STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA MISKIN DI DAERAH PESISIR Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur
SLAMET WIDODO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir: Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2009
Slamet Widodo NRP: I351060011
ABSTRACT
SLAMET WIDODO. Livelihood Strategies of Poor Household in Coastal Areas: Case of Two Villages in Tuban and Bangkalan Regency, East Java Province. Under Direction of SAID RUSLI and ARIF SATRIA
Poverty is still a problem that threatens of Indonesia. The number of poor people in Indonesia in March 2007 of 37.17 million people, which means as much as 16.58 percent of Indonesians are under the poverty line. This study aims to find out the social structure, the causes of poverty and livelihood strategies of poor households in the area of research. Location research deliberately set in the in the Karangagung Village, Palang District, Tuban Regency reseprentasi as ethnic Javanese. Meanwhile, to represent the ethnic Madurese, research conducted in the Kwanyar Barat Village, Kwanyar District, Bangkalan District. The data are done with interviews, focus group discussion and observation. The data are then analyzed descriptive qualitative. Results of research shows that poor households occupy the bottom layer and have limited access to capital. Poverty is caused by the decrease of the catch. Special in Kwanyar Barat, the conflict seizing resources aggravate the situation. Livelihood strategies undertaken by the poor households consist of a strategy of social and economic strategy. The strategy consists of a source of economic sustenance double, optimizing the use of labor and migration. Strategy is done by using the social welfare of the traditional institutions and social capital in the community. Keywords : livelihood strategis, poor households, poverty
RINGKASAN
SLAMET WIDODO. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir Jawa Timur: Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur. Dibawah bimbingan SAID RUSLI dan ARIF SATRIA
Kemiskinan masih menjadi masalah yang mengancam Bangsa Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa yang berarti sebanyak 16,58 persen penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, pada bulan Maret 2006, jumlah penduduk miskin sebanyak 39,30 juta jiwa atau 17,75 persen. Penduduk miskin sebagian besar tinggal di perdesaan. Data terakhir pada bulan Maret 2007 menggambarkan bahwa penduduk miskin yang tinggal di perdesaan mencapai 63,52 persen dari jumlah keseluruhan penduduk miskin. Kemiskinan yang terjadi di perdesaan dipicu oleh semakin terbatasnya kesempatan kerja yang ada di perdesaan. Sebagian besar tenaga kerja yang ada di perdesaan mengandalkan sektor pertanian (dalam arti luas), padahal sektor pertanian sudah tidak mampu lagi menampung jumlah tenaga kerja yang ada. Sektor perikanan tangkap juga menunjukkan gejala yang sama. Gejala over fishing telah terjadi terutama di perairan Selat Madura. Tujuan penelitian ini adalah untuk; (1). Mengetahui struktur sosial di lokasi masing-masing lokasi penelitian, (2). Menentukan faktor penyebab kemiskinan di masing-masing lokasi penelitian dan (3). Menelaah strategi nafkah rumah tangga miskin di lokasi penelitian. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) di daerah yang mampu menggambarkan perbedaan kelompok etnik. Lokasi penelitian juga harus dapat menggambarkan keadaan penduduk yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan dua pertimbangan tersebut, penelitian dilakukan di Desa Karangagung, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban sebagai representasi etnik Jawa. Sedangkan untuk representasi etnik Madura dipilih Desa Kwanyar Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Kedua desa kasus merupakan potret desa nelayan tradisional. Karang Agung terletak di pesisir utara Jawa sedangkan Kwanyar Barat berada di pesisir selatan Madura. Wilayah tangkap kedua desa mempunyai karakteristik yang berbeda. Karang Agung mempunyai wilayah tangkap pada lautan bebas yaitu laut Jawa, sedangkan Kwanyar Barat wilayah tangkapnya berada di perairan selat Madura. Kondisi ini menyebabkan perbedaan potensi sekaligus resiko dalam penangkapan ikan. Wilayah tangkap nelayan Kwanyar Barat lebih beresiko menimbulkan konflik perebutan wilayah dengan nelayan daerah lain. Kondisi perairan selat yang sempit dan saling berhadapan menyebabkan konflik bisa muncul. Kondisi sarana dan prasarana di kedua desa hampir sama seperti halnya desa-desa Jawa yang lain. Namun demikian secara ekonomi, Karang Agung lebih
diuntungkan karena berada di jalur lalu lintas yang menghubungkan kota-kota di Jawa. Kwanyar Barat tidak berada di jalur lalu lintas yang ramai sehingga secara ekonomi kurang berkembang. Karakteristik penduduk juga hampir sama, dengan mayoritas penduduk bekerja di sektor perikanan laut dan pertanian. Fasilitas pendidikan dan kesehatan di kedua desa juga tidak ada perbedaan yang berarti. Pola permukiman di kedua desa kasus juga mempunyai banyak persamaan. Permukiman berpusat di daerah sekitar pantai dan merupakan permukiman padat penduduk. Teknik penangkapan ikan di kedua desa masih tergolong sederhana. Perahu yang digunakan berukuran kecil yang mampu menampung tiga orang awak dengan dilengkapi mesin motor bertenaga 5 PK. Penjualan ikan hasil tangkapan juga masih menggunakan cara yang sederhana yaitu dijual langsung ke pedagang sesaat setelah perahu merapat di pantai. Anggota rumah tangga perempuan terlibat aktif dalam kegiatan penjualan ikan ini. Selain dijual langsung, ikan hasil tangkapan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan lauk sehari-hari. Kegiatan ekonomi di bidang pertanian lebih berkembang di Karang Agung dibandingkan Kwanyar Barat. Karang Agung didominasi oleh lahan sawah yang cukup produktif, sedangkan Kwanyar Barat areal pertanian berupa lahan kering dengan sumber pengariran dari curah hujan. Komoditas pertanian utama yang diusahakan di Karang Agung adalah padi sawah yang mampu panen dua kali dalam satu tahun. Jagung merupakan komoditas utama bagi pertanian Kwanyar Barat. Potensi lain yang dimiliki oleh Karang Agung adalah perikanan darat berupa tambak dengan bandeng sebagai komoditas utamanya. Kedua desa kasus berbeda dalam karakteristik sosial budaya. Nuansa islam sangat mendominasi Kwanyar Barat, sangat berbeda dengan Karang Agung yang lebih mengarah pada bentuk masyarakat Jawa pesisir. Pelapisan sosial di kedua desa sangat berbeda, Karang Agung mendasari pelapisan sosialnya berdasarkan pengaruh akan kekuasaan sedangkan Kwanyar Barat menggunakan agama. Lapisan atas di Karang Agung diisi oleh aparat pemerintahan dan pegawai negeri. Status pegawai negeri menjadi salah satu simbol status yang sangat bergengsi di Karang Agung. Lapisan atas di Kwanyar Barat diisi oleh kiai dan keluarganya. Penghormatan terhadap sosok kiai sangat terasa di Madura, bahkan terdapat nilai bapak-bebuk, guru, rato yang hingga kini dipegang teguh oleh masyarakat Madura. Lapisan menengah di Karang Agung diisi oleh para pekerja swasta, petani dan pedagang. Sedangkan di Kwanyar Barat lapisan ini ditempati oleh keluarga yang telah menunaikan ibadah haji. Gelar haji merupakan simbol status sosial yang cukup disegani di Kwanyar Barat. Lapisan paling bawah di Karang Agung ditempati oleh buruh tani, nelayan dan Sistem kekerabatan di kedua desa mempunyai persamaan yaitu berdasarkan atas garis keturunan ibu dan ayah. Struktur keluarga juga mengenal adanya keluarga dekat dan keluarga jauh. Sistem kekerabatan masyarakat Kwanyar Barat mengenal tiga kategori atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat dekat), dan taretan jau (kerabat jauh). Sedangkan masyarakat Karang Agung mengenal dulur parek (kerabat dekat) dan dulur adoh (kerabat jauh).
Kemiskinan di kedua desa kasus disebabkan oleh rendahnya akses rumah tangga terhadap sumber-sumber nafkah. Kondisi ini semakin diperparah dengan meningkatnya biaya hidup seiring naiknya harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga BBM menjadi masalah tersendiri bagi rumah tangga nelayan karena meningkatkan biaya melaut. Rumah tangga nelayan miskin di Kwanyar Barat mengalami tekanan yang lebih berat dibandingkan Karang Agung karena konflik antar nelayan seringkali terjadi. Konflik perebutan wilayah tangkap ini menyebabkan nelayan Kwanyar Barat mengurangi jadwal melaut, hal ini memperparah kondisi keuangan rumah tangga. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin di kedua desa kasus pada dasarnya hampir sama. Rumah tangga miskin melakukan berbagai bentuk strategi nafkah sebagi upaya untuk tetap mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangganya. Rumah tangga miskin mencoba memperluas basis nafkahnya, bukan saja terbatas pada basis nafkah on farm dan off farm saja, namun telah meluas hingga non farm. Hal ini terlihat dari banyaknya anggota rumah tangga miskin yang bekerja sebagai buruh pabrik maupun bekerja di sektor jasa yang tidak mempunyai kaitan dengan perikanan. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga miskin di Karang Agung tampak lebih memperlihatkan peran perempuan. Perempuan terlibat aktif dalam kegiatan pencarian nafkah rumah tangga. Apabila dilihat dari sumbangan nafkah perempuan terhadap rumah tangga juga relatif lebih besar dibandingkan dengan Kwanyar Barat. Penduduk perempuan Karang Agung mempunyai kesempatan untuk bekerja sebagai buruh di pabrik rokok dengan pendapatan yang cukup baik. Kesempatan ini ternyata tidak didapatkan oleh penduduk perempuan Kwanyar Barat. Potensi industri besar yang padat karya belum terlihat di Kwanyar Barat, bahkan di Madura pada umumnya. Perbedaan corak strategi nafkah di kedua desa kasus ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengembangkan industrialisasi di perdesaan. Industri dengan corak padat karya lebih tepat diarahkan pada daerah perdesaan dengan keterbatasan sumber daya alam. Perbedaan lain yang tampak mencolok adalah fenomena judi yang hanya terlihat pada masyarakat Karang Agung. Kuatnya pengaruh Islam di Kwanyar Barat menyebabkan masyarakat setempat begitu terikat kuat dengan norma dan nilai religius, suatu yang berbeda dengan masyarakat Karang Agung. Judi menjadi masalah tersendiri yang apabila tidak ditangani dengan baik dikhawatirkan dapat menjadi penyebab kemiskinan walaupun secara terselubung. Namun demikian, hingga saat ini masyarakat Karang Agung masih menganggap judi hanya sebagai hiburan dan sarana mengadu nasib untuk memenuhi kebutuhan hidup.
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan kritik atau tinjauan suatu maslaah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA MISKIN DI DAERAH PESISIR Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur
SLAMET WIDODO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
Nama NRP
: Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir: Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur : Slamet Widodo : I351060011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP. MSi. Anggota
Ir. Said Rusli, MA. Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA.
Tanggal Ujian : 29 Januari 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah atas segala limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir: Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur”. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ir. Said Rusli, MA dan Dr. Arif Satria, SP. MSi selaku komisi pembimbing atas semua masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Dr. Rilus Kinseng yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing dan juga telah memberikan masukan yang memperkaya tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan sehingga penulis mampu menyelesaikan studi jenjang magister di IPB. Tanpa bantuan itu semua, penulis tidak akan bisa menyelesaikan studi ini dengan baik. Penulis berharap tesis ini dapat memperkaya khasanah keilmuan serta dapat memberi masukan kepada pengambil kebijakan sehingga kesejahteraan masyarakat di pedesaan semakin meningkat. Amin.
Bogor, Februari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Jakin Surjopranowo dan Sri Moerni. Penulis lahir di Tuban pada tanggal 20 April 1981. Masa kecil hingga SMA penulis habiskan di Tuban, sebuah kota kecil di pantai utara Jawa Timur. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan studi ke jenjang sarjana di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Pada tahun 2003 penulis berhasil meraih gelar Sarjana Pertanian. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Universitas Trunojoyo, Bangkalan. Tahun 2006, penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang magister di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapatkan beasiswa studi dari Ditjen Dikti melalui program BPPS.
DAFTAR ISI
Daftar Isi .......................................................................................................xii Daftar Tabel ................................................................................................. xiv Daftar Gambar ............................................................................................. xvi PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 Perumusan Masalah ........................................................................................ 5 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 6 LANDASAN TEORI .................................................................................... 7 Struktur Sosial ................................................................................................ 7 Karakteristik Masyarakat Pesisir .................................................................. 11 Kemiskinan; Sikap Mental atau Keterbatasan Akses ................................... 14 Ukuran Kemiskinan ...................................................................................... 18 Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin ....................................................... 21 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 26 Definisi Operasional ..................................................................................... 29 METODE PENELITIAN .......................................................................... 30 Lokasi Penelitian .......................................................................................... 30 Pengumpulan Data ....................................................................................... 31 Analisis Data ................................................................................................ 34 POTRET DESA NELAYAN TRADISIONAL ........................................ 36 Karang Agung .............................................................................................. 37 Kependudukan ..................................................................................... 42 Teknik Penangkapan Ikan dan Kegiatan Ekonomi ............................. 43 Kwanyar Barat .............................................................................................. 47 Kependudukan ..................................................................................... 50 Teknik Penangkapan Ikan dan Kegiatan Ekonomi ............................. 51 Ikhtisar .......................................................................................................... 53 STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DESA NELAYAN.................. 56 Karang Agung; Budaya Jawa dan Abangan ................................................. 56 Pelapisan Sosial ................................................................................... 56 Relasi Sosial ........................................................................................ 59 Tata Nilai dan Norma .......................................................................... 64 Kelembagaan ....................................................................................... 65
xii
Kwanyar Barat; Budaya Madura dan Kentalnya Nilai Islam ....................... 66 Pelapisan Sosial ................................................................................... 66 Relasi Sosial ........................................................................................ 70 Tata Nilai dan Norma .......................................................................... 71 Kelembagaan ....................................................................................... 72 Ikhtisar .......................................................................................................... 73 KEMISKINAN DI TINGKAT LOKAL................................................... 76 Karang Agung .............................................................................................. 77 Penyebab Kemiskinan ......................................................................... 77 Ukuran Kemiskinan ............................................................................. 82 Kwanyar Barat .............................................................................................. 89 Penyebab Kemiskinan ......................................................................... 89 Ukuran Kemiskinan ............................................................................. 93 Ikhtisar .......................................................................................................... 99 STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA MISKIN .......................... 102 Karang Agung ............................................................................................ 103 Strategi Ekonomi ............................................................................... 103 Strategi Sosial .................................................................................... 116 Kwanyar Barat ............................................................................................ 119 Strategi Ekonomi ............................................................................... 120 Strategi Sosial .................................................................................... 126 Ikhtisar ........................................................................................................ 129 PENUTUP ................................................................................................. 133 Simpulan ..................................................................................................... 133 Saran ........................................................................................................... 135 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 137 Lampiran ................................................................................................... 139
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah penduduk miskin menurut daerah tempat tinggal, 1996-2007........................................................................................ 1 Tabel 2. Tujuan dan metode pengumpulan data .......................................... 32 Tabel 3. Indikator kemiskinan lokal di Karang Agung ............................... 84 Tabel 4. Pengeluaran untuk kebutuhan pangan minimal ............................ 85 Tabel 5. Indikator kemiskinan lokal di Kwanyar Barat .............................. 96 Tabel 6. Perbandingan indikator kemiskinan BPS dan lokal .................... 100 Tabel 7. Strategi ekonomi rumah tangga nelayan miskin Karang Agung ............................................................................. 113 Tabel 8. Strategi sosial rumah tangga nelayan miskin Karang Agung...... 119 Tabel 9. Strategi ekonomi rumah tangga nelayan miskin Kwanyar Barat............................................................................. 123 Tabel 10. Strategi sosial rumah tangga nelayan miskin di Kwanyar Barat............................................................................. 128
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5.
Diagram kerangka pemikiran ................................................... 28 Alur analisis data kualitatif ....................................................... 35 Sistem kekerabatan masyarakat Karang Agung ....................... 60 Pelapisan sosial di dua desa kasus ............................................ 74 Sketsa strategi nafkah rumah tangga nelayan miskin di Karang Agung .................................................................... 131 Gambar 6. Sketsa strategi nafkah rumah tangga nelayan miskin di Kwanyar Barat .................................................................... 132
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4.
Kasus rumah tangga nelayan miskin.................................... 139 Peta lokasi penelitian ........................................................... 150 Foto armada dan alat tangkap yang digunakan .................... 151 Foto kondisi rumah dan kegiatan ekonomi .......................... 152
xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi masalah yang mengancam Bangsa Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa yang berarti sebanyak 16,58 persen penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, pada bulan Maret 2006, jumlah penduduk miskin sebanyak 39,30 juta jiwa atau 17,75 persen (BPS, 2007). Walaupun mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin masih cukup besar. Besarnya jumlah penduduk miskin menimbulkan pertanyaan apakah pembangunan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah mengalami kegagalan. Kemiskinan merupakan salah satu indikator yang paling jelas menunjukkan keberhasilan pembangunan nasional. Tabel 1. Jumlah penduduk miskin menurut daerah tempat tinggal, 1996-2007 Tahun
1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Kota Juta Jiwa 9,42 17,60 15,64 12,30 8,60 13,30 12,20 11,40 12,40 14,29 13,56
Jumlah Penduduk Miskin Desa % Juta Jiwa 26,9 25,59 35,6 31,90 32,6 32,33 31,8 26,40 22,7 29,30 34,6 25,10 32,7 25,10 31,5 24,80 35,3 22,70 36,6 24,76 36,5 23,61
% 73,1 64,4 67,4 68,2 77,3 65,4 67,3 68,5 64,7 63,4 63,5
Total Juta Jiwa 34,01 49,50 47,97 38,70 37,90 38,40 37,30 36,10 35,10 39,05 37,17
Sumber : BPS, 2007.
1
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2007 berfluktuasi dari tahun ke tahun (Tabel 1). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 2,11 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 2,09 juta orang. Penduduk miskin sebagian besar tinggal di perdesaan. Data terakhir pada bulan Maret 2007 menggambarkan bahwa penduduk miskin yang tinggal di perdesaan mencapai 63,52 persen dari jumlah keseluruhan penduduk miskin (BPS, 2007). Kemiskinan yang terjadi di perdesaan dipicu oleh semakin terbatasnya kesempatan kerja yang ada di perdesaan. Sebagian besar tenaga kerja yang ada di perdesaan mengandalkan sektor pertanian (dalam arti luas), padahal sektor pertanian sudah tidak mampu lagi menampung jumlah tenaga kerja yang ada. Sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan bagi sebagian besar penduduk di perdesaan saat ini sudah tidak mampu menampung mereka. Konsep
2
kemiskinan berbagi (shared proverty) yang disampaikan oleh Geertz semakin terbukti saat ini. Permasalahan sektor pertanian juga dialami oleh sektor perikanan. Peningkatan jumlah penduduk tidak diimbangi dengan dukungan jumlah sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan. Kondisi ekologi yang sudah tidak mendukung lagi menyebabkan tekanan ekonomi bagi penduduk yang mengantungkan hidupnya pada sektor perikanan tangkap. Terlebih ketika kebijakan pemerintah sering tidak berpihak pada nelayan, terutama nelayan kecil. Salah satu contoh nyata adalah kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak. Mau tidak mau rumah tangga nelayan miskin harus mampu beradaptasi untuk bertahan hidup. Strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desadesa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat. Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.
3
Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi adaptasi tersebut diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor telah membatasi akses mereka. Oleh karena itu, dengan keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan mengembangkan sistem “jejaring sosial“ yang merupakan pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan sosial diartikan sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok orang (Kusnadi, 2000). Jawa Timur, sebagian besar wilayahnya memiliki tipe ekologi pesisir sehingga sangat rentan terhadap kemiskinan. Kajian yang telah dilakukan Muhsoni (2006) menunjukkan bahwa hasil estimasi perikanan pelagis di perairan Selat Madura mendapatkan effort optimal (Eopt) 461.385,99 trip per tahun, total hasil tangkapan pada kondisi keseimbangan (Cmsy) dicapai pada 46.500,06 ton per tahun dan indikasi terjadinya over fishing sudah terjadi sejak tahun 1997. Perikanan demersal di perairan Selat Madura menunjukkan jumlah effort optimal (Eopt) mencapai 75.8962,95 trip/tahun dan total produksi keseimbangan (Cmsy) 24.999,80 ton/tahun dan kondisi over fishing terjadi sejak tiga tahun terakhir. Data tahun 2005 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Jawa Timur mencapai 8,4 juta jiwa. Secara etnik, penduduk Jawa Timur termasuk dalam dua kelompok etnik besar, yaitu Jawa dan Madura. Perbedaan etnik inilah yang
4
menarik untuk dikaji terutama hubungannya dengan strategi nafkah rumah tangga yang dilakukan oleh rumah tangga miskin.
Perumusan Masalah Masyarakat miskin yang berada kawasan pesisir menghadapi berbagai permasalahan
yang
menyebabkan
kemiskinan.
Pada
umumnya
mereka
menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung musim. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai.
Hasil tangkapan juga mudah rusak
sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu, pola hubungan eksploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan, serta usaha nelayan yang bersifat
musiman dan tidak menentu menyebabkan
masyarakat miskin di kawasan pesisir cenderung sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan dan belitan hutang pedagang atau pemilik kapal. Secara garis besar permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana struktur sosial masyarakat pada lokasi penelitian ? 2. Faktor-faktor apa sajakah
yang
menyebabkan kemiskinan di
lokasi
penelitian ?
5
3. Bagaimana strategi nafkah rumah tangga miskin di lokasi penelitian ?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengetahui struktur sosial di lokasi masing-masing lokasi penelitian.
2.
Menentukan faktor penyebab kemiskinan di masing-masing lokasi penelitian.
3.
Menelaah strategi nafkah rumah tangga miskin di lokasi penelitian.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru tentang strategi nafkah rumah tangga miskin di daerah pesisir. Informasi baru tersebut mencakup peran sistem sosial, ekologi dan kebijakan pemerintah terhadap strategi nafkah rumah tangga miskin. Informasi baru yang diharapkan dapat menjadi temuan berharga adalah kemampuan sistem sosial yang ada dalam masyarakat dalam menunjang strategi nafkah rumah tangga miskin. Hasil
penelitian
akan
bermanfaat
dalam
pengambilan
kebijakan
penanggulangan kemiskinan berbasis komunitas. Informasi yang diperoleh dapat digunakan dalam menentukan model dan pendekatan yang akan dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pendekatan kultural diharapkan akan dapat lebih memberikan peluang keberhasilan sekaligus lebih menyentuh pada sistem sosial masyarakat.
6
LANDASAN TEORI
Struktur Sosial Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi. Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Linton (1967), dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan
7
statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi. Marx mengikuti teori ekonomik klasik yang cukup ortodok, membedakan tiga kelas utama, masing-masingnya dicirikan dalam perannya di dalam sistem produktif oleh faktor produksi yang dikendalikannya. Wujud kelas utama ini kaum kapitalis (borjuis) oleh pemilikan atas modal, dan kaum proletar (kelas pekerja) oleh kepemilikan atas kekuatan kerja. Faktor kapital memang merupakan kunci dalam terbentuknya kelas-kelas sosial kalau digunakan perspektif Marxis ini. Penguasaan kapital semakin besar, maka semakin besar kesempatan mobilitas ke kelas atas. Kelas sosialnya semakin ke atas, maka semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik, kebijakan publik dan seterusnya (Worsley, 1992). Marx menekankan betapa pentingnya faktor ekonomi dalam menentukan kehidupan sosial, terutama sekali Marx menekankan bahwa sistem ekonomi yang cenderung kapitalislah yang telah menjadi sebab ketidakadilan dan kesenjangan struktur kelas-kelas dalam masyarakat (Sugihen, 1997) Marx mengungkapkan bahwa kelas secara tetap berkaitan dengan posisi kelompok yang berbeda-beda dalam hubungan produksi, yaitu cara kelompok-kelompok khusus terlibat dalam
8
proses masyarakat memproduksi dirinya. Posisi dalam hubungan produksi ini bisa sebagai pemilik atau sebagai pengawas alat-alat produksi, sebagai produsen langsung, dan sebagai buruh upahan. Analisa Weberian menempatkan kelas dalam posisi ekonomi berhadapan dengan status yang merupakan distribusi kehormatan dan prestise dan kekuasaan politik (Tanter dan Kenneth, 1989). Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970). Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970). Weber mengadakan pembedaan antara dasar ekonomi dengan dasar kedudukan sosial akan tetapi tetap menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan.
9
Kelas ekonomi ini dibaginya lagi dalam sub kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Selain itu, Weber masih menyebutkan Menurut Keesing (1992), untuk mengkaji struktur sosial maka perlu dilihat pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi. Struktur itu sendiri dapat diartikan sebagai pengaturan atau penatalaksanaan yang ditujukan agar tercipta suatu suasana tertib. Struktur sosial memiliki arti sebagai penataan relasi-relasi sosial yang sedemikian kompleks sehingga tercipta sebuah pola keteraturan yang dilanggengkan dalam suatu sistem sosial. Relasi sosial dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari sistem kekerabatan yang berlaku. Sistem kekerabatan merupakan bentuk relasi sosial antar individu yang didasarkan atas pertalian darah. Relasi sosial ini bisa terbentuk diantara individu dalam satu kelompok masyarakat, antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk pula antara rakyat dan pemerintah dalam suatu negara. Dalam memahami relasi sosial ini maka terkandung pula di dalamnya berbagai perpektif seperti relasi gender, kelas, hubungan antar etnik, budaya dan kelompok umur. Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial karena dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dan relasi sosial dari suatu masyarakat. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan.
10
Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir secara sosio-kultural merupakan suatu kelompok masyarakat yang akar budayanya pada mulanya dibangun atas paduan antara budaya maritim laut, pantai dan berorientasi pasar (Nafis, 1998). Tradisi ini berkembang menjadi budaya dan sikap hidup yang kosmopolitan, inklusivistik, egaliter, outward looking, dinamis, enterpreneurship dan pluralistik. Potensi konflik dalam masyarakat pesisir terkait dengan pola kepemilikan dan penguasaan terhadap sumberdaya alam. Sifat dari pola kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam wilayah pesisir itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu: (1) tanpa pemilik (open access property); (2) milik masyarakat atau komunal (common property); (3) milik pemerintah (public state property); (4) milik pribadi (private property). Perbedaan mendasar masyarakat pesisir dan masyarakat agraris adalah pada akses terhadap sumberdaya. Laut merupakan sumberdaya alam yang bersifat open acces sehingga siapapun dapat mengaksesnya. Sangat berbeda dengan sumberdaya lahan pada masyarakat agraris. Sumberdaya yang bersifat terbuka ini menyebabkan persaingan antar nelayan menjadi semakin keras. Tidak mengherankan nelayan atau penduduk pesisir pada umumnya memiliki karakter yang keras. Terlebih resiko pekerjaan yang tinggi baik dalam keselamatan jiwa maupun ekonomi (Satria, 2002). Kondisi sosial ekonomi wilayah pesisir umumnya sangat memprihatinkan yang ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas dan pendapatan. Ciri umum kondisi sosial ekonomi rumah tangga pesisir adalah: (1)
11
rumah tangga sebagai unit produksi, konsumsi, unit reproduksi dan unit interaksi sosial ekonomi politik; (2) rumah tangga pesisir bertujuan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarganya sehingga tujuan ini merupakan syarat mutlak untuk menentukan keputusan-keputusan ekonomi terutama dalam usaha produksi; (3) dalam keadaan kurang sarana produksi seperti alat tangkap, maka semua anggota keluarga yang sehat harus ikut dalam usaha ekonomi rumah tangga; (4) karena berada dalam garis kemisikinan, maka rumah tangga pesisir bersifat safety first. Mereka umumnya akan bersifat menunggu dan melihat terhadap introduksi teknologi baru dan pengaruhnya terhadap ekonomi keluarga. Dengan demikian akan selalu meminimalkan kemungkinan kegagalan usaha daripada mencari peluang untuk mendapatkan hasil maksimal, karena kegagalan usaha berarti mengancam eksistensi keluarga. Secara garis besar nelayan dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu nelayan kecil dan nelayan besar. Nelayan kecil dicirikan dengan masih rendahnya teknologi pada alat tangkap dan armada yang digunakan. Secara kultural, masyarakat nelayan kecil masih berorientasi subsisten. Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan nelayan besar yang telah menggunakan teknologi modern pada alat tangkap maupun armadanya. Nelayan besar sudah tidak lagi berada pada kondisi subsisten namun telah berada pada tingkat komersialis lanjut. Karakteristik lain yang bisa dilihat pada penggunaan tenaga kerja. Nelayan kecil lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga, sedangkan nelayan besar telah mempekerjakan tenaga buruh upahan dengan jumlah yang besar (Mubyarto, 1984; Satria, 2002).
12
Karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor etnis. Etnis Jawa lebih dikenal sebagai masyarakat agraris dibanding masyarakat pesisir. Karakter sosial budaya masyarakat pesisir Jawa lebih bersifat Javanese peasant society . Perilaku kolektif masyarakatnya cenderung “kurang” gigih melaut ke lepas pantai. Namun demikian laut masih dianggap sebagai sumber pendapatan utama (Anonymous, 1999). Karakteristik masyarakat Madura yang dibentuk oleh kondisi geografis dan topografis Pulau Madura pada dasarnya lekat dengan budaya masyarakat hidraulis (air). Akibat kondisi lahan yang tandus, orang Madura lebih banyak menggantungkan hidup pada laut sehingga mereka pun berpola kehidupan bahari yang penuh tantangan. Inilah yang kemudian melahirkan perilaku sosial yang bercirikan keberanian tinggi, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, berjiwa keras, dan ulet dalam hidup. Tak mengherankan jika dalam sikap dan perilaku sosial mereka itu tumbuh harga diri yang kadang-kadang berlebihan dan mengundang munculnya konflik (Anonymous, 2006). Perbedaan nilai budaya masyarakat Jawa dan Madura dapat pula dilihat dari sastra yang berkembang berupa ungkapan, pepatah dan syair lagu. Alon-alon waton kelalon, mangan ora mangan sing penting kumpul menjadi sebuah pepatah dan semboyan bagi masyarakat Jawa. Walaupun masyarakat Jawa juga memiliki jer basuki mawa beya, namun seolah tertutup oleh dua pepatah di depan. Masyarakat Madura juga dikenal sebagai sosok pelaut yang berani lewat syair lagu abental ombak sapo’ angen salajenga. Harga diri merupakan suatu yang penting bagi masyarakat Madura, paling tidak pepatah lebbi bagus pote tollang,
13
atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata).
Kemiskinan Setiadi (2006), menjelaskan bahwa kemiskinan adalah masalah struktural dan multi dimensional yang mencakup politik, sosial dan ekonomi. Konsep kemiskinan mengandung tiga arti, yaitu kemiskinan sosial (social poverty), pauperisma (pauperism) dan kemiskinan moral (moral poverty). Kemiskinan sosial mengandung arti tidak hanya ketidaksamaan yang bersifat ekonomi, misalnya dalam hal pemilikan kekayaan materil atau pendapatan, akan tetapi juga yang bersifat sosial seperti adanya perasaan rendah diri (inferiority), ketergantungan dan sebagainya. Sedangkan pauperisma mengandung arti tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara dirinya sendiri tanpa bantuan dari luar atau orang lain sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan minimal. Mengenai kemiskinan moral bertalian dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Kemiskinan dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Hermanto (1995)
14
menyatakan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai sebuah keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan pangan. Sedangkan Mangkuprawira (1993) mendefinisikan kemiskinan sebagai bentuk ketidakberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun non materi. Ellis (2000), membedakan kemiskinan dalam tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi dibedakan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum, sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan masyarakat sekitar. Kemiskinan sosial merupakan kemiskinan sebagai akibat rendahnya kemampuan dalam membangun jaringan sosial serta struktur yang tidak mampu mendukung usaha peningkatan produktivitas. Kemiskinan sosial disebabkan oleh adanya faktor sikap mental dan nilai budaya yang ada dalam masyarakat sehingg sering disebut juga sebagai kemiskinan kultural. Sedangkan kemiskinan politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan pada masyarakat petani dapat dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi sepanjang tahun, pengeluaran yang cenderung pada kegiatan konsumtif, tingkat pendidikan keluarga yang rendah, kelembagaan yang belum
15
mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga belum dapat dimanfaatkan dengan baik dan akses terhadap permodalan yang rendah (Hermanto, 1995). Sedangkan Kusnadi (2002), berpendapat bahwa ciri umum yang dapat dilihat dari kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi yang ada dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Marger dalam Tambunan (2001) mengajukan teori lingkaran kemiskinan yang mencoba menjelaskan mengapa manusia bisa menjadi miskin. Kemiskinan merupakan ketiadaan akses individu terhadap sumberdaya. Secara stratifikasi sosial, penduduk miskin akan menempati strata paling rendah pada segala bidang mulai dari pendapatan, kesempatan mendapatkan kerja dan pendidikan. Kesemuanya akan membentuk suatu siklus dan sangat sulit untuk keluar dari siklus tersebut. Penduduk miskin secara mudah dapat diidentifikasi dari tingkat pendapatan yang rendah. Pendapatan rendah ini mengakibatkan akses terhadap pendidikan rendah yang berujung pada peluang mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi sangat sulit. Upah rendah ini kembali menyebabkan penduduk tersebut jatuh miskin, demikian terus berulang hingga anak-anak mereka. Berbagai pendapat tentang kemiskinan masih menjadi perdebatan sengit. Terdapat dua kutub yang saling bertentangan, di satu pihak menyatakan sikap mental atau budaya masyarakat yang kurang mendukung pembangunan sehingga masyarakat sulit keluar dari kemiskinan. Sedangkan terdapat pihak lain yang menyatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat keterbatasan akses terhadap faktor
16
produksi sebagai akibat kapitalisme dan eksploitasi sumber daya alam. Perdebatan sengit ini telah lama berlangsung pada aras makro. Lahirnya perspektif modernisasi yang memandang masyarakat tradisional apabila ingin maju harus bersentuhan langsung dengan masyarakat modern. Kunci penyelesaian masalah pada masyarakat tradisional tersebut adalah dengan perombakan struktur sosial dan fungsi sosial yang ada. Apabila terjadi kegagalan dalam proses modernisasi tersebut maka kesalahan terjadi pada masyarakat tradisional termasuk di dalamnya sikap mental atau budaya, hal ini dapat diartikan bahwa kemiskinan yang terjadi pada petani disebabkan oleh adanya “budaya miskin”. Kelompok etnik yang memiliki nilai budaya berbeda dianggap turut memberikan andil dalam memahami masalah kemiskinan. Berbagai penelitian yang ada belum menggambarkan peranan nilai budaya dalam kemiskinan. Budaya Jawa yang dikenal “nrimo ing pandum” (menerima takdir) seakan turut melanggengkan kemiskinan di perdesaan. Tidak sebatas pada konsepsi “nrimo ing pandum” semata, konsepsi “mangan ora mangan, sing penting kumpul” (makan atau tidak, yang penting bisa berkumpul dengan keluarga) turut melanggengkan kemiskinan di masyarakat Jawa. Jawa dikenal tidak memiliki budaya berdagang dan merantau seperti halnya yang dimiliki oleh etnik Minang dan Madura. Untuk itu, penelitian ini mencoba membandingkan dua kelompok etnik, Jawa dan Madura dalam menyikapi kemiskinan.
