Status Apel Lokal Malang dan Strategi Konservasinya melalui Pengembangan Agrowisata Luchman Hakim dan Dian Siswanto Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
[email protected];
[email protected]
Abstrak. Tinjauan tentang status apel lokal Malang sebagai salah satu kekayaan hayati Indonesia dan upaya konservasinya sampai saat ini sangat kurang. Tulisan ini pada dasarnya bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi pertanian apel di Indonesia saat ini dan potensinya dalam pengembangan agrowisata di masa mendatang. Data diperoleh dari serangkaian kegiatan, yaitu merangkum informasi hasil penelitian terkait apel, kegiatan ekplorasi dan visitasi lapangan untuk mengetahui kondisi riil, dan melakukan wawancara dengan petani. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa saat ini apel dapat tumbuh dengan baik di kawasan tropis. Namun, kondisi pertanian apel diketahui terancam sehingga diperlukan tindakan konservasi secara terintegrasi. Ancaman terhadap kelangsungan pertanian apel adalah penggunaan bahan-bahan kimia secara berlebihan yang mengakibatkan turunnya kuantitas dan kualitas hasil pertanian. Dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, agrowisata berbasis apel dapat dipromosikan sebagai kunci penting bagi konservasi tanaman apel. Dalam hal ini, mempromosikan pertanian berkelanjutan dengan mengedepankan pertanian organik menjadi strategi penting menuju agrowisata apel yang berdaya saing dan berkelanjutan. Kata kunci: Apel Malang, konservasi sumberdaya, agrowisata.
1. Pendahuluan Apel adalah salah satu kekayaan hayati Indonesia yang tumbuh dan berbuah baik di daerah dataran tinggi. Apel pertama kali diintroduksi oleh bangsa Eropa pada masa kolonialisasi, dan saat ini dapat dikatakan telah ternaturalisasi menjadi tanaman apel tropis. Pertanian apel terdapat di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. Sentra pertanian apel Jawa Timur salah satunya ada di wilayah Malang, sehingga menjadikan Malang dikenal sebagai kota apel. Budidaya apel pernah mengalami masa kejayaan sebelum akhirnya mengalami kemunduran pada dekade ini. Berbagai analisis menyatakan bahwa kemunduran pertanian apel disebabkan oleh tidak seimbangnya harga jual dengan ongkos produksi, beralihnya lahan-lahan apel menjadi lahan tanaman hortikultur lain, dan kerusakan tanah yang menyebabkan turunnya produktivitas [1]. Turunnya produksi apel dan berkurangnya lahan budidaya apel dengan demikian adalah ancaman serius bagi eksistensi apel sebagai salah satu bentuk keanekaragaman hayati sehingga konservasi apel menjadi sangat penting. Heywood dan Watson [2] berpendapat bahwa strategi konservasi yang baik membutuhkan informasi integral dari berbagai faktor dan kondisi. Pemilihan strategi konservasi yang tepat harus didasarkan pada karakter spesies obyek. Konservasi spesies dapat dilakukan secara terintegrasi dengan habitatnya. Pada strategi lainnya, dan seringkali dianggap efektif, adalah meningkatkan peran spesies dalam penerimaan ekonomi secara langsung lewat berbagai industri kreatif yang berkelanjutan. Pariwisata adalah salah satu sektor yang dapat diandalkan untuk menjawab kebutuhan tersebut [2]. Tulisan ini pada dasarnya akan menjelaskan kondisi apel saat ini sebagai bahan rujukan bagi konservasi apel mendatang, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan agrowisata sebagai salah satu model pemanfaatan berkelanjutan. Bagian awal makalah ini akan membahas tentang ekologi dan distribusi apel di Jawa Timur dari berbagai literatur. Selanjutnya, status pertanian apel di Jawa Timur didiskusikan untuk memberikan gambaran problematika yang terjadi pada industri pertanian apel.
Berdasarkan pada poin-poin penting infomasi diatas, strategi transformasi dari visi produksi menjadi visi pengembangan agrowisata didiskusikan pada bagian akhir makalah.
