Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10
Banjarmasin, 1 – 4 November 2010
EKSKLUSI SOSIAL DALAM PERILAKU-PERILAKU KESALEHAN Proses Eksklusi Sosial Perempuan-perempuan Salafi di Yogyakarta Emy Rubi Astuti ABSTRACT Perdebatan seputar gerakan fundamentalisme agama saat ini banyak membahas tentang gerakan, teologi dan tujuan mereka untuk mendirikan negara Islam dalam masyarakat multikultural. Beberapa kajian juga membahas tentang gerakan mereka untuk memurnikan praktik keagamaan. Bagaimanapun, kajian-kajian tersebut kurang menaruh perhatian kepada gerakan fundamentalisme perempuan serta partisipasi mereka dalam gerakan kelompok. Kurangnya kajian tentang gerakan fundamentalisme perempuan menumbuhkan minat saya untuk mengkaji tentang hubungan mereka dengan kelompok masyarakat yang lebih luas. Penelitian ini menganalisis proses eksklusi sosial komunitas perempuan Salafi di Yogyakarta melalui perilaku-perilaku keagamaan sebagai bentuk dari proses embodiment pemahaman keagamaan mereka. Saba Mahmood (2005) berargumen bahwa proses embodiment selalu berhubungan dengan agensi yang memberi kekuatan kepada keinginan-keinginan individu/kelompok untuk mewujudkannya. Analisis selanjutnya bisa dilihat dengan apa yang disebut oleh Bryan Turner (2008) dalam “Acts of Piety” sebagai perilaku-perilaku kesalehan dan kode moral dari perempuan-perempuan Salafi. Kajian ini sangat menarik untuk melihat bagaimana dinamika perilaku kesalehan perempuan-perempuan Salafi dengan pemilihan kosmetik dan obat-obatan. Selain untuk melihat bagaimana dampak dari perilaku-perilaku kesalehan dan eksklusifitas perempuanperempuan Salafi terhadap praktik kehidupan masyarakat di sekitar mereka, studi ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana perbedaan-perbedaan dalam masyarakat multikultural harus dipahami. Penelitian ini juga berkontribusi untuk menganalisis bagaimana gerakan perempuan-perempuan Salafi melawan globalisasi serta usaha mereka untuk menempatkan posisi mereka dalam masyarakat multikultural. Kata kunci: eksklusi sosial, kesalehan, perempuan Salafi, kosmetik, obat-obatan. Methode Penelitian Tulisan ini adalah bagian dari Thesis S2 saya, dan merupakan hasil penelitian yang saya lakukan di komunitas perempuan Salafi di Yogyakarta dari bulan September 2009Januari 2010. Dalam pengumpulan data, saya menggunakan data kualitatif dengan cara partisipasi observasi dan wawancara dengan perempuan-perempuan Salafi dalam komunitas mereka. Data-data sekunder saya dapatkan dari tulisan-tulisan mengenai kajian Salafi sebelumnya.
426 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Pendahuluan Pagi itu sekitar pukul 08.30 WIB lantai atas masjid kampus UGM dipenuhi oleh sekitar puluhan perempuan-perempuan berpakaian serba longgar dan berwarna gelap yang duduk bergerombol. Sebagian dari mereka terlihat membaca Al-Quran, sebagian lain mengurus anak-anak mereka yang masih balita. Beberapa rombongan yang baru datang terlihat saling bersalaman kemudian duduk dan melepas sarung tangan serta cadar penutup wajah mereka, sedangkan beberapa yang sudah datang terlebih dahulu terlihat berbincang satu sama lainnya. Entah apa yang mereka perbincangkan. Saya duduk di antara mereka, mengambil tempat di tengah-tengah kerumunan tersebut. Saya duduk dengan sedikit canggung karena saya datang sendiri, terlebih pakaian saya yang agak berbeda dengan mereka. Pagi itu saya datang dengan pakaian saya seharihari, baju dan celana panjang ditemani dengan jaket dan kerudung. Saya amati beberapa orang yang berpakaian seperti saya, sekitar 20 orang. Mereka pun duduk bergerombol sendiri di bagian depan, beberapa yang baru datang memilih untuk duduk di belakang. Sekitar setengah jam lebih saya duduk di antara kerumunan tersebut, namun tidak ada seorang pun dari perempuan-perempuan berpakaian longgar dan serba gelap itu yang menyapa saya. Sekitar jam 09.00, tiba-tiba duduk di samping saya seorang perempuan lain. Dia baru saja datang. Pakaiannya pun tidak jauh berbeda dengan yang saya kenakan, baju potongan dengan rok yang tidak terlalu lebar berwarna coklat dilengkapi jilbab berwarna senada yang sedikit lebih lebar dari yang saya kenakan. Kami pun berkenalan. Namanya Ifah mahasiswi Tekhnik Kimia UII. Menurut pengakuannya, dia sering mengikuti kajian ahad pagi di masjid ini. Kami pun banyak mengobrol seputar kegiatan dan pengajian-pengajian yang ada di sekitar kampus. Ketika saya bertanya kepadanya apakah dia mengenal salah satu dari perempuan-perempuan tersebut, dia menjawab spontan ”wahh enggak mbak, sepanjang saya mengikuti pengajian disini, saya tidak pernah berkenalan dengan mereka”. Ternyata dia juga mengalami pengalaman yang hampir sama dengan apa yang saya alami, selama hampir setahun dia mengikuti pengajian disini dia tidak pernah bertegur-sapa dengan perempuanperempuan tersebut. Ketika saya balik bertanya, apakah dia pernah mencoba menyapa mereka terlebih dahulu, dia menjawab dengan sangat detail “belum mbak, habis mereka terlihat sangat eksklusif dengan pakaian mereka. Selain itu saya juga trauma dengan komunitas mereka. Di kampus, saya mempunyai teman yang berpakaian seperti mereka, dulu pakaiannya juga sama seperti saya, tapi sekitar setahun ini berubah seperti mereka. Tapi dengan begitu dia juga sering tidak bisa menjaga lisannya”. Ketika saya bertanya maksud dari kalimat ‟lisannya‟ Ifah hanya menjawab ” yaa... begitu deh mbak, dia memandang saya seakan saya lebih minor dari dia”. Di kampung Pogung, perempuan berkerudung, dengan jubah lebar dan berwarna gelap disertai cadar seringkali terlihat. Aktifitas yang paling sering terlihat dari perempuanperempuan bercadar ini adalah menghadiri kajian sore yang diadakan setiap hari di masjid Al-Asri dan Masjid Pogung Raya yang berada tak jauh dari tempat tinggal mereka. Selain itu, mereka hanya terlihat keluar-masuk wisma dengan muka tertunduk. Tidak terlihat ada
EMY RUBI ASTUTI
Eksklusi Sosial 427
