yang diinginkan belum sesuai dengan ketersediaan lahan yang ada. Oleh karenanya pola peningkatan produksi yang tepat untuk meningkatkan hasil produksi tanaman palawija. Pada kondisi yang terjadi tersebut perlunya upaya peningkatan hasil produksi dengan memanfaatkan potensi lahan yang terbatas tersebut. 4.8.4 Potensi Sektor Peternakan Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang tidak dapat dilupakan, karena peternakan merupakan sumber protein hewani yang sangat berguna bagi kehidupan manusia terutama bagi anak-anak yang akan mempengaruhi tingkat kecerdasan. Di Kabupaten Bogor terdapat beberapa hasil yang didapat dari sub sektor peternakan ini. Diantaranya adalah daging, telur, susu, kulit ini merupakan produk hasil ternak yang bermanfaat bagi manusia. Secara umum dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel. 16 Potensi Hasil Ternak di Kabupaten Bogor Produksi Daging Telur Susu
Satuan 47.519.115 Kg 29.796.837 Kg 11.279.736 Liter
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2006
55
Ada juga hasil ternak yang dapat bermanfaat bagi mahluk lainnya yaitu kotoran ternak dapat dibuat kompos sebagai pupuk organik baik pupuk padat maupun pupuk cair. Banyaknya peran sub sektor peternakan ini, maka sangat penting bagi para peternak,
pemerintah
dan
masyarakat
untuk
mempertahankan
dan
mengembangkan jumlah populasi ternak yang ada dan terdapat pada daerah/ lingkungan masing-masing. Pada tahun 2004-2008 populasi ternak unggas secara umum meningkat, hanya pada ayam ras dan itik yang mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan masih ada kesulitan dalam mengembangkan ayam ras dan itik di Kabupaten Bogor. Seperti terlihat pada Tabel 17. Tabel. 17 Perkembangan Populasi Ternak Unggas di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2008 JENIS TERNAK
2004
2005
2006
2007
2008
Ayam Ras Petelur
3.055.300
3.045.200
3.533.007
3.791.836
3.933.002
8.294.000
8.257.900
11.864.000
12.7556.300
13.775.475
1.417.800
1.233.467
1.201.644
1.007.202
986.348
Ayam Ras Pedaging Ayam Ras
Itik 128.846 136.018 241.299 150.986 Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2009)
128.197
Peternakan ruminansia besar di Kabupaten Bogor, dari tahun 2004-2008 populasi ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau meningkat. Hal ini dikarenakan adanya program pemerintah yang menargetkan untuk swasembada daging pada lima tahun mendatang. Program pengembangan ternak ruminansia besar di Kabupaten Bogor lebih berkembang. Seperti terlihat pada Tabel 18. Tabel. 18 Perkembangan Populasi Ternak Ruminansia Besar di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2008 JENIS TERNAK
2004
2005
2006
2007
2008
Sapi potong
16.594
16.622
14.831
17.502
18.196
Sapi perah
5.356
5.435
5.123
5.268
5.907
Kerbau
21.172
21.434
21.228
16.662
17.710
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2009)
56
4.8.5 Potensi Sektor Kehutanan Hutan merupakan salah satu potensi cukup besar yang memang belum termanfaatkan dengan baik oleh penduduk Kabupaten Bogor. Hasil hutan merupakan sumber pendapatan yang mejanjikan dan pengelolaan hutan untuk menghasilkan pendapatan itu bisa dilakukan oleh masyarakat. Permasalahan hutan yang terjadi sekarang adalah banyak sekali tindakan penggundulan hutan dan pencurian kayu oleh oknum masyarakat yang menyebabkan berkurangnya pendapatan dan bencana alam. Potensi hutan yang besar di Kabupaten Bogor seperti tampak pada Tabel 19 perlu dijaga dan dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat. Tabel. 19 Jenis,Luas, Produksi, Jumlah Pemilik, dan Jumlah Tenaga Kerja Terlibat di Hutan Rakyat No
Jenis
Luas (ha)
Produksi (m3)
Jumlah pemilik (orang)
Jumlah Tenaga Kerja Terlibat (orang)
Sengon/albazia 3.406,95 15.585,09 34.363 (Paraserianthes falcataria) 2. Mahoni 3.730,50 1.672,24 34.744 (Switenia sp.) 3. Afrika 1.522,02 3.578,42 15.220 (Maesopsis sp.) 4. Jati (Tectona 528,07 10,85 5.308 grandis) 1.191,47 1.760,49 14.510 5. Campuran Jumlah 11.379,02 22.607,10 104.144 Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Tahun 2008 1.
16.741 17.372 7.616 2.662 6.852 51.215
4.9 Penggunaan dan Kepemilikan Lahan di Kabupaten Bogor Berdasarkan luasan masing-masing penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2006, dapat diketahui bahwa sebagian besar lahan di Kabupaten Bogor digunakan sebagai areal persawahan (sawah irigasi + sawah tadah hujan), perkebunan campuran dan hutan. Dari Tabel. 20 dapat diketahui bahwa pada tahun 2006 Kabupaten Bogor memiliki areal persawahan kurang lebih seluas 65.000 ha. Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Bogor masih mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang perekonomian yang ada di wilayahnya. Berkembangnya sektor pertanian ini disebabkan karena karakteristik lahan dan kondisi geobiofisik wilayah yang sesuai untuk pengembangan pertanian.
57
Tabel. 20 Luasan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor tahun 2006 Jenis Penggunaan Lahan Pemukiman
Luas (ha)
Persentase (%)
26.025,70
8,73
524,20
0,18
27.045,60
9,07
1.590,00
0,53
Sawah Irigasi
53.499,30
17,94
Sawah Tadah Hujan
11.805,90
3,96
Kebun Campuran
85.001,70
28,50
Perkebunan
19.001,80
6,37
Hutan
62.306,40
20,89
Perairan
43,10
0,01
Tambak/Kolam
17,00
0,01
Tanah Rusak/ Kosong/Pasir Galian
1.217,90
0,41
Semak/ alang-alang
4.396,10
1,65
Lain-lain
5.263,20
1,76
298.277,90
100,00
Jasa Tegal Industri
Total
Sumber : Badan Pertanahan Nasional (BPN), 2007
Masyarakat Kabupaten Bogor menggantungkan hidupnya pada komoditas pertanian seperti padi sawah, padi gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang dan cabe. Tanaman padi sawah hampir menyebar di semua kecamatan, dengan variasi luasan yang berbeda. Umumnya tanaman padi sawah menyebar di Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang, Rumpin, Sukajaya, Cigudeg, Ciampea, Caringin dan Cariu. Produktivitasnya mencapai kisaran 4-5 ton per hektar. Produktivitas ini sebenarnya masih bisa meningkat tetapi kelemahan dari petani di Kabupaten Bogor adalah luasnya lahan pertanian yang dimiliki sangat kecil yaitu 0,25 ha per keluarga tani (Bappeda Kabupaten Bogor, 2006). Tingkat kepemilikan tanah masyarakat petani di Kabupaten Bogor tergolong
rendah.
Petani
kesulitan
untuk
meningkatkan
produktivitas
pertaniaanya, karena banyak lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat petani
58
di jual kepada penduduk luar desa, seperti dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Mereka membeli lahan pertanian yang dimiliki oleh petani desa kemudian diserahkan kembali kepada petani untuk diolah dengan sistem paro. Kepemilikan lahan pertanian dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel. 21 Status Kepemilikan Lahan Petani
No
Kecamatan
Rata-rata Luas Lahan Garapan (Ha)
Status Kepemilikan Lahan (keluarga) Pemilik
Penggarap
Buruh
Sakap/sewa
1
Pamijahan
0.10
7.365
1.097
1.326
75
2
Leuwiliang
0.10
2.559
296
236
16
Sumber : BP3K Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, 2009
Rata-rata luas lahan garapan yang dimiliki oleh petani di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang sangat rendah hanya mencapai 0,10 ha per keluarga tani. Lahan garapan ini lebih kecil dari rata-rata lahan garapan yang terdapat di Kabupaten Bogor yang mencapai 0,25 ha. Petani di Kabupaten Bogor, terutama di Kecamatan pamijahan dan Leuwiliang banyak yang bekerja sebagai buruh tani dan petani penggarap, mereka sedikit sekali yang mampu memiliki lahan apalagi menyewa untuk hidup bertani. 4.10 Ikhtisar Daerah Kabupaten Bogor khususnya wilayah zona 2 merupakan wilayah pengembangan pertanian dan perdesaan. Wilayah ini terdiri dari 6 kecamatan yaitu : Sukajaya, Nanggung, Leuwisadeng, Cibungbulang, Leuwiliang dan pamijahan. Secara umum ke enam kecamatan ini merupakan basis wilayah pertanian di bagian Bogor Barat dengan memiliki potensi alam pertanian yang masih luas. Kabupaten Bogor memiliki berbagai potensi yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Potensi-potensi tersebut antara lain yaitu: Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor mencapai 4,2 juta jiwa dengan jumlah penduduk miskin mencapai 1,1 juta jiwa pada tahun 2006, ini merupakan jumlah penduduk yang besar untuk sebuah kabupaten. Di Kecamatan Pamijahan memiliki jumlah penduduk sebesar 134.865 jiwa dengan jumlah penduduk miskin mencapai 64.651
59
jiwa. Di Kecamatan leuwiliang jumlah penduduknya mencapai 111.705 jiwa dengan jumlah penduduk miskin sebesar 54.719 jiwa. Pekerjaan masyarakat di Kabupaten Bogor sebesar 326.260 jiwa atau sekitar 20,21% merupakan masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian, jumlahnya terbesar kedua setelah sektor perdagangan. Sektor pertanian di Kabupaten Bogor memiliki kontribusi sebesar 4,81% terhadap PDRB dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,04%. Hal ini belum terlalu besar jika dibandingkan dengan kontribusi dari sektor lain terhadap PDRB, tetapi serapan terhadap tenaga kerja sektor pertanian cukup besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Potensi lain yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor yaitu berupa potensi sumberdaya alam yang masih luas. Hal ini dapat dilihat dari kondisi keadaan umum wilayah Kabupaten Bogor yang identik dengan pertanian. Potensi yang dimiliki berupa luas lahan pertanian, perkebunan, kehutanan, dan sebagian produksi peternakan dan perikanan masih perlu dikembangkan. Namun yang menjadi salah satu permasalahannya adalah masih besarnya tingkat kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Bogor. Kemiskinan di Kabupaten Bogor banyak terjadi pada wilayah zona 2 pengembangan pertanian dan perdesaan. Hal ini terjadi karena secara kondisi alam, wilayah zona 2 ini jauh dari pusat pemerintahan sehingga akses untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat juga sangat terbatas.
V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR
5.1 Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan di Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2005-2025 di bagi menjadi tiga wilayah: yaitu wilayah Bogor Barat, Bogor Tengah dan Bogor Timur. Pembagian perwilayahan seperti ini terlihat masih cukup luas cakupannya, sehingga perlu diubah kepada suatu sistem perwilayahan berdasarkan jumlah desa, luas area dan kondisi agroklimat wilayah Kabupaten Bogor, oleh karenanya Kabupaten Bogor di bagi menjadi 8 zona pengembangan wilayah. Seperti terlihat pada Tabel 22. Tabel. 22 Dasar Perwilayahan di Kabupaten Bogor RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025
Kondisi Geografis
Bogor Barat
Bogor Tengah
Bogor Timur
Utara
Barat Utara
Tengah Utara
Timur Utara
Selatan
Barat Selatan
Tengah Selatan
Timur Selatan
Sumber : PSP3 IPB; Bappeda Kabupaten Bogor (2009)
Kedelapan zona pengembangan wilayah pertanian dan perdesaan ini terdiri dari kecamatan-kecamatan yang lokasinya saling berdekatan antara satu dengan yang lainnya, sehingga diharapkan dapat mencerminkan kondisi agroekosistem yang sama. Pengelompokkan berdasarkan agroekosistem tersebut penting, hal ini berkaitan dengan kecocokkan bagi pengembangan komoditas pertanian tertentu. Dengan demikian, pada zona tersebut dapat dikembangkan suatu kluster industri bagi komoditas yang ada pada zona tertentu pula. Zona pengembangan pertanian dan perdesaan yang terdiri dari enam kecamatan tersebut merupakan wilayah pengembangan Kabupaten Bogor yang bertujuan untuk meningkatkan masingmasing potensi yang terdapat di masing-masing zona. Kedelapan zona tersebut dapat dilihat pada Tabel 23.
61
Tabel. 23 Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan di Kabupaten Bogor Zona
1
2
3
4
5
6
7
8
Kecamatan
Jumlah Desa
Pewilayahan RTRW
Rumpin
13
Barat
Cigudeg
15
Barat
Parung Panjang
11
Barat
Jasinga
16
Barat
Tenjo
9
Barat
Sukajaya
9
Barat
Nanggung
10
Barat
Leuwiliang
11
Barat
Leuwisadeng
8
Barat
Cibungbulang
15
Barat
Pamijahan
15
Barat
Ciampea
13
Barat
Tenjolaya
6
Barat
Dramaga
10
Barat
Ciomas
11
Barat
Tajurhalang
7
Tengah
Kemang
9
Tengah
Rancabungur
7
Tengah
Parung
9
Tengah
Ciseeng
10
Tengah
Gunung Sindur
10
Tengah
Tamansari
8
Tengah
Cijeruk
9
Tengah
Cigombong
9
Tengah
Caringin
12
Tengah
Ciawi
13
Tengah
Cisarua
10
Tengah
Megamendung
11
Tengah
Sukaraja
13
Tengah
Babakan Madang
9
Tengah
Cileungsi
12
Timur
Klapanunggal
9
Timur
Gunung Putri
10
Timur
Citeureup
14
Timur
Cibinong
12
Timur
Bojonggede
9
Timur
Sukamakmur
10
Timur
Cariu
10
Timur
Tanjungsari Jonggol Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor (2009)
10
Timur
14
Timur
62
5.2 Karakteristik Kemiskinan di Kabupaten Bogor Karakteristik kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat dicirikan dengan masih banyaknya jumlah penduduk miskin dan beberapa karakteristik masyarakat miskin yang ada di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data dari Bappeda Kabupaten Bogor, pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor mencapai 1.149.508 jiwa. Jumlah penduduk miskin ini mengalami kenaikan dari tahun 2006 yang hanya 1.026.789 jiwa dan tahun 2007 mencapai 1.017.879 jiwa. Sebesar 43,7% penduduk Kabupaten Bogor tinggal di perdesaan dan 56,3% tinggal di perkotaan. Desa-desa di Kabupaten Bogor yang berstatus perkotaan sebesar 46,7% dihuni oleh 524.561 K, sedangkan sisanya 378.190 KK tinggal di perkotaan. Tingkat kesejahteraan di Kabupaten Bogor masih tergolong rendah, hal ini dapat dilihat dari jumlah keluarga miskin yang ada di perdesaan maupun di perkotaan. Keluarga miskin yang ada di perdesaan sebesar 38,7%, sedangkan dikawasan perkotaan jumlah keluarga miskin mencapai 28,8%. Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Bogor lebih banyak tinggal di perdesaan yang erat kaitannya dengan sektor pertanian. Karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor, terutama di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin, kondisi dan keadaan tempat tinggal (perumahan), kepemilikan WC, kemampuan membeli pakaian dan banyaknya tamatan SD untuk kepala keluarga. Seperti terlihat pada Tabel 22-28. Tabel. 24 Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa)
(%) Penduduk Miskin)
Pamijahan
134.865
64.651
47,94
Leuwiliang
111.705
54.719
48,99
Kecamatan
Dari Tabel 24 terlihat bahwa penduduk miskin di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang masih cukup besar dan secara persentase melebihi jumlah penduduk miskin yang terdapat di Kabupaten Bogor yang mencapai 24,15 %. Hal
63
ini terjadi karena jauhnya lokasi dua kecamatan tersebut terhadap pusat kota sehingga akses terhadap sarana dan prasarana masih terbatas. Tabel. 25 Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kondisi Tempat Tinggal Jenis Lantai (%) Luas lantai Kecamatan (m2)
Jenis dinding (%)
Tanah Bambu Kayu Semen Bambu Kayu
Tembo k
Pamijahan
25,18
34,30
9,32
7,70
48,79
60,92
8,54
30,54
Leuwiliang
22,53
29,89
11,96
7,07
51,09
60,33
13,59
26,09
Dari Tabel 25 terlihat bahwa kondisi tempat tingggal masyarakat di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang tidak jauh berbeda dari segi luas lantai, jenis lantai dan jenis dinding. Walaupun jenis lantainya dominan terbuat dari semen, tetapi jenis dindingnya masih dominan terbuat dari bambu. Hal ini terjadi karena keterbatasan secara ekonomi dan wilayahnya berupa pegunungan, sehingga menyebabkan masyarakat membuat dinding rumahnya dari bambu karena selain harganya lebih murah juga mudah didapat. Tabel. 26 Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kepemilikan WC Kepemilikan WC (%) Kecamatan Sungai
WC Umum
WC sendiri
Pamijahan
57,56
41,66
0,78
Leuwiliang
57,81
41,85
0,54
Dari Tabel 26 terlihat bahwa di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang kepemilikan masyarakat terhadap WC pribadi masih rendah. sebagian besar masyarakat masih membuang kotorannya di sungai. Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan masyarakat masih rendah sehingga kepedulian terhadap kebersihan masih terbatas, kondisi rumah masyarakat yang cukup dekat dengan sungai serta keterbatasan ekonomi yang membuat masyarakat tidak mampu membuat WC pribadi di rumahnya.
64
Tabel. 27 Karakteristik Kemiskinan berdasarkan Kepemilikan Pakaian Setahun Kecamatan
Kepemilikan Pakaian Setahun (%) Tidak mampu
Satu stel
Lebih satu stel
Pamijahan
50,27
46,12
3,60
Leuwiliang
71,20
26,63
2,17
Dari Tabel 27 terlihat bahwa sebagian besar masyarakat di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang tidak mampu membeli pakaian dalam satu tahunnya, hal ini terjadi karena keterbatasan ekonomi dan akses terhadap pasar sulit dijangkau. Masyarakat lebih mengutamakan uang yang dimiliki untuk konsumsi sehari-hari. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mampu membeli pakaian lebih dari satu stel per tahun, ini terjadi pada masyarakat yang secara ekonomi lebih baik dan akses terhadap pasar cukup dekat. Tabel. 28 Karakteristik Kemiskinan berdasarkan pada Banyaknya Kepala Keluarga yang Tamat SD Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga (%) Kecamatan Tamat SD
Tidak Tamat SD
Pamijahan
39,94
60,06
Leuwiliang
49,46
50,54
Dari Tabel 28 terlihat bahwa di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD masih dominan dibandingkan dengan kepala keluarga yang tamat SD. Hal ini terjadi karena kepedulian masyarakat terhadap pendidikan masih kurang dan akses terhadap pendidikan masih terbatas. Selain dari karakteristik diatas yang menunjukkan kemiskinan di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, terdapat juga satu karakteristik lain yang mencerminkan kegagalan program pemerintah yaitu masih banyaknya masyarakat di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang yang masih menerima Raskin. Pada tahun 2009 terdapat 10.399 KK miskin yang mendapat bantuan Raskin. Seperti terlihat pada Tabel 29.
