Strategi pembagian air secara proporsional ... 299-305 Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4), 2009:
299
STRATEGI PEMBAGIAN AIR SECARA PROPORSIONAL UNTUK KEBERLANJUTAN PEMANFAATAN AIR1) H. Sosiawan dan K. Subagyono Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
PENDAHULUAN Indonesia termasuk salah satu negara yang diproyeksikan akan mengalami krisis air pada 2025 karena pengelolaan air yang lemah, terutama pemakaian air yang kurang efisien. Derajat kelangkaan air makin meningkat. Penduduk yang bertambah dengan cepat disertai pola hidup yang menuntut penggunaan air yang relatif banyak, makin menambah tekanan terhadap kuantitas air. Daya beli masyarakat terhadap air yang disediakan oleh lembaga pelayanan pemerintah seperti PDAM cukup memadai, sehingga masyarakat tidak merasa sulit dalam mendapatkan air. Sebagian masyarakat juga memanfaatkan air bawah permukaan dengan menggunakan pompa, dan sangat jarang memikirkan dampak penurunan tinggi muka air bawah permukaan dan intrusi air laut. Demikian pula petani di kawasan beririgasi, khususnya golongan I dan II, mereka tidak pernah khawatir selama air irigasi tersedia di saluran, padahal tidak jarang saluran irigasi kering pada musim kemarau.
1)
Naskah disampaikan pada Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bulan Mei 2009.
Di sisi lain, alokasi dan distribusi air antarsektor dan antarwilayah makin kompleks dengan potensi konflik yang cenderung meningkat. Kondisi ini diakibatkan oleh kemampuan pasokan air yang makin menurun dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi, serta pengguna yang makin beragam dan banyak jumlahnya. Kebutuhan air untuk nonpertanian yang meningkat tajam pada 10 tahun terakhir akan menurunkan kemampuan pasokan air irigasi di suatu wilayah. Masalah akan makin kompleks dengan adanya keragaman ketersediaan air antarwaktu dan antarwilayah pada musim kemarau, sehingga kemampuan pasokan air untuk keperluan pertanian, domestik, dan rumah tangga menurun. Di Indonesia, konflik alokasi air antarsektor dan antarwilayah cenderung meningkat, bahkan dari konflik tertutup menjadi konflik terbuka. Pemanfaatan air untuk berbagai penggunaan cenderung melebihi pasokan air yang tersedia dan belum terintegrasi dengan upaya konservasi air. Pengguna air umumnya mengabaikan usaha konservasi air yang seharusnya dilakukan. Hal ini makin memberikan tekanan terhadap ketersediaan sumber daya air dan pasokan air untuk berbagai penggunaan. Proporsi pemanfaatan air untuk setiap sektor sangat
300
dinamis dan sulit ditetapkan secara tepat dan akurat. Untuk sektor pertanian, pemanfaatan air untuk irigasi juga beragam menurut ruang dan waktu. Berapa volume air yang tepat untuk irigasi pada daerah irigasi golongan I, II, III, dan IV masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab.
POTENSI SUMBER DAYA AIR DI INDONESIA Indonesia menduduki urutan kelima negara-negara yang kaya air setelah Brasil, Rusia, Cina, dan Kanada. Hal ini tercermin dari potensi ketersediaan air permukaan (terutama sungai) yang menurut catatan Depkimpraswil rata-rata mencapai 15.500 m3/kapita/tahun, jauh melebihi rata-rata dunia yang hanya 600 m3/kapita/tahun. Namun, ketersediaan air sangat bervariasi menurut ruang dan waktu. Sebagai contoh, Jawa yang penduduknya mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5% potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah air yang tersedia di Jawa yang mencapai 30.569,2 juta m3/tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya. Artinya di pulau yang terpadat penduduknya ini selalu terjadi defisit air paling tidak hingga tahun 2015. Defisit akan terus meningkat jika tidak ada upaya konservasi air dan efisiensi pemanfaatannya. Di wilayah lain, walaupun pada tahun yang sama masih tergolong surplus air, secara umum kelebihan air tersebut jumlahnya menurun, dan ketersediaannya sangat berfluktuasi antara musim hujan dan musim kemarau. Catatan Depkimpraswil menunjukkan bahwa pada musim hujan, debit air Sungai Cimanuk mencapai 600 m3/ detik, tetapi hanya 20 m3/detik pada musim kemarau.
