STRATEGI BELAJAR METAKOGNISI UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS Iswan Riyadi*
Abstrak : Tulisan ini didasari oleh keresahann penulis bahwa selama ini guru IPS tidak pernah mengajari siswanya strategi belajar yang melibatkan aspek metakognisi. Guru hanya sekedar melaksanakan tugas keseharian dengan konsep mentransfer sejumlah besar materi kepada siswa. Penguasaan materi oleh siswa diharapkan datang dari siswa sendiri. Rendahnya penguasaan materi pada mata pelajaran IPS di tingkat SMP juga sering dikaitkan dengan persoalan sedikitnya alokasi waktu dibandingkan dengan jumlah materi yang harus diajarkan oleh guru. Keadaaan ini menyebabkan pembelajaran IPS menjadi kering dan membosankan. Para peneliti di bidang pengajaran IPS selama ini kurang berminat terhadap pengembangan berbagai strategi belajar dalam rangka peningkatan kompetensi siswa pada mata pelajaran IPS. Penulis meyakini bahwa mengajarkan sejumlah strategi belajar metakognisi merupakan salah satu jalan terbaik agar siswa dapat menguasai materi IPS secara lebih baik. Intervensi strategi belajar metakognisi, yang terdiri dari (1) menggarisbawahi, (2) membuat catatan pinggir, (3) membuat ringkasan, (4) membuat peta konsep, diyakini mampu meningkatkan kompetensi siswa pada mata pelajaran IPS. Tulisan bagian I ini akan fokus pada dua strategi belajar metakognitif yang pertama yaitu strategi belajar metakognitif menggarisbawahi dan strategi belajar metakognitif membuat catatan. Kata Kunci : Metakognisi, strategi belajar, kompetensi siswa
PENDAHULUAN Salah satu hambatan terbesar dalam pengajaran IPS di Indonesia pada tingkat lapangan adalah materi yang terlalu banyak yang harus disajikan oleh guru, sementara itu alokasi waktu sangat terbatas. Sehubungan dengan konten IPS, telah banyak penelitian mengungkap bagaimana seharusnya guru IPS merencanakan pengajaran dan sekaligus bagaimana mengajar IPS agar menjadi mata pelajaran yang menarik bagi siswa. Para guru pun telah berulang kali berupaya beradaptasi dan mengakomodasi berbagai perubahan politik, sosial dan ekonomi, seiring dengan waktu, dalam rangka menyesuaikan bahan ajar social studies kepada siswa-siswanya
(Shriner, Clark, 2010; Putman, 2003; Maguth, Yamaguchi, 2010; Moore, 2008). Dalam perspektif pengajaran IPS di Indonesia, misalnya, mulai dari sejarah kerajaan-kerajaan Hindu hingga kerajaan Islam, jaman revolusi kemerdekaan yang memunculkan Orde Lama hingga pemerintahan di bawah Orde Baru, selanjutnya digantikan oleh Orde Reformasi hingga jaman Kabinet Indonesia Bersatu ini, guru IPS ditantang untuk bisa menyajikan pelajaran IPS yang sesuai dengan perkembangan jamannya. Dalam perspektif global, guru IPS mendapat tantangan yang lebih besar lagi yakni menyajikan dan menanamkan nilai-nilai universal dan pemikiran pemikiran global kepada siswa agar apa yang menjadi salah satu tujuan pengajaran IPS
* Staf Pengajar Prodi Pendidikan Geografi FKIP, UNWIDHA Klaten
28
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511
Strategi Belajar Metakognisi Untuk Meningkatkan Kompetensi .....
tercapai, yakni mendidik anak agar bisa menjadi warga negara yang demokratis yang mampu
masalah/problem solving, atau sekedar mengklarifikasi konsep-konsep yang salah. Lebih
mengambil peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik global, bisa tercapai.
parah lagi hal ini didukung oleh buku-buku pelajaran yang hanya sekedar ‘membenarkan’ pengetahuan faktual saja.
