Eksklusi Sosial dalam Anggaran Publik Studi Kasus di Ngawi, Lamongan, dan Makasar D z u r i y a t u n To y i b a h Sosiologi FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta Email:
[email protected]
Abstract The article aims to describe the process of social exclusion and inclusion within local government budget (APBD) in Lamongan and Ngawi East Java in 2006-2008, and Makasar South Sulawesi in 2009. Social exclusion was indicated by the absent of public participation in the decision making process. Social exclusion for public local budget appeared in regulation level such as unclear mechanism of public participation and the constraints to access budget documents. Those lead to avoid civil society to understand the real local budget. However, civil societies in three regions made several strategies to reduce social exclusion. The process was begun by the attempts to open public access for budget forums and budget documents by developing cooperation with member of local parliament. The next step of the process was inviting civil society organizations to attend budget deliberation forums to analyze the documents using a simple method to compare between public and apparatus expenditure. The result of budget analysis showed that public budget excluded public interest as the most important aspect of social exclusion in public budget. Kata kunci: eksklusi sosial, partisipasi, APBD, masyarakat sipil, demokrasi
182 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
PE N DA H U LUA N
Studi tentang partisipasi masyarakat dalam anggaran publik mulai muncul di Porto Alegre Brazil. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Santos S.B (1998) menggambarkan tentang proses budget yang partisipatif, bagaimana proses tersebut dilaksanakan, serta kondisi politik dan masyarakat di Porto Alegre. Adapun di Indonesia kajian tentang anggaran daerah pada umumnya menggambarkan peluang dan tantangan serta pengalaman mengadvokasi anggaran oleh LSM (lihat Sucipto & Khadafi 2006; Mastuti 2007; Waidl 2009). Studi ini melengkapi studi sebelumnya tentang gambaran proses eksklusi dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil di tingkat lokal untuk mendorong anggaran yang partisipatif (inklusif). Pertanyaan yang diangkat dalam studi ini adalah bagaimana proses eksklusi sosial dalam anggaran publik? Upaya apa saja yang dilakukan kelompok masyarakat sipil untuk menguranginya? Tulisan berikut akan menggambarkan bentuk-bentuk eksklusi dalam anggaran publik dan pengalaman masyarakat sipil di Ngawi, Lamongan, dan Makasar dalam melakukan proses inklusi anggaran melalui upaya-upaya akses dokumen, serta analisis dan advokasi anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang lebih pro masyarakat miskin. Tulisan ini merupakan hasil pendampingan penulis selama 2006-2008 sebagai project officer program Participatory Budgetting and Expenditure PP Lakpesdam NU dan NDI. Penulis mendapatkan data dengan melakukan observasi dan analisis dokumen bersama LSM lokal Jaringan Masyarakat Lamongan di Lamongan dan Pagar Madani Ngawi di Ngawi. Sedangkan data dari Makasar didapatkan dari sumber sekunder hasil analisis LSM lokal KOPEL Makasar. E ksklusi dan inklusi sosial dalam A nggaran Publik
Salah satu definisi eksklusi sosial adalah sebagaimana dijelaskan Byrne (2005) sebagai ketiadaan pemenuhan hak-hak sipil, politik, dan hak-hak sosial. The dynamic process of being shut out, fully or partially, from any of the social, economic, political or cultural systems which determine the social integration of a person in society. Social exclusion may, therefore, Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 183
be seen as the denial (or non-realisation) of the civil, political and social rights of citizenship.
Sebelumnya, Mandanipour sebagaimana dikutip Byrne (2005) menyatakan bahwa eksklusi sosial merupakan proses yang bersifat multidimensi yang meliputi ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan politik, tidak hanya akses terhadap pekerjaan dan sumber-sumber material, tetapi juga lemahnya integrasi dalam proses-proses kultural. Jika fenomena tersebut terjadi secara bersamaan, maka akan terjadi eksklusi yang sangat akut. Social exclusion is defined as a multi-dimensional process, in which various forms of exclusion are combined: participation in decision making and political processes, access to employment and material resources, and integration into common cultural processes. When combined, they create acute forms of exclusion that find a spatial manifestation in particular neighbourhoods.
