SPIRITUAL WELL-BEING PADA PENDETA GMIT YANG MELAYANI DI KUANFATU – NUSA TENGGARA TIMUR
OLEH ANASTHASYA FIELIA LITELNONI 802011094
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Anasthasya Fielia Litelnoni Nim : 802011094 Program Studi : Psikologi Fakutas : Psikologi, Universitas Kristen SatyaWacana Jenis Karya : Tugas Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty freeright) atas karya ilmiah saya berjudul: SPIRITUAL WELL-BEING PADA PENDETA GMIT YANG MELAYANI DI KUANFATU – NUSA TENGGARA TIMUR
Dengan hak bebas royalty non-exclusive ini, UKSW berhak menyimpan mengalih media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencita. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Salatiga Pada Tanggal : 12 Januari 2016 Yang menyatakan,
Anasthasya Fielia Litelnoni
Mengetahui, Pembimbing
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Anasthasya Fielia Litelnoni
Nim
: 802011094
Program Studi
: Psikologi
Fakultas
: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :
SPIRITUAL WELL-BEING PADA PENDETA GMIT YANG MELAYANI DI KUANFATU – NUSA TENGGARA TIMUR Yang dibimbing oleh : Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
Adalah benar-benar hasil karya saya. Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 12 Januari 2016 Yang memberi pernyataan
Anasthasya Fielia Litelnoni
LEMBAR PENGESAHAN SPIRITUAL WELL-BEING PADA PENDETA GMIT YANG MELAYANI DI KUANFATU – NUSA TENGGARA TIMUR Oleh Anasthasya Fielia Litelnoni 802011094
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Disetujui pada tanggal 12 Januari 2016 Oleh: Pembimbing
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS Diketahui oleh,
Disahkan oleh,
Kaprogdi
Dekan
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS
Prof.Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
SPIRITUAL WELL-BEING PADA PENDETA GMIT YANG MELAYANI DI KUANFATU – NUSA TENGGARA TIMUR
Anasthasya Fielia Litelnoni Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
Abstrak Pendeta adalah sebutan bagi pemimpin agama Kristen Protestan di Indonesia. Pendeta dari salah satu lembaga agama Kristen Protestan yang disebut Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) memiliki tugas dan tanggung jawab sama seperti pendeta pada umumnya yaitu memimpin kebaktian, dan ritual-ritual Kristen Protestan lainnya. Namun ada hal yang berbeda dari pendeta GMIT yang melayani di Kuanfatu. Kuanfatu adalah salah satu wilayah GMIT yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pendeta, semua pendeta yang ada di klasis Kuanfatu juga adalah seorang petani ataupun orang yang berkebun. Mulai dari menyiapkan bibit, membakar lahan untuk siap ditanam, menanam bibit pada musim tanam, merawat kebun dan membersihkan kebun sampai memanen hasil kebun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara komprehensif mengenai spiritual well-being pada pendeta GMIT yang melayani di Kuanfatu dari sisi Personal Domain, Communal Domain, Environmental Domain, dan Transcendental Domain. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan alat ukur Spiritual Health And Life-Orientation Measure (SHALOM) dengan jumlah 3 partisipan yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Hasil yang didapatkan adalah 2 partisipan menunjukkan adanya combine effect yang positif antara semua domain spiritual well-being sedangkan 1 partisipan menunjukkan adanya combine effect yang positif pada beberapa domain, tetapi pada domain Personal Domain menunjukkan hasil yang negatif, dan tidak terdapat combine effect pada semua domain. Kata Kunci: Spiritual Well-Being, Pendeta, Spiritual Health, SHALOM.
Abstract Pastor is a predicate for a Chritistian religious leader in Indonesia. Pastors from on of a Christian church institution which is called Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) have their duties and responsibilities same as the others Pastors in common such as leading the worship, and rituals of other Protestant Christians. But there are some different things from GMIT pastors who serve in Kuanfatu. Kuanfatu is one of the GMIT region located in South Central Timor (TTS), East Nusa Tenggara (NTT). In addition to performing their duties and responsibilities as a pastor, all the pastors in Klasis Kuanfatu also is a farmer or someone who gardening. From preparing the seedlings, ready for burning to clear land for planting, planting seedlings at planting, tending the garden and cleaning the garden to harvest the crops. This study aims to identify and describe comprehensively about the spiritual well-being at GMIT pastors serving in Kuanfatu of the Personal Domain, Domain Communal, Environmental Domain, and Transcendental Domain. This study used a qualitative method measuring devices Spiritual Health And Life-Orientation Measure (SHALOM). The number of 3 participants were selected by purposive sampling technique. The results obtained are two participants indicate a positive combine effect between all the domains of spiritual well-being, while one participant showed a positive combine effect in multiple domains, but the domain Personal Domain showed negative results, and there are no combine effect in all domains.
Keywords: Spiritual Well-Being, Pastor, Spiritual Health, SHALOM.
1
PENDAHULUAN Semenjak akhir tahun 1980, terjadi peningkatan minat pada spiritualitas dan religiusitas. Bukan hanya terjadi peningkatan minat, namun penelitian empiris dan terkait dengan spiritualitas pun ikut berkembang pesat sejak tahun 1980-an dalam ilmu sosial dan perilaku, pekerjaan sosial, keperawatan, kedokteran, neurobiologi, dan spesialisasi akademik lainnya dan diterapkan profesi. (Moberg, 2010). Spiritual berasal dari bahasa bahasa latin yaitu “spiritus” yang berarti “breath of life” (nafas kehidupan). Dan dapat ditelusuri dari istilah Yunani yaitu “pneuma” yang digunakan dalam Perjanjian Baru untuk menggambarkan roh (spirit) seseorang yang dituntun (guided) oleh God’s spirit (Roh Allah). Menurut Elkins, 1988 (dalam Heintzman, 2010) Pada jaman sekarang, spiritualitas sering didefinisikan sebagai “cara dalam menjadi dan mengalami apapun yang datang melalui kesadaran akan dimensi transenden
dan
dapat
dikarakteristikan
dengan
berbagai
nilai
yang
dapat
diidentifikasikan mengenai diri, orang lain, alam, kehidupan dan sesuatu yang dianggap sebagai yang Utama (The Ultimate). Spiritualitas tidak terikat pada agama manapun. Spiritualitas dan religiusitas tentu adalah dua hal yang berbeda. Spiritualitas berfokus pada makna hidup dan alasan untuk hidup serta tidak dibatasi pada kepercayaan atau praktek-praktek tertentu, sedangkan religiusitas berfokus pada kepercayaan individu, mengikuti dan mempraktekan agama tertentu (Gastaud dkk, 2006). Lama-kelamaan istilah spiritual ini berkembang dan tidak hanya membatasi pada salah satu agama saja, namun dapat digunakan oleh setiap manusia. Karena berkembangnya ilmu-ilmu yang mempelajari tentang spiritualitas, maka pada tahun 1971 White House Conference on Aging (WHCA) mencetuskan istilah spiritual well being pertama kali yang merupakan perluasan ilmu spiritualitas. Lalu pada tahun 1975 National Interfaith Coalition on Aging mendefinisikan Spiritual WellBeing sebagai penegasan dalam kehidupan akan hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri, komunitas, dan alam yang membentuk dan merayakan „keutuhan‟.
2
Menurut Fisher (2010) Spiritual Well Being memiliki empat domain, yaitu Trancendental Domain yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan yang dianggap Sang Superior (The Ultimate). Domain ini berkaitan dengan yang dianggap transenden. Domain ini membahas tentang hubungan antara seseorang dengan „sesuatu‟ ataupun seseorang yang berada diatas level manusia. Seperti sang ultimate, kekuatan kosmik, realitas transenden, ataupun Tuhan. Hal ini melibatkan iman, kekaguman, dan penyembahan akan misteri dari alam semesta. Yang kedua adalah Communal Domain yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia lain dalam satu atau lebih komunitas. Domain ini berkaitan dengan hubungan individu dengan orang lain. Domain ini ditunjukkan dalam kualitas dan kedalaman akan hubungan interpersonal, antara dirinya dengan orang lain, berkaitan dengan moralitas, budaya, dan agama. Hal-hal ini diekspresikan dalam kasih, pengampunan, kepercayaam, harapan, dan kepercayaan pada hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Yang ketiga adalah Personal Domain yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri serta bagaimana manusia memahami dirinya sendiri. Domain ini berkaitan dengan hubungan individu dengan dirinya sendiri. Personal domain adalah suatu domain dimana seorang individu berhubungan dengan diri sendiri berkaitan dengan makna, tujuan, dan nilai-nilai dalam kehidupan. Kesadaran akan diri sendiri adalah kekuatan pendorong atau aspek transenden dari jiwa manusia dalam mencari identitas dan harga diri. Yang ke-empat adalah Environmental Domain yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Domain ini berkaitan dengan hubungan individu dengan alam, lebih dari perawatan dan pemeliharaan untuk hal-hal fisik dan biologis, dengan adanya rasa kagum, dan pertanyaan-pertanyaan (wondering); untuk beberapa, dan bagaimana merasa dirinya memiliki kesatuan dengan alam. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk biopsikososiospiritual (Young & Koopsen, 2011). Artinya dalam mendefinisikan manusia, tidak hanya aspek-aspek fisik atau biologis saja, namun aspek psikologis, sosial dan juga spiritualitasnya. Fisher (2011) menyatakan bahwa, “Manusia, pada intinya adalah makhluk spiritual.” Pendeta pada hakikatnya adalah manusia yang merupakan makhluk biopsikososial dan spiritual yang memiliki spiritual well-being. Pendeta (Dewanagari: pandit) adalah sebutan
bagi
pemimpin
agama.
