Status Kandungan Hara Makro - Mikro pada Lahan Sisa Pasir Tambang (SIRSAT) di Area Reklamasi PT Freeport Indonesia - Timika Sartji Taberima1 Roberth Sarwom2 1
Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian - Universitas Papua, Manokwari 98314 2 Divisi Reklamasi, Departemen Lingkungan - PT Freeport Indonesia, Timika
Ringkasan Program Reklamasi di Pasir Sisa Tambang (Sirsat; Tailing) merupakan kewajiban pemegang konsesi pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI). Dalam operasi penambangan tembaga dan emas di Garsberg, PTFI telah melakukan reklamasi di area pengendapan tailing yang terletak di DLA (Double Levee Area) - Timika sejak tahun 1992/1993 hingga saat kini. Di area pengendapan tailing DLA terdapat area tailing tidak aktif dan berumur lebih dari 10 - 20 tahun yang telah berfungsi sebagai Area Suksesi Alami dan Area Reklamasi yang tertata. Keberhasilan revegetasi dapat dievaluasi melalui tindakan pemantauan (monitoring) kualitas tanah dan tanaman alami maupun tanaman budidaya yang direklamasi. Perkembangan dan pelapukan tailing menjadi tanah dapat diketahui menurut tempat dan waktu sejak tahun reklamasi atau menjadi tidak aktif, pada titik pengamatan yang tetap dan mewakili (representative area). Selain parameter tanah, serapan unsur-unsur dari tanah dan daun tanaman juga dianalisis untuk mengkaji pertumbuhan dan perkembangan tanaman di Area Reklamasi. Pemantauan kualitas tanah dan tanaman secara rutin merupakan bagian dari kajian keberhasilan atau kinerja reklamasi tambang. Penelitian di Lahan Reklamasi bertujuan untuk mempelajari serapan hara makro dan mikro pada tailing inactive dan tanaman pewakil yang tumbuh di atasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH agak alkalis pada lahan MP21 yang ditanami sagu dan kelapa, dan MP27 yang ditanami matoa pada kedalaman 0-20 dan 20-40 cm, kecuali pada lapisan permukaan MP21 yang ditanami sagu, pH lebih rendah, yaitu netral. Kandungan bahan organik cenderung lebih tinggi pada MP21 yang ditanami sagu, disusul kelapa, sedangkan pada MP27 yang ditanami matoa sangat rendah pada lapisan permukaan maupun lapisan di bawahnya. MP27 telah direklamasi sejak tahun 2003 dengan tanaman matoa, namun pertumbuhan matoa terlihat cenderung kurang normal setelah > 10 tahun sejak penanaman dimulai. Sementara MP21, sagu dan kelapa lebih subur dikarenakan kandungan bahan organik tinggi. Selain itu pengendapan tailing menjadi tidak aktif untuk kegiatan reklamasi di MP21 telah dimulai sejak 1992/1993. Serapan hara makro terutama kalium (K) cukup tinggi ditemukan pada daun produktif dan tua tanaman pewakil yang tumbuh di tailing inactive dan tanah mineral. Sementara S tertinggi ditemukan pada jaringan daun matoa MP21, disusul sagu NWRP dengan konsentrasi > 0,1 % S. Serapan hara mikto Mn tertinggi pada daun tua kelapa (379,50 ppm) dan daun tua sagu (558 ppm) yang tumbuh pada tanah mineral, yang mana telah melebihi kriteria normal (> 300 ppm Mn). Serapan Zn termasuk kategori normal, kecuali pada daun
produktif (170,67 ppm), dan daun tua (160,33 ppm) atau melebihi kriteria normal (> 100 ppm Zn) ditemukan pada matoa MP21. Kata kunci: reklamasi; tailing; jaringan tanaman; edible plant Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
