Strategi Forum Komunikasi Waria Indonesia dalam Menghadapi Eksklusi Sosial Revita Maharani Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
[email protected], Himpunan Mahasiswa Sosiologi UI
Abstrak Kajian ini membahas bagaimana strategi Forum Komunikasi Waria Indonesia dalam membantu anggota-anggotanya menghadapi eksklusi sosial. Dikarenakan identitas gender yang tidak sesuai dengan nilai gender normatif, waria dihadapkan pada penolakan, diskriminasi dan bahkan eksklusi sosial. Eksklusi yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan negara, menyebabkan mereka harus hidup dalam perjuangan. Akibatnya, sebagian besar dari mereka putus sekolah dan bekerja di jalan sebagai pekerja seks. Skripsi ini menggunakan kerangka eksklusi sosial untuk menggambarkan berbagai bentuk penindasan yang dihadapi oleh waria. Dengan mengadaptasi kerangka eksklusi sosial dalam melihat kehidupan waria, maka dapat dipahami bagaimana waria telah dieksklusikan dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Studi ini mengarah pada kesimpulan bahwa eksklusi sosial pada waria merupakan permasalahan yang sistemik dan struktural. Melihat hal tersebut, maka peran organisasi penting adanya untuk dapat merubah hidup waria. Strategi Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) dalam menghadapi eksklusi, akan dibahas melalui kajian gerakan sosial, seperti sistem keterbukaan politik, framing, serta mobilisasi sumber daya. Kata kunci : Waria, Eksklusi Sosial, Gerakan Sosial
Forum Komunikasi Waria Indonesia Strategies to Confront Social Exclusion
Abstract This thesis discusses how the strategy of Forum Komunikasi Waria Indonesia in helping its members to confront social exclusion. Due to the gender identity that does not conform to normative gender values, waria (transsexuals) faced rejection, discrimination and social exclusion. Exclusion which conducted by families, communities and state, lead them to live in struggle. As result, most of them decide to drop out of school and working on the street as a sex worker. This thesis uses social exclusion framework to describe the various forms of oppression faced by waria. By adapting the framework of social exclusion, it can be understood how waria has been excluded from the social, economic, and political life. This study leads to the conclusion that social exclusion on transsexual is systemic and structural problems, thus presence of an important organizational role can change life for waria. The strategies of Forum Komunikasi Waria Indonesia to confront exclusion will be discussed through the study of social movements, such political opprtunity structure, framing, and resources mobilization. Keyword : Waria, Social Exclusion, Social Movements
1
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
PENDAHULUAN Dari sekian banyak aspek terkait dengan gender dan seksualitas manusia, laki-laki dengan karakteristik seperti perempuan, atau biasa disebut bencong maupun banci, merupakan suatu fenomena sosial yang dianggap wajar. Istilah bencong maupun banci digunakan untuk menggambarkan individu yang memiliki jenis kelamin laki-laki namun berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang perempuan. Namun, dikarenakan kedua istilah tersebut sering dihubungkan dengan penghinaan, maka digunakan istilah yang dianggap netral, yaitu waria 1 yang merupakan singkatan dari wanita-pria (Atmojo, 1986; Wieringa, Hidayana & Pakasi, 2012). Oetomo (2003) menyatakan bahwa istilah banci maupun waria dikonseptualisasikan oleh waria dan telah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara luas. Terkait dengan pembentukan istilah, masyarakat seringkali mengalami ketidakpahaman akan perbedaan antara waria dengan istilah-istilah seperti homoseksual, interseks, dan transvestit. Perbedaan persepsi ini perlu diluruskan agar terdapat satu pemahaman yang sama mengenai waria. Hingga saat ini, masyarakat seringkali menyamakan antara homoseksual dengan waria. Atmojo (dalam Anwar, 2006) menjelaskan bahwa waria dan homoseksual merupakan hal yang berbeda. Menurutnya, homoseksual merupakan bentuk relasi seks dengan jenis kelamin yang sama. Seorang homoseksual pada umumnya, tidak merasa perlu untuk merias diri dan berpakaian seperti yang dilakukan oleh waria. Perbedaan yang lain adalah dengan interseks. Interseks merupakan keadaan ekstrem interseksualitas dengan gangguan perkembangan pada proses pembedaan kelamin (Nadia, 2005). Demikian dengan transvestit yang merupakan keinginan individu untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelamin yang berbeda, dalam hal ini dirinya akan mendapat kepuasan seks namun dirinya tetap merasa sesuai dengan jenis kelaminnya, transvestisme biasanya terjadi di tahapan hidup dewasa individu (Brettell & Sargent, 1997). Tentunya hal ini berbeda dengan waria yang memakai pakaian atau atribut perempuan dikarenakan secara psikis waria merasa dirinya adalah “perempuan” (Koeswinarno, 2004). Jika ditelaah secara kultural, keberadaan waria memainkan peranan penting dalam beberapa kelompok etnis di Indonesia. Oetomo menyatakan bahwa dalam beberapa praktek kebudayaan, transvestisme telah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat tradisional (Oetomo, 2005; Wieringa, Hidayana & Pakasi, 2012). Van der Kroef (1992, dikutip dalam Howard, 1996; Wieringa, Hidayana & Pakasi, 2012) menjelaskan adanya tradisi transvestit pada beberapa suku di Indonesia, seperti suku Ngaju Dayak di Kalimantan, suku Bare’e Toraja di Sulawesi Tengah dan Suku Bugis di Sulawesi selatan. Individu yang mengekspresikan ambiguitas gender juga dapat dilihat pada pementesan kesenian tradisional, seperti warok-gemblak dari Jawa Timur serta pertunjukan ludruk dari Jawa Tengah (Peacock, 1987; Wilson, 1999; Wieringa, Hidayana & Pakasi, 2012). Kedua kesenian ini senantiasa menampilkan tokoh perempuan yang diperankan oleh laki-laki. Bali juga merupakan wilayah yang dianggap mudah untuk menemukan peran lintas gender dalam pertunjukan-pertunjukan tradisional. Sebagai contoh dalam pertunjukan dramatari Arja, dimana semua pemainnya adalah pria yang sebagian berperan sebagai perempuan. Di Indonesia, fenomena waria telah banyak dibahas dan diteliti dalam ranah kajian gender dan seksualitas (Ida, 2010). Pertanyaan-pertanyaan terkait dengan keberadaan waria seperti “Bagaimanakah perilaku waria dapat terbentuk?” atau pertanyaan “Faktor apa sajakah yang mempengaruhi terbentuknya perilaku tersebut?” seringkali dipertanyakan. Kenyataannya, perilaku waria tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang sederhana, hal ini disebabkan konflik identitas jenis kelamin yang dialami oleh waria hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidupnya. Hal inilah yang menarik untuk diteliti lebih dalam dikarenakan tidak semua orang dapat memahami dan mengetahui mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk. Secara individu, lahirnya perilaku waria tidak terlepas dari satu proses dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa kondisi fisik tidak sama dengan kondisi psikis. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun merasa dirinya selayaknya perempuan, dan berpenampilan tak ubahnya seperti perempuan (Koeswinarno, 2004). Melalui sudut pandang psikologi, waria merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk
1 Dalam Sexual Diversity in Indonesia (Wieringa, Hidayana & Pakasi, 2012) , disebutkan bahwa kata waria dapat berlaku sebagai kata tunggal maupun jamak, sehingga kata waria dapat menunjukkan waria sebagai individu ataupun waria sebagai suatu kelompok.
2
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
mendapatkan maupun dalam kemampuan untuk mencapai kepuasan seksual (Supratiknya, 1995). Di lain pihak, pandangan sosial beranggapan bahwa akibat dari penyimpangan perilaku yang ditunjukkan oleh waria dalam kehidupan sehari-hari, memunculkan konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan seperti mengucilkan, mencemooh, memprotes dan menekan keberadaan waria di lingkungannya (Koeswinarno, 2004). Hal ini dikarenakan dalam konteks budaya masyarakat yang menganut nilai-nilai gender normatif, waria dianggap sebagai suatu perilaku yang menyimpang dan dipandang sebagai dosa. Orientasi seksual waria yang tidak sesuai dengan hubungan heteroseksual2 membuat keberadaan waria cenderung mendapat penolakan keluarga, lingkungan, bahkan penolakan diri sendiri. Konflik dalam kehidupan waria telah dimulai dalam keluarga semenjak seorang anak teridentifikasi “menyimpang” secara seksual. Penolakan terhadap waria dalam hal ini disebabkan keberadaannya dipandang sebagai aib bagi keluarga. Konflik tersebut kemudian berujung pada tidak diterimanya keberadaan waria dalam ikatan kekerabatannya. Hal inilah yang tidak jarang mengakibatkan keberadaan seseorang sebagai waria harus “melarikan” diri dari tengah-tengah keluarganya. Penolakan keluarga terhadap waria secara langsung juga berpengaruh terhadap tingkat pendidikan waria yang kebanyakan berpendidikan rendah. Keputusan waria untuk meninggalkan keluarganya menyebabkan tertutupnya akses waria untuk memperoleh pendidikan. Tingkat pendidikan waria yang rendah juga disebabkan oleh penolakan waria terhadap nilai-nilai sekolah yang menganut sistem gender normatif, dimana kebanyakan waria menolak untuk menggunakan seragam laki-laki (Wieringa, Hidayana & Pakasi, 2012). Selain keluarga dan sekolah, media sebagai agen sosial juga berperan dalam pembentukan citra waria. Secara umum media di Indonesia memiliki ideologi yang seragam mengenai waria maupun kelompok homoseksual, bahwa keduanya merupakan sebuah perilaku yang menyimpang (Arianto & Triawan, 2008). Waria juga seringkali dijadikan objek kekerasan tersembunyi yang di balut dalam nuansa komedi. Dalam dunia hiburan, peran waria dapat dilihat dalam berbagai acara-acara komedi lawak dimana waria dianggap sebagai penyegar yang dapat membuat penonton tertawa. Tidak hanya kekerasan yang dilakukan dalam bentuk pemberitaan media massa, waria juga mengalami kekerasan fisik sebagai bentuk penolakan atas keberadannya. Kekerasan tidak hanya dilakukan oleh keluarga namun juga dilakukan oleh organisasi masa (Ormas) keagamaan maupun negara. Justifikasi agama dan moral, secara tidak langsung telah membenarkan dan memperbolehkan adanya tindak kekerasan dalam ‘menangani’ keberadaan waria. Tak jarang waria menerima penolakan yang terkadang diiringi degan tindak kekerasan ketika sedang menyelanggarakan acara-acara dalam upaya mengekspresikan diri. Sebagai contoh, pada 11 November 2000 di Yogyakarta, sekelompok remaja masjid menganiaya para gay dan waria yang tengah menghadiri seminar dalam rangka penanggulangan dan sosialisasi penyebaran HIV/AIDS di kalangan LGBT yang bertempat di Wisma Hastorenggo, Kaliurang, Sleman. Pada tahun 2005, tepatnya pada 26 Juni 2005 dalam kontes Miss Waria yang rutin dilaksanakan, panitia mendapat kecaman keras dari sebuah organisasi masa keagamaan. Diwakili seratus orang anggotanya, mereka menuntut panitia penyelenggara menghentikan dan membubarkan acara yang diselenggarakan di gedung Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. September 2010, lokasi pemutaran Q-film festival diserang oleh Ormas Front Pembela Islam (FPI). Serangkaian peristiwa di atas, secara jelas menggambarkan bagaimana negara seolah tak berdaya menghadapi Ormas yang menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya. Kekerasan yang seringkali dilakukan oleh organisasi massa maupun masyarakat seolah mendapat ‘lampu hijau’ pemerintah. Sikap pemerintah terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi, dirasa belum menunjukkan keseriusan dalam menindak secara hukum pelaku-pelaku kekerasan serta belum menunjukkan upaya dan langkah-langkah yang berarti dalam rangka menghapus praktik kekerasan atas nama agama3.Untuk memaksakan peran atau karakteristik gender yang diharapkan oleh nilai sosial, negara seringkali menggunakan pendekatan paksaan dan kekerasan.
