Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
IDENTITAS DIRI WARIA DALAM PROFESI FORMAL PADA FORUM KOMUNIKASI WARIA INDONESIA Maya Retnasary Universitas BSI Bandung,
[email protected]
1
ABSTRACT Transgender may be a most interesting phenomena of various variants of human sexuality. Transvestites may also referred to as transgender. Transgender identity has not been received in social life, resulting in their movements turn into narrow areas of work undertaken is very limited. The emergence of various figures transvestites to the surface is the first step to be accepted in the community effort. Either through skill, intelligence, and so forth. The purpose of this research is to know and understand about transgender identity in formal profession, and how communication occurs both fellow transvestites as well as with co-workers. The method used is phenomenological study, with a qualitative descriptive research. This study draws conclusions that identity as a transgender person can be both subjective and objective. In a show of subjective self-identity as a transvestite, and a fifth informant aware of who he was as a transvestite. Meanwhile, objective self-identity as a transsexual, living as women have been acceptable in his family and friends, although it had received a rejection of the family, but he has been successfully demonstrated by the achievements attained. Keywords: identity , transgender , formal profession. ABSTRAK Waria barangkali menjadi suatu fenomena yang paling menarik dari berbagai varian seksualitas manusia. Waria dapat disebut pula sebagai kaum transgender. Belum diterimanya identitas diri waria dalam kehidupan sosial, mengakibatkan ruang gerak mereka berubah menjadi sempit, bidang pekerjaan yang dijalani pun sangat terbatas. Munculnya berbagai figur waria ke permukaan merupakan langkah awal usaha untuk diterima di masyarakat. Baik melalui keahlian, kecerdasan dan lain sebagainya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta memahami mengenai identitas diri waria dalam profesi formal, dan bagaimana komunikasi yang terjadi baik sesame waria maupun dengan rekan kerja. Metode penelitian yang digunakan adalah studi fenomenologi, dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini memberikan simpulan bahwa identitas diri sebagai seorang waria dapat bersifat subyektif dan obyektif. Dalam menunjukkan identitas diri subyektif sebagai seorang waria, dan kelima informan menyadari siapa dirinya sebagai seorang waria. Sedangkan, identitas diri obyektif sebagai seorang waria, hidup sebagai perempuan telah dapat diterima di keluarga dan temannya, meskipun sempat mendapat penolakan dari keluarga tetapi ia telah berhasil menunjukkan dengan prestasi-prestasi yang dicapainya. Kata Kunci: identitas diri,waria,profesi formal. PENDAHULUAN “Fisik hanyalah pembungkus, tampilan fisik yang baik tak menjamin kebaikan isi, yaitu apa yang kita lakukan untuk sesama”.
Dunia waria merupakan kehidupan yang relatif unik dan menarik serta aneh bagi orang yang tidak mengenal sama sekali dunia tentang mereka. Bahkan kehadiran mereka pun seringkali dianggap sebagai sampah masyarakat, dimana masyarakat
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
119
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
hanya mengenal waria itu identik dengan para pelacur yang menjajakan seks di pinggir jalan. Kehadiran mereka di tempat-tempat umum menjadi pusat perhatian dan pergunjingan. Pusat perhatian masyarakat berkisar pada keanehan perilaku dan penampilannya, yakni seorang laki-laki yang berdandan seperti layaknya seorang wanita. Sedangkan dalam norma sosial, masyarakat pada umumnya sangat menolak dengan tegas seorang laki-laki yang berpakaian wanita dan itu dianggap suatu penyimpangan. Keberadaan seorang waria dalam suatu keluarga dianggap sebuah aib.Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas jendernya. Kehidupan waria sama dengan manusia lainnya. Selaras dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, maka waria pun ingin mengadakan hubungan komunikasi dan interaksi dengan individu lain dalam pergaulan. Sebagai individu maupun mahluk sosial, waria berusaha untuk mendapat bagian dalam berbagai ruang sosial (Koeswinarno, 2004). Berbagai cara mereka lalui untuk mendapat pengakuan atas keberadaan mereka, diantaranya adalah munculnya penyelenggaraan kontes Miss Waria, baik di tingkat daerah maupun nasional dan munculnya berbagai figur waria ke permukaan, baik melalui keahlian dan kecerdasan mereka. Munculnya berbagai figur waria ke permukaan merupakan langkah awal usaha untuk diterima di masyarakat. Baik melalui keahlian, kecerdasan dan lain sebagainya. Sebut saja Merlyn Sopjan, seorang penulis buku ”Jangan Lihat Kelaminku”. Mayoritas waria tetap termarjinalisasi dalam mengakses posisi strategis di lingkup kerja formal itu karena mereka dianggap kelompok amoral atau tidak normal.Hal ini membuat banyak waria terpaksa bekerja di sektor informal, seperti membuka salon, di rumah tangga, sebagai pengamen, bahkan pekerja seks komersial."Kondisi ini memperkuat stigma masyarakat terhadap waria," ujar Yulianus. Padahal, masuknya waria ke sektor informal disebabkan waria tidak diterima dan tidak berkesempatan bekerja.