Permasalahannya adalah cakupan tujuan yang ingin dicapai oleh pelajaran IPS di Indonesia sangat luas, sehingga tidak dipungkiri bahwa pelaksanaan di tingkat lapangan tidaklah semudah membuatnya dalam bentuk tulisan. Mengajarkan materi yang begitu banyak dengan waktu yang harus berbagi dengan pelajaran lain merupakan tantangan yang cukup berat bagi para guru IPS di sekolahan. Dalam kondisi seperti itu, pengajaran social studies lebih cenderung menjadi pelajaran yang dipahami dengan cara menghafal daripada dipahami secara bermakna (Beal, Bolick, 2009).
Penelitian tentang manfaat strategi belajar menggarisbawahi (underlining) dimulai oleh Rawding yang menemukan fakta bahwa sejak buku menjadi murah dan hampir setiap siswa memilikinya, apalagi ketika hadir teknologi foto kopi, maka kegiatan menggarisbawahi oleh siswa menjadi lebih intensif. Temuan itu memicu berbagai penelitian lebih lanjut tentang manfaat strategi belajar menggarisbawahi yang ketika teknologi menjadi lebih maju maka strategi ini juga semakin kaya dengan munculnya teknik highlighting .
pelajaran kurang menarik.
Strategi belajar membuat catatan (note taking) pertama kali diteliti oleh Di Vesta and Gray (1972), yang menemukan bahwa membuat catatan mengandung dua kegiatan sekaligus yakni, proses dan produk. Mereka menyatakan bahwa sebelum catatan terwujud, ada proses (encoding) yang mendahului apa yang terjadi dalam pikiran seseorang agar catatan terwujud dan berbentuk catatan (external storage). Sejak itulah berbagai penelitian tentang manfaat strategi membuat catatan berlanjut. Diantaranya adalah Hartley & Davies (1978) yang berkeyakinan bahwa membuat catatan telah dilakukan baik oleh siswa yunior maupun oleh siswa senior. Sebagian besar siswa melakukan pembuatan catatan sendiri
Di bawah kondisi dan lingkungan kegiatan belajar mengajar seperti itu, Novak (2002) menilai, konstruksi ilmu pengetahuan terreduksi hingga hanya pada menghasilkan tingkatan Pengetahuan Faktual/
ketika sedang mendengarkan guru menjelaskan di depan kelas atau ketika mereka sedang membaca buku teks. Pendekatan Hartley & Danies (1978) didasarkan pada keyakinan mereka bahwa membuat catatan
Factual Knowledge dengan hanya sedikit menyentuh aspek berpikir kritis/critical thinking, pemecahan
adalah sebuah contoh spesifik dari proses kognitif tingkat tinggi yang mereka sebut analisis.
Sebagai akibatnya, materi dari bahan ajar IPS tak lebih hanya sekedar bahan bacaan yang mudah dilupakan ketika siswa tidak lagi berhadapan dengan pelajaran IPS, sehingga cukup sulit melihat dampak positif dari pengajaran IPS dalam kehidupan masyarakat. Banyak penyebab yang melatarbelakangi mengapa pendidikan IPS belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Salah satu penyebab dari sekian banyak adalah pelaksanaan pengajaran IPS di sekolah itu sendiri. Somantri (1998) menilai pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga siswa kurang antusias dan mengakibatkan
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511
29
Strategi Belajar Metakognisi Untuk Meningkatkan Kompetensi .....
Tulisan ini akan mencoba mengungkap kembali dua di antara empat stratei belajar metakognisi yakni
besar siswa akan membaca dengan sepintas dan akan sulit memperoleh gagasan utama bacaan
menggarisbawahi/ underlining/highlighting dan membuat catatan /note taking dalam rangka membantu sisiwa ketiika menghadapi sejumlah bahan bacaan matreri ajar IPS yang banyak sementara
karena proses generalisasi yang sangat luas terjadi ketika mereka sedang membaca. Dengan memberi tanda-tanda berupa garis bawah siswa akan membaca lebih banyak dan ketika dibaca
wakatu yang tersedia untuk mata pelajaran IPS sangat terbatas.
ulang, akan diperoleh sejumlah besar gagasangagasan penting dalam bacaan (Asay & Schneider, 1976). Survey sebelumnya yang dilakukan Asay (1974) mengungkapkan bahwa
STRATEGI BELAJAR METAKOGNISI 1.
