Solusi Masalah Kepesertaan & Pemutakhiran Data Penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
Website: www.wapresri.go.id
Peluncuran Kartu Perlindungan Sosial (KPS) yang diikuti dengan pelaksanaan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) pada pertengahan Juni 2013 telah menjadi sorotan utama masyarakat selama beberapa minggu terakhir ini. Banyak opini yang berkembang seperti misalnya; penerima BLSM adalah warga masyarakat yang kaya, sementara warga lainnya yang lebih berhak terlewatkan dari manfaat program ini. Opini semacam ini sangat lumrah terjadi di setiap program manapun, apalagi program ini menyasar 15,5 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) di seluruh Indonesia. “Buku Solusi Masalah Kepesertaan & Pemutakhiran Data Penerima KPS” ini secara ringkas memuat penjelasan tentang mekanisme penetapan sasaran, solusi kepesertaan maupun isu-isu terkait lainnya dalam pelaksanaan penggunaan KPS dan penyaluran program perlindungan sosial. Diharapkan, buku ini dapat memberikan informasi yang memadai sehingga dapat meluruskan informasi yang berkembang di masyarakat agar penggunaan KPS dan penyaluran program perlindungan sosial dapat terlaksana dengan baik. Sebagai sebuah living document, buku ini akan terus dikembangkan sesuai kebutuhan pemangku kepentingan di pusat dan daerah serta pihak lainnya yang berkepentingan dalam mengkomunikasikan KPS dan program perlindungan sosial lainnya.
Jakarta, Juli 2013
1
Kata Pengantar ........................................................................ 1 Daftar Isi ................................................................................ 2 Latar Belakang ........................................................................ 4 Bagian 1: ............................................................................... 8 Sumber Data Penerima KPS ............................................................ 8 Penyempurnaan Metodologi Pencacahan ......................................... 9 Perbaikan Metodologi Pemeringkatan RTS ........................................ 12 Basis Data Terpadu Mencakup 40% Rumah Tangga dengan kondisi Sosial Ekonomi Terendah ............................................................... 13 Perbedaan antara RTS Penerima KPS tidak dapat dilihat secara kasat mata ... 15 Beberapa Jenis Aset Tidak Dapat Menjadi Faktor Pembeda antara RTS Penerima KPS ............................................................................... 16 Dinamika Sosial Ekonomi dari 2011 – 2013 .................................... 17 Bagian 2: .............................................................................. 19 Solusi Masalah Kepesertaan dan Pemutakhiran Data KPS .................... 19 Mekanisme Musyawarah Desa/Kelurahan ....................................... 21 Mekanisme Pencatatan dan Pelaporan RTS Pengganti Hasil dari Musyawarah Desa/Kelurahan ............................................................................ 21
RTS Pengganti dan Yang Diganti ..................................................... 22 Peran Pemerintah Daerah................................................................ 23 Tugas, Fungsi, dan Tanggung Jawab TKSK ....................................... 26 Bagian 3: .............................................................................. 27 Metode Penetapan Sasaran dan Hasil Studi BLT ................................ 27 PenetapanSasaran di Negara lain .................................................. 30 Lampiran ................................................................................ 31
2
3
Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). KPS memuat informasi Nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga, Nama Anggota Rumah Tangga Lain, Alamat Rumah Tangga, Nomor Kartu Keluarga, dilengkapi dengan kode batang (barcode) beserta nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu Perlindungan Sosial dengan logo Garuda, dan masa berlaku kartu.
KPS digunakan sebagai penanda Rumah Tangga miskin dan rentan untuk mendapatkan manfaat P4S dan BLSM. Adapun Rumah Tangga penerima KPS adalah 15,5 juta Rumah Tangga miskin dan rentan yang merupakan 25% Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Data ini bersumber dari Basis Data Terpadu (BDT).
4
KPS dirancang sebagai penanda universal bagi Rumah Tangga Sasaran (RTS) untuk mengakses program-program perlindungan sosial yang tersedia. Saat ini, dengan menggunakan KPS, rumah tangga penerima dapat mengakes Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Raskin. Angka kemiskinan di Indonesia hingga Maret 2013 adalah 11,37% atau telah terjadi pengurangan jumlah penduduk miskin sekitar 0,52 juta orang dibandingkan dengan angka pada September 2012 yakni 28,59 juta orang (11,66%). Sementara itu, rumah tangga penerima KPS adalah sebesar 15,5 juta rumah tangga miskin atau meliputi sekitar 65,6 juta individu (25%). Jadi jelas bahwa penerima KPS tidak hanya masyarakat miskin namun juga termasuk mereka yang rentan.
