SKRIPSI PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA RI (ANALISIS WACANA)
Disusun oleh: IBNUAFAN 108024000008
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014M/1435H
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan daam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 15 September 2014 Ibnu Afan
PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA RI (ANALISIS WACANA)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh
Ibnuafan NIM: 108024000008
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. DR. Sukron Kamil M.A NIP: 19690415199701004
Drs. Ikhwan Azizi, M.Ag NIP: 1957081 1994031001
Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988
a. Konsonan Tunggal Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam pedoman ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dilambangkan dengan huruf dan tanda sekaligus.
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ا
alif
-
tidak dilambangkan
ب
bā’
b
-
ت
tā’
t
-
ث
ṡā’
ṡ
s dengan satu titik di atas
ج
jīm
j
-
ح
ḥā’
ḥ
h dengan satu titik di bawah
خ
khā’
kh
-
د
dāl
d
-
ذ
żāl
ż
z dengan satu titik di atas
ر
rā’
r
-
ز
zāi
z
-
س
sīn
s
-
ش
syīn
sy
-
ص
ṣād
ṣ
s dengan satu titik di bawah
ض
ḍād
ḍ
d dengan satu titik di bawah
ط
ṭā’
ṭ
t dengan satu titik di bawah
ظ
ẓā’
ẓ
z dengan satu titik di bawah
ع
ʿain
ʿ
koma terbalik
غ
gain
g
-
ف
fā’
f
-
ق
qāf
q
-
ك
kāf
k
-
ل
lām
l
-
م
mīm
m
-
ن
nūn
n
-
ه
hā’
h
-
و
wāwu
w
-
ء
hamzah
tidak dilambangkan atau ’
apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk hamzah di awal kata
ي
yā’
y
-
b. Konsonan Rangkap Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. Contoh :
َرﺑـﱠﻨَﺎ
ditulis
rabbanâ
ﱠب َ ﻗَـﺮ
ditulis
qarraba
اﳊَ ﱡﺪ
ditulis
al-ḥaddu
c. Tā’ marbūṭah di akhir kata Transliterasinya menggunakan : a. Tā’ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya.
Contoh :
ﻃَْﻠﺤَﺔ
ditulis
ṭalhah
اَﻟﺘﱠﻮﺑَﺔ
ditulis
al-taubah
ﻓَﺎ ِﻃﻤَﺔ
ditulis
Fātimah
b. Pada kata yang terakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā’ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan h. Contoh :
َﺎل ِ ﺿﺔُ اْﻻَﻃْﻔ َ رَْو
ditulis rauḍah al-aṭfāl
c. Bila dihidupkan ditulis t. Contoh :
َﺎل ِ ﺿﺔُ اْﻻَﻃْﻔ َ رَْو
ditulis rauḍatul aṭfāl
Huruf ta marbuthah di akhir kata dapat dialihaksarakan sebagai t atau dialihbunyikan sebagai h (pada pembacaan waqaf/berhenti). Bahasa Indonesia dapat menyerap salah satu atau kedua kata tersebut.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan daam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 15 September 2014 Ibnu Afan
ABSTRAK Judul: PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA (ANALISIS WACANA) Terorisme saat ini masih menjadi suatu perbincangan yang menarik di dunia internasional maupun di Indonesia. Teror dan kekerasan yang ditampilkannya acap kali membuat kengerian di di dalamnya. Terorisme sendiri seringkali dikaitkan dengan Islam. Seperti halnya pada kasus Osama Bin Laden atau di Indonesia lebih terkenal dengan Bom Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra dan kawan-kawannya. Kepolisian Republik Indonesia mengungkap bahwa para pengebom yang masih hidup kali itu mengakui kalau aksi yang mereka lakukan itu sebagai bentuk jihad menghadapi Amerika dan sekutu-sekutunya. Polisi pun membongkar jaringan teror yang umumnya mereka adalah kelompok Islam garis keras. Lantas apa yang memberikan keberanian begitu dahsyat dalam melakukan setiap aksinya? Dalam hal ini persoalan ideologis mejadi jawabannya. Keyakinan ideologis dengan balutan spiritual menjadikan keberanian mereka tidak terhingga. Karena menurut mereka aksi yang dilakukannya itu untuk membela kehormatan Islam. Seperti halnya dalam terjemahan surat al-Baqarah: 191 “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Atas dasar ayat ini timbul wacana bahwa ada terjemahan Alquran yang mengajak orang untuk berbuat radikal bahkan terorisme. Kasus terorisme yang tak kunjung usai seringkali memunculkan term jihad. Jihad semakin populer dalam kaitannya dengan terorisme. Alquran menjadi sarana dalam mendoktrinasi para calon teroris. Majelis Mujahidin Indonesia menuding, terdapat banyak kesalahan terjemahan Alquran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Dan dari sekian banyak kesalahan diduga memicu orang untuk bertindak radikal. Kemenag pun membantah tudingan miring tersebut. Ini membuktikan terjemahan Kemenag mengundang perdebatan dan menjadikan diskursus menarik dalam mengungkap wacana terjemahan yang berkaitan dengan isu-isu terorisme.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah penulis ucapkan, hanya kepada-Nya ucapan itu pantas disematkan. Maha Segala yang telah memberikan kemampuan cipta, rasa, dan karsa kepada makhluknya. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Pembawa risalah dan rahmat bagi alam semesta. Ada hal yang patut penulis jelaskan di sini. Seandainya penulis mampu menggunakan daya upaya yang dimiliki dengan maksimal untuk menyelesaikan skripsi, mungkin tidak akan ada kata pengantar yang selesai. Namun itu tidak akan mungkin. Penulis megetahui bahwa kemapuan diri ini terbatas tanpa adanya bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, meskipun telah banyak hal yang diupayakan, tentunya terlalu sombong kiranya untuk tidak mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah memberi banyak bantuan, inspirasi, edukasi dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Dengan senang hati tentunya nama mereka saya abadikan di kertas ini: Bapak Dr. Saehudin M.Ag, Kajur Tarjamah atas dedikasinya kepada mahasiswanya dalam memberikan motivasinya, Bapak Dr. Moch Syarif Hidayatullah M.Hum Sekjur Tarjamah dan Bapak Drs.H. Ahmad Syatibi M.Ag yang juga memberikan arahan untuk menuntaskan studi akhir saya. Bapak Prof. Dr Sukron Kamil M.Ag, dan Bapak Drs. Ikhwan Azizi M.A, Pembimbing yang sangat sabar menunggu selesainya skripsi saya ini, dan telah memberi banyak masukan, motivasi juga arahan yang tepat sampai skripsi ini selesai.
Yang tercinta kepada orang tua saya, Ibu Rohani karena telah memberikan segala daya upayanya dalam mengurusi saya hingga sekarang ini. Tanpa kasih sayang dan doanya setiap waktu mungkin tidak akan pernah ada tulisan ini. Almarhum Bapak saya, Muchtar berpesan “raih cita-citamu, jadilah anak yang soleh dan selalu perbaiki akhlak”. Almarhumah Siti Humairoh yang telah memberi banyak pelajaran kesabaran. Keluarga Saya yang lain Ncing Lani dan Bu Le, Zani, Baba Molan, Om Ncup dan Bi Marti, Mamah Neneng, Umi Juju, Nenek Siti Hanah, Ibu Marsih, Ibu Hj Eti dan Bapak H Priyo Utomo, Pak Ustadz Miftah dan Pak Ustadz Afif, Emak Fatmah dan guru ngaji saya Kak Nunung yang telah mengajarkan saya membaca Alquran. Keluarga-keluarga lain yang telah membesarkan saya, LPM INSTITUT, Legosodotco, Jurusan Tarjamah, Karang Taruna Rt 05, Kelompok KKN, The Rest Area KMM RIAK, Marawis Al-Amanah. Teman-teman saya, Polem Fajar Ismail, Umar Mukhtar buat pinjaman referensinya, M Gustar Umam, Adnan Syafii, Nurshofa, Nine Gustriani, Siti Suryani dan teman-teman Tarjamah lainnya, Dika Irawan, Iswahyudi, Hilman Fauzi, Lilis Khalisotussurur dan Mas Doni Dole Purwanto, Mas Bowo, M Fanshoby, Iswahyudi, Egi Fajar, Abdul Kharis, Noor Rachmah Julia, Rina Dwihana, Amelia Fitriani, Iit Septi, Dyah Citra Wardhani, Adhie Satya, Isnen Hadi, Faris Bimantara, Mozza Dewi, Cimot Zulkifly, Nauli, Rian Bachtera, Halim, Komeng Jimbe, Ipan, Gustia, dan Mbak Sisi yang udah ngasi hadiah ke Rinjani, Didik, Wahyu, Bayu, Mpok Nia dan Erni, Bang Maul, Setyarini
Faradilla, Rachmat Fauzi, Janwar. Terimakasih banyak untuk Isnawati dan Gita Nawangsari yang sudah menyuruh cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini. Wassalam Jakarta, 25 April 2014 Penulis
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................... ii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB- INDONESIA ....................... iii KATA PENGANTAR ....................................................................... iv ABSTRAK ............................................................................................... v DAFTAR ISI ............................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1 A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang Masalah ............................................................... Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. Manfaat Penelitian ............................................................................. Metodologi Penelitian ................................................................ Riset Terdahulu ............................................................................. Sistematika Penulisan ................................................................
1 10 10 11 11 13 13
BAB II PIJAKAN TEORI ....................................................................... 15 A. Analisis Wacana ............................................................................ 1. Pengertian Analisis wacana .................................................. 2. Analisis Wacana Teun Van Dijk .................................... 3. Kerangka Wacana Van Dijk .................................... a. Dimensi Teks ............................................................... b. Kognisi Sosial ............................................................... c. Konteks Sosial ...............................................................
15 16 18 19 21 27 28
B. Teori Penerjemahan Alquran .................................................. 28 1. Pengertian Terjemah ............................................................... 29 2. Unsur Teori Menerjemah .................................................. 32 3. Metode Terjemahan Alquran ................................... 33
a. Terjemahan Harfiyah ............................................... 33 b. Terjemahan Tafsiriyah atau Maknawiyah ........... 34 BAB III WACANA TERORISME DAN PENGGUNAAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA .................................................................... 39 A. B. C. D.
Pengertian Terorisme .......................................................... Terorisme dan Warisan Pencerahan .................................. Faktor Pendorong Gerakan Terorisme di Indonesia .......... Hubungan Terjemahan Ayat Alquran Kementerian Agama dengan Terorisme .................................. .
39 40 43 46
BAB IV ANALISIS WACANA TERHADAP PENERJEMAHAN AYATAYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA ............................................................................................... 50
A. Kekeliruan Pemahaman Mendasar dalam Terjemahan Ayat-ayat Alquran tentang Jihad dan Perang .................................. 50 B. Analisis Wacana ...................................................................... 52 1. Struktur Makro .......................................................... 52 2. Struktur Supra .......................................................... 54 3. Struktur Mikro .......................................................... 58 4. Analisis Kognisi Sosial ............................................... 70 5. Analisis Konteks Sosial ............................................... 74 BAB V PENUTUP ................................................................................... 79 A. Kesimpulan ....................................................................... 76 B. Saran ................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur dalam balutan multikultural dan multireligius kini berubah menjadi masayarakat yang saling memangsa jenisnya (homo homini lupus). Bangsa Indonesia kian hari makin akrab dengan berbagai bentuk perilaku neo-barbarian, yakni sosok dan komunitas yang berprofil dan berstatus masyarakat modern, namun perilaku yang ditunjukkan tergolong barbar.
Pandangan itu menjadi sulit dibantah ketika bangsa ini banyak mencatatkan peristiwa kelam seputar kekerasan terorisme. Kasus peledakan bom seperti tragedi Bali dan hotel JW Marriot Jakarta. Peristiwa ini berdampak bahwa Indonesia dipopulerkan melakukan support to terrorism dan state of terrorism. Karena (asumsi dan hipotesisnya) di negara ini telah memberi kebebasan bagi masingmasing pemeluk agama untuk mengimplementasikan dan mengembangkan ajaran agamanya, termasuk fundamentalisme beragama.1
Selama ini terorisme sering diidentikkan dan dilekatkan pada penganut fundamentalisme, utamanya fundamentalisme agama yang kemudian disebut sebagai anak kandung Islam. Artinya agama Islam diposisikan sebagai terdakwa
1
Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004) h., v
2
yang ajaran-ajarannya membenarkan dan menghalalkan kekerasan sebagai tajuk perjuangan. Apalagi sejak Amerika menuduh Osama bin Laden sebagai satusatunya dalang teroris penghancuran gedung kembar WTC dan Pentagon, Islam makin disudutkan sebagai spirit utama lahirnya kekuatan-kekuatan fundamentalis dan ekstremis, termasuk pelaku kekerasan atas nama agama atau jihad atas nama Tuhan.
Di dalam kata pengantar buku Kejahatan Terorisme, Persepektif Agama, Ham dan Hukum, Hasyim Muzadi berpendapat jika mengikuti asumsi atau tuduhan di atas,
tentu
saja
jika
benar
bahwa
pelaku
terorisme
adalah
gerakan
fundamentalisme, hal ini disebabkan karena adanya pemahaman keagamaan yang eksklusif, skriptualis dan miskinnya pemahaman realitas historis dalam menafsirkan pesan esoteris teks-teks kitab suci, sehingga mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, eksklusif dan intoleran dalam menyikapi realitas perbedaan dan kondisi pluralitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Bahkan termasuk dalam menyikapi wilayah juang dalam mengimplementasikan prinsip “menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran” (amar ma’ruf nahi munkar). 2
Dampak dari sikap negatif di atas tadi tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut dapat mengarah ke tindakan terorisme. Teror mengandung arti penggunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas. Publikasi massa adalah 2
Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Drs. Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,. h., vi
3
salah satu tujuan dari aksi kekerasan dari suatu aksi teror, sehingga pelaku merasa sukses jika kekerasan dalam terorisme serta akibatnya dipublikasikan secara luas di media massa.3
Jadi dampak berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi selalu saja dikaitkan dengan Islam. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana pemahaman ke-Islaman itu sendiri pada tiap penganutnya? Islam sebagai agama yang memiliki penganut terbanyak di Indonesia mempunyai andil besar dalam pembentukan lingkungan damai dengan pemeluk agama lain. Ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia mempunyai implikasi yang kuat terhadap cara berfikir dan bertindak masyarakat. Karena pada dasarnya Islam memegang teguh ajaran yang terkandung dalam Alquran sebagai pedoman hidup.
Pemahaman Alquran secara penuh merupakan konsekuensi logis dalam menjalankan ritus keagamaan baik dengan sang pencipta-Nya maupun dengan makhluk lainnya. Alquran adalah teks, sebagai petunjuk tentu saja lahir dengan sendirinya berbagai penafsiran. Mengenai hal itu objek kajian terhadap teks ini tidak mengacu kepada realitas yang berada di luar teks, melainkan kepada realitas yang digambarkan oleh teks itu sendiri.
