**MASYARAKAT MADANI** ---Oleh : Ahmad Thorik --
*TUGAS AKHIR PANCASILA* Nama
: Ahmad Thorik
NIM
: 11.11.4635
Kelas
: 11.S1TI.01
Jurusan
: Teknik Informatika
Kelompok
:C
Dosen
: Drs. Tahajudin Sudibyo
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2011/2012
MASYARAKAT MADANI ---Oleh : Ahmad Thorik-Abstrak Sudah saatnya masyarakat Indonesia menuju masyarakat berperadaban yaitu masyarakat madani(civil society).Meskipun negara Indonesia memiliki berbagai macam agama, tidak menjadi alasan untuk tidak dapat mencapai cita-cita kenegaraan tersebut yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Piagam Madinahlah yang
mengatur
dengan
tegas
masalah
kerukunan antarumat beragama yang tidak terbatas hanya pada intern umat Islam saja, tetapi juga antara umat Islam dengan umat lain. Nabi Muhammad SAW memberikan jaminan kepada semua rakyat Madinah untuk menjalankan aktivitas agama mereka masing-masing dan menanamkan nilai-nilai madani yang pernah dipraktikan di Madinah. Tentu dibutuhkan sarana maupun media pendidikan untuk mendisain masyarakat madani di Indonesia yaitu pendidikan berbasis Islam.
Kata Kunci : politik, umat beragama, masyarakat madani.
LATAR BELAKANG Adanya perubahan era seperti sekarang ini seharusnya meningkatkan kesadaran masyarakat kita akan arti penting persatuan dan kesatuan. Akan tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Angin reformasi membawa dampak kebebasan yang kurang terkendali. Hal ini akan sangat berbahaya ketika terjadi di tengah-tengah bangsa yang tingkat heterogenitasnya cukup tinggi seperti Indonesia. Rakyat Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat yang cinta damai dan diikat oleh rasa persatuan nasional untuk membangun sebuah negara yang majemuk. Persatuan ini tidak lagi membeda-bedakan agama, etnis, golongan, kepentingan, dan yang sejenisnya. Oleh karena itu, konsep yang cocok untuk konteks Indonesia adalah konsep masyarakat madani. Konsep masyarakat madani sebenarnya berasal dari konsep politik Islam yang secara historis pernah dipraktekkan pada masa awal pemerintahan Islam di bawah kendali Nabi Muhammad SAW. Realitas politik pada masyarakat awal Islam (masa al-salaf al-shalih), menurut Nurcholish Madjid (1999, h. 24), memiliki bangunan kenyataan politik yang demokratis dan partisipatoris yang menghormati dan menghargai ruang publik, seperti kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, dan lain sebagainya. Wujud historis dari sistem sosial politik yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah ini merupakan prinsip-prinsip rumusan kesepakatan mengenai kehidupan bersama secara sosial-politik antara sesama kaum Muslim dan antara kaum Muslim dengan kelompok-
kelompok lain di kota Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Wacana dan aksi politik Islam di Indonesia akan dapat diwujudkan dengan menganut cita-cita politik seperti di atas sehingga politik Islam akan mencatat sejarah yang gemilang yang bisa dinikmati tidak hanya oleh segolongan umat antara kaum Muslim dengan kelompok-kelompok lain di kota Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka nilai yang paling cocok untuk mewarnai Indonesia adalah nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam yang universal dan inklusif akan dapat menopang bangunan politik umat Islam di bumi Nusantara ini yang dapat dinikmati oleh semua masyarakat Indonesia dari berbagai pemeluk agama. Politik Islam yang sangat menekankan demokrasi, persamaan, menghormati hak asasi manusia, dan berkeadilan sosial serta menjunjung tinggi etika dan moralitas sangat cocok untuk diterapkan di negara ini. Konsep masyarakat madani memerlukan berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutantuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangantantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan”. Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena "pendidikan sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia [Conference Book, London, 1978:1617].
RUMUSAN MASALAH 1. Sejauh mana aturan kerukunan antar umat beragama dalam piagam madinah 2. Bagaimana relevansi aturan kerukunan antar umat beragama dalam piagam madinah bagi Indonesia untuk terwujudnya masyarakat madani, 3. Pendidikan Islam seperti apakah yang harus ditanamkan untuk mewujudkan masyarakat Madani Indonesia. 4. Bagaimanakah pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.