BLSM merupakan bantuan tunai langsung sementara untuk membantu mempertahankan daya beli Rumah Tangga miskin dan rentan agar terlindungi dari dampak kenaikan harga akibat penyesuaian harga BBM. BLSM disalurkan untuk membantu Rumah Tangga miskin dan rentan dalam memenuhi kebutuhan hidup Rumah Tangga, pembelian obat-obatan kesehatan, biaya pendidikan dan keperluan-keperluan lainnya. BLSM memang bukan solusi jangka panjang untuk mengurangi kemiskinan, namun merupakan solusi jangka pendek untuk menghindarkan masyarakat miskin dari menjual aset, berhenti sekolah, dan mengurangi konsumsi makanan yang bergizi. Evaluasi pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai yang dilakukan sebelumnya (tahun 2005 dan 2008) membuktikan bahwa program ini telah membantu Rumah Tangga miskin dan
5
rentan dalam menjaga daya beli setelah kenaikan harga dengan tetap mempertahankan kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan. Sasaran program BLSM adalah 15,5 juta Rumah Tangga dengan tingkat sosial ekonomi terendah yang terdapat dalam Basis Data Terpadu (BDT) hasil PPLS 2011. Besaran BLSM adalah sebesar Rp.150.000/bulan/Rumah Tangga selama empat bulan. Besar bantuan ini diharapkan dapat membantu Rumah Tangga miskin dan rentan untuk mempertahankan daya beli ketika terjadi kenaikan harga akibat kenaikan harga BBM. Penyaluran BLSM dibagi menjadi 2 (dua) kali penyaluran dengan jadwal: pembayaran pertama pada bulan Juni/Juli 2013 sebesar Rp.300.000, dan pembayaran kedua pada bulan September/Oktober 2013 sebesar Rp. 300.000. Untuk mendapatkan BLSM, rumah tangga penerima wajib membawa KPS dan dokumen pendukung lainnya (KTP, KK) ke kantor pos terdekat. Pengambilan juga dapat diwakilkan dengan membawa surat kuasa dan bukti pendukung tambahan seperti KK, Surat Keterangan Domisili dan lain sebagainya. Pada wilayah terpencil dan tidak terdapat kantor pos, PT. Pos Indonesia akan mendatangi daerah tersebut untuk membuka loket khusus pembayaran. Pembayaran BLSM masih bisa dilakukan hingga awal Desember 2013 yang ditentukan oleh kantor pos dan Pemerintah Daerah setempat.
Untuk mendapatkan Raskin, RTS membawa KPS ke titik bagi. RTS dapat membawa pulang 15 kg Raskin setiap bulannya dengan harga tebus Rp. 1.600/kg di Titik Distribusi. Jika berdasarkan hasil musyawarah desa/kelurahan rumah tangga baru 2013 penerima KPS telah dikeluarkan dari Daftar Penerima Manfaat (DPM) Raskin,
6
maka rumah tangga tersebut tidak dapat menebus Raskin. Musyawarah desa/kelurahan menerbitkan Surat Keterangan Rumah Tangga Miskin (SKRTM) untuk RTS Pengganti.
KPS juga dapat digunakan untuk mendapatkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Program ini berlaku untuk semua anak usia sekolah dari keluarga penerima KPS. Untuk mendapatkan program ini, keluarga dapat membawa KPS disertai identitas lainnya (Kartu Keluarga atau lainnya) ke sekolah tempat siswa terdaftar untuk dicalonkan sebagai penerima manfaat BSM. Kemendikbud dan Kemenag selaku pengelola program BSM akan mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan Penerima Program BSM sebagai dasar penyaluran dana program BSM pada pertengahan bulan September 2013. Besaran manfaat yang diperoleh oleh siswa penerima BSM adalah: Rp. 450.000/tahun untuk tingkat SD/MI, Rp. 750.000/tahun untuk tingkat SMP/MTs, dan Rp. 1.000.000/semester untuk tingkat SMA/SMK/MA dengan cakupan kepesertaan meningkat dua kali lipat menjadi 16,6 juta siswa.
