i
PENGARUH PEMIMPIN TERHADAP PRODUKTIVITAS KOMUNITAS WARIA MIGRAN DAN PERANAN WARIA DALAM PEMBANGUNAN DESA
DITA PRATIWI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Pemimpin Terhadap Produktivitas Komunitas Waria Migran dan Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Dita Pratiwi NIM I34110006
iii
ABSTRAK DITA PRATIWI. Pengaruh Pemimpin Terhadap Produktivitas Komunitas Waria Migran dan Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa. Dibimbing oleh LALA M KOLOPAKING Pesantren Waria Al-Fatah di Desa Jagalan sudah berdiri sejak tahun 2008 dengan melibatkan waria migran yang datang dari berbagai daerah. Tujuan mereka berada di Pesantren Waria adalah untuk memerbaiki kehidupan menjadi lebih produktif. Pemimpin pesantren merupakan aktor penting dalam pendirian dan pelaksanaan kegiatan di pesantren ini. Tujuan penelitian, yaitu: mengidentifikasi pengaruh tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran; menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan desa asal waria. Metode penelitian menerapkan pendekatan kuantitatif dengan metode survei yang didukung data kualitatif melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria migran. Tingkat produktivitas memengaruhi tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan desa asal waria. Peranan waria dalam pembangunan desa diwujudkan melalui sumbangan berupa uang, barang, atau tenaga kerja yang diberikan komunitas waria migran kepada pihak Desa Jagalan ataupun pihak keluarga di desa asal masing-masing. Kata Kunci: pembangunan desa, pemimpin, produktivitas, waria migran
iv
ABSTRACT DITA PRATIWI. Leaders Influence on Productivity of Migrant Transvestites Community and Transvestites did in Rural Development. Supervised by LALA M KOLOPAKING Al-Fatah boarding transvestites in jagalan village had establish since 2008 involving transvestites migrants who come from different regions. Their goal was in boarding school is to repair transvestites to be more productive. Pesantren leaders are important actors in the establishment and implementation of activities in these schools. Research objectives, namely: identify the effect of leadership level (level of ability, the level of personality and leadership style) on the level of productivity of the migrant transvestites community; analyze the effect of the productivity level of the migrant transvestites community on the level transvestites did in Jagalan Rural development and village of transvestites. Quantitative research methods approach supported by survey method qualitative data through in-depth interviews. The results showed that the level of leadership (ability level, the level of personality and leadership style) influence the level of productivity of the migrant transvestites community. Productivity levels affect the level of village development and village of origin Jagalan transvestites. Transvestites did ini rural development is realized through donations of money, goods or labor provided to the migrant transvestites community Jagalan village or family parties in their respective home villages. Keywords: rural development, leader, productivity, migrant transvestites
v
PENGARUH PEMIMPIN TERHADAP PRODUKTIVITAS KOMUNITAS WARIA MIGRAN DAN PERANAN WARIA DALAM PEMBANGUNAN DESA
DITA PRATIWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
vi
Judul Skripsi
:
Nama Mahasiswa NIM
: :
Pengaruh Pemimpin Terhadap Produktivitas Komunitas Waria Migran dan Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Dita Pratiwi I34110006
Disetujui oleh
Dr Ir Lala M Kolopaking, MS. Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah. MSc Ketua Departemen
Tahun Lulus :
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemimpin Terhadap Produktivitas Komunitas Waria Migran dan Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa” ini membahas tentang pengaruh tingkat kepemimpinan terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran, serta pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan desa asal waria. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr Ir Lala M Kolopaking, MS sebagai dosen pembimbing yang bijak, senantiasa memberikan saran, arahan serta masukan yang sangat berarti selama proses penulisan skripsi. 2. Ir Fredian Tonny Nasdian, MS dan Ir Yatri Indah Kusumastuti, Msi sebagai dosen penguji skripsi yang memberikan saran, kritikan, dan arahan kepada penulis untuk perbaikan penulisan skripsi. 3. Endang Sutisna dan Ibu Meriyanti orang tua tercinta, dan keluarga yang menjadi sumber motivasi dan selalu memberikan dorongan positif serta doa kepada penulis. 4. Mahasiswa SKPM 48 sebagai teman berdiskusi sekaligus memotivasi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2015
Dita Pratiwi NIM. I34110006
viii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Waria dan Komunitasnya Kondisi dan Permasalahan Waria Migran Definisi Pemimpin Gaya Kepemimpinan Produktivitas Kegiatan Produktif Komunitas Waria Migran Pembangunan Desa Kesejahteraan Sosial Kerangka Pemikiran Hipotesis Definisi Operasional Tingkat Kepemimpinan Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Penentuan Informan dan Responden Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data Analisis Data Dengan Software SmartPLS 2.0 Evaluasi Model Pengukuran atau Outer Model Uji Validitas Uji Reliabilitas PROFIL DESA JAGALAN Karakteristik Geografis Karakteristik Ekonomi dan Pendidikan PESANTREN WARIA AL-FATAH DESA JAGALAN Kegiatan Pesantren Waria Al-Fatah di Desa Jagalan PENILAIAN TERHADAP KEPEMIMPINAN, PRODUKTIVITAS, DAN PERANAN WARIA DALAM PEMBANGUNAN DESA Kepemimpinan Pesantren Waria Al-Fatah
ix x xi 1 1 2 2 3 4 4 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 14 14 15 16 17 17 17 17 17 18 19 19 20 21 22 22 23 25 28 32 32
ix
Kemampuan Memimpin Pesantren Waria Al-Fatah Kepribadian Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah Gaya Kepemimpinan Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah Produktivitas Komunitas Waria Migran Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Jagalan Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Asal PENGARUH TINGKAT KEPEMIMPINAN, TINGKAT PRODUKTIVITAS, DAN TINGKAT PERANAN WARIA DALAM PEMBANGUNAN DESA Pengaruh Tingkat Kemampuan Terhadap Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Pengaruh Tingkat Kepribadian Terhadap Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Pengaruh Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Terhadap Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Jagalan Pengaruh Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Terhadap Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Asal Waria PENUTUP Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
32 33 34 36 38 38 39
41 41 44 46 49 51 52 52 53 54 56
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10
Uji reliabilitas kuesioner dengan SPSS 21.0 Nilai loading factor indikator setiap variabel Pengujian validitas setiap indikator dengan t-statistik Pengujian reliabilitas variabel berdasarkan nilai AVE, Composite Reliability, dan Cronbachs Alpha Luas lahan dan persentase peruntukan atau penggunaan tanah di Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase tenaga kerja menurut kelompok usia di Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan masyarakat di Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase daerah asal waria migran, Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase komunitas waria menurut kelompok usia di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan presentase usaha mandiri komunitas waria di Pesantren Waria Al-Fatah, tahun 2014
18 19 20 21 22 23 24 27 27 30
x
Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16
Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23
Tabel 24
Tabel 25
Tabel 26
Tabel 27
Penilaian atas kemampuan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase tingkat kemampuan pemimpin komunitas waria di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Penilaian atas kepribadian pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase tingkat kepribadian pemimpin komunitas waria di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Penilaian atas gaya kepemimpinan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase tingkat gaya kepemimpinan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Penilaian atas produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Penilaian atas peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan, tahun 2014 Jumlah dan persentase tingkat peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan, tahun 2014 Penilaian atas peranan waria migran dalam pembangunan desa asal, tahun 2014 Jumlah dan persentase tingkat peranan waria migran dalam pembangunan desa asal, tahun 2014 Pengujian hipotesis pengaruh tingkat kemampuan pemimpin terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah Pengujian hipotesis pengaruh tingkat kepribadian pemimpin terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah Pengujian hipotesis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah Pengujian hipotesis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan Pengujian hipotesis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal
32 33 33 34 34
35 36 37 38 39 40 40
41
44
46
49
51
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2
Kerangka Berfikir Denah lokasi penelitian
13 57
xi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6
Denah lokasi penelitian, Desa Jagalan, Kec Banguntapan, Kab Bantul Jadwal kegiatan penelitian Kerangka percontohan responden Catatan tematik Dokumentasi penelitian Riwayat hidup
57 58 59 60 68 69
PENDAHULUAN Latar Belakang Desa adalah kesatuan masyarakat yang saling mengenal atas dasar hubungan kekerabatan, kepentingan politik, sosial, ekonomi, keamanan, dan menetap dalam suatu wilayah (Nurcholis 2011). Masyarakat desa saling berinteraksi dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Interaksi yang dilakukan secara konsisten akan membentuk suatu pola kehidupan dan menghasilkan gejala sosial berupa: norma, kelompok sosial, organisasi sosial, dan perubahan sosial (Soekanto 2009). Tidak semua individu diterima kehadirannya oleh masyarakat desa. Tingkah laku individu atau kelompok yang dinilai masyarakat menyimpang atau bertentangan dengan norma-norma (mengalami patologi sosial) dapat dijauhkan, didiskriminasi, bahkan diusir dari desa. Berbagai macam tingkah laku patologi sosial berupa perjudian, korupsi, kriminalitas, pelacuran, dan mental disorder (kekalutan jiwa, kekacauan serta gangguan mental). Salah satu individu atau kelompok yang dianggap mengalami mental disorder adalah waria (Kartono 2003). Akibatnya, banyak waria yang dijauhi, didiskriminasi, bahkan diusir dari desa. Secara fisik waria berjenis kelamin laki-laki, namun secara tingkah laku, tutur kata, cara berpakaian, dan bersikap seperti wanita. Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan Kementerian Dalam Negeri mendata jumlah waria di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 400 ribu waria, pada tahun 2008 mencapai 600 ribu waria, dan pada tahun 2013 mencapai 7 juta waria (Kemendagri 2013). Mayoritas waria di Indonesia adalah waria migran, yaitu mereka yang berasal dari desa pindah ke kota. Hadirnya waria di kota karena mereka tidak diterima oleh keluarga di desa, dan menganggap peluang untuk mendapatkan pekerjaan di kota lebih besar. Padahal kenyataannya, di kota pun waria tetap sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, karena sektor formal sangat jarang memekerjakan waria (Rahmantyo 2013). Adanya kesamaan perlakuan, kekalutan jiwa, dan kesamaan nasib membuat waria saling berinteraksi dalam setiap aktivitas. Lambat laun para waria membentuk suatu komunitas yang cenderung terdiri atas waria migran. Terbentuknya komunitas waria migran tidak membuat mereka lantas keluar dari permasalahan sosial. Komunitas waria sulit menjalani kehidupannya secara wajar. Mereka hanya hidup di lingkungan komunitasnya saja, selain itu mereka kerap kali mendapatkan diskriminasi dari masyarakat umum. Sebagian besar masyarakat akan langsung menilai bahwa pekerjaan waria adalah pekerja seks, padahal tidak semua waria berkecimpung dalam pekerjaan tersebut. Pandangan negatif masyarakat mengenai waria perlu diubah, karena pada dasarnya waria juga memiliki HAM sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bagian (a) yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Kehidupan waria dirasa kurang produktif karena tidak mendapatkan keadilan dalam hal pekerjaan, pendidikan, ataupun pelayanan publik (Wibisono 2009). Melihat fenomena tersebut, hadirlah sesosok dari komunitas waria yang
2
berinisiatif untuk memerbaiki kehidupan waria menjadi lebih produktif. Sosok tersebut diakui sebagai pemimpin komunitas waria Yogyakarta. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemimpin untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria migran adalah mendirikan organisasi non-formal yaitu pesantren waria. Pesantren Waria Al-Fatah adalah organisasi non-formal pemberdayaan komunitas waria migran yang didirikan pada tahun 2008 oleh salah satu waria di Yogyakarta yaitu Shinta Ratri. Pesantren Waria Al-Fatah terletak di Celenan RT 09, RW 02, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun kegiatan di pesantren ini selain untuk menyalurkan ilmu-ilmu Agama Islam juga untuk membangun kemandirian, mentalitas, kelestarian, keorganisasian, dan etika komunitas waria migran. Tujuan pesantren waria untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria migran melalui selektivitas dalam memilih lapangan pekerjaan, memfasilitasi kehidupan waria dengan memberikan modal untuk membangun usaha kecil mandiri, dan berperan sebagai media agar para waria mendapatkan pengakuan eksistensi sebagai bagian dari masyarakat tanpa adanya sikap diskriminasi dan marjinalisasi. Produktivitas yang dicapai dapat berpengaruh terhadap peranan waria dalam pembangunan desa, baik desa tempat tinggal waria (Desa Jagalan) ataupun desa asal waria. Menurut UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan desa diartikan sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan desa juga bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis pengaruh pemimpin terhadap produktivitas komunitas waria migran dan peranan waria dalam pembangunan desa. Masalah Penelitian Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah? 2. Bagaimana pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan ? 3. Bagaimana pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi pengaruh tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. 2. Menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan.
3
3.
Menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, hasil penelitian dapat menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Penelitian ini juga dapat menjadi salah satu sumber informasi serta referensi mengenai topik yang terkait. 2. Bagi masyarakat, hasil penelitian dapat menambah pengetahuan mengenai kehidupan komunitas waria yang selama ini dipandang sebelah mata, dan menambah pengetahuan mengenai keanekaragaman kegiatan produktif untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria, sehingga waria dapat lebih diterima dalam kehidupan masyarakat. 3. Bagi pemerintah, hasil penelitian dapat menjadi salah satu acuan untuk membuat kegiatan usaha ekonomi bagi komunitas waria agar hidup mereka menjadi produktif, dan untuk acuan menyusun kebijakan mengenai HAM bagi komunitas waria agar mereka tidak didiskriminasi dan dimarjinalisasikan. 4. Bagi Pesantren Waria Al-Fatah, hasil penelitian dapat menjadi sumber informasi mengenai kegiatan produktif yang dapat dilakukan oleh komunitas waria, dan sebagai sumber informasi mengenai pemimpin yang tepat bagi komunitas waria
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Waria dan Komunitasnya Waria berasal dari penggabungan kata wanita dan pria, yaitu seorang pria tetapi seperti wanita (Mustikawati et al. 2013). Waria (wanita-pria) adalah lakilaki yang berbusana dan bertingkah laku menyerupai wanita (Abdullah dan Faidah 2013). Yuliani (2006) menjelaskan bahwa waria adalah individu transseksual, yaitu individu yang terlahir sebagai lelaki namun merasa dirinya perempuan dan hidup layaknya perempuan. Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, juga memiliki jumlah waria migran terbanyak, khususnya di perkotaan (Rahmantyo 2013). Waria migran adalah sebutan bagi waria yang melakukan migrasi. Migrasi yaitu aktivitas perpindahan dari tempat asal ketempat yang baru untuk mencari lingkungan hidup yang lebih baik. Pola migrasi yang terjadi pada waria karena peluang untuk mendapatkan pekerjaan di kota lebih besar, mengingat mayoritas waria yang tidak diterima oleh keluarganya di pedesaan sehingga memilih untuk mencari nafkah di kota (Rahmantyo 2013). Terdapat berbagai macam pandangan mengenai waria dalam kehidupan bermasyarakat. Mengutip tulisan Abdullah dan Faidah (2013) yang menjelaskan tentang waria dalam dua pandangan, berikut penjelasannya: 1. Pandangan agama, khususnya dalam Agama Islam, waria lebih tepat difahami sebagai seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual perempuan. Kondisi seperti ini dalam hadits dinamakan mukhannats, yaitu laki-laki yang menyerupai perempuan. Ibn Hajar membagi mukhannats kedalam dua bagian: Tercipta sejak dalam janin dan lelaki yang dengan sengaja memoles dirinya serta berperilaku seperti perempuan. Menurut Ibn Hajar, jenis pertama tidak terlaknat, tapi harus diupayakan agar waria tersebut dapat mengubah diri menjadi lelaki sejati. Jenis kedua hukumnya dosa dan terlaknat, maka waria pun harus mengubah diri menjadi lelaki. 2. Pandangan medis, waria disebabkan apabila dalam zygote terjadi kombinasi tanpa mengalami pembelahan kromosom, maka janin akan mengidap kelainan. Penyebab lainnya ketika janin berusia delapan minggu, janin tersebut kurang mendapatkan asupan testosteron ke otak. Akibatnya sekalipun berjenis kelamin laki-laki, maka secara kejiwaan termasuk orientasi seksualnya, adalah perempuan. Maka waria dapat dikatakan sebagai seorang laki-laki yang sejak dalam janin memiliki “kelainan” otak atau jiwa yang tidak memiliki hasrat seksual sedikitpun terhadap wanita. Pada dasarnya waria memiliki HAM sebagaimana yang tercantum dalam UU RI No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bagian (a) yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Waria yang merasa memiliki kesamaan dalam berperilaku, budaya, kebiasaan, daerah asal (desa), dan kesamaan nasib dengan waria lainnya, akan saling berinteraksi. Interaksi yang terjalin akan semakin berpola, sehingga akan
5
menciptakan suatu kesamaan tujuan dan terbentuklah komunitas waria migran. Terbentuknya komunitas waria migran agar mereka tidak merasa sendiri dan mampu melakukan aktivitas secara normal seperti masyarakat lainnya. Salah satu aktivitas yang dilakukan untuk bertahan hidup adalah bekerja. Abdullah dan Faidah (2013) menyebutkan bahwa umumnya para waria berprofesi di bidangbidang yang biasanya dilakukan oleh wanita, seperti: salon, butik, dan bidang kesenian. Komunitas waria migran merupakan salah satu wujud dari realitas sosial yang terjadi. Mereka menjadi komunitas minoritas yang hidup di tengah tekanan sosial, dimana lahirnya perilaku waria tidak terlepas dari proses/dorongan dalam diri, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis (Nurhidayati 2010). Hal ini juga dijelaskan oleh Yuliani (2006), bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat sekelompok manusia yang tersingkir atau sengaja dijauhi karena karakteristik fisik yang mereka miliki, salah satunya adalah komunitas waria. Abdullah dan Faidah (2013), menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan seseorang menjadi waria, yaitu: Pertama, disebabkan oleh perlakuan dan pola asuh dari orangtua sejak kecil. Kebiasaan memakai busana dan bermain bersama anak perempuan menjadikan anak mengalami kebimbangan identitas. Kedua, kecenderungan psikis menyimpang dari fitrah tidak mendapat pantauan dari orangtua, sehingga anak mengembara mencari identitas dirinya sendiri. Ketiga, kekerasan seksual yang terjadi karena disodomi oleh saudara laki-laki menimbulkan gejolak kejiwaan. Hubungan seksual telah memengaruhi pola pikir dan kejiwaan untuk merubah diri menjadi waria. Kondisi dan Permasalahan Komunitas Waria Migran Menurut Abdullah dan Faidah (2013), dulunya waria cenderung tertutup, namun saat ini waria lebih terbuka mengenai identitas dirinya kepada masyarakat. Komunitas waria migran berusaha untuk hidup normal bersama masyarakat, agar waria mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Walaupun tak jarang masyarakat yang menganggap waria sebagai perusak moral masyarakat, penghancur kehidupan keluarga, ataupun manusia tanpa harga diri (Abdullah dan Faidah 2013). Kerap kali para waria dikonstruksi sebagai sampah masyarakat karena norma sosial tidak bisa menerima kehadiran waria. Komunitas waria migran yang merupakan salah satu contoh kaum transseksual, pada kenyataannya memang belum dapat diterima seutuhnya. Mereka masih dipandang sebelah mata, banyak diantara mereka yang mengalami diskriminasi atau penyingkiran dalam lingkungannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yuliani (2006) dalam tulisannya, bahwa kaum transseksual di bagian dunia manapun umumnya didiskriminasi dan tidak diakui hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budayanya oleh negara. Padahal sebenarnya mereka memiliki hak yang sama seperti manusia lainnya. Waria sering dipandang sebagai patologis, anomali, atau abnormal. Berbicara mengenai patologi, Kartono (2003) dalam bukunya yang berjudul Patologi Sosial menjelaskan bahwa patologi yaitu: “...Semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Semua tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat-istiadat masyarakat (dan adatistiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama).
6
Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak...” (Kartono 2003:1).
