SOUNDGARDEN Arya Pandjalu, 2012
Solo Exhibition by
Arya Pandjalu
SoundGarden
January 26th - Febuary 25th , 2012
Published by Ark Galerie
Curated by Alia Swastika
(www.arkgalerie.com) Designed by Exhibition Venue Ark Galerie, Jakarta Jl. Senopati Raya 92 Jakarta Selatan 12110 Enquiries +62 21 725 4934
[email protected]
WhatNot Studio (whatnot-studio.com)
06 Curatorial 15 The Works 41 Artist Profile 47 Acknoledgement
Curatorial
Curatorial
Human Birds through the Times
Manusia burung merupakan figur-figur yang
Manusia Burung Melintas Waktu
sudah dimunculkan oleh Arya Pandjalu dalam seri karyanya selama lebih dari 5 tahun. Keinginan Arya untuk menjadikan manusia burung sebagai “alter-egonya” merupakan bagian untuk meng-
Alia Swastika
gali kembali ingatan masa lalu dan memberinya konteks yang relevan dengan hari ini. Manusia burung tidak saja merepresentasikan gagasan soal relasi manusia dan binatang, yang merupakan salah satu subjek yang populer dalam sejarah seni rupa yang tak habis-habis dieksplorasi, tetapi
Human birds are figures that have been raised by Arya Pandjalu in his series for over 5 years. Arya’s desire to make the human bird as his “alter-ego” is part to dig back memories of the past and give it a context that is relevant to today. Human bird does not only represent ideas about the relation of man and animal, which is one of the popular subjects in art history that has been endlessly explored, but also, in the context of the idea of Aryan Pandjalu, is a way to personify himself with the other.
juga, dalam konteks gagasan Arya Pandjalu, adalah sebuah cara untuk mempersonifikasi diri dengan sang liyan. Gagasan tentang manusia burung menghampiri Arya ketika ia mengenang sebuah masa di usianya yang belia. Pada waktu itu, sekitar tahun-tahun awal 1980-an, Ia tinggal di sebuah area yang cukup hijau, nyaris seperti hutan, di Bandung. Ia menikmati petualangan-petualangan
The idea of human bird approached Arya when he recalled a time in his young age. At that time, about the early years of the 1980s, he lived in an area that is quite green, almost like a forest, in Bandung. He enjoyed the little adventures that he got from tracking bushes and paths. He also interacted with wild animals and birds flying noisy there. Until finally, Arya was taught to use a pellet gun and hunting birds off sky.
kecil yang didapatkannya dari menelusuri semak dan jalak setapak di dalamnya. Ia juga bergaul dengan binatang-binatang liar serta burung-burung riuh beterbangan di sana. Sampai akhirnya, Arya diajari untuk menggunakan senapan angin dan berburu burung-burung di langit lepas. Sebagai anak yang menjelang dewasa, pengalaman berburu itu sangat dinikmati Arya. Hampir tiap hari ia melatih ketrampilannya menggunakan senapan angin dan kemudian membawa pulang burung-burung yang sudah mati itu. Saya kira, aktivitas berburu binatang waktu itu adalah sebuah cara untuk menegaskan ritual lelaki menjelang dewasa, sebuah pengenalan terhadap
As a child of nearly mature, it had been very enjoyable hunting experience for Arya. Almost every day he practiced his skills using a pellet gun and then took home the birds that were already dead. I think the activity of hunting animals at that time was a way of asserting male ritual of adulthood, an introduction to the values of masculinity and desire for adventure. This is the same as the introduction to the “common’ activity of men to do; tinkering with car/motorbike engines, or carpentry work. A social construction that has been implanted in such a long time about what a man should and should not do.
nilai-nilai maskulinitas dan hasrat petualangan. Ini sama halnya pengenalan terhadap aktivitas yang ‘umum’ dilakukan para lelaki: mengotak-atik mesin mobil/motor, atau pekerjaan pertukangan. Sebuah kontruksi sosial yang telah ditanamkan sedemikian lama tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan seorang lelaki.