H. Sosiawan dan K. Subagyono
Tekanan terhadap sumber daya air juga mengubah kualitas air menjadi makin buruk. Salah satu penyebabnya adalah pencemaran pada air permukaan dan air bawah permukaan, seperti terjadinya eutrofikasi di danau. Intrusi air laut ke daratan menyebabkan salinitas air di sumur milik penduduk meningkat. Kebocoran limbah industri ke sungai dan lahan pertanian makin memberikan tekanan pada lingkungan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, sumur dangkal milik penduduk telah tercemar bakteri E. coli dari kotoran manusia akibat kebocoran septic tank.
KEBUTUHAN AIR UNTUK BERBAGAI PEMANFAATAN Kebutuhan air makin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan ragam kebutuhan yang menuntut sumber daya air dalam jumlah banyak, baik untuk rumah tangga, industri, irigasi, penggelontoran, energi, rekreasi, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Indeks penggunaan air (IPA) atau rasio kebutuhan dan ketersediaan air sudah melebihi 1, artinya sumber daya air yang ada sudah tidak cukup untuk menopang kebutuhan penggunaannya. Depkimpraswil mencatat IPA untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane sudah melampaui 1,2 (129,4%) pada tahun 1995. Pada tahuntahun terakhir, indeks tersebut diperkirakan makin meningkat karena pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan sektor industri, energi dan rumah tangga, sementara potensi ketersediaan air cenderung menurun. Pemanfaatan air secara nasional telah mencapai sekitar 80 miliar m 3 /tahun, dengan tingkat pemanfaatan tertinggi di Jawa dan Bali, yaitu sekitar 60%. Dalam 5
Strategi pembagian air secara proporsional ...
301
tahun terakhir, pemanfaatan air diperkirakan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan ragam kebutuhan air. Penggunaan air tawar di Indonesia didominasi untuk pertanian, sekitar 76%, dan sisanya untuk industri (11%) dan domestik (3%).
sional. Dalam jangka panjang, konflik horizontal maupun vertikal dalam alokasi dan distribusi air akan memerlukan tenaga, waktu, dan biaya yang sangat mahal untuk pemecahannya.
Konflik dan Dampak Penggunaan Air Antarsektor Masalah Air Antarsektor Peningkatan kebutuhan air setiap sektor makin menekan potensi pasokan air yang tersedia, dan ini berdampak pada makin meningkatnya potensi konflik antarsektor. Sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar di antara sektor pengguna air. Sebagai gambaran, di pantai utara Jawa Barat, untuk mengairi sawah irigasi dibutuhkan 5.592 juta m3 air/tahun. Sementara itu, kebutuhan air untuk domestik, rumah tangga dan industri (domestic municipal and industry/DMI) sekitar 952 juta m3. Peningkatan kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk (1,6%/tahun), perkembangan sektor industri, dan perbaikan taraf hidup masyarakat, menyebabkan kebutuhan air untuk DMI pada tahun 2025 diproyeksikan naik 3,5 kali lipat menjadi 3.311 juta m3. Sektor pertanian, domestik, rumah tangga, dan industri mendapatkan sebagian besar air dari waduk. Oleh karena itu, pemenuhan air untuk DMI akibat peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan pembangunan pada masa mendatang (tahun 2025) akan mengambil porsi air untuk pertanian sekitar 25%, sehingga secara langsung akan mengganggu kinerja sistem produksi pertanian. Meskipun kelangkaan air dan konflik air antarsektor sudah terjadi dan dirasakan langsung petani, pemerintah belum memberikan perhatian dan penanganan secara propor-
Dua fenomena besar yang meresahkan petani dan masyarakat kelas menengah bawah adalah: (1) penguasaan absolut atas sumber mata air oleh sektor tertentu yang tidak terkendali, dan (2) belum tersedianya pola, sistem, dan mekanisme dalam penetapan pembagian air, implementasi, pemantauan, dan penyelesaian konflik sehingga masing-masing pemangku kepentingan mendapat perlakuan yang adil. Kedua isu tersebut terus mengemuka, karena selain air menguasai hajat hidup orang banyak, air juga menjadi komponen utama penyusun makhluk hidup. Sementara itu, secara kuantitas ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan terus menurun akibat rusaknya daur hidrologi dan pencemaran. Kondisi ini akan mendorong masyarakat masuk dalam perangkap krisis air yang secara akumulatif dapat memicu munculnya konflik air secara horizontal maupun vertikal. Ironisnya, masalah krusial ini belum direspons secara proporsional oleh pengambil kebijakan maupun perencana. Permasalahan fenomena pertama sering kali menimbulkan konflik penggunaan air, terutama antara petani dan pemangku kepentingan lain seperti PDAM atau industri. Contoh konflik yang pernah terjadi adalah antara petani dan PDAM Kota Bandung, karena pengambilan air oleh PDAM dari outlet PLTA Cikalong serta peningkatan debit aliran yang dimanfaatkan oleh PDAM untuk meningkatkan pasokan