2. Ekologi dan Distribusi Pertanian Apel di Jawa Timur Tanaman apel yang buahnya saat ini dikonsumsi secara luas oleh masyarakat dunia diduga merupakan hasil dari hibrid interspesies dengan nama ilmiahnya adalah Malus domestica Borkh. Apel adalah buah-buahan hasil dari domestikasi moyangnya yang berasal dari Asia Tengah, yaitu Malus sieversii. Spesies ini adalah tumbuhan asli Asia Tengah, meliputi Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Uzbekistan. Malus sieversii juga didapatkan di Cina dimana populasi alamiahnya terdapat di lembah sungai Ili yang terletak pada bagian barat pegunungan Tianshan dan perbukitan sisi barat Junggar. Secara alamiah, tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 1.100 sampai 1600 m dpl. Linnaeus pertama kali memasukkan apel dalam genus Pyrus, namun Philip Miller memperbaiki sistem klasifikasinya dan meletakkan apel dalam genus Malus. Tanaman apel bisa jadi adalah tanaman buah yang pertamakali secara intensif dibudidayakan. Tanaman apel tersebar ke Benua Eropa karena peran dari Alexander Agung, sementara di wilayah Amerika Utara introduksi apel dimulai tahun 1600 [3]; [4]; [5]. Apel pada dasarnya dapat beradaptasi pada bermacam-macam iklim, tetapi pertumbuhan yang baik adalah pada daerah temperate yang dingin pada latitude 35-50°. Pada kawasan dengan empat musim, pembungaan serentak (blossom) secara simultan terjadi pada terjadi pada musim semi. Apel diketahui sangat dipengaruhi musim. Saat musim dingin, apple akan dorman dan baru melakukan pembungaan besar-besaran (blossom) pada musim semi. Apel mencapai kematangan buah sekitar 120150 hari setelah pembungaan, dan beberapa jenis dapat mencapai kematangan pada umur 180 hari [3]. Temperatur diketahui sangat berperan dalam produksi apel. Menurut Warrick et al., [6], temperatur mempengaruhi penampakan buah (ukuran, warna), tekstur, dan ketahanan penyimpanan pasca panen. Kondisi iklim, meliputi panjang hari dan temperatur, serta kesediaan air adalah signal penting dalam siklus hidup apel. Dengan demikian, budidaya apel sangat tergantung dengan kondisi lingkungan tempat budidaya. Luby [3] telah memberikan bahasan menyeluruh tentang sejarah apel dan distribusinya saat ini, namun keberadaan apel di Indonesia tidak disinggung di dalamnya. Penelusuran literatur tentang apel di Indonesia menunjukkan bahwa apel dapat tumbuh di Jawa Timur, tepatnya di kawasan Malang dan sekitarnya. Menurut Notodimedjo [7], apel dapat tumbuh di Malang karena wilayah ini mempunyai kemiripan dengan kawasan temperate. Kawasan Batu pertama kali dipilih sebagai uji coba penanaman apel karena wilayah ini mempunyai karakter yang hampir mirip dengan habitat asli tumbuhan apel. Batu memiliki suhu udara tahunan berkisar antara 18-30˚ C, curah hujan rata-rata 875 - 3000 mm per tahun dan kelembaban udara berkisar antara 75 - 98% [8]. Notodimedjo [7] mencatat apel telah dibudidayakan secara intesif di Batu sejak tahun 1960 dengan beberapa kultivar yang dibudidayakan yaitu Rome Beauty, Anna, Manalagi dan Princes Noble. Sentra-sentra apel di Batu saat ini adalah Desa Bumiaji, Bulukerto, Tulungrejo, Sumbergondo, Gunungsari, Giripurno, dan Punten [8]. Apel selanjutnya menyebar ke daerah Malang timur dan sekitarnya, meliputi Nongkojajar dan Poncokusumo. Apel cepat tersebar di kawasan Malang karena selain iklim yang sesuai, perbanyakannya dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Selain dibudidayakan di kebun-kebun secara intensif, tumbuhan apel juga dimanfaatkan sebagai tanaman ornamental. Sebagai tanaman ornamental, apel ditanaman di pekarangan rumah di Gubukklakah, Poncokusumo dan di desa-desa lereng pegunungan Tengger barat [9]. Pemukiman di desa-desa Tenger banyak terletak pada lahan dengan kemiringan curam [10]; [11], dan dengan demikian pemanfaatan apel dalam konservasi lahan miring dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan. Di Eropa, pemakaian tanaman apel bagi reklamasi lahan bekas kerusakan pertambangan telah dilaporkan oleh Brown [12].
