SKRIPSI
LANGKAH AWAL PENGGANDAAN SKALA TEPUNG UBI JALAR DAN BEBERAPA KARAKTERISTIKNYA
Oleh :
SENDHI DHANIA F24101112
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Finally I could get through one step But it’s not the end To me, this should be the beginning From something bigger Or maybe the biggest…
Dedicated to my dear family Mama, Ayah & Fifi
Sendhi Dhania. F24101112. Langkah Awal Penggandaan Skala Tepung Ubi Jalar dan Beberapa Karakteristiknya. Di bawah bimbingan Tien R. Muchtadi dan Dahrul Syah (2006).
Ringkasan Ubi jalar merupakan salah satu tanaman palawija yang banyak terdapat di Indonesia. Ubi jalar memiliki kandungan nutrisi yang baik, umur yang relatif pendek, produksi yang tinggi, dan potensi lainnya. Ubi jalar juga dianggap murah, lebih manis, dan banyak mengandung komponen kalori, vitamin A dibandingkan dengan tepung terigu. Selain itu, ubi jalar juga merupakan salah satu komoditas lokal sumber serat pangan. Hal tersebut di atas terlihat bahwa ubi jalar mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan berbasiskan kepada produk tepung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemetaan penelitian tepung ubi jalar hingga saat ini, memverifikasi proses pembuatan tepung ubi jalar dan merumuskan langkah awal untuk penggandaan skala produksi tepung ubi jalar yang memenuhi syarat dengan lokasi di Cibungbulang, Bogor- Barat dan mengetahui mutu tepung ubi jalar melalui sifat fisik dan kimianya. Penelitian ini meliputi studi pustaka yaitu pemetaan pemanfaatan tepung-tepungan yang berasal dari umbi-umbian, perumusan langkah awal penggandaan skala yang meliputi pembuatan tepung ubi jalar, pembuatan air klorinasi, pembuatan chips ubi jalar, penentuan kadar airnya, penentuan residu klorin yang akan digunakan dalam pembersihan ubi jalar dan penentuan Total Plate Count (TPC), Penentuan karakteristik fisik (pengukuran amilograf dan farinograf) dan kimia tepung ubi jalar (analisis proksimat dan serat). Pemetaan pemanfaatan tepung-tepungan meliputi penentuan jenis komoditi, rekayasa proses, karakteristik dan aplikasi. Pembuatan tepung ubi jalar dalam penelitian ini menggunakan 3 jenis ubi jalar yaitu ubi jalar putih varietas sukuh (CIP-2 : AB94001), ubi jalar merah (Klon BB 00105.10) dan ubi jalar ungu (lokal). Pada pembuatan tepung ubi jalar, untuk skala industri, direkomendasikan digunakan ubi jalar putih untuk dijadikan tepung, karena memiliki nilai rendemen yang tinggi yaitu 30.21%. Hal ini disebabkan ubi jalar putih memilki kadar air yang rendah yaitu 62.59%. Langkah awal penggandaan skala diawali dengan pembuatan air klorinasi dengan berbagai tingkat residu. Langkah selanjutnya adalah pengukuran TPC air Cibungbulang.. Hasil pengukuran TPC air Cibungbulang tanpa klorinasi adalah sebesar 1.5 x 102 CFU/ml (2.18 log CFU/ml) sedangkan air dengan klorinasi (konsentrasi klorin 1.750 g/l) sebesar 1 x 102 CFU/ml ( 2.00 log CFU/ml) dan menghasilkan residu klorin 200 ppm. Kemudian setelah pengukuran air yang telah diklorinasi dilakukan pembuatan Chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang terklorinasi Hasil TPC yang diperoleh untuk chips yang menggunakan air Cibungbulang dengan klorinasi (konsentrasi klorin 1.750 g/l) adalah 4.4 x 104 CFU/gr (2.78 log 10 CFU/gr), sedangkan tanpa klorinasi adalah 6.0 x 102 CFU/gr (4.64 log 10 CFU/gr). Langkah selanjutnya adalah pengukuran kadar air chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang dengan klorinasi (konsentrasi klorin 1.750 g/l) menghasilkan kadar air sebesar 2.38 %.
Hasil analisis kimia menunjukkan kandungan gizi tertinggi adalah karbohidrat baik dalam bentuk segar maupun tepung. Untuk ubi jalar segar putih, merah dan ungu kandungan karbohidratnya masing-masing sebesar 8.84 Kg, 8.82 Kg dan 7.41 Kg (dalam basis kering), sedangkan untuk tepung ubi jalar putih, merah dan ungu masing-masing sebesar 2.67 Kg, 1.75 Kg dan 1.6 Kg (dalam basis kering). Selain itu, kandungan serat makanan yang tertinggi di dalam ubi jalar adalah serat makanan tidak larut, yaitu untuk tepung ubi jalar putih, tepung ubi jalar merah dan tepung ubi jalar ungu masing-masing sebesar 0.33 Kg, 0.22 Kg dan 0.21 Kg (dari berat awal). Analisis sifat fisik berupa uji amilograf menghasilkan data untuk tepung ubi jalar putih, merah dan ungu yaitu parameter suhu awal gelatinisasi masingmasing 77.25oC, 61.5oC dan 77.25oC. Parameter suhu puncak gelatinisasi masingmasing 95.25oC, 81oC dan 97.13oC. Sedangkan untuk parameter viskositas maksimum sebesar 511 BU, 89.5 BU dan 297.5 BU. Analisis reologi berikutnya adalah uji farinograf. Uji farinograf dilakukan dengan penambahan air sebanyak 60.2% dan 67%, tetapi data tidak dapat dibaca dikarenakan adonan tidak elastis. Tidak terbacanya data pada uji farinograf juga menyebabkan tidak dapat dilakukannya uji ekstensograf. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ubi jalar putih memiliki nilai rendemen yang terkecil karena memiliki nilai kadar air yang besar. hasil pengukuran reologi tepung ubi jalar dapat digunakan untuk produk-produk yang membutuhkan proses gelatinisasi seperti produk ekstruksi. Pengukuran TPC pada Chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang dengan klorinasi sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan chips dengan nilai TPC maksimum 103 CFU/gr. Untuk pengukuran kadar air chips ubi jalar dengan menggunakan air yang sama juga sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan chips dengan nilai kadar air maksimal 6%.
LANGKAH AWAL PENGGANDAAN SKALA TEPUNG UBI JALAR DAN BEBERAPA KARAKTERISTIKNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Sendhi Dhania F24101112
2006 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR LANGKAH AWAL PENGGANDAAN SKALA TEPUNG UBI JALAR DAN BEBERAPA KARAKTERISTIKNYA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: SENDHI DHANIA F24101112 Dilahirkan pada tanggal 30 Juni 1983 Di Jakarta Tanggal lulus: Mengetahui Bogor, Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS Dosen Pembimbing I
2006 Dr. Ir. Dahrul Syah,MSc Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dahrul Syah,MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
KATA PENGANTAR Puji syukur
penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberi
karunia dan kebesaranNya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang telah banyak membantu, yaitu: 1.
Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing pertama yang telah membimbing dan mendidik penulis serta memberikan banyak pelajaran hidup. Terima kasih untuk kesempatan dan perhatian yang Ibu berikan, semoga Ibu selalu diberikan kebahagiaan oleh Allah SWT.
2.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc selaku dosen pembimbing kedua yang telah membimbing dan banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian juga penulisan skripsi. Terimakasih atas kesabaran, perhatian, dan kesempatan yang diberikan untuk bergabung dengan RUSNAS (Riset Unggulan Strategis Nasional) dan mengikuti segala kegiatannya, semoga Bapak sehat dan bahagia selalu.
3.
Dr. Yadi Haryadi, MSc selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan-masukan untuk memperbaiki skripsi ini.
4.
Kantor Kementrian Riset dan Teknologi melalui program RUSNAS DIVERSIFIKASI PANGAN, yang telah mendanai penelitian sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.
5.
Mamah, ayah, Fifi, serta keluarga besar yang telah begitu banyak memberikan semangat, kasih sayang, sumbangan tenaga dan materi untuk kelancaran penelitian. Terimakasih semuanya…..
6.
Hendra Syahputra, yang selalu ada dan siap membantu. Terima kasih untuk kesabaran, kasih sayang , semangat dan dukungannya.
7.
Desta, Vennia, Agnes, Rina, Hilda, Piesca, Ella, Dian, Harti dan Blobers. Tarima kasih atas semangat, perhatian, bantuan dan dukungannya selama penulis melakukan penelitian dan terimakasih untuk keceriaannya selama empat tahun.
8.
Karina, Rizky, Grya, Ranie…Terimakasih untuk persahabatan indahnya.
i
9.
Hendry dan Octa. Terimakasih atas semangat dan dukungannya serta telah menjadi temen sebimbingan yang baik.
10.
Irus dan Udin. Terima kasih atas kerjasama dan bantuannya selama penelitiaan dalam satu tim.
11.
Anak-anak golongan D : Inggrid, Pande, Reni dan Astri. Terimakasih untuk empat tahun indahnya.
12.
Anto, Zen, Firzi, Sidik, Aulia, Kanyaka, Dedi, Endang, Eko, Mbak Erna. Terimakasih telah menjadi saudara satu bimbingan yang selalu memberikan keceriaan dan dukungan kepada penulis
13.
Yuanita, Fanny, Via, Aya, Christina dan Putri. Terimakasih atas bantuannya selama penelitiaan di lab.
14.
Joan, Merry, Vany, BarQ, Pipal, Joe dan Tanto. Terimakasih untuk kenangan indahnya selama dua bulan (KKN) di desa tercinta Sirna galih yang telah banyak memberikan pelajaran dan perubahan hidup terhadap diri penulis serta menjadi keluarga kedua . Sukses buat semuanya.
15.
Ningrum, Lina dan Novi. Terimakasih untuk waktu indahnya selama di bangku kuliah dan semangatnya.
16.
Firman, Elia, Bang Fahmy,A’Budi, A’Dede.Terimakasih untuk semangatnya
17.
Pak Ade dan Teh Yuli. Terimakasih atas kebaikan dan bantuannya.
18.
Pak Ilyas, Pak Jun, Pak Chamdani, Pak Mashudi, Pak Sobirin, dan laboran lainnya yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian.
19.
Teman–teman TPG 38 dan 39 lainnya yang telah membuat kampus menyenangkan. Penulis menyadari bahwa tulisan (skripsi) ini masih jauh dari sempurna.
Penulis Sangat terbuka menerima saran dan kritik membangun untuk perbaikan. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi yang membacanya. Bogor,
Februari 2006 Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sendhi Dhania, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1983. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Iwan Budhi Setyawan dan Endang Kardinah. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari TK Islam Al-Muhajirin (1987-1989). Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Madrasah Pembangunan IAIN Jakarta (1989-1995), dilanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu Sekolah Menengah Pertama Negeri 19 Jakarta (1995-1998), kemudian Sekolah Menengah Umum Negeri 6 Jakarta (1998-2001). Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur UMPTN
(Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Selama di IPB penulis merupakan anggota dari HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan (2001-2006), pengurus harian HIMITEPA Divisi Kesekretariatan (2003-2004), pengurus Food Chat tahun 2003-2004 disamping itu penulis pernah menjadi panitia BAUR TPG tahun 2003, panitia LCTIP (Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan) tahun 2003, panitia Open House dan Pameran RUSNAS (Riset Unggulan Strategis Nasional ) Kementerian Riset dan Teknologi tahun 2003 dan tahun 2005, panitia pelatihan HACCP (Hazard and Analytical Control Point)
tahun 2004 dan panitia NSPC (National Students Paper
Competition) tahun 2003-2004. Pada Tahun 2004 penulis pernah menjadi asisten untuk praktikum Teknologi Pengolahan Bumbu dan Rempah. Penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata pada tahun 2004 di desa Sirna Galih Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan penelitian selama lima bulan dengan judul Awal Penggandaan Skala Tepung Ubi Jalar dan Beberapa Karakteristiknya di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir.Tien R. Muchtadi, MS dan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
iii
DAFTAR ISI Halaman
I.
II.
III.
KATA PENGANTAR....................................................................
I
RIWAYAT HIDUP........................................................................
iii
DAFTAR ISI..................................................................................
iv
DAFTAR TABEL..........................................................................
Vi
DAFTAR GAMBAR.....................................................................
Vii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................
Viii
PENDAHULUAN..........................................................................
1
A. Latar Belakang..........................................................................
1
B. Tujuan, Sasaran dan Manfaat Penelitian..................................
2
TINJAUAN PUSTAKA................................................................
3
A. UBI JALAR..............................................................................
3
1. Botani Ubi Jalar.....................................................................
3
2. Produksi Ubi Jalar.................................................................
4
3. Komposisi Kimia Ubi Jalar...................................................
6
4. Pengolahan Ubi Jalar.............................................................
10
5. Tepung Ubi Jalar...................................................................
11
B. SIFAT REOLOGI ADONAN...................................................
13
C. SERAT PANGAN.....................................................................
14
1. Selulosa.................................................................................
14
2. Hemiselolosa.........................................................................
15
3. Pektin.....................................................................................
15
4. Lignin....................................................................................
16
D. KLORINASI AIR......................................................................
17
METODOLOGI.............................................................................
22
A. BAHAN DAN ALAT...............................................................
22
B. METODE PENELITIAN..........................................................
22
1. Studi Pustaka Pemanfaatan Tepung-Tepungan....................
24
2. Langkah Awal Penggandaan Skala.......................................
24
a. Pembuatan Tepung Ubi Jalar............................................
24
iv
IV.
b. Pembuatan Air Klorinasi...................................................
25
c. Pembuatan Chips Ubi Jalar Menggunakan Air Klorinasi.
26
d. Pengukuran Residu Klorin...............................................
26
e. Uji Total Plate Count (TPC)...........................................
27
3.Karakteristik Tepung Ubi Jalar.............................................
27
a. Sifat Kimia Tepung Ubi Jalar…………………………...
27
b. Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar............................................
32
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………..
35
A. Studi Pustaka Pemanfaatan Tepung-Tepungan........................
35
B. Langkah Awal Penggandaan Skala...........................................
36
1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar................................................
36
2. Klorinasi Air dan Penentuan Residu Klorin.........................
39
3. Pembuatan Chips Ubi Jalar Menggunakan Air Klorinasi....
41
4. Pengukuran Total Plate Count (TPC)..................................
43
5. Pengukuran Kadar Air Chips Ubi Jalar................................
47
C. Karakteristik Tepung Ubi Jalar..................................................
47
1. Sifat Kimia Tepung Ubi Jalar………………………….............
47
a. Kandungan Air.....................................................................
