SKRIPSI
UPAYA MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN TEMPE DENGAN METODE PENGERINGAN DAN STERILISASI
Oleh : SARI KEMALA NAULI P. F24103302
2006 DEPARTEMEN TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Sari Kemala Nauli P. F.24103302. Upaya Memperpanjang Umur Simpan Tempe dengan Metode Pengeringan dan Sterilisasi. Skripsi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 2006. RINGKASAN Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang dikonsumsi oleh hampir semua lapisan masyarakat. Tempe mengandung komponen-komponen gizi yang tinggi, seperti protein dan vitamin B12. Tempe juga diketahui mengandung senyawa antioksidan yang diidentifikasi sebagai isoflavon. Senyawa ini diyakini mempunyai peranan dalam meredam aktivitas radikal bebas, sehingga bermanfaat bagi pencegahan kanker seperti halnya karotenoid, vitamin E dan vitamin C. Tempe pada umumya mempunyai daya simpan yang relatif singkat. Penelitian ini bertujuan untuk memperpanjang umur simpan tempe sehingga jangkauan pendistribusiannya dapat lebih luas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengeringan dengan batch fluidized solar dryer, pengeringan dengan oven, dan sterilisasi. Tempe yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe M dan tempe N. Kedua jenis tempe tersebut berbeda dalam hal jenis kedelai dan metode pembuatannya. Pengeringan dilakukan pada suhu di bawah 100 C, karena tempe akan rusak jika terkena panas tinggi. Pada pengeringan menggunakan batch fluidized solar dryer dan oven dengan suhu F1 dan F2 C, warna biji kedelai tempe M kuning dan tempe N kecoklatan sedangkan miseliumnya berwarna agak coklat. Pengeringan dengan suhu F3 C warna biji dan miseliumnya menjadi sangat coklat. Aroma tempe M dan tempe N sesudah pengeringan merupakan senyawa hasil reaksi Maillard, dengan intensitas aroma semakin pekat dengan semakin tingginya suhu pengeringan. Tekstur tempe yang dikeringkan dengan batch fluidized solar dryer pada suhu F3 C sudah mengalami case hardening (suatu kondisi dimana bagian luar bahan pangan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah). Berdasarkan hasil pengamatan organoleptik dan laju pengeringan maka suhu pengeringan yang dipilih dalam penelitian ini adalah suhu F2 C. Penetapan lama pengeringan didasarkan pada kadar air kesetimbangan (kadar air di dalam bahan pangan mencapai kesetimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya). Kadar air kesetimbangan tempe kering pada suhu dan RH ruang adalah 39%. Kadar air kesetimbangan ini dicapai dengan pengeringan selama f8 jam dengan menggunakan batch fluidized solar dryer dan v2 jam dengan menggunakan oven. Pada proses sterilisasi tempe, suhu yang digunakan disesuaikan dengan tingkat ketahanan panas bahan pengemas, yaitu suhu S1. Dari hasil perhitungan waktu sterilisasi optimum untuk tempe M adalah s1 menit, sedangkan untuk tempe N adalah s2 menit. Derajat putih tempe sterilisasi adalah 48,49 untuk tempe M, dan 48,05 untuk tempe N. Nilai ini menurun dari nilai derajat putih tempe segar, di mana tempe M memiliki derajat putih 55,59 dan tempe N 53,92. Penurunan ini
disebabkan karena terjadinya reaksi browning non enzimatik pada tempe sterilisasi. Nilai tekstur tempe M sterilisasi adalah 3220,65 gforce sementara tempe N sterilisasi 2683,75 gforce. Nilai tekstur tersebut lebih rendah daripada nilai tekstur tempe segar, dimana tempe M berkisar 5673,70 gforce dan tempe N 5414,85 gforce. Tempe yang dikeringkan dengan batch fluidized solar dryer maupun oven dan disimpan pada suhu ruang sudah mengalami kerusakan pada hari ke-4. Kerusakan ini ditandai dengan timbulnya bau busuk, tekstur agak lunak, warna kedelai memudar, dan permukaan tempe dipenuhi kapang berwarna putih dan agak lengket. Pertumbuhan kapang tersebut disebabkan karena tempe kering masih memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi. Tempe yang dikeringkan dengan batch fluidized solar dryer selama f8 jam pada suhu F2 C memiliki kadar air 41,77 hingga 44,8% dan nilai aktivitas air 0,902 hingga 0,915. Sedangkan tempe yang dikeringkan dengan oven selama v2 jam pada suhu F2 C memiliki kadar air 39,85 hingga 40,26% dan nilai aktivitas air 0,891 hingga 0,918. Tempe sterilisasi masih layak penampakan organoleptiknya setelah disimpan selama 14 hari (2 minggu). Nilai gizi tempe sterilisasi juga cukup tinggi; yaitu kadar air 63,78 hingga 64,69% (bb), kadar abu 0,62 hingga 0,65%, kadar protein 16,61 hingga 17,66% (bb), kadar le mak 14,09 hingga 15,62% (bb), dan kadar karbohidrat 2,94 hingga 3,34% (bb). Nilai gizi tempe steril cukup stabil selama penyimpanan 14 hari, hal ini dapat dilihat dari komposisi kimiawi tempe; yaitu kadar air 64,13 hingga 66,86% (bb), kadar abu 0,60 hingga 0,65 %, kadar protein 16,41 hingga 17,63% (bb), kadar lemak 13,15 hingga 14,39% (bb), dan kadar karbohidrat 1,76 hingga 4,42% (bb).
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UPAYA MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN TEMPE DENGAN METODE PENGERINGAN DAN STERILISASI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : SARI KEMALA NAULI P. F24103302 Dilahirkan pada tanggal 27 Maret 1978 Di Jakarta Tanggal lulus :
Menyetujui, Bogor,
(Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc)
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc ) Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Maret 1978 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Pontas Pakpahan dan Ibu Sinta Minaria br Pohan. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1990 di SD Xaverius II Baturaja, Sumatera Selatan, kemudian penulis melanjutkan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Xaverius I Baturaja, Sumatera Selatan dan tamat tahun 1993. Tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan di sekolah menengah di SMU Xaverius I Baturaja, Sumatera Selatan dan tamat pada tahun 1996. Pada tahun 1996 penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa IPB dan terdaftar sebagai mahasiswa Diploma III Program Studi Supervisor Jaminan Mutu Pangan, Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Setelah menamatkan studi pada tahun 1999, penulis bekerja sebagai salah satu karyawan di PT. Ceres, Bandung hingga tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi Sarjana dan diterima sebagai salah satu mahasiswa Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Allah atas segala berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini yang merupakan syarat dalam kelulusan sarjana. Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada mama dan papa tercinta yang telah mendidik, mengasuh, memberi kasih sayang dan doa kepada penulis serta atas segala ej rih payahnya dalam bentuk moril maupun materiil. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc atas segala bimbingan dan pengarahannya selama kuliah, penelitian, penulisan dan penyelesaian skripsi. Kepada Dra. Suliantari, MS dan Ir. Indra Ishak sebagai penguji, penulis mengucapkan terimakasih atas saran dan masukan yang diberikan. Ucapan yang sama penulis sampaikan juga kepada PT. ABC Indonesia yang telah memberikan bantuan materiil sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh keluarga besarku untuk doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman di Program Studi ITP angkatan 39 dan 40 serta adik -adikku di Gladys atas kebersamaannya selama ini, dan semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi teknik penulisan maupun dalam penyampaian isinya. Akhir kata penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Mei 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah..............................................................................5 C. Tujuan dan Manfaat ............................................................................. 7 2. TINJAUAN PUSTAKA A. Mikrobiologi Fermentasi Tempe .......................................................... 8 B. Pembuatan Tempe ...............................................................................11 1. Bahan baku....................................................................................11 2. Tahapan proses pembuatan tempe.................................................12 C. Pengemasan tempe olahan..................................................................15 3. METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat....................................................................................18 B. Metode ..............................................................................................20 1. Penelitian pendahuluan .................................................................20 1.1. Persiapan bahan baku...........................................................20 1.2. Penentuan suhu pengeringan................................................20 1.3. Penentuan waktu pengeringan..............................................21 1.4. Penentuan suhu sterilisasi.....................................................22 1.5. Penentuan waktu sterilisasi ..................................................22 1.6. Penentuan metode pengawetan tempe ..................................23 2. Penelitian utama ............................................................................24 C. Rancangan Percobaan.........................................................................24 1. Hipotesis ........................................................................................24 2. Perlakuan.......................................................................................25 3. Rancangan percobaan....................................................................25
i
D. Peubah yang Diamati ..........................................................................26 1. Analisis sifat kimia ........................................................................26 1.1. Kadar air ...............................................................................26 1.2. Kadar abu .............................................................................26 1.3. Kadar protein ........................................................................27 1.4. Kadar lemak .........................................................................27 1.5. Kadar karbohidrat.................................................................28 2. Analisis sifat fisik ..........................................................................28 2.1. Nilai pH ................................................................................28 2.2. Tekstur ..................................................................................29 2.3. Warna ...................................................................................29 2.4. Aktivitas air ........................................................................ 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan .......................................................................31 1. Pengukusan....................................................................................31 2. Penentuan suhu pengeringan.........................................................34 3. Penentuan waktu pengeringan.......................................................38 4. Penentuan suhu sterilisasi..............................................................41 5. Penentuan waktu sterilisasi ...........................................................42 6. Penentuan metode pengawetan .................................................... 44 B. Penelitian Utama .................................................................................49 1. Sifat fisik
..................................................................................50
1.1. Nilai pH ................................................................................50 1.2. Tekstur ..................................................................................51 1.3. Warna ..................................................................................52 2. Sifat kimia ..................................................................................53 2.1. Kadar air ...............................................................................53 2.2. Kadar abu .............................................................................54 2.3. Kadar protein ........................................................................55 2.4. Kadar lemak .........................................................................56 2.5. Kadar karbohidrat.................................................................57 3. Tempe sterilisasi sebagai bahan pangan kaya gizi........................58
ii
5. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran
..................................................................................60
..............................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................61 LAMPIRAN....................................................................................................68
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Keuntungan dan Kerugian Pemanasan dengan Air Panas dan Uap Panas .....................................................................................31 2. Penampakan Organoleptik Tempe Kering..........................................35 3. Perhitungan Kadar Air dan Laju Pengeringan Tempe ........................37 4. Nilai Kadar Air dan Aktivitas air (Aw) Tempe Malang Kering
..............................................................................................39
5. Pengamatan Tempe yang Diawetkan dengan Metode Pengeringan dan Sterilisasi .................................................................44 6. Komposisi Proksimat Beberapa Varietas Kedelai..............................50 7. Kandungan Gizi Tempe Sterilisasi......................................................58
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Diagram Alir Proses Pembuatan Tempe dengan Metode Kupas Basah........................................................................................13 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Te mpe dengan Metode Kupas Kering.......................................................................................14 3. Diagram Alir Penelitian......................................................................19 4. Alat Pengering Oven dan Batch Fluidized Solar Dryer......................20 5. Alat Retort dan Vacuum Packer..........................................................22 6. Diagram Alir Metode Pengawetan Tempe ..........................................24 7. Penampakan Tempe yang Dikeringkan Pada Suhu F1, F2, dan F3 C ................................................................................36 8. Kondisi Kemasan yang Dipanaskan Pada Suhu S1 dan S2 C........................................................................................42 9. Penampakan Tempe N dan Tempe M yang Disimpan Selama 3 Hari .....................................................................46 10. Penampakan Tempe Kering yang Disimpan Selama 4 Hari..................................................................................................47 11. Penampakan Tempe Sterilisasi yang Disimpan Selama 14 Hari.................................................................................................49
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Standar Tempe Berdasarkan SNI 01-3144-1998 ................................68 2. Standar Tempe Berdasarkan USDA Nutrient Database.....................69 3. Kadar Air Kesetimbangan Tempe Kering yang Disimpan Pada Suhu Kamar (30-37°C) dan RH 70-90% ....................................71 4. Sidik Ragam dan Uji Duncan pH pada Perlakuan Pengolahan Tempe yang Berbeda .......................................................72 5. Sidik Ragam dan Uji Duncan Tekstur pada Perlakuan Pengolahan Tempe yang Berbeda .......................................................73 6. Sidik Ragam dan Uji Duncan Warna pada Perlakuan Pengolahan Tempe yang Berbeda .......................................................74 7. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Air pada Perlakuan Pengolahan Tempe yang Berbeda .......................................................75 8. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Abu pada Perlakuan Pengolahan Tempe yang Berbeda .......................................................76 9. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Protein pada Perlakuan Pengolahan Tempe yang Berbeda .......................................................77 10. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Lemak pada Perlakuan Pengolahan Tempe yang Berbeda .......................................................78 11. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Karbohidrat pada Perlakuan Pengolahan Tempe yang Berbeda......................................79 12. Sidik Ragam dan Uji Duncan Nilai pH pada Perlakuan Masa Simpan yang Berbeda ................................................................80 13. Sidik Ragam dan Uji Duncan Tekstur pada Perlakuan Masa Simpan yang Berbeda ................................................................81 14. Sidik Ragam dan Uji Duncan Warna pada Perlakuan Masa Simpan yang Berbeda ................................................................82 15. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Air pada Perlakuan Masa Simpan yang Berbeda ................................................................83 16. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Abu pada Perlakuan
vi
Masa Simpan yang Berbe da................................................................84 17. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Protein pada Perlakuan Masa Simpan yang Berbeda ................................................................85 18. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Lemak pada Perlakuan Masa Simpan yang Berbeda ................................................................86 19. Sidik Ragam dan Uji Duncan Kadar Karbohidrat pada Perlakuan Masa Simpan yang Berbeda ...............................................87
vii
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tempe merupakan produk pangan tradisional yang sudah berabad-abad dikonsumsi oleh rakyat Indonesia, terutama di daerah Jawa. Referensi awal mengenai tempe didapatkan dari buku Serat Centhini, yang kemungkinan besar ditulis oleh Rangga Sutrasna. Isi buku ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat Jawa Tengah pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) yang sudah mengkonsumsi tempe sejak awal tahun 1600-an (Soyfoods Center, 2004). Dugaan bahwa tempe berasal dari daerah Jawa Tengah ditegaskan oleh Sapuan et al. (1996), yang menyatakan bahwa pada saat putera-puteri Sunan Giri ataupun mas Cebolang mengelilingi tanah Jawa hanya di daerah Jawa Tengah, yaitu di daerah Mataram (Mataram, Mbayat, dan Bustam), kedelai maupun te mpe disajikan. Sementara pada saat putera Sunan Giri yang bernama Jayengresmi singgah di Surabaya dan Bogor, sajian yang disuguhkan berupa ikan. Pada tahun 1971, Dr. Sastroamijoyo menyatakan teknologi pembuatan tempe pertama kali diadaptasi dari dataran Cina yang membuat produk fermentasi kacang kedelai dengan menggunakan kapang Aspergillus sp., yang kemudian dalam perkembangannya di Indonesia lebih umum menggunakan kapang Rhizopus sp. sebagai laru tempe (Soyfoods Center, 2004). Proses pembuatan tempe sangat didukung oleh kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki suhu rata-rata sekitar 30°C dan kelembaban rata-rata sekitar 75%, sehingga tempe bisa dibuat setiap saat tanpa harus mengatur kondisi untuk pertumbuhan kapang (Syarief et al., 1999). Penyebaran tempe di luar wilayah Jawa Tengah dilakukan pertama kali oleh para transmigran Jawa Tengah yang berada di daerah Jawa Barat dan Lampung. Karena cara pembuatan yang mudah, harga bahan baku yang relatif murah, dan citarasa produk yang enak, maka tempe dengan mudah menjadi salah satu produk pangan yang cukup populer dan sejak awal abad ke-17 sudah dikenal di seluruh wilayah Indonesia (Anonim, 2005 a). Kepopuleran tempe di Indonesia dapat dilihat dari pesatnya perkembangan jumlah industri rumah tangga yang
2
memproduksi tempe. Pada tahun 1976 baru tercatat ada 41.201 buah unit usaha tempe di Indonesia (Soyfoods Center , 2004), tahun 1991 sudah meningkat menjadi 89.668 unit usaha (Nuraini, 1995), dan pada tahun 2000 mencapai 109.884 unit usaha (INKOPTI, 2000). Suriname yang merupakan wilayah tempat tinggal imigran Indonesia, menjadi basis awal penyebaran tempe di luar negara Indonesia. Pada abad ke-19 tempe sudah dikenal di dataran Eropa, Asia, Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia. Pada tahun 1940-an Van Veen mencoba memperkenalkan tempe ke daerah Zimbabwe, Afrika, dan Amerika Selatan. Tetapi karena kurangnya pengetahuan penduduk setempat tentang produk fermentasi maka pengenalan tempe di daerah tersebut kurang berhasil (Anonim, 2005 a ). Meskipun sejak abad 17 penduduk Indonesia sudah mengenal tempe, tetapi perhatian terhadap sisi ilmiahnya baru dimulai pada abad 20. Dari hasilhasil penelitian di dalam dan luar negeri, terungkap nilai gizi dan khasiat tempe yang dapat dimanfaatkan terutama bagi bayi, balita dan ibu dalam menunjang upaya peningkatan kesehatan dan gizi (Anonim, 2005 b ). Bahkan Sarwono (2002) menganjurkan untuk meningkatkan dan memperluas penggunaan tempe, khususnya di daerah rawan gizi. Karena itu pemasaran dalam bentuk terolah, seperti tempe ke ring, tempe bubuk, bahan makanan dengan menggunakan campuran tempe juga perlu ditingkatkan. Tempe yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah tempe yang menggunakan bahan baku kedelai. Fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe menyebabkan pe rubahan kimia maupun fisik pada biji kedelai, menjadikan tempe lebih mudah dicerna oleh tubuh. Setelah fermentasi jumlah nitrogen terlarutnya meningkat 0.5-2.5% dan jumlah asam amino bebas meningkat 1-18 kali lipat dibandingkan kacang kedelai, karenanya se kitar 56% protein dari jumlah yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan secara maksimal (Anonim, 2005 b). Berdasarkan hasil penelitian Reu et al. pada tahun 1994 proses fermentasi menurunkan kadar trigliserida dari 22.3% menjadi 11.5%. Seiring dengan itu kadar asam lemak bebas meningkat sebesar 4.3%. Konsentrasi linoleat dan asam á-linolenat menurun sementara asam oleat akan meningkat karena selama sintesis
3
asam lemak Rhizopus sp. lebih suka memproduksi asam τ-linolenat daripada álinolenat (Liu, 1997). Kedelai mengandung hemaglutinin yang dapat menyebabkan sel darah merah melekat satu sama lain. Selain itu sebagai bahan pangan yang tinggi kandungan tripsin inhibitornya, kedelai bisa menyebabkan pembesaran pankreas. Proses fermentasi dapat menurunkan tripsin inhibitor dan aktivitas hemaglutinin (Fallon et al. 1997). Tempe berperan sebagai pemasok mineral, vitamin B12 , dan zat besi yang sangat dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah. Kadar zat besi pada tempe cukup tinggi (9 mg/100 g bahan) dan bersifat lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan zat besi dari bahan pangan nabati lainnya, dan berperan besar dalam mengurangi kecenderungan mudah pecahnya sel darah merah sehingga selsel tersebut dalam tubuh tetap terjaga (Anonim, 2005 b). Penelitian terakhir me nunjukkan bahwa tempe juga dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Senyawa protein, asam lemak PUFA, serat, niasin, dan kalsium di dalam tempe bisa mengurangi jumlah kolesterol jahat (Low Density Lipid , Very Low Density Lipid, dan Intermediate Density Low), sehingga penyumbatan pembuluh darah oleh plaque kolesterol dan pengerasan pembuluh yang sering menyebabkan penyakit jantung, hipertensi dan stroke dapat dicegah. Selain itu senyawa dalam tempe akan menghambat aktivitas HMG-CoA-reduktase sehingga pembentukan kolesterol pada tahap awal bisa dicegah (Anonim, 2005 b). Russel (2004) menyatakan bahwa mengkonsumsi 25 gram kedelai bisa menurunkan total kolesterol karena protein kedelai akan menstimulasi hati untuk mengeluarkan kolesterol (terutama LDL) dari darah. Dengan berkurangnya total kolesterol maka resiko penyakit kardiovaskular juga akan menurun. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat untuk mengetahui efek kedelai dalam menurunkan kadar kolesterol mendapatkan hasil bahwa konsumsi kedelai selama tiga minggu akan menurunkan kadar kolesterol darah sebesar 21%, kadar trigliserida juga mengalami penurunan, sebaliknya kadar HDL justru meningkat sebesar 15% (Anonim, 2005 c). Konsumsi tempe dapat berperan serta dalam proses pembentukan sel tulang. Selain kandungan kalsiumnya yang cukup tinggi, yaitu 347 mg/100g,
4
tempe juga mengandung zat aktif isoflavon (daedzein, genistein, dan isoflavon tipe 2) yang dapat berikatan dengan reseptor hormon estrogen dalam tubuh, mengurangi keluhan psikovasomotor, dan mencegah gangguan dini menopause (Anonim, 2005 b). Kadar asam fitat yang rendah juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi dan kalsium (Russel, 2004). Tempe juga merangsang fungsi kekebalan tubuh terhadap radikal bebas, sehingga dapat mencegah penyakit kanker. Hal ini disebabkan karena adanya senyawa dalam tempe yang diduga memiliki aktivitas antipenyakit degeneratif. Senyawa tersebut antara lain vitamin E, karotenoid, superoksida dismutase, dan isoflavon (Anonim, 2005 b ). Vitamin E dan karotenoid adalah antioksidan non enzimatik dan lipolitik yang memberikan satu ion hidrogen kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut stabil dan tidak reaktif lagi. Superoksida dismutase yang terdapat pada tempe merupakan enzim yang dapat mengendalikan radikal bebas hidroksil yang sangat ganas, sekaligus memicu tubuh untuk membentuk superoksida itu sendiri, sehingga menjadi salah satu senyawa kunci dalam mencegah penyakit kanker (Anonim, 2005 b). Shimoni (2004) melaporkan bahwa kandungan isoflavon dalam tempe terdiri atas tiga kelompok, yaitu daidzein (269-305µg/g), genistein (452-490µg/g), dan glycitein (30-31µg/g). Selama proses fermentasi maka genistein dan daidzein akan mengalami penurunan akibat proses pengasaman dan perebusan. Tetapi Mangels (1995) menyatakan bahwa walaupun proses fermentasi dapat menurunkan jumlah isoflavon tetapi daya cernanya justru lebih baik sehingga efektivitasnya cukup tinggi dalam mencegah penyakit kanker. Genisterin dapat menghambat
pertumbuhan
sel-sel
kanker
prosta t,
menghambat
potensi
penyebaran sel-sel kanker prostat yang lepas, dan mampu menghambat aktivitas 5-alfa-reduktase
yaitu
enzim
pengubah
hormon
testosteron
menjadi
dihidrotestosteron yang merangsang pertumbuhan jaringan prostat (Afriansyah, 2001). Genistein juga berfungsi sebagai fitoestrogen yang dapat menempel pada reseptor sel-sel duktus kelenjar susu. Jika seluruh reseptor diblokir genistein maka estrogen tidak berpeluang menempel pada reseptor sehingga pertumbuhan sel kanker payudara dapat dicegah (Anonim, 2005 c).