Mengacu pada teks yang multitafsir itu, Alquran bukan hanya sebagai pedoman hidup, namun di satu sisi juga menimbulkan polemik kebahasaan dan 3
Mengutip Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam era Posmetafisika. AM Hendropriyono mengatakan dalam perkembangannya itu muncul suatu konsep yang memberi pengertian, bahwa terorisme adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistematik, demi suatu kepentingan politik tertentu. A M Hendropriyono, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009) h., 25
4
berdampak lebih lanjut pada kekeliruan pemahaman, contohnya adalah pada kasus ayat-ayat jihad yang katanya menjadi sarana doktrinasi dalam melakukan aksiaksi kekerasan maupun terorisme. Berikut ini adalah beberapa contoh ayat-ayat jihad dalam
Alquran terjemahan
Lajnah
Pentashihan Mushaf Alquran
Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2007. Contoh dalam QS alAnfal 8:39.4
ﷲ ﺑِﻤَﺎ ّ ﻓَﺈ ِ ِن اﻧﺘَﮭَﻮْ ْاﻓَﺈ ِنﱠ
َوﻗَﺎ ﺗِﻠُﻮھُﻢ ﺣَ ﺘﱠﻰ ﻻ ﺗَﻜُﻮن ﻓِ ْﺘﻨَﺔ وَ ﯾَﻜُﻮنَ اﻟﺪﱢﯾﻦُ ُﻛﻠﱡﮫ ﯾَ ْﻌ َﻤﻠُﻮنَ ﺑَﺼِﯿ ٌﺮ
Dan perangilah mereka, sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Masih terdapat beberapa ayat Alquran terjemahan Kementerian Agama yang diterjemahkan dalam memahami teks yang terkait dengan jihad dan perang. Berikut beberapa kutipan ayat lainnya dalam QS. 2:191:
َوا ْﻗﺘُﻠُﻮھُ ْﻢ َﺣﯿْﺚُ ﺛَﻘِ ْﻔﺘُﻤُﻮھُ ْﻢ َوأَﺧْ ِﺮﺟُﻮھُ ْﻢ ﻣِﻦْ ﺣَ ﯿْﺚُ أَﺧْ َﺮﺟُﻮ ُﻛ ْﻢ َوا ْﻟﻔِ ْﺘﻨَﺔُ أَ َﺷ ﱡﺪ ﻣِﻦَ ا ْﻟﻘَ ْﺘ ِﻞ ﻚ َ ِو ََﻻ ﺗُﻘَﺎﺗِﻠُﻮھُ ْﻢ ﻋِ ْﻨ َﺪ ا ْﻟ َﻤ ْﺴ ِﺠ ِﺪ ا ْﻟ َﺤ َﺮامِ ﺣَ ﺘﱠﻰ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﯿ ِﮫ ﻓَﺈ ِنْ ﻗَﺎﺗَﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻗﺘُﻠُﻮھُ ْﻢ َﻛ َﺬﻟ ََﺟ َﺰا ُء ا ْﻟﻜَﺎﻓِﺮِﯾﻦ
4
Kemenag, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia (Bandung: Sigma Eksa Media, 2009). Alquran ini diterbitkan dan mengacu pada rekomendai sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran tahun 2007 di Wisma Haji Tugu Bogor.
5
Terjemahan : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.5
Simak pula QS.9:123 versi Kemenag:
ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ آ َﻣﻨُﻮْ ا ﻗَﺎﺗِﻠُﻮْ ا اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ﯾَﻠُﻮْ ﻧَ ُﻜ ْﻢ ﻣِﻦَ ا ْﻟ ُﻜﻔﱠﺎ ِر َو ْﻟﯿَ ِﺠﺪُوْ ا ﻓِ ْﯿ ُﻜ ْﻢ ِﻏ ْﻠﻈَﺔً َوا ْﻋﻠَ ُﻤﻮْ ا َأَنﱠ ﷲَ َﻣ َﻊ ا ْﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿْﻦ “Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah, bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” 6
Menurut asumsi penulis, dalam pandangan masyarakat awam terhadap agama maka rentan sekali disusupkan doktrin-doktrin mengenai ayat tersebut oleh kaum radikalis untuk menggerakan aksi teror. Karena Islam adalah suatu keyakinan, kalau tidak membaca Alquran bagaimana bisa mengetahui ajaran Islam itu sendiri.
Bila saja pemahaman ke-Islaman yang mendasar sebagai agama pembawa rahmat kepada alam semesta rapuh maka bisa saja menciptakan manusia nihilistis haus jihad karena merasa harus memerangi agama lain. Tak ada heroisme yang 5 6
Ibid, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia QS. 2:191 Ibid, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia QS.9:123
6
lebih membanggakan dan memuliakan manusia nihilis yang mengalami defisit nilai-nilai dalam jiwanya selain dari pada menghabisi nyawa manusia lain atas nilai-nilai luhur, entah itu hak asasi manusia ataupun nilai-nilai agama.
Dari sebab di atas, sangat mungkin terjadi penodaan agama melalui aksi jihad bila kaum muslimin tidak memahami petunjuk dalam Alquran. Di dunia, Alquran tertulis dalam bahasa Arab yang kemungkinan besar dapat menimbulkan berbagai implikasi. Pertama, bahasa Arab merupakan bahasa yang mewakili unsur budaya Arab, sebab bahasa adalah sistem tanda dalam masyarakat yang mewakili hampir seluruh (kalau tidak malah seluruhnya) aspek kehidupan masyarakat pemakainya 7.
Kedua proses pemahaman Alquran oleh umat Islam Indonesia haruslah melalui penerjemahan yang dalam prosesnya subyektifitas seorang penerjemah menjadi mustahil untuk diikutsertakan. Ketiga, setiap pembaca Alquran saat ini tidak memiliki akses langsung kepada pembuat teks akibat adanya perbedaan ruang, waktu, tradisi, sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran.8
Sebagaimana yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat, proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya tiga subyek yang terlibat, yaitu; dunia pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca yang masing-masing memiliki konteks tersendiri, sehingga jika memahami yang satu
7
E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), cet. ke-2, h. 57-58 8 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ, 2003), h. 74-75
7
tanpa mempertimbangkan yang lain maka pemahaman kita atas teks menjadi miskin.9
Tiga subyek ini yang kemudian dikenal dalam dunia hermeneutika dengan unsur triadik (the Author, text, the reader)10. Karena itu, pemahaman dan penafsiran terhadap semua teks, termasuk teks-teks Alquran harus melibatkan ketiganya. Selain itu, analisis konteks juga sangat diperlukan dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab ayat Alquran tidak akan dapat dimengerti kecuali dengan melihat konteks saat wahyu diturunkan.
Namun di satu sisi pula perlu adanya pertimbangan bahwa persoalan bahasa juga menyangkut masalah komunikasi yang mempunyai keterbatasan fungsi deskriptif dan hanya berkutat dengan sistem penandaan. Sistem penandaan ini memungkinkan keterlibatan banyak unsur yang berpengaruh terhadap kesan pemahaman seseorang terhadap sebuah teks secara subjektif.
Kembali ke persoalan keterkaitan antara pembaca terjemahan Alquran dengan aksi teror, penulis mengasumsikan bahwa pemahaman yang tidak kontekstual meyebabkan sempitnya pemikiran seorang pembaca terjemahan. Seperti pernyataan Umaruddin Masdar, pembacaan Alquran secara tekstual telah
9
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina,1996) 10 Ahmad Muzakky, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (UINMalang Press, 2007)
8
menyebabkan dunia pemikiran Islam baik fundamentalis, tradisonalis maupun yang liberalis tidak pernah simetris dengan kenyataan yang dihadapi umat.11
Dari pernyataan Umar Masdar ini, bila dikaitkan dengan aksi jihad maka kecenderungan pembaca Alquran dengan tekstual akan berpengaruh terhadap tingkah laku dalam memahami ayat tanpa mengindahkan kontekstualitas yang sedang terjadi dalam masyarakat. Di sisi lain pembacaan terjemahan secara tekstual juga menimbulkan polemik dalam tubuh tim penerjemah Kemenag, seperti
pada
mulanya,
gagasan
mengoreksi
terjemah
Alquran
terbitan
Kementerian Agama oleh Amir Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Thalib, lahir dari perspektif liberalis yang mendiskreditkan kitab suci umat Islam. Mereka mengopinikan, bahwa aksi bom yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh kelompok teroris ideologis, yang mendasarkan tindakannya pada Alquran.
Sejumlah ayat Alquran dinilai berpotensi menumbuhkan radikalisme dan mengajak orang beraliran keras. Pernyataan Dirjen Bimas Islam Depag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, dalam simposium Nasional bertema: ‘Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme’ di Jakarta, Rabu 28 Juli 2010, adalah contoh aktualnya. Nasaruddin Umar menyatakan: “Ada terjemahan harfiyah Alquran yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran keras. Dia mencontohkan, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka…(Qs. 2:191). 12
11
Umaruddin Masdar, Agama Kolonial ; Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal (Yogyakarta: Klik.R, 2003), h. 15-16. 12
Simposium Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme diadakan pada Rabu 28 Juli 2010, merupakan sebuah usaha perspektif dan semangat baru atas isu-isu radikalisme dan
9
Selain itu pula ada faktor lain yang menyebabkan timbulnya aksi jihad di luar pemahaman teks, yaitu, latar belakang sosial, politik, maupun ekonomi seperti yang dikemukakan Abdul Jamil dan Muchlis M Hanafi, masing-masing Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag dan Kepala Bidang Pengkajian Alquran Puslitbang Kemenag,
Katanya, “pemahaman terhadap teks Alquran yang parsial, sempit, dan sikap antipati terhadap perbedaan pandangan keagamaanlah yang menyebabkan mereka jadi teroris. Faktanya, mayoritas penduduk di Indonesia menggunakan terjemahan itu, tapi jumlah teroris tergolong minoritas bahkan bisa dihitung jari. Pada umumnya mereka anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquran yang diterbitkan pemerintah.”13
Dari pemaparan tersebut bisa diasumsikan adanya pengaruh ekstrinsik teks kepada pembaca dan pembacaan teks secara harfiah melahirkan dampak dan perang wacana bagaimana teks Alquran bisa mempengaruhi tindakan seseorang untuk menjadi teroris. Berdasarkan pemikiran di atas penulis membahas skripsi ini dengan judul: PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA (ANALISIS WACANA).
terorisme. Simposium ini melibatkan Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia,Kepolisian Negara Republik Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Lazuardi Birru dan Lembaga Survei Indonesia. 13
Abdul Jamil dan M Muchlis Hanafi, http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php Kemenag Bantah Terjemahan Picu Aksi Terorisme. Akses pada 25 juni 2011.
10
B.
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Untuk dapat menemukan sebuah pembahasan secara lebih mendalam, penulis membatasi objek penelitiannya pada ayat-ayat yang sering dijadikan referensi dalam memperdebatkan aksi jihad yang kerap terjadi di Indonesia. Yaitu QS alAnfal 8:39, QS at-Taubah 9:123, QS al-Baqarah 2:191 Sedangkan perumusan masalah dalam skripsi ini akan didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana Lajnah Pentashihan menerjemahkan ayat-ayat jihad yang memungkinkan munculnya gerakan radikalisme? 2. Bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat terhadap hasil terjemahan ayat-ayat jihad Alquran oleh Kementerian Agama?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Skripsi ini ditulis untuk merumuskan ulang terjemah sebagai sebuah disiplin
ilmu yang melahirkan berbagai persepsi tentang dunia asing. Hal ini penting untuk membuat paradigma baru tentang teks yang dikaitkan dengan konteks keIndonesiaan. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah 1. Mengetahui
metode
terjemahan
Alquran
yang
digunakan
oleh
Kementerian Agama RI . 2. Mengetahui sejauh mana dampak yang terjadi ketika pembaca memahami ayat yang sering digunakan kaum jihadis dari terjemahan Kemenag RI.
11
D.
Manfaat penelitian 1. Penelitian diharapkan menjadi bahan rujukan bagi penerjemah dalam
menerjemahkan ayat-ayat yang mengarah pada terorisme. 2. Penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan wacana terhadap terorisme. 3. Diharapkan menjadi salah satu solusi rujukan mengatasi masalah terorisme yang didasari pemahaman tekstual terhadap ayat Alquran yang mengarah pada gerakan terorisme.
E.
Metodologi Penelitian
Metode yang penulis pergunakan dalam membahas skripsi ini adalah deskriptif analitis yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan jalan mengumpulkan data, menyusun dan mengklarifikasinya, menganalisis dan menginterpretasinya.
Data yang penulis dapatkan dalam skripsi ini diperoleh dari beberapa sumber, baik primer maupun sekunder. Sumber primer dalam hal ini adalah Alquran. Selain itu, penulis juga melakukan pendekatan pustaka melalui buku –buku, artikel dalam koran dan bunga rampai.
Adapun mengenai metode analisis wacana, penulis gunakan dalam penelitian ini akan membatasi dalam hal analisis wacana kritis dalam buku Teun A van Dijk yang berjudul Macrostructure an Interdisciplinary Study of Global Structures in
12
Discourses, Interaction and Cognition. Secara general analisis wacana dalam buku ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Analisis wacana tidak hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi. Pemahaman produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa demikian. Van dijk juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks-teks tertentu. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.
Secara teknis, penulisan skripsi ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Qulity Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Riset Terdahulu Skripsi ini mengacu pada riset skripsi Nur’aini dalam Analisis semantik pada kata ƸƲҸlj dan ﻢ ﺣﻜpada Alquran Terjemaan Depag dengan H. B Jassin (Studi Kasus: Surat Al Maidah). Selain itu, Analisis Semantik Terhadap penerjemahan
13
ayat-ayat tentang pemberlakuan Syariat Islam dalam Alquran Terjemahan Departeman Agama oleh Makyun Subuki. Kedua Skripsi ini menjadi landasan penulis bahwa memang penggunaan terjemahan ayat-ayat Alquran yang keliru bisa membuat pemahaman yang keliru pula.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih dapat memberikan penjelasan secara sistematis dan komprehensif dengan melihat persoalan secara objektif maka penulis menyusun skripsi ini berdasarkan urutan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan: terdiri dari lima sub bab yaitu; Pertama, Latar belakang masalah; kedua pembatasan dan perumusan masalah; ketiga, tujuan dan kegunaan penelitian; keempat metode pembahasan; kelima manfaat penelitian dan; keenam, Sistematika penulisan. Bab II Analisis Wacana dan teori terjemah, terdiri dari empat subbab yaitu: pertama; pengertian wacana, kerangka analisis, dan ragam analisis wacana; Kedua:, Terjemah; Sejarah; Pengertian; dan Ragamnya, dan; Ketiga, Relasi antara Analisis Wacana dan Teori terjemah, berisi tentang hubungan wacana dengan teori penerjemahan. Bab III Analsis Wacana Terhadap Penerjemahan Ayat-Ayat “Teror” dalam Alquran terjemahan Kemenag. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Pertama, Pengertian Terorisme, , identifikasi beberapa hal yang dapat mendorong aksi teror, menganalisis ayat Alquran yang dijadikan landasan melakukan teror.
14
Kedua, wacana tentang teror, dalam kasus yang terjadi di Indonesia, dan; hubungan terjemahan ayat Alquran Kementerian Agama terhadap terorisme. Bab IV Analisis Wacana Terhadap Penerjemahan Ayat-Ayat “Teror” Dalam Alquran Terjemahan Kementerian Agama Bab ini terdiri dari tiga sub bab: Pertama, Kekeliruan Pemahaman Mendasar Dalam Terjemahan Ayat-ayat Alquran Tentang Jihad dan Perang. Kedua, Analisis Semantik Terjemahan Ayat “teror” dalam Alquran. Ketiga, Pembentukan Wacana Terhadap Penerjemahan Ayat-ayat “teror” QS. 2:191, QS. 8:39, QS.9:123. Keempat, Bantahan Terjemahan “Teror”. Kelima, Analisis Wacana Kritis. Bab V penutup, terdiri dari dua sub bab; Kesimpulan dan kedua saran.
15
BAB II PIJAKAN TEORI A.
Analisis Wacana 1.
Pengertian Analisis Wacana Wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata,
berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana.14Sedangkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraf, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa. 15 Istilah wacana dipakai dalam bahasa indonesia dipakai sebagai padanan (terjemahan) kata discourse dalam bahasa Inggris. Secara etimologis kata discourse itu berasal dari bahasa latin discursus ‘lari kian kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari, berjalan kencang’.16 Wacana atau discourse kemudian
14
Douglas dalam Mulyana, Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 3. 15
16
Kridalaksana dalam Yoce Aliah. Analisis Wacana Kritis. (Bandung: Yrama, 2009)
Wabster dalam Baryadi Praptomo, Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. (Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli, 2002), hal. 1.
