PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA (Penerapan Pasal 23 ayat (1), huruf (a), angka (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan)
SKRIPSI
Oleh : HELMA IQBAL NURQODRI E1A006412
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam lingkup kehidupannya secara bersama-sama dalam masyarakat, di mana untuk tataran yang begitu besar terjelma dalam suatu wadah Negara. Dalam organisasi seperti itu dibutuhkan suatu sarana dan prasarana yang mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta Negara itu sendiri, yang dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama dalam berbagai bentuk, satu diantaranya adalah pajak.1 Negara mendapatkan pajak dengan melakukan pemungutan kepada rakyat. Apabila dikaitkan dengan pilar-pilar dari Negara hukum, di mana salah satunya mensyaratkan bahwa setiap tindakan penguasa Negara harus di dasarkan pada hukum, maka hal tersebut memang harus dipenuhi. Pungutan pajak dapat dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengurangi kemampuan ekonomis dan daya beli masyarakat yang tidak dapat dilakukan secara serampangan dan sembarangan. Dalam hal pemungutan pajak, UndangUndang Dasar 1945 menentukan pada Pasal 23 A yang menyebutkan bahwa, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang mengingat pajak itu merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang dapat ditunjukkan secara langsung.2 Peralihan kekayaan dari satu pihak kepada pihak lain itu dapat terjadi dengan mendasarkan
1 2
Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta , 2002,hal.1. Ibid,.hal.53.
2
pada cara-cara yang baik dan seizin pemiliknya maupun dapat pula terjadi tanpa seizin pemiliknya. Pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan pajak Penghasilan terhadap subyek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang
menerima atau
memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang PPh disebut wajib pajak.4 Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Undang-Undang Pajak menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.5
3
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2009, 2009, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal 1. Ibid,.hal. 129. 5 Ibid,. hal 129. 4
3
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah: 1. a. Orang Pribadi; b.Warisanjyangnbelumnterbagiksebagaiksatu;kesatuankmenggantikan yang berhak ; 2. Badan, terdiri perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif. 3. Bentuk Usaha Tetap (BUT). Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.6
Objek Pajak dari Pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas; 2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan; 3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta; 4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti: a. Keuntungan karena pembebasan hutang b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; 6
Ibid,. hal 131.
4
c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; d. Hadiah undian.7 Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak penghasilan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang rumusannya adalah: (1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh: a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan; c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun; d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Objek pajak penghasilan yang disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
7
Ibid,. hal 134.
5
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.8 Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berasal dari modal penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Rumusan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 terdiri dari empat ayat yaitu sebagai berikut: (1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan: a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas: 1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; 2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; 3. royalti; dan 4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; b. dihapus; c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas: 1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan 2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
8
Ibid,. hal 231.
6
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas: a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank; b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi; Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah: 1. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; 3. Royalti; 4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; 5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, keculai sewa tanah dan/atau bangunan; dan 6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.9 Subjek Pajak adalah penerima dari penghasilan di atas, terdiri dari Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sifat dari PPh Pasal 23 adalah pemotongan, dalam arti penerima penghasilan yang dikenai PPh Pasal 23 dipotong terlebih dahulu PPh Pasal 23 oleh pemberi penghasilan. Pemotong PPh Pasal
23 terdiri dari badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), perwakilan perusahaan luar 9
Ibid,. hal 232.
7
negeri lainnya, orang pribadi sebagai Wajib Pajak (WP) dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebgai pemotong PPh Pasal 23, yaitu akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan
bebas
dan
orang
pribadi
yang
menjalankan
usaha
yang
menyelenggarakan pembukuan, atas pembayaran berupa sewa.10 Objek Pajak PPh Pasal
23 berdasarkan atas dasar pengenaan pajak
dibedakan menjadi dua, yaitu objek pajak yang dasar pengenaan pajaknya adalah penghasilan bruto dan objek pajak yang dasar pengenaan pajaknya adalah perkiraan penghasilan netto. Objek pajak PPh Pasal 23 yang dasar pengenaan pajaknya berupa penghasilan bruto terdiri dari deviden, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan, sedangkan yang dasar pengenaan pajaknya berupa penghasilan netto terdiri dari sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan jasa tertentu.11 PPh Pasal 23 yang dasar pengenaan pajaknya adalah pengasilan bruto adalah bunga, timbul karena dua sebab, yaitu dari hasil investasi dana sejumlah tertentu kepada pihak lain dan hasil deposito atau tabungan dari lembaga keuangan. Bunga sebagai akibat dari deposito atau tabungan dari lembaga keuangan akan dikenakan pajak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Bunga yang berasal dari deposito, tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia akan dikenakan pajak 10
Supramono dan Theresia Woro Damayanti. Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005, hal. 60. 11 Ibid,. hal 60.
8
penghasilan sebesar 20% sepanjang deposito, tabungan atau diskonto Sertifikat Bank Indonesia lebih dari Rp. 7.500.000,00.12 Penghasilan yang merupakan hasil investasi, termasuk di dalamnya diskonto atau premium obligasi. Diskonto atau premium obligasi timbul akibat adanya selisih antara nilai pasar obligasi dengan nilai nominal obligasi. Dalam hal ini maka penerbit obligasi berlaku sebagai pemotong pajak PPh Pasal
23,
dilakukan saat penjualan obligasi (jika timbul keuntungan akibat selisih nilai pasar dan nilai nominal) serta saat pembayaran bunga. Tarif PPh Pasal 23 adalah sebesar 15%.13 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian secara ilmiah yang selanjutnya dituangkan dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA DI PURBALINGGA. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana penerapan pengenaan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia di Kabupaten Purbalingga?
2. Bagaimana
pengawasan
terhadap
penerapan
pengenaan
Pajak
Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia apabila terjadi perbedaan data pemotongan 12 13
Ibid,. hal 62. Ibid,. hal 62.
9
Pajak Penghasilan tersebut dibandingkan dengan jumlah setoran Pajak Penghasilan tersebut pada masing-masing bank di wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui penerapan pengenaan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia di Kabupaten Purbalingga. 2. Untuk mengetahui pengawasan terhadap penerapan pengenaan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia apabila terjadi perbedaan data pemotongan Pajak Penghasilan tersebut dibandingkan dengan jumlah setoran Pajak Penghasilan tersebut pada masing-masing bank di wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan baik secara teoritis maupun praktis : 1. Kegunaan teoritis Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya yang berkaitan dengan hukum pajak.
10
2. Kegunaan praktis a. Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum pajak mengenai bagaimana mengetahui dan memberikan informasi kepada kalangan akademisi maupun masyarakat luas tentang proses penerapan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta
Diskonto
Sertifikat
Bank
Indonesia
di
Kabupaten
Purbalingga. b.
