Konsep Pemanfaatan Air Hujan sebagai Air Siap Pakai H. Bramantyo Agung Suprapto* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Kebutuhan air bersih adalah masalah yang dihadapi hampir semua kota besar di dunia. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan memanfaatkan air hujan dengan teknologi yang ada. Teknologi penangkapan dan pemanfaatan air hujan yang tersedia saat ini terdiri dari luasan penangkap air, pengaliran, tangki penyimpanan, dan pemurnian. Pemurnian dapat dilakukan dengan disi nfektan, filtrasi, dan ozonisasi. Kata kunci : tugas, pengolahan air, air hujan 1. Pendahuluan Kebutuhan akan air bersih merupakan sebuah masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota besar di dunia [1]. Kebutuhan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk yang mengakibatkan tidak hanya naiknya kebutuhan air [2], namun juga kualitas sumber air dan air bersih yang dikonsumsi. Air hujan dapat menjadi salah satu alternatif [3] sebagai sumber air bersih perkotaan [3], [4]. Di Korea [1] dan Malaysia [5], pemanfaatan air hujan dianggap sebagai jawaban pemenuhan kebutuhan air bersih yang sangat mendesak. Di Brazil, diperkirakan 35% kebutuhan air bersih dapat dipenuhi dengan memanfaatkan air hujan [4]. 2. Sistem Pemanfaatan Air Hujan Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih unutk konsumsi perkotaan merupakan hal yang sudah tidak asing, walaupun belum digunakan secara luas. Panduan untuk pemasangan sistem penampungan dan pemanfaatan air hujan telah banyak diterbitkan [6]. Secara garis besar, pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan perkotaan dapat dibagi menjadi dua jenis: 1. Penggunaan untuk kebutuhan domestik [4] 2. Penggunaan untuk kebutuhan sarana publik [7]
Pada penggunaan untuk kebutuhan domestik, berbagai telaah telah dilakukan terhadap sistem pengumpulan dan perlakuan air hujan. Kebanyakan telaah mengkhususkan sistem pengumpulan dan perlakuan air hujan sebagai sistem individual [3], [4], [6], [8]. Pemanfaatan air hujan dilakukan oleh masingmasing struktur bangunan tanpa melibatkan sebuah sistem terpadu. Lazimnya, kebutuhan air paling besar adalah untuk kebutuhan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) [9]. Kebutuhan air cuci dapat menghabiskan 20 persen dari kebutuhan sebuah rumah tangga [10], atau sebesar 25 m3 air per tahunnya [11]. Pada penggunaan untuk kebutuhan sarana publik, perlakuan yang diberikan tidak jauh berbeda dengan kebutuhan domestik. Namun, dengan skala yang berbeda, tantangan yang dihadapi sarana publik untuk memanfaatkan air hujan berbeda dengan tantangan pada skala domestik. Tantangan ini tergantung dari luasan daerah pengumpulan air hujan, karakteristik atmosfer, dan pengaruh lingkungan sekitar [7]. 3. Sistem Pengumpulan Air Hujan Karena tujuan dari hampir semua pemanfaatan air hujan sama, sistem pemanfaatan air hujan dicirikan melalui sistem pengumpulan air hujan dan perlakuannya. Sistem pengumpulan air hujan itu sendiri dapat dibagi menjadi beberapa komponen seperti digambarkan pada Gambar 1.
Hermenegildus B.A. Suprapto, 2015, xx-xx
Si s tem Pengumpulan Air Hujan Luasan
Penangkap
Pengaliran
Filtrasi Awal
Penyimpanan
Pemurnian
Buatan Alami
Gambar 1. Komponen Pengumpulan Air Hujan [5]
3.1.
