STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG MENDERITA SINDROM DOWN DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 JAKARTA LEBAK BULUS JAKARTA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH : MAYANG SETYO MAGNAWIYAH NIM : 108104000002 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Mayang Setyo Magnawiyah
Tempat Tanggal Lahir
: Bogor, 28 Juli 1990
Agama
: Islam
Alamat
: Puri Teluk Jambe Blok C14 No. 32 RT 014/ RW 004 Kec. Teluk Jambe Timur Kel. Sirnabaya Kota Karawang 41361
No. Telpon
: (0267) 640221 / 081317044282
Riwayat Pendidikan
: TK Nurul Huda Tahun 1995-1996 SD Negeri Sirnabaya Satu Tahun 1996-2002 SLTP Negeri 3 Karawang Tahun 2002-2005 SLTA Negeri 3 Karawang Tahun 2005-2008 Program S1 Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013
Pengalaman Organisasi
: Anggota Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Tahun 2000-2002 Bendahara Palang Merah Remaja (PMR) Tahun 2003-2004 Anggota OSIS SLTP Negeri 3 Karawang Tahun 2004-2005 Anggota OSIS SLTA Negeri 3 Karawang Tahun 2005-2006 Anggota Kader Penegak Disiplin (KPD) SLTA 3 Karawang Tahun 2006-2007 Anggota Badan Eksekutif Jurusan Hubungan Masyarakat 2009-2010
v
Bidang
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Januari 2013 Mayang Setyo Magnawiyah, NIM: 108104000002 STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG MENDERITA SINDROM DOWN DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 JAKARTA Xii? + 86 halaman + tabel + 3 bagan + 7 lampiran Kata Kunci : Sindrom Down, Anak, Orang tua, Strategi Koping, Problem Focus Coping, Emotional focus Coping
ABSTRAK Sindrom down merupakan suatu kelainan genetik yang mengakibatkan terjadinya kelainan kromosom sehingga anak terlahir cacat kongenital dengan kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisonomy 21. Hal ini dapat menyebabkan suatu stresor tersendiri yang dapat menimbulkan stress bila tidak diatasi dengan baik, dan akan berdampak pada pola asuh orang tua terhadap anak, maka orang tua memerlukan strategi koping untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Jakarta. Tujuan khusus mengidentifikasi stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down, mengidentifikasi jenis strategi koping problem focus coping dan emotional focus coping yang digunakan orang tua. Desain penelitian adalah deskriptif kualitatif. Populasi pada penelitian ini adalah orang tua pada anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah di SLB Negeri 1 Jakarta. Sampel diambil sebanyak 7 partisipan utama dan 2 partisipan pendukung dengan metode pengambilan sampel homogenus sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara open-ended interview dan catatan lapangan. Validasi data dilakukan dengan triangulasi teknik dan sumber. Teknik analisa data dilakukan dengan cara analisa tematik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stresor yang dihadapi orang tua terbagi menjadi dua, yaitu stresor internal (gangguan pertumbuhan, perkembangan, harapan masa depan anak, kurang pengetahuan) dan stresor eksternal (stigma masyarakat, penolakan anggota keluarga, hambatan keuangan). Orang tua menggunakan kedua jenis strategi koping problem focus coping dan emotional focus coping dengan cara berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah. Peneliti menyarankan pembentukan program edukasi kepada orang tua tentang sindrom down. vi
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLLAH JAKARTA Undergraduates Thesis, January 2013 Mayang Setyo Magnawiyah , NIM: 108104000002 PARENTS’ COPING STRATEGIES FOR DOWN SYNDROM CHILDREN OF STATE EXTRAORDINARY SCHOOL 1 JAKARTA xiii + 86 pages + tables + 3 charts + 7 attachment Key Words: Down Syndrom, Children, Parents, Coping Strategies, Problem Focused Coping, Emotional Focused Coping
ABSTRACT Down Syndrome is a genetic disorder that effects on the abnormality of chromosome so that children are born congenital of the excess of chromosomes 21 named trisonomy 21. It can cause stressor and becomes stress if it is not handled properly and can cause toa the way parents educate their children. Therefore, parents need coping strategy to handle problems that are being faced. This research is aimed at identifying coping strategy of parents to their children who suffer down syndrome at state extraordinary school 1 Jakarta. The main purpose of thje research is to identify stressor of parents to their children suffer down syndrom, identify types of coping strategy problem focus coping and emotional focus coping that are used by parents. The method of the research is qualitative descriptive and the unit analysis are parents and students with down syndrome. Samples conducted are seven (7) main participants and five (5) supporting participants by conducting homogenous sampling. Data collection depicted by interviewing open-ended and field research. Data validation is done by using triangulation of sources and techniques. Data analysis technique is done by using thematic analysis. The research finds that stressor that is faced by parents divided into 2: internal stressor (growth disorder, child development, child future hope and less knowledge) and external stressor (stigma in community, family rejection, and economical problem). In solving problems, parents use these two types of coping strategy in a different way. The writer suggests parents establish educational programs of down syndrome.
vii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr.wb Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad S.A.W. Penulis mengambil judul “STRATEGI KOPING ORANG TUA PADA ANAK YANG MENDERITA SINDROM DOWN DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 JAKARTA”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penelitian dan penyusunan skripsi ini, peneliti mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang tercinta Ayahanda Dwijo Setiono dan Ibunda Siti Husnah. Serta penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep. MKM selaku kepala program studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
3. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku sekretaris program studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Maulina Handayani, S.kep, M.Sc selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan ilmu dan masukan kepada peneliti. 5. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan ilmu dan masukan kepada peneliti. 6. Bapak dan ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah mengajarkan dan membimbing penulis, serta staf akademik Bapak Azib Rosyidi S. Psi dan Ibu Syamsiayah. 7. Kakak yang tersayang (Reantina Setyo Oktahandini) serta kedua adikku tercinta (Fatahillah Setyo Rizky dan Ikhsan Fadillah Setyo Rizky) yang selalu memberikan dukungan dan doa serta yang menjadi inspirasi penulis. 8. Om dan tante yang selalu mendukung dan menyemanggati selama menjalankan program kuliah sarjana keperwatan. 9. Terima kasih buat sahabat-sahabatku Marina Ulfa, Wulan Ambarwati, Dita Puspita, Khaerunissa, Ica solihatunnisa, Desy Ratnasari, Rosalina Permata,
serta teman-teman PSIK angkatan 2008 yang telah
memberikan masukan dan semangat kepada peneliti. 10. Seluruh teman-teman PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2008 yang selalu saya sayangi, memberikan kebersamaan dan motivasi.
ix
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penyusun khususnya. Wassalamu’alaikum wr.wb
Penulis
Mayang Setyo Magnawiyah
x
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan Persetujuan ................................................................ i Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii Lembar Pengesahan Sidang Skripsi ............................................................ iii Lembar Pernyataan ...................................................................................... iv Daftar Riwayat Hidup .................................................................................. v Abstrak ........................................................................................................... vi Abstract .......................................................................................................... vii Kata Pengantar ............................................................................................ viii Daftar Isi ...................................................................................................... xi Daftar Tabel................................................................................................... xv Daftar Lampiran .......................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang .............................................................................. 1 B. Rumusan masalah ......................................................................... 7 C. Pertanyaan penelitian .................................................................... 8 D. Tujuan penelitan ........................................................................... 8
xi
E. Manfaat penelitian ........................................................................ 9 F. Ruang lingkup penelitian .............................................................. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dasar ................................................................................ 11 1. Sindrom down .......................................................................... 11 a. Definisi sindrom down ......................................................... 11 b. Angka kejadian .................................................................... 12 c. Penyebab sindrom down ...................................................... 12 d. Gambaran klinis ................................................................... 13 f. Diagnosis ............................................................................... 14 g. Penatalaksanaan ................................................................... 16 h. Prognosis .............................................................................. 16 B. Orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus ........... 17 C. Stres .............................................................................................. 18 D. Stresor .......................................................................................... 23 E. Koping dan strategi koping ............................................................ 27 F. Kerangka teori ................................................................................ 31 BAB III KERANGKA KONSEP dan DEFINISI ISTILAH A. Kerangka konsentrasi ............................................................. 32 B. Definisi Istilah ........................................................................ 33
xii
BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain penelitian .................................................................... 34 B. Tempat dan waktu penelitian .................................................. 34 C. Instrument penelitian .............................................................. 34 D. Populasi .................................................................................. 35 E. Sampe l .................................................................................... 35 F. Teknik pengumpulan data ....................................................... 37 G. Validasi data ........................................................................... 41 H. Teknik analisa data ................................................................. 42 I. Etika penelitian ........................................................................ 44 BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum wilayah penelitian ............................................ 47 1. Sejarah sekolah luar biasa Negeri 1 Jakarta ............................ 47 2. Visi dan Misi sekolah luar biasa Negeri 1 Jakarta .................. 48 B. Karakteristik Demografi Partisipan .............................................. 49 C. Analisa Data ................................................................................. 52 1. Stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down ........................................................................................ 52 2. Strategi koping berpusat pada masalah (problem focus coping) ........................................................... 64 3. Strategi koping berpusat pada emosi (emotional focus coping) .......................................................... 73
xiii
BAB VI PEMBAHASAN A. Interpretasi Penelitian dan Hasil Diskusi ..................................... 80 1. Stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa sindrom down ........................................................................................ 81 2. Strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down ........................................................................................ 85 1.1 Strategi koping yang berpusat pada masalah .................. 86 2.1 Strategi koping yang berpusat pada emosi ...................... 88 B. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 91 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................... 92 B. Saran ............................................................................................. 94 DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 5.1 Lembar Pernyataan Persetujuan ....................................................... 49 5.2 Lembar Pengesahan .......................................................................... 50 5.3 Lembar Pengesahan Sidang Skripsi .................................................. 51
xv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran 1. Surat Pemberitahuan 2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden 3. Data Demografi Informan 4. Pedoman Wawancara Mendalam (Indepth Interview Informan Kunci) 5. Pedoman Wawancara Partisipan Pendukung 6. Analisa Tematik Partisipan Utama 7. Analisis Tematik Partisipan Pendukung
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keberadaan
anak
berkebutuhan
khusus
di
indonesia,
bukan
merupakan permasalahan yang kecil. World Health Organization (WHO) dan kementrian
kesehatan
(2010)
memperkirakan
bahwa,
jumlah
anak
berkebutuhan khusus berkisar antara 7-10 % dari total jumlah anak-anak di indonesia usia 0-18 tahun. Data yang lebih terperinci hanya didapatkan pada susenas BPS (2003) yaitu terdapat 361.860 anak usia sekolah berkebutuhan khusus. Dari jumlah tersebut, sekitar 66.610 anak usia sekolah penyandang cacat yang terdaftar disekolah Luar Biasa (SLB), sedangkan sisanya anak penyandang cacat sebanyak 295.250 berada didalam masyarakat, dibawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga yang pada umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar yang memerlukan penanganan secara khusus, atau bisa disebut juga sebagai anak penyandang cacat. Anak yang termasuk dalam kategori penyandang cacat mental),
tunanetra
adalah anak dengan tunagrahita (mengalami retardasi (mengalami
hambatan
penglihatan),
tunarungu
(mengalami hambatan pendengaran), tunadaksa (mengalami cacat tubuh), attention deficit and hyperactivity disorder (perilaku hiperaktif), autism, sindrom down dan tunaganda (memiliki hambatan lebih dari satu), yang
1
2
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan memerlukan penanganan dan pelayanan yang berbeda (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu sumber daya manusia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan aktif dalam kehidupannya, anak berkebutuhan khusus perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan
akibat
kelainan
yang
diderita,
serta
menumbuhkan
kemandirian hidup dalam bermasyarakat (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami atau beresiko tinggi mengalami kondisi fisik, perkembangan, perilaku maupun emosional kronis dan memerlukan layanan kesehatan serta layanan terkait dalam jenis atau jumlah lebih dari yang dibutuhkan anak lain pada umumnya (Wong, 2008). Salah satu kasus anak berkebutuhan khusus adalah anak yang menderita sindrom down dan salah satu penyebab sindrom down adalah suatu kelainan genetika yang mengakibatkan terjadinya kelainan kromosom sehingga anak terlahir dengan cacat congenital dengan kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisomi 21. Sindrom down dapat ditemukan pada semua etnik penduduk, sekitar 1 diantara 700 bayi yang lahir hidup menderita kelainan ini, salah satu faktor pemicu kejadian sindrom down yang diketahui adalah adanya hubungan yang erat antara kejadian sindrom down dengan semakin lanjutnya usia ibu, yaitu
2
3
terjadi peningkatan insiden sebesar 1% bila usia ibu mencapai 40 tahun (Hull & Jhonston, 2008). Secara umum, penderita pada sindrom down mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang agak kecil, yaitu wajah khas dengan mata sipit yang membujur keatas, jarak antara kedua mata berjauhan dengan tampak sela hidung yang rata dan datar (seperti mongol), hidung kecil, mulut mengecil dengan lidah yang besar sehingga cenderung dijulurkan keluar (macroglossia), gambaran telapak tangan tidak normal yaitu terdapat satu garis besar melintang (simian crease). Masalah intelegensi pada anak sindrom down bervariasi dari retardasi ringan sampai sedang dengan nilai IQ berkisar dari 25-70 (Hull dan Jhonston, 2008). Dengan gambaran klinis tersebut, anak dengan
sindrom down
membutuhkan perhatian dan perawatan yang lebih khusus dari orang tua dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya, serta orang tua harus dapat melakukan pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh anak sindrom down dengan keterbatasan fisik dan intelektual yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat dilakukan dengan terapi, perawatan khusus, serta program pendidikan khusus untuk mencapai kelangsungan hidup secara optimal. Hal ini akan menjadi suatu stresor tersendiri bagi keluarga khususnya pada orang tua (Maramis, 2005). Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun social dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, maupun lingkungan luar lainnya (Patel, 1996 dalam Nasir & Muhith, 2011).
3
4
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid, (2004) dalam Tiana dan Andriany, (2010) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak tunagrahita menunjukkan perasaan sedih, denial, depresi, marah dan menerima keadaan anaknya. Orang tua merasa khawatir tentang masa depan anak dan stigma yang melekat pada anak. Pada anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Berdasarkan American Association on Mental Retardation
(AAMR)
menjelaskan
bahwa
keterbelakangan
mental
menunjukan adanya keterbatasan yang signifikan dalam berfungsi, baik secara intelektual maupun perilaku adaptif yang terwujud melelu adaptif konseptual , social
maupun partikal (Hallan & Kauffman, 2006 dalam
Magunsong, 2009). Dari penelitian ini menunjukan bahwa memiliki anak dengan kebutuhan khusus merupakan suatu stessor tersendiri bagi orang tua dan respon yang muncul pada orang tua tersebut harus diimbangi dengan strategi koping yang tepat agar orang tua dapat mengatasi stressor sehingga tidak menimbulkan stres. Strategi koping adalah cara untuk mengatasi masalah-masalah dan usaha-usaha untuk mengatasi stres (Sundberg dkk, 2007). Keluarga dan orang tua pada kondisi tersebut sangat membutuhkan motivasi, dukungan social ekonomi, teknik pertahanan, keterampilan dan kemampuan. Oleh karena itu, dalam menghadapi kondisi seperti ini, memerlukan suatu strategi koping yang efektif (Lazarus, 1984 dalam Rasmun 2009).