Strategi
Belajar
Metakognitif
Menggarisbawahi/Underlining/Highlighting Akhir-akhir ini banyak buku teks yang menyediakan berbagai kemudahan bagi siswa yang membacanya. Salah satu tujuannya adalah membantu siswa memahami isi bacaan agar lebih mudah dipahami. Berbagai cara dilakukan agar buku teks menjadi menarik untuk dibaca, mulai dari bahasa, tampilan, sampai pada cara membaca. Di antara sekian banyak cara itu, menggaris bawahi menjadi cara yang paling sederhana yang bisa dilakukan, baik oleh penulis buku maupun oleh siswa sendiri. Hingga tahun tujuh puluhan, metode belajar dengan teknik menggaris bawahi buku teks banyak dilakukan pada pengajaran tingkat dasar dan menengah, lalu kemudian, karena kemajuan teknologi, berkembang menjadi highlighting . Popularitas dari metode ini salah satunya adalah asumsi bahwa teknik menggarisbawahi akan membantu siswa mempermudah mendapatkan gagasan utama dalam teks tersebut (Suzanne, Woodrow, 1989). Tujuan dari kegiatan menggarisbawahi adalah untuk mengarahkan perhatian siswa kepada bacaan-bacaan yang paling penting untuk diperhatikan. Bila ini tidak dilakukan, sebagian
30
lebih dari separo mahasiswa menggunakan berbagai macam teknik membaca, termasuk menggarisbawahi ketika sedang belajar. Pada survey berikutnya dia menemukan bahwa 92% mahasiswa menggunakan berbagai macam cara mereka sendiri untuk menandai bagian-bagian penting dalam bacaan ketika sedang belajar. Penelitian tentang akativitas kegiatan menggaris bawahi yang dilakukan sendiri oleh siswa (student generated underlining) telah cukup lama dilakukan (Fowler & Baker, 1974). Mereka menemukan bahwa 50% hingga 90% mahasiswa telah dengan sendirinya melakukan teknik menggarisbawahi pada buku teks yang sedang mereka baca. Tujuannya adalah untuk mempermudah mahasiswa memahami isi buku teks dan mempelajarinya kembali. Fowler & Baker (1974) juga mengemukakan bahwa pada tahun 1950an orang belum melakukan teknik menggaris bawahi karena pada saat itu buku-buku masih mahal dan tidak setiap orang berkesempatan memiliki buku. Penelitian Rawding (1965) menemukan bahwa sejak buku menjadi murah hampir setiap siswa memilikinya, apalagi ketika hadir teknologi foto kopi, maka kegiatan menggaris bawahi oleh siswa menjadi lebih intensif.
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511
Strategi Belajar Metakognisi Untuk Meningkatkan Kompetensi .....
Temuan Smart & Brunning (1973) dalam studi yang membandingkan hasil pencapaian
yakni, proses dan produk. Mereka menyatakan bahwa sebelum catatan terwujud, ada proses
siswa antara siswa yang melakukan sendiri teknik menggaris bawahi dengan siswa yang membaca teks dengan sudah dilengkapi garisbawah oleh penulis buku teks menunjukkan bahwa siswa
(encoding) yang mendahului apa yang terjadi dalam pikiran seseorang agar catatan terwujud dan berbentuk catatan (external storage). Sejak
yang melakukan kegiatan menggaris bawahi sendiri buku teks memiliki kelebihan dan hasil pencapaian yang lebih baik ketika berhadapan
tersebut bisa berjalan seiring ataukah tidak, dan yang lebih sering dilakukan para peneliti adalah
dengan soal-soal pilihan ganda dibandingkan dengan siswa yang membaca buku teks dengan
membuktikan manakah di antara keduanya yang lebih penting dalam membantu siswa
kelengkapan garis bawah yang dibuat oleh penulis buku.
mempelajari bahan ajar.