7
Basis Data Terpadu (BDT) yang dikelola oleh TNP2K adalah sumber data Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang digunakan untuk Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Pendataan RTS telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dan yang terakhir adalah PPLS pada tahun 2011 yang menggunakan metodologi pendataan yang telah disempurnakan bersama BPS dan TNP2K untuk meningkatkan akurasi data. Pendataan di lapangan untuk mencacah seluruh karakteristik Rumah Tangga sasaran dilakukan oleh BPS. Hasil pencacahan tersebut disampaikan kepada TNP2K yang selanjutnya diolah sebagai berikut: 1.
Dilakukan pemeringkatan berdasarkan berbagai kelompok variabel dengan mempertimbangkan kondisi masing-masing wilayah RTS.
2.
Dilakukan proses pencocokan dengan Data Administrasi Kependudukan yang dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri, sehingga data RTS juga memiliki Nomor Kartu Keluarga dan anggota RTS memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Pengolahan di atas menghasilkan 40% data Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Data tersebut kemudian disebut sebagai Basis Data Terpadu (BDT).
PROSES PENGEMBANGAN BASIS DATA TERPADU Pengumpulan Data (PPLS 2011) BPS
8
Analisis Data & Pengembangan Model PMT TNP2K
Basis Data Terpadu
Sejumlah perbaikan dalam metodologi pencacahan telah dilakukan guna memperoleh sumber data rumah tangga sasaran yang lebih baik, yaitu: 1.
Pada pencacahan 2011, rumah tangga yang dicacah lebih banyak yaitu sekitar 45% rumah tangga yang berada pada status sosial ekonomi terendah, dibandingkan dengan pencacahan pada 2008 yang hanya 29%;
2.
Penggunaan sensus penduduk digunakan sebagai starting point atau referensi awal dalam pencacahan;
3.
Pencacahan dilakukan dengan berkonsultasi dengan masyarakat miskin; serta
9
4.
Menggunakan lebih banyak kelompok variabel sebagai kriteria dalam menentukan kondisi RTS, yakni: Kelompok Kriteria Karakteristik Rumah Tangga Kelompok Kriteria Kondisi Sosial Ekonomi Kelompok Kriteria Keadaan Rumah Tinggal Kelompok Kriteria Kepemilikan Aset
Tabel. Kelompok variabel sebagai kriteria dalam menentukan kondisi RTS
Karakteristik suatu rumah tangga menjadi pertimbangan terkait dengan keadaan kepala rumah tangga beserta anggota di dalamnya. Beberapa komponen penghitungan adalah: kemampuan kepala rumah tangga dalam menanggung beban jumlah anggota rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga usia produktif, dan kondisi kepala rumah tangga tunggal yang memiliki anak bersekolah merupakan salah satu penentu penghitungan. Beberapa kriteria penting dalam kondisi sosial ekonomi ini adalah tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan status pada pekerjaan
10
utama. Selain itu, komponen pendidikan anggota rumah tangga juga termasuk dalam komponen penghitungan. Keadaan rumah tinggal turut menjadi kriteria, karena dapat mencerminkan keadaan ekonomi suatu rumah tangga. Komponen yang dipertimbangkan adalah status kepemilikan rumah tangga; bahan serta kondisi pada dinding, atap, lantai; sumber penerangan atau kelistrikan; bahan bakar untuk memasak; cara memperoleh air minum; serta tempat buang air. Selain itu, kepemilikan beberapa aset juga merupakan kriteria penentuan rumah tangga penerima KPS, seperti: kulkas, tabung gas 12 kilogram, telepon seluler, serta kendaraan. Keadaan lingkungan sekitar atau tinjauan lokasi rumah tangga juga merupakan penentu sebagai penerima KPS. Sebagai contoh, wilayah yang lebih mudah dijangkau melalui kendaraan, infrastruktur kelistrikan, akses pelayanan kesehatan, akses pelayanan pendidikan, dan keberadaan pasar di sekitar rumah tangga tersebut. Rumah tangga yang berada di lingkungan yang memiliki akses terbatas dan fasilitas lebih sedikit akan menjadi prioritas sasaran penerima KPS. Walaupun pendataan untuk penentuan penerima sasaran ini telah dirancang sebaik mungkin untuk meminimumkan kesalahan sasaran, namun juga disadari ada sejumlah rumah tangga yang tetap luput. Sebagai contoh, ada rumah tangga yang pindah lokasi maupun rumah tangga yang dalam kurun waktu dua tahun ini keadaan ekonomi keluarganya menjadi lebih baik.
