perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
FASHION DAN IDENTITAS DIRI WARIA Studi Etnografi Simbol-simbol Komunikasi Non-verbal dalam Fashion Sebagai Pembentuk Identitas Diri di kalangan Waria di kota Yogyakarta
Oleh
:
A’malia B D 1206506
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Motto Tidak ada yang lebih dekat selain pertolongan Allah
PERSEMBAHAN commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“All of Us are the Master of Universe” –Rhonda BryneDalam proses penulisan skripsi yang cukup panjang dan melelahkan ini ada begitu banyak nama yang memberikan kebaikan sehingga akhirnya saya bisa berada di titik ini. Ayahanda A Badri S, Ibunda Suaini L Tidak ada kebaikan yang melebihi kasih sayang kedua orang tua kepada anakanaknya. Terima kasih untuk didikan-didikan sempurna yang telah diberikan kepada saya sejak lahir hingga hari ini. Abang Syahrizal, Yuk Rahma, Yuk Ani, dek Pamel, dan seluruh keluarga besar Sayuni dan Lasahi Semoga sikap keras kepala saya sebagai si bungsu yang tidak mau dan menolak untuk dihentikan dengan cara apapun dapat dimaafkan :D Risty and Family I feel like home everytime i am here. Thank you for keeping me as the part of the family, dan memberikan semangat agar saya tidak pernah mengenal kata menyerah. RCTI and Ogilvy PR Worldwide / Pulse Communications Dua tahun bekerja dengan status sebagai mahasiswa J Thank you for giving me this precious opportunity. Untuk kepercayaan yang diberikan, kebaikan dan semua tantangan yang diberikan. Now i can say it out loud, i am ready to conquer it all :D ..Dinti.. Let’s not put an end to our journey, let’s not put any limit to our dreams. HUGE thanks for The Secret book.. The book was a bliss J ..Vero, Fadli, Melly, Linda, Kak Niken, Poundra, Dije, Aksan.. Maaf jika membuat telinga kalian bosan dengan semua ‘drama’ tanpa henti dari saya and thanks for all the support, all the laugh, and all the ‘You-Can-Do-It’ sentences. Geez, i miss you all already :’) My dear Poundra, the one who always supported me all the way, look, I did it! KATA PENGANTAR commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berangkat dari satu judul kuliah yang peneliti ikuti mengenai penulisan skripsi, satu kalimat yang memotivasi peneliti dari dosen yang mengajar kala itu adalah “Tulislah apa yang menjadi minatmu ketika menyusun skripsi, agar skripsi mu memiliki ruh”. Dari situlah ide tentang pengambilan judul skripsi ini tercipta. Sejak bertemu dengan buku Malcolm Barnard yang berjudul Fashion as a Communication, peneliti terus ingin menggali makna apa saja yang mampu diutarakan oleh fashion. Sampai ke titik dimana peneliti menemukan bahwa fashion tidak sekedar dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan status sosial, gender, kelas, agama, dan hal-hal lain yang umumnya sudah difahami masyarakat awam secara luas, melampaui itu semua ternyata fashion bahkan mampu mengkomunikasikan identitas seksual kelompok dengan orientasi seksual yang spesifik (homoseksual). Didukung oleh rekan-rekan semasa berkuliah di Jogja yang aktif di berbagai LSM yang salah satu diantaranya memfokuskan diri pada kampanye keamanan seksual kelompok homoseksual, peneliti bertemu dengan banyak gay, lesbian, dan waria, dan memulai riset sederhana, yang akhirnya melahirkan gagasan untuk skripsi ini. Mengapa waria? Secara denotatif, peneliti melihat ada konsep yang tegas bagi fashion waria dimana mereka melakukan cross dressing dengan terbuka. Berbeda dengan kelompok homoseksual lainnya, gay dan lesbian, yang cenderung masih semu dalam memanfaatkan fashion untuk mengkomunikasikan identitas seksual (tidak semua lelaki gay feminin, dan tidak semua perempuan lesbian tomboy). Kemudian secara konotatif, peneliti juga melihat bagi mereka cross dressing tidak semata permasalahan mengkomunikasikan orientasi seksual, tapi ada pemberontakan di dalamnya. Yang mana mereka berusaha menyuarakan keberadaannya dan berharap dijadikan gender ketiga, agar minimal bisa menikmati fasilitas umum dengan tenang (waria yang peneliti temui mengaku jarang bisa menikmati fasilitas umum secara gender, contoh toilet umum, karena tidak merasa nyaman di dua gender tersebut). Peneliti merasa beruntung terfasilitasi dan terpicu untuk secara terus menerus menggali kajian komunikasi apa yang bisa peneliti gunakan untuk commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendukung penelitian ini. Kesempatan ini ingin peneliti gunakan untuk menyampaikan rasa terima kasih peneliti yang teramat besar kepada : 1. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D selaku pembimbing utama yang telah lebih dari dua tahun memberikan waktunya yang berharga untuk menstimulasi daya kembang dan pola pikir peneliti menuju ke berbagai kajian komunikasi yang peneliti sama sekali buta sebelumnya. 2. Dra. Indah Budi Rahayu, SE, M.Hum selaku pembimbing II yang terus menerus memberikan dukungan moral dan memberikan rasa percaya diri yang tinggi kepada peneliti bahwa peneliti mampu untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 3. Bapak Andrik Purwasito yang meluangkan waktu untuk diskusi singkat dengan peneliti yang memberi peneliti wacana tentang semiotika untuk pertama kalinya. 4. Rekan-rekan kerja dan atasan di RCTI dan Ogilvy Public Relations Worldwide yang memberikan dukungan dan memberikan pijakan yang mantap bagi peneliti untuk semakin mencintai dunia komunikasi. 5. Rekan-rekan seangkatan jurusan Komunikasi Massa yang bersama-sama berjuang bersama peneliti, yang terus mengobarkan api semangat agar bisa menikmati keberhasilan bersama. Akhir kata peneliti sangat berharap penelitian yang dipersembahkan untuk meraih gelar sarjana ini tidak sekedar menjadi ‘syarat kelulusan’ namun mampu memberikan sumbangsih ilmu dan wawasan dalam arti sebenarnya bagi ilmu komunikasi.
Surakarta, 17 Desember 2010
Amalia B DAFTAR ISI commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
JUDUL .............................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
HALAMAN MOTTO .....................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xii
ABSTRAK .......................................................................................................
xiii
ABSTRACT .....................................................................................................
xv
BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar belakang ...........................................................................
1
B. Rumusan Permasalahan ............................................................
9
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
10
D. Manfaat Penelitian ....................................................................
11
E. Telaah Pustaka .........................................................................
13
1. Komunikasi ..........................................................................
13
2. Komunikasi non-verbal................................................. ......
15
3. Fashion Sebagai Komunikasi .............................................
17
4. Waria dan Identitas Diri ......................................................
22
5. Waria, Identitas Diri dan Pemilihan Fashionnya ................
24
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Definisi Konsep ........................................................................
28
1. Waria ...................................................................................
28
2. Fashion (Pakaian, Make Up, Aksesoris)..............................
29
3. Identitas Diri .......................................................................
33
G. Kerangka Berpikir .....................................................................
36
H. Metodologi Penelitian ...............................................................
37
1. Jenis Penelitian ........................................................................ 37
BAB II
2. Subjek dan Lokasi Penelitian ...............................................
38
3. Teknik Pengumpulan Data ..................................................
40
4. Analisa Data .........................................................................
41
5. Uji Validitas Data ................................................................
43
WARIA SEBAGAI SUATU FENOMENA ................................
44
A. Sekilas Sejarah Waria ...............................................................
44
B. Kajian Sejarah Waria di Indonesia ...........................................
49
C. Kehidupan Waria Yogyakarta ..................................................
61
BAB III FASHION WARIA DAN CARA MENGKOMUNIKASIKAN IDENTITAS DIRI .....................................................................
67
A. Fashion dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif ...
68
1. Pakaian dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif
68
2. Make up dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif
72
3. Aksesoris dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif 75 commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Fashion dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif ......
77
1. Pakaian dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif
77
2. Make up dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif
79
3. Aksesoris dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif
81
C. Identitas Sosial pada Pola Fashion Waria yang Dikaitkan Dengan Profesi ..........................................................................
82
BAB IV IDENTITAS DALAM FASHION WARIA ................................
89
A. Waria dan Latar Belakang Pemilihan Fashion .........................
91
1. Reproduksi Sosial ...............................................................
91
1.a. Protes Terhadap Reproduksi Budaya Dominan ........
92
1.b. Reproduksi Terhadap Sterotipe Subkultur yang Ada
95
2. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Cross Dressing ........
98
B. Pola Penggunaan Fashion dalam Pembentukan Identitas Kelompok Waria .....................................................................
102
1. Pola Berpakaian dan Refleksi Identitas Subyektif dan
BAB V
Obyektif Waria .................................................................
102
2. Pola Berpakaian Terkait Profesi .........................................
104
C. Pembentukan Identitas .............................................................
107
1. Identitas Gender ..................................................................
110
2. Identitas Sosial ....................................................................
113
PENUTUP .....................................................................................
117
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A. Kesimpulan ..............................................................................
117
B. Saran ........................................................................................
121
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1.1 Skema penelitian ...............................................................................
36
Tabel 2.1 Perkembangan Homoseksual di Seluruh Dunia ................................
49
Tabel 2.2 Perkembangan Homoseksual di Indonesia ......................................
60
Tabel 4.1 Tipologi Perilaku.............................................................................. 115
Abstraks
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Amalia B D1206506, FASHION DAN IDENTITTAS DIRI WARIA (Studi Etnologi Pemanfaatan Fashion (Pakaian, Make Up dan Aksesoris) Sebagai Pembentuk Identitas Diri di kalangan Waria Yogyakarta) Waria merupakan suatu subjek komunikasi yang menjadi suatu fenomena komunikasi tersendiri karena mereka berhasil memanfaatkan fashion (pakaian, make up dan aksesoris) untuk mengkomunikasikan tidak hanya kepribadian mereka, tetapi juga identitas subyektif dan obyektif mereka yang bermuara pada pemilihan orientasi seksual yang berbeda dari apa yang dianggap lazim di masyarakat. Waria menjadi contoh dari sekian contoh lainnya bahwa komunikasi memiliki kekuatan yang sangat pekat untuk bisa mempengaruhi segala aspek kehidupan, bahkan hingga ke tingkatan seksual dengan bahasa yang sangat sederhana sekaligus kompleks, fashion. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimanakah proses komunikasi yang terjadi dalam pembentukan identitas diri ini dan pesan apa yang hendak disampaikan waria melalui pemilihan fashionnya tersebut. Penelitian yang melibatkan 9 orang waria dari 7 profesi yang berbeda di kota Yogyakarta ini menerapkan metode etnologi untuk melihat waria sebagai suatu subjek studi yang lekat akan nilai-nilai budaya dan sosial. Melalui penelitian ini tergali lah beberapa kesalahan persepsi yang selama ini, setidaknya ada dalam benak peneliti, tentang sosok waria. Masyarakat awam cenderung menjustifikasi waria sebagai subjek penyimpangan seksual yang berusaha untuk menjadi perempuan untuk memenuhi antara lain hasrat seksualnya. Namun, ternyata ini tidak sepenuhnya benar. Waria tidak sekedar mengaktualisasikan identitas gender ataupun sosial melalui fashion yang mereka pilih, tapi waria menyuarakan pemberontakan, menuntut kesetaraan agar bisa dikategorikan sebagai gender ketiga, bukan laki-laki dan bukan pula perempuan. Anggapan bahwa waria kurang memiliki sense ketika berpakaian dan berdandan yang mengakibatkan tampilan mereka menjadi norak dan berlebihan, ternyata juga salah. Justru sebagai bentuk reproduksi stereotipe sosial mereka, waria dengan sengaja memililih penampilan norak dan berlebihan ini untuk menyatakan bahwa mereka ingin melebihi perempuan dan menjadi pusat perhatian. “Saya waria, bukan perempuan,” ujar mereka. Melalui penelitian sederhana ini peneliti berharap kajian komunikasi semakin kaya, jendela komunikasi semakin lebar dan semakin banyak unsur-unsur unik kehidupan yang akan diteliti dengan pisau komunikasi, terutama etnologi sebagai pisau pembedah yang diambil untuk menafsirkan segala simbol-simbol sosial yang hadir ditengah-tengah kehidupan waria.
Abstract commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Amalia B D1206506, FASHION AND TRANSVESTITES PERSONAL IDENTITY (An Ethnology Study about Benefit of Fashion (Clothes, Makeup, and Accecories) to Build Personal Identity in Yogyakarta’s Transvestites Community) Transvestites as communication subject and become a separate communication phenomenon because they succeded to gain advantage of the fashion world (clothes, make up and accessories) to communicate not only their personalities, as well as the subjective and objective identities which led them to the selection of distortion sexual orientation from what is common in society. Transvestites are example and also prove that communication posses very strong power to affect many aspects of life, including sexual orientation with very simple yet complex language, fashion. This study is done to find what is the communication process in order to create transvestites’ personal identities and what kind of messages that they need to transfer through their fashion. This study involves 9 transvestites from 7 different working fields in Yogyakarta by applying the ethnology methode to observe transvestites as a study subjective which close to social and culture values. Through the researcher’s point of view, misperception regarding transvertites was revelead. The society with less information, tend to justify transvestites as subjects of sexual deviation, who see to fulfills their sexual desirse to become a woman. However, this is not entirely true. They have managed to emphasized social or gender identity through fashion and also expressed rebellious and demands over equality to be considered as third gender, neither men nor women. The presumption that transvestites are senseless when it comes to dressing up, is also inncorrect. As a social stereotype reproduction of transvestites, they dress, accesorize excesively to make a statement who they really are and become the center of attention. “I am a transvestite, not a woman”, stated them. Through this simple research, I really hope that communication studies can become richer, expand the communication window and perspective and there have more communication researcersh discusss about the unique side of life, especially with the ethnology method to interpret all social symbols that exist in transvestites life.
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia telah menemukan arti penting komunikasi sejak berabad-abad lamanya. Sebagai makhluk sosial, manusia memang tidak dapat memisahkan dirinya dari kegiatan berkomunikasi. Beriringan dengan berbagai inovasi di bidang teknologi selanjutnya, termasuk teknologi komunikasi dan informasi, maka komunikasi antar manusia juga menjadi lebih kompleks. Komunikasi pun kemudian dijadikan bahan ajar di berbagai universitas di seluruh dunia untuk dapat dipelajari dan diteliti lebih lanjut, serta ditingkatkan keefektifannya. Sekitar tahun 1940-an di Amerika Serikat muncul istilah communicology untuk mendefinisikan ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial sebagai akibat dari proses komunikasi massa, komunikasi kelompok dan komunikasi antarpersonal1. Karena komunikasi dinyatakan sebagai pembelajaran atas gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat, maka tidak mengherankan ketika pada akhirnya mutasi dari ilmu komunikasi ini sendiri menjadi luas bidangnya. Pada dasarnya manusia berkomunikasi dalam dua cara, yaitu secara verbal dan nonverbal. Pada awalnya, bidang penelitian komunikasi nonverbal terbatas
1
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. 2001.Bandung. PT Remaja Rosdakarya. hal 4
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagian besar pada pesan tubuh manusia 2 , di mana komunikasi nonverbal dianggap sebagai suatu alat bantu memperjelas komunikasi verbal. Yang dianggap sebagai komunikasi nonverbal masih terbatas pada bahasa tubuh, mimik wajah dan intonasi suara. Dengan pengembangan kajian ilmu komunikasi barulah kemudian disadari bahwa untuk berkomunikasi secara nonverbal orang dapat pula menggunakan banyak hal seperti gambar, simbol, warna, bentuk, bahan, dandanan, dekorasi, pakaian, dan sebagainya
3
. Unsur-unsur komunikasi nonverbal inipun
mendapatkan porsi perhatian khusus terutama di bidang-bidang visual seperti periklanan dan industri media. Kemajuan teknologi yang diiringi dengan perubahan sosial masyarakat juga kemudian memberikan warna baru bagi pemaknaan komunikasi nonverbal, di mana masyarakat mulai menggunakan cara baru dalam berkomunikasi, misalnya memanfaatkan pakaian untuk mengkomunikasikan kepribadian mereka ke orang banyak tanpa harus bersusah payah menjelaskannya. 4 Anggapan ini berawal dari keadaan sosial masyarakat yang mulai memberikan porsi perhatian berlebih terhadap industri mode dan fashion. Di Indonesia hal ini ditandai dengan bertumbuhnya pusat perbelanjaan bergaya semacam shopping mall serta serbuan majalah-majalah mode dan gaya
2
Barnard, Malcolm. Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender . Jalasutra. Bandung. 2006. hal vii dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim 3 Disarikan dari tulisan Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. 2001.Bandung. PT Remaja Rosdakarya.hal 7 dan Idi Subandy Ibrahim dalam kata pengantar untuk Barnard, Malcolm. Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender . Jalasutra. Bandung. 2006. hal vii 4 Barnard, op.cit, hal xiv
commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hidup transnasional yang memasukkan fashion sebagai salah satu porsi utama dalam terbitannya 5 . Ini belum termasuk acara-acara televisi yang mengulas seputar fashion dan kecantikan. Sehingga tidak dapat disalahkan ketika kemudian salah seorang pakar pop culture di Indonesia, Idi Subandy Ibrahim, memberikan sebutan era fashion untuk menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang mengalami perubahan gaya hidup karena pengaruh globalisasi ekonomi, globalisasi media dan transformasi kapitalisme konsumsi dalam masyarakat. 6 Memang belum semua orang menyadari peran penting pakaian sebagai suatu bentuk komunikasi nonverbal yang dipakai untuk menyampaikan pesan kepada orang lain ataupun besarnya peranan pakaian dalam rangka menciptakan suatu image terutama bagi orang yang ditemui untuk pertama kalinya. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa disadari atau tidak sejak lama sesungguhnya masyarakat sudah menyadari arti pentingnya pakaian melebihi fungsi utamanya untuk melindungi tubuh pemakainya dari cuaca atau demi alasan kesopanan. Itulah sebabnya, untuk kesempatan tertentu orang akan cenderung memikirkan pakaian yang akan mereka kenakan, misalnya pakaian untuk menghadiri wawancara kerja atau pesta. Pakaian juga kemudian menjadi identitas pribadi bagi semua orang. Oleh karena itu memilih pakaian, baik di toko maupun di rumah, berarti mendefinisikan dan menggambarkan diri kita sendiri 7. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari
5
Chaney, David. Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra. 2003. hal 8 dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim 6 Ibid 7 Lurie, A., The Language of Clothes, London : Bloomsbury, 1992. hal 5. dikutip dari Barnard, Malcolm. Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender . Jalasutra. Bandung. 2006. hal 7
commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di mana dapat dilihat orang menggunakan pakaian dengan sengaja untuk merepresentasikan dirinya kepada masyarakat adalah pemilihan pakaian (fashion) oleh kelompok transeksual atau transgender. Perlu difahami terlebih dahulu bahwa ada perbedaan antara penggunaan isitilah transeksual dan transgender secara harfiah. Transseksual adalah orang yang berusaha mengubah jenis kelaminnya menjadi jenis kelamin lawan jenisnya (the opposite gender). Sementara transgender digunakan untuk menggambarkan keadaan mental seseorang yang merasa dirinya tidak berada pada gender yang tepat, namun tidak berusaha merubah jenis kelaminnya.
8
Yang menyamakan
mereka adalah perilaku berpakaian mereka yang tidak sesuai dengan kontruksi gender yang diterapkan dalam masyarakat. Kelompok transesksual ataupun transgender ini menjadi contoh nyata bahwa pakaian merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal penting bagi mereka dalam menyampaikan kepribadian mereka kepada masyarakat dan termasuk di dalamnya adalah pemilihan orientasi seksual mereka sebagai seorang homoseksual. Teori pakaian dan orientasi seksual sebenarnya tidak secara eksklusif dimiliki oleh kelompok transeksual/transgender. Ada kelompok homoseksual yakni gay dan lesbian yang barangkali juga memiliki pakem-pakem tersendiri dalam berpakaian atau berperilaku terutama dalam melihat peran mereka dalam berhubungan dengan pasangannya. Dalam menemukan “sesama” di lingkungan yang masih menganggap orientasi seksual berbeda sebagai hal yang tabu, banyak dari kaum gay ini mengandalkan gaydar, yang merupakan sebutan bagi istilah gay 8
Puspitosari, Hesti dan Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. 2005. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hal 10.
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
radar (istilah kaum gay bagi kemampuan mereka mendeteksi seseorang dengan orientasi seksual sama). Fashion maupun gesture tertentu, lantas, menjadi sangat krusial peranannya, karena dalam upaya untuk mengembangkan pergaulan dengan orientasi seksual semacam itu memerlukan penanda-penanda tertentu untuk menentukan siapa memerankan peran sebagai siapa. Namun tentu saja pemikiran ini memerlukan pengkajian lebih lanjut, karena sebagian besar kelompok homoseksual dengan orientasi sebagai gay dan lesbian menolak untuk mengkategorisasikan peran mereka dari penampilan luar karena menurut mereka itu adalah pakem bagi kelompok heteroseksual dan tidak berlaku dalam kelompok homoseksual. Berbeda halnya dengan kelompok transeksual atau transgender yang dengan sangat jelas mendefinisikan orientasi seksual dan sekaligus kepribadian mereka melalui fashion yang mereka pilih. Lalu apakah yang sebenarnya ingin dikomunikasikan oleh kelompok transeksual atau transgender ini dengan pemilihan fashion yang memiliki kecenderungan kuat bertentangan dengan jenis kelaminnya sendiri? Transeksual maupun transgender biasanya sejak usia dini menyadari bahwa dirinya secara fisik bukanlah dirinya secara mental, misalnya laki-laki yang merasa terperangkap dalam tubuh perempuan ataupun sebaliknya. Seiring dengan pertumbuhan usia, kelompok transeksual dan transgender ini berusaha mengakomodir kebutuhan dirinya untuk menampakkan sisi dirinya yang tersembunyi atau yang bagi mereka merupakan kepribadian mereka yang
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesungguhnya, salah satu caranya adalah dengan menampilkan identitas baru melalui pakaian. 9 Masyarakat kita mungkin sudah sangat akrab dengan sosok transeksual atau transgender dalam kehidupan sehari-hari, terutama transeksual atau transgender MTF (male to female) atau yang lazim disebut waria. Istilah waria pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1983 di wilayah Jawa Timur, yang mana kata ini merupakan akronim dari wanita-pria. 10 Untuk kasus di Indonesia tidak semua waria dalam kesehariannya berperilaku cross-dressing (memakai pakaian lawan jenisnya) setiap saat. Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sartono dalam artikel yang berjudul “Dari Homoseks ke Metroseks” menyebutkan bahwa kebanyakan waria di Indonesia cenderung menjadi waria paruh waktu (siang Hartono malam Hartini).11 Perilaku yang juga seringkali disebut dragqueen ini tidak jarang hanya dilakukan pada acara-acara drag show yang biasanya diadakan oleh klub-klub malam. Menariknya justru fenomena waria ini sebenarnya memiliki keterkaitan erat dengan akar budaya Indonesia. Sejarah budaya di Indonesia mencatat adanya beberapa seni pertunjukan yang memang memakai waria sebagai unsur utama dalam pentasnya, sebut saja kesenian ludruk dan gandrung yang berasal dari daerah Jawa. Terdapatnya peran waria dalam panggung ludruk maupun gandrung dimungkinkan kontruksi sebagian agamawan (Islam) yang dulu menolak tampilnya perempuan dalam pentas pertunjukan. Hal ini kemudian disiasati
9
ibid http://bambangpriantono.multiply.com/Indonesia, Dangerously Beautiful!!!!/ Kata Bahasa Indonesia Hari Ini : "WARIA". Diakses pada 27 Maret 2008 pukul 19.26 WIB. 11 http://www.psikologiums.net 10
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan cara merias laki-laki sebagai perempuan, dengan merubah gaya dan penampilan selayaknya perempuan, kekenesan, kekonyolan dan sekaligus banyolan-banyolan yang sengaja diperagakan oleh waria untuk menjadi magnet dalam pertunjukan12. Tidak mengherankan jika kemudian di wilayah lain Indonesia seperti Soppeng, Bugis, Sulawesi Selatan ditemukan pula peranan waria dalam ritual kebudayaannya. Waria (atau biasa disebut calabai) di daerah ini justru dihormati dan dijadikan sebagai salah satu unsur penting dalam ritual upacara keagamaan mereka. Calabai yang disebut Bissu dalam upacara keagamaannya tidak pernah menerima perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya meski mereka senang berdandan layaknya perempuan dan senang merayu pria.
13
Selain itu di
Kalimantan, tepatnya di Suku Dayak Ngaju juga dikenal adanya pendeta-pendeta perantara yang mengenakan pakaian lawan jenis. 14 Penelitian ini nantinya akan mencoba mengungkapkan bagaimana fashion dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kepribadian pemakainya, dan sebagai contoh kasusnya adalah pemilihan orientasi seksual yang dinyatakan melalui pakaian yang dikenakan oleh para waria, karena dapat dipastikan waria memiliki orientasi seksual sebagai homoseksual. 15 Penelitian ini juga ingin memotret lebih jauh apa yang menjadi alasan bagi para waria untuk berpakaian seperti lawan jenisnya, apakah sebagai suatu bentuk keinginan untuk diakui sebagai suatu 12
Anoegrajekti, Novi. Tandak Ludruk : Ambiguitas dan Panggung Identitas dalam Srintil (ed) Menggugat Maskulinitas dan Feminitas. 2003. Depok : Kajian Perempuan Desantara. Hal 18. Dikutip dari Puspitosari, Hesti dan Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. 2005. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hal 37. 13 ibid 14 Puspitosari, op.cit hal 36 15 Puspitosari, op.cit. hal 10
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gender tersendiri (the third gender), ataupun dimungkinkan sebagai perwujudan keinginan untuk mengkonstruksikan dirinya sebagai perempuan, atau bahkan sebagai bentuk perlawanan terhadap kontruksi gender dalam masyarakat dan bagaimana pakaian membantu pembentukan identitas baru seorang waria. Perlu diketahui bahwa tidak semua waria ingin dianggap perempuan. Ada sebagian yang justru merasa lebih nyaman dianggap sebagai waria saja. 16 Kondisi ini menggambarkan suatu indikasi bahwa sebagian waria menginginkan pengakuan diri mereka sebagai suatu gender tersendiri. Cara fashion waria yang berbeda dengan apa yang lazim ada di dalam masyarakat, yaitu melakukan cross dressing merupakan contoh dari bentuk pemanfaatan komunikasi non verbal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi non-verbal sangat penting dalam menyampaikan pesan-pesan yang dasar tanpa harus menggunakan komunikasi verbal sekalipun. Untuk melihat lebih jelas tentang penerapan komunikasi non-verbal pada pola fashion waria ini digunakan metode etnologi, yang menggunakan pendekatan budaya, dimana seperti disebutkan di awal waria memiliki keterkaitan erat dengan akar budaya Indonesia, dimana waria ini dalam proses pembentukan identitas diri nya baik secara pribadi maupun sosial cenderung menciptakan komunitas baru dan hidup berkelompok dengan komunitasnya sehingga bisa dianggap sebagai kelompok budaya tertentu. Untuk itulah etnografi dipilih sebagai pendekatan yang digunakan untuk menganalisa bentuk identitas yang disampaikan waria melalui pakaiannya. 16
Hivos dan PKBI DIY. Booklet LGBTQ. Dilansir pada peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO) 15-17 Mei 2008 di Yogyakarta. Hal 7.
