STATUS KESUBURAN TANAH DI DAERAH REKLAMASI TAILING DAN PENGARUH KEBERADAAN PT. FREEPORT INDONESIA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI SEKITARNYA
Oleh : NOVITA SARI A24103080
PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
STATUS KESUBURAN TANAH DI DAERAH REKLAMASI TAILING DAN PENGARUH KEBERADAAN PT. FREEPORT INDONESIA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI SEKITARNYA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Novita Sari A24103080
PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN NOVITA SARI. Status Kesuburan Tanah di Daerah Reklamasi Tailing dan Pengaruh Keberadaan PT. Freeport Indonesia terhadap Pengembangan Wilayah di Sekitarnya. Di bawah bimbingan SANTUN R. P. SITORUS dan KOMARUDDIN IDRIS. PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan pertambangan emas dan tembaga yang beroperasi di Kabupaten Mimika, Papua. Dalam kegiatan operasionalnya untuk mendapatkan konsentrat emas dan tembaga, PTFI menghasilkan tailing atau pasir sisa tambang (SIRSAT) yang umumnya mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak baik untuk pertumbuhan vegetasi dan tanaman. Tailing atau pasir sisa tambang yang dihasilkan oleh PTFI diendapkan di kawasan dataran rendah yang disebut Modification Ajkwa Deposition Area (ModADA). Pemulihan area pengendapan tailing ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu revegetasi dan suksesi alami.
Reklamasi merupakan kegiatan
revegetasi yang dilakukan oleh PTFI. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk mempelajari status kesuburan tanah di daerah reklamasi tailing PTFI, (2) untuk mengetahui tingkat hirarki wilayah desa sekitar PTFI, dan (3) untuk mengetahui pengaruh keberadaan PTFI terhadap pengembangan wilayah di sekitarnya. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data kesuburan areal reklamasi tailing (ModADA, mil 26-28) yang dianalisis di laboratorium Sukofindo, PT. Freeport Indonesia di Timika dan data Potensi Desa (PODES) wilayah Kabupaten Mimika tahun 2006. Data Podes digunakan untuk mengetahui peringkat atau hirarki desa-desa yang terletak disekitar wilayah proyek PTFI dengan menggunakan metode analisis Skalogram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sifat kimia tanah di daerah reklamasi tailing ModADA dicirikan oleh kandungan N-total, C-organik, KTK, K dan Na yang sangat rendah, kandungan Ca dan Mg rendah-sedang, KB sangat tinggi, dan pH agak masam-netral. Hal ini tidak menjadi masalah jika tailing dijadikan sebagai media tumbuh tanaman. Namun demikian, agar taling dapat berfungsi sebagai media tanaman hara menjadi agak rendah. Oleh karena itu, perlu adanya pemberian pupuk urea dan
bahan organik. Desa-desa yang berada di sekitar atau dekat dengan wilayah proyek PTFI, pada umumnya memiliki tingkat hirarki yang tinggi (umumnya berhirarki I), selain dekat dengan ibu kota kabupaten (Kota Timika) yang terletak sangat dekat dengan ModADA, desa-desa tersebut juga mendapatkan bantuan dan pengaruh dari PTFI.
SUMMARY NOVITA SARI. Soil Fertility Status in Tailing Reclamation Area and Influence of Existence of PT. Freeport Indonesia to Developing of Region in Surroundings. Under guidance of SANTUN R. P. SITORUS and KOMARUDDIN IDRIS
PT. Freeport Indonesia (PTFI) is a gold and copper mining company which operates in Kabupaten Mimika, Papua. In operational, to get the concentrate of gold and copper, PTFI produces tailing or residue (SIRSAT) which has bad physical and chemical characteristic for plant and vegetation growth. Tailing or residue which is produced by PTFI deposit in lowland or Modification Ajkwa Deposition Area (ModADA). Recovery area of tailing deposit can be done in 2 ways, which are revegetation and naturally succession. Reclamation is a revegetation programme which is done by PTFI. The purposes of this research were : (1) to study about soil fertility status in reclamation tailing area of PTFI, (2) to evaluate rural hierarchy level of PTFI, (3) to evaluate the influence of PTFI surroundings the developing area. This research used secondary data namely a land fertilizer area of tailing reclamation data (ModADA, mil 26-28) which was analyzed by laboratorium of Sukofindo, PT. Freeport Indonesia in Timika and rural potencial data (PODES) of Kabupaten Mimika year of 2006. Rural potencial data was used to evaluate the rural level which was located around the project area of PTFI using Skalogram analysis method. The output of this research showed that chemical characteristic of soil in tailing reclamation area ModADA was identified by low containing of N-total, Organic-C, CEC, K and Na, low-medium containing of Ca and Mg, high level of BS, and acid-neutral pH. It should not be a problem if tailing could be a media of plant growth. Tailing could be a good media of plant growth if we added urea fertilizer and organic materials. Rurals which were surrounding near by the project area of PTFI generally having a high level of hierarchy, beside of living near by the regency area (Timika), this place was also near by the ModADA, those rurals was also getting aid from PTFI.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Status Kesuburan Tanah di Daerah Reklamasi Tailing dan Pengaruh Keberadaan PT. Freeport Indonesia terhadap Pengembangan Wilayah di Sekitarnya
Nama Mahasiswa
: Novita Sari
Nomor Pokok
: A24103080
Disetujui :
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus NIP. 130 367 082
Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS NIP. 130 536 683
Mengetahui : Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 November 1984 dari pasangan Ramdani dan Atji Hartati. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan dari Taman Kanak-Kanak Widya Putra Jakarta pada tahun 1990, kemudian melanjutkan studinya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Bambu Apus 04 Jakarta dari tahun 1991 sampai lulus pada tahun 1997. Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 259 Jakarta dari tahun 1997 sampai lulus pada tahun 2000. Tahun 2003 penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 62 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima sebagai salah satu mahasiswi di Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Pengembangan Wilayah dan Dasar-Dasar Perencanaan Tata Ruang pada tahun ajaran 2006/2007.
Penulis aktif dalam
himpunan profesi HMIT (Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah) periode 2005/2006 menjadi staf Biro Olahraga dan Seni, dan bergabung dalam kepanitiaan Seminar Nasional tahun 2004 yang diadakan oleh HMIT. Selain itu penulis juga aktif dalam Biro Lingkungan Hidup AZIMUTH yaitu pada periode 2004-2005 menjadi anggota Jaro (Divisi) Pelatihan dan Pengembangan (Litbang) dan pada periode 2005-2006 menjabat sebagai Sekretaris Umum. Pada bulan April tahun 2007 penulis bergabung dalam kepanitian acara seminar nasional yang diadakan oleh Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W).
KATA PENGANTAR Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam atas kasih sayang dan atas segala anugerah-Nya yang abadi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan penulis dengan baik. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan penulis guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Status Kesuburan Tanah di Daerah Reklamasi Tailing
dan
Pengaruh
Keberadaan
Pengembangan Wilayah di Sekitarnya”.
PT.
Freeport
Indonesia
terhadap
Dalam skripsi ini penulis mencoba
memaparkan mengenai keadaan status kesuburan tanah daerah reklamasi endapan tailing PT. Freeport Indonesia di wilayah ModADA (mile 26-28) dan mencoba memberi gambaran tentang keadaan Kabupaten Mimika dengan adanya PT. Freeport Indonesia di daerah tersebut. Penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan rasa hormat kepada Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus dan Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan yang sangat bermanfaat serta atas kesabaran dalam membimbing penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Mama, Papa, dan Kakak-kakakku (Ka’Ita & Ka’Gani, dan Ka’Dewi & Ka’Anto) serta My Lil’ Nephews (Ali dan Arif) atas cinta, doa, perhatian, pengorbanan, kepercayaan, nasehat, masukan dan kritikan, serta segala bentuk kasih sayang yang senantiasa selalu tercurahkan. 2. Ir. Moentoha Selari, MS selaku dosen penguji, atas waktu dan nasehatnya. 3. PT. Freeport Indonesia khususnya kepada Bapak Wisnu Susetyo dan Bapak Hary Budhyono yang bersedia membantu penulis dalam proses perolehan data dan atas kesempatan, kepercayaan, dan bimbingannya.
4. Ibu Sartji Taberima atas data-data & informasi, waktu, kesabaran, ilmu dan arahan serta doa yang sangat bermanfaat bagi penulis. 5. Pandu Hilman Mahyiddin atas kasih sayang, kesabaran, doa, pengorbanan, kepercayaan dan perhatiannya dalam mensupport penulis. 6. Susanti Puspa & keluarga atas doa, dukungan dan untuk hubungan yang sangat kekeluargaan ini. 7. Nadia Dwi Kartika, Indra Gunawan, Aslinda, Chantee, Ican atas waktu, pengorbanan dan kepercayaannya. 8. Keluarga besar Azimuth dan para Soiler 40. 9. Bangwilers (terutama Emma, Fitria, dan mba Dian), dan pihak-pihak lain yang tak dapat disebut satu persatu yang turut mendukung.
Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Penulis menyadari bahwa karya ini tidak luput dari kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, masukan dan saran sangat diharapkan.
Bogor, Januari 2008
Novita Sari
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... v
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Tujuan Penelitian ............................................................................. 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kegiatan Petambangan Emas dan Tembaga serta Dampak Lingkungan ...................................................................................... 4 2.2. Kegiatan Penambangan PT. Freeport Indonesia .............................. 4 2.3. Lahan Pasca Penambangan .............................................................. 6 2.4. Kegiatan Reklamasi Lahan Pasca Tambang .................................... 8 2.5. Berbagai Jenis Tanaman yang Digunakan dalam Kegiatan Reklamasi ......................................................................................... 9
III.
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 11 3.2. Jenis, Sumber Data, dan Alat Penelitian ........................................... 11 3.3. Metode Penelitian ............................................................................. 11 3.3.1 Tahap Penelitian ................................................................... 11 3.3.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................. 12 3.3.3 Teknik Analisis Data ............................................................ 12
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1
Letak Geografis dan Luas Wilayah .................................................. 16
4.2
Topografi .......................................................................................... 16
4.3
Iklim ................................................................................................. 17
4.4
Jenis Tanah ....................................................................................... 19
4.5
Hidrologi .......................................................................................... 19
4.6
Kependudukan .................................................................................. 20
4.7
Transportasi ...................................................................................... 20
4.8
Pembangunan Wilayah ..................................................................... 21
4.9
Kegiatan Penambangan .................................................................... 21
4.10 Pengelolaan Tailing .......................................................................... 22
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Status Kesuburan Lahan Reklamasi Tailing .................................... 24
5.2. Hirarki Wilayah Desa Sekitar PT. Freeport Indonesia (PTFI) ......... 32 5.3. Pengaruh PT. Freeport Indonesia terhadap Pengembangan Wilayah di Sekitarnya ..................................................................................... 36
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan ...................................................................................... 44
6.2
Saran ................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 45
LAMPIRAN ....................................................................................................... 47
DAFTAR TABEL Tabel
Teks
Halaman
1. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi I ...................................................... 24 2. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi II .................................................... 26 3. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi III ................................................... 27 4. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi IV ................................................... 28 5. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi V .................................................... 29 6. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi VI ................................................... 30 7. Hasil Rata-Rata Tingkat Kesuburan Tanah Daerah Reklamasi Tailing (ModADA) ................................................................................................ 31 8. Nilai IPD dan Hirarki Desa-Desa di Sekitar Wilayah Proyek PTFI ......... 34 9. Perkembangan Kabupaten Mimika tanpa Sub Sektor Pertambangan Tahun 2003-2005 ...................................................................................... 38 10. Perkembangan Kabupaten Mimika dengan Sub Sektor Pertambangan Tahun 2003-2005 ...................................................................................... 38 11. Pencapaian Kemajuan Pekerjaan Proyek Tiga Desa ................................. 40 12. Pembelian Lokal Produksi Non Pertanian Tahun 2006 ............................ 41 13. Pembelian Lokal Produksi Pertanian Tahun 2006 .................................... 41
DAFTAR GAMBAR Gambar
Teks
Halaman
1. Gambaran Umum Kegiatan Penambangan ............................................... 5 2. Keadaan Suhu Udara Berdasarkan Data Stasion Pengamat Mile 21 ........ 18 3. Keadaan Kelembaban Udara Data Stasion Pengamat MP-21 ................... 18 4. Tanaman yang Terdapat pada Lokasi I ..................................................... 25 5. Tanaman yang Terdapat pada Lokasi II .................................................... 26 6. Tanaman yang Terdapat pada Lokasi III .................................................. 27 7. Tanaman yang Terdapat pada Lokasi IV .................................................. 28 8. Tanaman yang Terdapat pada Lokasi V .................................................... 29 9. Tanaman yang Terdapat pada Lokasi VI .................................................. 31 10. Perumahan Permanen di Lembah Waa/Bhanti dengan Fasilitas Umum .. 39 11. Jumlah Penerima Beasiswa dan Bantuan dari LPMAK Tahun 2006 ....... 42 12. Komposisi Penyerapan Tenaga Kerja pada UKM Tahun 2006 ................ 43
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Teks
Halaman
1. Peta Lokasi Pengambilan Titik Sample Daerah Reklamasi Tailing di Wilayah ModADA ................................................................................... 47 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Berdasarkan PPT (1983) ................ 48 3. Nilai IPD dan Hirarki Desa-Desa di Kabupaten Mimika .......................... 49 4. Data Curah Hujan di Area Pengendapan Tailing Tahun 2004 .................. 50
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Setelah
mengalami
pasang
surut
sejak
mulai
dikembangkannya
pertambangan modern di Indonesia pada pertengahan abad ke-19, sektor pertambangan mineral telah menjadi salah satu sektor penting dalam pembangunan Indonesia. Perkembangan yang signifikan terutama terjadi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini. Pada saat ini untuk beberapa jenis mineral, Indonesia telah dikenal sebagai produsen tingkat dunia. Sebagai gambaran, pada tahun 2005 Indonesia berada pada peringkat ke 3 untuk tembaga, dan peringkat ke 8 untuk emas. Perkembangan kegiatan pertambangan yang pesat, baik dari segi jumlah tambang maupun skala operasi, tentu juga menimbulkan konsekuensi semakin besarnya potensi dampak terhadap lingkungan hidup.
Kegiatan
pertambangan berpotensi mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk lahan dan bentang alam, terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sehingga akan terjadi kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya. PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan pertambangan emas dan tembaga yang beroperasi di Kabupaten Mimika Papua, dengan Wilayah Proyek yang membentang dari kompleks tambang Grasberg di pegunungan tengah hingga pelabuhan di pantai Laut Arafura.
Wilayah Proyek yang merupakan
koridor kegiatan operasi dari selatan ke utara, melintasi kawasan pantai hutan bakau, hutan sagu, hutan tropis, hutan awan, serta daerah sub-alpin sepanjang jarak relatif pendek, yaitu 130 kilometer. Tambang terbuka Grasberg terletak di ketinggian lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut.