11
Pemeringkatan kesejahteraan rumah tangga dalam Basis Data Terpadu (BDT) dilakukan menggunakan metode Proxy Means Testing (PMT). Peringkat tersebut dihasilkan dari beragam variabel yang relevan untuk menentukan kesejahteraan. Bobot atau kontribusi setiap variabel dalam proses pemeringkatan didapatkan dari data makro SUSENAS yang representatif secara nasional untuk setiap kabupaten/kota. Bobot setiap variabel yang relevan tersebut kemudian diterapkan kepada data variabel penentu masing-masing rumah tangga yang dihasilkan dari PPLS 2011. Untuk mengakomodasi karakteristik setiap kabupaten/kota yang berbeda-beda, maka model PMT dibuat masing-masing untuk setiap kabupaten/kota se-Indonesia. Karena itu, berbeda dengan metode pemilihan RTS di tahun 2005 dan 2008 yang menggunakan seperangkat variabel yang digunakan secara sama di seluruh Indonesia, pemeringkatan kesejahteraan rumah tangga dalam BDT mengakomodasi keragaman antar kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dengan demikian, satu variabel tertentu bisa jadi adalah penentu kesejahteraan di satu kabupaten/kota namun bukan pembeda kesejahteraan di kabupaten/kota lain. Dengan metode PMT yang ada untuk setiap kabupaten/kota, dilakukan pemeringkatan rumah tangga di seluruh Indonesia. Dari pemeringkatan tersebut kemudian ditetapkan rumah tangga yang temasuk dalam 40% peringkat terendah, yang konsisten secara nasional. Untuk mempertahankan konsistensi di tingkat nasional tersebut, maka di setiap daerah, jumlah rumah tangga yang masuk
12
dalam BDT dapat berbeda-beda, tergantung pada tingkat kemiskinan masing-masing daerah. Di provinsi/kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan lebih rendah, tentu jumlah rumah tangga dalam BDT juga akan lebih rendah dibandingkan provinsi dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, dan sebaliknya.
Ilustrasi di atas menunjukkan terdapat 11,37% (5,7 juta Rumah Tangga) atau 28,59 juta penduduk Indonesia yang hidup dalam
13
garis kemiskinan (BPS, Maret 2013). Sedangkan rumah tangga penerima KPS/BLSM adalah 15,5 juta atau meliputi sekitar 65,6 juta individu yang termasuk ke dalam 25% Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Karena itu, penerima manfaat BLSM tidak hanya mereka yang miskin namun juga termasuk yang rentan. Perlu diketahui bahwa karakteristik rumah tangga dalam rentang 25% status sosial ekonomi terendah (penerima KPS/BLSM) hingga rentang 40% (yang termasuk dalam Basis Data Terpadu), dan bahkan hingga 60% secara kasat mata tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Artinya bahwa semua Rumah Tangga yang berada dalam rentang tersebut akan sama-sama terlihat berhak menerima, jika tidak menelisik variabel-variabel penentu lain seperti kondisi rumah, kepemilikan aset, jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan anggota rumah tangga, status dan jenis pekerjaan anggota rumah tangga, dan lain-lain. Variabel ini dan beberapa variabel lainnya sesuai karakteristik daerah setempat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemeringkatan rumah tangga sasaran penerima KPS/BLSM.
14
RT-A
RT-B
RT-B Lebih berhak menerima KPS karena kondisi anggota keluarga lain tidak bekereja, dan memiliki jumlah tanggungan lebih banyak, dan kondisi pasangan tidak bekerja.
Kedua rumah tangga pada ilustrasi di atas memiliki aset rumah yang berbeda; yang satu bangunan kayu, kita sebut RT-A sedangkan yang satu lagi, kita sebut RT-B, memiliki bangunan semi permanen. Sekilas RT-A terlihat lebih berhak menerima KPS/BLSM. Ketika variabel lainnya ditelisik, yakni pekerjaan kepala rumah tangga, lagi-lagi RT-A yang berprofesi sebagai tukang ojek terlihat lebih berhak menerima KPS/BLSM, dibandingkan RT-B yang berprofesi sebagai guru sekolah. Namun, ketika pendataan dilakukan lebih mendalam; pada RT-A, istri juga memiliki pekerjaan sebagai guru sekolah dan jumlah anak dalam keluarga tersebut hanya satu orang. Sementara RT-B, pencari nafkah hanya suami
15
sebagai guru honorer, istri adalah ibu rumah tangga, dan jumlah tanggungan keluarga juga lebih banyak. Karena itu RT-B memenuhi kriteria RTS yang lebih berhak mendapatkan KPS/BLSM.