4
5
Menurut Lazarus dan Folkman,(1984 dalam Nasir & Muhith,2011) ada dua strategi koping yang bisa dilakukan, yaitu problem focused coping (koping yang berfokus pada masalah) dan emotional focused coping (koping yang berfokus pada emosi) . Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan, sedangkan emotional focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Sebuah penelitian mengenai stres dan koping keluarga pada anak tunagrahita di SLB C dan SLB C1 Widya Bhakti Semarang yang dilakukan oleh Tiana dan Andriany (2010), menunjukan bahwa stressor keluarga dengan anak tunagrahita adalah pengorbanan waktu kedisiplinan,
stigma
masyarakat,
kerja, finansial,
pertumbuhan
anak
penegakkan
terhambat
dan
kekhawatiran masa depan anak. Penelitian ini juga menerangkan jenis koping yang digunakan oleh orang tua pada anak tunagrahita yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. dalam penelitian ini juga menjelaskan bagaimana keluarga memaknai stres dan koping yaitu dengan penerimaan, tanggung jawab, pelajaran hidup, ujian, cobaan dan kesedihan. Penelitian lain terkait strategi koping orang tua pada anak yang memiliki anak dengan cacat mental (tuna grahita) yang dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) semarang, yang dilakukan oleh Atikah (2008) ditemukan bahwa memiliki anak dengan
5
6
retardasi mental merupakan stressor tersendiri bagi orang tua, kondisi anak yang berbeda dengan anak normal pada umumnya menjadi stressor tambahan yang harus dihadapi orang tua dengan berbagai bentuk koping, koping yang digunakan orang tua adalah koping yang berorientasi pada tugas (Task Oriented) dan koping yang berorientasi pada pertahanan ego (Deffence Mechanism). Studi pendahuluan pada tanggal 19 maret 2012 di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Jakarta, mendapatkan bahwa respon yang ditunjukan pada saat itu adalah orang tua kaget dan menunjukan perasaan putus asa, bahkan sempat menyalahkan diri sendiri dan berfikir dosa apa yang telah mereka lakukan hingga mendapatkan anak seperti ini (ibu tampak menangis), ditambah pandangan orang lain tentang anaknya yang tidak normal. Orang tua mencari berbagai macam dukungan dan saran, baik dari dokter rumah sakit Fatmawati dan pemuka agama. Orang tua mendekatkan diri kepada Tuhan dengan pasrah dan menerima bahwa anak adalah titipan Tuhan yang harus dirawat dengan baik. Setiap respon keluarga yang mempunyai anak dengan kebutuhan khusus berbeda-beda dan dipengaruhi oleh pengalaman. Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta merupakan suatu sekolah yang memberikan program pendidikan pada anak dengan kriteria khusus yang akan menjadi suatu acuan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di Jakarta selatan. Maka peran sekolah tersebut sangat penting dalam melibatkan orang tua untuk melakukan optimalisasi pengasuhan anak berkebutuhan khusus. Dengan adanya beban yang dihadapi orang tua akan dapat menimbulkan stress, Stres yang terjadi pada orang tua akan berdampak buruk
6
7
pada anaknya jika tidak menggunakan strategi koping yang tepat. Strategi koping sangat bervariasi, mulai dari positif sampai negatif. Bila orang tua menggunakan koping yang negatif, seperti avoidance (penyangkalan), selfblame (menyalahkan diri sendiri) dan wishfull thinking (pasrah), hal ini akan dapat menimbulkan suatu gangguan tingkah laku yang terjadi pada orang tua dan akan berdampak pula pada pola asuh perawatan anak,
seperti
penelantaran, depresi, dan isolasi sosial (Sunberg dkk, 2007) Berdasarkan latar belakang dan studi pendahuluan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai “Strategi Coping Orang Tua pada Anak yang Menderita Sindrom Down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta”. B. Rumusan masalah Memiliki anak berkebutuhan khusus yang disertai dengan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan, seperti pada anak dengan sindrom down merupakan suatu stressor tersendiri pada orang tua, maka orang tua harus dapat melakukan pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh anak sindrom down dengan keterbatasan fisik dan intelektual yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat dilakukan dengan terapi, perawatan khusus, serta program pendidikan khusus untuk
mencapai kelangsungan
hidup secara optimal. Hal ini akan menjadi suatu stresor tersendiri bagi keluarga khususnya pada orang tua, sehingga orang tua memerlukan suatu strategi koping yang tepat dalam menghadapinnya. Ketidaktepatan koping, akan dapat berdampak pada pola asuh perawatan anak, seperti penelantaran, depresi, dan isolasi sosial.
7
8
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam bagaimana strategi koping pada orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down dalam menghadapi masalah dan meminimalkan suatu stesor yang timbul terkait dengan kondisi anak tersebut. Strategi koping sangat diperlukan dalam menghadapi suatu masalah agar dapat berespon positif dalam pola asuh perawatan anak untuk meningkatkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat. Dengan adanya kondisi diatas maka peneliti tertarik untuk mengambil judul “Strategi coping orang tua pada anak yang menderita sindrom down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta”. C. Pertanyaan Peneliti 1. Apa saja yang menjadi stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa sindrom down? 2. Jenis strategi coping apa yang digunakan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down ?. D. Tujuan 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi coping orang tua dengan anak yang menderita sindrom down. 2. Tujuan Khusus a. Mengedintifikasi stresor pada orang tua dengan anak terdiagnosa sindrom down. b. Mengedintifikasi jenis strategi koping problem focused coping yang digunakan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down.
8
9
c. Mengedintifikasi jenis strategi koping Emotional focused coping yang digunakan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down. E. Manfaat penelitian 1. Bagi Profesi Ilmu Keperawatan Hasil Penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan pengetahuan dan informasi kesehatan pada keluarga terutama pada anak dengan kebutuhan khusus sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan yang komperhensif. 2. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan serta
keterampilan mahasiswa keperawatan terkait
dengan pemberian asuhan keperawatan dan sebagai ragam informasi mengenai strategi koping orang tua pada anak dengan kebutuhan khusus untuk yang dapat menjadi sumber referensi tambahan dalam konsep keperawatan anak dengan keperawatan khusus. 3. Bagi Masyarakat Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk menambah informasi masyarakat dalam memberi dukungan terhadap anak sindrom down dan orang tua. Serta membantu memberikan motivasi pada keluarga agar dapat menggunakan koping yang tepat dalam merawat anak dengan sindrom down. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya
9
10
Hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran dan informasi untuk
melakukan
pengembangan
penelitian
selanjutnya
berkaitan dengan koping orang tua dengan anak
yang
yang menderita
sindrom down. F. Ruang lingkup penelitian Penelitian ini merupakan metode desain penelitian kualitatif dengan rumusan
masalah
deskriptif
yang
dapat
memandu
peneliti
untuk
mengeksplorasi masalah yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam tentang strategi coping orang tua pada anak yang menderita sindrom down. Sampel pada penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2012.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini , teori dan konsep-konsep yang digunakan sebagai acuan adalah : sindrom down, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, stresor, stres dan strategi koping. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
10
11
anak yang menderita sindrom down dan strategi koping dari orang tua. Teori dan konsep yang akan diuraikan sebagai berikut : A. Konsep Dasar 1. Sindrom Down a. Definisi Sindrom down merupakan suatu kelainan genetic yang dapat terjadi pada pria dan wanita, kelainan ini adalah hasil dari kelainan kromosom yang tidak selalu diturunkan kepada keturunan berikutnya. Kelainan kromosom yang sering ditemukan adalah kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisomi 21 (Sudiono,2008). Sindrom ini pertama kali diuraikan oleh Langdon Down pada tahun 1866, walaupun sudah lama dikenal, pada tahun 1969 ditemukan dan dibuktikan adanya kelainan pada kromosom (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Sindrom down adalah suatu gangguan pada seseorang yang dapat dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebihan, dan menyebabkan terjadinya interaksi dengan fungsi gen lainnya sehingga menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat (soetjiningsih, 1995). b. Angka Kejadian Angka kejadian sindrom down terjadi antara 1 per 600 sampai 1 per 700 kelahiran, lebih dari separuh bayi yang terdiagnosa sindrom down
11
12
dapat mengalami abortus spontan selama kehamilan dini. Di indonesia ditemukan 1 dalam 600 kelahiran hidup, Sebagian besar kasus trisonomi 21 sebanyak 94% yang disebabkan oleh kromosom ekstra. c. Penyebab Sindrom Down Menurut Soetjiningsih (1995), Penyebab sindrom down adalah nondisjunction yang menghasilkan kromosom ekstra (trisonomi 21) sebagai penyebabnya, yaitu : 1. Genetik Diperkirakan terdapat predisposisi genetik terhadap non-disjuctional. Bukti yang mendukung teori
ini, yaitu berdasarkan atas hasil
penelitian epidemologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom down. 2. Radiasi Radiasi merupakan salah satu penyebab terjadinya non-disjunctional , sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjaadinya konsepsi. 3. Autoimun Faktor lain penyebab terjadinya sindrom down adalah autoimun, dimana autoimun ini karena adanya penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. 4. Umur ibu Faktor usia sangat berpengaruh, apabila umur ibu diatas 35 tahun, maka diperkirakan perubahan hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunction pada kromosom. Dengan adanya perubahan hormon,
12
13
maka akan terjadi perubahan pada endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon) hal ini yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya “non-disjunction” 5. Umur Ayah Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom down, umur ayah juga dilaporkan adanya pengaruh terhadap kejadian sindrom down yang didasarkan atas penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan sindrom down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayah, akan tetapi korelasinya tidak setinggi umur ibu. d. Gambaran klinis Gambaran klinis anak dengan sindrom down, yaitu kepala terdapat ciri yang khas seperti sutura sagitalis terpisah, brachicephalic , tulang tengkorak mebulat dan berukuran kecil, bagian belakang kepala datar, fontanela anterior membesar, Rambut tipis (variabel). wajah penderita sindrom down lebih kearah bentuk bulat dengan brachicephalic serta pangkal hidung lebar dan datar. Mata berbentuk almond dengan fisura palpebra miring ke arah atas, ada bercak brushfield pada iris mata. Hidung tampak kecil dan pesek .
Telinga pendek dan terletak agak
rendah. Mulut terdapat palatum tinggi, melengkung sempit, tulang orbita kecil, lidah menonjol keluar , mungkin terpisah dibagian bibir dan
13
14
memiliki alur dibagian permukaanya, mandibula hipoplastik, melengkung kerah bawah (terutama terlihat ketika menangis), mulut terus terbuka. Rambut terlihat jarang dan halus. Gigi terlambat tumbuh dengan kesejajaran tidak normal umum terjadi, mikrodontia. Dada terdapat tulang iga memendek dengan anomali pada iga kedua belas. Leher memiliki kulit berlipat dan kendur, pendek dan besar. Abdomen membuncit, otot kendur. Genitalia pria terdapat penis kecil dengan riptorkidisme, pada wanita terdapat vulva bulat. Tangan besar dengan jari-jari tangan pendek dan gemuk, jari kelingking melengkung, terdapat lipatan telapak tangan melintang (simian crease). Kaki anak dengan sindrom down mempunyai jarak yang lebar antara ibu jari kaki dengan jari telunjuk pada jari kaki. Muskoloskeletal terdapat hiperfleksibelitas dan kelemahan otot (Wong, 2008). e. Diagnosis Sindrom down dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis yang khas serta ditunjang oleh pemeriksaan kromosom untuk melihat abnormalitas genetik (Wong, 2008) . Menurut Soetjeningsih (1995) dalam mendiagnosa anak sindrom down diperlukan pemeriksaan radiologi pada kasus yang tidak khas, pemeriksaan radiologi akan didapatkan “brachycephalic”, sutura dan fontanela yang terlambat menutup. Selanjutnya dapat dilakukan pemerikasaan kariotiping pada semua penderita sindrom down yang bertujuan untuk mencari adanya translokasi kromosom. Jika ditemukan, maka kedua ayah dan ibunya harus diperiksa, bila salah satu ayah atau
14
15
ibunya karier, maka keluarga lainnya juga perlu diperiksa, hal ini sangat berguna untuk pencegahan, kemungkinan terulang pada orang tua karier dengan kejadian sindrom down yang disebabkan translokasi kromosom adalah 5-15%, sedangkan trisomi 1%. Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan cairan amnion atau vili korionik, dapat dilakukan secepatnya pada kehamilan tiga bulan, dengan kultur jaringan dan kariotiping. Diagnosis antenatal perlu pada ibu hamil yang berumur lebih dari 35 tahun, atau pada ibu yang sebelumnya pernah melahirkan anak dengan sindrom down. Jika didapatkan bahwa janin yang dikandung menderita sindrom down, maka dapat ditawarkan terminasi kehamilan kepada orang tuanya. Pemeriksaan sindrom down secara klinis pada bayi sering kali meragukan, maka pemeriksaan dermatoglifik (sidik jari, telapak tangan dan kaki), pada sindrom down menunjukan adanya gambaran yang khas. Dermatoglifik ini merupakan cara yang sederhana, mudah dan cepat serta mempunyai ketepatan yang cukup tinggi dalam mendiagnosis sindrom Down (Winata ,1993 dalam Soetjiningsih, 1995) f. Penatalaksanaan Walaupun tidak ada obat untuk sindrom down sejumlah terapi telah disarankan, seperti pembedahan untuk mengoreksi anomali kongenital dan kemungkinan cacat fisik. Anak ini juga akan mendapatkan manfaat dari perawatan medis yang teratur, anak dengan sindrom down memerlukan penanganan secara multidisiplin. Selain penangan medis, pendidikan anak juga perlu mendapat perhatian serta partisipasi dari
15
16
keluarga khususnya orang tua (Wong, 2008). Memberikan dukungan pada orang tua dalam merawat anak sindrom down.
Dengan memberikan
dukungan pada orang tua pada anak sindrom down, akan membentuk suatu keinginan yang kuat dalam merawat anak dengan baik. Memberikan informasi pada orang tua untuk melakukan intervensi dini pada anak sindrom down dengan melakukan stimulasi sensori dini, latihan khusus yang mencakup aktivitas motorik kasar dan halus, serta memberikan petunjuk pedoman pada orang tua agar anak mampu berbahasa. g. Prognosis Harapan hidup untuk anak yang menderita sindrom Down telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir tetapi tetap lebih rendah dibandingkan populasi umum. Lebih dari 80% bertahan sampai usia 30 tahun dan diatas 30 tahun. Seiring dengan prognosis yang semakin baik untuk individu ini, penting untuk memenuhi kebutuhan perawatan, kesehatan jangka panjang, sosial, dan waktu luang mereka (Carr 1994 dalam Wong, 2008). B. Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus Orang tua teridiri dari ayah dan ibu. Tanggung jawab orang tua ialah memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak, baik dari sudut organis yaitu makanan dan kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan akan perkembangan intelektual melalui pendidikan, kebutuhan akan rasa dikasihi, dimengerti, dan rasa aman melalui perawatan, asuhan, serta kasih dan sayang (Gunarsa, 2004). Syok dan pengingkaran dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan, dan akan dapat berlangsung lebih panjang, contohnya
16
17
pengingkarang yang mungkin ditunjukan pada saat diagnosis, meliputi melakukan pemeriksaan lebih dari satu dokter, menghubungkan gejala penyakit aktual dengan kondisi minor, menolak untuk mempercayai uji diagnostik, menunda persetujuan terhadap terapi, bertingkah sangat gembira dan
optimis
walaupun
diagnosis
telah
terungkap,
menolak
untuk
memberitahu keadaannya dengan siapapun, mengingkari alasan masuk rumah sakit. Pada umumnya, mekanisme ini harus dihargai sebagai respon jangka pendek yang memungkinkan individu memberi jarak pada diri sendiri dari adanya dampak emosional orang tua dengan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan tujuan tertentu, yaitu perilaku pemecahan masalah. Pada beberapa contoh, berbagai indikator pengingkaran sebenarnya dapat menjadi prilaku adaptif. Dengan mencari pendapat dari profesi lain, menunjukan bahwa orang tua tidak memperoleh jawaban dari pertanyaan yang ditanyakan, sehingga orang tua mencari pendekatan yang berbeda untuk penatalaksanaan agar dapat memenuhi kebutuhan anak dan keluarga secara baik. Bagi setiap keluarga khususnya orang tua, penyesuaian setelah syok terjadi secara bertahap dan biasanya ditandai dengan pengakuan terbuka bahwa kondisi tersebut nyata. Pada tahapan penyesuaian, dapat disertai beberapa respon yang merupakan suatu bagian dari adaptasi. Perasaan yang paling universal adalah rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Sering kali rasa bersalah berasal dari asumsi yang salah bahwa ketidakmampuan orang tua dalam melakukan sesuatu yang benar selama kehamilan atau kelahiran. Rasa bersalah juga dapat dihubungkan dengan keyakinan budaya
17
18
dan agama. Beberapa orang tua meyakinkan bahwa kondisi yang menimpanya merupakan suatu hukuman dari beberapa tindakan jahat yang pernah orang tua lakukan sebelumnya. Adapula orang tua yang melihat kondisi anak yang berkebutuhan khusus sebagai suatu pengorbanan yang dikirim tuhan untuk menguji kekuatan dan keyakinan agama mereka. Dengan adanya suatu informasi, dukungan dan waktu yang tepat, sebagian besar orang tua dapat menguasai rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Kemampuan dalam menguasai perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan penerimaan orang tua terhadap anak (Wong, 2008). C. Stres Stres adalah suatu keadaan yang dinamis yang berlangsung setiap kali manusia berinteraksi dengan lingkungan yang bertujuan memelihara keseimbangan pertumbuhan, perkembangan dan perbuatan yang meliputi pertukaran energi dan informasi atara individu dan lingkungan guna mengatur stresor (Tomey & Alligoog,1998 dalam Asmadi,2008 ). Stres merupakan suatu hal yang menjadi bagian dari kehidupan manusia, yang bersumber dari dalam diri individu, keluarga maupun dalam komunitas dan masyarakat. Menurut Colman (2001 dalam Nasir & Muhith, 2011) stres dapat didefinisikan sebagai suatu stres psikologis dan fisik yang merupakan ketegangan disebabkan oleh fisik, emosi, sosial, ekonomi, pekerjaan, keadaan, peristiwa atau pengalaman yang sulit untuk mengelola atau bertahan.
18
19
Stres adalah kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau diluar batas kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dengan demikian, stres dapat diartikan bahwa stres merupakan suatu sistem pertahanan tubuh, dimana terjadi sesuatu yang mengganggu integritas diri, sehingga mengakibatkan terganggunya ketentraman yang dimaknai sebagai suatu tuntutan yang harus diselesaikan (Nasir & Muhith,2011). Menurut Taylor (1991 dalam Nasir & Muhith,2011) Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek sebagai berikut : a. Respon fisiologis Respon fsiologis dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, nadi, dan sistem pernafasan. b. Respon kongnitif Respon kongnitif dapat terlihat melalui terganggunya proses kongnitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikirin tidak wajar. c. Respon emosi Respon emosi akan dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. d. Respon tingkah laku Respon tingkah
laku dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan
situasi yang menekan dan filght yaitu menghindari situasi yang menekan.
