STRATEGI HILIRISASI PRODUK UNTUK PERCEPATAN DAN KEBERLANJUTAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO SULAWESI TENGGARA1 Tamrin2, Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari – Sulawesi Tenggara – Indonesia.
2
ABSTRACT Health benefits of cocoa to food as an antioxidant, anti-bacterial and prevent some degenerative diseases much publicized. The existence of these benefits and the high production of cocoa in Southeast Sulawesi, has been positioning it as a commodity whose development requires a competitive strategy that sustanaible from upstream to downstream process products. This study aims to identify and formulate strategies for downstream products thus obtained sustainability cocoa processing industry. The method used is the location quotient analysis, shift share, and SWOT. The analysis showed that the cocoa still meet the criteria as a leading commodity Southeast. SWOT Analysis describes the strategy in quadrant I, but approaching quadrant III or strategy made by using all the power and take advantage of opportunities but must be followed by a change in strategy that focused on efforts to accelerate downstream products to increase the added value and competitiveness of commodities through the encouragement and support of the industry- cocoa processing industry, set up mini factories with upstream systems - a unified and integrated downstream as well as the development and improvement of its functional value. Key word: Strategy, Cocoa, downstream, industry, processing
I. PENDAHULUAN
Sulawesi Tenggara memiliki sumber daya perkebunan yang berpotensi dikembangkan sebagai komoditi unggulan antara lain kakao, kelapa, jambu mete, kemiri, lada, kopi, nilam, cengkeh dan sagu.
Dari beberapa komoditi tersebut, kakao menunjukkan produksi yang sangat tinggi
dibandingkan komoditas lainnya (BPS Sulawesi Tenggara, 2013), sehingga kakao memiliki potensi yang dapat diandalkan sebagai komoditi unggulan daerah. Potensi biji kakao sebagai komoditas unggulan juga didukung oleh kandungan komposisi kimianya yang mempunyai nilai fungsional tinggi. Komoditi tersebut banyak mengandung senyawasenyawa yang bermanfaat bagi kesehatan manusia, berpotensi sebagai antioksidan, antibakteri, memperbaiki fungsi endothelial, menurunkan tekanan darah, meningkatkan sensivitas insulin dan memperbaiki fungsi platelet ((Othman et al., 2010;
Afoakwa, 2008;
Miller, 2006). Salah satu
senyawa penting yang terkandung dalam biji kakao adalah katekin. Hannum dan Erdman (2004) menjelaskan bahwa katekin pada biji kakao banyak mengalami kerusakan selama proses pengolahan sehingga yang ditemukan pada bubuk kakao hanya sekitar 1-2% saja. 1
Tamrin et al., (2012)
Disampaikan pada Seminar Nasional Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia Perspektif Kewilayahan dan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHO, Kendari 11 Oktober 2014. 2 Corresponding author: Email :
[email protected]
menjelaskan kehilangan senyawa katekin selama proses pengolahan bubuk kakao dapat dikurangi dengan system penyangraian vakum. Hasil analisis biji kakao dari Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara yang diproses melalui system penyangraian vakum mengandung kadar antioksidan katekin yang tinggi yaitu mencapai 5%. Selanjutnya Tamrin (2012) melaporkan hasil evaluasi aktivitas antioksidan bubuk kakao tersebut menunjukkan kemampuan menangkal radikal bebas yang cukup tinggi. Informasi ini semakin menguatkan nilai fungsional sehingga diharapkan dapat memicu peningkatan konsumsi makanan dan minuman berbahan baku biji kakao khususnya di Sulawesi Tenggara. Data
k onsumsi kakao memperlihatkan kecenderungan yang meningkat tiap tahun
terutama di negara-negara maju (Eropa sebanyak 42,10%). Permintaan kakao yang tinggi berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jerman (Anonimous, 2007). Prospek dan potensi tersebut telah mendorong Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara untuk menetapkan kakao sebagai salah satu komoditi unggulan daerah. Penetapan ini didukung oleh Peraturan Presiden Nomor : 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan Permenperin Nomor : 135/M-IND/PER/12/2010 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Unggulan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pasal 2a yang mengarahkan program hilirisasi produk kakao yang meliputi industri kakao fermentasi, bubuk kakao, industri pasta coklat, Industri makanan dan industri kembang gula berbasis coklat. Beberapa