Mengacu pada penjelasan mengenai patologi, waria yang dipandang sebagai patologis seharusnya dapat “disembuhkan” dengan adanya perbaikan-perbaikan tingkah laku yang dianggap bertentangan atau melanggar kehendak masyarakat pada umumnya, namun untuk melakukan perbaikan tentu sangat sulit bagi para waria. Sebagai masyarakat normal, seharusnya kita dapat saling menghargai kondisi yang terjadi pada diri komunitas waria migran. Karena pada kenyataannya mereka ingin jati dirinya diakui, mereka butuh pekerjaan untuk menopang hidupnya, butuh interaksi dengan masyarakat dalam aktivitas sosial, dan butuh pengakuan dari masing-masing budaya. Komunitas waria migran kerap kali menjadi sebuah persoalan dengan berbagai kontradiksi di lingkungan masyarakat. Hal ini karena masyarakat pada umumnya hanya mengetahui dua identitas gender sebagai struktur psikologis dari dua jenis kelamin, yaitu maskulin bagi laki-laki, dan feminin bagi perempuan. Berbagai kontradiksi yang terjadi mengakibatkan waria sering dihadapi dengan kondisi konflik. Konflik yang terjadi tentu bersifat kompleksitas dan memiliki dinamika. Menurut Eliana dan Colonne (2005), konflik yang dihadapi komunitas waria terbagi menjadi dua, yaitu konflik dirinya dengan masyarakat (interpersonal) dan konflik dalam dirinya sendiri (intrapersonal). Waria juga dapat mengalami konflik psikologis. Hal ini dijelaskan oleh Nurhidayati (2010) bahwa konflik psikologis dapat mengakibatkan waria mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki-laki normal, tetapi tidak juga sebagai wanita normal. Perilaku berbeda inilah yang menjadi salah satu faktor adanya diskriminasi terhadap waria di kalangan masyarakat. Keberadaan mereka (komunitas waria) kerap kali dianggap sebagai masalah dalam hal dimensi sosial, kultural, dan keagamaan dalam sebuah masyarakat (Nurhidayati 2010). Berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh komunitas waria migran untuk tetap bertahan hidup di lingkungannya. Mustikawati et al. (2013) dalam tulisannya menjelaskan mengenai masalah pokok komunitas waria, sebagai berikut: 1. Masih banyaknya waria yang berprofesi sebagai PSK (Penjaja Seks Komersial), sehingga menimbulkan stigma dalam masyarakat. 2. Masih sering waria yang mengalami perlakuan kasar terutama dari pihak aparat (Satpol PP). 3. Masih sering terjadi diskriminasi terhadap waria dalam memperoleh lapangan pekerjaan. Definisi Pemimpin Mengutip tulisan Soekanto (2009) yang menjelaskan bahwa pemimpin merupakan seseorang yang mampu memengaruhi orang lain (pengikutnya atau yang dipimpinnya), sehingga bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki pemimpin tersebut. Kemampuan dan kepribadian merupakan dua hal penting yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk memengaruhi pengikutnya. Hal ini diperkuat oleh Kiswanto (2010) yang menjelaskan bahwa pemimpin merupakan sosok yang memiliki kemampuan dalam membimbing, mengelola, memerintah
7
dan memotivasi bawahannya, serta sosok yang memiliki kepribadian tegas, berani, agresif, dan mengayomi. Apabila pemimpin memiliki kemampuan dan kepribadian tersebut, maka pengikut atau bawahan yang dipimpin akan menghormati dan patuh terhadap perintah serta tugas yang diberikan. Kemampuan dan kepribadian dapat dilihat dari cara pemimpin melakukan komunikasi baik langsung ataupun tidak langsung terhadap pengikutnya. Apabila komunikasi berjalan dengan baik, maka akan meningkatkan kinerja pengikut/bawahan secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini diperkuat oleh Kiswanto (2010) yang menyatakan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh kemampuan, kepribadian, dan cara komunikasi pemimpin. Pada kehidupan sosial, terdapat berbagai macam kelompok, komunitas, ataupun perusahaan yang masing-masing memiliki pemimpin. Satiawan dan Sutanto (2000) menjelaskan bahwa seorang pemimpin perusahaan merupakan sosok yang seharusnya dapat memberikan kepuasaan kepada para pekerjanya untuk memperoleh tujuan yang diinginkan oleh perusahaan. Berlandaskan berbagai literatur, maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah sosok yang mampu memengaruhi orang lain atau pengikutnya, dengan kemampuan, kepribadian, dan cara komunikasi yang ia miliki. Kemampuan pemimpin berupa membimbing, mengelola, memerintah, dan memotivasi pengikutnya. Kepribadian pemimpin berupa tegas, berani, agresif, dan ayom (mengayomi). Cara komunikasi pemimpin berupa komunikasi langsung dan tidak langsung yang berjalan dengan baik. Gaya Kepemimpinan Kepemimpinan menjadi faktor penting dalam organisasi ataupun perusahaan. Wahjosumidjo (1987) menjelaskan bahwa kepemimpinan efektif akan menghasilkan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan produktif, serta memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam bekerja bagi seluruh pegawainya, sehingga akan meningkatkan produktivitas dari perusahaan atau organisasi tersebut. Pemimpin memiliki gaya kepemimpinan tersendiri yang digunakan untuk memengaruhi perilaku pengikut atau bawahan agar tujuan yang dikehendaki tercapai. Wahjosumidjo (1987) menjelaskan teori Likert bahwa terdapat empat gaya kepemimpinan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, berikut penjelasannya: 1. Gaya kepemimpinan direktif: Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan berkaitan dengan seluruh pekerjaan menjadi tanggungjawab pemimpin dan ia hanya memberikan perintah kepada bawahan untuk melaksanakannya. Pemimpin menentukan semua standar bawahan dalam menjalankan tugas. Pemimpin melakukan pengawasan kerja yang ketat. Pemimpin memberikan ancaman dan hukuman kepada bawahan yang tidak berhasil melaksanakan tugas-tugas yang telah ditentukan. Hubungan dengan bawahan rendah, tidak memberikan motivasi kepada bawahan untuk dapat mengembangkan dirinya secara optimal, karena pemimpin kurang percaya terhadap kemampuan bawahan. 2. Gaya kepemimpinan konsultatif: Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dilakukan oleh pemimpin setelah mendengarkan keluhan dari bawahan. Pemimpin menentukan tujuan dan mengemukakan berbagai ketentuan yang bersifat umum setelah melalui proses diskusi dan konsultasi
8
dengan para bawahan. Penghargaan dan hukuman diberikan kepada bawahan dalam rangka memberikan motivasi kepada bawahan. Hubungan dengan bawahan baik. 3. Gaya kepemimpinan partisipatif: Pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah atau dengan kata lain apabila pemimpin akan mengambil keputusan, dilakukan setelah adanya saran dan pendapat dari bawahan. Pemimpin memberikan keleluasaan bawahan untuk melaksanakan pekerjaan. Hubungan dengan bawahan terjalin dengan baik dan dalam suasana yang penuh persahabatan serta saling mempercayai. Motivasi yang diberikan kepada bawahan tidak hanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ekonomis, melainkan juga didasarkan atas pentingnya peranan bawahan dalam melaksanakan tugastugas organisasi. 4. Gaya kepemimpinan delegatif: Pemimpin mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi dengan bawahan, selanjutnya mendelegasikan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dengan bawahan. Bawahan mempunyai hak untuk menentukan langkah-langkah bagaimana keputusan dilaksanakan dan hubungan dengan bawahan rendah. Pemimpin tidak selalu menerapkan satu gaya kepemimpinan dalam menghadapi bawahannya. Perpaduan keempat gaya kepemimpinan dapat digunakan sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi supaya motivasi karyawan tetap terjaga dengan baik saat bekerja. Satiawan dan Sutanto (2000) juga menjelaskan mengenai gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Rensis Likert, sebagai berikut: 1. Otoritatif dan eksploitif: Semua keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan dan memerintah para bawahan dilakukan oleh pemimpin. Standar dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh pemimpin. 2. Otoritatif dan benevolent: Pemimpin tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. Bawahan juga diberi berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas dan prosedur yang telah ditetapkan. 3. Konsultatif: Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan mengenai pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman. 4. Partisipatif: Sistem yang paling ideal, tujuan dan keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Pemimpin secara formal membuat keputusan, dimana keputusan tersebut merupakan pertimbangan saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Pemimpin tidak hanya memberikan penghargaan tetapi juga memberikan hal yang dibutuhkan dan penting bagi karyawannya. Hasil dari berbagai literatur menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dapat diidentifikasi melalui dua sudut pandang. Pertama, Wahjosumidjo (1987) yang menjelaskan empat gaya kepemimpinan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, yaitu: gaya kepemimpinan direktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif. Kedua, Satiawan dan Sutanto (2000) menjelaskan empat gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Rensis Likert, yaitu: otoritatif dan eksploitif, otoritatif dan benevolent, konsultatif, dan partisipatif. Penulisan skripsi
9
ini menggunakan konsep Wahjosumidjo (1987) yaitu: gaya kepemimpinan direktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif. Gaya kepemimpinan digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur variabel tingkat kepemimpinan. Produktivitas Pada suatu organisasi, produktivitas adalah hasil dari anggota organisasi berupa barang atau jasa. Kamuli (2012) dalam tulisannya menjelaskan bahwa produktivitas selalu diarahkan dalam hal melakukan atau memanfaatkan sesuatu agar mencerminkan prinsip efektivitas dan efisiensi. Efisiensi apabila yang dilakukan mempertimbangkan aspek biaya, sarana prasarana, sumber daya (manusia dan material), dan waktu sehemat mungkin. Efektif bila pemanfaatan berbagai aspek tersebut tepat sasaran atau mencapai tujuan yang diinginkan. Artinya, produktivitas merupakan pendayagunaan sumber daya manusia secara efektif dan efisien, ketepatan atau kesesuaian penggunaan metode, atau cara kerja dibandingkan dengan alat dan waktu yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan. Produktivitas adalah penilaian secara sistematis terhadap individu atau kelompok yang berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan dalam suatu pekerjaan/kegiatan (Almigo 2004). Produktivitas kerap kali mengalami penurunan karena adanya permasalahan dalam bekerja. Permasalahan produktivitas merupakan suatu indikasi bahwa peranan kepemimpinan dan manajemen sebagai pengelola sumber daya manusia diperlukan (Almigo 2004). Permasalahan yang kerap terjadi yaitu pemimpin terkadang memberikan penilaian kerja yang sering mengikuti unsur subyektivitas. Hal ini akan berdampak pada buruknya pengelolaan sumber daya manusia, akibatnya suatu organisasi akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan kinerja dan produktivitas menurun. Hal yang terlebih penting perlu diperhatikan adalah produktivitas sumber daya manusia. Menurut Kamuli (2012), produktivitas sumber daya manusia dapat dilihat dari berbagai perolehan, berikut penjelasannya: 1. Pendapatan yaitu hasil kinerja setelah seseorang menyelesaikan pekerjaannya. Macam-macam pendapatan antara lain adalah uang, barang, pujian, atau kepuasan. 2. Pendidikan yaitu kemampuan seseorang dalam melaksanakan pendidikan formal ataupun non-formal. Pendidikan formal berupa SD, SMP, SMA, D3, S1, dst. Pendidikan non formal berupa pesantren atau kursus/pelatihan. 3. Kesehatan yaitu kemampuan seseorang memelihara dirinya sedini mungkin dari serangan penyakit-penyakit, dan kemampuan hidup bersih dengan menjaga lingkungan, serta hidup sehat dengan menjaga pola makan. 4. Kebutuhan hidup pokok yaitu kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang penting dimiliki setiap manusia berupa sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (rumah/tempat tinggal), dan pengakuan dari masyarakat. Mengacu dari berbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa produktivitas adalah hasil kerja seseorang berupa barang atau jasa dengan menggunakan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan. Artinya, seseorang dikatakan produktif apabila ia telah menghasilkan suatu barang atau jasa dan memiliki kemampuan yang lebih. Produktivitas sumber daya manusia dapat dilihat dari
10
kemampuannya dalam memeroleh pendapatan, melaksanakan pendidikan, memelihara kesehatan, dan memenuhi kebutuhan hidup pokok. Kegiatan Produktif Komunitas Waria Migran Kegiatan produktif adalah segala aktivitas yang dapat meningkatkan produktivitas sumber daya manusia, dalam hal ini adalah komunitas waria migran. Mengutip tulisan Kamuli (2012) bahwa produktivitas sumber daya manusia dapat dilihat dari perolehan pendapatan, pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan hidup pokok. Beberapa kegiatan yang dapat meningkatkan produktivitas adalah bekerja, melaksanakan pendidikan, sosialisasi dengan masyarakat, memerhatikan lingkungan tempat tinggal, dan hidup bersih. Berdasarkan kegiatan-kegiatan tersebut diatas, kegiatan yang dianggap paling mampu meningkatkan produktivitas adalah bekerja. Permasalahan yang dihadapi waria salah satunya adalah sulit mendapat pekerjaan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Mustikawati et al. (2013) yang mengatakan bahwa sebagian besar perusahaan formal ataupun masyarakat yang memiliki usaha tidak mau memberikan pekerjaan kepada waria, penolakan ini menimbulkan masalah sosial di kalangan mereka. Sulitnya waria mendapatkan pekerjaan menjadi fokus untuk melakukan kegiatan produktif bagi komunitas waria migran, berikut penjelasannya: 1. Menurut Mustikawati et al. (2013), kegiatan pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat melalui life skill education bagi komunitas waria migran. Pemberdayaan ini dilakukan agar waria memiliki: 1. Keterampilan dan jiwa kewirausahaan sehingga mampu mengembangkan diri dan berkarya untuk mendapatkan tambahan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya; 2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap kemandirian dalam berwirausaha sesuai dengan kebutuhan pasar; 3. Memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi dalam menjalankan kegiatan kewirausahaan. Pemberdayaan ekonomi melalui life skill education layak dilakukan sebagai usaha bagi komunitas waria migran. Kegiatan ini dapat dikatakan sebagai salah satu kegiatan produktif bagi komunitas waria migran. Seiring berjalannya kegiatan pemberdayaan ekonomi ini, mulai terlihat bahwa wirausaha yang banyak digemari oleh waria adalah tata boga dan tata rias. Pemberdayaan ekonomi komunitas waria melalui life skill education berpengaruh positif terhadap peningkatan semangat kewirausahaan dan peningkatan kemampuan/ keterampilan waria. Kegiatan pemberdayaan seperti ini mampu membantu komunitas waria mendapatkan sumber penghasilan yang halal dengan berwirausaha, walaupun usaha yang dilakukan memerlukan proses yang cukup lama dengan hasil yang tidak terlalu tinggi, setidaknya dengan kegiatan ini komunitas waria mendapatkan langkah awal dalam memerbaiki pekerjaannya. 2. Menurut Abdullah dan Faidah (2013), kegiatan produktif bagi komunitas waria migran adalah kegiatan keagamaan, seperti: pengajian dan pembentukan kelompok sholawat yang dilaksanakan bersama masyarakat sekitar. Pengajian dan kelompok sholawat ini akan menciptakan interaksi antara waria dengan masyarakat, sehingga waria dapat diterima di lingkungannya.
11
3.
Menurut Abdullah dan Faidah (2013), kegiatan bakti sosial bagi komunitas waria migran seperti santunan anak yatim piatu, sumbangan bagi korban bencana, dan kegiatan gotong royong bersama masyarakat. Berdasarkan hasil analisis pustaka yang dilakukan, kegiatan produktif bagi komunitas waria migran terdiri atas: pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat melalui life skill education, kegiatan keagamaan dan kegiatan bakti sosial. Pembangunan Desa
Menurut UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan desa diartikan sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan desa juga bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan melalui: 1. Pemenuhan kebutuhan dasar 2. Pembangunan sarana dan prasarana desa 3. Pengembangan potensi ekonomi lokal 4. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan desa di Indonesia, sebagaimana yang disampaikan Aenilah et al. (2013), awalnya menggunakan istilah pembangunan masyarakat yang diartikan sebagai suatu proses dan metode program kelembagaan dan gerakan yang mencakup mengikutsertakan masyarakat sebagai basis dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi bersama, mendidik dan melatih masyarakat dalam proses demokrasi untuk mengatasi masalah secara bersama, dan mengaktifkan kelembagaan serta menyediakan fasilitas untuk transfer teknologi pada masyarakat. Pembangunan desa dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pembangunan desa mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial (UU No. 06 Tahun 2014). Perencanaan program atau kegiatan guna pembangunan desa mengikutsertakan masyarakat desa, dalam hal ini masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat Desa Jagalan. Penyusunan perencanaan program atau kegiatan ini disusun dengan adanya musyawarah antar pemerintah desa dengan masyarakat. Musyawarah dilaksanakan untuk menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat desa yang meliputi peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumberdaya lokal yang tersedia, pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif, pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi, dan peningkatan kualitas ketertiban dan ketentraman masyarakat desa berdasarkan kebutuhan masyarakat desa (UU No. 06 Tahun 2014). Keseluruhan pembangunan desa dilaksanakan oleh pemerintah desa dengan melibatkan seluruh masyarakat desa dengan semangat gotongroyong. Kesejahteraan sosial juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan sosial akan diulas dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan sosial juga mengulas mengenai penanggulangan kemiskinan yang tidak jauh berbeda dengan penanggulangan kemiskinan di pembangunan desa.
12
Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah individu, kelompok, lembaga kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial adalah dengan adanya pemberdayaan sosial. Pemberdayaan sosial merupakan semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (UU No.11 Tahun 2009). UU No. 11 Tahun 2009 pada pasal 12 menjelaskan bahwa pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemberdayaan sosial dapat dilakukan melalui: peningkatan kemauan dan kemampuan; penggalian potensi dan sumber daya; penggalian nilai-nilai dasar; pemberian akses; dan pemberian bantuan usaha. Pemberdayaan sosial dilakukan dalam bentuk: diagnosis dan pemberian motivasi; pelatihan keterampilan; pendampingan; pemberian stimulan modal, peralatan usaha, dan tempat usaha; peningkatan akses pemasaran hasil usaha; supervisi dan advokasi sosial; penguatan keserasian sosial; penataan lingkungan; dan bimbingan lanjut. Kesejahteraan sosial juga membahas mengenai penanggulangan kemiskinan. Pada UU No 11. Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Bab IV dijelaskan bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk: meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin; memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar; mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan. Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk: penyuluhan dan bimbingan sosial; pelayanan sosial; penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha; penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar; penyediaan akses pelayanan perumahan dan pemukiman; dan/atau penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan pemasaran hasil usaha. Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dalam UU Tentang Kesejahteraan Sosial tidak jauh berbeda dengan UU Tentang Pembangunan Desa. Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dalam penelitian ditujukan untuk komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah.
13
Kerangka Pemikiran Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi pengaruh tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah; (2) menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan; dan (3) menganalisis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal. Menurut Soekanto (2009) pemimpin adalah seseorang yang mampu memengaruhi pengikutnya untuk bertingkah laku sesuai kehendak pemimpin. Untuk itu, peran pemimpin sangat penting dalam meningkatkan produktivitas komunitas waria migran. Peran pemimpin dalam penelitian ini dilihat dari tingkat kepemimpinan yang diukur dari tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan. Tingkat kepemimpinan memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria migran. Tingkat produktivitas diukur dari perolehan pendapatan, pemenuhan kebutuhan hidup pokok, pemeliharaan kesehatan, dan peningkatan pendidikan (Kamuli 2012). Tingkat produktivitas didukung oleh berbagai jenis kegiatan produktif yang diukur secara kualitatif. Kegiatan tersebut mencakup pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat melalui life skill education (Mustikawati et al. 2013), kegiatan keagamaan dan kegiatan bakti sosial (Abdullah dan Faidah 2013). Tingkat produktivitas komunitas waria migran memengaruhi tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan desa asal waria. Tingkat peranan waria dalam pembangunan desa diukur dari pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, pembangunan sarana dan prasarana desa, mengembangkan potensi ekonomi lokal, dan memanfaatkan sumber daya lokal berkelanjutan (UU No. 06 Tahun 2014). Kerangka analisis ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan saling memengaruhi antar variabel. Tingkat kepemimpinan
Tingkat produktivitas komunitas waria migran (Y1)
Tingkat kemampuan (X1) Tingkat kepribadian (X2) Gaya kepemimpinan (X3) Jenis kegiatan produktif komunitas waria migran
Tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan (Y2.1) Tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal (Y2.2)
Keterangan : : Memengaruhi : Memengaruhi tapi tidak diukur
Gambar 1 Kerangka berfikir
14
Hipotesis 1.
2. 3.
Diduga terdapat pengaruh antara tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran. Diduga terdapat pengaruh antara tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan. Diduga terdapat pengaruh antara tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal. Definisi Operasional
Definisi operasional digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep sosial yang sudah diterjemahkan menjadi satuan yang lebih operasional, atau sebagian unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu dari variabel (Singarimbun dan Effendi 2008). Tingkat Kepemimpinan Menurut Soekanto (2009) pemimpin adalah sosok yang mampu memengaruhi orang lain atau pengikutnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kehendaknya (Soekanto 2009). Tingkat kepemimpinan diukur melalui tiga hal, yaitu: tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan. Definisi terkait variabel tersebut diantaranya: 1. Tingkat kemampuan (X1) adalah salah satu hal yang penting dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memengaruhi bawahan atau pengikutnya. Hal ini dilihat dari kemampuan pemimpin dalam membimbing, mengelola, memerintah, dan memotivasi komunitas atau organisasi yang ia pimpin (Kiswanto 2010). Jumlah pertanyaan terdiri dari 12 pertanyaan tertutup, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: Sangat Setuju (SS) = skor 4 Setuju (S) = skor 3 Kurang Setuju (KS) = skor 2 Tidak Setuju (TS) = skor 1 Penggolongan ini dilakukan dengan skala ordinal sesuai dengan hasil di lapangan, dengan kategori: a. Tingkat kemampuan kurang baik: skor < 35 b. Tingkat kemampuan cukup: skor 35-39 c. Tingkat kemampuan baik: skor >39 2. Tingkat kepribadian (X2) adalah salah satu hal yang penting dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin bawahan atau pengikutnya. Hal ini dilihat dari kepribadian pemimpin yang mencakup tegas, berani, agresif, dan ayom (mengayomi) (Kiswanto 2010). Jumlah pertanyaan terdiri dari 12 pertanyaan tertutup, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: Sangat Setuju (SS) = skor 4 Setuju (S) = skor 3 Kurang Setuju (KS) = skor 2 Tidak Setuju (TS) = skor 1
15
Penggolongan ini dilakukan dengan skala ordinal sesuai dengan hasil di lapangan, dengan kategori: a. Tingkat kepribadian kurang baik: skor < 36 b. Tingkat kepribadian cukup: skor 36-40 c. Tingkat kepribadian baik: skor > 40 3. Gaya kepemimpinan (X3) adalah cara yang digunakan oleh pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah terbagi menjadi empat yaitu direktif, delegatif, konsultatif, dan partisipatif (Wahjosumidjo 1987). Jumlah pertanyaan terdiri dari 12 pertanyaan tertutup, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: Sangat Setuju (SS) = skor 4 Setuju (S) = skor 3 Kurang Setuju (KS) = skor 2 Tidak Setuju (TS) = skor 1 Penggolongan ini dilakukan dengan skala ordinal sesuai dengan hasil di lapangan, dengan kategori: a. Gaya kepemimpinan kurang baik: skor < 31 b. Gaya kepemimpinan cukup: skor 31-34 c. Gaya kepemimpinan baik: skor > 34 Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran (Variabel Y1) Produktivitas adalah hasil kerja komunitas waria migran dengan menggunakan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan. Tingkat produktivitas komunitas waria migran diukur melalui empat hal, yaitu: pendapatan, pemenuhan kebutuhan hidup pokok, pemeliharaan kesehatan, dan peningkatan pendidikan (Kamuli 2012). Akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yakni: a. Tingkat produktivitas komunitas waria migran rendah: skor < 9 b. Tingkat produktivitas komunitas waria migran sedang: skor 9-10 c. Tingkat produktivitas komunitas waria migran tinggi: skor > 10 Definisi terkait variabel tersebut diantaranya: 1. Pendapatan adalah hasil kinerja waria setelah waria menyelesaikan pekerjaan. Pendapatan berupa pujian, barang, uang, dan kepuasan. Pertanyaan berupa pertanyaan tertutup yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: a. Pendapatan 1 jenis: rendah (skor 1) b. Pendapatan 1-2 jenis: sedang (skor 2) c. Pendapatan > 2 jenis: tinggi (skor 3) 2. Pemenuhan kebutuhan hidup pokok adalah kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang penting dimiliki setiap manusia. Hal ini dilihat dari pemenuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), dan pengakuan dari masyarakat. Pertanyaan berupa pertanyaan tertutup yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: a. Pemenuhan 1 kebutuhan hidup pokok: rendah (skor 1) b. Pemenuhan 2 kebutuhan hidup pokok: sedang (skor 2) c. Pemenuhan 3-4 kebutuhan hidup pokok: tinggi (skor 3)
16
3. Pemeliharaan kesehatan adalah kemampuan memelihara kesehatan sedini mungkin dari penyakit-penyakit, kemampuan hidup sehat dan bersih. Pertanyaan berupa pertanyaan semi terbuka yang diukur dengan skala ordinal sebagai keterangan dengan penilaian berikut: a. Penyakit > 2 pemeliharaan kesehatan: rendah (skor 1) b. Penyakit > 1 pemeliharaan kesehatan: sedang (skor 2) c. Penyakit 1-0 pemeliharaan kesehatan: tinggi (skor 3) 4. Peningkatan pendidikan adalah kemampuan individu dalam meningkatkan pendidikan formal ataupun non-formal. Hal ini mencakup: Pendidikan formal, pendidikan non-formal (pesantren), dan pendidikan ekonomi mandiri. Pertanyaan berupa pertanyaan tertutup yang diukur dengan skala ordinal sebagai keterangan dengan penilaian berikut: a. Pendidikan 1 jenis: rendah (skor 1) b. Pendidikan 2 jenis: sedang (skor 2) c. Pendidikan 3 jenis: tinggi (skor 3) Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa (Variabel Y2) Pembangunan desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Tingkat peranan waria dalam pembangunan desa diukur melalui empat hal, yaitu: pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, pembangunan sarana dan prasarana desa, mengembangkan potensi ekonomi lokal, dan memanfaatkan sumber daya lokal berkelanjutan (UU No. 06 Tahun 2014). Penelitian ini mengukur tingkat peranan waria dalam pembangunan desa pada Desa Jagalan dan desa asal waria. Jumlah pertanyaan terdiri dari 26 pertanyaan tertutup yang terbagi menjadi 13 pertanyaan untuk tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan, dan 13 pertanyaan untuk tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal waria. Semua pertanyaan diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan dengan penilaian berikut: a. Ya = skor 2 b. Tidak = skor 1 Pengukuran akan dilakukan dengan skor dan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori yaitu: 1. Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Jagalan (Y2.1) a. Tingkat peranan waria rendah: skor < 18 b. Tingkat peranan waria sedang: skor 18-20 c. Tingkat peranan waria tinggi: skor > 20 2. Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Asal (Y2.2) a. Tingkat peranan waria rendah: skor < 18 b. Tingkat peranan waria sedang: skor 18-21 c. Tingkat peranan waria tinggi: skor > 21
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Penelitian tentang pengaruh kepemimpinan terhadap produktivitas komunitas waria migran dan peranan waria dalam pembangunan desa ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang diperoleh dari responden, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan responden dan informan (Singarimbun dan Effendi 2008). Lokasi dan Waktu Penelitian Pesantren Waria Al-Fatah sudah didirikan sejak tahun 2008 di Celenan RT 09, RW 02, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Jagalan termasuk dalam wilayah pedesaan yang terletak di pinggiran Kota Yogyakarta. Desa Jagalan memiliki jumlah waria migran yang cukup tinggi dibandingkan dengan pedesaan lainnya. Desa Jagalan dipilih secara purposive (sengaja) sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut (Lampiran 1). Penelitian dilaksanakan dalam waktu 6 bulan, terhitung mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2015. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi (Lampiran 2). Teknik Penentuan Informan dan Responden Populasi penelitian ini yaitu komunitas waria migran di Pesantren Waria AlFatah yang menerima pengaruh pemimpin waria dalam menjalani kegiatan produktif sehingga mencapai produktivitas. Komunitas waria migran adalah para waria yang berasal dari desa, mengadu nasib di kota untuk bertahan hidup, dan hidup di Pesantren Waria Al-Fatah. Pemilihan responden, diawali dengan membuat kerangka percontohan (sampling frame) dari seluruh populasi yang homogen, kemudian pengambilan sampel dilakukan secara acak (simple random sampling) (Lampiran 3). Unit analisis penelitian adalah individu yaitu waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah dengan jumlah 30 responden. Informan adalah orang yang memberikan keterangan mengenai informasi ataupun data disekitar lingkungannya terkait dengan penelitian ini yaitu pengurus dan pengajar Pesantren Waria Al-Fatah, serta Aparat Desa Jagalan. Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden yaitu 30 waria di Pesantren Waria Al-Fatah. Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner berupa daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawabanjawaban dari para responden serta ditujukan untuk memeroleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian (Lampiran 4). Pengumpulan data penelitian ini
18
juga menggunakan observasi (pengamatan langsung) yang dilakukan oleh peneliti di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan. Selain itu dilakukan wawancara mendalam dengan pengurus dan pengajar Pesantren Waria Al-Fatah, serta aparat Desa Jagalan (Lampiran 5). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen pihak-pihak terkait dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, yaitu buku, jurnal penelitian, skripsi, dan internet. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang diolah dan dianalisis yaitu data kuantitaif dan data kualitatif. Data kuantitatif (kuesioner) diolah dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007, SmartPLS 2.0, dan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) for windows 21.0. Aplikasi Microsoft Excel 2007 digunakan untuk mengumpulkan seluruh data kuesioner, pengkodean data, dan pembuatan tabel frekuensi. SmartPLS 2.0 digunakan untuk uji statistik yaitu uji T dan path analysis. Uji T dilakukan untuk mengetahui/menghitung pengaruh antar variabel dan pengaruh indikator terhadap variabel. Path analysis digunakan untuk menganalisis pengaruh antar variabel dan pengaruh indikator dalam variabel yang telah dihitung melalui uji T. Hasil pengolahan data dan analisis data tersebut selanjutnya dianalisis lebih dalam dengan mengacu kepada sejumlah pendekatan dan teori yang dirujuk dalam kerangka pemikiran. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara digunakan sebagai data pendukung hasil penelitian kuantitatif. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten. SPSS for windows 21.0 digunakan untuk mengubah data kuesioner menjadi data ordinal dan pengujian reliabilitas dari seluruh pertanyaan kuesioner. Hasil uji reliabilitas dijelaskan pada tabel 1. Tabel 1 Uji reliabilitas kuesioner dengan SPSS 21.0 Cronbach's Alpha .896
N of Items 85
Menurut Sugiyono (2012) reliabilitas adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Pengujian terhadap tingkat reliabilitas/keandalan dimaksudkan untuk mengetahui apakah kuesioner yang digunakan dalam penelitian mampu memberikan data yang dapat dipercaya atau tidak. Pengujian reliabilitas pada penelitian ini dihitung dari 85 pertanyaan kuesioner yang mencakup seluruh variabel penelitian (tingkat kepemimpinan, tingkat produktivitas, dan tingkat peranan waria dalam pembangunan desa). Uji reliabilitas menggunakan SPSS for windows 21.0 yang menghasilkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.896. Nilai tersebut dianggap baik karena sudah memenuhi syarat > 0.5. Artinya, 89.6% hasil kuesioner dapat menggambarkan keadaan yang terjadi di lapangan, sedangkan 10.4% nya dapat digambarkan dari hasil data kualitatif yaitu wawancara mendalam dan observasi lapang yang dilakukan saat penelitian.