17
Ukuran Kemiskinan Sayogyo menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah perdesaan dan perkotaan. Untuk daerah perdesaan, apabila seseorang mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun (Cahyat, 2004). Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhan-kebutuhan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. BPS pertama kali melaporkan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup periode 19761981 dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survai Sosial Ekonomi Nasional). Garis Kemiskinan digunakan dan ditetapkan oleh BPS untuk menghitung jumlah penduduk dan rumah tangga miskin. Artinya penduduk yang nilai pengeluaran di bawah garis kemiskinan maka dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan
18
minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. Garis kemiskinan ukan makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan (BPS, 2007). Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survai juga berbeda di mana pada BPS digunakan rumah tangga sedangkan BKKBN menggunakan keluarga, hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Pendataan keluarga dilakukan oleh BKKBN setiap tahun sejak tahun 1994. Pendataan keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. BKKBN mengelompokkan keluarga menjadi empat kelompok, yaitu keluarga pra sejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III dan sejahtera III plus. Pendekatan
pembangunan
manusia
dipromosikan
oleh
lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United Nation Development Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara. HDR
berisikan
penjelasan
tentang
empat
indeks
yaitu
Indeks
Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Indeks
19
Pembangunan Gender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Gender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Indeks Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI). Pengertian dan indikator HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam konsep ini, juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat. Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi. Menurut Cahyat (2004), pendekatan pembangunan manusia jelas berbeda dengan pendekatan-pendekatan konvensional seperti pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan pertumbuhan ekonomi hanya mengejar peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) daripada memperbaiki kualitas hidup manusia. Pendekatan pembangunan sumber daya manusia menjadikan manusia sebagai faktor input dalam proses produksi, sehingga manusia lebih dilihat sebagai alat daripada sebagai tujuan. Pembangunan kesejahteraan masyarakat seringkali melihat masyarakat sebagai penerima manfaat daripada sebagai agen perubahan dalam
20
proses pembangunan. Dalam konsep pembangunan manusia, pertumbuhan tidak dilihat sebagai tujuan melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin Konsep mata pencaharian (livelihood) sangat penting dalam memahami coping strategies karena merupakan bagian dari atau bahkan kadang-kadang dianggap sama dengan strategi mata pencaharian (livelihood strategies). Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna mendukung dan menjamin kehidupan (Ellis, 2000). Strategi nafkah meliputi aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Semakin beragam pilihan sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah. Secara jelas dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya pola intensifikasi dan diversifikasi. Strategi nafkah juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi produksi melalui usaha cost minimization dan profit maximization. Selain adanya pilihan, strategi nafkah mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola hubungan sosial juga turut memberikan warna dalam strategi nafkah. Pola relasi patron-klien dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan jaminan keamanan subsistensi rumah tangga petani (Crow, 1989). Carner (1984) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin perdesaan antara lain : 1.
Melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah.
21
2.
Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan.
3.
Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah di desanya. Alasan utama melakukan strategi nafkah ganda pada rumah tangga
berbeda-beda pada masing-masing lapisan. Pada rumah tangga lapisan atas, pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi modal dan lebih bersifat ekspansi usaha. Sedangkan pada lapisan menengah, pola nafkah ganda merupakan upaya konsolidasi untuk mengembangkan ekonomi rumah tangga. Sebaliknya pada lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan hidup pada tingkat subsistensi dan sebagai upaya untuk keluar dari kemiskinan (White, 1991; Sajogyo, 1991). Hardono (2006) menyatakan bahwa secara umum pendapatan rumah tangga penduduk di Indonesia sudah berdiversifikasi. Derajat kepentingan berdiversifikasi cenderung lebih tinggi pada rumah tangga di wilayah desa, yang berpendapatan rendah, dan kepala keluarganya memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Memperhatikan tingkat pendapatan pada kelompok rumah tangga tersebut yang rendah, motif diversifikasi diduga lebih terkait faktor ketidakberdayaan (kemiskinan). Disamping itu, dengan jumlah pendapatan yang mencapai kisaran 4-6 sumber, diversifikasi cenderung telah menjadi kebutuhan atau mungkin menjadi bagian dari strategi nafkah rumah tangga, khususnya mereka yang bekerja di sektor pertanian. Dinamika penguasaan sumber pendapatan
22
menunjukkan akses terhadap alternatif sumber pendapatan pada kelompok rumah tangga di desa yang berpendapatan rendah dan bermata pencaharian utama bertani lebih terbatas dibandingkan kelompok rumah tangga lain. Dari sisi internal, hal itu terkait dengan penguasaan sumberdaya dalam rumah tangga yang juga terbatas. Terdapat indikasi rumah tangga pertanian yang berpendapatan rendah harus bekerja lebih variatif untuk memperoleh pendapatan yang layak karena indeks keragaman pendapatan semakin menurun dengan meningkatnya pendapatan. Sajogyo (1982), menyatakan bahwa transformasi agraria yang terjadi di Jawa telah mengguncang kelestarian sistem sosial desa. Transformasi agraria tersebut memberikan beberapa persoalan besar di perdesaan, yaitu ketimpangan penguasaan sumber nafkah agraria yang semakin tajam dan hilangnya berbagai sumber nafkah tradisional yang digantikan oleh struktur nafkah baru yang berada di sektor non pertanian. Struktur nafkah baru ini ternyata tidak juga memberikan kesempatan pada peningkatan kesejahteraan. Dampak lebih jauh dari proses transformasi ini adalah terjadinya ketidakpastian nafkah dan kelumpuhan struktur kelembagaan jaminan asli yang telah mapan di perdesaan. Hasil penelitian Saliem (2006), memperlihatkan bahwa strategi nafkah yang dilakukan oleh petani lahan sawah dengan cara diversifikasi usahatani. Diversifikasi usahatani ini sudah berkembang secara terbatas, kamoditas utama terutama di wilayah irigasi masih padi. Terdapat faktor yang mempengaruhi petani melakukan diversifikasi atau tidak, antara lain pengairan, komoditas yang sesuai, pola tanam dan tingkat pendapatan. Usahatani diversifikasi diperkirakan akan berkembang jika pemerintah memberikan pelayanan modal, jasa informasi
23
harga dan jaminan pasar
yang dapat memberikan insentif berproduksi pada
petani secara berlanjut. Hasil penelitian di daerah pesisir Minahasa menunjukkan kecenderungan masyarakat pesisir lebih miskin dibandingkan masyarakat non pesisir di daerah tersebut. Akan tetapi pernyataan tersebut tidak ada kaitannya dengan kepadatan dan persentase nelayan, atau kelimpahan petani dan persentase petanipun sangat kecil. Anggapan ini muncul sebagai faktor penting. Dari hasil laporan di Sumatra Selatan, faktor persentase nelayan dalam suatu kelompok berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga yang lebih tinggi, sementara tingkat pendapatan petani yang lebih tinggi berkorelasi negatif terhadap persentase petani di daerah tersebut. Dari analisis ini disimpulkan bahwa pernyataan umum mengenai masyarakat pesisir merupakan kelompok termiskin tidak dapat didukung karena keberagaman diantara tingkat kemajuan dan pendapatan nelayan di daerah-daerah yang berbeda (Kussoy, 1999). Sedangkan Courtney (1999), menyatakan bahwa menurunnya hasil tangkapan perikanan, terumbu karang terkoyak koyak, hutan mangrove terancam kelestariannya, meningkatnya pencemaran, sedangkan masyarakat pesisir mengalami kemiskinan yang terus bertambah. Penelitian tentang masyarakat pesisir di Madura (Arisandi, 2003; Muhsoni, 2006) menunjukkan fakta bahwa jumlah penduduk miskin di daerah pesisir Madura semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Faktor utama yang menyebabkan pertambahan jumlah penduduk miskin tersebut adalah semakin menurunnya hasil tangkapan sebagai akibat dari over fishing.
24
Persaingan dalam penangkapan ikan terjadi karena perikanan laut mempunyai ciri khas sebagai perikanan open access dan milik bersama. Karakteristik yang khas ini menyebabkan adanya kecenderungan memboroskan sumberdaya, pemborosan ekonomi karena nelayan tidak hanya mengalami penurunan keuntungan bahkan penurunan produksi, eksploitasi memungkinkan timbulnya konflik perebutan daerah penangkapan dan pendapatan rata-rata nelayan kecil semakin rendah karena kesenjangan teknologi yang menyebabkan penguasaan modal dan teknologi (Christy, 1982). Widodo (2006) mengungkapkan gejala migrasi tenaga kerja sektor pertanian ke sektor non pertanian melalui proses migrasi desa-kota dan migrasi internasional. Proses migrasi ini terjadi sebagai akibat adanya pull factors dan push factors. Walaupun penelitian ini belum membahas secara jelas tentang strategi nafkah, namun telah memberi gambaran tentang usaha mempertahankan hidup melalui pencarian nafkah di sektor non pertanian. Sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan artisanal yang memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan, maupun permodalan. Masalah kemiskinan juga disebabkan adanya ketimpangan pemanfaatan sumber daya ikan. Terdapat daerah yang termasuk dalam kategori lebih tangkap (over fishing) dengan jumlah nelayan besar terutama di pantai utara Jawa dan Selat Madura. Sedangkan di sisi lain terdapat daerah yang masih potensial namun jumlah nelayannya sedikit seperti di Papua, Maluku, NTT dan Ternate. Masalah struktural yang dihadapi nelayan
25
makin ditambah dengan persoalan kultural seperti gaya hidup yang tidak produktif dan tidak efisien. Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan, jumlah, perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Oleh karena itu, kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki komponen saling berinteraksi. Dengan demikian pendekatan yang paling tepat dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan pendekatan kesisteman (Direktorat Jenderal Perikanan tangkap, 2006). Strategi nafkah dianggap sebagai suatu usaha membentuk sumber nafkah baru untuk tetap mempertahankan kehidupan rumah tangga miskin. Berbagai penelitian yang dilakukan di daerah Jawa menunjukkan adanya gejala ketimpangan akses terhadap sumber-sumber agraria. Geertz telah lama menyampaikan tentang shared proverty (kemiskinan berbagi) dan konsep involusi pertanian. Sajogyo juga memberikan gambaran kemiskinan di Indonesia sebagai bentuk ketimpangan akses sumberdaya. Solusi yang ditawarkan oleh Sajogyo adalah dengan keadilan akses pada sumber produksi, perluasan kesempatan kerja melalui industrialisasi perdesaan.
Kerangka Pemikiran Menurut Ellis (2000), rumah tangga miskin akan memainkan kombinasi semua modal yang dimilikinya. Modal tersebut dapat berupa modal finansial, modal sumber daya alam, modal sumber daya manusia, modal sumber daya fisik dan modal sosial. Kemampuan untuk mengakses modal dipengaruhi oleh relasi
26
sosial, kelembagaan dan organisasi yang ada di sekitar rumah tangga tersebut tinggal. Kemampuan rumah tangga dalam mengakses modal tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk strategi nafkah. Strategi nafkah rumah tangga di perdesaan dapat dikelompokkan dalam tiga basis nafkah, yaitu on-farm, off-farm dan non-farm. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Penelitian ini mengacu pada kerangka pemikiran Ellis (2000) dengan berbagai penyesuaian di dalamnya. Rumah tangga miskin sebagai sebuah entitas sosial sangat dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di sekitarnya. Struktur sosial yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini menunjuk pada stratifikasi sosial, relasi sosial, relasi gender, tata nilai dan norma serta kelembagaan. Struktur sosial inilah yang memperngaruhi akses rumah tangga terhadap modal nafkah yang terdiri dari modal finansial, modal fisik, modal manusia, modal sosial dan modal alam. Selain struktur sosial, akses rumah tangga terhadap modal nafkah sangat diperngaruhi oleh beberapa faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, konflik sumber daya alam dan perubahan iklim. Secara khusus, strategi nafkah rumah tangga miskin dapat dikelompokkan pada dua macam strategi, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial (Sitorus, 1999; Dharmawan, 2001). Strategi ekonomi merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan struktur alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga, sedangkan strategi sosial merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan lembaga tradisional dan jejaring sosial yang ada di sekitar rumah tangga miskin.
27
Rumah Tangga
Kebijakan pemerintah
Akses Konflik Sumberdaya Perikanan
Modal Finansial
Modal Sosial
Modal Manusia
Modal Fisik
Modal Alam
Strategi Nafkah
Strategi Ekonomi 1. Optimalisasi penggunaan tenaga kerja dalam rumah tangga 2. Pola nafkah ganda 3. Migrasi 4. Kegiatan ilegal
1. 2.
Strategi Sosial Lembaga kesejahteraan lokal Memanfaatkan jaringan sosial
Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran
28
Definisi Operasional Untuk lebih memfokuskan penelitian, terlebih dahulu perlu disajikan beberapa definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Rumah tangga dibatasi pada pengertian sekelompok unit sosial yang menempati tempat tinggal secara bersama-sama (a common housing) dan pola makan harian berasal dari satu unit dapur yang sama (a common cooking unit). Mengacu pada batasan ini memungkinkan terjadinya beberapa keluarga inti dalam satu rumah tangga. 2. Kemiskinan merupakan keadaan dimana sebuah rumah tangga tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. 3. Struktur sosial merupakan pola kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Penelitian ini membatasi pengertian struktur sosial melalui beberapa variabel yaitu stratifikasi sosial, relasi sosial serta kelembagaan. 4. Strategi nafkah rumah tangga miskin merupakan berbagai upaya yang dilakukan oleh rumah tangga miskin baik pada tingkat individu maupun komunitas dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya dan modal yang dimilikinya untuk mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangganya meskipun hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan subsisten.
29
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan memberikan gambaran secara menyeluruh dan mendalam terhadap fenomena strategi nafkah rumah tangga miskin dan pilihan strategi nafkah yang akan dijalankannya. Penelitian ini dirancang menjadi suatu studi yang akan mengungkapkan strategi nafkah rumah tangga miskin di pesisir Jawa Timur. Untuk memberi gambaran yang menyeluruh, perlu diambil dua desa kasus yang berbeda baik secara etnik maupun kondisi ekologi. Jawa Timur terdiri dari dua kelompok etnik besar, yaitu Jawa dan Madura. Etnik Jawa sebagian besar tinggal di bagian barat Jawa Timur, sedangkan etnik Madura selain tinggal di Pulau Madura juga mendominasi di bagian timur Jawa Timur. Kondisi ekologi didasarkan pada wilayah tangkap pada masing-masing desa kasus. Beberapa wilayah mempunyai wilayah tangkap di daerah selat yang rentan akan konflik sumber daya perikanan, sedangkan beberapa diantaranya adalah wilayah laut lepas yang relatif lebih aman dari konflik.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) di daerah yang mampu menggambarkan perbedaan kelompok etnik. Lokasi penelitian juga harus dapat menggambarkan keadaan penduduk yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Data tahun 2006 menunjukkan jumlah keluarga miskin di Kabupaten Tuban sebanyak 102.093 keluarga atau sebesar 15,3 persen, sedangkan di Kabupaten Bangkalan terdapat 170.142 keluarga (18,4 persen). Kabupaten
30
Tuban mempunyai wilayah perairan di Laut Jawa, sedangkan Kabupaten Bangkalan wilayah tangkapnya berada di Selat Madura. Berdasarkan dua pertimbangan tersebut, penelitian dilakukan di Kabupaten Tuban Kabupaten Bangkalan.
Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer bersumber pada rumah tangga kasus secara langsung, sedangkan data sekunder bersumber pada instansi pemerintah yang terkait seperti Kantor Desa, Kantor Kecamatan, Dinas Perikanan dan Pertanian dan Biro Pusat Statistik Kabupaten. Berbagai hasil penelitian terdahulu juga dijadikan sebagai bahan rujukan. Penelitian pendahuluan dilakukan sebagai strategi untuk menentukan rumah tangga kasus. Pada kunjungan awal, peneliti menggali data sekunder terlebih dahulu di kantor desa sekaligus menjalin hubungan dengan beberapa tokoh masyarakat. Data sekunder diharapkan akan membantu dalam penentuan rumah tangga kasus. Salah satu data yang dianggap penting adalah daftar rumah tangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan beras untuk rakyat miskin (Raskin). Namun demikian pengamatan langsung di lapang sangat menentukan ketepatan pemilihan rumah tangga kasus. Namun demikian daftar rumah tangga serta informasi dari tokoh masyarakat sangat membantu dalam penentuan rumah tangga kasus.
31
Tabel 2. Tujuan dan metode pengumpulan data Tujuan Penelitian
Mengetahui struktur sosial masyarakat di lokasi penelitian
Menentukan ukuran kemiskinan di tingkat lokal Menelaah strategi nafkah rumah tangga nelayan miskin
Jenis Informasi yang Digali
1. Gambaran umum wilayah penelitian; Letak, luas, topografi, pola permukiman, ketersediaan sarana. 2. Karakteristik demografi; Komposisi penduduk, ketenagakerjaan, kesejahteraan, pendidikan. 3. Stratifikasi sosial; Pola stratifikasi berdasarkan ekonomi, sosial dan budaya, status dan peran. 4. Sistem nilai dan norma; Tata nilai dan norma yang berlaku, sangsi sosial. 5. Sistem kepercayaan; Keagamaan, peribadatan, kepercayaan tradisional. 6. Kelembagaan; Lembaga formal, lembaga informal, birokrasi. 1. Definisi kemiskinan di tingkat lokal 2. Ukuran kemiskinan di tingkat lokal 1. Karakteristik rumah tangga; Asal-usul rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, status sosial dan ekonomi. 2. Penguasaan aset produksi; Penguasaan tanah, alat tangkap, armada, finansial, pendidikan, keterampilan. 3. Strategi ekonomi; Tingkat pendapatan, status pencari nafkah, sumber nafkah utama dan sampingan, keterlibatan anggota rumah tangga. 4. Strategi sosial; Keterlibatan pada lembaga kesejahteraan tradisional, relasi dengan patron, kemampuan membangun jejaring sosial. 5. Pola konsumsi dan gaya hidup; Pola konsumsi, gaya hidup. 6. Pola perilaku individu dalam rumah tangga; Ketaatan terhadap tata nilai, norma dan agama.
Metode Pengumpulan Data Telaah data sekunder, wawancara dengan informan kunci, wawancara dengan rumah tangga kasus, observasi .
FGD
Wawancara dengan informan kunci, wawancara dengan rumah tangga kasus, observasi.
32
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara : 1. Wawancara dan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) Wawancara non terstruktur dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam yaitu teknik perolehan data dengan cara tanya jawab langsung kepada nara sumber yang dapat memberikan informasi selengkapnya. Wawancara merupakan alat untuk mengumpulkan data atau informasi, baik yang diketahui dan dialami oleh subyek yang diteliti maupun yang tersembunyi jauh di dalam diri subyek tersebut. Selain itu dalam wawancara juga mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau dan juga masa mendatang. Penelitian ini mewancarai informan yang berasal dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan juga pegawai pemerintahan. Sedangkan jumlah rumah tangga kasus yang diwawancarai di masing-masing lokasi penelitian sebanyak 5 rumah tangga kasus, yang terdiri dari 2 rumah tangga nelayan pemilik alat produksi dan 3 rumah tangga buruh nelayan. Selain wawancara, penggalian informasi dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus. Diskusi ini dilakukan bersama beberapa informan kunci untuk menggali berbagai pendapat dan pandangan di tingkat lokal tentang ukuran kemiskinan. Peserta diskusi adalah rumah tangga kasus ditambah beberapa rumah tangga nelayan miskin lainnya. Peserta diskusi adalah pasangan suami istri dari rumah tangga miskin.
33
2. Observasi Observasi
dilakukan
dengan
tujuan
mengembangkan
pemahaman
menyeluruh dan mendalam tentang kejadian nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun proses interaksi sosial yang berlangsung dalam lingkungan sosial tertentu. Observasi peneliti dalam kegiatan nelayan sehari-hari diharapkan mampu mendapatkan berbagai informasi yang bermanfaat dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti mengamati dalam berbagai aktifitas seperti persiapan di saat
melaut,
menyambut
pendaratan
perahu
hingga
kegiatan
sosial
kemasyarakatan yang dilaksanakan di lokasi penelitian.
Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan dengan kata-kata yang sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang dihadapi. Peneliti dalam menganalisis data berpedoman pada pandangan Milles dan Huberman (1992), bahwa analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun dalam teks yang diperluas. Analisis kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis kualitatif terdiri dari tiga kegiatan yaitu : 1. Reduksi data Data yang diperoleh di lapang disusun rapi, terinci dan sistematis. Setiap selesai mengumpulkan data, data tersebut perlu direduksi yaitu dengan memilih
34
hal-hal pokok yang sesuai dengan pokok penelitian. Data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil penelitian. 2. Display data Data yang semakin banyak, kurang memberikan gambaran yang menyeluruh. Dalam penelitian deskriptif, data kuantitatif juga diperlukan untuk mendukung data kualitatif. Oleh karena itu diperlukan penyajian data yang menyajikan data dalam bentuk bagan, tabel, grafik atau deskripsi.
1. Pengumpulan data
3. Penyajian
2. Reduksi Data
4. Penarikan kesimpulan
Gambar 2. Alur Analisis Data Kualitatif
3. Pengambilan kesimpulan atau verifikasi Dari data yang didapat, peneliti mencoba mengambil kesimpulan. Verifikasi dilakukan dengan maksud menggali data ulang yang pernah dikumpulkan atau mencari data lain untuk mengecek tentang kebenaran fenomena tertentu.
35
POTRET DESA NELAYAN TRADISIONAL
Untuk memahami kondisi masyarakat di dua desa kasus perlu terlebih dahulu disajikan karakteristik wilayah pada masing-masing desa kasus. Keduanya merupakan wilayah yang yang relatif dekat dengan ibu kota kecamatan sebagai pusat pemerintahan dan pembangunan ekonomi. Kondisi sarana dan prasarana baik pendidikan, kesehatan maupun keuangan sudah cukup memadai. Jalan akses menuju kedua desa kasus juga telah beraspal sehingga mudah dilalui oleh kendaraan bermotor. Sarana komunikasi juga telah dapat diakses dengan mudah oleh penduduk kedua desa kasus ini. Kemiripan kondisi ekologi pada kedua desa kasus memberikan corak ekonomi yang hampir sama. Kedua desa kasus merupakan wilayah pesisir dengan karakteristik pantai yang sama. Keduanya memiliki pantai berpasir dengan pemukiman padat penduduk pada daerah pesisirnya. Keadaan ini memungkinkan penduduk kedua desa kasus untuk menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan tangkap. Lebih menarik lagi kedua desa kasus mempunyai persamaan pada pola penangkapan ikan yang sama-sama masih tradisional. Hal ini ditunjukkan dengan armada tangkap yang dimiliki oleh warga kedua desa yang masih sederhana dan hanya mampu memuat satu hingga tiga orang nelayan. Tidak terdapat satupun armada tangkap yang berukuran besar berada di sepanjang pantai kedua desa kasus ini. Desa Karang Agung berada di pesisir utara Jawa sehingga wilayah tangkapnya berada di seputar Laut Jawa. Sedangkan Desa Kwanyar Barat terletak
36
di pantai selatan Madura. Wilayah tangkap nelayan Kwanyar berada di Selat Madura. Sebagaimana karakteristik selat, wilayah tangkap nelayan Kwanyar relatif lebih terbatas dan harus bersaing dengan nelayan dari daerah lain, utamanya yang saling berhadapan. Seringkali persaingan dalam memperebutkan wilayah tangkap ini menimbulkan konflik antar nelayan. Konflik yang paling sering terjadi adalah antara nelayan Kwanyar dan nelayan Pasuruan. Kedua wilayah ini memang secara geografis saling berhadapan.
Karang Agung Kabupaten Tuban merupakan bagian dari wilayah propinsi Jawa Timur yang terletak di jalur pantura paling barat dan berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah serta berjarak kurang lebih 103 km dari Surabaya Ibukota Propinsi Jawa Timur. Adapun beberapa daerah atau wilayah yang berbatasan secara langsung dengan Kabupaten Tuban antara lain sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Blora dan Rembang (Jawa Tengah) dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro. Secara geografis, Tuban memiliki panjang garis pantai yang memanjang dari barat ke timur Pantura sepanjang 65 km dan merupakan salah satu pintu gerbang masuk ke propinsi Jawa Timur di sebelah utara. Luas wilayah Kabupaten Tuban 183.994,56 ha dengan jumlah penduduk mencapai 1.104.109 jiwa dengan kepadatan penduduk 583 jiwa/km2. Luas wilayah dan jumlah penduduk tersebut tersebar secara administratif di 20 kecamatan. Dilihat dari produktifitas lahannya,
37
wilayah kabupaten Tuban terdiri dari lahan sawah seluas 54.860,531 hektar dan lahan kering seluas 123.134,03 hektar. Melihat keadaan alam dan kondisi topografis yang ada maka dapat dikatakan bahwa daerah agraris di Kabupaten Tuban sangat besar. Tapi wilayah yang hanya dapat digunakan sebagai lahan pertanian yang produktif jumlahnya relatif kecil dan mayoritas berupa lahan yang berada di sekitar sungai-sungai besar. Selebihnya berupa tanah tegalan yang hanya produktif di musim penghujan dan sebagian lainnya merupakan tanah bebatuan di sekitar pegunungan kapur yang umumnya ditumbuhi semak belukar. Pegunungan kapur ini menyimpan potensi pertambangan yang sangat besar dan strategis. Khusus di daerah-daerah yang berada di sepanjang pantai, masyarakat banyak bergantung pada hasil laut sehingga disini tercipta sebuah komunitas masyarakat nelayan yang meliputi daerah pesisir pantai dari timur ke barat membentang dari Kecamatan Palang sampai Kecamatan Bancar. Dengan garis pantai yang begitu panjang menyimpan potensi perikanan yang besar untuk dimanfaatkan. Dengan keadaan yang demikian maka tidaklah mengherankan jika sebagian besar mata pencaharian masyarakat bergantung pada sektor pertanian dan perikanan. Karang Agung merupakan desa di wilayah pesisir Kabupaten Tuban dan termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Palang. Kabupaten Tuban mempunyai wilayah pantai yang memanjang dari timur hingga barat sepanjang lebih kurang 65 km. Kondisi ini menyebabkan penduduk wilayah pesisir sebagian besar menggantungkan hidupnya di sektor perikanan tangkap. Kondisi ini
38
didukung oleh Laut Jawa yang lebih tenang ombaknya dibandingkan Samudera Indonesia di bagian selatan Pulau Jawa. Karang Agung merupakan salah satu pintu gerbang Kabupaten Tuban. Letaknya yang berada di bagian paling ujung timur menjadikan Karang Agung merupakan pintu masuk menuju Tuban apabila melalui jalan raya Daendels dari arah Lamongan. Karang Agung berbatasan langsung dengan Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Letak Karang Agung dari ibukota kecamatan sejauh lebih kurang 5 km, sedangkan dari ibu kota kabupaten sejauh 15 km. Akses menuju Karang Agung sangat mudah. Angkutan umum dapat dengan mudah dijumpai bahkan hingga malam hari. Karang Agung dilalui oleh angkutan umum yang menghubungkan antara Tuban dan Paciran, Lamongan. Kondisi jalan yang telah beraspal menjadikan wilayah Karang Agung sangat mudah dijangkau bahkan hingga pelosok desa sekalipun. Hampir semua jalan desa di wilayah Kabupaten Tuban telah beraspal. Untuk keperluan transportasi dalam desa, terdapat angkutan umum berupa becak dan dokar. Selain itu kepemilikan kendaraan bermotor yang setiap tahun mengalami peningkatan semakin mempermudah mobilitas penduduk. Luas wilayah Karang Agung mencapai 4,5 km2 yang didominasi oleh lahan tambak dan pertanian sawah. Pola permukiman penduduk sebagian besar berada di daerah pesisir. Perkampungan nelayan merupakan perkampungan yang padat dan bisa dikatakan sebagai pusat aktivitas ekonomi Karang Agung. Perkampungan ini memanjang dari barat ke timur dan berada di sekitar jalan raya utama yang menghubungkan Tuban dan Gresik. Beberapa perkampungan kecil
39
lainnya berada di wilayah selatan desa dimana sebagaian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani. Kondisi sarana dan prasarana umum di Karang Agung telah memadai. Pasar Karang Agung merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi warga. Pasar yang terletak di Dusun Ngaglik ini merupakan tujuan utama bagi penduduk Karang Agung dan desa sekitarnya untuk berbelanja. Pasar Karang Agung merupakan pasar desa terbesar di Kecamatan Palang. Selain melayani pembeli rumah tangga, pasar ini juga merupakan pusat perkulakan bagi para pedagang pasar maupun toko-toko yang ada di desa sekitar Karang Agung. Aktivitas di pasar berlangsung mulai dini hari hingga menjelang tengah hari. Letak pasar yang berada di pinggir jalan raya seringkali menyebabkan kemacetan. Selain pasar tradisional, sebuah toko swalayan yang merupakan jaringan waralaba telah berdiri di Karang Agung sejak tahun 2005 lalu. Untuk pelayanan kesehatan bagi penduduk Karang Agung terdapat satu tempat dokter praktek dan dua bidan desa. Sedangkan untuk pelayanan Puskesmas, penduduk Karang Agung termasuk dalam wilayah cakupan pelayanan Puskesmas Palang yang berada di ibu kota kecamatan. Kesadaran penduduk terhadap kesehatan sudah cukup tinggi. Proses kelahiran bayi pada umumnya sudah ditangani oleh tenaga medis yang terampil, baik bidan desa maupun di Puskesmas terdekat. Sebuah apotek kecil telah tersedia di Karang Agung dan sudah mampu melayani kebutuhan obat-obatan untuk keperluan sehari-hari. Kegiatan Posyandu juga masih aktif hingga saat ini. Posyandu dilaksanakan oleh beberapa kader kesehatan yang ada di tiap-tiap dusun. Kegiatan dilaksanakan
40
sebulan sekali berupa timbang badan bagi balita serta pemberian imunisasi atau vitamin secara gratis pada bulan-bulan tertentu sesuai dengan kalender kegiatan kesehatan pemerintah. Pada saat pelaksanaan Posyandu seringkali dilakukan penyuluhan kesehatan dan pembagian makanan bergizi seperti bubur kacang hijau, telur dan susu. Dana untuk melaksanakan kegiatan ini sepenuhnya merupakan hasil swadaya masyarakat. Untuk sarana di bidang pendidikan, di Karang Agung terdapat tiga buah Sekolah Dasar Negeri dan satu buah Taman Kanak-kanak yang dikelola oleh PKK Desa Karang Agung. Untuk pendidikan tingkat lebih lanjut seperti SMP dan SMA, pelajar Karang Agung harus belajar di luar desa. Di Kecamatan Palang sendiri sudah terdapat dua SMPN, sedangkan untuk tingkat SMA para pelajar harus belajar di ibukota kabupaten. Lancarnya sarana transportasi tidak menjadi kendala bagi pelajar Karang Agung untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Sarana perbankan juga telah hadir di Karang Agung. Sebuah kantor unit BRI telah melayani penduduk Karang Agung dan sekitarnya sejak tahun 2000 lalu. Walaupun belum bekerja dengan sistem online, BRI unit ini telah mampu melayani kebutuhan nasabah baik untuk menabung atau mengajukan kredit. Selain BRI terdapat juga sebuah lembaga keuangan bukan bank yaitu Koperasi Unit Desa. Kegiatan KUD Karang Agung tidak terlalu dominan bahkan dapat dikatakan koperasi ini tinggal nama saja.