interaksi ataupun tegur sapa dengan tetangga yang tinggal di sekitar tempat tinggal mereka. tetangga yang berada di sekitar tempat tinggal mereka juga terlihat tidak terlalu berminat untuk menegur mereka. Sering saya melihat mata-mata yang memandang heran bahkan kadang gelengan kepala dari warga sekitar ketika perempuan-perempuan bercadar ini lewat di depan mereka berangkat menuju kajian di masjid Pogung Raya ataupun masjid Al-Asri. Keadaan ini tentu saja sangat unik ketika terjadi di Yogyakarta, kota yang disebutsebut sebagai kota multikultural dengan berbagai macam penduduk dari berbagai macam suku dan agama. Yogyakarta, seperti yang disebut Frans Magnis Suseno dan dikutip oleh Shidqi (2008) sebagai jantung tanah Jawa yang setia menjaga nilai dan tradisi Jawa dengan salah satu nilai pokoknya adalah hidup rukun dan saling hormati. Saat ini, Yogyakarta sebagai kota urban dihuni tidak hanya oleh suku Jawa sebagai suku asli Yogyakarta, tetapi juga oleh penduduk urban yang berasal dari kota dan suku di luar Jawa. Alasan mereka menetap di Yogyakarta pun beranekaragam, dari mencari nafkah sampai kuliah. Hal ini disebabkan antara lain karena potensi pariwisata dan kesempatan menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta terbuka sangat luas. Kedatangan kaum urban ini pun otomatis mempengaruhi kehidupan keberagamaan masyarakat Yogyakarta. Ruang publik dan interaksi antara penduduk asli dan pendatang ini pun berpengaruh terhadap perilaku keagamaan mereka yang kadang sangat berbeda dan menimbulkan kecurigaan. Salah satu kelompok yang dianggap berbeda dan eksklusif adalah kelompok perempuan Salafi karena penampilan mereka yang mencolok dengan pemakaian cadar serta baju panjang gombrong dan berwarna gelap. Kecurigaan-kecurigaan dan anggapan-anggapan inilah yang akhirnya membuat kelompok perempuan Salafi ini tereksklusi secara sosial dari lingkungan mereka. Dalam kehidupan multi etnis dan agama, kesempatan untuk menciptakan suasana saling menghormati tidaklah gampang terlebih setelah muncul dan berkembangnya wacana kesalehan personal di tengah maraknya gerakan fundamentalisme agama. Gerakan fundamentalisme agama menawarkan konsep loyalitas kelompok yang menuntut setiap anggotanya untuk menegaskan keanggotaan mereka melalui pemakaian simbol-simbol kelompok. Pemakaian simbol-simbol kelompok ini juga menumbuhkan sikap yang berbeda terhadap orang di luar kelompok mereka. Pendefinisian ”kita bukan mereka” dan ”mereka bukan kita” menjadi sebuah semangat untuk menciptakan eksistensi kelompok masing-masing. Selain itu, sikap loyalitas kelompok ini telah dipraktikkan dalam praktik keagamaan yang membedakan kelompok mereka dengan kelompok lainnya. Perbedaanperbedaan inilah yang akhirnya menjadi titik tolak munculnya bermacam-macam kelompok keagamaan dengan ideologi yang berbeda. Praktik keagamaan yang berbeda ini menimbulkan perbedaan dan pertentangan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya dan tak jarang menimbulkan sikap antipati dan eksklusi terhadap kelompok lainnnya. Semakin berbeda praktik keagamaan suatu kelompok dari kelompok lainnya semakin tinggi pula tingkat eksklusi mereka terhadap kelompok lainnya. Penelitian ini melihat bagaimana praktik keagamaan perempuan Salafi yang berbeda dari masyarakat lainnya sebagai manifestasi dari pemahaman keagamaan mereka yang telah mengalami proses embodiment. Kajian ini menarik, karena sebagai titik awal untuk melihat bagaimana gerakan fundamentalisme keagamaan yang dilakukan oleh perempuan Salafi.
428 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Selain itu, praktek keagamaan perempuan Salafi yang berbeda juga membangun sebuah proses perilaku eksklusi sosial terhadap masyarakat di sekitar mereka. Sikap ini secara otomatis menganggap bahwa orang yang mempunyai kebiasaan berbeda darinya berarti bukan bagian dari kelompoknya. Di lain pihak, praktik keagamaan yang dilakukan oleh perempuan Salafi yang berbeda dengan praktik keagamaan yang berbeda dengan masyarakat sekitar mereka juga menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap kelompok perempuan Salafi ini. Disinilah, model toleransi dihadapkan dengan sikap yang dipilih oleh perempuan Salafi sebagai bentuk dari praktik keagamaan mereka. Jamaah Salafi di Yogyakarta Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wa-l-Jamaah (FKSW) dan kelompok Pemurni Jamaah Salafi sebagai gerakan dakwah yang menyerukan kepada pemurnian agama mulai masuk ke Indonesia pada awal 1990an, yakni ketika mulai banyak pelajar Indonesia dari Timur Tengah kembali ke tanah air, yang bukan saja mempunyai pengetahuan Islam yang memadai tapi juga mempunyai concern melaksanakan Islam atau ber-Islam secara benar (Endang Turmudi dan Riza Sihbudi:2005). Dakwah Salafi muncul terutama di Jawa dan kota-kota besar. Selain Bandung, gerakan Salafi berkembang pesat juga di Yogyakarta. Di Yogyakarta dakwah Salafi muncul dipimpin oleh Abu Nida. Di Bandung sendiri jamaah Salafi berkembang pada lingkup dan pinggiran dan belum memasuki mainstream muslim seperti masjid Salman ITB ((Endang Turmudi dan Riza Sihbudi:2005). Beda halnya dengan di Yogyakarta dimana jamaah Salafi sudah memasuki kampus-kampus bahkan menjadikannya basis pergerakan (seperti UGM). Dalam perkembangannya, jamaah Salafi di Yogyakarta sendiri mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan segala dinamikanya. Abu Nida, pendiri jamaah Salafi di Yogyakarta datang pertama kali di Yogyakarta pada tahun 1985. Sebelumnya dia mengajar di Pesantren al-Mukmin Ngruki, Solo kemudian di Pesantren Ibnul Qoyyim, DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) di Yogyakarta (Burhan Ali:2007). Perjalanan pertamanya dalam menyebarkan dakwah Salafi dimulai ketika dia masuk Jamaah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada dan kemudian mulai merintis kajian agama Islam melalui daurah dan halaqoh.1 Dauroh dan Halaqoh yang dirintisnya juga mengundang beberapa ustadz dari pesantren Al-Irsyad, Salatiga. Jamaah Salafi di Yogyakarta berkembang semakin pesat dengan kehadiran Ja‟far Umar Thalib dan mendirikan pesantren Ihyaus Sunnah di Degolan Kaliurang pada tahun 1993. Ja‟far sendiri adalah lulusan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) dan Institute Maududui Pakistan. Ja‟far mempelajari tentang dakwah Salafi ketika dia bergabung dengan perang Afghanistan dengan arahan Muqbil bin Hadi al-Wadi‟i dari Dar al-Hadith, Dammaj Yaman (Ali:2007). Dalam perkembangannya, jamaah Salafi di Yogyakarta mengalami berbagai macam dinamika yang akhirnya memecah jamaah mereka menjadi beberapa kelompok termasuk juga memarginalkan kelompok Ja‟far Umar Thalib. Berdasarkan catatan ICG (international Crisis Group) pada tahun 2004 tercatat bahwa Jamaah Salafi di Yogyakarta terpecah menjadi dua Golongan besar; Kelompok non FKSWJ dan kelompok Pemurni. Kelompok Pemurni ini menolak segala bentuk asosiasi dengan kelompok Islam lainnya baik dalam
EMY RUBI ASTUTI
Eksklusi Sosial 429