19
20
Hans selye (1946 dalam Nasir & Muhith, 2011) telah melakukan riset terhadap dua respon fisiologis tubuh terhadap stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS). 1) Local Adaptation Syndrome (LAS) Local Adaptation Syndrome adalah suatu mekanisme tubuh dalam mengatasi dan mengontrol efek fisik penyebab stres. Tubuh akan menghasilkan banyak respon setempat terhadap stres. Respon setempat ini termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya dan sebagainya. Respon ini berjangka pendek, berikut ini adalah karakteristik LAS : a. Respon terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem. b. Respon
bersifat
adaptif,
maka
diperlukan
stresor
untuk
menstimulasikannya. c. Respon bersifat jangka pendek dan tidak terus-menerus. d. Respon bersifat restoratif. 2) General Adaptation Syndrome (GAS) General Adaptation Syndrome merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap sters, disertai gejala-gejala tertentu yang muncul melalui sistem saraf otonom
dan sistem endokrin.
Reaksi General
Adaptation Syndrome (GAS) terjadi dalam tiga tahap, yaitu : a. Fase alarm (waspada) Fase alarm merupakan fase yang melibatkan pengarahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stesor. Dalam fase ini,terjadi reaksi psikologis fight or flight dan
20
21
reaksi fisiologis. Pada fase ini tubuh mengaktifkan hormon yang dapat membuat terjadinya peningkatan volume darah, yang pada akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan guna menyiapkan energy untuk keperluan adaptasi. Teraktivasinya epinefrin dan norefineprin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan terjadi peningkatan aliran darah ke otot. Selain itu, juga terjadi peningkatan ambilan O2 (oksigen) dan meningkatnya kewaspadaan mental. Dengan aktivitas hormonal yang luas ini, individu melakukan persiapan untuk melakuakan “respon melawan atau menghindar”. Respon ini berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam. Bila stresor ini masih menetap, maka individu akan masuk dalam fase resisteni. b. Fase resistence (resistensi/melawan) Dalam fase ini individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh akan berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya pada keadaan normal, dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Bila teratasi, gejala stres akan menurun dan tubuh akan kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah dan curah jantung. Hal ini terjadi karena individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stresor, bila individu tersebut berhasil maka tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak , dan bila gagal, maka individu tersebut akan masuk kedalam tahapan terakhir dari general adaptation syndrome, yaitu fase kehabisan tenaga.
21
22
c. Fase exhaustion ( kelelahan) Fase ini merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi yang dipakai dalam penyesuain sudah terkuras dan akibatnya akan timbul gejala penyesuain diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner dan sebagainya. Bila usaha untuk melawan tidak dapat diusahakan lagi, maka kelelahan akan mengakibatkan kematian. Pada tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu dalam menghadapi stres. Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap stresor inilah yang akan berdampak pada kematian. Respon stres pada orang tua dengan anak sindrom down berdasarkan penelitian Cuskelly, dkk (2007) merujuk pada respon emosional dari orang tua untuk tuntutan peran pengasuhan, seperti merasa terisolasi, terjebak, kewalahan dengan tanggung jawab pengasuhan anak sindrom down. D. Stresor Stresor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stresor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial dan lingkungan luar lainnya (Patel,1996 dalam Nasir & Muhith,2011). Secara garis besar, stresor bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
22
23
1) Stresor mayor, yaitu berupa major live events yang meliputi peristiwa kematian orang yang disayangi, masuk sekolah pertama kali dan perpisahan. 2) Stesor minor, yaitu biasanya berawal dari stimulus tentan masalah hidup sehari-hari, misalnya ketidakseimbagan emosional terhadap hal-hal tertentu sehingga menyebabkan munculnya stress. Taylor memandang stresor sebagai suatu kejadian yang dapat berpotensi timbulnya stres, berikut ini merupakan beberapa karakteristik kejadian yang berpotensi dan dinilai dapat memicu terjadinya stesor: 1. Kejadian negatif 2. Kejadian yang tidak terkontrol dan tidak terprediksi 3. Kejadian “ambigu” (kejadian yang tidak jelas) 4. Manusia yang tugasnya melebihi kapasitas (overload) lebih mudah mengalami stres daripada orang yang memiliki tugas lebih sedikit. Ada beberapa sumber stres yang berasal dari lingkungan, diantaranya adalah lingkungan fisik, seperti: polusi udara, kebisingan, kesesakan, lingkungan, serta kompetisi hidup yang tinggi (Howart dan Gilham,1981 dalam Nasir & Muhith,2011). Selain itu, sumber sters yang lain meliputi halhal sebagai berikut : 1) Dalam diri individu Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Pendorong dan penarik konflik menghasilkan dua kecendurungan yang berkebalikan, yaitu
23
24
approach dan avoidance. Kecendrungan ini menghasilkan tipe dasar konflik, yaitu sebagai berikut : a. Approach-approach conflict Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik. b. Avoidance-avoidance conflict Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak menyenangkan. c. Approach-avoidance Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam satu tujuan atau situasi. 2) Dalam keluarga Perilaku, kebutuhan dan kepribadian tiap anggota keluarga yang berbeda-beda mempunyai pengaruh besar pada saat berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, kadang menimbulkan suatu konflik dalam keluarga dengan berbagai macam perilaku, kebutuhan dan kepribadian. Konflik interpersonal dapat timbul sebagai akibat dari masalah keuangan, tujuan yang bertolak belakang. Dari banyak stresor dalam keluarga, ada tiga hal yang paling sering terjadi , yaitu sebagai berikut : a. Bertambahnya anggota keluarga dengan kelahiran anak yang dapat menimbulkan stres yang berkaitan dengan masalah keuangan (bertambahnya anak, bertambah pula biaya pengeluran), masalah
24
25
kesehatan, dan ketakutan bahwa hubungan antara suami istri dapat terganggu. b. Perceraian dapat menghsilkan banyak perubahan yang penuh dengan stres untuk semua anggota keluarga karena mereka harus menghadapi perubahan dalam status sosial, pindah rumah, dan perubahan kondisi keuangan. c. Anggota keluarga yang sakit, cacat, dan mati, yang pada umumnya memerlukan adaptasi, kemampuan untuk mengatasi perasaan sedih atau duka yang mendalam dan kesabaran. 3) Dalam komunitas dan masyarakat Kontak dengan orang diluar keluarga merupakn banyak sumber stres, misalnya pengalaman anak disekolah dan persaingan. Berdasarkan penjelasan diatas, maka stresor atau hal-hal yang menyebabkan terjadinya stres dapat berupa foktor-faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan disekitar individu (baik fisik maupun social).
Stesor orang tua dengan anak sindrom down Anak dengan sindrom down memiliki resiko lebih tinggi akan masalah kesehatan dibandingkan dengan anak-anak normal. Beberapa masalah yang erat kaitannya dengan anak sindrom down, seperti: kelainan jantung, kepekaan terdadap infeksi pada mata maupun kelainan pada bentuk otak. Cacat tambahan seperti usus pendek, tidak beranus/dubur, lemah otot maupun kerusakan syaraf yang menyebabkan anak mengalami retardasi mental. Pada usia dewasa kemungkinan terserang penyakit Alzhimer
25
26
(kehilangan
sebagian
besar
memori)
lebih
besar
25%
dibandingkan dewasa normal yang hanya 6%. Dengan adanya resiko yang tinggi tehadap masalah kesehatan, maka diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pemerikasaan rutin dan perawatan khusus, pendidikan khusus, serta terapi-terapi dalam mengoptimalkan perkembangan anak (Jhonston dan Hull, 2008). Berdasarkan sebuah penelitian Cram Hauser, dkk (2001) dengan pengumpulan data longitudinal selama tujuh tahun (anak usia 3 sampai 10 tahun) yang terkait dengan pengalaman pengasuhan orang tua pada anak sindrom down, didapatkan tuntutan dalam pola asuh perawatan anak dalam membesarkan anak dengan sindrom down meningkat untuk kedua orang tua yaitu ibu dan ayah, peningkatan ini lebih besar dialami oleh ibu pada anak dengan sindrom down yang mengalami gangguan motorik dan dengan keterlambatan perkembangan. Respon orang tua yang sangat kritis pada akhirnya secara langsung akan mempengaruhi reaksi anggota keluarga lain dan koping anak itu sendiri. E. Koping dan Strategi Koping Koping merupakan suatu tindakan yang mengubah kongnitif secara konstan dan usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Koping yang efektif adalah koping yang membantu seseorang untuk
26
27
menoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainnya ( Lazarus dan Folkman,1984 dalam Nasir & Muhith, 2011). Setiap orang akan menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan stess yang sedang di deritanya. Banyaknya sumber koping yang tersedia, memungkinkan untuk setiap individu memilih satu bahkan lebih sumber koping. Setiap individu dari semua umur dapat mengalami stres dan mencoba mengatasinya, ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyamanan, hal ini membuat seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu demi mengurangi stres, usaha yang dilakukan oleh individu tersebut merupakan bagian dari koping. Koping adalah suatu proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang dinilai dalam suatu kejadian maupun keadaan yang penuh tekanan ( Nasir & Muhith, 2011).
Menurut Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011) dalam melakukan koping, ada dua strategi yang bisa dilakukan : 1. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping). problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. problem focused coping ditunjukan dengan mengurangi demans dari
27
28
situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinnya. Seseorang akan cenderung menggunakan metode problem focused coping apabila mereka percaya bahwa sumber atau demans dari situasi dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem focus coping antara lain sebagai berikut : a. Confrontative coping : usaha untuk mengubah suatu keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko. b. Seeking
social
support
:
usaha
untuk
mendapatkan
kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain. c. Planful problem solving : usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap dan analisis. 2. Emotional Focused Coping Emotional focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon
emosional
dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotional focused coping ditunjukan untuk mengontrol repon emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kongnitif. Strategi yang digunakan dalam emotional focused coping, yaitu sebagai berikut :
28
29
a. Self-control Usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan. b. Distancing Usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan –pandangan yang positif, seperti menggangap masalah sebagai lelucon. c. Positive reapparsial Usaha
mencari suatu makna positif dari permasalahan
dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius. d. Accepting responsibility Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dari permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuannya menjadi lebih baik. e. Escape/avoidance Usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obatobatan.
29
30
individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam
menghadapi
masalah-masalah
yang
menurut
mereka
dapat
dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotional focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol. Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh individu (Taylor,1991 dalam Nasir dan Muhith, 2011).
30
31
F. Kerangka Teori Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijabarkan sebelumnya, penulis membuat skema kerangka teori yang merupakan gabungan dari teori Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011), Wong (2008), Jhonston dan Hull (2008). Orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down
Stresor :
Masalah kesehatan Perawatan khusus Biaya Pendidikan khusus terapi-terapi
Sumber koping : -
Ekonomi Keterampilan & Kemampuan Teknik pertahanan Dukungan sosial motivasi
Strategi coping
Problem focused coping
Emotional focus coping
Adaptif / Maladaptif
Sumber : Gabungan Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011), Wong (2008), Jhonston dan Hull (2008).
31
32
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN DEFINISI ISTILAH A. Kerangka konsep Bab III ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka konsep, pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam yang berkaitan dengan “strategi coping orang tua pada anak yang menderita dwon sindrom”.
Kerangka konseptual
dituangkan dalam skema sebagai berikut. Orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down
Strategi coping
Problem focused coping
Emotional focus coping
Bagan 3.1 kerangka konsep menurut Lazarus (1984 dalam Nasir & Muhith, 2011)
33
Definisi istilah Komponen
Definisi
Metode
Alat ukur
Informan Orang tua
Hasil ukur
1. Stresor
faktor-faktor dalam kehidupan Wawancara manusia yang mengakibatkan mendalam terjadinya respon stress
Pedoman wawancara
Stresor
2. Strategy coping
Suatu usaha tingkah laku untuk Wawancara mengatasi tuntutan internal atau mendalam eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu
Pedoman wawancara
Orang tua
Strategi koping
a. Problem focused coping
Strategi koping yang dilakukan Wawancara untuk mengatasi stres dengan cara mendalam mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya stres.
Pedoman wawancara
Orang tua
Problem focused coping
b. Emotional focused coping
Strategi koping yang mengatasi Wawancara stres dengan cara mengatur mendalam respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan
Pedoman wawancara
Orang tua
Emotional focused coping
34
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan rumusan masalah deskriptif yang dapat memandu peneliti untuk mengeksplorasi masalah yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam. Dengan menggunakan instrument pedoman wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi yang jelas, luas dan akurat . Penelitian kualitatif memiliki sifat holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), meliputi aspek tempat (pleace), pelaku (actor) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, 2011). B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2012. C. Instrument Penelitian Instrument yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara in-dept interview (wawancara mendalam) dengan menggunakan pedoman wawancara dan alat perekam suara. Alat perekam yang digunakan peneliti yaitu berupa recorder digital handphone dengan pertimbangan durasi yang lebih panjang kurang lebih 120 menit dan pemutaran hasil rekaman ulang akan lebih mudah dibandingkan dengan tape recorder manual. Dengan pertimbangan sebelumnya handphone tersebut menggunakan simcard yang
35
baru sehingga tidak mengganggu proses pengumpulan data. Bila menggunakan tape recorder manual yang menggunakan kaset perekam, peneliti mengalami kesulitan pada saat memutar ulang kaset sehingga pita kaset tersebut mudah kusut dan menyulitkan proses penulisan laporan hasil penelitian, maka peneliti menggunakan tape recorder digital berupa handphone. Sebelum melakukan perekaman, peneliti meminta izin terlebih dahulu untuk melakukan perekaman. D. Populasi Populasi adalah sebagai suatu wilayah generalisasi yang terdiri atas objek maupun subjek yang memnpunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugioyono, 2011). Populasi pada penelitian ini adalah semua orang tua siswa maupun siswi yang terdiagnosa sindrom down dan masih tercatat aktif bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negri 1 Jakarta yang berjumlah tujuh orang siswa. E. Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti (Sugiyono, 2011). Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber atau informan yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan cara pengambilan sampel sebelum pengumpulan data yaitu teknik pengambilan sampel sumber data berdasarkan keanggotaan dalam subkelompok dengan karakteristik yang sama atau tipe homogeneous sampling (Creswell, 2008) yang akan dilakukan di SLB (sekolah luar biasa)
sesuai dengan karakteristik informan dengan jumlah sampel
35
36
sebanyak tujuh partisipan orang tua (bapak/Ibu ) dari lima siswa anak sindrom down. Dari berbagai referensi penelitian kualitatif tidak ditentukan batas minimal jumlah sampel sebagai informan yang akan diteliti, apabila data yang diperoleh dari informan sudah mencapai saturasi (data telah jenuh atau informan melakukan pengulanggan informasi sehingga informan tidak lagi memberikan informasi yang baru) maka jumlah sampel yang telah ditentukan sudah cukup. Sumber informasi atau partisipan dalam penelitian ini yaitu : 1. Partisipan utama Partisipan utama ini terdiri dari orang tua pada anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah di SLB (sekolah luar biasa) dengan jumlah lima orang, dengan kriteria : a. Orang tua pada anak yang menderita sindrom down yang masih aktif bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negri 1 jakarta. b. Sehat jasmani dan rohani. c. Bersedia diwawancarai. 2. Partisipan pendukung Partisipan ini terdiri dari 2 orang guru yang masih aktif mengajar di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta yang memiliki siswa dikelasnya menderita sindrom down. Partisipan tersebut merupakan suatu sumber informasi yang akan membantu peneliti dalam melakukan validasi data.