Kata pendeta (Sanskerta: Pandita)
3
berarti brahmana atau guru agama Hindu atau Buddha. Di Indonesia, saat ini istilah pendeta digunakan untuk sebutan pemimpin agama Kristen Protestan. Pendeta adalah sebutan bagi pemimpin agama. Kata Pendeta berasal dari kata Pandita (bahasa Sansekerta), yang berarti brahmana atau gutu agama Hindu atau Buddha (http://id.wikipedia.org/wiki/Pendeta, 2015). Di Indonesia kata Pendeta lebih mengacu pada pemimpin agam Kristen Protestan. Luther dalam Dahlenburg (2002) menyatakan bahwa setiap orang Kristen adalah pendeta, tetapi pendeta-pendeta yang dipanggil adalah pelayan-pelayan yang dipangil untuk melayani atas nama jemaat dan jabatan mereka sebagai pendeta merupakan suatu pelayanan saja. Bons-Strom (2001) menjelaskan pendeta merupakan gembala khusus penuh waktu (full time). Sewaktu masih muda, seorang pendeta sudah belajar ilmu teologi, atau berdasarkan karunia khusus diangkat menjadi pendeta. Di beberapa denominasi gereja, lulusan sarjana teologia lah yang diangkat menjadi pendeta. Sedangkan di denominasi yang lain tidak mementingkan lulusan mana, namun dengan adanya pembekalan rohani atau pelatihan tertentu dapat menjadikan seseorang menjadi pendeta. Ilmu teologi atau pelatihan tersebut yang dijadikan bekal dalam pengembangan jemaat. Menurut Luth (dalam Dahlenburg, 2002) walaupun semua orang Kristen merupakan pendeta, namun tidak semuanya sanggup dan boleh berkhotbah, mengajar atau memimpin. GMIT adalah salah satu lembaga gereja Kristen Protestan yang lahir sebagai hasil pekabaran Injil Badan-Badan Pekabaran Injil Belanda, berlatar belakang tradisi Hervormd yang bersumber dari ajaran Calvin, yang dimulai pada abad XVII dalam wilayah keresidenan Timor. Selanjutnya GMIT juga ikut dibidani oleh para pekabar injil pribumi hasil didikan Badan-Badan Pekabaran Injil Belanda yang melibatkan para penginjil awam. GMIT terbentuk sebagai sebuah gereja Oikumenis mandiri pada tanggal 31 Oktober 1947 sebagai salah satu gereja bagian dari Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk) yang sebelumnya telah terbentuk atas inisiatif pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai suatu gereja teritorial yang meliputi wilayah NTT (kecuali Sumba), dan Pulau Sumbawa di NTB, pada saat yang sama GMIT juga adalah bagian dari gereja universal sebagai anggota tubuh Kristus. Atas dasar ini GMIT mengembangkan hubungan oikumenis dengan gereja-gereja seasas, denominasi-
4
denominasi Kristen, organisasi-organisasi Kristen (di lingkup nasional, regional, dan internasional), agama-agama, masyarakat luas, serta lingkungan hidup. Pada awal tahun 2015, GMIT adalah lembaga gereja terbesar setelah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). GMIT memiliki 1207 pendeta. Jumlah anggota jemaat yang terdaftar di GMIT adalah sekitar 1,2 juta jiwa, dengan 2200 jemaat (gereja). Wilayah pelayanan GMIT tersebar di seluruh Nusa Tenggara Timur (kecuali Pulau Sumba), Sumbawa NTB, dan Batam yang dibagi menjadi 44 Klasis. Salah satu klasis di GMIT adalah klasis Kuanfatu. Di klasis Kuanfatu jumlah anggota jemaat yang terdaftar adalah 22.908 jiwa, terdapat 65 jemaat (gereja) yang dilayani oleh 11 orang pendeta. (Sumber: Wawancara dengan pegawai kantor Sinode GMIT). Pendeta GMIT di Kuanfatu dapat dikatakan berbeda dengan pendeta pada umumnya. Pada umumnya, pendeta adalah sosok yang memimpin kebaktian dan berkhotbah saja, namun di Kuanfatu pendeta juga dianggap sebagai pemimpin masyarakat, bukan hanya dalam kehidupan bergereja, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat terutama di bidang pemerintahan. Pendeta di kuanfatu juga melakukan aktifitas lain yang berhubungan langsung dengan alam seperti bertani, berkebun dan berburu. Selain aktifitas yang berbeda, pendeta di Kuanfatu hanya berjumlah 11 orang dan harus mengurus 65 jemaat (gereja) dengan total 22.908 jiwa yang terdaftar sebagai jemaat. Karena uniknya fenomena yang ditemukan peneliti, maka peneliti menganggap bahwa topik ini layak untuk diteliti terutama dengan metode kualitatif. Di Amerika, penelitian dari sudut pandang cross-faith dan interdisipliner dilakukan oleh Amy L. Ai, pada kaum lansia untuk melihat gambaran mengenai Spiritual WellBeing, Spiritual Growth, dan Spiritual Care pada pemeluk agama Kristen dan Buddha. Hasilnya adalah semua kebutuhan akan spiritual tersebut digunakan sebagai cara untuk mengatasi peristiwa-peristiwa negatif dalam kehidupannya. (Ai, 2000) Selama proses penelitian, peneliti belum menemukan penelitian mengenai spiritual well-being pada pemuka agama di Indonesia, namun terdapat artikel mengenai Spiritualitas Pelayan Kristen yang ditulis oleh Pdt. Minggus M. Pranoto pada tahun 2007 yang mengambil kesimpulan spiritualitas pelayanan Kristen mengikuti keteladanan kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus Kristus, yang menyatakan kehendak
5
Bapa dengan berdasarkan kuasa penyertaan Roh Kudus. Hal inilah yang membuat peneliti merasa topik yang akan diteliti ini adalah topik yang jarang dan layak untuk diteliti secara mendalam. Penelitian ini mengambil tempat di desa Kuanfatu di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Indonesia. Pendeta di sana bekerja sebagai pemuka agama, yang bertugas untuk mempimpin ibadah setiap minggu dan perlu memaknai Tuhan sebagai unsur transenden. Hal ini berkaitan dengan Trancendental Domain. Sebagai pendeta, mereka juga bertugas untuk kunjungan ke jemaat-jemaat dan membina relasi yang baik dengan anggota jemaat dan pemeluk agama lain di sekitarnya. Hal ini berkaitan dengan Communal Domain. Sebagai seorang pemuka agama, bagaimana seorang pendeta menganggap dirinya adalah hal yang berpengaruh dalam kehidupan berjemaat. Bagaimana pendeta mendalami identitasnya sebagai pendeta, merasakan inner-peace dan arti hidupnya dapat berkaitan dengan Personal Domain. Dalam hal berkebun, bercocok tanam, beternak hewan, melakukan panen pada musim panen dan sebagainya menunjukkan bahwa pendeta di Kuanfatu memiliki keunikan tersendiri dengan memiliki interaksi langsung dengan alam sekitarnya. Hal ini berkaitan dengan Environmental Domain yang dimiliki pendeta. Berdasarkan penjelasan diatas, maka pertanyaan penelitian yang ingin dijawab adalah, bagaimana gambaran spiritual well-being pendeta GMIT yang melayani di desa Kuanfatu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara komprehensif mengenai spiritual well-being pada pendeta GMIT yang melayani di Kuanfatu.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Brannen (dalam Alsa, 2004) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif, yang mempunyai kebebasan kemauan, yang perilakunya hanya dapat dipahami dalam konteks budayanya, dan yang perilakunya tidak didasarkan pada hukum sebab akibat. Oleh karena itu pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami objeknya, tidak untuk menemukan hukum-hukum, tidak untuk membuat generalisasi.