Luasan Penangkap
Luasan penangkap air hujan sebaiknya dibangun kedap air dan tidak mengkontaminasi air hujan. Sekarang, yang lazim digunakan sebagai luasan penangkap adalah atap dari struktur gedung tempat pemasangan sistem pemanfaatan air hujan. Material yang disarankan sebagai penangkap air hujan adalah material yang permukaannya halus dan tahan pada berbagai kondisi cuaca, seperti galvanized iron sheet, plastik, atau genting. Penggunaan cat pada material ini tidak disarankan karena dapat terbawa oleh air dan mengotori tangki penyimpanan air. Efektivitas penangkapan air hujan dapat diukur menggunakan runoff coefficient, yang didefinisikan sebagai air hujan yang turun mencapai permukaan dibandingkan dengan air hujan yang turun mencapai luasan penangkap. Nilai koefisien ini bisa memiliki harga kurang dari satu akibat evaporasi, kebocoran, tumpahan, dan tertinggal di luasan penangkap, namun rancangan atap yang standar dapat menghasilkan nilai koefisien yang cukup tinggi (0,7 – 0,9). 3.2.
Pengaliran
Sistem pengaliran dari luasan penangkap menuju tangki penyimpanan biasanya melibatkan talang (gutter) dan pipa air vertikal. Material yang lazim direkomendasikan untuk sistem pengaliran ini adalah galvanised steel, stainless steel, fibreglass dan plastik. Bentuk talang yang diakui sebagai bentuk yang paling efisien untuk mengalirkan air adalah semi-lingkaran. Sebagai aturan ibu jari [12], untuk setiap 1 m2
2
luasan penangkap dibutuhkan 1 cm2 luasan penampang talang. Aturan ini dibutuhkan untuk mencegah berkurangnya air akibat tumpahan keluar talang, namun masih dengan mempertimbangkan segi keekonomian dari pembangunan sistem penangkapan air hujan. Sebagai tambahan, dapat dipasang panel penahan percikan. Pipa vertikal yang digunakan untuk mengalirkan air hujan menuju tangki penyimpanan dapat dirancang lebih kecil dari talang karena air hujan dapat mengalir lebih cepat di dalam pipa vertikal. Untuk menjaga kualitas air yang ditangkap, diperlukan perawatan berkala pada talang dan pipa vertikal. 3.3.
Perlakuan Awal
Pemurnian awal air hujan dapat dilakukan dengan mudah menggunakan slow sand filtration. Agar lebih efektif, diperlukan aliran air yang konstan melalui filtrasi tersebut, sehingga metoda ini cocok digunakan di daerah tropis seperti Indonesia. Namun, karena keterbatasannya dalam mengurangi kadar mikroorganisme dalam air, metoda ini hanya cocok digunakan sebagai perlakuan awal (pretreatment).
3.4.
Penyimpanan
Tangki penyimpan air hujan merupakan komponen termahal dalam perancangan sistem penangkapan dan pemanfaatan air hujan. Tangki penyimpanan air hujan dapat memakan 30% hingga 70% dari seluruh biaya perancangan dan pemasangan. Prinsip optimasi perancangan tangki penyimpanan didasarkan pada kebutuhan air pada rumah tangga terkait. Gambar 2 menunjukkan bahwa besarnya tangki tidak sebanding dengan manfaatnya. Hal ini diakibatkan oleh siklus penggunaan air, di mana tangki yang kecil akan lebih sering diambil airnya dibandingkan dengan tangki yang besar. Oleh karena itu, perancangan ukuran tangki yang tepat menjadi kunci dalam biaya pemanfaatan air hujan.
Hermenegildus B.A. Suprapto, 2015, xx-xx
3
atau logam. Material-material ini memberikan beberapa keunggulan: kedap air, tahan lama, murah, dan minim kontaminasi.