48
b. Kandungan Abu...................................................................
49
c.Kandungan Protein................................................................
50
d. Kandungan Lemak...............................................................
51
e. Kandungan Karbohidrat.......................................................
53
f. Kandungan Serat Pangan......................................................
53
2. Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar.......................................................
54
a. Uji Pengukuran Viskositas (Amilograf)……………...........
54
b. Uji Ketahanan Adonan (Farinograf) dan Kemampuan V
Penyerapan Air pada Tepung (Ekstensograf )....................
58
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................
61
A. Kesimpulan................................................................................
61
B. Saran.........................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA....................................................................
63
LAMPIRAN...................................................................................
70
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Data perkembangan produksi ubi kayu dan ubi Jalar di Indonesia dari tahun 2001 hingga tahun 2004.......................
5
Tabel 2.
Spesifikasi jenis ubi jalar merah, putih dan ungu…………
6
Tabel 3.
Komposisi kimia ubi jalar per 100 gram bahan segar............
7
Tabel 4.
Komponen serat pangan ubi jalar mentah asal Tonga............
9
Tabel 5.
Komposisi umum karbohidrat ubi jalar yang telah diolah dengan pemanasan (pemasakan)……………………............
9
Sifat reologi adonan tepung ubi jalar dengan menggunakan amilograf................................................................................
14
Tabel 7.
Analisis jumlah total padatan dan rendemen ubi jalar..........
38
Tabel 8.
Konsentrasi, residu dan harga klorin (Rp/ g)........................
40
Tabel 9.
Pengeringan sawut ubi jalar dengan menggunakan bed dryer.......................................................................................
43
Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar menggunakan air PT.FITS terklorinasi .............................................................
43
Total Plate Count (TPC) air yang digunakan untuk pembuatan Chips ubi jalar………………………………......
44
Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar putih dengan menggunakan berbagai sumber air........................................
45
Kadar air Chips ubi jalar dengan menggunakan berbagai sumber air..............................................................................
47
Karakteristik kimia (analisis proksimat) ubi jalar segar (dalam Kg basis kering).........................................................
48
Karakteristik kimia (analisis proksimat) tepung ubi jalar (dalam Kg basis kering).........................................................
48
Analisis serat makanan tepung ubi jalar (dalam Kg basis kering)....................................................................................
48
Hasil analisis amilograf…………………………………….
56
Tabel 6.
Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17.
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Struktur kimia selulosa.........................................................
14
Gambar 2.
Struktur kimia hemiselulosa.................................................
15
Gambar 3.
Struktur kimia pektin............................................................
16
Gambar 4.
Struktur kimia lignin............................................................
17
Gambar 5.
Reaksi klorin dalam air........................................................
19
Gambar 6.
Proses pembuatan tepung ubi jalar ......................................
24
Gambar 7.
Proses pembuatan air klorinasi.............................................
25
Gambar 8.
Proses pembuatan chips ubi jalar.........................................
26
Gambar 9.
Tepung ubi jalar putih hasil pengayakan 60 mesh ..............
37
Gambar 10.
Tepung ubi jalar merah hasil pengayakan 60 mesh.............
37
Gambar 11.
Tepung ubi jalar ungu hasil pengayakan 60 mesh...............
37
Gambar 12.
Grafik hubungan dosis klorin dengan residu klorin.............
40
Gambar 13.
Histogram Jumlah TPC dengan Berbagai Konsentrasi Klorin (g/lt)…………………..............................................
44
Histogram jumlah TPC dari sumber air yang digunakan untuk pembuatan chips ubi jalar…………………………...
45
Histogram TPC chips ubi jalar dengan menggunakan berbagai sumber air..............................................................
46
Gambar 14. Gambar15.
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Pemetaan pemanfaatan tepung-tepungan.............................
71
Lampiran 2.
Komoditi yang digunakan untuk tepung, potensi, peluang dan kepercayaan dalam masyarakat.....................................
78
Jenis-jenis Ubi jalar yang digunakan untuk pembuatan tepung ………………………………………………….....
80
Mikrochlorine test yang digunakan untuk mengukur residu klorin ……………………………………………………...
81
Lampiran 5.
Pembuatan larutan stok klorin …………………………….
82
Lampiran 6.
Perhitungan absolut (g) dan harga klorin Rp/g ……….......
83
Lampiran 7.
Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) air PT.FITS …….
85
Lampiran 8.
Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) air Cibungbulang...
86
Lampiran 9.
Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) air Cibungbulang dengan menggunakan residu klorin 200 ppm……………..
87
Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar dengan menggunakan air PT.FITS……………………….
88
Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar dengan menggunakan air PT.FITS dengan klorinasi…………………....................................................
89
Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang…………….......
90
Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar menggunakan air Cibungbulang dengan residu klorinasi .
91
Lampiran 14.
Rekapitulasi hasil analisis amilograf tepung ubi jalar…….
92
Lampiran 15.
Kurva amilograf tepung ubi jalar putih pada beberapa kali ulangan.................................................................................
93
Kurva amilograf tepung ubi jalar putih pada beberapa kali ulangan (Lanjutan)……………………………………
94
Kurva amilograf tepung ubi jalar merah pada beberapa kali ulangan………………………………………………..
95
Lampiran 3. Lampiran 4.
Lampiran 10. Lampiran 11.
Lampiran 12. Lampiran 13.
Lampiran 16. Lampiran 17.
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Ubi jalar merupakan salah satu tanaman palawija yang banyak terdapat di Indonesia. Plasma nutfah ubi jalar yang dimiliki Indonesia adalah sekitar 5000 klon lokal. Hampir seluruh produksi ubi jalar nasional digunakan sebagai bahan makanan. Ubi jalar memiliki kandungan nutrisi yang baik, umur yang relatif pendek, produksi yang tinggi, dan potensi lainnya (Widodo, 1989). Ubi jalar juga dianggap murah, lebih manis, dan banyak mengandung komponen kalori, vitamin A dibandingkan dengan tepung terigu (Villareal dan Griggs, 1982). Selain itu, ubi jalar juga merupakan salah satu komoditas lokal sumber serat pangan. Hal tersebut di atas terlihat bahwa ubi jalar mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan berbasiskan kepada produk tepung. Tepung ubi jalar dapat diolah kembali menjadi produk olahan lainnya seperti roti, cookies dan mie, tetapi harus diperhatikan juga kualitas dari tepung itu sendiri. Sifat yang dimiliki tepung adalah gelatinisasi dan reologi adonan, diantaranya sifat pada saat pembentukan adonan dan kekuatan adonan. Menurut Wirakartakusumah et.al. (1992), sifat reologi makanan memusatkan perhatiaannya pada aliran (flow) dan perubahan bentuk (deformasi) pada adonan makanan. Adonan makanan adalah suatu bentuk produk dengan kandungan air rendah dari campuran air dan tepung. Sifat reologi adonan sangat penting dalam menentukan kualitas panggang suatu tepung (De man, 1989). Salah satu strategi optimal adalah memposisikan pengembangan ubi jalar secara selaras dengan pengembangan ekonomi daerah. Hal ini menjadi lebih penting dalam era otonomi daerah. Dengan kata lain pengembanagn dilaksanakan secara terkait dari hulu hingga hilir dengan memberi penekanan pada aneka produk bernilai tambah yang dapat diserap oleh pasar. Salah satu pola yang sesuai dalam skema pengembangan ini adalah pola klaster. Penelitian ini diawali dengan pemetaan pemanfaatan tepung-tepungan dari umbi-umbian hingga saat ini, lalu dilakukan pembuatan tepung ubi jalar
1
yang kemudian dilakukan pengujian sifat reologi dan fungsional tepung ubi jalar serta beberapa langkah awal untuk penggandaan skala.
B. TUJUAN, SASARAN DAN MANFAAT PENELITIAN Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : a. Mengetahui pemetaan penelitian tepung ubi jalar hingga saat ini b. Memverifikasi proses pembuatan tepung ubi jalar dan merumuskan langkah awal untuk penggandaan skala produksi tepung ubi jalar yang memenuhi syarat dengan lokasi di Cibungbulang, Bogor- Barat c. Mengetahui mutu tepung ubi jalar melalui sifat fisik dan kimianya melalui sifat reologi dan kandungannya Sasaran dari penelitian ini adalah menghasilkan tepung ubi jalar dengan sifat reologi yang terukur dan menghasilkan chips ubi jalar dengan kadar air maksimal 6% serta TPC (Total Plate Count) maksimal 103 CFU/gr dengan menggunakan air dari Cibungbulang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih bermanfaat agar dapat mendorong terciptanya keterkaitan hulu-hilir untuk komoditi ubi jalar dan sebagai dasar pengembangan dengan pola klaster.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
UBI JALAR 1. Botani Ubi Jalar Ubi jalar atau ketela rambat berasal dari benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia dan Amerika bagian Tengah (Rukmana, 1997). Tanaman ubi jalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh karena daerah penyebaran terletak pada 30 OC LU dan 30 OC LS. Daerah yang paling ideal untuk mengembangkan ubi jalar adalah daerah bersuhu antara 21
O
C - 27
O
C, yang mendapat sinar matahari 11-12 jam/hari,
kelembaban udara (RH) 50-60%, dengan curah hujan 750-1500 mm/tahun. Pertumbuhan dan produksi yang optimal untuk usaha tani ubi jalar tercapai pada musim kering (kemarau) (Rukmana, 1997). Menurut Rukmana (1997), klasifikasi lengkap taksonomi tumbuhan adalah kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan), divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), subdivisi Angiospermae (berbiji tertutup), kelas Dicotyledonae
(biji
berkeping
dua),
ordo
Convolvulales,
famili
Convolvulaceae, genus Ipomoea dan spesies Ipomoea batatas L. Pada umumnya ubi jalar dibagi dalam dua golongan yaitu ubi jalar yang berumbi lunak karena banyak mengandung air dan umbi jalar yang berumbi keras karena banyak mengandung pati ( Lingga et al., 1986). Warna kulit umbi ada yang berwarna putih, putih merah tua, jingga dan dagingnya ada yang berwarna putih kekuningan (Steinbauer dan Kushman, 1971). Ubijalar varietas sukuh (CIP-2 : AB94001) yang dikembangkan oleh International Potato Center (CIP) sebagai bahan baku tepung merupakan hasil persilangan antara ubi jalar unggul asal Indonesia (sebagai sumber bunga betina) dan ubi jalar unggul asal Jepang (sebagai sumber bunga jantan). Ubi jalar sukuh memiliki ciri botani antara lain tipe pertumbuhan yang tegak, warna batang jingga, warna kulit umbi krem dan warna daging umbi putih. Penanaman ubi jalar sukuh yang memiliki tipe pertumbuhan tegak dinilai cukup efisien karena dapat ditanam dengan jarak tanam yang
3
lebih rapat sehingga jumlah populasi persatuan luas akan lebih banyak (Ega, 2002). Produksi ubi jalar varietas sukuh adalah sebesar 21.30 ton/Ha Sedangkan ubi jalar merah (Klon BB 00105.10) yang dikembangkan oleh International Potato Center (CIP) merupakan hasil persilangan tanaman ubi jalar berproduktivitas tinggi dan tanaman ubi jalar yang berproduktivitas rendah. Ubi jalar merupakan tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubi kayu. Komoditas ubi jalar sangat layak untuk dipertimbangkan
dalam
menunjang
program
diversifikasi
pangan
berdasarkan kandungan nutrisi, umur yang relatif pendek, produksi tinggi dan potensi lainnya. Sehingga apabila ditangani secara sungguh-sungguh, ubi jalar akan dapat menjadi sumber devisa yang potensial ( Widodo, 1989). Ubi jalar memiliki keistimewaan dibanding tanaman pangan lainnya. Ubi jalar termasuk salah satu tanaman yang paling tinggi daya penyesuaiannya terhadap kondisi lingkungan yang buruk, seperti angin kencang, musim kering yang panjang serta telah terbukti besar perannya dalam musim paceklik dan bencana alam sebagai makanan alternatif. Dengan daya adaptasi yang luas, tanaman ini dapat ditanam sepanjang tahun asalkan kebutuhan air pada awal pertumbuhannya cukup. 2. Produksi Ubi Jalar Negara-negara berkembang di dunia merupakan produsen utama dari tanaman ubi jalar. Dengan produksi sekitar 90 juta ton per tahunnya. Secara kasar, 80% total tanaman ubi jalar di dunia dibudidayakan di Asia dan kurang dari 15% dibudidayakan di Afrika. Hanya sekitar 5% dari populasi tersebut dibudidayakan di Afrika. Cina merupakan produsen ubi jalar yang paling besar. Sementara Indonesia menempati peringkat kedua setelah Cina dengan jumlah produksi 2.5 juta ton per tahun. Produksi ubi jalar di dunia mengalami peningkatan pada tahun 1960 sampai pada sekitar tahun 1975, namun mengalami penurunan semenjak itu. Salah satu alasan yang diduga menjadi penyebab menurunnya produksi ubi jalar adalah hubungan yang berbanding terbalik antara tingkat pendapatan
4
dan tingkat konsumsi ubi jalar. Di Jepang, peningkatan pendapatan rumah tangga akan menyebabkan penurunan konsumsi ubi jalar yang dianggap sebagai bahan pangan inferior (Mackay et al., 1989). Menurut catatan Badan Pusat Statistik (2005), produksi ubi jalar dari tahun ke tahun tidak mengalami kenaikan yang signifikan dan jumlah produksinya jauh di bawah tanaman umbi-umbian lain seperti ubi kayu. Ubi jalar mempunyai prospek yang baik bila dikelola dengan pola agribisnis dan agroindustri yang baik. Data perkembangan produksi ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data perkembangan produksi ubi kayu dan ubi Jalar di Indonesia dari tahun 2001 hingga tahun 2004 Tahun Ubi kayu (ton) Ubi jalar (ton) 2001 17,054,648 1.749.070 2002 16,913,104 1.771.642 2003 18,523,810 1.991.478 2004 19,263,978 1.889.222 Sumber : Badan Pusat Statistik (2005) Menurut Hasanuddin dan Wargiono (2002), hambatan-hambatan dalam mengembangkan pemanfaatan ubi jalar disebabkan oleh faktor teknis dan faktor sosio – ekonomi. Beberapa faktor teknis diantaranya adalah : (1) bulkiness, yaitu rasio antara berat dan volume ubi jalar. Volume ubi jalar yang besar tidak sebanding dengan harganya yang murah; (2) ubi jalar termasuk ke dalam bahan pangan yang mudah rusak karena lapisan kulitnya yang tipis serta tingginya kandungan air menyebabkan umbi mudah busuk; (3) serangan hama dan (4) cara perkembangbiakan dengan cara stek membutuhkan waktu hingga panen yang lama, sedangkan untuk mempercepat waktu panen dapat menggunakan biji, tetapi membutuhkan biaya yang lebih besar. Faktor sosio – ekonomi yang dapat menghambat perkembangan dan pemanfaatan ubi jalar antara lain : (1) status ubi jalar yang rendah di mata masyarakat, adanya persepsi masyarakat bahwa ubi jalar merupakan makanan untuk kalangan masyarakat yang kurang mampu; (2) kurangnya sumber daya, petani yang menanam ubi jalar umumnya adalah petani dengan sumber daya yang serba kekurangan, baik lahan
5
maupun keuangan dan (3) kurangnya akses untuk mencapai masyarakat, ubi jalar umumnya hanya ditemui di pasar-pasar tradisional saja sehingga distribusinya tidak menyebar luas. Dengan melihat kenyataan tersebut di atas, ini merupakan suatu tantangan bagi pemerintah dan kita untuk dapat mengembangkan dan memasyarakatkan ubi jalar sebagai bahan pangan yang bernilai gizi serta terjangkau oleh semua masyarakat. Salah satu usaha untuk meningkatkan konsumsi ubi jalar adalah melakukan penganekaragaman produk pangan berbasis ubi jalar. Selain hambatan yang disebutkan diatas, ubi jalar juga mempunyai spesifikasi seperti tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi Jenis Ubi Jalar Merah, Putih dan Ungu Ubi jalar putih Ubi jalar merah - Banyak terdapat di - Merupakan varietas pasar yang bertekstur - Mengandung pati yang lunak[1] tinggi, berkisar 5.30 - Tanamannya tahan sampai 28.40[1] terhadap kekeringan dan memproduksi - Rasanya lebih manis, umbi dalam jumlah banyak mengandung yang banyak[1] sukrosa [2] - Mempunyai rendemen - Memiliki kandungan yang tinggi 25-40% 3 vitamin–vitamin seperti prekursor - Biasanya umbi vitamin A[2] berukuran besar[3] - Mengandung serat yang tinggi sanpai 1.95%[3] - Sumber vitamin C yang baik[4]
Ubi jalar Ungu - Mengandung antosianin yang berperan sebagai antioksidan [5] - Mengandung anti hipertensi[6] - Mengandung anti hiperglisemik[6]
Sumber : [1] Zuraida, 2005. [2] . Rajiv, 2005. [3] O'Hair, S. K. 1990. [4] . Anonim , 2006a. [5] Anonim , 2001a. [6] Suda, 2003.