5
Berbagai penelitian yang dilakukan para ilmuwan terhadap tempe semakin beragam. Penelitian yang dilakukan meliputi pula pengembangan produk tempe tidak hanya pada generasi pertama, tetapi juga generasi kedua dan ketiga. Pengembangan produk tempe sebagai makanan yang siap dikonsumsi disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan perkembangan teknologi, sehingga diharapkan setiap lapisan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri dapat menikmati khasiat kesehatan dari produk tempe.
B. Perumusan Masalah Tempe berkualitas tinggi adalah kesatuan kacang kedelai dalam ikatan miselium putih yang seragam dan memenuhi seluruh badan tempe membentuk suatu susunan yang padat dan kompak (Syarief et al., 1999). Jika dilakukan inkubasi dilakukan dala m jangka waktu yang terlalu lama, miselium akan menjadi abu-abu atau hitam. Namun selama tidak timbul bau amonia, tempe tetap layak dikonsumsi. Apabila tempe menjadi basah dan berlendir dengan warna kecoklatan, berbentuk rapuh dan miselium tumbuh tidak merata serta dalam keadaan busuk dan berbau amonia maka tempe tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Terbentuknya bau busuk merupakan sumber kerusakan utama (Sarwono, 2002). Bau busuk tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim proteolitik dalam menguraikan protein menjadi peptida atau asam amino secara anaerobik yang menghasilkan H2S, amonia, metil sulfida, amin, dan senyawa -senyawa lain berbau busuk. Karenanya tempe segar yang disimpan dalam suhu ruang dan tidak dikemas dengan baik akan bertahan maksimal dua hari. Peningkatan daya simpan dan daya terima tempe dilakukan dengan usaha pengawetan dan pengolahan tempe sehingga menghasilkan produk yang bernilai ekonomis lebih tinggi dan lebih awet. Hal ini juga bertujuan sebagai usaha penganekaragaman pangan (Koswara, 1995). Shurtleff dan Aoyagi (1979) melakukan penyimpanan suhu dingin yang dapat memperpanjang umur simpan tempe maksimal satu minggu, sementara penyimpanan beku dapat mengawetkan tempe hingga 100 hari tanpa perubahan berarti dalam penampilan dan citarasa tempe. Proses blansir pada tempe yang
6
dilakukan oleh Hesseltine (1963), dan dikombinasikan dengan penyimpanan dingin atau beku, dapat memperpanjang penyimpanan selama 2 hingga 3 minggu. Iljas (1969) melakukan proses pengalengan tempe, sehingga bisa memperpanjang umur simpan tempe selama 10 minggu. Steinkraus
(1965)
seperti
yang
dikutip
dalam
Nuraini
(1995)
menginkubasi tempe berbentuk kubus kecil (2.5 cm) dalam pengering sehingga diperoleh kadar air 2-4 persen, sehingga umur simpan tempe bisa diperpanjang selama beberapa bulan dalam suhu ruang. Metode
penggorengan
keripik
tempe
yang
sudah
dikeringkan
diperkenalkan oleh Muchtadi et al. (1978), sehingga produk dapat langsung dikonsumsi dengan rasa yang dapat diterima dan umur simpannya mencapai 2 hingga 4 minggu (Muliawati, 1993). Pembekuan cepat tempe (-29°C) yang dianjurkan oleh Frazier dan Westhoff (1978) dan dikutip oleh Simatupang (1985) dapat meningkatkan umur simpan tempe hingga 4 bulan. Tetapi karena tempe bukan bahan penghantar dingin yang baik maka ukuran tempe harus direduksi untuk meningkatkan luas permukaannya. Koswara (1995) memperkenalkan beberapa metode pengawetan antara lain pengeringan beku (freeze drying ) yang dilakukan dengan pembekuan cepat (-14°C) lalu pengeringan pada suhu sedang dengan menggunakan vakum, metode yang lain adalah pengeringan semprot (spray drying ) dengan hasil akhir berupa bubuk tempe yang dapat digunakan sebagai campuran makanan lainnya. Metode yang lain adalah dengan menunda proses fermentasi, dengan cara kedelai kukus dikeringkan sampai kadar airnya kira-kira 12.2%, kemudian dibungkus dengan plastik. Apabila hendak dibuat tempe, kedelai direhidrasidalam air panas selama 15 menit, didinginkan, diinokulasi, dibungkus plastik berlubang dan diinkubasi pada suhu kamar sela ma 18-20 jam (Prihatna, 1991). Nuraini (1995) juga telah mengembangkan salah satu metode pengawetan tempe, yaitu dengan aplikasi pemberian bumbu, pengemasan vakum dan penyimpanan suhu rendah yang dapat meningkatkan umur simpan tempe hingga mencapai 4 minggu.
7
Metode terbaru dalam memperpanjang umur simpan tempe adalah dengan pembuatan hidrolisat tempe (Subagio et al., 2002). Tempe dihidrolisis dengan menggunakan enzim protease Flavourzyme , setelah dihidrolisis maka dipanaskan dengan menambahkan dekstrin dan NaCl, bahan yang telah kental kemudian dikeringkan dengan oven 70°C selama 48 jam, selanjutnya ditepungkan dan diayak. Produk yang dihasilkan memiliki umur simpan lebih lama dari tepung tempe dan berpotensi dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap masakan Pada penelitian ini diusahakan suatu metode pengawetan yang tidak menggunakan biaya tinggi dan memiliki kestabilan mutu selama penyimpanan. Metode tersebut antara lain dengan pengeringan udara panas (oven dan batch fluidized solid dryer) dan sterilisasi menggunakan retort.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan produk tempe yang memiliki umur simpan relatif tinggi pada suhu ruang sehingga dapat mendukung aplikasi pemanfaatan tempe sebagai salah satu pangan sumber protein.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Mikrobiologi Fermentasi Tempe Dalam pembuatan tempe, laru tempe memegang peranan penting, karena laru tempe mengandung spora-spora kapang yang pada pertumbuhannya mampu menghasilkan enzim-enzim hidrolitik yang dapat menguraikan substratnya menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna. Secara tradisional, kapang tempe diinokulasikan dalam bentuk laru tempe yang dibuat dengan menumbuhkan spora kapang dari tempe yang bermutu baik pada onggok. Di Jawa Tengah dikenal pembuatan inokulum tempe dengan cara membiarkan spora kapang dari udara tumbuh pada permukaan daun waru (Hybiscus sp.) atau daun jati (Tectona grandis) yang disebut ‘usar’. Adanya bulubulu tersebut maka kapang tempe dan sporanya dapat menempe l (Syarief et al., 1999). Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979), kebanyakan fermentasi modern menggunakan kultur murni sebagai inokulumnya, yang terdiri dari satu atau kombinasi beberapa jenis mikroba. Penggunaan kultur murni dapat mencegah kontaminasi dari bakteri pembusuk. Kapang yang berperan dalam pembuatan tempe adalah kapang dari genus Rhizopus sp dan yang paling sering ditemukan adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae (Steinkraus, 1983). Dwidjoseputro dan Wolf (1970) mengamati adanya beberapa perbedaan kapang yang tumbuh pada tempe yang berasal dari daerah yang berbeda. Pada tempe Malang banyak ditemukan kapang R. oligosporus, R. oryzae, R. arrhizus, dan Mucor rouxii. Sedangkan R. stolonifer dan R. oryzae ditemukan pada tempe dari daerah Sur akarta. Pada tempe yang ada di Jakarta terdapat Mucor javanicum, Trichosporus pullulans, Aspergillus niger dan Fusarium sp. Steinkraus (1983) menambahkan pada tempe Indonesia (Jakarta, Bogor, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Malang, Bali dan Medan) banyak ditemukan R. oligosporus, R. arrhizus, R. stolonifer, C. freundii, M. luteus, Candida sp., Bacillus sp., Corynebacterium sp., dan Bacterium epidermis.
9
Lebih lanjut Dwidjoseputro dan Wolf (1970) menerangkan sifat-sifat beberapa kapang yang digunakan untuk membuat tempe : 1. Rhizopus oligosporus Rhizopus oligosporus adalah jenis kapang yang banyak digunakan untuk membuat tempe, baik di Indonesia maupun di Amerika Utara. Dibandingkan dengan kapang tempe lainnya, kapang ini memiliki aktivitas protease dan lipase yang kuat (yang sangat ideal untuk memecah protein dan lemak kedelai) yang dikombinasikan dengan aktivitas amilase yang lemah (yang sangat cocok untuk memproduksi tempe dari biji-bijian atau campuran biji dengan kedelai). 2. Rhizopus oryzae Spesies ini memiliki aktivitas amilase yang kuat sehingga kurang baik untuk membuat produk tempe karena enzim ini memecah pati dari biji-bijian menjadi gula sederhana yang kemudian akan mengalami fermentasi menjadi asam organik yang menghasilkan flavor yang tidak diinginkan, aroma dan warna yang gelap. Tetapi karena memiliki sifat aktivitas protease yang kedua tertinggi, kapang ini dapat digunakan untuk membuat tempe kedelai yang baik bila dikombinasikan dengan Rhizopus oligosporus. 3. Rhizopus arrhizus Kapang ini bersifat memiliki aktivitas amilase yang kedua tertinggi setelah Rhizopus oryzae. Kapang ini banyak digunakan untuk membuat tempe kedelai di Jawa Timur dan secara luas digunakan untuk membuat tempe Malang, bersifat lambat matang dan warna putihnya tetap terjaga dalam waktu lama setelah tempe dipanen. 4. Rhyzopus stolonifer Kapang
ini
menghasilkan
sangat
sedikit
amilase,
bahkan
tidak
menghasilkan amilase setelah 138 jam fermentasi. Sifat ini membuat kapang ini cocok untuk membuat tempe kedelai atau biji-bijian. Tetapi kapang ini juga memiliki sifat protease yang lemah sehingga membatasi kemampuannya untuk memecah protein. Berdasarkan hasil penelitian Hermana et al. (1985), penggunaan kultur murni pada pembuatan tempe memberikan hasil yang kurang memuaskan, yait u pertumbuhan kapang lambat dan tempe yang dihasilkan berbau tidak enak. Oleh
10
karena itu digunakan inokulum dalam bentuk laru dengan cara menumbuhkan kapang dari tempe pasar, kultur murni dan usar pada beras. Pada penggunaan kultur murni dengan cara inokulasi langsung, kapang akan beradaptasi terlebih dahulu sehingga pertumbuhan kapang menjadi lambat, serta dapat menyebabkan rendahnya penghambatan pertumbuhan bakteri gram positif dan menimbulkan bau yang tidak enak. Beberapa media yang sering digunakan untuk menumbuhkan kapang tempe antara lain beras, singkong, agar, jagung, dedak, tapioka atau gaplek. Setelah kapang dicampurkan dalam media, ditambahkan air bersih secukupnya, pembungkusan, pemeraman, pengeringan, dan penepungan. Tepung halus ini adalah inokulum yang selanjutnya dapat digunakan untuk pembuatan tempe (Syarief et al., 1999). Inokulum tempe pertama kali diproduksi oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Bandung pada tahun 1976. Ragi tempe LIPI ini dipersiapkan dari biakan murni Rhizopus ol igosporus yang ditumbuhkan pada media beras yang telah dimasak, kemudian media beras yang telah dibiakkan tersebut dikeringkan dan digiling (Sapuan et al., 1996). Dari air rendaman kedelai, selain kapang tempe juga sering ditemukan beberapa jenis bakteri. Bakteri-bakteri tersebut terikut pada proses perendaman kedelai. Berdasarkan penelitian para ilmuwan di Universitas Munster ditemukan dua jenis bakteri penghasil vitamin B12, yaitu Citrobacter freundii dan Klebsiella pneumoniae, dan dua jenis bakteri penghasil antioksidan trihidroksi isoflavon, yaitu Corynebacterium sp. atau Micrococcus luteus. Karmini et al. (1995) mengembangkan inokulum tempe yang merupakan campuran kapang Rhizopus oligosporus dan masing-masing bakteri tersebut. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa inokulum campuran R.oligosporus dan bakteri Klebsiella pneumoniae atau Citrobacter freundii mampu meningkatkan kadar vitamin B12 lebih dari 100%, sementara inokulum campuran R.oligosporus dan Corynebacterium sp. atau Micrococcus luteus tidak menunjukkan adanya kandungan antioksidan isoflavon di dalam tempe.
11
B. Pembuatan Tempe 1. Bahan baku Kedelai merupakan bahan baku utama untuk pembuatan tempe. Beberapa varietas kedelai lokal yang dapat menjadi bahan baku tempe antara lain adalah varietas no 29, Orba, Galunggung, Lokon, Guntur, dan Wilis. Varietas kedelai menghasilkan biji dengan bentuk bervariasi dari bentuk bulat sampai bentuk lonjong. Beberapa varietas kedelai dibedakan menurut warna, yaitu kedelai putih atau kuning dan kedelai hitam atau hijau. Varietas yang termasuk kedelai putih atau kuning adalah varietas Clark 63, TK 5, Taichung, Davros, Economic Garden, Sumbing, Wilis dan sebagainya. Varietas yang termasuk jenis kedelai hitam atau hijau adalah varietas no 317 dan no 29 atau dise but jenis lokal (Sumarno, 1986). Kedelai lokal sering tercampur kerikil atau tanah, memiliki ukuran biji yang kecil dan kandungan air yang tinggi sehingga menghasilkan tempe yang agak basah dan penampakannya kurang menarik. Masalah ini kemudian diatasi dengan penggunaan kedelai impor, yang mulai masuk ke Indonesia sejak tahun 1979. Kedelai impor yang banyak beredar di Indonesia berasal dari RRC, Amerika dan Thailand. Umumnya kedelai impor memiliki ukuran biji yang besar serta seragam dan kadar air yang relatif kecil (Krisdiana et al., 2000). Selain kedelai, masyarakat Indonesia juga membuat tempe dengan memakai bahan baku karabenguk (tempe benguk), biji kecipir (tempe kecipir), biji lamtara (tempe lamtara), ampas tahu (tempe gembus), ampas kacang tanah (tempe bungkil), ampas kelapa (tempe bongkrek), dan biji karet (tempe kaloko) (Sarwono, 2002). Syarief et al. (1999) menambahkan beberapa jenis bahan yang sering digunakan dalam pembuatan tempe, antara lain kacang merah (tempe kacang merah), kacang tunggak (tempe kacang tunggak), kacang hijau (tempe kacang hijau), bulgur (tempe bulur) dan jamur (tempe jamur). Bahkan pada saat ini telah dikembangkan metode pembuatan tempe dengan mengganti sebagian bahan baku kedelai dengan bekatul, jagung, dan rumput laut. Pe nggantian sebagian bahan baku kedelai tersebut dimaksudkan untuk memperkaya kandungan gizi tempe (komplementer). Jagung memiliki kadar provitamin A dalam jumlah cukup besar, bekatul kaya akan vitamin E dan B, dan rumput laut kaya akan kandungan iodium.