urusan politik ataupun paraktek keagamaan. Selain itu mereka juga menolak segala macam bentuk bantuan dana dari kelompok Islam lain (ICG:2004). Kelompok pemurni ini dipimpin oleh Umar Sewed, Lukman Baabduh, Dzulqarnain Abdul Ghafur al-Malanji. Kelompok ini mengembangkan dakwah mereka melalui website www.salafy.or.id dan juga dengan menerbitkan majalah Asy-Syariah (www.assyariah.com). Kelompok ini berpusat di pesantren Al-Anshar, dan perumahan Veteran, Cangkringan Sleman Yogyakarta (Ali:2007). Yayasan Pendidikan Al-Atsari (YPIA) Dinamika Jamaah Salafi ternyata tidak berhenti sampai disini. Jamaah Salafi dibawah kelompok Abu Sewed ini mengalami perpecahan kembali. Pada tahun 2007 berdiri Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA) yang dipimpin oleh Kholid Syamhudi, Lc. (alumni Universitas Islam Madinah, Arab Saudi), Abu Sa‟ad Muhammad Nur Huda, M.A. (Alumni Universitas Islam Darul „Ulum, Pakistan), dan Fauzan bin Abdillah, S.T. (Alumni Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta). Perpecahan jamaah ini karena perbedaan pendapat tentang penggunaan uang sumbangan yang berasal dari Yayasan At-Turost yang berpusat di Kuwait. Yayasan At-Turost ini adalah yayasan yang mengkoordinir pengumpulan dan penyaluran dana bantuan bagi kelompok-kelompok Islam khususnya di negara-negara Timur Tengah. Kelompok Abu Sewed menekankan kehati-hatiannya dalam menggunakan uang sumbangan dari yayasan tersebut. Mereka tidak mau menggunakan uang sumbangan yang tidak berasal dari kelompok Salafi. Sedangkan Jamaah Salafi yang yang dipimpin oleh Kholid Syamhudi dan Abu Sa‟ad ini membolehkan untuk menggunakan uang sumbangan meskipun tidak berasal dari jamaah Salafi lain. Kelompok ini membolehkan penggunaan uang tersebut dengan alasan bahwa dana sumbangan lebih baik digunakan jamaah mereka daripada disalurkan kepada kelompok Islam lain yang mereka nilai sesat seperti Ahmadiyyah dll. Yayasan yang dipimpin oleh Kholid Syamhudi dan Abu Sa‟ad ini berpusat di Wisma Misfalah Tholabul Ilmi (MTI) kampung Pogung Kidul, sinduadi, Mlati, Sleman. Yayasan ini memfokuskan diri dalam pembinaan mahasiswa khususnya yang diwujudkan dalam bentuk pengadaan kursus bahasa arab dasar, kajian Islam intensif melalui halaqoh dan dauroh di masjid-masjid sekitar UGM, dan perintisan pondok pesantren mahasiswa. Selain itu mereka juga mengembangkan dakwah Salafi mereka melalui penyebaran buletin dakwah At-Tauhid dan Zuhairoh, pengelolaan situs dakwah muslim.or.id dan muslimah.or.id, pengadaan radio muslim melalui jalur internet di radio.muslim.com dan penyelenggaraan kajian umum bulanan. Penelitian ini mengambil lokasi di tiga komunitas perempuan-perempuan Salafi di Yogyakarta dibawah bimbingan YPIA dengan nama wisma Tholabul Ilmi, Darussalam dan Zahroh. Perempuan-perempuan Salafi di Yogyakarta Perempuan-perempuan yang tinggal di tiga komunitas perempuan Salafi ini berusia 14-30 tahun. Kebanyakan dari mereka dibesarkan dalam keluarga yang tidak terlalu memandang agama sebagai sesuatu yang harus diamalkan dalam keseharian mereka.
430 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Pengetahuan mereka tentang agama banyak didapatkan dari bangku sekolah dan TPA yang mereka ikuti ketika masih duduk di bangku SD dulu. Oleh karena itu, sejak dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas mereka mendapatkan pendidikan di sekolah umum. Tidak ada seorang pun dari mereka yang bersekolah di Madrasah Tsanawiyah atau Madrasah Aliyah. Dengan alasan yang sama pula, keluarga mereka mengirim mereka ke Universitas Gadjah Mada dibandingkan ke Institut Agama Islam. Kebanyakan dari mereka mulai mengenal doktrin Salafi sejak mereka mengikuti kajian Ahad pagi dan sore yang diadakan oleh kelompok Salafi di maskam (masjid kampus) UGM. Kajian Ahad pagi dan sore yang diadakan di Maskam UGM terbuka untuk umum dan diikuti oleh berbagai macam kelompok. Berbagai macam perempuan dengan beragam model dan ukuran jilbab; cadar, jilbaber, jilbab tradisi dan jilbab gaul terlihat mengikuti kajian ini.2 Saya sendiri juga mengikuti kajian ahad pagi di Maskam selama tiga bulan lebih untuk kemudian bisa berkenalan dengan Ummu Zubaidah, perempuan Salafi yang mengenalkan saya pada komunitas perempuan Salafi di Pogung. Sebelum menikah, Ummu Zubaidah pernah tinggal di wisma Raudhatul Ilmi. Kemudian karena semakin tertarik dan merasa cocok dengan ajaran Salafi, perempuan-perempuan ini kemudian ikut menghadiri kajian Salafi lain yang berada di sekitar UGM; masjid Pogung Raya dan masjid Al-Asrie. Dua masjid inilah yang dijadikan tempat kajian harian yang diselenggarakan oleh YPIA (Yayasan Pendidikan Islam AlAtsari). Kebanyakan dari mereka aktif mengikuti kajian Salafi pada tahun kedua atau ketiga di universitas. Semakin kuat keyakinan mengikuti ajaran Salafi, perempuan-perempuan ini kemudian mulai mengubah cara berpakaian mereka, dari memperbesar ukuran jilbab dan mengenakan jubah hingga kemudian mantap mengenakan cadar. Setelah mengenakan cadar inilah, perempuan-perempuan ini kemudian berpindah tempat tinggal di wisma perempuan Salafi di kampung Pogung. Rata-rata mereka adalah mahasiswa UGM dari berbagai fakultas; seperti MIPA, Ilmu Keperawatan, Ilmu Budaya Jurusan Sastra Arab dan Sastra Jepang, Ilmu Komputer, dan Ilmu Biologi. Selain itu sebagian dari mereka adalah mahasiswa Ma‟had „Aly, sebuah ma‟had Bahasa Arab di dalam lingkup Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ma‟had „Aly ini adalah sebuah lembaga Bahasa Arab hasil kerjasama Asia Moslem Charity Foundation (AMCF) Jakarta dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Dalam mengikuti kursus bahasa Arab di Ma‟had „Aly, perempuan-perempuan ini mengambil program reguler yang diselenggarakan setiap pagi dari hari Senin-Jumat setiap minggunya. Beberapa dari mereka yang sekarang menjadi mahasiswa Ma‟had Aly dulunya adalah mahasiswa UGM. Beberapa dari mereka masih meneruskan kuliah di UGM karena faktor orang tua mereka yang masih menganggap penting arti ijazah negeri untuk masa depan mereka. Praktis mereka menjalankan kegiatan kuliah mereka hanya sekedar karena permintaan orang tua mereka. Beberapa dari mereka sedang dalam masa skripsi yang sudah berjalan lebih dari setahun. Mereka seperti tidak berkeinginan lagi untuk menyelesaikan studi mereka. Kamar-kamar mereka pun dipenuhi oleh buku-buku kajian Salafi daripada buku-buku kuliah seperti layaknya mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir mereka.
