Steik Tuna Mr. Obama Diterbitkan oleh:
dufix Publishing Buku ini merupakan karya fiksi. Nama, karakter, tempat dan kejadian merupakan rekayasa dari khayalan penulis. Kesamaan kejadian atau tempat atau nama seseorang, baik yang masih hidup atau sudah mati, merupakan bentuk ketidaksengajaan.
Hak Cipta © oleh Ali Reza Hak cipta dilindungi undang-undang
Kunjungi kami di: http://neowerewolf.blogspot.com
Steik Tuna Mr. Obama
“Kami makan di restauran,” Keith berkata. “Aku, Mr. & Mrs. Obama, dan Dr. Lee.” Keith adalah pasien baruku sehingga aku harus benar-benar mempelajari catatan medisnya. Ia mengalami gangguan nafas akut, demam di malam hari dan sering mengeluh masalah ginjalnya. Terapi yang diberikan Dr. Lee hanya pengobatan jangka pendek dan ini sangat menggangguku. Tapi aku dokter yang berpengalaman. Aku tahu lebih dari dua ribu komposisi obat berserta nama patennya meski hanya sembilan puluh persen aku hapal harganya. Aku selalu meminta Bob untuk membelikanku buku daftar obat terbaru sebagai upayaku mengikuti perkembangan obat. “Baiklah Keith, buka kancing bajumu.” Ketih agak lama merespon permintaanku dan aku harus mengulang sekali lagi dengan suara lebih keras. “Ma’afkan aku, dok. Aku masih teringat Mr. Obama.” “Kau selalu mengingatnya. Kau selalu ingin menceritakannya.” Keith membuka kancing bajunya, tapi ia membuka semuanya. “Keith, kau tidak perlu membuka semuanya. Dua kancing saja.” “Oh, eh. Ma’af, dok.” Keith selalu minta ma’af. Ma’af untuk ini, ma’af untuk itu. Aku tidak mengerti apa kesalahannya kepada orang lain. Tapi aku profesional, sering kali hanya dengan mendengar keluhan, aku bisa membantu penyembuhan pasien lebih cepat meskipun itu terasa menggelikan dan aneh.
“Jadi, kau makan malam apa dengan … Presiden kita?” aku berkata sambil menahan tawa geliku ketika menyebut ‘Presiden kita’. “Kau tertawa, dok.” “Tidak. Aku tidak tertawa.” “Ya, kau tertawa.” “Ok, Keith. Aku tertawa. Ma’afkan aku.” “Kau selalu minta ma’af, dok.” Aku selesai memeriksa detak jatungnya. Tidak ada masalah dengan jantungnya, iramanya stabil dan terdengar kecang di telingaku. Hanya saja stetoskop membuat kedua telingaku sakit. “Sekarang buka mulutmu lebar-lebar.” Keith membuka mulutnya sangat lebar, bau tidak sedap keluar dari dalamnya. “Keluarkan lidahmu dan katakan: AAA.” Keith menuruti perintahku, aku mulai mengarahkan senter kecilku sambil menahan bau mulutnya. Gigi atas dan bawahnya bolong, lidahnya pucat dan itu berarti menandakan sesuatu. Aku berpikir sebentar. Ada indikasi-indikasi peradangan, dan analisaku mengarah pada penyakit aneh yang terjadi belakangan ini seperti flu babi, flu burung, sapi gila atau mungkin hanya asma. Keith mengatakan sesuatu yang tidak jelas sambil menunjuk-nunjuk ke arah mulutnya. “Sebentar, Keith. Aku sedang berpikir.” Keith mengangguk. Seharusnya ia mengerti tugas seorang dokter. Menentukan penyakit dan obat-obatan yang akan diberikan pada pasien merupakan sesuatu yang penting. “Kau boleh menutup mulutmu, Keith.”
Keith menutup mulutnya, ia berkata, “Aku sakit apa, dok?” “Entahlah. Sekarang berbaringlah.” Aku menekan bagian kiri perutnya dan menanyakan apakah terasa sakit di bagian itu. “Tidak, dok. Bagian itu baik-baik saja.” Aku memindahkan tanganku ke bagian tengah perutnya, lalu sedikit naik, dan menekannya lebih keras hingga aku melihat Keith merasa seperti kehabisan nafas. “Hu-uh itu sakit sekali, dok.” Aku kembali ke mejaku setelah mendapat kesimpulan, lalu memanggilnya dan menyuruhnya duduk di hadapanku. Keith melompat, melangkah perlahan sambil menggaruk-garuk kepalanya, lalu menarik kursi dan duduk menunggu di hadapanku sementara aku menulis resep obat untuknya. Aku seorang dokter spesialis jantung lulusan Harvard yang bertugas mulifungsi sejak menginjakkan kaki di rumah sakit ini. Rumah sakit yang kumaksud adalah rumah sakit kelas satu di Chicago dengan fasilitas payah. Ini malam natal, hampir semua dokter pergi bertemu keluarga mereka, kecuali aku yang memang memiliki hati tulus mendampingi pasien. Satu jam lagi aku akan melakukan operasi usus buntu, setelah itu kunjungan di bangsal TBC melihat keadaan pasien-pasienku. Dan dalam semua kasus, aku harus menjadi seorang psikiater. “Keith, kau belum menceritakanku tentang makan malammu.” “Well, dok. Mr Obama memesan makanan untukku. Ia bilang apakah aku suka steik. Aku jawab aku suka steik. Kautau dok, aku suka semua makanan,” Keith tersenyum. “Jadi, apa yang kaumakan?” “Steik tuna.”