Gambar 2. Keterkaitan Besar Tangki terhadap Manfaat [13]
Seperti terlihat pada Gambar 2, tangki yang terlalu besar berkurang manfaatnya dibandingkan kapasitasnya. Ini karena tangki yang terlalu besar memiliki rentang waktu pengosongan yang jarang, sehingga mengurangi kualitas air hujan yang ditampung. Selain itu, tangki yang terlalu besar akan membutuhkan biaya yang tinggi untuk pembangunan dan pemasangannya. Pada sisi lain, tangki yang dirancang terlalu kecil akan terlalu cepat kosong sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan air rumah tangga. Tangki air hujan dapat dibedakan menjadi dua menurut letaknya:
Tangki atas tanah memiliki keunggulan mudah dalam perawatan, mudah diamati apabila ada kerusakan, dan lebih murah. Tangki seperti ini banyak digunakan di Indonesia untuk menyimpan air. Namun, tangki atas tanah membutuhkan tempat yang bisa dimanfaatkan untuk bangunan lainnya. Tangki bawah tanah tidak memakan banyak tempat dibandingkan tangk atas tanah. Selain itu, temperatur bawah tanah cenderung lebih sejuk sehingga hilang air akibat penguapan berkurang. Namun, tangki bawah tanah cenderung lebih mahal dan sulit untuk dirawat dan diperbaiki apabila ada kerusakan, dan rentan terhadap kontaminasi air tanah.
Material tangki air hujan dapat sangat beragam tergantung dari kebutuhan dan pertimbangan lainnya. Tangki air hujan dapat dibangun dengan menggunakan beton, semen, batu bata,
Bentuk dari tangki air hujan biasanya ditentukan oleh letaknya. Tangki atas tanah lazim dibangun dengan bentuk kotak demi kemudahan konstruksi jika menggunakan material konstruksi bangunan, atau silinder apabila menggunakan bahan lainnya seperti plastik atau bambu. Tangki bawah tanah lazim dibangun dengan bentuk silindris atau bulat untuk menahan tekanan tanah apabila tangki tidak berisi air.
3.5.
Pemurnian
Pemurnian air yang keluar dari tangki penyimpanan dapat dimulai dengan menggunakan disinfektan. Disinfektan yang paling banyak digunakan dan juga paling mudah adalah klorin, yang dapat digunakan dengan menggunakan tawas. Klorinasi dilakukan setelah tangki penyimpanan untuk menghindari penumpukan sisa-sisa mikroorganisme yang mati di tangki sehingga menghasilkan lumpur. Agar efektif, klorinasi dilakukan hingga kandungan klorin di dalam air mencapai 0.4 – 0.5 mg/l. Untuk menghilangkan rasa dan bau klorin, penyaringan menggunakan activated carbon dapat dilakukan setelah unit disinfektan. Untuk mengolah air hujan menjadi air siap minum (potable water), diperlukan pengolahan yang relatif lebih kompleks daripada pengolahan menggunakan filter dan disinfektan [8], [14]. Pengolahan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti filtrasi menggunakan membran maupun distilasi. Filtrasi menggunakan membran dapat dilakukan dengan berbagai tipe membran [14]. Microfiltration (MF) memiliki rentang pori 0.03 hingga 0.1 mikron dan dapat digunakan untuk menghilangkan partikulat, alga, dan beberapa jenis mikroorganisme. Ultrafiltration (UF) memiliki rentang pori 0.002 hingga 0.1, sehingga kemampuannya di atas MF. Ditilik dari tipe material membran yang digunakan, pilihan yang tersedia cukup beragam. Salah satu teknologi baru untuk
Hermenegildus B.A. Suprapto, 2015, xx-xx
mengolah air hujan adalah membran filtrasi logam (Metal membran filtration, MMF) [15]. MMF memiliki beberapa keunggulan dibandingkan membran polimer konvensional: lebih tahan lama, lebih tahan pada tekanan (1 Mpa) dan temperatur (350°C) tinggi, tahan goncangan dan reaksi kimiawi korosif seperti ozonasi. Teknologi distilasi memisahkan air dari pengotornya menggunakan penguapan dan pengumpulan kondensat. Karena dasar dari teknologi ini adalah penguapan, distilasi membutuhkan energi yang relatif lebih tinggi dibandingkan teknologi lainnya. Namun demikian, distilasi dapat memurnikan air lebih baik dari hampir seluruh jenis pengotor. Pengotor yang terikut dalam uap air biasanya berupa zat organik yang mudah menguap, dan dapat dengan mudah disaring menggunakan activated carbon.
Gambar 3. Sistem Penangkapan Air Hujan Domestik
4. Kualitas Air Terolah Pengumpulan dan pemanfaatan air hujan memiliki sejarah yang panjang. Air hujan dipandang sebagai salah satu sumber air yang aman dalam sisi banyak dan jenis kontaminan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapat risiko kesehatan.