Bijih yang mengandung tembaga, dan emas diangkut
menuju pabrik penggilingan/konsentrator di lembah yang letaknya dua mil ke arah selatan dan sekitar 1.000 meter lebih rendah, dimana bahan yang mengandung mineral dipisahkan dari batuan yang tidak bernilai ekonomis melalui sebuah proses pemisahan fisik dengan menggunakan cara-cara penggilingan dan teknik pengapungan (flotasi).
Bahan yang mengandung logam tersebut dinamakan
“konsentrat”. Konsentrat tersebut selanjutnya dikirim menuju sarana pelabuhan dekat Laut Arafura, sekitar 120 kilometer ke arah selatan.
Dalam kegiatan operasionalnya untuk mendapatkan konsentrat emas dan tembaga, PTFI menghasilkan tailing atau pasir sisa tambang (SIRSAT) yang umumnya mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak menguntungkan. Limbah tailing adalah ampas batuan alam yang tergiling halus, yang tertinggal setelah konsentrat dipisahkan dari bijih pada pabrik penggilingan. Kendala fisik yang ada misalnya struktur tanah rusak, tekstur kasar (dominan pasir), peka terhadap erosi, kemampuan memegang air yang rendah. Kendala kimia misalnya rendahnya nilai pH dan kapasitas tukar kation, miskinnya unsur hara dan bahan organik, dan tingginya kandungan logam berat. Untuk mengatasi hal ini PTFI melakukan kegiatan pemulihan, agar kendala-kendala tersebut dapat diminimalkan. Pemulihan area pengendapan tailing dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu revegetasi dan suksesi alami. Tailing atau pasir sisa tambang yang dihasilkan oleh PTFI diendapkan di kawasan dataran rendah yang disebut ModADA (Modification Ajkwa Deposition Area atau Daerah Pengendapan Ajkwa yang Dimodifikasi). Kawasan seluas 240 km2 ini sebelumnya merupakan hutan primer dari hutan kipas aluvial dan hutan rawa air tawar. Di kawasan ModADA inilah kegiatan suksesi dan revegetasi dilakukan oleh PTFI. Reklamasi merupakan kegiatan revegetasi yang dilakukan oleh PTFI. Reklamasi lahan adalah usaha pemanfaatan, perbaikan dan peningkatan kualitas lahan melalui pemberdayaan berbagai teknologi, pemberdayaan masyarakat yang difokuskan pada lahan yang secara alami berkualitas rendah serta pengaruh manusia yang menyebabkan lahan tersebut kurang produktif (Deptan, 2006). Tujuan dari program reklamasi di area tambang adalah untuk mendukung kembalinya
keanekaragaman
hayati
yang
sebanding
dengan
tingkat
keanekaragaman hayati yang teramati pada lokasi alami yang berdampingan. Namun secara alami, alam mampu memulihkan diri sendiri melalui proses suksesi alami primer. Kegiatan reklamasi dilakukan di wilayah ModADA, wilayah ini terletak di antara dua tanggul (Tanggul Barat dan Tanggul Timur).
Panjang
tanggul ± 50 km dengan jarak antara kedua tanggul bervariasi antara 2-5 km. Reklamasi yang telah dilakukan seluas 34,5 ha, sebagian besar daerah timbunan belum direklamasi karena belum membentuk final waste dump.
1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mempelajari status kesuburan tanah di daerah reklamasi tailing. 2. Untuk mengetahui tingkat hirarki wilayah desa sekitar PT. Freeport Indonesia. 3. Untuk mengetahui pengaruh keberadaan PT. Freeport Indonesia terhadap pengembangan wilayah di sekitarnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kegiatan Pertambangan Lingkungan
Emas
dan
Tembaga
serta
Dampak
Kegiatan eksplorasi pertambangan sering kali berbenturan dengan kepentingan konservasi sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan hidup. Dampak langsung kegiatan pertambangan, khususnya pertambangan emas dan tembaga diantaranya kerusakan ekologis seperti berkurangnya debit air sungai dan tanah, pencemaran air laut, kerusakan hutan hingga sedimentasi tanah masih menjadi masalah yang belum terpecahkan secara tuntas.
Intensitas dampak
eksplorasi pertambangan emas dan tembaga tidak hanya merubah derajat kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang merugikan generasi masa kini tetapi juga kerugian bagi generasi yang akan datang.
Pelajaran mengajarkan
bahwa kegiatan pra-eksplorasi telah memicu deforestation, karena kandungan emas, tembaga dan mineral berada dalam tanah pada kedalaman dan lapisan tertentu dari perut bumi (www.google.com) Saat ini dampak kegiatan pertambangan emas dan tembaga memang diakui telah memberikan keuntungan ekonomi sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang penting di era orde baru namun tidak dapat dipungkiri bahwa pertambangan juga berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup (ecocide) dan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya mereka yakni tanah dan air (Anonim, 2006).
2.2
Kegiatan Penambangan PT. Freeport Indonesia PT. Freeport Indonesia (PTFI) adalah salah satu perusahaan pertambangan
penghasil emas dan tembaga terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. PTFI berhasil dalam penemuan dan rancangan tambang tembaga yang pertama di Indonesia melalui upaya eksplorasi. Sejarah PT. Freeport bermula saat seorang manajer eksplorasi Freeport Mineralis Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint melakukan ekspedisi pada tahun 1960 ke Papua setelah membaca sebuah laporan tentang ditemukannya Ertsberg atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral, oleh seorang geolog Belanda pada tahun 1936 (www.ptfi.com).
PTFI telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg tahun 1967 dan tambang Grasberg tahun 1989 di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Papua. Operasi pertama dilakukan di wilayah Erstberg pada tahun 1967, namun pada tahun 1989 wilayah Erstberg ini kehabisan cadangan open-pit-nya, dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah Grasberg. Konstruksi dalam skala besar dimulai pada bulan Mei 1970, dilanjutkan dengan ekspor perdana konsentrat tembaga pada bulan Desember 1972. Dalam kegiatan operasionalnya untuk mendapatkan konsentrat emas dan tembaga, PTFI menghasilkan tailing atau pasir sisa tambang (SIRSAT) yang umumnya mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak menguntungkan. Limbah tailing adalah ampas batuan alam yang tergiling halus, yang tertinggal setelah konsentrat dipisahkan dari bijih pada pabrik penggilingan. Kendala fisik yang ada misalnya struktur tanah rusak, tekstur kasar (dominan pasir), peka terhadap erosi, kemampuan memegang air yang rendah. Kendala kimia misalnya rendahnya nilai pH dan kapasitas tukar kation, miskinnya unsur hara dan bahan organik, dan tingginya kandungan logam berat. Gambaran umum kegiatan pengolahan bijih mulai dari proses penambangan hingga pengapalan konsentrat dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Gambaran Umum Kegiatan Penambangan. (www.ptfi.co.id)
Saat ini PTFI memakai dua teknik pertambangan, yakni open-pit atau tambang terbuka yang menggunakan truk pengangkut dan sekop listrik besar di tambang Grasberg, serta teknik block-caving pada cadangan bawah tanah yang dikenal sebagai Intermediate Ore Zone (IOZ) dan Deep Ore Zone (DOZ). (www.ptfi.co.id)
2.3.
Lahan Pasca Penambangan Tambang adalah Instalasi untuk mendapatkan bahan tambang beserta
bangunan lain yang berkaitan dengan tambang tersebut (Bakosurtanal). Kegiatan penambangan terdapat dua jenis yaitu (Sitorus, 2007) : 1. Penambangan permukaan (surface/shallow mining) meliputi tambang terbuka, penambangan dalam jalur dan penambangan hidrolik. 2. Penambangan dalam (subsurface/deep mining). Kegiatan penambangan terbuka (open minning) dapat mengakibatkan gangguan seperti : 1. Menimbulkan lubang besar pada tanah. 2. Penurunan muka tanah atau terbentuk cekungan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian. 3. Penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang
ditelantarkan.
Penambangan
yang
dibiarkan
terlantar
akan
mengakibatkan permasalahan. 4. Bahan galian tambang apabila ditumpuk atau disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir. 5. Mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organik/humus atau unsur hara telah tercuci. Tailing adalah sisa batu alam yang digiling halus hasil pengolahan bijih mineral. Limbah tambang menurut Kusnoto dan Kusumodirdjo (1995) adalah lapisan penutup yang digali dan dipindahkan pada kegiatan penambangan. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara lain berupa : 1. Penurunan produktifitas tanah. 2. Pemadatan tanah.
3. Terjadinya erosi dan sedimentasi. 4. Terjadinya gerakan tanah dan longsoran. 5. Terganggunya flora dan fauna. 6. Terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk. 7. Perubahan iklim mikro. Kegiatan penambangan memiliki beberapa dampak penting, seperti dampak sosial, ekonomi, dan budaya serta menurunnya kualitas air sebagai akibat erosi yang dipicu oleh terbukanya lahan serta reaksi pelindian air tambang dengan batuan (air asam tambang) dan karena limbah.
Air asam tambang (AAT)
terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral sulfida tertentu yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara pada lingkungan berair (Dhata, 2007). Gautama (2007) menyatakan bahwa pada saat ini untuk beberapa jenis mineral Indonesia telah dikenal oleh berbagai produsen tingkat dunia. Perkembangan kegiatan pertambangan yang pesat, baik dari segi jumlah tambang maupun skala operasi, tentu juga menimbulkan konsekuensi semakin besarnya potensi dampak terhadap lingkungan hidup. Di antara berbagai dampak terhadap lingkungan dari kegiatan pertambangan, dampak terhadap kualitas air merupakan salah satu dampak yang penting, yang seringkali menjadi pemicu konflik antara usaha
pertambangan
dengan
masyarakat
di
sekitar
wilayah
kegiatan
pertambangan. Dalam konteks ini pengelolaan air (mine water/drainage) menjadi salah satu aspek penting dalam pengelolaan pertambangan modern untuk mencapai pertambangan yang berwawasan lingkungan. Air asam tambang (AAT), yang didefinisikan sebagai air penyaliran (drainage) dari kegiatan pertambangan yang bersifat asam dan mengandung sulfat serta lindian logam, merupakan salah satu isu penting dalam pengelolaan air tambang. Sebenarnya AAT, yang dipicu oleh mineral sulfida yang teroksidasi dalam lingkungan air, sudah terjadi dan dikenal di kalangan pertambangan sejak berabad-abad yang lalu. Namun isu ini menjadi semakin mendapat perhatian baru sejak akhir tahun 1970-an (Gautama, 2007). Ciri-ciri tanah yang sudah terganggu adalah horisonisasi tanah yang sudah tidak teratur, lapisan hitam dan lapisan-lapisan lainnya sudah terbalik-balik (Suwardi dan Hidayat, 1998).
Sifat-sifat fisikokimia tailing yang merugikan menurut Iskandar dan Subagyo (1993) adalah sebagai berikut : 1. Kosentrasi logam berat dan garam yang tinggi. 2. Kurangnya unsur hara yang penting. 3. Kurangnya organisme mikrobiologi. 4. Sifat-sifat tekstur dan struktur tanah yang sangat membatasi infiltrasi. 5. Tingginya daya pemantulan sinar atau daya absorbsi panas dalam tailing berwarna terang atau gelap yang menyebabkan terjadinya ketegangan fisik pada tumbuhan. 6. Kerusakan fisik karena fraksi pasir sangat dominan. Peningkatan dan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah dapat dilakukan dengan pemberian bahan amelioran yang lain seperti : kapur pertanian, dolomit, gypsum, bahan tras (tufa), bitumen, kompos, gambut, pupuk kandang, abu (kayu, batubara), terak baja atau ampas tebu, melapisi permukaan areal timbunan sisa galian tambang dengan tanah merah/ultisol yang ada di sekitar (Tala’ohu et al., 1998). Pasca tambang adalah masa setelah berhentinya kegiatan tambang pada seluruh atau sebagian wilayah usaha pertamnbangan eksploitasi/operasi produksi, baik
karena
berakhirnya
dikembalikannya
seluruh
izin
usaha
pertambangan
atau
sebagian
wilayah
dan
usaha
atau
karena
pertambangan
eksploitasi/operasi produksi (UULH RI no. 4 tahun 1982).
2.4.
Kegiatan Reklamasi Lahan Pasca Tambang Reklamasi adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan
meningkatkan kondisi lahan yang telah rusak (kritis) sebagai akibat dari kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu : -
Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya.
-
Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya.
Untuk melakukan reklamasi diperlukan perencanaan yang baik agar dalam pelaksanaanya dapat mencapai sasaran yang sudah disepakati. Dalam hal ini reklamasi harus disesuaikan dengan tata ruang. Perencanaan reklamasi harus sudah disiapkan sebelum melakukan operasi penambangan dan merupakan program terpadu dalam kegiatan operasi penambangan (Pedoman Reklamasi Lahan Bekas Tambang, 1993). Berdasarkan Keputusan Menteri PE No. 1211.K/008/M.PE/95 yang dimaksud reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. Melalui upaya reklamasi lahan dengan menggunakan teknologi dan pemberdayaan masyarakat, maka diharapkan dapat menambah luas areal tanam yang pada gilirannya dapat meningkatkan produksi tanaman (Pedoman Teknis Reklamasi Lahan, 2006).
2.5.
Berbagai Jenis Tanaman yang Digunakan dalam Kegiatan Reklamasi Vegetasi yang pernah tumbuh dominan di daerah reklamasi adalah berasal
dari bekas akar (root staining) dan sisa tanaman yang masih tumbuh adalah bervariasi dari hutan sagu (Metroxylon sago), tanaman hutan dan buah (famili Euphorbiaceae, Moraceae, Rubiaceae, Rutaceae, Bambocaceae), hingga rumputrumputan (famili Gramineae, Leguminosae).
Dalam beberapa tahun terakhir,
daerah yang terkena dampak tailing sedang direklamasi dengan tanaman-tanaman seperti : Casuarina, Acasia, Leucaena glauca (lamtoro) dan Leguminosae (PTFI & PTHP, 1998). Di sepanjang area reklamasi Mile 28-23, sejak tahun 2001/2002 telah ditanam dengan Calopogonium, Casuarina equisetifolia, Metroxylon sago (sagu), Pometia pinata (Matoa), Alley Cropping (Paraserianthes falcataria, Laucaena leucocephala, Gliricidae sapium, Caliandra surinamensis, Sesbania grandifolia), Coconut nucifera (Kelapa), King grass (Rumput Raja), dan vegetasi alami pakupakuan (PTFI, 2004). Keberhasilan dalam menumbuhkan tanaman di area reklamasi, kunci utamanya adalah ketersediaan bahan organik. Hanya ada satu tanaman yang
ditanam secara langsung di area reklamasi PTFI tanpa pemberian kompos dan pupuk organik lainnya. Tanaman tersebut adalah jenis cemara Casuarina sp. Jenis ini hanya dibibitkan langsung dari lapangan dan setelah 3-6 bulan bisa langsung dipindahkan ke lapangan tanpa bahan organik dan pemupukan.