Kenyataan inilah yang tampaknya menggerakkan Merlyn memprakasai LSM yang memperjuangkan kaumnya, dengan membangun Forum Waria malang dan sebagai Ketua Forum Waria Indonesia bagian barat bersama dengan Yulianus sebagai ketua umum. Sebenarnya kita ini sama dengan mereka, bahkan mereka ada yang lebih berprestasi dan agar bisa diterima dalam lingkup pekerja formal, bukan hanya sektor informal saja. Pengelompokan definisi formal dan informal menurut Hendri Saparini dan M. Chatib Basri dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa tenaga Kerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak dikenakan pajak. Definisi lainnya adalah segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja (job security), tempat bekerja yang tidak ada status permanen atas pekerjaan tersebut dan unit usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum. Pekerja sektor formal terdiri dari tenaga professional, teknisi dan sejenisnya, tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, tenaga tata usaha dan sejenisnya, tenaga usaha penjualan, tenaga usaha jasa. Penelitian ini ingin memaparkan pengalaman kehidupan waria yang berprofesi di bidang formal memaknai identitas dirinya, yang berasal dari beberapa daerah, dan bekerja di ibukota untuk kelangsungan hidup yang mereka pilih. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat pengalaman hidup serta pemaknaan identitas diri pelakupelaku dalam sebuah kehidupan yang mereka jalani. Manfaat secara teoritis yang diharapkan yaitu dapat memberikan kontribusi yang positif dalam pengembangan ilmu komunikasi khususnya konteks komunikasi antar pribadi. Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang banyak baik secara teoritis, metodologis ataupun praktis. Dari pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan wawancara mendalam identitas diri dari setiap waria yang dijadikan
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
120
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
informan dengan melihat identitas diri sebagai waria berprofesi formal . KAJIAN LITERATUR Definisi Waria Waria merupakan suatu fenomena yang menarik untuk diteliti karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk. Tidak ada catatan sejarah yang pasti tentang awal mula munculnya fenomena waria. Menurut Koeswinarno, sepertinya mereka belum termasuk kedalam lingkungan peradaban manusia yang normal. Karena apa pun yang diperbuat mereka belum tentu dapat dipandang sebagai sebuah fenomena sejarah kebudayaan dan peradaban. Padahal, budaya waria itu sendiri tidak lahir begitu saja akibat modernisasi seperti yang banyak dituduhkan orang. Perilaku waria tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang sederhana. Konflik identitas jenis kelamin yang dialami waria tersebut hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidupnya. Setiap manusia atau individu akan selalu berkembang, dari perkembangan tersebut individu akan mengalami perubahan-perubahan baik fisik maupun psikologis. Salah satu aspek dalam diri manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin. Setiap individu diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya. Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil atau tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami perilaku sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Jika individu gagal dalam menerima dan memahami peran jenis kelaminnya maka individu tersebut akan mengalami konflik atau gangguan identitas jenis kelamin. Berperilaku menjadi waria memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Karena belum diterimanya waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhan materil maupun biologis. Definisi Identitas Identitas menurut Littlejohn (2009) didefinisikan sebagai sebuah budaya, sosial, hubungan, dan kesan seseorang tentang konsep diri. Identitas memiliki anggota kelompok, interpersonal dan merupakan implikasi refleksi dari individu. Identitas merupakan sebuah kaleidoskop yang penuh warna dengan karakteristik yang dinamis. Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan masa lampau sendiri bagi diri sendiri dan orang lain; kesatuan dan kesinambungan yang mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat dibuatnya dalam hubungannya dengan diri sendiri dan orang lain. Identitas diri seseorang juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri-ciri fisik, disposisi yang dianut dan diyakini serta daya-daya kemampuan yang dimilikinya. Inti dari keseluruhannya yaitu merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain, sekaligus merupakan integrasi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya. Identitas dibedakan dalam dua macam menurut Erikson (1989), yaitu identitas pribadi dan identitas ego. Identitas pribadi seseorang berpangkal pada pengalaman langsung bahwa selama perjalanan waktu yang telah lewat, kendati mengalami
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
121
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
berbagai perubahan, ia tetap tinggal menjadi pribadi yang sama. Identitas pribadi baru dapat disebut identitas ego jika identitas itu disertai dengan kualitas eksistensial sebagai subyek otonom yang mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam batinnya sendiri serta masyarakatnya. Proses pembentukan identitas berlangsung secara perlahan dan pada awalnya terjadi secara tidak sadar dalam diri individu. Proses tersebut berangsur-angsur sudah dimulai pada periode pertama, yaitu periode kepercayaan dasar dan kecurigaan dasar. Identitas merupakan bagian dari diri dan timbul dalam kesadaran diri individu (Mulyana, 2008). Lebih lanjut dijelaskan dalam Mulyana (2008) bahwa berbagai situasi (hubungan sosial) yang memunculkan mekanisme penggunaan identitas etnik adalah karena : pertama, adanya hubungan antar etnik pada lingkungan umum terkait erat dengan perbedaan distribusi sumber daya. Artinya, identitas etnik digunakan merujuk pada keuntungan ataupun kerugian yang akan diperoleh berkaitan dengan identitas etnik yang digunakan. Kedua, adanya eksploitasi sifat hubungan sosial yang terkotak-kotak di perkotaan. Ini berarti bahwa terdapat satu identitas yang paling sesuai dalam sebuah situasi tertentu. Ketiga, adanya situasi dimana hubungan sosial terjadi antara “orang-orang asing yang sudah dikenal”. Situasi ini terjadi manakala individu-individu yang sebenarnya tidak saling mengenal terpaksa melakukan interaksi secara akrab, namun dalam waktu yang singkat. Dalam hubungannya dengan mekanisme ketiga ini, mobilitas ruang, pengalaman hidup diperbagai wilayah sangatlah membantu. Semakin banyak identitas etnik yang dimiliki, akan semakin mudah manipulasi identitas dilakukan saat menjalin hubungan dengan orang-orang “asing” diluar identitasnya. Identitas yang dimaksudkan dalam penelitian ini berhubungan dengan konsep diri seseorang. Dimana yang paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga, tetangga, kerabat dan orang-orang dekat lainnya. Seperti itu juga yang penulis ingin ketahui dari fenomena identitas diri