4
Kualitas air yang diolah bergantung pada kondisi, operasi, dan perawatan sistem pengumpulan air hujan. Selain itu, kualitas air terolah juga bergantung pada kualitas air hujan, yang terkait pada kualitas udara dan kebersihan luasan penampang (atap). Studi menunjukkan bahwa kualitas air hujan di Indonesia sudah cukup baik untuk diolah menjadi air siap pakai [16]. Penggunaan air hujan secara terbatas diyakini tidak akan memengaruhi kesehatan secara signifikan [18]. Selain itu, apabila luasan penampang dirawat secara berkala, konsentrasi mikroorganisme yang membahayakan (patogenik) seperti F. streptococci dan P. aeruginosa adalah sangat rendah [19]. Kondisi atap merupakan bagian terpenting dalam menentukan kualitas air hujan yang terkumpul. Partikulat, mikroorganisme, logam berat, dan zat organik dapat terkumpul pada atap, sehingga mengontaminasi air hujan yang dikumpulkan. Oleh karena itu, disarankan untuk mengumpulkan air hujan setelah membersihkan atap [17]. Selain itu, dianjurkan juga untuk membersihkan tangki penampung air hujan secara berkala untuk membersihkan kontaminasi partikulat yang mengendap pada tangki tersebut. Partikulat ini dapat berasal dari kontaminan pada sistem sebelumnya maupun akibat pembersihan itu sendiri. Di dalam tangki penyimpan, mungkin saja terbentuk biofilm yang menyerap zat logam, senyawa organik, maupun mikroorganisme patogen. Selain itu, logam-logam berat dan kontaminan lainnya dapat mengendap di dasar tangki. Beberapa karakteristik dari air hujan yang perlu diperhatikan dalam merancang sistem penampungan dan pemurnian air hujan adalah:
Kesadahan. Kandungan Besi dan Mangan pH Klorida Fluorida Total Dissolved Solids Kekeruhan Warna dan Aroma
Hermenegildus B.A. Suprapto, 2015, xx-xx
Total Coliform
Nilai dari karakteristik-karakteristik ini telah diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Kualitas Persyaratan Air Bersih. 5. Manfaat Sistem Pemanfaatan Air Hujan Beberapa manfaat sistem pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan domestik adalah sebagai berikut:
Air hujan yang telah diolah dikonsumsi / digunakan di dekat sarana pengolahan, sehingga mengurangi kemungkinan kontaminasi akibat sistem pemipaan seperti terjadi pada sistem yang tersedia secara publik. Sebagian besar dari kebutuhan air domestik dapat dipenuhi dengan memanfaatkan sistem pemanfaatan air hujan. Sistem pemanfaatam air hujan memiliki fleksibilitas sehingga dapat dipasang pada rumah yang baru maupun yang telah dibangun. Biaya operasi dan perawatan sistem pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan domestik relatif rendah. Air hujan dapat digunakan sebagai pengganti sumber air lainnya (sumur artesis/sumber publik) apabila sumbersumber tersebut terganggu.
Beberapa studi yang ada juga telah meneliti pengaruh skala dan faktor-faktor lain terhadap efektivitas pemanfaatan air hujan. Pada skala lingkungan rukun warga, sistem penangkapan air hujan dianjurkan dilakukan secara bersama menggunakan luasan penampang gabungan dari setiap bangunan yang ada. Studi menunjukkan bahwa efisiensi penangkapan air hujan yang dilakukan pada lingkungan yang lebih padat (apartemen) lebih tinggi daripada lingkungan yang lebih renggang (rumah terpisah) [11]. Pada skala yang lebih besar seperti pedesaan atau perkotaan, penampungan dan pemanfaatan air hujan dapat juga dimanfaatkan untuk mengurangi limpasan permukaan sehingga dapat mengurangi risiko
5
bahaya longsor maupun genangan akibat limpasan tersebut [5]. Daftar Pustaka [1] R.-H. Kim, S. Lee, and Y.-M. Kim, “Development of rainwater utilization system in Korea,” in XI International Conference on Rainwater Harvesting Systems, Mexico City, 2003. [2]
K. W. Kӧnig and D. W. AG, The rainwater technology handbook: rainharvesting in building. Wilo-Brain, 2001.
[3]
C.-H. Liaw and Y.-L. Tsai, “Optimum storage volume of rooftop rain water harvesting systems for domestic use,” Journal of the American Water Resources Association, vol. 40, no. 4, pp. 901–912, 2004.