36
37
F. Teknik Pengumpulan Data 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data akan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2012. Pengumpulan data dilakukan peneliti dengan openended interview (wawancara terbuka atau tidak terstruktur), openended interview akan memberikan informasi yang lebih dalam tentang partisipan terhadap fenomena yang akan diteliti (Creswell, 2008). Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang memberikan kebebasan terhadap partisipan dalam memberikan jawaban, dimana pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan pada partisipan, wawancara ini dilakukan dengan face to face (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini, wawancara dilengkapi alat perekam suara dan cacatan lapangan seperti dalam melakukan penulisan Analisa Proses Interaksi (API) untuk mengedentifikasi respon non verbal informan, seperti menanggis, sedih, gembira dan sebagainya, serta mencatat semua percakapan. Data yang dikumpulkan oleh peneliti sudah dianggap memadai apabila telah sampai ketaraf “saturacy” (data telah jenuh, ditambah sampel tidak lagi memberikan informasi yang baru atau jika partisipan sudah mulai terjadi pengulangan informasi). 2. Tahap Pengumpulan Data a. Tahap Persiapan Pengumpulan Data Peneliti sebelumnya mengurus surat izin untuk melakukan pengumpulan data, surat izin penelitian diberikan kepada kepala
37
38
sekolah dan kepada responden yang akan diteliti. Setelah memperoleh izin dari kepala sekolah dan responden, selanjutnya peneliti mulai melakukan observasi kesetiap kelas yang terdapat siswa dengan anak sindrom down, kemudian peneliti mengadakan pertemuan dengan partisipan utama dan partisipan pendukung untuk menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian serta kriteria yang dipilih sebagai partisipan dan memberikan informed consent pada partisipan untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian ini. Setelah partisipan memberikan pernyataan kesediaannya dengan menandatangani lembar persetujuan, maka peneliti melakukan proses pengambilan data dengan melakukan teknik open-ended interview. Sebelum melakukan wawancara, peneliti membina hubungan saling percaya dengan partisipan dengan melakukan pendekatan awal, agar partisipan dapat lebih terbuka memberikan informasi. Setelah responden mulai menunjukan sikap terbuka dan saling percaya dengan peneliti, maka peneliti membuat penawaran dengan partisipan terlebih dulu, waktu, tempat dan durasi wawancara. Kemudian peneliti meminta izin kembali untuk melakukan pertemuan selanjutnya setelah selesai pengambilan data bila ada data yang kurang atau hilang. b. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data Pada tahap pelaksanaan pengumpulan data, data yang dikumpulkan
merupakan hasil dari perolehan informasi yang
diberikan oleh responden, kemudian informasi tersebut digunakan
38
39
peneliti sebagai data yang dibutuhkan dalam penulisan suatu laporan penelitian dengan mengkategorikan informasi yang diberikan responden sehingga hasil informasi tersebut menjadi subtema dan tema. Wawancara pertama dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara garis-garis besar tentang strategi koping orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down, wawancara dilakukan dengan (face to face) untuk memperoleh informasi secara jelas dan mendalam. Dengan face to face peneliti memperoleh pandangan yang menyeluruh tentang strategi koping serta mendapatkan pengalaman langsung terhadap fenomena yang diteliti dan menemukan hal-hal yang tidak terungkap oleh partisipan dalam wawancara sehingga akan menguatkan data yang diperoleh. Bila dengan pertanyaan yang diberikan kurang dipahami oleh partisipan, maka peneliti menggunakan pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan untuk menguraikan pertanyaan inti. Dalam ini peneliti durasi wawancara berlangsung selama 20-60 menit, Sehingga informasi yang didapatkan dari partisipan lebih dalam dan luas terhadap strategi koping yang digunakan oleh orang tua yang menderita anak dengan sindrom down. Data yang dikumpulkan peneliti merupakan data yang sudah jenuh dimana data tersebut merupakan informasi yang diperoleh dari reponden yang berlangsung secara terus menerus sampai tuntas hingga jawaban yang diberikan sama.
39
40
Dengan metode wawancara ini peneliti tidak hanya mendapatkan informasi secara lisan saja, akan tetap peneliti juga akan mendapatkan nilai kebenaran yang dikatakan oleh responden, membaca mimik muka partisipan, serta memberikan penjelasan bila pertanyaan tidak dimengerti partisipan (Notoatmodjo, 2010). Patton dan Molleong (2002 dalam Sugiyono, 2011) menggolongkan enam jenis pertanyaan dalam wawancara, yaitu pertanyaan
yang
berkaitan
dengan
pengalaman,
pendapat,
perasaan, pengetahuan, indera dan berkaitan dengan latar belakang atau demografi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman dan perasaan. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti membuat catatan lapangan yang berupa hal-hal penting atau kata-kata kunci dan gambaran ekspresi non-verbal partisipan serta hal-hal lain yang dianggap penting untuk memperkaya data penelitian dan menggunakan alat perekam. c. Tahap Penutupan Diakhir proses wawancara, peneliti melakukan terminasi pada semua partisipan dengan melakukan validasi hasil wawancara yang
sudah
dilakukan
selama
penelitian,
setelah
peneliti
menganalisa data dengan menggunakan analisa tematik sehingga tergali subtema dan tema. Setelah peneliti mendapatkan tema dari informasi tersebut peneliti kembali mendatangi responden untuk memvalidasi atau mengecek ulang informasi yang diberikan
40
41
responden. Kemudian peneliti mengucapkan terimakasih serta menyatakan penelitian telah selesai.
G. Validasi Data Untuk menjaga validasi data, maka peneliti menggunakan metode validitas internal dengan melakukan triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini dapat diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Triangulasi meliputi (Sugiyono, 2011) 1. Triangulasi Sumber Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data dari sumber yang berupa informan berbeda-beda. Data yang telah dianalisis akan menghasilkan suatu kesimpulan yang akurat. 2. Triagulasi Teknik Triangulasi teknik dilakukan untuk menguji kreadibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data yang diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dokumentasi atau kuesioner. Bila dengan menggunakan teknik tersebut mendapatkan hasil yang berbeda-beda, maka peneliti akan melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data untuk memastikan data mana yang dianggap benar, atau mungkin semua benar karena sudut pandangnya berbeda-beda.
41
42
3. Triangulasi Waktu Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat nara sumber masih segar, sehingga partisipan belum mempunyai banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kreadibel. Pengujian kreadibilitas data dlakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda maka dilakukan secara berulangulang hingga mendapatkan kepastian data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas dengan melakukan pengecekan triangulasi teknik dan triangulasi sumber untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid, realible dan objektif.
H. Teknik Analisis Data Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down. Analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan metode fenomenologi yang dikembangkan oleh Colaizzi (1978). Langkah-langkah analisis data berdasarkan Colaizzi (1978) dalam Streubert (2003), meliputi: 1. Peneliti mencatat semua simbol yang didapatkan dari responden tentang fenomena yang diteliti yaitu strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down.
42
43
2. Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai stresor dan membuat transkip. Data yang dianggap penting kemudian dilakukan pengkodean data. 3. Mendengar ulang hasil wawancara dan membaca semua gambaran partisipan secara berulang-ulang dari fenomena yang dialami partisipan mengenai strategi koping yang dilakukan oleh orang tua pada anak yang menderita sindrom down sampai diperoleh pemahaman yang benar 4. Membaca ulang catatan asli dan kutipan pertanyaan penting dengan mengelompokkan kata kunci dari partisipan mengenai strategi koping. 5. Membaca ulang kembali data yang sudah didapatkan. 6. Tulis ulang kembali data yang ada, kemudian peneliti membentuk pegertian dari kelompok tema dengan membuat sub-tema dan kategori. 7. Selanjutnya mengintegrasi hasil analisis ke dalam bentuk deskriptif dengan mengambil tema dari kategori yang sudah dianalisa. 8. Peneliti membaca kembali data dalam pembentukan kategori data hasil penelitian untuk dijadikan tema. 9. Membuat abstraksi dari tema yang sudah ditentukan ( Streubert dan Carpenter, 2003)
43
44
Gambaran proses analisis data
Memiliki gambaran yang jelas tentang fenomena yang diteliti
Menggabungkan data yang baru diperoleh saat dilakukan validasi
Mencatat data yang diperoleh (hasil wawancara)
Kembali ke responden untuk klarifikasi data hasil penelitian
Membaca transkrip secara berulang-ulang
Mengintegrasikan hasil analisis ke dalam bentuk deskriptif
Mengelompokkan kata kunci
Merumuskan tema
Membuat kategori-kategori
Gambar 4.2 Teknik analisa data Colaizzi (1978) Sumber: Streubert & Carpenter (2003).
I. Etika Penelitian Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (partisipan) dan masyarakat yang akan memperoleh hasil penelitian tersebut (Notoatmojo, 2010). Etika penelitian ini bertujuan untuk menjaga privasi dan kerahasiaan informan, serta peneliti memberikan kebebasan kepada partisipan untuk memberikan informasi atau tidak memberikan informasi (tidak berpartisipasi). Sebelum
44
45
melakukan pengumpulan data, peneliti meminta izin kepada Kepala Sekolah Luar Biasa Negri 1 Jakarta dengan menyerahkan surat permohonan melakukan pengambilan data untuk proposal penelitian dan penelitian. Sesuai dengan kode etik, sebelum peneliti melakukan penelitian untuk mendapatkan suatu informasi dari partisipan, maka peneliti menggunakan pendekatan kepada partisipan dengan menjelaskan tentang isi surat persetujuan menjadi partisipan yang berisi tetang jaminan kerahasiaan identitas partisipan dan tujuan dari penelitian. Peneliti selanjutnya meminta kesediaan partisipan untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut sebagai bukti kesediaan partisipan menjadi responden peneliti. Seluruh informasi yang mencantumkan identitas partisipan hanya digunakan sebagai pengolahan data dan bila sudah tidak digunakan maka data akan dihilangkan. Dengan adanya inform concent dari partisipan tersebut, artinya partisipan sudah mempunyai keterikatan dengan peneliti untuk memberikan informasi yang diperlukan peneliti. Peneliti dalam melakukan penelitian hendaknya memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta berpegang teguh pada etika penelitian, meskipun mungkin penelitian yang dilakukan tidak akan merugikan atau membahayakan bagi subjek penelitian. Secara garis besar, dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus dipegang teguh, yakni: a. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
45
46
b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privasi and confidentiality) c. Keadilan dan inklusivitas/ keterbukaan (respect for justice an inclusiveness) d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits)
46
47
BAB V HASIL PENELITAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Sejarah Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta SLB Negeri A persiapan B-C adalah sekolah negeri pertama di Jakarta didirikan oleh pemerintah dengan surat keputusan dari menteri pendidikan dan kebudayaan No.2/SK/B/III tanggal 13 maret 1862, yang terletak di jalan R.S. Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan. Sesuai surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan RI (Republik Indonesia) No.0384/0/1987 tanggal 1 Juli 1987, Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri A persiapan B-C dipindahkan dari R.S. Fatmawati, Cipete, Jakarta Selatan ke kompleks SLB A Pembina Tingkat Nasional, Jl. Pertanian Raya, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan. Berdasarkan surat keputusan Gubernur DKI Jakarta No.1368/2007 SLB Negeri A persiapan B-C Jakarta menjadi SLB Negeri 1 Jakarta, yang melayani satuan pendidikan TKLB (taman kanak-kanak luar biasa), SDLB (sekolah dasar luar biasa), SMPLB (sekolah menengah pertama luar biasa), dan SMALB (sekolah menengah atas luar biasa). Sejak tahun 2006 SLB Negeri 1 Jakarta oleh direktorat pembina sekolah luar biasa ditunjuk sebagai sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus untuk wilayak DKI Jakarta.
47
48
Data siswa SLB A persiapan B-C tahun 2010 untuk pendidikan TKLB (taman kanak-kanak luar biasa) berjumlah 6 siswa, SDLB (sekolah dasar luar biasa) 80 siswa, SMPLB (sekolah menengah pertama luar biasa) 67 siswa, dan SMALB (sekolah menengah atas luar biasa) 55. Dan peserta didik kursus keterampilan sebanyak 12 siswa. Jumlah total siswa SLB A persiapan B-C sebanyak 220 siswa. Sumber tenaga kerja SLB A persiapan B-C tahun 2010 sebagai guru dan pegawai berjumlah 57 orang, yaitu guru 47 orang, tata usaha 3 orang, tenaga kebersihan 4 orang, penjaga sekolah 2 orang, serta pustakawan 1 orang. 2. Visi dan Misi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakrta a. Visi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta Terwujudnya pelayanan pendidikan bagi anak berke butuhan khusus dan pendidikan layanan khusus menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, sehat, cerdas, terampil dan mandiri dalam masyarakat insklusif. b. Misi Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta 1. Mengurangi dampak gangguan melalui rehabilitasi, terapi ringan, keterampilan, dan lain-lain. 2. Meningkatkan
dan
memperluas
pengetahua,
wawasan, pengalaman dan sikap percaya diri melalui kegiatan belajar dan mengajar.
48
49
3. Meningkatkan
keterampilan
dan
memperluas
peluang kerja melalui program pilihan keterampilan pada bengkel kerja PLB Jakarta. B. Karakteristik Demografi Informan Dalam penelitan ini informan dibagi menjadi dua yaitu informan utama dan informan pendukung. Informan utama terdiri dari tujuh orang tua pada anak yang menderia sindrom down dan informan pendukung terdiri dari dua orang guru kelas yang didalam kelasnya terdapat siswa atau siswi yang terdiagnosa sindrom down. Peneliti melakukan wawancara mendalam pada orang tua dan guru setelah menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dan informan tersebut bersedia menjadi respoden dengan mengisi lembar informed consent. Secara
umum
gambaran
karakteristik
informan
yang
berhasil
diwawancarai adalah sebagai berikut a.
Partisipan Utama Tabel 5.1 karakteristik partisipan.
Keterangan
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Inisial
Tn. A
Ny. N
Tn. D
Tn. S
Tn. Z
Ny. M
Ny. P
Usia
50
46
50
56
59
54
47
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
tahun
Jenis
Laki-
Perem-
Laki-
Laki-
Laki-
Perem-
Perem-
kelamin
laki
puan
laki
laki
laki
puan
puan
Anak yang 3 dari 3 3 dari 3 2 dari 2 3 dari 3 4 dari 4 4 dari 4 1 dari 1 terdiagnosa
bersau-
bersau-
bersau-
bersau-
bersau-
bersau-
bersau-
sindrom
dara
dara
dara
dara
dara
dara
dara
49
50
down anak kePendidikan
SD
SLTP
SLTA
SLTA
SLTA
Buruh
Ibu
Karyaw Pensiun Pegawa
rumah
an
tangga
swasta
SLTA
SLTA
Ibu
Ibu
terakhir Pekerjaan
i swasta rumah
rumah
tangga
tangga
Tabel 5.2 Usia kehamilan responden No
Inisial
Usia Kehamilan
1
Ny. N
35 tahun
2
Ny. Q
47 tahun
3
Ny. M
43 tahun
4
Ny. P
39 tahun
Diketahui : a. Jumlah responden = 7 orang , (4 perempuan dan 3 laki-laki) b. Usia ibu saat kehamilan > 35 tahun = 4 orang Maka , 4/7 x 100 = 57,14 % Usia responden pada saat kehamilan rata-rata > 35 tahun, pada kehamilan usia ibu diatas 35 tahun maka ibu akan beresiko melahirkan anak dengan sindrom down dan diperkirakan terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan non50
51
disjunction pada kromosom. Dengan adanya perubahan hormon, maka akan terjadi perubahan pada endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar
hidroepiandrosteron,
menurunya
konsentrasi
estradiol
sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon) hal ini yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya “non-disjunction”.
b. Partisipan pendukung Tabel 5.3 karakteristik partisipan Keterangan
Informan pendukung 1
Informan pendukung 2
Inisial
Guru M
Guru N
Usia
37 tahun
38 tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Perempuan
Pendidikan terakhir
S1
S1
Pekerjaan
Guru Tetap kelas 1 Guru Tetap kelas 6 SLB SLB Negeri 1 Jakarta
51
Negeri 1 Jakarta
52
C. Analisis Data Setelah melakukan analisa data, peneliti mengidentifikasi 11 tema sebagai hasil penelitian ini. Proses pemunculan tema ini dapat dilihat pada lampiran, tema-tema tersebut dihasilkan berdasarkan tujuan peneliti. 1. Stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down Stresor pada orang tua dengan anak yang menderita sindrom down tergambar dalam lima tema, yaitu stresor internal, stresor eksternal, respon kongnitif, respon emosi dan respon tingkah laku. Masingmasing akan diuraikan dibawah ini Tema 1 : Stresor internal Stresor yang dialami oleh partisipan dalam tema ini, seperti adanya gannguan pertumbuhan dan perkembangan anak, harapan akan masa depan anak dan
kurangnya pengetahuan orang tua
terhadap sindrom down. Seluruh partisipan mempunyai stresor yang sama yang terjadi pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan sindrom down, seperti beberapa kutipan yang sebagai berikut : “saya kan orang awam, gak tau kelainan apa, saya taunnya kelainan aja, sadar-sadarnya pas udah lima tahun waktu terapi Rs.Famawati kalo ternyata anak saya down sindrom. Masalahnya anak saya itu lambat jalannya, bicaranya juga lambat….”(Tn. A)
52
53
“Masalahnya yaa..itu ngomongnya kurang jelas sampe sekarang, saya binggung itu otaknya belum bisa tanggep pelajaran,...” (Ny.N) “Aduh.. susah mba, saya gag sampai hati, ini batin mba, punya anak kaya gini ya banyaklah masalahnya (tampak sedih), anak saya ini perkembangannya kurang cepat, semuannya lambat, ngomongnya, yaa.. jalannya,...”(Tn.D) “Saya punya anak ini kok perkembangannya gini terus, lamban segala-galanya satu tahun lebih belum bisa jalan, sering sakit-sakitan….”(Tn.S) “Kok perkembangannya lambat, anak saya usia setahun setengah aja gak bisa apa-apa, duduk gag bisa, apaapanya lambat….” (Tn.Z) “rasanya dunia kaya mau kiamat waktu saya tahu anak saya sindrom down, masalahnya ya itu mba, kok waktu satu tahun lebih belum bisa jalan, sekarang aja ngomongnya lamban,….”(Ny.M) “Pokoknya
tumbuhnya
perkembangannya,
lambatlah,
berat
badannya,
ya sedihlah itu (mata ibu tampak
berkaca-kaca)” (Ny.P) Stresor yang dirasakan oleh partisipan pada anak dengan sindrom
down
tidak
hanya
53
ditemukan
dengan
gangguan
54
pertumbuhan dan perkembangan, dua orang partisipan mengatakan bahwa memiliki anak sindrom down, anak sering sakit-sakitan: “……,anak saya kalo sakit itu suka sampe dirawat, mundar mandir rumah sakit juga” (Tn.D) “……,anak saya itu sering sakit-sakitan, masuk rumah sakit sampe dirawat itu sering mba, sampe kritis dulu juga pernah, udah sehat pulang kerumah, eh sakit lagi, masuk kerumah sakit lagi”. (Ny.M) Harapan akan masa depan anak juga menjadi suatu stresor tersendiri bagi partisipan dalam merawat anak dengan sindrom down, orang tua merasa khawatir terhadap masa depan anak dimasa mendatang, seperti ungkapan beberapa partisipan berikut : “….,dipikiran saya itu..nanti gimana kedepannya? Apalagi kehidupannya
nanti
setelah
tidak
ada
saya?