tahun sebelumnya kakao Sulawesi Tenggara sebagian besar dijual dalam bentuk biji kakao kering sehingga nilai tambahnya rendah. Kegiatan industri pengolahan kakao skala besar baru dimulai dengan adanya PT. Kalla Kakao Industry walaupun saat ini kegiatan produksinya masih belum optimal. Pengembangan industri pengolahan kakao di Sulawesi Tenggara dikuatkan oleh Pasal 10 dan 11 UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, bahwa Setiap Gubernur dan Bupati/Walikota diwajibkan menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi dan Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota yang mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional. Selanjutnya, amanat Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian juga menyebutkan bahwa Pemerintah
Pusat dan Daerah melakukan percepatan
penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan industri yang dilaksanakan melalui: (a) pengembangan wilayah pusat pertumbuhan industri; (b) pengembangan kawasan peruntukan industri; (c) pembangunan kawasan Industri; dan (d) pengembangan sentra industri kecil dan menengah. Provinsi Sulawesi Tenggara juga merupakan salah satu sub koridor ekonomi dari MP3EI, yang fokusnya ditujukan pada peningkatan nilai tambah komoditas kakao. Data menunjukkan bahwa
Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk penghasil kakao terbesar ketiga di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Pada tahun 2013, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 1 6 0 . 9 0 6 kepala keluarga petani di Sulawesi Tenggara (BPS Sulawesi Tenggara, 2013).
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengembangan industry
pengolahan kakao dapat memberikan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain kondisi tersebut juga dapat menjadi hambatan jika aspek hulu sebagai penyedia bahan baku tidak tertangani dengan baik. Oleh karena itu program hilirisasi produk untuk percepatan dan keberlanjutan industry pengolahan kakao memerlukan kajian yang rinci untuk memperoleh strategi pengembangan terkait sistem hulu – hilir yang terpadu dan terintegrasi.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dibeberapa sentra produksi kakao dan tempat-tempat industri pengolahan kakao skala rumah tangga, kecil, menengah dan industry besar (PT. Kalla Kakao Industry). Data yang diperlukan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dari responden melalui Focus Discussion Group (FGD) dan wawancara mendalam dengan pejabat dari instansi terkait (BAPPEDA, Perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan, Koperasi dan UMKM) tingkat provinsi dan kabupaten serta petani dan para pelaku usaha. Data primer diperlukan untuk melihat kondisi internal komoditi kakao (berupa kekuatan dan kelemahannya) serta kondisi eksternal (berupa peluang dan tantangannya). Data yang diperoleh selanjutnya digunakan
untuk analisis
SWOT. Data sekunder menggunakan data dari berbagai instansi terkait (ditingkat provinsi dan kabupaten) antara lain berupa dokumen RTRW dan kondisi komoditas kakao dibandingkan komoditas perkebunan lainnya terutama menyangkut luas areal dan jumlah produksinya di seluruh kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara. Data tersebut digunakan untuk Implementasi metode LQ dan shift share dalam melihat kelayakan penetapan kakao sebagai komoditas unggulan daerah serta kondisi pertumbuhan produksi positif atau negative. Hasil analisis LQ akan berada pada kisaran 1 > LQ ≥ 1, makin besar nilai LQ menunjukkan semakin besar konsentrasi komoditi pada suatu wilayah, dan nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan satu dapat dikategorikan sebagai komoditas unggulan (Hendayana, 2003; Sutikno dan Maryunani, 2007) . III. PEMBAHASAN
1. Penetapan kakao sebagai komoditas unggulan daerah Sulawesi Tenggara
Potensi Produksi Kakao Sulawesi Tenggara Data menunjukkan bahwa kakao merupakan komoditi yang mempunyai produksi tertinggi dari 9 jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan di Sulawesi Tenggara yaitu 140.645 ton. Selain itu terdapat tiga komoditi yang juga mempunyai produksi cukup tinggi adalah kelapa dalam (41.420 ton), jambu mete (22.527 ton) dan cengkeh (14.740). Sementara lima lainnya mempunyai produksi rata-rata dibawah 5.000 ton. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa komoditi perkebunan di Sulawesi Tenggara Komoditas Kelapa Dalam
Total (Ton) 41.420.00
Kakao Jambu Mete Kemiri Lada Nilam Kopi Cengkeh Sagu Sumber: BPS Sulawesi Tenggara, (2013).