PENDEKATAN SECARA HISTORIS DAN YURIDIS (ISLAM) 1. Kerukunan Antarumat Beragama Kerukunan antarumat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh bangsa yang majemuk dalam hal agama. Jika toleransi beragama tidak ditegakkan, bangsa atau negara tersebut akan menghadapi berbagai konflik antar pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan disintegrasi nasional. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus diupayakan pemahaman yang benar dan ditemukan cara untuk menciptakan kerukunan tersebut. Kerukunan antarumat beragama dalam pandangan Islam (seharusnya) merupakan suatu nilai yang terlembagakan dalam masyarakat. Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia (QS. al-Nahl(16):36). Selain itu, ajaran Islam juga mengajarkan tentang pandangan tentang kesatuan kenabian (nubuwwah)dan umat yang percaya kepada Tuhan (QS.al-Anbiya’(21): 92). Ditegaskan juga bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.(Islam) adalah kelanjutan langsung agama-agama yang dibawa nabi-nabi sebelumnya (QS alSyura (4213). Oleh karena itu, Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga hubungan para agama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahli Kitab) (QS. al-’Ankabut (29): 46). Prinsip-prinsip Islam seperti yang terbubuh dalam ayat-ayat al-Quran di atas membawa konsekuensi adanya larangan untuk memaksakan agama (QS. al-Baqarah (2): 256). Ayat ini, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauzi, seperti dikutip oleh Nurcholish Madjid (1990, h. 110), diturunkan karena ada anak-anak kaum Anshar di Madinah yang tidak mau mengikuti jejak orangtua mereka untuk memeluk Islam dan memilih agama Yahudi yang sudah mereka kenal, tetapi kemudian orangtua mereka ingin memaksa mereka memeluk agama Islam. Hal ini mendapat penegasan firman Allah,”Dan jika seandainya Tuhanmu menghendaki, maka pastilah beriman semua orang di bumi, tanpa kecuali. Apakah Engkau (Muhammad) akan memaksa umat manusia sehingga mereka beriman semua?” (QS. Yunus (10): 99). Pendirian ini perlu dikemukakan karena sampai sekarang masih dirasakan kekurang percayaan kepada prinsip ini dari berbagai kalangan. Umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapa pun dari kalangan nonMuslim yang tidak menunjukkan sikap permusuhan berdasarkan prinsip di atas. Pada zaman Nabi SAW, telah terjalin hubungan yang baik dari beberapa kelompok non-Muslim dengan kelompok Muslim.Pemerintahan Islam banyak menunjukkan toleransi kepada umat-
umat beragama lain. Golongan minoritas mendapatkan perlindungan dari pemerintah Islam dan dapat menjalin hubungan
dengan
masyarakat
Muslim
dengan baik dalam
melaksanakan berbagai aktivitasnya
2. Konsep Masyarakat Madani Istilah “madani” berasal dari bahasa Arab “madaniy”. Kata “madaniy” berakar pada kata kerja “madana” yang artinya mendiami, tinggal, atau membangun. Dalam bahasa Arab, kata “madaniy“ mempunyai beberapa arti, di antaranya yang beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata (Munawwir, 1997, h. 1320). Dari kata “madana” juga muncul kata “madiniy” yang berarti urbanisme (paham masyarakat kota). Secara kebetulan atau dengan sengaja, bahasa Arab menangkap persamaan yang sangat esensial di antara peradaban dan urbanisme. Dengan mengetahui makna kata “madani”, maka istilah “masyarakat madani” (almujtama’
al-madaniy)
secara
mudah
bisa
dipahami
sebagai masyarakat
yang
beradab,masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau yang berpaham masyarakat kota yang akrab dengan masalah pluralisme. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu bentuk tatanan masyarakat yang bercirikan hal-hal seperti itu, yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat madani dalam bahasa Inggris sering diistilahkan sebagai civil society atau madinan society.
Adam B. Seligman (dikutip dalam Abdul Mun’im, 1994, h. 6)
mendefinisikan civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan kepentingan antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat sendiri dengan kepentingan negara. Dalam perbincangan ini, masyarakat sipil tidak dihadapkan dengan masyarakat militer yang memiliki power yang berbeda. Civil society (masyarakat sipil), sesuai dengan arti generiknya, bisa dipahami sebagai civilized society (masyarakat beradab) sebagai lawan dari savage society (masyarakat biadab). Vaclav Havel (dikutip dalam Muhammad AS Hikam, 1994, h. 6) menerangkan bahwa dalam civil society, rakyat sebagai warga negara mampu belajar tentang aturan-aturan main lewat dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah upaya memulihkan kembali pemahaman asasi
bahwa rakyat sebagai warga memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas apa yang mereka lakukan atas nama bangsa. Kedua tinjauan konsep masyarakat madani di atas, baik melalui Kedua
tinjauan
konsep masyarakat madani di atas, baik melalui pendekatan bahasa Arab maupun bahasa Inggris pada prinsipnya mengandung makna yang relatif sama dan sejalan, yaitu menginginkan suatu masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban dan