06
07
Curatorial
Setelah ratusan burung jatuh ke tanah dari tembakannya, dan sebagian seperti mati sia-sia karena tak lagi bisa dikonsumsi, Arya mulai merasa ia tak ingin lagi memburu burung-burung itu. Kesukaan berpetualangnya pun beralih ke hal-hal lain. Arya menyimpan relasi cinta dan bencinya dengan burung-burung ini dalam laci ingatannya sedemikian lama. Sesekali ia membuka laci itu, menengok dan kemudian menutupnya kembali. Kadang membersihkannya dari debu dan gundukan peristiwa-peristiwa lain
Curatorial
After hundreds of birds fell to the ground from his shots, and some seemed to die in vain because could no longer be consumed, Arya began to feel he did not want to hunt birds. His passion for adventure had turned to other things. Arya has kept his love and hate relationship with these birds in the drawer of his memory for so long. Occasionally he opened the drawer, looked in it and then closed it again. Sometimes he cleaned it from dust and bumps of other events that come and go.
berpetualang pula menjajal beragam eksperimen dalam rangka menjadi jalan keseniannya. Ini memang proses tersulit yang dialami para seniman, yang memerlukan kegigihan untuk terus mencari dan berani gagal. Sekali waktu, dalam proses berliku ini, Arya membuka laci ingatannya dan menemukan imaji visual atas burung-burung yang berjatuhan dari udara, meregang nyawa.
When deciding to become an artist, Arya also venturing to try out various experiments in order to find his way of arts. This is indeed the most difficult process experienced by artists that needs the persistence to continue to seek and dare to fail. Once a time, in this tortuous process, Arya opened his drawer of memories and found the images of birds falling from the air, dying. From there, Arya then approached back his past and made it a point of departure for his arts process.
berangkat proses keseniannya. Manusia burung Arya Pandjalu kemudian muncul pelahan dalam beberapa pamerannya secara simultan. Lukisan-lukisan Arya Pandjalu belakangan ini juga menampilkan si manusia burung dalam berbagai gaya dan pendekatan yang berbeda. Arya acap menggabungkan realisme dengan fantasi, tetapi tidak juga mengarah pada surealisme. Realisme ditampilkan sebagai konteks dari manusia burung, untuk memberinya ruang pada
menciptakan instalasi-instalasi yang terutama menggunakan material-material non-konkrit. Menengok visualisasi dari karyanya kali ini, kita bisa melihat bagaimana Arya tertarik membicarakan perihal lingkungan, dalam kerangka yang cenderung ‘romantis’; ingatan akan masa lalu atas pepohonan dan burung-burung yang berkicau dengan riang serta hubungan yang cukup terjaga antara manusia, tetumbuhan dan binatang. kita pada keinginan untuk menciptakan kembali ruang-ruang yang reflektif semacam itu, ditengah kehidupan masyarakat masa kini yang serba cepat dan berjejaring ke segala arah. Ruang kecil yang diciptakan Arya menjadi penanda dan pengingat bahwa menjadi dekat dengan ‘yang alami’ bisa
Arya Pandjalu’s human bird then slowly emerged in his simultaneous exhibitions. Lately, Arya Pandjalu’s paintings also show the human bird in various styles and different approaches. Arya often combines realism with fantasy, but it does not also lead to the surrealism. Realism is displayed as a context of the human bird, to give it space in the daily reality as a place where the human bird rests. Therefore, the human bird is many times being shown doing daily activities Arya often performed as well: singing, exercising or just resting quietly.
In the series “Soundgarden” this time, Arya Pandjalu is still working with his human birds, creating installations that primarily use nonconcrete materials. Looking at the visualization of his work this time, we can see how Arya is interested in talking about the environment, within a framework which tends to ‘romantic’; the memory of the past over the trees and the birds chirping happily and the fairly well maintained relationship between humans, plants and animals. At the same time, this romanticism leads us to the desire to re-create such reflective spaces, in the midst of today’s fast-paced and networked in all directions society. Arya’s small space created a marker and a reminder that being close to the ‘natural’ can create a simple joy that is often forgotten and swallowed by the big dreams of modern men.
menciptakan kebahagiaan sederhana yang sering terlupakan ditelan mimpi-mimpi besar manusia modern. Jika biasanya Arya banyak menggunakan resin
Dari sanalah, Arya kemudian mendekati kembali masa lalunya dan menjadikannya sebagai titik
masih bekerja dengan manusia burungnya,
Pada saat yang sama, romantisme ini menuntun
yang datang silih berganti. Ketika memutuskan menjadi seniman, Arya
Dalam seri “Soundgarden” kali ini, Arya Pandjalu
sebagai material untuk membuat patung manusia burungnya, sekarang ini Arya bereksperimen dengan material seperti kertas bekas yang diberi warna alami. Memakai bahan non-konkrit
If a lot of resin as material usually used to create Arya’s sculptures of human birds, now Arya experiments with materials such as waste paper fed with natural color. Wearing non-concrete material like this, Arya’s works show the hand works that feel more detailed and intimate, which lead us away for a moment from kitsch and sparkly industrialist modes.