EMY RUBI ASTUTI
Eksklusi Sosial 431
Obat-obatan dan kosmetik Perempuan-perempuan ini masih layaknya remaja seusia mereka yang masih memperhatikan kecantikan. Mereka juga memakai berbagai macam kosmetik untuk perawatan kulit mereka sehari-hari. Meskipun begitu, perempuan-perempuan ini juga harus memperhatikan kandungan bahan-bahan yang ada dalam kosmetik yang mereka pilih. Oleh karena itu, mereka tidak memakai produk umum yang banyak terjual bebas di pasar. Menurut mereka, segala bentuk perilaku sehari-hari adalah sebagai bentuk ibadah kepada Alloh, termasuk juga pemakaian obat-obatan dan kosmetik. Perilaku mereka ini sebagai bentuk dari pengamalan sunnah Nabi. Menurut mereka beberapa obat modern sekarang belum tentu terjamin dari hal-hal yang mungkin najis dan haram. Diantara obat-obatan yang digunakan sebagai obat oleh komunitas ini berbahan dasar habbatussauda atau Syuwainiz (jinten hitam),3 madu4 dan minyak Zaitun.5 Dari bahanbahan dasar inilah, beberapa obat-obatan lain banyak diproduksi. Beberapa produk yang dipakai oleh perempuan Salafi ini antara lain: Macam-macam produk olahan Habbatussauda; Habatussauda plus, minyak Habatussauda, serbuk Habatussauda. Kosmetik/perawatan tubuh herbal antara lain: Sabun, lulur, Celak dan pewarna rambut Berbagai macam madu Berbagai olahan buah Zaitun seperti kream zaitun, kapsul minyak Zaitun, dan minyak Zaitun. Rumput Fatimah Siwak6 Habbatussauda‟ (Nigella sativa) atau lebih dikenal dengan nama Jintan hitam, adalah rempah-rempah yang dapat digunakan sebagai tanaman obat. Berbentuk butiran biji berwarna hitam yang telah dikenal dan digunakan secara ribuan tahun oleh masyarakat Timur Tengah untuk mengobati berbagai macam penyakit. Dalam sejarah ilmu pengobatan, Jintan hitam atau Habbatussauda’ telah tercatat dalam literatur kuno ahli pengobatan terdahulu seperti ibnu Sina (980-1037 M). Ibnu Sina sendiri adalah peneliti jenius dari Timur Tengah di bidang ilmu pengobatan yang namanya tercatat di semua buku sejarah pengobatan Timur maupun barat. Ahli pengobatan Dioscoredes, pada abad pertama masehi juga telah mencatat manfaat bahhatussauda untuk mengobati sakit kepala dan saluran pernapasan.7 Sedangkan rumput Fatimah (Labisa Pumila) nama arabnya adalah Kaf Mariyam (Telapak Tangan Mariyam) dikenal sebagai tanaman yang membantu proses memperlancar kehamilan. Para jemaah haji atau mereka yang pernah berkunjung ke Timur Tengah biasanya membawa pulang rumput Fatimah sebagai oleh-oleh untuk keluarga di Tanah Air karena dipercaya sebagai obat manjur. Namun disisi lain, rumput Fatimah juga digunakan sebagai obat pelancar haid bagi orang yang mendadak hamil di luar perencanaan. Rumput Fatimah juga berkhasiat untuk melancarkan haid bagi wanita, menghilangkan rasa sakit ketika datang haid, mempercepat proses penyembuhan setelah melahirkan, meningkatkan hormon pada perempuan, melangsingkan tubuh dan mengobati diare.
432 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Penggunaan rumput Fatimah di Indonesia sebenarnya bukan barang baru. Suku Dayak Tiban di Kalimantan memanfaatkan rumput Fatimah dengan mengambil akarnya, yang kemudian direbus dan air rebusannya diminum untuk melancarkan haid. Jadi sebenarnya rumput Fatimah tidak hanya berasal dari negara Timur Tengah saja. Secara umum, penggunaan rumput Fatimah sebagai obat memang hanya dengan merendamnya dengan air panas dan diminum setelah dingin. Dalam sejarahnya, rumput Fatimah digunakan sebagai obat kuat wanita disejajarkan dengan penggunaan tongkat Ali sebagai obat kuat bagi laki-laki. Sedangkan siwak, perempuan-perempuan ini tidak menggunakannya sebagai pasta gigi sehari-hari. Hal ini terlihat dari beberapa batang siwak yang saya lihat hanya disimpan di tempat kosmetik mereka dan bukan di kamar mandi. Untuk kebutuhan menyikat gigi sehari-hari, mereka masih menggunakan sikat dan pasta gigi yang berada di pasaran. Dalam ajaran Islam, hukum bersiwak adalah sunnah muakadah karena Nabi selalu melakukannya. Pada dasarnya siwak adalah nama untuk dahan yang digunakan untuk bersiwak, oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh digunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratan yaitu lembut dan berserat dan dapat digunakan untuk membersihkan gusi dan gigi. Tanaman Habbatussauda‟, rumput Fatimah dan siwak sebenarnya bukan berasal dari negara-negara Timur Tengah. Rumput Fatimah yang penggunaanya telah dikenal luas oleh masyarakat tidak hanya di Indonesia, bahkan masyarakat Eropa pun telah banyak yang menggunakannya. Begitu juga dengan tanaman habbatussauda‟. Fenomena ini menjadi sangat menarik untuk dilihat, tentang bagaimana perempuan-perempuan Salafi memilih untuk menggunakan produk-produk herbal sebagai obat-obatan dan kosmetik mereka dibandingkan menggunakan merek-merek yang beredar di pasaran. Ada dua keuntungan yang didapatkan dan dipakai sebagai alasan kenapa mereka menggunakan obat-obatan ini; keuntungan duniawi dan keuntungan akhirat karena ittiba‟ kepada sunnah Nabi dan Al-Quran. Di sini bisa saya lihat bagaimana perempuan-perempuan Salafi ini memilih obatobatan berdasarkan sunnah Nabi dan Al-Quran. Habbatussauda‟ menjadi simbol ittiba‟ kepada sunnah Nabi, karena Nabi telah mengatakan bahwa Habbatussauda‟ merupakan obat dari segala macam penyakit kecuali kematian. Demikian juga dengan madu dan minyak zaitun yang telah disebutkan sebelumnya sebagai obat dari segala penyakit dan bahwa di dalamnya mengandung berkah dan kesembuhan. Begitu juga dengan bersiwak, yang pada masa Nabi telah digunakan untuk membersihkan mulut, gigi dan gusi. Namun selain menggunakan produk-produk herbal untuk obat-obatan dan kosmetik, perempuan-perempuan Salafi ini ternyata juga masih menggunakan beberapa produk kecantikan umum. Di beberapa kamar mereka terdapat juga produk-produk kosmetik yang dijual di pasaran seperti merek-merek Pixy, Mustika Ratu, juga produk perawatan bayi Switsal. Namun selain produk-produk herbal, merek lain yang paling banyak digunakan oleh perempuan-perempuan ini adalah produk kosmetik dari Wardah kosmetik. Alasannya, karena produk-produk kosmetik berbahan herbal belum banyak dan lengkap. Produk-produk kosmetik herbal yang ada barulah sebatas produk-produk perawatan berkala. Sedangkan untuk produk-produk kosmetik harian belum tersedia dalam produk-produk herbal.8 Oleh karena itu, untuk perawatan harian kebanyakan dari
EMY RUBI ASTUTI
Eksklusi Sosial 433