12
2. Tahapan Proses Pembuatan Tempe Secara garis besar pembuatan tempe dibedakan berdasarkan metode pengupasan kulit kedelai, yaitu metode kupas basah dan metode kupas kering (Syarief et al., 1999). Metode kupas basah (Gambar 1) ciri utamanya adalah denga n proses pengupasan kedelai dengan cara basah setelah perendaman dalam air panas (pre cooking), pemanasan atau pemasakan pada air yang diasamkan, dan dilanjutkan dengan proses pemeraman pada kantong plastik polietilen yang telah diberi lubang. Perendaman dalam air panas bertujuan untuk mengurangi waktu pemasakan, melunakkan kulit kedelai sehingga mudah untuk dikupas, dan mengurangi jumlah bakteri yang ada dipermukaan kulit kedelai. Tahap selanjutnya adalah perendaman kedelai sehingga keasaman biji kedelai mencapai nilai pH antara 3.5 sampai 5, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pencemar tanpa harus mengganggu pertumbuhan mikroorganisme laru tempe. Metode kupas kering (Gambar 2) perlakuan awal adalah pengeringan menggunakan oven dengan suhu 177°C selama 5 menit atau dengan menggunakan sirkulasi udara panas (93°C) selama 10 menit. Perlakuan pra pemanasan ini akan menyebabkan kulit menjadi pecah dan mudah dikupas, tanpa harus memecahkan biji kedelai, sehingga jumlah kerusakan dan kehilangan dapat ditekan seminimal mungkin. Setelah dibersihkan, kedelai kemudian dikupas dengan menggunakan mesin penggiling, lalu dilewatkan pada hembusan udara untuk menghilangkan kulit arinya. Tahapan selanjutnya adalah pengasaman yang bertujuan untuk mendukung pertumbuhan kapang tempe dan sekaligus menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Pada metode pengupasan kering, tahapan pra fermentasi ini umumnya kurang dapat berjalan dengan baik sehingga untuk mencapai nilai pH yang cukup rendah diperlukan penambahan bahan pengasam, misalnya asam laktat, asam asetat, asam sitrat atau asam cuka. Penambahan bahan pengasam dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ditambahkan pada air pemasak selama pemasakan akhir atau ditambahkan langsung pada kedelai setelah ditiriskan dan didinginkan.
13
Kedelai Dibersihkan
Dicuci
Direbus dalam air mendidih (100°C, 30 menit)
Direndam dalam air rebusan selama 22 jam
Dikupas kulitnya dan dicuci
Direbus dalam air asam (pH 3-5) selama 45 hingga 60 menit
Ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu 25-27°C
Dicampur laru tempe yang aktif Dibungkus dengan wadah tempe
Diinkubasi pada suhu 31°C dan RH 70-85% selama 22-26 jam
Tempe
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan tempe dengan metode kupas basah.
14
Kedelai Dibersihkan dalam kondisi kering
Disemprot udara panas (93°C, 10 menit) atau dikeringkan dengan oven (177°C, 10 menit) Dikupas menggunakan mesin penggiling
Dipisahkan kulit dengan cara meniupkan udara kering atau perendaman dalam air Direbus dalam air asam (pH 3 –5) selama 40 hingga 60 menit Ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu 25-27°C Dicampur dengan laru tempe yang aktif
Dibungkus dengan wadah tempe
Diinkubasi pada suhu 31°C dan RH 70-85% selama 22-26 jam Tempe
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tempe dengan metode kupas kering.
15
Perebusan kedelai bertujuan untuk melunakkan biji kedelai yang sudah dikupas sebelumnya, sehingga memudahkan kapang tempe tumbuh dan miseliumnya menembus dan merajut antar biji kedelai, sehingga diperoleh tempe dengan struktur padat dan kompak, dan mudah diiris. Pemasakan juga penting untuk meningkatkan daya cerna tempe yang dihasilkan, menghasilkan zat anti gizi, menghentikan proses pra-fermentasi, dan membunuh semua bakteri yang tidak diinginkan. Penirisan dilakukan sesudah kedelai dimasak. Kedelai didinginkan sehingga mencapai suhu 25-27°C, untuk memudahkan pertumbuhan starter spora Rhizopus sp. Tahapan terakhir adalah pembungkusan, dilakukan setelah pencampuran ragi. Jenis pembungkus yang dapat diguna kan umumnya sangat beragam. Kemasan awal yang sering digunakan oleh pengusaha tempe tradisional adalah daun pisang, sedangkan untuk daerah Ngawi dan Madiun Jawa Timur tempe sering dikemas dengan daun jati, sementara produsen tempe yang berada di daerah Temanggung lebih sering memanfaatkan batang bambu sebagai pembungkus tempe (Sapuan et al, 1996). Pada tahun 1964 Martinelli dan Hesseltine memperkenalkan tempe yang dibungkus plastik polietilen (Soyfoods Center, 2004). Penggunaan plastik polietilen diperkenalkan di Indonesia oleh Dr. Seno Hamidjoyo pada tahun 1970, dan sejak saat itu para produsen tempe mulai beralih menggunakan plastik polietilen sebagai bahan pengemas (Anonim, 2005 a
).
C. Pengemasan tempe olahan Untuk memperpanjang masa simpan tempe ola han, maka beberapa perlakuan dapat dilakukan, antara lain dengan pengemasan vakum. Pada dasarnya, dengan menggunakan vakum (mengeluarkan udara dari dalam kemasan) maka ketersediaan udara (khususnya oksigen) akan berkurang. Dengan tidak adanya oksigen ini maka kerusakan-kerusakan akan diperlambat, sehingga umur simpannya menjadi lebih panjang (Syarief et al., 1999). Jenis pengemas yang umumnya digunakan untuk pengemasan vakum adalah PE (polietilen), PP (polipropilen), dan Ni-PE (nilon-polietilen).
16
Polietile n adalah polimerisasi dari etilen yang berupa padatan yang jernih dan dalam bentuk film bersifat transparan. Dengan pemanasan polietilen menjadi lunak dan mencair pada suhu 110°C. Salah satu sifat yang paling penting dari polietilen adalah permeabilitasnya yang rendah terhadap uap air. Polietilen juga bersifat thermoplastik sehingga mudah dibuat kemasan dengan derajat kerapatan yang baik (Syarief et al, 1989). Syarief et al. (1989) menyatakan sifat plastik polipropilen antara lain kaku, ringan, daya tembus terhadap uap airnya rendah, mempunyai ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil pada suhu tinggi dan cukup mengkilap. Plastik tipis yang tidak mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu tetapi bukan penahan gas yang baik. Hambali et al. (1990) menambahkan polipropilen mempunyai densitas yang sangat rendah, mempunyai kekuatan tarik yang sangat tinggi, kekakuan dan ketahanan kikis yang lebih besar dari polietilen, lebih transparan dengan permukaan halus, tahan terhadap minyak dan lemak, tahan terhadap basa kuat dan pelarut pada suhu normal kecuali oleh karbon terklorinasi, daya tembus terhadap uap air rendah dan stabil pada suhu tinggi. Poliamida atau nilon diperoleh dengan cara kondensasi polimer dari asam amino atau diamina dengan asam 2-karboksilat (diacid). Poliamida tergolong termoplastik non etilen dengan sifat-sifat antara lain inert, tahan panas, dan mempunyai sifat-sifat mekanik yang istimewa, tahan terhadap asam encer dan basa, tetapi tidak tahan asam kuat dan pengoksidasi. Nilon tidak berasa, tidak berbau dan tidak beracun, larut dalam asam formal dan fenol, tahan suhu tinggi, dan dapat disterilisasi. Nilon cukup kedap gas, tetapi tidak kedap uap air. Sehingga umumnya nilon dilapisi atau digunakan secara kombinasi dengan bahanbahan lain agar diperoleh sifat kemasan yang inert dan mempunyai permeabilitas rendah. Untuk memperoleh sifat kemasan yang mempunyai permeabilitas rendah terhadap gas dan uap air, nilon dilapisi dengan LDPE (Low Density Poly Ethylene). LDPE memiliki sifat kedap air dan uap air yang baik, tetapi transmisi gas cukup tinggi (Syarief et al., 1999). Jika produk tempe disterilisasi dengan retort maka perlu dikemas dengan bahan pengemas tahan panas (retort pouch). Hal ini bertujuan supaya setelah
17
selesai perlakuan retort dan tempe menjadi steril, tidak terjadi pencemaran kembali. Retort pouch umumnya terdiri atas tiga lapisan, yaitu PET (Polyester Trephalat) di bagian luar, aluminium foil di bagian tengah dan MPP (Modified Polypropilen) di bagian dalam yang bersentuhan langsung dengan produk di dalamnya. Lapisan luar yaitu PET dapat dicetak untuk menghasilkan tampilan yang menarik, mampu memberikan ketahanan dan kekuatan pada kemasan dan mempunyai daya simpan mirip kemasan lain. Aluminium foil pada bagian tengah memiliki daya penahan terhadap cahaya, gas dan air, oksigen serta mikroorganisme sehingga dapat menentukan kestabilan bahan pangan. Bagian dalam yang terdiri dari MPP mempunyai kemampuan kelim yang baik dan bersifat adhesif terhadap lapisan diatasnya serta bersifat inert (Winarno, 1994). Kemasan Ni-PE (nilon-polietilen) juga dapat digunakan sebagai retort pouch, karena memiliki ketahanan tinggi terhadap suhu, yaitu sekitar 135-150°C (Syarief et al., 1989).
18
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah tempe M dan tempe N yang diperoleh dari pengrajin tempe di daerah Bogor. Bahan analisa yang digunakan antara lain HCl 0.0485 N, NaOH, K2 SO4, HgO, H2SO4, H3BO3 , Na2S 2O 3, heksana, indikator merah metil dan indikator biru metil yang diperoleh dari laboratorium Biokimia ITP IPB dan laboratorium Kimia ITP IPB. Peralatan yang digunakan antara lain blancher, alat pengering (oven) merk United Heater, alat pengering batch fluidized solid dryer IC 49 D, sealer, retort merk Korimat dan vacuum packer merk Quickpack. Peralatan untuk menganalisis antara lain kjeldhal, oven, tanur, soxhlet, mortar, pH meter, penangas air dan gelas kimia.
B. Metode Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama (Gambar 3). Penelitian pendahuluan bertujuan menentukan metode yang sesuai untuk memperpanjang umur simpan tempe. Metode yang dilakukan antara lain pengeringan (menggunakan oven dan fluidized bed dryer) dan sterilisasi menggunakan retort. Penelitian utama bertujuan menganalisa kandungan gizi dan sifat fisik tempe yang sudah disimpan selama dua minggu, sebagai indikator penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan dan indikator komposisi gizi tempe olahan sebagai bahan pangan sumber protein.
19
Pemotongan tempe
Pengukusan suhu K°C, k menit
Sterilisasi
Pengeringan
Tahap I
Penyimpanan suhu ruang Kontrol
Pengamatan setiap hari sampai te mpe menunjukkan tanda-tanda kerusakan
Penentuan metode yang paling sesuai untuk memperpanjang umur simpan tempe
Analisa sifat fisik dan sifat kimia tempe yang memiliki umur simpan paling lama
Gambar 3. Diagram alir penelitian
Tahap II
20
1. Penelitian Pendahuluan 1.1. Persiapan bahan baku Tempe N dengan ketebalan 2,2 cm dipotong-potong ukuran 17,0 x 6,0 cm dan tempe M dengan ketebalan 2,5 cm dipotong-potong berukuran 17,4 x 6,0 cm. Kedua jenis tempe tersebut kemudian ditimbang dan didapatkan bahwa tempe M memiliki bobot rata -rata 190 gram sementara tempe N memiliki bobot rata-rata seberat 155 gram. Tempe kemudian dikukus suhu K C selama k menit, lalu ditiriskan.
1.2. Penentuan suhu pengeringan Tempe M dan tempe N yang telah ditiriskan kemudian dikeringkan dengan menggunakan alat oven dan batch fluidized solar dryer. Kedua jenis alat pengering tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Alat pengering oven (kiri) dan batch fluidized solar dryer (kanan)
Suhu yang digunakan dalam pengeringan adalah F1, F2, dan F3°C untuk batch fluidized solar dryer serta F1 dan F2°C untuk oven. Pemilihan suhu tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa suhu
tersebut merupakan suhu pasteurisasi
sehingga diharapkan dapat menginaktifkan kapang tempe. Sedangkan suhu F3°C merupakan batas suhu tertinggi pengeringan untuk tidak merusak nilai biologis
21
dari protein, yang merupakan komponen terbesar di dalam tempe. Hasil pengeringan kemudian diamati penampakannya secara organoleptik, laju penurunan kadar airnya dan kadar air akhirnya. Tempe M dan tempe N yang dikeringkan, diukur kadar air rata-rata basis basahnya. Data tersebut kemudian digunakan untuk menghitung laju pengeringan tempe. Persamaan yang digunakan untuk menentukan laju pengeringan tempe adalah : LP i = (KBBi – KBB i-1)/ (Ti – T i-1) Dimana : LP
: laju pengeringan bahan (% bb/ menit)
KBBi
: kadar air basis basah bahan ke-i
KBB i-1 : kadar air basis basah bahan ke (i – 1) Ti
: selang waktu pengamatan ke -i
T i-1
: selang waktu pengamatan ke (i – 1)
I
: indeks 1, 2, 3, 4, dan seterusnya
1.3. Penentuan waktu pengeringan Suhu yang digunakan dalam pengeringan adalah suhu yang memberikan penampakan organoleptik terbaik dan laju penurunan kadar air yang tinggi. Waktu pengeringan yang digunakan adalah f1, f2, f3, f4, f5, f6, f7, dan f8 jam untuk batch fluidized solid dryer serta v1, v2, v3, v4, v5, v6, dan v7 jam untuk oven. Waktu pengeringan yang relatif lama tersebut didasarkan pertimbangan ukuran tempe yang cukup besar, sehingga diharapkan air bebas yang dikeluarkan dari dalam bahan cukup besar dan merata dari seluruh bagian tempe. Tempe yang sudah dikeringkan kemudian diukur kadar air dan aktivitas airnya. Kadar air kesetimbangan tempe diukur dengan cara 100 gram tempe kering yang memiliki kadar air terendah disimpan pada suhu kamar (30-37ºC) dan RH kamar (70-80%). Tempe yang sudah disimpan selama 24 jam kemudian diukur kadar airnya.
22
Kadar air (% bb) = ( W awal contoh – W akhir contoh ) x 100% W awal contoh W = berat (g)
1.4. Penentuan suhu sterilisasi Tempe yang sudah ditiriskan, kemudian dikemas vakum dan disterilisasi dengan menggunakan retort. Alat retort dan vacuum packer dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Alat retort (kiri) dan vacuum packer (kanan)
Suhu yang digunakan adalah suhu S1 dan S2. Suhu yang dipilih adalah suhu tertinggi yang dapat diterima oleh kemasan, diharapkan kemasan tidak menipis dan tidak mengalami kebocoran.
1.5. Penentuan waktu sterilisasi Penentuan waktu sterilisasi ditentukan berdasarkan hasil pengukuran penetrasi panas. Termokopel dipasang ditengah kemasan pada bagian tengah tempe (dianggap bagian titik terdingin dari kemasan). Kemasan kemudian
23
divakum dan dikelim, kemudian dimasukkan kedalam retort. Termokopel dihubungkan dengan rekorder, kemudian mulai dilakukan pengukuran setelah retort mencapai suhu retort. Selama proses pemanasan, perubahan suhu dicatat setiap menit. Pengukuran data pemanasan dilakukan sejak air pemanas diisikan ke dalam retort sampai suhu produk mencapai suhu sterilisasi yang didapatkan dari penentuan suhu sterilisasi sebelumnya. Dari hasil pencatatan kemudian diplotkan ke dalam kertas semi logaritma untuk kurva pemanasannya. Karena pendinginan tempe dilakukan tanpa menggunakan air pendingin maka nilai Tpic ditetapkan sama dengan nilai Tic, penetapan ini bertujuan untuk meningkatkan waktu pemanasan. Berdasarkan kurva pemanasan dapat diketahui nilai Tih, Tpih, dan fh. Sedangkan nilai Tpic, Tic, dan fc diperoleh dari penetapan waktu pendinginan. Perhitungan waktu sterilisasi menggunakan metode formula (Ball) dengan rumus : P= fh (log Jch Ih – log g) dan B = P + 0,4 CUT Dimana nilai fh diperoleh dari pembacaan grafik, dan nilai Ih dan Jch diperoleh dari perhitungan, sedangkan nilai g diperoleh dari pembacaan tabel hubungan antara fh/U, Z dan Jcc dengan g.
1.6. Penentuan metode pengawetan tempe Berdasarkan penentuan suhu dan waktu pengeringan serta sterilisasi maka didapatkan parameter yang dapat digunakan dalam pengawetan tempe. Diagram alir metode pengawetan tempe dapat dilihat pada Gambar 6.
24
Tempe M
Tempe N
Pengukusan dengan uap panas K°C selama k menit
Pengeringan
Pengemasan vakum
Pengemasan vakum
Sterilisasi
Penyimpanan pada suhu ruang
Gambar 6. Diagram alir metode pengawetan tempe
Penyimpanan dilakukan selama dua minggu, kemudian dilakukan pengamatan organoleptik untuk mengetahui pengaruh metode pengawetan terhadap umur simpan tempe.
2. Penelitian Utama Dari kedua metode tersebut dipilih metode yang paling efektif dalam memperpanjang umur simpan tempe. Untuk mengetahui kestabilan nilai gizi dan daya terima konsumen terhadap tempe yang dihasilkan maka dilakukan pengujian sifat fisik dan kimia pada minggu ke-0 dan minggu ke-2.
C. Rancangan Percobaan 1. Hipotesis H0 = tidak ada perbedaan pe ngaruh dari perlakuan yang diuji. H1 = paling sedikit ada 2 perlakuan yang berbeda.
25
Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis sidik ragam (uji F) untuk mengetahui apakah ada perbedaan secara nyata nilai rata-rata tiap persamaan yang diuji. Untuk mengetahui parameter yang menunjukkan perbedaan maka dilakukan uji pembanding harga rata-rata dengan menggunakan uji Duncan.
2. Perlakuan A. Jenis tempe A1 = tempe N A2 = tempe M B. Cara pengawetan pada tempe B1 = segar B2 = sterilisasi C. Lama penyimpanan (minggu) C1 = minggu ke-0 C2 = minggu ke-2
3. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap yang disusun dengan faktorial 2 x 2 dengan dua kali ulangan. Model linier rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Yijl = ì + Ai + Bj + (AB)ij + ål(ij) Keterangan : Yijl
= nilai pengamatan pengaruh jenis tempe taraf ke -i dan pengaruh lama penyimpanan/ kondisi pengolahan taraf ke-j dengan ulangan ke-l
ì
= rata-rata
Ai
= pengaruh perlakuan A (jenis tempe) pada taraf ke-i (tempe M dan tempe N).