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
B.
digilib.uns.ac.id
RUMUSAN PERMASALAHAN
Fokus penelitian ini adalah untuk melihat konteks fashion sebagai suatu bentuk komunikasi non-verbal yang berkaitan dengan identitas diri. Sebagai contoh kasusnya kelompok waria yang peneliti anggap sebagai kelompok yang merepresentasikan orientasi seksual mereka melalui pemilihan fashion yang dikenakannya. 1. Secara umum penelitian ingin melihat bagaimana pemanfaatan simbol-simbol komunikasi non-verbal dalam fashion yang dipergumakan waria dalam membentuk identitas diri mereka. 2. Secara khusus penelitian ini akan menelaah bagaimana fashion (pakaian, make-up, aksesoris) membentuk identitas diri waria secara subyektif maupun obyektif.
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
C.
digilib.uns.ac.id
TUJUAN PENELITIAN
Sebagaimana yang dinyatakan pada rumusan masalah di atas, penelitian ini ditujukan terutama sebagai salah satu pengembangan wawasan mengenai studi komunikasi yang dapat dikatakan sangat luas teritorinya. Jika dirumuskan maka tujuan penelitian ini adalah : 1.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pemanfaatan simbol-simbol komunikasi non-verbal (fashion) oleh waria berkaitan dengan identitas diri mereka.
2.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pemanfaatan pakaian oleh waria dikaitkan dengan identitas subyektif dan obyektif.
3.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pemanfaatan make up oleh waria dikaitkan dengan identitas subyektif dan obyektif.
4.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pemanfaatan aksesoris oleh waria dikaitkan dengan identitas subyektif dan obyektif.
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
D.
digilib.uns.ac.id
MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu wawasan baru bagi kajian
ilmu komunikasi dan juga memberikan manfaat yang baik terutama : a. Bagi waria : memberikan suatu wawasan baru tentang bagaimana pemanfaatan pola fashion, baik secara subyektif maupun obyektif, agar dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan komunikasi agar terbentuk suatu komunikasi dan penerimaan yang baik bagi masyarakat di sekitarnya. b. Bagi keluarga waria : penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman terutama bagi keluarga waria agar dapat menerima dengan baik keputusan dari anggota keluarganya untuk melakukan transisi secara seksual yang dinyatakan melalui pemilihan fashion yang bertentangan dengan gender asli seorang waria ketika dilahirkan. c. Bagi masyarakat umum : label stigma buruk yang diberikan anggota masyarakat kepada kelompok waria merupakan hal yang lazim kita temui hampir di setiap kelompok sosial masyarakat. Melalui penelitian ini, diharapkan masyarakat pada umumnya dapat
memahami
adanya
kebutuhan
waria
untuk
mengkomunikasikan identitas seksual mereka melalui pemilihan fashion. Karena dinyatakan sebagai kebutuhan ,selayaknya-lah anggota masyarakat dapat memahami dan menghindari konflik commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosial agar dapat berdampingan hidup secara damai dengan para waria. d. Bagi pengambilan keputusan dari berbagai instansi terutama dinas sosial : waria adalah kelompok yang dapat dikatakan tidak mendapatkan porsi selayaknya dalam hal kesejahteraan sosial dimana tidak banyak atau bahkan bisa dikatakan tidak ada bidang pekerjaan formal yang bisa dijalani oleh waria. Yang harus kita fahami terlebih dahulu adalah keputusan untuk menjadi seorang waria tidak pernah menjadi sebuah keputusan yang mudah bagi siapapun, namun kebutuhan untuk mengkomunikasikan identitas diri tentunya dimiliki oleh siapapun termasuk waria. Melalui penelitian ini diharapkan agar kebutuhan pengkomunikasian identitas diri ini dapat ditanggapi secara bijak dan positif sehingga bisa memberikan output yang baik bagi kehidupan waria di masyarakat.
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. TELAAH PUSTAKA
1.
Komunikasi Kegiatan yang akan terus menerus dilakukan manusia di sepanjang
hidupnya adalah berkomunikasi. Komunikasi memang merupakan kebutuhan dasar manusia. Dengan komunikasi orang menyampaikan keinginannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, verbal maupun nonverbal. Bahkan untuk orang yang memiliki keterbatasan sekalipun, komunikasi tetap penting adanya. Untunglah kemajuan teknologi saat ini semakin memudahkan manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Jika ditinjau dari asal kata, komunikasi (communication) berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. 17 Untuk mendapatkan komunikasi yang efektif maka haruslah ada persamaan makna, persamaan persepsi antara pemberi pesan dengan penerima pesan. Dalam ilmu psikologi sering diungkapkan bahwa makna dari sebuah kata bukan berada dalam kata itu sendiri, melainkan terletak pada komunikator dan komunikannya sendiri. Itulah sebabnya kadang ada dua kata yang sama memiliki makna yang berbeda ketika dipakai oleh dua komunitas yang berbeda (ambiguitas). Komunikasi dapat berlangsung secara langsung (face to face) ataupun memakai perantara. Perantara ini, atau yang lazim disebut media, bisa berupa telepon, televisi, koran dan media lain yang dapat digunakan untuk penyampaian
17
Effendy, op. cit., hal 9
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pesan. Pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi pada dasarnya bersifat abstrak. Manusialah yang memberikan makna pada pesan-pesan tersebut. Untuk dapat memaknai pesan ini manusia menciptakan lambang komunikasi, yang dapat berupa mimik, gesture, suara, bahasa lisan dan bahasa tulisan, simbol dan sebagainya. Lambang komunikasi dapat dibedakan menjadi lambang komunikasi umum, yaitu lambang komunikasi yang digunakan untuk tujuan umum dalam berbagai bidang kehidupan manusia, contohnya mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan dan bahasa tulisan. Sedangkan lambang komunikasi khusus hanya digunakan untuk tujuan-tujuan khusus, tertentu pada salah satu bidang kehidupan saja. 18 Contohnya, warna, jika digunakan pada lampu lalu lintas, maka kita memaknai merah sebagai stop, sementara jika merah kita maknai pada bendera negara kita maka ia akan diasosiakan sebagai penjabaran sifat berani, dan memang seringkali warna merah dikaitkan dengan sifat berani. Bahkan ilmu psikologi memiliki ilmu turunan psikologi warna yang khusus mempelajari tentang warna dan berbagai pengaruhnya. Selain warna, cara berpakaian, parfum yang dipilih, sepatu yang dipakai dan atribut-atribut lainnya dalam perlambangan komunikasi khusus dianggap sebagai upaya untuk mengkomunikasikan pribadi pemakainya. Selain lambang komunikasi umum dan khusus, ada pula yang disebut lambang komunikasi verbal dan nonverbal. Termasuk dalam kategori verbal adalah bahasa lisan dan bahasa tulisan. Sedangkan yang masuk kategori
18
Vardiansyah, Dani. Pengantar Ilmu Komunikasi. 2004. Bogor : Ghalia Indonesia. hal 62
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nonverbal adalah mimik, gerak-gerik, serta suara. 19 Dengan mengkaitkan kategori verbal-nonverbal
pada
kategori
umum-khusus,
kita
bisa
mendapatkan
pengkategorisasian dengan lebih detil, contohnya20: a.
Lambang Komunikasi Verbal-Umum : bahasa lisan dan bahasa tulisan.
b.
Lambang Komunikasi Verbal-Khusus : bahasa lisan dan bahasa tulisan yang penggunaannya khusus pada bidang atau kalangan tertentu, misalnya bahasa kaum waria, contohnya mereka menyebut dandan dengan dendong, dsb.
c.
Lambang Komunikasi Nonverbal-Umum : suara, mimik, dan gerak-gerik. Misalnya, tersenyum berarti bahagia.
d.
Lambang Komunikasi Nonverbal-Khusus : warna, gambar, dan nada.
2.
Komunikasi Non-Verbal Komunikasi
non-verbal
adalah
bentuk
komunikasi
yang
tidak
menggunakan kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Pada awalnya pengetahuan tentang komunikasi non-verbal lebih banyak mengarah pada pesan-pesan nonverbal yang dikomunikasikan oleh gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, sosok tubuh, penggunaan jarak (ruang), kecepatan dan volume bicara. 21 Namun seiring
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan,
pembelajaran
tentang
19
Ibid Ibid, hal 63 21 Disarikan dari “Komunikasi Nonverbal” dari http//www.nherent.brawijaya.ac.id /vlm/ file.php/21/data/materi12.pdf, diakses pada 26 Juni 2008, pukul 21.35 20
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikasi non-verbal pun menjadi luas bidangnya. Komunikasi non-verbal tidak lagi dibatasi hanya pada pesan-pesan non-verbal yang dihasilkan oleh tubuh manusia. Berbagai benda kemudian disadari dapat juga dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan non-verbal. Pakaian, gaya rambut, parfum yang digunakan,
secara
personal
dianggap
sebagai
salah
satu
cara
untuk
menggambarkan tingkah laku, perasaan ataupun kepribadian seseorang22. Bahkan ilmu arsitektur mengakui bahwa ada satu keterkaitan antara desain arsitektural, seperti pemilihan bentuk, warna hingga pemilihan dekorasi ruangan sebagai suatu usaha komunikasi non-verbal untuk menggambarkan kepribadian dari pemilik ruangan tersebut23. Dapat dikatakan bahwa manusia diakui memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan menggunakan tubuh dan penampilannya, serta melalui lingkungan yang ia ciptakan di mana ia tinggal di dalamnya. Terlebih lagi penelitian yang dilakukan dalam ilmu komunikasi juga menyimpulkan bahwa komunikasi non-verbal lebih sulit dimanipulasi dibandingkan dengan petunjuk verbal (kata-kata)24. Komunikasi non-verbal memiliki berbagai fungsi, yaitu25: a)
Untuk menekankan.
b)
Untuk melengkapi (complement).
22
ibid Disarikan dari Santosa, Revianto. B, Semiotika dalam Arsitektur-Pendekatan non-verbal, dilansir pada www.ftsp1.uii.ac.id/twiki/pub/Main/TeoriSemiotikaKritikArsitekturR/SEMIOTIKA-2.pdf Diakses pada 26 Juni 2008, pukul 22:48 24 Op.cit 25 Gumilar, Gumgum. Komunikasi non-verbal, Bahan Ajar Komunikasi Lintas Budaya, dilansir dari http://www.gumilarcenter.com/KLB/materi6nonverbal.pdf, diakses pada 26 Juni 2008,pukul 22.33 WIB 23
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c)
Untuk menunjukkan kontradiksi.
d)
Untuk mengatur.
e)
Untuk mengulangi.
f)
Untuk menggantikan pesan verbal.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya salah satu alat komunikasi non-verbal adalah pakaian. Berkomunikasi tidak dapat ditampik merupakan suatu kebutuhan primer bagi manusia, demikian pula halnya dengan berpakaian. Manusia tidak bisa hidup tanpa pakaian, baik itu untuk alasan melindungi diri dari cuaca maupun untuk alasan kesopanan. Menjadi menarik ketika kemudian kedua kebutuhan primer manusia ini memiliki peran ganda yang searah yang mana keduanya
seringkali
dimanfaatkan
oleh
manusia
untuk
menyampaikan
kepribadiannya kepada orang lain diluar dirinya. Mungkin orang sudah banyak mengetahui fungsi pakaian dari segi psikologi ataupun sosiologi. Untuk itu perlu dipahami dengan lebih jelas maksud dari konsep fashion bila ditinjau dari sisi komunikasi
3.
Fashion sebagai Komunikasi Pesan-pesan yang disampaikan melalui proses komunikasi dapat berupa
pesan verbal maupun pesan nonverbal. Pesan verbal berupa kata-kata dan teks yang umumnya digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dan cenderung memiliki makna yang serupa atau sama pada kelompok masyarakat tertentu. Sementara pesan non-verbal cenderung lebih kompleks, karena tidak hanya melibatkan berbagai unsur dan aspek, namun juga pengalaman budaya menjadi commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
salah satu penentu interpretasi pesan non-verbal. Pada awalnya, kajian ilmu komunikasi melihat pesan-pesan nonverbal ada untuk memperkuat pesan verbal, misalnya ketika berkomunikasi orang juga menggunakan gesture, mimik, intonasi dan sebagainya yang mana dalam masyarakat tertentu biasanya pesan-pesan nonverbal ini telah memiliki makna tersendiri yang disepakati bersama. Namun, seiring dengan perkembangan kajian komunikasi yang makin luas, ditemukan pula berbagai pesan non-verbal yang tidak terbatas pada tubuh komunikator. Salah satu diantaranya adalah fashion. Fashion bergerak dari fungsinya sebagai alat untuk melindungi badan dari cuaca, dan juga sebagai alasan kesopanan, menjadi sebuah alat komunikasi yang bisa sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang ingin ditransfer oleh komunikator kepada komunikan. Ada banyak contoh yang dapat dikemukakan untuk memperlihatkan bagaimana fashion dapat menjadi bentuk komunikasi. Misalnya, ketika melihat seorang perempuan berjilbab, tanpa perlu diterangkan kita sudah dapat mengetahui bahwa orang yang bersangkutan merupakan pemeluk agama Islam. Begitu pula halnya dengan pendeta, biarawati, biksu dan sebagainya. Kita bisa mengetahui identitas agama mereka cukup dengan melihat pakaian yang mereka kenakan. Roland Barthez dalam bukunya ‘The Language of Fashion’ mengatakan bahwa : “At first sight, human clothing is a very promising subject to research or reflect upon: it is a complete phenomenon, the study of which requires at any one time a history, an economy, an ethnology, a technology and maybe even, as we will see in a moment, a type of linguistics.” 26 26
Barthez, Roland. The Language of Fashion.2004. Inggris : Berg Publishers. Hal 22.
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Barthez melihat fashion sebagai suatu fenomena komplet yang menarik untuk dijadikan suatu bahan penelitian bagi berbagai disiplin ilmu. Barthez bahkan menyebutkan bahwa pakaian dapat dikatakan sebagai suatu bahasa. Maka tidak mengherankan ketika Umberto Eco dalam bukunya ‘Social Life as a Sign System’ menyarankan untuk berbicara lewat pakaian. 27 Melalui pernyataannya ini Eco menegaskan bahwa pakaian merupakan salah satu sarana komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan non-verbal. Untuk dapat lebih memahami posisi fashion sebagai mekanisme berkomunikasi, lebih dahulu perlu dipahami makna dari fashion itu sendiri. Secara etimologis, menghubungkan kata “fashion” dengan bahasa Latin, factio yang berarti “making”, atau “doing”. Makna dasar dari fashion, lantas dapat dirunut ke belakang, dan merujuk pada aktivitas.28 Ide original dari factio yang kemudian berkembang ke dalam bahasa Inggris menjadi to factio adalah ide tentang pemujaan atau fetish. Pendapat yang kian banyak terdengar dari kaum kritis adalah bahwa fashion merupakan perwujudan komoditas yang dipuja yang paing banyak diproduksi maupun dikonsumsi di era kapitalis ini. Oxford English Dictionary menyebutkan beberapa tautan berbeda dalam mendefinisikan fashion29: (a) the action or process of making (b) a particular shape or cut (c) form 27
Barnard, op.cit, hal 39 Barnard, Malcolm, Fashion as Communication. London: Routledge.1996. Hal. 7 29 Barnard, Ibid, hal. 8 28
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(d) through manner or demeanour (e) conventional usage of dress Namun demikian, pengertian fashion di sini masih jauh dari jelas. Polhemus
dan
Procter
sebagaimana
dikatakan
oleh
Malcolm
Barnard
menyebutkan bahwa dalam masyarakat Barat kontemporer, istilah fashion sering digunakan sebagai sinonim dari istilah adornment (penghiasan), style (gaya), dan dress (pakaian). 30 Ada juga yang menggunakan istilah fashion sebagai sinonim bagi clothes atau clothing. “The attempt to view fashion through several different pairs of spectacles simultaneousy – of aestethics, of social theory, of politics – may result in an obliquity of view, even of astigmatism or blurred vision, but it seems we must attempt it.”
Kaitannya dengan komunikasi, Malcolm Barnard menyebutkan ada banyak sekali pesan non-verbal yang dapat dikomunikasikan lewat fashion berupa pakaian, semisal identitas sosial, seksual, kelas, afiliasi politik, budaya, gender, kerpibadian, dan sebagainya. Roland Barthez ikut menambahkan bahwa secara psikoanalisis orang memilih pakaian adalah lebih untuk mengekspresikan diri dan kepribadiannya, dan pilihan ini jika ditinjau dari sisi psikologi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti iklan, merek, tips-tips fashion, efek windows shopping, dan lain-lain yang dapat dikategorikan sebagai pengaruh dari lingkungan. Namun dari segi psiko-analitik menurut Barthez lebih jauh lagi pakaian bahkan dapat menentukan posisi seseorang nantinya dalam kelompok masyarakat yang menjadi
30
Barnard, Ibid
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
huniannya, misalnya dalam hal kedudukan sosial, seringkali orang memanfaatkan penampilan untuk menunjukkan kelas sosialnya di masyarakat. Melalui konteks psiko-analitik inilah pakaian lebih menunjukkan formnya sebagai suatu bentuk komunikasi. Sebegitu pentingnya dampak dari pakaian untuk mengkomunikasikan kepribadian kepada orang diluar diri pemakainya mungkin menyebabkan banyak orang, semisal selebritis, yang bahkan menggunakan jasa penata kostum untuk penampilan mereka di depan khalayak. Ada satu fenomena menarik, di mana pilihan orientasi seksual sekalipun ternyata kadang dapat dilihat dari pemilihan fashion. Meski tentunya kita tidak dapat menampik kenyataan bahwa tidak semua orang yang memilih orientasi seksual tertentu memilih fashion yang seragam dengan orang lain yang berada dalam komunitasnya, namun biasanya ada kesamaan mencolok sehingga dapat ditarik garis merah antara pemilihan fashion dan pemilihan orientasi seksual mereka. Tentu akan sangat dangkal jika kita mengklaim orientasi seksual semata dari cara dia berpakaian, namun setidaknya hal ini diakui sendiri oleh beberapa orang gay dan lesbian yang pernah peneliti temui. Mereka menyatakan bahwa secara sepintas lalu mereka dapat melihat apakah seseorang itu gay atau lesbian hanya dari penampilan luarnya saja. Namun sayangnya mereka tidak dapat menyebutkan secara spesifik ciri khususnya karena menurut mereka ini lebih karena ‘gaydar’ atau feeling mereka sebagai pemilik orientasi homoseksual. Namun jika dilihat secara global, mereka memilih laki-laki yang cenderung feminin untuk dianggap sebagai gay pada kesan pertamanya, atau perempuan yang cenderung tomboy untuk dianggap sebagai lesbian. commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam masyarakat ada satu kelompok yang sudah terdefinisikan orientasi seksualnya hanya dengan melihat penampilan luarnya, yaitu kelompok waria. Waria secara orientasi seksual sudah dapat dipastikan adalah homoseksual. Dan dari segi penampilan luar tentunya tidak sulit bagi siapapun untuk membedakan waria dari pemilihan fashionnya, meski memang kadang ada beberapa waria yang tampilannya sudah sangat menyerupai perempuan sehingga sulit dibedakan yang mana perempuan asli dan mana waria. Hal ini membuktikan bahwa fashion menjadi statement penting bagi waria dalam mendefinisikan kepribadian mereka. Seperti apa deskripsi keperibadian yang diekspresikan melalui pakaian oleh para waria inilah yang akan menjadi ruh dari penelitian ini.
4.
Waria dan Identitas Diri Waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dan
identitas gendernya. Mereka merasa bahwa jauh dalam dirinya , biasanya sejak masa kanak-kanak, mereka adalah orang yang berjenis kelamin beda dengan dirinya saat ini31. Adanya ketidaksesuaian ini mengakibatkan waria tidak senang dengan alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut
maka
waria
akan
bertingkah
laku
seperti
perempuan
dan
mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan dengan cara berdandan sebagai perempuan32. Ketika gangguan tersebut mulai terjadi pada masa kanak-kanak, hal tersebut akan dihubungkan dengan dengan banyaknya perilaku lintas gender,
31
Perroto, R.S.,&Culkin, J. Exploring Abnormal Psycology.New York:Harpercollins College Publisher. 1993. Hal 78 32 Kurniawati, M. Latar Belakang Kehidupan Laki-laki yang Menjadi Waria. Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan). Surabaya:Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. 2003. Hal 69
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti berpakaian seperti perempuan, dan melakukan permainan yang secara umum dianggap sebagai permainan perempuan33. Faktor penyebab munculnya perubahan perilaku dari laki-laki menjadi waria dapat ditinjau dari beberapa perspektif yaitu: biologis, behavioristik dan sosiokultural
34
. Perspektif biologis berkaitan dengan masalah hormonal,
behavioristik berkaitan dengan penguatan yang diberikan oleh keluarga atau orang lain ketika anak laki-laki berperilaku/berpenampilan seperti perempuan, sedangkan perspektif sosiokultural berkaitan dengan faktor budaya yang diduga mempengaruhi perubahan laki-laki menjadi waria. Waria dapat dikatakan sebagai jenis kelamin ketiga, yang memiliki sifat antara pria dan wanita tetapi bukan penggabungan diantara keduanya. Waria memiliki ketidaksesuaian secara fisik, psikis dan seks, dimana secara fisik waria berwujud sebagai laki-laki, sementara secara psikologis dia bertingkah laku seperti perempuan dan memiliki penyimpangan perilaku seksual. Secara psikiatrik waria dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 35: a.
Kelompok transeksual, laki-laki yang mengalami ketidak serasian pada jenis biologis dan kelamin mereka sehingga memiliki keinginan untuk menghilangkan dan mengganti alat kelaminnya dan hidup sebagai lawan jenisnya. Sebagai langkah awal mereka akan menghilangkan ciri khas laki-
33
Davidson, G.C., Neale, J.M., & Kring, A.M. Abnormal Pscyology. New York : John Willey and Sons, inc. 2006. Hal 14 34 Nevid, J.S, Rathus, S.A, Greene,B. Abnormal Pschyology in a Changing World. 2th Edition. New Jersey:Prentice Hall, inc. 1994. Hal 27 35 http://www.psikologi.tarumanagara.ac.id/s2/wp-content/uploads/2010/09/07-latarbelakang-kehidupan-laki-laki- yang-menjadi-waria-sebuah-kegagalan-dalam-prosespendidikan-pembentukan-identitas-gender-meike-kurniawati.pdf diakses pada 7 November 2010 22.57 WIB
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
laki melalui operasi, misalnya pada payudara, dagu, kelopak mata atau minimal mereka merasa perlu merias diri dan berpakaian sebagai wanita. b.
Kelompok transvestit,
yaitu laki-laki yang mendapat kepuasan ketika
memakai baju perempuan. Perilaku ini biasanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja terutama pada saat ingin berhubungan seksual. Kelompok transvestit mendapatkan gairah seksual dengan mengenakan pakaian perempuan. Dari segi orientasi seksual, kelompok transvestit adalah heteroseksual yang biasanya menikah. c.
Kelompok
homoseksual
penderita
transvestisme,
yaitu
kelompok
homoseksual yang mendapatkan kepuasan atau gairah seksual dengan mengenakan pakaian perempuan. Beberapa diantara mereka mengenakan pakaian perempuan adalah untuk mendapatkan pasangan homoseksial dan bukan karena memiliki keinginan untuk menjadi transeksual. d.
Kelompok opportunies, laki-laki pada kelompok ini tidak memiliki kelainan seksual, namun mereka mengenakan pakaian perempuan untuk mencari nafkah, biasanya adalah seorang entertainer seperti Aming dan Tata Dado .
5.
Waria, Identitas Diri dan Pemilihan Fashionnya Secara garis besar ada 3 macam orientasi seksual, yaitu heteroseksual,
homoseksual dan biseksual. Heteroseksual adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang lazim kita temui dalam masyarakat. Sementara homoseksual adalah hubungan sejenis, baik itu antara laki-laki dan laki-laki, maupun commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan dan perempuan. Biseksual adalah keadaan dimana pelaku seksualnya dapat melakukan hubungan seksual baik dengan laki-laki maupun dengan perempuan. Secara kasat mata perilaku sosial dari tiga kelompok orientasi seksual ini umumnya memiliki perbedaan, dan secara spesifik salah satu diantaranya adalah pemilihan identitas yang diungkapkan melalui pakaian. Komunitas homoseksual dan biseksual sering disebut sebagai perilaku menyimpang dalam masyarakat. Sebenarnya jika ditinjau dari segi perilaku, kecuali perilaku seksual mereka, komunitas ini sama saja dengan orang kebanyakan. Namun mereka biasanya memiliki ciri khusus pada cara berpenampilan dan berperilaku36. Meski demikian tidak berarti penampilan luar dari kelompok homoseksual maupun biseksual ini bisa dengan mudah terbaca oleh masyarakat awam. Sebagai contoh kelompok gay. Lazimnya laki-laki yang sangat memperhatikan penampilan dan rajin merawat diri di salon cenderung dianggap gay. Namun sejak munculnya istilah metroseksual pada tahun 1994 yang pertama kali ditulis oleh Mark Simpson, seorang penulis asal Inggris, orang-orang tidak lagi serta merta menganggap bahwa laki-laki yang suka memperhatikan penampilan adalah gay37. Demikian halnya juga dengan lesbian. Tidak setiap perempuan tomboy adalah lesbian, ataupun tidak semua lesbian harus tomboy. Jadi jika hendak mengkaitkan perihal pemilihan orientasi seksual dan penampakan penampilan luar, waria lah objek yang tepat.