(ibu
menanggis).”(Ny.N) “…., yang bikin saya khawatir itu gimana nantinya? Gimana kalo dia sudah gede? (mata tampak berkacakaca)”(Tn.D) “….,kedepannya bagaimana ini anak saya? (Tn.S)”. “….,
sekarang
aja
nantinya?”(Ny.M)
54
ngomongnya
lambat..
gimana
55
Kurangnya
pengetahuan
terhadap
informasi
yang
didapatkan oleh partisipan juga ditemukan pada penelitian ini, 2 partisipan mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang sindrom down, seperti ungkapan berikut : “….,saya kan orang awam, gak tau kelainan apa, saya taunya kelainan aja, sadar-sadar pas udah lima tahun waktu terapi di Rs.Fatmawati”.(Tn.A) “….,saya gak tau, saya taunya kelainan aja.. baru tau pas lagi terapi dikasih tau dokternya”(Tn.Z) Tema 2 : Stresor Eksternal Stresor eksternal yang teridentifikasi meliputi Stigma masyarakat : dipandang sebelah mata, dikucilkan, diejek, dan dihina. Penolakan anggota keluarga dan hambatan keuangan. Seperti ungkapan partisipan sebagai berikut ketika anaknya dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat : “Namanya anak kaya gini yaa mba.. saya sedih mba, anak saya itu dipandang sebelah mata sama orang lain, kaya gimana gitu liat anak saya (partisipan meneteskan air mata)” (Tn.D) “….(tampak sedih) ditambah lagi, naik angkutan umun aja diliatin, rasanya sakit mba.” (Ny,M)
55
56
Bukan hanya dipandang sebelah mata saja, tapi terkadang sebagian masyarakat juga menjauhi anak sindrom down tersebut, beberapa
ungkapan
2
partisipan
berikut
saat
anaknya
dijauhi/dikucilkan : “…., anak saya itu mau pegang adik kecil anak tetangga sebelah malah dijauhin sama orang tuannya, saya sih.. engga apa-apa.. Cuma sakit hati aja sama orang-orang, kok gitu banget.” (Tn.S) “… ya itu.. anak saya kalo lagi pengen main sama anak tetangga, eh malah pada ngejauh (mata tampak berkacakaca)” (Ny.M) Partisipan lain juga menggungkapkan saat anaknya diejek oleh orang-orang dilingkungan sekitar : “….,sering sekali anak saya diejek anak-anak seumuran dia, makannya anak saya maunya main sama orang yang sudah dewasa.”(Tn.A) “….kalo ada anak saya pasti langsung diejek, ejekannya seperti ini .. “ada…An.A… ada An.A… (partisipan tampak sedih)”. (Ny.N) “….,dilingkungan saya memang menerima, tapi tetap saja ada temannya dirumah yang suka mengolok-olok anak saya.”(Tn.Z)
56
57
“….,anak-anak suka mengolok-olok anak saya kaya gini … (Partisipan meneteskan air mata) An.D bego.., An.D bego, sedih juga.. Ya Allah..”(Ny.M) Pada saat dihina, juga membuat partisipan semakin tambah merasa terbebani dengan keadaan yang dialami olehnya, 2 partisipan mengungkapkan sebagai berikut: “….,Anak
saya
pernah
dihina
(wajah
tampak
murung)”(Tn.D) “…., yang membuat saya merasa tambah sedih dan beban itu karena ada orang yang menghina anak saya (mata tampak berkaca-kaca)”.(Ny.P) Penolakan dari anggota keluarga juga menjadi suatu stresor tersendiri bagi orang tua saat merawat anak dengan sindrom down, karena peran dalam keluarga sangat dibutuhkan dalam merawat dan membangun kasih sayang terhadap anak. Seorang partisipan mengemukakan alasan sang istri menolakan untuk merawat anaknya: “…..,belum lagi istri saya yang gag mau terima anak ini, memang dari sebelum hamil dia tidak mau punya anak, makannya waktu itu istri saya minum jamu biar haid, tapi gagal haid, akhirnya anak ini lahir, dan istri saya tidak mau merawat, jadi ya.. saya yang rawat” (Tn. Z)
57
58
Stresor lain juga diungkapkan oleh beberapa partisipan terhadap hambatan keuangan yang menambah beban saat melakukan terapi dan pengobatan : “ ya,,terapinya itu mahal.., saya kerjanya juga apa adanya”. (Tn. A) “sudah terapi mahal, belum lagi kalau uang saya habis.. saya sedih mba, jadi anak saya engga terapi dulu, jadi nunggu kalo ada rezekinya baru terapi lagi” (Tn.D) “…,Kalo biayanya udah gag kehitung, ya…masalahnya memang biayanya agak berat, waktu di Hembing itu terapinya mahal sekitar 300rb-500rb, obatnya juga mahalmahal, terus kita kudu beli buku juga”. (Tn.S) “….,biaya terapi juga mahal”(Tn.Z) “…,untuk masalah biaya terapi, saya dulu bayar sendiri, itu juga bikin saya binggung karna bapanya kan sudah pensiun ya akhirnya sempet ngga terapi dulu, kalo punya uang baru terapi lagi”(Ny.P). Semua partisipan utama mendapatkan stresor internal dan eksternal yang bervariasi. Orang tua tidak mengetahui apa itu sindrom down, karena sindrom down bukan penyakit yang sering didengar dikalangan masyarakat awam. Orang tua mengetahui anaknya terdiagnosa sindrom down bermacam-macam, ada yang
58
59
mengetahuinya sesaat setelah lahir dan ada yang sudah berjalan usia lima tahun baru tahu bahwa anaknya terdiagnosa sindrom down. Ketika tahu dari dokter, dan dokter menjelaskan tentang sindrom down, penyebab, pengobatan, serta perawatannya, maka tergalilah tiga tema
dari respon stresor tersebut, yaitu respon
kongnitif, respon emosi dan respon tingkah laku. Tema 3 : Respon kongnitif Tema ini muncul dari kategori binggung dan kepala saya pusing (banyak pertanyaan dikepala saya). Respon stresor binggung yang diungkapkan beberapa partisipan sebagai berikut : “Dalam hati saya, ada apa ini, kenapa memangnya? kelainan apaan? ..fisiknya normal… jadi saya masih binggung dan ga..tau, dikasih tahunnya pas satu minggu anak saya lahir, saya kan orang awam, ga.. tau kelainan apa, saya taunnya kelainan aja, sadar-sadarnya pas udah lima tahun waktu terapi Rs.Famawati kalo ternyata anak saya down sindrom. Ya saya sedih, mau digimanain lagi (mata tampak merah dan berkaca-kaca)” (Tn. A) “Awalnya saya ga tau kalo anak saya sindrom down, dokter waktu
itu
bilangnya
anak
saya
akan
terlambat
perkembangannya, saya binggung waktu itu”. (Ny.N)
59
60
Satu partisipan menggungkapkan pada saat mengetahui anaknya terdiagnosa sindrom down banyak pertanyaan terdapat dibenaknya hingga iya merasa pusing: “Waktu saya tahu anak saya sindrom down, kepala saya pusing, banyak sekali pertanyaan dikepala saya pada saat itu “nanti anak saya biasa apa? Bagaimana nanti ? Sekolah dmn? Ntar kedepannya bagaimana?”, itu pas usia anak saya dua bulan, kata dokter bilangnya ada kelainan, beda dari yang lain, saya kaget, pada saat hamil sehat-sehat saja gak ada apa-apa, lahir normal tapi kecil banget 1600gr
(mata
tampak
merah
dana
berkaca-kaca,
meneteskan air mata)”.(Tn.D) Tema 4 : Respon emosi Respon emosi yang teridentifikasi pada tema ini meliputi : sedih, kecewa, malu dan marah. Seperti ungkapan beberapa partisipan berikut : “… ya, seedihlah.. mau digimanain lagi (mata tampak merah dan berkaca-kaca)”(Tn.A) “….sedihlah pada saat itu (mata tampak berkaca-kaca)” (Tn. D)
60
61
“Saya ngomong sama ibu… ya kita terima ini anak kita mau digimanain lagi, saya kecewa dan nangis-nangis sambil doain dia..” (Tn. S) “Gimana ya rasanya perasaan saya...(ibu tampak sedih) karena dari sebelas anak dari ibu saya ya saya doang yang punya anak kaya begini. pertama ya malu, ya jengkel, pertama saya gag terima.. dosa apa saya ini, saya punya anak kaya gini.. apa saya dikutuk, apa gimana (ibu meneteskan air mata)” (Ny.M) “Pada saat saya tahu, saya pasrah aja.. ini titipan, ya kita terima, ngomong sama ibu ya kita terima ini anak kita mau digimanain lagi, saya kecewa dan nangis-nangis sambil doain dia..” (Tn. S) “Waktu lahir saya langsung di kasih tahu, Ya Allah… saya sempat kaget, sedih ya pasti, saya sudah dikasih seperti itu mau diapain lagi” (Ny.P). Tema 5 : Respon Tingkah laku Tema ini terdiri dari satu sub-tema yaitu dampak dari stresor yang muncul sebagai respon pasrah, kaget dan menangis. Dua partisipan menggungkapkan pasrah terhadap keadaan yang dialaminya :
61
62
“….,pada saat saya tahu, saya pasrah aja… inititipan, ya.. kita terima”.(Tn.S) “saya sudah dikasih seperti ini mau diapain lagi, say pasrah aja ..”(Ny.P) Tiga partisipan lain merasa kaget saat mengetahui anaknya terdiagnosa sindrom down, berikut ungkapannya : “…itu awalnya saya kaget banget, engga tau harus ngapain, kok bisa gitu anak saya seperti itu?”(Ny.N) “saya kaget, pada saat hamil sehat-sehat saja gak ada apaapa”. (Tn.D) “…Ya Allah…saya simpet kaget, kenapa begini?”(Ny.P) Beberapa partisipan berespon dengan menaggis, sebagai suatu bentuk dampak dari stresor yang dirasakannya : “….,anak saya itu kecil banget pas lahir beratnya saja hanya 1600gr (mata tampak merah dan meneteskan air mata), kecil banget mba, saya adzanin aja saya gag kuat, saya menaggis pada saat itu, sedihlah mba”.(Tn.D) “saya kecewa pada saat itu,kenapa harus saya? Saya menaggis sambil doa’in anak saya itu”(Tn.S) Menurut pandangan dua partisipan pendukung, partisipan pendukung tidak mengetahui dengan jelas respon orang tua pada
62
63
saat mengetahui anak mereka terdiagnosa down sindrom. Karena mereka rata-rata datang menyekolahkan anaknya disekolah luar biasa (SLB) mulai dari TK (taman kanak-kanak) dan SD (sekolah dasar), adapula yang dulu TKnya pernah bersekolah disekolah umum, Respon yang ditunjukan orang tua pada saat mengantarkan anaknya bermacam-macam, seperti kutipan berikut : “Alhamdulillah…karena
dari
awal
sebelum
masuk
kesekolahan ini, orang tua sudah tahu sedikit gambaran tentang kondisi anaknya karenakan sebelum masuk sekolah ini dites IQ dulu dan ada terapi psikologi untuk orang tua, jadi responnya mereka sangat baik, tapi ada juga yang malu ketika bertemu saya, lalu saya beri nasihat bahwa anak ini anak special, tak perlu malu, besoknya ibu itu sudah mulai terbuka dan mau bergabung dengan ibu-ibu yang lain. mereka rata-rata meneriman keadaan anaknya. Orang tua mensyukuri anugrah dari Allah, karena sudah dapat informasi dari psikologi jadi orang tua menerima ketika sudah mulai bersekolah”. (Ny.GN) “Orang tua rata-rata mengantarkan anaknya seperti biasa, karena pada awalnya kan sudah mendapatkan banyak informasi dari psikologi komite sekolah tentang anaknya, jadi pada saat masuk kelas, hanya mengantar saja dan sikapnya pun biasa saja”(Ny.GM)
63
64
2. Strategi koping yang digunakan orang tua yang berpusat pada masalah (problem focus coping) Hasil penelitian didapatkan bahwa semua partisipan utama menggunakan strategi koping berupa problem focus coping, yaitu usaha untuk mengatasi stress dengan cara mengubah atau mengatur masalah yang dihadapi. Koping ketujuh partisipan tergambar pada tema ke-enam, yaitu confrontative coping (usaha langsung).
Tema 6 : Confrontative coping (usaha langsung) Hasil penelitian didapatkan bahwa orang tua melakukan suatu bentuk usaha secara langsung ketika anaknya mulai menunjukan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan, dalam bentuk usaha secara langsung untuk mengatasi masalah yang ada, dengan cara membawa anaknya kedokter atau langsung terapi ke rumah sakit, ada juga yang diurut-urut dukun kampung, serta mengikuti saran-saran kuno lainnya dan menempatkan anak pada sekolah khusus. Hal ini merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, berikut ini adalah ungkapan partisipan yang menggunakan usaha langsung dengan melakukan pengobatan medis :
64
65
”pokoknya pas saya tahu anak saya down sindrom, saya langsung usaha kerumah sakit, untuk terapi, karena jalannya lambat, bicaranya juga lambat” (Tn.A) “…,ya saya juga terapi-terapi kerumah sakit, terapi jalan, terapi bicara walupun sedikit-sedikit terus terapi biar bisa bicara, ya pokoknya terapi jalan terus sampe akhirnya dia bisa jalan sekarang”. (Ny.N) “Pada saat itu saya disarankan terapi-terapi, saya ikutin terus itu terapi-terapi.. seperti terapi bicara, jalan, memegang suatu benda, gag lama terapi bisa jalan, terapi iya tetep jalan, rutin kedokter, saya usahain kemana aja terapi pokoknya harus berperan nanti anak supaya bisa mandiri. Setelah terapi-terapi semakin bertahap terus ada perubahan, kemana aja udah saya lakukan”. (Tn.D) “Saya rutin kedokter, ikut terapi-terapi… terapi jalan, terapi bicara, sampai sekarang masih terapi”.(Tn.S) “….Langsung kedokter, terapi juga”.(Tn.Z) “saya langsung kedokter, terapi juga…..”(Ny.M) “Anak saya juga sering panas, batuk lalu langsung saya bawa kedokter,semua terapi saya lakuin, dari terapi wicara, terapi konsentrasi di fatmawati, terapi terus berjalan sampai sekarang”(Ny. P)
65
66
Beberapa
responden
yang menggunakan
pengobatan
alternatif dengan menggunakan jasa tukang urut ,mengungkapkan sebagai berikut : “….,karena jalannya lambat, bicaranya juga lambat, saya juga bawa dia ketukang urut biar bisa jalan”(Tn.A) “….,saya juga usahakan membawa dia ke orang pinter urut sampe tujuh kali, gada perubahan, terus mencoba lagi ketempat lain urutnya”.(Ny.N) “…., setiap minggu rutin saya bawa ketukang urut”.(Tn.Z)
Dua partisipan lain mengungkapkan bahwa mereka juga menggunakan jasa dukun kampung untuk menyebuhkan penyakit anak yang dideritanya : “saya bawa juga dia kedukun-dukun kampung, disuruh potong ayam kampung, beli beras dipedaleman, ya.. saya lakuin disruh ini.. disuru itu.. saya kerjain”. (Tn.A) “….,obat kampung iya… yang diketokin centong iya.. itukan gag masuk akal yaa… secara logika tapi yang penting saya usaha, dikasih saran kesana, kesini juga saya langsung lakuin, saya usahain agar anak saya sekolah, sebisa mungkin anak saya mandiri”(Ny.M) .
