UI : Universitas Inklusif? Sebuah Studi tentang Proses Eksklusi Mahasiswa Disabled di Dunia Pendidikan
Leonella Petrina Massardi
Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
[email protected], Himpunan Mahasiswa Sosiologi UI
Abstrak Kajian ini melihat terjadinya eksklusi sosial terhadap mahasiswa disabled di Universitas Indonesia dalam aspek fisik (infrastruktur) dan sosial, serta melihat mengapa proses eksklusi sosial tersebut terjadi. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara mendalam, serta studi data sekunder. Hasil studi ini menunjukkan bahwa yang terjadi di Universitas Indonesia adalah gradasi eksklusifitas antara kondisi fisik infrastruktur yang belum aksesibel dengan kondisi lingkungan sosial penyandang disabilitas yang sudah inklusif. Gradasi ini jika dilihat terjadi dalam level yang berlapis yaitu,mikro,meso,exo, dan makro, dan lebih disebabkan karena kebijakan yang ada masih cenderung eksklusif. Di dalam proses gradasi ini ditemukan pula diskoneksivitas antara level makro – exo dengan meso – mikro di mana hal tersebut terjadi karena adanya kultur yang berbeda. Pada level mikro dan meso, kultur yang terbangun sudah menunjukkan inklusifitas dilihat dari adanya keterbukaan dan kepekaan terhadap disabled. Kultur ini membantu disabled menghadapi kondisi fisik (infrastruktur) yang belum aksesibel. Namun kultur yang inklusif ini belum terinstitusionalisasi atau belum terstruktur sehingga diperlukan adanya kulturisasi struktur yang eksklusif agar menjadi inklusif.
UI : Inclusive University? A Study about Exclusion Process of Disabled People in Educational Sector Abstract This thesis try to explain the process of social exclusion of the disabled students in University of Indonesia as a tertiary education institution, especially in the physical (infrastructure) and social aspects. Besides, it sees why the process of social exclusion happens to the disabled. This study using a qualitative approach, and the data collection techniques are observation, in-depth interview, and study of secondary data. This study argues that what happens in University of Indonesia is a gradation of exclusivity between the inacessible infrastructure condition for disabled people and the inclusive social environment. This gradation works in a multi-level environment, namely, micro, meso, exo, and macro, and is mainly due to existing policies that still tend to be exclusive for disabled. The gradation can be seen from disconectivity between the culture of macro - exo level and meso – mikro level. At the micro –
1 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
meso level, the inclusive culture can be found from a social environment that is open and responsive to disabled needs. It helps disabled students facing the inaccessible infrastructures as a product of exclusive regulation from macro – exo level . As the conclusion, culturing the exclusive structure to be an inclusive ones is needed. Keywords: social exclusion, disabled people, educational sector, gradation, culture
PENDAHULUAN Penyandang disabilitas atau yang dalam tulisan ini disebut sebagai disabled people merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak seperti hak akan pekerjaan yang layak, mengemukakan pendapat, berpartisipasi dalam kehidupan politik, termasuk juga hak akan pendidikan. Secara lebih lanjut, hak tersebut diatur dan dilindungi oleh undang-undang. Pengertian disabled people sendiri dalam tulisan ini mengacu pada definisi menurut Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disabilities) yaitu mereka yang mengalami gangguan jangka panjang dalam hal fisik,mental, intelektual atau sensorik yang dalam melakukan interaksi mengalami hambatan sehingga dapat menghalangi mereka untuk berpartisipasi penuh di masyarakat atas dasar kesetaraan. Hambatan atau keterbatasan ini lebih disebabkan oleh sikap dan anggapan dibanding kondisi yang obyektif. Dinyatakan dalam Preambel (butir e) Convention on the Rights of Person with Disabilities yang ditandatangani pemerintah Indonesia tanggal 30 Maret 2007 : Recognizing that disability is an evolving concept and that disability results from the interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers that hinders their full and effective participation in society on an equal basis with others.
Mengacu dari definisi tersebut ditemukan bahwa pemahaman akan disability telah bergeser dari medical model ke social model,yaitu yang melihat hanya kepada kondisi fisik seseorang sekarang menjadi sebuah hasil dari dua hal, yakni keterbatasan fisik (impairment) yang dimiliki seseorang dan hambatan (barriers) yang dibebankan orang lain kepada orang yang memiliki keterbatasan fisik tersebut. Adanya muatan berperspektif sosial ini sangat relevan dengan topik yang dibahas dalam penelitian ini, sehingga hal tersebut menjadi dasar mengapa definisi menurut CRPD ini dipilih. Selain itu, dengan definisi tersebut diharapkan penelitian ini dapat menangkap fenomena sosial yang dialami disabled dalam kerangka analisis secara sosial sehingga hasilnya nanti dapat lebih kritis dan komprehensif. 2 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Disabled di Indonesia sendiri hingga saat ini belum dapat diketahui jumlah pastinya. Data tentang jumlah disabled people di Indonesia tergambar dalam beberapa versi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya perbedaan dalam mendefinisikan siapa yang termasuk ke dalam kategori disabled people atau penyandang disabilitas. Kementerian Sosial memperkirakan populasi disabled Indonesia 3,11% dari jumlah penduduk Indonesia, sedangkan data Kementerian Kesehatan mengatakan jumlahnya mencapai 6%. Perhitungan ini menurut informasi dari kemsos.go.id diperoleh dari random survey yang dilakukan oleh Departemen Sosial RI tahun 1978. Data Sensus Penduduk Tahun 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik dalam bps.go.id , menjelaskan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang memiliki kesulitan, baik ringan maupun parah, dengan jenis kesulitan penglihatan sebesar 3,05 persen, kesulitan pendengaran sebesar 1,58 persen, kesulitan berjalan atau naik tangga sebesar 1,62 persen, kesulitan mengingat/berkonsentrasi atau berkomunikasi dengan orang lain sebesar 1,44 persen, dan yang memiliki kesulitan mengurus diri sendiri sebesar 1,07 persen. Namun demikian dinyatakan pula dalam sumber tersebut bahwa hasil Sensus Penduduk 2010 tidak dapat digunakan untuk mengetahui jumlah penyandang disabilitas karena perbedaan konsep dan definisi antara Sensus Penduduk 2010 dan Kementerian Sosial. Pendekatan tingkat kesulitan yang dialami oleh penduduk digunakan sebagai proksi mendapatkan informasi penyandang disabilitas. Sementara itu, rekapitulasi data penyandang masalah kesejahteraan sosial tahun 20082010 yang di dalamnya memuat data penyandang cacat menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun seperti ditampilkan berikut : Tabel 1 Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Jenis Penyandang Cacat Tingkat Nasional Tahun 2008-2010
Jumlah Penyandang Cacat Tahun (dalam satuan jiwa) 2008
1.544.185
2009
1.541.942
3 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
2010