140.645.00 22.527.00 1.136.00 4.059.00 144.00 3.105.00 14.740.00 4.977.00
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari jumlah produksi, komoditi kakao masih lebih unggul dibanding jambu mete yang telah lama dikenal dan dikembangkan sebagai salah satu komoditi yang menjadi ciri khas daerah. Demikian juga dengan tujuh komoditi lainnya. Tanaman kakao tersebar hampir
disemua Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara. Produksi kakao terbesar terdapat di
Kabupaten Kolaka Utara dan Kolaka/Kolaka Timur. Secara rinci, luas areal dan produksi kakao di Sulawesi Tenggara dapat lihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas areal dan produksi kakao di Sulawesi Tenggara tahun 2013 No.
Kabupaten/Kota
Luas Areal (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas Jml.Petani (Kg/Ha) (KK)
1.
Kolaka Utara
82.552
76.804
1.031.5
27.115
2.
95.361
38.574
664.2
45.428
3.
Kolaka, Kolaka Timur Konawe, Konawe Kepulauan
19.557
11.999
914.6
22.059
4.
Konawe Utara
4.462
611
168.6
4.765
5.
Kendari Buton, Buton Tengah, Buton Selatan
745
346
740,9
1.300
3.041
616
384.1
5.328
6.
164
44
320.3
299
3.115
285
206.4
4.180
Wakatobi
53
47
1.097.2
311
10. Bombana
9.924
6.477
885.0
5.585
11. Muna, Muna Barat
12.161
3.988
615.5
20.681
12. Konawe Selatan
19.204
8.456
620.8
23.855
250.338
148.746
821.1
160.906
7.
Bau-bau
8.
Buton Utara
9.
Total
Sumber: Disbunhorti Sultra, (2013). Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat produktivitas kakao yang tinggi terdapat di Kabupaten Kolaka Utara dan Wakatobi dengan yang hampir sama yaitu mencapai 1.000 Kg/Ha. Beberapa kabupaten produktivitasnya berada pada kisaran 600 – 900 Kg/Ha
yaitu Konawe/Konawe
Kepulauan, Konawe Selatan, Bombana, Kolaka/Kolaka Timur, Muna/Muna Barat dan Kota Kendari. Data tersebut dapat menggambarkan bahwa upaya perbaikan teknik budidaya untuk peningkatan produksi kakao harus terus digalakkan. Hasil panen kakao Sulawesi Tenggara sebagian besar diekspor dalam bentuk bahan mentah berupa biji kakao kering. Hal ini cukup memprihatinkan karena harga biji kakao kering Indonesia di pasar internasional lebih rendah dibandingkan harga rata-rata kakao dunia dan kadang dikenakan potongan harga (Anonimous, 2007). Oleh karena itu diperlukan peningkatan mutu dan nilai tambah dari produk kakao melalui percepatan program hilirisasi untuk pengembangan produk-produk olahan kakao dalam bentuk yang siap konsumsi maupun setengah jadi.
Analisis LQ dan SSA Kakao telah ditetapkan sebagai komoditi unggulan daerah Sulawesi Tenggara, tetapi ketetapan tersebut memerlukan kajian ilmiah sebagai bahan pertimbangan untuk implementasi keberlanjutan dan pengembangan program di daerah. Penentuan komoditi unggulan daerah merupakan langkah penting untuk memulai aktivitas percepatan dan pertumbuhan ekonomi pada wilayah Sulawesi Tenggara. Langkah tersebut dapat dilakukan melalui penerapan metode LQ untuk mengukur konsentrasi relative atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan
perbandingan untuk mendapat gambaran dalam penetapan sector unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi
maupun industry
(Hendayana, 2003). Analisis LQ yang dilakukan
berdasarkan data produksi tanaman perkebunan dari Sulawesi dalam Angka tahun 2013. Oleh karena itu beberapa kabupaten yang baru dimekarkan, datanya masih tergabung dalam kabupaten induk. Hasil analisis LQ beberapa komoditi perkebunan di Sulawesi Tenggara ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai LQ beberapa komoditi perkebunan di Sulawesi Tenggara Komoditas
Konawe Utara
Kolaka
Nilai LQ Kolaka Utara Bombana
Buton
Buton Utara
Muna
Bau-bau
Wakatobi
Kendari
Konawe
Konawe Selatan
Kelapa
1.435
1.581
0.986
2.065
0.536
0.208
2.913
1.087
4.018
1.052
0.826
5.147
Kakao
0.460
0.690
0.711
0.340
1.284
1.346
0.577
0.117