perempuan-perempuan ini memakai produk dari kosmetik Wardah yang mereka yakini tidak mengandung alkohol. Selain beberapa kosmetik non herbal, di beberapa kamar saya juga menemukan produk-produk perawatan dari pusat perawatan kulit terkemuka di Yogyakarta, seperti Larissa.9 Ummu Hafsoh menjelaskan bahwa dirinya sudah memakai Produk perawatan kulit dari Larissa sekitar 3 tahun terakhir, jauh sebelum dia mengenakan cadar sekitar setengah tahun lalu. Beberapa produk Larissa yang dipakainya adalah produk untuk perawatan muka dan rambut. Tapi ummu Hafsoh juga menambahkan bahwa saat ini dia sedang dalam tahap meninggalkan produk-produk Larissa dan menggantinya dengan produk-produk herbal serta perawatan bayi. Seperti saat ini dia sudah mulai mengurangi pemakaian pelembab Larissa dan menggantinya dengan baby oil Switsal. Ummu Hafsoh mengaku tidak berani untuk beralih ke produk-produk kosmetik yang ada di pasaran yang ditakutkan menggunakan alkohol. Pilihannya untuk menggunakan produk perawatan bayi karena menurutnya produk perawatan bayi pasti terbebas dari bahan berbau alkohol. Selain selektif dalam memilih produk-produk kosmetik dan obat-obatan, perempuan-perempuan Salafi juga selektif dalam menentukan tempat berobat. Mereka tidak sembarangan pergi ke dokter untuk berobat. Mereka hanya mau pergi berobat ke dokter dari kelompok mereka sendiri atau ke dokter diluar kelompok mereka tapi yang sudah mereka kenal baik sebelumnya. Mereka biasanya menemui seorang dokter Aisha di daerah Seturan, Yogyakarta. Dokter ini meskipun bukan anggota komunitas mereka akan tetapi merupakan teman dari salah satu dari perempuan Salafi ini. Ketika saya tanyakan kenapa memilih pergi ke dokter Aisha daripada ke dokter perempuan lain, Ummu Mu‟adz menjawab: Selain dokter ini adalah teman dari Ummu Zulaikah, adalah faktor kepercayaan bahwa dokter ini tidak akan memberikan obat-obatan yang tercampur dengan bahanbahan yang bersifat najis atau alkohol. Ternyata selain sebagai rujukan komunitas perempuan-perempuan Salafi dalam hal obat-obatan, ternyata dokter Aisha juga seorang dokter spesialis kulit. Beberapa perempuan Salafi ini ternyata juga menggunakan produk kecantikan racikannya; seperti pelembab untuk digunakan pada pagi dan malam. Lagi-lagi alasan yang digunakan adalah bahwa mereka percaya bahwa dokter ini tidak akan mencampurkan bahan-bahan yang bersifat najis dan haram pada kosmetik racikannya. Selain pergi ke dokter Aisha, perempuan-perempuan ini juga mempercayakan masalah kesehatan dan obat-obatan mereka kepada suami dari teman-teman Salafi yang berprofesi sebagai dokter. Cara pengobatannya pun melalui cara-cara yang dianggap syar‟i oleh mereka. Karena tidak mungkin perempuan-perempuan Salafi ini bertemu langsung dengan ikhwan Salafi yang berprofesi dokter, maka konsultasi penyakit dan obat-obatan dilakukan melalui telepon. Perempuan Salafi yang merasakan sakit akan menelpon temannya yang merupakan istri ikhwan yang berprofesi dokter dan menjelaskan keluhannya seperti pusing, mual, demam ataupun keluhan sakit lain. Istri ikhwan ini kemudian
434 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
menyampaikan keluhan tersebut kepada suaminya. Kemudian suaminya menuliskan resep obat yang harus diminum oleh perempuan Salafi yang menderita sakit. Istri ikhwan ini kemudian menelpon kembali perempuan Salafi yang menderita sakit untuk menyampaikan resep yang telah dibuat oleh suaminya. Setelah menerima resep tersebut, maka giiliran teman-teman perempuan Salafi yang berada di wisma untuk membelikan obat-obatan tersebut di apotik. Keadaan ini juga diuntungkan oleh komposisi beberapa anggota kelompok mereka yang lulusan fakultas kedokteran. Doktrin Salafi yang mereka yakini tidak membolehkan perempuan untuk ikut aktif dalam ruang publik karena takut akan bercampur dengan lakilaki selain mahram. Selain itu, suami mereka juga tidak mengizinkan mereka bekerja diluar rumah. Dengan begitu, mereka memilih untuk tidak membuka praktek. Keahlian mereka dalam bidang kedokteran dimanfaatkan sebatas untuk mengobati anggota kelompok mereka saja. Dalam ajaran Salafi, alkohol dikategorikan sebagai najis hukmiyah, yaitu jenis najis yang tidak terlihat namun harus dibersihkan. Dalam hal ini mereka mengkategorikan alkohol sebagai najis dengan analogi bahwa arak yang dikenal pada masa Nabi sebagai unsur yang memabukkan apabila diminum juga dihukumi sebagai najis hukmiyah yang juga diharamkan untuk disentuh. Oleh karena itu, alkohol sebagai unsur yang memabukkan pada masa sekarang juga terhukumi sebagai najis hukmiyah. Tentu saja pemahaman ini berbeda dengan pemahaman komunitas muslim lainnya yang memandang alkohol hanya haram untuk dikonsumsi. Akan tetapi, ajaran Salafi mengkategorikan alkohol sebagai najis sekaligus haram. Haram untuk dikonsumsi dan najis untuk disentuh. Sikap untuk menghindari barang-barang yang mengandung alkohol berkaitan erat dengan sikap kehati-hatian mereka dengan hal-hal yang berkaitan dengan najis karena erat kaitannya dengan ibadah. Setiap kali melakukan ibadah, seorang muslim haruslah bersih dari segala najis. Dan kebersihan seorang muslim menjadi ketentuan penting dalam hal kesempurnaan pelaksanaan ibadah, baik yang fardhlu maupun sunnah. Batas Suci Turner dalam acts of Piety (2008a), berargumen bahwa perilaku-perilaku kesalehan yang dilakukan oleh individu dalam suatu kelompok agama menjadi ritual keakraban (Ritual of Intimacy) yang berfungsi untuk saling menguatkan di antara anggota kelompok tersebut, dan di lain pihak telah membuat jarak (distancing) dengan kelompok lain di sekitar mereka. Dalam diskusi sebelumnya telah saya diskusikan bagaimana perempuan-perempuan Salafi ini memilih model pakaian, kosmetik dan obat-obatan yang berbeda dari masyarakat di sekitar mereka sebagai bentuk dari embodiment pemahaman keagamaan mereka. Pertanyaan yang kemudian timbul jika dikaitkan dengan konsep Turner tentang Ritual Keakraban adalah, apakah pemilihan model pakaian melalui cadar serta pemilihan kosmetik dan obat-obatan perempuan Salafi berpengaruh terhadap komunikasi dengan lingkungan disekitar mereka?. Apakah batasan-batasan atau konsepkonsep yang digunakan dalam pemilihan obat-obatan dan kosmetik dan model pakaian berlaku juga dalam menentukan dengan siapa mereka boleh bergaul dan dengan siapa mereka tidak boleh bergaul?. Apakah masyarakat di luar kelompok perempuan Salafi bisa
EMY RUBI ASTUTI
Eksklusi Sosial 435