Berkembangnya pemikiran eksklusi sosial Menurut Hilary Silver dalam Rodger (1995) tidak bisa dilepaskan dari tiga paradigma yaitu paradigma solidarity, specialization, dan monopoly yang masing-masing memiliki cara pandang berbeda dalam melihat fenomena eksklusi sosial. Dalam hal ini, eksklusi sosial selalu dihubungkan dengan peran negara. Paradigma solidarity menekankan eksklusi sosial sebagai perpecahan ikatan sosial antara individu dan masyarakat. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari individu untuk bertindak liberal dan melindungi individu sebagai bagian masyarakat dari kemiskinan yang disebabkan sistem masyarakat industrial. Sebaliknya, paradigma spesialisasi melihat bahwa demokrasi dan kesempatan yang sama merupakan mekanisme sosial yang menjamin integrasi sosial. Eksklusi sosial terjadi karena kegagalan pasar dan diskriminasi. Dengan kata lain, eksklusi sosial terjadi karena kebebasan individu tidak terjadi, sehingga terdapat diskriminasi. Untuk itu, paradigma ini menganggap pentingnya jaminan negara terhadap kebebasan individual dan menghindarkan diskriminasi. Sementara negara ditempatkan hanya membantu mereka yang benarbenar memerlukan dukungan. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
18 4 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
Paradigma monopoli menganggap eksklusi sosial sebagai konsekuensi ketertutupan secara sosial (social closure) yang dilakukan oleh pihak yang menyisihkan. Hal ini terjadi karena ada satu kelompok dengan kekuasaan yang lebih besar dapat memaksimalkan sumber daya yang ada dengan membatasi akses orang lain atas sumber-sumber tersebut. Bagi paradigma monopoli, social order merupakan paksaan (coersive) yang dilakukan melalui relasi kekuasaan yang hierarkis. Aspek-aspek eksklusi sosial dalam anggaran publik pada tulisan ini mencakup aspek-aspek kesulitan masyarakat sipil dalam proses partisipasi dan kontrol kebijakan publik berbentuk APBD. Secara umum terdapat tiga bentuk eksklusi yaitu eksklusi dari partisipasi dalam proses perencanaan anggaran, eksklusi untuk mendapatkan akses terhadap dokumen APBD, dan eksklusi kepentingan publik dari alokasi APBD. E k sk l u si d a r i Pa r t i sipa si d a l a m Pr ose s Pe r e n ca n a a n An g ga r a n Secara normatif partisipasi publik dianggap sebagai hal yang sangat penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Wacana partisipasi dalam beberapa hal telah direspon dalam beberapa UU di Indonesia. Misalnya pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya disebut UU 10/2004 menyatakan bahwa: ”masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undangundang dan rancangan peraturan daerah.”
Selain itu, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut UU 32/2004 pasal 27 ayat (2) juga ditegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Dalam Pasal 139 UU 32/2004 dinyatakan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 185
penyiapan atau pembahasan rancangan perda”. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut UU 17/2003 pasal 3 ayat (3) menyebutkan “APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.” Namun demikian, UU tersebut masih menekankan bahwa partisipasi masyarakat sangat terkait erat dengan peran DPR/DPRD. Baik UU 10/2004 maupun UU 32/2004 tidak menjelaskan secara terperinci mekanisme atau alat apa yang bisa digunakan sebagai mekanisme partisipasi masyarakat. Meskipun demikian, UU 10/2004 mewajibkan DPR untuk mempromosikan, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak partisipasi masyarakat dalam proses legislasi yang diturunkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI tahun 2004-2005. Dalam tata-tertib (tatib) tersebut disebutkan beberapa mekanisme atau alat yang bisa digunakan yakni melalui pertemuan-pertemuan seperti rapat dengar pendapat (hearing), pertemuan dengan pimpinan alat kelengkapan DPR, dan pertemuan dengan tim penyiapan RUU. Penyebaran draft RUU dilaksanakan dengan berbagai media seperti media elektronik (televisi, radio, internet) dan media cetak atau surat kabar. Sementara itu, penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif biasanya dilakukan dengan konsultasi publik. Konsultasi publik biasa diartikan sebagai semua kegiatan mekanisme dan alat menghimpun atau mengakomodasi masukan/aspirasi masyarakat yang diperoleh melalui pertemuan/forum tatap muka, pernyataan tertulis, media (elektronik dan cetak), dan media on-line (internet, email, webforum). Konsultasi publik juga secara sempit biasanya dimaknai sebagai sebuah alat dengan teknik/cara tertentu yang disusun berdasarkan panduan tertentu (Farhan dkk 2007). Di tengah ketidakjelasan mekanisme partisipasi dalam UU tentang perencanaan dan penganggaran daerah, masyarakat sipil biasanya merujuk Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang selanjutnya disebut UU 25/2004. Definisi SPPN menjelaskan dengan tegas bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencanarencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. SPPN diselenggarakan Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