0.052
1.022
0.345
0.015
Jambu Mete
3.320
1.384
3.172
2.025
0.003
0.009
0.451
7.357
2.469
1.944
6.170
0.718
Kemiri
5.869
0.648
2.831
1.286
0.552
0.763
0.188
4.109
0.218
0.579
7.768
0.040
Lada
3.213
2.882
2.982
2.879
1.857
0.138
0.497
0.092
0.061
0.022
0.000
0.000
Nilam
0.000
4.495
0.000
0.000
3.692
0.048
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
Kopi
2.847
1.292
1.061
7.371
0.747
0.146
5.649
0.120
0.304
0.286
0.711
0.318
Cengkeh
0.059
0.168
0.020
1.002
0.231
2.132
0.066
0.011
0.131
0.000
0.000
0.018
Sagu
0.903
3.906
0.314
0.587
3.110
0.271
0.005
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa dari 9 komoditi yang dianalisis, kelapa dan jambu mete
merupakan komoditas paling unggul karena sebaran nilai LQ > 1
berada di delapan
kabupaten/kota, tiga komoditi yaitu kemiri, lada, dan kopi sebaran nilai LQ > 1 di lima kabupaten dan komoditi kakao memiliki sebaran nilai LQ > 1 di tiga kabupaten. Sementara komoditi nilam, cengkeh dan sagu sebaran nilai LQ > 1 hanya terdapat di dua kabupaten. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis LQ, kakao masih memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai komoditas unggulan terutama di tiga kabupaten yaitu Kolaka/Kolaka Timur, Kolaka Utara dan Muna. Kondisi tersebut juga didukung oleh hasil analisis shift share yang menggambarkan adanya pertumbuhan positif dari komoditi kakao pada beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai analisis shift share beberapa komoditi di Sulawesi Tenggara Kelapa Dalam Kakao Jambu Mete
proporsional
Kendari
Konawe
Konsel
Konut
Kolaka
Kolut
Bombana
Buton
Butur
Muna
Baubau
Wakatobi
0.02
0.03
-0.03
-0.08
0.04
-0.01
0.00
-0.10
-0.29
0.13
-0.08
-0.02
-0.02
-0.02
0.01
-0.03
0.07
0.02
-0.11
-0.14
0.03
-0.14
-0.27
0.09
-0.18
0.00
0.04
-0.03
0.03
0.00
0.02
-0.01
0.00
0.00
0.46
0.13
-0.01
0.17
0.01
Kemiri
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
-0.02
-0.03
0.00
0.00
0.02
0.00
Lada
0.00
0.00
0.01
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Nilam
-0.09
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
-0.24
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Kopi
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
-0.01
0.00
0.03
-0.08
-0.01
0.00
0.00
0.00
Cengkeh
0.04
0.00
0.01
0.00
0.01
-0.01
0.08
0.00
0.00
0.01
0.00
0.00
0.00
Sagu
0.00
0.00
0.02
0.00
-0.10
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Berdasarkan hasil analisis shift share pada Tabel 4 terlihat bahwa terdapat lima kabupaten yang menunjukkan pertumbuhan positif dari komoditi kakao. Walaupun demikian, jika mengacu dari nilai proporsional shift share yang negatif (-0.02) dapat dikatakan secara umum kakao di Sulawesi Tenggara
menunjukkan pertumbuhan yang lambat. Pertumbuhan yang lambat terutama di enam
kabupaten/kota yaitu Konawe, Kolaka/Kolaka Timur, Kolaka Utara, Buton, Buton Utara dan Baubau. Pertumbuhan yang lambat tersebut kemungkinan karena adanya kegiatan rehabilitasi
maupun
sambung samping pada tanaman kakao sebagai implementasi dari program Gerakan Nasional Kakao (Gernas), sehingga tanaman tersebut belum berproduksi secara optimal. Kondisi tersebut tidak akan berlangsung lama karena beberapa tahun ke depan diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi pada saat tanaman yang direhabilitasi atau sambung samping telah mencapa usia produktif. Dengan demikian maka peningkatan produksi akan mengalami percepatan sehingga aktivitas ekonomi dari aspek hulu juga mengalami pertumbuhan dan memberikan gambaran jaminan ketersediaan bahan baku untuk pengembangan industry pengolahan sebagai implementasi hilirisasi produk kakao. Gambaran potensi kakao di Sulawesi Tenggara serta hasil analisis LQ dan shift share yang diperoleh memberikan penguatan terhadap penetapan komoditi kakao sebagai komoditi unggulan daerah.