digolongkan menjadi teman mereka apabila mereka memakai produk kosmetik dan obatobatan yang sama? Perempuan-perempuan ini menyadari konsekuensi-konsekuensi dari perilakuperilaku kesalehan mereka. seperti pemakaian cadar yang masih dianggap sebagai budaya Arab dan belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia. Dengan berbagai alasan itulah, maka perempuan-perempuan Salafi ini kemudian memutuskan untuk berpindah tempat tinggal dari rumah kos mereka yang lama menuju ke wisma Raudhatul Ilmi, Darussalam ataupun Zahroh. Kenyamanan dan kebutuhan untuk saling menjaga dan menguatkan karena penampilan baru, merupakan faktor pendorong utama yang membuat mereka berpindah ke wisma. Namun dengan begitu secara tidak sadar mereka juga telah memutuskan komunikasi dengan menciptakan dinding pembatas antara keluarga, dan teman-teman lama mereka, baik di kampus maupun diluar kampus (Turner:2010). Yulia, teman sekelas Ummu Hafsoh mengaku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Ummu Hafsoh setelah dia berpindah dari kos yang lama. Padahal selain satu kelas di UGM letak kos mereka dulu juga berdampingan. Setelah berpindah ke wisma, mereka jarang bertemu, bahkan Ummu Hafsoh juga jarang terlihat di area kampus. Komunikasi yang dulu aktif dijalin dengan jalan-jalan berdua sekrang tidak pernah mereka lakukan lagi. Dini, teman satu kos Ummu Hindun pun juga merasakan hal yang sama. Dulu sewaktu Ummu Hindun belum mengenakan cadar mereka tinggal di kos yang sama dengan letak kamar berdampingan. Mereka juga berkuliah di satu fakultas walaupun berbeda jurusan. Akan tetapi sejak Ummu Hindun mengenakan cadar, tiba-tiba dia berpindah tempat tinggal ke wisma. Komunikasi diantara mereka berdua pun terputus seiring dengan beberapa sms Dini yang tidak pernah dibalas oleh Ummu Hindun. Pola komunikasi yang berbeda tidak hanya dilihat dari pemilihan tempat tinggal baru akan tetapi dapat dilihat juga melalui perilaku kesalehan mereka terhadap pemilihan obat-obatan dan kosmetik. Percakapan saya dengan Ummu Hafsoh tentang kosmetik berawal ketika saya memasuki kamarnya dan menemukan produk pembersih Larissa di antara produk herbal lain di rak kosmetiknya. Percakapan pun menjadi lebih seru karena kebetulan saya juga memakai beberapa produk Larissa. Sebelum memakai cadar sebagai pakaian sehari-hari, Ummu Hafsoh menggunakan produk perawatan muka dan rambut Larissa sebagai produk kosmetiknya. Lengkap dari produk pembersih kulit, pelembab, obat jerawat, bedak, shampo dll. Selain itu perawatan rutin facial dan creambath juga dilakukan di tempat yang sama. Ketika menjalani perawatan facial dan creambath dia selalu pergi bersama dengan teman-temannya di UGM. Akan tetapi ketika dia sudah menggunakan cadar dan berpindah tempat tinggal di wisma Raudhatul Ilmi, secara berkala dia mulai menghentikan pemakaian produk Larissa dan mulai menggantinya dengan produk perawatan bayi dan produk herbal. Karena sudah mulai meninggalkan produk perawatan Larissa, Ummu Hafsoh tidak pernah pergi ke Larissa untuk melakukan perawatan wajah dan rambut bersama temantemannya. Secara otomatis juga, komunikasi Ummu Hafsoh dengan teman-temannya juga berkurang. Kebiasaan-kebiasaan pergi ke Salon dan sekedar jalan-jalan di mall bersama teman-teman pun tidak pernah dilakukannya lagi. Demikian juga yang terjadi dengan Ummu Zulaikhah yang mengenal produk-produk kecantikan Larissa melalui teman-
436 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
temannya di kampus. Sebelum memakai cadar dan pindah tempat tinggal di wisma, Ummu Zulaikah juga rutin melakukan perawatan facial dan creambath sebulan sekali bersama teman-temannya. Setelah berpindah ke wisma, Ummu Zulaikha tidak pernah lagi mengunjungi Larissa untuk melakukan perawatan. Secara bertahap dia berpindah dari produk-produk Larissa ke produk perawatan bayi dan herbal yang menurutnya bebas dari bahan-bahan yang mengandung alkohol. Pertanyaan yang kemudian timbul dalam diri saya adalah, apakah ketika saya menggunakan produk-produk kosmetik yang sama dengan mereka, mereka akan lebih percaya kepada saya untuk dijadikan teman?. Sekarang mari kita diskusikan bagaimana batasan-batasan dan hubungan sosial yang diciptakan dalam pengobatan yang dipilih oleh perempuan-perempuan Salafi. Dalam hal pengobatan mereka lebih memilih untuk berobat ke dokter Aisha karena mereka yakin bahwa dokter Aisha tidak akan memberikan mereka obat-obatan yang mengandung alkohol. Dokter Aisha bukanlah berasal dari kelompok mereka, tapi dia adalah salah satu teman dari perempuan Salafi. Selain alasan gender, saya melihat faktor kepercayaan dan perkenalan secara pribadi yang menjadi alasan kenapa mereka memilih untuk datang dan berobat ke dokter Aisha dibandingkan ke dokter lainnnya. Faktor kepercayaan yang didasarkan bahwa dia adalah teman dari salah satu perempuan Salafi dan mereka dapat mempercayainya. Ketidakpercayaan kepada dokter lain sebelum mereka mengenal terlebih dahulu telah membatasi komunikasi mereka dengan orang-orang diluar kelompok mereka. Pertanyaan yang muncul adalah, bukankah mereka sebenarnya juga bisa datang berobat ke dokter perempuan lain dan meminta mereka untuk tidak memberikan obat-obatan yang mengandung alkohol?. Bandingkan dengan cara pengobatan yang mereka lakukan dengan cara menelpon teman Salafi lain yang mempunyai suami yang berprofesi sebagai dokter. Cara pengobatan yang dilakukan dengan cara menelpon adalah bagian dari upaya mereka untuk tetap menjaga ketentuan syar‟i, bahwa laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dilarang untuk bertemu dan mengadakan komunikasi. Ikhwan yang berprofesi sebagai dokter tentu saja bukan mahram mereka. kehati-hatian mereka dalam melakukan pengobatan masih tetap membuat mereka memperhitungkan alasan syar‟i dan tidak syar‟inya cara pengobatan yang dilakukan oleh mereka. Cara pengobatan yang dilakukan oleh perempuan Salafi melalui dokter Aisha dan suami perempuan Salafi yang berprofesi sebagai dokter menggambarkan kehati-hatian mereka akan tercampurnya obat-obatan yang mengandung alkohol. Faktor kepercayaan terhadap suami dari perempuan Salafi yang berprofesi sebagai dokter karena mereka merupakan satukelompok, namun mereka juga mempercayakan pengobatan mereka terhadap dokter Aisha yang bukan berasal dari kelompok mereka. Di sisi lain, ketidakpercayaan mereka terhadap dokter di luar kelompok mereka menjadi faktor yang menghalangi interaksi mereka dengan komunitas di luar kelompok mereka. disini saya tidak melihat alasan teologi atau kesamaan pemahaman agama menjadi dasar pergaulan dan komunikasi mereka dengan kelompok di luar kelompok mereka, melainkan alasan kepercayaan. Diskusi diatas telah menjelaskan bagaimana embodiment pemahaman keagamaan perempuan-perempuan Salafi telah menyebabkan batasan-batasan dalam interaksi dan komunikasi mereka dengan kelompok lain diluar mereka. Pola interaksi dan komunikasi