3. Komposisi Kimia Ubi Jalar Komposisi kimia ubi jalar bervariasi tergantung dari jenis, usia, keadaan tumbuh dan tingkat kematangan. Ubi jalar merupakan sumber
6
energi yang baik dalam bentuk karbohidrat. Ubi jalar merupakan sumber energi sebesar 215 kal/ha/hari, sedangkan padi dan jagung hanya 176 kal/ha/hari (Rukmana, 1997). Komposisi kimia ubi jalar seperti tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia ubi jalar per 100 gram bahan segar Komposisi Kalori (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Niacin (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Bagian yang dapat dimakan (%)
Jumlah Ubi jalar putih 123.0 1.8 0.7 27.9 30.0 49.0 0.7 60.0 0.9 22.0 68.5
Ubi jalar merah 123.0 1.8 0.7 27.9 30.0 49.0 0.7 7700.0 0.9 22.0 68.5
86.0
86.0
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1993).
Menurut Kementerian Negara Urusan Pangan yang bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (1999), vitamin terbanyak dalam ubi jalar adalah beta karoten (provitamin A) dan asam askorbat (vitamin C). Beta karoten merupakan gabungan antara dua molekul retinol sehingga memiliki aktivitas provitamin A maksimum. Kandungan β karoten ubi jalar mencapai 7100 IU, namun tidak semua jenis ubi jalar mengandung β-karoten yang tinggi. Ubi jalar yang mengandung β-karoten tinggi hanya varietas ubi jalar yang warna daging ubinya jingga kemerah-merahan. Sedangkan varietas ubi jalar yang daging ubinya berwarna kuning atau putih memiliki kandungan β-karoten yang lebih rendah (Juanda et al., 2000). Sukirwan (2000) juga melaporkan bahwa vitamin A dapat menghaluskan kulit dan sebagai antioksidan yang dapat mencegah penuaan dini. Ubi jalar juga mengandung vitamin C (20-30 mg/100 g). Vitamin B1 (thiamin) juga terkandung dalam jumlah yang cukup per kalorinya, yaitu sekitar dua kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan manusia. Potasium merupakan mineral utama yang terkandung dalam jumlah yang cukup per
7
kalorinya, yaitu sekitar dua kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan manusia. Potasium merupakan mineral utama yang terkandung pada komoditas ini dan kandungan zat besi (0.8 mg/100 g) dapat memenuhi kebutuhan zat besi bila ubi jalar dikonsumsi setidaknya 2 kg per hari (Villareal dan Griggs, 1982). Serat makanan didefinisikan sebagai kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem gastrointestinal bagian atas tubuh manusia. Istilah serat makanan juga harus dibedakan dari istilah serat kasar yang biasa digunakan dalam analisis proksimat makanan. Serat kasar (crude fiber) adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisa oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar, yaitu asam sulfat dan natrium hidroksida, sedangkan serat makanan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis enzimenzim pencernaan. Oleh karena itu kadar serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan dengan serat makanan, karena asam sulfat dan natrium hidroksida mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menghidrolisis komponen-komponen
makanan
dibandingkan
dengan
enzim-enzim
pencernaan (Muchtadi, 1989). Penelitian mutakhir diketahui bahwa serat makanan total (total dietary fiber, TDF) terdiri dari komponen serat makanan larut (soluble dietary fiber, SDF) dan serat makanan tidak larut (insoluble dietary fiber, IDF) (Muchtadi, 2001). Kelompok makanan yang termasuk ke dalam kelompok SDF adalah gum, pektin dan sebagian hemiselulosa larut air. Sementara komponen serat makanan yang termasuk ke dalam komponen IDF adalah selulosa, lignin, dan pektat. Biasanya jumlah IDF selalu lebih banyak dari SDF dan jumlah SDF biasanya adalah satu per tiga TDF (Muchtadi,2001). Menurut Van Soest dan Robertson (1977), analisis serat kasar tidak dapat menunjukkan nilai serat makanan yang sebenarnya, sebab sekitar 20-50 % selulosa, 50-80 % lignin, dan 80-85 % hemiselulosa hilang selama analisis. Komponen terbanyak dari serat makanan ditemukan pada dinding
8
sel tanaman. Komponen ini termasuk senyawa struktural seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin (Southgate, 1982). Mengkonsumsi serat makanan dalam jumlah tinggi akan memberi pertahanan pada manusia terhadap timbulnya berbagai penyakit, misalnya kanker usus besar (colon), penyakit divertikulasi, penyakit kardiovaskuler dan obesitas (kegemukan) (Muchtadi, 1989). Pola konsumsi yang kurang serat dipengaruhi oleh adanya perubahan pola makan dari pola tradisional yang mengandung pati dan serat menjadi pola modern dengan kandungan protein, lemak, gula dan garam yang tinggi tetapi kurang serat. Kecukupan asupan (adequate intake/AI) untuk orang dewasa adalah 25-30 gram serat makanan per orang per hari (Zakaria, 2003). Komponen serat makanan yang telah diolah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Komponen serat makanan ubi jalar mentah asal Tonga Komponen % berat kering SNSP 4.4 Pektin 2.5 Hemiselulosa 3.8 Selulosa 1.9 Lignin 1.4 Keterangan : SNSP (Soluble non-starch polysaccharides) Sumber : Holloway et al. (1985)
% berat basah 1.4 0.8 1.2 0.6 0.4
Kandungan karbohidrat yang banyak terdapat pada ubi jalar adalah pati, gula dan serat makanan. Komposisi umum karbohidrat ubi jalar yang telah diolah dengan pemanasan (pemasakan) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi umum karbohidrat ubi jalar yang telah diolah dengan pemanasan (pemasakan) Karbohidrat Pati Pektin Hemiselulosa Selulosa Total gula Total karbohidrat
Persentase (%) 3.2-5.0 0.8-1.0 0.4-1.0 1.1-1.9 10.7-15.7 17.3-23.5
Sumber :Palmer (1982)
9
Pati yang tersusun atas amilosa dan amilopektin merupakan komponen karbohidrat utama pada ubi jalar. Rasio amilosa dan amilopektin pada ubi jalar cukup bervariasi, tetapi secara umum adalah 1: 3 atau 1: 4. Kandungan amilopektin yang tinggi dan amilosa yang rendah diduga bertanggung jawab terhadap karakteristik ubi jalar. Pati ubi jalar tergelatinisasi pada suhu antara 65 0C hingga 80 0C (Woolfe, 1999). Karakteristik karbohidrat
ubijalar
adalah
yang
berhubungan
kecenderungan
timbulnya
dengan
kandungan
flatulensi
setelah
mengkonsumsi ubi jalar. Flatulensi disebabkan oleh gas flatus yang merupakan hasil samping fermentasi karbohidrat yang tidak dicerna dalam tubuh, yang dilakukan oleh mikroflora usus. Menurut Darmadjati (2003), karbohidrat yang tidak dicerna tersebut antara lain pati tidak tercerna (resistant
starch),
oligosakarida
tak
tercerna
(non
digestibility
oligosaccharides) dan polisakarida non pati ((non starch polisaccharides) seperti komponen-komponen serat makanan. Karbohidrat tak tercerna menyediakan substrat bagi pertumbuhan dan metabolisme mikriflora usus. Substrat tersebut mempercepat pertumbuhan bakteri sehingga menghasilkan metabolit yang berfungsi sebagai penjaga kesehatan usus halus dan kolon, terutama melalui mekanisme antagonisme dengan bakteri patogen, metabolit asam lemak rantai pendek dan peningkatan respon imun usus halus (Zakaria, 2003). Selain asam lemak, proses fermentasi karbohidrat tak tercerna juga menghasilkan gas H, CH4 dan CO2 yang bersama-sama membentuk gas flatus. Metabolit terakhir ini yang menyebabkan terjadinya flatulensi. Makanan yang tidak dapat dicerna tetapi
menguntungkan
bakteri
kolon
dengan
cara
meningkatkan
peryumbuhan dan keaktifan satu atau lebih jenis bakteri tersebut dikenal sebagai prebiotik (Johnson dan Southgate, 1994). 4. Pengolahan Ubi Jalar Ubi jalar di beberapa negara dijadikan sebagai makanan pokok. Penyajian ubi jalar dapat dilakukan dengan direbus, digoreng ataupun dimasak bersama nasi. Ubi jalar juga dapat dimanfaatkan sebagai produk
10
makanan ringan ataupun pencuci mulut dan umumnya dikonsumsi dalam bentuk segarnya yang telah direbus, dipanggang ataupun dimasak dengan bahan-bahan lainnya. Komoditas ini juga dapat diolah menjadi keripik dengan bentuk potongan ataupun seperti bentuk kentang goreng (Mackay et al., 1989). Pengeringan oleh sinar matahari pada ubi jalar yang telah diblansir merupakan proses pengolahan tradisional yang dilakukan negara-negara berkembang untuk menghasilkan chips ubi jalar. Pengeringan adalah suatu cara untuk mengurangi kadar air suatu bahan, sehingga diperoleh hasil akhir yang kering. Pengeringan ini bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Menurut Desrosier (1963), pengeringan adalah suatu proses pindah panas dan pindah massa. Sekarang ini banyak digunakan juga alat pengering lainnya seperti cabinet drier dan vertical bed drier. Ubi jalar segar di Indonesia terkadang direndam dalam larutan garam 8-10% selama sekitar satu jam sebelum dipotong menjadi bentuk chips dan dikeringkan. Perlakuan perendaman tersebut dilaporkan dapat mencegah pertumbuhan mikroba selama proses pengeringan (Villareal dan Griggs, 1982). Perlakuan perendaman chips dalam sulfur sebelum dikeringkan pada dasarnya bertujuan untuk mempertahankan warna, cita rasa, mencegah kerusakan oleh mikroba atau aktifitas insekta dan mempertahankan mutu selama penyimpanan produk kering. Proses pemasakan akan menyebabkan perubahan pada tekstur dan flavor ubi jalar dan juga dapat meningkatkan daya cerna berupa zat gizi khususnya pati. Proses pemasakan juga dapat mengurangi jumlah toksin pada ubi jalar (toxic terpenoid phytoalexins) dan jumlah zat anti nutrisi berupa tripsin inhibitor. Namun, proses pemasakan yang terlalu lama akan menyebabkan hilangnya beberapa zat gizi melalui proses degradasi thermal, oksidasi dan reduksi ketersediaan biologis (Woolfe, 1993). 5. Tepung Ubi Jalar Proses pembuatan tepung ubi jalar cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun industri kecil. Tepung dari ubi
11
jalar dapat dibuat dengan dua cara yaitu pertama, ubi jalar diiris tipis lalu dikeringkan kemudian ditepungkan dan kedua, ubi jalar diparut atau dibuat pasta lalu dikeringkan dan ditepungkan. Jenis bahan yang akan dikeringkan, mutu hasil akhir yang dikeringkan dan pertimbangan ekonomi mempengaruhi pemilihan alat dan kondisi pengering yang akan digunakan misalnya untuk jenis bahan padatan atau yang berbentuk lempeng maka alat yang sesuai untuk mengeringkan bahan tersebut adalah pengering cabinet atau tray drier. Sedangkan untuk bahan yang berbentuk pasta atau puree maka alat yang sesuai untuk mengeringkan adalah pengering drum (Brennan et.al., 1974). Pembuatan tepung ubi jalar pada penelitian ini menggunakan pengering cabinet (cabinet drier) yang terdiri dari suatu ruangan yang terisolasi dengan baik untuk mencegah kehilangan panas. Pengering cabinet umumnya digunakan untuk potongan-potongan buah atau umbi dengan kecepatan aliran udara 500-1000 ft/menit. Pengeringan akan memakan waktu 5-10 jam atau kurang tergantung dari jenis bahan dan tingkat kadar air yang diinginkan (De Leon, 1988). Menurut De Leon (1988), bahan yang akan dikeringkan dapat diletakkan di atas nampan yang berlubang-lubang atau loyang sebagai lapisan yang tipis. Pada pengering kabinet yang besar nampan diletakkan diatas trolley untuk memudahkan penanganan. Untuk ukuran yang lebih kecil dapat diletakkan di atas penompang yang permanen. Kipas yang berada dalam pengering cabinet mengalirkan udara melalui elemen-elemen pemanas dan menyebarkannya secara merata melalui nampan-nampan yang berisi bahan yang akan dikeringkan. Alat pengering ini dilengkapi sebuah saluran untuk mengeringkan udara yang penuh dengan uap air sebelum proses resirkulasi. Tepung ubi jalar mentah memberikan after taste pahit pada produk akhir, sehingga dapat mengganggu cita rasa produk. Rasa pahit biasanya disebabkan oleh beberapa senyawa kimia separti fenolik dan alkaloid (Woolfe, 1999).