2.126.785
Sumber : Depsos, Rekapitulasi Data PMKS Tahun 2008-2010 Berkaitan dengan hak akan pendidikan, hak disabled diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (2), yaitu “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperolah pendidikan khusus”. Ketentuan ini merujuk pada lembaga pendidikan khusus dalam bentuk sekolah luar biasa sebagai sarana pendidikan bagi kaum penyandang cacat atau disabled. Hal ini menurut Daming (2011 : 11) dilakukan pemerintah karena penyandang cacat dalam masyarakat kerap dilekati oleh kesulitan berat untuk berintegrasi di sekolah umum. Namun nampaknya kebutuhan dan partisipasi disabled people akan pendidikan ini tetap belum dapat terakomodasi secara optimal terlihat dari data tentang perkembangan sekolah/lembaga menurut jenjang pendidikan tahun 2001/2002- 2005/2006 diketahui bahwa jumlah sekolah luar biasa kurang dari 1% dari sekolah biasa/regular (Irwanto, 2012). Selain itu, jumlah siswa-siswi anak penyandang disabilitas di SD dan SLTP tahun 2007/2008 menurun drastis berdasarkan jenis kelaminnya. Di jenjang SD, jumlah siswi perempuan penyandang disabilitas yang bersekolah sebanyak 20.825 sementara laki-laki 26.978. sedangkan pada jenjang SMP, menurun drastis yaitu 4.571 untuk perempuan dan 5.898 untuk laki-laki. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin sedikit partisipasinya. Data tersebut hadir dimungkinkan karena masih adanya berbagai hal yang menghambat partisipasi disabled people untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. Dengan kata lain disabled people dimungkinkan masih mengalami eksklusi sehingga tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam bidang pendidikan. Namun demikian, berdasarkan hasil observasi penulis, ditemukan disabled people yang dapat mengenyam pendidikan hingga ke jenjang pendidikan tinggi, bahkan di institusi pendidikan bukan khusus atau disebut reguler, salah satunya di Universitas Indonesia. Apabila berkaca dari data partisipasi disabled dalam pendidikan yang tersaji sebelumnya, hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena disabled yang mengenyam pendidikan tinggi di institusi pendidikan tinggi reguler tersebut seolah menyangkal data yang disajikan sebelumnya karena nampaknya mereka justru mendapat akses sehingga dapat berpartisipasi di sekolah yang bukan khusus dan bahkan 4 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
hingga jenjang pendidikan tinggi. Namun demikian, ini belum tentu berarti bahwa mereka terlepas dari pengalaman negatif dalam arti dimungkinkan juga mereka masih mengalami hambatan atau eksklusi dalam mengenyam pendidikannya di Universitas Indonesia mengingat Universitas Indonesia sendiri bukan institusi pendidikan tinggi khusus yang dirancang khusus bagi disabled sehingga secara fisik belum dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas khusus bagi disabled dan secara sosial belum memiliki sumber daya manusia yang terlatih untuk berinteraksi dan peka terhadap kebutuhan disabled seperti yang dapat ditemukan di sekolah khusus. Oleh karenanya, penelitian ini ingin melihat : a)
Bagaimanakah proses eksklusi sosial dalam aspek fisik dan sosial yang dialami mahasiswa penyandang disabilitas/ disabled di Universitas Indonesia?
b)
Mengapa terjadi eksklusi sosial dalam aspek fisik dan sosial terhadap mahasiswa penyandang disabilitas/disabled di Universitas Indonesia? Studi ini menjadi penting melihat hasil kajian sebelumnya ditemukan bahwa disabled
people cenderung mengalami eksklusi sosial. Pete Alcock (dalam Holborn dan Haralombos, 2004) menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan Towsend menunjukkan bahwa disabled people kemungkinan besar mengalami kemiskinan yang pada akhirnya berkaitan dengan eksklusi. Dinyatakan Alcock bahwa disabled cenderung memiliki tempat tinggal yang tidak layak, waktu luang dan kesempatan berlibur yang lebih sedikit serta tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Alcock berpendapat bahwa partisipasi yang terbatas tersebut karena kemampuan mobilitas yang kurang atau adanya deprivasi sensorik yang menyebabkan kualitas hidup disabled people seringkali kurang bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki disabilitas. Apabila dikaitkan dengan definisi disabled menurut CRPD, maka keterbatasan atau ketidakmampuan disabled people yang digambarkan Alcock tersebut bukanlah konsekuensi langsung dari kondisi fisikmya yang mengalami gangguan (impairment) namun ada kontribusi dari lingkungan sosial yang menciptakan hambatan, misalnya kurangnya kebijakan yang mengatur tentang infrastruktur dan fasilitas yang aksesibel sehingga orang-orang yang mengalami gangguan gerak tidak dapat melakukan mobilitas secara mandiri. Dengan kata lain, keterbatasan dan eksklusi yang dialami disabled dapat dikarenakan kebijakan yang belum mengakomodasi kebutuhan disabled. Kebijakan dapat menjadi celah terjadinya eksklusi atau justru kebijakan itu sendiri yang mengeksklusi. 5 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Penjelasan mengenai hal ini juga ditemukan dalam artikel-artikel Jurnal Perempuan edisi 69 berjudul ”Seberapa Jauh Tanggung Jawab Negara?” yang khusus membahas isu disabilitas, menunjukkan bahwa kebijakan yang ada di Indonesia yang mengatur tentang hak penyandang disabilitas sudah cukup banyak, namun implementasinya sangat buruk. Secara lebih lanjut dinyatakan bahwa kebijakan yang sudah banyak itu tidak juga berarti sudah ideal karena masih terdapat ketidakadilan dan diskriminasi yang apabila dilihat dari sudut pandang Konvensi PBB tentang hak penyandang cacat hal tersebut bukanlah konsekuensi langsung dari kondisi kecacatan mereka namun juga akibat kebijakan-kebijakan, undang-undang dan praktek yang mencerminkan asumsi-asumsi masyarakat mengenai penyandang cacat. Implikasinya masih banyak ditemukan disabled di Indonesia yang mengalami eksklusi dalam hal pekerjaan, perkawinan dan juga politik karena kebijakan yang ada justru mengeksklusi. Kajian di atas semuanya sangat berkaitan dalam memberikan penjelasan bahwa disabled cenderung mengalami eksklusi sosial yang lebih disebabkan karena kebijakan. Dalam hal ini, tulisan ini juga memberikan penjelasan yang memperkuat apa yang dikemukakan kajian sebelumnya. namun kajian tersebut hanya memberikan penjelasan secara makro dan kurang dalam melihat fenomena eksklusi itu sendiri sebagai sebuah proses. Melalui penelitian ini, eksklusi coba dijelaskan dalam tataran yang lebih komprehensif yaitu dalam beberapa level lingkungan sosial, yakni mikro – meso – exo – hingga makro. Selain itu eksklusi dijelaskan dalam sebuah gambaran proses yang cukup kompleks karena kondisi eksklusi yang dialami disabled di UI bukanlah proses sosial yang tunggal namun memiliki variasi kekuatan yang berbeda-beda di tiap level lingkungan sosial. Kondisi tersebut dalam tulisan ini disebut sebagai proses gradasi eksklusi. Gradasi tersebut terjadi karena eksklusi yang lebih disebabkan oleh struktur yang masih mengeksklusi ini ternyata berhadapan dengan kultur sekitar mahasiswa yang ternyata sudah cukup inklusif. Diskoneksivitas antara keduanya ini belum dibahas oleh studi sebelumnya dan menjadi menarik dibahas dalam tulisan ini.
METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan ini menggunakan pendekatan kualitiatif. Teknik pengumpulan data adalah dengan melakukan observasi dan wawancara mendalam, serta studi data sekunder. Subjek penelitian atau yang disebut informan berjumlah 7 orang dengan informan utama yaitu 6 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
mahasiswa disabled di UI sebanyak 4 orang dan 3 orang lainnya merupakan pengambil kebijakan sekaligus orang yang dekat dengan mahasiswa disabled yang menjadi informan. Penentuan informan penelitian menggunakan purposive sampling untuk mendapatkan informasi mendalam dari informan mahasiswa yang menyandang disabilitas dengan jenis tuna daksa dan tuna netra dari dua fakultas tertentu di Universitas Indonesia. Pemilihan informan dilakukan dengan pertimbangan beberapa kriteria, yaitu : a) Informan merupakan mahasiswa UI yang pada tahun 2012-2013 masih terhitung aktif mengenyam pendidikan di UI dan menyandang disabilitas dengan jenis tuna netra atau tuna daksa. Khusus bagi informan mahasiswa disabled, setelah dilakukan listing dan obervasi awal di fakultas-fakultas di Universitas Indonesia yang memiliki mahasiswa penyandang disabilitas, dipilih masing-masing 1 mahasiswa tuna daksa dan 1 mahasiswa tuna netra dari Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) b) Pembuat kebijakan di Universitas Indonesia, merupakan pihak yang mengetahui tentang isu pendidikan inklusif di UI terutama berkaitan dengan aspek infrastruktur UI c) Informan tambahan adalah mereka yang dekat dengan kehidupan mahasiswa penyandang disabilitas di UI, seperti teman dekat, atau pembimbing akademik mahasiswa disabled di UI yang dapat memberikan informasi mengenai aspek fisik maupun sosial terkait isu eksklusi mahasiswa disabled di UI. Lokasi penelitian dilakukan di Universitas Indonesia dengan memfokuskan pada dua fakultas yaitu fakultas Psikologi dan FIB karena Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-lah yang memiliki mahasiswa disabled dengan jenis disabilitas tuna daksa dan tuna netra serta mewakili kondisi fakultas yang cukup inklusif dan belum inklusif di UI. Selain itu lokasi penelitian juga termasuk perpustakaan pusat Universitas Indonesia dan PPMT (Pusat Pelayanan Mahasiswa Terpadu) yang merupakan penyedia layanan umum bagi mahasiswa UI.
KERANGKA KONSEP Dalam tulisan ini, pengertian yang diacu mengenai Eksklusi Sosial adalah pengertian menurut Madanipour et al (dalam Byrne 2005) adalah sebuah proses multidimensional dimana berbagai bentuk eksklusi bercampur, antara lain dalam hal partisipasi dalam pembuatan 7 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
keputusan, proses politik, akses terhadap pekerjaan dan sumberdaya material, dan kemampuan berintegrasi ke dalam proses-proses kultural masyarakat. Pierson (2002) sendiri dalam bukunya menyatakan ada 5 komponen yang mendorong terciptanya eksklusi, 3 diantaranya relevan dengan temuan data dalam penelitian ini, yaitu masalah networking, neighbourhood, dan social services. Sementara itu,untuk dapat menjelaskan mengapa eksklusi tersebut dapat terjadi, maka akan dijelaskan pemikiran Byrne (2005) yang menyatakan bahwa eksklusi muncul dari proses formasi ideologi, argumentasi politis, dan analisis sosial yang saling bercampur, atau dalam istilah Byrne merupakan percampuran antara Ideology formation, political argument, dan social analysis. Sementara pertanyaan tentang bagaimana eksklusi sosial tersebut terjadi, akan dianalisis menggunakan salah satu pendekatan dalam mengatasi eksklusi sosial yang dikemukakan Bronfenbrenner yang dikutip Pierson (2002), yaitu An Ecological Approach atau disebut Pendekatan Ekologi. Pendekatan ini menyediakan cara pandang yang holistik dalam melihat koneksi atau keterkaitan antara keluarga, neighbourhoods, dan masyarakat serta bagaimana setiap level tersebut dipengaruhi oleh level lain yang lebih besar (Bronfenbrenner dalam Pierson 2002 : 26). Bronfenbrenner (1979) melihat lingkungan individual sebagai seperangkat struktur yang bersarang di dalam struktur yang lebih besar, seperti dinyatakannya berikut ,”The ecological environment is conceived as a set of nested structures, each inside the next”. Menurut Bronfenbrenner (1979) individu berkembang di dalam: a. Sistem Mikro (Micro-system) yaitu merupakan pola aktivitas, peran-peran, dan relasi interpersonal yang dialami oleh seseorang yang sedang berkembang dalam sebuah setting tertentu, contohnya meliputi rumah dan keluarga b. Sistem Meso (Meso-system) merupakan pertemuan antara dua atau lebih seting atau lingkungan individu. keduanya ini saling berinteraksi dan di sini individu yang sedang berkembang tersebut aktif berpartisipasi. Misalnya relasi antara rumah, sekolah, teman sepermainan. c. Sistem Exo (Exo-system) yang meliputi institusi yang lebih jauh dari individu dan tidak bersentuhan dengan individu secara langsung, namun berpengaruh terhadap kehidupan individu seperti media, tempat orang tua bekerja, atau tempat sekolah. 8 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
d. Sistem Makro (Macro-system) yang menggambarkan konteks kultural, sosial, politik, ekonomi, hukum dan religius individu tersebut tinggal. Macro-system ini juga termasuk pada sikap sosial dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang tidak selalu terlihat secara langsung namun memiliki pengaruh pada individu. Untuk dapat memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai proses yang terjadi dalam level lingkungan sosial di atas, diperlukan juga pemahaman tentang culture yang dapat dipakai untuk menganalisis level meso. Culture sendiri menurut Byrne (2005: 143) dinyatakan sebagai: ..in which culture is a description of a particular way of life, which expresses certain meanings and values not only in art and learning but also in institutions and ordinary behavior. The analysis of culture, from such a definition, is the clarification of the meanings and values implicit and explicit in a particular way of life, a particular culture.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Gradasi Eksklusifitas di Universitas Indonesia Berdasarkan hasil penelitian, nampaknya yang terjadi terhadap mahasiswa disabled di
Universitas Indonesia bukanlah fenomena sosial tunggal karena yang dialami oleh mahasiswa tersebut adalah proses eksklusi yang terjadi dalam derajat kekuatan yang berbeda-beda di setiap level lingkungan sosial, dari mikro – meso – exo – hingga makro, sehingga membentuk apa yang dalam tulisan ini sebut sebagai gradasi eksklusi. Berikut datanya tersaji dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2. Tabel Temuan per Level Lingkungan Sosial
Level Mikro
Aspek Sosial
Indikator 1. Penerimaan keluarga 2. Usaha memberikan pengobatan 3. Proses sosialisasi nilai (nilai mandiri, percaya diri, dan lainnya)
1. 2.
3.
Data Keluarga menerima kondisi fisik informan mahasiswa disabled Keluarga mengupayakan pengobatan demi kesembuhan informan namun bila sudah tidak dapat disembuhkan maka keluarga tidak memaksakan dan lebih menerima kondisi fisik anaknya Semua informan mengaku bahwa orang tua
9 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
4. Dukungan dalam hal pendidikan 5. Dukungan secara emosional 6. Pembentukan persepsi diri
Meso
Fisik
1. 2. 3.