Konsekwensi atas ketetapan tersebut memerlukan serangkaian program yang dapat
memaksimalkan pengembangan kakao sebagai komoditi yang mampu memberikan percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini dapat diwujudkan melalui berbagai upaya peningkatan mutu, nilai tambah dan nilai ekonomi komoditi kakao melalui percepatan program hilirisasi. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis kondisi internal dan eksternal dari komoditi kakao untuk penyusunan strategi yang mendukung dan mempercepat pengembangan industry pengolahan kakao dalam kerangka hilirisasi yang berkelanjutan. 2. Analisis SWOT dan rekomendasi strategi pengembangan industry pengolahan kakao Berdasarkan hasil FGD dan wawancara mendalam dari berbagai stakeholders yang terkait dengan pengembangan komoditi kakao maka telah diidentifikasi beberapa faktor internal dan eksternal sebagai berikut:
Tabel 5. Faktor internal dan eksternal dari komoditi kakao di Sulawesi Tenggara FAKTOR INTERNAL KELEMAHAN
KEKUATAN
1. Kakao sebagai komoditas unggulan daerah dan 1. Mutu biji kakao masih rendah, sebagian besar tidak Sulawesi Tenggara merupakan daerah penghasil difermentasi. kakao ketiga terbesar di Indonesia. 2. Kualitas SDM bidang pengolahan hasil kakao masih 2. Masih terdapat areal potensial untuk tanaman kakao rendah seluas : 113.274 Ha. 3. Biji kakao dijual dalam bentuk biji gelondongan, 3. Tersedianya tenaga kerja, baik pada perkebunan sehingga nilai tambah rendah kakao maupun pada industri pengolahannya. 4. Pertumbuhan dan pengembangan investasi industri 4. Tersedia industri pengolahan kakao skala besar dan pengolahan kakao masih rendah. skala rumah tangga 5. Produksi kakao per hektar masih rendah 5. Kuatnya komitmen pemerintah dalam 6. Kurangnya sarana dan prasarana, khususnya jalan ke pengembangan komoditas kakao sentra produksi dan pemasaran
FAKTOR EKSTERNAL TANTANGAN
PELUANG
1. Konsumsi kakao cenderung meningkat di dalam dan luar negeri (pangan dan bukan pangan) 2. Berkembangnya industri kakao dalam negeri. 3. Diversifikasi produk dan kombinasi dengan komoditi lainnya yang ada didaerah Sultra. 4. Adanya Gerakan Nasional peningkatan produktivitas dan mutu kakao Sulawesi Tenggara 5. Pengembangan industri kakao sistem hulu hilir akan melibatkan tenaga kerja yang besar. 6. Adanya standarisasi produk kakao sesuai (SNI) 2323 2008
1. Berlakunya perdagangan bebas ASEAN pada tahun 2015. 2. Kecenderungan pengalihan fungsi lahan perkebunan kakao ke komoditi lain. 3. Berkembangnya usaha budidaya dan industri pengolahan kakao di daerah lain. 4. Mash adanya sistem ijon yang terorganisir oleh beberapa perusahaan eksportir kakao
Berdasarkan faktor internal dan eksternal pada Tabel 5, maka dilakukan pembobotan, skala dan nilai dari masing-masing factor sehingga diketahui kondisi komoditi kakao untuk merumuskan strategi pengembangannya. Adapun hasil analisisnya ditunjukkan pada Tabel 6 dan 7.
Tabel 6. Matrik pembobotan, skala dan nilai faktor-faktor internal dari kakao No. 1. 2. 3.