demokrasi. Meskipun konsep tentang masyarakat madani tidak dapat dianalisis secara persis, mana sebenarnya konsep yang digunakan sekarang ini, berfungsinya masyarakat madani jelas dan tegas ada dalam inti sistem-sistem politik yang membuka partisipasi rakyat umum. Konsep masyarakat madani (civil society) kerap kali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur (Madjid, 1997, h. 294). Prinsip dasar masyarakat madani dalam konsep politik Islam sebenarnya didasarkan pada
prinsip
kenegaraan yang diterapkan pada
masyarakat Madinah di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Madinah adalah masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama. Islam bangunan
konsep
ketatanegaraan
datang
ke
Madinah
dengan
yang mengikat aneka ragam suku, konflik, dan
perpecahan. Negara Madinah secara totalistik dibangun di atas dasar ideologi yang mampu menyatukan Jazirah Arab di bawah bendera Islam. Ini adalah babak baru dalam sejarah politik di Jazirah Arab. Islam membawa perubahan radikal dalam kehidupan individual dan sosial Madinah karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh aspek kehidupan (Akram Dliya’ al-Umari, 1995. h. 51). Prinsip dasar yang lebih detail mengenai masyarakat madani ini diuraikan oleh Prof. Akram Dliya’ al-Umari dalam bukunya al-Mujtama’ alMadaniy fi ‘Ahd al-Nubuwwah (Masyarakat Madani pada Periode Kenabian). Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Madinan Society at the Time of Prophet (1995). Dalam buku ini al-Umari menjelaskan secara panjang lebar mengenai dasar-dasar yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam mewujudkan masyarakat madani (masyarakat Madinah). dalam kehidupan individual dan sosial Madinah karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh aspek kehidupan (Akram Dliya’ al-Umari, 1995. h. 51). Prinsip dasar yang lebih detail mengenai masyarakat madani ini diuraikan oleh Prof. Akram Dliya’ al-Umari dalam bukunya al-Mujtama’ al-Madaniy fi ‘Ahd al-Nubuwwah
(Masyarakat Madani pada Periode Kenabian). Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Madinan Society at the Time of Prophet (1995). Dalam buku ini alUmari menjelaskan secara panjang lebar mengenai dasar-dasar yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam mewujudkan masyarakat madani (masyarakat Madinah). Al-Umari (1995, h. 63-120) menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip dasar yang bisa diidentifikasi dalam pembentukan masyarakat madani, di antaranya adalah sebagai berikut. a) Adanya sistem muakhah (persaudaraan). b) Ikatan iman. c) Ikatan cinta. d) Persamaan si kaya dan si miskin. e) Toleransi umat beragama. Prinsip-prinsip masyarakat madani seperti itu sangat ideal untuk diterapkan di negara dan masyarakat mana pun, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lokal dan keyakinan serta budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Namun, masih banyak konsep masyarakat madani yang berkembang di kalangan pemikir kita yang didekati dari konsep lain, bukan dari konsep seperti itu. Salah satunya
adalah
konsep civil society (masyarakat sipil). Seorang pemikir Mesir, Fahmi
Huwaydi (dikutip dalam Wawan Darmawan, 1999, h. 21), berpendapat bahwa orang pertama yang membicarakan tentang “pemerintahan sipil” (civilian government) atau masyarakat madani adalah seorang filosof Inggris, John Locke, yang telah menulis buku Civilian Government pada 1960. Setelah John Locke, di Perancis muncul JJ. Rousseau, yang terkenal dengan bukunya The Social Contract (1762).
PEMBAHASAN 1. Sekilas tentang Piagam Madinah Peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah perubahan masyarakat Arab adalah terjadinya peristiwa hijrah, yakni hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah menuju Madinah. Di kota inilah Nabi kemudian membangun masyarakat baru yang berbeda dari masyarakat manapun pada waktu itu. Masyarakat yang dibangun oleh Nabi tersebut diikat oleh tali kepentingan dan citacita bersama. Setiap warga negara dituntut untuk menaati kontrak sosial (perjanjian) yang dibuat bersama. Masyarakat ini lahir berdasarkan kontrak sosial yang dibuat dan
disetujui bersama oleh seluruh penduduk Yasrib (Madinah) dan sekitarnya yang terekam dalam sebuah piagam yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Masyarakat
yang
mendukung
piagam
ini
jelas
memperlihatkan
karakter
masyarakat majemuk, baik ditinjau dari segi etnis, budaya, dan agama. Di dalamnya terdapat etnis Arab, Muslim, Yahudi, dan Arab nonMuslim (Nourouzzaman Shiddiqi, 1996, h. 85). Keberadaan Piagam Madinah sangat terkait dengan perjalanan politik Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah yang sangat plural. Piagam ini dibuat sebagai salah satu siasat Nabi untuk membina kesatuan hidup berbagai golongan warga Madinah (Ahmad Sukarja, 1995, h 3). Oleh karena itu, dalam piagam ini dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antarkelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup dan sebagainya. Eksistensi pluralisme masyarakat Madinah menuntut Nabi membangun tatanan hidup
bersama
yang
mempersaudarakan
mencakup
antara
kaum
semua
golongan
Muhajirin
dan
yang
Anshar.
ada.