2Heteroseksual
merupakan orientasi seksual, dimana individu memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya (Hill, 2008) 3 SETARA Institute. 2011. Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat: Implikasi terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta: Publikasi SETARA Institute
3
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
Rentetan penolakan dan pelecehan yang terkadang berujung pada tindak kekerasan, dapat menujukkan bahwa kehidupan seorang waria bukanlah kehidupan yang mudah untuk dijalani. Keputusannya untuk mejadi seorang waria pada akhirnya memunculkan apa yang disebut oleh Koeswinarno (2004) sebagai krisis identitas, yang tidak hanya berdampak secara psikologis namun juga berpengaruh dalam perilaku sosial mereka. Hal ini pada akhirnya memunculkan hambatanhambatan dalam melakukan hubungan sosial yang lebih luas, dimana waria mendapatkan kesulitan untuk dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Melihat hal tersebut, maka dibutuhkan suatu wadah yang dapat mengorganisir waria baik sebagai individu maupun kelompok, agar dapat dipandang dalam konstruksi sosial yang lebih jelas dan memiliki arti dalam kehidupan sosial pada umumnya (Koeswinarno, 2004). FKWI sebagai induk organisasi bagi organisasi-organisasi waria di Nusantara, memiliki peranan yang sangat penting dalam mengubah citra diri waria, dimana organisasi dapat menjadi alat pemindahan dari satu ruang sosial yang semula berada dalam hubungan sosial antar-waria semata, ke dalam ruang sosial yang jauh lebih luas (Koeswinarno, 2004). Berdasar kepada pemaparan yang telah diuraikan sebelumnya, maka studi ini ingin melihat bagaimana strategi Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) dalam menghadapi eksklusi sosial. Pertanyaan ini secara spesifik akan dibahas melalui tiga sub pertanyaan, yaitu (1) Apa saja bentuk eksklusi sosial yang dihadapi oleh anggota Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI), (2) Bagaimana peran Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) dalam membantu anggota-angotanya menghadapi eksklusi sosial yang dialami, dan (3) Faktor apa saja yang menghambat berjalannya Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) dalam mencapai tujuan, serta apa saja upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi hal tersebut. Melalui pertanyaan penelitian tersebut, studi ini berusaha untuk dapat memberikan gambaran bagaimana peran dari organisasi waria dalam membantu anggota-anggotanya menghadapi eksklusi sosial yang dialami, baik dari segi sosial, ekonomi, dan politik, sehingga terdapat gambaran mengenai bagaimana waria menjalani kehidupan mereka di dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan bahwa eksklusi sosial tidak hanya terkait dengan kurangnya kekayaan material semata, namun juga terdapat andil dari eksklusi simbolik dan deprivasi sosial yang pada akhirnya mempengaruhi pengembangan kualitas antara waria sebagai individu maupun kelompok, dengan masyarakat maupun negara. Lebih lanjut, dalam penelitian ini studi eksklusi sosial dikaitkan dengan kajian mengenai gerakan sosial untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai strategi FKWI dalam menghadapi eksklusi sosial. Penelitian ini menggunakan kajian gerakan sosial untuk menggambarkan bagaimana peran FKWI dalam mengupayakan peningkatan kesejahteraan hidup waria sebagai kelompok marginal. Selain itu juga dilihat sejauh mana peran organisasi waria dalam mengakomodir anggota-anggotanya untuk mendapatkan rekognisi sosial. Melalui kajian gerakan sosial, peneliti dapat memaparkan bagaimana organisasi waria sebagai suatu tindakan kolektif melakukan upaya-upaya untuk mencapai tujuannya dalam memperjuangkan hak-hak waria sebagai warga negara maupun sebagai bagian dari masyarakat. Dalam menjawab pertanyaan penelitian, studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara mendalam, serta studi data sekunder. Subjek penelitian berjumlah delapan orang informan yang merupakan anggota FKWI, berperan sebagai pengurus harian, serta aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan. Penentuan informan penelitian menggunakan purposive sampling untuk mendapatkan informasi mendalam dari informan-informan tersebut. Selain melakukan observasi dan wawancara mendalam terhadap delapan orang informan, peneliti mengumpulkan data sekunder yang didapatkan melalui literatur ilmiah, jurnal akademis, buku-buku mengenai waria, artikel serta data-data yang diakses melalui internet. Data sekunder digunakan sebagai bahan referensi peneliti serta berguna untuk validitas dan realibilitas penelitian yang dilakukan. Untuk memperkaya data, peneliti juga melakukan penyebaran angket dengan teknik random sampling yang dilakukan terhadap 30 orang anggota FKWI. Hal ini digunakan untuk mendapatkan data tambahan terkait dengan pertanyaan penelitian mengenai respon waria terhadap eksklusi sosial serta sejauh mana peran FKWI dalam membantu waria menghadapi eksklusi yang dialami.
4
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka berperan penting dalam memberi landasan berpikir sebelum, saat, atau setelah peneliti melakukan penelitian. Terdapat lima penelitian terdahulu yang digunakan oleh peneliti karena memiliki keterkaitan dan dapat menjadi rujukan, baik dari segi tujuan penelitian, penggunaan teori sebagai rangka berpikir, metode yang digunakan, maupun hasil penelitian. Penelitian Sharyn Graham (2002) yang berjudul Sex, Gender, and Priest in South Sulawesi, Indonesia menjadi fondasi berpikir bagi peneliti dalam melihat permasalahan eksklusi sosial yang dihadapi oleh waria saat ini, dimana waria dianggap sebagai perilaku yang menyimpang karena tidak sesuai dengan nilai-nilai heteroseksual. Melalui wawasan historis dan etnografis mengenai keberadaan Bissu, diharapkan dapat memberi konstribusi substansial terhadap pemahaman akan keberagaman gender sebagai bagian dari nilai-nilai kultur tradisional. Dilanjutkan dengan tesis Ekasari (2011) yang berjudul Studi Fenomenologi : Pengalaman Waria Remaja dalam Menjalani Masa Puber di Wilayah DKI Jakarta, menjadi bahan rujukan peneliti untuk dapat melihat bagaimana pengalaman waria remaja dalam menjalani masa pubernya. Tesis ini dapat menjadi acuan peneliti dalam melihat gambaran pembentukan identitas waria remaja yang diidentifikasi oleh Ekasari sebagai vulnerable population. Melalui penelitiannya, Ekasari mengkategorikan waria remaja ke dalam beberapa faktor, yaitu faktor biologic risk, economic risk, dan lifestyle risk. Melalui faktor-faktor tersebut, peneliti mendapat pemaparan akan kehidupan informan yang mengalami kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini dapat membantu peneliti dalam mengidentifikasikan bentuk-bentuk eksklusi yang biasanya terjadi dalam kehidupan waria. Namun peneliti juga melihat penggunaan konsep waria sebagai vulnerable population dengan kritis agar tidak me-reproduksi stigma terhadap waria. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekasari, penelitian yang dilakukan oleh Tresnowaty dan Sutarmanto (2009) yang berjudul Kesejahteraan Subjektif Pada Waria Pekerja Seks Komersil mencoba mengangkat isu kesejahteraan subjektif waria yang berprofesi sebagai pekerja seks. Hal ini bertolak belakang dengan kebanyakan penelitian mengenai kehidupan waria, dimana kebanyakan penelitian mengangkat sisi kehidupan waria yang identik dengan diskriminasi dan penolakan. Melalui hasil penelitian ini, peneliti dapat membuat kerangka berpikir mengenai faktor-faktor apa yang dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif waria dan siapakah yang berperan dalam membantu waria meningkatkan kesejahteraannya. Tinjauan pustaka yang mengkaji isu eksklusi sosial terhadap waria maupun kelompok LGBT tertuang dalam buku yang ditulis oleh Arianto dan Rido Triawan (2008) yang berjudul Jadi Kau Tak Merasa Bersalah!?: Studi Kasus Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap LGBT. Dalam bukunya, penulis memberikan gambaran bagaimana posisi kelompok LGBT, menjadi pihak yang didiskriminasikan tidak hanya oleh keluarga dan masyarakat, namun juga oleh negara. Buku ini membantu peneliti dalam memberikan rujukan akan kebijakan dan undang-undang yang dianggap mendiskriminasikan kelompok LGBT, bahwa pada kenyataannya negara di satu sisi mengakomodir peraturan yang melarang segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia namun di sisi lain negara juga membuat kebijakan dan peraturan yang mendiskriminasikan kelompok LGBT. Peneliti juga menggunakan skripsi Arman Ryansyah (2011) yang berjudul Eksklusi Hak-Hak sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan untuk digunakan sebagai tinjauan pustakan dalam mengkaji isu eksklusi sosial yang terkait dengan konstruksi identitas. Skripsi ini dipilih peneliti sebagai bahan rujukan teoritis, dimana dalam skripsinya, Ryansyah menggunakan tiga dimensi eksklusi dalam menjelaskan bagaimana kebijakan dan peraturan negara secara tidak langsung berpengaruh terhadap eksklusi sosial yang dialami oleh komunitas penghayat kepercayaan. Dalam penelitian ini ketiga dimensi eksklusi akan digunakan sebagai acuan teoritis dalam menganalisa bentuk-bentuk eksklusi yang dialami oleh waria. Melalui ketiga dimensi eksklusi pula, peneliti akan menggunakannya untuk dapat menganalisa bagaimana peran organisasi waria dalam membantu anggota-anggotanya merespon eksklusi sosial yang dihadapkan kepada mereka. Terakhir, peneliti menggunakan skrispi Agnes Theodora Gurning (2003) yang berjudul Organisasi Lesbian dan Aktivitasnya sebagai Wujud Gerakan Sosial: Studi Kasus Organisasi Lesbian di Jakarta, sebagai bahan rujukan teoritis dan metodelogis. Sebagai bahan rujukan teoritis, penelitian ini berpusat pada isu gerakan sosial yang digunakan peneliti sebagai alat analisis bagi peran organisasi dalam membantu anggota-angotanya menghadapi eksklusi sosial yang dialami. Dalam skripsinya
5
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
Agnes menjelaskan bagaimana organisasi lesbian sebagai suatu gerakan sosial, memiliki unsur kolektivitas yang di dalamnya terdapat tujuan dan kepentingan kolektif, serta tindakan kolektif. Selain itu keberadaan mereka juga sudah dapat memenuhi karakter sebagai gerakan sosial. Kerangka Pemikiran Dari sekian banyak aspek terkait dengan gender dan seksualitas manusia, fenomena waria dianggap sebagai suatu fenomena yang menarik. Wacana mengenai fenomena waria, merupakan wacana dalam ruang keprihatinan yang kompleks. Jika dilihat melalui konteks budaya masyarakat yang menganut paham identitas gender biner, identitas waria dan homoseksual dianggap sebagai suatu perilaku yang menyimpang. Hal ini dikarenakan individu diharapkan untuk dapat mengasumsikan jenis kelamin atas dasar seks biologis sama seperti peran gender yang dilekatkan pada dirinya, dimana setiap individu harus dapat memberlakukan gender dalam cara-cara yang secara sosial dikenali dan diakui (West dan Fenstermaker, 1995; Gagne dan Tewksbury, 1997). Melekatnya sistem kepercayaan gender pada infrastruktur sosial, mengakibatkan gender dan identitas gender dipelajari dan dicapai pada tingkat interaksi, direifikasi pada tingkat kultural dan diberlakukan pada tingkat kelembagaan melalui institusi-institusi sosial. Melalui mekanisme pewarisan budaya, identitas gender diturunkan dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah “kewajiban” yang harus dijalani jika ingin dianggap sebagai “laki-laki” maupun “perempuan”. Keluarga sebagai agen sosial pertama, mulai mensosialisasikan gender melalui bahasa, jenis permainan, atau tontonan di televisi. Kepercayaan terhadap sistem gender dominan ini pada akhirnya menghasilkan kesulitan bagi individu-individu yang memiliki jenis kelamin di luar sistem gender biner, sehingga mereka sulit untuk