Latar belakang Program Reklamasi di Pasir Sisa Tambang (Sirsat; Tailing) merupakan kewajiban pemegang konsesi pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI). Dalam operasi penambangan tembaga dan emas di Grasberg, PTFI telah melakukan reklamasi di area pengendapan tailing (Sirsat) yang terletak di DLA (Double Levee Area) - Timika. Pada kawasan DLA terdapat tailing tidak aktif dengan waktu bervariasi lebih dari 10-20 tahun, dengan luas kurang lebih 1500 Ha yang telah berfungsi sebagai Area Suksesi Alami dan Area Reklamasi. Area Suksesi memiliki kedalaman air tanah dangkal dan basah, sehingga mudah ditumbuhi Phragmites karka sebagai pionir, sedangkan Area Reklamasi memiliki kedalaman air tanah dalam dan kering, sehingga direklamasi dengan tanaman pertanian dan kehutanan yang tertata. Kedua area ini berada di sebelah barat dari Tanggul Barat Lama, DLA dan memiliki penyebaran ukuran partikel dari utara ke selatan secara bertahap, yaitu kasar, medium, halus, dan sangat halus (PTFI, 1998). Keberhasilan program reklamasi dapat dievaluasi melalui kegiatan pemantauan (monitoring) terhadap status ketersediaan hara makro - mikro dan serapan hara oleh tanaman yang dibudidaya pada Area Reklamasi. Ketersediaan hara makro - mikro yang terkandung di dalam Sirsat dan ketersediaan hara tersebut bagi pertumbuhan tanaman juga dianalisis untuk mengkaji pertumbuhan dan perkembangan tanaman budidaya. Oleh karenanya pemantauan kualitas tanah dan tanaman pada lahan bekas pengendapan tailing yang telah direklamasi diperlukan sebagai kajian keberhasilan atau kinerja reklamasi di area bekas tambang. Penelitian di Lahan Reklamasi bertujuan untuk mempelajari serapan hara makro dan mikro pada tailing inactive dan tanaman pewakil yang tumbuh di atasnya. Metodologi Penelitian dilakukan di Area Reklamasi MP21, MP27 yang mana mewakili bahan tailing dengan ukuran partikel sedang dan halus, dan sebagai pembanding non-tailing pada tanah mineral di Timika. Peta lokasi disajikan pada Gambar 1. Penelitian telah dilakukan sejak 2011. Makalah ini menampilkan data pengamatan pada November 2013/2014, khususnya lahan reklamasi PTFI (MP21, MP27) dan lahan pertanian masyarakat lokal (SP4, NWRP) di Timika. Contoh tailing/tanah diambil pada kedalaman 0-20 dan 20-40 cm pada lahan yang dibudidayakan dengan tanaman pertanian. Pengambilan contoh jaringan (daun) meliputi bagian pucuk, tengah, dan bawah tajuk dengan pertimbangan bahwa translokasi hara makro dan mikro terakumulasi pada jaringan daun tanaman tersebut. Untuk mempelajari serapan hara makro-mikro, dilakukan analisis contoh yang meliputi parameter sifat kimia tailing/tanah, yaitu : pH, EC, C, N, P, S, Al, kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na), KTK, Hg, Cd, Fe, Mn, Cu, dan Zn; sifat fisika tailing/tanah, yaitu : tekstur (particle size); serta serapan hara oleh jaringan daun, yaitu : C, N, P, S, Al, Ca, Mg, K, Na, Hg, Cd, Fe, Mn, Cu, dan Zn. Analisis contoh tanah/tailing dilakukan di Laboratorium Tanah, SEAMEO - BIOTROP, Bogor untuk status kesuburan tanah. Analisis kandungan logam pada tanah/tailing dan jaringan daun di Laboratoium Lingkungan Timika (TEL), Timika. Pengolahan data secara tabulasi dari nilai rataan untuk sifat kimia dibandingkan dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah (BPT, 2005), kandungan logam pada tailing/tanah dan jaringan tanaman berdasarkan The Handbook of Trace Elements (Pais and Jones, 1997; Tabel 2 dan 3), serta dilengkapi dengan grafik.