Tema 7 : Seeking social support (mencari dukungan sosial) Peneliti mencoba mengkategorikan pencarian dukungan sosial dengan cara mencari informasi baik
66
dukungan internal,
67
ekternal dan dukungan spiritual. Beberapa partisipan utama lain dalam penelitian ini cenderung mencari dukungan social untuk mendapatkan suatu kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain. Orang tua cenderung mendapatkan kenyamanan ketika sudah menceritakan masalah yang ada dan mendapatkan dukungan yang diberikan seseorang sehingga dapat menenangkan situasi yang membuatnya merasa sedih saat menghadapi masalah atau stressor. Seperti ungkapkan partisipan sebagai pencarian dukungan internal keluarga : “Pada saat saya sedang ada masalah, saya cerita sama orang terdekat saya yaitu suami saya, saya sering berdikusi dengan suami saya tentang anak saya ini, pokoknya lebih tenang kalo udah cerita sama suami”. (Ny.N) Saya sering berbagi cerita dan masalah dengan keluarga, keluarga mendukung, suami saya dan kakaknya juga mendukung, suami dan keluarga sayang sekali dengan dia”. (Ny.P) Sementara satu partisipan mengungkapkan pencarian dukungan ekstrenal didapatkan dari teman dengan berbagi cerita untuk dapat menenangkan perasaan khawatir yang dirasakannya, berikut ungkapan partisipan : “…., dan saya disini sering berbagi cerita ibu-ibu yang sama dengan saya diSLB (sekolah luar biasa) ini, banyak
67
68
masukan yang saya dapatkan, isi pembicaraan kita seperti “gimana ya masa depan anak kita, gimana kalo kita sudah gada” yaa.. kita saling menguatkan dan mendukung, usaha ya usaha terus, kita sekolahin, kita doa’ain, kita latih juga dirumah (Ny.N) “…, saya sering berbagi cerita sama teman dirumah, disekolah ini juga sering saya dan orang tua disini saling dukung buat kemajuan anak kita, biar lebih mandiri, ya.. paling engga anak saya ini bisa sosialisasi. Kalo udah cerita bikin hati saya jadi agak enteng gitu, soalnya mereka juga ngerasain punya anak kaya gini .” (Ny.M) Selain berbagi informasi dengan suami dan teman, partisipan juga mengungkapkan bahwa partisipan juga mencari informasi dan dukungan dari pihak sekolah, yaitu guru yang mengajar dikelas berikut ungkapan partisipan : “…,
ya..saya
sering
menanyakan
bagaimana
perkembangan anak saya disekolah, kadang saya mikir koq gitu-gitu aja, padahal dirumah sudah saya ajarkan juga kaya yang gurunya kasih buat PR (pekerjaan rumah), akhirnya lama-lama saya sadar kalo anak kaya gini ya emang begini, gurunya juga bilang, kalo anak kaya gini cuma bisa dioptimalisasikan dibina dirinnya. Tapi saya
68
69
tetep sering nanya gimana perkembangan anak saya” (Tn.A) “…, karena ibunya tidak mau mengantarkan kesekolah dan apa-apa saya, ya.. saya jadi suka nanya gimana perkembangan An.I kalo dikelas, Alhamdulillah sih ada kemajuan dikit-dikit. Ya.. kadang kakaknya juga ikut bantu kalo belajar dirumah. Apa-apa saya nanya langsung sama gurunya itu.”(Tn.Z) Orang tua sangat berespon sekali untuk mengetahui perkembangan anaknya dibidang akademik dan pengembangan diri agar anaknya dapat hidup mandiri, orang tua mencari informasi pada guru kelas merupakan suatu usaha orang tua dalam mencari dukungan informasi untuk memberi ketenangan pada dirinya, berikut beberapa ungkapan dari informan pendukung : “iya, mereka sering menanyakan kepada saya, “bagaimana perkembangan anak saya dikelas?” saya hanya menyampaikan seperti ini… “saya sudah usaha untuk mengajarkan, karena kemapuannya memang seperti itu, dirumah juga tolong diajarkan, yang penting tujuan anak ibu disini bisa mandiri saja, biar bisa pakai baju sendiri, makan sendiri. Orang tuapun paham akan kemapuan anaknya dan harapannya tidak terlalu muluk-muluk, mereka hanya berharap agar agar anaknya bisa mandiri”. (Ny.GN)
69
70
“Pernah, rata-rata orang tuannya sering menanyakan seperti ini “Bu, bagaimana si
A?
perkembangan saya anak
bagaimana kalo dikelas?, perkembangan kemajuan belajar, keterampilan bantu dirinya , kadang2 kalo dikelas bagaimana anak saya bu ? biasa nya tentang pelajaran juga yang mereka tanyakan, saya bilang ibu pelan – pelan saja, misalnya meniru tulisan dari saya (guru), akan sama seperti itu, kalo di lepas tidak bisa, tapi harus dibimbing juga”. (Ny.GM)
Tema 8 : Planful problem solving (perencanaan pemecahan masalah) Perencanaan pemecahan masalah dalam sub-tema yang didapatkan dari hasil wawancara adalah merawat anak dengan hatihati
dalam
menjaga
kesehatannya
jangan
sampai
sakit,
menyekolahkan anak di Sekolah Luar Biasa (SLB). Berikut adalah ungkapan partisipan dalam merawat anak dengan hati-hati sehingga anak tidak mudah sakit : “karena ibunya engga mau urus, ya.. mau tidak mau memang harus saya yang urus dan merawatnya. Saya merawat anak saya dengan hati-hati, jangan sampe sakit, saya jaga makanannya, kegiatannya, semuannya saya
70
71
perhatiin satu persatu, ya mudah-mudahan berhasil saya merawatnya”.(Tn.Z) Selain melakukan usaha merawat anak secara hati-hati, partisipan juga melakukan usaha pemecahan masalah secara bertahap dengan menyekolahkan anaknya di sekolah khusus untuk anak-anak disability ini. Sebelumnya ada beberapa partisipan yang memasukkan anaknya disekolah taman kana-kanak umum untuk anak-anak yang normal, namun secara bertahap partisipan menyadari akan keterbatasan anaknya dan memasukkan anaknya disekolah luar biasa (SLB). Berikut ini ungkapan semua partisipan : “…,saya juga nyari-nyari sekolahan yang khusus kaya anak saya ini, akhirnya dapet juga di SLB ini”.(Tn.A) “Saya binggung waktu itu, karna taunya anak saya ini Cuma terlambat aja, saya sempet sekolahkan An.A disekolah umum, tapi akhirnya guru disekolah umum itu bilang kalo anak saya tidak kuat kalo sekolahnya masih diumum (ibu tampak sedih), harusnya disekolah khusus, akhirnya saya anak saya sekolah disekolah luar biasa (SLB) ini.”(Ny.N) “Dulu anak saya pernah saya masukkan di TK (taman kanak-kanak) normal dan akhirnya saya sadar karna sudah beda kemampuannya akhinya saya sekolahkan di SLB (sekolah luar biasa)” (Tn.D)
71
72
“Saya masukkan anak saya ke sekolah luar biasa, anak kita gitu mau digimanaiin lagi, lalu saya lihat disekolahan ada yg lebih parah, dari SLB (sekolah luar biasa) itu saya jadi dapet ilmu, dan berfikir.. ternyata anak saya tidak terlalu parah bahkan disana ada yang lebih parah dari anak saya”.(Tn.S) “….,pada saat milih sekolah ibunya malah daftarin ke sekolah umum tapi kakaknya (anak saya yg ke-1) suruh masuk SLB (sekolah luar biasa), saya sadar anak ini kemampuannya kurang, makannya saya masukkan ke SLB”.(Tn. Z) “Saya sekolahkan juga anak saya diSLB” (Ny.M) “saya cari sekolahan yang khusus untuk anak saya, ya.. akhirnya dapet diSLB ini, dulunya di TK normal” (Ny.P) Tiga partisipan lain menggunakan usaha dengan membuat SKTM (surat keterangan tidak mampu) agar mendapatkan biaya pengobatan dan terapi secara gratis, berikut ungkapan beberapa partisipan : “biaya terapi itu dulu saya masih pusing, karena mahal kalau mau terapi, terus akhirnya sekarang kita buat SKTM, dan sekarang kalo mau berobat dan terapi untuk anak saya bisa gratis.(Tn.A)
72
73
“saya juga membuat SKTM, supaya ada ringan biaya terapinya. Dan ternyata sekarang sudah gratis, ya.. tinggal biaya mondar-mandirnya itu” (Tn.S) “….., suami saya kan sudah pension, jadi kalo lagi ngga punya uang, anak saya gak terapi dulu, akhirnya saya pake bantua SKTM, jadi bisa gratis sekarang”.(Ny.P) 3. Strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping) Hasil penelitian didapatkan bahwa orang tua menggunakan usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri terhadap apa yang dihadapinya. Tema 9 : Penerimaan dan tanggung jawab (Accepting responsibility) Tema ini terdiri dari sub tema yang terdiri dari menerima keadaan dan beradaptasi pada keadaan. Menerima keadaan meliputi menyadari, menerima keadaan, anak adalah bagian orang tua yang harus dirawat dan dijaga, pasrah, takdir yang harus dijalani dengan ikhlas, mencoba bersabar, yakin pada Allah anak adalah titipan. Beradaptasi pada keadaan yaitu mencoba bersabar. Beberapa
partisipan utama melakukan usaha untuk
mengontrol emosinya dengan cara menyadari tanggung jawab sebagai orang tua dan mencoba menerima keadaan yang terjadi
73
74
agar menjadi lebih baik lagi, berikut ini adalah ungkapan partisipan dengan kategori menyadari : “Awalnya saya tidak terima, dan agak iri kenapa harus saya?,
akhirnya
lama-lama
yaa..saya
terima
saja,….”(Tn.A) “Yang jelas saya sadar aja punya anak seperti ini, ya… harus dirwat dengan baik (ibu meneteskan air mata)” (Ny.P) Berikut ini adalah ungkapan partisipan dalam menerima keadaan bahwa anak adalah bagian dari dirinya : “…., diakan anak saya, bagian saya, walaupun anak seumuran dia itu udah pinter-pinter, ini belum bisa apaapa. Ya.. saya pikir ya sudah, saya ikhlas saja. Kadang anak ini juga suka bikin emosi, kalo dipanggil itu kaya orang engga peduli gitu, kalau dikasih tau susah, ya… memang anak-anak seperti ini sama, saya ikutin aja, dia bebas mau main kemana”. (Tn.A) “Pertama saya ngga percaya, rasanya kaget, binggung, gimana nanti anak saya kedepannya (partisipan tampak sedih) tapi.. Allah kasih gini ya harus saya terima (meneteskan air mata,dengan segera dihapusnya air matanya)” (Tn.D)
74
75
“….., ya..kita terima saja, saya ngomong sama ibunya kita mau
gimanain
lagi,
kami
menerimanya
dengan
lapang”(Tn.S) “…., saya terima apa adanya untuk merawat anak saya, melatih kesabaran aja”. (Tn.Z) “Begitu saya dikasih tau kalau anak saya ini down sindrom, rasanya kaya mau kiamat, waktu itu saya belum bisa menerima, saya tanya ke dokter “ anak saya idiot, dok?” lalu dokternya jawab “Bukan bu, anak ibu lambat”. bener dok anak saya idiot ? “bukan ibu.. bukan..”. kalo anak begini saya jangan bermimpi punya impian, anak bisa begini, begini, harus dengan sabar, saya jalani aja, saya terima toh anak adalah titipan yang harus dijaga dan disayang (partisipan menanggis)”(Ny.M). Sementara satu patisipan menerima keadaan anaknya dengan sikap yang pasrah, seperti ungkapan partisipan berikut : “….,Tadinya kecewa, ya… kita kan orang beragama, ya saya pasrah , perasaan sedih ya… pasti. kadang anak ini juga suka emosi mulu, paling saya istigfar aja dan belajar menerima dengan lapang”.saya pasrah aja, inikan titipan Allah SWT , saya serahkan semua pada Allah, anak inikan titipan, mau kaya gimana saya pasrah aja.(Tn.S) Penerimaan dan tanggung jawab yang diungkapkan partisipan dilakukan dengan cara beradaptasi pada suatu keadaan,
75
76
berikut ini ungkapan beberapa partisipan dengan cara memcoba bersabar dalam mengontrol perasaannya : “…, punya anak kaya gini bikin saya kadang emosi mba, ya.. saat saya sedang emosi, saya mencoba bersabar menghadapinnya”(Tn.A) “…., punya anak seperti ini
membuat saya mencoba
menjadi lebih sabar (ibu menangis hingga diam sejenak). Yaa… saya sayang sekali, beda dengan sayang yang lain, dia
lebih
pokoknya,
segala-galanya
lebihlah
(ibu
menanggis) saya bersabar Saya mencoba untuk bersabar, karena mempunyai anak ini membuat saya lebih harus banyak sabar.” (Ny.N) “…., pas saya tahu anak saya sindrom down rasanya ya… berusaha sabar aja walaupun hati saya sedih, saya berusaha sabar untuk menghadapi semuanya”.(Tn.S) “…., kalo punya anak kaya begini saya jangan bermimpi punya impian, anak bisa begini, begini harus dengan sabar.” (Ny.M)
Begitupula yang disampaikan oleh guru sebagai partisipasn pendukung tentang penerimaan orang tua terhadap anaknya yang tampak dan terlihat disekolah, seperti ungkapan sebagai berikut :
76
77
“Diawal pertemuan dikumpulkan dulu untuk memberikan informasi kepada orang tua tentang kondisi perkembangan anaknya seperti apa, gambarannya proses akademiknya bagaimana bila dilihat dari IQ, Alhamdulillah mereka menerima dan tampak terlihat sayang sekali pada anaknya, dan
karena disisni rata-rata islam, mereka sudah
menerima lapang” (Ny.GN) “Disini orang tua sudah dapat menerima anaknya, orang tua juga rata-rata ingin anaknya bisa membaca dengan baik, saya sering memberi anak-anak PR, orang tua membimbingnya dirumah itu juga suatu bentuk kalo orang tuanya
menerima
keadaan
anaknya
dengan
cara
memperhatikan kegiatannya”(Ny.GM) Tema 10 : Pengontrolan diri (self control) Pada tema ini hasil penelitian didapatkan bahwa partisipan mencoba untuk beradaptasi dengan masalah menggunakan pengontrolan diri agar membuat keadaan yang dirasakannya menjadi lebih nyaman dan beradaptasi dengan baik dengan cara mengontrol dirinya seperti bersyukur, berdo’a dan yakin pada Allah bahwa anak adalah titipan yang harus dijalani dengan ikhlas. Berikut ini adalah ungkapan usaha yang dilakukan dengan cara bersyukur dari dua partisipan : “…., ya.. saya bersyukur punya anak ini, masih ada yang lebih parah dari anak saya”.(Tn.S) 77
78
“Saya bersyukur punya anak kaya gini bisa melatih kesabaran saya….”. (Ny.M) Tiga
partisipan
lain
mengungkapkan
melakukkan
pengontrolan diri dengan cara berdo’a, berikut ungkapannya : “Saya berdo’a setiap malam , saya bagun malam, solat dan berdo’a terus untuk anak saya ini, setiap shalat saya doain supaya bisa jaga dirinya kalo bukan saya siapa lagi, saya berdo’a jam 2 atau jam 3 malam, (partisipan menangis dan diam sejenak)…”(Ny.N) “Saya berdo’a terus, yakin pada Allah SWT kalau ini adalah titipan yang harus diterima dan dijaga” (Tn.D) “….., saya terus berdo’a agar diberi kesabaran dan ketenangan hati” (Ny.M) Tidak
hanya
berdo’a
dan
bersyukur
usaha
yang
diungkapkan partisipan dalam mengontrol perasaan dirinya, ungkapan lain juga diungkapkan oleh empat partisipan yang mengontrol dirinya dengan meyakini bahwa anak adalah titipan yang harus dijaga dengan ikhlas. Seperti ungkapan berikut : “…., anak ini adalah takdir yang harus saya jalani (ibu meneteskan air mata) dengan ikhlas saya rawat penuh sayang” (Ny.N) “… saya yakin, ini adalah anugrah dan titipan Allah yang harus saya jaga.”(Tn.D)
78
79
“…., emang udah bagiannya. ya.. titipan Allah, amanah untuk dijaga. Kalo ada orang suka dijauhin, diusir, saya sedih liat anak saya digituin sama orang lain, sekali pernah emosi.. lama-lama saya coba sabar, melatih kesabaran aja” (Tn.S) “… ya, ini adalah bagian dari saya.. takdir yang harus saya jalani…”(Ny.M) Tema 11 : Penilaian positif (Positive reapparsial) Dua orang partisipan mencari arti postif dari keadaan yang dialaminya, dengan mengambil pelajaran pada suatu keadaan atau mengambil hikmah. Seperti ungkapan beberapa partisipan utama, sebagai berikut : “punya anak kaya gini paling berkesan dan paling enak ada hikmah dibalik ini semua yang bisa saya ambil agar lebih kuat”. (Ny.N) “Banyak hikmahnya punya anak kaya gini, melatih kesabaran saya dan istri, kalo untuk kebutuhannya kita gentian”(Tn.S)
79
80
BAB VI PEMBAHASAN
A. Interpretasi Penelitian dan Hasil Diskusi Peneliti telah mengidentifikasi 11 tema yang merupakan hasil dari penelitian ini. Beberapa diantaranya memiliki sub-tema dengan kategorikategori makna tertentu. Tema-tema tersebut teridentifikasi berdasarkan tujuan penelitian. Stresor orang tua dengan anak yang menderita sindrom down dapat digambarkan dalam dua tema, yaitu : 1) stresor internal dan 2) stresor eksternal. Pada saat pengambilan data, tergalilah respon terhadap stresor sehingga menghasilkan tiga tema, yaitu : 3). Respon kongnitif, 4) respon kehilangan 5) Respon tingkah laku. Strategi koping problem focus coping tergambar pada tema ke-enam, tujuh dan delapan, yaitu usaha langsung (confrontative coping), mencari dukungan sosial (seeking sosial support) , perencanaan pemecahan masalah (planful problem solving). Sedangkan strategi koping emotional focus coping tergambar dalam tiga tema, yaitu penerimaan dan tanggung jawab (accepting responsibility) teredintifikasi pada tema ke-sembilan, tema ke-sepuluh yaitu pengontrolan diri (self control), serta penilaian positif (positif reapparsial) terdapat pada tema ke-sebelas. Selanjutnya peneliti akan membahas masing-masing tema yang teridentifikasi berdasarkan tujuan penelitian.