Penelitian Rickards & August (1975) ditujukan pada membandingan antara siswa yang melakukan teknik menggaris bawahi hanya satu kalimat terpenting dalam satu alinea dengan siswa yang dibebaskan untuk menggaris bawahi sebanyak apapun dalam satu alinea, menemukan bukti bahwa siswa yang hanya diberi kesempatan membuat satu garis bawah pada satu kalimat dalam satu alinea menunjukkan hasil yang lebih baik daripada siswa yang diberi kebebasan menggaris bawahi dalam satu alinea. Salah satu penyebabnya adalah siswa yang hanya diberi kesempatan menggarisbawahi satu kalimat dalam satu alinea akan menghabiskan waktu cukup panjang dan mengerahkan kekuatan mengingat lebih besar daripada siswa yang tidak dibatasi jumlahnya dalam menggaris bawahi. 2.
saat itulah para peneliti berupaya bukan saja membangun pemahaman apakah kedua fungsi
Strategi Belajar Metakognitif Membuat Catatan/Note Taking. Penelitian tentang note taking/membuat catatan, yang berpengaruh terhadap penelitian penelitian berikutnya datang dari Di Vesta and Gray (1972), yang menemukan bahwa membuat catatan mengandung dua kegiatan sekaligus
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511
Setelah konsep external storage dan encoding diperkenalkan, ruang lingkup penelitian terkonsentrasi kepada proses terjadinya note taking dan studi eksperimental note taking daripada memahami apa dan bagaimana note taking bekerja pada sisi memori siswa. Salah satunya adalah Carter & Matre (1975) yang membuktikan bahwa sekedar ada dan terwujud sebuah catatan belumlah menjamin siswa akan memahami buku teks lebih baik, namun lebih terletak pada bagaimana catatan dibuat sehinggga bukan pada bagaimana membuat catatan tetapi bagaimana bisa memiliki catatan yang dibuatnya sendiri. Hartley & Davies (1978) berkeyakinan bahwa membuat catatan telah dilakukan baik oleh siswa yunior maupun oleh siswa senior. Sebagian besar siswa melakukan pembuatan catatan sendiri ketika sedang mendengarkan guru menjelaskan di depan kelas atau ketika mereka sedang membaca buku teks. Pendekatan Hartley & Danies (1978) didasarkan pada keyakinan mereka bahwa membuat catatan adalah sebuah contoh spesifik dari proses kognitif tingkat tinggi yang mereka sebut analisis.
31
Strategi Belajar Metakognisi Untuk Meningkatkan Kompetensi .....