18 6 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
berdasarkan asas umum penyelenggaraan negara yakni asas kepentingan umum, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas (Suhirman 2006). Namum demikian, UU SPPN ini mengatur hanya sebatas pada ranah proses perencanaan pembangunan, belum menyentuh ranah penganggaran. Proses eksklusi dalam anggaran publik tersebut dimulai dari proses perencanaan APBD melalui Musrenbang. Proses ini kemudian diramu dengan proses teknokratis dalam forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sehingga muncul RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Sebagai proses ”partisipatif”, Musrenbang juga biasanya tidak terbuka secara umum. Biasanya hanya kepala desa, ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dan ketua organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang biasanya dijabat istri kepala desa, yang terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Hanya melalui upaya-upaya sistematis akhirnya publik secara umum bisa mengaksesnya. Ketika masuk dalam perencanaan anggaran dalam forum SKPD, akses publik menjadi semakin rumit. Ketika hasil Musrenbang dan SKPD seharusnya diramu oleh Bapan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), publik semakin sulit untuk memastikan berapa persentase usulan Musrenbang yang bisa masuk dalam RKPD. E k sk l u si pa d a L e v e l A k se s D ok um e n An g ga r a n Anggaran biasanya menjadi isu sensitif, sehingga hanya kalangan tertentu saja yang berhak tahu. Cara pandang bahwa anggaran adalah hak prerogatif pemerintah ini sejak awal telah mengeksklusikan masyarakat. Dalam hal ini, APBD hanya diketahui oleh pemerintah yang diwakili oleh kalangan tertentu dan DPRD saja. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa hal-hal yang terkait dengan APBD (dokumen-dokumennya) terkesan sangat rumit, tebal, dan tidak mudah untuk memahaminya. Sampai sejauh ini asas keterbukaan dalam dokumen APBD masih menjadi persoalan yang tidak mudah. peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya disebut Permendagri 13/2006 dan perubahannya dalam Permendagri 59/2007 menjamin akses data anggaran dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan sampai penetapan. Pasal 4 Permendagri 13/2006 menyatakan Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 18 7
“Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.” Akan tetapi, pasal 103 Permendagri 59/2007 menegaskan bahwa sebelum diserahkan kepada DPRD pemerintah daerah melalui sekretaris daerah sebagai ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) harus menyosialisasikan raperda kepada masyarakat, tetapi sosialisasi tersebut hanya bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan APBD. Persoalan ini sebenarnya masih bisa diatasi karena UU 17/2003 maupun UU 25/2004 telah menggariskan bahwa peraturan lebih lanjut mengenai mekanisme Musrenbang (perencanaan) dan mengenai penyusunan RK A-SKPD (penganggaran) diatur lebih lanjut oleh peraturan daerah. Dengan pertimbangan bahwa anggaran negara (APBD/ APBN) merupakan dana publik, maka anggapan bahwa proses perencanaan dan penganggaran sebagai hak prerogatif kalangan tertentu menjadi hal yang bisa dianggap sebagai proses eksklusi terhadap partisipasi publik. E k sk l u si Publ ik d a l a m A l ok a si An g ga r a n Alokasi anggaran bisa dilihat dari dokumen Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) dan juga RKA-SKPD, dan Daftar Perincian Anggaran (DPA). Pertanyaanpertanyaan krusial dalam inklusi dan eksklusi APBD adalah apakah alokasi anggaran dalam dokumen-dokumen tersebut menggambarkan kebutuhan masyarakat? Karena kesulitan akses terhadap dokumen tersebut, dokumen ringkasan R APBD atau APBD seringkali digunakan oleh kelompok civil society untuk mengetahui eksklusi atau inklusi kepentingan masyarakat dalam anggaran publik. Kepentingan masyarakat dalam APBD berkaitan dengan apakah APBD memihak masyarakat miskin atau memihak aparatur. Selain persoalan alokasi untuk sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan, hal yang perlu dilihat adalah dalam sektor-sektor tersebut, siapa yang menjadi penerima manfaat (beneficiary)? Di sinilah pentingnya analisis anggaran yang tidak hanya melihat persentase alokasi anggaran per sektor tetapi sampai ke mana uang tersebut dibelanjakan. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
18 8 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
U paya Awal menuju A nggaran yang I nklusif