Mula-mula,
Nabi
Selanjutnya, membangun
persaudaraan yang melibatkan semua masyarakat Madinah yang tidak terbatas kepada umat Islam saja. Dokumen Piagam Madinah ini terdiri dari dua bagian, tetapi kemudian dijadikan satu oleh para ahli sejarah. Satu bagian berkaitan dengan perjanjian damai antara Nabi SAW (berserta umat Islam) dengan kaum Yahudi, dan satu bagian lagi berisi komitmen, hak-hak, dan kewajiban kaum Muslimin baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Dokumen perjanjian damai antara Nabi dengan Yahudi dibuat sebelum Perang Badar dan dokumen antara Muhajirin dengan Anshar dibuat setelah Perang Badar (al-Umari, 1995, h. 102). Munawir Sjadzali (1993, h. 15-16) menerangkan bahwa ada dua poin penting yang merupakan inti Piagam Madinah, yaitu antara lain sebagai berikut: 1) Semua pemeluk agama Islam merupakan satu komunitas (umat) meskipun berasal dari banyak suku (seperti terlihat pada pasal 1-10, 23-35, 39-42). 2) hubungan
Islam
dengan
komunitas
lain
didasarkan
pada
prinsip
untuk
bertetangga baik (pasal 11), saling membantu dalam menghadapi musuh (pasal 12, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 22, 36, 37, 38, 43-47), membela mereka yang teraniaya (pasal 13, 16, dan 21), saling menasehati (pasal 37), dan menghormati kebebasan beragama (pasal 15, 16, 25-35, dan 40). Watak masyarakat yang dibina oleh Nabi adalah berpegang kepada prinsip kemerdekaan berpendapat dan
menyerahkan urusan kemasyarakatan kepada umat sendiri (Shiddiqi, 1996, h. 94). Piagam Madinah ini kemudian oleh para pakar ilmu politik Islam dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar pertama bagi negara Islam yang didirikan oleh Nabi (Sjadzali, 1993, h 10). Bahkan, menurut penyelidikan terbaru, Piagam Madinah ini merupakan piagam politik (konstitusi) pertama di dunia yang memenuhi persyaratan kenegaraan, bukan konstitusi di Amerika Serikat yang baru muncul tahun 1787, atau di Perancis yang muncul tahun 1795, atau juga di Inggris yang mulai muncul tahun 1215 (Ahmad, 1973, h 6). Di antara penulis politik Islam yang memberi perhatian kepada Piagam Madinah ini adalah Ibnu Ishaq sebagai periwayat awal mengenai piagam tersebut, Dr. Muhammad Jalaluddin Sarur, Syed Ameer Ali, Muhammad Khalid, H.O.S. Cokroaminoto dan lain-lain. Mereka ini adalah kalangan pemikir Muslim. Dari
kalangan
pemikir
nonMuslim,
(orientalis) tercatat misalnya Alfred Guillaume, HAR. Gibb, George E. Kerk, Joseph Hell, dan Emile Dermenghem. Isi dari Piagam Madinah adalah berupa kalimat-kalimat, seperti yang tersusun dalam Sirah al-Nabiyy Ibnu Hisyam, yang tersusun secara bersambung dan tidak terbagi atas pasal-pasal. Naskah itu dimulai dengan kalimat Basmallah yang disusul dengan rangkaian kalimat berbentuk prosa (bukan syair) (Sukarja, 1995, h. 45). Setelah melalui penelitian yang seksama, Piagam Madinah ini kemudian diketahui tersusun dalam pasalpasal yang berjumlah 47. Piagam
Madinah
mengalami
beberapa
amandemen.
Amandemen dilakukan
terhadap pasal-pasal yang membahas tentang golongan minoritas, yaitu pasal-pasal 2435. Pasal-pasal ini hanya menyebutkan kaum Yahudi dengan segala kabilahnya. Amandemen ini menambah masuknya kaum Nasrani, yaitu perjanjian yang pertama kali dibuat oleh Nabi Muhammad SAW. dengan kaum Nasrani dari Najran pada tahun pertama hijrah (622 M) (Ahmad, 1973: 44). Amandemen ini juga memuat pengakuan terhadap kaum Majusi (Zoroaster). Bentuknya adalah sepucuk surat yang dikirimkan oleh Nabi sebagai kepala negara kepada Farruch Ibn Syakhsan, Kepala Daerah Yaman yang beragama Yahudi (Ahmad, 1973, h. 48).