Kondisi lobi Kondisi jalan Akses menuju ruang kelas 4. Kondisi kelas 5. Kondisi tempat parkir 6. Ketersediaan Ramp/bidang miring 7. Kondisi toilet 8. Ketersediaan lift 9. Signage / penanda (guiding block, penunjuk jalan, dll) 10. Ketersediaan sarana belajar 11. Kondisi kebijakan infrastruktur dari fakultas
mengajarkan untuk mandiri, tidak pernah membedakan informan dengan saudara kandung yang tidak mengalami gangguan fisik, mengajarkan cara untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sendiri (cara mandi, makan, berjalan) dan tidak menggantungkan diri pada orang lain 4. Seluruh keluarga informan memberikan dukungan penuh dalam hal pendidikan. Misalnya mengusahakan anaknya bersekolah di sekolah reguler dengan kualitas yang baik, terlepas dari apakah dengan biaya dari orangtua sendiri atau dari beasiswa 5. Keluarga informan mengajarkan untuk percaya diri berbaur dengan orang lain dan menunjukkan kemampuan secara maksimal Psikologi : 1. Masih banyak saluran air (got) dalam kondisi terbuka di sepanjang jalan atau koridor kampus, membahayakan tuna netra 2. Belum ada guiding block yang menjadi pemandu jalan sehingga informan harus menghafal jalan 3. Hanya ada 1 lift di gedung perkuliahan, menyulitkan pengguna kursi roda 4. Toilet dengan sistem otomatisasi menyulitkan tuna daksa, diperlukan gayung untuk melakukan aktivitas toilet 5. Ramp masih sedikit bagi pengguna kursi roda 6. Sarana belajar (audio book, soft file) sudah mulai diusahakan 7. Sudah mulai ada usaha penciptaan kebijakan pembangunan infrastruktur yang inklusif digagas oleh Kaprodi Fakultas FIB : Masih memiliki banyak saluran air (got) yang terbuka Tidak ada lift Material jalan umum di FIB terbuat dari batu-batu yang tidak rata bila usianya sudah tua, berpotensi membuat jatuh 4. Gedung perkuliahan seluruhnya bertangga, tidak ada lift sehingga menyulitkan pengguna kursi roda. 5. Penanda masih minim bahkan cenderung tidak ada 6. Ramp tersedia namun sangat curam sehingga tidak dapat dipakai secara maksimal dan masih membahayakan pengguna kursi roda 7. Sarana belajar disediakan atas inisiatif personal dosen atau teman mahasiswa disabled belum tersistematisasi 8. Belum ada kebijakan yang mengarah pada pembangunan infrastruktur yang lebih inklusif Psikologi : 1. Banyak dibantu oleh teman SMA, Kakak Kelas, teman asrama, OBM (Orientasi Belajar Mahasiswa), teman sejurusan atau bahkan oleh orang yang tidak dikenal sekalipun 2. Mendapatkan dukungan dan bantuan dari pembimbing akademik sekaligus Kaprodi S1 Psikologi, inisial FM. Bantuan dalam hal penyediaan layanan bagi tuna netra 1. 2. 3.
Sosial
1. 2. 3.
4.
Respon dalam hal bantuan dari teman Respon dalam hal bantuan dari dosen Kesempatan untuk berpartisipasi dalam pergaulan sehari-hari Kesempatan untuk
10 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
5.
berpartisipasi dalam kehidupan akademik kampus Kesempatan untuk mengikuti organisasi kampus
3. 4. 5. 6. FIB : -
Exo
Fisik
1.
2.
3.
Sosial
1.
2.
Kondisi kebijakan infrastruktur tingkat Universitas Kondisi perpustakaan dan gedung layanan umum lain Kondisi jalanan umum dalam kampus
1.
Ketersediaan data menyangkut disabilitas di UI Kondisi kebijakan perkuliahan bagi mahasiswa disabled
-
2.
3.
4.
-
-
-
(pencarian e-book, pembaca soal, dan lainnya) Informan mudah mendapatkan teman di fakultasnya karena mereka bersikap terbuka Pembimbing akademik mengontrol kondisi akademis informan dan menanyakan kebutuhan informan Informan bergaul secara wajar dengan teman-teman kuliahnya Informan dapat masuk ke organisasi atau kepanitiaan yang ia inginkan dan diterima secara terbuka Mendapatkan pendampingan dari teman saat melakukan daftar ulang Mendapatkan bantuan dan penerimaan dari temanteman mahasiswa baru saat mengikuti ospek universitas Ketika ospek fakultas mendapat bantuan dari temanteman sefakultas Teman kuliah tidak pernah membedakan informan, memberikan porsi tugas yang sama Teman-teman membantu informan dalam melakukan mobilitas di area kampus yang belum aksesibel Dosen tidak memberi perlakuan istimewa, tidak membedakan Masyarakat FIB sangat helpful mulai dari teman hingga mahasiswa yang tidak mengenal informan Pembimbing akademik menanyakan kebutuhan informan Informan mudah mendapatkan teman dan bergaul seperti mahasiswa lainnya Informan dapat berpartisipasi dalam kehidupan akademik secara optimal ditandai dengan peluang ikut ke kompetisi tingkat internasional Kondisi jalan di sekitar balairung menuju rektorat masih terdapat banyak got terbuka di sisi jalannya sehingga berpotensi membuat informan terperosok Perpustakaan pusat sudah aksesibel karena proses pembangunannya diiringi dengan kebijakan yang inklusif Trotoar jalan di belakang Fakultas Psikologi dalam kondisi berlubang-lubang di tengah jalan, berpotensi membuat jatuh Gedung – gedung layanan mahasiswa yang baru (contoh : PPMT) sudah cukup aksesibel bagi tuna daksa, namun belum bagi tuna netra Tidak memiliki data jumlah mahasiswa penyandang disabilitas Pengalihfungsian secara sepihak ruang baca mahasiswa penyandang disabilitas menjadi “Cultural Corner” oleh mantan rector UI inisial G bekerja sama dengan pemerintah Korea Mata Kuliah wajib Universitas tidak mengidentifikasi kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas (MPKT-B tidak menyediakan soal softcopy atau pembaca soal bagi tuna netra) Dari data checklist kesediaan program studi di UI menerima disabled, terdapat kecenderungan rumpun ilmu sosial mau menerima mahasiswa disabled ,
11 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Makro
Fisik
1. 2.
Sosial
1. 2.
Kondisi kebijakan infrastruktur Aksesibilitas saranasarana umum
1. 2. 3.