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di areal reklamasi PT. Freeport Indonesia di wilayah
ModADA (Modification Ajkwa Deposition Area) Kabupaten Mimika, Papua. Analisis data dilakukan di Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan Penelitian dimulai pada bulan April 2007 sampai Desember tahun 2007.
3.2.
Jenis, Sumber Data, dan Alat Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa
data kesuburan tanah di areal reklamasi tailing (ModADA, mil 26-28) PT. Freeport di Mimika, Data Podes Kabupaten Mimika tahun 2006, serta data dan informasi yang mendukung penelitian ini. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat komputer, flashdisk, CD dan printer serta perangkat lunak (soft ware), yang terdiri dari Microsoft Office Word dan Microsoft Office Excel 2003.
3.3.
Metode Penelitian Metode penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu : tahap penelitian,
teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
3.3.1. Tahap Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Studi pustaka dan literatur tentang data-data dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian. 2. Penyusunan dan pengajuan proposal. 3. Memilih dan menentukan serta mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian.
4. Mengolah data-data yang didapat dengan menggunakan beberapa analisis sesuai tujuan penelitian yang telah ditetapkan. 5. Menginterpretasikan hasil analisis data sebagai bahan penyusunan skripsi. 6. Proses terakhir adalah penulisan skripsi.
3.3.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dari berbagai publikasi, studi, kajian, dan peta yang meliputi : 1. Data kesuburan areal reklamasi tailing (ModADA, mil 26-28) dan peta. Data kesuburan ini dianalisis di laboratorium Sukofindo, PT. Freeport Indonesia di Timika. Ada 6 lokasi pengambilan sample dengan tanaman yang berbeda, penentuan batas-batas lokasi ini didasarkan pada jenis tanaman yang ada pada setiap lokasi reklamasi tailing. Setiap lokasi ditumbuhi dengan tanaman yang berbeda, kecuali jenis Casuarina dan Calopogonium (hampir terdapat di setiap lokasi area reklamasi). Area reklamasi yang disampling mulai dari mile 2825/26 (dari utara sampai selatan ModADA), khusus area tailing yang sudah tidak aktif di West Levee (Tanggul Barat). Dari setiap lokasi ini (lokasi I - VI) sample tailing diambil pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Daerah ini memiliki permukaan air tanah dalam (kedalaman ≤ 100 cm). Peta digunakan untuk menunjukkan lokasi tempat pengambilan sample tanah yang dianalisis tesebut. 2. Data Potensi Desa (PODES) wilayah Kabupaten Mimika, data Podes yang digunakan pada penelitian ini adalah data tahun 2006 yang terdiri dari bermacam-macam peubah.
Peubah-peubah yang diidentifikasi disesuaikan
untuk menjawab tujuan yang telah ditetapkan. Data Podes ini diperoleh dari Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W).
3.3.3. Teknik Analisis Data Data-data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga dapat menjawab tujuan penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Teknik Evaluasi Kesuburan Tanah Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kesuburan tanah tailing pada penelitian ini ditentukan berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah PPT (tahun 1983), sedangkan kelas tekstur ditentukan berdasarkan Segitiga Tekstur.
Analisis Skalogram Analisis skalogram ini digunakan untuk mengetahui peringkat atau hirarki pusat-pusat pengembangan dan sarana-prasarana pembangunan yang ada di suatu wilayah.
Penetapan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan tersebut
didasarkan pada jumlah jenis dan jumlah unit sarana-prasarana pembangunan atau fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang tersedia serta keadaan aksesibilitas pada wailayah tersebut. Metode ini memberikan hirarki atau peringkat yang lebih tinggi pada pusat pertumbuhan yang memiliki jumlah jenis dan jumlah unit sarana-prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode ini lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria kualitatif yang menyangkut derajat fungsi sarana-prasarana pembangunan, distribusi penduduk dan luas jangkauan pelayanan sarana-prasarana pembangunan secara spasial tidak dipertimbangkan secara spesifik. Untuk menutupi keterbatasan metode skalogram, Rustiadi et al., (2003), mengembangkan metode skalogram berbobot.
Tahapan dalam penyusunan
analisis skalogram adalah sebagai berikut : (1) menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah; (2) menyusun invers untuk variabel yang menandakan jarak terhadap fasilitas dan tingkat ketertinggalan wilayah.
Pembuatan invers dari jarak terhadap fasilitas ini
dimaksudkan agar nilai dari invers jarak berkorelasi positif dengan fasilitas yang lain; (3) semua nilai distandarisasi sehingga nilai tersebut memiliki satuan yang sama; (4) menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal untuk menentukan indeks perkembangan suatu wilayah; (5) menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal sehingga diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit wilayah. Selain itu juga ditentukan rata-rata unit fasilitas tersebut (average), simpangan baku (standard deviation), total terisi (countif, sehingga fasilitas yang bernilai nol tidak akan dihitung), bobot (rasio antara total terisi
dengan jumlah kecamatan), nilai maksimum dan nilai minimum; (6) melakukan pengurutan (rangking) desa yang memiliki jumlah dan jenis fasilitas tertinggi sampai yang terendah; dan (7) melakukan pengurutan tiap fasilitas dari yang wilayah yang memiliki jumlah terbanyak sampai yang memiliki jumlah paling sedikit. Model untuk menentukan nilai Indeks Perkembangan atau Pelayanan Desa (Rustiadi et al., 2003) : n
IPD
j
=
∑ i
I'i
I ' ij =
j
I
ij
dimana :
− I
i min
SD
i
Keterangan : IPDj Iij I’ij I i min
: Indeks Perkembangan Desa ke-j : Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i Desa ke-j : Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkoreksi Desa ke-j : Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkecil (minimum)
SDi
: Simpangan baku indeks perkembangan ke-i
Iij adalah data berupa unit fasilitas j terpilih yang ada di desa ke-i. Khusus beberapa fasilitas dengan data berupa aksesibilitas (jarak ke lokasi fasilitas) digunakan formula sebagai berikut : Iij = 1/Xij. Untuk kasus Xij = 0 (artinya fasilitas i berada di desa ke j), maka : Iij = 1/Xij
min
+ SDi , dimana Xij min adalah
nilai Xij terendah selain nol (Xij tidak sama dengan nol). Dengan asumsi data menyebar normal, penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga yaitu : •
Hirarki I dengan tingkat perkembangan tinggi, jika indeks perkembangan ≥ (rata-rata + 1,5 x standar deviasi)
•
Hirarki II, jika rata-rata < indeks perkembangan < (rata-rata + 1,5 x standar deviasi)
•
Hirarki III, jika indeks perkembangan < rata-rata Hirarki III < rataan ≤ Hirarki II < {rataan + (1.5 x standar deviasi)} ≤ Hirarki I
Metode Skalogram memiliki beberapa keuntungan dan juga kelemahan (Hanafiah, 1985). Beberapa keuntungan dari metode skalogram antara lain : (1) memperlihatkan hubungan dasar antar jumlah penduduk dan ketersediaan sarana prasarana, (2) secara cepat dapat mengorganisasikan data mengenai wilayah, (3) memperbandingkan di antara pusat-pusat pengembangan yang ada berdasarkan sarana prasarana yang dimiliki, (4) menggambarkan hirarki pusat-pusat pengembangan, (5) secara potensial dapat dipergunakan untuk merancang pusatpusat pengembangan baru dan pengalokasian sarana prasarana.
Sedangkan
beberapa kelemahan dari metode skalogram adalah : (1) hasil dipengaruhi oleh pemilihan indikator sarana prasarana yang diamati, (2) tidak memberikan informasi tentang ukuran, kondisi dan kualitas pelayanan, (3) tidak mencakup faktor lokasi tata ruang, dan (4) hasil perhitungan kasar. Data-data yang digunakan dalam analisis skalogram ini adalah data jumlah jenis fasilitas pelayanan, jumlah unit fasilitas dan invers dari jarak atau akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan tertentu. Jumlah desa yang dianalisis adalah 84 desa. Sedangkan jenis fasilitas yang dianalisis antara lain adalah (1) kelompok fasilitas pendidikan, (2) kelompok fasilitas kesehatan, (3) kelompok fasilitas ekonomi dan umum, dan (4) kelompok fasilitas ibadah.
Hasil yang
diharapkan dari analisis ini adalah hirarki pelayanan desa yang didasarkan atas nilai IPD dari masing-masing desa.
.
IV.
4.1
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Letak Geografis dan Luas Wilayah Penelitian Kabupaten Mimika yang beribu kota di Timika secara geografis terletak di
antara 134o45’-137o45’ Bujur Timur dan 4o00’-5o10’ Lintang Selatan. Memiliki luas wilayah 20.039 km2 atau 4,75% dari luas wilayah propinsi Papua. Di bagian Utara dibatasi oleh Kabupaten Paniai; Kabupaten nabire; Kabupaten Tolikara; dan pegunungan Jayawijaya, dibagian Selatan dibatasi oleh Laut Arafura, di bagian barat dibatasi oleh Kabupaten Kaimana dan di bagian Timur dibatasi oleh Kabupaten Asmat dan Kabupaten Yahokimo.
4.2
Topografi Secara regional fisiografi wilayah Kabupaten Mimika meliputi lempeng
selatan yang berada di ujung barat pegunungan tengah dan daerah berawa yang berada di pantai selatan. Rangkaian pegunungan tengah mulai dari barat ke timur sebagai berikut : Pegunungan Charles Louis di utara Sungai Aindua, Pegunungan Yamapoa di antara Sungai Edere dan Sungai Yawee, Pegunungan Hannekam di timur Sungai Kamora, Pegunungan Maire di timur Sungai Mamoa, dan Pegunungan Lineaus di timur Sungai Agimuga. Berdasarkan relief permukaannya, Kabupaten Mimika terbagi menjadi 6 wilayah bentang alam, yaitu : bentang alam dataran pantai, bentang alam rawa bakau estuarium, bentang alam dataran rendah rawa, bentang alam dataran kipas alluvial, bentang alam kipas alluvial dan bentang alam pegunungan. Kabupaten Mimika sebelum mengalami pemekaran terdiri dari 4 distrik (kecamatan) yaitu distrik Mimika Barat, Mimika Timur, Mimika Baru dan Agimuga. Setelah pemekaran menjadi 12 distrik, yaitu Mimika Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Mimika Timur, Mimika Timur Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, Agimuga, Jila dan Jita. Distrik Mimika Barat Jauh memiliki wilayah yang paling luas yaitu 16,54% dan distrik Kuala Kencana sebagai distrik yang paling kecil wilayahnya, yaitu hanya 2,55% dari keseluruhan wilayah Mimika.
Wilayah kabupaten
Mimika yang memiliki topografi dataran tinggi adalah Distrik Tembagapura, Agimuga dan Jila.
Distrik-distrik selain ketiga wilayah tersebut, merupakan
distrik-distrik yang memiliki topografi dataran rendah. Distrik Mimika baru, Kuala Kencana, Tembagapura dan Jila adalah distrik yang tidak memiliki pantai. Sedangkan Distrik Mimika Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Mimika Timur, Mimika Timur Tengah, Mimika Timur Jauh, Agimuga dan Jita sebagian wilayah-wilayahnya berbatasan dengan laut, sehingga distrik-distrik ini memiliki pantai. 4.3
Iklim Curah hujan tahunan rata-rata di Kabupaten Mimika adalah sebesar 5.160
mm, dengan hari hujan rata-rata tahunan mencapai 306 hari. Musim hujan terjadi pada bulan Maret hingga Agustus, dengan curah hujan tertinggi pada bulan April. Tidak terdapat musim kemarau yang nyata karena pada bulan-bulan berikutnya curah hujan bulanan masih melebihi 200 mm. Suhu udara tertinggi 27,7oC yang terjadi pada bulan Januari, sedangkan suhu udara terendah 25,2oC pada bulan Juli. Rata-rata suhu udara minimum di wilayah Mimika selama tahun 2005 sebesar 21,96oC. Sedangkan rata-rata tekanan udara minimum selama tahun 2005 sebesar 1.005,525 Mbs dan maksimum 1.015,42 Mbs.
Curah hujan yang tinggi di
Kabupaten Mimika, sangatlah berguna bagi mayoritas masyarakatnya karena air hujan digunakan untuk minum. Kelembaban udara rata-rata terendah pada bulan Februari yaitu 77,0% dan kelembaban tertinggi sebesar 87,0% pada bulan Juli. Curah hujan tertinggi pada tahun 2005 terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 836 mm dan terendah pada bulan Februari sebesar 192 mm. Keadaan suhu udara yang dilaporkan dalam kurung waktu lebih dari 5 tahun terakhir (1997-2004) oleh station pengamat di mile 21 memperlihatkan bahwa kisaran suhu pada tahun 2004 berada diantara 24-27°C. Keadaaan ini berada dalam selang rata-rata berbeda dengan keadaan suhu udara pada tahun 2002 yang memiliki suhu terendah hingga 20°C. Kecenderungan suhu udara tersebut disajikan dalam grafik pada Gambar 2.
Rerata Bulanan Suhu Udara (°C) Tahun 1997 - 2004 Stasiun Met 21 Pusat Reklamasi 30.00
Suhu Udara (°C)
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
JAN
FEB
1997
M AR APR M AY
1998
1999
JUN
2000
JUL
AUG
2001
SEP
2002
OCT
NOV
2003
DEC
2004
Gambar 2. Keadaan Suhu Udara Berdasarkan Data Stasion Pengamat Mile 21
Sementara itu untuk kelembaban udara pada tahun 2004 cenderung mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya dengan kisaran 75-82% namun demikian kelembaban udara terendah terjadi pada tahun 2003. Kecenderungan fluktuasi kelembaban udara disajikan pada Gambar 3.
Rerata Bulanan Kelembaban Udara Tahun 1997 - 2004 Stasiun Met 21 Pusat Reklamasi 100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50 JAN
1997
FEB
MAR
1998
APR
1999
MAY
JUN
2000
JUL
AUG
2001
SEP
2002
OCT
NOV
2003
Gambar 3. Keadaan Kelembaban Udara Data Stasion Pengamat Mlile 21
DEC
2004
Hujan merupakan sumber air utama bagi tumbuhan. Rata-rata curah hujan (CH) dalam setahun selama 10 tahun terakhir (1995 hingga 2004) adalah 4.500 mm dan terbagi merata sepanjang tahun dengan rata-rata bulanan 375 mm. Berdasarkan data tahun 2004 yang diperoleh dari stasiun pengamat di MP21diketahui bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli yaitu 773,7 mm dan terendah pada bulan Januari yaitu 88,6 mm. Jumlah hari hujan berkisar antara 16-29 hari hujan per bulan, dengan rata-rata hari hujan 22 hari. Hari hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli yaitu sebanyak 26 hari, sedangkan terendah pada bulan Januari yaitu sebanyak 19 hari. Data Curah Hujan sepanjang Tahun 2004 disajikan pada Tabel Lampiran 4. 4.4
Jenis Tanah Menurut Schroo (1963), daerah dataran rendah di Kabupaten Mimika
merupakan hamparan endapan aluvial piedmont luas dari zaman pleistosin. Bahan endapan ini terbawa aliran kali dari pegununungan tengah Papua. Tanahnya relatif muda, namun telah mengalami perkembangan dan bereaksi masam. Hujan yang turun sepanjang tahun dan tidak mempunyai musim kering menyebabkan lahannya selalu basah sehingga pada lokasi yang relatif rendah sering tergenang air terutama sehabis turun hujan besar. Tanah yang menyusun wilayah Kabupaten Mimika merupakan tanah hasil lapukan dari batuan dasar sebagai residual soil dan transported soil.