2. Kerukunan Umat Beragama dalam Piagam Madinah Piagam Madinah memberikan jaminan dan kebebasan yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Pasal 25 piagam
ini menyatakan, “Kaum Yahudi dari Bani ’Auf adalah satu umat dengan kaum mukmin. Bagi kaum Yahudi (bebas memeluk) agama mereka dan bagi kaum Muslim (bebas memeluk) agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.” Ungkapan ini senada dengan bunyi kutipan ayat al-Quran surat al-Kafirun (109) ayat 6. Ayat ini dengan tegas memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk
mengikuti
ketentuan agamanya, begitu juga bagi orang-orang di luar Islam. Pasal 25 Piagam Madinah juga menegaskan bahwa golongan Yahudi diakui sebagai satu kesatuan umat bersama golongan Muslim. Ini berarti bahwa golongan Yahudi dapat dianggap sebagai satu kesatuan jika didasarkan pada komunitas yang paralel dengan komunitas kaum Muslim. Apabila kaum Yahudi dan orangorang di luar Islam melakukan kezaliman dan kejahatan, maka kaum Muslim harus bersikap tegas terhadap mereka. Pada Pasal 20 Piagam Madinah dinyatakan bahwa, “Orang-orang musyrik di Madinah tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang-orang musyrik Quraisy.” Penyebutan kata musyrik pada pasal ini mengandung pengakuan akan adanya penganut agama-agama lain (paganisme) yang menjadi agama terbesar yang dipeluk oleh masyarakat Madinah pada awal pemerintahan Nabi SAW di Madinah. Mereka diajak untuk memeluk Islam tanpa paksaan. Dengan cara ini, mereka kemudian banyak yang memeluk Islam. Nabi SAW dan umat Islam tidak pernah berperang dengan orang-orang di luar Islam yang didasarkan atas perbedaan agama. Kalaupun terjadi perang, hal ini semata-mata karena adanya pengkhianatan politik, seperti yang dilakukan oleh kaum musyrik Madinah. Peperangan Nabi dan umat Islam dengan kaum musyrik Quraisy bukan karena perbedaan agama mereka, melainkan karena sikap permusuhan mereka terhadap Nabi dan umat Islam. Amnesti (pengampunan) umum yang diberikan Nabi kepada warga Makkah sesudah peristiwa Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah oleh Nabi dan umat Islam) merupakan bukti bahwa Nabi berperang melawan mereka bukan karena kemusyrikan mereka melainkan karena sikap permusuhan dan pengkhianatan mereka. Orang Islam, Yahudi, dan Nasrani masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam beribadah dan menganut kepercayaan serta mendakwahkan agamanya masing-masing. Dalam suasana kebebasan beragama ini, pernah diadakan dialog atau debat agama yang berlangsung di Madinah dari ketiga agama besar ini. Pihak penganut Yahudi sama sekali menolak ajaran Isa dan Muhammad. Mereka menonjolkan bahwa Uzair adalah
putera Allah. Sedangkan dari pihak kaum Nasrani mengemukakan paham Trinitas yang mengakui Isa sebagai putera Allah. Sementara
itu,
Nabi
Muhammad
SAW
mengajak
semua
manusia
untuk
mengesakan Allah. Kepada kaum Yahudi dan Nasrani Nabi mengajak, “Marilah kita menerima kalimat yang sama di antara kami dan kalian, bahwa tidak ada yang kita sembah selain Allah. Kita tidak mempersekutukannya dengan apapun. Tidak perlu di antara kita mempertuhankan satu sama lain, selain dari Allah.” (QS. Ali Imran (3): 64). Jadi, al-Quran mengikat umat Islam, umat Yahudi, dan umat Nasrani sebagai satu kesatuan agama samawi yang samasama mengakui adanya Tuhan yang satu. Kenyataannya, agama Yahudi dan Nasrani tidak hanya mengakui Tuhan yang satu, tetapi juga mengakui Tuhan yang lain, sehingga apabila kesepakatan itu tidak dicapai yang dituntut al-Quran adalah pengakuan adanya identitas Muslim (Quraish Shihab, 1992, h. 302). Pertemuan tiga agama itu tidak membawa kepada kesatuan agama. Nabi SAW membebaskan kaum Yahudi dan Nasrani tetap pada pendiriannya masing-masing. Nabi hanya mengajak mereka untuk mengesakan Allah. Dalam kesehariannya, Nabi tidak pernah memusuhi mereka. Mereka bebas melakukan aktivitas
mereka
masing-masing.
Inilah
kebijakan yang ditempuh oleh Nabi yang berakibat tidak sedikit orang Yahudi dan Nasrani kemudian memeluk Islam atas kesadaran mereka sendiri yang pada akhirnya semakin memperkokoh keberadaan negara Madinah yang dibangun Nabi SAW. 3. Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki penduduk dengan jumlah yang sangat besar. Di tengah-tengah besarnya jumlah penduduk tersebut, tumbuh dan berkembang keragaman budaya, sosial, dan agama. Dari sisi agama, Indonesia mengakui hidup dan berkembangnya lima agama resmi negara, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, dan Buddha. Di samping lima agama tersebut, di Indonesia juga telah berkembang agamaagama yang tidak resmi yang dipeluk oleh sebagian kecil bangsa Indonesia, terutama di daerah-daerah pedalaman. Agama-agama yang tidak resmi ini biasanya dikenal dengan sebutan aliran kepercayaan yang tidak bersumber pada ajaran agama, tetapi bersumber pada keyakinan yang tumbuh di
kalangan
masyarakat sendiri.