semacam ini, karya-karya Arya memang menunjukkan kerja tangan yang terasa lebih detail dan intim, yang menjauhkan kita sejenak dengan modus-modus industrialis yang serba kitsch dan gemerlapan. Selain membawa perasaan yang romantik atas relasi kita dengan alam, sebagaimana kecend-
kenyataan sehari-hari sebagai tempat si manusia
erungan seniman sekarang ketika membicarakan
burung berpijak. Karenanya, si manusia burung ini
soal alam, dalam karya Arya Pandjalu ada
banyak ditampilkan sedang melakukan aktivitas
kritisisme terhadap bagaimana peradaban dan
keseharian yang juga acap dilakukan Arya:
kehidupan modern mengeksploitasi alam secara
menyanyi, berolahraga, atau sekadar duduk diam.
berlebihan. Kritisisme ini memang tidak muncul
Besides bringing the romantic feelings of our relationship with nature, as the tendency of artists now when talking about nature, there is criticism of how civilization and modern life excessively exploit nature in the work of Arya Pandjalu. This criticism does not appear explicitly and verbally in the codes that are easy to read, but rather a common understanding when we pay attention to visual language in the work of Arya as a whole.
secara tegas dan verbal dalam kode-kode yang mudah terbaca, melainkan menjadi pemahaman bersama ketika kita memperhatikan bahasa visual dalam karya Arya secara menyeluruh.
08
09
Curatorial
Salah satu instalasi yang paling menonjol dari seri karya dalam pameran ini adalah “Factory and the Lonely Tree”. Arya menciptakan replika pepohonan dan cerobong asap, yang dengan segera mengingatkan kita pada cerobong asap pada pabrik-pabrik industri. Kehidupan modern telah mengajarkan kita untuk menerima industrialisasi sebagai sesuatu yang terberi, sehingga kita cenderung membiarkan saja udara yang kita hirup mengandung polusi, air yang kita konsumsi menjadi keruh dan tercemari. Karena melihatnya
Curatorial
One of the most prominent installation of the series of works in this exhibition is “Factory and the Lonely Tree”. Arya creates a replica of the trees and chimneys, which immediately reminds us of the smokestacks at industrial plants. Modern life has taught us to accept the industrialization as something given, so we tend to let the air we breathe contain pollution, the water we consume become turbid and contaminated. Since we see it as fairness, we tend not to get disturbed and unwilling to anticipate.
sebagai kewajaran, kita cenderung tidak terganggu dan tidak ingin mengantisipasinya. Karya-karya lain seperti “Fade-Out” masih berangkat dari gagasan manusia burung yang berpetualang, menjejakkan langkahnya dari satu tempat ke tempat lainnya, diiringi suara kicau burung yang semakin lama semakin hilang dari kosa suara kehidupan sehari-hari kita. Arya menghadirkan suara kicauan ini untuk mengingatkan kita kembali pada situasi-situasi ketika suara-suara
suara yang silih berganti dari kotak televisi. Satu video dalam pameran ini, “Bird song”, juga menampilkan manusia burung yang berkeliaran dalam lanskap realitas sehari-hari. Arya mengenakan topeng burung dan bergerak menirukan gesture burung sembali menyandang senapan
Other work , “Fade-Out”, still departs from the notion of human bird adventure, stepping pace from one place to another, along with the sound of chirping birds increasingly missing from the vocabulary of our daily lives. Arya presents this chirping sound to remind us again in the situations where the sounds of nature were part of the soundscape of our lives, alongside the roar of motor vehicles and successive sound of the television box.
