PENGALAMAN PERUBAHAN IDENTITAS DIRI PADA WARIA: STUDI FENOMENOLOGI Inne Yellisni¹, Novy Helena², Yossie Susanti Eka Putri³ Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Abstrak
Salah satu fenomena yang sering ditemukan dalam masyarakat adalah fenomena waria atau lebih sering dikenal dengan sebutan transgender. Transgender merupakan keadaan dimana seseorang mengasosiasikan dirinya dengan jenis kelamin yang berbeda, namun tidak memiliki ketertarikan untuk melakukan perubahan fisik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman perubahan identitas diri pada waria. Desain penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan pada 8 partisipan yang belum merubah bentuk fisiknya dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian didapatkan 7 tema terkait pengalaman perubahan identitas diri yaitu peran pola asuh permisif dalam perubahan perilaku, peran lingkungan mendukung perubahan perilaku, krisis identitas, respon keluarga terhadap perubahan identitas, stigma terhadap warial, penerimaan keluarga terhadap perubahan identitas, dan nyaman menjadi perempuan. Dari hasil penelitian yang didapatkan diharapkan kepada perawat puskesmas untuk meningkatkan kunjungan rumah terutama bagi keluarga yang mempunyai anak dari usia prasekolah sampai remaja untuk mengoptimalkan tahapan perkembangan mengenal identitas diri pada anak. Kata Kunci: waria , identitas diri, ABSTRACT One of phenomenon in the community which always find is Transgender. It is a condition that man associate his self with opposite sex, but he do not interest to make changes in phisically performance. The purpose of this study was to determine the experience of self-identity change in transsexuals. This study used were qualitative methods with phenomenological approach. Data collection was performed on the 8 participants who do not change the physical form with in-depth interviews. The results showed 7 theme related experience identity change such as permissive parenting role in behavior change; the role of the environment in supporting behavior change; crisis of identity; family resistance to behavioral change, the impact of changes in social behavior, family acceptance, comfortable being women. This study recommends community mental health nursing to increase home visit to optimize identity aberrations at different stages of childhood development. Keywords: transsexual, identity.
LATAR BELAKANG Permasalahan yang banyak terdapat didalam masyarakat yaitu adanyanya penyimpanganpenyimpangan sosial. Penyimpangan sosial ini adalah masalah yang muncul karena tidak sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Salah satu fenomena yang sering ditemukan dalam masyarakat adalah fenomena waria atau lebih sering dikenal dengan sebutan transgender. Transgender merupakan keadaan dimana seseorang mengasosiasikan dirinya dengan jenis kelamin yang berbeda, namun tidak memiliki ketertarikan untuk melakukan perubahan fisik (bedah, suntik hormon,dll) (Bockting, 1999). Transgender adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan orangorang yang mempunyai identitas dan prilaku yang tidak sesuai dengan jenis kelamin lahirnya (Bradford. 2013). Sedangkan transeksual adalah seorang individu yang berusaha merubah jenis kelaminnya melalui operasi (Crooks & Baur, 1983). Kehidupan transgender tidak hanya di artikan sebagai sebuah komunitas orang-orang yang berada didalam tubuh yang salah, tetapi yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana proses terjadinya transgender itu sendiri terhadap kesalahan identitas diri mereka yang harus ketahui dan menjadi hal yang lebih
diperhatikan (Morgan, 2012). Transgender secara biologis adalah seorang pria namun memiliki sikap, penampilan dan perilaku sehari-harinya menyerupai seorang perempuan. Menurut Crooks dan Baur (1983) transgender merupakan individu yang identitas gendernya berlawanan dengan identitas seksualnya tetapi tidak punya keinginan untuk melakukan pembedahan pada identitas seksualnya. Seorang transgender cenderung merasa lebih nyaman berada diantara identitas perempuan dan laki-laki tanpa harus menentukan salah satu diantaranya dengan melakukan pembedahan (McLelland, 2005). Data Statistik di Belanda memperkirakan 2 sampai 5 % dari penduduk belanda mengalami penyimpangan gender, dimana telah dilaporkan sekitar 1 dari 12.000 anak yang terlahir lakilaki menjalani operasi pergantian kelamin (Van Kesteren et al,1996). Kondisi yang sama juga ditemukan di Amerika Serikat 0,25- 1 % dari penduduk Amerika tercatat transgender atau waria. Jumlah ini diperkirakan lebih kecil dari jumlah seluruhnya karena jumlah ini hanya didapatkan dari waria yang melaporkan diri telah melakukan penggantian alat kelamin (Olyslager & Conway, 2007). Selain itu suntik hormonal dan bedah kelamin telah semakin luas dan diterima secara medis sebagai standar prosedur untuk kaum transgender. Dalam penelitian ini mendapatkan data yang signifikan bahwa kualitas hidup kaum transgender akan lebih baik apabila dilakukan penyuntikan hormon dan bedah kelamin (Motmans, 2011). Jumlah transgender di Indonesia mencapai 7 juta jiwa (Dinsos, 2009), serta estimasi jumlah transgender Sumatera Selatan lebih kurang 2475 jiwa dan estimasi pelayanan transgender yang telah dibina adalah 260 jiwa. Jumlah transgender setiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, karena melihat dari stigma masyarakat bahwa komunitas transgender selalu berdampak negatif untuk masyarakat.