“Kaumakan steik tuna?” “Mr. Obama juga makan steik tuna. Sangat lezat, dok.” “Obama tidak makan Steik, ia seorang vegetarian sama seperti aku.” “Tidak, dok. Mr Obama makan steik tuna, dan dia bilang ini steik terlezat di Chicago.” “Kau salah, Keith. Obama tidak makan daging. Begitu juga istri dan kedua anaknya. Ia mendidik keluarganya dengan baik untuk hidup sehat. Kautau, daging itu penuh dengan parasit. Parasit itu sumber penyakit. Aku mempelajarinya di Harvard.” “Tapi ikan bukan daging, dok. Mr Obama makan Steik tuna. Ia menghabiskannya dan hampir-hampir nambah jika tidak menyadari dirinya sedang berada di hadapan wartawan.” “Aha! Kau pintar, Keith. Tapi kau tidak cukup cerdas. Apakah kau cukup punya bukti bahwa Obama makan steik? Kaubilang ada wartawan. Kau bisa membawakan korannya padaku?” “Tidak, dok. Aku tidak punya korannya.” “Jadi kau mengakui aku yang benar dan kau yang salah.” “Kau benar, dok. Aku yang salah. Ma’afkan aku.” “Kau selalu minta ma’af, Keith.” Aku merobek lembaran kopi resep dan memberikannya pada Keith. Keith membaca resep yang kutulis, lama membacanya. “Kau tidak perlu menatapnya. Berikan saja pada apotik dan ambil obatnya.” “Baik, dok.” Keith berjalan ke luar kamar, berhenti di tepi pintu dan mengucapkan sesuatu yang tidak perlu. “Terima kasih, dok.”
Keith pasien terakhirku dan kurasa aku bisa istirahat lebih awal malam ini. Ia pasien spesial meski ia kerap terobsesi bertemu dengan Obama. Untuk pasien spesial terkadang aku harus mengikuti permainannya. Tapi menyetujui Obama makan steik adalah tidak mungkin karena aku tahu betul kawan masa kecilku itu. Aku bangkit dan berdiri di hadapan cermin ajaib, memandang diriku dalam jas putih baru yang terlalu sempit dan membuat perih di bagian ketiak. Mungkin lain kali aku akan meminjam jas Dr. Allan. Ukuran tubuhnya sama denganku. Dr. Lee datang bersama Bob. Aku menyukai Dr. Lee karena ia seorang wanita cerdas meskipun harus kuakui ia tidak lebih cerdas dariku dalam menganalisa penyakit dan memberikan terapi untuk pasien. “Jadi, Keith pasien terakhirmu, Joe?” “Ya, dan aku memberikan pengobatan yang terbaik untuknya. Ia akan sembuh dalam beberapa hari.” “Kau memang hebat Joe. Jadi, boleh kuminta jasku kembali.” “Silahkan, dok.” Aku melepas jasnya dengan susah payah dan memberikan padanya. “Dok, boleh aku bertanya padamu?” “Tentu.” “Apa betul Obama menyukai steik tuna?” “Presiden sangat menyukai steik tuna, Joe. Darimana kautahu? Ah, Keith pasti memberitahumu.” Aku melihat Bob memberikan koran pada Dr. Lee, lalu Dr. Lee menunjukkan padaku halaman depan. Di situ ada foto Dr Lee, Keith, Obama dan Michelle, dan Bob berdiri di samping
mereka. Aku minta koran itu untuk kubaca. Bob memberikannya padaku. Tapi aku tidak membaca apapun. Tapi jika kau bisa membaca, seperti inilah tulisan di koran:
PRESIDEN MENYUMBANG US$ 200.000 UNTUK RSJ CHICAGO
“Seharusnya kau yang makan malam dengan presiden, Joe. Tapi malam itu kau terus menendang-nendang ranjang dan menyakiti dirimu sendiri sehingga Bob terpaksa harus mengikatmu. Kamu ingatkan?” “Aku ingat, dok. Ma’afkan aku.” “Sekarang kau kembali ke kamarmu. Bob akan mengantarmu.” “Ok, dok.” Bob memegang tanganku tanpa menariknya seperti yang biasa ia lakukan jika aku bersikeras tidak mau kembali ke kamar karena iblis-iblis bersayap masih berterbangan di kamarku. “Dr Lee?” aku memanggilnya “Ya, Joe,” jawabnya, tersenyum padaku. Senyumnya seperti malaikat “Terima kasih telah mengusir iblis-iblis itu dari kamarku.” “Sama-sama, Joe.” Aku memandang Dr. Lee untuk terakhir kalinya malam itu. Aku menyukai 89 di bajuku. Dr. Lee bilang iblis-iblis tidak akan datang kembali selama 89 itu masih menempel di bajuku.
***
Profil Penulis Ali Reza, dilahirkan di Subang, 25 Mei 1980 dan besar di Bekasi. Sudah menulis puluhan cerpen yang tersebar di berbagai media online.
Ali Reza bisa dihubungi melalui: Email & google+ :
[email protected] facebook:
[email protected] twitter : @alirezabekasi