80
81
1. Stresor orang tua pada anak yang terdiagnosa sindrom down Tema 1: Stresor Internal Down sindrom merupakan suatu gangguan kelainan kromosom yang menyebabkan terjadinya interaksi dengan fungsi gen lainnya sehingga
menghasilkan
suatu
perubahan
homeostasis
yang
memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat (Soetjiningsih, 1995).
Dalam penelitian ini,
seluruh partisipan yang memiliki anak down sindrom di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta mendapatkan stresor yang sama, stresor yang didapatkan oleh partisipan terjadi pada saat orang tua mengetahui informasi tentang kondisi anak yang terdiagnosa sindrom down. Dengan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh anaknya tersebut, merupakan suatu stresor bagi keluarga khususnya orang tua. Masalah lain juga diungkapkan oleh partisipan yang dianggap sebagai suatu stresor tambahan dalam merawat anak dengan sindrom down seperti, kekhawatiran akan masa depan anak, dan kurangnya pengetahuan tentang sindrom down sendiri. Stersor yang dialami orang tua dengan anak sindrom down dialami juga oleh keluarga dengan anak yang menderita tunagrahita, dalam penelitian stress dan koping pada anak tunagrahita yang dilakukan Triana dan Andriany (2010) di Semarang mengkategorikan masalah pertumbuhan anak, kecemasan orang tua, sebagai kendala yang dihadapi dengan tema masalah (stresor) keluarga.
81
82
Hal ini sesuai dengan teori Howart dan Gilham (1981) dalam Nasir & Muhith (2011) menyatakan bahwa sumber stress terjadi meliputi diri individu, keluarga, dan dalam komunitas atau masyarakat. Hasil analisa tematik yang didapatkan oleh peneliti dalam tema ini sumber stress terjadi dalam keluarga, bertambahnya anggota keluarga dengan masalah kesehatan akan menimbulkan stresor tersendiri bagi orang tua. Tema 2 : Stresor eksternal Tema ini meliputi stigma masyarakat, penolakan anggota keluarga dan hambatan keuangan. Stigma masyarakat terdiri dari pandangan sebelah mata, dijauhi/dikucilkan, ejekan, dan dihina. Sedangkan penolakan anggota keluarga yang diungkapkan partisipan yaitu adanya penolakan kehadiran anak dari istrinya tersebut. Dan hambatan keuangan terjadi pada saat menjalani terapi rutin dengan biaya yang mahal. Berdasarkan sumber stresor yang diungkapkan oleh semua partisipan tersebut merupakan asal dari penyebab stres. Stres merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia melihat adanya tuntutan dalam situasi sebagai beban diluar batas kemampuan mereka atau memaknai sebagai suatu tuntutan yang harus diselesaikan. Selain stigma masyarakat yang berada dilingkungan luar, penolakan dari anggota keluarga juga merupakan suatu stresor yang akan berdampak pula pada pola asuh terhadap anak, serta biaya terapi yang cukup mahal juga diungkapkan oleh partisipan sebegai suatu
82
83
masalah yang harus dihadapi. Hal ini sesuai dengan teori Patel (1996) dalam Nasir & Muhith (2011) stresor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga dari lingkungan lainnya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian terkait tentang stress dan koping keluarga pada anak menderita tunagrahita yang dilakukan oleh Triana dan Andriany (2010) di Semarang, mendapatkan pengorbanan waktu, finansial, penegakan kedisiplinan dan stigma masyarakat sebagai salah suatu masalah yang dihadapi keluarga.
Respon Stresor Pada penelitian ini teridentifikasi suatu respon stresor yang diungkapkan oleh partisipan. Dengan adanya stresor yang dialami oleh partisipan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan seperti adanya tuntutan dalam situasi sebagai suatu beban yang harus dihadapi, sehingga dapat menimbulkan stress yang dapat dilihat dari respon terhadap stresor. Tema 3 : Respon Kongnitif Dalam tema ini terdiri dari dua sub-tema yaitu pikaran kacau dan menurun daya konsentrasi yang diungkapkan partisipan pada saat mengetahui anak terdiagnosa down sindrom yaitu
binggung, dan
kepala terasa pusing karena banyak pertanyaan yang ada dikepalanya pada saat terdiagnosa sindrom down. Hal ini sesuai dengan teori Taylor (1991) dalam Nasir & Muhith (2011) yang menyatakan bahwa
83
84
respon stress yang terlihat dari respon kongnitif dapat tampak melalui terganggunya proses kongnitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang-ulang dan pikiran tidak wajar. Tema 4 : Respon Kehilangan Pada tema ini respon kehilangan partisipan yang teridentifikasi peneliti didapatkan bahwa partisipan merasa kecewa, marah dan malu ketika partisipan mengetahui bahwa anaknya terdiganosa sindrom down. Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa mengapa harus dirinya yang menadapatkan anak dengan sindrom down, mengapa tidak yang lain? , partsipan tersebut merasa kecewa dan marah. Hal ini sesuai dengan teori tahapan berduka menurut Kubler-Ross, ketika klien berduka akibat kehilangan sesuatu yang diharapkannya maka akan terbentuk lima tahapan, yaitu tahapan penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar , depresi dan penerimaan. Tema 5 : Respon tingkah laku Pada tema ini respon tingkah laku yang teridentifikasi adanya respon kaget, pasrah , sedih dan menanggis. Hal ini sesuai dengan teori yang mengungkapkan bahwa bertambahnya anggota keluarga yang mempunyai masalah kesehatan seperti hadirnya seorang anak dengan sindrom down merupakan suatu pemicu yang menyebabkan terjadinya respon stres yang dapat menimbulkan suatu reaksi emosional yang berdampak pada pola perilaku, seperti rasa takut, rasa cemas, malu, marah, kaget dan menanggis (Nasir&Muhith, 2011).
84
85
2. Strategi koping orang tua pada anak yang menderita sindrom down Hasil penelitian didapatkan bahwa semua partisipan mempunyai masalah yang sama, yaitu menghadapi kondisi anak yang tidak dapat diobati dan hanya bisa dilakukan dengan terapi rutin agar pertumbuhan dan perkembangannya optimal sesuai dengan kondisi anak tersebut serta ditambah dengan adanya stesor lain seperti, biaya, pandangan masyarakat terhadap dirinya serta kekhawatiran akan masa depan anak. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) dalam Nasir & Muhith, (2011) penggunaan koping ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu srategi koping yang berfokus pada masalah (problem focus coping) dan strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping). Jenis strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focus coping) yang dapat digunakan bermacam-macam, yaitu berupa usaha langsung (confontative coping), penggunaan dukungan sosial (seeking social support) , perencanaan pemecahan masalah (planful problem solving). Dan Jenis strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping) juga bermacam-macam, jenis strategi koping ini yang dapat digunakan yaitu dalam bentuk pengaturan diri (self control), penghindaran
(distancing), penilaian positif (positive
reapparsial), penerimaan tanggung jawab (accepting responsibility), lari dari situasi kearah negative (escape/avoidance). Hasil
wawancara
didapatkan
bahwa
semua
partisipan
menggunakan strategi koping gabungan, yaitu strategi koping yang
85
86
berpusat pada masalah (problem focus coping) dan strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping).
2.1 Strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focus coping) Jenis strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focus coping) digunakan pada saat pertama kali partisipan mengetahui anaknya terdiagnosa sindrom down. Dalam penelitian ini didapatkan 3 tema dalam penggunaan strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focus coping), yaitu tema ke-enam
usaha langsung
(confontative coping), tema ke-tujuh seeking social support (mencari dukungan sosial) , dan tema ke-delapan planful problem solving (perencanaan pemecahan masalah). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Asyiah (2008) disemarang tentang strategi koping orang tua yang memiliki anak dengan cacat mental, koping yang digunakan orang tua adalah koping yang berorientasi pada tugas (Task Oriented) berupa tetap memberikan hak anak dengan memberikan pengobatan baik medis maupun non-medis, memberikan pendidikan dan menyekolahkan anak, serta kasih sayang yang menjadi kebutuhan anak. Penelitian lain yang dilakukan Triana dan Andriany (2010) di Semarang tentang sters dan koping keluarga pada anak tunagrahita, didapatkan penggunaan koping dalam bentuk problem focused coping berupa mencari dukungan sosial keluarga
86
87
internal, mencari dukungan sosial keluarga eksternal, mencari pengobatan alternatif dan bersikap agak keras. Tema 6 : usaha langsung (confontative coping) Dalam tema ini seluruh partisipan cenderung menggunakan usaha langsung (confrontative coping) hal ini terlihat dimana orang tua akan membawa anaknya langsung kedokter untuk melakukan pengobatan medis dengan cara mengikuti terapi rutin untuk anak dan melakukan pengobatan alternative. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan confrontative coping sebagai suatu usaha untuk mengubah suatu kondisi yang dianggap menekan dengan cara yang agresif atau cepat tanggap. Tema 7 : dukungan sosial (seeking sosial support) Mempunyai anak dengan sindrom down merupakan suatu stresor tersendiri bagi keluarga khususnya orang tua, dimana orang tua membutuhkan dukungan untuk menghadapi masalah-masalah yang terjadi pada dirinya. Dalam tema ini peneliti mengidentifikasi pencarian dukungan sosial (seeking sosial support) terbagi menjadi tiga sub-tema yaitu mencari dukungan internal keluarga, dukungan eksternal dan dukungan spiritual. Enam partisipan mengungkapkan bahwa dengan adanya stresor internal dan eksternal, maka orang tua merasa tidak kuat untuk menanggung masalahnya sendiri, sehingga orang tua mencari dukungan social baik dari dokter, guru ngaji maupun dari teman dekatnya. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus dan Folkman (1984) yang menyatakan bahwa seeking sosial support
87
88
adalah suatu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain. Tema 8 : perencanaan pemecahan masalah (planful problem solving) Dalam tema ini, peneliti mengidentifikasi uasaha yang dilakukan oelah partisipan dalam menghadapi stresor yang terjadi pada dirinya dengan melakukan perencanaan pemecahan masalah. Satu partisipan mengungkapkan
menggunakan jenis
strategi
koping
bentuk
perencanaan pemecahan masalah (planful problem solving) dengan cara
merawat
menggunakannya
anak
secara
strategi
hati-hati,
pemecahan
serta
tujuh
masalah
partisipan
dengan
cara
menyekolahkan anak diSLB (sekolah luar biasa) dan tiga partisipan lain melakukan usaha dengan perencanaan membuat SKTM (surat keterangan tidak mampu) agar dapat digunakan sebagai sarana pengobatan gratis. Hal ini sejalan dengan teori Lazarus dan Folkman (1984) yang menyatakan bahwa planful problem solving yaitu suatu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara hati-hati dan bertahap.
2.2 Strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping) Penggunaan jenis strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping) digunakan juga pada pertama kali orang tua mengetahui anak terdiagnosa down sindrom dan ketika kondisi lingkungan yang tidak mendukung, dimana sebagian masyarakat
88
89
memandang dirinya dengan sebelah mata. Dalam hal ini, peneliti mengidentifikasi tiga tema dalam penggunaan jenis koping emotional focus coping, yaitu tema ke-sembilan penerimaan dan tanggung jawab (accepting responsibility), tema ke-sepuluh yaitu pengontrolan diri (self contol) dan tema ke-sebelas yaitu penilaian positif
(positive
reapparsial) dengan mengambil pelajaran yang dialaminya. Penelitian terkait tentang strategi koping juga digunakan orang tua dalam bentuk emotional focused coping dengan cara sabar, menyesuaikan diri, berdoa dan menagis (Triana dan Andriany, 2010). Dan dalam penelitian Asiyah (2008) mengemukkan koping yang digunakan oleh orang tua yaitu koping yang berorientasi pada pertahanan ego (Deffence Mechanisme) dengan cara regresi : menangis, represi : sabar, rasionalisasi : menjelaskan alasan agar diterima oleh masyarakat.
Tema
9
:
penerimaan
dan
tanggung
jawab
(accepting
responsibility) Seluruh partisipan berespon kearah penerimaan dan tanggung jawab, dan tidak ada partisipan yang mengindar dari masalah. Peneliti mengidentifikasi pada tema ini bahwa usaha yang dilakukan partisipan dalam menghadapi stresor dengan cara berusaha untuk menyadari keadaan yang terjadi pada dirinya, menerima keadaan, pasrah dan sadar bahwa anak adalah bagian dari dirinya sebagai suatu tanggung jawab yang harus dijalani. Hal ini sejalan dengan teori Lazarus dan Folkman (1984) bahwa Accepting responsibility merupakan usaha
89
90
untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dari permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Tema 10 : pengontrolan diri (self-control) Hasil penelitian didapatkan bahwa partisipan mengendalikan emosinya cenderung menggunakan strategi koping dalam bentuk self control. Dalam tema ini partisipan mengungkapkan bahwa usaha yang dilakukan oleh partisipan dengan cara berdo’a, bersabar, bersyukur dan yakin bahwa anak adalah titipan yang harus disyukuri dan dijaga bagaimanapun keadaannya. Usaha yang dilakukan partisipan dalam rangka menata dan mengontrol emosi yang dirasakannya saat menghadapi stresor yang muncul. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus dan Folkman (1984) yang mendefinisikan self control sebagai suatu bentuk usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan. Tema 11 : penilaian positif (positif reapparsial) Dalam tema ini peneliti mengidentifikasi penggunaan strategi koping dengan cara melakukan penilaian positif terhadap masalah yang dihadapinya dengan mengubah pola fikir bahwa dibalik permasalahan, akan ada hikmah yang dapat diambil dari setiap kejadian yang dialami. Hal ini sesuai dengan teori Lazarus dan Folkman (1984) yang menyatakan bahwa penggunaan positif reapparsial dilakukan untuk mencari makna positif dari permasalahan yang dihadapinya (Nasir dan Muhith, 2011).
90
91
B. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan yang peneliti temukan dalam proses penelitian tentang strategi koping orang tua pada anak yang menderita down sindrom antara lain : 1. Pada saat pengambilan data, tidak semua partisipan dapat diwawancarai di rumah. Dikarenakan kesibukan beberapa partisipan saat di rumah, sehingga ada beberapa partisipan diwawancarai disekolah. 2.
Pada saat proses wawancara berlangsung lingkungan yang kurang
kondusif
sedikit
mengganggu
privasi
sehingga
menyulitkan proses penggalian perasaan beberapa partisipan. 3.
Pada saat proses pengambilan data, peneliti mengalami kesulitan
pada
saat
proses
pencatatan
lapangan
dan
dokumentasi wawanacara, karena peneliti juga harus focus terhadap partisipan dan memperhatikan setiap respon yang ditampilkan partisipan. 4. Alat yang digunakan pada saat merekam menggunakan tape
recorder dengan menyimpan data pada kaset pita, sehingga menyulitkan peneliti untuk memutar ulang dengan mudah dikarenakan kaset yang mudah putus, sehingga peneliti mengganti alat perekam dengan menggunakan tape recorder digital.
91
92
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Hasil penelitian ini medapatkan tiga buah tema yaitu stresor yang dihadapi orang tua, jenis strategi koping problem focus coping yang digunakan oleh orang tua dan jenis strategi koping emotional focus coping yang digunakan orang tua. 1. Stresor yang diungkapkan oleh partisipan terbagi menjadi dua tema, yaitu stresor internal dan stresor eksternal. Stresor internal yang dialami partisipan yaitu adalah terkait gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, harapan akan masa depan anak serta kurangnya pengetahuan partisipan tentang sindrom dwon. Sedangkan stresor eksternal yang juga dihadapi oleh partisipan yaitu stigma masyarakat terhadap dirinya, penolakan kehadiran anak dalam keluarga dan hambatan keuangan. 2. Respon stress yang tergali pada penelitian ini terbagi menjadi tiga tema dalam tiga respon, yaitu respon kongnitif, respon kehilangan dan respon tingkah laku. Respon kongnitif berupa pikiran
kacau
dan
menurun
daya
konsentrasi,
respon
kehilangan berupa perasaan kecewa, marah dan pasrah.