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
Gambar 1. Lokasi Sampling di Lahan Reklamasi Tailing dan Tanah Mineral, Timika
Hasil dan Pembahasan 1. Status Kandungan Hara pada Tailing inactive dan Tanah Mineral Pasir Sisa Tambang (Sirsat; Tailing) memiliki karakteristik kimia yang berbeda dibandingkan tanah mineral alami, karena berasal dari batuan induk yang mengandung mineral golongan sulfida, seperti pirit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2), kovelit (CuS), bornit (Cu5FeS4), dan digenit (Cu2S) (PTFI, 1997). Walaupun logam tembaga (Cu) telah diambil dalam proses pengolahan bijih di MP 74, namun Cu masih ditemukan tinggi, termasuk FeS2 dan unsur mikro lainnya, yang mana berpotensi dapat menciptakan kondisi asam pada tailing ketika teroksidasi di DLA. Untuk mengantisipasi oksidasi mineral mengandung sulfida dan kelarutan unsur mikro secara berlebihan, maka sifat geokimia tailing sebelum memasuki area pengendapan tailing di DLA telah diatur agar memiliki kemampuan menetralkan asam (ANC: Acid Neutralizing Capacity) adalah 1.5 kali > kemampuan membentuk asam (MPA: Maximum Potential Acidity) (PTFI, 2007). Fenomena yang tidak umum akan ditemukan pada lahan tailing adalah nilai pH agak akalis - alkalis, Ca-dd dan Mg-dd tinggi, beberapa unsur mikro memiliki konsentrasi (ppm) lebih tinggi dibandingkan yang terdapat pada tanah mineral secara umum. Data hasil analisis status kesuburan tanah pada lahan tailing dan tanah mineral disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2.
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
Tabel 1. Data Analisis Status Kesuburan pada Tailing inactive dan Tanah Mineral - Timika Lokasi Pewakil
Kedalaman (cm)
pH H2O
C-Org (%)
BO (%)
N-tot (%)
Ptersedia (ppm)
Ca2+
Mg2+
K+
Na+
me/100 g
KTK me/100 g
Tailing inactive MP 21
MP 27
0 - 20
7,53
2,59
4,46
0,07
3,63
26,92
1,29
0,27
0,32
13,21
20 - 40
7,70
1,65
2,85
0,05
4,33
29,44
1,06
0,27
0,30
5,31
0 - 20
7,73
0,36
0,62
0,02
91,17
1,25
1,81
0,35
0,30
2,79
20 - 40
8,40
0,27
0,47
0,03
78,27
1,48
2,15
0,44
0,41
3,07
0 - 20
4,13
1,68
2,89
0,15
5,20
2,00
0,34
0,15
0,20
8,35
20 - 40
4,73
0,93
1,60
0,12
5,07
0,80
0,17
0,12
0,17
7,12
0 - 20
4,43
7,36
12,69
0,48
10,07
7,71
1,27
0,14
0,31
12,58
20 - 40
5,37
2,49
4,30
0,29
20,63
6,26
1,38
0,16
0,27
14,04
Tanah Mineral SP4
NWRP
Keterangan : Data analisis dikeluarkan Lab Tanah SEAMEO - BIOTROP, Bogor (2014)
Hasil analisis parameter kimia terhadap status kesuburan tailing/tanah menunjukkan bahwa nilai pH agak alkalis pada tailing inactive (MP21, MP27), sedangkan non tailing (tanah mineral : SP4, NWRP) sangat masam - masam. Nilai pH pada tanah mineral lapisan 0-20 cm ditemukan lebih rendah dibandingkan lapisan 20-40 cm di bawahnya. Fenomena ini berbeda dibandingkan tailing inactive, pH mengalami peningkatan dengan meningkatnya kedalaman lapisan. Kondisi ini dapat terjadi karena Ca2+ meningkat pada lapisan 20-40 cm tailing inactive MP21 dan MP27. Sementara pada tanah mineral terjadi penurunan Ca2+ pada lapisan 20-40 cm. Bahan kapur yang ditambahkan kedalam tanah akan mengadakan reaksireaksi dengan koloid tanah, dalam hal ini koloid dari tailing berasal dari bahan organik. Koloid tanah akan menghalangi reaksi-reaksi keseimbangan dengan mengadsorpsi ion Ca, sehingga persentase kejenuhan basa dalam kompleks adsorpsi meningkat. Kondisi ini yang menyebabkan pH larutan tanah meningkat. Oleh karenanya kandungan C-organik mengalami penurunan pada lapisan bawah dengan terjadinya peningkatan pH terutama pada tailing inactive MP21 dan MP27. Kandungan C organik yang tinggi meningkatkan nilai KTK terutama pada lapisan permukaan. Kadar Ca-dd tertinggi pada MP21, yaitu 26,92 me/100g (0-20 cm) dan 27,44me/100 (20-40 cm), disusul non tailing NWRP (7,71 me/100g; 6,26 me/100g), sedangkan MP 27 dan SP-4 dengan kadar Ca-dd rendah - sangat rendah. Fenomena alami yang ditemukan pada tanah mineral juga terlihat pada lahan tailing inactive, yaitu kation basa tertinggi adalah Ca-dd, disusul Mg-dd, Na-dd, dan K-dd. Hal ini menunjukkan bahwa bahan tailing dapat dimanfatkan sebagai media tumbuh tanaman, namun yang perlu diperhatikan adalah serapan logam pada jarangan tanaman. Oleh karenanya penanaman tanaman pertanian pada lahan tailing membutuhkan bahan organik untuk mengelat logamlogam tertentu, sehingga tidak diserap langsung oleh tanaman dalam jumlah berlebihan.