Pada
umumnya jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Mimika terdiri dari tanah Podsolik Merah Kuning (memiliki tekstur halus hingga sangat kasar), alluvial (bertekstur halus) dan jenis tanah gabungan antara alluvial dan gambut (terdapat dalam bentang alam rawa bakau estuarium).
4.5
Hidrologi Wilayah Kabupaten Mimika memiliki beberapa daerah aliran sungai
(DAS) yang membentang mulai dari Kecamatan Mimika Barat hingga Kecamatan Agimuga, antara lain DAS Omba, DAS Aindua, DAS Taparomae, DAS Tuuga, DAS Ukemupuko, DAS Mimika, DAS Kamora, DAS Wania, DAS Ajkwa, DAS Minajerwi, DAS Otakwa, DAS Agimuga dan DAS Cemara.
Sungai-sungai ini bermuara di pantai Arafura. Kandungan sedimen yang terdapat di sungai-sungai utama pada umumnya masih rendah kecuali Sungai Ajkwa yang sangat dipengaruhi sedimen tailing.
4.6
Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Mimika pada tahun 2000, 2003 dan 2006
berturut-turut adalah sebanyak 86.017 jiwa, 131.715 jiwa dan 139.192 jiwa. Kepadatan penduduknya pada tahun 2003 sebesar 6,92 jiwa/km2, dengan kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Mimika Baru 33,66 jiwa/km2. Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah bertani (tanaman pangan, perkebunan, dan perternakan), selain itu sebagai buruh dan pedagang kecil. Aktivitas ekonomi dan kebutuhan tenaga kerja yang kian berkembang menyebabkan arus migrasi menjadi besar. Banyak pendatang dari luar Papua, seperti dari Jawa dan Sulawesi, yang mengadu untung mengisi kebutuhan tenaga kerja. Mereka yang tidak berhasil memasuki sektor formal yang mensyaratkan keterampilan dan pengetahuan yang memadai memasuki sektor nonformal, seperti menjadi tukang ojek.
4.7
Transportasi Kabupaten Mimika memiliki 6 lapangan terbang, satu diantaranya Bandar
Udara Mimika yang bertaraf nasional dengan fasilitas landasan 2.390 meter merupakan pintu masuk wisatawan dari dan ke Jayapura, Biak, Merauke, Sorong, Makasar, Manado, Denpasar, Surabaya, Jakarta, Darwin Australia dan New Guinea. Sedangkan lima lapangan terbang lainnya terletak di Kokonao, Akimuga, Jila, Jita dan Palamo. Pelabuhan laut yang terdapat di Kabupaten Mimika adalah Pelabuhan Pamako dan Pelabuhan Amamapare.
Pelabuhan Pamako adalah
pelabuhan untuk melayani kepentingan masyarakat, sedangkan Pelabuhan Amamapare untuk kepentingan khusus PT. Freeport Indonesia. Tersedia kapal berukuran kecil untuk transportasi perairan sungai-sungai : Komoro, Pikapu, Jaramay dan Mimika. Di Kabupaten ini juga tersedia transportasi daratan untuk Kecamatan (distrik) Mimika Timur, Mimika Tengah, Mimika Baru, Kuala Kencana dan Tembaga Pura.
4.8
Pembangunan Wilayah Sebelum mengalami pemekaran kabupaten Mimika terdiri dari 4
kecamatan yaitu : Mimika Barat, Mimika Timur, Mimika Baru dan Agimuga. Setelah pemekaran, terdiri dari 12 Kecamatan, 84 kampung, dan 5 kelurahan. Kecamatan-kecamatan itu terdiri dari Kecamatan Mimika Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Mimika Timur, Mimika Timur Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, Agimuga, Jila dan Jita. Sejak PTFI berdomisili di Kabupaten Mimika, daerah ini menjadi pusat kegiatan perekonomian. Hal ini pula yang menyebabkan dasar perhitungan PDRB Kabupaten Mimika dibedakan menjadi dua yaitu PDRB dengan sub sektor pertambangan dan PDRB tanpa sub sektor pertambangan. Usia Kabupaten Mimika sebagai kabupaten defenitif masih terbilang sangat muda, maka terlalu dini untuk mengukur perkembangan pembangunannya. Berdasarkan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) Kabupaten Mimika tahun 2005, rasio pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun tanpa sektor pertambangan sebesar 8,91 %, hal ini dapat dikatakan menurun sebesar 1 % dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2004 sebesar 9,15 %. Rasio pertumbuhan pembangunan Kabupaten Mimika rata-rata per tahun sebesar 10,18 %. (PDRB tahun 2005)
4.9
Kegiatan Penambangan Sejarah Kabupaten Mimika sebagai daerah terkaya di Papua bermula dari
sebuah pegunungan. Di balik bayangan pegunungan kapur setinggi lebih dari 1.000 m di atas hutan tropis Papua, di utara Kecamatan Tembagapura, tersembunyi kekayaan mineral yang diperkirakan bernilai lebih dari 77 miliar dollar AS. Gunung tembaga dan emas ini, Ertsberg, berdiri lebih dari tiga juta tahun dikelilingi jurang-jurang dalam yang terbentuk oleh gerusan es abadi yang mencair dan membeku sebagai pengaruh perubahan musim. Potensi tambang yang luar biasa di areal pegunungan itu diungkap geolog Belanda, Jean Jacques Dozy, pada tahun 1936. Penemuan ditindaklanjuti Manajer Eksplorasi Freeport Sulphur Company (sekarang Freeport-McMoRan Copper and Gold Inc-induk PT
Freeport Indonesia) pada tahun 1967 setelah penandatanganan kontrak karya pertama dengan Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 April 1967. Saat ini PTFI memakai dua teknik penambangan, yakni open-pit atau tambang terbuka yang menggunakan truk pengangkut dan sekop listrik besar di tambang Grasberg, serta teknik block-caving pada cadangan bawah tanah yang dikenal sebagai Intermediate Ore Zone (IOZ) Deep Ore Zone (DOZ). Kegiatan pengolahan bijih, mulai dari proses penambangan hingga pengapalan konsentrat.
Bijih yang telah dihancurkan diangkut ke pabrik
pengolahan melalui rangkaian ban berjalan dan terowongan bijih (ore pass). Proses
konsentrasi
meliputi
berbagai
teknik,
termasuk
penghancuran,
penggilingan, dan pengapungan. Gabungan teknik penghancuran yang termasuk penggunaan mesin Semi Autogeneus Grinding (SAG) dan Ball Mill digunakan untuk menghancurkan bijih tambang menjadi pasir yang sangat halus. Selanjutnya, diikuti dengan proses pengapungan yang menggunakan reagent, bahan yang berbasis alcohol dan kapur, untuk memisahkan konsentrat yang mengandung mineral tembaga, emas, dan perak. Mineral-mineral yang mengapung ke permukaan kemudian diambil bagian permukaannya (skimmed-off) sebagai produk akhir. Sisa dari batuan yang tidak memiliki nilai ekonomi akan mengendap di bagian dasar sebagai tailing, yang dilepaskan melalui arus sungai menuju daerah pengendapan di dataran rendah. Konsentrat dalam bentuk bubur disalurkan dari pabrik pengolahan menuju pabrik pengeringan di pelabuhan Amamapare, melalui pipa sepanjang 110 km. Konsentrat yang telah dikeringkan disimpan di pelabuhan Amamapare sebelum dijual dan dikapalkan ke pabrikpabrik peleburan di seluruh dunia.
4.10
Pengelolaan Tailing Pasir yang tersisa dari proses pengolahan bijih dalam kegiatan
penambangan mineral dinamakan tailing. Jumlah tailing yang dihasilkan PTFI adalah sekitar 230 ribu ton/hari, oleh karena itu diperlukan lahan yang cukup luas untuk menyimpan tailing yang telah dan akan terakumulasi sampai akhir masa tambang.
Daerah yang dipilih oleh PTFI untuk mengendapkan tailing yang
dihasilkan adalah Daerah Pengendapan Ajkwa yang Dimodifikasikan dan
kemudian lebih dikenal dengan nama ModADA (Modification Ajkwa Deposition Area). Pabrik pengolahan bijih terletak di dataran tinggi, sedangkan wilayah ModADA ini terletak di dataran rendah maka tailing diangkut melalui sistem Sungai Aghawagon-Otomona menuju ModADA. Supaya tidak terjadi perluasan dampak aliran tailing secara lateral, maka dibangun dua buah tanggul yang membujur pada arah Utara-Selatan yang dikenal sebagai Tanggul Barat (± 50 km) dan Tanggul Timur (± 54 km). Jarak kedua tanggul bervariasi antara 4-7 km dan luas total lahan diantara kedua tanggul adalah 230 km2. Di dalam ModADA pengendapan tailing tejadi secara merata mengikuti aliran air permukaan yang terus berpindah-pindah dan bercabang-cabang. PTFI terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pengendapan tailing di dalam ModADA. Tinggi tanggul terus ditambah mengikuti tinggi endapan tailing dan dijaga agar mampu menampung air dari perkiraan kejadian banjir terbesar (Maximum Probable Flood). Pengendapan tailing di dalam ModADA disebabkan oleh gaya gravitasi sehingga terdistribusi menurut ukuran partikel. Partikel kasar mengendap dibagian utara ModADA (kira-kira berjarak lebih kurang 2 km sejajar dengan Kota Timika). Partikel berukuran sedang mengendap disebelah utara ModADA hingga sampai sebelum daerah yang ditanami sagu. Partikel halus mengendap di daerah sagu sampai ujung selatan ModADA di dekat muara Ajkwa. Partikel yang sangat halus mengendap di Estuari Ajkwa dan sisanya terbawa sampai ke Laut Arafura di selatan pantai Mimika. Di daerah pengendapan tailing (ModADA) inilah kegiatan suksesi dan reklamasi dilakukan. Pola penyebaran tailing di Estuari Ajkwa dan Laut Arafura sampai masa pasca tambang telah terprediksi melalui sebuah model komputer 3-Dimensi yang dikembangkan oleh ahli permodelan dari ITB.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Status Kesuburan Lahan Reklamasi Tailing Pada penelitian ini, daerah pengambilan sampel tailing (area ModADA)
dikelompokkan menjadi 6 lokasi (Gambar Lampiran 1), dengan arah pengambilan mulai dari arah utara sampai selatan ModADA. Pengelompokan ini didasarkan pada jenis tanaman yang terdapat pada masing-masing lokasi.
Pengambilan
sampel dilakukan hanya pada tailing yang sudah ditumbuhi tanaman-tanaman yang dibudidayakan oleh PT. Freeport Indonesia. Tabel 1. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi I. Tanaman Metroxylon C.equisetifolia Parameter sago pH H2O 7.13 N 7.54 N Kelembaban (%) 0.15 0.31 KTK (me/100 g) 0.80 SR 0.59 SR Ca (me/100 g) 6.02 S 5.20 R Mg (me/100 g) 0.43 R 0.36 SR K (me/100 g) 0.03 SR 0.02 SR Na (me/100 g) < 0.01 SR < 0.01 SR KB (%) 97.73 ST 100.00 ST N-total (%) 0.02 SR 0.01 SR P-total (ppm) 728.34 655.00 K-total (ppm) 110.83 85.84 C-Org (%) 0.25 SR 0.22 SR BO (%) 0.42 0.37 P-tersedia (ppm) Olsen 91.17 ST 82.00 ST P-tersedia (ppm) Water 1.02 0.95 Liat (%) 4.67 3.67 Debu (%) 18.67 4.33 Pasir (%) 77.00 92.33 Ket : N = Netral, R = Rendah,
aAL = Agak Alkali, S = Sedang,
Calopogonium – C.equisetifolia 7.64 aAL 0.21 0.64 SR 4.36 R 0.40 SR 0.03 SR < 0.01 SR 100.00 ST 0.02 SR 653.33 86.17 0.31 SR 0.53 101.17 ST 1.33 3.50 2.84 93.67
SR = Sangat Rendah, ST = Sangat Tinggi
Keadaan tailing pada lokasi I disajikan pada Tabel 1 di atas, lokasi I ini merupakan lokasi ang terletak paling utara.
Pada tabel terlihat bahwa jenis
tanaman yang terdapat pada lokasi I adalah tanaman Casuarina equisetifolia (casuarina/sejenis cemara), Metroxylon sago (sagu), dan Calopogonium, keterangan gambar tanaman dapat dilihat pada Gambar 4. Lokasi ini merupakan lokasi yang paling luas, dengan luas area 105 ha.
Tanaman Calopogonium
merupakan tanaman yang memiliki bintil, dengan ditemukannya tanaman ini di
lokasi I menunjukkan bahwa tanaman ini masih dapat tumbuh pada keadaan tanah yang memiliki kadar N-total yang sangat rendah yaitu 0,02 %. Dengan ditemukannya tanaman sagu pada lokasi ini, menunjukkan bahwa lokasi ini merupakan daerah yang memiliki persediaan air yang cukup dan bukan merupakan daerah tergenang permanen, keadaan ini adalah dampak dari rembesan air sungai Ajkwa di sebelah Tanggul Barat. Auri (1996) menyatakan bahwa tanaman sagu dapat tumbuh di daerah yang memiliki cukup air dan pada kondisi tanah dengan penggenangan air secara berkala, karena tanaman sagu akan terganggu pertumbuhannya apabila mendapat penggenangan permanen.
Di
propinsi Papua, tanaman sagu merupakan tanaman penting dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya suku lokal.
Berdasarkan hasil uji coba PTFI
membudidayakan tanaman sagu di daerah ModADA pada lahan seluas 2 hektar tahun 2000. Pada beberapa tahun kemudian, hasil uji coba menunjukan hasil yang memuaskan. Hasil uji coba budidaya tanaman sagu, pada umur 2-3 tahun sudah membentuk batang sedangkan tanaman sagu lokal baru membentuk batang pada umur 4-5 tahun. (PTFI, 2005)
Gambar 4. Tanaman Yang Terdapat Pada Lokasi I
Pada lokasi ini pH yang dimiliki bervariasi antara 7,13 sampai 7,64 (netral-agak alkalin), dengan nilai KTK yang sangat rendah (kurang dari 5 me/100 g) yaitu 0,59-0,80 me/100 g. C-organik yang dimiliki tergolong sangat rendah karena kurang dari 1 % yaitu hanya berkisar 0,22-0,31%. Nilai KB sangat tinggi (lebih dari 70%) yaitu berkisar dari 97,73% sampai 100%, dimana P tersedia juga sangat tinggi yaitu 91,17-101,17 ppm (lebih dari 60 ppm). Kelas tekstur pada lokasi I ini diwakili kelas pasir berlempung sampai pasir.