6
Prosedur Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposeful sampling atau bisa juga disebut purposive sampling dimana partisipan dipilih berdasarkan kepada ciri-ciri yang sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. (Herdiansyah, 2015) Partisipan Partisipan dalam penelitian ini adalah pendeta GMIT yang melayani di Kuanfatu. Semua partisipan adalah lulusan S1 dari Fakultas Theologia ataupun dari Sekolah Tinggi Theologia di luar NTT. Semua partisipan berasal dari etnis yang berbeda, namun semuanya aktif dalam pelayanan dan melakukan tugas-tugas pendeta seperti memimpin kebaktian minggu, kebaktian rayon, ibadah duka, pemberkatan orang nikah dan berbagai tugas pendeta pada umumnya. Ketiga partisipan juga terlibat aktif dalam bidang pertanian, perkebunan. Mereka melakukan hal-hal yang pada umumnya dilakukan seorang petani seperti menyiapkan lahan, membakar lahan pada beberapa saat sebelum memasuki musim tanam, lalu mulai menyebarkan bibit pada hujan pertama, merawat, mengurus, dan juga memanen pada saat musim panen. Partisipan pertama berinisial PM adalah seorang pendeta yang berusia 33 tahun yang berasal dari suku Alor, Nusa Tenggara Timur. PM berjenis kelamin laki-laki dan telah menjadi pendeta selama 5 tahun. PM ditempatkan di Kuanfatu sejak dirinya ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 2010. PM menempuh pendidikan terakhirnya di Sekolah Tinggi Theologia (STT) Intim di Makassar, Sulawesi Selatan. PM telah menikah dan memiliki dua orang anak. Karena ketidak-tersediaan rumah bagi pendeta jemaat PM, Istri dan anak PM tinggal di rumah mereka di Kecamatan Bena, sedangkan PM menumpang di rumah jemaat selama melayani. Ketika selesai melayani, PM akan kembali ke Bena untuk tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Partisipan kedua berinisial IS adalah seorang pendeta yang berusia 30 tahun. IS berasal dari suku Sabu, NTT. IS berjenis kelamin perempuan dan telah menjadi pendeta selama 2 tahun. IS ditempatkan di Kuanfatu semenjak dirinya menjalankan masa vikaris, kemudian ia ditahbis menjadi pendeta di Kuanfatu pada tahun 2013 sampai sekarang tahun 2015. IS menempuh pendidikan terakhirnya di STT Intim di Makassar,
7
Sulawesi Selatan. IS telah menikah selama satu tahun, dan belum dikaruniai anak. Pada saat penelitian berlangsung, IS tinggal di rumah pastori jemaat yang terletak tepat disamping gereja tempat ia melayani. Tempat tinggal IS tidak memiliki aliran listrik sama sekali sehingga akan menjadi sangat gelap pada malam hari. Satu-satunya penerangan adalah dengan lampu senter yang berukuran cukup besar yang digunakan hanya pada malam hari di dalam rumahnya. Tetapi tidak ada penerangan sama sekali di lingkungan tempat tinggalnya. Partisipan ketiga berinisial YT adalah seorang pendeta berusia 51 tahun. YT berasal dari suku Timor, NTT. YT berjenis kelamin laki-laki dan telah menjadi pendeta selama 25 tahun. YT ditempatkan di beberapa tempat sebelum ia ditempatkan di jemaat yang sekarang. Sebelumnya ia ditempatkan di wilayah Amfoang dan Lelogama NTT sehingga kemudian ia ditempatkan di Kuanfatu karena pada saat itu di wilayah Kuanfatu kekurangan pendeta pada tahun 1990. YT menempuh pendidikan terakhirnya di Universitas Kristen Duta Wacana pada tahun 1984 dengan mengambil program double degree untuk Jurusan Arsitektur dan Fakultas Theologia dan lulus untuk kedua jurusan pada tahun 1989. IS telah menikah dan dikaruniai 3 orang anak. Dua diantaranya adalah anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Pada saat ini YT menjabat sebagai Ketua Klasis Majelis Jemaat Kuanfatu. Proses Pengambilan Data Perjalanan ke Kuanfatu menghabiskan waktu sekitar 4 jam dengan menggunakan mobil. Peneliti menyempatkan diri untuk membeli Sirih Pinang dan juga Kapur di salah satu pasar yang terletak antara Kupang – Kuanfatu sebagai tanda adat agar peneliti dapat diterima di Kuanfatu. Sesampainya di tempat penelitian, peneliti bertemu dengan Ketua Klasis Majelis Jemaat, menyerahkan Sirih Pinang dan kapur serta tidak lupa menyampaikan maksud kedatangan peneliti. Selanjutnya, peneliti bertemu dengan Ketua Klasis Majelis Jemaat dan mengungkapkan maksud, tujuan, dan gambaran penelitian yang akan di lakukan di desa tersebut serta mendapatkan rapport yang baik dengan pendeta-pendeta. Peneliti kemudian berbincang-bincang dengan Ketua Klasis Majelis Jemaat dan beberapa pendeta yang hadir di Loss Pelayan pada saat itu. Selanjutnya kami melihat-
8
lihat keadaan di kuanfatu dengan menggunakan mobil, sambil mengunjungi beberapa gereja yang ada di kuanfatu. Dalam memilih dan memanfaatkan Informan, peneliti mendapat bantuan dari Ketua Klasis Majelis Jemaat Kuanfatu yang akan menjadi informan dan menentukan calon partisipan penelitian yang sesuai dengan kriteria yang peneliti sebutkan. Ketua Klasis
Majelis
Jemaat
sendiri
bersedia
untuk
menjadi
partisipan,
setelah
memperkenalkan beberapa partisipan yang lain. Informasi dari informan sangat membantu karena informan selain pendeta juga merupakan penduduk setempat yang menguasai keadaan serta penduduk di lokasi penelitian dan informan sendiri adalah pimpinan dari partisipan dalam hal ini adalah pendeta yang melayani di Kuanfatu. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan metode wawancara yang dibuat berdasarkan pedoman wawancara (guideline interview) dengan bentuk wawancara semi-terstruktur. Aspek yang ingin diungkap melalui wawancara dalam penelitian ini adalah halhal yang berhubungan dengan spiritual well-being pada pendeta GMIT yang ditempatkan di desa Kuanfatu yang mencakup bagaimana gambaran spiritual wellbeing. Selama wawancara berlangsung dilakukan observasi, yaitu kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah kondisi fisik, emosional, dan setting lingkungan serta hal-hal yang mengganggu jalannya wawancara. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Alat perekam (tape recorder dan MP4) 2. Pedoman wawancara 3. Lembar observasi
Peneliti menggunakan Spiritual Health And Life-Orientation Measure (SHALOM) dalam pembuatan pedoman wawancara. SHALOM terdiri dari 20 item dengan lima item
9
yang mencerminkan kualitas yaitu hubungan dengan diri sendiri, sesama, alam, dan Tuhan yang adalah domain dari Spiritual Well-Being. SHALOM telah dites secara mendalam dan dilaporkan sebagai Spiritual Well-Being Questionnaire (SWBQ) yang jauh lebih baik untuk dijadikan acuan daripada SWBQ yang dibuat oleh Moberg (Fisher, 2010). Menurut Fisher (2010) SHALOM sangat mungkin digunakan untuk prosedur kualitatif untuk menggali dalamnya Spiritual Well-Being.
Analisi dan Uji Keabsahan Proses analisis data kualitatif yang pertama dilakukan dengan mengetik kata demi kata dengan mendengarkan pada rekaman wawancara ke dalam bentuk transkrip wawancara. Selanjutnya peneliti memberi label dalam bentuk nomer secara berurutan pada sebelah kiri dari tiap baris transkrip wawancara (verbatim) secara rapi dan terorganisir. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan koding dan analisis dengan memberikan kolom khusus di samping verbatim untuk mencantumkan catatan khusus atau makna yang terkait. Setelah itu, peneliti menentukan dan mencantumkan tema serta makna dibalik kalimat yang diucapkan partisipan di kolom yang telah disediakan. Selanjutnya peneliti mengelompokan data ke dalam aspek-aspek
yang
digunakan
dalam
penelitian
kemudian
mencoba
untuk
membandingkan antara partisipan pertama, partisipan kedua dan partisipan ketiga. Untuk memeriksa keabsahan data peneliti menggunakan 2 cara yaitu Trianggulasi Perspektif atau (multilevel perspective) yang dimaksudkan yaitu dengan menggunakan perspektif orang lain. (Herdiansyah, 2015) Yang dilakukan peneliti adalah dengan cara membahas hasil wawancara partisipan dengan orang terdekat dari partisipan tersebut. Cara kedua yang dilakukan peneliti adalah Validasi Responden (respondent validation). Peneliti meminta responden atau partisipan untuk membaca dan menilai verbatim yang telah diketik berdasarkan apa yang dibicarakan pada saat itu.