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
Gambar 2. Status Hara pada Lahan Tailing inactive dan non Tailing (Tanah Mineral)
2. Status Hara Mikro (Heavy metal) pada Tailing inactive dan Tanah Mineral Tailing atau Tanah mineral mempunyai kapasitas sangga yang terbatas terhadap logam berat. Karakteristik ini ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya pH, kandungan bahan organik, dan KTK (CEC : cation exchange capasity) (Lepp, 1981). Keberadaan bahan organik dalam tanah selain dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber energinya, juga dapat bereaksi dengan logam berat membentuk senyawa kompleks (organo metalic complex), sehingga dapat mengurangi sifat racun logam berat (Stevenson, 1982). Gambar 3a-b, dan 4 memperlihatkan total Al, Fe, K cukup tinggi pada lahan tailing maupun tanah mineral, kecuali Ca ditemukan lebih tinggi pada lahan tailing (MP21, MP27) dikarenakan proses penambahan bahan kapur pada saat flotation mineral berharga dan sebelum tailing memasuki area pengendapan DLA. Demikian pula total S relatif lebih tinggi pada lahan tailing dibandingkan tanah mineral sangat rendah, dikarenakan batuan induk Grasberg mengandung mineral golongan sulfida (PTFI, 1997).
Gambar 3a-b. Total Kandungan Hara pada Tailing inactive MP21, MP27 Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
Gambar 4. Total Kandungan Hara pada Tanah Mineral
3. Status Hara Makro - Mikro dalam Jaringan Daun Tanaman di Tailing inactive dan Tanah Mineral Tanaman membutuhkan unsur-unsur hara esensial untuk pertumbuhannya. Diperkirakan ada 60 jenis unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Dari sekian banyak unsur hara tersebut, sebanyak 16 unsur merupakan unsur hara esensial yang mutlak dibutuhkan tanaman untuk mendukung pertumbuhannya, dan sebagian besar diperoleh dari dalam tanah, sedangkan C, H dan O2 dari udara. Unsur hara makro meliputi C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S merupakan unsur esensial dengan konsentrasi ≥ 0,1 % atau ≥ 1000 ppm, sedangkan unsur hara mikro, yaitu Cl, Fe, B, Mn, Zn, Cu, dan Mo dengan konsentrasi < 0,1 % atau < 1000 ppm. Kekurangan unsur hara menyebabkan pertumbuhan terhambat, mengganggu mutu pertumbuhan, dan akhirnya menurunkan produksi tanaman (Lehman dan Schroth, 2003; Havlin et al., 2005). Gambar 5 dan 6 memperlihatkan serapan unsur pada jaringan daun dari Matoa di lahan reklamasi MP21 dan MP27, masing-masing berbeda ukuran partikel, yaitu sedang dan halus. Serapan Ca, Mg, K, dan S ditemukan lebih tinggi pada kedua lahan tailing inactive, kecuali K diserap lebih tinggi oleh daun muda dibandingkan daun produktif dan daun tua. Namun demikian serapan unsur cenderung lebih tinggi pada Matoa yang tumbuh di MP21. Sementara di MP27, dugaan sementara bahan organik rendah dan kelebihan P menyebabkan penyerapan unsur lain terhambat. Sebaliknya kelebihan Ca hanya berdampak terhadap kenaikan pH pada tailing (Taberima et al., 2008). Selain itu kondisi tailing yang belum terbentuk struktur tanah menyebabkan serapan hara cenderung terhambat karena tercuci pada saat hujan. Oleh karenanya pemberian bahan organik sangat diperlukan pada lahan tailing untuk tujuan