41
Kependudukan Jumlah penduduk Karang Agung sampai dengan tahun 2006 tercatat sebanyak 2.510 jiwa, yang terdiri dari 1.102 laki-laki dan 1.408 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 468. Tingkat melek huruf penduduk sudah cukup tinggi, yakni sebesar 71 persen. Tingkat pendidikan penduduk relatif baik. Hingga tahun 2006, sebagian besar penduduk telah mengenyam pendidikan sampai tingkat sekolah dasar, yakni sebanyak 66 persen. Tersedianya sarana pendidikan dan kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan menjadikan semakin baiknya tingkat pendidikan penduduk. Walaupun di Karang Agung hanya tersedia sarana pendidikan tingkat SD yang berjumlah 3 buah, namun mudahnya akses menuju ibukota kecamatan dan kabupaten menyebabkan masyarakat tidak kesulitan untuk mengakses tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Mata pencaharian penduduk Karang Agung sebagian besar berada pada sektor pertanian, baik perikanan tangkap, perikanan darat maupun pertanian bercocok tanam. Sebanyak 36 persen penduduk bekerja sebagai nelayan, 27 persen sebagai petani dan 16 persen sebagai petambak. Penduduk yang bekerja sebagai nelayan dan petambak pada umumnya tinggal di wilayah utara desa, sedangkan yang bekerja sebagai petani tinggal di wilayah selatan. Selain sektor pertanian dan perikanan, penduduk Karang Agung juga banyak yang bekerja di sektor jasa, seperti buruh bangunan, pedagang dan karyawan swasta.
42
Teknik Penangkapan Ikan dan Kegiatan Ekonomi Nelayan Karang Agung masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana, yaitu perahu kecil yang hanya memuat maksimal 3 orang. Perahu ini sudah dilengkapi dengan mesin 5 PK, jaring dan juga layar. Peralatan tangkap yang sederhana ini membuat wilayah tangkap nelayan Karang Agung menjadi terbatas sekitar 5 mil laut dari pantai. Penangkapan ikan dilakukan pada pagi hingga siang hari, selepas shubuh hingga menjelang ashar. Hasil tangkapan sebagian besar berupa ikan pari, layang, udang lain sebagainya. Beberapa nelayan juga melaut pada malam hari, mulai selepas isya’ hingga menjelang subuh. Bukan hanya teknik penangkapan yang masih sederhana, sistem pemasaran juga masih dilakukan secara sederhana pula. Ikan hasil tangkapan biasanya dijual langsung sesaat setelah perahu mendarat di pantai. Biasanya penjualan dilakukan oleh istri nelayan di pasar desa. Penjualan langsung ini dilakukan karena hasil tangkapan yang tidak terlalu banyak sehingga lebih menguntungkan dibanding dijual ke pedagang perantara. Namun demikian ada pula yang menjual kepada pedagang perantara. Pedagang perantara yang dikenal dengan istilah bakul ini sebagian besar adalah penduduk Karang Agung sendiri. Mereka berjualan ikan baik di pasar desa maupun pasar desa lainnya, bahkan ada yang berjualan hingga pasar kabupaten. Beberapa istri nelayan juga bekerja sebagai bakul. Penjualan dilakukan secara tunai dan harga merupakan kesepakatan antara nelayan dan bakul. Nelayan terlebih dahulu menentukan harga kemudian terjadi transaksi tawar menawar antara bakul dan nelayan hingga diperoleh kesepakatan
43
harga. Apabila tidak terjadi kecocokan harga, nelayan bisa menolak untuk menjual pada bakul tersebut dan menjual pada bakul lain yang dapat memberikan kecocokan harga. Proses jual beli ini dilakukan langsung di pantai sesaat setelah perahu mendarat. Selain dijual langsung ke konsumen akhir dalam bentuk segar, beberapa bakul merangkap sebagai pengrajin pindang. Pindang adalah salah satu bentuk pengolahan sekaligus pengawetan ikan dengan cara memasak ikan pada suatu tungku yang terbuat dari tanah liat. Pemindangan dilakukan sebagai upaya meningkatkan nilai jual ikan dan juga menjaga keawetan ikan sehingga mengurangi resiko kerugian apabila ikan tidak segera laku terjual. Hasil pemindangan kemudian dijual kepada beberapa pedagang baik yang berjualan di pasar maupun pedagang keliling. Pedagang keliling ini dikenal dengan nama mlijo. Sebagaimana nelayan di daerah lain, nelayan Karang Agung juga mengalami masa panen dan paceklik. Pada bulan April hingga September, biasanya nelayan mengalami musim panen ikan. Pada bulan-bulan ini, angin bertiup tidak terlalu kencang sehingga nelayan berani melaut. Sedangkan pada bulan November hingga Maret, angin bertiup sangat kencang sehingga menimbulkan ombak yang tinggi. Pada bulan-bulan ini, nelayan seringkali harus menganggur karena tidak bisa melaut. Kalaupun dipaksakan melaut hasil tangkapan tidak terlalu banyak sehingga tidak sesuai dengan resiko yang harus dihadapi oleh nelayan.
44
Lahan pertanian berupa sawah beririgasi terletak di wilayah selatan yang relatif jauh dari pantai, sedangkan wilayah sekitar pantai sebagian besar dikelola sebagai lahan tambak. Pada awal tahun 1980-an, udang windu merupakan salah satu komoditas yang diusahakan pada lahan tambak, namun semenjak akhir tahun 1990-an usaha budidaya udang windu mengalami kemerosotan. Menurunnya produksi udang disebabkan oleh serangan penyakit white spot dan yellow head. Penyakit yang diakibatkan oleh virus itu telah menyebabkan kegagalan panen dan menurunkan nilai keseluruhan perolehan penjualan sampai 90 persen. Jika nilai penjualan dalam satu hektar seharusnya 100 kilogram (kg) per hektar, maka dengan adanya penyakit tersebut nilai panen tinggal 10 kg per hektar. Kondisi ini menyebabkan banyak petambak yang merugi sehingga dan tidak lagi mengusahakan udang windu. Saat ini petambak kembali pada komoditas bandeng seperti sedia kala sebelum introduksi udang windu. Luas lahan tambak di Karang Agung mencapai 94,7 hektar dan semuanya merupakan lahan tambak produktif. Lahan tambak ini sebagaian besar merupakan milik warga Karang Agung sendiri yang dikelola sebagai tambak rakyat dengan teknologi tradisional. Hasil produksi bandeng mencapai 125,6 kilogram per hektarnya. Hasil produksi ini masih dapat ditingkatkan apabila petambak menggunakan pola intensif. Areal sawah di Karang Agung mencapai luas 156,3 hektar. Lahan sawah ini menggunakan irigasi yang bersumber dari air tanah dengan bantuan mesin pompa. Produktivitas padi di Karang Agung sudah cukup baik, yakni sebesar 5,4 ton per hektar. Selain padi, komoditas yang sering diusahakan adalah kacang
45
tanah dan jagung. Walaupun sangat mungkin mengusahakan padi sepanjang tahun, namun petani Karang Agung selalu melakukan rotasi tanam terutama pada musim kemarau dengan menggunakan tanaman palawija
yang kurang
membutuhkan air. Sektor industri kecil masih belum begitu berkembang di Karang Agung. Kebanyakan industri kecil masih berskala rumah tangga yang bercirikan penggunaan tenaga kerja dari dalam rumah tangga. Menurut data dari kantor desa, terdapat 6 industri kecil yang ada di Karang Agung. Industri kecil tersebut antara lain industri makanan, mebel dan bengkel las. Rata-rata setiap industri mempekerjakan 2 hingga 5 orang tenaga kerja. Industri yang cukup menonjol adalah industri makanan yang menghasilkan wingko, makanan kecil yang berbahan baku ketan. Hampir semua industri yang ada di Karang Agung masih menjalankan produksinya berdasarkan pesanan sehingga pendapatan yang dihasilkan sangat fluktuatif sesuai dengan banyaknya pesanan. Adanya pasar di Karang Agung telah memberi peluang kegiatan ekonomi bagi penduduk. Selain perdagangan, kegiatan ekonomi lainnya berupa jasa transportasi juga berkembang di Karang Agung. Sebagian besar pedagang di pasar Karang Agung adalah warga desa. Mereka biasanya mendatangkan berbagai barang kebutuhan pokok dari berbagai daerah untuk kemudian dijual di pasar. Jasa transportasi yang berkembang di Karang Agung antara lain dokar dan becak. Kedua sarana transportasi ini melayani pengunjung pasar hingga ke beberapa desa tetangga.
46
Kwanyar Barat Desa Kwanyar Barat termasuk dalam wilayah Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Bangkalan sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, secara geografis terletak di Pulau Madura, secara astronomis berada di antara 6°51’39” sampai 7°11’39” LS dan terletak antara 112°40’06” sampai 113°08’04” BT. Luas keseluruhan wilayah mencapai 1.260,14 Km2 dengan pembagian administrasi, meliputi : 18 kecamatan, 8 kelurahan dan 273 desa. Jumlah penduduk Bangkalan pada tahun 2006 sebanyak 926.559 jiwa, terdiri atas 439.571 penduduk laki–laki (47,44%) dan 486.988 penduduk perempuan (52,56%). Secara keseluruhan mengalami kenaikan sebesar 4,01% dibandingkan tahun sebelumnya. Struktur penduduk Bangkalan tahun 2006 menunjukkan bahwa tenaga kerja produktif baik laki-laki dan perempuan rentang usia 15 - 59 tahun sebanyak 561.118 jiwa, sedangkan tenaga kerja tidak produktif baik laki-laki dan perempuan pada rentang usia 0 - 14 tahun dan di atas 60 tahun adalah 365.441 jiwa (BPS Kab. Bangkalan, 2007). Kwanyar merupakan salah satu kecamatan yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Bangkalan. Kecamatan Kwanyar terbagi dalam 16 desa dengan luas keseluruhan mencapai 47,81 km2. Keadaan topografi cenderung datar dan berkisar antara 0 – 24 meter diatas permukaan laut. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan selat Madura sehingga mempunyai wilayah pesisir. Pada wilayah pesisir ini sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan tangkap.
47
Jumlah penduduk Kecamatan Kwanyar pada tahun 2006 sebanyak 36.383 jiwa yang terdiri dari 17.078 laki-laki dan 19.305 perempuan. Angka ketergantungan penduduk usia non produktif sebesar 56,37 yang berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung beban sekitar 56 orang penduduk usia non produktif. Sedangkan kepadatan penduduk rata-rata sebanyak 761 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk mengandalkan sektor pertanian untuk menopang hidupnya. Kondisi lahan pertanian di Kecamatan Kwanyar didominasi oleh lahan kering dengan mengandalkan pengairan dari curah hujan. Penduduk di daerah pesisir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tangkap. Terdapat enam desa di Kecamatan Kwanyar yang mempunyai wilayah pesisir, yaitu Desa Tebul, Kwanyar Barat, Pesanggrahan, Karanganyar, Batah Barat dan Batah Timur. Ketersediaan sarana umum di Kecamatan Kwanyar relatif telah memadai. Jalan akses hingga ke desa-desa telah beraspal dan dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Hingga tahun 2006 terdapat 36 SDN serta masing-masing satu buah SMPN dan SMAN. Selain sekolah negeri, masih terdapat beberapa sekolah swasta yang dikelola oleh pondok pesantren. Untuk sarana kesehatan terdapat satu buah Puskesmas dan 4 Puskesmas pembantu. Desa Kwanyar Barat mempunyai luas wilayah sebesar 2,47 km2, sebagian besar merupakan lahan tegalan, yakni seluas 86,5 hektar. Pada lahan tegalan ini diusahakan
beberapa
komoditas
tanaman
semusim
dengan
pengairan
mengandalkan dari curah hujan. Komoditas yang diusahakan adalah jagung varietas lokal. Jagung varietas lokal mampu tumbuh dengan baik pada kondisi
48
ekosistem yang kering dengan ketersediaan air yang terbatas. selain jagung, lahan tegalan ini juga seringkali dimanfaatkan untuk areal pertanaman kacang tanah. Kwanyar Barat terletak 2 km dari pusat pemerintahan kecamatan dengan kondisi jalan yang telah diaspal sehingga mobilitas warga dapat dilakukan dengan mudah. Angkutan umum yang menghubungkan Kwanyar hingga Kota Bangkalan juga melalui Kwanyar Barat dan tersedia dari pagi hingga menjelang malam hari. Selain itu terdapat pula angkutan umum yang menghubungkan Kwanyar dengan pelabuhan penyeberangan di Kamal. Sarana perbankan telah tersedia di Kwanyar Barat, sebuah kantor unit BRI telah berdiri sejak tahun 1998. Kantor unit BRI ini melayani penduduk di sekitar wilayah Kecamatan Kwanyar dalam kebutuhan perbankan seperti menabung dan kredit. Lembaga keuangan lain yang terdapat di Kwanyar Barat adalah sebuah koperasi simpan pinjam. Koperasi ini didirikan pada tahun 1992 dan terus berkembang hingga saat ini. Koperasi simpan pinjam ini menjadi salah satu tumpuan warga dalam memperoleh pinjaman. Selain karena persyaratan yang relatif lebih mudah, koperasi ini juga melayani pinjaman dalam skala kecil. Untuk sarana kesehatan, penduduk Kwanyar Barat dilayani oleh sebuah Puskesmas yang berada di ibu kota kecamatan. Sedangkan di Kwanyar Barat sendiri terdapat sarana kesehatan berupa satu buah tempat bersalin yang dikelola oleh seorang orang bidan desa. Hampir semua proses kelahiran telah ditangani oleh tenaga medis.
49
Kependudukan Sampai dengan tahun 2006, jumlah penduduk Kwanyar Barat mencapai 3.879 jiwa yang terdiri dari 1.811 laki-laki dan 2.068 perempuan. Jumlah keluarga pra sejahtera sebanyak 276 dari 1.112 KK. Sebagian besar keluarga masih tergolong dalam kategori keluarga sejahtera I yaitu sebanyak 432 KK. Sebagian besar masih mengandalkan sektor perikanan tangkap dan pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Tercatat sebanyak 34 persen penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan, sedangkan 28 persen lainnya bermata pencaharian sebagai petani. Tingkat pendidikan masyarakat Kwanyar Barat sudah cukup baik, hal ini ditandai dengan angka melek huruf yang mencapai 83 persen. Sebagian besar penduduk juga sudah mengenyam pendidikan formal hingga tingkat sekolah dasar. Kesadaran akan pendidikan semakin meningkat namun demikian pada beberapa rumah tangga miskin masih dijumpai anak yang putus sekolah. Kendala yang dihadapi adalah ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah. Selain masalah biaya, masih ada anggapan bahwa sekolah tidak memberi jaminan kesuksesan di masa depan. Permukiman penduduk sebagian besar berada di dekat pantai. Hampir di sepanjang pantai Kwanyar Barat merupakan daerah permukiman padat penduduk. Permukiman ini sangat strategis karena berada di tepi pantai dan juga jalan besar yang menghubungkan Kwanyar Barat dengan ibu kota kecamatan. Hal ini menyebabkan kondisi pantai yang tidak bersih karena banyak limbah rumah tangga yang dibuang ke laut.
50
Teknik Penangkapan Ikan dan Kegiatan Ekonomi Seperti halnya nelayan Karang Agung, nelayan Kwanyar masih menggunakan teknik penangkapan ikan secara tradisional. Pengamatan di lapang menunjukkan masih sederhananya armada tangkap dan alat tangkap yang digunakan. Perahu yang digunakan merupakan perahu tradisional berjenis jukung dengan istilah lokal sampan atau ales-ales. Perahu jenis ini hanya bisa menampung 2 hingga 3 orang awak. Perahu sudah dilengkapi dengan motor tempel yang berkekuatan 5 PK. Alat tangkap yang digunakan biasanya berupa jaring insang dengan hasil tangkapan berupa udang, rajungan dan rebon. Wilayah tangkap masih terbatas sekitar 3 mil laut dari pinggir pantai. Alat tangkap yang umum digunakan adalah jaring insang (gill net) dan pancing (line fishing). Nelayan Kwanyar berangkat melaut selepas Shubuh hingga menjelang Dhuhur atau pada malam hari selepas Isya’ hingga menjelang fajar. Hasil tangkapan dijual kepada pedagang perantara ataupun langsung dijual di pasar tradisional yang ada di sekitar Kwanyar. Seperti halnya Karang Agung, ketiadaan tempat pelelangan ikan menyebabkan nelayan selalu dirugikan oleh penentuan harga sepihak oleh pedagang. Wilayah tangkap nelayan Kwanyar Barat berada di selat Madura yang relatif sempit karena berhadapan dengan perkampungan nelayan daerah lain. Persinggungan wilayah tangkap ini menyebabkan persaingan dalam penangkapan ikan sangat tinggi bahkan sering menimbulkan konflik. Namun demikian, wilayah tangkap yang berupa selat ini mengakibatkan ombak yang tidak terlalu besar meskipun berada pada musim angin. Kegiatan melaut hampir setiap hari dapat
51
dilakukan sepanjang tahun, namun pada musim-musim tertentu saja jumlah tangkapan lebih melimpah. Hasil tangkapan biasanya dijual langsung kepada para pedagang lokal (bakol) sesaat setelah perahu merapat di pantai. Sebagian besar pedagang adalah warga Kwanyar Barat sendiri. Mereka biasanya menjual kembali ikan hasil tangkapan pada beberapa pasar di sekitar Kwanyar Barat. Selain itu dijual langsung, seringkali ikan diawetkan dalam bentuk ikan asin. Pengawetan ini dilakukan untuk memberi nilai tambah hasil tangkapan. Usaha pengawetan ikan ini diusahakan oleh beberapa rumah tangga nelayan. Jenis usaha ini termasuk dalam usaha rumah tangga sehingga masih menggunakan teknologi yang sederhana. Mereka mengandalkan sinar matahari untuk mengeringkan ikan, sehingga pada musim penghujan sering mengalami kendala produksi disebabkan kurangnya sinar matahari. Selain dijual, ikan hasil tangkapan juga dikonsumsi sendiri untuk kebutuhan makan sehari-haru rumah tangga nelayan. beberapa jenis ikan yang dinilai bernilai ekonomi rendah sering dibawa pulang untuk dijadikan lauk. Apabila hasil tangkapan yang dibawa pulang jumlahnya banyak, ikan tersebut akan diawetkan dengan cara diasinkan. Tidak mengherankan apabila di beberapa atap rumah dijumpai ikan yang dijemur. Selain penangkapan ikan, kegiatan ekonomi yang berkembang di Kwanyar Barat adalah usaha pengawetan ikan baik ikan asin maupun pemindangan. Usaha ini dilakukan oleh beberapa nelayan dan dilakukan secara berkelompok. Terdapat pula usaha lain yang bergerak dalam bidang jasa seperti bengkel, sablon, konveksi
52
dan lain sebagainya. Hampir semua usaha produktif di Kwanyar Barat merupakan usaha mikro dengan jumlah tenaga kerja tidak lebih dari 10 orang. Sektor pertanian kurang begitu berkembang di Kwanyar Barat. Lahan pertanian didominasi oleh lahan tegal yang mengandalkan curah hujan sebagai sumber pengairan. Luas areal tegal di Kwanyar Barat mencapai 46 hektar. Tanaman yang diusahakan adalah tanaman jagung varietas lokal yang lebih tahan terhadap kekurangan air. Jagung lokal juga lebih mudah dalam budi daya karena tidak membutuhkan perawatan yang intensif seperti halnya jagung hibrida. Seringkali jagung ditanam kemudian dibiarkan tumbuh dengan sendirinya tanpa dilakukan perawatan, hanya beberapa kali dilakukan pemupukan dan penyiangan gulma. Tidak mengherankan apabila produktivitas jagung di Kwanyar Barat relatif rendah, hanya sebesar 1,4 ton per hektar.
Ikhtisar Kedua desa kasus merupakan potret desa nelayan tradisional. Karang Agung terletak di pesisir utara Jawa sedangkan Kwanyar Barat berada di pesisir selatan Madura. Wilayah tangkap kedua desa mempunyai karakteristik yang berbeda. Karang Agung mempunyai wilayah tangkap pada lautan bebas yaitu laut Jawa, sedangkan Kwanyar Barat wilayah tangkapnya berada di perairan selat Madura. Kondisi ini menyebabkan perbedaan potensi sekaligus resiko dalam penangkapan ikan. Wilayah tangkap nelayan Kwanyar Barat lebih beresiko menimbulkan konflik perebutan wilayah dengan nelayan daerah lain. Kondisi
53
perairan selat yang sempit dan saling berhadapan menyebabkan konflik bisa muncul. Kondisi sarana dan prasarana di kedua desa hampir sama seperti halnya desa-desa Jawa yang lain. Namun demikian secara ekonomi, Karang Agung lebih diuntungkan karena berada di jalur lalu lintas yang menghubungkan kota-kota di Jawa. Kwanyar Barat tidak berada di jalur lalu lintas yang ramai sehingga secara ekonomi kurang berkembang. Karakteristik penduduk juga hampir sama, dengan mayoritas penduduk bekerja di sektor perikanan laut dan pertanian. Fasilitas pendidikan dan kesehatan di kedua desa juga tidak ada perbedaan yang berarti. Pola permukiman di kedua desa kasus juga mempunyai banyak persamaan. Permukiman berpusat di daerah sekitar pantai dan merupakan permukiman padat penduduk. Teknik penangkapan ikan di kedua desa masih tergolong sederhana. Perahu yang digunakan berukuran kecil yang mampu menampung tiga orang awak dengan dilengkapi mesin motor bertenaga 5 PK. Penjualan ikan hasil tangkapan juga masih menggunakan cara yang sederhana yaitu dijual langsung ke pedagang sesaat setelah perahu merapat di pantai. Anggota rumah tangga perempuan terlibat aktif dalam kegiatan penjualan ikan ini. Selain dijual langsung, ikan hasil tangkapan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan lauk sehari-hari. Kegiatan ekonomi di bidang pertanian lebih berkembang di Karang Agung dibandingkan Kwanyar Barat. Karang Agung didominasi oleh lahan sawah yang cukup produktif, sedangkan Kwanyar Barat areal pertanian berupa lahan kering dengan sumber pengariran dari curah hujan. Komoditas pertanian utama yang
54
diusahakan di Karang Agung adalah padi sawah yang mampu panen dua kali dalam satu tahun. Jagung merupakan komoditas utama bagi pertanian Kwanyar Barat. Potensi lain yang dimiliki oleh Karang Agung adalah perikanan darat berupa tambak dengan bandeng sebagai komoditas utamanya.
55
STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DESA NELAYAN
Karang Agung; Budaya Jawa dan Abangan Penduduk Karang Agung termasuk dalam etnis Jawa. Apabila mengacu pada tipologi masyarakat Jawa oleh Geertz, maka penduduk Karang Agung termasuk dalam masyarakat Jawa abangan. Pengaruh nilai Islam tidak begitu kental di Karang Agung. Budaya Jawa pesisir lebih banyak mendominasi kehidupan masyarakat Karang Agung. Karakter masyarakat Karang Agung cenderung keras dan terbuka.
Pelapisan Sosial Pada masyarakat perdesaan pelapisan sosial seringkali muncul berdasarkan kepemilikan aset produksi. Namun pada komunitas nelayan tradisional justru tidak tampak adanya pelapisan sosial berdasarkan kepemilikan aset produksi. Hal ini disebabkan oleh tipisnya perbedaan strata ekonomi antara pemilik perahu dan nelayan biasa. Masyarakat Karang Agung seperti halnya nelayan tradisional lainnya cenderung egaliter. Hal ini berbeda dengan nelayan modern yang terlihat jelas pelapisan sosial diantara nelayan sendiri. Modernisasi perikanan membawa dampak pada perubahan formasi sosial pada komunitas nelayan. Pemilik alat produksi berada pada lapisan sosial atas, sedangkan buruh nelayan hanya berada pada lapisan bawah. Pola hubungan produksi menimbulkan terjadinya gejala patronase yang kuat antara pemilik alat produksi dengan buruh nelayan. hal ini justru tidak terjadi pada nelayan tradisional. Pada masyarakat Karang Agung
56
dapat dikatakan bahwa nelayan baik pemilik perahu maupun bukan sama-sama menempati lapisan paling bawah dalam stratifikasi masyarakat. Pelapisan sosial yang terjadi pada masyarakat Karang Agung lebih didasarkan pada aspek kekuasaan. Lapisan atas ditempati oleh kalangan pegawai pemerintahan seperti aparat desa, guru dan pegawai negeri sipil lainnya. Lapisan ini dicirikan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan penduduk lain pada umumnya, rumah yang lebih bagus serta kepemilikan barang-barang elektronik maupun kendaraan bermotor. Lapisan atas ini biasanya dipercaya oleh masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan sehingga seringkali posisi ketua RT maupun RW dijabat dari kalangan atas ini. Lapisan atas ini biasanya dipanggil sesuai dengan pekerjaan atau jabatan yang dipangkunya. Tidak mengherankan apabila sering terdengar panggilan pak/bu guru, pak/bu dokter, pak inggi (petinggi atau kepala desa), pak carik (sekretaris desa) dan lain sebagainya. Lapisan atas tidak serta merta menguasai alat produksi bahkan secara ekonomi mungkin masih lebih rendah dibandingkan lapisan yang ada di bawahnya. Lapisan menengah diisi oleh kalangan pekerja swasta, pedagang, petani dan petambak. Lapisan ini secara ekonomi terkadang mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan lapisan atas, namun status kekuasaan dipandang lebih rendah dibandingkan dengan lapisan atas. Masyarakat Karang Agung lebih menghargai status sosial berbasis kekuasaan dibandingkan ekonomi. Nelayan, buruh tani dan buruh bangunan biasanya menempati lapisan paling bawah. Secara kuantitas lapisan bawah paling banyak jumlahnya. Ciri yang paling mudah diamati adalah kondisi rumah tinggal yang kurang layak huni.
57
Lapisan bawah dapat dipastikan mempunyai status ekonomi yang rendah dikarenakan pendapatan yang rendah dan tidak menentu. Walaupun dapat ditemukan adanya pelapisan dalam masyarakat Karang Agung, namun pelapisan ini tidak berlaku secara ketat dan bersifat terbuka. Apabila ditinjau dari bentuk pelapisannya maka pelapisan yang terjadi di Karang Agung bersifat terbuka karena memungkinkan terjadinya perpindahan antar lapisan. Sangat memungkinkan terjadinya peningkatan status sosial dari lapisan bawah menjadi lapisan atas. Peningkatan status sosial ini biasanya terjadi ketika salah satu anggota rumah tangga mendapatkan pekerjaan yang menjadi ciri lapisan diatasnya. Salah satu contoh adalah pada rumah tangga Pak Prw (58 tahun). Pak Prw adalah seorang nelayan yang tidak mempunyai perahu. Untuk melaut Pak Prw bekerja sama dengan Pak Wnd, sang pemilik perahu dan dibantu oleh Msn, anak Pak Wnd. Pak Prw sendiri mempunyai tiga orang anak laki-laki. Rumah tangga Pak Prw dapat dikategorikan sebagai lapisan bawah karena secara ekonomi rumah tangga Pak Prw tergolong miskin dan tidak mempunyai pengaruh kekuasaan pada masyarakat sekitarnya. Pak Prw termasuk orang yang sadar akan arti penting pendidikan, oleh karenanya semua anaknya disekolahkan hingga lulus SMA. Salah satu anaknya, Ags setelah lulus SMA bekerja sebagai tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tuban. Sejak saat itu Pak Prw merasa bangga dan “lebih dihormati” oleh orang-orang di sekitarnya. Suatu kebanggaan tersendiri apabila mempunyai anak yang bekerja di kantor pemerintahan walaupun sebatas tenaga honorer. Paling tidak setiap pagi anaknya berangkat kerja dengan
58
menggunakan pakaian seragam. Bagi warga Karang Agung, seragam (baju hijau linmas, khaki dan korpri) merupakan salah satu simbol status sosial. Lambat laun, status sosial rumah tangga Pak Prw meningkat seiring pula dengan peningkatan status ekonomi mereka. Beberapa barang elektronik dan motor kini melengkapi rumah Pak Prw. Sebagai tenaga honorer, Ags mendapatkan kemudahan untuk membeli barang-barang tersebut secara kredit. “Sejak anak saya menjadi pegawai Pemda, keluarga saya menjadi lebih dihargai oleh para tetangga. Walaupun gaji Ags tidak seberapa, tapi lumayanlah. Kini Ags juga sudah punya motor walaupun kreditan” Pelapisan sosial yang terjadi di Karang Agung dapat dijelaskan dengan menggunakan pandangan Weber. Weber tidak menolak adanya posisi ekonomi sebagai dasar kelas, hanya saja ia menambahkan dua elemen lagi yaitu kehormatan kelompok status dan kekuasaan politik. Artinya bahwa uang (ekonomi) saja, tidak cukup menjadi dasar penerimaan di kalangan kelompok status berprestise tinggi. Latar belakang keluarga dan sejarah juga penting. Ketiga dimensi ini bisa tumpang tindih dengan salah satu atau keduanya dengan banyak situasi, namun secara analitis berbeda dan bisa berdiri sendiri. Marx yang hanya memandang kelas sebagai perwujudan ekonomi yaitu penguasaan aset produksi, tidak mampu menjelaskan proses pelapisan sosial yang terjadi di Karang Agung.
Relasi Sosial Sistem kekerabatan masyarakat Karang Agung tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya. Masyarakat Jawa pada umumnya menganut pola kekerabatan bilateral atau parental yang berarti
59
hubungan kekerabatan ditelusuri dari garis keturunan Ayah (laki-laki atau patrilineal) dan garis keturunan ibu (perempuan atau matrilineal). Struktur keluarga dikenal dengan istilah dulur parek (keluarga dekat) dan dulur adoh (keluarga jauh). Keluarga dekat adalah keluarga yang apabila ditelusuri mempunyai pertalian darah cukup dekat. Biasanya keluarga dekat diukur dari kakek nenek. Artinya keluarga dekat adalah keluarga yang berasal dari satu kakek nenek. Sedangkan keluarga jauh adalah keluarga yang berasal dari garis keturunan yang berbeda kakek nenek. Walaupun tingkatan kekerabatan dalam masyarakat Jawa bisa mencapai tujuh turunan, namun pada kenyataan di lapang kekerabatan ini hanya bertahan hingga jenjang tiga generasi saja.