Khusus mengenai kepemilikan aset, hal menarik yang bisa dilihat adalah kepemilikan aset seperti telepon genggam. Hasil pencacahan lanjutan yang dilakukan BPS dan bekerjasama dengan unit pengelola BDT menunjukkan bahwa di hampir seluruh wilayah Indonesia, kepemilikan telepon genggam bukan merupakan indikasi tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
16
Data di Jakarta Utara menunjukkan bahwa 7 dari 10 rumah tangga penerima BLSM (dari data penerima KPS) memiliki telepon genggam. Pada rumah tangga rentan yang bukan penerima BLSM, data juga menunjukkan angka yang sama, yakni 7 dari 10 rumah tangga juga memiliki telepon genggam. Bergerak ke Kabupaten Mukomuko di Bengkulu, salah satu daerah tertinggal di Indonesia, data menunjukkan 7 dari rumah tangga penerima BLSM memiliki telepon genggam. Dan 8 dari 10 rumah tangga rentan non penerima BLSM juga memiliki telepon genggam. Secara rata-rata nasional 50% rumah tangga penerima BLSM memiliki telepon genggam, dan 60% rumah tangga rentan non penerima BLSM memiliki telepon genggam. Demikian juga dengan kepemilikan sepeda motor. Rumah Tangga yang memiliki sepeda motor tidak serta-merta gugur sebagai calon penerima KPS/BLSM karena aset motor, sesuai data perbandingan hidup kepala rumah tangga secara nasional, bukan merupakan indikator tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Bisa jadi sepeda motor yang dimiliki adalah aset satu-satunya rumah tangga untuk mencari nafkah.
Faktor yang perlu mendapat catatan terhadap penentu perubahan penerima KPS/BLSM adalah, sejak tahun 2011 - PPLS terakhir yang dilakukan oleh BPS sebagai sumber BDT – hingga tahun 2013 telah terjadi beberapa dinamika seperti perubahan jumlah perpindahan penduduk, pertumbuhan ekonomi penduduk, regional, maupun tingkat kemiskinan yang memungkinkan terjadinya perubahan status sosial ekonomi rumah tangga sasaran. Konsekuensi dari dinamika ini adalah terdapat sejumlah rumah tangga yang menerima KPS/BLSM meskipun rumah tangga tersebut
17
tidak lagi masuk dalam kategori miskin. Selain dinamika ini, sebagaimana pencacahan lainnya, juga terdapat inclusion dan exclusion error yang, meskipun jumlahnya sedikit, juga mempengaruhi penerima manfaat BLSM. Selain kedua faktor di atas, jumlah sasaran BLT 2008 dan BLSM 2013 juga berbeda, yakni 18,5 juta RTS pada 2008 dan 15,5 juta RTS pada BLSM 2013. Hal ini mengakibatkan RTS yang sebelumnya menerima BLT tidak lagi masuk ke dalam daftar penerima KPS/BLSM. Pengurangan jumlah penerima ini, selain karena ketercukupan anggaran juga telah mempertimbangkan berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia.
18
Penambahan atau pengurangan daftar penerima manfaat idealnya dilakukan dengan melakukan pendataan ulang dan metode Proxy Means Testing untuk mengetahu pemeringkatan RTS secara akurat. Namun hal ini membutuhkan biaya yang besar selain pengusulan daftar RTS baru akan menjadi tidak terkendali karena karakteristik rumah tangga yang hampir sama seperti yang dijelaskan sebelumnya. dalam pelaksanaan pendistribusian Kartu Sesungguhnya Perlindungan Sosial, termasuk pembagian BLSM dan Program Kompensasi lainnya, mekanisme pemutakhiran daftar penerima manfaat sudah disediakan. Sehingga jika terjadi masalah dalam pendistribusian KPS/BLSM seperti yang muncul saat ini, misalnya warga yang mampu menerima bantuan, sementara ada yang tidak mampu justru tidak menerima, dapat dilakukan mekanise partisipatif melalui Musyawarah Desa/Kelurahan. Jadi masyarakat bersama-sama dengan Perangkat Desa/Kelurahan dapat bersama-sama melakukan pemutakhiran data untuk memastikan bahwa KPS/BLSM hanya diterima oleh yang berhak. Aparat Pemerintah Daerah sendiri juga telah memiliki payung hukum dalam pelaksanaan Musyawarah Desa/Kelurahan tersebut, Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 541/3150/SJ tanggal 17 Juni 2013 tentang Pelaksanaan Pembagian Kartu Perlindungan Sosial dan Penanganan Pengaduan Masyarakat.