reklamasi. Gambar 7 - 9 fenomena secara umum pada tanaman dengan serapan kalium (K) lebih tinggi cenderung mennyebabkan serapan hara makro lainnya terhambat. Kelebihan K menyebabkan penyerapan Ca dan Mg terganggu termasuk pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman mengalami defisiensi (Havlin et al., 2005). Namun demikian K dibutuhkan tanaman untuk meningkatkan daya tahan atau kekebalan terhadap penyakit, pembentukan dan penguatan organ-organ generatif. Sulfur (S) diserap lebih tinggi pada daun produktif dan daun tua dibandingkan daun muda. Serapan S bervariasi dalam jaringan tanaman, masing-masing untuk matoa MP27 (> 0,1% S), matoa MP21 (> 0,1% S), kelapa MP21 (< 0,1 - > 0,1% S), kelapa SP4 (< 0,1 > 0,1% S), dan sagu NWRP (> 0,1% S) dengan serapan tertinggi pada daun produktif dan daun tua, namun serapan tertinggi ditemukan pada jaringan daun matoa MP21, disusul sagu NWRP dengan konsentrasi > 0,1 % S. Secara umum total S di dalam tanah berkisar dari 301000 ppm dengan nilai rata-rata diperkirakan 700 ppm (0,07 %) (Lindsay, 1979). Tabatabai Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
et al. (1988) menyatakan bahwa total S di tanah mineral berkisar dari < 20 ppm di tanah berpasir hingga > 600 ppm di tanah bertekstur padat, sementara sebagian besar tanah mengandung S di antara 100 dan 500 ppm. Di Double Leeve Area (DLA) total S relatif tinggi karena berasal dari batuan induk Grasberg yang mengandung jenis-jenis mineral golongan sulfida. MacDonald dan Arnold (1994) melaporkan bahwa total S yang terkandung pada batuan induk Grasberg yang ditambang adalah 1,59 %. Terkait kebutuhan tanaman, S merupakan unsur penting dalam pembentukan berbagai jenis asam amino dan pembentukan hijau daun (klorofil), seperti halnya Fe, Mn, Zn, dan Mg namun dalam konsentrasi lebih sedikit.
Gambar 5. Kandungan Unsur pada Jaringan Daun Matoa, MP21
Gambar 6. Kandungan Unsur pada Jaringan Daun Matoa, MP27
Gambar 7. Kandungan Unsur pada Jaringan Daun Kelapa, MP21
Gambar 8. Kandungan Unsur pada Jaringan Daun Kelapa, Tanah Mineral SP4
Gambar 9. Kandungan Unsur pada Jaringan Sagu, Tanah Mineral (NWRP)
Berdasarkan data serapan hara mikro yang dapat ditoleransi oleh tanaman (Pais dan Jones, 1991), maka Fe yang terkandung pada daun tanaman matoa, kelapa, sagu yang tumbuh pada tailing inactive dan tanah mineral termasuk kategori cukup dan normal pada Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
kisaran < 100 ppm, sedangkan Mn tertinggi pada daun tua kelapa (379,50 ppm) dan daun tua sagu (558 ppm) yang tumbuh pada tanah mineral, yang mana telah melebihi kriteria normal (> 300 ppm Mn). Sementara serapan Cu termasuk kategori normal, yaitu 4 - 20 ppm pada daun muda, produktif, dan tua untuk tanaman pewakil yang tumbuh di tailing inactive maupun tanah mineral. Reuther et al. (1975) melaporkan bahwa Cu terlindungi di sebagian besar tanah pada kisaran pH 7 - 8, dan kurang terlindungi pada pH 6 hingga masam. Dilaporkan juga bahwa pengapuran tanah hingga pH 6 cenderung mengurangi toksisitas Cu, termasuk Fe, Mn, dan Zn. Serapan Zn termasuk kategori normal, kecuali pada daun matoa MP21, ditemukan serapan Zn pada daun produktif (170,67 ppm), dan