36
Diananto, Wayan. Pola Komunikasi On-line dan Off-line gay dalam penggunaan chatroom. 2007. Skripsi pada jurusan Komunikasi UNS Surakarta. hal 27 37 http://journalin.multiply.com/feed.rss/almostheadline , diakses pada 28 Februari 2008 pukul 13.37 WIB
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Istilah waria merupakan akronim dari “wanita tapi pria”. Istilah lain yang juga sering digunakan adalah banci yang kemudian bermetamorfosa menjadi bencong. Ada lagi istilah wadam yang merupakan kependekan dari kata wanita adam, namun istilah ini sudah tidak begitu populer lagi38. Waria jika dilihat dari konteks sosiologi merupakan transgender. Transgender didefinisikan sebagai suatu kecenderungan seseorang untuk berpenampilan berkebalikan dari jenis kelaminnya atau berkebalikan dari fungsi gender yang dikonstruksikan masyarakat. Sementara dari konteks psikologis, waria adalah seorang transeksual yang merasa dirinya tidak berada pada raga yang tepat sehingga cenderung ingin mengubah perilakunya dengan jenis kelamin yang berseberangan dengan kondisi lahiriahnya dan bahkan beberapa diantaranya mengubah alat kelaminnya menjadi lawan jenisnya (the opposite gender) 39 . Karena kondisi psikologisnya inilah maka waria berperilaku transvestit atau cross-dressing. Mereka menggunakan pakaian dari lawan jenisnya dan menciptakan identitas baru sebagai seorang perempuan, dengan mengubah nama panggilan misalnya. Pilihan mereka yang ekstrim untuk berganti penampilan yang berlawanan dengan identitas seksual aslinya ini tentunya bukan tanpa resiko. Penolakan dari masyarakat akan menjadi momok utama kelompok ini, karena sebagian besar masyarakat kita masih menganggap waria sebagai penyakit masyarakat. Belum lagi sulitnya mencari pekerjaan, membuat kartu identitas dan sejumlah masalah sosial lainnya yang seringkali membuat kelompok waria ini cenderung menarik 38
http://bambangpriantono.multiply.com/style-custom/bambangpriantono/31/custom.css, artikel Indonesia, Dangerously Beautiful, diakses pada 27 Maret 2008 pukul 19.49 WIB 39 Puspitosari, op.cit, hal 10
judul
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diri dari masyarakat, dan lebih suka bergaul hanya dengan sesama waria bahkan cenderung mencurigai orang lain di luar komunitasnya. Masalah penerimaan masyarakat ini pada akhirnya menyeret banyak waria mengais rejeki di jalan dengan menjadi pengamen, bahkan PSK, sehingga sering kali masyarakat mengidentikkan waria dengan penghibur jalanan. Namun, ternyata kenyataan ini tidak menghambat para waria untuk berekspresi lewat pakaiannya. Menurut mereka, disukai atau tidak, mereka memiliki kebutuhan yang tidak terelakkan untuk berpenampilan sesuai dengan panggilan jiwa masing-masing. Disilah letak keistimewaaan fashion, di mana fashion tidak sekedar bisa untuk menutupi kekurangan dalam tubuh atau sekedar menutup bagian tubuh untuk alasan kesopanan, namun lebih jauh lagi fashion dapat membawa pemakainya untuk menunjukkan kepribadiannya bahkan menyerukan pemberontakan sekalipun. Hal ini dianggap sebagai suatu fungsi komunikasi, di mana fashion dianggap sebagai alat komunikasi yang berfungsi menyampaikan keinginan pemakainya untuk menunjukkan image apa yang ingin ia sampaikan melalui pakaiannya hingga bahkan fashion menjadi jembatan pembentukan identitas diri. Identitas dapat dilihat dari dua kacamata, yaitu kacamata subjektif yaitu bagaimana orang tersebut melihat dirinya, dan yang kedua kacamata objektif yaitu bagaimana orang menilai dirinya. Identitas diri bagi waria adalah identitas subjektif yang dikembangkan, dimana mereka berusaha mengubah pandangan orang lain terhadap identitas diri mereka (dalam hal ini jenis kelamin).
commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
F.
digilib.uns.ac.id
DEFINISI KONSEP
1. Waria Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, waria adalah suatu fenomena tersendiri dalam masyarakat. Disukai atau tidak, keberadaannya ada di tengahtengah kehidupan sosial kita, meski memang seringkali keberadaan mereka terpinggirkan oleh berbagai nilai moral maupun agama yang seringkali mengganggap perilaku ‘menyimpang’ mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sebagian besar masyarakat. Tentunya penelitian ini tidak untuk melihat waria dengan segala dilema sosial yang dihadapi, tapi penelitian ini adalah sebuah bentuk uraian deskriptif akan kuatnya pengaruh penyampaian komunikasi, bahkan yang tanpa melibatkan ‘kata’ sekalipun. Pesan non-verbal justru adalah salah satu jenis pesan yang sulit dimanipulasi keberadaannya, meski memang sama seperti pada pesan verbal, interpretasi berbeda tentunya masih tidak dapat dihindarkan. Bagi peneliti waria menjadi menarik karena melalui sosok waria kita mampu melihat fungsi lebih dari fashion, baik itu pakaian, make up maupun aksesoris. Mengapa dikatakan memiliki fungsi lebih? Selama ini sebagian besar orang cenderung menggunakan fashion, terutama pakaian, sebatas fungsi utama dari pakaian tersebut yaitu untuk melindungi diri dari cuaca dan sebagai bagian dari norma kesopanan. Tidak semua orang menggunakan pakaian sebagai suatu kekuatan untuk membentuk persepsi orang tentang image yang ingin dia bentuk. Sama halnya dengan penggunaan aksesoris maupun make-up sebagai statement pendukung dari suatu usaha pembentukan persepsi akan keberadaan seseorang. Bisa dikatakan orang-orang yang hidup di kota besar dan mereka-mereka yang commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menaiki ‘tangga pergaulan sosial’ dan biasa disebut kaum jetsetter adalah kelompok orang yang paling memperdulikan fashion, baik itu pakaian, make-up maupun aksesoris, sebagai simbol kemapanan, status sosial, kelas dan simbolsimbol sosial lainnya. Namun di luar kelompok ini tentunya kaum waria-lah yang menjadi sorotan utama sebagai subjek yang memanfaatkan pesan nonverbal dari fashion untuk mendefinisikan siapa mereka. Siapa mereka disini dimaknai sebagai jiwa asli yang hendak mereka keluarkan dari kungkungan fisik, karena setiap waria adalah perempuan yang merasa terperangkap dalam tubuh laki-laki. Meski kemudian banyak dari waria yang menyadari sepenuhnya mereka bukan lah perempuan, dan kemudian menjadi lebih nyaman dengan posisi sebagai gender ketiga (gender semu) dalam masyarakat dan tidak berusaha untuk menjadi perempuan seutuhnya dengan operasi kelamin dan sebagainya.
2. Fashion (pakaian, make up, aksesoris) The Age of Fashion. Era fashion. Demikian istilah yang dipakai oleh pakar pop culture, Idi Subandy Ibrahim, untuk menggambarkan keadaan masyarakat saat ini 40 . Anggapan ini berawal dari keadaan sosial masyarakat yang mulai memberikan porsi perhatian berlebih terhadap industri mode dan fashion di tanah air. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya pusat perbelanjaan bergaya semacam shopping mall serta serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup transnasional dalam edisi khusus Indonesia maupun majalah terbitan negeri sendiri yang
40
Barnard, op.cit hal xiv dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim
commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggunakan fashion sebagai salah satu porsi utama dalam terbitannya41. Belum lagi acara-acara televisi yang mengulas seputar fashion dan kecantikan. Tak pelak lagi, julukan era fashion sepertinya tepat sekali jika digunakan untuk menamai perubahan gaya hidup masyarakat yang sebagian besar dipengaruhi globalisasi ekonomi, globalisasi media dan transformasi kapitalisme konsumsi dalam masyarakat42. Lalu mengapakah fashion dapat menyita perhatian masyarakat? Hal ini dapat terjadi karena masyarakat mulai terdidik untuk memahami bahwa fashion dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengkomunikasikan identitas diri kepada orang lain. Bahkan dalam beberapa kasus, fashion dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh pemakainya. Misalnya, untuk mendapatkan kesan baik ketika melakukan wawancara kerja orang akan berusaha untuk berpakaian serapi dan terlihat seprofesional mungkin. Hal serupa juga dinyatakan oleh seorang Psikolog Amerika terkemuka, Nancy Etcoff, dalam bukunya Survival of the Prettiest : The Science of Beauty yang menyebut lookism sebagai sebuah teori yang menganggap bahwa bila lebih baik tampilan Anda, maka akan sukseslah Anda dalam kehidupan43. Teori ini berkaitan erat dengan teori psikonalisis Sigmund Freud yang memandang bahwa kebanyakan manusia normal memiliki hasrat untuk memandang dan memperoleh kesenangan lewat pandangan atas segala yang mereka jumpai. Kesenangan dalam memandang ini
41
Chaneyop.cit. hal 8 dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim Ibid 43 Ibid, hal 19 42
commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
biasanya disebut scopofilia44. Namun istilah ini dalam dunia kedokteran jiwa lebih sering dikaitkan dengan cara mendapatkan kesenangan untuk mendapatkan kepuasan secara seksual. Fashion secara garis besar terdiri atas 3 item yaitu pakaian, aksesoris dan make up. Ketiga hal ini secara berkala akan mengalami recycle. Poin terpenting dari fashion sendiri bagi sebagian besar orang dan yang paling mendapat porsi perhatian lebih adalah pakaian, sehingga kemudian pakaianlah yang paling banyak berbicara tentang siapa kita. Disadari atau tidak, pakaian yang kita pilih bisa mempengaruhi kesan yang diberikan orang terhadap kita, terlebih orang yang baru pertama kali kita temui. Orang dapat memperkirakan bagaimana watak dan kepribadian kita dari pakaian yang kita kenakan. Bahkan meski kita sendiri tidak memikirkan kesan apa yang hendak kita tampilkan ketika memilih satu pakaian, tapi orang yang berinteraksi dengan kita mungkin akan tetap menafsirkan penampilan kita seolah-olah ada pesan tertentu yang hendak disampaikan lewat penampilan kita. Jika dalam psikologi kita mengenal istilah persepsi, maka pakaian menjadi salah satu instrumen pencitraan persepsi untuk mengkomunikasikan kepribadian kita kepada dunia luar. Persepsi sendiri didefinisikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan45.
44
Freud, Sigmund. On Sexuality, Pelican Freud Library, vol 7, dalam Angela Richards (ed.), Harmondsworth : Penguin Books, 1977. hal 69. Dipetik dari Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender karya Malcolm Barnard. Jalasutra. Bandung. 2006. hal 164 45 Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi 2002Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Hal 51
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adanya proses penyampaian pesan ketika berpakaian membawa pakaian untuk dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Pakaian, kostum dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual. Karena menyampaikan pesan-pesan nonverbal, maka ia termasuk komunikasi nonverbal46. Lalu bagaimanakah asal mulanya fashion dikaitkan dengan pemilihan orientasi seksual? Pada awalnya masyarakat mengenal istilah maskulinitas yag dilekatkan pada sosok kepribadian seorang pria, dan feminitas pada kepribadian wanita. Definisi maskulin dan feminin ini kadang memiliki karakteristik yang berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lain. Tapi pada dasarnya maskulinitas dikaitkan dengan perilaku agresif, mendominasi dan bekerja di luar rumah. Sementara menjadi feminin yang pantas maka ia harus menjadi sosok yang peduli, santun, dan menjaga 47 . Feminin juga dikaitkan dengan perilaku ekshibionisme yang menjelaskan mengapa perempuan senang berdandan dan menjadi pusat perhatian. Sementara menjadi maskulin lebih didekatkan dengan perilaku voyeurisme dan fethisisme yang menjelaskan bagaimana pria selalu senang bereaksi ketika melihat wanita cantik ataupun sexy, yang akhirnya menempatkan pria di posisi penonton (beholder) 48 . Namun pada kenyataanya tidak semua pria memiliki perilaku maskulin, dan demikian pula wanita, tidak semuanya memiliki perilaku feminin. Dalam masyarakat seringkali kita melihat pria yang kewanita-wanitaan (sering dipanggil dengan istilah banci) dan wanita yang kepria-priaan (tomboy). Mereka inilah yang pada akhirnya menimbulkan 46
Barnard, op.cit hal 20 ibid. hal 160 48 Ibid, hal 203. 47
commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
prasangka bahwa adanya keterkaitan antara perilaku yang bertentangan dengan pola yang biasa diterapkan orang pada umumnya (pria yang feminin dan wanita yang maskulin, yang mana biasanya juga ditunjukkan melalui pilihan fashion mereka) dengan pemilihan orientasi seksual, dimana pria yang kewanita-wanitaan dianggap gay, dan wanita yang kepria-priaan dianggap lesbian. Setidaknya ada satu perilaku sosial yang tercermin lewat pemilihan fashion yang terkait dengan orientasi seksual, yaitu waria. Waria merupakan salah satu bentuk pengekspresian kepribadian melalui pemilihan cara berpakaian yang mana pemilihan ini menunjukkan orientasi seksual yang mereka miliki.
3. Identitas diri Identitas dikategorikan menjadi dua bagian yaitu identitas diri dan identitas sosial. Identitas diri adalah identitas yang dibawa sejak lahir dan dibentuk secara pribadi seiring dengan perkembangan seseorang. Sementara identitas sosial adalah identitas yang tercipta karena adanya interaksi sosial dengan masyarakat di sekitarnya. Identitas diri dan identitas sosial memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Identitas diri terbagi menjadi dua yaitu identitas subyektif dan identitas obyektif. Pada waria proses pembentukan identitas baru, baik identitas diri maupun sosial melibatkan suatu perubahan yang signifikan dan biasanya proses ini dimulai sejak masa kanak-kanak hingga masa dewasa. Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya bahwa sebagian besar waria mulai merasa ada yang salah pada kondisi lahiriahnya sejak masa kanak-kanak. Seiring dengan pertumbuhan commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
usia perasaan bahwa mereka terperangkap pada tubuh yang salah ini juga akan semakin berkembang, terlebih jika didukung oleh lingkungan pergaulan yang membuat mereka bisa bebas mengekspresikan dirinya. Perubahan awal biasanya ada pada gaya bicara dan gerak tubuh. Jika kemudian merasa cukup nyaman untuk melakukan cross dressing, maka waria akan menciptakan identitas baru mereka yang dimulai dengan penggunaan nama perempuan. Proses pembentukan identitas baru ini meliputi banyak hal, tidak sekedar melupakan nama aslinya, waria juga biasanya akan keluar dari lingkungan keluarganya. Hanya sedikit waria yang memilih untuk tetap hidup bersama dengan keluarganya. Selanjutnya mereka juga akan memilih pekerjaan yang identik dengan perempuan, mulai melakukan aktivitas yang sangat perempuan, seperti memanjangkan rambut, merawat kuku, merawat kulit dan melakukan berbagai perawatan kecantikan. Jika memiliki biaya lebih beberapa waria tidak segan melakukan berbagai operasi, dimulai dari operasi kecil seperti melakukan suntikan untuk menghilangkan karakter wajah laki-laki, memasang implant di hidung ataupun dagu dan area lain di wajah, payudara palsu hingga melakukan operasi kelamin sebagai langkah yang paling ekstrem dalam proses pembentukan identitas baru ini. Meski melakukan berbagai perubahan secara fisik dan mental tidak membuat semua waria serta merta menetapkan bahwa mereka adalah perempuan. Ada banyak pula waria yang memang dengan sengaja dan sadar meniru perempuan dalam penciptaan identitas barunya, tapi di saat yang sama tidak mau dianggap sebagai perempuan dan lebih bangga menyebut diri mereka cukup commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai waria saja. Keragaman identitas baru yang terbentuk dan apa saja yang melatarbelakangi identitas subyektif dan obyektif waria inilah yang kemudian menjadi ruh dari penelitian. Bagaimana suatu proses komunikasi dengan memanfaatkan pesan nonverbal berupa fashion (pakaian, make up dan aksesoris) akan mampu mengantarkan seorang waria membentuk sebuah identitas diri dan menjadi bentuk ekspresi akan jati diri dia yang sebenarnya kepada masyarakat.
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
G.
digilib.uns.ac.id
KERANGKA BERFIKIR Komunikasi adalah proses penyampaian pesan. Orang cenderung berfikir
ketika mendengar kata komunikasi maka hal tersebut berkaitan erat dengan penggunaan bahasa dan kata oleh komunikator kepada komunikan. Namun sesungguhnya komunikasi tidak terbatas hanya pada penggunaan bahasa dan katakata dalam kehidupan sehari-hari saja, tapi juga hampir seluruh komponen dalam tubuh manusia memiliki unsur komunikasi, gestur, mimik, intonasi suara, potongan rambut, atribut-atribut yang menempel pada dirinya, fashion dan sebagainya. Komunikasi tanpa kata ini digolongkan sebagai bentuk komunikasi non-verbal. Penelitian ini merupakan salah satu bentuk ulasan akan bagaimana pemanfaatan komunikasi nonverbal ini dan perannya dalam membentuk pencitraan diri hingga konsep diri (identitas). Jika digambarkan dalam tabel maka skema penelitian ini sebagai berikut : KOMUNIKASI
Verbal
Non-verbal
Fashion (pakaian, make-up, aksesoris)
Identitas Diri
Tabel 1.1 Skema penelitian
commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
H.
digilib.uns.ac.id
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Sutopo, salah satu teori yang menunjang metode penelitian kualitatif adalah teori hermeneutik di mana peneliti melakukan interpretasi atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri. Teori ini cocok terhadap subjek yang akan diteliti karena subjek dianggap telah melakukan interpretasi sendiri terhadap situasi yang menjadi permasalahan penelitian. Selain itu, metode ini dipilih karena data yang digunakan didasarkan pada perspektif subjek yang diteliti. Sebagaimana dikatakan oleh Van Maanen dalam bukunya Varieties of Qualitative Research bahwa penelitian dengan menggunakan metode kualitatif cenderung mengarahkan kajiannya pada perilaku manusia sehari-hari dalam keadaannya yang rutin secara apa adanya. 49 Cara berpakaian tentu saja dapat dikategorikan sebagai perilaku rutin sehari-hari seseorang. Deddy Mulyana dalam kata pengantarnya untuk buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif sangat diperlukan untuk beradaptasi dengan bentuk realitas sosial yang baru, yang sering disebut masyarakat pascaindustri, era pascamodern, dan masyarakat informasi. 50 Fashion sendiri dan unsur-unsur yang dilibatkan di dalamnya dapat dikatakan sebagai bagian dari industri besar di dunia di era modern ini. Selain itu Mulyana juga menegaskan untuk suatu pendekatan humanistik yang menjadikan manusia
49
Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kualitatf. 2002. Surakarta : Sebelas Maret University Press. hal 34 50 Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. 2004. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hal ix
commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai subjek penelitian maka dituntut penggunaan metode penelitian yang bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi merupakan embrio antropologi yang lahir pada sekitar tahun 1800-an 51 .
Roger
M. Keesing mendefiniskan etnografi sebagai pembuatan
dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan. Artinya, dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan seorang etnografer (penelitian etnografi) juga menganalisis. Jadi, bisa disimpulkan bahwa etnografi adalah pelukisan yang sistematis dan analisis suatu kebudayaan, kelompok, masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama52. Waria sebagai subjek penelitian memiliki kaitan yang sangat erat dengan akar kebudayaan masyarakat Indonesia, dan dalam perkembangannya tidak hanya tumbuh sebagai suatu komunitas sosial tersendiri, waria juga menjadi tubuh budaya yang akrab dan secara aktif berpartisipasi sebagai unsur sosial dalam masyarakat.
2. Subjek dan Lokasi Penelitian Yang menjadi objek penelitian sendiri adalah komunitas waria yang ada di kota Yogyakarta. Di sini sumber tidak dianggap sebagai responden semata, tapi juga sebagai informan, di mana subjek diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana mereka memberikan makna kepada kehidupan mereka sendiri. Kota Yogyakarta sendiri dipilih oleh peneliti, atas dasar asumsi di mana kota Yogyakarta sebagai kota pelajar telah mengalami berbagai macam akulturasi 51
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif; Komunikas, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. 2010. Jakarta : Kencana. Hal 220 52 ibid
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
budaya yang diakibatkan oleh tingginya angka penduduk yang tinggal di kota ini yang berasal dari luar Yogyakarta, bahkan hingga luar pulau maupun luar negeri. Tingginya tingkat akulturasi budaya ini menimbulkan angin keterbukaan yang lebih terasa dalam pergaulan masyarakat Yogyakarta sendiri. Banyak hal-hal sensitif yang lebih diterima di kalangan masyarakat Yogyakarta, menyangkut lifestyle misalnya, dengan pola pemikiran yang makin metropolis. Ini bisa dilihat dengan menjamurnya tempat-tempat hiburan bergaya metropolis dan hedonisme yang dibangun di Yogyakarta, seperti kafe, coffeeshop, diskotik dan sebagainya. Adanya nuansa keterbukaan ini memberikan keberanian ke berbagai komunitas untuk lebih terbuka dalam mengekspresikan kepribadiannya kepada publik termasuk komunitas waria. Ekspresi kepribadian dinyatakan komunitas ini dengan membentuk berbagai organisasi sebagai wadah bagi komunitasnya. Dalam penelitian awal saja peneliti telah menemukan 3 komunitas waria yang berbeda, antara lain Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) yang menjadi wadah khusus waria, ada pula People Like Us yang terdiri atas kelompok waria, gay, dan lesbian, kemudian ada pula Ever Dezen yang menjadi wadah bagi waria, anak jalanan, pengamen dan kelompok sosial lainnya yang mencari hidup di jalan. Ini belum termasuk LSM-LSM seperti PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), KPI (Komisi Perempuan Indonesia), Insitut Arus Pelangi dan lain sebagainya, yang di dalamnya juga memiliki wadah bagi LGBTQ (Lesbian, gay, Biseksual, Transeksual, Queer). Situasi ini memberikan asumsi pada peneliti bahwa mungkin keterbukaan di Yogyakarta memberikan keberanian pada orang-orang dengan orientasi seksual commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang berbeda untuk lebih terbuka pada masyarakat tentang identitas pribadi mereka.
3. Teknik Pengumpulan Data Fokus penelitian ini ada pada pemilihan fashion dari komunitas waria di kota Yogyakarta. Sementara teknik pengambilan data yang digunakan adalah dengan melakukan pengamatan (observasi) dari dekat, yang dipakai untuk menjelaskan, memeriksa dan memperinci gejala, serta untuk mendapatkan informasi yang lebih terbuka. Selain itu digunakan pula teknik in-depth interview. Peneliti akan mencoba untuk mengadakan pendekatan secara personal terlebih dahulu kepada narasumber, agar wawancara dapat dilakukan dalam suasana informal, sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada narasumber untuk memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Jumlah sampel nantinya akan bergantung pada pertimbangan informasi yang diperlukan. 53 Untuk menentukan jumlah sampel nantinya akan digunakan metode bola salju. Untuk sampel sendiri peneliti akan mencoba untuk memilih waria dengan berbagai latar belakang, misalnya waria PSK, waria pengamen, waria penari atau penampil, waria peneliti atau aktivis dan kelompok-kelompok waria lainnya. Setidaknya akan ada 3 kelompok waria yang berbeda jika ditinjau dari segi latar belakang pekerjaan, antara lain : (a) waria penampil : penari, peragawati, dan sebagainya, yang sebagian di antaranya merupakan dragqueen yang tidak berpenampilan sebagai waria 24 jam sehari; (b) waria jalanan : termasuk di
53
Mulyana, op.cit, hal 182
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalamnya pengamen dan PSK. Waria ini sebagian besar berpakaian dan bertingkah laku seperti perempuan sepanjang hari. (c) waria aktivis : waria yang bergabung dengan LSM, menjadi penulis dan sebagainya. Kelompok waria ini sebagian ada yang secara total berdandan sebagai perempuan sepanjang hari, ada pula yang hanya berdandan pada kegiatan-kegiatan tertentu.
4. Analisa Data Ada 3 (tiga) tekhnik analisis dalam etnografi untuk mencari tema-tema budaya, yaitu (1) domain, (2) taksonomi, dan (3)komponensial. Dalam analisis domain, hasilnya berupa pengetahuan/pengertian di tingkat “permukaan” tentang berbagai domain atau kategori-kategori konseptual (kategori-kategori simbolis yang mencakup atau mewadahi sejumlah kategori atau simbol lain secara tertentu) 54 . Domain atau kategori simbolis tersebut memiliki makna/pengertian yang lebih luas dari kategori/simbol. Hubungan antarkategori simbolis itu adalah hubungan sistematis yang bersifat universal, setidaknya ada sembilan tipe hubungan sistematis yang dapat digunakan untuk menelusuri domain yang ada55, yakni : 1. Jenis (Strict inclution)
X adalah jenis dari Y
2. Ruang (Spatial)
X adalah tempat di Y X adalah bagian dari Y
3. Sebab akibat (cause effect)
X adalah akibat/hasil dari Y X adalah sebab dari Y
54 55
Bungin, op.cit, hal 221 Faisal, Sanapiah. Penelitian Kualitatif. 1990. Malang : YA3. Hlm 91-92
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Rasional atau alasan (rationale)
X
merupakan
alasan
melakukan Y 5. Lokasi untuk melakukan sesuatu
X
merupakan
tempat
melakukan Y 6. Cara ke tujuan (means-end)
X merupakan cara untuk melakukan atau mencapai Y
7. Fungsi (function)
X digunakan untuk Y
8. Urutan (sequence)
X merupakan urutan/tahap dalam Y
9. Atribut atau karakteristik (attribution)
X merupakan atribut atau karakteristik Y.
Analisis domain ini jelas belum rinci dan mendalam karena merupakan produk kegiatan penjelajah. Analisis lebih lanjut adalah analisis taksonomis. Dalam analisis ini domain-domain yang dipilih dilacak secara lebih rincidan mendalam struktur internalnya. Untuk itu, dilakukan wawancara secara mendalam dan observasi dengan catatan lapangannya. Peneliti tidak hanya berhenti untuk mengetahui sejumlah kategori/simbol yang tercakup dalam domain, tetapi melacak kemungkinan sub-subset yang mungkin tercakup dan disajikan dalam bentuk diagram kotak., garis-garis dan simpul-simpul atau bentuk outline. Jadi dalam analisis domain dengan “mengorganisasikan atau menghimpun elemenelemen yang berkesamaan di suatu domain (organize similarities among elements in domain)”56.
56
Bungin, loc.cit
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berbeda dengan ke dua analisis tersebut, analisis komponensial tidak mengorganisasikan kesamaan elemen dalam domain, melainkan kontras antarelemen dalam domain yang diperoleh melalui observasi dan/atau wawancara terseleksi57. Masing-masing warga dari suatu domain sesungguhnya mempunyai atribut/karakteristik tertentu yang diasosiasikan dengannya. Atribut/karakteristik itulah yang membedakan satu dari yang lain58.