19
Analisis Data Dengan Software SmartPLS 2.0 Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hasil uji pengaruh antar varibel penelitian. Terdapat lima hipotesis yang diuji dalam penelitian ini, yaitu: 1. H1: Terdapat pengaruh antara tingkat kemampuan terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran. 2. H2: Terdapat pengaruh antara tingkat kepribadian terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran. 3. H3: Terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran. 4. H4: Terdapat pengaruh antara tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan. 5. H5: Terdapat pengaruh antara tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal waria. Semua hipotesis akan diuji menggunakan uji T-Statistik dan Path analysis. Seluruh data yang diuji pengaruh merupakan data dengan skala ordinal. Pengujian pengaruh indikator terhadap variabel, dan pengaruh antar variabel didukung oleh software SmartPLS 2.0. Adapun ketentuan hipotesis diterima apabila nilai TStatistik lebih besar dari nilai T-Tabel Z yaitu 1.96, sebaliknya jika nilai TStatistik yang didapat lebih kecil dari nilai T-Tabel Z yaitu 1.96, maka hipotesis ditolak. Nilai T-Tabel Z untuk 30 responden diperoleh dari Tabel Z statistika yang telah ditentukan yaitu 1.96. Penelitian ini menggunakan tingkat signifikansi α 0.05, yang artinya tingkat kesalahan pada penelitian ini sebesar 5%, dan tingkat kebenarannya 95%. Evaluasi Model Pengukuran atau Outer Model Menurut Chin (1998), evaluasi model pengukuran atau outer model dilakukan untuk menguji validitas dan reliabilitas pada masing-masing variabel. Pengujian dikatakan valid (absah) jika indikator memiliki nilai loading ≥ 0.5. Artinya jika salah satu indikator memiliki nilai loading <0.5, maka indikator tersebut harus dibuang (drop) karena akan mengindikasikan indikator tidak cukup baik untuk mengukur variabel secara tepat. Berikut adalah hasil output SEM diagram jalur persamaan struktural dengan menggunakan software SmartPLS. Tabel 2 Nilai loading factor indikator setiap variabel Variabel Laten Indikator Tingkat Kemampuan Memotivasi Mengelola Tingkat Kepribadian Berani Agresif Mengayomi Gaya Kepemimpinan Partisipatif Tingkat Produktivitas Kebutuhan Pokok Kesehatan TPP Desa Jagalan Sarana dan Prasarana TPP Desa Asal Pemenuhan Keb Dasar
Outer Loadings 0.927 0.785 0.714 0.689 0.703 0.870 0.717 0.871 0.674 0.600
20
Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa indikator tersebut diats memiliki nilai loading ≥ 0.5. Indikator yang memiliki nilai loading < 0.5 telah di buang (drop). Artinya indikator dalam tabel 2 dapat dijadikan sebagai alat ukur yang cukup baik dan dapat menjelaskan variabel secara tepat. Uji Validitas Menurut Sugiyono (2012) validitas adalah instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Dalam output SEM yang menggunakan software SmartPLS 2.0, pengujian validitas dilakukan dengan melihat nilai loading dan melihat nilai T-Statistik dari indikator-indikator yang menjelaskan variabel. Jika nilai loading ≥ 0.5 dan nilai T-Statistik > TTabel yaitu 1.96, maka indikator tersebut memiliki validitas yang baik, dan dapat memengaruhi variabel dengan baik. Berikut adalah hasil output SEM untuk pengujian validitas pada masing-masing indikator dengan menggunakan software SmartPLS: Tabel 3 Pengujian validitas setiap indikator dengan t-statistik Outer Standard TVariabel Indikator Keterangan Loadings error Statistik Tingkat Valid & Memotivasi 0.927 0.16 5.68 Kemampuan Significant Valid & Mengelola 0.785 0.22 2.11 Significant Tingkat Valid & Berani 0.714 0.20 2.23 Kepribadian Significant Valid & Agresif 0.689 0.18 3.85 Significant Valid & Ayom 0.703 0.35 2.79 Significant Gaya Valid & Partisipatif 0.870 0.05 12.87 Kepemimpinan Significant Tingkat Kebutuhan Valid & 0.717 0.07 11.54 Produktivitas Pokok Significant Valid & Kesehatan 0.871 0.06 13.08 Significant TPP Desa Sarana dan Valid & 0.674 0.15 3.55 Jagalan Prasarana Significant Kebutuhan Valid & TPP Desa Asal 0.600 0.11 2.10 Dasar Significant Keterangan: jika T-Statistik > T -Tabel (1.96) maka Valid dan Significant
Hasil uji validitas di tabel 3 menjelaskan bahwa: indikator memotivasi dan mengelola dapat menjelaskan tingkat kemampuan; indikator berani, agresif, dan mengayomi dapat menjelaskan tingkat kepribadian; indikator gaya kepemimpinan partisipatif dapat menjelaskan gaya kepemimpinan; indikator kebutuhan pokok dan kesehatan dapat menjelaskan tingkat produktivitas; indikator pembangunan sarana dan prasarana dapat menjelaskan tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan; dan indikator pemenuhan kebutuhan dapat menjelaskan tentang tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal waria.
21
Uji Reliabilitas Menurut Sugiyono (2012) reliabitas adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Pengujian terhadap tingkat reliabilitas/keandalan dimaksudkan untuk mengetahui apakah kuesioner yang digunakan dalam penelitian mampu memberikan data yang dapat dipercaya. Dalam output SEM yang menggunakan sofware SmartPLS 2.0, menguji reliabitas dapat menggunakan tiga cara, yaitu dengan melihat nilai AVE (Average Variance Extracted), Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability. 1. AVE (Average Variance Extracted) adalah rata-rata dari keseluruhan pertanyaan yang ada di kuesioner. Variabel dikatakan reliabilitas bila nilai AVE nya >0.5. 2. Cronbach’s Alpha adalah tingkat konsistensi jawaban responden dalam satu variabel. Variabel dikatakan reliabilitas bila nilai Cronbach’s Alpha nya >0.6. 3. Composite Reliability adalah hasil gabungan dari seluruh pertanyaan kuesioner. Variabel dikatakan reliabilitas bila nilai Composite Reliability nya >0.7. Hasil pengujian reliabitas pada masing-masing variabel dengan menggunakan software SmartPLS dijelaskan pada tabel 4. Tabel 4 Pengujian reliabilitas variabel berdasarkan nilai AVE, Composite Reliability, dan Cronbachs Alpha Composite Cronbachs Variabel AVE Reliability Alpha Tingkat Kemampuan 0.75 0.88 0.81 Tingkat Kepribadian 0.63 0.79 0.84 Gaya Kepemimpinan 0.67 0.80 0.82 Tingkat Produktivitas 0.53 0.71 0.86 TPP Desa Jagalan 0.55 0.77 0.82 TPP Desa Asal 0.73 0.84 0.64
Berdasarkan hasil tabel 4, dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel yaitu tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, gaya kepemimpinan, tingkat produktivitas, tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan, dan tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal memiliki nilai AVE > 0.5, nilai Cronbach’s Alpha nya > 0.6 dan ≥ 0.7. Maka dapat disimpulkan bahwa kuesioner/pertanyaan yang digunakan untuk mengukur variabel mempunyai reliabilitas yang baik.
PROFIL DESA JAGALAN Dalam bab ini dipaparkan mengenai profil Desa Jagalan yang dibagi menjadi dua sub bab. Sub bab pertama tentang kondisi geografis, sub bab kedua tentang kondisi ekonomi dan pendidikan. Karakteristik Geografis Penelitian ini dilakukan di Desa Jagalan. Desa Jagalan merupakan salah satu dari 8 desa yang terdapat di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Jagalan berada di topografi dataran rendah (Data Monografi Desa Jagalan 2014). Desa Jagalan adalah desa yang mudah diakses. Jarak Desa Jagalan sekitar 1.5 Km dari pusat pemerintahan kecamatan, 15 Km dari ibukota kabupaten/ kotamadya daerah tingkat II, 7 Km dari ibukota provinsi, dan 400 Km dari ibukota negara. Batas wilayah Desa Jagalan yaitu sebelah utara adalah Kelurahan Prenggan/ Kecamatan Kotageda, sebelah selatan adalah Kelurahan Singosaren/ Kecamatan Banguntapan, sebelah barat adalah Kelurahan Giwangan/ Kecamatan Umbulharjo, dan sebelah timur adalah Kelurahan Purbayan/ Kecamatan Kotagede. Desa Jagalan berada di pinggiran kota Yogyakarta. Luas lahannya adalah 268 218 Ha. Luas tanah tersebut memiliki status pertanahan sertifikat hak milik 568 Ha, tanah bersertifikat 379 Ha, tanah bersertifikat melalui PRONA 201 Ha, dan tanah yang belum bersertifikat 85 Ha. Sisa tanah yang lain tidak diketahui status pertanahannya. Tabel 5 menjelaskan peruntukan/ penggunaan tanah di Desa Jagalan. Tabel 5 Luas lahan dan persentase peruntukan atau penggunaan tanah di Desa Jagalan, tahun 2014 No Peruntukan/ Luas Lahan Persentase (%) Penggunaan (Ha) 1 Pemukiman/Perumahan 229 030.00 85.39 2 Jalan 2 070.00 0.77 3 Pekuburan 1 875.00 0.70 4 Pertokoan/Pedagangan 8.87 0.003 5 Perkantoran 6.36 0.002 6 Lain-lain 35 227.00 13.13 Jumlah 268 217.23 100.00 Sumber: Data Monografi Desa Jagalan Tahun 2014
Kehidupan Desa Jagalan sudah terdedah dengan kehidupan perkotaan. Hal ini terbukti dari lahan pertanian yang terbatas, sehingga Desa Jagalan dapat digolongkan sebagai desa kota. Peruntukkan lahan terluas yaitu sebesar 85.39% atau 229 030 Ha digunakan untuk pemukiman atau perumahan (Tabel 5). Pemukiman di Desa Jagalan sangat padat. Pemukiman ini terdiri dari tempat tinggal masyarakat. Mayoritas masyarakat Desa Jagalan adalah pengrajin perak, sehingga sebesar 8.875 Ha lahan Desa Jagalan dijadikan sebagai pertokoan. Lahan Desa Jagalan juga digunakan sebagai pekuburan seluas 1 875 Ha. Lahan pekuburan terdiri dari Makam Panembahan Senopati (Makam Raja Mataram) dan pemakaman umum. Keadaan jalan di Desa Jagalan sudah baik yaitu beraspal.
23
Terdapat jalan utama dan jalan gang kecil di Desa Jagalan. Seluas 2 070 Ha lahan yang digunakan sebagai jalan. Desa jagalan tidak memiliki perkantoran yang banyak. Hanya 6.36 Ha lahan yang digunakan sebagai perkantoran kelurahan yang mencakup kantor BPD (Badan Permusyawaratan Desa), Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) dan Karang Taruna. Desa Jagalan juga memiliki lahan seluas 35 227 Ha lahan digunakan untuk berbagai fungsi antara lain pasar, rumah makan, puskesmas, toko sembako, dan sebagainya. Karakteristik Ekonomi dan Pendidikan Jumlah penduduk Desa Jagalan menurut data yang tercantum sampai pada bulan Juli 2014 adalah 3 436 jiwa dengan 1 731 penduduk laki-laki dan 1 705 penduduk perempuan, serta 868 kepala keluarga (Pemerintahan Desa Jagalan 2014). Komunitas waria yang menjadi responden tercatat sebagai penduduk lakilaki. Penduduk Desa Jagalan memiliki beragam mata pencaharian yaitu pedagang kerajianan perak, pedagang makanan, sembako, PNS, dan ABRI. Tabel 6 menunjukkan tenaga kerja di Desa Jagalan terdiri dari enam kelompok menurut usianya. Tabel 6 Jumlah dan persentase tenaga kerja menurut kelompok usia di Desa Jagalan, tahun 2014 No Usia (tahun) Jumlah Persentase Mayoritas Pekerjaan Penduduk (%) (individu) 1 10-14 502 16.6 Penjaga toko 2 15-19 661 21.8 Pedagang 3 20-26 482 15.9 Pedagang 4 27-40 625 20.6 Sembako 5 41-56 495 16.3 ABRI 6 ≥57 268 8.8 PNS Jumlah 3 033 100.0 Sumber: Data Monografi Desa Jagalan Tahun 2014
Kelompok tenaga kerja masyarakat Desa Jagalan mayoritas berada pada kelompok muda yang berusia 10-26 tahun (Tabel 6). Mereka adalah pemudapemudi yang berprofesi sebagai penjaga toko dan pedagang hasil kerajinan perak penduduk Desa Jagalan. Penghasilan dari bekerja sebagai pedagang kerajinan perak jika dipukul rata akan memeroleh Rp 30 000 dalam satu hari. “..ya kadang dapet kadang enggak mba, kalau lagi banyak wisatawan yang dateng atau menjelang hari raya besar biasanya bisa sampe dapet Rp 50 000 sehari. Tapi biasanya sehari-hari ya cuma dapet Rp 30 000 aja. Kalau lagi hari-hari biasanya sih sepi mba. Soalnya penduduk sini jarang yang beli, orang kota juga jarang kalo hari biasa, sekalinya ada pembeli nawarnya bisa sampe setengah harga. Yo gak dapet untung tho mba..” (Tanti, Penduduk Desa Jagalan)
Tingginya persentase kelompok tenaga kerja muda disebabkan karena sebagian besar masyarakat Desa Jagalan hanya menempuh pendidikan sampai
24
SMP/SMA. Adapun masyarakat yang menempuh pendidikan sampai ke jenjang sarjana, mayoritas lebih memilih untuk keluar dari Desa Jagalan. Berikut penjelasannya berdasarkan data lulusan pendidikan masyarakat Desa Jagalan. Tabel 7 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan masyarakat di Desa Jagalan, tahun 2014 No Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Taman Kanak-kanak 109 5.4 2 Sekolah Dasar 502 25.1 3 SMP/SLTP 669 33.4 4 SMA/SLTA 567 28.3 5 Diploma (D1-D3) 74 3.7 6 Sarjana (S1-S3) 81 4.0 Jumlah 2 002 100.0 Sumber: Data Monografi Desa Jagalan 2014
Berdasarkan tabel 7 terlihat bahwa masyarakat Desa Jagalan didominasi oleh lulusan SMP/SLTP yaitu sebesar 33.4%. Sebagian besar lebih memilih untuk langsung bekerja daripada melanjutkan pendidikan. Lulusan pendidikan pasca SMP/SLTP (SMA/SLTA-Sarjana) memiliki persentase yang tidak jauh berbeda dibandingkan lulusan SMP/SLTP yaitu sebesar 36%. Rendahnya persentase ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingginya biaya pendidikan yang sangat dirasakan oleh para orangtua. Hal ini karena pendapatan mereka yang belum terbilang tinggi. Mayoritas masyarakat Desa Jagalan memiliki pekerjaan sebagai wirausaha. Mereka mendirikan usaha seperti usaha kerajinan perak, usaha rumah makan (angkringan) dan usaha sembako. Pemasukan yang mereka dapatkan dari usaha tersebut tidak tetap setiap harinya (fluktuatif), untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka terkadang masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu, sedikit diantara mereka yang melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang pasca SMP/SLTP. Jarak sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggal masyarakat juga merupakan salah satu faktor rendahnya pendidikan masyarakat Desa Jagalan. Sekolah yang ada di Desa Jagalan hanyalah SD dan SMP/SLTP, sedangkan untuk SMA/SLTA dan perguruan tinggi negeri/swasta berada di luar Desa Jagalan. Jauhnya perjalanan tersebut mengakibatkan sedikit masyarakat yang mau dan mampu menempuhnya. Pengetahuan yang masih terbatas merupakan salah satu faktor yang memengaruhi banyaknya orangtua yang berfikir bahwa anak-anaknya lebih baik bekerja daripada melanjutkan pendidikan. Mereka menyatakan bahwa tingginya pendidikan tidak menjamin seseorang dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Mayoritas orangtua memerintahkan anaknya untuk bekerja daripada sekolah agar menghasilkan pendapatan yang mampu memerbaiki kehidupan ekonomi. “orang disini, udah bisa lulus SMP/SMA aja udah syukur mba, jadi kalo udah lulus sekolah ya langsung kerja aja cari duit. Kalo mau lanjut kuliah biayanya mahal, mending buat makan sama beli keperluan lain. Ya paling kerjanya bantu orang tua jualin perak ke pasar atau toko. Wong bapak ibue juga nyuruh langsung kerja aja mba, biar bisa punya gaji sendiri, itung-itung ngurangin beban orang tua juga...” (Santi, Penduduk Desa Jagalan)
PESANTREN WARIA AL-FATAH DESA JAGALAN Pesantren Waria Al-Fatah adalah organisasi non-formal yang bergerak di bidang pemberdayaan waria migran pertama di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 2008 oleh salah satu waria di Yogyakarta yaitu Shinta Ratri. Pesantren Waria Al-Fatah terletak di Celenan RT 09, RW 02, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah 2014). Hasil wawancara dengan Shinta Ratri (Pemimpin pesantren) menjelaskan bahwa Pesantren ini berdiri untuk meningkatkan produktivitas waria yang dirasa kurang produktif karena tidak mendapatkan keadilan dalam hal pekerjaan, pendidikan, ataupun pelayanan publik. Sangat sedikit peluang kerja yang tersedia untuk waria sebagai pegawai. Waria dianggap sebagai individu yang tidak memiliki keahlian dalam hal apapun. Akibatnya para waria tersebut terpaksa untuk bekerja sebagai PSK, pengamen, pengemis, bahkan tidak bekerja sama sekali. “…mana ada mba perusahaan-perusahaan itu yang mau nerima kita, yang ada malah diusir kayak ngusir kucing gitu…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Waria sehari-harinya hanya dicemooh, diejek, dihina, bahkan sampai diusir dari lingkungan tempat tinggalnya. Akibatnya banyak waria yang bertempat tinggal di pinggiran sungai dengan kondisi rumah yang kumuh dan sampah berserakan. Hal itu terjadi karena tidak ada lingkungan yang bersedia menerima kehadiran waria. “…kita-kita itu dulunya tinggal di pinggiran sungai mba, kumuh, banyak sampah, bau, ah pokoke lengkap penderitaan mba. Yo mau gimana lagi, wong ga ada tempat lagi buat kita. Itu juga kita tinggal bareng pengamen, pengemis, sama gelandangan lainnya…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Kehidupan waria yang kurang baik tersebut menumbuhkan rasa kebersamaan saling membutuhkan antara satu waria dengan waria lainnya. Mereka yang berasal dari kota yang berbeda-beda dan latar belakang yang berbeda merasa memiliki satu nasib kurang baik. Akhirnya mereka membentuk organisasi Ikatan Waria Yogyakarta yang dipimpin oleh Shinta Ratri. Shinta Ratri dipilih sebagai ketua karena ia adalah waria asli Yogyakarta, selain itu ia memiliki kemampuan untuk merangkul waria menjadi lebih kompak. Shinta Ratri, selain aktif dalam organisasi Ikatan Waria Yogyakarta, juga aktif dalam mengikuti pengajian Al-Fatah di bawah bimbingan KH. Haroemlie Harun. Pada saat itu dari sekian banyak jamaah yang hadir, baik laki-laki maupun perempuan, hanya Shinta saja yang menjadi waria. Hal itu tidak mematahkan semangat Shinta untuk mencari ilmu. Walaupun pada kenyataannya Shinta mendapat pandangan yang kurang baik dari jamaah lain. Hal ini karena waria masih identik dengan dunia cebongan (pelacuran) dan perilaku menyimpang lainnya. Shinta rajin mengikuti pengajian tersebut, berbagai ilmu keagamaan telah ia dapatkan. Muncullah keinginan dalam diri Shinta untuk mengadakan pengajian bersama teman-teman warianya. Ia mengutarakan keinginannya kepada KH.