kenyataan hidup dengan cara yang sederhana, tetapi masih meninggalkan kesan puitik dan efektif. Dari gagasan untuk menghadirkan suara, Arya mengolah pula relasinya yang dekat suara dan musikalitas melalui instalasi “Soundgarden #1”. Karya ini menampilkan lima buah gitar yang lengkap terhubung dengan amplifier yang disekitarnya akan diletakkan burung-burung terbuat dari kertas. Selain aktif di dunia seni rupa, Arya juga dikenal sebagai musisi, sehingga instalasi ini juga
10
kode yang berbeda, gitar dengan kabel-kabel yang cenderung berkesan industrial, sementara burung-burung ini terbuat dari kertas bekas yang menampilkan nuansa naturalis. Penyejajaran dua kode yang berlawanan ini menjadi menarik untuk menggambarkan situasi manusia masa kini yang sikapnya memang cenderung ambigu terhadap ini juga menggambarkan kuatnya identitas Arya ini merupakan bagian dari kesehariannya, dan bagian dari caranya untuk menceritakan kisah-kisah yang dirangkainya, dengan ekspresi personal yang mencerminkan gagasan-gagasan dalam semesta kehidupannya. Gagasan untuk membicarakan soal lingkungan belakangan memang muncul secara sporadis di kalangan seniman, terutama mengacu pada sifat urgensi yang disebabkan semakin oleh kecerobohan manusia dalam memperlakukan alam. Karena sifatnya yang dekat dengan ‘arus besar’ hari-hari ini, maka kemungkinan seniman untuk terjebak membicarakan isu ini dengan kecenderungan yang normatif dan klise, menjadi sangat besar. Arya Pandjalu tampaknya menyadari adanya jebakan itu, dan karenanya ia melepaskan diri dari upaya menghubungkan isu ini dengan konteks-konteks besar yang tidak
From idea to bring sounds, Arya also cultivate a close relationship with sound and musicality through the installation “Soundgarden #1”. This work is showing five guitars completely connected with amplifier around which birds made of paper will be put. Besides being active in the art world, Arya also known as a musician, so this installation is also showing him in his other identity. This work also visually juxtapose different codes, with guitar cables that tend to impress the industrial, while the birds are made from waste paper that displays shades of naturalists. The juxtaposition of two opposing
codes is interesting to describe the situation of present-day humans who do tend to be ambiguous towards nature. A series of drawings in this exhibition work also illustrates the strong Arya’s identity as a musician, in which music playing activity is part of his daily life, and part of his way of telling stories he composed, with a personal expression that reflects the ideas in his universe of life.
alam. Sebuah seri karya drawing dalam pameran
banyaknya “bencana alam” yang disebabkan
One video in this exhibition, “Bird Song” also shows the human birds that roam the landscape of everyday reality. Arya’s wearing a bird mask and moving gesture imitating the bird while carrying a rifle on his shoulder. This video shows the juxtaposition of human bird surrealism and reality of life in a simple way, but still left the impression of poetic and effective.
angin di pundaknya. Video ini menampilkan jukstaposisi antara surealisme manusia burung dan
Karya ini secara visual juga menjajarkan kode-
sebagai musisi, dimana aktivitas bermain musik
alam menjadi bagian dari soundscape kehidupan kita, berdampingan deru kendaraan bermotor dan
menampilkan dirinya dalam identitas yang lain.
Recently, the idea to talk about the environment appeared sporadically among artists, mainly refers to the nature of urgency due to the increasing number of “natural disaster” caused by human carelessness in treating the nature. Because of the closeness to the ‘mainstream’, these days, the possibility for artists to get trapped into discussing this issue with the normative tendencies and cliche becomes very large. Arya Pandjalu seems aware of the trap, and therefore he breaks away from the effort to connect these issues with large contexts beyond his competence. Instead, he chose to talk about personal things, about fair and everyday relationships between man and nature, about the memories of feeling close to what we once knew as a natural: the sound of birds chirping, the smell of the soil after rain, the rush of rain and river water, and so on. Arya explores the human figures of birds, his alter ego, as a recorder and registrar of all such minor natural phenomena.