seorang waria dalam profesi formal yang terdapat di Jakarta dan sekitarnya. Hybels dan Weaver dalam Mulyana (2008) menjelaskan bahwa kesan yang orang lain miliki tentang diri kita dan cara mereka bereaksi terhadap kita sangat bergantung pada cara kita berkomunikasi dengan mereka, termasuk cara kita berbicara dan cara kita berpakaian. Proses umpan balik ini dapat berubah arah. Ketika kita melihat orang lain bereaksi terhadap kita dan kesan yang mereka miliki tentang kita, boleh jadi kita mengubah cara kita berkomunikasi karena reaksi orang lain itu tidak sesuai dengan cara kita memandang diri kita. Jadi citra diri tentang diri sendiri dan citra yang orang berikan berkaitan dalam komunikasi Bagan 1. Proses pembentukan konsep diri
Ada 3 perspektif kontemporer menyangkut identitas menurut Judith dan Thomas (2004) yaitu : 1) Perspektif Psikologi sosial, melihat diri sebagai pakaian (fashion), berkaitan dengan komunitasnya yang merasa saling memiliki termasuk studi perbandingan identitas. 2) Perspektif komunikasi, lebih dinamis dan membandingkan antara interaksi dengan orang lain sebagai faktor pengembangan dirinya. Perspektif ini membangun pada dugaan formasi identitas yang lebih dinamis. Perspektif ini menekankan bahwa identitas yang lebih dinamis. Perspektif ini menekankan bahwa identitas dinegosiasikan, dikreasikan, yang diperkuat dan ditantang melalui komunikasi dengan orang lain. 3) Perspektif kritis (critical) melihat identitas lebih dinamis lagi sebagai hasil suatu konteks yang jauh dari individu. Pikiran pada keterkaitan antara identitas dengan interaksi antar budaya yang melibatkan antara statis dan dinamis dan antara elemen personal dan kontekstual. Menurut Hecht dalam (Littlejohn, 2009) mengungkapkan dimensi-dimensi khusus identitas adalah dimensi perasaan (afektif),
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
122
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
pemikiran (kognitif), tindakan (perilaku), dan transenden (spiritual). Oleh karena cakupan yang luar biasa maka identitas adalah sumber bagi motivasi dan ekspektasi dalam kehidupan serta memiliki kekuatan yang abadi meski identitas selalu berkembang. Komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga mengubah mekanisme. Identitas diri terbentuk ketika kita secara sosial berinteraksi dengan orang lain. Ada dua hal yang menyangkut hal ini yaitu subjective dimention, dimana identitas merupakan perasaan diri pribadi dan ascribe dimention dimana identitas merupakan tanggapan orang lain mengenai diri kita. Maka dapat disimpulkan bahwa rasa identitas diri kita terdiri dari maknamakna yang pada akhirnya diproyeksikan kepada orang lain pada saat berkomunikasi. Perkembangan Waria di Indonesia Istilah waria di Indonesia baru di kenal pada tahun 1960an, sebelumnya juga dikenal isitilah wadam (wanita adam), banci atau bencong. Secara pasti tidak ada data tentang awal mula terjadinya fenomena waria di Indonesia, tetapi dalam seni budaya Indonesia, baik seni pertunjukan maupun kebiasaan adat kebiasaan dikenal dengan adanya pameran silang gender: karakter perempuan diperankan laki-laki, atau karakter laki-laki diperankan wanita. Dalam seni pertunjukan di bali menurut I wayan Dibia, terdapat sebuah seni pertunjukan yang menampilkan laki-laki pemeran karakter perempuan yakni dramatari Aja Muani. Di jawa menurut F.X Widayanto rekayasa sosial dan cultural dari fenomena cross gender terjadi juga dalam budaya bedhaya, wayang wong dalam cerita panji di keratin Yogyakarta. (Ninik Thowok, 2005). Dalam kesenian ludruk dari jawa timur, dikenal juga peran silang gender, dimana peran perempuan selalu diperankan laki-laki. Dalam perkembangan dunia hiburan saat ini menunjukkan bahwa dunia waria menjadi ekspoitasi media massa secra besarbesaran, karena kelucuan perilaku yang ditampilkan. Adat istiadat di Indonesia yang benarbenar menunjukkan perkembangan
kewarian adalah budaya bissu di Sulawesi Selatan, tepatnya di Bugis. Bissu adalah seniman yang juga pendeta agama bugis kuno, umunya mereka adalah pria yang bersifat kewanitaan. Kehidupan kesehariannya mereka lebih suka tampil sebagi wanita dalam bentuk apapun representasinya, dari paparan di tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena waria sudah ada sejak lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Forum Komunikasi Waria Indonesia Latar belakang pembentukan Forum Komunikasi Indonesia, menurut Yulianus Retobi’I atau biasa dipanggil mami Yuli, sebagai ketua: karena selama ini kita tidak mempunyai tempat dan tidak diberi kesempatan tampil di publik untuk dapat berkreasi. Selama ini orang berpendapat kita adalah kelompok minoritas yang tidak perlu diurus dan dipandang sebelah mata serta dianggap sampah masyarakat. Terlihat dari kejadian-kejadian yang menimpa teman-teman waria, terutama yang berurusan dengan hukum tidak digubris. Contohnya, ketika ada seorang waria ditembak oleh aparat kepolisian pada 2002 sampai sekarang tidak ada kejelasan hukumnya. Paguyuban atau organisasi ini terbentuk sejak tahun 2005. Pada 2006 saat diadakan kontes Miss Waria di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) terdata sebanyak 7.878.000 waria. Jumlah ini bisa berkembang sampai 200% karena banyak diantara mereka yang tidak terbuka dan tidak memiliki identitas resmi seperti kartu tanda penduduk (KTP). Organisasi sudah dibagi ke dalam tiga bagian. Indonesia bagian Timur memiliki ketua di Ujung Pandang, Indonesia bagian Tengah ada di Bali, dan Indonesia bagian Barat ada di Palembang. Jadi mereka mempunyai jaringan yang cukup kuat, dimana di setiap pembagian wilayah atau ketua waria di tingkat provinsi juga bisa menangani teman-teman.Tujuan dari organisasi ini untuk merangkul para waria, agar dapat bekerja pada bidang formal dan bukan hanya dipandang sebelah mata. Menurut Yuli, Bentuk diskriminasi yang rentan diterima komunitas kita adalah tidak bisa mendapat tempat di publik. Padahal 20% dari jumlah 7 juta lebih tadi adalah