10
HASIL Hasil penelitian diperoleh dari tema-tema yang berkaitan dengan domain Spiritual Well-Being, yaitu: Personal Domain, Communal Domain, Environmental Domain dan Transcendental Domain, ditemukan juga tema-tema lain seperti rasa syukur akan dukungan pasangan hidup. 1. Personal Domain Partisipan pertama (P1) merasa dirinya dibentuk, diproses dan berubah ketika berkuliah di STT Intim Makassar. Setelah lulus, ia merasa bahwa dirinya adalah seorang hamba Tuhan yang diberi tugas untuk melayani Tuhan dan jemaatnya kapanpun dan di lingkungan manapun. Bukan hanya tugas dalam pemberitaan Firman, tetapi juga diberi tugas untuk mengatur jemaat yang ditunjuk secara organisasi. Oleh karena itu, pendeta juga ditunjuk sebagai Ketua Majelis Jemaat. Semua tugas itu telah diatur dalam aturan GMIT. Pelayanan yang dilakukannya sebagai hamba Tuhan bukan hanya dalam hal rohani, namun juga dalam hal jasmani. Hal yang paling membahagiakan bagi P1 adalah ketika dalam keadaan sulit apapun, dirinya tetap beraada dalam tugas panggilan sebagai hamba Tuhan. Pengalaman yang paling membahagiakan yang dirasakan P1 adalah ketika ia harus melayani perjamuan, namun istrinya harus dioperasi untuk melahirkan anak keduanya. Pada saat itu P1 menyerahkan istri dan anaknya kepada Tuhan, dan percaya penuh pada Tuhan karena ia harus meninggalkan istrinya dan melayani perjamuan kudus di gereja. Ketika ia percaya penuh pada Tuhan dan Tuhan menyelamatkan istri dan anaknya, pada saat itu ia tidak ragu bahwa Tuhan adalah sumber kebahagiaan bagi dirinya. Selain Tuhan, keluarga juga adalah hal yang membahagiakan bagi dirinya. P1 bersyukur memiliki istri yang selalu mendukung pelayanannya dan anak-anaknya yang dianggap mampu menghilangkan beban pelayanan yang membuatnya lelah. Apabila P1 menyadari bahwa dirinya sedang menjalani tugas pelayanan dengan baik artinya kedamaian itu tetap menjadi bagian yang tidak usah dipikirkan. Ketika ada pelayanan, P1 merasa sukacita, dan ia merasa bahwa Tuhan adalah sumber kedamaian bagi dirinya. Kedamaian bagi P1 muncul karena Tuhan telah membuatnya merasa aman terlebih dahulu. P1 merasa hidupnya bermakna apabila dirinya berguna bagi Tuhan dan bagi orang lain. Berguna bagi Tuhan maksudnya bahwa dalam keadaan paling sulit seperti di
11
Kuanfatu pun ia tetap ada untuk melayani Tuhan. Walaupun terpisah dari keluarga yang tinggal di Bena, kondisi cuaca dan medan geografis yang berat seperti di kuanfatu ia tidak menyerah dalam melayani Tuhan dan merasa bahwa Tuhan tidak salah menunjuk dirinya untuk melayani Tuhan. Berguna bagi sesama ditunjukkan dengan cara dirinya melayani jemaat. Bukan hanya dengan memberitakan Firman Tuhan, tetapi juga dengan bertani, membantu perekonomian jemaat. P1 menyadari bahwa mata pencaharian masyarakat Kuanfatu dari dulu sampai sekarang adalah bertani. Masyarakat Kuanfatu bisa menanam sayur, tetapi malu untuk menjual, sehingga ia bertekad untuk membantu jemaatnya dalam bertani, menjual hasil panen, dan sekarang ia bertugas sebagai operator desa karena kemampuannya di bidang komputer. Apapun yang ia lakukan itu, tujuannya adalah bagaimana semua itu bisa berguna bagi jemaat. Partisipan kedua (P2) merasa terbeban akan target pelayanan yang dihadapinya. Beberapa tuntutan dari jemaat membuat dirinya seperti merasa kecil di jemaat tersebut. Contoh tuntutannya adalah jemaat ingin menggunakan liturgi yang menggunakan Nyanyian Kidung Baru (NKB), dan Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ) dalam kebaktian. Namun P2 merasa hal tersebut belum bisa terrealisasi karena harus membeli dalam jumlah banyak dikarenakan banyak juga jemaat yang tidak mampu membeli NKB dan PKJ. Dalam berpakaian pun, P2 merasa terbeban karena harus berpakaian rapi (rok) dalam memimpin ibadah, padahal terkadang udara sangat dingin sehingga membuat P2 menggunakan celana panjang kain. Hal-hal tersebut yang membuat dirinya merasa belum sempurna dalam menjalankan tugasnya sebagai pendeta. P2 melihat dirinya adalah seorang pelayan atau hamba. Ia memiliki target yang ia buat sendiri mengenai seorang hamba. Menurutnya hamba adalah orang yang melayani meskipun dirinya berada di tengah-tengah orang-orang dan bahkan situasi-situasi yang tidak diinginkan. Menurutnya, hamba harus tulus, ikhlas, dan sederhana. Tidak perlu yang muluk-muluk dan itulah yang ingin dicapai P2 sebagai seorang hamba. P2 melakukan pelayanannya dengan sepenuh hati. P2 mengungkapkan bahwa dalam melakukan pelayanan, hanya perlu ketulusan, kesederhanaan. P2 beberapa kali mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa menilai dirinya sendiri, namun yang ia ketahui mengenai dirinya sendiri adalah dirinya adalah orang yang cepat marah, tetapi juga cepat sedih dan menangis. Dalam mengekspresikan kemarahannya,
12
P2 tidak pernah menunjukkan kemarahannya di depan orang yang membuatnya marah, namun menunjukkan kemarahannya di rumah, ketika sendiri dan tidak ada orang di rumah. Tidak pernah marah itu ditunjukkan langsung kepada orang yang membuatnya marah. Hal yang membuat P2 bahagia adalah ketika dirinya telah selesai melakukan pelayanan untuk hari itu. Menurutnya, perasaan tersebut membuatnya lega dan bahagia apalagi ketika semua pelayanan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan. Ia merasa apabila pelayanan tersebut berjalan lancar, ia merasa bahwa pelayanan itu tidak sia-sia. Bisa melayani sampai selesai itu membawa perasaan puas bagi dirinya dan merasa sejahtera setelah itu. Ada kepuasan tersendiri bagi dirinya ketika selesai melayani walaupun dirinya merasa lelah. Tetapi apabila pelayanan hari itu tertunda atau bahkan dibatalkan, kadang itu menjadi beban bagi dirinya. Hal lain yang membuatnya bahagia juga adalah ketika melakukan pelayanan bagi anak-anak seperti mengajar sekolah minggu dan PAUD. Menurut P2, melihat anak-anak berlarian dan bisa bertemu anak-anak adalah hal yang lucu dan pada saat itu dirinya merasa seperti beban-beban pelayanan dan beban-beban hidup hilang seketika. Menurutnya setelah selesai melayani itu ia merasa damai sejahtera. Selain itu, ia merasa bahagia ketika bisa jalan-jalan ke luar daerah kuanfatu. Ketika pergi ke SoE atau ke Kupang. Yang ia lakukan ketika keluar daerah itu adalah jalan-jalan, pergi melihat keluarganya di kupang. Menurut P3, orang yang membawa damai adalah orang yang berbahagia. Orang yang menciptakan kedamaian, bisa itu perselisihan yang terjadi pada dirinya dan ia yang berupaya berdamai, atau bisa juga ia yang hadir ditengah-tengah orang yang berselisih dan menciptakan kedamaian bagi kedua belah pihak. Dan hal itu adalah hal yang telah berhasil dilakukan oleh P3. Selain bisa membawa damai, P3 merasa bahagia untuk belajar Theologia dan menjadi pendeta. Alasannya adalah ia merasa bahwa dirinya mampu meneruskan pelayanan yang dilakukan kedua orang-tuanya yang adalah pendeta. Ia juga merasa bahagia karena memiliki istri yang sangat mendukungnya dalam pelayaan. P3 merasa bahwa istrinya mampu mengerti keadaan dirinya dengan keberadaannya sekarang ini. P3 mengungkapkan bahwa ia mengalami beberapa kali kegagalan dalam membangun hubungan asmara dengan wanita lain, karena wanita
13
