SKRIPSI
EFEKTIFITAS TERAPI RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI PRIMER DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS HELVETIA MEDAN TAHUN 2015
Oleh DESY KRISTINA 11 02 006
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN & KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA TAHUN 2015
SKRIPSI EFEKTIFITAS TERAPI RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI PRIMER DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS HELVETIA MEDAN TAHUN 2015
Skripsi ini diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) di Program Studi Ners Fakultas Keperawatan & Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia
DESY KRISTINA 11 02 006
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN & KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA TAHUN 2015 i
ii
PERNYATAAN EFEKTIFITAS TERAPI RELAKSASI NAPAS DALAM TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI PRIMER DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS HELVETIA MEDAN TAHUN 2015
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dan tercantum dalam naskah ini dan yang disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 11 Juli 2015 Peneliti
(DESY KRISTINA)
iii
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN & KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA MEDAN Skripsi, 11 Juli 2015 Desy Kristina Efektifitas Terapi Relaksasi Napas Dalam Terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Primer Di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015. Xiii + 60 Halaman + 9 Table + 3 Skema + 13 Lampiran
ABSTRAK Terapi relaksasi napas dalam yang diberikan selama 10 menit dapat menurunkan tekanan darah dan setiap penurunan tekanan darah 5 mmHg pada penderita hipertensi diperkirakan mampu menurunkan mortalitas akibat stroke 145 dan akibat penyakit jantung koroner 7%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah intervensi terapi relaksasi napas dalam pada pasien hipertensi di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan penelitian pre-post test without control group. Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan tehnik purposiv sampling yang berjumlah 25 orang. Efektifitas terapi relaksasi napas dalam untuk menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi primer dianalisis dengan mengunakan uji paired t-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perubahan tekanan darah pada masing-masing responden dengan rentang perubahan nilai tekanan darah sistolik 15,03 mmHg dan perubahan tekanan darah diastolik 12,78 mmHg. Hasil uji paired sample t-test untuk tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah intervensi adalah 0,000 dan uji paired sample t-test untuk tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah intervensi adalah 0,000, maka hipotesis efektifitas terapi relaksasi napas dalam untuk menurunkan tekanan darah dapat diterima. Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian terapi relaksasi napas dalam efektif untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Peneliti menyarankan untuk menerapkan terapi relaksasi napas dalam pada pasien hipertensi dalam menurunkan tekanan darah dan juga menyarankan agar terapi ini dapat diterapkan oleh pihak puskesmas sebagai terapi tambahan non-farmakologi di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Medan.
Kata Kunci Daftar Pustaka
: Terapi relaksasi napas dalam, hipertensi, tekanan darah. : 21 (2005-2014).
iv
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA MEDAN Mini-Thesis, 11 Juli 2015 Desy Kristina The Effectiviness Of Deep Breathing Relaxation Therapy Blood Pressure Changes In Patients Of Primary Hypertension In Working Area Of Puskesmas Helvetia Medan Xiii + 60 Page + 9 Table + 3 Scheme + 13 Enclosure
ABSTRACT Hypertension is called as the silent killer because the patient often does not know that they had hypertension before checking their blood pressure. One of management of patients with hypertension are pharmcologically and non-pharmacologically in order to prevent an incrase in blood pressure can be controlled deep breathing with relaxation therapy. This studi aimed to find our the change of systolic and diastolic blood pressure before and after the intervenstion relaxation therapy. The type of this research is experiment with research design pre-post test without control group. The research conducted in working area of Puskesmas Helvetia Medan in 2015. The sample of this research wos taken by using random sampling technigne with number of sample 25 people. This date were analyzed by using paired t-tes. The results shows that there was blood pressure changes one each respondent with a range of changes in the value of systolic blood pressure 15,03 mmHg and diastolic blood pressure changes 12,78 mmHg. The test results of paired sample t-test shows deep breathing relaxation therapy affectively in systolic and diastolic blood pressure changes wit a value of p-value 0,000 so (Ha is received). Thus cloncluded a deep breathing relaxation therapy is effective for lowering blood pressure in hypertension patients. The researcher suggest to apply this relaxation therapy in working area of Puskesmas Helvetia Medan.
Keywords Bibliography
: Deep Breathing Relaxation Therapy, Hypertension, Blood Pressure. : 21 (2005-2014)
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Identitas Mahasiswa Nama
: Desy Kristina Siagian
Nim
: 1102006
Tempat/Tgl Lahir
: Huta Dame, 17 Desember 1992
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen Protestan
Suku
: Batak Toba
Anak Ke
: 2 dari 6 bersaudara
Alamat
: Pagaran Sigatal, Mandailing Natal
2. Data Orang Tua Nama Ayah
: Gonca Siagian, S.pd
Pekerjaan
: PNS
Nama Ibu
: Rosmina Nasution, S.PaK
Pekerjaan
: PNS
Agama
: Kristen Protestan
Alamat
: Pagaran Sigatal, Mandailing Natal
3. Riwayat Pendidikan 1. Tahun 1999-2005 : SD Negeri 142605 Panyabungan Utara 2. Tahun 2005-2008 : SMP Negeri 2 Panyabungan Kota 3. Tahun 2008-2011 : SMA Negeri 1 Panyabungan Kota 4. Tahun 2011-2015 : SI Keperawatan Universitas Sari Mutiara Indonesia
4. Email
:
[email protected]
5. No. Hp
: 081370340492
vi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat serta karunia yang telah diberikannya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Efektifitas Terapi Relaksasi Napas Dalam terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Primer Di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015”.
Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan pendidikan menyelesaikan program sarjana keperawatan di Program Studi Ners Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia Tahun 2015. Skripsi penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada Bapak/ Ibu: 1. Parlindungan Purba, SH, MM, selaku Ketua Universitas Sari Mutiara Indonesia 2. Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes, selaku Rektor Universitas Sari Mutiara Indonesia. 3. Ns. Janno Sinaga, M. Kep, Sp. KMB, selaku Dekan Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia, dan ketua penguji yang telah banyak meluangkan waktunya, tenaga serta pikiran dalam penyusunan skripsi penelitian ini. 4. Ns. Rinco Siregar, Skep, MNS, selaku Ketua Program Studi Ners Fakultas Keperawatan dan Kebidanan. 5. Karnirius Harefa, S.Pd, M.Biomed, selaku penguji I yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. 6. Ns. Henny Syapitri, M.Kep, selaku penguji II yang telah memberikan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. 7. Ns. Marthalena Simamora, M.Kep, selaku penguji III yang telah memberikan saran maupun masukan dalam kelengkapan penulisan skripsi ini. 8. Para dosen yang telah senantiasa sabar mengajar, mendidik dan membimbing penulis selama menjadi mahasiswa program Studi Ners Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia. 9. Seluruh pegawai di lingkungan Program Studi Ners Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
vii
10. Dr. Hj. Yumma Sari Siregar, M.Kes, selaku kepala Puskesmas Helvetia Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.
Peneliti juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Teristimewa kepada kedua orang tuaku yang sangat saya cintai dan banggakan, Ayahanda (G.Siagian) dan Ibunda (R.Br.Nasution) yang selalu memberikan doa kasih sayang, perhatian, semangat, pengorbanan, dan dukungan baik moril maupun materil kepada peneliti dalam penulisan skripsi ini, aku sayang bapak dan mama. 2. Kepada saudara-saudara ku tercinta, kakakku (Eka Natalina Siagian), dan adekadekku tercinta (Monika Siagian, Gracia Siagian, Geo Fani Ekhlesia Siagian, dan Aprianti Paulina Siagian) yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Kepada sahabat saya Renianti Panjaitan, terimakasih untuk semangat dan bantuan yang telah diberikan kepada saya, kamu sahabat terbaikku. 4. Dan juga teman-teman mahasiswa/i PSIK angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti berusaha untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Namun, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya peneliti berharap kiranya skripsi ini akan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Medan, 11 Juli 2015 Penulis
(DESY KRISTINA)
viii
DAFTAR ISI Hal COVER DALAM................................................................................................ PERNYATAAN PERSETUJUAN .................................................................... PERNYATAAN .................................................................................................. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... ABSTRAK ........................................................................................................... ABSTRACT ......................................................................................................... KATA PENGANTAR ....................................................................................... DAFTAR ISI ...................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................... DAFTAR SKEMA .............................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... BAB I
BAB II
i ii iii iv v vi vii ix xi xii xiii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................. B. Rumusan Masalah ........................................................................ C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 1. Tujuan Umum ........................................................................ 2. Tujuan Khusus ....................................................................... D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 1. Bagi Penderita Hipertensi ..................................................... 2. Bagi Puskesmas Helvetia ....................................................... 3. Bagi Peneliti ........................................................................... 4. Bagi Peneliti Selanjutnya .......................................................
1 5 5 5 5 6 6 6 6 6
TINJAUAN PUSTAKA A. Hipertensi ...................................................................................... 1. Definisi................................................................................... 2. Bentuk-Bentuk Hipertensi .................................................... 3. Klasifikasi ............................................................................. 4. Etiologi .................................................................................. 5. Patofisiologi ......................................................................... 6. Manifestasi Klinik ................................................................. 7. Diagnosa Hipertensi .............................................................. 8. Pemeriksaan Laboratorium .................................................... 9. Komplikasi Hipertensi ........................................................... 10. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah ......................... 11. Pengukuran Tekanan Darah ................................................... 12. Penatalaksanaan .................................................................... B. Terapi Relaksasi Napas Dalam, .................................................... 1. Defenisi .................................................................................. 2. Tujuan .................................................................................... 3. Prosedur Tehnik Relaksasi Napas Dalam ...............................
7 7 9 10 13 22 25 28 28 29 31 33 34 37 37 38 38
ix
C. Mekanisme Terapi Relaksasi Napas Dalam Menurunkan Tekanan Darah ............................................................................. D. Peneliti yang Terkait ..................................................................... E. Kerangka Konsep ......................................................................... F. Hipotesa .......................................................................................
38 39 40 40
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian .......................................................................... B. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................... 1. Populasi ................................................................................. 2. Besar Sampel ......................................................................... C. Tempat Penelitian ......................................................................... D. Waktu Penelitian ........................................................................... E. Defenisi Operasional ..................................................................... F. Aspek Pengukuran ........................................................................ G. Alat dan Prosedur Pengumpula Data ............................................ 1. Alat pengumpulan data .......................................................... 2. Prosedur Pengumpulan Data .................................................. H. Etika penelitian ............................................................................. I. Pengolahan Dan Analisa Data ...................................................... 1. Pengelolaan Data .................................................................. 2. Analisa Data ..........................................................................
41 41 41 41 42 42 43 43 43 43 44 44 45 45 46
BAB IV PEMBAHASAN A. Hasil Pembahasan ......................................................................... 1. Gambaran Umum Puskesmas Helvetia Medan ........................ 2. Analisa Univariat ..................................................................... 3. Analisa Bivariat ........................................................................ B. Pembahasan........ .......................................................................... 1. Karakteristik Responden......................................................... 2. Perbedaan Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik Pre dan Post Intervensi Terapi Relaksasi Napas Dalam .............................. 3. Perbedaan Tekanan Darah Diastolik Pre dan Post Intervensi Terapi Relaksasi Napas Dalam ............................................... 4. Pengaruh Terapi Relaksasi Napas Dalam Terhadap Penurunan Darah Sistolik dan Diastolik ................................................... C. Keterbatasan Penelitian ................................................................. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ....... .......................................................................... B. Saran ................. .......................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
47 47 48 49 50 50 52 54 55 58
59 59
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 3.1. Tabel 4.1.
Klasifikasi Tekanan Darah pada Orang Dewasa .................................... Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC ...................................................... Klasifikasi European Society of Cardiologi .......................................... Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan WHO .............................................. Definisi Operasional ............................................................................... Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 ................... Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Pre dan Post Intervensi di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 ...... Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Post Intervensi di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 ................... Tabel 4.4. Perbedaan Tekanan darah Sistolik dan Diastolik Pre dan Post Intervensi ................................................................................................
xi
11 11 11 12 43 48 48 49 49
DAFTAR SKEMA Skema 2.1. WOC ..................................................................................................
25
Skema 2.1. Kerangka Konsep...............................................................................
40
Skema 3.1. Desain Penelitian ...............................................................................
41
xii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13
: Data demografi dan Riwayat Responden : Lembar Permohonan Menjadi Responden : Protokol Terapi relaksasi napas dalam : Lembar Observasi Responden : Master Data Penelitian : Distribusi Program Output SPSS : Surat Izin Memperoleh Data Dasar dari Program Studi : Surat Izin Survey Pendahuluan Di Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Medan : Surat Izin Memperoleh Data Dasar dari Puskesmas Helvetia Medan : Surat Izin Penelitian dari Program Studi : Surat Selesai Melakukan Penelitian : Lembar Konsultasi Pembimbing : Lembar Dokumentasi
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan suatu kondisi medis yag ditandai dengan meningkatnya konstraksi pembuluh darah arteri sehingga terjadi resistensi aliran darah yang meningkatkan tekanan darah terhadap dinding pembuluh darah. Menurut Word Health Organisation (WHO) dan Joint National Committe (JNC) 7 Report, (2009), seseorang dikatakan hipertensi apabila memiliki tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Beberapa faktor pemicu/resiko terjadinya hipertensi dapat dibedakan menjadi faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan usia, serta faktor yang dapat diubah seperti pola konsumsi makanan yang mengandung natrium, lemak, perilaku merokok, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (Diyan, dkk, 2013; 2).
Hipertensi dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya jika tidak ditangani dengan baik, (Hikayati., dkk, 2012; 125). Beberapa komplikasi penyakit akibat hipertensi adalah gangguan pada otak, sistem kardiovaskuler, ginjal, dan mata. Hipertensi yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan stroke, serangan jantung, gagal jantung dan merupakan penyebab utama gagal ginjal kronik. Menurut WHO dari 50% yang diketahui hipertensi, 25% mendapat pengobatan dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik.