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
123
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
waria yang berpendidikan. Sebanyak 15% berpendidikan sarjana strata satu (S1), S2 dan ada juga S3. Ketika mereka bekerja di sektor formal dan ketahuan berstatus waria maka mereka diberhentikan. Artinya, mereka boleh bekerja asal memakai pakaian laki-laki, sedangkan teman-teman waria menginginkan dapat bekerja dengan penampilan perempuan. Di sektor non formal juga demikian telah mengupayakan bersama Dinas Sosial agar mereka memiliki ketrampilan, tetapi ketika harus bekerja mereka mengalami kesulitan. Waria dari sudut kedokteran jiwa, Neale Davidson (1978) dengan hasil penelitiannya yang dituangkan dalam buku AbnormalPsycology, An Experimental Clinical Approach menyebutkan bahwa salah satu penyebab kehadiran perilaku transekualisme adalah heterophobia, yakni adanya ketakutan pada hubungan seks dari jenis kelamin perempuan karena pengalaman yang salah. Jika kejadian ini didukung oleh keadaan keluarga yang tidak harmonis maka praktis oedipal confict ini akan menjadi penyakit seksual yang menetap hingga dewasa. Penelitian lain yang menggambarkan tentang penyebab munculnya ke”warian”, dilakukan oleh Kelly (1988) yang dituangkan dalam bukunya Sexuality today, The Human Perspective. Dari hasil penelitian Kelly menyimpulkan bahwa identitas seksual seseorang dipengaruhi oleh 3 hal utama yaitu: faktor prental, faktor yang terjadi pada masa-masa kecil dan anak-anak, serta faktor yang menyangkut masa pubertas. Indikasi terjadinya waria dalam penelitian yang dilakukan oleh tim medis menyebutkan, faktor perintal banyak diyakini bahwa kromosom dan hormon menunjukkan indikasi yang cukup penting dalam membentuk organ seksual waria. Kemudian pada masa anak-anak, bagaimana penempatan dan cara dibesarkan seorang anak menjadi laki-laki atau perempuan sangat berpengaruh terhadap perkembangan identitas seseorang, pada tahap itu pula terjadi proses dimana seseorang menterjemahkan seks dalam dirinya.
Pada masa pubertas, banyak terjadi perubahan dan produksi hormon. Pada masa ini terjadi peningkatan kepentingan seks seseorang, dimana secara bersamasama pula banyak terjadi perubahan fisik. Pengaruh lingkungan juga menjadi sumbangan cukup berarti dalam menganalisis tingkah laku individu. METODE PENELITIAN Studi Fenomenologi Fenomenologi menunjukkan dua istilah etimologis, phenomenon dan logos, yang keduanya dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari penampilan sesuatu yang menampilkan diri. Fenomenologi tidak dapat kita artikan sama dengan fenomenalisme. Fenomenalisme mengartikan fenomena sebagai penampilan sesuatu yang kontras dengan sesuatu itu sendiri. Seperti halnya Kant yang mengajarkan bahwa pemikiran kita tidak akan pernah pada sesuatu itu sendiri yang disebut nomena (Misiak dan Sexton, 1973). Dalam dunia intersubjektif, individu menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan sosial yang telah ada dan oleh struktur kultural ciptaan leluhur mereka. Meskipun Schutz beralih perhatian dari kesadaran ke dunia kehidupan intersubjektif, namun ia masih mengemukakan hasil pemikirannya tentang kesadaran, terutama pemikirannya tentang makna dan motif tindakan individual .Secara keseluruhan, Schutz memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara individu membangun realitas sosial dan realitas kultural yang mereka warisi dari para pendahulunya dalam kehidupan sosial. Hubungan individu membangun realitas kultural dan sosial tersebut kiranya dapat kita pahami pula sebagai bentuk kehidupan keseharian dan profesinya dalam membentuk realitas kehidupan individu yang berkelindan dengan proses dialektika realitas sosial dan kulturalnya. Tradisi ini menaruh perhatian pada persepsi dan interpretasi orang terhadap pengalaman subyektifnya. Untuk hal itulah, dalam fenomenologi cerita seseorang lebih penting dan lebih berwenang daripada hipotesis penelitian atau aksioma. Asumsi ini dibutuhkan sikap saling memahami antara orang satu dan
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
124
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
lainnya; antara pengamat dan yang diamati. Fenomenologi semacam ini (Schutzian) merupakan teori sekaligus pendekatan. Dalam komunikasi manusia, Littlejohn (1996) menyatakan fenomenologi Schutz ini sebagai suatu konsep yang dapat digunakan untuk meneropong realitas komunikasi yang berasal dari kesadaran manusia. Untuk hal itulah, fenomenologi sering disebut sebagai pengetahuan yang berasal dari kesadaran, atau cara bagaimana orang-orang memahami objekobjek dan peristiwa-peristiwa atas pengalaman sadar mereka. Dimensi interaksi dalam fenomenologi menjadi penting untuk menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat, sebab struktur itu diciptakan dan diubah oleh individu akibat dari interaksi manusia ketika pola berpikir dan bertindak dalam keadaan stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Pemikiran-pemikiran Alfred Schutz yang telah diuraikan tidak saja dipengaruhi oleh Husserl, melainkan dipengaruhi pula oleh Max Weber dengan konsep tindakan sosial (social action). Fenomenologi Schutz memberikan pemahaman atas tindakan, ucapan dan interaksi sebagai prasyarat bagi eksistensi sosial siapapun. Di sini, Schutz lebih menspesifikasikan pada bagaimana terbentuknya dunia keseharian manusia lewat kesadaran intersubjektif (fenomenologi intersubjektif). Schutz (1972) menjelaskan bahwa untuk menuju sebuah pemaknaan, ada enam pemahaman mendasar tentang simbolitas yang dijadikan kendaraan dari suatu makna, yakni : 1) manusia hanya menggunakan simbol yang dapat menghadirkan makna pada diri (meaning context), 2) simbol tersebut harus sudah diintrepretasikan sebelumnya dan menjadi bagian dari sistem simbol yang telah disepakati, 3) pemilihan, penggunaan dan pemanfaatan simbol tergantung pada sejauhmana konteks manusia terlibat dengan simbol tersebut, 4) makna yang sangat kontekstual hakikatnya adalah suatu tindak komunikasi (sign- using as communicative act), 5) komunikasi tersebut tidak hanya berwujud pada pengetahuan secara keseluruhan melainkan