3. Status Pertanian Apel 3.1. Adaptasi petani lokal Karakteristik ekologi dan biologi apel sebagaimana tersebut di atas mempunyai implikasi bahwa budidaya apel di kawasan tropis dengan dua musim membutuhkan teknik-teknik khusus. Jauh sebelum teknik dan budidaya modern dikenal, petani apel di Batu telah mengembangkan pengetahuan lokal lewat
proses empirik untuk menghasilkan tanaman yang mampu menghasilkan buah apel. Tidak ada catatan pasti kapan teknik budidaya apel untuk menghasilkan buah mulai dilakukan. Namun demikian, salah satu langkah penting berupa teknik peluruhan daun apel dalam siklus hidup tanaman apel diketahui mempunyai dampak penting bagi pembungaan serentak (blossom), yang kemudian diikuti dengan kemunculan buah apel [7]. Di Eropa, teknik ini tidak diperlukan karena secara otomatis apel akan menggugurkan daunnya pada musim gugur dan hibernasi selama musim dingin. Modifikasi petani di Malang dengan demikian menjadi sangat penting, dan dapat diklasifikasikan dalam pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun temurun sampai saat ini (indigenous knowledge). Selain teknik peluruhan daun, ada indikasi bahwa pertanian apel masa lampau dilakukan tanpa melibatkan obat-obatan kimia. Namun demikian, era tahun 1970’an diduga menjadi awal bagi penggunaan pupuk kimia dan obat-obatan kimia secara besar-besaran. Di lahan pertanian pegunungan yang relatif terisolasi seperti Batu dan Tengger pemanfaatan pestisida tidak dapat dihindarkan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah orde baru untuk memacu pertumbuhan sektor pertanian [10]; [13]. Dengan meluasnya intensifikasi dan modernitas pertanian, banyak petani beralih dari sistem tradisional menjadi pertanian berbasis obat-obatan kimia untuk memacu produktifitas apel. Penelitian yang dilakukan oleh Sudiarso [14] menegaskan bahwa pestisida telah digunakan secara intensif dilahan pertanian apel Bumiaji. Sebanyak 19 merek insektisida dan 8 merek fungisida digunakan untuk meningkatkan produktifitas pertanian apel. Jenis-jenis pestisida yang umum digunakan adalah Antracol dan Dithane (fungisida), dan insektisida seperti Decis 25 EC, Supracide 40 EC, dan Dursban 20 EC. Beberapa pupuk sintetik yang digunakan secara intensif adalah NPK, Vitabloom dan Gandasil B. Tidak jauh berbeda, hasil wawancara dengan petani apel di Pandansari didapatkan petani menggunakan berbagai jenis obat-obatan antara lain Dupont 25W. Fungisida yang diberikan antara lain adalah Aurora dengan bahan aktif propiconazole 250g/l, Folicur 25 WP dengan bahan aktif Tebuconazole 25%, dan Belvo dengan kandungan sulfur 80%. Menurut petani, frekuensi penggunaan fungisida akan meningkat saat musim hujan sebagai antisipasi serangan patogen. Petani menyatakan bahwa sampai saat ini pemanfaatan obat-obatan kimia adalah pilihan utama dalam setiap tindakan pengendalian hama penyakit. Dengan melihat kecenderungan aplikasi pestisida di lahan pertanian apel tersebut tentunya hal ini sangat membahayakan bagi kelangsungan pertanian apel masa depan. Silver dan Riley [15] menjelaskan bahwa penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak terkontrol akan memberikan dampak buruk kepada lingkungan. Selain itu, pestisida dapat mencemari daun dan buah dan dengan demikian sangat berbahaya bagi manusia dan hewan-hewan yang mengkonsumsinya. Pestisida secara langsung juga dapat membunuh organisme non-target yang seringkali berperan penting dalam lingkungan pertanian. Dengan memperhatikan fakta di atas, aplikasi pestisida di pertanian apel seharusnya mulai dipikirkan untuk dikurangi dan digantikan dengan teknologi yang lebih akrab lingkungan. 3.2. Status hama dan penyakit Hama dan penyakit pada lahan pertanian apel adalah problem mendasar yang saat ini belum dapat dikendalikan. Sampai saat ini tidak ada upaya pengendalian hama terpadu dilakukan pada lahan apel. Hal ini sangat disayangkan karena beberapa musuh alami hama didapatkan bersama-sama dalam kebun apel. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Djauhari [16] menyimpulkan bahwa penyakit tepung pada apel yang disebabkan oleh Podosphaera leucotricha dapat dikendalikan dengan pendekatan pengendalian hayati dengan menggunakan organisme antagonis Trichoderma dan ekstrak kompos. Menurut Alexander dan Steward [17], serangan Phytophthora cactorum pada akar apel secara potensial dapat dikendalikan oleh beberapa jenis fungi seperti Microsphaeropsis sp., Oidiodendron sp., Paecilomycetes sp., Penicilium sp., Trichoderma harzianum dan bakteri Flavobacterium. Hasil penelitian tersebut menujukkan efektifitas yang tinggi. Potensi keanekaragaman hayati arthropoda kebun apel sendiri dalam upaya ekplorasi musuh alami dalam strategi pengendalian hayati diketahui sangat besar. Cahyani [18] mendapatkan bahwa dari anthropoda yang didapatkan, prosentase kelimpahan predator didapatkan sebesar 20,03 sampai 27,33 yang menunjukkan bahwa skenario pengendalian secara hayati sebenarnya dapat dilakukan. Famili-famili penting dari predator yang didapatkan antara lain adalah Formicidae, Myrmicidae, Carabidae, Lycosidae, Thomisidae, Saltidae, Cullicidae, Scolopendridae dan Scutigeridae. Hama penting berasal dari famili
Dermestidae, Tephritidae, Aphidae dan Fulgoroidae. Kebun apel dengan sistem semiorganik menunjukkan prosentase hama lebih rendah dibandingkan dengan apel pada sisitem intensif. Pengendalian hayati saat ini belum banyak diaplikasikan oleh petani apel. Berdasarkan hasil wawancara di Pandansari, permasalahan yang timbul adalah bahwa petani tidak cukup mempunyai pengetahuan untuk mengenali jenis-jenis hama dan musuh alaminya, teknik monitoring keberadaan hama dan musuh alaminya, serta kondisi lingkungan yang mendukung untuk implementasi musuh alami dalam pengendalian hama. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnshon [19] yang menyatakan bahwa faktor-faktor di atas adalah masalah umum yang dihadapai oleh banyak petani. 3.3. Kondisi lahan pertanian saat ini Eksistensi dan keberlanjutan sistem pertanian apel yang telah menjadi tradisi masyarakat Batu, Poncokusumo, Nongkojajar dan daerah-daerah penghasil apel lainnya di Malang saat ini dipertanyakan. Selain permasalahan yang telah dideskripsikan di atas, banyak lahan terlantar dan tidak dimanfaatkan dengan benar [20]; [21]; [1]. Kegiatan survey di lapangan menunjukkan bahwa saat ini banyak kebun apel di Pandansari beralih fungsi menjadi lahan tebu dan jagung yang dilakukan secara luas oleh petani apel. Di beberapa tempat, lapisan bawah apel banyak ditanami sayuran seperti kol, kacang, kubis, bawang polong dan jenis-jenis lainnya. Petani apel di Pandansari menyatakan bahwa pergeseran pola tanaman ini banyak dipengaruhi oleh mahalnya biaya perawatan apel dan kebutuhan akan tanaman lain yang cepat menghasilkan. Hal yang sama juga didapatkan pada petani di Batu [22]. Pengamatan pada lahan budidaya apel di Pandansari mendapatkan bahwa lahan-lahan pertanian apel yang dibiarkan rumput tumbuh, didapatkan beberapa spesies penting. Tanaman penutup pada lahan budidaya apel antara lain adalah Imperata cylindrica, Panicum palmifolium, Axonopus compressus, Paspalum sp., Pseudoelephantopus spicatus, Eragrosis, Lantana camara, Euphatorium sp. dan jenis-jenis herba liar lainnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan beberapa lahan di wilayah Batu [18]. Petani menyatakan bahwa saat ini kesuburan tanaman telah berkuarang jauh dibandingkan masa lampau [1]. Untuk mengatasi hal tersebut, perbaikan kualitas tanah menjadi sangat penting. Para ahli menyatakan bahwa aplikasi model pertanian organik dengan menggunakan kompos memegang peran penting. Di Batu, model tersebut penah dilakukan dalam plot uji coba dan terbukti berhasil [22], dan hal ini memberikan prospek bagi manajemen lahan secara lebih akrab lingkungan dan lestari pada masa mendatang. Penggunaan kompos dapat menekan belanja pupuk yang harganya cenderung semakin mahal.