daun tua (160,33 ppm) atau melebihi kriteria normal (> 100 ppm Zn). Terdapat kecenderungan serapan hara mikro pada jaringan tanaman, yaitu ketika serapan Zn lebih tinggi, maka serapan Cu cenderung menurun, demikian pula antara Fe dan Mn. Fenomena ini dapat terjadi dikarenakan unsur-unsur mikro tersebut memiliki bilangan oksidasi +2, sehingga terjadi persaingan dalam serapan hara dari larutan tanah menuju jaringan tanaman. Tabel 2. Perkiraan Konsentrasi Micronutrients pada Jaringan Daun Dewasa secara umum untuk Spesies Tanaman bervariasi (Approximate concentration of the micronutrients in mature leaf tissue generalized for various plant species)
Micronutrients
Deficient
Boron (B) Chlorine (Cl) Copper (Cu) Iron (Fe) Manganese (Mn) Molibdenum (Mo) Zinc (Zn)
5 - 30 < 100 2-5 < 50 15 - 25 0.03 - 0.15 1 - 20
Sufficient or Normal mg/kg (ppm) 10 - 200 100 - 500 5 - 30 100 - 500 20 - 300 0.1 - 2.0 27 - 100
Excessive or Toxic 50 - 200 500 - 1000 20 - 100 > 500 300 - 500 > 100 100 - 400
Sumber : The Handbook of Trace Elements, page 158 (Pais and Jones, 1997)
Tabel 3. Jumlah unsur-unsur yang dapat di-toleransi Tanaman (Amount of various trace elements tolerable to plants)
Element
Arsenic (As) Beryllium (Be) Boron (B) Cadmium (Cd) Chromium (Cr) Cobalt(Co) Copper (Cu) Lead (Pb) Mercury (Hg) Molybdenum (Mo) Nickel (Ni) Selenium (Se) Zinc (Zn)
Range
Common Level
1.0 - 5.0 0.1 - 10 0.01 - 1.0 0.01 - 1.0 1.0 - 100 1.0 - 50 2.0 - 100 0.1 - 10 0.01 - 1.0 0.2 - 1.0 1.0 - 100 0.1 - 10 10 - 300
mg/kg (ppm) 2.0 - 20 1.0 - 5 5.0 - 30 0.1 - 1.0 10 - 50 0.1 - 10 5.0 - 20 0.1 - 5 0.1 - 1.0 1.0 - 5 10 - 50 1.0 - 5 10 - 50
Amount Tolerable (Proposed) 50 10 100 5 100 50 100 100 5 10 100 10 300
Sumber : The Handbook of Trace Elements, page 50 (Pais and Jones, 1997)
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap beberapa tanaman pertanian yang mewakili yang telah tumbuh di Area Reklamasi tertata, hasil yang ditampilkan merupakan data monitoring untuk mempelajari dampak dari serapan hara makro dan mikro atau logam oleh tanaman. Oleh karenanya belum ada rekomendasi yang dapat dikeluarkan, karena penelitian masih berlangsung dengan lanjutan uji coba terhadap plant edible beberapa periode tanam untuk mempelajari serapan logam maupun hara makro dan mikro dari media tailing dengan pembanding tanah mineral (non tailing). Kesimpulan 1. Kandungan bahan organik cenderung lebih tinggi pada MP21 yang ditanami sagu, disusul kelapa, sedangkan pada MP27 yang ditanami matoa sangat rendah pada lapisan permukaan maupun lapisan di bawahnya. 2. MP27 telah direklamasi sejak tahun 2003 dengan tanaman matoa, namun pertumbuhan matoa terlihat cenderung kurang normal setelah > 10 tahun. Sementara MP21, sagu dan kelapa lebih subur dikarenakan kandungan bahan organik lebih tinggi. Selain itu pengendapan tailing menjadi tidak aktif untuk kegiatan reklamasi di MP21 telah dimulai sejak 1992/1993. 