Secara praktis penelitian ini diharapkan berguna untuk menjadi acuan bagi penelitian yang serupa.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar-Dasar Perpajakan 1. Pengertian dan ciri-ciri pajak Manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia merupakan makhluk sosial yaitu selalu saling membutuhkan dan berhubungan satu sama lain. Hal ini dapat dilihat pada keluarga sebagai suatu kelompok yang paling kecilpun tetap membutuhkan orang lain di dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam lingkup kehidupannya, manusia hidup bersama-sama dalam masyarakat dan dalam tataran yang begitu besar terjelma dalam suatu wadah negara. Untuk kelangsungan suatu Negara maka membutuhkan sarana dan prasarana bagi kelangsungan hidup bermasyarakat serta Negara itu sendiri, yang dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah pajak. Pajak sebagai salah satu upaya Negara untuk membiayai pembangunan nasional, yang bertujusn untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spirituil. Terdapat berbagai definisi pajak di kalangan para sarjana di bidang perpajakan antara lain : a. Definisi P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
12
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. b. Definisi Perancis (dalam Buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la Science des Finances), pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau barang, untuk menutup biaya pemerintah. c. Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung, pajak adalah bantuan secara incidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan di mana terjadi suatu taatbestaand, yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak. d. Definisi Mr. N.J. Feldmann, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut normanorma
yang
ditetapkannya
secara
umum),
tanpa
adanya
kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. e. Definisi M.J.H. Smeets (dalam buku De Economische Betekenis der Belastingen), pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
13
yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. f. Definisi Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan. g. Definisi Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat
ditunjukkan
dan
yang
digunakan
untuk
membayar
pengeluaran umum.14 Berdasarkan definisi-definisi pajak di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. merupakan pungutan b. dipungut berdasarkan undang-undang (ada paksaan yuridis) c. tidak disertai kontraprestasi (jasa timbal) yang langsung d. dipungut oleh pemerintah e. dari penduduk atau barang f. bersifat incidental atau periodik g. dipungut bila terjadi taatbestand h. digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintahan
14
Santoso Brotodiharjo,Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, 1998, hal. 2-6.
14
2. Fungsi Pajak Pajak memiliki dua fungsi yang sangat penting dalam rangka pembangunan, yaitu : a. Fungsi Budgeter Fungsi budgeter yaitu fungsi yang letaknya di sektor publik, dan pajak-pajak di sini merupakan suatu alat (atau suatu sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara, yang
pada
waktunya
akan
digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran negara.15 Fungsi budgeter merupakan fungsi pajak yang utama, karena dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagian besar dipenuhi dari sektor pajak. Pemasukan yang berasal dari pajak terutama akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin, dan apabila setelah itu masih terdapat sisa (surplus), maka akan digunakan untuk investasi pemerintah (public invesment). b. Fungsi Mengatur Fungsi mengatur adalah fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Dengan fungsi mengaturnya pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar
15
Ibid,. hal.205.
15
bidang keuangan, dan fungsi mengatur itu banyak ditujukan terhadap sektor swasta.16 Untuk melaksanakan fungsi mengatur ini, umumnya fiscus menggunakan dua cara, yaitu : 1) Cara Umum Cara ini biasanya dilakukan dengan menggunakan tarif-tarif pajak yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan terhadap tarif yang bersifat umum. 2) Cara Khusus Pelaksanaan fungsi mengatur dari pajak yang bersifat khusus ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat positif dan yang bersifat negatif: a) Bersifat positif Apabila suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, oleh pemerintah dipandang sebagai suatu yang positif, maka kegiatan tersebut akan diberi dorongan (tax incentive) yang dilakukan dengan cara pemberian fasilitas perpajakan yang antara lain berupa pemberian kelonggaran yang berbentuk tax holiday (pembebasan pajak) dan keringanan pajak; b) Bersifat negatif Cara ini merupakan suatu keinginan pemerintah (fiscus) atau pembuat undang-undang untuk menghambat atau menghalangi
16
Mardiasmo,. Op,.cit., hal.2.
16
perkembangan suatu kegiatan yang ingin ditiadakan atau diberantas oleh pemerintah. Cara ini dapat berupa pemberian hambatan-hambatan dan pemberatan-pemberatan khusus.17 3. Pihak-pihak dalam pemungutan pajak Pajak pada hakekatnya merupakan perikatan atau hubungan timbal balik yang terjadi antara dua pihak, di mana masing-masing pihak berkedudukan sebagai subjek hukum. Pihak-pihak yang terdapat dalam perikatan pajak adalah : a. pihak penarik pajak, yaitu subyek hukum negara sebagai orang dalam pengertian badan hukum publik (publik rechtpersoon) yang disebut fiscus. b. pihak wajib pajak, yaitu subyek hukum yang dapat terdiri dari orang dalam pengertian : 1)
Orang pribadi (natuurlijke person), baik orang pribadi yang mempunyai perusahaan perseorangan maupun yang tidak dalam usaha dagang.
2)
Orang dalam pengertian badan hukum (rechtpersoon), seperti perusahaan dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT), koperasi,dan perusahaan negara.18
17
Ibid,. hal. 16-18. Marhainis Abdul Hay, Dasar-dasar Hukum Pajak, Badan Penerbit Yayasan Pembinaan Unit Penerbitan Keluarga UPN Veteran, Jakarta, 1987, hal.9. 18
17
Hubungan timbal balik antara pihak-pihak dalam perikatan pajak sifatnya tidak sempurna, karena tidak ada kontra prestasi secara langsung dari fiscus yang dapat dinikmati oleh wajib pajak. 4. Syarat pemungutan pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, undangundang dalam melaksanakan pemungutan pajak harus adil. Adil dalam undang-undang diantaranya menggunakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis) Pajak di Indonesia diatur dalam UUD 1945 asal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
18
c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi mauppun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil) Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat
dalam
memenuhi
kewajiban
perpajakannya.19 5. Asas-asas dalam perpajakan Dalam pajak, terdapat berbagai macam asas yang menjadi pokok dasar atau landasan pemikiran, yaitu : a. Asas Menurut Falsafah Hukum (rechtfilosofis) Asas rechtfilosofis mencari dasar pembenaran terhadap pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, dalam asas ini terdapat pertanyaan mendasar yaitu “Mengapa negara berhak mengenakan pajak terhadap rakyat ?”. Untuk menjawab permasalahan tersebut, ada beberapa teori yang berusaha memberikan jawaban, yaitu :
19
Mardiasmo,. Op,. cit, hal. 2
19
1) Teori Asuransi Teori ini menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk memberikan
perlindungan
kepada
rakyatnya
dalam
bentuk
keselamatan dan keamanan jiwa serta harta benda. Sebagaimana halnya pembayaran premi asuransi, maka untuk tugas perlindungan negara tersebut, diperlukan adanya suatu pembayaran dalam bentuk pajak. Anggapan bahwa pembayaran pajak sama dengan pembayaran premi asuransi sebenarnya tidak tepat, karena : a) dalam hal timbul suatu keadaan yang merugikan pembayaran pajak, maka negara tidak akan memberikan penggantian sebagaimana dalam perjanjian asuransi. b) antara pembayaran pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang langsung, sedangkan dalam perjanjian asuransi hubungan tersebut sifatnya langsung. 2) Teori Kepentingan Teori ini mengatakan bahwa negara mengenakan pajak terhadap rakyat, karena negara telah melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi, lebih besar kepentingan yang dilindungi maka lebih besar pajak yang harus dibayar. Teori ini menunjukkan bahwa dasar pembenar bahwa negara mengenakan pajak adalah karena negara telah berjasa kepada rakyat selaku wajib pajak, di
20
mana pembayaran pajak itu besarnya equivalen (setara) dengan besarnya jasa yang sudah diberikan oleh negara kepadanya.20 3) Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti) Teori ini mendasarkan pada paham organische staatleer, yaitu negara sebagai organisasi yang bertugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dalam tugas negara tersebut negara memiliki hak untuk mengatur warganya, termasuk memungut pajak dari rakyat. Di lain pihak, rakyat hendaknya menyadari bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara.21 4) Teori Asas Daya Beli Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil daya beli dari rumah tanggarumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggara kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, bukan pula kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu.22 Jadi, pada hakekatnya pajak tidak merugikan masyarakat karena pada akhirnya akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat sendiri. Oleh karena itu pemungutan pajak oleh negara dibenarkan.