302
air bersih yang mencapai kenaikan 1.000 liter/detik. Konsekuensinya adalah budi daya pertanian di wilayah Ciherang dan Kiangroke gagal panen terutama pada musim kemarau. Permasalahan fenomena kedua lebih terkait dengan aspek implementasi dan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan mekanisme distribusi dan kontrol, alat dan wasit yang mengawasi alokasi air untuk berbagai sektor, serta perangkat undangundang yang dapat mendukung implementasi tersebut. Contoh yang signifikan tentang pembagian air adalah alokasi penggunaan air di wilayah pantai utara (pantura) Jawa Barat oleh Perum Jasa Tirta II, yang mempunyai tanggung jawab mengelola Waduk Jatiluhur untuk kebutuhan sektor pertanian, rumah tangga, domestik, industri, perikanan, dan pembangkit listrik. Mengacu pada kebutuhan air untuk sektor pertanian dan nonpertanian, serta kapasitas tampung Waduk Jatiluhur selama 10 tahun terakhir dan proyeksi kebutuhan air pada masa akan datang, diperkirakan mulai tahun 2015 jumlah kebutuhan air akan melebihi jumlah air yang tersimpan di waduk tersebut. Kondisi demikian akan mengakibatkan timbulnya potensi konflik antarpengguna air dalam pengelolaan sumber daya air. Dampaknya dapat diprediksi bahwa ketersediaan air untuk sektor pertanian makin menurun akibat terbatasnya modal, akses teknologi, dan keberpihakan pengelola sumber daya air. Konsekuensi logis dari penurunan jatah kebutuhan air tersebut terhadap budi daya padi adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air bagi tanaman pada beberapa fase pertumbuhannya. Program peningkatan indeks pertanaman (IP 200/IP 300) di daerah sentra produksi padi, seperti di daerah pantura Jawa Barat menuntut suatu sistem budi daya ta-
H. Sosiawan dan K. Subagyono
naman padi yang baik. Dalam melaksanakan upaya tersebut, ada dua masalah utama yaitu: (1) efisiensi jaringan irigasi yang relatif rendah (55%) dan (2) deraan iklim (terutama El Nino) yang sering kali mengakibatkan kegagalan panen. Kondisi tersebut akan membawa dampak terhadap keberlanjutan budi daya padi sawah irigasi. Hasil simulasi proyeksi kebutuhan air berbagai sektor pengguna air di wilayah pantura Jawa Barat menunjukkan bahwa pada tahun 2025, persaingan penggunaan air untuk kebutuhan domestik, rumah tangga, dan industri akan menurunkan pasokan air irigasi hingga mencapai 25%. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air tanaman padi. Hasil simulasi neraca air tanaman (studi kasus Kabupaten Karawang dengan luas areal irigasi teknis 90.300 ha) menunjukkan bahwa pada tahun-tahun normal, wilayah yang mengalami defisit air untuk tanaman adalah golongan irigasi III (24.600 ha) dan IV (14.300ha). Selama musim tanam I, defisit air tanaman lebih dari 50%, yang terjadi pada fase pembentukan biji dan pematangan, tetapi tidak menurunkan hasil secara signifikan (< 20%). Pada musim tanam II, defisit air yang terjadi pada fase pembungaan di daerah golongan irigasi III dan IV masing-masing mencapai 25% dan 22%, yang mengakibatkan penurunan hasil 62% dan 56%. Wilayah dengan golongan irigasi I (23.700ha) dan II (27.700 ha), yang mendapat air irigasi sebulan lebih awal mempunyai peluang yang lebih baik dari segi kecukupan air untuk tanaman. Defisit air untuk tanaman hanya terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif, masingmasing 17% dan 20%, yang terjadi pada musim tanam I. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan hasil masingmasing 17% dan 20%. Pada tahun El Nino, defisit air tanaman ditemukan di semua
Strategi pembagian air secara proporsional ...