16
diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik, wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat. 17 Bagaimana teks dapat menciptakan suatu wacana, secara garis besar, dapat disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem, morfem, kata, klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat. Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, Aspek-aspek yang terkandung didalam wacana menyuguhkan kajian yang sangat beragam. Dalam memahami wacana ada tiga hal yang paling penting yaitu, teks, konteks dan wacana. Teks dalam pengertian umum, seperti yang diungkap oleh Rina Ratih adalah dunia semesta, bukan hanya pada teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film dan drama juga termasuk teks.18 Dengan kata lain teks adalah semua bentuk bahasa yang bukan hanya kata-kata baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Teks adalah bentuk pelembagaan sebuah peristiwa dalam bentuk tulisan bahkan teks juga dapat digambarkan sebagai setiap bentuk bahasa yang tidak terbatas pada bahasa verbal lisan dan tulisan. 19 Konteks adalah situasi di luar
17
Baryadi Praptomo, Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. (Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli, 2002), hal. 2. 18
Rina Ratih, “Pendekatan Intertekstual dalam pengkajian sastra,” dalam Metodologi Penelitian Sastra, ed. Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2001), h. 137 19
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming, (Bandung: Rosdakarya, 2001) h. 53
17
teks yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Sedangkan wacana adalah apabila konteks dan teks berada dan dimaknai secara bersama-sama. Dalam konteks wacana, menurut J. D. Parera, harus terdiri dari tiga hal; (i) setting, menyangkut waktu, tempat, dan situasi kejadian (ii) kegiatan, semua kegiatan yang terjadi dalam interaksi berbahasa dan (iii) relasi, hubungan dan jenis hubungan yang terjadi dalam interaksi tersebut.20 Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimasukkan dan sebagainya. Di sini wacana kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi dan sebagainya. 21
2.
Analisis Wacana Teun van Dijk Secara garis besar analisis wacana adalah tindakan dalam mengupas
ideologi yang tersirat dalam sebuah teks. Karena penelitian ini menggunakan
h. 9.
20
J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 120-121.
21
Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKIS, 2001)
18
model teori Van Dijk maka perlu diketahui terminologi analisis wacana dari Van Dijk sendiri yang dikutip dari buku “Aims of Critical Discourse Analysis” Critical Discourse Analysis (CDA) has beome the general label for study of text and tal, emerging from critical linguistics, critical semiotics and in general rom socio-politically conscious and oppsitional way of investigating language, discourse and communication. As is the case many fields, approaches, and subdiscipline in language and discourse studies, however it is not easy precisely delimit the special principles, practice, aims, theories or methods of CDA. 22
Studi wacana ini berasal dari analisis linguitik kritis. Merambah pada ilmu social lainnya, seperti analisis semiotik kritis, bahasa, wacana, komunikasi, dan ilmu sosial lainnya. Meski awalnya berasal dari bahasan wacana linguistic, tapi tidak menutup kesempatan pada ilmu sosial lainnya. Van Dijk memfokuskan kajiannya pada peranan strategis wacana dalam proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekuasaan tertentu. Salah satu elemen penting dalam proses ananlisi terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni dengan wacana adalah pola-pola akses terhadap wacana publik yang tertuju pada kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan agar relasi antara suatu hegemoni dengan wacana bisa terlihat jelas, maka kita membutuhkan hubungan kognitif
dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu
pengetahuan, ideologi beragam representasi sosial lain yang terkait dengan pola pikir sosial. Kaitannya adalah hubungan individu dengan masyarakat, serta struktur sosial makro dengan mikro. 22
17.
Teun Van Dijk, Aims of Critical Discourse Analysis, (Japan Siscorse, 1995) Vol. 1, h.
19
Menurut Van Dijk, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah teoretis sistematis dan deskriptif, yaitu struktur dan strategi di berbagai tingkatan wacana lissan tertulis, dilihat baik sebagi objek tekstual dan sebagai bentuk praktik sosial budaya antar tindakan dan hubungan. Sifat teks ini berbicara dengan relevan pada struktur kognitif, sosial, budaya dan konteks sejarah. Dengan kata lain studi analisis teks dalam konteks. Momentum penting dalam pendekatan tersebut terletak pada fokus khusus yang terkait pada isu sosial-politik, dan terutama membuat eksplisist cara penyalahgunaan kekuasaan kelompok dan mengakibatkan ketidaksetaraan, legitimasi, atau ditantang dalam dan dengan wacana. 23
3.
Kerangka Wacana Van Dijk Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial
dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggbungkan ketiga dimensi tersebut dalam kesatuan analisis.
23
Teun Van Dijk, Discourse and society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and New Delhi: Sage, 1993), h. 249.
20
Gambar 1.24 Diagram Model Analisis Van Dijk
Konteks Sosial Kognisi Sosial Teks
Sedangkan skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam kerangka Van Dijk adalah sebagai berikut: Tabel 125 Skema Penelitian dan Metode Van Dijk
Struktur
Metode
Teks Menganalisis strategi wacana yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu.
Linguistik Kritis
Kognisi Soisial Menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis. Konteks Sosial Menganaisis bagaimana wacana yang 24 25
Wawancara
Studi Pustaka, penelusuran sejarah, dan wawancara.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224 Ibid, h. 225
21
berkembang di masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan.
a.
Dimensi Teks Sebagai bagian dari model analisis wacana dalam pewacanaan yang lebih
kompleks, Teun Van Dijk membagi dimensi teks pada pendekatan pencermatan atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: Struktur makro, strukutur supra, dan struktur mikro (macrostructure, superstructure, and microstructure). Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat digunakan untuk melihat suatu wacana yang terdiri dari berbagai tingkatan atau struktur dari teks yaitu Tabel 2 Struktur Teks Van Dijk26 Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat suatu teks Struktur Supra Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai oleh suatu teks.
26
Ibid, 227.
22
1) Struktur Makro Struktur makro dalam teori wacana memiliki fungsi lebih terbatas. Hal ini digunakan untuk menjelaskan berbagai pengertian tentang makna global, seperti topik, tema, atau inti. Ini berarti bahwa struktur makro dalam wacana adalah objek semantik. Menurut prinsip-prinsip semantik eksplisit, aturan yang
harus
dirumuskan untuk menghubungkan makna kata dan kalimat (yaitu, struktur lokal) dengan struktur makro semantik. Selanjutnya, struktur makro dalam teori wacana diperlukan untuk menjelaskan gagasan intuitif koherensi: wacana A tidak hanya koheren di tingkat lokal (misalnya, dengan koneksi berpasangan antara kalimat), tetapi juga di tingkat global. 27 Van Dijk menggambarkan gagasan struktur global adalah relatif jika hal itu dapat didefinisikan hanya berkenaan dengan beberapa gagasan seperti struktur lokal. Hal yang sama harus berlaku untuk gagasan struktur makro. Struktur makro pada akhirnya dibutuhkan dalam menentukan makna global. Dalam prosesnya, teori umum interaksi berbagai jenis struktur sosial, seperti konteks sosial dan frame interaksi, aturan, konvensi, norma, dan berbagai kategori peserta seperti fungsi atau peran, mungkin terkait dengan tindakan global dan tidak selalu tindakan lokal masing-masing.28 Maka dalam artian ini pewacanaan yang disajikan dalam suatu teks interaksi tidak hanya memungkinkan perencanaan dan pengendalian urutan 27
Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, (Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers 1980), h. 10. 28
Ibid, h. 11
23
tindakan di masa depan dan global tetapi juga menjamin koherensi dan fungsi yang tepat dalam konteks sosial. Van Dijk mengasumsikan bahwa struktur makro adalah semantik, analisis ini dimaksudkan sebagai kontribusi terhadap struktur semantik global dalam bahasa alami. Struktur global pada makro struktur adalah bagian dari wacana. Hal yang sama berlaku untuk hubungan antara macrostructures semantik dan pragmatis. Wacana dalam bahasa alami bukan hanya objek gramatikal tapi ucapan pada saat yang sama yang dapat berfungsi sebagai aksi sosial (tindak tutur). Urutan tindak tutur, diungkapkan oleh ucapan-ucapan berikutnya kalimat dari wacana, juga dapat diselenggarakan di tingkat global, sebagai tindakan macrospeech. Dengan kata lain, wacana juga mungkin menunjukkan struktur global yang tidak boleh diperhitungkan dalam semantik atau dalam istilah skema melainkan dalam hal tindakan, interaksi, dan khususnya tindak tutur dan konteks pragmatis yang sesuai atau tidak.
2) Struktur Supra Struktur supra atau (suprastructure) menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup.29 Jadi struktur supra adalah salah satu cara untuk lebih mengatur
29
Sakban Rosidi, Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana. Makalah pernah disajikan di Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Bahasa, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007.
24
urutan kalimat atau proposisi adalah untuk menetapkan berbagai fungsi untuk kalimat-kalimat atau proposisi dalam urutan. Dengan demikian, kita telah melihat bahwa kita dapat mengatakannya 'retoris', berfungsi sebagai 'penjelasan', 'spesifikasi,' 'perbandingan', atau 'kontradiksi. "Dalam hal ini Van Dijk memberikan kalimat atau proposisi untuk kategori fungsional, yang menentukan jenis hubungan fungsional yang memiliki hubungan dengan kalimat atau proposisi lainnya. Dengan demikian, B adalah 'spesifikasi' A, jika informasi dari B memerlukan informasi dari A, yang berarti bahwa B harus memberikan keterangan lebih dari informasi umum bahwa A dan B memiliki kesamaan.30 Berikut ini adalah jenis-jenis struktur supra 1. Narasi:, seperti novel, drama, cerita pendek, cerita rakyat, dan mitos, Dijk menceritakan kisah-kisah dalam percakapan sehari-hari untuk mengungkapkan pengalaman pribadi atau untuk mengesankan pendengar dengan apa yang terjadi pada diri kita. 2. Argumen: merupakan struktur penalaran dan argumentasi Skema untuk penalaran diterima di dalam silogisme, dengan demikian, merupakan karakteristik untuk apa yang kita pahami dengan gagasan yang lebih umum dari suprastruktur. 3. Makalah Ilmiah atau Laporan Eksperimental: karya ilmiah yang memiliki jenis skema konvensional atau bahkan kelembagaan yang lebih dikenal pembaca buku juga menentukan skema dalam wacana.
30
Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, h. 108.
25
4. Artikel Surat Kabar: artikel dari surat kabar juga memiliki skema tertentu dalam menentukan wacana yang tersusun dari pendahuluan, ringkasan, maupun spesifikasi di dalamnya.
3) Struktur Mikro Istilah macrostructures diperkenalkan oleh Van Dijk didasarkan atas kolektif praktis dan bukanlah sebagi istilah teoretis. Struktur mikro adalah nama struktur yang terbangun dan berproses pada tingkat terpendek (Kata, frasa, klausa, kalimat, dan hubungan antara kalimat), dengan kata lain mikro struktur menjelaskan struktur wacana secara langsung.31 Istilah pertama terkenal dari tata bahasa klasik dan istilah kedua telah diperkenalkan terutama yang disebut tata bahasa teks. Tata bahasa teks adalah tata bahasa (apapun) yang tidak terbatas pada deskripsi kalimat yang terisolasi tetapi juga memperhitungkan struktur di luar tingkat kalimat atau struktur karakteristik wacana dan percakapan secara keseluruhan. Dengan teks kita memahami struktur dasar abstrak wacana. Oleh karena itu, wacana merupakan gagasan observasional, sedangkan teks adalah gagasan teoritis. Pada prinsipnya, wacana biasanya harus menunjukkan struktur sentensial dan tekstual untuk dapat diterima dalam sebuah komunitas bahasa, tapi ini tidak berarti bahwa teks dan wacana benar-benar selalu memiliki struktur ini.
31
Ibid, h. 29. Diskursus kewacanaan yang dijelaskan oleh Van Dijk membuat suatu perbedaan signifikan antara penyebutan teks dan wacana 'wacana', bukan istilah 'teks', yang hanya digunakan dalam rekonstruksi tata bahasa abstrak bahasa alami. Perbedaan serupa sebenarnya akan berada di tempat untuk gagasan kalimat, yang juga digunakan ambigu baik sebagai istilah teoretis atau sebagai istilah observasional.
26
Jika dikaitkan dengan apa yang disebut dengan satuan mikro adalah wacana struktur makro tidak akan terbentuk apabila tidak memiliki kelengkapan komponen struktur mikro yang menyusunnya. Dengan kata lain microstructures memegang peranan penting dalam pembentukan macrostructures yang saling berkaitan dengan konteks yang ada. Ini berarti bahwa wacana global ditentukan oleh hubungan antara struktur makro di satu sisi dan struktur semantik kalimat dan urutan (yaitu, mikro) di sisi lain. Dalam bab ini, maka, penulis mulai merumuskan berbagai aturan yang berkaitan dengan struktur makro-mikro. Meskipun memberikan ringkasan singkat dari 'microlevel' analisis wacana (Fenomena seperti koneksi linear dan koherensi), penulis juga membatasi diri pada semantik makro seperti tata bahasa dan hanya menentukan bagaimana mikro menentukan, dan ditentukan oleh, struktur makro. 32
Hipotesa dari bab ini, kemudian, adalah bahwa wacana tidak dapat cukup diperhitungkan di level mikro saja. Tanpa tingkat struktur makro, semantik tidak dapat menjelaskan berbagai sifatnya. Makna global dari wacana pada saat yang sama terlihat bahwa interpretasi makro juga merupakan kondisi yang diperlukan untuk interpretasi kalimat dan pembentukan koherensi lokal di level mikro tersebut. Akhirnya, hal ini diklaim
32
Van Dijk dalam Macrostructures an Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, menjelaskan bagaimana struktur makro dan mikro itu saling berkaitan. Pada ranah tertentu yang tingkatannya lebih tinggi untuk menunjukkan relevansi linguistik dan tata bahasa dari analisis macrostructures semantik, Van Dijk juga menganalisis berbagai cara di mana struktur makro mungkin lebih atau kurang langsung muncul dalam 'permukaan struktur' kalimat masing-masing wacana.
27
bahwa komponen makro adalah bagian sah dari semantik linguistik wacana dan bukan hanya sebuah komponen dari model psikologis pengolahan wacana. 33
b.
Kognisi Sosial Dalam kerangka analisis Van Dijk, pentingnya kognisi soial yaitu sebagai
model analisis pada kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.. Dijk menggambarkan bahwa setiap penulis memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya, Peristiwa dalam sebuah penulisan wacana dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang manusia, peranan sosial dan peristiwa liannya pada tiap penulis. Terdapat beberapa skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial penulis, digambarkan sebagai berikut:34 Tabel 3 Skema/Model Kognisi Sosial Van Dijk Skema Person (Person Schemas) Skema ini menjelaskan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain. Skema Diri (Self Schemas) Skema yang berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang. Skema Peran (Role Schemas) Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat. 33
Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, h. 26. 34 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 262.
28
Skema Peristiwa (Event Schemas) Skema yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu ditasirkan dan dimaknai dengan skema tertentu
c.
Konteks Sosial Dimensi ketiga dari analisis Van Dijk ini adalah konteks sosial, yaitu
bagimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik tekannya adalah untuk menunjukkan makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut Van Dijk, terdapat dua poin penting, yakni praktik kekuasaan (power) dan akses (acces). Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya. Hal ini disebut dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat memengaruhi letak atau konteks sosial pemberitaan tersebut. Kedua, akses dalam memengaruhi wacana. Akses ini menjelaskan bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kaum minoritas. Oleh karenanya, kaum mayoritas lebih punya akses kepada media dalam memengaruhi wacana.
B. Teori Penerjemahan Alquran
1.
Pengertian Terjemah
Sebelum menganalisis wacana pada ayat-ayat jihad dalam Alquran, ada baiknya penulis menyinggung teori penerjemahan Alquran yang telah menjadi panduan sejak lama. Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah diserap dari bahasa
29
Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri menyerap istilah tersebut dari bahsa Armenia, turjuman35. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan turjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain36.
Dalam kegiatan penerjemahan, setiap jenis nash sepatutnya diperlakukan secara khusus. Perlakuan ini menyangkut masalah teoretis yang bertalian dengan metode dan prosedur penerjemahan. Karena itu penerjemahan nash keagamaan berbeda dengan penerjemahan nash ilmiah, nas sastra dan jenis nas lainnya. Perbedaan perlakuan ini terkait erat dengan karakteristik isi dan bahasa yang mengungkapkan konteks wacana di dalamnya.
Penerjemahan Alquran memang memerlukan penanganan tersendiri karena bagi umat Islam, Alquran memiliki aneka dimensi dan fungsi yang perlu dijaga. Di samping itu, cara pandang penerjemah nas-nas keagamaan tentu saja berbeda dengan sudut pandang penerjemah lain.
Proses penerjemahan Alquran merupakan rangkaian tindakan yang dilakukan penerjemah berdasarkan atas kualifikasinya dalam mengalihkan makna dan maksud nas sumber ke dalam nas penerima untuk memperoleh terjemahan yang berkualitas.