Perubahan perilaku dari laki – laki menjadi waria dapat dilihat dari beberapa perspektif, yaitu: biologis, behavioristik, dan sosiokultural (Nevi, Ratus, & Greene, 1994). Perspektif biologis berkaitan dengan masalah hormonal, behavioristik berkaitan dengan penguatan yang diberikan oleh keluarga atau orang lain dan lingkungan ketika anak laki – laki berperilaku dan berpenampilan seperti seorang perempuan, sedangkan perspektif sociocultural berkaitan dengan factor budaya yang diperkirakan dapat mempengaruhi perubahan perilaku dari laki – laki menjadi waria. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi individu dalam mengenal dirinya sendiri. Bagaimana penilaian individu dalam memandang dirinya sendiri disebut dengan konsep diri. Kinch (dalam Fitts, 1971) mengemukakan bahwa konsep diri seseorang mempengaruhi perilaku orang tersebut dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep diri bukanlah merupakan faktor hereditas, melainkan faktor yang dipelajari dan dapat terbentuk melalui pengalaman dan hubungan individu dengan individu yang lain ( Zulfan, 2012). Konsep diri terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Bagaimana individu mempersepsikan hal yang terjadi dilingkungannya tidak terlepas dari apa yang dipelajarinya melalui interaksi dengan lingkungannya. Proses pengenalan konsep diri dalam mengidentifikasikan dirinya tentang apakah ia seorang laki-laki ataukah seorang wanita berawal ketika seseorang berusia 3 tahun (Santrock, 2002). Pada usia 3 tahun tersebut orang tua mulai belajar memperkenalkan kepada anaknya bahwa ia adalah anak laki-laki atau anak perempuan, beserta peran ataupun kebiasaan-kebiasaan jenis kelaminya. Seorang anak mulai mengenal jenis kelaminnya secara menetap pada usia 6-7 tahun dengan memahami adanya perbedaan alat genital antara laki-laki dan perempuan (Wenar & Kerig, 2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah identitas diri. Striker (1980) seseorang dapat dibentuk
dari interaksi dengan individu yang lain dan interaksi dengan lingkungan sosialnya.
perubahan identitas Palembang.
Penelitian Kurniawati (2003) mengatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan lakilaki menjadi seorang waria adalah kesalahan dalam proses pembentukan identitas jenis kelamin, seperti pola asuh, serta faktor bawaan dari individu yang selalu diberi pengutan dari keluarga dan lingkungan. Penguatan ini seperti selalu diberi pujian apabila seorang anak lakilaki terlihat cantik bila menggunakan pakaian anak perempuan. Sehingga hal tersebut tanpa disadari berdampak pada perkembangan usia remaja. Disamping adanya faktor penguatan dari keluarga faktor biologis, psikologis dan sosiokultural juga berperan dalam perubahan individu menjadi seorang waria.