dapat menerima dan memahami diri sendiri agar identitasnya diakui secara sosial. Pengklasifikasian manusia terhadap jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, membuat mereka yang mengekspresikan karakteristik di luar gendernya akan terstigmatisasi dan seringkali dianggap sebagai penyimpangan sosial. Terjadinya inkonsistensi antara jenis kelamin biologis dan ekspresi gender biasanya tidak dapat ditoleransi oleh orang lain (Gagne & Tewksbury, 1997). Individu yang tidak mampu mengembangkan praktek gender sesuai dengan seks yang dimilikinya maka mereka akan dianggap sebagai deviant atau menyimpang. Kegagalan waria dalam mengadopsi nilai-nilai maskulin pada akhirnya membuat waria dihadapkan kepada keadaan dimana dirinya ditolak oleh sistem gender yang dianut oleh masyarakat. Prasangka dan stereotipe yang dimunculkan oleh masyarakat akibat dari identitas gender waria yang dianggap menyimpang, membuat waria menjadi sasaran empuk penolakan dan diskriminasi. Dalam konsep diskriminasi, kelompok yang terdiskriminasi umumnya terpinggirkan dan terhambat aksesnya untuk mencapai kehidupan yang dianggap normal. Menurut Kornblum, diskriminasi didasarkan pada keyakinan bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri tersebut lebih rendah sehingga mereka dapat didiskriminasi (Light, Keller & Calhoun, 1989; dalam Ryansyah, 2011). Hal serupa juga diutarakan oleh Banton, dimana diskriminasi diartikan sebagai sebuah perlakuan berbeda terhadap orang-orang yang dikelompokkan dalam kategori khusus seperti ras, etnis, agama dan gender (Banton,1967; dalam Ryansyah, 2011). Kegagalan waria dalam mengadopsi nilai-nilai maskulin pada akhirnya membuat waria dihadapkan kepada keadaan dimana dirinya ditolak oleh sistem gender yang dianut oleh masyarakat. Sebagai sebuah kelompok minoritas, waria dihadapkan kepada hambatan-hambatan yang terjadi dikarenakan masyarakat dan negara belum sepenuhnya mengakui dan mengakomodasi identitas mereka. Atribut gender yang disandang oleh waria mengakibatkan terjadinya proses diskriminasi dalam dua level yaitu baik level individual maupun level struktural, hal inilah yang pada akhirnya membawa waria kepada eksklusi sosial yang multidimensional. Eksklusi Sosial Eksklusi sosial merupakan keadaan dimana individu tidak dapat berperan secara penuh di masyarakat dikarenakan secara sistematik dan struktural tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang setara dengan anggota masyarakat lainnya (Seda, 2006). Eksklusi sosial tidak hanya berhubungan dengan kurangnya kekayaan material, namun juga eksklusi simbolik, deprivasi sosial, serta kurangnya partisipasi dalam institusi sosial. Ini juga terkait dengan pengembangan kualitas dari hubungan antara individu dan masyarakat (Silver, 1994). Townsend (dalam Bhalla dan lapeyre, 1999) membedakan antara dua tipe deprivasi: yaitu deprivasi material (terkait dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya) serta deprivasi sosial (keluarga, hubungan sosial dan
6
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
pendidikan). Deprivasi sosial merujuk kepada kondisi dimana individu tidak dapat memasuki bentuk keluarga dan hubungan sosial yang ada. Fokus utama yang diangkat oleh Townsend terkait dengan eksklusi lebih kepada interaksi sosial dibandingkan dengan isu material. Eksklusi sosial merupakan wacana yang multidimensional dan terkait dengan proses struktural. Hingga saat ini, banyak orang-orang yang tereksklusi tidak hanya dari segi ekonomi ,sosial, maupun geografis saja, namun juga terkeklusi dari simbol-simbol yang ada. Fragmentasi masyarakat, perkembangan aktivitas informal serta munculnya konflik dalam solidaritas memberikan pengaruh yang besar terhadap kohesi sosial. Proses tersebut pada akhirnya menghasilkan keretakan dalam masyarakat dengan nilai dan kepentingan umum yang lebih sedikit (Dahrendorf, 1995: 16; Bhalla dan Lapeyre, 1999). Gagasan mengenai eksklusi sosial memberikan penekanan terhadap risiko yang terkait dengan gangguan yang ada pada struktur sosial dan hilangnya nilai-nilai kolektif. Strobel (1996; dalam Bhalla dan Lapeyre, 1999) mencatat pembahasan mengenai eksklusi yang menjadi pertanyaan fundamental dari penguatan sosial yang secara tidak langsung mengartikan bahwa masyarakat menjamin adanya solidaritas diantara angotanya. Saat ini semakin bertambah individuinidvidu yang menderita akibat dari deprivasi sosial dan ekonomi, mereka merupakan kelompok yang secara keseluruhan maupun parsial tereksklusi dari lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal (Galtung, 1995; Bhalla dan Lapeyre, 1999). Eksklusi sosial juga dapat diartikan sebagai bentuk eksploitasi. Tilly (1998; Bhalla dan Lapeyre, 1999) menjelaskan eksklusi dalam istilah eksploitasi didefinisikan sebagai situasi dimana anggotanya membutuhkan jaringan terhadap akses sumber daya dan dukungan terhadap aktifitas jaringan. Ekploitasi yang dimaksud oleh Tilly merujuk kepada monopoli yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain. Sementara itu keterkaitan antara eksklusi sosial dengan identitas juga dibahas oleh Sullivan (2002) dalam makalahnya yang berjudul “Social Exclusion, Social Identity And Social Capital: Reuniting The Global, The Local and The Personal.” Eksklusi sosial dapat dipahami dalam konteks identitas, individu-individu mengalami eksklusi sosial sebagai sebuah konsekuensi dari identitas personal mereka, sementara kelompok atau komunitas yang mengalami eksklusi sosial diakibatkan konsekuensi dari identitas kolektif kelompok mereka (Sullivan, 2002). Sullivan (2002) juga mengatakan bahwa ketika identitas individu seseorang atau identitas kolektif suatu kelompok atau komunitas mengalami ancaman dalam relasinya dengan kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu, biasanya individu atau kelompok tersebut memilih sebuah strategi untuk mengatasi eksklusi sosial tersebut lewat sebuah keanggotaan pada sebuah kelompok alternatif atau kategori sosial tertentu yang dapat memberikan masukan atau feedback positif untuk terus menjaga sebuah identitas yang sifatnya positif. Banyaknya definisi mengenai eksklusi yang dilihat melalui beragam sudut pandang, menjelaskan bahwa eksklusi sosial merupakan pendekatan baru dalam menganalisa permasalahan sosial. Hal ini dikarenakan eksklusi merupakan konsep yang multidimensional, terdiri dari beberapa dimensi. Oleh karena itu, penulis menggunakan dimensi-dimensi eksklusi sosial untuk melihat bagaimana eksklusi sosial yang terjadi dalam kehidupan waria. Dalam kajian menganai eksklusi ini kita dapat mengkajinya kedalam tiga dimensi. Tiga dimensi dalam mengkaji eksklusi sosial (Bhalla,2004:13), yaitu (1) Dimensi Sosial, (2) Dimensi Ekonomi, dan (3) Dimensi Politik. Melalui tiga dimensi eksklusi sosial, peneliti akan mencoba untuk mengidentifikasi bagaimana gambaran proses dan bentuk-bentuk eksklusi yang dialami oleh organisasi waria, sebagai akibat dari identitas gender yang tidak sesuai dengan nilai-nilai heteroseksual yang dianut oleh masyarakat. Lebih lanjut, penjabaran mengenai bentuk-bentuk eksklusi yang dihadapi oleh organisasi waria, akan dikaitkan dengan kajian gerakan sosial untuk menggambarkan bagaimana peran organisasi waria sebagai suatu gerakan sosial dalam memobilisasi anggota-anggotanya memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Gerakan Sosial Dalam satu dekade terakhir ini, perspektif gerakan sosial didominasi oleh pendekatan political approach. Pendekatan ini melihat gerakan sosial dalam kerangka state-centerdness, menjadikan negara sebagai target dari gerakan sosial, karena negara merupakan satu-satunya otoritas (source of power) (Armstrong dan Bernstern, 2008). Namun, pandangan ini mendapatkan banyak kritikan, terutama sejak mulai berkembangnya, apa yang disebut Tilly (1998) sebagai new social movements, yaitu gerakan-gerakan yang berbasis pada isu-isu seperti lingkungan, preferensi seksual,
7
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
dan gender. Sehingga hadirlah berbagai definisi baru mengenai gerakan sosial, salah satunya adalah definisi Snow (2004:11), yang mengatakan: “….social movements can be thought of as collectivities acting withsome degree of organization and continuity outside of institutional ororganizational channels for the pure of challenging or defending extantauthority, whether it is institutionally or culturally based, in the group, organization, society, culture, or world order of which they are apart.” Dari pernyataan itu, Snow mendefinisikan gerakan sosial sebagai gerakan kolektif yang terorganisasi dan berkelanjutan, bertujuan untuk menentang otoritas yang ada, baik secara institusi maupun kultural. Penjelasan Snow menunjukkan bahwa negara bukanlah satu-satunya source of power and authority. Gerakan sosial tidak hanya menjadikan negara sebagai targetnya, namun juga berbagai otoritas lain dari berbagai institusi dan cultural meaning yang menjadi bagian dari masyarakat. Bagi Snow (2011), gerakan sosial menentang apa yang disebut sebagai institutional authority – baik yang berada pada area politik seperti negara maupun yang lainnya seperti korporasi, agama atau dunia pendidikan – atau bentuk-bentuk cultural authority seperti sistem kepercayaan atau praktik dari sistem kepercayaan tersebut. Melihat penjelasan di atas, maka didapatkan gambaran bahwa gerakan sosial diidentikkan dengan gerakan yang bernuansa politik, menyoroti pemerintahan dan melakukan perlawanan sebagai upaya dalam mencapai perubahan. Dalam menjawab pertanyaan penelitian mengenai upaya atau strategi FKWI dalam menghadapi bentuk-bentuk eksklusi, maka dibutuhkan pembahasan yang bersifat komprehensif dan integral antara political opportunity structure (SKP), resources mobilization theory, dan collective action frames (McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996), dimana ketiganya merupakan faktor dari muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial. Political opportunity structure (struktur kesempatan politik/SKP) merupakan konsep yang menyatakan bahwa kondisi struktur politik memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan suatu gerakan sosial. Secara umum, hambatan atau kesempatan politik bagi suatu gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori, yaitu: pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola hubungan tertutup menciptakan hambatan bagi gerakan sosial, sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi munculnya gerakan akibat dari politik yang lebih komprehensif antara elite, antara partai politik, dan antara kelompok kepentingan. Semakin terbuka iklim politik, semakin memberikan kesempatan untuk muncul dan berkembangnya gerakan sosial, dan begitupula sebaliknya, semakin tertutup iklim politik, semakin tertutup kesempatan muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial (Muhtadi, 2011). Kondisi struktural yang kondusif tidaklah cukup bagi perkembangan suatu gerakan sosial. Gerakan sosial juga memerlukan apa yang disebut sebagai bagian dari pengemasan ideologi untuk dapat diterima berbagai pihak. Inilah yang disebut collective action frames yang merupakan bagian dari sebuah proses framing dalam gerakan sosial, yakni semacam skema intepretasi yang merupakan sekumpulan beliefs and meanings dan berorientasi pada aksi yang menginspirasi dan melegitimasi aktivitas sebuah organisasi gerakan sosial. Berkaitan dengan proses framing, Snow dan Benford (2000; dalam Situmorang, 2007) menyebutkan dua hal yang menjadi perhatian utama, yang disebut core framing tasks. Pertama adalah diacnostic framing, yaitu yang dikonstruksikan dalam sebuah gerakan sosial guna memberikan pemahaman mengenai situasi dan kondisi yang sifatnya problematik. Kondisi mengenai apa atau siapa yang disalahkan, sehingga membutuhkan adanya suatu perubahan (Situmorang, 2007). Dalam level ini, aktor-aktor gerakan sosial mendefinisikan permasalahanpermasalahan apa saja yang menjadi isu utama yang membuat mereka menginginkan adanya perubahan. Kedua, prognostic framing, yaitu artikulasi solusi yang ditawarkan bagi persoalanpersoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Dalam aktivitas prognostic framing ini gerakan sosial juga melakukan berbagai penyangkalan atau menjamin kemanjuran dari solusi-solusi yang ditawarkan (Situmorang, 2007). Selanjutnya, setiap gerakan sosial tentunya membutuhkan sumber daya untuk bisa menjalankan aktivitas kolektifnya. Dalam hal ini, gerakan sosial memiliki beberapa tugas penting seperti memobilisasi pendukung, mengorganisasi sumber daya, yang—dalam level yang lebih jauh— berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat secara umum terhadap cita-cita gerakan. Inilah konsep yang disebut resources mobilization (Opp, 2009). Konsep ini secara mendasar