Kondisi kebijakan dalam aspek sosial Social attitudes masyarakat Indonesia
1.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
sementara rumpun ilmu alam tidak mau menerima disabled. Ini ditetapkan secara sepihak dan belum didasarkan pada pemberian kesempatan bagi disabled untuk menunjukkan kemampuan akademiknya terlebih dahulu UU bangunan No 28 tahun 2002 Permenpu no 30 tahun 2006 Undang-undang ada namun implementasi buruk
Definisi penyandang cacat menurut UU Cacat No 4 Tahun 1997, pasal 1 yang secara tidak langsung mengatakan keterbatasan pada disabled karena kesalahan kondisinya sendiri yang terbatas secara jasmani Data disabled ditemukan dalam data PMKS Peraturan Pemerintah No 98/2001 tentang rekruitmen Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pasal 6.h. yang menetapkan bahwa pelamar harus sehat mental dan jasmani UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 1 Pasal 4 (2) yang mengatakan bahwa pengadilan dapat mengijinkan seorang suami untuk memiliki istri lebih dari satu jika isterinya menderita sejenis cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan UU Pemilu No 3 Tahun 1999 pasal 28 yang menyatakan bahwa yang dapat memiliki suara adalah orang yang sehat secara mental UU No 13 Tahun 2003 tentang Kapasitas legal yang sering dipakai untuk menyangkal hak kalangan penyandang cacat Peraturan Pemerintah No 9/2003 tentang Otoritas Merekrut, Mentransfer, dan Memberhentikan PNS yang cacat selama bekerja Masyarakat Indonesia cenderung menghindari, mengabaikan disabled terlihat dari sikap masyarakat yang masih sering ditemukan kasus pemasungan , penolakan kerja dan penyangkalan hak disabled lainnya.
Data di atas dapat dijelaskan melalui pendekatan ekologi Bronfenbrenner (1979) yang melihat lingkungan individual sebagai seperangkat struktur yang bersarang di dalam struktur yang lebih besar, seperti dinyatakannya berikut ,”The ecological environment is conceived as a set of nested structures, each inside the next”. Struktur-struktur yang bersarang tersebut terwujud dalam bentuk lingkungan sosial yang berjenjang dari mikro hingga makro. Nampaknya gradasi eksklusi ini bekerja dalam level lingkungan sosial yang berbeda tersebut. Tingkat pertama adalah level mikro yang meliputi lingkungan rumah dan keluarga, kemudian level meso yang dalam konteks ini adalah lingkungan sosial fakultas sebagai tempat 12 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
mengenyam pendidikan sehari-hari. Kemudian level exo, yaitu level institusi tempat ia bersekolah saat ini. Level exo ini bukan lingkungan yang bersentuhan dengan informan secara langsung namun membawa pengaruh pada kehidupannya, dan dalam penelitian ini lingkungan exo informan adalah lingkungan institusi UI, secara lebih spesifik adalah lingkungan pembuat kebijakan kampus dengan segala kondisi perpolitikan dan kebijakan yang dibuat. Berikutnya adalah level makro, yaitu konteks sosial, politik, hukum negara Indonesia yang juga membawa dampak pada penciptaan social attitudes dan values masyarakat terhadap penyandang disabilitas termasuk social attitudes dan values dari stakeholder di level exo informan. Penjelasan akan hal ini akan dijabarkan di bawah ini. Yang pertama adalah level mikro, yaitu lingkup rumah dan keluarga informan. Berdasarkan hasil temuan terlihat bahwa sesungguhnya keluarga menjadi hal yang krusial bagi pembentukan persepsi diri informan dan juga kemampuannya dalam beradaptasi dan berintegrasi di level yang lebih tinggi yakni level meso. Dari temuan yang didapatkan, terlihat bahwa keempat informan mendapatkan dukungan keluarga yang begitu besar misalnya melalui usaha orang tua untuk memberikan pengobatan, menyekolahkan informan setinggi mungkin, membangun kepercayaan diri informan serta mengajarkan informan untuk mandiri tidak mudah menyerah, tidak mudah mengeluh dan tidak bergantung pada orang lain. Semua dukungan tersebut sangat berperan dalam pembentukan persepsi informan yang mandiri, mudah bergaul, beradaptasi, tidak menyerah pada keterbatasan dan pada akhirnya dapat berintegrasi di lingkungan sosial yang lebih tinggi yakni level meso. Pada level meso, dinyatakan Bronfenbrenner (dalam Pierson 2002) terdapat interaksi antara sistem nilai di level mikro dengan sistem nilai di level meso yaitu lingkup kehidupan fakultas. Kondisi fakultas informan dapat dipetakan ke dalam dua kondisi, yaitu masih buruk pada masalah infrastruktur sebagai implikasi dari kebijakan pembangunan yang belum peka kebutuhan disabled, namun sudah tergolong inklusif untuk kondisi kehidupan sosialnya terlihat dari data aspek sosial di level meso di mana lingkungan sekitar mahasiswa disabled terutama di lingkup fakultas sudah menunjukkan kepekaan terhadap kebutuhan disabled dan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara penuh. Pada lingkup fakultas ini pula dapat ditemukan tokoh struktural setempat yang berperan menjadi penggerak perubahan, seperti Kaprodi S1 Fakultas Psikologi UI yang mengusahakan beberapa perubahan di fakultasnya bagi kepentingan disabled. 13 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Lingkungan sosial yang sudah demikian inklusif ini kemudian berhadapan dengan informan disabled yang mengenyam pendidikan di fakultas tersebut yang kebetulan semuanya berasal dari lingkungan mikro yang supportif terhadap pembentukan persepsi diri yang kuat, mandiri, mudah bergaul dan tidak mudah menyerah. Dengan demikian terjadilah interaksi antara sistem nilai yang dibawa informan dari keluarganya berhadapan dengan kondisi sosial yang sejalan dengan nilai yang dibawanya untuk menghadapi tantangan yang dihadapi yaitu lingkungan infrastruktur atau dalam bahasa Pierson adalah built environment dan social services yang belum sepenuhnya inklusif. Kemudian pada level exo, yaitu level institusi UI dalam kaitannya dengan pembuat kebijakan kampus, terlihat bahwa Universitas Indonesia secara institusional belum dapat dikategorikan sebagai institusi yang sudah inklusif atau setidaknya tidak menunjukkan eksklusifitas. Kondisi institusi UI yang dalam temuan menunjukkan masih adanya kebijakan yang belum ramah disabled menjadi bukti nyata mengapa UI belum dapat dikategorikan inklusif. Hal ini tak lepas dari struktur yang lebih besar lagi yakni level makro yang memiliki kaitan terhadap level exo ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kondisi perpolitikan dan situasi kebijakan yang ada di UI tak lepas dari kondisi makro yang juga belum ramah dan peka terhadap kebutuhan disabled sehingga turut membentuk social attitudes dan values tentang disabled people dari masyarakat luas termasuk jajaran pembuat kebijakan di UI ini. Implikasinya, pembuat kebijakan UI belum memberi prioritas terhadap kebutuhan disabled sehingga kebutuhan mereka belum diperhitungkan dalam kebijakan pembangunan built environment dan social services di UI. Selain itu, karena sense akan isu disabilitas ini masih lemah, network for getting by dari institusi juga masih belum terbangun, sehingga jaringan struktural yang membantu mahasiswa disabled masih ada di tataran meso, fakultas dan program studi, belum terinstitusionalisasi. Yang terjadi di tingkat exo ini tak lepas dari konteks sosial, politik, hukum, ekonomi di tingkat makro yaitu Indonesia. Dari berbagai analisis hukum dan kebijakan di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masih eksklusif terhadap penyandang disabilitas. Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa produk-produk hukum dan kebijakan lainnya justru cenderung mengeksklusikan penyandang disabilitas. Mulai dari persoalan hukum, ekonomi, sosial, politik, nampaknya belum memberi prioritas pada penyandang disabilitas.