65
Tabel. 29 Jumlah Penerima Raskin di Kecamatan Pamijahan. No
Desa
1
Cibunian
2
Purwabakti
3
Ciasmara
Jumlah KK Miskin 879
11.427
Alokasi 2009/ tahun (kg) 137.124
834
10.842
130.104
725
9.425
113.100
Alokasi /bln(Kg)
4
Ciasihan
749
9.737
116.844
5
Gunung Sari
936
12.168
146.016
6
Gunung Bunder I
552
7.176
86.112
7
Gunung Bunder II
680
8.840
106.080
8
Cibening
936
12.168
146.016
9
Gunung picung
752
9.776
117.312
10
Cibitung Kulon
439
5.707
68.484
11
Cibitung Wetan
510
6.630
79.560
12
Pamijahan
651
8.463
101.556
13
Pasarean
814
10.582
126.984
14
Gunung Menyan
446
5.798
69.576
15
Cimayang
496
6.448
77.376
10.399
135.187
1.622.244
Jumlah
Sumber : Kesra Kecamatan Pamijahan (2009)
Dari Tabel 29 dapat dilihat bahwa jumlah penerima raskin di Kecamatan Pamijahan berjumlah 10.399 KK dengan jumlah alokasi raskin sebanyak 1.622.244 kg/tahun. Desa yang banyak menerima raskin adalah desa Gunungsari, Cibening, Cibunian dan Purwabakti masing- masing sebanyak 146.016 kg, 146.016 kg, 137.124 kg dan 130.104 kg. Sementara desa yang sedikit menerima raskin yaitu desa Cibitung kulon, Gunung menyan, Cimayang dan Cibitung wetan yang masing-masing sebanyak 68.484 kg, 69.576 kg, 77.376 kg dan 79.560 kg. Jumlah penerimaan raskin ini berdasarkan jumlah keluarga miskin yang ada di desa tersebut. Semakin besar jumlah alokasi raskin yang diterima oleh masyarakat, maka semakin banyak jumlah keluarga miskin yang ada di desa tersebut. Karakteristik kemiskinan di Kecamatan Leuwiliang sama dengan karakteristik kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Pamijahan. Kemiskinan dapat terlihat dari banyaknya jumlah KK yang menerima Raskin di Kecamatan Leuwiliang pada tahun 2009. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 30.
66
Tabel. 30 Jumlah Penerima Raskin di Kecamatan Leuwiliang
1
Purasari
1.339
Alokasi /bln (kg) 20.085
2
Puraseda
1.041
15.615
187.380
3
Karyasari
1.474
22.110
265.320
4
Karacak
1.143
17.145
205.740
5
Barengkok
918
13.770
165.240
6
Pabangbon
664
9.960
119.520
7
Leuwimekar
1.143
17.145
205.740
8
Leuwiliang
795
11.925
143.100
9
Karehkel
1.088
16.320
195.840
10
Cibeber I
897
13.455
161.460
11
Cibeber II
1.054
15.810
189.720
Jumlah
11.556
173.340
2.080.080
No
Desa
Jumlah KK
Alokasi 2009 (kg) 241.020
Sumber : Kesra Kecamatan Leuwiliang (2009)
Tabel 30 menunjukan bahwa jumlah keluarga miskin yang terdapat di Kecamatan Leuwiliang yang menerima raskin sebanyak 11.556 KK lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah KK penerima raskin di Kecamatan Pamijahan. Desa yang jumlah keluarga miskinnya terbanyak adalah desa Karyasari, Purasari, Karacak dan Leuwimekar dengan jumlah alokasi raskin masing-masing sebanyak 265.320 kg, 241.020 kg,205.740 kg dan 205.740 kg. Sementara desa yang paling sedikit menerima raskin yaitu desa Pabangbon, Leuwiliang dan Cibeber I dengan masing-masing alokasi sebanyak 119.520 kg, 143.100 kg dan 161.460 kg. Selama tahun 2009, alokasi raskin untuk Masyarakat di Kecamatan Leuwiliang sebanyak 2. 080.080 kg. Program raskin Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan yang harus diselesaikan. Program raskin yang berjalan di Kecamatan pamijahan dan leuwiliang, ternyata menghadapi berbagai hambatan dalam mewujudkan tujuan dan sasarannya. Salah satu hambatan yang dihadapi adalah data jumlah keluarga miskin yang valid yang belum memadai. Program ini diperuntukan bagi masyarakat miskin dari berbagai profesi termasuk didalamnya para petani, buruh, peternak, dll. Namun pada pelaksanaannya program tidak mencapai tujuan dan sasarannya dengan tepat, hal ini terlihat dengan semakin
67
bertambahnya Rumah Tangga Miskin (RTM) jumlah penerima Raskin dari tahun ke tahun di Kabupaten Bogor. Seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar. 5 Jumlah RTM Penerima Raskin di Kabupaten Bogor. Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor (2009)
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun jumlah RTM penerima Raskin di Kabupaten Bogor cenderung meningkat. Pada tahun 2003 jumlah penerima Raskin di Kabupaten Bogor mencapai 92.965 RTM, pada tahun 2004 dan 2005 mengalami penurunan menjadi 90.302 RTM. Kemudian pada tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 136.459 RTM, tahun 2007 mencapai 151.113 RTM dan tahun 2008 meningkat menjadi 256.881 RTM. Peningkatan jumlah RTM ini diakibatkan karena program pemberian beras untuk warga miskin (Raskin) yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor tidak tepat sasaran.
5.3 Daya Beli Masyarakat di Kabupaten Bogor Kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat dilihat dari seberapa besar kemampuan dari daya beli masyarakat. Semakin besar tingkat daya beli masyarakat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah tingkat daya beli, maka tingkat kesejahteraan masyarakat semakin rendah. Kemampuan daya beli seseorang di pengaruhi oleh seberapa besar pendapatannya yang mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari (tingkat pengeluaran). Menurut Badan Pusat Statistik (2004), dinyatakan bahwa jumlah
68
pendapatan seseorang yang berada di bawah Rp. 600.000 maka dinyatakan seseorang tersebut termasuk dalam katagori miskin. Masyarakat Kabupaten Bogor memiliki tingkat daya beli yang dari tahun ke tahun meningkat. Tetapi kemampuan daya beli masyarakatnya masih berada di bawah standar BPS. Seperti terlihat pada Gambar 6.
Gambar. 6 Kemampuan Daya Beli Masyarakat Kabupaten Bogor. Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor (2009)
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada tahun 2004 kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Bogor sebesar Rp. 552.450, naik menjadi Rp.553.630 pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 mengalami kenaikan menjadi Rp. 558.870 dan pada tahun 2007 naik menjadi Rp. 559.300 kemudian mengalami kenaikan kembali pada tahun 2008 menjadi 560.000. Kenaikan daya beli masyarakat Kabupaten Bogor ini disebabkan karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di Kabupaten Bogor. Namun demikian, tetap terjadi perbedaan antara daya beli masyarakat perdesaan dengan masyarakat perkotaan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang (Zona II Wilayah Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Kabupaten Bogor). Kemiskinan yang terjadi diperdesaan lebih terlihat jika dibandingkan dengan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat perkotaan. Hal ini tampak pada rata-rata daya beli masyarakat di masing-masing wilayah Kabupaten Bogor. Seperti terlihat pada Tabel 31.
69
Tabel. 31 Besarnya Rata-rata Daya Beli Masyarakat (dalam Rp). Zona 1 2 3 4 5 6 7 8 Kabupaten Bogor
Rata-rata daya beli masyarakat (Rp) Perdesaan Perkotaan 497.795 605.669 475.026 576.209 597.842 775.143 583.781 693.34 555.325 565.75 615.535 630.542 1.526.026 3.182.057 494.393 553.377 595.889 1.199.870
Sumber : SUSEDA,2008 (diolah)
Dari Tabel 31 dapat dilihat bahwa kemampuan daya beli masyarakat perdesaan di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang sebesar Rp. 475.026 (terendah dari seluruh zona) sementara di perkotaan sebesar Rp. 576.290, hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di perdesaan yang terdapat di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan yang terjadi di perkotaan. Berdasarkan pada data diatas, secara umum disemua zona pengembangan pertanian dan perdesaan di Kabupaten Bogor terlihat bahwa daya beli masyarakat perdesaan lebih kecil jika dibandingkan dengan kemampuan daya beli masyarakat di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang yang berada di perkotaan lebih sejahtera jika dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan. 5.4 Ikhtisar Berdasarkan data dari Bappeda Kabupaten Bogor tahun 2008, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor mencapai 1.149.508 jiwa. Jumlah penduduk ini merupakan jumlah yang besar dan mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Kemiskinan di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang dapat dilihat dari beberapa karakteristik yaitu jumlah penduduk miskin, kondisi keadaan tempat tinggal, kemampuan memiliki pakaian pertahun, kepemilikan WC dan tingkat pendidikan kepala keluarga.
70
Berdasarkan jumlah penduduk, karakteristik kemiskinan di Kecamatan Pamijahan dan leuwiliang masih tergolong tinggi. Jumlah penduduk miskin di Kecamatan Pamijahan masih 47,94% dari 134.865 penduduk, dan di Kecamatan Leuwiliang sebesar 48,99% dari 111.705 penduduk. Berdasarkan kondisi tempat tinggal, karakteristik kemiskinan terlihat pada masih dominannya jenis dinding rumah yang berasal dari bambu. Di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, lebih dari 60% dinding rumah penduduk masih terbuat dari bambu. Berdasarkan kepemilikan WC, terlihat karakteristik kemiskinan masyarakat di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang yaitu lebih dari 57% masyarakat masih membuang kotoran di sungai dan kurang dari 1% masyarakat yang memiliki WC sendiri. Berdasarkan kemampuan membeli pakaian per tahun, karakteristik kemiskinan di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang terlihat pada masih banyaknya masyarakat yang tidak mampu membeli pakaian per tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga, karakteristik kemiskinan terlihat pada masih banyaknya kepala keluarga yang tidak tamat SD mencapai 50% di Kecamatan Leuwiliang dan 60% di Kecamatan pamijahan. Sementara karakteristik kemiskinan lain dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah RTM penerima Raskin di Kabupaten Bogor. Kemampuan daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor masih tergolong rendah. Kemampuan daya beli ini salah satunya diperngaruhi oleh rendahnya pendapatan masyarakat di Kabupaten Bogor.
Pendapatan masyarakat di
Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang masih berada pada kisaran Rp. 475.026 untuk di perdesaan dan Rp. 576.209 untuk di perkotaan. Besarnya pendapatan tersebut masih berada di bawah standar BPS yaitu Rp. 600.000 per bulan. Berdasarkan kemampuan daya beli antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan di Kabupaten Bogor terlihat bahwa secara umum tingkat daya beli masyarakat perkotaan lebih tinggi dari tingkat daya beli masyarakat perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan banyak terjadi pada masyarakat perdesaan.
VI. HUBUNGAN TINGKAT KEMISKINAN DENGAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN BOGOR
6.1 Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Bogor Kemiskinan di Kabupaten Bogor menjadi persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Pada tahun 2003 jumlah penduduk mikin di Kabupaten Bogor mencapai 453.400 jiwa, meningkat pada tahun 2004 menjadi 1.001.805 jiwa, meningkat kembali pada tahun 2005 menjadi 1.084.718 jiwa, terus meningkat pada tahun 2006 menjadi 1.157.791 jiwa kemudian pada tahun 2007 mengalami penurunan jumlah penduduk miskin menjadi 1.017.879 jiwa dan naik kembali pada tahun 2008 menjadi 1.149.508 jiwa. Terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin pada tahun 2003 sampai tahun 2006 disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor. Terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 karena adanya peningkatan daya beli masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar. 7 Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor. Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor (2009) (data diolah)
Peningkatan jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor akan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin dikalangan masyarakat. Peningkatan jumlah pengangguran dapat dilihat pada Gambar 8.
72
Gambar. 8 Jumlah Pengangguran di Kabupaten Bogor (2004-2008). Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor (2009) (data diolah)
Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa jumlah pengangguran masyarakat di Kabupaten Bogor meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 pengangguran di Kabupaten Bogor mencapai 194.902 jiwa, meningkat pada tahun 2005 menjadi 204.858 jiwa kemudian menurun pada tahun 2006 menjadi 193.244 jiwa. Pada tahun 2007 pengangguran meningkat kembali menjadi 459.167 jiwa dan pada tahun 2008 meningkat lagi menjadi 598.032 jiwa. Penurunan jumlah pengangguran pada tahun 2006 di Kabupaten Bogor terjadi karena peningkatan jumlah lapangan kerja yang menyerap tenaga penganggur dan meningkatnya daya beli masyarakat. Dari tahun 2006 ke tahun 2007 terjadi peningkatan pengangguran, walaupun jumlah masyarakat miskin di Kabupaten Bogor berkurang. Hal ini disebabkan terjadinya migrasi penduduk dari kota-kota besar seperti Depok, Jakarta dan Bekasi ke Kabupaten Bogor dan menjadi masyarakat Kabupaten Bogor, memiliki KTP Bogor karena menghuni perumahan baru yang terdapat di Bogor, selain itu juga setiap tahun Kabupaten Bogor kedatangan ribuan mahasiswa baru yang masuk IPB dari berbagai daerah, sehingga terlihat masyarakat miskin menurun dengan adanya migrasi penduduk, walaupun penurunan kemiskinan yang terjadi adalah semu. 6.2 Kemiskinan di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang Kemiskinan merupakan penyakit ekonomi masyarakat di Kabupaten Bogor juga terjadi di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Berdasarkan data
73
Susda (2006), Kecamatan Pamijahan memiliki jumlah penduduk 134.865 jiwa dengan jumlah penduduk miskin 64.651 jiwa atau sekitar 47,94 %. Jumlah KK miskin yang terdapat di Kecamatan Pamijahan adalah 10.399 KK dari 30.822 KK. Seperti terlihat pada Tabel 32. Tabel. 32 Jumlah KK Miskin di Kecamatan Pamijahan Desa Cibunian Purwabakti Ciasmara Ciasihan Gunung Sari Gunung Bunder I Gunung Bunder II Cibening Gunung picung Cibitung Kulon Cibitung Wetan Pamijahan Pasarean Gunung Menyan Cimayang Jumlah
Jumlah KK Miskin 879 834 725 749 936 552 680 936 752 439 510 651 814 446 496 10.399
Sumber : Kesra Kecamatan Pamijahan (2009)
Dari Tabel 32 dapat dilihat bahwa jumlah keluarga miskin di Kecamatan Pamijahan adalah 10.339 KK. Desa yang paling banyak KK miskinnya adalah Desa Gunung Sari dan Desa Cibening dengan jumlah KK miskin 936 KK, sementara Desa yang memiliki jumlah KK miskin terendah yaitu Desa Cibitung Kulon dengan jumlah KK miskin 439 KK. Kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Pamijahan lebih disebabkan oleh jauhnya lokasi Kecamatan Pamijahan dari pusat kota dan pusat pemerintahan, sehingga menyebabkan sulitnya untuk mendapatkan akses ekonomi. Dari jumlah penduduk miskin dan jumlah rumah tangga miskin tersebut, berdasarkan hasil penelitian ini bahwa jumlah penduduk angkatan kerja yang bekerja di Kecamatan Pamijahan sebanyak 40.242 jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 26.138 jiwa adalah petani, 1.798 karyawan, 293 PNS/Polri, 6.354
74
pedagang, 5.158 buruh, dan 501 jiwa bekerja dibidang lainnya (BP3K Wilayah Cibungbulang, 2009). Kecamatan Leuwiliang memiliki jumlah penduduk sebesar 111.705 jiwa dengan jumlah penduduk miskin sebesar 54.719 jiwa atau sekitar 48,99 % dari jumlah penduduk di Kabupaten Bogor. Jumlah keluarga miskin di Kecamatan Leuwiliang yaitu 11.566 KK dari 25.759 KK. Seperti terlihat pada Tabel 33. Tabel. 33 Jumlah KK Miskin di Kecamatan Leuwiliang Desa Purasari Puraseda Karyasari Pabangbon Karacak Barengkok Cibeber Ii Cibeber I Leuwimekar Leuwiliang Karehkel Jumlah
Jumlah KK Miskin 1.339 1.041 1.474 664 1.143 918 1.054 897 1.143 795 1.088 11.556
Sumber : Kesra Kecamatan Leuwiliang (2009)
Dari Tabel 33 dapat dilihat bahwa jumlah KK miskin yang terdapat di Kecamatan Leuwiliang yaitu 11.556 KK. Desa yang memiliki jumlah KK miskin terbesar yaitu Desa Karyasari dengan jumlah KK miskin 1.474 KK, sementara Desa yang memiliki jumlah KK miskin terendah yaitu Desa Pabangbon dengan jumlah KK miskin sebesar 664 KK. Kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Leuwiliang disebabkan oleh terbatasnya modal untuk berusaha karena sulitnya mendapatkan akses modal dari pemerintah, kelembagaan keuangan yang sulit untuk meminjamkan modal. Secara umum hampir sama dengan kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Pamijahan. Oleh karenanya, kemiskinan yang terjadi pada dua kecamatan ini merupakan kemiskinan secara struktural. Penduduk miskin di Kecamatan Leuwiliang terdiri dari berbagai jenis angkatan kerja yang berjumlah 25.265 jiwa. Sebanyak 2.889 jiwa adalah petani, 2.476 adalah pegawai, 477 PNS/Polri, 8.187 pedagang, 10.276 buruh, dan 960 jiwa bekerja dibidang lainnya (BP3K Wilayah Leuwiliang).
75
6.3 Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Hubungan antara kemiskinan dengan karakteristik rumah tangga miskin di Kecamatan Pamijahan dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi hasil analisis korelasi spearman. Seperti terlihat pada Tabel 34. Tabel. 34 Koefisien Korelasi hubungan antara Kemiskinan dengan Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Pamijahan Karakteristik RTM
Koefisien Korelasi (r)
Pendapatan
- 0,629*
Luas Lahan
- 0,612*
Jumlah Tanggungan
0,533*
Jumlah Tamat SD
0,663*
Usaha Sampingan
-0,278
r tabel (r*) pada α= 5%
0,441
Sumber : Data diolah Ket : * Signifikan kuat pada α = 5 %
Dari Tabel 34 dapat dilihat bahwa terdapat korelasi linier negatif antara tingkat kemiskinan dengan pendapatan masyarakat, luas lahan yang dimiliki petani dan usaha sampingan. Artinya, semakin besar tingkat kemiskinan yang terjadi pada masyarakat maka semakin kecil pendapatan, luas lahan dan usaha sampingan yang diperoleh masyarakat di Kecamatan Pamijahan. Sementara Korelasi antara tingkat kemiskinan dengan jumlah tanggungan kepala keluarga dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD di Kecamatan Pamijahan terjadi korelasi linier positif. Artinya, semakin besar tingkat kemiskinan di Kecamatan Pamijahan maka semakin besar pula jumlah tanggungan kepala keluarga dan semakin banyak jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD. Dari hasil analisis korelasi terdapat tingkat signifikansi yang kuat antara kemiskinan dengan pendapatan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD, namun terdapat tingkat signifikansi yang lemah antara kemiskinan dengan usaha sampingan di Kecamatan Pamijahan.