ia kuasai. Alih-alih, ia memilih membicarakan hal yang personal, tentang relasi yang wajar dan sehari-hari antara manusia dan alam, tentang
***
kenangan atas perasaan yang dekat dengan apa yang pernah kita kenal sebagai alami: suara kicau burung, bebauan tanah selepas hujan, gemericik hujan dan air sungai, dan sebagainya. Arya mengeksplorasi sosok manusia burung, sang alter egonya, sebagai perekam dan pencatat dari semua fenomena-fenomena alam kecil semacam itu. ***
11
Curatorial
Secara visual, karya-karya Arya Pandjalu dalam “Soundgarden” memang menunjukkan pergeseran dalam hal materi, menjadi lebih minimalis dan menunjukkan sense craftmanship yang lebih kuat dibandingkan karya-karya dari periode sebelumnya. Penggunaan kertas sebagai material utama dalam seni kontemporer acapkali menampilkan ketegangan antara fine arts dan craft. Mengolah bahan-bahan dan teknik yang biasanya digunakan dalam kerajinan tangan, seperti kertas, menjadi sebuah bentuk instalasi yang menggarisbawahi kekuatan narasi, sebagaimana pendekatan yang digunakan Arya, tampaknya berhasil membuat
Curatorial
Visually, the works of Arya Pandjalu in “Soundgarden” did show a shift in material matter, they become more minimalist and show a stronger sense of craftsmanship than the works of earlier periods. The use of paper as the main material in contemporary art often displays the tension between fine arts and craft. Work materials and techniques commonly used in handicrafts, such as paper, becomes a form of installation that underlines the power of narrative, as the approach used by Arya, apparently managed to make the juxtaposition become more unified.
penyejajarannya menjadi lebih menyatu. Arya memang menantang dirinya sendiri untuk menggunakan materi-materi craft dapat membahasakan gagasan-gagasan yang lebih radikal, dan tidak hanya berpijak pada narasi. Ia sendiri tidak berupaya menghindar dari kesan ‘craft’ dalam karya-karyanya yang terbuat dari kertas, dimana ia meyakini bahwa seni rupa kontemporer sendiri dengan segala keterbukaannya memungkinkan craft menjadi bagian yang integral di dalamnya. Ketimbang melihatnya sebagai kolase teknik dan kode visual, Arya menampilkan teknik craft ini
dengan bentuk yang genuine dan jujur. Dalam seni rupa kontemporer belakangan ini, penggunaan materi-materi yang punya kemungkinan menjebak seniman menampilkan craft, memang cenderung dihindari. Taruh saja seniman keramik, kertas, tekstil, semua dengan susah payah menggali teknik-teknik dan tampilan visual yang rumit untuk menyejajarkan diri dengan definisi seni kontemporer. Tidak banyak seniman yang berhasil mengatasi ini. Merujuk pada peta seni rupa dunia, barangkali seni kontemporer Jepang dan India-lah yang cukup bisa menampilkan seniman-seniman yang pendekatan artistiknya berhasil melompati batasan antara craft dan
relevan lagi, justru karena di masa sekarang batasan-batasan itu seharusnya tidak perlu dipersoalkan lagi. Sebagian besar objek tiga dimensi Arya kali ini dibuat dari kertas dan dilapisi resin pada bagian dalamnya sebagai penguat, sehingga tekstur kertas itu sendiri tampak cukup menonjol. Warnawarna objek-objek ini juga cenderung minimalis dan natural, semakin menegaskan soal-soal alam yang sedang diperbincangkan Arya. instalasi
canggih, menunjukkan persentuhan Arya dengan gagasan-gagasan visual yang mutakhir dari seni rupa kontemporer. Alih-alih berdiri sebagai karya-karya individual, seluruh objek instalasi Arya memang menjadi bagian
Instead of standing as individual works, each in the whole installation objects of Arya’s is part of a big orchestration that hums memories of humans and the surrounding environment. The whole works become the elements and players that present the fragments of narrative shouted one another.
dari satu orkestrasi besar yang sedang mendendangkan ingatan tentang manusia dan lingkungan hidup sekitarnya. Seluruh karya menjadi elemen dan pemain yang menyuguhkan penggalan narasi yang saling bersahutan satu sama lain. Kesederhanaan bentuk yang dikombinasikan
In contemporary art in recent years, the use of materials which have the possibility to trap artists to display craft tends to be avoided. Let’s just say ceramic, paper, textiles artists all painstakingly digging techniques and complex visual display to align themselves with the definition of contemporary art. Not many artists managed to overcome this. Referring to the map of world art, perhaps it’s Japan and Indian contemporary art that simply could display artists with artistic approach successfully break through the line between craft and fine arts. For Arya, the desire to complicate techniques or visual display to get their contemporary predicate becomes irrelevant, precisely because in the present restrictions should be undisputed.