tersebut tidak tahan dengan sifatnya yang tidak mau diatur. Berbeda dengan istrinya yang sekarang, yang selalu mengerti akan keberadaan dirinya. P3 selalu menggunakan kalimat yaitu “masing-masing dengan tiap-tiap.” Dalam melihat dirinya sendiri. Setiap manusia tidak bisa disamakan. Ia tidak bisa memaksa dirinya untuk menjadi orang lain, dan tidak mau orang lain untuk menjadi dirinya dalam hal apapun. Ia merasa, lebih baik menjalani perbedaan itu kemudian dikelola sehingga dapat saling melengkapi satu sama lain. Itulah kemauannya. P3 memiliki prinsip untuk tidak membebani dirinya dengan beban yang bukan bebannya. Artinya, ia memilih untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain mengenai dirinya. Tetapi hal itu bukan berarti ia tidak mau membantu meringankan beban orang lain. Ia tetap merasa memiliki kewajiban untuk membantu orang lain sesuai kemampuannya. Ia merasa bersyukur apabila melihat adik-adiknya yang lebih sukses darinya. Ia tidak merasa iri sama sekali. P3 menyadari bahwa dirinya memiliki kekurangan, dan kekurangan itu salah satunya adalah beliau tidak mau diatur terlalu ketat. Itulah kelemahannya yang paling dirasakannya. Ia tidak mau hidupnya diatur oleh peraturan yang terlalu formal terlebih dalam hal pelayanan. Seperti dalam penampilan harus bersepatu, berjas, berdasi dan sebagainya dan jadwal pelayanan yang mengikat seperti sudah diatur di setiap jamnya. Bukan karena ia membenci itu, tapi baginya itu bukanlah dirinya yang sebenarnya. Selain itu, ia merasa bahwa dirinya cepat memberikan respon apabila hal tersebut adalah hal yang negatif. Ia memberikan peribahasa “seperti air di batang leher” begitulah dirinya apabila bertemu dengan hal-hal negatif dalam hidupnya. Ia merasa seperti tidak tahan untuk cepat menanggapi hal negatif tersebut dengan cara berbicara dengan nada yang tinggi dan keras, atau kelihatan seperti sudah marah akan sesuatu. Namun hal itu hanya dilakukannya atas peristiwa yang menurutnya merugikan banyak orang dan dianggap salah bagi dirinya. Adapun kelebihan-kelebihan pada diri P3 yang dirasakannya, antara lain ia merasa bahwa menjadi pendeta adalah kelebihan dirinya. Menurutnya, tidak semua orang mampu menjadi pendeta. Ia juga menyebutkan bahwa adalah suatu kelebihan dirinya apabila ia bisa menjadi suami bagi istrinya, bapak dari anak-anaknya, dan kakak bagi adik-adiknya. Selain itu, salah satu kelebihan dirinya adalah ia dipercayakan oleh
14
pemerintah dalam mengelola proyek-proyek di desa dengan anggaran berapapun yang masuk di desa itu. Sebelumnya, ia menceritakan bahwa dirinya merasa bangga atas prestasi yang diterimanya dalam menyelesaikan masa studi selama 4 tahun, dan mendapatkan dua gelar sekaligus. P3 merasa bahwa makna hidupnya ialah bahwa ia harus siap menerima untuk diterima atau ditolak oleh orang lain. Terlepas dari hal itu, ia menganggap bahwa makna hidup baginya adalah bagaimana dirinya memiliki manfaat bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Sehingga ketika ia bertemu dengan orang lain ada sesuatu yang bisa didapatkan dari dirinya bagi orang lain itu. 2. Communal Domain P1 dalam setiap harinya selalu membaurkan diri dengan jemaatnya dengan berpakaian yang biasa-biasa saja, seperti celana jeans, jacket, sendal, tidak memakai jas karena menurutnya dengan berpakaian seperti itu jemaat akan lebih menerima keberadaan dirinya dan tidak segan-segan dalam meminta tolong atau bantuan. Menurut dirinya hal itu adalah salah satu cara dirinya menunjukkan kasih bagi sesama. Bagi P1 peengampunan itu bukan hanya sekedar maaf. Tetapi juga bagaimana pengampunan yang disapa dalam kata maaf itu disertai dengan perubahan. Bagaimana dirinya bisa menjadi motivator bagi mereka yang melakukan kesalahan untuk bisa berubah. Tidak lagi dia berbuat itu pada orang lain. Dalam kehidupan berjemaat, P1 menganggap masalah kepercayaan adalah hal yang penting. Kepercayaan itu perlu bukti. Tapi bukti itu secara sederhana. P1 tidak setiap hari berada di jemaatnya karena ia harus pulang ke keluarganya yang tinggal di Bena, dan hal yang bisa membuat ia menjaga kepercayaan jemaatnya dan jemaat menjaga kepercayaan pada dirinya adalah dengan berkomunikasi, dan komunikasi adalah hal yang paling penting dalam saling menjaga kepercayaan. Dengan bekerja P1 mampu mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan yang dimilikinya. Selain menjadi pendeta, ia juga adalah seorang operator desa karena ia adalah orang yang menguasai komputer di Kuanfatu tujuannya agar ia menghilangkan oknum-oknum yang menyelewengkan dana-dana desa. Selain itu ia juga aktif dalam bidang pertanian. Ia bekerja tani untuk jemaatnya bukan untuk mendapatkan uang
15
tambahan, tetapi untuk membantu perekonomian jemaatnya yang kurang mampu, sekaligus memberitakan Firman Tuhan melalui bertani karena masyarakat di Kuanfatu akan lebih mudah mengerti apabila Firman Tuhan itu langsung dipraktekan pada kehidupan sehari-hari karena pemberitaan itu bukan hanya berhenti pada pemberitaan secara kata-kata namun juga dalam tindakan. Bertani adalah wujud nyata dari khotbah atau yang disebutnya sebagai tindakan khotbah. P2 berpandangan bahwa dirinya tidak menunjukkan kasih dengan materi yang ia punya, namun kebaikan itu ditunjukkan dengan sikapnya kepada orang lain. Seperti bertegur sapa dengan siapapun, senyum, kunjungan ke jemaat-jemaat, bercerita dengan jemaat dan membangun hubungan inter-personal yang baik dengan jemaatnya. Berkomunikasi dengan baik dan menerima orang lain secara langsung menurutnya adalah salah satu bentuk penghargaan bagi orang lain. Menurut P2, pengampunan sebenarnya adalah hal yang sulit dilakukan, apalagi terhadap orang-orang yang menyakiti dirinya dalam pelayanan yang ia lakukan. Yang dilakukan P2 untuk mengampuni orang lain adalah dengan cara berdoa untuk orang tersebut, dan bukan dengan kata-kata kepada orang yang bersangkutan. Ketika dirinya belajar mengampuni dan melepaskan, ada beban dalam hidupnya yang berkurang. Dengan mengampuni, dirinya bisa melepaskan sakit hati, dendam, dan kepahitan. P2 belajar mengenai makna pengampunan yang sebenarnya pada saat ayahnya meninggal dunia di Kuanfatu pada awal tahun 2014. Menurut berita yang didengarnya, ayahnya diracun oleh rekan kerja ayahnya karena sebelumnya ayahnya sehat, kemudian dipaksa ke kantor pada hari libur. Ketika pulang dari kantor, ayahnya meninggal dunia. P2 menuturkan bahwa ketika ada sesuatu yang membuat dirinya sakit hati, ia akan menangis dan berdoa. Hal itulah yang mampu memberikan kekuatan apabila bertemu dengan orang yang menyakitinya tersebut. Dalam hidup berjemaat, perlu adanya sikap saling percaya. P2 mengungkapkan bahwa sikap saling percaya dalam jemaat ini dibuktikan dengan cara memberi kesempatan untuk orang lain supaya mereka bisa juga melayani dengan baik. Pendeta harus dipercaya sebagai pemimpin dan pendeta mempercayai mereka sebagai jemaat. Sikap saling percaya ditunjukkan dengan berani menaruh kepercayaan pada orang lain. P2 mengambil Paulus dalam Alkitab sebagai contoh bahwa Tuhan mempercayai dirinya
16
dan memberikan kesempatan untuk berubah. Ia berpendapat bahwa ia tidak seharusnya berpikir bahwa orang lain tidak bisa, tidak mampu, tapi untuk menjaga itu semua, dirinya harus beri orang lain tanggung jawab. Mempercayakan hal tersebut pada orang lain agar orang tersebut bisa menunjukkan bahwa dirinya mampu. P3 menganggap bahwa dalam berrelasi dengan sesama manusia, konsep mengenai pemahaman budaya merupakan hal yang penting. Dengan mengetahui budaya dari tempat yang ditinggali, akan membantu dirinya untuk mewujudkan rasa keakraban dan persaudaraan. Kasih terhadap sesama ditunjukkan dengan perilaku yang mengerti budaya dan bertata-krama menurut budaya yang berlaku. Yang dilakukan P3 adalah mencari tahu budaya dari tempat yang ditinggalinya yaitu budaya kuanfatu. Tata bahasa yang digunakan dalam bersosialisasi juga sangat mempengaruhi hubungan dari suatu relasi. Di Kuanfatu, dan hampir seluruh tempat di NTT budaya sirih pinang sangat melekat dan kental bagi masyarakat asli. Bagi P3 Sirih pinang adalah lambang persahabatan dan persaudaraan yang erat serta bentuk penghargaan bagi orang lain, yang harus dibagi pada saat duduk bercerita atau berkunjung, maupun menerima kunjungan. P3 menilai bahwa salah satu hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah perilaku meminta maaf dan mengakui kesalahan apabila melakukan kesalahan. Setiap orang yang meminta maaf dan mengakui kesalahannya bisa merasa malu dan gengsi, tetapi tidak bagi P3. P3 tidak setuju dengan istilah bahasa daerahnya yaitu, “mes na ta tef en bi neut na.” Istilah ini berarti, “nanti biar ketemu di kuburan” artinya kesalahan orang tersebut akan mereka bawa sampai mati, untuk dibuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Artinya dendam yang dibawa mati. P3 menentang hal tersebut karena menurut beliau, selama manusia diberi kesempatan hidup ia harus mengakui kesalahannya dan menyelesaikan saat itu juga, lalu mengapa harus menunggu sampai mati? 3. Environmental Domain P1 memahami bahwa alam adalah salah satu unsur yang sangat penting bagi P1. Dirinya menyadari bahwa alam adalah jantung dan nafas hidup manusia. Karena alam inilah yang menghidupi manusia. Di dalam alam ini terdapat Tuhan yang adalah