76
Hal ini terjadi karena masyarakat di Kecamatan Pamijahan sebagian besar tidak memiliki usaha sampingan lain selain bertani. Berdasarkan data dari BP3K Kecamatan Pamijahan, hanya 36,4% masyarakat petani yang memiliki usaha sampingan dan 59,6% masyarakat tidak memiliki usaha sampingan, sehingga usaha masyarakat terfokus pada usaha pertanian khususnya pada pengembangan tanaman padi sawah, ubi jalar dan jeruk siam. 6.4 Hubungan Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor Tingkat kemiskinan yang terjadi di masyarakat Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor berkaitan erat
dengan karakteristik RTM seperti Jumlah
pendapatan masyarakat, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD dan Usaha sampingan. Hubungan antara kemiskinan dengan karakteristik tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi dari hasil analisis korelasi spearman seperti pada Tabel 35. Tabel. 35 Koefisien Korelasi hubungan antara Kemiskinan dengan Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Leuwiliang. Karakteristik RTM
Koefisien Korelasi (r)
Pendapatan
- 0,569*
Luas Lahan
-0,355
Jumlah Tanggungan
0,497
Jumlah Tamat SD
0,029
Usaha Sampingan
-0,579*
r tabel (r*) pada α =5%
0,523
Sumber : Data diolah Ket : Signifikan pada α = 5 %
Dari Tabel 35 terlihat bahwa di Kecamatan Leuwiliang terdapat korelasi linier negatif antara tingkat kemiskinan dengan pendapatan masyarakat, luas lahan dan usaha sampingan. Artinya, semakin besar tingkat kemiskinan yang terjadi pada masyarakat maka semakin kecil pendapatan, luas lahan dan usaha sampingan
77
yang diperoleh masyarakat tersebut. Sementara terjadi Korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan jumlah tanggungan kepala keluarga dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD. Artinya, semakin besar tingkat kemiskinan di Kecamatan Leuwiliang maka semakin besar pula jumlah tanggungan kepala keluarga dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD. Dari hasil analisis korelasi terdapat tingkat signifikansi yang kuat antara tingkat kemiskinan dengan pendapatan masyarakat dan usaha sampingan, hal ini disebabkan sumber pendapatan masyarakat di Kecamatan Leuwiliang tidak hanya bergantung pada sektor pertanian dan banyak masyarakat petani yang memiliki usaha sampingan. Berdasarkan data dari BP3K Kecamatan Leuwiliang, masyarakat petani yang memiliki usaha sampingan di Kecamatan Leuwiliang sebanyak 60,5 %, sementara yang tidak memiliki usaha sampingan sebanyak 35,5%, sehingga besarnya pendapatan petani di Kecamatan Leuwiliang disebabkan oleh banyaknya usaha sampingan masyarakat. Terdapat korelasi yang signifikan lemah antara kemiskinan dengan luas lahan, jumlah tanggungan dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD, hal ini karena tidak banyak luas lahan yang dimiliki oleh petani, jumlah tanggungan dikalangan masyarakat yang besarnya hampir merata dan tingkat pendidikan sangat rendah yang dimiliki oleh sebagian besar kepala keluarga di Kecamatan Leuwiliang. 6.5 Ikhtisar Tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada tahun 2003 jumlah penduduk mikin di Kabupaten Bogor mencapai 453.400 jiwa, meningkat pada tahun 2004 menjadi 1.001.805 jiwa, meningkat kembali pada tahun 2005 menjadi 1.084.718 jiwa, meningkat kembali pada tahun 2006 menjadi 1.157.791 jiwa kemudian pada tahun 2007 mengalami penurunan jumlah penduduk miskin menjadi 1.017.879 jiwa, kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 menjadi 1.149.508 jiwa. Terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin ini karena meningkatnya jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor dan terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin karena adanya peningkatan daya beli masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
78
Jumlah pengangguran masyarakat di Kabupaten Bogor meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 pengangguran di Kabupaten Bogor mencapai 194.902 jiwa, meningkat pada tahun 2005 menjadi 204.858 jiwa kemudian menurun pada tahun 2006 menjadi 193.244 jiwa. Pada tahun 2007 pengangguran meningkat kembali menjadi 459.167 jiwa dan pada tahun 2008 meningkat lagi menjadi 598.032 jiwa. Peningkatan jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor ini terjadi karena kurangnya jumlah lapangan kerja dan meningkatnya jumlah angkatan kerja setiap tahun. Kecamatan Pamijahan memiliki jumlah penduduk sebesar 134.865 jiwa dengan jumlah penduduk miskin 64.651 jiwa atau sekitar 47,94 %. Jumlah KK miskin yang terdapat di Kecamatan Pamijahan adalah 10.399 KK dari 30.822 KK. Sementara jumlah penduduk di Kecamatan Leuwiliang sebesar 111.705 jiwa dengan jumlah penduduk miskin sebesar 54.719 jiwa atau sekitar 48,99 % dari jumlah penduduk. Jumlah keluarga miskin di Kecamatan Leuwiliang yaitu 11.566 KK dari 25.759 KK. Dilihat dari jumlah penduduk dan KK miskin, maka tingkat kemiskinan pada dua kecamatan tersebut masih tinggi. Dari hasil analisis korelasi di Kecamatan Pamijahan terdapat tingkat signifikansi yang kuat antara kemiskinan dengan pendapatan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD, namun terdapat tingkat signifikansi yang lemah antara kemiskinan dengan usaha sampingan yang dimiliki oleh masyarakat. Sementara hasil analisis korelasi di Kecamatan Leuwiliang terdapat tingkat signifikansi yang kuat antara tingkat kemiskinan dengan pendapatan masyarakat dan usaha sampingan, hal ini disebabkan sumber pendapatan masyarakat di Kecamatan Leuwiliang tidak hanya bergantung pada sektor pertanian dan banyak masyarakat petani yang memiliki usaha sampingan. Terdapat korelasi yang signifikan lemah antara kemiskinan dengan luas lahan, jumlah tanggungan dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD, hal ini terjadi karena tidak banyak luas lahan yang dimiliki oleh petani, jumlah tanggungan dikalangan masyarakat yang besarnya hampir merata dan tingkat pendidikan sangat rendah yang dimiliki oleh sebagian besar kepala keluarga di Kecamatan Leuwiliang.
VII. KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN BOGOR
7.1 Komoditas Unggulan di Kecamatan Pamijahan Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) terhadap komoditas pertanian di Kabupaten Bogor yang menggambarkan keunggulan komparatif berbagai komoditi unggulan pertanian khususnya tanaman padi dan palawija serta buah-buahan yang terdapat di Kecamatan Pamijahan seperti terlihat pada Tabel 36. Tabel. 36 Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Komoditas Padi Sawah Padi Gogo Jagung Kacang tanah Ubi Kayu Ubi Jalar Talas Jumlah Total
Produksi di Kecamatan Pamijahan (Ton) 43.029 632 244 33 2.716 9.341 740 56.735
Produksi di Kabupaten Bogor (Ton) 479.755 8.967 3.216 2.234 179.222 54.528 13.385 741.307
LQ 1,17 0,92 0,99 0,19 0,20 2,24 0,72
Sumber: Kabupaten Bogor Dalam Angka (2008) (Diolah)
Dari Tabel 36 terlihat bahwa terdapat beberapa komoditas pertanian yang dapat dikembangkan di Kecamatan Pamijahan. Tanaman Ubi Jalar memiliki nilai LQ 2,24 dan merupakan nilai LQ terbesar jika dibandingkan dengan komoditas lainnya. Kemudian komoditas yang nilai LQ terbesar kedua yaitu tanaman Padi Sawah yaitu sebesar 1,17 dengan demikian maka Ubi Jalar dan Padi Sawah merupakan komoditas unggulan yang dapat dikembangkan di Kecamatan Pamijahan karena memiliki nilai LQ > 1, yang artinya bahwa kedua komoditas tersebut merupakan sektor basis perekonomian masyarakat di Kecamatan Pamijahan. Sementara komoditas padi gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu dan talas merupakan komoditas yang ada di kalangan masyarakat tetapi bukan merupakan komoditas unggulan karena nilai LQ<1, artinya komoditas tersebut bukan merupakan sektor basis dalam perekonomian masyarakat. Selain dari komoditas unggulan berupa Ubi Jalar dan Padi Sawah, di Kecamatan Pamijahan juga terdapat beberapa potensi pertanian berupa buah-buahan yang juga menjadi
80
fokus pertanian untuk dikembangkan di kalangan masyarakat. Seperti terlihat pada Tabel 37. Tabel. 37 Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Buah-buahan di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Komoditi Alpukat Belimbing Dukuh Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Siam Mangga Manggis Nangka Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Sirsak Sukun Jumlah
Produksi di Kecamatan Pamijahan (Ku) 870 382 535 100 1.760 400 26 6.600 92 11.780 6.270 19 141 75 202 29.252
Produksi di Kabupaten Bogor (Ku) 10.974 19.627 6.785 54.558 37.819 15.962 2.103 20.047 21.164 64.317 25.796 122.376 216.182 220.082 2.327 6.734 4.905 3.297 855.055
LQ 2,32 0,57 2,30 0,05 1,36 5,56 0,04 3,00 0,10 2,81 0,85 0,24 0,61 0,45 1,79
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2008) (Diolah).
Dari Tabel 37 terlihat beberapa komoditi buah yang dapat di kembangkan untuk mendukung perekonomian masyarakat di Kecamatan Pamijahan. Terdapat beberapa komoditi buah yang menjadi komoditas unggulan yaitu Jeruk Siam, Nangka, Pepaya, Alpukat, Dukuh, Sukun dan Jambu Biji. Buah-buahan tersebut menjadi komoditas unggulan di Kecamatan Pamijahan karena memiliki nilai LQ>1, artinya komoditas buah tersebut menjadi sektor basis perekonomian masyarakat di Kecamatan Pamijahan. Jeruk Siam memiliki nilai LQ tertinggi diantara komoditas buah lainnya yaitu dengan LQ sebesar 5,56. Kemudian dilanjutkan dengan Nangka dengan nilai LQ sebesar 3,00, Pepaya dengan nilai LQ sebesar 2,81, Alpukat dengan nilai LQ sebesar 2,32, Dukuh dengan nilai LQ 2,30, Sukun dengan nilai LQ sebesar 1,79 dan Jambu Biji dengan nilai LQ sebesar 1,36.
81
Sementara komoditas lainnya yang memiliki nilai LQ< 1 merupakan komoditas non basis, bukan merupakan komoditas unggulan pada perekonomian masyarakat.
7.2 Komoditas Unggulan di Kecamatan Leuwiliang Hasil Analisis Location Quotient yang menggambarkan keunggulan komparatif dari berbagai komoditas pertanian di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor seperti terlihat pada Tabel 38 Tabel. 38 Indeks Location Cuotient Berdasarkan Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Komoditas Padi Sawah Padi Gogo Jagung Kacang Tanah Ubi Kayu Ubi Jalar Talas Jumlah Total
Produkdi di Kecamatan Leuwiliang (Ton) 19.598 8 45 45 6.155 1.605 338 27.794
Produksi di Kabupaten Bogor (Ton) 479.755 8.967 3.216 2.234 179.222 54.528 13.385 741.307
LQ 1,09 0,02 0,37 0,54 0,92 0,79 0,67
Sumber : Kabupaten Bogor Dalam Angka (2008) (Diolah).
Dari Tabel 38 dapat dilihat beberapa komoditas pertanian padi dan palawija yang terdapat di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Komoditas Padi Sawah memiliki nilai LQ tertinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya di Kecamatan Leuwiliang. Nilai LQ komoditas Padi Sawah mencapai 1,09, hal ini menunjukkan bahwa komoditas Padi Sawah merupakan komoditas unggulan di Kacamatan Leuwiliang karena nilai LQ>1, artinya bahwa komoditas Padi Sawah merupakan sektor basis perekonomian yang dapat dikembangkan di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Sementara komoditas lainnya bukan merupakan sektor basis perekonomian masyarakat karena bukan merupakan komoditas unggulan, nilai LQ<1. Komoditas pertanian di Kecamatan Leuwiliang, selain komoditas unggulan berupa Padi Sawah juga terdapat beberapa komoditas buah-buahan yang menjadi komoditas pertanian yang dapat dikembangkan masyarakat. Seperti terlihat pada Tabel 39.
82
Tabel. 39 Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Buah-buahan di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Komoditi Alpukat Belimbing Dukuh Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Siam Mangga Manggis Nangka Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Sirsak Sukun Jumlah
Produksi di Kecamatan Leuwiliang (Ku) 75 75 710 150 268 250 1.842 102 3 260 5.180 310 5 3 19 17 9.269
Produksi di Kabupaten Bogor (Ku) 10.974 19.627 6.785 54.558 37.819 15.962 2.103 20.047 21.164 64.317 25.796 122.376 216.182 220.082 2.327 6.734 4.905 3.297 855.055
LQ 0,63 0,35 1,20 0,37 1,55 1,15 8,03 0,15 0,01 0,20 2,21 0,13 0,20 0,04 0,36 0,48
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2008) (Diolah)
Dari Tabel 39 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa komoditas buahbuahan yang dapat dikembangkan di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor sebagai komoditas unggulan. Komoditas tersebut antara lain Manggis, Pisang, Jambu Air, Durian dan Mangga. Komoditas-komoditas tersebut memiliki nilai LQ > 1, sehingga merupakan sektor basis perekonomian yang dapat di jadikan komoditas unggulan oleh masyarakat. Nilai LQ Manggis sebesar 8,03, nilai LQ Pisang sebesar 2,21, nilai LQ Jambu Air sebesar 1,55, nilai LQ Durian sebesar 1,20 dan nilai LQ Mangga sebesar 1,15. Sementara komoditas buah-buahan lainnya bukan merupakan sektor basis perekonomian di Kecamatan Leuwiliang karena nilai LQ < 1, artinya bukan merupakan komoditas unggulan untuk dikembangkan oleh masyarakat Kecamatan Leuwiliang. Komoditas unggulan yang terdapat di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang tidak jauh berbeda dengan komoditas unggulan seperti
83
yang jelaskan oleh Bappeda Kabupaten Bogor dan PSP3 IPB pada tahun 2009. Seperti terlihat dalam Tabel 40. Tabel. 40 Jenis Komoditas Unggulan Per Kecamatan di Kawasan Zona 2 Kabupaten Bogor tahun 2009. Kecamatan
Program PEMDA
Potensi Produksi
Apirasi Masyarakat
a. Pepaya, pisang, a. Anyaman a. Kerbau petai, sayur Bambu mayor, padi, ubi 2. Nanggung a. Hutan rakyat kayu, ubi jalar, b. Kerbau , ayam jagung, jahe, ras pedaging lempuyang, 3. Leuwiliang a. Manggis a. Hutan rakyat kunyit 4. Leuwisadeng a. Jambu a. Padi sawah, ubi b. Kambing, biji jalar kerbau, domba, b. Manggis ayam buras 5. Cibungbulang a. Ikan kolam air tenang, kolam c. Ikan air sawah, ikan kolam air pembenihan tenang, ikan ikan, ikan hias kolam air deras 6. Pamijahan a. Padi sawah, Ubi jalar a. Ikan kolam air deras, karamba, kolam pembenihan ikan, ikan hias 1. Sukajaya
Komoditas yang Direkomendasikan a. Padi sawah b. Jagung Manis c. Talas d. Kacang Panjang e. Manggis f. Cabai Besar g. Sawi h. Jambu Biji i. Jabon j. Sengon k. Mahoni l. Afrika m.Bambu n. Pohon Aren o. Jamur Tiram p. Ikan Mas q. Ikan Gurame r. Ikan Nila s. Sapi Perah t. Itik u. Kerbau v. Kambing PE w. Domba
Sumber : PSP3 IPB dan Bappeda Kabupaten Bogor, 2009
Dari Tabel 40 terlihat bahwa kawasan zona II Kabupaten Bogor khususnya Kecamatan
Pamijahan
dan
Kecamatan
Leuwiliang
sangat
tepat
untuk
pengembangan usaha berbasis komoditas pertanian. Oleh karena itu, banyak ragam komoditas unggulan yang dapat dikembangkan sesuai dengan potensi yang ada pada masing-masing kecamatan. Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh PSP3 IPB dan Bappeda Kabupaten Bogor tahun 2009, maka ada beberapa komoditas unggulan yang di rekomendasikan untuk dikembangkan diantaranya tanaman Padi Sawah, Jagung Manis, Talas, Kacang Panjang, Manggis, Ubi Jalar dan komoditas lainnya.
7.3 Prioritas Pengembangan Komoditas Unggulan Berdasarkan pada hasil Analisis Location Quotient terhadap beberapa komoditas pertanian di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang, terdapat banyak komoditas pertanian yang dapat dijadikan komoditas unggulan
84
untuk dijadikan sektor basis perekonomian masyarakat. Beberapa komoditas unggulan yang menjadi prioritas untuk dikebangkan antara lain Ubi Jalar, Padi Sawah, Manggis dan Jeruk Siam. Komoditas-komoditas tersebut diambil berdasarkan pada nilai LQ tertinggi di dua Kecamatan. Semakin tinggi nilai LQ suatu komoditas, maka semakin kuat komoditas tersebut untuk dijadikan prioritas sektor basis yang akan dikembangkan. Komoditas unggulan di Kecamatan Pamijahan yang menjadi prioritas untuk di kembangkan yaitu Ubi Jalar dengan nilai LQ 2,24, Padi Sawah dengan nilai LQ 1,17 dan buah-buahannya adalah Jeruk Siam dengan nilai LQ 5,56. Semetara komoditas unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di Kecamatan Leuwiliang adalah Padi Sawah dengan nilai LQ 1,09 dan untuk buah-buahannya adalah Manggis dengan nilai LQ 8,03.