12
B.
SIFAT REOLOGI ADONAN Dalam pembuatan suatu produk, sebelumnya terlebih dahulu perlu diketahui sifat reologi adonan, sehingga dapat menghasilkan produk dengan karakteristik yang sesuai. Dalam industri pangan, sifat-sifat reologi dan teknik pengukuran sifat-sifat reologi adonan makanan merupakan hal yang sangat penting tidak hanya dalam pengoperasian bahan tetapi juga dalam menentukan mutu pangan yang dapat diukur secara objektif, desain model proses dengan scale up. Reologi makanan menitikberatkan pada aliran (flow) dan perubahan bentuk (deformasi) pada adonan makanan. Alat-alat yang digunakan untuk mengetahui karakterisasi deformasi adonan adalah farinograf, amilograf dan ekstensograf. Alat-alat ini hanya dapat digunakan untuk menentukan sifat-sifat reologi adonan secara kualitatif dan tidak dapat digunakan untuk menentukan sifat-sifat reologi secara kuantitatif / ilmu keteknikan. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat aliran dalam peralatan sangat kompleks, sehingga sukar untuk mengetahui sifat-sifat dasar bahan (Wirakartakusumah et al.,1992). Pengujian farinograf dilakukan untuk mengetahui ketahanan adonan dan kemampuan penyerapan air pada tepung. Pengujian ekstensograf bertujuan untuk mengetahui kekuatan adonan tehadap daya regang setelah adonan disimpan dalam waktu tertentu. Ekstensograf juga digunakan untuk mengukur kekuatan yang diperlukan untuk memperpanjang adonan pada kecepatan yang tetap dan mengukur ketahanan terhadap keregangan. Sedangkan amilograf bertujuan untuk mengetahui kenaikan dan penurunan viskositas selama gelatinisasi (Sugiyono, 2003). Pengukuran sifat reologi tepung ubi jalar dengan menggunakan amilograf dapat dilihat pada Tabel 6.
13
Tabel 6. Sifat reologi adonan tepung ubi jalar dengan menggunakan amilograf Komoditi
Suhu Awal (0C)
Tepung Ubi Jalar Putih Tepung Ubi Jalar Merah
Viskositas Pada Akhir Pendinginan (Ve) (BU)
150
Viskositas Pada Saat Awal Pendinginan (Vr) (BU) 250
700
450
0
Indeks Gelatinis asi (Ve-Vr) (BU) 450
450
380
715
265
50
335
Viskositas Maksimum (Vp) (BU)
Viskositas Pada Saat 950C (BU)
82.5
250
50
450
Viskositas Balik (BU)
Stabilitas (Vp-Vr) (BU)
Sumber : Osundahunsi et al. (2003)
C.
SERAT PANGAN 1. Selulosa Selulosa
merupakan
serat-serat
panjang
yang
bersama-sama
hemiselulosa, pektin, dan protein membentuk jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman (Winarno, 1997). Seperti juga amilosa, selulosa adalah polimer berantai lurus α-(1,4)-D-glukosa. Bedanya dengan amilosa adalah pada jenis ikatan glukosidanya. Selulosa bila dihidrolisis oleh enzim selulobiase, yang cara kerjanya serupa dengan β-amilase, akan terhidrolisis dan menghasilkan dua molekul glukosa dari ujung rantai, sehingga dihasilkan selobiosa (β-(1,4)-G-G). Struktur kimia selulosa dapat dilihat pada Gambar 1. CH2OH
H
OH
OH
H H
O H O
H OH
O H
H
H
O
H O
H
OH
CH2OH
Gambar 1. Struktur kimia selulosa (Dreher, 1987) Dalam dinding sel, senyawa ini terdapat dalam bentuk mikrofibril yang terdiri dari beberapa rantai molekul. Konfigurasi molekulnya yang berupa suatu kumpulan yang sangat kokoh tersebut disebabkan oleh ikatan hidrogen yang kuat diantara rantai molekul yang paralel. Ciri-ciri struktural selulosa inilah yang menyebabkan mempunyai kekuatan mekanis yang
14
tinggi dan bersifat tahan terhadap reaksi-reaksi kimia (Southgate dan Englyst, 1985). 2. Hemiselulosa Beda hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi rendah dan mudah larut alkali tapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa sebaliknya. Hemiselulosa tidak merupakan seratserat yang panjang seperti selulosa, juga suhu bakarnya tidak setinggi selulosa. Hasil hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan monosakarida lainnya (Winarno, 1997). Hasil Struktur kimia hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
CH2OH
COOH O
O
H
H
O
OH
H H
H
OH
OH
D-Glucose
H O
H
H
O
OH
H H
H
OH
OH
H
OH
H
OH OH
H
D-Guluronic Acid
H H
OH
D-Xylose
Gambar 2. Struktur kimia hemiselulosa (Dreher, 1987) 3. Pektin Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa-senyawa pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lain. Bagian antara dua dinding sel yang berdekatan tersebut disebut lamela tengah (middle lamella). Senyawa-senyawa pektin
merupakan polimer
dari asam D-
galakturonat yang dihubungkan dengan ikatan β- (1,4)-glukosida; asam
15
galakturonat merupakan turunan dari galaktosa (Winarno, 1997). Struktur kimia pektin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia pektin (Anonim ,1999a) Selain ditemukan pada dinding sel tanaman, pektin juga ditemukan di dalam sel sebagai senyawa semen interseluler dan sering dikelompokkan sebagai gum tanaman dan pektin dapat larut dalam air panas (Schneeman, 1989). 4. Lignin Menurut Williams (1985), satu-satunya serat makanan yang merupakan senyawa non karbohidrat adalah lignin, yamg merupakan unit polimer fenilpropana yang membentuk bagian tumbuhan yang berkayu. Lignin ini dengan asam empedu membentuk senyawa yang tidak dapat larut kemudian mencegah penyerapan asam empedu. Sifat-sifat lignin ini sama dengan obat penurun kolestrol darah yaitu kolestiranum. Struktur kimia lignin dapat dilihat pada Gambar 4.
16
Gambar 4. Struktur kimia lignin (Sipila et al.,1999)
D.
KLORINASI AIR Air dapat merupakan medium pembawa mikroorganisme patogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam air bervariasi tergantung dari berbagai faktor. Faktorfaktor tersebut adalah sebagai berikut (Frazier dan Westhoof, 1978) 1. Sumber air Jumlah dan jenis mikroorganisme di dalam air dipengaruhi oleh sumber air tersebut, misalnya air atmosfer (air hujan, salju), air permukaan (danau, sungai), air tanah (sumur, mata air), air tergenang, air laut dan sebagainya. 2. Komponen nutrien dalam air Air, terutama air buangan sering mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan oleh spesies mikroorganisme tertentu. Sebagai contoh air yang mengandung besi dalam jumlah yang tinggi sering ditumbuhi oleh bakteri besi yaitu Ferrobacillus (F. ferrooxidans). Mikroorganisme yang bersifat saprofit organotrofik sering tumbuh pada air buangan yang mengandung sampah tanaman dan bangkai hewan. Semua air secara alamiah juga mengandung mineral-mineral yang cukup untuk kehidupan mikroorganisme di dalam air.
17
3. Komponen beracun Komponen beracun yang terdapat di dalam air mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme dalam air tersebut. Sebagai contoh komponen-komponen metalik, asam-asam organik maupun anorganik, alkohol, antibiotik, khlorin dan sebagainya dapat membunuh organisme dan kehidupan lainnya di dalam air. 4. Organisme air Adanya organisme di dalam air dapat mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme
air.
Sebagai
contoh
adanya
protozoa
dan
bakteriophage mengurangi jumlah bakteri di dalam air karena kedua organisme tersebut dapat membunuh bakteri. 5. Faktor fisik Jumlah dan jenis mikroorganisme juga dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik air seperti suhu, pH, tekanan osmotik, tekanan hidrostatik, aerasi dan penetrasi sinar matahari. Untuk mereduksi jumlah mikroorganisme di dalam air maka perlu ditambahkan desinfektan seperti penggunaan klorin. Tujuan utama penambahan klorin terhadap air adalah melakukan desinfeksi air dengan kontaminasi yang tidak terlalu berat. Efek desinfeksi didapatkan melalui inaktivasi organisme-organisme bakteri dan virus patogenik yang dapat dipindahkan melalui air (Jenie, 1988). Menurut Naidu dan Khanna (2000), diantara berbagai jenis sanitaiser dipakai di industri, seperti garam amonium quartenary, ozon, iodophor, gluteraldehid, dan etilen oksida, senyawa klorin mempunyai pangsa pasar yang terbesar. Hal-hal yang menyebabkan sangat populer adalah (1) tingginya efektifitas antimikrobialnya, (2) sifat toksin yang rendah terhadap manusia, (3) aplikasi yang mudah, (4) harga murah dan (5) penanganan yang mudah. Klorin adalah gas berwarna kuning kehijauan yang pada tekanan tinggi menjadi cair. Klorin merupakan oksidator kuat dan dapat digunakan untuk mengubah karakteristik kimia air. Klorin dan senyawa klorin memiliki efek bakterisidal yang cepat walaupun terdapat dalam jumlah
18
sedikit di dalam larutan. Klorin dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi terhadap paru-paru, membaran-membran hidung dan tenggorokan. Klorin telah digunakan sebagai desinfektan untuk air sejak tahun 1896. Fungsi klorin dalam penanganan air tidak hanya untuk desinfeksi, tetapi juga untuk kontrol terhadap ganggang yang hidup dalam reservoir dan kontrol terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk lendir (Jenie, 1988). Bila senyawa klorin ditambahkan ke dalam air akan mengalami tahap-tahap sebagai berikut (sesuai dengan Gambar 5): Reaksi (1) : terjadi destruksi senyawa - senyawa pereduksi klorin, tidak ada desinfeksi. Reaksi (2) : bila klorin ditambahkan lagi, terbentuk senyawa - senyawa kloro-organik Reaksi (3)
:terbentuk
senyawa
ammonia-klorin
yang
mempunyai
desinfeksi lambat Reaksi (4)
: terjadi penghancuran senyawa amonia-klorin
Reaksi (5) : klorin bebas terdapat dalam rasio tertentu dengan kelebihan klorin yang ditambahkan, klorin bebas ini mempunyai kerja desinfeksi yang cepat. Residu klorin
sisa klorin bebas
450
titik balik klorin bebas 5 1 kebutuhan segera
2-3 dosis klorinasi marjinal
4 campuran
residu bebas
Gambar 5. Reaksi klorin dalam air (Jenie, 1988)
19
Davidson dan Branen (1993) menyatakan bahwa klorin dalam berbagai bentuknya merupakan sanitaiser kimia yang paling luas digunakan dalam industri makanan. Senyawa-senyawa klorin yang berfungsi sebagai sanitaiser dapat dikelompokkan menjadi klorin cair, hipoklorit, kloramin anorganik, kloramin organik dan klorin dioksida. Di dalam air, klor sebagai gas Cl2 akan bereaksi membentuk asam hipoklorit (HOCl), H+ dan klorida (Cl-) : Cl2 + H2O
HOCl + H+ + Cl-
Pada suhu air yang normal, reaksi tersebut telah selesai secara lengkap hanya dalam beberapa detik saja. Pada pH rendah keseimbangan akan berjalan ke kanan, karena itu hanya sedikit sekali Cl2 yang berada dalam larutan. Sedang asam hipoklorit akan mengalami disosiasi sesuai dengan reaksi berikut : OCl- + H+
HOCl
(hipoklorit) Ion klorida (Cl-) tidak aktif, sedangkan Cl2, HOCl dan OCl- dianggap sebagai bahan yang aktif. HOCl yang tidak terpecah adalah zat pembasmi yang paling efisien pada kondisi pH agak rendah sampai suasana netral (Alaerts dan Santika, 1984). Di samping reaksi klorin dengan bahan-bahan impurities, apabila air yang akan didesinfeksi mengandung amonia, maka terjadi reaksi antara asam hipoklorit dengan amonia membentuk kloramin. Reaksinya adalah sebagai berikut : NH3 + HOCl
NH2Cl + H2O
pH > 7
(monokloramin) NH2Cl + HOCl
NHCl2 + H2O
4 < pH < 6
(dikloramin)
20
NHCl2 + HOCl
NCl3 + H2O
pH < 3
(trikloramin)
Semua klor yang tersedia di dalam air sebagai kloramin disebut “klor tersedia terikat” (combined available chlorine), sedang klor yang terbentuk sebagai Cl2, OCl- dan HOCl disebut (free available chlorine). Klor yang terikat maupun bebas sama-sama memiliki daya desinfeksi, hanya pada klor yang terikat kemampuannya lebih rendah dibanding pada keadaan bebas (Alaerts dan Santika, 1984). Hipoklorit merupakan agen anti mikrobial yang tertua dan paling banyak digunakan untuk sanitasi dan desinfeksi. Hipoklorit biasa dikenal dengan nama bleach dan banyak diaplikasikan dalam penanganan air minum dan limbah (Naidu dan Khanna, 2000). Klorin mampu menyebabkan mempengaruhi
reaksi DNA.
mematikan NaOCl
pada
bereaksi
membran dengan
sel DNA
dan
dapat
sel
hidup,
menyebabkan mutasi oleh reaksi oksidasi basa purin dan pirimidin. Klorin daapt diperhitungkan termasuk dalam germisida berspektrum luas (Davidson dan Branen, 1993). Naidu dan Khanna (2000) menyatakan, mencuci buah atau sayur segar secara keseluruhan dengan merendamnya di dalam larutan berklorin memiliki efek sanitasi walaupun penurunan populasi mikroba sifatnya minimal dan kurang dari 100 kali. Untuk tujuan sanitasi sayur/buah segar , klorin biasa digunakan pada konsentrasi 50-200 ppm dengan waktu kontak 1-2 menit (Naidu dan Khanna, 2000). Klorin efektif sebagai bakterisida pada konsentrasi rendah. Kecepatan desinfeksi klorin memuaskan, terutama dalam penanganan air, dimana produk air dapat disimpan selama beberapa jam hingga beberapa hari (Jennie, 1988). Aktivitas antimikroba dari klorin sangat tergantung dari faktor lingkungan yang ada selama kontak dengan mikroorganisme sampai germisidasi. Faktor seperti jumlah dan tipe/jenis klorin, lamanya waktu kontak, suhu, keasaman/alkalinitas air juga mempengaruhi aktivits antimikroba dari klorin (Jennie, 1988).