5. Uji Validitas Data Untuk menguji keabsahan data digunakan teknik trianggulasi. Teknik trianggulasi yang digunakan adalah tekhik data atau sumber di mana teknik ini memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda untuk menggali data yang sejenis. Dari penelitian awal yang telah peneliti lakukan, peneliti melihat setidaknya ada 3 macam kelompok waria, yaitu kelompok waria dan PSK (Pekerja Seks Komersial), kelompok waria penari dan penampil fashion show, dan kelompok waria akademisi yang kebanyakan menjadi peneliti atau pembuat film dan kerjakerja intelektual lainnya. Sesuai dengan kondisi lingkungannya dan jenis profesinya, ketiga kelompok waria ini memiliki ciri khas pakaian masing-masing. Dalam penelitian selanjutnya sangat dimungkinkan peneliti akan kembali menemukan adanya kelompok-kelompok waria lainnya. Karena itulah penelitian ini menggunakan teknik kualitatif karena teknik penelitian ini memiliki sifat fleksibel dan terbuka
57 58
Faisal, op.cit, hal 102-103 Ibid hlm 103-
commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II WARIA SEBAGAI SUATU FENOMENA
A.
SEKILAS SEJARAH WARIA Menilik
sejarah
waria
berarti
menampilkan
kilas
balik
sejarah
homoseksual di dunia, terutama para gay. Meski gay dan waria tidak selalu sama dari segi penampilan luar, namun pada hakikatnya gay dan waria merupakan satu kesatuan jika dilihat dari segi orientasi seksualnya. Seorang waria sendiri sebelum pada akhirnya mengubah penampilannya menjadi seorang transgender akan terlebih dahulu mendapati dirinya sebagai seorang gay yang menyukai sesama jenis. Dari
sejak
awal
sejarah
manusia,
telah
ada
yang
melakukan
penyeberangan gender maupun menjalin hubungan erotik romantik dan ritual dengan sesama gender atau antara penyeberang gender dengan gender yang ada dalam masyarakat59. Dua peradaban yang dianggap sebagai akar dari peradaban dunia, Romawi dan Yunani, juga memiliki sejarah panjang mengenai homoseksualitas di negaranya. Mitologi Yunani penuh dengan kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin, seperti antara Zeus dan Ganymade, Harakles dan Lalaus (Hylas) serta Apollo dan Hyakintus. Tidak ketinggalan para filsuf besar seperti Plato dan Socrates. Di Yunani waktu itu hubungan sesama jenis mempunyai gengsi tersendiri, di mana dianggap menunjukkan suatu keperkasaan. 59
Juliana, Fitri, Gay dan Kisah Kaum Nabi Luth, http://www.modusacehnews.com/files/hal/hal13-14edisi09tahun62008.pdf, diakses pada 3 Juli 2008 pukul 18.44 WIB
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Plato cinta homoseks berfungsi “mendidik”. Para prajuritpun waktu itu memiliki pasangan lelaki tetap, yang dicintai dan merupakan kawan untuk berlatih, berlomba, berolah raga dan bercinta. 60 Sementara itu lain lagi di Romawi. Di sini dikenal moralitas yang mengharamkan hubungan sesama jenis yang mana peraturan ini disahkan oleh Undang-Undang. Namun sejarah mencatat ada juga kaisar Roma yang menyukai laki-laki, yaitu Julius Caesar. Demikian juga dengan sastrawan seperti Virgil, Horatius, Cattulus dan Tibullus konon pernah mengalami cinta homoseks yang demikian intensnya sehingga mewarnai karya-karya agung mereka. 61 Islam dalam Al-Qur’an juga menceritakan bahwa hubungan dengan sesama jenis ini telah ada sejak jaman para Nabi, yakni kaum Nabi Luth A.S62. Sementara itu homoseksual mulai dikenal di daratan Eropa dan Amerika pada awal abad 20-an. Sebelumnya pada tahun 1970-an Belanda menjadi negara yang menentang homoseksual dengan membuat peraturan yang melarang homoseksual dan disahkan oleh Undang-Undang. Dalam masa itu kaum homoseksual banyak mengalami kekerasan baik dari keluarga, masyarakat, institusi agama dan negara. Dalam perkembangannya nanti, pada Juli 2001 tepatnya, Belanda justru menjadi negara pertama yang mengesahkan perkawinan untuk semua orang (termasuk gay dan lesbian), dengan mensyaratkan salah satu pasangan harus merupakan warga negara Belanda63.
60
Puspitosari, op.cit, hal 28 ibid 62 Juliana, loc.cit 63 ibid 61
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hampir mirip dengan Belanda, sekitar tahun 1933 ketika Nazi masih berkuasa di Jerman selain kaum Yahudi dan Roma, kaum homoseksual juga dianggap sebagai kaum yang berbahaya bagi Jerman, sehingga sekitar 50.000 orang homoseksual dipenjarakan di kamp penyiksaan Nazi. Di luar Jerman pembantaian terhadap kaum homoseksual juga banyak terjadi. Barulah pada tahun 1960-an kaum homoseksual hampir di seluruh Eropa secara tegas menuntut persamaan hak yang sama dengan warga negara lainnya tanpa membedakan orientasi seksual. 64 Istilah homoseksual sendiri ditemukan oleh seorang dokter asal Hongarian, Dr. K.M. Kertbeny, pada tahun 1869. Pada awalnya dokter ini menulis surat terbuka pada menteri kehakiman Rusia yang waktu itu hendak mengatur perbuatan homoseksual sebagai tindakan pidana. Surat terbuka yang disampaikan dokter Kertbeny ditolak oleh kehakiman. Penolakan ini justru membuat para ilmuwan semakin besar keinginannya untuk meneliti tentang homoseksualitas, sehingga melahirkan Komite Kemanusiaan Ilmiah pada tahun 1897, yang dipelopori oleh Dr. Magnus Hirschfild65. Menurut teori Queer, homoseksualitas berkembang dalam tiga tahapan66. Pertama, budaya intelektual homoseksual mencakup tahun 1968 hingga 1975. Selama fase ini homoseksualitas dilihat dalam dua istilah, sebagai ‘gangguan psikologis sekunder’ yang mempengaruhi populasi dan sebagai ‘hasrat normal’ yang hadir di berbagai tingkatan dalam diri setiap orang. Dalam psikologi Freudian, homoseksualitas selalu dianggap sebagai patologi terhambatnya 64
ibid Puspitosari, op. cit, hal 30. 66 ibid 65
commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perkembangan psikoseksual seseorang. Sementara itu homoseksualitas juga dianggap sebagai gejala yang normal, sama halnya dengan heteroseksualitas. Yang menyebutkannnya tidak normal adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Fase kedua mencakup tahun 1960-an dan awal 1970-an. Ini adalah periode ‘pembentukan komunitas’ dan politisasi gerakan homoseksual. Meningkatnya toleransi dalam masyarakat Amerika memungkinkan munculnya para intelektual gay baru. Mereka membentuk berbagai organisasai yang berfungsi sebagai wadah penampung aspirasi anggotanya serta melakukan kegiatan-kegiatan untuk menunjukkan eksistensi mereka. Tahap ketiga dimulai pada pertengahan tahun 1980-an ketika epidemi AIDS dan serangan balik ganti anti gay yang dipimpin oleh golongan kanan baru (New Right) menghancurkan ilusi-ilusi abad toleransi dan pengertian. Hal ini pada gilirannya mendorong pembaruan politik konfrontasi radikal. Di tahun 1980-an setelah AIDS diidentifikasikan sebagai penyakit yang banyak membunuh gay, maka jumlah organisasi lokal dan nasional membentuk jaringan pelayanan untuk menolong korban AIDS dan menyerukan pemerintah agar turun tangan mengatasi krisis tersebut bertambah. Adanya epidemi tersebut membuat keberadaan homoseksual yang semula sudah diterima berubah menjadi penolakan kembali. Perkembangan homoseksual di seluruh dunia dapat dilihat dari tabel berikut67 :
67
Juliana, loc. cit
commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
Tahun 1869
digilib.uns.ac.id
Tahapan Perkembangan Dr. K. M. Kertbeny, seorang dokter Hongaria menciptakan istilah homoseksual
1920-an Komunitas homoseks mulai muncul di kota besar Belanda Juni 1969 Di New York, Amerika Serikat, berlangsung huru-hara Stonewall, ketika kaum waria dan gay melawan represi polisi yang khusunya terjadi pada sebuah bar bernama Stonewall Inn. Peristiwa ini dianggap permulaan pergerakan gay yang terbuka dan militan di Barat, dan kini dirayakan dengan pawai dan acara-acara lain, termasuk di Israel, Amerika Latin, Jepang, Pilipina, India dan Indonesia. ±1980 International Lesbian and Gay Association (OLGA) berdiri di Dublin, Irlandia 1Maret1982 Kumpulan gejala penyakit (sindrom) yang kemudian dinamakaan AIDS ditemukan di kalangan gay di kota besar seperti Amerika Serikat. Kemudian barulah ditemukan bahwa HIV, virus penyebab AIDS, tidak hanya ditularkan melalui hubungan seks anal laki-laki saja. 1990 Denmark menjadi negeri pertama di dunia di mana dua warga bergender sama dapat mencatatkan kemitraan (registered partnership) dengan hak-hak hampir sama dengan perkawinan. 1992 International Gay and Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC) berdiri di San Fransisco, Amerika Serikat. 1993 Isu orientasi seksual masuk dalam agenda Konferensi PBB tentang Hak Asasi Manusia di Wina, Austria, tetapi ditentang oleh negara-negara konservatif, termasuk Singapura. 1995 Isu orientasi seksual kembali mewarnai perdebatan pada Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD, Kairo, Mesir) dan ditentang pihak-pihak konservatif. Indonesia secara eksplisit menolak. 1995
Isu orientasi seksual diperjuangkan oleh aktivis-aktivis lesbian. Mencuat pada Konferensi Dunia tentang perempuan ke-2 di Beijing, Tiongkok. Kembali pihak-pihak konsevatif, termasuk Vatikan dan Iran, menentangnya. Indonesia juga termasuk yang menentang. Maret 2000 Pada International Congress on AIDS in Asia and Pacific (ICAAP) ke-5 di Kuala Lumpur, Malaysia, dibentuk jaringan lesbian, gay, biseks, waria, interseks, dan queer se-Asia/Pasifik bernama Asia/Pacific Rainbow (APR). GAYa Nusantara, organisasi LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseks, Transeksual dan Queer) dari Indonesia, ikut menjadi pendiri.
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Juli 2001 Negeri Belanda menjadi negeri pertama yang mengesahkan perkawinan untuk semua orang (termasuk gay dan lesbian). Salah seorang dari pasangan yang kawin harus warga atau penduduk tetap Belanda. Juni 2003 Brasil mengusulkan kepada Komisi Tinggi PBB untuk HAM agar orientasi seksual dimasukkan sebagai salah satu aspek HAM. Pengambilan keputusan ditunda. Dalam prosesnya Vatikan mendesak pemerintah-pemerintah Amerika Latin lainnya untuk menentang usulan ini. Tabel 2.1 Perkembangan Homoseksual di Seluruh Dunia
B.
KAJIAN SEJARAH WARIA DI INDONESIA Fenomena homoseksualitas bukan hanya terjadi di negara Barat. Di
Indonesia sendiri dalam catatan sejarah budayanya terdapat berbagai cerita mengenai homoseksual yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia yang pada masanya tersebut sama sekali tidak dianggap sebagai suatu perbuatan menyimpang. Salah satu diantaranya adalah fenomena warok di Jawa Timur. Warok yang adalah seorang laki-laki dewasa biasanya memelihara seorang gemblak, yaitu laki-laki remaja, berdasarkan kontrak antara warok dengan orang tua gemblak, dengan pemberian sapi misalnya. Warok melakukan itu demi kesaktian (kanuragan) yang mewajibkannya menjauhi perempuan. Namun, warok juga beristri dan berketurunan, biasanya apabila ia tidak sedang mencari kesaktian68. Versi legenda warok ada bermacam-macam, diantaranya adalah, dulu warok merupakan orang yang ditakuti, saat ini mungkin sekelas dengan kepala desa. Warok-warok tersebut harus menjaga wibawa mereka di hadapan warganya, 68
Artikel di Kompas online judul “Lihatlah, Kami Ada”, terbit tanggal 16 September 2004, di diakses pada 04 Juli 2008 pukul 22.58 WIB http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0409/16/humaniora/1272046.htm,
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maka para warok tersebut harus memiliki kesaktian yang lebih. Versi lain warok adalah laki-laki sang jagoan, sementara gemblak adalah laki-laki lemah lembut yang berfikiran layaknya istri bagi warok, keduanya melakukan hubungan intim dan juga mengenal logika cemburu buta69. Peran warok ini sering muncul pada pementasan Reog Ponorogo. Pada tahun 1983 warok sempat dilarang keberadaannya. Kemudian pada tahun 1985 Depdikbud dan NU membentuk Reog yang islami bernama “Insan Takwa Illahi”, di mana peran laki-laki diganti dengan perempuan untuk menghilangkan erotisme percintaan sejenis70. Selain itu, homoseksualitas pada masanya pernah diberi jabatan yang sakral. Seperti di Maluku, dikenal ada sebuah upacara pendewasaan diri yang mengharuskan remaja laki-laki digauli dulu oleh ‘dukun’ yang juga laki-laki sebelum akhirnya remaja laki-laki tersebut turun ke dalam dunia perkawinan. Tradisi homoseksualitas ini juga dikenal di kalangan masyarakat Nias, pada suku Asmat Irian Jaya dan suku Dayak Ngaju di Kalimantan. Mereka terkait erat dengan sakralitas fungsinya dalam ritus-ritus sebagai perantara dengan dunia arwah. Di Kalimantan, suku Dayak Ngaju mengenal pendeta-pendeta perantara yang mengenakan pakaian lawan jenis. Di Sulawesi juga ada fenomena serupa. Di kalangan suku Makasar laki-laki homoseks yang disebut kowe, diberi tugas menjaga pusaka, jabatannya sendiri diberi nama bissu. Bissu adalah pendeta 69
Puspitosari, op.cit, hal 35 “Perkembangan Homoseksualitas di Indonesia”, diambil dari http://digilib.petra.ac.id/adscgi/viewer.pl/jiunkpe/s1/ikom/2006/jiunkpe-ns-s1-2006-51402163-3940-gay-chapter4.pdf, hal 32. Diakses pada 3 Juli 2008, pukul 20.38 WIB 70
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
agama Bugis kuno pra-Islam yang merupakan laki-laki namun berpakaian perempuan dan berperilaku homoseksual. Naskah La Galgo banyak mengungkap keberadaan bissu dalam budaya Bugis yang konon sebagai pelengkap dan pendamping para tokoh agama langit. Kata bissu ini berasal dari kata ‘mabusi’ dari bahasa Bugis yang berarti ‘bersih’. Mereka disebut bissu karena ‘suci’ (tidak kotor), tidak memiliki payudara dan tidak haid. 71 Sementara itu, seorang ahli anthropologi, C Snouck Hugronye, juga mengungkapkan fakta dari tanah Rencong, Aceh, yang menyebutkan bahwa lakilaki Aceh sangat menggemari budak-budak dari Nias. Budak-budak lelaki yang remaja, dalam posisinya sebagai penari (sadati) atau lainnya, termasuk "melayani nafsu tak alamiah" laki-laki Aceh. Sebagian penari sadati adalah anak-anak orang miskin dari pedalaman. Puisi sadati sendiri terkenal karena erotismenya, yang sebagian jelas-jelas mengacu pada hubungan sesama jenis72. Di ranah Minangkabau dikenal pula kebiasaan percintaan antara laki-laki yang lebih tua (Induk Jawi) dengan remaja laki-laki (Anak Jawi), dan sepertinya pranata ‘induk anak’ ini erat kaitannya dengan perilaku tidur di surau untuk anak laki-laki yang sudah ‘akil baligh’73. Sementara itu ada pula hubungan homoseksual yang diakui dan dikenal oleh masyarakat. Indikatornya adalah kebiasaan mairil yang dikenal di pesantrenpesantren Jawa. Seorang wartawan dari majalah Tempo yang asal pesantren mengisahkan bahwa pada malam Jumat di pesantrennya selalu ada hura-hura untuk memperebutkan mairil (santri remaja) yang paling favorit. Bagi sang mairil 71
ibid ibid 73 ibid 72
commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi kesayangan seorang kyai adalah puncak dari gengsi di lingkungan pesantren itu. Juga diantara para santri sendiri terjadi hubungan kasih sayang semacam kakak adik yang disertai persetubuhan. Kebiasaan tersebut dikenal dengan mairilan. Hubungan mairilan adalah hubungan antara seorang santri dengan santri lainnya yang lebih muda. Hubungan itu selain mengandung aspek emosional yang erotik, juga melibatkan bimbingan dalam belajar dan tolongmenolong dalam kehidupan sehari-hari 74. Hal tersebut dimungkinkan karena di pondok terjadi pemisahan antara laki-laki dan perempuan sehingga menimbulkan perilaku homoseks sebagai jalan keluar untuk menyalurkan dorongan seksual75. Jika di pesantren daerah Jawa disebut mairilan, di pesantren daerah Madura perilaku ini disebut laq-dalaq76. Selain itu pada tahun 1964 seorang cendekiawan bernama Benedict Anderson yang pernah belajar di Indonesia menemukan bahwa dalam Serat Tjentini, sastra Jawa abad 19, ternyata banyak adegan seks antar lelaki. Dalam Tjentini, konsep "cinta" boleh dikatakan tidak ada, semuanya berkisar pada "senang", "iseng", "gandrung", dan "gemas", tanpa sedikitpun perasaan "dosa" ataupun "malu". Tokoh-tokohnya tidur dengan perempuan atau lelaki seenaknya seolah-olah bergantian makan rambutan dan durian: masalahnya cuma mana enaknya dan mana kesempatannya77. 74
Oetomo, Dede. Memberi Suara Pada yang Bisu. 2003. Yogyakarta:Pustaka Marwa, hal 16. Dikutip dari Puspitosari, op.cit, hal 35 75 Puspitosari, op.cit. hal 35 76 Dari artikel “Pertanyaan yang Sering Diajukan Terkait dengan Homoseksualitas”, dilansir dari http://www.gayanusantara.org/faq.html diakses pada 4 Juli 2008 pukul 22.39 WIB. 77 Artikel di Kompas online judul “Lihatlah, Kami Ada”, terbit tanggal 16 September 2004, di http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0409/16/humaniora/1272046.htm, diakses pada 04 Juli 2008 pukul 22.58 WIB
commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain itu dari segi sejarah budaya juga ditemukan bahwa homoseksual pernah tercatat dalam sejarah hadirnya agama Hindu di Indonesia. Jika ditilik dari sejarah Hindu di Indonesia, Hindu terbelah dalam banyak sekte, salah satunya sekte minoritas, yaitu sekte Trantib. Trantib pun terbelah menjadi Trantib heteroseksual yang prinsipnya kalau ingin sampai tataran Moksa, orang harus mengalami semua perilaku yang ada di dunia. Dari perilaku seks bebas, minum, drugs, mencuri dan sebagainya. Kalau individu pernah mengalami itu semua, maka ia otomatis akan memiliki pengetahuan akan semua hal. Setelah itu barulah diupayakan untuk keluar dari situasi tersebut, untuk mencapai tahap Mokasa di mana dalam tahap ini laki-laki perlu mengeluarkan sperma ke lawan jenis. Dengan mengeluarkan sperma, ia bisa mengakumulasi energi kesaktian. Sedangkan Trantib homoseksual itu berbeda. Laki-laki tidak diperbolehkan mengeluarkan spermanya ke perempuan, jika mengeluarkan spermanya ke perempuan maka energi kesaktiannya akan hilang tersedot. Oleh karena itu harus menyalurkan ke sesama laki-laki. Dari sana lah muncul Warok Ponorogo78. Karena sebagian besar sejarah homoseksualitas ini terkait dengan kebudayaan lama Indonesia, maka timbullah asumsi bahwa budaya Indonesia dianggap sebagai suatu ‘budaya yang toleran’ di mana gay, lesbian dan transgender dinilai seperti shaman atau seniman79. Misalnya saja dalam budaya tandak ludruk yang menampilkan waria sebagai penampil utama, dan juga beberapa pertunjukan budaya Indonesia lainnya yang menggunakan waria sebagai 78
Outzine, artikel berjudul “Homophobic, Who are You Scared Of?”, dikutip dari
http://www.aruspelangi.or.id/outzine/01.pdf diakses pada 4 Juli 2007 pukul 21.37 WIB 79
Boellstroff, Tom. Gay dan Lesbian Indonesia serta Gagasan Nasionalisme. Dikutip dari http://www.anthro.uci.edu/faculty_bios/boellstorff/Boellstorff-AI.pdf. diakses pada 3 JUli 2008 pukul 18.56 WIB
commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
magnet utama pertunjukan. Meski demikian, hal ini tidak dianggap berkaitan dengan persoalan seksualitas, melainkan lebih ke urusan profesi saja. Misalnya saja dalam hal perilaku homoseksualitas yang ditemukan pada tokoh-tokoh masyarakat atau yang disegani dalam masyarakat dalam suku-suku tertentu seperti yang dipaparkan di atas, perilaku ini tidak dikaitkan dengan penyimpangan perilaku seksual melainkan lebih kepada hal-hal spiritual karena sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya mereka mengganggap jika melakukan aktivitas seks dengan perempuan maka kekuatan spiritual akan tersedot habis. Sementara hubungan seks dengan laki-laki tidak dianggap terlalu merusak atau bahkan tidak dianggap sebagai seks sama sekali80. Meski sejarah homoseksualitas di Indonesia terbilang panjang dan unik, fakta ini tidak lantas menjadikan kaum homoseksual diterima dengan baik di Indonesia. Setidaknya saat ini ada begitu banyak penolakan terkait dengan keberadaan mereka. Seperti yang dapat kita lihat dalam penjelasan di atas, yang lebih banyak mengambil bagian dalam sejarah adalah homoseksual antara lakilaki dan laki-laki, yang mana sebagian diantaranya juga adalah transvestit sehingga dapat dikatakan sebagai transgender yang nantinya dengan berbagai kemajuan tehknologi dan penemuan-penemuan mutakhir membuka jalan bagi mereka untuk menjadi transeksual (waria). Menurut Elizabeth Koes dalam tesisnya ‘Pada Awalnya Banci, Lalu Wadam, Kemudian Waria’ yang diulas di harian Pikiran Rakyat, setidaknya ada 2 tipe waria, yaitu81
80 81
ibid Koes,
Elizabeth.
Awalnya
Banci,
Lalu
Wadam,
Kemudian
Waria.
Dikutip
dari
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/10/02/0054.html. diakses pada 4 Juli 2008 pukul 23.06
WIB.
commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(1) interseksualitas dengan organ seksual pria tetapi juga mempunyai hormon perempuan, (2) transeksualisme sebagai seseorang yang mempunyai fisik pria tetapi psikis perempuan. Jika ditilik dari pernyataan Koes diatas dapat dilihat bahwa untuk menjadi seorang waria setidaknya ada sangkut pautnya dengan kondisi biologis yang dibawanya dari lahir. Namun, kenyataan ini pun tidak membuat homoseksual dan terutama waria diterima dengan mudah di kalangan masyarakat modern Indonesia. Salah satu contohnya adalah penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang membawa nama salah satu agama di Indonesia yang dilakukan pada 11 November 2000 terhadap sejumlah waria dan kelompok homoseksual lainnya yang sedang mengadakan silaturahmi sekaligus sosialisasi bahaya dan pencegahan HIV/AIDS dengan apresiasi seni di villa Hastorenggo Satu, Kaliurang, Yogyakarta. Penyerangan pada acara yang diberi nama ‘Kerlap-kerlip Warna Kedaton 2000’ ini menyebabkan undangan yang berjumlah sekitar 200 orang mengalami luka berat dan luka ringan serta trauma yang mendalam. Tuduhan yang
diberikan
oleh
kelompok
penyerang
adalah
bahwa
acara
yang
diselenggarakan dengan bekerjasama dengan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Yogyakarta ini adalah suatu pesta seks terselubung 82 . Sampai saat ini kasus ini sendiri tidak pernah tersentuh oleh aparat hukum. Masih banyak lagi perlakuan serupa yang diterima oleh kelompok LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual dan Queer). Dibawah ini adalah 82
Arus Pelangi, Prinsip-prinsip Yogyakarta; Orientasi Seksual, Identitas Gender dan Hak Asasi Manusia. Jakarta:Arus Pelangi. 2007. Hal 12
commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beberapa kasus yang dilansir oleh Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) yang dimuat dalam website-nya83 :
a.
Penyerangan terhadap komunitas gay. Sepanjang tahun 2000-2002, komunitas gay yang sering berkumpul di stadion Sriwedari Solo sering mendapatkan teror dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok orang yang homofobia.
b.
Penyerangan terhadap komunitas waria. Disepanjang bulan Ramadhan setiap tahunnya, komunitas waria di berbagai kota, seperti Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan berbagai kota lainnya sering mendapatkan teror dan serangan fisik dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu.
c.
Pembunuhan terhadap 3 waria di Jakarta. Pada tahun 2003, terjadi pembunuhan 3 waria di Kemanggisan, Jakarta Barat. Tiga waria tersebut ditembak aparat kepolisian. Namun hingga sampai tulisan ini dbuat belum ada tindakan apapun yang ditujukan terhadap aparat kepolisian yang telah menembak mati ketiga waria tersebut.
d.
Penyerangan terhadap acara pemilihan ratu waria. Pada
tanggal
26
Juni
2005,
sekelompok
orang
yang
mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI) menyerang peserta 83
Artikel “ Memperingati Hari Waria (Transeksual/ Transgender) Internasional-Akankah Kekerasan Terhadap Waria menjadi Agenda Negara Untuk Menyelesaikannya”. Dikutip dari http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=435. Diakses pada 4 Juli 2008 pukul 23.08 WIB
commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
acara pemilihan Ratu Waria yang diadakan di Gedung Sarinah Jl. M. H. Thamrin, Jakarta Pusat. Selain menyerang acara tersebut, mereka juga memaksa pihak penyelenggara untuk membubarkan acara tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh FPI tersebut jelas melanggar hukum, karena kegiatan yang dilakukan oleh komunitas waria adalah kegiatan legal dan telah memenuhi semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, tidak ada satupun anggota FPI yang ditangkap oleh pihak kepolisian. e.
Pembunuhan waria di Purwokerto. Pada bulan Oktober 2005, seorang waria (Vera) yang sedang berada di Jl. S. Parman, Purwokerto, dianiaya oleh seorang pemuda tak dikenal hingga mengakibatkan waria tersebut meninggal dunia. Sampai dengan saat artikel ini dicetak polisi belum menetapkan tersangka kasus tersebut.
f.
Intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap komunitas waria di Aceh. Setidaknya sepanjang Maret 2006, sudah ada beberapa waria di Langsa, Aceh Timur, yang mengalami pemukulan dan intimidasi dari oknum aparat kepolisian setempat.
g.
Ancaman terhadap Gesang Solo. Pada tanggal 15 Oktober 2006, sekelompok orang yang mengatasnamakan kelompok Hisbullah melakukan intimidasi terhadap lembaga Gesang Solo yang mengadakan kegiatan sosialisasi
HIV/AIDS.
Mereka
mengadakan
orasi
yang
commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendiskreditkan kelompok LGBTQ dan diakhir acara mereka juga meminta uang kepada panitia. Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa kelompok LGBT pada umumnya dan waria pada khususnya masih belum memiliki jaminan rasa aman dan perlindungan dari hukum yang berlaku di negara ini. Padahal, jika dilihat dari sisi HAM harusnya setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan rata, tanpa membedakan status sosialnya. Dulu bahkan Dinas Sosial menggolongkan kelompok LGBT sebagai tuna sosial, yang berarti kelompok LGBT dianggap tidak memiliki sikap sosial84. Isu mengenai perlindungan hukum terhadap LGBT, terutama waria pernah mencuat dalam Pemilu 2004 yang lalu di mana waktu itu menurut kantor berita Perancis AFP Kementerian Kehakiman dan HAM Indonesia sedang menggodok rencana perubahan KUHP yang memasukkan kumpul kebo, oral sex dan homoseksual sebagai tindak pidana 85 . Tokoh waria dari Semarang sempat menyatakan keberatannya dan mengganggap ini sebagai manuver politik semata, terutama dari partai-partai berbasis agama. Bagi mereka sebagai kaum transeksual mereka pun menginginkan persamaan hak sebagai warga negara86. Pada sisi lain Departemen Kesehatan RI melalui Surat Keputusan Menkes No. 191/Menkes/SK/III/1989 untuk RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS HS Bandung, RS Karyadi Semarang, RS Dadi Ujungpandang, RS Sutomo Surabaya, dan RS Piringadi Medan, telah menunjuk rumah sakit-rumah sakit tersebut dan 84
Arus Pelangi, loc.cit “Nanti Nggak Boleh Oral Seks, dll?”, http://forum.wgaul.com/showthread.php?t=19322, diakses pada 4 Juli 2008 pukul 22.51 WIB. 86 “Transeksual Inginkan Persamaan Hak”, dilansir pada 4 April 2004, di http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/04/kot5.htm, diakses pada 4 Juli 2008 pukul 23.12 WIB 85
commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengeluarkan surat izin bagi operasi ganti kelamin bagi kelompok transeksual. Perubahan kelamin ini nantinya akan dijamin secara hukum negara, sehingga nantinya kaum waria dapat diakui sebagai laki-laki setelah melakukan operasi kelamin87. Harapan para kelompok LGBT, sebagai kelompok minoritas seksual di Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum dari negara serta persamaan haknya misalnya dalam hal memperoleh pekerjaan tentu sangatlah besar. Seperti yang sudah menjadi rahasia umum, bukanlah hal yang mudah bagi kaum waria terutama untuk mendapatkan pekerjaan karena posisi mereka sebagai the third gender (gender ketiga). Kondisi inilah yang banyak menyeret waria ke jalanan untuk mencari penghidupan sebagai penghibur, baik sebagai pengamen maupun sebagai pelacur (PSK). Lahan pekerjaan yang sempit ini mengakibatkan banyak waria yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu rasa tidak aman juga terus melingkupi mereka karena sering dikejar-kejar oleh petugas Trantib dan juga dari orang-orang iseng lainnya. Meski berangkat dari kenyataan kelam ini, pada faktanya kelompok LGBT semakin berkembang dan semakin berani menunjukkan keberadaan mereka di Indonesia. Perkembangan homoseksual di Indonesia sendiri dapat dilihat dalam tabel di bawah ini88 :
87 88
Koes, loc.cit Juliana, op.cit
commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
Tahun ±1968 1969
1981
1985
1Agust1987 1988
1989 1993 1993 1994
2Juli1996 Nov1997
Juni 1999
Sept’1999
Okt’1999
digilib.uns.ac.id
Tahapan Perkembangan Istilah wadam diciptakan sebagai pengganti yang lebih positif bagi istilah banci atau bencong. Organisasi wadam pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) didirikan, difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin. Istilah wadam diganti jadi waria karena keberatan sebagian pemimpin Islam, karena mengandung nama seorang Nabi, yaitu Adam A.S. Organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, Lambda Indonesia, berdiri, dengan sekretariat di Solo. Segera dibentuk cabang-cabang di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan tempat-tempat lain. Terbit buletin G:Gaya Hidup Ceria (1982-1984). Kaum gay di Yogyakarta mendirikan Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) dengan terbitan Jaka. Kelolmpok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN), kemudian dipendekkan jadi GAYa NUSANTARA (GN) didirikan di Pasuruan-Surabaya sebagai penerus Lambda Indonesia. Menerbitkan majalah/buku seri GAYa NUSANTARA. Persaudaraan Gay Yogyakarta diteruskan menjadi Indonesian Gay Society (IGS). Berdiri organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar. Berdiri organisasi gay di Malang dan Ujungpandang. Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) I diselenggarakan di Kaliurang Yogyakarta. Diikuti sekitar 40 peserta dari Jakarta hingga Ujungpandang. Menghasilkan 6 butir ideologi pergerakan gay dan lesbian Indonesia. GAYa NUSANTARA mendapat mandat untuk mengkoordinasi Jaringan Lesbian & Gay Indonesia (JLGI) KLGI II diselenggarakan di Lembang, Jawa Barat. Diikuti makin banyak peserta dari Jakarta hingga Ujungpandang. Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjadi partai pertama dalam sejarah Indonesia yang mencantumkan “hak-hak homoseksual dab transeksual” dalam manifestonya. KLGI III diselenggarakan di Denpasar. Pertama kali wartawan dapat meliput di luar sidang. Diputuskan untuk sementara diselenggarakan rapat kerja nasional karena dipertanyakan apakah kongres aktif. Gay Pride dirayakan di Surabaya, kerja sama antara GN, Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) dan Pusat Kebudayaan Perancis (CCCL). Rekarnas JLGI di Solo diancam akan diserang oleh Front Pembela Islam (FPIS), sehingga dibatalkan. commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nov2000 Kerlap-kerlip Warna Kedaton 2000, acara pendidikan HIV/AIDS melalui hiburan di Kaliurang, Yogyakarta diserang oleh serombongan laki-laki yang menamakan dirinya Gerakan Anti Maksiat (GAM). sempat Nov’2000 IGS mendeklarasikan 1 Maret sebagai hari Solidaritas Lesbian dan Gay Nasional. Tabel 2.2 Perkembangan Homoseksual di Indonesia
C.
KEHIDUPAN WARIA YOGYAKARTA Yogyakarta sebagai kota pelajar memiliki tingkat keberagaman penduduk
pendatang yang sangat tinggi akibat dari banyaknya pelajar maupun mahasiswa dari luar Yogyakarta yang memilih untuk menuntut ilmu di kota ini. Keberagaman penduduk ini membawa Yogyakarta pada suatu akulturasi budaya yang semakin hari semakin bergaya metropolis. Hal ini ditandai dengan maraknya berbagai tempat hiburan malam dan pusat-pusat lifestyle di kota ini. Selain itu budaya metropolis yang cenderung individual juga mulai merasuki sendi-sendi kehidupan kota, yang dikenal dengan julukan Kota Gudeg ini. Tidak heran jika kemudian banyak orang yang tinggal di Yogyakarta tidak merasa risih untuk mengekspresikan kepribadiannya lewat penampilan mereka sehari-hari tanpa perlu merasa takut untuk mendapat pandangan atau stigma jelek dari masyarakat. Permasalahan pemilihan orientasi seksual pun mencuat diantaranya. Saat ini di Jogja sendiri telah banyak berdiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki concern khusus sebagai wadah berkumpul ataupun sosialisasi bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan orientasi seksual yang berbeda dengan apa yang lazim di masyarakat (heteroseksual). Tidak heran jika pada akhirnya di Yogyakarta kita dapat menemukan komunitas gay atau lesbian, misalnya, yang commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sedang mengadakan gathering atau sekedar berkumpul sesamanya di public space seperti mall. Salah satu diantara kelompok orientasi seksual yang berusaha untuk terus mengemuka eksistensinya di Yogyakarta adalah kelompok waria. Di Yogyakarta sendiri jumlah waria memang bisa dikatakan lumayan tinggi. Paling tidak ini dapat dilihat dari beberapa organisasi/komunitas yang dibentuk sebagai wadah berkumpul dan sekaligus memperjuangkan hak-hak mereka yang kadang masih terpinggirkan dan dipertanyakan. Setidaknya ada beberapa organisasi yang dikelola oleh waria untuk mengakomodir berbagai kebutuhan sosialiasi mereka, baik yang memang khusus untuk waria maupun yang sekedar memiliki divisi waria di dalamnya, yaitu antara lain: 1.
Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta). Sebagian besar waria yang bergabung di komunitas ini adalah waria-waria yang seringkali menjadi penampil di fashion show, penari, pemain teater dan sebagainya dan termasuk juga di dalamnya waria-waria jalanan yang menjadi pengamen dan PSK. Kebaya bisa dikatakan sebagai satu-satunya LSM waria di Yogyakarta yang memang khusus dibentuk dan dikelola oleh waria sendiri. Kebaya diketuai oleh Mami Vinolia.
2.
Ebenezer. Waria yang tergabung disini sebagian besar adalah kelompok pengamen, terutama yang sehari-harinya mengamen di kawasan Lempuyangan. Selain itu, komunitas ini juga mengurusi anak-anak commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jalanan sekitar Lempuyangan. Komunitas ini termasuk aktif dalam memperjuangkan
hak-hak
mereka
ke
Pemerintah
Daerah
Yogyakarta. 3.
Komunitas Waria Tugu. Waria di komunitas ini sebagian besar bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial). Ada pula sebagian yang bekerja sebagai pengamen. Komunitas ini biasanya beroperasi di wilayah sekitar Malioboro, Pasar Kembang, daerah Stasiun Tugu dan sebagainya.
4.
PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia). Salah satu LSM yang sudah berdiri cukup lama di Yogyakarta. LSM ini pada awalnya dibentuk untuk menekan lajunya tingkat penderita HIV/AIDS dengan mengadakan berbagai penyuluhan tentang pentingnya safe sex terutama ditujukan kepada komunitas Pekerja Seks Komersial (PSK) dan juga kelompok homoseksual yang bisa dikatakan lebih rentan terjangkiti penyakit ini. Namun saat ini, LSM ini juga semakin sering mengurusi masalah advokasi dan memperjuangkan hak-hak kaum minoritas dan yang seringkali termajinalkan, seperti komunitas homoseksual, komunitas jalanan dan juga komunitas waria. PKBI memiliki divisi sendiri yang khusus mengurusi waria.
5.
People Like Us (PLU) Satu Hati. Merupakan sebuah CBO (Communitty Based Organization) yang khusus dibentuk sebagai wadah berkumpul dan mengakomodir commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berbagai kepentingan kelompok LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual dan Queer) termasuk di dalamnya di bidang advokasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap kelompok ini. Organisasi ini baru dibentuk dan berdiri pada tahun 2008 ini. Misi utama dari PLU Satu Hati ini adalah agar kelompok LGBTQ lebih aktif memperjuangkan hak-haknya dalam hukum negara serta mendidik masyarakat agar dapat menerima keberadaan kelompok ini sebagai bagian dari keberagaman kehidupan sosial masyarakat.
Waria sendiri di Kota Yogyakarta sering diikutkan oleh Dinas Pariwisata dan Seni Budaya (Diparsenibud) Yogyakarta dalam event-event kebudayaan, seperti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) ataupun Jogja Fashion Week. Waria selalu diberikan space sendiri oleh Dinas Pariwisata dan Seni Budaya (Diparsenibud) Yogyakarta untuk tampil di dalamnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta sendiri dapat menerima waria dengan cukup baik. Bahkan di universitas terbesar di kota ini, Universitas Gadjah Mada (UGM), keberadaan seorang waria sendiri yang menjadi mahasiswa tidak terlalu dipermasalahkan, contohnya Sunnya yang seorang waria dan berhasil meraih gelar kesarjanaannya di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Selain di UGM, di kampus-kampus lain juga seperti AMPTA, jika ada mahasiswa-nya yang seorang waria hal itu juga tidak terlalu dipersoalkan. Tidak terlalu mengherankan jika kemudian ada beberapa waria di Yogyakarta yang berhasil mengecap pendidikan tinggi. commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Langkah lebih maju dari pengakuan terhadap keberadaan kelompok marjinal ini adalah penyelenggaraan pertemuan 29 pakar hak asasi manusia dari sekitar 25 negara di dunia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tanggal 6 hingga 9 November 2006 yang bersepakat dengan suara bulat menyetujui Prinsip-prinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakun Hukum Internasional atas Hakhak Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Prinsip-prinsip Yogyakarta menegaskan standard-standard hukum internasional yang mengikat di mana Negara harus tunduk kepadanya89. Meski demikian, persoalan ekonomi yang biasanya membelit kehidupan waria bukan berarti tidak terjadi di wilayah Yogyakarta. Cukup banyak waria yang masih sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan mereka masing-masing, sehingga tetap saja pada akhirnya ada banyak waria yang tetap turun ke jalan untuk mencari nafkah. Pada akhirnya baik itu di Yogyakarta maupun di kota-kota lainnya kehidupan waria cenderung menyimpan cerita yang sama. Penolakan status sosial, hingga penolakan secara profesional sudah menjadi suatu hal yang lumrah. Tidak mengherankan jika pada akhirnya hanya ada sedikit profesi yang identik dengan waria, seperti kapster salon, pengamen, penari, PSK, dan sebagainya yang hampir kesemuanya bisa dikatakan tidak memberikan jaminan hidup yang memadai bagi para waria ini. Hak untuk mendapatkan persamaan kesempatan dengan warga negara lainnya ini yang terus diperjuangkan oleh para waria ini. Bahkan hingga ke hal sederhana seperti permasalahan penyediaan toilet umum sekalipun. Selama ini
89
Arus Pelangi, op.cit . Hal 12
commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kaum waria cenderung jarang menggunakan toilet umum, karena masih bingung harus masuk ke toilet perempuan, ataukah toilet laki-laki, karena mereka masih merasa cemas akan penerimaan publik. Apalagi tidak jarang orang awam yang cenderung merasa takut dengan waria. Di Yogyakarta sendiri, para waria tidak segan berbaur dengan masyarakat dan sangat mengharapkan respon positif dari masyarakat atas keberadaan mereka. Maka tidak mengherankan jika kita akan sering melihat beberapa aktivitas yang dilakukan oleh kelompok waria bersamasama dengan kelompok masyarakat, misalnya lomba voli dengan ibu-ibu suatu kompleks perumahan, dan lain sebagainya. Selain memiliki banyak waria aktivis, beberapa waria di Yogyakarta juga aktif sebagai penulis. PKBI merupakan salah satu wadah yang sering menampung tulisan para waria ini untuk kemudian diterbitkan. Salah satu buku terbaru yang mereka terbitkan yang di dalamnya terselip tulisan dari seorang waria jalanan adalah buku, Ketika Orang Lain Berpaling. Masih ada lagi Sunnya yang dulu pernah menulis buku Jangan Lepas Jilbabku yang sempat menjadi fenomenal. Dibandingkan dengan kelompok heteroseksual, mungkin kelompok waria harus berusaha dua kali lebih keras untuk dapat hidup dengan layak. Namun keadaan yang sulit ini ternyata tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk mengekspresikan jiwa transeksualnya yang ditunjukkan melalui pemilihan fashion mereka sehari-hari.
commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III FASHION WARIA DAN CARA MENGKOMUNIKASIKAN IDENTITAS DIRI
Secara teoritis sebelumnya telah disebutkan bahwa sebagai salah satu sarana pengekspresian diri sebagai seorang transeksual/transgender kelompok waria menggunakan fashion sebagai alat komunikasi mereka kepada dunia luar. Penelitian ini ingin melihat seperti apa pemanfaatan fashion ini dalam kehidupan sehari-hari para waria sebagai salah satu upaya mereka untuk mengkomunikasikan kepribadian. Tidak sekedar pakaian yang menjadi bahan penelitian, tapi juga termasuk di dalamnya pemakaian make-up dan penggunaan aksesoris. Ditinjau pula latar belakang kehidupan para waria ini secara global atau secara garis besarnya, untuk melihat faktor apa yang kemudian menjadi pendorong para waria ini untuk memakai pakaian yang berseberangan dengan gendernya. Hidup
dengan
melakukan
penyeberangan
gender
tentunya
akan
mendatangkan banyak rasa tidak nyaman, terutama dalam menghadapi pendapat dari lingkungan sekitar. Penelitian ini ingin melihat bagaimana mereka berusaha untuk tetap tampil nyaman dengan pakaian yang tidak ditujukan bagi gender aslinya ini. Dalam masyarakat dikenal adanya kontruksi gender yang mengacu pada maskulinitas dan feminitas. Konsep maskulinitas dan feminitas ini sangat bergantung dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut, sehingga sulit untuk mendefinisikan ragam pakaian seperti apa yang dipakai oleh masyarakat tertentu. commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari penelitian yang telah dilakukan, yaitu dengan melakukan depth interview dengan beberapa orang narasumber, ditemukan bahwa ada pola-pola tertentu yang terbentuk dari pemilihan fashion waria yang dilihat dalam dua pendekatan, yaitu identitas subyektif yaitu bagaimana waria memandang dirinya sendiri dan dengan identitas obyektif yaitu bagaimana pandangan orang lain terhadap diri waria.
A.
FASHION DAN IDENTITAS SUBYEKTIF
1.
Pakaian dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif Yang pertama dilihat oleh peneliti adalah bagaimana cara waria
mengekspresikan dirinya melalui pakaian. Dari pola berpakaiannya, peneliti dapat melihat informasi apa yang hendak disampaikan oleh waria melalui pakaian yang ia pilih, dimana ini adalah identitas subyektif dirinya yang ingin ia refleksikan kepada masyarakat luar. Dari penelitian ditemukan bahwa pola-pola berpakaian yang merefleksikan identitas subyektif waria adalah sebagai berikut : a) Mengadopsi penampilan perempuan sepenuhnya. Sebagai transgender/transeksual, tujuan utama waria tentu saja sudah dapat dipastikan untuk menyeberangi gendernya sendiri, sehingga kemudian waria mengekspresikan pemilihan orientasi seksualnya ini melalui cara berpakaiannya, di mana waria yang pada awalnya berpenampilan laki-laki kemudian dirubah menjadi seperti perempuan. Ini adalah statement dasar sekaligus awal dari upaya waria untuk lebih menyerupai perempuan. “Kalau saya sekarang sudah menentukan pilihan hidup seperti ini maka saya memutuskan untuk berpenampilan seperti perempuan, karena saya commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sudah merasa saya perempuan, nggak mungkin lagi jadi cowok.” (Susi Fitriah, wawancara pada tanggal 17 Agustus 2008).
Mula-mula dari pemilihan nama, Susi Fitriah dan hampir semua waria lain lebih menyenangi nama perempuan, ketimbang nama asli mereka. Perilaku mereka yang cenderung genit semakin ditunjang oleh pemilihan pakaian yang keperempuan-perempuanan. Uniknya, tidak hanya saat berada di luar rumah, para waria juga memakai pakaian wanita di rumah maupun lingkungan sekitar. Saputan bedak, lipstik, dan perona pipi menegaskan watak waria yang kemayu. “...selayaknya seperti perempuan, biasa, berpakaian ya kalo di rumah pake t-shirt, pake pants yah, celana pendek, ya gitulah...” (Imel, wawancara pada 27 Juli 2008)
Unit-unit pakaian itu antara lain atasan maupun bawahan atau terusan untuk wanita, sepatu wanita, hingga pakaian dalam wanita. Terlepas dari apakah para waria itu termasuk mereka yang telah melakukan operasi kelamin seperti implan payudara atau ganti alat kelamin, beberapa mengaku merasa lebih nyaman bila memakai pakaian dalam wanita seperti bra maupun panties. “Pakai beha dong, kita kan cewek. Walau tidak punya harus tetap pakai. Kalau enggak, rasanya gimana gitu.” (Susi Fitriah, wawancara 17 Agustus 2008) “Semua atribut perempuan, dari bangun tidur hingga tidur lagi malamnya” (Sarita, wawancara 18 Agustus 2008)
Salah satu ciri khas lainnya adalah, waria senang memanjangkan rambut mereka. Baik itu rambut asli, atau menggunakan wig jika rambut aslinya sangat pendek sementara pekerjaannya menuntut kesempurnaan penampilan. Aksesoris commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti jepit rambut, tusuk konde, maupun ikat rambut yang tersemat apik di rambut mereka menambah kesan kewanitaan. Selain itu, tanpa menyebutkan alasan yang spesifik, beberapa waria mengaku lebih nyaman datang ke pesta atau acara-acara khusus dengan menggunakan gaun ketimbang kebaya. Bahkan sebagian besar dari mereka hanya menggunakan kebaya ke acara-acara khusus yang mereka memang diminta pihak panitia untuk memakai kebaya, sehingga frekuensi mereka memakai kebaya menurut mereka masih bisa dihitung dengan jari. “Aku lebih suka gaun. Kalau pakai kebaya pernah sekali waktu lomba aja.” (Olivia Sonya Ariska, wawancara pada tanggal 15 Agustus 2008) “mmm, saya sukanya pakai gaun yang pendek-pendek gitulah mbak. Trus atasannya dikasih rompi, gitu. Kalau kebaya mungkin nggak terlalu yah.” (Fani, wawancara pada 27 Juli 2008)
Meski demikian ada juga sebagian waria yang justru sangat menggemari kebaya dan hampir selalu menggunakan kebaya dalam berbagai kesempatan. Contohnya Ceni, seorang waria yang juga ketua dari komunitas waria Ebenezer yang sehari-hari bekerja sebagai pengamen. Ceni jarang sekali tampil tanpa menggunakan kebaya sehingga dapat dikatakan kebaya adalah signature outfit Ceni. b) Waria yang berpakaian simple kasual karena alasan kenyamanan. Sebagian besar narasumber yang berhasil diwawancarai oleh peneliti mengatakan bahwa gaya pakaian yang cenderung simpel dan kasual adalah gaya pakaian yang mereka pilih untuk tampilan sehari-hari, karena menurut mereka gaya seperti ini lebih memberikan rasa nyaman dalam beraktivitas. Mereka tidak commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terlalu memusingkan pakaian mereka apakah feminin atau masih ada maskulinitasnya selama pakaian tersebut nyaman mereka gunakan. Rasa nyaman memang sangat diperlukan oleh komunitas ini dalam menentukan identitas barunya sebagai waria. Hal ini coba mereka dapatkan dari pakaian yang mereka kenakan, walaupun pemilihan pakaian mereka bisa dikatakan melawan kontruksi gender yang telah diberikan masyarakat tentang bagaimana jenis kelamin tertentu berperilaku dan bersikap dalam masyarakat, termasuk di dalamnya dalam hal berpenampilan. Dari rasa nyaman inilah nantinya mereka akan mendapatkan rasa percaya diri. “...Ini kalau ngomong-ngomong masalah fashion, ehm, aku gini aja sih, apa yang aku merasa nyaman, itu yang aku lakukan. Karena walau apapun, baju, maupun barang, semahal apapun, untuk kita memakainya nggak nyaman, otomatis kita nggak confidence, gitu. Nah, akhirnya bagaimana aku menyesuaikan baju, menyesuaikan pakaian, mau itu kasual ataupun gaun malam, yang mana aku nyaman, terlihat bahwa, ehm, kenyamanan itulah ukuran. Ukuran aku untuk tampil confidence di ruang publik...” (Yuni Shara, wawancara pada tanggal 18 Agustus 2008) “Kalau aku sehari-hari cara berpakaianya yah seperti ini, santai gitu, kasual, yang penting nyaman, mau kena keringat, kena debu, kena ini, yang penting nyaman, ga perlu harus khawatir kalau, ehmm, yang penting aku nyaman. Yang penting aku nyaman, pake kaos gitu. Tapi nanti kalo ada acara, yo baru,...” (Olivia Sonya Ariska, wawancara pada 15 Agustus 2008)
c)
Waria yang selalu tampil heboh Kelompok ketiga adalah waria yang tidak sekedar ingin menyamai
perempuan tapi justru ingin melebihi perempuan itu sendiri. Waria-waria pada kelompok ini justru lebih suka dianggap waria ketimbang perempuan. Meski
commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggunakan pakaian yang kasual sekalipun tetap saja mereka berusaha menambahkan aksen seperti misalnya payet atau rumbai-rumbai. “...Dan kalau untuk aku sendiri berikan sentuhan unique yang kalau bisa orang belum pernah lihat itu. Saya memberikan sentuhan yang baru pada sesuatu yang membikin orang itu jadi lebih interest...” (Sarita, wawancara pada tanggal 18 Agustus 2008).
“Saya sukanya pakai celana pendek. Kalau ada bulu-bulu nya, rumbairumbai atau payet-payet saya malah lebih suka lagi....” (Fani, wawancara pada 27 Juli 2008) “Saya ini waria, bukan perempuan. Saya suka tampil keperempuanperempuanan tapi saya nggak mau disamain sama perempuan. Saya waria.” (Wulan, wawancara pada tanggal 17 Agustus 2008)
2. Make-up dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif Make-up bagi waria adalah salah satu elemen terpenting dalam menyempurnakan penampilan mereka. Setelah memutuskan memakai pakaian perempuan, mereka juga akan mempelajari bagaimana cara berdandan ala perempuan dengan memanfaatkan berbagai peralatan make-up yang ada. Seorang waria bisa dikatakan hampir tidak dapat tampil tanpa make-up. Tanpa make-up mereka akan masih merasa seperti laki-laki. Tidak jarang kemudian para waria ini justru menjadi ahli dalam berdandan dan kemudian berprofesi sebagai make-up artist.