26
Hamrolie Harun, dan disetujui. Posisinya sebagai pemimpin komunitas waria dimanfaatkan dengan baik untuk menarik massa agar para waria bersedia mengikuti pengajian yang hendak dilaksanakannya. Menurutnya, ilmu agama sangat bermanfaat bagi para waria untuk menghadapi kehidupan mereka. “…ya kalo saya sih mandangnya ilmu agama itu nomor satu mba, apalagi buat kita-kita yang selalu dipandang sebelah mata sama orang lain. Lah kalo kita ga bisa nahan diri kita, ga tau agama, yo bisa abis orang-orang yang ngehina kita itu mba. Saya ya ngajak temen-temen buat belajar ilmu agama bareng. Bahasannya yo ga usah yang susah-susah dulu, dari dasar aja mba. Supaya ada amal ibadah yang bisa kita lakuin…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Pelaksanaan pengajian yang diadakan di rumah Shinta ternyata dapat menarik minat waria lainnya untuk belajar bersama. Bukan hanya waria yang berada dalam Ikatan Waria Yogyakarta saja yang ikut, tapi mereka berasal dari berbagai daerah, kalangan dan profesi, seperti pekerja salon, pengamen, bahkan pekerja malam. Pengajian tersebut terus berkembang, sampai akhirnya Shinta berkeinginan untuk mengembangkan pengajian ini menjadi Pesantren Waria. Ia meminta bantuan KH Hamrolie Harun agar bersedia menjadi pembina dan pengajar di Pesantren Waria. Setelah mendapatkan persetujuan dari KH Hamrolie Harun, ia mendiskusikan rencana pendirian Pesantren Waria dengan waria lainnya. Sebagian besar waria menerima usulan pendirian pesantren ini. Pada tanggal 8 Juli 2008 berdirilah Pesantren Waria Al-Fatah pertama di Indonesia. Acara peresmian dihadiri oleh Ketua DPRD Yogyakarta. Sejak didirikannya pesantren ini, yang menjadi santri bukan hanya waria dari Organisasi Ikatan Waria Yogyakarta saja, tapi waria lainnya juga turut serta, komunitas lesbi dan gay pun turut serta (Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah 2014). Adapun kegiatan di pesantren ini selain untuk menyalurkan ilmu-ilmu Agama Islam juga untuk membangun kemandirian, mentalitas, kelestarian, keorganisasian, dan etika komunitas waria. Pesantren juga berfungsi sebagai rumah singgah bagi mereka yang belum mendapatkan tempat tinggal. Tujuan pesantren untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria migran melalui selektivitas dalam memilih lapangan pekerjaan, memfasilitasi kehidupan waria dengan memberikan modal untuk membangun usaha kecil mandiri, dan berperan sebagai media agar para waria mendapatkan pengakuan eksistensi sebagai bagian dari masyarakat tanpa adanya sikap diskriminasi dan marjinalisasi. Saat ini Pesantren Waria Al-Fatah memiliki jumlah santri 56 orang dari berbagai daerah (Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi), empat orang pengajar yang bersedia memberikan bimbingan kepada para waria, dan beberapa pengurus pesantren dari kalangan waria (Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah 2014). Tiga puluh santri waria dari 56 santri dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini. Mereka adalah waria yang melakukan migrasi dari daerah asalnya ke Yogyakarta. Mereka ingin merubah hidup menjadi lebih baik dari segi perekonomian maupun sosial di tempat baru (perkotaan). Kebanyakan para waria memilih kota-kota besar sebagai tempat pindah, salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai akhirnya mereka bertemu dan membentuk Komunitas Waria Yogyakarta, dan saat ini sebagian besar dari mereka menjadi
27
anggota di Pesantren Waria Al-Fatah Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Adapun daerah asal 30 responden dijelaskan pada tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan persentase daerah asal waria migran, Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 No Daerah Asal Frekuensi Persentase (%) 1 Klaten 1 3.33 2 Miliran 1 3.33 3 Prawirodirjo 1 3.33 4 Kebumen 1 3.33 5 Bantul 1 3.33 6 Badran 1 3.33 7 Kulonprogo 1 3.33 8 Bandung 2 6.67 9 Medan 2 6.67 10 Madiun 2 6.67 11 Medan 3 10.00 12 Sumatera Utara 3 10.00 13 Sumatera Barat 3 10.00 14 Batam 4 13.33 15 Bone 4 13.33 Jumlah 30 100.00 Sumber: Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah tahun 2014
Berdasarkan tabel 8 daerah asal responden waria terdiri dari beberapa wilayah. Daerah tersebut bukan hanya di Daerah Istimewa Yogyakarta saja, tetapi juga di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, dan Sulawesi. Masyarakat desa belum bisa menerima kehadiran mereka karena menganggap waria sebagai orang yang mengalami “kelainan mental” yaitu jasad dan jiwanya berbeda. Waria migran yang menjadi anggota Pesantren Waria Al-Fatah merasa memiliki tempat baru yang bisa memerbaiki kehidupan mereka dari segi ekonomi, sosial, dan keagamaan. “…Udah betah mba disini, punya keluarga yo bisa nerima kita apa adanya, punya penghasilan dari usaha halal, ilmu agama dapet, masyarakat juga udah nerima kita kok. Alhamdulillah bersyukur sama Gusti Allah…” (Yuni, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah) Tabel 9 Jumlah dan persentase komunitas waria menurut kelompok usia di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori usia
Jumlah ≤ 30 Tahun 1 Antara 31 - 49 tahun 14 ≥ 50Tahun 15 Total 30 Sumber: Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah tahun 2014
Persentase (%) 3.3 46.7 50.0 100.0
Berdasarkan data di tabel 9 usia responden waria migran berada di sekitar 31-49 tahun. Usia tersebut sudah terbilang dalam kategori tua. Menurut
28
pernyataan Shinta Ratri hal ini karena waria yang menjadi anggota di Pesantren adalah mereka yang sudah “pensiun” (sudah tidak bekerja di jalanan), dan ingin memerbaiki kehidupan dengan melakukan kegiatan-kegiatan produktif dalam bidang agama, pekerjaan, dan sosial sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. “…waria yang jadi santri (anggota) disini itu ya waria yang udah tua-tua mba. Paling muda ada 30 tahun. Kalo untuk waria yang muda-muda masih susah diatur. Mereka lebih seneng hidup hura-hura, kerja cara cepet yang penting banyak duit kayak jadi wanita-wanita jalan gitu. Ya kalo kita ini udah cape sama kehidupan yang kayak gitu. Sekarang pengennya hidup yang bener-bener aja mba. Belajar agama, cari duit yang halal, akrab sama masyarakat biar banyak temen. Yah itung-itung kalo udah dipanggil Allah kita punya amal baik di dunia…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria AlFatah).
Pernyataan Shinta Ratri menjelaskan bahwa salah satu cara komunitas waria mencapai produktivitas adalah dengan memerbaiki pekerjaannya. Pesantren adalah tempat waria melakukan kegiatan produktif. Awalnya masyarakat sekitar menganggap mereka adalah komunitas aneh, menyimpang, dan perlu dijauhi tanpa memberikan kesempatan kepada waria untuk berinteraksi dengan masyarakat. Mereka yang selama ini dipandang oleh masyarakat identik dengan pekerjaan kurang baik (PSK, Pengemis, Gelandangan), ingin mengubah pandangan tersebut dengan melakukan beberapa kegiatan produktif yang melibatkan masyarakat Desa Jagalan. Hal ini dilakukan agar masyarakat Desa Jagalan bersedia menerima kehadiran komunitas waria. Kegiatan Pesantren Waria Al-Fatah di Desa Jagalan Kegiatan produktif adalah segala aktivitas yang dapat meningkatkan produktivitas sumber daya manusia, dalam hal ini adalah komunitas waria migran. Kegiatan yang dapat meningkatkan produktivitas adalah bekerja, melaksanakan pendidikan, sosialisasi dengan masyarakat, memperhatikan lingkungan tempat tinggal, dan hidup bersih (Kamuli 2012). Pesantren Waria Al-Fatah sebagai salah satu organisasi yang khusus didirikan untuk pemberdayaan komunitas waria memiliki beberapa kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap harinya oleh komunitas waria. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan agar komunitas waria dapat hidup secara produktif. Kegiatan yang dilaksanakan terbagi menjadi tiga bagian yaitu: kegiatan keagamaan, kegiatan usaha ekonomi mandiri, dan kegiatan bakti sosial (Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah 2014). Adapun beragam kegiatan tersebut antara lain: A. Kegiatan Keagamaan 1. Pelatihan dan pelaksanaan shalat, membaca Al-Qur’an, dan puasa. Kegiatan ini dilaksanakan agar para waria memiliki kontrol diri secara rohani bahwa tujuan manusia hidup bukan hanya sekedar untuk mengejar materi, tapi tujuan utama manusia hidup adalah untuk beribadah kepada Tuhan. Pelatihan membaca Al-Qur’an dan bacaan shalat di bagi dua kelompok. Kelompok yang sudah bisa membaca Al-Qur’an dan kelompok yang belum bisa atau masih dalam tahap iqro’. Masing-masing kelompok dibimbing oleh satu pengajar. Pelaksanaan shalat dilaksanakan secara
29
berjamaah. Penggunaan alat shalat mukenah (alat shalat bagi perempuan) atau sarung dan peci (alat shalat bagi laki-laki) disesuaikan pada keyakinan masing-masing waria. Waria yang sadar bahwa Tuhan menciptakan mereka sebagai laki-laki, shalatnya akan menggunakan peci dan sarung. Waria yang merasa dirinya sudah menjadi perempuan, shalatnya akan menggunakan mukenah. Pelatihan puasa dilaksanakan setiap hari senin dan kamis. Latihan ini diawali dengan sahur bersama dan diakhiri dengan berbuka bersama. Bagi waria yang belum mampu puasa satu hari penuh, diperbolehkan untuk melaksanakan puasa setengah hari. 2. Pengajian umum dan pengajian keliling. Pengajian umum dilaksanakan pada saat memeringati hari besar Islam, seperti isra’ mi’roj, maulid nabi, malam tahun baru Islam (1 Muharram) dan sebagainya. Pengajian umum dilaksanakan di Pesantren Waria AlFatah dengan mengundang masyarakat Desa Jagalan. Komunitas waria sering memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun keakraban dengan masyarakat. Para waria mengajak masyarakat untuk berbincang, berdiskusi, bergurau, bahkan ada waria yang mempromosikan usaha mandirinya agar masyarakat menjadi pelanggan. Pengajian keliling dilaksanakan setiap satu minggu sekali. Pengajian keliling ini dilaksanakan dengan berkeliling dari satu rumah warga ke rumah lainnya. Kegiatan ini dilakukan guna memfasilitasi keinginan warga yang tersebar di Desa Jagalan, agar komunitas waria dapat mengenal dengan baik seluruh warga Desa Jagalan dan dapat diterima kehadirannya. B. Kegiatan Usaha Ekonomi Mandiri 1. Warung Kejujuran. Warung kejujuran adalah wadah simpan pinjam dan tabungan bagi komunitas waria. Komunitas waria diwajibkan untuk membayar iuran wajib dan iuran pokok. Iuran pokok dibayar pada awal pendaftaran anggota pesantren waria sebesar Rp 30 000 Iuran wajib dibayar setiap bulan sebesar Rp 10 000 Waria yang ingin membangun usaha mandiri diperbolehkan untuk meminjam modal berupa uang atau barang. Pengembalian pinjaman tidak diberikan batasan waktu. Waria bisa mengembalikan pinjaman tersebut sesuai dengan kemampuan waria. Pinjaman modal juga tidak dibebani bunga pinjaman, sehingga besarnya pengembalian modal sesuai besarnya pinjaman. Untuk pinjaman barang, pengembalian bisa berupa uang ataupun barang yang sama. Dengan berbagai kemudahan tersebut diharapkan waria dapat jujur dalam membayar iuran, meminjam dan mengembalikan modal dari warung kejujuran. 2. Usaha Ekonomi Waria. Kegiatan usaha ekonomi waria ini bekerjasama dengan pemerintah desa. Pemerintah setempat bersama pihak pesantren waria mengadakan program alih profesi bagi para waria yang belum memiliki pekerjaan layak (misalnya: PSK, gelandangan, pengemis). Kegiatan ini diawali dengan pendataan minat komunitas waria. Setelah didata, para waria dikelompokkan sesuai minat mereka, dan dilatih oleh beberapa pekerja untuk melatih kemampuan para waria. Minat usaha waria yaitu tata boga,
30
tata rias, menjahit, dan menyanyi. Pelatihan ini dilaksanakan selama 2 bulan, kemudian waria diberikan modal kurang lebih Rp 500 000 untuk memulai usahanya. Jika modal tersebut kurang waria bisa meminjam modal tambahan di warung kejujuran. Selama mendirikan usaha mandiri, waria diawasi oleh tim pengawas dari pemerintah desa guna mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Sampai Maret 2015, usaha mandiri yang telah didirikan oleh 30 responden diuraikan dalam tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan presentase usaha mandiri komunitas waria di Pesantren Waria AlFatah, tahun 2014 No Usaha Jumlah Persentase (%) 1 Katering 1 3.33 2 Pedagang jagung bakar 2 6.67 3 Angkringan 2 6.67 4 Usaha sembako 2 6.67 5 Pedagang roti bakar 1 3.33 6 Salon 10 33.33 7 Pengamen 8 26.67 8 Perias 2 6.67 9 Penyanyi 2 6.67 Jumlah 30 100.00 Sumber: Wawancara Anggota Pesantren Waria Al-Fatah
Tabel 10 menunjukkan usaha yang paling banyak diminati oleh komunitas waria adalah di bidang salon yaitu 33.33 persen, kemudian pengamen sebesar 26.66 persen, perias, penyanyi, angkringan, pedagang jagung bakar, dan sembako sebesar 6.66 persen, serta pedagang roti bakar dan katering sebesar 3.33 persen. Usaha salon yang didirikan oleh komunitas waria bukan berarti setiap waria memiliki satu salon. Usaha yang memerlukan modal cukup besar ini membuat waria bekerjasama untuk mendirikannya, sehingga walaupun hanya 1-2 salon yang ada, namun banyak waria yang bisa bekerja di salon tersebut. Untuk usaha lainnya, waria membangun usaha secara mandiri, karena modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar. “…kalo untuk buat salon modal yang dipake kan gede mba, jadi kita bareng-bareng diriinnya, ya untuk hemat modal juga. Hasilnya ya dibagi sesuai kerjaannya di salon. Kalo buat usaha jual-jualan biasanya sendirisendiri, ya paling berdua. Soalne kan modalnya ga segede salon mba…” (Yuni, Pengurus Pesantren Waria Al-Fatah).
C. Kegiatan Sosial 1. Bakti sosial Kegiatan bakti sosial merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membantu sesama dan membangun persaudaraan antar berbagai pihak. Adapun kegiatan bakti sosial yang telah dilakukan oleh komunitas waria antara lain santunan anak yatim piatu dan sumbangan bagi korban bencana. Santunan anak yatim dilakukan setiap satu tahun sekali pada saat Bulan Ramadhan. Santunan diberikan bagi anak-anak yatim piatu yang berada di Desa Jagalan. Pada setiap tahunnya terdapat kurang lebih 30-40 anak yatim
31
yang diberikan santunan. Besarnya santunan yang diberikan sesuai dengan jumlah donatur dan jumlah tabungan khusus santunan Pesantren Waria AlFatah yang tersedia. Sumbangan bagi korban bencana diberikan setiap terjadi bencana di tempat-tempat jangkauan komunitas waria. Apabila terjadi bencana, komunitas waria akan segera mengumpulkan dana dengan berkeliling membawa kotak sumbangan dari desa sampai kota untuk mendapatkan uang atau barang sumbangan sebanyak-banyaknya. Sumbangan yang sudah diberikan adalah sumbangan bagi korban gempa bumi di Yogyakarta, korban bencana gunung merapi di Yogyakarta, dan beberapa korban bencana kebanjiran, kebakaran di Yogyakarta. 2. Kegiatan Gotong-Royong Kegiatan gotong royong dilakukan oleh komunitas waria di dua tempat, yaitu di Pesantren Waria Al-Fatah dan di Desa Jagalan. Gotong royong di Pesantren Waria Al-Fatah dilakukan setiap hari. Kegiatan gotong-royong ini mencakup menyapu, mengepel, memangkas rumput, mencuci piring, membersihkan kamar, dan memasak. Komunitas waria dibagi menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok berjumlah 4-5 orang. Masing-masing kelompok bekerjasama untuk melakukan tugas mereka. Gotong-royong dilaksanakan setiap pagi setelah sholat shubuh dan sore setelah sholat ashar. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tugas gotong-royong selama 60 menit. Kegiatan ini dilakukan agar komunitas waria mampu bekerjasama satu-sama lain. Kegiatan ini membutuhkan pengelolaan waktu dan tenaga yang baik. Gotong-royong juga dilakukan agar komunitas waria mampu memelihara kesehatan dengan menjaga kebersihan lingkungannya, sehingga waria terhindar dari berbagai macam penyakit. Komunitas waria juga melibatkan masyarakat Desa Jagalan untuk bergotong-royong membersihkan lingkungan Desa Jagalan. Gotongroyong bersama masyarakat dilaksanakan setiap satu minggu sekali pada hari minggu pagi. Waria mengajak masyarakat untuk bersama-sama membersihkan jalan, membuang sampah pada pembuangan akhir, membersihkan masjid, puskesmas, pasar, sekolah, dan tempat lainnya yang ada di Desa Jagalan. Jika ada sarana dan prasarana yang rusak, mereka akan bersama-sama memerbaikinya. Gotong-royong dilaksanakan secara sukarela. Siapa saja yang bersedia meluangkan waktu dan tenaganya diperbolehkan untuk turut serta gotong-royong. Masyarakat Desa Jagalan cukup antusias dalam melaksanakan kegiatan ini, biasanya warga yang tidak bisa ikut gotong-royong membantu menyumbang makanan dan minuman. Adanya kegiatan ini membuat masyarakat lebih mengenal komunitas waria. Masyarakat Desa Jagalan saat ini sudah mulai terbiasa dan bisa menerima kehadiran waria di lingkungannya. Hal ini karena komunitas waria di pesantren selama ini melakukan kegiatankegiatan yang baik, melibatkan masyarakat dalam beberapa kegiatannya, dan memberikan sumbangan kepada pihak desa untuk memerbaiki pembangunan desa. Sumbangan yang diberikan berupa uang, barang, ataupun tenaga waria. Sumbangan tersebut digunakan untuk memerbaiki sarana dan prasarana yang rusak.
PENILAIAN TERHADAP KEPEMIMPINAN, PRODUKTIVITAS, DAN PERANAN WARIA DALAM PEMBANGUNAN DESA Kepemimpinan Pesantren Waria Al-Fatah Pemimpin adalah seseorang yang mampu memengaruhi orang lain atau pengikutnya sehingga bertingkah laku sesuai dengan kehendaknya (Soekanto 2009). Tingkat kepemimpinan diukur melalui tiga hal, yaitu: tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan. Ketiga variabel tersebut akan digunakan untuk melihat tingkat kepemimpinan. Kemampuan Memimpin Pesantren Waria Al-Fatah Kemampuan adalah salah satu hal yang penting dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memengaruhi bawahan atau pengikutnya. Pemimpin yang dilihat tingkat kemampuannya adalah Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. Bawahan atau pengikut Shinta Ratri adalah komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah. Tabel 11 Penilaian atas kemampuan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Frekuensi Persentase (%) Membimbing Mengelola Memerintah Memotivasi Jumlah
89 81 66 84 320
27.81 25.31 20.63 26.25 100.00
Terdapat empat kemampuan yang dimiliki oleh Shinta Ratri sebagai pemimpin yaitu membimbing, mengelola, memerintah, dan memotivasi (Tabel 11). Keempat kemampuan tersebut memiliki persentase yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Kemampuan paling tinggi yaitu membimbing (27.81%). Pemimpin membimbing dengan cara mendampingi waria melakukan kegiatan di pesantren dan membantu waria ketika kesulitan mengerjakan kegiatan. Kemampuan selanjutnya adalah memotivasi (26.25%). Pemimpin memberi dorongan semangat kepada waria untuk membangun usaha mandiri, pemimpin menyemangati waria agar mampu menghadapi masalah (masalah pribadi dan masalah bersama), dan melakukan kegiatan produktif dalam hidupnya. Pemimpin mampu mengelola (25.31%) dengan cara menciptakan suasana nyaman bagi para waria ketika sedang berkomunikasi, serta mampu membuat waria bekerjasama dalam melakukan kegiatan produktif di pesantren. Pemimpin juga mampu memerintah (20.63%). Ia memberi perintah kepada waria untuk melakukan suatu hal. Memerintah memiliki persentase yang lebih rendah dibandingkan kemampuan lain. Hal ini karena terkadang pemimpin memberi perintah sesuai keinginannya saja, tidak sesuai aturan. Kemampuan yang dimiliki pemimpin dapat menentukan kategori tingkat kemampuan pemimpin.
33
Tabel 12 Jumlah dan persentase tingkat kemampuan pemimpin komunitas waria di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Kurang Baik Cukup Baik Baik Jumlah
Frekuensi 8 10 12 30
Persentase (%) 26.67 33.33 40.00 100.00
Tingkat kemampuan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah termasuk dalam kategori baik, yakni sebesar 40% (Tabel 12). Tingkat kemampuan pemimpin dinilai oleh komunitas waria migran sesuai dengan apa yang dirasakan komunitas waria selama pemimpin membimbing, mengelola, memerintah, dan memotivasi komunitas waria migran. Kepribadian Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah Kepribadian adalah salah satu hal yang penting dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memengaruhi bawahan atau pengikutnya. Pemimpin yang dilihat tingkat kepribadiannya adalah Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. Bawahan atau pengikut Shinta Ratri adalah komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah. Tabel 13 Penilaian atas kepribadian pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Tegas Berani Agresif Mengayomi Jumlah
Frekuensi 86 78 81 75 320
Persentase (%) 26.88 24.38 25.31 23.44 100.00
Terdapat empat kepribadian yang dimiliki oleh Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di pesantren waria yaitu tegas, berani, agresif, dan mengayomi (Tabel 13). Keempat kepribadian tersebut memiliki persentase yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Kepribadian yang paling tinggi adalah tegas (26.88%). Pemimpin memberikan perintah dengan jelas dan tegas kepada komunitas waria. Pemimpin juga memberikan hukuman kepada waria yang bersalah. Kepribadian selanjutnya adalah agresif (25.31%). Terlihat ketika pemimpin mendekatkan diri kepada waria dengan sangat bergairah/antusias agar lebih mengenal satu sama lain. Pemimpin juga memiliki kepribadian berani (24.38%). Keberanian terlihat saat pemimpin berbicara di hadapan waria dengan percaya diri dan yakin, berani menegur dan menghukum waria yang melakukan kesalahan/melanggar aturan, dan berani mengakui kesalahan yang dilakukannya. Mengayomi (23.44%) terlihat saat pemimpin melindungi waria dari masalahmasalah kehidupan dan selalu mendengarkan keluhan para waria. Kepribadian yang dimiliki pemimpin dapat menentukan kategori tingkat kepribadian pemimpin.