Kirkgoz (2010) menekankan bahwa tujuan utama membuat catatan adalah untuk menangkap
mengingat kembali, memahami, dan ketahanan dalam belajar dalam mempelajari materi
poin penting dari buku teks atau pelajaran dan menyimpannya, dengan tujuan bisa digunakan di kemudian hari dalam rangka revisi, khususnya untuk tujuan menghadapi ujian atau menulis
pelajaran (Jones & Hunter, 1988). Sementara Palmatier (1978) dalam penelitiannya pada sekolah menengah pertama membuktikan tentang
ringkasan maupun laporan-laporan yang membutuhkan catatan. Membuat catatan pada waktu pembelajaran di kelas, baik dari buku teks
bahwa memfoto kopi tidaklah menguntungkan bagi siswa sebagaimana note taking, apalagi bila
maupun sambil mendengarkan penjelasan guru membutuhkan ketrampilan tingkat tinggi dan
siswa mampu membuat catatan atas kemauan dan kata-katanya sendiri. Dalam konteks ini ada
bahkan bagi sebagian siswa membuat catatan justru menimbulkan masalah baru. Dalam
aspek kualitatif yang bekerja, yakni ketika siswa melakukan seleksi terhadap sekian banyak
konteks note taking dapat bermanfaat ketika siswa mempelajari kembali materi pelajaran, Peper and Mayer (1986) mendukung bahwa meminta siswa membuat catatan atas apa yang telah mereka baca dalam buku teks akan memiliki efek positif dalam membantu siswa mengerjakan pemecahan masalah. Bahkan mereka berkeyakinan bahwa note taking akan mendorong terjadinya proses generatif yang dengan proses tersebut pembuat catatan akan menghubungkan isi pelajaran yang sedang diterima dengan pengetahuan yang telah ia ketahui. Hasil tersebut konsisten dengan teori belajar generatif yang mengatakan bahwa hasil belajar sangat tergantung dari apa yang tersaji dan pada strategi belajar yang digunakan oleh siswa (Wittrock, 1974). Shrager & Mayer (1989) juga
gagasan yang ada dalam buku teks.
menegaskan bahwa kegiatan note taking juga akan menghasilkan kemampuan problem solving siswa dan kemampuan mengingat kembali tetapi bukan mengingat dan mengenali kata demi kata. Note-taking diakui telah menjadi strategi efektif untuk digunakan sebagai cara meningkatkan kemampuan siswa dalam
32
efek positif dari note taking dalam mengingat kembali pelajaran. Penelitian itu menemukan
Pada perkembangannya, setelah diketemukannya kegiatan membuat catatan sebagai bagian dari strategi belajar bagi siswasiswa reguler, anak-anak dengan problem kesulitan belajar kemudian juga menjadi objek studi dari kegiatan ini. Boyle J. (2001) menemukan kenyataan di lapangan bahwa siswa yang memiliki masalah kesulitan belajar sering tidak mampu mengidentifikasi informasiinformasi penting untuk dicatat; tidak mampu menulis cepat ketika guru sedang menjelaskan pelajaran; atau bahkan jika mereka bisa membuat catatan, maka catatan mereka tidak dapat dipahami isinya sehingga tidak bisa digunakan sebagai bahan belajar di kemudian hari, sebagian besar disebabkan karena catatan mereka tidak bisa dipahami. Boyle, J. (2001) juga meyakini bahwa strategi membuat catatan didasarkan pada pertimbangan bahwa siswa bisa menjadi lebih baik dalam belajar selama proses membuat catatan dengan menggunakan ketrampilan strategi metakognitif.
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511
Strategi Belajar Metakognisi Untuk Meningkatkan Kompetensi .....
Kiewra (1995) menggunakan tiga bentuk note taking dalam membuktikan apakah
kontrol sebanyak 54 siswa. Kelompok eksperimen diberi pelatihan cara cara membuat
menggunakan note taking selama pelajaran berlangsung bisa meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahan ajar yang mereka baca. Ketiga bentuk note taking tersebut masing
catatan, sedangkan kelompok kontrol tidak. Hasilnya adalah, kelompok eksperimen dengan bacaan pilihan memiliki daya serap tinggi