21
Konsentrasi klorin yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari berbeda-beda tergantung dari tujuan dan pemanfaatan klorin itu sendiri. Klorin pada konsentrasi 3000-150000 ppm digunakan sebagai pemutih, sedangkan klorin pada konsentrasi 1000 ppm digunakan sebagai pembersih darah (Anonim , 19964). Menurut Jay (2000), klorin 2000 ppm mempunyai kemampuan menurunkan jumlah mikroba sebanyak 2.3 log 10 dengan waktu kontak 1-10 menit. Konsentrasi klorin dapat dikurangi dengan semakin meningkatnya waktu kontak yang digunakan. Konsentrasi klorin yang tinggi dapat menyebabkan korosi, sehingga waktu kontak yang digunakan pun tidak boleh melebihi 30 menit. Efek dari korosi ini dapat dikurangi dengan menurunkan
waktu
kontak,
menurunkan
temperatur
atau
dengan
meningkatkan pH (Marriot, 1999). Rekomendasi batas maksimal residu klorin untuk air minum adalah 250 mg/l, jumlah yang dapat dirasakan tetapi tidak membahayakan. Selain itu, jumlah klorin yang lebih dari 600 mg/l dalam air minum dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal (Barnes dan Wilson, 1983).
22
III. METODOLOGI
A.
BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan adalah air dari sumber di Cibungbulang (air yang tanpa diklorinasi), air dari PT. FITS, ubi jalar, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2O3, indikator (metil merah dan metil biru), H3BO3, Na2S2O5, petroleum eter, buffer fosfat, enzim α-amilase, amiloglikoksidase, etil alkohol 75% dan 95%, aseton, NaOH 4%, natrium hipoklorit, akuades, Plate Count Agar
(PCA), alkohol, buffer natrium fosfat pH 6.4 HCl,
NaOH 4 M, etanol teknis 95%, etanol 78%, aseton puriss, enzim termamyl, Pepsin, dan pankreatin. Alat yang digunakan untuk pembuatan adalah cabinet drier, pisau, baskom, penggiling tepung, brabender amilograph, brabender ekstensograf, brabender farinograf, buret, filter, gelas ukur, termometer, timbangan analitik, lap basah, pengaduk/sendok, gelas piala, erlenmeyer 500 ml, peralatan untuk ekstraksi lemak (sokhlet), cawan aluminium, cawan porselin, oven, desikator, labu Kjedahl, batu didih kondensor inkubator, tanur, penangas air, pH meter, alumunium foil, kertas saring whatman no 40, bunsen, pipet mikro 100-1000 µL, cawan petri, plastik tahan panas, autoklaf, stomacher, tips dan tabung reaksi bertutup .
B.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan berupa pemetaan pemanfaatan tepung-tepungan yang berasal dari umbi-umbian, pembuatan tepung ubi jalar, analisis sifat kimia (proksimat), serat makanan dan sifat reologi adonan. Sedangkan penelitian lanjutan adalah pembuatan chips ubi jalar, penentuan kadar airnya, penentuan residu klorin yang akan digunakan dalam pembersihan ubi jalar dan penentuan Total Plate Count (TPC).
23
1. Studi Pustaka Pemanfaatan Tepung-Tepungan Studi
pustaka
pemanfaatan
tepung-tepungan
meliputi
pencarian komoditi yang digunakan untuk pembuatan tepungtepungan, Rekayasa proses pembuatan tepung, karakter fisik maupun kimia, aplikasi, potensi dan peluang dan kepercayaan dalam masyarakat. 2. Langkah Awal penggandaan Skala a. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Pembuatan tepung ubi jalar meliputi pencucian ubi jalar dengan air untuk menghilangkan kotoran-kotoran. Lalu ubi jalar diiris-iris dengan ketebalan ± 1.5 mm dengan menggunakan slicer. Ubi jalar direndam dalam larutan metabisulfit untuk menghindari pencoklatan. Proses selanjutnya ubi jalar digiling dengan disc mill diayak. Proses pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 6. Ubi jalar Dicuci dan dikupas Direndam dalam larutan metabisulfit 0.3% tahap I Dipotong-potong dengan slicer dengan ketebalan ±1.5 mm
Chips basah
Direndam dalam larutan metabisulfit 0.3% selama 5 menit tahap II Dikeringkan dengan cabinet drier 60 OC Digiling dengan disc mill Chips kering
@ 24
@
Diayak dengan saringan 60 mesh
Tepung ubi jalar Gambar 6. Proses Pembuatan Tepung ubi Jalar (Modifikasi Kadarisman et al.,1992)
b. Pembuatan Air Klorinasi 709.52 ml Natrium hipoklorit
Diencerkan dengan 290.48 ml Larutan stok klorin Diambil 20 ml, 22.5 ml, 25 ml, 27.5 ml dan 30 ml larutan stok klorin
Ditambahkan 1 lt sumber
Air klorinasi
Didiamkan selama 30 menit
Air klorinasi (Dibagi dua untuk dua kali pencucian)
Gambar 7. Proses pembuatan air klorinasi
25
c. Pembuatan Chips Ubi Jalar Menggunakan Air Klorinasi Ubi jalar
Dibersihkan dari tanah yang melekat pada permukaannya Dibersihkan dalam air klorinasi I Dibersihkan dalam air klorinasi II dan ditambahkan larutan metabisulfit 0.3% Dipotong dengan ketebalan ± 2 mm dengan slicer Chips basah Ditiriskan Dikeringkan dengan cabinet drier 60 0C selama ± 5-6 jam Chips ubi jalar Gambar 8. Proses pembuatan chips ubi jalar
d.
Pengukuran Residu Klorin Alat yang digunakan untuk mengukur residu klorin adalah pHydron Microchlorine Test Kit ( Lampiran 9). Alat ini berupa gulungan kertas indikator yang dapat dibaca dengan mencelupkan indikator ke dalam sampel. Konsentrasi residu klorin yang dapat terbaca berkisar dari 10, 50, 100 dan 200 ppm. Kertas dicelupkan ke dalam cairan yang terdapat pada sampel kemudian kertas dilihat dan dicocokkan dengan contoh warna yang menunjukkan konsentrasi residu klorin dalam ppm.
26
e.
Uji Total Plate Count (TPC) (AOAC, 1992) Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dan dimasukkan ke dalam kantung plastik steril lalu dimasukkan larutan pengencer sebanyak 90 ml. Sampel tersebut kemudian di stomacher selama 1 menit. Dari hasil hancuran sampel tersebut dilakukan pengenceran dan pemupukan sampai tingkat yang dikehendaki. Larutan pengencer yang digunakan adalah NaCl 0.1 % (w/v). Satu ml sampel dipipet dari pengenceran yang dikehendaki ke dalam cawan petri kemudian di tuang media Plate Count Agar (PCA) sebanyak ± 12-15 ml. Cawan petri tersebut segera digerakkan dengan gerakan melingkar atau gerakan seperti angka delapan untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata. Setelah media agar membeku, cawan diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 0C selama ± 48 jam. Jumlah koloni yang terbentuk pada cawan dihitung berdasarkan Standar Plate Count (SPC).
3. Karakteristik Tepung Ubi Jalar a. Sifat Kimia Tepung Ubi Jalar 1) Kadar air, metode oven (AOAC, 1995) Mula-mula cawan kosong dikeringkan dengan oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak
4 – 5 gram (a) contoh dimasukkan dalam cawan yang
telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 100 – 105 0C selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan (b). Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir.Penetapan kadar air berdasarkan perhitungan:
Kadar air (%bb) =
( a − b) x 100% a
(%bk ) =
( a − b) x 100% b
Bobot air (kg)= %kadar air x ∑bobot bahan
27
dimana :
bb = berat basah bk = berat kering a = berat bahan awal b = berat bahan akhir
2) Kadar abu, metode tanur (AOAC, 1995) Pengukuran kadar abu ditentukan dengan alat tanur. Cawan porselin dipanaskan dahulu dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3 – 5 gram sampel dimasukkan dalam cawan porselin lalu dibakar sampai tidak berasap lagi dan diabukan dalam tanur suhu 600 0C sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu) dan berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator
dan
ditimbang.
Penetapan
kadar
abu
berdasarkan
perhitungan : Kadar abu (%bb ) =
berat abu x 100% berat sampel
berat abu x 100% berat sampel ker ing Bobot abu (kg)= %kadar abu x ∑bobot bahan (%bk ) =
3 ) Kadar protein, metode mikro-kjedahl (AOAC, 1995) Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode mikro kjedahl. Ditimbang sejumlah kecil contoh (0.1 – 0.2 gram) lalu dimasukkan ke dalam labu Kjedahl. Setelah itu ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K2SO4, 10 ± mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4 . Ditambahkan pula beberapa batu didih. Sampel didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Dilakukan pendinginan cairan yang dihasilkan untuk kemudian ditambahkan 8-10 ml NaOH – Na2S2O3 dan dimasukkan ke alat destilasi. Di bawah kondensor alat destilasi diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol
28
dan 1 bagian methylen blue 0.2 % dalam alkohol). Ujung selang kondensor harus terendam larutan tersebut untuk menampung hasil destilasi sekitar 15 ml. Hasil destilasi kemudian dititrasi oleh HCl 0.02 M sampai terbentuk warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (yang tidak mengandung sampel). Penetapan kadar protein berdasarkan perhitungan : Kadar N (%bb ) =
( a − b) x N HCl x 14.007 x 100% mg sampel
(%bk ) =
( a − b) x N HCl x 14.007 x 100% mg sampel ker ing
Bobot protein (kg)= %kadar protein x ∑bobot bahan Kadar Protein (%) = % N x FK Dimana :
a = ml titrasi HCl pada sampel b = ml titrasi HCl pada blanko FK = faktor konversi (6.25 untuk tepung ubi jalar)
4) Kadar lemak, Metode Sokhlet (AOAC, 1995) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi sokhlet. Pertama kali labu lemak yang akan dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sampel sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring. Setelah itu kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan pelarut ditampung kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 0C hingga mencapai berat tetap dan setelah itu didinginkan dalam desikator.
29
Selanjutnya, labu beserta lemak di dalamnya ditimbang dan berat lemak dapat diketahui. Penetapan kadar lemak berdasarkan perhitungan : Kadar lemak (%bb ) = (%bk ) =
berat lemak x 100% berat sampel berat lemak x 100% berat sampel ker ing
Bobot lemak (kg)= %kadar lemak x ∑bobot bahan 5) Kadar karbohidrat by difference ( Apriyantono et.al., 1989) Kadar karbohidrat
( % bb) = 100% - (P + A + KA + L) ( % bk) = 100% - (P + A + L)
Bobot Karbohidrat (kg)= %kadar lemak x ∑bobot bahan Dimana :
P
= kadar protein
KA
= kadar air
A
= abu
L
= kadar lemak
6) Kadar serat pangan (AOAC, 1995) Sebanyak 1 gram sampel bebas lemak dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat pH 6.0 dan dibuat menjadi suspensi. Setelah itu ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl, ditutup dan diinkubasikan pada suhu 100 0C selama 15 menit, sambil sesekali diaduk. Setelah selesai erlenmeyer diangkat dan didinginkan. Pada suspensi kemudian ditambah air destilata sebanyak 20 ml dan diatur pH-nya menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin dan diinkubasikan pada suhu 40 0C, diagitasi selama 60 menit. Setelah selesai, ditambah air destilata sebanyak 20 ml dan pH diatur menjadi 6.8 dengan NaOH. Ditambahkan 100 mg enzim pankreatin, ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40 0C selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH diatur 4.5 dengan HCl,
30
suspensi disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambah 0.5 g celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata. Untuk perhitungan serat makanan
tidak larut (IDF), residu
dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton. Selanjutnya residu dikeringkan pada suhu 105 0C sampai berat tetap. Setelah ditimbang (D1), pada residu kering dilakukan analisa kadar abu (I1). Untuk perhitungan serat makanan larut (SDF), volume filtrat diatur dengan air sampai 100 ml, ditambah 400 ml etanol 95 % hangat (60 0C) dan diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya filtrat dengan endapannya disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering. Setelah itu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Endapan dikeringkan 105 0C sampai berat konstan, didinginkan, dan ditimbang (D2). Selanjutnya endapan dilakukan analisa kadar abu (I2). Blanko untuk analisa IDF dan SDF diperoleh dengan cara yang sama seperti pada tahap persiapan sampel, tetapi pada pembuatan blanko tidak digunakan sampel, namun semua pereaksi yang digunakan dalam tahap persiapan sampel harus digunakan. Dari tahap pembuatan blanko juga diperoleh residu dan filtrat. Residu yang didapat diberi perlakuan yang sama seperti pada analisa IDF. Berat residu setelah dikeringkan dan diabukan digunakan sebagai Blangko1. Sementara itu, filtrat yang didapat diberikan perlakuan yang sama seperti pada analisis SDF. Berat filtrat setelah dikeringkan dan diabukan digunakan sebagai Blangko2. Persen IDF = D1 – I1- Blangko1 x 100% Berat sampel Persen SDF = D2 – I2 – Blangko2 x 100% Berat sampel
31
Persen TDF = ( SDF + IDF ) % Bobot serat (kg)= %kadar serat x ∑bobot bahan b. Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar 1) Pengukuran viskositas , metode amilograf (AACC, 1983) Sampel sebanyak 45 g dimasukkan ke dalam botol gelas yang volumenya 500 ml air ditambah dengan 450 ml air akuades, diaduk selama 5 menit dengan pengaduk, kemudian dipindahkan ke mangkuk amilograf yang sebelumnya telah dipasang pada alat. Botol gelas dan pengaduk dicuci dengan 50 ml aquades, lalu air bilasan dituangkan ke mangkuk amilograf. Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75 rpm, sambil suhunya dinaikkan dari 30 oC sampai 90 oC dengan kenaikan 1.5 oC, lalu diturunkan sampai suhu 50 oC dengan laju penurunan yang sama. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan Brabender Unit (BU). Grafik (amilogram) yang diperoleh dapat diinterpretasikan 4 parametar, yaitu: 1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik 2. Suhu puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada puncak maksimum viskositas yang dicapai. Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut : Suhu gelatinisasi = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5) 3. Viskositas saat awal gelatinisasi 4. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi , dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). 2)Ketahanan adonan dan kemampuan penyerapan air pada tepung, metode farinograf (AACC, 1983) Air dalam water bath diperiksa dan bila jumlah air sudah cukup maka thermostat diset pada suhu 30 oC. Pemanas dan pompa dihidupkan. 300 gram tepung dimasukkan ke dalam bowl farinograf. Mesin dihidupkan dan setelah satu menit air ditambahkan dari buret
32
yang harus selesai dalam 1.5 menit. Penambahan air diatur sehingga kurva maksimum berpusat pada 500 BU. Sisi bowl dibersihkan, lalu tutup bowl dipasang. Mesin dihentikan setelah 12 menit melalui puncak atau meninggalkan 500 BU. Adonan dikeluarkan dan bagian bowl dibersihkan dengan lap basah, kemudian dikeringkan dengan lap kering. Parameter uji farinograf yaitu : 1. Penyerapan air : yaitu jumlah air yang diperlukan untuk membentuk adonan dengan konsistensi maksimum 500 BU 2. Arrival time : waktu yang dibutuhkan untuk bagian atas kurva mencapai garis 500 BU atau hingga adonan menjadi homogen 3. Waktu
puncak
(dough
development)
:waktu
dari
mulai
ditambahkan air hingga mencapai konsistensi maksimum 4. Stabilitas : waktu mulai dari arrival time hingga bagian atas kurva turun meninggalkan garis 500 BU 5. Indeks toleransi terhadap pengadukan : diukur dari puncak hingga bagian atas kurva pada saat lima menit sesudah mencapai puncak, dinyatakan dalam satuan Brabender Unit (BU). 3) Kekuatan adonan dan ketahanan terhadap peregangan, metode ekstensograf (AACC, 1983) Air pada water bath diperiksa dan bila sudah cukup maka thermostat diset pada suhu 30 oC. Pemanas dan pompa dihidupkan. Buret diisi dengan aquades hingga penuh, ditimbang 6 gram NaCl, kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala. Air ditambahkan dari buret yang cukup untuk membentuk konsistensi maksimum 500 BU. Mesin farinograf dihidupkan dan ditambahkan larutan NaCl. Setelah satu menit, adonan diistirahatkan selama lima menit. Mesin dihidupkan kembali selama tiga menit. Rounder, molder dan sample holder disiapkan dan diolesi dengan minyak parafin. Adonan dari bowl farinograf ditimbang 150 gram,
dibulatkan
dalam
rounder,
dan
digulung
dengan
33
molder.Lonjoran adonan diletakkan pada tempat sample ekstensograf yang dipasang pada suhu 30 oC. Ekstensibilitas adonan diukur tiga kali dengan selang waktu 45 menit. Parameter ekstensograf yaitu : 1. Resistensi terhadap peregangan (Dw) : resistensi adonan setelah peregangan 5 cm (Brabender Unit) 2. Resistensi maksimum (Dm) : resistensi yang paling tinggi yang dicapai kurva ekstensograf (Brabender Unit) 3. Ekstensibilitas (Db) : Panjang kurva (mm) 4. Rasio resistensi terhadap ekstensibilitas (Dw/Db) 5. Energi : luas kurva (cm2).