34
Tabel 14 Jumlah dan persentase tingkat kepribadian pemimpin komunitas waria di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Kurang Baik Cukup Baik Baik Jumlah
Frekuensi 9 10 11 30
Persentase (%) 30.00 33.33 36.67 100.00
Tingkat kepribadian pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah termasuk dalam kategori baik, sebesar 37% (Tabel 14). Tingkat kepribadian pemimpin memiliki persentase yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut diperoleh dari hasil penelitian di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan. Tingkat kepribadian pemimpin dinilai oleh komunitas waria migran sesuai dengan penilaian kepribadian tegas, berani, agresif, dan mengayomi yang dimiliki pemimpin. Gaya Kepemimpinan Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan oleh pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya. Pemimpin yang dilihat gaya kepemimpinannya adalah Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. Bawahan atau pengikut Shinta Ratri adalah komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah. Tabel 15 Penilaian atas gaya kepemimpinan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Direktif Delegatif Konsultatif Partisipatif Jumlah
Frekuensi 69 87 82 78 316
Persentase (%) 21.84 27.53 25.95 24.68 100.00
Terdapat empat gaya kepemimpinan yang dimiliki Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di pesantren waria yaitu direktif, delegatif, konsultatif, dan partisipatif (Tabel 15). Persentase gaya kepemimpinan tidak jauh berbeda satu sama lain. Pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Gaya kepemimpinan dengan persentase tertinggi adalah delegatif (27.53%). Delegatif diterapkan saat pemimpin menghadapi masalah yang sulit, sehingga ia meminta bantuan pihak ketiga yang ia percaya (pembina pesantren) untuk membantu menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan. Adanya bantuan pihak ketiga merupakan hasil diskusi bersama komunitas waria migran. “…Kalo ada masalah besar biasanya bunda Shinta minta bantuan Pak Kyai buat bantuin kita. Waktu itu ada pemeriksaan dari Pak Polisi, ngiranya pesantren cuma nama ‘kedok’ buat ngelindungin PSK-PSK waria. Nah kalo masalahnya udah gitu kita langsung minta bantuan Pak Kyai buat bantuin
35
ngadepin polisi dan berunding enaknya gimana…” (Yuni, Anggota di Pesantren Waria Al-Fatah).
Gaya kepemimpinan selanjutnya adalah konsultatif (25.95%). Konsultatif digunakan saat masalah yang muncul datang dari pihak anggota waria (masalah dari bawah). Pemimpin mendengarkan terlebih dahulu masalah yang terjadi, kemudian mengambil langkah penyelesaian dan keputusan terkait masalah tersebut. Salah satu contoh kasus saat anggota kekurangan modal usaha, dan mengalami masalah terkait usaha mandiri, maka anggota mengutarakan permasalahan tersebut kepada pemimpin untuk ditindaklanjuti. Gaya partisipatif (24.68%) mampu membangun kebersamaan antara pemimpin dan pengikutnya. Akan tetapi, pemimpin waria tidak selalu menerapkan gaya ini saat memimpin. Gaya partisipatif diterapkan saat terjadi masalah yang mencakup semua pihak. Pemimpin mengajak komunitas waria untuk berdiskusi, merancang cara penyelesaian masalah, dan memutuskan langkah yang akan diambil. Gaya partisipatif akan efektif jika antar pemimpin dan waria saling terbuka. “…kami diskusi bersama bukan hanya kalau ada masalah saja mba, tapi kami juga diskusi kalau kami mau ngelakuin kegiatan-kegiatan di pesantren. Masalah yang didiskusikan biasanya mencakup aturan pesantren, karena kan kita buat aturan buat dipatuhi bersama, jadi ya dirancangnya juga harus bersama. Kegiatan yang didiskusikan terkait kegiatan sehari-hari santri mencakup bersih-bersih, pengajian, dan kegiatan usaha mandiri. kami juga selalu diskusi tentang program bersama masyarakat sini…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Gaya kepemimpinan direktif (21.84%) diterapkan saat pemimpin harus menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan dengan cepat, tidak ada waktu untuk berdiskusi, dan orientasi untuk tugas. Sehingga pemimpin mengerjakan segala sesuatunya secara individual. Gaya direktif biasanya akan membuat hubungan pemimpin dengan komunitas waria kurang baik, karena anggota akan menganggap pemimpin egois. “…Bunda Shinta sih make gaya kepemimpinannya ga menentu mba, tergantung sama situasi dan keadaan yang terjadi. Kalo emang masalah laporan-laporan ke pihak pemerintah gitu dia biasanya kerja sendiri, yah paling kita bantu-bantu kalo disuruh aja, takutnya malah salah kalo sok tau. Tapi kalo masalahnya nyangkut kita semua ya kita rembukan bareng-bareng mba…” (Rully, Anggota di Pesantren Waria Al-Fatah). Tabel 16 Jumlah dan persentase tingkat gaya kepemimpinan pemimpin komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Kurang Baik Cukup Baik Baik Jumlah
Frekuensi 9 9 12 30
Persentase (%) 30.00 30.00 40.00 100.00
36
Gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah termasuk dalam kategori baik, yakni sebesar 40% (Tabel 16). Gaya kepemimpinan memiliki persentase yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut diperoleh dari penelitian di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan. Gaya kepemimpinan dinilai oleh komunitas waria migran sesuai dengan apa yang dirasakan selama pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan direktif, delegatif, konsultatif, dan partisipatif di setiap situasi dan kondisi yang terjadi. Produktivitas Komunitas Waria Migran Produktivitas adalah hasil kerja seseorang (waria) berupa barang atau jasa dengan menggunakan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan. Produktivitas yang dilihat adalah produktivitas komunitas waria migran yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah. Tabel 17 Penilaian atas produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria AlFatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Memiliki Usaha Mandiri Memenuhi Keb Pokok Akses Pelayanan Kesehatan Akses Pelatihan Jumlah
Frekuensi 73 75 79 83 310
Persentase (%) 23.55 24.19 25.48 26.77 100.00
Terdapat empat macam produktivitas yang dicapai komunitas waria migran yaitu mampu memeroleh pendapatan dengan memiliki usaha mandiri. Usaha mandiri adalah usaha yang didirikan oleh komunitas waria migran baik secara individu ataupun secara berkelompok dengan modal usaha yang didapatkan dari warung kejujuran di Pesantren Waria Al-Fatah. Mampu memenuhi kebutuhan pokok (pangan, sandang, dan papan), mampu mengakses pelayanan kesehatan di puskesmas Desa Jagalan, dan mampu mengakses pelatihan-pelatihan. Persentase pencapaian produktivitas tidak jauh berbeda satu sama lain (Tabel 17). Produktivitas dalam akses pelatihan (26.77%) yang dimaksud dalam hal ini adalah pelatihan terkait keagamaan, memasak, menjahit, tata rias dan menyanyi. Komunitas waria merasa bahwa pencapaian akses pelatihan mereka meningkat saat mereka berada di pesantren waria. Waria bebas menentukan pelatihan apa yang akan mereka ikuti sesuai dengan minat dan bakat mereka. Waria akan dikelompokkan sesuai dengan pelatihan yang mereka pilih, kemudian masingmasing kelompok akan dilatih oleh mentor atau ahli bidang pelatihan tersebut. Khusus untuk pelatihan keagamaan semua waria wajib ikut serta. Akses pelayanan kesehatan (25.48%) dilihat dari kemampuan waria menjaga dirinya dari serangan penyakit, hidup di lingkungan yang bersih, dan menerapkan pola hidup yang sehat. Awalnya waria tidak mendapatkan tempat tinggal, sebagian besar dari mereka hidup di pinggiran sungai yang kotor, dekat dengan tumpukan sampah, dan mengonsumsi makanan yang kotor. Sampai akhirnya mereka hidup bersama di Pesantren Waria Al-Fatah. Pindahnya mereka ke pesantren ini merubah lingkungan dan pola hidup mereka menjadi lebih baik. Waria dapat hidup di tempat yang layak, jauh dari kumpulan sampah, dan
37
makanan yang mereka konsumsi pun lebih baik. Waria juga dapat berobat di puskesmas Desa Jagalan apabila terserang penyakit atau sekedar ingin mengontrol kesehatan mereka. Pemenuhan kebutuhan pokok (24.19%) dan memiliki usaha mandiri (23.55%) adalah pencapaian produktivitas yang saling berkaitan. Pendapatan yang diperoleh waria dari hasil usahanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, namun belum bisa digunakan untuk menabung atau membeli barang mewah (tersier) yang diinginkan oleh para waria. Usaha-usaha yang didirikan oleh komunitas waria belum bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi dan tetap. Oleh karena itu, komunitas waria harus selalu dimotivasi untuk terus melanjutkan usaha mandiri, supaya tidak ada yang kembali menjadi PSK atau pekerjaan kurang baik lainnya. Pencapaian yang terpenuhi menentukan tingkat produktivitas komunitas waria migran. “…kalo pendapatan sih ada mba, tapi ya itu cuma pas buat beli keperluan sehari-hari aja. Paling buat makan, beli baju yo ndak sebulan sekali mba, ga bisa bajunya kemahalan. Apalagi buat beli keperluan-keperluan lainnya mba, yo mana bisa. Nabung juga yo ndak bisa mba. Penghasilan usaha mandiri itu beda jauh sama kalo kita kerja di jalanan mba. Kalo di jalanan ya sehari juga gede dapetnya. Tapi balik lagi kan kita udah gamau mba nyoba-nyoba dunia gelap itu. Dikit uangnya yang penting halal mba hehe…” (Betty, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah). Tabel 18 Jumlah dan persentase tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah, Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Frekuensi 7 13 10 30
Persentase (%) 23.33 43.33 33.33 100.00
Produktivitas komunitas waria migran memiliki persentase sebesar 43.33% termasuk dalam kategori sedang (tabel 18). Salah satu faktor yang membuat tingkat produktivitas berada di kategori sedang karena pendapatan waria dari usaha mandiri tidak tetap atau fluktuatif, sehingga pemenuhan kebutuhan pokok, akses pelayanan kesehatan, dan akses pelatihan yang dapat dicapai masih dalam kategori sederhana/secukupnya. Produktivitas dinilai oleh komunitas waria migran sesuai dengan apa yang diperoleh mereka selama melakukan kegiatan produktif di Pesantren Waria Al-Fatah. Kegiatan produktif yang dilakukan komunitas waria migran mencakup kegiatan di ranah keagamaan, sosial, dan perekonomian. Kegiatan keagamaan mampu meningkatkan produktivitas komunitas waria migran dalam hal kerohaniannya, sedangkan untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria migran dalam hal pendapatan, pemeliharaan kesehatan, pengaksesan pelatihan, dan pemenuhan kebutuhan hidup pokok, kegiatan produktif yang harus ditingkatkan adalah kegiatan usaha ekonomi mandiri. Apabila komunitas waria migran dapat melakukan kegiatan usaha ekonomi mandiri dengan baik, maka komunitas waria akan memeroleh pendapatan yang baik pula, dengan pendapatan ini komunitas waria migran akan
38
lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan di Desa Jagalan, mengakses pelatihan-pelatihan sesuai minat, serta dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan baik. Oleh karena itu kegiatan produktif dinilai dapat mendukung tingkat produktivitas komunitas waria migran. Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Jagalan Pembangunan desa diukur melalui empat hal, yaitu: pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, pembangunan sarana dan prasarana desa, mengembangkan potensi ekonomi lokal, dan memanfaatkan sumber daya lokal berkelanjutan (UU No. 06 Tahun 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat empat peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan. Peranan waria tersebut dapat memberikan keuntungan bagi para waria dan masyarakat Desa Jagalan. Hal ini dijelaskan pada tabel 19. Tabel 19 Penilaian atas peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Kebutuhan Dasar Ikut Gotong Royong Mengajak Pemuda Desa Bekerja Memanfaatkan SD Lokal Jumlah
Frekuensi 76 83 84 83 326
Persentase (%) 23.31 25.46 25.77 25.46 100.00
Tabel 19 menjelaskan bahwa peranan komunitas waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan memiliki persentase yang hampir seimbang. Pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan dilakukan oleh komunitas waria migran dengan cara ikut bergotong-royong atau menyumbangkan tenaga kerja mereka (25.46%). Komunitas waria juga memberikan sumbangan uang, sumbangan bahan bangunan, atau sumbangan makanan dan minuman untuk pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan. Pengembangan potensi ekonomi lokal diwujudkan komunitas waria migran dengan mengajak pemudapemuda desa untuk bekerja di usaha mandiri yang didirikan oleh komunitas waria migran (25.77%). Pemuda yang diajak untuk bekerja adalah mereka yang sudah tidak bersekolah lagi. Hasil dari usaha tersebut disumbangkan kepada pihak Desa Jagalan. Waktu dan jumlah nominal sumbangan disesuaikan oleh kemampuan komunitas waria. Komunitas waria migran memanfaatkan sumber daya Desa Jagalan untuk kepentingan usaha mandiri (25.46%), namun mereka juga memanfaatkan sumber daya di luar Desa Jagalan untuk memenuhi kebutuhan pribadi ataupun kebutuhan usaha mandiri. “…susah mba kalo ngandelin yang ada disini aja. Ga semua yang kita butuhin ada disini. Ya kalo beli sayuran, ikan, daging itu ada di pasar sini. Tapi kalo untuk beli-beli perlengkapan buat nyalon, rias-rias ya ndak ada disini mba. Harus ke kota buat beli barangnya…”(Dewi, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah).
39
Pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga (23.31%) terbilang rendah. Rumah tangga dalam hal ini adalah satu keluarga atau kepala keluarga (KK) di Desa Jagalan. Sangat sedikit waria yang berasal dari Desa Jagalan, sehingga sedikit pula sumbangan yang diberikan untuk rumah tangganya. Itulah penyebab persentase pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga berada di kategori rendah. “…biasanya kalo ngasih sumbangan itu langsung ke pihak desa, atau ke RT/RW mba, jarang kita ngasih sumbangan khusus ke satu keluarga. Ya paling yang ngasih sumbangan pribadi gitu yang punya keluarga disini. Tapi kan disini jarang yang asli sini, cuma sekitar 2 orang yang punya keluarga disini, yang lainnya rantauan mba…” (Betty, Anggota Pesantren Waria AlFatah).
Peranan waria dalam kegiatan pemberian sumbangan kepada pihak Desa Jagalan merupakan salah satu perintah dari Shinta Ratri sebagai pemimpin komunitas waria migran di pesantren. Hal ini dilakukan agar pihak Desa Jagalan bersedia lebih menerima kehadiran pesantren waria di desa mereka. Tabel 20 Jumlah dan persentase tingkat peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan, tahun 2014 Kategori Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Frekuensi 6 10 14 30
Persentase (%) 20.00 33.33 46.67 100.00
Tingkat peranan komunitas waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan masuk dalam kategori tinggi, yakni sebesar 46.67% (Tabel 20). Tingkat sumbangan memiliki persentase yang berbeda-beda sesuai dengan sumbangan yang diberikan oleh komunitas waria migran melalui ikut serta dalam gotongroyong, pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, ajakan kepada pemuda desa untuk bekerja, dan pemanfaatan sumber daya lokal. Sumbangan kepada Desa Jagalan diukur oleh komunitas waria migran selama mereka aktif melakukan kegiatan di Pesantren Waria Al-Fatah. Peran Serta Waria Migran Dalam Pembangunan Desa Asal Desa asal adalah desa tempat waria dilahirkan atau tempat waria menjalani kehidupan mereka sebelum mereka melakukan migrasi ke Desa Jagalan. Daerah asal responden waria terdiri dari beberapa wilayah. Daerah tersebut bukan hanya di Daerah Yogyakarta saja, tetapi juga di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, dan Sulawesi (Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah 2014). Hasil wawancara menjelaskan bahwa komunitas waria yang melakukan migrasi sebagian besar karena mereka diusir atau tidak diterima di desa asal. Mayoritas dari mereka mendapat perlakuan yang kurang baik di desa asal (dikucilkan, diejek, didiskriminasi, bahkan diusir), karena masyarakat desa belum bisa menerima kehadiran waria. Masyarakat desa menganggap waria sebagai
40
orang yang mengalami “kelainan mental” karena antara jasad dan jiwa nya berbeda. Hal tersebut yang mengakibatkan para waria melakukan migrasi. Mereka ingin merubah hidup menjadi lebih baik dari segi perekonomian maupun sosial di tempat baru (perkotaan). Kebanyakan waria memilih kota-kota besar sebagai tempat pindah, salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tempat pemberdayaan komunitas waria di Desa Jagalan, Kabupaten Bantul yaitu Pesantren Waria Al-Fatah. Waria yang saat ini hidup di Pesantren Waria Al-Fatah, tidak begitu saja melupakan daerah asalnya. Mereka turut berperan serta menyumbangkan uang atau barang untuk pembangunan desa asal mereka. Hal tersebut dijelaskan pada tabel 21. Tabel 21 Penilaian atas peranan waria migran dalam pembangunan desa asal, tahun 2014 Kategori Kebutuhan Dasar Ikut Gotong Royong Mengajak Pemuda Bekerja Memanfaatkan SD Lokal Jumlah
Frekuensi 84 84
Persentase (%) 100.00 100.00
Terlihat pada tabel 21 bahwa peranan waria dalam pembangunan desa asal hanya memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga (100.00%). Hal ini diwujudkan melalui sumbangan yang diberikan kepada keluarga waria di desa asal mereka. Sumbangan dapat berupa uang ataupun barang yang disesuaikan dengan kemampuan waria yang bersangkutan. Tabel 22 Jumlah dan persentase tingkat peranan waria migran dalam pembangunan desa asal, tahun 2014 Kategori Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Frekuensi 14 7 9 30
Persentase (%) 46.67 23.33 30.00 100.00
Tingkat peranan waria migran dalam pembangunan desa asal berada dalam kategori rendah, yakni sebesar 46.67% (Tabel 22). Tingkat peranan ini diukur dari sumbangan yang diberikan oleh komunitas waria migran untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga di masing-masing desa mereka. Hanya 30% waria yang memberikan sumbangan kepada keluarganya di desa asal. Hal ini karena jarak desa asal yang terlalu jauh, waria yang tidak terlalu antusias atau enggan menyumbang kepada keluarga, dan banyak diantara mereka yang masih merasa sakit hati dengan keluarga di desa karena mereka diusir dan tidak dianggap sebagai anggota keluarga tersebut. Akibatnya sedikit waria yang berperan serta memberikan sumbangan kepada keluarga di desa asal mereka.
41
PENGARUH TINGKAT KEPEMIMPINAN, TINGKAT PRODUKTIVITAS, DAN TINGKAT PERANAN WARIA DALAM PEMBANGUNAN DESA Pengaruh Tingkat Kemampuan Terhadap Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Tingkat kemampuan diukur dari kemampuan pemimpin dalam membimbing, mengelola, memerintah, dan memotivasi komunitas waria migran. Berdasarkan uji pengaruh yang dilakukan, hipotesis dapat diterima dan positif. Tabel 23 Pengujian hipotesis pengaruh tingkat kemampuan pemimpin terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah Persentase Hipotesis T –Statistik Hipotesis Skor Ket (%) Tingkat Kemampuan Hipotesis 4.35 23.28 3 Tinggi > Tingkat Produktivitas Diterima
Tabel 23 menjelaskan bahwa hipotesis diterima. Artinya tingkat kemampuan pemimpin dapat memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria migran. Pengaruhnya berada dalam kategori tinggi yaitu sebesar 23.28 persen. Kemampuan pemimpin yang memengaruhi produktivitas komunitas waria migran adalah memotivasi dan mengelola. Pemimpin menggunakan kemampuannya (memotivasi dan mengelola) dalam memengaruhi komunitas waria migran mencapai tingkat produktivitas dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan pemeliharaan kesehatan melalui kegiatan produktif. Pemimpin motivasi dengan memberi semangat dan dukungan secara konsisten agar waria melakukan kegiatan produktif yang bermanfaat bagi kehidupannya. Adapun kegiatan produktif yang dilakukan adalah belajar ilmu agama, bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat, dan melakukan pekerjaan yang layak dengan mendirikan kegiatan usaha ekonomi mandiri. Komunitas waria migran tidak selalu bersemangat dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Terkadang mereka merasa lelah dan bosan dengan kegiatan yang terkesan tidak beragam. Shinta Ratri sebagai pemimpin memotivasi waria dengan memberikan reward kepada mereka yang mampu melaksanakan dan menyelesaikan kegiatan produktif dengan baik. Pemberian reward tersebut mampu memotivasi waria untuk melakukan kegiatan produktif di pesantren waria. “…Bunda Shinta suka ngasih hadiah ke waria yang berprestasi mba, hadiahnya macem-macem, bisa alat masak, alat dandan, baju, atau uang jajan Rp 50 000. Hadiah biasanya dikasih satu bulan sekali. Bunda bilang biar kita-kita semangat kalo lagi ikut acara, semangat usahanya juga mba…” (Yuni, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah).