Bj
= pengaruh perlakuan B (lama penyimpanan/pengawetan) pada taraf ke-j (0 minggu dan 2 minggu/ segar dan sterilisasi)
26
(AB) ij = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B ål(ij)
= pengaruh kesalahan percobaan pada ulangan ke-l karena pengaruh Ai , Bj , dan (AB)ij.
D. Peubah Yang Diamati. 1. Analisis Sifat Kimia Tempe 1.1. Kadar air (AOAC, 1995) Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven 100-105°C selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh homogen dimasukkan dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105°C selama 6 jam atau sampai berat tetap. Cawan yang telah berisi contoh tersebut selanjutnya dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat, yaitu selisih berat awal dikurangi berat akhir.
Kadar air (% bb) = ( W awal contoh – W akhir contoh ) x 100% W awal contoh W = berat (g)
1.2. Kadar abu (AOAC, 1995) Penentuan kadar abu ditentukan dengan alat tanur. Cawan porsele n dipanaskan terlebih dahulu dalam tanur kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3 – 5 gram contoh di dalam cawan porselen dibakar sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur bersuhu 600°C sampai berwarna putih (semua sampel telah menjadi abu atau sampai berat tetap). Contoh kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu adalah :
Kadar abu (% bb) =
W abu W contoh awal
x 100%
27
1.3. Kadar protein (AOAC, 1995) Ditimbang 0.2 gram contoh (kira-kira membutuhkan 3 – 10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N). Contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4 40 ± 10 mg HgO dan 2.0 ± 0.1 ml H2 SO4. Contoh kemudian dididihkan sampai cairan menjadi jernih (sekitar 1-1.5 jam). Tabung beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 25 ml air suling secara perlahan. Larutan jernih ini kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air (1-2 ml) sebanyak 5-6 kali. Air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambah 8 – 10 ml larutan NaOHNa2 S2 O3. Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3 BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3 BO3. Kemudian destilasi dilakukan sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer kemudian diencerkan sampai 50 ml lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Prosedur ini dilakukan juga terhadap blanko. Dari persen nitrogen yang terukur maka kadar protein produk dapat diketahui.
N (% bb) =
(ml HCl contoh – ml HCl blanko)
x N HCl x 14.007 x 100%
mg sampel kering Kadar protein (% bb) = faktor konversi (f.k = 6.25) x % N
1.4. Kadar lemak (AOAC, 1995) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah proses ekstraksi Soxhlet. Pertama kali labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sebanyak 5 gram contoh dalam bentuk tepung dibungkus dengan kertas saring. Kertas saring yang berisi contoh tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Alat
28
kondensor diletakkan di atasnya dan lemak labu diletakkan di bawahnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C sehingga mencapai berat yang tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak didalamnya ditimbang dan berat lemak dapat diketahui.
Kadar lemak (% bb) =
W lemak
x 100 %
W sampel awal
1.5. Kadar karbohidrat ( by difference ) Kadar karbohidrat dalam sampel dihitung dari sisa kandungan komponen kimia lainnya untuk mencapai 100%
Kadar karbohidrat (%) = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak)
2. Analisis Sifat Fisik Tempe 2.1. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989) Sebelum pengukuran pH meter telah dinyalakan dan distabilkan selama 15-30 menit, kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada pH 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Contoh yang telah dihaluskan sebanyak 10 gram ditambah dengan 10 ml air destilata dan dicampur sampai merata. Elektroda pH meter kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu angka (stabil). Nilai pH diukur sebanyak 2 kali ulangan.
29
2.2. Tekstur Pengukuran tekstur tempe dilakukan dengan alat Texture Analyzer. Sebelum pengujian terlebih dahulu dilakukan kalibrasi alat. Kalibrasi alat meliputi penentukan jarak antara piring sampel dengan plunger yang akan digunakan yaitu 40 mm, kecepatan penurunan plunger 1 mm/sec, waktu penekanan yaitu 9,5 detik , dan distance penekanan yang sesuai yaitu 25% . Sampel yang memiliki ukuran dimensi yang seragam (3 x 3 x 3 cm) diletakkan pada piringan. Plunger diaktifkan dengan menekan TA quick run as test atau tombol Ctrl dan Q pada komputer. Hasil pengukuran terekam berupa kurva.
Tekstur tempe dinyatakan sebagai gram gaya yang dibutuhkan untuk melakukan deformasi sebesar 25% pada bahan pangan, yang ditunjukkan oleh puncak kurva.
2.3. Warna Pengujian sifat fisik warna dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma Meters CR310. Setelah alat dihidupkan, dilakukan pengaturan indeks data dengan cara menekan tombol Index Set, lalu dilanjutkan dengan menekan tombol Scroll Bar dan Enter untuk mengaktifkan perintah pengukuran warna. Pengukuran warna dilanjutkan dengan cara mendekatkan kamera pengukur warna
30
pada sampel dan dilanjutkan dengan menekan tombol Target Color Set. Data hasil pengukuran warna L, a, dan b akan tercatat pada alat Paper Sheat. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan yang memiliki nilai antara 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menunjukkan warna kromatik merah sampai hijau. Nilai + a (positif) mempunyai kisaran 0 sampai 100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai –80 untuk warna hijau. Nilai b menunjukkan warna kromatik biru sampai kuning dengan kisaran 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai 0 sampai –70 untuk warna biru. Efek pemanasan terhadap warna bahan dapat dilihat dengan rumus : Derajat putih = 100 – [(100-L) 2 + (a2+b 2)]1/2
Dimana semakin rendah nilai derajat putih maka semakin coklat warna bahan.
2.4. Aktivitas air (Aw) Sebelum dilakukan pengukuran, maka alat Shibura WA-360 ter lebih dahulu distandarisasi dengan menggunakan larutan standar NaCl jenuh, diperoleh nilai 0.750. Kemudian 1 gram sampel dimasukkan ke dalam wadah, tombol start ditekan dan ditunggu hingga alat selesai mengukur kisaran aw sampel yang ditandakan dengan nilai yang tidak berubah lagi (completed).
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan 1. Pengukusan Pengukusan adalah proses pemanasan bahan pangan dengan uap air atau air panas secara langsung pada suhu K°C selama kurang lebih k menit. Secara umum keuntungan dan kerugian pemanasan dengan air panas dan uap air dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Keuntungan dan kerugian pemanasan dengan air panas dan uap panas Proses
Keuntungan
Kerugian
Pemanasan dengan uap
Kehilangan komponen
Pencucian bahan pa-
panas
larut air minimum
ngan terbatas
Dapat dioperasikan da-
Biaya investasi tinggi
lam
volume
bahan
sedikit Pemanasan panas
dengan
air
Biaya investasi rendah
Kehilangan komponen
Efisiensi energi lebih
larut air cukup besar
baik
Mempunyai resiko kontaminasi oleh bakteri thermofilik
Sumber : Fellows (1992) di dalam Salam (1999)
Tempe selain merupakan pangan nabati berprotein tinggi, juga berperan dalam menjaga kesehatan. Komponen-komponen yang berperan dalam menjaga kesehatan tubuh dari tempe adalah vitamin, mineral, dan isoflavon. Ketiga jenis komponen tersebut bersifat larut air (Salam, 1999), sehingga untuk mencegah kehilangan komponen-komponen nutrisi dan mengurangi resiko kontaminasi oleh bakteri termofilik, maka proses pemanasan yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan uap air panas. Kalor pemanasan lebih cepat terhantarkan dengan media air panas daripada uap panas, sehingga proses perusakan protein dengan air panas semakin cepat pula terjadi (Nurasa, 1991).
32
Proses pengukusan yang diterapkan juga bertujuan mematikan kapang pada tempe sehingga proses fermentasi berhenti. Pemanasan 60 C selama 10 menit dapat mematikan bentuk vegetatif kapang, tetapi spora kapang membutuhkan ‘heat shock’ yang lebih tinggi, yaitu sekitar 75-100 C selama 5 hingga 20 menit (Naim, 2003). Proses pengukusan sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau sterilisasi. Tujuan proses pengukusan tergantung pada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan tersebut. Misalnya pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk menonaktifkan enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna, citarasa dan tekstur, proses pengukusan sebelum sterilisasi untuk melayukan jaringan tanaman, menghilangkan gas dari jaringan, menginaktifkan enzim dan menaikkan suhu awal bahan sebelum disterilisasi (Damayanthi et al., 1995). Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartoyo (1994), didapatkan bahwa proses pengukusan pada pengolahan tempe memiliki peranan dalam menurunkan kadar rasa pahit pada produk akhir. Rasa pahit dari produk kedelai berasal dari peptida yang tidak terhidrolisis sempurna. Peptidapeptida tersebut diantaranya H.Gly -Leu.OH, H.Leu-Phe.OH, H.Ser-Lys-GlyLeu.OH, H.Arg-Leu-Leu.OH, dan H.Arg-Leu.OH. Hal ini dimungkinkan karena senyawa-senyawa tersebut bersifat volatil sehingga ikut menguap bersama uap air. Aktivitas enzim lipoksigenase dalam mengkatalisis oksidasi lemak tidak jenuh sehingga menimbulkan rasa pahit pada tempe juga dapat diturunkan melalui proses pengukusan. Berdasarkan hasil penelitian Savage (1995) didapatkan bahwa aktivitas lipoksigenase menurun sebesar 23% dengan pemanasan suhu 98,9 C selama 15 menit. Proses pengukusan dapat menurunkan kadar lemak pada irisan tempe. Pada tempe yang dikukus kadar lemaknya sekitar 26,82%, sementara tempe yang tidak dikukus memiliki kadar lemak sekitar 27,45% (Salam, 1999). Penurunan kadar lemak pada tempe menyebabkan jumlah asam lemak yang dapat teroksidasi menjadi lebih rendah, sehingga rasa pahit yang ditimbulkan oleh oksidasi asam lemak dan aroma tengik dapat dicegah.
33
Berdasarkan hasil penelitian Salam (1999) proses pengukusan dapat menurunkan kadar air irisan tempe sebelum dikeringkan. Irisan tempe yang tidak mengalami pengukusan memiliki kadar air sebesar 3,67% sementara irisan tempe yang mengalami pengukusan memiliki kadar air sebesar 3,42%. Hal ini disebabkan karena pengukusan menyebabkan perubahan membran sitoplasmik jaringan bahan pangan sehingga pergerakan air terikat dan komponen-komponen larut air tidak terhambat. Kadar air yang rendah menyebabkan tingkat kerenyahan tempe kering menjadi lebih besar. Proses pengukusan juga berpengaruh pada peningkatan kecerahan, karena terjadinya penghilangan udara dan debu pada permukaan yang menyebabkan perubahan panjang gelombang cahaya yang dipantulkan. Irisan tempe yang dikukus memiliki tingkat kecerahan 59,23 sementara irisan tempe yang tidak dikukus memiliki tingkat kecerahan 57,19 (Salam, 1999). Tempe merupakan bahan penghantar panas yang kurang baik. Kandungan air yang tinggi pada tempe (64.77 hingga 65.52%) menyebabkan tempe membutuhkan kalor pemanasan yang besar pula . Uap air yang merupakan media pemanasan pada proses sterilisasi memiliki nilai koefisien pindah panas konveksi yang rendah (87,50 BTU/hr/ F/ft2). Karakteristik tempe yang bersifat penghantar panas yang kurang baik dan nilai koefisien pindah panas media uap air yang rendah menyebabkan proses sterilisasi tempe membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemanasan dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan protein yang cukup besar. Untuk mencegah tingkat kerusakan protein yang terlalu besar maka perlu diupayakan suatu metode untuk dan menurunkan tekstur tempe, sehingga kalor pemanasan akan lebih cepat terhantarka n. Proses pengukusan tempe dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada dinding sel kedelai dan melonggarkan jaringan kedelai, sehingga tekstur tempe menjadi lebih porous dan gas yang terperangkap di dalam jaringan dapat dikeluarkan. Tekstur tempe yang porous akan memudahkan proses penetrasi panas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk sterilisasi juga menjadi lebih singkat, sedangkan hilangnya gas dari dalam jaringan dapat mengurangi tekanan dalam kemasan sehingga proses sterilisasi menjadi lebih efektif (Fardiaz, 1988).
34
Populasi sel mikroba awal juga mempengaruhi efektivitas proses sterilisasi. Semakin tinggi jumlah sel mikroba awal maka semakin tinggi tingkat ketahanan terhadap panas, karena semakin banyak komponen pelindung yang dihasilkan dan semakin besar peluang untuk mendapatkan sel yang mempunyai ketahanan panas tinggi (Fardiaz, 1992). Pengukusan yang dilakukan sebelum proses sterilisasi akan menurunkan jumlah mikroba awal pada bahan pangan, sehingga waktu sterilisasi yang dibutuhkan menjadi lebih singkat.
2. Penentuan suhu pengeringan Proses pengeringan adalah proses penurunan kadar air sampai batas tertentu, sehingga dapat memperlambat kerusakan bahan akibat aktivitas biologis dan kimia sebelum bahan diolah. Pengeringan juga merupakan proses pindah panas dan kandungan air bahan secara simultan. Panas yang dibawa oleh media pengering (udara) dipakai untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan. Uap air tersebut akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara pengering. Semakin tinggi suhu udara pengering, semakin besar perbedaan suhu, maka semakin besar kadar air yang dapat diuapkan dari dalam bahan pangan. Parameter di dalam proses pengeringan adalah suhu udara pengering, kelembaban nisbi udara pengering, kecepatan aliran udara pengering, laju pindah panas atau laju pengeringan, kadar air awal bahan dan kadar air akhir bahan yang dikeringkan (Devahastin, 2000). Udara mengandung uap air yang dinyatakan dengan kejenuhan relatif (RH)
dan
humiditas
mutlak.
Apabila
humiditas
udara
rendah
maka
kemampuannya dalam menyerap uap air dari dalam bahan akan semakin besar. Salah satu upaya untuk menurunkan humiditas udara adalah dengan pemanasan, mengingat humiditas udara tropis sangat tinggi maka dibutuhkan suhu pengeringan yang tinggi pula. Semakin tinggi suhu pengeringan semakin banyak air yang dapat dikeluarkan dari dalam bahan pangan sehingga kadar air bahan pangan pun semakin rendah (Sarwono, 2005). Suhu yang digunakan dalam penelitian antara lain F1, F2, dan F3°C (pengeringan dengan batch fluidized solar dryer) serta F1 dan F2°C (pengeringan dengan oven). Pemilihan suhu pengeringan berdasarkan hasil uji penampakan
35
secara organoleptik terhadap produk hasil pengeringan (Tabel 2 dan Gambar 7), laju penurunan kadar airnya dan kadar air produk akhir. Tabel 2. Hasil uji penampakan secara organoleptik terhadap tempe kering Jenis
Suhu
Cara
tempe
( C)
pengeringan
Warna
Aroma
Tekstur
oven
Biji kedelai kuning, miselium
Maillard
Agak keras
agak coklat (+)
(+)
(+)
Batch fluidized
Biji kedelai kuning, miselium
Maillard
Agak keras
solar dryer
agak coklat (+)
(+)
(+)
oven
Biji kedelai kuning, miselium
Maillard
Agak keras
agak coklat (++)
(++)
(++)
Batch fluidized
Biji kedelai kuning, miselium
Maillard
Agak keras
solar dryer
aga k coklat (++)
(++)
(++)
Batch fluidized
Biji kedelai dan miselium
Maillard
Keras, dan terbentuk
solar dryer
coklat (+++)
(+++)
case hardening pada
F1
Tempe Malang
F2
Penampakan organoleptik
F3
permukaan tempe (+++) oven
Biji kedelai krem kecoklatan,
Maillard
Agak keras
miselium agak coklat (+)
(+)
(+)
Batch fluidized
Biji kedelai krem kecoklatan,
Maillard
Agak keras
solar dryer
miselium agak coklat (+)
(+)
(+)
oven
Biji kedelai krem kecoklatan,
Maillard
Agak keras
miselium agak coklat (++)
(++)
(++)
Batch fluidized
Biji kedelai krem kecoklatan,
Maillard
Agak keras
solar dryer
miselium agak coklat (++)
(++)
(++)
Batch fluidized
Biji kedelai dan miselium
Maillard
Keras, dan terbentuk
solar dryer
coklat (+++)
(+++)
case hardening pada
F1
Tempe Bogor
F2
F3
permukaan tempe (+++)
Keterangan : +, ++, +++, dan ++++ menunjukkan tingkat intensitas parameter
36
Gambar 7. Penampakan tempe yang dikeringkan (a) suhu F1°C, (b)F2°C dan (c) F3°C
Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang akhirnya menurunkan mutu bahan pangan tersebut. Kerusakan-kerusakan tersebut antara lain pembentukan warna coklat akibat reaksi browning non enzimatik, terjadinya shrinkage (keretakan jaringan bahan pangan), migrasi zat terlarut
dan
zat
mudah
menguap serta
terbentuknya
case
hardening
(Wirakartakusumah et al., 1992). Pada umumnya bahan hasil pertanian akan rusak jika terkena panas tinggi, sehingga pengeringan harus dilakukan pada suhu rendah, yaitu di bawah suhu 100°C (Sarwono, 2005). Warna coklat pada tempe kering disebabkan oleh reaksi browning non enzimatik antara asam organik dan gula pereduksi. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan laju pencoklatan secara cepat, dimana laju pencoklatan meningkat dua hingga tiga kali lipat untuk kenaikan 10°C (deMan, 1997). Aroma pada tempe kering disebabkan karena komponen-komponen hasil reaksi Maillard, antara lain 2-furfuryl alkohol, 2-furaldehide, 5-asetil-2,3-dihydro1H-pirolizine,
4-asetilazole,
dan
2-metilpropanal.
Semakin
tinggi
suhu
pengeringan semakin cepat reaksi Maillard terjadi, sehingga komponenkomponen volatil yang dihasilkan juga semakin banyak, karenanya aroma tempe menjadi semakin pekat (Nurkori, 1999). Pengeringan dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur senyawa yang semula bers ifat porous menjadi memadat. Semakin tinggi suhu pengeringan
37
semakin tinggi perubahan struktur bahan sehingga semakin keras tekstur bahan. Suhu yang terlalu tinggi akan memicu terjadinya case hardening, yaitu suatu keadaan di mana bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah (Wirakartakusumah et al., 1992). Untuk menentukan laju pengeringan, maka dibutuhkan data kadar air produk yang dikeringkan selama selang waktu tertentu. Perhitungan laju pengeringan tempe M dan tempe N yang dikeringkan selama f jam (menggunakan batch fluidized solar dryer ) dan v jam (menggunakan oven) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perhitungan kadar air dan laju pengeringan tempe Suhu
Alat
( C)
pengering
Jenis tempe
KA (%bb)
Laju
Laju
pengeringan
pengeringan
(%bb/menit)
rata-rata 0,0745
Batch
Tempe M
50,22
0,1275
fluidized
Tempe N
62,19
0,0215
Tempe M
57,11
0,0280
Tempe N
57,41
0,0245
Batch
Tempe M
53,87
0,0971
fluidized
Tempe N
54,23
0,0878
Tempe M
56,89
0,0288
Tempe N
55,12
0,0322
Batch
Tempe M
59,81
0,0476
fluidized
Tempe N
51,58
0,1099
solar dryer Oven F1
0,0263
0,0924
solar dryer Oven F2
F3
0,0305
0,0788
solar dryer
Laju pengeringan bahan pangan dibedakan atas dua periode, yaitu periode laju pengeringan tetap dan laju pengeringan menurun. Pada periode laju pengeringan tetap tempe masih mengandung air cukup banyak sehingga kecepatan pengurangan air dipermukaan tempe sebagian besar tergantung pada keadaan di sekitar tempe tersebut. Apabila tempe sudah mencapai kadar air kritis maka selisih tekanan uap bahan dengan tekanan uap udara semakin kecil sehingga laju difusi, laju penguapan, dan laju pengeringan semakin lambat (Chaplin, 2001).