20
Sri Pudyatmoko, Op,. cit, hal. 24. H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 37. 22 Munawir, Pokok-pokok Perpajakan, Libery, Yogyakarta, 1985, hal. 8 21
21
5) Teori Pembenaran Pajak Menurut Pancasila Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak berupa pengorbanan setiap anggota masyarakat untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Pajak merupakan pungutan yang pada akhirnya akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. b. Asas Pembagian Beban Pajak Asas pembagian beban pajak tidak mencari dasar pembenar pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyat, tetapi mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana agar beban pajak itu dikenakan kepada rakyat secara adil. Terhadap permasalahan tersebut, ada beberapa teori yang memberikan jawaban, yaitu : 1) Teori Daya Pikul Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuatu dengan daya pikul masing-masing. Daya pikul menurut W.J. de Lengen adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setingginya-setingginya, setelah dikurangi jumlah yang mutlak untuk kebutuhannya yang primer.23 Sedangkan menurut A.J. Cohen Stuart, daya pikul diibaratkan sebagai sebuah jembatan, di mana ia harus memikul bobotnya sendiri di samping bobot kendaraan yang melintasinya.
23
Santoso Brotodihardjo, Op,. cit, hal.34.
22
Maksud dari kedua ajaran tersebut adalah bahwa kekuatan seseorang untuk menyerahkan uang kepada negara baru ada setelah kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidupnya telah dipenuhi. 2) Prinsip Benefit (Benefit Principle) Prinsip ini disebut juga asas kenikmatan. Menurut asas ini pengenaan pajak seimbang dengan benefit (manfaat) yang diperoleh oleh Wajib Pajak dari jasa-jasa publik yang diberikan oleh pemerintah. Berdsasarkan kriteria ini, maka pajak dapat dikatakan adil bila seseorang yang memperoleh kenikmatan lebih besar dari jasa-jasa publik yang dihasilkan oleh pemerintah dikenakan proporsi beban pajak yang lebih besar.24 c. Asas Pengenaan Pajak Asas pengenaan pajak mencari jawaban atas permasalahan siapa atau mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tertentu. Terdapat beberapa asas untuk memecahkan permasalahan ini, yaitu : 1) Asas Domisili (tempat tinggal) Menurut asas ini negara di mana wajib pajak bertempat tinggal berhak mengenakan pajak terhadap wajib pajak tersebut dari semua pendapatan wajib pajak, di manapun diperoleh.
24
Sri Pudyatmoko, Op,. cit, hal. 26.
23
2) Asas Sumber Menurut asas ini negara di mana sumber-sumber penghasilan itu berada, ialah yang berhak memungut pajak, dengan tidak mengingat di mana wajib pajak tersebut berada. 3) Asas Kebangsaan (nationaliteit) Asas ini mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status kewarganegaraannya . Negara yang berhak memungut pajak adalah negara asal kewarganegaraan wajib pajak, terhadap semua pendapatan wajib pajak di manapun diperoleh. d. Asas Pelaksanaan Pemungutan Pajak Asas pelaksanaan pemungutan pajak meliputi tiga asas, yaitu : 1) Asas Yuridis Menurut asas ini hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas baik untuk negara maupun warganya. Oleh karena itu, segala sesuatu mengenai pajak harus ditetapkan di dalam undangundang. Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan yang diberikan kepada pihak fiscus maupun wajib pajak. 2) Asas Ekonomis Menurut asas ini pemungut pajak harus diupayakan agar tidak menghambat kelangsungan perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan pelaksanaan pemungutan pajaknya :
24
a) harus diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan; b) harus diusahakan supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam usahanya mencapai kebahagiaan; c) harus diusahakan jangan sampai merugikan kepentingan umum.25 3) Asas Finansial Sesuai dengan fungsi budgeternya, pemungutan pajak diharapkan untuk dapat memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Sehubungan dengan hal itu maka biaya pemungutan pajaknya harus diusahakan seminimum mungkin. Caranya yaitu dengan menyederhanakan sistem pemungutan pajaknya, dan memungut pajak pada saat yang dekat dengan saat terjadinya perbuatan, peristiwa, atau keadaan yang menjadi dasar pemungutan pajak. 6. Stelsel Pajak Dalam pemungutan pajak, khususnya pajak penghasilan dikenal adanya tiga macam stelsel pajak, yaitu : a. Stelsel Riil/ Stelsel Nyata Menurut stelsel nyata pengenaan pajak didasarkan pada obyek atau penghasilan yang sungguh-sungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak atau periode pajak. Dengan demikian besarnya pajak baru dapat dihitung pada akhir tahun atau periode pajak, karena
25
Ibid,. hal. 28.
25
penghasilan riil baru dapat diketahui setelah tahun pajak atau periode pajak berakhir.26 Kelemahan dari stelsel nyata adalah pemungutan pajak baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak atau periode pajak sehingga penerimaan pajak hanya dapat diperoleh pada akhir tahun pajak saja. Sedangkan kelebihan dari stelsel nyata adalah besarnya pajak yang dipungut sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang, karena pemungutan pajak dilakukan setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. b. Stelsel Fiktif Menurut stelsel fiktif atau stelsel anggapan, pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan (fiksi). Anggapan tersebut dapat berupa anggapan bahwa pendapatan tahun pajak yang sedang berjalan diasumsikan sama dengan penghasilan tahun pajak yang lalu. Kelemahan dari stelsel fiktif adalah besarnya pajak yang dipungut belum tentu sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang, karena pemungutan pajak dilakukan berdasarkan suatu anggapan, bukan penghasilan yang sesungguhnya. Kelebihan stelsel fiktif adalah pemungutan pajak sudah dapat dilakukan pada awal tahun pajak atau periode pajak, karena berdasarkan pada suatu anggapan, sehingga penerimaan pajak oleh pemerintah ini untuk membiayai pengeluaran sepanjang tahun dan tidak hanya pada akhir tahun saja.27 c. Stelsel Campuran Stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel riil dengan stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak atau periode pajak 26 27
Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 24. Ibid,. hal. 25.
26
penghitungan pajak menggunakan stelsel fiktif, dan pada akhir tahun pajak atau periode pajak dihitung kembali berdasarkan stelsel riil. Kelemahan dari stelsel campuran adalah adanya tambahan pekerjaan administrasi, karena penghitungan pajak dilakukan dua kali yaitu pada awal dan akhir tahun pajak atau periode pajak. Kelebihan dari stelsel campuran adalah sudah dapat dilakukan pada awal tahun pajak atas periode pajak, dan besarnya pajak yang dipungut sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang karena dilakukan penghitungan kembali pada akhir tahun pajak atau periode pajak, setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.28 7. Sistem Pemungutan Pajak Pada dasarnya ada tiga macam sistem pemungutan pajak yang berlaku, yaitu : a.
Official Assessment System Yaitu pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang harus dilunasi (terhutang) oleh wajib pajak ditentukan sendiri oleh fiscus atau aparatur perpajakan. Dalam system ini wajib pajak bersifat pasif, sebaliknya fiscuslah yang harus aktif.
b.
Self Assessment System Yaitu suatu sistem pemungutan dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak diserahkan oleh inspeksi pajak kepada wajib pajak yang bersangkutan, sehingga dengan sistem ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melapor kepada inspeksi pajak, sedangkan fiscus hanya bertugas memberi penerangan, pengawasan, atau sebagai verifikator.
c.
With Holding System Yaitu suatu cara pemungutan pajak dimana penghitungan pajak yang terutang oleh seorang wajib pajak dilakukan oleh pihak ketiga.29
28 29
Loc,. cit. Munawir,Op,. cit. hal. 41-42.