92
93
Sedangkan respon tingkah laku terjadi karena toleransi terhadap beban berupa kaget, sedih dan menanggis. 3. Jenis strategi koping yang berpusat pada masalah (problem focus coping) yang digunakan partisipan terbagi menjadi tiga tema yaitu bentuk usaha langsung (confrontative focus coping) yang digunakan dengan cara langsung membawa kedokter , melakukan terapi-terapi, dan mencoba pengobatan sesuai dengan keyakinannya. Dalam bentuk dukungan social (seeking social support) yang digunakan informan dengan cara mencari informasi dari dokter tentang perkembangan anak kedepannya, guru, keluarga dan teman. Dan dalam bentuk perencanaan pemecahan masalah (Planful problem solving) informan menggunakannya dalam bentuk berfokus pada kondisi anak berikutnya dan merawat agar kondisi anaknya tetap baik. 4. Strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping) yang digunakan partisipan teridentifikasi menjadi tiga tema, yaitu bentuk pengaturan diri (self-contol) dengan cara bersabar, berserah diri kepada Allah dan menerima apa adanya..
sedangkan bentuk penilaian positif (Positive
reapparsial) partisipan mengambil hikmah atas apa yang terjadi pada dirinya agar dapat lebih bersabar dan tetap bersyukur.
Dalam
bentuk
penerimaan
tanggung
jawab
(Accepting responsibility) partisipan menerima dan memahami kondisi anaknya dan merawatnya dengan baik.
93
94
B. Saran 1. Bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Jakarta a. Diharapkan dari pihak guru mengadakan pertemuan untuk orang tua dan guru, sebagai suatu sarana bertukar informasi dan berdikusi dalam mengatasi masalah yang dihadapi orang tua dalam merawat dan mendidik anak . b. Diharapkan adanya suatu program edukasi kepada orang tua tentang pengenalan lebih dalam mengenai down sindrom agar oang tua mendapatkan pemahaman yang lebih banyak lagi. c. Mengadakan suatu kelompok atau perkumpulan khusus orang tua yang memiliki anak down sindrom di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Jakarta agar dapat saling berbagi perasaan yang dialami sehingga dapat meminimalisir stresor yang dihadapi oleh orang tua. 2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan dan Ilmu Keperawatan a. Dapat mengembangkan suatu program keperawatan tentang disabilitas khususnya program konselor mengenai penggunaan strategi koping terhadap penderita down sindrom. b. Diharapkan bagi ilmu keperawatan mengadakan program kelas parenting khusus pada orang tua yang mempunyai anak dengan down
sindrom
sebagai
suatu
support
educator
mengenai
permasalahan yang akan dihadapi orang tua. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Diharapkan peneliti menggunakan teman untuk membantu proses dokumentasi pada saat pengambilan data.
94
95
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap strategi coping pada orang tua yang memiliki anak dengan sindrom down yang baru terdiagnosa. c. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap peran keluarga selain orang tua dalam pembentukan karakter anak down sindrom. d. Mengkombinasi penelitian selanjutnya terhadap usia ibu pada saat kehamilan > 35 tahun dengan angka kejadian kelahiran anak dengan sindrom down.
95
96
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Noer Atikah. Studi Fenomenologi : Strategi Koping Orang Tua Yang Memiliki Anak Dengan Cacat Mental (Tuna Grahita) di Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC). Semarang : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Diponegoro. 2008
Council, Safesty Nasional. Managemen Stres. Jakarta: EGC. 2003 Creswell, Jhon W. Education Research “planning, counducting and evaluating quantitative and qualitative research. Amerika : Pearson International Edition. 2008 Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB). Jakarta Bakti : Husada. 2010
Hull David, Derek I Johnston. Dasar-dasar pediatri, Ed.3. Jakarta: EGC. 2008 Ikatan Sindroma Down Indonesia : jumlah data anak sindrom down di Indonesia, http://www.isdijakarta.org/about2.html diakses pada tanggal 18 desember 2011 pukul 12.00. Meilia, Diah. Jurnal “Strategi Dalam Mengatasi Stres Pada Ibu Dengan Anak Down Syndrome” http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/5655836696_abs.pdf diakses pada bulan april 2012. 2010 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosadakarya. 2010 Nasir dan Muhith. Dasar-dasar Keperawatan Jiwa : Pengantar dan Teori, Jakarta: Salemba Medika. 2011 Noor,Megah.. Jurnal “Stress dan Koping Keluarga dengan Anak Tunagrahita di SLB C dan SLB C1 Widya Bhakti Semarang. 2010 Norman, D. Sundberg dkk. Psikologi Klinis “Perkembangan Teori, prakti, dan penelitian. edisi keempat Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2007
96
97
Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. 2010 Nursalam & Dian, Ninuk. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika. 2007 Putera, Nusa. Penelitian Kualitatif : Proses dan Aplikasi. Jakarta Barat : Indeks. 2011 Rasmun. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga, Jakarta : Sagung Seto. 2009 Saryono dan Mekar, Dwi Anggraeni. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam bidang Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika. 2010 Soetjiningsih.. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC. 1995 Streubert, Helen J dkk. Qualitatative Research in Nursing Advancing The Humanistic Imperative. Philandelpia : Lippincott Wiliams and Wilkins : 2003 Sudiono, Janti. Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Jakarta: EGC. 2008 Supartini, Yupi. Buku ajar konsep keperawatan anak. Jakarta: EGC. 2004 Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Method). Bandung : Alfabeta. 2011 Videbeek, Sheila I. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :EGC. 2008 Wong, Donna L. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. 2003 Wong,Donna L. Buku ajar keperawatan pediatric. edisi 6. Jakarta: EGC. 2008
97
98
Lampiran 1 Kepada Yth,
Ciputat,
Oktober 2012
Bapak/Ibu Di, Tempat Bapak/Ibu yang saya hormati. Sehubungan dengan tugas akhir dalam penyelesaian studi untuk mendapatkan gelar sarjana, saya sebagai peneliti : Nama
: Mayang Setyo Magnawiyah
NIM
: 108104000002
Jurusan : Program Hidayatullah Jakarta Contact
Studi
Ilmu
Keperawatan
UIN
Syarif
: 081317044282 / 08561488384
Mohon kiranya Bapak/Ibu dapat menjadi partisipan dalam penelitian saya dengan judul penelitian Strategi Koping Orang Tua pada Anak yang Menderita Sindrom Down. Sebagai partisipan informasi yang Bapak/Ibu berikan sangat berharga dalam penelitian ini. Jika ada yang ingin ditanyakan berkaitan dengan penelitian ini Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti. Atas perhatian Bapak/Ibu peneliti ucapkan terima kasih.
Ciputat,
Oktober 2011 Hormat saya
(Peneliti)
98
99
Lampiran 2 LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth : Di Tempat Dengan Hormat, Saya mahasiswi S1 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Nama : Mayang Setyo Magnawiyah NIM
: 108104000002
Bermaksud akan melaksanakan penelitian tentang “Strategi Koping Orang Tua pada Anak yang Menderita Sindrom Down di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 jakarta” sebagai tugas akhir studi untuk mendapatkan gelar sarjana. Sebagai responden, informasi yang Bapak/Ibu berikan sangat bermanfaat dalam penelitian ini. Adapun segala informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijamin kerahasiaannya dan seluruh informasi yang mencantumkan identitas subyek penelitian hanya akan digunakan untuk pengolahan data dan bila sudah tidak digunakan maka data akan dihilangkan. Apabila Bapak/Ibu setuju untuk menjadi responden dalam penelitian ini dimohon untuk menandatangani kolom yang telah disediakan. Atas kesediaan dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Jakarta,
Oktober 2012
Responden
…….………………
99
100
Lampiran 3
Data Demografi Informan
Informan ke-1 (P1) A. Subyek penelitian (orang tua) 1. Inisial : Tn.A 2. Usia : 50 Tahun 3. Jenis kelamin : Laki-laki 4. Pendidikan terakhir : SD 5. Pekerjaan : Buruh 6. Jumlah anak : 3 Anak B. Anak Sindrom Down 1. Inisial 2. Usia anak 3. Anak ke- saudara 4. Jenis kelamin
: An. I : 11 Tahun : 3 dari 3 bersaudara : Laki-laki
Informan ke-2 (P2) A. Subyek penelitian (orang tua) 1. Inisial : Ny. N 2. Usia : 46 Tahun 3. Jenis kelamin : Perempuan 4. Pendidikan terakhir : SLTP 5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 6. Jumlah anak : 3 Anak
B. Anak Sindrom Down 1. Inisial 2. Usia anak 3. Anak ke- saudara 4. Jenis kelamin
: An. I : 11 Tahun : 3 dari 3 bersaudara : Laki-laki
Informan ke-3 (P3) 100
101
A. Subyek penelitian (orang tua) 1. Inisial : Tn. D 2. Usia : 50 Tahun 3. Jenis kelamin : Laki-laki 4. Pendidikan terakhir : SLTA 5. Pekerjaan : Butuh 6. Jumlah anak : 2 Anak B. Anak Sindrom Down 1. Inisial 2. Usia anak 3. Anak ke- saudara 4. Jenis kelamin
: An. P : 10 Tahun : 2 dari 2 bersaudara : Laki-laki
Informan ke-4 (P4) A. Subyek penelitian (orang tua) 1. Inisial : Tn. S 2. Usia : 56 Tahun 3. Jenis kelamin : Laki-laki 4. Pendidikan terakhir : SLTA 5. Pekerjaan : Pensiun 6. Jumlah anak : 3 Anak
B. Anak Sindrom Down 1. Inisial 2. Usia anak 3. Anak ke- saudara 4. Jenis kelamin
: An. D : 11 Tahun : 3 dari 3 bersaudara : Laki-laki
101
102
Informan ke-5 (P5) A. Subyek penelitian (orang tua) 1. Inisial : Tn.Z 2. Usia : 59 Tahun 3. Jenis kelamin : Laki-laki 4. Pendidikan terakhir : SLTA 5. Pekerjaan : Pegawai Swasta 6. Jumlah anak : 4 Anak B. Anak Sindrom Down 1. Inisial 2. Usia anak 3. Anak ke- saudara 4. Jenis kelamin
: An. Q : 12 Tahun : 4 dari 4 bersaudara : Laki-laki
Informan ke-6 (P6) A. Subyek penelitian (orang tua) 1. Inisial : Ny. M 2. Usia : 54 Tahun 3. Jenis kelamin : Perempuan 4. Pendidikan terakhir : SLTA 5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 6. Jumlah anak : 4 Anak B. Anak Sindrom Down 1. Inisial 2. Usia anak 3. Anak ke- saudara 4. Jenis kelamin
: An. D : 11 Tahun : 4 dari 4 bersaudara : Laki-laki
102
103
Informan ke-7 (P7) A. Subyek penelitian (orang tua) 1. Inisial : Ny. P 2. Usia : 74 Tahun 3. Jenis kelamin : Perempuan 4. Pendidikan terakhir : SLTA 5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 6. Jumlah anak : 1 Anak B. Anak Sindrom Down 1. Inisial 2. Usia anak 3. Anak ke- saudara 4. Jenis kelamin
: An. R : 8 Tahun : 1 dari 1 bersaudara : Perempuan
103
104
Lampiran 4 Pedoman Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Informan kunci
I. Petunjuk umum a. Tahap persiapan b. Tahap perkenalan c. Jelaskan tujuan dan manfaat wawancara mendalam d. Ucapkan terima kasih kepada informan atas kesedian dan waktu yang telah diluangkan untuk pelaksanaan wawancara.
II. Petunjuk wawancara mendalam a. Wawancara dilakukan oleh seorang pewawancara b. Informan bebas menyampaikan pengalaman dan perasaan yang dirasakannya. c. Semua pengalaman dan perasaan yang disampaikan oleh informan akan dijamin kerahasiaanya d. Wawancara ini akan direkam pada tape recorder untuk membantu dalam penulisan. III. Pelaksanaan wawancara A. Perkenalan a. Identitas informan
104
105
Nama (Inisial)
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Pekerjaan
:
Pendidikan terakhir
:
B. Wawancara 1. Stresor pada saat anak lahir dan terdiagnosa sindrom down a. Masalah-masalah apa saja yang muncul setelah anak lahir dan diketahui terdiagnosa sindrom down ? b. Bagaimana penilaian dan sikap ibu atau bapak terhadap situasi yang terjadi pada anak anda? 2. Strategi coping a. Usaha apa yang ibu lakukan ketika mengetahui anak anda terdiagnosa sindrom down? 2.1 Problem focus coping a. Bagaimana usaha ibu untuk mengatasi masalahmasalah yang muncul pada anak? 2.2 Emotional focus coping a. Bagaimana
usaha
ibu
untuk
menjaga
atau
mengontrol perasaaan ibu dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul pada anak?
105
106
Lampiran 5
PEDOMAN WAWANCARA Partisipan Pendukung
1. Sudah berapa lama anda mengajar disini, dari kelas berapa ? 2. Bagaimana sikap orang tua saat mengantar anaknya ke kelas? 3. Pernahkah orang tua murid mencari informasi tentang perkembangan anak disekolah ? 4. Bagaimana penerimaan orang tua terhadap kondisi perkembangan anak? 5. Pernahkah orang tua menyatakan kepada anda tentang harapan yang tinggi untuk anaknya?
106
107
Lampiran 6 ANALISIS TEMATIK PARTISIPAN UTAMA Stresor
Kategori Lambat jalan dan Lambat bicara
P1 √
Sering sakit-sakitan Harapan masa depan anak Tidak tahu tentang sindrom down Dipandang sebelah mata Dijauhi /dikucilkan Ejekan Dihina Istri kurang terima kehadiran anak Biaya terapi mahal
√
Kategori Binggung
P1 √
Kepala saya pusing (banyak pertanyaan dikepala saya) Kecewa Malu Marah Pasrah Kaget Menanggis
P2 √
P3 √
P4 √
√
√
√ √
P5 √
P7 √
√ √
√ √
√
√
Stigma Masyarakat
√ √
√
P2 √
√
√
√
P3
P4
P5
P6
√
Hambatan keuangan
P7
Subtema Pikiran kacau
Tema Respon kongnitif
Menurun daya konsentrasi √
Bentuk marah √ √
√ √ √
Stresor Eksternal
Penolakan
√
√
Tema Stresor Internal
√ √
√
Subtema Gangguan Pertumbuhan dan perkembangan anak Harapan akan masa depan anak Kurang pengetahuan
√ √
√
P6 √
√ 107
√ √
Toleransi terhadap beban
Respon Kehilangan Respon
108
Sedih
√
√
√
√
tingkah laku
Respon stresor yang tergali
Problem focus coping
Kategori Langsung kerumah sakit / rutin ke dokter Terapi rutin (terapi jalan & bicara) Pergi ketukang urut Pergi kedukun kampung
P1 √
P2 √
P3 √
P4 √
P5 √
P6 √
P7 √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Subtema Pengobatan Medis
Pengobatan Alternatif √
Berbagi cerita dengan suami
√
Berbagi cerita dengan teman
√
√
Dukungan internal keluarga
√ Dukungan ekternal
Berbagi cerita dengan Guru Berbagi dengan guru ngaji Merawat dengan hati-hati jangan sampai sakit Menyekolahkan anak di SLB (sekolah luar biasa)
Tema Usaha langsung (confrontative coping)
√
√
√
√
√
√ √
√
Mencari Dukungan Sosial (seeking sosial support)
√
√
√
√
108
√
√
Dukungan spiritual Merawat secara bertahap
√
√
Memberikan pendidikan formal Upaya
Perencanaan pemecahan masalah (planful problem solving)
109
Membuat SKTM (surat keterangan tidak mampu)
mendapatkan pengobatan gratis
Emotional focus coping
Kategori Menyadari Menerima keadaan Pasrah Takdir yang harus dijalani dengan Ikhlas Mencoba bersabar
Yakin pada Allah anak adalah titipan Berdo’a
P1 √ √
P2
P4
P5
P6
√
√ √
√
√
√ √
√
√
√
√ √
Bersyukur Mengambil hikmah
P3
√
√
√
109
Subtema
Tema
Menerima keadaan
Penerimaan dan tanggung jawab (accepting responsibility)
√ √
Beradaptasi pada keadaan
√ √
√ √
√
P7 √
√
Pengontrolan diri secara spiritual
Pengontrolan diri (self control)
Mengambil Penilaian pelajaran pada positif (positif suatu keadaan reapparsial)
110
Lampiran 7 ANALISIS TEMATIK PARTISIPAN PENDUKUNG
Strategi Koping Kategori Orang tua sudah mendapatkan informasi dari comite sekolah dan gambaran tentang kondisi anak Orang tua sudah mendapatkan terapi psikologi . Respon yang ditunjukan orang tua sangat baik.
P1 √
√
P2 √
√
√
Subtema Dukungan internal sekolah
Tema Mendapatkan dukungan sosial (seking sosial support)
Dukungan Pengobatan medis Penerimaan dan tanggung jawab
Dampak koping keluarga
Problem focus coping
Kategori Sering menanyakan perkembangan anak dikelas Menyakan tentang pelajaran dikelas
P1 √
Menanyakan keterampilan bantu diri anaknya
√
P2 √
Subtema Rasa ingin tahu
√ √
110
Tema Bentuk pencarian informasi
111
Emotional Focus Coping Kategori Rata-rata orang tua sudah menerima keadaan anaknya Orang tua tampak memperhatikan kegiatan anaknya Orang tua terlihat sayang sekali
P1 √
P2 √
√
√
Subtema Dampak Koping positif
√
111
Tema Dampak koping yang digunakan oleh orang tua.