Tabel 2. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi II Tanaman C.equisetifolia P.pinnata Parameter pH H2O 7.25 N 7.00 N Kelembaban (%) 0.52 0.29 KTK (me/100 g) 0.58 SR 0.58 SR Ca (me/100 g) 5.85 R 2.92 R Mg (me/100 g) 0.41 R 0.37 SR K (me/100 g) 0.03 SR 0.03 SR Na (me/100 g) < 0.01 SR < 0.01 SR KB (%) 100.00 ST 100.00 ST N-total (%) 0.01 SR 0.01 SR P-total (ppm) 642.50 670.00 K-total (ppm) 89.75 79.75 C-Org (%) 0.22 SR 0.28 SR BO (%) 0.37 0.47 P-tersedia (ppm) Olsen 89.25 ST 92.00 ST P-tersedia (ppm) Water 0.95 1.08 Liat (%) 3.25 3.75 Debu (%) 4.25 3.50 Pasir (%) 92.75 93.00 Ket : N = Netral, SR = Sangat Rendah, R = Rendah, ST = Sangat Tinggi
Selanjutnya adalah lokasi II, pada lokasi ini terdapat dua jenis tanaman yaitu Casuarina equisetifolia (casuarina), dan Pometia pinnata (matoa), dapat dilihat pada Gambar 5. Luas lokasi ini adalah 10,5 ha. Seperti yang terlihat pada Tabel 2, lokasi II ini memiliki nilai pH yang tergolong netral (antara 6,6-7,5) yaitu pada daerah yang ditanami casuarina pH yang dimiliki adalah 7,25 dan pada daerah yang ditanami oleh tanaman matoa pH yang dimiliki adalah 7,00. Nilai KTK pada lokasi ini sangat rendah (kurang dari 5 me/100 g) yaitu 0,58 me/100 g. C-organik yang dimiliki tergolong sangat rendah, hanya berkisar antara 0,22-0,28% (< 1%).
Nilai KB bernilai 100% dan ini
tergolong sangat tinggi. Kelas tekstur yang ada pada lokasi ini tergolong dalam kelas pasir.
Gambar 5. Tanaman Yang Terdapat Pada Lokasi II
Tabel 3. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi III. Tanaman C. equisetifolia Alley Cropping Parameter pH H2O 7.29 N 7.43 N Kelembaban (%) 0.15 0.44 KTK (me/100 g) 0.56 SR 0.57 SR Ca (me/100 g) 6.07 S 7.25 S Mg (me/100 g) 0.40 SR 0.38 SR K (me/100 g) 0.02 SR 0.02 SR Na (me/100 g) < 0.01 SR < 0.01 SR KB (%) 100.00 ST 100.00 ST N-total (%) 0.01 SR 0.01 SR P-total (ppm) 604.00 571.00 K-total (ppm) 77.90 76.00 C-Org (%) 0.17 SR 0.19 SR BO (%) 0.29 0.32 P-tersedia (ppm) Olsen 88.40 ST 90.70 ST P-tersedia (ppm) Water 1.37 1.12 Liat (%) 3.40 1.94 Debu (%) 6.10 5.00 Pasir (%) 90.60 93.40
C. Nucifera 7.42 0.17 0.59 7.41 0.38 0.02 < 0.01 100.00 0.01 718.90 82.60 0.17 0.28 89.30 1.59 3.40 3.10 93.60
N SR S SR SR SR ST SR
SR ST
Ket : N = Netral, SR = Sangat Rendah, S = Sedang, ST = Sangat Tinggi
Lokasi III ditanami oleh jenis tanaman Casuarina equisetifolia, Alley Cropping (Paraserianthes falcataria, Leucaena leucocephala, Gliricidae sapium, Caliandra surinamensis, Sesbania grandifolia), dan Cocos nucifera (Kelapa) dengan luas area 12,5 ha. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pH yang dimiliki lokasi III ini tergolong netral (berkisar antara 6,6-7,5), yaitu berturut-turut adalah 7,29; 7,42; 7,43.
Nilai KTK yang sangat rendah (kurang dari 5 me/100 g), yaitu
bervariasi antara 0,56-0,59 me/100 g. C-organik yang dimiliki lebih rendah dari lokasi II yaitu hanya berkisar antara 0,17-0,19%, dan kelas tekstur pada lokasi ini diwakili oleh golongan pasir. Mengenai tanaman, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Tanaman Yang Terdapat Pada Lokasi III
Tabel 4. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi IV Tanaman K.grass – K.grassParameter C.equisetifolia N.successions pH H2O 7.39 N 7.22 N Kelembaban (%) 0.16 0.23 KTK (me/100 g) 0.54 SR 0.65 SR Ca (me/100 g) 5.73 R 11.02 T Mg (me/100 g) 0.36 SR 0.46 R K (me/100 g) 0.02 SR 0.04 SR Na (me/100 g) < 0.01 SR < 0.01 SR KB (%) 100.00 ST 100.00 ST N-total (%) 0.01 SR 0.02 SR P-total (ppm) 515.25 726.50 K-total (ppm) 83.25 83.75 C-Org (%) 0.09 SR 0.20 SR BO (%) 0.15 0.34 P-available (ppm) Olsen 88.25 ST 93.00 ST P-available (ppm) Water 1.58 1.85 Kadar Liat (%) 3.75 4.25 Kadar Debu (%) 4.00 5.25 Kadar Pasir (%) 92.25 90.75 Ket : N = Netral, S = Sedang,
SR = Sangat Rendah, T = Tinggi,
K.grass 7.17 0.14 0.56 8.03 0.41 0.02 < 0.01 100.00 0.01 849.25 79.50 0.12 0.21 92.50 1.33 3.25 5.25 91.75
N SR S R SR SR ST SR
SR ST
R = Rendah, ST = Sangat Tinggi
Selanjutnya King grass (Rumput Raja), N.successions dan Casuarina equisetifolia (sejenis cemara) adalah jenis tanaman yang ditanam pada lokasi IV, dimana didominasi oleh tanaman King Grass. Luas lokasi IV ini adalah 6 ha. Seperti halnya lokasi II dan III, lokasi IV ini memiliki kelas tekstur yang juga tergolong dalam kelas pasir. Lokasi ini memiliki pH netral (7,17-7,39), dengan nilai KTK dan kandungan C-organik yang sangat rendah yaitu berkisar antara 0,54-0,65 me/100 g dan 0,09-0,20, serta KB sangat tinggi yaitu 100%. Keterangan tentang lokasi IV dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 7.
Gambar 7. Tanaman Yang Terdapat Pada Lokasi IV
Tabel 5. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi V Tanaman LamtoroLamtoro Parameter C.equisetifolia pH H2O 7.27 N 7.13 N Kelembaban (%) 0.14 0.23 KTK (me/100 g) 0.51 SR 0.59 SR Ca (me/100 g) 7.22 S 7.36 S Mg (me/100 g) 0.35 SR 0.39 SR K (me/100 g) 0.03 SR 0.02 SR Na (me/100 g) < 0.01 SR < 0.01 SR KB (%) 100.00 ST 100.00 ST N-total (%) 0.01 SR 0.02 SR P-total (ppm) 660.00 492.50 K-total (ppm) 70.25 72.75 C-Org (%) 0.12 SR 0.31 SR BO (%) 0.20 0.52 P-tersedia (ppm) Olsen 89.50 ST 93.25 ST P-tersedia (ppm) Water 1.40 1.45 Liat (%) 2.75 3.00 Debu (%) 4.75 3.75 Pasir (%) 93.75 93.00 Ket : N = Netral, SR = Sangat Rendah, R = Rendah, ST = Sangat Tinggi
Kelas tekstur pada lokasi V diwakili oleh kelas pasir, memiliki pH yang netral (antara 6,6-7,5a) yaitu antara 7,13-7,27. KTK yang dimiliki sangat rendah (kurang dari 5 me/100 g) yaitu berkisar antara 0,51-0,59 me/100 g, C-organik yang juga sangat rendah yaitu 0,12-0,31%. Nilai KB yang dimiliki sangat tinggi yaitu 100%. Pada lokasi V ini terdapat jenis tanaman Casuarina equisetifolia dan Leucaena leucocephala (lamtoro). Lokasi yang memiliki luas 6 ha ini dijadikan sebagai tempat untuk berternak sapi (di daerah yang ditumbuhi tanaman lamtoro), dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Tanaman Yang Terdapat Pada Lokasi V
Tabel 6. Data Kesuburan Tailing pada Lokasi VI Tanaman C.equisetifolia Legum Parameter pH H2O Kelembaban (%) KTK (me/100 g) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) K (me/100 g) Na (me/100 g) KB (%) N-total (%) P-total (ppm) K-total (ppm) C-Org (%) BO (%) P-tersedia (ppm) Olsen P-tersedia ppm) Water
7.32 N 7.29 0.13 0.35 0.52 SR 0.59 6.99 S 6.04 0.36 SR 0.55 0.02 SR 0.03 < 0.01 SR < 0.01 100.00 ST 100.00 0.01 SR 0.01 528.63 543.83 80.38 97.25 0.14 SR 0.18 0.24 0.30 90.50 ST 90.25 1.28 1.55 Liat (%) 2.38 3.50 Debu (%) 4.75 14.09 Pasir (%) 93.00 82.42 Ket : SM = Sangat Masam, AM = Agak Masam, R = Rendah, S = Sedang,
LegumPhragmites
C.equisetifoliaPhragmites karka Phragmites
N
3.87 SM 7.13 N 6.09 1.73 0.16 0.30 SR 1.34 SR 0.51 SR 1.47 S 1.54 SR 5.95 R 4.17 S 1.70 S 0.36 SR 0.82 SR 0.03 SR 0.02 SR 0.06 SR < 0.01 SR < 0.01 SR < 0.01 ST 100.00 ST 100.00 ST 100.00 SR 0.02 SR 0.01 SR 0.02 715.00 443.00 672.00 192.00 83.00 245.00 SR 0.23 SR 0.12 SR 0.26 0.39 0.21 0.45 ST 98.00 ST 86.50 ST 110.50 1.10 1.35 1.80 4.50 4.00 6.50 34.50 5.50 76.00 61.00 91.00 17.50 N = Netral, SR = Sangat Rendah, ST = Sangat Tinggi
Pada lokasi terakhir, yaitu lokasi VI jenis tanaman yang terdapat di lokasi tersebut adalah Casuarina equisetifolia, Calopogonium (legum), dan Phragmites karka. Dengan adanya tanaman Calopogonium pada lokasi ini, seperti pada lokasi I menunjukkan bahwa tanaman ini dapat tumbuh pada kondisi tanah dengan Ntotal yang sangat rendah yaitu pada lokasi VI ini adalah 0,01 %. Sama halnya dengan N-total, C-organik yang dimiliki juga sangat rendah yaitu 0,12-0,26% (sangat kurang dari 1%), seperti yang terlihat pada Tabel 6.
Lokasi VI ini
memiliki luas area 26.25 Ha. Pada lokasi ini, golongan pH yang dimiliki sangat bervariasi mulai dari sangat masam-sedang-netral, dengan nilai berkisar antara 3,87 sampai 7,32. Seperti lokasi-lokasi sebelumnya, nilai KB yang dimiliki juga sangat tinggi yaitu 100%. Kelas tekstur yang terdapat pada lokasi VI sangat bervariasi mulai dari lempung berdebu, lempung berpasir, pasir perlempung sampai pasir. Gambar tanaman disajikan pada Gambar 9.
AM SR R R SR SR ST SR
SR ST
Gambar 9. Tanaman Yang Terdapat Pada Lokasi VI Tabel 7. Hasil Rata-Rata Tingkat Kesuburan Tanah Daerah Reklamasi Tailing (ModADA) I II III IV V VI Lokasi Sifat Tanah Lab. Krit Lab. Krit Lab. Krit Lab. Krit Lab. Krit Lab. C-Organik (%) 0.26 SR 0.25 SR 0.18 SR 0.14 SR 0.21 SR 0.18 N-Total (%) 0.013 SR 0.010 SR 0.010 SR 0.013 SR 0.013 SR 0.014 C/N 20 T 25 T 18 T 10.77 S 16.15 T 12.86 KTK (me/100 g) 0.68 SR 0.58 SR 0.57 SR 0.58 SR 0.55 SR 0.88 P Olsen (ppm) 91,44 ST 90,63 ST 89,47 ST 91,25 ST 91,38 ST 95,15 100 ST 100 ST 100 ST 100 ST 100 KB (%) 99.2 ST pH (H2O) 7.44 N 7.12 N 7.38 N 7.26 N 7.20 N 6.34 Susunan Kation (me/100 g) K 0.03 Ca 5.19 Mg 0.40 Na <0.01
SR R R SR
0.03 4.38 0.39 <0.01
SR R R SR
0.02 6.91 0.39 <0.01
SR S R SR
0.03 8.26 0.41 <0.01
Keterangan : Lab. = Laboratorium SR = Sangat Rendah Krit = Kriteria R = Rendah AM = Agak Masam S = Sedang I, II, III...dst = Lokasi pengambilan sampel
SR S R SR
0.02 7.29 0.37 <0.01
SR S R SR
0.03 4.94 0.76 <0.01
T = Tinggi ST = Sangat Tinggi N = Netral
Secara umum dapat dikemukakan bahwa daerah reklamasi tailing memiliki pH netral. Keadaan ini dikarenakan pada saat proses pemisahan bijih di pabrik, sebelum dialirkan ke daerah ModADA tailing dicampur dengan bahan kapur. Dosis kapur yang ditambahkan tergantung dari total Sulfur dalam tailing. Bahan kapur yang diberikan adalah Ca(OH)2. Berdasarkan karakteristik kimia tanah tailing di wilayah ModADA ditemukan bahwa konsentrasi beberapa unsur makro rendah, sedangkan konsentrasi Ca lebih tinggi dibandingkan kation basa lainnya, hal ini karena telah terjadi pelarutan Ca2+ dari bahan kapur Ca(OH)2 yang terkandung dalam tailing. Penambahan bahan kapur ini menyebabkan pH tailing sangat tinggi yaitu sekitar 9-11 (Taberima, 2007). Namun demikian dalam
Krit SR SR S SR ST ST AM
SR R R SR
perjalanannya menuju ModADA terjadi penurunan pH hingga mencapai nilai pH netral. Penurunan pH terjadi karena senyawa sulfida yang terdapat pada tailing mengalami oksidasi. Penambahan kapur ini juga berguna untuk mempertahankan tailing agar memiliki kemampuan untuk menetralkan asam yang terbentuk karena oksidasi Sulfida. Tailing yang diendapkan di area ModADA tidak bermasalah jika dijadikan sebagai media tumbuh tanaman, hanya saja ketika dilakukan penanaman pada masing-masing lubang tanam perlu diberikan bahan organik. Pada intinya, agar tanaman dapat berhasil tumbuh di area endapan tailing kunci utamanya adalah ketersediaan bahan organik. Hanya ada satu tanaman yang ditanam secara langsung di area endapan tailing tanpa pemberian kompos dan pupuk lainnya, tanaman tersebut adalah jenis cemara Casuarina sp. Jenis ini dibibitkan langsung di lapangan dan setelah berumur 3-6 bulan bisa langsung dipindahkan ke lapangan tanpa bahan organik dan pemupukan. Tailing yang diendapkan di area ModADA masih tergolong murni dan tidak bermasalah jika dijadikan sebagai media tumbuh tanaman, hanya saja ketika dilakukan penanaman pada masing-masing lubang tanam perlu diberikan bahan organik.