juga memotivasi untuk menyadari untuk bersikap dan berperilaku tertentu dan, 6) tujuan berkomunikasi akan merujuk pada alasan mengapa seseorang melakukan tindakan tertentu. Bagaimanapun, pernyataan dari keseluruhan pemahaman tersebut bersandar pada interpretasi, atau dapat dikatakan struktur sosial manusia tidak bersifat homogen. Berbagai simbol yang digunakan akan berbeda-beda dan dimaknai berbeda-beda pula, tergantung dari pendekatan intersubjektif serta pengalaman yang melingkupinya. Dengan kata lain, pengalaman manusia atas suatu realitas adalah sejauhmana realitas tersebut hadir melalui tanda-tanda yang dipahaminya dengan sadar dan terlibat penuh di dalamnya serta memahami penuh kehadirannya sebagai sesuatu yang dijalaninya secara otentik. Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat memberikan bekal dalam memahami posisi fenomenologi sebagai filsafat, metodologi, dan teori dalam ranah sosial. Perilaku sosial sesungguhnya sangat subjektif dan oleh subjektifitasnya menjadi sangat fenomenologis. Hal demikian tentu akan terkait dengan penelitian tentang identitas diri waria profesi formal, terutama dalam memberikan makna identitas diri pada kehidupan waria yang merupakan perpaduan kompleksitas nilai dan makna yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Dengan fenomenologi, kiranya ada esensi atas nilai-nilai dan makna berdasarkan pengalaman setiap individu. Paradigma dan teori yang diajukan peneliti merupakan pendekatan subjektif dalam studi-studi sosial. Studi yang menggunakan pendekatan subjektif ini sering disebut dengan studi humanistik dan pendekatannya mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak memiliki sifat yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat intepretatif (Mulyana, 2006). Mulyana mengungkapkan bahwa manusia yang menjadi subjek dalam studi ini merupakan individu yang unik yang menciptakan dunia yang kontekstual. Perilaku manusia dianggap ‘sukarela’ dan aktif mengkontruksikan lingkungan mereka (mendefinisikan situasi). Realitas menjadi suatu proses kreatif tergantung
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
125
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
dari individu yang mengkontruksikannya. Jadi dunia dan semua aspek di dalamnnya pada dasarnya di strukturisasikan oleh manusia, manusialah yang menciptakan struktur dan bukan sturktur yang menentukan perilaku manusia. Dalam pendekatan subjektif ini, subjektifitas perilaku manusia yang menjadi subjek pengamatan ilmiah, Bowers dan Courtright dalam Mulyana memformulasikan subjektifitas perilaku manusia tersebut kedalam empat prinsip, yaitu 1) setiap manusia unik dan berbeda satu sama lainnya, jadi perilakunya-pun tidak dapat diuraikan secara kausal dan tidak bisa diramal, 2) Bila pun terdapat kausalitas dalam fenomena perilaku manusia, ketetapan tatanan akan sangat sulit tercapai mengingat begitu kompleksnya manusia, 3) Perilaku manusia dipengaruhi masa lalunya, dan juga dipengaruhi oleh ekspektasinya pada masa datang, 4) Suatu absurditas bila kausalitas menjadi kepastian dan perilaku dapat diramalkan dengan tepat, karena ini berimplikasi pada ketidaksesuaian fakta yang mengatakan bahwa manusia merespons imperatif moral secara bermakna. Dalam konteks komunikasi penelitian ini berusaha untuk melihat lebih jauh lagi mengenai symbol-simbol verbal dan non verbal. Meskipun ilmu komunikasi dibangun berdasarkan landasan keilmuan sosiologi, psikologi, antropologi dan psikologi sosial, bukan berarti tidak bisa dijadikan patokan atau acuan untuk mengkaji persoalan waria ini. Ilmu komunikasi sangat fleksibel untuk mengkaji persoalan menjadi jelas dan konkrit. Menurut dance dalam Mulyana (2006) disiplin ilmu komunikasi tidak punya “grand theories”, namun mempunyai sejumlah teori parsial dan banyak teori partikularistik, karena realitas komunikasi itu rumit, yang ditandai oleh : (1) sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi; (2) sifat omnipresent dan ubiquitous (ada dimana-mana) komunikasi yang membuat penjelasan menjadi sulit;(3) fakta bahwa komunikasi adalah instrumen dan objek studi; (4) kelakuan, dan pelecehan yang berasal dari perdebatan
paradigmatic; (5) prsaingan antara disiplin ilmu lain yang berkaitan. Fakta bahwa ilmu komunikasi belum menghasilkan teori-teori besar seperti sosiologi atau psikologi, dan masih meminjam teori-teori dan ilmu lain, dianggap sebagai kelemahan ilmu komunikasi oleh sebagian pengamat. Namun sebagian pengamat lain menegaskan justru disitu pulah kekuatannya. Menurut Mulyana (2006), interaksionisme simbolik mengakui bahwa interaksi adalah suatu proses interpretative dua araha. Salah satu focus interaksi simbolik adalah efek dari intreprestasi terhadap orang yang tindakannya sedang diinterprestasikan. Merlyn Sopjan, aktivis transgender lainnya mengatakan sampai saat ini pendidikan formal dan pekerjaan yang layak, belum dapat diakses sebagian besar transgender di Indonesia. Ia mengatakan banyak transgender putus sekolah karena tidak kuat menanggung perlakuan dan ejekan teman-teman sekolahnya. "Mereka selalu di bully, tidak heran kalau mereka jadi trauma dan tidak mau kembali ke sekolah, akibatnya mereka tidak punya skill untuk dapat bekerja di sektor formal sehingga seringnya berakhir di jalanan" ujarnya. Fenomena keberadaan waria ini sudah sering menjadi wacana dalam berbagai situasi. Meskipun saat ini sudah mulai banyak yang mengakui keberadaan waria dalam profesi formal, namun ternyata masih menghadapi banyak kendala dalam pelaksaan tugasnya sehubungan dengan identitas diri ganda yang melekat, apapun posisi dan profesinya. Sesuai dengan fenomena tersebut, maka bagaimana identitas sosial waria dan tinjauan komunikasi, dalam bentuk bagaimana waria mengidentifikasi diri dalam dunia kerja bidang formal, dan bagaimana pola komunikasi pada waria di lingkungan kerja bidang formal, menajadi pusat perhatian peneliti dalam studi fenomenologis ini. Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah 5 waria berprofesi formal yang tergabung dalam Forum Komunikasi Waria Indonesia.