14 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Penyebab Gradasi Eksklusifitas terhadap Penyandang Disabilitas/ Disabled di Universitas Indonesia Seperti telah dinyatakan sebelumnya, yang terjadi pada mahasiswa disabled Universitas
Indonesia adalah kondisi gradasi eksklusi sosial, di mana semakin tinggi level “environment” nya maka semakin tinggi pula kadar eksklusifitasnya. Hal ini dapat dijelaskan melalui argumen Byrne yang menyatakan bahwa eksklusi muncul dari formasi ideologi, argumentasi politis, dan analisis sosial yang saling bercampur. Formasi Ideologi (Ideology Formation) Argumen Byrne mengenai formasi ideologi atau ideology formation menjadi penting dalam menganalisis sebab eksklusi sosial yang dialami oleh mahasiswa disabled Universitas Indonesia karena apa yang terjadi di tingkat institusional juga tidak terlepas dari konteks institusi tersebut berada. Berdasarkan analisis peneliti, nampak bahwa ideologi yang tumbuh dalam paradigma pembuat keputusan di UI, terutama “top level” dapat dikatakan berkaitan dengan ideologi yang ada dalam paradigma pemerintah Indonesia, yang dapat dikatakan liberal. Pendekatan ini menekankan pada the negative liberties of the self, the optimizing function of the market, and that at the best residual role of the collective sphere (Byrne 2005 : 19). Dalam ideologi tersebut mekanisme pasar bekerja hampir dalam setiap aspek kehidupan bernegara. Implikasi dari ideologi ini memandang kelompok yang minoritas dan miskin dalam kacamata MUD (The Moral Underclass Discourse). MUD The Moral Underclass Discourse (Levitas dalam Pierson 2002 : 5) melihat bahwa suatu kelompok sosial yang disebut sebagai „underclass’ mengalami eksklusi karena kenakalan dan penyimpangan dalam sikap dan moralitas yang anti sosial dan berbeda dari nilai mainstream. Dengan kata lain, kelompok tersebut memiliki culture of poverty. Di sini orang miskin dan yang terpinggir dianggap sebagai useless surplus, redundant, tidak berguna dan cenderung dianggap sebagai beban serta diabaikan. Nampaknya dalam konteks Indonesia, pemerintah memposisikan disabled dalam kelompok yang “redundant” ini, terlihat dari berbagai kebijakan yang ada di segala aspek bernegara : Pertama, dari aspek hukum, yaitu tentang definisi penyandang cacat menurut UU Cacat No 4 Tahun 1997, pasal 1 yang menyatakan hal berikut :
15 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental; c. penyandang cacat fisik dan mental
Definisi tersebut menunjukkan bagaimana persepsi pemerintah terhadap penyandang disabilitas, yaitu bahwa keterbatasan atau ketidakmampuan yang dialami disabled sebagai akibat dari kondisi physical impairment yang disandangnya sendiri. Definisi ini sungguh sejalan dengan logika underclass yang melihat kondisi kelompok minoritas seperti orang miskin dan tersingkir sebagai akibat dari kesalahan mereka sendiri. Tentu definisi semacam ini secara nyata mengeksklusi disabled sebagai warga negara Indonesia. Kemudian dalam regulasi negara, disabled dikategorikan dalam PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Nampaknya disabled tidak dilihat sebagai sebuah kategori masyarakat Indonesia yang berbeda secara horizontal (diferensiasi) karena memiliki kekhasan tertentu dalam hal kondisi biologis, namun lebih dilihat dalam kacamata stratifikasi yaitu disamakan dengan posisi orang miskin yang menyandang masalah kesejahteraan sosial. Ini diperkuat dengan data-data statistik di Indonesia yang memuat mengenai disabled yang lebih cenderung ditempatkan dalam perhitungan statistik mengenai orang miskin, bukan sebagai kategori sosial yang perlu diidentifikasi jumlahnya secara murni. Dengan demikian, tidak dapat diketahui berapa jumlah pasti disabled di Indonesia dan sebagai dampak jangka panjangnya kelompok ini tidak teridentifikasi apalagi dimasukkan ke dalam agenda pembangunan negara. Kemudian contoh lain terlihat dari berbagai analisis hukum yang dijabarkan dalam Jurnal Perempuan volume 69 berjudul “Seberapa Jauh Tanggung Jawab Negara?” yang menujukkan adanya eksklusi pada disabled yang tercermin dalam berbagai peraturan di Indonesia yang disajikan dalam tabel sebelumnya yang justru mengeksklusi disabled. Dari segi politik, isu disabilitas di Indonesia terlihat kurang menjual dan cenderung kalah dengan kontestasi isu lainnya. Tercermin dari berbagai tayangan media, isu disabilitas nampak kurang banyak diangkat dan cenderung kalah dengan isu politik lain seperti masalah Pemilihan Umum atau masalah korupsi. Pierson (2002) sendiri dalam salah satu bagian bukunya menyatakan bahwa hambatan yang terjadi dalam proses pengembangan manusia secara utuh merupakan proses yang dikondisikan secara sosial dan politis. Nampaknya bila dilihat lagi, mainstreaming disability belum berhasil di Indonesia. 16 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Kemudian secara ekonomi , disabled di Indonesia dilihat sebagai the disadvantage group yang dianggap tidak produktif sehingga tidak dapat masuk ke dalam proses ekonomi negara. Jurnal Perempuan volume 69 mencontohkan adanya Peraturan Pemerintah No 9/2003 tentang Otoritas Merekrut, Mentransfer, dan Memberhentikan PNS yang cacat selama bekerja. Hal ini diperkuat dengan berita yang dimuat dalam pikiran-rakyat.com yang berjudul “Kesempatan Bekerja bagi Penyandang Disabilitas masih Minim” yang mengungkapkan hingga tahun 2012 jumlah perusahaan di Indonesia yang mempekerjakan penyandang cacat dapat dikatakan masih minim. Kondisi di atas seolah adalah sesuatu yang diciptakan secara struktural oleh pemerintah atau pembuat kebijakan negara yang dapat berimplikasi pada pembentukan social attitudes dan values masyarakat pada umumnya terhadap penyandang disabilitas. Kondisi kehidupan negara dengan ideologi semacam itu dapat turut membentuk pola pikir masyarakat mengenai disabled sebagai kelompok yang bodoh, identik dengan kemisikan, harus dihindari , diabaikan dan tidak dapat berintegrasi secara utuh ke dalam masyarakat. values dan social attitudes ini terlihat dalam kasus pemasungan penderita gangguan mental karena rasa malu yang dirasakan keluarga. Berdasarkan informasi dari antaranews.com yang dirilis Kamis, 21 Februari 2013, diketahui bahwa Kementerian kesehatan memperkirakan jumlah penderita gangguan jiwa berat yang mengalami pemasungan di seluruh Indonesia mencapai lebih 18 ribu jiwa. Semua analisis di atas sangat sesuai dengan pernyataan Byrne (2005) “In the hands of politicians, we always get the moral argument, the judgement of the poor as unworthy, if perhaps redeemable, sinners”. Bila dikaitkan dengan definisi Convention on the Rights of Persons with Disabilities yang mengungkapkan bahwa disabilities adalah mereka yang mengalami gangguan jangka panjang dalam hal fisik,mental, intelektual atau sensorik yang dalam melakukan interaksi dengan segala rintangannya dapat menghalangi mereka untuk berpartisipasi penuh di masyarakat atas dasar kesetaraan, maka masyarakat Indonesia yang menyandang gangguan fisik, mental, intelektual dan sensorik dapat benar-benar dikategorikan sebagai disabled karena dalam melakukan interaksinya mereka mengalami hambatan sehingga tidak dapat berpartisipasi penuh di dalam masyarakat. Hambatan tersebut dalam analisis ini juga dikontribusikan oleh kebijakan yang diciptakan pemerintah serta lingkungan sosial masyarakat Indonesia yang masih cenderung mengeksklusi penyandang disabilitas. 