KINERJA BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA (BPMPPKB) KOTA TANGERANG SELATAN DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Manajemen Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh: TRI SUGIH UTAMI NIM. 6661100089
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG 2014
ABSTRAK Tri Sugih Utami. NIM. 6661100089. Skripsi. Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pembimbing I: Rina Yulianti, S.IP., M.Si dan Pembimbing II: Rahmawati, S.Sos., M.Si Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diberbagai sektor relatif mengalami peningkatan setiap tahunnya, hal ini dilihat dalam konteks fenomena gunung es, dimana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Pemerintah Kota Tangerang Selatan berupaya mengatasi permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) yang merupakan pelaksana pengendalian, sarana perlindungan, memfasilitasi, dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan dan anak dengan instansi terkait. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Penelitian ini mengacu pada indikator kinerja menurut Dwiyanto (2002:48). Metodelogi penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan kualitatif deskriptif dan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) belum berjalan dengan optimal, karena dalam pelaksanaannya mengalami masalah keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran serta tidak adanya agenda khusus dalam mensosialisasikan payung hukum sehingga perlu adanya peningkatan sumber daya manusia dan anggaran serta mengagendakan program sosialisasi payung hukum pada masyarakat. Kata Kunci: Kinerja, Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
ABSTRACT Tri Sugih Utami. NIM. 6661100089. The Performance of The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning on South Tangerang City Handling Domestic Violence Problems. The Faculty of Social and Political Science, University of Sultan Ageng Tirtayasa. The Firs Advistor Rina Yulianti, S.IP., M.Si. The Second Advistor Rahmawati, S.Sos., M.Si. Domestic violence has increased relatively in every year. This should be seen as ice mountain phenomenon where the obvious cases are just small part of reality that is happening. Government of South Tangerang regional has tried to overcome these domestic violence problems through The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning (BPMPPKB) that works as the executor to control program policy, protection and the facilitate policy integration and do coordination of performing the policies of women and child protection with related institution such as regional police, LBH and P2TP2A, health division and social and employment division. This study aims to figure out "The Performance of The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning (BPMPPKB) on South Tangerang city handling domestic violence problems". This study was based on Dwiyanto's (2002:48) performance indicator reference. The methodology of this research used descriptive qualitative approach and data collection technique was performed through observation, interview, and documentation study. The results show that The Performance of The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning (BPMPPKB) of South Tangerang city in handling domestic violence problems was not performed in optimal way, one of the cause is the limitation of human resource and there is no specific agenda in socializing the laws covering the problems. So it needs recruitment human resource increasing, and also need make a schedule for program of the laws covering socialization to society. Keywords : Performance, The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning (BPMPPKB), Domestic Violence
Jika seseorang bepergian dengan tujuan mencari ilmu, maka Allah akan menjadikan perjalananya seperti perjalanan menuju surga (Nabi Muhammad. SAW)
Skripsi ini kupersembahkan untuk Mamah, Alm Bapak, Kakak dan Adik ku Serta untuk sahabat terbaik dan orang yang kusayangi Terimakasih atas doa dan motivasi kalian,,,
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat ridho, rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada peneliti, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Penyusunan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Program studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang berjudul “Kinerja Badan Pemberdayaan Berencana
Masyarakat
(BPMPPKB)
Pemberdayaan
Kota
Tangerang
Perempuan Selatan
Dan
Dalam
Keluarga Mengatasi
Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)” Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang senantiasa mendukung serta membimbing penulis. Untuk itu, peneliti ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. i
3. Kandung Sapto N, S.Sos., M.Si.,Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 4. Mia Dwiana M., S.Sos., M.I.Kom.,Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 5.
Gandung Ismanto, S.Sos., MM.,Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa dan juga selaku Dosen
Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti selama proses perkuliahan. 6. Rina Yulianti, S.IP., M.Si., Ketua Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang membantu dan memberikan masukan bagi peneliti dalam menyusun skripsi ini dari awal hingga akhir. 7. Rahmawati, S.sos., M.Si., Sekretaris Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, juga selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan semangat dan membimbing peneliti dalam menyusun skripsi ini dengan sabar dari awal hingga akhir. 8. Semua Dosen dan Staf Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.
ii
9. Hj. Titi Suhartini, A.Md, Keb selaku Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB yang telah memberikan data dan informasi pada observasi awal. 10. Mamah dan (Alm) Bapak yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayang serta doa yang tak pernah putus kepada penulis. Terimakasih banyak atas apa yang kalian berikan selama ini, dan mohon maaf apabila penulis belum dapat membahagikan dan membalas segala kebaikan kalian. 11. Kakak dan adikku Eka, Dwi dan Riyad yang senantiasa memberikan peneliti semangat dalam pembuatan skripsi ini. 12. Fadhly Fauzy Rachman, terima kasih banyak telah memberi peneliti motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 13. Sahabat-sahabatku tercinta Cynthia, Bagus, Aab, Nova yang setia menemani berbagi canda tawa, motivasi dan kasih sayang pada peneliti dalam menyusun skripsi. 14. Teman-teman seperjuanganku, Ajrina, Vierta, Anin, Tiana, Toro, Reza, Ucup, Cahyo, Hilmi, Agung, Herly, Toni, Eno, Dwi, Lasty yang selalu memberikan semangat, masukan, canda tawa dan kasih sayang yang tak terlupakan sampai kapanpun. 15. Kawan-kawan Jurusan Administrasi Negara FISIP UNTIRTA Reguler dan non Reguler angkatan 2010.
iii
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karena keterbatasan penulis, maka dari itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan guna perbaikan dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Serang, Oktober 2014
Tri Sugih Utami
iv
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ..........................................................................................................v DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................1 1.2 Identifikasi Masalah ..........................................................................14 1.3 Batasan Masalah..................................................................................15 1.4 Rumusan Masalah ...............................................................................15 1.5 Tujuan Penelitian ................................................................................15 1.6 Manfaat Penelitian ..............................................................................16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Landasan Teori .....................................................................................17 2.1.1 Organisai Publik .........................................................................18 2.1.2 Definisi Kinerja ..........................................................................20 2.1.2.1 Indikator Kinerja ............................................................25 2.1.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja .............................30
v
2.1.3 Pemahaman Gender ...................................................................32 2.1.4 Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..............................................41 2.1.5 Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan ...................................48 2.1.6 Sanksi Hukum Bagi Pelaku KDRT ............................................51 2.2 Penelitian Terdahulu ..........................................................................54 2.3
Kerangka Pemikiran ..........................................................................57
2.4
Asumsi Dasar .....................................................................................60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ................................................................................61 3.2 Fokus Penelitian ..................................................................................62 3.3 Lokasi Penelitian .................................................................................62 3.4 Fenomena yang diamati ......................................................................63 3.4.1 Definisi Konsep ..........................................................................63 3.4.1 Definisi Operasional ...................................................................64 3.5 Instrumen Penelitian.............................................................................65 3.6 Informan Penelitian .............................................................................71 3.7 Teknik Pengolahan data dan Analisa Data ..........................................73 3.8 Jadwal Penelitian .................................................................................77 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ...................................................................78 4.1.1 Deskripsi Wilayah Kota Tangerang Selatan ..............................78
vi
4.1.2
Gambaran
Umum
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan ...............................................................................80 4.2 Deskripsi Data ........................................................................................89 4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ...........................................................89 4.2.2 Daftar Informan Penelitian .........................................................92 4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ......................................................................94 4.3.1 Produktivitas ..............................................................................95 4.3.2 Kualitas Layanan ......................................................................100 4.3.3 Responsivitas ...........................................................................106 4.3.4 Responsibilitas .........................................................................113 4.3.5 Akuntabilitas ............................................................................129 4.4 Pembahasan ..........................................................................................133 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ..........................................................................................147 5.2 Saran .....................................................................................................149 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................x LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1 Grafik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Kota Tangerang Selatan Per Tahun................................................................................................... 5 Gambar 2.1 Indikator Kinerja .................................................................................... 29 Gambar 2.2 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ............................................. 44 Gambar 2.3 Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Pasangan ..................... 45 Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 59 Gambar 3.1 Proses Analisis Data ............................................................................... 74 Gambar 4.1 Struktur Organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan ................................................................................................... 83 Gambar 4.2 Struktur Organisasi P2TP2A Kota Tangerang Selatan .......................... 98 Gambar 4.3 Ruang Pelayanan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ....................... 105 Gambar 4.4 Alur Penaganan KDRT Oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ..... 128
ix
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 Jumlah Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 .................................................................................................. 6 Tabel 2.1 Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan ................................................... 50 Tabel 3.1 Daftar Pedoman Wawancara ...................................................................... 69 Tabel 3.2 Informan Penelitian .................................................................................... 72 Tabel 3.3 Jadwal Penelitian ........................................................................................ 77 Tabel 4.1 Daftar Kelurahan di Kota Tangerang Selatan ............................................ 80 Tabel 4.2 Daftar Informan .......................................................................................... 93 Tabel 4.3 Data Pegawai Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ..................................................................................... 96 Tabel 4.4 Jumlah Korban Tahun 2013 ...................................................................... 136 Tabel 4.5 Rekapitulasi Temuan Lapangan ............................................................... 144
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan dalam rumah tangga atau yang lebih sering disebut KDRT ini merupakan masalah sosial, yang dapat menghambat program pembangunan nasional, yang semestinya semua masyarakat memperoleh hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehidupan demi tercapainya pembangunan, karena masyarakat lah yang sebenarnya manjadi pelaku utama dalam proses pembangunan. Selain itu, seharusnya peran dan partisipasi dalam pembangunan serta manfaat yang dirasakan dari hasil pembangunan, dapat dirasakan secara berimbang antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya diskriminasi. Namun, pada kenyataanya masih saja ada anggapan bahwa kaum perempuan adalah mahluk yang dianggap mempunyai fisik dan psikis yang lemah sehingga selalu bergantung pada orang lain, dianggap bodoh, dianggap pasti akan kalah jika berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan karena tidak ada yang melindungi. Anggapan tersebut menerangkan bahwa perempuan masih tertinggal dibanding lakilaki di berbagai aspek. Menurut Surjadi (2011:5) dalam bukunya menjelaskan, bahwa budaya patriarki merupakan budaya yang masih kental di Indonesia dan membawa pengaruh cukup besar terhadap perempuan, budaya ini merupakan salah satu penyebab
2
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yakni kekerasan suami terhadap istri (KESTI) di dalam kehidupan rumah tangga. Ada semacam hubungan kekuasaan di dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari pada laki-laki. Struktur sosial tersebut menempatkan suami sebagai pemimpin keluarga, yang memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga. Dalam struktur dominasi tersebut kekerasan seringkali digunakan untuk memenangkan perbedaan, menyatakan rasa tidak puas ataupun untuk mendemonstrasikan dominasi sematamata. Dari hubungan yang demikian, seolah-olah laki-laki dapat melakukan apa saja kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal ini ada ketidak setaraan antara laki-laki dengan perempuan, maka muncullah ketidak adilan gender. Bentuk-bentuk ketidak adilan gender tampak pada adanya peminggiran terhadap kaum perempuan (marginalisasi), penomor-duaan (subordinasi), pelabelan (stereotipe negatif), adanya beban ganda pada perempuan serta kemungkinan munculnya kekerasan pada perempuan. Menurut pandangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Kanita (2004:3), bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan atau yang biasa disebut KTP harus diartikan meliputi kekerasan yang bersifat fisik, seksual, psikologis. Kekerasan tersebut dapat terjadi pada : 1. Di dalam keluarga; termasuk pemukulan, penyalahgunaan secara seksual terhadap anak perempuan di dalam rumah tangga, perkosaan di dalam perkawinan, praktek tradisi yang membahayakan perempuan, kekerasan berupa eksploitasi seks; 2. Di dalam masyarakat; termasuk perkosaan, pelecehan seksual, intimidasi di tempat kerja , di tempat pendidikan , di tempat lain dan perdagangan perempuan (trafficking women);
3
3. Memaksa untuk melacur dilakukan atau diperbolehkan oleh negara, di manapun terjadi. Permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan sebagai mana dijelaskan di atas merupakan bagian dari permasalahan ketidak adilan dan ketidak setaraan gender yang tidak bisa ditolelir dan dibenarkan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi juga mendefinisikan kekerasan berbasis gender pertama kali pada tahun 1993, ketika Majelis Umum mengesahkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Dalam Perempuan. Menurut Deklarasi tersebut, yang dimaksud dengan kekerasan berbasis gender adalah: “Segala tingkah laku yang merugikan yang ditujukan kepada perempuan karena jenis kelaminnya, termasuk penganiayaan isteri, penyerangan seksual, mas kawin yang dikaitkan dengan pembunuhan, perkosaan dalam perkawinan, pemberian gizi yang kurang pada anak perempuan, pelacuran paksa, sunat untuk perempuan, dan penganiaayaan seksual pada anak perempuan. Lebih khusus lagi, kekerasan terhadap perempuan meliputi setiap tindakan pemaksaan secara verbal (fisik), pemkasaan atau perampasan kebebasan yang membahayakan jiwa, ditujukan pada perempuan atau gadis yang merugikan secara fisik maupun psikologis,penghinaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang sehingga mengekalkan subordinasi perempuan”. (Heise et al, 1999 dalam Kanita, 2004). Dengan menyimak beberapa pengetian di atas, maka dapat diperoleh pengertian bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di sektor publik, tetapi juga menjadi sektor domestik, yaitu di lingkup rumah tangga dimana antara pelaku dan korban sudah saling mengenal satu sama lain secara personal. Namun, sebenarnya siapapun bisa berpotensi untuk menjadi pelaku maupun korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah tangga pun tidak mengenal status sosial, status ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, suku maupun agama.
4
Kasus-kasus KDRT dewasa ini semakin meningkat secara kuantitas, baik pada level nasional, regional maupun lokal. LBH Apik mencatat data kasus KDRT pada level nasional pada tahun 2009 berjumlah 143.586 kasus, pada 2010 sejumlah 105.103 kasus, pada tahun 2011 sejumlah 119.107 kasus, pada 2012 sejumlah 203.507 kasus dan pada tahun 2013 sejumlah 279.760 kasus. Sedangkan di Provinsi Banten sendiri, menurut Kepala Bagian Perlindungan Perempuan BPPMD Provinsi Banten, jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2012 sebanyak 517 kasus dan pada tahun 2013 sebanyak 504 kasus, data tersebut merupakan jumlah keseluruhan dari kota dan kabupaten di Provinsi Banten. Di Provinsi Banten sendiri Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Desa (BPPMD) mencatat bahwa, Kota Tangerang Selatan merupakan kota kedua dengan jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga terbanyak yakni 103 kasus terjadi sepanjang tahun 2013, sedangkan Kabupaten Tangerang menempati posisi pertama dengan jumlah 168 kasus terjadi sepanjang tahun 2013, dengan adanya hal ini semestinya ada perhatian khusus dalam upaya menekan angka kekerasan yang semakin meningkat dari tahun ke tahunnya. Padahal notabenenya Kota Tangerang Selatan merupakan kota yang baru berdiri selama lima tahun dan merupakan kota yang pada tahun 2013 lalu baru saja mendapatkan penghargaan dari MURI sebagai Kota Layak Anak (KLA) tingkat pratama dan merupakan satu-satunya kota yang mendapatkan penghargaan ini di Provinsi Banten, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
5
Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan, sejak tahun 2010 sampai tahun 2013 ini terjadi tindak kekerasan yang di laporkan, sebagai berikut: Grafik 1.1 Grafik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Per Tahun Kota Tangerang Selatan
200
162
187
167 116
150 100 50 0 2010
2011
2012
2013
(Sumber: BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, 2014) Berdasarkan tabel kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di atas merupakan data KDRT yang dapat terungkap atau yang dilaporkan sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2013, setiap tahunya jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) relatif mengalami peningkatan, namun pada tahun 2012 sempat mengalami penurunan yaitu, sebanyak 116 kasus terjadi sepanjang tahun 2012, menurut keterangan Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan kemungkinan hal ini terjadi karena telah dibentuknya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan sehingga menimbulkan kesadaran pada masyarakat untuk tidak melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Namun angka Kekerasan Dalam Rumah
6
Tangga
(KDRT) kembali mengalami peningkatan pada tahun 2013, sejumlah 187
kasus yang merupakan puncak meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga, angka tersebut berasal dari beberapa sumber, yaitu: Tabel 1.2 Jumlah Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Tahun 2013 Kota Tangerang Selatan No
Instansi
Jumlah Pasangan
1
P2TP2A Kota Tangerang Selatan
43
2
Polres Jakarta Selatan
46
3
Polres Tigaraksa
93
4
Pos Pelayanan Terpadu
5
Jumlah
187
(Sumber: Peneliti, 2014) Angka-angka di atas haruslah dilihat dalam konteks fenomena gunung es, dimana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya terjadi, mengingat sebagian masyarakat masih melihat kekerasan di lingkup domestik masih dianggap sebagai urusan pribadi (private) dan merasa aib untuk diungkap. Di sisi lain problem kekerasan dalam rumah tangga yang khususnya di alami oleh para istri kemungkinan yang terjadi adalah dua kali lipat lebih besar dari pada yang dilaporkan, selain itu juga tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan terbagi dalam beberapa jenis kekerasan yaitu, kekerasan seksual, fisik, psikis, eksploitasi, dan lain-lain. Menurut Badan
7
Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan mencatat bahwa jenis kekerasan yang paling banyak kerap menimpa masyarakat Kota Tangerang Selatan merupakan jenis kekerasan fisik yang mencapai angka 64 kasus terjadi sepanjang tahun 2012, hal ini sangat disayangkan sekali karena dapat membahayakan keselamatan korban, mengingat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan tindak kekerasan yang bersifat delik aduan dimana kasus ini hanya bisa diproses apabila ada yang melaporkan baik oleh korban dan masyarakat sekitar yang melihat kejadian. Berdasarkan keterangan Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan (Hj. Titi Suhartini, A.Md, Keb) yang diwawancarai pada tanggal 25 November 2013 menjelaskan bahwa
KDRT yang
terjadi di Kota Tangerang Selatan sebagian besar penyebabnya adalah faktor ekonomi yaitu, KDRT tidak hanya terjadi pada kalangan rumah tangga yang strata sosial bawah saja tapi juga pada rumah tangga yang menengah keatas biasanya kurang adanya transparansi antara suami dan istri. Komunikasi yang baik dalam rumah tangga dianggap perlu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Penyebab lainnya yaitu, kemungkinan adanya
orang ketiga dalam kehidupan rumah tangga
yang
mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga. Penjelasan serupa disampaikan oleh Brigadir Juned selaku penyidik yang bertugas pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan
pada tanggal 19 Maret 2014 menyatakan bahwa, penyebab tertinggi
terjadinya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang korbannya berasal
8
dari Kota Tangerang Selatan yakni, sebesar 75% dari 49 kasus yang dilaporkan disebabkan adanya wanita dan laki-laki idaman lain atau adanya kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga. Hal ini cukup menarik perhatian, karena apabila biasanya kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi dikarenakan kesulitan ekonomi serta pendidikan yang masih rendah, justru hal berbeda terjadi di Kota Tangerang Selatan yang notabenya merupakan salah satu kota maju di bidang perekonomian dan pendidikan di Provinsi Banten. Berdasarkan penuturan Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan (Hj. Listya Windarty, S.sos, M.KM) yang diwawancarai pada tanggal 15 Juli 2014 menjelaskan bahwa sebetulnya masyarakat Kota Tangerang Selatan mayoritas berada pada ekonomi menengah ke atas yang semestinya tindak KDRT berkurang karena, problem mereka dalam masalah ekonomi rumah tangga berkurang dan tingkat pendidikan meraka juga tinggi sehingga biasanya kalangan ini sadar akan adanya payung hukum, namun biasanya dalam masalah komunikasi rumah tangga yang berada pada level ekonomi menengah keatas tidak lancar dan kemungkinan menyebabkan adanya orang katiga. Dengan semakin meningkatnya isu KDRT yang menunjukan bahwa, korban KDRT menghadapi resiko yang besar, terutama pada perempuan dan anak-anak. Akhirnya pada tanggal 22 September 2004 DPR menyetujui Rancangan UndangUndang Pengahapusan KDRT yakni, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang bertujuan :
9
a)
Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
b)
Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
c)
Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
d)
Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Selain itu juga, melihat banyaknya kasus-kasus KDRT yang terjadi di Kota Tangerang Selatan maka pemerintah Kota Tangerang Selatan memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi masyarakat Kota Tangerang Selatan dari praktek-praktek yang tidak bertanggungjawab serta berupaya untuk mencegah praktek-praktek tersebut dengan membentuk berbagai program dan kebijakan. Pemerintah Kota Tangerang Selatan berupaya mengatasi permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) yang merupakan pelaksana dalam pengawasan serta pengendalian kebijakan program pemberdayaan perempuan dan anak, selain itu juga sebagai sarana perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan juga merupakan wadah bagi masyarakan Kota Tangerang Selatan khususnya, dalam memfasilitasi pengintegrasian kebijakan perlindungan perempuan dan anak terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat serta perempuan di daerah yang terkena bencana skala kota, serta bertugas melakukan
10
koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan dan anak dengan instansi terkait seperti dengan pihak kepolisian setempat, LSM dan LBH serta dengan Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan dan dinas terkait seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial, dengan kerjasama ini diharapkan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) dapat meningkatkan fungsinya sebagai wadah masyarakat dalam menghadapi permasalahan KDRT. Selain itu belum lama ini pemerintah Kota Tangerang Selatan juga mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Dalam upaya meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi serta kekerasan psikis. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012, menjelaskan mengenai tujuannya dalam pasal 3, yang disebutkan bahwa Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan bertujuan memberikan pencegahan, perlindungan, dan pelayanan terhadap perempuan dan anak terhadap kekerasan yang berbasis gender dan kepentingan terbaik bagi anak yang terjadi di rumah tangga atau publik. Dengan di sahkan-nya peraturan daerah ini, menggambarkan bahwa pemerintah Kota Tangerang Selatan lebih serius dalam menghadapi permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi dan berupaya memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
11
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan (Hj. Titi Suhartini, A.Md, Keb) dan hasil observasi awal peneliti mendapatkan beberapa masalah dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kerap kali menimpa kaum perempuan, antara lain yaitu: Pertama, kurangnya sosialisasi yang menyebabkan masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui adanya payung hukum dalam mengatasi permasalahan KDRT yaitu, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Hal ini terbukti berdasarkan hasil wawancara pada ibu rumah tangga dan RW pada salah satu kelurahan di Kota Tangerang Selatan pada tanggal 7 Desember 2013, mereka menjelaskan bahwa tidak mengetahui adanya undang-undang dan Peraturan Daerah yang mengatur permasalahan KDRT. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, mengindikasikan bahwa masyarakat Kota Tangerang Selatan masih terbatas pengetahuannya terhadap masalah hukum terkait KDRT. Kedua, sumber daya manusia pendukung dalam pencegahan dan penanganan KDRT masih dirasakan kurang optimal. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah staff dalam menangani masalah KDRT di Kota Tangerang Selatan, yakni di Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan saja hanya memiliki dua orang staff sehingga ketika terjadi pelaporan ke BPMPPKB, pihaknya
12
belum bisa menangani secara maksimal karena terkadang terbentur dengan pekerjaan lain. Biasanya, korban KDRT yang melapor ke BPMPPKB Kota Tangerang Selatan selanjutnya akan diteruskan ke P2TP2A Kota Tangerang Selatan. Dengan terbatasnya sumber daya yang dimiliki oleh BPMPPKB menyebabkan kurangnya responsivitas karyawan dalam menangani kasus KDRT. Berbeda halnya dengan Kota Cilegon walaupun jumlah staff yang dimiliki relatif sama namun, menurut penuturan Kepala Bidang Pelayanan KB Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kota Cilegon (Drs.Opang Noval) yang diwawancarai pada 6 Agustus 2014 menjelaskan BKBPP Kota Cilegon setidaknya memiliki 33 staff relawan yang bertugas untuk melayani korban kekerasan sehingga BKBPP Kota Cilegon dapat lebih tanggap dalam memberikan pelayanan kepada korban. Sementara itu, di P2TP2A Kota Tangerang Selatan sendiri hanya memiliki satu orang staff yang berjaga di kantor setiap harinya, selain itu P2TP2A juga belum memiliki tenaga ahli yang cukup memadai. Tenaga ahli yang dimiliki hanya dua orang di bagian perlindungan hukum dan dua orang di bagian psikologi. Bahkan para tenaga ahli tersebut tidak selalu berada di P2TP2A Kota Tangerang Selatan setiap hari, hanya dua kali dalam seminggu. Hal ini menyebabkan penanganan kasus KDRT cenderung membutuhkan waktu yang cukup lama, selama tahun 2013 dengan jumlah kasus KDRT sebanyak 187 kasus yang mendapatkan bantuan hukum hanya sebanyak 22 kasus saja.
13
Ketiga, program yang dibuat belum berjalan dengan baik, padahal BPMPPKB Kota Tangerang Selatan telah membentuk 540 anggota Satuan Tugas (SATGAS) yang tersebar di seluruh wilayah Kota Tangerang Selatan yang terdiri dari para RW di Kota Tangerang Selatan untuk menangani masalah KDRT yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat, namun baru sekitar 108 anggota saja yang aktif berpartisipasi. Hal ini semakin diperkuat berdasarkan wawancara dengan seorang RW yang menegaskan bahwa beliau tidak pernah hadir dalam pelatihan yang di selenggarakan oleh BPMPPKB dan hanya mendapatkan informasi mengenai tugasnya dari anggota lain yang hadir dalam pelatihan, bahkan beliau masih belum paham mengenai tugasnya dalam pembentukan SATGAS. Keempat, ketersediaan fasilitas dalam menangani kasus KDRT belum memadai, berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Di Provinsi Banten, menjelaskan fasilitas apa saja yang harus terpenuhi dalam dalam pelayanan korban kekerasan, dalam penanganan kasus KDRT dibutuhkan shalter sebagai rumah aman sementara agar keselamatan korban dapat terjamin, namun sampai saat ini Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Tangerang Selatan (BPMPPKB) belum memilikinya. Selain itu juga belum tersedianya ruang khusus bagi korban untuk melakukan pengaduan serta kendaraan oprasinal bagi korban, dengan terbatasnya fasilitas tersebut menyebabkan kinerja BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dalam menangani
14
KDRT dirasa belum optimal, karena belum dapat menjamin sepenuhnya keselamatan dan kerahasiaan korban. Maka berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai masalah yang sebenarnya terjadi mengenai “Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”. Sehingga peneliti mengkaji lebih jauh upaya BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi permasalahan KDRT yang kerap terjadi. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan penjelasan pada latar belakang masalah di atas, maka peneliti mengidentifikasikan permasalahan yang terjadi sebagai berikut: 1. Kurangnya sosialisasi pada masyarakat akan adanya payung hukum dalam mengetasi masalah KDRT. 2. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sehingga terkesan lambat dalam menangani kasus KDRT. 3. Satuan Tugas (SATGAS) yang dibentuk oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum berjalan optimal. 4. Fasilitas yang belum memadai dalam penanganan kasus KDRT sehingga Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
Pemberdayaan
Perempuan
dan
15
Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan belum dapat sepenuhnya menjamin keselamatan korban. 1.3 Batasan Masalah Berdasarkan pemaparan dalam indentifikasi masalah, maka peneliti dalam penelitian ini membatasi masalah pada Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan memfokuskan penelitian ini pada penanganan kasus kekerasan terhadap isteri. 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka sebagai rumusan masalah yang akan dikaji adalah Bagaimana Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah di jelaskan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk, mengkaji lebih dalam, bagaimanakah kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan untuk mengetahui hal apa saja yang menjadi hambatan dalam mengatasi tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan.
16
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian merupakan dampak dari tercapainya tujuan. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta menambah pengetahuan juga wawasan dan pemahaman lebih tentang adanya badan pemerintah yang bertugas menaungi korban KDRT dan masyarakat dapat lebih mengetahui peran BPMPPKB khususnya serta program apa saja yang telah di buat dalam upaya mengatasi permasalahan KDRT yang kerap terjadi. 2. Secara Praktis Manfaat praktis pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan umpan balik (feedback) kepada Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) dalam upayanya Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan.
17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KARANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1. Landasan Teori Setiap penelitian memerlukan landasan teori dalam setiap penelitianya, karena teori sangat berguna untuk membantu peneliti menemukan cara yang tepat dalam mengelola sumber daya serta waktu dalam menyelesaikan penelitian. Menurut Wiliam Wiersman (1986) dalam Sugiyono (2012:41) menyatakan bahwa: “A theory is a generalization or series of generalization by which we attempt to explain some phenomena in a systematic manner. Teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik. “ Sedangkan menurut Kerlinger (1978) dalam Sugiyono (2012:41) mengemukakan bahwa: “Teori adalah seperangkat konstruk, definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesisfikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjaleskan dan meramalkan fenomena.” Pada landasan teori berikut, peneliti akan menjelaskan beberapa teori yang digunakan sebagai acuan dalam mengkaji penelitian. Dalam Bab II ini akan dijelaskan secara berurutan beberapa teori dan bahan pustaka berdasarkan pengertian para ahli terkait dengan “Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam
18
mengatasi permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).” Teori merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian karena sebagai landasan untuk mendapatkan data dalam penelitian, baik teori inti maupun teori pendukung. 2.1.1 Organisasi Publik Penelitian ini dilakukan di kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan, yang merupakan suatu organisasi yang dikelola oleh pemerintah terkait.
Dalam
membahas
masalah
pengertian
organisasi
publik,
daerah peneliti
menggunakan beberapa definisi dari para ahli antara lain sebagai berikut. Pengertian organisasi menurut Mashun (2006:1) dalam bukunya menjelaskan bahwa organisasi sering dipahami sebagai kelompok orang yang berkumpul dan bekerjasama dengan cara yang terstruktur untuk mencapai tujuan atau sejumlah sasarantertentu yang telah ditetapkan bersama. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Weber dalam buku Thoha (2011:113) bahwa, organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendapat berbeda mengenai pengertian organisasi dikemukakan oleh Barnard dalam Thoha (2011:114) mengatakan bahwa organisasi itu adalah suatu sistem kegiatan-kegiatan yang terkoordinir secara sadar, atau suatu kekuatan dari dua manusia atau lebih. Selain itu, Barnard dalam Thoha (2011:114) juga berpendapat
19
bahwa, organisasi merupakan terdiri dari serangkaian kegiatan yang dicapai lewat suatu proses kesadaran, kesengajaan, dan koordinasi yang bersasaran. Dari definisi tentang organisasi diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama sebelumnya. Selain pengetian organisasi maka penulis juga akan menjabar definisi publik berdasarkan para ahli yakni, Frederickson dalam Sedarmayanti (2010:356) yang berpendapat bahwa, publik merupakan seluruh masyarakat yang dilayani melalui lembaga atau instansi pemerintah yang bergerak dibidang pelayanan publik. Maka adapun pengertian organisasi publik menurut Sedarmayanti dalam bukunya menjelaskan bahwa, organiasi publik merupakan instansi pemerintah yang memiliki legilitas formal, dan difasilitasi oleh negara untuk menyelenggaran kepentingan rakyat di segala bidang, yang sifatnya sangat kompleks. Berdasarkan pengertian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa organisasi publik merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang yang memiliki tujuan dan tanggungjawab untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang kebutuhannya difasilitasi oleh negara untuk mencapai tujuan seluruh masyarakat dalam mencapai kehidupan bernegara.
20
2.1.2. Definisi Kinerja Konsep kinerja merupakan singkatan dari kenetika energi kerja yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah performance. Arti kata performance merupakan kata benda dimana salah satu artinya “thing done” (sesuatu hasil yang telah dikerjakan). Istilah performance sering diindonesiakan sebagai performa. Menurut The Scribner Bantam English Dictionary tahun 1979, dalam Sedarmayanti (2010:259) kinerja berasal dari kata “to perform” yang mempunyai beberapa pengertian: 1. To do or carry out execute, melakukan, menjalankan, melaksanakan. 2. To discharge of fulfil as a vow, memenuhi atau menjalankan suatu kewajiban suatu nazar. 3. To portray, as character in aplay, menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan. 4. To render by the voice or musical instrument, menggambarkan dengan suara atau alat music. 5. To execute or complete an undertaking, melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab. 6. To act a part in a play, melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan. 7. To perform music, memaikan/pertunjukan music. 8. To do want is expected of a person or machine, melakukan sesuatu yang diharapkan sesorang atau mesin. Berdasarkan hal diatas, maka arti performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
21
Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkatan keberhasilan individu maupun kelompok individu. Kinerja hanya bisa diketahui jika individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan atau targer tertentu yang hendak dicapai. Tanpa adanya tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolak ukur keberhasilanya. Menurut Simanjuntak (2005:1) kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Sedangkan menurut Bernardian dan Russell (1993:397) dalam Sedarmayanti (2010:260) kinerja didefinisikan sebagai catatan mengenai out come yang dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu pula.
Dalam buku yang
sama Sedarmayanti juga mengatakan bahwa kinerja merupakan perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja, pelaksanaan pekerjaan yang berdaya guna. Pendapat tentang kinerja juga disampaikan oleh Armstrong dan Baron (1998:15) dalam Wibowo (2012:7) kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujun strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. August W. Smith dalam Suwanto dan Donni (2011:196) juga mengatakan bahwa performance is output derives from processes, human otherwise (kinerja merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan manusia). Menurut Mondy dan Noe 1990 dalam Sedarmayanti (2010:261) kinerja dapat pula diartikan sebagi perpaduan dari:
22
1. Hasil kerja (apa yang harus dicapai oleh seseorang), 2. Kompetensi (bagaimana sesorang mencapainya. Selain itu lebih jauh Indra Bastian dalam Irham Fahmi (2011:2) menjelaskan bahwa Kinerja adalah gambaran mengenai tingkatan pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi. Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa kinerja merupakan penampilan hasil karya seseorang dalam bentuk kualitas ataupun kuantitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja pegawai. Tiga hal penting dalam kinerja adalah tujuan, ukuran, dan penilaian. Penentuan tujuan setiap unit organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah dan pengaruh bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi dari setiap personel. Tetapi ternyata tujuan saja tidak cukup, sebab itu diperlukan ukuran apakah seseorang personel telah mencapai tujuan hasil kinerja yang diharapkan. Untuk itu penilaian kinerja yang baik harus mamapu menciptakan gambaran yang tepat mengenai kinerja karyawan yang dinilai. Penilaian tidak hanya digunakan untuk menilai dan memperbaiki kinerja yang buruk, manun juga untuk mendorong karyawan menjadi lebih baik lagi. Adapun standar kinerja yang baik menurut Sedarmayanti (2010:203) dalam bukunya adalah:
23
1. Dapat dicapai, sesuai dengan usaha yang dilakukan pada kondisi yang diharapkan. 2. Ekonomis, biaya rendah dikaitkan dengan kegiatan yang dicakup. 3. Dapat diterapkan, sesuai kondisi yang ada. Jika terjadi perubahan kondisi, harus dibangun standar yang setiap saat dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada. 4. Konsisten, akan membantu keseragaman komunikasi dan operasi keseluruhan fungsi organisasi. 5. Menyeluruh, mencakup semua aktivitas yang saling berkitan. 6. Dapat dimengerti, diekspresikan dengan mudah, jelas untuk menghindari kesalahan komunikasi, instruksi yang digunkan harus spesifik dan lengkap. 7. Dapat diukur, harusdapat dikomunikasikan dengan presisi. 8. Stabil, harus memiliki jangka waktu yang cukup untuk memprediksi dan menyediakan usaha yang akan dilakukan. 9. Dapat diadaptasi, harus didesain sehingga elemen dapat ditambah, dirubah, dan dibuat teknik tanpa melakukan perubahan pada seluruh struktur. 10. Legitimasi, secara resmi disetujui. 11. Seimbang, diterima sebagai dasar perbandingan oleh berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan. 12. Fokus pada pelanggan, harus terarah pada hal pentingyang diinginkan pelanggan. Suatu pengertian mengenai kinerja yang dikemukakan oleh Wirawan (2009:54) dalam bukunya menjelaskan bahwa “keluaran yang dihasilkan oleh fungsifungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Secara umum dimensi kinerja dapat dikelompokan menjadi tuga jenis, yaitu hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan.” Dimensi kinerja yang dikemukakan oleh wirawan diatas, secara umum dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu: 1. Hasil kerja Hasil kerja merupakan keluaran dalam bentuk barang dan jasa yangdapat dihitung dan diukur kuantitas dan kualitasnya. Pengukuran kinerja melalui
24
hasil kerja pekerja sejan dengan pendapat Peter Drucker melalui teori Manajement by Objectives (MBO). Seorang pekerja dinilai melalui hasil kerjanya baik secara kualitatif dan kuantitatif. 2. Perilaku kerja Ketika berada dalam tempat kerja karyawan memiliki dua prilaku, yaitu prilaku pribadi dan prilaku kerja. Prilaku pribadi merupakan perilaku yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, misalnya: cara berjalan, cara berbicara, dan sebagianya. Prilaku kerja dicantumkan dalam standar kinerja, prosedur kinerja, kode etik, dan peraturan organisasi. Perilaku kerja dapat dikelompokan menjadi prilaku kerja umum dan khusus. Perilaku kerja umum merupakan perilaku yang dioerlukan semua jenis pekerjaan, misalnya: loyal pada organisasi, disiplin, dan bekerja keras. Perilaku kerja khusus diperlukan untuk pekerjaan tertentu. 3. Sifat pribadi yang ada hubunganya dengan pekerjaan Seseorang memliki banyak sifat pribadi yang dibawa sejak lahir dan diperoleh kerika dewasa dari pengalaman dalam pekerjaan. Sifat pribadi yang dinilai hanyalah sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjan, misalnya: penampilan, sikapterhadap pekerjaan, jujur, cerdas, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat kita pahami bahwa kinerja merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan secara individu maupun kelompok organisasi dalam melaksanakan fungsi serta tanggungjawab yang dimilikinya dalam
25
mencapai tujuan organisasi melalui standar yang telah ditetapkan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan organisasi. 2.1.2.1. Indikator Kinerja Indikator kinerja atau performance indicators secara konseptual Lembaga administrasi Negara/LAN (2001:9) dalam Ismail Nawawi (2013:245) mengemukakan bahwa indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaa (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going) , maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post). Menurut Mahsun dalam buku pengukuran kinerja sektor publik
(2006:7)
menjelaskan indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kerja. Indikator kinerja juga merupakan sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kerja kunci, baik yang bersifat financial maupun non-financial untuk melaksanakan operasi dan kinerja unit bisnis. Sedangkan menurut Lohman (2003) dalam Mahsun (2006:7) mendefinisikan indikator kinerja merupakan suatu variabel yang digunakan untuk mengekpresikan secara kuantitatif efektivitas dan efisiensi proses atau operasi dengan berpedoman
26
pada target-target dan tujuan organisasi. Dari definisi dan penjelasan mengenai indikator Kinerja di atas dapat dilihat bahwa indikator kinerja memiliki fungsi yang akan dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut. Menurut Sedarmayanti (2010:198) indikator kinerja memiliki fungsi sebagai berikut: a. Memperjelas tentang apa, berapa dan kapan kegiatan dilaksanakan b. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam menilai kinerjanya termasuk kinerja instansi pemerintah yang melaksanakanya. c. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja. Sebelum menyusun dan menetapkan indikator kinerja, menurut Ismail Nawawi (2013:242) terlebih dahulu perlu diketahui syarat-syarat yang harus yang harus dipenuhi oleh suatu indikator kinerja. Syarat-syarat yang berlaku untuk semua kelompok kinerja tersebut sebagai berikut: 1. Spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi. 2. Dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif; yaitu dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja memiliki kesimpulan yang sama. 3. Relevan; indikator kinerja harus menangani aspek objek yang relevan. 4. Dapat dicapai, penting, dan harus berguna untuk menunjukan keberhasilan masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak,serta proses. 5. Harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan/penyesuaian pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan. 6. Efektif; data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang tersedia.
27
Sedangkan menurut Palmer (1995) dalam Mahsun (2006:74) terdapat persyaratan umum untuk terwujudnya suatu indikator yang ideal dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Consistency. Berbagai definisi yang digunakan untuk merumuskan indikator kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-unit organisasi. 2. Comparibility. Indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak. 3. Clarity. Indikator kinerja harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan mudah dipahami. 4. Controllability. Pengukuran kinerja terhadap seorang manajer publik harus berdasarkan pada area yang dapat dikendalikan. 5. Contingency. Perumusan indikator kinerja bukan variabel yang independen dari lingkungan internal dan eksternal. 6. Comprehensiveness. Indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek berlaku yang cukup penting untuk pembuatan keputusan manajerial. 7. Boundedness. Indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama yang merupakan keberhasilan organisasi. 8. Relevance. Bebagai penerapan membutuhkan indikator spesifik sehingga relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu. 9. Feasibility. Target-terget yang digunakan sebagai dasar perumusan indikator kinerja harus merupakan harapan yang realistik dan dapat dicapai. Ada beberapa jenis indikator kinerja yang sering digunakan dalam pelaksanaan pengukuran kinerja organisasi, yaitu: indikator masukan (input), indikator
proses (process), indikator keluaran (output), indikator hasil (outcome),
indikator manfaat (benefit), dan indikator dampak (impact). Masing-masing indikator di jelaskan sebagai berikut: 1. Indikator masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat bejalan untuk mengkasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa
dana,
sumber
daya
manusia,
perundang-undangan, dan sebagainya.
informasi,
kebijakan/peraturan
28
2. Indikator proses adalah segala besaran yang menunjukan upaya yang dilakukan dalam rangka mengolah masukan menjadi keluaran. Indikator proses menggambarkan perkembangan atau aktivitas yang terjadi atau dilakukan selama pelaksanaan kegiatan berlangsung, khususnya dalam proses mengolah masukan menjadi keluaran. 3. Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari sesuatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau nonfisik. 4. Indikator hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). 5. Indikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. 6. Indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. Menurut Selim dan Woodward dalam Nawawi (2013:244) mengemukakan bahwa ada lima dasar yang bisa dijadikan indikator kinerja sektor publik antara lain: 1. Pelayanan, yang menunjukan seberapa besar pelayanan yang diberikan. 2. Ekonomi, yang menunjukan apakah biaya yang digunakan lebih murah daripada yang direncanakan. 3. Efisiensi, yang menunjukan perbandingan hasil yang dicapai dengan pengeluaran. 4. Efektivitas, yang menunjukan hasil yang seharusnya dengan hasil yang dicapai. 5. Equity, yang menunjukan tingkat keadilan potensi dan kebijakan yang dihasilkan.
29
Selain itu terdapat tujuh indikator kinerja yang saling berkaitan menurut Harsey, Blanchard, dan Johnson dalam Wibowo (2012:102) menjelaskan seperti berikut: Gambar 2.1 Indikator Kinerja Competence
Feedback
Motive
Goals Means
Opportunity
Standard
Sumber: Paul Hersey, Kenneth H. Blan achard, dan Dewey E. Johnson dalam Wibowo (2012:102)
1. Tujuan, merupakan keadaan yang berbeda yang secara aktif dicarai oleh seorang individu atau organisasi untuk dicapai. 2. Standar, mempunyai arti penting karena memberitahukan kapan suatu tujuan dapat diselesaikan. Standar merupakan suatu ukuran apakan tujuan yang dinginkan dapat dicapai. 3. Umpan balik, merupakan masukan yang dipergunakan untuk mengatur kemajuan kinerja, standar kinerja, dan pencapaian tujuan. Dengan umpan balik dilakukan evaluasi terhadap kinerja dan sebagai hasilnya dapat dilakukan perbaikan kinerja. 4. Alat atau Sarana, merupakan sumber daya yang dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses. 5. Kompetensi, merupakan persyaratan utama dalam kinerja. Kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menjalakan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan baik. 6. Motif, merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. 7. Peluang, merupakan kesempatan untuk menunjukan prestasi kerjanya.
30
Pendapat lain juga di kemukakan oleh Dwiyanto (2002:48) dalam bukunya menjelaskan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu: 1. Produktivitas, adalah rasio antara input dan output, secara filosofis produktivitas merupakan sikap mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. 2. Kualitas Layanan, merupakan indikator yang relative tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja birokrasi yang mudah dan murah digunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi indikator untuk menilai kinerja birokrasi publik. 3. Responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenal keutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat. 4. Responsibilitas, menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan birokrasi publik itu sesuai dengan prinsip administrasi yang benar dengan kebijakan birokrasi baik yang eksplisit dan implisit. 5. Akuntabilitas, menunjukan seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik tunduk pada para bejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya, para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya harus memprioritaskan kepentingan publik. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator kinerja merupakan kriteria atau sarana yang digunakan untuk mengukur keberhasilan tujuan kinerja yang telah ditetapkan suatu organisasi dengan efisien dan efektif dengan menggunakan pengukuran-pengukuran tertentu. 2.1.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersumber dari pekerja sendiri maupun yang bersumber dari oganisasi. Menurut
31
Wirawan (2009:6) kinerja merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor, faktor-faktor tersebut adalah: 1. Faktor internal pegawai, yaitu faktor-faktor dari dalam diri pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir meliputi bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik kejiwaan dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang meliputi pengetahuan, keterampilan, etos kerja, penglaman kerja, dan motivasi kerja. 2. Faktor
lingkungan
internal
organisasi,
manajemen
organisasi
harus
menciptakan lingkungan internal organisasi yang kondusif sehingga dapat mendukung dan meningkatkan produktivitas karyawan. Faktor lingkungan eksternal organisasi, merupakan keadaan, kejadian, atau
3.
situasi yang terjadi dilingkungan ekternal organisasi yang memengaruhi kinerja karyawan. Pendapat lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, antara lain dikemukakan oleh Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2012:100), yaitu sebagai berikut: 1. Personal factors, ditunjukan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi dan komitmen inidividu. 2. Leadership factor, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan manajer dan team leader. 3. Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja. 4. System factors, ditunjukan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang diberikan oleh organisasi.
32
5. Contextual/situational factors, ditunjukan oleh tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal. Selain itu Hersey, Blanchard, dan Johnson dalam Wibowo (2012:101) merumuskan adanya tujuh faktor kinerja yang mempengaruhi kinerja dan dirumuskan dengan akronim ACHIVE: A = Ability (knowledge dan skill) C = Clarity (understanding atau role perception) H = Help (organizational support) I = Incentive (motivation atau willingness) E = Evaluation (coaching dan performance feedback) V = Validity (valid dan legal personnel practices) E = Environment (environmental fit). Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dalam kinerja dan pendorong pencapaian kerja organisasi publik yaitu bersumber dari individu masing-masing, seperti apa gaya kepemimpinan di organisasi publik tersebut, adanya kerja sama tim yang saling mendukung, system kerja dan fasilitas yang memadai. Apa bila semua faktor-faktor tersebut dimiliki oleh suatu organisasi publik, maka bukan tindak mungkin organisasi tersebut akan mencapai keberhasilan kerja sesuai yang telah di targetkan bersama. 2.1.3 Pemahaman Gender Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu „gender‟ yang berarti jenis kelamin. Dalam Nugroho (2011:2) istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robet Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang berasal dari
33
ciri-ciri fisik biologis. Selanjutnya Ann Oakley (1972) ikut mengembangkan istilah dan pengertian gender. Sebagaimana Stoller, Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Menurut Naqiyah dalam bukunya (2005:25) menjelaskan istlah gender dipakai untuk pengertian jenis kelamin secara nonbiologis, yaitu secara sosiologis dimana perempuan direkonstruksikan sebagai makhluk yang lemah lembut. Sedangkan, laki-laki sebagi makhluk yang perkasa (gender stereotype). Menurut Fakih (2013:8) dalam bukunya menjelaskan bahwa: “Gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikostruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lebut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Masih dalam buku yang sama Fakih (2013:9) menjelaskan konsep Gender merupakan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda dari tempat ke tempat yang lainya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lain. Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society, yang di kutip dalam Fakih (2013:71) mengartikan gender sebagai berikut: “Gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Berbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan
34
yang oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melaikan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses soasial dan kultural yang panjang.” Suzzane Williams, Janet Seed, dan Adelina Mwau dalam The OXFAM Gender Training Manua, yang di kutip dalam Nugroho (2011:2) mengartikan gender sebagai berikut: “…. manusia dilahirkan dan dididiki sebagai bayi perempuan dan laki-laki supaya kelak menjadi anak perempuan dan laki-laki serta berlanjut sebagai perempuan dewasa dan laki-laki dewasa. Mereka dididik tentang bagaimana cara bersikap, berprilaku, berperan, dan melakukan pekerjaan yang sepantasnya sebagai perempuan dan laki-laki dewasa. Mereka dididik bagaimana berelasi diantara mereka, sikap-sikap yang dipelajari inilah yang pada akhirnya membentuk identitas diri dan peran gender mereka dalam masyarakat.” Sementara itu Naqiyah (2005:26) dalam bukunya menjelaskan, istilah gender dapat dibedakan dalam beberapa pengertian yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gender sebagai suatu istilah sains dengan makna tertentu, Gender sebagai fenomena sosial budaya, Gender sebagai kesadaran sosial, Gender sebagai persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk dianalisis, dan Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan. Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia, dalam Nugroho (2011:6) mengartikan; gender adalah peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kes empatan lakilaki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (laki-laki dan perempuan).
35
Menurut Nugroho gender tidak bersifat universal namun bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal, yaitu; 1) gender tidak identik dengan jenis kelamin, dan 2) gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat. Menurut H.T. Wilson dalam Sex and Gender yang dikutip dalam Nugroho (2011:6) mengaertikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin melahirkan teori tentang gender menurut Edward Wilson (1975) dalam Nugroho (2011:22) mengenai masalah kesetaraan dan keadilan gender membagi perjuangan kaum perempuan secara sosiologis atas dua kelompok besar, yaitu konsep nature dan konsep nurture. Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan equilibrium, ketiganya diuraikan sebagai berikut: 1. Teori nature Menganggap bahwa perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki bersifat kodrati (nature). Anatomi biologis antara laki-laki dan perempuan yang berbeda menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini. Laki-laki memiliki peran utama di dalam masyarakat karena dinggap lebih kuat, lebih potensial, dan lebih produktif. Organ reproduksi yang dimiliki oleh perempuan dinilai membatasi ruang gerak perempuan, seperti; hamil, melahirkan, dan menyusui, sementara itu laki-laki tidak memiliki fungsi reproduksi tersebut. Perbedaan ini menimbulkan pemisahan
36
fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memilki peran di sektor publik dan perempuan mengambil peran di sektor domestik. 2. Teori nurture Teori ini beranggapan bahwa perbedaan relasi gender antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan oleh konstruksi masyarakat. Dengan lain perkataan, bahwa menurut penganut paham nurture, peran sosial yang selama ini dinggap baku dan dipahami sebagai doktrin keagamaan, sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan dan tidak juga sebagai produk konstruksi sosial. Oleh karena itu, nilai-nilai bias gender yang banyak terjadi di masyarakat yang dianggap disebsbkan oleh faktor biologis, sesungguhnya tidak lain adalah konstruksi budaya. 3. Teori equilibrium Teori ini menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki karena kebudayaan harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Selanjutnya Kohlberg dalam buku yang di tulis oleh Janet Shibley H. yang berjudul Half the Experience, yang di kutip dalam Nugroho (2011:23), mengungkapkan bahwa terbentuknya identitas gender perempuan dapat dijelaskan berdasarkan 3 teori psikologis, yaitu : 1. Teori Freud (Psikoanalisis), menjelaskan bahawa perilaku seseorang terkait dengan faktor biologis, seperti; evolusi, gene dan anatomi. 2. Teori Sosialisasi (social learning), menjelaskan berdasarkan konsep „naturenuture‟ dan melihat bahwa perbedaan peran gender merupakan hasil dari tuntutan dan harapan lingkungan. 3. Teori Perkembangan Kognitif, merupakan teori interaksi yang menekankan pada insteraksi antara keadaan organisme atau perkembangan kognitifnya dengan informasi dengan informasi yang ada dalam lingkungan budaya. Prilaku yang khas bagi salah satu gender (gender specific behavior atau traits) adalah interkasi antara pengetahuan kognitif di dalam diri seseorang dengan informasi yang diperoleh dari lingkunganya. Menurut Fakih (2013:9) menjelaskan sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender
37
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Dalam buku yang sama Fakih (2013:12) juga menjelaskan bahwa perbedaan gender melahirkan ketidak adilan, berikut uraiannya secara terperinci: a. Marginalisasi Proses marginalisasi, yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyaraka dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Ada beberapa perebedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi sumbernya berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan,
juga
terjadi dalam rumah tangga, masyrakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisai terhadap perempuan sudah terjadi sejak dirumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan.
38
b. Subordinasi Pandangan gender menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ketempat dan waktu ke waktu. Bahkan, pemerintah pernah memiliki peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) dia bisa mengambil keputusan sendiri, sedangkan bagi istri harus seizing suami. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuanga keluarga sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anakanaknya maka anak laki-laki kan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil. c. Stereotipe Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali, ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitakan dengam
39
stereotipa ini. Bahkan jika pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat cendrung menyalahkan korbanya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan dinomor duakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut. d. Kekerasan Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related violence. Bentuk kejahatan yang biasa dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya: 1. Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan perkawinan. Pemerkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. 2. Tindak pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).
40
3. Bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation). Misalnya penyunatan pada anak perempuan. Penyunatan ini dilakukan dengan berbagai alasan yang diungkapkan dalam suatu kelompok masyarakat. 4.
Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan.
5. Kekerasan dalam bentuk pornografi, jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. 6. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (forced sterilization), keluarga berencana dibanyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. 7.
Kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.
8.
Tindak kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat yakni, yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassement. Ada beberapa kategori pelecehan seksual, yaitu: menyampaikan lelucon jorok secara vulgar, menyakiti atau mebuat malu seseorang dengan omongan kotor, mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya, meminta
41
imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja, promosi, atau janji-janji lainya, menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizing dari yang bersangkutan. e. Beban Kerja Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Berdasarkan berbagai penjelasan diatas maka peneliti menarik kesimpulan bahwa yang di maksud degan konsep gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan berasal dari kodrat Tuhan melaikan hasil dari konstruksi sosisial dan budaya yang diciptakan oleh manusia melalui proses yang panjang dan melahirkan ketidak adilan terutama pada kaum perempuan. 2.1.4 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Rumah tangga atau keluarga adalah suatu sistem, dimana di dalamnya terdapat subsistem-subsistem yang saling berkaitan dan saling memengaruhi. Selanjutnya Hasbiyanto (1995:21) dalam Kanita (2004:57) menyatakan bahwa:
42
“KDRT adalah suatu
bentuk
penganiayaan
(abuse) secara
fisik
maupun
emosional/psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga.” Sedangkan menurut Soetarso dalam Edi Suharto dan Anton Freddy (2007:64) menjelaskan bahwa: kekerasan dalam rumah tangga merupakan siksaan emisional, fisik, atau seksual yang dilakukan secara sadar, sengaja, atau kasar dan diarahkan kepada anggota keluarga atau rumah tangga. Berdasarkan UU no. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, definisi dari KDRT adalah, setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Yang dimaksud lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini, adalah: Pasal 2 ayat (1) : a. Suami, istri dan anak; b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persesusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
43
Pasal 2 ayat (2) a. Orang yang bekerja sebagai mana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Jadi cukup jelas yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ialah segala bentuk tindak kekerasan baik berupa kekerasan fisik, emosional dan seksual yang seringkali terjadi dalam lingkup kehidupan rumah tangga serta dapat membahayakan kaum perempuan dan anak yang kerap kali menjadi korban karena dianggap sebagai kaum yang lemah. Menurut Poerwandi dalam Karlinawati dan Eko Meinarno (2010:113) mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat di bagi menjadi lima bentuk, yaitu: 1. Kekerasan fisik (memukul, menendang, melukai dengan tangan kosong/senjata, dan lain-lain); 2. Kekerasan psikologis (mengancam, merendahkan, menuduh pasangan berselingkuh tanpa ada bukti penunjang); 3. Kekerasan berdimensi ekonomi (istri tidak diberi nafkah, salah satu pasangan menguasai harta atau mengambil penghasilan dari pasanganya); 4. Kekerasan seksual (memaksa melakukan hubungan seks dengan cara-cara yang tidak disetujui oleh pasanganya, memaksa istri untuk terus hamil); dan 5. Kekerasan spiritual (merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, secara memaksa korban melakukan aktivitas ritual tertentu). Selanjutanya Hasbiyanto dalam Kanita (2004:57) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga ada 4 macam jenis yang dapat di lihat pada gambar berikut:
44
Gambar 2.2 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KEKERASAN SEKSUAL . Memaksa melakukan hubungan seksual . Memaksa selera seksual sendiri . Tidak memperhatikan kepuasan pihak lain.
KEKERASAN FISIK . Memukul/menampar . Meludahi . Menjambak . Menendang . Menyulut dengan roko . Memukul dgn barang
KERASAN EKONOMI
KEKERASAN EMOSIONAL . Mencela/menghina . Mengancam sbg sarana memaksa kehendak . Mengisolasi istri dari dunia luar
. Tidak memberikan uang belanja . Memakai uang istri
Sumber: Hasbianto dalam Kanita (2004:58)
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa kekerasan seringkali tidak berdimensi tunggal. Bisa jadi seseorang mengalami satu sampai lima bentuk kekerasan diatas. Selain itu kekerasan juga dapat terjadi diberbagai lapisan sosial ekonomi atau merupakan fenomena yang terjadi baik lintas kelas sosial, lintas suku, dan lintas agama.
45
Menurut Karlinawati dan Meinarno (2010:114) kekerasan dalam rumah tangga (khususnya kekerasan yang dilakukan oleh pasangan) tidak jarang menampilkan siklus, seperti di bawah ini: Gambar 2.3 Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Pasangan
Konflik
Kekerasan
Bulan madu
Minta maaf
Sumber: Karlinawati Dan Meinarno (2010:114) Penjelasan mengenai siklus diatas dimulai dari suasana hubungan yang berlangsung baik, dimana pasangan saling perhatian atau setidaknya bersikap sopan. Kemudian, mulai terjadi ketegangan sehingga memicu terjadinya kekerasan. Setelah kekerasan terjadi, ketegangan mulai menurun karena pelaku akan meminta maaf/berjanji tidak mengulangi perilakunya. Kemudian, masuk fase bulan madu dimana semuanya akan kembali baik. Namun, kemudian siklus ini kembali terulang dan semakin lama semakin cepat terulang dan semakin intens.
46
Persoalan KDRT sendiri merupakan fenomena gunung es, dimana yang terlihat hanya sebagaian kecil saja. Hal itu tidak terlepas dari anggapan masyarakat bahwa KDRT adalah persoalan pribadi keluarga. Selain itu, pandangan yang sudah berakar kuat mengenai posisi perempuan yang subordinat, ketentuan hukum yang belum tegas dalam menindak pelaku kekerasan, kehendak pelaku yang berada di luar control korban, serta reaksi korban terhadap kekerasan itu sendiri merupakan bentukbentuk konkret yang memberi sumbangan besar pada kerentanan korban terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Ada kalanya karakteristik korban juga ikut andil dalam terjadinya KDRT. Menurut Schwartz dalam Karlinawati dan Meinarno (2010:2015) ada karakteristik tertentu yang menyebabkan seseorang mengabaikan bahaya kekerasan dengan harus berhubungan dengan pelaku. Adapun karakteristik tersebut adalah: 1. Ada keinginan untuk menyelamatkan. Kebanyakan mereka berfikir bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengubah karakteristik negative pelaku, hal ini membuat mereka merasa diperlukan oleh pelaku dan tanpa tidak disadari terseret pada pola kekerasan. 2. Memiliki rasa benci terhadap diri sendiri. Sering kali mereka menjadi meremehkan diri sendiri sehingga dapat menjadi petunjuk bagi pelaku bahwa korban memiliki kebutuhan akan sesuatu (ingin merasa dihargai dicintai, dan sebagainya) sehingga pelaku pelaku berusaha memberikan kebutuhan korban dan menjebaknya dalam suatu pola kekerasan. 3. Tanpa disadari memberi peluang untuk dianiaya. Pada saat pelaku melakukan kekerasan, maka ia juga akan melihat seberapa jauh korban akan bertoleransi terhadap perilakunya tersebut. Sering kali setelah melakukan kekerasan, pelaku akan meninta maaf, dan apabila korban dengan cepat memberikan maaf, maka hal tersebuat seolah-olah menjadi izin bagi pelaku untuk mengulang pola kekerasan.
47
4.
Membohongi diri sendiri. Antara lain dengan berusaha untuk menyangkal bukti-bukti kekerasan yang dialaminya, sebab akan lebih mudah untuk mempertahankan keadaan dari pada mengubahnya. 5. Memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga. Hal ini perlu untuk diperhatikan sebab seseorang akan memiliki kecendrungan mengulang pola yang ada pada keluarganya, sehingga apabila seseorang pernah menerima kekerasan dalam keluarga, maka pola tersebut cendrung akan terulang. 6. Memiliki perasaan takut sendirian. Kadang kala ketakutan akan kesendirian membuat seseorang mengabaikan karakteristik-karakteristik yang berbahaya dari pasangannya dan melakukan toleransi-toleransi yang meurutnya dapat mempertahankan perhatian yang dimilikinya. Pada pernyataan nomor lima diatas, kita dapat melihat bahwa kekerasan dalam keluarga yang terjadi secara terus-menerus memiliki efek jangka panjang, baik bagi korban maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu menurut Soetarso (2004) dalam Suharto dan Freddy (2007:67) menjelaskan bahwa dari berbagai kepustakaan yang ada dapat ditentukan beberapa karakteristik kekerasan dalam keluarga atau rumah tangga, sebagai berikut: a. Semua bentuk kekerasan dalam keluarga menyangkut penyalahgunaan kekuatan. Pola yang umum terjadi adalah disalahgunakannya kekuatan oleh paling kuat terhadap yang lemah. Perbedaan kekuatan ini dapat berupa ukuran dan kekuatan fisik maupun status. b. Adanya tingkatan kekerasan, dari yang ringan sampai yang paling berat atau fatal c. Kekerasan dilakukan berkali-kali. Kalau kendali untuk berbuat kekerasan lemah atau hilang, maka kekerasan akan terus berlangsung dan bertambah berat. Sasaranya bertambah meluas. d. Kekerasan dalam keluarga umumnya berlangsung dalam konteks penyalahgunaan dan eksploitasi psikologis. Penghinaan verbal yang berupa ejekan atau sumpah serapah kerap kali mengawali terjadinya kekerasan fisik. Korban dibuat sedemikian rupa sehingga merasa tidak berharga, tidak berdaya, tidak dicintai, tidak penting, dan lebih rendah dari manusia. e. Kekerasan dalam keluarga mempunyai dampak negatif terhadap semua anggota keluarga atau rumah tangga, baik yang terlibat dalam kekerasan maupun yang tidak. Setiap orang didalam keluarga ini merasa tidak tenteram. Masalah ini merupakan unsur yang sangat merusak kehidupan keluarga.
48
Berdasarkan penjelasan diatas tampaklah bahwa posisi sebagai subordinat sering kali menempatkan menguntungkan.
perempuan dan juga anak-anak pada posisi yang tidak
Pihak lain
yang berpotensi sebagai korban
adalah para
manula/meraka yang telah lanjut usia dan pekerja rumah tangga. Mereka seringkali tidak memiliki kebebasan untuk berkehendak, bersikap, atau bahkan memilih. 2.1.4.1 Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Kata tindak dapat disamakan dengan perbuatan, sedangkan kata kekerasan yaitu kata sifat yang berarti mengandung sifat keras, suatu paksaan. Maka tindak kekerasan yakni suatu perbuatan yang memaksa atau melakukan paksaan terhadap orang lain. Sedangkan menurut pembukaan Undang-undang nomor 23 tahun 2004 menjelaskan yang dimaksud perempuan merupakan seseorang yang mempunyai alat kelamin perempuan, dapat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan anak, menyusui dan termasuk orang yang telah mendapat status hukum sebagai perempuan. Kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal yang baru, dalam kehidupan rumah tangga perempuan sering kali menjadi korban baik penderitaan fisik atau non fisik oleh pasangannya. Menurut Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan nomor 3 tahun 2012 menjelaskan pengertian kekerasan terhadap perempuan, yaitu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
49
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, ekonomi, sosil, psikis,
termasuk
ancaman
tindakan
tertentu,
pemaksaan
atau
perampasan
kemerdekaan, baik yang terjadi di depan umum atau kehidupan pribadi. Nugroho dalam bukunya (2011:2) juga menjalskan pengertian perempuan sebagai berikut: “Perempuan merupakan manusia yang memiliki alat reproduksi, seperti rahim, dan saluran untuk melahirkan, mempunyai sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui, yang semuanya secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai kodrat (ketentuan Tuhan).” Selanjutanya dalam Deklarasi Beijing (1995) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah: “Manifestasi adanya perbedaan kekerasan dalam hubungan laki-laki dan perempuan sepangang sejarah, yang mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan, dan ini merintangi kemajuan sepenuhnya dari perempuan. Kekerasan yang dialami perempuan sepanjang hidupnya pada hakikatnya berasal dari pola-pola kebudayaan, khususnya dampak yang merusak dan praktek-praktek tradisonal tertentu atau kebiasaan yang merugikan dan semua kebiasaan ekstrim yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, yang mengekalkan memberikan kedudukan yang kebih rendah terhadap perempuan dalam keluarga, ditempat kerja dan masyarakat.” Menurut deklarasi ini, adanya pola hubungan yang tidak seimbang (ketidak selarasan hak perempuan dan laki-laki) yang membuka peluang terjadinya kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan secara emosi, ekonomi, seksual, intimidasi, penggunaan hak pribadi laki-laki, ancaman dan tekanan dengan menggunakan anak. Semuanya merupakan akibat dari pola hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dengan perempuan. (sumber: http://www.lbh-apik.or.id)
50
Gambaran umum bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan menurut Poerwandari dalam Kanita (2004:50) adalah sebagimana diuraikan pada table berikut ini: Tabel 2.1 Bentuk-Bentuk atau Dimensi Kekerasan Terhadap Perempuan Dimensi Fisik Psikologis
Seksual
Ekonomi
Spiritual
Cakupan Memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata, membunuh. Berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan mata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (temasuk yang diarahkan kepada orang-orang didekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dll). Melakukan tindakan yang mengarah keajakan atau desakan seksual seperti: menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakantindakan lainyang tidak dikehandaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan fisik atau tidak, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak sisukai, merendahkan, menyakiti atau merendahkan korban. Pornografi (dengan dampak yang sangat luas bagi perempuan pada umumnya). Mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan financial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya, semuanya dengan maksud untuk mengendalikan tindakan korban. Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktekan ritual dan keyakinan tertentu.
Sumber : Poerwandari dalam Kanita (2004:50)
Menurut Sampoerna dalam Kanita (2004:53) terdapat dua jenis kekerasan yang sangat spesifik terhadap perempuan, yaitu kekerasan dalam keluarga dan kekerasan seksual.
51
1. Kekerasan keluarga, didefinisikan sebagai pola prilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau menciderai secara fisik yang dilakukan pasangan atau mantan pasangan. Kekerasan dalam keluarga atau rumah tangga (domestic violence) adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki (suami/anak laki-laki menganiaya secara verbal maupun non-verbal pada kenis kelamin perempuan (istri, anak perempuan, dan sebaginya). 2. Kekerasan seksual, adalah suatu sikap penyerangan yang bersifak seksual terhadap perempuan, baik yang terjadi dalam bentuk persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan pelaku dengan korban. Pemaksaan kontak seksual dapat terjadi disetiap waktu dalam kehidupan perempuan, dan mencakup beragam perilaku, mulai dari pemerkosaan dengan memakai kekerasan sampai bentuk tekanan psikologis yang memaksa gadis dan perempuan untuk berhubungan seksual di luar kehendaknya. Jadi yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang dapat membahayakan serta perbuatan yang memaksakan kehendak kaum perempuan yang biasanya berupa tindakan kekerasan fisik, psikologi, seksual, spiritual, dan ekonomi yang terjadi baik dalam kehidupan keluarga maupun kehidupan sosial yang menjadikan ketidak berdayaan kaum perempuan. 2.1.5 Sanksi Hukum Bagi Pelaku KDRT Sanksi dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda, yaitu sanctie. Dalam konteks hukum, sanksi berarti hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, sedangkan dalam konteks sosiologi, sanksi dapat berarti kontrol sosial. Sedangkan pelaku ialah orang yang melakukan perbutan. Jadi, sanksi hukum bagi pelaku ialah hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan kepada pelaku atau seseorang yang melakukan Tidak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
52
Sanksi hukum yang akan dijatuhkan bagi pelaku Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Ketentuan Pidana, yaitu: Pasal 44 1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 2) Dalam hal perbuatan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) 3) Dalam hal perbutan sebagai mana dimaksud pada ayat (2) megakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). 4) Dalam hal perbutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalakan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
53
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 45 1) Setiap orang yang melakukan perbutan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9.000.000,00 (Sembilan juta rupiah). 2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (pasal 46,47,48,49, dan 50 terlampir) Dari penjelesan diatas telah jelas bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini telah memberikan keriteria sanksi hukum yang tegas bagi setiap pelanggarnya dengan lengkap dan terperinci berdasarkan jenis-jenis kekerasan yang dilakukan, dengan adanya sanksi hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku tindak kekerasan dan dapat menekan angka kekerasan dalam rumah tangga karena adanya sanksi hukum yang tegas.
54
2.2 Penelitian Terdahulu Untuk bahan pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti mencantumkan hasil penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu ini bermanfaat dalam mengolah atau memecahkan masalah yang tibul dalam penelitian mengenai Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemebrdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) dalam mengatasi permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan. Walaupun lokus dan permasalahan tidak seluruhnya sama, namun penelitian terdahulu ini sangat membantu peneliti dalam dalam memecahkan masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Kanita, dalam jurnal tesis Universitas Indonesia (2004), dengan judul Proses Penanganan Korban Tidak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Oleh Lembaga Kalyanamitra di Jakarta. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan peran lembaga Kalyanamitra Jakarta dalam menangani kasus KDRT serta mengidentifikasi faktor penghambat dan faktor pendukung yang dihadapi oleh lembaga tersebut dalam penanganan kasus kekerasan. Fenomena ini diambil karena kekerasan dan ketidakberdayaan (powerless) lingkup KDRT kini semakin menonjol, dan menurut data yang ada setiap tahun kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga ini mengalami peningkatan, baik secara kuantitas maupun kualitas, sementara upayaupaya dari pihak terkait untuk mengatasi masalah tersebut juga sangat terbatas.
55
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam konteks ini, kasus kekerasan suami terhadap istri masih dipandang sebagai aib, bila dibawa ke sektor publik atau diperkarakan secara hukum, tetapi dianggap sebagai kewajaran, yaitu sebagai bentuk pendisiplinan suami terhadap istri. Secara sosiologis, mereka lebih tepat disebut dengan korban tindak kekerasan suami terhadap istri atau KDRT. Pemahaman ini berangkat dari realitas bahwa sebagian besar dari mereka merupakan korban dari kejahatan rumah tangga yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan psikologis, juga termasuk menerima ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga. Penelitian ini menemukan bahwa bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban adalah kekerasan ganda dan pada umumnya korban tidak menyangka kalau suami korban akan tega melakukan kekerasan terhadapnya. Dampak kekerasan yang dialami oleh korban adalah menimbulkan trauma fisik dan psikologis yang berlangsung lama (jangka panjang), menimbulkan kerugian moril dan materil, bahkan ada korban yang mengalami depresi berat sehingga membutuhkan pendampingan psikiater dan sampai sekarang kondisi jiwanya labil. Kendala yang dihadapi lembaga dalam proses penanganan kasus korban tindak kekerasan dalam rumah tangga terkait dengan keterbatasan dana dan tidak dimilikinya pengacara untuk menangani kasus ligitasi; tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur anti-KDRT, sikap pelaku dan
56
keluarga korban pada umumnya tak peduli terhadap program yang diselenggarakan Lembaga Karyanamitra, dan sikap korban sendiri yang cenderung mengalah, pasrah dan ketidaktahuan dalam mencari akses bantuan. Berdasarkan temuan penelitian ini, maka disarankan kepada lembaga kalyanamitra untuk : menggali dana dari finding lain (fundraising), membentuk network yang solid dengan skateholder dan pihak terkait di tingkat lokal, nasional, maupun internasional sehingga basis social Lembaga Kalyanamitra kuat dan issue KDRT diangkat sebagai issue politis, perlu dipersiapkan petugas khusu yang menangani data pendukung (cave record), merekrut atau mendidik pendamping yang berpendidikan ilmu pekerjaan sosial , tanggung jawab pendamping sesuai dengan jumlah korban dampingannya hingga proses penanganan selesai dan perlunya membuat kontrak penanganan antara korban dan lembaga. Diah Septita, dalam jurnal tesis Universitas Udayana Denpasar (2010) menjelaskan tentang penelitianya yang berjudul Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan terhadap perempuan terutama dalam kasus KDRT masih belum sepenuhnya menjamin walaupun sudah diberlakukanya UUPKDRT. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan korban KDRT sebenarnya telah diaplikasikan ke dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur
57
secara spesifik tentang KDRT adalah UUPKDRT. Namun dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan perempuan belum cukup akomodatif atas kebutuhan perempuan sebagai korban. Adanya bias gender yang mempengaruhi pola pikir masyarakat termasuk lembaga legislative sebagai lembaga pembentuk undang-undang serta adanya ketidak singkronan atau bahkan mendukung ke arah legalisasi secara tidak langsung atas suatu tindak pidana. 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Berdasarkan teori diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan secara individu maupun kelompok organisasi dalam melaksanakan fungsi serta tanggung jawab yang dimilikinya dalam mencapai tujuan organisasi melalui standar yang telah ditetapkan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan organisasi. Berdasarkan teori di atas, maka peneliti menggunakan teori Dwiyanto (2002:48) menjelaskan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu: 1. Produktivitas, adalah rasio antara input dan output. Dalam penelitian ini, bagaimana produktivitas BPMPPKB dalam mengatasi permasalahan KDRT dengan menjalankan fungsinya sebagai pencegahan, perlindungan serta pelayanan bagi korban. 2. Kualitas Layanan, merupakan indikator yang relative tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja birokrasi yang mudah dan murah digunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi indikator untuk menilai kinerja birokrasi publik. Dalam penelitian ini bagaimana kualitas layanan yang diberikan oleh BPMPPKB pada para korban tindak KDRT. 3. Responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenal kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan
58
program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat. Dalam penelitian ini, bagaimana responsivitas BPMPPKB kepada para korban KDRT apakan telah memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuahan korban. 4. Responsibilitas, dalam penelitian ini apakah BPMPPKB telah respon dalam segala permasalahan KDRT yang kerap menimpa warga Kota Tangerang Selatan dan apakah kasus tersebut telah di tindak lanjuti sesuai ketentuan peraturan yang ada. 5. Akuntabilitas, asumsinya, para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya harus memprioritaskan kepentingan publik. Dalam penelitian ini melihat bagaimana akuntabilitas BPMPPKB pada masyarakat Kota Tangerang Selatan khususnya pada korban tindak KDRT dalam melaksanakan tugasnya.
59
Gambar 2.4 Kerangka Berfikir Identifikasi masalah : 1. Kurangnya sosialisasi pada masyarakat akan adanya payung hukum. 2. Kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh BPMPPKB sehingga terkesan lambat dalam menangani kasus KDRT. 3. Satuan Tugas (SATGAS) yang dibentuk oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum berjalan optimal. 4. Fasilitas yang belum memadai dalam penanganan kasus KDRT sehingga BPMPPKB belum dapat sepenuhnya menjamin keselamatan korban. (Sumber: Peneliti, 2014)
Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Indikator Kinerja menurut Dwiyanto (2002:48): 1. Produktivitas 2. Kualitas Layanan 3. Responsivitas 4. Responsibilitas 5. Akuntabilitas
Kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Berjalan Dengan Baik. Tingkat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan Menurun (Sumber: Peneliti, 2014)
60
2.4 Asumsi Dasar Berdasarkan hasil observasi awal, peneliti dapat mengemukakan asumsi dasar bahwa Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB)
Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi
Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
yang kerap menimpa
masyarakat kota Tangerang Selatan ini dilihat masih belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini karena masih terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaanya. Meskipun telah dibentuk beberapa program dalam mengatasi masalah KDRT ini seperti dibentuknya SATGAS tingkat RW di seluruh Kota Tangerang Selatan serta pelaksanaan penyuluhan akan adanya payung hukum dalam mengatasi masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Namun masih saja kasus KDRT
mengalami peningkatan. Berdasarkan asumsi awal yang dikemukakan peneliti di atas, menunjukan bahwa Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih kurang optimal.
61
BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian Metode penelitian mengenai Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menggunakan metode penelitian kualitatatif. Menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2006:5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sedangkan Moleong (2006:6) dalam bukunya mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Menurut Irawan dalam bukunya (2006:4) menjelaskan penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan suatu hal
62
seperti apa adanya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian deskriptif biasanya berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Data tersebut kemungkinan berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video, dokumen pribadi, catatan atau memo dan catatan pribadi lainya. 3.2 Fokus Penelitian Menurut Sugiyono (2012:141) menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, penentuan fokus berdasarkan hasil studi pendahuluan, pengalaman, referensi, dan disarankan oleh pembimbing atau orang yang di pandang ahli. Dalam penelitian mengenai Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan
Kekerasan
Dalam
Rumah
Tangga
(KDRT),
maka
peneliti
memfokuskan pada Produktivitas, Kualitas Layanan, Responsivitas, Responsibilita, dan Akuntabilitas pegawai dalam mengatasi permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Di Kota Tangerang Selatan. Fokus penelitian ini masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti di lapangan. 3.3 Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini berlokasi di Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan, Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
63
Kota Tangerang Selatan, Polres Metro Jakarta Selatan, Polres Tigaraksa, Dinas Kesehatan Serta Dinas Sosial. 3.4 Fenomena Yang Diamati 3.4.1
Definisi Konsep
Definisi konseptual digunaan untuk menegaskan konsep-konsep yang jelas, yang digunakan supaya tidak menjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca. Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kinerja Organisasi Kinerja Organisasi merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan secara individu maupun kelompok organisasi dalam melaksanakan fungsi serta tanggungjawab yang dimilikinya dalam mencapai tujuan organisasi melalui standar yang telah ditetapkan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan organisasi. 2. Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Segala upaya yang dilakukan oleh organisasi publik dalam mengatasi segala bentuk tindak kekerasan baik berupa kekerasan fisik, emosional dan seksual yang seringkali terjadi dalam lingkup kehidupan rumah tangga serta dapat membahayakan kaum perempuan dan anak yang kerap kali menjadi korban.
64
3.4.2
Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah kinerja organisasi dalam mengatasi permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Karena peneliti menggunakan metode penelitian kualitiatif, maka dalam penjelasan definisi operasional ini akan dikemukakan fenomena-fenomena penelitian yang dikaitkan dengan konsep yang digunakan yaitu lima indikator kinerja menurut Dwiyanto dalam buku Ismail Nawawi (2013:244-245) menjelaskan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu: 1. Produktivitas, mengamati fenomena bagaimana produktivitas BPMPPKB dalam mengatasi permasalahan KDRT dengan menjalankan fungsinya sebagai pencegahan, perlindungan serta pelayanan bagi korban. 2. Kualitas Layanan, mengamati fenomena kepuasan masyarakat untuk menilai kinerja birokrasi publik. Dalam penelitian ini bagaimana kualitas layanan yang diberikan oleh BPMPPKB pada para korban tindak KDRT. 3. Responsivitas, yaitu mengamati fenomena kemampuan birokrasi untuk mengenal kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program pelayanan publik
sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan aspirasi masyarakat. Dalam penelitian ini, bagaimana Responsivitas BPMPPKB kepada para korban KDRT apakan telah memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuahan korban. 4. Responsibilitas, dalam penelitian ini mengamati fenomena apakah BPMPPKB telah respon dalam segala permasalahan KDRT yang kerap menimpa warga
65
Kota Tangerang Selatan dan apakah kasus tersebut telah di tindak lanjuti sesuai peraturan yang ada. 5. Akuntabilitas, mengamati fenomena ini melihat bagaimana akuntabilitas BPMPPKB pada masyarakat Kota Tangerang Selatan khususnya pada korban tindak KDRT dalam melaksanakan tugasnya. 3.5 Instrumen Penelitian Instrument adalah alat untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen dalam penelitianya ialah peneliti itu sendiri. Karena dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen utama adalah peneliti itu sendiri. Dalam hal instrumen penelitian kaulitatif, Nasution dalam Sugiyono (2012:60) menyatakan: ”Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat difahami bahwa, dalam penelitian kualitatif pada awalnya dimana permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang menjadi instrument adalah peneliti itu sendiri. Namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrument penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan mebandingkan dengan data yang telah ditemukan melaluli observasi dan wawancara.
66
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan sumber primer dan sumber skunder. Sumber primer atau sumber skunder adalah data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sumber skunder dalam penelitian ini berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamatidari hasil wawancara dan observasi berperan serta (observation participant). Sedangkan data-data sekunder yang didapatkan berupa dokumen tertulis, gambar dan foto-foto. Adapun alat-alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data terdiri dari: panduan wawancara, alat perekam (tape recorder atau handphone), buku catatan, dan kamera digital. Terknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa teknik, yaitu: a. Studi Kepustakaan Istilah studi kepustakaan digunakan dalam ragam istilah oleh para ahli, diantaranya yang dikenal adalah: kajian pustaka, tinjauan pustaka, kajian teoritis, dan tinjauan teoritis. Penggunaan istilah-istilah tersebut, pada dasarnya merujuk pada upaya umum yang harus dilalui untuk mendapatkan teori-teori yang relevan dengan topik penelitian. Oleh karena itu studi kepustakaan meliputi proses umum seperti: mengidentifikasi teori secara sistematis, penemuan pustaka, analis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.
Dalam hal ini peneliti melakukan studi
kepustakaan melalui hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan, buku-
67
buku, maupun artikel atau yang memuat konsep atau teori yang dibutuhkan terkait dengan upaya mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) b. Observasi Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang secara umum dikenal dengan pengamatan langsung dilapangan. Namun menurut Moleong (2006:176) mengklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperanserta dan yang tidak berperanserta. Pada pengamatan tanpa peranserta pengamat hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan. Pengamat berperanserta melakukan dua peranan sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamatinya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi tak berperan serta yaitu hanya melakukan pengamatan tanpa ikut berperan serta dalam anggota resmi dalam membantu menangani kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) c. Wawancara Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara
yang
mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara
yang
memberikan jawaban atas prtanyaan. Menurut Lincolin dan Guba dalam Moleong (2006:186) menyatakan bahwa: “Maksud mengadakan wawancara antara lian mengkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain; merekontruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang, mengubah, dan memperluas, informasi yang diperoleh dari orang lain (triangulasi), dan memverifikasi, mengubah dan memperluas
68
konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.” Jadi wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif karena apabila peneliti menemukan permasalahan yang harus diteliti dan peneliti berkeinginan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan informan lebih mendalam. Wawancara
mendalam
adalah
teknik
pengolahan
data
yang
pengumpulan data didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan tertentu untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya. Wawancara dilakukan dengan cara mendapat berbagai informasi manyangkut masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan pada informan yang dianggap menguasai penelitian. Adapun teknik wawancara yang peneliti gunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
wawancara
tersruktur
yang
pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang akan diajukan oleh peneliti. Wawancara dilakukan dengan cara mempersiapkan terlebih dahulu berbagai keperluan yang dibutuhkan yaitu sampel informan, kriteria informaan, dan pedoman wawancara yang di susun dengan rapih dan terlebih dahulu dipahami oleh peneliti sebagai berikut di bawah ini.
69
Tabel 3.1 Daftar Pedoman Wawancara Dimensi 1. Produktivitas a. Input 1. Sumberdaya manusia b. Output 1. Pengerjaan Efektif
Pertanyaan 1, Input a. Apakah sumberdaya manusia yang dimiliki telah dirasa memadai?
2. output a. Berapa kasus KDRT yang ditangani hingga tuntas dalam setahun? b. Apakah waktu dalam penyelesaian dirasa efisien? 2. Kualitas Layanan a. Kemudahan Mendapatkan Pelayanan b. kenyamanan dalam pelayanan
1. Apakah BPMPPKM sebagai penyediaan layanan cukup dikenal oleh masyarakat, upaya apa yang dilakukan? 2. Apakah sarana serta prasarana telah memadai?
3. Responsivitas a. Pengembangan program b. Menyusun agenda kegiatan
1. Adakah program yang di bentuk dan ditempuh untuk mencegah KDRT di masyarakat dan berjalan hingga saat ini?
Informan
Kabid Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB, Kasubid BPMPPKB, sekretaris P2TP2A, Kanit PPA Kab. Tangerang, Kanit PPA Jaksel, Kabid Dinas Kesehatan, Kabid Dinas Sosial, LBH, Korban. Kasubid BPMPPKB, sekretaris P2TP2A, Kanit PPA Kab. Tangerang, Kanit PPA Jaksel, LBH Kasubid BPMPPKB, sekretaris P2TP2A, Kanit PPA Kab. Tangerang, Kanit PPA Jaksel, LBH, Korban. Kasubid BPMPPKB, sekretaris P2TP2A, Kanit PPA Kab. Tangerang, Kanit PPA Jaksel, Korban, Masyarakat Tangsel, Satgas. Kabid Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB, Kasubid BPMPPKB, sekretaris P2TP2A, LBH, Korban Kabid Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB, Kasubid BPMPPKB, Sekretaris P2TP2A, Kanit PPA Kab. Tangerang, Kanit
70
2. Bagaimana agenda sosislisasi payung hukum yang ditempuh untuk mencegah KDRT di masyarakat? 4. Responsibilitas a. Komitmen Koordinasi dengan kepolisian, P2TP2A, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan b. Prosedur kegiatan
5. Akuntabilitas Tanggung jawab dalam kegitan a. Controlling b. Sanksi
(Sumber : Peneliti, 2014)
PPA Jaksel, Satgas, Masyarakat Tangsel. Kabid Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB, Kasubid BPMPPKB, Sekretaris P2TP2A, Kanit PPA Kab. Tangerang, Kanit PPA Jaksel, Satgas, Masyarakat Tangsel.
1. Apakah BPMPPKB telah menjalankan tupoksinya sebagai koordinator dalam komunikasi yang terjalin antar instasi terkait?
Kabid Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB, Kasubid BPMPPKB, Sekretaris P2TP2A, Kanit PPA Kab. Tangerang, Kanit PPA Jaksel, Kabid Dinas Kesehatan, Kabid Dinas Sosial, LSM, Satgas.
2. Apakah pelayanan yang diberikah telah sesuai prosedur?
Kabid Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB, Kasubid BPMPPKB, Sekretaris P2TP2A, Korban.
1. Apakah BPMPPKB ikut mengontrol dalam penyelesaian kasus hingga tuntas?
Kabid Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB, Kasubid BPMPPKB, Sekretaris P2TP2A, Kanit PPA Kab. Tangerang, Kanit PPA Jaksel, Kabid Dinas Kesehatan, Kabid Dinas Sosial, LBH, Korban, Satgas. Kabid Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB, Kasubid BPMPPKB
2. Adakah sanksi tegas yang diberikan pada anggota birokrasi publik?
71
a. Dokumentasi Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya mislanya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2009:240). 3.6 Informan Penelitian Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian. Dalam penentuan informan ini peneliti menggunkan teknik purposive sampling (sample bertujuan). Jadi penelitian ini, penentuan informan dibagi menjadi dua yaitu key informan dan secondary informan. Key informan sebagai informan utama yang lebih mengetahui situasi fokus penelitian, sedangkan secondary informan sebagai informan penunjang dalam memberikan penambahan informasi. Berikut ini merupakan informan dalam penelitian Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan.
72
Tabel 3.2 Informan Penelitian No 1.
Kategori Informan Instansi a. Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan b. Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan c. Sekretaris P2TP2A Kota Tangerang Selatan d. Kepala Unit PPA Polres Jakarta Selatan e. Kepala Unit PPA Polres Kab. Tangerang f. Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan g. Kepala Bidang Pelayanan Dan Rehabilitasi Dinas Sosial Kota Tangerang Selatan
2.
Lembaga Swadaya Masyarakat a. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
3.
Masyarakat a. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) b. Masyarakat Kota Tangerang Selatan c. Satuan Tugas
(Sumber: peneliti, 2014)
Kode Informan
Keterangan
I1-1
Key Informan
I1-2
Key Informan
I1-3
Key Informan
I1-4
Key Informan
I1-5
Key Informan
I1-6
Key Informan
I1-7
Key Informan
I2-1
Key Informan
I3-1
Key Informan
I3-2 I3-3
Secondary Informan Secondary Informan
73
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengikuti teknik analisis data kualitatif mengikuti konsep yang dikemukakan Irawan dalam bukunya Metodelogi Penelitian Administrasi (2005:27) yang terdiri dari langkah-langkah yang sistematis dimulai dari pengumpulan data mentah, transkip data, pembuatan koding, kategorisasi data, penyimpulan sementara, triangulasi dan yang terakhir yaitu penyimpulan akhir. Jadi, dalam analisis data pada penelitian kualitatif bersifat induktif (grounded) dapat
diartikan
bahwa
kesimpulannya
penelitian
adalah
dengan
cara
mangabstaraksikan data-data empiris yang dikumpulkan dari lapangan dan mencari pola-pola yang terdapat di dalam data-data tersebut. Karena itu analisis data dalam penelitian kualitatif tidak perlu menunggu sampai seluruh proses pengumpulan data selesai dilaksanakan. Analisis itu dilaksanakan secara paralel pada saat pengumpulan data dan dianggap selesai manakala peneliti merasa telah memiliki data sampai tingkat “titik jenuh” atau reliable (data yang didapat telah seragam dan telah menemukan pola aturan yang peneliti cari). Menurut Bogdan dan Biklen analisis data kualitatif adalah (Moleong, 2006: 248) : “Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang paling dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.” Dari penjelasan di atas maka proses analisis data terkait erat dengan pengumpulan dan interpretasi data. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan selama
74
proses penelitian berlangsung yaitu sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Prasetya Irawan, yaitu sebagai berikut. Gambar 3.1 Proses Analisis Data
Pengumpulan Data Mentah
Penyimpulan Akhir
Transkrip Data
Triangulasi
Pembuatan Koding
Kategorisasi Data
Penyimpulan Sementara
(Sumber: Irawan, Prasetya. 2006:5) Dari gambar di atas maka dapat diuraikan kegiatan dalam proses analisis data yaitu : 1. Pengumpulan Data Mentah Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data mentah melalui wawancara, observasi lapangan, kajian pustaka dengan menggunakan alat-alat yang dibutuhkan, seperti kamera dan tape recorder.
Dalam tahap ini peneliti
hanya mencatat data yang apa adanya (verbatim) tanpa mencampurkannya dengan pikiran, komentar, dan sikap peneliti itu sendiri.
75
2. Transkrip Data Pada tahap ini peneliti merubah catatan data mentah ke bentuk tertulis. Yang ditulis oleh peneliti pun harus apa adanya tanpa mencampur adukkannya dengan pikiran peneliti. 3. Pembuatan Koding Di tahap ini peneliti membaca ulang seluruh data yang telah ditranskrip. Hal-hal penting di dalam transkrip dicatat dan diambil kata kuncinya. Kemudian kata kunci ini nanti diberi kode. 4. Kategorisasi Data Dalam tahap ini peneliti mulai menyederhanakan data dengan cara mengikat konsep-konsep (kata-kata) kunci dalam satu besaran yang dinamakan “kategori”. 5. Penyimpulan Sementara Di tahap ini peneliti dapat mengambil kesimpulan yang sifatnya sementara. Kesimpulan ini harus berdasarkan data. Janga dicampur aduk dengan pikiran dan penafsiran peneliti. 6. Triangulasi Menurut Prasetya Irawan (2006:79), teriangulasi adalah proses check dan recheck antara satu sumber data dengan sumber data lainya. Triangulasi dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
76
a. Triangulasi teknik, dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama dengan teknik
yang berbeda. Bisa dilakukan dengan teknik
wawancara,observasi, dan dokumentasi b. Triangulasi sumber, dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama melalui sumber yang berbeda. c. Triangulasi waktu, dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama tetapi pada berbagai kesempatan misalnya, pada waktu pagi, siang, atau sore hari. Dengan triangulasi data tersebut, maka dapat diketahui apakah informan/narasumber memberikan data yang sama atau tidak. Jika informan/narasumber memberikan data yang berbeda maka datanya belum valid. Namun dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dan teknik. 7. Penyimpulan Akhir Kesimpulan akhir dapat diambil ketika peneliti telah merasa bahwa data peneliti sudah jenuh dan setiap penambahan data baru hanya berarti ketumpang tindihan (redundant).
77
3.8 Jadwal Penelitian Penelitian
ini
dilakukan
Pada
Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan. Berikut ini adalah pedoman jadual penelitian yang dilakukan peneliti dari awal penelitian hingga akhir selesainya penelitian. Tabel 3.3 Jadwal Penelitian No
Kegiatan
Bulan Nov 2013
1
Observasi Awal
2
Penyusunan Proposal
3
Bimbingan
4
Seminar proposal skripsi Penelitian di Lapangan Pengolahan data Penyusunan laporan hasil penelitian Sidang Skripsi Revisi laporan skripsi
5 6 7 8 9
Des 2013
(Sumber ; Peneliti, 2014)
Jan 2014
Feb 2014
Mar 2014
Apr 2014
Mei 2014
Jun 2014
Jul 2014
Agu 2014
Sep 2014
Okt 2014
78
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian Deskripsi objek penelitian ini akan menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian yang diteliti dan memberikan gambaran umum Kota Tangerang Selatan dan gambaran umum Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan. Hal tersebut dipaparkan di bawah ini. 4.1.1 Deskripsi Wilayah Kota Tangerang Selatan Wilayah Provinsi Banten terbagi menjadi empat wilayah kota dan empat kabupaten, yakni Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang, Kota Tangerang serta Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom tersebut, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan serta dapat memberikan kemanfaatan dalam pemanfaatan potensi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
79
Kota Tangerang Selatan secara geografis terletak di antara 106°38′ 6°47’ Bujur Timur (BT) dan 06°13’30’’ sampai 06°22’30” Lintang Selatan (LS). Kota Tangerang Selatan memiliki luas wilayah 147,19 km2 atau 14.719 Ha. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang relatif datar, beberapa kecamatan memiliki lahan yang bergelombang seperti perbatasan antara Kecamatan Setu dan Kecamatan Pamulang serta sebagian Kecamatan Ciputat Timur. Temperatur udara Kota Tangerang Selatan berada disekitar 23.4°C – 34,2°C. sedangkan untuk batas wilayah Kota Tangerang Selatan ialah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Jakarta dan Kota Depok. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan memiliki 7 (tujuh) kecamatan yaitu Kecamatan Ciputat, kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Pondok Aren, Kecamatan Serpong, Kecamatan Serpong Utara, dan Kecamatan Setu. Ketujuh kecamatan tersebut terbagi dalam 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa. Luas wilayah masing-masing kecamatan dan nama kelurahannya disajikan dalam tabel berikut.
80
Tabel 4.1 Daftar Kelurahan di Kota Tangerang Selatan Kecamatan
Kelurahan
Serpong
Buaran, Ciater, Rawa Mekar Jaya, Rawa Buntu, Serpong, Cilenggang, Lengkong Gudang Timur, dan Lengkong Wetan. Lengkong Karya, Jelupang, Pondok Jaggung, Pondok Jaggung Timur, Pakulonan, Paku Alam, dan Paku Jaya Cisarua, Jombang, Sawah Baru, Sarua Indah, Sawah, Ciputat, dan Cipayung Pisangan, Cireundeu, Cempaka Putih, Pondok Ranji, Rengas, dan Rempoa. Pondok Benda, Pamulang Barat, Pamulang Timur, Pondok Cabe Udik, Pondok Cabe Ilir, Kedaung, Bambu Apus, dan Benda Baru. Perigi Baru, Pondok Kacang Barat, Pondok Kacang Timur, Perigi Lama, Pondok Pucung, Pondok Jaya, Pondok Aren, Jurang Mangu Barat, Jurang Mangu Timur, Pondok Karya, dan Pondok Betuk Kranggan, Muncul, Setu, Babakan, Bakti Jaya, Kademangan
Serpong Utara Ciputat Ciputat Timur Pamulang Pondok Aren
Setu
Luas wilayah (Ha) 2.904 17.84 1.838 1.543 2.682 2.988
1.480
(Sumber: BPS Kota Tangerang Selatan, 2014)
4.1.2 Gambaran
Umum
Pemberdayaan
Badan
Perempuan
Pemberdayaan dan
Keluarga
Masyarakat Berencana
(BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
Pemberdayaan
Perempuan
Dan
Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan merupakan unsur pelaksana otonomi daerah di bidang Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan dan pelaksana program Keluarga Berencana. Dasar hukum Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan adalah Peraturan Daerah Kota Tangerang
81
Selatan Nomor 6 Tahun 2010 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kota Tangerang Selatan. Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan berlokasi di Jalan Raya Serpong KM.12 Komplek BLKI Villa Serpong BSD City Kota Tangerang Selatan. Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan memiliki visi yaitu: “Terwujudnya Masyarakat Kota Tangerang Selatan yang Mandiri, Responsif Gender dan Tumbuh Seimbang” Sedangkan untuk mewujudkan visi tersebut diatas, Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan menetapkan lima misi Pembangunan masyarakat yang meliputi: 1. Mewujudkan kemandirian dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan 2. Mengembangkan sumber daya ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan dan pendayagunaan TTG berwawasan lingkungan 3. Meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui kesetaraan dan keadilan gender 4. Mewujudkan kota layak anak 5. Mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan keluarga kecil bahagia dan sejahtera Badan
Pemberdayaan
Masyarakat
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: 1. Perencanaan dan perumusan bahan kebijakan program kerja Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuaan dan Keluarga Berencana 2. Pelaksanaan persiapan fasilitasi program kerja Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuaan dan Keluarga Berencana
82
3. Pelaksanaan kegiatan bidang Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuaan dan Keluarga Berencana 4. Pembinaan pelaksanaan pengelolaan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuaan dan Keluarga Berencana 5. Pengembangan sitem informasi Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuaan dan Keluarga Berencana 6. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan program Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuaan dan Keluarga Berencana 7. Pelaksanaan koordinasi dengan instansi/lembaga lainnya terkait dengan kegiatan bidang Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuaan dan Keluarga Berencana 8. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuaan dan Keluarga Berencana Susunan organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan, sebagai berikut: 1. Kepala Badan 2. Sekretariat, terdiri dari: a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian b. Sub Bagian Keuangan c. Sub Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan 3. Bidang Pemberdayaan Perempuan a. Sub Bidang Pengurusutamaan Gender dan Kualitas Hidup Perempuan b. Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak 4. Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat a. Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat b. Sub Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
83
5. Kepala Bidang Keluarga Berencana a. Kasubid Pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi b. Kasubid Informasi Analisa Program dan Ketahanan Keluarga
KEPALA SEKRETARIAT
SUB BAGIAN UMUM DAN
SUB BAGIAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
SUB BAGIAN
SUB BAGIAN
KEUANGAN
PROGRAM EVALUASI
SUB BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
SUB BIDANG KELUARGA
SUB BIDANG PENGUATAN KELEMBAGAAN DAN PARTISIPAIS MASYARAKAT
SUB BIDANG PENGURUSTAMAAN GENDER DAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN
SUB BIDANG PELAYANAN KB DAN KESEHATAN REPRODUKSI
SUB BIDANG PEMBERDAYAAN EKONOMI KERAKYATAN
SUB BIDANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
SUB BIDANG INFORMASI ANALISA PROGRAM DAN KETAHANAN KELUARGA
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Tangerang Selatan (Sumber: BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Tugas pokok menurut struktur jabatan dalam susunan organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut: 1. Tugas pokok dan Fungsi Sekretariat adalah : a. Perencanaan dan pengelolaan bahan perumusan kebijakan yang berkaitan dengan umum dan keuangan serta monitoring dan evaluasi; b. Pelaksanaan pemberian fasilitas dan dukungan pelayanan teknis administrasi di lingkungan Badan; c. Pelaksanaan penyusunan program kegiatan bidang, umum keuangan serta monitoring dan evaluasi badan;
84
d. e. f. g. h. i. j.
Pelaksanaan pengelolaan tata naskah Badan, surat menyurat, kearsipan, perlengkapan, rumah tangga dan pemelihaan sarana dan prasarana Badan; Pelaksanaan tertib administrasi pengelolaan inventarisasi barang, pemeliharaan sarana dan prasarana, perlengkapan dan aset Badan; Pelaksanaan pengelolaan administrasi dan penatausahaan keuangan; Pelaksanaan dan pembinaan organisasi dan tatalaksana di lingkup Badan; Pelaksanaan koordinasi dengan instansi/lembaga lainnya terkait kegiatan badan; Pelaksanaan monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan Badan; Pelaksanaan tugas lain yang diberikan atasan sesuai bidang tugasnya;
1.1 Tugas dan Fungsi sub Bagian Umum dan Kepegawaian adalah: a. Perencanaan persiapan bahan pelaksanaan kegiatan tata usaha, aset, perlengkapan dilingkungan Badan ; b. Pelaksanaan pengelolaan kegiatan surat menyurat yang meliputi pengetikan, penggandaan, pengiriman dan pengarsipan; c. Pelaksanaan pengurusan administrasi perjalanan Badan ; d. Pelaksanaan inventarisasi, penyediaan, pendistribusian dan pemeliharaan barang-barang inventaris kantor; e. Pelaksanaan konsultasi, penyiapan bahan pedoman dan analisis formasi terkait sub bagian umum dan kepegawaian; f. Pelaksanan tugas lain yang diberikan atasan sesuai dengan bidang tugasnya. 1.2 Tugas dan Fungsi sub Bagian Keuangan adalah: a. Perencanaan kegiatan pengelolaan administrasi keuangan meliputi penyusunan anggaran, pencairan, pembukuan dan pelaporan pertanggungjawaban anggaran; b. Pelaksanaan pengelolaan administrasi keuangan meliputi penyusunan, anggaran, pencairan, pembukuan dan pelaporan pertanggungjawaban anggaran; c. Pelaksanaan usulan perbaikan dan perubahan anggaran kegiatan Badan ; d. Pelaksanaan penyusunan laporan neraca keuangan; e. Pelaksanaan koordinasi dengan instansi/lembaga lain terkait dengan kegiatan sub bagian keuangan; f. Pelaksanaan moniotoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan sub bagian keuangan; g. Pelaksanaan pembukuan, perhitungan anggaran dan verifikasi serta pengurusan keuangan Badan. 1.3 Tugas dan Fungsi sub Bagian Program, Monitoring dan Evaluasi adalah: a. Perencanaan kegiatan pengumpulan data bahan perumusan kebijakan Badan; b. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, penganalisisan data Badan ;
85
c. Pelaksanaan penyusunan pedoman dan program kerja Badan ; d. Pelaksanaan penyusunan dokumen perencanaan Badan e. Pelaksanaan konsultasi dengan instansi/lembaga lainnya terkait Program, monitoring dan evaluasi Badan; f. Pelaksanaan program, monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan Badan ; g. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan atasan sesuai dengan bidang tugasnya. 2. Tugas pokok dan Fungsi Bidang Pemberdayaan Masyarakat adalah: a. Menyusunan rencana program bidang pemberdayaan masyarakat; b. Merencanaan kegiatan pengumpulan data bahan perumusan kebijakan sub bidang Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat, sub bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; c. Melaksanakan pengumpulan data bahan perumusan kebijakan Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat serta Sub Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; d. Melaksanakan Kegiatan terkait Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat serta Sub Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; e. Melaksanakan monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat serta Sub Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; f. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan atasan sesuai bidang tugasnya. 2.1 Tugas dan Fungsi sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat adalah: a. Membuat usulan rencana kerja, kinerja dan anggaran tahunan Sub Bidang Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat; b. Merencanakan kegiatan pengumpulan data desa dan kelurahan, lembaga kemasyarakatan, lembaga adat, potensi-potensi desa/kelurahan, partisipasi masyarakat dan kearifan lokal; c. Melaksanakan pengumpulan, pengolahan, penganalisaan data desa/kelurahan, partisipasi masyarakat dan kearifan lokal; d. Melaksanakan kegiatan pengembangan dan pemberdayaan lembaga kemasyarakatan, lembaga adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat, potensi-potensi desa/kelurahan, partisipasi masyarakat dan kearifan lokal; e. Melaksanaan kegiatan pelatihan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat; f. Melaksanakan kebijakan standarisasi penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi dan berbasis masyarakat; g. Melaksanakan kegiatan terkait Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat; h. Pembinaan fasilitasi pengolahan data profil desa dan kelurahan;
86
i. Pelaksanaan penyusunan data bahan profil desa dan kelurahan; j. Fasilitasi program kegiatan pemberdayaan masyarakat dari pemerintah pusat dan provinsi; k. Pelaksanaan Monitoring dan evaluasi kegiatan penguatan kelembagaan, peningkatan peran serta masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaaan/perkotaan; l. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi serta pelaporan Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat; m. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan atasan sesuai bidang tugasnya. 2.2 Tugas dan Fungsi sub Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat adalah: a. Penyusunan usulan rencana kerja, kinerja dan anggaran tahunan Sub Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; b. Merencanakan kegiatan pengumpulan data ekonomi penduduk miskin, usaha ekonomi keluarga serta produksi pemasaran hasil usaha masyarakat sebagai bahan perumusan kebijakan Sub Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; c. Melaksanakan pengumpulan, pengolahan, penganalisaan data ekonomi penduduk miskin, usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat, lembaga keuangan mikro serta produksi pemasaran usaha masyarakat; d. Melaksanakan kegiatan pengembangan dan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin, usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat, lembaga keuangan mikro serta produksi pemasaran hasil usaha masyarakat; e. Penyusunan pedoman petunjuk teknis pengawasan Badan Usaha Milik Desa dan Pasar Desa; f. Melaksanakan kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat melalui identifikasi, pengkajian, penerapan, pemanfaatan dan pendayagunaan teknologi tepat guna; g. Memfasilitasi pelaksanaan gelar teknologi tepat guna; h. Pelaksanaan pengevaluasian data penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi masyarakat; i. Melaksanakan monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan Sub Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; j. Melakukan kerja sama dan koordinasi dengan instansi/lembaga terkait; k. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan atasan sesuai dengan bidang tugasnya. 3. Tugas pokok dan Fungsi Bidang Pemberdayaan Perempuan adalah: a. Menyusun rencana kerja sub bidang; b. Menyiapkan bahan perumusan kebijakan pengarusutamaan gender dan kualitas hidup perempuan serta perlindungan perempuan dan anak; c. Menyiapkan bahan pengolahan data dan informasi gender dan kualitas hidup perempuan; d. Menyiapkan bahan kebijakan perlindungan perempuan dan anak;
87
e. Mengelola data dan informasi mengenai pengarusutamaan gender kualitas hidup perempuan serta perlindungan perempuan dan anak; f. Melaksanakan koordinasi, intergrasi, sinkronisasi dan simplifikasi dalam pelaksanaan tugas; g. Melaksanakan pembuatan laporan tugas dan fungsinya; h. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Badan sesuai bidang tugasnya. 3.1 Tugas dan Fungsi sub Bidang Pengarusutamaan Gender dan Kualitas Hidup Perempuan adalah: a. Menyusun rencana kerja sub bidang; b. Melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan pengarusutamaan gender dan kualitas hidup perempuan; c. Melaksanakan koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan kebijakan Pengarustamaan Gender (PUG) dan kualitas hidup perempuan; d. Melaksanakan koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender dan kualitas hidup perempuan; e. Melaksanakan Fasilitasi pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) meliputi; analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, dan pengembangan materi Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) skala kota; f. Melaksanakan koordinasi pelaksanaan dan fasilitasi sistem informasi gender; g. Melaksanakan fasilitasi penyediaan dan kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan skala kota; h. Melakukan pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah, menurut jenis kelamin khusus perempuan; i. Melaksanakan fasilitasi pelaksanaan pedoman dan pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro keluarga; j. Mengevaluasi dan menyusun laporan pelaksanaan kegiatan tahunan sub bidang; 1. Melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan sesuai dengan tugas dan fungsi. 3.2 Tugas dan Fungsi sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak adalah: a. Menyiapkan bahan rencana kerja tahunan sub bidang; b. Menyiapkan bahan perumusan kebijakan perlindungan perempuan dan anak; c. Memfasilitasi pengintegrasian kebijakan perlindungan perempuan dan anak terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat serta perempuan didaerah yang terkena bencana skala kota;
88
d. Melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan dan anak; e. Mengembangkan sarana perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan; f. Mengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala kota; g. Mengevaluasi dan menyusun laporan pelaksanaan kegiatan tahunan sub bidang; h. Melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan sesuai dengan tugas dan fungsi. 4. Tugas pokok dan Fungsi Bidang Keluarga Berencana adalah: a. b. c. d. e. f.
Menyusun rencana kerja sub bidang; Menyiapkan bahan perumusan kebijakan Keluarga Berencana; Menyiapkan bahan pengolahan data Keluarga Berencana; Menyiapkan bahan kebijakan keluarga berencana; Mengelola data dan informasi mengenai keluarga berencana; Melaksanakan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan simplifikasi dalam pelaksanaan tugas; g. Melaksanakan Monitoring & Evaluasi Keluarga Berencana; h. Melaksanakan pembuatan laporan tugas dan fungsinya; i. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Badan. 4.1 Tugas dan Fungsi sub Bidang Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi adalah: a. Menyiapkan bahan rencana kerja tahunan sub bidang; b. Menyiapkan bahan perumusan kebijakan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi; c. Melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi; d. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan data bidang pelayanan KB dan kesehatan reproduksi; e. Pelaksanaan koordinasi dengan instansi/lembaga lainnya terkait bidang pelayanan KB dan kesehatan reproduksi; f. Pelaksanaan kegiatan terkait bidang pelayanan KB dan kesehatan reproduksi; g. Melaksanakan Kegiatan Revitalisasi Program Nasional Keluarga Berencana; h. Pelaksanaan penyusunan jaminan dan pelayanan KB, kesehatan reproduksi remaja dan perlindungan hak-hak reproduksi dan peningkatan partisipasi pria dalam program KB; i. Mengevaluasi dan menyusun laporan pelaksanaan kegiatan tahunan sub bidang; j. Melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan sesuai dengan tugas dan fungsi.
89
4.2 Tugas dan Fungsi sub Bidang Informasi, Analisa program dan Ketahanan Keluarga adalah: a. Menyiapkan bahan rencana kerja tahunan sub bidang; b. Menyiapkan bahan perumusan analisa program kebijakan dan ketahanan keluarga; c. Memfasilitasi pengintegrasian kebijakan analisa program dan ketahanan keluarga; d. Melakukan koordinasi dengan instansi/lembaga lainnya terkait pelaksanaan informasi data ketahanan keluarga dan analisa program; e. Mengevaluasi dan menyusun laporan pelaksanaan kegiatan bulanan sub bidang; f. Melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan sesuai dengan tugas dan fungsi. Dalam penelitian ini peneliti mengambil fokus penelitian yaitu Pada Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terutama pada kinerja Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tengerang Selatan. 4.2 Deskripsi Data 4.2.1 Deskripsi Data Penelitian Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan mengenai data yang telah didapatkan dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti selama proses penelitian berlangsung. Dalam penelitian mengenai Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Peneliti menggunakan teori Indikator Kinerja menurut Dwiyanto (2002:48):
90
1. 2. 3. 4. 5.
Produktivitas Kualitas Layanan Responsivitas Responsibilitas Akuntabilitas
Menginat bahwa jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, maka data yang dihasilkan dan diperoleh bersifat deskriptif berbentuk kata dan kalimat yang berasal baik dari hasil wawancara dengan informan penelitian, hasil observasi di lapangan, catatan lapangan penelitian atau hasil dokumentasi lainnya yang relevan dengan fokus penelitian ini. Proses pencarian dan pengumpulan data dilakukan peneliti secara investigasi dimana peneliti melakukan wawancara kepada sejumlah informan yang berkaitan dengan masalah penelitian sehingga informasi yang didapat sesuai dengan apa yang diharapkan. Informan yang adapun sudah ditentukan dari awal karena peneliti menggunakan teknik purposive. Data-data tersebut merupakan data-data yang berkaitan mengenai Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi lapangan, dan kajian pustaka kemudian dilakukan ke bentuk tertulis untuk mendapatkan polanya serta diberi kode-kode pada aspekaspek tertentu berdasarkan jawaban-jawaban yang sama dan berkaitan dengan pembahasan permasalahan penelitian serta dilakukan kategorisasi. Dalam menyusun jawaban penelitian penulis kode-kode, yaitu :
91
1. Kode Q untuk menunjukkan item pertanyaan, 2. Kode A untuk menunjukkan item jawaban, 3. Kode I1-1, menunjukan daftar informan dari Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, 4. Kode I1-2, menunjukan daftar informan dari Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan, 5. Kode I1-3, menunjukan daftar informan dari Sekretaris P2TP2A Kota Tangerang Selatan, 6. Kode I1-4, menunjukan daftar informan dari Kepala Sub Unit VI PPA Satuan Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan. 7. Kode I1-5, menunjukan daftar informan dari Kepala Unit PPA Polres Metro Kabupaten Tangerang. 8. Kode I1-6, menunjukan daftar informan dari Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 9. Kode I1-7, menunjukan daftar informan dari Kepala Seksi Bina Kelembagaan Sosial Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan, 10. Kode I2-1, menunjukan daftar informan dari Ketua Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Kota Tangerang Selatan, 11. Kode I3-1, menunjukan daftar informan dari Korban KDRT Yang Melapor ke BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, 12. Kode I3-2, menunjukan daftar informan dari Korban KDRT Yang Melapor ke Polres Metro Kabupaten Tangerang, 13. Kode I3-3, menunjukan daftar informan dari Korban KDRT Yang Melapor ke Polres Metro Kabupaten Tangerang, 14. Kode I3-4, menunjukan daftar informan dari Rt 013 Kelurahan Pondok Jagung Kecamatan Serpong Utara Kota Tangerang Selatan, 15. Kode I3-5, menunjukan daftar informan dari Rt 02 Kelurahan Kademangan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan, 16. Kode I3-6, menunjukan daftar informan dari Rt 01 Kelurahan Kademangan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan, 17. Kode I3-7, menunjukan daftar informan dari Rw 03 Kelurahan Kademangan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan, 18. Kode 13-8, menunjukan daftar informan dari Masyarakat Kota Tangerang Selatan. Setelah memberikan kode pada aspek tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian sehingga polanya ditemukan, maka dilakukan kategorisasi berdasarkan jawaban-jawaban yang ditemukan dari penelitian dilapangan dengan membaca dan menelaah jawaban-jawaban tersebut. Analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan beberapa kategori dengan beberapa
92
dimensi yang di anggap sesuai dengan permasalahan penelitian dan kerangka teori yang telah diuraikan sebelumnya. Dimensi-dimensi tersebut mengacu pada Indikator Kinerja menurut Dwiyanto (2002:48) dan juga melihat pada Peraturan Gubernur Banten Nomor 21 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak KOrban Kekerasan di Provinsi Banten sebagai acuan Standar Oprasional Pelayanan (SOP) dalam penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), serta pengacu pada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. 4.2.2 Daftar Informan Penelitian Pada penelitian mengenai Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan
Perempuan
Dan
Keluarga
Berencana
(BPMPPKB)
Kota
Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), peneliti menggunakan teknik purposive. Teknik purposive merupakan metode penetapan sampel dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan. Adapun informaninfoman yang peneliti tentukan, merupakan orang-orang yang menurut peneliti memiliki informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini, karena mereka (informan) dalam kesehariannya senantiasa berurusan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Informan dalam penelitian ini adalah semua pihak baik aparatur terkait dan pihak-pihak lain yang ikut terlibat. Aparatur terkait adalah pegawai-pegawai Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan. Untuk keabsahan data dan
93
untuk dapat menggali secara mendalam mengenai penelitian ini maka peneliti pun mengambil informan dari instansi terkait yang ikut kerlibat dalam kerja sama pada penanganan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) baik dari pihak Kepolisian, Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Seltan, Lembaga Bantuan Hukum, Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), satgas yang di bentuk oleh BPMPPKB, serta masyarakat Kota Tangerang Selatan. Adapun informan yang bersedia untuk diwawancari adalah: Tabel 4.2 Daftar Informan No
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Kode Informan
Nama Informan
Keterangan
I1-1
Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan
I1-2
Hj. Titi Suhartini, S.ST
Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan
I1-3
Dini Kurnia, S.Si
Sekretaris P2TP2A Kota Tangerang Selatan
I1-4
Mariana WO, SH.
Kasubnit VI. PPA Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan
I1-5
Wawan Purnama S.IP
Kepala Unit PPA Polres Metro Kabupaten Tangerang
I1-6
Suminah
Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
I1-7
H. M. Masyhud, SE.
Kasi Bina Kelembagaan Sosial Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan
I2-1
Abdul Hamim Jauzie
Ketua Pengurus LBH Keadilan
I3-1
Lh
Bintaro (Korban KDRT yang Melapor Pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan)
94
I3-2
Ma
I3-3
Mu
Korban KDRT yang Melapor Pada Pihak Kepolisian
I3-4
Karnata
Ketua Rt.013/Rw.05 Kel. Pondok Jagung Kec. Serpong Utara
I3-5
Bisri H
Ketua Rt 02 Kelurahan Kademangan Kec. Setu (Satgas)
I3-6
Sukari
Ketua Rt 01 Kel. Kademangan Kec. Setu (Satgas)
I3-7
Maludin
Ketua RW 03 Kel. Kademangan Kec. Setu (Satgas)
16
I3-8
Rina
Masyarakat Kota Tangerang Selatan
17
I3-9
Titin Sartini
Masyarakat Kota Tangerang Selatan
10 11 12 13 14 15
Korban KDRT yang Melapor Pada Pihak Kepolisian
(Sumber: Peneliti, 2014) 4.3 Deskripsi Hasil Penelitian Pembahasan dan analisis dalam penelitian ini merupakan data dan fakta yang peneliti dapatkan langsung dari lapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti gunakan. Untuk mengetahui bagaimana Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) maka peneliti menggunakan teori Indikator Kinerja menurut Dwiyanto (2002:48): 1. 2. 3. 4. 5.
Produktivitas Kualitas Layanan Responsivitas Responsibilitas Akuntabilitas
Adapun pembahasan yang dapat peneliti paparkan adalah sebagai berikut:
95
4.3.1 Produktivitas Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output, konsep tersebut kemuadian dikembangkan menjadi lebih luas dengan memasukan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting. Oleh karena itu, perlu melihat sumber daya masnuasia (SDM) serta anggaran untuk pembiayaan dalam pencegahan dan penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebagai input atau masukan dalam proses mengatasi permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagaimana dalam wawancara yang disampaikan oleh Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM selaku Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “Kita kalau untuk SDM kalo di bilang cukup tapi yaa tergantung kinerja kita, kalau kita bisa menggerakkan diri kita untuk bekerja baik rasanya yaa bisa saja cukup.” (Wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM, 15 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Hal ini ditambahkan oleh Hj. Titi Suhartini, S.ST, Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan: “Kalau untuk bagian investigasi di saya masih kurang tapi kalau P2TP2A lebih-lebih kurang lagi dari kita, belum memenuhi syarat lah tapi kita berusaha semaksimal mungkin mau jam 7 malam jam 9 malam sampai hari sabtu hari minggu tetap kita melayani. Tetapi ketika ikut terjun langsung dalam investigasi kalau terus menerus mah iya lah kualahan, untuk investigasi lebih-lebih kalau hari sabtu minggu kadang saya yaa kadang gantian pak Hairul, yaa pokoknya kualahan lah kalo kita saja karena kasusnya itu kan banyak sedangkan kita juga ga punya relawan.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.ST 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Berdasarkan wawancara di atas, dapat dilihat bahwa sumber daya yang dimiliki oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih dikatakan kurang
96
memadai, BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebagai pelaksana pengawasan dan pengendalian dalam penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga harus memiliki SDM yang cukup sehingga dapat secara aktif melakukan koordinasi pada instansi-instansi terkait yang ikut terlibat dalam penangana kekerasan dalam rumah tangga. Sumber Daya Manusia (SDM) pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan yang lebih di fokuskan lagi pada Sub Bagian Pemberdayaan Perempuan sebagai bidang yang bertugas menangani kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut: Tabel 4.3 Data Pegawai Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan No
Nama
Gol
Jabatan
1
Hj. Listya Windarti, S.Sos, MKM
IV/A
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan
2
Hj. Titi Suhartini, A.Md,Keb
III/D
Kasubid Perlindungan Perempuan dan Anak
3
Drg. Mercy Apriyanti
III/D
Kasubid PUG dan Kualitas Hidup Perempuan
4
Dwi Mulyana, A.Md
II/C
Sub Bagian Perlindungan Perempuan
5
Yayan Asmayanti, SKM
III/B
Sub Bagian Perempuan
6
Herlina, AMK
III/A
Sub Bagian PUG dan Kualitas Hidup Perempuan
7
Irma Amalia, Amd
TKS
Staff
8
Drs. Haerul Basyar
TKS
Staff
9
Wisnu Kusharyanto
TKS
Staff
10
Ferry Supriyadi, SE
TKS
Staff
11
Paestri, SP
TKS
Staff
12
Ratna
TKS
Staff
(Sumber: BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, 2014)
97
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah SDM BPMPPKB Kota Tangerang Selatan pada Bidang Perlindungan Perempuan hanya memiliki 6 yang bersatus sebagai PNS dan sisanya adalah sebagai Tenaga Kerja Sukarela (TKS) dimana para TKS ini belum memiliki keahlian dibidangnya, karena menurut Hasibuan (2011:54), dalam bukunya menjelaskan bahwa keahlian merupakan salah satu unsur penting dalam menentukan mampu atau tidaknya seseorang menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Lebih baik lagi jika penempatan, seleksi dan penarikan karyawan berdasarkan pada asas the right man in the right place and the right man in the right job sehingga para karyawan mampu untuk bekerja secara efisien dan efektif karena sesuai dengan kempuan dan keahliannya dan dengan di tunjang latar belakang pendidikan yang tepat, mengenai hal SDM juga disampaikan oleh Dini Kurnia, S.Si selaku staff Sekretariat P2TP2A Kota Tangerang Selatan: “Kalau untuk sumber daya manusia BPMPPKB belum memadai, sebetulnya begini secara kepengurusan sih sudah tapi secara penanganan investigasi keluar kadang BPMPPKB masih kekurangan orang, nah P2TP2A kan di bentuk dari BPMPPKB juga jadi kalau kerja yaa samasama jadi BPMPPKB tuh ngebantu kita, ada satu orang yang suka ngebantu saya itu Pak Hairul, tapi kalau untuk di P2TP2A saya hanya sendiri, kalau untuk pengurus yang lain jarang datang karena mereka kan sibuk dengan kegiatan masing-masing karena mereka orang-orang penting semua dan bekerja di instansi masing-masing, jadi jarang sekali mereka berkantor di P2TP2A karena mereka orang-orang ahli.” (Wawancara dengan Dini Kurnia, S,Si 16 September 2014, di P2TP2A Kota Tangerang Selatan) Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia yang dimiliki BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih sangat kurang untuk bagian investigasi dan hanya dibebakan pada satu orang saja, selain
98
itu juga berdasarkan struktur organisasi P2TP2A Kota Tangerang Selatan yaitu sebagai berikut: Gambar 4.1 Struktur Organisasi P2TP2A Kota Tangerang Selatan Ketua I Ketua II
: Herlina Mustikasari, Spd, MA. : Hj. Listya Windarti, MKM. (Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Ketua III : Dra. Haryati. Sekretris : Drg. Mercy Apriyanti ( Kepala Sub Bidang PUG dan Kualitas Hidup Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Bendahara : Hj. Titi Suhartini, A.Md, Keb. (Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak) I. Bidang Pelayanan Pemulihan II. Bidang Pengutan Organisasi III.Bidang Pendidikan dan Pengembangan IV.Sekretariat V. Relawan
(Sumber: P2TP2A Kota Tangerang Selatan, 2014) Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa Sumber Daya Manusia P2TP2A Kota Tangerang Selatan sebagian berasal dari pejabat fungsional BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, hal ini tentu saja mengakibatkan adanya rangkap jabatan sehingga para pejabat fungsional BPMPPKB Kota Tangerang Selatan memiliki beban kerja ganda, hal ini tentunya dapat menyebabkan proses penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga kurang efektif, karena sumber daya manusia BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih dibebani dengan pekerjaan lain, selain itu juga SDM BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih belum memadai pada petugas investigasi lapangan hal ini sangat berbeda jauh dengan BKBPP Kota Cilegon yang memiliki 33 relawan tetap yang bertugas melaksanakan investigasi.
99
Selain aspek input dalam mengukur produktivitas, perlu juga melihat aspek output atau hasil pelaksanaan karena kedua aspek tersebut saling berhubungan, dengan melihat aspek input seperti sumber daya manusia yang dimiliki dalam pelaksanaan penangan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maka kita perlu mengetahui berapa kasus yang ditangani oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan selain itu perlu juga untuk melihat efisiensi waktu pengerjaan dalam penganan kasus, berdasar kan hasil wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.ST, Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “Banyak sih yang ditangani, sekitar 80% tapi banyak juga kasus yang mundur. Kalau untuk waktu penyelesaian tergantung seperti kasus sekarang ini untuk visum saja sudah ada satu minggu.” (Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Hal ini juga ditambahkan oleh Dini Kurnia, S.Si selaku staff Sekretariat P2TP2A Kota Tangerang Selatan: “Wah kalo masalah waktu kita ga bisa ukur tuh mba, karena ada juga kasus yang bertahun-tahun belum selesai juga karena sulit sekali atur waktu dengan mereka, kita sih ingin nya 100% selesai, cuma kalau untuk penyelesaian kita lihat kliennya juga, jangan sampai kita kasih solusi tapi mereka pakai cara dia bukan kita yang ikut aturan mereka tapi mereka yang harus ikut aturan main kita karena ada prosedur yang terbaik buat klien, kadang susah di atur masalah waktunya, yaa itulah kendalanya tapi kasus selesai sekitar 70% sisanya memilih mundur dan tidak ada kejelasan.” (Wawancara dengan Dini Kurnia, S.Si 16 September 2014, di P2TP2A Kota Tangerang Selatan) Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa penangan kasus KDRT masih terkesan lambat, bahkan berdasarkan hasil wawancara di atas ada sebagain korban yang lebih memilih untuk mundur pada saat proses penanganan kasus mereka sedang berjalan, hal ini semakin diperkuat berdasarkan hasil
100
wawancara dengan Lh selaku korban KDRT yang melapor langsung pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “Pas pertama sehabis saya lapor itu kan saya di anjurkan apakah mau lapor ke kantor polisi atau mediasi saja, besoknya saya akhirnya memilih lapor ke polres Jakarta Selatan mba itu pun tidak di antar oleh BPMPPKB karena sibuk dengan pekerjaan mereka, saya hanya berkesempatan sekali bertemu psikolog setelah itu saya mundur mba ribet juga sih, terakhir komunikasi dengan BPMPPKB tuh waktu mau bertemu psikolog.”(Wawancara dengan Lh 18 September 2014, di kediamnya Bintaro) Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa sumber daya manusia dan anggaran samangat mempengaruhi hasil penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga, dengan keterbatasan sumber daya BPMPPKB Kota Tangerang Selatan mengakibatkan lambatnya penanganan korban yang pada akhirnya cukup banyak korban untuk lebih memilih mundur dalam selama proses penanganan
berlangsung,
selain
itu
tidak adanya
transparansi
masalah
pembiayaan, dan penanganan yang bebas dari biaya belum seluruhnya dapat drasakan oleh korban mengakibatkan para korban tidak mendapatkan haknya. 4.3.2 Kualitas Layanan Kemudahan akan mendapatkan pelayanan oleh para korban kekerasan dalam rumah tangga sangatlah penting untuk mengetahui kualitas layanan pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dalam penanganan kasus KDRT, dengan sejauh mana masyarakat mengetahui tugas serta fungsi BPMPPKB Kota Tangerang Selatan untuk memfasilitasi dalam penanganan KDRT sehingga masyarakat memiliki keberanian untuk melapor ketika KDRT terjadi, berdasarkan hasil wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM selaku Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan:
101
“Biasanya yang lapor itu masyarakat yang memiliki ekonomi menengah ke atas, karena kesadaran mereka akan adanya kehadiran BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dan adanya undang-undang lebih tinggi, di bandingkan dengan masyarakat ekonomi menengah kebawah.” (Wawancara dengan Dra. Sri Wahyuni Hartini, A.pt 22 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Hal ini ditambahkan oleh Hj. Titi Suhartini, S.ST, Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan: “Belum, sosialisasi kita terus yaa walaupun tidak terjadwal tapi kalau ibu-ibu kader mah tau tapi masyarakat bias jarang pada tahu, ibu-ibu yang aktif yang suka internet yang pinter pasti tau, kalau masyarakat awam belum, malah Rt atau Rw juga kadang belum tahu, jadi satgas belum berjalan optimal. (Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa kehadiran BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum seluruhnya dapat di rasakan oleh sebagian masyarakat, kurangnya sosialisasi secara merata mengakibatkan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum cukup dikenal oleh sebagian masyarakat, hal ini semakin di perkuat berdasarkan hasil wawancara dengan Mariana WD, SH selaku Kepala Sub Unit PPA Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan: “BPMPPKB belum dikenal oleh masyarakat biasanya masyarakat masih bertanya-tanya kalo mendengar BPMPPKB, padahal sangat penting karena di kita banyak sekali laporan yang berasal dari Tangerang Selatan yaitu, Ciputat dan Pamulang selain KDRT jenis kekerasan yang sering terjadi bukan hanya fisik yang tinggi tapi juga psikis sekitar 60:40 perbandinganya.” (Wawancara dengan Mariana WD, SH 25 Agustus 2014, di Polres Metro Jakarta Selatan) Berdasarkan wawancara di atas menjelaskan bahwa masih banyak korban melapor pada pihak kepolisian karena masyarakat masih bertanya-tanya akan keberadaan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebagai penyedia layanan dalam penaganan perempuan dan anak korban kekerasan. Hal ini juga didukung oleh
102
hasil wawancara dengan Ma selaku Korban KDRT yang melapor pada Polres Metro Kabupaten Tangerang: “Saya ga tau tuh sudah lama memang adanya? Awalnya saya lapor ke Polsek Serpong karena saya tidak tahu ada BPMPPKB dan fungsinya itu seperti apa.” (Wawancara dengan Ma , 10 September 2014, di kediamannya Jaltetreng, Serpong). Hal serupa juga di sampaikan oleh Mu selaku korban yang melapor pada pihak kepolisian polres metro Kabupaten Tangerang, beliau menuturkan : “saya juga baru tahu sekarang ini kalau ada instansi pemerintah Tangerang Selatan yang bisa bantu nanganin KDRT, pokoknya setelah kejadian saya di pukulin itu saya langsung lapor ke polsek Serpong terus saya di antar ke polres tigaraksa.”(Wawancara dengan Mu, 13 September 2014, di kediamannya Jaletreng, Serpong) Berdasarkan hasil wawancara di atas menunjukan bahwa masyarakat Kota Tangerang Selatan masih banyak yang belum mengetahui fungsi BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dan lebih memilih untuk langsung melapor pada pihak kepolisian setempat, dan yang sangat di sayangkan kenyataan yang terjadi Kota Tangerang Selatan belum memiliki Polres melainkan masih bergabung dengan Polres Jakarta Selatan dan Polres Kabupaten Tangerang dan lokasinya yang cukup jauh sehingga masyarakat sulit untuk menjangkaunya. Selain kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, kenyaman dalam pelayanan juga perlu untuk mengetahui sejauh mana kualitas layanan yang di berikan oleh BPMPPKB KotaTangerang Selatan yang fungsinya memfasilitasi kegiatan perlindungan korban kekerasan, dengan melihat sarana serta prasarana yang dimiliki kita dapat melihat kepuasan yang dirasakan oleh para pengguna jasa, fasilitas yang harus dimiliki sebetulnya telah tertuang dalam Standar Oprasional Prosedur Pelayanan Terhadap Perempuan dan Anak Korban
103
Kekerasan yang telah diataur dalam Peraturan Gubernur Banten Nomor 21 tahun 2009 tentang Mekanisme Pelayanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, seperti tersedianya ruang pelayanan yang aman dan nyaman , shalter serta kendaraan oprasional. Berdasarkan hasil wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.ST, Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan: “Maunya saya kan satu atap yaa, seperti di Jakarta Timur dalam satu gedung ada bagian hukumnya, ada paramedisnya, ada dokternya, psikolognya, ada juga shalter nya. Nah, karena Tangerang Selatan ini baru berdiri tapi memang belum memenuhi syaratlah sarana dan prasarananya, walaupun memang kita dapat dana uang hibah tapi sarana dan sumber daya manusianya kita belum siap satu atap, anggaran sih cukup tapi baru cukup untuk pendampingan aja, tapi kalau gedung kita masih ngontrak inginnya sih satu atap agar tidak perlu rujuk ke sana-sini, kadang-kadang psikolognya itu suka lagi ngajar LBH juga sama. Nah, untuk kendraan juga kan BPMPPKB belum mengadakan, harusnya memang ada, saya sih ingin sekali, justru itu sarana dan prasarananya belum mencukupi, saya ingin mengajukan kendaraan untuk klien entah mobil, ambulan, atau motor kalau naik angkutan umum kan lumayan biayanya. Sedangkan kalau di sini sering sekali banyak yang konsultasi walaupun tidak ada tempatnya yang khusus, tapi banyak saja yang konsultasi.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak Abdul Hamim Jauzie selaku Ketua Pengurus LBH Keadilan Kota Tangerang Selatan: “Ini hal yang menarik, sebetulnya ini sudah diatur yaa dalam Peraturan Gubernur Nomor 21 tahun 2009 Tentang Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Di Provinsi Banten, nah di peraturan tersebut tertulis harus adanya fasilitas shalter tapi BPMPPKB shalter sata tidak punya, kalo ada Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang hadir mau member penilaian tertentu BPMPPKB itu mengklaim bahwa mereka punya shalter, kantor mereka juga dijadikan sebagai shalter ada memang tempat tidur tapi saya pernah menangani kasus pernah ada satu orang yang saya tempatkan di shalter tapi ko sampai mau diusir kan lucu, karena kelamaan katanya sih. Yaa, lalu saya carikan orang yang mau manampung, waktu itu ada seorang dosen yang mau membantu menampung dia punya shalter walaupun tidak aktif tapi dia
104
bisa membantu, kan kasihan korban diusir saya sangat menyayangkan sekali padahal kondisi korban terancam suaminya TNI yang jaraknya itu tidak jauh dari P2TP2A.” (Wawancara dengan Abdul Mamim Jauzie, 27 Agustus 2014, di Pengadilan Negeri Kelas IA Kota Tangerang). Dari kedua pernyataan tersebut terlihat memang sebetulnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih jauh dari kata memadai dibandingkan dengan Kota Jakarta yang lebih dahulu menggunakan sistem satu atap, dimana seluruh fasilitas yang dibutuhkan oleh korban sudah tersedia langsung tanpa perlu merujuk ke tempat lain, sedangkan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan tidak memiliki ketiganya baik ruang pelayanan khusus, shalter, maupun kendaraan oprasional, hal ini ditambahkan oleh Lh selaku korban KDRT yang melapor langsung pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “Selama proses penanganan sih saya kurang merasakan, karena saya kemana-mana juga sendiri ga di antar jemput sama mereka selama proses berlangsung ga ada tuh yang namanya kendaraan oprasional, kalau untuk ruang pelayanan pengaduan di BPMPPKB saya rasa kurang privat yaa mba, jadi hanya seperti ruang untuk tamu-tamu biasa atau ruang tunggu jadi waktu saya mau cerita pun saya merasa malu karena itu seperti ruang terbuka yang siapa saya bisa mendengarkan ketika saya bercerita soal masalah saya gitu, dan kalau untuk shalter yaa mba saya tidak tahu karena sama sekali tidak di tawarkan untuk tinggal disana, selama proses berjalan saya tinggal di rumah orang tua saya karena kebetulan tidak September 2014, di kediamanya jauh.”(Wawancara dengan Lh 18 Bintaro) Berdasarkan keterangan di atas menujukan bahwa ketidak tersedianya sarana dan prasana pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan seperti tidak adanya ruang pelayanan khusus pada saat pelaporan dapat mengakibatkan kurangnya kenyamana korban saat melapor karena kerahasiaan korban tidak terjamin sepenuhnya, berdasarkan hasil observasi pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ruang pelayanan pelaporan yang mereka miliki seperti berikut ini:
105
Gambar 4.2 Ruang Pelayanan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan
Sedangkan untuk shalter sebetulnya sangat dibutuhkan sebagai tempat aman korban berlindung sementara bagi korban yang memerlukan pelayanan yang lebih intensif, namun kenyataan yang terjadi berdasarkan wawancara dengan pihak LBH Keadilan bahwa sempat adanya korban yang di usir dari shalter yang di buat seadanya oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, dimana shalter tersebut sebetulnya ruang kantor, sehingga korban tersebut tidak mendapatkan jaminan keamanan dari BPMPPKB Kota Tangerang Selatan. Sedangkan untuk kendaraan oprasional BPMPPKB Kota Tangerang Selatan juga belum memiliki sehingga dalam penanganan korban KDRT masih terkesan lambat karena keterbatasan alat transportasi. Ketidak tersediaan sarana dan prasarana tersebut pada akhinya tidak sesuai dengan mekanisme penanganan korban KDRT yang telah di atur pada Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan, dimana berdasarkan peraturan tersebut prinsip pelayanan yang harus terpenuhi ialah :
106
a. cepat, aman dan empati; b. adanya jaminan kerahasiaan; c. mudah dijangkau; d. tidak di pungut biaya. Maka dapat disimpulkan bahwa dengan kurangnya kemudahan untuk mendapatkan pelayanan pada korban KDRT yaitu, karena kurangnya sosilisasi sehingga masyarakat Kota Tangerang Selatan masih sedikit sekali yang mengetahui fungsi BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebagai intansi pemerintah yang bertugas untuk memfasilitasi penanganan perempuan dan anak korban kekerasan, serta masih minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sehingga kualitas pelayanan yang di berikan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum optimal. 4.3.3 Responsivitas Menurut
Dwiyanto
(2002:60),
responsivitas
kerja
melihat
pada
pengembangan program yang telah di buat, serta penyusunan agenda kegitan. Oleh sebab itu peneliti melihat pada Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah dalam menyelenggarakan perlindungan perempuan adan anak korban kekerasan, dapat melibatkan peran serta masyarakat baik oleh perorangan, kelompok maupun orgnisasi sosial kemasyarakatan dengan diberikan pembinaan oleh Satuan Kerja Daerah yang terkait. Berdasarkan hasil wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM
107
selaku Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “Kita sudah membentuk 540 anggota satgas tingkat rt maupun rw seluruh Kota Tangerang Selatan, pengesahanya itu tahun 2013 lalu, sampai saat ini satgas masih terus berjalan.”(Wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM, 15 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan) Berdasarkan hasil wawancara tersebut memang benar adanya bahwa BPMPPKB Kota Tangerang Selatan telah membentuk setidaknya 540 anggota satgas tingkat Rt dan Rw seluruh Kota Tangerang Selatan yang di resmikan pada 22 Agustus 2013, yang bertempat di Universitas Terbuka, bahkan pembentuakn satgas ini pun telah tercatat pada Museum Rekor Indonesia (MURI). Penjelasan mengenai keberadaan satgas selanjutnya ditambahkan oleh Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan: “maaf yaa, satgasnya belum optimal lapor aja belum pernah malahan duluan koran, satgas ada yang melapor ada juga yang tidak melapor, kalau satgas yang suka lapor ada biasanya dari Jombang, tapi mungkin gimana yaa kuranglah padahal sudah pelatihan malah masyarakatnya langsung yang pada lapor.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Hal serupa juga disampaikan oleh Mariana WD, SH selaku Kepala Sub Unit PPA Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan: “Kalau untuk BPMPPKB nya sudah dibentuk satgas dan itu tidak berjalan sama sekali yang saya tahu, seperti formalitas saja dibentuknya, tetap saja lapornya ke polisi gak pernah ada satgas ada KDRT menangani duluan, tapi satgas ini benar ada atau tidak karena, tidak pernah ada satgas yang ikut menangani dan mendampingi untuk lapor ke polisi, terbentuknya satgas seolah-olah terlihat bagus saat diseminar saja. Dan untuk kerja sama saya katakana tidak pernah ada dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan wilayah Tangerang Selatan BPMPPKBnya terutama.” (Wawancara dengan Mariana WD, SH 25 Agustus 2014, di Polres Metro Jakarta Selatan)
108
Berdasarkan keterangan di atas Pemerintah Kota Tangerang Selatan khususnya BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, sebetulnya telah berupaya untuk melibatkan peran serta masyarakat untuk bersama-sama berperan aktif baik dalam pencegahan maupun penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan membentuk satgas, namun berdasarkan hasil wawancara tersebut di dapatkan bahwa satgas yang dibentuk belum seluruhnya berjalan, kemungkinan hal ini di sebabkan oleh kesibukan para anggota satgas selain menjadi Rt dan Rw mereka juga tentunya memiliki pekerjaan tetap sehingga pembentukan satgas ini belum seluruhnya berjalan, hal ini juga didukung oleh penjelasan Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan: “kan semua ada 108 yaa satgas itu, yang aktif paling sekitar 10 orang lahh. ada, pertemuan kita omongin lagi segala macam, biasanya lewat SMS aja yang kemaren tuh ada satgas SMS saya, tergantung satgasnya mungkin yaa ada yang lapor ada yang engga, mungkin sibuk kerja jadi tidak fokus jadi satgas belum berjalan optimal.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Berdasarkan penjelasan di atas menegaskan bahwa hanya terdapat 108 anggota satgas, padahal dalam awal pembentukannya terdapat 540 anggota satgas dan yang semakin disayangkan ternyata dari 108 hanya 10 anggota yang aktif untuk melapor, itu pun hanya melalui SMS saja, hal ini pastinya memunculkan pemikiran bahwa ada yang salah dalam pelaksanaaya di lapangan, bahkan menurut hasil wawancara dengan Bapak Maludin selaku Rw 03 Kelurahan Kademangan Kecamatan Setu, menjelaskan :
109
“Kalau memang program itu benar ada tapi saya ga dapet undanganya, ga pernah ada juga sosialisasi, pernah ada undangan dari Dinas Tata Kota, biasanya kalo ada sosialisasi dari dinas itu kita yang minta jadi dari bawah minta ke atas bukan dari atas yang inisiatif datang ke kita, tapi kita yang ususlkan baru mereka mau datang, kalau memang benar ada pembentukan satgas pasti saya tahu walaupun saya ga dapet undangan, karena saya aktif di forum Rw Kecamatan Setu, jadi kadang suka kumpul Rw sekecamatan Setu bagi-bagi informasi kegiatan apa aja, jadi walaupun saya tidak bisa hadir di acara sosilisasi tapi pasti saya tahu.” (Wawancara dengan Bapak Maludin, 11 September 2014, di Kediamanya) Hal senada juga disampaikan oleh Bapak Karnata selaku Ketua Rt 013 di Kelurahan Pondok Jagung, Kecamatan Serpong Utara: “Saya tidak pernah ikut pelatihan sama sekali selama jadi Rt, biasanya kalau saya lagi kerja ataupun tidak kerja itu pasti ada undangannya kalau memang benar-benar ada pembentukan satgas yang katanya sih anggotanya Rt sama Rw, kita juga ga tau program kerjanya apa aja yang harus dilakuin, biasanya kalau emang satgas itu bener ada kegiatan tuh dikumpulin di kelurahan atau minimal ada undangan lah kan sempat ga sempat kan kita jadi tahu, pernah juga kita di kumpulin sama polisi ada kegiatan kita di kasih kaos sama topi.” (Wawancara denga Bapak Karnata, 7 September 2014, di kediamanya). Berdasarkan hasil wawancara di atas didapatkan bahwa, para Rt dan Rw di dua kecamatan yang berbeda tersebut sama sekali tidak mengetahui akan adanya pembentukan satgas, hal ini juga didukung pada hasil wawancara dengan Mu selaku korban KDRT yang melapor pada Polres Metro Kabupaten Tangerang, beliau menuturkan bahwa: “Gak pernah ada sosialisasi tuh masalah satgas, pas ada kejadian itu saya langsung saja lapor ke kantor polisi terdekat, karena saya sudah ga tahan terlalu sering suami saya mba sampai yang terakhir itu saya di cekik terus di banting mangkanya saya udah ga tahan, tapi ga pernah ada perhatian dari Rt atau Rw juga.”(Wawancara dengan Mu, 13 September 2014, di kediaman korban, Kecamatan Serpong). Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Titin Sartini selaku masyarakat Kota Tangerang Selatan, berdasarkan hasil wawancara beliau menuturkan bahwa:
110
“Kalau ada satgas yang neng bilang saya kurang tau, ga pernah ada kumpul sosialisasi, kumpul Rt/Rw juga ga pernah yang katanya mereka itu anggota satgas. Pokoknya mah saya ga pernah merasakan lah ada program-program seperti itu, jadi bingung mau lapor juga kalo ada KDRT.”(Wawancara dengan Ibu Titin Sartini, 7 September 2014, di kediamanya Pondok Jagung, Serpong Utara) Berdasarkan hasil wawancara di atas menjelaskan bahwa banyak masyarakat yang tidak mengetahui akan keberdaan program pembentukan satgas,hal ini sangat disayangkan sekali bahwa program yang selama ini di harapkan dapat membantu pemerintah dalam pencegahan dan penanganan koraban kekerasan pada perempuan dan anak tidak berjalan sebagai mana mestinya, bahwa terjadi sosialisasi yang kurang merata dan tidak menyeleruh dalam pembentukan satgas ini, selain itu tidak adanya agenda khusus dalam kegiatan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan untuk melaksanakan pertemuan para anggota satgas juga meyebabkan ketidak jelasan kelanjutan program ini. Selain pembentukan satgas, sosilisasi akan adanya Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 tenang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan perlu dilakukan agar masyarakat Kota Tangerang Selatan lebih menyadari akan adanya payung hukum dalam penanganan korban kekerasan, sehingga masyarakat memiliki keberanian untuk melapor ketika terjadi tindak kekerasan dalam lingkum rumah tangga, karena hal tersebut telah di atur tegas pada peraturan Undang-Undang dan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan, berdasarkan hasil wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM
111
selaku Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “Untuk sosilisasi perda kita terus menerus yaa dalam setiap kesempatan, salah satunya saat melakukan apel tiap senin pagi di sekolah seluruh Kota Tangerang Selatan.”(Wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM, 15 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Hal ini juga ditambahakan oleh Ibu Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan: “Untuk sosilisasi UU PKDRT dan Perda itu jalan terus tapi tidak terjadwal karena keterbatasan anggran juga yaa.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Berdasarkan
wawancara
di
atas
menjelaskan
bahwa
dalam
mensosilisasikan Undang-undang PKDRT dan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan mengalami kendala seperti keterbatasan anggaran yang dimiliki, sehingga BPMPPKB Kota Tangerang Selatan tidak memiliki agenda khusus untuk mensosialisasikanya kepada masyarakat Kota Tangerang Selatan. Persoalan ini juga benar adanya bahwa dalam agenda kegiatan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan tahun 2014 tidak ada jadwal khusus untuk melukan sosialisasi, hal ini tentunya mengakibatkan pengetahuan masyarakat Kota Tangerang Selatan akan adanya payung hukum belum menyeluruh tersampaikan, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sukari selaku Ketua Rt 01 kelurahan Kademangan Kecamatan Setu: “kita belom pernah ada undangan, pernah ada rapat kecamatan tapi rapat masalah PBB tapi kalau untuk Peraturan Daerah sama pelatihan
112
pembetukan satgas mah belum pernah ada kumpul-kumpul tuh.”(Wawancara dengan Bapak Sukari, 11 September 2014, di kediamanya). Hal serupa juga disampaikan oleh Ma selaku korban KDRT yang melapor pada Polres Kabupaten Tangerang: “saya ga tahu mba kalau ada satgas tingkat Rt/Rw, pokoknya saya mah langsung lapor aja ke polisi. Kalo untuk undang-undang PKDRT saya pernah lihat di tv jadi sedikit tahu, kalo untuk hukuman paling sedikit lima tahun, tapi kalau untuk Peraturan Daerah saya tidak tahu.” (Wawancara dengan Ma, 10 September 2014, di kediamanya Babakan, Serpong). Berdasarkan hasil wawancara di atas menunjukan bahwa sosialisasi yang dilakukan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum secara menyeluruh bahkan untuk setingkat Rt dan Rw pun masih banyak yang belum mengetahui akan adanya Undang-udang PKDRT dan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, sehingga masyarakat Kota Tangerang Selatan yang dituntut untuk lebih aktif agar lebih sadar hukum, beradasarkan hasil wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM selaku Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan beliau menuturkan: “Masyarakat dengan ekonomi menengah keatas lebih berani melapor karena mereka sudah tahu akan adanya Undang-undang dan Peraturan Daerah karena meraka lebih aktif dalam mencari informasi.”Wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM, 15 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Hal ini juga didukung oleh Lh selaku korban yang selaku korban yang melopor langsung pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “Kayanya kalau untuk masyarakat biasa juga jarang yang tau yaa mba, saya juga kenapa bisa lapor kesana karena dulu sempat cari-cari dan baca di internet, jadi kayaknya lebih aktif masyarakat yang cari tahu ketimbang mereka yang kasih sosialisasi karena ga pernah ada tuh
113
sosialisasi di lingkungan rumah saya.” (Wawancara dengan Lh, 18 September 2014, di kediamnya Bintaro). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi ialah tidak adanya kelanjutan dalam program pembentukan satgas, kurangnya koordinasi dan tidak adanya agenda khusus untuk melakukan pertemuan dengan anggota satgas, serta kurangnya sosilisasi UU PKDRT dan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan mengakibatkan program yang telah dibentuk tidak berjalan dengan efektif, karena hanya masyarakat menengah ke atas saja yang lebih aktif untuk mencari tahu sehingga memiliki keberanian untuk melapor, hal ini tentunya sangat disayangkan sekali karena program yang dibentuk diharapkan dapat membantu malah tidak berjalan sebagaimana mestinya. 4.3.4 Responsibilitas Menurut Dwiyanto (2002: 55), menjelaskan bahwa Responsibilitas pelayanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan yang berkembang pada masyarakat yang meliputi prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan orientasi pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa. Berdasarkan pemahaman tersebut maka untuk mengetahui
responsibilitas
BPMPPKB
Kota
Tangerang
Selatan
peneliti
memfokuskan untuk mengetahui bagaimana BPMPPKB Kota Tangerang Selatan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai koordinator dan fasilitator
dalam
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yaitu, dengan melihat kerjasama yang terjalin antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan instasi
114
terkait yang ikut bertanggung jawab sebagai penyedia layanan selama proses penaganan korban kekerasan berlangsung. Dengan adanya kerjasama yang terjalin antar instasi kita dapat mengetahui apakah pemenuhan hak-hak korban kekerasan dapat terpenuhi, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan menjelaskan bahwa hakhak korban yang harus terpenuhi ialah sebagai berikut: a. Perlindungan; b. Mendapatkan informasi; c. Pelayanan optimal; d. Penanganan berkelanjutan sampai ke tahap rehabilitasi; e. Penaganan secara rahasia; f. Pendampingan psikolog dan hukum; g. Jaminan atas hak-hak yang berkaitan dengan status sebagai anggota keluarga maupun anggota masyarakat; Agar para korban KDRT dapat terpenuhi hak-haknya maka BPMPPKB Kota Tangerang Selatan bekerja sama dengan, pihak kepolisian Polres Metro Jakarta Selatan dan Polres Metro Kabupaten Tangerang sebagai aparat penegak hukum juga sebagai penyedia layanan pelaporan tindak kekerasa, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sebagai penyedia layanan medis bagi koban, P2TP2A menyediakan Psikolog sebagai penyedia konseling dan LBH Keadilan sebagai penyedia bantuan hukum selama masa persidangan, Dinas Sosial Ketenaga
Kerjaan
Kota
Pemberdayaan Ekonomi.
Tangerang
Selatan
sebagai
penyedia
layanan
115
a. Koordinasi Dengan Polres Metro Jakarta Selatan dan Polres Metro Kabupaten Tangerang Kota Tangerang Selatan sebagai kota administratif yang baru berdiri pada 26 November 2008 silam merupakan kota pemekaran dari Kabupaten Tangerang, di usianya yang baru menginjak tahun ke 6 ini Kota Tangerang Selatan masih minim dalam urusan ketahanan dan keamanan, karena hingga saat ini Kota Tangerang Selatan belum memiliki Polres sendiri, melainkan masih bergabung dengan Polres Metro Jakarta Selatan untuk menangani wilayah Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, dan Pondok Aren sedangkan untuk wilayah Serpong, Serpong Utara, dan Setu berada di Polres Metro Kabupaten Tangerang. Kondisi seperti ini tentunya menyulitkan masrakat Kota Tangerang Selatan karena masih minimnya aparat penegak hukum, selain itu ketidak tersediaan Polres juga tentu menyebabkan kurangnya keamanan di Kota Tangerang Selatan, untuk itu butuh kerjasama yang baik antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan pihak kepolisian Polres Metro Jakarta Selatan dan Polres Metro Kabupaten Tangerang yang sementara ini bertugas untuk mem-back up keamanan Kota Tangerang Selatan, berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan, beliau menuturkan: “Untuk kerjasama dengan polres biasanya kita minta data itu tiap trimester, dan biasanya kita suka telepon kalau sedang ada kasus besar, biasanya saya suka baca di koran.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Sedangkan hal berbeda disampaikan oleh Mariana WD, SH selaku Kepala Sub Unit PPA Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan:
116
“Untuk wilayah Tangerang Selatan saya katakana tidak, bahkan kita tidak pernah bersentuhan langsung dengan BPMPPKB, yang memproses KDRT itu kita, biasanya BPMPPKB itu hanya menunggu saja dari kita, dan data-data korban pun dari kita biasanya BPMPPKB setahun dua kali datang untuk minta data.” (Wawancara dengan Mariana WD, SH 25 Agustus 2014, di Polres Metro Jakarta Selatan). Berdasarkan wawancara diatas menunjukan bahwa komunikasi yang terjalin kurang baik, dimana BPMPPKB Kota Tangerang Selatan menghubungi pihak kepolisian apabila terjadi kasus besar saja dan kasus yang muncul di media masa, di sini menunjukan bahwa pelayana yang diberikan oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum menyeluruh, hal ini juga didukung oleh keterangan Mariana WD, SH selaku Kepala Sub Unit PPA Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan: “kita itu sebetulnya mengharapkan adanya jemput bola, kalau kita kan sibuk karna tiap hari itu bisa 5-7 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kita maunya mereka yang aktif atau setidaknya mereka menugaskan orang deh untuk stay di sini, jangan datang hanya untuk minta data saja. Kalo menurut kita sih belum merasakan secara langsung, korban itu masih banyar untuk bagian pelayanan kesehatannya, yaa walaupun hanya bayar sekitar 28ribu tapikan biasanya mereka saat melapor dalam keadaan spontan bahkan sering ojek saja belum dibayar, sementara mereka tidak bawa uang lalu bagaimana bayar administrasi rumah sakitanya? Seriang kali korban mengeluhkan soal itu, Selain itu yang kurang dari pemerintah Tangerang Selatan rumah sakitnya tidak on time, artinya hanya hari selasa atau rabu hanya seminggu sekali untuk dokter yang menangani visum korban KDRT, sedangkan polisi dituntut cepat untuk bertindak dalam merespon, bagaimana bisa cepat kalau visum saja sulit, mau ga mau kita rujuk kerumah sakit Pertamina dan akhinya korban bayar sekitar 300ribu. Kalau untuk korban asal DKI kerjasamnya dengan RSCM namun tidak mem back up korban dari wilayah Tangerang Selatan jadi untuk korban asal Tangerang Selatan dikenakan biaya.” (Wawancara dengan Mariana WD, SH 25 Agustus 2014, di Polres Metro Jakarta Selatan). Berdasarkan penuturan di atas menujukan bahwa kurangnya komunikasi antara pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan pihak kepolisian Polres
117
Metro Jakarta Selatan yang mengharapkan adanya jemput bola yaitu, pihak kepolisian berharap pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan lebih aktif lagi dalam menjalin komunikasi, karena pihak kepolisian tidak hanya fokus mengurusi KDRT saja melainkan kasus kriminal lainya. Berdasarkan penuturan Sub Unit PPA di atas mejelaskan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang bersal dari Kota Tangerang Selatan masih di bebani dengan biaya medis, tidak adanya kerjasama pihak kepolisian Jakarta Selatan dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dan tidak adanya komunikasi dengan pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan untuk menanggung biaya penaganan medis korban, sehingga untuk masalah visum atau penanganan medis korban masih di kenakan biaya yang tidak sedikit, hal ini tentunya sangat memberatkan bagi korban. Sedangkan untuk mengetahui kerjasama BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan pihak kepolisian Polres Kabupaten Tangerang peneliti melakukan wawancara dengan Bapak Wawan Purnama S.IP, selaku Kepala Unit PPA Polres Metro Kabupaten Tangerang, beliau menuturkan: “mereka sudah paham dengan jobnya masing-masing, seharusnya sih ada jemput bola karena kepolisian kerjanya itu ga ada batasnya dari pagi sampai malam unit PPA ini selalu siap melayani.”(Wawancara dengan Bapak Wawan Purnama S.IP, 20 Agustus 2014, di Polres Metro Kabupaten Tangerang) Berdasarkan hasil wawancara di atas menujukan bahwa pihak kepolisian Polres Kabupaten Tangerang juga mengaharapkan hal yang sama seperti Polres Metro Jakarta Selatan, yaitu mereka mengarapkan adanya upaya jemput bola dari pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan karena pihak kepolisian yakin bahwa
118
BPMPPKB Kota Tangerang Selatan telah paham akan tugas dan fungsi yang harus mereka kerjakan sebagai koordinator dan fasilitator dalam penaganan korban kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya peneliti juga melakukan wawancara dengan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu, Ma selaku korban yang melapor pada Polres Metro Kabupaten Tangerang, beliau menuturkan: “Saya sama sekali ga ditanganin sama BPMPPKB, malah saya baru tahu sekarang ini kalo ada dinas yang bisa bantu nanganin, dan waktu saya lapor ke polisi itu ga di saranin apa-apa sama pihak kepolisian ga ada pengantarnya buat kedinas biar dapet bantuan apa psikolog apa mediasi, misalkan di suruh minta bantuan dinas lah pokoknya engga sama sekali sampai sekarang sudah cerai aja dinasnya sama sekali ga ada bantu apaapa. Sebetulnya sih ga mau lapor ke polisi tapi karena kondisi saya seperti orang yang habis maling motor babakbelur akhirnya sama keluarga disuruh lapor, tapi selama kasus berjalana tidak ada pendampingan dari BPMPPKB sama sekali ga ada dinas yang mendampingi untuk nguatin saya padahal kondisi saya lagi lemah, malah pas saya di introgasi polisi di suruh bayar 400ribu katanya sih buat upah ngetik polisinya, maka dari itu kasus nya tidak saya perpanjang berkas juga tidak saya cabut karena kalo kasusnya di perpanjang polisi nya minta uang jalan terus, misalkan kita kasih sejuta biar mantan suami saya bisa di tangkap mangknya butuh biaya besar jadi ga saya teruskan bukan saya yang dapet pelayanan malah saya yang di suruh bayar.”(Wawancara dengan Ma, 10 September 2014, di kediamanya Babakan, Serpong). Wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa korban yang langsung melapor pada pihak kepolisian tidak mendapatkan rujukan untuk mendapatkan pendampingan dari pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, sehingga korban tidak mendapatkan pelayanan lebih lanjut yang korban butukan, baik visum, psikolog, LBH maupun Pemberdayaan Ekonomi. Berdasarkan wawancara di atas juga ditemukan penyelewangan yang di lakukan pihak kepolisian Polres Metro Kabupaten Tangerang kepada korban, bahwa pihak kepolisisn meminta bayaran kepada korban sebesar Rp.400.000,- sebagai upah pengetikan, ini tentunya
119
semakin memberatkan korban, padahal sebetulnya untuk melakukan pelaporan korban tidak di pungut biaya sepeserpun. Semua hal ini tentunya dapat terjadi karena kurangnya koordinasi serta komunikasi yang terjalin antara kedua institusi tersebut yang pada akhirnya korban yang mendapatkan imbasnya. Jadi, untuk korban yang langsung melapor pada pihak kepolisian Polres Jakarta Selatan maupun pihak Polres Kabupaten Tangerang tidak mendapatkan kelanjutan pendampingan dengan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, karena pihak kepolisian mengharapkan adanya upaya jemput bola dari pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, hal ini semestinya menjadi cambuk untuk BPMPPKB Kota Tangerang Selatan untuk lebih aktif menjalin komunikasi dengan pihak kepolisian agar seluruh korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan hakhaknya. b. Koordinasi Dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Kerjasama antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sebagai penanggung jawab penyedia layanan medis perlu terjalin dengan baik agar korban mendapatkan haknya untuk mendapatkan pelayanan medis baik itu visum, rawat jalan, maupun rawat inap, yang semua pendanaanya telah di atur dalam Peraturan daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 3 tahun 2012 bahwa sumber dana penyelenggran perlindungan perempuan dan Anak korban kekerasan semua berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Untuk mengetahui bagaimana kerjasama yang terjalin, hal ini akan di sampaikan oleh Hj.
120
Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan, beliau menuturkan: “Nah, itu juga kemarinkan visum itu semestinya dari Polres yaa ga bisa dari Polsek karena katanya Polsek kita belum ada orang-orangnya di bagian PPA, jadi dirujuk ke Polres Tigaraksa dan Jakarta Selatan, visum itu ada anggrannya dari hibah kita yang bayar, biasanya ke Puskesmas Balaraja, kalau untuk Jakara Selatan ke Cipto atau Fatmawati tapi saya berusaha ke RSUD Tangerang Selatan, dan kenyataan RSUD Tangerang Selatan kemarin tidak terima karena dokternya tidak ada untuk visum sedang ada masalah, kan kalau di swasta mahal di Cipto aja bisa 750ribu.” .”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Sedangkan menurut keretangan Suminah selaku Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menuturkan bahwa: “Komunikasi kita baik ko, tapi kalo untuk kasus korban yang berobat ke puskesmas tapi mereka teridikasi sebagai korban KDRT itu urusan yang di puskesmas kita sih hanya mencatat, yaa seharunya sih BPMPPKB aktif tersendiri harus adanya saling komunikasi dan kerjasama.”(Wawancara dengan Suminah, 27 Agustus 2014, di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan). Berdasarkan hasil wawancara di atas menunjukan adanya ketidak jelasan lokasi atau rumah sakit untuk melakukan visum, walaupun BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebetulnya telah mengupayakan untuk melaksanakan visum di RSUD Kota Tangerang Selatan namun kenyataan yang terjadi adalah, bahwa RSUD Kota Tangerang Selatan untuk saat ini terjadi ketidak tersediaan dokter untuk melayani visum, hal ini sangat disayangkan sekali. Untuk memperkuat hal ini peneliti juga melakukan wawancara dengan Dini Kurnia, S.Si selaku staff Sekretariat P2TP2A Kota Tangerang Selatan: “kalau untuk pelayanan kesehatan itu kita lagi ga bisa di RSUD Tangerang Selatan sedang tidak ada dokternya.”(Wawancara dengan
121
Dini Kurnia, S.Si 16 September 2014, di P2TP2A Kota Tangerang Selatan. Pernyataan tersebut semakin memperkuat bahwa terjadinya ketidak tersediaan dokter pada RSUD Kota Tangerang Selatan dalam menangani visum, sehingga BPMPPKB Kota Tangerang Selatan pada akhirnya melaksakan visum pada rumah sakit swasta yang tentu biayanya tidak murah, mengenai ketidak tersediaan dokter pada RSUD Kota Tangerang Selatan maka peneliti melakukan wawancara dengan Suminah selaku Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan untuk mengetahui kebenaran akal hal ini, dan beliau menuturkan: “Nanti ya mba, kita sinkronkan dulu jawabanya.” .”(Wawancara dengan Suminah, 27 Agustus 2014, di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan). Berdasarkan keterangan tersebut memunculkan spekuliasi negatif, bahwa pihak Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan berusaha menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya terjadi pada RSUD Kota Tangerang Selatan bahwa terjadi keterbatasan tenaga medis, dan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan pun tidak memiliki solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan ini, karena hingga saat ini BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dalam melakukan visum belum memiliki tempat atau rumah sakit yang pasti untuk menggantikan RSUD Kota Tangerang Selatan, tetapi setidaknya BPMPPKB Kota Tangerang Selatan berupaya untuk merujuk korban pada rumah sakit yang lokasinya berdekatan dengan Polres Jakarta Selatan dan Polres Kabupaten Tangerang agar memudahkan korban.
122
c. Koordinasi Dengan P2TP2A Kota Tangerang Selatan Kerjasama yang baik haruslah terjalin antara P2TP2A Kota Tangerang Selatan sebagai lembaga penyedia layanan penanganan korban kekerasan dengan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebagai koordinator dan fasilitator dalam proses penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang meliputi kekerasan dalam rumah tangga, P2TP2A Kota Tangerang Selatan di sini sebagai penyedia psikolog dan LBH bagi korban yang membutuhkan. Untuk kerjasama dengan psikolog sendiri P2TP2A dan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan berkerjasama dengan dosen dari Universitas Islam Nergeri Jakarta (UIN), untuk mengetahui bagaimana kerjasama yang terjalin peneliti melakukan wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “kalau psikolog ada dua dosen UIN. mereka biasanya ga bisa hari ini, ga bisa jam segini, datang aja ke sini, kan saya maunya yang tetap yaa, kan kita juga ada anggarannya dari pemerintah.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Hal serupa juga disampaikan oleh Dini Kurnia, S.Si selaku staff Sekretariat P2TP2A Kota Tangerang Selatan: “psikolog kita ada dua dari dosen UIN itu pun tidak stay tapi harus buat janji dulu. mau ketemu psikolog mesti di atur waktunya sering bentrok dengan kegiatan klien di luar karena kan psikolognya ga stay di tempat dan harus atur waktu kalau mau bertemu karena psikolognya nya juga sibuk dengan pekerjaan dia sebagai dosen.”(Wawancara dengan Dini Kurnia, S.Si 16 September 2014, di P2TP2A Kota Tangerang Selatan). Berdasarkan
hasil
wawancara
tersebut
didapatkan
bahwa
pihak
BPMPPKB Kota Tangerang Selatan mengalami kesulitan untuk bertemu dan
123
mengatur waktu dengan psikolog, hal ini terjadi karena pihak psikolog sendiri memiliki kesibukan lain sebagai dosen, sebetulnya kehadiran psikolog ini telah di jadwal seminggu dua kali untuk berada pada P2TP2A Kota Tangerang Selatan guna memberikan pelayanan psikologis pada korban-korban KDRT, namun mereka sering sekali tidak hadir sesuai dengan jadwal, melainkan harus atur waktu terlebih dahulu sebelum bertemu, hal ini juga disampaikan oleh Lh selaku korban yang melopor langsung pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “karena gini selama proses berlangsung itu saya malah jadi ribet sendiri loh mba untuk atur waktu dengan psikolog, padahalkan kita butuhnya cepat yaa nama nya psikolog kan buat nguatin mental kita tapi ko mereka ga ada di tempat ko mau ketemu saja itu sulit sekali, saya hanya berkesempatan sekali bertemu psikolog setelah itu saya mundur mba ribet juga sih.”(Wawancara dengan Lh, 18 September 2014, di kediamnya Bintaro). Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa korban merasa kesulitan dalam bertemu dengan pihak psikolog, dengan kondisi korban yang membutuhkan pelayanan serba cepat tetapi psikolog tidak tersedia setiap saat sehingga korban tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan pelayanan yang cepat dan tanggap, padahal untuk pengadaan psikolog pihak BPMPPKB Kota tangerang Selatan telak memiliki anggran tersendiri namun mungkin belum sebesar yang diharapkan para pihak psikolog, sehingga psikolog lebih fokus pada pekerjaan utamanya sebagai dosen. Sedangkan untuk kerja sama dengan pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tidak kalah pentingnya yaitu, untuk memberikan pelayanan dan pendampingan untuk membantu korban dalam menjalani proses hukum dan peradilan menurut keterangan Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang
124
Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “Masih dengan LBH Keadilan nya Pak Hamim yaa, Belakang ini dengardengar, kalau lapor ke dia dulu biasanya yaa ada yang diminta uang kan dia lembaga swasta, tapi kalau yang lapor ke kita sih tidak boleh dikenakan biaya sepeser pun karena kita yang bayar.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Sedangkan hal berbeda mengenai kerjasama dengan pihak Lembaga Bantuan Hukum di sampaikan oleh Dini Kurnia, S.Si selaku staff Sekretariat P2TP2A Kota Tangerang Selatan, beliau menuturkan: “Kalau untuk koordinasi dengan LBH itu kita dulu dengan Pak Hamim yaa, tapi kalau sekarang kita sedang melakukan pendekatan dengan LBH nya Pak Ikhsan tapi belum ada MoU.”(Wawancara dengan Dini Kurnia, S.Si 16 September 2014, di P2TP2A Kota Tangerang Selatan). Berdasarkan hasil wawancara di atas terdapat adanya ketidak sesuaian pendapatdari pihak BPMPPKB KotaTangerang Selatan dengan pihak P2TP2A KotaTangerang Selatan, bahwa pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan menyatakan bahwa masih melakukan kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan, sedangkan pihak P2TP2A Kota Tangerang Selatan menegaskan bahwa kerja sama atau MoU dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan telah berakhir, dan sedang mengupayakan berkejasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lain namun sampai saat ini masih belum ada kepastian, sehingga sampai saat ini masih terjadinya kekosongan untuk pelanyan hukum bagi korban.
125
Untuk mengetahui hal tersebut maka peneliti melakukan wawancara langsung dengan Bapak Abdul Hamim Jauzie selaku Ketua Pengurus LBH Keadilan Kota Tangerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “Untuk kerjasama MoU itu mulai tanggal 30 Oktober 2012 sampai terakhir 2013, itu hanya satu tahun dan semua jelas peran dan kompensasinya di MoU, ada yang lucu mba soal MoU saya tanda tangan sama P2TP2A nah sedangkan P2TP2A itu kan instansi yang terpisah dengan walaupun orangnya yaa mereka-mereka juga tetapi ternyata urusan dan segala macam itu di BPMPPKB padahal saya MoU dengan P2TP2A dan tahun 2013 saya mempertegas ini MOU mau di teruskan atau tidak? Kalaupun tidak harusnya ada kejelasan kalaupun maumeneruskan tapi belum ada biaya yaa ga masalah yang penting itu kan ada kejelasan, tapi tetap saja tidak ada kejelasan, karena BPMPPKB itu apa yaa cuma kaya pajangan saja lah seperti formalitas, akhirnya tidak ada kejelasan kerjasama tetapi saya tetap diminta untuk mendampingi korban entah hari sabtu atau minggu tetap saya layani karena prinsip saya ada atau tidak MoU tetepa akan memberikan pendampingan, sampai bulan keberapa dan tidak ada MoU sama sekali tetapi karena saya dijanjikan oleh BPMPPKB biaya akan diganti tetapi ketika saya tagih mereka memberi dengan sesukanya teman-teman kita sesama advokat tersinggung dong, sempat mau kita ancam somasi ke pengadilan. Jadi, seperti itu lah kerjasama kita selama ini.” (Wawancara dengan Bapak Abdul Mamim Jauzie, 27 Agustus 2014, di Pengadilan Negeri Kelas IA Kota Tangerang). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan sebetulnya memang benar bahwa antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan milik Bapak Hamim telah berakhir masa MoUnya dan tidak ada perpanjangan, selama kerjasama itu berlangsungpun sempat mengalami berbagai permasalahan seperti ketidak jelasan kerjasama setelah masa MoU selama tahun 2013 berakhir, serta bayaran yang tidak sesui kesepakatan selama masa kerja sama berlangsung sehingga sempat dibawa kejalur hukum, dengan melihat kerjasama yang terjalin antara kedua belah pihak sepertinya komunikasi yang terjalin kurang baik, bahkan saat ini pihak
126
BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sama melakukan kerjasama dengan LBH manapun sehingga tentunya korban tidak medaptkan haknya dalam pendampingan hukum. d. Koordinasi Dinas Sosial dan Ketenaga Kerjaan Kota Tangerang Selatan Dalam penanganan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan memiliki tugas untuk memberikan pelayanan keterampilan dan pelatihan sebagai modal usaha atau memerikan pemberdayaan ekonomi bagi para korban yang membutuhkan, sehingga para korban mampu memiliki kemandirian dalam hal ekonomi pasca bercerai dengan suami mereka. Untuk itu kita perlu melihat bagaimana kerjasama yang terjalin antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan Dinas Sosial Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan, berdasarkan wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “kalau di Dinas Sosial belum ada rujukan dari saya, kurang gereget kalau dengan Dinas Sosial tuh, paling yaa kita bawa ke Provinsi.” (Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Hal ini ditambahkan oleh Bapak H. M. Masyhut, SE selaku Kasi Bina Kelembagaan Sosial Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan, beliau mmenuturkan bahwa: “Kalo komunikasi sih yaa kita sama-sama, sampai sekarang sih belom ada, mungkin BPMPPKB nanganin sendiri kalo masalah pemberdayaan ekonominya, kalaupun ada pemberdayaan ekonomi kita biasanya dapet laporan dari kecamatan.” (Wawancara dengan Bapak H. M. Masyhud,
127
SE, 22 Agustus 2014, di Kantor Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan) Bedasarkan hasil wawancara di atas menunjukan bahwa hingga saat ini belum ada satu pun korban kekerasan dalam rumah tangga yang di rujuk oleh pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan karena menggap pihak Dinas Sosial dan Ketenaga Kerjaan Kota Tangerang Selatan masih kurang tanggap, sehingga BPMPPKB Kota Tangerang Selatan berupaya sendiri untuk memberikan pelatihan ekonomi pada korban dengan cara mengirim langsung ke Dinas Sosial Provinsi, sedangkan pihak Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan menggap bahwa tidak adanya korban KDRT yang di rujuk pada pihak mereka di karena kan pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dianggap mampu untuk mengerjakannya sendiri. Untuk mngetahui bagaimana sebetulnya yang tarjadi apakah benar adanya korban yang mendapat kan pelatihan maka peneliti melakukan wawancara dengan Lh, selaku korban yang melapor pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan: “kalau untuk pemberdayaan ekonomi sampai sekarang saya sudah bercerai ga ada tuh mba.”(Wawancara dengan LH.”(Wawancara dengan Lh, 18 September 2014, di kediamnya Bintaro). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa tidak selurunya korban KDRT mendapatkan pelatihan keterampilan atau pemberdayaan ekonomi oleh pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sehingga dengan kurangnya koordinasi antara kedua intansi tersebut mengakibatkan korban tidak mendapatkan hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan yang berkelanjutan. Koordinasi antara pihak-pihak terkait dalam upaya penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga sebetulnya juga telah diatur dalam prosedur alur
128
penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, sebagai berikut: Gambar 4.3 Alur Penaganan KDRT Oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan (Sumber: BPMPPKB Kota tangerang Selatan,2014) Datang Langsung Penjangkauan
Rujukan
Penerimaan Pengaduan
Koordani Dengan POLRI
Kasua KtP/A Wawancara & Screening Assesment Kebutuahn Koraban Inform Consent Rekomendasi Layanan Lanjutan Rujukan Administrasi
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Gambar di atas menjelaskan alur penanganan KDRT pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, adanya komunikasi dua arah antara pihak kepolisian dengan pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selan sebetulnya akan memperkecil kemungkinan korban tidak mendapat pelayanan karean berdasalkan hasil
129
wawancara dengan Mu selaku korban KDRT yang melapor pada pihak kepolisisn beliau menuturkan bahwa: “Enggak ada yang mendampingi saya sama sekali kalau dari dinas , kalau untuk visum di puskesmas Balaraja dan sama sekali ga di pungut biaya dibayarin sama pihak kepolisian katanya meraka kasian lihat saya, tapi ga ada tuh dinas BPMPPKB yang ngedampingin saya sampai persidangan pun sama sekali ga ada pendampingan misalkan pengacara gitu engga sama sekali, saya ga tau sama sekali kalau ada dinas yang bisa kasih perlindungan buat saya, padahal setelah kejadian itu saya ngerasa ga tenang mentalnya, sampai sekarang saya sudah cerai malah sampai mantan suami saya sudah keluar dari tahanan pun ga ada tuh dinas yang dating ke saya kasih perhatian atau bantuan, dari pihak kepolisian juga ga ada rekomendasi buat minta perlindungan ke BPMPPKB.”(Wawancara dengan Mu, 13 September 2014, di kediamanya Jaletreng, Serpong) Berdasarkah hasil wawancara di atas menunjukan bahwa korban tidak mendapatkan
pelayanan
yang
berkelanjutan
seperti
penagangan
medis,
penanganan psikolog, pendampingan hukum bahkan pemberdayaan ekonomi, maka dari itu BPMPPKB Kota Tangerang Selatan harus lebih tanggap dan aktif dalam menjalin komunikasi dengan pihak-pihak terkait dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) agar seluruh korban medapatkan pelayanan sesuai dengan prosedur dan haknya. 4.3.5 Akuntabilitas Akuntabilitas kinerja melihat pada pertanggungjawaban dalam setiap tindakan, keputusan bahkan kebijakan organisasi publik, dalam indikator kinerja ini
peneliti
melihat pada
BPMPPKB
Kota
Tangerang
Selatan
dalam
mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam memonitor pelaksanaan penangan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan instansi terkait yang bertanggung jawab pula dalam memberikan pelayanan baik medis, psikolog,
130
bantuan hukum bahkan pemberdayaan ekonomi hingga kasus-kasus tersebut selesai, brdasarkan hasil wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “Kita selalu mengontrol dalam setiap kegiatan penanganan kasus hingga tuntas mba,bahkan hingga pemulangan korban.”Wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM, 15 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Hal ini juga ditambahkan oleh Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “Bukan hanya mengontrol, kan yang menjalankan P2TP2A karena P2TP2A di bawah kita, paling kita menanyakan kasus sudah sampai mana. Misalnya ada bedah kasus, di bedah seluruh kasus sudah sampai mana, ini kasusnya bagaimana, penyelesaiannya bagaimana, apa yang dibutuhkan nah lalu kita fasilitasi.”(Wawancara dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Berdasarkan hasil wawancara di atas didapatkan bahwa BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dalam mengontol sejauh mana penanganan kasus telah berjalan, dilakukan ketika ada kesempatan saat pelaksanaan rapat pertemuan, biasanya BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, menanyakan akan hal kelajutan kasus sejauh mana pada pihak P2TP2A Kota Tengerang Selatan, hal ini pula semakin diperkuat berdasarkan hasil wawancara dengan Dini Kurnia, S.Si selaku staff Sekretariat P2TP2A Kota Tangerang Selatan, beliau menuturkan: Dalam penanganan kasus BPMPPKB pasti mengontrol, karena kita kan kalau memberi laporan itu ke BPMPPKB.” (Wawancara dengan Dini Kurnia, S.Si 16 September 2014, di P2TP2A Kota Tangerang Selatan).
131
Pernyataan tersebut semakin memperkuat bahwa BPMPPKB Kota Tangerang Selatan cukup baik dalam mempertanggungjawabkan fungsi nya dalam mengontrol atau memonitoring setiap kegiatan penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun pendapat lain disampaikan oleh Bapak Abdul Hamim Jauzie selaku Ketua Pengurus LBH Keadilan Kota Tangerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “Tidak ada mba, bahkan dalam MoU sebetulnya harus ada forum resmi rapat minimal dua kali dalam setahun tetapi tidak ada, ada memang rapat tapi tidak dikhususkan untuk mengontrol tapi hanya rapat secara umum terus kebetulan LBH dilibatkan, ada memang di situ ditanya kasusnya sudah sampai mana aja tapi kasus yang saya dampingi sejak MoU itu sampai sekarang masih ada yang berjalan hingga sekarang, tapi mereka seperti tidak mau tahu, tapi yaa itu tetap menjadi tanggung jawab saya dan tidak tahu kapan kasus ini akan selesai.”(Wawancara dengan Bapak Abdul Mamim Jauzie, 27 Agustus 2014, di Pengadilan Negeri Kelas IA Kota Tangerang). Berdasarkan hasil wawancara di atas menjukan bahwa tidak adanya perhatian yang diberikan oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan atas kelanjutan kasus yang masih berjalan dan sedang di tangani oleh pihak LBH, walaupun sebetulnya MoU antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan pihak LBH Keadilan telah berakhir namun seharusnya tetap saja komunikasi yang terjalin antara kedua instansi tersebut harus lah berjalan dengan baik, karena setelah pendampingan hukum korban-korban KDRT tersebut masih memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan lebih lanjut seperti pemberdayaan ekonomi agar korban memiliki keterampilan dan kemandirian dalam perekonomian pasca perceraian dengan tersangka KDRT. Hal ini semakin di perkuat oleh LH selaku korban yang melapor pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, beliau menuturkan bahwa :
132
“selama proses saya hanya di damping oleh mba Dini, saya juga memutuskan untuk mundur saja lah komunikasi terakhir itu ketika saya bertemu psikolog, dan sampai sekarang saya sudah berceraipun tidak ada kelanjutan dengan BPMPPKB mba.”(Wawancara dengan LH, 18 September 2014, di kediamnaya, Bintaro). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, tidak adanya kelanjutan dalam penanganan KDRT, dan tidak adanya upaya yang dilakukan oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan untuk mendapingi korban hingga kasus selesai, hal ini sangat disayangkan sekali bahwa kurangnya kontrol oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan menyebabkan para korban tidak mendapatkan penangan berkelanjutan. BPMPPKB Kota Tangerang Selatan juga harus melakukan penerapan sanksi yang tegas kepada setiap anggotanya apabila lalai dalam menjalankan tugas yang
diberikan
dalam
penanganan
korban
kekerasan
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban pada kinerjanya, hal ini dipaparkan oleh Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “Sejauh ini sih kita belum pernah yaa memberikan sanksi yang berat paling baru teguran secara lisan saja, karena memang semau anggotanya baik-baik dalam menjalankan tugas dan memang yang menangani kasus itu biasanya pak hairul saja, kalo malam kita telepon pun dia langsung jalan kalau ada kasus.”Wawancara dengan Hj. Listya Windarty, S.Sos, M KM, 15 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Hal ini juga ditambahkan oleh Hj. Titi Suhartini, S.ST, selaku Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tengerang Selatan, beliau menuturkan bahwa: “Pasti, kan kita ada SP1 SP2, tapi kalau di sini sih baik-baik kalau untuk menjalankan tugas malam cuma satu pak Hairul saja..”(Wawancara
133
dengan Hj. Titi Suhartini, S.Si 8 September 2014, di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan). Berdasarkan
wawancara
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
dalam
penanganan kekerasan dalam rumah tangga KDRT , BPMPPKB Kota Tangerang Selatan telah memiliki sanksi kepada siapa saja anggotanya yang lalai dalam menjalankan tugas. Namun, sejauh ini belum ada anggotanya yang lalai atau melakukan pelanggaran berat dalam menjalankan tugas sehingga belum pernah ada yang dijatuhkan saksi berat dan baru sekedar teguran lisan saja. 4.4 Pembahasan Pembahasan ini peneliti akan membahas mengenai kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam menangani korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dengan fokus penelitian berdasarkan indikator-indikator kinerja birokrasi publik menurut Dwiyanto (2002: 48). Untuk mengetahui kinerja birokrasi publik maka peneliti mengukurnya dengan idikator-indikator kinerja, antara lain yaitu: Produktivitas, Kualitas Layanan, Resposivitas, Responsibilitas, dan Akuntabilitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam menangani korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dinilai masih belum optimal, karena dari hasil wawancara menyatakan bahwa kinerja birokrasi publik tersebut masih belum berjalan secara maksimal. Hal inidapat dilihat berdasarkan Standar Oprasional Prosedur Pelanyanan Terhadap Perempuan dan Anak Korban
134
Kekerasan pada Peraturan Gubernut Banten Nomor 21 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan nomor 3 tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, serta teori indikator kinerja birokrasi publik menurut Dwiyanto. 1. Produktivitas Indikator Produktivitas melihat pada rasio antara input dangan output, yaitu melihat seberapara besar BPMPPKB Kota Tangerang Selatan memiliki hasil yang diharapkan. oleh karena itu pada konsep input peneliti melihat pada sumber daya manusia dan anggran yang dimiliki dalam penanganan serta pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan wawancara didapatkan kan bahwa sumber daya manusia yang dimiliki oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan secara structural telah memadai namun sangat terbatas untuk bagian investigasi langsung kelapangan, selain itu juga di temui beberapa sumber daya manusia atau pejabat fungsional yang memiliki rangkap jabatan atau dengan kata lain mereka juga bekerja pada instansi lain yang pada akhirnya akan menggangu kualitas kerja mereka di BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dalam menangani korban kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan kedua aspek input tersebut kita dapat melihat aspek output atau hasil dari pelaksanaan penaganan korban kekerasan dalam rumah tangga, berdasarkan keterangan sekretaris P2TP2A Kota Tangerang Selatan menjelaskan bahwa yang terjadi dilapangan didapatkan bahwa terdapat sekitar 30% korban yang lebih memilih untuk mundur selama proses penanganan berlangsung karena para korban merasa penangan yang BPMPPKB Kota Tangerang Selatan berikan terkesan lamban, selain itu juga para korban tidak seluruhnya mendapatkan
135
pelayanan gratis, hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip pelayanan dan pendapingan yang tercantum pada Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang meliputi: a. Cepat, aman dan empati b. Adanya jaminan kesehatan c. Mudah dijangkau d. Tidak dipungut biaya 2. Kulitas Layanan Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan serta kenyamanan dalam pelayanan menjadi tolak ukur dalam menyetahui sejauh mana kualitas layanan dari birokrasi publik. Kemudahan untuk mendapatkan pelayanan dapat dilihat dengan sejauh mana masyarakat mengatahui akan kehadiran BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebagai organisasi publik yang bertugas dalam penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun kenyataan yang terjadi masyarakat Kota Tangerang Selatan masih banyak yang belum mengetahui keberadaan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan karena sosialisasi yang kurang merata, sehingga masyarakat lebih memilih untuk melapor pada pihak kepolisian hal ini juga didukung berdasarkan data yang didapat pada penelitian awal yaitu sebagai berikut:
136
Tabel 4.4 Jumlah Korban Tahun 2013 No
Instansi
Jumlah Pasangan
%
1
P2TP2A Kota Tangerang Selatan
43
22,99
2
Polres Jakarta Selatan
46
24,6
3
Polres Tigaraksa
93
49,73
4
Pos Pelayanan Terpadu
5
2,67
187
100%
Jumlah
(Sumber: Peneliti, 2014) Berdasarkan tabel di atas hal ini terbukti bahwa pada tahun 2013 saja terdapat sekitar 74% korban yang lebih memilih melapor pada pihak kepolisisn karena ketidak tahuan mereka akan adanya BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, sedangkan yang terjadi di Kota Tangerang Selatan sendiri masih sangat minim dalam masalah keamananya karena hingga saat ini belum memiliki Polres melainkan masih bergabung dengan Polres Metro Jakarta Selatan untuk memback up wilayah Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang dan Pondok Aren sedangkan untuk wilayah Serpong, Serpong Utara, dan Setu berada di Polres Kabupaten Tangerang, yang jarak kedua Polres tersebut cukup jauh untuk di jangkau sehingga memberatkan para korban. Sedangkan dalam kenyamanan dalam pelayanan dilihat berdasarkan fasilitas yang tersedia pada BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, karena berdasarkan Peraturan Gubernur Banten nomor 21 Tahun 2012 tentang Mekanisme Pelayanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan terdapat Standar Oprasional Prosedur Pelayanan Terhadap Perempuan dan Anak, saran dan
137
prasarana yang harus dimiliki ialah adanya ruang pelayanan yang aman dan nyaman, shalter, serta kendaraan oprasional khusus korban, namun kenyataan yang terjadi sarana dan prasarana yang dimiliki BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih jauh dari kata memenuhi syarat, karena belum memiliki ruang pelayanan secara khusus sehingga korban belum merasa adanya jaminan kerahasian, selain itu BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebetulnya belum memiliki shalter atau rumah aman sementara guna memberikan perlindungan awal dan pelayanan yang intensif kepada korban sebelum dirujuk pada pelayana lebih lanjut, untuk kendaraan oprasional khusus korban BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum memiliki sehingga belum memenuhi prinsip pelayanan dan pendampingan untuk memberikan pelayan yang cepat, aman, dan empati. Ketidak tersediaan saran dan prasarana ini disebabkan keterbatasan biaya yang di miliki oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan karena menurut pihaknya anggran yang dimiliki hanya cukup untuk biaya pendampingan dan oprasional dan tidak cukup untuk pengadaan sarana dan prasarana sehingga kulitas layanan yang diberikan belum optimal. 3. Responsivitas BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dalam menjalankan tugas dan fungsinya menurut peraturan yang ada dapat melibatkan peran serta masyarakat baik perorangan, kelompok maupun organisasi sosial kemasyarakatan untuk bersama-sama berperan aktif dalam mencegah dan mengatasi tindak kekerasan yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat maka, perlu adanya pengembangan program serta penyusunan agenda kegiatan dalam mensosialisasikanya, atas dasar
138
itu maka di bentuklah satuan tugas yang beranggotakan para Rw dan Rt seluruh Kota Tangerang Selatan yang berjumlah 540 orang hingga mendapatkan penghargaan dari MURI, namun pada kenyataannya yang terjadi adalah bahwa 540 anggota satgas yang telah di bentuk hanya terdapat sekitar 10 anggota saja yang aktif, hal ini ternyata terjadi karena para Rt dan Rw sendiri tidak mengetahui akan adanya program pembentukan satgas, sosialisasi yang tidak merata dan tidak menyeluruh menjadi penyebab utama, selain itu tidak adanya agenda dan kurangnya koordinasi khusus untuk melaksanakan pertemuan para anggota satgas semakin membuat program ini tidak jelas kelanjutanya. Selain pembentukan satgas, sosilisasi akan adanya payung hukum dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seperti Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 tenang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan perlu dilaksanakan agar masyarakat Kota Tangerang Selatan lebih sadar hukum, namun kenyataan yang terjadi adalah BPMPPKB Kota Tangerang Selatan tidak memiliki agenda khusus untuk melaksanakan sosislisasi tersebut, sehingga masih banyak masyarakat Kota Tangerang Selatan yang belum mengetahui akan adanya payung hukum dan hanya masyarakat ekonomi mengeah ketas lebih aktif
untuk mencari tahu sendiri melalui media sosial sehingga
pengetahuan akan adanya payung hukum ini tidak merata karena kurangnya sosialisasi.
139
4. Responsibilitas Salah satu fungsi BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebagai koordinator dan fasilitator maka perlu melihat bagaimana koordinasi yang terjalin antar instansi terkait yang ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan penanganan korban kekerasan, agar seluruh korban mendapatkan pelayanan yang telah disediakan serta agar terpenuhi hak-haknya dan terwujudnya prinsip keadilan dengan memberikan pelayanan pada seluruh korban, untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana koordinasi yang terjalin antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan instansi lain yang ikut terlibat, yaitu sebagai berikut: a. Koordinasi dengan Polres Metro Jakarta Selatan dan Polres Metro Kabupaten Tangerang Pihak kepolisian baik dari Polres Metro Jakarta Selatan dan Polres Metro Kabupaten Tangerang keduanya sama-sama mengharapkan adanya upaya jemput bola dari pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, karena pihak kepolisian disibukkan dengan kasus-kasus lain sehingga tidak hanya fokus pada kasus yang berasal dari Kota Tangerang Selatan saja, dan kenyataan yang terjadi ialah para korban yang lapor pada pihak kepolisian tidak mendapatkan pelayanan lanjutan dari pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, hal ini dikarenakan komunikasi antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan pihak kepolisian kurang aktif, padahal lebih banyak korban yang lapor pada pihak kepolisisn ketimbang pada BPMPPKB atau P2TP2A pada tahun 2013 saja perbandingnya sekitar 74:26 persen, sehingga dapat dibanyangkan banyak sekali korban yang tidak mendapatkan pelayananlanjutan karena BPMPPKB Kota Tangerang Selatan
140
hanya memberikan perhatian apabila terjadi kasus besar hingga muncul kemedia masa. b. Koordinasi dengan Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan sebagai penyedia layanan medis bagi korban kekerasan baik visum, rawat jalan, dan bahkan rawat inap haruslah menjalin komunikasi yang baik dengan pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, namun kenyataanya Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tidak memiliki tenaga medis atau tidak memiliki dokter pada RSUD Kota Tangerang Selatan sehingga BPMPPKB Kota Tangerang Selatan harus melakukan visum di rumah sakit swasta dengan biaya yang lebih besar, tidak adanya komunikasi antara kedua belah pihak untuk mencari solusi selama ketidak tersediaan dokter di RSUD ini terjadi. c. Koordinasi dengan P2TP2A Kota Tangerang Selatan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan berkerjasama dengan P2TP2A dalam penyediaan psikolog dan Lembaga Bantuan Hukum selama proses persidangan korban berlangsung, namun P2TP2A masih terbatas dalam penyediaan psikolog yaitu hanya memiliki dua orang psikolog saja, yang keduanya sama-sama sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Jakarta, keberadaan psikolog ini pun terjadwal sehingga para korban yang ingin konsultasi harus mengatur jadwal, hal ini tentunya memberatkan korban dan tidak sesui dengan prisip pelayanan yang tertuang pada peraturan daerah bahwa dalam pelayanan penanganan korban haruslah cepat, aman dan empati. Selain itu untuk kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum saat ini pihak P2TP2A dan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan tidak berkerjasama
141
dengan LBH manapun, karena telah berakhir masa MoU dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan dan dalam masa MoU sempat terjadi berbagai permasalahan dan hingga saat ini belum memastikan dengan LBH mana akan berkerjasama. D. Koordinasi dengan Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan Dalam penanganan korban kekerasan Dinas Sosial bertugas memberikan pelayanan keterampilan dan pelatihan sebagai modal para korban agar memiliki kemadirian dalam hal perekonomian, namun pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan hingga saat ini belum pernah mengirimkan korban kepada pihak Dinas Sosial komunikasi antara keduanyapun tidak aktif, pihak Dinas Sosial beranggapan bahwa BPMPPKB Kota Tangerang Selatan mampu untuk memberikan pemberdayaan ekonomi pada korban sendiri tanpa bantuan pihaknya, sedangkan pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan merasa bahwa Dinas Sosial kurang aktif untuk menjalin komunikasi dengan pihaknya, kuranya komunikasi seperti ini mengakibatkan para korban yang menjadi imbasnya karena tidak mendapatkan pelayanan lebih lanjut seperti pemberdayaan ekonomi. Koordinasi BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan dengan pihakpihak yang ikut terlibat seperti telah di jelaskan di atas, harus lah terjalin dengan baik sehingga para korban bisa mendapatkan hak-haknya dan adanya keadilan karena seluruh korban mendapatkan pelayanan secara berkelanjutan, namun kenyataan yang terjadi adalah bahwa korban yang melapor pada pihak kepolisian tidak mendapatkan penaganan lebih lanjut oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan kecuali, kasus-kasus besar yang muncul di media masa sehingga tidak
142
sesusi dengan prosedur pelayanan yang di buat oleh BPMPPKB Kota Tangrang Selatan. Hal ini dikarenakan komunikasi yang terjalin kurang aktif sedangkan pihak kepolisian mengaharapkan adanya upaya jemput bola dari pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan. 5. Akuntabilitas Pertanggung jawaban yang dilakukan oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, dalam memonitor pelaksanaan penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan instansi terkait yang ikut bertanggungjawab, namun kenyataan yang terjadi adalah bahwa pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan tidak melakukan minitoring atau mengontrol kelanjutan kasus yang sedang ditangani oleh pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan yang masa MoUnya telah berkhir, namun begitu sebetulnya masih ada beberapa korban yang masih ditangani oleh pihak LBH Keadilan dan sebetulnya para korban tersebut masih menjadi tanggung jawab pihak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, karena masih ada pelayanan yang harus di berikan pada korban setelah masa persidangan selesai yaitu pemberian pelatihan atau pemberdayaan ekonomi bagi para korban. Sedangkan untuk bentuk petanggung jawaban pada anggotanya yang lalai dalam menjalankan tugas BPMPPKB Kota Tangerang Selatan telah memiliki sanksi tegas yakni berupa teguran secara lisan, SP1 dan SP2 yang akan di berikan kepada siapa saja yang bekerja tidak sesuai dengan tugasnya, namun sejauh ini hanya baru teguran lisan saja yang di berikan pada anggotanya karean belum ada satupun dari anggota yang lalai dalam bertugas.
143
Keberadaan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan yang memiliki tugas dan fungsi strategis diharapkan mampu menjadi wadah bagi masrakat Kota Tangerang Selatan sebagai fasilitator, koordinator dan melakukan monitoring dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Tangerang Selatan sehingga hak-hak korban dapat terpenuhi seperti: a. Perlindungan b. Mendapatkan informasi c. Pelayanan optimal d. Penanganan berkelanjutan sampai tahap rehabilitasi e. Penanganan secara rahasia f. Pendampingan psikologis dan hukum g. Jaminan atas hak-hak yang berkaitan dengan status sebagai anggota keluarga maupun anggota masyarakat. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti dalam hal ini melihat bahwa pada kenyataanya kinerja BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih belum berjalan dengan maksimal. Dari berbagai kendala-kendala yang telah dijelaskan di atas program dan kegiatan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan belum berjalan secara maksimal, sosialisasi yang kurang merata dan tidak teragendakan sehingga masih banyak masyarakat yang belum meiliki keberanian untuk melapor karena ketidak tahuan adanya payung hukum, hanya masyarakat pada kelas menengah keatas yang aktif untuk mencari informasi sehingga memiliki keberanian untuk melapor. Sedangkan program-program yang telah dibuat oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan hingga saat ini tidak memiliki
144
kejelasan dan tidak ada agenda khusus untuk melakukan pertuan, sedangkan untuk kerjasama BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dirasa masih kurang aktif untuk melakukan koordinasi dan komunikasi dengan instansi terkait yang ikut terlibat dalam proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini lah yang membuat kinerja Bandan pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) belum berjalan dengan optimal. Tabel 4.5 Rekapitulasi Temuan Lapangan Indikator Produktivitas a. Sumber daya manusia b. Hasil kerja
Hasil Penelitian
Kesimpulan
1. Sumber Daya Manusia manusia dalam investigasi belum mencukupi 2. Masih banyak korban yang ditanganin memilih untuk mundur karena penganan yang lamban.
Belum Baik Belum Baik
Kualitas Layanan a. Kemudahan mendapatkan pelayanan
b. Kenyamanan dalam pelayanan Responsivitas a. Pengembangan program
1. Pengetahuan masyarakat akan adanya BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih rendah 2. Masyarakat lebih memilih lapor pada pihak Kepolisian yang jaraknya cukup jauh untuk di jangkau 1. BPMPPKB Kota Tangerang Selatan masih keterbatasan dalam saran dan prasarana 1. Telah membetuk 540 satgas yang beranggotakan Rt danRw seluruh Kota Tangerang Selatan 2. 540 anggota satgas belum berjalan optimal hanya 10 anggota yang aktif 3. Tidak adanya agenda khusus untuk membicarakan kelanjutan program pembentukan satgas
Belum Baik Belum Baik
Belum Baik
Baik Belum Baik Belum Baik
145
b. Penyususnan agenda kegiatan pencegahan kekerasan
4. Masih banyak Rt dan Rw yang tidak mengetahui adanya pembetukan satgas
Belum Baik
1. Keterbatasan anggaran mengakibatkan tidak adanya agenda khusus untuk melakukan sosislisasi payung hukum 2. Sosislisasi yang kurang merata sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan adanya payung hukum 3. Masyarakat menengah kebawah belum memeliki keberanian untuk melapor karna ketidak tahuan payung hukum
Belum Baik
1. Pihak kepolisian pengharapkan adanya upaya jemput bola 2. BPMPPKB Kota tangerang Selatan hanya konsen pada kasus-kasus besar yg muncul di media masa 3. Korban yang melapor pada pihak kepolisian tidak medapat pelayanan lebih lanjut oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan 1. Ketidak tersediaan doktek untuk visum pada RSUD Kota Tangerang Selatan dan tidak adanya komunikasi untuk mencari solusi kedua belah pihak 2. BPMPPKB Kota Tangerang Selatan melakukan visum pada rumah sakit swasta dengan biaya yang lebih besar dan korban masih dikenakan biaya 1. Keterbatasan psikolog sehingga korban merasa kesulitan untuk bertemu 2. Tidak ada kerjasama dengan LBH manapun setelah MoU dengan LBH Keadilan berakhir
Belum Baik
Belum Baik Belum Baik
Responsibilitas a. Komitmen Koordinasi dengan pihak kepolisian
Koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Koordinasi dengan P2TP2A
Koordinasi dengan 1. Hingga saat ini tidak ada satupun korban yang diberikan pemberdayaan ekonomi Dinas Sosial dan oleh Dinas Sosial Ketenagakerjaan Kota Ketenagakerjaan Tangerang Selatan Kota Tangerang Selatan 2. Tidak adanya komunikasi antara kedua belah pihak 3. Pemberdayaan ekonomi dilakukan sendiri oleh pihak BPMPPKB dengan mengirim langsung pada dinas sosial provinsi
Belum Baik Belum Baik
Belum Baik
Belum Baik
Belum Baik Belum Baik
Belum Baik
Belum Baik Baik
146
b. Kesesuaian dengan prosedur Akuntabilitas
1. Kasus yang berjalan tidak sesuai prosedur pelayanan yang di buat oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan
a. Tanggung jawab dalam kegiatan sebagai pelaksana monitoring
1. Beberapa kasus tidak di tangani dan di kontrol hingga tuntas 2. Setelah MoU dengan LBH Keadilan berakhir BPMPPKB Kota Tangerang Selatan tidak mengontrol korban yang masih mendapatkan pelayanan hukum, untuk diberikan layanan lanjutan
b. Sanksi sebagai pertanggung jawaban dalam kegiatan
1. BPMPPKB Kota Tangerang Selatan telah memiliki sanksi tegas kepada setiap anggotanya apabila lalai dalam menjalankan tugas.
(Sumber: Peneliti, 2014)
Belum Baik
Belum Baik Belum Baik
Baik
147
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan lapangan, maka kesimpulan akhir tentang Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat dikatakan belum optimal. Adapun kesimpulan yang berhasil didapatkan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: a. Sumber daya manusia kurang memadai, hal ini dapat dilihat karena BPMPPKB Kota Tangerang Selatan tidak memiliki sumber daya manusia pada bagian investigasi serta adanya rangkap jabatan yang di lakukan olah pejabat fungsionalnya. b. Kulitas layanan yang rendah karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan keberadaan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan sebagai penyedia layanan, serta kenyamanan dalam pelayanan belum terpenuhi karena ketidak tersediaan fasilitas. c.
Tidak adanya kelanjutan program, dan sosialisasi payung hukum yang tidak menyeluruh. Hal ini di sebabkan karena tidak adanya agenda khusus untuk melakukan pertamuan pembahasan kelanjutan program dan tidak adanya agenda khusus dalam melaksanakan sosialisasi payung hukum.
148
d. Koordinasi dan komunikasi yang terjalin antara BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dengan pihak yang ikut bertanggung jawab dalam penyediaan layanan seperti Kepolisian, P2TP2A, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan serta Dinas Sosial Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan belum berjalan dengan baik. e. Controlling yang dilakukan oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan selama proses penanganan tidak menyeluruh. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian di atas, maka peneliti memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai masukan bagi Badan
Pemberdataan
Masyarakan
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Keluarga
Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan agar dalam mengatasi kasus KDRT dapat berjalan dengan optimal, yaitu: a. Melakukan recruitment Sumber Daya Manusia khususnya pada bagian investigasi, serta agar tidak ada lagi pejabat fungsionalnya yang memiliki rangkap jabatan. b.
Melibatkan instansi terkait untuk melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan terus-menerus pada masyarakat agar lebih mengetahui akan tugas dan fungsi BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, serta melakukan pengadaan
149
fasilitas seperti shalter, ruang khusus pengaduan, serta kendaraan oprasional khusus korban sesuai dengan peraturan yang ada. c.
Mengagendakan pertemuan dengan anggota satgas agar memiliki kejelasan serta informasi yang menyeluruh pada anggotanya, serta mengagendakan sosialisasi payung hukum agar masyarakat memiliki keberanian untuk mengungkap KDRT dimasyarakat.
d. Meningkatkan koordinasi antara instansi terkait dan melakukan komunikasi dua arah sehingga seluruh korban mendapatkan pelayanan lebih lanjut. Serta segera melakukan MoU dengan pihak LBH agar korban mendapatkan pendampingan hukum. e.
Meningkatkan controlling dalam tiap-tiap kasus yang masih ditangani oleh intansi terkait, terutama pada pihak kepolisian dan pihak LBH sehingga seluruh korban bisa mendapatkan hak-haknya.
DAFTAR PUSTAKA Buku : Dwiyanto, Agus. 2002. Reformasi Birokrasi Publik. Yogyakarta; Galang Printika. Erna, Surjadi. 2011. Bagaimana Mencegah KDRT. Jakarta; Puataka Sinar Harapan. Fahmi, Irham. 2011. Manajemen Kinerja Teori dan Aplikasi. Bandung ; Alfabeta. Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosil. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Irawan, Prasetya. 2006. Metodelogi Penelitian Administrasi. Jakarta; Universitas Terbuka. Mahsun, Mohamad. 2006. Pegukuran Kinerja Sektor Publik.Yogyakarta ; BPFE Universitas Gadjah Mada. Malayu S.P. Hasibuan, H. 2011. “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Edisi Revisi. Jakarta; PT. Bumi Aksara. Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya. Naqiyah, Najlah. 2005. Otonomi Perempuan. Malang ; Bayumedia. Nugroho, Riant. 2011. Gender dan Strategi Indonesia.Yogyakarta ; Pustaka Pelajar .
Pengurus
Utamaanya
di
Sedarmayanti, 2010. Manajemen Sumber daya Manusia. Bandung ; Refika Aditama. Silalahi, Karlinawati dan Meinarno, Eko A. 2010. Keluarga Indonesia. Jakarta ; PT. RajaGrafindo Persada Simanjuntak, Payaman J. 2005. Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta ; FE UI Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung; Alfabeta. Suharto, Edi dan Freddy, Anton. 2007. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung ; Nuansa Cendikia Suwatno dan Priansa Donni Juni. 2011. Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis. Bandung ; Alfabeta.
Thoha, Miftah. 2011. Perilaku Organisasi. Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada Uha, Ismail Nawawi. 2013. Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja. Jakarta; Kencana. Wibowo, 2012. Manajemen Kinerja. Jakarta ; PT. RajaGrafindo Persada. Wirawan, 2009. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Jakarta ; Salemba Empat. Dokumen Lain: Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Peraturan Gubernur Banten Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Di Provinsi Banten Sumber Penelitian Terdahulu: Kanita. 2004. Proses Penanganan Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Oleh Lembaga Kalyanamitra Di Jakarta. Depok; Universitas Indonesia. Sumber Lain: Data KDRT Level Nasional Tahun 2011 diunduh Laporan http://asosiasilbhapik.or.id/ pada tanggal 03 April 2014 pada pukul 22:30
dari
Tesis Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga diunduh dari http://www.pps.unud.ac.id/ pada tanggal 07 Maret 2014 pada pukul 02:00
DOKUMENTASI LAPANGAN
Wawancara dengan Kepala Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan
Wawancara dengan Kepala Sub Unit VI PPA Satuan Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan.
Wawancara dengan Ketua Pengurus LBH Keadilan
Wawancara dengan Sekretaris P2TP2A Kota Tangerang Selatan
Wawancara dengan Kepala Seksi Bina Kelembagaan Sosial Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Tangerang Selatan
Wawancara dengan anggota Satgas Kota Tangerang Selatan
Wawancara dengan korban KDRT
Wawancara dengan masyarakat Kota Tangerang Selatan
Ruang pelayanan pengaduan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan
Kantor P2TP2A Kota Tangerang Selatan yang tampak lengang
TRANSKRIP DATA I
Q1
I1-1 I1-2
I1-3
I1-4
I1-5
I1-6
Apakah sumberdaya manusia yang dimiliki telah dirasa memadai?
Kode
Kita kalau untuk SDM kalo di bilang cukup tapi yaa tergantung kinerja kita, kalau kita bisa menggerakkan diri kita untuk bekerja baik rasanya yaa bisa saja cukup Kalau di BPMPPKB yaa di bidang saya yaa alhamdulillah sudah cukup, tapi untuk yang di P2TP2A belum cukup untuk bagian investigasinya masih kurang, kalau untuk bagian investigasi di saya masih kurang tapi kalau P2TP2A lebih-lebih kurang lagi dari kita, belum memenuhi sayarat lah tapi kita berusaha semaksimal mungkin mau jam 7 malam jam 9 malam sampai hari sabtu hari minggu tetap kita melayani. Tetapi ketika ikut terjun langsung dalam investigasi kalau terus menerus mah iya lah kualahan, untuk investigasi lebih-lebih kalau hari sabtu minggu kadang saya yaa kadang gantian pak Hairul, yaa pokoknya kualahan lah kalo kita saja karena kasusnya itu kan banyak sedangkan kita juga ga punya relawan. Kalau untuk sumber daya manusia BPMPPKB belum memadai, sebetulnya begini secara kepengurusan sih sudah tapi secara penanganan investigasi keluar kadang BPMPPKB masih kekurangan orang, nah P2TP2A kan di bentuk dari BPMPPKB juga jadi kalau kerja yaa sama-sama jadi BPMPPKB tuh ngebantu kita, ada satu orang yang suka ngebantu saya itu Pak Hairul, tapi kalau untuk di P2TP2A saya hanya sendiri, kalau untuk pengurus yang lain jarang datang karena mereka kan sibuk dengan kegiatan masing-masing karena mereka orang-orang penting semua dan bekerja di instansi masing-masing, jadi jarang sekali mereka berkantor di P2TP2A karena mereka orang ahli. Kalau untuk personil kita memang masih kurang, karena di wilayah Selatan selain DKI tetapi kita juga melayani wilayah Tangerang Selatan yaitu, Ciputat dan Pamulang administrasi hukumnya berada pada kita. Jadi, karena kita banyak sekali laporan yang masuk sementara personil kita hanya sekitar 9 orang masih sangat kurang, karena kita dalam satu hari bisa menangani sekitar 5 sampai 7 kasus untuk KDRT, tetapi kalau untuk sumber daya manusia di BPMPPKB nya sendiri saya kurang tahu karena saya tidak pernah bersentuhan langsung. Kalo di kita sumber daya manusia yang harus nya lebih banyak ya polwan, agar lebih bisa memahami psikologis korban KDRT, tetapi kita kekurangan mangkanya tahun 2014 ini banyak penerimaan polwan sebanyak 7000 yang biasanya hanya 400 saja, ini bertujuan untuk menangani korban kekerasan sehingga di polsek-polsek dapat menangani juga. Kalau untuk sumber daya manusia BPMPPKB saya kurang tau yaa karna di sini saya baru tiga bulan dan baru aktif satu bulan. Kami rasa sudah cukup yaa mba
1 2
3
4
5
6
I2-1
Kenapa BPMPPKB sempat melakukan MoU dengan LBH kita? Yaa karena itu lah 7 keterbatasan sumber daya manusia yang mereka miliki sehingga bekerja sama dengan kita, karena apa? Setiap kasus yang masuk ke BPMPPKB itu akan dirujuk ke P2TP2A dan di sana itu tidak ada bagian hukumnya, yaa di tulisan sih ada bagian hukum tapi yang bekerja untuk mendampingi itu tidak ada. Sedangkan untuk LBH kita semdiri kita memiliki 5 pengacara yang siap mendampingi.
I3-1
Kurang tahu juga saya mba, tapi waktu saya lapor ke BPMPPKB saya dilayani oleh 8 satu orang sama mba Dini aja yang lain sih pada sibuk sama kerjaan mungkin yaa, malah saya itu ga tau mba Dini itu dari BPMPPKB atau P2TP2A, soalnya waktu saya ke P2TP2A untuk kelanjutan kasusnya itu di layani oleh mba Dini juga dan hanya mba Dini sendiri yang berada disana gitu.
I
Q2
I1-2 I1-3
I1-4
I1-5
I2-1
I
Q3
Berapa kasus KDRT yang ditangani hingga tuntas dalam setahun? Banyak sih yang ditangani, sekitar 80% tapi banyak juga kasus yang mundur. Kita sih ingin nya 100% selesai, cuma kalau untuk penyelesaian kita lihat kliennya juga, jangan sampai kita kasih solusi tapi mereka pakai cara dia bukan kita yang ikut aturan mereka tapi mereka yang harus ikut aturan main kita karena ada prosedur yang terbaik buat klien, kadang susah di atur masalah waktunya, yaa itulah kendalanya tapi kasus selesai sekitar 70%. Tidak pasti, karena yang penting selama kasusnya tidak kadaluarsa, karena untuk KDRT sendiri ada sebagian pelapor yang meminta untuk ditunda dahulu lalu nanti kita minta surat pendingnya, jadi sebetulnya bukan kita yang menghambat tetapi mungkin mereka yang ingin melakukan mediasi secara kekeluargaan atau difikirfikir dulu. Jadi, kasus bulan januari ini saja ada 14 dan yang selesai sampai saat ini baru 2, kenapa hanya dua? Kasus tetap berjalan namun, yaa kita keterbatasan penyidik yang pasti kita kerja tetap berusaha maksimal walaupun dengan keterbatasan anggaran. Kalau untuk itu saya harus cek, intinya semua kasus dimasa kerjasama dengan BPMPPKB sebetulnya kita yang menangani.
9 10
11
12
13
Apakah waktu dalam penyelesaian dirasa efisien?
I1-2
Tergantung seperti kasus sekarang ini untuk visum saja sudah ada satu minggu.
I1-3
Wah kalo masalah waktu kita ga bisa ukur tuh mba, karena ada juga kasus yang 15 bertahun-tahun belum selesai juga karena sulit sekali atur waktu dengan mereka. Kalau dalam waktu penyelesaian kita tidak bisa diukur waktu. 16
I1-4 I1-5
14
Dalam penyelesaian kasus biasanya yang bikin lama yaa para pihak korbanya, 17 kadang telepon bilang mau difikir-fikir dulu, malah ada yang sampe dua tahun baru
I3-1
I
Q4
I1-1
I1-2
I1-3
I1-4
I1-5 I1-6 I3-1
I3-2 I3-3
minta diproses malah kadang kita yang telepon mereka, kita tanya apa mau dikerjakan berkasnya, jadi kalo waktu penyelesaian kita ga bisa ukur. Pas pertama sehabis saya lapor itu kan saya di anjurkan apakah mau lapor ke kantor 18 polisi atau mediasi saja, besoknya saya akhirnya memilih lapor ke polres Jakarta Selatan mba itu pun tidak di antar oleh BPMPPKB, yang lama itu ketika mau bertemu dengan psikolog mba mesti atur waktu karena dia tuh ga setiap saat ada dan terjadwal, kadang pas psikolognya bisa saya nya yang berhalangan, kadang saya nya bisa psikolognya yang sibuk karena mereka kan dosen yaa. Apakah BPMPPKM sebagai penyediaan layanan cukup dikenal oleh masyarakat, upaya apa yang dilakukan? Biasanya yang lapor itu masyarakat yang memiliki ekonomi menengah ke atas, 19 karena kesadaran mereka akan adanya kehadiran BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dan adanya undang-undang lebih tinggi, di bandingkan dengan masyarakat ekonomi menengah kebawah Belum, sosialisasi kita terus yaa walaupun tidak terjadwal tapi kalau ibu-ibu kader 20 mah tau tapi masyarakat bias jarang pada tahu, ibu-ibu yang aktif yang suka internet yang pinter pasti tau, kalau masyarakat awam belum, malah Rt atau Rw juga kadang belum tahu, jadi satgas belum berjalan optimal. Jelas BPMPPKB lebih dikenal dibandingkan dengan P2TP2A, tapi korban lebih taunya kalau lapor itu kepolisi bukan ke kita, kalau lapor kekita jarang sekali yang tahu, masyarakat awam masih bertanya-tanya apa saja sih pelayanan yang diberikan oleh BPMPPKB. sosialisasi ke masyarakat kita cendrung jarang dilibatkan. BPMPPKB belum dikenal oleh masyarakat biasanya masyarakat masih bertanya-tanya kalo mendengar BPMPPKB, padahal sangat penting karena di kita banyak sekali laporan yang berasal dari Tangerang Selatan yaitu, Ciputat dan Pamulang selain KDRT jenis kekerasan yang sering terjadi bukan hanya fisik yang tinggi tapi juga psikis sekitar 60:40 perbandinganya. Masyarakat sepertinya masih banyak yang belum paham ketika ada ada KDRT taunya mereka itu lari ke polisi padahal sebetulnya ada dinas-dinas yang berwewenang untuk menanganinya seperti BPMPPKB ini. Oh, iya. Kayanya kalau untuk masyarakat biasa juga jarang yang tau yaa mba, saya juga kenapa bisa lapor kesana karena dulu sempat cari-cari dan baca di internet, jadi kayaknya lebih aktif masyarakat yang cari tahu ketimbang mereka yang kasih sosialisasi karena ga pernah ada tuh sosialisasi di lingkungan rumah saya Saya ga tau tuh sudah lama memang adanya? Awalnya saya lapor ke Polsek Serpong karena saya tidak tahu ada BPMPPKB dan fungsinya itu seperti apa. Gak pernah ada sosialisasi tuh, saya juga baru tahu sekarang ini kalau ada instansi pemerintah Tangerang Selatan yang bisa bantu nanganin KDRT, pokoknya setelah kejadian saya di pukulin itu saya langsung lapor ke polsek serpong terus saya di
21
22
23 24 25
26 27
I3-4
I3-5 I3-6 I3-7 I3-8 I3-9
I
Q5
I1-2
I1-3 I1-4
antar ke polres tigaraksa. Saya sih kurang tahu yah, biasanya sih itu mah buat perempuan kan yaa? Lagian setahu saya sih kalau ada KDRT masyarakat lebih taunya lapor ke polisi, masyarakat kayanya masih pada asing denger BPMPPKB. Sosialisasi juga gak ada, gak tau kalau ke kelurahan tapi kalu ke Rt atau Rw sih sampai saat ini tidak ada. Saya tidak tahu, itu lembaga swadaya atau lembaga pemerintah yaa, kita ga pernah ada penyuluhan sih mba. Tidak tahu, belum pernah ada tuh penyuluhan masalah kekerasan dari kelurahan, biasanya kalau Rwnya dapet informasi pasti Rt juga tahu soalnya sama aktif kalau ada acara-acara. Tidak tahu, belum pernah ada tuh penyuluhan masalah kekerasan dari kelurahan, biasanya kalau Rwnya dapet informasi pasti Rt juga tahu soalnya sama aktif kalau ada acara-acara. Engga tau tuh Waah, saya kurang tahu. Tugasnya apa saja juga saya tidak tahu, sosialisasi juga gak pernah ada baik dari Rt, Rw dan kelurahan juga sama sekali tidak ada sosialisasi tentang penanganan KDRT. Kalau ada KDRT juga masyarakat mah taunya langsung lapor ke polisi aja soalnya saya ga tau kalo ada dinas yang bisa bantu nanganin KDRT.