[4]
E. Ghisi and S. M. de Oliveira, “Potential for potable water savings by combining the use of rainwater and greywater in houses in southern Brazil,” Building and Environment, vol. 42, no. 4, pp. 1731–1742, 2007.
[5]
A. Che-Ani, N. Shaari, A. Sairi, M. Zain, and M. Tahir, “Rainwater harvesting as an alternative water supply in the future,” European Journal of Scientific Research, vol. 34, no. 1, pp. 132–140, 2009.
[6]
R. D. of Nanaimo, Rainwater Harvesting Best Practices Guidebook. Regional District of Nanaimo, 2012.
[7]
R. F. M. Neto, M. L. Calijuri, I. de Castro Carvalho, and A. da Fonseca Santiago, “Rainwater treatment in airports using slow sand filtration followed by chlorination: Efficiency and costs,” Resources, Conservation and Recycling, vol. 65, pp. 124–129, 2012.
[8]
Z. Li, F. Boyle, and A. Reynolds, “Rainwater harvesting and greywater
Hermenegildus B.A. Suprapto, 2015, xx-xx
treatment systems for domestic application in Ireland,” Desalination, vol. 260, no. 1, pp. 1–8, 2010. [9]
D. J. Leggett, Rainwater and greywater use in buildings: best practice guidance. CIRIA, 2001.
[10] J. Griggs, M. Shouler, and J. Hall, “Water conservation and the built environment,” Architectural Digest for the 21st Century, School of Architecture, Oxford Brookes University, Oxford, pp. 3–14, 1997. [11] S. Angrill, R. Farreny, C. M. Gasol, X. Gabarrell, B. Viñolas, A. Josa, and J. Rieradevall, “Environmental analysis of rainwater harvesting infrastructures in diffuse and compact urban models of Mediterranean climate,” The International Journal of Life Cycle Assessment, vol. 17, no. 1, pp. 25–42, 2012. [12] J. Gould, E. Nissen-Petersen, and others, Rainwater catchment systems for domestic supply. Intermediate Technology, 1999. [13] B. Helmreich and H. Horn, “Opportunities in rainwater harvesting,” Desalination, vol. 248, no. 1, pp. 118– 124, 2009. [14] “Potable Rainwater: Filtration and Purification.” [Online]. Available: http://www.harvesth2o.com/filtration_pu rification.shtml#.VkPtGrcrKM8. [15] R.-H. Kim, S. Lee, and J.-O. Kim, “Application of a metal membrane for rainwater utilization: filtration characteristics and membrane fouling,” Desalination, vol. 177, no. 1, pp. 121– 132, 2005. [16] T. Untari and J. Kusnadi, “PEMANFAATAN AIR HUJAN SEBAGAI AIR LAYAK KONSUMSI DI KOTA MALANG DENGAN
6
METODE MODIFIKASI FILTRASI SEDERHANA [IN PRESS SEPTEMBER 2015],” Jurnal Pangan dan Agroindustri, vol. 3, no. 4, 2014. [17] E. Sazakli, A. Alexopoulos, and M. Leotsinidis, “Rainwater harvesting, quality assessment and utilization in Kefalonia Island, Greece,” Water research, vol. 41, no. 9, pp. 2039–2047, 2007. [18] F.-K. Lücke, Process Water of Potable Quality: Sense Or Nonsense? Mark Moodie, 1999. [19] E. Nolde, S. Christen, and W. Dott, “Experiences with using storm-water and treated greywater in Berlin households aspects of hygiene and grey water purification,” Proceedings of Sixth Junior Scientist Course, Kastanienbaum, Switzerland, 1993.