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
126
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : Studi kepustakaan, wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik Analisis Data Analisis data yang penulis dapatkan dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu hasil wawancara, pengamatan yang dicatatkan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, foto dan sebagainya. Kemudian dipelajari dan dibuat reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Langkah selanjutnya adalah menyusunya dalam satuan-satuan dan kemudian di kelompokkan sesuai dengan masalah penelitian. PEMBAHASAN Hasil penelitian yang diuraikan berikut ini adalah tentang pengalaman hidup waria profesi formal di Jakarta. Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari wawancara serta pengamatan yang dilakukan oleh peneliti mengenai motif menjadi waria profesi formal, identitas diri waria profesi formal. Tabel 1 Data Informan No
Nama Informan
1.
Cleo Vitry
2.
Tamara
3. 4. 5.
Yulianus Ratobluit Ita Minaj Merlyn Sopijan
Pekerjaan Supervisor Production Asissten
Suku Asal Jawa Betawi
Konsultan
Papua
Administrasi Kordinator program Advokasi
Jawa Jawa
Motif Menjadi Waria Fenomenologi Shutz menjelaskan bahwa tindakan adalah perilaku yang diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah ditetapkan. Tetapi gambaran yang ditetapkan ini juga mengandung elemen masa lalu. Tujuan tindakan harus memiliki kedua elemen ini yakni elemen ke masa depan dan elemen ke masa lalu. Oleh karena itu, untuk
menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang perlu diberi dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama in order to motive, yang menunjuk pada masa yang akan datang, dan tindakan because of motive, yang menunjuk pada masa lalu. Pada penelitian ini, informan mengemukakan berbagai jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan alasan mereka menjadi seorang waria dan sebagai waria berprofesi formal. Dari jawaban atau penjelasan yang disampaikan oleh informan, maka penulis membagi motif menjadi dua, sesuai pernyataan Schutz, namun untuk lebih mudahnya penulis mengggunakan bahasa faktor pendorong (in order motive) dan faktor harapan (because of motive). Motif Pendorong Menjadi Waria Dalam penelitian ini peneliti menyebut because of motive sebagai faktor pendorong karena motif ini berdasarkan kondisi-kondisi masa lalu, yang membentuk pribadi informan menajdi seorang waria. Secara garis besar keinginan informan menjadi seorang waria dipengaruhi faktor psikologi dirinya sendiri, yang merasakan kenyamanan ketika menjadi seseorang yang berprilaku dan berpakaian wanita. Terdapat satu informan yang dipengaruhi faktor bilogis, menjadikan dirinya waria. Faktor psikologis dan biologis merupakan faktor pendorong intristik. Sedangkan Faktor pendorong intristik, karena faktor Psikologis diungkapkan oleh ke 4 informan, yang ditemui dari hasil penelitiann ini. Para informan merasa adanya perasaan nyaman saat menjadi waria dan keinginan menjadi seorang wanita. Tabel 2 Faktor Pendorong Intrinstik Menjadi waria Faktor Pendorong Informan Intrinstik Menjadi Waria Faktor Biologis : Ita Minaj - Memiliki 2 alat kelamin - Hormon yang berbeda dengan kebanyakan lakilaki lain.