7.3.1 Perkembangan Ubi Jalar Ubi Jalar merupakan tanaman palawija yang tumbuh dan berkembang dengan baik di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan. Ubi Jalar merupakan komoditas unggulan di Kecamatan Pamijahan. Produksi Ubi Jalar dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Seperti terlihat pada Tabel 41. Tabel. 41 Perkembangan Ubi Jalar di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang tahun 2007. Kecamatan
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
2005
2006
2007
2005
2006
2007
2005
2006
2007
Pamijahan
307
417
634
4.484
6.938
9.341
14,61
16,64
14,73
Leuwiliang
139
282
114
1.990
4.336
1.605
14,32
15,38
14,08
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2008)
Dari Tabel 41 terlihat bahwa produksi Ubi Jalar di Kecamatan Pamijahan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 terjadi penurunan produktivitas Ubi Jalar karena berakhirnya program dari pemerintah untuk pengembangan Ubi Jalar, masyarakat tidak mampu menjaga produktivitas, hanya tergantung pada pemerintah saja. Pada tahun sebelumnya peningkatan produksi Ubi Jalar di Kecamatan Pamijahan ini disebabkan konsentrasi pertanian masyarakat tani terhadap pengembangan Ubi Jalar, luas panen selalu bertambah,
85
adanya bantuan pemerintah kepada petani Ubi Jalar dan rangsangan prospek pasar Ubi Jalar dari tahun ke tahun cukup baik. Hasil produksi Ubi Jalar di Kecamatan Pamijahan sebagian besar di jual ke pasar non lokal untuk memenuhi permintaan. Hal ini sesuai dengan BP3K Kecamatan Pamijahan bahwa prospek pasar komoditas Ubi Jalar sebesar 25% lokal dan 75% luar lokal. Produksi Ubi Jalar terbesar di Kecamatan Pamijahan terdapat di Desa Gunung Bunder 1 dan 2 yaitu sebanyak 600 ton. Produksi di Desa Cibening sebanyak 300 ton, Cimayang dan Gunung Menyan sebanyak 252 ton, Pasarean sebanyak 234 ton, Gunung Picung 225 ton, Pamijahan 195 ton, Cibitung Wetan 180 ton, Cibitung Wetan 120 ton. Sementara di Desa Cibunian, purwabakti, Ciasihan, Ciasmara dan Gunung Sari tidak di memproduksi Ubi Jalar. Produksi Ubi Jalar di Kecamatan Leuwiliang tidak seperti di Kecamatan Pamijahan yang setiap desa dapat menghasilkan ratusan ton per tahun. Di Kecamatan Leuwiliang, Produksi Ubi Jalar tidak terlalu besar. Produksi terbesar Ubi Jalar di Kecamatan Leuwiliang terdapat di tiga desa yaitu Desa Leuwimekar sebesar 85,5 ton, Desa Leuwiliang sebesar 81,4 ton dan Desa Karyasari sebesar 74,4 ton. Sehingga Ubi Jalar di Kecamatan Leuwiliang bukan merupakan komoditas unggulan karena produktsi pertahunnya sedikit. 7.3.2 Perkembangan Padi Sawah Tanaman Padi Sawah merupakan komoditas unggulan di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang dengan nilai LQ > 1. Produksi Padi Sawah pada dua kecamatan tersebut dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena sebagian besar kelompok tani yang terdapat pada dua kecamatan tersebut memiliki basis menanam padi sawah dalam mengembangkan usaha pertaniannya. Seperti terlihat pada Tabel 42. Tabel. 42 Perkembangan Padi Sawah di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang tahun 2007.
Kecamatan
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
2005
2006
2007
2005
2006
2007
2005
2006
2007
Pamijahan
6.254
6.424
7.280
34.139
36.007
43.029
5,46
5,61
5,91
Leuwiliang
1.981
2.304
3.360
10.779
12.856
19.598
5,44
5,58
5,83
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2008)
86
Dari Tabel 42 dapat dilihat bahwa di Kecamatan Pamijahan produksi Padi Sawah sejak tahun 2005 sampai tahun 2007 selalu meningkat, hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan luas panen dari tahun ke tahun. Produksi Padi Sawah terbesar di Kecamatan Pamijahan yaitu terdapat di Desa Ciasihan sebesar 6000 ton, Ciasmara sebesar 5.727 ton, Gunung Sari 4.371 ton. Sementara desa dengan produksi Padi Sawah terendah yaitu Desa Gunung Menyan, Cimayang dan Gunung Bunder 1 dengan masing-masing produksi sebesar 1.363 ton, 1.555 ton dan 1.669 ton. Sementara di Kecamatan Leuwiliang Produksi terbesar di Desa Pabangbon, Barengkok dan Karyasari dengan produksi masing-masing sebesar 2.501 ton, 1.255 ton dan 1.192 ton. Desa yang paling sedikit produksinya yaitu Desa Leuwimekar, Puraseda dan Leuwiliang dengan produksi masing-masing sebesar 152 ton, 267 ton dan 439 ton. Tanaman Padi Sawah ini memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan dan dapat menjadi basis utama pertanian di dua kecamatan tersebut. Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, masyarakatnya sudah dapat memenuhi kebutuhan akan beras bahkan sebagian besar beras yang dihasilkan di jual ke pasar non lokal (daerah lain) untuk memenuhi kebutuhan beras di daerah lain. Berdasarkan BP3K Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, bahwa prospek pasar beras ini sebesar 75% lokal dan 25% luar lokal. Artinya, sebesar 25 % beras yang merupakan hasil produksi di ekspor keluar daerah.
7.3.3 Perkembangan Manggis Manggis merupakan tanaman eksotis dunia yang juga tumbuh di Kabupaten Bogor Khususnya di Kecamatan Leuwiliang. Manggis banyak tumbuh di Indonesia termasuk di Kabupaten Bogor. pohon manggis banyak ditemukan di Kecamatan Leuwiliang tepatnya dikampung citeureup tumbuh varietas manggis baru yang disebut sebagai manggis “Bogor Raya” yang baru di resmikan barubarui ini oleh Bupati Bogor yaitu Rahmat Yasin. Hampir setiap orang mengenal buah manggis dan menyukai rasanya. Tetapi, belum banyak yang mengenal bahwa daerah yang banyak menghasilkan tanaman ini adalah Kabupaten Bogor, Kecamatan Leuwiliang. Seperti terlihat pada Tabel 43.
87
Tabel. 43 Produksi Manggis di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang tahun 2009. Kecamatan Pamijahan Leuwiliang
Produksi (Ton)
Produktivitas (Ton/Ha)
15 35.124
375 878
Luas Tanaman (Ha) 50 50.944
Sumber : BP3K Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang (2009)
Dari Tabel 43 terlihat bahwa Kecamatan Leuwiliang memiliki jumlah produksi manggis jauh lebih besar dibandingkan dengan Kecamatan Pamijahan. Jumlah produksi manggis yang terdapat di Kecamatan Leuwiliang mencapai 35.124 ton, sementara di Kecamatan Pamijahan sebesar 15 ton. Hal ini dikarenakan Kecamatan Leuwiliang memiliki luas tanam dan produktivitas buah yang lebih besar dibandingkan dengan Kecamatan Pamijahan. Sehingga tepat jika Kecamatan Leuwiliang dijadikan sebagai sentra produksi manggis di Kabupaten Bogor. Manggis ini, merupakan buah yang memiliki biji 6-7 dengan rasa yang manis. Pemasaran manggis banyak dilakukan oleh para petani ke pasar leuwiliang dan ke pasar bogor. bahkan ada juga yang membawanya ke Jakarta untuk di pasarkan lebih luas lagi.
7.3.4 Perkembangan Jeruk Siam Jeruk Siam merupakan komoditas unggulan yang berada di Kecamatan Pamijahan dengan nilai LQ 5,56. Jeruk ini memiliki tingkat produksi yang cukup baik untuk di kembangkan di Kecamatan Pamijahan. Seperti terlihat pada Tabel 44. Tabel. 44 Produksi Jeruk di Kecamatan Pamijahan tahuun 2008.
1
Pamijahan
400
Tambah Tanam (pohon) 232
2
Leuwiliang
-
-
No
Kecamatan
Produksi (Ku)
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2008)
Dari Tabel 44 terlihat bahwa produksi komoditas Jeruk Siam di Kecamatan Pamijahan mencapai 400 Kwintal dengan tambah tanam 232 pohon. Desa yang paling banyak memproduksi Jeruk Siam yaitu Desa Gunung Picung,
88
Cibitung Kulon dan Cibitung Wetan dengan produksi masing-masing 10 Kwintal. Sementara Desa yang tidak memproduksi Jeruk Siam antara lain Desa Pamijahan, Pasarean, Gunung Menyan dan Cimayang karena di Desa tersebut lebih banyak memproduksi Ubi Jalar. Jeruk Siam oleh masyarakat dijadikan sebagai komoditas buah yang sampai sekarang dikembangkan dan prospeknya cukup baik. Komoditas ini sangat potensial dan masyarakat memasarkan hasilnya tidak hanya di pasar tradsional di sekitar kecamatan tetapi sudah mulai masuk ke pasar modern seperti Swalayan dan Pasar buah yang ada di Kota Bogor.
7.4 Ikhtisar Berdasarkan pada hasil analisis LQ terhadap komoditas pertanian yang terdapat di Kabupaten Bogor, maka komoditas ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis merupakan komoditas unggulan yang terdapat di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Komoditas tersebut menjadi komoditas unggulan karena memiliki nilai LQ > 1, sehingga komoditas tersebut menjadi sektor basis perekonomian masyarakat di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Nilai LQ ubi jalar sebesar 2,24, nilai LQ padi sawah sebesar 1,17 dan 1,09, nilai LQ jeruk siam sebesar 5,56 dan nilai LQ manggis sebesar 8,03. Berdasarkan nilai LQ tertinggi, manggis memang menjadi komoditas unggulan yang terdapat di Kabupaten Bogor, namun dalam kenyataan dilapangan tanaman ini mengalami kegagalan disebabkan oleh penebangan pohon yang dilakukan oleh masyarakat sehingga manggis perlu di budidayakan kembali. Pengembangan komoditas unggulan berupa ubi jalar terdapat di Kecamatan Pamijahan tepatnya terletak di Desa Gunung Bunder 1 dan 2 dengan produksi terbesar sebanyak 600 ton, produksi padi sawah terbesar terdapat di Desa Ciasihan sebesar 6000 ton, produksi jeruk siam terbesar terdapat di Desa Gunung Picung, Cibitung Kulon dan Cibitung Wetan sebanyak 10 kwintal. Sementara itu, pengembangan komoditas unggulan padi sawah di Kecamatan Leuwiliang yaitu di Desa Pabangbon, Barengkok dan Karyasari dengan produksi terbesar masingmasing 2.501 ton, 1.255 ton, dan 1.192 ton. Produksi manggis terbesar di
89
Kecamatan Leuwiliang yaitu di Desa Karyasari dengan nama manggis “Bogor Raya”. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa Kabupaten Bogor, khususnya Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang merupakan centra pertanian yang memiliki lebih dari satu komoditas unggulan yang dapat dikembangkan sebagai basis perekonomian masyarakat.
VIII. EVALUASI PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN
8.1 Program Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan Upaya untuk menanggulangi kemiskinan di masyarakat perlu terus dilakukan. Untuk mengatasi kemiskinan, perlu sebuah sikap yang jelas yang berupa pemihakan kepada arah pembangunan yang mengarah pada peningkatan produktivitas kerja masyarakat miskin. Ismawan (2002), menyatakan bahwa dalam menanggulangi kemiskinan pada masyarakat diperlukan upaya-upaya khusus dalam memberdayakan masyarakat melalui program peningkatan SDM, teknologi, kelembagaan maupun permodalan. Dalam menjalankan program penanggulangan kemiskinan, sebenarnya tidak hanya dilakukan secara Rescue dan Recovery. Tetapi juga perlu dilakukan secara preventif dan stimulatif untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi serta meningkatkan
kondisi sosial yang pada akhirnya akan mampu
kesejahteraan
masyarakat.
Dalam
rangka
mengantisipasi
peningkatan jumlah penduduk miskin maka pemerintah telah melaksanakan beberapa program penanggulangan kemiskinan. Program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut sebagian besar merupakan program yang didanai oleh pemerintah pusat dan daerah, kerjasama dengan perusahaan swasta, dan lain-lain. Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuisioner dengan 10 orang (2 Kepala BP3K masing-masing kecamatan, 2 orang penyuluh pertanian dan 6 orang petani) di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, terdapat beberapa program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah untuk masyarakat terutama bagi para petani. Program yang dijalankan oleh pemerintah ini merupakan program yang sudah berjalan di masyarakat perdesaan. Programprogram tersebut diantaranya adalah Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM), Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP), Program Ketahanan Pangan (PKP) dan KUBE. Secara keseluruhan program yang dijalankan oleh pemerintah dapat dikatakan berjalan. Hanya saja perlu dilakukan evaluasi atas berjalannya program-program tersebut.
91
8.2 Bentuk Kekeliruan Program yang pernah dijalankan Pemerintah Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan 10 orang perwakilan masyarakat dari Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang, terlihat bahwa penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah terjadi beberapa kekeliruan diantaranya: 1. Kekeliruan dalam hal ketepatan sasaran. Seringkali program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah tidak tepat sasaran. Kekeliruan dalam hal sasaran ini akan menyebabkan kemiskinan lanjutan kepada masyarakat. Sebagai contoh program Raskin yang dijalankan oleh pemerintah nampaknya jauh dari sisi keberhasilan. Berdasarkan data dari dua kecamatan tersebut, terlihat bahwa tidak semua masyarakat miskin mendapat bantuan raskin. Banyak diantara masyarakat yang tidak termasuk katagori miskin mendapatkan bantuan. Bahkan terjadi jumlah bantuan raskin diperuntukan untuk semua masyarakat, dibagi rata dengan jumlah yang sama. Sebagai salah satu kasus diantaranya adalah semula setiap keluarga miskin seharusnya mendapat bantuan sebesar 13 kg per keluarga per bulan, namun kenyataan yang terjadi di lapangan adalah setiap keluarga miskin hanya mendapat 3 liter beras per keluarga per bulan. Ini dapat disimpulkan bahwa dalam proses penyaluran raskin terjadi ketidaktepatan sasaran. 2. Kekeliruan dalam hal program yang dijalankan lebih bernuansa karitatif (kemurahan
hati)
ketimbang
produktivitas.
Program
penanggulangan
kemiskinan yang dijalankan secara karitatif tidak akan muncul upaya di kalngan masyarakat untuk lebih mandiri dalam mengatasi kemiskinan. Mereka akan selalu menggantungkan diri kepada bantuan yang diberikan oleh pihak lain, padahal seharusnya program penanggulangan kemiskinan diarahkan agar masyarakat menjadi mandiri dan produktif. Sebagai contoh program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan dana kompensasi BBM yang dialih fungsikan oleh pemerintah sebagai bantuan langsung kepada masyarakat miskin adalah bias, karena dinilai hanya akan menciptakan ketergantungan masyarakat miskin kepada pemerintah.
Dalam program BLT ini, hampir
semua masyarakat mendapatkan bantuan, padahal BLT hanya tepat jika diberikan kepada kelompok masyarakat miskin yang tidak berdaya, sebagai
92
contoh orang cacat tubuh seumur hidup yang sudah tidak dapat bekerja dan orang jompo yang terlantar. Sebaiknya program BLT tidak diberikan langsung berupa uang kepada masyarakat, karena nilainya kecil sehingga tidak begitu berarti bagi masyarakat akan lebih tepat jika dilakukan dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat sebagai dana stimulan. 3. Kekeliruan memosisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah masih menempatkan masyarakat hanya sebagai objek penanggulangan kemiskinan. Padahal seharusnya, masyarakat dijadikan sebagai subjek, yaitu bersama-sama dengan pemerintah sebagai pelaku dalam membuat perubahan yang secara besama dengan aktif terlibat dalam aktivitas penanggulangan kemiskinan di daerahnya. Masyarakat akan terhindar dari kemiskinan jika dirinya menjadi aktor perubahan dalam rangka memerangi kemiskinan. 4. Kekeliruan Pemerintah masih bertindak sebagai penguasa daripada sebagai fasilitator. Dalam penanggulangan kemiskinan, masih terlihat bahwa pemerintah lebih banyak bertindak sebagai penguasa yang kerapkali ikut campur terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Sebaiknya pemerintah bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Suharto (2003), bahwa paradigma baru pemberantasan kemiskinan adalah menekankan “apa yang dimiliki orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin” potensi yang dimiliki oleh orang miskin dapat berupa aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategis) yang telah dijalankannya secara lokal. 5. Kekeliruan masih berorientasinya pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional. Penanggulangan kemiskinan yang masih berorientasi pada aspek
ekonomi
terbukti
mengalami
kegagalan,
karena
pengentasan
kemiskinan yang direduksi dalam persoalan ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks budaya, orang miskin dapat diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dsb. Sementara dalam konteks dimensi struktural
93
atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakikatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis.
8.3 Evaluasi Program Penanggulangan Kemiskinan Mencermati
beberapa
kekeliruan
yang
terjadi
pada
program
penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah, maka ada beberapa langkah evaluasi untuk memperbaiki kekeliruan dan yang harus dilakukan diantaranya : 1. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah seringkali salah sasaran, hal ini disebabkan oleh ketersediaan data masyarakat miskin yang tidak ter up date, maka diperlukan suatu strategi pendataan yang baik agar dapat diketahui data jumlah penduduk miskin yang tepat sehingga program penanggulangan kemiskinan dapat tepat sasaran. 2. Untuk meningkatkan produktivitas, strategi yang harus dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan pendidikan dan kesehatan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja, serta informasi pasar. 3. Melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi, bahkan pada proses pengambilan keputusan. 4. Strategi pemberdayaan. Kelompok masyarakat miskin harus dipelopori oleh para pakar dan aktivis LSM, menegaskan bahwa masyarakat miskin adalah kelompok yang mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah mau member kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur dirinya. 5. Kemiskinan memang bersifat multidimensional, maka program pengentasan kemiskinan sebaiknya tidak hanya terpaku pada aspek ekonomi tetapi juga memperhatikan dimensi lain. Memang kebutuhan pokok tetap menjadi prioritas, namun juga harus mengejar target untuk mengatasi kemiskinan nonekonomik. Strategi pengentasan kemiskinan tepatnya diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan sebagainya. Jika budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah
94
pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatanhambatan yang sifatnya struktural dan politis. Menurut Kartasasmita (2003) menyatakan bahwa untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat setidaknya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan dapat mengembangkan potensi masyarakat, dengan titik tolak bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan, (2) memperkuat potensi yang diiliki oleh m,asyarakat tersebut dan
(3) memberdayakan juga mengandung arti
melindungi. Untuk arahan ke masa depan dibutuhkan upaya yang lebih efektif dalam menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Dari beberapa program penanggulangan kemiskinan yang sudah dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, berdasarkan pada hasil wawancara dengan responden, maka evaluasi program penanggulangan kemiskinan minimal dilakukan dari tiga segi, yaitu : 1. Sifat program Dari segi sifatnya program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten
Bogor
masih
bersifat
karitatif.
Artinya
program
penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah masih mengedepankan kemurahan hati ketimbang mengedepankan peningkatan produktivitas masyarakat miskin. Sifat karitatif ini jika terus-menerus dilakukan oleh pemerintah maka akan menimbulkan sifat ketergantungan masyarakat miskin kepada pemberian saja, sehingga mereka merasa berada dalam zona nyaman dan akan menimbulkan kemalasan. Persoalan kemiskinan yang terjadi di masyarakat Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang tidak akan selesai jika pemerintah masih menggunakan pendekatan ini. Program penanggulangan kemiskinan yang terkesan bersifat karitatif ialah program bantuan langsung tunai (BLT) dan program bantuan beras untuk masyarakat miskin (Raskin). 2. Pendekatan program Dari segi pendekatannya, program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor masih terfokus pada aspek ekonomi. Program yang
95
dijalankan oleh pemerintah masih belum mampu untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan yang menimpa masyarakat dari segi kurangnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan besarnya potensi sumberdaya alam, sehingga program yang dijalankan tidak berhasil untuk mengurangi masyarakat
miskin.