8
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
berusaha mengetahui bagaimana sebuah kelompok mengupayakan resources yang mereka miliki untuk bisa melakukan perubahan sosial dan tercapainya tujuan kelompok (Edwards dan McCarthy, 2004). Konsep ini berusaha melihat dorongan upaya, baik secara kolektif maupun individual, yang muncul sebagai bagian dari pencapaian tujuan yang dimiliki oleh gerakan sosial. Resources sebetulnya memiliki makna yang begitu luas. Resources dapat terdiri dari kekuatan finansial, akses terhadap media, dukungan simpatisan, loyalitas grup. Ia juga bisa terdiri dari kepemilikan ruang/gedung, pengetahuan (stock of knowledge), dan skill (keahlian) yang dimiliki oleh aktor (Opp, 2009), termasuk di dalamnya ideologi dan nilai gerakan. Resources adalah “goods” dalam terminologi ekonomi. Hanya saja hal itu dimaknai dalam arti yang lebih luas, yakni sesuatu yang memiliki nilai manfaat (utility).Tetapi tidak semua hal yang memiliki nilai manfaat bisa disebut sebagai resources. Hal itu baru bisa disebut sebagai resources ketika individu atau aktor kolektif bisa mengontrolnya dan memanfaatkannya guna tercapainya tujuan gerakan. Kerangka resources mobilization ini menjelaskan dua aspek sekaligus. Pertama, mengenai sumberdaya fisik, non-fisik, ataupun finansial yang dimiliki oleh sebuah gerakan seperti bangunan, uang, pengetahuan, atau keahlian tertentu. Sumber daya tersebut bisa dikontrol baik secara individual maupun kolektif oleh kelompok. Kedua, mobilisasi merupakan suatu proses tak terpisahkan yang para aktornya berusaha memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai tujuan dari gerakan. STRATEGI WARIA DALAM MENGHADAPI EKSKLUSI SOSIAL Menjadi perempuan normal bagi kebanyakan waria merupakan suatu impian bahkan tujuan. Perubahan identitas gender dari seorang laki-laki menjadi perempuan bukanlah suatu keputusan yang mudah untuk dilakukan, dibutuhkan keberanian yang besar untuk dapat melakukan perubahan. Tidak hanya itu, orang-orang yang terlibat di dalamnya harus siap terhadap segala hal yang menanti di depan mereka. Tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah bagaimana cara untuk tetap mempertahankan eksistensi diri, mengingat baik sebagai individu maupun kelompok, waria memilih untuk menentang nilai-nilai gender normatif yang telah diadopsi oleh masyarakat secara turun temurun dikarenakan pilihan mereka atas identitas gendernya. Melihat hal tersebut maka dibutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidup para waria. Hal ini dilakukan agar dapat dipahami bagaimana para waria berusaha untuk mempertahankan identitas gendernya yang dianggap menyimpang oleh masyarakat. Melalui hasil wawacara dan survey terhadap tiga puluh orang anggota FKWI, maka akan dijelaskan bagaimana proses pembentukan identitas yang diawali dengan penolakan dan diskriminasi, hingga pada akhirnya berujung kepada terjadinya eksklusi dalam dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Diskriminasi sebagai tahap Awal Terjadinya Eksklusi Berbicara mengenai penolakan, diskriminasi dan bahkan eksklusi pada waria, maka tidak dapat dilepaskan dari bagaimana proses identitas gender tersebut dapat terbentuk. Melalui mekanisme pewarisan budaya, identitas gender diturunkan dari generasi ke generasi. Pengadopsian identitas gender yang sesuai dengan peran-peran gender menjadi sebuah “kewajiban” yang harus dijalani jika ingin dianggap sebagai “laki-laki” maupun “perempuan” yang diakui oleh masyarakat. Pembagian peran yang didasarkan kepada jenis kelamin biologis digunakan sebagai alat untuk menentukan kepribadian dan karakter individu. Berdasarkan hasil data temuan, keluarga memainkan perana penting dalam proses eksklusi sosial yang terjadi. Keluarga merupakan agen sosial pertama yang memiliki kewajiban untuk dapat mensosialisasikan peran dan perilaku gender sesuai dengan harapan masyarakat. Proses sosialisasi gender yang menjadikan sistem gender biner sebagai acuan, diterapkan melalui pakaian, bahasa, jenis permainan, atau tontonan di televisi. Dalam prosesnya pula, individu juga akan mempelajari pembagian peran yang membagi laki-laki dan perempuan ke dalam konstruksi nilai maskulin dan feminin. Data temuan dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa sifat feminin muncul sejak mereka masih kecil, sekitar umur lima hingga sepuluh tahun, meskipun terdapat beberapa yang mengatakan baru merasakan sifat feminin ketika menginjak usia 17 tahun. Kemunculan sifat feminin ini ditunjukkan dengan keinginan untuk menggunakan atribut perempuan, seperti pakaian milik ibu ataupun kakak perempuan, maupun lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman perempuan dengan ikut bermain boneka-bonekaan atau masak-masakan. Ini pada akhirnya menguatkan perilaku dan sifat feminin dari para waria. Ketika hal ini semakin sering ditampilkan di
9
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
depan publik, termasuk keluarga sebagai agen sosial, maka hal yang terjadi selajutnya adalah kemunculan penolakan terhadap nilai-nilai yang dianggap menyimpang dari aturan yang telah berlaku. Inkonsistensi antara jenis kelamin biologis dan ekspresi gender tersebut biasanya tidak dapat ditoleransi oleh orang lain (Gagne & Tewksbury, 1997). Individu yang tidak mampu mengembangkan praktek gender sesuai dengan seks yang dimiliki akan dianggap sebagai deviant atau menyimpang. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan penolakan keluarga terhadap keberadaan anak laki-laki dengan sifat dan perilaku feminin. Pembentukan identitas gender yang tidak sesuai dengan sosialisasi gender normatif telah menghasilkan penolakan-penolakan lingkungan sosial terhadap individu-individu yang dianggap menyimpang, termasuk keluarga. Terjadinya penolakan dalam keluarga selanjutnya memunculkan pertanyaan, siapa pihak yang paling menolak keadaan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan survey yang dilakukan terhadap tiga puluh anggota FKWI, penolakan biasanya berasal dari pihak laki-laki di dalam keluarga. Baik pihak ayah maupun saudara laki-laki menolak adanya “penyimpangan” atas peran maskulin yang seharusnya dianut oleh informan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Boellstorff (2004) dalam The Emergence of Political Homophobia in Indonesia, dimana Boellstorff mengangkat kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat keagamaan terhadap waria dan kelompok homoseksual lainnya. Boellstorff (2004) menyatakan bahwa The perpretrators of this violence are not just expressing religious belief but reacting to a feelings of ‘malu’, a complex term that can be provisionally rendered as shame, ini menujukkan bagaimana kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama menghasilkan sikap homophobia yang muncul bukan sekedar dikarenakan respon religi semata, namun sebagai reaksi atas rasa malu yang berhubungan dengan representasi bangsa yang identik dengan nilai maskulin. Tidak jauh berbeda dengan kelompok agama, pihak laki-laki dalam keluarga menolak keberadaan anak atau saudara laki-laki mereka yang bersifat feminin, dikarenakan sebagai agen sosialisasi nilai-nilai maskulin, mereka dianggap telah mengalami kegagalan. Bukan hal yang aneh apabila mereka melakukan berbagai cara untuk mengembalikan anak atau saudara laki-laki mereka yang dianggap menyimpang agar kembali pada peran-peran nilai maskulin yang seharusnya. Tidak jarang penggunaan tindak kekerasan dilakukan sebagai salah satu cara untuk memperlihatkan bagaimana sosok maskulinitas laki-laki. Hasil wawancara dan survey yang dilakukan memperlihatkan bahwa kebanyakan waria mendapatkan perlakuan kasar dari ayah maupun saudara laki-laki mereka dalam bentuk celaan, hinaan, tindak kekerasan seperti pemukulan, dan yang terparah adalah tidak diakuinya para waria sebagai bagian dari keluarga. Hinaan, celaan maupun tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak laki-laki dalam keluarga tentunya diiringi dengan memasukkan nilai-nilai maskulinitas yang seharusnya diadopsi oleh para waria. Namun, patut untuk diperhatikan bahwa penolakan dan tindak kekerasan yang dilakukan justru membuat para waria semakin menjauh dari nilai-nilai maskulin dan secara tidak langsung memperkuat kedekatan dengan pihak ibu dan saudara perempuan mereka. Ini ditunjang dengan minimnya penolakan yang diberikan oleh pihak perempuan dikarenakan hal tersebut deringkali dianggap lucu dan pada akhirnya dibiarkan begitu saja terjadi tanpa disadari adanya kemungkinan anak maupun saudara laki-laki mereka lebih mengadopsi nilainilai feminin dibandingkan dengan nilai maskulin. Hal ini juga diperkuat dengan terbukanya akses terhadap penggunaan atribut perempuan milik ibu maupun saudara perempuan, dimana kebanyakan anggota FKWI dalam hasil survey mengatakan seringkali bermain menggunakan pakaian dan alat makeup milik ibu maupun kakak perempuannya. Kurangnya contoh bagi nilai maskulin yang seharusnya didapatkan dari pihak ayah maupun saudara laki-laki serta kedekatan dengan pihak perempuan dalam keluarga secara tidak langsung telah menguatkan nilai-nilai feminin pada diri para waria. Hal ini diperkuat pula dengan penolakan lingkungan sekolah, sebagai penolakan lanjutan yang didapatkan para waria dalam penelitian ini. Dalam institusi pendidikan, pembagian peran gender biner mulai dipraktekkan dan di kembangkan. Hal ini diterapkan melalui pemakaian seragam sekolah yang secara jelas membagi perempuan dan laki-laki ke dalam atribut-atribut peran gender. Berdasarkan hasil wawancara dan survey terhadap anggota FKWI, dikatakan bahwa penggunaan seragam sekolah yang dibagi bersadarkan jenis kelamin, membuat mereka menolak untuk berangkat ke sekolah. Sebagai contoh, informan Ade yang mengatakan bahwa dirinya menolak untuk menggunakan seragam anak laki-laki ketika duduk di bangku SD. Keinginannya untuk memakai seragam anak perempuan, membuat dirinya tidak hanya bermasalah dengan institusi pendidikan saja, namun juga dengan keluarga. Namun tidak semua
10
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