Aspek terpenting dari anggaran yang inklusif meliputi dua hal pokok dalam penyusunan anggaran yaitu terkait proses serta substansi/alokasi anggaran. Dua pokok masalah ini saling terkait satu sama lain karena substansi sangat dipengaruhi oleh proses dan proses tidak akan berarti jika keluar dari substansi. Proses anggaran biasanya dimulai dengan Musrenbang yang dilanjutkan dengan satu rangkaian kegiatan oleh Bappeda dan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD), yaitu mengompilasi hasil Musrenbang yang melibatkan seluruh SKPD. Hasil kompilasi Musrenbang ini disebut sebagai Rancangan Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Sementara itu, anggaran dikatakan inklusif apabila dari aspek proses cukup partisipatif, sehingga dari aspek substansi, alokasi belanjanya lebih banyak diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan warga, terutama yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, anggaran dikatakan buruk apabila terjadi gap yang sangat besar antara alokasi belanja tidak langsung dan alokasi belanja langsung. Pe n ga l a m a n Ma s y a r a k a t S ipil d a l a m Me n ga k se s D ok um e n A PBD Di Kabupaten Lamongan, persoalan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan No. 7 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat yang selanjutnya disebut Perda Kab. Lamongan 7/2005. Perda ini memberikan hak kepada setiap warga untuk memperoleh informasi terkait dengan kebijakan publik; dari proses perencanaan pembangunan, penyusunan produk hukum, rencana dan pelaksanaan kegiatan, pelayanan publik, agenda rapat DPRD, pertanggungjawaban kepala daerah, hingga berhak membantu melakukan pengawasan, serta monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik atau program pembangunan di daerah. Ha k untuk berpartisipa si dila kukan da la m bentuk memberikan saran, pertimbangan, masukan, dan himbauan terhadap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 189
Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), dan rencana perumusan kebijakan daerah yang menyangkut pungutan daerah, Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Namun demikian, sejauh ini akses publik terhadap dokumen RKPD, KUA PPAS, RKA-SKPD, R APBD, APBD dan DPA masih tetap menjadi masalah. Dalam kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat sipil bisa berteman dengan ketua BAPPEDA, dan anggota DPRD. Namun, jika terkait dengan permintaan untuk bisa mendapatkan dokumen APBD, mereka biasanya akan menghindar, tidak mau memberikan. Paradigma penguasa yang belum reformis sangat kuat sehingga cara-cara biasa untuk bisa mendapatkan dokumen-dokumen tersebut hampir menjadi suatu hal yang tidak mungkin. Penguasa belum memiliki pandangan bahwa dokumen APBD adalah dokumen publik yang bisa diakses oleh masyarakat. Cara lain yang biasanya ditempuh adalah dengan memiliki relasi pribadi dengan salah satu anggota DPRD yang membutuhkan bantuan teknis untuk membaca APBD. Hal ini mengingat bahwa masih banyak anggota DPRD yng memiliki kemampuan terbatas dalam menjalankan fungsi-fungsinya yakni fungsi agregasi (menyerap aspirasi masyarakat) untuk dibawa menjadi fungsi legislasi (membuat peraturan perundangan) dan fungsi budget (fungsi untuk menyusun dan mengalokasikan budget). Kesulitan-kesulitan tersebut membuat proses advokasi APBD yang lebih pro-poor, pro-masyarakat, serta efektif dan efisien mengalami keterlambatan. Analisis anggaran seharusnya dilakukan sebelum anggaran disahkan. Menurut jadwal yang ditetapkan dalam Permendagri 11/2006, APBD seharusnya disahkan pada sekitar bulan Desember, sehingga bisa diimplementasikan pada bulan Januari. Jika hal itu bisa dilakukan, maka idealnya bisa diusulkan realokasi untuk alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun demikian, dokumen ringkasan R APBD biasanya lebih mudah didapatkan, sedangkan yang paling sulit adalah dokumen RKA-SKPD dan dokumen Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (DPA-PPKD). A nalisis A PBD
Untuk menuju demokrasi anggaran publik, analisis anggaran yang dilakukan oleh masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Untuk Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
19 0 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
itu, selain ketersediaan informasi terhadap dokumen APBD juga diperlukan keterampilan mengalisis. Sejauh ini berkembang beberapa cara untuk menganalisis APBD. Jika dilihat dari pendekatannya, terd apat pendek at a n a k adem is d a n pendek at a n popu lis. Pendekatan akademis memfokuskan pada persoalan-persoalan pertanggungjawaban ilmiah secara metodologi serta mensyaratkan dokumen-dokumen yang lebih detail seperti RKA-SKPD dan DPA SKPD yang jarang sekali bisa diakses publik. Sedangkan analisis yang bersifat populis menekankan pada kesederhanaan metode agar data apapun yang tersedia bisa digunakan untuk menunjukan apakah APBD sudah pro-rakyat atau belum. Cara yang biasa digunakan untuk menganalisis APBD di Ngawi, Lamongan, dan Makasar adalah dengan membandingkan antara belanja langsung dan tidak langsung. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan . Belanja langsung dari suatu kegiatan terdiri dari belanja barang dan jasa serta belanja modal. Adapun belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung meliputi: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga (Permendagri 13/2006 pasal 36). An a l i si s A PBD Nga w i Dengan membandingkan belanja langsung dan tidak langsung tampak bahwa APBD Kabupaten Ngawi 2008 disusun tanpa memperhatikan proporsi keduanya. Menurut Pagar Madani (sebuah jaringan perkumpulan LSM lokal di Ngawi), APBD Kabupaten Ngawi tahun 2008 masih berpihak kepada aparatur karena jumlah belanja tidak langsung mencapai 61,61% dan belanja langsung kurang dari 39%. Alokasi belanja sektor pendidikan di Ngawi tahun 2008 mencapai hampir 40% dari total APBD.. Namun, dari jumlah tersebut alokasi jumlah biaya pendidikan yang sampai ke masyarakat hanya 6,51%. Angka ini didapatkan dari jumlah biaya langsung sektor pendidikan 47.249.926.168,63 dibagi jumlah belanja daerah 725.280.569.365,76 (Sumber: analisis R APBD Kabupaten Ngawi tahun 2008). Jika komponen gaji guru dan karyawan dinas pendidikan tidak Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 191
dimasukkan, maka alokasi sektor pendidikan dalam APBD Ngawi yang sampai kepada masyarakat hanya 6,51% tahun 2008, dan 4,83% pada tahun 2007. Sedangkan pada biaya langsung masih banyak terdapat biaya-biaya yang manfaatnya hanya dirasakan oleh aparat. Gambar 1. Perbandingan Belanja APBD Ngawi tahun 2008 Perbandingan Belanja APBD Ngawi 2008
BELANJA LANGSUNG, 278,454,770,611.61, 38%
BELANJA TIDAK LANGSUNG, 446,825,798,754.15, 62%
Sumber: Toyibah dkk 2008
Alokasi sektor kesehatan tahun 2007 masih 5,9 % dari total APBD. Jika dilacak, persentase alokasi anggaran yang diterima masyarakat hanya sebesar 2,5% dari belanja APBD. Tabel 1. Alokasi APBD Kab. Ngawi Sektor Pendidikan Uraian
Jmulah
Perbandingan dalam APBD
Belanja APBD 2008 Belanja DAERAH sektor Pendidikan tahun 2008 non aparatur Belanja APBD 2007 Belanja DAERAH sektor Pendidikan tahun 2007 non aparatur
725,280,569,365.76 47,249,926,168.63
6.51%
588,238,249,732.29 28,409,442,300.00
4.83%
Sumber: Analisis APBD oleh Pagar Madani, Maret 2008 dalam Toyibah 2008
Adapun alokasi sektor pertanian dalam APBD 2007 hanya 1,8 % dari jumlah APBD. Jumlah alokasi Rp 10,3 milyar ini lebih rendah daripada APBD tahun 2005 sebesar Rp 15,5 milyar, meskipun visi bupati melalui RPJMD adalah mewujudkan Kabupaten Ngawi yang unggul di bidang agraris.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
19 2 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
Tabel 2. Perbandingan Belanja Sektor Kesehatan dengan Total APBD 2007 yang Diterima Masyarakat Alokasi Belanja untuk Masyarakat Sektor Kesehatan dalam APBD Ngawi 2007 Belanja APBD Belanja untuk masyarakat langsung (belanja modal plus belanja barang & jasa)
Jumlah 588,238,249,732.29 14,866,713,157.00
Persentase 100% 2.5%
Sumber: Hasil Analisis APBD oleh Pagar Madani, Maret 2008 (Toyibah, 2008)
Kecilnya alokasi anggaran sektor pertanian kemungkinan terkait dengan Permendagri 13/2006 yang menempatkan pertanian sebagai urusan pilihan saja. Sementara di sisi lain, sebagian besar masyarakat Ngawi berprofesi sebagai petani. Visi bupati terpilih juga menjadikan Ngawi sebagai daerah yang agraris dan agamis. Hal ini sangat menarik karena ada inkonsistensi antara problem di masyarakat, visi bupati, dan peraturan yang ada. An a l i si s A PBD L a m on ga n Jaringan Masyarakat Lamongan (JAMAL) melakukan analisis dengan membandingkan APBD-P 2007 dan APBD 2008. Lamongan merupakan salah satu dari tiga kabupaten yang pertama kali memiliki perda yang mangatur transparansi. Keberadaan kelompok masyarakat sipil yang melakukan upaya partisipasi dalam APBD ini sudah cukup lama. Pejabat di lingkungan Pemda Lamongan juga sudah mafhum akan tuntutan partisipasi dalam anggaran. Munculnya perda itu menjadi indikator kemajuan Lamongan dalam menangkap wacana partisipasi dalam anggaran dibandingkan dengan Ngawi atau daerah lainnya. Pertanyaan mendasar adalah apakah kemajuan menangkap wacana partisipasi anggaran sejalan dengan munculnya APBD yang memihak masyarakat miskin? Jika dilihat dari ringkasan APBD saja, persentase antara belanja aparatur/belanja tidak langsung dan belanja belanja publik/belanja langsung nampak cukup seimbang. Namun demikian, analisis dari Jaringan Masyarakat Lamongan masih menunjukan adanya indikasi inefisiensi. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan anggaran Dinas Kesehatan (Dinkes) sebesar Rp 6 milyar pada tahun 2007 (dari Rp 42 milyar pada 2006 menjadi sebesar Rp 48 milyar pada 2007). Kenaikan yang cukup signifikan ternyata tidak dibarengi dengan alokasi dana yang efektif. Hal ini karena sebelumnya untuk Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 193