27
B. Sistem Self Assessment 1. Pengertian sistem self assessment Arti kata self assessment adalah menghitung dan menetapkan sendiri besarnya pajak yang terutang.30 Jadi, sistem self assessment dapat diartikan sebagai sistem pemungutan pajak yang member wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Sistem self assessment ini umumnya diterapkan pada jenis pajak di mana wajib pajaknya dipandang cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini, subyek pajak/ wajib pajaknya relatif terbatas, tidak seperti dalam Pajak Bumi dan Bangunan.31 2. Ciri-ciri sistem self assessment Sistem self assessment memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada wajib pajak sendiri; b. wajib pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terytang; c. fiscus tidak ikut campur tangan dan hanya mengawasi.32
30
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, PT. Eresco, Jakarta,
31
Sri Pudyatmoko, Op,. cit, hal. 61. Mardiasmo, Op,. cit, hal. 8.
hal. 11 32
28
3. Dasar hukum sistem self assessment Sistem self assessment baru dikenal di Indonesia pada tahun 1967, yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang 8 Tahun 1967 Tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan, dan Pajak Perseroan. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 mengatur mengenai sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain). Pada saat itu Sistem MPS hanya digunakan untuk menghitung Pajak Pendapatan, yaitu dengan membebankan kewajiban kepada wajib pajak untuk membayar sendiri pajak yang terutang setiap bulan. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dari Tata Cara Perpajakn dalam Pasal 4 juga meletakkan kewajiban kepada wajib pajak untuk mengambil sendiri SPT (Surat Pemberitahuan), mengisi SPT dengan benar, menghitung sendiri Pajak Penghasilan yang terutang, serta membayar jumlah Pajak Penghasilan yang terutang ke dalam kas negara, sebelum SPT diserahkan ke Kantor Pajak. Dalam Undang-Undang sendiri sebenarnya tidak disebutkan secara terang penggunaan kata self assessment, hanya di dalam memori penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 (sebagaimana terdapat dalam memori penjelasan Undang-Undang 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983).
29
Dalam memori penjelasan tersebut, disebutkan bahwa ciri dan corak dari sistem pemungutan pajak di Indonesia yaitu : a. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersamasama melaksanakan kewajiban perpajakn yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. c. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan
kegotongroyongan
nasional
melalui
system
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui system ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.33
33
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Buku Satu, Salimba Empat, Jakarta, 2002, hal. 22.
30
4. Tujuan sistem self assessment Dengan
sistem
self
assessment
diharapkan
pelaksanaan
administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan dihilangkan.34 Hal ini karena tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti pada masa lampau (sebelum tax reform 1983), di mana tugas menetapkan dan menghitung pajak yang terutang oleh wajib pajak berada di tangan fiscus sepenuhnya (official assessment system). Sedangkan dengan sistem self assessment, tugas fiscus hanya melakukan pembinaan, bimbingan serta pengawasan terhadap jalannya pemungutan pajak. Di samping itu, dengan sistem self assessment jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajkan bagi wajib pajak lebih diperhatikan, dengan demikian diharapkan dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat.35 5. Syarat keberhasilan sistem self assessment Sistem self assessment baru akan berhasi dengan baik apabila telah terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut : a. tax consciousness (kesadaran pajak wajib pajak) b. kejujuran wajib pajak c. tax mindedness (hasrat untuk membayar pajak) d. tax discipline (disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan pajak).36
34
Moh. Zain dan Kustadi Arinta, Pembaharuan Perpajakan Nasional, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1990, hal. 21. 35 Ibid,. hal. 21-22. 36 Rochmat Soemitro, Op,. cit, hal. 12.
31
C. Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Serifikat Bank Indonesia Pajak Penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan resmi kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya.37 Pemungutan Pajak Penghasilan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang merupakan perubahan ke empat. Pasal 1 UndangUndang Pajak Penghasilan merumuskan Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun Pajak. Pajak Penghasilan atas bunga deposito, dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia secara khusus diatur dalam Pasal 23 ayat (1), huruf (a), angka (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Peraturan ini secara garis besar memuat tentang ketentuan pengenaan pajak atas penghasilan bunga yang 37
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 76.
32
berasal dari deposito, tabungan dan diskonto dari sertifikat Bank Indonesia. Ketentuan umum Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 mencakup pengertian-pengertian umum tentang deposito, tabungan dan pengertian bunga serta diskonto. Ketentuan khususnya mencakup tentang perlakuan terhadap orang pribadi, badan, lembaga atau organisasi yang menerima atau memperoleh penghasilan bunga, kewajiban bank sebagai pemotong pajak atas penghasilan berupa bunga atau diskonto tersebut, tarif pajak dan sifat pemotongan pajak tersebut. Selain itu, mengatur tentang perlakuan pajak terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga deposito, tabungan dan diskonto sertifikat Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000 juga mengatur kewajiban dipotong Pajak Penghasilan kepada wajib pajak dalam negara yang memperoleh atau menerima penghasilan bunga dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.38 Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan merumuskan deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian 38
Bambang Kesit, Pajak Penghasilan Teknik Rekonsiliasi Fiskal, Ekonisia, Yogyakarta, 2001, hal. 164
33
nasabah penyimpan dengan bank dan tabungan menurut Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Sertifikat Bank Indonesia sendiri telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 4/10/PBI/2002 Tentang Sertifikat Bank Indonesia bahwa Sertifikat Bank Indonesia adalah yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank. Sedangkan yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank. Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga deposito, tabungan dan diskonto serifikat Bank Indonesia bersifat final berarti apabila Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga yang berasal dari deposito dan tabungan termasuk jasa giro serta diskonto sertifikat Bank Indonesia, penghasilan tersebut tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya dalam penghitungan.
34
BAB III METODE PENELITIAN Metode Pendekatan Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.39 Metode penelitian ang digunakan adalah yuridis-normatif
atau
penelitian doktrinal. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.40 Menurut Bagir Manan, penelitian hukum normatif juga disebut sebagai penelitian terhadap kaidah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat atau hukum tertulis lainnya dan asas-asas hukum).41 Adapun pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu: 1. Pendekatan perundang-undangan Pendekatan
perundang-undangan
dilakukan
dengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 42
39
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988, hal 580-581. 40 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1986, hal.69. 41 Bagir Manan, Penelitian di Bidang Hukum, Bandung: Nomor Perdana: I, Puslitbangkum, Universitas Padjajaran, 1999, hal, 78. 42 Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal, 93.
35
Metode pendekatan perundang-undangan digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan. Pendekatan ini memberi kesempatan kepada peneliti untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara suatu undangundang yang satu dengan yang lainnya, atau antara undang-undang yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi, atau antara regulasi dengan undang-undang. 2. Pendekatan Kasus Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasuskasus yang berkaitang dengan isu yang dihadapi. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decendi atau reasoning
tersebut
merupakan
referensi
bagi
penyusunan
argumentasi dalam pemecahan isu hukum.43 Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara Deskriptif-Analistis sesuai dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini. Menurut Rony Hanitijo Soemitro, Deskriptif-Analistis, yaitu menggambakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam penelitian ini.44
43
Ibid., hal 94. Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penulisan dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988, hal. 97-98. 44
36
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Purbalingga, Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Universitas Jenderal Soedirman. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Data sekunder Data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan
dokumentasi
yang
merupakan
hasil
penelitian
dan
pengolahan orang lain, yang tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang
biasanya disediakan di perpustakaan.
Peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur yang berhubungan dengan objek penelitian. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke dalam dua bagian yaitu: a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri dari : 1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PajakPenghasilan;
37
2)
Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para sarjana, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel ilmiah baik dari koran ataupun internet dan dokumen resmi yang berkaitan dengan pokok pemasalahan yang diteliti. c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang sifatnya melengkapi kedua bahan hukum tersebut di atas, yang dalam penelitian ini bersumber dari kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan ensiklopedi.45 2. Data Primer Data yang berupa keterangan atau hasil wawancara dengan Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Purbalingga yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti untuk mendukung data sekunder.
45
Muhammad Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 67.