anggota FKWI mengatakan demikian, adapula yang mengatakan bahwa menggunakan seragam bukanlah suatu persoalan besar. Permasalahan justru datang dari teman sebaya laki-laki yang seringkali mengolok-olok atau mencela mereka dengan sebutan bencong atau banci. Selain itu penolakan teman sebaya laki-laki terhadap keberadaan teman laki-laki yang dianggap tidak sesuai denga peran yang seharusnya dimunculkan, yaitu peran maskulin, membuat para waria ini tidak diikutsertakan dalam kegiatankegiatan yang biasanya dilakukan oleh anak laki-laki lainnya. Selain itu, penolakan teman sebaya laki-laki terhadap sifat para waria yang feminin diakui telah menghasilkan jarak sehingga membuat para waria lebih memilih untuk bermain dengan anak-anak perempuan yang dianggap tidak pernah mempermasalahkan sifat dan perilaku feminin mereka. Hal ini menunjukkan bahwa penolakan untuk ikut serta dalam aktifitas peer group laki-laki di sekolah yang diperkuat dengan celaan dan hinaan yang biasanya dilontarkan akibat dari sifat dan perilaku yang tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka, membuat kebanyakan waria lebih memilih untuk bermain dengan teman perempuan. Tentunya, hal ini membuat waria-waria semakin menjauh dari nilai-nilai maskulin yang biasanya diadopsi dari teman sebaya laki-laki. Penolakan dan diskriminasi yang dilakukan oleh keluarga serta lingkungan sosial yang dalam hal ini adalah institusi pendidikan membuat para waria memilih untuk menjauhkan diri dari lingkungan sosialnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Galtung (1995; dalam Bhalla dan Lapeyre, 1999) bahwa saat ini semakin bertambah individu-inidvidu yang menderita akibat dari deprivasi sosial dan ekonomi, mereka merupakan kelompok yang secara keseluruhan maupun parsial tereksklusi dari lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal. Ini terkait dengan bagaimana sistem gender biner telah ter--hegemonikan dalam kehidupan masyarakat, tak terkecuali keluarga. Eksklusi Sosial pada Waria Sullivan dalam makalahnya yang berjudul “Social Exclusion, Social Identity And Social Capital: Reuniting The Global, The Local and The Personal”, menyatakan bahwa eksklusi sosial dapat dipahami dalam konteks identitas, dimana individu-individu mengalami eksklusi sosial sebagai sebuah konsekuensi dari identitas personal mereka, sementara kelompok atau komunitas yang mengalami eksklusi sosial, diakibatkan oleh konsekuensi dari identitas kolektif kelompok mereka (Sullivan, 2002). Waria sebagai pihak yang tidak sesuai dengan pengklasifikasian gender biner dihadapkan kepada penolakan atas identitas personal mereka. Hal ini dikarenakan ketika waria sebagai individu memunculkan peran yang tidak sesuai dengan peran gender yang seharusnya ia adopsi, maka dirinya akan dikarakteristikkan sebagai pihak yang dianggap menyimpang. Individu tersebut akan dimasukkan ke dalam kategori waria yang lebih luas yaitu waria sebagai identitas kolektif, bukan lagi sebagai identitas personal. Akibatnya adalah, mereka semakin mendapat diskriminasi yang berujung pada terjadinya eksklusi multi dimensi. Yang perlu untuk dipahami adalah bahwa eksklusi terlihat tidak hanya sebagai akibat namun sebagai suatu proses yang membentuk dan menguatkan pemaknaan terhadap identitas mereka sebagai seorang waria. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap informan penelitian, seluruhnya mengatakan bahwa mereka mengetahui dampak dari keputusan yang diambil jika mereka merubah identitas gender mereka. Hal ini menarik jika eksklusi dikaitkan dengan konsepsi identitas, dimana secara logis tidak ada satu manusiapun yang menginginkan dirinya tereksklusikan. Namun kenyatannya, eksklusi dapat menjadi suatu pilihan jika hal tersebut disandingkan dengan identitas diri individu. Kenyatannya nilai identitas jauh lebih besar dibandingkan dengan keadaan terisolasi dari akses untuk mencapai kesejahteraan hidup. Kuatnya keinginan untuk mempertahankan identitas yang dianggap menyimpang, membuat kebanyakan waria pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan keluarganya. Hal ini tentunya menjadi alasan utama terputusnya akses waria dalam mendapatkan pendidikan seiring dengan terputusnya relasi keluarga sebagai sumber ekonomi. Ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya, eksklusi sosial yang dialami tidak hanya berhubungan dengan kurangnya kekayaan material semata, namun juga eksklusi simbolik, deprivasi sosial, serta kurangnya partisipasi dalam institusi sosial. Ini juga terkait dengan pengembangan kualitas dari hubungan antara individu dan masyarakat (Silver, 1994). Terkait dengan hal ini, deprivasi sosial merujuk kepada kondisi ketika individu tidak dapat memasuki bentuk keluarga dan hubungan sosial yang ada. Hal ini jelas terjadi dalam kehidupan waria baik sebagai individu maupun kelompok. Nyatanya, penolakan waria dalam keluarga akibat dari
11
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
perilakunya yang dianggap menyimpang secara tidak langsung telah menghasilkan nilai yang lebih luas di dalam lingkungan sosial. Masyarakat menganggap waria sebagai suatu penyakit, sampah masyarakat, serta merupakan sumber permasalahan sosial. Didukung pula dengan penggiringan opini publik melalui kebijakan pemerintah maupun perundang-udangan yang dianggap mengkriminaslisasikan waria. Eksklusi dari sistem produksi dan deprivasi sosial merupakan dua proses yang sangat penting dalam wacana eksklusi sosial, dimana jaringan sosial serta pekerjaan yang layak merupakan elemen utama dalam pembentukan integrasi. Eksklusi sosial merupakan wacana yang multidimensional dan terkait dengan proses struktural. Hingga saat ini, banyak orang-orang yang tereksklusi tidak hanya dari segi ekonomi, sosial, maupun geografis saja, namun juga terkeklusi dari simbol-simbol yang ada. Fragmentasi masyarakat, perkembangan aktivitas informal serta munculnya konflik dalam solidaritas memberikan pengaruh yang besar terhadap kohesi sosial. Proses tersebut pada akhirnya menghasilkan keretakan dalam masyarakat dengan nilai dan kepentingan umum yang lebih sedikit (Dahrendorf, 1995: 16; Bhalla dan Lapeyre, 1999). Dikarenakan identitas gendernya yang tidak sesuai dengan sistem kepercayaan gender yang dianut masyarakat, waria baik sebagai individu maupun kelompok, tidak dapat berperan secara penuh dalam lingkungan sosialnya dikarenakan secara sistematik dan struktural tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang setara dengan anggota masyarakat lainnya (Seda, 2006). Melihat hal tersebut, melalui konseptualisasi Eksklusi milik Bhalla dan Lapeyre, maka selanjutnya akan dibahas mengenai bentuk-bentuk eksklusi yang dialami oleh waria-waria anggota dari Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI), yang menjadi unit analisis penelitian. Proses eksklusi yang dialami oleh anggota-anggota FKWI akan dibagi ke dalam tiga aspek utama: dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi politik. Eksklusi dalam Dimensi Sosial Dalam melihat keberadaan waria melalui dimensi sosial, secara tidak langsung membahas mengenai keberadaan waria terhadap tradisi sosial yang ada. Hal ini terkait dengan apa yang telah lama dikonstruksikan di dalam masyarakat terkait dengan sistem kepercayaan gender biner.Kepercayaan akan dua gender yaitu laki-laki dan perempuan, membuat kemunculan waria dilihat hal yang sebagai menyimpang dari norma gender yang selama ini telah di hegemonikan melalui institusi sosial yang ada. Ini mengakibatkan waria menjadi susah untuk membangun relasi dengan lingkungan sosialnya. Tiga aspek dari dimensi sosial eksklusi yang merupakan hal penting: (i) akses terhadap pelayanan sosial (sebagai contoh pendidikan maupun fasilitas sanitasi), (ii) akses terhadap pasar tenaga kerja, dan (iii) perluasan partisipasi sosial. Kategori terakhir menangkap aspek relasi: relasi diantara individual sama seperti relasi anatara warganegara dan Negara. Eksklusi dalam Dimensi Ekonomi Pendekatan ekonomi dalam wacana eksklusi berpusat pada pertanyaan mengenai pendapatan (income) dan proses produksi serta bagaimana akses terhadap barang dan jasa dari kelompok yang tereksklusi dan kelompok yang tidak. Sen (1975, dalam Bhalla dan Lapeyre, 1999) dalam studinya berjudul Employment, Technology and Development menjelaskan konsep pekerjaan ke dalam istilah: (i) income, (ii) pekerjaan, dan (iii) rekognisi sosial. Aspek pertama dan kedua berada di bawah pendekatan ekonomi. Serta aspek ketiga merujuk kepada gagasan mengenai rekognisi yang dihasilkan ketika individu memiliki pekerjaan, sehingga individu tersebut terikat kepada sesuatu yang berguna bagi dirinya. Aspek rekognisi yang dikonseptualisasikan oleh Sen dapat diinterpretasikan sebagai dimensi dalam eksklusi. Eksklusi dalam Dimensi Politik Dimensi ini fokus terhadap pembedaan hak-hak manusia dan politik terhadap kelompok masyarakat tertentu. Dalam dimensi politik, eklusi dapat diinterpretasikan sebagai konsep penolakan atas hak-hak warga negara atau dapat dikatakan sebagai kewarganegaraan yang tidak lengkap. Padahal, jika dilitelaah secara general, kewarganegaraan di seluruh lapisan struktur sosial menandakan bahwa semua individu sebagai warga negara memiliki posisi sama di mata hukum dan oleh karena itu tidak ada satu individu maupun kelompok yang secara hukum memiliki keistimewaan. Namun pada kenyataannya kebanyakan waria tidak mendapatkan akses yang sama seperti anggota masyarakat lainnya. Lebih jauh lagi bahwa kenyataannya kelompok heteroseksual memiliki keistimewaan dibandingkan dengan kelompok seksual minor dalam mendapatkan hak-haknya sebagai
12
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
bagian dari Negara. Seperti yang diakatakan oleh Mingione (1996, dalam Bhalla dan Lapeyre, 1999) bahwa krisis kewarganegaraan disebabkan bukan karena adanya pihak-pihak yang tereksklusi akibat dari ketidakadaan representasi poltik, namun dikarenakan melemahnya ikatan sosial secara keseluruhan dalam situasi dimana solidaritas tidak dimiliki oleh seluruh kelompok masyarakat. Yang menjadi penyebab utamanya adalah melekatnya sistem gender tradisional dalam setiap aspek-aspek kehidupan manusia, dimana mengkotak-kotakkan nilai feminin dan maskulin hanya boleh dimiliki oleh jenis kelamin yang sesuai. Ketika seroang laki-laki tidak mampu untuk mengadopsi nilai-nilai maskulin, maka yang terjadi selanjutnya adalah laki-laki tersebut akan dibenturkan kepada penolakan tidak hanya dari institusi sosial yang ada, namun juga penolakan dari sistem gender biner. Sesuai dengan pernyataan Barry, bahwa sebetulnya eksklusi sosial itu tidak hanya disebabkan karena pilihan dan lingkungan dimana individu itu berada, tetapi juga disebabkan karena kebijakan nasional dan pelayanan di tingkat lokal (Haralambos, Holborn &Heald, 2004). Hal ini dapat terlihat jelas dari beberapa kebijakan dan undang-undang yang dianggap mendiskriminasikan waria. Terkait dengan peraturan dan kebijakan, Joffe (dalam Epstein, 1988; dalam Yuliani, 2006) menyatakan bahwa hukum dan kebijakan publik turut mempersulit posisi waria, hal ini dikarenakan hukum juga mengatur bentuk relasi seksual dan pernikahan yang sah dan diperbolehkan oleh negara. Selain itu hukum juga digunakan untuk mengontrol perempuan dan kelompok minoritas lainnya, termasuk waria, agar tidak keluar dari peran dan karakteristik gender yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat. Untuk memaksakan peran atau karakteristik gender yang diharapkan oleh nilai sosial atau norma keagamaan, negara seringkali menggunakan pendekatan paksaan dan kekerasan (Epstein, 1988; Yuliani, 2006). Berdasarkan hasil observasi, wawancara mendalam dan survey terhadap tiga puluh orang anggota FKWI, didapatkan temuan bentuk-bentuk eksklusi yang dialami oleh anggota FKWI dalam dimensi Aspek
Indikator
Data Temuan
sosial, ekonomi, dan politik. Data temuan dijelaskan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Bentuk eksklusi dalam Dimensi Sosial, ekonomi, dan Politik
13
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
Sosial
Akses terhadap pelayanan Sosial
Akses terhadap pasar tenaga kerja
Perluasan partisipasi sosial
Aspek Ekonomi
Politik