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
127
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
Faktor Psikologis: - Perasaan nyaman menjadi seorang waria - Keinginan menjadi seorang wanita
Cleo vitry Tamara Yulianus Rettoblaut Merlyn Sopjan
Selain faktor pendorong instristik, alasan informan tak input dari pengaruh faktor ekstrinsik, yakni adanya faktor sosiologis seperti pengalaman masa lalu dan pergaulan dengan sesama waria. Faktor pendorong pertama, pengalaman masa lalu, disampaikan oleh dua informan, yaitu Tamara dan Ita Minaj. Bagi Tamara pengalaman masa lalu salah satu faktor yang kemudian mendorongnya menjadi waria. Saat ia melihat sosok ayah sebagai seorang laki-laki yang seharusnya melindungi keluarga, namun ini sebaliknya, menjadikan dirinya membenci dirinya sendiri mengapa harus menjadi seorang pria. Berbeda dengan pernyataan Tamara, Ita Minaj merasakan faktor pendorong ekstrinsik dari segi sosiologi karena pengalaman masa lalu, dimana dirinya pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan, karena disakiti oleh seorang wanita, yang sempat ia sukai, namun dikecewakan karena ia memiliki kelainan. Tabel 3 Faktor Pendorong Ekstrinstik Menjadi Waria No 1 2
Faktor pendorong Ekstrinstik Pergaulan dengan Waria Pengalaman Masa Lalu
Informan Yulianus Rettoblaut Merlyn Sopjan Cleo Vitry Tamara Ita Minaj
Motif Menjadi Waria Profesi Formal Menjalani kehidupan waria tidaklah mudah, selain perlunya penerimaan keluarga serta masyarakat luas, para waria membutuhkan kebutuhan sekunder seperti mendapatkan pekerjaan yang layak. Saat ini kita banyak melihat pekerjaan yang sering dilakukan oleh sebagian besar waria
adalah pekerja sex komersial atau usaha dibidang salon. Namun 5 orang informan ini, mencoba keluar dari pandangan masyarakat selama ini, dengan bisa membuktikan diri bekerja di bidang formal. Keinginan ini muncul karena adanya faktor pendorong (because of motive). Faktor pendorong waria memilih bekerja pada profesi formal dalam penelitian ini terdapat 2 spesifikasi, yakni karena kebutuhan ekonomi, dan meningkatkan kualitas diri. Kedua spesifikasi diungkapkan oleh ke lima informan dalam penelitian ini. Tabel 4 Faktor Pendorong Menjadi Waria Profesi Formal NO 1 2
Faktor Pendorong Menjadi Waria Profesi Formal Kebutuhan Ekonomi Meningkatkan kualitas diri
Informan Cleo dan Ita Minaj Yulianus,Merlyn dan Tamara
Faktor Harapan Menjadi Waria Profesi Formal Berdasarkan hasil penelitian ditemukan hasil yang sama dari kelima informan, yakni menepis pandangan masyarakat selama ini jika waria saat ini bisa membuktikan diri sebagai pekerja di sektor formal dan menbutuhkan hubungan sosial dengan masyarakat luas. Faktor harapan pertama menepis pandangan masyarakat, diutarakan oleh Merlyn dan Yulianus. Seperti yang diutarakan oleh Merlyn: “Selama ini waria hanya dipandang sebagai pekerja sex komersil, dunia hiburan yang hanya berada pada sektor formal, harapan saya agar teman-teman waria saya, bisa mendapatkan pekerjaan formal seperti saya dan bisa mengubah pandangan masyarakat kalau waria bisa diterima bekerja di sektor formal” “Jika teman-teman waria bisa diterima pada pekerjaan formal, maka harus ada yang memulai, karena itu saya memulai dan menunjukkan kepada mereka dan masyarakat kalau waria bisa kerja di ranah formal”
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
128
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
Faktor harapan kedua untuk mendapatkan hubungan sosial dengan masyarakat luas, diutarakan oleh Cleo, Tamara dan Ita minaj. Bekerja di sektor formal interaksi atau hubungan yang dijalin dengan masyarakat luas lebih banyak. “kalau saya kerja di kerja formal, karena lebih sering ketemu sama orang lain, bukan Cuma temen waria aja” Tabel 5 Faktor Harapan Menjadi Waria Profesi Formal NO Faktor Informan Harapan Menjadi Waria Profesi Formal 1 Menepis Yulianus,Merlyn pandangan masyarakat 2 Memiliki Cleo, Ita dan hubungan social Tamara dengan masyarakat luas Identitas Diri Waria Profesi Formal Di Indonesia,khususnya Jakarta, kita kenal keberadaan kelompok yang memiliki nama popular waria atau wanita-pria. Waria adalah individu yang memiliki jenis kelamin pria namun mengidentifikasi dirinya sebagai seorang wanita, ia juga mengubah penampilan selayaknya sebagai seorang wanita, baik dari pakaian hingga bentuk tubuh. Menjadi waria bukanlah proses yang mudah dan menyenangkan baik ketika menjadi maupun ketika menjalaninya. Hingga saat ini, oleh lingkungannya atau masyarakat mereka dianggap sebagai sebuah penyimpangan, sehingga hampir setiap saat mereka mendapatkan perlakuan yang buruk dan dikucilkan dari masyarakat. Hal ini diperkuat dengan keberadaan waria yang identik dengan pekerja seks komersil, yang secara hukum maupun agama tidak dibenarkan. Hal ini yang menyebabkan konflik-konflik dalam diri mereka sendiri. Konflik ini dapat terjadi baik ketika mereka belum memutuskan menjadi waria maupun setelah menjadi waria. Keputusan seseorang untuk menjadi waria ataukah tidak , terkait dengan istilah gender identitas. Gender identitas adalah
proses dimana seseorang melakukan klasifikasi terhadap dirinya, apakah ia seorang wanita atau pria. Saat seseorang menentukan dirinya untuk menjadi seorang waria, maka ia pun harus siap menerima dengan apa yang telah menjadi pilihan hidupnya, dengan banyak rintangan dan cobaan yang akan ia lalui. Untuk menjalani sebuah hidup normal sebagai waria tidaklah mudah, karena dianggap sebagai sebuah penyimpangan oleh masyrakat dan lingkungannya. Dengan mengetahui identitas diri waria profesi formal dalam kehidupannya , dapat diketahui keinginan seorang waria untuk memiliki hidup dengan definisi “normal” tanpa perlakuan diskriminatif, para waria ingin dihargai dan menunjukkan kalau mereka juga manusia. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat mengetahui seberapa besar keterbukaan diri seseorang waria terhadap lawan komunikasinya dalam sebuah interaksi, dalam hal ini yaitu komunikasi antar pribadi. Identitas diri merupakan aspek yang paling mendasar dari konsep diri dan mengacu pada pertanyaan “siapakah saya?” dalam pertanyaan tersebut mencakup label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu yang bersangkutan membangun identitasnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, penulis menemukan dua kategori identitas diri waria profesi formal, yakni waria yang masih mencari jati diri dan waria yang jati dirinya sebagai waria profesi formal. Tabel 6 Identitas Diri Waria Profesi Formal No Identitas Diri Informan Waria Profesi Formal 1 Waria yang masih Ita Minaj mencari jati diri dan Cleo Vitry 2 Waria yang jati Yulianus dirinya menjadi Merlyn waria profesi formal Tamara PENUTUP SIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap kelima informan yang merupakan
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
129
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
waria profesi formal dalam penelitian ini dimana pelaku komunikasi berkenan mengartikulasi pengalaman kehidupannya serta bersedia berbagi tentang motif, identitas diri dan komunikasi yang digunakan oleh informan, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Motif menjadi waria ada dua kategorisasi, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terbagi dua, yaitu psikologi dan biologis. Adapun Faktor eksternal yaitu sosiologis. Motif menjadi waria profesi formal terbagi dalam dua kategorisasi, yakni faktor pendorong dan faktor harapan. Faktor pendorong dalam penelitian ini adalah kebutuhan ekonomi dan aktualisasi diri, sedangkan faktor harapan yaitu, memiliki hubungan masyarakat dan sosial serta agar dapat diterima oleh masyarakat luas. 2. Identitas diri waria profesi formal dalam penelitian ini ada dua, yaitu waria yang masih mencari jati diri dan waria jati diri profesi formal.