17 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Argumentasi Politik (Political Argument) Formasi ideologi (ideology formation) di tingkat makro oleh pembuat kebijakan negara tersebut pada akhirnya juga berimplikasi pada paradigma dan kondisi perpolitikan di level pembuat kebijakan dan peraturan tingkat institusi. Oleh karenanya argumentasi politik (political argument) yang muncul di level institusi dengan basis pemerintah seperti Perguruan Tinggi Negeri seperti Universitas Indonesia mirip dengan yang terjadi di level makro (negara)terlihat dari penciptaan kebijakan institusi yang belum sepenuhnya inklusif bahkan cenderung mengarah pada proses eksklusi pada mahasiswa penyandang disabilitas. Pierson (2002) sendiri dalam bukunya menyatakan ada 5 komponen yang mendorong terciptanya eksklusi, 3 diantaranya relevan dengan temuan data dalam penelitian ini, yaitu masalah networking, neighbourhood, dan social services. Seperti yang telah disampaikan di awal Bab ini bahwa yang terjadi adalah gradasi, maka komponen yang mendorong terciptanya eksklusi ini juga tergambar dalam kondisi yang tergradasi, dalam arti sebagian menunjukkan eksklusi sedangkan sebagian data lainnya mengacu pada kondisi yang sudah cukup inklusif. Dari aspek neighbourhood, ada 2 hal yang perlu dicermati yaitu aspek built environment yang meliputi fasilitas bangunan dan fasilitas hidup lainnya, serta social fabric yang lebih melihat pada relasi sosial masyarakat di dalamnya. Built environment di UI sendiri dari hasil temuan diketahui masih kurang inklusif karena kebijakan pembangunan gedung dan fasilitas di UI belum memperhatikan disabled misalnya tidak ada ramp, lift, guiding block, dan penutup saluran air sehingga memunculkan kesulitan tersendiri bagi mahasiswa yang menyandang disabilitas. Selain itu juga kondisi jalan yang masih berlubang dan menggunakan material tertentu yang membahayakan penyandang disabilitas juga menjadi penghambat. Ini menujukkan bahwa dari aspek fisiknya, Universitas Indonesia belum sepenuhnya inklusif. Dalam hal social services atau ketersediaan layanan pendidikan yang inklusif dan aksesibel di Universitas Indonesia juga masih dirasa kurang. Temuan mengenai pengalihfungsian ruang baca mahasiswa disabled membuat kemungkinan layanan pendidikan yang aksesibel bagi penyandang disabilitas semakin minim. Secara sosial kebijakan tersebut berarti mengabaikan kelompok disabled di UI. Kendala aspek infrastruktur tersebut menjadikan mahasiswa disabled di UI kurang dapat memperoleh layanan dan sumberdaya pendidikan secara maksimal.
18 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Sementara aspek networking oleh dibedakan oleh Pierson (2002) berdasarkan karakteristiknya yaitu networks for getting by dan networks for getting ahead. Networks for getting by merupakan supportive network atau jaringan dukungan yang diberikan oleh orangorang yang ada dalam relasi sosial sehari-hari seperti teman, kerabat, dan keluarga. Sementara networks for getting ahead merupakan pihak-pihak yang dapat memberikan informasi penting pada individu atau keluarga mengenai pendidikan, pekerjaan dan pelatihan pengembangan keterampilan. Mark Granovetter menyebut jaringan ini sebagai “strength of weak ties” (Pierson, 2002 : 13). Weak ties ini dapat ditemukan di luar lingkungan kerabat, teman dan keluarga. Weak ties ini menyediakan informasi yang penting dan kesempatan bagi pengembangan individu atau kelompok tertentu. Dalam konteks ini, weak ties bagi disabled di UI masih belum tersistematisasi. Belum ada upaya secara institusional dari universitas (bukan fakultas) untuk menjadi jaringan yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa yang menyandang disabilitas di UI untuk menyalurkan keluhan mengenai kebutuhannya atau juga sebagai perantara yang membukakan peluang mahasiswa yang dimaksud untuk lebih berkembang melalui berbagai informasi yang dapat diberikan. Sejauh ini yang ada di UI adalah Pusat Kajian Disabilitas, namun organisasi tersebut masih bergerak atas nama Fakultas dan belum dapat diklaim sebagai usaha sistemik institusi karena anggarannya bukan berasal dari universitas. Hal lain, ketiadaan data mahasiswa disabled di UI juga menjadi bukti nyata bahwa memang belum ada upaya identifikasi kelompok ini oleh universitas sebagai tahapan mendasar membangun sebuah jaringan, sehingga dapat dipastikan networking yang dimaksud juga belum ada. Kemudian mengenai kebijakan mata kuliah wajib universitas yang tidak mengidentifikasi kebutuhan disabled juga semakin menunjukkan lingkungan institusional UI yang cenderung eksklusif terhadap disabled. Analisis Sosial Penyandang Disabilitas di UI (Social Analysis of Disabled in UI) Kebijakan di atas berimplikasi pada analisis situasi disabled di UI yang mengalami gradasi eksklusifitas yang hanya terinklusi sampai level meso, fakultas. Hal ini dapat dijelaskan dari komponen networking dan neighbourhood yang secara sosial sudah cukup baik di kehidupan sosial fakultas informan yang menyandang disabilitas. Ditinjau dari aspek networking terlihat bahwa memang network for getting ahead dari institusi UI memang belum terbangun, namun network for getting by bagi mahasiswa disabled dapat dikategorikan sudah cukup besar. Dari 19 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