mendapatkan investasi dari Bank Dunia dalam program P2TPD sebesar Rp 6 milyar dilakukan persiapan selama tiga tahun (2002– 2005) dengan prasyarat harus membuat dokumen Strategi Rencana Tindak Pengurangan Kemiskinan (SRTPK). Sedangkan kenaikan anggaran Dinkes menurut aktifis JAMAL terjadi tanpa usaha dan prasyarat yang ketat bisa langsung mendapat tambahan Rp 6 milyar. Dari anggaran Rp 48 milyar tersebut, sekitar Rp 31,1 milyar atau 65% dialokasikan untuk pegawai/birokrasi. Nampak bahwa dalam setiap program untuk masyarakat selalu terdapat komponen transport, ATK, dan perjalanan dinas yang jumlahnya cukup signifikan, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 3. Analisis Alokasi Anggaran Dinas Kesehatan Kab.Lamongan Tahun 2008 Program Imunisasi Pencegahan penyakit menular Penyusunan standar pelayanan Pertolongan persalinan ibu dari keluarga tidak mampu
Anggaran 60 juta 120 juta 25 juta 37 juta
Belanja Untuk Pegawai 30 juta 92 juta (perjalanan dinas, ATK, dll) 24 juta (honor, perjalanan dinas, dll) 35 juta (honor, cetak, transportasi)
Sumber: Analisis JAMAL berdasarkan RKA-SKPD 2008 dalam Toyibah 2008
An a l i si s A PBD Ma k a sa r Kecenderungan yang sama terjadi pula pada APBD Makasar tahun 2009 dengan biaya tidak langsung yang cukup besar, sebagaimana muncul dari analisis KOPEL (sebuah kelompok masyarakat sipil di Makasar). Tahun 2009, Pemerintah Kota Makasar memprogramkan kesehatan gratis sebanyak Rp 17.410.875.996,00. Anggaran sebesar ini tersebar ke seluruh kecamatan di 37 PKM (Pusat Kesehatan Masyarakat) Kota Makasar pada pos biaya operasional dan pemeliharaan kesehatan gratis. Belanja kesehatan gratis tersebut, setelah ditelusuri dari dokumen RAPBD menunjukan proporsi yang tidak seimbang antara dana yang dialokasikan bagi masyarakat miskin dengan dana yang dialokasikan untuk belanja tidak langsung yakni meliputi belanja pakaian dinas, belanja bahan bangunan, dan belanja honorarium pelaksana kegiatan.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
19 4 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
Tabel 4. Komponen Belanja Program Kesehatan Gratis Komponen Belanja Kesehatan Gratis Belanja pakaian dinas Belanja bahan bangunan Belanja honorarium pelaksana kegiatan Belanja obat obatan Lainnya Total Anggaran
Jumlah Anggaran 436,650,000.00 488,509,109.00 7,268,455,620.00 1,964,419,854.00 7,252,841,413.00 17,410,875,996.00
Sumber: Hasil Analisis RAPBD 2009 Kota Makassar yang dilakukan oleh KOPEL
Demokrasi R epresentatif vs Demokrasi Partisipatif dalam A nggaran
Salah satu persoalan penting menuju inklusifitas anggaran adalah keterlibatan masyarakat sipil dalam proses penganggaran. Hal itu tidak cukup dengan keterlibatan pada proses Musrenbang dan forum SKPD tetapi juga pada ketersediaan dokumen anggaran mulai dari RKPD, RKA-SKPD, RAPBD, APBD, dan DPA. Dokumendokumen tersebut adalah ‘harta karun’ untuk membuka tabir rahasia siapa penerima anggaran. Sejauh ini, pendekatan kelembagaan dan sistem yang memungkinkan dokumen anggaran dibuka untuk publik masih menemui banyak hambatan. Selama ini, pemerintah berpegang teguh pada pemikiran bahwa dokumen anggaran merupakan rahasia negara, sehingga tidak dibenarkan ada intervensi dari pihak lain. Dalam hal ini, terdapat empat model partisipasi dalam demokrasi sebagaimana dijelaskan oleh Myra Marx Ferree dkk. (2002) yakni: (a) siapa saja yang harus berpartisipasi? (b) bagaimana seharusnya bentuk dan isi dari public discourse? (c) bagaimana para aktor berkomunikasi satu sama lain? (d) apa hasil yang diharapkan jika prosesnya sudah berjalan sebagaimana seharusnya? Pertama, representative liberal theory yang menganggap otoritas tertinggi dalam masyarakat adalah warga negara (citizenry). Warga negara membutuhkan pembuat kebijakan yang bertanggung jawab terhadap mereka, tetapi tidak butuh berpartisipasi langsung. Kehidupan publik akan menjadi lebih baik tanpa partisipasi masyarakat karena mereka hanya mendapatkan sedikit informasi tentang masalah-masalah publik dan tidak memiliki perhatian serius. Mereka cukup berpartisipasi dalam memilih pemimpin secara periodik. Partisipasi dalam masalah kebijakan publik merupakan tanggung jawab partai politik semata. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 195
Kedua, participatory liberal theory yang menganggap penting memaksimalkan partisipasi warga negara dalam pembuatan keputusan publik yang memberi dampak dalam kehidupan mereka. Karena itu, warga harus menjadi partisipan aktif dalam public sphere sebagaimana dinyatakan Paul Hirst sebagai “associative democracy” dan Benjamin Barber menyebutnya sebagai “strong democracy”. Namun demikian, tidak mungkin semua warga bisa memberikan seluruh waktunya untuk mendiskusikan masalah publik secara langsung. Menurut teori ini, harus ada delegasi/perantara yang mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan warga dalam public sphere. Delegasi tersebut adalah organisasi-organisasi yang memiliki anggota yang berpartisipasi secara aktif dan kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap anggota. Ketiga, discursive theory. Model ini agak mirip dengan participatory liberal