METODE PENELITIAN
Proses berubah menjadi seorang waria adalah proses yang panjang, dimulai dari masa anakanak sampai individu remaja. Peran keluarga dan lingkungan sangatlah penting dalam proses ini. Pola asuh ibu dirumah, figur seorang ayah dan penguatan dari lingkungan merupakan hal penting dalam pengenalan identitas diri pada anak. Sehingga tahapan dalam pembentukan identitas diri sangat penting, karena apabila krisis identitas tersebut tidak segera diselesaikan dengan terbentuknya identitas yang sebenarnya, akibatnya anak akan memiliki kepribadian yang tidak jelas, dan mengalami kebingungan identitas diri seperti anak menjadi bingung dalam menentukan pilihan apakah seorang laki-laki atau seorang perempuan. Jumlah waria di Palembang semakin hari semakin meningkat, banyak yang datang dari berbagai daerah disekitar Palembang. Alasannya karena mereka tidak diterima oleh keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Waria yang terdata saat ini berasal dari berbagai kalangan umur, dari remaja sampai dewasa muda. Informasi yang didapat dari ketua waria bahwasannya sekarang ini sudah banyak anak-anak seusia SD sampai SMP yang sudah terlihat prilakunya kearah waria. Fenomena-fenomena inilah yang membuat peneliti tertarik mengangkat tema pengalaman
diri pada
waria
di
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Jumlah partisipan dalam penelitian ini sebanyak 8 orang yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu adalah seorang waria yang belum melakukan perubahan fisik seperti penyuntikan hormon dan merubah jenis kelamin, selain itu seorang waria yang dapat berkomunikasi dengan baik, bisa mengingat masa kecilnya sehingga mampu mengeksplorasi pengalamannya. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara untuk mengetahui pengalaman perubahan identitas diri pada waria. Hak-hak partisipan dilindungi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar etika penelitian yang meliputi autonomy, beneficience, maleficiency, anonimity, dan justice (Polit, Beck, & Hungler 2005). Peneliti menggunakan tahapan analisis data dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut a) mengumpulkan data yang diteliti secara jelas yaitu hasil wawancara semi terstruktur mengenai pengalaman perubahan identitas diri b) membuat transkip dari hasil wawancara yaitu dengan merubah dari rekaman suara menjadi bentuk tulisan secara verbatim, c) mengorganisasi data dengan cara membaca berulang kali data yang ada sehingga peneliti dapat menemukan data yang sesuai dengan penelitiannya dan membuang data yang tidak sesuai d) mencatat kata kunci dari setiap pernyataan partisipan. Selanjutnya data dikelompokkan. Pengelompokkan data ke dalam berbagai kategori yang selanjutnya dipahami secara utuh untuk menentukan tematema yang muncul, e) mengintegrasikan hasil pengelompokkan secara keseluruhan ke dalam
bentuk deskripsi naratif mendalam mengenai pengalaman partisipan, f) memformulasikan deskripsi yang komprehensif mengenai pengalaman partisipan, dan g) menanyakan kembali kepada partisipan mengenai hasil wawancara yang telah dikelompokkan untuk memastikan tentang pengalaman mereka yang akan dilaporkan sebagai langkah terakhir untuk validasi data. HASIL PENELITIAN Partisipan dalam penelitian ini adalah seorang waria yang belum merubah bentuk fisiknya. Hasil penelitian pada penelitian ini menemukan ada tujuh tema yaitu : 1. Peran pola asuh permisif dalam perubahan perilaku Dalam keluarga partisipan sering diperlakukan seperti perempuan baik oleh ibu maupun dari keluarga yang lain. Beberapa partisipan mengatakan: “Dirumah diberlakukan sama seperti perempuan”(P.1) Kalo dirumah sering dipakeki ibu rok” (P2) Figur ibu juga sangat dibutuhkan dalam perkembangan partisipan, Seperti pernyataan dari partisipan dua, dirumah sering diberi pakaian seperti perempuan. Sama dengan pernyataan dari partisipan satu, tujuh dan delapan yang mengungkapkan bahwa dirumah mereka selalu diberlakukan seperti perempuan . Selain itu peran dari orang tua sebagai figur ayah juga kurang didapatkan dari partisipan satu sebagaimana diungkapkan: “Ayah selalu sibuk kerja, jarang dirumah, jadi jarang ketemu dan jarang mengajak bermain” (P1) “Permainan yang diberikan oleh ibu seperti perempuan” (P2) Hasil dari wawancara juga didapatkan perbedaan pola asuh seperti diungkapkan oleh partisipan enam dan partisipan tujuh:
“ Ibu terlalu sayang, jarang melarang, tidak seperti ayah yang suka marah” (P.6) “Mereka terserah kami tidak ada larangan, kalo melarang tidak terlalu keras” (P.7) Ada bentuk penguatan yang diberikan keluarga kepada partisipan, yang menginginkan anak perempuan tapi ternyata mendapatkan anak laki-laki tetapi tetap memperlakukan anak lakilaki seperti anak perempuan Ungkapan dari partisipan: “ Kami 12 bersaudara, jadi mungkin dalam keluarga aku kurang cewek, 8 cowok dan 2 cewek, cita-cita dari orang tuaku pengennya anak perempuan pada saat aku lahir, tapi setelah aku lahir ternyata laki-laki, karena itu aku selalu dibuat seperti perempuan oleh keluarga aku, tidak boleh bergaul dengan lakilaki, tidak boleh kepanasan, tidak boleh keluar rumah” (P.8)