Keragaman
seperti ini menimbulkan permasalahan di tengah masyarakat yang terkadang memicu konflik antaragama. Kemajemukan masyarakat dalam hal agama dapat merupakan sumber kerawanan
sosial apabila pembinaan kehidupan beragama tidak tertata dengan baik. Masalah agama merupakan
masalah
yang
bersifat
sensitif
yang
sering memunculkan konflik dan
permusuhan antargolongan pemeluk agama. Negara Indonesia menjamin kehidupan agama bagi seluruh rakyatnya. Dasar negara Pancasila memberikan jaminan kebebasan beragama dengan sila yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” UU D 1945 juga menjamin kebebasan menjalankan agama dengan satu pasal khusus, yaitu pasal 29. Di samping itu, semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” memberikan peluang leluasa bagi beragam agama yang ada untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran agama di bawah satu kesatuan dasar Pancasila dan UUD 1945. Menteri
Agama
RI
tahun 1978-1984
(H.
Alamsjah
Ratu
Perwiranegara)
menetapkan Tri Kerukunan Beragama, yaitu tiga prinsip dasar aturan yang bisa dijadikan sebagai landasan toleransi antarumat beragama di Indonesia. Tiga prinsip dasar yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut: 1) Kerukunan intern umat beragama. 2) Kerukunan antar umat beragama. 3) Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah (Departemen Agama RI, 1982/1983, h. 13). Untuk melaksanakan Tri Kerukunan Beragama ini, dikeluarkan juga Keputusan Menteri Agama yang menjabarkan aturan itu dengan lebih rinci, yaitu Keputusan Menteri Agama no. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama dan Keputusan Menteri Agama no. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembagalembaga Keagamaan di Indonesia. Tiap golongan beragama dapat mencurahkan perhatiannya terhadap pembinaan dan
peningkatan
kualitas
warga
golongannya
masing-masing sekaligus
kerukunan
antarumat beragama akan terjaga jika aturan-aturan tersebut di atas dipatuhi. Dalam kenyataannya, aturan-aturan ini sering tidak dipatuhi, terutama oleh golongan minoritas. Meskipun
demikian,
pelanggaran
terhadap
aturan
tersebut
tidak
sampai
menimbulkan konflik yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Kalaupun akhir-akhir ini konflik antarpemeluk agama terjadi, seperti di Ambon, Poso, dan tempattempat lain, hal ini sebenarnya bukan disebabkan oleh masalah agama semata, tetapi sudah banyak ditopangi oleh berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik. Hal inilah yang menyulitkan pemerintah untuk segera meredakan konflik tersebut. Pemerintah juga membentuk sebuah forum konsultasi dan komunikasi antara
pemimpin
atau
pemuka
agama
dengan
pemerintah
untuk
memelihara kerukunan
antarumat beragama di Indonesia. Hal ini melengkapi upaya yang sebelumnya telah dilakukan, yaitu pemantaban organisasi masing-masing agama. Forum yang dimaksud diberi
nama
Wadah
Musyawarah
Antarumat Beragama
yang
ditetapkan
dengan
Keputusan Menteri Agama no. 35 tahun 1980. Organisasi umat beragama tingkat pusat adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk umat Islam, Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) untuk umat Kristen Katolik, Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) untuk umat Kristen Protestan,
Parisada
Hindhu Dharma Pusat (PHDP) untuk umat Hindhu, dan Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) untuk umat Buddha (Depag, 1982/1983, h. 46). Wadah-wadah ini diharapkan
dapat
menjadi
pelindung sekaligus tempat mengadu tentang berbagai
permasalahan yang terkait dengan agama. Aturan-aturan tentang kerukunan antarumat beragama di Indonesia pada prinsipnya tidak berbeda dengan aturanaturan dalam Piagam Madinah. Tidak ada perbedaan yang mendasar dari kedua sumber aturan tersebut tentang kerukunan antarumat beragama. Keduanya sama-sama memberikan keleluasaan kepada masing-masing penganut agama untuk melaksanakan agamanya masing-masing. Perbedaan terlihat dalam hal penanganan terhada permasalahan yang muncul. Jika Nabi dengan cepat menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul, maka tidak demikian halnya pemerintah Indonesia. Apa yang dilakukan oleh pemerintah kurang
cepat
dan
kurang
tegas
sehingga konflik
yang
Indonesia terlihat
terjadi
meluas
dan
berkepanjangan serta semakin sulit menyelesaikannya dengan tuntas. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Piagam Madinah, terutama yang terkait dengan aturan kerukunan antarumat beragama, bisa dijadikan landasan untuk
mengatur
masalah yang sama di Indonesia.Sikap Nabi dalam menyelesaikan permasalahan agama di Madinah juga bisa dijadikan cermin untuk menyelesaikan permasalahan kerukunan umat beragama yang muncul hingga akhir-akhir ini di Indonesia, apalagi Indonesia sudah mencanangkan terwujudnya masyarakat madani.