Memotivasi juga dilakukan agar waria mampu menghadapi permasalahan yang dihadapi, baik permasalahan di dalam diri waria maupun permasalahan dengan orang lain. Permasalahan yang terjadi di dalam diri waria disebut dengan konflik intrapersonal. Konflik intrapersonal sering terjadi ketika waria ingin melaksanakan ibadah shalat dan melakukan pekerjaan yang cukup berat. Pada saat
42
shalat, waria terkadang merasa bingung harus berperan sebagai laki-laki atau perempuan. Muncul dua keinginan dalam dirinya, di satu sisi waria ingin shalat seperti laki-laki karena ia sadar bahwa Tuhan menciptakannya sebagai laki-laki, namun di sisi lain ia merasa bahwa dirinya adalah perempuan yang “terkurung” di jasad laki-laki, sehingga ia harus tetap shalat seperti perempuan. Konflik intrapersonal lainnya adalah ketika waria ingin melakukan pekerjaan yang cukup berat seperti kerja kuli bangunan saat terjadi perbaikan atau pembangunan sarana prasarana di Desa Jagalan. Waria merasa bingung karena di satu sisi waria sadar bahwa dirinya memiliki tenaga laki-laki yang kuat dan ia mampu mengerjakan pekerjaan kuli tersebut, namun di sisi lain ia merasa bahwa dirinya adalah perempuan yang tidak pantas untuk melakukan pekerjaan laki-laki. Konflik interpersonal juga dialami oleh komunitas waria migran. Konflik yang terjadi biasanya dalam hal tidak mendapat pekerjaan, tidak dapat mengakses pelayanan publik, atau mendapat perlakuan kurang baik dari masyarakat. Pemimpin memotivasi waria agar mereka mampu menghadapi dan mengatasi berbagai konflik yang dialami, baik konflik intrapersonal maupun konflik interpersonal. Pemimpin juga memiliki kemampuan dalam mengelola komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. Pengelolaan dilakukan dengan membuat suasana yang nyaman bagi komunitas waria agar mereka dapat bekerjasama dengan baik dalam melakukan kegiatan produktif di pesantren waria. Suasana nyaman diwujudkan dengan menyertakan partisipasi waria dalam setiap kegiatan, agar waria merasa dihargai kehadirannya. Adanya partisipasi waria juga untuk membangun komunikasi antara pemimpin, pengajar, dan sesama anggota waria. Suasana nyaman juga akan memudahkan waria dalam bekerjasama. Salah satu contoh kasus ketika kegiatan pelatihan usaha mandiri, waria dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan minat usaha mereka. Saat pelatihan, awalnya pengajar memberikan materi pembelajaran, kemudian waria diberi waktu untuk mempraktekkan materi tersebut. Pada saat itulah pemimpin harus mengelola suasana yang nyaman bagi waria, agar waria berani bertanya jika mengalami kesulitan dalam memahami materi, dan aktif dalam bekerjasama mempraktekkan materi pembelajaran. Pemimpin memotivasi dan mengelola komunitas waria migran agar meraka bersedia melakukan kegiatan produktif. Kegiatan produktif yang dinilai dapat mendukung tingkat produktivitas komunitas waria migran adalah kegiatan usaha ekonomi mandiri. “…yang paling ngedukung pendapatan sih usaha mandiri mba, kalo kegiatan ngaji atau gotong-royong gitu kan ga ngehasilin uang. Ngaji shalat itu ya buat ibadah kita ke Gusti Allah mba, kalo gotong royong ya biar kita diterima sama masyarakat sini…”(Yuni, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Kegiatan usaha ekonomi mandiri merupakan salah satu upaya yang dilakukan pesantren waria untuk mengalihkan profesi waria migran dari profesi yang kurang baik, seperti: PSK, gelandangan, ataupun pengemis. Kegiatan ini dilakukan sesuai dengan keinginan waria. Waria dilatih sesuai minat usahanya, kemudian diberikan modal untuk mendirikan usaha. Usaha didirikan secara berkelompok maupun mandiri. Kebanyakan waria yang mendirikan usaha secara berkelompok karena modal yang mereka miliki tidak terlalu besar, sehingga
43
dengan berkelompok modal akan lebih besar dan usaha lebih mudah dijalankan. Kegiatan usaha ekonomi mandiri dapat mendukung tingkat produktivitas komunitas waria migran. Pemimpin menggunakan kemampuannya dalam memotivasi dan mengelola komunitas waria migran untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi mandiri. Berbagai macam usaha mandiri yang didirikan oleh waria yaitu: usaha katering, pedagang jagung bakar, angkringan, usaha sembako, pedagang roti bakar, usaha salon, perias pengantin, dan penyanyi restoran. Usaha-usaha tersebut didirikan oleh komunitas waria secara bersama-sama dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan. Penghasilan yang didapatkan dari usaha mandiri belum terlalu tinggi atau belum tetap (fluktuatif). Hal tersebut karena modal yang diberikan pesantren kepada waria tidak terlalu tinggi sehingga usaha yang didirikan pun belum terlalu besar. Contohnya, usaha salon merupakan usaha yang paling banyak diminati oleh komunitas waria migran. Sebanyak 10 dari 30 responden waria mendirikan salon sebagai usaha mereka, namun salon yang didirikan belum terlalu besar, peralatannya pun belum terlalu lengkap, sehingga sedikit pelayanan yang bisa diberikan waria kepada pelanggannya, dan harga pelayanan pun masih terbilang rendah (murah). Hasil usaha yang diperoleh komunitas waria migran, walaupun belum terbilang tinggi, namun sudah dapat meningkatkan produktivitas komunitas waria migran dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup pokok (pangan, sandang, dan papan) dan pemeliharaan kesehatan. Tingkat produktivitas dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup pokok diukur dari kemampuan waria memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang penting dimiliki, yaitu pangan/makanan, sandang/pakaian, dan papan/tempat tinggal. Hasil usaha waria dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari. Mereka mendapatkan konsumsi di pesantren hanya sarapan pagi saja, namun untuk makan siang dan makan malam mereka membeli sendiri. Hal ini karena saat waktu makan siang dan malam, para waria masih berada di tempat usahanya masing-masing. Pemenuhan kebutuhan sandang/pakaian juga dapat terpenuhi, walaupun tidak setiap hari membeli baju baru, namun waria dapat membeli baju minimal sebulan sekali dari hasil usaha tersebut. Pemenuhan kebutuhan papan/tempat tinggal sudah terpenuhi karena mereka tinggal di pesantren waria secara bersama-sama. Tingkat produktivitas dalam pemeliharaan kesehatan diukur dari kemampuan waria menjaga dirinya dari serangan penyakit dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Hal ini diwujudkan melalui gotong-royong yang dilakukan oleh komunitas waria setiap pagi di pesantren. Gotong-royong mencakup menyapu, mengepel, membersihkan rumput, memasak, dan kegiatan kebersihan lainnya. Komunitas waria juga menjaga kebersihan lingkungan Desa Jagalan dengan melakukan gotong-royong setiap hari minggu pagi bersama masyarakat Desa Jagalan. Kegiatan gotong-royong ini mencakup membersihkan jalan, membuang sampah pada TPA (Tempat Pembuangan Akhir), memerbaiki sarana dan prasarana Desa Jagalan yang rusak, ataupun menyemprotkan obat anti nyamuk demam berdarah pada lingkungan Desa Jagalan. Pemeliharaan kesehatan juga dilakukan dengan menjaga pola makan dengan mengonsumsi makanan sehat, menerapkan hidup sehat dengan berolahraga, dan memeriksakan diri ke puskesmas Desa Jagalan.
44
Pengaruh Tingkat Kepribadian Terhadap Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Tingkat kepribadian merupakan salah satu variabel dalam tingkat kepemimpinan. Tingkat kepribadian diukur dari kepribadian pemimpin yang tegas, berani, agresif, dan mengayomi. Berdasarkan hasil uji pengaruh, hipotesis dapat diterima dan positif. Tabel 24 Pengujian hipotesis pengaruh tingkat kepribadian pemimpin terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah Persentase Hipotesis T -Statistik Hipotesis Skor Ket (%) Tingkat Kepribadian Hipotesis 3.26 17.45 2 Sedang > Tingkat Produktivitas Diterima
Tabel 24 menjelaskan bahwa hipotesis pada pengaruh ini dapat diterima dan positif. Artinya tingkat kepribadian pemimpin dapat memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria migran. Pengaruhnya berada dalam kategori sedang yaitu sebesar 17.45 persen. Kepribadian pemimpin yang memengaruhi produktivitas komunitas waria migran adalah berani, agresif, dan mengayomi. Kepribadian pemimpin yang berani terlihat saat pemimpin berbicara di hadapan komunitas waria dengan percaya diri. Suaranya lantang, intonasinya jelas, namun tetap bersahabat. Informasi yang diberikan dapat tersampaikan dengan baik, sehingga waria mengerti dan bersedia mendengarkan pemimpin saat ia berbicara. Shinta Ratri sebagai pemimpin adalah orang yang dominan berbicara di hadapan komunitas waria migran. Hampir seluruh kegiatan di pesantren waria diinstruksikan oleh Shinta Ratri. Mulai dari shalat berjamaah, gotong-royong, pelatihan usaha mandiri, maupun pengajian. Shinta Ratri juga berani berbicara di hadapan pihak luar pesantren jika ada kegiatan di luar pesantren, misalnya: perlombaan (lomba menari dan paduan suara), undangan terkait kegiatan waria, ataupun seminar mengenai waria dan komunitasnya. Pemimpin juga berani menegur waria yang melakukan kesalahan. Jika terdapat waria yang bekerja sebagai PSK atau melakukan kesalahan lainnya yang disengaja, pemimpin akan langsung menegur dengan sopan dan memberi pengertian agar waria dapat memerbaiki kesalahan tersebut. Salah satu contoh kasus waria yang ditegur karena melakukan kesalahan adalah saat seorang waria melakukan penyelendupan modal usaha yang diberikan. Waria tersebut tertangkap saat ingin mencuri sejumlah uang di warung kejujuran. Saat mengetahui kejadian itu, Shinta Ratri langsung memanggil waria yang bersangkutan, menanyakan alasannya melakukan pencurian, dan menegurnya dengan memberi peringatan dan hukuman yang disesuaikan dengan aturan pesantren. Pemimpin juga berani mengakui kesalahannya jika ia melakukan kesalahan dan ia bersedia diadili oleh komunitas waria sesuai dengan kesalahan yang ia perbuat. Kepribadian lain yang dimiliki pemimpin adalah agresif. Sifat ini terlihat dari kepekaan pemimpin ketika terdapat waria yang sedang mengalami kesulitan baik dalam melakukan kegiatan di pesantren ataupun ketika sedang menghadapi permasalahan lain. Pemimpin bersedia untuk selalu mendekatkan diri dengan para waria agar dapat lebih mengenal anggotanya di pesantren waria.
45
Pemimpin selalu berusaha untuk mengayomi atau melindungi waria dari masalah-masalah yang terjadi. Berbagai macam permasalahan yang dihadapi waria, mulai dari masalah dengan sesama waria, masalah dengan keluarga, masalah dengan lingkungan, ataupun masalah dengan dirinya sendiri. Pemimpin melindungi waria dengan memberi pengertian dan arahan kepada waria agar lebih mampu menghadapi permasalahan yang terjadi. Terkadang ia pun menjadi pihak ketiga jika waria menghadapi masalah dengan pihak lain. Komunitas waria diayomi untuk melakukan kegiatan produktif di pesantren waria. Pemimpin menerapkan kepribadian berani, agresif, dan mengayomi untuk memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria migran dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup pokok. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan melakukan kegiatan usaha ekonomi mandiri yang dapat membantu waria memeroleh penghasilan berupa uang. “…kalo untuk beli-beli makan, baju atau barang-barang keperluan lainnya ya harus pake duit mba. Duit itu ya didapetnya dari hasil kerja kita diusahausaha kita. Kalo kegiatan agama atau sosial kan ga bisa menghasilkan uang, jadi ga terlalu ngaruh mba…” (Rully, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Berdasarkan pernyataan Rully salah satu anggota di pesantren waria, pemenuhan kebutuhan pokok dapat dipenuhi dari hasil usaha mandirinya. Apabila waria dapat memenuhi kebutuhan pokok dengan baik, maka waria tersebut telah mencapai salah satu tingkat produktivitasnya. Kebutuhan pokok dikatakan telah terpenuhi apabila waria mampu memenuhi kebutuhan pangan setiap hari dengan mengonsumsi makanan yang sehat dan cukup, mampu memenuhi kebutuhan sandangnya dengan menggunakan pakaian yang layak pakai, dan mampu memiliki tempat tinggal yang layak, yaitu tempat tinggal yang jauh dari aliran sungai, jauh dari tempat pembuangan sampah, dan jauh dari tempat kotor lainnya. Kepribadian pemimpin yang berani, agresif, dan mengayomi juga mampu memengaruhi produktivitas komunitas waria migran dalam hal pemeliharaan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan diwujudkan dalam kegiatan gotong-royong membersihkan lingkungan pesantren dan lingkungan Desa Jagalan. Gotongroyong akan membuat lingkungan menjadi bebas dari sampah, dan terhindar dari berbagai penyakit. Pemimpin juga menghimbau komunitas waria untuk memelihara kesehatan dengan memeriksakan diri ke puskesmas Desa Jagalan atau puskesmas terdekat yang dapat diakses oleh komunitas waria. Pengaruh tingkat kepribadian terhadap tingkat produktivitas termasuk sedang karena terkadang pemimpin terlalu berani menghukum waria. Waria merasa hukuman yang diberikan terlalu berlebihan, sehingga waria kurang suka menjalani hukuman tersebut. Pemimpin juga terkadang terlalu agresif melakukan pendekatan dengan waria, sehingga waria merasa tidak nyaman jika segala sesuatu tentang dirinya diikutcampuri terlalu dalam. Kepribadian pemimpin yang dirasa terlalu berlebihan akan mengakibatkan waria enggan atau merasa malas ketika melakukan kegiatan produktif yaitu kegiatan usaha ekonomi mandiri. Apabila waria sudah merasa malas, maka akan berdampak pada pekerjaan yang tidak maksimal di usaha ekonomi mandirinya. Akibatnya, hasil yang diperoleh pun tidak akan maksimal, oleh karena itu pengaruhnya tergolong sedang.
46
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan pemimpin untuk memengaruhi bawahannya, dalam hal ini adalah komunitas waria migran. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang khas. Gaya kepemimpinan dapat dijelaskan dari empat jenis gaya, yaitu: delegatif, partisipatif, konsultatif, dan direktif. Keempat gaya tersebut digunakan pemimpin ketika ia melakukan pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah. Berdasarkan hasil uji pengaruh, hipotesis diterima dan positif. Tabel 25 Pengujian hipotesis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap tingkat produktivitas komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah Persentase Hipotesis T -Statistik Hipotesis Skor (%) Gaya Kepemimpinan Hipotesis 5.05 27.03 3 > Tingkat Produktivitas Diterima
Ket Tinggi
Berdasarkan tabel 25 hipotesis pengaruh gaya kepemimpinan diterima dan positif. Artinya gaya kepemimpinan dapat memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria migran. Pengaruhnya berada dalam kategori tinggi yaitu sebesar 27.03 persen. Gaya kepemimpinan yang memengaruhi produktivitas komunitas waria migran adalah gaya partisipatif. Gaya kepemimpinan partisipatif adalah gaya yang melibatkan pemimpin dan komunitas waria migran dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Shinta Ratri sebagai pemimpin akan mengambil keputusan setelah adanya saran dan pendapat dari komunitas waria migran. Shinta Ratri memberikan keleluasaan kepada komunitas waria untuk berperan menyampaikan pendapat, ide, ataupun keinginan mereka. Contoh kasus adalah saat pembuatan aturan pesantren dan penetapan visi misi Pesantren Waria Al-Fatah. Pemimpin mengajak waria untuk mendiskusikan peraturan pesantren. Peraturan ini dirancang bersama berdasarkan hasil ide, saran, dan pendapat dari komunitas waria, Shinta Ratri dan pembina pesantren waria yaitu KH Hamroeli Harun. Semua pihak diperbolehkan untuk berpartisipasi aktif, karena peraturan yang dibuat untuk kepentingan bersama. Visi misi pesantren waria juga didiskusikan bersama untuk kemajuan komunitas waria dan pesantren waria Al-Fatah. Adapun visi misi Pesantren Waria Al-Fatah adalah sebagai berikut: “Visi: Mewujudkan kehidupan waria yang bertaqwa kepada Allah SWT dan bertanggungjawab terhadap diri dan keluarga, serta komunitas/ masyarakat/ negara kesatuan Republik Indonesia. Misi: Mendidik para santriwaria menjadi pribadi yang taqwa dengan berbekal ilmu Agama Islam yang kuat dan mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan segala lapisan komponen masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika” (Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah)
Pemimpin juga mendiskusikan kegiatan produktif yang akan dilakukan di pesantren bersama komunitas waria migran. Shinta Ratri sebagai pemimpin diskusi memberi keleluasaan kepada masing-masing waria untuk mengutarakan
47
kegiatan apa saja yang ingin mereka lakukan. Berdasarkan hasil diskusi kegiatan yang ditetapkan menjadi kegiatan wajib adalah kegiatan keagamaan yaitu shalat berjamaah, belajar membaca Al-Qur’an, dan melaksanakan shaum senin-kamis. Shalat berjamaah dan belajar membaca Al-Quran akan dibimbing oleh Ustad/ustadzah pengajar pesantren waria, sedangkan shaum senin-kamis dilakukan secara pribadi oleh masing-masing waria. Kegiatan rutin yang ditetapkan waria adalah kegiatan pengajian dan kegiatan gotong-royong. Pengajian dilakukan untuk menambah ilmu agama komunitas waria migran, dan untuk meningkatkan interaksi waria dengan masyarakat Desa Jagalan. Kegiatan gotong-royong dilakukan waria di lingkungan pesantren dan lingkungan Desa Jagalan. Kegiatan ini ditujukan agar masyarakat bersedia menerima kehadiran waria di Desa Jagalan. Kegiatan produktif selanjutnya adalah kegiatan usaha ekonomi mandiri. Komunitas waria menetapkan kegiatan ini sebagai kegiatan utama yang harus dimiliki masingmasing waria. Karena dengan adanya kegiatan usaha ekonomi mandiri, waria akan memeroleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Shinta Ratri menerapkan gaya partisipatif dengan memberikan keleluasaan kepada komunitas waria untuk mendirikan usaha ekonomi mandiri sesuai minat dan bakat mereka. Pendirian usaha dapat dilakukan secara individu ataupun kelompok. Gaya partisipatif membuat hubungan Shinta Ratri dengan komunitas waria terjalin dengan baik dan berada dalam suasana saling terbuka satu sama lain. Shinta Ratri memberikan motivasi kepada komunitas waria untuk melaksanakan kegiatan produktif tidak hanya didasarkan atas pertimbangan ekonomis saja, melainkan juga didasarkan atas pertimbangan pentingnya menjaga kerohanian dan menjaga hubungan sosial waria dengan masyarakat. Gaya partisipatif adalah gaya yang paling memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria migran. Komunitas waria memandang bahwa gaya partisipatif adalah gaya yang paling ideal. Hal ini karena waria dapat berpartisipasi aktif dalam merancang kegiatan yang bermanfaat untuk mereka. Secara formal, pemimpin yang membuat keputusan, namun keputusan tersebut adalah hasil pertimbangan saran dan pendapat bersama. “…Seneng mba kita kalo diajak diskusi buat rencana-rencana kegiatan gitu. Ngerasa dihargain aja mba, apalagi kalo kita bisa ngasih saran atau ide, trus idenya diterima sama yang lain. Biasanya kalo lagi diskusi kita kondisinya nyaman dan santai aja mba, serius tapi santai aja, sambil ngobrol ngalor ngidul, makan cemilan, becanda, ya gitu aja, tapi tetep fokus dan saling menghargai satu sama lain…” (Rully, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Pemimpin menggunakan gaya kepemimpinan partisipatif dalam memengaruhi komunitas waria migran mencapai tingkat produktivitas dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan pemeliharaan kesehatan, melalui kegiatan produktif yang didiskusikan secara bersama. Berdasarkan kegiatan yang telah diuraikan sebelumnya, kegiatan-kegiatan yang ditetapkan dapat mendukung tingkat produktivitas komunitas waria migran. Kegiatan keagamaan mampu meningkatkan produktivitas pengetahuan agama waria; kegiatan gotong-royong mampu meningkatkan produktivitas sosial waria kepada masyarakat, dan mampu meningkatkan produktivitas waria dalam pemeliharaan kesehatan; dan kegiatan usaha ekonomi mandiri mampu meningkatkan produktivitas pendapatan dan
48
pemenuhan kebutuhan hidup pokok komunitas waria migran. Pengaruh gaya partisipatif tergolong tinggi karena dengan gaya partisipatif pemimpin mampu meningkatkan minat dan semangat komunitas waria migran untuk melakukan kegiatan produktif khususnya usaha ekonomi mandiri. Komunitas waria yang melakukan kegiatan produktif dengan baik, akan memeroleh penghasilan berupa uang. Hasil tersebutlah yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok waria. Kebutuhan hidup pokok mencakup pangan/makanan, sandang/pakaian, dan papan/tempat tinggal. Hasil dari usaha waria saat ini sudah mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka, namun waria belum bisa menyisihkan uang tersebut untuk menabung. Hal ini karena hasil yang didapat belum terlalu tinggi dan belum tetap setiap harinya. “…Alhamdulillah mba hasil dari usaha ini bisa buat menuhin kebutuhan makan sehari-hari, ya beli baju juga bisa, tempat tinggal ya Alhamdulillah udah ada pesantren jadi ga pusing lagi mikirin tempat tinggal. Hasil usaha yo dicukup-cukupin setiap harinya mba. Usaha kita kan belum terlalu besar jadi ya hasilnya juga ga terlalu tinggi mba…” (Manohara, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Gaya partisipatif dapat meningkatkan produktivitas komunitas waria migran dalam hal pemeliharaan kesehatan. Shinta Ratri menghimbau komunitas waria untuk melakukan gotong-royong baik di pesantren waria maupun di lingkungan Desa Jagalan. Waria melakukan gotong-royong di pesantren bersama-sama secara berkelompok sesuai dengan tugas piketnya masing-masing. Gotong-royong ditujukan agar lingkungan pesantren menjadi bersih dan bebas dari penyakit. Pemeliharaan kesehatan juga diterapkan waria dengan mengonsumsi makanan sehat. Konsumsi waria terdiri dari nasi putih, lauk-pauk, sayur-mayur, dan buah. Makanan tersebut disediakan setiap pagi, karena untuk makan siang dan malam waria menyediakan makan sendiri dari hasil usaha mandiri mereka. Pemimpin juga menggunakan gaya partisipatif untuk menghimbau waria memeriksakan dirinya ke puskesmas terutama puskesmas Desa Jagalan. Gaya partisipatif tidak hanya digunakan pemimpin untuk memimpin komunitas waria saja, tetapi juga digunakan untuk menghadapi pihak luar pesantren, salah satunya adalah pihak puskesmas Desa Jagalan. Selama ini komunitas waria belum dapat mengakses pelayanan kesehatan dengan baik. Hal ini karena waria tidak memiliki kartu jaminan kesehatan dan tidak memiliki cukup biaya untuk memeriksakan dirinya ke puskesmas atau klinik. Akibatnya banyak waria yang memeriksakan dirinya ke “orang pintar” atau pengobatan kesehatan lainnya yang memiliki tarif lebih murah. Melihat fenomena tersebut Shinta Ratri menggunakan gaya partisipatif untuk berdiskusi bersama pihak puskesmas Desa Jagalan agar waria di pesantren dapat mengakses pelayanan kesehatan di puskesmas dengan mudah dan biaya yang disesuaikan dengan penghasilan waria. Pihak puskesmas Desa Jagalan bersedia memberikan pelayanan kesehatan kepada waria sesuai dengan permintaan Shinta dengan pertimbangan banyaknya waria yang memiliki riwayat kesehatan kurang baik dan penghasilan yang tidak tinggi, selain itu juga karena waria di pesantren berperan dalam menjaga kebersihan lingkungan Desa Jagalan. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa gaya partisipatif dapat memengaruhi produktivitas komunitas waria migran dalam hal pemeliharaan kesehatan.