This time, most of Arya’s three dimensional objects are made of paper and coated with resin inside to make it stronger, so that the texture of the paper itself appears to be quite prominent. The colors of these objects also tend to be minimalist and natural, emphasize more the problems of nature that are being discussed by Arya. The complete guitar installation with cable that appeared scattered is perhaps the most complicated and sophisticated shows Arya contiguity with cutting edge visual ideas of contemporary art.
gitar yang lengkap dengan kabel berserakan barangkali adalah yang tampil paling rumit dan
Arya did challenge himself to use craft materials to be able to express ideas more radically, and not only grounded in narrative. He himself did not attempt to avoid the impression of ‘craft’ in his works made of paper, where he believes that contemporary art itself with all candors allows the craft to be an integral part in it. Rather than see it as a collage technique and visual code, Arya displays craft technique to underline the intimate relationship between the artist and the work he produces, with a genuine and honest form.
untuk menggarisbawahi relasi yang intim antara seniman dengan karya yang dihasilkannya,
mendapatkan predikat kontemporer menjadi tidak
dengan kekuatan narasi yang ditampilkan Arya pada pameran “Soundgarden” kali ini merupakan kekuatan yang bertumpu pada kemampuan senimannya untuk bersikap jujur pada apa yang ingin disampaikan dan jauh dari pretensi untuk membicarakan karya ini dengan embel-embel
The simplicity of form combined with the power of narrative that Arya displayed in the “Soundgarden” exhibition this time is a power that rests on the ability of artists to be honest on what he wanted to deliver and far from the pretension to discuss this work with frills “big context” that far out of reach. The political context of this work lies in its ability to bring back the feelings of pause and the desire for adventure into our closest environment in a different way than we have experienced and approved as part of modern civilization.
“konteks besar” yang jauh tak terjangkau. Konteks politis dari karya ini terletak pada kemampuannya untuk menghadirkan kembali perasaan-perasaan jeda dan keinginan untuk berpetualang kembali memasuki lingkungan terdekat kita dengan cara yang berbeda dari yang sudah kita alami dan amini sebagai bagian dari peradaban modern.
seni murni. Bagi Arya, keinginan-keinginan untuk memperumit teknik atau tampilan visual demi
12
13
15 The Works
Factory & the Lonely Tree 130 x 210 x 275 cm Paper mache, galvaniz zing, wood, speaker, LED, mechanic & electronics. 2011
Give’em the Boot 100 x 100 x 180 cm, edition 2/2 Aluminum casting 2011
I sing to the music that comes from the madness of the heart 70 x 60 x 170 cm, edition 1/2 Paper mache, acrylic paint & electronic 2011
Fade-Out 62 x 100 x 250 cm, edition 1/2 Paper mache, wooden branches, acrylic paint & electronic 2011
The Works
Break free 60 x 100 x 168 cm, edition 1/2 Paper mache, wooden birdcage & acrylic paint 2011
21
The Works
Soundgarden #1 Dimensions variable Paper mache, 5 electric guitars, amplifire, mechanics & electronics 2011
The Works
The Works
The Works
Secret Garden 42 x 30 cm, 16 pcs Water color on paper 2011
Study for Soundgarden Installation 42 x 30 cm, 4 pcs Water color on paper 2011
26
27
The Works
The Works
I sing to the music that comes from the madness of the heart 73,5 x 55 cm, 7 pcs Water color on paper 2011
31
The Works
The Works
Chichichuit ! 42 x 30 cm, 3 pcs Water color on paper 2011
32
33
The Works
The Works
Give’em the Boot 42 x 30 cm, 2 pcs Water color on paper 2011
34
35
The Works
The Works
Birdsong HD Video Duration 5 minutes 2011
36
37
The Works
The Works
Song of the day 73,5 x 55 cm Water color on paper 2011
38
39
41 Artist Profile
Artist Profile
Artist Profile
Arya Pandjalu
Born
Solo Exhibitions
Profile & Curriculum Vitae
july 26, 1976 Bandung, West Java, Indonesia.
2009 ___ “Phone Number My Hand”,
Education
O House Gallery, Jakarta.
1995 Print Making Department Indonesia Institute of the Art Yogyakarta, Indonesia.
2008
Address
2004
Dsn. Gumuk Indah Kidul Rt/Rw 12, Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul 55182, Indonesia.