hasil temuan sungguh nampak bahwa setiap informan mengalami pengalaman sosial yang sungguh supportif dan peka terhadap kebutuhannya sebagai penyandang disabilitas. Sementara dari aspek neighbourhood diketahui bahwa meski built environment UI belum sepenuhnya aksesibel, namun Social fabric di tingkat fakultas sudah baik sekali dilihat dari jaringan atau relasi sosial yang muncul dalam proses sosial sehari-hari di fakultas informan. Social fabric yang kuat tersebut menyumbang pada terciptanya lingkungan sosial yang mengarah kondisi inklusif. Kenyataan empirik di atas memang terlihat bertolak belakang, namun hal itu masih dimungkinkan terjadi karena adanya kebijakan yang sifatnya desentralisasi tingkat fakultas atau program studi sehingga setiap fakultas dapat mengembangkan lingkungannya masing-masing dan pada akhirnya menghasilkan school culture yang berbeda-beda dari masing-masing fakultas. Culture sendiri menurut Byrne dinyatakan sebagai berikut : ..in which culture is a description of a particular way of life, which expresses certain meanings and values not only in art and learning but also in institutions and ordinary behavior. The analysis of culture, from such a definition, is the clarification of the meanings and values implicit and explicit in a particular way of life, a particular culture. (Byrne 2005 : 143). Mengacu dari definisi tersebut, culture dipahami sebagai sebuah cara hidup tertentu yang di dalamnya mengandung makna dan nilai tertentu serta tercermin dalam perilaku sehari-hari. Dalam konteks ini, FIB dan Psikologi memiliki culture yang inklusif dan peka terhadap disabled. Hal itu kemudian terwujud dalam keseharian masyarakat fakultas tersebut yang cenderung ramah terhadap penyandang disabilitas dan peka terhadap kebutuhan mereka. Diskoneksivitas ini menjadi semacam missing link dan untuk menjembatani kedua level tersebut diperlukan penjelasan teoretis yang memadai. Bila dilihat lagi memang kultur atau school culture yang inklusif tersebut masih bekerja pada level fakultas (meso) dan sangat tergantung pada kehadiran aktor yang memiliki perhatian pada mahasiswa disabled seperti yang terjadi di Fakultas Psikologi yang memiliki informan FM yang merupakan ahli di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus dan pada kesehariannya sebagai salah satu pejabat struktural fakultas mengupayakan terjadinya perubahan secara struktural yang mengarah ke inklusifitas. Namun hal tersebut tidak terjadi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya yang belum memiliki tokoh sekuat dan memiliki pengaruh besar dalam melakukan perubahan struktural bagi disabled. Dengan demikian kultur yang inklusif inipun menjadi sangat rentan 20 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
karena bergantung pada individu atau aktor setempat. Sejauh belum ada aktor penggerak yang cukup kuat, maka perubahan struktural sulit terjadi atau bisa terjadi namun dalam jangka waktu yang sangat lama. Berefleksi pada penjelasan tersebut, maka secara teoretis implikasinya adalah perlu dilakukan kulturisasi struktur yang tadinya eksklusif sehingga menjadi lebih inklusif. Kulturisasi struktur ini dapat diejawantahkan ke dalam sebuah mekanisme yang tidak lagi hanya mengandalkan kemampuan satu atau dua orang aktor setempat namun perlu dibuat usaha yang lebih sistematis yang tingkatnya adalah struktural institusional Universitas, sehingga kultur yang inklusif tadi benar-benar dapat „ditularkan‟ ke seluruh lingkungan sosial Universitas Indonesia sebagai sebuah institusi.
SIMPULAN Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang terjadi dengan mahasiswa disabled Universitas Indonesia adalah proses gradasi eksklusifitas. Artinya, kondisi mahasiswa yang menyandang disabilitas dapat dipetakan ke dalam kondisi yang sebagian masih mengeksklusi khususnya dalam hal infrastruktur yang belum ramah terhadap penyandang disabilitas, dan di lain sisi adalah lingkungan sosial yang sudah terbuka dan peka terhadap kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas di UI. Namun demikian, lingkungan sosial yang inklusif ini pun juga belum dapat diklaim dalam tataran institusi karena masih bekerja di level fakultas ataupun personal, bukan level insititusi yang di dalamnya termasuk jajaran pembuat kebijakan kampus. Proses gradasi eksklusifitas di atas terjadi dalam level yang berlapis-lapis yaitu dari level mikro hingga makro, serta bekerja dilatari oleh proses formasi ideologis, argumentasi politik dan analisis sosial yang saling bercampur. Hal ini memperkuat telaah literatur yang sebelumnya dijabarkan, bahwa eksklusi sosial dapat terjadi karena kebijakan yang justru masih bersifat eksklusif. Selain itu dalam hasil kajian ditemukan bahwa terdapat diskoneksivitas antara level makro – exo yang masih eksklusif dengan level meso – mikro yang sudah inklusif. Ternyata hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kultur. Kultur berperan kuat dalam menciptakan lingkungan sosial yang inklusif di level meso-mikro, namun kultur ini belum terinstitusionalisasi sehingga yang diperlukan adalah upaya kulturisasi struktur yang eksklusif agar menjadi inklusif. 21 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bronfenbrenner, Urie. 1979. The Ecology of Human Development. United States of America : Harvard University Press. Byrne, David. 2005. Social Exclusion. Maidenhead : Open University Press Haralambos, Michael dan Horlborn, Martin. 2004. Sociology : Themes and Perspectives. London : HarperCollins Publishers. Pierson, John. 2002. Tackling Social Exclusion, London : Routledge Prasetyo, Adi, dkk. 2010. Buku Himpunan Kebijakan Pendidikan (Sumber Hukum Bagi Penyelenggaraan
Pendidikan
Sekolah
:
Prioritas
Untuk
Anak
dengan
Disabilitas/Berkebutuhan Khusus. Depok : Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI Universitas Indonesia Jurnal Adinda, Titiana. 2010. ”Menggugat Kebijakan dan Pengadaan Fasilitas Umum untuk Difabel”. Jurnal Perempuan 65 : 77-88 Daming,Saharuddin Daming. 2011. “Menakar Kebijakan Publik terhadap Upaya Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Kemanusiaan bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia.” Jurnal Perempuan 69 : 7-23
22 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Irwanto,Kasim,dan Fransiska. 2011. “Para Penyandang Cacat dan HAM di Indonesia”, Jurnal Perempuan 69 : 55-75. Kristiyanti, Emilia. 2010. ”Pendidikan Inklusi: Harapan bagi Anak – anak Berkebutuhan Khusus” Jurnal Perempuan 65 : 91-99 Padijaya, Rufiah. 2011. ” Seperti Apakah Kebijakan Pemerintah Terhadap Difabel?” Jurnal Perempuan 69 : 44-53 Thohari, Slamet. 2011. ”Kaum Difabel dalam Pergulatan Teori Sosial” Jurnal Perempuan 69 : 37- 43 Publikasi Lainnya Presentasi Prof. Irwanto, Ph.D dalam kuliah umum tentang Disabilitas tanggal 10 Mei 2012 di Auditorium Komunikasi FISIP UI. Undang-Undang Republik Indonesia No 04 Tahun 1997 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 UNESCO EFA World Monitoring Report 2009 Website Diakses dari http://news.detik.com/read/2011/12/19/231538/1795081/471/etikaberinteraksi-dengan-penca tanggal 8 April 2012, pukul 18.17 WIB. Diakses dari http://database.depsos.go.id/modules.php?name=Pmks2009&opsi=pmks2009-5, tanggal 17 Agustus 2012 pukul 15.03 WIB
23 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013
Diakses dari http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/topik?kid=9&kategori=KesejahteraanSosial tanggal 25 Mei 2013 pukul 17.17 WIB Diakses dari http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=594 tanggal 27 Mei 2013 pukul 16.09 WIB Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/359636/18000-penderita-gangguan-jiwadi-indonesia-dipasung tanggal 25 Mei 2013 pukul 22.32 WIB
24 Proses eksklusi..., Leonella Petrina Massardi, FISIP UI, 2013