2. Peran lingkungan dalam mendukung perubahan perilaku Tiga partisipan mengatakan pergaulannya dimasa kecil banyak dengan perempuan, sehingga penampilan partisipan juga cenderung tumbuh menjadi sosok perempuan. Berikut ungkapan dari partisipan: “Pergaulannya dilingkungan perempuan semua” (P1) “Kawan-kawan banyak yang perempuan” (P2) “Banyak temen perempuan” (P4) Teman seprofesi atau sesama waria adalah pihak yang mendukung keberadaannya. Sesama teman profesi tentunya saling mendukung dan saling membantu. Karena mereka menganggap bahwa mereka senasib dan sepenanggungan. Beberapa ungkapan dari partisipan:
“ Tapi kalo bergaul dengan waria...ya jadi waria”(P.1) “ SMP aku sering bergaul dengan waria, jadi aku sering diajari dandan”(P.4) “ Berteman dengan waria, sering diajak dandan”(P.5) “ Pergaulannya sudah sama waria terus”(P.6) Partisipan menilai kalau sering bergaul dengan waria juga akan menjadi waria, partisipan juga sudah diajari berdandan oleh waria 3. Krisis identitas Keinginan dari partisipan yang memang dari kecil ingin menjadi seorang perempuan, ingin memakai rok, memanjangkan rambut dan berdandan. Beberapa partisipan mengatakan: “Memang dari kecil sudah mengarah kearah ini baik gaya dan tingkah laku aku” (P1) “Sebenarnya aku dari kecil pengen menjadi perempuan” (P2) “Pengen pake rok, manjangin rambut, pake bedak dan dandan”(P5) Hampir semua partisipan mengenali waktu mulai dirasakannya adanya penyimpangan identitas pada dirinya saat memasuki masa remaja. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa partisipan: “Dari SMA aku sudah pengen jadi perempuan” (P2) “Kelas 2 SMA bentuk alis, kukunya dikutek” (P3) “SMP aku sudah berpenampilan feminim”(P4) “Waktu jadi seperti ini kelas 1 SMA, umur 15 tahun, aku sudah manjangin rambut” (P7) “ Setelah usia 16 tahun mulai terbentuk, seperti perempuan”(P.8) Selain itu krisis identitas merupakan gejolak yang dialami oleh partisipan
selama pembentukan identitas dirinya, bukan hanya keinginan untuk berubah menjadi yang diharapkan tetapi untuk kembali normal juga dialami oleh partisipan. “ Sebenernya aku dulu pernah nentuin pilihan mba, selama 14 tahun aku menjadi seorang waria, kemudian 2 tahun terakhir ini aku berusaha mencari jati diri aku untuk menjadi laki-laki seutuhnya, aku sempat kuliah, aku potong rambut seperti laki-laki, aku pacaran dengan cewek, tapi ternyata itu bukan aku “ (P.7) Partisipan punya keinginan untuk kembali menjadi laki-laki pada umumnya, dengan merubah penampilan menjadi seorang laki-laki tetapi partisipan merasa tidak nyaman dengan berpenampilan seperti laki-laki. 4. Respon keluarga terhadap perubahan identitas Respon dari keluarga terhadap perubahan yang dialami oleh partisipan:: “Dulu keluarga melarang kenapa seperti ini kenapa gaya seperti cewek” (P1) “Bapak dan kakak pertama yang tidak setuju suka marah-marah” (P3) “Sering dimarahi keluarga karena suka dandan”(P4) Ketiga partisipan mengalami respon yang negatif dari keluarganya. Respon negatif ini merupakan bentuk penolakan dari keluarga. Respon yang berupa bentuk penolakan orang tua tersebut berupa kekerasan fisik pada partisipan, seperti diungkapkan oleh beberapa partisipan. “Dipukul biar jadi laki-laki lagi” (P2) “Diseret pulang kerumah, disiram sama air, dipukul” (P3) “Pernah saya dipukul habis sama bapak” (P6) Partisipan mengungkapkan bahwa didalam keluarganya sangat tidak setuju
bila partisipan menjadi seorang waria karena menurut orang tuanya hal tersebut adalah prilaku yang menyimpang
Bentuk penerimaan keluarga terhadap perubahan partisipan dengan tetap menganggap partisipan sebagai bagian dari keluarganya. Beberapa partisipan yang rasa kekeluargaanya masih ada dengan keluarganya:
5. Stigma terhadap waria Bentuk dari prilaku masyarakat adalah pengucilan. Ungkapan dari partisipan adalah:
“Masih dianggap oleh keluarga, masih disuruh pulang kampung (P7)” “Masih sering sharing dengan keluarga”(P2) “Kalau ada acara dirumah aku disuruh pulang”(P5) “Kadang-kadang mereka nelpon, sambil cerita”(P8)
