I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada
individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass tourism. Fandeli (2002) menyebutkan bahwa pergeseran minat wisata tersebut telah melahirkan perkembangan pariwisata alam ke arah pola wisata ekologis (ecotourism) dan wisata minat khusus (special interest tourism atau alternatif tourism). Pergeseran ini disebabkan karena wisatawan saat ini menghendaki wisata berkualitas yang tidak hanya menginginkan kesenangan saja, tetapi juga menginginkan pengalaman baru agar lebih dekat dengan alam dan masyarakat. Mengingat potensi sumberdaya Indonesia cukup mendukung pergeseran tren pariwisata dunia ini, maka Pemerintah Republik Indonesia menangkap peluang ini dengan dukungan kebijakan nasional untuk mendorong pertumbuhan pembangunan pariwisata alam di Indonesia. Berbagai upaya strategis yang dilakukan pemerintah, antara lain: 1) mengimplementasikan kebijakan-kebijakan umum berkaitan dengan keamanan dan keselamatan, pelayanan pemberian visa, pengurangan pajak, dan kebijakan transportasi udara untuk merespon kebutuhan industri pariwisata, dan 2) berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan rutin seperti kegiatan internasional, pameran dagang, dan memperkuat jaringan internasional. Slogan baru “Indonesia: Ultimate in Diversity” (Indonesia: Keragaman yang Sesungguhnya) telah diperkenalkan dan akan terus disebarluaskan secara intensif (Depbudpar, 2006).
1
Merujuk pada arah pembangunan pariwisata nasional tersebut, maka wisata alam di kawasan konservasi Indonesia merupakan tempat yang tepat sebagai target tujuan wisata yang dapat menunjukan keragaman ekologis yang sesungguhnya di Indonesia, terutama untuk kelas tujuan wisata minat khusus pada kawasan hutan alam berkeanekaramagan hayati yang tinggi (mega biodiversity). Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 telah menetapkan komitmen Indonesia terhadap pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya, yang kemudian dikenal dengan istilah Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (KSDAHE). Salah satu wujud fisik dari komitmen KSDAHE tersebut adalah dengan ditetapkannya Kawasan Konservasi, yang sampai tahun 2008 luasnya mencapai 20,5% dari 136,72 juta ha Kawasan Hutan di Indonesia. Fungsi pokok penetapan Kawasan Konservasi tersebut adalah untuk perlindungan dan pengawetan keanekaragaman tumbuhan alam dan satwa liar berserta ekosistemnya, di samping pemanfaatannya bagi jasa lingkungan dan obyek wisata alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan (2006), mencatat terdapat 530 unit Kawasan Konservasi di Indonesia dengan luas total mencapai 28 juta ha, baik daratan (terrestrial) maupun daratan berperairan laut (marine). Kawasan konservasi tersebut terbagi menjadi 322 unit Kawasan Suaka Alam (terdiri dari 245 unit Cagar Alam dan 77 unit Suaka Margasatwa), 208 unit Kawasan Pelestarian Alam (terdiri dari 50 unit Taman Nasional, 123 unit Taman Wisata Alam, 21 unit Taman Hutan Raya), serta 14 unit Taman Buru.