Penggambaran identitas diri waria dapat dilihat dari cara waria
mengaplikasikan make-up dalam kehidupannya sehari-hari yaitu sebagai berikut : a. Tampilan natural Meski kadang masyarakat awam sering mengidentikkan waria dengan dandanan tebal yang cenderung norak, tapi pada kenyataannya waria sendiri commit to user
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengakui bahwa mereka lebih menyukai tampilan yang natural dan soft. Dandanan yang segar dan menggunakan warna-warna netral seperti coklat, merah bata dan warna-warna tanah. “Aku lebih suka kalau untuk sehari-hari warna-warna yang soft aja. Kalau untuk warna itu, warna-warna natural, kayak coklat gitu, iya coklat. Kebetulan kulitku kan agak gelap, jadi kalau warna-warna coklat, agak gelap itu rasanya alami, natural.” (Susi Fitriah, wawancara pada 17 Agustus 2008)
“Untuk ini, kerja juga yah. Saya, eh, waria, eh, ya ini menggunakan yang natural aja. Alami gitu yah.” (Imel, wawancara pada 19 Juli 2008) b. Minimalis Meski sebagian besar orang menganggap waria lekat dengan penampilan tebal dan menor, namun pada kenyataannya waria justru menyukai penampilan minimalis untuk kesehariannya. Mereka mengaku sangat menghindari penampilan full make-up yang terlihat berat untuk sehari-hari. “Jadi aku itu pada dasarnya orangnya enerjik, jadi aku itu suka make-up yang natural, yang soft, yang fresh. Jadi orang dengan dandanan yang nggak berat, itu tuh kita ngelihatnya lebih enak...” (Sarita, wawancara pada 18 Agustus 2008) ”Yang minimalis. Yang simpel-simpel aja. Saya sukanya pakai warnawarna kayak merah bata, hitam atau putih gitulah.” (Fani, wawancara pada 19 Juli 2008) c.
Mengutamakan perawatan Dengan memutuskan menjadi waria, para laki-laki transeksual ini pun
mempelajari berbagai hal tentang perempuan termasuk diantaranya hobi-hobi yang disukai oleh kaum hawa. Sebagaimana yang telah menjadi wacana umum, banyak kaum perempuan yang menjadi pecandu kecantikan. Perempuan pun tidak commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
segan menghabiskan uang untuk berbelanja produk kecantikan ataupun memanjakan diri di salon untuk melakukan perawatan. Ternyata hal ini juga terjadi dalam kelompok waria. Waria juga menjadi pecandu kecantikan. Mereka selain suka bereksperimen dengan alat kecantikan, bahkan kadang dengan cara-cara ekstrim seperti melakukan suntik silikon hingga operasi plastik, waria juga tidak lepas dari perawatan kulit. Mereka sadar dengan prinsip utama dalam berdandan adalah memiliki kulit yang bagus terawat, dengan demikian make-up pun akan terlihat bagus di wajah. Tentu saja jenis perawatan yang mereka lakukan sangat tergantung dengan kondisi perekonomian mereka masing-masing. Jenis perawatan paling sederhana yang hampir selalu dilakukan oleh waria adalah mengenakan masker wajah. Karena selain berfungsi menghaluskan kulit wajah, masker juga dapat digunakan untuk mendinginkan wajah, terutama bagi para waria yang sehari-harinya mengamen. Uniknya jika pada umumnya masker digunakan seminggu sekali, pada waria mereka bahkan bisa setiap hari melakukan masker. Hal ini menunjukkan bahwa meski dalam kondisi sangat terbatas waria tetap memperhatikan perawatan kulit, terutama kulit wajahnya. “Aku lebih, mmm, mengoptimalkan perawatan. Anti-ageing, anti-oksidan, anti-wrinkle, anti-spot, kayak gitu. Itu tujuannya kalau suatu saat kita pakai make-up kulitnya bagus, kayak kulit mbaknya ini, itu bagus, jadi kalo pakai make-up itu bagus, enak. Jadi, untuk, yang penting semua krim itu ada.” (Olivia Sonya Ariska, wawancara pada tanggal 15 Agustus 2008)
commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Aksesoris dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif Tidak jauh beda dengan perempuan, waria juga adalah pribadi yang sangat menggilai aksesoris, bahkan cenderung sangat tergantung dengan aksesoris untuk melengkapi penampilan mereka. Ada beberapa aksesoris yang bahkan dianggap sebagai aksesoris khas waria, misalnya syal bulu dan wig. Tapi seiring perkembangan jaman, sudah banyak waria yang meninggalkan aksesoris-aksesoris yang terlalu mencolok seperti itu, misalnya syal bulu yang menurut mereka terlihat terlalu ‘karnaval’. Begitu juga halnya dengan wig, banyak waria kini yang lebih suka memanjangkan rambut, daripada memakai wig. Alasan mereka sederhana, memakai rambut asli lebih hemat ketimbang membeli wig yang jika ingin mendapatkan kualitas bagus tentunya harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh mereka. Namun, tidak berarti 2 jenis aksesoris itu ditinggalkan sepenuhnya oleh waria. Hanya saja mungkin momen mereka menggunakannya saja yang menjadi semakin jarang. Lalu seperti apakah aksesoris waria yang lazim dipakai saat ini? Berikut penjelasannya. a)
Waria tidak pernah tampil tanpa aksesoris Tidak ada yang istimewa dalam penggunaan aksesoris sehari-hari yang
dikenakan waria, sama saja seperti yang biasa dipakai oleh perempuan, seperti kalung, gelang, cincin, anting, dan topi. Bedanya hanyalah jika perempuan tidak harus selalu memakai aksesoris, waria hampir selalu tidak dapat tampil tanpa aksesoris. Aksesoris dan make-up, sesimpel apapun tidak dapat mereka lepaskan dari penampilan keseharian mereka. commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Saya nggak ada. Kalau saya nggak, tapi kalau aksesoris saya paling sering, paling topi. Kalau wig, karena posisi saya sekarang tidak pernah pakai wig, karena yah terbentur dengan dana untuk beli wig saya belum ada, yah terpaksa saya apa adanya.” (Wulan, wawancara pada 17 Agustus 2008) b)
Menyukai Perhiasan yang Mencolok Masih sama seperti aksesoris yang mereka pakai sehari-hari, aksesoris
yang mereka gunakan tidak memiliki banyak perbedaan. Pembedanya hanyalah mereka cenderung menggunakan perhiasan yang, lebih gemerlap, berukuran lebih besar dan lebih mencolok, dan bisa menggunakan lebih dari satu perhiasan (lengkap dari mulai anting, kalung, gelang dan sebagainya). Aksesoris tambahan yang biasa digunakan lainnya adalah tindik di hidung. “Yah mungkin aku akan lebih, akan lebih, kan tidak harus berwujud emas atau berlian yah, tapi aku mengusahakan gimana caranya walau imitasi tapi terlihat gemerlap. Karena yang namanya pesta kan, orang yang bikin sesuatu itu happy, orang membikin seseorang senang melihat dan senang dilihat kan. Nah, seperti itu.” (Yuni Shara, wawancara pada 18 Agustus 2008) “Biasanya yah ditambahin anting, sama tindik di hidung. Tapi kalau kalung ini yah tetap saya pakai.” (Fani, wawancara pada 27 Juli 2008)
commit to user
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B.
FASHION DAN IDENTITAS OBYEKTIF
1.
Pakaian dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif Identitas obyektif pada waria yang merupakan refleksi dari pandangan
orang-orang disekitar waria (orang lain di luar dirinya) umumnya merupakan hasil dari cara waria beradaptasi dengan penampilan barunya yang bertransisi dari lakilaki menjadi perempuan. Beberapa pola berpakaian yang muncul sebagai identitas obyektif waria antara lain : a) Waria yang tidak sepenuhnya berpenampilan perempuan Ada waria yang masih setengah-setengah dalam mengekspresikan dirinya. Jadi waria kelompok ini tidak feminin, tapi juga sudah tidak maskulin. Dalam sehari-hari mereka kadang masih memakai kemeja laki-laki, atau dengan bahasa mereka, mereka menyebut dirinya waria ‘tomboy’. Sebagian besar waria ini adalah laki-laki yang masih baru menentukan identitas dirinya sebagai waria, sehingga mereka cenderung masih sedikit segan untuk secara total berpakaian perempuan. Namun, ada juga waria yang telah lama menentukan identitasnya sebagai waria tapi cenderung lebih nyaman berpenampilan tidak feminin, contohnya Kusuma Ayu, seorang kapster salon yang sudah 6 tahun lebih menjadi waria. “...Aku lebih suka gaya yang sporty, aku tipe-tipe yang nggak feminin. Tipe aku nggak feminin, sporty, nggak suka pakai rok, sukanya pakai celana, celana-celana pendek gitu.” (Kusuma Ayu, wawancara pada tanggal 4 September 2008) “Aku masih suka pakai kemeja mbak. Ya kayak gini. Masih separohseparoh. Nggak kayak perempuan asli (tertawa kecil)...” (Fani, wawancara pada tanggal 4 September 2008)
commit to user
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Waria yang tampil glamor dan extravaganza untuk menghibur orang lain Seperti yang sudah diketahui umum, rata-rata waria sering kali tampil di pentas sebagai penghibur dalam berbagai kegiatan, baik itu untuk menyanyi, menari atau mementaskan drama. Kekenesan dan candaan khas waria yang cenderung ceplas-ceplos menjadi magnet sendiri bagi penonton sehingga waria seringkali dilibatkan dalam berbagai pertunjukan. Dalam kesempatan-kesempatan seperti ini biasanya tampilan waria akan berbeda lagi dimana waria akan mencoba untuk tampil glamor dan extravaganza. Glamor dan extravaganza disini diartikan bahwa dalam penampilan mereka selalu memberikan sentuhan yang ‘heboh’ seperti misalnya menambahkan syal bulubulu dan sebagainya. Waria kadang sangat menyadari potensi mereka untuk menjadi pusat perhatian publik, sehingga jika diberikan kesempatan khusus untuk tampil mereka akan mencoba untuk tampil seglamor mungkin, dengan busanabusana yang extravaganza. Bahkan kadang ada yang melihat busana yang mereka kenakan terlalu berlebihan, namun memang itulah yang justru mereka cari. “...Yah karena memang seorang fashionista kayak aku ini, itu memang ada kepuasan tersendiri kalau aku mampu menghadirkan, bahkan kalau perlu keanekaragaman seluruh Indonesia ini. Misalnya disitu ada tema Bali kan, saya akan menyiapkan sebuah busana tema Bali yang extravaganza, jadi lebih glamor. Dan itu saya ada kepuasan tersendiri (....) jadi seorang entertainer harus memberikan sesuatu yang lebih, harus plong, karena aku di entertain yah..” (Sarita, wawancara pada tanggal 18 Agustus 2008) “Kalau pesta yang pastinya aku, ehm, aku tak lihat dulu yah itu apa pestanya. Kan ada pesta yang, ehm, gala nggak ya, kan ada istilahnya yang gala dinner gitu kan. Otomatis kan aku juga menyesuaikan baju yah.” (YS, wawancara pada 18 Agustus 2008)
commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Make-up dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif Waria akrab dengan berbagai stereotipe, terutama dalam hal penampilan. Yang paling lekat dengan waria adalah pandangan orang-orang bahwa waria adalah sekelompok laki-laki yang berdandan tebal dan cenderung norak. Beberapa identitas obyektif yang didekatkan oleh masyarakat dan mempengaruhi pola dandan waria antara lain : a).
Make up serba over dan tebal Sebagian besar waria mengakui bahwa mereka sangat menyukai jika
mereka bisa menjadi pusat perhatian di suatu tempat atau suatu acara. “Waria itu suka diperhatikan, jadi sorot pusat,” demikian menurut Kusuma Ayu. Perilaku cenderung ekshibis ini kemudian membentuk pola dandan waria. Make-up tebal menjadi harga mati bagi waria, terutama ketika menghadiri pesta
ataupun
kesempatan
pentas.
Menggunakan
bedak
berlapis-lapis,
menggunakan warna-warna terang bahkan pemakaian bulu mata palsu tidak raguragu mereka aplikasikan pada dandanan mereka. “Beda 180̊. Pake bedaknya kata Krisdayanti itu 7 lapis. Jadi, berarti kan, seorang Krisdayanti aja harus 7 lapis untuk dia tampil, untuk make-up spesial, untuk base-nya, jadi berarti apa lagi saya.. Aku sendiri kalau untuk make-up tentu akan lebih over lagi, untuk mata akan lebih over lagi, untuk bibir akan lebih over lagi, alisnya, pemerah bibir akan lebih lagi.” (Sarita, wawancara pada 18 Agustus 2008) “Oalah, lengkap banget. Jangan ditanya. Foundation 2 lapis, bedak 4 lapis, itupun bedaknya yang macam-macam. Untuk yang waterproof-nya, tabur, yang padat yah, belum lagi untuk finishing, bronzing, yang kayak gitu-itu. Make-up base nya aja dua kali gitu, ribet.” (Olivia Sonya Ariska, wawancara pada tanggal 15 Agustus 2008)
commit to user
79
perpustakaan.uns.ac.id
b).
digilib.uns.ac.id
Fokus pada tatanan rambut dan memakai bulu mata palsu
Salah satu item penting lainnya dalam pola dandanan waria adalah penggunaan bulu mata palsu. Meski terlihat simpel tapi waria-waria ini merasa penggunaan bulu mata palsu akan memberikan perbedaan berarti bagi dandanan mereka. Bulu mata palsu yang dipilih pun bisa bermacam ragam, sesuai dengan tema pesta yang mereka hadiri atau konsep pentas yang mereka lakoni. Pola lainnya terlihat dalam tatanan rambut. Untuk kesempatan khusus waria mengaku memberi porsi perhatian lebih dalam menata rambut. Disanggul, disasak ataupun diberi aksesoris tertentu menjadi pilihan mereka. “Kalau pesta, mungkin yang membuat lebih saja, yang membedakan antara pesta dengan nggak itu mungkin di rambut. Tatanan rambut. Dan mungkin sedikit pakai bulu mata, tapi bulu mata yang paling tipis. Jadi nggak kelihatan kalau pakai bulu mata palsu. Aku tetap, kalau untuk make-up itu warna-warna coklat, warna-warna natural gitu. Jadi nggak pakai warna-warna yang terang kayak penari anggo. Kayak jatilan gitu.” (Kusuma Ayu, wawancara pada 4 September 2008) “Aku lebih fokus sama dandanan rambut. Menurut aku itu yang paling penting untuk membuat penampilan kita jadi beda.” (Hanna Calista, wawancara pada 4 September 2008) c)
Melakukan operasi atau implan Melakukan operasi plastik atau suntik implan untuk memperbaiki
penampilan adalah suatu hal yang wajar bagi waria. Tidak peduli apakah operasi atau suntik implan yang dijalankan aman atau tidak bagi waria memiliki hidung yang mancur, dagu yang indah, bibir yang merekah adalah sesuatu yang selalu diimpikan. Hal ini agar mereka bisa memiliki bentuk wajah yang sempurna seperti perempuan dan menghilangkan karakteristik laki-laki pada wajahnya. “Saya sih ngga mampu yah kalau mau operasi plastik, tapi paling suntiksuntik dikit,”(Wulan, pada wawancara 17 Agustus 2008) commit to user
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Jangankan operasi atau suntik sana sini, saya sih sebenarnya pengen operasi alat kelamin sekalian, biar komplit jadi perempuannya. Cuma biayanya aja yang belum kumpul.” (Olivia Sonya Ariska, wawancara pada 15 Agustus 2008)
3. Aksesoris dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif Apa yang umumnya melintas di kepala orang-orang ketika diminta menggambarkan sosok waria dan aksesoris mereka? Umumnya orang-orang akan langsung ingat setumpuk bulu-bulu warna-warni yang melingkar sebagai syal di leher seorang laki-laki dengan wig panjang menjuntai dan perhiasan serba ‘blingbling’. Dan persis seperti bayangan orang-orang awam tersebut, seperti itu pulalah waria menggambarkan dirinya dalam pemakaian aksesoris. “Waria itu haus perhatian, selalu ingin dilihat, selalu ingin dikagumi, makanya waria selalu suka sesuatu yang berlebihan, yang berpayet-payer, berbulu-bulu, berumbai-rumbai. Saya pribadi sih juga suka.” (Fani, pada wawancara 15 Juni 2008) “Sebenarnya sih aksesoris kayak bulu-bulu dan kalung-kalung maha besar itu sudah agak ketinggalan jaman sih. Tapi nggak tahu yah kalau waria itu lagi tampil, kalau ngga ada syal bulu-bulunya, sarung tangan yang penuh manik-manik, kipas heboh, kayanya masih kurang apaaaa gitu. Jadi yah walau kata orang udah basi juga tetap saya pakai,” (YS, wawancara pada 18 Agustus 2008)
commit to user
81
perpustakaan.uns.ac.id
C.
digilib.uns.ac.id
IDENTITAS SOSIAL PADA POLA FASHION WARIA YANG DIKAITKAN DENGAN PROFESI
Sebagaimana perempuan, waria juga selalu berusaha untuk mengikuti tren mode berpakaian, walaupun semua ini tentunya sangat ditentukan juga oleh kemampuan mereka dari segi ekonomi. Sebagaimana yang telah peneliti sebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sebagian besar waria di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan karena sempitnya lapangan kerja yang dapat mereka masuki. Dalam penelitian ini peneliti berhasil menemui waria-waria dengan 7 profesi berbeda yang memang sangat identik dengan dunia waria. Profesi-profesi ini diantaranya adalah sebagai berikut : 1.
Pengamen
2.
Pekerja Seks Komersial (PSK)
3.
Penjahit
4.
Entertainer
5.
Kapster salon
6.
Aktivis sosial
7.
Fashion designer
Selanjutnya ditemukan fakta bahwa perbedaan dari segi profesi ini juga nantinya akan memberikan diferensiasi dari segi pemilihan busana, misalnya saja kelompok pengamen, PSK, dan entertainer adalah kelompok waria yang cenderung berpenampilan berlebihan dalam kesehariannya. Sementara 4 kelompok lainnya, yaitu, penjahit, fashion designer, kapster salon dan aktivis sosial lebih memilih busana yang kasual dalam kesehariannya. commit to user
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masalah pemilihan pakaian para waria dalam kesehariannya ini tidak dapat dilepaskan dari profesi yang mereka jalani. Pakaian dan profesi, dua hal ini memiliki benang merah yang sangat erat bagi para waria, contohnya sebagai berikut : 1.
Pengamen Ada yang memilih untuk tampil biasa agar merasa nyaman, karena mereka
harus jalan dengan jarak yang lumayan jauh setiap harinya. Namun ada juga yang memilih untuk berpenampilan berlebihan dengan harapan mendapatkan uang lebih dari orang-orang. Pada dasarnya waria yang berprofesi sebagai pengamen sebagian besar adalah waria yang cenderung suka berpenampilan ‘heboh’. Hal ini lebih dikarenakan karena motif ekonomi yaitu untuk mendapatkan uang tambahan dari ‘saweran’ orang-orang yang tertarik melihat penampilannya. “...Kita lihat dari profesinya. Temen-temen Ebenezer90 mungkin mungkin dipandang sebagai temen-temen waria disini berlebihan, dengan bungabunga disini, tapi ya kembali itu lagi, karena tuntutan profesi masingmasing, biar menarik perhatian, gimana cara berpakaian mereka, cara berpenampilan mereka itu bisa menarik perhatian orang kan, dengan harapan bisa mendapatkan tambahan uang kayak gitu...” (Olivia Sonya Ariska, wawancara pada 15 Agustus 2008) ”…Kalau nggak ‘tampil’ banget, yah gimana mau dilihat orang mbak” (Fani, wawancara pada 18 Juli 2008) 2.
Pekerja Seks Komersial (PSK) Siang hari mereka cenderung tampil biasa saja, cenderung kasual. Malam
hari barulah mereka akan tampil feminin. Meski demikian tidak semua waria PSK berpenampilan terbuka dan sexy ketika sedang bekerja. Ada juga waria yang
90
Ebenezer adalah komunitas waria pengamen, PSK anak jalanan di sekitar Sagan dan stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
commit to user
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memilih pakaian yang tidak terlalu terbuka. Menurut mereka pemilihan pakaian ini juga tergantung wilayah ‘mangkal’ mereka. Jika di tempat umum, seperti daerah sekitar Bank Indonesia Yogyakarta, waria disini cenderung berpenampilan tidak terlalu buka-bukaan. Berbeda dengan waria yang memang ‘mangkal’ di kompleks prostitusi seperti Jl. Pasar Kembang Yogyakarta misalnya. Waria disini lebih berani memakai pakaian sexy dan berdandan menor. “Aku juga mangkal, tapi mangkalnya lebih ke have fun aja sih yah, jadi nggak semata-mata karena nyari duit aja. Jadi yah pakaian aku sih yah cenderung biasa-biasa aja. Pakai tanktop gitu, nggak yang terlalu gimana-gimana” (Hanna Calista, wawancara pada 4 September 2008) Di daerah luar Yogyakarta pun, waria-waria dengan profesi PSK memang adalah kelompok yang paling berani mengekspresikan dirinya melalui pakaian. Misalnya di Jakarta ada sebuah jalan yang dijadikan tempat mangkal para waria, yang populer dengan sebutan Taman Lawang. Dari pengamatan peneliti, waria di daerah Taman Lawang Jakarta ini justru jauh lebih terbuka dan sexy dalam berpakaian, bahkan kebanyakan mereka hanya mengenakan underwear saja.
3.
Penjahit Selalu berusaha tampil chic agar pelanggan yakin dengan kualitas
jahitannya. Biasanya mereka lebih memilih tampilan kasual, karena tampilan ini lebih universal dan dapat diterima lebih luas oleh banyak orang. Dengan penampilan seperti ini mereka berharap orang akan menaruh kepercayaan lebih untuk menjadi pelanggan mereka. Sebagian besar waria yang berprofesi penjahita tidak pernah lagi memakai pakaian laki-laki dan berusaha tampil sefeminin mungkin. commit to user
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Ya pasti adalah. Soalnya pekerjaanku itu mencerminkan dari pribadinya aku sendiri. Gitu. Soalnya kita kan tetap setiap harinya kita ketemu dengan orang. Jadi kalau misalnya kita berpenampilan misalnya seadanya, nggak enak dipandang, pastinya orang eeee nggak percaya, orang yang punya aja seperti itu masak hasilnya nanti seperti apa. Nah, gitu. Jadi setiap hari kita harus meng-..., berpenampilan rapi, berpenampilan bagus, seperti itu.” (Susi Fitriah, wawancara pada tanggal 17 Agustus 2008)
4.
Entertainer Kelompok ini adalah golongan waria yang berpenampilan paling ‘heboh’.
Bukan cuma saat tampil, dalam keseharian pun mereka senang tampil layaknya artis, dengan berbagai aksesoris dan pakaian yang glamor. Misalnya Dorce yang juga seorang transeksual dan seorang entertainer. Penampilan Dorce baik on-air di TV maupun off-air event dia selalu menyuguhkan penampilan yang extravaganza dan terkadang cenderung ‘heboh’. Salah satu narasumber yang peneliti berhasil wawancarai bisa dibilang selalu berpenampilan ala 3 diva (Titi Dj, Krisdayanti, Ruth Sahanaya), meski hanya jalan-jalan ke mal saja, dengan baju-baju yang sebenarnya lebih pas dipakai saat tampil di panggung karena full aksesoris dan menggunakan bahan-bahan shiny atau sutra. Ia mengakui memang adalah fans berat 3 diva, terutama Krisdayanti (KD) dan selalu berusaha tampil seperti KD baik di panggung, maupun sehari-hari. “Saya memberikan sentuhan yang baru pada sesuatu yang membikin orang itu jadi lebih interest karena saya di dunia entertain itu tentunya orang ingin melihat sesuatu yang lain dari aku, entah dari tata rambut yang baru, atau gaya busana yang unique, entah karena pemakaian motif kain, bentuk.” (Sarita, wawancara pada 18 Agustus 2008)
commit to user
85
perpustakaan.uns.ac.id
5.
digilib.uns.ac.id
Kapster salon Kapster salon biasanya cenderung lebih menyukai pakaian kasual namun
sedikit sexy. Tidak jarang memang waria justru bekerja di salon ‘plus-plus’. Tapi ada juga yang bekerja di salon dalam artian yang sebenarnya. Salon dan berbagai tawaran jasa di dalamnya juga menentukan pemilihan fashion para waria, misalnya yang bekerja di salon ‘plus-plus’ tentunya akan berpakaian lebih terbuka. Sementara waria yang bekerja di salon biasa tanpa embel-embel ‘plusplus’ cenderung tidak terlalu sexy. Tapi pada umumnya waria yang bekerja di salon tergolong waria yang gemar dandan dan sangat memperhatikan penampilan. Meski demikian masih ada sebagian waria yang bekerja di salon tidak sepenuhnya berpakaian perempuan (masih setengah feminin). “Kaitannya antara baju dengan profesi aku mungkin lebih karena faktor nyamannya aja yah... kalau untuk pakaian sehari-hari aku cenderung biasa. Sukanya pakai celana, celana-celana pendek gitu... ehm, yang mungkin beda mungkin aku lebih tertutup. Dibanding dengan temanteman waria yang lain aku lebih tertutup, jarang aku mau buka-bukaan. Menurut aku seksi itu tidak harus terbuka...” (Kusuma Ayu, wawancara pada 4 September 2008) 6.
Aktivis sosial Kelompok waria ini bisa menampilkan berbagai jenis penampilan, dari
waria berjilbab, hingga waria-waria pada umumnya yang gemar berpakaian terbuka. Tapi biasanya waria dalam kelompok ini gemar berpakaian rapi, karena aktivitas mereka yang menuntut mereka untuk bertemu dengan berbagai commit to user
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kelompok masyarakat. Karena sudah terjun dalam aktivitas sosial yang notabene memperjuangkan hak-hak kaum waria sendiri, maka waria dalam profesi ini adalah waria yang sudah sepenuhnya berpenampilan perempuan. “Yang pasti, yang pasti disitu, ada satu yah di mana ketika aku mengenakan baju ya, entah itu kasual, entah itu gaun, selama aku tidak bisa bergerak bebas, wah aku tidak nyaman pakai baju ini, nanti aku malah kinerjaku jadi terhambat. Ya kan. Karena jujur aja, aku bekerja, aku bekerja tidak dengan, aku tidak menggunakan alat kelaminku, aku bekerja tidak menggunakan itu, tapi aku bekerja menggunakan otakku, walaupun aku pakai rok. Seperti itu. Ya kan. Jadi intinya tidak masalah ketika aku pakai rok, ketika aku tetap nyaman melakukan pekerjaan tetap aku lakukan.”(Yuni Shara, wawancara pada 18 Agustus 2008)
7.