4. Menuju Agrowisata Apel yang Berdaya Saing dan Berkelanjutan Di berbagai kawasan dunia, diversifikasi produk pertanian semakin intensif dikembangkan untuk mengatasi keterpurukan sektor pertanian desa. Salah satu sektor alternatif yang menjanjikan dalam peningkatan kesejahteraan desa dan telah banyak dicoba adalah agrowisata atau agrotourism [23]. Menurut Garrod [24] sektor ini telah menjadi pilihan banyak pihak karena dianggap lebih mengguntungkan secara ekonomi dan mampu mendukung program konservasi lingkungan (Gambar 1). Prospek diversifikasi pengembangan pertanian apel yang saat ini masih berorientasi produk menuju agrowisata mempunyai potensi keberhasilan yang sama dengan upaya-upaya sejenis di berbagai belahan dunia. Banyak faktor telah diidentifikasi untuk mendukung keberhasilan ini, antara lain adalah Malang telah dikenal sebagai kota wisata, apel hanya dapat tumbuh di wilayah Malang dan apel telah dikenal sebagai atraksi yang menarik minat dan perhatian wisatawan [21]; [9]; [11]. Agrowisata adalah alternatif wisata yang tidak hanya dilakukan di lingkungan pertanian di desadesa, tetapi lebih dari itu agrowisata adalah bentuk dari ekowisata dengan karakter-karakter tertentu [24]. Salah satu karakter penting agrowisata adalah pemenuhan produk ramah lingkungan. Konsekuensi dari karakter tersebut adalah pertanian sehat dengan produk-produk apel organik harus disediakan dan menjadi bagian dari seluruh program agrowisata. Ames [25] menyatakan bahwa praktek pertanian organik pada apel mempunyai prospek lebih berkelajutan dan berdaya saing dibandingkan dengan teknik konvensional, dimana pestisda berlebihan telah dipakai. Kebutuhan akan produk organik akan terus meningkat karena kesadaran masyarakat akan kesehatan.
Pertanian organik harus dapat menjadi inspirasi dan gerakan masyarakat petani apel, dan dengan demikian perencanaan pada level regional dengan melibatkan berbagai komponen lansekap menjadi sangat penting. Pertanian organik telah diidentifikasi memberikan banyak manfaat. Selain menghasilkan produk bersih dan sehat, pertanian organik diketahui mampu meningkatkan hasil apel secara signifikan [22]. Pertanian organik juga mengurangi konsumsi energi, mengurangi emisi gas CO2, dan mengurangi penggunaan air secara berlebihan [25]. Secara sosial, pertanian organik juga diketahui dapat memberikan peluang kerja bagi komunitas, dan mereduksi pemanfaatan mesin-mesin pertanian yang mahal. Dengan demikian, pertanian organik adalah salah satu kunci penting bagi pelestarian budaya pertanian apel di Malang yang harus dipromosikan. Alamiah
Fisik Pemanfaatan langsng dan tidak langsung sebagai: • atraksi wisata
sumberdaya Pedesaan
• sumberdaya
Sosial
Wisatawan memperoleh kepuasan dari pengalaman wisata desa
• image ODTW Sumber daya ekonomi Investasi pada kebun Industri wisata desa
Dampak pada sumberdaya desa Wisatawan
PEndapatan dari sektor wisata Produk-produk terkait wisata
Gambar 1. Hubungan antara sumberdaya pedesaan berupa kebun apel sebagai salah satu komponen lansekap desa dengan wisatawan dan industri wisata (Diadopsi dari Garrod [24])).
Daftar Pustaka [1]
Surabayapost.
2008.