2
Taman Nasional (TN) adalah salah satu Kawasan Konservasi primadona yang memiliki keragaman sumberdaya alam dan sosial-budaya yang unik, serta fungsi dan aktifitas yang paling kompleks. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Sehingga terkait dengan pengertian tersebut, maka pengertian konservasi TN meliputi kegiatan: 1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan; 2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya; dan 3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang dimiliki. Sejak tahun 2006, Departemen Kehutanan melalui Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. 69/IV/Set-HO/2006 dan No. SK.128/IV/Set-HO/2006, telah menetapkan 21 dari 50 TN di Indonesia sebagai Taman Nasional Model, yang salah satunya adalah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Penetapan ini didasarkan atas kriteria spesifik lokasi TNGGP yang memiliki luas ± 21.975 ha dan terletak di jantung Provinsi Jawa Barat, yang menjadi penunjang kehidupan ekologi-sosial-ekonomi bagi tiga kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Selain itu TNGGP mempunyai arti penting bagi komitmen konservasi di Indonesia karena merupakan kawasan yang pertama ditetapkan sebagai cikal bakal cagar alam di Indonesia dan salah satu dari lima TN yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Penetapan TN Model ini menuntut TNGGP untuk melakukan percepatan pengelolaan kawasannya secara efektif, efisien, transparan, optimal, dan akuntabel hingga menjadi sebuah Taman Nasional Mandiri. Kemandirian TNGGP tersebut
3
diartikan sebagai suatu TN yang dikelola oleh institusi (Balai Taman Nasional) secara swadaya, dengan kewenangan mengelola pendapatan yang diterimanya secara syah (termasuk Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP) guna membiayai dirinya sendiri secara berkelanjutan, tanpa mengandalkan subsidi pemerintah (dalam hal ini bersumber dari APBN), selayaknya seperti Badan Layanan Umum (BLU) atau Perusahaan Umum atau bentuk institusi produktif lainnya secara kolaboratif. Salah satu sumber pendapatan yang diharapkan dapat diandalkan dari TN adalah kegiatan usaha wisata alam, baik dalam bentuk rekreasi alam maupun wisata khusus yang bernuansa pendidikan dan pelestarian alam, atau dikenal dengan ekowisata. Dan TNGGP adalah salah satu kawasan yang produktif mengembangkan wisata alamnya. Kondisi ini didukung pula oleh kemahsyuran Gunung Gede dan Pangrango sejak tahun 1728 saat VOC (Verenigde Oos-Indische Compagnie, 1610 – 1799) menjajah Indonesia, hingga akhirnya kawasan TNGGP memperoleh julukan sebagai The Moutain Flora of Java (C.G.G.J. van Steenis, 1972) dan Jalur Pendakian Tertua di Indonesia (Soedjito, 2007). Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir (2002 – 2009), TNGGP mampu menarik lebih dari 19% dari rata-rata total pengunjung seluruh TN di Indonesia per tahun. Dibandingkan dengan TN lainnya, jumlah kunjungan wisata alam TNGGP berada pada posisi ketiga setelah TN Bromo Tengger Semeru di Provinsi Jawa Timur yang menarik lebih dari 30% pengunjung TN di Indonesia per tahun dan TN Gunung Rinjani di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menarik lebih dari 20% pengunjung TN di Indonesia per tahun (Badan Planologi Kehutanan, 2007). Tujuan kunjungan ke TNGGP didominasi untuk kegiatan rekreasi alam (47,82%), pendakian gunung (40,52%), sisanya berkemah (4,35%), widyawisata (2,12%), penelitian
4
(0,66%), dan kegiatan lainnya (4,53%). Tetapi jumlah pengunjung TNGGP dari tahun 2006 sampai 2009 mengalami fluktuasi kurang stabil, bahkan cenderung mengalami penurunan. Fluktuasi kunjungan ini tentunya tidak diinginkan terjadi pada TN Model yang diharapkan dapat dikelola secara mandiri (Gambar 1).
2006
2007
2008
2009
Sumber: Olahan Data Balai Besar TNGGP
Gambar 1.
Tren Pengunjung Wisata Alam TNGGP dalam Empat Tahun Terakhir (2006 – 2009)
Pengembangan kawasan wisata alam di TNGGP bukanlah suatu hal yang mudah, karena keterkaitannya dengan berbagai tugas pokok dan fungsi perlindunganpengawetan-pemanfaatan kawasan TNGGP yang harus dilakukan oleh Balai Besar TNGGP. Pengelolaan wisata alam sangat membutuhkan komitmen dan konsentrasi yang tinggi, terlebih bagi kegiatan ekowisata yang dijadikan kebijakan utama kegiatan wisata alam di TNGGP.