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Studi Pustaka Tepung-Tepungan Studi Pustaka tepung-tepungan meliputi pemilihan komoditi yang digunakan, rekayasa proses penepungan, karakteristik kimia ataupun fisik tepung, aplikasi tepung, potensi dan peluang serta kepercayaan dalam masyarakat. Dari beberapa bahan pangan yang potensial untuk dikembangkan, dipilih salah satu bahan pangan yang potensial yaitu ubi jalar. Ada beberapa alasan pemilihan ubi jalar sebagai bahan pangan untuk diversifikasi, diantaranya adalah ubi jalar dapat dijadikan sebagai makanan pokok sumber karbohidrat dan potensi produksi ubi jalar di Indonesia sangat besar. Data lengkap seperti yang disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Pada hasil penelitian yang telah dilakukan terdahulu ternyata terlihat beberapa celah penelitian yang masih harus dilakukan. Penelitian-penelitian hanya dilakukan pada uji-uji yang berskala laboratorium tanpa upaya lebih lanjut untuk pengembangan kearah skala industri. Mengingat banyaknya permintaan pasar akan produk dari ubi jalar, maka dilakukan analisis penggandaan skala produksi tepung ubi jalar. Selain itu keterkaitan produksi tepung ubi jalar dengan kegiatan ekonomi masyarakat secara keseluruhan dalam bentuk klaster harus diprioritaskan.Celah lainnya adalah sifat fisik tepung-tepungan yang secara komprehensif masih jarang dilakukan sehingga hasil penelitian tersebut tidak seluruhnya dapat diaplikasikan untuk pembuatan produk tertentu yang benar-benar sesuai dengan sifat fisiknya. Sifat fisik tepung-tepungan meliputi uji amilograf, farinograf dan ekstensograf. Hasil dari ke tiga uji tersebut, pada akhirnya dapat disesuaikan dengan karakteristik produk yang akan diaplikasikan. Celah
lainnya
adalah
sifat
fisik
tepung-tepungan
yang
secara
komprehensif masih jarang dilakukan sehingga hasil penelitian tersebut tidak seluruhnya dapat diaplikasikan untuk pembuatan produk tertentu yang benarbenar sesuai dengan sifat fisiknya. Sifat fisik tepung-tepungan meliputi uji amilograf, farinograf dan ekstensograf. Hasil dari ke tiga uji tersebut, pada
35
akhirnya
dapat
disesuaikan
dengan
karakteristik
produk
yang
akan
diaplikasikan. B. Langkah Awal Penggandaan Skala 1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Pembuatan tepung ubi jalar berfungsi untuk memperpanjang daya simpan ubi jalar dan memperluas penggunaannya sebagai bahan baku berbagai jenis makanan. Ubi jalar yang digunakan dalam pembuatan tepung ini terdiri dari tiga warna yaitu ubi jalar putih (sukuh), ubi jalar merah (hasil kloning dari tanaman ubi jalar berproduktivitas tinggi dan tanaman ubi jalar berproduktivitas rendah), dan ubi jalar ungu (lokal). Gambar ubi jalar yang digunakan dalam pembuatan tepung dapat dilihat pada Lampiran 3. Proses pembuatan tepung ubi jalar meliputi pencucian dan pengupasan secara manual, perendaman dalam larutan natrium metabisulfit tahap I, pemotongan dengan slicer, perendaman dalam larutan natrium metabisulfit tahap II, penirisan, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Pencucian ubi jalar dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada ubi jalar, perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.3% berfungsi untuk mencegah kontak langsung dengan udara dan berfungsi untuk menghambat reaksi Maillard, karena pada metabisulfit akan berikatan dengan gugus aldehid dari gula sehingga gugus aldehid tersebut tidak dapat bereaksi dengan senyawa-senyawa yang memiliki gugus NH, yaitu protein, akibatnya kadar protein dapat dipertahankan. Metabisulfit digunakan juga untuk mempertahankan warna dan citarasa. Pemotongan ubi jalar dilakukan dengan menggunakan slicer dengan ketebalan ± 1.5 mm sehingga berbentuk chips tipis sehingga mempermudah dan mempercepat pengeringan. Penirisan dilakukan untuk memisahkan air dari dalam bahan Langkah
selanjutnya
adalah
pengeringan
dilakukan
dengan
menggunakan cabinet drier dengan suhu 60 oC yang bertujuan untuk mengurangi tekanan turgor sehingga bahan menjadi lebih rapuh dan mudah digiling (Kadarisman dan Sulaeman,1992). Pada pengering kabinet terdapat blower/kipas yang dapat menyebarkan udara panas ke seluruh bahan dengan cepat sehingga kadar air pada bahan cepat menguap. Penepungan dilakukan
36
dengan menggunakan disc mill dan masih diperoleh hasil penggilingan tepung yang kasar. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan ayakan 60 mesh sehingga diperoleh tepung ubi jalar yang halus. Gambar tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11.
Gambar 9. Tepung ubi jalar putih hasil pengayakan 60 mesh
Gambar 10. Tepung ubi jalar merah hasil pengayakan 60 mesh
Gambar 11. Tepung ubi jalar ungu hasil pengayakan 60 mesh
37
Pembuatan tepung ubi jalar dilakukan dengan menggunakan bahan baku berupa ubi jalar putih, ubi jalar merah dan ubi jalar ungu dengan masing-masing berat awal sebesar 9.40 kg, 9.70 kg dan 8.10 kg dan setelah menjadi tepung menghasilkan berat sebesar 5.98 Kg, 5.85 Kg dan 5.67 Kg. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Analisis jumlah total padatan dan rendemen ubi jalar Sebelum Penepungan Jenis Ubi
Tabel Ubi Jalar Putih Ubi Jalar Merah Ubi Jalar Ungu
Setelah Penepungan Total Padatan (kg)
Rendemen total padatan (%)
Rendemen ubi jalar (%)
5
6 = (100-5)) (4)
7= (6) /( 3) 100%
8= (4) / (1) 100%
2.84
5.98
2.67
75.85
30.21
2.59
1.88
5.85
1.77
68.34
19.38
2.84
1.94
5.67
1.83
64.44
23.95
Berat Awal bahan (kg)
Kadar Air Bahan (%)
Total Padatan (kg)
Berat Tepung (kg)
Kadar Air Tepung (%)
1
2
3 = (100-2)) (1)
4
9.40
62.59
3.52
9.70
73.81
8.10
65.00
Dari Tabel 7.dapat terlihat adanya perbedaan nilai rendemen total padatan, hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan varietas di antara ketiga ubi jalar tersebut. Perbedaan varietas menyebabkan adanya perbedaan komponen penyusun yang ada di dalam bahan. Dengan dilakukannya pengeringan pada kondisi (waktu dan suhu) yang sama, maka jika semakin banyak bahan terlarut (komponen padat) yang terdapat pada bahan sementara kandungan air tinggi akan mengakibatkan semakin banyak padatan yang tertinggal dan semakin banyak air yang menghilang karena proses penguapan. Hal lain yang menyebabkan perbedaan nilai rendemen total padatan adalah faktor teknis seperti adanya bahan yang tertinggal pada waktu proses pengirisan, adanya daging umbi yang ikut terpotong pada waktu proses pemgupasan kulit secara manual dan proses pengayakan yang kurang sempurna. Dari tabel di atas, diperoleh juga data rendemen ubi jalar, data ini diperlukan untuk skala industri. Nilai rendemen yang dihasilkan adalah jumlah tepung yang dapat dihasilkan dari bobot ubi jalar keseluruhan. Rendemen ubi jalar yang tertinggi adalah ubi jalar putih sebesar 30.21% dengan kadar air bahan 62.59%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa
38
ternyata kadar air berpengaruh terhadap nilai rendemen dimana semakin tinggi nilai kadar air maka semakin kecil nilai rendemennya karena pada saat proses pengeringan berlangsung menyebabkan air yang terkandung dalam bahan tersebut menghilang/menguap, akibatnya bobot dalam bahan menjadi berkurang. 2. Klorinasi Air dan Penentuan Residu Klorin Pendirian pabrik chips ubi jalar yang berlokasi di Cibungbulang , Bogor- Barat merupakan kerjasama pihak Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Pemerintah Daerah Bogor dan PT. Bogasari Flour Mills. Pendirian pabrik ini pada nantinya akan memproduksi chips ubi jalar yang pada nantinya akan diaplikasikan untuk pembuatan ubi jalar yang akan diproduksi oleh PT. Bogasari Flour Mills. Untuk dapat memproduksi Chips
ubi jalar yang akan digunakan pada skala industri
nantinya maka diperlukan uji laboratorium terlebih dahulu. Pada penelitiaan ini dilakukan juga uji klorinasi air untuk pembuatan Chips dengan menggunakan air yang berasal dari pabrik di Cibungbulang. Pengujian klorinasi air dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan air yang akan digunakan sesuai untuk menghasilkan chips yang diinginkan. Chips ubi jalar yang diminta industri adalah yang memiliki nilai TPC (Total Plate Count) sebesar 103 CFU/gr dan memiliki kadar air maksimal 6%. Penelitian diawali dengan penetapan residu klorin pada air yang akan digunakan untuk pembuatan chips ubi jalar. Penelitian residu klorin dilakukan dalam skala laboratorium dan terlebih dahulu menggunakan air yang berasal dari PT. FITS yang sudah difiltrasi. Senyawa klorin yang digunakan adalah natrium hipoklorit. Natrium hipoklorit adalah senyawa-senyawa hipoklorit yang paling utama. Sanitaiser ini efektif dalam menginaktifkan sel-sel mikroba dalam suspensi air dan membutuhkan waktu kontak kira-kira 1.5-10 detik. Sanitaiser klorin efektif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dan terhadap beberapa virus dan spora-spora tertentu. Hanya larutan segar yang sebaiknya digunakan karena penyimpanan larutan bekas dapat menyebabkan turunnya
39
kekuatan dan aktifitas sanitaiser. Konsentrasi klorin aktif dapat diukur dengan mudah dengan menggunakan test kit untuk menjamin aplikasi dari konsentrasi yang diinginkan (Jenie, 1988). Pada penelitian ini pengukuran residu klorin menggunakan alat microchlorine test. Alat tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Asam hipoklorit (HOCl) sendiri tidak stabil tetapi banyak garamgaramnya lebih stabil. Dalam larutan, garam-garam ini berdisosiasi untuk membentuk OCl- yang bertanggung jawab untuk sifat-sifat bakterisidal dari hipoklorit. Garam yang paling banyak digunakan adalah NaOCl yang tersedia dalam bentuk komersil sebagai cairan pekat mengandung 10-14% klorin (Jenie, 1988). NaOCl yang digunakan pada penelitian ini mengandung 10% klorin. Dalam penelitian Ukuku dan Sapers (2001), digunakan klorin sebanyak 1000 ppm untuk menginaktifkan Salmonella yang diinokulasikan ke permukaan buah Cantaloupe. Pada penelitian ini dibuat larutan stok klorin 50000 ppm. Pembuatan stok klorin dapat dilihat pada Lampiran 5. Hubungan dosis klorin dengan residu klorin dapat dilihat pada Tabel 8. dan Gambar 12. Tabel 8. Konsentrasi, residu dan harga klorin (Rp/ g)
Residu Klorin (ppm)
Konsentrasi klorin yang ada di larutan pencuci (g/lt) 1.000 1.125 1.250 1.375 1.500 1.750
Residu klorin (ppm)
Harga (Rp/g)
75 80 120 130 150 200
4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 7.0
250.0 200.0
200
150.0 100.0 50.0 0.0
120 75
130
150
80
1.000 1.250 1.375 1.500 1.750 1.125 Konsentrasi Klorin yang Ada di Larutan Pencuci (g/lt)
Gambar 12. Grafik hubungan konsentrasi klorin dengan residu klorin
40