2. Mencoba untuk dapat lebih mengenal dan memahami wariadengan cara mengetahui berbagai faktor penyebab terbentuknya perilaku menyimpang, menerima dan menghormati keputusan seseorang atas sex preference waria yang diambil dan tidak mengkucilkan waria sebagai masyarakat yang direndahkan serta dikucilkan ataupun sebagai kaum “marginal”.
SARAN Adapun beberapa saran yang peneliti berikan setelah melakukan penelitian ini adalah sebagi berikut : Saran Bagi Waria 1. Menjadi seorang waria merupakan pilihan yang sadar dan diambil dengan pilihan yang sulit. Pikirkan dengan baik tentang berbagai konsekuensi yang akan diterima kedepannya dan bertanggung jawab penuh atas apa yang menjadi pilihan. 2. Tunjukan seorang waria juga dapat berperan penting dan memberikan sumbangsih yang positif bagi diri sendiri dan untuk masyarakat, seperti aktif dalam organisasi sosial, berkarya di berbagai bidang yang dapat berguna bagi orang banyak dan berperilaku baik dalam masyarakat. Saran Bagi Masyarakat 1. Pada saat anak mulai menunjukkan perilaku lawan jenis, orang tua harus mengingatkan dan menjelaskan pada anak berkaitan dengan perilaku mana yang sesuai atau tidak sesuai dengan identitas kelamin anak.
Desmita. (2006). Psikologi Perkembangan . Bandung: Rosda
REFERENSI Biran, R. L. & Praesti, Yeti. (2004). Hubungan Romantic Attachment dan Perilaku Parasosial Pada Wanita Dewasa Muda. Jurnal Psikologi Sosial. F. psikologi UI. 11 Burns. (1993). Konsep Diri; Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku .Alih bahasa: Eddy. Jakarta : Penerbit Arcan.
Erikson, Erick,H. (1968). Identity, youth, and Crisis. International University Press. New York. Erikson, Erick, H. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Bunga Rampai Penerjemah : Agus Cremers. Jakarta : PT. Gramedia.Ellis, L. (2002). The Adolescent Crisis Identity. http://www .Bcparent.com/articles/teens/adolescent.id. cisis.html Giles, D. C. (2002). Parasosial Interaction : A Review of The Literature and A model For Future Research. Media Pshychology. 4(3) Judith, Thomas. (2004). Power Of Identity. London. BlackWell Kelly. (1988). Sexuality Today, Human Perspective. London
ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
The
130
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. III No. 2 September 2016
Littlejhon,Stephen W. (1996). Theories of Human Communications.Fifth Edition.Belmont, California:Wadsworth. Misiak, Henryk dan Virginia Staudi Sexton. (1973). Psikologi Fenomenologi Eksistensial dan Humanistik, Bandung: PT. Remaja RosdaKarya
2010. Ia juga Pernah Bekerja di Media Art sebagai Produser pada tahun 2011-2012. Maya Lulus dari Fak. Imu Komunikasi Unpad (2009), memperoleh gelar S.I.KOM dari jurusan Jurnalistik, Dan gelar M.I.KOM dari Jurusan Komunikasi Bisnis, Fak. Ilmu Komunikasi Unpad (2012).
Mulyana, Deddy. (2001). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung, Rosda. Mulyana, Deddy. (2006). Teori Ilmu Komunikasi. Bandung,Rosda Karya. Moleong, Lexy J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Mukhtar. (2013). Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif .Jakarta selatan: GP Press Group Muus, R. (1996). Theories Of Adolescence . New York: Mc Graw Hill Naela, Davidson. (1978). Abnormal Psycology, An Experimental Clinical Approach. Boston Purwandari. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku, Jakarta: LPAP3 UI Santrock, J.W. (1998). Adolescence 7 th ed. Boston : Mc Graw-hill Santrock, John W. (2003). Life Span Development; Perkembangan Masa Hidup. Penerjemah : . Jakarta : Penerbit Erlangga. Scutz, Alfred. (1972). The Phenomenology of The Social World. London. Heinemann Educational Book. BIODATA PENULIS MAYA RETNASARY, M.I.KOM. Lahir di Purwakarta 7 Maret 1986, kini bekerja sebagai dosen di Universitas Bina Sarana Informatika Bandung, Pernah bekerja di Global Tv sebagai Creative pada tahun ISSN: 2355-0287, E-ISSN: 2549-3299 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
131