Program
penanggulangan
kemiskinan
yang
mengedepankan pendekatan dari aspek ekonomi seperti LUEP, PKP, GMM, dan KUBE. Program-program tersebut terbukti tidak dapat menanggulangi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Bogor. Oleh karenanya, program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan pada aspek multidimensi dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan daerah tempat mereka tinggal. 3. Sasaran program Dari segi sasaran program, program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah di Kabupaten Bogor belum berhasil. Program yang menurut sebagian masyarakat miskin itu baik dan bermanfaat terkadang hanya akan menjadi proses pemiskinan kembali bagi mereka. Program yang salah dari segi sasaran sebagai contoh pemberian beras raskin, PUAP dan BLT. Khusus untuk program PUAP (program pengembangan agribisnis perdesaan), sebenarnya sangat baik untuk menanggulangi kemiskinan dikalangan petani diperdesaan, namun kenyataan dilapangan petani sulit untuk mengaksesnya dan tidak berani meminjam uang untuk pengembangan usaha taninya dikarenakan kesulitan untuk membayar hutangnya, juga lembaga keuangan kurang percaya untuk memberikan pinjaman kepada petani karena permasalahan agunan. Akhirnya yang terjadi adalah program PUAP tidak dinikmati oleh petani di desa, tetapi dinikmati oleh masyarakat yang memiliki warung untuk dijadikan tambahan modal. Program raskin dan BLT yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menanggulangi kemiskinan pun demikian, banyak terjadi kesalahan dalam hal sasaran. Kesalahan sasaran ini disebabkan oleh tidak adanya data yang up date seberapa banyak jumlah masyarakat miskin yang akan diberikan bantuan, sehingga seluruh masyarakat baik atau tidak miskin mendapatkan bantuan raskin dan BLT tersebut.
96
8.4 Prinsip-prinsip Penanggulangan Kemiskinan Berdasarkan pada hasil kajian Bappeda Kabupaten Bogor (2007), dinyatakan bahwa upaya melakukan penggulangan kemiskinan harus menganut pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut : 1. Keberpihakan. Prioritas kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin (pro poor) yang belum menerima pelayanan umum secara memadai berdasarkan kebutuhan masyarakat miskin sebagai penerima manfaat dan bukan asas pemerataan. Dengan demikian diharapkan masyarakat miskin akan menerima manfaat yang optimal. 2. Partisipatif. Keterlibatan aktif semua pihak terutama masyarakat miskin di desa-desa mulai dalam proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan pencapaian tujuan pembangunan 3. Berwawasan Gender. Semua kebijakan publik harus memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap gender yang merugikan pembangunan karena adanya ketidakseimbangan perhatian pembangunan terhadap perempuan dibanding laki-laki. Semua penduduk miskin baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki atau diberikan kesempatan yang sama (non diskriminatif), dan semua hambatan terhadap semua peluang ekonomi dan politik harus dihapuskan, sehingga semua penduduk miskin dapat berpartisipasi dan mendapat manfaat dan peluang yang sama, tanpa membedakan suku, agama, ras dan antar golongan, agar penanggulangan kemiskinan tidak bias pada kepentingan golongan tertentu. 4. Keberlanjutan. Keberlanjutan berarti semua sumberdaya harus dapat diperbaharui, harus ada kelanjutan dari satu kegiatan untuk kegiatan berikutnya, dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga tidak terputus. Demikian pula akses terhadap peluang atau kesempatan yang harus tersedia bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan dating.
Untuk
itu
harus
pula
memperhatikan
aspek
pemeliharaan,
pemanfaatan, dan pengembangan hasil-hasil pembangunan serta berwawasan lingkungan.
97
5. Pemberdayaan. Pemberdayaan diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan harus dilakukan secara terus menerus atau keberlanjutan. Pemberdayaan disini berarti juga bahwa pembangunan harus dilakukan oleh semua orang bukan semata-mata dilakukan untuk semua orang. semua orang harus berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dan proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. 6. Produktivitas. Manusia harus mampu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam mencari penghasilan dan lapangan kerja atau menciptakan lapangan kerja. Untuk meningkatkan produktivitas diperlukan teknologi
(Infrastruktur)
dan
skill
sumberdaya
manusiannya.
Guna
meningkatkan skill selain melalui pendidikan, lathan dan kursus-kursus, juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan manusiannya. Kesemuannya harus ditunjang dengan modal, oleh karena itu peningkatan produktivitas merupakan bagian dari pembangunan manusia. 7. Kebersamaan. Upaya penanggulangan kemiskinan diakui sebagai masalah fundamental dan multidimensi serta menjadi tanggungjawab bersama sehingga memerlukan keterlibatan aktif semua pihak, baik itu pemerintah, swasta maupun masyarakat, untuk itu harus dijalin kemitraan global dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan pencapaian tujuan pembangunan itu sendiri. 8. Keterbukaan. Keterbukaan perlu menjadi komitmen bersama semua pihak dalam
upaya
penanggulangan
kemiskinan
dan
pencapaian
tujuan
pembangunan yaitu mmelalui pelayanan penyediaan informasi bagi semua pihak termasuk masyarakat miskin. 9. Akuntabilitas. Perlu adanya proses dan mekanisme pertanggungjawaban atas segala kemajuan, hambatan, capaian, hasil dan manfaat, baik itu dari sudut pandang pemerintah maupun hasil real yang dialami masyarakat. 10. Sinergitas. Adanya sinergi, keterpaduan, dan keterkaitan seluruh kebijakan dan antar pelaku dalam penanggulangan kemiskinan dan pencapaian tujuan pembangunan.
IX. PERUMUSAN STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR
Perumusan alternatif strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu 1) Tahap masukan, yaitu dengan melakukan identifikasi faktor internal dan eksternal; 2) Tahap penggabungan; 3) Tahap pengambilan keputusan. Metode yang digunakan dalam merumuskan strategi adalah dengan menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) dan analisis QSPM (quantitative strategic planning matrix).
9.1 Analisis Faktor Internal dan Eksternal 9.1.1
Faktor Internal Faktor internal yang berpengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan di
Kabupaten Bogor terdiri dari Kekuatan (Strengths) dan Kelemahan (Weaknesses). Faktor yang termasuk dalam kekuatan yaitu 1) Lahan pertanian yang masih luas; 2) Adanya kelompok tani sampai ketingkat desa; 3) Terdapatnya komoditas unggulan; dan 4) Adanya program pemberdayaan ekonomi petani, sementara faktor yang termasuk dalam kelemahan yaitu 1) Terbatasnya modal; 2) Rendahnya kualitas SDM petani; 3) Terbatasnya aparatur pemerintah; dan 4) Minimnya sarana dan prasarana pertanian. Hal-hal tersebut merupakan faktor yang disepakati dalam FGD dengan responden di dua kecamatan.
Kekuatan : 1) Luas lahan pertanian yang di miliki petani Kabupaten Bogor dijadikan sebagai wilayah agraris memang tidak berlebihan. Hal ini disebabkan Kabupaten Bogor masih memiliki luas lahan pertanian yang masih berpotensi untuk dikembangkan. Pada tahun 2006, potensi luas lahan pertanian Kabupaten Bogor mencapai 149.748 Ha, meningkat pada tahun 2007 menjadi 180.898 Ha. Peningkatan luas potensi lahan pertanian ini terjadi karena ada program pembukaan lahan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah dan program reboisasi, kemudian pada tahun 2008 luas lahan pertanian mengalami penurunan menjadi 175.320 Ha. Penurunan luas lahan ini terjadi karena adanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan daerah
99
pertambangan di Kabupaten Bogor. Lahan pertanian yang masih luas di Kabupaten Bogor, menjadi kekuatan bagi petani untuk dapat keluar dari kemiskinan. Kemiskinan dapat menjadi berkurang jika luas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani dapat di optimalkan. Optimalisasi luas lahan pertanian menjadi produktif dan dapat dikelola dengan baik oleh petani sehingga dapat menghasilkan dan meningkatkan pendapatan petani, tentunya perlu upaya dan kerjasama antara petani dengan pihak pemerintah. Kecamatan Pamijahan memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.215 Ha, sementara Kecamatan Leuwiliang memiliki luas lahan pertanian sebesar 1.686 Ha. Luas lahan pertanian ini menjadi faktor kekuatan dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang terjadi di masyarakat kedua kecamatan tersebut. Semakin luas lahan yang dimiliki petani, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang diperoleh petani tersebut.
2) Adanya kelompok tani sampai ketingkat desa Kelompok tani merupakan perkumpulan dari para petani yang memiliki lahan dan tidak memiliki lahan (buruh tani) yang bergabung menjadi satu kesatuan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompoknya. Terdapat beberapa jenis kelompok tani yang dikelola oleh masyarakat petani baik yang memiliki lahan pertanian maupun yang tidak memiliki lahan pertanian, hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian bahwa kelompok tani ada yang berdasarkan lokasi persawahan itu berada, ada juga kelompok tani yang berdasarkan pada lokasi tempat tinggal petani. Di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang yang menjadi lokasi kajian ini terdapat kedua bentuk kelompok tani tersebut. Berbeda dengan petani zaman dahulu yang melakukan aktivitas pertanian secara sendiri-sendiri, tidak terkelola, sulit mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk meningkatkan produktivitas ataupun mendapatkan pencerahan/ ilmu dari para penyuluh pertanian, petani zaman sekarang sudah membentuk kelompok tani. Adanya kelompok tani sampai ketingkat desa ini akan lebih memudahkan para petani untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, terjadinya penanaman padi
100
secara bersamaan dan merupakan kekuatan bagi penanggulangan kemiskinan. Petani yang tidak memiliki modal dapat melakukan aktivitas pertanian dengan baik karena bibit, pupuk dan kebutuhan untuk bertaninya mendapatkan bantuan dari pemerintah atau pinjaman dari petani lain dalam kelompok tersebut. Oleh karenanya dalam kajian ini, adanya kelompok tani sampai ketingkat desa merupakan sebuah kekuatan dalam rangka penanggulangan kemiskinan dikalangan petani.
3) Terdapatnya komoditas unggulan Salah
satu
upaya
penanggulangan
kemiskinan
yaitu
dengan
mengembangkan komoditas unggulan yang terdapat pada wilayah tertentu. Berdasarkan pada hasil analisis LQ, komoditas unggulan yang terdapat di Kabupaten Bogor, khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang terdapat pada sektor pertanian, diantaranya komoditas padi sawah, palawija dan buahbuahan. Komoditas unggulan yang terdapat di Kecamatan Pamijahan berdasarkan hasil analisis LQ yaitu ubi jalar, padi sawah dan buah Jeruk Siam. Sementara komoditas unggulan yang terdapat di Kecamatan Leuwiliang yaitu tanaman padi sawah dan buah manggis. Terdapatnya komoditas unggulan pada dua kecamatan tersebut dapat menjadi basis program pengembangan ekonomi dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Upaya ini tentunya memerlukan dukungan dari semua
pihak
baik
pemerintah,
swasta
dan
masyarakat
untuk
konsen
mengembangkan komoditas tersebut. Komoditas unggulan ini merupakan kekuatan bagi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor khususnya pada dua kecamatan yang menjadi lokasi kajian.
4) Adanya program pemberdayaan ekonomi terhadap petani Program pemberdayaan ekonomi terhadap petani di Kabupaten Bogor sudah berjalan sampai ke tingkat desa walaupun belum optimal dan masih perlu dilakukan evaluasi. Program ini dikhususkan dalam rangka membantu masyarakat miskin dan merupakan stimulus kepada petani dalam upaya meningkatkan
101
kesejahteraannya. Berbagai pendekatan harus diupayakan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani melalui program pemberdayaan ekonomi. Pendekatan ekonomi yang diterapkan harus disinergikan dengan taraf dan spesifikasi sosio-kultural masyarakat, karena pada dasarnya ekonomi cenderung mengabaikan variabel sosio-kultural dalam proses analisisnya. Berbagai program telah dijalankan oleh pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor yaitu dengan menjalankan Program Gerakan Masyarakat Mandiri (GMM) yang merupakan program pemerintah Kabupaten Bogor dalam penanggulangan kemiskinan dengan memfasilitasi dan memberikan motivasi masyarakat miskin melalui peningkatan kemampuan dan penguatan modal, KUBE yang merupakan program pemerintah dalam upaya meningkatkan usaha ekonomi bersama masyarakat, Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang merupakan program khusus pemerintah dengan memberikan bantuan/ subsidi kepada para petani di desa-desa untuk mengembangkan sektor agribisnis, dan
Program Lembaga Usaha Ekonomi
Perdesaan (LUEP) yang merupakan program pemerintah dalam memberikan subsidi dan kredit untuk peningkatan masyarakat petani di desa dalam rangka peningkatan ekonomi. Inilah merupakan program yang mendampingi para petani dalam rangka mencapai kesejahteraannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa program-program tersebut merupakan kekuatan dalam upaya penanggulangan kemiskinan karena dengan program tersebut kondisi ekonomi para petani miskin dapat terbantu.
Kelemahan: 1. Terbatasnya modal Modal merupakan sesuatu yang amat penting bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan hasil pertanian. Modal memang tidak hanya berupa uang, dapat juga berupa lahan, pendidikan, alat pertanian dan lain sebagainya. Di kalangan petani modal identik dengan uang. Petani di desa untuk mengembangkan usaha pertaniannya sangat tergantung dengan uang, jika tidak memiliki uang maka usaha bertaninya tidak berjalan. Kondisi yang terjadi di
102
perdesaan adalah sedikit sekali petani yang mempunyai modal besar untuk mengembangkan usahanya. Keterbatasan modal menjadikan petani tidak berdaya untuk mengembangkan jati dirinya yang membawa dampak terhambatnya petani kearah perbaikan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang standar. Petani sering kali menjalankan usaha pertaniannya dengan meminjam modal kepada pemerintah dan lembaga ekonomi untuk dapat membeli bibit atau membeli pupuk. Keterbatasan dana bantuan dan masih minimnya tingkat kepercayaan lembaga keuangan kepada petani menyebabkan mereka enggan untuk memberikan pinjaman kepada para petani, apalagi petani tidak memiliki agunan sebagai jaminan. Akhirnya, tidak sedikit diantara mereka berhutang bibit dan pupuk yang kemudian dibayar setelah panen tiba. Kondisi ini yang menyebabkan usaha pertanian di perdesaan tidak kunjung berkembang dan kesejahteraan dikalangan petani sulit dicapai, sehingga keberadaan modal menjadi amat penting bagi petani, sehingga tidak adanya modal dikalangan petani menjadi sesuatu kelemahan yang perlu diatasi dalam rangka penanggulangan kemiskinan
2. Rendahnya Kualitas SDM Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa petani memiliki kualitas sumberdaya manusia yang rendah. Hal ini berkaitan dengan kondisi perdesaan yang jauh dari akses teknologi dan ilmu pengetahuan. Rendahnya kualitas sumberdaya
manusia
menjadi
salah
satu
bentuk
kelemahan
dalam
penanggulangan kemiskinan. Penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia dikalangan petani disebabkan tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya keterampilan dikalangan petani. Keterbatasan pendidikan dan keterampilan memiliki pengaruh yang besar dalam tatanan kehidupan sosial dikalangan petani perdesaan. Petani yang pendidikan dan keterampilannya rendah akan mengakibatkan keterbelakangan, kebodohan dan tentunya kemiskinan. Faktor peningkatan sumberdaya manusia amat penting dalam penanggulangan kemiskinan. Banyak cara yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor untuk menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan pendidikan diantaranya yaitu 1) Membangun sarana dan
103
prasarana pendidikan dengan pembangunan gedung sekolah, penyediaan buku, perpustakaan keliling, penyediaan asrama dan penyediaan biaya operasional sekolah; 2) Pemberian beasiswa atau subsidi biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu; dan 3) Meminimalisasi pungutan-pungutan sekolah terutama bagi siswa tidak mampu.
3. Terbatasnya Aparatur Pemerintah Kelemahan yang dimiliki oleh petani di perdesaan salah satunya adalah terbatasnyan aparatur pertanian (pemerintah) di tingkat kecamatan. Zaman dahulu aparatur pemerintah yang menangani para petani di perdesaan disebut sebagai “mantri tani” atau mantri desa. Peran dari manteri tani amat bermanfaat bagi masyarakat terutama untuk para petani. Mereka memberikan pengetahuan mengenai pertanian, penyuluhan kepada masyarakat, berkecimpung dalam aktivitas pertanian di desa bahkan sebagian besar dari mereka rela tinggal di desa untuk mengabdikan dirinya. Adanya manteri tani ini menjadikan petani cerdas informasi dan memahami akan keterampilan yang perlu di miliki. Berdasarkan data dan hasil wawancara dengan para petani di dua kecamatan, ternyata petani masih membutuhkan banyak penyuluh pertanian di desa. Di Kecamatan Pamijahan terdapat 3 orang aparatur/penyuluh PNS yang menangani 15 desa,
dan di Kecamatan Leuwiliang terdapat 4 orang aparat/
penyuluh PNS yang menangani 11 desa, jika di hitung pembagian tugasnya ratarata 1 orang penyuluh menangani 3-5 desa. Kondisi ini memang tidak ideal, padahal dari program pemerintah mentargetkan 1 desa 1 penyuluh. Keterbatasan dari aparatur pertanian ini menyebabkan tidak semua petani dapat di bina oleh penyuluh atau aparat pemerintah. Hal ini menandakan bahwa kurangnya jumlah penyuluh pertanian/ aparatur pemerintah di desa menjadi kelemahan dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor.