1. Akses terhadap pendidikan • Mendapat penolakan dari institusi pendidikan (menjadi bahan olok-olokan, celaan maupun hinaan dikarenakan sifat feminin yang dimunculkan) • Terganjal dengan peraturan yang mengharuskan waria untuk menggunakan seragam laki-laki 2. Akses terhadap pelayanan kesehatan • Mendapat penolakan dari pihak rumah sakit ketika ingin memeriksakan kesehatan dikarenakan identitas gender waria yang secara administratif tidak diakui 1. Mendapat penolakan untuk bekerja di sektor formal dikarenakan identitas gendernya sebagai seorang waria 2. Pada sektor informal, kebanyakan waria bekerja sebagai pekerja salon, namun hanya sebagian saja yang mampu untuk memiliki usaha tersebut, hal ini terkait dengan modal dan keterampilan yang dimiliki, dimana tidak semua waria memiliki modal serta memiliki keterampilan tersebut 1. Mendapat penolakan dari warga sekitar tempat waria tinggal 2. Menjadi bahan omongan warga 3. Diolok-olok dan dicaci-maki warga 4. Tidak diikut sertakan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh lingkungan tempat waria tinggal, seperti kegiatan perlombaan hari kemerdekaan 5. Diusir dari tempat tinggal 6. Tidak diakui warga sebagai bagian dari lingkungan tempat waria tinggal
Indikator
1. Data Temuan
Penghasilan dan Pekerjaan
2. Minimnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki karena terputusnya akses dengan keluarga sebagai sumber ekonomi 3. Menolak berperilaku sebagai laki-laki demi mendapatkan pekerjaan formal 4. Mendapatkan hinaan, dikucilkan, serta mendapat perlakuan tidak adil dalam pekerjaan 5. Kekurangan modal untuk membuka usaha, dikarenakan sulit untuk mendapat pinjaman 6. Bagi waria pekerja seks, seringkali mendapat perlakuan kasar dan tidak mendapat bayaran Rekognisi Pekerjaan dan penghasilan yang rendah tentunya memberikan Sosial rekognisi sosial yang rendah pula. Kebanyakan waria bekerja sebagai pekerja seks, hal ini tentunya semakin menguatkan nilai negatif, dimana waria tidak hanya dianggap sebagai penyimpang, namun juga lekat dengan tindakan amoral dan dosa. Pemenuhan 1. Mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri hak-hak sipil 2. Mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan waria sebagai kesehatan warga negara 3. Mengalami kesulitan dalam membuat dokumen pribadi seperti KTP 4. Tidak adanya KTP membuat waria menjadi sulit untuk berpartisipasi dalam setiap pemilu yang diselenggarakan
Sumber: Olahan penulis, 2014
14
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
Melihat berbagai macam bentuk eksklusi yang dihadapi oleh kebanyakan waria baik dalam dimensi sosial, politik dan ekonomi, membuat tertutupnya akses para waria untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup. Gagasan mengenai eksklusi sosial ini memberikan penekanan terhadap risiko yang terkait dengan gangguan yang ada pada struktur sosial dan hilangnya nilai-nilai kolektif. Hal ini disebabkan oleh melekatnya sistem kepercayaan gender pada infrastruktur sosial, mengakibatkan gender dan identitas gender dipelajari dan dicapai pada tingkat interaksi, direifikasi pada tingkat kultural dan diberlakukan pada tingkat kelembagaan melalui institusi-institusi sosial. Pandangan ini terus dibakukan melalui tradisi berabad-abad, sehingga dianggap kodrat yang tidak dapat diubah, seolah-olah ciri perempuan dan laki-laki sudah terkunci mati. Berdasar kepada klasifikasi gender tersebut, membuat mereka yang mengekspresikan karakteristik di luar gendernya akan terstigmatisasi dan seringkali dianggap sebagai penyimpangan sosial. Individu-individu yang merepresentasikan dirinya di luar normatifitas gender secara langsung menjadi sasaran. Para waria menjadi pihak yang tereksklusikan oleh sistem dan struktur sosial yang menganut nilai-nilai gender normatif, sehingga mereka rentan mengalami masalah psikososial dan kesehatan dibandingkan dengan kelompok minoritas lainnya (Lombardi, 2001). Hal inilah yang pada akhirnya membuat keberadaan kelompok memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu anggota-anggotanya menghadapi eksklusi sosial yang terjadi secara sistemik dan struktural. Seperti yang dikemukakan oleh Sullivan (2002) yang mengatakan bahwa ketika identitas individu seseorang atau identitas kolektif suatu kelompok atau komunitas mengalami ancaman dalam relasinya dengan kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu, maka biasanya individu atau kelompok tersebut memilih sebuah strategi untuk mengatasi eksklusi sosial tersebut lewat sebuah keanggotaan pada sebuah kelompok alternatif atau kategori sosial tertentu yang dapat memberikan masukan atau feedback positif untuk terus menjaga identitas. FKWI sebagai suatu kelompok dibentuk sebagai wadah bagi waria-waria untuk dapat mempertahankan serta memperjuangkan identitasnya. Hal ini menjadikan FKWI sebagai suatu kelompok kepentingan yang memiliki tujuan untuk dapat mengadvokasikan hak-hak sipil waria sebagai warga negara untuk dapat dipenuhi sehingga memiliki kesempatan yang sama seperti anggota masyarakat lainnya. Strategi waria dalam Menghadapi Perubahan Secara umum, semua definisi yang dibangun mengenai gerakan sosial biasanya melingkupi karakter-karakter sebagai berikut, seperti tindakan kolektif, terorganisir, memiliki kontinuitas, serta memiliki tujuan (change-oriented goals or claims) (Snow, 2004). Adanya kesamaan nasib dan latar belakang kehidupan yang dipenuhi dengan penolakan dan diskriminasi membuat waria sebagai suatu kelompok bergerak untuk memperjuangkan identitas mereka. Untuk beberapa hal, alasan individuindividu bergabung dalam gerakan sosial jauh lebih rasional jika dibandingkan dengan individu yang begitu saja menerima kondisi sosial yang ada meskipun kondisi sosial tersebut menindas mereka (Situmorang, 2007). Terkait dengan alasan yang dimunculkan untuk membentuk suatu gerakan sosial, waria merupakan kelompok dengan tujuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pilihan waria atas identitas gendernya tentunya memberikan dampak tertutupnya akses waria dalam mendapatkan penghidupan yang layak. Konflik-konflik yang dihadapkan kepada waria, menyebabkan dunia waria semakin terisolasi dari lingkungan sosialnya, namun waria dituntut untuk tetap mampu survive di dalam lingkungan yang mengisolasikan dirinya. Melihat hal tersebut, maka dibutuhkan suatu wadah yang dapat mengorganisir waria baik sebagai individu maupun kelompok, agar dapat dipandang dalam konstruksi sosial yang lebih jelas dan memiliki arti dalam kehidupan sosial pada umumnya (Koeswinarno, 2004). Untuk melihat bagaimana strategi pergerakan dari FKWI, peneliti akan menggunakan pembahasan mengenai mekanisme political opportunity structure (SKP), resources mobilization theory, dan collective action frames (McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996), dimana ketiganya merupakan faktor dari muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial. Terbukanya Akses Waria menuju Perubahan Peneliti menggunakan mekanisme struktur kesempatan politik yang berupaya untuk menjelaskan bahwa gerakan sosial terjadi karena disebabkan oleh perubahan dalam struktur politik yang dilihat sebagai suatu kesempatan (Situmorang, 2007). SKP merupakan konsep yang menyatakan bahwa kondisi struktur politik memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan suatu gerakan sosial. Dalam hal ini, SKP menjadi ruang multidimensi yang gerakan sosial dan
15
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
tindakannya dapat saja dimudahkan (facilitated) atau dapat saja direpresi (dihambat), sehingga gerakan sosial itu tidak dapat berkembang (Oliver, 1998). Tarrow (Situmorang, 2007) menjabarkan mekanisme SKP yang lebih spesifik, dimana terdapat variabel-variabel yang dikembangkan dan diidentifikasi terkait dengan bagaimana kemunculan sebuah gerakan sosial. Variabel-variabel tersebut adalah pertama, gerakan sosial muncul ketika akses terhadap lembaga politik mengalami keterbukaan. Kedua, ketika keseimbangan politik baru belum terbentuk. Ketiga, ketika para elite politik mengalami konflik besar dan konflik ini dipergunakan oleh para pelaku perubahan sebagai kesempatan. Keempat, ketika para pelaku perubahan digandeng oleh para elite yang berada di dalam sistem untuk melakukan perubahan. Variabel-variabel tersebut dibuat berdasarkan kasus-kasus tertentu, pada tingkatan tertentu semua variabel tersebut dapat dipergunakan dalam menjelaskan sebuah gerakan sosial, namun pada praktiknya seringkali terlalu problematik dan dipaksakan apabila kesemua variabel dipegunakan dalam menguji geraka sosial. Maka dari itu, untuk menganalisa pergerakan dari FKWI melalui mekanisme SKP, peneliti menggunakan dua variabel utama SKP, yaitu terbukanya akses terhadap lembaga-lembaga politik serta pelaku perubahan yang digandeng oleh para elite yang berada dalam sistem untuk melakukan perubahan. Pada mulanya, kesempatan bagi kelompok waria sebagai kelompok minoritas seksual untuk dapat menyuarakan hak-haknya, merupakan hal yang tidak mungkin terjadi. Hal ini terkait dengan bagaimana kultur dan budaya yang diiringi dengan justifikasi moral dan agama membuat keberadaan waria tidak mendapatkan celah untuk dapat mengekspresikan diri. Namun, seiring dengan gerakan sosial yang mengusung isu-isu identitas gender makin teraba pergerakannya, maka secara tidak langsung telah memberi kelonggaran bagi kelompok ini untuk dapat berkembang, meskipun kesempatannya memang tidak terlalu besar. Dirumuskannya Yogyakarta Principles yang mengusung pemenuhan dan perlindungan hak-hak LGBT, secara tidak langsung juga memunculkan kesadaran mengenai hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki oleh waria maupun kelompok LGBT secara keseluruhan. Selain itu diatur pula kewajiban-kewajiban negara demi memenuhi hak-hak kelompok masyarakat yang mempunyai orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda tersebut. Ini menjadi jelas bahwa Negara tetap memiliki kewajiban untuk memperhatikan hak-hak bagi kelompok minoritas seksual, kenyataannya meskipun mereka mendapat stigma negatif sebagai individu yang dianggap menyimpang namun mereka tetap merupakan anggota dari masyarakat yang mau tidak mau harus diakui keberadaannya. Identifikasi Permasalahan dan Upaya FKWI sebagai Strategi Menghadapi Eksklusi Mengacu kepada bentuk-bentuk eksklusi yang dihadapkan kepada waria sebagai individu, tugas FKWI selanjutnya adalah untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan bentuk-bentuk eksklusi yang terjadi dalam ranah individual, ke tataran kolektif. Hal ini digunakan untuk dapat menunjukkan bahwa permasalahan dalam ranah individual juga merupakan permasalahan kolektif yang harus diperjuangkan karena menyangkut kesejahteraan hidup bagi para waria sebagai warga negara. Pengidentifikasian permasalahan serta upaya-upaya apa saja yang dilakukan untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada, merupakan bagian dari pengemasan ideologi untuk dapat diterima berbagai pihak. Inilah yang disebut sebagai collective action frames yang merupakan bagian dari proses framing dalam gerakan sosial, yakni semacam skema intepretasi yang merupakan sekumpulan beliefs and meanings yang berorientasi pada aksi dan menginspirasi dan melegitimasi aktivitas sebuah organisasi gerakan sosial. Dalam hal ini, kerangka (frame) dibangun untuk memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau kondisi tertentu, yang dimaksudkan untuk memobilisasi potensi pengikut, serta untuk mendapatkan dukungan berbagai pihak (Benford dan Snow, 2000; Snow, 2004). Berkaitan dengan proses framing, Benford dan Snow (2000) menyebutkan dua yang menjadi perhatian utama, yang disebut core framing tasks. Pertama adalah diacnostic framing dan prognostic framing. a) Diagnostic Framing Dikonstruksikan dalam sebuah gerakan sosial guna memberikan pemahaman mengenai situasi dan kondisi yang sifatnya problematik. Kondisi mengenai apa atau siapa yang disalahkan, sehingga membutuhkan adanya suatu perubahan (Benford dan Snow, 2000). Dalam level ini, aktor-aktor gerakan sosial mendefinisikan permasalahan-permasalahan apa saja yang menjadi isu utama dalam memunculkan keinginan terhadap perubahan.