38
Laju pengeringan pada suhu F1 C lebih rendah daripada laju pengeringan suhu F2 dan F3 C. Hal ini disebabkan karena suhu pengeringan yang digunakan cukup rendah, sehingga humiditas udara pengering tinggi. Selama pengeringan terjadi migrasi uap air dari dalam bahan ke udara, sehingga humiditas udara bertambah, dan akhirnya mencapai kejenuhan. Udara jenuh tidak mampu lagi menyerap uap air dari bahan pangan, sehingga kadar air akhir tempe kering cukup tinggi (Manley, 1998). Pada suhu F2°C laju penurunan kadar air selama proses pengeringan tinggi, hal ini disebabkan karena suhu yang digunakan cukup tinggi sehingga humiditas udara rendah. Karena humiditas udara rendah, maka kemampuannya dalam menyerap air akan lebih besar sehingga selama proses pengeringan tempe udara belum mencapai kejenuhan. Pada suhu F3°C laju pengeringan lebih rendah daripada suhu F2°C, tetapi lebih tinggi daripada laju pengeringan suhu F1°C. Suhu yang terlalu tinggi akan memicu terjadinya ‘case hardening’, yaitu suatu keadaan dimana bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan karena terjadinya penggumpalan protein pada permukaan bahan sehingga menghambat proses penarikan air dari dalam bahan (Manley, 1998) Berdasarkan penampakan organoleptik tempe yang cukup baik dan laju pengeringan yang cukup tinggi (0,0924%bb/menit untuk batch fluidized solar dryer dan 0,0305%bb/menit untuk oven), maka suhu yang dipilih sebagai suhu pengeringan tempe dalam penelitian ini adalah F2 C. 3. Penentuan waktu pengeringan Tempe memiliki kandungan air yang cukup besar, yaitu sekitar 64,77 hingga 65,52%. Selama proses pengeringan terjadi penguapan air dari dalam tempe, sehingga terjadi penurunan kandungan air pada tempe, air yang menguap ini merupakan tipe air bebas. Berdasarkan hasil penelitian Muliawati (1993) yang mengeringkan keripik tempe dengan ketebalan 0,2 cm, didapatkan bahwa kadar air tempe yang semula 61,14 hingga 68,18% setelah dikeringkan menjadi 1,58 hingga 10,98%. Kondisi ini menunjukkan bahwa air yang terkandung di dalam tempe sebagian besar merupakan air bebas.
39
Pada umumnya semakin lama waktu pengeringan maka jumlah air yang diuapkan dari dalam bahan pangan semakin besar, sehingga kadar air bahan pangan semakin rendah. Keawetan produk pangan yang dikeringkan selain dipengaruhi oleh kadar air juga dipengaruhi oleh aktivitas airnya. Aktivitas air menerangkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan pangan apabila terikat kuat dengan komponen bukan air, lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia (Winarno, 1997). Pengurangan aktivitas air sampai di
bawah 0,700 dianggap cukup baik untuk mencegah kerusakan
mikrobiologis (Wirakartakusumah et al., 1992). Nilai kadar air dan aktivitas air (Aw) tempe yang dikeringkan pada suhu F2 C dengan menggunakan batch fluidized solar dryer dan oven dapat dilihat pada Tabel 4. Pengamatan dilakukan tiap 30 menit dimulai dari pengeringan selama f1 jam hingga f8 jam untuk batch fluidized solar dryer , dan tiap 1 jam dimulai dari pengeringan selama v1 jam hingga v7 jam untuk oven.
Tabel 4. Nilai kadar air dan aktivitas air (Aw) tempe kering Jenis alat
Waktu
Kadar air
Nilai Aw
pengering
pengeringan
rata-rata
rata-rata
(jam)
(%bb)
f1
43,85
*
f2
45,51
*
f3
51,36
0,940
Batch fluidized
f4
49,50
0,933
solar dryer
f5
46,67
0,932
f6
44,93
0,927
f7
40,92
0,926
f8
39,68
0,915
v1
45,37
*
v2
42,13
0,918
v3
36,79
0,912
40
Oven
v4
34,09
0,904
v5
27,32
0,895
v6
23,67
0,772
v7
24,74
0,772
*tidak dilakukan pengukuran
Proses pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan aktivitas air hingga di bawah 0,700. Laju penurunan aktivitas air dengan pengeringan menggunakan batch fluidized solar dryer kurang efektif, hanya mengalami penurunan sebesar 0,001 hingga 0,011 satuan setia p 30 menit. Laju penurunan aktivitas air tersebut relatif kecil sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menurunkan aktivitas air dari 0,940 menjadi kurang dari 0,700. Berdasarkan pertimbangan efisiensi maka pengeringan tempe menggunakan batch fluidized solar dryer dihentikan setelah f8 jam dengan aktivitas air mencapai 0,915. Pada pengeringan tempe dengan menggunakan oven, laju penurunan aktivitas air cukup tinggi, yaitu sekitar 0,006 hingga 0,123 satuan setiap 1 jam. Setelah pengeringan mencapai v7 jam terjadi peningkatan kadar air kembali. Hal ini diduga karena terjadi penggumpalan protein pada permukaan tempe yang akan menghambat penguapan air dari dalam bahan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka proses pengeringan dengan menggunakan oven dihentikan setelah mencapai v7 jam. Kadar air pada permukaan bahan pangan juga dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH) udara di sekitarnya. Bila kadar air bahan rendah sedangkan RH lingkungan sekitar tinggi, maka akan terjadi penyerapan uap air dari uda ra sehingga bahan menjadi basah atau kadar airnya menjadi lebih tinggi (Syarief et al., 1993). Karena itu perlu dicari kadar air kesetimbangan tempe yang disimpan pada suhu ruang. Tempe kering dengan kadar air terendah (23,67%) disimpan dalam kondisi kontak dengan udara ruang penyimpanan (suhu 30-37 C dan RH 70-90%) selama 24 jam. Bahan kemudian diukur kadar airnya, didapatkan bahwa kadar air kesetimbangan rata-rata yang dapat dicapai adalah 39.07%. Karena itu pengeringan tempe dihentikan apabila kadar airnya sudah mendekati 39%, yang
41
dicapai dalam waktu f8 jam dengan menggunakan batch fluidized solar dryer dan v2 jam dengan menggunakan oven. Perhitungan kadar air kesetimbangan tempe dapat dilihat pada Lampiran 3.
4. Penentuan suhu sterilisasi Wala upun pH pada tempe cukup tinggi, tetapi di dalam tempe terdapat suatu senyawa yang aktif dalam menghambat Streptococcus lactis, S. cremoris, Leuconostoc dextranicum, L. Mesenteroides, Staphylococcus aureus , B. subtilis , C. botulinum, C. sporogenes, C. butyricum, dan Klebsiella pneumoniae (Syarief et al., 1999). Mikroba kontaminan yang ditemukan pada tempe umumnya berasal dari proses sanitasi yang kurang baik. Sapuan et al. (1996) menyatakan beberapa mikroba kontaminan yang sering ditemukan pada tempe Indonesia adalah Lactobacillus sp., Aspergillus sp., Bacillus sp., C. freundii, E. coli, Enterobacter cloacae , Klebsiella planticola , dan Micrococcus sp. Mikroba kontaminan tersebut berperan dalam menyebabkan proses pembusukan pada tempe. Winarno (1993) menyatakan bahwa bentuk vegetatif bakteri termofilik dapat diinaktifkan dalam waktu 1 hingga 4 menit dengan pemanasan 100 C, tetapi bentuk sporanya masih dapat bertahan pada pemanasan selama 20 hingga 30 menit, bahkan ada beberapa spora yang masih mampu bertahan pada pemanasan selama 60 menit. Berdasarkan sifat ketahanan terhadap panas spora bakteri maka pemanasan dilakukan pada suhu di atas 100 C, yang bertujuan untuk menginaktifkan spora bakteri. Pemanasan pada suhu di atas 100 C dapat dilakukan dengan uap air panas bertekanan tinggi menggunakan sterilizer, autoclave, atau retort. Uap air pada tekanan 5 psi (di atas tekanan udara 1 atm) bersuhu 109 C, pada 10 psi bersuhu 115,5 C dan pada 15 psi bersuhu 121,5 C (Winarno, 1993). Selain sifat karakteristik produk dan sifat mikroorganisme, sifat bahan pengemas yang digunakan juga menjadi salah satu faktor pembatas dalam proses sterilisasi (Syarief et al., 1989). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa kemasan plastik yang digunakan tidak dapat menaha n tekanan yang diberikan pada pemanasan suhu S2,
42
sehingga kemasan menipis dan mengalami kebocoran. Pada pemanasan suhu S1 kondisi kemasan masih baik dan tidak mengalami kebocoran, sehingga suhu yang kemudian digunakan dalam proses sterilisasi tempe adalah S1. Kondisi kemasan plastik yang dipanaskan pada suhu S1 dan S2 dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kondisi kemasan plastik yang dipanaskan pada (a) suhu S1 dan (b) suhu S2
5. Penentuan waktu sterilisasi Proses sterilisasi adalah salah satu cara pengawetan dengan suhu tinggi untuk membunuh semua mikroorganisme yang ada. Sterilisasi absolute tersebut membutuhkan suhu tinggi dan waktu pemanasan yang lama sehingga dapat merusak komponen gizi bahan pangan. Dalam pengawetan bahan pangan, proses sterilisasi yang dilakukan adalah sterilisasi komersial, dimana suhu dan waktu sterilisasi yang digunakan memiliki kemampuan dalam membunuh mikroba patogen dan pembusuk, tetapi nilai gizi bahan pangan tidak banyak mengalami kerusakan (Damayanthi et al., 1995). Waktu sterilisasi optimum ditentukan berdasarkan penetrasi panas dan waktu kematian untuk bakteri yang paling tahan panas pada kondisi bahan pangan yang diawetkan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Formula (metode Ball). Tempe digolongkan ke dalam bahan pangan asam rendah (pH diatas 4,5), sehingga mikroba standar yang sering digunakan sebagai rujukan dalam proses sterilisasi adalah C. botulinum dan C. sporogenes. C. sporogenes memiliki
43
resistensi lebih tinggi, de ngan nilai D250 maksimum sebesar 1,4 menit dan nilai z maksimum 18°C. Karena nilai D250 C. sporogenes diatas 1 menit, maka proses sterilisasi tidak dapat menerapkan konsep 12D, karena akan menyebabkan bahan pangan menerima panas yang berlebihan dan terjadi penurunan mutu. Konsep 5D yang diterapkan pada proses sterilisasi dapat menekan kerusakan sampai tingkat yang masih dapat diterima dari segi mutu dan dapat dipertanggungjawabkan keamanannya (Fardiaz, 1996). Periode waktu yang dibutuhkan oleh retort seja k uap bertekanan dialirkan ke dalam retort sampai retort mencapai suhu sterilisasi disebut ‘come up time’ (CUT). Come up time ini tidak dipengaruhi oleh jenis dan ukuran kemasan, temperatur awal produk dan temperatur retort, tetapi tergantung dari spesifikasi retort itu sendiri. Pada saat pengukuran penetrasi panas, kemasan diletakkan dalam retort pada posisi horisontal dengan jumlah kemasan lima buah pada setiap pengukuran. Posisi termokopel diletakkan di bagian tengah kemasan pada posisi vertikal. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Winarno (1994) bahwa pada produkproduk yang penetrasi panasnya secara konduksi mempunyai titik terdingin terletak di bagian pusat kemasan pada sumbu vertikal. Dari kurva pemanasan yang dibuat di atas kertas semilogaritma didapatkan nilai Tih, Tpih, fh, dan jh. Karena pendinginan yang dilakukan tidak menggunakan air melainkan udara, maka ditetapkan nilai Tpic sama dengan nilai Tic, sehingga nilai Jcc = 1. Berdasarkan hasil perhitungan waktu sterilisasi didapatkan bahwa pada suhu S1 C waktu sterilisasi optimum (B) tempe M adalah s1 menit dan tempe N s2 menit. Tempe M memerlukan waktu pemanasan yang lebih lama dibandingkan tempe N. Hal ini disebabkan karena karakteristik tempe M yang memiliki massa kedelai lebih banyak dibandingkan tempe N (berat rata -rata tempe M sebesar 190 gram sementara berat rata-rata tempe N sebesar 155 gram) juga mempengaruhi waktu sterilisasi yang dibutuhkan. Keping biji kedelai akan lebih sukar ditembus oleh panas daripada miselium kapang, Kecepatan penetrasi panas pada tempe M
44
akan lebih rendah sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu sterilisasi juga lebih lama. Pengemasan vakum yang dilakukan sebelum proses sterilisasi bertujuan untuk menurunkan suhu dan waktu sterilisasi karena spora mikroba anaerob memiliki ketahanan panas lebih rendah daripada spora aerob, mencegah terjadinya reaksi oksidasi yang dapat timbul selama proses pemanasan, kondisi vakum menyebabkan kontak antara produk dengan kemasan lebih besar sehingga proses pindah panas lebih efektif, dan menghindari kerusakan sealer selama pemanasan akibat pemuaian. Proses pendinginan pada tempe dilakukan secara bertahap agar gradien tekanan dalam kemasan dengan tekanan di dalam retort seminimum mungkin. Perbedaan tekanan yang terlalu besar akan menyebabkan perubahan bentuk kemasan, terutama terjadinya ‘stress’ pada sambungan kelim dan penipisan plastik, sehingga kemasan mengalami kebocoran.
6. Penentuan metode pengawetan Metode pengawetan yang digunakan dipilih berdasarkan efektivitas memperpanjang umur simpan. Metode pengawetan yang dikaji meliputi pengeringan dengan batch fluidized solar dyer, pengeringan dengan oven, dan sterilisasi. Pengamatan terhadap tempe yang diawetkan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengamatan tempe yang diawetkan dengan metode pengeringan dan sterilisasi Metode
Jenis
Masa
pengawetan
Tempe
simpan
Pengamatan Organoleptik Warna
Tekstur
Aroma
(hari ke-) Segar
M
0
(kontrol)
Biji kedelai kekuningan dan
Agak keras
miselium putih 3
Warna
daripada tempe Bogor
kedelai
permukaan
Normal, lebih tajam
pudar
dan
tempe
sangat
krem
dengan
Sangat lunak
Bau busuk
Agak keras
Normal
Sangat lunak
Bau busuk
lengket N
0
Biji
kedelai
miselium putih 3
Warna
kedelai
permukaan lengket
pudar
tempe
dan
sangat
45
Batch
M
0
fluidized
Biji kedelai kuning kecoklatan
Keras
Maillard
Agak lunak
Bau busuk
Keras
Maillard
Agak lunak
Bau busuk
Keras
Maillard
Agak lunak
Bau busuk
Keras
Maillard
Agak lunak
Bau busuk
Norma l, khas tempe
dan miselium coklat
solar dryer
4
Warna coklat pada tempe memudar, tempe
dan
permukaan
ditumbuhi
kapang-
kapang putih N
0
Biji kedelai dan miselium coklat
4
Warna coklat pada tempe memudar, tempe
dan
permukaan
ditumbuhi
kapang-
kapang putih Oven
M
0
Biji kedelai kuning kecoklatan dan miselium coklat
4
Warna coklat pada tempe memudar, tempe
dan
ditumbuhi
permukaan kapang-
kapang putih N
0
Biji kedelai dan miselium coklat
4
Warna coklat pada tempe memudar, tempe
dan
ditumbuhi
permukaan kapang-
kapang putih Sterilisasi
M
0
Agak coklat
Agak lunak
14
Coklat
Agak lunak
Normal,
0
Agak coklat
Agak lunak
Normal, khas tempe
rebus
N
rebus 14
Coklat
Agak lunak
Normal,
Untuk melihat efektivitas metode pengawetan dalam memperpanjang umur simpan tempe, maka tempe hasil pengeringan dan sterilisasi disimpan pada suhu ruang dan diamati setiap hari sampai tempe mengalami kerusakan. Sebagai kontrol maka digunakan tempe segar (tidak mengalami proses pengeringan atau sterilisasi). Tempe segar merupakan tempe yang paling cepat mengalami kerusakan. Pada penyimpanan hari ke-3, tempe sudah mengeluarkan bau busuk, teksturnya
46
sangat lunak, warna kedelai sudah pudar dan permukaan tempe lengket. Penampakan tempe yang telah disimpan selama 3 hari dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Penampakan (a) tempe N dan (b) tempe M yang telah disimpan selama 3 hari
Tempe segar memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi. Kadar air tempe segar berkisar antara 64,77 sampai 65,52% sedangkan aktivitas airnya berkisar antara 0,948 sampai 0,959. Kadar air dan nilai aktivitas air yang tinggi tersebut berpotensi untuk pertumbuhan berbagai berbagai jenis mikroorganisme. Pada umumnya bakteri pembusuk dapat tumbuh pada aw minimal 0,91 dan kapang pembusuk dapat tumbuh pada aw minimal 0,80 (Fardiaz, 1992). Nilai pH pada tempe segar juga cukup tinggi, yaitu berkisar antara 6,33 hingga 6,50. Nilai pH tempe yang tinggi tersebut berpotensi untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 5 hingga 8 (Fardiaz, 1992). Proses pengemasan vakum yang dilakukan pada tempe segar akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme aerob, sehingga mikroorganisme yang berpotensi untuk tumbuh pada tempe segar dan dikemas vakum adalah bakteri dan kapang yang bersifat anaerob fakultatif dan anaerob. Kapang dan bakteri akan menghidrolisis protein dalam kondisi anaerob, dan memproduksi komponenkomponen berbau busuk seperti hidrogen sulfida, merkaptan, amin, indol, skatol, dan asam-asam lemak. Proses metabolisme bakteri dan kapang
juga
47
menghasilkan air, sehingga tekstur tempe menjadi lunak dan permukaan tempe lengket (Fardiaz, 1992). Tempe yang dikeringkan dengan batch fluidized solar dryer maupun oven sudah mengalami kerusakan pada hari ke -4. Kerusakan ini ditandai dengan timbulnya bau busuk pada tempe, tekstur tempe agak lunak, warna coklat pada tempe memudar, permukaan tempe ditumbuhi kapang-kapang putih dan agak lengket. Penampakan tempe kering yang telah disimpan selama 4 hari dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Penampakan tempe kering yang telah disimpan selama 4 hari
Permukaan tempe yang lengket, tekstur yang agak lunak dan aroma tempe yang busuk merupakan hasil metabolisme kapang yang tumbuh selama masa penyimpanan tempe kering. Proses pengeringan adalah proses penurunan kadar air sampai batas tertentu, dimana dapat memperlambat kerusakan bahan akibat aktivitas biologis dan kimia sebelum bahan diolah. Metode pengeringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batch fluidized solar dryer dan oven. Ada empat tahapan kondisi bahan selama pengeringan dengan batch fluidized solar dyer, yaitu tahap pertama udara mengalir rendah melewati lapisan ayakan secara menepis sehingga bahan belum tercampur dengan udara. Kecepatan udara mulai meningkat pada tahap kedua, tekanan mulai melewati lapisan ayakan dan bercampur dengan bahan hingga terjadi keseimbangan antara berat udara dengan bahan. Tahap selanjutnya, udara akan melewati lapisan bahan sebagai gelembung-gelembung. Ge lembung
48
udara ini akan menjadi udara penghantar dan bergabung sangat cepat dan meningkat, hal ini menyebabkan pencampuran bahan yang hebat. Tahap akhir kecepatan udara masih tinggi dan merata serta permukaan bahan akan menjadi lebih halus (Cenkowski et al., 2004). Karena ada tahapan pencampuran (mixing) bahan yang dikeringkan maka tingkat keberhasilan pengeringan dengan metode ini sangat tergantung pada distribusi ukuran partikel dan distribusi gas fluidisasi (Chaplin, 2001). Pehanic (2004) menambahkan bahwa tingkat keberhasilan sistem batch fluidized solar dryer dalam menurunkan kadar air tergantung pada kecepatan udara pengering, daya angkat dan pemisahan produk saat dihamburkan, serta efektivitas udara panas menyelubungi produk. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin kecil partikel bahan yang dikeringkan dan semakin cepat laju aliran udara pengeringnya maka semakin cepat bahan tersebut dikeringkan dan semakin baik hasil pengeringannya Proses pindah panas yang terjadi pada oven terjadi secara konveksi (melalui udara pengering), konduksi (melalui loyang tempat bahan pangan diletakkan) dan radiasi (dari dinding oven). Karena dimensi tempe yang dikeringkan cukup besar maka udara kering pada batch fluidized solar dryer tidak dapat menghamburkan tempe ke bagia n atas tabung, sedangkan proses pindah panas secara konduksi dan radiasi pada oven juga berlangsung kurang efektif. Suhu yang terlalu tinggi akan memicu terjadinya ‘case hardening’, yaitu suatu keadaan di mana bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah (Manley, 1998). Tempe kering yang dihasilkan pada penelitian ini masih memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi. Tempe yang dikeringkan dengan batch fluidized solar dryer selama f8 jam pada suhu F2 C memiliki kadar air 41,77 hingga 44,8% dan nilai aktivitas air 0,902 hingga 0,915. Tempe yang dikeringkan dengan oven selama v2 jam pada suhu F2 C memiliki kadar air 39,85 hingga 40,26% dan nilai aktivitas air 0,891 hingga 0,918. Kadar air dan nilai aktivitas air yang tinggi
tersebut
berpotensi
untuk
pertumbuhan
berbagai
berbagai
jenis
mikroorganisme. Pada umumnya bakteri pembusuk dapat tumbuh pada aw minimal 0,91 dan kapang pembusuk dapat tumbuh pada aw minimal 0,80 (Fardiaz, 1992).