28
29 30 31 32 33
Apakah sarana serta prasarana telah memadai? Maunya saya kan satu atap yaa, seperti di Jakarta Timur dalam satu gedung ada 34 bagian hukumnya, ada paramedisnya, ada dokternya, psikolognya, ada juga shalter nya. Nah, karena Tangerang Selatan ini baru berdiri tapi memang belum memenuhi syaratlah sarana dan prasarananya, walaupun memang kita dapat dana uang hibah tapi sarana dan sumber daya manusianya kita belum siap satu atap, anggaran sih cukup tapi baru cukup untuk pendampingan aja, tapi kalau gedung kita masih ngontrak inginnya sih satu atap agar tidak perlu rujuk ke sana-sini, kadang-kadang psikolognya itu suka lagi ngajar LBH juga sama. Nah, untuk kendraan juga kan BPMPPKB belum mengadakan, harusnya memang ada, saya sih ingin sekali, justru itu sarana dan prasarananya belum mencukupi, saya ingin mengajukan kendaraan untuk klien entah mobil, ambulan, atau motor kalau naik angkutan umum kan lumayan biayanya. Sedangkan kalau di sini sering sekali banyak yang konsultasi walaupun tidak ada tempatnya yang khusus, tapi banyak saja yang konsultasi. Sudah lengkap ko, kita punya shalter tapi kita ga bisa kasih tau di mana lokasinya. 35 Belum pernah merasakan mba, jangankan melihat merasakan saja belum shalter 36 juga tidak ada, kami tidak pernah bersentuhan langsung dengan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan gak ngerti apa kurang sosialisasinya atau gimana.
I2-1
I3-1
Q6 I I1-1 I1-2
I1-3 I1-4
Ini hal yang menarik, sebetulnya ini sudah diatur yaa dalam Peraturan Gubernur 37 Nomor 21 tahun 2009 Tentang Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Di Provinsi Banten, nah di peraturan tersebut tertulis harus adanya fasilitas shalter tapi BPMPPKB shalter sata tidak punya, kalo ada Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang hadir mau member penilaian tertentu BPMPPKB itu mengklaim bahwa mereka punya shalter, kantor mereka juga dijadikan sebagai shalter ada memang tempat tidur tapi saya pernah menangani kasus pernah ada satu orang yang saya tempatkan di shalter tapi ko sampai mau diusir kan lucu, karena kelamaan katanya sih. Yaa, lalu saya carikan orang yang mau manampung, waktu itu ada seorang dosen yang mau membantu menampung dia punya shalter walaupun tidak aktif tapi dia bisa membantu, kan kasihan korban diusir saya sangat menyayangkan sekali padahal kondisi korban terancam suaminya TNI yang jaraknya itu tidak jauh dari P2TP2A. Selama proses penanganan sih saya kurang merasakan, karena saya kemana-mana 38 juga sendiri ga di antar jemput sama mereka selama proses berlangsung ga ada tuh yang namanya kendaraan oprasional, kalau untuk ruang pelayanan pengaduan di BPMPPKB saya rasa kurang privat yaa mba, jadi hanya seperti ruang untuk tamutamu biasa atau ruang tunggu jadi waktu saya mau cerita pun saya merasa malu karena itu seperti ruang terbuka yang siapa saya bisa mendengarkan ketika saya bercerita soal masalah saya gitu, dan kalau untuk shalter yaa mba saya tidak tahu karena sama sekali tidak di tawarkan untuk tinggal disana, selama proses berjalan saya tinggal di rumah orang tua saya karena kebetulan tidak jauh. Apakah program dan agenda yang ditempuh untuk mencegah KDRT di masyarakat dan berjalan hingga saat ini? Kita sudah membentuk 540 anggota satgas tingkat rt maupun rw seluruh Kota Tangerang Selatan, pengesahanya itu tahun 2013 lalu, sampai saat ini satgas masih terus berjalan Satgasnya juga maaf yaa, belum optimal lapor aja belum pernah malahan duluan koran, satgas ada yang melapor ada juga yang tidak melapor, kalau satgas yang suka lapor ada biasanya dari Jombang, tapi mungkin gimana yaa kuranglah padahal sudah pelatihan malah masyarakatnya langsung yang pada lapor. Ada, pertemuan kita omongin lagi segala macam, biasanya lewat SMS aja yang kemaren tuh ada satgas SMS saya, tergantung satgasnya mungkin yaa ada yang lapor ada yang engga, mungkin sibuk kerja jadi tidak fokus jadi satgas belum berjalan optimal. Untuk sosilisasi UU PKDRT dan Perda itu jalan terus tapi tidak terjadwal karena keterbatasan anggran juga yaa Sosialisasi sih selalu yaa setahu saya, tapi memang tidak ada agenda khusus untuk sosilisasi mengenai adanya payung hukum, tapi P2TP2A itu pasti dilibatkan setiap BPMPPKB mengadakan acara pertemuan membahas perempuan dan anak. Kalau untuk BPMPPKB nya sudah dibentuk satgas dan itu tidak berjalan sama
39 40
41 42
I2-1
I3-1 I3-2
I3-3
I3-4
I3-5
I3-6
sekali yang saya tahu, seperti formalitas saja dibentuknya, tetap saja lapornya ke polisi gak pernah ada satgas ada KDRT menangani duluan, tapi satgas ini benar ada atau tidak karena tidak pernah ada satgas yang ikut menangani dan mendampingi untuk lapor ke polisi, terbentuknya satgas seolah-olah terlihat bagus saat diseminar saja. Dan untuk kerja sama saya katakana tidak pernah ada dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan wilayah Tangerang Selatan BPMPPKBnya terutama. Jadi begini, ada satgas di bentuk belum lama ini yaa sekitar tahun kemarin lah, lagilagi ibu Atut dan Airin pandai membuat formalitas, satgas ini ga main-main loh sampai dapat MURI karena satu-satunya satgas yang ada ditingkat RT/RW tapi yaa tidak berjalan, tadinya secretariat satgas mau berkantor di P2TP2A, karena pernah LBH kita kehabisan kontrak kantor tadinya mau di pindah ke P2TP2A tapi tiba-tiba dibatalkan, yaa tidak masalah karena kabarnya mau digunakan untuk secretariat satgas tapi sampai saat ini tidak ada, ada deklarasinya memang satgas itu tapi yaa tidak berjalan sampai sekarang saja sayabelum pernah menerima laporan KDRT dari anggota satgas, dilihat kementrian sih satgas itu bagus padahal sangat disayangkan klien saya yang korban KDRT kalo saya tanya mengenai satgas tidak ada yang tahu. Untuk satgas tingkat Rt dan Rw saya sama sekali tidak tahu yaa mba, dan untuk sosilisasi perda juga tidak ada, tapi kalau UU PKDRT saya tahu mangkanya saya mau lapor kepolisi karena sudah jelas peraturanya. Saya ga tahu mba kalau ada satgas tingkat Rt/Rw, pokoknya saya mah langsung lapor aja ke polisi. Kalo untuk undang-undang PKDRT saya pernah lihat di tv jadi sedikit tahu, kalo untuk hukuman paling sedikit lima tahun, tapi kalau untuk Peraturan Daerah saya tidak tahu. Ga pernah ada sosialisasi tuh masalah satgas, pas ada kejadian itu saya langsung saja lapor ke kantor polisi terdekat, karena saya sudah ga tahan terlalu sering suami saya mba sampai yang terakhir itu saya di cekik terus di banting mangkanya saya udah ga tahan, tapi ga pernah ada perhatian dari Rt atau Rw juga. Saya tidak pernah ikut pelatihan sama sekali selama jadi Rt, biasanya kalau saya lagi kerja ataupun tidak kerja itu pasti ada undangannya kalau memang benar-benar ada pembentukan satgas yang katanya sih anggotanya Rt sama Rw, kita juga ga tau program kerjanya apa aja yang harus dilakuin, biasanya kalau emang satgas itu bener ada kegiatan tuh dikumpulin di kelurahan atau minimal ada undangan lah kan sempat ga sempat kan kita jadi tahu, pernah juga kita di kumpulin sama polisi ada kegiatan kita di kasih kaos sama topi.
43
44 45
46
47
Saya tidak tahu, mungkin bisa saja satgas yang dibentuk oleh BPMPPKB itu tim 48 tertentu soalnya pemerintah suka gini mba, ngundang relasi yang mungkin dulunya mereka tim sukses mereka, jadi bisa saja bukan Rt/Rwnya yang datang, akhirnya program yang berjalan itu tidak sampai ke bawah sosialisasinya karena penyampaianya bukan pada orang yang tepat jadi gitu mba. Kita belom pernah ada undangan, pernah ada rapat kecamatan tapi rapat masalah 49
I3-7
I3-8 Q7 I I1-2
I1-3
I3-1
Q8
I I1-2 I1-4
PBB tapi kalau untuk sosialisasi masalah penanganan KDRT itu belum pernah ada, kalau emang ada pelatihan untuk Rt/Rw pasti biasanya ada undangan entah dari kelurahan atau kecamatan, kalau untuk Peraturan Daerah sama pelatihan pembetukan satgas mah belum pernah ada kumpul-kumpul tuh. Kalau memang program itu benar ada tapi saya ga dapet undanganya, ga pernah 50 ada juga sosialisasi, pernah ada undangan dari Dinas Tata Kota, biasanya kalo ada sosialisasi dari dinas itu kita yang minta jadi dari bawah minta ke atas bukan dari atas yang inisiatif datang ke kita, tapi kita yang ususlkan baru mereka mau datang, kalau memang benar ada pembentukan satgas pasti saya tahu walaupun saya ga dapet undangan, karena saya aktif di forum Rw Kecamatan Setu, jadi kadang suka kumpul Rw sekecamatan Setu bagi-bagi informasi kegiatan apa aja, jadi walaupun saya tidak bisa hadir di acara sosilisasi tapi pasti saya tahu. Engga tau, ga pernah ada sosialisasi kalo orang-orang pada tau mah kan jadi pada 51 berani mau ngelapor juga soalnya jelas ada peraturanya dan ada satgasnya. Apakah BPMPPKB telah menjalankan tupoksinya sebagai koordinator bagaimana komunikasi dengan P2TP2A? Jika ada pelaporan biasanya kita investigasi dulu, selanjutnya kita yang 52 mengarahkan P2TP2A yang menjalankan untuk investigasi kita suka bantu-bantu P2TP2A semaksimal mungkin mau jam 7 malam jam 9 malam sampai hari sabtu hari minggu tetap kita bantu melayani. Nah P2TP2A kan di bentuk dari BPMPPKB juga jadi kalau kerja yaa sama-sama 53 jadi BPMPPKB tuh ngebantu kita, ada satu orang yang suka ngebantu saya itu Pak Hairul, P2TP2A itu pasti dilibatkan setiap BPMPPKB mengadakan acara pertemuan membahas perempuan dan anak. waktu saya lapor ke BPMPPKB saya dilayani oleh satu orang sama mba Dini aja 54 yang lain sih pada sibuk sama kerjaan mungkin yaa, malah saya itu ga tau mba Dini itu dari BPMPPKB atau P2TP2A, soalnya waktu saya ke P2TP2A untuk kelanjutan kasusnya itu di layani oleh mba Dini juga dan hanya mba Dini sendiri yang berada disana gitu. Apakah BPMPPKB telah menjalankan tupoksinya sebagai koordinator bagaimana komunikasi dengan Polres Jakarta Selatan? Untuk kerjasama dengan polres biasanya kita minta data itu tiap trimester, dan 55 biasanya kita suka telepon kalau sedang ada kasus besar biasanya saya suka baca di koran. Untuk wilayah Tangerang Selatan saya katakana tidak, bahkan kita tidak pernah 56 bersentuhan langsung dengan BPMPPKB, yang memproses KDRT itu kita, biasanya BPMPPKB itu hanya menunggu saja dari kita, dan data-data korban pun dari kita biasanya BPMPPKB setahun dua kali datang untuk minta data, kita itu sebetulnya mengharapkan adanya jemput bola, kalau kita kan sibuk karna tiap hari itu bisa 5-7 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kita maunya mereka
I3-1 Q9 I I1-2 I1-3 I3-2
yang aktif atau setidaknya mereka menugaskan orang deh untuk stay di sini, jangan datang hanya untuk minta data saja. Kalo menurut kita sih belum merasakan secara langsung, korban itu masih banyar untuk bagian pelayanan kesehatannya, yaa walaupun hanya bayar sekitar 28ribu tapikan biasanya mereka saat melapor dalam keadaan spontan bahkan sering ojek saja belum dibayar, sementara mereka tidak bawa uang lalu bagaimana bayar administrasi rumah sakitanya? Seriang kali korban mengeluhkan soal itu, Selain itu yang kurang dari pemerintah Tangerang Selatan rumah sakitnya tidak on time, artinya hanya hari selasa atau rabu hanya seminggu sekali untuk dokter yang menangani visum korban KDRT, sedangkan polisi dituntut cepat untuk bertindak dalam merespon, bagaimana bisa cepat kalau visum saja sulit, mau ga mau kita rujuk kerumah sakit Pertamina dan akhinya korban bayar sekitar 300ribu. Kalau untuk korban asal DKI kerjasamnya dengan RSCM namun tidak mem back up korban dari wilayah Tangerang Selatan jadi untuk korban asal Tangerang Selatan dikenakan biaya. Pas pertama sehabis saya lapor itu kan saya di anjurkan apakah mau lapor ke kantor 57 polisi atau mediasi saja, besoknya saya akhirnya memilih lapor ke polres Jakarta Selatan mba itu pun tidak di antar oleh BPMPPKB Apakah BPMPPKB telah menjalankan tupoksinya sebagai koordinator bagaimana komunikasi dengan Polres Kabupaten Tangerang ? Untuk kerjasama dengan polres biasanya kita minta data itu tiap trimester, dan 58 biasanya kita suka telepon kalau sedang ada kasus besar biasanya saya suka baca di koran. Sudah, tapi saya tidak tahu sudah baik atau belum, mereka sudah paham dengan 59 jobnya masing-masing, seharusnya sih ada jemput bola karena kepolisian kerjanya itu ga ada batasnya dari pagi sampai malam unit PPA ini selalu siap melayani. Saya sama sekali ga ditanganin sama BPMPPKB, malah saya baru tahu sekarang 60 ini kalo ada dinas yang bisa bantu nanganin, dan waktu saya lapor ke polisi itu ga di saranin apa-apa sama pihak kepolisian ga ada pengantarnya buat kedinas biar dapet bantuan apa psikolog apa medias, misalkan di suruh minta bantuan dinas lah pokoknya engga sama sekali sampai sekarang sudah cerai aja dinasnya sama sekali ga ada bantu apa-apa. Untuk visum kan saya di rujuk ke Rs. Ashobirin bukan di RSUD Tangsel ga tahu karena apa yaa, kejadian nya itu saya hari jumat untuk biaya visum di bayarin dulu sama polisi karena kasian katanya liat saya babak belur, soalnya saya juga ga bawa uang sama sekali ga kepikiran juga, tapi untuk nebus obat saya bayar sendiri, nah hasil visum itu keluar hari senin baru setelah hasil keluar saya di bawa ke Polres Tigaraksa. Setelah sampai di Polres saya di introgasi sama polisi tapi sama sekali ga ada yang mendampingi saya dari dinas terkait. Sebetulnya sih ga mau lapor ke polisi tapi karena kondisi saya seperti orang yang habis maling motor babakbelur akhirnya sama keluarga disuruh lapor, tapi selama kasus berjalana tidak ada pendampingan dari BPMPPKB sama sekali ga ada dinas yang mendampingi untuk nguatin saya padahal kondisi saya lagi lemah,
I3-3
Q10 I I1-2
I1-6
I1-4
malah pas saya di introgasi polisi di suruh bayar 400ribu katanya sih buat upah ngetik polisinya, maka dari itu kasus nya tidak saya perpanjang berkas juga tidak saya cabut karena kalo kasusnya di perpanjang polisi nya minta uang jalan terus, misalkan kita kasih sejuta biar mantan suami saya bisa di tangkap mangknya butuh biaya besar jadi ga saya teruskan bukan saya yang dapet pelayanan malah saya yang di suruh bayar. Enggak ada yang mendampingi saya sama sekali kalau dari dinas , kalau untuk 61 visum di puskesmas Balaraja dan sama sekali ga di pungut biaya dibayarin sama pihak kepolisian katanya meraka kasian lihat saya, tapi ga ada tuh dinas BPMPPKB yang ngedampingin saya sampai persidangan pun sama sekali ga ada pendampingan misalkan pengacara gitu engga sama sekali, saya ga tau sama sekali kalau ada dinas yang bisa kasih perlindungan buat saya, padahal setelah kejadian itu saya ngerasa ga tenang mentalnya, sampai sekarang saya sudah cerai malah sampai mantan suami saya sudah keluar dari tahanan pun ga ada tuh dinas yang dating ke saya kasih perhatian atau bantuan, dari pihak kepolisian juga ga ada rekomendasi buat minta perlindungan ke BPMPPKB. Apakah BPMPPKB telah menjalankan tupoksinya sebagai koordinator bagaimana komunikasi dengan Dinas Kesehatan? Nah, itu juga kemarinkan visum itu semestinya dari Polres yaa ga bisa dari Polsek 62 karena katanya Polsek kita belum ada orang-orangnya di bagian PPA, jadi dirujuk ke Polres Tigaraksa dan Jakarta Selatan, visum itu ada anggrannya dari hibah kita yang bayar, biasanya ke Puskesmas Balaraja, kalau untuk Jakara Selatan ke Cipto atau Fatmawati tapi saya berusaha ke RSUD Tangerang Selatan, dan kenyataan RSUD Tangerang Selatan kemarin tidak terima karena dokternya tidak ada untuk visum sedang ada masalah, kan kalau di swasta mahal di Cipto aja bisa 750ribu, tapi kita sering rapat kerjasama dengan dinas kesehatan, tapi memang RSUD belakangan ini tidak ada dokternya. Komunikasi kita baik ko, tapi kalo untuk kasus korban yang berobat ke puskesmas 63 tapi mereka teridikasi sebagai korban KDRT itu urusan yang di puskesmas kita sih hanya mencatat, yaa seharunya sih BPMPPKB aktif tersendiri harus adanya saling komunikasi dan kerjasama. korban itu masih banyar untuk bagian pelayanan kesehatannya, yaa walaupun 64 hanya bayar sekitar 28ribu tapikan biasanya mereka saat melapor dalam keadaan spontan bahkan sering ojek saja belum dibayar, sementara mereka tidak bawa uang lalu bagaimana bayar administrasi rumah sakitanya? Seriang kali korban mengeluhkan soal itu, Selain itu yang kurang dari pemerintah Tangerang Selatan rumah sakitnya tidak on time, artinya hanya hari selasa atau rabu hanya seminggu sekali untuk dokter yang menangani visum korban KDRT, sedangkan polisi dituntut cepat untuk bertindak dalam merespon, bagaimana bisa cepat kalau visum saja sulit, mau ga mau kita rujuk kerumah sakit Pertamina dan akhinya korban bayar sekitar 300ribu. Kalau untuk korban asal DKI kerjasamnya dengan RSCM
I2-1
I3-2
Q11 I I1-2 I1-7 I3-1 I3-2 Q12 I I1-2
I1-3 I2-1
namun tidak mem back up korban dari wilayah Tangerang Selatan jadi untuk korban asal Tangerang Selatan dikenakan biaya. Untuk kerjasama BPMPPKB dengan rumah sakit itu setahu saya tidak ada 65 koordinasi, yaa akhirnya tetap yang ditanyakan KTP dengan KK nya ketika korban KDRT mau brobat masalah biaya kesehatan untuk korban sepertinya masih belum ada koordinasi antara dinas kesehatan dengan BPMPPKB selain itu lokasi Rumah Sakit Umum Tangerang Selatan juga terlalu jauh mengkin memang betul jika pelayanan visum hanya seminggu satu kali mangkanya korban di rujuk ke Rumah Sakit Pertamina. Untuk visum kan saya di rujuk ke Rs. Ashobirin bukan di RSUD Tangsel ga tahu 66 karena apa yaa, kejadian nya itu saya hari jumat untuk biaya visum di bayarin dulu sama polisi karena kasian katanya liat saya babak belur, soalnya saya juga ga bawa uang sama sekali ga kepikiran juga, tapi untuk nebus obat saya bayar sendiri, nah hasil visum itu keluar hari senin baru setelah hasil keluar saya di bawa ke Polres Tigaraksa. Apakah BPMPPKB telah menjalankan tupoksinya sebagai koordinator bagaimana komunikasi dengan Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan? kalau di Dinas Sosial belum ada rujukan dari saya, kurang gereget kalau dengan Dinas Sosial tuh, paling yaa kita bawa ke Provinsi. Kalo komunikasi sih yaa kita sama-sama, sampai sekarang sih belom ada, mungkin BPMPPKB nanganin sendiri kalo masalah pemberdayaan ekonominya, kalaupun ada pemberdayaan ekonomi kita biasanya dapet laporan dari kecamatan. kalau untuk pemberdayaan ekonomi sampai sekarang saya sudah bercerai ga ada tuh mba. Engga sama sekali sampai sekarang sudah cerai aja dinasnya sama sekali ga ada bantu apa-apa.
67 68 69 70
Apakah BPMPPKB telah menjalankan tupoksinya sebagai koordinator bagaimana komunikasi dengan Lembaga Bantuan Hukum? Masih dengan LBH Keadilan nya Pak Hamim yaa, Belakang ini dengar-dengar, 71 kalau lapor ke dia dulu biasanya yaa ada yang diminta uang kan dia lembaga swasta, tapi kalau yang lapor ke kita sih tidak boleh dikenakan biaya sepeser pun karena kita yang bayar. Kalau untuk koordinasi dengan LBH itu kita dulu dengan Pak Hamim yaa, tapi 72 kalau sekarang kita sedang melakukan pendekatan dengan LBH nya Pak Ikhsan tapi belum ada MoU. Untuk kerjasama MoU itu mulai tanggal 30 Oktober 2012 sampai terakhir 2013, itu 73 hanya satu tahun dan semua jelas peran dan kompensasinya di MoU, ada yang lucu mba soal MoU saya tanda tangan sama P2TP2A nah sedangkan P2TP2A itu kan instansi yang terpisah dengan walaupun orangnya yaa mereka-mereka juga tetapi
Q13
I I1-2 I3-3
Q14
I I1-1 I1-2
I1-3 I1-4 I1-6 I1-5
ternyata urusan dan segala macam itu di BPMPPKB padahal saya MoU dengan P2TP2A dan tahun 2013 saya mempertegas ini MOU mau di teruskan atau tidak? Kalaupun tidak harusnya ada kejelasan kalaupun maumeneruskan tapi belum ada biaya yaa ga masalah yang penting itu ka nada kejelasan, tapi tetap saja tidak ada kejelasan, karena BPMPPKB itu apa yaa cuma kaya pajangan saja lah seperti formalitas, akhirnya tidak ada kejelasan kerjasama tetapi saya tetap diminta untuk mendampingi korban entah hari sabtu atau minggu tetap saya layani karena prinsip saya ada atau tidak MoU tetepa akan memberikan pendampingan, sampai bulan keberapa dan tidak ada MoU sama sekali tetapi karena saya dijanjikan oleh BPMPPKB biaya akan diganti tetapi ketika saya tagih mereka member dengan sesukanya teman-teman kita sesame advokat tersinggung dong, sempat mau kita ancam somasi ke pengadilan. Jadi, seperti itu lah kerjasama kita selama ini. Apakah pelayanan yang diberikan telah sesuai dengan prosedur? Iya biasanya kita investigasi dulu, apa yang dibutuhkan sama korban, apakah pasikis yaa ke psikolog, apakah pengadilan yaa LBH, apakah medis, walaupun 74 terbatas tapi tetap berjalan, kita yang mengarahkan P2TP2A yang menjalankan Enggak ada yang mendampingi saya sama sekali kalau dari dinas , kalau untuk visum di puskesmas Balaraja dan sama sekali ga di pungut biaya dibayarin sama pihak kepolisian katanya meraka kasian lihat saya, tapi ga ada tuh dinas BPMPPKB yang ngedampingin saya sampai persidangan pun sama sekali ga ada pendampingan misalkan pengacara gitu engga sama sekali, saya ga tau sama sekali 75 kalau ada dinas yang bisa kasih perlindungan buat saya, padahal setelah kejadian itu saya ngerasa ga tenang mentalnya, sampai sekarang saya sudah cerai malah sampai mantan suami saya sudah keluar dari tahanan pun ga ada tuh dinas yang dating ke saya kasih perhatian atau bantuan, dari pihak kepolisian juga ga ada rekomendasi buat minta perlindungan ke BPMPPKB. Apakah BPMPPKB ikut mengontrol dalam penyelesaian kasus hingga tuntas? Kita selalu mengontrol dalam setiap kegiatan penanganan kasus hingga tuntas mba,bahkan hingga pemulangan korban Selai memfasilitasi, kan yang menjalankan P2TP2A karena P2TP2A di bawah kita, paling kita menanyakan kasus sudah sampai mana. Misalnya ada bedah kasus, di bedah seluruh kasus sudah sampai mana, ini kasusnya bagaimana, penyelesaiannya bagaimana, apa yang dibutuhkan nah lalu kita fasilitasi. Pasti, karena kita kan kalau memberi laporan itu ke BPMPPKB BPMPPKB hanya menunggu kabar dari kita saja, dan semua yang memproses itu
76 77
78 79
kita. Nanti ya mba, kita sinkronkan dulu jawabanya. 80 Setahu saya karena di sini juga saya baru tiga bulan dan karena kepotong pilpres, 81 kepotong lebaran, kepotong agustusan, sepertinya saya baru efektif bekerja di sini
I2-1
I3-1 Q15
I I1-1
I1-2
satu bulan saja, tapi menurut saya mereka sudah faham dengan fungsinya dan tugasnya. Tidak ada mba, bahkan dalam MoU sebetulnya harus ada forum resmi rapat 82 minimal dua kali dalam setahun tetapi tidak ada, ada memang rapat tapi tidak dikhususkan untuk mengontrol tapi hanya rapat secara umum terus kebetulan LBH dilibatkan, ada memang di situ ditanya kasusnya sudah sampai mana aja tapi kasus yang saya dampingi sejak MoU itu sampai sekarang masih ada yang berjalan hingga sekarang, tapi mereka seperti tidak mau tahu, tapi yaa itu tetap menjadi tanggung jawab saya dan tidak tau kapan kasus ini akan selesai. Selama proses saya hanya di damping oleh mba Dini, saya juga memutuskan untuk 83 mundur saja lah komunikasi terakhir itu ketika saya bertemu psikolog, dan sampai sekarang saya sudah berceraipun tidak ada kelanjutan dengan BPMPPKB mba. Adakah sanksi tegas yang diberikan pada pegawai yang melalaikan tugas? Sejauh ini sih kita belum pernah yaa memberikan sanksi yang berat paling baru 84 teguran secara lisan saja, karena memang semau anggotanya baik-baik dalam menjalankan tugas dan memang yang menangani kasus itu biasanya pak hairul saja, kalo malam kita telepon pun dia langsung jalan kalau ada kasus Pasti, kan kita ada SP1 SP2, tapi kalau di sini sih baik-baik kalau untuk 85 menjalankan tugas malam cuma satu pak Hairul saja
KODING DATA Kode
Kata Kunci
1
SDM cukup jika bisa menggerakan diri
2
Kurang pada bagian investigasi
3
SDM belum memadai
4
SDM pada pihak kepolisian terbatas
5
SDM pada pihak kepolisian terbatas
6
SDM cukup
7
Kerjasama dengan LBH karena keterbatasan SDM
8
Yang melayani korban hanya satu orang
9
Kasus sebagian besar ditangani 20% sisanya mundur
10
Kasus sebagaian besar ditangani 30% sisanya mundur
11
Tidak ada kepastian waktu
12
Tidak ada kepastian waktu
13
Seluruh kasus itu ditangani oleh LBH.
14
Waktu visum bisa mencapai 1 minggu
15
Kasus bisa berjalan hingga bertahun-tahun
16
Tidak bisa di ukur waktu
17
Pihak korban yang menghambat waktu penyelesaian.
18
Sulit bertemu dengan pihak psikolog.
19
Masyarakat ekonomi mengengah ke atas kesadaran hukumnya lebih tinggi.
20
Sosialisasi belum merata.
21
Masyarakat lebih memilih lapor pada pihak kepolisian.
22
BPMPPKB belum dikenal masyarakat
23
BPMPPKB belum dikenal masyarakat
24
Tidak jelas dalam memberi pernyataan
25
Tahu BPMPPKB melalui media sosial
26
Tidak mengetahui adanya BPMPPKB
27
Tidak ada sosialisasi, lebih memilih lapor pada pihak kepolisian.
28
Merasa asing dengan BPMPPKB
29
Tidak pernah ada penyuluhan atau sosialisasi
30
Tidak tahu adanya BPMPPKB
31
Tidak tahu adanya BPMPPKB
32
Tidak tahu adanya BPMPPKB
33
Tidak tahu adanya BPMPPKB, tidak ada sosialisasi.
34
Keterbatasan anggran untuk penyediaan fasilitas.
35
tidak ada kejelasan fasilitas shalter.
36
Tidak ada kejelasan fasilitas shalter.
37
Tidak merasakan adanya fasilitas yang memadai.
38
Sudah membentuk 540 satgas
40
Satgas belum berjalan optimal
41
Tidak ada agenda khusus untuk sosialisasi.
42
Satgas sama sekali tidak berjalan.
43
Belum pernah ada satgas yang melapor.
44
Tidak ada sosialisasi satgas.
45
Tidak ada sosialisasi satgas dan payung hukum.
46
Tidak ada sosialisasi satgas
47
Para rt/rw tidak mengetahui program pembentuakn satgas.
48
Para rt/rw tidak mengetahui program pembentuakn satgas.
49
Para rt/rw tidak mengetahui program pembentuakn satgas.
50
Para rt/rw tidak mengetahui program pembentuakn satgas.
51
Masyarakat tidak tahu adanya satgas tingkat rt dan rw
52
Melakukan investigasi dengan P2TP2A sebelum memberikan pelayanan.
53
Berkerjasama dalam menagani korban
54
Ditangani oleh P2TP2A dan hanya satu orang staff.
55
Komunikasi hanya saat ada kasus besar
56
Tidak pernah berkomunikasi langsung.
57
Melapor pada polres dan tidak ada pendampingan lanjutan dari BPMPPKB
58
Komunikasi hanya saat ada kasus besar
59
Mengharapkan upaya jemput bola
60
Koraban yang lapor pada kepolisian tidak mendapat layanan lanjutan oleh BPMPPKB
61
Koraban yang lapor pada kepolisian tidak mendapat layanan lanjutan oleh BPMPPKB
62
Tdak ada kerjasama dengan RSUD Tangerang Selatan
63
Dinas kesehatan tidak aktif dalam melihat kebutuhan korban
64
Korban masih dikenakan biaya visum
65
Tidak ada koordinasi dengan RSUD Tangerang Selatan
66
Biaya visum masih dibebankan pada korban
67
Belum ada rujukan pemberdayaan ekonomi ke Dinas Sosial
68
Dinas sosial menggap BPMPPKB mampu melakukan sendiri.
69
Korban tidak mendapatkan pembedayaan ekonomi.
70
Korban tidak mendapatkan pembedayaan ekonomi.
71
Kerjasama dengan LBH Keadilan
72
tidak melakukan MoU dengan LBH manapun
73
Tidak ada kejelasan MoU
74
Investigasi sebelum memberikan layanan
75
Korban sama sekali tidak mendapat pendampingan sesuai prosedur.
76
Ikut mengontrol hingga kasus tuntas.
77
Mengontrol saat ada bedah kasus saja.
78
Memberikan laporannya pada BPMPPKB
79
BPMPPKB hanya menunggu tidak mengontrol
80
Tidak memberikan jawaban
81
BPMPPKB sudah paham dengan tugasnya.
82
BPMPPKB tidak mengtrol kasus yang masih ditangani oleh LBH
83
Korban memilih mundur.
84
Belum pernah memberikan sanksi pada anggotanya
85
Sudah memiliki sanksi tegas.