4. Minimnya sarana dan prasarana pertanian Sarana dan prasarana pertanian bagi petani merupakan sesuatu yang penting. Tanpa sarana dan prasarana yang memadai, maka hasil panen para petani
104
tidak dapat terjual ke kota-kota besar sehingga pendapatan petani tidak akan meningkat. Perlunya sarana seperti jalan, alat teknologi, pasar dan sebagainya, akan menentukan dan mempengaruhi daya jual hasil tani mereka. Seperti yang di ketahui bersama bahwa sifat dari hasil pertanian adalah cepat rusak, cepat busuk dan jika tidak di tangani dengan cepat maka tidak akan terjual. Oleh karenanya perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana untuk menunjang peningkatan produktivitas pertanian di perdesaan. Di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Leuwiliang sarana pertanian yang ada berupa traktor, alat penggiling padi, tempat penampungan pupuk masih terbatas. Masih ada petani di pedalaman yang menggunakan kerbau untuk membajak, menggunakan “halu” (alat tumbuk padi) untuk menumbuk padi setelah panen. Kondisi transportasi untuk membawa hasil panen ke pasar dan keluar kota untuk dijual masih belum memadai (banyak jalan yang bolong, sempit, jauh dari pusat kota), sehingga sarana dan prasarana merupakan kelemahan yang terdapat di kalangan petani dalam upaya penanggulangan kemiskinan. 9.1.2
Faktor Eksternal Berdasarkan hasil wawancara dan FGD dengan responden di dua
kecamatan, maka terdapat beberapa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan di tingkat masyarakat petani di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil dari kuisioner dan wawancara kepada stakeholder faktor eksternal terdiri dari faktor Peluang (Opportunity) dan faktor Ancaman (Treathment.) Faktor peluang terdiri dari 1) Adanya komitmen pemerintah mengenai penanggulangan kemiskinan; 2) Besarnya potensi sumberdaya alam pertanian; 3) Adanya program pemerintah dalam penenggulangan kemiskinan; dan 4) Otonomi daerah, sedangkan yang termasuk dalam faktor ancaman terdiri dari 1) Adanya krisis ekonomi; 2) Adanya alih fungsi lahan; 3) Rendahnya kepercayaan masyarakat petani kepada perbankan; dan 4) Adanya kesalahan persepsi masyarakat petani dalam mengartikan bantuan pemerintah.
105
Peluang: 1. Komitmen pemerintah mengenai penanggulangan kemiskinan Kemajuan suatu daerah terlihat dari seberapa besar komitmen pemerintah dalam melaksanakan apa yang telah dijanjikan pada saat kampanye pemilihan kepala daerah. Janji itu merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan dan merupakan bentuk komitmen yang harus dijalankan. Tingkat kemajuan suatu daerah salah satunya ditandai dengan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin yang ada didaerah tersebut. Di Kabupaten Bogor yang menjadi salah satu komitmen kepala daerah adalah mengenai persoalan pemberantasan kemiskinan. Hal yang dijadikan komitmen yaitu melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, peningkatan kemampuan daya beli masyarakat, pemenuhan pelayanan dasar, terutama infrastruktur wilayah untuk percepatan pembangunan pada setiap wilayah, pemberian subsidi modal usaha, dan lain-lain. Adanya komitmen tersebut diatas merupakan peluang untuk penanggulangan kemiskinan di masyarakat. 2. Besarnya potensi sumberdaya alam pertanian Besarnya potensi sumberdaya alam pertanian akan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat jika dimanfaatkan dan dikembangkan dengan profesional. Kabupaten Bogor memiliki sumberdaya alam pertanian yang masih luas dan jika dioptimalkan akan menjadi sebuah peluang besar untuk penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan data dari Dinas pertanian dan kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2006, terdapat beberapa luasan potensi sumberdaya alam pertanian yaitu potensi luas lahan pertanian sebesar 149.748 Ha, potensi luas lahan perkebunan sebesar 29.857 Ha, potensi luas lahan kehutanan sebesar 108.033 Ha dan potensi luasan lahan pertanian lainnya sebesar 29.462 Ha. Sementara di Kecamatan Pamijahan terdapat luas panen dari semua potensi sebesar 16.521 Ha dan di Kecamatan Leuwiliang sebesar 18.543 Ha. Dilihat dari data tersebut, maka peluang untuk melakukan penanggulangan kemiskinan melalui sektor pertanian sangat mungkin untuk dilakukan. Dalam kajian ini, potensi sumberdaya alam menjadi peluang untuk memberantas kemiskinan di Kabupaten Bogor.
106
3. Adanya program penanggulangan kemiskinan Penanggulangan kemiskinan di perdesaan perlu terus dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor, khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang diperlukan suatu program yang tepat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa program untuk penanggulangan kemiskinan di dua kecamatan ini yang pernah dan sedang berjalan yaitu program Raskin, GMM, LUEP, KUBE, bahkan ada program langsung dari departemen pertanian yang disebut SMD (sarjana membangun desa) dan LM3 yang salah satunya bertujuan untuk peningkatan kualitas SDM dan ekonomi petani dimasing-masing desa, hanya saja perlu evaluasi dan peningkatan dari kualitas program tersebut karena ini merupakan peluang bagi masyarakat petani untuk keluar dari lingkaran kemiskinan Beberapa program kemiskinan yang sudah berjalan di Kabupaten Bogor belum memenuhi sasaran dan target yang diharapkan. Menurut Bappeda Kabupaten Bogor (2007), terdapat beberapa kelemahan terhadap program penanggulangan kemiskinan diantaranya : 1) Kebijakan program penanggulangan kemiskinan masih bersifat sentralistik dan top down dan tidak dikaji berdasarkan kebutuhan lokasi tertentu; 2) Koordinasi antar dinas sektoral masih rendah dalam merencanakan, melaksanakan, memelihara program pembangunan; 3) Monitoring dan evaluasi program di lapangan masih kurang, sehingga sering kali terjadi tumpang tindih program; dan 4) Saluran penanganan dan pengaturan masalah masih belum berjalan sebagaimana mestinya. 4. Otonomi Daerah Terjadinya otonomi daerah di Kabupaten Bogor merupakan sebuah peluang bagi pemerintah
daerah
untuk
memanfaatkan,
mengelola dan
mengembangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Hal ini menjadi sebuah peluang bagi daerah untuk melakukan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pembangunan yang dilaksanakan pada era otonomi daerah ini diharapkan dapat menanggulangi kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Otonomi daerah, akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam menentukan nasibnya sendiri, artinya
107
pemerintah
daerah
pembangunan
bisa
pertanian,
mengukur
target-target
penciptaan
lapangan
pembangunan kerja,
untuk
termasuk mencapai
kesejahteraan. Oleh karenanya diharapkan dengan adanya otonomi daerah di Kabupaten Bogor merupakan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin yang selama ini belum optimal dengan program yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Ancaman : 1. Adanya krisis ekonomi Indonesia merupakan negara berkembang yang rentan dengan krisis ekonomi. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997 membuat masyarakat miskin menjadi bertambah. Krisis ekonomi menyebabkan kondisi perekonomian Indonesia carut-marut, tidak terkendali, terjadi inflasi yang menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok meningkat dan daya beli masyarakat menurun. Krisis ini berdampak pada semua sektor kehidupan masyarakat yang implikasinya sampai kepada masyarakat yang tinggal di perdesaan termasuk masyarakat petani. Adanya krisis ekonomi di Indonesia dipastikan kondisi para petani kesulitan untuk bercocok tanam, karena tidak mampu membeli pupuk, tidak terbelinya bibit sehingga lahan dan sawah mereka menjadi lahan kosong yang terlihat tanpa tuan dan tidak termanfaatkan. Krisis ekonomi menjadi ancaman yang suatu saat dapat menimpa bangsa ini, termasuk di Kabupaten Bogor. 2. Adanya alih fungsi lahan Terjadinya alih fungsi lahan secara berlebihan dan tidak sesuai peruntukannya akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. Pengalihan lahan pertanian menjadi industri atau menjadi lahan pemukiman menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat petani Kabupaten Bogor. Alih fungsi lahan dapat menimbulkan berbagai kerugian jika dilakukan secara besar-besaran yang dapat berpotensi menyebabkan bencana alam seperti tanah longsor, banjir, erosi, polusi dan lain-lain. Bagi para petani terjadinya alih fungsi lahan akan menyebabkan berkurangnya lahan pertanian yang dapat menyebabkan berkurangnya pendapatan
108
petani. Di Kabupaten Bogor, memang terlihat lahan pertanian masih cukup luas untuk para petani, namun jika terjadi alih fungsi dapat menjadi bencana pangan. Seperti terlihat di Wilayah Bogor Timur, yang hampir semua lahan berubah menjadi pemukiman dan pabrik industri, sehingga untuk kebutuhan pangan perlu mendatangkan dari wilayah lain khususnya didatangkan dari Wilayah Bogor Barat. Alih fungsi lahan menjadi ancaman bagi petani, semakin besar terjadinya alih fungsi lahan, kemiskinan dikalangan petani semakin besar. 3. Rendahnya kepercayaan masyarakat petani kepada perbankkan Citra pertanian belum mendapatkan posisi yang baik disebagian kalangan masyarakat, khususnya di kalangan perbankkan. Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan usaha pertanian, para petani membutuhkan modal untuk memperbesar skala usaha pertanian. Namun, seringkali kesulitan dalam memenuhi kebutuhan modal. Seperti kasus yang terjadi di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, petani disana sulit mendapat pinjaman dari bank, hal ini disebabkan oleh rendahnya kepercayaan perbankkan kepada petani dan tidak adanya agunan dari petani untuk meminjam uang untuk modal bertani kepada pihak bank, sehingga bank sulit memberikan pinjaman. Akhirnya banyak para petani meminjam uang ke bank keliling untuk membeli pupuk dan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal ini menjadi ancaman bagi petani, karena dapat menyebabkan terjerembabnya mereka ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Rendahnya kepercayaan perbankkan kepada petani menjadi ancaman bagi kemajuan petani di perdesaan. 4. Adanya kesalahan persepsi dari para petani dalam mengartikan bantuan pemerintah Dalam rangka memudahkan petani untuk bercocok tanam, pemerintah Kabupaten Bogor melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan melakukan beberapa program untuk memenuhi kebutuhan petani dalam rangka bercocok tanam. Namun terkadang para petani mensalah artikan bantuan program yang diberikan pemerintah tersebut. Studi kasus seperti yang terjadi di Kecamatan Pamijahan, ada
109
program PUAP yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada para petani berupa dana
bantuan subsidi untuk keperluan pupuk petani. Namun pada
kenyataannya dana tersebut diperuntukan untuk hal-hal yang lain, seperti pinjaman untuk mengembangkan warung makanan cemilan. Selain itu juga banyak para petani tidak mengembalikan uang itu dengan alasan bahwa dana tersebut dari pemerintah dan sifatnya gratis. Ini sebagai contoh kesalahan persepsi yang terjadi, sehingga akan menjadi ancaman bagi program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor yang dapat menyebabkan tingkat keberhasilan program penanggulangan kemiskinan sulit dilakukan. 9.1.3
Evaluasi Faktor Internal (IFE) Evaluasi faktor internal atau Internal Factor Evaluation (IFE) merupakan
hasil dari identifikasi faktor – faktor strategi internal berupa kekuatan dan kelemahan yang berpengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan masyarakat petani di Kabupaten Bogor. Hasil evaluasi faktor internal berdasarkan jawaban dari responden dan diperoleh nilai dan bobot serta rating di masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan. Matriks evaluasi faktor internal secara lengkap disajikan pada tabel 45 Tabel. 45 Matriks IFE dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor. NO 1 2 3 4
1 2 3 4
VARIABEL KEKUATAN Lahan pertanian yang masih luas Adanya Kelompok tani sampai ke desa Terdapatnya Komoditas Unggulan Adanya program pemberdayaan ekonomi masyarakat petani KELEMAHAN Terbatasnya modal Rendahnya kualitas SDM petani Terbatasnya aparatur pemerintah Minimnya sarana dan prasarana pertanian JUMLAH
BOBOT
RATING
SKOR
0,136 0,141 0,150
4 4 4
0,543 0,564 0,600
0,125
4
0,500
0,118 0,091 0,125 0,114
2 2 2 3
0,236 0,182 0,250 0,343
1,000
3,218
Berdasarkan pada Tabel 45 terlihat bahwa kekuatan yang mempunyai pengaruh atau tingkat kepentingan yang relatif tinggi dalam penanggulangan
110
kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah 1) Terdapatnya komoditas unggulan, dan 2) Adanya kelompok tani sampai ketingkat desa. Sementara faktor kelemahan yang relatif mempengaruhi yaitu 1) Minimnya sarana dan prasarana pertanian, 2) Terbatasnya modal dan, 2) Rendahnya kualitas SDM petani. Hasil peringkat dari evaluasi faktor internal menunjukkan
bahwa
keseluruhan faktor kekuatan mendapatkan penilaian peringkat tertinggi dengan nilai peringkat rata-rata 4, artinya bahwa lahan pertanian yang masih luas, adanya kelompok tani sampai ketingkat desa, terdapatnya komoditas unggulan dan adanya program pemberdayaan ekonomi pemerintah pengaruhnya sangat kuat dalam penanggulangan kemiskinan
di Kabupaten Bogor. Penilaian peringkat
pada faktor internal yang menjadi kelemahan adalah minimnya sarana dan prasarana pertanian dengan skor 3, terbatasnya modal, rendahnya kualitas SDM petani dan terbatasnya aparatur pemerintah dengan mendapatkan nilai peringkat 2. Hal ini artinya bahwa ketiga hal tersebut merupakan faktor yang lemah (tingkat pengaruh sedang) dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Skor tertimbang yang dihasilkan dari matrik ini adalah sebesar 3.218 yang menunjukkan bahwa secara internal respon yang tinggi terhadap penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor dan membutuhkan strategi penanggulangan kemiskinan yang baik. 9.1.4
Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Evaluasi faktor eksternal atau Eksternal Factor Evaluation (EFE)
merupakan hasil dari identifikasi faktor – faktor strategi eksternal berupa peluang dan ancaman yang berpengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hasil evaluasi faktor eksternal berdasarkan jawaban dari responden dan diperoleh nilai dan bobot serta rating di masing-masing faktor peluang dan ancaman. Dari hasil analisis EFE terlihat bahwa faktor peluang yang mempunyai pengaruh atau tingkat kepentingan yang relatif tinggi dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah 1) Adanya komitmen pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan, 2) Besarnya Potensi Sumberdaya Alam pertanian, dan 3) Otonomi daerah. Sementara faktor ancaman yang memiliki kepentingan relatif tinggi adalah 1) Adanya alih fungsi lahan.
111
Secara umum dapat terlihat pada matriks evaluasi faktor eksternal seperti terlihat pada Tabel 46. Tabel. 46 Matriks EFE dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor. NO 1 2 3 4 1 2 3 4
VARIABEL PELUANG Adanya komitmen pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan Besarnya potensi sumberdaya alam pertanian Adanya program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan Otonomi daerah ANCAMAN Adanya Krisis ekonomi Adanya Alih fungsi lahan Rendahnya kepercayaan kepada perbankan Adanya Kesalahan Persepsi dalam mengartikan bantuan pemerintah JUMLAH
BOBOT
RATING
SKOR
0,130
4
0,521
0,109
3
0,327
0,113
3
0,338
0,123
4
0,493
0,107 0,146
2 3
0,214 0,439
0,129
2
0,257
0,143
2
0,286
1,000
2,875
Hasil peringkat dari evaluasi faktor eksternal diatas menunjukkan bahwa faktor peluang yaitu Komitmen pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan, besarnya potensi sumberdaya alam dan otonomi daerah mendapat peringkat dengan nilai rata-rata 4. Hal ini menunjukkan bahwa faktor peluang tersebut pengaruhnya sangat kuat terhadap penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Penilaian peringkat pada faktor eksternal yang menjadi ancaman adalah adanya alih fungsi lahan yang mendapatkan nilai peringkat 3. Hal ini menunjukkan bahwa adanya alih fungsi lahan merupakan faktor ancaman yang kuat pengaruhnya dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Skor tertimbang yang dihasilkan dari matrik ini adalah sebesar 2.875 yang menunjukkan bahwa secara eksternal faktor peluang dan ancaman dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor direspon dengan sedang, sebagaimana dalam Gambar 9.
112
TOTAL FAKTOR STRATEGI INTERNAL KUAT 4,0
3,0
RATA-RATA 2,0
LEMAH 1,0
TINGGI I
II
III
3,0 TOTAL SKOR FAKTOR MENENGAH STRATEGI EKSTERNAL
IV
V
VI
VIII
IX
2,0
RENDAH
VII
1,0 Gambar. 9 Analisis Internal- Eksternal dari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor
9.2 Perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Tahap selanjutnya dalam perumusan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah dengan memindahkan matrik IFE dan EFE ke matrik SWOT. Tujuan matrik ini adalah untuk memperoleh alternatif strategi penanggulang kemiskinan di Kabupaten Bogor. Dari hasil analisis SWOT yang dilakukan di dapat sembilan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor yang terdiri dari dua startegi S-O, empat Strategi S-T, dan tiga Strategi WO, sebagai berikut : 1. Strategi S-O Strategi S-O (strategi agresif) merupakan strategi yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh dua strategi S-O yaitu Pertama, Meningkatkan kualitas pendampingan kepada kelompok tani. Alternatif strategi ini menggunakan kekuatan adanya kelompok tani sampai ketingkat desa, sehingga dengan kekuatan ini akan dapat memanfaatkan peluang akan adanya komitmen pemerintah daerah
113
dalam penanggulangan kemiskinan dan mendukung program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Kedua, pengembangan potensi lahan pertanian dan usaha ekonomi petani. Alternative strategi ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan berupa luasan lahan pertanian yang masih cukup besar, adanya komoditas unggulan dan adanya program pemberdayaan ekononomi dari pemerintah daerah. Alternative strategi ini dapat memanfaatkan peluang yang dimiliki oleh Kabupaten Bogor berupa potensi sumberdaya alam pertanian yang masih luas dan otonomi daerah yang terjadi di Kabupaten Bogor yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk bebas dari kemiskinan. 2. Strategi S - T Strategi S-T (strategi diversifikasi) dimaksudkan dengan kekuatan yang dimiliki untuk dapat mengatasi ancaman. Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh empat strategi S-T. yaitu : Pertama, Mengembangkan komoditas unggulan pertanian yang dimiliki oleh petani. Hal ini dilakukan karena petani di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang memiliki berbagai komoditas unggulan pertanian terutama tanaman ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis. Kekuatan lain yang dimiliki juga yaitu adanya program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Alternative strategi ini dilakukan untuk menghadapi ancaman terjadinya pengangguran akibat kurangnya lapangan pekerjaan jika terjadi krisis ekonomi. Alternative strategi Kedua yaitu Meningkatkan kemitraan dengan dunia usaha terutama perbankan. Alternative strategi ini dilakukan untuk menghadapi ancaman jika terjadi krisis ekonomi dan juga untuk membuktikan kepada perbakan bahwa petani dapat bermitra dengan dunia usaha dari swasta sehingga dapat meminimalisir rendahnya kepercayaan perbankan kepada petani. Alternative strategi ketiga yaitu mensosialisasikan program pemerintah secara intensif kepada petani. Alternative strategi ini dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan persepsi terhadap bantuan yang diberikan pemerintah kepada petani, agar bantuan tersebut tepat guna dan tepat sasaran. Keempat membuat kebijakan sistem tata ruang yang berpihak kepada petani. Alternative strategi ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman atau daerah industri, sehingga lahan
114
pertanian yang dimiliki oleh petani terlindungi oleh aturan dan hokum yang dibuat oleh pemerintah. 3. Strategi W-O Strategi W-O (strategi orientasi putar balik) diperoleh dari memanfaatkan peluang yang dimiliki dalam upaya untuk dapat mengatasi kelemahan yang ada. Dari hasil analisis SWOT diperoleh tiga alternative strategi, diantaranya adalah membuat kebijakan anggaran pemerintah yang berpihak kepada petani, peningkatan kualitas SDM petani dan peningkatan sarana dan prasarana pertanian. Dengan peluang yang ada akan dapat mengatasi masalah permodalan usaha petani, meningkatkan kualitas SDM petani, penambahan aparatur pertanian serta dapat meningkatkan sarana dan prasarana pertanian untuk mendukung terciptanya kesejahteraan bagi petani. Dari berbagai strategi alternatif yang didapat, terdapat 9 rumusan strategi penanggulangan kemiskinan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. kesembilan strategi tersebut merupakan hasil dari analisis SWOT yang di dahului oleh analisis IFE dan EFE. Secara umum strategi alternatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 47. Dari tabel 47 dapat dilihat bahwa terdapat 9 strategi alternatif untuk penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Strategi S-O memiliki 2 strategi, strategi S-T memiliki 4 strategi dan strategi W-O memiliki 3 strategi. Sembilan strategi yang dihasilkan dari hasil analisis SWOT ini merupakan strategi alternatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah berdasarkan prioritas dan dapat dijalankan secara bersamaan. Startegi yang telah dihasilkan dari analisis SWOT terhadap responden di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang ini akan diusulkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Bogor untuk dijadikan sebagai program penanggulangan kemiskinan yang dapat di uji cobakan kepada masyarakat dan dimasukkan kedalam program resmi pemerintah daerah.