Pada Tabel 8. disajikan konsentrasi klorin yang ada di larutan pencuci, residu klorin dan harga klorin. Harga konsentrasi klorin yang terdapat dalam larutan pencuci sebesar 1.000 g/lt adalah sebesar 4.0 Rp/g nya. Dengan semakin tinggi konsentrasi klorin yang digunakan, maka harga klorin semakin naik. Analisis perhitungan harga klorin dapat dilihat pada Lampiran 6. Gambar 12. menunjukkan dengan konsentrasi klorin sebesar 1.000 g/lt, 1.125 g/lt, 1.250 g/lt, 1.375 g/lt, 1.500 g/lt dan 1.750 g/lt dihasilkan residu klorin masing-masing sebesar 75 ppm, 80 ppm, 120 ppm, 130 ppm, 150 ppm dan 200 ppm. Bila penggunaan volume larutan klorin yang direkomendasikan dan konsentrasi yang cukup, maka efek sanitasi dapat dicapai. Pada grafik dapat dijelaskan bahwa pada residu klorin sebesar 75 ppm terjadi destruksi senyawa-senyawa pereduksi klorin, dan tidak terjadi desinfeksi. Pada residu klorin 80 ppm dan 120 ppm akan terbentuk senyawa-senyawa khloro organik dan amonia klorin yang mempunyai desinfeksi lambat. Selanjutnya pada residu klorin 130 ppm menyebabkan senyawa-senyawa khloro organik dapat dihancurkan. Sedangkan pada residu klorin 150 ppm dan 200 ppm terdapat klorin bebas dan mempunyai kerja desinfeksi yang cepat. 3. Pembuatan Chips Ubi Jalar Menggunakan Air yang Diklorinasi Ubi jalar yang digunakan pada pembuatan chips ubi jalar ini adalah ubi jalar putih. Proses pembuatannya hampir sama dengan pembuatan tepung ubi jalar. Tahap pertama adalah pembersihan ubi jalar dari tanah dan kotoran yang melekat pada permukaan ubi. Selanjutnya ubi jalar dimasukkan ke dalam air rendaman klorin yang telah didiamkan terlebih dahulu selama 30 menit. Pendiaman terlebih dahulu selama 30 menit dimaksudkan agar adanya interaksi antara klor dengan air. Air klorin dibagi menjadi dua tempat supaya pencucian dapat berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama digunakan untuk membersihkan kotoran yang benar-benar melekat pada ubi jalar, dan tahap yang kedua digunakan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran pada ubi jalar dari tahap pencucian pertama. Pada air klorin untuk pencucian tahap kedua, air klorin diberi
41
larutan metabisulfit 0.3% untuk mencegah pencoklatan. Setelah bersih, dilakukan pengecilan ukuran dengan ketebalan 1.5-2 mm menggunakan slicer. Pengecilan ukuran dilakukan bertujuan untuk meningkatkan rasio ukuran
luas
permukaan
terhadap
volume
bahan
sehingga
akan
meningkatkan pula laju pengeringan (Fellows, 2000). Setelah itu, dilakukan penirisan, dan kemudian dilakukan pengeringan dengan menggunakan cabinet drier 60 0C selama 5 jam. Pengeringan
adalah
suatu
cara
untuk
mengeluarkan
atau
menghilangkan air dari suatu bahan dengan penguapan melalui penggunaan energi panas. Menurut Buckle et al., (1978), faktor-faktor utama yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan pangan adalah sifat fisik dan kimia bahan, pengaturan geometris bahan dalam pengering, sifatsifat fisik dan kimia bahan meliputi bentuk, ukuran, komposisi dan kadar air nya. Pengaturan geometris bahan berhubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas. Pengering kabinet terdiri dari struktur rangka dimana dinding, atap dan alas diisolasi untuk mencegah kehilangan panas, dilengkapi dengan kipas angin internal untuk menggerakkan medium pengering (biasanya udara) melalui sistem pemanas dan mengalirkannya secara merata melalui satu atau beberapa rak berisi bahan yang akan dikeringkan. Bahan yang akan dikeringkan disebar merata di atas nampan logam setebal 10-1000 mm (Hidayati, 2002). Alat pengering tipe kabinet cocok untuk mengeringkan sayuran dan buah-buahan. Alat pengering tipe kabinet memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan alat pengering ini adalah lebih sederhana dibandingkan dengan alat pengering lainnya dan tidak memerlukan areal yang begitu luas. Menurut Heldman dan Singh (1981), kekurangan alat ini antara lain ketidakseragaman tingkat kekeringan produk akibat letak rak yang bertingkat-tingkat dan kecepatan produk yang tidak sama, dimana produk akan lebih cepat kering jika dekat dengan tempat udara panas masuk pada areal pengeringan. Sebagai tambahan, sebelumnya juga dilakukan pengeringan sawut ubi jalar dengan menggunakan bed dryer. Bed dryer yang digunakan adalah
42
Didacta dan Armfield,dengan ketebalan bed yang berbeda-beda. Suhu inlet atau suhu yang masuk pada alat pengering yang digunakan ada dua yaitu, berkisar 100-105 oC dan 60 oC. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Pengeringan sawut ubi jalar dengan menggunakan bed dryer Tebal bed Kadar air Suhu inlet (oC) Bed dryer (cm) (%) Didacta 4 100-105 0.8884 0.9177 Didacta +3 100-105 1.1880 1.1347 Armfield 11.2 60 3.9363 3.9575 Armfield 11.2(top) 60 3.9526 4.0233 Pada tabel diatas, kadar air yang dihasilkan berbeda antara menggunakan suhu yang tinggi dan suhu yang rendah. Hasil yang diperoleh, sawut ubi jalar dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi menghasilkan kadar air yang tinggi dan begitu pula sebaliknya 4. Pengukuran Total Plate Count (TPC) Pengukuran Total Plate Count (TPC) bertujuan untuk mengukur total mikroba yang tedapat pada chips ubi jalar. Pada penelitiaan ini, untuk menentukan jumlah residu yang akan digunakan, maka diawali dengan dilakukannya pengukuran TPC pada chips ubi jalar dengan menggunakan air dari PT. FITS dengan konsentrasi klorin sebesar 1.000 g/lt, 1.125 g/lt, 1.250 g/lt, 1.375g/lt, 1.500 g/lt dan 1.750 g/lt. Hasil pengukuran TPC chips ubi jalar dengan menggunakan air PT. FITS dapat dilihat pada Tabel 10. dan Gambar 13. Tabel 10. Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar menggunakan air PT.FITS terklorinasi Konsentrasi klorin Jumlah mikroba Log 10 CFU/gr yang ada di larutan (CFU/gr) pencuci (g/lt) 1.000 TBUD TBUD 1.125 TBUD TBUD 5 1.250 1.7 x 10 5.23 1.375 1.2 x 105 5.08 1.500 5.9 x 103 3.77 2 1.750 5.5 x 10 2.74
43
Jumlah TPC (log CFU/g)
6
5.23
5
5.08 3.77
4
2.74
3 2
Keterangan : TBUD : Terlalu Banyak Untuk Dihitung
1 0
TBUD TBUD 1.000
1.125
1.250
1.375 1.5000 1.750
Konsentrasi Klorin dalam larutan Pencuci (g/lt) Gambar 13. Histogram Jumlah TPC dengan Berbagai Konsentrasi Klorin (g/lt) Histogram di atas menggambarkan bahwa penggunaan konsentrasi klorin 1.000 g/lt dan 1.125 g/lt menghasilkan jumlah TPC yaitu TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung), sedangkan dengan konsentrasi sebesar 1.250 g/lt, 1.375g/lt, 1.500 g/lt dan 1.750 g/lt masing-masing menghasilkan jumlah TPC sebesar 1.7 x 105 ( 5.23 Log 10 CFU/gr), 1.2 x 105 (5.08 Log 10 CFU/gr), 5.9 x 103 (3.77 Log
10
CFU/gr) dan 5.5 x 102 (2.74 Log
10
CFU/gr). Penggunaan konsentrasi klorin sebesar 1.750 g/lt menghasilkan jumlah TPC yang paling rendah dan nantinya akan digunakan untuk pencucian ubi jalar yang akan dibuat Chips. Sebagai perbandingan Tabel 11. dan Gambar 14. menunjukkan nilai TPC pada sumber air yang berasal dari PT. FITS, Cibungbulang tanpa klorinasi dan Cibungbulang terklorinasi dengan konsentrasi . Tabel 11. Total Plate Count (TPC) air yang digunakan untuk pembuatan Chips ubi jalar Jumlah mikroba Log 10 CFU/ml Sumber air (CFU/ml) PT. FITS 9.5 x 103 3.97 Cibungbulang Cibungbulang dengan konsentrasi 1.750 g/lt
1.5 x 102
2.18
1 x 102
2.00
44
Jumlah TPC (log CFU/ml)
4.50 4.00 3.50 3.00 2.50
3.97
2.18
2.00
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 PT.FITS
Cibungbulang
Cibungbulang dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt
Sumber air Gambar 14. Histogram jumlah TPC dari sumber air yang digunakan untuk pembuatan chips ubi jalar Berdasarkan
hasil
pengukuran
diperoleh
hasil
bahwa
air
Cibungbulang dengan menggunakan konsentrasi klorin 1.750 g/lt menghasilkan jumlah mikroba yang paling rendah yaitu 1 x 102 CFU/ml (2.00 log10 CFU/ml) dibandingkan dengan air PT. FITS dan Cibungbulang tanpa klorinasi yaitu masing–masing 9.5 x 103 CFU/ml
(3.97 log10
2
CFU/ml) dan 1.5 x 10 CFU/ml( 2.00 log 10 CFU/ml). Pembuatan chips ubi jalar selain menggunakan air yang berasal dari PT. FITS tanpa klorinasi dan dengan klorinasi menggunakan konsentrasi 1.750 g/lt dilakukan juga dengan menggunakan air Cibungbulang tanpa klorinasi dan dengan klorinasi menggunakan konsentrasi 1.750 g/lt . Hasil TPC chips ubi jalar dengan menggunakan empat air yang berbeda tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. dan lebih jelasnya tersaji pada Gambar 15. Tabel 12. Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar putih dengan menggunakan berbagai sumber air Sumber air Jumlah mikroba Log 10 CFU/gr (CFU/gr) PT. FITS 1.5 x 103 3.18 4 Cibungbulang 4.4 x 10 4.64 PT. FITS dengan konsentrasi 2 5.5 x 10 2.74 klorin 1.750 g/lt 2.78 Cibungbulang dengan 6.0 x 102 konsentrasi klorin 1.750 g/lt
45
Jumlah TPC (log CFU/gr)
5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0 50 0.00
4.64 3.18
2.78
2.74
PT FITS
Cibungbulang
PT FITS Dengan konsentrasi klorin 1.750
Cibungbulang dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt
Sumber Air
Gambar 15. Histogram TPC chips ubi jalar dengan menggunakan berbagai sumber air Hasil di atas menunjukkan chips ubi jalar dengan menggunakan air PT. FITS tanpa klorinasi menghasilkan TPC 1.5 x 103 CFU/gr (3.18 log10 CFU/gr) dan dengan menggunakan air PT. FITS dengan klorinasi menghasilkan TPC
sebesar 5.5 x 102 CFU/gr (2.74 log10 CFU/gr).
Sedangkan chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang tanpa klorinasi menghasilkan TPC sebesar 4.4 x 104 CFU/gr ( 4.64 log10 CFU/gr) dan dengan menggunakan air Cibungbulang dengan klorinasi menghasilkan TPC chips sebesar 6.0 CFU/gr ( 2.78 log10 CFU/gr). Hasil TPC pada chips ubi jalar lebih tinggi dari pada sumber air, hal ini dikarenakan pada waktu pembuatan chips harus melewati serangkaian proses
yang
tidak
menutup
kemungkinan
lebih
banyak
sumber
kontaminannya. Hasil TPC chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang konsentrasi klorin 1.750 g/lt sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan chips dengan nilai TPC maksimum 103 CFU/gr. Menurut Jenie (1988), sumber kontaminan dapat berasal dari pekerja, alat-alat yang digunakan dan lingkungan. Pekerja merupakan sumber kontaminasi yang penting, karena kandungan mikroba patogen pada manusia dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan, yang dapat berasal dari rambut, kulit atau bagian tubuh yang lain. Alat-alat yang digunakan juga merupakan sumber kontaminan, terutama apabila alat tersebut sudah mengalami
korosi dan sebaiknya dibersihkan terlebih
46
dahulu sebelum digunakan. Sumber kontaminan yang terakhir adalah lingkungan yang dapat berasal dari udara. 5. Pengukuran Kadar Air Chips Ubi Jalar Setelah pengukuran TPC, maka dilakukan pengukuran kadar air chips ubi jalar. Pengeringan chips dilakukan menggunakan cabinet drier yang berupa rak-rak bertingkat. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 . Kadar air Chips ubi jalar dengan menggunakan berbagai sumber air Sumber air Kadar air PT. FITS Cibungbulang PT. FITS dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt Cibungbulang dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt
4.87 2.59 5.27 2.38
Hasil di atas menunjukkan bahwa chips menggunakan air PT. FITS tanpa klorinasi mempunyai kadar air 4.87%, PT. FITS dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt sebesar 5.27%, dengan air Cibungbulang tanpa klorinasi sebesar 2.59%, sedangkan dengan air Cibungbulang menggunakan konsentrasi klorin 1.750 g/lt sebesar
2.38 %. Hasil analisis kadar air
keseluruhan menunjukkan nilai di bawah 6% dan ini sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan chips dengan kadar air maksimum 6%. C.