Faktor Internal Kekuatan Kakao sebagai komoditas unggulan Masih terdapat areal potensial untuk kakao
Bobot (B)
Skala (R) Rata-rata
0.12 0.07
4 2.7
BxR skor 0.48 0.19
4. 5. 6.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tersedia industri peng. skala besar dan skala rumah tangga Tersedia tenaga kerja, pada hulu maupun hilirisasi produk Kuatnya komitmen pemerintah Total Kekuatan Kelemahan Mutu biji kakao masih rendah Kualitas SDM bidang pengolahan hasil kakao masih rendah biji kakao dijual dalam bentuk biji gelondongan Pertumbuhan dan peng. investasi industri kakao msh rendah Produksi kakao masih rendah Masih kurangnya penelitian dan peng.tek. Peng. kakao Kurangnya sarana prasarana Total Kelemahan
0.11 0.10 0.07 0.47
4 2.7 3.3
0.44 0.27 0.23 1.61
0.08
2.7
0.21
0.09 0.10
1.3 3
0.12 0.30
0.10 0.07 0.05 0.04 0.53
2.3 2 3 2.3
0.23 0.14 0.15 0.09 1.25
Tabel 6. Matrik pembobotan, skala dan nilai faktor-faktor eksternal dari kakao No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. 2. 3. 4.
Faktor Eksternal Peluang Konsumsi kakao cenderung meningkat Berkembangnya industri kakao dalam negeri diversifikasi/dpt dipadukan dengan komoditi lainnya Adanya program gerakan nasional kakao Peng.sistem hulu hilir akan melibatkan tenaga kerja yg besar Adanya standarisasi produk kakao sesuai (SNI) 2323 2008 Total Peluang
Bobot (B)
Skala (R) rata-rata
0.11 0.10 0.10 0.08
3 2 3 2.3
0.33 0.20 0.30 0.19
0.10 0.10 0.59
2 2.7
0.20 0.27 1.48
BxR
Tantangan Berlakunya perdagangan bebas ASEAN pada tahun 2015 0.11 2.3 0.26 Kecenderungan Pengalihan lahan perkebunan kakao ke komoditi lain 0.11 1.3 0.15 Berkembangnya budidaya & industri peng kakao daerah lain 0.10 1 0.1 Masih adanya sistem ijon yang terorganisir oleh eksportir 0.09 2 0.18 0.41 Total Ancaman 0.68 Hasil perhitungan berdasarkan data Tabel 6 dan 7 menghasilkan nilai dari X dan Y yang
akan digunakan untuk melihat posisi kuadran komoditi kakao untuk dapat merencanakan strategi yang akan dikembangkan. Hasil analisis ditunjukkan pada Gambar 1.
Peluang 2.5 2 1.5
Kuadran III
Kuadran I
1 0.5
-3
Kekuatan
0
X
Kelemahan
-2
-1
-0.5 0
1
2
3
-1
Kuadran IV
Kuadran II
-1.5 -2 -2.5
Y Tantangan
Gambar 1. Titik posisi kuadran komoditi kakao untuk pengembangan program hilirisasi produk di Sulawesi Tenggara.
Gambar 1 menunjukkan bahwa posisi kuadran SWOT yang diperoleh untuk komoditas kakao di Sulawesi Tenggara
berada pada Kuadran I (positif, positif).
Kondisi
ini menggambarkan
komoditas kakao yang masih kuat dan berpeluang untuk terus dikembangkan. Strategi direkomendasikan adalah progresif,
yaitu
yang
komoditi kakao sangat dimungkinkan untuk terus
ditingkatkan, dipacu dan diberikan perhatian yang besar bagi pengembangannya untuk mencapai kemajuan yang maksimal. Penguatan dan pengembangan kakao yang telah dilakukan dari aspek hulu perlu dilanjutkan dengan mendorong dan mempercepat aktivitas industry pengolahan (hilirisasi produk). Adanya keterkaitan antara aspek hulu – hilir akan menciptakan sistem industry yang berkelanjutan. Herdiansyah, (2012) melaporkan hasil analisis swot terhadap agroindustri perkebunan unggulan di Kabupaten Kolaka menyimpulkan bahwa diperlukan strategi peningkatan kemandirian petani melalui pembinaan dan penyuluhan, pengembangan kemitraan untuk meningkatkan nilai tambah. Sutikno dan Maryunani, (2007) menjelaskan bahwa pengembangan sector-sektor unggulan hendaknya dilakukan secara terintegrasi. Khusus pengembangan industry pengolahan skala besar, kecil dan menengah sebaiknya didukung oleh potensi sumber daya yang dimiliki sehingga industry yang dikembangkan bertumpu pada kekuatan daerah dan mempunyai keterkaitan kebelakang maupun kedepan yang kuat agar tercipta struktur ekonomi yang kuat. Strategi
terintegrasi dan terpadu
tersebut sangat tepat diterapkan pada pengembangan
industry pengolahan kakao untuk menjaga keberlanjutan usaha. . Strategi ini menjadi penting untuk mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi industry pengolahan kakao yang tersirat pada Gambar 1. Hasil analisis pada Gambar 1 menunjukkan bahwa titik ordinat agak mendekati wilayah kuadran