EMY RUBI ASTUTI
Eksklusi Sosial 437
mereka dengan kelompok diluar mereka ternyata juga terpengaruhi dengan konsep najis, suci dan tidak suci yang dipraktekkan dalam perilaku keagamaan mereka. Embodiment pemahaman keagamaan perempuan Salafi juga telah menjadi ciri khas dan simbol kelompok. Pemakaian cadar dan obat-obatan serta kosmetik telah menjadi kode moral kelompok dimana setiap anggota kelompok harus berusaha untuk mematuhinya. Embodiment ini pula telah menjadi sarana komunikasi dan interaksi yang semakin menguatkan keakraban antar anggota. Semakin kuat penggunaan simbol-simbol oleh setiap anggota kelompok, maka semakin kuat keakraban yang terjalin diantara mereka. Namun disisi lain, semakin kuat interaksi dan keakraban antar perempuan-perempuan Salafi ini maka semakin kuat juga jarak pemisah antara mereka dengan kelompok lain. Dari sinilah, proses eksklusi sosial perempuan Salafi dengan masyarakat di sekitar mereka semakin terlihat jelas. Kesimpulan Diskusi tentang proses eksklusi sosial perempuan Salafi di Yogyakarta, telah menjelaskan bagaimana proses embodiment pemahaman keagamaan mereka mempengaruhi praktik sosial mereka dengan praktik kehidupan masyarakat di sekitar mereka. Sekaligus juga memberikan sebuah insight baru dalam melihat gerakan fundamentalisme Islam yang selama ini hanya dilihat dari perspektive teologi, misi dan gerakannya saja. Penampilan perempuan-perempuan Salafi dengan baju longgar, gelap serta cadar juga telah membuat khawatir sebagian masyarakat apalagi jika dikaitkan dengan isu terorisme yang banyak berkembang saat ini. Oleh karena itu, diskusi mengenai proses eksklusi sosial perempuan Salafi juga menyingung sedikit banyak tentang identitas perempuan Salafi di dalamnya. Berikut dua hal yang berkaitan dengan diskusi mengenai sosial eksklusi, perilaku-perilaku kesalehan, dan Ritual keakraban. Pertama, eksklusi sosial perempuan Salafi di Yogyakarta dibangun oleh proses embodiment pemahaman keagamaan perempuan Salafi. Pemahaman keagamaan yang berbeda yang dimiliki oleh perempuan Salafi dapat dilihat dari eksklusifisme doktrin Salafi tentang kebenaran dalam menjalankan praktik keagamaan. Pemahaman keagamaan ini kemudian membentuk sebuah proses embodiment dalam perilaku mereka sehari-hari melalui pemilihan model pakaian, pemakaian cadar, pemilihan obat-obatan dan kosmetik serta komunitas yang tertutup. Dari sini juga dapat kita ketahui bagaimana konsep suci dan tidak suci dimaknai dan mempengaruhi hubungan sosial mereka dengan masyarakat di luar komunitas mereka. Perilaku kesalehan yang dipraktikkan sekaligus memberi kita pemahaman bagaimana tubuh diperlakukan dan dijaga kebersihannya sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Perilaku kesalehan mereka dengan pemakaian cadar, pemilihan kosmetik dan obat-obatan kemudian menjadi simbol dan ciri khas yang membedakan kelompok mereka dengan kelompok masyarakat lain di sekitar mereka. Perilaku kesalehan mereka juga telah membatasi interaksi sosial dengan kelompok lain yang menyebabkan mereka tereksklusi dan mengeksklusi diri secara sosial dari masyarakat lain.
438 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Kedua, gerakan perempuan-perempuan Salafi ini juga terhubung erat dengan pembentukan habitus baru bagi perempuan-perempuan muda berpendidikan dari kalangan menengah keatas. Fenomena ini merefleksikan sebuah proses transformasi kesalehan dengan pembentukan identitas yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan dengan pemakaian cadar, pemilihan kosmetik dan obat-obatan pada usia transisi mereka. Pemilihan cadar, kosmetik dan obat-obatan juga menciptakan kepribadian yang berbeda dari remaja kebanyakan yang lebih menyukai jalan-jalan atau sekedar berkumpul bersama teman-teman mereka. Perempuan-perempuan ini lebih menyukai untuk menghabiskan waktu dengan amalan dan ibadah-ibadah lain di dalam wisma.
EMY RUBI ASTUTI
Eksklusi Sosial 439
Daftar Pustaka Ali, Burhan. 2007. “Salafism and Overpopulation: A Challenge for Indonesia” A Conference Paper on Women, Religion and Globalization, Center for Religious and Cross-cultural Studies. Gadjah Mada University, Yogyakarta. Alvi, Sajida Sultana. Homa Hoodfar, and Sheila McDonough (Ed). 2003, The Muslim Veil in North America. Women‟s Press. Toronto. Ammerman, Nancy T (Ed). 2007, Everyday Religion; Observing Modern Religious Lives,Oxford, University Press, Oxford New York. Arthur, Linda B. 2000, Religion, Dress and Body. Berg, Oxford, New York. Barton, Greg. 2004, Indonesia’s Struggle: Jemaah Islamiyah and the soul of Islam. UNSW Press, Sydney. Batsleer, Janet and Beth Humphries (Ed). 2000, Welfare, Exclusion and Political Agency, Routledge, London. Bruck, Gabriele Vom. 2008, „Naturalising, Neutralising Women's Bodies: The “Headscarf Affair” and the Politics of Representation'‟, Identities, 15:1: 51-79. Buchholz, Larissa. 2006, „Bringing the Body Back into Theory and Methodology‟, Springer Science and Business Media B.V, 481-490. Bun, Ku Hok. 2006, „Body, Dress and Cultural Exclusion: Experiences of Pakistani women in 'global' Hong Kong‟, Asian Ethnicity, Vol 7, Num 3, 285-302. Butler, Judith. 1997, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection. Standford University Press. Stanford California. Chaudhary, Ajay Singh. 2005, „The Simulacra of Morality: Islamic Veiling, Religious Politics and the Limits of Liberalism‟, Dialectical Anthropology, 29:349-372. Chowdhry, Prem. 1994. The Veiled Women. Shifting Gender Equations in Rural Haryana 18801990. Oxford University Press, Bombay Calcutta Madrasa. India. Douglas, Mary. 1966, Purity and Danger: An Analysis of concept of Pollution and Taboo, Routledge Press, London. Davis, Kathy (Ed). 1997, Embodied Practices; Feminist Perspectives on the Body, Sage Publications, London. Fattah, Hala. 2003, „Wahhabi‟ Influences, Salafi Responses: Shaikh Mahmud Shukri and the Iraqi Salafi Movement 1745–1931‟. Journal of Islamic Studies 14:2, Oxford Centre for Islamic Studies, 127-148. Foucault, Michel. 1990, The History of Sexuality Vol 2, Vintage Book, New York. _________, 1997, Discipline and Punish: The Birth of Prison, Vintage Books, New York. Giddens, Anthony. 1995, The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration, Polity Press Cambridge-UK. Herriot, Peter. 2009, Religious Fundamentalism : Global, Local, and Personal, Routledge, New York. Keaton, Trica Danielle. 2006, Muslim Girls Other France: Race, Identity Politics, & Social Exclusion, Indiana University Press, Bloomington & Indianapolis.