Fashion designer Salah satu designer waria yang terkenal adalah Chenny Han. Waria yang
adalah juga seorang designer biasanya berpenampilan layaknya designer lainnya, karena mereka pada dasarnya sudah memahami pakem-pakem dalam berbusana. Tampilan edgy biasanya menjadi tampilan favorit waria dalam kelompok ini. Tidak jauh beda dengan penjahit, waria dalam kelompok ini juga cenderung senang tampil sefeminin mungkin dan membuang unsur-unsur maskulinitas dalam dirinya. “...Tugas seorang designer itu untuk memberi warna yang lama, sebuah baju, misalnya dengan konsep lama, kita berikan suatu sentuhan, misalnya kebaya, ya kebaya itu dulu yang cuma segini aja. Tapi karena perkembangan zaman, tangan kebaya nya juga jadi lebih bervariasi, bentuk leher, victorian, tangan digembungkan, kebaya bisa diperpanjang lagi, jadi orang bisa melihat kebaya tidak seperti dulu lagi. Dengan pemakaian unsur-unsur yang, mungkin dulu brosnya kecil bisa di-zoom, diperbesar, mungkin dulu pakai selendangnya cuma kayak gini aja, kenapa sekarang nggak dijumbaikan, lebih dramatis. Jadi view nya memang jadi lebih cantik, lebih menarik, dan si pemakai pun akan jadi lebih bersemangat untuk memakainya. Ada spirit dalam diri.” (Sarita, wawancara pada 18 Agustus 2008) commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Sampe warna kuteks sama warna baju tak peratiin, biar nyambung. Apalagi dulu di tata busana itu yah, tetap ada, kerapian dan keserasian berbusana, estetika, yang kaya gitu itu.” (Olivia Sonya Ariska, wawancara pada 15 Agustus 2008)
commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV IDENTITAS DALAM FASHION WARIA
Dari pemaparan di bab sebelumnya ditemukan bahwa ada relevansi antara pemanfaatan pakaian, aksesoris, make-up yang merupakan unit-unit fashion dengan usaha pengkomunikasian kepribadian yang bermuara pada pembentukan identitas baru pada diri waria. Seiring dengan keputusan para waria untuk mengenakan pakaian yang bertentangan dengan identitas gendernya, biasanya waria ikut mengubah namanya menjadi nama perempuan dan menciptakan identitas baru dalam kehidupan sosialnya. Menarik sekali untuk selanjutnya diketahui latar belakang dan alasan yang mendorong mereka berpayah-payah dengan usaha memunculkan citra baru. Dan selanjutnya perlu diketahui bentuk-bentuk identitas dan kepribadian yang diproyeksikan oleh waria ke luar. Fashion, budaya, dan komunikasi adalah tiga konsep yang saling berkaitan. Komunikasi berbicara tentang penyampaian pesan. Sementara fashion, adalah suatu aktivitas yang dapat juga dimuati oleh penyampaian pesan tersebut. Untuk lebih jelas dalam upaya menangkap kaitan antara dua konsep ini, maka perlu kita masukkan ke dalam konsep yang lebih luas, yaitu culture, atau budaya. Seseorang yang berasal dari latar belakang budaya tertentu mengenakan fashion tertentu. Perbedaan tersebut dapat ditunjukkan lewat bentuk, model, varian, aksesoris, hingga warna. Warna yang berbeda, memiliki arti yang berbeda. Seseorang mengenakan jilbab cadar barangkali hal yang lumrah di negara dengan commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mayoritas penduduk muslim, namun akan menarik perhatian di negara-negara Eropa. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa fashion memiliki keragaman yang berbeda dan dapat direproduksi. Anthony Synnot dalam bukunya Tubuh Sosial, menyatakan bahwa tubuh manusia memancarkan simbol-simbol non verbal yang menunggu untuk dimaknai 91 . Misalnya bagaimana tubuh manusia diinterpretasikan oleh orangorang dalam konsensus tertentu atau suatu opini pribadi. Begitu pula fashion yang pada masa sekarang telah menjadi sebuah fenomena sosial yang telah banyak direproduksi di tengah-tengah masyarakat. Telah dikemukakan di muka, bahwa fashion senantiasa dimuati oleh simbol-simbol non verbal. Baik disadari maupun tidak, sebenarnya saat seseorang memilih mengenakan pakaian tertentu, aksesoris, atau dandanan tertentu, maka ia telah melakukan suatu fashion statement, atau pernyataan fashion. Bahkan ketika seseorang memilih untuk berada di posisi antifashion, yang mementingkan kesinambungan, tradisionalitas, dan fungsi, ketimbang gaya, sebenarnya itu juga merupakan suatu fashion-statement. Sebagai sebuah kelompok dalam masyarakat, kaum waria terlihat menonjol, di antaranya disebabkan oleh pernyataan fashion mereka yang khas. Di bab sebelumnya telah dikemukakan macam-macam fashion dan pernyataan fashion kaum waria. Untuk itu perlu lebih digali, latar belakang mereka memilih pernyataan fashion tertentu tersebut, dan identitas yang kemudian terbentuk darinya.
91
Synnot, Anthony. Tubuh Sosial : Simbolisme, Diri dan Masyarakat. 2005. Jakarta : Jalasutra. Hal 23
commit to user
90
perpustakaan.uns.ac.id
A.
digilib.uns.ac.id
WARIA DAN LATAR BELAKANG PEMILIHAN FASHION
1. Reproduksi Sosial Fashion seringkali ditangkap sebagai sebuah fenomena kultural, sementara sebagai sebuah fenomena komunikatif, berbagai macam tipe maupun
level
pemaknaan berusaha dibangkitkan dan dikomunikasikan. Karena itu, menarik untuk memaknai fashion lewat perspektif kelas dan gender. Fashion dapat dipertimbangkan sebagai sebuah kegiatan reproduksi, sebuah aktivitas yang mengkonstruksi dan mereproduksi identitas kelas maupun gender tertentu. 92 Reproduksi yang terdapat pada social world, sangat erat kaitannya dengan gender dan kelas. Karl Marx sebagaimana dikutip oleh Barnard mengatakan bahwa sebagai komoditas, benda-benda maupun image dalam fashion merupakan salah satu hal paling kasat mata dalam upaya memperlihatkan “a definite social relation between men”93. Setiap hari manusia menilai status sosial maupun peran dari orang-orang yang mereka temui berdasarkan apa yang mereka pakai. Marx menggunakan istilah hierogliph sosial dalam menggambarkan bagaimana fungsi fashion tersbut digunakan oleh masyarakat. Hierogliph sosial inilah yang lantas menjadi silent communicator, yang membuka posisi sosial pemakainya di masyarakat. Fashion, lantas, menjadi salah satu cara paling signifikan yang mana darinya hubungan sosial antar manusia dalam masyarakat dikonstruksikan, dialami, dan dipahami. Konsep reproduksi yang telah disebutkan di awal menjadi sangat erat kaitannya dengan fashion dan aplikasinya. Istilah reproduksi yang 92 93
Barnard, op.cit. hal 45 Barnard, op.cit. hal 28
commit to user
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
digunakan di sini merujuk pada cara-cara yang mana institusi sosial, kegiatan sosial, produk sosial, maupun posisi sosial relatif masyarakat, ide, maupun kepercayaan, secara berkelanjutan terus dipertahankan. Kelompok sosial semacam waria sangat erat kaitannya dengan gender, dan kelas sosial, yang lantas juga menjadi sangat berkaitan dengan kegiatan reproduksi sosial tersebut. Pemahaman terhadap reproduksi sosial ini dapat dijelaskan ke dalam dua bentuk yang bertolak belakang : (a) Protes terhadap reproduksi budaya dominan; dan (b) Reproduksi terhadap stereotipe subkultur waria yang telah berkembang. 1.a. Protes terhadap Reproduksi Budaya Dominan Institusi sosial dominan di masyarakat secara relatif terus bertahan dan tidak banyak mengalami perubahan, utamanya yang berkaitan dengan gender, terlebih di negara dengan nilai-nilai ketimuran seperti Indonesia. Sejak lahir, gender manusia tidak hanya ditentukan berdasar jenis kelamin bawaan, namun juga diperkuat oleh pernyataan-pernyataan nonverbal yang didukung oleh komunitas dan lingkungan sosialnya. Misalnya bagaimana bayi laki-laki diidentikkan dengan warna-warna “maskulin” seperti biru, sementara bayi perempuan diidentifikasikan dengan warna-warna “feminin” seperti merah jambu. Kaum waria yang mewakili banyak dari subculture atau kebudayaan nondominan, seringkali tergencet oleh keberadaan budaya yang lebih didukung. Waria erat kaitannya dengan kaum gay, dan perjuangan kaum gay dalam memperoleh hak-hak yang sama dengan mereka yang heteroseksual sudah berlangsung sejak lama, sebagaimana yang telah dikemukakan di bab commit to user
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebelumnya. Sementara kaum waria, baik transgender maupun transeksual, sebenarnya tengah berusaha untuk menunjukkan eksistensi mereka di masyarakat, keinginan dan hasrat mereka untuk juga dapat diakui sebagai perempuan, atau setidaknya gender ketiga, terlepas dari kultur dominan yang mengitari mereka. Hal ini diungkapkan Susi Fitriah dalam wawancara pada 17 Agustus 2008, “Kalau saya sekarang sudah menentukan pilihan hidup seperti ini, maka saya memutuskan berpakaian seperti perempuan…. Walaupun tentunya waria dan perempuan juga tidak bisa disamakan. Waria yah waria. Saya berpakaian perempuan, tapi kalau solat yah pakai sarung. Saya bukan perempuan tulen, bukan juga laki-laki tulen.” Senada, Fani dalam wawancaranya mengungkapkan bahwa keinginannya menampilkan suatu pencitraan fashion khas waria, selain sebagai tuntutan profesi juga merupakan bentuk pernyataan keyakinan yang ada di dalam dirinya, bahwa semua orang memiliki hak asasi yang sama. Fashion, merupakan salah satu cara yang menurutnya sangat efektif untuk menunjukkan bahwa dirinya, sebagai seorang waria yang tidak sepenuhnya mewakili salah satu gender dominan (lakilaki atau perempuan) akan terus menunjukkan eksistensi dan keberadaan mereka. “Bukan laki-laki, tapi juga bukan perempuan. Gimana dong. Makanya saya memilih jalan ini. Secara fisik saya laki-laki, tapi jiwa yang menghuni di dalam sini itu perempuan. Maka ini yang paling oke, menurut saya,” kata Fani dalam wawancara pada 4 September 2008. Bentuk pemberontakan terhadap budaya dominan ini lah yang menjadikan waria memiliki ciri khas pakaian tersendiri, yang orang awam mungkin menilai commit to user
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mereka norak, terlalu glamor, berlebihan, dan sebagainya, namun bagi waria sendiri ini merupakan signature yang menyatakan bahwa mereka bukan laki-laki bukan pula perempuan. Wilson dalam sebuah artikel yang dikutip oleh Barnard mengatakan bahwa, “changing fashion in dress and clothing, (...) are sometimes the cause of moral outrage in a way that changing fashion in automotive or furniture design, for example, are not.94” Hal ini disebabkan karena fashion yang berkaitan dengan clothing sangat erat kaitannya dengan gender, dan seksualitas manusia.“Because dress is so intimately related to our bodies, because it is thus profoundly connected to our sexual and gender identities, fashion is uniquely able to unsettle and unnerve us.” 95 Pembagian dan klasifikasi gender sangat berguna, namun bukan tanpa masalah. Kaitannya dengan jenis kelamin, yang bersifat biologis, barangkali ciriciri fisik akan berbicara banyak. Namun sesungguhnya manusia adalah makhluk yang kompleks, dan seringkali alam psikologis maupun sosial lebih mendominasi kehidupannya. Berbicara masalah maskulinitas, dan feminimitas tak bisa serta merta diasosiasikan dengan sex, atau jenis kelamin, melainkan lebih kompleks dari itu. Yang selanjutnya terjadi adalah persinggungan antara reproduksi unit-unit fashion dari gender dominan dengan kelompok “lain”. Seringkali stigma miring terhadap cara-cara waria ber-fashion, misalnya gerebek yang dilakukan FPI pada suatu acara kontes kecantikan waria beberapa waktu lalu seperti yang tertera di bab 2. Namun demikian, gejolak subculture ini 94 95
ibid ibid
commit to user
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pun tetap bertahan, tampak dari geliatnya di bawah, maupun realitas media, lewat tayangan televisi yang banyak menampilkan sosok-sosok laki-laki berpakaian wanita (yang tidak selalu dimainkan oleh waria), bahkan setelah era Tata Dado berlalu. Sebut saja penampilan Aming, maupun talent lainnya di acara seperti Extravaganza (Trans TV), Sinden Gosip (Trans TV), dan lain-lain, bahkan kemudian dimunculkan lagi reality show yang sepenuhnya tentang waria, Be a Man (Global TV). Ini menunjukkan bahwa selain sebagai suatu bentuk persinggungan dengan budaya dominan, sesungguhnya pernyataan fashion waria merupakan bentu reproduksi stereotipe subkultur waria.
1.b. Reproduksi terhadap Stereotipe Subkultur yang Ada Fenomena fashion waria dapat ditengarai sebagai sebuah upaya untuk menggunakan fashion untuk menantang posisi dan identitas gender. Namun demikian, dapat juga dilihat bahwa seringkali ditemukan stereotip dalam penampilan para waria tersebut. Secara umum, dandanan waria yang berjenis kelamin pria itu, terlepas dari apakah mereka seorang transgender atau transeksual, dapat dikatakan menyerupai perempuan. Telah disebutkan di depan oleh Sonya misalnya, waria senang memakai pakaian perempuan yang terasa “seksi” dan “nyaman”. Kecenderungan lain, adalah tampilan stereotipe fashion waria saat menjalankan profesi mereka seperti Sarita yang berprofesi sebagai entertainer dengan pakaian yang “glamor” dan “menor”. Asumsi yang bisa diambil di sini, jika seorang waria hanya ingin mengaktualisasikan identitas dirinya yang wanita, maka ia dapat terus memakai pakaian maupun unit fashion commit to user
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terasa seksi dan nyaman, yang tidak atau kurang glamor dan menor. Bahkan pada penerapan fashion “kasual” oleh waria, sebenarnya terdapat stereotip “seksi” dan “keharusan untuk tampil cantik” yang ditunjukkan lewat upaya yang kadang kelewat berlebihan saat menunjukkan sisi kewanitaannya. Misalnya upaya untuk memakai baju seksi, memanjangkan rambut, memakai make-up, hingga operasi plastik untuk mempercantik wajah. Menyuntik ataupun memasang implant di wajah dan payudara adalah salah satu usaha yang paling sering dilakukan waria untuk merubah tampilan aslinya. Bahkan Sonya mengakui bahwa ada keinginan kuat dalam dirinya untuk merubah jenis kelaminnya. Stereotip ini bukanlah hal yang begitu saja diterapkan oleh waria berdasarkan ide original, melainkan sebagai sesuatu yang diadopsinya dari fenomena-fenomena subkultur di masyarakat. Stereotip ini bukanlah sesuatu yang hanya dapat dijumpai di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain, seperti Thailand, Vietnam, dan sebagainya. Sehingga sangat dimungkinkan bahwa polapola penggunaan fashion ini dilihat, diserap, dan direproduksi oleh waria dan diidentifikasikan sebagai style miliknya sendiri. “Kayaknya pas aja. Enak aja gitu. Teman-teman sesama waria lain juga enjoy aja tuh, jadi bukan hal yang aneh. Yang penting ya itu tadi nyaman aja, dan siapa sih, yang nggak suka jadi pusat perhatian.” (YS, wawancara tanggal 18 Agustus 2008)
“Ya bisa ngeliat dong, mana yang gaya, mana yang engga. Dilihatnya bagus, ya sudah pake aja. Tapi emang ada temen-temen waria yang nyaman pake baju ala drag queen gitu. Enggak salah juga kan, toh banyak juga yang makai, dan kayaknya emang udah jadi khas kita banget. Tapi itu juga enggak semua.” (Olivia Sonya Ariska, wawancara tanggal 15 Agustus 2008)
commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fenomena drag queen menjadi sebuah bentuk pola penggunaan fashion yang
terlegitimasi
sebagai
gaya
para
waria,
yang
seolah
ingin
mengkompensasikan kurangnya sifat-sifat feminin dari diri waria dengan penggunaan fashion itu maupun pola komunikasi verbal khas yang cenderung kemayu. Meski demikian tidak semua waria ingin menjadi perempuan, ada juga waria yang lebih nyaman dengan identitasnya sebagai waria, dan tidak ingin dianggap sebagai perempuan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Wulan dan YS yang menyebutkan bahwa meski mereka berusaha untuk tampil seperti perempuan, namun mereka lebih senang dianggap waria ketimbang perempuan. Memakai pakaian perempuan adalah suatu bentuk ekspresi untuk mengkomunikasikan
pilihan
orientasi
seksual
mereka,
maupun
dalam
mengkomunikasikan identitas profesi mereka. Dari sini dapat ditarik suatu pemikiran bahwa dalam upayanya itu, waria berkiblat pada pola-pola komunikasi via
fashion
yang
telah
ada
pada
kelompok
subkultur
tersebut,
dan
mereproduksinya. Bisa jadi sebagai bentuk solidaritas terhadap kelompoknya, maupun tentangan terhadap budaya dominan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini juga dapat dijelaskan oleh keberadaan reference group. Sebagai seorang waria yang merupakan sebuah komunitas atau kelompok tersendiri di masyarakat, maka keberadaan kelompok rujukan ini menjadi sangat penting. Dalam pergaulan bermasyarakat, manusia sebagai makhluk sosial pasti menjadi anggota berbagai kelompok. Bagi waria, kelompok yang mewadahi entitas sosial mereka secara emosional sangat membantu dalam upaya mereka menemukan commit to user
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konsep diri. Seringkali dengan melihat kelompoknya itu, seorang waria akan mengarahkan
perilakunya
dan
menyesuaikan
dirinya
dengan
ciri-ciri
kelompoknya.
2. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Cross Dressing Perilaku cross dressing atau menyerupai lawan jenis yang identik dengan waria tentunya tidak terjadi begitu saja. Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi pola perilaku manusia, yaitu faktor personal, dan faktor situasional96. a. Faktor Personal a.1. Faktor Biologis Faktor biologis biasanya merupakan faktor terbesar yang membawa perubahan dalam diri laki-laki yang memutuskan untuk melakukan cross dressing. Sebagian besar waria merasa mereka berada dalam sosok tubuh yang salah biasanya dimulai sejak usia dini (usia SD). Perilaku ini ditandai biasanya pada cara berbicara yang cenderung feminin. Selain itu pola bermainnya pun berbeda dengan anak laki-laki kebanyakan. Biasanya mereka cenderung lebih suka bermain dengan anak perempuan ketimbang bermain dengan anak laki-laki. Ketika memasuki usia remaja, biasanya orientasi seksual mereka mulai terlihat di mana mereka bukan menyukai lawan jenis, melainkan sesama jenis. Dan ketika
96
Rakmat, op.cit, hal 63
commit to user
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berhubungan dengan pasangan waria cenderung memperlakukan dan berharap diperlakukan sebagai perempuan dan bukan sebagai pasangan laki-laki. Wilson yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia, yang disebut epigenetic rules 97 . Meskipun banyak pendapat yang menolak sosiobiologis sebagai determininisme biologis dalam kehidupan sosial, namun tak dapat dipungkiri kenyataan bahwa struktur biologis manusia – genetika, sistem syaraf dan sistem hormonal – sangat mempengaruhi perilaku manusia. Kromosom penentu jenis kelamin manusia dikenal sebagai kromosom X dan Y. Kedua sistem kromosom ini sangat mempengaruhi manusia, kaitannya dengan seksualitas maupun jenis kelamin. a.2. Faktor Sosiopsikologis Kondisi biologis merupakan pemicu dari perilaku cross dressing. Namun, kondisi sosial atau lingkungan pergaulan pun dapat menjadi faktor pendukung terjadinya perilaku cross dressing ini. Dari interview yang peneliti lakukan peneliti menemukan bahwa pola asuh anak dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku cross dressing ketika si anak
97
ibid
commit to user
99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tumbuh dewasa. Ada kalanya jenis kelamin dari anak yang dilahirkan tidak sesuai dengan keinginan orang tua, misalnya orang tua mengharapkan anak perempuan, namun yang mereka dapatkan anak laki-laki. Tidak jarang kekecewaan ini membuat beberapa orang tua memperlakukan anaknya tidak sesuai dengan jenis kelamin anak tersebut. Dalam penelitian ini salah satu narasumber, Susi Fitriah, menegaskan hal ini, di mana sejak kecil ia diperlakukan seperti perempuan oleh keluarganya, bahkan dipakaikan baju perempuan, sehingga sejak kecil ia merasa dirinya adalah perempuan. Biasanya anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang salah seperti ini, biasanya lebih mudah diterima
oleh
keluarganya
ketika
ia
memutuskan
untuk
melakukan cross dressing di usia dewasanya. 2. Faktor Situasional Faktor situasional di antaranya lingkungan pergaulan yang juga dapat menjadi pemicu terjadinya perilaku cross dressing. Ada pula yang mengalami kekerasan secara seksual ketika masih kecil sehingga akhirnya trauma ini mempengaruhi orientasi seksual mereka. Selain itu, faktor kondisi sosial-ekonomi. Di Indonesia rasanya tidak sulit menemukan laki-laki yang melakukan perilaku cross dressing dengan alasan ekonomi. Hal ini dijumpai terutama pada kelompok pekerja seni. Di Indonesia sosok laki-laki yang commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berpakaian perempuan memang akrab dengan dunia hiburan karena dianggap lucu dan sangat menghibur. Profesi penari, pertunjukan teater/seni peran, dan alih vokal/lip sync adalah beberapa profesi yang menjanjikan dan membuat beberapa lakilaki kemudian memutuskan untuk berperilaku cross dressing. Perilaku cross dressing pada kelompok ini biasanya tidak terkait dengan orientasi seksual mereka, karena tidak semua pelaku cross dressing pada kelompok ini adalah seorang homoseksual.
commit to user
101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. POLA PENGGUNAAN FASHION DAN PEMBENTUKAN IDENTITAS KELOMPOK WARIA Pola adalah suatu sistem maupun cara kerja sesuatu yang memiliki bentuk dan struktur tetap. Pada tingkat masyarakat, unit-unit komunikasi verbal maupun non verbal biasanya berpola. Tak terkecuali dalam komunitas waria, terdapat kecenderungan penggunaan fashion yang berpola. Dari pengamatan yang dilakukan di lapangan, secara garis besar pola penggunaan fashion oleh kelompok waria dapat dikelompokkan menjadi tiga: 1. Pola berpakaian dan Refleksi Identitas Subyektif dan Obyektif Waria Klasifikasi pertama adalah pola penggunaan pakaian sehari-hari. Terdapat suatu variasi yang muncul dari pola berpakaian maupun penggunaan fashion sehari-hari waria yang dapat diamati, di antaranya waria yang secara utuh mengadopsi pakaian perempuan (misalnya Hanna dan YS), ada yang hanya mengadopsi sebagian pakaian perempuan (misalnya Fani dan Kusuma Ayu), dan ada yang berusaha untuk tampil jauh berbeda dari perempuan kebanyakan (misalnya Sarita). Pola-pola yang berbeda ini muncul dikarenakan beberapa alasan,yaitu di antaranya : a.
Waria merasa dirinya adalah perempuan yang tereperangkap dalam tubuh laki-laki. Keyakinan bahwa mereka adalah perempuan namun ada dalam raga yang salah pada akhirnya menghasilkan suatu pola berpakaian yang secara utuh mengadaptasi wujud perempuan yang mereka
temui
sehari-hari.
Hal
ini
adalah
upaya
untuk
commit to user
102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengkomunikasikan sosok perempuan yang ada dalam diri mereka, yang mereka yakini sebagai gender asli mereka, itulah sebabnya mereka mengganti celana yang umumnya digunakan laki-laki menjadi rok. Mereka juga tidak ragu mengenakan bra dan makeup lengkap. b.
Meski merasa dirinya adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki, ada sebagian waria yang masih merasa kurang nyaman untuk sepenuhnya berpakaian seperti perempuan. Biasanya mereka
cenderung
risih
memakai
rok
dan
lebih
memilih
menggunakan celana jeans. Hal ini biasanya terjadi karena beberapa faktor, yaitu antara lain baru memutuskan untuk melakukan cross dressing sehingga cenderung masih risih untuk secara total berpenampilan perempuan (feminin). Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah lingkungan. Biasanya waria yang belum meninggalkan lingkungan aslinya dan masih berada di dekat keluarganya lebih canggung untuk total berpenampilan dengan pakaian perempuan. c.
Meski merasa dirinya adalah perempuan, namun pada dasarnya banyak waria yang sadar bahwa mereka bukanlah perempuan. Hal ini memacu mereka untuk tampil melebihi perempuan itu sendiri. Salah satu penyebabnya adalah waria merasa perempuan adalah saingan mereka dalam mendapatkan perhatian laki-laki, sehingga mereka berusaha untuk tampil melebihi perempuan agar dapat menarik commit to user
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perhatian dari laki-laki. Contohnya Sarita yang baik di atas panggung maupun di luar panggung selalu menggunakan gaun. Kekhasan pola pakaian waria biasanya terlihat ketika mereka tampil dalam acara-acara khusus. Seperti kebanyakan perempuan, waria juga senang berdandan, tampil dan diperhatikan. Bedanya adalah waria biasanya memiliki rasa haus yang lebih besar untuk menjadi pusat perhatian dibandingkan perempuan. Tidak heran jika kemudian waria cenderung sering tampil lebih glamor atau dalam istilah mereka sendiri ‘extravaganza, misalnya menggunakan gaun berekor, tampil seperti Miss Universe dalam penampilan sehari-hari. Selain agar dapat lebih banyak menarik perhatian orang, pola berpakaian yang heboh ini sebenarnya dilakukan untuk menutupi karakter diri laki-laki yang tentunya tak dapat dipungkiri akan tetap melekat dalam diri mereka.
2.
Pola Berpakaian Terkait Profesi Sama seperti perempuan kebanyakan, profesi yang berbeda juga memiliki
pengaruh pada pola berpakaian waria. Perlu difahami terlebih dahulu bahwa lapangan pekerjaan yang bisa dimasuki oleh waria sangatlah sempit, dan amat sangat jarang bahkan mustahil dapat menemui waria yang bekerja pada institusi formal. Dalam penelitian ini peneliti menemukan setidaknya ada tujuh lapangan pekerjaan yang ditekuni oleh waria di Yogyakarta, yaitu antara lain : a.
Pengamen
b.
Pekerja Seks Komersial (PSK)
c.
Penjahit commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d.
Entertainer
e.
Kapster salon
f.
Aktivis Sosial
g.