“Dicaci maki orang, dikucilkan orang, tidak diterima” (P2) “Diejek oleh lingkungan, sudah tidak dianggap oleh lingkungan” (P4) “Sepertinya tidak dianggap oleh masyarakat, tidak pernah diikutsertakan kalo ada kegiatan dalam masyarakat” (P1) Selain itu masyarakat juga melihat dari segi kesehatan yang mana penilaian dari masyarakat seorang waria pasti mempunyai penyakit menular. Seperti ungkapan partisipan: “ Kalo dulu waria sering ditakuti tidak hanya oleh masyarakat tapi juga oleh tim kesehatan, karena waria selalu dinilai punya penyakit menular, seperti HIV/AIDS, karena mungkin pergaulan waria yang bebas” (P.2) “ Kalo lagi berobat, sering diliatin oleh tenaga kesehatan dari ujung rambut sampe ujung kaki, seperti jijik liat kami, seperti kami ini punya penyakit yang menakutkan” (P.1) Stigma dari pelayanan kesehatan dirasakan oleh partisipan saat mencari pelayanan kesehatan, partisipan merasa pelayanan kesehatan sering membedakan komunitas waria dengan masyarakat yang lain. 6. Penerimaan keluarga terhadap perubahan prilaku
Keempat partisipan mengungkapkan masih dianggap oleh keluarga dan masih di harapkan pulang kerumah orang tuanya dikampung. Penerimaan keluarga terhadap perubahan prilaku partisipan juga dapat dilihat dari dukungan keluarga. Pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: “Keluarga sudah tidak banyak protes lagi” (P2) “Kalo sekarang keluarga sudah mendukung saja, sudah bisa menerima” (P.3) “Sekarang keluarga sudah mendukung karena aku juga sudah kerja” (P4) “Sekarang keluarga sudah dukung apa yang aku pilih”(P.5) Ada empat partisipan yang mendapat dukungan dan suport dari keluarga. Keluarga sudah menerima keadaan dan keputusan yang sudah diambil oleh partisipan. 7. Nyaman menjadi perempuan Perasaan yang nyaman berinteraksi dengan perempuan dialami oleh partisipan, menurut partisipan berinteraksi dengan perempuan memiliki kesamaan yang membuat nyaman. diungkapkan oleh partisipan:
“ Nyaman kalo berteman dengan perempuan” (P.1) “ Kalo dengan perempuan itu rasanya beda lebih nyaman” (P.3) “ Kalo berteman dengan perempuan terasa nyaman” (P.4) “Nyaman rasanya kalo bergaul dengan perempuan” (P.8)
“ Merasa memang kayak ini, sulit buat saya mau berubah” (P.6)
Beberapa partisipan juga mengatakan kurang nyaman bila bergaul dengan sejenis. Hal ini karena beberapa partisipan mengungkapkan bahwa laki-laki itu mempunyai prilaku yang kasar, sehingga partisipan merasa tidak nyaman bergaul dengan laki-laki. Ungkapan partisipan:
Dalam penelitian ini didapatkan temuan pola asuh orang tua yang terdiri dari perlakuan keluarga dirumah, peran orang tua dirumah, dan penguatan dari orang tua. Hasil penelitian menyatakan beberapa partisipan diperlakukan seperti perempuan oleh keluarga dirumah, seperti diberikan pakaian seperti perempuan, mainan boneka-bonekaan, maen karet semua adalah permaenan yang lazim dimainkan oleh anak perempuan. Menurut Santrock (2002) pembentukan identitas diri mulai diajarkan berawal saat usia 3 tahun yang dapat dikenalkan melalui jenis permainan, warna baju dan teman bermain.
“ Tidak nyaman berteman dengan lakilaki”(P.1) “ Kalo berteman dengan laki-laki itu risih, tidak nyaman” (P.4) “ Laki-laki itu kasar, saya tidak suka” (P.3) Selain itu partisipan karena sudah merasa nyaman dengan identitas saat ini, ungkapan dari partisipan: “ Merasa nyaman menikmati hidup” (P.1) “ Rasa-rasa seperti perempuan serasa sangat cantik” (P.2) “ Sekarang kayak ini aku merasa nyaman” (P.3) “ Saya nyaman dengan kayak ini” (P.6) “ Sekaranglah aku merasa lebih nyaman” (P.8) Dengan perasaan nyaman yang dirasakan oleh partisipan, menjadikan partisipan kesulitan untuk berubah menjadi identitas yang sebenarnya. Ungkapan partisipan: “ Keinginan sendiri, tidak bisa dirubah, tidak ada penyesalan sudah menjadi seperti ini” (P.1) “ Belum ada niat untuk berubah, karena aku masih nyaman dengan penampilan aku sekarang” (P.2) “ Nunggu mukzijat saja, berubah tidak semudah membalikkan telapak tangan” (P.3)
PEMBAHASAN 1. Peran pola asuh permisif dalam perubahan prilaku
Beberapa partisipan juga didapatkan data bahwa peran orang tua kepada partisipan bersifat permisif dimana orang tua memberikan kebebasan penuh kepada anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Menurut Baumrind (1971) anak yang berada dalam pengasuhan orang tua yang permisive sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka akan sulit dalam mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaat. Pola pengasuhan permisif menganggap bahwa anak harus memiliki kebebasan sendiri secara luas, bukan harus selalu dikontrol oleh orang tua. Selain sikap permisif dari orang tua ada juga yang kurang mendapatkan figur seorang ayah sejak kecil sampai remaja. Francis(2006) lakilaki yang dibesarkan tanpa kehadiran ayah selama periode waktu yang panjang menunjukkan sikap dan perilaku feminim. Hubungan yang terlalu dekat dengan orang tua yang berlawanan jenis cenderung memiliki kontak yang sangat intim baik secara fisik
maupun psikis antara orang tua dan anak tersebut. Hal ini menyebabkan anak hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengenal orang tua yang sama jenis kelaminnya dan kurang mengembangkan perilaku dan sikap sesuai dengan identitasnya.