38
Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Data Sekunder diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap peraturan sebelumnya
perundang-undangan, dan
buku-buku,
dokumen-dokumen
yang
hasil berkaitan
penelitian dengan
permasalahan yang selanjutnya dipelajari sebagai pedoman untuk penyusunan data. 2. Data Primer Data primer diperoleh dengan mengadakan penelitian lapangan langsung pada objek
yang dijadikan masalah, dengan cara
mengadakan wawancara dengan Pegawai di Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
39
Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan membahas bahan hasil penelitian yang diperoleh secara sistematis dengan didasarkan pada normanorma hukum yang relevan dengan pokok-pokok masalah yang diteliti.
40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Data sekunder Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, telah diperoleh data sekunder sebagai berikut: 1.1 Susunan Organisasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Purbalingga Berdasarkan
Keputusan
Direktur
Jenderal
Pajak
Nomor:
Kep.141/PJ/2007, mulai pada tanggal 30 Oktober 2007, Kantor Pelayanan Pajak Purbalingga berubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga hingga sekarang. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga saat ini berada di Jl. Letjen S.Parman No.43 Purbalingga. Berdasarkan Buku Monografi Fiscal tahun 2007, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga mempunyai wilayah kerja dengan luas 7.777,64 Km2. Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga terbagi atas 18 kecamatan yang terbagi lagi kedalam 239 desa dan/atau kelurahan. 1.1.1
Visi dan Misi KPP Pratama Purbalingga
a. Visi KPP Pratama Purbalingga Menjadi
model
pelayanan
masyarakat
yang
menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat.
41
b. Misi KPP Pratama Purbalingga 1) Fiskal Menghimpun penerimaan Negara dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan Undang-Undang Perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi. 2) Ekonomi Mendukung kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekonomi bangsa dengan kebijakan perpajakan yang dapat meminimalisasi distorsi. 3) Politik Mendukung proses demokratisasi. 4) Kelembagaan Senantiasa memperbaharui diri, selaras dengan aspirasi masyarakat dan teknokrasi perpajakan serta administrasi perpajakan mutakhir. 1.1.2
Struktur Organisasi Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
132/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Verifikasi Direktorat Jenderal Pajak, struktur organisasi KPP Pratama Purbalingga disusun dengan fungsi yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, terdiri atas:
42
a. Sub Bagian Umum Merupakan koordinator tugas pelayanan kesekretariatan dengan cara mengatur kegiatan tata usaha, kepegawaian, keuangan, dan rumah tangga. Mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: -
Pembuatan tanda pengenal pegawai;
-
Pengajuan usul pengangkatan pegawai;
-
Pengurusan dan pembayaran gaji, uang lembur, dan uang makan;
-
Pembukuan anggaran belanja;
-
Pembayaran anggaran belanja;
-
Pengajuan pensiun pegawai;
-
Perencanaan dan pengadaan inventaris;
-
Pemrosesan dan penatausahaan dokumen masuk di sub bagian umum.
b. Sub Bagian Teknis, terdiri dari: 1) Seksi Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan Seksi
pengolahan
mempunyai
tugas
data
dan
informasi
dan
tanggung
perpajakan
jawab
untuk
mengkoordinasikan pengumpulan data, proses administrasi data,
perekaman
pengadministrasian
data, data
peminjaman masuk
dan
berkas data
ekstensifikasi dan instensifikasi pajak wajib pajak.
data,
keluaran,
43
2) Seksi Pelayanan Seksi pelayanan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mengkoordinasikan penetapan dan ketertiban produk hukum perpajakan, penerimaan dan pengolahan surat pemberitahuan dan surat lainnya, penyuluhan perpajakan, pelaksanaan
registrasi
wajib
pajak,
serta
kerjasama
perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3) Seksi Penagihan Penetapan piutang pajak yang kadaluarsa sampai dengan pengusulan penghapusan piutang pajak. Selain itu seksi penagihan juga bertanggung jawab untuk melakukan upayaupaya pencarian utang pajak melalui penerbitan surat teguran maupun tindakan aktif melalui penerbitan surat paksa, surat perintah melakukan penyitaan maupun melakukan pelelangan harta sitaan yang bekerjasama dengan Kantor Lelang Negara. 4) Seksi Pemeriksaan Seksi pemeriksaan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pembuatan daftar normatif wajib pajak yang diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan untuk melakukan peminjaman dan pengembalian berkas dan data wajib pajak sesuai dengan data normatif yang akan diperiksa. Seksi pemeriksaan juga bertanggung
jawab
dalam
penerbitan
surat
perintah
pengamatan, penelitian permohonan kembali, kelebihan
44
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terhutang dan permohonan Surat Pemberitahuan Tahunan Lebih Bayar (SPTLB) wajib pajak orang pribadi, pembuatan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3), surat pemberitahuan pemeriksaan pajak serta menatausahakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan Nota Perhitungan (NotHit). 5)
Seksi Ekstensifikasi Perpajakan Seksi ekstensifikasi perpajakan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mengkoordinasikan pelaksanaan dan penatausahaan pengamatan potensi perpajakan, pendataan objek dan subjek pajak, penilaian objek pajak dan kegiatan ekstensifikasi perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6)
Seksi Pengawasan dan Konsultasi Seksi pengawasan dan konsultasi mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mengkoordinasikan pengawasan kepatuhan perpajakan wajib pajak (PPh, PPN, PBB dan Pajak lainnya), bimbingan atau himbauan kepada wajib pajak dalam rangka melakukan instensifikasi dan melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku. Di dalam KPP Pratama Purbalingga terdapat 4 (empat) Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang pembagian tugasnya didasarkan pada cakupan wilayah tertentu.
45
7)
Kelompok Jabatan Fungsional Pejabat fungsional terdiri atas Pejabat Fungsional Penilai yang bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala KPP Pratama Purbalingga. Di dalam melaksanakan jabatannya, Pejabat Fungsional Pemeriksaan berkoordinasi dengan seksi ekstensifikasi.
8)
Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan Kantor pelayanan, penyuluhan dan konsultasi perpajakan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam melakukan penyuluhan dan konsultasi perpajakan kepada wajib pajak berfungsi sebagai penghubung wajib pajak.
Seksi Ekstensifikasi Perpajakan
Seksi Pengolahan Data dan Informasi
Sub Bagian Umum
Seksi Pelayanan
Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Kelompok Jabatan Fungsional
Kepala Kantor
Seksi Pemeriksaan
Seksi Penagihan
46
47
1.2 Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia Berdasarkan
penelitian
di
Kantor
Pelayanan
Pajak
Pratama
Purbalinga, pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia mengacu kepada Pasal 23 ayat (1) , huruf (a), angka (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Bahwa KPP Pratama Purbalingga hanya menerima data nasabah yang telah diolah oleh pihak bank yang dijadikan sebagai bahan pelaporan kepada KPP Pratama Purbalinga. Bahwa KPP Pratama Purbalingga dalam menerapkan Self Assessment System bertugas memberi penerangan, pengawasan, atau sebagai verifikator. Bank sebagai pemotong PPh Pasal 23 yaitu Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia untuk menghitung, menyetor dan melapor kepada inspeksi pajak. KPP Pratama Purbalingga hanya mengisi Surat Pemberitahuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan khususunya mengenai Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia. KPP Pratama Purbalingga tidak memperoleh data yang belum diolah bank yang dijadikan sebagai dasar pemotongan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
KPP Pratama
Purbalingga hanya dapat memperoleh data yang belum diolah dari bank, jika tidak berkaitan dengan unsur pidana. Untuk mengawasi pemungutan,
48
pemotongan, penyetoran serta pelaporan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabunagn serta diskonto sertifikat bank Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.43/2001
tentang Pengawasan
Pemotongan,
Penyetorsn
dan
Pelaporan PPh Final atas Bunga Depsito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Menurut Pasal 23 ayat (1), huruf (a), angka (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan penerapan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia: (1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan: a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas: 1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; 2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; 3. royalti; dan 4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; b. dihapus; c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas: 1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan 2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
49
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3)
Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas: a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank; b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi. Ketentuan dalam Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas: a. Badan pemerintah;
50
b. c. d. e. f.