Menurut WHO (2012), angka kejadian hipertensi di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% masyarakat mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini akan terus meningkatkan menjadi 29,2% di tahun 2025 dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Muhamadun (2010) hipertensi lansia di dunia pada tahun 2010 di Amerika berkisar satu miliar. Di bagian Asia tercatat 38,4 juta penderita hipertensi pada tahun 2000 dan diprediksi akan menjadi 67,4 juta orang pada tahun 2025.
1
2
Berdasarkan Riset Kesehatan Daerah (Riskesdas, 2013) prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8%, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner berjumlah 26,5% dimana terdiagnosis tenaga kesehatan yang menderita hipetensi sebesar 9,4% yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5%. Sehingga terdapat 0,1% yang minum obat sendiri. Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat hipertensi sebesar 0.7%. Berdasarkan penyakit penyebab kematian pasien rawat inap di Rumah Sakit Kabupaten/Kota Provinsi Sumatra Utara, hipertensi menduduki peringkat pertama dengan proporsi kematian sebesar 27,02% (1.162 orang), pada kelompok umur >60 tahun sebesar 20,23% (1.349).
Menurut Smeltzer (2002) tujuan tiap program penanganan pasien adalah mencegah terjadinya
morbiditas
dan
mortalitas
penyerta
dengan
mencapai
dan
mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Efektifitas setiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi, biaya perawatan, dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi. Algoritma penanganan yang dikeluarkan oleh Joint National on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressuer memungkinkan dokter memilih kelompok obat yang mempunyai efektivitas tertinggi, efek samping paling kecil, dan penerimaan serta kepatuhan pasien.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan nonfarmakologis, termasuk penurunan berat badan, pembatasan alkohol, natrium dan tembakau; latihan dan relaksasi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap terapi hipertensi. Apabila penderita hipertensi ringan berada dalam resiko tinggi (pria, perokok) atau bisa tekanan darah diastoliknya menetap diatas 85 atau 95 mmHg dan sistoliknya diatas 130 sampai 139 mmHg, maka perlu di mulai terapi obatobatan. Menurut Suwardianto & Kurnia (2011) peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan adalah membantu penderita hipertensi untuk mempertahankan tekanan darah pada tingkat optimal dan meningkatkan kualitas kehidupan secara
3
maksimal dengan cara memberi intervensi asuhan keperawatan, sehingga dapat terjadi perbaikan kondisi kesehatan. Salah satu tindakan non farmakologis yang dapat dilakukan perawat untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi adalah terapi relaksasi napas dalam (deep breating).
Terapi relaksasi napas dalam (deep breating) merupakan terapi relaksasi yang melibatkan otot diafragma. Menurut Suwardianto., dkk (2011), mekanisme relaksasi nafas dalam (deep breathing) dapat meningkatkan konsentrasi untuk mempermudah pengaturan
pernafasan yang akan meningkatkan oksigen dalam darah yang
memberikan rasa tenang dan mengurangi detak jantung serta akan mempengaruhi penurunan tekanan darah. Menurut Tawaang., dkk (2013), terapi relaksasi napas dalam sampai saat ini menjadi metode relaksasi yang mudah untuk penurunan tekanan darah. Terapi relaksasi pernapasan ini sangat baik untuk di lakukan setiap hari oleh penderita tekanan darah tinggi, agar membantu relaksasi otot pembuluh darah sehingga mempertahankan elastisitas pembuluhn darah arteri.
Manfaat terapi relaksasi nafas dalam ini dapat dilakukan secara mandiri, relatif mudah dilakukan dari pada terapi nonfarmakologis lainnya, tidak membutuhkan waktu lama untuk melakukan terapi ini, dan dapat mengurangi dampak buruk dari terapi farmakologis bagi penderita hipertensi.
Hasil penelitian yang mendukung pernyataan diatas adalah yang dilakukan oleh Suwardianto., dkk, (2011) yang meneliti tentang pengaruh terapi relaksasi nafas dalam (deep breathing) terhadap perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi diperoleh hasil terdapat pengaruh terapi relaksasi nafas dalam (deep breathing) terhadap perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan nilai (p sistolik = 0,000 dan p diastolik = 0,000).
Hasil penelitian lain yang mendukung penelitian diatas adalah yang dilakukan oleh Tawaang (2013), yang meneliti tentang pengaruh tehnik relaksasi napas dalam terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi sedang-berat diperoleh
4
perbedaan tekanan darah pre-test dan pos-test pada kelompok eksperimen dari kelompok kontrol, hasil penelitian menyatakan ada perbedaan tekanan darah yang signifikan antara tekanan darah Pre-Test dan Post-Test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol di ruangan Irina C BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Perbedaan dapat dilihat degan nilai (p=0,05). Hasil penelitian ini senada dengan penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Suwardianto (2011), yang menyatakan ada pengaruh teknik relaksasi napas dalam menurunkan tekanan darah, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Oktaviana (2008), yang meneliti tentang efektivitas terapi relaksasi nafas dalam untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi menunjukkan bahwa ada perubahan nilai tekanan darah sistolik pada masing-masing responden dengan rentang perubahan nilai tekanan darah sistolik antara 10-35 mmHg dan perubahan tekanan darah diastolik antara 10-20 mmHg dengan nilai p-value 0,000. Dari hasil penelitian yang dilakukan Mori., dkk, (2005), yang meneliti tentang how does deep breathing affect office blood pressure and pulse rate analisis dilakukan pada data yang dikumpulkan dari 21.563 responden. Pada kedua kelompok tekanan darah systolik bloob pressure (SBP), diastolik blood pressure (DBP) dan pulse rate (PR) secara signifikan berkurang setelah Deep Breating selam 30 menit. Pengukuran SBP lebih besar pada kelompok deep breating (DB) dari pada 30 menit kelompok sisanya dengan nilai p <0,001. Penurunan tekanan darah lebih besar ditemukan pada pasien yang memiliki tekanan darah lebih tinggi setelah diberikan DB.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan peneliti diperoleh data jumlah pasien hipertensi yang terdaftar di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan sebanyak 40 orang dengan jumlah kunjungan pada bulan Januari sebanyak 684 dan pada bulan Februari terjadi peningkatan jumlah kunjungan sebanyak 856 orang (Medical Record Puskesmas Helvetia Medan, 2015). Terjadinya peningkatan angka kunjungan pasien hipertensi dari bulan Januari ke bulan Februari disebabkan karena
5
faktor kekambuhan. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan salah seorang petugas kesehatan Puskesmas yang mengatakan tingginya jumlah kunjungan pasien hipertensi disebabkan karena kekambuhan dan kesadaran pasien untuk mengontrol tekanan darahnya dan mendapatkan obat anti hipertensi. Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa penderita hipertensi diperoleh data selain rutin kontrol tekanan darah ke puskesmas, pasien juga melakukan management diri seperti mengikuti senam hipertensi dan pengaturan diet. Namun management terapi relaksasi napas belum pernah dilakukan dan diedukasikan kepada pasien. Mengingat pentingnya management mandiri pada pasien hipertensi terutama dalam mengontrol tekanan darah yang salah satunya dapat dilakukan dengan terapi relaksasi nafas dalam maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh terapi relaksasi nafas dalam (deep breathing) terhadap perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana efektifitas terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015?”.
C. Tujuan Penelitia 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui efektivitas terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui efektifitas sebelum dan sesudah terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah sistolik pada pasien hipertensi primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan
6
b. Mengetahui efektifitas sebelum dan sesudah terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah diastolik pada pasien hipertensi primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan c. Mengetahui perbedaan tekanan darah sebelum dan sesudah pemberian terapi relaksasi napas dalam pada pasien hipertensi primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penderita Hipertensi Untuk menambah wawasan bagi responden atau masyarakat supaya lebih mengerti pentingnya terapi relasasi nafas dalam sebagai terapi tambahan dalam menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi primer Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015.
2. Bagi Puskesmas Helvetia Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan masukan mengenai pentingnya terapi relasasi nafas dalam sebagai terapi tambahan dalam menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015.
3. Bagi Peneliti a. Menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan serta mendapatkan pengetahuan dan pengalaman saat melakukan penelitian b. Memperkaya wawasan di bidang kesehatan masyarakat pada umumnya, terutama berkaitan dengan bidang yang diteliti.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber data untuk kepentingan peneliti selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hipertensi 1. Defenisi Defenisi hipertensi atau darah tinggi sangat bervariasi bergantung bagaimana seseorang memandangnya. Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya peningkatan tekanan darah di dalam arteri melebihi batas normal, batas normal tersebut 120/80 mmHg yang berarti tekanan sistolik 120 mmHg dan tekanan diatolik 80 mmHg, yang akan mengakibatkan peningktatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas), menurut (Yekti, 2011, Endang, 2014, Andra., dkk, 2013, Iskandar, 2010).
Menurut World Health Organisation (WHO), batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi; dan diantara nilai tersebut disebut sebagai normal-tinggi (batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa diatas 18 tahun). Batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg. Sebetulnya batas antara tekanan darah normal dan tekanan darah tinggi tidaklah jelas, sehingga klasifikasi hipertensi dibuat berdasarkan tingkat tingginya tekanan darah yang mengakibatkan peningkatan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah (Endang, 2014).
Menurut Endang (2014), secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi didalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke (kerusakan otak), aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (renal). Apalagi dimasa sekarang ini, pola makan masyarakat Indonesia yang sangat menyukai makan berlemak dan yang berasa asin atau gurih, terutama makanan cepat saji yang memicu timbulnya kolesterol tinggi. Kolesterol tinggi juga sering dituduh
7
8
sebagai penyebab utama penyakit hipertensi di samping karena adanya faktor keturunan (Yekti, 2011).
Menurut Iskandar (2010), tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anak-anak secara normal memiliki takanan darah yang jauh lebih rendah dari pada orang dewasa. Tekanan darah juga di pengaruhi oleh aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari juga berbeda; tertinggi pada pagi hari dan terendah ketika tidur pada malam hari.
Menurut Yekti (2011), pengobatan hipertensi bersifat jangka panjang dan harus diobati seumur hidup. Namun, obat-obatan dari dokter kadang-kadang tidak cukup ampuh untuk mengatasi hipertensi. Pengobatan alternatif seperti mengonsumsi ramuan herbal, mengonsumsi jus penurun hipertensi, dan mengatur diet makanan merupakan cara yang bijaksana untuk mencegah dan mengatasi penyakit hipertensi. Kita sendirilah yang harus bertanggung jawab terhadap munculnya hipertensi dalam riwayat kesehatan kita.
Menurut Yekti (2011), hampir disetiap negara, terutama terutama negara-negara maju hipertensi adalah persoalan publik yang sering menjadi penyebab utama kematian. Walaupun Indonesia belum termasuk negara maju, tetapi hipertensi telah menjadi salah satu faktor penyebab kematian yang tersebar dan jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Ini adalah kenyataan yang sangat menyedihkan. Usaha untuk memberikan pengertian dan kesadaran masyarakat akan hipertensi terus-menerus dilakukan oleh Dinas kesehatan dan instansi terkait. Biasanya program ini sering dilabeli dengan “Peduli Hipertensi” yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya hipertensi yang siap menyerang siapa saja.
9
2. Bentuk-Bentuk Hipertensi Menurut Iskandar (2010), hipertensi dapat muncul ke permukaan dalam bentuk hipertensi sistolik terisolasi dan hipertensi maligna. Berikut ini adalah penjelasan tentang keduanya. a. Hipertensi sistolik terisolasi Hipertensi sistolik terisolasi adalah hipertensi yang terjadi ketika tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tetapi tekanan daistolik kurang dari 90 mmHg; jadi tekanan diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan pada orang tua. Sejalan dengan pertambahan usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah; tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. b. Hipertensi maligna Hipertensi maligna adalah hipertensi yang sangat parah, karena tekanan darah berada diatas 210-120 mmHg sehingga bila tidak diobati akan menimbulkan kematian dalam waktu 3 hingga 6 bulan. Adapun hipertensi merupakan penyebab utama terjadinya komplikasi kardiovasikuler dan merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang tengah mengalami transisi sosial ekonomi.
Dibanding dengan individu yang memiliki tekanan darah normal (normotensif), penderita hipertensi memiliki resiko terserang penyakit jantung koroner 2 kali lebih besar dan resiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke. Apabila tidak diobati, kurang lebih setengah dari penderita hipertensi akan meninggal akibat penyakit jantung dan sekitar 33% akan meninggal akibat stroke, sementara 10-15% akan meninggal akibat gagal ginjal. Oleh sebab itu pengontrolan tekanan darah hal yang sangat penting.
Selain itu, peningkatan pengetahuan dan tatalaksana hipertensi sangat dibutuhkan agar dapat menurunkan angka kematian akibat penyakit
10
kardiovaskuler dan stroke. Beberapa keadaan yang disebabkan langsung oleh efek peningkatan tekanan darah pada jantung dan arteri adalah gagal jantung kongestif, stroke perdarahan, sedangkan yang lain kerena efek tidak langsung dari hipertensi seperti aterosklerotik (pengerasan arteri/plak).
3. Klasifikasi a. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi Menurut Iskandar (2010), pada umumnya sekitar 90% penyebab hipertensi tidak diketahui dan faktor turunan memegang peranan besar. Hipertensi jenis ini dikenal sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer. Ada juga hipertensi yang penyebabnya diketahui, yang disebut dengan hipertensi sekunder. 1) Hipertensi Esensial Merupakan 90% dari kasus penderita hipertensi. Dimana sampai saat ini belum diketahui penyebabnya secara pasti. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam terjadinya hipertensi esensial, seperti; faktor genetik, stres dan psikologi, serta faktor lingkungan dan diet (peningkatan penggunaan garam dan berkurangnya asupan kalium atau kalsium). Peningkatan tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda hipertensi primer. Umumnya gejala baru terlihat setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal, mata, otak dan jantung (Andra, 2013)
2) Hipertensi Sekunder Pada hipertensi sekunder, penyebab dan patofisiologi dapat diketahui dengan jelas sehingga lebih mudah dikendalikan dengan obat-obatan. Penyebab hipertensi sekunder di antaranya berupa kelainan ginjal seperti tumor, diabetes, kelainan adrenal, kelainan aorta, kelainan endokrin lainnya seperti obesitas, resistensi insulin, hipertiroidisme, dan pemakaian obat-obatan seperti kontrasepsi oral dan kortikosteroid, (Andra., dkk, 2013).
11
b. Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa
Kategori Normal Normal Tinggi Stadium 1 (Hipertensi ringan) Stadium 2 (Hipertensi Sedang) Stadium 3 (Hipertensi Berat) Stadium 4 (Hipertensi Maligna)
Tekanan Darah Sistolik Dibawah 130 mmHg 130-139 mmHg 140-159 mmHg 160-179 mmHg 180-209 mmHg 210 mmHg atau lebih
Tekanan Darah Diastolik Dibawah 85 mmHg 85-89 mmHg 90-99 mmHg 100-109 mmHg 110-119 mmHg 120 mmHg atau lebih
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Pada Orang Dewasa menurut, (Endang, 2014).
c. Klasifikasi berdasarkan derajat hipertensi 1) Berdasarkan JNC VII (European Society of Cardiologi) Derajat
Tekanan Sistolik (mmHg) <120 120-139 140-159 >160
Normal Pre-Hipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi Derajat II
Tekanan Diastolik (mmHg) <80 80-89 90-99 >100
Tabel 2.2. Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Committe) menurut, (Andra., dkk, 2013)
2) Menurut European Society of Cardiologi Kategori Optimal Normal Normal Tinggi Hipertensi Derajat 1 Hipertensi Derajat 2 Hipertensi Derajat 3 Hipertensi Sistolik Verisolasi
Tekanan (mmHg) <120 120-129 130-139 140-159 160-179 >180 >190
Sistolik Dan Dan/atau Dan/atau Dan/atau Dan/atau Dan/atau Dan
Tekanan (mmHg) <80 80-84 85-89 90-99 100-109 >110 <90
Diastolik
Tabel 2.3. Klasifikasi European Society of Cardiologi menurut (Andra., dkk, 2013)
12
3) Klasifikasi Hipertensi pada Orang Dewasa menurut Badan Dunia WHO (Word Health Organisation) Kategori Tensi optimal Tensi normal Tensi normal tinggi Tingkat 1: hipertensi ringan Subgroup: Batas Tingkat 2: hipertensi sedang Tingkat 3: hipertensi berat Hipertensi sistolik isolasi Subgroup: batas Tingkat 4: hipertensi maliogna
Tekanan Sistolik (mmHg) <120 <130 130-139 140-149 140-159 160-179 180-209 >140 140-149 >210
Tekanan Diastolik (mmHg) <80 <85 85-89 90-99 90-94 100-109 110-119 <90 <90 .120
Tabel 2.4. Klasifikasi hipertensi berdasarkan WHO menurut (dr.Iskandar, 2010).
Menurut Yekti (2011), dengan mengetahui klasifikasi diatas, kita dapat, mengantisipasi hipertensi dengan lebih baik. Kita dapat melakukan usaha pengaturan tekanan darah agar tetap dalam kondisi normal. Sebenarnya, meningkatnya tekanan darah dalam pembuluh darah bisa terjadi melalui beberapa cara sebagai berikut. a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. b. Pembuluh darah besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui pembuluh darah tersebut. Oleh karena itu, darah setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang lebih sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah. Ini lah yang terjadi pada usia lanjut karena dinding pembuluh darahnya telah menebal dan kaku karena artheriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokontriksi yaitu jika pembuluh darah kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah. c. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal itu terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume
13
darah dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga meningkat. Kondisi ini sangat berkebalikan jika kondisinya sebagai berikut. 1) Aktivitas memompa jantung berkurang 2) Pembuluh darah mengalami pelebaran 3) Banyak cairan keluar dari sirkulasi
4. Etiologi Menurut Andra., dkk (2013), menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup sehingga mungkin menimbulkan hipertensi.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatatn volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkatan preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik.
Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintasi pembuluh darah yang menyempit. Hal ini
14
disebabkan karena peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik.
Apabila peningkatan afterload berkangsung lama, maka vebtrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada hipertrofi, saraf-saraf otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraklitas dan volume sekuncup.
Menurut Endang (2014), penyebabnya, hipertensi dibedakan menjadi dua bagian yaitu hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder.
a. Hipertensi Primer (Esensial) Hipertensi primer (esensial) atau hipertensi idiopatik adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi jenis ini merupakan 90% kasus hipertensi yang banyak terjadi di masyarakat. Hipertensi ini merupakan proses kompleks dari beberapa organ utama dan sistem, meliputi jantung, pembuluh darah, saraf, hormon dan ginjal. Genetic dan ras merupakan bagian yang menjadi penyebab timbulnya hipertensi primer, termasuk factor lain yang diantaranya adalah factor stress, intake alcohol moderant, merokok, lingkungan, demografi dan gaya hidup.
Diagnosis hipertensi dibuat setelah minimal dua kali pengukuran tekanan darah tetap menunjukkan peningkatan. Pengulangan pengukuran tekanan darah dilakukan setelah 2 menit. Dikenal istilah fenomena “white coat”, yaitu suatau keadaan peningkatan tekanan darah yang terbaca saat diukur oleh dokter atau tenaga kesehatan. Fenomena hipertensi white coat dapat disingkirkan dengan melakukan pengukuran pada dua setting tempat yang berbeda, yaitu pengukuran oleh dokter atau tenaga kesehatan dan
15
pengukuran di rumah atau komunitas. Pengukuran tekanan darah dilakukan secara cermat dan hati-hati, untuk menentukan keakuratan diagnosa. Monitoring tekanan darah selama aktifitas atau pergerakan juga dapat membantu menegakkan diagnosa.
b. Hipertensi Sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh beberapa penyakit antara lain: 1) Penyakit parenkim ginjal, 2) Penyakit renovaskuler, 3) Hiperaldeseronisme primer, 4) Sindrom Crusing, 5) Obat kontrasepsi dan 6) Koartasio aorta. Hipertensi jenis ini terjadi pada 5% kasus yang terjadi di masyarakat. Selain itu ada beberapa jenis hipertensi dengan ciri khas khusus. Isolated Systolic Hypertension (ISH) adalah hipertensi yang terjadi ketika tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg namun tekanan diastolik dalam batas normal. Keadaan ini berhubungan dengan arteriosclerosis (pengerasan dinding arteri) (Vita Health, 2006).
Menurut Yekti & Wulandari (2011), hipertensi disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat mempengaruhi satu sama lain. Kondisi masing-masing orang tidak sama sehingga faktor penyebab hipertensi pada setiap orang sangat berlainan. Berikut ini faktor yang menyebakan terjadinya hipertensi secara umum. Salah satu mengenai tubuh kita maka akan mudah menderita hipertensi.
a. Toksin Toksin adalah zat-zat sisa pembuangan yang seharusnya dibuang karena bersifat racun. Dalam keadaan biasa hati akan membuang sisa-sisa pembuangan melalui saluran usus dan kulit. Sementara ginjal mengeluarkan sisa-sisa pembuangan melalui saluran kencing atau kantong kencing. Apabila hati dan ginjal kita terluka atau terbebani, maka fungsi pembersihan toksin yang biasanya dapat dilakukan menjadi tidak dapat dilakukan. Akibatnya toksin didalam tubuh kita akan menyebar kedalam darah. Darah yang
16
mengandung toksin tersebut jika tidak dapat dihilangkan atau dinetralisir akan dapat menyebabkan kematian.
Daya tahan endokrin akan membawa toksin supaya toksin tersebut dapat dibersihkan melalui organ-organ pengeluaran lain seperti kelenjar gondok yang akan memaksa pembersihan toksin melalui sel-sel membran mucs yang berasal dari endothelial dan menyebakan mikositis. Kelenjar adrenal akan memaksa ginjal memperkuat fungsi penyaringan sehingga dapat merusak ginjal. Tekanan darah juga dapat meningkat dan menyebabkan serangan penyakit jantung atau berpengaruh buruk terhadap sistem penyebaran lainnya.
Penyakit yang paling biasa diderita akibat penumpukan toksin dalam tubuh adalah pilek, flu, bronkhitis. Penumpukan toksin pada bagian yang berlainan pada tubuh akan menyebabkan penyaki-penyakit yang berbeda-beda, termasuk hipertensi. Sisa-sisa pembuangan dalam saluran darah akan menghambat kelancaran peredaran darah. Hal tersebut akan mengakibatkan jantung bekerja lebih keras untuk membantu perjalanan darah melalui saluran yang tersumbat. Hal tersebut menyebabkan pembesaran jantung dan selanjutnya mengakibatkan penyakit jatung. Sementara itu, tekanan yang dilakukan terhadap saluran darah akan mengakibatkan tekanan darah tinggi.
b. Faktor Genetika Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga tersebut mempunyai resiko hipertensi. Individu dengan orang tua hipertensi mempunyai resiko dua kali lipat lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada individu yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Ada baiknya mulai sekarang kita memeriksa riwayat kesehatan keluarga sehingga kita dapat melakukan antisipasi dan pencegahan. Ini tidak hanya berlaku untuk penyakit hipertensi tetapi juga untuk penyakit-penyakit lainnya.
17
Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur), apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran didalam terjadinya hipertensi. Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi, (Endang, 2014).
c. Umur Kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Individu yang berumur diatas 60 tahun, 50-60% mempunyai tekanan darah lebih besar atau sma dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya. Proses penuaan adalah hal alami yang tidak bisa kita hindari. Namun, menjadi tua denga tetap sehat adalah hal yang bisa kita usahan sejak dini. Oleh karena itu jagalah dan rawatlah baik kesehatan kita.
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Insiden hipertensi semakin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur. Jenis kelamin juga sangat erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami monopause, (Endang, 2014).
18
d. Jenis Kelamin Setiap jenis kelamin memiliki struktur organ dan hormon yang berbeda. Demikian juga pada perempuan dan laki-laki berkaitan dengan hipertensi, laki-laki mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal. Laki-laki juga mempunyai resiko lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas kardivaskuler. Sedangkan pada perempuan, biasanya lebih rentan terhadap hipertensi ketika mereka sudah berumur diatas 50 tahun. Sangatlah penting untuk menjaga kesehatan sejak dini. Terutama mereka yang memiliki sejarah keluarga terkena penyakit.
Menurut Endang (2014), perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita hipertensi. Dari laporan sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka Prevalensi 6% dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari Sumatra Barat menunjukkan 18,6% pada pria dan 17,4% wanita. Di daerah perkotaan Semarang didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta didapatkan 14,6 pada pria dan 13,7% pada wanita.
e. Etnis Setiap etnis memiliki kekhasan masing-masing yang menjadi ciri khas dan pembeda satu dengan lainnya. Hipertensi lebih banyak terjadi pada berkulit hitam dari pada berkulit putih. Belum diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi pada orang berkulit hitam kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopresin yang lebih besar.
f. Stress Stress akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktifitas saraf simpatetik. Adapun stres ini berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal. Stress merupakan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Terdapat beberapa jenis penyakit yang
19
berhubungan denga stres yang dialami seseorang, diantaranya hipertensi atau peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 120 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg.
Stres yang dialami seseorang akan mengakibatkan saraf simpatetis yang akan memicu kerja jantung dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Oleh kerana itu, bagi mereka yang sudah memiliki riwayat sejarah kesehatan penderita hipertensi, disarankan untuk berlatih mengendalikan stress dalam hidupnya. Stres tidak hanya memicu timbulnya hipertensi, tetapi juga banyak penyakit fisik berat lainnya yang disebabkan oleh stres. Hidup sehat dan menggunakan pola pikir sehat merupakan salah satu cara untuk mengendalikan stress.
Faktor lingkungan seperti stres berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial. Hubungan antara stres dengan hipertensi, diduga melalui aktifitas saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita tidak beraktivitas. Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan
darah
secara
intermitan
(tidak
menentu).
Apabila
stres
berkepanjangan, dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti, tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stres yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Peningkatan tekanan darah sering ontermitan pada awal perjalanan penyakit. Bahkan pada kasus yang yang sudah tegak diagnosisnya, sangat berfluktuasi sebagai akibat dari respon terhadap stres emosional dan aktifitas fisik. Selama terjadi rasa takut ataupun stres tekanan arteri sering kali meningkat sampai setinggi dua kali normal dalam waktu beberapa detik, (Endang, 2014).
20
g. Obesitas Kegemukan (obesitas) juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit berat, salah satunya hipertensi. Penelitian epidemiologi menyebutkan adanya hubungan antara berat badan dengan takanan darah baik pada pasien hipertensi maupun normotensi. Pada populasi yang tidak ada peningkatan berat badan seiring umur, tidak dijumpai peningkatan tekanan darah sesuai peningkatan umur. Yang sangat mempengaruhi tekanan darah adalah kegemukan pada tubuh bagian atas dengan peningkatan jumlah lemak pada bagian perut atau kegemukan terpusat (obesitas sentral).
Menurut Endang (2014), berdasarkan penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari populasi hipertensi dan dibuktikan bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya hipertensi di kemudian hari. Walaupun belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi esensial, tetapi penyelidikan membuktikan bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita yang mempunyai berat badan normal. Terbukti bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dari pada penderita hipertensi dengan berat badan normal.
h. Nutrisi Sodium adalah penyebab pentingnya terjadinya hipertensi primer. Asupan garam tinggi akan menyebabkan pengeluaran berlebihan dari hormon natriouretik yang secara tidak lansung akan meningkat tekanan darah. Asupan darah tinggi dapat menimbulkan perubahan tekanan darah yang dapat terdeteksi yaitu lebih dari 14 gram per hari atau jika dikonversi ke dalam takaran sendok makan adalah lebih dari 2 sendok makan. Bukan berarti kita makan garam 2 sendok makan setiap hari tetapi garam tersebut terdapat dalam makan-makanan asin atau gurih yang kita makan setiap hari.
21
i. Merokok Penelitian terbaru menyatakan bahwa merokok menjadi salah satu faktor resiko hipertensi yang dapat dimodifikasi. Merokok merupakan faktor resiko yang potensial untuk ditiadakan dalam upaya melawan arus peningkatan hipertensi khususnya dan penyakit kardiovaskuler secara umum di Indonesia.
j. Narkoba Mengkonsumni narkoba jelas tidak sehat. Komponen-komponen zat adiftif dalam narkoba juga akan memicu peningkatan takanan darah. Sangat lah penting untuk menjalani pola hidup sehat agar terhindar dari hipertensi. Penyakit
kecanduan
narkoba
kelihatannya
sepele
tetapi
sangatlah
mematikan. Efek buruk yang ditimbulkannya sangatlah besar. Itulah sebabnya mendeteksi keberadaan hipertensi sejak dini sangat diperlukan, dan harus diimbangi juga dengan pola hidup sehat.
Narkoba tidak ada sedikitpun kebaikanya. Ada banyak pihak, terutama generasi muda yang beralasan menggunakan narkoba dengan alasan life style dan pergaulan. Akan tetapi, mereka tidak mengerti bahwa life style dan pergaulan yang sebenarnya adalah hidup sehat dan terbebas dari kematian yang sia-sia.
k. Alkohol Pengunaan alkohol secara berlebihan juga akan meningkat tekanan darah seseorang. Selain tidak bagus bagi tekanan darah kita, alkohol juga membuat kita
kecenderungan
yang
akan
sangat
menyulitkan
untuk
lepas.
Menghentikan kebiasaan mengkonsumsi alkohol sangatlah baik, tidak hanya bagi hipertensi kita tetapi juga untuk kesehatan kita secara keseluruhan.
l. Kafein Menikmati kopi dan teh memang sangat enak dan nikmat. Apalagi jika dilakukan di acara ngobrol bersama teman tentu sangat menyenangkan.
22
Namun, kita harus mewaspadai bahayanya kafein. Kopi adalah bahan minuman yang banyak mengandung kafein. Kopi adalah bahan minuman yang
banyak
mengandung
kafein.
Demikian
pula
teh
walaupun
kandungannya tidak sebanyak pada kopi. Kandungan kafein selain tidak baik pada tekanan darah dalam jangka panjang, pada orang-oarang tertentu juga menimbulkan efek yang tidak baik seperti tidak bisa tidur, jantung berdebardebar, sesak napas, dan lain-lain.
m. Kurang Olah Raga Kondisi yang kurang gerak dan kurang olah raga dapat memicu kolesterol tinggi dan juga adanya tekanan darah yang terus menguat sehingga memunculkan hipertensi.
n. Kolesterol Tinggi Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah dapat menyebabkan timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah. Hal ini dapat membuat pembuluh darah menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat. Sudah sangat layak kita harus mengendalikan kolesterol kita sedini mungkin.
5. Patofisiologi Menurut Andra (2013), kepastian mengenai patofiologi hipertensi masih dipenuhi ketidakpastian. Sejumlah kecil pasien (antara 2% dan 5%) memiliki penyakit ginjal atau adrenal yang menyebabkam peningkatan tekanan darah. Namun, masih belum ada penyebab tunggal yang dapat diidentifikasi dan kondisi ini lah yang disebut sebagai “hipertensi esensial”. Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan darah normal, yang kemudian dapat turut berperan dalam terjadinya hipertensi esensial.
Beberapa faktor yang saling berhubungan mungkin juga turut serta menyebabkan peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi, dan peran mereka berbeda pada setiap individu. Diantara faktor-faktor yang telah dipelajari
23
secara intensif adalah asupan garam, obesitas, dan resistensi urin, sistem reninangiotensin, dan sistem saraf simpatis. Pada beberapa tahun belakangan, faktor lainnya telah dievaluasi, termasuk genetik, disfungsi endotel (yang tampak pada perubahan endotelin dan ritrat oksida)
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medula di otak. Dan pusat vasomotor ini bermula jarak simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolummna medula spinalis ke gonglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vosomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjer adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mengsekresikan epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokontriksi pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatau vasikontriktor kuat yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung pencetus keadaan hipertensi.
24
Perubahan strutural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya alastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya rengang pembuluh darah, konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan jantung dan peningkatan tahanan primer.
WOC Tumor otak
Penyebab yang tidak jelas Secara medis
TIK Aliran darah otak askemia
Vasomotor medula otak Implus simpatis Medula spinalis Asetil kolin Gangla simpatis toraks dan obdomen obat-obatan Stres psikologi Vasokontriksi
Obstruksi A renali Sherisis A renalia
stres psikologi
GFR Pelepasan renin oleh juksia glomerular
perdarahan
Angiotensonogen (hati) Angiotensin I (vasokontriktor ringan)
merokok obesitas ACE (paru) DM
Angiotensin II (vasokontraktor kuat)
LDL & VLDL
Pengeluaran aldosteran oleh
Kortekx adrenal
vosokontriksi
A. Aleren
obesitas
Reseptor insulin Retensi natrium dan air GH aktif Volume cairan eksternal
hipertrofi strukutural Perubahan membran sel
25
Volume intravaskuler Pelepasan muatan listrik CA intra sel
Alir balik vena jantung
Tahanan Listrik
Curah jantung
Autoregulasi (vasokontriksai jaringan) Tahanan perifer
Tekanan arteri (hipertensi)
Tekanan vaskular serebral Renalis
Tekanan vaskular serebral
Tekanan A. Renalis
Tekanan A.
Hipertropi vertikel (RVL) ruptur serebral Ruptur A. Renalis edema pupil ruptur (MK. Resti kerusakan perfusi jaringan) Gagal jantung intra serebral (stroke)Perdarahan ginjal perdarahan (MK. Resti cidera) Disritmia kelumpuhan Negrosis A. Aferen dan kapiler (MK. Resti cidera) Glomerulus
Gagal ginjal
Uremia
Hematuria
Skema 2.1. WOC (Andra , 2013)
6. Manifestasi Klinik Menurut Endang (2014), gejala klinis yang dialami oleh penderita hipertensi biasanya berupa; pusing, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak napas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, dan mimisan. Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakkan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukkan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinaria pada saat malam hari) dan azetoma peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemiktransien
26
yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemipelgia) atau gangguan tajam penglihatan.
Gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa nyeri kepala pada saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah antracranial. Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelaianan apapun selain tekanan darah yang perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus). Gejala umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tibatiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain.
Menurut Iskandar (2010), gejala hipertensi sekunder berbeda dengan hipertensi primer. Berikut akan dijelaskan gejala-gejala yang berkaitan dengan hipertensi sekunder.
a. Terkait dengan kelainan pada ginjal 1) Terdapat riwayat penyakit ginjal dalam keluarga 2) Sering terserang infeksi saluran kemih 3) Sering haus dan buang air kecil 4) Pernah mengalami trauma atau benturan keras di pinggang
b. Terkait dengan penyakit feokromositoma, terdapat gejala-gejala di bawah ini, yang umumnya berulang, tidak teratur, dan tekanan darah selalu sangat tinggi. 1) Sakit kepala akut dan tiba-tiba 2) Jantung berdebar-debar 3) Keringat berlebihan 4) Wajah pucat
27
c. Hipertiroidisme (hormon tiroid tinggi). Kelainan ini meningkat tekanan sistolik, sehingga menimbulkan gejalagejala seperti: 1) Mudah gugup 2) Banyak keringat 3) Selalu merasa kepanasan 4) Berdebar-debar 5) Tremor atau gemeteran 6) Cepat lelah 7) Berat badan turun 8) Bola mata menonjol 9) Terdapat pembesaran atau benjolan kelenjer tiroid
d. Hipotiroidisme (hormon tiroid rendah). Kelainan ini dapat meningkat tekanan darah sistolik maupun diastolik sehingga menimbulkan gejala: 1) Tidak tangan dingin 2) Cepat lelah 3) Melambat fungsi tubuh 4) Barat badan naik/kegemukan 5) Kulit kasar 6) Suara parau atau rendah 7) Sembab pada mata, kaki, dan tangan
e. Gejala akibat berlebihan hormon kortisol: Hormon kortisol diproduksi oleh kelenjer adrenal yang dapat meningkat tekanan darah. Jika produksinya berlebihan, maka akan timbul gejala-gejala berikut ini: 1) Peningkatan penumpukan lemak diwajah, leher, atau badan 2) Kulit menipis, tanda guratan ungu, mudah memar, rambut tumbuh berlebihan
28
3) Emosi labil 4) Kenaikan berat badan yang drastis 5) Tubuh melemah
7. Diagnosis Hipertensi Menurut Iskandar (2010), untuk mengetahui keberadaan hipertensi, pengukuran tekanan darah harus dilakukan dalam keadaan duduk rileks atau berbaring selama 5 menit. Apabila hasil pengukuran menunjukkan angka 140/90 mmHg atau lebih, hal ini dapat diartikan sebagai keberadaan hipertensi, tetapi diagnosis tidak dapat dipastikan hanya berdasarkan satu kali pengukuran saja. Jika pada pengukuran pertama hasilnya tinggi, maka tekanan darah diukur kembali sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk menyakinkan adanya hipertensi.
8. Pemeriksaan Laboratorium Menurut Iskandar (2010), pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain tidak selalu dilakukan, kecuali jika anda mencurigai keberadaan hipertensi sekunder, pemeriksaan tersebut meliputi:
a. Pemeriksaan urin. Dilakukan untuk mengetahui keberadaan protein dan selsel darah merah (eritrosit) yang menandai kerusakan ginjal. Kadar gula untuk mendeteksi kencing manis juga sebaiknya diperiksa. b. Pemeriksaan darah. Dilakukan untuk mengetahui fungsi ginjal, termasuk mengukur kadar ureum dab kreatinin. Kadar kalium dalam urin akan tinggi jika terdapat penyakit aldosteronisme primer, karena tumor korteks kelenjer adrenal yang dapat memicu hipertensi. Kadar kalsium yang tinggi berhubungan dengan hipertiroidisme. Melalui pemeriksaan ini, kadar gula darah dan kolesterol juga diukur. Berikut adalah nilai normal beberapa pemeriksaan dalam mg/dl 1) Ureum: 15050 2) Kreatinin: 0,6 sampai 1,3 3) Asam urat: 3,4-7 (pria) dan 2,4-5,7 (wanita)
29
4) Glukosa sewaktu: kurang dari 150 5) Glukosa puasa: 79-100 6) Kolesterol HDL: di atas 45 7) Kolesterol LDL dan trigliserida: kurang dari 150 8) Kalium: 3,3-5,1 mEq/L 9) Natrium: 135-155 mEq/L 10) Kalsium: 8,8-10,2
9. Komplikasi Hipertensi Menurut Yekti (2011), bahaya penyakit hipertensi sangat beragam. Apabila orang mengalami hipertensi maka akan mengalami komplikasi dengan penyakit lainnya. Seperti yang telah disingggung sebelumnya, bahwa satu gangguan pada organ tubuh manusia akan meyebabkan gangguan pada bagian lainnya. Apabila organ sakit maka organ yang lainnya juga akan ikut terganggu.
a. Hipertensi merusak ginjal Hipertensi juga dapat memicu rusaknya ginjal. Penyakit gagal ginjal kronis merupakan penyakit yang diderita oleh satu dari sepuluh orang dewasa. Tanpa pengendalian yang cepat dan tepat, pada tahun 2015 penyakit ginjal diperkirakan bisa menyebabkan kematian hingga 36 juta penduduk dunia. Tekanan darah yang tidak terkontrol dapat merusak ginjal. Hipertensi harus membuat ginjal bekerja dengan keras. Akibatnya, sel-sel pada ginjal akan rusak. Tes darah dan air seni mungkin berguna dalam mendeteksi kelainankelainan ginjal pada orang-orang dengan hipertensi. Sebagai tambahan, adanya protein di dalam air seni (proteinuria) dapat mereflesikan kerusakan ginjal dari hipertensi bahkan jika fungsi ginjal normal.
b. Hipertensi merusak kinerja otak Kemampuan otak juga akan berpengaruh. Penderita hipertensi pada usia tengah baya umumnya akan mengalami kehilangan kemampuan kognitifmemori,
kehilangan
pemecahan
masalah,
kurang
konsentrasi,
dan
30
kehilangan daya sehat pertimbangan selama 25 tahun kemudian. Kinerja otak juga bisa terganggu dari adanya hipertensi yang disebabkan oleh adanya pembentukan lepuh kecil pada pembuluh darah otak (neurisma) yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya stroke dan gagal jantung karena terjadi penyempitan dan pengerasan pembuluh-pembuluh darah yang ada dijantung.
c. Hipertensi merusak kinerja jantung Apabila seseorang mengalami kerusakan tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin) maka hal ini dapat membawa si penderita ke dalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus-menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja ekstra keras. Pada akhirnya, kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak, dan mata. Jantung yang bertugas untuk mendristibusikan darah keseluruh tubuh tidak bisa lagi menjalankan fungsinya. Hipertensi sering menjadi penyebab terjadinya serangan jantung.
d. Hipertensi meyebabkan kerusakan mata Hipertensi kronis dapat menjurus pada pembesaran jantung, gagal ginjal, kerusakan otak, atau saraf. Selain itu, hipertensi juga dapat menyebabkan kerusakn mata. Adanya gangguan dalam tekanan darah akan mnyebabkan perubahan-perubahan dalm retina pada belakang mata.
Pemeriksaan
mata
pada
pasien
dengan
hipertensi
berat
dapat
mengungkapkan kerusakan, penyempitan pembuluh-pembuluh darah kecil, kebocoran darah kecil (hemorrhage) pada retina, dan menyebabkan terjadinya pembengkakan saraf mata. Dari jumlah kerusakan, dokter dapat mengukur keparahan dari hipertensi. Selain itu, akan dilakukan tindakantindakan lanjutan untuk menangani hipertensi tersebut.
31
e. Hipertensi menyebabkan resistensi pembuluh darah Orang yang mengalami hipertensi akut biasanya mengalami suatu kekakuan yang meningkat atau resistensi pada pembuluh-pembuluh darah sekeliling di seluruh jaringan-jaringan tubuhnya. Peningkatan resistensi ini menyebabkan otot jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah melalui pembuluhpembuluh darah. Peningkatan beban kerja ini dapat menegangkan jantung yang dapat menjurus pada kelaianan-kelainan jantung yang umunya pertama kali terlihat sebagai pembesaran otot jantung.
f. Hipertensi menyebabkan stroke Hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan stroke yang dapat menjurus pada kerusakan otak atau saraf. Stroke umunya disebabkan oleh suatu hemorrhage (kebocoran darah atau leaking blood) atau suatu gumpalan darah (trombosis) dari pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak. Gejala-gejala dan tanda-tanda (penemuan-penemuan pada pemeriksaan fisik) pasien di evaluasi untuk menilai kerusakan otak.
10. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah a. Umur Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia hingga dewasa. Pada orang lanjut usia, arterinya lebih keras dan kurang fleksibel terhadap tekanan darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding pembuluh darah lagi retraksi sacara fleksibel pada penurunan tekanan darah.
Menurut Yekti & Wulandari (2011), ada banyak orang beranggapan bahwa hipertensi hanya menyerang golongan manula atau lanjut usia. Ini adalah pandangan yang tidak benar. Hipertensi tidak mengenal umur. Semua usia rawan hipertensi, baik mereka yang tua, muda, bahkan anak-anak baik lakilaki maupun perempuan. Hal tersebut terutama dipengaruhi oleh pola hidup yang tidak sehat dan makan secara sembarangan. Jadi, tidaklah
32
mengherankan kalau banyak anak muda terkena hipertensi akut dengan dampak negatif seperti serangan jantung.
Oleh karena tidak ada masa usia tertentu yang dapat diketegorikan rawan hipertensi, maka sejak dini kita harus melakukan deteksi hipertensi dan melakukan antisipasi pencegahan. Langkah penting ini harus segera diambil terutama mereka yang memang sejak awal memiliki genetik penderita hipertensi. Pola hidup sehat dan pola makan sehat merupakan pilihan tepat untuk menjaga diri terbebas hipertensi. Semua itu harus dilakukan secara ters-menerus, tidak boleh temporer. Sekali kita lengah menjaga diri dengan tidak mengikuti pola makan sehat dapat dipastikan kita akan mudah terkena hipertensi dan penyakit lainnya.
Pada anak-anak meskipun masih dalam masa pertumbuhan, orang tua selayaknya juga mengontrol jenis zat-zat yang masuk ke dalam tubuh mereka. Jagan sampai mereka mengkonsumsi sembarang makanan yang dapat memicu hipertensi akut dikalangan anak-anak.
b. Jenis kelamin Perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi
c. Olah raga Aktivitas fisik meningkatkan tekanan darah. Untuk mendapat pengkajian yang dapat dipercaya dari tekanan darah saat istirahat, tunggu 20-30 menit setelah olahraga.
d. Obat-obatan Banyak obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan darah.
33
e. Stres Stimulasi
sistem
saraf
simpatis
meningkatkan
curah
jantung
dan
vasokontriksi arteriol sehingga meningkatkan nilai tekanan darah.
f. Ras Pria Amerika berusia di atas 35 tahun memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria Amerika Eropa dengan usia yang sama
g. Obesitas Obesitas baik pada anak-anak maupun dewasa faktor pridisposisi hipertensi.
11. Pengukuran Tekanan Darah Menurut Hanik Fitri (2014), pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
a. Metode langsung Pada metode langsung, kateter arteri dimasukkan ke dalam arteri. Walaupun hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode pengukuran ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan lain. Bahaya yang dapat ditimbulkan saat pemasangan kateter arteri yaitu nyeri inflamasi pada lokasi penusukan, bekuan darah karena tertekuknya kateter, perdarahan (ekimosis) bila jarum lepas dan tromboplebitis.
b. Metode tidak langsung Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan sfigmomanometer dan stetoskop. Sfigmomanometer tersusun atas manset yang dapat dikembangkan dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dengan rongga dalam manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang terbaca pada manometer sesuai dengan tekanan dalam milimeter air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis.
34
Pengukuran tekanan darah dimulai dengan membalutkan manset dengan kencang dan lembut pada lengan atas dan dikembangkan dengan pompa. Tekanan dalam manset dinaikkan sampai denyut radial atau brakial menghilang. Hilangnya denyutan menunjukkan bahwa tekanan sistolik darah telah dilampaui dan arteri brakialis telah tertutup. Manset dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg diatas titik hilangnya denyutan radial. Kemudian manset dikempiskan perlahan, dan dilakukan pembacaan secara auskultasi maupun palpasi. Dengan palpasi kita hanyadapat mengukur tekanan sistolik. Sedangkan dengan auskultasi kita dapat mengukur tekanan sistolik dan diastolik dengan lebih akurat.
Untuk mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat dibawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik dimana arteri brakialis muncul di antara kedua kaput otot biseps. Manset dikempiskan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik, sementara kita mendengarkan awitan bunyi berdetak yang menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut dikenal sebagai bunyi Korotkoff yang terjadi bersamaan dengan detak jantung, dan akan terus terdengar dari arteribrakialis sampai tekanan dalam manset turun di bawah tekanan diastolik dan pada titik tersebut bunyi akan hilang.
12. Penatalaksanaan Secara umum penatalaksanaan hipertensi terbagi menjadi 2 yaitu secara farmakologi dan nonfarmakologi.
a. Terapi Farmakologi Triyanto (2014), upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti hipertensi. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan kemungkinan seumur hidup:
35
1) Golongan diureti Diuretik thiazid biasanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan diseluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah. Diuretik juga menyebabkan pelebaran pembuluh darah. Diuretik menyebabkan hilangnya kalium atau obat penahan kalium. Diuretik sangat efektif pada: orang kulit hitam, lanjut usia, kegemukan, penderita gagal jantung atau penyakit ginjal menahun.
2) Penghambat adrenergik Penghambat adrenergik merupakan sekelompok obat yang terdiri dari alfa-bloker, beta-bloker dan alfa-beta-bloker labetalol, yang menhambat efek sistem saraf simpatis. Sistem saraf simpatis adalah sistem saraf yang dengan segera akan memberikan respon terhadap stres, dengan cara meningkatkan tekanan darah. Yang paling sering digunakan adalah betabloker, yang efektif diberikan kepada: penderita usia muda, penderita yang pernah mengalami serangan jantung, penderita dengan denyut jantung yang cepat, angina pektoris (nyeri dada), sakit kepala migren.
3) ACE-inhibitor Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-inhibitor) menyebab penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan arteri. Obat ini efektif diberikan kepada: orang kulit putih, usia muda, penderita gagal jantung, penderita dengan protein dalam air kemihnya yang disebabkan oleh penyakit ginjal menahun atau penyakit diabetik, pria yang menderita impotensi sebagai efektif samping dari obat yang lain.
4) Angiotensin-II-bloker Angiotensin-II-bloker menyebabkan penurunan tekanan darah dengan suatu mekanisme yang mirip dengan ACE-inhibitor.
36
5) Antagonis kalsium Antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan mekanisme yang benar-benar berbeda. Sangat efektif diberikan kepada: orang kulit hitam, lanjut usia, penderita angina pektoris (nyeri dada), denyut jantung yang cepat, sakit kepala migren.
6) Vasodilator Vasodilator langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah. Obat dari golongan ini hampir selalu digunakan sebagai tambahan terhadap obat anti-hipertensi lainnya.
7) Kedaruratan hipertensi Kedaruratan hipertensi (misalnya hipertensi maligna) memerlukan obat yang menurunkan tekanan darah tinggi dengan segera. Beberapa obat bisa menurunkan tekanan darah dengan cepat dan sebagian besar diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah): diazoxide, nitroprusside, nitroglycerin, labetatol.
b. Penatalaksanaan nonfarmakologi Menurut Andra (2013), penatalaksanaan nonfarmakologi dengan modifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah tinggi. Penatalaksanaan hipertensi dengan nonfarmakologi terdiri dari berbagai macam cara modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah yaitu: 1) Mempertahankan berat badan ideal 2) Kurangi asupam natrium 3) Batasi konsumsi alkohol 4) Makan K dan Ca yang cukup dari diet 5) Menghindari merokok 6) Penurunan stres
37
7) Olahraga/Aktivitas fisik teratur 8) Terapi relaksasi
B. Terapi Relaksasi Napas Dalam 1. Defenisi Menurut Endang (2014), relaksasi merupakan salah satu tehnik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatetis dan parasimpatetis. Tehnik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan, mengatasi imsomnia dan asma. Di Indonesia, penelitian relaksasi progresif sudah cukup banyak dilakukan. Terapi relaksasi progresif terbukti efektif dalam menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.
Tehnik relaksasi menghasilkan respon fisiologis yang terintegrasi dan juga mengganggu bagian dari kesadaran yang dikenal sebagai “respon relaksasi Benson”. Respon relaksasi diperkirakan menghambat sistem saraf otonom dan sistem saraf pusat dan meningkatkan aktivitas saraf otonom dan sistem saraf pusat dan meningkatkan aktivitas parasimpatis yang dikarakteristikkan dengan menurunya otot rangka, tonus otot jantung dan mengganggu fungsi neuroendokrin. Agar memperoleh manfaat dari respon relaksasi, ketika melakukan tehnik ini diperlukan lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman dan dapat mempergunakan rekaman latihan relaksasi berupa tape. Alat ini akan membantu pasien menfokuskan perhatian (konsentrasi) pada pelepasan ketegangan otot di setiap otot-otot tubuh yang utama sambil merasakan irama pernafasan.
Menurut Smeltzer & Barre (2002), tehnik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara
38
perlahan. Tehnik relaksasi napas dalam dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tehnik relaksasi merupakan metode efektif untuk menurunkan tekanan darah.
2. Tujuan Smelzer & Barre (2002), menyatakan bahwa tujuan tehnik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stres fisik maupun emosional yaitu menurunkan tekanan darah dan menurunkan kecemasan.
3. Prosedur Tehnik Relaksasi Napas Dalam Menurut National Safety Council(2013), langkah dari tehnik relaksasi napas dalam terdiri dari empat fase: a. Fase I : Inspirasi dengan menarik udara masuk ke dalam paru melalui hidung, memposisikan tubuh serileks mungkin, konsentrasi, dan perhatikan penuh b. Fase II : Beri jeda sebelum mengeluarkan dari paru, selama 3 detik berikutnya yang akan menimbulkan daya lenting elastisitas dinding dada dan paru untuk menghasilkan ekspirasi. c. Fase III : Ekhalasi, mengeluarkan udara sebelum mulai menghirup udara lagi d. Fase IV : Beri jeda kembali selama 2 detik setelah mengeluarkan udara sebelum mulai menghirup nafas lagi e. Pemberian tehnik relaksasi napas dalam dilakukan selama 5 sampai 15 menit setipa kali, satu dua kali sehari selama dua minggu. C. Mekanisme Terapi Relaksasi Napas Dalam menurunkan Tekanan Darah Menurut Suwardianto dan, Kurnia (2011, dalam kutipan Izzo, 2008), Mekanisme relaksasi nafas dalam (deep breathing) pada sistem pernafasan berupa suatu keadaan inspirasi dan ekspirasi pernafasan dengan frekuensi pernafasan menjadi 6-10 kali
39
permenit sehingga terjadi peningkatan regangan kardiopulmonari. Menurut Heru Suwardianto dan, Erlin Kurnia, (2011;39, dalam kutipan Gohde, 2010, Muttaqin, 2009; 12-17) Stimulasi peregangan di arkus aorta dan sinus karotis diterima dan diteruskan oleh saraf vagus ke medula oblongata (pusat regulasi kardiovaskuler), selanjutnya merespon terjadinya peningkatan refleks baroreseptor. Impuls aferen dari baroreseptor mencapai pusat jantung yang akan merangsang aktivitas saraf parasimpatis dan menghambat pusat simpatis (kardioakselerator), sehingga menyebabkan vasodilatasi sistemik, penurunan denyut dan daya kontraksi jantung. Sistem saraf parasimpatis yang berjalan ke SA node melalui saraf vagus melepaskan neurotransmiter asetilkolin yang menghambat kecepatan depolarisasi SA node, sehingga terjadi penurunan kecepatan denyut jantung (kronotropik negatif). Perangsangan sistem saraf parasimpatis ke bagian-bagian miokardium lainnya mengakibatkan penurunan kontraktilitas, volume sekuncup, curah jantung yang menghasilkan suatu efek inotropik negatif. Keadaan tersebut mengakibatkan penurunan volume sekuncup, dan curah jantung. Pada otot rangka beberapa serabut vasomotor mengeluarkan asetilkolin yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Akibat dari penurunan curah jantung, kontraksi serat-serat otot jantung, dan volume darah membuat tekanan darah menjadi menurun.
D. Peneliti yang Terkait Hasil penelitian yang mendukung pernyataan diatas bahwa ada pengeruh tehnik relaksasi napas dalam terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi adalah yang dilakukan oleh Suwardianto, dkk, (2011), yang meneliti tentang pengaruh terapi relaksasi napas dalam (deep breating) terhadap perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi dengan nilai (p.sistolik = 0,000 dan p.diastolik = 0,000), yang dilakukan oleh Tawang (2013), yang meneliti tentang pengaruh tehnik relaksasi napas dalam terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi sedang dan berat dengan nilai (p = 0,05), yang dilakukan oleh Oktaviana (2008), yang meneliti tentang efektivitas terapi relaksasi napas dalam untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dengan nilai (p-value 0,000) danyang
40
dilakukan Aryuni, dkk, (2009), yang meneliti tentang pengaruh tehnik relaksasi pernapasan diafragma terhadap penurunan tekanan darah dengan nilai (p<0,05).
E. Kerangka Konsep Variabel Independen
Variabel Dependen Penurunan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik
Terapi Relaksasi Napas Dalam
Obat Stres Aktivitas
Skema 2.2. Kerangka Konsep Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel tidak diteliti
F. Hipotesa Ha1 : Terapi relaksasi napas dalam efektif terhadap perubahan tekanan darah sistolik pada pasien hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan 2015 Ha2 : Terapi relaksasi napas dalam efektif terhadap perubahan tekanan darah diastolik pada pasien hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan 2015.
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah Quasi Eksperimen dengan rancangan penelitian pre-post test without control group. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan intervensi terapi relaksasi napas dalam. Skema 3.1. Desain Penelitian I
X1
X2
Keterangan : X1
: Tekanan darah Pre
I
: Intervensi terapi relaksasi napas dalam
X2
: Tekanan darah post
B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi yang ikut dalam kegiatan senam hipertensi yang dilakukan oleh pihak Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 pada bulan Februari sebesar 40 orang.
2. Besar Sampel Sampel penelitian adalah bagian populasi yang terjangkau dan digunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2008). Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik purposiv sampling dengan kriteria inklusi adalah: a. Pasien hipertensi primer b. Pasien hipertensi usia 40-55 tahun c. Responden yang bersedia menjadi sampel penelitian
41
42
Sampel data penelitian ini dihitung dengan rumus: 2
Keterangan : n = perkiraan jumlah sampel Zα = kesalahan tipe 1 (1,96) Zβ = kesalahan tipe II (0,842) Sd = simpang baku d = selisih rerata kelompok
2
= 24,75 (pembulatan dari 25) Jadi, jumlah sampel yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebanyak 25 responden. Untuk mengantisipasi sampel yang gugur selama penelitian maka jumlah responden dalam penelitian ini ditambah sebanyak 10% dari jumlah responden. Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 28 responden. Peneliti telah meminta kesediaan pasien untuk dijadikan sebagai responden penelitian.
C. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Hevetia Medan 2015.
D. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 11 Februari 2015 sampai 11 Juli 2015.
43
E. Defenisi Operasional Tabel 3.1 Defenisi Operasional
Variabel Variabel Independen Tehnik relaksasi napas dalam
Variabel Dependen Tekanan darah (prepost)
Defenisi Operasional Suatu proses yang memperkecil frekuensi pernapasan menjadi 6-10 kali/menit , yang dilakukan selama 10 menit 1 kali dalam sehari, selama 3 kali seminggu dalam kurun waktu 1 bulan, dilakukan secara konsentrasi dan relaks dan juga merasakan masuk keluarnya udara dari dalam tubuh melalui saluran pernapasan Tekanan darah sistolik dan diastolik yang dihasilkan oleh pembuluh darah sebelum dan sesudah di lakukan tindakan
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
-
-
-
Sphygmomanomet er Dan stetoskop
Tekanan darah sistol dan diastol (mmHg)
Interval
F. Aspek Pengukuran Aspek pengukuran tekanan darah dalam penelitian ini digunakan lembar observasi hasil pengukuran tekanan darah pasien sebelum dan sesudah intervensi. Untuk mengukur tekanan darah klien digunakan sphygmomanometer dan stetoskop dengan 2 kali pengukuran pre dan post. Pengukuran tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah terapi relaksasi napas dalam, dan pengukuran tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah terapi relaksasi napas dalam. Prosedur terapi relaksasi napas dalam dilakukan dalam beberapa fase, yaitu: 1. Fase I : Inspirasi dengan menarik udara masuk ke dalam paru melalui hidung, memposisikan tubuh serileks mungkin, konsentrasi, dan perhatikan penuh 2. Fase II : Beri jeda sebelum mengeluarkan dari paru, selama 3 detik berikutnya yang akan menimbulkan daya lenting elastisitas dinding dada dan paru untuk menghasilkan ekspirasi. 3. Fase III : Ekhalasi, mengeluarkan udara sebelum mulai menghirup udara lagi
44
4. Fase IV : Beri jeda kembali selama 2 detik setelah mengeluarkan udara sebelum mulai menghirup nafas lagi Pemberian tehnik relaksasi napas dalam dilakukan satu kali sehari, selama 3 kali dalam 1 minggu dalam waktu 10 menit selama 1 bulan.
G. Alat dan Prosedur Pengumpulan Data 1. Alat Pengumpulan Data Sebelum dan sesudah dilakukan terapi relaksasi napas dalam seluruh responden diukur tekanan darahnya dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop dan hasil pengukuran tekanan darah sebelum dan sesudah intervensi dicatat di dalam lembar observasi.
2. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dalm penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Peneliti mengambil surat izin penelitian dari Universitas b. Peneliti datang ke Puskesmas untuk memperoleh izin penelitian c. Melakukan pertemuan dengan seluruh responden serta mengontrak waktu responden d. Peneliti memberikan informat consent e. Melakukan pengukuran tekanan darah sebelum diberikan intervensi terapi relaksasi napas dalam f. Memberikan terapi relaksasi napas dalam selama 10 menit dilakukan 3 kali seminggu selama 1 bulan g. Mengukur kembali tekanan darah responden setelah pemberian intervensi terapi relaksasi napas dalam h. Hasil pengukuran tekan darah dicatat didalam lembar observasi.
H. Etika Penelitian Setiap penelitian yang menggunakan subjek manusia harus tidak bertentangan dengan etika. Sebelum melakukan penelitian peneliti akan mempertimbangkan prinsip dalam etika penelitian meliputi autonominity (hak untuk menjadi
45
responden), anominity (tanpa nama), confidentiality (kerahasiaan), beneficience, (Polit & Hugler, 2012). 1. Autominity (hak untuk menjadi responden) sebelum pelaksanaan penelitian peneliti memberikan penjelasan kepada responden mengenai manfaat, tujuan, dan resiko penelitian. Semua responden yang telah bersedia dipilih peneliti menjadi responden harus menandatangani surat persetujuan menjadi responden, yaitu menggunakan informed consent. 2. Anominity (tanpa nama) diwaktu peneliti melakukan pengumpulan data demografi peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, hanya menuliskan nama dengan menyebutkan huruf depan saja pada lembar observasi. 3. Confidentiality (kerahasiaan) informasi yang telah dikumpulkan dijamin oleh peneliti, hanya kelompok tertentu yang dilaporkan pada hasil riset. 4. Beneficience, segala tindakan yang diberikan peneliti tidak akan membahayakan nyawa pasien.
I. Pengelolaan dan Analisa Data 1. Pengelolaan Data a. Editing Setelah selesai melakukan penelitian, maka peneliti melakukan pengecekan kembali data yang telah di dapatkan oleh peneliti
b. Coding Mengubah data responden dalam bentuk kode (angka atau bilangan) seperti halnya jenis kelamin “laki-laki” diberi kode 1, “perempuan” diberi kode 2, usia “41-45” di beri kode 1, “46-50” diberi kode 2, dan “51-55” di beri kode 3.
46
c. Tabulating Setelah data dimasukkan dan dilakukan pengolahan melalui program SPSS 17, maka didapat hasil data pengolahan tersebut, selanjutnya peneliti memasukkan hasil data ke dalam bentuk distribusi frekuensi tabel sesuai dengan tujuan penelitian atau yang diinginkan peneliti yang tujuannya untuk mempermudah pengolahan data berikutnya.
2. Analisa Data a. Analisa univariat Analisa univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi yang meliputi: umur frekuensi dan persen, jenis kelamin frekuensi dan persen, dan rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolik pre dan post intervensi mean dan standart deviasi.
b. Analisa bivariat Analisa bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengaruh terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah pada pasien hipertensi primer. Sebelum dulakukan analisa bivariat data dilakukan uji normalitas yaitu dengan uji shapiro-wilk. Di peroleh hasil data berdistribusi normal dengan nilai asimp sig rata-rata tekanan darah pre sistolik responden 0,056 mmHg, rata-rata tekanan darah pre diastolik responden 0,225 mmHg, reta-rata tekanan darah post sistolik responden 0,054 mmHg, dan rata-rata tekanan darah post diastolik responden 0,100 mmHg. Selanjutnya dilakukan uji paired t-test dan diperoleh nilai p-value rata-rata tekanan darah pre dan post sistolik responden 0,000 dan nilai pvalue rata-rata tekanan darah post sistolik dan diastolik responden 0,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian tentang efektifitas terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015.
1. Gambaran Umum Puskesmas Helvetia Medan Puskesmas Helvetia terletak di jalan Kemuning Perumnas Helvetia Lingkungan Kelurahan Helvetia, Kecamatan Medan Helvetia, dengan luas wilayah 11,60 Km2. Sarana dan prasarana yang ada dipuskesmas Helvetia ini yaitu: bagian pendaftaran, bagian apotik, balai pengobatan, poli gigi dan mulut, KB/KIA, bagian administrasi, gudang obat dan kamar mandi. Adapun kelurahan yang menjadi
Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia terdiri dari 7 Kelurahan yaitu
Kelurahan Helvetia, Kelurahan Helvetia Tengah, Kelurahan Helvetia Timur, kelurahan sei kambing II C, Kelurahan Dwikora, Kelurahan Tanjung Gusta dan Kelurahan Cinta Damai.Jumlah penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia sekitar 162.755 jiwa, dan terdiri dari 35.144 KK dengan 88 Lingkungan.
Penelitian ini dilakukan terhadap 25 responden selama 1 bulan. Intervensi diberikan satu kali sehari selama 10 menit. Sebelum pemberian terapi relaksasi napas dalam, responden dilakukan pengukuran tekanan darah menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop. Selanjutnya dilakukan pemberian terapi relaksasi napas dalam selama 10 menit. Sebelum diberikan intervensi, responden dianjurkan duduk tenang dan rileks, selanjutnya responden diminta konsentrasi mengikuti prosedur terapi relaksasi napas dalam yang telah diberikan. Setelah 10 menit, responden dilakukan pengukuran kembali tekanan darah dengan menggunakan alat yang sama. Hasil pengukuran akan dicatat dalam lembar observasi.
47
48
2. Analisa Univariat a. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 (n=25) Variabel Usia Responden
Total Jenis Kelamin
41-45 Tahun 46-50 Tahun 51-55 Tahun Laki-Laki Perempuan
Total
Jumlah 1 13 11 25 3 22 25 Orang
Persentase % 4.0 52.0 44.0 100 12.0 88.0 100
Sumber: Data Primer (2015)
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui karakteristik responden dalam penelitian ini berdasarkan variabel usia mayoritas usia 46-50 tahun yaitu sebanyak 13 orang (52%). Berdasarkan jenis kelamin mayoritas responden adalah perempuan sebanyak 22 orang (88%).
b. Distribusi Frekuensi Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Pre Hipertensi Tabel 4.2 Distribusi Frekuansi Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Pre Intervensi Di Puskesmas Helvetia MedanTahun 2015 (n=25) Variabel
Mean
Standart Deviasi
Tekanan Darah Sistolik
144,86
14,19
Tekanan Darah Diastolik
92,67
4,02
Sumber: data primer, (2015)
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa rata-rata tekanan darah sistolik pre intervensi adalah 144,86 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik pre intervensi adalah 92,67 mmHg.
49
c. Distribusi Frekuensi Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Post Hipertensi Tabel 4.3 Distribusi Frekuansi Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Post Intervensi Di Puskesmas Helvetia MedanTahun 2015 (n=25) Variabel
Mean
Standart Deviasi
Tekanan Darah Sistolik
129,83
11,79
Tekanan Darah Diastolik
79,88
3,842
Sumber: data primer, (2015)
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa
rata-rata tekanan darah
sistolik responden post intervensi adalah 129,83 mmHg. Sedangkan rata-rata tekanan darah diastolik responden post intervensi adalah 79,88 mmHg.
3. Analisa Bivariat
a. Uji Paired Samples T-Test Tabel 4.4
Selisih Perbedaan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Pre dan Post Intervensi
Rata-rata Tekanan Darah Pre dan Post Sistolik Responden Rata-Rata Tekanan Darah Pre dan Post Diastolik Responden
Paired Differences Mean Std.Deviation 15,027 4,471
12,78
2,030
p-value 0,000
0,000
Sumber: data primer, (2015)
Berdasarkan hasil uji paired sampel test (tabel 4.4) perbedaan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah intervensi diperoleh nilai p-value 0,000 (p < 0,05). Hal ini menguatkan ada pengaruh pemberian terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah sistolik (ha1 diterima). Dan pada tekanan darah diastolik diperoleh hasil p-value 0,000 (p < 0,05). Hal ini juga
50
menguatkan ada pengaruh pemberian terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah diastolik (ha2 diterima).
B. Pembahasan 1. Karakteristik Responden Berdasarkan hasil penelitian karakteristik responden (tabel 4,1) dapat diketahui bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini berada pada usia 46-50 tahun sebanyak 13 orang (52%), berdasarkan jenis kelamin mayoritas responden adalah perempuan sebanyak 22 orang (88%).
Hasil penelitian yang sesuai dengan kondisi tersebut dilakukan oleh Aryuni; dkk (2009) yang meneliti tentang pengaruh tehnik relaksasi napas dalam terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Instansi Rawat Jalan Jantung RSUD DR. Harjono Ponorogo, hasil analisis menunjukkan bahwa responden hipertensi menurut umur paling banyak berada pada kelompok umur 54-55 tahun (50%). Hasil penelitian lain adalah yang dilakukan oleh Tawang Elrita; dkk (2013) yang meneliti tentang pengaruh tehnik relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah pada pasien hipertensi sedang dan berat di Ruang Irina C Blu Prof. DR. R. Kandou Manado, hasil analisis menunjukkan bahwa responden hipertensi paling banyak berada pada umur 40-60 tahun (53%). Kedua hasil penelitian diatas sejalan dengan hasil analisa peneliti yang menggambarkan bahwa karakteristik umur responden berada pada umur 46-55 tahun (96%).
Hal ini sesuai dengan pendapat Fitria Hanik (2014) tekanan darah secara alami cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Menurut Patminingsi (2010) penyakit hipertensi berkembang saat umur seseorang telah mencapai paruh baya yaitu umur 40-60 tahun. Pada umumnya tekanan darah akan naik dengan pertambahan usia terutama setelah usia 50 tahun. Menurut Kaplan (2005) hipertensi primer muncul antara usia 30-50 tahun, angka kejadian meningkat pada usia 50-60 tahun dari pada usia 60 tahun keatas. Hipertensi
51
primer mempengaruhi usia pertengahan dan dewasa tua. Hal ini terjadi karena setelah umur 45 tahun dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penebalan yang diakibatkan penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit menjadi kaku. Selanjutnya darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dari biasanya sehingga akan menyebabkan naiknya tekanan darah.
Kedua hasil penelitian diatas sejalan dengan hasil analisa peneliti yang menggambarkan bahwa responden yang menderita hipertensi berada pada umur 40-60 tahun. Peneliti berpendapat bahwa semakin usia bertambah maka semakin tinggi tekanan darah seseorang, hal ini berkaitan dengan perubahan struktur anatomi dan fisiologi terutama dari sistem kardiovaskuler. Akibat dari penuaan kemampuan jantung dan vaskular dalam memompa darah kurang efisien. Katub jantung akan lebih tebal dan kaku, elastisitas pembuluh darah menurun, selain itu dikarenakan sebagian besar penderita
hipertensi yang
sering berkunjung ke Puskesmas Helvetia medan berada pada umur 40-60 tahun.
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan mayoritas responden dalam penelitian ini adalah perempuan 22 orang (88%). Hal ini dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwardianto (2011) yang meneliti tentang pengaruh terapi relaksasi napas dalam (deep breating) terhadap perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi di Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri, diperoleh hasil menunjukkan bahwa 77% penderita hipertensi berjenis kelamin perempuan. Hal ini disebabkan karena, perempuan biasanya memiliki tekanan darah yang lebih tinggi setelah menopouse.
Menurut Hamarno (2010) tidak ada perbedaan yang signifikan dari tekanan darah laki-laki atau perempuan. Setelah pubertas, laki-laki cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi, dan perempuan setelah menopouse cenderung
52
memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dari pada laki-laki. Menurut Fitria Hanik (2014) menopouse secara khas terjadi antara usia 45-60 tahun. Perubahan yang terjadi pada menopouse disebabkan oleh penurunan kadar hormon estrogen, sehingga dapat berpengaruh pada masalah yang berhubungan dengan penurunan efisiensi penyempitan dan pelebaran pembuluh darah. Selain itu, kadar estrogen juga dapat menyebabkan darah menjadi lebih kental.
Jenis kelamin berpengaruh pada tekanan darah, yaitu tekanan darah cenderung lebih tinggi pada laki dari pada perempuan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas renin yang lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Namun hasil penelitian ini menggambarkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih sedikit dari pada perempuan (12%). Hal ini disebabkan usia responden pada penelitian ini yaitu > 45 tahun. Dimana pada usia ini perempuan telah memasuki masa menopouse yang menyababkan perempuan cenderung mengalami peningkatan tekanan darah.
Hasil penelitian diatas sejalan dengan hasil analisa peneliti bahwa responden penderita hipertensi terbanyak adalah perempuan yang berumur 46-55 tahun. Hasil tersebut memperkuat teori dimana perempuan yang telah berumur 46-55 tahun telah mengalami menopouse dimana terjadi penurunan hormon estrogen.
2.
Perbedaan Rata-Rata Tekanan Darah Sistolik Pre dan Post Intervensi Terapi Relaksasi Napas Dalam Berdasarkan hasil penelitian distribusi frekuensi (tabel 4.2 dan tabel 4.3 atau tabel 4.4) didapat bahwa selisih perbedaan antara rata-rata tekanan darah sistolik pre dan post intervensi adalah 15,03.
Hal ini dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwardianto (2011) yang meneliti tentang pengaruh terapi relaksasi napas dalam (deep breating) terhadap perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi di Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai mean
53
sistolik sebelum dan sesudah terapi relaksasi napas dalam (deep breating) adalah 9,00 mmHg.
Hasil diatas menunjukkan bahwa terapi relaksasi napas dalam memberikan efek langsung berupa penurunan tekanan darah sistolik yang signifikan. Terapi relaksasi napas dalam dapat membantu mengontrol tekanan darah di dalam pembuluh darah. Hal ini sesuai dengan pendapat Endang (2014) bahwa terapi relaksasi napas dalam mengurangi reaksi stres simpatis, penurunan rangsang emosional dan penurunan rangsang pada area hipotalamus bagian anterior. Keadaan ini dapat menurunkan efek dari saraf simpatis yaitu menurunkan kecepatan metabolisme sel, menurunkan kontraktilitas jantung sehingga mengurangi stroke volume dan menurunkan tekanan sistole.
Menurut Aryuni (2009) pada kondisi relaksasi pernapasan seseorang berupaya memusatkan perhatiannya pada pernafasannya yang pelan, sadar, dan dalam dengan frekuensi pernapasan sekitar 12 kali per menit: hal tersebut mengakibatkan keadaan darah yang penuh oksigen dipompakan oleh jantung ke sistem sirkulasi seluruh tubuh serta untuk memperbaiki pertumbuhan endotel pembuluh darah sehingga sel endotel mengeluarkan bahan yang sangat bagus dalam vasodilatasi pembuluh darah.
Hasil penelitian diatas sejalan dengan analisa peneliti bahwa ada penurunan yang signifikan antara tekanan darah sistolik pre dan post intervensi (15,03) mmHg. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi relaksasi napas dalam sangat baik dilakukan oleh penderita hipertensi sebagai terapi nonfarmakologi tambahan dalam menurunkan tekanan darah.
54
3.
Perbedaan Tekanan Darah Diastolik Pre dan Post Intervensi Terapi Relaksasi Napas Dalam Berdasarkan hasil penelitian distribusi frekuensi (tabel 4.2 dan tabel 4.3 atau tabel 4.4) didapat bahwa selisih perbedaan antara rata-rata tekanan darah diastolik pre dan post intervensi adalah 12,78 mmHg.
Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Tawang (2013) yang meneliti tentang pengaruh tehnik relaksasi napas dalam terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi sedang dan berat di Ruang Irina C Blu Prof.Dr.R.D Kandou Manado dengan nilai mean tekanan darah sistolik 11, 33 mmHg.
Menurut National Safety Council (2003) konsentrasi dan perhatian penuh pada terapi relaksasi napas dalam sangat baik dianjurkan. Jika perlu dengan mencari tempat yang tenang. Relaksasi napas dalam memerlukan keyakinan untuk memusatkan perhatian hanya pada pernapasan. Relaksasi ini juga terdiri dari beberapa tahapan sehingga membutuhkan pemahaman dan konsentrasi penuh dari pasien. Menurut Hamarno (2010) pada usia responden antara 55 sampai dengan 85 tahun terjadi penurunan kemampuan pompa jantung, kekakuan otot jantung, elastisitas pembuluh darah menurun dan aterosklerosis sehingga beresiko terjadi peningkatan tekanan darah, hal ini bertolak belakang dengan hasil dari penelitian diatas, dimana terjadi penurunan yang signifikan tekanan darah diastolik (12,78).
Kemungkinan hal ini dikarenakan usia responden masih dalam tahap dewasa pertengahan hipertensi diastolik lebih sering terjadi pada usia muda meningkat sampai usia 60 tahun ke atas, bersifat lebih lama dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun. Menurut Kuswardani (2010) Hipertensi diastolik lebih banyak berhubungan penurunan fungsi otot-otot jantung, penurunan pompa jantung dan terjadi kekakuan otot jantung, hal ini berbeda
55
dengan hipertensi sistolik yang mengalami peningkatan secara progresif sampai usia 70-80 tahun dikerenakan perubahan elastisitas pembuluh darah.
Hasil penelitian diatas sejalan dengan analisa peneliti bahwa ada penurunan yang signifikan antara tekanan darah diastolik pre dan post intervensi (12,78). Hal ini dikarenakan lingkungan tempat penelitian tenang dan konsentrasi pasien dalam melakukan treatmen sangat maksimal, dan juga usia responden dalam penelitian ini masih dalam tahap usia muda sehingga responden dapat memahami dengan baik prosedur yang diberikan oleh peneliti.
4.
Pengaruh Terapi Relaksasi Napas Dalam Terhadap Penurunan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Hasil uji paired samples test (tabel 4.4) terhadap tekanan darah sistolik diperoleh hasil nilai p-value 0,00 (p < 0,05) yang berarti ada pengaruh terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah sistolik (ha1 diterima), sedangkan hasil uji paired t-test terhadap tekanan darah diastolik diperoleh hasil nilai p-value 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada pengaruh terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan draah diastolik (ha2 diterima).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwardianto Heru;dkk (2011) ) yang meneliti tentang pengaruh terapi relaksasi nafas dalam (deep breathing) terhadap perubahan tekanan darah pada penderita hipertensi diperoleh hasil terdapat pengaruh terapi relaksasi nafas dalam (deep breathing) terhadap perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan nilai (p sistolik = 0,000 dan p diastolik = 0,000). Dan yang dilakukan oleh Aryuni (2009) yang meneliti tentang tehnik relaksasi pernafasan diafragma terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di instalasi rawat jalan jantung RSUD DR. HARJONO PONOROGO dengan nilai (p sistolik 0,000 dan p diastolik 0,79).
56
Menurut Junaidi (2010) menyatakan bahwa tekanan darah tinggi dapat diturunkan melalui perubahan gaya hidup diantaranya yaitu manajemen terhadap stres dimana stres dapat menimbulkan tekanan darah. Salah satu caranya adalah dengan belajar tehnik relaksasi napas dalam. Relaksasi merupakan salah satu tehnik pengelolaan diri didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Relaksasi ini mampu menghambat stres atau ketegangan jiwa seseorang sehingga tekanan darah tidak meninggi atau turun. Dengan demikian, terapi relaksasi akan membuat kondisi seseorang dalam keadaan rileks atau tenang. Dalam mekanisme autoregulasi, relaksasi dapat menurunkan tekanan darah melalui penurunan denyut jantung dan Total Peripheral Resistance (TPR). Menurut Fitria Hanik (2014) menjelaskan bahwa tehnik relaksasi memiliki efek yang sama dengan obat anti hipertensi dalam menurukan tekanan darah. Prosesnya yaitu dimulai dengan membuat otot-otot polos pembuluh darah arteri dan vena menjadi rileks bersama dengan otot-otot lain dalam tubuh. Efek dari relaksasi otot-otot dalam tubuh ini akan menyebabkan kadar neropinefrin dalam darah menurun. Otot-otot yang rileks ini menyebarkan stimulus ke hipotalamus sehingga jiwa dan organ dalam manusia benar-benar merasakan ketengan dan kenyaman. Situasi itu akan menekan sistem saraf simpatik sehingga produksi hormaon epinefrin dan neroepinefrin dalam darah menurun. Penurunan kadar neroepinefrin dan epinefrin dalam darah akan menurun sehingga tekanan darah ikut menurun. Sedangkan Junaidi (2010) menyatakan bahwa respon relaksasi bekerja lebih dominan pada sistem saraf simpatik sehingga mengendorkan saraf yang tegang. Saraf parasimpatik berfungsi mengendalikan denyut jantung membuat tubuh rileks. Ketika respon relaksasi dirasakan oleh tubuh, maka saraf parasimpatik berfungsi mengendalikan denyut jantung untuk membuat tubuh rileks. Ketika respon relaksasi dirasakan oleh tubuh, maka saraf parasimpatik akan memperlambat detak jantung sehingga tekanan darah pun menurun.
57
Kesesuaian penelitian ini dengan penelitian tersebut dikarenakan oleh frekuensi terapi relaksasi napas dalam yang dilakukan secara teratur. Dimana terapi relaksasi napas dalam ini telah diuji coba selama satu bulan dengan lama latihan 1x10 menit dengan frekuensi 3kali/minggu.
Penelitian ini masih terdapat variabel counfounding yang mempengaruhi hasil penelitian, yaitu konsumsi obat antihipertensi, olah raga, dan kontrol terhadap stres. Obat merupakan faktor yang sangat penting bagi pasien hipertensi karena dapat menurunkan tekanan darah secara efektif. Terapi obat antihipertensi diberikan pada pasien dengan TDS>160mmHg dan TDD>100 mmHg yang menetap dengan target penurunan sebesar <130/<80 mmHg (Junaidi 2010). Apapun jenis obat yang dikonsumsi, pengaruhnya terhadap penurunan tekanan darah yaitu sekitar 10% pada TDS dan 5% pada TDD. Aktivitas latihan atau olah raga yang dilakukan oleh pasien hipertensi juga dapat mempengaruhi penurunan tekanan darahnya. Berdasarkan hasil screeining didapatkan beberapa pasien rutin menjalani olahraga dan ada pula beberapa yang olahraga tetapi tidak rutin dilakukan, yaitu hanya sesekali dalam sebulan. Menurut Fitria Hanik (2014) menyebutkan bahwa olah raga ringan yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 4-8 mmHg. Selain obat dan latihan/olahraga, pasien dengan stres juga dapat mempengaruhi hasil penelitian.
C. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini masih ditemukan keterbatasan peneliti, diantaranya yaitu: 1. Salah satu variabel counfounding yang susah untuk dikendalikan seperti, terapi obat. Sebagian dari responden mendapat terapi obat anti hipertensi yaitu obat amlodipin. Obat tersebut di konsumsi pasien pada malam hari, sedangkan waktu paruh obat tersebut 8 jam. Peneliti melakukan intervensi pada jam 8 pagi, sehingga kemungkinan masih ada efek sisa obat tersisa.
58
2. Sampel yang digunakan sangat terbatas hanya 25 responden Alat yang digunakan untuk megukur tekanan darah adalah shygmomanometer dan stetoskop, yang mungkin adanya kekeliruan walaupun telah dialaksanakan 12 kali pengukuran pre dan post tekanan darah.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan data yang diperoleh di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Karakteristik pasien hipertensi yang mengikuti senam hipertensi di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 sebagian besar adalah perempuan sebanyak 22 orang (88%), dan mayoritas berusia 46-50 Tahun 13 orang (52%).
2.
Berdasarkan rata-rata tekanan darah sistolik pre intervensi didapat 144,86 mmHg dan rata tekanan darah sistolik post intervensi adalah 129,83 mmHg
3.
Berdasarkan rata-rata tekanan darah diastolik pre intervensi di dapat nilai mean 92,67 mmHg, dan nilai rata-rata tekanan darah diastolik post intervensi adalah 79,88 mmHg.
4.
Berdasarkan selisih perbedaan antara tekanan darah sistolik pre dan post intervensi adalah 15,027 mmHg dan selisih perbedaan antara tekanan darah diastolik pre dan post intervensi adalah 12,78 mmHg
5.
Ada efektifitas yang bermakna antara terapi relaksasi napas dalam terhadap perubahan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 dengan nilai P-Value 0,000.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diajukan antara lain: 1.
Bagi Pasien Hipertensi Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pasien hipertensi untuk menyakini bahwa terapi relaksasi napas dalam dapat menurunkan atau mengontrol tekanan darah.
2.
Bagi Puskesmas Helvetia Medan Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan atau informasi bagi para petugas (pegawai) Puskesmas Helvetia Medan bahwa penetalaksanaan pasien
59
60
hipertensi tidak hanya melalui obat tetapi juga bisa dikombinasikan dengan terapi relaksasi napas dalam yang sehari-hari dijalankan.
3.
Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam intervensi keperawatan pada pasien hipertensi yang telah didapat selama pendidikan.
4.
Bagi Peneliti Selanjutnya a.
Penelitian
selanjutnya
dapat
menepis
secara
keseluruhan
atau
mempersempit lagi variabel counfounding yang tidak dikendalikan dalam penelitian. b.
Peneliti selanjutnya dapat memperbesar jumlah sampel penelitian agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aryuni,dkk.(2009).Pengaruh Tehnik Relaksasi Pernafasan Diafragma Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Primer Di Instalasi Rawat Jalan Jantung RSUD DR.Harjono Ponorogo. Diperoleh 5 Januari 2015. Brunner &Suddarth.(2002). BukuAjaranKeperawatanMedikalBedah, Edisi 8.Volum 3.Jakarta : EGC. Diyan, dkk. (2013). Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol Dengan Kejadian Hipertensi pada Pasien Poliklinik Umum di Puskesmas Tumaratas Kec.Langowan Kab.Minahasa. Diperoleh 24 Januari 2015. Hikayati, dkk. (2012). Penatalaksanaan Non Farmakologis Terapi Komplementer Sebagai Upaya Untuk Mengatasi dan Mencegah Komplikasi pada Penderita Hipertensi Primer Di Kelurahan Indralaya Mulya Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Pengabdian Sriwijaya. Diperoleh 24 Januari 2015. Hamarno Rudi (2010). Pengaruh Latihan Otot Progresif Terhadap Penurunan Tekanan Darah Klien Hipertensi Primer Di Kota Malang:Depk. Diperoleh 16 Juni 2015. Hanik Fitria (2014). Hubungan Sholat Terhadap Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Di Posbindu Anggrek Kelurahan Cempaka Putih Kecamatan Ciputat Timur. Diperoleh 15 Juni 2015. Iskandar Junaidi.(2010).Pengenalan. Pencegahan, dan Penanganan Hipertensi. Jakarta :PT Bhuana Ilmu Populer. Junaidi, Iskandar. (2010). Hipertensi: Pengenalan., Pencegahan dan Pengobatan. Jakarta: Pt Bhuana Ilmu Populer Kaplan, Norman M. (2005). Kaplan’s clinical Hypertension. 8th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Kuswardani, T. (2006). Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut Usia. Diperoleh tanggal 17 Juni 2015. Mori Hisao,dkk.(2005).How Does Deep Breating Affect Office Blood Pressure and Rate.Original Article:Japanase. Diperoleh 5 Januari 2015. Nursalam.(2008).Konsep dan penerapan Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika
Metodologi
National Safety Council (2003). Manajemen Stres. Jakarta.EGC
Penelitian
Ilmu
Oktaviani Anisa.(2008).Efektifitas Terapi Nafas Dalam Untuk Menurunkan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Di Puskesmas Penusupan Kecamatan Pangkah Kabupaten Tegal:Semarang. Diperoleh 5 Januari 2015. Patminingsi, Titik n. (2010). Penagruh Relaksasi Otot Progresif terhadap Penurunan Tekanan darah pada Pasien Hipertensi Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Dr. R. Soeprapto Cepu. Jurnal Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang. Diakses tanggal 5 Juni 2015 Riskesdas. (2013). Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian KesehatanRI.Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. www.litbang.depkes.go.id/apkesi/, diakses tanggal 18 February 2015 Saferi,W & Mariza,Y. (2013).Keperawatan Medikal Bedah 1(KMB 1).Cetakan 1.Yogyakarta:Nuha Medika. Susilo,Y &Wulandari, A. (2011). Cara JituMengatasiHipertensi.Yogyakarta:C.V Andi Offset Suwardianto & Kurnia.(2011).Pengaruh Terapi Relaksasi Napas Dalam (Deep Breating) Terhadap Perubahan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Di Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri.Jurnal STIKES RS.Baptis Kediri:Kediri. Diperoleh 5 Januari 2015. Tawang Elrita, dkk. (2013).Pengaruh Tehnik Relaksasi Napas Dalam Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Sedang-Berat Di Ruang Irina C Blu Prif.DR.R.D.kandou Manado.Ejournal Keperawatan (eKp):Manado. Diperoleh 5 Januari 2015. Triyanto, E. (2014). Pelayanan Keperawatan bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu.Cetakan 1.Yogyakarta:PT GrahaIlmu.
Lampiran 1
KUESIONER DATA DEMOGRAFI DAN RIWAYAT PENGOBATAN Petunjuk pengisian: 1. Bacalah setiap pertanyaan di bawah ini dengan seksama 2. Berilah tanda cheklist (√) pada kolom yang menurut Bapak/Ibu paling benar
No. Responden
:
Initial Responden
:
Jenis Kelamin
:(
Usia
: .......... tahun
) Laki-laki
(
) Perempuan
Lampiran 2
LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPODEN EFEKTIVITAS TERAPI RELAKSASI NAPAS DALAM TEHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI PRIMER DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS HELVETIA MEDAN TAHUN 2015 Perihal : Persetujuan menjadi responden penelitian Kepada Yth, Bapak/Ibu Calon Responden Di Tempat Dengan Hormat, Bersamaan dengan surat ini, saya mahasiswa Program Studi Ners Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia ingin melakukan penelitian tentang Efektifitas Terapi Relaksasi Napas Dalam terhadap Perubahan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Primer di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015 dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh sebelum dan sesudah melakukan Terapi Relaksasi Napas dalam terhadap perubahan tekanan darah. Kegiatan ini akan dilakukan 1 kali sehari, 3 kali dalam 1 minggu dalam waktu 10 menit selama 1 bulan. Penelitian ini tidak akan memberikan dampak yang membahayakan bagi Bapak/Ibu. Untuk itu saya mengharapkan kesediaan dan keikutsertaan Bapak/Ibu dalam penelitian ini. Atas bantuan dan pertisipasinya, saya ucapkan terima kasih. Setuju Tidak Setuju Responden
(
Hormat saya,
)
(Desy Kristina Siagian)
Lampiran 3
PROTOKOL Pengukuran Tekanan Darah dengan Pemberian Terapi Relaksasi Napas Dalam pada Pasien Hipertensi
A. Pengkajian Peneliti melakukan pengukuran tekanan darah sebelum dan sesudah dilakukan terapi relaksasi dengan menggunakan sphygmanometer dan stetoskop. 1. Persiapan Alat
Sphygmanometer
Stetoskop
2. Cara Pemberian Terapi Relaksasi Napas Dalam Fase I
: Inspirasi dengan menarik udara masuk ke dalam paru melalui hidung, memposisikan tubuh serileks mungkin, konsentrasi, dan perhatikan penuh
Fase II
: Beri jeda sebelum mengeluarkan dari paru, selama 3 detik berikutnya yang akan menimbulkan daya lenting elastisitas dinding dada dan paru untuk menghasilkan ekspirasi.
Fase III
: Ekhalasi, mengeluarkan udara sebelum mulai menghirup udara lagi
Fase IV
: Beri jeda kembali selama 2 detik setelah mengeluarkan udara sebelum mulai menghirup nafas lagi.
Pemberian terapi relaksasi napas dalam dilakukan 1 kali sehari, 3 kali dalam 1 minggu dalam waktu 10 menit selama 1 bulan.
Lampiran 3
B. Pelaksanaan Tahapan Mengukur tekanan darah sistolik dan diastolik pre
Waktu 08.00-09.00
Pemberian terapi relaksasi 09.00-09.10 napas dalam
Mengukur tekanan darah post
09.11-10.00
Kegiatan Menganjurkan untuk duduk Menganjurkan untuk rileks
pasien pasien
Menganjurkan pasien untuk duduk tenang dan rileks Menganjurkan pasien untuk konsentrasi mengikuti prosedur pemberian terapi relaksasi napas dalam Menganjurkan pasien untuk tetap duduk ditempat Menganjurkan pasien untuk tetap dalam keadaan rileks
C. Evaluasi Peneliti menuliskan hasil pengukuran tekan darah pre dan post pada lembar observasi. Setelah sebulan pemberian tehnik relaksasi napas dalam peneliti melakukan penjumlahan rata-rata hasil pengukuran tekan darah pre dan post.
LEMBAR OBSERVASI HASIL PENGUKURAN TEKANAN DARAH
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Initial Responden
Hari I Pre Post
Hari II Pre Post
Hasil pengukuran Hari III Hari IV Pre Post Pre Post
Hari V Pre Post
Hari VI Pre Post
21 22 23 24 25 26 27 28
No
Inisial Responden
VII Pre
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 23
Post
VIII Pre Post
Hasil Pengukuran IX X Pre Post Pre Post
XI Pre
XII Post
Pre
Post
24 25 26 27 28
LEMBAR OUT PUT Statistics Rata-Rata
Rata-Rata
Rata-Rata
Rata-Rata
Tekanan Darah
Tekanan Darah
Tekanan Darah
Tekanan Darah
Pre Sistolik
Pre Diastolik
Post Sistolik
Post Diastolik
Responden
Responden
Responden
Responden
Usia Responden N
Valid
25
25
25
25
25
Missing
0
0
0
0
0
Frequency Table Usia Responden Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
41-45 Tahun
1
4.0
4.0
4.0
46-50 Tahun
13
52.0
52.0
56.0
51-55 Tahun
11
44.0
44.0
100.0
Total
25
100.0
100.0
Jenis Kelamin Responden Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Laki-Laki
3
12.0
12.0
12.0
Perempuan
22
88.0
88.0
100.0
Total
25
100.0
100.0
Uji Normalitas (Shapiro-Wilk)
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Rata-Rata Tekanan Darah
df
Shapiro-Wilk Sig.
Statistic
df
Sig.
.138
25
.200*
.922
25
.056
.205
25
.008
.948
25
.225
.177
25
.042
.902
25
.054
.239
25
.001
.881
25
.100
Pre Sistolik Responden Rata-Rata Tekanan Darah Pre Diastolik Responden Rata-Rata Tekanan Darah Post Sistolik Responden Rata-Rata Tekanan Darah Post Diastolik Responden a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
T-Test
Paired Samples Statistics Mean Pair 1
Rata-Rata Tekanan Darah Pre Sistolik
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
144.86
25
14.190
2.838
129.83
25
11.792
2.358
92.67
25
4.020
.804
79.88
25
3.842
.768
Responden Rata-Rata Tekanan Darah Post Sistolik Responden Pair 2
Rata-Rata Tekanan Darah Pre Diastolik Responden Rata-Rata Tekanan Darah Post Diastolik Responden
Paired Samples Correlations N Pair 1
Rata-Rata Tekanan Darah Pre Sistolik
Correlation
Sig.
25
.957
.000
25
.868
.000
Responden & Rata-Rata Tekanan Darah Post Sistolik Responden Pair 2
Rata-Rata Tekanan Darah Pre Diastolik Responden & Rata-Rata Tekanan Darah Post Diastolik Responden
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference
Mean Pair 1
Rata-Rata Tekanan Darah
15.027
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
4.471
Lower .894
13.181
Pre Sistolik Responden -
Upper
t
df
16.872 16.80
Sig. (2-tailed) 24
.000
24
.000
4
Rata-Rata Tekanan Darah Post Sistolik Responden Pair 2
Rata-Rata Tekanan Darah Pre Diastolik Responden Rata-Rata Tekanan Darah Post Diastolik Responden
12.783
2.030
.406
11.946
13.621 31.49 2