Tingkat kekerabatan yang masih dikenal oleh masyarat
Grepak senthe
Bapak/ibu
Gantung siwur
Anak
Udheg-udheg
Puthu
Wareng
Buyut
Canggah
Canggah
Buyut
Wareng
Embah
Udheg-udheg
Bapak/ibu
Gantung siwur
Anak
Grepak senthe
Tingkat kekerabatan yang masih dikenal oleh masyarakat
Gambar 3. Sistem kekerabatan masyarakat Karang Agung
60
Prinsip yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa adalah nglumpukne balung pisah (mengumpulkan tulang yang berserakan) yang berarti berusaha menjaga tali silaturahmi bahkan hingga keluarga jauh. Sebagaimana daerah pedesaan Jawa lainnya, apabila ditelusuri hampir banyak penduduk Karang Agung yang masih bertalian darah dan termasuk dalam keluarga jauh. Pola permukiman antar kerabat biasanya masih berdekatan. Seiring kemajuan jaman, generasi muda sudah tidak menghiraukan lagi nilai-nilai kekerabatan yang ada. Kini antar kerabat jauh sudah jarang berinteraksi sehingga hubungan kekerabatan semakin renggang. Bahkan seringkali sudah tidak saling mengenal satu dengan yang lain. Perbedaan dalam bertata krama maupun bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkatan umur. Sudah selayaknya orang yang lebih tua akan dihormati, hal ini tampak dalam penggunaan bahasa jawa halus (basa krama, bahasa Jawa yang lebih sopan) apabila berbicara dengan orang yang lebih tua. Bahasa Jawa halus ini juga digunakan apabila berbicara dengan orang yang belum begitu dekat atau baru saja kenal. Sudah menjadi hal yang biasa apabila orang yang sudah kenal dekat akan menggunakan bahasa Jawa kasar walaupun status sosial mereka berbeda. Relasi sosial antara laki-laki dan perempuan sering disebut sebagai relasi gender. Relasi gender di Karang Agung berlangsung secara harmonis. Walaupun dalam nilai masyarakat Jawa, perempuan sering diartikan sebagai kanca wingking (teman di belakang) pada kenyataannya peran perempuan dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat semakin menonjol. Keterlibatan perempuan dalam
61
pencarian nafkah dapat diartikan sebagai bentuk keadilan dalam relasi gender. Perempuan tidak lagi hanya mendominasi pada kegiatan domestik namun telah mengarah pula pada kegiatan produktif. Sebagian besar perempuan usia muda baik yang sudah atau belum berkeluarga terlibat dalam kegiatan ekonomi produkstif. Sebagaian besar bekerja sebagai buruh di pabrik rokok, bekerja sebagai pedagang ikan maupun membuka warung di rumah. Peran perempuan dalam ranah produktif yang semakin meningkat ternyata tidak diimbangi dengan menurunnya peran domestik perempuan. Perempuan masih mempunyai tanggung jawab yang tidak bisa dialihkan kepada pihak lakilaki dalam melaksankan kegiatan domestiknya. Sudah menjadi hal yang wajar apabila perempuan justru mendapatkan beban ganda, baik dalam ranah produktif maupun domestik. Hal ini juga berlaku pada anak perempuan yang selalu mendapatkan beban kerja pada ranah domestik yang lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Anak perempuan mempunyai tanggung jawab membantu ibunya dalam kegiatan memasak, membersihkan rumah hingga mengasuh adik. Sedangkan pada anak laki-laki tanggung jawab tersebut hampir tidak ada. Akses pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan pada saat ini tidak lagi menjadi persoalan. Keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi. Untuk kegiatan sosial kemasyarakatan antara laki-laki dan perempuan juga tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya dapat berperan serta dengan baik dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada pemilihan kepala desa periode sebelumnya, salah seorang calon adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa
62
masyarakat Karang Agung dapat menerima peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Relasi sosial dapat pula dilihat dari hubungan produksi antara pemilik alat produksi dan pekerja. Nelayan Karang Agung yang mempunyai alat produksi berupa perahu dan alat tangkap hampir semua terlibat dalam kegiatan melaut. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya perbedaan stratifikasi antara keduanya. Relasi diantara keduanya dapat digambarkan sebagai bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. Kedua belah pihak menyadari bahwa pekerjaan nelayan bukanlah jenis pekerjaan individu namun berupa pekerjaan secara berkelompok. Ikatan kerja antara buruh nelayan dan pemilik sangat longgar sehingga memungkinkan seseorang untuk beralih kerja dengan orang lain. Namun demikian sangat jarang terjadi perpindahan kerja tersebut. Ikatan diantara mereka sangatlah kuat namun tidak dapat diartikan sebagai bentuk ikatan patronase. Nelayan bekerja didasarkan oleh rasa saling mempercayai dan berlangsung turun temurun. Sistem bagi hasil yang berlaku di Karang Agung memberikan satu bagian dari penjualan hasil tangkapan setelah dikurangi biaya perbekalan kepada pemilik perahu. Sisanya kemudian dibagi rata kepada nelayan ikut yang melaut masingmasing sebanyak satu bagian. Hampir semua pemilik perahu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Sehingga pemilik perahu akan mendapatkan satu bagian sebagai bentuk imbalan atas investasinya berupa perahu, motor tempel dan alat tangkap ditambah satu bagian lagi sebagai imbalan atas tenaga yang dikeluarkan saat melaut. Pemilik perahu berkewajiban untuk menyediakan perbekalan melaut khususnya bahan bakar. Selain itu beberapa pemilik perahu juga menyediakan
63
rokok kepada para nelayan yang ikut melaut. Pemilik perahu bertanggung jawab penuh terhadap aset yang dimilikinya mulai dari pemeliharaan dan perbaikan. Di Karang Agung tidak mengenal stratifikasi dalam kegiatan melaut. Semua awak perahu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama. Pemilik perahu sudah sewajarnya menerima bagian yang lebih besar karena resiko ekonomi yang ditanggungnya lebih besar dibandingkan buruh nelayan.
Tata nilai dan norma Nuansa Islam memang tidak terlalu kental di masyarakat Karang Agung. Kehidupan sosial masyarakat Karang Agung masih identik sebagai masyarakat Jawa pesisir sehingga tradisi selamatan, sedekah laut, kesenian tayub masih hidup di masyarakat. Tidak mengherankan apabila setiap sore hingga malam hari sering dijumpai tradisi minum toak di warung-warung pinggir jalan. Kesenian tayub merupakan salah satu kesenian yang sering dipentaskan pada saat acara sedekah laut maupun hajatan semacam perkawinan atau khitanan. Pada saat tayub berlangsung biasanya dihidangkan minuman keras tradisional semacam toak atau arak. Hampir setiap hari di warung-warung pinggir jalan menyediakan toak dan aneka makanan ringan untuk disantap ketika minum toak. Sudah menjadi kebiasaan di saat sore atau malam hari, penduduk laki-laki Karang Agung saling berinteraksi di warung toak tersebut. Warung toak dapat dianggap sebagai sarana menjalin relasi sosial antar warga Karang Agung.
64
Perkawinan berlangsung sesuai dengan tradisi Jawa dengan menggunakan hukum Islam. Tradisi Jawa masih mengenal beberapa nilai yang sampai kini masih dipegang teguh. Sebelum perkawainan berlangsung biasanya pihak keluarga saling berunding dan mencocokan hitungan berdasarkan primbon. Ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar karena diyakini akan berakibat buruk bagi pasangan mempelai maupun keluarga. Tidak jarang mereka melakukan konsultasi terlebih dahulu pada orang yang lebih tua dan dianggap lebih memahami perhitungan Jawa ini. Apabila hasil perhitungan menunjukkan ketidakcocokan maka perkawinan dapat dibatalkan. Ini semua untuk menjaga halhal yang tidak diinginkan terjadi. Namun demikian kepercayaan terhadap primbon Jawa saat ini sudah mulai luntur. Walaupun masyarakat Karang Agung masih melakukan perhitungan primbon Jawa, namun mereka sudah tidak lagi secara ketat mengikutinya. Sering ketika perhitungan tidak cocok, perkawinan tetap dilangsungkan. Biasanya perkawinan yang seperti ini didahului dengan acara selamatan yang tidak seperti perkawinan biasanya.
Kelembagaan Kelembagaan tradisional yang masih hidup di Karang Agung adalah sambatan, anjeng atau buwuhan dan mendarat. Sambatan adalah kegiatan saling tukar menukar tenaga kerja pada saat pembangunan atau perbaikan rumah. Sambatan juga dilaksanakan pada saat hajatan pada saat mempersiapkan pesta. Kegiatan sambatan dilakukan oleh laki-laki dewasa dan dilakukan antar tetangga
65
maupun kerabat dekat. Untuk perempuan dikenal istilah mendarat, yaitu tukar menukar tenaga kerja untuk keperluan memasak pada saat hajatan. Anjeng merupakan kegiatan tukar menukar uang atau barang pada saat hajatan. Ketika hajatan, tetangga atau kerabat laki-laki yang diundang akan memberikan uang, sedangkan undangan perempuan biasanya membawa beras atau gula pasir. Kegiatan ini akan terus berputar pada setiap orang yang melangsungkan hajatan.
Kwanyar; Budaya Madura dan Kentalnya Nilai Islam Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain (Alwi, 2001). Penduduk Madura mayoritas memeluk agama Islam. Kenyataan ini kemudian menempatkan tokoh agama (kiai) pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat.
Pelapisan Sosial Pelapisan yang terjadi pada masyarakat Kwanyar Barat yang kental dalam nilai religius menempatkan kiai dan keluarganya pada lapisan sosial yang paling atas. Kiai adalah sebutan bagi seseorang yang memimpin sebuah pondok pesantren. Jadi, walaupun ada seseorang yang memiliki ilmu agama sangat tinggi namun tidak memimpin pesantren tidak dapat disebut sebagai kiai. Gelar kiai sendiri bersifat turun temurun yang didasarkan pada pewarisan kepemimpinan sebuah pesantren. Pewarisan tersebut didasarkan pada pola kekerabatan. Pondok
66
pesantren di Madura tersebar hingga di pelosok pedesaan. Hampir seluruh kiai di Madura adalah kiai NU yang berpegang pada ahlus sunnah wal jama’ah. Kiai menempati struktur sosial paling atas, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tokoh elit yang menjadi panutan utama oleh masyarakat Madura adalah kiai. Pepatah yang dipegang orang Madura adalah “bapak-bebuk, guru, rato” (ayah-ibu, guru, dan ratu). Maksudnya untuk Pepatah tersebut menerangkan urutan pihak yang dijunjung tinggi warga Madura. Urutan pertama ditempati bapak-bebuk yaitu ayah dan ibu. Kemudian disusul guru persisnya ulama atau kiai. Sedangkan rato atau pemerintah menempati urutan terakhir. Kalau diusut sedikit lebih ke dalam, maka tempat paling strategis ditempati ulama atau kiai. Meski menempati urutan ke dua setelah orang tua, tapi masing-masing orang tua tersebut dipastikan patuh dan menjunjung tinggi kiai. Jadi seluruh pribadi Madura mempunyai ketaatan amat tinggi pada kiai. Masingmasing keluarga Madura biasanya punya kiai panutan, yang selalu dijadikan rujukan dalam mengambil sikap. Kepada kiai pula, warga Madura mengadukan persoalan pribadi maupun meminta restu. Lapisan berikutnya adalah kelompok yang bukan berasal dari kerabat kiai namun telah menunaikan ibadah haji. Ibadah haji selain sebagai salah satu kewajiban bagi umat Islam juga berfungsi sebagai simbol status sosial seseorang. Lapisan ini biasanya ditempati oleh penduduk yang bekerja sebagai pedagang atau pengusaha lokal. Secara ekonomi, lapisan ini cukup menempati posisi yang strategis. Hal ini dapat dimaklumi mengingat biaya untuk menunaikan ibadah haji
67
sangatlah besar, belum lagi biaya hajatan sebelum dan sesudah menunaikan ibadah haji. Lapisan paling bawah ditempati oleh masyarakat biasa. Lapisan ini jumlahnya paling banyak karena terdiri dari berbagai tingkatan ekonomi. Jenjang pada lapisan ini cukup tinggi, mulai dari rumah tangga miskin hingga sejahtera. Seseorang yang cukup kaya namun belum menunaikan ibadah haji dipandang masih berada pada lapisan paling bawah. Sekali lagi dasar pelapisan adalah pada pemahaman dan simbol-simbol agama. Mobilitas sosial dapat terjadi terutama pada lapisan bawah menuju lapisan menengah. Seseorang yang berada pada lapisan bawah kemudian berangkat haji, status sosialnya akan naik. Namun demikian sangat sulit untuk naik menuju lapisan paling atas. Hal ini disebabkan karena lapisan atas cenderung bersifat tertutup karena berdasarkan kekerabatan. Perkawinan pada lapisan atas biasanya terjadi antar kerabat atau antar keluarga kiai. Pada komunitas nelayan dikenal ada dua lapisan, yaitu pemilik perahu yang disebut dengan juragan dan buruh nelayan atau mondhu. Sebagaimana nelayan tradisional lainnya, pemilik perahu terlibat langsung dalam kegiatan melaut sehingga pelapisan yang terjadi tidak terlalu tampak diantara keduanya. Pelapisan sosial di Kwanyar Barat yang lebih didasarkan pada aspek agama membuktikan pendapatan Weber, yang melihat masyarakat dari tiga aspek, ekonomi, sosial dan politik. Ketiga aspek ini saling berkaitan dimana, kedudukan sosial yang tinggi dapat memberikan pengaruh pada aspek ekonomi maupun politik. Lapisan atas yang ditempati oleh Kiai beserta keluarganya secara ekonomi dapat dipastikan sangat mapan. Selain memimpin pondok pesantren, kiai biasanya
68
mempunyai jaringan bisnis yang cukup luas. Akses secara politik juga sangat terbuka, terlebih setelah kejatuhan rezim orde baru. Banyak kiai yang terlibat dalam politik praktis, paling tidak sebagai sarana peraih suara (vote getter). Pelapisan yang cenderung tertutup utamanya pada lapisan atas lebih disebabkan pada pewarisan status yang bersifat turun-temurun. Kepemimpinan pondok pesantren akan diwariskan kepada anak ataupun keluarga terdekat yang ditunjuk. Perkawinan pada lapisan atas biasanya lebih terbatas antar lapisan atas saja. Hal inilah yang menyebabkan lapisan atas cenderung tertutup dan tidak memungkinkan lapisan yang ada dibawah untuk memasukinya. Pelapisan berdasarkan aspek agama ini ternyata tidak membawa dampak terhadap kesejahteraan masyarakat lapisan bawah. Walaupun dibandingkan dengan Karang Agung, potensi dana sosial keagamaan di Kwanyar Barat justru lebih banyak. Zakat, sedekah dan infak merupakan bentuk-bentuk dana sosial keagamaan yang ada di Kwanyar Barat. Dana sosial keagamaan ini sangat sedikit yang menyentuh langsung pada lapisan masyarakat bawah. Hanya zakat fitrah, daging kurban dan sebagian kecil sedekah yang bisa diakses oleh lapisan bawah. Sebagian besar dana sosial ini digunakan untuk aktivitas pembangunan masjid. Tidak mengherankan apabila di Kwanyar Barat banyak dijumpai bangunan masjid yang berdiri megah.
69
Relasi Sosial Kekerabatan pada masyarakat Kwanyar Barat terbentuk melalui garis keturunan, baik berdasarkan garis ayah maupun garis ibu. Pada umumnya, ikatan kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah. Sistem kekerabatan masyarakat Kwanyar Barat mengenal tiga kategori atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat dekat), dan taretan jau (kerabat jauh). Kerabat inti merupakan kerabat yang berasal dari satu tingkat garis keturunan keatas maupun kebawah. Sedangkan kerabat dekat adalah perluasan dari kerabat inti secara menyamping. Kerabat jauh adalah seseorang yang masih ada pertalian darah dan tidak termasuk dalam kerabat inti maupun kerabat dekat. Relasi sosial antar rumah tangga tercermin dari eratnya jaringan pertetanggaan dan pertemanan. Selain kerabat, bagi masyarakat Kwanyar Barat, tetangga dianggap sebagai saudara yang terdekat. Walaupun tidak mempunyai hubungan kerabat sama sekali, peran tetangga sangat besar karena tetangga merupakan pihak yang akan datang pertama kali ketika kita kesusahan. Secara umum relasi sosial etnik Madura dikenal sangat erat, hal inilah yang kemudian akan membantu dalam strategi nafkah rumah tangga miskin. Hubungan produksi pada komunitas nelayan dapat berjalan dengan baik. Ikatan kerja didasarkan pada saling mempercayai dan saling membutuhkan. Tidak ada hubungan kerja yang mengikat antara pemilik perahu dan buruh nelayan, keduanya merasa perlu bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar hubungan kerja berasal dari ikatan kekerabatan. Pemilik perahu biasanya
70
akan
mengajak
kerabatnya
untuk
bersama-sama
melaut.
Kondisi
ini
mengyebabkan tidak pernah dijumpai adanya perpindahan tenaga kerja dari satu perahu ke perahu yang lain. Pola bagi hasil yang berlaku di Kwanyar Barat memberi kesempatan bagi pemilik perahu untuk mendapatkan pengembalian atas biaya investasi yang ditanamkannya. Pemilik perahu bertanggung jawab atas pengeluaran bahan bakar yang diperlukan untuk melaut. Pengeluaran ini nantinya akan diganti dari hasil penjualan tangkapan. Setelah dikurangi biaya bahan bakar, hasil penjualan kemudian dibagi menurut perbandingan sebagai berikut; pemilik perahu 40 persen dan sisanya sebanyak 60 persen merupakan bagian awak perahu. Jumlah awak perahu sebanyak tiga orang sehingga masing-masing mendapatkan 20 persen. Pemilik perahu karena ikut melaut maka akan mendapatkan bagian sebanyak 60 persen dari penjualan hasil tangkapan.
Tata nilai dan norma Karakter sosial budaya masyarakat Kwanyar Barat sangat berbeda dengan masyarakat Karang Agung. Pengaruh Islam yang sangat kuat menyebabkan segala bidang kehidupan didasarkan pada nilai Islam. Pada hari Jum’at nelayan memilih untuk melaut pada siang hari selepas sholat Jum’at. Malam Jum’at, desa Kwanyar Barat selalu diramaikan dengan kegiatan pengajian dan pembacaan tahlil yang dilakukan di masjid atau dari rumah-rumah warga. Kegiatan melaut juga sangat disesuaikan dengan waktu sholat. Nelayan berusaha untuk menunaikan sholat di daratan. Karenanya baru selepas subuh
71
nelayan berangkat melaut dan kembali sebelum waktu dhuhur habis. Apabila melaut pada malam hari, nelayan akan memilih berangkat selepas shalat isya’ dan kembali sebelum fajar.
Kelembagaan Sistem kelembagaan tradisional yang masih berlangsung di Kwanyar Barat adalah tradisi menyumbang pada saat pesta atau hajatan. Undangan mempunyai kewajiban untuk menyumbangkan sejumlah uang kepada tuan rumah. Sumbangan ini kemudia dicatat dan kelak akan dikembalikan pada saat sang penyumbang mengadakan hajatan. Hal ini tidak berlaku bagi lapisan sosial atas. Pada saat hajatan yang dilakukan oleh lapisan atas justru tuan rumah yang memberikan uang saku bagi undangan. Pada masyarakat Bangkalan terdapat budaya tan pentan sebagai bagian dalam perkawinan. Budaya ini berupa kewajiban bagi pihak laki-laki untuk memberikan berbagai kebutuhan perempuan seperti baju, perhiasan, kosmetik hingga perabot rumah tangga semacam meja rias, tempat tidur hingga lemari. Pihak laki-laki membawa barang-barang ini bersamaan pada saat akad nikah. Sebenarnya tidak ada kewajiban untuk melakukan tan-pentan namun masalah gengsi menjadi salah satu penyebab masih bertahannya tradisi ini. Menurut beberapa tokoh masyarakat, tan pentan sebenarnya mempunyai makna positif bagi pihak yang melakukan perkawinan. Pada dasarnya tan pentan tidak mensyaratkan barang-barang yang mewah dan mahal, hanya seiring perkembangan jaman tan pentan seolah dijadikan ajang untuk menunjukkan status
72
sosial seseorang, bahkan untuk sekedar menjaga gengsi. Tan pentan merupakan perwujudan kesiapan pihak laki-laki dalam menempuh hidup baru dan menanggung semua kebutuhan hidup pihak perempuan. Nilai moral tradisi ini adalah, perkawinan membutuhkan persiapan yang cukup, baik secara psikis juga finansial. Tentu semua pihak berharap keluarga baru tersebut dapat hidup dengan sejahtera tanpa kekurangan.
Ikhtisar Kedua desa kasus berbeda dalam karakteristik sosial budaya. Nuansa islam sangat mendominasi Kwanyar Barat, sangat berbeda dengan Karang Agung yang lebih mengarah pada bentuk masyarakat Jawa pesisir. Pelapisan sosial di kedua desa sangat berbeda, Karang Agung mendasari pelapisan sosialnya berdasarkan pengaruh akan kekuasaan sedangkan Kwanyar Barat menggunakan agama. Lapisan atas di Karang Agung diisi oleh aparat pemerintahan dan pegawai negeri. Status pegawai negeri menjadi salah satu simbol status yang sangat bergengsi di Karang Agung. Lapisan atas di Kwanyar Barat diisi oleh kiai dan keluarganya. Penghormatan terhadap sosok kiai sangat terasa di Madura, bahkan terdapat nilai bapak-bebuk, guru, rato yang hingga kini dipegang teguh oleh masyarakat Madura. Lapisan menengah di Karang Agung diisi oleh para pekerja swasta, petani dan pedagang. Sedangkan di Kwanyar Barat lapisan ini ditempati oleh keluarga yang telah menunaikan ibadah haji. Gelar haji merupakan simbol status sosial
73
yang cukup disegani di Kwanyar Barat. Lapisan paling bawah di Karang Agung ditempati oleh buruh tani, nelayan dan
Desa Kwanyar Barat ;
Desa Karang Agung ; Pegawai pemerintahan dan aparat desa
Pekerja swasta, pedagang, petani
Buruh bangunan, buruh tani, nelayan
Lapisan Atas
Lapisan Menengah
Lapisan Bawah
Kiai beserta keluarganya
Keluarga Haji
Masyarakat lainnya
Gambar 4. Pelapisan sosial di kedua desa kasus
Pelapisan sosial di kedua desa kasus dapat dijelaskan menggunakan konsep pelapisan sosial Weber, dimana basis pelapisan didasarkan pada aspek ekonomi, sosial dan politik. Ketiga aspek ini seringkali saling berkaitan dan tumpang tindih. Pelapisan sosial di Karang Agung lebih terbuka dibandingkan pelapisan sosial di Kwanyar Barat. Lapisan atas di Kwanyar Barat yang ditempati oleh kiai dan keluarganya cenderung tertutup. Sarana untuk mengakses lapisan atas tersebut hanyalah melalui proses perkawinan. Sistem kekerabatan di kedua desa mempunyai persamaan yaitu berdasarkan atas garis keturunan ibu dan ayah. Struktur keluarga juga mengenal adanya keluarga dekat dan keluarga jauh. Sistem kekerabatan masyarakat Kwanyar Barat mengenal tiga kategori atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat dekat), dan taretan jau (kerabat jauh). Sedangkan
74
masyarakat Karang Agung mengenal dulur parek (kerabat dekat) dan dulur adoh (kerabat jauh). Hubungan produksi antara pemilik perahu dan buruh nelayan berlangsung secara longgar sehingga ikatan patronase diantara keduanya tidak begitu kuat. Bagi hasil dilakukan setelah hasil penjualan dikurangi dengan biaya perbekalan. Sistem bagi hasil yang berlaku di Karang Agung memberikan satu bagian kepada pemilik perahu. Sisanya kemudian dibagi rata kepada nelayan ikut yang melaut masing-masing sebanyak satu bagian. Sedangkan bagi hasil di Kwanyar Barat memberikan bagian kepada pemilik perahu sebesar 40 persen dan sisanya sebanyak 60 persen merupakan hak awak perahu.
75
KEMISKINAN DI TINGKAT LOKAL
Rumah tangga kasus dalam penelitian ini adalah rumah tangga miskin yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan tangkap. Proses pemilihan rumah tangga kasus dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap beberapa indikator kemiskinan yang mudah diidentifikasi, yaitu kondisi rumah tinggal. Penggunaan data sekunder dari kantor desa diharapkan mampu memberikan petunjuk awal beberapa calon rumah tangga kasus. Data sekunder yang digunakan adalah data penerima BLT dan Raskin. Sebagian besar merupakan rumah tangga kecil yang terdiri dari dua keluarga inti. Tingkat pendidikan relatif rendah, terutama pada generasi tua. Sedangkan untuk generasi muda, tingkat pendidikan relatif lebih tinggi. Selain adanya peningkatan kesadaran pentingnya pendidikan bagi anak juga didukung oleh tersedianya sarana pendidikan yang memadai. Menjadi suatu yang penting untuk dikaji adalah pemahaman tentang kemiskinan oleh masyarakat setempat. Sampai saat ini beragam konsepsi tentang kemiskinan yang disampaikan oleh lembaga maupun perorangan namun masih dirasa kurang sesuai dengan kehidupan masyarakat lokal. Masyarakat yang selama ini merasakan dan mengalami kemiskinan seharusnya dapat memberikan permahaman tentang konsepsi dan persepsi kemiskinan menurut ukuran mereka sendiri. Untuk memahami konsepsi kemiskinan berdasarkan lokalitas dilakukan upaya penggalian informasi melalui metode diskusi kelompok terarah (FGD).
76
Dengan metode diskusi ini diharapkan diperoleh kesepakatan antar anggota masyarakat tentang konsepsi dan persepsi kemiskinan yang berlaku di daerahnya sendiri.
Karang Agung Penyebab Kemiskinan Kemiskinan yang terjadi di Karang Agung lebih disebabkan oleh rendahnya akses rumah tangga miskin terhadap berbagai sumber nafkah yang lebih layak. Kemiskinan ini bersifat turun temurun dan terus terjadi hingga saat ini. Penyebab utama kemiskinan adalah rendahnya hasil tangkapan yang diperoleh. Menurunnya hasil tangkap mulai dirasakan oleh nelayan Karang Agung sejak dimulainya modernisasi perikanan. Pada tahun 1980-an, ketika semua nelayan masih belum menggunakan perahu dan alat tangkap modern, hasil tangkapan sangat melimpah. Bahkan dapat dikatakan nelayan merupakan pekerjaan yang menguntungkan. Seiring semakin banyaknya nelayan modern yang didukung oleh pemodal besar, keberadaan nelayan tradisional kian terdesak. Saat ini untuk membawa ikan sekeranjang saja sangat sulit. Modal alam yang tersedia di Karang Agung terdiri dari sumber daya perikanan laut yang menghampar di lepas pantai Karang Agung. Selain itu potensi perikanan darat dan pertanian juga merupakan modal alam yang dimiliki oleh Karang Agung. Untuk mengakses modal alam ini diperlukan modal lain seperti modal finansial dan modal fisik. Kedua modal tersebut menjadi syarat utama untuk mengakses modal alam. Modal alam yang tersedia secara melimpah tidak
77
serta merta akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Akses terhadap modal alam menjadi syarat pokok untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Akses rumah tangga nelayan terhadap modal finansial sangat terbatas. Pendapatan yang rendah tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan investasi modal fisik berupa teknologi seperti alat tangkap dan armada tangkap yang memadai. Akses terhadap modal finansial yang rendah tidak didukung oleh lembaga permodalan yang mudah diakses oleh rumah tangga miskin. Kebijakan BLT maupun raskin ternyata tidak dapat dimanfaatkan oleh rumah tangga miskin untuk menambah permodalan. Bantuan tersebut lebih banyak digunakan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Pak Snp (56 tahun) mengungkapkan bahwa pada tahun-tahun lalu hasil tangkapan sangat melimpah. Pada waktu tahun 1970-an belum ada nelayan yang menggunakan mesin, mereka mengandalkan tenaga angin untuk pergi melaut. Untuk mendapatkan ikan tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga seringkali berangkat shubuh dan pulang menjelang pukul 9 pagi. Pada waktu itu nelayan dapat hidup dengan lebih baik, walau tidak dapat dikatakan kaya. Namun kini, seiring perkembangan jaman justru kehidupan nelayan semakin sulit. Persaingan dengan nelayan modern yang menggunakan alat tangkap canggih membuat mau tidak mau nelayan tradisional harus turut menggunakan teknologi tersebut. Sekarang untuk mendapatkan hasil tangkapan harus lebih ke tengah sehingga memerlukan biaya dan waktu yang lebih besar dibandingkan dulu. Kemiskinan yang semakin dirasakan oleh nelayan karena saat ini disparitas antara orang kaya dan miskin semakin jauh.
78
“Jaman dulu berbeda dengan sekarang. Kalau dulu, melaut pasti mendapatkan ikan melimpah, tapi sekarang tangkapan semakin berkurang. Mungkin karena nelayannya sudah terlalu banyak. Lagipula kami kan hanya menangkap di daerah pinggir, mau menangkap agak ke tengah tidak memungkinkan. Perahu kami kecil dan alat tangkap kami sederhana. Kami kalah dengan nelayan besar itu. Mereka bisa ke tengah bahkan hingga andon di daerah lain, sedangkan kami ya hanya nrimo saja menangkap ikan-ikan yang tersisa. Sebenarnya saya juga ingin mempunyai perahu yang besar lengkap dengan mesin-mesin yang canggih itu. Tapi uang untuk membelinya yang tidak ada.”
Keterbatasan akses terhadap modal menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan. Secara garis besar, modal dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu modal alam, modal finansial, modal manusia, modal fisik dan modal sosial. Rumah tangga miskin dicirikan sebagai rumah tangga dengan akses yang rendah terhadap modal. Secara umum akses rumah tangga miskin di Karang Agung terhadap modal finansial sangat rendah. Salah satu penyebab adalah rendahnya tingkat pendapatan sehingga tidak memungkinkan rumah tangga miskin untuk melakukan akumulasi modal melalui tabungan atau kegiatan investasi lain. Sebagian besar pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga tidak mampu menyisakan untuk tabungan. Kalaupun ada yang mampu menyisihkan sedikit tabungan biasanya digunakan untuk keperluan konsumtif seperti membeli barang elektronik maupun perhiasan emas. Pola konsumsi ini sudah umum dilakukan oleh banyak rumah tangga miskin di Karang Agung. Beberapa diantaranya sempat membeli motor melalui kredit, namun pada akhirnya mereka tidak mampu membayar angsuran setiap bulan sehingga motor disita oleh pihak finance. Kejadian ini sudah sering berlangsung dan sudah menjadi hal yang lumrah di Karang Agung.
79
Akses yang rendah terhadap modal finansial juga disebabkan oleh ketidakmampuan rumah tangga miskin untuk memenuhi berbagai persyaratan kredit perbankan. Seringkali rumah tangga miskin terbentur masalah administrasi apabila akan mengajukan kredit di bank. Akses terhadap modal finansial yang dimiliki oleh rumah tangga miskin biasanya justru didapat melalui berhutang pada bank tithil (orang yang memberikan pinjaman berbunga dan biasanya berkedok sebagai koperasi simpan pinjam). Pinjaman yang diberikan biasanya tidak terlalu tinggi namun syarat yang diperlukan sangat mudah. Biasanya setiap hari pihak bank tithil akan menagih angsuran pinjaman dari rumah ke rumah. Apabila dibandingkan dengan bunga kredit bank umum, bunga bank tithil jauh lebih tinggi. Pak Ndy (44 tahun); “Sebenarnya saya ingin mendapatkan kredit dari pemerintah melalui koperasi. Namun hingga saat ini belum ada program tersebut. Kalau ada kredit untuk menambah modal usaha, tentu nasib saya dan teman-teman bisa berubah. Kami bisa bersaing dengan nelayan besar yang menggunakan perahu dan alat-alat modern.”
Bank tithil menjadi “dewa penolong” bagi rumah tangga miskin di Karang Agung. Tanpa melalui prosedur administrasi yang ketat, rumah tangga miskin dapat mengakses kredit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Peran patron yang identik dengan pemilik alat produksi atau tengkulak, seolah telah digantikan oleh bank tithil ini. Akses rumah tangga miskin terhadap modal fisik berupa alat-alat produksi sangat terbatas. Salah satu jalan bagi rumah tangga miskin di Karang Agung untuk dapat mengakses modal fisik adalah dengan bekerjasama dengan pemilik
80
perahu. Hubungan keduanya yang saling membutuhkan memberikan jaminan bagi rumah tangga miskin untuk mengakses modal fisik ini. Nelayan tradisional di Karang Agung masih belum bisa mengakses teknologi modern. Akses yang rendah terhadap modal fisik ini tidak terlepas dari rendahnya akses rumah tangga terhadap modal finansial. Modal manusia merupakan salah satu modal yang masih bisa diakses oleh rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin di Karang Agung sebagian besar merupakan rumah tangga yang besar dengan banyak anggota rumah tangga. Anggota rumah tangga ini merupakan salah satu aset yang dapat digunakan dalam pencarian nafkah. Secara kualitas, modal manusia yang dimiliki oleh rumah tangga miskin di Karang Agung masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang masih rendah. Keterampilan yang dimiliki biasanya hanya merupakan hasil dari proses belajar sendiri atau otodidak. Akses untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia terbuka lebar, seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar. Namun demikian, biaya pendidikan bukan hanya terdiri dari biaya sekolah saja, biaya transportasi dan buku masih harus ditanggung sendiri oleh orang tua. Modal sosial merupakan salah satu andalan bagi rumah tangga miskin. Ikatan kekerabatan, pertetanggaan dan pertemanan yang kuat memberikan ruang yang cukup bagi rumah tangga miskin untuk mengakses modal sosial ini. Keterlibatan rumah tangga miskin dalam kelembagaan kesejahteraan lokal cukup tinggi. Di Karang Agung tidak ada diskriminasi peran dalam kehidupan sosial kemasyarakatan bagi rumah tangga miskin. Pola relasi yang cenderung egaliter
81
menyebabkan rumah tangga miskin dapat dengan mudah mengakses berbagai bentuk kelembagaan lokal ini. Bagi rumah tangga miskin, modal sosial merupakan aset yang sangat penting karena melalui modal sosial mereka dapat mengakses berbagai bentuk modal yang lain. Kondisi ekonomi nelayan tradisional semakin terpuruk ketika krisis ekonomi melanda Bangsa Indonesia. Melambungnya harga kebutuhan pokok menyebabkan nelayan tradisional kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Belum lagi kenaikan harga BBM, padahal untuk melaut selama setengah hari paling tidak dibutuhkan solar sebanyak 5 hingga 8 liter. Biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan BBM saat ini mencapai Rp. 30.000,- hinga Rp. 50.000,-. Sedangkan hasil penjualan ikan besarnya tidak menentu dengan harga yang relatif tetap seperti sebelum ada kenaikan BBM. Menurunnya hasil tangkapan ditengarai pula disebabkan oleh semakin rusaknya lingkungan laut dan perubahan iklim. Semakin banyaknya permukiman di sekitar pantai menyebabkan banyak sampah rumah tangga yang dibuang begitu saja di laut. Perkembangan penduduk yang cukup pesat menyebabkan wilayah pesisir menjadi tercemar dan tidak memungkinkan ikan hidup di daerah pesisir tersebut. Saat ini nelayan harus melaut jauh dari pantai untuk bisa mendapatkan ikan.