III (negatif, positif) yang menandakan posisi komoditas kakao yang kuat namun dibayang-bayangi oleh tantangan yang besar, sehingga diperkirakan komoditas kakao dan industry pengolahannya akan mengalami kesulitan untuk terus dikembangkan bila hanya bertumpu pada strategi sebelumnya. Oleh karena itu perlu mempersiapkan
perubahan-perubahan
strategi
untuk mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan tantangan yang akan dihadapi. Perubahan strategi terutama ditekankan pada peningkatan mutu biji kakao dan upaya percepatan hilirisasi produk untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditi. Percepatan hilirisasi produk dapat dilakukan antara lain dengan memberikan dorongan dan dukungan pada industry skala besar, industry kecil/menengah dan industry rumah tangga serta mendirikan pabrik-pabrik mini pada beberapa sentra produksi dengan sistem hulu – hilir yang terpadu dan terintegrasi untuk penguatan indusri yang berkelanjutan. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa di Sulawesi Tenggara terdapat
industry pengolahan kakao skala besar yaitu PT. Kalla Kakao
Industri, dan industry skala kecil/menengah yaitu Cokelat Salamandra (di Pondidaha – Kabupaten Konawe) dan Cokelat Anoa (di Kota Kendari), serta beberapa industry rumah tangga yaitu Cokelat Cinta Lauru dan Omet (di kota Kendari), Cokelat Cocowe (di Konawe) serta dodol cokelat yang dihasilkan oleh Usaha Surya Mandiri Kolaka.
Usaha-usaha tersebut
harus ditingkatkan dan
dikembangkan serta diupayakan tergabung dalam pola usaha industry yang terpadu dan terintegrasi dengan sistem hulu – hilir. Upaya perubahan strategi juga dapat dilakukan dengan meningkatkan dan mengembangkan nilai-nilai fungsional kakao yang berguna untuk kesehatan. Pengembangan nilai fungsional kakao akan memberikan manfaat yang tinggi pada konsumen dan pangsa pasar untuk produk olahan yang semakin luas. Dengan demikian mengkonsumsi makanan dan minuman berbahan baku kakao tidak hanya sekedar penyegar, tetapi juga untuk memperoleh manfaat dari senyawa antioksidan dan antibakteri maupun senyawa fungsional lain yang dikandungnya. Perumusan strategi Perumusan strategi disusun berdasarkan hasil interaksi antara faktor internal dan faktor eksternal dari komoditi kakao (Tabel 5). alternative strategi sebagai berikut:
Strategi S-O (kekuatan – Peluang)
Hasil interaksi tersebut telah melahirkan beberapa
- Mendorong dan mendukung industri skala besar yang telah ada, serta mendirikan pabrik-pabrik mini pengolahan kakao sistem hulu hilir dan peningkatan industri rumah tangga bagi pengembangan diversifikasi produk olahan kakao. (S3, S4, O2, O3, O5). - Menetapkan kakao sebagai komoditas unggulan daerah dengan Perda dan peningkatan mutu biji kakao sesuai SNI serta promosi produk olahan dan manfaat kakao bagi kesehatan (S1, S2, S5, O1, O4, O5)
Strategi W-O (kelemahan – peluang) - Memfasilitasi pemasaran biji kakao fermentasi (sesuai SNI) dan produk olahannya dengan harga layak (W1, W3, O6, )
- Pelatihan peningkatan kemampuan pengolahan biji kakao dan diversifikasi produk (W2, O3, O5) - Memfasilitasi pendirian industry skala besar yang terintegrasi dalam system hulu hilir (W4, W5, W6, O2, O5)
Strategi S – T (kekuatan - tantangan - Mengupayakan
brand image produk olahan kakao khas daerah yang berkualitas
dan
pengembangan jejaring pasar dalam dan luar negeri khususnya pasar ASEAN (S4, S5, T1, T3)
-
Studi system integrasi hulu - hilir dalam industry pengolahan kakao terhadap peningkatan nilai tambah produk dan pendapatan masyarakat (S1, S2, S3, T2, T4)
Strategi W – T (kelemahan – tantangan) - Mengupayakan pertumbuhan investasi industri kakao melalui inisiasi kerjasama dengan berbagai stakeholder
bagi peningkatan
mutu/volume
biji kakao fermentasi, pengembangan sarana
prasarana, meminimalisir system ijon dan kecenderungan pengalihan fungsi lahan perkebunan kakao (W1, W4, W5, T2, T4) - Melaksanakan program magang pada industry pengolahan kakao di daerah lain yang telah berkembang (W2, W3, T3)
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan potensi kakao di Sulawesi Tenggara, hasil analisis LQ dan shift share dapat disimpulkan bahwa kakao masih layak ditetapkan dan dikembangkan sebagai komoditi unggulan daerah.