35
M. Didawi, dalam Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia. (Jakarta: Humaniora,
2005), h. 7 36
I. Manzhur, dalam Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia, h. 7
30
Terjemah
memiliki
arti
mengalihbahasakan,
sedangkan
secara
terminologis, begitu banyak definisi yang tersaji. J. Levy seperti dikutip Nurachman Hanafi mendefinisikan terjemah sebagai “a creative process which always leaves the translation of freedom of choice between several approximately equivalent possibilities of relizing situational meaning”.37 Atau seperti dikutipnya juga, Julian House menyebut terjemah sebagai “replacement of text in the source language by semantically and pragmatically equivalent text in the target language”.38 Singkat kata, terjemah merupakan aktifitas pemindahan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, tanpa mengubah makna dan gaya bahasa yang terkandung di dalamnya.
Meski secara pengertian terlihat sederhana, namun proses menerjemah tidaklah mudah. Dalam proses penerjemahan, hal ihwal teks melewati serangkaian interpretasi ulang tentang apa yang dipahami oleh seorang penerjemah pada sebuah bahasa untuk diterjemahkan ke bahasa lainnya. Proses ini tetunya melewati sebuah proses pencitraan, di mana gambaran tentang sebuah konsep, baik itu sebagai sebuah peristiwa atau sebuah benda, direpresentasikan hanya dengan satu atau beberapa kata. Hal ini dikarenakan bahasa merupakan simbol dan sistem penandaan dari dunia nyata. Realitas adalah sebuah realitas yang
37
Nurrachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkaan, (Flores; Nusa Indah, 1986) h. 24
38
Ibid, h. 26
31
diketahui
setelah
dialihbahasakan,
atau,
realitas
adalah
realitas
yang
terbahasakan.39
2.
Unsur Teori Menerjemah Dalam bidang linguistik, penerjemahan memang dikelompokkan dalam
bidang linguistik terapan karena sebagai teori yang yang telah dirumuskan dalam linguistik teoretis diterapkan pada bidang penerjemahan. Linguistik teoretis berfungsi sebagai pengembangan dan pemerkaya teori penerjemahan. Lingusitik terapan atau linguistik interdisipliner merupakan sutu disiplin ilmu karena dapat memenuhi syarat-syarat keilmiahan, yaitu bahwa ilmu ini dikembangkan dengan metode ilmiah yang diakui kesahihannya di kalangan para ahli bahasa secara objektif40. Jadi tugas teori terjemah ialah (1) mengidentifikasi dan mendefinisikan masah-masalah penerjemahan, (2) menunjukkan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memecahkan masalah tersebut, (3) menyenaraikan prosedur penerjemahan yang dapat diterapkan, dan (4) merekomendasikan prosedur penerjemahan yang paling sesuai. Oleh karena itu, teori penerjemahan yang berguna ialah yang muncul dari praktik penerjemahan. Tidak ada praktik berarti tidak ada penerjemahan41.
39
H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi; Suatu telaah filsafat postmodernisme, (Yoyakarta; Kanisius, 2001), h.27 40
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia h. 14.
41
P Newmark, dalam Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia, h. 13
32
Unsur teori sangatlah penting bagi penerjemah yang berkedudukan sebagai mediator antara penulis dan pembaca. Dia bertugas mengungkapkan ide penulis kepada para pembaca dengan bahasa penerima yang ekuivalen dengan bahasa sumber.42 3.
Metode Terjemahan Alquran Kualitas terjemahan Alquran sangat berkaitan erat dengan keterpahaman
terjemahan itu sendiri. Kualitas ini dapat bersifat intrinsik yaitu bertalian dengan ketepatan, kejelasan, dan kewajaran nash. Namun, dapat pula bersifat ekstrinsik, yaitu berkenan dengan tanggapan pembaca dan pemahamannya terhadap terjemahan. Dalam telaah tentang nash, kualitas intrinsik tersebut diistilahkan dengan keterbacaan, keterpahaman, dan atau ketedasan. Ketiga istilah tersebut dipahami secara bergantian dan didefinisikan sebagai derajat kemudahan sebuah nash untuk dapat dipahami. Maka dalam hal ini, dari sudut tinjauan teoretis terdapat dua metode utama dalam penerjemahan, yaitu metode hariah (literal) dan metode maknawiah.43
a. Terjemahan Harfiah Terjemahan harfiah adalah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai uruturutan kata bahasa sumber. Dalam hal ini terdapat upaya memindahkan sejumlah kata dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata dan susunan bahasa
42 43
Ibid, h. 15. A. Sakri dalam Syihabuddin Penerjemahan Arab Indonesia, h. 194
33
yang susuai dengan bahasa aslinya.44 Menurut Az-Zarqaniy, terjemahan seperti ini tak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata. Terjemahan ini juga disebut dengan terjemahan lafdziyah atau musawiah Terjemahan jenis ini dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Kemudian dicari padanan kata dalam bentuk bahasa penerima, dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber
meskipun
maksud
kalimat
menjadi
tidak
jelas.
Sejatinya
terjemahan harfiah dalam definisi urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing bahasa selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata dan makna yang terkandung di dalamnya.
b. Terjemahan tafsiriyah atau maknawiah
Terjemahan jenis ini adalah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber. Dalam definisi lain adalah menerangkan pengertian yang terkandung dalam suatu kalam dengan bahasa yang lain dengan terlepas dari kosa kata dan struktur kalimat bahasa lainnya. Terjemahan tafsiriyah mengutamakan ketepatan makna dan dimaksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan kalimat.
Karena
itu
terjemahan
ini
juga
dinamakan
dengan
terjemahan maknawiah karena mendahulukan ketepatan makna. Az-Zarqaniy dan 44
Miftah Faridl dan Drs. Agus Syihabuddin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam (Bandung: Pustaka, 1989)h. 307
34
Manna’
al-Qattan
sama-sama
menamakan
terjemahan tafsiriyah dengan
terjemahan maknawiah, walaupun di antara keduanya memiliki perbedaan dalam aspek lain.45 Az-Zarqaniy memberikan nama terjemahan tafsiriyah karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Metode
yang
dipakai
dalam
terjemahan tafsiriyah adalah
dengan
memahami terlebih dahulu maksud teks bahasa sumber, kemudian maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber. Berikut ini adalah syarat-syarat kualifikasi penerjemahan tafsiriyah kriteria diperbolehkannya sebuah terjemahan dapat diidentifikasi46: a) Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima. Yang dimaksudkan penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber adalah penerjemahan harus benar-benar sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa sumber. Contohnya adalah tentang kata اﻟﺴﯿﺎ رة. Dalam konteks kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf ayat 10, kata اﻟﺴﯿﺎ رةberbeda dengan kata اﻟﺴﯿﺎ رةdalam konteks teknologi otomotif yang berarti mobil. Kata اﻟﺴﯿﺎرةdalam kisah Nabi Yusuf tersebut bermakna beberapa orang musafir.
45
46
Ibid, h. 307. Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi
1990, Jogja: Tiara Wacana, 2001, hal. 62-63
35
b) Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan gaya bahasa penerima. Yang dimaksud dalam poin ini adalah penerjemahan benar-benar
memperlihatkan
kesesuaian
gaya
bahasa
yang
dipertemukan. Contoh yang dapat diajukan adalah: gaya ath-thibāq ( )اﻟﻄﺒﺎقdalam bahasa arab sama dengan gaya bahasa antitesis dalam bahasa
Indonesia.
Secara
etimologi
berarti
berlawanan
atau
bertentangan. Selain itu, terdapat beberapa gaya bahasa yang mesti diketahui sebelum melakukan terjemahan, seperti: (i)
Gaya bahasa al-itnāb ( )اﻻطﻨﺎ بdalam bahasa Arab sepadan dengan gaya bahasa pleonasme47 dalam bahasa Indonesia. Contohnya dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian itu saya lihat dengan mata kepala sendiri. Dalam al-Qur’an contohnya dalam ayat : ﺗﻨ َﺰل ....... ( اﻟﻤﻼ ﺋﻜﺔ واﻟﺮوح ﻓﯿﻤﺎPada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril...).
(ii)
Dalam bahasa Indonesia terdapat gaya bahasa metonimia48 yang sepadan dengan gaya bahasa majaz mursal dalam bahasa Arab,
47
Dr. Ismail Lubis, MA., Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi
1990. Gaya bahasa pleonasme adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata lebih banyak dari yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Namun, meskipun kata yang berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh. 48
Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan
suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. اَﯾﺎ َ ٍدyang memiliki arti tangan bisa dimaksudkan dengan pemberian
36
contohnya: ﻟﮫ اﯾﺎد ﻋﻠﻲyang memiliki arti dia banyak pemberiannya terhadapku.
c) Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dan ciri khas bahasa penerima. Untuk memperoleh deskripsi yang jelas tentang ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima akan dilihat dari peristiwa bahasa, contohnya adalah: (i) Bahasa Indonesia tidak mengenal fleksi (perubahan bentuk kata), baik
konjugasi/tasrif
(perubahan
bentuk
kata
kerja),
maupun deklinasi/i’rab (perubahan bentuk kata benda/sifat) seperti terdapat dalam bahasa Arab.
Konjugasi Tasrif Bahasa Indonesia
Bahasa Arab
Saya pergi ke pasar
اﻧﺎ اذھﺐ اﻟﻲ اﻟﺴﻮق
Saya telah pergi ke pasar
ذھﺒﺖ اﻟﻲ اﻟﺴﻮق
Pergilah ke pasar
اذھﺐ اﻟﻲ اﻟﺴﻮق
Deklinasi Bahasa Indonesia Mansur sudah datang Saya sudah melihat Mansur Saya pergi dengan Mansur Ali kecil Ali lebih kecil dari Mansur
Bahasa Arab ﺟﺎء ﻣﻨﺼﻮ ٌر راﯾﺖ ﻣﻨﺼﻮ ًرا ذھﺒﺖ ﻣﻊ ﻣﻨﺼﻮ ٍر ﻋﻠ ٌﻲ ﺻﻐﯿ ٌﺮ ﻋﻠ ٌﻲ أﺻﻐ ُﺮ ﻣﻦ ﻣﻨﺼﻮ ٍر
37
(ii)
Bahasa Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata seperti yang terdapat dalam bahasa Arab. Bahasa Indonesia Kamu Ia Mereka Kamu sekalian
(iii)
Bahasa Arab kamu laki-laki : َأﻧﺖ kamu perempuan :ﺖ ِ أﻧ ia laki-laki:ھﻮ ia perempuan:ھﻲ mereka laki-laki :ھﻢ mereka perempuan :ھﻦ kamu sekalian laki-laki :أﻧﺘﻢ kamu sekalian perempuan :أﻧﺘﻦ
Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk jamak dualis dan bentuk jamak pluralis (jam’u at-taksir/broken plural, jam’u almuzakkar as-salim/masculine sound plural, jam’u al-mu’annas assalim/feminime sound plural) seperti dalam bahasa Arab. Bahasa Indonesia Sebuah buku Dua buah buku Beberapa buah buku
Bahasa Arab ٌﻛﺘﺎب ِﻛﺘﺎﺑﺎن ٌﻛﺘﺐ
38
BAB III
WACANA TERORISME DAN PENGGUNAAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENAG
A. Pengertian Terorisme
Dalam masyarakat Indonesia term terorisme akan selalu menjadi momok perdebatan dan seolah-olah kerap kali dikaitkan dengan penganut Islam radikal. Padahal kenyataanya gerakan terorisme tidak diajarkan oleh agama manapun. Para ahli kontraterorisme mengatakan, teroris adalah para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata Latin terrere yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. 49
49
Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004) h., 22.
39
Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Againts State menjadi Crimes Against Humanity. Crimes Againts Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana teror.50
Sedangkan Menurut Loebby Loqman, terorisme sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror. Kegiatan terorisme umumnya
di
lakukan
dengan
sasaran
acak,
bukan
langsung
kepada
lawan,sehingga dengan dilakukan teror tersebut diharapkan akan mendapatkan perhatian pihak yang dituju.51
B. Terorisme dan Warisan Pencerahan
Ideologi eksplisit para teroris yang menyerang Twin Towers dan Pentagon pada 11/9 ialah penolakan atas jenis modernitas dan sekularisasi yang di dalam tradisi filsafat diasosiasikan dengan konsep Pencerahan. Dalam filsafat, Pencerahan menggambarkan bukan hanya sebuah periode spesifik, yang secara historis bertepatan dengan abad ke-18 melainkan juga afirmasi atas demokrasi dan
50
ibid, h., 23.
51
Loqman Loebby, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Indonesia,(Jakarta: Universitas Indonesia,1990) h. 98
40
pemisahan kekuasaan politik dari kepercayaan keagamaan yang dijadikan fokus oleh revolusi Perancis dan Revolusi Amerika.52
Dalam tulisannya, Kant menyatakan bahwa pencerahan ialah kebangkitan manusia dari ketidakdewasaanya yang ditimpakan pada dirinya sendiri. Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan menggunakan pemahamannya sendir tanpa bimbingan orang lain. Lebih sekadar segugus kepercayaan. Pencerahan menandai putusnya hubungan masa lalu, yang dimungkinkan hanya atas
ketidaktergantungan
individu
di
hadapan
otoritas.
Tepatnya
ketidaktergantungan inilah merupakan ciri modernitas.53
Lalu apa kaitan terorisme dengan Pencerahan? Di sini Habermas berpaling dari
modernitas
dan
menganggap
bahwa
fundamentalisme
merupakan
inkarnasinya. Habermas berpendapat bahwa fundamentalisme sebagai suatu fenomen yang secara eksklusif bersifat modern. Sebagaimana Kant, Habermas memahami modernitas lebih merupakan suatu perubahan dalam sikap kepercayaan dari pada sebuah korpus kepercayaan-kepercayaan yang koheren.54
Suatu sikap kepercayaan lebih menunjukkan jalan di mana kita percaya ketimbang apa yang kita percaya. Jadi, fundamentalisme kurang berurusan dengan suatu teks atau dogma keagamaan yang spesifik dan lebih berurusan dengan modaitas kepercayaan. Apakah kita mendiskusikan kepercayaan fundamentalisme 52
Borradori Giovanna, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida, Pnrj. St Sunardi (Jakarta: Kompas, 2005), h. 22 53
Ibid, h. 22
54
Ibid, h. 22
41
Islam, Kristiani, atau Hindu, kita bicara tentang reaksi dalam bentuk kekerasan terhadap cara modern memahami dan mempraktikkan agama. Dalam perspektif ini, fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara pra-modern dalam berhubungan dengan agama: itu suatu respon panik kepada modernitas yang dipersepsikan lebih sebagai ancaman daripada peluang.55
Selain hal tadi Habermas pun menyetujui bahwa setiap doktrin agama didasarkan pada sebuah inti kepercayaan dogmatis; jika tidak, tidak akan ada iman yang dimunculkannya. Namun dengan serbuan modernitas, agama-agama harus “melepaskan diri dari doktrin mereka yang bersifat mengikat secara universal dan penerimaannya secara politis,” agar sama-sama menjalani eksistensi di dalam masyarakat majemuk. Transisi kepercayaan dari pra-modern ke yang modern telah menjadi tantangan monumental bagi agama-agama dunia. Terdapat agamaagama yang klaimnya pada kebenaran ditunjang dan diteguhkan oleh situasisituasi politik “yang periferinya tampak kabur meremang di luar batas-batasnya.” Modernitas menghasilkan suatu pluralitas bangsa-bangsa dan suatu pertumbuhan begitu rupa di dalam kompleksitas sosial dan politik. Sehingga eksklusifitas klaim-klaim yang mutlak menjadi begitu saja tidak dapat dipertahankan. 56
55
Borradori Giovanna dalam terjemahan St Sunardi, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida, h. 23 56
Ibid, h. 28-29
42
C. Faktor Pendorong Gerakan Terorisme di Indonesia
Terorisme memang menjadi momok tersendiri bagi masyarakat di Indonesia. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa terorisme selalu diidentikkan dengan Islam? Padahal tidak menutup kemungkinan oknum agama lainpun juga melakukan hal serupa. Memang semua aksi tersebut tidak mungkin berlatar hanya dari sekadar aksi jihad saja, namun faktor dasar yang mempengaruhi aksi terorisme adalah kemiskinan. Mahfudz Siddiq, Ketua komisi I DPR (Kompas, 14/09/2011) mengatakan bahwa faktor utama terorisme dan konflik agama di Indonesia dan mengambil konflik Ambon sebagai contohnya adalah Kemiskinan di Ambon, sensitivitas kelompok pasca konflik dan akibat konflik masa lalu berdasarkan etnis dan agama.
Namun Kapolri Jendral Timur Pradopo (Lampung Pos, 21/03/2012) Mengatakan bahwa permasalahan yang menjadi akar kekerasan, radikalisasi dan terorisme adalah; Pertama, persoalan kemiskinan yang masih melanda sebagian umat. Kemiskinan seringkali memaksa seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kehidupan. Kedua, ketidakpercayaan terhadap Negara dan tidak memiliki perasaan takut terhadap penyelenggara negara. Ketiga, kurangnya pendidikan dan keterbelakangan dalam memahami wacana bermasyarakat.
Ketika melihat term “terorisme” hal ini bukanlah sekadar persoalan semantik. Apakah orang menggunakan kata “teroris” ataupun tidak untuk menggambarkan aksi-aksi kekerasan bergantung pada apakah aksi-aksinya dapat dibenarkan. Pada tataran yang lebih luas, penggunaan istilah terebut bergantung
43
pada pandangan orang yang bersangkutan: jika dunia dipandang damai, aksi-aksi kekerasan akan sebagai suatu bentuk terrorisme. Jika dunia dianggap dalam keadaan perang, aksi-aksi kekerasan bisa jadi diakui sebagai tindakan absah.57
Hal ini mengantarkan kembali pada pertanyaan lain, ketika agama membenarkan kekerasan, apakah dengan demikian hal itu digunakan untuk tujuan-tujuan politis? Ini bukanlah pertanyaan yang sederhana, sebagaimana ia pertama kali mengemuka. Kejadian ini benar-benar pelik karena agama tidak dapat disalahkan. Tapi tidak selalu mengarah pada kekerasan. Kasus-kasus `seperti ini akan terjadi bila terdapat perpaduan dari sederetan situasi tertentu yang bersifat politis, sosial dan ideologis58
Dari pemaparan tadi kita bisa mengambil hipotesa bahwa banyak orang yang hanya mengutuk, atau paling banter memerangi terorisme. Namun mereka lupa mengutuk dan tidak berupaya melenyapkan pemicu yang menyebabkan aksi anarkistis tersebut. Senyatanya, kehadiran aksi-aksi semacam teroris, salah satunya diakibatkan oleh semacam keangkuhan suatu atau sekelompok bangsa tertentu dalam menyikapi kehidupan global. Dalam kondisi seperti itu, kelompok yang memiliki power sering dan mudah menindas kelompok yang lebih lemah dengan menggunakan alasan yang terkadang terlalu dicari-cari.59
57
Mark Jurgensmeyer, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama, Pnrj M. Sadat Ismail (Jakarta, Nizam Press:2002), h. 12. 58
Ibid., h.13
59
Abd, A’la, Melampaui Dialog Agama (Jakarta, Kompas: 2002), h. 65-66.
44
Sementara kelompok yang lemah – dengan melakukan berbagai justifikasi - mencoba melawan kekuasaan dan tekanan yang membelenggu mereka dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu inti persoalan sebenarnya yang perlu diselesaikan adalah bagaimana melenyapkan keangkuhan kekuasaan, dan menggantinya dengan penciptaan dan pengembangan suatu sistem kehidupan yang lebih manusiawi dalam arti yang sebenar-benarnya.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan al-ghayat ()اﻟﻐﺎﯾﺔ, termasuk tujuan yang baik sekalipun.60 Dalam hal ini Azyumardi Azra berpendapat, bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan. Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian keadilan dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Islam menganjurkan dan memberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang, berperang harb ( )ﺣﺮبdan menggunakan kekerasan qitâl ( )ﻗﺘﺎلterhadap para penindas musuh Islam dan pihak luar yang menunjukan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan Islam kaum muslimin.61 Selanjutnya, Azra pun menambahkan bahwa dalam kaidah ushul dalam Islam menegaskan اﻟﻐﺎﯾﺔ ﻻﺗﺒﺮر ( اﻟﻮﺻﯿﻠﺔtujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula. 60
Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004) h., 42 61
Azyumardi Azra, Terorisme dalam perspektif Agama, dalam Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum komentar diterbitkan dalam harian Kompas 2 November 2002.
45
D.
Hubungan Terjemahan Ayat Alquran Kementerian Agama dengan Terorisme
Dari semua hal tadi ada satu faktor yang menjadi perhatian penulis dalam menyikapi fenomena yang terjadi. Faktor itu adalah ayat Alquran yang dijadikan landasan “mereka” (teroris) dalam melakukan aksinya. Salah satunya adalah َوا ْﻗﺘُﻠُﻮھُ ْﻢ َﺣﯿْﺚُ ﺛَﻘِ ْﻔﺘُﻤُﻮھُ ْﻢ َوأَﺧْ ِﺮﺟُﻮھُ ْﻢ ﻣِﻦْ َﺣﯿْﺚُ أَﺧْ َﺮﺟُﻮ ُﻛ ْﻢ َوا ْﻟﻔِ ْﺘﻨَﺔُ أَ َﺷ ﱡﺪ ﻣِﻦَ ا ْﻟﻘَ ْﺘ ِﻞ و ََﻻ ﺗُﻘَﺎﺗِﻠُﻮھُ ْﻢ ِﻋ ْﻨ َﺪ َﻚ َﺟ َﺰا ُء ا ْﻟﻜَﺎﻓِﺮِﯾﻦ َ ِا ْﻟ َﻤ ْﺴ ِﺠ ِﺪ ا ْﻟ َﺤﺮَامِ َﺣﺘﱠﻰ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﯿ ِﮫ ﻓَﺈِنْ ﻗَﺎﺗَﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻗﺘُﻠُﻮھُ ْﻢ َﻛ َﺬﻟ Terjemahan : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.(QS. 2:191)
Selain itu dalam surat at-Taubah, ayat 123 versi Kemenag: َﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ آ َﻣﻨُﻮْ ا ﻗَﺎﺗِﻠُﻮْ ا اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ﯾَﻠُﻮْ ﻧَ ُﻜ ْﻢ ﻣِﻦَ ا ْﻟ ُﻜﻔﱠﺎ ِر َو ْﻟﯿَ ِﺠﺪُوْ ا ﻓِ ْﯿ ُﻜ ْﻢ ِﻏ ْﻠﻈَﺔً َوا ْﻋﻠَ ُﻤﻮْ ا أَنﱠ ﷲَ َﻣ َﻊ ا ْﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿْﻦ “Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Kembali ke pembahasan sebelumnya, pada dasarnya, kemunculan gerakan-gerakan keagamaan radikal itu dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya
46
dapat dilacak pada sisi pemahaman keagamaan mereka. Dalam Islam, pemahaman yang literal dan parsial serta sepotong-sepotong terhadap Alquran dan Sunah Nabi mengakibatkan seseorang terperangkap ke dalam wawasan sempit dan tidak mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dalam kehidupan konkret.62
Umpamanya, mereka mengartikan jihad dalam Alquran sebatas arti harfiah yang tersurat. Mereka tidak mencoba lebih jauh melalui cara pemahaman terhadap sebab-sebab historis yang terkait dengan konsep itu, lalu menangkap nilai-nilai universal yang dikandungnya untuk diaplikasikan ke dalam situasi konkret saat ini, yang jelas berbeda dengan situasi yang ada pada masa turunnya Alquran.
Hal ini semakin mengeras ketika faktor-faktor lain, semisal politik ekonomi, ikut masuk ke dalamnya. Suatu kelompok dengan pemahaman keagamaan yang literalis akan bermetamorfosis menjadi gerakan radikal manakala kelompok itu secara ekonomi atau politik merasa ditindas oleh kelompok pemeluk agama lain.
Selain itu, unsur lain yang membuat seseorang atau suatu kelompok bersikap radikal adalah sikap curiga terhadap kelompok atau penganut agama lain. Adanya kecurigaan semacam tuduhan bahwa suatu umat dari agama lain melakukan kecurangan dalam menyebarkan misi agama, menjadi peluang pada
62
Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, h. 17.
47
kelompok yang memiliki kecurigaan itu untuk menanggapinya melalui cara-cara reaksioner yang mengarah kepada bentuk kekerasan dan semacamnya.63
Dalam kondisi yang penuh kecurigaan ini, suatu kelompok radikal akan melihat segala persoalan yang berkaitan dengan umat dari agama lain dalam perspektif teologi eksklusif. Jika kelompok itu dari Islam, ia akan melihat permusuhan yang kebetulan terjadi antara seorang muslim dan seorang Kristen sebagai permusuhan agama. Meskipun sebenarnya persoalannya bersifat pribadi, kultural atau tidak ada hubungan sedikitpun dengan persoalan akidah. 64
Seringkali sikap-sikap menentang, khususnya dalam kancah pemikiran, disebabkan oleh “ketidaktahuan” atau adanya proses “kekaburan” yang timbul dari anggapan picik bahwa “apa yang ada dalam pikiran” identik dengan “apa yang ada dalam kenyataan”. Tingkat kerancuan ini – dan ketidakpahaman yang ditimbulkannya serta penentangan dan permusuhan sebagai kelanjutannya – kian bertambah kompleks ketika “apa yang ada dalam pikiran” tersebut merupakan sesuatu yang kuno dan berakar dalam. Sebab, kekunoan itu telah memberinya sifat kepurbaan, suatu sifat yang membuatnya bernilai otoritatif dan tidak dapat diotakatik atau didekati, karena merupakan otoritas suci.65
Abu Zaid juga mengatakan, salah satu pemikiran yang mengakar kuat dan otoritatif tersebut – yang hampir merupakan akidah karena kepurbaan dan
63 64
65
Ibid , h. 18 Ibid.,h. 19
Nasr Hamid Abu Zaid, , Teks Otoritas Kebenaran, dari judul asli An;Nashsh, asShulthah, al-Hakikah,Pnrj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 85.
48
dominasinya adalah pemikiran bahwa Alquran yang diturunkan melalui Jibril kepada Muhammad adalah teks yang qadim dan azali dan ia merupakan salah satu di antara sifat-sifat Dzat Tuhan. Karena Dzat Tuhan adalah azali dan tak bermula maka demikian pula halnya dengan sifat-sifat-Nya dan segala yang berasal dariNya. Alquran adalah firman Allah, dengan demikian, ia juga qadim karena termasuk di antaranya sifat-sifat yang azali dan qadim tersebut.
49
BAB IV
ANALISIS WACANA TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA
A. Kekeliruan Pemahaman Mendasar dalam Terjemahan Ayat-ayat Alquran tentang Jihad dan Perang
Seperti telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, skripsi ini bertujuan untuk menelaah lebih lanjut tentang kajian wacana hasil terjemahan Alquran oleh Kementerian Agama, lebih khusus kepada ayat-ayat yang sering dijadikan acuan dalam gerakan radikalisme. Titik pembahasan penulis adalah pada QS. 2:191, QS. 8:39, QS.9:123.
Surat Al Baqarah : 191
َوا ْﻗﺘُﻠُﻮھُ ْﻢ َﺣﯿْﺚُ ﺛَﻘِ ْﻔﺘُﻤُﻮھُ ْﻢ َوأَﺧْ ِﺮﺟُﻮھُ ْﻢ ﻣِﻦْ ﺣَ ﯿْﺚُ أَﺧْ َﺮﺟُﻮ ُﻛ ْﻢ َوا ْﻟﻔِ ْﺘﻨَﺔُ أَ َﺷ ﱡﺪ ﻣِﻦَ ا ْﻟﻘَ ْﺘ ِﻞ ﻚ َ ِو ََﻻ ﺗُﻘَﺎ ﺗِﻠُﻮھُ ْﻢ ﻋِ ْﻨ َﺪ ا ْﻟ َﻤﺴْﺠِ ِﺪ ا ْﻟ َﺤ َﺮامِ ﺣَ ﺘﱠﻰ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓِﯿ ِﮫ ﻓَﺈ ِنْ ﻗَﺎﺗَﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻗﺘُﻠُﻮھُ ْﻢ َﻛ َﺬﻟ ََﺟ َﺰا ُء ا ْﻟﻜَﺎﻓِﺮِﯾﻦ Terjemahan : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi
50
mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.
Selanjutnya, QS al-Anfal 39
ﷲ ﺑِﻤَﺎ ّ نﱠ ﯾَ ْﻌ َﻤﻠُﻮنَ ﺑَﺼِﯿ ٌﺮ Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Simak pula at-Taubah : 123
ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ آ َﻣﻨُﻮْ ا ﻗَﺎﺗِﻠُﻮْ ا اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ﯾَﻠُﻮْ ﻧَ ُﻜ ْﻢ ﻣِﻦَ ا ْﻟ ُﻜﻔﱠﺎ ِر َو ْﻟﯿَ ِﺠﺪُوْ ا ﻓِ ْﯿ ُﻜ ْﻢ ِﻏ ْﻠﻈَﺔً َوا ْﻋﻠَ ُﻤﻮْ ا َأَنﱠ ﷲَ َﻣ َﻊ ا ْﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿْﻦ “Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Dari pemaparan di atas bisa dikatakan bahwa semua ayat-ayat tadi menerangkan tentang jihad dan perang. Jihad memang dipahami secara beragam oleh umat Islam. Masing-masing golongan umat memiliki metodologi sendiri dalam menjelaskan definisi jihad yang paling benar. Dalam tulisannnya
51
Mu’ammar Zayn Qadafy menjelaskan secara garis besar pemaknaan jihad oleh para sarjana muslim dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu fundamentalisme dan post-modernisme. Pada permasalah seputar jihad, keduanya sangat berbeda dalam menyusun definisinya masing-masing. Kelompok Fundamentalis terkesan literalis, eksklusif dan sederhana dalam mendefinisikan jihad. Bagi mereka, jihad adalah perang fisik melawan musuh (orang kafir).66
Sedangkan kelompok modernis, memiliki konsep jihad yang lebih kompleks dari sekadar perang. Pada umumnya kelompok ini membentuk jihad menjadi sebuah perjuangan yang elegan, akomodatif, dan bersahabat bagi golongan lain. Jihad tidak diilustrasikan perjuangan hidup mati memikul senjata ke medan perang, tetapi ia adalah usaha-usaha serius yang dilakukan dalam menegakkan ajaran Allah apapun bentuknya.67
B. Analisis Wacana
1.
Struktur Makro Sebagai salah satu bagian dari dimensi teks dan berangkat dari terjemahan
ayat-ayat jihad di atas, struktur makro adalah suatu makna global yang berisikan topik atau tema yang diangkat di dalamnya. Sederhananya struktur makro merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema
66
Mu’ammar Zayn Qadafy pada makalah Aplikasi Teori Interpretasi Nashr Hamid Abu Zaid dalam Ayat-ayat Qitâl, salah satu tulisan dari bunga rampai Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), h. 118. 67
Mu’ammar Zayn, Aplikasi Teori Interpretasi Nashr Hamid Abu Zaid dalam Ayat-ayat Qitâl, h. 119.
52
yang diangkat suatu teks Pada bab ini, menurut penulis struktur makro yang tersaji di dalam fragmen-fragmen ayat-ayat jihad tadi adalah objek semantik. Struktur makro yang penulis gunakan dalam wacana terjemahan ayat-ayat jihad Kemenag untuk menjelaskan gagasan intuitif koherensi: wacana jihad pada ayatayat tadi tidak hanya koheren di tingkat lokal (misalnya, dengan koneksi berpasangan antara kalimat), tetapi juga di tingkat global.
Sebagai gambaran, struktur wacana dapat tersusun atas adanya elemenelemen dari struktur makro, struktur supra dan struktur mikro. Secara sederhananya penyusunan struktur wacana tersusun seperti gambar berikut. Tabel Elemen Wacana Teks Van Dijk Struktur Wacana Struktur Makro
2.
Elemen
Temuan
Tematik/ Topik
Wacana hasil terjemahan Ayat-ayat Jihad Kementerian Agama 1. Pernyataan beragam oleh kelompok-kelompok ideologis mengenai ayat-ayat jihad terjemahan Kemenag. 2. Pemaparan kasus-kasus terorisme dan argumen atas kekeliruan dalam memahami ayat-ayat jihad.
Struktur Supra
Skema/ Alur
Struktur Mikro
Semantik, Sintaksis, Stilistik, Retoris
Analisis terjemahan dari ketiga fragmen ayat jihad yang disebutkan, yaitu QS. 2:191, QS. 8:39, QS.9:123.
Struktur Supra Penulis menyepakati bahwa dalam setiap wacana juga terdapat ideologi di
dalamnya. Wacana akan selalu bersinggungan dengan ideologi. penulis ingin
53
mengemukakan bahwa penggunaan dan pemahaman teks agama secara sempit berimplikasi menimbulkan suatu kerancuan keyakinan. Hal ini menurut penulis adalah sebagai dasar pembentukan wacana mengenai adanya terjemahan harfiyah ayat-ayat Alquran yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran keras. Seperti dalam hal ini penulis mengutip hasil kajian dari Saifur Rohman dalam studi kasus buku Imam Samudra yang berjudul Aku Melawan Teroris (2004). Imam Samudra mengatakan “Bom Bali adalah satu di antara perlawanan yang ditujukan terhadap penjajah Amerika dan sekutunya”.68 Di dalam kesimpulan buku tersebut Imam Samudera menulis: Umat Islam harus bangkit melawan mereka dengan segala daya dan upaya. Perlawanan yang disyariatkan oleh Islam adalah dengan cara jihad. Maka, bom Bali adalah salah satu bentuk jawaban yang dilakukan segelintir kaum Muslimin yang sadar dan mengerti arti sebuah pembelaan dan harga dirii.69 Dari tulisan tadi Imam Samudera memperkenalkan kata bom yang dirangkai dengan perlawanan, penjajah, syariat, jihad, dan sekutu. Konstruksi yang hendak dihadirkan adalah legitimasi terhadap aksi pengeboman itu karena didasari oleh gerakan perlawanan. Amerika adalah musuh yang selama ini dianggap sebagai
68
Dalam sebuah tulisan Memutus Mata Rantai Radikalisme Dan Terorisme Di Indonesia: Analisis Psikologi, Filsafat, Dan Kultural,. Saifur Rohman, mengatakan Terorisme pada mulanya adalah sebuah perwujudan dari endapan pemahaman mistis. Pemahaman itu diwadahi oleh produk keyakinan yang dimiliki oleh kaum Semit, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Masing-masing keyakinan itu melahirkan identitas sebagai fundamentalis. Di dalam aras kebudayaan, ia memanfaatkan teori konflik kebudayaan sebagaimana diwariskan oleh Huntington.Intinya, kebudayaan sebagai identitas eksklusif itu saling berhadap-hadapan untuk melancarkan pembenaran. 69
Imam Samudera, Aku Melawan Teroris., h. 114.
54
penjajah yang harus diserang. Bila membaca lebih jauh, dasar penyerangan itu adalah ayat-ayat suci yang diyakini sebagai benar. Sebab, menurutnya, ayat itu memberikan jaminan surga kepada mereka yang melakukan jihad di jalan Tuhan. Dengan kata lain, konstruksi wacana yang berkembang di masyarakat adalah telah terjadi penyalahgunaan terjemahan Alquran yang dilakukan oleh Imam Samudra. Terjemahan telah dijadikan alat propaganda dalam menebarkan hegemoni terorisme dan menyebabkan kekusutan situasi dalam pemikiran masyarakat. Hendropriyono juga berpendapat dengan memanfaatkan Ludwig Wittgenstein sebagai
titik tolak teoretisnya untuk mengkaji terorisme.
Bahwasanya tudingan-tudingan teror antara fundamentalisme Kristen dan Islam tidak lebih sebagai permainan bahasa. Adapun rumusan penulisnya menyatakan bahwa: Walau pelaku terorisme berangkat dari perbedaan sumber pengetahuan dengan pembenaran masing-masing yang berbeda, tetapi keyakinan ontologis mereka terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa bersifat jumbuh (identik). Artinya, semua pihak sama-sama mengacu kepada sesuatu keyakinan yang sama, yang identik, yaitu kepada “yang ada”, yang berada di atas segala-galanya.70 Selain hal tadi terdapat temuan penulis mengenai pernyataan dari Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat, Irfan S. Awwas mengenai kualitas terjemahan dari kementerian Agama yang dimuat di tempo.co pada Senin, 25 April 2011. Irfan mengatakan, bom bunuh diri di masjid Kepolisian Resor Kota Cirebon pada medio April 2011 lalu adalah tanggung 70
AM Hendropriyono, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009)
55
jawab Kementerian Agama. Ia menilai pemerintah salah menerjemahkan Alquran selama puluhan tahun. Kesalahan terjemahan pada sekitar 3.400 ayat itu diduga memicu tindakan radikalisme.71 Selain itu Irfan juga menyebutkan secara spesifik salah satu terjemahan surat at-Taubah, ayat 123 versi Depag (sekarang Kemenag): “Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” Irfan pun mengatakan, Apabila muncul ideologi permusuhan terhadap orang kafir, lalu terjadi konflik horizontal, bahkan pembunuhan disebabkan membaca teks terjemahan di atas. Maka bukan salah pembaca, karena kalimat dalam terjemahan memang salah, yang menyimpang dari sababun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut.72
Meskipun begitu fragmen bantahan dari Abdul Jamil dan Muchlis M Hanafi, masing-masing Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag dan Kepala Bidang Pengkajian Alquran Puslitbang Kemenag pun tak kalah menarik. Menurut mereka, asumsi MMI tentang terjemahan Alquran terbitan Kemenag sebagai pemicu aksi terorisme, sangat bertentangan dengan sejumlah fakta yang ada. Fakta tersebut di antaranya, mayoritas warga Muslim Indonesia mengandalkan terjemahan dalam memahami Alquran. “Jika betul asumsi itu, teroris di Indonesia pasti lebih
71
Artikel diakses dari situs http://www.tempo.co/read/news/2011/04/24/078329688/ pada tanggal 29 Nopember 2013. 72
Artikel diakses melalui situs http://www.arrahmah.com/read/2011/05/12/12463-apologi-tim-terjemah-alqurandepag.html pada tanggal 29 Nopember 2013.
56
banyak. Sedangkan faktanya kelompok teroris jumlahnya sedikit dan mereka umumnya anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquran yang diterbitkan oleh pemerintah.”
Dari berbagai rangkaian fragmen tadi, penulis melihat terdapat skema yang menunjukkan kesesuaian alur. Penulis melihat bahwa terdapat ungkapan 'retoris', yang berfungsi sebagai 'penjelasan', 'spesifikasi,' 'perbandingan', atau 'kontradiksi. "Dalam hal ini penulis sejalan dengan Van Dijk memberikan kalimat atau proposisi untuk kategori fungsional, yang memiliki hubungan dengan kalimat atau proposisi lainnya. Dengan demikian, skema kontradiksi dari fragmen argumen di atas menjelaskan bahwa argumen adalah salah satu jenis struktur supra. Argumen merupakan struktur penalaran dan argumentasi skema untuk penalaran diterima di dalam silogisme, dengan demikian, merupakan karakteristik untuk apa yang kita pahami dengan gagasan yang lebih umum dari suprastruktur.73
3.
Struktur Mikro
Pada BAB II sebelumnya dijelaskan struktur mikro (microstructures) memegang peranan penting dalam pembentukan (macrostructures) yang saling berkaitan dengan konteks yang ada. Seperti diketahui wacana global ditentukan oleh hubungan antara struktur makro di satu sisi dan struktur semantik kalimat dan urutan (yaitu, mikro) di sisi lain. Dalam bagian ini, penulis akan menyajikan 73
Lihat kembali Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, h. 108.
57
aspek semantik, stilistik dan retorik yang tertuang dalam analisis ayat qitâl dan jihad.
a. Penerjemahan Ayat Qitâl
Sebelum melangkah ke pembahasan wacana, terlebih dahulu penulis akan menganalisis penerjemahan kata qitâl. Lantas apa hubungan antara jihad dengan qitâl? Kata jihad dan qitâl meski memiliki bentuk/mabna yang sama, belum tentu memiliki makna yang sama pula. Lalu apa saja derivasi dari kata qitâl yang terdapat di dalam al-Qur’an, dan digunakan untuk makna apa saja kata-kata tersebut? Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manzhur memaparkan bahwa kata ( ا ْﻟﻘِﺘَـﺎلalqitâl) adalah bentuk masdar dari kata
ﯾُﻘَـﺎﺗِ ُﻞ-( ﻗَﺎﺗَـ َﻞqâtala-yuqâtilu) -tepatnya
tsulatsi mazid satu huruf bab fi’âl dari kata ﻗﺘﻞyang mengandung tiga pengertian yaitu (1) ‘berkelahi melawan seseorang’, (2) ‘( ﻋَﺎدَاهâdâhu/memusuhi), dan (3) ( َﺣﺎرَبَ اﻷَ ْﻋﺪَاءhâraba al-a‘dâ’/memerangi musuh).74
Kata ( ﻗِﺘَﺎلqitâl) merupakan salah satu bentuk kata turunan dari kata -ﻗَﺘَـ َﻞ ﻗَﺘْـﻼ-( ﯾَ ْﻘﺘُ ُﻞqatala – yaqtulu – qatlan). Kata ﻗَﺘَـﻞmenurut Ibnu Faris mengandung dua pengertian, yaitu ( إِذْﻻلidzlal= merendahkan, menghina, melecehkan) dan إِ َﻣـﺎﺗَﺔ (imâtah = membunuh, mematikan).75 Pendapat ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh Ibn Manzhur. Ibn Manzhur menulis ...ﻗَﺘَﻠﮫ إِذا أَﻣﺎﺗﮫ ﺑﻀﺮْ ب أَو ﺣ َﺠﺮ (qatalahu yaitu jika ia membunuhnya dengan memukul, dengan batu…). 74
Al-Imam al-‘Alamah Ibn Manzur, Lisân al-Arab, (Qahirah: Dar al-Ma’ârif, [t.th]), Jilid.V, h. 3531. 75
Abiy al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyya, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, tahqiq ‘abd al-Salam Muhammad Harun (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), Juz. V, h. 56
58
Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah menerangkan bahwa makna qâtala di dalam ayat adalah berperang. Beliau menambahkan, bahwa ada juga yang membaca dengan qutila (terbunuh). Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa ayatayat Alquran-baik ayat ini maupun ayat lain- tidak ada yang menjelaskan berapa orang di antara para Nabi tersebut yang berperang atau yang terbunuh.76
Selanjutnya, untuk dapat menangkap tema dan wacana yang terkandung di dalam Alquran terjemahan Kementerian Agama, penulis akan menyajikannya berdasarkan tema yang terkandung pada setiap kalimat dalam ayat yang telah disebutkan. Baik QS. 2:191, QS. 8:39, QS.9:123 ini bercerita tentang kapan peperangan tersebut dimulai dan harus dihentikan yaitu ketika tidak ada lagi fitnah. Adapun yang dimaksud dengan fitnah adalah syirik dan penganiayaan. Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally, dalam tafsirnya menjelaskan tentang surat al-Baqarah ayat 191 bahwa penggunaan kata (Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menjumpai mereka, serta usirlah mereka di mana mereka mengusir kamu) artinya di Mekah, dan ini telah dilakukan oleh nabi terhadap mereka pada tahun pembebasan. Sedangkan fitnah itu, artinya kesyirikan mereka (lebih berat), maksudnya lebih berbahaya (dari pembunuhan) terhadap mereka, yakni di tanah suci atau sewaktu ihram yang mereka hormati itu. (Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid al-Haram), maksudnya di tanah suci, (sebelum mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka 76
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. X, Vol. 2, h. 237
59
memerangi kamu) di sana, (maka bunuhlah mereka). Menurut satu qiraat tanpa alif pada kata kerja yang tiga, 'wala taqtuluuhum, hatta yaqtuluukum fiih, dan fain qataluukum'. (Demikianlah), maksudnya pembunuhan dan pengusiran (menjadi balasan bagi orang-orang kafir).77 Kata qâtala, baik fi’il madhi maupun fi’l mudhâri’ di dalam surat alBaqarah ayat 191 dan al-Anfal:39 adalah bermakna perang. Di dalam ayat sebelumnya Allah melarang untuk melampaui batas, maka di dalam ayat ini dijelaskan
apabila
orang-orang
kafir
tersebut
melampaui
batas,
maka
diperbolehkan untuk membunuh mereka. Maka dengan menggunakan fi’il amr, Allah berfirman bahwa mereka (orang kafir yang memerangi Islam) boleh dibunuh jika akan membunuh orang Islam, dan diusir, jika mengusir umat Islam. Bahkan di Masjid al-Haram sekalipun, jika orang kafir memerangi di tempat itu, maka diperbolehkan, bahkan Allah menyuruh untuk memerangi mereka. Berangkat dari pemaparan tadi ada yang perlu diketahui yakni konteks historis turunnya ayat ini dan kaitannya dengan perjanjain Hudaybiyyah. Setelah Rasullah saw dan para sahabat menjaga Masjidil Haram, kemudian mereka menyembelih hewan kurban di Hudaybiyyah dan berekonsiliasi dengan orangorang musyrik untuk kembali ke Masjidil Haram pada musim haji tahun depannya. Pada tahun berikutnya, Nabi hendak melaksanakan “Umrah al-Qadha” dan beliau khawatir tidak bisa memasuki Masjid al-Haram. Kemudian Allah
77
Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally, Tafsir Jalalain, Pnrj. Mahyudin Syaf dan Bahrun Abubakar, (Bandung: Pustaka al-Hidayah, 1990) terjemahan dalam Alquran bahasa Indonesia oleh Lajnah Pentashih Alquran Kementerian Agama RI.
60
menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memerangi mereka yang memerangi Islam tapi jangan sampai melampaui batas.78
Penulis berpendapat, Allah memang tidak menyuruh umat Islam untuk melakukan peperangan kecuali orang-orang yang memeranginya. Perintah ini sudah jelas dan dijelaskan kembali pada ayat 192, “Tetapi jika mereka berhenti, maka sungguh, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Kaitan diturunkannya ayat ini juga saat bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharram dan Rajab) di mana pada bulan ini umat Islam tidak diperbolehkan berperang. Tapi kalau umat islam diserang maka diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga.
Dari penjelasan tadi penulis melihat, walaupun peperangan itu suatu kewajiban, pada waktu-waktu tertentu, seperti pada bulan haram (, kewajiban itu tidak boleh dilakukan. Bahkan, Alquran menyatakan bahwa berperang pada bulan itu termasuk kategori dosa besar. Mengenai perang, Alquran menggariskan beberapa ketentuan, antara lain mengenai kapan perang dibolehkan, etika peperangan seperti perlakuan terhadap tawanan perang- pemanfaatan harta rampasan perang, dan kapan suatu peperangan harus diakhiri. Tentang kapan perang dibolehkan, antara lain disebutkan sebagai berikut: Pertama, perang boleh dilakukan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, seperti dinyatakan di dalam Surat al-Baqarah: 190. kedua, untuk membalas serangan musuh, antara lain diungkap di dalam Surat al-Hajj: 39; 78
Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), h. 394.
61
ketiga, untuk menentang penindasan dikemukakan di dalam Surat al-Nisâ’: 75; keempat, untuk mempertahankan kemerdekaan beragama, seperti tersurat di dalam Surat al-Baqarah: 191; kelima, untuk menghilangkan penganiayaan, dinyatakan pada Surat al-Baqarah: 193; Keenam, untuk menegakkan kebenaran, misalnya pada Surat al-Taubah: 12.79 Allah swt juga telah berfirman untuk menghentikan perang apabila oaringorang kafir sudah tidak lagi memerangi kamu muslim dan hal ini tertuang dalm surat an-Nisa: 90
ْﺻﺪُو ُرھُ ْﻢ أَنْ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ أَو ُ ْق أَوْ ﺟَ ﺎءُو ُﻛ ْﻢ ﺣَ ﺼِ ﺮَت ٌ إ ﱠِﻻ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﺼِ ﻠُﻮنَ إِﻟَﻰ ﻗَﻮْ مٍ ﺑَ ْﯿﻨَ ُﻜ ْﻢ وَ ﺑَ ْﯿﻨَﮭُ ْﻢ ﻣِﯿﺜَﺎ ﷲُ ﻟَ َﺴﻠﱠﻄَﮭُ ْﻢ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻠَﻘَﺎﺗَﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓَﺈ ِ ِن ا ْﻋﺘَﺰَ ﻟُﻮ ُﻛ ْﻢ ﻓَﻠَ ْﻢ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮ ُﻛ ْﻢ وَ أَ ْﻟﻘَﻮْ ا إِﻟَ ْﯿ ُﻜ ُﻢ ﯾُﻘَﺎﺗِﻠُﻮا ﻗَﻮْ َﻣﮭُ ْﻢ وَ ﻟَﻮْ ﺷَﺎ َء ﱠ ِﯿﻼ ً ﷲُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ َﺳﺒ اﻟ ﱠﺴﻠَ َﻢ ﻓَﻤَﺎ ﺟَ ﻌَﻞَ ﱠ Terjemahan : Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu Telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. kalau Allah menghendaki, tentu dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu Pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
79
Shihab, Vol. I, h. 460
62
Di dalam ayat ini pun kata yuqâtilu juga bermakna memerangi. Di sini dijelaskan mereka-mereka yang tidak boleh diperangi diantaranya yaitu: orangorang kafir yang lari dari wilayah Islam sehingga mereka sampai pada suatu kaum untuk meminta perlindungan dari kaum tersebut, yang antara kaum tersebut dengan umat Islam telah ada perjanjian untuk tidak saling berperang/menyerang, atau terhadap mereka yang merasa keberatan untuk memerangi umat Islam dan dalam saat yang sama merekapun juga enggan memerangi kaumnya.80
b. Relasi kata Jihad dan Qitâl
Dari pemaparan akar kata qitâl tadi pada pembahasan kali ini ada perlunya kita memahami akar kata dari jihad. Mengutip dari Ibnu Manzur dalam Lisan AlArab, h. 239-241 akar kata jihad adalah al-juhd yang berarti daya, (al-thaqah), kerja keras (al-masyaqqah), usaha (al-wus’u). Lalu kata tersebut bermetamorfosa menjadi kata al-jihad yang berarti menghimpun upaya dan kekuasaan untuk melawan musuh di medan perang. Tetapi di samping itu, jihad dalam arti fisik juga berupaya menghimpun kekuatan untuk menjaga lisan dari hal-hal yang tidak baik. Sedangkan bagi kalangan sufi, istilah jihad dikenal dengan upaya membersihkan jiwa guna menghadapi Sang Pencipta, yaitu mujahadah wa riyadhat al-nafs.81
80 81
Shihab, Vol. II, h. 546
Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme h. 390
63
Pada masa jahiliyah, kata “jihad” telah ada sebagai bentuk kata yang memiliki konteks sosial sendiri. Dalam beberapa kata yang mendampingi kata jihad lebih mempunyai relasi makna yang berhubungan dengan muamalah kemanusiaan, aljihad
fi
al-‘amal
(berkemampuan
untuk
bekerja),
al-jihad
fi
al-mal
(berkemampuan harta benda), al-jihad fi al-fikr (berkemampuan berfikir). Sedangkan penyandingan kata sabilillah pada jihad biasanya digunakan dalam bentuk fi’il amr yaitu jaahadu fi sabilillah yang artinya adalah berjuang di jalan Allah. Kata jaahada memiliki arti lil-musyarakah (bermakna saling). Beberapa kata jihad yang memiliki makan berjuang atau atau berperang, adalah murni dari kepentingan sosiologis zaman Rasul untuk saling memberikan ketenteraman dan kesejahteraan dari gangguan secara fisik oleh kelompok lain (kafir Quraisy)82. Kecenderungan ini bisa dibenarkan ketika “jihad” diambil dari kata dasar jahada yang kemudian menjadi kata “jihad”.83 Pengertian jihad juga akan berubah bila melibatkan pembentukan kata yang masih berkaitan dengan jahada misalnya istajhada dan ijtihad. Jihad dalam Islam bukan bertujuan merampas harta, atau lainnya. Pada hakikatnya, perang merupakan alternatif terakhir dalam dakwah. Perang dalam Islam bukan untuk menyerang, tetapi untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan menangkis tindakan yang melampaui batas dari musuh.84 Untuk memperjelas subtansi jihad agar tidak diidentikan dengan aksi mengangkat 82
Muhammad Halaby Hamdy, Menyambut panggilan Jihad, (Yogyakarta: Madani Pustaka, 2000), h. 11 83 Muhammad Chirzin, Jihad dalam Alquran, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1997), h. 19. 84
127
Muhammad Faiz al-Math, Keistimewaan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.
64
senjata, Alquran membedakan antara konsep qital (interaksi bersenjata) dengan konsep jihad seperti pada pembahasan qital sebelumnya. Jihad jelasnya menunjuk kepada suatu konsep yang lebih komprehensif, di mana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan Allah melalui penggunaan senjata. Namun, jihad dengan pengertian sempit ini, oleh Alquran dibatasi pada saat-saat tertentu khususnya sebagai upaya dalam mempertahankan diri.85 Agaknya karena pengertian sisi sempit inilah yang secara keliru dianggap sebagai ciri utama jihad yang mengundang kontroversi dan pertikaian pendapat. Seperti pandangan dunia Barat yang memandang Islam sebagai teroris, penuh dengan kekerasan dan mengartikan jihad sebagai holy war (perang suci).86 Seperti halnya berkaitan dengan Imam Samudra. Dalam buku “Aku Melawan Teroris”, jihad merupakan terminologi Islam yang sering banyak dizhalimi. Ia sering dipersepsikan sebagai perang, padahal konsep jihad lebih luas daripada sekadar perang. Persepsi inilah yang menjadi kiblat oleh Imam Samudra dan kawankawannya yang mengartikan jihad secara sempit sebagai perang atau qital untuk menegakkan dan menyebarkan Islam kepada kaum kafir87 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menulis, bahwa perintah jihad kepaada Nabi telah turun sejak periode Makkah. Jihad periode Makkah diwarnai dengan jihad dakwah. Sedangkan jihad pada periode Madinah diwarnai dengan perang.88
85
86 87
88
Lihat kembali QS 2: 190-191 Abdurrahman Wahid, Islam Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LKiS, 2000), Cet. 2, h. 10 Imam Samudera, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazeera, 2004) h. 108
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, al-Jihad Fil Islam Kaif Nafhamuh wa Kaif Numarisuh ((Beirut, Darul-Fikr al-Mu’ashir, 1993), h.19. Dalam versi terjemahan Indonesia berjudul Fikih Jihad, Penerjemah M. Abdul Ghofar, (Jakarta: Pustaka an-Nabba’ : 2001)
65
Kata jihad sendiri dalam Alquran telah disebutkan sebanyak 41 kali.89 Ayat-ayat jihad dalam konteks perjuangan berjumlah 28 sebagai berikut; al-Baqarah/2: 218, ali-Imran/3:142, an-Nisa/4: 95, al-Maidah/5: 35,54, al-Anfal/8: 72,74,75, atTaubah/9: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81 ,86,88, an-Nahl/16:110, al-Hajj/22:78, alFurqan/25 :52, al-Ankabut/29: 6,69, Muhammad/47:31, al-Hujurat/49:15, alMumtahanah/60 :1, ash-Shaff/61:11, at-Tahrim/66:9. Dalam rangka memanusiakan jihad, kajian fikih juga mempunyai beberapa pandangan yang patut diperhatikan. Seperti pendapat Ibnu Rushd, pertama, hukum jihad adalah fardl kifayah, artinya kewajiban jihad bukanlah kewajiban individual, tetapi kewajiban yang bersifat kolektif. Kalau sebagian orang atau kelompok sudah melakukan jihad, maka kelompok yang lain tidak wajib melaksanakannya. Karena itu, dalam melaksanakan jihad harus menggunakan konsensus.90 Pada hal ini, penjelasan Majelis Ulama Indonesia menjadi penting. Fatwa MUI untuk mengharamkan bom bunuh diri dan terorisme merupakan sikap yang tepat untuk memecahkan persoalan yang masuk dalam kategori fardl kifayah. Sayang, fatwa MUI itu baru tersosialisasikan kepada publik pasca tewasnya Azhari, yang diduga sebagai gembong terorisme di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Fatwa semacam ini perlu disampaikan kepada publik, sehingga publik
89
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mujamul Mufahras li Alfazhil Quranil Karim (Kairo : Darul Hadist,1991), h. 232-233. 90 Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme h. 387. Zuhairi mengutip kembali, kitab Ibnu Rushd yang berjudul Biddyat AlMujtahid wa Nihayat Al-Muqtahsid, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, (Beirut: Cetakan II, 2004), h. 347
66
bisa menentukan sikap, apakah sebuah kasus bisa dimasukkan dalam kategori jihad?91 Kedua, jihad meniscayakan izin dari orang tua karena restu dari orang tua merupakan prasyarat mutlak untuk bisa melakukannya. Artinya bila jihad dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua, maka dalam kaca mata hukum Islam, hal tersebut tidak bisa disebut jihad. Rasullullah sendiri selalu menanyakan kepada umatnya yang mau ikut berperang, “Apakah orang tuamu masih hidup?” Jika orang tuanya masih hidup, Rasullulah berpesan, “Mintalah izin para orangtuamu”. Ketiga, jihad mempunyai sasaran yang ketat. Dalam perang, kalangan perempuan, anak-anak, orang-orang usia lanjut dan pendeta tidak diperkenankan untuk dibunuh. Maka jelas sudah ketika Islam menjelaskan konsep jihad berdasarkan ayat dan hadis. Dalam kaitannya dengan ayat-ayat qitâl tampaknya hal ini tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan perkembangan Islam itu sendiri. Jihad muncul ketika Islam bergerak ke arena pergulatan politik dalam komunitas muslim dan nonmuslim.
92
Meskipun demikian tidak dapat ditolak bahwa jihad dalam Alquran
juga bisa berarti perang atau perjuangan dengan cara-cara kekerasan dan bersenjata, utamanya terhadap orang-orang "kafir". Dengan demikian, menurut pendapatnya Nur Khalik Ridwan bahwa jihad diperbolehkan untuk melawan dengan fisik bila terjadi sebuah kekuatan luar yang mengganggu territorial
91
Ibid, h.387 Jamal Albana, Revolusi Sosial Islam: Dekonstruksi Jihad dalam Islam, Pnrj Kamran A Insyadi (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 91 92
67
Muslim atau territorial yang disepakati Muslim sebagai negeri perjanjian dengan komunitas lain.93 Sementara penulis Indonesia lain yang membahas tentang jihad juga berpandangan ke arah yang lebih konstruktif, seperti H.A.R Sutan Mansur yang menekankan makna jihad di masa damai dalam konteks Indonesia merdeka, yakni bekerja dengan sepenuh hati dilengkapi semangat yang dapat ditimbulkan oleh ilmu dan tenaga benda.94Azra pun memiliki pandangan serupa bahwa kekerasan atas nama jihad pada zaman sekarang ini sudah semakin tidak efektif dan kontraproduktif.95 Hal senada juga dituturkan oleh Samsurizal Pangabean tentang konsep jihad dalm Alquran yang berkorelasi dengan perang. Ia mencatat, ayat-ayat jihad yang lebih awal diwahyukan mengiisyaratkan makna pengorbanan dan perjuangan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan yang tidak selalu berarti konfrontasi fisik dengan musuh.96 Quraish Shihab pun berpendapat hal yang serupa bahwa jihad merupakan salah satu persoalan umat. Demikianlah persoalan jihad memang memiliki pengertian beragam. Jihad memberantas kebodohan, kemiskinan dan penyakit merupakan perbuatan yang tak kalash pentingnya daripada mengangkat senjata.
93
Nur Khalik Ridwan, Detik-detik Pembongkaran Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003,
h. 209. 94
H.A.R Sutan Mansur, Jihad (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982)
95
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-modernisme. (Jakarta: Paramadina, 1996). 96
Samsurizal Pangabean, Makna Jihad dalam Alquran. Dalam Jurnal Islamika Nomor 4, 1994, h. 93-99
68
Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan baik, guru berjuang dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya dan seterusnya.97
4. Analisis Kognisi Sosial Dalam kerangka analisis Van Dijk,pentingnya kognisi sosial yaitu adanya kesadaran mental penulis yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Namun dalam hal ini penulis membatasi analisis kognisi berdasarkan pendekatan psikologis penerjemah. Penulis mempertanyakan kembali kognisi lajnah pentashih Alquran Kementerian Agama, karena pada dasarnya tim penerjemah memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya, layaknya seorang wartawan seperti yang diungkapkan oleh Van Dijk.
Peristiwa dalam nash-nash Alquran mesti dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang manusia, peranan sosial dan peristiwa. Dalam hal ini Lajnah pentashih memiliki kaidah dan prosedur dalam menyebarluaskan pemahaman Alquran yang mudah dibaca dan dipahami dengan baik oleh masyarakat. Tentunya sebagai institusi di bawah naungan Kementerian Agama, Lajnah Pentashih Mushaf Alquran adalah lembaga pembantu Menteri Agama dalam bidang pentashihan mushaf Alquran. Dasar hukum dibentuknya Lajnah adalah Peraturan Menteri 97
Ibid, h. 100
69
Muda Agama nomor 11 tahun 1959 tentang Lajnah.98. Namun yang menjadi perhatian penulis adalah Alquran itu sendiri sebagai suatu nash yang memiliki eksklusivitas.Eksklusivitas dalam hal ini dikatakan sebagai sebuah teks yang diyakini memiliki kebenaran mutlak. Meskipun begitu, sebagai sebuah terjemahan, nash keagamaan dalam pembahasan wacana jihad adalah hasil reproduksi Lajnah Pentashih. Dalam kasus ini menurut pandangan penulis, terjemahan Alquran yang diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih menghegemoni konsumen terjemah Alquran Kemenag. Hegemoni yang dimaksud di sini adalah Lajnah Pentashih memiliki aturan baku untuk mengontrol opini masyarakat bahwa terjemahan Kemenag adalah yang paling mendekati kebenaran. Seperti diungkapkan oleh Muchlis Hanafi, ia mengatakan asumsi MMI tentang terjemahan Alquranterbitan Kemenag sebagai pemicu aksi terorisme, sangat bertentangan dengan sejumlah fakta yang ada. Fakta tersebut di antaranya, mayoritas warga Muslim Indonesia mengandalkan terjemahan dalam memahami Alquran. “Jika betul asumsi itu, teroris di Indonesia pasti lebih banyak. Sedangkan faktanya kelompok teroris jumlahnya sedikit dan mereka umumnya anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquranyang diterbitkan oleh pemerintah”.
Muchlis juga menambahkan bahwa Alquran memiliki dua makna, yaitu makna primer dan makna sekunder. Makna primer Alquran adalah yang diterjemahkan ke dalam bahasa manapun, sedangkan makna sekunder adalah makna tambahan yang dibangun karena karakteristik bahasa Arab dan bahasa
98
Lajnah Pentashih dari situs http://lajnah.kemenag.go.id/buku/unduh/category/14pentashihan, artikel diakses pada tanggal 12 september 2014.
70
Alquran yang sulit diterjemahkan. Hal ini menimbulkan fakta bahwa tidak ada terjemahan Alquran yang murni harfiyah. Oleh karena itu tim penyusun terjemahan Alquran Kementerian Agama menggabungkan antara metode terjemah harfiyah dengan terjemah tafsiriyah, yang dapat dilihat dari banyaknya kalimat di dalam kurung dan footnote yang jumlahnya mencapai 930 buah.99
Sedangkan Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah al-Qur’an berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah ada sejak tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru muncul sekitar tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang disebabkan sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak rasional”.100
Dari pendapat ini penulis melihat kognisi sosial yang memunculkan terbentuknya
eksklusivitas
pada
Lajnah
Pentashih
Alquran
Kemenag.
Eksklusivitas di sini merupakan proses yang bergerak simultan antara produsen teks (Lajnah Pentashih) dengan konsumennya (pembaca terjemahan Alquran). Lajnah Pentashih menurut penulis telah membangun jalan legitimasi seperti sakralisasi duplikat (terjemahan).