16
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
b) Prognostic Framing Setelah mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh organisasi, maka langkah selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi dan mengartikulasikan solusi yang ditawarkan bagi persoalanpersoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar FKWI dapat menghasilkan upaya-upaya apa saja yang dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dalam aktivitas prognostic framing ini gerakan sosial juga melakukan berbagai penyangkalan atau menjamin kemanjuran dari solusi-solusi yang ditawarkan (Benford dan Snow 2000). Tabel 2. Identifikasi Permasalahan dan Upaya yang dilakukan FKWI dalam Menghadapi Eksklusi No 1. 2. 3.
Diagnostic Framing
Prognostic Framing
Perilaku waria yang dianggap menyimpang di masyarakat Tertutupnya akses terhadap pendidikan dan keterampilan Waria lansia sebagai pihak yang rentan terhadap eksklusi sosial
Membuat kegiatan pemberdayaan dan keterampilan Membuat kegiatan pemberdayaan dan keterampilan
4.
Pertentangan nilai kultur sosial
5.
Tindak kekerasan atas nama agama dan moral
Pembangunan rumah singgah waria Mengadvokasikan hak-hak sipil waria kepada lembaga pemerintahan Menaikkan isu waria dalam masyarakat melalui publikasi media dan membangun jaringan dengan organisasi segmental
Sumber: Olahan penulis, 2014
Mobilisasi Sumber Daya Setiap gerakan sosial tentunya membutuhkan sumber daya untuk bisa menjalankan aktivitas kolektifnya. Dalam hal ini, gerakan sosial memiliki beberapa tugas penting seperti memobilisasi pendukung, mengorganisasi sumber daya, berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat secara umum terhadap cita-cita gerakan. Konsep ini secara mendasar berusaha mengetahui bagaimana sebuah kelompok mengupayakan resources yang mereka miliki untuk bisa melakukan perubahan sosial dalam mencapai tujuan kelompok (Edwards dan McCarthy 2004:118). Konsep ini berusaha melihat dorongan upaya, baik secara kolektif maupun individual, yang muncul sebagai bagian dari pencapaian tujuan yang dimiliki oleh gerakan sosial. Resources sendiri sebenarnya memiliki makna yang begitu luas. Resources dapat terdiri dari kekuatan finansial, akses terhadap media, dukungan simpatisan, dan loyalitas grup. Ia juga bisa terdiri dari kepemilikan ruang/gedung, pengetahuan (stock of knowledge), dan skill (keahlian) yang dimiliki oleh aktor (Opp 2009:139), termasuk di dalamnya ideologi dan nilai gerakan. FKWI memiliki dua bangunan yang biasa dijadikan basis bagi organisasi untuk mengadakan kegiatan. Pertama, adalah Rumah Singgah Waria Anak Raja, yang berlokasi di wilayah Meruyung. Rumah singgah, seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan tempat penampungan bagi wariawaria lansia yang tidak memiliki tempat tinggal. Rumah singgah ini menjadi penting gunanya, mengingat jumlah waria lansia yang lumayan banyak. Minimnya keterampilan yang dimiliki oleh waria tua pada akhirnnya membuat waria tua menjadi pihak yang paling sengsara dalam menjalani kehidupan. Hal ini dikarenakan akses mereka terhadap lapangan pekerjaan baik formal maupun informal, tertutup. Tingkat pendidikan yang rendah juga membuat waria lansia menjadi pihak yang sulit untuk bisa mengerti bagaimana organisasi sebagai suatu gerakan seharusnya berjalan. Terkadang waria tua masih menggunakan sikap senioritas dan junioritas yang terjadi di tempat mangkal, diterapkan dalam kegiatan berorganisasi. Ini menjadi persoalan tersendiri, dimana pada akhirnya waria muda menjadi sulit untuk dapat meyuarakan kesulitan-kesulitan yang mereka rasakan dikarenakan takut akan perlakuan waria tua yang menganggap waria muda belum berhak untuk bersuara. Selain itu, Rumah Singgah Waria yang berlokasi di Meruyung, memiliki akses yang sulit
17
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
untuk dicapai bagi waria-waria di luar kawasan Depok, hal ini membuat kegiatan-kegiatan organisasi terkadang hanya diikuti oleh waria-waria yang berdomisili di kawasan tersebut. Tentunya hal ini harus diperhatikan, agar kegiatan pemberdayaan tidak hanya diikuti oleh beberapa anggota saja, namun dapat menjadi kegiatan yang diikuti oleh waria secara bersama-sama. Bangunan yang lain merupakan, salon Mami Yulie yang juga dijadikan sebagai kantor FKWI yang berada di kawasan Cilandak. Secara akses, bangunan ini memiliki keuntungan dikarenakan kawasannya mudah untuk di jangkau. Namun permasalahan terdapat pada luas bangunan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Rumah Singgah, sehingga kantor FKWI biasanya hanya digunakan untuk keperluan rapatrapat internal kepengurusan ataupun jika FKWI mengadakan pertemuan dengan LSM maupun organisasi segmental mereka. Resources yang lain merupakan kekuatan finansial, dimana keuangan organisasi berasal dari dua sumber, dimana sumber pertama berasal dari para anggota-anggotanya. Namun hal tersebut tidak dapat diandalkan, dikarenakan kesulitan waria dalam kehidupannya sehari-hari, membuat waria sulit untuk mengeluarkan iuaran bulanan untuk organisasi. Sehingga kekuatan finansial didapatkan dari donasi dari LSM, Gereja, maupun Dinas Sosial, maupun masyarakat. Selain masalah finansial, akses terhadap media juga merupakan hal yang penting sebagai sumber daya pergerakan. Akses terhadap media merupakan strategi paling efektif dalam memunculkan isu-isu pergerakan di ranah publik. Sebagai contoh adalah penggunaan media internet youtube dalam menaikan isu tentang keberadaan waria. Selain itu, cara yang paling efektif yang memang digunakan oleh kelompok ini adalah dengan memunculkan pemberitaan-pemberitaan yang kontroversial namun positif, hal ini dikarenakan meskipun pemberitaan tersebut terkadang berujung pada munculnya komentar negatif dari masyarakat, namun paling tidak hal tersebut membuat masyarakat sadar bahwa waria daat melakukan hal yang positif, tidak seperti pemberitaan media yang dipenuhi dengan berita-berita negatif waria sebagai sampah masyarakat. Selain akses terhadap media, terdapat dukungan simpatisan serta loyalitas grup yang menjadi sumber daya dari FKWI. Loyalitas dan dukungan yang diberikan oleh anggota-anggota ini terkait dengan bagaimana pengetahuan (knowledge) akan segala informasi terkait dengan gerakan didistribusikan. Hal ini bisa didapatkan melalui rapat-rapat internal yang diadakan ataupun melalui kegiatan pemberdayaan. Namun kesulitannya adalah terkait dengan akses terhadap lokasi kegiatan, serta kemauan dari waria sebagai angota untuk ikut berpartisipasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jarak terhadap lokasi kegiatan menjadi hal utama mengapa kebanyakan waria tidak berpartisipasi. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan bagaimana dengan masalah loyalitas, mengingat kebanyakan waria muda menolak untuk ikut berpartisipasi dikarenakan beberapa alasan, yang salah satunya adalah kegiatan mangkal yang menyita waktu mereka. Ini menimbulkan kesan bahwa, nyatanya meskipun secara latar belakang kehidupan mereka merasa memiliki kesamaan, yaitu samasama mengalami penolakan, diskriminasi, dan eksklusi, namun kenyataannya hal tersebut tidak membuat mereka langsung merasa terikat dengan sesama waria. Ini menjadi hambatan bagi organisasi kedepannya, dikarenakan pada akhirnya pengetahuan akan nilai-nilai dan tujuan organisasi, hanyalah milik beberapa orang saja yang memang mendedikasikan dirinya dalam organisasi. Meskipun secara dukungan, semua anggota waria mendukung apapun yang diputuskan oleh pengurus organisasi terkait dengan upaya-upaya dalam melakukan perubahan nasib. Berbicara mengenai pencapaian upaya-upaya tersebut, maka tidak dapat dilepaskan dari faktor skill atau keterampilan. Keterampilan menjadi penting untuk dimiliki, karena dengan minimnya keterampilan maka minim pula pencapaian organisasi. Padahal jika setiap aktor dalam organisasi memiliki keterampilan maka memungkinkan bagi organisasi untuk lebih mudah mencapai pemaknaan yang sama atas nilai-nilai ideologi yang diangkat oleh organisasi. Melalui mekanisme struktur mobilisasi maka dilihat apa saja upaya-upaya dalam memobilisasi pergerakan. Hal yang menjadi penting adalah bagaimana cara aktor intelektual dari organisasi yaitu Mami Yulie berusaha untuk dapat mentransfer nilai-nilai pengetahuan terkait dengan hal-hal yang dituju oleh organisasi. Posisi FKWI dalam Gerakan LGBT Nasional dan Internasional Banyak hal yang telah dilakukan untuk menjamin agar semua orang dengan orientasi seksual dan identitas gendernya dapat hidup dengan penerimaan sosial. Sayangnya, pelanggaran HAM yang diarahkan pada sebagian orang dikarenakan oleh persepsi mengenai orientasi seksual atau identitas gender telah melahirkan pola kekhawatiran yang mendalam. Pelanggaran tersebut mencakup
18