yang dominan perempuan, baik didalam keluarga maupun diluar keluarga, sedangkan lingkuan memegang peran yang penting dalam pembentukan identitas diri individu.
Selain lingkungan yang banyak perempuan, Selain itu penguatan dari orang tuanya karena lingkungan yang mendukung untuk menjadi keinginan orang tua untuk mendapatkan anak waria adalah adaptasi dengan waria yang perempuan. Sehingga anak laki-laki didapatkan dengan seringnya berinteraksi diperlakukan seperti perempuan dengan dengan waria. Upaya lain yang dilakukan oleh memakaikan pakaian perempuan, main mainan waria untuk mendapatkan pengakuan ataupun perempuan. Penyimpangan identitas ini disebabkan karena kesalahan orang tua dalam penerimaan terhadap penyimpangan identitas memfasilitasi dan memberi pujian kepada adalah mencari komunitasnya. Surahman anaknya ketika anaknya terlihat cantik dengan (2007) menjelaskan keadaan yang menyulitkan menggunakan pakaian perempuan. Kesalahan dalam mendapatkan pengakuan terhadap ini kemungkinan disebabkan ketidaktahuan penyimpangan identitas yang dialami membuat orang tua dalam memberikan pola asuh yang waria mencari komunitasnya. Sebagian dari benar kepada anaknya. partisipan menyatakan bahwa mereka sering berinteraksi dengan waria sejak usia remaja 2. Peran lingkungan mendukung bahkan sering diajari berdandan seperti seorang perubahan perilaku wanita. Fuhrman (1990) menyatakan Lingkungan merupakan faktor pendukung homogenitas dari lingkungan yaitu individu terbesar yang menentukan masa depan yang berada pada lingkungan yang homogen seseorang. Termasuk menentukan waria atau cenderung lebih mudah membentuk identitas tidaknya seorang pria. Pria yang sejak kecil dirinya dibanding dengan yang berada bergaul dengan wanita, cenderung tumbuh dilingkungan heterogen. menjadi sosok seperti wanita. Dari hasil penelitian didapatkan lingkungan yang 3. Krisis identitas mendukung partisipan untuk menjadi waria terdiri dari lingkungan yang banyak perempuan Tahap krisis identitas sering disebut sebagai dan adaptasi dengan waria. Sebagian besar periode transisi yang ditandai dengan partisipan menyatakan mereka sejak kecil kebingungan, mencoba-coba (bereksperimen), dan penuh dengan rasa emosi. Tahap ini terjadi terbiasa bergaul dengan perempuan dan ketika seseorang melihat dirinya tidak lagi diantaranya ada juga yang memiliki saudara sesuai dengan perubahan kondisi yang terjadi yang kebanyakan perempuan. Stolen (dalam di dalam kehidupannya. Tahap ini terjadi Atmojo 1986) berpendapat lingkungan dapat secara normal selama masa remaja atau pada menyebabkan seseorang menjadi waria bisa usia tengah baya ( Olson 1984). terjadi karena ibu lebih dominan dalam Awal krisis dari identitas juga dapat di lihat perkembangan anaknya dibandingkan dengan dari waria antara lain dari prilaku, penampilan, ayah yang pasif, selain itu lingkungan yang perasaan seperti perempuan serta ketertarikan banyak terpapar dengan lawan jenis seperti kepada sesama jenis. Perilaku seperti lingkungan yang dominan perempuan. Hasil perempuan terlihat dari keinginan partisipan wawancara dengan partisipan, tujuh dari menggunakan rok, memanjangkan rambut, delapan partisipan terpapar dengan lingkungan pakai cosmetik dan berdandan. Kebingungan
yang dialami oleh remaja merupakan bagian dari krisis identitas yang harus dilewati dan diselesaikan (Junir, 1996). Dari hasil penelitian sebagian besar mengalami perubahan penampilan saat masa remaja, dimana pada saat ini adalah tahap pencarian identitas diri. 4.