Fashion designer
Dari pemaparan data di bab sebelumnya ditemukan bahwa ada persamaan pola berpakaian pada beberapa profesi. Waria yang bekerja sebagai pengamen dan entertainer
biasanya
cenderung
berpenampilan
‘heboh’
ketika
sedang
menjalankan profesinya. Hal ini sengaja mereka perlakukan untuk menarik perhatian, dengan harapan semakin menarik penampilan mereka akan semakin banyak uang yang mereka dapatkan. Penjahit dan fashion designer juga cenderung memiliki pola pakaian yang sama. Kedua kelompok profesi ini cenderung memiliki selera berpakaian yang baik dan tidak ‘heboh’ seperti temantemannya dari kelompok pengamen atau entertainer. Sementara kelompok profesi PSK dan kapster salon, walaupun tidak selalu, cenderung memiliki pola berpakaian yang sama, yaitu senang tampil sexy. Tentunya kelompok PSK cenderung memakai pakaian yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan kelompok kapster salon. Sementara yang memiliki pola pakaian yang variatif dan tidak memiliki pola pakaian tertentu adalah kelompok aktivis sosial. Walau cenderung rapi, kelompok ini bisa saja memiliki pola berpakaian yang dimiliki oleh kelompok lainnya, misalnya tampil sexy ataupun modis. Salah satu penyebabnya adalah waria biasanya tidak hanya memiliki satu profesi saja. Ini merupakan salah satu keunikan waria di mana sangat jarang ditemui waria hanya menekuni satu bidang commit to user
105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
profesi saja. Mereka bisa melakukan dua bahkan lebih jenis pekerjaan. Dalam penelitian ini ditemui beberapa contoh kasus, misalnya Kusuma Ayu yang bekerja sebagai kapster salon sekaligus PSK. Ada pula Yuni Shara dan Wulan yang bekerja sebagai aktivis sosial dan sekaligus seorang PSK. Demikian pula halnya dengan Olivia Sonya Ariska yang seorang fashion designer dan sekaligus aktivis sosial. Profesi ganda yang dimiliki oleh waria ini tidak semata karena permasalahan ekonomi, namun juga ada unsur kesenangan di dalamnya. Tentu kita sudah dapat memahami bersama bahwa sebagian besar waria memiliki profesi sampingan ataupun profesi utama sebagai PSK. Selain alasan ekonomi dan juga alasan sosial, di mana profesi sebagai PSK lah yang paling mudah mereka lakukan, alasan lainnya yang melatarbelakangi pilihan ini adalah unsur kesenangan yang mereka dapatkan di dalamnya. Mereka mendapatkan pasangan yang berbeda setiap harinya, tampil dan berdandan yang berbeda setiap harinya, dan sebagainya. Tidak jarang mereka mengganggap profesi sebagai PSK ini sebagai suatu kegiatan seni.
commit to user
106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. PEMBENTUKAN IDENTITAS Seseorang tidak hanya mempersepsi orang lain atau lingkungan sekitarnya, melainkan juga mempersepsi dirinya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia adalah objek sekaligus subjek perilaku persepsi. Charles Horton Cooley yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat menyebut gejala ini sebagai looking-glass self. Seseorang akan mempersepsi dirinya sendiri, dan menerima pencitraan dirinya sendiri yang ia yakini. Dengan mengamati dirinya sendiri, sampailah seseorang pada gambaran dan penilaian dirinya, yang disebut sebagai konsep diri. Konsep diri sangat erat kaitannya dengan pembentukan identitas, karena sejatinya identitas adalah bentuk-bentuk pola komunikasi verbal maupun nonverbal yang diupayakan oleh seseorang, agar dapat memproyeksikan ke sekitarnya, self-image yang ia inginkan. Harry Stack Sullivan sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa jika seseorang diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan dirinya, maka ia akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya98. Waria merupakan kelompok sosial yang merupakan bagian dari subkultur di masyarakat. Dalam pola-pola penggunaan fashion mereka, sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk melakukan pembentukan identitas diri. “Aku cuman ingin keberadaan aku diakui. Aku terlahir kayak gini bukan kemauan aku, gile aja Cin, kalo semua bisa minta dilahirin kayak apa, bakal milih jadi Lunmay (Luna Maya) semua kale. Di dalam sini, ada keinginan ingin tampil cantik, ingin tampil seksi, ingin eksis sama-sama 98
ibid
commit to user
107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
temen. Bukan dosa kan? Kalo menurut agama dosa, ya itu urusan masingmasing peronal sama Tuhannya. Toh kita juga nggak mengganggu orang lain.” (Olivia Sonya Ariska, wawancara pada tanggal 15 Agustus 2008) “Pengen jadi cantik. Susah amat sih!” (Kusuma Ayu, wawancara pada tanggal 18 Agustus 2008) Waria berkeinginan untuk menampilkan citra diri mereka yang cantik, gaya, dan asyik. Lewat pola-pola penggunaan fashion mereka waria berupaya untuk menunjukkan penampilan mereka yang kewanita-wanitaan agar terlihat cantik. Sebenarnya keinginan untuk memiliki image seperti ini dimiliki oleh sebagian besar manusia pada umumnya. Namun pada waria, keinginan ini memiliki kharakteristik khusus karena faktor sex dan gender. Buktinya, dorongan tersebut mereka tunjukkan tidak hanya dari penampilan fisik, melainkan juga lewat gesture lain seperti cara berbicara, berjalan, berperilaku, dan lain-lain. Identitas adalah sebuah payung pemahaman yang dikenal dalam ilmu pengetahuan sosial, yang berupaya untuk mendeskripsikan konsepsi maupun ekspresi diri seseorang terhadap individualitas maupun kelompok afiliasi yang mana mereka tergabung di dalamnya. Pemahaman tentang identitas berakar pada tradisi psikologi sosial. Karena itu, pada awal mula penelitiannya, banyak ahli dari ilmu psikologi yang meneliti tentang identitas. Sebuah identitas psikologis, berhubungan dengan self-image, atau model mental seseorang tentang dirinya sendiri, kepercayaan diri, dan individualitas. Namun pada perkembangannya, terdapat sebuah bagian penting dari identitas psikologis, yaitu identitas gender, yang dikatakan penting karena mengontrol secara signifikan bagaimana individu memandang dirinya. commit to user
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada kasus waria, selain terdapat sebuah konsepsi identitas gender yang berbeda, juga terdapat suatu penempatan diri dalam identitas sosial yang lebih besar. Dalam pemahaman tentang identitas sosial, sebenarnya yang ingin dipahami ialah bagaimana orang-orang mampu mengembangkan sebuah sense of belonging maupun rasa keanggotaan di dalam sebuah kelompok tertentu. Di sisi lain, melalui teori identitas sosial, dapat dilihat juga bagaimana kerja mekanis dari diskriminasi antar kelompok. Sebagaimana dikatakan oleh H. Tafjel (1978), identitas sosial sebenarnya merupakan sebuah difusi kelompok-kelompok teori psikologi sosial yang ingin mengetahui kapan dan mengapa individu mengidentifikasi, dan berperilaku sebagai sebuah bagian dari kelompok sosial, dan mengadopsi perilaku yang ada di dalamnya.99 Beberapa mekanisme yang saling terhubung bekerja dalam pemikiran identitas sosial ini. Di mana ide intinya adalah bahwa orang cenderung untuk mencari keanggotaan kelompok yang sesuai sebagai sebuah bentuk afirmasi terhadap kepercayaan dirinya, namun sesungguhnya keanggotaan itu sendiri belum cukup untuk mengafirmasi kepercayaan diri itu. Lantas untuk semakin mengukuhkan rasa kepercayaan diri itu, orang mesti mempercayai bahwa mereka berada dalam kelompok yang benar, yang pada perjalanannya akan mampu memenuhi kebutuhan akan pemisahan yang terasa positif dari kelompok lainnya.100 Karena itulah, ketika berbicara tentang waria, sebenarnya terdapat dua perspektif yang dapat ditelaah, kaitannya dengan identitas diri maupun sosial 99
Tafjel. H. (Ed). 1978. Diferentiation between Social Groups. London: Academic. Ibid.
100
commit to user
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mereka. Pertama, adalah identitas gender, dan yang kedua adalah pemosisian diri mereka dalam lingkup yang lebih luas, yaitu kelompok dalam masyarakat, yang disebut sebagai identitas sosial. Dalam perjalanannya, kedua identitas ini saling mengait, dan mempengaruhi pola berperilaku, yang termasuk di antaranya adalah pola penggunaan fashion itu sendiri di kalangan kaum waria. Dalam upaya memahami identitas ini, adalah memandangnya sebagai identitas-identitas yang saling mengunci, yang memiliki warna, variasi, dan level tersendiri. Misalnya cara memandang identitas psikologis individu tentunya akan berbeda dari bagaimana kita memahami identitas sosial individu. Bahkan pada kenyataannya dapat terjadi kedua posisi identitas ini sama sekali terpisah.
1. Identitas Gender Salah satu ahli yang paling mula tertarik terhadap penelitian mengenai identitas adalah Erik Erikson, yang berhasil memformulasikan kerangka pikir Eriksonian. Kerangka pikir tersebut berpijak pada pembagian di antara hal-hal berkelanjutan yang bersifat psikologis, yang disebut ego; idiosinkrasi pribadi yang memisahkan satu dengan yang lain, yang disebut identitas personal; dan sekumpulan peran-peran sosial yang dimungkinkan dimainkan oleh seseorang, yang dikenal sebagai identitas sosial/kultural. Namun pada penjabaran selanjutnya tentang pemikiran Erikson, pengembangan dari identitas ego yang kuat, bersamaan dengan integrasi pada masyarakat dan kebudayaan yang stabil, mendorong pada kesadaran identitas secara umum. Defisiensi yang mungkin
commit to user
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terjadi pada kedua faktor ini akan meningkatkan kemungkinan timbulnya identity crisis atau kebingungan identitas (Cote & Levin, 2002: 22). Telah disebutkan sebelumnya, bahwa sebagai tambahan dalam upaya memahami permasalahan identitas sebagai sebuah kategori yang terdiri dari interlocking identities, maka banyak pemikiran diarahkan pada konstruksi dan performa dari masing-masing kategori identitas. Individu memperoleh identitas, sebagian besar dari konstruksi yang berasal dari beragam kelompok sosial yang kita menjadi bagian darinya, seperti keluarga, komunitas, subkelompok budaya, dan ideologi dominan. Identitas diri, yang dimensinya antara lain terdiri dari kelas, gender, ras, dan seksualitas, diperformakan sesuai, maupun bertentangan dengan norma-norma maupun ekspektasi yang ada di masyarakat tadi. 101 Ini berarti, ketimbang merupakan sebuah konsep yang telah terbentuk mati, identitas lebih merupakan sebuah proses respon terhadap konteks maupun situasi di sekeliling manusia. Identitas
gender
adalah
gender
di
mana
seorang
individu
mengidentifikasikan diri kepadanya. Identitas gender tidaklah harus selalu berdasarkan kepada fakta biologis, ataupun pada orientasi seksual seseorang. Identitas gender bervariasi antara pria, wanita, keduanya, atau di antara keduanya, dan bukan keduanya. 102103 101
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. 2005. Theories of Human Communication. California: Wadsworth. Edisi ke-8. 102 Bukan keduanya di sini, diasumsikan sebagai suatu bentuk spektrum gender alternatif (yang tidak terhubung dengan jenis gender pria dan wanita) maupun secara fisik memiliki keterbatasan gender. Pandangan tradisional yang banyak diterima adalah identifikasi apakah seorang individu tergolong sebagai pria atau wanita. Oleh pengikut pandangan ini, spektrum tradisional tersebut secara skeptis ditolak, maupun segala bentuk identifikasi terkait gender. Atau dengan kata lain, ini dapat diartikan bahwa pandangan ini berada di atas segala bentuk pemaknaan sosiologis tentang klasifikasi kultural, dan berada di luar wilayah sains fisik.
commit to user
111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor biologis merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi idenitas gender. Di samping itu juga terdapat faktor sosial yang memiliki pengaruh tak kalah signifikannya dalam membentuk konsepsi diri seseorang terhadap identitas gendernya. Terkadang identitas gender seseorang yang diperoleh dengan pengaruh dari faktor-faktor sosial ini menjadi tidak konsisten dengan faktor-faktor karakteristik biologisnya, yang menyebabkan individu tersebut menampilkan pola perilaku yang oleh masyarakat mayoritas dianggap berada di luar norma perilaku yang sesuai. Ekspresi gender inilah yang disebut sebagai gender variant, atau transgender.104 Orang-orang
yang
mengidentifikasikan
dirinya
sebagai
seorang
transgender memiliki keinginan kuat untuk mempromosikan identitas dirinya karena sesungguhnya konsep diri dapat lebih dipahami oleh seorang individu ketika ia melihat bagaimana orang lain memandang dirinya. Karena itu, seorang transgender akan berupaya mengarahkan pandangan itu sesuai apa yang dia maui, yakni dengan menunjukkan pola perilaku gender variant, yang satu contoh di antaranya adalah pola penggunaan fashion. Pembentukan identitas gender merupakan proses kompleks yang bermula dari sebuah konsepsi, yang melibatkan proses pertumbuhan dan belajar sejak bayi dilahirkan. Terdapat poin-poin diferensiasi, namun bahasa dan tradisi dalam sebagian besar kelompok masyarakat mendorong suatu keyakinan bahwa setiap individu haruslah dikategorisasikan sebagai pria atau wanita. 103
Lihat Vassi, M. Beyond bisexuality. Journal of Bisexuality 5(2): 283-290. dan Martin, M. Kay & Voorhies, B. (1975). Supernumerary Sexes: Chapter 4 of Female of the Species. (Columbia University Press, New York): 23. 2005 104 Wylie. K.. "Atypical Gender Development – A Review". Dalam International Journal of Transgenderism 9: 29–442003. http://www.gires.org.uk/genderdev.php. Diakses 10 Juni 2010 commit to user
112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketika sebuah identitas gender seseorang menjadikannya seorang pria atau wanita, namun alat kelamin maupun ciri-ciri fisiknya menunjukkan identitas gender biologis yang berbeda, maka akan timbul gender trouble.
2. Identitas Sosial Pertanyaan yang muncul dari pemikiran tentang identitas diri adalah bagaimana diri individu terhubung dengan lingkungan sosialnya. Fokus selanjutnya adalah penjelasan tentang aksi individual di dalam sebuah kelompok in terms of mental events and states. Pertanyaan mengenai alasan psikologis yang mendorong adopsi individu terhadap suatu identitas kelompok berusaha dijawab oleh banyak peneliti yang tertari dengan identitas sosial ini. Banyak orang mendapatkan perasaan positif dan superior yang berkaitan erat dengan epercayaan diri, dari identifikasi dirinya dalam sebuah kelompok identitas tertentu. Dua
ahli
yang
melakukan
penyelidikan
mendalam
terhadap
permasalahan itu adalah Henri Tafjel dan John C. Turner, yang berhasil memformulasikanteori identitas sosial yang memiliki banyak pengikut dan dapat diimplementasikan ke daam berbagai disiplin ilmu. Seperti diungkapkan oleh Cote dan Levine (2002), teori ini terutama berfokus pada kategorisasi diri. Mereka telah mengembangkan suatu tipologi yang berupaya menginvestigasi perilaku yang berbeda yang dapat dimiliki oleh individu105 :
105
Cote, James E.; Levine, Charles (2002). Identity Formation, Agency, and Culture. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
commit to user
113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gejala-Gejala Psikologis
Gejala-Gejala Kepribadian
Gejala-Gejala Sosial
Refuser
Shows extensive Develops cognitive dependency upon others blocks that prevent Engages in child-like and no meaningful adoption of adult role- behavior engagement with the schemas community of adults
Drifter
Possesses greater psychological resources than the Refuser (i.e., intelligence, charisma)
Is apathetic toward application of psychological resources
Has no meaningful engagement with or commitment to adult communities
Has a sense of dissatisfaction due to Searcher high personal and social expectations
Interacts to some degree Shows disdain for with role-models, but imperfections within ultimately these the community relationships are abandoned
Possesses clear personal values and Guardian attitudes, but also a deep fear of change
Sense of personal identity is almost exhausted by sense of social identity
Accepts personal Consciously desires skills and Resolver self-growth competencies and uses them actively Tabel 4.1 Tipologi Perilaku
Has an extremely rigid sense of social identity and strong identification with adult communities Is responsive to communities that provide opportunity for self-growth
Salah satu konsep utama dari teori identitas sosial adalah “kategorisasi”.
Idenya
adalah
bahwa
orang-orang
dalam
kehidupan
bermasyarakat senantiasa melakukan kategorisasi satu sama lain. Kategorisasi ini dilakukan terkadang tanpa sadar, yang menciptakan seperangkat kelompokkelompok yang sifatnya natural. Seperti telah disampaikan sebelumnya dalam identitas gender, sesungguhnya kategorisasi ini adalah buatan banyak orang yang dilakukan dengan tanpa sadar. Label-label lantas diberikan, semisal bagaimana seseorang disebut sebagai wanita, eksekutif muda, orang berkursi roda, anak-anak, politisi, dan seterusnya. commit to user
114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kategorisasi tersebut memainkan peranan pada identitas personal dan bagaimana seseorang mempersepsikan identitas dari orang lainnya. Seorang waria atau transgender, mendapatkan label “waria” itu dari proses yang sama. Persepsi dirinya, bergabung dengan persepsi orang lain terhadap dirinya yang ia tangkap, membentuk sebuah identitas sosial “waria”. Penemuan identitas diri dan sosial ini sebagaimana identitas gender, akan mendorong pada perilaku komunikasi tertentu. Dalam hal ini pengaruh kelompok akan mendorong seorang waria untuk berperilaku yang mencerminkan keanggotaannya di dalam kelompok tersebut. Comparison, atau pembandingan merupakan salah satu kunci dalam memahami teori identitas sosial. Sekali seseorang mengidentifikasikan dirinya dan orang lain, mereka akan mulai untuk melakukan pembandingan. Orang akan berupaya untuk menampilkan citra positif, atau setidaknya keunikan yang akan menjadikan kelompoknya mampu berdiri sendiri dan memiliki karakter khas. Hal ini sangat tampak pada pola penggunaan fashion oleh kelompok-kelompok di masyarakat. Misalnya kelompok cendekia muslim, pada umumnya akan ilih fashion yang dapat menonjolkan citra mereka sebagai cendekia muslim, misalnya pemakaian jilbab, maupun baju gamis pada perempuan, atau menumbuhkan jenggot pada pria. Contoh selanjutnya adalah pada anggota komunitas punk, yang tentu saja memilih mengikuti fashion yang diterima oleh kelompok mereka sendiri tanpa memperhatikan pakem fashion tradisional yang diterima oleh masyarakat mayoritas. Dan pada kelompok waria, akan dijelaskan
commit to user
115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara lebih terperinci bagaimana bentuk-bentuk pola komunikasi fashion ini dan motivasi yang mendorongnya. Teori identitas sosial memainkan peranan penting dalam banyak interaksi sosio-kultural, dalam cara yang berbeda-beda, yang mana orang menambil sebuah identitas dari keanggotaannya daam sebuah kelompok tertentu. Juga dalam upaya untuk memahami bagaimana kelompok mencitrakan dirinya maupun individu sebagai anggotanya dalam rangka upaya untuk menumbuhkan kepercayaan diri.
commit to user
116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berkomunikasi tidak dapat dibantah merupakan kebutuhan primer setiap manusia. Dalam pengaplikasiannya ke dalam kehidupan sehari-hari ada banyak instrumen yang digunakan manusia untuk menyampaikan pesannya melalui kegiatan berkomunikasi ini, satu diantaranya adalah fashion. Bukan hal yang baru, namun memang belum semua orang juga memanfaatkan instrumen fashion sebagai alat komunikasi. Namun, tidak dapat kita pungkiri pula bahkan sejak lama kita telah dapat menilai suatu peradaban melalui cara mereka memanfaatkan fashion. Salah satu diantara kelompok komunitas yang dengan konsisten berkomunikasi menggunakan fashion adalah kelompok waria.
Melalui penelitian ini dapat terlihat bagaimana simbol-simbol sosial, dalam hal ini fashion, dimaknai dan mampu memberikan identitas bagi diri waria. Melalui pakaian, make up dan aksesoris waria menciptakan identitas subyektif dan obyektif yang jika dijabarkan adalah sebagai berikut :
1. Identitas pada pakaian waria. Secara subyektif dinyatakan bahwa waria mengadopsi penampilan perempuan sepenuhnya, pakaian yang nyaman menurut dia, namun di sisi lain waria tidak menginginkan menjadi perempuan. Mereka hanya memerankan perempuan dalam kehidupan sehari-harinya, namun secara penuh menyadari bahwa dirinya adalah commit to user
117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
waria dan tidak ingin dianggap sebagai perempuan. Data ini didukung oleh identitas obyektif waria yang melihat bahwa waria selalu berusaha untuk tampil heboh, glamor dan extravaganza dalam kesempatan apapun, karena selain ingin selalu menjadi center of attention (pusat perhatian) waria juga ingin melebihi perempuan sendiri. 2. Identitas pada make-up waria. Secara subyektif waria yang peneliti wawancara menyatakan bahwa dalam hal dandan mereka sangat telaten, berusaha untuk selalu terlihat natural dan mengutamakan perawatan seperti layaknya wanita pada umumnya. Memang data di lapangan yang peneliti lihat waria sangat pandai tidak hanya merias dirinya, tapi juga merias orang lain, karena itu profesi sebagai make-up artist adalah salah satu profesi yang banyak dijalani oleh kaum waria. Namun, jika dilihat dalam identitas obyektif-nya waria cenderung mengaplikasikan make-up serba over dan tebal dalam kesehariannya hingga melakukan berbagai operasi dan implan untuk mendukung penampilannnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan karakteristik wajah pria dan kembali lagi keinginan untuk melebihi perempuan adalah salah satu alasan utama waria memilih make-up serba over dan tebal. 3. Identitas pada aksesoris waria. Waria yang peneliti temui semuanya mengaku bahwa aksesoris adalah item penting dalam penampilan yang dan menjadi identitas subyektifnya. Secara subyektif maupun obyektif aksesoris yang mencolok dan berlebihan adalah ciri khas yang lekat dalam sosok waria. Bagi waria, perhiasan yang mencolok akan dengan mudah commit to user
118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Hal ini kembali menegaskan bahwa waria adalah sosok yang menetapkan tujuannya dalam berdandan dan memanfaatkan fashion untuk menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Dalam konteks sosial, fungsi komunikasi dari fashion membantu waria membentuk identitas gender dan sosial :
1.
Identitas gender
Waria dapat dikatakan sebagai suatu gender bias, dimana waria keluar dari konstruksi gender yang dibentuk masyarakat, yaitu laki-laki dan perempuan. Meskipun belum berhasil menciptakan gender ketiga, namun waria sendiri tidak ingin digolongkan ke dalam kedua gender yang telah ada ini.
2.
Identitas sosial
Identitas sosial terukur dari pembentukan kategorisasi dalam masyarakat. Dalam masyarakat akan selalu ada sekelompok orang yang berkumpul dalam komunitas yang diberi label tertentu yang biasanya terbentuk karena memiliki suatu kekhasan yang sama. Waria membentuk identitas sosialnya sendiri dan biasanya pembentukan ini berperan sangat penting di dalam interaksi sosio-kultural dan peran mereka di dalam masyarakat. Waria adalah komunitas ekslusif yang lebih suka hidup berkelompok dengan
commit to user
119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesama waria dengan alasan kenyamanan karena penerimaan masyarakat terhadap keberadaan waria masih berbeda-beda.
Dari pembentukan identitas gender dan sosial yang dilakukan oleh waria ini setidaknya ada dua tujuan utama yang hendak disampaikan waria melalui bentuk komunikasi non verbal yang mereka jalankan, yaitu sebagai suatu bentuk reproduksi sosial, baik sebagai (a) protes terhadap reproduksi budaya dominan, maupun sebagai (b) bentuk reproduksi terhadap stereotipe subkultur yang telah ada. Disebut sebagai protes terhadap reproduksi budaya dominan karena waria berusaha menentang kontruksi budaya (dalam hal ini fashion) yang telah diciptakan bagi kelompok gender masing-masing. Selain itu waria juga berusaha mereproduksi stereotipe subkultur yang ada dengan mengadaptasi kontruksi suatu gender (fashion bagi perempuan), namun dalam prakteknya juga tetap ada pertentangan dimana mereka sendiri tidak ingin mengimitasi sosok perempuan secara keseluruhan.
Waria berada di tengah-tengah, antara laki-laki dan perempuan dan dikategorikan dalam suatu kelompok gender yang bias, namun waria mengkomunikasikan identitas diri mereka dengan tegas melalui pemilihan fashionnya. Waria memanfaatkan fashion secara maksimal sebagai instrumen komunikasi yang dipilih untuk menyampaikan pesan kepada lingkungannya.
commit to user
120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. SARAN
Seperti yang diungkapkan di bagian pendahuluan, belum semua orang menyadari arti pentingnya fashion dalam mengkomunikasikan kepribadian. Masyarakat cenderung mematuhi seperti apa kata pepatah ‘dont judge a book by its cover’, sehingga cenderung beranggapan penampilan bukanlah sesuatu hal yang krusial dalam berkomunikasi. Namun secara tidak sadar sesungguhnya ‘cover’ ini adalah jendela yang akan menjadi faktor pendorong orang untuk berkomunikasi dengan kita, termasuk dalam hal menentukan gaya berkomunikasi yang pantas bagi masing-masing orang. Layaknya buku yang dipajang di toko buku, hal pertama yang akan menarik minat orang adalah desain dari cover buku tersebut. Karena itulah ada baiknya untuk mempertimbangkan dengan baik apa yang akan kita kenakan, karena fashion yang kita pilih tanpa kita sadari akan mengkomunikasikan siapa diri kita kepada komunikan.
Meski kemudian kita juga patut menyadari bahwa akan menjadi sangat dangkal jika kita kemudian menilai sesuatu semata terbatas dari penampilan luarnya saja. Sebagai contoh waria. Cara berpakaian waria yang bagi sebagian orang terlihat ‘norak’ dan berlebihan membuat sebagian orang cenderung merasa malas untuk terlibat jauh dengan waria. Stereotipe kasar, kurang berpendidikan, sembrono dan sebagainya seringkali menempel pada waria. Padahal pemilihan fashion waria yang tidak biasa ini memang disengaja bukan karena ingin menunjukkan bahwa commit to user
121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mereka ‘norak’, ‘sembrono’, kasar, kurang berpendikan dan sebagainya, namun lebih karena mereka ingin tampak ‘lebih’ dair perempuan. Waria mengimitasi perempuan namun ingin lebih dari perempuan.
Penelitian ini berharap dapat menjadi suatu perpanjangan tangan dari pengembangan wawasan terhadap studi komunikasi yang sangat luas. Melalui studi kasus terhadap kelompok waria kita dapat memetik pelajaran bahwa meski mungkin kita secara pribadi menilai diri kita bukanlah orang yang dengan mudahnya menilai orang lain dari segi penampilan luar, tapi kita juga harus sadar bahwa ada banyak orang di luar sana yang menilai orang lain praktis dari penampilan luar. Karena itu lebih cermatlah dalam memilih fashion apa yang akan dikenakan pada tempat dan waktu yang tepat, karena fashion terbukti sebagai suatu bentuk komunikasi nonverbal yang sangat efektif.
commit to user
122