49
Pengaruh Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Terhadap Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Jagalan Produktivitas adalah penilaian secara sistematis terhadap individu atau kelompok yang berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan dalam suatu pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan. Tingkat produktivitas komunitas waria migran diukur dari kemampuan mereka memeroleh: pendapatan dari hasil pekerjaan/usaha yang didirikan; pendidikan yaitu mengakses pelatihan-pelatihan atau kursus sesuai dengan minat dan bakat waria. Pelatihan berupa tata rias, tata boga, menyanyi, ataupun pelatihan salon; pemeliharaan kesehatan yang diwujudkan melalui menjaga kebersihan lingkungan, menerapkan hidup sehat, dan mengakses pelayanan kesehatan di puskesmas terdekat; dan pemenuhan kebutuhan hidup pokok yaitu memenuhi kebutuhan pangan/makanan, sandang/pakaian, dan papan/tempat tinggal. Berdasarkan hasil uji pengaruh, hipotesis diterima dan positif. Tabel 26 Pengujian hipotesis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan Persentase Hipotesis T -Statistik Hipotesis Skor Ket (%) Tingkat Produktivitas Hipotesis 3.45 18.46 3 Tinggi > TPP Desa Jagalan Diterima
Berdasarkan tabel 26 hipotesis pengaruh produktivitas komunitas waria terhadap peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan terbilang tinggi yaitu 18.46 persen. Produktivitas yang memengaruhi peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan adalah pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan pemeliharaan kesehatan. Komunitas waria yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pokoknya dapat berperan dalam pembangunan desa melalui sumbangan yang diberikan kepada pihak Desa Jagalan. Penghasilan waria dari usaha mandiri yang mereka dirikan selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, juga digunakan untuk memberikan sumbangan kepada pihak Desa Jagalan. Walaupun penghasilan usaha mandiri yang didapat tidak terlalu tinggi atau tidak tetap setiap harinya, namun waria tetap menyisihkannya. Sumbangan yang diberikan berupa uang, barang ataupun tenaga. Shinta Ratri menghimbau kepada komunitas waria untuk sebisa mungkin memberikan sumbangan ke pihak Desa Jagalan. Hal ini dilakukan agar kehadiran waria tetap memberikan manfaat kepada masyarakat Desa Jagalan. “…Menurut saya sebisa mungkin kita dari pihak waria selalu ngasih sumbangan ke pihak desa. Supaya kita diterima mba disini. Kan kalo kita rutin ngasih masyarakat jadi seneng dengan adanya kita disini. Jadi kerasa manfaatnya kalo ada kita. Kalo kita ga ngasih apa-apa kan nanti jadi omongan dan yang ada kita diusir mba dari sini…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Pemeliharaan kesehatan juga mampu memengaruhi peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan. Pemeliharaan kesehatan diwujudkan waria dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar terhindar dari serangan penyakit. Komunitas waria juga berupaya untuk mengonsumsi makanan yang sehat dan
50
bersih. Pemeliharaan kesehatan juga dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan dengan rutin setiap satu bulan sekali di puskesmas Desa Jagalan. Pencapaian produktivitas komunitas waria dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan pemeliharaan kesehatan memengaruhi tingkat peranan waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan. Komunitas waria berperan dalam pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan. Peranan waria diwujudkan melalui sumbangan yang diberikan kepada pihak Desa Jagalan. Sumbangan ini diperoleh dari hasil usaha ekonomi mandiri yang didirikan oleh waria. Pihak Desa Jagalan memanfaatkan sumbangan tersebut untuk memelihara sarana dan prasarana Desa Jagalan, seperti: memerbaiki bangunan masjid, memerbaiki jalanan yang rusak, membangun gapura, dan kegiatan lainnya yang menyangkut kepentingan bersama. Sumbangan juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan waria dan masyarakat seperti gotong-royong, pengajian, dan perayaan-perayaan hari besar. Sumbangan yang diberikan terbilang tinggi karena selain uang, waria juga berperan dalam menyumbangkan tenaga mereka untuk pembangunan Desa Jagalan. Waria tidak segan melakukan gotong-royong di Desa Jagalan. Selain itu, waria melibatkan pemuda-pemuda desa yang tidak memiliki pekerjaan untuk membantu mendirikan usaha mandiri waria. Mereka adalah pemuda yang tidak melanjutkan pendidikan dan belum mendapat pekerjaan. Hal ini dilakukan agar pemuda-pemuda desa mampu melakukan kegiatan yang bermanfaat dan dapat membantu kedua orangtuanya. Pemeliharaan kesehatan juga memengaruhi peranan waria dalam pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan. Waria berperan dalam menjaga kesehatan sarana dan prasarana Desa Jagalan dengan memberikan penyemprotan anti nyamuk demam berdarah ke tempat-tempat umum, menjaga kebersihan dari sampah yang berserakan dan gotong-royong membersihkan sarana dan prasarana Desa Jagalan. Peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan terbilang baik karena waria memberikan sumbangan berupa uang, barang, ataupun tenaga kepada pihak Desa Jagalan secara konsisten untuk pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan. Peran waria ini sangat bermanfaat bagi pihak Desa Jagalan. Komunitas waria juga secara konsisten berperan dalam memelihara kesehatan sarana dan prasarana Desa Jagalan dengan menjaga kebersihannya secara teratur. Peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial baik bagi komunitas waria ataupun masyarakat Desa Jagalan. Peran komunitas waria dalam mendirikan usaha ekonomi mandiri di Desa Jagalan mampu memenuhi kebutuhan material mereka dan masyarakat Desa Jagalan melalui sumbangan yang diberikan. Komunitas waria juga mengajak pemudapemuda desa yang tidak bekerja untuk membantu usaha mandiri mereka, sehingga pemuda-pemuda tersebut dapat memenuhi kebutuhan material mereka. Komunitas waria mampu memenuhi kebutuhan spiritual mereka dan masyarakat Desa Jagalan melalui kegiatan pengajian dan kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di Desa Jagalan. Komunitas waria juga memenuhi kebutuhan sosialnya dengan melakukan kegiatan bakti sosial dan gotong-royong bersama masyarakat Desa Jagalan. Peranan waria di berbagai kegiatan tersebut dapat membuat hidup mereka layak seperti masyarakat umum dan mereka mampu mengembangkan diri, sehingga waria mampu melaksanakan fungsi sosialnya.
51
Pengaruh Tingkat Produktivitas Komunitas Waria Migran Terhadap Tingkat Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Asal Waria Produktivitas adalah hasil kerja seseorang (waria) berupa uang, barang atau jasa dengan menggunakan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan. Seseorang dikatakan produktif apabila ia memiliki kemampuan yang lebih. Produktivitas yang diukur dalam penelitian ini adalah produktivitas komunitas waria migran. Tingkat produktivitas komunitas waria migran diukur dari kemampuan mereka memeroleh: pendapatan dari hasil pekerjaan/usaha yang didirikan; pendidikan yaitu mengakses pelatihan-pelatihan atau kursus sesuai dengan minat dan bakat waria. Pelatihan berupa tata rias, tata boga, menyanyi, ataupun pelatihan salon; pemeliharaan kesehatan yang diwujudkan melalui menjaga kebersihan lingkungan, menerapkan hidup sehat, dan mengakses pelayanan kesehatan di puskesmas terdekat; dan pemenuhan kebutuhan hidup pokok yaitu memenuhi kebutuhan pangan/makanan, sandang/pakaian, dan papan/tempat tinggal. Berdasarkan hasil uji pengaruh, hipotesis diterima dan positif. Tabel 27 Pengujian hipotesis pengaruh tingkat produktivitas komunitas waria migran terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal Persentase Hipotesis T -Statistik Hipotesis Skor Ket (%) Tingkat Produktivitas Hipotesis 2.57 13.75 1 Rendah > TPP Desa Asal Diterima
Tabel 27 menjelaskan bahwa tingkat produktivitas berpengaruh terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal, namun pengaruhnya rendah yaitu sebesar 13.75 persen. Produktivitas yang memengaruhi peranan waria dalam pembangunan desa asal waria adalah pemenuhan kebutuhan hidup pokok. Komunitas waria tidak hanya berperan dalam pembangunan Desa Jagalan, waria juga berperan dalam pembangunan desa asalnya. Peranan waria dalam pembangunan desa asal diwujudkan melalui sumbangan yang diberikan waria kepada keluarga di desa asal. Sumbangan tersebut berupa uang atau barang hasil dari usaha ekonomi mandiri yang didirikan oleh komunitas waria migran di pesantren waria. Waria menyisihkan pendapatan mereka untuk memberikan sumbangan kepada keluarga di desa asal masing-masing. Melalui sumbangan ini, waria dinilai memiliki peranan dalam pembangunan desa asalnya. Pengaruh tingkat produktivitas terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal tergolong rendah karena sumbangan yang diberikan hanya dapat memengaruhi peranan waria dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Sumbangan yang diberikan berupa barang dan uang saja. Waria tidak bisa memberikan sumbangan berupa tenaga kerja karena jarak desa asal yang cukup jauh. Jumlah dan waktu pemberian sumbangan disesuaikan dengan kemampuan waria. Faktor lain yang membuat pengaruhnya rendah, karena tidak semua waria memberikan sumbangan kepada desa asal mereka. Hal ini karena waria masih merasa tersinggung dan sakit hati kepada keluarga yang mengusir dan tidak menganggap mereka dalam keluarganya. Akan tetapi peranan waria dalam pembangunan desa asal tetap harus ditingkatkan.
PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa simpulan untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis penelitian. Berikut penjelasannya: 1. Tingkat kepemimpinan yang dilihat dari tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan dapat memengaruhi tingkat produktivitas komunitas waria migran. Pemimpin yang memiliki kepribadian berani, agresif, dan mengayomi, mampu memotivasi dan mengelola waria, untuk melakukan kegiatan produktif. Pemimpin menerapkan gaya partisipatif untuk menjalin komunikasi dengan waria. Gaya ini digunakan agar tercipta keterbukaan antar pemimpin dan komunitas waria migran dalam melakukan kegiatan-kegiatan di Pesantren Waria Al-Fatah. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut berupa kegiatan keagamaan, kegiatan bakti sosial, dan kegiatan usaha mandiri. Kegiatan yang dominan dapat meningkatkan produktivitas komunitas waria migran adalah usaha mandiri. Komunitas waria yang mendirikan usaha mandiri dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka berupa pemenuhan pangan, sandang, dan papan. Waria juga dapat memelihara kesehatan dari hasil usaha mandirinya. Pemeliharaan tersebut berupa akses pelayanan kesehatan di puskesmas Desa Jagalan dan kemampuan waria dalam menerapkan hidup sehat dan bersih. 2. Tingkat produktivitas komunitas waria migran berpengaruh positif terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan. Pembangunan desa diwujudkan melalui sumbangan kepada pihak Desa Jagalan. Waria menyisihkan hasil dari usaha mandirinya untuk disumbangan ke Desa Jagalan. Sumbangan yang diberikan berupa uang, barang, dan tenaga kerja. Hasil dari sumbangan ini digunakan untuk pembangunan Desa Jagalan dalam hal pembangunan sarana dan prasarana desa. 3. Tingkat produktivitas komunitas waria migran berpengaruh positif terhadap tingkat peranan waria dalam pembangunan desa asal waria. Pembangunan desa diwujudkan melalui sumbangan yang diberikan waria migran kepada keluarga di desa asal mereka. Sumbangan ke desa asal berupa uang dan barang. Hasil dari sumbangan ini dapat meningkatkan pembangunan desa asal waria dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Pengaruhnya terbilang rendah karena hanya beberapa waria saja yang memberikan sumbangan kepada keluarga di desa asal.
53
Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa saran yaitu sebagai berikut: 1. Bagi pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah, disarankan dapat meningkatkan kemampuan dalam memotivasi dan mengelola, serta meningkatkan kepribadian berani, agresif, dan mengayomi terhadap komunitas waria migran. Pemimpin juga diharapkan dapat meningkatkan penerapan gaya kepemimpinan partisipatif, dengan mengajak para waria berdiskusi dan bekerjasama agar dapat meningkatkan produktivitasnya. 2. Bagi civitas akademika, penelitian ini perlu pembandingan antar kelompok responden yang beragam (kelompok waria dan kelompok masyarakat desa). Pembandingan ini untuk melihat tingkat pembangunan desa Jagalan. Adanya pembandingan agar dapat memeroleh hasil yang lebih baik dalam menganalisis tingkat pembangunan Desa Jagalan yang telah dilakukan oleh komunitas waria migran di Pesantren Waria Al-Fatah. 3. Penelitian ini telah menjelaskan bahwa komunitas waria migran dapat melakukan kegiatan-kegiatan produktif yang positif. Disarankan bagi masyarakat agar dapat meningkatkan kerjasama dan membangun hubungan baik terhadap komunitas waria. Masyarakat dapat bekerjasama dalam hal membangun usaha mandiri, dan memberikan sumbangan guna meningkatkan pembangunan desa. 4. Bagi pemerintah, disarankan untuk membuat kebijakan khusus mengenai HAM waria agar para waria tidak selalu dilecehkan, dicemooh, didiskriminasi atau diusir dari tempat tinggalnya. Pemerintah juga disarankan untuk membuat suatu program pemberdayaan bagi komunitas waria melalui pemberian modal untuk membangun usaha mandiri dan menyediakan tempat tinggal layak agar komunitas waria dapat meningkatkan produktivitasnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah Husni dan Faidah Mutimmatul. 2013. Religius dan Konsep Diri Kaum Waria. Jurnal JSGI. [Internet]. [Dikutip 24 September 2014]. 04 (01): 1-14. Dapat diunduh dari: http://jurnalgender.uinsby.ac.id/index.php/jurnalgender/article/download/2/2 Aenilah N, Sarkadi, Suhadi. 2013. Kinerja pegawai desa dalam pembangunan desa (studi kualitatif di Kelurahan Sukahurip, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi). Jurnal PPKN UNJ Online.[Internet] [Dikutip 02 Desember 2014].01(02):1-10. Dapat diunduh dari: http://skripsippknunj.com/wp-content/uploads/2013/07/Tamplate-JurnalOnline-Mahasiswa11.pdf. Almigo Nuzsep. 2004. Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dengan Produktivitas Kerja Karyawan. Jurnal PSYCHE. [Internet]. [Dikutip 30 September 2014]. 01 (01): 50-60. Dapat diunduh dari: https://id.scribd.com/doc/226887247/jurnal-nuzsep. Chin. 1998. Metode Analisis Data Menggunakan Pendekatan Partial Least Square (PLS). Bandung [ID]: UPI Press. Data Monografi Desa Jagalan. 2014 Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah. 2014 Eliana Rika dan Colonne Stevanus. 2005. Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal Waria Ditinjau Dari Identitas Gender. Jurnal Psikologia. [Internet]. [Dikutip 24 September 2014]. 01 (04): 96-104. Dapat diunduh dari:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15717/1/psi-des2005%20(6).pdf. Kamuli Sukarman. 2012. Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Produktivitas Kerja Pegawai di Sekretariat Daerah Kota Gorontalo. Jurnal Inovasi. [Internet]. [Dikutip 30 September 2014]. 09 (01) : 1-8. Dapat diunduh dari: http://repository.ung.ac.id//pengaruh-iklim-organisasi-terhadapproduktivitas.pdf. Kartono. 2003 Mei. Patologi Sosial. Jakarta [ID]: PT Raja Grafindo Persada. [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri RI. 2013. Jumlah Waria di Indonesia. Jakarta [ID] : Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan Kementerian Dalam Negeri RI. Kiswanto. 2010. Pengaruh Kepemimpinan dan Komunikasi Terhadap Kinerja Karyawan Kaltim Pos Samarinda. Jurnal Eksis Riset. [Internet]. [Dikutip 26 September 2014]. 06 (01): 1429-1439. Dapat diunduh dari: http://www.karyailmiah.polnes.ac.id/Download-PDF/EKSIS-VOL.06NO.1-APRIL2010.pdf. Mustikawati RI, Nugroho MA, Widiarti PW. 2013. Strategi Pemberdayaan Ekonomi Komunitas waria migran Melalui Life Skill Education. Jurnal Ekonomia. [Internet]. [Dikutip 24 September 2014]. 09 (01) : 66-80. Dapat diunduh dari : http://journal.uny.ac.id/index.php/economia/article/download/1377/1182. Nurhidayati Titin. 2010. Kehidupan Keagamaan Kaum Santri Waria di Pesantren Waria Al-Fatah Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta. Jurnal Falasifa. [Internet]. [Dikutip 24 September 2014]. 01 (01) : 59-74. Dapat diunduh dari: http://jurnalfalasifa./2012/11/titin-nurhidayati-kehidupan-keagamaankaum-santri-waria.pdf.
55
Nurcholis. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.Jakarta [ID] : Erlangga. Rahmantyo L Endi. 2013. Waria dan Upayanya Dalam Meraih Kapital Simbolik : Studi Kasus Pengajian Al-Ikhlas dan Persekutuan Doa Hati dan Kudus. Jurnal Kajian Sastra dan Budaya.[Internet]. [Dikutip 22 November 2014]. 01 (02): 62-81. Dapat diunduh dari: http://journal.unair.ac.id/filerPDF/mksb3962689cc9full.pdf Satiawan Budhi dan Sutanto Eddy M. 2000.Peranan Gaya Kepemimpinan yang Efektif dalam Upaya Meningkatkan Semangat dan Kegairahan Kerja Karyawan di Toserba Sinar Mas Sidoarjo. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. [Internet]. [Dikutip 26 September 2014]. 02 (02) : 29-43. Dapat diunduh dari: http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/view/15602/15593. Singarimbun dan Effendi. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID] : LP3S. Soekanto Soerjono. 2009. Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Jakarta [ID]: Rajawali Pers. Sugiyono. 2012. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Menggunakan Perangkat Lunak SmartPLS. Bandung [ID]: UPI Press. [UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa. [UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial. [UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM. [Internet]. [Dikutip 02 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.perpustakaan.depkeu.go.id/FOLDERDOKUMEN/UUD%20194 5.pdf. Wahjosumidjo. 1987. Kepemimpinan dan Motivasi dalam Kepemimpinan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Wibisono B Kunto. 2009 30 Sep. Komunitas waria migran Belum Mendapatkan Kerja Layak. [Internet]. [Dikutip 30 September 2014]. Antara News. Utama : [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://www.antaranews.com/berita/164415/komunitas-waria-belummendapatkan-kesempatan-kerja-layak. Yuliani Sri. 2006. Menguak Kostruksi Sosial Dibalik Diskriminasi Terhadap Waria. Jurnal Sosiologi Dilema. [Internet]. [Dikutip 24 September 2014]. 18 (02) : 73-84. Dapat diunduh dari : http://sosiologi.fisip.uns.ac.id/onlinejurnal/wp-content/uploads/2012/05/2.-Vol.18.2-Th-2006-1.pdf
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Denah lokasi penelitian, Desa Jagalan, Kec Banguntapan, Kab Bantul
Gambar 2 Denah lokasi penelitian
Keterangan: Nama Wilayah: Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Batas-batas Geografis: Utara : Kelurahan Prenggan/Kecamatan Kotagede Selatan: Kelurahan Singosaren/Kecamatan Banguntapan Barat : Kelurahan Giwangan/Kecamatan Umbulharjo Timur : Kelurahan Purbayan
58
Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambila n Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
59
Lampiran 3 Kerangka percontohan responden No Nama 1 Yuni 2 Opi 3 Gege 4 Nur 5 Itari 6 Wati 7 Ratri 8 Bella 9 Rina 10 Sasa 11 Kila 12 Popi 13 Enindradewi 14 Betty 15 Gina 16 Lola 17 Maharani 18 Lovi 19 Kelly 20 Dirna 21 Inul 22 Anna 23 Gea 24 Oki 25 Manohara 26 Bia 27 Qiqa 28 Mimin
No 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
Nama Sandra Jamilah Sisil Utari Ita Billa Purwanti Erti Serna Kikin Dewi Rully Rinta Kejora Nirmala Jili Hana Isma Cucu Ririn Rina Nurlita Evi Ruri Lolita Rossi Yetti Eva
60
Lampiran 4 Catatan tematik
Profil Desa Jagalan Desa Jagalan merupakan salah satu dari 8 desa yang terdapat di kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Jagalan berada di topografi dataran rendah. Kehidupan Desa Jagalan sudah terdedah dengan kehidupan perkotaan. Hal ini terbukti dari lahan pertanian yang terbatas, sehingga Desa Jagalan dapat digolongkan sebagai desa kota. Walaupun Desa Jagalan dapat dikatakan desa kota, namun dalam hal perekonomian, masyarakat Desa Jagalan masih terbilang rendah yaitu rata-rata pendapatannya Rp 30 000. “..ya kadang dapet kadang enggak mba, kalau lagi banyak wisatawan yang dateng atau menjelang hari raya besar biasanya bisa sampe dapet Rp 50 000 sehari. Tapi biasanya sehari-hari ya cuma dapet Rp 30 000 aja. Kalau lagi hari-hari biasanya sih sepi mba. Soalnya penduduk sini jarang yang beli, orang kota juga jarang kalo hari biasa, sekalinya ada pembeli nawarnya bisa sampe setengah harga. Yo gak dapet untung tho mba..” (Tanti, Penduduk Desa Jagalan).
Kelompok tenaga kerja Desa Jagalan mayoritas berada pada kelompok usia muda yaitu usia 10-26 tahun. Sebanyak 33.4% masyarakat Desa Jagalan adalah lulusan SMP. Banyaknya masyarakat Desa Jagalan yang tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi, jarak sekolah yang cukup jauh, dan orangtua yang lebih memilih menyuruh anaknya untuk bekerja daripada melanjutkan pendidikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santi salah satu pemuda di Desa Jagalan. “orang disini, udah bisa lulus SMP/SMA aja udah syukur mba, jadi kalo udah lulus sekolah ya langsung kerja aja cari duit. Kalo mau lanjut kuliah biayanya mahal, mending buat makan sama beli keperluan lain. Ya kalo sekolahnya sampe SMP/SMA aja paling kerjanya bantu orang tua jualin perak ke pasar atau toko. Wong bapak ibue juga nyuruh langsung kerja aja mba, biar bisa punya gaji sendiri, itung-itung ngurangin beban orang tua juga...” (Santi, Penduduk Desa Jagalan).