theory, terutama dalam hal keterlibatan seluruh masyarakat (popular inclusion), tetapi proses yang digagas bersifat deliberative. Popular inclusion tidak semata-mata sebagai tujuan, tetapi merupakan alat untuk discourse yang bersifat rasional. Teori ini merujuk pada pemikiran Jurgen Habermas yang menganggap wajar ketika keputusan masalah publik yang rutin hanya melibatkan politik pusat (political center) seperti pejabat pemerintah, parlemen, pengadilan, dan partai politik. Dalam beberapa persoalan, Habermas menganggap penting keterlibatan aktor dari politik pinggiran (periphery) yang terdiri dari civil society dan organisasi di tingkat grassroot. Teori ini juga mengacu pada pemikiran C. Wright Mills, Amy Gutman Dennis Thompsons dan Amitai Etzioni yang juga menganggap penting apa yang disebut dengan proses deliberatif yakni sebuah discourse (dialog) yang rasional dan beradab dengan mengedepankan argumen yang valid tanpa harus membedakan siapa yang mengusulkan opini tersebut. Seluruh peserta dialog tidak boleh menganggap ada pihak yang pasti benar atau ada pihak yang pasti salah. Keempat, constructivist theory yang lebih bersifat kritis terhadap gagasan-gagasan sebelumnya terutama terhadap discursive theory. Model ini berakar dari pemikiran Michael Foucault, Nancy Fraser, Seyla Benhabib, Iris Marion Young yang memulai premis dan membangun teori sebagai kritik terhadap marginalisasi perempuan dalam politik. Teori ini jelas menolak konsep expertise dan menganggap penting keterlibatan semua pihak meskipun pemikiran Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
19 6 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
individu bersifat privat. Prinsip yang dikedepankan adalah prinsip inklusi dan pengakuan (recognition) terhadap standpoint yang berbeda dari para aktor (yang terlibat dalam public sphere). Mereka menolak pemisahan antara privat dan publik. Hal-hal yang privat seperti apa yang dibeli, dimakan, dipakai, atau yang digunakan dalam perjalanan adalah persoalan privat dan pilihan politik sekaligus. Constructivist theory menolak deliberation dan juga argumen formal dalam diskursus. Mereka menganggap penting halaman belakang (backyard politics). Mereka menganggap penting bentuk-bentuk nonexpert dalam politik karena pendapat kelompok yang tidak mampu membuat argumen secara rasional juga perlu didengarkan. Mereka menolak gagasan public sphere yang hanya melibatkan institusi formal seperti parlemen atau pengadilan. Sebaliknya, discourse publik harus bersifat seinklusif mungkin dengan melibatkan semua pihak. penutup
Cara pandang aparat pemerintah yang mempertahankan ketertutupan anggaran menunjukan bahwa kecenderungan model representative liberal theory masih tinggi. Namun demikian, kehidupan publik tidak menjadi lebih baik dengan minimnya partisipasi masyarakat. Dengan dokumen yang tersedia, nampak pada APBD 2007-2009 masih terdapat kecenderungan eksklusi sosial yang diakibatkan oleh APBD yang hanya berpihak kepada aparat pemerintah. Dari sini sangat masuk akal jika kemudian berkembang suatu prejudice bahwa akar persoalan bukan pada rahasia negara atau kekhawatiran untuk diintervensi oleh pihak-pihak asing. Alasan tersebut hanya untuk menutupi agenda tersembunyi memasukkan kepentingan-kepentingan aparat pemerintah untuk masuk dalam alokasi anggaran. Oleh karena itu, sangat wajar jika penyusunan APBD menjadi salah satu modus operandi korupsi autogenic, yaitu korupsi yang dilakukan dengan didasarkan pada proses yang legal untuk melakukan penyelewengan wewenang kekuasaan untuk kepentingan aparat dengan merugikan kepentingan masyarakat. Sementara itu, upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil masih dalam batasan mendemistifikasi dokumen-dokumen APBD untuk memberikan informasi bahwa terdapat indikasi proses dan alokasi anggaran yang merugikan kepentingan masyarakat. Upaya ini merupakan langkah awal untuk menunjukkan bahwa menjadikan Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 19 7
dokumen anggaran semata-mata sebagai rahasia negara yang tidak bisa diakses oleh publik sebenarnya merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Dengan proses ini muncul sebuah pertanyaan, sejauh mana masyarakat sipil bisa mengintervensi proses pembuatan kebijakan anggaran? Apakah anggaran hanya bisa diintervensi oleh DPRD dan pemerintah? Sejauh ini gerakan masyarakat sipil, meskipun berupaya untuk menyuarakan persoalan tersebut melalui public hearing dengan anggota DPRD dan media massa, masih menunjukan hasil yang belum maksimal. Namun demikian, upaya tersebut menjadi sebuah langkah yang positif untuk pendidikan politik warga, juga bagian dari partisipasi politik yang bersifat kritis. Tidak bisa dinafikan bahwa masih dibutuhkan strategi lain untuk mencapai tujuan anggaran yang demokrastis secara proses dan efektif secara hasil. Harus disadari bahwa partisipasi sebagai bentuk keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan publik, bukanlah hal yang bisa bersifat instan. Banyak hal diperlukan untuk menumbuhkan partisipasi seperti proses penyadaran, pengorganisasian, inisiasi dan fasilitasi ruang-ruang publik. Selain itu, praktik partisipasi juga membutuhkan warga negara yang aktif (active citizen), melalui proses pengorganisasian dan pendampingan yang bersifat terus menerus, ada keinginan politik (political will), dan kesadaran politik (political awareness) dari institusi pemerintahan. Konsep partisipasi kewargaan juga membalik paradigma yang melihat warga sebagai pihak “yang harus diatur/diperintah”. Sebagai pihak yang diperintah, warga negara yang baik diharapkan dapat mematuhi peraturan dan memenuhi kewajibannya baik kepada warga negara lain maupun kepada “pihak yang mengatur/memerintah”. Sebaliknya, pihak yang memerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga. Asumsi ini ternyata tidak berjalan dengan baik. Tanpa ada partisipasi masyarakat, sangat jarang pemerintah bisa menjalankan kewajibannya. Sebaliknya pemerintah seringkali memonopoli mandat yang diberikan kepadanya dan cenderung korup. Dalam konteks tiga daerah studi ini, masih jarang ditemukan pemikiran dari aparat pemerintah bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan kebutuhan pemerintah. Jika partisipasi masyarakat terjadi, seharusnya pemerintah akan diuntungkan karena pembuatan dokumen anggaran menjadi lebih bersifat bottom up dan Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
19 8 |
DZUR IYATUN TOY IBAH
diharapkan akan bisa berkontribusi secara maksimal terhadap pemecahan masalah-masalah di daerah bersangkutan. Daftar Pustaka
Bahagijo, Sugeng dan Rusdi Tagaroa ed. 2005. Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa Byrne, David. 2005. Social Exclusion. England, Open University Press. Break, Fridolin et.al. 2006. Kumpulan Modul Pendidikan Politik Anggaran Bagi Warga, Bandung: BIGS dan TIFA Foundation Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2003. UndangUndang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. ------. 2004a. Undang-Undang No. 10 Ta hun 20 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. ------. 2004b. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. ------. 2004c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ferree, Myra Marx et.al. 2002. “Four Models of Public Sphere in Modern Democracies.” Journal Theory and Society Vol. 31 No. 3. Farhan, Yuna et.al. 2007. Memfasilitasi Konsultasi Publik: Refleksi Pengalaman Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Jakarta: Kemitraan Partnership. Farhan, Yuna. 2008. “Memetakan Perubahan Regulasi Keuangan Daerah.” Makalah dipresentasikan dalam diskusi publik Implikasi Revisi Kebijakan Keuangan Daerah, diselenggarakan oleh The Asia Foundation dan CIDA. Fozzard, Adrian. 2001. “The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resource Allocation in The Public Sector and Their Implication for Pro Poor Budgeting.” CAPE-ODI Working Paper 147.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199
EKSLUSI SOSI A L DAN ANGGAR AN PUBLIK
| 19 9
Jaringan Masyarakat Lamongan. 2008. “Analisis RKA-SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan tahun 2008.” Dokumen tidak dipublikasikan. KOPEL Makasar. 2009. “Hasil Analisis APBD Kota Makasar tahun 2009.” Dokumen tidak dipublikasikan. Khadafi, Ucok Sky dan Sucipto Yenny. 2006. Membangun Gerakan Pro-Poor Budget. Jakarta: Seknas FITRA DFID, TAF. DPRD Kabupaten Ngawi. 2007. RAPBD Ngawi tahun 2007 DPRD Kabupaten Lamongan. 2008. RAPBD Lamongan tahun 2008 DPRD Kabupaten Makasar. 2009. RAPBD Makasar tahun 2009 Masturi, Sri. 2007. Anggaran Responsif Gender, Konsep dan Aplikasi. Jakarta: CIBA, TAF, CIDA. Pagar Madani. 2008. “Hasil analisis APBD Ngawi.” Dokumen tidak dipublikasikan. Rodger, Gerry. 1995. Social Exclusion: Rhetoric Reality Responses, A Contribution To the World Summit For Social Development. International Labour Organization. Suhirman. 2006. “Perencanaan dan Penganggaran Yang ProPoor.” Hlm. 111-120 dalam Modul Participatory Budgeting and Expenditure Tracking (PBET) Fase 1 dan 2, diedit oleh Amir, Islamil, et.al. Bandung: FPPM, NDI, BIGS. Sen, Amartya. 2000. Social Exclusion: Concept Application and Scrutiny. Manila, Philippines: the Asian Development Bank. Santos, S.B. 1998. Participatory Budgeting in Porto Alegre: Toward A Redestributive Democracy. Diakses 3 Maret 2011 (http://www. archonfung.net/docs/pal218/SantosPortoAlegre.pdf) Taket, Ann et.al. 2005. Theorising Social Exclusion. London and New York: Routledge. Toyibah, Dzuriyatun, et.al. 2008. Merebut Anggaran Publik: Jalan Panjang Demokratisasi Penganggaran Daerah. Jakarta: PP Lakpesdam NU dan NDI. Waidl, Abdul, Sakri, Diding, Farhan, dan Yuna. 2009. Anggaran Pro-Kaum Miskin Sebuah Upaya Menyejahterakan Kaum Miskin. Jakarta: Prakarsa dan LP3ES.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 181-199