115
Tabel. 47 Matrik SWOT Perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang (Opportunities) O1 : Adanya Komitmen pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan O2 : Besarnya potensi Sumberdaya alam pertanian O3 : Adanya Program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan O4 : Otonomi daerah Ancaman (Threats) T1 : Adanya krisis ekonomi T2 : Adanya alih fungsi lahan T3 : Rendahnya kepercayaan kepada perbankkan T4 : Adanya kesalahan persepsi dalam memaknai bantuan pemerintah.
Kekuatan (Strengths) S1 : Lahan Pertanian yang masih cukup luas S2 : Adanya Kelompok tani sampai ke desa S3 : Terdapatnya Komoditas ungggulan S4 : Adanya program pemberdayaan ekonomi
Kelemahan (Weaknesses) W1 : Terbatasnya Modal W2 : Rendahnya kualitas SDM petani W3 : Terbatasnya aparatur pemerintah W4 : Minimnya sarana dan prasarana pertanian.
(S – O) 1. Peningkatkan kualitas pendampingan kepada kelompok tani (S1,S2,O1,O3) 2. Pengembangan potensi lahan pertanian dan usaha ekonomi petani (S3,S4,O2,O4)
(W – O) 1. Membuat kebijakan sistem anggaran pemerintah yang berpihak kepada petani (W1,O1) 2. Peningkatan kualitas SDM petani (W2,O3,O4) 3. Peningkatan sarana dan prasarana pertanian (W3,W4, O2)
(S – T) 1. Pengembangan komoditas unggulan (S3,S4,T1) 2. Peningkatan kemitraan dengan dunia usaha (S3,S4,T1,T3) 3. Sosialisasi program pemerintah secara intensif (S4,T4) 4. Membuat kebijakan sistem tata ruang yang berpihak kepada petani (T2)
(W – T) -
9.3 Penentuan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Analisis SWOT telah menghasilkan sembilan rumusan strategi yang harus ditentukan strategi mana yang menjadi strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Penetuan strategi penanggulangan kemiskinan merupakan tahap selanjutnya dari perumusan strategi dengan menggunakan analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Analisis ini ditujukan untuk menentukan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analsisis QSPM dilakukan dengan cara memberikan nilai kemenarikan relatif (attractive score = AS) pada masing-masing faktor internal maupun eksternal. Setelah dilakukan perhitungan nilai TAS sebagaimana terdapat pada lampiran, maka diperoleh hasil QSPM sebagaimana disajikan dalam Tabel 48.
116
Tabel. 48 Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor. No
Strategi
Skor
Ranking
1
Peningkatan kualitas pendampingan kepada kelompok tani
7,211
7
2
Pengembangan potensi lahan pertanian dan usaha ekonomi petani
7,398
6
3
Pengembangan komoditas unggulan
7,654
2
4
Peningkatan kemitraan dengan dunia usaha
6,884
9
5
Sosialisasi program pemerintah secara intensif
7,479
5
6
Membuat kebijakan sistem tataruang yang berpihak kepada petani
7,039
8
7
Membuat kebijakan sistem anggaran pemerintah yang berpihak kepada petani
7,582
4
8
Peningkatan kualitas SDM petani
7,739
1
9
Peningkatan sarana dan prasarana pertanian
7,632
3
Dari Tabel 48 diperoleh prioritas kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor sebagai berikut : 1. Peningkatan kualitas SDM petani. 2. Pengembangan komoditas unggulan. 3. Peningkatan sarana dan prasarana pertanian. 4. Membuat kebijakan sistem anggaran pemerintah yang berpihak kepada petani. 5. Sosialisasi program pemerintah secara intensif. 6. Pengembangan potensi lahan pertanian dan usaha ekonomi petani. 7. Peningkatan kualitas pendampingan kepada kelompok tani. 8. Membuat kebijakan sistem tataruang yang berpihak kepada petani. 9. Peningkatan kemitraan dengan dunia usaha. Dari hasil analisis QSPM diatas, strategi peningkatan kualitas SDM petani, memiliki nilai kemenarikan (attractive score) yang tertinggi, yaitu 7.739. Keseluruhan strategi yang dihasilkan dari analisis QSPM diatas dapat diimplementasikan secara tidak berurutan maupun pada waktu yang berbeda karena semua strategi tersebut mempunyai kepentingan yang sama yaitu dalam rangka penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor.
117
Strategi-strategi tersebut merupakan strategi alternatif yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam rangka melengkapi strategi penanggulangan kemiskinan di kalangan petani yang sudah ada. Strategi tersebut merupakan
saran
yang
dapat
di
aplikasikan
dalam
bentuk
program
penanggulangan kemiskinan dikalangan petani di Kabupaten Bogor. 9.4 Perancangan Program Penanggulangan Kemiskinan Perancangan program penanggulangan kemiskinan merupakan bentuk implementasi dari strategi yang diperoleh dari hasil analisis internal-eksternal dan analisis QSPM. Berdasarkan pada analisis internal – eksternal, maka strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor masuk pada divisi tumbuh dan bina atau divisi IV, dengan menerapkan strategi intensif dan integratif pada program-programnya.
Secara
umum
perancangan
strategi
dan
program
penanggulangan kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 49. Strategi dan Program 1. Peningkatan kualitas SDM petani di wilayah Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Program : a. Peningkatan program penyuluhan kepada petani dan kelompok tani di perdesaan. Program ini dengan memberikan penyuluhan kepada para petani dan kelompok tani secara berkala sesuai dengan kebutuhan para petani yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan para petani akan informasi yang baik dan terkini mengenai tatacara bertani yang benar, seperti kebijakan pertanian yang dikeluarkan oleh departemen pertanian dan pemerintah daerah, hasil penelitian, cara pemupukan yang benar, jenis pupuk yang tepat, macam-macam penyakit tanaman, cara penanggulangan penyakit, dan lain-lain. b. Mengadakan pelatihan bercocok tanam dan mengelola lahan pertanian dengan menggunakan alat teknologi. Program ini dilaksanakan dengan mengundang pakar, trainer, penyuluh pertanian guna meningkatkan keterampilan para petani dalam mengelola tanaman dan lahan pertanian
118
secara modern. Program ini dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan petani. Di kecamatan pamijahan dan leuwiliang yang perlu di lakukan adalah pelatihan menggarap lahan, menanam padi sawah, manggis dan beternak ikan. Sehingga perlu mendatangkan pakar-pakar yang berkaitan dengan tanaman padi sawah, manggis dan ikan. c. Reward studi petani berprestasi. Program ini dilakukan dengan membangun
budaya
kompetisi
dikalangan
petani.
Yaitu
dengan
memberikan rangsangan dan penghargaan kepada petani yang berprestasi (teladan) dengan menyeleksi secara ketat dengan criteria tertentu dan memberikan pendidikan gratis kepada mereka untuk dilatih di kampus terkemuka atau studi banding keluar negeri. d. Pemberian beastudi dan penyediaan buku-buku praktis untuk anak petani sebagai generasi penerus yang lebih berkualitas. Program ini berupa dana subsidi (besiswa) dan buku untuk mendukung pendidikan anak petani sehingga mereka bisa sekolah dan mengenyam pendidikan lebih tinggi untuk meningkatkan kualitas dirinya. Ini dilakukan secara selektif hanya kepada petani yang berprestasi 2. Pengembangan komoditas unggulan a. Fokus mengembangkan tanaman ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis. Dengan memanfaatkan lahan yang ada untuk ditanami ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Para petani harus fokus melakukan proses produksi yang benar dengan dukungan pemerintah sampai kepada menyiapkan pasar untuk menjual hasil panen. b. Melakukan penanaman, pemupukan dan pemanenan secara serempak untuk memudahkan pengelolaan, memudahkan menangani penyakit dan meningkatkan produksi c. Membuat pasar yang dapat dijangkau oleh para petani untuk dapat menjual hasil panennya.
119
d. Memberikan dana stimulan kepada petani ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis dalam memperluas usaha pertaniannya dan memperbesar produksi. 3. Peningkatan sarana dan prasarana pertanian. a. Menyediakan alat-alat pertanian modern sampai ketingkat kelompok tani di perdesaan seperti traktor, PH meter, dan lain-lain untuk mendukung usaha pertanian. b. Membuat infrastruktur jalan untuk mengangkut hasil pertanian yang akan di pasarkan. c. Menambah jumlah penyuluh pertanian yang selama ini dirasakan kurang oleh para petani dan kelompok tani yang ada di pamijahan dan leuwiliang. Harus mencapai perbandingan “satu desa satu penyuluh” sesuai program dari departemen pertanian d. Membangun pasar pertanian yang khusus menjual hasil pertanian dan menyediakan kebutuhan petani (pupuk, alat-alat pertanian, dll) 4. Membuat kebijakan sistem anggaran pemerintah yang berpihak kepada petani. a. Membuat perda atau keputusan kepala daerah mengenai seberapa besar idealnya
alokasi
anggaran
APBD
untuk
sektor
pertanian
yang
menguntungkan dan berpihak kepada petani untuk mendukung kemajuan sektor pertanian b. Memberikan subsidi modal atau dana stimulan kepada para petani yang ingin mengembangkan usaha pertaniannya terutama pada petani padi sawah, manggis dan ikan. 5. Sosialisasi program pemerintah secara intensif a. Bekerjasama dengan pemerintah desa, media massa baik cetak (koran, majalah pertanian) maupun elektronik (RRI) untuk mensosialisasikan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. b. Memasang alat sosialisasi seperti spanduk, stiker, leaflet, dll untuk mensosialisasikan program kepada masyarakat sampai ketingkat desa. c. Optimalisasi pertemuan berkala dengan para petani dan kelompok tani di masing-masing wilayah BP3K dengan cara mengadakan kunjungan ke
120
wilayah perdesaan yang bertujuan untuk mensosialisasikan program penanggulangan klemiskinan yang akan dan sedang dilakukan oleh pemerintah kepada para petani di perdesaan. 6. Pengembangan potensi lahan pertanian dan usaha ekonomi petani. a. Membuka lahan kritis sebagai upaya untuk mengembangkan lahan pertanian produktif. b. Mengaktifkan kembali lembaga ekonomi simpan pinjam atau kredit semisal KUK dan mendirikan lembaga keuangan pertanian untuk mendukung permodalan para petani dalam meningkatkan produksi sehingga petani dapat meminjam modal dilembaga tersebut. c. Membangun dan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian. Hal ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan nilai tambah produksi pertanian para petani yang ada di Kabupaten Bogor. 7. Peningkatan kualitas pendampingan kepada kelompok tani a. Mengadakan pelatihan berkala kepada para penyuluh pertanian untuk dapat meningkatkan kualitas dan pengetahuan para penyuluh b. Menetapkan waktu secara berkala untuk mengatur pertemuan antara kelompok tani dengan para penyuluh pertanian agar dapat meningkatkan kualitas pendampingan dan semangat para petani. 8. Membuat kebijakan sistem tataruang yang berpihak kepada petani a. Menyempurnakan perda yang sesuai dan bertujuan untuk melindungi lahan pertanian yang ada dan kemajuan petani, atau berupa keputusan kepala daerah yang mendukung usaha pertanian para petani b. Memberikan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar tataruang di Kabupaten Bogor terutama mengenai alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman atau industri. 9. Peningkatan kemitraan dengan dunia usaha a. Memberikan himbauan kepada para pengusaha untuk memberikan investasi pada usaha pertanian yang sedang berkembang di Kabupaten Bogor terutama pada komoditas unggulan yaitu padi sawah, manggis dan ikan.
121
b. Membentuk forum komunikasi antara para petani/ kelompok tani dengan para pengusaha yang bertujuan untuk mempererat hubungan dalam upaya membangun
komitmen
bersama
dan
penyatuan
persepsi
untuk
penanggulangan kemiskinan ditingkat petani. Strategi dan program yang dibuat ini merupakan alternatif program yang dapat dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam upaya penanggulangan kemiskinan di kalangan petani yang terdapat di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang. Program ini merupakan bentuk masukan dan penyempurnaan dari program yang sudah ada yang dijalankan oleh pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor seperti PUAP, GMM, LUEP, PNPM, Raskin, BLT, KUBE dan JPS. Program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor selama ini dilakukan oleh berbagai dinas yang ada di Kabupaten Bogor.
Pelaksanaan
program terlihat tumpang tindih dan terkesan asal jalan. Oleh karena itu program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor harus fokus dijalankan oleh tim khusus yang terkoordinasi antara BAPPEDA, BPMKS dan BPMPD.
122 Tabel. 49 Matriks Program Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor. Strategi
1
Program
Pelaksana
Usulan Pembiayaan
BAPPEDA
APBD
a. Peningkatan program penyuluhan kepada petani dan kelompok tani di perdesaan. b. Mengadakan pelatihan bercocok tanam dan mengelola lahan pertanian dengan menggunakan alat teknologi. c. Reward studi petani berprestasi. d. Pemberian beastudi dan penyediaan buku-buku praktis untuk anak petani sebagai generasi penerus yang lebih berkualitas.
2
a. Fokus mengembangkan tanaman padi sawa, manggis dan perikanan b. Melakukan penanaman, pemupukan dan pemanenan secara serempak untuk memudahkan pengelolaan, memudahkan menangani penyakit dan meningkatkan produksi c. Membuat pasar yang dapat dijangkau oleh para petani untuk dapat menjual hasil panennya. d. Memberikan dana stimulan kepada petani sawah, manggis dan ikan untuk memperluas usaha pertaniannya dan memperbesar produksi.
3
a. Menyediakan alat-alat pertanian modern sampai ketingkat kelompok tani di perdesaan. b. Membuat infrastruktur jalan. c. Menambah jumlah penyuluh pertanian. d. Membangun pasar pertanian
4
a. Membuat perda atau keputusan kepala daerah. b. Memberikan subsidi modal atau dana stimulan kepada para petani
5
a. Bekerjasama dengan pemerintah desa, media massa baik cetak (koran, majalah pertanian) maupun elektronik (RRI) untuk mensosialisasikan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. b. Memasang alat sosialisasi seperti spanduk, stiker, leaflet, dll untuk mensosialisasikan program kepada masyarakat sampai ketingkat desa. c. Optimalisasi pertemuan berkala dengan para petani dan kelompok tani.
6
a. Mengaktifkan kembali lembaga ekonomi simpan pinjam atau kredit semisal KUK dan mendirikan lembaga keuangan pertanian. b. Membangun dan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian.
7
a. Mengadakan pelatihan berkala kepada para penyuluh pertanian b. Menetapkan waktu secara berkala untuk mengatur pertemuan antara kelompok tani dengan para penyuluh pertanian agar dapat meningkatkan kualitas pendampingan dan semangat para petani.
8
a. Menyempurnakan perda yang sesuai dan bertujuan untuk melindungi lahan pertanian yang ada dan kemajuan petani, atau berupa keputusan kepala daerah yang mendukung usaha pertanian para petani b. Memberikan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar tataruang di Kabupaten Bogor terutama mengenai alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman atau industri.
9
a. Memberikan himbauan kepada para pengusaha untuk memberikan investasi pada usaha pertanian. b. Membentuk forum komunikasi antara para petani / kelompok tani dengan para pengusaha
BPMPD BPMKS
APBN
X. KESIMPULAN DAN SARAN
10.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan kajian, maka dapat disimpulkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor harus di fokuskan pada program peningkatan kualitas SDM petani, pengembangan komoditas unggulan berupa pengembangan ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis dan peningkatan sarana dan prasarana pertanian dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha sebagai pelaku pembangunan. Secara spesifik dalam kajian ini terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Karakteristik kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang terlihat dari jumlah penduduk miskin yang tinggi mencapai 47-48%, kondisi tempat tinggal yang jenis dindingnya diatas 60% masih dari bambu, kepemilikan WC sendiri masih di bawah 1%, kemampuan membeli pakaian yang masih rendah 50-70%, dan tingkat pendidikan kepala keluarga yang rendah yaitu 50-60% tidak tamat SD. Kemiskinan di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang terlihat juga dari pendapatan masyarakat yang rendah (dibawah standar BPS yaitu Rp. 600.000), kemampuan daya beli masyarakat yang masih rendah, jumlah keluarga penerima Raskin yang masih banyak dan keterbatasan masyarakat terhadap akses untuk memperoleh kesejahteraan masih sulit. 2. Di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang, terdapat korelasi antara tingkat kemiskinan dengan karakteristik rumah tangga miskin. Di Kecamatan Pamijahan terdapat korelasi dengan tingkat signifikansi yang kuat antara kemiskinan dengan pendapatan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD, namun terdapat tingkat signifikansi yang lemah antara kemiskinan dengan usaha sampingan. Di Kecamatan Leuwiliang terdapat korelasi dengan tingkat signifikansi yang kuat antara tingkat kemiskinan dengan pendapatan dan usaha sampingan, namun terdapat tingkat signifikansi yang lemah antara tingkat kemiskinan dengan luas lahan, jumlah tanggungan dan jumlah kepala keluarga yang tidak tamat SD.
124
3. Di Kecamatan Pamijahan dan Leuwiliang terdapat komoditas unggulan berupa ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis yang perlu dikembangkan dan dijadikan sektor basis perekonomian masyarakat. 4. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor tidak optimal. Program yang dijalankan masih terdapat beberapa kekurangan dari berbagai segi. Dari segi sifatnya, masih terlihat karitatif,
artinya
program
yang
dijalankan
oleh
pemerintah
masih
mengedepankan kemurahan hati ketimbang mengedepankan peningkatan produktivitas masyarakat miskin; Dari segi pendekatannya, program masih terfokus pada aspek ekonomi ketimbang aspek multidimensi, padahal permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari berbagai aspek; Dari segi sasarannya, program yang dijalankan tidak tepat sasaran, hal ini disebabkan oleh kurangnya data yang lengkap jumlah masyarakat miskin yang terdapat di Kabupaten Bogor, oleh karenanya program harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan wilayah dimana terdapat kemiskinan.