49
Tempe sterilisasi masih layak penampakan organoleptiknya setelah disimpan selama 14 hari. Proses sterilisasi komersial dapat membunuh semua mikroorganisme pembusuk yang dapat tumbuh pada kondisi penyimpanan yang normal. Sehingga pada bahan pangan yang disterilisasi hanya ba kteri pembentuk spora yang masih mungkin tumbuh. Spora bakteri tersebut akan berada dalam kondisi tidak mampu bergerminasi, tidak dapat tumbuh menjadi sel vegetatif, dan tidak dapat membelah diri (Fardiaz, 1992). Proses pengemasan vakum pada bahan panga n yang disterilisasi bertujuan untuk mencegah rekontaminasi mikroorganisme pada bahan pangan yang telah disterilisasi (Winarno, 1994). Warna tempe sterilisasi yang telah disimpan selama 14 hari agak menggelap, tetapi tekstur tempe masih cukup keras, pena mpakan tempe secara umum masih baik dan aromanya normal (khas tempe rebus). Penampakan tempe sterilisasi yang telah disimpan selama 14 hari dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Penampakan (a) tempe M sterilisasi dan (b) tempe N sterilisasi yang telah disimpan selama 14 hari
B. Penelitian Utama Berdasarkan tingkat efektivitas dalam memperpanjang umur simpan maka proses pengawetan tempe yang dipilih adalah sterilisasi. Tempe yang disterilisasi dan dikemas vakum kemudian disimpan selama dua minggu dan dianalisa sifat fisik
dan
kimianya
untuk
mengetahui
kestabilan
mutu
tempe
selama
50
penyimpanan. Parameter sifat fisik yang diuji meliputi nilai pH, warna, dan tekstur. Parameter sifat kimia yang diuji meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Sifat fisik dan sifat kimia tempe dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia kedelai yang digunakan, karenanya komposisi proksimat kedelai juga perlu diketahui.
Komposisi proksimat beberapa varietas kedelai dapat dilihat pada
Tabel 6 di bawah ini :
Tabel 6. Komposisi proksimat beberapa varietas kedelai (%)* Varietas
K. air
K. lemak
K. protein
K. serat
K. abu
K.
kedelai
(bb)
(bk)
(bk)
(bk)
(bk)
karbohidrat
RRC
9.78
22.44
42.50
3.85
5.10
26.11
Amerika
7.94
23.05
41.08
6.86
5.68
23.32
Galunggung
6.34
20.09
34.54
5.34
5.33
34.70
(bk)
Orba
6.86
13.59
43.75
6.58
6.16
29.91
Willis
6.95
15.44
43.27
2.78
6.28
32.23
Petek
6.30
14.54
27.56
6.28
6.12
45.51
*Berdasarkan hasil penelitian Muliawati (1993)
1. Sifat fisik 1.1. Nilai pH Hasil uji Duncan nilai pH tempe dengan dua proses pengolahan dan dua kondisi masa simpan dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 12. Nilai pH pada kedua jenis tempe berbeda. Nilai pH tempe M 6,50 sedangkan nilai pH tempe N adalah 6,33, hal ini disebabkan karena perbedaan jumlah onggok yang ditambahkan pada pencampuran laru. Onggok adalah limbah padat atau ampas yang diperoleh dari hasil pemerasan ubi kayu dalam pengolahan pati singkong (tapioka). Komponen utama pada onggok adalah karbohidrat (45 – 69%) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon dalam proses fermentasi. Kapang Rhizopus oligosporus yang tumbuh pada onggok akan menghasilkan enzim amilase untuk memutuskan ikatan glikosidik polimer pati menjadi glukosa, selanjutnya terjadi pemecahan glukosa menjadi asam piruvat
51
melalui lintasan heksosa diphosphat (HDP) dan heksosa monophosphat (HMP), adanya asam piruvat tersebut akan menurunkan nilai pH tempe (Hariyadi, 1989). Jumlah onggok yang ditambahkan pada tempe N lebih banyak maka jumlah asam piruvat yang dihasilkan lebih banyak, sehingga pH tempe N lebih asam daripada tempe M. Interaksi antara jenis tempe dengan proses pengolahan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan berbeda nyata (p=0,0007). Setelah proses sterilisasi maka tempe mengalami penurunan nilai pH. Nilai pH tempe M sterilisasi adalah 5,74 sedangkan nilai pH tempe N sterilisasi adalah 5,56. Sterilisasi menyebabkan denaturasi protein, dimana terjadi perubahan struktur dari melipat menjadi tidak melipat. Bentuk struktur tidak melipat tersebut menyebabkan protein membentuk agrerat dan tidak larut dalam air. Ketersedian unsur Nitrogen (yang bersifat basa) dalam larutan menjadi berkurang, sehingga pH menurun (Halwalkar, 1990). Interaksi antara jenis tempe dengan masa penyimpanan menunju kkan bahwa perlakuan penyimpanan berbeda nyata (p=0,0003). Nilai pH tempe M sterilisasi yang disimpan selama 2 minggu adalah 6,27 sedangkan nilai pH tempe N sterilisasi adalah 5,81. Semakin lama masa penyimpanan maka nilai pH akan meningkat, hal ini disebabkan penyimpanan pada suhu ruang memicu proses degradasi asam amino menjadi amonia (Singh et al., 1998).
1.2. Tekstur Hasil uji Duncan tekstur tempe dengan dua proses pengolahan dan dua kondisi masa simpan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 13. Tekstur pada tempe segar dipengaruhi oleh bahan baku dan efektivitas proses fermentasi. Kedelai bahan baku tempe M memiliki kadar air yang lebih besar dibandingkan kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe N, sehingga tekstur kedelai tempe M lebih lunak. Tekstur kedelai yang lunak akan memicu Rhizopus oligosporus menghasilkan spora dalam jumlah besar sehingga pertumbuhan miseliumnya
lebih banyak. Miselium kapang akan mengurangi
matriks diantara sel-sel biji kedelai sehingga tekstur tempe menjadi lebih kompa k (Shurleff dan Aoyagi, 1979). Selain itu massa kedelai yang digunakan dalam
52
pembuatan tempe M juga lebih besar daripada tempe N (berat tempe M sekitar 190 gram sementara tempe N sekitar 155 gram), sehingga jumlah substrat untuk pertumbuhan Rhizopus oligosporus lebih besar, karenanya tekstur tempe M akan lebih kompak. Hal ini dapat dilihat dari berat beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan deformasi pada tempe M adalah 5673,7 gforce sementara tempe N hanya 5414,85 gforce. Interaksi antara jenis tempe dengan proses pengolahan menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan berbeda nyata (p=0,0037). Berat beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan deformasi pada tempe M sterilisasi adalah 3220,65 gforce sementara tempe N sterilisasi 2683,75 gforce. Proses sterilisasi menyebabkan kerusakan ikatan nonkovalen dan ikatan hidrogen antara polimer dinding sel dan penurunan kekerasan jaringan karena kematian sel-sel dan pelunakan dinding sel. Panas yang diberikan selama proses sterilisasi akan menyebabkan timbulnya gangguan pada dinding sel dan melonggarkan jaringan kedelai sehingga tempe menjadi lebih lunak (Salam, 1999). Interaksi antara jenis tempe dengan masa penyimpanan menunjukkan bahwa masa penyimpanan tidak berbeda nyata (p=0,4200). Berat
beban
yang
dibutuhkan untuk menimbulkan deformasi pada tempe M sterilisasi yang disimpan selama 2 minggu adalah 3009,60 gforce sementara tempe N 2466,60 gforce Hal ini disebabkan karena difusi uap air dari lingkungan penyimpanan ke dalam kemasan berlangsung dalam taraf relatif rendah sehingga perubahan kadar air tidak terlalu ekstrim, sehingga tekstur tempe pun tidak berbeda nyata (Nuraini, 1995).
1.3.Warna Hasil uji Duncan warna tempe dengan dua proses pengolahan dan dua kondisi masa simpan dapat dilihat Lampiran 6 dan 14. Warna tempe segar dipengaruhi oleh miselium kapang. Kondisi kemasan (daun atau plastik berlubang) dapat mempertahankan difusi udara yang optimum dan mencegah terjadinya sporulasi yang menimbulkan warna abu-abu atau hitam pada tempe sehingga warna putih miselium dapat dipertahankan untuk waktu
53
yang lebih lama (Sapuan et al., 1996). Nilai derajat putih tempe M adalah 55,58 sedangkan tempe N adalah 53,92. Interaksi antara jenis tempe dengan proses pengolahan menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata (p=0,0079). Nilai derajat putih tempe M sterilisasi adalah 48,49 sedangkan tempe N sterilisasi adalah 48,06. Suhu yang tinggi dalam proses sterilisasi akan menstimulir terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatik. Bahan pangan yang mengandung karbohidrat dalam reaksinya karena panas akan membentuk furfuraldehid atau gugusan yang mempunyai karbonil aktif untuk kemudian berpolimerisasi atau bereaksi dengan senyawa yang mengandung nitrogen hasil pemecahan protein dan membentuk warna coklat (deMan, 1997). Interaksi antara jenis tempe dengan masa penyimpanan menunjukkan bahwa masa penyimpanan tidak berbeda nyata (p=0,3679). Nilai derajat putih tempe M sterilisasi yang telah disimpan selama 2 minggu adalah 40,88 sedangkan tempe N sterilisasi adalah 42,40. Hal ini disebabkan karena proses sterilisasi dapat menginaktifkan enzim peroksidase dan enzim katalase yang dapat menyebabkan perubahan warna pada bahan pangan selama proses penyimpanan (deMan, 1997). Penurunan jumlah ikatan rangkap karotenoid akibat proses isomerisasi dan pembentukan reaksi pencoklatan pada penyimpanan suhu ruang tidak terlalu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap warna (Desrosier, 1988).
2. Sifat kimia 2.1. Kadar air (berat basah) Hasil uji Duncan kadar air tempe dengan dua proses pengolahan dan dua kondisi masa simpan dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 15. Kadar air tempe segar dipengaruhi oleh bahan baku dan proses pengolahan. Kedelai yang digunakan sebagai kadar air
bahan baku tempe M memiliki
yang lebih besar dibandingkan kedelai yang digunakan dalam
pembuatan tempe N. Perebusan dua kali yang dilakukan pada pembuatan tempe M menyebabkan penetrasi air kedalam kedelai akan berlangsung lebih efektif, sehingga tempe M memiliki kadar air 65,52% sedangkan tempe N 64,77%. Interaksi antara je nis tempe dengan proses pengolahan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan tidak berbeda nyata (p = 0,0452). Kadar
air
54
tempe M sterilisasi sebesar 64,69%, sedangkan tempe N sterilisasi sebesar 63,78%. Kerusakan dinding sel dapat menyebabkan kehilangan air dan padatan terlarut serta menurunkan kemampuan jaringan dalam mengikat air (Zivanovic et al., 2004), tetapi karena proses pengemasan vakum dapat menghambat difusi partikel air dari dalam bahan maka kehilangan air tidak terjadi secara ekstrim (Sacharow da n Griffin, 1980). Interaksi antara jenis tempe dengan masa penyimpanan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan tidak berbeda nyata (p = 0,0048). Kadar air secara umum menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan, kadar air tempe M sterilisasi yang telah disimpan selama 2 minggu sebesar 66,86% sedangkan tempe N sterilisasi sebesar 64,13%. Hal ini disebabkan karena kemasan plastik yang digunakan mempunyai sifat hidrofilik (cenderung menyerap air dari lingkungan sekitar), tetapi proses pengemasan vakum yang diterapkan dapat menghambat difusi partikel air ke dalam bahan, sehingga peningkatan kadar air tidak terjadi secara ekstrim (Nuraini, 1995).
2.2. Kadar abu (berat basah) Hasil uji Duncan kadar abu tempe dengan dua proses pengolahan dan dua kondisi masa simpan dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 16. Kadar abu pada tempe segar dipengaruhi oleh bahan baku. Kedelai yang merupakan bahan baku tempe M memiliki kadar abu yang lebih kecil dibandingkan kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe N. Kadar abu kedua jenis kedelai tidak jauh berbeda, sehingga kadar abu tempe yang dihasilkan juga tidak berbeda jauh, tempe M memiliki kadar abu sebesar 0,54% dan tempe N memiliki kadar abu sebesar 0,56%. Interaksi antara jenis tempe dengan proses pengolahan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan tidak berbeda nyata (p=0,2042).
Kadar abu
tempe M sterilisasi sebesar 0,62% sedangkan tempe N sterilisasi sebesar 0,65%. Proses sterilisasi akan menurunkan kadar air tempe sehingga kadar abu akan meningkat. Perhitungan kadar abu didapatkan dari dekstruksi komponen organik dan air, sehingga kadar abu akan berkorelasi negatif dengan kadar airnya (Nielsen,
55
1994). Tetapi karena penurunan kadar air pada tempe sterilisasi tidak terlalu besar, maka peningkatan kadar abunya pun rendah. Interaksi antara jenis tempe dengan masa penyimpanan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan tidak berbeda nyata (p=0,7242). Kadar abu tempe M sterilisasi yang telah disimpan selama 2 minggu sebesar 0,60% sedangkan tempe N sterilisasi sebesar 0,65%. Selama masa penyimpanan terjadi peningkatan kadar air, sehingga kadar abu pun akan menurun. Tetapi karena peningkatan kadar air selama penyimpanan tempe sterilisasi tidak terlalu besar, maka penurunan kadar abunya pun rendah.
2.3. Kadar protein (berat basah) Hasil uji Duncan kadar protein tempe dengan dua proses pengolahan dan dua kondisi masa simpan dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 17. Kandungan protein pada tempe M (19,85%) lebih besar daripada tempe N (18,98%) disebabkan karena kandungan protein pada kedelai yang digunakan pada tempe M lebih besar daripada kandungan protein pada kedelai yang merupakan bahan baku tempe N. Selain itu kekuatan laru tempe M lebih besar, sehingga aktivitas enzim proteolitik Rhizopus sp. menghasilkan asam-asam amino sebagai hasil penguraian protein juga optimal (Halwalkar, 1990). Interaksi antara jenis tempe dengan proses pengolahan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan saling berbeda nyata (p=0,0004). Kadar protein tempe M sterilisasi sebesar 17,66% dan tempe N sterilisasi sebesar 16,61%. Proses sterilisasi menurunkan kadar protein, karena pemanasan dapat menyebabkan denaturasi protein. Protein yang telah rusak selama pemanasan akan teroksidasi kandungan nitrogennya dan membentuk nitrogen oksida (NO2) dalam bentuk gas yang selanjutnya menguap sehingga tidak terukur dengan metode Kjeldahl (Stevenson dan Miller, 1960). Interaksi antara jenis tempe dengan masa penyimpanan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan tidak berbeda nyata (p=0,0117). Kadar protein tempe M sterilisasi yang telah disimpan selama 2 minggu sebesar 17,63% dan tempe N sterilisasi sebesar 16,41%. Selama masa penyimpanan terjadi penurunan kadar protein. Protein terdegradasi menjadi senyawa-senyawa volatil basa seperti
56
amonia. Kadar protein yang terdegradasi tidak terlalu tinggi jumlahnya, sehingga penurunan tersebut tidak berbeda nyata.