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan perlakuan buruk, penolakan dalam kesempatan bekerja dan pendidikan, serta diskriminasi HAM. Dengan latar belakang represi yang dilakukan secara terusmenerus terhadap kelompok LGBT, maka diperlukan strategi yang menyeluruh dan mampu untuk merangkul pihak-pihak yang mengalami diskriminasi akibat dari identitasnya yang dianggap menyimpang. Salah satunya adalah FKWI sebagai suatu organisasi yang memiliki tujuan untuk mengadvokasikan hak-hak sipil dari para waria sebagai anggota. Untuk dapat mencapai tujuan organisasi dalam mengangkat isu kesejaheraan hidup waria, maka FKWI harus mulai memperlihatkan pergerakannya dalam ranah yang lebih luas. Tidak hanya bergerak dalam mengatasi isu-isu kesehatan semata yang notabenenya merupakan sasaran utama bagi munculnya komunitas-komunitas waria sejenis, namun FKWI juga harus mampu untuk mengangkat isu sentral pergerakan yaitu memperjuangkan identitas. Hal ini yang membedakan FKWI dengan komunitas waria lainnya, sehingga FKWI didaulat sebagai organisasi induk waria. Seperti yang dikatakan oleh Sujadmiko (2006) bahwa gerakan sosial diartikan sebagai “Sebentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks-konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat rasa solidaritas dan intensitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama”. Melihat hal tersebut, tentunya harus dirumuskan strategi FKWI untuk dapat terlibat dalam pergerakan LGBT sebagai ranah perjuangan yang lebih besar. Dengan adanya gerakan LGBT yang merangkul kelompok minoritas seksual lainnya, seperti kelompok-kelompok lesbian, gay, bisexual, dan saat ini bertambah intersex, maka dapat menjadi tonggak bagi pergerakan waria agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan, yaitu perjuangan identitas secara bersama-sama. Meskipun ruang publik dalam menyuarakan perjuangan belum terbuka lebar, namun hal tersebut tidak menjadi alasan untuk terus berhenti berjuang. Selain itu, disusunnya Yogyakarta Principles sebagai prinsip-prinsip dalam penerapan Undang- Undang Hak Asasi Manusia yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender, menegaskan bahwa telah dibentuk suatu standar hukum internasional yang mengikat yang harus dipatuhi oleh semua negara. Melalui Prinsip-Prinsip Yogyakarta, para ahli setuju bahwa prinsip ini merefleksikan keberadaan UU HAM internasional terkait dengan isu orientasi seksual atau identitas gender. PrinsipPrinsip tersebut juga menyatakan negara mungkin saja mendapatkan kewajiban tambahan dikarenakan kemungkinan UU HAM untuk terus berkembang. Dalam prinsip ini pula disusun rekomendasi tambahan bagi sistem HAM PBB, lembaga HAM nasional, media, LSM dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa prinsip ini dapat menjadi pedoman dalam menyikapi berbagai masalah standar internasional HAM dan aplikasinya terhadap isu-isu orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-Prinsip tersebut menegaskan standar legal mengikat yang wajib dipatuhi oleh semua negara. Hal ini secara tidak langsung menjadi simbolisasi atas solidaritas bagi kelompok-kelompok minoritas seksual di seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk menjadikan Yogyakarta Principles sebagai bagian dari perjuangan mereka dalam mencapai kebebeasan gender, yang tidak hanya dapat dilihat dalam skala nasional, tapi dalam skala global sekalipun. KESIMPULAN Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan. Individu yang terlahir sebagai lelaki secara biologis tidak semuanya tunduk pada konstruksi gender lelaki secara sosial-budaya. Mereka memilih atau mengkonstruksi sendiri perilaku dan identitas gendernya. Keberadaan laki-laki dengan perilaku seperti perempuan, atau yang dalam masyarakat biasa disebut sebagai waria merupakan suatu fenomena sosial yang dianggap wajar. Jika dilihat melalui sudut pandang historis-etnografis, keberadaan waria memainkan peranan utama dalam beberapa kelompok etnis di Indonesia, tidak main-main kebanyakan dari mereka memiliki posisi penting sebagai pemuka agama. Berbeda dengan saat ini, waria merupakan individu maupun kelompok yang dilekatkan dengan stigma negatif, dianggap sebagai penyakit, sampah masyarakat, penyumbang permasalahan sosial. Padahal, jika ditelaah lebih dalam pembentukan identitas waria tidak terjadi begitu saja, munculnya fenomena kewariaan tidak terlepas dari kebiasaan-kebiasaan pada masa anak-anak ketika mereka dibesarkan di dalam keluarga yang kemudian mendapat penegasan pada masa remaja (Nadia, 2005). Perubahan identitas gender dari seorang laki-laki menjadi perempuan merupakan suatu
19
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
perubahan yang sangat signifikan, tentunya siapapun yang terlibat di dalamnya akan mendapat predikat menyimpang, dihadapkan kepada penolakan, diskriminasi, maupun tindak kekerasan. Terjadinya inkonsistensi antara jenis kelamin biologis dan ekspresi gender biasanya tidak dapat ditoleransi oleh orang lain (Gagne & Tewksbury, 1997), hal ini dikarenakan telah terjadi pelanggaran terhadap harapan gender konvensional, sehingga individu-individu yang merepresentasikan dirinya di luar normatifitas gender secara langsung menjadi sasaran. Inilah yang pada akhirnya menjadikan kelompok waria sebagai populasi yang tereksklusikan. Melihat hal ini maka, peran dari suatu organisasi waria dalam melihat dan membantu waria dalam mengatasi kesulitan hidup sangat diperlukan. Dibutuhkan suatu wadah yang dapat mengorganisir waria baik sebagai individu maupun kelompok, agar dapat dipandang dalam konstruksi sosial yang lebih jelas dan memiliki arti dalam kehidupan sosial pada umumnya (Koeswinarno, 2004). Hal ini dikarenakan keputusan untuk mejadi seorang waria memunculkan apa yang disebut oleh Koeswinarno (2004) sebagai krisis identitas, yang tidak hanya berdampak secara psikologis namun juga berpengaruh terhadap bagaimana waria membawa dirinya di dalam masyarakat. Hal ini pada akhirnya memunculkan hambatan-hambatan dalam melakukan hubungan sosial yang lebih luas. DAFTAR PUSTAKA Ariyanto dan Rido Triawan. 2008. Jadi Kau Tak Merasa Bersalah !? Studi Kasus: Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap LGBTI. Jakarta: Arus Pelangi & Yayasan Tifa Benford, Robert dan David Snow. (2000). “Framing Process and Social Movements: An Overview and Assesment” dalam Annual Review of Sociology 26. Bhalla, A., & Lapeyre, F. 1999. Poverty and exclusion in a global world. London: Macmillan Press. Bhalla, A.S. 2004. Poverty and Exclusion In A Global World. Gordonsville: Palgrave Macmillan. Bhalla, A.S. 2004. Poverty and Exclusion In A Global World. Gordonsville: Palgrave Macmillan. Boellstorff, T. 2004. The Emergence of Political Homophobia in Indonesia: Masculinity and National Belonging. Ethnos, vol. 69:4. Routledge Journals: Taylor and Francis Ltd. Ekasari, Mia Fatma. (2011). Studi Fenomenologi : Pengalaman waria dalam menjalani masa puber di wilayah DKI Jakarta. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Gagne dan Tewksbury. 1997. Rejected Bodies and Embodied Selves:Lessons from the Transgender Community. Research Park, NC: Society for Southern Social Psychologists Graham, Sharyn. 2010. Gender Diversity In Indonesia. USA Canada: Routledge Gurning, Agnes Theodora. (2003). Organisasi Lesbian dan Aktivitasnya sebagai Wujud Gerakan Sosial: Studi Kasus Organisasi Lesbian di Jakarta. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Haralambos, Michael., Martin Holborn, & Robin Heald. 2000. Sociology Themes and Perspective Sixth Edition. London: Harper Collins. Hill, Craig A. 2008. Human Sexuality: Personality and Social Psychological Perspective. USA: Sage Publications, Inc. Ida, Rachmah. 2010. Respon Komunitas Waria Surabaya terhadap Konstruk Subyek Transgender di Media Indonesia. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Koeswinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Muhtadi, burhanuddin. (2011). “Demokrasi Zonder Toleransi Potret Islam Pasca orde Baru.” Makalah disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 26 Januari 2011. Nadia, Z. (2005). Waria Laknat atau Kodrat ?. Yogyakarta : Galang Press. Oetomo, Dede. (2003). Memberi Suara Pada yang bisu. Yogyakarta : Galang Press. Opp, Karl Dieter. (2009). Theories of Political Protest and Social Movements: a Multidiciplinary Introduction, Critique, and Synthesis. London: Routledge. Ryansyah, Arman. (2011). Eksklusi Hak-Hak sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Seda, Francisia SSE. (2006) Masyarakat Indonesia 2006-2007: Ulasan dan Gagasan. Dalam Review LabSosiologi. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. SETARA Institute. 2011. Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat: Implikasi terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta: Publikasi SETARA Institute
20
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014
Silver, H. (1994). Social Exclusion and Social Solidarity: Three Paradigms. International Labour Review 133: 531–78. Situmorang, Abdul wahid. (2007). Gerakan sosial : studi kasus beberapa perlawanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Snow, David. (2004). “Framing Process, Ideology and Discursive Fields.” Hlm. 381-412 dalam The Blackwell Companion to Social Movements, diedit oleh Snow, D. A., S.A Soule, dan H. Kriesi. Massachusets: Blackwell Publishing. Sullivan, Elizabeth. (2002). “Social Exclusion, Social Identity And Social Capital: Reuniting The Global, The Local and The Personal.” www.aforts.com/colloques_ouvrages/.../actes/.../sullivan_elizabeth.doc, diakses pada 27 Oktober pukul 20.03 WIB Tilly, Charles. (1998). “Social Movements and (All Sorts of) Other Political Interactions - Local, National,and International - Including Identities” dalam Theory and Society, Vol. 27, No. 4, Special Issue on Interpreting Historical Change at the End of the Twentieth Century. (Aug., 1998), pp. 453-480. Tresnowaty, Mardha dan Hadi Sutarmanto. (2009). Kesejahteraan Subjektif Pada Waria Pekerja Seks Komersil. Dalam jurnal Psikohumanika, Vol. II, No.2 Wieringa, S., Hidayana, I., & Pakasi, D. (2012). Desk Review: Sexual Diversity in Indonesia. Depok: Center for Gender and Sexuality Studies
21
Strategi forum..., Revita Maharani, FISIP UI, 2014