Ukuran Kemiskinan Persepsi dan kondisi kemiskinan di perdesaan (rural) biasanya ditunjukkan dengan ciri atau indikator yakni kepemilikan aset baik natura, rumah,
82
ternak, emas maupun simpanan uang. Kemiskinan menurut penduduk Karang Agung merupakan suatu ketiadaan akses untuk mendapatkan hidup yang layak, pada umumnya ditandai dengan keterbatasan pendapatan. Tingkat pendapatan yang rendah dan fluktuatif menjadi faktor penyebab rumah tangga nelayan rentan jatuh dalam kemiskinan. Ketergantungan terhadap musim menjadikan nelayan tidak bisa memperoleh pendapatan yang stabil sepanjang tahun. Sepanjang tahun dapat dipastikan terdapat bulan-bulan dimana sama sekali nelayan tidak bisa pergi melaut sehingga harus mencari pendapatan lain di luar perikanan tangkap. Persepsi lokal terkait kemiskinan perlu diketahui mengingat selama ini kriteria-kriteria telah banyak ditentukan sepihak oleh pemerintah ketika akan menggulirkan program bantuan kemiskinan. Padahal, yang paling memahami kebutuhan adalah si miskin. Persepsi lokal yang berhasil dihimpun melalui kegiatan FGD, antara lain : Pak Snp (56 tahun); “Rumah tangga miskin adalah rumah tangga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Makan hanya seadanya saja, lauk hanya ikan hasil tangkapan. Tidak bisa menyekolahkan anak hingga jenjang yang tinggi, paling hanya sampai tamat SMP saja sudah bagus. Selepas sekolah anak laki-laki diminta untuk membantu orang tua bekerja sebagai nelayan sedangkan anak perempuan ya tinggal menunggu dilamar saja. Siapa tahu dapat jodoh orang kaya. Kalau keadaan rumah ya asal tidak kehujanan dan kepanasan sajalah, sudah cukup.” Pak Ndy (44 tahun); “Miskin itu kalau sering hutang saudara dan tetangga untuk sekedar makan. Menyekolahkan anak juga tidak bisa. Tidak punya perahu sendiri sehingga hanya bisa jadi buruh pada orang lain. Punya anak banyak ya nantinya buat jaga-jaga di hari tua, jadi bisa ikut anak yang sudah mapan.” Pak Sro (62 tahun); “Rumah tangga miskin itu apabila tidak mempunyai perahu sendiri sehingga hanya bisa menjadi buruh pada orang lain. Kehidupannya pas-pasan saja, hanya bisa untuk memenuhi makan sehari-hari. Pendidikan anak juga tidak bisa sampai tinggi, hanya sampai lulus SD saja sudah bagus. Kalau anakanak sekolah lagi ya tidak bisa membiayai lagi pula siapa yang akan
83
membantu orang tua mencari nafkah nantinya. Biasanya anak yang tertua yang harus ngalah dengan adik-adiknya.” Menurut pandangan masyarakat Karang Agung, terdapat beberapa rumusan tentang definisi kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai keadaan hidup yang serba kekurangan dengan ciri utama berupa pendapatan yang rendah dan bersifat fluktuatif. Besarnya pendapatan menjadi salah satu indikator yang paling dominan dalam penentuan kategori rumah tangga miskin. Rumah tangga termasuk dalam kategori miskin jika memperoleh pendapatan kurang dari Rp. 5.572,- perkapita perhari atau sama dengan Rp. 167.160,- perkapita perbulan. Indikator pendapatan ini diperoleh dari pengeluaran untuk kebutuhan pangan minimal satu orang dalam setiap harinya. Angka ini juga hampir sama dengan standar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS untuk daerah perdesaan yaitu sebesar Rp. 161.831,- perkapita perbulan. Tabel 3. Indikator Kemiskinan Lokal di Desa Karang Agung No Indikator Keterangan 1 Pendapatan Pendapatan rendah dan tidak menentu. Besarnya pendapatan kurang dari Rp. 5.572,- perkapita perhari. 2 Pola makan Makan dengan menu seadanya, lebih mengutamakan kenyang daripada kecukupan gizi 3 Kondisi rumah Lantai : tanah atau semen tinggal Dinding : gedhek Tidak mempunyai sambungan listrik sendiri Perabot elektronik yang dimiliki hanya televisi Tidak mempunyai sarana MCK yang layak 4 Kepemilikan aset Tidak mempunyai perahu Tidak mempunyai tambak/sawah Tidak mempunyai ternah hewan besar (sapi) Tidak mempunyai tabungan baik berupa uang atau perhiasan emas 5 Kepemilikan sarana Tidak mempunyai kendaraan bermotor transportasi Sumber : Diolah dari hasil FGD
84
Pendapatan minimal sebesar Rp. 5.572,- perkapita perhari diperoleh dari kebutuhan pangan minimal untuk satu orang tiap harinya. Garis kemiskinan BPS diperoleh dari gabungan antara garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan. Apabila ditinjau dari garis kemiskinan makanan sebesar Rp. 127.207,- perkapita perbulan, indikator pendapatan rumah tangga miskin ini diatas garis kemiskinan makanan. Garis kemiskinan makanan yang dikeluarkan oleh BPS merupakan standar nasional berdasarkan data dari seluruh wilayah Indonesia. Sangat mungkin akan terjadi disparitas antar daerah sesuai dengan harga yang berlaku di tingkat lokal. Penentuan indikator pendapatan rumah tangga miskin berdasarkan pada pengeluaran rata-rata untuk pemenuhan pangan perorang setiap harinya. Untuk mendapatkan indikator ini, setiap peserta FGD diberikan kesempatan untuk menyampaikan pola harian makan beserta menunya kemudian menghitung berapa kebutuhan bahan makanan minimal perorang perhari. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan mencari informasi jenis pangan yang dikonsumsi termasuk didalamnya kualitas, kuantitas dan harga pasaran yang berlaku. Tabel 4. Pengeluaran untuk kebutuhan pangan minimal perorang perhari Jenis Volume Harga Satuan Jumlah Persentase No (%) pengeluaran (Rp.) (Rp.) 1 Beras 0,3 kg 5.600,1.680,30,15 2 Tempe/tahu 1 iris 1.000,1.000,17,95 3 Sayur 1 ikat 500,500,8,97 4 Minyak tanah 0,2 liter 4.500,900,16,15 5 Gula 0,04 kg 6.800,272,4,88 6 Kopi 0,02 kg 11.000,220,3,95 7 Lain-lain 1.000,1.000,17,95 Jumlah 5.572,100,00 Sumber : Diolah dari hasil FGD
85
Berdasarkan tabel 4, pengeluaran untuk pangan paling besar adalah untuk pembelian beras yang mencapai 30,15 persen kemudian disusul lauk pauk sebesar 17,95 persen. Minyak tanah juga merupakan komponen pengeluaran pangan yang cukup besar, mencapai 16,15 persen. Kenaikan harga beras dan minyak tanah merupakan salah satu penyebab semakin sulitnya penduduk miskin memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Hasil ini mempunyai kemiripan dengan data BPS. Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan Maret 2008, sumbangan pengeluaran beras terhadap garis kemiskinan di perdesaan sebesar 38,97 persen. Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain yang berpengaruh cukup besar terhadap garis kemiskinan di perdesaan adalah gula pasir 4,18 persen, mie instan 2,82 persen, telur 2,43 persen, tempe 2,14 persen dan tahu 1,65 persen (Data BPS, 2008). Berdasarkan pengeluaran pangan minimal perorang perhari inilah diambil sebagai salah satu indikator rumah tangga miskin. Rumah tangga tergolong miskin apabila pendapatan perkapita perharinya kurang dari Rp. 5.572,-. Rumah tangga Pak Snp (56 tahun) terdiri dari 6 orang yaitu Pak Snp, istri, anak, menantu dan dua orang cucu. Pak Snp bekerja sebagai nelayan dengan pendapatan yang tidak menentu. Setiap melaut Pak Snp rata-rata dapat memperoleh uang sebesar Rp. 15.000,-. Selain Pak Snp, menantu Pak Snp juga bekerja sebagai nelayan dengan pendapatan yang tidak terlalu berbeda. Apabila setiap hari Pak Snp dan menantunya berangkat melaut dengan memperoleh pendapatan yang tetap, maka dalam sebulan pendapatan mereka mencapai Rp. 900.000,-. Pendapatan perkapita dapat diketahui dengan membagi pendapatan
86
rumah tangga tersebut dengan banyaknya anggota rumah tangga sehingga diperoleh Rp. 150.000,-. Berdasarkan salah satu indikator kemiskinan yang telah disepakati didepan, dapat disimpulkan bahwa rumah tangga Pak Snp termasuk dalam rumah tangga miskin. Kondisi rumah juga menjadi salah satu indikator dalam menentukan rumah tangga miskin. Terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan rumah tangga miskin antara lain keadaan lantai, dinding dan atap. Selain itu sarana MCK, sambungan listrik dan kepemilikan perabot elektronik juga dapat dijadikan indikator. Saat ini di Karang Agung sudah jarang ditemui rumah yang masih berlantaikan tanah sehingga indikator kemiskinan menurut kondisi rumah mengalami perubahan. Rumah berlantai tanah atau semen, berdinding bambu (gedhek) menjadi indikator kemiskinan sebuah rumah tangga. Bahan atap tidak dijadikan sebagai indikator kemiskinan karena semua rumah di daerah pedesaan Jawa umumnya terbuat dari genteng. Rumah tangga miskin juga ditandai dengan tidak tersedianya sambungan listrik sendiri. Pada umumnya rumah tangga miskin memyambung listrik dari tetangga terdekat yang kondisi ekonominya lebih mampu. Saat ini biaya sambungan listrik baru mencapai Rp. 2.000.000,- sehingga tidak dapat dijangkau oleh rumah tangga miskin. Selain itu kebijakan PLN yang tidak lagi menjual listrik ukuran rumah tangga kecil (450 VA) menyebabkan rumah tangga miskin enggan membuat sambingan listrik sendiri. Biaya beban yang dikeluarkan menjadi sangat besar, padahal penggunaan listrik masih terbatas untuk penerangan saja. Kepemilikan barang elektronik juga menjadi perhatian dalam penentuan
87
rumah tangga miskin. Televisi merupakan salah satu barang elektronik yang tidak lagi termasuk dalam kategori barang mewah. Hampir semua rumah saat ini memiliki televisi, sehingga televisi tidak termasuk dalam komponen barang elektronik yang menunjukkan status ekonomi tinggi. Rumah tangga miskin juga dicirikan oleh ketiadaan sarana MCK yang memadai, terutama kakus. Rumah yang berada dekat dengan pantai seringkali tidak mempunyai kakus. Kegiatan buang air besar dilakukan di tepian pantai sedangkan untuk mandi, pada umumnya mereka mengandalkan kamar mandi umum yang berada di dekat sumur. Untuk air minum, rumah tangga miskin juga mengandalkan air dari sumur tersebut walaupun air masih terasa asin sebagai akibat dekatnya sumur dengan laut. Sedangkan rumah yang agak jauh dari pantai mempunyai kakus sederhana yang dikenal dengan jumbleng. Jumbleng adalah lobang di dalam tanah yang digunakan untuk menampung kotoran manusia. Bentuk kakus biasanya berupa bangunan sederhana tanpa atap yang terbuat dari gedhek. Kondisi kamar mandi juga sangat sederhana seperti halnya kakus. Rumah tangga miskin juga ditandai dengan ketiadaan aset produksi baik dalam bidang perikanan tangkap maupun pertanian dan peternakan. Mereka pada umumnya tidak memiliki perahu, lahan pertanian dan ternak besar seperti kambing atau sapi. Aset finansial berupa uang, tabungan maupun perhiasan emas juga terbatas. Ketidakmampuan untuk melakukan akumulasi modal disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah sehingga hanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Perhiasan bagi kaum perempuan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang penting, oleh karenanya beberapa penduduk
88
miskin tetap berusaha untuk memakai perhiasan emas bagi istri atau anak perempuannya. Perhiasan emas yang dipakai biasanya emas imitasi atau emas sepuhan, kalaupun ada yang menggunakan emas asli pun dengan kadar karat yang rendah. Kepemilikan kendaraan bermotor juga menjadi salah satu indikator rumah tangga miskin. Rumah tangga tergolong miskin apabila tidak mempunyai kendaraan bermotor, terutama motor. Walaupun saat ini motor dapat dengan mudah dimiliki melalui kredit, namun pendapatan yang rendah dan tidak menentu menjadi penghalang rumah tangga miskin dalam mengambil kredit kepemilikan motor. Untuk sarana transportasi jarak dekat, rumah tangga miskin mengandalkan sepeda. Sedangkan untuk jarak jauh, angkutan umum menjadi pilihan utama.
Kwanyar Barat Penyebab Kemiskinan Kemiskinan dicirikan oleh rendahnya pendapatan dan cenderung tidak menentu setiap saat. Rendahnya pendapatan yang berujung pada sulitnya mengkases pendidikan dan kesehatan yang layak. Rendahnya pendidikan menyebabkan lemahnya daya saing rumah tangga miskin dalam memperebutkan peluang pekerjaan yang lebih layak secara ekonomi. Selain itu, tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan kemampuan untuk melakukan akumulasi modal menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu rumah tangga miskin tidak dapat mengakses teknologi yang mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka. Keadaan ini sangat sesuai dengan teori lingkaran kemiskinan. Seperti
89
halnya rumah tangga miskin di Karang Agung, akses terhadap modal bagi rumah tangga miskin di Kwanyar Barat juga rendah. Akses Pendapatan yang diperoleh dihabiskan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Peluang untuk melakukan investasi tidak dapat dilakukan karena rendahnya tingkat pendapatan. Sebenarnya rumah tangga miskin memperoleh kesempatan untuk mengakses modal finansial melalui lembaga perkreditan. Namun demikian, akses ini tidak digunakan dengan baik karena sulitnya persyaratan yang harus dipenuhi. Salah
satu
akses
untuk
mendapatkan
modal
finansial
adalah
dengan
memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada. Kualitas modal manusia di Kwanyar Barat masih rendah. Tingkat pendidikan yang masih terbatas serta tidak dimilikinya keterampilan kerja yang memadai menyebabkan tenaga kerja tidak bisa mengakses peluang kerja yang lebih layak. Secara kuantitas, modal manusia yang tersedia sangat besar sehingga terdapat peluang untuk diberdayakan dalam kegiatan pencarian nafkah. Keadaan ini memberikan warna tersendiri dalam strategi nafkah yang diambil oleh rumah tangga miskin, salah satunya dengan memanfaatkan tenaga kerja dalam rumah tangga. Modal fisik tersedia dengan melimpah di Kwanyar Barat. Akses rumah tangga miskin terhadap perahu dan alat tangkap sangat dipengaruhi oleh hubungan kerja dengan pemilik perahu. Penguasaan aset produksi oleh pemilik perahu tidak menutup peluang bagi rumah tangga miskin untuk mengaksesnya. Pola bagi hasil yang ada di Kwanyar Barat sudah cukup adil bagi rumah tangga miskin. Modal fisik berupa lahan pertanian dan ternak menjadi suatu yang langka
90
bagi rumah tangga miskin di Kwanyar Barat. Beberapa rumah tangga miskin pernah memiliki aset berupa tanah. Kepemilikan aset berupa lahan sebagian besar berasal dari warisan orang tua dengan luasan yang terbatas sehingga tidak efisien untuk diusahakan dan pada akhirnya mereka jual dengan harga yang murah. Ikatan kekerabatan pada masyarakat Kwanyar Barat dan Madura pada umumnya sangat tinggi. Ikatan kekerabatan ini bahkan berkembang pada bentuk ikatan etnis ketika mereka berada di luar Madura. Kuatnya kohesifitas masyarakat Madura menumbuhkan modal sosial yang sangat berarti bagi perbaikan kesejahteraan hidup rumah tangga miskin. Modal sosial ini dapat berupa kelembagaan tradisional yang dapat memberikan jaminan rasa aman bagi rumah tangga miskin. Selain itu, jejaring sosial juga bermanfaat dalam memberikan akses terhadap berbagai bentuk modal yang lain, utamanya modal finansial. Penelusuran situasi sejarah menjadi hal yang penting karena dapat diambil pelajaran mengenai perubahan kondisi ekologi maupun sosial budaya yang menyebabkan kemiskinan. Setidaknya hal tersebut dirasakan sebagian besar nelayan yang ada di Kwanyar. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang peserta FGD. Beliau mengeluhkan kondisi sekarang yang dirasakan berbeda dengan masa 10 tahun yang lalu terkait dengan keamanan saat melaut akibat adanya konlik horizontal. Tercatat sejak 1995 hingga 2006 telah terjadi 23 kali konflik antar nelayan di Kecamatan Kwanyar. Puncak konflik terjadi pada tahun 1997 yaitu konflik antara nelayan Kwanyar (Kwanyar Barat, Batah Barat, Batah Timur) dengan nelayan asal Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang. Sejak saat itu sering terjadi konflik bahkan sering berujung saling serang ketika berada di
91
tengah laut. Kondisi yang tidak kondusif ini menyebabkan intensitas melaut menjadi berkurang. Kondisi ini terus berlanjut hingga tahun 2002. Sejak tahun 2003, konflik mulai mereda dikarenakan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Timur telah menempatkan keamanan laut (kamla) yang merupakan gabungan dari Satuan Polisi Air dan Udara serta Angkatan Laut. Meskipun demikian masih terjadi konflik antar nelayan karena perebutan wilayah tangkap dan penggunaan alat tangkap jenis mini trawl oleh nelayan lain. Konflik terjadi karena keterbatasan jumlah personel kamla. Namun demikian kuantitas konflik sudah berkurang dibandingkan sebelum ada kamla di wilayah Kwanyar. Konflik ini membawa dampak berupa semakin kuatnya modal sosial pada masyarakat Kwanyar Barat. Ikatan dalam kelompok yang kuat memungkinkan munculnya kesadaran tentang identitas kelompok dan tumbuh rasa kebersamaan untuk mengejar tujuan bersama. Kondisi ini semakin memperbaiki modal sosial di kalangan nelayan miskin Kwanyar Barat. Salah satu yang tampak nyata adalah kepedulian antar nelayan jika ada permasalahan yang diakibatkan oleh konflik. Pada saat konflik terjadi seringkali nelayan Kwanyar Barat berurusan dengan pihak kepolisian. Pada saat ada nelayan yang ditahan, nelayan lainnya dengan sukarela melakukan aksi demonstrasi di kantor kepolisian untuk menuntut pembebasan rekannya. Nelayan tradisional semakin terpuruk sebagai akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Kenaikan harga solar ini juga dibarengi dengan naiknya harga suku cadang mesin. Untuk mengatasi masalah tersebut seringkali nelayan harus mengoplos solar dengan minyak tanah. Langkah ini sebenarnya beresiko
92
yaitu rusaknya mesin. Namun untuk jangka pendek, strategi ini masih dianggap menguntungkan oleh nelayan. Pak Kwi (46 tahun), “Dulu pada tahun 1997 kami selalu was-was kalau melaut. Saat ini keadaannya semakin aman sehingga kami sudah tidak khawatir lagi sejak adanya Kamla dan Polisi Air. Kesulitan kami sekarang yang mendesak adalah mahalnya solar dan onderdil. Kalau solar sih masih bisa dioplos dengan minyak tanah”.
Terkait persoalan sosial budaya, tradisi tan pentan dirasakan cukup memberatkan masyarakat. Sebagian besar masyarakat masih menganut tradisi tersebut sehingga seorang laki-laki harus mempersiapkan acara perkawinan secara berlebihan, terutama dalam hal biaya tan-pentan. Sebenarnya, memang tidak ada kewajiban harus berlebihan tetapi budaya ini sudah telanjur ada untuk menjaga adat yang berlaku, sehingga umumnya banyak yang terjebak keinginan untuk gengsi. Untuk memenuhi tradisi tan pentan, tidak jarang pihak laki-laki harus meminjam uang pada kerabat. Tan pentan sebenarnya tidak dianggap sebagai masalah serius dalam kehidupan rumah tangga miskin. Menurut mereka, masa persiapan
menjelang
perkawinan
biasanya
cukup
panjang
sehingga
memungkinkan pihak laki-laki untuk menabung terlebih dahulu. Lagipula sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk menghantarkan anaknya hingga jenjang perkawinan. Bisa dibilang perkawinan mertupakan tanggung jawab terakhir orang tua terhadap anak laki-lakinya.
Ukuran Kemiskinan Seperti halnya masyarakat Karang Agung, kemiskinan bagi masyarakat Kwanyar Barat juga dipahami sebagai kondisi hidup yang serba terbatas dan serba
93
kekurangan. Kondisi ini disebabkan oleh minimnya pendapatan sehingga daya beli rumah tangga miskin rendah. Sebagai akibatnya pemenuhan standar hidup yang layak sangat sulit dicapai. Rumah tangga miskin hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok secara terbatas seperti makan dan tempat tinggal. Akses pendidikan masih terbatas demikian halnya dengan kemampuan untuk melakukan investasi atau akumulasi modal. Rendahnya pendapatan lebih disebabkan oleh ketergantungan terhadap lingkungan yang sangat besar. Semakin menurunnya daya dukung lingkungan ditambah dengan persaingan perebutan akses sumberdaya menjadikan kondisi nelayan tradisional semakin terdesak. Berikut beberapa pandangan masyarakat Kwanyar tentang kemiskinan : Pak Mkw (62 tahun), “Miskin itu kalau hidup serba kekurangan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Makan juga asal makan, rumah asal bisa berteduh, pendidikan anak juga asal bisa baca dan tulis sudah cukup.” Pak Ftr (42 tahun), “Miskin itu kalau rumahnya jelek, lantai masih dari tanah, dindingnya bambu, tidak punya perahu sendiri, jadi hanya jadi buruh. Anak-anaknya tidak bersekolah, paling hanya lulus SD saja sudah bagus. Jangankan punya barang tivi, listrik saja masih menyambung dari tetangga, paling punya radio buat teman tidur.” Bu Rsh (58 tahun), “Miskin itu kalau tidak punya apa-apa. Tidak punya tabungan, tidak punya ternak, tidak punya perahu, tidak punya emas. Yah, asal bisa makan saja. Makan apa saja yang penting kenyang.” Pak Qdr (48 tahun)“Miskin itu kalau tidak bisa menyekolahkan anak. Lha bagaimana mau menyekolahkan kalau untuk makan saja habis. Sudah beruntung anak-istri tidak kelaparan. Asal anak-anak sudah bisa baca tulis saja, saya sudah senang.” Apabila digali lebih lanjut, dapat pula ditemukan beberapa indikator kemiskinan yang bersifat lokal. Disini masyarakat menentukan sendiri beberapa
94
indikator kemiskinan yang mereka percayai dapat digunakan untuk menentukan status kesejahteraan suatu rumah tangga atau keluarga. Walaupun pada dasarnya terdapat kemiripan dengan indikator kemiskinan yang ditetapkan oleh beberapa instansi, namun indikator kemiskinan yang telah disepakati di tingkat lokal lebih mampu menggambarkan kekhasan suatu komunitas dimana mereka tinggal. Selain itu penentuan rumah tangga miskin berdasarkan kesepakatan yang dibangun antara warga sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Untuk mengetahui indikator berupa pendapatan dilakukan upaya penggalian informasi dari masyarakat tentang besarnya biaya hidup minimum per orang per hari. Besar biaya hidup minimum ini hanya memperhatikan pengeluaran untuk keperluan pangan saja tanpa memasukkan pengeluaran lainnya seperti kesehatan, pendidikan maupun perumahan. Namun demikian, ukuran pendapatan ini diharapkan bisa menjadi gambaran ukuran kemiskinan yang berlaku di tingkat lokal. Besarnya pengeluaran pangan minimal perorang perhari sebesar Rp. 5.457,Besaran ini diperoleh dari pola pangan harian yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Kwanyar Barat. Pengeluaran untuk pangan selama sebulan sebesar Rp. 163.710,- per orang. Angka ini juga hampir sama dengan standar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS untuk daerah perdesaan yaitu sebesar Rp. 161.831,- perkapita perbulan. Kondisi rumah tinggal merupakan indikator yang paling sering disebut oleh peserta FGD. Memang pada kenyataannya kondisi rumah tinggal merupakan salah satu ciri yang paling mudah dikenali bahkan oleh pihak dari luar sekalipun. Kondisi rumah tinggal yang termasuk dalam kategori miskin menurut ukuran
95
masyarakat adalah kondisi lantai masih dari tanah dengan dinding bambu atau kayu. Namun demikian beberapa peserta lainnya memberikan pendapat bahwa pada kenyataannya semakin lama semakin jumlah rumah yang hanya berlantai tanah berkurang. Mereka meminta untuk menaikkan standar kemiskinan menjadi berlantai semen, demikian pula dengan dinding yaitu berdinding bata putih tidak berkulit. Tabel 5. Indikator Kemiskinan Lokal Desa Kwanyar Barat Indikator Keterangan No 1 Pendapatan Pendapatan rendah dan tidak menentu. Besarnya pendapatan kurang dari Rp. 5.457,- perkapita perhari. 2 Kondisi rumah Lantai : semen tinggal Dinding : anyaman bambu/kayu, bata putih tidak berkulit Tidak mempunyai sambungan listrik sendiri, apabila mempunyai sambungan listrik sendiri daya tidak lebih dari 450 VA Perabot elektronik yang dimiliki hanya televisi Tidak mempunyai sarana MCK yang layak 3 Kepemilikan aset Tidak mempunyai perahu Tidak mempunyai tambak/sawah 4 Kepemilikan sarana Tidak mempunyai kendaraan bermotor transportasi 5 Pendidikan anak Rendah, hanya tamat SD Sumber : Diolah dari hasil FGD
Suatu yang menarik, material bangunan ternyata juga digunakan sebagai indikator. Penggunaan bata putih sebagai indikator kemiskinan disebabkan oleh harganya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan bata merah. Tampak bahwa masyarakat jauh lebih peka terhadap indikator kemiskinan sehingga pengukuran kemiskinan berbasis lokal dan bersifat partisipatif sangat ideal untuk dilaksanakan.
96
Rumah tangga miskin juga dicirikan dengan tidak adanya sambungan listrik sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, rumah tangga miskin mengandalkan sambungan listrik dari tetangga yang telah berlangganan listrik dengan membayar sejumlah uang setiap bulannya. Beberapa rumah tangga ada yang berinisiatif untuk berlangganan listrik secara berkelompok. Hal ini dikarenakan biaya sambungan listrik baru yang sangat mahal. Pada beberapa rumah tangga yang telah mempunyai sambungan listrik sendiri, daya maksimum yang dapat dikategorikan sebagai rumah tangga miskin sebesar 450 VA. Bagi rumah tangga miskin, kebutuhan listrik hanya sebatas untuk keperluan penerangan di malam hari saja. Perabot elektronik yang dimiliki juga terbatas. Seperti halnya di Karang Agung, televisi sudah tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah. Kepemilikan televisi sudah menjadi hal yang umum di Kwanyar Barat. Sarana MCK juga dapat dijadikan indikator kemiskinan. Ruamah tangga miskin dicirikan oleh ketiadaan sarana MCK yang memadai. Sebagian besar rumah tangga miskin sama sekali tidak mempunyai sarana MCK. Mereka mengandalkan MCK umum tersedia di sekitar mereka. Kalaupun ada yang mempunyai sarana MCK, hanya terbatas pada kamar mandi saja. Untuk keperluan buang air besar, rumah tangga miskin masih mengandalkan sungai dan pantai saja. Kepemilikan aset produksi rumah tangga miskin juga terbatas bahkan dapat dikatakan rumah tangga miskin tidak mempunyai aset produksi sama sekali. Rumah tangga nelayan miskin ditandai dengan tidak dimilikinya perahu, sebuah
97
aset produksi yang penting bagi nelayan. Selain itu aset produksi perikanan maupun pertanian lainnya juga tidak mereka miliki. Pendidikan anak juga menjadi salah satu perhatian dalam penentuan rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin dicirikan dengan rendahnya pendidikan anak. Sebagian besar anak-anak pada rumah tangga miskin hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang sekolah dasar. Sangat jarang dijumpai diantara mereka yang melanjutkan hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Alasan utama yang dikemukakan oleh rumah tangga miskin adalah terbatasnya pendapatan sehingga mereka tidak mampu untuk mengaksesnya. Indikator pendapatan sangat sulit diukur karena bersifat fluktuatif. Hampir semua ukuran kemiskinan yang dibuat oleh pemerintah memasukkan pendapatan sebagai salah satu indikator. Terdapat dua pendekatan dalam menentukan tingkat pendapatan yaitu melalui pendekatan pengeluaran dan melalui pendekatan penerimaan atau penghasilan yang diperoleh. Dua pendekatan ini mempunyai kelemahan yaitu pada aspek pengukuran. Sangat sulit bagi masyarakat perdesaan untuk menjalankan pengukuran pendapatan tersebut. Selain itu ukuran pendapatan minimal setiap daerah akan terjadi disparitas sesuai dengan pola konsumsi dan harga yang berlaku. Indikator pendapatan relatif lebih sulit untuk diukur, namun demikian indikator ini perlu disajikan untuk memberi gambaran pada tingkat yang lebih luas tentang batas rumah tangga miskin. Terdapat beberapa indikator lain yang lebih mudah untuk diamati oleh masyarakat sendiri. Pendapatan juga sudah tercermin
98
dari indikator yang lain seperti kondisi rumah tinggal, kepemilikan aset produksi dan sarana transportasi.
Ikhtisar Kemiskinan di kedua desa kasus disebabkan oleh rendahnya akses rumah tangga terhadap sumber-sumber nafkah. Kondisi ini semakin diperparah dengan meningkatnya biaya hidup seiring naiknya harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga BBM menjadi masalah tersendiri bagi rumah tangga nelayan karena meningkatkan biaya melaut. Rumah tangga nelayan miskin di Kwanyar Barat mengalami tekanan yang lebih berat dibandingkan Karang Agung karena konflik antar nelayan seringkali terjadi. Konflik perebutan wilayah tangkap ini menyebabkan nelayan Kwanyar Barat mengurangi jadwal melaut, hal ini memperparah kondisi keuangan rumah tangga. Kemiskinan oleh masyarakat di kedua desa dipersepsikan sebagai suatu keadaan yang serba kekurangan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ukuran kemiskinan lokal di kedua desa kasus mempunyai banyak persamaan. Bagi masyarakat Karang Agung rumah tangga miskin dicirikan oleh : (1). Pendapatan kurang dari Rp. 5.572,- perkapita perhari. (2). Makan dengan menu seadanya, lebih mengutamakan kenyang daripada kecukupan gizi. (3). Kondisi rumah tinggal yang sederhana, tidak mempunyai sambungan listrik sendiri, kepemilikan perabot elektronik hanya sebatas televisi dan tidak tersedia sarana MCK. (4). Tidak memiliki aset produksi dan juga tabungan. (5). Tidak mempunyai kendaraan bermotor.
99
Tabel 6. Perbandingan indikator kemiskinan BPS dan indikator kemiskinan lokal No 1 2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
13
14
Indikator Kemiskinan BPS Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu berkualitas rendah. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
-
Indikator kemiskinan Lokal Karang Agung Kwanyar Barat -
Tanah/semen.
Semen.
Bambu atau kayu (gedhek).
Anyaman bambu/kayu, bata putih tidak berkulit.
Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
Tidak mempunyai sarana MCK yang layak.
Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Bahan bakar untuk memasak seharihari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
Tidak mempunyai sarana MCK yang layak.
Tidak mempunyai sarana MCK yang layak. Mempunyai sambungan listrik sendiri daya tidak lebih dari 450 VA. Perabot elektronik yang dimiliki hanya televisi. Tidak mempunyai sarana MCK yang layak. -
Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,per bulan. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Tidak mempunyai sambungan listrik sendiri.
-
-
Makan dengan menu seadanya, lebih mengutamakan kenyang daripada kecukupan gizi. -
-
-
-
-
-
Pendapatan rendah dan tidak menentu. Besarnya pendapatan kurang dari Rp. 5.572,- perkapita perhari.
Pendapatan rendah dan tidak menentu. Besarnya pendapatan kurang dari Rp. 5.457,- perkapita perhari.
-
Pendidikan anak rendah, hanya tamat SD. Tidak mempunyai perahu, tambak/sawah dan kendaraan bermotor
Tidak mempunyai kendaraan bermotor, perahu, tambak/sawah, ternah hewan besar (sapi) dan tabungan baik berupa uang atau perhiasan emas
100
Sedangkan ukuran kemiskinan di Kwanyar Barat adalah sebagai berikut : (1). Pendapatan kurang dari Rp. 5.457,- perkapita perhari. (2). Kondisi rumah tinggal yang sederhana, tidak mempunyai sambungan listrik sendiri, kepemilikan perabot elektronik hanya sebatas televisi dan tidak tersedia sarana MCK. (3). Tidak memiliki aset produksi dan juga tabungan. (4). Tidak mempunyai kendaraan bermotor. (5). Pendidikan anak rendah, hanya lulus SD. Apabila dibandingkan dengan indikator kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS seperti yang terdapat dalam tabel 6, tampak bahwa indikator kemiskinan lokal tidak berbeda jauh. Indikator kemiskinan lokal lebih mampu memberikan penjelasan pada beberapa indikator yang telah ditetapkan oleh BPS. Indikator sumber penerangan misalnya. Rumah tangga miskin di kedua desa kasus telah menikmati listrik walaupun dengan cara menyambung dari tetangga terdekat. Keadaan ini sebenarnya sudah jamak terjadi pada rumah tangga miskin, terutama di Jawa. Listrik sudah tidak dapat lagi dijadikan indikator kemiskinan. Indikator ini bisa diperjelas lagi dan disesuaikan dengan keadaan di tingkat lokal. Beberapa indikator kemiskinan BPS tampak tidak berperan dalam indikator kemiskinan lokal seperti luas rumah tinggal, bahan bakar untuk memasak, kemampuan membeli pakaian, jumlah makan per hari dan biaya kesehatan.