303
wilayah golongan irigasi dan berpengaruh secara nyata terhadap penurunan hasil. Defisit air yang terjadi pada fase pembungaan sebesar 22-26% menurunkan hasil 56-64%, dan umumnya terjadi pada musim tanam II. Ilustrasi tersebut menjelaskan bahwa dengan asumsi potensi hasil padi 6 t/ha, pada tahun-tahun normal potensi kehilangan hasil padi mencapai + 144.000 ton/ tahun yang berasal dari daerah golongan irigasi III dan IV. Pada tahun El Nino, potensi kehilangan hasil mencapai + 324.000 ton/tahun, karena berdasarkan hasil simulasi pada periode tersebut, semua wilayah akan mengalami defisit air yang berpengaruh nyata terhadap penurunan hasil. Apabila hal ini diproyeksikan untuk seluruh sentra produksi padi di pantai utara Jawa Barat, yang mempunyai karakteristik sumber daya lahan, iklim, dan sistem pengelolaan air irigasi yang relatif sama, dengan luas total + 242.000 ha maka potensi kehilangan hasil pada tahun normal akan mencapai 435.600 ton/tahun. Kejadian tersebut akan lebih parah pada saat anomali iklim (El Nino), yang mendera hampir setiap lima tahun, yang akan mengakibatkan penurunan hasil + 871.200 ton/ tahun.
Untuk mengalokasikan dan mendistribusikan air secara proporsional dan mengurangi konflik antarsektor pengguna air, kebutuhan air setiap sektor harus ditetapkan, dan jaringan distribusi air harus dibangun secara luas. Identifikasi, karakterisasi, dan penetapan kebutuhan air serta sosialisasi hasil penetapan proporsi kebutuhan tersebut pada setiap sektor pengguna air perlu segera dilakukan. Alokasi air untuk sektor pertanian, rumah tangga, domestik, industri, dan lingkungan diatur sesuai dengan kaidah pengelolaan sumber daya air, yang intinya untuk mengendalikan keseimbangan sumber daya air dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan kepentingan ekonomi secara selaras. Dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor pertanian, air minum, industri, serta potensi lestari pemanfaatan mata air dan lingkungan, dapat ditetapkan alokasi penggunaan air masing-masing pemangku kepentingan. Alokasi penggunaan air yang dimaksud harus mempertimbangkan potensi sumber daya air dalam hal volume yang tersedia menurut ruang dan waktu, serta permintaan dari berbagai pemangku kepentingan dengan segala konsekuensi logis dan risiko paling minimum. Pemanfaatan air secara efisien dengan mempertimbangkan kebutuhan yang rasional dan pasokan yang makin terbatas perlu dilakukan. Setiap pengguna air harus melakukan upaya konservasi air dan ini perlu dituangkan dalam peraturan perundangan yang mengikat dan dilaksanakan secara konsisten. Pemerintah perlu memfasilitasi pengguna air dalam melaksanakan konservasi air. Penerapan inovasi teknologi panen air dan konservasi air seperti embung, dam parit, sumur resapan, dan rorak perlu dilakukan. Proporsi
STRATEGI IMPLEMENTASI PEMBAGIAN AIR SECARA PROPORSIONAL Dalam hukum Islam, konsep pembagian air secara proporsional yang melibatkan banyak pemangku kepentingan pada dasarnya menggunakan asas urutan prioritas, yaitu: (1) hak untuk memuaskan kedahagaan (haq al shafa); (2) domestik termasuk di dalamnya untuk hewan; (3) sektor pertanian; dan (4) komersial dan industri.
304
H. Sosiawan dan K. Subagyono
penggunaan air untuk setiap sektor perlu ditetapkan melalui analisis kebutuhan air setiap sektor, identifikasi potensi sumber daya air permukaan dan bawah permukaan, serta curah hujan efektif dalam pengisian air bawah permukaan.