Perlakuan yang umum diberikan pada daerah reklamasi adalah
pemberian kompos.
Kompos yang digunakan bervariasi misalnya in-situ
composting menggunakan metode 212, yaitu 2 karung manure sapi paling bawah, 1 bagian eceng gondok bagian tengah dan 2 bagian hydrylla paling atas dan tanaman langsung di tanam saat itu juga. Cara lain, kompos murni dari manure (kotoran) sapi yang sudah jadi langsung dimasukkan ke dalam lubang tanam dan tanaman langsung di tanam.
5.2
Hirarki Wilayah Desa Sekitar PT. Freeport Indonesia (PTFI) Analisis hirarki suatu wilayah pada penelitian ini menggunakan metode
Skalogram, dimana dalam penentuannya didasarkan atas jumlah dan jenis sarana prasarana umum yang tersedia pada suatu wilayah. Pada penelitian ini analisis dilakukan dengan melihat tingkat perkembangan desa-desa yang berada di dalam wilayah proyek PTFI atau berada di sekitar (dekat) kawasan pertambangan PTFI, yang dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang terletak di Kabupaten Mimika
namun jauh dari kawasan PTFI. Desa yang terletak di Kabupaten Mimika pada tahun 2000 berjumlah 68 desa (4 kecamatan) dan pada tahun 2006 bertambah menjadi 84 desa (12 kecamatan). Desa yang berada di sekitar wilayah proyek PTFI berjumlah 35 desa, 26 desa terletak di dalam wilayah proyek dan 9 desa berada di luar wilayah proyek tetapi dekat dengan PTFI. Sedangkan 49 desa lainnya terletak jauh dari wilayah proyek PTFI. Nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) adalah nilai yang mencerminkan tentang tingkat perkembangan suatu desa. Pada umumnya, semakin tinggi nilai IPD, semakin tinggi pula kapasitas pelayanan dan tingkat perkembangan suatu desa. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPD maka semakin rendah pula kapasitas pelayanan dan tingkat perkembangan suatu desa. Nilai IPD berbanding lurus dengan tingkat hirarki. Hasil analisis skalogram berdasarkan data Podes tahun 2006 menunjukan bahwa, nilai IPD yang dihasilkan di Kabupaten Mimika berada pada kisaran 7,163 sampai 102,519. Nilai IPD tertinggi (hirarki pertama) sebesar 102,519 dimiliki oleh Desa Kwamki (Kecamatan Mimika Baru), sedangkan nilai IPD terkecil (hirarki ketiga) sebesar 7,163 dimiliki oleh Desa Opitawak (Kecamatan Tembagapura).
Desa Kwamki terletak di dalam wilayah proyek
PTFI, tepatnya dekat dengan areal Mod-ADA (daerah endapan tailing). Jarak Desa Kwamki ke ibu kota Kabupaten (Kota Timika) adalah 0,5 km (500 m). Desa Opitawak juga terletak di dalam wilayah proyek PTFI hanya saja Desa Opitawak ini berada dekat dengan lokasi penambangan (daerah dataran tinggi), jarak Desa Opitawak ke ibu kota Kabupaten adalah 71 km. Hasil perhitungan nilai IPD dan hirarki desa-desa wilayah proyek PTFI dan di luar (tetapi dekat dengan wilayah proyek PTFI) disajikan pada Tabel 8. Variabel-variabel yang digunakan untuk melihat hirarki desa-desa tersebut adalah : aksesibilitas (jarak suatu aktifitas/pusat pelayanan dari suatu lokasi), fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan (formal dan informal), jumlah fasilitas keamanan, prasarana peribadatan, fasilitas sosial, prasarana perhubungan dan komunikasi, perkoperasian.
banyaknya
industri,
fasilitas
perdagangan
dan
jasa,
serta
Aksesibilitas yang dimaksud adalah tingkat kemudahan suatu
fasilitas untuk dijangkau dari suatu lokasi tertentu.
Tabel 8. Nilai IPD dan Hirarki Desa-desa di Sekitar Wilayah Proyek PTFI Nama Kecamatan
Nama Desa
Jumlah penduduk (jiwa) 15.432
Jumlah (IPD) 102.519
hirarki 1
Jumlah Fasilitas 243
Jumlah Jenis Fasilitas 22
Hirarki
MIMIKA BARU
KWAMKI
MIMIKA BARU
KOPERAPOKA
21.411
85.576
hirarki 1
267
22
MIMIKA BARU
KAMORO JAYA
3.524
56.431
hirarki 1
64
15
MIMIKA BARU KUALA KENCANA KUALA KENCANA MIMIKA BARU
WONOSARI JAYA
1.717
53.169
hirarki 1
59
15
KUALA KENCANA
5.999
51.997
hirarki 1
32
17
NAENA MUKTIPURA INAOGA
1.048
49.721
hirarki 1
23
11
9.067
49.481
hirarki 1
64
19
MIMIKA BARU KUALA KENCANA MIMIKA TIMUR
LIMAU ASRI
1.434
47.256
hirarki 1
42
11
KARANG SENANG
3.097
45.774
hirarki 1
79
13
TEMBAGAPURA
WAA
MIMIKA BARU
TIMIKA JAYA
6.546
43.054
hirarki 1
56
16
TEMBAGAPURA MIMIKA TIMUR TENGAH KUALA KENCANA MIMIKA TIMUR MIMIKA TIMUR JAUH MIMIKA TIMUR JAUH MIMIKA BARU
TEMBAGAPURA
15.384
41.137
hirarki 1
65
21
673
40.350
hirarki 1
14
8
1.194
38.330
hirarki 2
61
8
555
37.626
hirarki 2
24
7
1.512
35.569
hirarki 2
10
8
200
32.289
hirarki 2
9
5
WANGIRJA
1.109
28.649
hirarki 2
24
7
MIMIKA BARU
HARAPAN
17.686
27.876
hirarki 2
47
12
MIMIKA BARU KUALA KENCANA MIMIKA BARU
NAWARIPI
1.180
27.540
hirarki 2
30
8
BHINTUKA
1.057
21.741
hirarki 3
25
7
NAYARO
669
20.669
hirarki 3
6
4
MIMIKA TIMUR
HIRIPAU
749
19.154
hirarki 3
15
5
MIMIKA TIMUR
KADUN JAYA
1.378
19.104
hirarki 3
37
7
MIMIKA TIMUR KUALA KENCANA MIMIKA TIMUR KUALA KENCANA MIMIKA TIMUR
PIGAPU
226
17.673
hirarki 3
5
4
IWAKA
539
16.752
hirarki 3
5
3
TIPUKA
304
16.645
hirarki 3
6
4
UTIKINI BARU
1.791
16.625
hirarki 3
15
7
POMAKO
1.522
15.827
hirarki 3
12
4
MIMIKA TIMUR MIMIKA TIMUR TENGAH MIMIKA TIMUR JAUH MIMIKA TIMUR JAUH TEMBAGAPURA
MWAPI
529
14.968
hirarki 3
7
4
AIKAWAPUKA
420
13.684
hirarki 3
3
3
OMAWITA
392
13.451
hirarki 3
6
4
FANAMO
813
11.610
hirarki 3
8
4
OPITAWAK
441
7.163
hirarki 3
1
1
Keterangan : Ghgh Ghgh
WANIA
ATUKA MULIA KENCANA KAUGAPU AMAMAPARE AYUKA
739
43.853
hirarki 1
25
11
1.490
43.264
hirarki 1
18
11
→ desa-desa yang berada di dalam wilayah proyek PTFI → desa-desa yang berada di luar wilayah proyek PTFI, tetapi terletak dekat dengan wilayah proyek.
Hasil perhitungan skalogram menunjukan bahwa dari 35 desa yang berada di dalam wilayah proyek PTFI dan yang berada di luar namun dekat dengan wilayah proyek PTFI, terdapat 14 desa termasuk dalam hirarki I, 7 desa termasuk dalam hirarki II, dan yang termasuk dalam hirarki III berjumlah 14 desa. Desadesa yang termasuk dalam hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai pusat aktifitas maupun pusat pelayanan dan penyedia fasilitas bagi desa-desa di sekitarnya, desa-desa tersebut yaitu : Kwamki, Koperakopa, Kamoro Jaya, Wonosari Jaya, Kuala Kencana, Naena Muktipura, Inaoga, Limau Asri, Karang Senang, Wania, Waa (Bhanti), Timika Jaya, Tembagapura, dan Atuka.
Hal ini ditunjukkan oleh
banyaknya jumlah dan jenis sarana dan prasarana serta memiliki aksesibilitas yang relatif baik. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduknya, Desa Wonosari Jaya memilki tingkat kepadatan yang paling tinggi yaitu 8.061 jiwa/km2. Dari ke 14 desa yang termasuk dalam hirarki I, Desa Atuka merupakan satu-satunya desa yang berada di luar wilayah proyek PTFI. Desa ini memiliki tingkat kepadatan penduduk paling rendah yaitu hanya 4 jiwa/km2, karena Desa Atuka memiliki wilayah yang paling luas yaitu 179,57 km2, namun penduduk yang terdapat di desa tersebut sangatlah sedikit yaitu hanya sekitar 673 orang. Nilai IPD yang dimiliki oleh desa-desa yang termasuk dalam hirarki I berkisar antara 40,350 sampai 102,519. IPD tertinggi dimiliki oleh Desa Kwamki (102,519) dan IPD terendah dimiliki oleh Desa Atuka. Desa-desa yang termasuk dalam hirarki II merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, dimana jumlah dan jenis sarana prasarananya tidak sebanyak dan selengkap desa-desa yang termasuk dalam hirarki I. Begitu pula dengan aksesibilitasnya yang tidak sebaik desa-desa yang termasuk dalam hirarki I. Hal inilah yang menyebabkan wilayah ini tidak dijadikan sebagai pusat aktifitas maupun pusat pelayanan dan penyedia fasilitas bagi desa-desa lainnya, melainkan hanya dijadikan sebagai daerah hinterland (plasma/biasanya dijadikan sebagai wilayah pemasok bahan baku). Nilai IPD pada wilayah berhirarki II ini berkisar dari 27,540 sampai 38,330. Desa-desa tersebut yaitu : Mulia Kencana, Kaugapu, Amamapare, Ayuka, Wangirja, Harapan, dan Nawaripi.
Nilai IPD tertinggi
dimiliki oleh Desa Mulia Kencana yaitu 38,330, Desa Kuala Kencana ini berada
di luar wilayah proyek PTFI tetapi letaknya tidak jauh dari kota Timika yaitu hanya berjarak 0,032 km.
Nilai IPD terendah dimiliki oleh Desa Nawaripi,
dimana desa ini terletak di dalam wilayah proyek PTFI.
Diantara desa-desa
tersebut Desa Amamapare merupakan desa yang memiliki tingkat kepadatan yang paling tinggi yaitu 2.880 jiwa/km2, sedangkan Desa Nawaripi merupakan desa dengan tingkat kepadatan yang paling rendah yaitu hanya 66 jiwa/km2. Dibandingkan dengan hirarki I dan II, desa-desa yang termasuk dalam hirarki III merupakan desa-desa yang memiliki jumlah dan jenis sarana prasarana paling sedikit dan tidak lengkap serta aksesibilitasnya yang buruk sehingga untuk mencapai wilayah berhirarki I dan II (wilayah inti dan hinterland) relatif sulit dan fasilitas yang terdapat di wilayah hirarki III ini juga sulit dijangkau oleh wilayah inti dan hinterland. Hal ini menyebabkan desa-desa berhirarki III ini memiliki tingkat perkembangan yang rendah, dimana nilai IPD yang dimiliki berkisar dari 7,163 sampai 21,741.
Desa-desa yang termasuk dalam hirarki III ini yaitu:
Bhintuka, Nayaro, Hiripau, Kadun Jaya, Pigapu, Iwaka, Tipuka, Utikini Baru, Pomako, Mwapi, Aikawapuka, Omawita, Fanamo, dan Opitawak.
Nilai IPD
tertinggi yaitu 21,741 dimiliki oleh Desa Bhintuka dan nilai IPD terendah dimiliki oleh Desa Opitawak.
Jika dilihat dari tingkat kepadatan penduduknya Desa
Nayaro merupakan desa yang memiliki tingkat kepadatan paling tinggi yaitu 669 jiwa/km2, sedangkan tingkat kepadatan penduduk paling rendah dimiliki oleh Desa Mwapi yaitu hanya 11 jiwa/km2. Desa-desa yang terletak jauh dari wilayah proyek PTFI juga memiliki tingkat hirarki yang bervariasi, hanya saja desa-desa tersebut tidak ada yang termasuk dalam hirarki I. Sebagian besar berada pada tingkat hirarki III. Tingkat perkembangan yang masih rendah ini, dikarenakan oleh letak desa-desa tersebut yang berada jauh dari ibu kota kabupaten yaitu Timika.
5.3
Pengaruh PT. Freeport Indonesia (PTFI) terhadap Pengembangan Wilayah di Sekitarnya Kehadiran PT. Freeport Indonesia, sebagai pengelola Sumber Daya Alam
(SDA) dan dengan berbagai aktifitas penambangannya di Papua khususnya di Kabupaten Mimika telah memberikan pengaruh, baik pengaruh positif maupun
pengaruh negatif dalam bidang ekonomi, aktifitas kehidupan, dan peluang bagi penduduk di sekitar wilayah proyek PTFI. Sesa (2003) menyatakan bahwa struktur Perekonomian Kabupaten Mimika dengan adanya PT.FIC menyangkut Permintaan dan Penawaran, menunjukkan bahwa secara keseluruhan output domestik Kabupaten Mimika sebesar Rp 17.844 milyar sedangkan jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran domestik sebesar Rp 23.181,80 milyar, sehingga diperlukan impor sebesar Rp 5.337,80 milyar
atau 23,03 persen dari jumlah permintaan.