101
STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA MISKIN
Pendapatan nelayan cenderung mengalami fluktuasi dan sangat tergantung dengan alam. Pada saat musim ombak besar, sangat tidak memungkinkan bagi nelayan kecil untuk pergi melaut. Kondisi ini disebabkan oleh masih rendahnya kualitas armada tangkap yang mereka miliki. Selain faktor resiko, pada saat musim ombak besar biasanya jumlah ikan yang dapat ditangkap mengalami penurunan. Pada masa inilah nelayan harus dapat mencari alternatif pendapatan untuk bertahan hidup. Selain pendapatan yang fluktuatif, saat ini nelayan juga mengalami gejala penurunan pendapatan yang disebabkan oleh berkurangnya hasil tangkapan. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan adanya over fishing di perairan selat Madura dan Laut Jawa sejak beberapa tahun lalu (Arisandi, 2003; Muhsoni, 2006). Keterbatasan armada tangkap menyebabkan nelayan tidak dapat mengakses wilayah tangkapan yang lebih jauh. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perebutan wilayah tangkap dan sering berujung dengan konflik (Christy, 1982). Strategi nafkah rumah tangga miskin dalam penelitian ini akan dibagi menjadi dua macam tipe strategi, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi berkaitan dengan pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumah tangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial adalah pemanfaatan asuransi sosial pada lembaga kesejahteraan lokal dan penggunaan jejaring sosial. Kedua stategi ini tidak dapat dipisahkan dan seringkali dilakukan secara bersamaan.
102
Pemilihan alternatif strategi nafkah yang akan diambil tergantung pada akses rumah tangga miskin terhadap modal. Strategi ekonomi yang umum dilakukan adalah dengan melakukan optimalisasi tenaga kerja rumah tangga. Tidak mengherankan pada daerah perdesaan masih dikenal adanya nilai banyak anak banyak rejeki. Selain diharapkan dapat membantu orang tua dalam mencari nafkah, keberadaan anak merupakan asuransi sosial di hari tua kelak. Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga menyebabkan pendidikan anak terbengkalai. Pada usia sekolah, anak sudah turut bekerja mencari nafkah.
Karang Agung Strategi Ekonomi Ketertarikan golongan muda Karang Agung terhadap sektor perikanan tangkap semakin menunjukkan penurunan. Generasi muda saat ini lebih tertarik untuk mengadu nasib di kota besar, seperti Surabaya dan Jakarta. Hanya sebagian kecil generasi muda yang masih menekuni pekerjaan sebagai nelayan. Semakin menurunnya hasil tangkapan serta resiko kerja yang tinggi menyebabkan generasi muda lebih tertarik untuk melakukan migrasi. 1. Sumber nafkah ganda Generasi tua yang masih bertahan sebagai nelayan seringkali melakukan strategi nafkah ganda. Tidak menentunya hasil tangkapan apalagi pada musim paceklik memaksa nelayan untuk bekerja di sektor lain untuk tetap mempertahankan hidup. Pola nafkah ganda ini memberi jaminan akan adanya
103
pendapatan walaupun mereka tidak melaut, namun demikian pada dasarnya pendapatan dari sumber nafkah lain ini juga bersifat tak menentu. Pendapatan sebagai buruh bangunan, misalnya. Sebagai buruh bangunan tentu pendapatan sangat tergantung dari ada tidaknya kegiatan mendirikan atau merenovasi bangunan. Upah sebagai buruh bangunan lebih menjanjikan dibandingkan dengan pendapatan dari melaut. Buruh bangunan terbagi menjadi dua status, yaitu tukang dan kernet. Tukang merupakan buruh bangunan yang mempunyai keahlian dalam pertukangan. Tukang bertanggungjawab penuh terhadap proses pengerjaan bangunan. Sedangkan kernet lebih berperan sebagai pembantu tukang saja. Tugas utamanya adalah mempersiapkan bahan bangunan, mengangkat bahan bangunan hingga mengaduk adonan semen. Sistem pengupahan buruh bangunan di Karang Agung adalah harian dimana setiap hari tukang mendapatkan upah sebesar Rp. 40.000,-. Untuk kernet, setiap harinya memperoleh upah sebesar Rp. 25.000,-. Upah tersebut masih ditambah dengan satu kali makan siang, rokok, kopi serta jajanan ala kadarnya. Pak Wkt (40 tahun) merupakan salah satu nelayan yang sering bekerja sebagai buruh bangunan. Posisi Pak Wkt saat ini adalah sebagai tukang. Keahliannya diperoleh secara otodidak dan berasal dari pengalamannya sebagai kernet sejak usia 18 tahun. Pada awalnya Pak Wkt membantu orang tuanya yang bekerja sebagai tukang, lambat laun keterampilannya pun meningkat sehingga pada usia 30 tahun, Pak Wkt telah menjadi tukang.
104
Namun demikian Pak Wkt masih menganggap tukang sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama bagi Pak Wkt adalah nelayan. Sebagai tukang, Pak Wkt harus bersaing dengan tukang dari luar desa yang lebih berpengalaman. Tukang dari luar desa biasanya lebih berpengalaman karena merupakan pekerjaan utama mereka. Lagipula mereka telah sering mengerjakan berbagai proyek pembangunan di kota sehingga mempunyai pengetahuan yang baik tentang model rumah gaya baru dibandingkan Pak Wkt. Oleh karenanya Pak Wkt jarang mendapatkan pekerjaan untuk membangun rumah baru atau melakukan renovasi total sebuah rumah. Pak Wkt hanya sebatas mengerjakan pekerjaan perbaikan ringan saja. Sebagai tukang, Pak Wkt memperoleh upah sebesar Rp. 40.000,- per hari dan masih memperoleh jatah satu kali makan, kopi, rokok dan jajanan ringan. Pak Wkt pun hanya menerima pekerjaan sebagai tukang dari penduduk Karang Agung saja. “Bagi saya nelayan tetap pekerjaan utama, menjadi tukang hanya pekerjaan disaat saya tidak melaut. Terkadang juga kalau ada yang membutuhkan tenaga saya, saya memilih tidak berangkat melaut. Tapi karena pada dasarnya saya bukan tukang sungguhan, ya kerja saya hanya di Karang Agung saja. Itupun hanya musiman, tidak bisa diandalkan. Bagi saya, daripada melaut dengan hasil yang kecil lebih baik nyambi menjadi tukang.” Apabila tidak pergi melaut, kegiatan nelayan pada siang hari dihabiskan untuk memperbaiki perahu atau jaring. Selain memperbaiki perahu atau jaring milik sendiri beberapa nelayan menerima jasa perbaikan perahu atau jaring milik orang lain. Untuk memperbaiki perahu diperlukan keahlian khusus, terutama dalam bidang pertukangan kayu. Oleh karenanya nelayan yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki perahu jumlahnya terbatas. Berbeda dengan
105
keterampilan memperbaiki atau membuat jaring, hampir semua nelayan mempunyai keterampilan ini. Beberapa nelayan yang sudah tua banyak yang sudah mengurangi kegiatan melaut. Kondisi kesehatan menjadi salah satu alasan mereka. Nelayan yang sudah tua biasanya mengisi hari tuanya dengan membuat dan memperbaiki jaring. Pak Sns (55 tahun) misalnya, beliau mempunyai keterampilan dalam memperbaiki perahu. Pekerjaanya yang rapi serta tidak mematok tarif yang tinggi menyebabkan banyak pemilik perahu yang mempercayakan perbaikan perahunya pada Pak Sns. Ketika memperbaiki perahu Pak Sns dibantu oleh anak kandungnya Skj (30 tahun) yang tamatan SD dan sudah menikah. Pak Sns seringkali tidak melaut ketika ada perahu yang harus diperbaiki. Bagi Pak Sns, memperbaiki perahu lebih menguntungkan karena tidak harus mengeluarkan banyak biaya dan tenaga. Selain itu di usianya yang beranjak tua, Pak Sns merasa sudah kurang mampu bekerja di laut. Kondisi kesehatannya sudah menurun. Pak Sns tidak mematok tarif untuk jasa perbaikan perahu. Para pemakai jasa Pak Sns memberikan upah seikhlasnya tergantung dari tingkat kesulitan dan lama pengerjaan perbaikan perahu mereka. Semua bahan perbaikan dibeli dan dipilih oleh pemilik perahu, Pak Sns hanya membawa alat pertukangan dan mengerjakan perbaikan perahu tersebut. Untuk sekedar mendempul perahu yang bocor, Pak Sns biasanya menerima upah antara Rp. 25.000,- hingga Rp. 50.000,-. Pekerjaan mendempul perahu yang bocor biasanya dapat diselesaikan dalam waktu setengah hari. Pak Sns memberikan sebagian upah tersebut kepada Skj, biasanya antara Rp. 10.000,-
106
hingga Rp. 20.000,- untuk sekedar uang rokok dan kopi serta uang jajan bagi anak Skj (cucu Pak Sns). “Walaupun hanya dibayar seikhlasnya, sudah lebih dari cukuplah untuk biaya hidup. Ini juga hanya pekerjaan sampingan, tidak setiap hari ada yang memperbaiki perahu. Banyak juga yang memperbaiki sendiri perahunya.” Namun demikian Pak Sns juga tidak bisa mengandalkan pendapatannya dari hasil jasa perbaikan perahu. Pendapatan ini bersifat tak menentu, belum tentu setiap hari akan ada orang yang menggunakan jasanya, paling tidak seminggu sekali baru ada yang meminta jasanya. 2. Pemanfaatan tenaga kerja dalam rumah tangga Pemanfaatan tenaga kerja dalam rumah tangga juga menjadi salah satu bentuk strategi nafkah yang dijalankan oleh nelayan Karang Agung. Peran anak dalam membantu orang tua untuk mencari nafkah sangat besar. Anak laki-laki yang sudah dewasa biasanya akan turut serta pergi melaut atau menjalankan pekerjaan lainnya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup orang tua serta adik-adiknya. Bagi anak laki-laki yang masih belum dewasa, keterlibatan dalam usaha pencarian nafkah masih terbatas pada kegiatan ringan seperti membantu menurunkan, memilih dan menjual hasil tangkapan. Kegiatan ini dilakukan pada saat nelayan sudah mendarat di pantai pada sore hari sehingga tidak mengganggu waktu sekolah anak-anak. Keterlibatan perempuan dalam pencarian nafkah juga sangat besar. Selain bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga, para perempuan juga terlibat dalam kegiatan pencarian nafkah seperti berdagang ikan, membuka warung kecil-kecilan di rumah sampai bekerja sebagai buruh pada pabrik rokok yang ada di desa
107
tetangga. Peran anak perempuan juga tidak kalah pentingnya dalam ekonomi rumah tangga. Anak perempuan yang masih belum dewasa biasanya berperan membantu ibunya dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, baik pekerjaan domestik maupun kegiatan produktif. Pekerjaan domestik misalnya memasak, membersihkan rumah hingga mengasuh adik. Sedangkan untuk kegiatan produktif, anak perempuan turut membantu menjual hasil tangkapan atau menjaga warung. Bagi anak perempuan yang telah dewasa, terdapat peluang kerja sebagai buruh linting di pabrik rokok yang berada di Desa Brondong, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Karang Agung. Pabrik rokok yang beroperasi sejak tahun 2001 ini mampu menyerap tenaga kerja hingga 1.200 orang yang sebagian besar adalah perempuan. Pabrik rokok ini dikelola oleh KUD Mina Tani Brondong dan merupakan mitra produksi dari PT. HM Sampoerna, sebuah pabrik rokok besar di Surabaya. Persayaratan untuk menjadi buruh linting juga tidak terlalu sulit. Tidak ada persyaratan pendidikan sama sekali. Ketika seleksi, para calon pekerja disuruh merentangkan tangannya beberapa saat. Bila tangannya berkeringat, dia tak akan diterima. Sebab, tangan yang berkeringat akan merusak dan mengotori kertas rokok saat melinting rokok. Selain itu, untuk pekerja di bagian gunting, ibu jarinya tak boleh besar karena gerakannya akan kaku. Kemudahan inilah yang menarik minat perempuan Karang Agung untuk bekerja sebagai buruh di pabrik rokok MPS (Mitra Produksi Sampoerna) ini. Upah yang didapatkan dari pabrik rokok sebesar Rp. 650.000,- sebulan dan diterimakan setiap akhir pekan. Jumlah ini relatif besar bagi warga Karang
108
Agung sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin meningkat. Tidak mengherankan jika hampir seluruh perempuan usia muda lebih tertarik bekerja di pabrik rokok dibandingkan bekerja di sektor lain atau melakukan migrasi baik ke kota besar maupun luar negeri. Alasan mereka pada umumnya adalah kedekatan lokasi kerja sehingga tetap dapat berkumpul dengan keluarga, terlebih bagi mereka yang telah berkeluarga dan mempunyai anak. Snti (perempuan, 19 tahun) anak Pak Wkt, sudah bekerja di pabrik rokok MPS selama 2 tahun. Snti bekerja selepas lulus SMP, dia termasuk beruntung bisa merasakan pendidikan hingga jenjang SMP. Setiap bulan Snti bisa mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 650.000,- namun masih harus mengeluarkan biaya transportasi untuk berangkat dan pulang kerja. Selain itu Snti harus mengeluarkan biaya makan setiap harinya. Setiap hari Snti harus menyisihkan uang sebesar Rp. 7.500,- untuk memenuhi biaya transportasi dan makan, praktis setiap bulan Snti bisa mendapatkan Rp. 400.000,- untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat ini Snti sudah berkeluarga dan mempunyai 1 orang anak. Snti beserta suami dan anaknya tinggal bersama di rumah orang tua Snti. Snti sendiri anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah orang tua istrinya, sedangkan adik perempuan Snti masih menyelesaikan sekolahnya di SMP. Suami Snti bekerja sebagai nelayan, demikian pula dengan orang tua Snti. Anak Snti masih berumur 1 tahun dan diasuh oleh orang tua Snti apabila Snti bekerja. Sejak bekerja di pabrik rokok, kehidupan rumah tangganya lebih baik. Pendapatannya sebagai buruh pabrik walaupun tidak begitu besar namun lebih
109
dapat diandalkan dibandingkan pendapatan suaminya yang tidak menentu. Suami Snti bekerja sebagai nelayan dengan pendapatan berkisar antara Rp. 15.000,hingga Rp. 25.000,- per hari. Untuk makan sehari-hari, Snti masih ditanggung oleh orang tuanya. Setiap bulan Snti membeli beras, minyak goreng, minyak tanah, gula dan kopi sekedar untuk membantu keperluan makan anggota rumah tangga. Sedangkan untuk pengeluaran sehari-hari seperti sayur, lauk dan uang jajan anak ditanggung oleh orang tua Snti. 3. Migrasi Strategi nafkah berbasis migrasi juga dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin Karang Agung. Migrasi biasanya dilakukan oleh generasi muda dengan daerah tujuan di beberapa kota besar di Jawa Timur. Sebagian besar mereka bekerja di sektor informal yaitu menjadi buruh bangunan. Beberapa nelayan yang mempunyai keterampilan dalam bertukang banyak yang telah memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan utamanya. Migrasi yang dilakukan oleh penduduk Karang Agung sebagian besar berpola kelompok. mereka berangkat bersamasama ke suatu daerah dan bekerja secara bersama-sama. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh bangunan pada beberapa kontraktor pembangunan gedung. Fenomena migrasi ini semakin berkembang dikarenakan adanya jaringan sosial yang bekerja di dalamnya. Kisah sukses salah satu pelaku migrasi menjadikan sebagai faktor penarik bagi orang lain. Beberapa pelaku migrasi yang telah sukses pasti akan mengajak kerabat maupun teman merak untuk turut serta melakukan migrasi. Keberhasilan salah satu penduduk desa yang bernama Pak Jnd
110
mampu membuat generasi muda menjadi semakin tertarik untuk mencoba mengadu nasib di kota besar. Istilah yang sering digunakan untuk bekerja sebagai buruh bangunan di kota besar adalah proyek atau mroyek. Proyek atau mroyek yang dimaksud adalah ikut bekerja dalam proyek pembangunan. Wwn (laki-laki, 28 tahun), termasuk salah satu pelaku migrasi. Wwn bekerja sebagai buruh bangunan pada proyek pembangunan gedung bertingkat yang ada di Surabaya. Pada awalnya Wwn bekerja membantu orang tuanya sebagai nelayan, namun setelah mendengar cerita keberhasilan tetangganya, Wwn menjadi tertarik untuk ikut mroyek. Kebetulan pada saat itu ada Pak Jnd yang baru saja pulang kampung. Pak Jnd sudah lama sekali bekerja di proyek dan kini diberi kepercayaan sebagai kepala tukang. Setiap kali ada pekerjaan baru dan membutuhkan tenaga kerja yang banyak, Pak Jnd sering mengajak pemuda desa untuk ikut bekerja di proyek. Wwn setiap harinya menerima upah sebesar Rp. 25.000,- bersih tanpa harus mengeluarkan biaya untuk makan dan tempat tinggal. Selama bekerja Wwn tinggal di lokasi proyek dalam bedengan-bedengan yang terbuat dari kayu. Untuk keperluan makan sehari-hari sudah disipakan nasi bungkus. Praktis pengeluaran hanya untuk uang rokok, kopi atau sekedar minum jamu. Wwn bekerja hingga proyek selesai. Masa libur hanya pada masa-masa senggang pekerjaan, misalnya ketika harus menunggu keringnya cor selama kurang lebih 2 minggu. Pada saat itulah Wwn berkesempatan untuk pulang kampung. Pendapatan dari pekerjaan mroyek juga tidak menentu karena sangat tergantung dengan ada tidaknya yang mempekerjakan mereka.
111
Alasan utama Wwn melakukan migrasi adalah keinginannya untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Wwn merasa pendapatannya sebagai tidak bisa diandalkan apabila kelak dia berrumah tangga. Sebagai nelayan, Wwn tidak mendapatkan hasil yang pasti, terkadang bisa mendapatkan banyak hasil tangkapan, namun terkadang pulang tanpa hasil. Migrasi internasional saat ini mulai mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh ketatnya aturan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Beberapa tahun lalu migrasi internasional tampak menggejala terutama ke Malaysia. Proses keberangkatan TKI atau TKW berlangsung secara ilegal. Namun seiring razia besar-besaran yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia yang berujung pada penangkapan dan pemulangan TKI/TKW gelap, gejala migrasi internasional ini mengalami penurunan. Ketertarikan untuk menjadi TKI/TKW semakin menurun dengan banyaknya kasus yang dialami oleh TKI/TKW di luar negeri. Pak Smo (49 tahun), sekretaris desa Karang Agung mengungkapkan, “Sekarang ini TKI sudah berkurang. Sejak tahun 2000-an lalu, ketika ramai-ramainya razia oleh pemerintah Malaysia terhadap TKI ilegal. Memang masih ada warga kami yang menjadi TKI, tapi jumlahnya jauh menurun dibandingkan pada saat sebelum razia itu.”
4. Kegiatan Ilegal Strategi nafkah dengan cara ilegal juga dilakukan oleh nelayan Karang Agung. Judi masih menjadi sarana mengadu untung bagi warga miskin. Judi togel (toto gelap), sebuah judi yang mirip dengan undian SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) selalu menjadi bahan pembicaraan sehari-hari. Judi togel berlangsung setiap hari kecuali hari Selasa dan Jum’at. Berdasarkan keterangan warga, hanya beberapa kali saja penduduk Karang Agung berhasil memenangkan
112
togel, itupun dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Namun hal ini tidak mengurangi antusias warga dalam memasang nomor togel.
Tabel 7. Strategi Ekonomi Rumah Tangga Miskin di Desa Karang Agung No Strategi Kegiatan Pelaku Ekonomi 1 Pola nafkah Laki-laki • Buruh bangunan ganda • Jasa perbaikan perahu, jaring dan diesel 2 Optimalisasi Laki-laki • Terlibat dalam penangkapan ikan tenaga kerja • Membantu dalam perbaikan perahu rumah tangga atau jaring Perempuan • Buruh di pabrik rokok • Membantu menjual hasil tangkapan • Bekerja di pemindangan • Berjualan jajanan di rumah 3 Migrasi • Bekerja sebagai buruh bangunan kota Laki-laki besar Jawa Timur Laki-laki 4 Kegiatan ilegal • Judi Togel Di Karang Agung tidak terdapat bandar togel, hanya beberapa orang pengepul saja. Pengepul ini bekerja dengan sembunyi-sembunyi dan hanya berdasarkan informasi dari mulut ke mulut. Pengepul juga tidak mempunyai kios yang tetap, transaksi dilakukan di rumah pengepul atau dimana saja jika pemasang bertemu pengepul. Prinsip togel lebih mengarah pada saling mempercayai. Pemasang juga tidak khawatir jika pengepul akan melarikan diri atau ingkar janji. Pengepul kemudian menyetorkan uang berikut hasil rekapitulasi nomor yang dipasang oleh pembeli togel kepada bandar. Omzet togel di Karang Agung tidak terlalu besar. Pemasang pun jarang sekali yang memasang hingga puluhan ribu rupiah. Pemasang biasanya hanya membeli satu kupon seharga Rp. 1.000,- setiap hari. Namun pada hari-hari tertentu ketika hasil tangkapan melimpah tak jarang seorang pemasang membeli hingga 10 kupon atau senilai Rp. 10.000,-.
113
Salah seorang penggemar togel menyatakan bahwa togel hanya sebagai hiburan dan mengisi waktu senggang. Pada saat ada waktu senggang seringkali para nelayan berkumpul di warung kopi atau toak untuk sekedar membicarakan prediksi nomor yang akan keluar. Terkadang apabila tidak melaut dan tidak ada pekerjaan lainnya, mereka mencoba memprediksi nomor togel yang akan keluar, istilah setempat adalah ngramesi. Pada saat ngramesi ini mereka menghitung dengan “rumus” yang mereka miliki di atas kertas. Kegiatan ini bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam. Walaupun togel begitu merebak di Karang Agung namun kebanyakan warga masih bisa mengendalikan diri sehingga tidak menyebabkan timbulnya permasalahan ekonomi dalam rumah tangga. Pak Krd (56 tahun) setiap hari selalu menyempatan untuk memasang nomor togel. Menurut Pak Krd, memasang nomor togel hanya sebagai hiburan untuk melupakan rumitnya masalah hidup. Pak Krd juga tidak terlalu mengutamakan memasang nomor togel, bagi dia yang paling utama adalah memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Jika ada uang lebih, baru Pak Krd memasang nomor togel, itupun hanya satu kupon senilai Rp. 1.000,-. Hadiah yang dijanjikan membuat Pak Krd tertarik untuk selalu memasang nomor togel. Setiap kemenangan ditandai oleh cocoknya dua angka yang dipasang dengan hasil undian memberikan hadiah sebesar 60 kali lipat dari harga kupon. Jadi dengan modal Rp. 1.000,-, Pak Krd berpeluang membawa pulang Rp. 60.000,-. Seingat Pak Krd, dia telah berhasil menang togel sebanyak tiga kali. Kemenangan terbesar yang pernah diraih Pak Krd sebesar Rp. 600.000,-, ini terjadi pada tahun 2003 lalu. Uang hasil togel itu digunakannya untuk memenuhi
114
kebutuhan sehari-hari dan juga menjamu rekan-rekannya di warung toak. Walau pernah menang togel, namun jika dihitung-hitung uang yang digunakan untuk membeli nomor dengan hadiah yang didapatkan tidaklah berimbang. Bagi Pak Krd, membeli kupon togel tak ubahnya jenis pekerjaan lainnya yang mengandung resiko. “Ya, tak ada bedanya dengan berdagang atau usaha yang lain. Semua ada resikonya, bisa untung atau rugi. Kalau menang togel ya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, kalau kalah ya anggap saja sebagai resikonya.”. Menurut aparat desa setempat, judi togel sudah dianggap hal yang biasa. Asal tidak berlebihan dan mengganggu keamanan desa. Lagi pula judi hanya berlangsung kecil-kecilan saja. Sampai saat ini pihak desa belum mendapat laporan tentang permasalahan judi ini. Pada prinsipnya, asal judi tidak dilakukan secara terang-terangan tidaklah menjadi masalah. Apalagi togel juga ada dimanamana bukan hanya di Karang Agung saja. Suatu yang hal menarik dapat diambil disini, sebuah nilai Jawa yaitu ngono yo ngono ning ojo ngono. Arti nilai ini kurang lebih “janganlah melakukan sesuatu secara berlebihan”. Judi juga dapat dilihat sebagai penyebab kemiskinan. Biaya yang dikeluarkan untuk berjudi sebenarnya dapat digunakan untuk keperluan lain seperti menabung, misalnya. Berdasarkan pernyataan beberapa pelaku judi, bahwa judi tersebut tidak merugikan karena mereka hanya mengeluarkan uang dengan jumlah sedikit dan tidak mengurangi pemenuhan kebutuhan hidup. Meskipun demikian sangat disayangkan apabila uang sebesar Rp. 1.000,- perhari bahkan bisa lebih tersebut hanya dihambur-hamburkan percuma tanpa ada kepastian hasil.
115
Strategi Sosial Strategi sosial dilakukan dengan jalan memanfaatkan ikatan-ikatan sosial yang ada di perdesaan baik berupa lembaga kesejahteraan lokal, hubungan produksi hingga jejaring sosial berbasis kekerabatan atau pertemanan. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, di Karang Agung terdapat beberapa lembaga kesejahteraan lokal yang masih bertahan hingga kini. Laki-laki biasanya terlibat dalam kegiatan sambatan dan anjeng. Sambatan merupakan kegiatan tukar menukar tenaga kerja antar tetangga dekat maupun kerabat. Tukar menukar tenaga kerja ini dilakukan pada saat pembangunan dan perbaikan rumah. Sambatan dapat mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh pemilik rumah ketika mendirikan atau memperbaiki rumah. Lembaga kesejahteraan sosial lainnya adalah anjeng atau buwuh. Pada saat hajatan, tetangga maupun kerabat mempunyai kewajiban untuk menyumbang biaya hajatan. Sumbangan ini akan dicatat oleh pemilik hajatan untuk kemudian dikembalikan ketika si penyumbang melangsungkan hajatan. Sumbangan dalam acara hajatan besarnya bervariasi sesuai dengan kemampuan masing-masing orang, sehingga dapat dikatakan bahwa besarnya sumbangan tergantung status sosial dan ekonomi. Pak Atm (57 tahun), mengungkapkan bahwa acara hajatan memang membutuhkan biaya yang tidak kecil. Namun demikian Pak Atm tidak mengkhawatirkan tentang biaya yang harus dikeluarkan karena dipastikan bakal menerima uang anjeng dari undangan. Satu tahun lalu, Pak Atm melangsungkan acara perkawinan anak perempuannya. Biaya perkawinannya sendiri tidaklah
116
mahal, paling hanya Rp. 200.000,- untuk akad nikah di rumah. Namun untuk biaya selamatan dan pesta, Pak Atm menghabiskan hampir Rp. 2.500.000,-. Selamatan dilangsungkan sehari sebelum akad nikah berlangsung dengan mengundang tetangga dekat saja. Selamatan ini menyajikan makanan berupa nasi tumpeng berserta lauk pauknya. Selain itu, semua yang hadir akan mendapatkan berkatan yaitu buah tangan untuk anggota keluarga di rumah berupa nasi lengkap dengan lauk pauk dan jajanan. Pesta dilangsungkan pada sore hingga malam hari. Untuk hiburan, Pak Atm menyewa perangkat sound system untuk memutar musim campursari sekedar untuk hiburan. Pada saat pesta inilah undangan berdatangan secara bergiliran. Setiap tamu yang datang terlebih dahulu dipersilahkan duduk untuk menikmati makanan ringan dan minuman yang disajikan di meja, tidak ketinggalan pula rokok. Beberapa saat kemudian makanan utama dihidangkan. Setelah merasa cukup, tamu kemudian beranjak pulang dan berpamitan dengan tuan rumah. Pada saat bersalaman inilah, tamu memberikan amplop berisi uang kepada tuan rumah. Pada hajatan tersebut, Pak Atm berhasil mengumpulkan uang anjeng sebesar Rp. 3.000.000,-, belum termasuk anjengan berupa natura seperti beras dan gula. Uang hasil anjengan kemudian digunakan untuk membayar hutang pada saudara Pak Atm. Untuk biaya pesta perkawinan, Pak Atm berhutang pada saudaranya. Sedangkan beras dan gula dipakai untuk keperluan sehari-hari. Menurut Pak Atm, pesta perkawinan kemarin merupakan gilirannya memperoleh kembali hasil anjeng yang pernah dilakukannya selama ini. Selama
117
ini Pak Atm selalu hadir memenuhi undangan hajatan dari tetangga atau kerabat, kalaupun tidak bisa hadir Pak Atm selalu menitipkan anjeng pada orang lain. Bagi orang miskin, anjeng merupakan salah satu bentuk jaminan sosial karena uang yang dikeluarkan sebenarnya tidak hilang. Uang anjeng yang dikeluarkan Pak Atm berkisar antara Rp. 5.000,- hingga Rp. 10.000,- tergantung kedekatan emosional dengan pemilik hajatan. Biasanya pemberi anjeng tidak mencatat berapa uang yang dikeluarkan, sebaliknya bagi penerima selalu dilakukan pencatatan karena kelak harus dikembalikan dengan nilai yang sama atau lebih besar kepada pemberi anjeng. Bagi rumah tangga yang tidak mempunyai anak bukan berarti tidak ada kesempatan untuk menerima anjeng. Beberapa rumah tangga seringkali turut mengundang tamu apabila kerabat dekatnya mengadakan hajatan. “Kalau disini anjeng itu sama dengan hutang piutang. Saat kita menyumbang pada hajatan orang lain sama artinya kita memberikan piutang. Kelak kalau kita mengadakan hajatan, pasti piutang itu akan dikembalikan dan jumlahnya biasanya bertambah. Pada saat hajatan kemarin, saya juga mencatat semua uang sumbangan dari tamu. Jadi kelak kalau si tamu mempunyai hajatan, saya wajib mengembalikan minimal sama dengan yang diberikannya pada saya. Syukur-syukur bisa saya lebihkan. Kalau orang yang tidak punya anak, biasanya mengadakan hajatan semacam khitanan keponakannya atau juga turut mengundang tamu pada hajatan saudaranya yang lain.” Hajatan yang umum berlangsung di Karang Agung adalah perkawinan dan khitanan. Khitanan biasanya dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus, bertepatan dengan liburan sekolah, sedangkan perkawinan paling sering dilaksanakan pada bulan Besar menurut penanggalan Jawa atau Dzulhijjah menurut penanggalan Islam. Pada bulan-bulan itulah hajatan hampir setiap hari berlangsung. Kaum perempuan mempunyai lembaga kesejahteraan sendiri yaitu
118
mendarat. Mendarat merupakan bentuk tukar menukar tenaga kerja pada saat acara hajatan. Tukar menukar tenaga kerja ini dilakukan antara tetangga dekat atau kerabat. Tabel 8. Strategi Sosial Rumah Tangga Miskin Desa Karang Agung No Jenis Strategi Jenis Kegiatan Pelaku Sosial 1 Pemanfaatan Laki-laki • Sambatan (tukar menukar tenaga lembaga kerja dalam pembangunan rumah kesejahteraan antar tetangga dekat dan kerabat) lokal • Anjeng (menyumbang biaya hajatan) • Mendarat (tukar menukar tenaga kerja Perempuan pada saat hajatan antar tetangga dekat dan kerabat) Laki-laki dan 2 Jejaring sosial • Hutang pada tetangga atau kerabat. perempuan
Hutang menjadi salah satu bentuk strategi nafkah bagi rumah tangga miskin. Untuk berhutang mereka memanfaatkan jejaring sosial yang ada, seperti ikatan kekerabatan, pertetanggaan atau pertemanan. Hutang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau kebutuhan yang mendesak seperti ketika anggota rumah tangga ada yang sakit. Jarang sekali hutang digunakan untuk keperluan pembelian barang konsumtif. Hutang juga dilakukan pada saat rumah tangga miskin akan melangsungkan hajatan. Pada saat menjelang hajatan biasanya rumah tangga miskin berhutang pada kerabat dekat.
Kwanyar Barat Faktor penghambat utama yang dialami oleh nelayan miskin di Kwanyar Barat adalah faktor alam dan konflik perebutan akses sumberdaya. Kedua faktor penghambat ini menjadikan nelayan miskin menjadi semakin terpuruk. Pada
119
dasarnya kedua faktor penghambat ini dapat diatasi dengan melakukan intensifikasi melalui modernisasi alat dan armada tangkap. Namun sampai saat ini, nelayan masih bertahan pada pola penangkapan yang masih tradisional. Faktor alam memang sangat sulit untuk dihindari, gejala over fishing sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Namun bukan berarti nelayan harus pasrah oleh keadaan. Berbagai teknologi penangkapan maupun budidaya dapat diterapkan sehingga nelayan masih bisa bertahan di sektor perikanan laut. Pengembangan budidaya laut dapat dijadikan alternatif pilihan selain usaha penangkapan yang selama ini telah digeluti oleh nelayan Kwanyar Barat. Konflik paling sering terjadi antara nelayan Kwanyar Barat dan nelayan Pasuruan. Secara geografis kedua wilayah tersebut saling berhadapan sehingga mempunyai wilayah tangkap yang bersinggungan. Konflik ini lebih disebabkan karena perebutan wilayah tangkap. Selain itu kecemburuan antar nelayan diduga menjadi faktor yang dominan. Nelayan Kwanyar Barat sampai saat ini masih mempunyai peralatan yang sederhana dan kalah modern dengan nelayan lainnya, seperti nelayan Pasuruan, Lamongan dan Tuban. Selain itu armada tangkap yang dimiliki masih kecil dengan kekuatan mesin hanya 5 PK sehingga kalah bersaing dengan nelayan dari daerah lain.