2.4. Kadar lemak (berat basah) Hasil uji Duncan kadar lemak tempe dengan dua proses pengolahan dan dua kondisi masa simpan dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 18. Asam lemak bebas terbentuk selama fermentasi. Kandungan asam lemak tidak jenuh (terutama linolenat) merupakan jenis asam lemak yang dihidrolisis oleh enzim lipase. Oleh karena itu jumlah asam lemak linolenat yang berbeda dari tiap varietas kedelai dapat mempengaruhi jumlah asam lemak bebas yang dihasilkan (deMan, 1997). Kadar lemak kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe N lebih besar daripada kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe M , sehingga diduga kandungan asam linolenat pada kedelai tempe N juga lebih besar. Tetapi karena perbedaan kadar lemak antar kedua jenis varietas kedelai tersebut tidak terlalu jauh, maka kadar lemak tempe yang dihasilkan pun hampir sama. Kadar lemak tempe M sebesar 9,87% sedangkan kadar lemak tempe N sebesar 11,46%. Interaksi antara jenis tempe dengan kondisi pengolahan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan saling berbeda nyata (p=0,0044). Kadar lemak tempe M sterilisasi sebesar 14,09% dan tempe N sterilisasi 15,62%. Proses sterilisasi akan meningkatkan kadar lemak netral dan menurunkan kadar glikolipid serta phospolipid yang larut dalam air. Pada proses pemanasan asam linolenat menurun kadarnya, sementara asam oleat, asam heksadekanoat, asam stearat dan asam linoleat mengalami peningkatan (Choe et al., 2001). Kadar lemak dalam suatu bahan pangan berhubungan dengan kadar bahan pangan yang larut dalam air (air, protein, dan karbohidrat). Karena di dalam bahan pangan masing-masing komponen mempunyai kecenderungan berupa fungsi kubik, maka penurunan kadar ketiga komponen larut air tersebut akan meningkatkan kadar lemak. Interaksi antara jenis tempe dengan masa penyimpanan menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata (p=0,0020). Kadar lemak tempe M sterilisasi yang telah disimpan selama 2 minggu sebesar 13,16% dan tempe N sterilisasi 14,39%. Sebagian asam-asam lemak tidak jenuh akan rusak selama penyimpanan.
57
Terurainya lemak menjadi asam lemak yang bersifat volatil dan memiliki berat molekul yang rendah menyebabkan penurunan kadar lemak (Ketaren, 1986).
2.5. Kadar karbohidrat Hasil uji Duncan kadar karbohidrat tempe dengan dua proses pengolahan dan dua kondisi masa simpan dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 19. Kadar karbohidrat tempe dipengaruhi oleh kadar karbohidrat bahan bakunya. Karbohidrat pada kedelai terdiri atas sukrosa, pentosa, galaktan, dan oligosakarida (stakiosa dan rafinosa). Selama proses fermentasi akan terjadi perombakan oligosakarida, sukrosa, pentosa, galaktan, dan oligosakarida menjadi gula-gula sederhana (maltosa dan glukosa) (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Kedelai yang merupakan bahan baku tempe M memiliki kadar karbohidrat lebih kecil dibandingkan kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe N.
Kadar
karbohidrat kedua jenis kedelai tidak jauh berbeda, sehingga kadar karbohidrat tempe yang dihasilkan juga tidak berbeda jauh, tempe M memiliki kadar karbohidrat sebesar 4,22% dan tempe N memiliki kadar karbohidrat sebesar 4,13%. Interaksi antara jenis tempe dengan kondisi pengolahan menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata (p=0,4423). Kadar karbohidrat tempe M sterilisasi sebesar 2,94% dan tempe N sterilisasi sebesar 3,34%. Proses sterilisasi menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatik. Reaksi pencoklatan non enzimatik melibatkan senyawa karbonil yang berasal dari gula pereduksi dan asam amino (lisin, arginin, dan histidin). Karbohidrat pada kacang kedelai memiliki bentuk konformasi yang kurang stabil dan struktur rantainya banyak yang terbuka sehingga lebih reaktif dalam reaksi pencoklatan non enzimatik (deMan, 1997). Interaksi antara jenis tempe dengan masa penyimpanan menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan saling berbeda nyata (p=0,0112). Kadar karbohidrat tempe M sterilisasi yang telah disimpan selama 2 minggu sebesar 1,75% dan tempe N sterilisasi sebesar 4,41%. Perubahan kadar karbohidrat dipengaruhi oleh perubahan komposisi bahan pangan yang lain. Komposisi bahan pangan satu sama lain saling mempengaruhi dari segi kuantitatif maupun
58
kualitatif, karena dalam bahan pangan masing-masing komponen mempunyai kecenderungan berupa fungsi kubik (Nuraini, 1995).
3. Tempe sterilisasi sebagai pangan kaya gizi Tempe sterilisasi memiliki beberapa kelebihan antara lain kandungan gizi dan senyawa organiknya yang cukup lengkap, bermanfaat bagi kesehatan, dan memiliki umur simpan yang relatif lama. Kandungan gizi tempe sterilisasi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kandungan gizi tempe sterilisasi Parameter
Jenis
Nilai
Standar
Standar
mutu
tempe
gizi*
SNI**
USDA***
Tempe M
64.69
Maks 65
54.95
Tempe N
63.78
Tempe M
0.62
Maks 1.5
1.4
Tempe N
0.65
Tempe M
17.66
Min 20
18.95
Tempe N
16.61
Tempe M
14.09
Min 10
7.68
Tempe N
15.62
K. karbohidrat
Tempe M
4.44
-
17.03
(%)
Tempe N
4.76
K. air (%)
K. abu (%)
K. protein (%)
K. lemak (%)
* ** ***
Perhitungan berdasarkan basis berat basah SNI 01-3144-1998 USDA Nutrient Database for Standard Reference (1998)
Air merupakan komponen utama bahan pangan, oleh sebab itu air dapat mempengaruhi rupa, tekstur, maupun citarasa. Selain itu kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability , kesegaran, dan daya tahan bahan pangan (Winarno, 1997). Kadar air tempe sterilisasi masih berada dalam batasan standar SNI, tetapi melebihi standar USDA. Perbedaan standar ini lebih disebabkan karena perbedaan metode fermentasi asam pada pembuatan tempe di Indonesia dan di Amerika Serikat. Di Indonesia proses fermentasi asam berlangsung secara alami dengan merendam tempe selama satu malam, sementara
59
di Amerika Serikat proses fermentasi asam menggunakan bahan kimia hingga hanya berlangsung selama tiga jam. Perendaman yang lebih lama menyebabkan kedelai lebih banyak menyerap air sehingga kadar air tempe pun lebih tinggi (Sapuan et al., 1996). Kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didekstruksi. Kadar abu dapat menjadi indikator tingkat kebersihan produk dari endospermnya juga adanya kontaminasi dari debu atau pasir. Primkopti membedakan tempe menjadi tiga kategori, yaitu tempe kualitas satu (tingkat kebersihan dari kulit mencapai 80% atau lebih), kualitas dua (tingkat kebersihan dari kulit mencapai 60 - 80%), dan kualitas tiga (tingkat kebersihan kulit di bawah 60%). Kadar abu dari tempe sterilisasi rendah, yang menunjukkan tempe bebas dari kontaminasi debu dan memiliki kualitas yang baik bila dilihat dari tingkat kebersihan kulitnya. Kadar abu juga seringkali diidentikkan dengan kandungan mineral total, tetapi Nielsen (1994) menyatakan bahwa kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineral, karena ada beberapa mineral yang hilang selama volatilisasi atau berinteraksi antar komponen. Kandungan mineral yang cukup banyak berada di dalam tempe antara lain kalsium, zat besi, magnesium, fosfor, dan potasium (USDA, 1998). Kandungan lemak tempe sterilisasi melebihi batas minimal standar SNI dan USDA. Lemak berperan sebagai sumber energi, pelarut bagi vitamin larut lemak (A, D, E, K), dan sumber asam lemak essensial yang berguna bagi tubuh (Winarno, 1997). Kandungan asam lemak yang terdapat pada tempe antara lain asam palmitat, asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat (Syarief et al., 1999). Kadar karbohidrat yang rendah pada tempe sterilisasi lebih dikarenakan karena perhitungan by differencenya. Kandungan karbohidrat yang rendah pada tempe sterilisasi dapat dimanfaatkan untuk diet diabetik. Kadar protein tempe sterilisasi berada di bawah standar SNI dan USDA. Hal ini disebabkan karena proses sterilisasi akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga kadar protein tempe menurun.
60
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan efektivitas memperpanjang umur simpan dapat disimpulkan bahwa metode sterilisasi merupakan metode yang paling baik diterapkan untuk memperpanjang umur simpan tempe yang berdimensi cukup besar. Kadar lemak tempe setelah disterilisasi dan disimpan selama 2 minggu cenderung meningkat sedangkan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar karbohidrat cenderung stabil.
B. Saran Kadar protein tempe sterilisasi relatif rendah, sehingga dibutuhkan upaya untuk mengoptimalkan proses sterilisasi dan pengemasan yang diterapkan pada tempe agar protein yang dikandung tempe sterilisasi relatif tidak jauh berbeda dengan tempe segar. Selain itu juga dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang umur simpan maksimum tempe sterilisasi.
61
DAFTAR PUSTAKA Afriansyah, N. 2001. Tempe Cegah Prostat. http://www.indonesiamedia.com : [05 Januari 2006]. Anonim. 2005a. History of Desember 2005].
Tempeh.
http://www.tempe.info.html : [05
Anonim. 2005b. Tempe Enak Dimakan dan http://www.pjnhk.go.id./berita-artikel : [05 Desember 2005]. Anonim. 2005c. Jangan Lupakan Tempe. Desember 2005].
Perlu.
http://www.bpksulteng.go.id : [05
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. Association of Official Analytical Chemists (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis. 16th Edition. Association of Official Analytical Chemistry. Washington, D. C. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. Pangan. UI Press. Jakarta.
1990.
Ilmu
Chaplin, G. 2001. Monitoring Fluidized Bed Dryer Hydrodynamics Using Press ure Fluctuations and Electrical Capacitance Tomography. http://library.usask.ca/gec564phd. pdf : [07 Januari 2006] Choe, E. J. Lee, K. Park, dan S. Lee. 2001. Effects of heat pretreatment on lipid and pigments of freeze dried spinach. Journ. of Food Science. 66 (8): 1074 – 1078. Damayanthi, E. dan E. S. Mudjajanto. 1995. Teknologi Makanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. DeMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB. Bandung. Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Devahastin, S. 2000. Pengeringan Industrial. Terjemahan : Armansyah H. T., Dyah W., Edy H., dan Leopold O. N. IPB Press. Bogor. Dwidjoseputro, D. dan F. T. Wolf. 1970. Microbiological Studies of Indonesian Fermented Foodstuffa. Di dalam : Muliawaty, L. Studi Kesesuaian Bahan Baku Tempe dari Berbagai Varietas Kedelai Untuk Pembuatan Keripik Tempe. Fateta IPB. Bogor.
62
E. Shimoni. 2004. Stability and shelf life of bioa ctive compounds during food processing and storage : soy isoflavon. Journal of Food Science. 69 (6) : R160 - R165. Fallon, S. W. dan M. G. Enig. 1997. History of http://groups.goggle.co.id./misckids.health : [30 September 2005].
Bean.
Fardiaz, D. 1996. Sterilisasi dan Keamanan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Gilliland, S. E. 1985. Bacterial Starter Cultures for Food. Di dalam : Julianto, E. Kualitas Daya Simpan Dadih Susu Sapi Hasil Fermentasi dengan Lactobacillus plantarum yang Dikemas dan Disimpan Pada Suhu Berbeda. Fapet IPB. Bogor. Hambali, E., Zein M. N., Sutedja W., Yoesoef K., dan Nabil M. 1990. Pengantar Pengemasan. Laboratorium Pengemasan. Teknologi Industri Pertanian. Fateta. IPB. Bogor. Harwalkar, V. R. 1990. Thermal Analysis of Foods. Elsevier Applied Science. London. Hermana. 1985. Advances in The Preparation of Tempeh. Di dalam : Muliawaty, L. Studi Kesesuaian Bahan Baku Tempe dari Berbagai Varietas Kedelai Untuk Pembuatan Keripik Tempe. Fateta IPB. Bogor. Hesseltine, C. W. 1963. Fermented Soybean Food Products. Di dalam : Liu, K. Soybeans. Chemistry, technology, and utilization. International Thompson Publishing. New York. Iljas, N. 1969. Tempeh an Indonesian Fermented Soybean Food. Di dalam : Liu, K. Soybeans. Chemistry, technology, and utilization. International Thompson Publishing. New York. Inayati, I. 1991. Biskuit Berprotein Tinggi dari Campuran Tepung Terigu, Singkong dan Tempe Kedelai. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. [ INKOPTI ]. Induk Koperasi Tempe Tahu Indonesia. Primkopti se -Indonesia. Jakarta.
2000.
Keragaan
Karmini, M., Hermana, dan E. Affandi. 1995. Pengembangan Inokulum Untuk Meningkatkan Mutu Gizi Tempe. Di dalam: Penelitian Gizi dan Makanan. Jilid 18. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Bogor.
63
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. Koswara, S. 1995. Jakarta.
Teknologi Pengolahan Kedelai.
Pustaka Sinar Harapan.
Krisdiana, R. dan Heriyanto. 2000. Penggunaan Komoditas Kedelai Untuk Industri Produk Olahan Rumah Tangga di Pulau Jawa. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Dalam Upaya Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Labuza, T.P., L. McNally, D. Gallagher, J. Hawkes dan F. Hurtado. 1972. Stability of Intermediate Moisture Foods. Journal of Food Science. 37 : 154 – 159. Lakanra, O. dan M. A. Watson. Storage effects on lipase activity in fresh cut cantaloupe melon and fermentation. Journal of Food Science. 69 (2) : FCT126 – FCT130. Liu, K. 1997. Soybeans. Chemistry, technology, and utilization. International Thompson Publishing. New York. Mahmud, M. K. 1987. Penggunaan Makanan Bayi Formula Tempe Dalam Diit Bayi dan Anak Balita Sebagai Suatu Upaya Penanggulangan Masalah Diare. Disertasi. Fateta IPB. Bogor. Mangels, R. 1995. Soy products supply isoflavonoids, which appear to play a role in cancer prevention. J. Am Diet Assoc. 95 : 545-551. Di dalam : http://www.natural-connectoin.com : [05 Januari 2006]. Manley, D. 1998. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Woodhead Publishing Limited. Cambridge. Matsuhashi, T. 1985. Improvement of Community Level Food Processing. Di dalam : Brury Wijaya. Pembuatan Tahu Rehidrasi dari Kedelai Lokal dan Impor. Fateta IPB. Bogor. McCabe, W. L. 1990. Operasi Teknik Kimia. PT Erlangga. Jakarta. Muchtadi, D., A. Rachman, B. S. L. Jenie, T. R. Muchtadi, T. K. Bunasor dan M. Thenawijaya. 1978. Studies on the Preservation of Tempeh. Di dalam : Muliawaty, L. Studi Kesesuaian Bahan Baku Tempe dari Berbagai Varietas Kedelai Untuk Pembuatan Keripik Tempe. Fateta IPB. Bogor. Muchtadi, T. R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. dan Gizi. IPB. Bogor.
PAU Pangan
64
Muliawaty, L. 1993. Studi Kesesuaian Bahan Baku Tempe dari Berbagai Varietas Kedelai Untuk Pembuatan Keripik Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Mutiara, D. 1985. Mempelajari Pengaruh Pengeringan dan Penyimpanan Tempe Berflavor Sintetis terhadap Penerimaan. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Nielsen, S. 1994. Chemical Analysis of Foods. Jones and Bartlett Publishers. Boston. Nur, M. A., H. S. Rukmini, dan H. Adijuwana. 1990. Teknik Laboratorium untuk Bidang Biologi dan Kimia. PAU Bioteknologi. IPB. Bogor. Nuraini, M. 1995. Kajian Pengaruh Pemberian Bumbu dan Kemasan terhadap Daya Simpan dan Daya Tarik Produk Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Nurasa, D. 1991. Beberapa Perubahan Protein Akibat Penggunaan Panas. Disertasi. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Nurdini, M. D. 1996. Aspek Teknologi Pangan pada Proses Produksi Tempe dan Tahu di Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) Kotamadya Bandung. Laporan Praktek Lapang. Fateta IPB. Bogor. Nurhaida, R. 1999. Kajian Pengaruh Pengukusan dan Lama Penyimpanan Tempe terhadap Mutu Kerupuk Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Nurkori. 1999. Identifikasi dan Karakterisasi Flavor Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Pehanic, M. 2004. Food safety and control drive oven and dryer innovations. www.foodengineeringmag.com : [10 Januari 2006]. Prihatna, A. Bogor.
1991.
Studi Pembuatan Tempe Instan.
Skripsi.
Fateta IPB.
Rahmadi, A. 2000. Mempelajari Pembuatan Es Krim Tempe Bergizi Tinggi dalam Upaya Peningkatan Gizi dan Kesehatan. Skripsi. Ffateta IPB. Bogor. Raimbault, M. 1998. General and Microbiological aspects of solid substrate fermentation. http://www.scielo.d.scielo. : [05 Januari 2006]. Russel, T. A. 2004. Comparison of Sensor y Properties of Whey and Soy Protein Concentrates and Isolates. http://www.lib.ncsu.edu/theses/etd.pdf : [15 September 2005].
65
Sacharow, S. dan R. C. Griffin Jr. 1980. Food Packaging. Di dalam : Diana, M. Pengaruh Kadar Cabe, Lama Perendaman dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Hot Sweetened Papaya Slice Selama Pengemasan Vakum. Fateta IPB. Bogor. Salam, M. 1999. Mempelajari Pengaruh Blansir dan Pengeringan terhadap Mutu Keripik Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Sapuan dan N. Soetrisno. 1996. Tempe Indonesia. Jakarta.
Bunga Rampai Tempe Indonesia.
Yayasan
Sarwono, B. 2002. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Sarwono, R. 2005. Pengering Suhu Rendah Untuk Menjaga Mutu Bahan Pertanian. J. Teknologi dan Industri Pangan. 2 (XVI) : 168 – 173. Savage, W. D., L. S. Wei, J. W. Sutherland, dan S. J. Schmidt. 1995. Biologically active component inactivation and protein insolublilization during heat processing of soybeans. Journal of Food Science. 69 (6) : R160 – R165. Shurtleff, W. dan A. Aoyagi. 1979. The Book of Tempeh. Di dalam : Nuraini, M. Kajian Pengaruh Pemberian Bumbu dan Kemasan terhadap Daya Simpan dan Daya Tarik Produk Tempe. Fateta IPB. Bogor. Simatupang, I. A. 1985. Mempelajari Pengaruh Penyimpanan Beku terhadap Penyimpanan Tempe yang Berflavor. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Singh, R. P. dan L. A. Laub. 1998. Food Storage Stability. CRC Press. New York. Siswadji, C. L. 1985. Pembuatan Minuman Sari Tempe dari Ekstraksi Tape Ubi Kayu (Manihot sp.). Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Soegiharto, I. S. 1995. Mempelajari Pembuatan Cookies dengan Substitusi Tepung Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Soyfoods Center. 2004. History of tempeh. http://www.thesoydailyclub.com : [10 Januari 2006]. Standar Nasional Indonesia. 2002. SNI Berbagai Produk Hortikultura, Bijibijian, dan Kacang-kacangan. Fateta IPB. Bogor. Steinkraus, K. H., J.P. Van Buren, L. R. Hackler dan D. B. Hand. 1965. A Pilot Plant Process for the Production Dehydrated Tempeh. Di dalam : Nuraini, M. Kajian Pengaruh Pemberian Bumbu dan Kemasan terhadap Daya Simpan dan Daya Tarik Produk Tempe. Fateta IPB. Bogor.