4. Pendidikan Islam Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu membahas apa itu pendidikan?
Menurut M.J. Langeveld ; "Pendidikan merupakan upaya manusia
dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan [Kartini Kartono, 1997:11]. Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama [Ahmad D. Marimba, 1978:20]. Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor : 2 Tahun 1989, "pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Sedangkan, "pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atausemua usaha generasi tua untuk mengalihkan [melimpahkan] pengetahuannya,pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah [Zuhairin, 1985:2]. Para ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifatsifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya, "apakah manusia dilihat sebagai kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan [innate] yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang menentukan [domain] dalam perkembangan manusia? Bagimanakah kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian [akhirat]? Demikian beberapa pertanyaan filosofis" yang diajukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas , memerlukan jawaban yang menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti; pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan tentang pendidikan. Tetapi, "dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang [dewasa] secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang [yang belum dewasa]. Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan" [Anwar Jasin, 1985:2]. Dari uraian di atas, timbul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa
sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2], atau menurut Abdurrahman anNahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman an-Nahlawi, 1995:26]. Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar "transper of knowledge" ataupun "transper of training", tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan [Roihan Achwan, 1991:50]. Dengan demikian,dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifatsifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits [Anwar Jasin, 1985:2]. Jadi, dapat dikatakan bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata [pendidikan intelek, kecerdasan], melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. Maka,..pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan [eksistensi] manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secarakualitatif" [M.Rusli Karim, 1991:29-32]. Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu[Anwar Jasin, 1985:2]. Dalam al-Qur'an, dikatakan "tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....[ar-Rum : 30]. Dengan demikian, manusiapada mulanya dilahirkan dengan
"membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah [Anwar Jasin, 1985:3]. Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-A'raf : 172,"Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui halini" [Zaini Dahlan, 1998:304]. Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disebut dengan "tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya. Selain itu, dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrah-nya [pada alMu'minun:115 dan al-Baqrah:286]. Selain itu juga manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah [pada al-Ahzab : 72]. Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain [pada Faathir:18]. Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan
al-bayan
[fasih
perkataan
-
kesadaran nurani] yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik [pada ar-Rahman:3-4]. Pada hadits Rasulullah,"barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik. Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bias dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa
berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. Ketiga, profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan.
Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang
mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajarmengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student active learning] [Anwar Jasin, 1985:4-5]. Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah yaitu dengan membawa "potensi bawaan" seperti
potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah. Berdasarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu [dunia –akhirat] dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang
khalifat dan
muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit ke-pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits [ajaran Islam].
5. Pembaharuan Pendidikan Islam Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam
dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas [Muslih Usa, 1991:11-13].Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. [a] konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. [b] lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam. Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap.Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia [hakekat] kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis [Anwar Jasin, 1985:8], Sehubungan dengan itu, konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam. Maka, dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan ( sosial - kultural ) diperhatikan.
Jadi, apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka
langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam,
mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang
mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan [sosial – cultural] yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi, tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai
arah yang pasti [Rangkuman dari Anwar Jasin, 1985:8 –9]. Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut [masyarakat madani]. Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkandan meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam di Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari ketidaktahuannya [ignorance] akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani" dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya dalam menuju "masyarakat madani". Kalau tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat ideal yang dicita-citakan bangsa ini. Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia. Maka masyarakat madani yang diprediski memiliki ciri ; Universalitas, Supermasi, Keabadian, Pemerataan kekuatan, Kebaikan dari dan untuk bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep ini, maka konsep filsafat dan teoritis pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut. Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan sebagai berikut : [a] pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan seorang muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, [b] pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, [d] pendidikan
yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur [Suroyo, 1991:45-48], (e) pendidikan Islam harus didisain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat madani. Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga- lembaga pendidikan [Anwar Jasin, 1985:15] Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembagalembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang dapat dilakukan oleh lembagalembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih. Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum [nonagama] dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga produknya [hasilnya] serba setengah-tengah atau tanggung baik pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu,lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju "masyarakat madani", lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah
mendisain model
pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidiank keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan dunia.