3. Serapan hara makro terutama kalium (K) cukup tinggi pada daun produktif dan tua tanaman pewakil yang tumbuh di tailing inactive dan tanah mineral. Serapan S tertinggi pada jaringan daun matoa MP21, disusul daun sagu NWRP dengan konsentrasi > 0,1 % S. Serapan Mn tertinggi pada daun tua kelapa (379,50 ppm) dan daun tua sagu (558 ppm) yang tumbuh pada tanah mineral, yang mana telah melebihi kriteria normal (> 300 ppm Mn). Serapan Zn termasuk kategori normal, kecuali pada daun produktif (170,67 ppm), dan daun tua (160,33 ppm) atau melebihi kriteria normal (> 100 ppm Zn) ditemukan pada matoa MP21. Daftar Pustaka Balai Penelitian Tanah (BPT). 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Havlin, J. L., J. C. Beaton, S. L. Tisdale, and W. L. Nelson. 2005. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Sixth Edition. Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. 515 p. Istvan Pais and J. Benton Jones, Jr., 1997. The Handbook of Trace Elements. St. Lucie Press, Boca Raton, Florida. Lehmann, J., and Schroth, G., 2003. Nutrient Leaching. © CAB International 2003. Trees, Crops and Soil Fertility (eds G. Schroth and F. L. Sinclair). Lepp, N.W. 1981. Effect of Heavy Metal Pollution on Plant. Volume I. Effect of Trace Metan on Plant Function. Applied Science Publishers, London. Lindsay, W. L. and Norvell, W. A. 1978. Development of a DTPA soil test for zinc, iron, manganese, and copper. Soil Sci. Soc. Am. J. 42: 421 - 428. Lindsay, W. L. 1979. Chemical Equilibria in Soils. A Wiley Interscience Publication. John Wiley & Sons, New York - Chichester - Brisbane - Toronto.
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015
MacDonald G. D. and Arnold L. C. 1994. Geological and geochemical zoning of the Grasberg Igneous complex, Irian Jaya., Journal of Geochemical Exploration 50, Elsevier, pp 143. PTFI. 1998. Rencana Tahunan Lima Tahun Pertama (1999-2003). Reklamasi Daerah Pengendapan Tailing. PT Freeport Indonesia. PTFI. 2007. Laporan Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan. Triwulan 1 Tahun 2007. PT Freeport Indonesia. Jakarta. Reuther, W. and Labanauskas, C. K. 1975. Copper. In Diagnostic Criteria For Plants and Soils. Edited by Homer D. Chapman. Dept. of Soil and Plant Nutrition, Univ. of California. Eurasia Publishing House (P) LTD. Ram Nagar, New Dehli. Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry : Genesis, Composition, Reaction. John Willey, New York. Tabatai, M. A., Basta, N. T. and Pirela, H. J. 1988. Determination of total sulfur in soil dan plant materials by ion chromatograpy. Commun. Soil Sci. Plant Anal. 19:1701-1714. Taberima, S., B. Mulyanto, Sudarsono, B. Sumawinata, and Y. A. Husin. 2008. Particle Sizes and Soil Characteristics Developed of Tailing on Deposited Area, ModADA. AGRIVITA Jurnal Ilmu Pertanian. Vol. 30: 399-415. Edisi Khusus, Univ Brawijaya, Malang. Ucapan Terima Kasih Penghargaan dan terima kasih kepada Pimpinan dan Staf Departemen Lingkungan PT Freeport Indonesia, khususnya Divisi Reklamasi & Biodiversiti Departemen Lingkungan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Universitas Papua sebagai mitra kerjasama PT Freeport Indonesia atas dukungannya, serta Dekan Fakultas Pertanian UNIPA dan Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UNIPA yang telah memberikan ijin dan dukungan melakukan penelitian ini.
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional HITI ke-11 Univ Brawijaya, Malang 28-31 Oktober 2015