5
Hasil observasi singkat di TNGGP menunjukan bahwa rata-rata pengunjung wisata alam TNGGP selama 8 tahun terakhir (2002 – 2009) mencapai lebih dari 66.526 orang per tahun (98,64% wisatawan domestik) dengan harga tiket masuk Rp 2.500 per orang per hari (wisatawan domestik) atau Rp 20.000 per orang per hari (wisatawan mancanegara). Berdasarkan informasi dari Sub Direktorat Kawasan Pelestarian dan Taman Buru, Direktorat Jenderal PHKA, Departemen Kehutanan, pembiayaan kawasan konservasi di Indonesia rata-rata baru berkisar antara US$ 5 sampai US$ 6 per ha/tahun. Sebagai perbandingan, di negara-negara maju, pengelolaan dipandang telah efektif bila rata-rata pembiayaan sebesar US$ 20 ha/tahun. Dalam upaya menguraikan kendala yang harus dihadapi TNGGP menuju TN Model yang mandiri melalui kegiatan wisata alamnya, maka diperlukan pemahaman tentang preferensi pengunjung TNGGP. Berdasarkan posisinya, kawasan wisata alam TNGGP terletak di kawasan Puncak dan jalur Bogor-Sukabumi yang merupakan kawasan strategis tujuan wisatawan (tourist destination), terutama bagi masyarakat Pulau Jawa bagian Barat yang secara rutin menggunakan kawasan Puncak dan jalur Bogor-Sukabumi tersebut sebagai tempat rekreasi akhir pekan. Strategi TNGGP untuk mendekatkan produk wisata alamnya yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan, keinginan dan kemampuan potensi pasar wisatawan di kawasan Puncak dan jalur Bogor-Sukabumi tersebut, akan menjadi salah satu kunci keberhasilan wisata alam di TNGGP. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian tentang preferensi dan segmentasi pengunjung terhadap kawasan wisata alam TNGGP.
1.2.
Perumusan Masalah
6
Jasa wisata alam merupakan salah satu sumber pendapatan bagi TNGGP dalam upaya mewujudkan dirinya sebagai TN Mandiri. Dengan kondisi tersebut, TNGGP harus mampu bersaing dengan objek-objek wisata alam lainnya yang ada di kawasan Puncak, seperti Taman Safari, Gunung Mas, Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna, Taman Bunga Cipanas, maupun di jalur Bogor-Sukabumi, seperti kawasan Cikeretek, Danau Lido, Javana Spa, TN Gunung Halimun Salak, TWA Situgunung Perhutani, Taman Wisata Selabintana. Oleh sebab itu TNGGP yang memiliki luas dan potensi obyek wisata alam yang sangat banyak, seharusnya mampu menawarkan program wisata alam yang tidak kalah menarik (attractiveness), serta dapat menjadi unggulan (competitive advantages) dibandingkan dengan program dan objek wisata alam lain disekitarnya. Karena semakin tinggi daya saing yang dimiliki oleh TNGGP, maka seharusnya akan semakin tinggi pula dukungan bagi TNGGP dalam mewujudkan dirinya sebagai TN Model yang Mandiri. Dari sisi pemasaran, program-program terutama program promosi yang telah dilakukan oleh TNGGP cenderung masih bersifat kurang fokus. Banyak program yang dijalankan tidak secara khusus membidik pasar atau target pasar yang tepat. Hal ini kemungkinan besar disebabkan dari persoalan segmentasi yang saat ini belum diterapkan oleh Balai Besar TNGGP. Segmentasi memegang peranan penting dalam setiap program pemasaran. Segmentasi yang tidak tepat akan menjadikan program pemasaran menjadi tidak efektif. Di TNGGP belum ada segmentasi yang jelas terhadap pengunjung, semuanya masih dijadikan satu. Sampai saat ini TNGGP belum melakukan analisis preferensi pengunjung, sehingga TNGGP tidak mengetahui dengan pasti atribut apa yang disukai pengunjung
7
terhadap program yang ditawarkan TNGGP. Pemahaman terhadap preferensi pengunjung akan memberikan gambaran yang jelas dan menjadi masukan terhadap pihak pengelola untuk meningkatkan program-program pemasaran yang efektif. Secara ringkas masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakteristik pengunjung wisata TNGGP. 2. Bagaimana preferensi pengunjung terhadap wisata TNGGP. 3. Bagaimana segmen pengunjung wisata TNGGP. 4. Bagaimana rumusan implikasi manajerial bagi pengembangan wisata TNGGP berdasarkan prioritas kinerja dan segmentasi pengunjung.
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang akan dikaji, maka secara spesifik tujuan
penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Menganalisis karakteristik pengunjung pada wisata TNGGP. 2. Mengetahui preferensi pengunjung terhadap TNGGP. 3. Mengidentifikasikan segmen pengunjung wisata TNGGP. 4. Merumuskan implikasi manajerial bagi pengembangan wisata TNGGP berdasarkan prioritas kinerja dan segmentasi pengunjung.
8
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB