HUBUNGAN ANTARA BIMBINGAN ORANG TUA DAN KEDISIPLINAN DENGAN PERILAKU MENYIMPANG SISWA KELAS XI SMA NEGERI COLOMADU KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN PELAJARAN 2009/2010
Skripsi Oleh: Nurani Setyo Utami Nim K8405028
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masyarakat merupakan kelompok manusia yang sudah cukup lama mengadakan hubungan sosial dalam kehidupan bersama dengan diliputi oleh struktur dan sistem yang mengatur kehidupan bersama serta adanya solidaritas diantara mereka. Struktur dan sistem tersebut dirumuskan dalam aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang sering disebut sebagai norma. Norma dijadikan sebagai tolak ukur atau patokan masyarakat untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, maka seluruh anggota masyarakatpun dituntut untuk taat dan patuh pada norma tersebut, dengan harapan agar keseimbangan sosial dalam masyarakat terjaga dan berjalan dengan selaras. Namun demikian, kadang kala terdapat beberapa anggota masyarakat yang berusaha untuk menentang norma atau kemapanan yang telah ada dan disepakati oleh seluruh anggota masyarakat tersebut. Mereka menunjukkannya dengan melakukan berbagai macam perilaku yang tentu saja bertentangan dengan norma, yang mana perilaku semacam ini sering disebut sebagai perilaku menyimpang. Sebagai contoh, dewasa ini sering kali dijumpai berbagai macam perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti membuang sampah sembarangan, mencoret-coret tembok, merusak fasilitas umum, bahkan hingga tindak kriminal seperti mencuri, merampok, membunuh, dan sebagainya. Hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang tua, remaja maupun anak-anak. Bahkan tidak jarang juga dijumpai pemberitaan, baik dalam media cetak maupun elektronik, mengenai perilaku menyimpang yang dilakukan oleh kalangan pelajar. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelajar, yang mana berada dalam fase remaja, sangat beragam mulai dari bolos sekolah, menyontek saat ulangan, pemalakan pada teman sekolah, kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya seperti yang sering diberitakan dalam media, baik media cetak maupun elektronik. Masngudin (2004) dalam http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/Masngudin.htm menyebutkan bahwa dari sebanyak 30 responden (n=30) semua pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan biasa. Seperti berbohong (30), pergi ke luar rumah tanpa pamit (30), keluyuran (28), begadang (26), membolos sekolah (7), berkelahi dengan teman (17), berkelahi antar sekolah (2), membuang sampah sembarangan (10), membaca buku porno (5), melihat gambar porno (7), menonton film porno (5), mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM (21), kebut-kebutan/ mengebut (19), minum minuman keras (25), kumpul kebo (5), hubungan sex di luar nikah (12), mencuri (14), mencopet (8), menodong (3), menggugurkan
ii
kandungan (2), memperkosa (1), berjudi (10), menyalahgunakan narkoba (22), bahkan hingga membunuh (1). Kondisi ini membuat banyak pihak yang peduli dengan dunia remaja sangat prihatin dan sebagian diantara mereka mencari formulasi konsep perilaku yang sesuai dengan norma yang dipatuhi oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal di atas, tentu saja perilaku menyimpang mengundang keprihatinan berbagai pihak. Oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus yang serius dari berbagai pihak pula. Penanganan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu dengan pemberian bimbingan. Keluarga, sekolah dan masyarakat sama-sama memiliki andil dalam usaha membimbing anak, namun pihak yang paling ambil peran adalah pihak keluarga, yaitu orang tua, karena merekalah yang merawat dan membesarkan serta mereka jugalah yang sejak awal telah memberikan bimbingan pada anak. Oleh sebab itu, bimbingan dari orang tua merupakan bimbingan yang pertama dan paling utama. Orang tua harus mampu membimbing anak-anaknya dengan benar, karena bimbingan dan pendidikan yang pertama kali diterima oleh anak adalah dari keluarga, yaitu orang tua. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak karena kehidupan anak selama di rumah, yang paling bertanggung jawab akan perkembangannya adalah orang tua. Dalam membimbing anak, orang tua harus dapat menuntun atau mengarahkan anak ke arah yang baik sebagaimana yang diinginkan, baik oleh keluarga maupun masyarakat luas. Sehingga orang tuapun harus mampu memberikan bimbingan secara menyeluruh kepada anak. Orang tua mengajari dan menanamkan kepada anak sejak dini mengenai konsep berbagai macam perilaku. Baik itu perilaku yang dibenarkan dan dapat diterima oleh masyarakat, maupun perilaku yang dianggap menyimpang dan tidak dapat diterima oleh masyarakat luas. Sehingga anak dapat membedakan perbuatan seperti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan demikian bimbingan dari orang tua akan menjadi dasar bagi anak dalam berperilaku dan menentukan konsep perilaku yang dianggap menyimpang dan tidak oleh masyarakat luas. Dengan bimbingan yang benar dan sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat, maka berbagai macam perilaku menyimpang seperti yang dicontohkan diatas tidak akan terjadi, karena anak telah memiliki dasar pendidikan mengenai perilaku yang benar dan sesuai dengan norma serta aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Selain bimbingan orang tua, hal lain yang juga turut ambil peran dalam penanganan khusus terhadap perilaku menyimpang adalah dengan penanaman kedisiplinan. Penanaman keidisiplinan ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Perlu diketahui bahwa dalam membimbing anak diperlukan adanya penanaman sikap kedisiplinan sejak dini. Jika kedisiplinan anak telah ditanamkan sejak dini, maka hal tersebut akan membawa dampak yang positif bagi anak, khususnya dalam hal kepribadian. Oleh sebab itu penanaman keidisiplinan ini dapat diawali dari lingkungan keluarga. Usaha penanaman kedisiplinan di lingkungan keluarga dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Misalnya saja dengan memberikan kepercayaan atau
iii
tanggung jawab pada anak. Pemberian tanggung jawab ini dapat dilakukan mulai dari hal-hal kecil, seperti memberikan tanggung jawab atas kebersihan dan kerapian kamar tidur kepada anak. Dengan memberikan tanggung jawab kepada anak maka akan membiasakan anak untuk selalu mandiri dan disiplin dalam segala hal. Pananaman kedisiplinan harus diterapkan sejak dini. Membiasakan anak mandi dan bangun tepat pada waktunya merupakan contoh penanaman kedisiplinan sejak dini. Membiarkan anak mengabaikan tanggung jawab dan aturan-aturan yang berlaku bukanlah hal yang dapat dibenarkan dalam membimbing anak, khususnya dalam hal penanaman kedisiplinan. Sebagai contoh membiarkan anak keluyuran hingga larut malam, membiarkan anak meninggalkan tanggung jawabnya, membiarkan anak selalu pulang terlambat tanpa teguran, dan sebagainya. Sekecil apapun bentuk pelanggaran atau penyimpangan harus mendapatkan teguran dan koreksi atau bahkan hukuman. Jika kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan tidak dapat ditolelir, maka hukuman dapat dijatuhkan kepada anak. Namun hukuman ini harus bersifat objektif dan mendidik. Perlu diketahui juga bahwa selain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah juga turut ambil peran dalam usaha penanaman kedisiplinan anak. Seperti halnya keluarga, sekolah juga dapat menjadi agen pembentuk kepribadian anak. Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Elizabeth B. Hurlock dalam Syamsu Yusuf LN (2004 :54) bahwa “Sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap maupun cara berperilaku.” Hal ini sangat berkaitan erat dengan penanaman kedisiplinan pada diri anak. Anak yang berdisiplin tinggi akan memiliki kepribadian yang bertanggung jawab, baik dalam berpikir, bersikap maupun berperilaku. Usaha untuk menanamkan kedisiplinan anak di sekolah diterapkan secara kontinu oleh pihak sekolah. Oleh sebab itu pihak sekolah membuat aturan atau tata tertib beserta segala sanksi atas pelanggarannya, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Tata tertib ini dibuat atau dibentuk sebagai sarana untuk mengendalikan kedisiplinan siswa. Dengan tata tertib ini maka kedisiplinan anak di sekolah dapat diarahkan, dipantau dan dikoreksi secara kontinu. Sebagai contoh, misalnya kewajiban untuk mengikuti upacara bendera setiap hari Senin, mengenakan seragam sesuai dengan ketentuan, datang dan pulang sekolah tepat pada waktunya, tidak bolos sekolah, tidak mencontek saat ujian atau ulangan harian, dan sebagainya. Kedisiplinan anak di sekolah dapat diarahkan, dipantau dan dikoreksi melalui tata tertib dan segala sanksi yang berlaku. Apabila siswa melanggar tata tertib yang telah ditetapkan maka siswa diluruskan dengan cara ditegur atau dijatuhi hukuman sesuai dengan sanksi yang telah ditentukan. Terkadang siswa memang perlu dihukum atas pelanggaran atau kesalahannya. Namun hukuman ini harus bersifat objektif dan mendidik.
iv
Kedisiplinan harus dilaksanakan dan ditegakkan di sekolah. Dengan diberlakukannya tata tertib dan segala sanksi atas pelanggarannya, maka segala perbuatan dan perilaku siswa akan dapat terkontrol dan terkendali. Sehingga perilaku negatif yang berkaitan dengan siswa remaja seperti: kasus bolos, perkelahian, nyontek, pemalakan, pencurian, kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, gang motor dan berbagai dan bentuk penyimpangan perilaku lainnya, tidak akan terjadi. Artinya dengan adanya berbagai macam peraturan yang diberlakukan secara efektif di sekolah maka tingkat perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial akan turun dan berkurang. Lingkungan lain yang tidak kalah penting dalam usaha penanaman kedisiplinan adalah lingkungan masyarakat. Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan sikap kedisiplinan anak. Di dalam lingkungan masyarakat, anak akan melakukan interaksi sosial dengan anggota masyarakat yang lain. Lingkungan masyarakat yang baik adalah lingkungan yang dapat mengkondisikan anak ke dalam sikap disiplin dalam bersikap dan berperilaku. Jika anak berada dalam lingkungan masyarakat yang memberi teladan yang baik dalam penanaman kedisiplinan, maka secara otomatis anak akan terbimbing ke dalam kedisiplinan yang baik pula. Secara tidak langsung lingkungan masyarakat telah menanamkan dan menuntut anak untuk berkepribadian disiplin. Sebagai contoh, di dalam suatu masyarakat biasanya terdapat suatu organisasi pemuda yang sering disebut dengan organisasi Karang Taruna. Seluruh anggotanya berkewajiban untuk mematuhi segala aturan yang berlaku di dalam organisasi tersebut. Bagi yang melanggar maka yang bersangkutan akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Misalnya anak yang tidak pernah menghadiri rapat rutin organisasi Karang Taruna, maka sebagai sanksi yang bersangkutan akan dikucilkan oleh masyarakat, khususnya oleh anggota organisasi tersebut, bahkan oleh seluruh anggota masyarakat. Orang tua adalah merupakan pihak yang memiliki peran yang sangat penting dan dominan dalam mempengaruhi pola perilaku anak. Hal ini dapat diamati dalam hal pemberian bimbingan. Apabila orang tua dapat menciptakan atmosfer yang baik, dalam artian dapat memberikan bimbingan yang tepat secara berkesinambungan, maka perkembangan pola perilaku anak akan mengacu pada perilaku-perilaku yang baik, sebagaimana yang telah ditentukan oleh norma yang berlaku. Sebaliknya, apabila orang tua tidak dapat menciptakan atmosfer yang baik dalam memberikan bimbingan, maka bukan tidak mungkin jika perkembangan pola perilaku anak akan mengacu pada perilaku-perilaku yang kurang baik, yang bertentangan dengan norma yang berlaku. Disamping bimbingan orang tua, penanaman kedisiplinan juga turut ambil peran dalam mempengaruhi perilaku anak, baik itu penanaman kedisiplinan dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Jika lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat memiliki atmosfer penanaman dan teladan kedisiplinan yang baik, maka anak yang berada dalam lingkungan tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa, disiplin dan bertanggung
v
jawab, yang pada akhirnya tentu saja anak tersebut akan termotivasi untuk berperilaku sebagaimana yang telah ditentukan oleh norma yang berlaku. Sebaliknya, apabila atmosfer yang tercipta dalam lingkungan tersebut kurang baik, dalam artian tidak dapat memberikan bimbingan dan teladan mengenai kedisiplinan, maka bukan tidak mungkin jika anak yang bersangkutan akan melakukan tindakan atau perilaku yang bertentangan dengan norma yang berlaku, maka anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang jauh dari apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat luas. Artinya, bimbingan orang tua dan penanaman kedisiplinan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masarakat yang baik dan positif akan dapat mengurangi atau bahkan mencegah timbulnya perilaku menyimpang. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk mengambil judul HUBUNGAN ANTARA BIMBINGAN ORANG TUA DAN KEDISIPLINAN DENGAN PERILAKU MENYIMPANG SISWA KELAS XI SMA NEGERI COLOMADU KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN PELAJARAN 2009/2010. B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis akan mencari pemecahan masalah yang dirumuskan dalam identifikasi masalah, yaitu sebagai berikut: 1. Dalam setiap masyarakat terdapat aturan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang kemudian disebut sebagai norma sosial. Norma ini disepakati, dipatuhi dan ditaati serta dijadikan pedoman dalam berperilaku oleh seluruh anggota masyarakat. 2. Kadang kala ada beberapa anggota masyarakat yang tidak sepaham dan berusaha untuk menentang norma yang telah disepakati bersama. Mereka menunjukkannnya dengan melakukan berbagai macam perilaku yang bertentangan dengan norma. Hal inilah yang kemudian akan berbuntut pada terjadinya perilaku menyimpang. 3. Perilaku menyimpang merupakan penyimpangan terhadap norma atau aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Karena penyimpangan ini terjadi di dalam masyarakat, maka tindakan penyimpangan pasti akan berdampak terhadap masyarakat, sehingga perilaku menyimpang ini pun akan mengganggu keseimbangan sosial yang ada di dalam masyarakat. 4. Bimbingan orang tua merupakan faktor yang penting serta tidak dapat dipisahkan dari kehidupan remaja (sebagai pelajar) dan mendapat tempat
vi
tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat, karena orang tua adalah agen yang pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan perhatian dan bimbingan. 5. Orang tua membimbing anak untuk memahami konsep berbagai macam perilaku, baik itu perilaku yang dianggap baik dan dapat diterima oleh masyarakat maupun perilaku yang dianggap menyimpang dan tidak dapat diterima oleh masyarakat. 6. Apabila orang tua salah dalam membimbing anak, maka anak tidak akan memiliki dasar
pendidikan keluarga
yang
kuat.
Sehingga
perilaku
menyimpang yang ditolak oleh masyarakat pun akan sangat mudah terjadi. 7. Kedisiplinan merupakan suatu hal yang harus ditanamkan baik oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Karena dengan adanya kedisiplinan ini maka anak akan termoivasi untuk bertindak atau berperilaku secara bertanggung jawab. 8. Penanaman kedisiplinan oleh pihak sekolah dapat diwujudkan dalam bentuk tata tertib dan segala sanksi atas pelanggarannya, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. 9. Anak akan terbimbing ke dalam kedisiplinan yang baik apabila anak tersebut tumbuh kembang di dalam lingkungan masayarakat yang dapat memberikan teladan yang baik dalam penanaman kedisiplinan.
C. Pembatasan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis akan memfokuskan penelitian pada masalah hubungan antara bimbingan orang tua dan kedisiplinan siswa dengan perilaku menyimpang. 1. Bimbingan orang tua yang dimaksud adalah pemberian bantuan atau pertolongan dari bapak dan ibu sebagai orang yang bertanggung jawab dalam keluarga yang dilakukan secara terus-menerus dan sistematis kepada anaknya, dan memberikan bimbingan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. 2. Kedisiplinan yang dimaksud adalah kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban yang kemudian mewujudkan sikap mental untuk melakukan hal-hal yang seharusnya dengan tertib, taat dan
vii
teratur sebagaimana mestinya sesuai dengan tata tertib atau peraturanperaturan yang telah ditegaskan di dalamnya untuk mengatur tatanan kehidupan pribadi dan kelompok. 3. Perilaku
menyimpang
yang
dimaksud
adalah
suatu
perilaku
yang
diekspresikan oleh seseorang atau beberapa orang anggota masyarakat, yang secara sadar atau tidak sadar telah melakukan ketidaksesuaian perilaku dengan norma-norma yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mana norma-norma tersebut telah diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat.
D. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis kemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara bimbingan orang tua dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010? 2. Apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara kedisiplinan dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010? 3. Apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara bimbingan orang tua dan kedisiplinan dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010?
E. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas, sehingga hasil penelitian tersebut dapat memberikan manfaat. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hubungan antara bimbingan orang tua dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010. 2. Untuk mengetahui hubungan antara kedisiplinan dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010.
viii
3. Untuk mengetahui hubungan antara bimbingan orang tua dan kedisiplinan dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat dalam bidang Sosiologi dan Antropologi. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan masalah ini. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi orang tua agar dapat memberikan bimbingan secara tepat sehingga mampu mendidik, mengasuh dan merawat anak agar supaya tidak terjerumus dalam perilaku yang tidak sesuai dengan dengan nilai dan norma di dalam masyarakat. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan upaya penanggulangan terhadap perilaku menyimpang remaja dan perbaikan moral generasi muda, khususnya siswa kelas XI SMA.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Perilaku Menyimpang
a.
Pengertian Perilaku Menyimpang
ix
Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Pengguna konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Sehingga perilaku yang tidak melalui jalur yang telah dibakukan tersebut berarti dianggap telah menyimpang. Ada beberapa penyimpangan yang memang diterima oleh masyarakat selama proses itu tidak mengganggu nilai-nilai dan norma-norma yang dianut secara umum. Namun oleh kebanyakan orang, perilaku menyimpang sering dianggap sebagai masalah sosial atau penyakit masyarakat yang harus ditanggulangi karena dianggap mengganggu tata sosial, lebih-lebih perilaku menyimpang yang menjurus pada tindak kejahatan. Untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan mengenai pengertian perilaku menyimpang, kiranya bukanlah hal yang mudah seperti kebanyakan orang mengira. Hal ini disebabkan karena dalam membahas atau membicarakan suatu masalah, tidaklah dapat lepas dari tinjauan dan sudut pandang orang atau ahli yang membahasnya. Sedangkan masingmasing orang atau ahli memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam membahasa atau mengupas suatu permasalahan, sehingga akan memunculkan pendapat yang berbeda-beda pula. Untuk itu dibawah ini peneliti sebutkan beberapa pengertian perilaku menyimpang menurut beberapa ahli. 1) Cohen dalam Saparinah Sadli (1976: 20) mengemukakan bahwa “Perilaku menyimpang adalah tingkah laku yang melanggar, atau bertentangan, atau menyimpang dari aturan-aturan normatif, dari pengertian-pengertian
normatif
maupun
dari
harapan-harapan
lingkungan sosial yang bersangkutan.” Semua tingkah laku yang bertentangan dengan aturan-aturan normatif dianggap sebagai perilaku menyimpang karena tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan kata lain perilaku menyimpang merupakan perbuatan yang mengabaikan norma atau patokan baku di dalam masyarakat. Biasanya perilaku menyimpang dikaitkan dengan hal-hal negatif seperti tindak pidana, kebrutalan, kriminalitas, dan sebagainya. Namun orang yang berperilaku jauh atau tidak sesuai dengan patokan umum yang telah dibakukan masyarakat juga bisa disebut sebagai penyimpang. Sebagai contoh misalnya tindakan membuang sampah sembarangan, mencuri, perilaku sex bebas, dan sebagainya. Hal tersebut di atas dianggap sebagai perilaku menyimpang karena bertentangan dengan patokan umum yang dibakukan oleh masyarakat. 2) James W. Vander Zaden (1979) yang dikutip oleh Kamanto Sunarto (2000: 182) mendefinisikan bahwa “Penyimpangan merupakan perilaku
x
yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.” Dalam setiap masyarakat tentu saja terdapat rumusan-rumusan norma tertentu yang dibakukan sebagai pedoman bagi masyarakat dalam berperilaku. Masing-masing masyarakat memiliki norma-norma tersendiri yang dianggap benar dan harus dipatuhi. Maka dari itu, norma yang berlaku antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain belum tentu sama atau berbeda-beda. Dengan demikian untuk menentukan bahwa suatu perilaku itu tercela atau tidak, di luar batas toleransi atau tidak, tergantung pada definisi sosial yang berlaku pada masing-masing masyarakat. Sebagai contoh, seorang pemuda yang menghadiri pesta ulang tahun dengan menggunakan baju renang. Hal ini dianggap sebagai perbuatan yang tercela dan tidak dapat ditolelir. Namun apabila pakaian ini dipakai saat pemuda itu sedang berada di kolam renang, maka perbuatan ini tidak dianggap tercela. 3) Kartini Kartono (2005: 11) menyamakan perilaku menyimpang dengan deviasai, “Deviasi atau penyimpangan diartikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik ratarata dari rakyat kebanyakan/ populasi.” Suatu perilaku disebut sebagai deviasi atau penyimpangan apabila perilaku tersebut berbeda dari perilaku masyarakat pada umumnya. Artinya bahwa perilaku ini tidak dilakukan atau dihindari oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh, tindak kejahatan misalnya. Mayoritas masyarakat atau secara umum masyarakat menolak hal ini sehingga mereka berusaha untuk tidak melakukan tindak kejahatan. Apabila ada anggota dari masyarakat tersebut yang melakukan tindak kejahatan, maka ia dianggap sebagai penyimpang atau devian karena tindak kejahatan adalah merupakan bentuk tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari ciri-ciri karakteristik umum, serta bertentangan dengan hukum atau melawan peraturan yang berlaku (legal). 4) Selain deviasi, ada juga yang menyebut perilaku menyimpang sebagai perilaku tuna sosial. Siti Meichati (1983: 99) menyebutkan bahwa Istilah tuna sosial diberikan kepada mereka yang oleh salah satu sebab telah melakukan suatu pelanggaran sosial, baik terhadap peraturan hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis, seperti adat-istiadat, kepercayaan, undang-undang, dan sebagainya yang oleh keadaan lingkungan sosial itu diakui berlaku. Pelanggaran sosial terhadap norma atau hukum yang berlaku di dalam masyarakat, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dianggap sebagai perilaku menyimpang atau tuna sosial. Artinya, perilaku-
xi
perilaku tersebut dianggap sebagai perilaku menyimpang karena bertentangan dengan hokum yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, seperti adat-istiadat, kepercayaan, undang-undang, dan sebagainya, yang mana hukum-hukum tersebut telah disepakati oleh masyarakat yang bersangkutan dan digunakan sebagai tolok ukur atau pedoman dalam berperilaku. Sebagai contoh, sopan santun dalam berperilaku. Membunyikan radio atau tape keras-keras atau sangat kencang adalah merupakan salah satu perilaku yang dianggap tidak sopan karena dapat mengganggu ketenangan warga masyarakat yang lain. Sebenarnya tidak ada aturan secara tertulis yang menetapkan larangan membunyikan radio atau tape keras-keras. Namun aturan ini terbentuk secara otomatis dan normatif, karena hal ini bertentangan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat dan dapat menganggu ketenangan orang lain. Aturan ini harus dipatuhi karena sudah menjadi norma yang berlaku di dalam masyarakat. Apabila aturan ini dilanggar, maka pelanggaran tersebut akan menjadi perilaku menyimpang. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku menyimpang merupakan suatu perilaku yang diekspresikan oleh seseorang atau beberapa orang anggota masyarakat, yang secara sadar atau tidak sadar telah melakukan ketidaksesuaian perilaku dengan norma-norma yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mana norma-norma tersebut telah diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilahistilah negatif. Dengan kata lain, perilaku menyimpang adalah bentuk perbuatan yang mengabaikan norma, yang terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mematuhi patokan-patokan yang ada di dalam masyarakat. Perilaku menyimpang tidak pernah dapat berdiri sendiri tanpa ada kaitan dengan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam lingkungan sosial tertentu. Nilai-nilai dan norma-norma di dalam masyarakat merupakan ukuran bagi menyimpang atau tidaknya suatu tindakan, artinya suatu tindakan yang pantas dan dapat diterima dalam situasi dan daerah tertentu bisa saja tidak patut diterapkan dalam situasi dan daerah lain (tergantung pada definisi sosialnya).
xii
b.
Sifat-Sifat Perilaku Menyimpang Secara sosiologis, perilaku menyimpang terjadi apabila perilaku yang dilakukan tidak sesuai dengan norma-norma atau aturan yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif. Sehubungan dengan perilaku yang dianggap menyimpang tersebut, maka perlu dibedakan antara perilaku yang satu dengan yang lain. Salcha Hatrasy (1997: 83-84) menyebutkan bahwa "Deviasi atau penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal; misalnya hanya kriminil saja dan tidak alkoholik atau pecandu bahan-bahan narkotik. Namun bisa juga jamak sifatnya; misalnya seorang wanita tuna susila sekaligus juga kriminil.” Untuk lebih jelasnya diterangkan sebagai berikut: 1) Perilaku menyimpang tunggal Deviasi atau penyimpangan tingkah laku dapat bersifat tunggal. Penyimpangan tingkah laku bersifat tunggal disini adalah apabila satu individu hanya melakukan satu tidakan perilaku menyimpang saja. Misalnya hanya kriminal saja dan tidak alkoholik atau mencandu bahanbahan narkotik. Dalam hal ini seorang devian atau penyimpang hanya melakukan satu tindak penyimpangan saja. Sebagaimana yang dicontohkan di atas, hanya tindak kriminal saja. Seseorang melakukan tindak kriminal, seperti mencopet, dan dia tidak melakukan perilaku menyimpang lainnya, seperti alkoholik, berjudi, konsumsi obat-obatan terlarang, dan sebagainya. Jadi orang tersebut hanya melakukan satu tindak penyimpangan saja. 2) Perilaku menyimpang jamak Deviasi atau penyimpangan tingkah laku dapat bersifat jamak. Penyimpangan tingkah laku bersifat jamak disini yaitu apabila devian atau pelaku tindak penyimpangan melakukan lebih dari satu perilaku menyimpang. Misalnya seorang wanita tuna susila sekaligus juga pecandu narkoba. Jadi orang tersebut melakukan lebih dari satu tindakan, yang mana kedua tindakan tersebut merupakan perilaku menyimpang. Dengan demikian dalam hal ini ada kombinasi dari beberapa tingkah laku menyimpang. Salcha Hatracy (1997: 84) membedakan perilaku menyimpang jamak dalam tiga kelompok yaitu: a)
b)
Individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi “masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri; Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain;
xiii
c)
Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan orang lain. Masing-masing kelompok memiliki ciri-ciri berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya, maka akan dijelaskan seperti di bawah ini: a) Individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi “masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri Beberapa devian atau pelaku penyimpangan sengaja melakukan tindakan tuna sosial (perilaku menyimpang) tersebut untuk kepentingannya sendiri tanpa melihat dampak yang berakibat pada orang lain. Mereka mengabaikan dampak yang akan ditimbulkan terhadap orang lain atas apa yang dilakukannya. Oleh karena itu, tingkah laku yang mereka lakukan tersebut cenderung merugikan dan menimbulkan masalah bagi orang lain. Contoh tingkah laku yang merugikan orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri; misalnya mencuri, merampok, mencopet, menodong, dan sebagainya. Tindakan mencuri, merampok, mencopet dan menodong tersebut di atas tentu saja akan menimbulkan kerugian bagi korban dari tindakan-tindakan tersebut. Mereka akan kehilangan barang berharga yang mereka miliki, atau bahkan keselamatan mereka sendiri juga terancam. Namun tidak demikian dengan para pelaku (pencuri, perampok, pencopet dan penodong) tersebut. Mereka tidak akan menderita kerugian karena tidak kehilangan barang yang mereka miliki, bahkan mereka justru akan mendapatkan barangbarang baru dari hasil tindakan yang bertentangan dengan norma masyarakat tersebut. b) Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain Terkadang tindak penyimpangan membuahkan dampak yang tidak baik bagi diri si pelaku sendiri, namun tidak berpengaruh atau tidak merugikan orang lain. Perilaku tersebut hanya berpengaruh bagi diri pribadi si pelaku sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyimpangan ini hanya merugikan diri si pelaku, tanpa melibatkan orang lain. Tingkah laku menyimpang yang menjadi masalah bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain; misalnya membolos sekolah, begadang, konsumsi narkoba, minum minuman keras, dan sebagainya. Beberapa contoh perilaku menyimpang yang disebutkan di atas hanya berakibat pada diri si pelaku penyimpangan itu sendiri. Dampak atau konsekuensi dari membolos sekolah, begadang, konsumsi narkoba, minum minuman keras, dan sebagainya hanya
xiv
akan dirasakan atau diterima oleh si pelaku. Dengan demikian tidak ada pihak lain yang dirugikan selain si pelaku tindak penyimpangan itu sendiri. c) Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan orang lain Selain tingkah laku yang merugikan orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri dan tingkah laku menyimpang yang menjadi masalah bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain tersebut di atas, ada juga tingkah laku yang membuahkan masalah baik bagi diri si pelaku maupun bagi orang lain. Kedua belah pihak akan sama-sama menerima kerugian atau masalah atas perilaku yang telah diperbuat oleh penyimpang tersebut. Tingkah laku yang menjadi masalah bagi diri sendiri dan orang lain; misalnya berkelahi antar sekolah, perusakan fasilitas umum, dan sebagainya. Perkelahian antar sekolah tidak hanya menimbulkan kerugian bagi siswa-siswa yang terlibat dalam perkelahian saja, melainkan juga seluruh warga sekolah yang bersangkutan, bahkan juga anggota masyarakat yang lain. Warga luar sekolah mungkin saja akan ikut terseret, terlibat, atau bahkan akan ikut menanggung kerugian atas perkelahian antar sekolah tersebut. Begitu juga dengan perusakan fasilitas umum. Jika fasilitas tersebut dirusak, maka pelaku perusakan tidak akan dapat memanfaatkan fasilitas tersebut, begitu juga dengan anggota masyarakat yang lain, yang sebenarnya tidak ikut ambil bagian dalam tindakan perusakan tersebut. c.
Aspek-Aspek Perilaku Menyimpang Perilaku menyimpang diekspresikan dengan melakukan ketidaksesuaian diri terhadap norma-norma yang berlaku, yang mana normanorma tersebut telah diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Perilaku ini dapat diekspresikan melalui berbagai macam perbuatan dan tingkah laku. Sehubungan dengan hal tersebut maka perilaku menyimpang perlu dirumuskan dalam aspek-aspek perilaku menyimpang. Kartini Kartono (2005: 15-17) menyebutkan bahwa aspek-aspek perilaku menyimpang itu bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu aspek lahiriah dan aspek-aspek simbolik yang tersembunyi. Selanjutnya, akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Aspek lahiriah Sesuai dengan namanya, maka aspek lahiriah ini dapat diamati secara langsung dengan jelas, baik itu melalui ucapan, maupun perilaku. Mengingat bahwa perilaku menyimpang dapat diamati melalui ucapan dan perilaku maka dalam aspek lahiriah ini perilaku menyimpang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perilaku menyimpang lahiriah verbal dan perilaku menyimpang lahiriah nonverbal. Aspek lahiriah yang
xv
verbal dapat diekspresikan atau diperlihatkan dalam bentuk kata-kata, seperti kata-kata makian, logat, bahasa populer, kata-kata kotor yang tidak senonoh dan cabul, sumpah serapah, dialek-dialek dalam dunia politik dan dunia kriminal, ungkapan-ungkapan sandi, dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya penamaan babi untuk pegawai negeri atau orang pemerintahan, singa untuk tentara, serigala untuk polisi, kelinci untuk orang-orang yang dijadikan mangsa (dirampok atau dicopet, digarong), cupu bagi mereka yang penampilannya dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman, garing bagi mereka yang dianggap tidak dapat mengikuti topic pembicaraan yang sedang dibahas, dan sebagainya. Sedangkan perilaku menyimpang lahiriah nonverbal dapat dilihat pada semua tingkah laku nonverbal yang terlihat secara nyata. Untuk lebih jelasnya lagi, deviasi lahiriah nonverbal dapat dipahami dengan contoh seperti memelototkan mata, mencibir, mengacungkan jari tengah pada orang lain, mengacungkan ibu jari dengan posisi terbalik pada orang lain, dan sebagainya. Perilaku menyimpang ini dapat dilihat secara nyata dan bersifat nonverbal, sebab diperlihatkan dengan perilaku atau perbuatan. 2) Aspek-aspek simbolik yang tersembunyi Aspek ini lebih bersifat psikologis, karena mencakup sikapsikap hidup, emosi-emosi, sentimen-sentimen, motivasi-motivasi, dan sebagainya yang dapat mengembangkan tingkah laku menyimpang. Seperti yang sering terjadi di dalam masyarakat, bahwa sebagian besar dari tingkah laku penyimpangan misalnya kejahatan, pelacuran, kecanduan narkotika, dan lain-lain itu tersamar dan tersembunyi sifatnya, tidak kentara atau bahkan tidak bisa diamati. Hal ini dapat diumpamakan seperti gunung es, hanya sedikit bagian pucuk atau puncaknya saja yang terlihat. Artinya bahwa sebagian besar dari tingkah laku menyimpang bersifat samar, tidak kentara dan sulit dipahami. Berkaitan dengan aspek simbolik yang tersembunyi ini, yang paling penting dalam proses simbolisasi adalah simbolisasi diri atau penamaan diri. Sebagai contoh, anak-anak yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan sosial yang kriminil dan asusila sangat mudah untuk menyerap warisan-warisan sosial yang buruk dari lingkungannya. Kontak sosial ini dinamakan konsep mengenai nilai-nilai moral dan kebiasaan yang buruk, baik secara sadar maupun tidak sadar. Kelompok bermain anak-anak dan masyarakat setempat yang kriminal dan amoral tersebut secara perlahan-lahan membentuk tradisitardisi, hukum-hukum, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu sehingga anak secara otomatis terkondisi untuk berperilaku kriminal dan asusila. Bahkan ada proses penamaan diri dan simbolisasi diri. Konsep-konsep asusila yang umum berlaku dalam lingkungannya itu diserap secara otomatis. Lalu dijadikan konsep hidup anak yang bersangkutan tersebut.
xvi
Proses konsep diri atau simbolisasi diri ini pada umumnya berlangsung perlahan-lahan dan tidak disadari. Maka berlangsunglah proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang pada diri sesorang. Berlangsung pula pembentukan pola tingkah laku deviatif yang sifatnya progresif, dan kemudian dirasionalisasikan secar sadar dan kemudian berkembang menjadi kebiasan-kebiasaan patologis menyimpang dari pola tingkah laku umum. d.
Faktor-Faktor Perilaku Menyimpang Perilaku menyimpang bukanlah suatu perilaku yang dapat terjadi begitu saja secara instan, melainkan perlu adanya pengaruh-pengaruh yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya perilaku menyimpang tersebut. Menurut Salcha Hatrasy (1997: 62-75) ada tiga faktor penyebab terjadinya perilaku menyimpang, yaitu: 1) Faktor biologis 2) Faktor psikologis 3) Faktor sosiologis Agar lebih jelas, maka dapat dipahami melalui uraian di bawah ini: 1) Faktor biologis Perilaku menyimpang dapat disebabkan oleh faktor biologis, yang mana faktor ini dapat timbul karena adanya kelainan genetika, kelainan temperament, disfungsi atau gegar otak, kekurangan gizi atau salah makan, dan penyakit atau kecacatan tubuh. a) Kelainan genetika Ada dua macam kelainan genetika yang dapat menyebabkan retardasi mental yang diikuti oleh ketunalarasan. Yang pertama adalah phenylketonuria yang merupakan gangguan metabolisme yang ditularkan secara genetik. Jenis gangguannya adalah tubuh tidak mampu menghancurkan asam amino sehingga tetimbun dalam jaringan tubuh. Penimbunan ini secara tidak langsung mengganggu pertumbuhan otak sehingga menimbulkan ketunagrahitaan yang disertai oleh gejala lain seperti mudah marah, hiperaktif, gerakan tak terkendali, rambut pirang, dan mayoritas sering kejangkejang.kelainan yang kedua adalah Lesch Nyhan Syndrom yaitu kekurangan enzym yang berperan dalam metabolisme air seni, sehingga ada timbunan pada air seninya. Penderita umumnya mengalami tuna grahita berat yang disertai oleh perilaku melukai diri. Penderita syndrom ini umumnya meninggal sebelum usia 13 tahun. b) Kelainan temperament
xvii
Temperament merupakan faktor bawaan sejak lahir yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti susunan genetiknya, kondisi fisik ibu sewaktu hamil, dan ada tidaknya trauma waktu melahirkan. Ada jenis temperament yang rawan terhadap terjadinya ketunalarasan, yaitu anak yang menunjukkan ketidakteraturan dalam fungsi biologis, respon negatif terhadap stimulus baru (menghindar,menjauh), adaptasi yang lambat terhadap perubahan sosial, keadaan jiwa yang selalu negatif, dan intensitas reaksi yang terlalu tinggi. c) Disfungsi atau gegar otak Banyak sekali faktor yang menyebabkan kerusakan pada otak dan akibat yang ditimbulkan juga bermacam-macam dari yang paling berat seperti kematian atau koma sampai yang ringan seperti gangguan yang tidak begitu tampak misalnya epilepsy, CP, kesulitan belajar spesifik (DMO). Anak penyandang DMO menunjukkan kesulitan dalam belajar dan beberapa jenis gangguan perilaku seperti hiperaktifitas dan distraktibilitas. d) Kekurangan gizi atau salah makan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi dapat berakibat fatal terutama pada anak-anak. Kekurangan gizi menurunkan kemampuan merespon stimulus yang secara bertahap berakibat pada pertumbuhan otak yang didikuti oleh berbagai bentuk ketunalarasan. e) Penyakit atau kecacatan tubuh Kondisi fisik tubuh memang dapat mengakibatkan beberapa jenis penyimpangan perilaku. Cacat tubuh, penyakit kronis, anggota tubuh tidak sempurna misalnya, dapat berakibat pada fungsi psikologis seseorang seperti pemalu atau rendah diri. Individu yang mengalami kekurangsempurnaan atau cacad jasmani sering kali merasa dirinya tidak sempurna dan berbeda dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Mereka berusaha untuk mengatasi kekurangan tersebut dengan berbagai macam upaya. Namun apabila mereka menemui kegagalan dalam usaha ini, biasanya mereka akan menjadi minder dan berusaha menarik diri dari lingkungan masyarakat. Maka bukan tidak mungkin jika pada akhirnya mereka memilih untuk melakukan tindak penyimpangan sosial tersebut sebagai pelampiasan dari ketidakterimaannya terhadap kondisi jasmaninya tersebut. 2) Faktor psikologis Faktor ini menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan kaitannya dengan psikologi anak. Misalanya:
xviii
a) Konsep diri Konsep diri merupakan pandangan atau keyakinan diri terhadap kaseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun kekurangan diri, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan. b) Intelegensi Kecerdasan dan kepandaian atau tingkat intelegensi yang dimiliki anak dapat membawa anak tersebut ke arah positif atau negatif, baik itu dalam berpikir maupun berperilaku, khususnya dalam menentukan perilaku seperti apa yang dapat di terima dan tidak dapat diterima di dalam masyarakat. c) Motivasi Motivasi yang ada dalam diri anak dapat memunculkan, mengarahakan, dan mempertahankan perilaku yang dilakukan anak. Jika anak termotivasi untuk berperilaku positif, maka yang akan muncul dan dipertahankan adalah perilaku positif pula. Begitu juga sebaliknya, jika anak termotivasi untuk benperilaku negatif maka yang akan muncul dan dipertahankan adalah perilaku negatif atau perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang ada. d) Sikap Sikap anak yang menunjukkan kecenderungan anak tersebut dalam berperilaku dapat memicu terjadinya tindak penyimpangan. Anak yang memiliki sikap sosial positif cenderung untuk berperilaku positif, sedangkan anak yang memiliki sikap sosial negatif tentu saja juga akan cenderung berperilaku negatif atau menyimpang dari tatanan sosial. e) Kepribadian retak Kepribadian yang terbentuk dalam diri anak dapat tercermin dalam segala tindakan atau perilaku anak. Dengan demikian, bukan tidak mungkin jika anak yang berkepribadian retak atau anak yang memiliki konsep kepribadian yang kurang sempurna akan menunjukkan berbagai macam tindakan atau perilaku menyimpang. f) Pengalaman traumatis Pengalaman di masa lalu yang meninggalkan rasa trauma dapat mempengaruhi perilaku sosial anak. Dengan kata lain, hal inipun juga dapat memicu tindak penyimpangan pada anak atau individu tersebut. 3) Faktor sosiologis
xix
Faktor sosiologis lebih mengedepankan sosialisasi yang diperoleh dan dialami anak, sehingga faktor ini berkaitan langsung dengan lingkungan tempat individu tumbuh dan berkembang. Apabila dalam berinteraksi di dalam kehidupan, baik itu dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, individu/ anak tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa anak mengalami proses sosialisasi yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan proses sosialisasi ini dapat terjadi baik di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Lebih jelasnya dapat dipahami dengan penjelasan di bawah ini: a) Sosialisasi yang tidak sempurna di dalam keluarga Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan apakah anak akan menjadi devian atau tidak. Karena keluarga merupakan agen yang pertama dan utama dalam usaha pendidikan dan pembentukan pribadi anak. Dalam faktor keluarga ini sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu faktor dalam keluarga dan faktor interaksi dalam keluarga. Beberapa faktor dalam keluarga, misalnya jumlah anak, urutan kelahiran, stabilitas, pekerjaan ibu, ada atau tidaknya ayah, hadirnya orang tua tiri, adanya anggota keluarga lain dalam keluarga, psikopatologi orang tua, teknik pengendalian oleh orang tua, hubungan perkawinan, dominasi oleh bapak atau ibu, kepribadian dan sikap kebapakan dan keibuan, pembagian tugas dalam keluarga, dan sebagainya. Pada keluarga dengan anak yang agresif, interaksi dalam keluarga ditandai dengan saling bertukar perilaku keras dan tidak ramah, orang tua banyak menggunakan teknik-teknik yang manyakitkan (memukul, berteriak, mengancam) dan anak juga banyak menunjukkan perilaku yang menyakitkan dan membuat orang tua marah. Sehingga dalam kesehariannyapun anak akan cenderung untuk berperilaku agresif, kasar dan tidak ramah dalam pergaulannya. Mengacu pada berbagai macam faktor dalam keluarga dan faktor interaksi dalam keluarga tersebut di atas, maka keluarga harus mampu menanamkan berbagai macam perilaku yang dibenarkan secara normatif oleh masyarakat. Karena proses sosialisas yang tidak sempurna dari pihak keluarga akan berpengaruh pada pribadi anak, baik dalam berpikir maupun berperilaku. Misalnya saja dalam hal gaya hidup. Perilaku menyimpang bisa terjadi baik pada orang yang hidup dalam kemiskinan maupun dalam kemewahan. Namun jika kekurangmampuan atau kemiskinan tersebut dipersaingkan dengan hidup yang serba mewah atau yang lebih menyenangkan, maka sangat mungkin bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan ini akan tergoda dan terpengaruh untuk turut menikmati kehidupan yang menarik itu walaupun kemampuannya tidak seimbang. Namun pada kenyataannya, pelanggaran berdasarkan faktor ekonomi juga banyak dilakukan oleh mereka yang hidup di dunia kemewahan, di dunia
xx
yang penuh godaan, bukan di lingkungan yang melarat yang biasa dengan kehidupan yang sederhana dan kebutuhan sedehana pula. Sebagai contoh, dewasa ini sering kali diberitakan mengenai seorang karyawan yang menduduki jabatan tinggi dalam suatu perusahaan yang terkait dalam kasus penggelapan uang perusahaan, atau pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi, dan sebagainya. Sebenarnya mereka termasuk dalam golongan orang berada, namun karena adanya godaan dan pengaruh dari berbagai pihak atau lingkungan, maka merekapun melakukan penyimpangan tersebut. Namun begitu, pengangguran juga merupakan salah satu ancaman penyakit sosial. Mereka yang menganggur setelah lama bekerja akan merasakan ancaman terhadap jaminan sosial dan ekonominya. Jika mereka tidak segera menemukan kesibukan atau pekerjaan baru untuk jaminan sosial dan ekonominya, maka sebagai pelampiasan dari itu semua bukan tidak mungkin mereka akan terseret dalam perilaku menyimpang. Seperti minum minuman keras, begadang hingga larut malam, berjudi, mencuri, menodong, dan sebagainya. b) Sosialisasi tidak sempurna di dalam sekolah Sekolah adalah merupakan lembaga pendidikan formal yang diharapkan dapat membentuk pribadi anak dengan tepat dan sesuai dengan harapan masyarakat. Perilaku menyimpang dan pendidikan adalah suatu hal yang sangat berkaitan. Seharusnya pendidikan merupakan suatu usaha pencegahan perilaku menyimpang, bukan justru sebagai faktor penyebab. Memang ada segi-segi pendidikan yang memungkinkan kesalahan perkembangan, yaitu pendidikan yang salah atau berat sebelah. Perkembangan yang berat sebelah artinya hanya mementingkan salah satu fungsi jiwa anak didiknya sudah terang membawa akibat yang kurang baik bagi anak didik dan lingkungannya. Jika pendidikan berat sebelah dan hanya mementingkan salah satu fungsi jiwa anak saja maka pendidikan yang diperoleh anak tidak akan maksimal dan sempurna. Padahal tujuan dari pendidikan adalah untuk proses pendewasaan anak. Sehingga jika pendidikan yang diterima anak tersebut berat sebelah maka mereka tidak akan siap untuk terjun dalam masyarakat. Sehingga mereka akan mudah sekali menjadi korban dalam pergaulan bebas yang pada akhirnya akan menyeret mereka kepada perilaku tuna sosial. Karena sekolah merupakan salah saatu agen yang penting dalam proses pendidikan kepribadian anak, maka sekolah juga dapat menentukan apakah seorang anak akan menjadi devian atau tidak. Faktor-faktor penyebabnya diantaranya: tidak sensitif terhadap kepribadian anak, harapan yang tidak wajar, pengelolaan tidak konsisten, pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau
xxi
nonfungsional, pola pemberian imbalan yang keliru, dan contoh yang tidak baik. Adapun penjelasannya sebagai berikut: (1) Tidak sensitif terhadap kepribadian anak Yang dimaksudkan di dalam hal ini adalah guru. Perilaku guru memiliki pengaruh yang kuat pada struktur sosial di kelas. Apa yang dilakukan oleh guru dan sikap seperti apa yang ditunjukkan oleh guru akan mempengaruhi pendapat anak mengenai guru tersebut yang tentu saja juga akan mempengaruhi sikap dan kepribadian anak. Guru yang sangat kaku dan otoriter yang hanya menerima anak yang menyenangkan tentu saja akan mempunyai banyak murid yang mengalami gangguan belajar dan perilaku. Karena guru hanya bersimpatik dan memperhatikan anak yang menyenangkan menurut pandangan guru tersebut. Sehingga di dalam kelas tersebut cenderung akan terjadi gangguan belajar dan perilaku pada anak. (2) Harapan yang tidak wajar Seorang guru tentu saja menginginkan anak didiknya tumbuh menjadi anak yang pandai dan berprestasi. Namun terkadang guru memiliki harapan yang tidak wajar, yang mana guru tidak mau mengerti bagaimana kondisi murid atau anak didiknya. Faktor yang dapat mempengaruhi harapan dan persepsi guru tentang anak adalah penggunaan label seperti tuna grahita, tuna laras, tuna daksa, dan sebagainya. Apabila guru menyamakan mereka dengan ank-anak yang normal atau dianggap cerdas maka hal ini akan mempengaruhi prestasi belajar mereka. Sehingga bukan tidak mungkin anak tersebut akan melakukan tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat sebagai pelampiasan atas ketidakmampuannya memenuhi harapan-harapan tersebut. (3) Pengelolaan yang tidak konsisten Pengelolaan atau teknik pengendalian perilaku yang tidak konsisten di sekolah berpengaruh negatif pada anak. Anak tidak dapat menduga respons yang diberikan oleh orang dewasa atas perilakunya sehingga anak menjadi bingung, cemas, dan tidak dapat memilih alternatif perilaku yang baik. Dalam hal ini tentu saja anak perlu mengetahui perilaku seperti apa yang dianggap sesuai dengan norma atau diperbolehkan dan perilaku seperti apa yang tidak diperbolehkan. Sehingga anak bisa menentukan atau memilih alternatif perilaku yang sekiranya diperbolehkan dan dianggap baik. (4) Pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional
xxii
Salah satu faktor di sekolah yang mendorong kemungkinan anak berperilaku menyimpang adalah penyajian materi pelajaran yang bagi anak tidak jelas manfaat dan gunanya. Jika anak tidak menyadari pentingnya materi pelajaran tersebut, atau sulit memahami materi, atau bahkan merasa tidak nyaman berada di kelas atau mengikuti pelajaran tersebut, maka bukan tidak mungkin bila hal tersebut akan memancing anak untuk berperilaku menyimpang. Seperti berbuat gaduh dengan teman yang lain, mengganggu teman yang sedang memperhatikan pelajaran, membuat kesibukan sendiri selama pelajaran berlangsung, atau bahkan anak akan memilih untuk membolos sekolah. (5) Pola pemberian imbalan yang keliru Sebenarnya sekolah dapat ikut mengendalikan ketunalarasan pada muridnya dengan berbagai cara. Sebagai contoh hal ini dapat dil;akukan dengan memberi imbalan bagi perilaku yang baik dan tidak memberikan waktu bagi anak untuk menunjukkan perilaku yang tidak wajar. Bentuk imbalannya dapat berupa pujian, perhatian, sampai dengan imbalan barang. (6) Contoh yang tidak baik Anak merupakan peniru yang baik. Sebagian besar proses belajar terjadi melalui pengamatan dan meniru perilaku orang lain. Guru yang memperlihatkan perilaku kasar, kejam, dan sebaginya, akan memupuk perkembangan perilaku yang tidak baik pada anak. Namun selain dari guru, contoh perilaku yang tidak baik juga dapat berasal dari teman sebayanya. c) Sosialisasi yang tidak sempurna di dalam masyarakat Selain di dalam keluaraga dan lingkungan sekolah, anak juga menghasbiskan waktunya di dalam lingkungan masyarakat. Di lingkungan inilah anak bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan teman-temannya. Sehingga situasi sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut akan mempengaruhi pergaulan dan interaksi anak. Lingkungan masyarakat yang sehat harus mampu mendidik dan mensosialisasikan segala hal, baik yang sesuai maupun yang bertentangan dengan norma yang mereka pegang. Dengan demikian anak akan tersosialisasi dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat tersebut dengan baik. Apabila dalam kehidupan bermasyarakat, anak tersebut mengalami proses sosialisasi yang tidak sempurna, maka bukan tidak mungkin jika anak tersebut melakukan tindakan amoral, seperti mencuri misalnya. Anak tersebut mencuri karena sifat sebagai pencuri telah terbentuk oleh lingkungan yang banyak melakukan ketidakjujuran, pelanggarana, percurian dan lain sebagainya.
xxiii
e.
Bentuk-Bentuk Perilaku Menyimpang Tindak perilaku menyimpang yang mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam. Cara penanganannyapun juga bermacam-macam, sehingga perlu adanya pembedaan antara perilaku menyimpang yang satu dengan yang lainnya. Perilaku menyimpang atau deviasi dapat terjadi dalam konteks yang bersifat pribadi maupun sosial. Ada beberapa tokoh yang menggolongkan bentuk-bentuk perilaku menyimpang ke dalam beberapa bentuk, diantaranya: 1) St. Vembriarto (1984:57-62) membedakan perilaku menyimpang menjadi tiga macam, yaitu: a) Penyimpangan individual b) Penyimpangan situasional c) Penyimpangan sistematik 2) Bruce J. Cohen, terjemahan Sahat Simamora (1983: 219-220) membedakan perilaku menyimpang ke dalam dua macam, yaitu: a) Penyimpang individual b) Penyimpangan kelompok Pendapat dari kedua tokoh tersebut dapat saling melengkapi dan menguatkan. Maka penulis menggunakan pendapat kedua tokoh tersebut sebagai acuan dalam menjelaskan bentuk-bentuk penyimpang. Oleh sebab itu dalam hal ini penulis membedakan bentuk-bentuk perilaku menyimpang menjadi empat macam, yaitu: 1) Penyimpangan individual 2) Penyimpangan kelompok 3) Penyimpangan situasional 4) Penyimpangan sistematik Lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut: 1)
Penyimpangan Individual (Individual Deviation)
Penyimpangan individual merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang tanpa adanya perencanaan dengan orang lain, yang berupa pelanggaran terhadap norma-norma yang telah mapan. Penyimpangan ini dapat bersumber pada faktor-faktor yang ada pada diri seseorang, misalnya pembawaan, penyakit, kecelakaan yang dialami oleh seseorang, atau karena pengaruh sosiokultural yang bersifat unik terhadap individu. Sehingga penyimpangan ini hanya melibatkan satu orang secara individual saja, tanpa
xxiv
adanya campur tangan dari pihak lain. Yang termasuk dalam penyimpangan individual ini antara lain: a) Penyalahgunaan narkoba Narkoba atau narkotika merupakan obat-obatan yang digunakan sebagai penghilang rasa sakit dalam jangka waktu tertentu (sementara) atau sebagai pembius selama proses operasi berlangsung. Penggunaan obat-obatan ini dapat dibenarkan selama digunakan sebagaimana mestinya /sesuai porsinya dan berada di bawah pengawasan dokter. Namun pada kenyataannya ada pihak tertentu yang menggunakan narkoba dengan tidak sebagaimana mestinya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kasus jual beli narkoba secara illegal ini sering kali terjadi di dalam lingkup masyarakat, bahkan lingkup sekolah. Sebagaimana yang disebutkan oleh Kann dan kawan-kawan dalam Dorothy J. Mandell, Sheri L. Hill, Louise Carter, & Richard N. Brandon, (2002: 4) dibawah ini: Over half of the nation’s eighth graders report that alcohol or marijuana is easy to obtain, over a quarter of high school students report seeing students at school drunk or high, and a third of high school students report having been offered, sold, or given an illegal drug at school (Kann et al., 1998). Lebih dari setengah dari bangsa tingkat kedelapan melaporkan bahwa alkohol atau ganja sangat mudah untuk didapatkan, lebih dari seperempat siswa sebuah sekolah menengah melaporkan bahwa mereka melihat para siswa minum atau mabok di sekolah, dan sepertiga siswa sebuah sekolah melaporkan bahwa mereka ditawari, menjual, atau diberi obat secara ilegal di sekolah (Kann dkk, 1998). Hal inilah yang kemudian disebut sebagai perilaku menyimpang. Selain mengganggu kesehatan si pemakai, penyalahgunaan narkoba juga bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Penyalahgunaan narkoba merupakan bentuk penyelewengan terhadap nilai, norma sosial dan agama.
xxv
b) Proses sosialisasi yang tidak sempurna Proses sosialisasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah proses penanaman nilai-nilai dan norma yang dipedomani masyarakat. Dengan demikian proses soialisasi yang dialami oleh seorang individu akan sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian individu tersebut. Bila seseorang dalam kehidupannya mengalami proses sosialisasi yang yang baik dan sempurna, maka dalam diri orang tersebut akan terbentuk kepribadian yang baik, yang mana hal ini dapat pula tercermin dalam berbagai macam perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku. Sebaliknya, bila sesorang mengalami proses soialisasi yang tidak sempurna, maka akan muncul penyimpangan pada perilakunya. Sebagai contoh misalnya: (1) Ketidakjujuran (2) Pelanggaran (3) Pencurian (4) Pemalakan (5) Perjudian c) Pelacuran Hubungan suami istri (hubungan intim) hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri dibawah ikatan pernikahan. Namun pada kenyataannya
banyak
laki-laki
maupun
perempuan
yang
melakukan hubungan suami istri dengan pasangan tidak sah (tanpa didasari oleh ikatan pernikahan). Hal sperti ini menyebabkan menjamurnya pelacuran, baik itu pelacur laki-laki maupun perempuan. Hal ini tentu saja akan menjadi penyakit masyarakat karena bertentangan dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Masalah pelacuran ini dapat disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya: (1) Desakan kebutuhan ekonomi (2) Gaya hidup
xxvi
(3) Mencari kepuasan atau kesenangan (4) Teman sepergaulan d) Penyimpangan seksual Hubungan suami istri (hubungan intim), wajarnya dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan secara heteroseksual. Namun pada kenyataannya di dalam media banyak diliput mengenai pasangan yang melakukan hubungan seksual secara tidak wajar, atau sering disebut dengan penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual merupakan perilaku seksual yang tidak lazim dilakukan seseorang. Sebagai contoh: (1) Sadisme (2) Lesbian (3) Homosexual (4) Kumpul kebo e) Tindak kriminal Tindak kriminal merupakan tindakan yang bertentangan dengan norma hukum, sosial dan agama. Tindak kriminal dapat menyebabkan kerugian, sakit /luka atas penganiayaan, atau bahkan kematian pad korbannya. Dengan demikian tindak criminal ini bertentangan dengan norma dan nilai-nilai yang dipedomani oleh masyarakat. Sebagai contoh: (1) Pencurian (2) Penipuan (3) Penganiayaan (4) Pembunuhan (5) Perampokan (6) Pemerkosaan f) Gaya hidup Yang dimaksud adalah penyimpangan dalam bentuk gaya hidup yang berbeda atau menyimpang dari perilaku atau gaya pada umumnya atau bisanya. Dengan demikian, orang yang menganut
xxvii
gaya hidup yang menyimpang dari perilaku atau gaya pada umumnya ini disebut sebagai pelaku tindak penyimpangan. Sebagai contoh: (1) Orang yang bergaya hidup hedonis (2) Orang yang sering keluar masuk klab malam (3) Orang yang sering menghabiskan waktu di bar (4) Orang yang sering pergi ke diskotik g) Orang yang yang sangat fanatik Yaitu orang yang memiliki sifat fanatik sempit yang menganggap apa yang dipilih dan dianutnya adalah hal yang paling tepat dan benar tanpa dapat mentolelir pada pilihan orang lain. Orang yang seperti ini biasanya memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak penyimpangan sosial, misalnya saja: (1) Menjelek-jelekan orang yang tidak sepaham (2) Menghujat pendapat orang yang bertentangan (3) Mencaci pilihan orang lain yang tidak sesuai dengan pilihannya h) Sikap eksentrik Yaitu perbuatan yang menyimpang dari biasanya, sehingga dianggap aneh. Perbuatan ini berbeda dengan perbuatan orang pada umumnya, sehingga dianggap menyimpang dari norma-norma yang ada. Misalnya seperti: (1) Laki-laki yang memakai anting pada telinganya (2) Laki-laki yang berambut panjang (3) Perempuan yang berambut pendek (seperti laki-laki) (4) Orang yang bertato (5) Orang yang mencat rambutnya 2)
Penyimpangan kelompok (Collective Deviation)
Jenis penyimpangan yang kedua adalah penyimpangan kelompok. Penyimpangan ini dilakukan secara kolektif dengan cara yang terkadang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Mereka membuat peraturan tertentu yang dianggap sesuai dengan kepentingan mereka, tetapi peraturan tersebutpun terkadang bertentangan norma yang ada. Penyimpangan kelompok biasanya terjadi di dalam sub-kultur yang menyimpang yang ada di
xxviii
dalam masyarakat. Dalam hal ini, individu yang berada dalam situasi ini berperilaku sesuai dengan peraturan sub-kulturnya, yaitu sub-kultur yang tidak mau menerima norma-norma masyarakat. Individu atau anggota dari kelompok ini menganggap bahwa peraturan sub-kulturnya atau peraturan yang berlaku di dalam kelompoknyalah yang harus dianut dan dipatuhi, meskipun peraturan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Penyimpangan yang dilakukan kelompok ini umumnya sebagai akibat dari pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persahabatan dalam kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam tindak penyimpangan agar tidak disingkirkan dari kelompoknya. Yang tergolong dalam penyimpangan jenis ini, misalnya: a) Kenakalan remaja Karena ingin membuktikan keberanian dalam melakukan hal-hal yang dianggap bergengsi, sekelompok remaja melakukan tindakantindakan yang menyerempet bahaya. Hal ini sangat mengganggu ketenangan dan ketentraman di dalam masyarakat, sehingga dianggap sebagai perilaku menyimpang yang bertentangan dengan norma yang dipedomani oleh masyarakat Contohnya: (1) Kebut-kebutan di jalan raya (2) Membentuk geng-geng yang membuat onar (3) Nongkrong di simpang jalan (4) Minum minuman keras bersama-sama b) Tawuran atau perkelahian pelajar Tawuran dalam perkelahian pelajar bukan untuk mencapai nilai yang positif, melainkan sekedar untuk balas dendam atau pamer kekuatan /unjuk kemampuan. Atau bahkan terkadang mereka yang terlibat di dalam perkelahian tersebut tidak tahu-menahu duduk persoalan yang menjadi akar dari perkelahian tersebut. c) Tindak kejahatan berkelompok atau komplotan Tidak kejahatan berkelompok sering dilakukan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka. Dalam tindak kejahatan berkelompok ini sering kali terjadi tindak kejahatan yang melukai korban, atau bahkan membunuh korbannya. Seperti misalnya: (1) Perampok (2) Perompak (3) Bajing loncat (4) Sindikat curanmor
xxix
d) Penyimpangan kebudayaan Karena ketidakmampuan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam pribadi masing-masing individu dalam kelompok maka dapat terjadi pelanggaran terhadap norma-norma budayanya, seperti: (1) Tradisi yang mewajibkan mas kawin yang tinggi dalam masyarakat tradisional banyak ditentang karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman (2) Tradisi bersih desa dengan ritual tertentu yang sudah mulai luntur (3) Tradisi
peringatan
hari
kematian
yang
sudah
mulai
ditinggalkan 3)
Penyimpangan Situasional (Situasional Deviation)
Deviasi situasional ialah deviasi yang merupakan fungsi dari pada pengaruh kekuatan-kekuatan situasi di luar individu atau dalam situasi dimana individu merupakan bagiannya yang integral. Dalam hal ini individu/ devian terpaksa harus melanggar norma-norma umum yang berlaku karena adanya situasi dan kondisi lingkungan di luar individu yang memaksa, sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar peraturan dan norma-norma umum atau hukum formal. Penyimpang atau devian bisa mengembangkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma susila atau hukum, sebagai produk dari transformasi-transformasi psikologis yang dipaksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya. Sebagai contoh misalanya: a) Tentara yang mengalami demoralisasi karena kalah perang b) Kelompok-kelompok demonstrasi yang menjadi liar tak terkendali c) Perkelahian atau tawuran antar pelajar d) Gadis-gadis yang menjadi WTS karena tidak puas dengan upah yang diterima dari pekerjaan yang lalu e) Seseorang yang terpaksa mencuri karena keluarganya kelaparan Deviasi situasional akan selalu kembali jika situasinya berulang, yang kemudian akan menjadikannya deviasi situasional yang kumulatif. Deviasi situasional yang kumulatif dapat terjadi apabila deviasi-deviasi individu terbentuk sebagai reaksi terhadap sejumlah situasi yang sama yang selalu kembali. Deviasi kumulatif ini biasanya merupakan hasil dari konflik kebudayaan. Sebagai contoh deviasi kumulatif, misalnya: tiap-tiap tahun hotelhotel kehilangan barang-barang, seperti handuk, lampu, gambar, dan
xxx
sebagainya karena pengunjung-pengunjungnya, tingkah laku kasar pada golongan remaja, tekanan batin yang dialami oleh wanita-wanita yang menopause, dan sebagainya. 4)
Penyimpangan Sistematik (Sistematic Deviation)
Deviasi sitematik merupakan deviasi yang berorganisasi, yaitu sistem tingkah laku deviasi yang memiliki organisasi sosial yang khusus dan bentukbentuk status, peranan dan moral yang berbeda dari bagian kebudayaan yang lebih luas. Organisasi itu terbentuk karena komunikasi dalam deviasi sitematik itu yang bersifat kumulatif. Deviasi sistematik pada hakekatnya adalah satu subkultur atau satu sistem tingkah laku yang disertai: organisasi sosial khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma moral tertentu, yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian dirasionalisir, atau dibenarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu. Sebagai contoh, misalnya: a) Munculnya serikat-serikat buruh yang bernaung di bawah organisasi sosial khusus dan memiliki status formal b) Gerombolan mafia yang terikat pada organisasi sosial khusus, yang mana di dalamnya terdapat nilai-nilai dan norma moral tertentu, yang semuanya berbeda dengan situasi umum c) Bende-bende anak berandalan yang terikat pada organisasi sosial khusus, yang mana sebagai anggota dari organisasi tersebut mereka memiliki peranan-peranan, rasa kebanggaan, nilai-nilai dan norma moral tertentu yang berbeda dengan situasi pada umumnya d) Remaja-remaja yang putus sekolah dan pengangguran yang frustasi merasa tersisih dari pergaulan dan kehidupan masyarakat Dibawah seorang tokoh yang terlatih, mereka mengelompok ke dalam semacam organisasi rahasia yang memiliki norma yang mereka buat dan disepakati bersama.
f.
Dampak Perilaku Menyimpang Segala macam perilaku atau tindakan yang dilakukan selalu menimbulkan suatu akibat atau dampak. Baik itu bagi diri si pelaku (individu) itu sendiri ataupun bagi orang lain (masyarakat atau kelompok lain). Begitu juga dengan perilaku menyimpang. Nn. (2009) dalam http://nilaieka.blogspot.com/2009/02/materi-perilaku-menyimpang-3.html-
xxxi
79k menjelaskan bahwa dampak perilaku menyimpang terbagi dalam dua macam, yaitu: 1) Dampak terhadap diri sendiri atau individu 2) Dampak terhadap masyarakat atau kelompok Untuk lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut: 1)
Dampak Perilaku Menyimpang Terhadap Diri Sendiri atau Individu
Akibat tidak diterima atau ditolaknya perilaku individu yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, maka akan muncul berbagai macam situasi pada diri si pelaku sebagai dampak dari perilaku menyimpang tersebut, yaitu: terkucil, terganggunya perkembangan jiwa, dan rasa bersalah. Untuk lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut: a) Terkucil Situasi terkucil umumnya dialami oleh pelaku penyimpangan individual. Sebagai contoh misalnya pelaku penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, tindak kejahatan/kriminal, dan sebagainya. Perilaku menyimpang dilakukan sendiri oleh individu tersebut tanpa melibatkan orang lain, maka individu itu sendirilah yang harus menerima konsekuensi dari perbuatannya dengan dikucilkan oleh lingkungannya. Hal ini biasa disebut dengan sanksi sosial. b) Terganggunya perkembangan jiwa Pelaku penyimpangan sosial dapat mengalami gangguan perkembangan jiwa. Secara umum pelaku penyimpangan sosial akan tertekan secara psikologis karena ditolak oleh masyarakat. Baik penyimpangan ringan maupun penyimpangan berat akan berdampak pada terganggunya perkembangan mental atau jiwanya, terlebih-lebih pada penyimpangan yang memang diakibatkan dan yang mempunyai sasaran pada jaringan otaknya. Misalnya pada pelaku penyalahgunaan narkoba dan kelainan seksual. c) Rasa bersalah Selain dikucilkan dan mengalami gangguan jiwa, pelaku penyimpangan sosial juga akan didera rasa bersalah. Sekecil apapun, rasa bersalah itu pasti akan muncul karena tindak penyimpangan tersebut telah merugikan orang lain, hilangnya harta benda, bahkan nyawa. Pada akhirnya pelaku perilaku menyimpang tersebut akan menyadari dan merasa bersalah pada orang-orang yang telah dirugikannya. 2)
Dampak Perilaku Menyimpang terhadap Masyarakat atau Kelompok
Penyimpangan kelompok akan bermuara kepada penentangan terhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan yaitu: kriminalitas,
xxxii
terganggunya keseimbangan sosial, dan pudarnya nilai dan norma. Untuk lebih terangnya, dijelaskan sebagai berikut: a) Kriminalitas Dengan adanya berbagai macam perilaku menyimpang yang banyak terjadi, maka bukan tidak mungkin bahwa akan muncul tindak kriminalitas di dalam masyarakat. Tindak kejahatan atau tindak kekerasan yang dilakukan seseorang kadang kala merupakan hasil penularan seorang individu lain, sehingga tindak kejahatan akan muncul berkelompok dalam masyarakat. Dengan demikian, bukan tidak mungkin jika tindak kejahatan atau kriminalitas akan marak terjadi di dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya seseorang yang mengalami kecanduan narkoba. Orang tersebut harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan barang tersebut (narkoba). Bahkan, seperti yang sering diberitakan dalam media, baik media cetak maupun elektronik, apabila pecandu obat-obatan tersebut tidak memiliki uang, maka ia akan nekad menjual berbagai macam harta benda yang dimilikinya untuk mendapatkan barang tersebut. Tentu saja jika uang dan hartanya telah habis, bukan tidak mungkin orang tersebut akan melakukan tindak kriminal, seperti mencuri misalnya. Karena mencuri dianggap sebagai salah satu cara cepat untuk mendapatkan apa yang ia mau, maka bukan tidak mungkin juga jika orang tersebut akan mengajak temannya yang lain untuk melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya tindak kriminal inipun muncul sebagai tindak kriminal berkelompok dalam masyarakat. b) Terganggunya keseimbangan sosial Selain tindak kriminalitas, perilaku menyimpang juga dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan sosial. Perilaku menyimpang merupakan penyimpangan melalui struktur sosial. Karena masyarakat merupakan struktur sosial, maka tindak penyimpangan pasti akan berdampak terhadap masyarakat. Sehingga perilaku menyimpang inipun akan mengganggu keseimbangan sosial yang ada di dalam masyarakat. Struktur sosial di dalam masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya jika di dalamnya tidak terdapat suatu hal yang menyimpang yang pada akhirna akan mengganggu keseimbangan sosial di dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh misalnya sekelompok orang yang mengkonsumsi minuman keras (pemabuk). Biasanya mereka melakukan pesta alcohol pada malam hari (namun kadang kala ada juga diantara mereka yang tidak peduli siang atau malam). Karena pengaruh dari alcohol tersebut, jika sudah mabuk maka otak atau rasionalnyapun tidak dapat terkontrol atau terkendali. Sehingga apa yang dilakukan tidak lagi
xxxiii
berdasarkan rasio. Maka dari itu, berbagai macam tindakan menyimpang mungkin saja dapat mereka lakukan. Seperti berkelahi antar teman, mengganggu orang yang lewat /melintas, memukuli orang tanpa alas an, berbuat kerusuhan dan kekacauan, dan lain sebagainya. Secara normatif, tindakan-tindakan ini tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima karena dapat mengganggu keseimbangan sosial yang ada di dalam masyarakat. c) Pudarnya nilai dan norma Selain kedua hal di atas, perilaku menyimpang juga dapat menyebabkan pudarnya nilai dan norma. Karena pelaku penyimpangan tidak mendapatkan sangsi yang tegas dan jelas, maka muncullah sikap apatis pada pelaksanaan nilai-nilai dan norma dalam masyarakat. Sehingga nilai dan norma menjadi pudar kewibawaannya untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya tindakan vandalisme (seperti perusakan tanda lalulintas, perusakan fasilitas umum, mencoretcoret fasilitas umum atau milik warga masyarakat, dan sebagainya). Selain merusak pemandangan dan kerapian, vandalisme juga merupakan satu perbuatan yang dapat dikatakan menyimpang dari norma masyarakat. Tindakan ini dapat menimbulkan rasa tidak suka pada pihak yang merasa dirugikan. Namun sayangnya tidak ada sanksi yang tegas terhadap pelaku tindakan ini. Sehingga mereka yang sering melakukan tindakan vandalisme ini dapat dengan leluasa mencoret-coret atau merusak properti masyarakat atau fasilitas umum, seperti tembok rumah, pagar rumah, pintu pertokoan, papan pengumuman, dan sebagainya. g.
Upaya Penanggulangan Perilaku Menyimpang Masalah perilaku menyimpang di kalangan remaja, khususnya pelajar, menjadi masalah semua pihak. Sehingga diperlukan adanya kerja sama yang baik antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam menanggulangi masalah penyimpangan sosial ini. Maka dari itu diperlukan adanya tindakan konkrit yang perlu dilakukan. Menurut Kartini Kartono (2006: 85-97) upaya untuk menanggulangi perilaku menyimpang dapat ditempuh dengan: 1) Tindakan preventif 2) Tindakan hukuman 3) Tindakan kuratif Untuk lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut: 1) Tindakan preventif
xxxiv
Tindakan preventif dilakukan sebelum dilakukannya penyimpangan sosial. Tindakan ini merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam rangka untuk mencegah agar perilaku menyimpang tidak terjadi. Dalam tindakan preventif ini diperlukan adanya usaha untuk memberikan pemahaman tentang remaja itu sendiri. Jika remaja tahu tentang dirinya sendiri dengan baik, maka ia juga akan tahu mengenai hal-hal yang kurang pada dirinya, sehingga ia akan terdorong untk belajar mengatasi kekuarangan-kekurangan tersebut. Ia akan mampu mencegah perbuatan negatif yang akan merugikan dirinya dan orang lain. Ia akan lebih menguasai dirinya, sehingga tidak sembarangan bertindak dan berbuat. Disamping itu, dia juga akan dapat berperan dalam pembinaan terhadap teman-temannya untuk sama-sama menyalurkan ide-idenya, potensi-potensinya, baik dalam bidang seni, olah raga, kepemudaan, pramuka dan lain sebagainya. Upaya ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu pihak keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebagai contoh tindakan konkrit diantaranya: a) Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak keluarga (1) Menanamkan nilai-nilai norma dan agama dalam kehidupan sehari-hari (2) Menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga (3) Keteladanan orang tua (4) Meningkatkan kesejahteraan keluarga b) Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah (1) Membuat peraturan dalam bentuk tata tertib sekolah (2) Memberlakukan tata tertib sekolah tersebut pada seluruh warga sekolah tanpa kecuali (3) Memberikan sanksi yang sesuai bagi pelanggaran atas tata tertib yang berlaku c) Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak masyarakat (1) Melalui pertemuan dalam lingkup RT para warga saling mengungkapkan pentingnya menjaga keteraturan sosial dan memberikan peringatan apabila ada hal-hal yang dinaggap menyimpang dari norma (2) Peran serta pemuka masyarakat untuk menghimbau dan menanamkan kesadaran pada para warga masyarakat untuk
xxxv
bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat (3) Peran serta seluruh warga masyarakat untuk berpatok pada norma dalam segala tindakan dan perilakunya (4) Menyediakan tempat yang sehat bagi remaja (5) Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan korektif (6) Pengoreksian dan asistensi untuk hidup mandiri dan susila kepada anak-anak dan para remaja yang membutuhkan (7) Membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap kegiatan anak delinkuen disertai program yang korektif (8) Perbaikan lingkungan, yaitu daerah slum, kampung-kampung miskin dan sebagainya 2) Tindakan hukuman Upaya penanggulangan yang kedua adalah melalui tindakan hukuman. Tindakan hukuman merupakan sanksi atas perilaku menyimpang yang telah dilakukan. Jadi tindakan hukuman ini diterapkan setelah perilaku menyimpang benar-benar telah dilakukan. Tindakan hukuman harus bersifat mendidik dan objektif. Tindakan hukuman ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap adil, dan bisa menggugah berfungsinya hati nurani sendiri untuk hidup bersusila dan mandiri. Sebagai contoh, misalnya: a) Mengurangi jam menonton TV anak jika anak tersebut mendapatkan nilai jelek saat ulangan b) Mengurangi jatah uang jajan saku anak jika tidak melaksanakan tugas hariannya sebagaimana mestinya c) Menghukum anak dengan menyuruhnya memotong rumput di pekarangan rumah 3) Tindakan kuratif Tindakan yang harus dilakukan selain tindakan preventif dan tindakan hukuman adalah tindakan kuratif. Tindakan kuratif dilakukan sebagi usaha untuk pengembalian situasi agar kembali normal seperti semula atau bisa juga disebut sebagai tindakan rehabilitatif. Sehingga tindakan ini diterapkan setelah anak melakukan penyimpangan. Namun
xxxvi
penerapannya bukan berupa pemberian hukuman, melainkan melalui pendekatan terhadap anak yang melakukan penyimpangan. Anak yang melakukan penyimpangan tersebut didekati, untuk kemudian sedikit demi sedikit diarahkan kepada perbuatan yang baik, yang mana perbuatan tersebut dapat diterima oleh masyarakat luas. Tindakan kuratif ini antara lain berupa: a) Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur, tertib dan disiplin b) Memanfaatkan waktu senggang untuk membiasakan diri bekerja c) Belajar dan melakukan rekreasi sehat dengan disiplin tinggi d) Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan pembangunan 2.
Bimbingan Orang Tua
a.
Pengertian Bimbingan Kemajuan dan perkembangan pendidikan selalu sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu maka pembentukan kepribadian anak tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal dan informal saja, melainkan juga dipengaruhi oleh pendidikan non-formal. Pembentukan kepribadian anak harus dilakukan sedini mungkin khususnya oleh pihak keluarga, terutama orang tua, yaitu melalui pemberian bimbingan sejak dini secara terus-menerus atau berkesinambungan. Secara umum kata bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan. Namun untuk sampai kepada pengertian yang sebenarnya harus diingat bahwa tidak setiap bantuan dapat diartikan sebagai bimbingan. Untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan mengenai pengertian bimbingan, kiranya bukanlah hal yang mudah seperti kebanyakan orang mengira. Hal ini disebabkan karena dalam membahas atau membicarakan suatu masalah, tidaklah dapat lepas dari tinjauan dan sudut pandang orang atau ahli yang membahasnya. Sedangkan masing-masing orang atau ahli memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam membahasa atau mengupas suatu permasalahan, sehingga akan memunculkan pendapat yang berbeda-beda pula. Untuk itu dibawah ini penulis sebutkan beberapa pengertian bimbingan menurut beberapa ahli. 1) Menurut Bimo Walgito (2004: 4) bimbingan yaitu: Bimbingan merupakan suatu pertolongan yang menuntun. Bimbingan merupakan suatu tuntunan. Hal ini mengandung pengertian bahwa di dalam memberikan bimbingan, apabila keadaan menuntut, adalah kewajiban dari pembimbing untuk memberikan bimbingan secara aktif, yaitu memberikan arahan kepada yang dibimbingnya.
xxxvii
Bimbingan merupakan pemberian pertolongan atau bantuan. Namun tidak semua pertolongan adalah merupakan bantuan. Sebagai contoh seorang polisi yang menolong korban kecelakaan lalulintas. Pertolongan yang diberikan oleh polisi ini bukanlah merupakan sebuah bimbingan. Dalam membimbing, arah dan fokus bimbingan tertuju pada individu yang dibimbing. Namun demikian, yang menentukan arah dari bimbingan bukanlah individu yang dibimbing, melainkan orang yang membimbing. Sehingga dalam hal ini pembimbing dapat mengambil peran aktif jika keadaan memaksa. Pembimbing tidak boleh membiarkan individu yang dibimbingnya dalam keadaan terlantar bila telah nyatanyata tidak dapat menghadapi masalah. 2) Dewa Ketut Sukardi (1995: 2) berpendapat bahwa ”Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang secara terus menerus dan sistematis oleh pembimbing agar individu menjadi pribadi yang mandiri.” Bimbingan diberikan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Hal ini dilakukan agar individu dapat memahami dirinya sendiri, dan akhirnya dapat mengarahkan dirinya untuk bertindak sesuai dengan tuntutan, baik itu tuntutan lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pada kehidupan pada umumnya. Dengan demikian individu yang dibimbing akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. 3) Singih Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa (1992: 12) mengemukakan pengertian bimbingan, yaitu: Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang agar memperkembangkan potensi-potensi yang dimiliki di dalam dirinya sendiri dalam mengatasi persoalan-persoalan, sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggung jawab tanpa harus tergantung kepada orang lain. Bimbingan diberikan agar individu yang dibimbing dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya, termasuk dalam menentukan pilihan, menyesuaikan, maupun dalam memecahkan masalah. Bimbingan ini diberikan secara berkesinambungan tanpa melihat umur atau usia individu yang dibimbing. Sehingga dengan adanya bimbingan ini maka individu tersebut akan dapat hidup tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang diberikan secara terus-menerus oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya sehingga dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Bimbingan dapat diberikan kepada siapa saja yang
xxxviii
membutuhkan, baik secara individual maupun secara kelompok, tanpa melihat batas usia atau umur. Sehingga baik anak, remaja maupun orang dewasa dapat menjadi objek bimbingan. Dengan demikian, maka bidang gerak bimbingan tidak hanya terbatas pada anak-anak ataupun para remaja saja, melainkan juga mengenai orang dewasa. b.
Pengertian Orang Tua Kehidupan anak selama di rumah, yang paling bertanggung jawab akan perkembangannya adalah orang tua. Orang tua dapat membimbing anak dalam menentukan pilihan-pilihan dan membuat penyesuaian diri dengan lingkungan yang akan bermanfaat bagi kehidupannya. Orang tua juga berperan dalam membimbing anak untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam proses pencarian jati diri. Bimbingan juga mencakup pemberian pertolongan kepada anak untuk memecahkan masalah yang dihadapi, terutama bagi remaja yang mana mereka sangat memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang tua dalam menghadapi dunianya. Di bawah ini akan dituliskan mengenai orang tua menurut beberapa ahli. 1) Nn. (2009) dalam www.id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua menyebutkan bahwa “Orang tua adalah ayah dan /atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial.” Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam merawat, membimbing dan membesarkan anak. Sebutan sebagai ayah diberikan kepada orang tua laki-laki, sedangkan sebutan sebagai ibu diberikan kepada orang tua perempuan. Namun panggilan ayah /ibu dapat diberikan kepada laki-laki /perempuan yang bukan orang tua kandung (secara biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Sebagai contoh, misalnya orang tua angkat (karena adopsi), atau ayah tiri (suami ibu biologis anak) dan ibu tiri (istri ayah biologis anak). 2) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 706) disebutkan bahwa “Orang tua ialah ayah dan ibu kandung.” Dari pernyataan di atas mengandung arti bahwa orang tua adalah orang dewasa yang telah berhasil membina suatu rumah tangga dan mendapatkan suatu keturunan seorang anak dari Tuhan. Orang tua di sini adalah orang tua yang melahirkan anak-anaknya, yang mana anakanak tersebut wajib dididik, dibimbing dan dicukupi kebutuhan hidupnya. Orang tua harus dapat menjadi suri tauladan mengingat bahwa orang tualah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. 3) Ngalim Purwanto (1988: 47) mengatakan bahwa “Orang tua (ayah dan ibu) adalah pendidik yang terutama dan sudah semestinya. Merekalah pendidik asli, yang menerima tugasnya dari kodrat, dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya”.
xxxix
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang telah melahirkan anaknya, yaitu Ibu dan Bapak. Selain telah melahirkan, ibu dan bapak juga mengasuh dan membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Selain itu orang tua juga telah memperkenalkan anaknya kepada hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa orang tua bertanggung jawab penuh atas anakanaknya. Orang tua dikatakan sebagai pendidik kodrati yaitu bilamana orang tua telah dikaruniai anak maka secara otomatis (sesuai kodratnya) orang tua berkewajiban untuk mendidik putra-putrinya agar menjadi orang yang berguna. Orang tua tanpa ada yang memerintah langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik bersifat sebagai pemelihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina maupun sebagai guru dan pemimpin bagi anak-anaknya. Ini adalah tugas kodrati dari tiap-tiap manusia. 4) Thamrin Nasution dan Nur Halijah (1989: 1) mengatakan bahwa “Orang tua adalah orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau rumah tangga, yang dalam kehidupannya sehari-hari lazim disebut ibubapak.” Berdasarkan pernyataan di atas mengandung arti bahwa orang tua sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya. Orang tua mengasuh dan membimbing anaknya dengan memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Orang tua harus bias menjadi suri tauladan yang baik bagi anak-anaknya, karena biasanya anak selalu menjadikan tingkah laku orang tuanya sebagai patokan dasar dalam bertindak. Biasanya, anak akan lebih mudah menerima contoh dan teladan yang diberikan orang tua daripada perintah dan aturan-aturan yang diberikan atau ditetapkan, meskipun sebenarnya arah dan tujuan dari perintah dan aturan-aturan itu sendiri adalah keselamatan bagi seluruh warga atau anggota keluarga. Dari beberapa definisi yang tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan orang tua dalam penelitian ini adalah bapak dan ibu, yang mana mereka merupakan pendidik sejati atau pendidik utama dan pertama yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kehidupan keluarga, yang biasa disebut dengan ibu-bapak. Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang tuanya. Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab kenalnya anak dengan alam luar, sehingga setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu.
xl
Dari pengertian bimbingan dan orang tua di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bimbingan orang tua adalah pemberian bantuan atau pertolongan dari bapak dan ibu sebagai orang yang bertanggung jawab dalam keluarga yang dilakukan secara terus-menerus dan sistematis kepada anaknya, dan memberikan bimbingan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. c.
Peranan Orang Tua Di dalam sebuah keluarga, orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama, maka orang tua pun menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga anak mengharapkan orang tua mereka dapat berperan sebagaimana layaknya orang tua yang selalu dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun peranan yang diharapkan dari orang tua menurut Soerjono Soekanto (2004: 115-117), yaitu: seorang ayah harus mampu berperan layaknya seorang kepala keluarga, sedangkan seorang ibu harus mampu merawat dan mendidik anaknya dengan baik. Untuk lebih jelasnya diterangkan sebagai berikut: 1) Peranan ayah Sesuai dengan ajaran-ajaran tradisional, seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan yang baik (ing ngarso sung tulodo), memberikan semangat sehingga pengikut ikut kreatif (ing madyo mangun karso), dan membimbing (tut wuri handayani). Sedangkan di Indonesia, seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga. Sehingga seorang ayah diharapkan mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mantap serta mampu memimpin anggota keluarga ke jalan yang benar dan lurus. Sebagai seorang pemimpin, ayah harus mampu menjadi contoh dan teladan yang baik bagi yang dipimpin, yaitu anak-anaknya. Karena biasanya seorang anak suka meniru dan mencontoh sikap dan perilaku ayahnya sebagai kepala keluarga. Sehingga dalam perilaku kesehariannyapun anak selalu menengok kembali pada keluarganya, khususnya ayah. Baik dalam berpikir maupun dalam berperilaku anak akan menjadikan keluarganya sebagai panutan atau patokan. Contoh dan keteladanan yang baik akan diserap, ditiru oleh anak untuk berperilaku dalam kehidupan dehari-harinya. Sehingga anak selalu mendambakan adanya contoh atau panutan untuk diteladani, dan anak mengharapkan semua itu ada pada figur seorang ayah. Berkenaan dengan pembentukan pribadi anak, seorang ayahpun juga harus mampu menciptakan lingkungan keluarga yang bahagia dan harmonis. Karena keluarga adalah merupakan agen yang pertama dan utama dalam pembentukan pribadi anak. Untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, anak memerlukan dukungan dan motivasi dari orang tua. Dukungan, motivasi dan dorongan semangat sangat
xli
dibutuhkan oleh anak untuk mengembangkan potensinya dan juga untuk meraih apa yang dicita-citakannya, dan semua itu diharapkan ada pada figur seorang ayah. Sehingga disamping menjadi teladan yang baik, seorang ayah juga harus mampu memberikan dorongan atau motivasi pada anak-nakanya demi proses perkembangan dan pendewasaannya. Karena pada dasarnya keluarga adalah merupakan agen yang pertama dan utama yang mampu memberi semangat bagi anak untuk berkreasi dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Selain yang tersebut diatas, seorang ayah diharapkan juga dapat memberi bimbingan dalam usaha pengembangan dan pendewasaan anak, baik berupa tuntunan, pertolongan, maupun bantuan dalam segala hal. Bimbingan ini diberikan secara kontinu atau terus-menerus sebagai usaha untuk perkembangan dan pendewasaan anak. Dengan demikian diharapkan anak dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu menyelesaikan segala macam permasalahannya dengan cepat dan tepat. Pada umumnya anak mengharapkan fungsi atau peran ideal tersebut terwujud di dalam kenyataan. Seorang ayah harus mampu memimpin dan menanamkan berbagai hal yang dapat mendewasakan anak. Dengan begitu diharapkan kelak anak dapat berdiri sendiri dikemudian hari. 2) Peranan ibu Sejak anak dilahirkan, ibu yang dengan tulus merawat dan mengasuh anaknya. Seorang ibu harus dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat bagi anak-anaknya. Ibu harus dapat memberikan rasa aman kepada anaknya, serta harus dapat pula membimbing anak dalam proses pendewasaan untuk masa depannya. Dengan kata lain, seorang ibu dituntut untuk dapat merawat anaknya dengan sebaikbaiknya, baik itu secara jasmani maupun rohani, baik itu secara psikologi, biologis maupun sosiologis. Dengan begitu diharapkan kelak anak dapat berdiri sendiri dengan kepribadian dan kedewasaan yang matang.
d.
Tujuan Bimbingan Orang Tua Dalam kehidupan sehari-hari orang tua selalu memberikan bimbingan pada anaknya dalam berbagai macam hal. Bimbingan yang diberikan oleh orang tua pada anaknya tentu saja bukan tanpa tujuan. Dalam memberikan bimbingan, orang tua memiliki tujuan-tujuan tertentu yang diharapkan dapat tercapai pada diri anak. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa (1992: 14) mengemukakan bahwa tujuan dari bimbingan adalah memberi bantuan pada anak supaya mencapai:
xlii
1) Kebahagiaan hidup pribadi 2) Kehidupan yang efektif dan produktif 3) Kesanggupan hidup bersama dengan orang lain 4) Keserasian antara cita-cita anak didik dengan kemampuan yang dimilikinya Lebih terangnya dijelaskan pada uraian di bawah ini: 1) Kebahagiaan hidup pribadi Yang dimaksud dengan kebahagiaan hidup pribadi adalah kebahagiaan untuk anak /individu yang bersangkutan itu sendiri. Bimbingan orang tua diberikan sejak dini. Dengan demikian sejak awal anak telah dibimbing dan diarahakan untuk meraih kebahagiaannya sendiri. 2) Kehidupan yang efektif dan produktif Bimbingan sangat diperlukan agar anak atau individu dapat hidup secara efektif dan produktif. Anak tersebut dibimbing agar menjadi individu yang berguna dan dapat menghasilkan sesuatu (baik itu ide, perilaku, maupun materi) yang berguna bagi masyarakat luas. Dengan demikian keberadaan anak tersebut akan diakui karena dapat berperilaku sebagaimana yang diinginkan baik oleh norma masyarakat maupun oleh masayarakat itu sendiri. 3) Kesanggupan hidup bersama dengan orang lain Manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari keberadaan orang lain, karena selalu membutuhkan keberadaan /pertolongan dari orang lain. Untuk itu perlu adanya kerja sama dan hubungan baik antara individu satu dengan individu yang lain. Artinya masing-masing individu harus dapat hidup bersama dengan individuindividu yang lainsesuai dengan tuntutan norma yang berlaku. 4) Keserasian antara cita-cita anak didik dengan kemampuan yang dimilikinya. Bimbingan yang diberikan orang tua harus dapat memberi pemahaman kepada anak mengenai cita-cita, kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Hal ini diperlukan agar supaya anak dapat menentukan cita-citanya sendiri sesuai dengan kemampuan dan potensinya. Dengan demikian anak akan termotivasi dan anak juga benar-benar tahu arah /langkah apa yang harus ditempuhnya untuk mencapai kesuksesan. e.
Peranan Bimbingan Orang Tua
xliii
Dalam perkembangan dan kehidupan anak, bimbingan yang diberikan oleh orang tua memiliki tujuan tertentu. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka bimbingan tersebut harus diberikan dan dilakukan sebaikbaiknya atau semaksimal mungkin. Dengan memperhatikan tujuan-tujan dari bimbingan orang tua seperti yang dijelaskan di atas, maka dapatlah dirumuskan fungsi dari bimbingan itu sendiri. Ny.Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa (1992: 20-21) berpendapat bahwa peranan bimbingan dapat dibedakan dalam empat kelompok, yaitu: 1) Berperan sebagai pencegah 2) Berperan sebagai pemelihara 3) Berperan dalam membantu 4) Berperan memperbaiki atau menyembuhkan Selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Berperan sebagai pencegah Orang tua selalu menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Orang tua tidak menginginkan sesuatu hal yang buruk terjadi pada anaknya. Sehingga orang tua akan berusaha untuk menjaga dan membimbing anak-anaknya sedemikian rupa sebagai upaya pencegahan agar hal-hal yang buruk tidak terjadi pada anaknya. Dalam perannya sebagai pencegah, bimbingan orang tua mampu membantu anak mencegah timbulnya masalah bagi dirinya yang mungkin akan menjurus pada penyimpangan perkembangan mental, tekanan jiwa, atau kelainan /gangguan jiwa. Melalui bimbingan yang diberikan, orang tua dapat membantu anak baik dalam berpikir maupun dalam bersikap. Dengan demikian anak tidak akan salah atau terperosok dalam mengambil keputusan maupun dalam melangkah. 2) Berperan sebagai pemelihara Kepribadian anak yang sudah mencapai perkembangan, baik keseimbangan emosi maupun keserasian kepribadian harus dijaga dan dipelihara agar menjadi kesatuan pribadi yang kuat. Dalam hal ini bimbingan yang diberikan orang tua mampu membantu anak untuk memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik atau manjadi lebih baik, sehingga tidak menjadi sumber masalah bai dirinya dan orang lain. 3) Berperan dalam membantu Bantuan yang dimamsudkan dalam hal ini adalah bantuan dalam penyesuaian diri, yaitu dengan jalan membantu anak untuk menghadapi, memahami dan memecahkan masalah. Melalui bimbingan yang diberikannya, orang tua dapat mengarahkan anak dalam memahami
xliv
dan menghadapi maslah secara rasional dan dewasa, sehingga anak akan menemukan jalan keluar dan keputusan sebagai pemecahan dari masalah yang dihadapi. Dengan demikian maka diharapkan anak dapat mengambil keputusan secara cermat dan tepat. 4) Berperan memperbaiki atau menyembuhkan Jika terjadi penyimpangan atau kesulitan yang sudah mengakar, maka orang tua dapat membantu anak melalui bimbingan yang diberikannya. Bimbingan ini dapat dilakukan dengan mencari akar dari penyimpangan kenakalan, kesulitan, atau gangguan tersebut agar supaya dapat disembuhkan. Setelah masalah teratasi maka orang tua juga masih dituntut untuk berperan dalam membimbing anak untuk mengembalikan situasi seperti semula, agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama, yang kemudian pada akhirnya kehidupan anak menjadi normal kembali. Tanpa adanya bimbingan sebenarnya anak juga dapat berkembang, bahkan tanpa pendidikan sebenarnya siswa juga dapat berkembang. Tetapi dengan adanya bimbingan dan pendidikan tersebut diharapkan perkembangan yang diperoleh anak akan lebih optimal. Baik dalam penguasaan, pengarahan, pemilihan maupun dalam pengambilan keputusan yang tepat. f.
Macam-Macam Bimbingan Orang Tua Berbagai macam bimbingan dilakukan oleh orang tua untuk suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dengan demikian macam atau bentuk bimbingan yang diberikan harus diberikan sedemikian rupa, sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Untuk itu perlu dibedakan antara bimbingan yang satu dengan yang lain. Bimbingan orang tua dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa (1992: 34) membedakan bimbingan orang tua menjadi lima macam, yaitu: 1) Bimbingan pengajaran dan belajar 2) Bimbingan pendidikan 3) Bimbingan sosial 4) Bimbingan masalah pribadi 5) Bimbingan dalam menggunakan waktu senggang 6) Bimbingan pekerjaan. Untuk lebih jelasnya dapat dipahami dengan penjelasan di bawah ini:
xlv
1) Bimbingan pengajaran dan belajar Bimbingan pengajaran dan belajar bertujuan untuk membantu anak dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan masalah belajar anak, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai contoh konkritnya, bimbingan pengajaran dan belajar ini dapat berupa: a) Mencarikan cara belajar yang efisien bagi anak Dalam bimbingan pengajaran dan belajar, orang tua dapat membantu anak untuk mencari cara belajar yang efisien bagi anak. Hal ini dimungkinkan mengingat bahwa biasanya orang tua memiliki hubungan dan interaksi yang sangat dekat dengan anak, sehingga orang tua dapat mengerti dan memahami anak. Dengan demikian orang tua akan dapat membantu anak dalam mencarikan cara belajar yang efisien bagi anak. b) Memperkenalkan cara-cara mempelajari dan menggunakan buku pelajaran Dirumah, hak dan kewajiban untuk memberikan bimbingan pengajaran dan belajar dipegang atau diemban oleh orang tua. Sehubungan dengan hal tersebut, orang tua harus dapat membimbing anak dalam belajar, termasuk dalam mempelajari dan menggunakan buku-buku pelajaran. c) Memberikan
saran
dan
petunjuk
dalam
memanfaatkan
perpustakaan Orang tua dapat menyarankan dan membimbing anaknya untuk memanfaatkan perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan di luar sekolah. Dengan petunjuk pemanfaatan dan penjelasan atas manfaat dari perpustakaan tersebut maka anak akan tertarik dan pada akhirnya anak dapat mengembangkan baik potensi maupun pengetahuan yang dimilikinya.
d) Mengingatkan anak untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah Orang tua perlu turun tangan untuk membimbing agar anak dapat belajar dan mengerjakan tugas tepat pada waktunya. Dengan membimbing anak agar terbiasa belajar dan menyelesaikan tugas sekolah tepat pada waktunya, sama halnya juga dengan membantu anak dalam mempersiapkan diri jika ada ulangan mendadak, ulangan harian, maupun ujian semester.
xlvi
e) Membantu memilih mata pelajaran pilihan yang sesuai dengan kondisi anak Dengan kedekatan, pemahaman dan bimbingan yang diberikan, maka orang tua dapat mengarahkan anak dalam memilih pelajaran (mayor atau minor) sesuai dengan minat, bakat, kepandaian, angan-angan, dan kesehatan fisik anak. Jika pilihan yang sesuai telah ditentukan, maka orang tua pun juga akan dengan mudah mengarahkan anak dalam memilih pelajaran tambahan, baik yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah maupun untuk pengembangan bakat anak itu sendiri. Dengan demikian bimbingan pengajaran dan belajar dapat berjalan secara efektif. f) Menunjukkan cara menghadapi kesulitan dalam mata pelajaran tertentu Orang tua perlu membimbing dan memantau perkembangan anak dalam mempelajari dan menyerap seluruh mata pelajaran yang diperolehnya. Dengan demikian orang tua akan mengetahui dengan jelas mata pelajaran apa saja yang dirasa lemah dan sulit bagi anak. Jika diketahui dengan jelas, maka orang tua dapat dengan mudah mengarahkan dan menunjukkan cara-cara menghadapi kesulitan-kesulitan yang dirasakan anak. g) Menentukan pembagian waktu dan perencanaan jadwal belajar Orang tua dapat membimbing dan membantu anak dalam menentukan pembagian waktu dan perencanaan jadwal belajar, khususnya di rumah. Dengan demikian kegiatan-kegiatan anak akan dapat terkendali dengan baik, sehingga anak tidak akan merasa kesulitan atau kecapaian karena anak memiliki cukup waktu untuk beristirahat, bahkan bermain. h) Membantu memilih pelajaran tambahan Orang tua dapat membimbing anak dalam memilih pelajaran tambahan, baik yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah maupun untuk pengembangan bakat anak itu sendiri. Orang tua membantunya dengan memperhatikan minat, bakat, kepandaian, angan-angan, dan kesehatan fisik anak. 2) Bimbingan pendidikan Bimbingan pendidikan bertujuan untuk membantu anak dalam menghadapi dan memecahkan masalah dalam bidang pendidikan, meliputi: a) Pengenalan terhadap situasi pendidikan Pengenalan terhadap situasi pendidikan sangat diperlukan oleh anak, khususnya pada masa awal pendidikan. Pengenalan situasi pendidikan ini misalnya:
xlvii
(1) Sistem pendidikan (2) Kurikulum (3) Buku pelajaran (4) Kepustakaan (5) Perlengkapan pelajaran (6) Situasi lingkungan sekolah (7) Metode belajar (8) Peraturan dan tata tertib sekolah b) Pengenalan terhadap studi lanjutan Sedangkan pengenalan terhadap studi lanjutan harus dilakukan untuk membimbing dan mengarahkan anak dalam menentukan jenis pendidikan yang dipilih pada jenjang pendidikan selanjutnya. Hal ini sangat diperlukan agar supaya biaya yang dikeluarkan oleh orang tua dalam pendidikan tersebut benar-benar efektif dan dapat menghasilkan ketrampilan tertentu untuk mencapai kesuksesan. misalnya: (1) Macam-macam sekolah (2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi (3) Cara memilih jurusan dan bidang-bidang kejuruan c) Perencanaan pendidikan Perencanaan pendidikan bertujuan untuk membantu anak dalam memilih atau menentukan pendidikan lebih lanjut yang akan diambil anak sesuai dengan kemampuan intelek dan kemampuan pembiayaan keluarga. Dalam perencanaan pendidikan ini perlu diperhatikan: (1) Cita-cita (2) Bakat (3) Minat (4) Kemampuan anak. (5) Biaya 3) Bimbingan sosial Bimbingan sosial bertujuan untuk membantu anak dalam mengatasi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sosialnya, sehingga ia mampu menjalin hubungan sosial dengan baik. Dalam kesehariannya anak tidak pernah lepas dari kehidupan sosialnya. Hal ini disebabkan karena seseorang selalu membutuhkan adanya orang lain, yang sering disebut dengan manusia sebagai
xlviii
makhluk sosial. Sehingga seseorang harus selalu berinteraksi dengan orang lain. Namun tidak jarang permasalahan ditemui dalam interaksi tersebut. Maka disinilah peran bimbingan sosial. Bimbingan sosial yang diberikan tersebut diharapkan dapat membimbing anak dalam mengatasi permasalahanpermasalahan sosialnya yang berkaitan dengan lingkungan sosialnya.
Kegiatan bimbingan sosial ini meliputi: a) Membentuk kelompok belajar dan bermain yang cocok Dengan memiliki teman belajar dan bermain yang dirasa cocok dan sesuai maka anak akan merasa nyaman dan senang. Hal ini dapat membantu anak dalam keberlangsungan kehidupan sosial anak tersebut b) Membantu mencari dan memperoleh cara bergaul dan berperan dalam kehidupan berkelompok Anak memerlukan bimbingan dan arahan dalam bergaul dan memainkan peranannya baik dalam pergaulan maupun dalam kehidupan sosialnya. c) Membantu
dalam
memperoleh
dan
mencapai
kesesuaian-
kesesuaian dalam persahabatan-persahabatan pribadi Dengan diberikannya bimbingan dan arahan dalam pergaulannya maka diharapkan anak akan dapat beradaptasi dan mencapai kesesuaian-kesesuaian dalam persahabatan (pergaulannya). d) Membantu
dalam
persiapan-persiapan
agar
memeperoleh
kesesuaian dalam kehidupan bermasyarakat Orang tua membimbing dan membantu anak untuk beradaptasi dalam lingkungan pergaulannya, sehingga anak akan memperoleh kesesuaian dalam kehidupan bermasyarakat. 4) Bimbingan masalah pribadi Bimbingan masalah pribadi bertujuan membantu anak mengatasi masalah pribadi yang disebabkan karena ketidakmampuan anak penyesuaian diri dengan aspek-aspek perkembangan, keluarga, persahabatan, belajar, citacita, konflik pribadi, sosial, seks, dan lain-lainnya, termasuk kesulitan dalam kehidupan sosialnya, sehingga ia mampu mengadakan hubungan-hubungan sosial dengan baik. Bimbingan masalah pribadi lebih bersifat individual atau personal. Karena masing-masing anak memiliki masalah yang berbeda-beda atau berlainan, sehingga bersifat individual. Maka bimbingan yang
xlix
diberikanpun juga secara personal atau dengan metode individual. Sebagai contoh, misalnya: a) Membimbing
anak
dalam
hal
yang
berkaitan
dengan
perkembangan kepribadian b) Membimbing dan mengkondidikan anak agar dapat berkomunikasi dan berinteraksi secara harmonis dengan seluruh anggota keluarga c) Membimbing anak dalam kesulitan belajar, khususnya dalam hal mempelajari lingkungan tempat tinggalnya d) Membimbing dan mengarahkan anak dalam menentukan cita-cita sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak e) Membantu dalam menyelesaikan konflik pribadi yang dialami anak f) Membimbing anak dalam halberinteraksi secara sosial g) Memberi arahan dan penjelasan mengenai pendidikan seks pada anak 5) Bimbingan dalam menggunakan waktu senggang Bimbingan dalam menggunakan waktu senggang bertujuan untuk membantu anak dalam mengisi waktu senggang. Bimbingan ini dapat dilakukan secara individual, karena setiap anak mempunyai bakat dan ciri kelemahan serta kekuatan yang berbeda-beda. Bimbingan diberikan dengan mengarahkan anak untuk mengisi waktu senggangnya dengan kegiatankegiatan positif yang dapat menunjang anak baik dalam prestasi sekolah maupun di bidang lainnya. Secara konkret orang tua dapat mengarahkan untuk: a) Membagi waktu belajar dan istirahat secara efisien b) Memanfaatkan jam pelajaran kosong yang tidak terisi oleh guru dan hari-hari libur anak c) Merencanakan kegiatan-kegiatan untuk mengisi waktu-waktu senggang d) Memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan-kegiatan produktif
6) Bimbingan pekerjaan Bimbingan dalam segi pekerjaan bertujuan untuk memberikan keterangan mengenai pekerjaan dan tugas-tugas yang tercakup di dalam
l
pekerjaan tersebut. Bimbingan ini sangat diperlukan, terlebih lagi bagi anak yang sudah meningkat dewasa. Mereka perlu diberikan penjelasan mengenai berbagai macam hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang bisa diambil atau digelutinya kelak. Misalnya: a) Macam-macam pekerjaan, tugas-tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul dari pekerjaan masing-masing. b) Persiapan dan pendidikan yang harus ditempuh, c) Persyaratan yang harus dipenuhi, seperti kemampuan intelektual, bakat dan minat yang sesuai dengan bidang pekerjaan
3.
Kedisiplinan
a.
Pengertian Kedisiplinan Banyak ahli yang mendefinisikan mengenai pengertian kedisiplinan. Tiap-tiap ahli memberikan definisi mengenai pengertian kedisiplinan menurut pandangan masing-masing. Dengan demikian bukan tidak mungkin akan terjadi perbedaan pendapat. 1) Syaiful Bahri Djamarah (2002: 12) menjelaskan bahwa “Kedisiplinan adalah suatu tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pribadi dan kelompok.” Tata tertib merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, yang mana dalam hal ini manusia berperan sebagai pembuat dan pelaku. Tata tertib sengaja dibuat untuk mengatur tatanan kehidupan, baik pribadi maupun kelompok agar dapat berjalan sesuai dengan norma yang berlaku. Dengan demikian segala macam sikap dan perilaku yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari dapat terkontrol dan terkendali dengan baik sebagaimana mestinya. Dari definisi tersebut, karena kedisiplinan merupakan suatu tata tertib maka dapat dikatakan bahwa kedisiplinan bersifat mengikat. Kedisiplinan tidak dapat muncul dengan sendirinya baik di dalam masyarakat maupun di dalam diri pribadi masing-masing individu, melainkan harus melewati suatu proses yang panjang, yaitu melalui sosialisasi terhadap seluruh anggota masyarakat. Dengan adanya sosialisasi dari berbagai pihak, maka kedisiplinan yang bersifat mengikat ini pada akhirnya akan menginternalisasi dan mendarah daging pada pribadi masing-masing individu, yang kemudian akan terealisasi dalam segala sikap dan tingkah laku yang tercermin dalam kehidupan seharihari, baik dalam mengatur tatanan kehidupan pribadi maupun kelompok. Karena telah menginternalisasi pada pribadi masing-masing individu, maka tiap-tiap individu akan mematuhi peraturan-peraturan dan tata
li
tertib tersebut dengan penuh kesadaran, sehingga akan terbentuklah suatu sikap kedisiplinan di dalam masyarakat. Peraturan-peraturan atau tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan tersebut harus dipatuhi dengan penuh kesadaran, karena akan ada sanksi atas pelanggaran terhadap tata tertib tersebut. Dalam hal ini sanksi atau hukuman yang diberikan biasanya berupa sanksi sosial, seperti dikucilkan, dipergunjingkan, dan sebagainya. Peraturan-peraturan atau tata tertib dibuat dan ditegaskan dengan harapan agar segala macam perilaku dan tindakan yang dilakukan selalu sesuai dengan konsepkonsep kedisiplinan yang telah ditentukan. 2) Soegeng
Prijodarminto
(1992:
23)
mendefinisikan
mengenai
kedisiplinan, menurutnya “Kedisiplinan adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban.” Kedisiplinan tidak dapat muncul secara tiba-tiba, melainkan harus melalui suatu proses yang pada akhirnya akan membentuk kedisiplinan tersebut. Secara umum kedisiplinan tercermin dalam kehidupan sehari-hari berupa nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Hal ini akan dapat tercermin dalam kehidupan masyarakat apabila konsep kedisiplinan itu telah ditanamkan pada seluruh anggota masyarakat, yaitu melalui proses sosialisasi. Apabila proses sosialisasi terjadi secara sempurna maka konsep kedisiplinan itu sendiri akan mendarah daging dalam pribadi masingmasing anggota masyarakat, sehingga dalam kehidupan sehariharinyapun seluruh anggota masyarakat juga akan memperlihatkan serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban sebagai bentuk dari sikap kedisiplinan yang mereka miliki. Dengan proses sosialisasi yang sempurna dan internalisasi yang baik, maka seluruh anggota masyarakat akan secara sadar menunjukkan perilaku-perilaku yang mencerminkan kedisiplinan, seperti nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Ketaatan dan kepatuhan terhadap segala aturan dan norma, baik yang tertulis maupun tidak tertulis merupakan bagian dari kedisiplinan. Begitu juga kesetiaan pada apa yang dianut atau dijadikan pegangan, serta keteraturan dan ketertiban dalam menyikapi dan melakukan segala hal. 3) Agus Kuncoro (2008) dalam www.guskun.com/agama/1-agama/41menjadi-pribadi-berdisiplin.html
lii
menjelaskan bahwa “Kedisiplinan
adalah sikap mental untuk melakukan hal-hal yang seharusnya pada saat yang tepat dan benar-benar menghargai waktu.” Sikap mental setiap individu dalam menyikapi dan melakukan segala sesuatu mencerminkan kedisiplinan yang dimiliki individu tersebut. Individu yang memiliki kedisiplinan di dalam diri, akan sangat menghargai waktu yang dimilikinya. Dengan demikian ia akan melakukan segala sesuatu sebagaimana mestinya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Hal ini akan dapat terjadi apabila kedisiplinan telah tersosialisasi secara sempurna dan telah menginternalisasi atau mendarah daging dalam pribadi tiap-tiap individu. Dengan adanya kedisiplinan yang telah mendarah daging, menyatu dan melekat kuat pada diri individu maka segala sesuatu yang harus dilakukan dan diselesaikan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya dan tepat pada waktunya. Dengan demikian segala macam sikap dan perilaku, bahkan segala situasi dan kondisi yang dihadapi dapat terkontrol dan terkendali dengan baik dan sebagaimana mestinya. Dari ketiga pengertian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kedisiplinan adalah kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban yang kemudian mewujudkan sikap mental untuk melakukan hal-hal yang seharusnya dengan tertib, taat dan teratur sebagaimana mestinya sesuai dengan tata tertib atau peraturanperaturan yang telah ditegaskan di dalamnya untuk mengatur tatanan kehidupan pribadi dan kelompok. b.
Tujuan Kedisiplinan Secara umum tujuan kedisiplinan adalah untuk mengarahkan seseorang agar dapat mandiri dan berlatih menyesuaikan diri dengan suasana dan kondisi terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga tercipta situasi yang kondusif dengan cara mentaati norma-norma yang berlaku dalam lingkungan masyarakat. Menurut Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa (1992: 137) dalam mendidik anak diperlukan adanya kedisiplinan, agar supaya anak dengan mudah: 1) Meresapkan pengetahuan dan pengertian sosial antara lain mengenai hak milik orang lain. 2) Mengerti dan segera menurut, untuk menjalankan kewajiban dan secara langsung mengerti larangan-larangan. 3) Mengerti tingkah laku yang baik dan buruk. 4) Belajar mengendalikan keinginan dan berbuat sesuatu tanpa merasa terancam oleh hukuman. 5) Mengorbankan kesenangan sendiri tanpa peringatan dari orang lain.
liii
Untuk lebih jelasnya dapat dipahami dengan uraian berikut ini: 1) Meresapkan pengetahuan dan pengertian sosial antara lain mengenai hak milik orang lain. Disiplin tidak hanya diperlukan untuk mematuhi peraturan atau tata tertib saja. Dengan penanaman kedisiplinan yang baik maka anak akan memahami konsep hak dan kewajiban, khususnya mengenai hak milik, dengan baik. Artinya anak tidak akan merampas sesuatu yang bukan menjadi haknya. Ia akan memberikan dan menghormati apa yang menjadi hak orang lain tanpa berusaha untuk menyerobot atau mengambil kesempatan /keuntungan dari orang lain. 2) Mengerti dan segera menurut, untuk menjalankan kewajiban dan secara langsung mengerti larangan-larangan. Dengan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya kedisiplinan, maka segala sesuatu akan dapat berjalan sebagaimana mestinya seperti yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan demikian setiap individu akan mematuhi segala peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk larangan dan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan, dan menjalankan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Semua ini dapat terjadi secara otomatis apabila anak /individu benar-benar memahami dan menyadari pentingnya kedisiplinan. 3) Mengerti tingkah laku yang baik dan buruk. Disiplin dapat memberikan pengertian kepada anak mengenai berbagai hal yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupannya. Dengan pemahaman dan kesadaran tersebut maka anak akan termotivasi untuk bertingkah laku baik (sesuai dengan norma) dan meninggalkan tingkah laku yang tidak baik atau bertentangan dengan norma. Sehingga, secara otomatis anak tersebut akan berperilaku baik dan meninggalkan perilaku yang tidak baik.
4) Belajar mengendalikan keinginan dan berbuat sesuatu tanpa merasa terancam oleh hukuman.
liv
Dengan penanaman kesadaran mengenai pentingnya kedisiplinan, maka anak akan berpikir sebelum melakukan sesuatu. Apabila apa yang ingin dilakukan anak tersebut bertentangan dengan norma dan hukum, maka keinginan tersebut akan diurungkan. Anak tidak akan melakukan perbuatan yang berlawanan dengan aturan-aturan yang berlaku. Dengan demikian, anak akan merasa aman dalam setiap langkah dan perilakunya tanpa adanya perasaan was-was atau takut terancam hukuman. 5) Mengorbankan kesenangan sendiri tanpa peringatan dari orang lain. Dengan penanaman kedisiplinan yang baik, maka anak akan berpikir sebelum melakukan sesuatu. Apabila apa yang ingin dilakukan anak tersebut bertentangan dengan norma atau merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut akan diurungkan. Anak akan merasa rela mengorbankan kesenangannya atau mengurungkan keinginannya sebelum mendapat teguran dari orang lain. Hal ini dilakukan agar apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan aturan, norma dan keinginan masyarakat. Dengan kata lain disiplin adalah belajar untuk mengendalikan diri dan bertingkah laku baik. c.
Fungsi Kedisiplinan Kedisiplinan adalah suatu hal yang memiliki fungsi sangat penting dalam usaha pembentukan kepribadian anak. Dengan kedisiplinan yang baik maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab, yang tentu saja juga bertanggung jawab dalam segala sikap dan perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan fungsinya. Dalam Elizabeth B. Hurlock, terjemahan Med. Meitasari (1990: 97) dijelaskan bahwa terdapat tiga fungsi kedisiplinan, yaitu: 1) Mendidik seseorang bahwa perilaku individu diatur sesuai dengan tata tertib dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sehingga tidak berbenturan antara individu yang satu dengan individu yang lain. 2) Mengarahkan seseorang agar mampu beradaptasi dengan lingkungan. 3) Sebagai pedoman dalam mengontrol dirinya sehingga ia mengetahui apakah perilakunya sesuai dengan norma yang telah berlaku atau tidak. Untuk lebih jelasnya, dapat dipahami dalam uraian berikut ini: 1) Mendidik seseorang bahwa perilaku individu diatur sesuai dengan tata tertib dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sehingga tidak berbenturan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Kedisiplinan yang telah tertanam dalam diri pribadi anak akan menyadarkan anak bahwa segala tindakan dan perilakunya dikendalikan oleh aturan dan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Selain itu apa yang mereka lakukanpun juga harus dikendalikan sedemikian rupa agar
lv
tidak saling berbenturan antara indiidu yang satu dengan individu yang lain. Dengan demikian sistem dan norma sosial akan dapat berjalan dengan sebagaiman mestinya. 2) Mengarahkan seseorang agar mampu beradaptasi dengan lingkungan. Kedisiplinan yang dimiliki anak akan dapat mengarahkan anak dalam usaha beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia berada. Norma dan nilai seperti apa yang berlaku dan digunakan di dalam lingkungan tersebut, maka anak tersebut juga akan menyesuaikan segala sikap, tindakan dan tingkah lakunya sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku tersebut. Kedisiplinan yang dimiliki anak akan mengarahkan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan tempat ia berada. 3) Sebagai pedoman dalam mengontrol dirinya sehingga ia mengetahui apakah perilakunya sesuai dengan norma yang telah berlaku atau tidak. Kedisiplinan yang dimiliki anak akan dapat membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Dengan kemandirian dan tanggung jawab tersebut maka anak akan dapat mengendalikan atau mengontrol sikap dan perilakunya, apakah sikap dan perilaku tersebut sesuai dengan norma ataukah tidak. Apabila ternyata sikap dan perilaku tersebut berlawanan dengan norma yang dipedomani masyarakat, maka anak tersebut akan segera menyadarinya untuk kemudian memperbaiki sikap dan perilaku yang keliru tersebut. d.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kedisiplinan Kedisiplinan selalu dianggap perlu dalam perkembangan anak. Namun demikian kedisiplinan tidak dapat muncul begitu saja dalam perilaku dan pribadi anak, melainkan harus melalui suatu proses yang mana dalam proses tersebut akan dipengaruhi oleh hal-hal tertentu yang dapat memunculkan suatu kedisiplinan. Hal-hal tertentu tersebut dapat dirumuskan dalam faktor-faktor penyebab kedisiplinan. Sehubungan dengan faktor-faktor penyebab kedisiplinan, Soegeng Prijodarminto (1992:23) menjelaskan bahwa “Sikap dan perilaku yang demikian ini tercipta melalui proses binaan melalui keluarga, pendidikan dan pengalaman atau pengenalan dari keteladanan dari lingkungannya.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang turut mempengaryhi terbentuknya kedisiplinan yaitu: 1) Faktor keluarga 2) Faktor sekolah 3) Faktor masyarakat Lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:
lvi
1) Faktor keluarga Sikap disiplin harus ditanamkan sejak dini, yang mana penanaman sejak dini ini harus diterapkan di dalam kehidupan keluarga. Penanaman ini khususnya dapat dilakukan melalui binaan keluarga. Binaan keluarga sama halnya dengan bimbingan keluarga. Keluarga merupakan faktor yang pertama dan utama dalam pembentukan pribadi yang disiplin dalam diri individu. Karena dari keluarga inilah seorang anak akan memperoleh penanaman berbagai macam nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat, termasuk tentang kedisiplinan. Keluarga dapat menanamkan dan mengajarkan kedisiplinan pada anak mulai dari hal-hal kecil atau sederhana, seperti memberikan tanggung jawab pada anak. Pemberian tanggung jawab ini harus disesuaikan dengan kemampuan anak, sehingga anak tidak akan menganggap tanggung jawab tersebut sebagai beban berat yang harus ditanggung dan dilaksanakan. Misalnya saja dengan memberikan kepercayaan atau tanggung jawab pada anak mengenai tanggung jawab atas kebersihan dan kerapian kamar tidur. Membiasakan anak mandi dan bangun tepat pada waktunya juga merupakan contoh penanaman kedisiplinan pada anak sejak dini. Memberikan tanggung jawab kepada anak dapat membiasakan anak untuk selalu mandiri dan disiplin dalam segala hal. Sebaliknya, membiarkan anak mengabaikan tanggung jawab dan aturan-aturan yang berlaku bukanlah hal yang dapat dibenarkan dalam membimbing anak, khususnya dalam hal penanaman kedisiplinan. Sebagai contoh membiarkan anak keluyuran hingga larut malam, membiarkan anak meninggalkan tanggung jawabnya, membiarkan anak selalu pulang terlambat tanpa teguran, dan sebagainya. 2) Faktor sekolah Usaha untuk menanamkan kedisiplinan anak di sekolah diterapkan secara kontinu oleh pihak sekolah. Oleh sebab itu pihak sekolah membuat aturan atau tata tertib beserta segala sanksi atas pelanggarannya, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Tata tertib ini dibuat atau dibentuk sebagai sarana untuk mengendalikan kedisiplinan siswa. Dengan tata tertib ini maka kedisiplinan anak di sekolah dapat diarahkan, dipantau dan dikoreksi secara kontinu. Sebagai contoh, misalnya kewajiban untuk mengikuti upacara bendera setiap hari Senin, mengenakan seragam sesuai dengan ketentuan, datang dan pulang sekolah tepat pada waktunya, tidak bolos sekolah, tidak mencontek saat ujian atau ulangan harian, dan sebagainya. Sekolah merupakan agen pendidikan yang bersifat formal, sehingga sekolah juga merupakan salah satu agen yang dapat menanamkan kedisiplinan kepada anak. Sekolah dapat menanamkan kedisiplinan ini melalui berbagai macam hal. Selain dengan
lvii
pemberlakuan peraturan yang dirumuskan dalam tata tertib sekolah beserta segala macam sanksinya, sekolah juga dapat menanamkan kedisiplinan ini melalui proses pendidikan. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan usaha dalam proses pendewasaan anak. Dengan pendidikan yang tepat dan terarah diharapkan anak mampu bersikap dan berperilaku sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri, yang mana kedisiplinan adalah termasuk salah satu hal yang terdapat di dalamnya. 3) Faktor masyarakat Lingkungan lain yang tidak kalah penting dalam usaha penanaman kedisiplinan adalah lingkungan masyarakat. Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan sikap kedisiplinan anak. Di dalam lingkungan masyarakat, anak akan melakukan interaksi sosial dengan anggota masyarakat yang lain. Lingkungan masyarakat yang baik adalah lingkungan yang dapat mengkondisikan anak ke dalam kedisiplinan dalam bersikap dan berperilaku. Jika anak berada dalam lingkungan masyarakat yang memberi teladan yang baik dalam penanaman kedisiplinan, maka secara otomatis anak akan terbimbing ke dalam kedisiplinan yang baik pula, dan sebaliknya jika anak berada di dalam masyarakat yang tidak mampu memberi teladan mengenai kedisiplinan maka anak akan memiliki pribadi yang jauh dari sikap kedisiplinan. Secara tidak langsung lingkungan masyarakat telah menanamkan dan menuntut anak untuk berkepribadian disiplin. Sebagai contoh, di dalam suatu masyarakat biasanya terdapat suatu organisasi pemuda yang sering disebut dengan organisasi Karang Taruna. Seluruh anggotanya berkewajiban untuk mematuhi segala aturan yang berlaku di dalam organisasi tersebut. Bagi yang melanggar maka yang bersangkutan akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Misalnya anak yang tidak pernah menghadiri rapat rutin organisasi Karang Taruna, maka sebagai sanksi yang bersangkutan akan dikucilkan oleh masyarakat, khususnya oleh anggota organisasi tersebut, bahkan oleh seluruh anggota masyarakat. Melalui pergaulan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar, seorang anak akan memperoleh berbagai macam pengalaman dan pelajaran. Melalui pengalaman dan pelajaran yang diperoleh dalam pergaulan tersebut anak akan memahami dan mengidentifikasi berbagai macam norma yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian diharapkan anak dapat menjadikan pengalaman tersebut sebagai teladan dalam berperilaku dan bersikap. Namun demikian pengalamanpengalaman tersebut harus dipilah dan disaring terlebih dahulu, mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian anak dapat
lviii
mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman tersebut, termasuk dalam hal kedisiplinan ini. e.
Aspek-Aspek Kedisiplinan Kedisiplinan sangat diperlukan dalam perkembangan anak. Namun demikian aspek-aspek mengenai kedisiplinan harus dibedakan sesuai dengan ciri masing-masing. Dengan demikian akan menjadi lebih mudah dalam memahami dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Soegeng Prijodarminto (1992:23-24) kedisiplinan terdiri atas tiga aspek, yaitu: 1) Sikap mental (mental attitude) 2) Pemahaman yang baik mengenai sistem aturan perilaku, norma, kriteria, dan standar yang berlaku 3) Sikap kelakuan yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati, untuk mentaati segala hal secara cermat dan tertib
Untuk lebih jelasnya, dapat dipahami dengan uraian di bawah ini: 1) Mental attitude Sikap mental (mental attitude) yang dimaksud adalah sikap taat dan tertib sebagai hasil atau pengembangan dari latihan, pengendalian pikiran dan pengendalian watak. Sikap atau attitude merupakan unsur yang hidup di dalam jiwa manusia yang harus mampu bereaksi terhadap lingkungannya, sehingga dapat berupa tingkah laku atau pemikiran. Jika konsep kedisiplinan telah menyatu pada diri individu maka kedisiplinan atau perilaku disiplin yang dilakukan tersebut tidak lagi dirasakan sebagai beban, namun justru individu akan merasa terbebani jika ia tidak berperilaku disiplin, karena ia telah memahami bahwa ketaatan terhadap aturan, norma, kriteria dan standar yang telah ditentukan atau berlaku adalah merupakan syarat mutlak untuk mencapai apa yang diinginkan (keberhasilan). 2) Pemahaman yang baik mengenai sistem aturan perilaku, norma, kriteria, dan standar yang berlaku Pemahaman yang baik mengenai sistem aturan perilaku, norma, kriteria, dan standar yang berlaku ini dimaksudkan agar pemahaman tersebut menumbuhkan pengertian yang mendalam atau kesadaran, bahwa ketaatan akan aturan, norma, kriteria dan standar tadi merupakan
lix
syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan (kesuksesan). Pemahaman ini perlu ditanamkan sedemikian rupa pada tiap-tiap individu. Sehingga mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang berdisiplin tinggi dan bertanggung jawab pada segala hal yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. 3) Sikap kelakuan yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati, untuk mentaati segala hal secara cermat dan tertib Jika setiap individu memahami sistem aturan perilaku, norma, kriteria dan standar yang berlaku di dalam masyarakat, maka individu tersebut juga akan memahami betapa pentingnya kepatuhan terhadap sitem aturan tersebut. Oleh sebab itu dengan pemahaman dan kesadaran maka individu tersebut juga akan terdorong untuk mematuhi sistem aturan yang ada dengan kedisiplinan dan tanggungjawab yang penuh. Kepatuhan ini dapat diekspresikan atau diperlihatkan melalui perilaku yang disiplin, tertib dan bersungguh-sungguh sesuai dengan standar yang berlaku di dalam masyarakat. f.
Unsur-Unsur Kedisiplinan Kedisiplinan adalah hal yang sangat penting dalam proses perkembangan dan pembentukan pribadi anak. Oleh sebab itu unsur-unsur pembentuk kedisiplinan itu sendiripun juga hrus dipahami secara seksama. Menurut Soegeng Prijodarminto ada unsur pokok yang membentuk disiplin, yaitu sikap yang telah ada pada diri manusia dan sistem nilai budaya yang ada di dalam masyarakat. 1) Soegeng Prijodarminto (1992: 24) menyebutkan bahwa unsur-unsur kedisiplinan adalah: a) Sikap b) Nilai budaya 2) Menurut Elizabeth B. Hurlock terjemahan Med. Meitasari (1990:84-91) disiplin memiliki empat unsur pokok, yaitu: a) Peraturan sebagai pedoman perilaku b) Konsistensi dalam peraturan tersebut dan dalam cara yang digunakan untuk mengajarkan dan memaksakannya c) Hukuman untuk pelanggaran peraturan d) Penghargaan untuk perilaku yang baik yang sejalan dengan peraturan yang berlaku
lx
Mengacu pada pendapat dari kedua tokoh tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa unsur-unsur kedisiplinan adalah: 1) Sikap 2) Sistem nilai budaya 3) Peraturan 4) Konsistensi 5) Hukuman 6) Penghargaan Untuk lebih jelas, akan dijabarkan sebagai berikut: 1) Sikap Sikap yang dimaksud adalah sikap yang telah ada pada diri manusia. Sikap dapat berupa tingkah laku atau pemikiran. Hal ini disebabkan karena sikap atau attitude merupakan unsur yang hidup di dalam jiwa manusia yang harus mampu bereaksi terhadap lingkungannya. Orang akan selalu memberikan tanggapan atau sikap terhadap berbagai macam hal, termasuk peristiwa serta segala macam kondisi dan situasi yang dihadapainya. Sikap akan menuntun orang untuk mengambil atau menentukan kecenderungan dalam berperilaku. Dengan demikian sikap inilah yang akan menentukan seseorang untuk berperilaku atau menunjukkan kedisiplinan ataukah tidak. Jika kedisiplinan telah melekan erat dan kuat dalam pribadi, maka sikap dan perilaku yang tercerminpun juga sikap dan perilaku yang mengandung kedisplinan pula. 2) Sistem nilai budaya Sistem nilai budaya merupakan bagian dari budaya yang berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi kelakuan manusia. Maka keberadaan sistem nilai budaya ini diakui oleh seluruh anggota masyarakat. Penerapan sistem nilai budaya ini harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan berdisiplin tinggi. Hal ini disebabkan karena setiap perilaku dan perbuatan yang tidak sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan ini akan dianggap menyimpang dan tidak akan diterima oleh masyarakat secara umum. Sistem nilai budaya yang menjadi pedoman di dalam masyarakat menganggap bahwa kedisiplinan adalah salah satu hal yang baik dan bersifat positif, sehingga masyarakatpun menuntut adanya pencerminan kedisiplinan setiap anggota masyarakat dalam bersikap dan berperilaku. Sebagai contoh, misalnya menyapu halaman rumah di pagi hari, sehingga debu-debnya tidak mengotori atau mengganggu orang yang lewat di depan rumah. Selain itu, dapat pula tercermin dalam sikap
lxi
untuk selalu memenuhi undangan yang diberikan tepat pada waktunya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan sebagainya. 3) Peraturan Peraturan merupakan pola yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku seluruh anggota suatu komunitas (masyarakat) dalam kehidupan sehari-hari, yang tentu saja sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Pola ini bukan hanya dapat ditetapakan oleh orang tua saja, melainkan dapat juga ditetapkan oleh pihak sekolah, lingkungan masyarakat, teman bermain, dan sebagainya. Dengan demikian dapat pula disebutkan bahwa peraturan merupakan sejumlah aturan-aturan yang telah disetujui oleh anggota suatu kelompok. Tujuandari penerapan peraturan ini ialah untuk membekali anak /individu dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa peraturan tersebut dibuat atau ditetapkan untuk mengatur tingkah laku agar dalam bertindak selalu berperilaku baik sebagaimana yang diharapkan dan dianggap baik oleh lingkungan dimana anak /individu tersebut berada. 4) Konsistensi Yang dimaksud dengan konsistensi adalah tingkat keseragaman atau stabilitas. Konsistensi disini tidak sama dengan ketetapan yang tidak akan mengalami perubahan, melainkan konsistensi disini adalah suatu kestabilitasan yang cenderung menuju kearah kesamaan. Konsistensi harus menjadi ciri semua aspek kedisiplinan. Konsistensi memiliki nilai pendidikan yang besar, karena dengan adanya konsistensi segala sesuatu akan berjalan dengan teratur secar rutin dan optimal. Konsitensi mengandung motivasi yang lebih kuat untuk berperilaku menurut standar yang disetujui secara sosial dari pada mereka yang disiplin dengan tidak konsisten. 5) Hukuman Hukuman dijatuhkan pada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai balasan atau ganjaran (sanksi). Hukuman dapat berupa ganjaran atas pelanggaran yang berfungsi menghalangi pengulangan dan untuk mendidik. Dengan diberlakukannya hukuman ini maka diharapkan anak tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang tidak benar tersebut, yang mana perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat, sehingga dianggap sebagai pelanggaran. Dengan adanya hukuman anak juga akan dapat membedakan nilai besar kecilnya suatu kesalahan yang telah dilakukan, sehingga akan menodorong anak untuk menghindari perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat tersebut. 6) Penghargaan
lxii
Sedangkan unsur yang ketiga dari kedisiplinan adalah penghargaan. Penghargaan yang dimaksud adalah setiap bentuk imbalan untuk suatu hasil yang baik. Penghargaan merupakan suatu janji akan imbalan karena telah berbuat sesuatu sebagaimana mestinya. Penghargaan tidak harus berbentuk materi, melainkan dapat juga berupa kata-kata atau pujian, senyuman, acungan jempol, dan sebagainya yang berfungsi mendidik dan memotivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial.
g.
Cara Menanamkan Kedisiplinan Dalam melakukan suatu kegiatan antara individu satu dengan dengan yang lain akan berbeda-beda, hal ini disebabkan karena tingkat kedisiplinan yang dipahami setiap individu berbeda-beda pula, maka perlu adanya penanaman kedisiplinan. Kedisiplinan diri pada anak sudah terbentuk apabila anak sudah dapat berperilaku dengan pola tingkah laku yang baik. Anak sudah mengenal kedisiplinan yang baik apabila anak tanpa hukuman sudah dapat bertingkah laku dan memilih perilaku-perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya. Menurut Elizabeth B. Hurlock, terjemahan Med. Meitasari (1990: 93) ada tiga cara dalam menanamkan kedisiplinan, yaitu: 1) Cara menanamkan keidisiplinan otoriter 2) Cara menanamkan keidisiplinan permisif 3) Cara menanamkan keidisiplinan demokratis Untuk lebih jelasnya dapat dipahami melalui uraian berikut ini: 1) Cara menanamkan kedisiplinan otoriter Penanaman kedisiplinan otoriter dilakukan dengan memaksakan perilaku yang diinginkan melalui peraturan keras dan kekuatan eksternal. Kekuatan eksternal yang dimaksudkan dalam hal ini adalah mengendalikan dengan bentuk hukuman, terutama hukuman fisik /badan atas ketidakpatuhan yang dilakukan. Dalam penanaman kedisiplinan otoriter ini anak kehilangan kesempatan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri, sehingga tidak dapat bersikap mandiri dalam mengampil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka. 2) Cara menanamkan kedisiplinan permisif Penanaman kedisiplinan secara permisif adalah dengan penerapan sedikit kedisiplinan. Biasanya kedisiplinan permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan tidak menggunakan hukuman. Kedisiplinan permisif merupakan protes terhadap kedisiplinan yang kaku dan keras. Dalam kedisiplinan permisif anak sering kali dibiarkan meraba-raba dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan dan
lxiii
pengendalian. Jadi anak diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri. 3) Cara menanamkan kedisiplinanan demokratis Kedisiplinan demokratis yang dimaksud adalah penanaman kedisiplinan dengan menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan, sehingga lebih menekankan aspek edukatif dari kedisiplinan itu sendiri daripada aspek hukumannya. Kedisiplinan demokratis menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Dalam hal ini hukuman tidak pernah dilakukan secara keras dan biasanya tidak berbentuk hukuman badan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa anak secara sadar melakukan kesalahan yang fatal. Kedisiplinan demokratis bertujuan mengembangkan kendali atas perilaku mereka sendiri sehingga mereka akan melakukan apa yang benar walaupun tidak ada ancaman bila mereka melakukan hal yang tidak benar.
B.
Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan yang dapat mendukung dalam penelitian ini adalah penelitian dari Fungki Setiawan (FKIP UNS), tahun 2007, yang berjudul “Hubungan Antara Bimbingan Orang Tua dan Penyesuaian Diri dalam Peergroup dengan Sikap Penyimpangan Perilaku Seksual pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Surakarta”. Hasil dari penelitian tersebut adalah: 1. Dari hasil perhitungan dan analisis data, menunjukkan hasil rx1 y = -0, 375, p = 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif (sesuai dengan kaidah uji hipotesis, yaitu p < 0,01) antara bimbingan orang tua dengan sikap penyimpangan perilaku seksual pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2006/2007. 2. Dari hasil perhitungan dan analisi data, menunjukkan hasil rx2 y = -0, 356, p = 0,002. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif (sesuai dengan kaidah uji hipotesis, yaitu p < 0,01) antara penyesuaian diri dalam peer group dengan sikap penyimpangan perilaku seksual pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2006/2007. 3. Dari hasil perhitungan dan analisi data, menunjukkan hasil Rx(1,2)y = 0, 461, p = 0,000 dan F sebesar 9,967. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif bersamaan antara bimbingan orang tua dan penyesuaian diri dalam
lxiv
peer group dengan sikap penyimpangan perilaku seksual pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2006/2007. Hasil penelitian yang relevan yang kedua adalah penelitian dari FX. Suwarsono (FKIP UNS), tahun 2002, yang berjudul “Pengaruh Kedisiplinan dan Motivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Sobokerto 02 Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali”. Hasil dari penelitian tersebut adalah: 1. Ada pengaruh positif kedisiplinan terhadap prestasi belajar Matematika Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Sobokerto 02 Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali Catur Wulan I Tahun Pelajaran 2001/2002. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil perhitungan ry1 = 0,630 > rt (N = 30 ; 5 %) = 0,361 dan ry1 = 0,630 > rt
(N = 30 ; 1 %)
= 0,463 sedangkan sumbangan efektif sebesar
34,398 %. Pengaruh kedisiplinan terhadap prestasi belajar Matematika adalah tinggi, karena hasil perhitungan ry1 = 0,630. 2. Ada pengaruh positif motivasi belajar terhadap prestasi belajar Matematika Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Sobokerto 02 Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali Catur Wulan I Tahun Pelajaran 2001/2002. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil perhitungan ry2 = 0,6808 > rt (N = 30 ; 5 %) = 0,361 dan ry2 = 0,808 > rt
(N = 30 ; 1 %)
= 0,463 sedangkan sumbangan efektif sebesar
45,402 %. Pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar Matematika adalah tinggi, karena hasil perhitungan ry1 = 0,808. 3. Ada pengaruh positif kedisiplinan dan motivasi belajar secara bersama-sama terhadap prestasi belajar Matematika Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Sobokerto 02 Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali Catur Wulan I Tahun Pelajaran 2001/2002. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil perhitungan Ry(1,2) = 0,893 > rt (N = 30 ; 5 %) = 0,361 dan Ry(1,2) = 0,893 > rt (N = 30 ; 1 %) = 0,463 sedangkan sumbangan efektif secara bersama-sama sebesar 79,800 %. Pengaruh kedisiplinan dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar Matematika adalah tinggi, karena hasil perhitungan Ry(1,2) = 0,893. 4. Pengaruh kedisiplinan terhadap prestasi belajar Matematika adalah lebih rendah dari pada pengaruh motivasi belajar Matematika karena hasil perhitungan ry1 = 0,632 < ry1 = 0,808.
lxv
Hasil penelitian yang relevan yang ketiga adalah penelitian dari Nyi Mas Ratna Komalasari (FKIP UNS), tahun 2008, yang berjudul “Hubungan Konsep Diri dan Sikap terhadap Kenakalan Remaja dengan Perilaku Menyimpang pada Siswa Kelas II Di Salah Satu SMA Negeri di Surakarta”. Hasil dari penelitian tersebut adalah: 1. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku menyimpang pada Siswa Kelas II Di Salah Satu SMA Negeri di Surakarta. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil perhitungan Rhitung > Rtabel = 0,475 > 0,320 pada taraf signifikansi 5 %. 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap kenakalan remaja dengan perilaku menyimpang pada Siswa Kelas II Di Salah Satu SMA Negeri di Surakarta. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil perhitungan Rhitung > Rtabel = 0,726 > 0,320 pada taraf signifikansi 5 %. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dan sikap terhadap kenakalan remaja secara bersama-sama dengan perilaku menyimpang pada Siswa Kelas II Di Salah Satu SMA Negeri di Surakarta. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil perhitungan Rhitung > Rtabel = 0,807 > 0,325 pada taraf signifikansi 5 %. C.
Kerangka Berpikir
Berbicara tentang perilaku menyimpang bukanlah suatu hal yang asing dalam dunia pelajar yang mana sedang tumbuh kembang dalam fase remaja, hampir semua remaja pernah melakukannya. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelajar sangat beragam, mulai dari bolos sekolah, menyontek saat ulangan, pemalakan pada teman sekolah, kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum, seperti pemakaian obat-obatan terlarang, seks bebas, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan tindak kekerasan lainnya seperti yang sering diberitakan dalam media, baik media cetak maupun elektronik. Berkaitan dengan hal di atas, tentu saja perilaku menyimpang mengundang keprihatinan berbagai pihak. Oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus yang serius dari berbagai pihak pula. Penanganan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu dengan pemberian bimbingan. Keluarga, sekolah dan masyarakat sama-sama memiliki andil dalam usaha membimbing anak, namun pihak yang paling ambil peran adalah pihak keluarga, khususnya orang tua, karena merekalah yang merawat dan membesarkan serta mereka jugalah yang sejak awal telah memberikan bimbingan
lxvi
pada anak. Oleh sebab itu, bimbingan dari orang tua merupakan bimbingan yang pertama dan paling utama karena kehidupan anak selama di rumah, yang paling bertanggung jawab akan perkembangannya adalah orang tua. Dalam membimbing anak, orang tua harus dapat menuntun atau mengarahkan anak ke arah yang baik sebagaimana yang diinginkan, baik oleh keluarga maupun masyarakat luas. Oleh sebab itu, orang tuapun harus mampu memberikan bimbingan secara menyeluruh kepada anak. Orang tua mengajari dan menanamkan kepada anak sejak dini mengenai konsep berbagai macam perilaku. Baik itu perilaku yang dibenarkan dan dapat diterima oleh masyarakat, maupun perilaku yang dianggap menyimpang dan tidak dapat diterima oleh masyarakat luas, sehingga anak dapat membedakan perbuatan seperti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan demikian bimbingan dari orang tua akan menjadi dasar bagi anak dalam berperilaku dan menentukan konsep perilaku yang dianggap menyimpang dan tidak oleh masyarakat luas. Dengan bimbingan yang benar dan sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat, maka berbagai macam perilaku menyimpang seperti yang dicontohkan di atas tidak akan terjadi, karena anak telah memiliki dasar pendidikan mengenai perilaku yang benar dan sesuai dengan norma serta aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Artinya bahwa semakin baik bimbingan yang diberikan oleh orang tua dimungkinkan akan semakin berkurang atau rendahlah tingkat perilaku menyimpang yang dilakukan anak, sebaliknya semakin buruk bimbingan yang diberikan oleh orang tua dimungkinkan akan semakin tinggi tingkat perilaku menyimpang yang dilakukan anak. Selain bimbingan orang tua, hal lain yang juga turut ambil peran dalam penanganan khusus terhadap perilaku menyimpang adalah dengan penanaman kedisiplinan. Penanaman keidisiplinan ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Jika lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat memiliki atmosfer penanaman dan teladan kedisiplinan yang baik, maka anak yang berada dalam lingkungan tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa, berdisiplin dan bertanggung jawab, yang pada akhirnya tentu saja anak tersebut akan termotivasi untuk berperilaku sebagaimana yang telah ditentukan oleh norma yang berlaku. Sebaliknya, apabila atmosfer yang tercipta dalam lingkungan tersebut kurang baik, dalam artian tidak dapat memberikan bimbingan dan teladan mengenai kedisiplinan, maka bukan tidak mungkin jika anak yang bersangkutan akan melakukan tindakan atau perilaku yang bertentangan dengan norma yang berlaku, maka anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang jauh dari apa yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat luas. Artinya, penanaman kedisiplinan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masarakat yang baik dan positif kemungkinan akan dapat mengurangi atau bahkan mencegah timbulnya perilaku menyimpang, dan sebaliknya penanaman kedisiplinan yang kurang baik atau bersifat negatif kemungkinan dapat menyebabkan naiknya tingkat perilaku menyimpang. Bimbingan orang tua dan kedisiplinan adalah merupakan dua hal yang memiliki peran yang sama besarnya dalam rangka pembentukan perilaku anak. Bimbingan orang tua yang baik atau positif akan membawa anak ke arah perilaku
lxvii
yang positif, yaitu perilaku yang benar dan sesuai dengan norma serta aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, jika kedisiplinan telah ditanamkan dalam diri anak dengan baik, baik itu dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, maka penanaman kedisiplinan tersebut akan membawa anak ke arah perilaku yang biak pula. Artinya bahwa semakin baik bimbingan yang diberikan oleh orang tua dan semakin baik penanaman kedisiplinan yang diterapkan, kemungkinan akan berkuranglah tingkat perilaku menyimpang yang dilakukan anaka. Sebaliknya, semakin buruk bimbingan yang diberikan oleh orang tua dan semakin buruk penanaman kedisiplinan yang diterapkan, kemungkinan akan meningkat atau bertambahlah tingkat perilaku menyimpang yang dilakukan anak. Untuk lebih jalasnya mengenai kerangka berpikir dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Bimbingan Orang Tua (X1) ) Perilaku Menyimpang (Y) Kedisiplinan (X2)
Gambar 1 : Skema Kerangka Berpikir
D.
Perumusan Hipotesis
Dari uraian diatas, maka penulis mengemukakan hipotis sementara sebagai perumusan hipotesis, yaitu: 1. Ada hubungan negatif yang signifikan antara bimbingan orang tua dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010. 2. Ada
hubungan negatif yang signifikan antara hubungan antara
kekedisiplinanan siswa dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010. 3. Ada hubungan negatif yang signifikan antara bimbingan orang tua dan kekedisiplinanan dengan perilaku menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010.
lxviii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Sesuai dengan judul, maka penelitian ini mengambil lokasi di Sekolah Menengah Atas Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: 1) Lokasi penelitian tersebut (SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar) mudah dijangkau karena berada di wilayah penulis sendiri sehingga waktu dan biaya dapat ditekan. 2) SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar sudah cukup lama berdiri sehingga dari segi pengalaman, pendidik yang ada mempunyai pengalaman yang cukup dalam mendidik dan membimbing siswa. 3) Data dapat diperoleh di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar sesuai dengan permasalahan yang diteliti sehingga dapat mendukung dalam menjawab perumusan masalah dengan sebaik-baiknya. 4) Dimungkinkannya mendapat ijin untuk mengadakan penelitian ini dari sekolah terkait serta aparatur pemerintahan setempat.
2. Waktu Penelitian Waktu penelitian merupakan jangka waktu yang digunakan oleh seorang peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian, yaitu dimulai dari penyusunan perencanaan
sampai
pada
penulisan
laporan
hasil
penelitian
dengan
mempertimbangkan masalah yang akan diteliti. Agar penelitian ini dapat berjalan sesuai rencana dan terprogram, maka perlu dibuat jadwal kegiatan yang terencana dan terstruktur sebagai acuan. Adanya jadwal pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat membantu seorang peneliti, karena dalam waktu tersebut telah
lxix
ditetapkan rencana waktu yang akan dilakukan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2009 s/d Januari 2010 dengan rencana waktu sebagai berikut:
Table 1. Rencana Waktu Penelitian N Nama Keterangan o
Febr M uari are 200 t 9 2009
A pr il 20 09
M ei 20 09
1
Persiapan a. Menentukan Masalah b.Membuat proposal penelitian c. Persiapan penelitian d.Perijinan 2 Konsultasi dengan pembimbing 3 Pelaksanaan penelitian a. Try Out b.Pengumpulan dan Klasifikasi data c. Analisis dan evaluasi data d. Analisis akhir menuju kesimpulan 4 Pelaporan a. Membuat kesimpulan akhir b.Menyusun laporan penelitian c. Melaporkan hasil penelitian
lxx
Ju ni 20 09
Ju li 20 09
Ag Septe Okt ustu mber obe s 2009 r 200 200 9 9
Dese mber 2009
lxxi
B. Metode Penelitian 1. Pengertian Metode Penelitian Dalam suatu penelitian keberhasilan ditentukan oleh ketepatan metode yang digunakan. Karena dalam setiap kegiatan penelitian yang dilakukan pasti memerlukan suatu prosedur yang harus ditempuh. Prosedur tersebut dijalankan dengan menggunakan suatu teknik atau metode tertentu, oleh karena itu dalam setiap kegiatan penelitian diperlukan suatu metode sebagai pegangan dan arahan. a. Menurut Winarno Surakhmad (2004: 131) bahwa: Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Misalnya untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik serta alat-alat tertentu. Sedangkan pengertian penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan. Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data dalam rangka memecahkan suatu permasalahan yang sedang diteliti. b. Mardalis ( 2002 : 24 ) berpendapat: Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian dapat diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa metode penelitian adalah suatu cara yang dilakukan dalam proses penelitian, yang telah dilakukan dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk menemukan kebenaran. c. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003: 1) mengemukakan bahwa ”Metodologi adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun laporan.” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa metode penelitian adalah suatu cara yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan,
lxxii
dengan mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis hingga menyusun laporan. Berdasarkan ketiga pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara atau teknis untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisa data sampai menyusun laporannya, yang digunakan peneliti dengan sabar, hati-hati, serta sistematis guna mencapai tujuan dan kegunaan tetentu.
2. Macam-Macam Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian diperlukan adanya metode penelitian, yang mana metode yang dipilih atau digunakan ini harus disesuaikan dengan jenis penelitiannya. Metode penelitian yang digunakan harus ditetapkan secara bertangung jawab sehingga dapat diperoleh data yang sesuai sebagaimana yang diperlukan dalam penelitian. Untuk itu, ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam suatu penelitian. Consuelo G. Sevilla, Jesus A. Ochave, Twila G. Punsalan, Bella P. Regala & Gabriel G. Uriarte, terjemahan Alimuddin Tuwu (1993:40) mengemukakan bahwa metode yang dapat digunakan dalam penelitian ada lima macam, yaitu: a. Metode penelitian sejarah (historis) b. Metode penelitian deskriptif c. Metode penelitian eksperimen d. Metode penelitian ex post facto e. Metode penelitian partisipatori Untuk lebih jelasnya dapat dipahami melalui uraian di bawah ini. a. Metode Penelitian Sejarah (historis) Penelitian sejarah meneliti tentang kejadian yang terjadi pada masa lampau. Sejarah dapat membantu kita untuk menentukan strategi dan ide lain, dan mungkin menemukan cara yang lebih baik untuk memutuskan dan mengerjakan
sesuatu.
Penyelidikan
sejarah
membantu
memperluas
pengalaman kita, membuat kita lebih mengerti dan menghargai tingkah laku manusia dan segala keunikannya.
lxxiii
b. Metode Penelitian Deskriptif Penelitian deskriptif berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah berdasarkan data-data. Jadi dalam penelitian deskriptif ini juga disajikan data, analisis dan interpretasi. Penelitian deskriptif terdiri dari berbagai jenis. Menurut Consuelo G. Sevilla et al, terjemahan Alimuddin Tuwu (1993:73) Jenis-jenis penelitian deskriptif yaitu: 1) Studi Kasus 2) Survei 3) Penelitian Pengembangan (developmental study) 4) Penelitian Lanjutan (follow-up study) 5) Analisis Dokumen 6) Analisis Kecenderungan (trend analysis) 7) Penelitian Korelasi (correlational study) Secara singkat, jenis-jenis penelitian deskriptif tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Studi Kasus Studi kasus merupakan penelitian yang terinci tentang seseorang atau sesuatu unit selama kurun waktu tertentu. Metode ini akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap tingkah laku individu. Contoh studi kasus adalah penelitian tentang perkembangan fisik anak selama satu tahun pertama, tata pelaksanaan suatu upacara adat, dan lain sebagainya. 2) Survei Metode ini menekankan lebih pada penentuan informasi tentang variabel daripada informasi tentang individu. Survei digunakan untuk mengukur gejala-gejala yang ada tanpa menyelidiki kenapa gejala-gejala tersebut ada (exist). Contoh survei antara lain sensus penduduk, penelitian tentang prestasi akademik siswa, pendataan data pribadi siswa. 3) Penelitian Pengembangan (developmental study) Penelitian perkembangan bertujuan untuk mengukur pertumbuhan dan perkembangan suatu variabel yang sejalan dalam kurun waktu tertentu.
lxxiv
Contoh dari studi pengembangan adalah penelitian mengenai perlengkapan fisik, kurikulum, metode pengajaran dan pengaruhnya terhadap sifat para pelajar. 4) Penelitian Lanjutan (follow-up study) Penelitian ini bermaksud untuk menyelidiki perkembangan lanjutan para subjek setelah diberikan perlakuan tertentu atau setelah kondisi tertentu. Penelitian ini biasa digunakan untuk menilai kesuksesan program-program tertentu. Contoh dari penelitian lanjutan antara lain penelitian tentang keefektifan program Keluarga Berencana terhadap pengendalian jumlah penduduk, penelitian yang melakukan evaluasi keefektifan pendidikan pra sekolah pada mata pelajaran bahasa. 5) Analisis Dokumen Metode ini digunakan bila kita ingin mengumpulkan data melalui pengujian arsip-arsip dan dokumen. Contoh dari analisis dokumen yaitu penyelidikan tentang berapa banyak pelajaran mengenai pendidikan watak yang terdapat pada buku-buku pelajaran. 6) Analisis Kecenderungan (trend analysis) Penelitian ini ingin mencari status yang akan datang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari proyeksi permintaan atau keperluan orang-orang di masa depan. Analisis kecenderungan digunakan untuk meramalkan suatu gejala. Contoh dari analisis kecenderungan adalah sekolah swasta dan negeri harus membuat perencanaan mata pelajaran yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan tenaga kerja pada masa depan. 7) Penelitian Korelasi (correlational study) Penelitian korelasi dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Melalui penelitian ini kita dapat menentukan apakah ada dan seberapa kuat hubungan antara dua variabel atau lebih. Contoh dari penelitian korelasi adalah hubungan antara kecerdasan intelektual dan kreativitas siswa terhadap prestasi akademik siswa.
lxxv
c. Metode Penelitian Eksperimen Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan jalan melaksanakan suatu treatment (perlakuan) tertentu kepada subjek diikuti dengan pengukuran terhadap akibat treatment tersebut, untuk menentukan hubungan kausal (sebab-akibat) antara dua fenomena (variabel bebas dan variabel tergantung). Ciri khas penelitian eksperimen adalah adanya dua kelompok yaitu satu kelompok sebagai kelompok eksperimen dan kelompok lainnya sebagai kelompok kontrol. Suatu eksperimen dapat dikatakan valid apabila hasil yang diperoleh semata-mata dari pemanipulasian variabel bebas, dan jika variabel-variabel tersebut dapat digeneralisasikan pada lingkungan luar. d. Metode penelitian expost facto (kausal komparatif) Penelitian expost facto adalah penelitian yang dilakukan tanpa eksperimen, artinya variabel bebas atau perlakuan (treatment) telah terjadi secara
apa
adanya
(alamiah)
tanpa
dimanipulasi,
dan
pengukuran
(pengumpulan data) untuk semua variabel dilakukan dalam waktu yang sama, setelah perlakuan berjalan lanjut. e. Metode penelitian partisipatoris Penelitian partisipatoris melibatkan semua partisipan dalam proses penelitian, mulai dari formulasi masalah sampai dengan diskusi bagaimana masalah tersebut diatasi dan bagaimana penemuan-penemuan akan ditafsirkan. Partisipan penelitian harus melihat proses penelitian sebagai keseluruhan pengalaman masyarakat dimana kebutuhan-kebutuhan masyarakat dibangun, dan kesadaran serta kesepakatan dalam masyarakat ditingkatkan. Berdasarkan uraian di atas, metode yang peneliti gunakan adalah deskriptif korelasi. Adapun alasan peneliti memilih metode jenis ini adalah: a. Masalah penelitian yang diambil bersifat korelasional, sehingga jenis metode deskriptif korelasi dirasa paling sesuai dan paling tepat. b. Dengan jenis metode deskriptif korelasi maka akan diperoleh gambaran dan korelasi secara objektif dari perilaku menyimpang ditinjau dari bimbingan orang tua dan kedisiplinan.
lxxvi
Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya mengenai metode deskriptif seperti berikut ini : 1. Moh. Nazir (1988: 63) menyatakan “Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.” Maksud dari pendapat tersebut diatas adalah bahwa metode penelitian deskriptif adalah sebuah metode atau cara yang digunakan oleh seorang peneliti untuk mengetahui keadaan atau fenomena yang terjadi pada masa sekarang. Fenomena tersebut dapat berupa manusia, benda ataupun peristiwa yang sedang terjadi. 2. Nana Syaodih Sukmadinata (2007: 54) mengemukakan “Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena- fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau.” Pendapat tersebut mengandung arti bahwa metode deskriptif adalah sebuah metode penelitian yang bermaksud atau memiliki tujuan untuk menggambarkan fenomena atau kejadian yang berlangsung pada saat ini atau waktu yang sudah lampau. 3. Sedangkan Saifuddin Azwar (2005: 6) berpendapat “Metode deskriptif melakukan analisis hanya sampai taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.” Pendapat tersebut berarti bahwa metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang hanya melakukan deskripsi atau penggambaran sebuah fenomena, menganalisis fenomena tersebut dan kemudian menyajikan hasil analisisnya secara sistematis sehingga mudah untuk dipahami. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa metode deskriptif merupakan upaya untuk menggambarkan, menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis dari suatu objek atau sekelompok manusia pada kondisi peristiwa pada masa sekarang ataupun masa lampau. Peristiwa atau fenomena tersebut dapat berupa sikap manusia, hewan, benda ataupun sebuah kejadian itu
lxxvii
sendiri. Tujuan utama penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat dari suatu keadaan yang ada pada waktu penelitian dilakukan dan menjelajahi penyebab dari gejala-gejala tertentu. Consuelo G. Sevilla, et al, terjemahan Alimuddin Tuwu (1993: 88) menjelaskan bahwa keuntungan metode deskriptif diantaranya adalah: 1. Metode ini banyak memberikan sumbangan pada ilmu pengetahuan melalui pemberian informasi keadaan mutakhir. 2. Membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berguna untuk pelaksanaan percobaan. 3. Dapat digunakan dalam menggambarkan keadaan-keadaan yang mungkin terdapat dalam situasi tertentu. Selain keuntungan metode deskriptif, Consuelo G. Sevilla, et al, terjemahan Alimuddin Tuwu (1993: 89) juga menyebutkan kerugian metode deskriptif diantaranya adalah: 1. Ada kecenderungan untuk menyalahgunakan dalam pemakaiannya Kesalahan dalam pemakaian metode deskriptif adalah adanya orang yang mempersepsikan bahwa dengan menggunakan metode deskriptif dapat menghindarkan kita pada penggunaan analisis statistik. Apabila hal ini terjadi maka penelitian kita tidak dapat diklasifikasikan sebagai penelitian, tetapi hanya merupakan kegiatan pengumpulan informasi saja dan bias serta prasangka yang kita buat menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, penelitian kita mengakibatkan generalisasi yang terlalu luas sehingga dapat dianggap tidak penting. 2. Penelitian tersebut memberikan informasi yang terbatas tentang pengaruh variabel-variabel yang diteliti. Hal ini terjadi karena kita tidak dapat mengisolasi atau menekan variabel-variabel lain yang konstan, maka kita tidak bisa mengharapkan bukti nyata tentang sebab akibat mengapa fenomena tersebut dapat terjadi. 3. Motivasi subjek yang tidak konsisten. Hal ini berkenaan dengan kerja sama dari pihak responden. Sebagai peneliti kita perlu memastikan bahwa jawaban
lxxviii
yang diberikan responden adalah dapat dipercaya. Hal ini tergantung pada perhatian, simpati, minat dan kerjasama para subjek penelitian. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode penelitian deskriptif korelasi menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003: 48) adalah: a. Mendefinisikan masalah b. Melakukan telaah pustaka c. Merancang cara pendekatannya 1) Mengidentifikasikan variabel-variabel yang relevan 2) Menentukan subjeknya yang sebaik-baiknya 3) Memilih atau menyusun alat pengukur yang cocok 4) Memilih metode korelasional yang cocok untuk masalah yang sedang digarap d. Mengumpulkan data e. Menganalisis data yang telah terkumpul dan buat interpretasinya f. Menuliskan laporan
C.
Populasi dan Sampel
1. Pengertian Populasi dan Sampel a. Populasi Dalam suatu penelitian perlu ditetapkan dahulu objek penelitian yang sering disebut dengan populasi. Sebelum menentukan populasi maka perlu kiranya diketahui mengenai pengertian populasi. Ada banyak tokoh yang menjelaskan mengenai pengertian populasi, diantaranya: 1) Sutrisno Hadi (2001: 220) mengemukakan bahwa “Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama.” Dalam hal ini batas populasi bukanlah tempat atau waktu penelitian, tetapi karakteristik elemen atau individu populasi. Tidak semua subjek dalam tempat dan waktu penelitian diteliti, tetapi sebagian subjek yang mempunyai karakteristik tertentu yang sama.
lxxix
2) Suharsimi Arikunto (1998: 115) menjelaskan bahwa “Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.” Dalam
hal
ini
seluruh
subjek
penelitian
dihitung
dan
diikutsertakan sebagai populasi. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. 3) Sudjana dalam Purwanto (2008: 241) mengatakan bahwa “Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin baik hasil menghitung maupun hasil mengukur baik kualitatif maupun kuantitatif dari karakteristik mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas.” Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seluruh penduduk yang menjadi subjek penelitian. Namun demikian subjek yang diteliti adalah yang mempunyai karakteristik tertentu yang sama, sehingga dapat mewakili subjek penelitian secara keseluruhan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang ada dalam wilayah penelitian tertentu dan mempunyai sifat, kualitas serta karakteristik yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun ajaran 2009/2010 yang terdiri dari 7 kelas sejumlah 266 siswa. b. Sampel Dalam sebuah penelitian tidak semua anggota populasi harus diteliti. Hal ini dikarenakan besarnya jumlah populasi dan adanya keterbatasan dalam diri si peneliti. Untuk itu perlu ditetapkan sampel untuk membatasi jumlah subjek penelitian yang dapat mewakili populasi tersebut. Beberapa tokoh menjelaskan mengenai pengertian sampel, diantaranya: 1) Sutrisno Hadi (2001: 221) menjelaskan bahwa “Sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi.” Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama, baik sifat kodrat maupun sifat pengkhususan.
lxxx
2) Suharsimi Arikunto (1998: 117) menjelaskan bahwa “Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.” Tidak semua populasi diteliti, melainkan hanya sebagian saja yang mana sebagian dari populasi ini disebut sebagai sampel. Namun demikian hasil penelitian terhadap sampel ini berlaku pula bagi keseluruhan populasi. 3) Soenarto dalam Purwanto (2008: 242) “Sampel adalah suatu bagian yang dipilih dengan cara tertentu untuk mewakili keseluruhan kelompok populasi.” Sampel mewakili keseluruhan populasi. Dengan demikian sampel memiliki ciri yang sama dengan populasi. Sampel harus diambil atau ditentukan dengan cara-cara tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sampel adalah sebagian individu yang menjadi anggota populasi yang diperoleh dengan cara-cara tertentu untuk menjadi wakil dari populasi yang diteliti. 2. Cara Pengambilan Sampel Teknik sampling menurut Hadari Nawawi (1995: 152) ”Cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang representatif atau benar-benar mewakili populasi”. Consuelo G. Sevilla, et al, terjemahan Alimuddin Tuwu (1993: 163-169) menjelaskan bahwa teknik pengambilan sampel dibagi menjadi lima macam, yaitu: a. Pengambilan Sampel Secara Acak (Teknik Random Sampling) b. Pengambilan Sampel Secara Sistematis (Teknik Sistematik Sampling) c. Pengambilan Sampel Strata (Teknik Stratified Sampling) d. Pengambilan Sampel Kluster (Teknik Cluster Sampling) e. Pengambilan Sampel Non-Acak (Teknik Non Random Sampling)
lxxxi
Untuk mempermudah dalam memahami tentang teknik sampling diatas maka penulis akan menguraikannya sebagai berikut: a. Pengambilan Sampel Secara Acak (Teknik Random Sampling) Dalam teknik ini setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk menjadi sampel dan anggota yang terpilih sebagai sampel tidak mempengaruhi peluang anggota yang lain. Oleh sebab itu, maka teknik ini sering disebut sebagai teknit yang paling baik. Teknik pengambilan sampel secara acak meliputi: 1) Tabel nomor acak Teknik ini merupakan teknik yang paling sistematis dalam perolehan unit-unit sampel melalui acaka. Tabel acak berisi kolom-kolom digit yang umumnya dihasilkan melalui komputer, untuk meyakinkan susunan acak. Hampir semua buku-buku statistika dan penelitian membuat tabel-tabel nomor acak. 2) Pengambilan sampel melalui undian Teknik ini disebut juga sebagai fishbowl. Adapun teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel melalui undian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) Undian tanpa pengembalian (without replacement) Teknik undian tanpa pengembalian sering disebut dengan simpel random sampling. Anggota populasi yang telah keluar sebagai sampel tidak lagi diikutsertakan dalam pengundian selanjutnya, sehingga tidak akan ada kemungkinan munculnya nama atau sampel yang sama. Dalam teknik ini setiap sampel dalam populasi memiliki satu kali kesempatan untuk menjadi sampel. Keuntungan dari simpel random sampling adalah tidak banyak menggunakan teknik yang sulit dan sampel yang didapat tidak bias. Akan tetapi akan sangat sulit melakukan teknik ini jika jumlah subjek dalam populasi sangat banyak atau jika belum diketahui secara pasti semua individu dalam populasi.
lxxxii
b) Undian dengan pengembalian (with replacement) Teknik undian dengan pengembalian dilakukan dengan cara mengundi seluruh populasi penelitian, sehingga keluar salah satu sampel. Kemudian sampel yang sudah keluar tersebut dikembalikan lagi dan kembali diikutsertakan dalam proses pengundian selanjutnya. Proses pengundian dengan cara ini mempunyai intensitas ketepatan pengambilan sampel yang tetap. b. Pengambilan Sampel Secara Sistematis (Teknik Sistematik Sampling) Teknik ini digunakan untuk memilih anggota sampel yang hanya dibolehkan melalui peluang dan suatu sistem untuk menentukan kenaggotaan dalam sampel. Yang dimaksud dengan sistem dalam hal ini adalah strategi yang direncanakan untuk memilih anggota-anggota setelah memulai pemilihan acak, misalnya memilih nomor genap atau ganjil atau kelipatan tertentu dari suatu daftar yang telah disusun. c. Pengambilan Sampel Strata (Teknik Stratified Sampling) Pengambilan sampel strata dilakukan dengan cara populasi atau elemen populasinya dibagi dalam kelompok-kelompok yang disebut strata. Banyaknya tingkat harus diperhatikan, kemudian setiap tingkatan harus mewakilkan anggotanya untuk menjadi sampel dalam penelitian. Dalam hal ini proporsi dari jumlah subjek yang ada dalam tiap-tiap tingkatan dalam populasi yang harus dicerminkan dalam sampel sehingga mereka dapat dipandang sebagai wakil terbaik bagi populasi. Dengan teknik ini subkelompok (strata) yang spesifik akan memiliki jumlah yang cukup mewakili dalam sampel, serta menyediakan jumlah sampel sebagai sub-analisis dari anggota sub-kelompok tersebut. d. Pengambilan Sampel Kluster (Teknik Cluster Sampling) Dalam pengambilan sampel kluster satuan-satuan sampel tidak terdiri dari individu melainkan kelompok-kelompok atau kluster. Sampling ini dipandang ekonomik karena observasi-observasi yang dilakukan terhadap kluster dipandang lebih murah dan mudah dari pada observasi terhadap individu yang terpencar-pencar.
lxxxiii
e. Pengambilan Sampel Non-Acak (Teknik Non Random Sampling) Dalam teknik ini setiap anggota populasi tidak mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Beberapa bagian tertentu dalam semua kelompok secara sengaja tidak dimasukkan dalam pemilihan untuk mewakili sub-kelompok. Teknik pengambilan sampel secara acak meliputi: 1) Pengambilan sampel purposif Dalam pengambilan sampel purposif, pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang dianggap memiliki kesamaan dengan ciri yang telah diketahui sebelumnya. Oleh karena itu keadaan dan informasi mengenai populasi tidak perlu diragukan lagi. Secara intensional peneliti tidak meneliti semua daerah atau kelompok dalam populasi, namun peneliti hanya perlu mengambil beberapa kelompok kunci saja. 2) Pengambilan sampel kuota Dalam pengambilan sampel kuota yang harus dilakukan adalah penetapan jumlah subjek yang akan diteliti. Kemudian permasalahan mengenai siapa yang akan diinterview atau yang menjadi responden diserahakn kepada sebuah tim. Tim ini bertugas untuk mengumpulkan informasi-informasi yang dibutuhkan dalm penelitian. Ciri utama dari quota sampling adalah jumlah subjek yang sudah ditentukan akan dipenuhi, permasalahan apakah subjek tersebut mewakili populasi atau sub populasi tidaklah menjadi persoalan. 3) Pengambilan sampel dipermudah (convenience) Dalam pengambilan sampel dipermudah, pengambilan sampel didasarkan atas kemudahan dari arah peneliti. Misalnya, jika ingin mengetahui pendapat orang Filipinatentang rekonsiliasi nasional di Filipina melalui wawancara telepon, maka peluang yang diperoleh adalah hanya akan mewawancarai mereka yang mempunyai telepon saja. Pengambilan sampel ini dilakukan agar tidak menyulitkan peneliti.
lxxxiv
Dalam penelitian ini akan menggunakan teknik simpel random sampling tanpa pengembalian untuk menetapkan sampel. Adapun alasan dalam penggunaan teknik simpel random sampling ini adalah: a. Sampel yang diperoleh tidak bias. b. Pelaksanaannya lebih mudah, tidak banyak menggunakan teknik yang sulit dan anggota sampel cepat diperoleh. c. Teknik ini dilakukan secara acak, sehingga setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. d. Pelaksanaan simpel random sampling dilakukan melalui prosedur undian tanpa pengembalian, sehingga setiap individu mempunyai peluang yang lebih besar untuk menjadi sampel penelitian. e. Teknik simpel random sampling dipilih agar lebih cepat dan tidak memakan banyak waktu. Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 120-121) bahwa: Untuk sekadar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10 – 15 % atau 20 – 25 % atau lebih, tergantung setidak-tidaknya dari: a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana. b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data. c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang resikonya besar, tentu saja jika sampel lebih besar, hasilnya akan lebih baik. Berdasarkan pendapat di atas, maka besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 24% dari keseluruhan populasi yaitu siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu. Yakni,
24 x 266 63,84 (dibulatkan menjadi 65 siswa). Jumlah 100
sampel dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 65 siswa yang berasal dari kelas XI.A1, XI.A2, XI.A3, XI.S1, XI.S2, XI.S3, XI.S4. Dalam teknik simpel random sampling terdapat langkah-langkah tertentu yang harus dilakukan. Langkah-langkah dalam pengambilan sampel dengan teknik simpel random sampling adalah sebagai berikut:
lxxxv
a. Menetapkan nomor-nomor pada anggota populasi yang terkumpul dalam daftar sampel. b. Menulis nomor-nomor itu pada potongan kertas kecil, satu nomor untuk setiap anggota populasi. c. Menggulung semua kertas baik-baik. d. Memasukkan gulungan-gulungan kertas itu ke dalam kotak yang cukup besar agar gulungan kertas dapat bergerak secara bebas ke segala arah. e. Mengaduk gulungan kertas secara sempurna. f. Mengambil kertas gulungan itu sejumlah 65 gulungan.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting, karena dalam tehnik pengumpulan data membahas instrument atau alat untuk mengumpulkan data. Dalam metode ilmiah, data yang terkumpul merupakan dasar untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.Untuk memperoleh data tersebut diperlukan cara atau teknik pengumpulan data sehingga diperoleh data yang benar-benar dapat dipercaya. Menurut Hadari Nawawi (1995: 94)” teknik dan alat pengumpulan data yang tepat dalam suatu penelitian akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkan dirumuskannya generalisasi yang obyektif.” Dalam penelitian ini menggunakan berbagai metode pengumpulan data antara lain: 1. Teknik pokok: a. Metode angket atau kuesioner b. Metode dokumentasi 2. Teknik Bantu: a. Metode observasi b. Metode wawancara atau interview Teknik pokok /utama pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan metode angket, sedangkan teknik bantunya adalah dengan metode
lxxxvi
observasi dan wawancara. Adapun alasan pemilihan metode angket dan dokumentasi sebagai teknik pokok /utama adalah sebagai berikut: 1. Metode angket dirasa lebih mudah diterapkan dalam penelitian kuantitatif. 2. Dengan metode angket, maka akan memudahkan peneliti dalam proses pemberian dan penghitungan skor (scoring) 3. Metode dokumentasi diperlukan dalam pengumpulan data mengenai kondisi, presensi dan absensi siswa. Untuk lebih jelasnya mengenai ketiga metode tersebut diterangkan sebagai berikut:
1. Teknik Pokok a. Metode Angket atau Kuesioner 1) Pengertian Angket Sebagai teknik pokok pengumpulan data dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner. a) Sanapiah Faisal (2005 : 122) bahwa “Angket adalah alat pengumpulan data berisi daftar pertanyaan secara tertulis ditujukan kepada subjek atau responden penelitian.” b) Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003: 76) “Metode kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan mengenai suatu masalah atau bidang yang akan diteliti.” Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa angket adalah sejumlah daftar pertanyaan secara tertulis, yang ditujukan kepada responden untuk dijawab secara tertulis pula, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang hal-hal yang diperlukan dalam penelitian. Angket pada umumnya meminta keterangan tentang fakta yang diketahui oleh responden atau juga mengenai pendapat atau sikap. Maksud serta tujuan penelitian akan mempunyai pengaruh terhadap materi serta bentuk pertanyaan yang ada dalam angket atau kuesioner.Tehnik angket dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data tentang tingkat bimbingan orang tua, kedisiplinan, dan perilaku menyimpang.
lxxxvii
2) Jenis-jenis Angket Ada beberapa jenis angket yang dapat digunakan dalam penelitian. Menurut Sanapiah Faisal (1981: 4-5), bahwa angket dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu tergantung dari sudut pandangnya: a) Dipandang dari cara menjawab, maka ada: (1) Angket terbuka (2) Angket tertutup b) Dipandang dari jawaban yang diberikan, maka dapat dibedakan: (1) Angket langsung (2) Angket tidak langsung c) Dipandang dari bentuk konstruksi item pertanyaannya, maka ada: (1) Angket ya – tidak (2) Angket pilihan ganda (3) Check list (daftar cek) (4) Rating scale (skala penilaian) Penjelasannya adalah sebagai berikut: a) Dipandang dari cara menjawab, maka ada: (1) Angket terbuka Angket ini memberi kesempatan kepada responden untuk menjawab dengan kalimatnya. (2) Angket tertutup Angket ini berisi tentang jawaban yang sudah disediakan, sehingga responden tinggal memilih. b) Dipandang dari jawaban yang diberikan, maka ada: (1) Angket langsung Dalam angket ini, responden langsung menjawab tentang dirinya. (2) Angket tidak langsung Dalam angket ini, angket responden menjawab tentang orang lain.
lxxxviii
c) Dipandang dari bentuk konstruksi pertanyaannya, maka ada: (1) Angket ya – tidak Dalam angket ini telah disediakan jawaban berupa jawaban “ya” dan “tidak” (2) Angket pilihan ganda Dalam angket ini sama dengan angket tertutup (3) Check list Sebuah daftar dimana responden tinggal membubuhkan tanda check (V) pada kolom yang sesuai . (4) Rating scale (skala bertingkat) Yaitu sebuah pertanyaan diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukkan tingkatan-tingkatan, misalnya mulai dari sangat setuju sampai ke sangat tidak setuju. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk angket tertutup bersifat langsung, yaitu berupa angket yang daftar pertanyaan atau pernyataannya langsung diberikan kepada responden yang ingin dimintai pendapat, keyakinannya atau diminta menceritakan tentang keadaan dirinya sendiri. Daftar pertanyaan ditanggapi oleh responden sendiri dengan memilih alternatif jawaban yang sudah tersedia. 3) Langkah-Langkah Menyusun Angket Angket akan digunakan disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) Membuat kisi-kisi angket Kisi-kisi angket disusun berdasarkan atas variabel-variabel yang akan diukur, yakni variabel bimbingan orang tua, kedisiplinan dan perilaku menyimpang. Kisi-kisi ini disusun dalam rangka memudahkan peneliti untuk menyusun pertanyaan sekaligus sebagai pedoman agar butir-butir pertanyaan tidak menyimpang dari tujuan angket.
lxxxix
b) Menyusun pertanyaan atau butir angket Penyusunan pertanyaan dilakukan dengan berpedoman pada kisi-kisi yang telah dibuat. Pertanyaan yang disusun peneliti berbentuk pertanyaan pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban. c) Membuat skor Setelah angket disusun, kemudian akan disusun skor dari masing-masing jawaban. Dalam penelitian angket ini, setiap item mcmpunyai alternatif jawaban dan skor antara 1 sampai 4. Dari alternatif jawaban tersebut diberikan bobot nilai sebagai berikut: Bentuk item positif (1) Alternatif jawaban A, mempunyai bobot nilai 4 (2) Alternatif jawaban B, mempunyai bobot nilai 3 (3) Alternatif jawaban C, mempunyai bobot nilai 2 (4) Alternatif jawaban D. mempunyai bobot nilai 1 Bentuk item negatif (1) Alternatif jawaban A, mempunyai bobot nilai 1 (2) Alternatif jawaban B, mempunyai bobot nilai 2 (3) Alternatif jawaban C, mempunyai bobot nilai 3 (4) Alternatif jawaban D, mempunyai bobot nilai 4 d) Membuat surat pengantar Surat pengantar dibuat dengan maksud untuk mengutarakan tujuan pemberian angket kepada responden. e) Mengadakan uji coba (try out) Setelah angket disusun, angket tersebut perlu diujicobakan untuk mengetahui letak kelemahan atau hal-hal yang akan menyulitkan responden dalam menjawab pertanyaan sekaligus untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas angket. Dalam penelitian ini, try out dilakukan di SMA Negeri Colomadu Kelas XI Tahun Ajaran 2009/2010 yang berjumlah 25 siswa. Siswa yang telah mengikuti try out angket, nantinya tidak akan diikutkan dalam penelitian.
xc
Maksud peneliti mengadakan try out angket ini adalah: (1) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bermakna ganda dan tidak jelas (2) Menghindari
pertanyaan-pertanyaan
yang
sebenarnya
tidak
diperlukan (3) Menghindari kata-kata yang kurang dimengerti oleh responden (4) Menghilangkan item-item yang dianggap tidak relevan dengan penelitian f) Merevisi angket Revisi angket dilakukan apabila terdapat banyak item yang gugur dan terdapat indikator yang tidak terwakili. Apabila semua indikator telah terwakili maka peneliti hanya mendrop atau menghilangkan item yang gugur. g) Memperbanyak angket Angket yang telah direvisi dan telah diyakini valid dan reliabel diperbanyak sesuai dengan jumlah responden yang menjadi anggota sample, yaitu 65 anak. h) Penyebaran angket Angket yang telah diperbanyak kemudian disebarkan kepada responden yang menjadi sampel penelitian untuk mengumpulkan datadata yang diperlukan. i) Penarikan angket. Setelah memperoleh data-data yang diperlukan, kemudian angket-angket tersebut diambil kembali. b. Metode Dokumentasi Selain angket atau kuesioner, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dokumentasi. Suharsimi Arikunto (1998: 236) menjelaskan bahwa ”Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal variabel yang berupa catatan buku, surat kabar, majalah, prasasti, dan notulen”. Dokumen dalam hal ini untuk memperoleh data berupa data tertulis, antara lain tentang jumlah siswa dan daftar nama siswa, absensi dan presensi siswa
xci
kelas XI SMA Negeri Colomadu yang bisa penulis dapatkan di kantor TU (Tata Usaha) dan wali kelas. Dibandingkan dengan metode lain, maka metode ini tidak begitu sulit karena apabila terjadi kekeliruan sumber datanya masih tetap, belum berubah. Yang diamati dengan metode dokumentasi bukan benda hidup tetapi benda mati. Dalam pengertian yang lebih luas, dokumen bukan hanya yang berwujud tulisan saja, tetapi dapat benda-benda peninggalan. Alasan peneliti menggunakan teknik dokumentasi adalah: 1) Lebih mudah mendapatkan data, karena data sudah tersedia serta menghemat tenaga dan waktu. 2) Data yang diperoleh dapat dipercaya dan mudah menggunakannya. 3) Pada waktu yang relatif singkat dapat diperoleh data yang diinginkan. 4) Data dapat ditinjau kembali jika diperlukan. 5) Data yang diperoleh dapat dipercaya dan mudah menggunakannya. 6) Biaya relative lebih murah. Menurut Suharsimi Arikunto (1992: 131) metode dokumentasi dapat dilaksanakan dengan: 1) Pedoman dokumentasi, yang memuat garis-garis besar atau kategori yang akan dicari datanya. 2) Chek list, yaiti daftar variabel yang akan dikumpulkan datanya. Dalam hal ini peneliti tinggal memberikan tanda atau tally setiap pemunculan gejala yang dimaksud.
2. Teknik Bantu a. Metode Observasi (Pengamatan) Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003: 70) mengemukakan bahwa “Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki”. Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat
non-verbal.
Observasi dapat menggunakan indera visual, pendengaran, rabaan dan penciuman. Dalam penelitian ini metode observasi atau pengamatan
xcii
digunakan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai wilayah penelitian dengan jelas. b. Metode Wawancara atau Interview Menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003:83) ” Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan”. Dalam penelitian ini metode wawancara atau interview digunakan untuk mengetahui apakah item pertanyaan yang disusun dalam angket telah dipahami oleh responden atau belum.
E. Rancangan Penelitian 1. Variabel Penelitian a. Pengertian Variabel Penelitian Variabel penelitian merupakan faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti. Dengan demikian perlu diketahui pengertian dar variabel penelitian itu sendiri. 1) Consuelo G. Sevilla et al, terjemahan Alimuddin Tuwu (1993: 21) mengemukakan bahwa ”Variabel adalah suatu karakteristik yang memiliki dua atau lebih nilai atau sifat yang berdiri sendiri.” Penelitian yang dilakukan terhadap obyek penelitian yang hanya memiliki satu karakteristik saja, maka karakteristik tersebut bukan merupakan variabel, melainkan sesuatu yang konstan. Dalam menentukan variabel perlu diperhatikan karakteristik, ukuran atau kondisi yang menjadi tujuan dari penelitian. 2) Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud dalam Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003: 118) menjelaskan bahwa “Yang dimaksud variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan penelitian.” Pada dasarnya banyaknya variabel sangat tergantung oleh sederhana atau runtutnya penelitian. Makin sederhana rancangan
xciii
penelitian maka variabelnya juga makin sederhana atau sedikit. Sebaliknya, makin kompleks rancangan penelitian maka variabelnya juga makin kompleks atau banyak. Dari kedua pengertian diatas maka dapat disimpulakn bahwa variabel penelitian adalah objek penelitian yang memiliki dua atau lebih nilai atau sifat yang berdiri sendiri.
b. Macam-Macam Variabel Penelitian Menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003: 119), berdasarkan fungsinya variabel dapat dibedakan menjadi: 1) Variabel tergantung atau terikat Yaitu kondisi atau karakteristik yang berubah atau muncul ketika penelitian mengintroduksi, mengubah atau mengganti variabel bebas. Menurut fungsinya variabel ini dipengaruhi oleh variabel lain, karenanya sering juga disebut sebagai variabel terpengaruhi. 2) Variabel bebas Yaitu kondisi-kondisi atau karakteristik-karakteristik yang oleh peneliti dimanipulasi dalam rangka untuk menerangkan hubungannya dengan
fenomena
yang
diteliti.
Variabel
ini
berfungsi
untuk
mempengaruhi variabel lain. 3) Variabel intervening Yaitu variabel yang berfungsi menghubungkan variabel satu dengan variabel yang lain. Hubungan itu dapat menyangkut sebab-akibat atau hubungan pengaruh dan terpengaruh. 4) Variabel moderator Variabel ini dapat turut mempengaruhi variabel tergantung serta memperjelas hubungan bebas dengan variabel tergantung. 5) Variabel kendali Variabel ini merupakan pengendali variabel moderator, yang mana juga turut berpengaruh terhadap variabel gantung
xciv
6) Variabel rambang Yaitu variabel yang fungsinya dapat diabaikan atau pengaruhnya hampir tidak diperhatikan terhadap variabel bebas maupun tergantung.
2. Identifikasi Variabel Variabel dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau disebut variabel penyebab, yaitu kondisi-kondisi atau karakteristik-karakteristik yang oleh peneliti dimanipulasi dalam rangka untuk menerangkan hubungannya dengan fenomena yang diteliti. Sedangkan variabel terikat adalah kondisi atau karakteristik yang berubah atau muncul ketika penelitian mengintroduksi, pengubah atau mengganti variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah: a. Bimbingan orang tua sebagai variabel bebas I Bimbingan orang tua adalah pemberian bantuan atau pertolongan dari bapak dan ibu sebagai orang yang bertanggung jawab dalam keluarga yang dilakukan secara terus-menerus dan sistematis kepada anknya, dan memberikan bimbingan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. b. Kedisiplinan sebagai variabel bebas II Kedisiplinan adalah pendidikan dan bimbingan yang menekankan pengendalian diri dan kepatuhan agar melahirkan motivasi dan tanggung jawab berdasarkan tata tertib maupun teladan seorang pemimpin. c. Perilaku menyimpang sebagai variabel terikat Perilaku menyimpang merupakan suatu perilaku yang diekspresikan oleh seseorang atau beberapa orang anggota masyarakat, yang secara sadar atau tidak sadar telah melakukan ketidaksesuaian diri dengan norma-norma yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mana norma-norma tersebut telah diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat.
xcv
3. Uji Validitas Validitas atau kesahihan instrument berkaitan dengan kesesuaian dan kecermatan fungsi dari alat ukur yang digunakan. Uji ini digunakan untuk menguji apakah butir-butir yang diuji cobakan dapat mengukur keadaan responden yang sebenarnya. Suatu instrument yang valid mempunyai validitas tinggi, sebaliknya instrument yang kurang valid mempunyai validitas yang rendah. a. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2004: 62) menyatakan “Valid atau jitu atau sahih artinya instrument harus menunjukkan sejauh manakah ia mengukur apa yang seharusnya diukur.” b. Suharsimi Arikunto (1998: 160), “Validitas adalah suatu ukuran yang mewujudkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrument.” Jadi alat ukur dikatakan valid jika dapat mengukur secara cermat dan tepat. c. Consuelo et al, terjemahan Alimuddin Tuwu (1993: 176) “Validitas adalah derajat ketepatan suatu alat ukur tentang pokok isi atau arti sebenarnya yang diukur.“ Macam-macam validitas menurut Saifuddin Azwar (1997: 45), yaitu: ”Content validity ( validitas isi ), Construct validity ( validitas konstruk), dan Criterion validity ( validitas berdasar kriteria ).” Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Validitas isi (Content Validity) Validitas ini untuk mengetahui sejauh mana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur. Estimasi validitas ini tidak melibatkan perhitungan statistik apapun melainkan hanya analisis rasional. Validitas ini terbagi menjadi 2 tipe, yaitu: 1) Validitas muka (Face Validity) Validitas muka adalah tipe validitas yang paling rendah karena
hanya
berdasarkan
penilaian
(appearance) tes.
xcvi
terhadap
signifikansinya format
penilaian
2) Validitas Logik (Logical Validity) Validitas logik menunjukkan pada sejumlah isi tes yang merupakan representasi dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. b. Validitas Konstruk Validitas konstruk adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana tes yang mengungkap suatu trait atau konstruk teoritik yang hendak diukurnya. Pengujian validitas konstruk biasanya memerlukan teknik analisis statistika yang lebih kompleks. c. Validitas berdasarkan kriteria (criterion related validity). Prosedur pendekatan validitas berdasarkan kriteria menghendaki tersedianya kriteria eksternal yang dijadikan pengujian skor tes. Prosedur validasi berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas, yaitu : 1) Validitas Prediktif (Predictif Validity) Prosedur validasi prediktif memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar karena prosedur ini pada dasarnya merupakan kontinuitas dalam proses pengambilan tes. 2) Validitas Konkruen Validitas konkruen merupakan indikasi yang layak ditegakkan apabila tes tidak digunakan sebagai suatu prediktor dan merupakan validitas yang sangat penting dan situasi diagnotis. Validitas menggunakan
yang
jenis
digunakan
dan
diujikan
validitas konstruk (construct
dalam validity)
penelitian
ini
yaitu untuk
menunjukkan seberapa jauh tes mengukur sifat atau konstruk tertentu karena item disusun berdasarkan teori yang relevan, serta dalam penelitian ini angket bertujuan mengungkapkan konstruk teoritik yang hendak diukur. Alasan lain menggunakan validitas konstruk adalah karena variabel bimbingan orang tua (X1), kedisiplinan (X2), dan perilaku menyimpang (Y) telah didefinisikan secara operasional yang mencakup aspek-aspek yang digunakan sebagai materi yang hendak dibuat.
xcvii
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam uji validitas item adalah sebagai berikut: a. Mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur. b. Melakukan uji coba skala pengukuran tersebut pada sejumlah responden. c. Mempersiapkan tabel tabulasi jawaban. d. Menghitung korelasi antar skor tiap item dengan skor total. Pengujian validitas dalam penelitian ini menggunakan rumus korelasi Product Moment (Suharsimi Arikunto, 1998: 162), yaitu sebagai berikut:
rxy
XY X Y N X X 2 N Y 2 Y 2 N
2
Keterangan: rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan Y N
= jumlah sampel
X
= skor masing-masing item
Y
= skor total Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengujian validitas item adalah
sebagai berikut: a. Membuat tabulasi hasil skor angket b. Mencari skor untuk variabel x c. Mencari skor untuk variabel y d. Mencari skor untuk kuadrat x e. Mencari skor untuk kuadrat y Kriteria uji validitas tersebut adalah, jika ρ < 0,050 maka dapat disimpulkan bahwa butir (item) valid dan sebaliknya jika ρ > 0,050 maka dapat disimpulkan bahwa butir (item) tidak valid. Uji coba atau try out dilaksanakan pada hari Senin tanggal 26 Oktober 2009 dengan jumlah responden sebanyak 25 siswa. Berdasarkan hasil uji coba angket tersebut kemudian dilakukan uji validitas.
xcviii
Adapun hasil dari uji validitas adalah sebagai berikut: a. Variabel Bimbingan Orang Tua (X1) Dari hasil analisis butir (item) pada angket yang diuji cobakan menunjukkan bahwa dari 50 item soal didapat 42 soal yang valid dan 8 butir item yang dinyatakan gugur atau tidak valid. Soal yang dinyatakan valid adalah soal nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 41, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 49 dan item yang dinyatakan gugur adalah soal nomor 20, 27, 28, 30, 36, 39, 40, dan 50. Item soal dikatakan valid apabila ρ < 0,05. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 170. b. Variabel Kedisiplinan (X2) Dari hasil analisis butir (item) pada angket yang diuji cobakan menunjukkan bahwa dari 50 item soal didapat 41 soal yang valid dan 9 butir item yang dinyatakan gugur atau tidak valid. Soal yang dinyatakan valid adalah soal nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 19, 20, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 50 dan item yang dinyatakan gugur adalah soal nomor 18, 21, 22, 27, 30, 40, 41, 47 dan 49. Item soal dikatakan valid apabila ρ < 0,05. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 175 c. Variabel Perilaku Menyimpang (Y) Dari hasil analisis butir (item) pada angket yang diuji cobakan menunjukkan bahwa dari 50 item soal didapat 43 soal yang valid dan 7 butir item yang dinyatakan gugur atau tidak valid. Soal yang dinyatakan valid adalah soal nomor 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 40, 41, 42, 43, 45, 46, 47, 49 dan item yang dinyatakan gugur adalah soal nomor 36, 38, 39, 44, 48 dan 50. Item soal dikatakan valid apabila ρ < 0,05. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 12 halaman 180.
xcix
4. Uji Reliabilitas Selain kuesioner harus valid juga harus reliabel, artinya dapat dipercaya atau diandalkan. Dari hasil pengujian validitas dapat diketahui item yang valid dan yang tidak. Item yang tidak valid dibuang, sedangkan item yang valid kemudian dilakukan uji reliabilitas untuk mengetahui sejauh mana ketepatan atau keajegan hasil yang ditunjukkan oleh alat ukur tersebut. Suharsimi Arikunto (1998: 170) menyatakan “Reliabilitas menunjuk pada pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data.” Untuk menguji reliabilitas dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus alpha (Suharsimi Arikunto, 1998: 193), yaitu:
K r11 = K 1
2 b 1 2 t
Keterangan: r11
= Reliabilitas instrument
K
= Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
2 b
2 t
= Jumlah varians butir = Varians total
Adapun langkah-langkah untuk menghitung reliabilitas adalah: a. Membuat tabel tabulasi item dari item yang valid dari hasil uji validitas. b. Mencari skor dari variabel x dan y c. Mencari varians tiap item d. Mencari varians keseluruhan / total e. Dimasukkan kedalam rumus alpha untuk mengetahui reliabilitas dari angket tersebut. Kriteria uji reliabilitas, yaitu jika ρ<0,050 maka dapat disimpulkan bahwa hasil pengukuran reliabel, sebaliknya jika ρ>0,050 maka hasil pengukuran tidak reliabel. Dari hasil uji coba atau try out yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 26 Oktober 2009 dengan jumlah responden sebanyak 25 siswa, diperoleh hasil dari uji reliabilitas sebagai berikut:
c
a. Variabel Bimbingan Orang Tua (X1) Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa hasil perhitungan diperoleh rtt = 0,965. Karena rtt>rtab
5%
yaitu 0,965>0,301 maka item soal dikatakan
reliabel. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 9 halaman 199. b. Variabel Kedisiplinan (X2) Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa hasil perhitungan diperoleh rtt = 0,951. Karena rtt>rtab
5%
yaitu 0,95>0,301 maka item soal dikatakan
reliabel. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 204. c. Variabel Perilaku Menyimpang (Y) Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa hasil perhitungan diperoleh rtt = 0,937. Karena rtt>rtab5% yaitu 0,937>0,301 maka item soal dikatakan reliabel. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 209.
F. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis yang sudah dirumuskan diawal. Dalam penelitian ini penulis menganalisis data dengan menggunakan statistik korelasional dengan teknik regresi linier ganda.Tugas pokok dari analisis regresi menurut Sukardi (2002: 58) adalah sebagai berikut: 1. Mencari korelasi antara kriterium dengan predikator 2. Menguji signifikansi korelasi tersebut 3. Mencari persamaan garis regresi, dan 4. Menentukan sumbangan prediktor terhadap kriterium. Menurut Anton Sukarno (1985: 23) syarat-syarat penggunaan teknik analisis regresi, antara lain: 1. Syarat yang berhubungan dengan sampling dan sampel 2. Syarat yang berhubungan dengan bentuk regresi 3. Siginfikansi regresi 4. Persyaratan independensi
ci
Pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis regresi ganda menggunakan bantuan computer seri SPS 2000, edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih, Modul Analisis Data, penelitian berpedoman pada kaidah-kaidah sebagai berikut: Kaidah Uji hipotesis via computer sebagai berikut: Jika (probabilitas)<0,01 = sangat signifikan Jika (probabilitas)<0,05 = signifikan Jika (probabilitas)<0,15 = cukup signifikan Jika (probabilitas)<0,30 = kurang signifikan Jika (probabilitas)>0,30 = tidak signifikan Kaidah uji normalitas menggunakan >0,05 = normal Kaidah Uji Hipotesis Konvensional Jika (probabilitas)<0,01 = sangat signifikan Jika (probabilitas)<0,05 = signifikan Jika (probabilitas)>0,05 = tidak signifikan Dalam uji butir tes memakai signifikan <0,05 Adapun langkah-langkah analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penyajian data 2. Penyajian data statistik. 3. Mencari persamaan garis regresi linearitas dengan rumus: Yˆ ao a1 X 1 a2 X 2 koefisien-koefisien aoa1 dan a2 dapat dihitung
dengan rumus: ao= Y -a1 X
1-a2+
X
2
X X Y X X X Y a1 = X X X X Y X X X Y a2 = X X 2 2
2
1
2 1
2 2
1
2 2
2
2 1
2
1
1
2 2
2 2
2
1
2
1
2
cii
4. Pengujian Persyaratan a. Uji Normalitas Setelah tabulasi data, maka langkah selanjutnya adalah uji normalitas. Uji normalitas ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebaran suatu variabel acak berdistribusi normal atau tidak. Rumus uji normalitas dengan Chi Kwadrat (Sutrisno Hadi, 2001: 317) adalah sebagai berikut: X2 =
f o f h 2 fh
Keterangan: X2 = Chi kuadrat fo = Frekuensi yang diperoleh dari sampel fh = Frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan dan frekuensi yang diharapkan dari populasi b. Uji Linieritas Uji linearitas X1 terhadap Y (Sudjana, 1996: 332) yaitu mendapatkan harga-harga: 2 y 2 1) JK (G) = X 1 y N
2) JK (TC)
= JK (S)-JK (G)
3) dk (G)
= N-K
4) dK (TC)
= k-2
5) RJK (TC)
=
JK (TC ) df (TC )
6) RJK (G)
=
JK (G ) dK (G )
7) Fhit
=
RJK (TC ) RJK (G )
Untuk uji linearitas variabel X2 terhadap Y, dapat menggunakan rumus yang sama hanya saja variabel X1 diganti dengan X2.
ciii
5. Pengujian hipotesis Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier ganda. Adapun langkah-langkah yang diperlukan untuk menguji hipotesis adalah sebagai berikut: a. Menentukan korelasi antar kriterium dengan prediktor 1) Untuk menentukan uji independensi X1 dan X2 digunakan rumus rxy =
N .X 1.X 2 X 1 X 2
N .X
2 1
2
2
X 1 N . X 22 X 2
(Sudjana, 1996: 370) 2) Untuk menentukan koefisiensi korelasi sederhana antara X1 terhadap Y rxy =
N . X 1Y X 1 Y
N .X
2 1
X 1 N . Y 2 Y 2
2
(Sudjana, 1996:370) 3) Untuk menentukan koefisien korelasi sederhana antara X2 terhadap Y rxy =
N . X 2Y X 2 Y
N .X
2 2
X 2 N . Y 2 Y 2
2
(Sudjana, 1996:25) Menentukan koefisien korelasi antara X1 dan X2 terhadap Y dengan rumus: Ry(1,2) =
a1 X 1Y a2 X 2Y Y 2
Keterangan: Ry(1,2)
= Koefisien korelasi antara Y dengan X1 dan X2
a1
= Koefisien X1
a2
= Koefisien X2
X1Y
= Jumlah produk antara X1 dengan Y
X2Y
= Jumlah produk antara X2 dengan Y
Y2
= Jumlah kuadrat kriterium Y
civ
b. Uji signifikasi korelasi antara kriterium dengan prediktor-prediktornya R2 / k 1 R 2 / n k 1
F=
Keterangan: F = F hitung selanjutnya dibandingkan dengan F tabel k = Jumlah variabel independen n = Jumlah sampel r R = Koefisien korelasi antara kriterium dengan prediktor-prediktornya. (Sudjana, 1996:385) c. Mencari persamaan garis regresi linier berganda y = ao + a1x1 + a2 x2 Keterangan: y
: Nilai kriterium yang dicari
ao
: Bilangan konstanta
a1 dan a2
: Koefisien prediktor
x1 dan x2
: Prediktor 1 dan 2
Nilai-nilai ao, a1 dan a2 dapat ditentukan dengan rumus : b1 =
( X 22 ) ( X 1 Y ) ( X 2 Y ) ( X 1 X 2 ) ( X 12 ) ( X 22 ) ( X 1 X 2 ) 2
b2 =
( X 12 ) ( X 2 Y ) ( X 1 Y ) ( X 1 X 2 ) ( X 12 ) ( X 22 ) ( X 1 X 2 ) 2
Persamaan regresi linier ganda digunakan untuk meramalkan naiknya kriterium (Y) dalam satu kenaikan unit prediktor (X) d. Sumbangan relatif masing-masing variabel prediktor dan kriterium 1) Sumbangan Relatif (SR) Sumbangan
relatif
diperlukan
untuk
mengetahui
besarnya
sumbangan masing-masing prediktor (X) terhadap kriterium (Y). Dalam hal ini untuk mencari sumbangan relatif X1 dan X2 terhadap Y dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Untuk X1 : SR % X1 =
a1 x1 y x 100 % JK (reg )
cv
Untuk X2 : SR % X2 =
a2 x2 y x 100 % JK (reg ) (Sutrisno Hadi, 2001: 42)
Keterangan : SR % X1
: Sumbangan efektif prediktor X1 terhadap Y
SR % X2
: Sumbangan efektif prediktor X2 terhadap Y
JKreg
: Jumlah kuadrat regresi
2) Sumbangan Efektif (SE) Sumbangan efektif diperlukan untuk
mengetahui besarnya
sumbangan murni yang diberikan masing-masing prediktor. Dalam hal ini untuk mencari sumbangan efektif masing-masing prediktor (X1 dan X2) terhadap kriterium (Y) dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 1. Mencari
sumbangan
efektif
X1
terhadap
Y
dengan
terhadap
Y
dengan
terhadap
Y
dengan
menggunakan rumus sebagai berikut: SE % X1 = SR % X1 x R2 2. Mencari
sumbangan
efektif
X2
menggunakan rumus sebagai berikut: SE % X2 = SR % X1 x R2 3. Mencari
sumbangan
efektif
X2
menggunakan rumus sebagai berikut: SE % X1 X2 = SE % X1 + SE X2 Keterangan : SE % X1
: Sumbangan
efektif X1 terhadap Y
SE % X2
: Sumbangan
efektif X2 terhadap Y
SE % X1 X2
: Sumbangan efektif X1 dan X2 terhadap Y (Sutrisno Hadi, 2001: 42)
BAB IV HASIL PENELITIAN
cvi
A. Deskripsi Wilayah Penelitian 1. Sejarah SMA Negeri Colomadu Deskripsi wilayah penelitian digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek atau subjek pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Dalam hal ini adalah menggambarkan atau melukiskan keadaan wilayah keadaan penelitian yaitu SMA Negeri Colomadu yang beralamat di Desa Baturan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Sejak tahun pelajaran 1991/1992 SMA Negeri Colomadu menempati gedung SMA PGRI Colomadu di Desa Gawanan. Semester pertama tahun pelajaran 1991/992 SMA Negeri Colomadu berada dibawah pimpinan Kepala Sekolah SMA Negeri Kebakkramat, yaitu Bapak Winarno, BA. Baru kemudian pada tanggal 23 Mei 1992 SMA Negeri Colomadu berdiri dengan Nomor Pendirian Sekolah 0216/01/1992, Nomor Statistik 301031312030 dan Nomor Induk Sekolah 30011. Sejak berdirinya hingga sekarang SMA Negeri Colomadu telah berulang kali mengalami pergantian kepala sekolah, yaitu sebagai berikut: 1. Winarno, BA,
: Tahun 1991 - 1992
2. Drs. Saraswoto
: Tahun 1992 - 1999
3. Drs. Wagiman, M.Pd,
: Tahun 1999 - 2006
4. Drs. Maryanto, MM,
: Tahun 2006 - sampai sekarang
2. Letak SMA Negeri Colomadu SMA Negeri Colomadu didirikan diatas tanah seluas 8000 m2 dan terletak di Desa Baturan Kecamatan Colomadu Kabupaten Kranganyar. Lokasi sekolah dibatasi oleh: Sebelah Utara
: Persawahan Penduduk
Sebelah Selatan
: Lapangan Baturan
Sebelah Barat
: Persawahan Penduduk, Balai Desa Baturan dan TK
Sebelah Timur
: Jalan Desa
3. Visi dan Misi serta Tujuan SMA Negeri Colomadu
cvii
a. Visi Sekolah: Unggul dalam Ilmu dan Perbuatan Dengan indikator sebagai berikut: 1) Unggul dalam pemberdayaan potensi siswa. 2) Unggul dalam budi pekerti yang luhur. 3) Unggul dalam membentuk etos kerja yang professional. b. Misi Sekolah: Unggul dalam Ilmu dan Perbuatan Dengan rumusan sebagai berikut: 1) Memperluas
pengetahuan,
meningkatkan
ketrampilan
siswa
dan
menghasilkan lulusan yang siap melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. 2) Menghantarkan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi era millennium III. 3) Menyediakan wahana bagi pembinaan dan peningkatan ketrampilan serta pembinaan kegiatan ekstrakurikuler. c. Tujuan Sekolah 1) Perolehan nilai ujian nasional meningkat. 2) Siswa yang diterima di perguruan tinggi meningkat. 3) Unggul dalam disiplin dan aktivitas keagamaan dan sosial.
4. Struktur Organisasi SMA Negeri Colomadu SMA Negeri Colomadu merupakan salah satu lembaga yang bergerak di bidang pendidikan yang mempunyai tanggung jawab penuh dalam peningkatan pendidikan dan pembentukan generasi-generasi penerus yang tangguh dan berbudi pekerti luhur. Dalam rangka hal yang berkaitan dengan pendidikan, SMA Negeri Colomadu menyusun unit-unit atau struktur organisasi yang dipimpin oleh Kepala Sekolah. Untuk lebih jelasnya, gambar struktur organisasi yang dapat dilihat pada lampiran 26 halaman 238. Kepala Sekolah sebagai pemimpin organisasi sekolah bertanggung jawab penuh terhadap seluruh pengelolaan sekolah dan pelaksanaan Unit Pelaksana Teknis (UTP) yang bertugas melaksanakan kegiatan kebijaksanaan atasan. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Sekolah dibantu oleh empat orang wakil, yaitu: a. Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum dijabat oleh Drs. Izhar Syatin.
cviii
b. Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan dijabat oleh Rajiman, Amd, c. Wakil Kepala Sekolah Urusan Humas dijabat oleh Drs. Sugiman. d. Wakil Kepala Sekolah Urusan Sarana dan Prasarana dijabat oleh Drs. Djalal Makhali. Jumlah guru di SMA Negeri Colomadu pada Tahun Pelajara 2009/2010 adalah sebanyak 55 orang, terdiri dari 41 guru tetap (PNS) dan 14 orang guru tidak tetap. Siswa SMA Negeri Colomadu pada Tahun Pelajaran 2009/2010 berjumlah 831 siswa, terdiri dari 314 siswa putra dan 517 siswa putri. Untuk lebih lengkapnya, rekapitulasi jumlah siswa SMA Negeri Colomadu pada tahun pelajaran 2009/2010 dapat dilihat pada lampiran 26 halaman 239.
5. Perpustakaan Jenis bahan pustaka yang ada di perpustakaan SMA Negeri Colomadu, antara lain buku paket, buku pegangan guru, fiksi, bank soal, majalah, dan surat kabar. Buku-buku tersebut tertata dalam lima buah rak buku yang terletak di dalam ruang perpustakaan seluas 150 m2. Buku-buku di perpustakaan SMA Negeri Colomadu berasal dari berbagai sumber, antara lain: pembelian, hadiah, proyek dan dari APBN. a. Buku Pembelian : 565 b. Buku Proyek
: 20020
c. Buku Hadiah
: 344
d. Buku APBN
: 390
e. Buku Majalah
: 308
f. Buku Hilang
: 2653
Mengenai daftar buku perpustakaan, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 26 halaman 240. Waktu kunjungan perpustakaan adalah pada saat jam istirahat atau jam pelajaran kosong. Setiap pengunjung diwajibkan mengisi buku kunjungan terlebih dahulu sebelum membaca atau meminjam dan wajib mentaati semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Adapun susunan struktur perpustakaan SMA Negeri Colomadu dapat dilihat pada lampiran 26 halaman 241.
cix
6. Bimbingan dan Konseling Visi Bimbingan
dan Konseling SMA Negeri Colomadu adalah
memandang kehidupan manusia sebagai sesuatu yang membahagiakan. Dalam pelayanan bimbingan dan konseling diupayakan agar perkembangan individu /siswa menjadi optimal serta hal-hal yang menghambat perkembangan dan mengganggu dalam mencapai kebahagiaan dapat ditangani sebaik-baiknya. Misi Bimbingan dan Konseling SMA Negeri Colomadu adalah menunjang pengembangan diri siswa secara optimal dan memandirikan siswa untuk dapat menyelenggarakan kehidupan sehari-hari secara efektif. Paradigma Bimbingan dan Konseling SMA Negeri Colomadu adalah sebagai berikut: a. Bimbingan dan Konseling merupakan pelayanan Psiko-paedogogis dalam bingkai budaya. Dengan paradigma ini kegiatan Bimbingan dan Konseling harus selalu mengacu pada upaya pendidikan dengan pendekatan psikologis yang memadai dan dengan materi sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. b. Arah kegiatan Bimbingan dan Konseling pada dasarnya mengembangkan kompetensi siswa untuk mampu memenuhi tugas-tugas perkembangnnya secara optimal dan terhindar dari berbagai permasalahan yang mengganggu dan menghambatnya.
7. Ekstrakurikuler Adapun jenis kegiatan ekstrakurikuler yang ada di SMA Negeri Colomadu antar lain: a. Komputer b. Baca Tulis Al-Qur’an c. Seni Musik d. Seni Tari e. Olah Raga dan Renang
8. Informasi Lain
cx
Di SMA Negeri Colomadu terdapat
beberapa jenis beasiswa,
diantaranya: a. BKM (Bantuan Khusus Murid) merupakan bantuan dari pusat. b. Beasiswa Bakat dan Prestasi dari Dinas P dan K Privinsi. c. Sampurna Fundation dari Jakarta. d. Beasiswa dari BRI Cabang Karanganyar. e. Beasiswa AUSKM (Anak Usia Sekolah Keluarga Miskin) dari Pemda. f. Beasiswa Gubernur dan beasiswa dari BAZIZ Kabupaten Karanganyar. Siswa SMA Negeri Colomadu juga sering kali meraih juara dalam berbagai macam perlombaan atau olimpiade. Untuk lebih jelasnya daftar prestasi tersebut dapat dilihat pada lampiran 26 halaman 241.
B. Deskripsi Data Dalam penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang Siswa Kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010” ini, data yang diperoleh meliputi data tentang: 1. Bimbingan Orang Tua yang berasal dari data skor angket responden 2. Kedisiplinan yang berasal dari data skor angket responden 3. Perilaku Menyimpang yang berasal dari data skor angket responden Ketiga data tersebut akan dijelaskan dalam uraian di bawah ini:
1. Deskripsi Data tentang Bimbingan Orang Tua Bimbingan Orang Tua dalam penelitian ini adalah variabel bebas (X1). Skor data yang telah diperoleh dapat dilihat pada lampiran 21 halaman 214. Sedangkan rangkuman data statistik dapat disajikan dalam uraian sebagai berikut: mean diperoleh angka sebesar 131,17; median diperolah angka sebesar 132,89; modus diperoleh angka sebesar 140,00; SB diperoleh angka sebesar 10,64; SR diperoleh angka sebesar 8,16; nilai tertinggi diperoleh angka sebesar 109 dan nilai terendah diperoleh angka sebesar 150.
cxi
Adapun distribusi frekuensi data Bimbingan Orang Tua dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi Frekuensi Data Bimbingan Orang Tua (X1) Variant
f
fx
fx2
f%
fk%-naik
144,5 – 153, 5
3
443,00
65.429,00
4,62
100,00
135,5 – 144,5
24
3.363,00
471.371,00
36,92
95,38
126,5 – 135,5
19
2.493,00
327.261,00
29,23
58,46
117,5 – 126,5
9
1.097,00
133.799,00
13,85
29,23
108,5 – 117,5
10
1.130,00
127.734,00
15,38
15,38
Total
65
8.526,00
1.125.594,00
100,00
-
Berdasarkan hasil perhitungan yang terdapat pada lampiran diperoleh data sebagai berikut: Tabel 3. Deskriptif Data Bimbingan Orang Tua (X1) Variabel
Max
Bimbingan Orang Tua 150
Min
Mean
Median Modus SB
109
131,17 132,89
SR
140,00 10,64 8,16
Berdasarkan tabel sebaran frekuensi variabel Bimbingan Orang Tua maka dapat diketahui bahwa responden paling banyak menempati kelas ke-2 pada interval 135,5-144,5 dengan prosentase 36,92%; kemudian diikuti oleh kelas ke-3 pada interval 126,5-135,5 dengan prosentase 29,23%, kemudian diikuti oleh kelas ke-5 pada interval 108,5-117,5 dengan prosentase 15,38%, kemudian diikuti lagi oleh kelas ke-4 pada interval 117,5-126,5 dengan prosentase 13,85%. Sedangkan responden paling sedikit berada pada kelas ke-1 pada interval 144,5-153,5,5 dengan prosentase 4,62%. Penyebaran data dapat diperikasa dalam histogram berikut ini:
cxii
Deskripsi Data Bimbingan Orang Tua 30
Frekuensi
25 20 15 24
10
19
5
10
9 3
0 108,5-117,5
117,5-126,5
126,5-135,5
135,5-144,5
144,5-153,5
Interval
Gambar 2. Grafik Histogram Bimbingan Orang Tua (X1)
2. Deskripsi Data tentang Kedisiplinan Kedisiplinan dalam penelitian ini adalah variabel bebas (X2). Skor data yang telah diperoleh dapat dilihat pada lampiran 21 halaman 243. Sedangkan rangkuman data statistik dapat disajikan dalam uraian sebagai berikut: mean diperoleh angka sebesar 123,72; median diperolah angka sebesar 126,26; modus diperoleh angka sebesar 134,50; SB diperoleh angka sebesar 15,82; SR diperoleh angka sebesar 12,48; nilai tertinggi diperoleh angka sebesar 151 dan nilai terendah diperoleh angka sebesar 86. Adapun distribusi frekuensi data Kedisiplinan dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kedisiplinan (X2) Variant
f
fx
fx2
f%
fk%-naik
141,5 – 155,5
7
1.024,00
149.872,00
10,77
100,00
127,5 – 141,5
24
3.217,00
431.649,00
36,92
89,23
113,5 – 127,5
17
2.063,00
250.599,00
26,15
52,31
99,5 – 113,5
10
1.084,00
117.600,00
15,38
26,15
85,5 – 99,5
7
654,00
61.278,00
10,77
10,77
Total
65
8.042,00
1.010.998,00
100,00
-
cxiii
Berdasarkan hasil perhitungan yang terdapat pada lampiran diperoleh data sebagai berikut: Tabel 5. Deskriptif Data Kedisiplinan (X2) Variabel
Max
Min
Mean
Median Modus SB
Konsep Diri
151
86
123,72 126,26
SR
134,50 15,82 12,48
Berdasarkan tabel sebaran frekuensi variabel Kedisiplinan maka dapat diketahui bahwa responden paling banyak menempati kelas ke-2 pada interval 127,5-141,5 dengan prosentase 36,92%; kemudian diikuti oleh kelas ke-3 pada interval 113,5-127,5 dengan prosentase 26,15%; kemudian diikuti oleh kelas ke-4 pada interval 99,5-113,5 dengan prosentase 15,38%. Sedangkan responden paling sedikit adalah pada kelas ke-4 dan kelas ke-5 yang berad pada interval 141,5155,5 dan pada interval 85,5-99,5 dengan prosentase masing-masing kelas 10,77%. Penyebaran data dapat diperikasa dalam histogram berikut ini: Deskripsi Data Kedisiplinan 30
Frekuensi
25 20 15 24
10 5
17 7
10
7
0 85,5-99,5
99,5-113,5
113,5-127,5
127,5-141,5
141,5-155,5
Interval
Gambar 3. Grafik Histogram Kedisiplinan (X2)
3. Deskripsi Data tentang Perilaku Menyimpang Perilaku Menyimpang dalam penelitian ini adalah variabel terikat (Y). Skor data yang telah diperoleh dapat dilihat pada lampiran 21 halaman 244. Sedangkan rangkuman data statistik dapat disajikan dalam uraian sebagai berikut: mean diperoleh angka sebesar 128,12; median diperolah angka sebesar 129,50; modus diperoleh angka sebesar 140,50; SB diperoleh angka sebesar 12,89; SR
cxiv
diperoleh angka sebesar 10,14; nilai tertinggi diperoleh angka sebesar 154 dan nilai terendah diperoleh angka sebesar 99. Adapun distribusi frekuensi data Perilaku Menyimpang dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 6. Distribusi Frekuensi Perilaku Menyimpang (Y) Variant
f
fx
fx2
f%
fk%-naik
146,5 - 158,5
5
744,00
110.742,00
7,69
100,00
134,5 - 146,5
20
2.774,00
384.950,00
30,77
92,31
122,5 - 134,5
18
2.321,00
299.519,00
27,69
61,54
110,5 - 122,5
13
1.528,00
179.742,00
20,00
33,85
98,5 - 110,5
9
961,00
102.693,00
13,85
13,85
Total
65
8.328,00
1.077.646,00
100,00
-
Berdasarkan hasil perhitungan yang terdapat pada lampiran diperoleh data sebagai berikut: Tabel 7. Deskriptif Data Perilaku Menyimpang (Y) Variabel
Max
Min
Mean
Median Modus SB
Sikap Sosial
154
99
128,12 129,50
SR
140,50 12,89 10,14
Berdasarkan tabel sebaran frekuensi variabel Perilaku Menyimpang maka dapat diketahui bahwa responden paling banyak menempati kelas ke-3 pada interval 134,5-146,5 dengan prosentase 30,77%; kemudian diikuti oleh kelas ke-2 pada interval 122,5-134,5 dengan prosentase 27,69%; kemudian diikuti oleh kelas ke-4 pada interval 110,5-122,5 dengan prosentase 20,00%; kemudian diikuti lagi oleh kelas ke-5 pada interval 98,5-110,5 dengan prosentase 13,85%. Sedangkan responden paling sedikit berada pada kelas ke-1 pada interval 146,5-158,5 dengan prosentase 7,69%. Penyebaran data dapat diperikasa dalam histogram berikut ini:
cxv
Deskripsi Data Perilaku Menyimpang 25
Frekuensi
20 15 10
20
18 13
5
9 5
0 98,5-110,5
110,5-122,5
122,5-134,5
134,5-146,5
146,5-158,5
Interval
Gambar 4. Grafik Histogram Perilaku Menyimpang (Y)
C. Pengujian Prasyarat Analisis Data Data yang telah tersusun secara sistematis seperti pada lampiran, selanjutnya dianalisis untuk membuktikan hipotesis yang dirumuskan. Syarat analisis data yang digunakan analisis regresi linier adalah sebaran populasi data harus berdistribusi normal dan kedua variabel bebas harus linier dengan variabel terikat. Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai hasil uji normalitas dan hasil uji linieritas. Hasil uji prasyarat analisis data yang telah dilakukan dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:
1. Uji Normalitas Hasil uji normalitas digunakan untuk menunjukkan apakah data yang dianalisis mempunyai sebaran (distribusi) normal atau tidak. Adapun pengujian ini meliputi: a. Kriteria Pengujian Persyaratan Normalitas Sebelum menguji normalitas dari masing-masing variabel, perlu membuat kriteria persyaratan normalitas sebagai berikut: Ha: Distribusi data hasil penelitian tidak berbeda dengan distribusi teoritik, artinya data berdistribusi normal.
cxvi
Ho: Distribusi data hasil penelitian berbeda dengan distribusi teoritik, artinya data berdistribusi tidak normal. Untuk menetapkan normal atau tidaknya distribusi data digunakan kriteria sebagai berikut: Jika ρ > 0,05 maka data yang diperoleh berdistribusi normal Jika ρ < 0,05 maka data yang diperoleh berdistribusi tidak normal
b. Uji Normalitas Variabel X1 (Bimbingan Orang Tua) Pada uji normalitas X1 (Bimbingan Orang Tua), langkah pertama yang dilakukan adalah membuat tabel rangkuman variabel X1 (lampiran 22 halaman 219). Adapun tabel rangkuman variabel X1 (Bimbingan Orang Tua) dapat disajikan sebagai berikut: Tabel 8. Rangkuman Variabel Bimbingan Orang Tua Kelas
fo
fh
Fo-fh
(fo-fh)2
(fo - fh) 2 fh
9
0
0,64
-0,64
0,41
0,64
8
1
2,44
-1,44
2,09
0,85
7
10
7,23
2,77
7,68
1,06
6
19
13,78
5,22
27,25
1,98
5
12
16,81
-4,81
23,13
1,38
4
9
13,78
-4,78
22,85
1,66
3
9
7,23
1,77
3,14
0,43
2
5
2,44
2,56
6,53
2,67
1
0
0,64
-0,64
0,41
0,64
Total
65
65,00
0,00
-
11,32
Mean: 131,169 Kai Kuadrat: 11,322
SB: 10,640 db: 8
cxvii
ρ = 0,184
Kemudian dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: χ2 = 11,322 ρ = 0,184 Hasil tersebut menunjukkan bahwa ρ > 0,05 yaitu 0,184 > 0,05 maka Ha diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berdasarkan populasi data yang berdistribusi normal.
c. Uji Normalitas Variabel X2 (Kedisiplinan) Pada uji normalitas X2 (Kedisiplinan), langkah pertama yang dilakukan adalah membuat tabel rangkuman variabel X2 (lampiran 22 halaman 220). Adapun tabel rangkuman variabel X2 (Kedisiplinan) dapat disajikan sebagai berikut: Tabel 9. Rangkuman Variabel Kedisiplinan Kelas
fo
fh
Fo-fh
(fo-fh)2
(fo - fh) 2 fh
10
0
0,53
-0,53
0,28
0,53
9
0
1,80
-1,80
3,24
1,80
8
5
5,15
-0,15
0,02
0,00
7
14
10,35
3,65
13,34
1,29
6
19
14,67
4,33
18,74
1,28
5
9
14,67
-5,67
32,15
2,19
4
10
10,35
-0,35
0,12
0,01
3
4
5,15
-1,15
1,32
0,26
2
4
1,80
2,20
4,84
2,69
1
0
0,53
-0,53
0,28
0,53
Total
65
65,00
0,00
-
10,58
Mean: 123,723 Kai Kuadrat: 10,584
SB: 15,820 db: 9
cxviii
ρ = 0,305
Kemudian dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: χ2 = 10,584 ρ = 0,305 Hasil tersebut menunjukkan bahwa ρ > 0,05 yaitu 0,305 > 0,05 maka Ha diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berdasarkan populasi data yang berdistribusi normal.
d. Uji Normalitas Variabel Y (Perilaku Menyimpang) Pada uji normalitas Y (Perilaku Menyimpang), langkah pertama yang dilakukan adalah membuat tabel rangkuman variabel Y (lampiran 22 halaman 221). Adapun tabel rangkuman variabel Y (Perilaku Menyimpang) dapat disajikan sebagai berikut: Tabel 10. Rangkuman Variabel Perilaku Menyimpang Kelas
fo
fh
Fo-fh
(fo-fh)2
(fo - fh) 2 fh
10
0
0,53
-0,53
0,28
0,53
9
1
1,80
-0,80
0,64
0,36
8
6
5,15
0,85
0,73
0,14
7
13
10,35
2,65
7,03
0,68
6
14
14,67
-0,67
0,45
0,03
5
12
14,67
-2,67
7,13
0,49
4
8
10,35
-2,35
5,51
0,53
3
10
5,15
4,85
23,54
4,57
2
1
1,80
-0,80
0,64
0,36
1
0
0,53
-0,53
0,28
0,53
Total
65
65,00
0,00
-
8,22
Mean: 128,123
SB: 12,892
Kai Kuadrat: 8,221
db: 9
cxix
ρ = 0,512
Kemudian dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: χ2 = 8,221 ρ = 0,512 Hasil tersebut menunjukkan bahwa ρ > 0,05 yaitu 0,512 > 0,05 maka Ha diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berdasarkan populasi data yang berdistribusi normal. Sebagai bukti bahwa variabel Perilaku Menyimpang berdistribusi normal dapat dilihat pada lampiran 25 halaman 230 dalam bentuk grafik histogram Perilaku Menyimpang. Bentuk garis dalam grafik tersebut menyerupai gunung, sehingga menunjukkan bahwa variabel tersebut berdistribusi normal.
2. Uji Linieritas dan Keberartian Dengan adanya hasil uji linieritas maka diketahui apakah ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Adapun dalan hal ini pengujian meliputi: a. Kriteria Pengujian Persyaratan Linieritas Sebelum menguji linieritas dari masing-masing variabel, perlu membuat kriteria persyaratan linieritas sebagai berikut: Ha: Data hasil penelitian tidak berbeda dengan data hasil teoritik, artinya linier Ho: Data hasil penelitian berbeda dengan data hasil teoritik, artinya tidak linier Untuk menetapkan linier atau tidaknya distribusi data digunakan kriteria sebagai berikut: Jika ρ > 0,05 maka data dalam penelitian memiliki korelasi yang linier Jika ρ < 0,05 maka data dalam penelitian korelasinya tidak linier
cxx
b. Uji Linieritas Variabel Bimbingan Orang Tua (X1) dengan Perilaku Menyimpang (Y) Berdasarkan hasil uji linieritas antara Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang, diperoleh ρ =0,539; Fo =0,567 dan Ft =9,442. Karena ρ > 0,05 maka Ha diterima. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Bimbingan Orang Tua dan Perilaku Menyimpang mempunyai korelasi yang linier. Hasil uji linieritas Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 11. Rangkuman Unji Linieritas X1 dengan Y Sumber
Derajat
R2
db
Var
F
ρ
Regresi
ke 1
0,226
1
0,226
18,444
0,000
0,774
63
0,012
--
--
Residu Regresi
ke 2
0,233
2
0,117
9,442
0,000
Beda
ke 2 – ke 0,007
1
0,007
0,567
0,539
residu
1
62
0,012
--
--
0,767
Korelasinya Linier
Sebagai bukti bahwa korelasi antara Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang adalah linier dapat dilihat pada lampiran 25 halaman 236 dalam bentuk grafik hasil uji linieritas Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang.
c. Uji Linieritas Variabel Kedisiplinan (X2) dengan Perilaku Menyimpang (Y) Berdasarkan hasil uji linieritas antara Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang, diperoleh ρ = 0,158; Fo = 2,005 dan Ft =39,957. Karena ρ > 0,05 dan Fo < Ft, maka Ha diterima. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Kedisiplinan dan Perilaku Menyimpang mempunyai korelasi yang linier. Hasil uji linieritas Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
cxxi
Tabel 12. Rangkuman Unji Linieritas X2 dengan Y Sumber
Derajat
R2
db
Var
F
ρ
Regresi
ke 1
0,549
1
0,549
76,687
0,000
0,451
63
0,007
--
--
Residu Regresi
ke 2
0,563
2
0,282
39,957
0,000
Beda
ke 2 – ke 0,014
1
0,014
2,005
0,158
residu
1
62
0,007
--
--
0,437
Korelasinya Linier
Sebagai bukti bahwa korelasi antara Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang adalah linier dapat dilihat pada lampiran 25 halaman 237 dalam bentuk grafik hasil uji linieritas Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang.
D. Pengujian Hipotesis Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, selanjutnya dapat dilakukan analisis data untuk mengetahui apakah hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya diterima atau ditolak. Adapun analisis regresi ganda menggunakan komputer seri SPS edisi: Prof. Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih UGM Yogyakarta tahun 2004 versi IBM/IN. Langkah yang dilakukan sesuai dengan prosedur, yaitu sebagai berikut:
1. Mencari Korelasi antara Kriterium dengan Prediktor a. Menghitung Koefisien Korelasi sederhana antara X1 dan Y; X2 dan Y 1) Koefisien korelasi sederhana antara X1 dan Y (Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang) Ha : Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang Ho : Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang
cxxii
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat tabel rangkuman analisis korelasi (lampiran 24 halaman 225). Adapun tabel tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 13. Matriks Interkorelasi Analisis Regresi r
X1
X2
Y
X1
1,000
0,393
0,476
ρ
0,000
0,002
0,000
X2
0,393
1,000
0,741
ρ
0,002
0,000
0,000
Y
0,476
0,741
1,000
ρ
0,000
0,000
0,000
ρ dua ekor
Setelah membuat rangkuman analisis korelasi selanjutnya dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus Product Moment, sehingga diperoleh: rxy ρ
= 0,476 = 0,000
Karena rxy = 0,476 maka arah korelasinya adalah positif, dan karena ρ < 0,01, maka berdasarkan pedoman kaidah uji hipotesis menurut Prof. Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih UGM Yogyakarta tahun 2004 versi IBM/IN dapat disimpulkan bahwa hasilnya sangat signifikan, yaitu 0,000 < 0,01, sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Dengan demikian pengujian hipotesis pertama dalam penelitian ini yang berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Tahun Pelajaran 2009/2010” dinyatakan ditolak. Secara teoritik pengujian hipotesis berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku
cxxiii
Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Tahun Pelajaran 2009/2010”. Namun setelah dilakukan penelitian, variabel Bimbingan Orang Tua memiliki arah hubungan yang positif dengan Perilaku Menyimpang. Hal ini disebabkan karena rxy = 0,476 dan ρ < 0,01, yang berarti bahwa variabel Bimbingan Orang Tua dan Perilaku Menyimpang memiliki arah hubungan positif yang sangat signifikan. 2) Koefisien korelasi sederhana antara X2 dan Y (Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang) Ha : Ada hubungan negatif yang signifikan antara Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang Ho : Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang Setelah membuat tabel kerja pada lampiran 24 halaman 225, selanjutnya dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus Product Moment sehingga diperoleh : rxy
= 0,741
ρ
= 0,000
Karena rxy = 0,741 maka arah korelasinya adalah positif, dan karena ρ < 0,01, maka berdasarkan pedoman kaidah uji hipotesis menurut Prof. Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih UGM Yogyakarta tahun 2004 versi IBM/IN dapat disimpulkan bahwa hasilnya sangat signifikan, yaitu 0,000 < 0,01, sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Dengan demikian pengujian hipotesis kedua dalam penelitian ini yang berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Tahun Pelajaran 2009/2010” dinyatakan ditolak. Secara teoritik pengujian hipotesis berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Tahun Pelajaran 2009/2010”. Namun setelah dilakukan penelitian, variabel Kedisiplinan memiliki arah hubungan yang positif dengan Perilaku Menyimpang. Hal ini disebabkan
cxxiv
karena rxy = 0,741 dan ρ < 0,01, yang berarti bahwa variabel Kedisiplinan dan Perilaku Menyimpang memiliki arah hubungan positif yang sangat signifikan.
b. Menghitung Koefisien Korelasi Ganda antara X1,X2 dengan Y Ha : Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang Ho : Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat tabel sebagai berikut: Tabel 14. Koefisien Beta dan Korelasi Parsial X Beta ( ) 0 27,351820 1 0,264704 2 0,533855 Galat baku: 8,394
SB ( )
r-parsial
t
0,098612 0,066322
0,299 0,685
2,684 8,049
0,009 0,000
Korelasi R: 0,768 Korelasi R sesuaian: 0,768
Setelah itu kemudian membuat tabel rangkuman analisis regresi. Adapaun tabel tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 15. Tabel Rangkuman Analisis Regresi Model Penuh Sumber Variasi JK
db
RK
F
R2
ρ
Regresi Penuh
6.268,882
2
3.134,441
44,489
0,589
0,000
Variabel X2
5.839,613
1
5.839,613
82,886
0,549
0,000
Variabel X1
429,270
1
429,270
6,093
0,040
0,016
Residu Penuh
4.389,118
62
70,454
-
-
-
Total
10.637,000 64
-
-
-
-
cxxv
Setelah membuat tabel kerja pada lampiran 24 halaman 226, selanjutnya dilakukan perhitungan sesuai dengan rumus sehingga diperoleh: Ry(x1,2)
= 0,768
ρ
= 0,000
F
= 44,489
Karena Ry(x1,2) = 0,768 maka arah korelasinya adalah positif, dan karena ρ < 0,01 maka berdasarkan pedoman kaidah uji hipotesis menurut Prof. Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih UGM Yogyakarta tahun 2004 versi IBM/IN dapat disimpulkan bahwa hasilnya sangat signifikan, yaitu 0,000 < 0,01, sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Dengan demikian pengujian hipotesis ketiga dalam penelitian ini yang berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Tahun Pelajaran 2009/2010” ditolak. Secara teoritik pengujian hipotesis berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Tahun Pelajaran 2009/2010”. Namun setelah dilakukan penelitian, variabel Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan memiliki arah hubungan yang positif dengan Perilaku Menyimpang. Hal ini disebabkan karena Ry(x1,2) = 0,768 dan ρ < 0,05, yang berarti bahwa variabel Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan memiliki arah hubungan yang positif dengan Perilaku Menyimpang.
2. Mencari Persamaan Garis Regresi a. Persamaan Regresi Linier Sederhana 1) Persamaan regresi linier sederhana antara Bimbingan Orang Tua (X1) dengan Perilaku Menyimpang (Y) ^
Y = a + b1X1
cxxvi
^
Y = 27,352 + 0, 265 (X1) Artinya: 1) Konsatanta 27,352 dapat diartikan bahwa apabila tidak ada Bimbingan Orang Tua (X1), maka Perilaku Menyimpang (Y) yang dicapai mahasiswa sebesar 27,352. 2) Koefisien regresi 0, 265 X, menyatakan bahwa setiap kenaikan satu unit Bimbingan Orang Tua (X1) maka akan meningkatkan Perilaku Menyimpang (Y) sebesar 0, 265. Gambar persamaan garis regresi dapat dilihat pada lampiran 24 halaman 171. 2) Persamaan regresi linier sederhana antara Kedisiplinan (X2) dengan Perilaku Menyimpang (Y) ^
Y = a + b2X2 ^
Y = 27,352 + 0, 534 (X2) Artinya: 1) Konsatanta 27,352 dapat diartikan bahwa apabila tidak ada Kedisiplinan (X2), maka Perilaku Menyimpang (Y) yang dicapai mahasiswa sebesar 27,352. 2) Koefisien regresi 0, 534 X, menyatakan bahwa setiap kenaikan satu unit Kedisiplinan (X2) maka akan meningkatkan Perilaku Menyimpang (Y) sebesar 0, 534. Gambar persamaan garis regresi dapat dilihat pada lampiran 24 halaman.172.
b. Persamaan Regresi Linier Ganda ^
Y = a + b1X1 +b2X2 ^
Y = 27,352 + 0, 265 (X1) + 0, 534 (X2) Artinya: 1) Koefisien 27,352 menyatakan bahwa apabila tidak ada Bimbingan Orang Tua (X1) dan Kedisiplinan (X2) yang tinggi, maka Perilaku Menyimpang (Y) sebesar 27,352.
cxxvii
2) Koefisien regresi X1=0, 265 menyatakan bahwa setiap penambahan satu unit Bimbingan Orang Tua (X1) akan meningkatkan Perilaku Menyimpang (Y) sebesar 0, 265. 3) Koefisien regresi X2=0, 534 menyatakan bahwa setiap penambahan satu unit Kedisiplinan (X2) akan meningkatkan Perilaku Menyimpang (Y) sebesar 0, 534. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa rata-rata Perilaku Menyimpang (Y) akan meningkat atau menurun sebesar 27,352. Dalam hal ini untuk setiap peningkatan atau penurunan satu unit Bimbingan Orang Tua (X1) akan meningkatkan atau menurunkan Perilaku Menyimpang (Y) sebesar 0, 265. Demikian halnya dengan Kedisiplinan, setiap peningkatan atau penurunan satu unit Kedisiplinan
(X2)
akan
meningkatkan
atau
menurunkan
Perilaku
Menyimpang (Y)sebesar 0, 534.
3. Menentukan Sumbangan Prediktor terhadap Kriterium Penghitungan sumbangan masing-masing variabel dengan bantuan komputer paket SPS edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/In program analisis regresi model penuh dan stepwise tergambar pada tabel perbandingan bobot prediktor model penuh sebagai berikut: Tabel 16. Perbandingan Bobot Prediktor Variabel X 1 2 Total
korelasi r xy 0,476 0,741 ---
Lugas 0,000 0,000 ---
korelasi r par-xy 0,299 0,685 ---
Parsial 0,009 0,000 ---
koefisien SD Relatif % 6,848 93,152 100,000
determinasi SD Efektif % 4,036 54,899 58,935
Berdasarkan hasil perhitungan sumbangan masing-masing variabel, peneliti memperoleh hasil sebagai berikut: a. Sumbangan Efektif (SE) Sumbangan
efektif
diperlukan
untuk
mengetahui
sumbangan murni yang diberikan masing-masing prediktor.
cxxviii
besarnya
1) Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwa sumbangan efektif X1 dengan Y atau SE(X1) yaitu sebesar 4,036%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sumbangan efektif Bimbingan Orang Tua terhadap variasi naik turunnya Perilaku Menyimpang yaitu sebesar 4,036% sedangkan sisanya (100,000%-4,036%)=95,964% disebabkan oleh variabel lain yang berada diluar faktor Bimbingan Orang Tua. Dengan kata lain, perubahan Perilaku Menyimpang ditentukan oleh Bimbingan Orang Tua sebesar 4,036% dan perubahan Perilaku Menyimpang sebesar 95,964% ditentukan oleh variabel lain diluar variabel Bimbingan Orang Tua (X1). 2) Berdasarkan keterangan diatas, dapat diketahui bahwa sumbangan efektif X2 dengan Y atau SE(X2) yaitu sebesar 54,899%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sumbangan efektif Kedisiplinan terhadap variasi naik turunnya Perilaku Menyimpang yaitu sebesar 54,899% sedangkan sisanya (100,000%-54,899%)=45,101% disebabkan oleh variabel lain yang berada diluar faktor Kedisiplinan. Dengan kata lain, perubahan Perilaku Menyimpang ditentukan oleh Kedisiplinan sebesar 54,899% dan perubahan Perilaku Menyimpang sebesar 45,101% ditentukan oleh variabel lain diluar variabel Kedisiplinan (X2). 3) Berdasarkan kedua pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sumbangan efektif Bimbingan Orang Tua (X1) dan Kedisiplinan (X2) secara bersama-sama dengan Perilaku Menyimpang (Y) atau SE(X1+X2) sebesar 58,935%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sumbangan efektif (SE) Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan secara bersama-sama terhadap variasi naik turunnya Perilaku Menyimpang 58,935%, sedangkan sisinya (100,000%-58,935%)=41,065% disebabkan oleh variabel lain yang berada diluar variabel Bimbingan Orang Tua (X1) dan variabel Kedisiplinan (X2) yang kurang tinggi. b. Sumbangan Relatif (SR) Sumbangan
relatif
diperlukan
untuk
mengetahui
sumbangan masing-masing prediktor ( X ) terhadap kriterium ( Y ).
cxxix
besarnya
1) Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwa sumbangan relatif X1 dengan Y atau SR%(X1) sebesar 6,858%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa secara relatif variabel Bimbingan Orang Tua memberikan sumbangan sebesar 6,858% bagi naik turunnya variabel Perilaku Menyimpang. 2) Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwa sumbangan relatif X2 dengan Y atau SR%(X2) sebesar 93,152%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa secara relatif variabel Kedisiplinan memberikan sumbangan sebesar 93,152% bagi naik turunnya variabel Perilaku Menyimpang. 3) Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa sumbangan relatif X1
dan
X2
dengan
Y
atau
SR%(
X1+X2)
sebesar
6,848+93,152%=100,000%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa secara relatif Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan memberikan sumbangan sebesar
100,000%
bagi
naik
turunnya
Perilaku
Menyimpang.
Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 24 halaman 226.
E. Pembahasan dan Analisis Data Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis kemudian dilakukan pembahasan dan analisis data terhadap rumusan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua (X1) dengan Perilaku Menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010 (Y) 2. Ada hubungan negatif yang signifikan antara Kedisiplinan (X2) dengan Perilaku Menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010 (Y) 3. Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua (X1) dan Kedisiplinan (X2) dengan Perilaku Menyimpang siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010 (Y)
cxxx
Adapun penjelasan dari masing-masing pembahasan hasil analisis data diatas adalah sebagai berikut:
1. Hubungan antara Bimbingan Orang Tua (X1) dengan Perilaku Menyimpang (Y) Secara teoritik hipotesis berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dengan Perilaku Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010”. Namun setelah dilakukan penelitian secara empiris diperoleh hasil bahwa variabel Bimbingan Orang Tua memiliki arah hubungan yang positif dengan Perilaku Menyimpang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis ditolak. Hal ini diperjelas dengan hasil perhitungan rx1y = 0,476 dan ρ < 0,01, yaitu 0,000 < 0,01 yang berarti bahwa variabel Bimbingan Orang Tua dan Perilaku Menyimpang memiliki arah hubungan positif yang sangat signifikan. Dikatakan memiliki hubungan yang positif karena kedua variabel tersebut memiliki arah hubungan yang sama. Secara empiris, hipotesis yang telah dikemukakan dinyatakan ditolak. Dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin tinggi atau baik bimbingan yang diberikan oleh orang tua maka perilaku menyimpang yang dilakukan anak juga semakin meningkat, dan sebaliknya. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena adanya faktor lain diluar bimbingan orang tua yang memungkinkan terjadinya penyimpangan yang tinggi dalam bimbingan yang baik. Faktor tersebut diantaranya yaitu konsep diri dan pengalaman pribadi. Orang yang dapat mengerti akan keadaan diri dan kemampuan yang dimilikinya maka ia akan memiliki rasa percaya kepada dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki konsep diri yang positif maka secara otomatis ia akan cenderung untuk memiliki perilaku sosial yang baik. Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri yang negatif secara otomatis akan cenderung untuk berperilaku sosial yang tidak baik atau menyimpang dari norma yang ada. Disamping konsep diri, pengalaman pribadi juga ikut ambil peran dalam pembentukan karakter dan perilaku anak. Setiap orang memiliki pengalaman unik
cxxxi
atau pengalaman pribadi dimana pengalaman setiap orang berbeda-beda. Pengalaman pribadi yang berkesan akan sulit atau mungkin tidak akan pernah terlupakan semasa hidupnya. Pengalaman ini akan dapat dijadikan pedoman oleh individu tersebut untuk bersikap dan bertindak. Disamping itu kemampuan seseorang dalam menilai dan memahami dirinya akan menentukan bagaimana ia akan bertindak. Penilaian atau pandangan inilah yang disebut dengan konsep diri. Dengan penilaian ini seseorang akan dapat menghargai dan percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Selain itu, situasi diri juga akan mempengaruhi bagaimana orang tersebut akan bersikap dan berperilaku. Seseorang yang berada pada situasi yang emosional maka ia akan cenderung sensitif dan mudah tersinggung. Apabila anak berada dalam keadaan seperti ini dan tidak mampu mengendalikan dirinya maka hal ini akan berpotensi untuk menimbulkan konflik, baik konflik internal maupun eksternal. Dengan demikian hal ini akan berpengaruh pada anak dalam berperilaku. 2. Hubungan antara Kedisiplinan (X2) dengan Perilaku Menyimpang (Y) Secara teoritik hipotesis berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Kedisiplinan dengan Perilaku Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010”. Namun setelah dilakukan penelitian secara empiris diperoleh hasil bahwa variabel Kedisiplinan memiliki arah hubungan yang positif dengan Perilaku Menyimpang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis ditolak. Hal ini diperjelas dengan hasil perhitungan rx2y = 0,471 dan ρ < 0,01, yaitu 0,000 < 0,01 yang berarti bahwa variabel Kedisiplinan dan Perilaku Menyimpang memiliki arah hubungan positif yang sangat signifikan. Dikatakan memiliki hubungan yang positif karena kedua variabel tersebut memiliki arah hubungan yang sama. Secara empiris, hipotesis yang telah dikemukakan dinyatakan ditolak. Dengan demikian dapat diartikan bahwa bahwa semakin tinggi atau baik kedisiplinan yang dimiliki anak maka perilaku menyimpang yang dilakukan anak juga semakin meningkat, dan sebaliknya. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena
cxxxii
adanya
faktor
lain diluar
kedisiplinan
yang
memungkinkan terjadinya
penyimpangan yang tinggi dalam penanaman kedisiplinan yang baik. Sebagai contoh, misalnya saja faktor lingkungan tempat anak berada atau bertempat tinggal. Kebudayaan yang berlaku didalam lingkungan seseorang akan sangat berpengaruh terhadap pembentukkan sikap dan perilaku, karena hal ini akan mencetak anak sesuai dengan keadaan atau kebudayaan yang berlaku di lingkungan dimana dia berada dan tinggal. Misalnya seorang anak yang hidup dilingkungan yang menjunjung tinggi adat kesopanan, maka anak tersebut akan cenderung memiliki perilaku yang sopan, begitu juga sebaliknya, seorang anak yang hidup di dalam lingkungan anomie, maka anak tersebut juga akan cenderung melakukan tindakan-tindakan yang bersifat negatif. Selain faktor lingkungan tempat anak berada atau bertempat tinggal, faktor lain yang yang turut berpengaruh dalam pembentukan perilaku anak adalah pengaruh dari teman sebaya atau peergroup. Dalam kesehariannya anak tidak hanya bergaul dan berinteraksi dengan keluarga saja, melainkan juga dengan orang lain, termasuk teman sebaya atau sering disebut dengan peergroup. Anak banyak menghabiskan waktunya bersama peergroup yang mereka percayai dalam banyak hal, sehingga mereka merasa nyaman dan senang. Bersama dengan peergroup, anak tidak hanya sekedar menghabiskan waktu luang saja, melainkan juga bertukar pikiran, berbagi kesenangan dan masalah, bahkan peergroup menjadi panutan atau standar bagi anak, baik dalam bersikap maupun berperilaku. Dengan demikian peergroup dapat membawa atau mempengaruhi perilaku anak. Peergroup yang berada di jalan yang dianggap baik / benar (dalam artian: sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat) akan membawa anak ke arah perilaku yang positif, yaitu perilaku yang baik, sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat.
3. Hubungan antara Bimbingan Orang Tua (X1) dan Kedisiplinan (X2) dengan Perilaku Menyimpang (Y) Secara empiris hipotesis berbunyi “Ada hubungan negatif yang signifikan antara Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan Perilaku
cxxxiii
Menyimpang pada siswa kelas XI SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010”. Namun setelah dilakukan penelitian secara empiris diperoleh hasil bahwa variabel Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan secara bersama-sama memiliki arah hubungan positif yang sangat signifikan dengan Perilaku Menyimpang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis ditolak. Hal ini diperjelas dengan hasil perhitungan koefisien korelasi ganda Ry(x1,2) = 0,768 , ρ = 0,000 dan F = 44,489. ρ < 0,01, yaitu 0,000 < 0,01 yang berarti bahwa variabel Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan memiliki arah hubungan yang positif yang sangat signifikan dengan Perilaku Menyimpang. Dikatakan memiliki hubungan yang positif karena kedua variabel tersebut memiliki arah hubungan yang sama. Secara empiris, hipotesis yang telah dikemukakan dinyatakan ditolak. Dengan demikian dapat diartikan bahwa bahwa semakin tinggi atau baik bimbingan yang diberikan oleh orang tua dan semakin tinggi atau baik kedisiplinan yang ditanamkan pada pribadi anak, maka perilaku menyimpang yang dilakukan anak juga semakin meningkat. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena adanya faktor lain diluar bimbingan orang tua dan kedisiplinan yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan yang tinggi dalam bimbingan dan kedisiplinan yang baik. Faktor yang dimaksud, salah satunya adalah faktor media massa. Informasi-informasi yang disampaikan oleh
media
massa akan
mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang, hal ini dapat dilihat ketika banyak media massa yang mengiklankan produk baru maka akan dapat menarik keinginan masyarakat untuk memiliki dan mencoba produk baru tersebut. Contoh lain juga misalnya gaya hidup tertentu yang diiklankan atau dicitrakan di dalam media massa,
akan
menarik
minat
dan
keinginan
masyarakat
untuk
ikut
menggunakannya, yang dalam hal ini akan tertuang dalam perilaku-perilaku yang mencerminkan gaya hidup sebagai mana yang dicitrakan di dalam media tersebut. Setiap individu memberikan atau menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda-beda dalam menyikapi dan menghadapi berbagai macam media massa, termasuk pula informasi-informasi yang disampaikan. Semakin berkembangnya
cxxxiv
ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti pula dengan semakin canggihnya alat-alat komunikasi yang berkembang. Kini siapa saja dapat memperoleh informasi kapan saja dan dimana saja hanya dengan mengakses internet. Bahkan informasiinformasi yang diperoleh beragam dan cenderung tanpa filter sebagai penyaring untuk mengantisipasi beredarnya informasi yang tidak layak diketahui oleh masyarakat umum. Perbedaan tiap individu dalam menerima dan menghadapi halhal semacam ini akan berpengaruh pada sikap dan perilaku yang dimunculkan oleh masing-masing individu. Jika individu atau anak menyikapi hal ini secara dewasa dan dapat membedakan hal-hal positif dan negatif, maka sikap dan perilaku yang ditunjukkanpun juga merupakan perilaku-perilaku yang positif pula. Namun sebaliknya, apabila anak menyikapi hal tersebut secara harafiah tanpa menyaring dan memilah-milahnya secara rasional, maka sikap dan perilaku yang ditunjukkan adalah perilaku yang negatif atau menyimpang dari norma yang ada.
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan dari deskripsi data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Untuk hubungan positif pada variabel Bimbingan Orang Tua dan positif pada Perilaku Menyimpang (korelasi searah) hipotesis diterima. Untuk hubungan negatif pada variabel Bimbingan Orang Tua dan negatif pada Perilaku Menyimpang (korelasi searah) hipotesis juga diterima.
Untuk hubungan
positif pada variabel Bimbingan Orang Tua dan negatif pada Perilaku Menyimpang (korelasi berlawanan arah) hipotesis ditolak. Untuk hubungan
cxxxv
negatif pada variabel Bimbingan Orang Tua dan positif pada Perilaku Menyimpang (korelasi berlawanan arah) hipotesis juga ditolak. 2. Untuk hubungan positif pada variabel Kedisiplinan dan positif pada Perilaku Menyimpang (korelasi searah) hipotesis diterima. Untuk hubungan negatif pada variabel Kedisiplinan dan negatif pada Perilaku Menyimpang (korelasi searah) hipotesis juga diterima.
Untuk hubungan positif pada variabel
Kedisiplinan dan negatif pada Perilaku Menyimpang (korelasi berlawanan arah) hipotesis ditolak. Untuk hubungan negatif pada variabel Kedisiplinan dan positif pada Perilaku Menyimpang (korelasi berlawanan arah) hipotesis juga ditolak. 3. Untuk hubungan positif pada variabel Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan positif pada Perilaku Menyimpang (korelasi searah) hipotesis diterima. Untuk hubungan negatif pada variabel Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan negatif pada Perilaku Menyimpang (korelasi searah) hipotesis juga diterima. Untuk hubungan positif pada variabel Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan negatif pada Perilaku Menyimpang (korelasi berlawanan arah) hipotesis ditolak. Untuk hubungan negatif pada variabel Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan dengan positif pada Perilaku Menyimpang (korelasi berlawanan arah) hipotesis juga ditolak. B. IMPLIKASI Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa implikasi sebagai berikut: 1. Secara teoritik Bimbingan Orang Tua memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan perilaku menyimpang, namun setelah dilakukan penelitian secara empiris memiliki hubungan positif yang sangat signifikan dengan penyimpangan yang dilakukan seorang anak. Hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena adanya faktor-faktor lain diluar faktor Bimbingan Orang Tua, diantaranya pengalaman pribadi dan konsep diri pada anak. Pengalaman pribadi turut ambil peran dalam pembentukan karakter dan perilaku anak. Setiap orang memiliki pengalaman unik atau pengalaman pribadi yang berbeda dengan pengalaman orang lain. Pengalaman pribadi yang berkesan
cxxxvi
akan sulit atau mungkin tidak akan pernah terlupakan semasa hidupnya. Pengalaman pribadi sering dijadikan pedoman oleh seseorang untuk bersikap dan berperilaku. Apa yang dilihat dan dialami sendiri secara pribadi akan memberikan kecenderungan pada seseorang baik dalam bersikap maupun berperilaku. Dengan demikian pengalaman pribadi yang dimiliki seseorang akan berpengaruh dalam pada perilaku orang tersebut.
Dengan adanya
hubungan positif yang sangat signifikan antara bimbingan orang tua dengan perilaku menyimpang, maka memberikan gambaran akan penerapan pendidikan kepada anak agar lebih memperhatikan faktor lain diluar bimbingan orang tua yang diberikan pada anak, sehingga anak berada dalam kondisi yang positif. 2. Secara teoritik Kedisiplinan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan perilaku menyimpang, namun setelah dilakukan penelitian secara empiris kedisiplinan memiliki hubungan positif yang sangat signifikan dengan perilaku menyimpang. Hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena adanya faktor-faktor lain diluar faktor kedisiplinan, diantaranya faktor teman sebaya (peergroup). Kedisiplinan tidak dibawa sejak lahir, melainkan muncul, dipelajari dan dibentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Dalam kesehariannya anak tidak hanya bergaul dan berinteraksi dengan keluarga saja, melainkan juga dengan orang lain, termasuk teman sebaya atau sering disebut dengan peergroup. Anak banyak menghabiskan waktunya bersama peergroup yang mereka percayai dalam banyak hal, sehingga mereka merasa nyaman dan senang. Bersama dengan peergroup, anak tidak hanya sekedar menghabiskan waktu luang saja, melainkan juga bertukar pikiran, berbagi kesenangan dan masalah, bahkan peergroup menjadi panutan atau standar bagi anak, baik dalam bersikap maupun berperilaku. Dengan demikian peergroup dapat membawa atau mempengaruhi perilaku anak. Peergroup yang berada di jalan yang dianggap baik /benar (dalam artian: sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat) akan membawa anak ke arah perilaku yang positif, yaitu perilaku yang baik, sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat. Dengan adanya hubungan
cxxxvii
positif
yang
sangat
signifikan
antara kedisiplinan dengan perilaku
menyimpang, maka memberikan gambaran akan penerapan pendidikan kepada anak agar lebih memperhatikan faktor lain diluar kedisiplinan yang ditanamkan pada pribadi anak, sehingga anak berada dalam kondisi yang positif. 3. Secara teoritik Bimbingan Orang Tua dan Kedisiplinan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan perilaku menyimpang, namun setelah dilakukan penelitian secara empiris bimbingan orang tua dan kedisiplinan secara bersama-sama memiliki hubungan positif yang sangat signifikan dengan perilaku menyimpang. Hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena adanya faktor-faktor lain diluar faktor bimbingan orang tua dan kedisiplinan, misalnya saja faktor media massa. Informasi-informasi yang disampaikan oleh media massa akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang, hal ini dapat dilihat ketika banyak media massa yang mengiklankan produk baru maka akan dapat menarik keinginan masyarakat untuk memiliki dan mencoba produk baru tersebut. Contoh lain juga misalnya gaya hidup tertentu yang diiklankan atau dicitrakan di dalam media massa, akan menarik minat dan keinginan masyarakat untuk ikut menggunakannya, yang dalam hal ini akan tertuang dalam perilaku-perilaku yang mencerminkan gaya hidup sebagai mana yang dicitrakan di dalam media tersebut. Dengan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara bimbingan orang tua dan kedisiplinan dengan perilaku menyimpang, maka memberikan gambaran akan penerapan pendidikan kepada anak agar lebih memperhatikan faktor lain diluar bimbingan orang tua dan kedisiplinan yang ditanamkan pada pribadi anak, sehingga anak berada dalam kondisi yang positif.
C. SARAN Berdasarkan kesimpulan dan implikasi yang telah penulis uraikan diatas, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Orang Tua
cxxxviii
a. Orang tua hendaknya benar-benar memahami dengan baik tentang arti pentingnya bimbingan yang diberikan kepada anak. Perkembangan kepribadian anak sangat berhubungan dengan bimbingan yang diberikan orang tua pada anak dalam kesehariannya. b. Diharapkan orang tua mampu menciptakan kondisi yang harmonis, menyenangkan dan positif agar dapat membantu dalam pembentukkan perilaku yang positif pada diri anak. c. Orang tua hendaknya memperhatikan faktor lain diluar pemberian bimbingan dan penanaman kedisiplinan dalam pribadi anak. 2. Bagi Siswa a. Anak hendaknya memiliki kesadaran bahwa dalam kehidupan, tidak hanya menuruti keinginan sendiri, namun harus dapat menyesuaikan diri dengan aturan, norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. b. Anak hendaknya dapat mengambil sikap yang positif sehingga dapat tercermin dalam perilaku yang positif pula. c. Anak hendaknya dapat bersikap selektif dalam memilih teman bergaul serta dalam menyerap segala informasi yang diperoleh dari berbagai macam sumber informasi. 3. Bagi Peneliti Lain a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan tema yang hampir sama. b. Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk meneliti faktor-faktor lain diluar bimbingan orang tua dan kedisiplinan dengan perilaku menyimpang sebagai variabel kriterium.
DAFTAR PUSTAKA
cxxxix
Agus
Kuncoro. 2008. Menjadi Pribadi Berdisiplin dalam http://guskun.com/agama/1-agama/41-menjadi-pribadi-berdisiplin. html Akses: 13 Juli 2009, 13.15 WIB
Anton Sukarno. 1985. Pengantar Statistik Pendidikan I (Anava, Anareg dan Anakova), Surakarta: UNS Press Arianto Sam. 2009. Pengertian Bimbingan dan Konseling dalam www.sobatbaru.blogspot.com/2009/01/pengertian-bimbingan-dankonseling.html Akses: 21 April 2009, 14.21 WIB Bimo Walgito. 2004. Bimbingan dan Konseling (Studi dan Karir), Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET Cholid Narbuko & Abu Achmadi. 2003. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Bumi Aksara Cohen, Bruce J. 1983. Sosiologi Suatu Pengantar, Terjemahan Sahat Simamora, Jakarta: PT Bina Aksara Dewa Ktut Sukardi. 1995. Proses Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Jakarta: PT Rineka Cipta Fungki Setiawan. 2007. Hubungan Antara Bimbingan Orang Tua dan Penyesuaian Diri dalam Peergroup dengan Sikap Penyimpangan Perilaku Seksual pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Surakarta, Surakarta: UNS Press Hadari Nawawi. 1995. Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: UGM Press Henselin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (Jilid 1), Terjemahan Kamanto Sunarto, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama Hurlock, Elizabeth B. 1990. Perkembangan Anak, Terjemahan Med. Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga Kamanto Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi, Jakarta: FE UI Press Kartini Kartono. 2005. Patologi Sosial (Jilid 1), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada . 2006. Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Mandell, Dorothy J., Sheri L. Hill, Louise Carter & Richard N. Brandon. 2002. The Impact of Substance Use and Violence/Delinquency on Academic
cxl
Achievement for Groups of Middle and High School Students in Washington dalam
[email protected] Akses 10 Oktober 2009, 14.00 WIB Mardalis. 2002. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara Masngudin HMS. 2004. Kenakalan Remaja dan Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga dalam www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/Masngudin.html Akses: 21 April 2009. 14.21 WIB WIB Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia Nana Syaodih Sukmadinata. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset . 2007. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya Ngalim Purwanto. 1988. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remadja Karya Nn. 2009. Pengertian Orang Tua dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua Akses 22 Juni 2009, 13.40 WIB Nn.
2009. Perilaku Menyimpang dalam http://nilaieka.blogspot.com/2009/02/materi-perilaku-menyimpang-3.html79k Akses: 21 April 2009, 14.21 WIB
Nyi Mas Ratna Komalasari. 2008. Hubungan Konsep Diri dan Sikap terhadap Kenakalan Remaja dengan Perilaku Menyimpang pada Siswa Kelas II di Salah Satu SMA Negeri di Surakarta, Surakarta: UNS Press Purwanto. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan, Yogyakarrta: Pustaka Pelajar Saifuddin Azwar. 1997. Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar . 2005. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Salcha Hatrasy. 1997. Kriminologi dan Patologi Sosial, Surakarta: UNS Press Sanapiah Faisal. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket, Surabaya: Usaha Nasional
cxli
. 2005. Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada Saparinah Sadli. 1976. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: UI Press Sevilla, Consuelo G, Jesus A. Ochave, Twila G. Punsalan, Bella P. Regala & Gabriel G. Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian, Terjemahan Alimuddin Tuwu, Jakarta: UI Press Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa. 1992. Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia Siti Meichati. 1983. Kesehatan Mental: Dasar-dasar Praktis bagi Pengetahuan dan Kehidupan Bersama, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM Soegeng Prijodarminto. 1992. Disiplin Kiat Menuju Sukses, Jakarta: Pradnya Paramita Soerjono Soekanto. 2004. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Jakarta: Rineka Cipta Sudjana. 1992. Metoda Statistika, Bandung: Tarsito . 2001. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi bagi Para Peneliti, Bandung: Tarsito Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Pt Rineka Cipta Sukardi. 2002. Statistika, Surakarta: UNS Press . 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara Sutrisno Hadi. 2001. Analisis Regresi, Yogyakarta: Andi Offset . 2001. Statistik (Jilid I), Yogyakarta: Andi Offset . 2001. Statistik (Jilid II), Yogyakarta: Andi Offset Suwarsono, FX. 2002. Pengaruh Kedisiplinan dan Motivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri Sobokerto 02 Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali, Surakarta: UNS Press
cxlii
Syaiful Bahri Djamarah. 2002. Rahasia Sukses Belajar, Jakarta: Rineka Cipta Syamsu Yusuf LN. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: R Ros Thamrin Nasution dan Nur Halijah. 1989. Latar Belakang Kenakalan Remaja, Bandung: Alumni Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Vembriarto, St. 1984. Pathologi Sosial, Yogyakarta: Yayasan Pendidikan ”PARAMITA” Winarno Surakhmad. 2004. Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito Windu. 2008. Upaya Pencegahan Penyimpangan Sosial dalam Keluarga dan Masyarakat dalam http://windu2008.blogspot.com/2008/07/upayapencegahan-penyimpangan-sosial.html Akses: 21 April 2009, 14.21 WIB
cxliii