masing bentuk konvensional, bentuk outline dan bentuk matriks. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa catatan berbentuk matriks dan outline akan berisi bahan lebih banyak daripada catatan berbentuk konvensional. Penelitian sebelumnya (Kiewra & Benton, 1991), menegaskan hal ini, bahwa jumlah unit-unit gagasan utama dalam bacaan lebih banyak terlihat pada catatan dan berhubungan dengan materi soal soal tes performance. Bagaimanapun juga, pertanyaan yang bisa diajukan adalah apakah siswa kelas 9 sudah bisa diajari untuk mampu membuat catatan dalam konteks kemampuan memilahkan informasi dimulai dari yang kurang penting, menuju informasi yang sangat penting sehingga harus dicatat. Faber, F. & Morris (2000) menegaskan bahwa siswa kelas 9 ternyata masih memerlukan bimbingan guru, atau lebih tepatnya siswa kelas 9 perlu diberi pelatihan membuat catatan agar mereka lebih bisa memahami buku teks. Penelitian mereka bertujuan ingin mengetahui pengaruh pelatihan membuat catatan pada dua macam bahan bacaan IPS yaitu, bahan bacaan biasa yang tersedia dalam buku pelajaran IPS dan bahan bacaan pilihan siswa yang diambilkan dari sumber lain. Penelitian dilakukan terhadap 115 siswa kelas 9 berusia 13-15 tahun, dan mereka dibagi dalam dua kelompok, yakni kelompok eksperimen sebanyak 61 orang dan kelompok
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511
sehingga pemahaman mereka terhadap bahan bacaan jauh lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
SIMPULAN Pengetahuan metakognisi dapat berperan sangat penting dalam belajar siswa, dan berdampak pada cara bagaimana siswa diajar dan dievaluasi, serta bagaimana seharusnya guru memberi tugas di kelas . Pertama, strategi pengetahuan metakognisi dan tugas metakognisi, sebagaimana pengetahuan diri sendiri, sangat berhubungan dengan bagaimana siswa belajar dan berpenampilan di kelas. Siswa yang memahami tentang berbagai macam strategi untuk belajar, berpikir dan pemecahan masalah akan lebih senang menggunakan keterampilan metakognitifnya. Sebaliknya, bila siswa tidak memahami strategi, maka mereka cenderung tidak akan bisa menggunakan pengetahuan metakognitifnya. Sebagai contoh, siswa yang memahami berbagai macam strategi untuk menghadapi tugas memori, cenderung akan mengunakannya untuk mengingat kembali informasi informasi yang relevan. Demikian pula, siswa-siwa yang memahami berbagai srategi belajar yang berbeda-beda cenderung akan menggunakannya ketika mereka sedang belajar. Dan siswa yang mengetahui banyak tentang strategi-strategi umum untuk berpikir dan pemecahan masalah akan cenderung menggunakannya ketika mereka berhadapan dengan tugas-tugas di kelas yang berbeda
33
Strategi Belajar Metakognisi Untuk Meningkatkan Kompetensi .....
(Bransford et al, 1999, Shcneider & Preslly, 1997; Weinstein & Mayer 1986). Pengetahuan metakognisi tentang berbagai macam strategi tersebut memungkinkan siswa berhasil baik dalam pencapaian hasil belajar dan mampu bertahan lama dalam belajar.
tersebut, ketika membaca dan menggunakan strategi yang berbeda untuk meyakinkan dirinya bahwa ia memahami topik yang sedang ia pelajari. Dengan cara yang sama, jika seorang siswa sadar bahwa ia sedang mengalami kesulitan pada ujian-ujian tertentu
Selanjutnya, pengetahuan metakognitif dengan keseluruhan strateginya itu nampaknya sangat
(misalnya matematika dan sejarah sekaligus), maka ia akan membuat persiapan untuk menghadapi ujian
berhubungan dengan proses transfer belajar, yakni kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang
matematika dengan cara dan porsi yang wajar.
diperolehnya dalam situasi tertentu (Bransford,1999). Seringkali siswa dihadapkan dengan tugas-tugas baru
kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri biasanya akan memiliki kelemahan dalam penyesuaian diri terhadap
yang membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang belum pernah mereka pelajari. Dalam kasus seperti ini, mereka tidak bisa hanya menggantungkan diri hanya pada pengetahuan yang pernah mereka ketahui saja, atau ketrampilan yang pernah mereka kuasai untuk menghadapi tugas baru tersebut. Bagi para ahli, bila mereka menghadapi situasi semacam ini, mereka biasanya menggunakan strategi-strategi yang lebih umum untuk membantu mereka berpikir atau memecahkan masalah. Demikian pula halnya pada siswa, yang tentu saja masih kurang di bidang pengalaman di banyak hal, mereka perlu mengetahui berbagai macam strategi umum untuk belajar dan berpikir dalam rangka menggunakannya kelak ketika mereka berhadapan dengan tugas baru atau tugas menantang.