Pesantren Waria Al-Fatah Pesantren Waria Al-Fatah adalah organisasi non-formal yang bergerak di bidang pemberdayaan waria migran pertama di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 2008 oleh salah satu waria di Yogyakarta yaitu Shinta Ratri. Hasil wawancara dengan Shinta Ratri (Pemimpin pesantren) menjelaskan bahwa Pesantren ini berdiri untuk meningkatkan produktivitas waria yang dirasa kurang produktif karena tidak mendapatkan keadilan dalam hal pekerjaan, pendidikan, ataupun pelayanan publik. Sangat sedikit peluang kerja yang tersedia untuk waria sebagai pegawai. Waria dianggap sebagai individu yang tidak memiliki keahlian dalam hal apapun. Akibatnya para waria tersebut terpaksa untuk bekerja sebagai PSK, pengamen, pengemis, bahkan tidak bekerja sama sekali. “…mana ada mba perusahaan-perusahaan itu yang mau nerima kita, yang ada malah diusirkayak ngusir kucing gitu…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
61
Waria hidup dengan berbagai permasalahan dalam hidupnya, salah satunya adalah masalah tempat tinggal. Sebelum waria pindah ke pesantren waria, kebanyakan dari mereka tinggal ditempat yang tidak layak huni, misalnya: di pinggir sungai, dekat tempat pembuangan sampah, di pinggir jalan, ataupun ditempat kotor lainnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Shinta sebagai pemimpin pesantren waria. “…kita-kita itu dulunya tinggal di pinggiran sungai mba, kumuh, banyak sampah, bau, ah pokoke lengkap penderitaan mba. Yo mau gimana lagi, wong ga ada tempat lagi buat kita. Itu juga kita tinggal bareng pengamen, pengemis, sama gelandangan lainnya…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Sampai akhirnya mereka menemukan tempat tinggal yang layak huni yaitu Pesantren Waria Al-Fatah. Kehidupan waria menjadi lebih baik ketika berada di pesantren. Mereka hidup dengan sesama waria dan saling menghargai satu sama lain. Pesantren Waria didirikan bukan hanya untuk tempat tinggal waria saja, melainkan untuk meningkatkan produktivitas komunitas waria yang menjadi anggota di Pesantren Waria Al-Fatah. Pesantren ini mengajarkan mereka ilmu agama, imu sosial, ilmu ekonomi, dan ilmu-ilmu kehidupan yang bermanfaat bagi komunitas waria. “…ya kalo saya sih mandangnya ilmu agama itu nomor satu mba, apalagi buat kita-kita yang selalu dipandang sebelah mata sama orang lain. Lah kalo kita ga bisa nahan diri kita, ga tau agama, yo bisa abis orang-orang yang ngehina kita itu mba. Saya ya ngajak temen-temen buat belajar ilmu agama bareng. Bahasannya yo ga usah yang susah-susah dulu, dari dasar aja mba. Supaya ada amal ibadah yang bisa kita lakuin…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Komunitas waria merasa betah tinggal di Pesantren Waria Al-Fatah, karena di pesantren ini mereka mendapatkan keluarga baru yang bisa menerima mereka apa adanya. Selain itu mereka juga diajarkan untuk membuat usaha ekonomi mandiri yang disesuaikan dengan minat dan bakat mereka. Kegiatan usaha ekonomi tersebut diimbangi dengan ilmu agama yang diberikan ustadz/ustadzah yang mengajar di pesantren waria. “…Udah betah mba disini, punya keluarga yo bisa nerima kita apa adanya, punya penghasilan dari usaha halal, ilmu agama dapet, masyarakat juga udah nerima kita kok. Alhamdulillah bersyukur sama Gusti Allah…” (Yuni, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Kehidupan komunitas waria di peasantren waria sangat berbeda dengan kehidupan mereka sebelum di pesantren waria. Sebelum di pesantren bukan hanya tempat tinggal mereka yang kurang layak, pekerjaan mereka pun adalah pekerjaan yang yang dirasa kurang baik seperti: PSK, gelandangan, pengemis, dan pekerjaan jalanan lainnya. Pekerjaan mereka yang seperti itulah yang mengakibatkan masyarakat memandang negatif mereka. Dulunya mereka mau tidak mau harus bekerja di jalanan agar mereka memperoleh pendapatan untuk bertahan hidup. Namun, lambat laun ketika usia mereka makin bertambah, mereka makin merasa
62
lelah dengan semua pekerjaan yang kurang baik tersebut. Pekerjaan itu memiliki banyak dampak negatif bagi waria, bukan hanya pandangan negatif dari masyarakat tetapi juga akan merusak kejiwaan waria, kondisi badan yang akan mudah terserang penyakit, dan dampak negatif lainnya. Alhasil banyak waria yang memutuskan untuk melakukan “pensiun” dari dunia gemerlap tersebut dan berusaha memerbaiki diri di pesantren waria. “…waria yang jadi santri (anggota) disini itu ya waria yang udah tua-tua mba. Paling muda ada 30 tahun. Kalo untuk waria yang muda-muda masih susah diatur. Mereka lebih seneng hidup hura-hura, kerja cara cepet yang penting banyak duit kayak jadi wanita-wanita jalan gitu. Ya kalo kita ini udah cape sama kehidupan yang kayak gitu. Sekarang pengennya hidup yang bener-bener aja mba. Belajar agama, cari duit yang halal, akrab sama masyarakat biar banyak temen. Yah itung-itung kalo udah dipanggil Allah kita punya amal baik di dunia…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Salah satu upaya mencapai produktivitas adalah dengan melakukan kegiatan produktif dalam hal usaha ekonomi mandiri. Usaha ini dinilai mampu memberi waria penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Usaha yang paling banyak diminati oleh komunitas waria adalah di bidang salon yaitu 33.33 persen atau 10 orang dari 30 responden waria. Waria mendirikan usaha salon secara berkelompok. Hal ini dilakukan karena modal yang mereka miliki tidak terlalu besar, tenaga yang ada masih minim, dan agar pendirian usaha terasa lebih mudah. Berikut pernyataan Yuni salah satu pengurus Pesantren Waria Al-Fatah. “…kalo untuk buat salon modal yang dipake kan gede mba, jadi kita bareng-bareng diriinnya, ya untuk hemat modal juga. Hasilnya ya dibagi sesuai kerjaannya di salon. Kalo buat usaha jual-jualan biasanya sendirisendiri, ya paling berdua. Soalne kan modalnya ga segede salon mba…” (Yuni, Pengurus Pesantren Waria Al-Fatah).
Kepemimpinan Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah Shinta Ratri sebagai pemimpin memiliki kemampuan dalam motivasi dan mengelola komunitas waria migran agar tingkat produktivitas komunitas waria migran tinggi. Pemimpin motivasi dengan memberi semangat dan dukungan secara konsisten agar waria melakukan kegiatan produktif yang bermanfaat bagi kehidupan waria. Adapun kegiatan produktif yang dilakukan adalah belajar ilmu agama, bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat, dan melakukan pekerjaan yang layak dengan mendirikan kegiatan usaha ekonomi mandiri. Shinta Ratri sebagai pemimpin memotivasi waria dengan memberikan reward kepada mereka yang mampu melaksanakan dan menyelesaikan kegiatan produktifnya dengan baik. Pemberian reward tersebut mampu memotivasi waria untuk melakukan kegiatan produktif di pesantren waria. Sesuai dengan pernyataan Yuni salah satu anggota Pesantren Waria Al-Fatah. “…Bunda Shinta suka ngasih hadiah ke waria yang berprestasi mba, hadiahnya macem-macem, bisa alat masak, alat dandan, baju, atau uang jajan Rp 50 000. Hadiah biasanya dikasih satu bulan sekali. Bunda bilang
63
biar kita-kita semangat kalo lagi ikut acara, semangat usahanya juga mba…” (Yuni, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah).
Shinta Ratri sebagai pemimpin juga memiliki kemampuan dalam menciptakan suasana yang nyaman bagi komunitas waria. Suasana nyaman ini akan membuat waria tidak sungkan dan aktif dalam melakukan kegiatan produktif di pesantren. Shinta menciptakan suasana kegiatan dengan metode serius tapi santai agar waria juga terbawa oleh suasana yang santai. “…Bunda Shinta emang suka bilang ke kita harus aktif kalo lagi ada pelatihan, supaya kita bisa pas praktek dan pas di keadaan nyatanya. Jangan malu-malu, jangan takut, itu pesen Bunda Shinta. Kalo kita ga berani nanya biasanya Bunda yang suka mancing-mancing kita, atau ngajak becanda biar suasana belajarnya ga tegang mba…” (Manohara, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Bukan hanya kemampuan yang dimiliki oleh Shinta Ratri dalam meningkatkan produktivitas komunitas waria migran, ia juga memiliki kepribadian yang berani, agresif dan ayom. Keberaniannya terlihat saat ia berbicara di hadapan komunitas waria dengan percaya diri dan jelas. Shinta juga memiliki kepribadian agresif untuk mendekatkan dirinya dengan komunitas waria migran. Seperti yang dinyatakan oleh Yuni salah satu anggota Pesantren Waria Al-Fatah. “…Bunda tu selalu PDKT mba sama kita, huh apa-apa ditanyain, masalah kita, kegiatan kita, keluarga kita, temen, sampe hal-hal yang pribadi banget terkadang masih suka pengen tau si Bunda. Tapi kita seneng aja ko, kan itu salah satu bentuk perhatiannya bunda ke kita…” (Yuni, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Pemimpin selalu berusaha untuk mengayomi atau melindungi waria dari masalah-masalah yang terjadi. Berbagai macam permasalahan yang dihadapi waria, mulai dari masalah dengan sesama waria, masalah dengan keluarga, masalah dengan lingkungan, ataupun masalah dengan dirinya sendiri. Pemimpin melindungi waria dengan memberi pengertian dan arahan kepada waria agar lebih mampu menghadapi permasalahan yang terjadi. Terkadang ia pun menjadi pihak ketiga jika waria menghadapi masalah dengan pihak lain. Komunitas waria diayomi untuk melakukan kegiatan produktif di pesantren waria. Setiap pemimpin memiliki cara tersendiri dalam memengaruhi bawahannya. Begitu pula dengan Shinta Ratri, ia memiliki gaya kepemimpinan tersendiri yang mampu meningkatkan produktivitas bawahannya yaitu komunitas waria migran. Shinta Ratri menggunakan gaya direktif yaitu meminta bantuan orang ketiga dalam penyelesaian masalah dan pemutusan masalah. Bantuan orang lain ini dilakukan ketika Shinta tidak cukup kuat menghadapi permasalahan yang terjadi. Kasusnya seperti saat terjadi pemeriksaan oleh polisi di pesantren waria, Shinta meminta bantuan Pak Kyai untuk membantu Shinta menjelaskan kepada polisi bahwa pesantren waria benar-benar pesantren tempat pemberdayaan komunitas waria, bukan sebagai kedok atau tempat penampungan waria yang berprofesi sebagai PSK.
64
“…Kalo ada masalah besar biasanya bunda Shinta minta bantuan Pak Kyai buat bantuin kita. Waktu itu ada pemeriksaan dari Pak Polisi, ngiranya pesantren cuma nama ‘kedok’ buat ngelindungin PSK-PSK waria. Nah kalo masalahnya udah gitu kita langsung minta bantuan Pak Kyai buat bantuin ngadepin polisi dan berunding enaknya gimana…” (Yuni, Anggota di Pesantren Waria Al-Fatah).
Gaya kepemimpinan selanjutnya adalah konsultatif. Konsultatif digunakan saat masalah yang muncul datang dari pihak anggota waria (masalah dari bawah). Pemimpin mendengarkan terlebih dahulu masalah yang terjadi, kemudian mengambil langkah penyelesaian dan keputusan terkait masalah tersebut. Salah satu contoh kasus saat anggota kekurangan modal usaha, dan mengalami masalah terkait usaha mandiri, maka anggota mengutarakan permasalahan tersebut kepada pemimpin untuk ditindaklanjuti. Setelah gaya konsultatif, pemimpin juga memiliki gaya partisipatif. Gaya ini dinilai adalah gaya yang paling memengaruhi produktivitas komunitas waria migran. Penerapan gaya partisipatif mampu membangun kebersamaan antara pemimpin dan pengikutnya. Akan tetapi, pemimpin waria tidak selalu menerapkan gaya ini saat memimpin. Gaya partisipatif diterapkan saat terjadi masalah yang mencakup semua pihak. Pemimpin mengajak komunitas waria untuk berdiskusi, merancang cara penyelesaian masalah, dan memutuskan langkah yang akan diambil. Gaya partisipatif akan efektif jika antar pemimpin dan waria saling terbuka. “…kami diskusi bersama bukan hanya kalau ada masalah saja mba, tapi kami juga diskusi kalau kami mau ngelakuin kegiatan-kegiatan di pesantren. Masalah yang didiskusikan biasanya mencakup aturan pesantren, karena kan kita buat aturan buat dipatuhi bersama, jadi ya dirancangnya juga harus bersama. Kegiatan yang didiskusikan terkait kegiatan sehari-hari santri mencakup bersih-bersih, pengajian, dan kegiatan usaha mandiri. kami juga selalu diskusi tentang program bersama masyarakat sini…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah).
Melalui gaya partisipatif pemimpin dan komunitas waria mampu merancang dan memutuskan bersama visi misi pesantren waria seperti berikut: “Visi: Mewujudkan kehidupan waria yang bertaqwa kepada Allah SWT dan bertanggungjawab terhadap diri dan keluarga, serta komunitas/ masyarakat/ negara kesatuan Republik Indonesia. Misi: Mendidik para santriwaria menjadi pribadi yang taqwa dengan berbekal ilmu Agama Islam yang kuat dan mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan segala lapisan komponen masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika” (Dokumen Pesantren Waria Al-Fatah)
waria dapat berpartisipasi aktif dalam merancang kegiatan yang bermanfaat untuk mereka. Secara formal, pemimpin yang membuat keputusan, namun keputusan tersebut adalah hasil pertimbangan saran dan pendapat bersama. “…Saya seneng ngajak santri sini diskusi mba, pada aktif ngeluarin uneguneg, saran, ide yang kreatif, tapi ya kadang-kadang juga banyak maunya.
65
Tapi ga apa-apa, kan dari diskusi itu kita nyaring ide yang paling baik buat kita. Saya ya dengerin mereka, mencoba menghargai mereka, supaya merekanya juga aktif. Kalo udah selesai tetep saya yang ambil keputusan…” (Shinta Ratri, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah) “…Seneng mba kita kalo diajak diskusi buat rencana-rencana kegiatan gitu. Ngerasa dihargain aja mba, apalagi kalo kita bisa ngasih saran atau ide, trus idenya diterima sama yang lain. Biasanya kalo lagi diskusi kita kondisinya nyaman dan santai aja mba, serius tapi santai aja, sambil ngobrol ngalor ngidul, makan cemilan, becanda, ya gitu aja, tapi tetep fokus dan saling menghargai satu sama lain…” (Rully, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Gaya kepemimpinan selanjutnya adalah direktif. Shinta sangat jarang menggunakan gaya ini untuk memimpin. Gaya kepemimpinan direktif diterapkan saat pemimpin harus menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan dengan cepat, tidak ada waktu untuk berdiskusi, dan orientasi untuk tugas. Sehingga pemimpin mengerjakan segala sesuatunya secara individual. Gaya direktif biasanya akan membuat hubungan pemimpin dengan komunitas waria kurang baik, karena anggota akan menganggap pemimpin egois. “…Bunda Shinta sih make gaya kepemimpinannya ga menentu mba, tergantung sama situasi dan keadaan yang terjadi. Kalo emang masalah laporan-laporan ke pihak pemerintah gitu dia biasanya kerja sendiri, yah paling kita bantu-bantu kalo disuruh aja, takutnya malah salah kalo sok tau. Tapi kalo masalahnya nyangkut kita semua ya kita rembukan bareng-bareng mba…” (Rully, Anggota di Pesantren Waria Al-Fatah).
Produktivitas Komunitas Waria Migran Terdapat empat macam produktivitas yang dicapai komunitas waria migran yaitu mampu memeroleh pendapatan dengan memiliki usaha mandiri. Usaha mandiri adalah usaha yang didirikan oleh komunitas waria migran baik secara individu ataupun secara berkelompok dengan modal usaha yang didapatkan dari warung kejujuran di Pesantren Waria Al-Fatah. Mampu memenuhi kebutuhan pokok (pangan, sandang, dan papan), mampu mengakses pelayanan kesehatan di puskesmas Desa Jagalan, dan mampu mengakses pelatihan-pelatihan. Pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha mandiri komunitas waria migran. Walaupun hasilnya belum terbilang tinggi, namun hasil ini mampu memenuhi kebutuhan pokok waria setiap harinya. Waria menekuni usaha ini, mereka yakin dengan ketekunan dan keuletan mereka, usaha akan menjadi besar dan menghasilkan pendapatan yang tinggi pula. Berikut beberapa pernyataan dari responden yang menyatakan bahwa usaha yang mereka dirikan menghasilkan pendapatan yang cukup. “…kalo pendapatan sih ada mba, tapi ya itu cuma pas buat beli keperluan sehari-hari aja. Paling buat makan, beli baju yo ndak sebulan sekali mba, ga bisa bajunya kemahalan. Apalagi buat beli keperluan-keperluan lainnya mba, yo mana bisa. Nabung juga yo ndak bisa mba. Penghasilan usaha mandiri itu beda jauh sama kalo kita kerja di jalanan mba. Kalo di jalanan ya sehari juga gede dapetnya. Tapi balik lagi kan kita udah gamau mba
66
nyoba-nyoba dunia gelap itu. Dikit uangnya yang penting halal mba hehe…” (Betty, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah). “…yang paling ngedukung pendapatan sih usaha mandiri mba, kalo kegiatan ngaji atau gotong-royong gitu kan ga ngehasilin uang. Ngaji shalat itu ya buat ibadah kita ke Gusti Allah mba, kalo gotong royong ya biar kita diterima sama masyarakat sini…”(Yuni, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah) “…kalo untuk beli-beli makan, baju atau barang-barang keperluan lainnya ya harus pake duit mba. Duit itu ya didapetnya dari hasil kerja kita diusahausaha kita. Kalo kegiatan agama atau sosial kan ga bisa menghasilkan uang, jadi ga terlalu ngaruh mba…” (Rully, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah) “…Alhamdulillah mba hasil dari usaha ini bisa buat menuhin kebutuhan makan sehari-hari, ya beli baju juga bisa, tempat tinggal ya Alhamdulillah udah ada pesantren jadi ga pusing lagi mikirin tempat tinggal. Hasil usaha yo dicukup-cukupin setiap harinya mba. Usaha kita kan belum terlalu besar jadi ya hasilnya juga ga terlalu tinggi mba. Tapi saya syukur alhamdulillah punya usaha sendiri, daripada kayak dulu harus kerja dijalanan ga jelas mba…” (Manohara, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
Produktivitas lain yang dicapai oleh komunitas waria migran adalah mampu mengakses pelatihan. Pelatihan yang diberikan disesuaikan dengan minat dan bakat waria masing-masing. Pelatihan mencakup pelatihan tata rias, tata boga, kerajinan tangan, salon, dan penyanyi. Pelatihan ini dilakukan komunitas waria dengan bimbingan pengajar yang ahli di bidangnya masing-masing. Pelatihan dilaksanakan secara berkelompok. Waria dilatih setiap seminggu sekali, kemudian waria mengaplikasikan pelatihan tersebut dengan mendirikan usaha sesuai dengan minat meraka, dan pendirian usaha disesuaikan dengan materi dan praktek dari pelatihan masing-masing. Akses pelayanan kesehatan juga dapat dicapai oleh komunitas waria. Waria mencapainya dengan menjaga kebersihan lingkungan pesantren dan Desa Jagalan. “…Saya selalu mengajak teman-teman waria untuk selalu jaga kesehatan, jaga kebersihan, kalo lingkungan bersih kan enak, apalagi lingkungan desa. Masyarakt paling seneng soalnya mba kalo kita-kita ikut gotong-royong bersihin lingkungan desa. Kita jadi merasa berguna aja gitu mba…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah)
Selain itu, mereka juga menjaga pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan bersih, rajin olahraga, dan rutin memeriksakan dirinya ke puskesmas Desa Jagalan. Pemeriksaan kesehatan dapat dilakukan komunitas waria dengan biaya yang terjangkau karena sudah ada kerjasama antara pihak pesantren waria dengan pihak puskesmas Desa Jagalan. Berbagai produktivitas komunitas waria migran ini memengaruhi peranan waria dalam pembangunan Desa Jagalan dan desa asal waria. Peranan Waria Dalam Pembangunan Desa Asal dan Desa Jagalan Peranan komunitas waria migran dalam pembangunan Desa Jagalan berpengaruh pada pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan. Hal ini
67
diwujudkan oleh komunitas waria migran dengan cara ikut bergotong-royong atau menyumbangkan tenaga kerja mereka. Komunitas waria juga memberikan sumbangan uang, sumbangan bahan bangunan, atau sumbangan makanan dan minuman untuk pembangunan sarana dan prasarana Desa Jagalan. Sumbangan secara rutin diberikan kepada pihak Desa Jagalan, agar komunitas waria dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat Desa Jagalan. “…Menurut saya sebisa mungkin kita dari pihak waria selalu ngasih sumbangan ke pihak desa. Supaya kita diterima mba disini. Kan kalo kita rutin ngasih masyarakat jadi seneng dengan adanya kita disini. Jadi kerasa manfaatnya kalo ada kita. Kalo kita ga ngasih apa-apa kan nanti jadi omongan dan yang ada kita diusir mba dari sini…” (Shinta, Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah). “…biasanya kalo ngasih sumbangan itu langsung ke pihak desa, atau ke RT/RW mba, jarang kita ngasih sumbangan khusus ke satu keluarga. Ya paling yang ngasih sumbangan pribadi gitu yang punya keluarga disini. Tapi kan disini jarang yang asli sini, cuma sekitar 2 orang yang punya keluarga disini, yang lainnya rantauan mba…” (Betty, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah).
Pengembangan potensi ekonomi lokal diwujudkan komunitas waria migran dengan mengajak pemuda-pemuda desa untuk bekerja di usaha mandiri yang didirikan oleh komunitas waria migran . Pemuda yang diajak untuk bekerja adalah mereka yang sudah tidak bersekolah lagi. Hasil dari usaha tersebut disumbangkan kepada pihak Desa Jagalan. Waktu dan jumlah nominal sumbangan disesuaikan oleh kemampuan komunitas waria. Komunitas waria migran memanfaatkan sumber daya Desa Jagalan untuk kepentingan usaha mandiri, namun mereka juga memanfaatkan sumber daya di luar Desa Jagalan untuk memenuhi kebutuhan pribadi ataupun kebutuhan usaha mandiri. “…susah mba kalo ngandelin yang ada disini aja. Ga semua yang kita butuhin ada disini. Ya kalo beli sayuran, ikan, daging itu ada di pasar sini. Tapi kalo untuk beli-beli perlengkapan buat nyalon, rias-rias ya ndak ada disini mba. Harus ke kota buat beli barangnya…”(Dewi, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah).
Komunitas waria juga memberikan sumbangan ke desa asal mereka. Akan tetapi sumbangan yang diberikan kepada keluarga di desa asal terbilang rendah. Sedikit waria yang memberikan sumbangan ke desa asal. Hal ini karena banyak diantara mereka yang masih memiliki rasa sakit hati kepada keluarga di desa karena dulunya mereka diusir dan tidak dianggap oleh keluarganya. Selain itu karena jarak desa yang terlalu jauh, sehingga waria enggan memberikan sumbangan kepada keluarga di desa asal mereka. “…waria disini ya banyaknya yang dari luar kota mba, dateng kesini karena di desa nya diusir, keluarga saya aja malu mengakui saya. Jadi ya saya lebih memilih untuk keluar kota aja mba…” (Dewi, Anggota Pesantren Waria Al-Fatah)
68
Lampiran 5 Dokumentasi penelitian
Papan nama Pesantren Waria Al-Fatah
Kegiatan pengajian waria masyarakat Desa Jagalan
Shinta Ratri, pemimpin pesantren waria
bersama Dapur dan ruang makan komunitas waria
Kegiatan pembinaan usaha mandiri
Salon usaha mandiri komunitas waria
69
Lampiran 6 Riwayat hidup
RIWAYAT HIDUP Dita Pratiwi dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 14 Oktober 1993. Dita Pratiwi adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Endang Sutisna dan Meriyanti. Pendidikan formal yang pernah dijalani oleh penulis mulai dari TK Pertiwi Bandar Lampung tahun 1997-1999, SDN 04 Jimbaran-Bali tahun 19992005. Pada masa Sekolah Menengah Pertama penulis bersekolah di SMPT Baiturrahman Bandung tahun 2005-2008 yang merupakan sekolah berasrama sehingga penulis belajar hidup mandiri, saling berbagi dengan sesama, dan mulai aktif dalam berorganisasi. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai organisasi khususnya kepemimpinan dalam suatu organisasi. Pada tahun 2008-2011 penulis melanjutkan pendidikan ke SMAT Baiturrahman Bandung yang masih merupakan yayasan gabungan dari SMPT Baiturrahman.Saat menduduki bangku SMAT, penulis menjadi salah satu pemimpin organisasi di SMAT tersebut, yaitu ketua umum BEST (Badan Eksekutif Santri Baiturrahman). Pengalaman tersebut membuat penulis semakin tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai kepemimpinan. Pada tahun 2011, penulis dinyatakan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor tanpa tes melalui jalur SNMPTN Undangan. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan di dalam kampus. Penulis aktif sebagai pengurus Ikatan Keluarga Muslim TPB 48 (IKMT 48) pada tahun 2011-2012. Tahun berikutnya penulis aktif dalam organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FEMA pada tahun 2012-2013. Penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan kampus yaitu sebagai panitia Open House 49 IPB, panitia Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) 49 IPB, panitia Masa Perkenalan Departemen (MPD) 49 IPB, dan kepanitiaan kegiatan lainnya. Penulis juga aktif dalam kegiatan non-kampus, yaitu sebagai panitia kegiatan Pendidikan dan Latihan (Diklat) calon pengurus BEST SMPTSMAT Baiturrahman, sebagai pengisi materi tetap dalam salah satu pengajian alumni SMPT-SMAT Baiturrahman, dan sebagai pengajar les privat di lembaga Nurul Ilmi Darmaga.