17
penguasa alam. Apabila manusia memperlakukan alam dengan semena-mena, sama saja manusia tidak menghormati Tuhan. P1 menganggap bahwa alam ini adalah “kakak” dari manusia karena di Kitab Kejadian, Allah menciptakan alam terlebih dahulu dari manusia. P2 adalah pendeta yang aktif berkebun dalam jemaatnya. P2 mengungkapkan bahwa berkebun dan bercocok tanam adalah hal yang menyenangkan bagi dirinya, apalagi ketika yang ditanamnya itu berbuah dan menghasilkan sesuatu. P2 sangat bahagia ketika mendapatkan hasil panen yang baik, bukan untuk dijual demi mendapatkan uang, tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berkebun merupakan suatu kenikmatan ketika apa yang diperjuangkan dan diusahakan kemudian menghasilkan sesuatu. Selain itu, berkebun juga adalah refleksi dari iman. P2 mengutarakan bahwa dalam kitab Mazmur, ada tertulis bahwa apa yang ditabur itulah yang dituai. Itulah yang dipegan dalam prinsip hidup P2 yaitu apa yang dilakukannya, akan menjadi hal yang dituainya. Ia melihat bahwa ketika ingin menanam suatu tanaman, tanah harus dibakar, dipotong, dibersihkan baru bisa ditanam. Menunggu kebesaran Tuhan dengan hujan. Menurutnya, iman itu adalah sesuatu yang tidak kelihatan, namun iman itu mampu diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. P2 melihat bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan, sama seperti alam semesta yang lain. P2 mempercayai bahwa dirinya diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengelola apa yang sudah diberikan Tuhan. Alam telah memberikan kehidupan bagi dirinya, dan ia diberi kekuatan untuk membalas yaitu memberi sesuatu kepada mereka dengan menjaga dan melestarikan alam disekitarnya. P3 merasa tidak produktif apabila hanya melakukan tugas pendeta yaitu khotbah di kampung. Ia melihat bahwa 90% pekerjaan di Kuanfatu adalah petani. Oleh karena itu, dirinya mengikuti aktifitas jemaatnya di kebun mulai dari masa vikarisnya sampai sekarang. Ia terkadang melihat bahwa cara menanam masyarakat masih tidak teratur, masih asal tanam, tebas bakar dan sebagainya sehingga ia termotivasi untuk merubah pola tanam masyarakat dengan pengalamannya sebelumnya. Ia berfokus pada tanamantanaman umur panjang, dengan pemikiran bahwa suatu saat pohon-pohon besar akan habis ditebang, tetapi tidak ada yang pernah menanam. Hal itu akan menimbulkan berkurangnya mata air dan di masa depan, masyarakat akan kesulitan untuk membangun
18
rumah karena pohon telah habis ditebang. Selain itu pohon-pohon berumur panjang mampu menahan erosi dan juga bisa mendatangkan mata air. Daun-daun yang gugur dari pohon besar mampu menjadi pupuk untuk menyuburkan tanah disekitarnya. Halhal tersebut yang menjadi alasan bagi dirinya untuk menanam pohon atau tanaman umur panjang. P3 tidak pernah merasa terpaksa dalam berkebun. Semua itu berangkat dari pikiran-pikiran yang ia kembangkan sendiri, lalu ia aplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Selain menanam pohon umur panjang P3 juga aktif berburu. Berburu babi hutan, sapi hutan, menangkap udang di kali, memancing ikan kali, belut dan beruang malam. Pada saat ia tinggal di Lelogama, masyarakat di sana selalu memiliki masa-masa khusus untuk berburu, baik dengan panah maupun “senapan tumbuk”. Tujuan P3 berburu yaitu untuk dapat merasakan daging binatang hutan. Untuk rusa, selain dagingnya dikonsumsi, ia mengambil kepala dan tanduknya, sedangan untuk babi, ia mengambil taringnya untuk menjadi hasil-hasil buruan yang dibuat menjadi kalung, hiasan dan sebagainya. Namun, perilaku berburu P3 ini tidak sembarang dilakukannya, tetapi dilakukan menurut peraturan adat yang berlaku. Ada masa KIO yaitu masa dimana masyarakat tidak boleh berburu sama sekali. Seluruh hasil hutan, termasuk madu hutan dalam bentuk buruan dilarang pada masa KIO. Setelah masa KIO selesai atau larangan KIO diturunkan, pada masa itulah masyarakat boleh berburu. Selain KIO, ada juga BANU. BANU adalah larangan untuk mengambil hasil hutan dalam bentuk tanaman atau sesuatu yang dipanen seperti jeruk, pinang, kelapa, mengambil singkong dan sebagainya. Apabila dilanggar ada denda adat yang berlaku pihak yang melanggar tersebut. P3 menganggap eksistensinya sebagai manusia adalah makhluk yang diciptakan setelah Tuhan menciptakan seluruh alam semesta menurut kitab kejadian. Karena pemahaman itulah ia menilai bahwa alam semesta ini adalah “kakak-kakak”nya termasuk didalamnya hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia kemudian berpikir bahwa manusia sepatutunya memiliki ketaatan, dan sikap penghargaan kepada alam semesta ini. Menurut beliau, manusia diberi wewenang untuk mengelola, bukan merusak, karena hidup manusia sebenarnya tergantung dari mereka. 4. Transcendental Domain
19
Menurut Fisher (2011), Hubungan dengan yang disembah atau pada Tuhan termasuk dalam definisi spiritualitas. P1 memiliki hubungan pribadi yang khusus dengan Tuhan. Hubungan pribadi dengan Tuhan ini dinyatakan P1 dengan menyediakan wakhtu khusus untuk bercerita dengan Tuhan tentang keluarga, jemaat, dirinya sendiri, dan apapun itu. Selain berbicara dengan Tuhan, ia juga sering memuji Tuhan dengan puji-pujian, alat musik dan nyanyian. Puji-pujian itu dilantunkan apabila ia sangat lelah. Dengan menyanyi dan memainkan alat musik, ia ingin menyatakan rasa syukur dan terimakasihnya atas penyertaan Tuhan selama hari itu. Dalam setiap hari, ia pasti mengkhususkan waktunya untuk menyembah Tuhan. Bagi P1, Tuhan adalah sahabatnya yang luar biasa. Bisa juga sebagai Bapak, tetapi yang paling dirasakan adalah Tuhan sebagai sahabat. Sahabat sejati, karena hanya seorang sahabat sejati yang bisa terus dan senantiasa bersama-sama dengannya. P2 percaya bahwa Tuhan adalah sosok yang besar, luar biasa, Tuhan memiliki kekuatan di luar kekuatan manusia, karena Tuhan memiliki kekuatan pencipta. Walaupun dirinya tidak bisa melihat Tuhan secara fisik, ia menganggap bahwa Tuhan adalah sosok yang luar biasa dan lebih dari apapun dan P2 merasa kecil di hadapannNya. P2 juga melihat Tuhan sebagai sumber kekuatan dan perlindungan bagi dirinya. Ia selalu yakin bahwa Tuhan itu hidup dan Tuhan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. P2 selalu mempercayai bahwa Tuhan selalu menyertai dirinya. Ia percaya Tuhan tidak meninggalkan dirinya dalam suasana terburuk sekalipun. Hubungan P2 dengan Tuhan menurutnya, selama ini ia percaya bahwa segala sesuatu yang ia alami, terjadi menurut rancangan Tuhan. Ia percaya bahwa dirinya sedang disiapkan untuk megaproyek yang lebih besar daripada yang ia alami saat ini. Ada maksud dan tujuan tertentu dari semua yang telah Tuhan lakukan di hidupnya. Adapun upaya-upaya yang dilakukan P2 dalam menunjukkan hubungannya dengan Tuhan. Ia berjanji, bernazar, berdoa, dan mengucap syukur kepada Tuhan. Semua hal yang ia lakukan itu bersumber dari hatinya, bukan sebagai tuntutan karena dirinya adalah pemuka agama. P2 berpendapat bahwa sebaiknya ucapan syukur, nazar,
20