Konsekwensi atas ketetapan tersebut memerlukan rencana strategi untuk memaksimalkan
kakao sebagai komoditi yang mampu memberikan percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil analisis SWOT mengiformasikan kondisi kakao pada posisi kuadran I (strategi progresif) tetapi mendekati wliayah kuadran III sehingga strategi pengembangan industry kakao dilakukan dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk meraih peluang yang ada tetapi perlu dilakukan perubahan dan perbaikan terhadap strategi yang telah dicanangkan sebelumnya.
Perubahan strategi terutama
ditekankan pada peningkatan mutu biji kakao dan upaya percepatan hilirisasi produk
untuk
meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditi. Percepatan hilirisasi produk dapat dilakukan dengan memberikan dorongan dan dukungan pada industry-industry pengolahan kakao, mendirikan pabrik-pabrik mini dengan sistem hulu – hilir yang terpadu dan terintegrasi serta pengembangan dan peningkatan nilai fungsionalnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Kementerian Perindustrian – Ditjen Industri Agro dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara – Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yang telah membiayai penelitian ini. Terimah kasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian UHO dan Tim Ahli Kementrian Perindustrian R.I (MB-IPB) serta seluruh Tim Pengembangan Kluster Industri Agro Sulawesi Tenggara atas segala bantuan dan partisipainya.
V. DAFTAR PUSTAKA Afoakwa E.O., 2008. Cocoa and Choclate Consuption (Are there aphrodisiac and other benefit for human health?). S.Afr. J. Clin Nutr. : 21 (3): pp.107-112. Anonymous, 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao. Setjen Deperindag R I. Jakarta. BPS Sulawesi Tenggara, 2013. Sulawesi Tenggara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara. p.522 Disbunhorti, 2013. Statistik Perkebunan 2012. Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara. Hannum SM., and Erdman JW. 2004. Emerging Health Benefit from Cocoa and Chocolate. Journal of Medicine Food, 3(2): 73-75 Hendayana R., 2003. Aplikasi Metode Location Quotiont (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. J. Informatika Pertanian Vol. 12 (12): pp. 1- 12
Herdhiansyah D., L. Sutiarso, D. Purwadi, dan Taryono, 2012. Strategi Pengembangan Potensi Wilayah Agroindustri Perkebunan Unggulan. Jurnal Teknik Industri, Vol. 13 (2): pp. 201 – 209. Miller, K. B., Hurst, W. J., Payne, M. J., Stuart, D. A., Apgar, J., Sweigart, D. S., Ou, B. 2008. Impact of alkalization on the antioxidant and flavanol content of commercial cocoa powders., J. Agric. Food and Chem. 8527-8533. Othman A., A.M.M. Jalil, K.K. Weng, A. Ismail, N. Abd.Gani, I. Adnan, 2010. Epicathecin Content and Antioxidant Capacity of Cocoa Beans from Four Different Countries. African Journal of Biotechnology Vol. 9(7): pp. 1052-1059. http://www.academicjournals.org/AJB. Sutikno dan Maryunani, 2007. Análisis Potensi Dan Daya Saing Kecamatan Sebagai Pusat Pertumbuhan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Kabupaten Malang. Journal Of Indonesian Applied Economics. Vol 1 (1): pp. 1 - 17 Tamrin, 2012 . Perubahan Aktivitas Antioksidan Bubuk kakao pada Penyangraian Vakum. Prosiding Insentif Riset Sinas – Kementrian Riset dan Teknologi. p. 86 – 91. Tamrin, Harijono, T. Estiasih, S.S.Yuwono, dan U. Santoso, 2012b. The Change Of Catechin Antioxidant During Vacuum Roasting Of Cocoa Powder. J. Nutrition and Food Sci., 2 (10) 1000174. ISSN: 2155-9600