66
Steinkraus, K. H. 1983. Handbook of Indigenous Fermented Food. Di dalam : Muliawaty, L. Studi Kesesuaian Bahan Baku Tempe dari Berbagai Varietas Kedelai Untuk Pembuatan Keripik Tempe. Fateta IPB. Bogor. Styoboedhie, P. 1991. Pemanfaatan Tepung Singkong sebagai Bahan Pensubstitusi Tepung dalam Pembuatan Mie Kering yang Difortifikasi dengan Tepung Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Subagio, A., S. Hartanti, W.S. Windrati, Unus, M. Fauzi, dan B. Herry. 2002. Kajian sifat fisikokimia dan organoleptik hidrolisat tempe hasil hidrolisis protease. Jurnal Teknol. dan Ind. Pangan. XIII (3) : 204-210. Sumarno. 1986. Kedelai dan Cara Budidayanya. Yasaguna. Jakarta. Syarief, R., S. Santausa, dan B. Isyana. 1989. Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan Press. Jakarta. Syarief, R., Joko H., Purwiyatno H., Sutedja W., Suliantari, Dahrul S., Nugraha E. S., dan Y. Pieter S. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala. Surabaya. Stevenson, G. T. dan C. Miller. and Sons. London.
1960.
Introductory Food Scie nce.
Harrison
Tejoparanoto, S. 1988. Sifat-sifat Analog Sosis Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Timotius, K. A. dan P. Farley. 1990. Extracellular Enzimes of Rhizopus oligosporus. Di dalam : Tempeh Symposium. Second Asian Symposium on Non Salted Soybean Fermentation. 13-15 February 1990. Ministry of Health National Institute for Health Research and Development. Jakarta. USDA. 1998. USDA Nutrient Database for Standard Reference. http://users.chariot.net.au/%7ådna/koji.html#tempeh : [01Januari 2006]. Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1985. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Winarno, F. G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Pustaka Utama. Jakarta.
PT Gramedia
Winarno, F. G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. Pustaka Utama. Jakarta.
PT Gramedia
67
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakartakusumah, M. A., Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU. IPB. Bogor. Yusfik, H. 1998. Kajian Formulasi Crackers dengan Protein Berkualitas Tinggi dari Tepung Jagung, Beras, Kedelai, dan Tempe. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Zivanovic, S. dan R. Buescher. 2004. Change in mushroom texture and cellwall composition affected by thermal processing. Journal of Food Science. 69 (1): SNQ44 – SNQ48.
68
Lampiran 1. Standar tempe berdasarkan SNI. Jenis Uji 1.
Satuan
Persyaratan
Keadaan Bau
-
Normal, khas tempe
Warna
-
Normal
Rasa
-
Normal
2.
Air (b/b)
%
Maks 65
3.
Abu (b/b)
%
Maks 1.5
4.
Protein (N x 6.25) (b/b)
%
Min 20
5.
Lemak (b/b)
%
Min 10
6.
Serat kasar (b/b)
%
Maks 2.5
Sumber : SNI 01-3144-1998
69
Lampiran 2. Standar tempe berdasarkan USDA Nutrient Database No. 1.
Nutrisi
3.
g
54.95
Energi
Kkal
Protein
g
18.95
Total lemak
g
7.68
Karbohidrat
g
17.03
Abu
g
1.4
199
Kalsium
mg
93
Zat besi
mg
2.26
Magnesium
mg
70
Fosfor
mg
206
Potasium
mg
367
Sodium
mg
6
Zinc
mg
1.81
Tembaga
mg
0.67
Mangan
mg
1.43
Selenium
mg
8.8
Vitamin C
mg
0
Tiamin
mg
0.131
Riboflavin
mg
0.111
Niasin
mg
4.63
Asam pantotenat
mg
0.355
Vitamin B6
mg
0.299
Asam folat
mcg
52
Vitamin B12
mcg
1
Mineral
Vitamin
Vitamin A 4.
Jumlah/100 g
Proksimat Air
2.
Satuan
IU
686
14 : 0 (asam miristat)
g
0.021
16 : 0 (asam palmitat)
g
0.815
Lipid Asam lemak jenuh
70
18 : 0 (asam stearat)
0.274
Asam lemak tak jenuh 16 : 1 (asam palmitoleat)
g
0.021
18 : 1 (asam oleat)
g
1.674
18 : 2 (asam linoleat)
g g
3.821
mg
0
Triptofan
g
0.282
Treonin
g
0.770
Isoleusin
g
1.002
Leusin
g
1.636
Lisin
g
1.125
Metionin
g
0.265
Sistin
g
0.319
Fenilalanin
g
1.012
Tirosin
g
0.733
Valin
g
0.979
Arginin
g
1.317
Histidin
g
0.498
Alanin
g
0.929
Asam aspartat
g
0.246
Asam glutamat
g
3.404
Glisin
g
0.833
Prolin
g
0.989
Serin
g
1.118
18 : 3 (asam linolenat) Kolesterol 5.
0.512
Asam amino
Sumber : USDA Nutrient Database for Standard Reference di dalam http:// users.chariot.net.au/%.7Edna/koji.html#tempeh, tanggal 12 Maret 1998.
71
Lampiran 3. Kadar air kesetimbangan tempe yang disimpan pada suhu ruang (3037°C dan RH 70-90%).
Ulangan
Berat kering
Kadar air
(g)
(%)
1
9,6715
39,12
2
9,6936
39,02
Rata-rata
39,07
72
Lampiran 4a.
Data hasil analisa pH pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda.
Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
6,25
5,56
6,40
5,57
6,55
5,77
6,45
5,72
Keterangan : A1 = tempe N
B1 = segar
A2 = tempe M
B2 = steril
Lampiran 4b.
Has il analisa keragaman terhadap pH pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda.
Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
0,0630
0,0630
14,3182
0,0005*
Kondisi pengolahan
1
1,1476
1,1476
260,8182
Jenis
1
0,0001
0,0001
0,0227
Kekeliruan
4
0,0175
0,0044
Total terkoreksi
7
1,2282
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 10c.Hasil uji jarak Duncan nilai pH untuk perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2B1
6,50 ± 0,02
A
A1B1
6,33 ± 0,11
A
A2B2
5,75 ± 0,03
B
A1B2
5,57 ± 0,01
B
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
73
Lampiran 5a.Data hasil analisa tekstur pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
5639,8
2514,9
5189,9
2852,6
5826,9
3688,2
5520,5
2753,1
Keterangan : A1 = tempe N
B1 = segar
A2 = tempe M
B2 = steril
Lampiran 5b.
Hasil analisa keragaman terhadap tekstur pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda.
Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
316609,03
316609,03
1,97
0,0037*
Kondisi pengolahan
1
13437705,61
13437705,61
83,68
Jenis tempe*kondisi
1
38655,90
38655,90
0,24
Kekeliruan
4
642372,13
160593,03
Total terkoreksi
7
14435342,68
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 5c.
Hasil uji jarak Duncan tekstur untuk perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2B1
5673,7 ± 216,66
A
A1B1
5414,9 ± 318,13
A
A2B2
3220,7 ± 661,22
B
A1B2
2683,8 ± 238,79
B
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
74
Lampiran 6a.
Data hasil analisa warna pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda.
Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
55,12
48,75
52,73
47,36
55,99
49,48
55,18
47,50
Keterangan : A1 = tempe N
B1 = segar
A2 = tempe M
B2 = steril
Lampiran 6b. Hasil analisa keragaman terhadap warna pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
2,20
2,20
1,44
0,0079*
Kondisi pengolahan
1
83,94
83,94
54,88
Jenis
1
0,75
0,75
0,49
Kekeliruan
4
6,11
1,53
Total terkoreksi
7
93,00
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 6c.Hasil uji jarak Duncan warna untuk perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2B1
55,59 ± 0,57
A
A1B1
53,92 ± 1,69
A
A2B2
48,49 ± 1,40
B
A1B2
48,06 ± 0,98
B
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
75
Lampiran 7a.
Data hasil analisa kadar air (%bb) pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
65,19
63,42
64,35
64,14
65,15
64,29
65,89
65,09
Keterangan : A1 = tempe N
B1 = segar
A2 = tempe M
B2 = steril
Lampiran 7b.
Hasil analisa keragaman terhadap kadar air (%bb) pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda.
Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
2,33
2,33
9,66
0,0452*
Kondisi pengolahan
1
2,69
2,69
11,15
Jenis
1
0,06
0,06
0,24
Kekeliruan
4
0,96
0,24
Total terkoreksi
7
6,05
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 7c.Hasil uji jarak Duncan kadar air untuk perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2B1
65,52 ± 0,18
A
A1B1
64,77 ± 0,59
AB
A2B2
64,69 ± 0,56
AB
A1B2
63,78 ± 0,51
B
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
76
Lampiran 8a.
Data hasil analisa kadar abu (%bb) pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda.
Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
0,56
0,71
0,57
0,60
0,54
0,66
0,55
0,59
Keterangan : A1 = tempe N
B1 = segar
A2 = tempe M
B2 = steril
Lampiran 8b.
Hasil analisa keragaman terhadap kadar abu
(%bb) pada perlakuan
pengolahan tempe yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
0,001
0,001
0,58
0,2042
Kondisi pengolahan
1
0,014
0,014
6,72
Jenis
1
0,00005
0,00005
0,02
Kekeliruan
4
0,0086
0,0022
Total terkoreksi
7
0,024
tempe*kondis i
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*)
77
Lampiran 9a.
Data hasil analisa kadar protein (%bb) pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
18,93
16,30
19,03
16,92
19,75
17,78
19,95
17,54
Keterangan : A1 = tempe N
B1 = segar
A2 = tempe M
B2 = steril
Lampiran 9b.
Hasil analisa keragaman terhadap kadar protein (%bb) pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda.
Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
1,8432
1,8432
29,9707
0,0004*
Kondisi pengolahan
1
10,3968
10,3968
169,0537
Jenis
1
0,0162
0,0162
0,2634
Kekeliruan
4
0,246
0,0615
Total terkoreksi
7
12,5022
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 9c.Hasil uji jarak Duncan kadar protein (%bb) untuk perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2B1
19,85 ± 0,31
A
A1B1
18,98 ± 0,01
B
A2B2
17,66 ± 0,12
C
A1B2
16,61 ± 0,23
D
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
78
Lampiran 10a. Data hasil analisa kadar lemak (%bb) pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
10,48
15,79
12,44
15,46
9,98
14,26
9,77
13,93
Keterangan : A1 = tempe N
B1 = segar
A2 = tempe M
B2 = steril
Lampiran 10b. Hasil analisa keragaman terhadap kadar lemak (%bb) pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
4,85
4,85
9,46
0,0044*
Kondisi pengolahan
1
35,15
35,15
68,53
Jenis
1
0,001
0,001
0,00
Kekeliruan
4
2,05
0,51
Total terkoreksi
7
42,06
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 10c.Hasil uji jarak Duncan kadar lemak (%bb) untuk perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A1B2
15,63 ± 0,23
A
A2B2
14,09 ± 0,23
A
A1B1
11,46 ± 1,38
B
A2B1
9,88 ± 0,15
B
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
79
Lampiran 11a. Data hasil analisa kadar karbohidrat (%bb) pada perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
4,84
3,78
3,61
2,88
4,58
3,01
3,84
2,85
Keterangan : A1 = tempe N
B1 = segar
A2 = tempe M
B2 = steril
Lampiran 11b. Hasil analisa keragaman terhadap kadar karbohidrat
(%bb) pada
perlakuan pengolahan tempe yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
00861
00861
0,2378
0,4423
Kondisi pengolahan
1
2,3653
2,3653
6,5340
Jenis
1
0,0742
0,0742
0,2050
Kekeliruan
4
1,448
0,362
Total terkoreksi
7
3,9736
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*)
80
Lampiran 12a. Data hasil analisa pH pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Jenis tempe
Masa Simpan
A1
A2
C1
C2
5,56
5,86
5,57
5,76
5,77
6,30
5,72
6,25
Keterangan : A1 = tempe N
C1 = 0 minggu
A2 = tempe M
C2 = 2 minggu
Lampiran 12b. Hasil analisa keragaman terhadap pH pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
0,21
0,21
110,21
0,0003*
Kondisi pengolahan
1
0,30
0,30
159,11
Jenis
1
0,04
0,04
21,52
Kekeliruan
4
0,007
0,002
Total terkoreksi
7
0,56
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 12c.Hasil uji jarak Duncan nilai pH untuk perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2C2
6,28 ± 0,04
A
A1C2
5,81 ± 0,07
B
A2C1
5,74 ± 0,04
B
A1C1
5,56 ± 0,01
C
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
81
Lampiran 13a. Data hasil analisa tekstur pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Jenis tempe
Masa Simpan
A1
A2
C1
C2
2514,9
2352,8
2852,6
2580,4
3688,2
3353,9
2753,1
2665,3
Keterangan : A1 = tempe N
C1 = 0 minggu
A2 = tempe M
C2 = 2 minggu
Lampiran 13b. Hasil analisa keragaman terhadap tekstur pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
583092,01
583092,01
3,08
0,4200
Kondisi pengolahan
1
91677,62
91677,62
0,48
Jenis
1
18,61
18,61
0,00
Kekeliruan
4
757212,51
189303,13
Total terkoreksi
7
1432000,74
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*)
82
Lampiran 14a. Data hasil analisa warna pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Jenis tempe
Masa Simpan
A1
A2
C1
C2
48,75
47,74
47,36
37,07
49,48
44,56
47,50
37,20
Keterangan : A1 = tempe N
C1 = 0 minggu
A2 = tempe M
C2 = 2 minggu
Lampiran 14b. Hasil analisa keragaman terhadap warna pada perlakuan masa simpan tempe yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
0,59
0,59
0,03
0,3679
Kondisi pengolahan
1
88,05
88,05
4,05
Jenis
1
1,92
1,92
0,09
Kekeliruan
4
86,96
21,74
Total terkoreksi
7
177,51
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*)
83
Lampiran 15a. Data hasil analisa kadar air (%bb) pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Jenis tempe
Masa Simpan
A1
A2
C1
C2
63,42
64,02
64,14
64,25
64,29
66,80
65,09
66,92
Keterangan : A1 = tempe N
C1 = 0 minggu
A2 = tempe M
C2 = 2 minggu
Lampiran 15b. Hasil analisa keragaman terhadap kadar air (%bb) pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
6,61
6,61
43,12
0,0048*
Kondisi pengolahan
1
3,19
3,19
20,81
Jenis
1
1,65
1,65
10,75
Kekeliruan
4
0,61
0,15
Total terkoreksi
7
12,05
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 15c.Hasil uji jarak Duncan kadar air untuk perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2C2
66,86 ± 0,08
A
A2C1
64,69 ± 0,56
B
A1C2
64,13 ± 0,16
B
A1C1
63,78 ± 0,51
B
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
84
Lampiran 16a. Data hasil analisa kadar abu (%bb) pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Jenis tempe
Masa Simpan
A1
A2
C1
C2
0,71
0,63
0,60
0,67
0,66
0,61
0,59
0,60
Keterangan : A1 = tempe N
C1 = 0 minggu
A2 = tempe M
C2 = 2 minggu
Lampiran 16b. Hasil analisa keragaman terhadap kadar abu (%bb) pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
0,003
0,003
1,20
0,7242
Kondisi pengolahan
1
0,0003
0,0003
0,13
Jenis
1
0,0001
0,0001
0,05
Kekeliruan
4
0,009
0,002
Total terkoreksi
7
0,012
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*)
85
Lampiran 17a. Data hasil analisa kadar protein (%bb) pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Jenis tempe
Masa Simpan
A1
A2
C1
C2
16,30
16,44
16,92
16,38
17,78
17,68
17,54
17,58
Keterangan : A1 = tempe N
C1 = 0 minggu
A2 = tempe M
C2 = 2 minggu
Lampiran 17b. Hasil analisa keragaman terhadap kadar protein (%bb) pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
2,5764
2,5764
45,2794
0,0117*
Kondisi pengolahan
1
0,0264
0,0264
0,4639
Jenis
1
0,0145
0,0145
0,2548
Kekeliruan
4
0,2278
0,0569
Total terkoreksi
7
2,8451
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 17c.Hasil uji jarak Duncan kadar protein untuk perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A2C1
17,66 ± 0,05
A
A2C2
17,63 ± 0,13
A
A1C1
16,61 ± 0,30
B
A1C2
16,41 ± 0,04
B
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
86
Lampiran 18a. Data hasil analisa kadar lemak (%bb) pad a perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Jenis tempe
Masa Simpan
A1
A2
C1
C2
15,79
14,33
15,46
14,46
14,26
12,94
13,93
13,37
Keterangan : A1 = tempe N
C1 = 0 minggu
A2 = tempe M
C2 = 2 minggu
Lampiran 18b. Hasil analisa keragaman terhadap kadar lemak (%bb) pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
3,84
3,84
73,14
0,0020*
Kondisi pengolahan
1
2,35
2,35
44,89
Jenis
1
0,04
0,04
0,80
Kekeliruan
4
0,21
0,05
Total terkoreksi
7
6,44
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 18c.Hasil uji jarak Duncan kadar lemak (%bb) untuk perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A1C1
15,63 ± 0,23
A
A1C2
14,39 ± 0,09
B
A2C1
14,09 ± 0,23
B
A2C2
13,16 ± 0,30
C
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05
87
Lampiran 19a. Data hasil analisa kadar karbohidrat (%bb) pada perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Jenis tempe
Kondisi Pengolahan
A1
A2
B1
B2
3,78
4,58
2,88
4,24
3,01
1,97
2,85
1,53
Keterangan : A1 = tempe N
C1 = 0 minggu
A2 = tempe M
C2 = 2 minggu
Lampiran 19b. Hasil analisa keragaman terhadap kadar karbohidrat
(%bb) pada
perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Sumber Keragaman
dk
JK
KT
F-hitung
Pr > F
Jenis tempe
1
4,6818
4,6818
32,7169
0,0112*
Kondisi pengolahan
1
0,005
0,005
0,0349
Jenis
1
2,5538
2,5538
17,8463
Kekeliruan
4
0,5724
0,1431
Total terkoreksi
7
7,813
tempe*kondisi
pengolahan
(Pr > F) < 0,05 = berpengaruh nyata (*) Lampiran 19c.Hasil uji jarak Duncan kadar karbohidrat (%bb) untuk perlakuan masa simpan tempe sterilisasi yang berbeda. Interaksi
Rata-rata
Kelompok Duncan
A1C2
4,41 ± 0,31
A
A1C1
3,33 ± 0,24
B
A2C1
2,93 ± 0,11
B
A2C2
1,75 ± 0,60
C
Catatan : Rata-rata dengan huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukkan taraf perlakuan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada nilai á = 0,05