Strategi Ekonomi Seperti halnya rumah tangga nelayan miskin di Karang Agung, strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga nelayan miskin di Kwanyar Barat dibedakan menjadi dua macam, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi
120
ekonomi yang digunakan berupa pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumah tangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial berupa pemanfaatan lembaga kesejahteraan lokal dan jejaring sosial seperti kekerabatan, pertetanggaan dan perkawanan. Keterbatasan potensi sumberdaya di Kwanyar Barat menyebabkan terbatasnya sumber nafkah di bidang pertanian. Lahan pertanian di Kwanyar Barat didominasi oleh lahan kering yang mengandalkan curah hujan. Keterbatasan air ini menyebabkan komoditas yang diusahakan menjadi terbatas pada tanaman palawija dengan masa tanam yang sangat tergantung dengan curah hujan. Hal ini menyebabkan pola nafkah ganda tidak lagi berbasis pada sektor pertanian. Pada saat tidak melaut, seperti halnya nelayan di daerah lain, nelayan Kwanyar Barat disibukkan oleh kegiatan pemeliharaan alat tangkap maupun perahu. Selain itu beberapa diantaranya membuka usaha jasa pembuatan jaring. Pola nafkah ganda sangat terbatas dikerjakan oleh rumah tangga miskin di daerah Kwanyar Barat. Mereka beranggapan bahwa potensi alam di Kwanyar Barat sangat terbatas sehingga sulit untuk bekerja di sektor selain perikanan tangkap. Selain itu, rumah tangga nelayan miskin di Kwanyar Barat tidak mempunyai aset produksi berupa lahan pertanian. Pertanian lahan kering di Madura cenderung kurang intensif sehingga kebutuhan tenaga kerja relatif rendah. Ini sangat berbeda dengan pertanian pada sawah yang cenderung membutuhkan banyak tenaga kerja. Rendahnya kebutuhan tenaga kerja pada sektor pertanian memberikan dampak berkurangnya pilihannya
121
nafkah yang tersedia. Praktis kondisi ini menyebabkan semakin buruknya ekonomi rumah tangga miskin. Menurut Pak Rmd (47 tahun), sangat sulit sekali bagi nelayan Kwanyar Barat untuk menambah pendapatan selain dari melaut jika tetap berada di desa. Selain tidak memiliki lahan pertanian, nelayan miskin juga tidak mempunyai keterampilan atau kemampuan lain yang bisa mendapatkan penghasilan. Pak Rmd sendiri seringkali harus menganggur jika musim ombak besar atau ketika tidak berangkat melaut. Untuk mengisi waktu, Pak Rmd menyibukkan diri memperbaiki jaring. Terkadang pula menerima pekerjaan memperbaiki jaring atau membuat jaring baru dari tetangga. Walaupun penghasilan yang diperoleh juga terbatas namun bagi Pak Rmd sudah cukup untuk hidup sehari-hari. “Kalau disini mengandalkan melaut saja, tentu tidak bisa hidup. Apalagi beberapa tahun lalu sering terjadi konflik dengan nelayan lain. Terkadang niat kita melaut, sampai di tengah laut malah saling kejar dengan nelayan lain. Alhamdulillah, sekarang sudah berangsur membaik. Namun demikian tetap saja, melaut tidak bisa dijadikan sandaran utama hidup pada jaman serba mahal ini. Makanya anakanak muda lebih memilih merantau ke Jakarta atau Surabaya. Katanya disana cari uang lebih mudah, asal rajin dan mau bekerja keras. Dua anak saya juga tidak mau tinggal di desa dan melaut. Mereka memilih bekerja di Surabaya. ”
Biasanya ketika musim ombak besar, Pak Rmd hanya bisa pasrah dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan cara berhutang. Bagi Pak Rmd, untuk merantau dengan usianya yang hampir 50 tahun sudah tidak memungkinkan lagi. Sangat beruntung Pak Rmd mempunyai dua orang anak yang telah bekerja di Surabaya. Satu orang bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan satu orang lagi bekerja sebagai sopir angkutan umum. Walaupun tidak menentu,
122
setiap beberapa bulan sekali kedua orang anaknya ini juga akan memberikan kiriman uang. Pemanfaatan tenaga kerja dalam rumah tangga menjadi salah satu strategi ekonomi yang dilakukan oleh rumah tangga miskin. Anggota rumah tangga dilibatkan secara aktif dalam menambah pendapatan rumah tangga. Anggota rumah tangga berjenis kelamin laki-laki cenderung terlibat dalam kegiatan penangkapan, utamanya mereka yang sudah dewasa. Sedangkan yang masih anakanak keterlibatannya terbatas pada memilih ikan hasil tangkapan, menarik perahu hingga memperbaiki jaring. Anggota rumah tangga perempuan terlibat dalam penjualan ikan hasil tangkapan.
Tabel 9. Strategi Ekonomi Rumah Tangga Miskin di Desa Kwanyar Barat No Strategi Kegiatan Pelaku Ekonomi 1 Pola nafkah Jasa perbaikan perahu dan jaring Laki-laki ganda Menarik becak 2 Optimalisasi Terlibat dalam penangkapan ikan Laki-laki tenaga kerja Membantu dalam perbaikan perahu atau rumah tangga jaring Membantu menjual hasil tangkapan Perempuan 3 Migrasi Bekerja sebagai pedagang dan pengumpul Laki-laki besi tua di beberapa besar Jawa Timur
Strategi nafkah yang dominan dilaksanakan adalah migrasi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, banyak anggota rumah tangga nelayan miskin yang melakukan migrasi ke beberapa kota besar. Sebagian besar pelaku migrasi adalah laki-laki dan setelah dirasa sukses mereka akan menetap di kota-kota besar tersebut. Pelaku migrasi pada umumnya masih berusia muda, mereka tidak lagi tertarik dengan pekerjaan sebagai nelayan. Rendahnya pendapatan menjadi salah
123
satu alasan mereka untuk meninggalkan sektor perikanan tangkap yang selama ini digeluti oleh orang tua mereka Snj (laki-laki, 23 tahun) merupakan salah satu contoh pemuda desa yang meninggalkan desanya untuk mengadu nasib di kota besar. Sejak usia 18 tahun, Snj telah merantau ke Malang. Keberangkatannya tidak sendiri, Snj berangkat bersama dua orang tetangganya. Snj memutuskan untuk melakukan migrasi disebabkan oleh sulitnya mencari pekerjaan di desa. Snj merasa pekerjaan sebagai nelayan tradisional tidak lagi dapat diandalkan. Orang tua Snj sendiri dahulunya juga seorang nelayan, namun kini sudah jarang pergi melaut karena sudah tua dan sering sakit-sakitan. Sebelum memutuskan untuk merantau, Snj bekerja membantu orang tuanya bekerja mencari ikan di laut. Perahu yang mereka gunakan berisi tiga orang awak yaitu orang tua Snj, Snj dan Pak Zri, pemilik perahu. Biasanya setiap habis sembahyang subuh, mereka mulai berangkat melaut. Menjelang dhuhur perahu sudah mendarat kembali. Hasil tangkapan kemudian langsung dijual beberapa saat setelah perahu tiba kembali di pantai. Sekali melaut biasanya mereka memperoleh uang sebesar Rp. 160.000,-. Uang ini kemudian dikurangi uang solar sebesar Rp. 60.000,-, sisanya kemudian dibagi separuh untuk pemilik perahu seangkan separuh bagian yang lain dibagi sama rata untuk dua nelayan yang lain. Pendapatan sebesar Rp. 25.000,- ini tidak setiap hari dapat mereka nikmati setiap hari. Setiap saat bisa naik turun, bahkan terkadang tidak mendapatkan hasil sama sekali.
124
Snj sendiri merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak kandung Snj saat ini telah bekerja Malang sebagai tukang becak di kompleks Pasar Besar Malang. Kakak Snj telah berkeluarga dan menetap di Malang, istrinya bekerja sebagai penjual pedagang kaki lima di kompleks yang sama pula. Saat ini mereka telah mempunyai dua orang anak. Awalnya Snj diajak ke Malang untuk membantu berjualan di kompleks pasar. Kemudian setelah Snj dirasa mampu mengelola barang dagangan, Snj mendapatkan pinjaman modal dari kakaknya untuk berdagang sendiri. Snj mencoba berjualan bubur keliling. Gerobak yang digunakan untuk berjualan adalah gerobak bekas yang dibeli dengan harga Rp. 600.000,-. Biaya pengecatan perbaikan dan pengecatan ulang mencapai Rp. 120.000,-. Sedangkan modal awal berupa peralatan menghabiskan Rp. 250.000,-. Total modal awal yang dia keluarkan sebesar Rp. 970.000,-, semua merupakan hasil pinjaman kakaknya. Kini setelah dua tahun berjualan bubur, kehidupan Snj telah lebih baik. Sekarang Snj sudah bisa mengirim uang untuk kedua orang tua untuk biaya sekolah adik perempuannya. Orang tua Snj pun sudah tidak perlu risau apabila tidak bisa pergi melaut karena kiriman uang dari Snj dan kakaknya sudah dapat menopang kehidupan mereka. Mungkin setelah adik Snj lulus SMA, akan diajak pula untuk merantau ke Malang. Pelaku migrasi pada umumnya masih berusia muda dan bekerja di kota besar pada sektor informal. Tujuan migrasi adalah kota-kota besar yang ada di Jawa Timur. Selain itu Jakarta, merupakan salah satu kota tujuan yang paling
125
diminati. Jenis pekerjaan yang dilakukan antara lain pedagang kaki lima, buruh pabrik, tukang becak hingga pengepul besi tua. Migrasi dilakukan secara berkelompok baik berdasarkan kekerabatan atau hubungan sosial yang lain. Sudah menjadi kebiasaan apabila ada perantau yang telah sukses akan mengajak kerabat, tetangga dan teman untuk ikut serta merantau. Selama dalam perantauan, kebutuhan hidup akan ditanggung oleh perantau yang telah sukses. Bahkan tak jarang mereka yang telah sukses bersedia untuk memberi pinjaman modal. Migrasi internasional tidak lagi menjadi pilihan bagi rumah tangga miskin. Berbagai cerita kegagalan dan penderitaan yang dialami oleh TKI/TKW di luar negeri
menyebabkan
keengganan
masyarakat
untuk
melakukan
migrasi
internasional. Mereka lebih senang bermigrasi ke kota-kota besar karena relatif lebih aman dan dekat dengan tanah kelahiran.
Strategi Sosial Strategi sosial yang menggunakan kelembagaan tradisional tampak pada saat rumah tangga miskin melangsungkan hajatan. Acara hajatan seperti perkawinan dan khitanan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun tidak mengadakan pesta, namun rangkaian acara selamatan membutuhkan biaya yang cukup besar. Selamatan biasanya dilangsungkan sehari sebelum perkawinan atau khitanan dengan mengundang tetangga serta kerabat. Pada selamatan ini disajikan berbagai makanan dan minuman serta bingkisan untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing undangan. Sajian yang disajikan tergolong mewah seperti daging
126
sapi atau kambing serta aneka kue yang harganya mahal. Walaupun harus mengeluarkan biaya yang besar, hal ini tidak menimbulkan masalah bagi rumah tangga miskin. Semua biaya yang dikeluarkan dapat dipastikan akan kembali dari hasil uang sumbangan dari para undangan, bahkan tak jarang terdapat sisa uang. Hal ini bisa terjadi karena telah melembaga sebuah nilai untuk saling membantu dalam pelaksanaan hajatan. Setiap warga berkewajiban untuk menyumbangkan uang atau barang apabila ada warga yang akan melaksanakan hajatan. Pemilik hajatan juga mempunyai kewajiban untuk mengembalikan bantuan tersebut jika sewaktu-waktu penyumbang melangsungkan hajatan. Besarnya sumbangan yang diberikan cukup bervariasi sesuai dengan kemampuan dan juga status sosial. Lapisan atas tentu akan memberi sumbangan yang jauh lebih besar dibandingkan lapisan bawah. Namun demikian, lapisan bawah tidak berkewajiban untuk mengembalikan sumbangan kepada lapisan atas. Justru pada saat lapisan atas menyelenggarakan hajatan, lapisan bawah akan mendapatkan uang sebagai wujud terimakasih atas kehadirannya. Uang ini biasanya dimasukkan di dalam wadah tempat bingkisan yang berisi aneka makanan. Kelembagaan ini mampu memberikan jaminan keamanan bagi rumah tangga miskin untuk dapat melangsungkan berbagai acara seperti perkawinan ataupun khitanan. Memang pada awalnya mereka harus berhutang terlebih dahulu untuk biaya hajatan. Setelah hajatan selesai, uang sumbangan dikumpulkan dan digunakan untuk membayar hutang tersebut. Sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
127
Tabel 10. Strategi Sosial Rumah Tangga Miskin Desa Kwanyar Barat No Jenis Strategi Jenis Kegiatan Pelaku Sosial 1 Pemanfaatan Laki-laki • Otok-otok (menyumbang biaya lembaga hajatan) kesejahteraan lokal Laki-laki dan 2 Jejaring sosial • Hutang pada tetangga atau kerabat perempuan • Tukar menukar informasi pekerjaan Strategi sosial lainnya adalah memanfaatkan ikatan sosial seperti kekerabatan, pertetanggaan maupun pertemanan. Saling tukar menukar informasi tentang peluang pekerjaan menjadi salah satu bentuk strategi sosial ini. Seringkali informasi maupun ajakan bermigrasi datang dari kerabat, tetangga maupun teman. Ikatan kekerabatan yang kuat menjadikan rumah tangga miskin dapat bertahan hidup di kota-kota besar. Beberapa diantaranya ada yang hanya bermodalkan nekat untuk berangkat ke kota besar. Selama belum memperoleh pekerjaan atau mempunyai usaha, mereka akan dibantu oleh kerabat yang sudah sukses. Sudah menjadi kewajiban bagi kerabat yang sudah sukses untuk membantu kerabat lainnya. Hal ini terus berlangsung sehingga migrasi menuju kota besar seolah tidak ada putusnya. Di dalam desa sendiri, berhutang merupakan salah satu penggunaan modal sosial yaitu hubungan sosial yang ada di dalam desa. Rasa saling mempercayai antar warga cukup tinggi sehingga proses hutang piutang dapat berlangsung dengan baik. Namun demikian apabila sekali saja terdapat pelanggaran, maka rasa kepercayaan tersebut akan dengan cepat luntur. Rumah tangga miskin sangat berhati-hati dalam menjaga hubungan sosial berbasis kepercayaan ini. Sekali saja
128
mereka berbuat salah atau mengingkari janji, maka seumur hidup akan tidak dipercayai oleh orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di kala pendapatan menurun, rumah tangga miskin seringkali berhutang pada warung kelontong yang ada di sekitar mereka. Selain itu mereka juga berhutang pada penjaja sayur keliling. Mereka sangat menjaga rasa saling mempercayai ini. Sangsi sosial yang dijatuhkan pada warga yang curang dalam hutang piutang dirasa sangat berat. Selain dikucilkan dan dijadikan pergunjingan warga, pelaku tidak lagi memperoleh kepercayaan untuk memperoleh hutang.
Ikhtisar Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin di kedua desa kasus pada dasarnya hampir sama. Rumah tangga miskin melakukan berbagai bentuk strategi nafkah sebagi upaya untuk tetap mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangganya. Rumah tangga miskin mencoba memperluas basis nafkahnya, bukan saja terbatas pada basis nafkah on farm dan off farm saja, namun telah meluas hingga non farm. Hal ini terlihat dari banyaknya anggota rumah tangga miskin yang bekerja sebagai buruh pabrik maupun bekerja di sektor jasa yang tidak mempunyai kaitan dengan perikanan. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga miskin di Karang Agung tampak lebih memperlihatkan peran perempuan. Perempuan terlibat aktif dalam kegiatan pencarian nafkah rumah tangga. Apabila dilihat dari sumbangan nafkah perempuan terhadap rumah tangga juga relatif lebih besar dibandingkan
129
dengan Kwanyar Barat. Penduduk perempuan Karang Agung mempunyai kesempatan untuk bekerja sebagai buruh di pabrik rokok dengan pendapatan yang cukup baik. Kesempatan ini ternyata tidak didapatkan oleh penduduk perempuan Kwanyar Barat. Potensi industri besar yang padat karya belum terlihat di Kwanyar Barat, bahkan di Madura pada umumnya. Perbedaan corak strategi nafkah di kedua desa kasus ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengembangkan industrialisasi di perdesaan. Industri dengan corak padat karya lebih tepat diarahkan pada daerah perdesaan dengan keterbatasan sumber daya alam. Perbedaan lain yang tampak mencolok adalah fenomena judi yang hanya terlihat pada masyarakat Karang Agung. Kuatnya pengaruh Islam di Kwanyar Barat menyebabkan masyarakat setempat begitu terikat kuat dengan norma dan nilai religius, suatu yang berbeda dengan masyarakat Karang Agung. Judi menjadi masalah tersendiri yang apabila tidak ditangani dengan baik dikhawatirkan dapat menjadi penyebab kemiskinan walaupun secara terselubung. Namun demikian, hingga saat ini masyarakat Karang Agung masih menganggap judi hanya sebagai hiburan dan sarana mengadu nasib untuk memenuhi kebutuhan hidup.
130
• Buruh di pabrik rokok
Perempuan
Kegiatan ilegal
• Buruh bangunan • Jasa perbaikan jaring dan diesel
Laki-laki
131
perahu,
Pola nafkah ganda
Strategi ekonomi
Migrasi
Laki-laki
• Bekerja sebagai buruh bangunan kota besar Jawa Timur
Gambar 5. Sketsa Stategi Nafkah Rumah Tangga Nelayan Miskin di Karang Agung
• Terlibat dalam penangkapan ikan • Membantu memperbaiki perahu dan alat tangkap
Laki-laki
Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga
Judi Laki-laki
Rumah tangga nelayan miskin
Laki-laki
• Sambatan • Anjeng • Hutang
Strategi sosial
• Menjual ikan hasil tangkapan • Bekerja di pemindangan • Berjualan jajanan di rumah
Industrialisasi Perdesaan
Penyebab kemiskinan Keterbatasan akses Meningkatnya biaya hidup Naiknya harga BBM
Perempuan
• Mendarat • Hutang
• Hutang
• Hajatan • Hutang
• Menjual ikan hasil tangkapan
132
• Terlibat dalam penangkapan ikan • Membantu dalam perbaikan perahu atau jaring
Laki-laki
Gambar 6. Sketsa Stategi Nafkah Rumah Tangga Nelayan Miskin di Kwanyar Barat
Perempuan
Perempuan
Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga
Strategi ekonomi
Migrasi
Pola nafkah ganda
Rumah tangga nelayan miskin
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Strategi sosial
Penyebab kemiskinan Keterbatasan akses terhadap modal Konflik sumber daya alam Menurunnya hasil tangkapan Naiknya harga BBM
• Bekerja sebagai pedagang dan pengumpul besi tua di beberapa besar Jawa Timur
• Jasa perbaikan perahu, jaring dan diesel • Menarik becak
PENUTUP
Simpulan Kedua desa kasus mempunyai persamaan pada tipe ekologi, dimana keduanya merupakan daerah pesisir. Keadaan ini menyebabkan tipe ekonomi produksi masyarakatnya juga hampir sama. Masyarakat di kedua desa kasus menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan tangkap dengan karakteristik yang masih tradisional. Hal ini ditandai dengan armada dan peralatan tangkap yang masih tradisional. Pola hubungan produksi pada nelayan tradisional bersifat tidak eksploitatif dan longgarnya hubungan patronase. Kondisi ini sangat berbeda dengan nelayan modern yang cenderung bersifat eksploitatif. Struktur sosial kedua desa kasus memiliki tidak berbeda jauh. Pelapisan sosial di Desa Karang Agung lebih mengarah pada aspek kekuasaan dan ekonomi, sedangkan Desa Kwanyar Barat pelapisan yang terjadi didasarkan pada nilai-nilai agama. Pelapisan sosial di Karang Agung cenderung lebih terbuka dibandingkan dengan pelapisan sosial di Kwanyar Barat. Lapisan atas di Kwanyar Barat yang ditempati oleh kalangan kiai dan keluarganya cenderung tertutup. Pada kedua desa kasus, nelayan tradisional menempati lapisan sosial yang sama yaitu pada posisi yang paling rendah. Struktur sosial yang menempatkan nelayan miskin pada posisi paling bawah menyebabkan akses nelayan miskin terhadap berbagai macam modal menjadi terbatas. Akses dalam pendidikan bagi rumah tangga miskin yang sangat rendah menyebabkan rumah tangga miskin tidak dapat mendapatkan pendidikan yang layak. Demikian pula akses terhadap modal finansial. Rumah
133
tangga miskin sangat sulit untuk dapat mengakses berbagai paket kredit program pemerintah. Sebagian besar terbentur pada syarat administratif maupun agunan yang harus diberikan. Modal fisik yang dimiliki oleh rumah tangga miskin juga sangat terbatas. Keterbatasan armada tangkap dan alat tangkap menyebabkan mereka tidak dapat bersaing dengan nelayan modern sehingga tidak dapat dengan baik mengakses modal alam berupa wilayah perairan yang luas. Pertanian sebagai salah satu bentuk alternatif nafkah juga tidak dapat diakses oleh rumah tangga nelayan miskin. Faktor penyebab kemiskinan di dua desa kasus juga hampir sama yaitu rendahnya akses terhadap modal terutama modal finansial. Akses yang terbatas terhadap modal finansial menyebabkan nelayan tidak mampu mengakses modal fisi berupa teknologi penangkapan yang lebih modern. Kondisi di Kwanyar Barat semakin diperparah dengan adanya konflik perebutan sumber daya dengan nelayan dari daerah lain. Konflik ini menyebabkan nelayan tidak bisa pergi melaut dengan aman. Konflik seringkali harus berakhir dengan hilangnya harta benda bahkan nyawa. Walaupun pada saat ini konflik sudah dapat diatasi, potensi timbulnya konflik ulangan masih sangat tinggi. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin terdiri dari strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi dilakukan dengan cara melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial dilakukan dengan memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada. Kelembagaan kesejahteraan tradisional juga mempunyai peran yang penting bagi rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan
134
hidupnya. Apabila dilihat dari basis nafkah yang dilakukan, rumah tangga miskin melakukan upaya diversifikasi nafkah pada semua sektor baik on farm, off farm maupun non farm. Peran perempuan dalam kegiatan pencarian nafkah terlihat sangat dominan di Karang Agung. Tumbuhnya industri padat karya di sekitar desa menyebabkan kesempatan untuk memperoleh nafkah bagi perempuan terbuka lebar, kondisi ini berbeda dengan Kwanyar Barat. Keterlibatan perempuan di Kwanyar Barat masih terbatas pada kegiatan perikanan tangkap.
Saran Peningkatan akses nelayan terhadap teknologi yang lebih baik menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Untuk meningkatkan akses terhadap permodalan perlu dikembangkan usaha pembiayaan mikro yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Usaha pembiayaan mikro ini diharapkan dapat memberikan pinjaman modal dengan bunga yang rendah kepada rumah tangga miskin. Industrialisasi perdesaan juga menjadi salah satu solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan kemiskinan di perdesaan. Industri yang diharapkan berkembang di daerah perdesaan adalah industri padat karya sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Untuk meningkatkan sumber daya manusia, perlu dilakukan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan kerja produktif. Penelitian ini belum membahas tentang perbedaan etnik dalam menyikapi kemiskinan dan strategi nafkah yang dijalankan oleh rumah tangga miskin. Untuk itu penelitian lebih lanjut tentang strategi nafkah rumah tangga miskin ini dapat
135
mempertimbangkan faktor etnik. Perbedaan etnik diduga akan menghasilkan respon yang berbeda terhadap kemiskinan dan strategi nafkah yang diambil. Selain itu, pengukuran kemiskinan berbasis lokal dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengambilan kebijakan pengentasan kemiskinan.
136
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1999. Studi Penyusunan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Prigi dan Muncar. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Brawijaya. Malang. Anonymous. 1996. Madura yang Ditinggalkan dalam Buletin Seminar Masa Depan Madura 2006. Forum Studi Keluarga Madura. Surabaya. Arisandi, A. 2003. Strategi Nelayan Dalam Menghadapi Over Fishing. Pamator. Volume 1, Nomor 2. Badan Pusat Statistik. 2007. Berita Resmi Statistik No. 38/Th. X. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Beteille, A. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California. Cahyat, A. 2004. Bagaimana Kemiskinan Diukur? ; Beberapa Model Pengukuran Kemiskinan di Indonesia. Governance Brief Nomor 2. CIFOR. Bogor. Carner, G. 1984. Survival, Interdependence and Competition Among The Philippine Rural Poor. People Centered Development. Kumarian Press. Connecticut. Christy, F.T. 1982. Hak Guna Wilayah dalam Perikanan Laut. Makalah Teknis Perikanan FAO Nomor 277. Courtney, C.A. 1999. Coastal Resource Management Project. Jurnal Pesisir dan Lautan, Volume 2, Nomor 1. Crow, G. 1989. The Use of The Concept of Strategy in Recent Sosiological Literature. Sociology, Volume 23, Nomor 1. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005. Kemiskinan Nelayan; Permasalahan dan Upaya Penanggulangan. Info Aktual: Kemiskinan Nelayan, Edisi 4 Agustus 2005. Douglas, J.D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York. Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford University Press. Oxford.
137
Hardono, G.S. 2006. Diversifikasi Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia; Analisis Data Susenas. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Hermanto. 1995. Kemiskinan di Perdesaan; Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Kornblum, W. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York. Kusnadi. 2002. Nelayan; Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung. Linton,
R. 1967. “Status and Role” dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York.
Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York. Milles dan Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta. Mubyarto, dkk. 1984. Nelayan dan Kemiskinan; Studi Antropologi di Dua Desa Pantai. Rajawali. Jakarta. Muhsoni, F.F. 2006. Kajian Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Selat Madura dengan Menggunakan Metode Holistik Serta Analisis Ekonominya. Embryo, Volume 2, Nomer 3. Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Saliem, H.P. 2006. Diversivikasi Usahatani dan Peningkatan Pendapatan Petani di Lahan Sawah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta. Tanter, R. dan Kenneth Young. 1989. Politik Kelas Menengah Indonesia. LP3S. Indonesia. Widodo, S. 2006. Migrasi Internasional Tenaga Kerja Pertanian di Kabupaten Bangkalan. Pamator, Volume 3, Nomor 2. Worsley, P., 1992. Pengantar Sosiologi (Sebuah Pembanding). Jilid 2. Alih Bahasa Hartono Hadikusumo. PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
138
Lampiran 1. Kasus Rumah Tangga Nelayan Miskin 1. Rumah tangga Pak Prw, buruh nelayan di Karang Agung Pak Prw (58 tahun) adalah seorang buruh nelayan yang merupakan penduduk asli Karang Agung. Pak Prw menikah dengan Ibu Ntm (50 tahun) dan dikarunia tiga orang anak. Ibu Ntm juga merupakan penduduk asli Karang Agung. Rumah kedua orang tua mereka juga berdekatan. Mereka sebenarnya masih mempunyai pertalian darah, walaupun sudah termasuk dulur adoh. Keluarga Pak Prw dikarunia tiga orang anak laki-laki. Mereka semua masih tinggal satu rumah dengan Pak Prw. Rumah yang ditempati oleh keluarga Pak Prw adalah rumah orang tua Pak Prw. Kedua orang tua Pak Prw sudah meninggal dunia. Sebagai anak tertua, Pak Prw berhak menempati rumah warisan orang tuanya ini. Selain itu, jauh sebelum kedua orang tuanya meninggal, keluarga Pak Prw sudah tinggal bersama kedua orang tua Pak Prw. Rumah tempat tinggal keluarga Pak Prw sangat sederhana. Lantai rumah sebagian telah diplester semen, terutama di bagian depan, sedangkan di bagian belakang masih terbuat dari tanah. Dinding rumah terbuat dari bilah bambu yang di daerah setempat dikenal dengan nama sesek, sedangkan atap rumah terbuat dari genteng yang sudah usang. Jendela hanya terdapat di bagian depan, sedangkan pada bilik-bilik kamar tidak terdapat jendela sama sekali. Untuk mengurangi gelap di saat siang hari beberapa genteng diganti dengan genteng kaca sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah. Perabotan rumah sangat sederhana, di ruang tamu tersedia empat buah kursi tamu berupa kursi karet dan meja kecil dari plastik. Sebuah lemari terdapat juga di ruang tamu, tempat menyimpan piring, gelas dan sendok. Sebuah kebiasaan rumah tangga di perdesaan untuk menyimpan aneka barang pecah belah dalam sebuah lemari kayu berpintu kaca tembus pandang. Sebuah jam televisi berwarna dengan merek China tampak menghiasi ruang tamu ini. Televisi itu berada diatas sebuah rak kecil tempat menyimpan buku-buku sekolah milik anak Pak Prw. Dinding rumah Pak Prw praktis hanya terdapat jam dinding dan kalender serta beberapa poster tim sepak bola terkenal. Untuk penerangan, rumah Pak Prw mendapatkan aliran listrik dari tetangganya. Setiap bulan, Pak Prw membayar sebesar Rp. 7.500,-. Untuk keperluan air bersih, Pak Prw mengandalkan sumur umum yang ada di dekat rumahnya. Setiap sore hari, Pak Prw dan anak istrinya harus menimba air dari sumur tersebut dan diangkutnya ke rumah. Rumah Pak Prw sudah memiliki kamar mandi, walau sangat sederhana. Kamar mandi ini terletak di belakang rumah dan terbuat dari terpal bekas yang dibentuk menjadi semacam bilik. Didalamnya terdapat sebuah kaleng bekas tempat cat ukuran besar sebagai bak mandinya. Untuk keperluan buang hajat, Pak Prw membuat lubang di dalam tanah, jumbleng menurut istilah setempat. Lubang ini berada di belakang rumah dan agak jauh dari tempat tinggal. Di lubang ini pula, keluarga Pak Prw membuang sampah rumah tangga. Sekali waktu ketika sampah mengering, tumpukan sampah ini akan dibakar.