situasi belajar dan pembelajaran yang berbeda. Sebagai contoh ketika seorang siswa membaca buku
Akhirnya, dalam konteks belajar, pengetahuan akan diri sendiri bisa menjadi fasilitator yang sangat penting atau bahkan bisa menjadi halangan. Siswa
Siswa yang kurang pengetahuannya tentang
pelajaran dan ia pikir ia bisa memahaminya, tetapi sesungguhnya dia tidak memahami, maka ia cenderung akan malas membaca ulang atau mengulangi membaca semua atau bahkan membuat reviu untuk memastikan bahwa ia telah benar-benar memahami bacaan tersebut. Demikian pula, siswa yang yakin bahwa ia telah memahami materi secara keseluruhan akan tidak belajar lagi untuk menghadapi ujian mendatang, padahal pada batas tertentu sesungguhnya dia belum memahami benar-benar materi tersebut. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kurang memahami terhadap diri sendiri bisa menjadi rintangan dalam belajar. Terdapat banyak implikasi hubungan antara pengetahuan metakognitif, belajar, mengajar dan mengadakan asesmen. Dalam konteks pengajaran, ada semacam keharusan bahwa
yang memahami kelemahan dan sekaligus kekuatannya dapat membuat penyesuaian berpikir dan kognisi dirinya untuk bisa menjadi lebih adaptif
pengetahuan metakognitif diajarkan secara eksplisit. Guru dapat melaksanakannya dalam beberapa
terhadap berbagai macam tugas, serta belajar. Sebagai contoh, jika seorang siswa menyadari bahwa dia tidak mengetahui banyak tentang sebuah topik tertentu, ia harus memberi perhatian lebih besar pada topik
mengajar dengan menggunakan pengetahuan metakognisi jarang dilakukan secara eksplisit. Kebanyakan guru justru sering menganggap bahwa
34
pengajaran, akan tetapi dalam banyak hal kegiatan
kebanyakan siswa akan mampu dengan sendirinya
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511
Strategi Belajar Metakognisi Untuk Meningkatkan Kompetensi .....
memperoleh pengetahuan metakognisinya sejalan dengan perjalanan pembelajaran di kelas, padahal justru banyak yang tidak sebagaimana diperkirakan oleh guru. Tentu saja ada juga siswa yang mampu menguasai pengetahuan metakognitif sejalan dengan perkembangan usia dan pengalaman mereka, tetapi lebih banyak lagi yang gagal memperolehnya dengan cara seperti itu. Pengalaman Pintrich (2006) dalam sebuah studi menemukan kenyataan yang cukup mengejutkan, yakni bahwa justru lebih banyak mahasiswa yang pertama kali masuk perguruan tinggi hanya sedikit sekali menguasai pengetahuan metakognisi, pengetahuan tentang berbagai macam
Carter, P and Matre, M. ( 1975 ) Note taking versus Note having , Journal of Education Psychology, (67) 900-904 Dinsmor.D, Alexander.P,Loughlin.SM(2008) Focusing on the Conceptual Lens on Metacognition, Self Regulation and Self Regulated Learning. Educational Psichological Review 20:477-484 Di Vesta,F,J, & Gray,S,G (1972) Listening and note taking .Journal of Educational Psychology (63) 8-14
strategi, berbagai tugas kognitif, dan mereka tidak memiliki pengetahuan pada diri mereka sendiri secara khusus.