10.2
Saran Berdasarkan hasil kajian, maka dapat disarankan bahwa penanggulangan
kemiskinan di Kabupaten Bogor harus terus dilakukan oleh pemerintah dengan: 1. Meningkatan daya beli masyarakat miskin di Kabupaten Bogor dengan membuat program pengembangan ekonomi dengan mengembangkan ubi jalar, padi sawah, jeruk siam dan manggis sebagai komoditas unggulan dalam menanggulangi kemiskinan. 2. Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat miskin melalui program penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam rangka menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga dapat bebas dari belenggu kemiskinan. 3. Kualitas infrastruktur jalan, alat pertanian dan sarana pasar yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat di Kabupaten Bogor perlu di tingkatkan.
125
4. Di perlukan adanya peningkatan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat dan pihak swasta dalam menciptakan lembaga keuangan mikro sebagai sumber modal bagi petani di Kabupaten Bogor. 5. Penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor selama ini dilakukan oleh masing-masing SKPD, semua SKPD memiliki program yang terlihat sama dan tumpang tindih. Oleh karenanya pemerintah perlu membuat tim khusus penanggulangan kemiskinan dan terpusat pada gabungan antara Bappeda, BPMKS dan BPMPD.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijoyo, S. 2005. Reformasi Bidang Pertanian, Pakar, Jakarta.
[BAPPEDA] Kabupaten Bogor. 2006. Data Sensus Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006 [BAPPEDA] Kabupaten Bogor. 2007. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Tahun 2008-2012 [BAPPEDA] Kabupaten Bogor. 2008. Hasil Sensus Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2007. [BAPPEDA] Kabupaten Bogor dan PSP3 IPB. 2009. Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Bogor. [BAPPENAS] 2004. Laporan Perkembangan Pencapaian Pembangunan Milenium Indonesia 2004, Jakarta, BAPPENAS. [BAPPENAS] 2007. Hasil Sensus Sosial Ekonomi Nasional tahun 2007. [BP3K] Wilayah Cibungbulang. 2009. Rencana Kerja Tahunan Penyuluh tahun 2010 [BP3K] Wilayah Leuwiliang. 2009. Rencana Kerja Tahunan Penyuluh tahun 2010 [BPS] 2004. Kriteria Keluarga Miskin di Indonesia [BPS] Propinsi Jawa Barat. 2007. Survey Sosial Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor. 2007 [BPS] Kabupaten Bogor. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2007 Darwis, V. 2004. Faktor Penyebab Kemiskinan, Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Miskin Lahan Pesisir di Kabupaten Lamongan. Icaserd Working Papper No 58. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. David, R.F. 2002. Manajemen Strategis : Konsep. Alih Bahasa Alexander Sindoro. PT. Prenhalindo. Jakarta. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2008. Monografi Pertanian dan Kehutanan 2008.
127 Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2009. Hendrakusumaatmaja, S. 2002. Pembangunan Ekonomi Lokal dan Regional, IPB, Bogor. Ismawan, B. 2002. Pengalaman LSM Dalam Menanggulangi Kemiskinan. Sarasehan Nasinal “Micro Finance dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan”. 27 Agustus 2002. IPB Bogor. Kantor Kesejahteraan Rakyat Kecamatan Leuwiliang. 2009. Data Penerima Raskin di Kecamatan Leuwiliang tahun 2009 Kantor Kesejahteraan Rakyat Kecamatan Pamijahan. 2009. Data Penerima Raskin di Kecamatan Pamijahan tahun 2009 Kasryno, F., dan A. Suryana. 1987. Transformasi struktural Ekonomi Pedesaan Menuju Pengembangan Sentral industri Pertanian. Dalam F. Kasryno (ed). Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang Center For Agro Economic Research. RNAM, ESCAP/ UNIDO. Bangkok. Kurniawati, 2002. Strategi Pembangunan SDM http://www.pikiranrakyat.com/cetak/07/02/05/01.htm
Agroindustri.
Nurkse, R. 1953. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, http://www.kimpraswil.go.id.publik/p2kp/des/memahami99.htm Ritonga, H. 2003. Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah. Makalah disampaikan pada Konsultasi Regional Produk Domistik Bruto se Propinsi Riau, di Kepri Juli 2003. Rostow, W.W. 1980. The Stages of Economics Growth. University of Texas Press, Austin. Rusli, S. 2004. Pembangunan Kebutuhan Dasar Manusia, (hand out kuliah MPD) Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saharia, 2003. Pemberdayaan Masyarakat di Perdesaan Sebagai salah satu upaya pemanfaatan potensi sumberdaya manusia secara optimal” Makalah Individu. Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pascasarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. http://rudyet.tripod.com/sem1/023/sandra.htm Salim, E. 1980. Perencanaan Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan Pendapatan, Yayasan Idayu, Jakarta.
128 Sandra, 2002. “Memberdayakan Industri Kecil Berbasis Agroindustri di Perdesaan”. Makalah Individu. Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pascasarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Sayogyo, 1987. Ekologi Pedesaan, Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta. Sen, A. 1999. Development as Freedom. Winner of the nobel prize for economics. Oxford University Pers. Suharto, E. 2003. Paradigma Baru studi Kemiskinan, http://immugm.org.public.html.article.php?story=20030911194808123 Sumardjo, 2004. Pembangunan Kebutuhan Dasar Manusia, (hand out kuliah MPD) Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Todaro, M.P. 2000. Economics Development in the Third World. Edition. Pearson Education Limited, New York.
Seventh
Wahab, M. S. 2004. Upaya Mengangkat Kehidupan Pekebun Kelapa: Kakao Alternatif Diversifiksi Perkebunan Rakyat. www.riaupos.com Watts, H. W.1968. The Measurement of poverty an exploratory exercise. University of Winconsin; Institute for Research of Poverty. Discussion pappers; 12-18.
129 Lampiran 1. Matrik QSPM Alternatif Strategi Faktor Kunci
Bobot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
AS
TAS
Kekuatan S1
0.136
4
0.543
3
0.407
4
0.543
4
0.543
4
0.543
3
0.407
4
0.543
4
0.543
4
0.543
S2
0.141
4
0.564
4
0.564
4
0.564
3
0.423
4
0.564
4
0.564
4
0.564
4
0.564
4
0.564
S3
0.150
3
0.450
4
0.600
4
0.600
4
0.600
3
0.450
4
0.600
4
0.600
4
0.600
4
0.600
S4
0.125
4
0.500
4
0.500
4
0.500
3
0.375
4
0.500
3
0.375
4
0.500
4
0.500
4
0.500
Kelemahan W1
0.118
4
0.471
4
0.471
4
0.471
4
0.471
3
0.354
3
0.354
4
0.471
4
0.471
3
0.354
W2
0.091
4
0.364
3
0.273
4
0.364
3
0.273
4
0.364
3
0.273
4
0.364
4
0.364
4
0.364
W3
0.125
4
0.500
3
0.375
3
0.375
3
0.375
4
0.500
4
0.500
4
0.500
4
0.500
4
0.500
W4
0.114
3
0.343
4
0.457
3
0.343
3
0.343
4
0.457
4
0.457
4
0.457
3
0.343
4
0.457
Peluang O1
0.130
4
0.521
4
0.521
4
0.521
4
0.521
4
0.521
4
0.521
4
0.521
4
0.521
4
0.521
O2
0.109
4
0.436
4
0.436
4
0.436
4
0.436
4
0.436
4
0.436
4
0.436
4
0.436
4
0.436
O3
0.113
4
0.450
4
0.450
4
0.450
4
0.450
4
0.450
3
0.338
4
0.450
4
0.450
4
0.450
O4
0.123
4
0.493
4
0.493
4
0.493
3
0.370
4
0.493
4
0.493
4
0.493
4
0.493
4
0.493
Ancaman T1
0.107
3
0.321
3
0.321
3
0.321
3
0.321
3
0.321
3
0.321
4
0.429
4
0.429
3
0.321
T2
0.146
3
0.439
4
0.586
4
0.586
3
0.439
3
0.439
4
0.586
3
0.439
3
0.439
4
0.586
T3
0.129
3
0.386
4
0.514
4
0.514
4
0.514
4
0.514
3
0.386
3
0.386
4
0.514
4
0.514
T4 Jumlah TAS
0.143
3
0.429 7.211
3
0.429 7.398
4
0.571 7.654
3
0.429 6.884
4
0.571 7.47
3
0.429 7.039
3
0.429 7.582
4
0.571 7.739
3
0.429 7.632
130
130 Lampiran 2. Matrik Rating Faktor Internal
Responden Faktor Internal
Jumlah
Rating
3
30
4
4
3
34
4
3
4
4
35
4
3
4
4
3
35
4
3
4
2
2
2
23
2
4
1
2
4
1
2
22
2
1
4
1
2
3
1
2
23
2
2
4
2
2
4
1
2
27
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
a. Lahan pertanian yang masih luas
1
2
4
1
4
4
4
4
3
b. Adanya Kelompok tani sampai ke desa
2
3
4
3
4
4
3
4
c. Terdapatnya Komoditas Unggulan
3
3
4
3
4
4
3
d. Adanya program pemberdayaan ekonomi
4
3
3
3
4
4
e. Terbatasnya modal
1
3
2
1
3
f. Rendahnya kualitas SDM petani
2
3
1
2
g. Terbatasnya aparatur pemerintah (penyuluh)
1
4
4
h. Minimnya sarana dan prasarana
3
3
4
131 Lampiran 3. Matrik Rating Faktor Eksternal Faktor Eksternal
Responden
Jumlah
Rating
3
37
4
4
3
32
3
2
3
4
33
3
3
3
4
4
35
4
1
2
3
1
2
24
2
4
2
2
4
1
1
24
3
4
2
2
3
2
2
23
2
4
2
2
4
1
2
22
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
3
4
4
4
4
4
4
3
4
3
3
4
2
3
4
3
3
c. Adanya program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan
3
3
4
4
3
4
3
d. Otonomi daerah
4
3
3
3
4
4
e. Adanya Krisis ekonomi
2
3
4
2
4
f. Adanya Alih fungsi lahan
3
3
3
1
g. Rendahnya kepercayaan kepada perbankan
1
3
3
1
h. Adanya Kesalahan Persepsi dalam mengartikan bantuan pemerintah
1
3
2
1
a. Adanya komitmen pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan b. Besarnya potensi sumberdaya alam pertanian
132 Lampiran 4. Matrik Rekapitulasi Bobot IFE
Faktor Internal
Responden
Jumlah
Bobot
0.107
1.357
0.136
0.179
0.107
1.411
0.141
0.125
0.143
1.500
0.150
0.143
0.179
1.250
0.125
0.250
0.161
0.071
1.179
0.118
0.089
0.089
0.214
0.911
0.091
0.000
0.125
0.179
1.250
0.125
0.089
0.161
0.000
1.143
0.114
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
a. Lahan pertanian yang masih luas
0.125
0.179
0.125
0.143
0.214
0.250
0.018
0.179
0.018
b. Adanya Kelompok tani sampai ke desa
0.143
0.143
0.161
0.143
0.125
0.214
0.054
0.143
c. Terdapatnya Komoditas Unggulan
0.143
0.143
0.161
0.161
0.179
0.161
0.143
0.143
d. Adanya program pemberdayaan ekonomi
0.143
0.107
0.125
0.125
0.054
0.161
0.107
0.107
e. Terbatasnya modal
0.143
0.089
0.089
0.125
0.179
0.000
0.071
f. Rendahnya kualitas SDM petani
0.036
0.089
0.089
0.000
0.054
0.054
0.196
g. Terbatasnya aparatur pemerintah (penyuluh)
0.143
0.125
0.125
0.161
0.089
0.107
0.196
h. Minimnya sarana dan prasarana
0.125
0.125
0.125
0.143
0.107
0.054
0.214
133 Lampiran 5. Matrik Rekapitulasi Bobot EFE
Faktor Eksternal
Responden 6 7
1
2
3
4
5
0.125
0.143
0.143
0.054
0.161
0.161
b. Besarnya potensi sumberdaya alam pertanian c. Adanya program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan
0.054
0.054
0.054
0.071
0.196
0.089
0.089
0.107
0.161
d. Otonomi daerah
0.089
0.089
0.107
e. Adanya Krisis ekonomi
0.125
0.125
f. Adanya Alih fungsi lahan
0.179
g. Rendahnya kepercayaan kepada perbankan h. Adanya Kesalahan Persepsi dalam mengartikan bantuan pemerintah
0.196 0.143
a. Adanya komitmen pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan
8
9
10
Jumlah Bobot
0.125
0.196
0.125
0.071
1.304
0.130
0.179
0.143
0.250
0.071
0.018
1.089
0.109
0.143
0.179
0.054
0.125
0.036
0.143
1.125
0.113
0.107
0.071
0.179
0.161
0.161
0.107
0.161
1.232
0.123
0.125
0.089
0.161
0.000
0.036
0.125
0.179
0.107
1.071
0.107
0.179
0.143
0.179
0.000
0.179
0.196
0.036
0.232
0.143
1.464
0.146
0.179
0.179
0.196
0.143
0.054
0.089
0.089
0.018
0.143
1.286
0.129
0.143
0.143
0.143
0.125
0.071
0.196
0.018
0.232
0.214
1.429
0.143
134 Lampiran 6. Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Pamijahan. Komoditas Padi Sawah Padi Gogo Jagung Kacang Tanah Ubi Kayu Ubi Jalar Talas Jumlah Total
Produksi di Kecamatan Pamijahan 19.598 8 45 45 6.155 1.605 338 27.794
Produksi di Kabupaten Bogor
LQ
479.755 8.967 3.216 2.234 179.222 54.528 13.385 741.307
1,09 0,02 0,37 0,54 0,92 0,79 0,67
Sumber : Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008 (diolah)
Lampiran 7. Produksi Padi dan Palawija di Kecamatan Leuwiliang Komoditas Padi Sawah Padi Gogo Jagung Kacang Tanah Ubi Kayu Ubi Jalar Talas Jumlah Total
Produkdi Kecamatan Leuwiliang 19.598 8 45 45 6.155 1.605 338 27.794
Sumber : Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008 (diolah)
Produksi Kabupaten Bogor 479.755 8.967 3.216 2.234 179.222 54.528 13.385 741.307
LQ 1,09 0,02 0,37 0,54 0,92 0,79 0,67
135 Lampiran 8. Produksi Buah-buahan di Kecamatan Pamijahan. Komoditi Alpukat Belimbing Dukuh Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Siam Mangga Manggis Nangka Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Sirsak Sukun Jumlah
Produksi di Kecamatan Pamijahan 870 382 535 100 1.760 0 400 0 26 6.600 92 11.780 6.270 0 19 141 75 202 29.252
Produksi Kabupaten Bogor 10.974 19.627 6.785 54.558 37.819 15.962 2.103 20.047 21.164 64.317 25.796 122.376 216.182 220.082 2.327 6.734 4.905 3.297 855.055
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2008) (diolah)
LQ 2,32 0,57 2,30 0,05 1,36 0,00 5,56 0,00 0,04 3,00 0,10 2,81 0,85 0,00 0,24 0,61 0,45 1,79
136 Lampiran 9. Produksi Buah-buahan di Kecamatan Leuwiliang Komoditi Alpukat Belimbing Dukuh Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Siam Mangga Manggis Nangka Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Sirsak Sukun Jumlah
Produksi di Kecamatan Leuwiliang 75 75 710 150 268 250 1.842 102 3 260 5.180 310 5 3 19 17 9.269
Produksi di Kabupaten Bogor 10.974 19.627 6.785 54.558 37.819 15.962 2.103 20.047 21.164 64.317 25.796 122.376 216.182 220.082 2.327 6.734 4.905 3.297 855.055
Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2008) (diolah)
LQ 0,63 0,35 0,00 1,20 0,37 1,55 0,00 1,15 8,03 0,15 0,01 0,20 2,21 0,13 0,20 0,04 0,36 0,48
137 Lampiran 10. Analisis Korelasi antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor dengan α =5% dan n=15 Desa Cibunian Purwabakti Ciasmara Ciasihan Gunung Sari Gunung Bunder I Gunung Bunder II Cibening Gunung picung Cibitung Kulon Cibitung Wetan Pamijahan Pasarean Gunung Menyan Cimayang Korelasi
Jumlah KK Miskin
Rata-rata Pendapatan (Rp)
Luas Lahan (Ha)
879 834 725 749 936 552 680 936 752 439 510 651 814 446 496
350.000 350.000 450.000 400.000 400.000 450.000 450.000 400.000 450.000 450.000 450.000 450.000 350.000 450.000 400.000 - 0,629504042
299 165 325 324 349 201,6 118,2 256,7 175 171 154 250 175 123,5 128 - 0,61220918
Sumber : KCDA 2009 dan BP3K Kecamatan Pamijahan 2009 (diolah)
Rata-rata Tanggungan (Jiwa) 4,83 3,98 3,95 4,88 5,96 4,95 4,79 4,96 3,99 3,96 3,99 3,98 3,98 3,97 3,96 0,533914322
Pendidikan (Jiwa)
Usaha Sampingan (%)
2.433 2.083 1.718 2.162 2.155 2.301 1.921 2.212 2.315 1.909 1.230 2.095 2.044 1.412 1.529 0,66395014
30,5 33,4 35,3 35,5 32,6 45,4 48,5 35,3 34,5 35,6 34,7 30,5 40,5 37,4 36,5 -0,278139889
138 Lampiran 11. Analisis Korelasi antara Kemiskinan dengan Karakteristik RTM di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor dengan α = 5% dan n=11 Desa PURASARI PURASEDA KARYASARI PABANGBON KARACAK BARENGKOK CIBEBER II CIBEBER I LEUWIMEKAR LEUWILIANG KAREHKEL Korelasi
Jumlah KK Miskin 1339 1041 1474 664 1143 918 1054 897 1143 795 1088
Pendapatan (Rp)
Luas Lahan (Ha)
Tanggungan (Jiwa)
450.000 450.000 500.000 350.000 500.000 350.000 400.000 400.000 500.000 500.000 450.000 - 0,569504547
140,0 80,0 150,0 425,2 210,0 170,0 120,0 87,0 39,0 76,0 189,1 -0,35584339
3,95 3,98 3,96 5,47 3,65 4,55 3,97 3,54 3,55 3,85 3,56 0,497153281
Sumber: KCDA 2009 dan BP3K Kecamatan Pamijahan 2009 (diolah)
Pendidikan (Jiwa) 576 557 620 712 587 574 630 156 114 805 4.735 0,029
Usaha Sampingan (%) 45,5 45,2 42,3 65,5 70,4 75,5 55,3 54,5 60,8 75,6 75,5 - 0,579
123