sebaiknya dilakukan sebelum jemaat ada di gereja karena dirinya merasa itu adalah salah satu usahanya menjaga hubungannya secara pribadi denga Tuhan sehingga bukan kesan bahwa dirinya ingin dilihat orang lain, ingin dilihat orang ketika memberikan persembahan. Ketika P2 sakit hati, dan merasa terbeban, ia akan berdoa pada Tuhan, ketika berkebun ia akan berdoa, berbincang dengan orang lain pun dirinya akan berdoa. Sesering mungkin dan sedapat mungkin dirinya akan berdoa kepada Tuhan. P3 melihat dalam hubungannya dengan Tuhan, ia merasakan bahwa Tuhan yang disembah ada Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus. Dengan Allah Bapa, ia melihat bahwa ada sosok Bapak di dalam Tuhan yang ia sembah. Oleh karena itu, ia selalu berdoa Bapa Kami karena ia menganggap Tuhan adalah Bapak. Ia menambahkan juga dalam melihat Tuhan Yesus, Yesus adalah anak, sama seperti dirinya juga adalah seorang anak, oleh karena itu ia menganggap Yesus sebagai Kakaknya. P3 mengidentifikasi dirinya sebagai anak Tuhan, bukan cucu dan bukan anak angkat. Selain itu P3 merasa bahwa dirinya tidak pernah dibiarkan jalan sendirian. Ia percaya bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anaknya sendirian. Ia tidak pernah khawatir ke manapun ia pergi, karena ia percaya bahwa ia tidak sendiri. Ada Tuhan yang selalu bersama-sama dengan dia dan merasa tidak ada tempat baginya untuk bersembunyi dari Tuhan. Ada beberapa hal yang ia lakukan dalam hubungannya dengan Tuhan. Yang pertama adalah ia menyempatkan dirinya selama beberapa detik untuk memberi tahu Tuhan akan kegiatan yang akan dilakukannya, tetapi tidak secara doa formal. Pada saat P3 merasa tidak berdaya karena ada pergumulan yang ia hadapi entah itu dalam jemaat, ataupun kesulitan-kesulitan lain yang ia hadapi ia akan meminta sesuatu kepada Tuhan entah di kamar tidurnya, dan kalau sampai ia tidak kuat akan masalah yang dihadapinya, ia akan berlutut dan berdoa di gereja. Hal yang lain yang ia lakukan adalah ia akan menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan dalam persembahan. Seluruh anggota keluarganya juga melakukan hal serupa, dengan menyiapkan sejumlah uang dan meletakannya dalam sebuah toples khusus kolekte sebagai persembahan dari dirinya bagi Tuhan. Cara P3 menyembah Tuhan yang lain adalah dari sikap hidupnya. Bagaimana ia bersikap untuk menyatakan hal-hal yang baik sehingga orang yang melihat dirinya menjadi yakin bahwa ada Tuhan yang bersama-sama dengan P3 dan
21
termotivasi untuk melakukan hal yang baik juga. Selain itu, P3 menyembah Tuhan dengan bagaimana ia menata lingkungan yang ada disekitarnya. Menurutnya penyembahan bagi Tuhan itu tidak harus melalui kolekte, tidak harus selalu ke gereja tetapi juga dalam melihat dan mengelola alam disekitar kita. P3 menegaskan bahwa semua hal yang ia lakukan untuk berhubungan dengan Tuhan itu ia lakukan bukan karena statusnya sebagai pendeta, namun benar-benar karena itulah pribadinya yang sebenarnya.
PEMBAHASAN Pada P1 peneliti melihat bahwa ada hubungan antara Transcendental Domain dengan Personal Domain. P1 mengungkapkan bahwa Tuhan adalah sumber kebahagiaan dan kedamaian bagi dirinya. Ia merasa sukacita dalam melakukan setiap pelayanan. P1 berpendapat bahwa dirinya menyadari akan identitasnya sebagai hamba Tuhan yang adalah seseorang yang melayani Tuhan. Ia juga merasa dirinya bermakna bagi Tuhan karena selalu ada hadir untuk melayani walaupun cuaca, kondisi, dan medan yang sangat berat di Kuanfatu. P1 memiliki hubungan antara Communal Domain dengan Environmental Domain. Hal ini dibuktikan dari penuturan P1 yang mengatakan bahwa ia berbuat kebaikan dan menunjukkan kasih pada sesama dalam hal ini pada jemaatnya yaitu dengan membantu mereka berkebun. Dengan berkebun, P1 dapat membantu perekonomian jemaatnya agar lebih mandiri, tetapi juga sebagai bentuk dirinya merawat dan mengelola alam semesta. P1
juga
memiliki
hubungan
antara
Environmental
Domain
dengan
Transcendental Domain. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya yang mengatakan bahwa di dalam alam terdapat Tuhan. Tuhan adalah penguasa alam, jadi apabila manusia memperlakukan alam dengan semena-mena, hal itu berarti ia tidak menghormati Tuhan. P1 memahami bahwa alam semesta ini adalah “kakak” bagi dirinya karena manusia diciptakan Tuhan setelah Tuhan menciptakan alam semesta.
Hubungan antara Personal Domain dengan Transcendental Domain pada P2 dapat dilihat dari beberapa hal berikut. Yang pertama adalah P2 merasa terbeban akan
22
beban pelayanan yang ia rasakan. Menurut P2, ia memposisikan dirinya sebagai hamba yang tulus dan sederhana. Tidak perlu mencapai target pelayanan yang tinggi yang penting melayani. P2 merasa bahagia apabila pelayanan yang dilakukann telah selesai, karena ketika pelayanan telah selesai ia bisa jalan-jalan melihat ibukota kabupaten yaitu kota SoE dan ibukota provinsi yaitu Kupang. Hubungan antara Personal Domain dengan Communal Domain yang dialami P2 adalah dalam hal pengampunan. P2 merasa dirinya benar-benar merasa memahami mengenai makna pengampunan ketika ia disakiti orang yang bahkan ia tidak kenal. Pengampunan bagi dirinya adalah hal yang sulit dilakukan, namun ketika ayahnya meninggal dengan dugaan diracun oleh teman kerja ayahnya, disitu P2 merasa sangat terpukul dan belajar mengampuni secara penuh. Hal itu akhirnya terbawa sampai pelayanan, ketika ia merasa terluka dengan perlakuan jemaat yang dipimpinnya, ia akan mengingat bahwa hal yang ia alami pernah lebih besar sehingga memudahkan dirinya memaafkan orang lain. P2 memiliki hubungan antara personal domain, environmental domain dengan transcendental domain. Hal ini dibuktikan dari pernyataan P2 yang mengatakan bahwa dirinya merasa bahagia apabila dapat bercocok tanam dan berkebun. Ketika ia berkebun, ia mendapat kepuasan tersendiri. Kepuasan/kebahagiaan itu berasal dari refleksi imannya kepada Tuhan. Apa yang ia tabur, itulah yang ia tuai. Menurut pandangan P2, dirinya adalah ciptaan Tuhan sama seperti alam semesta yang lain, hanya saja ia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengelola alam semesta ini. Adanya hubungan antara Personal Domain dengan Transcendental Domain pada P3 dapat dilihat dari pernyataannya bahwa ia tidak pernah merasa sendirian dan kesepian karena Tuhan selalu bersama-sama dengan dirinya. P3 merasa penyertaan Tuhan selalu ada baginya kemanapun ia pergi oleh karena itu ia tidak merasa khawatir. P3 memiliki hubungan antara Personal Domain dengan Communal Domain. Hal ini dibuktikan dengan beberapa pernyataan P3. P3 menyatakan bahwa orang yang mampu membawa damai dalam perselisihan entah ia terlibat didalamnya, ataupun ia mendamaikan orang lain yang berselisih adalah orang yang bahagia. Dan ia merasa bahagia karena telah berhasil melakukannya. Selain itu P3 merasa bahagia karena memiliki isteri yang sangat mengerti tentang dirinya. Ia mengemukakan bahwa pernah
23
menjalani hubungan asmara dengan orang lain, namun gagal. Dan ia merasa bahagia menjadi suami bagi istrinya. P3 memiliki istilah “masing-masing dengan tiap-tiap”. Dengan prinsip ini P3 menjalani hidupnya dengan tidak menjadi orang lain, namun juga tidak memaksa orang lain untuk menjadi dirinya karena menurutnya tiap orang itu berbeda. Dengan perbedaan itulah, manusia akan hidup berdampingan saling melengkapi. P3 juga memiliki hubungan antara Environmental Domain dengan communal domain. P3 melihat bahwa 90% masyarakat kuanfatu adalah petani dirinya termotivasi untuk merubah pola tanam masyarakat yang masih tidak teratur. Dengan berkebun, ia akan membantu memberikan pemahaman yang tepat mengenai pola tanam yang tepat bagi masyarakat. Berkebun juga dapat mendatangkan mata air bagi masyarakat dan kayu dari pohon bisa dipakai untuk masyarakat yang ingin membangun rumah. Selain itu, P3 menghormati budaya masyarakat kuanfatu dalam mengambil hasil-hasil hutan yang diatur dalam KIO dan BANU. Dalam menunjukkan rasa syukur nya terhadap dukungan pasangan, P1 mengungkapkan bahwa dirinya sangat bersyukur telah memiliki istri seperti yang ia miliki pada saat ini. Menurutnya, walaupun istrinya bukan pendeta, istrinya mampu mengerti akan pelayanan yang dihadapi P1. P1 juga mengungkapkan bahwa istrinya merupakan orang yang sabar menghadapi dirinya yang keras kepala dan tidak mau diatur. Selain P1, P3 juga merasakan hal yang sama. Menurutnya, istrinya adalah hal yang mampu membuat dirinya bahagia dalam pelayanan yang dilakukannya. P3 merasa bersyukur, karena walaupun istrinya juga bukan pendeta, namun istrinya sangat mendukung pelayanan dirinya, sehingga tidak ada perasaan curiga kepada P3. Hal ini dirasa sangat penting bagi P3 karena dengan dukungan istrinya, ia menjadi kuat dalam menjalani pelayanannya di Kuanfatu.