Peraturan Lajnah Pentashih (pemerintah) menuntut kepatuhan masyarakat yang bersifat mengikat; sementara konsumen pun mencari sandaran tempat dalam
99
Kemenag RI http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php Kemenag Bantah Terjemahan Alquran Picu Aksi Terorisme Akses pada tanggal 3 Agustus 2013. 100
Ibid
71
mempertanyakan makna-makna Alquran. Jadi terjemahan Alquran yang transendental menjadi eskapisme dari realita yang dihadapi. Pengonsumsian masyarakat tanpa mendialogkan ulang terhadap produk terjemahan Alquran versi Kemenag ditangkap dengan beberapa alasan pendukung; pertama, terjemahan Alquran versi Kemenag merupakan versi resmi yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kedua, peraturan negara menuntut kepatuhan, dan kontrol terhadap terjemahan, seperti halnya sebelum penerbit melakukan cetak ulang Alquran wajib mengajukan pentashihan ulang dan mendapatkan izin dari Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran. Ketiga, produk terjemahan ikut menjadi sakral karena teks yang diterjemahkannya merupakan ‘kebenaran mutlak’. Inilah yang kemudian mengakibatkan terjemahan Alquran menjadi bernilai mitis dan sakral. Gagasan mitis mengenai eksistensi azali dan qadim dari teks Alquran berbahasa Arab di lauh mahfuz, senantiasa hidup dalam budaya kita. Hal ini terjadi karena wacana keagamaan direproduksi terus-menerus melalui media informasi seperti di masjid-masjid atau koran-koran keagamaan, siaran radio dan televisi, simposium dan seminar-seminar. Disamping itu buku-buku dan karya-karya terbitan individu maupun kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan berpikir ideologis dalam setiap momen keagamaan ataupun lainnya.101
Selanjutnya dalam pemahaman Nasr Hamid, dikatakan bahwa gagasan mitis pada esensinya mengabaikan dialektika ketuhanan dan kemanusiaan, saksral dan profan di dalam struktur teks. Ini membuka lebar kemungkinan penyelewengan 101
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, dari judul asli An;Nashsh, asShulthah, al-Hakikah,Pnrj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 139.
72
penakwilan teks dengan melompati sebagian konteks atau keseluruhannya. Dengan begitu teks menjadi suaka (payung pelindung) untuk memproduksi berbagai ideologi. Karena dalam setiap situasi, teks keagamaan menjadi objek (maf’ul bih) dan ideologi menjadi subjek (fa’il). Artinya, pembentukan ideologi terjadi melalui bahasa teks, sehingga menyandang watak agama. Hal ini memberi arti bahwa metode penakwilan tidak saja mengabaikan watak teks dan melalaikan berbagai konteksnya, tetapi juga cenderung memoles wajah ideologis-politisnya dengan kedok agama itu sendiri.102
Dengan kata lain kognisi Lajnah Pentashih yang dimunculkan dari berbagai peraturan yang dibuat adalah sebuah bentuk otorisasi nash-nash kegamaan. Meskipun satu-satunya otoritas yang mengatur perihal Alquran, dibentuknya Lajnah Pentashis dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam memelihara kitab suci yang shahih dan dapat dipahami oleh masyarakat.103
5. Analisis Konteks Sosial Terjemahan Ayat-ayat Jihad
Analisis sosial (konteks sosial) berkitan dengan hal-hal yang memengaruhi pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah wacana. Seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi sosial yang sedang terjadi saat itu. Pada konteks sosial tertentu, sebuah wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti.
102
103
Abu Zaid, Teks, Otoritas Kebenaran, h. 139-140.
Lihat kembali Visi Misi Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kemenag RI pada situs http://lajnah.kemenag.go.id/
73
Konteks ini juga berkaitan dengan who atau siapa dalam hubungan komunikasi. Siapa yang menjadi komunikatornya, siapa komunikannya, dalam situasi bagaimana, apa mediumnya dan mengapa ada peristiwa tersebut. Dalam analisis sosial ini, meneliti wacana yang sedang berkembang di masyarakat pada konteks terbentuknya sebuah wacana dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat memproduksi dan mengkonstruksikan sebuah wacana.
Dalam konteks peristiwa terjemahan ayat-ayat Jihad Kemenag ini yang menjadi komunikator dan komunikannya adalah Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kemenag RI dan masyarakat (pembaca ayat-ayat jihad). Di dalam masyarakat sendiri terdapat berbagai kelompok ideologis yang masing-masing memiliki cara pandang berbeda terhadap teks Alquran (fundamentalis dan rasionalis). Kedua elemen komunikasi ini masing-masing memiliki latarbelakang keilmuan dalam memahami wacana kekinian tentang kasus-kasus terorisme. Lajnah Pentashih dan Mushaf Alquran menjadi medium terciptanya wacana di samping pemberitaan seputar terorisme yang selalu menjadi perbincangan hangat di media massa.
Penulis menganalisis konteks sosial ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a. Praktik Kekuasaan
Konstruksi praktik kekuasaan dalam terjemahan ayat-ayat jihad ini adalah Lajnah Pentashih Alquran yang memiliki otoritas lebih besar dalam melegalkan terjemahan Mushaf Alquran yang diterbitkan oleh tiap penerbit buku. Tentunya
74
sebagai masyarakat pembaca, kelompok-kelompok ideologis secara tidak langsung terpengaruh oleh konstruksi terjemahan Alquran yang disajikan oleh Lajnah Pentashih. Seperti yang dikatakan oleh Mustafa Ya’kub:
Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah al-Qur’an berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah ada sejak tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru muncul sekitar tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang disebabkan sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak rasional”.
Dari pernyataan paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik otorisasi teks terjemahan menjadi suatu kebenaran absolut mengenai kualitas terjemahan mushaf Alquran yang diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih. Karena sebagai otoritas yang berwenang mengatur terbitnya terjemahan Alquran, Lajnah Pentashih dapat saja menghentikan peredaran Alquran terjemahan sebuah penerbit bila tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh Lajnah Pentashih Kemenag RI.
b. Akses Memengaruhi Wacana
Dalam hal memengaruhi wacana, tentu saja Lajnah Pentashih memiliki dominasi besar di dalamnya. Sebuah terjemahan mushaf Alquran yang dibaca oleh pembaca tentunya memiliki metode tersendiri dalam penyusunan terjemahannya. Metode terjemahan secara harfiah dan tafsiriyah yang dipakai turut memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai cara berpikir dan bersikap. Hal ini yang
75
kemudian mempengaruhi pembaca menjadi kritis, eksklusif, diskriminatif, bahkan intimidatif seperti halnya kasus Imam Samudra.
Ketersajian informasi pada media pembawa terjemahan seperti dalam bukubuku, televisi, internet maupun dialog publik terhadap terjemahan semakin menguatkan wacana ayat-ayat jihad yang memiliki signifikansi terorisme. Dari proses ini terjadi dialektika terjemahan Alquran yang bersifat ideologis dan propagandis. Di sinilah teks propagandis (ayat-ayat jihad) mengandalkan eksploitasi sebagian besar aspek pengetahuan positif dari sistem bahasa. Sementara di sisi lain dalam pembentukan pemahaman pembaca diperlukan suatu kejernihan pesan dan kejernihan makna agar maksud dalam terjemahan tersebut tersampaikan. Sedangkan pada teks-teks yang propagandis telah membungkam pihak pembaca dari segala bentuk kritisisme. Dan di antara kedua tipe teks-teks yang berlawanan itu terdapat teks-teks kebahasaan dan komunikatif yang sebenarnya, di mana sistem kebahasaan berfungsi sebagai saluran komunikasi yang mencerminkan aspek epistemologi sementara aspek ideologinya muncul melalui sistem teks.104
Nasr Hamid mengatakan pula bahwa perbedaan antara sistem bahasa dengan sistem teks inilah yang menetukan pesan. Perbedaan tersebut pada dasarnya muncul dari ideologi pengirim. Sedangkan dari pihak penerima sistem bahasa mencerminkan kerangka penafsiran pesan, sementara sistem teks (makna) mencerminkan fokus penilaian karena ideologi penerima turut terlibat untuk 104
Nashr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, Penerjemah Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 25-26
76
menilai dan memutuskan.105 Kesimpulannya sebuah pesan teks merupakan perpaduan dan hasil negosiasi kedua pihak, pengirim dan penerima. Sementara hasil pesannya ditentukan oleh kualitas hubungan komunikasi keduanya, yakni tergantung apakah komunikasi berlangsung dengan sehat atau tidak. Dialog yang seimbang atau tidak untuk menghasilkan titik temu.
105
Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 121
77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menjelaskan dan menganalisis hasil terjemahan ayat-ayat jihad oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kementerian Agama RI, penulis menyimpulkan bahwa ternyata jelas ayat-ayat qital sering disalahpahami sebagai ayat-ayat jihad. Pengertian jihad yang sesungguhnya mengalami pergeseran makna akibat persepsi ideologis pembaca dalam memahami ayat-ayat perang (qital). Ditambah lagi adanya kasus-kasus terorisme semakin membawa terminologi jihad ke arah negatif seperti pada kasus Imam Samudra. Sebagai sebuah ilmu yang berkaitan dengan linguistik dan terjemah, analisis wacana dan terjemah merupakan disiplin lmu yang dapat dijadikan pegangan untuk mendapatkan makna dan penyelesaian masalah di dalam tataran sosial masyarakat. Pemahaman terhadap wacana akan menjadi sebuah pengetahuan baru dalam memahami terjemahan yang disajikan oleh Lajnah Pentashih Alquran Kemenag RI. Dengan menggunakan analisis Van Dijk maka: 1. Struktur makro, dapat menyajikan gambaran global tentang suatu wacana yang berkembang di masyarakat. Ditinjau dari fragmen ayat-
78
ayat jihad tidak hanya koheren pada tingkat lokal teks, tetapi juga pada tingkat global (wacana). 2. Struktur Supra, sebagai sebuah skema telah memberikan pijakan dalam memahami pergulatan wacana terjemahan ayat-ayat jihad dari masingmasing kelompok ideologis. 3. Strutur mikro telah memberikan jawaban dari ketiga fragmen ayat-ayat jihad yang disajikan melalui telaah semantik historis. Hasilnya adalah terdapat perbedaan makna antara jihad dan perang (qital). 4. Kognisi Sosial dan konteks sosial yang tersaji pada hasil terjemahan Lajnah Pentashih memberikan kesadaran bahwa terdapat suatu sistem kuasa yang mengatur peredaran terjemahan Alquran di masyarakat. Sebagai lembaga otoritas, Lajnah Pentashih menyajikan terjemahannya sebagai satu-satunya terjemahan yang paling mendekati kebenaran dan bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Sedangkan wacana yang berkembang (konteks sosial) dalam analisis ini adalah tudingan Majelis Mujahidin Indonesia terhadap buruknya kualitas terjemahan Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kementerian Agama RI.
B. Saran Mencermati wacana jihad dan terorisme tersebut, penulis ingin memberikan beberapa catatan sebagai saran untuk mengarahkan kita pada suatu cita-cita agar kualitas keterpahaman pada ayat-ayat jihad dan qital bisa dipahami dengan mudah oleh pembacanya.
79
1. Baca kembali Alquran, hadis dan berbagai pengetahuan sosial lainnya. Karena memahami Islam tidak bisa secara dogmatis, khususny tentang pemahaman agama yang menjelaskan ayat-ayat jihad dan wacana terorisme di masyarakat. 2. Penerjemah tidak cukup sekadar pengalih bahasa sumber ke bahasa sasaran. Penerjemah pula dalam hal ini dituntut untuk memainkan peran dalam mengetahui berbagai wawasan artinya sebagai subjek sosiologis, politis, filosofis, ekonomis maupun beragam ilmu lainnya. Artinya, penerjemah dituntut untuk melek pengetahuan. Terlebih lagi era akses keterbukaan informasi semakin mudah. Hal ini adalah peluang dalam memahami kembali berbagai kebudayaan lain melalui terjemahan. 3. Adakan kembali dialog antara Lajnah Petashih Alquran Kemenag RI dengan masyarakat untuk membahas kualitas terjemahan. Semakin sering diadakan dialog maka akan semakin baik pula kualitas terjemahan Alquran dan tentunya tingkat keterpahaman dalam membaca Alquran akan semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
A’la Abd, Melampaui Dialog Agama (Jakarta, Kompas: 2002). Abas, Nasir, Membongkar Jamaah Islamiyyah (Jakarta: Grafindo, 2005).
Abu Zaid, Nasr Hamid, Teks Otoritas Kebenaran, dari judul asli An;Nashsh, asShulthah, al-Hakikah Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS, 2012).
Albana, Jamal, Revolusi Sosial Islam: Dekonstruksi Jihad dalam Islam, Pnrj Kamran A Insyadi (Yogyakarta: Pilar Media, 2005). al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan, Fikih Jihad, Penerjemah M. Abdul Ghofar, (Jakarta: Pustaka an-Nabba’ : 2001). Azra,
Azyumardi,
Pergolakan
Politik
Islam:
Dari
Fundamentalisme,
Modernisme, hingga Post-modernisme. (Jakarta: Paramadina, 1996).
Borradori, Giovanna, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida, Penerjemah St Sunanrdi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005). Chirzin, Muhammad, Jihad dalam Alqur.an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1997). Choiri Fauzi, Arifatul, Kabar-kabar Kekerasan Dari Bali, (Yogyakarta: Lkis), 2007.
Dijk, Teun Adrianus Van, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, (Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers 1980).
____________________. Aims of Critical Discourse Analysis, (Japan Siscorse, 1995) Vol. 1 _____________________. Discourse and society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and New Delhi: Sage, 1993) _____________________. Text and Context. Explorations in the semantics and pragmatics of discourse ( Published in the United States of America by Longman Inc., New York) cetakan ke-6.
E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), cet. ke-2.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKIS). Faiz al-Math, Muhammad, Keistimewaan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). Halaby Hamdy, Muhammad, Menyambut panggilan Jihad, (Yogyakarta: Madani Pustaka, 2000). Hendropriyono AM, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009).
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina,1996).
Homaidi,
Hamid,
dalam jurnal Memutus Mata Rantai Radikalisme dan
Terorisme. (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010).
Jurgensmeyer, Mark, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama, Penerjemah M Sadat Ismail (Jakarta, Nizam Press:2002).
Kemenag RI,
Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia
(Bandung: Sigma Eksa Media, 2009).
Khalik Ridwan, Nur, Detik-detik Pembongkaran Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003. Kridalaksana Harimurti, Kamus Linguistik. (Jakarta: Gramedia, 1984). Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ), 2003.
Loqman, Loebby, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara Indonesia,(Jakarta: universitas Indonesia,1990). Masdar, Umaruddin, Agama Kolonial ; Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal (Yogyakarta; Klik.R, 2003).
Misrawi, Zuhairi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007). Moeliono A. M. (1989) Kembara Bahasa. Jakarta, Gramedia. Muzakky Ahmad, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (UINMalang Press, 2007). Pangabean, Samsurizal, Makna Jihad dalam Alquran. Dalam Jurnal Islamika Nomor 4, 1994. Praptomo, Baryadi, Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. (Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli, 2002). Ratih Rina, “Pendekatan Intertekstual Dalam Pengkajian Sastra,” dalam Metodologi Penelitian Sastra, ed. Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia,2001).
Rosidi, Sakban Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana, Universitas Islam Negeri Malang 2007.
Samudera Imam, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazeera, 2004).
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. X, Vol. 2. Sobur, Alex, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming, (Bandung: Rosdakarya, 2001). Suhendra, Yusuf, Teori Terjemah, (Bandung: Mandar Maju, 1999) Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia. (Jakarta: Humaniora, 2005). Tedjoworo H., Imaji dan Imajinasi; Suatu Telaah Filsafat Postmodernisme, (Yoyakarta; Kanisius, 2001). Wahid, Abdul dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004). Wahid, Abdurrahman, Islam Tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Internet: Kemenag
RI,
http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php
Terjemah, Kementerian Agama RI.
Lajnah Pentashih, http://lajnah.kemenag.go.id/buku/unduh/category/14pentashihan pada tanggal 12 september 2014.
Apologi