19
Instruksi Menteri Dalam Negeri ini secara khusus menetapkan: Camat dan Kepala Desa/Lurah untuk Membentuk Posko Pengaduan KPS di kecamatan dan di Desa/Kelurahan. Camat untuk berkoordinasi dengan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) menangani dan menyelesaikan pengaduan masyarakat. Kepala Desa/Lurah untuk melaksanakan Musyawarah Desa (Musdes)/Musyawarah Kelurahan (Muskel), menangani, dan menyelesaikan pengaduan masyarakat mengenai kepesertaan. Musdes/Muskel adalah forum untuk memutakhirkan dan menetapkan rumah tangga yang diganti dan pengganti. Kepala Desa/Lurah untuk mensosialisasikan Kartu Perlindungan Sosial (KPS).
20
Musyawarah Desa/Kelurahan merupakan forum pertemuan musyawarah di desa/kelurahan yang melibatkan aparat desa/kelurahan, kelompok masyarakat desa/kelurahan dan perwakilan RTS KPS/BLSM dari setiap Satuan Lingkungan Setempat (SLS) setingkat dusun/RW untuk memutakhirkan Daftar Penerima Manfaat (DPM). Musyawarah desa/kelurahan atau musyawarah kecamatan dapat dilakukan untuk menetapkan kebijakan lokal mengenai kepesertaan, yang bertujuan untuk mengganti rumah tangga.
Musyawarah desa/kelurahan menghasilkan berita acara yang melampirkan formulir rekapitulasi rumah tangga pengganti (FRP). Berita acara dan FRP tersebut selanjutnya diserahkan kepada Camat. TKSK memastikan jumlah rumah tangga pengganti sama dengan jumlah rumah tangga yang diganti. TKSK menyerahkan berita acara rekapitulasi FRP ke kantor pos setempat dan mengambil blangko SKRTM sesuai dengan jumlah rumah tangga pengganti. Rekapitulasi FRP yang diterima oleh kantor pos setempat kemudian dikirimkan ke kantor pos pemeriksa (Kprk) untuk dicatat dalam sistem komputer. Hasil pencatatan rumah tangga pengganti ini selanjutnya diserahkan kepada kementerian sosial untuk disahkan sebagai
21
rumah tangga penerima KPS pengganti. Berdasarkan hasil pengesahan dari kementerian sosial, PT. Pos Indonesia mencetak dan mengirimkan KPS kepada rumah tangga pengganti tersebut.
A.
Rumah tangga yang diganti adalah RT penerima KPS yang: 1. 2. 3. 4.
Tercatat lebih dari satu kali (retur) Tidak bertempat tinggal di desa bersangkutan (retur) Seluruh anggota rumah tangga meninggal dunia (retur) RTS mengembalikan KPS secara sukarela karena merasa tidak layak 5. Teridentifikasi bukan rumah tangga miskin berdasarkan Musyawarah Desa/Kelurahan B.
Rumah tangga pengganti adalah RT yang: 1. Rumah tangga miskin dan diprioritaskan bagi rumah tangga yang: a. Memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih besar, b. Kepala rumah tangganya perempuan (Orang Tua Tunggal beranak), c. Kondisi fisik rumahnya kurang layak huni, dan/atau d. Berpenghasilan lebih rendah dan tidak tetap. 2. Bertempat tinggal di desa bersangkutan
C.
22
Jumlah RTS Pengganti dengan Jumlah RTS yang diganti harus sama sesuai kuota awal.
Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab untuk: 1. Mensosialisasikan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) kepada seluruh masyarakat; 2. Memastikan Musdes/Muskel terlaksana di semua daerah dengan baik untuk memastikan ketepatan sasaran penerima KPS dan Program P4S; 3. Memantau pelaksanaan pembagian KPS dan penyaluran P4S di daerahnya masing-masing dengan memfungsikan TKPK, Camat, TKSK dan Kepala Desa / Lurah;
23
4. Menyelesaikan penanganan pengaduan masyarakat dalam pelaksanaan P4S dan pembagian KPS secara berjenjang dari tingkat Desa/Kelurahan sampai Kabupaten/Kota. 5. Meningkatkan koordinasi internal (Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan Timkor Raskin) dan koordinasi eksternal dengan PT. Pos, kelompok masyarakat dan kepolisian dalam pelaksanaan P4S dan pembagian KPS serta penanganan pengaduan masyarakat. 6. Mengoptimalkan inisiatif daerah dalam penyelesaian masalah terkait P4S dan KPS sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan daerah. 7. Bupati dan Walikota menerbitkan instruksi kepada Camat dan Kepala Desa/Lurah sebagai tindak lanjut dari Instruksi Mendagri. Tugas Kepala Desa/Lurah: 1. Mendampingi PT. Pos dalam mendistribusikan KPS. 2. Berkoordinasi dengan PT.Pos untuk memperoleh rekapitulasi (jumlah) kartu retur di desa/kelurahannya. 3. Menerima Kartu yang dikembalikan oleh masyarakat secara sukarela. 4. Membentuk Posko Pengaduan KPS: a. Menyampaikan informasi tentang P4S. b. Menghimbau masyarakat untuk mengirimkan SMS konfirmasi penerimaan KPS. c. Menghimbau agar rumah tangga yang jelas-jelas kaya untuk mengembalikan KPS. d. Menangani pengaduan masyarakat:
24
Menyelesaikan masyarakat.
pengaduan
di
tingkat
5.
6.
7.
8.
Meneruskan pengaduan melalui mekanisme LAPOR!UKP4. Melakukan Musyawarah Desa/Kelurahan: a. Menetapkan nama rumah tangga yang akan diganti. b. Konsolidasi jumlah rumah tangga yang dapat diganti (sejumlah RT kartu retur + RT dari butir 3 + RT dari butir 5a). c. Menetapkan nama rumah tangga pengganti (tidak boleh melebihi kuota). Berkoordinasi dengan TKSK di kecamatan mengenai: a. Rekapitulasi (jumlah) rumah tangga yang diganti dan pengganti, serta KPS yang ditarik. b. Memperoleh blangko SKRTM dari TKSK sejumlah rekapitulasi (jumlah) rumah tangga pengganti. Membantu RT Pengganti mengisi SKRTM dan mengesahkannya dengan tanda tangan Kepala Desa/Lurah Menyampaikan SKRTM kepada rumah tangga pengganti.
25
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) bertanggung jawab dalam mengawal pemutakhiran daftar penerima KPS, terutama dalam hal: 1.
Koordinasi dan Fasilitasi:
2.
Administrasi: Melakukan rekapitulasi hasil musdes/muskel, antara lain jumlah data penggantian/FRP, jumlah SKRTM
26
Menjembatani proses koordinasi dan fasilitasi antara rumah tangga, aparat desa/kelurahan dan kecamatan, maupun PT.Pos dalam pengisian Formulir Rekapitulasi Pengganti Rumah Tangga, SKRTM, dan pengesahan penggantian;
Melakukan penyuluhan/sosialisasi Melakukan pendampingan.
Oleh beberapa kalangan, kritik terbesar bahwa BLSM tidak tepat sasaran umumnya ditujukan kepada metode penetapan sasaran itu sendiri yang dipandang tidak melibatkan Aparat Daerah. Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa penetapan sasaran tidak partisipatif karena data diambil “sepihak” oleh petugas BPS yang mencacah langsung ke Rumah Tangga Sasaran (RTS). Berdasarkan evaluasi acak di beberapa wilayah di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok peneliti dari World Bank, Massachusetts Intitute of Technology, Universitas Harvard dan Stanford pada tahun 2012 yang diterbitkan dalam J-PAL Policy Briefcase 2013, dari tiga metode penetapan sasaran yang dikenal, yaitu metode Proxy Means Testing (PMT) – Penetapan Sasaran dengan membuat pemeringkatan berdasarkan berbagai variabel seperti yang digunakan saat ini; Metode Komunitas – metode yang pemeringkatannya ditentukan oleh komunitas; serta Metode Kombinasi antara metode PMT dan Komunitas menunjukkan bahwa metode PMT justru menghasilkan tingkat keakuratan yang paling tinggi. Sebaliknya pengalaman pembagian BLT tahun 2005 dan tahun 2008 yang proses pendataannya berlangsung secara bottom-up dengan memberikan keleluasaan kepada aparat daerah maupun tokoh masyarakat dalam penetapan sasaran, data yang dihasilkan justru memiliki lebih banyak bias.