Penawaran sejumlah Rp
23.181,80 milyar tersebut digunakan untuk permintaan domestik sebesar Rp 5.862,60 milyar (25,29 persen) dan diekspor sebesar Rp 17.319,10 milyar atau 74,71 persen. Apabila Freeport dikeluarkan dari perekonomian Mimika, maka nilai PDRB hanya sebesar Rp 298.867 juta.
Besarnya nilai tambah sektor
pertambangan (Freeport) pada tahun tersebut menunjukkan angka sebesar Rp 13.124.273 juta, atau sekitar 97,77 persen terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Mimika.
Sektor lain di luar sektor pertambangan hanya mampu
menyumbang PDRB di bawah 1%. Sektor tersebut adalah sektor pertanian sekitar 0,69%, sektor konstruksi 0,47%, transportasi dan komunikasi 0,44%, perdagangan 0,26%, jasa-jasa 0,18%, sektor perbankan dan lembaga keuangan 0,09%, penggalian 0,05%, industri dan listrik 0,02 %. Pada tahun 2005, berdasarkan data PDRB rasio pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun tanpa sektor tambang sebesar 8,91%, hal ini menunjukan terjadinya penurunan 1% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2004 sebesar 9,15%.
Rasio pertumbuhan rata-rata pertahun tanpa sektor tambang
sebesar 10,18%. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perkembangan Kabupaten Mimika tanpa sub sektor pertambangan mengalami pertumbuhan lebih dari 9% per tahun dimana pada tahun 2003, atas dasar harga (ADH) berlaku sebesar Rp. 723.344,40 dan ADH konstan sebesar Rp. 580.674,14 dengan tingkat pertumbuhan 14,84% dan 9,13%.
Pada tahun 2004 pertumbuhan mengalami peningkatan dari tahun
2003 yaitu berdasarkan ADH berlaku dari nilai pertumbuhan sebesar 14,84% meningkat menjadi 17,6% dan berdasarkan ADH konstan meningkat dari 9,13% menjadi 9,15%.
Tabel 9. Perkembangan Kabupaten Mimika Tanpa Sub Sektor Pertambangan Tahun 2003-2005 ADH berlaku ADH Konstan 2000 Tahun Nilai Pertumbuhan Nilai Pertumbuhan (Jutaan Rupiah) (%) (Jutaan Rupiah) (%) 1 2 3 4 5 2003 723.344,40 14,84 580.674,14 9,13 2004
851.059,37
17,66
633.801,75
9,15
2005
1.001284,65
17,65
690.281,17
8,91
Sumber : Bappeda Kabupaten Mimika (PDRB 2005)
Berdasarkan PDRB tahun 2005, dapat diketahui bahwa pendapatan Kabupaten Mimika dengan sub sektor pertambangan mengalami peningkatan yang sangat jauh sekali dari pendapatan tanpa sub sektor pertambangan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan PTFI di Mimika membantu meningkatkan pendapatan daerah tersebut, dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 10. Perkembangan Kabupaten Mimika dengan Sub Sektor Pertambangan Tahun 2003-2005 ADH berlaku ADH Konstan 2000 Tahun Nilai Pertumbuhan Nilai Pertumbuhan (Jutaan Rupiah) (%) (Jutaan Rupiah) (%) 1 2 3 4 5 2003 15.194.419,07 1,31 14.320.347,42 -3,10 2004
14.963.727,09
-1,90
9.323.567,37
-34,89
2005
32.135.231,20
115,58
14.958.778,88
60,44
Sumber : Bappeda Kabupaten Mimika (PDRB 2005)
Manajemen
PTFI
sejak
tahun
1996
telah
memutuskan
untuk
mengalokasikan 1% dari pendapatan kotor perusahaan bagi masyarakat sekitar. Pada tahun 2006, berdasarkan data dari Bappeda Kabupaten Mimika, kontribusi PTFI terhadap pembentukan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) Kabupaten Mimika mencapai 94,18%.
Peran PTFI dalam perekonomian
Kabupaten Mimika sangat dominan, karena sebagian besar sarana dan prasarana yang terdapat di ibu kota Kabupaten Mimika (kota Timika) merupakan hasil pembangunan PTFI yang bekerja sama dengan pemerintahan daerah setempat. Dampak negatif yang muncul dimulai ketika terjadinya penyerahan tanah adat kepada pihak PTFI untuk pembangunan pusat pemukiman pada mile 68, mengakibatkan tanah dan kebun penduduk lokal semakin sempit untuk melakukan
aktifitas bercocok tanam atau perburuan. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antara penduduk dengan manajemen PTFI. PTFI mencoba suatu usaha yaitu merelokasikan masyarakat pegunungan ke wilayah yang lebih subur pada dataran yang lebih rendah elevasinya, namun usaha ini pada awal juga tidak berhasil. PTFI mencoba usaha lain yaitu dengan membangun asrama dan menyekolahkan anak-anak penduduk setempat di Timika, namun pada awalnya usaha ini juga tidak seperti yang diharapkan. Akan tetapi dengan seiringnya waktu, kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan mulai tumbuh apalagi setelah dibangunnya sekolah dasar untuk tiga tingkat pertama. Berkembangnya hasrat masyarakat dalam memperoleh pendidikan ini, semakin didukung PTFI yaitu dengan memberikan beasiswa untuk bersekolah di Timika, kemudian di Jayapura, dan bahkan sampai ke luar tanah Papua.
Sebagai
kompensasi terhadap tuntutan masyarakat lokal, ada kebijakan dari pihak manajemen PTFI terhadap tokoh-tokoh adat dengan memberikan fasilitas perumahan dengan perabotnya, dan memberikan kebutuhan pokok kepada penduduk lokal (Laporan Labat Company 2006).
Salah satu kebijakan yang
dilakukan oleh pihak manajemen PTFI dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Perumahan Permanen di Lembah Waa/Bhanti dengan fasilitas umum
Saat ini telah terjadi perubahan amat penting. Daerah yang dulu terpencil dan sulit dijangkau sudah semakin terbuka dan tidak terisolasi dari dunia luar. Prasana dasar perhubungan laut, udara dan darat serta sistem komunikasi modern
sudah dibangun. Demikian pula berbagai fasilitas lain seperti air bersih, listrik, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan budaya. Kegiatan pengembangan masyarakat dalam bidang budaya, sosial, dan ekonomi dilakukan melalui Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) atau Dana Kemitraan 1 % dan dana operasional PTFI. Dana Kemitraan (1%) ditetapkan sejak tahun 2005, dana ini difokuskan untuk programprogram pengembangan sarana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sedangkan dana operasional PTFI pengunaanya difokuskan untuk program pengembangan sarana dan prsarana fisik di tiga desa dataran tinggi (Tsinga, Waa/Bhanti, dan Aroanop), program-program pengembangan ekonomi di lima desa Kamoro dataran rendah (Tipuka, Ayuka, Nawaripi, Koperapoka, dan Nayaro), pembinaan pengusaha lokal, dan bina hubungan dengan masyarakat (CLO). Proyek pembangunan sarana dan prasarana fisik di tiga desa (Waa/Bhanti, Aroanop, Tsinga) di dataran tinggi masih terus dilakukan.
Pencapaian dari
kegiatan pembangunan sarana dan prasarana tersebut sampai akhir tahun 2006 disajikan pada Tabel 9. Tabel 11. Pencapaian Kemajuan Pekerjaan Proyek Tiga Desa Desa
Kegiatan
Micro Hydro – Instalasi sambungan listrik di Bhanti I Konstruksi enam rumah di Opitawak Konstruksi tangki septik tank bersama Waa/Bhanti Pengadaan furniture untuk rumah di Opitawak Pembuatan jembatan gantung Bhanti I – Jipa Micro Hydro – Instalasi sambungan listrik di Opitawak Pembuatan kandang babi Penyediaan kayu untuk pembangunan 4 rumah di Aroanop Penyediaan furniture Pembangunan sarana sanitasi Aroanop Pembuatan jembatan gantung Baluni – Bubil Pemasangan Solar Cells Survei dan pembersihan lahan lokasi lapangan udara di Ombani, Aroanop Konstruksi rumah baru di Nosalanop : persiapan kayu Rumah Ex LPMI 2006 Pengadaan furniture Tsinga Pembangunan sarana sanitasi dan septik tank Pemasangan Solar Cells Pembersihan awal di Lapangan udara Mulu Sumber : LPMAK dan PTFI
Pencapaia n 91% 98% 100% 100% 20% 40% 82% 91% 90% 80% 15% 20% 20,75% 3,25% 91% 100% 51 100% 24%
Dari sisi ekonomi, ada nilai positif yang dinikmati oleh penduduk lokal (orang Amungme dari Desa Bhanti, Aroanop, Tsinga, dan Opitawak). Terdapat peluang yang diberikan PTFI bagi penduduk lokal tersebut untuk bekerja sebagai karyawan dengan tingkat penghasilan yang lebih baik dan teratur. Tenaga kerja lokal ini diberikan pelatihan khusus oleh PTFI agar menjadi tenaga kerja lokal yang terdidik. Pembelian produksi pertanian dan non pertanian telah dilakukan oleh PTFI dari masyarakat lokal senilai 312 milyar rupiah. Pembelian lokal produksi non petanian PTFI di Timika sepanjang tahun 2006 mencapai 251,8 milyar rupiah dengan perincian pada Tabel 10. Produk-produk non pertanian ini digunakan PTFI untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah, walaupun tidak semua bahan mentah didatangkan dari dalam Mimika (Papua) karena ada kalanya beberapa bahan mentah yang dibutuhkan PTFI tidak di produksi di wilayah ini maka harus mendatangkannya dari luar Papua bahkan luar negeri. Namun hal ini menunjukkan bahwa PTFI memberi peluang kepada pengusaha lokal dan menghargai hasil produksinya. Tabel 12. Pembelian Lokal Produksi Non Pertanian Tahun 2006 (Jutaan Rupiah) Produksi Non Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan Pertanian 1 2 3 4 Kayu 211 540 476 307 Pengusaha Binaan 799 2.166 458 640 Ban Kendaraan Rekap 3.801 6.281 1.820 2.241 Suku Cadang 49.352 90.156 23.884 23.830 Lain-lain -1 (PSU) 3.681 7.494 2.651 2.780 Lain-lain 4.390 10.687 5.846 7.363 Jumlah 62.234 117.325 35.134 37.161
Sedangkan pembelian produksi lokal pertanian dilakukan oleh PT. Pangansari Utama (PSU), dimana selama tahun 2006 mencapai 59,9 milyar rupiah seperti yang tercantum pada Tabel 11. PT. Pangansari Utama ini bekerja sama dengan PTFI untuk melayani para staf dan pekerja PTFI dalam hal penyediaan makanan, coffee shop, pusat rekreasi dan olah raga. Hal ini menunjukkan bahwa PTFI memberi peluang kepada pengusaha lokal dan menghargai hasil produksinya. (PT. Freeport Indonesia, 2006)
Tabel 13. Pembelian Lokal Produksi Pertanian Tahun 2006 (Jutaan Rupiah) Komoditi Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4 Ikan 2.178 3.928 2.572 2.972 Sayuran dan Buah 3.748 4.251 3.101 4.506 Daging Sapi 8.982 6.513 8.722 6.458 Tahu + Tempe 565 536 516 444 Jumlah 15.473 15.228 14.912 14.380
Selain itu, sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Papua, PTFI melalui LPMAK melakukan pemberian beasiswa kepada 1.588 orang Papua yang berasal dari 7 suku untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Penerimaan beasiswa LPMAK hingga akhir tahun 2006 disajikan pada Gambar 6. PTFI melakukan program pelatihan magang dan pramagang di Institut Nemangkawi untuk 1.080 orang siswa.
J u m la h p ela ja r
1000 780
800 600 410
391
SLTP
SLTA
400 200 7 0 SD
PT
Tingkatan Pendidikan Gambar 11. Jumlah Penerima Beasiswa dan Bantuan dari LPMAK Tahun 2006 (Sumber : PTFI)
LPMAK juga melakukan kegiatan pembinaan Usaha Kecil Menengah (UKM). Ada berbagai kegiatan yang dilakukan PTFI dalam membina UKM, salah satunya dengan meningkatkan modal usaha melalui program peminjaman modal. Program peminjaman modal usaha ini dilakukan melalui Yayasan Bina Utama Mandiri (YBUM).
Melalui pembinaan UKM tersebut, maka dapat
membuka lapangan pekerjaan dan menyerap banyak tenaga kerja baik yang
berasal dari Papua maupun dari luar Papua. Seperti yang terlihat pada Gambar 12, UKM banyak menyerap tenaga dari luar Papua.
Komposisi Kesempatan Kerja
49% 51%
Hgh Papua;
bbo Luar Papua
Gambar 12. Komposisi Penyerapan Tenaga Kerja pada UKM Tahun 2006 (Sumber : PTFI)
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Tailing yang diendapkan di area reklamasi ModADA tidak bermasalah jika dijadikan sebagai media tumbuh bagi vegetasi tahunan, vegetasi alami pakupakuan dan tanaman pioneer (misalnya Phragmites karka), hanya saja ketika akan dilakukan penanaman pada masing-masing lubang tanam perlu diberikan bahan organik. Kation basa yang terkandung di daerah tersebut sangat rendah, konsentrasi Ca2+ lebih tinggi dibandingkan konsentrasi kation basa lainnya. Berdasarkan kelas tekstur, penyebaran partikel relatif teratur dari UtaraSelatan ModADA, yaitu pasir-lempung berdebu. 2. Tingkat hirarki desa tinggi (hirarki I) dimiliki desa-desa yang terletak di dalam dan di sekitar areal PTFI, sedangkan desa-desa yang berada jauh dari wilayah proyek PTFI memiliki tingkat hiraki yang bervariasi dari II dan III. 3. Keberadaan PTFI di Kabupaten Mimika belum terlihat berpengaruh positif secara keseluruhan terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Mimika, namun keberadaan PTFI memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan PDRB Kabupaten Mimika.
6.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar :
1.
Penggunaan bahan organik ditingkatkan jumlahnya, mengingat kondisi tanah tailing yang kandungan bahan organik dan unsur haranya masih sangat rendah.
2.
Untuk penelitian selanjutnya parameter yang dianalisis ditambah, yaitu dengan mempertimbangkan aspek kandungan ion logam.
3.