KESIMPULAN 1. Piagam Madinah adalah kumpulan naskah yang berisi perjanjian yang dilakukan oleh
Nabi
Muhammad
SAW
dengan
kaum
Muslim,
baik
dari golongan
Muhajirin maupun golongan Anshar, dan perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Yahudi di Madinah. Piagam ini terdiri dari 47 pasal yang mengatur masalah kesatuan umat (bangsa) di Madinah, kesediaan untuk saling
membantu, saling menasehati, saling membela, dan menghormati kebebasan beragama. 2. Piagam Madinah mengatur dengan tegas kebebasan beragama bagi para penganut agama yang ada di Madinah, terutama kaum Muslim dan kaum Yahudi. Sebagai kepala negara, Nabi menjamin hak semua rakyat Madinah, baik Muslim maupun non-Muslim dalam melakukan aktivitas keagamaan. Nabi akan menindak tegas siapa pun yang melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian yang sudah dibuat dalam Piagam Madinah. 3. Kerukunan umat beragama di Indonesia pada prinsipnya sudah di atur dengan baik. Berbagai aturan sudah dibuat oleh pemerintah untuk melaksanakannya. Aturanaturan ini tidak jauh berbeda dengan aturan yang tertuang dalam Piagam Madinah. Jika pada akhirnya muncul berbagai konflik antarumat beragama di Indonesia, hal ini tidak semata-mata terkait dengan masalah agama belaka, tetapi sudah ditunggangi oleh berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik. 4. Menyarakatmadani merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kerah masyarakat madani yang dicita-citakan. 5. Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. (3) Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas"masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA Mun’im, Abdul DZ, 1994. “Masyarakat sipil sebagai masyarakat beradab”. Republika. 20 September 1994. Ahmad, Zainal Abidin, 1973. Piagam Nabi Muhammad SAW: konstitusi negara tertulis yang pertama di dunia. Jakarta: Bulan Bintang. Darmawan, Wawan, 1999. “Masyarakat madani: peran strategis umat Islam”. Dalam Sudarno Shobron & Mutohharun Jinan (eds.), 1999. Islam, masyarakat madani, dan demokrasi. Halaman 20-26. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Departemen Agama RI, 1982/1983. Pedoman dasar kerukunan hidup beragama. Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen Agama. Hikam, Muhammad AS, 1994. “Demokrasi dalam wacana civil society”. Republika. 10 Oktober 1994. Madjid, Nurcholish, 1990. “Hubungan antar umat beragama: antara ajaran dan kenyataan”. Dalam W.A.L. Stokhof (Ed.), 1990. Ilmu perbandingan agama di Indonesia: beberapa permasalahan. Jakarta: INIS. _______, 1997. “Dinamika budaya pesisir dan pedalaman: menumbuhkan masyarakat madani”. Dalam Abdullah Hafizh dkk. (Eds.)., 1997. HMI dan KAHMI menyongsong perubahan menghadapi pergantian zaman. Jakarta: Majelis Nasional KAHMI. _______, 1999. Cita-cita politik Islam di era reformasi. Jakarta: Yayasan Paramadina. Munawwir, Ahmad Warson, 1997. Al-Munawwir: kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif. Nasution, Harun, 1985. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jilid 1. Jakarta: UI Press. Shiddiqi, Nourouzzaman, 1996. Jeram-jeram peradaban Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shihab, M. Quraish, 1992. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan. Sjadzali, Munawwir, 1993. Islam dan tata negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran. Edisi V. Jakarta: UI Press. Sukarja, Ahmad, 1995. Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: kajian perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk.
Cetakan 1. Jakarta: UI Press. Abdurrahman an-Bahlawi,Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Beiru-Libanon, Cet. II, 1983., Terj., Shihabuddin,Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, 1995. Ahmad D. Marimba, 1974,Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, al-Ma'arif, Bandung, Cet.III,. Anwar Jasin, 1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, Jakarta. Conference Book, London, 1978. Fathiyah Hasan Sulaiman,Bahts fi 'L-Madzhab al-Tarbawy 'Inda 'L-Ghazaly, Maktabah Nadhlah, Mesir, 1964., Terj., Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz, Konsep Pendidikan al-Ghazali, P3M, Jakarta, Cet. I, 1986. H.A.R. Tilar, 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I,. Imam Barnadib, 1997,Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cet. Kesembilan,. Komaruddin Hidayat, 1998,Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Tanggal, 25-26 September. Masykuri Abdillah, 1999, Islam dan Masyarakat Madani, Koran Harian Kompas, Sabtu, 27 Februari. Mufid, 1998, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah "Seminar Nasional dan Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang", Tanggal, 25-26 September. Muslim Usa (editor)1991, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I, M.Rusli Karim, 1991, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara
Wacana, Yogya, Cet.Pertama. Roihan Achwan, 1991, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Soroyo, 1991, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya. Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986, Crisis Muslim Education., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah. Thoha Hamim, 1999, Islam dan Masyarakat Madani (1) Ham, Pluralisme, dan Toleransi Beragama, Koran Harian "Jawa Pos", Kamis Kliwon, Tanggal, 11 Maret. Zuhairini, dkk, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. II,