440 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Kirsh, Max. 2006, Inclusion and Exclusion in The Global Arena, Routledge, London Liow, Joseph Schinyong. 2009, Piety and Politics Islamism in Contemporary Malaysia, Oxford University Press. New York. Mahmood, Saba. 2005, Politics of Piety: The Islamic revival and The Feminist Subject, Princetown University Press, Princetown New Jersey. Madanipur, Ali, Goran Cars, Judith Allen (Ed), 1998. Social Exclusion in Europian Cities: Processes, experience and responses. Jesica Kingsley Publishers Ltd, London. Mahmud, Badawi Asy-Syaikh. 2005, Riyadhush Shalihat (terj), Pustaka Azzam, Jakarta Manneh, Butrus Abu. 2003, „Salafiyya and the Rise of the Khalidiyya in Baghdad in the Early Nineteenth Century‟, Die Welt des Islams 43, 3, Koninklijke Brill NV, Leiden, 349372. Mauss, Marcel. 1973, „Techniques of The Body‟, Economy and Society 2 (1), 70-88. Meijer, Roel (ed). 2009, Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, Columbia University Press. Narli, Nilufer. 1991. Unveiling The Fundamentalist Women. A Case Study of University Students in Malaysia. The ISIS Press Istambul. Turkey. Nashir, Haedar. 2007, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Jakarta. Nashiruddin, Muhammad Al-Albani. 2000, Sifat Shalat Nabi, Media Hidayah, Yogyakarta Nawawi, Imam. 1999, Riyadhus Shalihin (terj), Pustaka Amani, Jakarta Noorhaidi. 2005, „Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-new Order Indonesia‟, Disertasi, International Institute for the Study of Islam in the Modern World, Universiteit Utrecht. Rinaldo, Rachel. 2008, Muslim women, middle class habitus, and modernity in Indonesia, Cont Islam 2:23-39. Shadid, W. 2005, „Muslim Dress in Europe: Debates on the Headscarf‟, Journal of Islamic Studies,16:1, 35-61. Shidqi, Ahmad, Gilang Desti Parahita. 2008, Grey Area, Sepotong Kebenaran Milik Alifa, Tuhan di Dunia Gemerlapku, Kanisius. Yogyakarta Sibley, David. 1995, Geographies of Exclusion: Society and Difference in the West. Routledge. London Staunton, Dirk. 2008, „The Clash of Identities: An Analysis of the Causes of Salaf Jihadi Terrorism with Reference to Jemaah Islamiyah‟, Studies in Ethnicity and Nationalism, James Cook University: Vol. 8, No. 1, 142-164. Stump, Roger W. 2000, Boundaries of Faith: Geographical Perspectives on religious Fundamentalisme. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. USA. Sunesti, Yuyun. 2006, „Tubuh dalam Persepsi Perempuan Berjilbab di Yogyakarta (Sebuah Kajian Etnografi Feminis)‟, Thesis, CRCS. UGM. Yogyakarta. Turner, Bryan S. 2008, (a) Acts of piety: the Political and The Religious or a Tale of two Cities. Acts of Citizenship. Zed Books, London, 1-11. __________. (Ed). 2008, (b) Religious diversity and Civil Society, A Comparative Analysis. The Bardwell Press, Oxford, UK. _________, JoyKooi-Chin Thong. 2008 (c), Women, Piety and Practice: A Study on Women and Religious Practices in Malaysia, Cont. Islam 2:41-59.
EMY RUBI ASTUTI
Eksklusi Sosial 441
__________. 2008(d), Introduction, The Price of Piety, A Special Issue on Contemporary Islam on Piety, Politics and Islam. Cont. Islam 2:1-6. __________. 2007(a), The Enclave Society: Toward a Sociology of Immobility, European Journal of Social Theory, 10:287. ___________, 2010 (a), Enclosure, Enclaves and Entrapment. Sociological Inquiry, Vol 80, No 2 May 2010, 241-260. __________, Kamaludeen Mohamed Nasir, Alexius A. Pereira, 2010 (b), Muslims in Singapore: Piety, Politics and Policies, Routledge, New York. Twine, Fred. 1994. Citizenship and Social Rights, Sage Publications, London. Ubaidah, Abu Masyhur bin Hasan bin Salman. 2006, Koreksi Atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat, Maktabah Salafy Press, Pekalongan Vertigans, Stephen. 2007, Militant Islam and Weber‟s Social closure: interrelated secular and religious codes of exclusion, Cont Islam 1:303–321. Wictorowicz, Quintan. 2001, The Management of Islamic Activism: Salafis, the muslim Brotherhood, and State Power in Jordan. State University of New York Press. New York.
442 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Endnotes :
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
[email protected] 1Dauroh adalah kelompok kajian tentang Islam. Halaqoh adalah bentuk kajian dengan duduk melingkar dan ustadz sebagai sentral. Dua metode pengajaran ini banyak diterapkan di pesantren-pesantren tradisional dengan tidak menggunakan meja, kursi dan papan tulis sebagai alat bantu 2Sunesti (2006) menjelaskan bahwa ada empat kategori jilbab yang banyak digunakan oleh perempuan-perempuan Yogyakarta. Pertama, cadar, dengan ciri-ciri memakai jubah dan jilbab lebar, gelap, kain tebal disertai dengan cadar. Kedua, jilbaber, dengan ciri-ciri memakai jubah dan jilbab lebar dengan warna-warna yang tidak gelap. Ketiga, jilbab tradisi, dengan ciri-ciri memakai rok dan baju berpotongan namun tidak sempit, jilbab tidak terlalu lebar tapi masih menutup dada. Keempat, jilbab gaul, dengan ciri-ciri memakai celana dan baju ketat, jilbab kecil dan biasanya dililitkan di leher atau kepala. 3Imam Bukhari meriwayatkan dari „Aisyah radhiyallahu „anha. bahwa ia pernah mendengar Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Sungguh dalam habbatus sauda‟ itu terdapat penyembuh segala penyakit, kecuali as-sam.” Saya bertanya, “Apakah as-sam itu?” Beliau menjawab, “Kematian”. 4QS. An-Nahl: 69. “Dari perut lebah itu keluar cairan dengan berbagai warna, di dalamnya terdapat kesembuhan bagi manusia.” 5“Konsumsilah minyak zaitun dan gunakan sebagai minyak rambut, karena minyak zaitun dibuat dari pohon yang penuh berkah.” HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. 6“kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap akan sholat” HR Bukhori dan Muslim 7http://id.wikipedia.org/wiki/Jintan_hitam 8Perawatan muka dan tubuh dibedakan menjadi dua; perawatan yang tidak dilakukan harian/berkala seperti masker, pewarnaan rambut dan kuku, lulur. Perawatan harian; seperti pemakaian pelembab wajah, hand body, sampo dll. 9Larissa adalah salah satu dari pusat perawatan kulit terkenal yang ada di Yogyakarta. Berkembangnya Yogyakarta menjadi kota pelajar turut menjadikan beberapa pusat kecantikan dan perawatan kulit menjamur di Yogyakarta. Larissa sendiri adalah pusat perawatan kulit yang mempunyai tiga cabang di Yogyakarta dan beberapa cabang di kotakota lain. Pelanggannya kebanyakan besar adalah mahasiswa dan perempuan remaja usia dewasa dari usia 15-40 tahun. Selain memakai produk perawatan dari Larissa, ternyata Ummu Hafsoh dan beberapa perempuan lain di Wisma Roudhatul Ilmi juga menjalani perawatan wajah dan rambut seperti facial dan creambath di Larissa.