Subyek pajak badan dalam negeri; Penyelenggara Kegiatan; Bentuk Usaha tetap; Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Dirjen Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23, yang meliputi: 1) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas; 2) Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 131 tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, menurut Pasal 1 ayat (1): Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang bersifat final. Selanjutnya Pasal 1 ayat (2): Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. Selanjutnya Pasal 1 ayat (3): Dengan
memperhatikan
perkembangan
moneter,
Menteri
Keuangan dapat menetapkan pengenaan Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia selain sebagaimana ditentukan dalam ayat (1). Selanjutnya Pasal 1 ayat (4):
51
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Selanjutnya Pasal 1 ayat (5): Orang Pribadi Sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat mengajukan permohonan restitusi atas pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
1.3 Wajib Pajak yang dikenakan Pemotongan PPh Pasal 23
Wajib Pajak yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri yang atau Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaran kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Selanjutnya menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 131 tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, Pengenaan Pajak penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut: a. Dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
52
b. Dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
1.4. Objek Pemotongan PPh Pasal 23 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 ayat (1) huruf (a), UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan adalah: a. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jamninan pengembalian hutang; c. Royalti; d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; e. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan; dan f. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
53
1.5. Pengecualian Objek Pemotongan PPh Pasal 23 Penghasilan yang tidak dikenakan Pemotongan PPh Pasal 23 menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 131 tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia adalah: Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa: Pemotongan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dilakukan terhadap: a. Bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; b. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia; c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh Dana Pensiunan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilihan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bagian untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri. 2. Data Primer Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Mikhael Subur Saroso selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I
pada Seksi
Pengawasan dan
Konsultasi I Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Purbalingga, diperoleh data sebagai berikut:
54
2.1 Bahwa pemotong pajak penghasilan di Kabupaten Purbalingga adalah Bank Indonesia dan bank yang berkedudukan di wilayah Purbalingga atau cabang bank luar negeri yang berkedudukan di Kabupaten Purbalingga. 2.2 Bahwa KPP Pratama Purbalingga hanya menerima data nasabah yang telah diolah oleh pihak bank yang dijadikan sebagai bahan pelaporan kepada KPP Pratama Purbalinga; 2.3 Bahwa Bank sebagai pemotong PPh Pasal 23 wajib memtong PPh Pasal 23 terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di wilayah Kantor Pelayanan Pajak setempat. 2.4 Bahwa KPP Pratama Purbalingga dalam menerapkan Self Assessment System bertugas memberi penerangan, pengawasan, atau sebagai verifikator. Bank sebagai pemotong PPh Pasal 23 yaitu Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia wajib untuk membayar, menyetor dan melapor kepada inspeksi pajak; 2.5 Bahwa KPP Pratama Purbalingga hanya mengisi Surat Pemberitahuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan khususunya mengenai Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;
55
B. Pembahasan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan Pajak Penghasilan dilakukan dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparasi. Pajak Penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya. Penghasilan yang dimaksudkan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) baik yang berasal Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP yang bersangkutan. Jika penghasilan yang diterima bukan merupakan tambahan kemampuan ekonomis atau tidak menambah kekayaan WP, penghasilan tersebut adalah bukan objek pajak. Subjek Pajak dalam perpajakan adalah orang pribadi atau badan yang
56
memenuhi persyaratan subjektif dan menurut ketentuan dan peraturan perundangundangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya tidak dapat dilimpahkan kepada subjek pajak lain atau pajak langsung. Dikaitkan dengan asas-asas umum yang berlaku atas subjek pajak yang berpenghasilan, yaitu asas kebangsaan, asas sumber, dan asas domisili, subjek pajak orang pribadi dan/atau badan secara umum merupakan subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri adalah mereka yang tinggal di Indonesia. Subjek pajak luar negeri adalah mereka yang tidak berada di Indonesia dan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang didirikan di luar negeri namun usahanya dijalankan di Indonesia. Objek pajak penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh para WP yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat digunakan
untuk
konsumsi
atau
menambah
kekayaan
WP.
Objek
pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Undangundang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan
ekonomis
yang
diterima
atau
diperoleh wajib
pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-
57
undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan WP tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Pajak Penghasilan atas bunga deposito, dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia di Kabupaten Purbalinnga tunduk dengan Pasal 23 ayat (1), huruf (a), angka (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, dalam menerapkan ketentuan perpajakan yaitu pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak pusat yang kewenangan memungut pada pemerintah pusat, yang diselenggarakan oleh inspeksi pajak yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga. Penerapan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia di Kabupaten Purbalingga diterapkan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yaitu atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
58
membayarkan dari jumlah bruto atas deviden, bunga, royalty dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yaitu penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Ruang lingkup Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia pada dasarnya pengenaannya baru bisa dilakukan jika telah memenuhi ruang lingkup pengenaan, yaitu pemberi penghasilan memenuhi kriteria sebagai pemotong PPh Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, penerima penghasilan memenuhi kriteria sebagai fihak yang dipotong PPh Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan jenis penghasilan yang dibayarkan adalah termasuk penghasilan-penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Pemotong Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan adalah : 1. Badan Pemerintah Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa
59
yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya, pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah. 2. Subjek Pajak Badan dalam negeri Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia. Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
60
3. Penyelenggara kegiatan Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain. 4. Bentuk Usaha Tetap (BUT) BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
61
5. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga
merupakan
pemotong
PPh
Pasal
23.
Contohnya
adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing. Berdasarkan data 1.2 mengenai pihak-pihak yang membayarkan penghasilan sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peratuaran Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto sertifikat Bank Indonesia dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tentang Pemotong Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto sertifikat Bank Indonesia adalah Bank dan Bank Indonesia wajib memotong pajak penghasilan dari jumlah bruto serta Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual kembali sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan Dana Pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong Pajak Penghasilan atas diskonto sertifikat Bank Indonesia tersebut. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peratuaran Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tersebut, bank dan Bank Indonesia wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia. Selain wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto yang dibayarkan atau terutang, bank-bank tersebut juga
62
wajib memotong pajak penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri yang beroperasi di Indonesia. Hal ini didukung oleh data primer yaitu data nomor 2.1 berupa hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I
pada Seksi
Pengawasan dan Konsultasi I Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Purbalingga, bahwa pemotong pajak penghasilan di Kabupaten Purbalingga adalah Bank Indonesia dan bank yang berkedudukan di wilayah Purbalingga atau cabang bank luar negeri yang berkedudukan di Kabupaten Purbalingga. Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti pemotong pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat bank Indonesia, terdiri dari badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), perwakilan perusahaan luar negeri, orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yaitu akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas dan orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tatacara
63
Pembayaran, Penyetoran dan PelaporanPajak, serta Tata cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak tertanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak. Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23 bahwa pemotong PPh Pasal 23 atas bunga deposito dan tabungan deposito serta diskonto sertifikat Bank Indonesia, wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan
64
PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya. Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2010. Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Apabila pemotong pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan bank-bank di wilayah Kabupaten Purbalingga berdasarkan data 1.2 sebagaimana dijelaskan di atas dikaitkan dengan isi sebagaimana terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tatacara Pembayaran, Penyetoran dan PelaporanPajak, serta Tata cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak serta pendapat dari Supramono
65
dan Theresia Woro Damayanti, maka dapat dideskripsikan bahwa pemotong pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia di Kabupaten Purbalingga adalah Bank Indonesia dan atau bank-bank pemerintah maupun swasta yang berkedudukan di wilayah Purbalingga atau cabang bank luar negeri yang beroperasi di Kabupaten Purbalingga yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Pemotong Pajak PPh Pasal 23 tersebut wajib menyetor, melaporkan dan membayar PPh Pasal 23 ke kas negara melalui Kantor Pelayanan Pajak Pratama setempat atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan. Penerapan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia terdapat pihak yang dipotong pajak penghasilan disebut sebagai subjek pajak yang merupakan penerima dari penghasilan yang terdiri dari deviden, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan, sewa dan imbalan yang sehubungan atas jasa teknik. Berdasarkan data 1.3 mengenai Wajib Pajak yang dikenai pemotogan pajak atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia, Pasal 23 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tentang Wajib Pajak yang dkenai pemotongan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang pribadi
66
dalam negeri ataupun Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan. Hal ini didukung oleh data primer no. 2.3 tentang Bank sebagai pemotong PPh Pasal 23 wajib memtong PPh Pasal 23 terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di wilayah Kantor Pelayanan Pajak setempat. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tersebut diatas, pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri (kecuali BUT) dengan berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. Wajib Pajak yang dikenai oleh PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia diperjelas dengan pendapat dari Mardiasmo bahwa yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 UU No. 36 Tahun 2008 yaitu pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
67
Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia dipungut oleh Pemerintah Pusat, dalam menentukan besarnya pajak yang dipungut, tidak bisa dilepaskan dari komponen tarif pajak. Besarnya tarif pajak telah ditentukan oleh Pemerintah, namun yang ditentukan adalah tarif maksimal yang dapat dipungut oleh pemerintah pusat yang diselenggarakan inspeksi pajak di daerah masing-masing. Ketentuan lebih lanjut mengenai presentase tarif pemotongan pajak penghasilan ditentukan berdasarkan Undangundang Nomor 36 Tahun 2008, yang secara khusus diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah: 1. Sebesar 15% (limabelas persen) dari jumlah bruto atas: a. Deviden; b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jamimnan pengembalian utang; c. Royalti; dan d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21; 2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, atas: a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan; dan b. Imbalan sehubungan jasa tekhnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain.
68
Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) UU No. 36 Tahun 2008, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yaitu sebesar 15% (lima belas persen). Jadi Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai tarif 15%, karena tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak maka akan dikenai tarif sebesar 30% (tiga puluh persen). Apabila Wajib Pajak yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia di wilayah Kabupaten Purbalingga berdasarkan data 1.3 sebagaimana dijelaskan di atas dikaitkan dengan isi sebagaimana terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan pendapat dari Mardiasmo, dapat dideskripsikan bahwa Wajib pajak yang dikenakan PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri dalam arti Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yaitu sebesar 15% (lima belas persen). Jenis-jenis penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 ini diatur dalam Pasal 23 Undang-
69
Undang Nomor 36 Tahun 2008 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu : a. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undangundang Pajak Penghasilan 1984; b. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undangundang Pajak Penghasilan 1984; c. royalti; d. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan 1984; e. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan f. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Berdasarkan data 1.4 mengenai Objek Pemotongan PPh Pasal 23 bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor
131
Tahun
2000
serta
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
51/KMK.04/2001 tentang objek pajak yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifkat Bank Indonesia adalah berupa penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifkat Bank Indonesia dipotong dari jumlah bruto. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 serta Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 tersebut, objek pajak yang dipotong atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifkat Bank Indonesia yang bersifat final yang berarti apabila Wajib Pajak memperoleh atau menerima penghasilan berupa bunga yang berasal dari deposito dan tabungan serta diskonto stifikat Bank Indonesia, penghasilan
70
tersebut tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya dalam penghitungan pajak penghasilan yang terutang dalam pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti objek pajak penghasilan atas bunga adalah berupa penghasilan bunga yang timbul dikarenakan dua sebab, yaitu dari investasi dana sejumlah tertentu kepada pihak lain dan hasil deposito atau tabungan dari lembaga keuangan. Bunga sebagai akibat dari deposito atau tabungan dari lembaga keuangan akan dikenakan pajak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000. Bunga yang berasal dari deposito, tabungan dan diskonto sertifikat Bank Indonesia akan dikenakan pajak penghasilan terhadap tabungan atau diskonto sertifikat Bank Indonesia lebih dari Rp. 7.500.000,00. Penghasilan yang merupakan hasil investasi, termasuk di dalamnya diskonto atau premium obligasi. Diskonto atau premium obligasi timbul akibat adanya selisih antara nilai pasar obligasi dengan nilai nominal obligasi. Dalam hal ini maka penerbit obligasi sebagai pemotong PPh Pasal 23, dilakukan saat penjualan obligasi (jika timbul keuntungan akibat selisih nilai pasar dan nilai nominal) serta saat pembayaran bunga. Tarif PPh Pasal 23 adalah sebesar 15% dari jumlah bruto. Berdasarkan data 1.5 mengenai objek pajak penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) UU No. 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank; b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
71
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c); d. dihapus; e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i; f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; dan g. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001, dikecualikan terhadap objek pajak penghasilan atas: a. bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah- pecah; b. bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia; c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri. Berdasarkan data 1.5 mengenai objek pajak Pasal 23 yang dikecualikan berdasarkan Pasal 23 ayat (4) UU No. 36 Tahun 2008 dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 adalah penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank, sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi, dividen, bagian laba, sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya, penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan
72
usaha atas jasa keuangan, kemudian diperjelas dengan Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000 yaitu bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri, bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecahpecah, bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia, dan bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Apabila data 1.5 dikaitkan dengan pendapat dari Supramono dan Theresia Woro Damayanti, bahwa dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 berupa penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank, sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi dan deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajab Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan, atau organisasi sejenis, BUMN atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. Selain itu dikecualikan dari PPh Pasal 23 adalah bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana, bagian laba yang diterima atau
73
diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Syarat lainnya adalah sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek. Apabila objek pajak penghasilan atas bunga berdasarkan data 1.4 dan pengecualian dari objek pajak penghasilan atas bunga berdasarkan data 1.5 sebagaimana dijelaskan di atas dikaitkan dengan isi sebagaimana terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan serta pendapat dari Supramono dan Theresia Woro Damayanti, maka dapat dideskripsikan bahwa objek pajak dari pemotongan PPh Pasal 23 adalah bunga yang berasal dari deposito, tabungan dan diskonto sertifikat Bank Indonesia akan dikenakan pajak penghasilan terhadap tabungan atau diskonto sertifikat Bank Indonesia lebih dari Rp. 7.500.000,00 dan diskonto atau premium obligasi timbul akibat adanya selisih antara nilai pasar obligasi dengan nilai nominal obligasi dengan tarif PPh Pasal 23 adalah sebesar 15% dari jumlah bruto. Dalam melaksanakan setiap kegiatan pemungutan pajak baik pajak pusat maupun pajak daerah harus selalu memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. Pemungutan pajak harus adil 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang 3. Tidak mengganggu perekonomian 4. Pernungutan pajak hares efisien 5. Sistem pernungutan pajak harus sederhana Ad.1.Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undangundang dan pelaksanaan pernungutan harus adil. Adil dalam
74
perundang-undangan diantaranya mengajukan pajak secara um um dan m erat a sert a disesuaikan dengan k e m a m p u a n m a s i n g - m a s i n g. S ed a n gk a n a d i l d a l a m pelaksanaannya yaitu dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan penundaan dalam pem ba yaran dan m engajukan bandi ng kepada Maj eli s Pertimbangan Pajak. Ad.2.Undang-Undang Dasar 1945, mengatur tentang ketentuan pajak yaitu Pasal 23 ayat (2). Hal ini m e m b e r i k a n j a m i n a n hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. Ad.3. Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi, maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian rnasyarakat. Ad.4. Biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. Biaya yang dikeluarkan oleh Fiskus dalam memungut pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pajaknya. Ad.5.Sistem pemunutan pajak yang sederhada akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.46
Termasuk juga dalam pemungutan dan pemotongan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan deposito serta diskonto sertifikat Bank Indonesia, pemungutan dan pemotongan pajak atas bunga deposito dan tabungan deposito serta diskonto sertifikat Bank Indonesia harus adil dan merata bagi Wajib Pajak atas bunga deposito dan tabungan deposito serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang disesuaikan dengan kemampuannya. Dalam hal pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak atas bunga deposito dan tabungan deposito serta diskonto sertifikat Bank Indonesia, pihak pemotong dan pemungut juga harus memberikan hak bagi para Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan pengembalian (restitusi) atas pajak yang telah dipotong. Pengembalian pajak yang
46
Mardiasmo, Op.cit, hal. 2.