139
Pak Prw sama sekali tidak bersekolah demikian pula dengan Ibu Ntm. Namun demikian kesadaran akan pendidikan sangat besar. Hal ini terbukti dari pendidikan anak-anak Pak Prw. “Walau saya tidak bersekolah, anak-anak saya harus bersekolah supaya tidak seperti orang tuanya.”, ungkap Pak Prw. Ketiga anak Pak Prw memang semuanya bersekolah. Anak pertama Pak Prw sudah menyelesaikan pendidikannya di sebuah STM swasta di Tuban, sedangkan anak kedua masih berada di kelas 10 SMA negeri yang ada di Tuban. Anak bungsu Pak Prw saat ini masih berada di bangku kelas 9 di sebuah SMP negeri yang ada di Kecamatan Palang. Biaya pendidikan ketiga anaknya mengandalkan pendapatan Pak Prw sebagai buruh nelayan. Pendapatan yang pas-pasan membuat Pak Prw harus pandai berhemat demi tetap terpenuhinya kebutuhan rumah tangga seharihari dan juga biaya sekolah anak-anaknya. Beruntung tetangga Pak Prw, Pak Sln yang mempunyai usaha angkutan umum selalu menolak uang ongkos bagi anak Pak Prw. Setiap pagi, anak Pak Prw yang bersekolah di Tuban selalu diajak ikut serta dalam mobil angkutan umum tersebut. Ags, anak pertama dan Atn, anak kedua Pak Prw harus siap bangun pagi dan berangkat sesuai jam keberangkatan angkutan umum milik Pak Sln. Terkadang jam 4 pagi mereka harus sudah bersiap dan berangkat bersama dengan para pedagang yang akan pergi ke pasar Tuban. Sedangkan anak bungsu Pak Prw, Udn menggunakan sepeda pancal untuk pergi ke sekolah karena jarak antara sekolah dan rumah tidak terlalu jauh. Pak Prw bekerja sebagai buruh nelayan pada Pak Wkt, seorang pemilik perahu yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan Pak Prw. Sudah sejak kecil Pak Prw bekerjasama dengan Pak Wkt. Dulu orang tua Pak Prw juga bekerja dengan orang tua Pak Wkt. Hubungan baik ini terus berlangsung hingga sekarang. Keduanya saling sudah saling mempercayai dan cocok dalam bekerjasama. Selain Pak Prw, Pak Wkt mengajak serta menantunya, Hri untuk pergi melaut. Mereka berangkat melaut pagi hari, selepas subuh dan kembali menjelang ashar. Hasil tangkapan tidak menentu jumlahnya. Pak Prw berhak mendapatkan sebanyak seperempat bagian. Apabila beruntung Pak Prw bisa membawa uang sebesar Rp. 45.000,-, namun ketika tangkapan sedikit, Pak Prw harus puas mendapatkan Rp. 7.500,- saja. Pada saat musim angin, Pak Prw tidak pergi melaut. Pak Prw mengisi waktunya dengan memperbaiki jaring. Sering pula Pak Prw menjadi tenaga serabutan, seperti buruh angkut di pasar atau bekerja pada orang yang membutuhkan tenaganya. Pak Prw menerima pekerjaan apa saja mulai mengecat, membersihkan rumput hingga mencuci truk. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ibu Ntm seringkali berhutang pada bank tithil. Bank tithil merupakan sebutan bagi rentenir yang terorganisasi dan seringkali menggunakan kedok Koperasi Simpan Pinjam. Bank tithil ini memberikan hutang tanpa syarat apapun, bahkan tanpa perlu mengisi formulir. Rasa kepercayaan menjadi dasar transaksi hutang ini. Bunga hutang ini cukup tinggi, sangat jauh dari bunga bank maupun koperasi yaitu 20 persen per empat minggu. Besarnya hutang yang diberikan juga tidak terlalu besar, berkisar antara Rp 50.000,- hingga Rp. 100.000,- saja. Ibu Ntm biasanya berhutang Rp. 100.000,- pada awal bulan untuk membayar biaya sekolah anak-anaknya. Hutang tersebut menjadi Rp. 120.000,- dan harus dibayar selama empat minggu sehingga setiap minggunya Ibu Ntm harus menyediakan uang sebesar Rp. 30.000,-. Bank
140
tithil biasanya akan menagih seminggu dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis, sehingga setiap penagihan, Ibu Ntm harus membayar Rp. 15.000,-. Apabila pada saat penagihan tidak mempunyai uang, maka Ibu Ntm seringkali harus berjanji dulu dan membayar sekaligus pada penagihan selanjutnya. Bank tithil tidak memberikan sangsi apapun, asalkan hutang lunas tepat pada waktunya. Namun jika hutang tidak lunas pada waktunya, maka perhitungan bunga baru akan dilakukan sesuai dengan sisa hutang yang ada. Menurut Ibu Ntm, “Ya, kalau dihitung besar juga bunganya. Tapi bagi saya tidak mengapa, asalkan bisa mendapatkan hutang dengan cepat saja. Lagipula ada yang tagihannya setiap hari, disini banyak bank tithil yang beroperasi kok. Walau bunga hampir sama tapi kita bisa memilih tagihan Senin Kamis atau tagihan harian.”. Tagihan harian berarti setiap hari akan ditagih, walaupun lebih ringan namun hutang model ini hanya cocok bagi mereka yang menerima pendapatan setiap harinya, seperti pedagang. Selain itu tidak semua nasabah dapat memilih tagihan harian. Pihak bank tithil hanya mau menerapkan tagihan harian pada para pedagang pasar dan pedagang yang membuka toko atau warung kecil di rumah. Bang tithil tidak ingin mengalami kesulitan penagihan, biasanya pedagang pasar dan pemilik warung lebih mudah didatangi dan dapat dipastikan akan dapat ditemui pada jam-jam tertentu. Tahun 2003, Ags berhasil menamatkan sekolahnya di STM. Pada saat yang sama, Ags mendaftar sebagai tenaga honorer di kantor Pemkab Tuban dan berhasil diterima. Hingga kini, Ags masih menjadi tenaga honorer di Pemkab Tuban. Sudah berulangkali Ags mengikuti tes penerimaan CPNS namun masih belum berhasil lolos. Sejak menjadi tenaga honorer, keluarga Pak Prw mendapatkan penghormatan dari tetangga sekitar. Status sosial keluarga Pak Prw semakin meningkat seiring status pekerjaan Ags. Gaji yang diterima oleh Ags walau tidak terlalu besar namun sangat berarti bagi keluarga Pak Prw. Sedikit demi sedikit ekonomi Pak Prw mulai membaik. Perbaikan rumah pun bertahap dilakukan, mulai dari plester lantai rumah dan membeli pesawat televisi. Bahkan Ags berencana akan membeli motor dengan cara kredit untuk mempermudah transportasinya ke kantor. Saat ini setiap bulannya Ags menerima gaji sebesar Rp. 600.000,-. Terkadang pula Ags menerima uang lembur dan juga berbagai honor lainnya. Tahun ini, Ags akan menikah dengan gadis tetangga desa. Untuk itu Pak Prw perlu mempersiapkan uang yang tidak sedikit. Walaupun tidak menggelar pesta yang besar, tapi paling tidak Pak Prw harus mengundang para tetangga dan sanak saudara di rumah. Pak Prw merasa perlu mengadakan acara pesta kecilkecilan karena Pak Prw mengharapkan uang anjeng dari para undangan. Selama ini Pak Prw juga telah melakukan hal serupa pada para tetangga dan sanak saudara ketika mereka mempunyai hajatan. Kini saatnya bagi Pak Prw untuk mendapatkan uang anjeng tersebut kembali. Sudah lebih dari tujuh tahun Pak Prw tidak mempunyai hajatan, terakhir adalah pada tahun 2000 ketika anak bungsunya khitan. Untuk keperluan hajatan itu, Pak Prw akan berhutang pada sanak saudaranya. Hutang ini akan dikembalikan setelah pesta usai dengan mengandalkan uang hasil anjeng para undangan.
141
Pak Prw sering mengisi waktu luangnya di warung toak yang ada di dekat rumah. Di warung itulah, Pak Prw bersosialisasi dengan para tetangga. Setiap hari bukaan Pak Prw selalu memasang nomor togel, sebuah kegiatan judi yang rutin digelar setiap harinya. Pak Prw menyisihkan uang sebesar Rp. 1.000,- hingga Rp. 5.000,- setiap harinya untuk memasang nomor togel. Bahkan ketika mendapatkan nomor jitu, Pak Prw tidak segan memasang hingga Rp. 10.000,-. Seingat Pak Prw, dia sudah sering memenangkan togel. Pada bulan Maret hingga Juni 2008, Pak Prw telah lima kali memenangkan togel. Terakhir, Pak Prw berhasil menang Rp. 600.000,- dengan modal sebesar Rp. 6.000,-. Bagi Pak Prw, judi togel merupakan peluang untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Menurut Pak Prw, “Semua pekerjaan kan ada resikonya. Berdagang bisa saja rugi, judi juga bisa rugi bisa untung. Makanya ada peribahasa berdagang itu sama dengan judi. Jadi kalau kalah ya sudah biasa.”. 2. Rumah tangga Pak Wkt, nelayan pemilik perahu di Karang Agung Pak Wkt (40 tahun) menikah dengan Ibu Sti (36 tahun) dan telah dikarunia tiga orang anak. Anak pertama Pak Wkt, laki-laki, telah berkeluarga dan saat ini tinggal di rumah mertuanya. Sedangkan anak kedua Pak Wkt, seorang perempuan bernama Snti (19 tahun) juga telah menikah dan tinggal serumah dengan Pak Wkt. Suami Snti, Hri (23 tahun) bekerja sebagai buruh nelayan membantu Pak Wkt. Snti sendiri sudah mempunyai seorang anak laki-laki yang masih berumur 4 tahun. Adik perempuan Snti, Mni (16 tahun) saat ini masih sekolah di bangku kelas 9 MTs swasta di Kecamatan Brondong, Lamongan. Rumah Pak Wkt tidak terlalu luas, hanya terdiri dari dua bilik kamar sempit, ruang tamu dan dapur. Lantai rumah terbuat dari plester semen, sedangkan dinding sebagian terbuat dari tembok dan sebagian masih dari bambu, atap rumah terbuat dari genteng. Ruang tamu terdapat beberapa kursi sofa bekas yang sudah berlubang di sana-sini. Sebuah televisi dan vcd player terdapat di ruang tamu. Listrik yang mengaliri rumah Pak Wkt diperoleh dengan cara menyambung dari tetangga yang sudah berlangganan listrik melalui PLN. Kamar mandi rumah tangga Pak Wkt sangat sederhana. Kamar mandi ini terbuat dari bilik yang berdinding bambu. Sedangkan untuk buang hajat, rumah tangga Pak Wkt memanfaatkan jumbleng yang dibuat di belakang rumah. Pak Wkt mempunyai sebuah perahu dan motor tempel. Perahu ini merupakan warisan dari orang tuanya, sedangkan motor tempel dibelinya dari salah seorang sanak saudara yang membutuhkan uang. Motor tempel ini telah dimiliki Pak Wkt sejak tahun 1998 lalu. Walaupun sudah seringkali mengalami kerusakan, namun Pak Wkt masih setia menggunakannya. Beruntung Pak Wkt sedikit mengerti tentang mesin, walaupun secara otodidak. Kerusakan ringan seringkali diperbaikinya sendiri. Setiap melaut, Pak Wkt selalu turut serta. Pak Wkt mengajak menantunya, Hri dan juga seorang tetangga, Pak Prw. Walaupun mendapatkan bagian yang lebih besar, Pak Wkt harus pandai mengatur keuangan. Semua biaya perbekalan harus ditanggungnya terlebih dahulu. Sehingga setiap kali harus melaut, Pak Wkt mempunyai tanggung jawab terhadap biaya pembelian solar, bekal makanan dan juga rokok. Selain itu, Pak Wkt harus berjaga-jaga ketika suatu saat motor
142
tempelnya mengalami kerusakan. Sekali melaut, Pak Wkt mendapatkan bagian berkisar antara Rp. 15.000,- hingga Rp. 90.000,- tergantung banyak tidaknya hasil tangkapan. Sedangkan Hri, sebagai buruh nelayan mendapatkan separuh dari bagian Pak Wkt. Di saat tidak melaut, Pak Wkt sering bekerja sebagai buruh bangunan. Posisi Pak Wkt saat ini adalah sebagai tukang. Keahliannya diperoleh secara otodidak dan berasal dari pengalamannya sebagai kernet sejak usia 18 tahun. Pada awalnya Pak Wkt membantu orang tuanya yang bekerja sebagai tukang, lambat laun keterampilannya pun meningkat sehingga pada usia 30 tahun, Pak Wkt telah menjadi tukang. Namun demikian Pak Wkt masih menganggap tukang sebagai pekerjaan sampingan. “Wah, kalau tukang itu sih pekerjaan sampingan. Saya ini tetap nelayan. Lha dari kecil sampai tua ini bisa hidup dari hasil nelayan.”, ujarnya. Sebagai tukang, Pak Wkt harus bersaing dengan tukang dari luar desa yang lebih berpengalaman. Tukang dari luar desa biasanya lebih berpengalaman karena merupakan pekerjaan utama mereka. Lagipula mereka telah sering mengerjakan berbagai proyek pembangunan di kota sehingga mempunyai pengetahuan yang baik tentang model rumah gaya baru dibandingkan Pak Wkt. Oleh karenanya Pak Wkt jarang mendapatkan pekerjaan untuk membangun rumah baru atau melakukan renovasi total sebuah rumah. Pak Wkt hanya sebatas mengerjakan pekerjaan perbaikan ringan saja. Sebagai tukang, Pak Wkt memperoleh upah sebesar Rp. 40.000,- per hari dan masih memperoleh jatah satu kali makan, kopi, rokok dan jajanan ringan. Pak Wkt pun hanya menerima pekerjaan sebagai tukang dari penduduk Karang Agung saja. Ibu Sti bekerja sebagai buruh di usaha pemindangan ikan yang dikelola oleh H. Ndn, seorang pengusaha lokal. Ibu Sti bekerja setiap sore hingga malam hari. Sore hari, Ibu Sti mengangkut ikan hasil tangkapan dan membawanya ke tempat pemidangan. Setelah itu, ikan dibersihkan dan siap untuk dipindang. Ibu Sti mendapatkan upah sebesar Rp. 40.000,- setiap minggunya. Bekerja di pemindangan menurut Ibu Sti cukup melelahkan karena harus berhadapan dengan tungku dan asap yang membuat pedih mata. Menjelang pukul 09.00 WIB, Ibu Sti baru bisa pulang ke rumah. Selain mendapatkan upah berupa uang, Ibu Sti juga seringkali mendapatkan ikan yang berkualitas rendah, seperti ukurannya yang kecil atau tanpa sengaja teriris. Ikan ini bisa dibawa pulang dan dikonsumsi untuk makan keluarga. Snti bekerja di pabrik rokok MPS yang ada di Brondong sejak tahun 2006. Snti bekerja selepas lulus SMP. Setiap bulan Snti bisa mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 650.000,- namun masih harus mengeluarkan biaya transportasi untuk berangkat dan pulang kerja. Selain itu Snti harus mengeluarkan biaya makan setiap harinya. Setiap hari Snti harus menyisihkan uang sebesar Rp. 7.500,- untuk memenuhi biaya transportasi dan makan, praktis setiap bulan Snti bisa mendapatkan Rp. 400.000,- untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Lumayan lah, gaji dari pabrik rokok. Daripada di rumah menganggur kan malah tidak dapat uang sama sekali. Kalau capek ya sudah resiko cari uang.”, ungkap Snti. Untuk makan sehari-hari, Snti masih ditanggung oleh orang tuanya. Setiap bulan Snti membeli beras, minyak goreng, minyak tanah, gula dan kopi sekedar
143
untuk membantu keperluan makan anggota rumah tangga. Sedangkan untuk pengeluaran sehari-hari seperti sayur, lauk dan uang jajan anak ditanggung oleh orang tua Snti. 3. Rumah tangga Pak Sns, buruh nelayan di Karang Agung Pak Sns (55 tahun) adalah salah satu buruh nelayan yang sudah lanjut usia. Faktor usia yang menyebabkan Pak Sns sudah jarang melaut. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Pak Sns bekerja sebagai tukang memperbaiki perahu. Pekerjaannya yang rapi serta tidak mematok tarif yang tinggi menyebabkan banyak pemilik perahu yang mempercayakan perbaikan perahunya pada Pak Sns. Ketika memperbaiki perahu Pak Sns dibantu oleh anak kandungnya Skj (30 tahun) yang tamatan SD dan sudah menikah. Pak Sns seringkali tidak melaut ketika ada perahu yang harus diperbaiki. Bagi Pak Sns, memperbaiki perahu lebih menguntungkan karena tidak harus mengeluarkan banyak biaya dan tenaga. Selain itu di usianya yang beranjak tua, Pak Sns merasa sudah kurang mampu bekerja di laut. Kondisi kesehatannya sudah menurun. Pak Sns tidak mematok tarif untuk jasa perbaikan perahu. Para pemakai jasa Pak Sns memberikan upah seikhlasnya tergantung dari tingkat kesulitan dan lama pengerjaan perbaikan perahu mereka. Semua bahan perbaikan dibeli dan dipilih oleh pemilik perahu, Pak Sns hanya membawa alat pertukangan dan mengerjakan perbaikan perahu tersebut. Untuk sekedar mendempul perahu yang bocor, Pak Sns biasanya menerima upah antara Rp. 25.000,- hingga Rp. 50.000,-. Pekerjaan mendempul perahu yang bocor biasanya dapat diselesaikan dalam waktu setengah hari. Pak Sns memberikan sebagian upah tersebut kepada Skj, biasanya antara Rp. 10.000,hingga Rp. 20.000,- untuk sekedar uang rokok dan kopi serta uang jajan bagi anak Skj (cucu Pak Sns). “Walaupun hanya dibayar seikhlasnya, sudah lebih dari cukuplah untuk biaya hidup. Ini juga hanya pekerjaan sampingan, tidak setiap hari ada yang memperbaiki perahu. Banyak juga yang memperbaiki sendiri perahunya.”, ujarnya. Sebelum sering sakit-sakitan, Pak Sns bekerja sebagai buruh nelayan. pada masa mudanya, Pak Sns ikut bekerja di nelayan Brondong dengan menggunakan perahu besar. Namun setelah semakin tua, Pak Sns memilih untuk bekerja di desanya sendiri dan bergabung dengan nelayan tradisional. Bekerja di perahu besar, menurut Pak Sns sangat berat. Selain itu pembagian hasilnya relatif kecil dikarenakan awak perahu yang banyak. Seringkali perahu harus andon berharihari di daerah lain. Bekerja sebagai buruh nelayan di Karang Agung menurut Pak Sns lebih menyenangkan. Walaupun pendapatan juga sama kecilnya, tetapi pekerjaan tidak terlalu berat. Setiap hari Pak Sns bisa pulang dan bertemu keluarganya karena waktu melaut yang hanya sehari atau semalam saja. Pendapatan Pak Sns sebagai buruh nelayan berkisar antara Rp. 10.000,- hingga Rp. 30.000,-. Seringkali ketika tangkapan benar-benar sedikit, Pak Sns hanya mendapatkan bagian berupa ikan hasil tangkapan saja. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Ibu Ash, istri Pak Sns membuka warung rujak dan aneka jajanan lainnya.
144
Pak Sns mempunyai lima orang anak yang kesemuanya telah berkeluarga. Saat ini Pak Sns tinggal bersama istri dan anak bungsunya, perempuan yang bernama Wti (19 tahun). Wti baru saja menikah dengan Kji, pemuda tetangga desa. Kji bekerja buruh nelayan. Dulu, sebelum Wti menikah, Rumah Pak Sns juga dihuni oleh keluarga anak pertamanya, Skj. Namun setelah Wti menikah, Skj memilih untuk membangun rumah baru di samping rumah Pak Sns. Rumah Pak Sns berukuran kecil yang terdiri dari dua bilik kamar, sebuah ruang tamu dan dapur. Lantai rumah terbuat dari plester semen, sebagian dindingnya telah terbuat dari tembok sedangkan atap terbuat dari genteng tanah liat. Sebuah televisi warna menghiasi ruang tamu ditambah dengan satu set meja kursi yang relatif bagus. Dinding bagian depan terdapat jendela besar yang digunakan sebagai warung kecil-kecilan. Kelima anak Pak Sns hanya mengenyam pendidikan hingga SD saja. Setelah lulus SD, anak-anak Pak Sns sudah terlibat dalam kegiatan pencarian nafkah. Pada awalnya mereka bekerja sebagai buruh nelayan, namun saat ini hanya dua orang anak laki-laki Pak Sns yang tetap bekerja sebagai buruh nelayan. Satu orang anak laki-lakinya kini bekerja di perusahaan mebel, sedangkan satu lainnya bekerja sebagai kernet angkutan umum. 4. Pak Krd, buruh nelayan di Karang Agung Pak Krd (56 tahun) mempunyai tiga orang anak. Semua anaknya sudah berkeluarga. Anak pertamanya laki-laki kini tinggal bekerja di Jakarta sebagai petugas jaga malam di sebuah pabrik, anak keduanya juga laki-laki bernama Wwn (28 tahun) bekerja sebagai buruh bangunan di Surabaya. Sedangkan anak terakhirnya, Nrl perempuan (24 tahun) kini tinggal di rumah dan bekerja sebagai pedagang ikan di pasar Karang Agung. Suami Nrl, Kncr bekerja sebagai tukang sablon di Karang Agung. Wwn, termasuk salah satu pelaku migrasi. Wwn bekerja sebagai buruh bangunan pada proyek pembangunan gedung bertingkat yang ada di Surabaya. Sedangkan istri Wwn tinggal bersama orang tuanya di desa tetangga. Pada awalnya Wwn bekerja membantu orang tuanya sebagai nelayan, namun setelah mendengar cerita keberhasilan tetangganya, Wwn menjadi tertarik untuk ikut mroyek. Kebetulan pada saat itu ada Pak Jnd yang baru saja pulang kampung. Pak Jnd sudah lama sekali bekerja di proyek dan kini diberi kepercayaan sebagai kepala tukang. Setiap kali ada pekerjaan baru dan membutuhkan tenaga kerja yang banyak, Pak Jnd sering mengajak pemuda desa untuk ikut bekerja di proyek. Wwn setiap harinya menerima upah sebesar Rp. 25.000,- bersih tanpa harus mengeluarkan biaya untuk makan dan tempat tinggal. Selama bekerja Wwn tinggal di lokasi proyek dalam bedengan-bedengan yang terbuat dari kayu. Untuk keperluan makan sehari-hari sudah disipakan nasi bungkus. Praktis pengeluaran hanya untuk uang rokok, kopi atau sekedar minum jamu. Wwn bekerja hingga proyek selesai. Masa libur hanya pada masa-masa senggang pekerjaan, misalnya ketika harus menunggu keringnya cor selama kurang lebih 2 minggu. Pada saat itulah Wwn berkesempatan untuk pulang kampung. Pendapatan dari pekerjaan mroyek juga tidak menentu karena sangat tergantung dengan ada tidaknya yang mempekerjakan mereka.
145
Alasan utama Wwn melakukan migrasi adalah keinginannya untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Wwn merasa pendapatannya sebagai tidak bisa diandalkan apabila kelak dia berrumah tangga. Sebagai nelayan, Wwn tidak mendapatkan hasil yang pasti, terkadang bisa mendapatkan banyak hasil tangkapan, namun terkadang pulang tanpa hasil. “Kalau mengandalkan kerja sebagai nelayan, ya tidak cukup. Selain itu banyak waktu liburnya, saat ombak besar, kami tidak berani melaut. Lalu darimana kami mendapatkan uang. Lebih baik kerja di proyek, pendapatan lebih jelas karena tiap minggu akan mendapatkan upah. Walaupun harus berjauhan dengan keluarga, tidak apalah. Yang penting anak istri bisa makan.”, ucap Wwn mantap. Sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Pak Krd masih pergi melaut. Di waktu senggang, Pak Krd mengisi waktunya dengan memperbaiki jaring. Pak Krd juga gemar memasang nomor togel. Setiap hari bukaan, Pak Krd pasti akan datang ke rumah pengepul kupon togel untuk memasang nomor taruhan. Bagi Pak Krd, memasang nomor togel adalah kegiatan rutin yang tidak bisa ditinggalkan. Seingat Pak Krs, pada tahun 2007 lalu, Pak Krd pernah dua kali menang besar sampai Rp. 1000.000,-. Sedangkan kalau menang kecil-kecilan sudah sering. Namun entah mengapa di tahun 2008 lalu, Pak Krd belum pernah menang sama sekali. 5. Pak Snp, pemilik perahu di Karang Agung Pak Snp (56 tahun) sudah lama menetap di Karang Agung yaitu sejak menikah dengan Ibu Srm (48 tahun) pada tahun 1971. Pak Snp sendiri sebenarnya berasal dari Desa Palang, sebuah desa nelayan yang masih berada di Kecamatan Palang. Pak Snp sejak mudanya sudah bekerja sebagai nelayan sehingga dia paham betul berbagai permasalahan yang dihadapi oleh nelayan. Orang tua dan seluruh saudara kandung Pak Snp juga bekerja sebagai nelayan, praktis kehidupan nelayan sudah mendarah daging dalam dirinya. Orang tua Ibu Srm juga bekerja sebagai nelayan, bahkan dulunya memiliki tiga buah perahu. Kini kedua orang tua Ibu Srm telah tiada. Pak Snp dikarunia tiga orang anak, dua anak pertamanya perempuan dan anak terakhirnya laki-laki. Kedua anak laki-lakinya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mertuanya masing-masing. Pak Snp kini tinggal bersama Yli (23 tahun), anak perempuannya beserta suami dan anaknya. Suami Yli bekerja sebagai buruh nelayan membantu Pak Snp. Pak Snp juga mengajak seorang anak laki-lakinya yang lain, Pjo untuk turut serta melaut. Pak Snp sudah sejak lama memiliki perahu. Perahu yang digunakan ini merupakan perahu baru, tahun 2001 kemarin Pak Snp memesan perahu dari Desa Brondong. Dulu, Pak Snp juga telah mempunyai perahu, bahkan dua perahu. Semuanya merupakan hasil jerih payah bekerja sebagai nelayan. Namun satu per satu perahu Pak Snp dijual, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Baru pada tahun 2004, Pak Snp membeli perahu baru. Perahu tersebut dibeli dari hasil acara hajatan pernikahan anak perempuannya, Yli. Saat pernikahan tersebut Pak Snp membuat pesta yang agak besar dengan mendatangkan hiburan tayub. Modal menggelar pesta didapatkannya dari berhutang ke sanak saudara. Hasil uang anjeng digunakan untuk membayar hutang dan sisanya digunakan untuk membeli perahu. Perahu itu dibelinya
146
seharga Rp. 2.000.000,- dengan cara kredit. Kebetulan Pak Snp kenal baik dengan juragan perahu di Brondong. Pak Snp terlebih dahulu membayar uang muka sebesar Rp. 1000.000,-, sedangkan sisanya dibayar dengan cara mengangsur tanpa bunga selama satu tahun. Sedangkan untuk motor tempel, Pak Snp membeli bekas milik seorang tetangga, seharga Rp. 1.500.000,-,. Pak Snp (56 tahun) mengungkapkan bahwa pada tahun-tahun lalu hasil tangkapan sangat melimpah. Pada waktu tahun 1970-an belum ada nelayan yang menggunakan mesin, mereka mengandalkan tenaga angin untuk pergi melaut. Untuk mendapatkan ikan tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga seringkali berangkat shubuh dan pulang menjelang pukul 9 pagi. Pada waktu itu nelayan dapat hidup dengan lebih baik, walau tidak dapat dikatakan kaya. Namun kini, seiring perkembangan jaman justru kehidupan nelayan semakin sulit. Persaingan dengan nelayan modern yang menggunakan alat tangkap canggih membuat mau tidak mau nelayan tradisional harus turut menggunakan teknologi tersebut. Sekarang untuk mendapatkan hasil tangkapan harus lebih ke tengah sehingga memerlukan biaya dan waktu yang lebih besar dibandingkan dulu. Kemiskinan yang semakin dirasakan oleh nelayan karena saat ini disparitas antara orang kaya dan miskin semakin jauh. Karena itulah Pak Snp sampai menjual perahu yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 6. Pak Rmd, buruh nelayan di Kwanyar Barat Rumah Tangga Pak Rmd (47 tahun) terdiri dari dua keluarga. Anak perempuan Pak Rmd beserta suami dan anaknya tinggal bersama Pak Rmd. Rumah yang mereka huni terletak di pinggir pantai, praktis bagian belakang rumah langsung berhadapan dengan laut lepas. Lantai rumah terbuat dari semen, sedangkan dindingnya terbuat dari tembok dan atap terbuat dari genteng tanah liat. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, Pak Rmd menyambung dari tetangga yang sudah mempunyai aliran listrik sendiri. Perabotan yang dimiliki Pak Rmd sangat terbatas. di ruang tamu terdapat satu set kursi dan meja yang terbuat dari plastik. Sebuah lemari kayu terdapat di pojok ruangan, dibagian atasnya terletak sebuah pesawat televisi warna ukuran 14 inchi dengan merek Panasonic. Menurut Pak Rmd, sangat sulit sekali bagi nelayan Kwanyar Barat untuk menambah pendapatan selain dari melaut jika tetap berada di desa. Selain tidak memiliki lahan pertanian, nelayan miskin juga tidak mempunyai keterampilan atau kemampuan lain yang bisa mendapatkan penghasilan. Pak Rmd sendiri seringkali harus menganggur jika musim ombak besar atau ketika tidak berangkat melaut. Untuk mengisi waktu, Pak Rmd menyibukkan diri memperbaiki jaring. Terkadang pula menerima pekerjaan memperbaiki jaring atau membuat jaring baru dari tetangga. Walaupun penghasilan yang diperoleh juga terbatas namun bagi Pak Rmd sudah cukup untuk hidup sehari-hari. Pak Rmd melaut bekerjasama dengan Pak Mjb, pemilik perahu. Pak Mjb ikut serta juga dalam kegiatan melaut. Mereka seringkali melaut hanya berdua, walaupun terkadang ada pemuda desa yang ikut serta membantu. Pak Rmd mendapatkan bagian sepertiga dari hasil penjualan ikan hasil tangkapan. Ikan hasil tangkapan dijual langsung sesaat setelah mendarat di pantai. Istri Pak Rmd turut serta membantu dalam kegiatan penjualan ikan hasil tangkapan. Biasanya istri Pak
147
Rmd menjual kembali ikan hasil tangkapan kepada pedagang pengepul yang biasa disebut bakol. Bakol ini kemudian menjual kembali ikan hasil tangkapan tersebut ke beberapa pasar tradisional di sekitar Kwanyar. Menantu Pak Rmd, Azs (26 tahun) juga bekerja sebagai buruh nelayan. Selain itu di masa musim paceklik, Azs seringkali menarik becak. Becak ini sebenarnya milik seorang teman Azs, namun kini sering digunakan oleh Azs. Saat selesai melaut pun Azs sering menggunakan becak untuk mengangkut ikan hasil tangkapan ke pasar. Penghasilan menarik becak pada saat tidak melaut besarnya tidak menentu, berkisar Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-. Banyaknya penarik becak yang beroperasi menyebabkan persaingan untuk mendapatkan penumpang sangat ketat. “Menarik becak hanya untuk mengisi waktu di saat musim paceklik saja. Lumayan buat belanja sehari-hari.”, kata Azs. 7. Rumah tangga Pak Frn, buruh nelayan di Kwanyar Barat Pak Frn (59 tahun) adalah penduduk asli Kwanyar Barat. Sejak tahun 1971, Pak Frn menikah dengan Ibu Zbd (55 tahun) yang merupakan juga merupakan penduduk asli Kwanyar Barat. Sejak muda, Pak Frn telah sering berganti pekerjaan, mulai dari menjadi penarik becak dan pedagang sayur keliling di Surabaya hingga buruh nelayan. Pada saat masih bekerja di Surabaya, keluarga Pak Frn tetap tinggal di Kwanyar Barat. Seminggu sekali Pak Frn pulang kampung untuk melepas rindu dengan keluarganya. Namun setelah beberapa tahun merantau dan berpisah dengan keluarga, Pak Frn memutuskan untuk pulang kembali ke Kwanyar Barat dan bekerja sebagai buruh nelayan. Rumah tinggal Pak Frn relatif lebih baik dibandingkan tetangganya. Lantai rumah terbuat dari ubin, dinding telah bertembok bata putih sedangkan atapnya terbuat dari genteng. Penerangan juga telah menggunakan listrik walaupun masih menyambung dari tetangga. sebuah pesawat televisi dan vcd player menjadi hiburan sehari-hari Pak Frn beserta keluarganya. Pak Frn dikarunia tiga orang anak, dua orang anak laki-lakinya kini telah mandiri dan merantau ke Malang. Sedangkan anak terakhirnya, kini masih duduk di bangku SMA. Snj (23 tahun), anak laki-laki kedua Pak Frn merupakan salah satu contoh pemuda desa yang meninggalkan desanya untuk mengadu nasib di kota besar. Sejak usia 18 tahun, Snj telah merantau ke Malang. Keberangkatannya tidak sendiri, Snj berangkat bersama dua orang tetangganya. Snj memutuskan untuk melakukan migrasi disebabkan oleh sulitnya mencari pekerjaan di desa. Snj merasa pekerjaan sebagai nelayan tradisional tidak lagi dapat diandalkan. Orang tua Snj sendiri dahulunya juga seorang nelayan, namun kini sudah jarang pergi melaut karena sudah tua dan sering sakit-sakitan. Sebelum memutuskan untuk merantau, Snj bekerja membantu orang tuanya bekerja mencari ikan di laut. Perahu yang mereka gunakan berisi tiga orang awak yaitu orang tua Snj, Snj dan Pak Zri, pemilik perahu. Biasanya setiap habis sembahyang subuh, mereka mulai berangkat melaut. Menjelang dhuhur perahu sudah mendarat kembali. Hasil tangkapan kemudian langsung dijual beberapa saat setelah perahu tiba kembali di pantai. Sekali melaut biasanya mereka memperoleh uang sebesar Rp. 160.000,-. Uang ini kemudian dikurangi uang solar sebesar Rp. 60.000,-, sisanya kemudian dibagi separuh untuk
148
pemilik perahu seangkan separuh bagian yang lain dibagi sama rata untuk dua nelayan yang lain. Pendapatan sebesar Rp. 25.000,- ini tidak setiap hari dapat mereka nikmati setiap hari. Setiap saat bisa naik turun, bahkan terkadang tidak mendapatkan hasil sama sekali. Kakak kandung Snj saat ini telah bekerja Malang sebagai tukang becak di kompleks Pasar Besar Malang. Kakak Snj telah berkeluarga dan menetap di Malang, istrinya bekerja sebagai penjual pedagang kaki lima di kompleks yang sama pula. Saat ini mereka telah mempunyai dua orang anak. Awalnya Snj diajak ke Malang untuk membantu berjualan di kompleks pasar. Kemudian setelah Snj dirasa mampu mengelola barang dagangan, Snj mendapatkan pinjaman modal dari kakaknya untuk berdagang sendiri. Snj mencoba berjualan bubur keliling. Gerobak yang digunakan untuk berjualan adalah gerobak bekas yang dibeli dengan harga Rp. 600.000,-. Biaya pengecatan perbaikan dan pengecatan ulang mencapai Rp. 120.000,-. Sedangkan modal awal berupa peralatan menghabiskan Rp. 250.000,-. Total modal awal yang dia keluarkan sebesar Rp. 970.000,-, semua merupakan hasil pinjaman kakaknya. Kini setelah dua tahun berjualan bubur, kehidupan Snj telah lebih baik. Sekarang Snj sudah bisa mengirim uang untuk kedua orang tua untuk biaya sekolah adik perempuannya. Orang tua Snj pun sudah tidak perlu risau apabila tidak bisa pergi melaut karena kiriman uang dari Snj dan kakaknya sudah dapat menopang kehidupan mereka. Mungkin setelah adik Snj lulus SMA, akan diajak pula untuk merantau ke Malang.
149
Lampiran 2. Peta lokasi penelitian
Karang Agung
Kwanyar Barat
150
Lampiran 3. Foto armada dan alat tangkap yang digunakan
151
Lampiran 4. Foto kondisi rumah dan kegiatan ekonomi
152