___ ChiChitChuit, Parkir Space, Yogyakarta
___ Lost, Andergrond, Den Haag, The Netherlands
Selected Group Exhibitions
E-mail
[email protected]
2011 ___ Biennale Jogja XI – Equator #1
Live and works in Yogyakarta, Indonesia.
___ Beyond the East, Macro Museum, Roma ___ Illustrasi cerpen kompas, Bentara Budaya Jakarta.
(b. 1976, Indonesia) studied print making at the Indonesia Institute of the Arts, Yogyakarta, graduating in 2005. His work focuses on social and personal story telling through installation, print making, painting, sculpture and performance.
___ Beastly 2011, Cemeti Art House, Yogyakarta. ___ Ekspansi, Pameran Besar Patung Kontemporari Indonesia, Galeri Nasional, Jakarta. ___ ArtJog #10, Taman Budaya Yogyakarta. ___ My Garden, The One Minutes Foundation; deBuren Brussel, Central Museum Utrecht, Kunsthal KadE Amersfoort, Marres,
In his works he plays with medium to transfer and transform his ideas.He has participated in the Landing Soon Residency programme at Cemeti Art House, Yogyakarta, in 2006 and had a residency at Andergrond in The Netherlands. Solo exhibitions include Phone Number My Hand, O House Gallery, Jakarta, 2009, Lost, Andergrond, Den Haag, The Netherlands, 2008; ChiChitChuit, Parkir Space, Yogyakarta. He collaborates regularly with Sara Nuytemans.
Maastricht, NIMk Amsterdam. ___ City One Minutes, The One Minutes Foundation; Guangdong, Guagzhou, China. ___ Pufrok; Theater Zeebelt, Den Haag (NL) 2010 ___ ID-Contemporary Art Indonesia, Kunstraum, Berlin. ___ Cut 2010, New Photography from South east Asia, Parallel Universe, Kuala Lumpur, Singapore, Yogyakarta, Manila. ___ Indonesian Art Now, Strategies of Being, Art Jogja,Yogyakarta ___ Emerging Wave, ASEAN – Korea, photo Exhibition, Korea.
42
43
Artist Profile
___ SPACE and IMAGE, Ciputra World Marketing Gallery. ___ Art for AIDS, Bentara Budaya Jakarta, Indonesia.
Artist Profile
___ Tickle the Power, Erasmus Huis, Jakarta. ___ ‘Landing Soon #1, Cemeti Art House, Yogyakarta ___ ‘Landing Soon #1, Artoteek, DenHaag, The Netherlands.
2009 2006
___ Andergrond, The Hague, The Netherlands
___ ‘Sedulur Gempa’, GoetheHaus, Jakarta
___ Exposigns, 25th ISI Yogyakarta,
___ Pameran ‘Drawing from the stockrooms’ di
___ Deer Andry, MES 56, Yogyakarta. ___ Jogja Art Fair #2, Spacing Contemporary, TBY Yogyakarta. ___ Blue Print for Jogja, Tembi Contemporary, Yogyakarta ___ Kunduran Truk, Kersan Art Space, Yogyakarta.
Biasa Arts Space ___ DRAW pameran drawing, Museum dan Tanah Liat, Yogya. ___ Pameran Workshop Ukiyo-e, Kedai Kebun Forum, Yogya. ___ GANG Festival, New Indonesian visual Art and Single Channel Video, at Firstdraft Gallery, Sydney, Australia.
2008 2005
___ In Transition, Neme, National Centre of
___ Re-Publik Art Project, Yogyakarta
___ In Trantition, Neme, Museum of Fine Arts, Ekaterinburg, Russia. ___ Landing Soon, Erasmushuis, Jakarta ___ Red District Project, Koong Gallery, Jakarta. ___ Utopia Negativa, Langgeng Gallery, Magelang. ___ Jawa Baru, Srisasanti Gallery, Yogyakarta.
___ Pameran Bersama “Calon Arang“, Bilik Marsinah, Yogyakarta ___ Pameran Lukisan&Grafis 3in1, Cemara 6 Gallery, Jakarta ___ Makan Seni Rupa, rumah Michell Chin, ___ Omong Kosong, Cemety Art House, Yogyakarta 2004 ___ Ruang Per Ruang #2
2007
Intersection For the Art, San Francisco.