75
telah dipotong tersebut dilakukan melalui prosedur restitusi sederhana yang ketentuannya ditetapkan denga Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEPPJ/11/PJ./1994 tentang Pedoman Induk Tata Usaha Penerimaan dan Restitusi Pajak. Berdasarkan penelitian data Nomor 1.2, data Nomor 1.3, data nomor 1.4, dan data nomor 1.5 mengenai penerapan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia sebagaimana telah dijelaskan di atas, dikaitkan dengan Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah disebutkan, serta pendapat dari Mardiasmo, Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, maka dapat dideskripsikan bahwa penerapan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat yang diselenggarakan oleh inspeksi pajak yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga telah sesuai atau memenuhi aturan yang telah ditetapkan. Hasil pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia digunakan untuk membiayai pembangunan nasional serta dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dimana pajak memiliki dua fungsi, yaitu pertama fungsi budgetair bahwa pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, dan kedua fungsi mengatur (regulerend) bahwa pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemotongan dan pemungutan yang telah sesuai
76
dengan aturan yang telah diterapkan oleh pemerintah tentunnya tidak lepas dari semangat dan kerja keras inspeksi pajak dan aparat pajak dalam memungut pajak pnghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia serta pemberi penghasilan yang memotong pajak penghasilan yang diberikan kepada penerima penghasilan (Wajib Pajak), namun masih dijumpai kendala yang dihadapi dalam pengawasan terhadap penerapan Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia apabila terjadi perbedaan data pemotongan Pajak Penghasilan tersebut dibandingkan dengan jumlah setoran Pajak Penghasilan tersebut pada masing-masing bank di wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Pengawasan terhadap penerapan Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia apabila terjadi perbedaan data pemotongan Pajak Penghasilan dibandingkan dengan jumlah setoran Pajak Penghasilan pada masing-masing bank diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.43/2001 tentang Pengawasan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh final atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI bahwa Kepala Kantor Wilayah agar meminta data tentang penempatan deposito dan tabungan serta pemotongan pajak pengahasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Bank Indonesia pada masing-masing bank/cabang bank kepada Cabang/Perwakilan Bank Indonesia dimana Kantor Wilayah berkedudukan dan menyalurkan data tersebut kepada Kantor Pelayanan Pajak terkait di lingkungan Kantor Wilayah yang bersangkutan, yang dimaksud data tentang penempatan deposito dan tabungan serta pemotongan PPh final
77
adalah laporan dari masing-masing bank/cabang bank kepada Cabang/Perwakilan Bank Indonesia tentang penempatan deposito dan tabungan serta pemotongan PPh final secara global (tidak terperinci atas masing-masing deposito/tabungan). Kantor Pelayanan Pajak agar melakukan analisa atas data pemotongan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia tersebut, untuk dibandingkan dengan jumlah setoran pajak penghasilan masing-masing bank di wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan, Kantor Pelayanan Pajak agar meminta penjelasan kepada bank/cabang bank yang bersangkutan tentang perbedaan dimaksud, dengan tembusan kepada Cabang/Perwakilan Bank Indonesia darimana data tersebut diperoleh. Apabila bank/cabang bank tidak merespon permintaan tersebut, agar diberikan surat teguran dengan tembusan kepada Cabang/Perwakilan Bank Indonesia yang bersangkutan. Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib melaporkan tindak lanjut atas data Bank Indonesia tersebut kepada Kantor Wilayah yang bersangkutan setiap triwulanan, paling lambat 20 hari setelah akhir triwulan, dengan tembusan kepada Direktur Pajak Penghasilan.
78
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa: 1.a. Dasar hukum penerapan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia. b. Pemotong Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI di Kabupaten Purbalingga adalah Bank Indonesia dan atau bank-bank pemerintah maupun swasta yang berkedudukan di wilayah Purbalingga atau cabang bank luar negeri yang beroperasi di Kabupaten Purbalingga yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Pemotong Pajak PPh Pasal 23 tersebut wajib menyetor, melaporkan dan membayar PPh Pasal 23 ke kas negara melalui Kantor Pelayanan Pajak Pratama setempat atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan. c. Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI di Kabupaten Purbalingga adalah Wajib Pajak
79
dalam negeri, Wajib Pajak luar negeri dengan berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, dan Bentuk Usaha Tetap. d. Pengenaan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI dikenakan terhadap penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang lebih dari Rp. 7.500.000,00 dengan tarif sebesar 15% dari jumlah bruto. e. Penerapan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat yang diselenggarakan oleh inspeksi pajak yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purbalingga telah sesuai atau memenuhi aturan yang telah ditetapkan. 2. Pengawasan terhadap penerapan pengenaan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia apabila terjadi perbedaan data pemotongan Pajak Penghasilan dibandingkan dengan jumlah setoran Pajak Penghasilan pada masing-masing bank diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.43/2001 tentang Pengawasan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh final atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI. B. Saran Perlu
adanya
upaya
untuk
meningkatkan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia dengan peningkatan sumber daya manusia agar norma-norma dapat diterapkan lebih efektif dan penyuluhan-penyuluhan
80
pajak dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kewajiban membayar pajak.
81
DAFTAR PUSTAKA Literatur: Abdul Hay, Marhainis, 1987, Dasar-dasar Hukum Pajak, Jakarta: Badan Penerbit Yayasan Pembinaan Unit Penerbitan Keluarga UPN Veteran. Bagir Manan, 1999, Penelitian di Bidang Hukum, Bandung: Nomor Perdana: I, Puslitbangkum, Universitas Padjajaran. Bohari, 2004, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Brotodihardjo,R. Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Editama. Judiseno, Rimsky K. 1997. Pajak dan Srategi Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kesit, Bambang. 2001. Pajak Penghasilan Teknik Rekonsiliasi Fiskal., Yogyakarta: Ekonisia. Mardiasmo, 2009, Perpajakan Edisi Revisi 2009, Yogyakarta: Penerbit Andi. Moh. Zain dan Kustadi Arinta, 1990, Pembaharuan Pajak Nasional, Bandung : Citra Adtya. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Cipta Aditya Bakti. Munawir, 1985, Pokok-pokok Perpajakan, Yogyakarta: Liberty. Peter, Mahmud Marjuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media. Pudyatmoko,Sri, 2002, Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta: Penerbit Andi. Suandy, Erly, 2000, Hukum Pajak, Jakarta : Salemba Empat. Soemitro, Rochmat, 1988, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung: Eresco. Soemitro, Rony Hanitijo, 1988. Metodologi Penulisan dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia. Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press.
82
Supramono, Theresia Woro Damayanti. 2005. Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan. Yogyakarta: Penerbit Andi. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2002, Perpajakan Buku Satu, Jakarta : Salemba Empat.
Peraturan Perundangan: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.43/2001 Tentang Pengawasan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Final Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.