24
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Spiritual health atau spiritual well being diindikasikan dengan adanya combine effect dalam setiap domain yang dimiliki oleh individu. Spiritual Well-Being ditingkatkan dengan mengembangkan hubungan yang positif pada setiap dominan. (Fisher, 2011) Dari hasil wawancara dan analisis data yang telah dilakukan, makan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini berkaitan dengan hubungan antara keempat domain yaitu
Personal
Domain,
Communal
Domain,
Environmental
Domain
dan
Transcendental Domain dari Spiritual Well-Being pada masing-masing partisipan. P1 memiliki combine effect yang positif antara semua domain Spiritual WellBeing. Hubungan ini diwujudnyatakan dalam perilakunya dalam pelayanan dimana ia memahami bahwa Tuhan adalah sumber kebahagiaan bagi dirinya, oleh karena itu ia ingin menunjukkannya dalam bentuk kebaikan bagi orang lain dalam hal bekerja. Bekerja yang dimaksud adalah berkebun, karena dengan berkebun ia mampu membantu jemaatnya secara ekonomi. Berkebun juga adalah salah satu aksi nyata dari khotbah. Menurut P1, dalam alam terdapat Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Dengan pernyataan ini, maka P1 menunjukkan bahwa dirinya memiliki Spiritual Well-Being. Secara keseluruhan, P2 kurang memiliki combine effeect pada Spiritual WellBeing karena hubungan yang terjadi hanya Personal Domain, Environmental Domain, dengan Transcendental Domain. Selain itu, dalam memahami dirinya sendiri, pada Personal Domain beberapa kali ia menuturkan bahwa ia kurang bisa menilai dirinya sendiri. Ia juga merasa terbeban dengan beban pelayanan yang ia hadapi. Ia mengungkapkan bahwa target pelayanan yang ia hadapi terlalu tinggi, padahal menurut P2, seorang hamba seharusnya tulus, dan sederhana tidak usah tinggi-tinggi yang penting melayani. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa P2 kurang berusaha untuk mencapai target dari jemaat untuk ia lakukan dalam melayani. Hal ini ditunjang dengan jawabannya yang mengatakan bahwa dirinya merasa bahagia apabila tugas pelayanan pada saat itu telah selesai, tanpa tertunda dan sebagainya. Ketika ditanya hal lain yang membuatnya bahagia, ia menuturkan bahwa ia bahagia apabila bisa jalan-jalan ke luar Kuanfatu setelah melakukan pelayanan. Walaupun demikian, P2 tetap memiliki
25
hubungan diantara domain-domain Spiritual Well-Being walaupun ada hasil yang negatif pada salah satu domain, namun ketiga domain yang lain menunjukkan hasil yang positif dan ada hubungan antara beberapa domain. P3 memiliki Spiritual Well-Being yang ditunjukkan dengan adanya hubungan positif antara keempat domain. P3 merasa bahagia apabila dapat berkebun, terutama tanaman-tanaman umur panjang. Hal ini bertujuan agar tanaman-tanaman tersebut mampu mendatangkan mata air bagi masyarakat, kemudian daun yang gugur bisa menjadi pupuk yang sehingga tanah sekitarnya menjadi subur. Selain itu kayu pohon dapat digunakan masyarakat untuk membangun rumah bagi masyarakat sehingga di masa mendatang, masyarakat tidak susah-suah untuk mencari kayu. P3 juga memiliki pandangan bahwa dengan merawat dan mengelola alam adalah salah satu bentuk penyembahan kepada Tuhan. Ia menyembah Tuhan, karena ia merasa bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan dirinya. Ia tidak pernah merasa khawatir dan kesepian karena ia percaya bahwa penyertaan Tuhan selalu ada baginya.
Saran Saran yang dapat diberikan peneliti a. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan untuk menggali masalah Spiritual WellBeing dengan metode yang berbeda yaitu dengan Focused Group Discussion (FGD) agar hasil yang didapatkan lebih luas namun juga semakin mendalam. Mengingat dalam penelitian ini pada saat mewawancarai salah satu partisipan, partisipan yang lain ikut menjawab pertanyaan padahal pertanyaan tersebut bukan untuk partisipan yang menjawab itu.
b. Bagi pimpinan sinode GMIT dalam membuat kebijakan yang tegas dalam memperhatikan Spiritual Well-Being para pendeta yang melayani jemaat GMIT di kuanfatu. Dalam hal ini, harap memperhatikan mengenai lamanya seorang pendeta GMIT melayani dalam suatu jemaat, karena walaupun pendeta adalah jabatan seumur hidup, tetapi periode pergantian struktur Anggota Majelis Sinode GMIT berganti setiap 4 tahun dalam satu periodenya. Hal ini dapat dilakukan agar pendeta di kuanfatu bisa berkesempatan memegang tanggung jawab jemaat dan tantangan pelayanan yang berbeda.
26
DAFTAR PUSTAKA Ai, A. (2000). Spiritual well-being, spiritual growth, and spiritual care for the aged: A cross – faith and interdisciplinary effort. Journal of Religious Gerontology, Vol. 11, No. 2, pp 3-27 Alsa, A. (2004). Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Bons-Storm, M. (2011). Apakah Penggembalaan itu. Jakarta: BPK Gunung Mulia Dahlenburg, G. (2002). Siapakah Pendeta Itu?. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Fisher, J., Francis, T., Johnson, P. (2000). Assessing spiritual health via four domains of spiritual well-being: The SH4D1. Pastoral Psychoogy, Vol. 49, No. 2, pp. 133-145 Fisher, J. (2010). Development and Application of a Spiritual Well-Being Questionnaire Called SHALOM. Journal of Religion, Vol. 1, No. 105-121, pp. 105-121 from www.mdpi.com/journal/religions Fisher, J. (2011). The four domains model: connecting spirituality, health, and wellbeing. Journal of Religions, 2, 17-28, from www.mdpi.com/journal/religions Fisher, J. (2013). You can‟t beat relating with god for spiritual well-being; comparing a generic version with the original spiritual well-being questionnaire called shalom. Journal of Religion, 4, 325-335, from www.mdpi.com/journal/religions Gastaud, M. B., Souza L. D., Braga, L., Horta C., Oliveira,F. M., Sousa P. L., & Da Silva, R. A. (2006). Spiritual Well-Being and minor psychiatric disorder in psychology students: a cross-sectional study. Original Article. Herdiansyah, H. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika https://id.wikipedia.org/wiki/Pendeta Majelis Sinode GMIT (2011). Pokok-pokok eklesiologi GMIT, Tata dasar GMIT, peraturan pokok klasis, peraturan pokok sinode, peraturan pemilihan majelis sinode. Moberg, D. (2010). Spirituality research: Measuring the immesurable?. Vol. 62, No. 2, pp. 99-114 Pranoto, M. M. (2007). Spiritualitas Pelayanan Kristen. Available (Online) http://www.seabs.ac.id/journal/oktober2007/Spiritualitas%20Pelayanan%20 Kristen.pdf Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).