Faber, P & Morris& Lieberman ( 2000) ‘the effect of note taking on ninth grade students’ comprehension’, Reading Psychology,( 21: 3) 257 — 270
DAFTAR PUSTAKA
Flavell, J. (1979) Metacognition and cognitive monitoring. American Psychologist, 34(10),906911
Artelt, C. (2006) Predictors of Reading Literacy. European Journal of Psychology of Education,163, 363-383 Asay&Schneider,EW,(1976). The Effect of Untrainned Student Generated Highlighting on Learning.Paper presented at the Meeting of the Northestern Educational Research Association ,Ellensville,New York, Beal.C, Bolick.C.M, (2009), Teaching Social Studies in Middle and Secondary School, Fifth Edition, Pearson Nedw York
Flavell, J. H. (1992). Perspective on Perspective Taking, Piaget,s Theory: Prospect and Possibilities 107-141. Hillsdale Erlbraum Hartley,J & Davies,I,K (1978) Note – taking : A critical r eview, Journal Innovation in Education and Teaching International ,(15:3) 207 – 224 Hattie.J (2010), Visible Learning; A Synthesis of Over 800 Meta Analyses Relating to Achivement, Routledge, Oxon, New York
Boyle,J (2001), Enhancing the note-taking skills of
Jans, V, Leclercq, D 1997) ‘Metacognitive Realism:
students with mild disabilities, Journal of Learning Disabilities,(27) 20-24
a cognitive style or a learning strategy?’, Educational Psychology, 17: 1, 101 - 110,
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511
35
Strategi Belajar Metakognisi Untuk Meningkatkan Kompetensi .....
Jost, J. T., Kruglanski, A. W., & Nelson, T. O. (1998) “Social Metacognition: An Expansionist Review.” Personality and Social Psychology Review, 2(2), 137-154. Kaplan.A.(2008) Clarifying Metacognition ,Self Regulation,Self Regulated Learning :What’s the Purpose ?, Educational Psichological Review 20:477-484 Kiewra, P & Dubois , Roskelly ( 1991) Note taking fuctions and technique, Journal of Educational Psychology (83) 240-245 Kiewra, P & Benton ( 1995) Effect of note- taking format and study technique on recall and relational performance, Contemporary Educational Psychology (20) 172-187 Kiewra K A, & Fletcher,HJ. (1984) The relationship between levels of note-taking and achivement. Human Learning , 3, 273-280. Kirkgoz.Y (2010) Promoting students’ note taking skills through task-based learning,Procedia Social and Behavioral Science (2) 4346-4351 Margaret G. McKeown and Isabel L. Beck (2009), The Role of Metacognition in Understanding and Supporting Reading Comprehension. New York University of Pittsburgh. First published by Routledge 270 Madison Ave, NY 10016 Mischel, W. (1998) “Metacognition at the Hyphen of Social-Cognitive Psychology.” Personality and Social Psychology Review, 2(2), 84-86.
36
Moore.J. (2008) Numbers, Numbers, Numbers: The Role of Population Studies in Social Studies and Global Education, The Social Studies,JulyAugust, 155-160 Palmatier,R (1973) A note taking system for learning ,Journal of Reading ,17, 36-39 Parker.W.C. (2010) Social Studies to Day: Research and Practice, Routledge,Taylor & Francis, 270 Madison Ave, New York Peper, RJ, & Mayer, RE, (1986) Generative effects of note-taking during science lectures. Journal of Educational Psychology, 78, 34-38. Putman.E ( 2003) Using Number the Strars as a Springboard for Doing Social Studies, The Social Studies;Mar-April :94:2. 81-83 Rosemarie L. Ataya and Jonna M. Kulikowich, (2002) Measuring Interest in Reading Social Studies Materials. Educational and Psychological Measurement 62: 1028 Shrager, P & Mayer ( 1989 ) Note taking fosters generative learning strategies in novices, Journal of Educational Psychology (81) 263-264. Shriner.M, Clark.D, Nail.M, (2010) Social Studies Instruction: Changing Teacher Confidence in Classrooms Enhanced by Technology, The Social Studies,101, 37-45. Tayor, B M. (1980) Children’s memory for expository text after reading . Reading Research Quarterly, 15, 399-411 .
Magistra No. 82 Th. XXIV Desember 2012 ISSN 0215-9511