___ Pameran Grafis, Dialog Dua Kota, Yogyakarta
San Francisco
___ Public Art, Hari Pahlawan, Yogyakarta ___ Semangat Hidup, Yogyakarta ___ Festival Kesenian Yogyakarta X
2002 ___ Mind Print, Lembaga Indonesia Francis,
___ Imagi, Pameran Grafis, Bentara Budaya, Yogyakarta
Yogyakarta ___ Struggle& Creation, Erasmus Huis, Jakarta ___ Performance Project, Fusion Strange,
Residencies
Indonesia-Singapore ___ Mural Kota SamaSama, Yogyakarta
2010
___ Liechtenstein – Yogyakarta Art Exhibition,
___ Kunstraum Kreuzberg/Bethanien,
Sosietet Militer,
Berlin, Germany. ___ KOSMOPOLIS, The Hague, The Netherlands.
Benteng Vredeburgh, ___ RuangPer Ruang #1, Don’t Try This at Home, Soboman, Yogyakarta ___ Alfa Omega Alfa, Gallery AIR
2007 ___ Andergrond, The Hague, The Netherlands. ___ Sika Gallery, Ubud, Bali
___ Pameran Collective Taring Padi, 24 Art, Northern Territory Centre for
2006-2007
Contemporary Art, Darwin, Australia
___ ‘Landing Soon #1’, Cemeti Art House (program in collaboration with Artoteek
2001
(Heden) Den Haag, Yogyakarta
___ Palu Art Forum, Palu, Sulawesi ___ Haram Jadah,Sanggar Olah Seni, Bandung
2003
___ Budaya Demokrasi Kerakyatan,
___ CAMP (Clarion Alley Mural Project) and
Gampingan, Yogyakarta
Apotik Komik, San Francisco, USA.
2000 2003
___ Festival Memedi Sawah, Delanggu
___ Interface, Interbiennale, Gallery HIT,
___ Pameran grafis Exploring Medium,
___ Public Art Project, Ruang Rupa,
Sika Gallery, Ubud, Bali.
Tokyo, Japan ___ Pameran Drawing, Kedai Kebun, Yogyakarta
___ Kuota, Gallery Nasional, Jakarta. Bratislava, Slovakia.
___ Pameran PosCard, NGO-KOKO,
___ 3Annual MiniPrint, Lasendra, Bulgaria
___ Jogja Biennale, Yogyakarta.
___ BirdPrayers, with Sara Nuytemans,
1998
& San Francisco (Clarion Alley Mural Project),
Yogyakarta
___ Interface, Open Space Gallery, Vienna, Austria.
Exchange between Indonesian (Apotik Komik)
___ Pameran Grafis, Serangan Fajar,
___ Open Daily, Biasa Art Space, Seminyak, Bali. Contemporary Art, Moscow, Russia.
International Contemporary Art & Cultural
___ Street Art Festival at 509 gallery,
___ CROSS/PIECE, 8th Gallery Canna, Jakarta.
Jogja Expo Center
___ “SamaSama / You’ re Welcome, An
Bentara Budaya, Jakarta
Ciliwung, Jakarta
Award ___ winner Spilzman Award 2010
___ Fusion Strange , Yogyakarta-Singapore Performan Project, Benda Gallery, Yogyakarta
1999
___ SISA, UTS Gallery, Sidney, Australia
___ Pameran Peduli Petani Organik, Yogyakarta
___ Fetish, Object art project #1,
___ Festival Kesenian Yogyakarta
Biasa Artspace, Kuta, Bali ___ In Trans Out, Via-Via Cafe, Yogjakarta
44
45
Acknowledgement
Acknowledgement
Tuhan dan seisi alam semesta Sara Nuytemans Mamah & Alm. R. Tohny Joesoef Kakak-kakak dan adiku tercinta Ronald Akili Alia Swastika Ark Galerie team Susanna Perini & Saverio Cacopardi Biasa Artspace Cemeti Art House Sari Handayani Team work: Arya Sukapura Putra Giyanto Alie Gopal Teguh Hanira Wahyu “Soetik” Jatmiko Budi Bambung Budy Bhodonk SP Guitar Trooper Electronic Black Boots Friends, Art Lovers and Collectors
46
47
Ark Galerie Jl. Senopati Raya 92 Jakarta Selatan 12110
www.arkgalerie.com