Perlu dijalin kerjasama yang lebih baik antara penambang, pemerintah, dan masyarakat sekitar sehingga area endapan tailing (wilayah ModADA) dapat lebih berdaya guna, serta dapat memberi pengaruh positif bagi kehidupan masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. www.ibl.or.id (diakses 27 Agustus 2007). Auri, J. P. 1996. Pertumbuhan Vegetatif Metoxylon rumphii Mart. Pada Tiga Tanah Tempat Tumbuh. Paratropika Jurnal Penelitian Kehutanan III(1): 16. Badri, L. S. 2004. Karakteristik Tanah, Vegetasi dan Air Kolong Pasca Tambang Timah dan Tehnik Rehabilitasi Lahan Untuk Keperluan Revegetasi (Studi Kasus Lahan Pasca Tambang Timah Dabo Singkep). Tesis S2 Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dhata, K. 2007. Pengelolaan Air Tambang: Aspek Penting dalam Pertambangan yang Berwawasan Lingkungan. http://www.itb.ac.id/focus/focus_file/YeyetCahyati-RudySayoga.pdf (diakses 24 Mei 2007) Direktorat Pengelolaan Lahan. 2006. Pedoman teknis Reklamasi Lahan. www.google.com (diakses 22 Oktober 2007). Gautama, R. S. 2007. Pengelolaan Air Tambang: Aspek Penting dalam Pertambangan yang Berwawasan Lingkungan. http://www.itb.ac.id/focus/focus_file/YeyetCahyati-RudySayoga.pdf (diakses 24 Mei 2007) Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indranada, H. K. 1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. P. T. Bina Aksara., Jakarta. Iskandar dan Soebagyo. 1993. Pedoman Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Departemen Pertambangan dan Energi, Ditjen Pertambangan Umum, Jakarta. Kusnoto dan Kusumodidjo. 1995. Dampak Penambangan dan Reklamasi. Ditjen Tambun. Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan, Bandung. Kusumastuti, E. 2005. Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah Di Pulau Bangka Dengan Amelioran Bahan Organik Dan Bahan Tanah Mineral Dengan Tanaman Indikator Jati (Tectona grandis). Tesis S2 Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Notohadiprawiro, T. 2006. Pengelolaan Lahan dan Lingkungan Pasca Penambangan. www.google.com (diakses 29 Agustus 2007). PT Freeport Indonesia. 2006. Laporan Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan. Departemen Lingkungan PT Freeport Indonesia, Jakarta. Ripley, E. A., Redman, R. E. and Crowder, A. A. 1996. Environmental Effects of Mining. St. Lucie Press Delray Beach, Florida. 336 pp. Rustiadi, E., Saefulhakim, R. S. Dan Panuju, R. D. 2003. Bahan Kuliah Perencanaan Pengembangan Wilayah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saptaningrum, H. 2001. Karakterisasi dan Perubahan Sifat Fisik dan Kimia tanah Bekas Galian Tambang (Tailing) dan Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Vegetasi. Skripsi S1 Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sastrodihardjo, S. 1990. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Polimer Alam Serta Sintetik Terhadap Beberapa Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tailing Tambang 25 Wilasi Pangkalpinang Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB). Skripsi S1 Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sesa, K. 2003. Analisis Manfaat Ekonomi dan Dampak Lingkungan PT. Freeport Indonesia Company Tembagapura Timika Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Volume 3. Universitas Cendrawasih. Jayapura. Sinaga, N. I. dan Puradyatmika, P. 2006. Laporan Keragaman Flora Di Area Pengembangan Pasir Sisa Tambang “Tanggul Ganda”. PT. Freeport Indonesia, Timika. Sitorus, S. R. P. 2007. Kualitas Degradasi dan Rehabilitasi Lahan. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suwardi dan Hidayat, W. 1998. Penuntun Praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Taberima, S. 2007. Hubungan Karakteristik tanah Yang Berkembang dari Tailing dan Ukuran Partikel. Makalah Seminar S3 Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Gambar Lampiran 1. Peta Lokasi Pengambilan Titik Sample Daerah Reklamasi Tailing di Wilayah ModADA
Tanggul Timur
TAILING AKTIF Arah aliran tailing
LAMPIRAN
Lokasi 1
Lokasi 6 Lokasi 5 Lokasi 3 Lokasi 4
Lokasi 2
Tanggul Barat
Tabel Lampiran 2 Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Berdasarkan PPT (1983)
Sifat Tanah
Sangat Rendah
C-Organik (%)
< 1.00
N-Total (%)
< 0.10
C/N P2O5 HCl (mg/100 g) P2O5 Bray 1 (ppm) P2O5 Olsen (ppm) KTK (me/100 g) Susunan Kation K (me/100 g) Na (me/100 g) Mg (me/100 g) Ca (me/100 g) KB (%) Kejenuhan Al (%) pH H2O
Rendah
Sedang
Tinggi
<5
1.002.00 0.110.20 5-10
2.013.00 0.210.50 11-15
3.015.00 0.510.75 16-25
< 10
10-20
21-40
41-60
> 60
< 10
10-15
15-25
26-35
> 35
< 10
10-25
26-45
45-60
> 60
<5
5-16
17-24
25-40
> 40
< 0.1 < 0.1 < 0.4 <2 < 20
0.1-0.2 0.1-0.3 0.4-0.1 2-5 20-35
0.3-0.5 0.4-0.7 1.1-2.0 6-10 36-50
0.6-1.0 0.8-1.0 2.1-8.0 11-20 51-70
> 1.0 > 1.0 > 8.0 > 20 > 70
< 10
10-20
21-30
31-60
> 60
Sangat Masam < 4.5
Masam 4.5-5.5
Agak Masam 5.6-6.5
Netral 6.6-7.5
Sangat Tinggi >5 > 0.75 > 25
Agak Alkalin Alkalin 7.6-8.5 >8.5
Tabel Lampiran 3. Nilai IPD dan Hirarki Desa-Desa di Kabupaten Mimika Nama Kecamatan
Nama Desa
Nilai (IPD)
Hirarki
Nama Kecamatan
Nama Desa
Nilai (IPD)
Hirarki
MIMIKA BARU
KWAMKI
102.519
hirarki I
MIMIKA BARAT
MIGIWIA
17.200
hirarki III
MIMIKA BARU
KOPERAPOKA
85.576
hirarki I
KUALA KENCANA
IWAKA
16.752
hirarki III
MIMIKA BARU
KAMORO JAYA
56.431
hirarki I
MIMIKA TIMUR
TIPUKA
16.645
hirarki III
MIMIKA BARU
WONOSARI JAYA
53.169
hirarki I
KUALA KENCANA
UTIKINI BARU
16.625
hirarki III
KUALA KENCANA
KUALA KENCANA
51.997
hirarki I
MIMIKA TIMUR
POMAKO
15.827
hirarki III
KUALA KENCANA
NAENA MUKTIPURA
49.721
hirarki I
KAMORA
15.611
hirarki III
MIMIKA BARU
INAOGA
49.481
hirarki I
AKAR
15.530
hirarki III
MIMIKA BARU
LIMAU SARI
47.256
hirarki I
MIMIKA TIMUR TENGAH MIMIKA BARAT TENGAH TEMBAGAPURA
BANIGOGOM
15.383
hirarki III
KUALA KENCANA
KARANG SENANG
45.774
hirarki I
MIMIKA BARAT
KAWAR
15.284
hirarki III
MIMIKA TIMUR
WANIA
43.853
hirarki I
MAPAR
15.070
hirarki III
TEMBAGAPURA
WAA
43.264
hirarki I
MIMIKA BARAT TENGAH MIMIKA TIMUR
MWAPI
14.967
hirarki III
MIMIKA BARU
TIMIKA JAYA
43.054
hirarki I
KIPIA
14.853
hirarki III
TEMBAGAPURA
TEMBAGAPURA
41.137
hirarki I
PRONGGO
14.852
hirarki III
MIMIKA TIMUR TENGAH
ATUKA
40.350
hirarki I
MUPURUKA
14.274
hirarki III
KUALA KENCANA
MULIA KENCANA
38.330
hirarki II
TAPORMAI
14.099
hirarki III
MIMIKA TIMUR
KAUGAPU
37.626
hirarki II
TIWAKA
13.938
hirarki III
AMAMAPARE
35.569
hirarki II
WUMUKA
13.823
hirarki III
KILIARMA
34.766
hirarki II
WAPU
13.805
hirarki III
AYUKA
32.289
hirarki II
AIKAWAPUKA
13.684
hirarki III
UTA
29.152
hirarki II
OMAWITA
13.451
hirarki III
WANGIRJA
28.649
hirarki II
MIMIKA TIMUR TENGAH MIMIKA TIMUR JAUH TEMBAGAPURA
ARWANDOP
13.271
hirarki III
MIMIKA BARU MIMIKA BARAT TENGAH MIMIKA BARU
HARAPAN
27.876
hirarki II
JILA
JINONI
13.187
hirarki III
KAPIRAYA
27.608
hirarki II
TEMBAGAPURA
DOLININGOKNGIN
12.974
hirarki III
NAWARIPI
27.540
hirarki II
MIMIKA BARAT
MIMIKA
12.272
hirarki III
MIMIKA BARAT
KOKONAO
26.934
hirarki II
AGIMUGA
FAKA FUKU
12.185
hirarki III
KEAKWA
24.096
hirarki II
MIMIKA BARAT
AMAR
12.176
hirarki III
POTOWAYBURU
22.410
hirarki III
MIMIKA BARAT
KIYURA
12.089
hirarki III
FANAMO
11.670
hirarki III
MIMIKA TIMUR JAUH AGIMUGA MIMIKA TIMUR JAUH MIMIKA BARAT TENGAH MIMIKA BARU
MIMIKA TIMUR TENGAH MIMIKA BARAT JAUH
MIMIKA BARAT TENGAH MIMIKA BARAT TENGAH MIMIKA BARAT TENGAH MIMIKA BARAT JAUH MIMIKA TIMUR TENGAH MIMIKA BARAT TENGAH JITA
JILA
22.319
hirarki III
MIMIKA TIMUR JAUH
OHOTYA
21.868
hirarki III
JILA
NOEMUN
11.569
hirarki III
BHINTUKA
21.741
hirarki III
JILA
GESELAMA
11.119
hirarki III
AGIMUGA
ARAMSOLKI
20.995
hirarki III
MIMIKA BARAT
IPIRI
10.587
hirarki III
MIMIKA BARU
NAYARO
20.669
hirarki III
JITA
SUMAPRO
10.471
hirarki III
AGIMUGA
AMUNGUN
19.196
hirarki III
MIMIKA BARAT
YARAYA
10.288
hirarki III
MIMIKA TIMUR
HIRIPAU
19.154
hirarki III
TEMBAGAPURA
TSINGA
9.732
hirarki III
MIMIKA TIMUR
KADUN JAYA
19.104
hirarki III
MIMIKA BARAT
MANUARE
9.695
hirarki III
MIMIKA BARAT
PARIPI
18.891
hirarki III
JILA
HOYA
8.463
hirarki III
JILA
ENGGIN
18.764
hirarki III
JILA
DILOA
8.344
hirarki III
YAPAKOPA
18.467
hirarki III
JILA
PUTI
8.226
hirarki III
PIGAPU
17.673
hirarki III
JITA
WENIN
8.009
hirarki III
SEMPAN TIMUR
17.541
hirarki III
TEMBAGAPURA
JAGAMIN
7.731
hirarki III
UMAR
17.441
hirarki III
JITA
NOEMA
7.294
hirarki III
AINDUA
17.368
hirarki III
TEMBAGAPURA
OPITAWAK
7.163
hirarki III
JILA MIMIKA TIMUR JAUH KUALA KENCANA
MIMIKA BARAT JAUH MIMIKA TIMUR JITA MIMIKA BARAT JAUH MIMIKA BARAT JAUH
Tabel Lampiran 4. Data Curah Hujan di Area Pengendapan Tailing Tahun 2004
Date 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Total Max Min HH
Jan 0.25 0 0 0 0.25 0 0 0 0.25 0 0 0 0 0 0 0.25 0 0.25 0 0.25 0 17.53 13.72 4.83 3.05 0.25 1.52 16 19.81 1.02 9.4 88.6 19.8 0.25 16
Feb 35.81 10.16 0.25 81.79 11.94 3.56 1.02 0 65.79 0 0 6.6 0 0.51 0 0 6.6 14.48 4.06 7.62 0.25 39.88 0 5.59 0 13.21 36.58 2.54 5.08
353.3 81.8 0.25 21
Mar 0.25 15.75 90.94 37.08 0 4.57 0.76 44.2 5.08 0.76 5.33 67.06 1.78 0.25 33.79 6.86 0.25 0.76 0 0 14.73 0 0 0 0 0 8.89 5.59 13.97 0.25 22.61 381.5 90.9 6.1 23
Apr 5.84 0 0 11.43 0 0 14.48 0 1.27 13.21 3.56 0 52.83 1.52 9.14 49.78 41.91 1.02 1.27 40.14 14.73 3.56 9.14 18.03 39.88 0 0 6.1 1.78 19.05 359.7 52.8 0.25 22
Sumber : Stasion Pengamat Cuaca MP-21
May 0 9.14 0 48.26 0.76 16 0.25 0 21.84 16.76 37.59 0.25 9.4 0 0 1.02 0.25 1.02 0.76 0.25 44.96 18.54 6.35 1.78 0 34.79 56.14 113.29 1.02 41.65 0.51 482.6 113.3 0.25 25
Jun 3.3 16.51 29.97 0.25 8.89 26.16 1.02 10.16 1.02 0.51 0.25 3.81 0.76 0 11.68 0 0.25 45.47 11.68 16 0.51 0 0 0 0 13.46 0 4.06 1.52 0 207.2 45.4 0.51 22
Jul 0.76 34.04 12.95 28.44 0.51 3.56 28.96 19.3 39.12 0.51 2.03 2.03 40.13 8.64 2.54 1.02 3.3 1.52 0.25 0 1.27 1.78 0.51 0 0 10.67 14.22 12.95 10.16 24.64 7.11 312.9 40.1 0.25 29
Aug 52.32 76.45 8.13 18.29 4.06 14.73 0 22.35 5.33 22.61 0 0 0 2.29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.76 11.68 10.16 31.24 86.87 3.56 65.02 3.81 439.7 86.9 0.76 18
Sep 0 7.11 28.96 210.83 6.6 0 0.25 3.3 4.06 0 10.92 2.29 7.87 3.81 1.27 13.46 4.57 14.22 36.83 39.12 8.38 6.1 8.38 10.67 88.14 8.64 84.83 2.29 0 0.76 613.7 210.8 0.25 26
Oct 0.25 6.1 17.78 0 14.73 57.91 13.97 2.54 2.54 0 0 0 0 0 0.25 0 0 0 0 0 10.67 1.52 10.92 26.67 0 0.51 3.81 7.62 9.91 1.78 46.98 236.5 57.9 0.25 19
Nov 10.41 17.02 2.79 1.02 0.25 41.14 0 0 5.08 19.05 0 0 0 3.3 5.59 0.25 0.51 0 0 72.64 3.56 26.42 5.08 0 0 0 7.62 40.13 0.25 0 262.1 72.6 0.25 19
Dec 18.04 2.03 30.73 0 0 2.03 0 0 0 0 23.88 1.52 44.95 20.32 4.57 2.29 4.57 23.62 1.27 45.47 0 36.32 0 13.46 0.76 49.78 0.51 59.44 54.1 9.14 75.19 524.0 75.2 0.51 23
Keterangan : Jumlah Curah Hujan dalam mm HH = Jumlah Hari Hujan