Respon keluarga terhadap perubahan identitas
Salah satu dari fungsi keluarga adalah fungsi psikologis yang menentukan identitas keluarga serta rasa aman dan kasih sayang, pendewasaan kepribadian dari seluruh anggotanya, perlindungani psikologis dan menjalin hubungan keluarga dengan keluarga yang lain dan masyarakat. Karena keluarga merupakan orang terdekat dengan partisipan, maka keluarga merupakan sub sistem yang akan memberikan respon terhadap perubahan prilaku awal partisipan menjadi waria. Hal ini umumnya terjadi saat partisipan menginjak usia remaja. Dimana usia remaja itu menurut Santrock (2003) masa remaja adalah periode transisi, saat seorang individu mengalami perubahan fisik dan psikologis dari kanakkanak menjadi dewasa. Berdasarkan hasil penelitian salah satu respon yang ditunjukan keluarga terhadap prilaku waria adalah penolakan. Dimana bentuk dari respon penolakan orang tua berupa rasa marah, larangan, kecewa, sedih dan sampai adanya prilaku kekerasan seperti memukul, dan menyiksa. Meskipun tidak semua waria mengalami kekerasan fisik dalam keluarganya tetapi kebanyakan keluarga juga tidak mau memahami keadaan mereka sebagai waria. (Oetomo, 2003). Perlakuan-perlakuan buruk tersebut serta ketidakbebasan waria dalam mengekspresikan jiwa kewanitaannya memicu waria untuk meninggalkan keluarga dan lebih memilih untuk berkumpul bersama dengan waria lainnya. 5.
didapatkan stigma buruk masyarakat terdiri dari, dikucilkannya partisipan oleh masyarakat dan persepsi dari tim kesehatan tentang kesehatan partisipan. Walaupun partisipan mendapatkan stigma yang buruk dari masyarakat tapi kebanyakan dari partisipan menganggap hal tersebut biasa saja dan tidak harus menjadi masalah. Keberadaan kaum waria masih sulit untuk diterima dilingkungan masyarakat (Surahman, 2007). Kaum waria selalu dinilai berprilaku negatif. Stigma masyarakat dan sikap masyarakat yang tidak menganggap waria ada di dalam suatu lingkungan membuat waria mengalami perasaan yang ingin dianggap oleh masyarakat dengan memperlihatkan keahliannya seperti bekerja disalon yang dapat menghasilkan uang dengan jalan yang baik. Hasil penelitian Dahlia (2010) berupa studi kasus tentang ketidakadilan gender dalam pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS mendapatkan data bahwa waria memiliki kebutuhan untuk dapat diterima apa adanya, bukan stigma dan diskriminasi. Didalam penerimaan pelayanan kesehatan waria juga merasa mendapatkan stigma dan diskriminasi, seperti ada perbedaan dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas kesehatan sering menjadikan sosok waria sebagai tontonan yang membuat waria merasa tidak nyaman. Keberadaan waria dianggap komunitas yang menyalahi kodratnya sehingga pada akhirnya berbuah penolakan, stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Penilaian masyarakat terhadap waria selalu identik dengan hal-hal yang negatif, tidak hanya itu yang lebih penting dalam masalah ini adalah beban psikologis dari diri waria dalam menghadapi gejolak dalam dirinya terhadap pandangan lingkungan masyarakat dan keluarganya.
Stigma terhadap waria 6. Penerimaan keluarga
Dengan stigma masyarakat yang menilai waria negatif, membuat semakin terpuruknya posisi waria di mata masyarakat. Dari hasil penelitian
Pada tahap penerimaan keluarga dalam penelitian ini adalah masih terciptanya rasa
kekeluargaan antara anak dan orang tua, beberapa partisipan sudah bisa diterima dalam keluarga setelah melewati proses yang sangat panjang, dari sejak kecil partisipan merasa bahwa mereka adalah seorang perempuan, dengan tubuh laki-laki tetapi hati dan naluri mereka merasa seperti perempuan. Keinginan untuk menjadi seorang perempuan sangat besar dirasakan oleh mereka, pergi kesekolah sudah berdandan seperti perempuan dengan menggunakan lipstik dan prilaku seperti perempuan. Proses itu berlangsung sampai mereka memasuki usia remaja hingga akhirnya mereka mempunyai pergaulan dengan waria dan menjadi seorang waria, dalam proses ini banyak hambatan yang partisipan alami dari bentuk penolakan keluarga dan lingkungan. Proses penerimaan ini tidak dilewati dengan mudah bagi partisipan, mereka belajar lepas dari keluarga, belajar untuk mandiri. Proses penerimaan pada partisipan ini dirasakan partisipan setelah pertisipan benar-benar sudah bisa mandiri, sudah dapat lepas dari keluarganya.
dengan kodratnya, karena menjadi seorang waria adalah pilihan dari partisipan, atas keinginan dari hati sendiri tanpa paksaan dan tanpa pengaruh dari manapun. Karena itu beberapa waria menyatakan untuk saat sekarang masih merasa nyaman dengan penampilan seperti perempuan. Roy menjelaskan bahwa manusia adalah mahluk bio, psiko dan sosial sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persiapan yang kompleks sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi. Penggunaan koping atau mekanisme pertahanan diri adalah berespon melakukan peran dan fingsi secara optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan lingkungan sekitarnya.