Proporsi Pembagian Air Proporsi dan alokasi penggunaan air untuk masing-masing pemangku kepentingan di setiap daerah dan mata air berbeda, bergantung seberapa besar prioritas masingmasing sektor di wilayah tersebut. Di Kali Kuning, Sleman, Yogyakarta, misalnya, dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor pertanian, air minum, industri, dan lingkungan, serta potensi lestari pemanfaatan mata air, ditetapkan bahwa sektor pertanian mendapat alokasi 50% debit dari mata air, air minum dan industri 35%, dan sisanya 15% untuk keperluan lingkungan. Perum Jasa Tirta II yang bertanggung jawab mengelola dan mendistribusikan kebutuhan air Waduk Jatiluhur menetapkan alokasi air untuk sektor pertanian sebesar 78% dari debit total, domestik 7%, industri 5%, hidro-elektrik 2%, dan sisanya masingmasing 3% untuk perikanan dan penggelontoran (flushing). Meskipun sudah ditetapkan alokasi dan distribusi air antarsektor/pengguna, implementasinya di lapangan sangat beragam, terutama pada musim kemarau. Hal ini terjadi akibat alokasi yang telah direncanakan tidak selalu tepat sasaran dalam hal kuantitas dan waktu pendistribusian, sehingga sangat merugikan sektor pertanian. Perum Jasa Tirta II, misalnya, telah memperkirakan bahwa tidak akan terjadi defisit air sampai dengan musim kemarau 2004, tetapi Kompas (2004) mengungkapkan bahwa sebagian besar
kawasan pertanian di pantura Jawa Barat mengalami keterlambatan tanam 1 hingga 1,5 bulan pada awal musim tanam I (2003/ 2004). UU No. 7/2004 tentang sumber daya air yang sudah disahkan DPR merupakan salah satu bentuk manifestasi dari konsep water sharing. Namun, undang-undang sumber daya air tersebut belum dapat melindungi dengan baik posisi air untuk pertanian rakyat akibat adanya pasal yang kontradiktif, antara memberikan peluang investasi swasta dalam penyediaan air minum dengan pasal yang menjamin pasokan air untuk pertanian. Bahkan lebih parah lagi, pemerintah secara sengaja membuka peluang swasta untuk mengeksploitasi air yang menguasai hajat hidup orang banyak secara terbuka. Dengan kontrol pemerintah yang lemah atas swasta, hak air yang diberikan kepada swasta akan menjadi bumerang bagi masyarakat yang kebutuhan airnya terus meningkat. Apalagi di lapangan, air untuk pertanian, industri, air minum, dan tenaga listrik sulit dibedakan, sehingga diperlukan kearifan semua pihak dalam alokasi dan distribusinya. Untuk memberikan jaminan air untuk pertanian secara berkelanjutan, maka UU No. 7/2004 perlu diamandemen, terutama hak guna air. Selain itu, dalam penyusunan peraturan pemerintah perlu dilakukan penjabaran secara rinci agar penyalahgunaan dan salah interpretasi oleh berbagai pihak untuk kepentingan terbatas dapat diantisipasi dan diminimalkan.
Strategi Pembagian Air Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam implementasi pembagian air secara proporsional, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman negara-negara
Strategi pembagian air secara proporsional ...
305
Eropa, seperti Perancis, dalam implementasi pembagian air secara proporsional untuk berbagai sektor yang dilengkapi dewan pengawas dan dewan pelaksana alokasi air. Komposisinya terdiri atas elemen masyarakat yang merupakan wakil petani, pengusaha, birokrat, parlemen, cendekiawan, dan LSM. Komposisi tersebut memungkinkan terjadinya pengawasan berlapis, baik dalam implementasi maupun tanggung jawab dalam pendayagunaan sumber daya air. Transparansi ini dapat mengoptimalkan akses, kontrol, dan partisipasi masyarakat dalam pendayagunaan sumber daya air. Perlu pula dibuat perencanaan jangka panjang yang melibatkan semua pemangku kepentingan, baik yang mencakup aspek teknis, finansial, maupun sosial budaya. Identifikasi secara cermat dan transparan sangat diperlukan untuk mengetahui potensi sumber daya air menurut ruang dan waktu, baik yang konvensional maupun yang nonkonvensional, dan kebutuhan riil antarsektor dan subsektor. Dengan menggunakan persamaan matematis real time dengan data seri yang
panjang dapat dibuat skenario yang lebih akurat antara pasokan air dan alokasi penggunaannya secara terintegrasi, baik kuantitas maupun kualitasnya. Skenario tersebut akan dapat menjawab pertanyaan bagaimana jika pasokan air turun. Alternatif strateginya adalah: (1) menyesuaikan distribusi dan alokasi penggunaan air untuk berbagai sektor secara proporsional; (2) melakukan penyimpanan air hujan pada saat musim hujan; (3) memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber air tanah dalam; dan (4) mendaur ulang air yang telah digunakan oleh berbagai sektor. Langkah 2 sampai 4 telah banyak dilakukan oleh negara-negara yang memiliki permasalahan kelangkaan air, seperti Meksiko dan New South Wales, sehingga dengan air yang terbatas, alokasi penggunaan air untuk berbagai sektor dapat dipertahankan. Selanjutnya, implementasinya di lapangan harus dilengkapi dengan perangkat lunak dan perangkat keras, mekanisme distribusi dan kontrol, serta wasit yang adil dan profesional.