Kelangsungan
Apel
Batu
Perlu
Perhatian
Khusus.
http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act [2] Heywood, A.H., and Watson R.T. 1995. Global Biodiversity Assessment. UNEP – Cambridge University Press, Cambridge [3] Luby, J.J. 2003. Taxonomic Classification and Brief History. In: Apple: Botany, Production and Uses pp. 1-14. (eds. D.J. Ferree and I. J. Warington). CAB International [4] Geibel, M., Dehmer, K.J. and Forsline, P.L. 2000. Biological Diversity in Malus sieversii Populations from Central Asia. Acta Hort. (ISHS) 538: 43-50 [5] IUCN. 2009. Participants of the FFI/IUCN SSC Central Asian Regional Tree Red Listing Workshop, Bishkek, Kyrgyzstan (11-13 July 2006) 2007. Malus sieversii. In: IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2009.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 11 June 2009 [6] Warrick, R.A., Kenny, G.J., and Harman, J.J. 2001. The Effects of Climate Change and Variation in New Zealand: An Assessment Using the CLIMPACTS System. Chapter 4: Temperature Impacts on Developments of Apple Fruits. CLIMPACTS Assessment Report, NZ [7] Notodimedjo, S. 1996. Tinjauan dan Dilema Batang Bawah Apel di Indonesia. Habitat. Vol. 8 N0. 97. 10-12
[8] Anonimous2. 2009. Kota Batu. http://www.batukota.go.id/ina/ [9] Hakim. L. and Nakagoshi, N. 2007. Plant Species Composition in Home Gardens in The Tengger Highland (East Java, Indonesia) and Its Importance for Regional Ecotourism Planning. Hikobia 15 (1): 23-36. [10] Whitten, T., Soeriaatmadja, R.E., and Afiff, S.A. 1996. The Ecology of Java and Bali. The Ecology of Indonesia Series Volume II. Periplus Ltd., Singapore [11] Hakim, L., Hong, S.K., Kim, J.E., and Nakagoshi, N. 2008. Tourism and Cultural Landscape at Tengger, East Java: The Implications for Ecotourism Planning. Korean Journal of Environment and Ecology 22(3): 207- 220 [12] Brown, J.E., Maddox, JB., and Splittsoesser, W.E. 1983. Performance of Trees, Shrubs and Forbs Seeded Directly in The Fall on Minespoil and Silt Loam Soil. Journal of Environmnetal Quality 12: 523-525 [13] Hefner, R.W. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. LKIS. Yogyakarta [14] Sudiarso, Soemarno, Dewani, M. 2000. Dampak Penggunaan Pestisida pada Perkebunan Apel di Sub DAS Sumber Brantas. Agrivita. 17(2): 55-60 [15] Silver, J.S and Riley, B. 2001. Environmental Impacts of Pesticides Commonly Used in Urban Landscape. Northwest Coalition for Alternatives to Pesticides, Eugene, Oregon [16] Djauhari, S., Abadi. A.L., Yanuwiadi, B. dan Suharjono. 1977. Teknologi Pengendalian Hayati Penyakit Tepung pada Apel dengan Memanfaatkan Mikroba dan Limbah Organik. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Hayati Vol. 9 (1): 23-30 [17] Alexander, B.J.R and Steward, A. 2001. Glasshouse Screening for Biological Control Agents of Phytophthora cactorum on Apple (Malus domestica). New Zealand Journal of Crop and Horticultural Science. 29: 159-169 [18] Cahyani, N.S. 2008. Perbandingan Kelimpahan, Diversitas dan Komposisi Arthopoda Tanah pada Sistem Pertanian Apel yang Berbeda di Kota Batu. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya [19] Johnshon, M.W. 2000. Nature and Scope of Biological Control. Biological Control of Pest, ENTO 675, Manoa [20]
Suara Merdeka, 2003. Ratusan Hektar suaramerdeka.com/harian/0308/02/eko5.htm
Lahan
Apel
Terlantar.
http://www
[21] Cook, D.M. 2006. Kematian Industri Apel di Batu. Laporan Program Australian Concorcium for Incountry Indonesian Studies (ACICIS). UMM [22] Anonimous1. 2008. LPM UMM Gerakkan Posdaya Desa Bumiaji Batu, Malang, Jatim: Tingkatkan Produksi Apel Kota Malang. Majalah Gemari Edisi 94/Tahun IX/Nopember 2008. Hal 30-31 [23] Hjalager, A.M. 1996. Agricultural Diversification into Tourism: Evidence of a European Community Development Programme. Tourism Management 17(2) 103-111
[24] Garrod, B., Wornell, R., and Youel, R. 2006. Re-conceptualizing Rural Resources as Countryside Capital: The Case of Rural Tourism. Journal of Rural Studies 22: 117-128 [25] Ames, J. 2001. Consideration of Organic Apple Production. NCAT Agriculture Specialist. ATTRA’s Organic Maters Series