7.
Saran Bagi pelayanan kesehatan
Nyaman menjadi perempuan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan beberapa waria menyatakan bahwa awal terjadi krisis identitas waria merasakan adanya penolakan baik dari dirinya, keluarganya dan lingkungannya, bahkan ada beberapa waria yang menyatakan sempat mencoba menjadi laki-laki kembali dengan merubah penampilan dan gaya hidupnya, tetapi proses tersebut tidak berlangsung lama, karena waria merasa tidak nyaman berada di dalam jiwa yang sesungguhnya. Beberapa partisipan juga menyatakan merasa tidak nayaman bila menjadi seorang laki-laki, karena menurut waria seorang laki-laki itu adalah orang yang keras, dan waria merasa tidak nyaman dengan menjadi laki-laki. Beberapa waria juga menyatakan mengalami kesulitan dalam merubah dirinya menjadi laki-laki sesuai
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian ini didapatkan tujuh tema yaitu: Peran pola asuh permisif dalam perubahan perilaku, peran lingkungan mendukung perubahan perilaku, krisis identitas, respon keluarga terhadap perubahan identitas, stigma terhadap waria, penerimaan keluarga terhadap perubahan prilaku dan nyaman menjadi perempuan.
Bagi pengelola pelayanan kesehatan yaitu puskesmas, praktek mandiri dan rumah sakit sebagai tempat melakukan pemeriksaan kesehatan bagi waria agar tidak membedabedakan pelayanan kesehatan yang diberikan. Dari pihak puskesmas tidak hanya terfokus pada pemberian pelayanan kesehatan tetapi juga diharapkan dapat melakukan kunjungan rumah terutama bagi keluarga yang mempunyai anak dengan waria sehingga dapat mengoptimalkan tahap perkembangan masa tahap mengenal identitas dan peran keluarga dalam menjalani masa krisis identitas. Bagi profesi keperawatan: Melakukan kunjungan rumah bagi perawat puskesmas sehingga dapat terdeteksi bentuk
penyimpangan-penyimpangan yang dialami oleh anak pada tahapan pengenalan identitas. Bagi waria dan keluarga a. Bagi waria sebaiknya selalu melakukan pemeriksaan kesehatan, seperti bekerjasama dengan puskesmas yang ada didaerah tersebut, dengan ketua waria sehingga semua waria yang ada dalam komunitasnya dapat melakukan pemeriksaan kesehatan, baik NAPZA maupun HIV AIDS setiap bulan sekali. b. Bagi keluarga diharapakan untuk dapat terus memberikan suport dan dukungannya kepada waria karena dengan suport dan dukungan keluarga waria dapat memiliki konsep diri yang positif sehingga waria memiliki harapan yang positif
DAFTAR PUSTAKA Atmojo, K. 1986. Kami bukan lelaki ;sebuah sketsa kehidupan waria. Jakarta : Pustaka Grafity Pers Bockting.W.O et al. (2013). Stigma, Mental Health, and Resilience in an Online Sample of the US Transgender Population. American Journal Of Public Health, March 14, 2013. Bornstein & Masling. (2002) The Psycholodynamics of Gender and Gender Role. Washington DC: American Psycological Assosiation. Bosma, A, Graafma.T.B.L,dkk (1994) Identity and Development. London: Sage Brodford,. J. Reisner,. S.L. (2013) Experiences of Transgender Related Discrimination and Implication for Health: Results from the transgender health initiatif study. Research and Practice. Vol 103.no.10 Mc Lelland, M. (2005). Perspektives in Human Sexuality. Hawkes, G.,&Scott,J. (Eds).
Out on the world satge Queer cultures and globalisation. Victoria: Oxford University Press. Morgan,.S.W,. Stevens,. P.E. (2012). Trangender identity Development as Represented by a group Transgendered Adults. Issue in mental Health Nursing, 33:301 – 308, 2012. Doi: 10.3109/01612840.2011.653657. Motmans, J., Meier, P., Ponnet, K., & T'Sjoen, G. (2012). Female and male transgender quality of life: socioeconomic and medical differences. The journal of sexual medicine, 9(3), 743-750.