27
Data 25% rumah tangga penerima KPS/BLSM yang pemeringkatannya dilakukan BDT melalui metode Proxy Means Testing (PMT), sebenarnya juga telah menggabungkan Metode Komunitas dengan pendistribusian Formulir Rekapitulasi Pengganti (FRP) pada awal 2013 untuk penerima Program Beras Miskin (yang merupakan dasar penentuan sasaran rumah tangga penerima KPS/BLSM). Pendistribusian FRP dimaksudkan agar masyarakat di tingkat desa/kelurahan dapat memberikan usulan daftar penerima manfaat pengganti sehubungan dengan perubahan pada status sosial ekonomi maupun data kependudukan lainnya melalui musyawarah desa/kelurahan. Hasil analisis FRP dari 500 desa/kelurahan menunjukkan bahwa hanya 7% rumah tangga sasaran Raskin yang diganti. Dan hanya 1% dari rumah tangga sasaran yang diganti tersebut yang diidentifikasi sebagai rumah tangga kaya/meningkat tingkat kesejahteraannya; sementara sisanya disebabkan alasan lain seperti pindah, meninggal atau terjadi duplikasi. Dengan sendirinya data penerima KPS/BLSM juga dapat lebih disempurnakan melalui mekanisme Musyawarah Desa/Kelurahan yang merupakan mekanisme pemutakhiran data penerima KPS/BLSM. Selain itu, penentuan pemberian bantuan tunai sebagai salah satu program kompensasi dalam rangka penyesuaian subsidi BBM melalui program BLSM juga telah mencermati hasil studi kualitiatif oleh Oxford Policy Management Asia pada tahun 2012 tentang dampak sosial program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2005 dan 2008 yang dilakukan di 33 komunitas di 11 propinsi menunjukkan bahwa intervensi dari luar yang berbentuk uang tunai disambut baik dan sangat bermanfaat dalam memperlancar konsumsi di kalangan kelompok miskin dan rentan pada saat terjadinya kenaikan harga bahan makanan.
28
Meski jumlah dana tunai yang didistribusikan relatif kecil, namun kontribusi BLT dalam melincinkan konsumsi pada saat krisis merupakan ‘tambahan’ terhadap strategi mengatasi krisis yang sudah ada di antara kelompok miskin. Selain itu, proses penargetan Program BLT juga dianggap masih lebih baik dibandingkan dengan proses penargetan program-program bantuan sosial yang lain. Meski terdapat ketidakpuasan sosial terhadap BLT, dampak yang ditimbulkan sebenarnya tidak signifikan dan hanya berjangka pendek; ketahanan organisasi sosial dengan cepat memulihkan hubungan sosial di hampir semua lokasi.
29
Menarik untuk dicermati bahwa penetapan sasaran di berbagai negara yang melakukan program bantuan sosial berbasis rumah tangga tidak pernah mencapai tingkat keakuratan seratus persen. Chile misalnya, melalui program SUF cash transfer yang juga menyasar 40% penduduk dengan status sosial ekonomi terendah hanya dapat mencapai tingkat keakuratan sekitar 83%. Mexico, dengan typology penduduk dan sebaran tingkat kesejahteraan yang mirip dengan Indonesia, hanya mencapai tingkat keakuratan penetapan sasaran sebesar 62.4% pada program Progress conditional cash transfer nya. Di Indonesia, sesuai perkembangan distribusi KPS/BLSM, ketepatan sasaran penerima KPS/BLSM diperkirakan jauh lebih tinggi dibandingkan di negara-negara lain yang memiliki program bantuan sosial yang serupa.
30
LAMPIRAN
31
Halaman ini sengaja dikosongkan
v
Halaman ini sengaja dikosongkan