Karakteristik Tepung Ubi Jalar 1. Sifat Kimia Tepung Ubi Jalar Analisis
tepung ubi jalar yang dilakukan dalam penelitian ini
meliputi analisis kimia (proksimat) yang meliputi penentuan air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar serat yang diubah ke bentuk bobotnya (dalam Kg basis kering). Hasil analisis kimia (proksimat) ubi jalar segar dan tepung ubi jalar masing-masing dapat dilihat pada Tabel 14 dan Tabel 15, sedangkan hasil analisis serat dapat dilihat pada Tabel 16.
47
Tabel 14. Karakteristik kimia (analisis proksimat) ubi jalar segar (dalam Kg basis kering) Komponen Ubi jalar putih Ubi jalar merah Ubi jalar ungu Berat awal 9.40 9.70 8.10 Air 16.88 26.18 14.83 Abu 0.15 0.36 0.31 Lemak 0.09 0.15 0.07 Protein 0.32 0.37 0.31 Karbohidrat 8.84 8.82 7.41 Tabel 15. Karakteristik kimia (analisis proksimat) tepung ubi jalar (dalam Kg basis kering) Komponen Ubi jalar putih Ubi jalar merah Ubi jalar ungu Berat awal 2.84 1.88 1.83 Air 0.19 0.11 0.12 Abu 0.07 0.04 0.07 Lemak 0.07 0.05 0.05 Protein 0.03 0.02 0.02 Karbohidrat 2.67 1.75 1.69 Tabel 16. Analisis serat makanan tepung ubi jalar (dalam Kg basis kering) Komponen Ubi jalar putih Ubi jalar merah Ubi jalar ungu Berat awal
2.84
1.88
1.83
Serat makanan larut (SDF) Serat makanan Tidak Larut (IDF) Total Serat Makanan (TDF)
0.13
0.09
0.08
0.20
0.13
0.13
0.33
0.22
0.21
a. Kandungan air Semua bahan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolimer dan sebagainya. Dalam bahan makanan, air merupakan komponen yang penting karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability,kesegaran dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1992). Kadar air berkaitan dengan mutu dari produk tersebut. Semakin rendah kadar airnya maka produk tersebut semakin baik mutunya.
48
Muchtadi dan Sugiyono (1989) menyatakan bahwa kadar air yang rendah dapat mencegah dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak yang dapat menurunkan mutu produk tepung. Hasil analisis bobot air ubi jalar putih, merah dan ungu segar berdasarkan berat keringnya masing-masing sebesar 16.88 kg, 26.18 Kg dan 14.83 Kg. Sedangkan bobot air tepung ubi jalar putih, merah dan ungu sebesar 0.19 Kg, 0.11 Kg dan 0.12 Kg. Dalam bentuk kadar air pada hasil tersebut cukup baik untuk produk pangan kering, karena telah mencapai kisaran yang aman yaitu kurang dari 14%, sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang (Winarno dan Jenie, 1974). Bobot air ubi jalar menurun cukup signifikan dari bentuk segarnya menjadi bentuk tepung. Hal ini dapat disebabkan karena perubahan bentuk fisik dari bentuk chips basah manjadi bentuk tepung yang berstruktur granular (butiran) yang menyebabkan proses penguapan air lebih cepat. Agar kadar air tepung ubi jalar tetap rendah maka harus dikemas dengan kemasan yang tidak mudah dilewati oleh uap air misalnya dengan plastik polypropilen. Hal itu dilakukan mengingat tepung ubi jalar bersifat higroskopis atau mudah menyerap air yang dapat menyebabkan kadar air pada ubi jalar meningkat b. Kandungan abu Kadar abu dikenal juga sebagai zat anorganik atau unsur mineral. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sementara sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Dalam tubuh, mineral-mineral ada yang bergabung dengan zat organik, ada pula yang berbentuk ion-ion bebas. Di dalam tubuh unsur mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1992). Muchtadi (1997) menyatakan bahwa umumnya mineral tidak berpengaruh oleh adanya
proses
pengolahan.
Kadar
abu
ditentukan
dengan
o
menggunakan tanur pada suhu 600 C sampai semua sampel terbakar
49
menjadi abu. Semakin besar kadar abu suatu bahan makanan menunjukkan semakin tinggi mineral yang dikandung oleh bahan makanan tersebut (Sediaoetama, 1987). Hasil analisis diperoleh bobot abu ubi jalar segar putih, merah dan ungu berdasarkan berat keringnya sebesar 0.15 Kg, 0.36 Kg dan 0.31 Kg, sedangkan dalam bentuk tepungnya sebesar 0.07 Kg, 0.04 Kg dan 0.07 Kg. Dari data tersebut
diatas diketahui bahwa bobot abu
mengalami penurunan, akan tetapi bila dibandingkan dengan bobot yang sama pada saat ubi jalar tersebut masih dalam keadaan segar, sebenarnya bobotnya mengalami peningkatan Hal ini disebabkan karena adanya penurunan jumlah
air, sehingga mengakibatkan
mineral-mineral di dalam tepung ubi jalar tertinggal. Hal lain yaitu pada saat perendaman ubi jalar didalam larutan natrium metabisulfit, daging umbi menyerap larutan Na berikut mineral-mineral yang terdapat didalamnya. Dengan demikian tepung ubi jalar cukup baik dalam ketersediaan komponen anorganiknya sehingga dapat dijadikan sebagai nilai jual lebih untuk tepung ubi jalar. c. Kandungan protein Protein terdiri dari unsur-unsur oksigen, karbon, hidrogen dan nitrogen. Ada juga yang mengandung unsur fosfor, belerang dan lainnya. Protein berfungsi tidak hanya sebagai zat pembangun tetapi juga dapat
menghasilkan kalori untuk dipergunakan sebagai zat
tenaga. Bila karbohidrat dan lemak tidak dapat mencukupi kebutuhan kalori tubuh, maka protein dioksidasi untuk menambah kalori tersebut. Analisis protein pada penelitian ini dilakukan melalui metode mikro Kjedahl. Analisis kadar protein dengan metode tersebut meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi. Tahap destruksi dilakukan untuk mengubah protein dalam bahan menjadi amonium sulfat. Pada tahap destilasi, garam ini direaksikan dengan basa dan amonia diuapkan untuk diserap dalam larutan asam borat. Jumlah nitrogen yang terkandung dapat ditentukan dengan tahap titrasi dengan HCl.
50
Berdasarkan pengukuran didapatkan kandungan protein ubi jalar putih segar berdasarkan berat keringnya sebesar 0.32 Kg, ubi jalar merah sebesar 0.37 Kg dan ubi jalar ungu sebesar 0.31 Kg, sedangkan dalam bentuk tepung yang telah mengalami pengeringan untuk ubi jalar putih sebesar 0.03 Kg, ubi jalar merah merah dan ungu masingmasing sebesar 0.02 Kg. Bobot protein bila dibandingkan dengan bobot yang sama pada keadaan ubi jalar masih segar mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya protein larut air yang menguap akibat pengeringan. Hasil analisis protein menunjukkan kandungan protein dalam tepung ubi jalar sangat rendah. Oleh karena itu perlu didukung untuk mengkonsumsi bahan pangan lain yang mengandung protein tinggi. d.
Kandungan lemak Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Lemak merupakan sumber zat tenaga yang kedua setelah karbohidrat. Molekul lemak terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan oksigen. Lemak ada yang berbentuk cair dan ada pula yang berbentuk padat (Muchtadi, 1997). Analisis kadar lemak metode soxlet mempunyai prinsip analisis mengekstrak lemak dengan pelarut heksana. Setelah pelarut diuapkan, lemak dapat ditimbang dan dihitung presentasenya. Lemak yang dihasilkan adalah lemak kasar. Berdasarkan hasil pegukuran kandungan lemak ubi jalar segar putih, merah dan ungu berdasarkan berat keringnya diperoleh hasil sebesar 0.09 Kg, 0.15 Kg dan 0.07 Kg. Sedangkan dalam bentuk tepung, ubi jalar putih sebesar 0.07 Kg, ubi jalar merah dan ungu sebesar 0.05 Kg. Dari data tersebut diatas diketahui bahwa bobot abu mengalami penurunan, akan tetapi bila dibandingkan dengan bobot yang sama pada saat ubi jalar tersebut masih dalam keadaan segar, sebenarnya bobotnya mengalami peningkatan Hal ini dapat disebabkan karena perubahan kadar air selama pengeringan dan terekstraknya
51
komponen larut air akan berpengaruh pada kandungan lemak yaitu akan meningkat. e.
Kandungan karbohidrat Karbohidrat merupakan zat makanan yang pertama kali dikenal secara kimiawi. Karbohidrat terdiri dari tiga unsur yaitu karbon, oksigen dan hidrogen. Berdasarkan susunan kimianya, karbohidrat terbagi atas beberapa kelompok, yaitu monosakarida, disakarida, oligosakarida dan polisakarida. Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Sebanyak 60-80% dari kalori yang diperoleh tubuh berasal dari karbohidrat. Hal ini terutama berlaju bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Muchtadi, 1997). Menurut Winarno (1992), karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain. Komposisi karbohidrat tergantung kepada kultivar, cara bercocok tanam, metode pemasakan, penyimpanan, kuring dan pengolahan (Kadarisman dan Sulaeman., 1992). Penentuan kandungan karbohidrat tepung ubi jalar dilakukan secara by difference.Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa karbohidrat dalah zat gizi utama yang paling tinggi kandungannya dalam tepung ubi jalar. Kandungan karbohidrat berdasarkan berat kering pada ubi jalar segar putih, merah dan ungu masing-masing sebesar 8.84 Kg, 8.82 Kg dan 7.41 Kg, sedangkan dalam bentuk tepung nilainya sebesar 2.67 Kg, 1.75 Kg dan 1.69 Kg. Dari data tersebut diatas diketahui bahwa bobot abu mengalami penurunan, akan tetapi bila dibandingkan dengan bobot yang sama pada saat ubi jalar tersebut masih dalam keadaan segar, sebenarnya bobotnya mengalami peningkatan. Dalam bentuk tepung, karbohidrat meningkat cukup signifikan jika dibandingkan dengan bentuk mentah, hal ini dikarenakan pengeringan pada tepung yang menyebabkan air pada tepung berkurang dan terurainya pati pada
52
saat pengolahan tepung ubi jalar menjadi gula-gula yang sederhana. Karbohidrat pada tepung ubi jalar terdiri dari gula, pati, heksosa, pentosa, pektin, selulosa dan lignin (Palmer, 1982). Menurut Ahza (1983), selama dalam proses pengeringan kadar air pangan akan mengalami penurunan kadar air yang cukup besar. Hal ini akan menyebabkan kadar karbohidrat di dalam massa yang tertinggal. Oleh karena itu kadar karbohidrat bahan pangan kering jauh lebih besar dari pada bahan segar. f.
Kandungan serat pangan Istilah serat makanan harus dibedakan dari istilah serat kasar yang biasa digunakan dalam analisis proksimat makanan. Serat kasar (crude fiber) adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisa oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar, yaitu asam sulfat (H2SO4 1.25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1.25%); sedangkan serat makanan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis enzim-enzim pencernaan. Oleh karena itu kadar serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan dengan serat makanan, karena asam sulfat dan natrium hidroksida mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menghidrolisis komponen-komponen makanan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan (Muchtadi, 1989). Pada masa-masa lalu, serat makanan hanya dianggap sebagai sumber energi yang tidak tersedia dan hanya dikenal dan hanya dikenal mempunyai efek bagi perut. Akan tetapi berdasarkan pengamatannya, para peneliti Inggris (Burkitt dan Trowell ) pada tahun 1970-an menyimpulkan bahwa terdapat suatu hubungan erat antara konsumsi serat makanan dan insiden timbulnya berbagai penyakit. Studi ini juga menyimpulkan bahwa konsumsi serat dalam jumlah tinggi akan memberi pertahanan pada manusia terhadap timbulnya berbagai penyakit, kanker usus besar (colon), divertikulasi, kardiovaskuler dan obesitas (kegemukan) (Muchtadi, 1989). Komponen serat makanan larut meliputi
gum, pektin, dan
sebagian hemiselulosa larut air. Sedangkan yang termasuk komponen
53
serat makanan tidak larut meliputi selulosa, lignin dan pektat. Analisis serat makanan yang dilakukan menunjukkan bahwa tepung ubi jalar putih terkandung serat makanan larut, serat makanan tidak larut dan total serat makanan. Sedangkan untuk tepung ubi jalar merah diperoleh serat makanan larut sebesar, serat makanan tidak larut sebesar dan total serat makanan sebesar. Analisis untuk tepung ubi jalar ungu diperoleh untuk serat makanan larut sebesar, serat makanan tidak larut sebesar dan total serat makanan sebesar. Hasil analisis serat pada tepung ubi jalar diatas menunjukkan bahwa kadar serat makanan tidak larut lebih tinggi dibandingkan dengan serat makanan larut, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Muchtadi (2001). Menurut Palmer (1982), komponen serat tertinggi pada ubi jalar yaitu selulosa sebesar 1.5%. Selulosa merupakan serat makanan tidak larut
yang biasanya digunakan dalam makanan -
makanan padat dan produk panggangan (Andon, 1987). Selulosa juga merupakan sumber serat yang bagus, mempunyai efek menurunkan kolestrol (Anonim , 2005a). Menurut Zakaria (2003), kecukupan serat makanan bagi orang dewasa adalah sebesar 25-30 gram per orang per hari. Tepung ubi jalar memiliki kandungan serat yang lebih tinggi dimana kandungan serat makanan pada tepung ubi jalar putih sebesar 0.33 Kg, tepung ubi jalar merah sebesar 0.22 Kg dan tepung ubi jalar ungu sebesar 0.21 Kg, sehingga tepung ubi jalar diharapkan dapat menjadi pelengkap makanan sumber serat. 2. Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar a.
Uji pengukuran viskositas (amilograf) Jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara 55 0C
54
sampai 65 0C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada posisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas. Oleh karena itu untuk mengetahui karakteristik pati dan viskositasnya dilakukan uji amilograf. Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan Pengukuran dilakukan secara kontinu menggunakan brabender amilograf, yaitu alat yang digunakan untuk mengetahui tingkat perubahan viskositas dan mengukur tingkat gelatinisasi dari suatu tepung. Perubahan viskositas terjadi karena gelatinisasi pati dan aktivitas amilase dan ini akan dicatat secara kontinu sehingga akan diperoleh kurva amilograf (Anonim , 2005b). Brabender amilograf terdiri dari mangkok stainless steel silindris sebagai tempat besi baja (steel arm) yang dihubungkan ke pena yang mencatat perubahan viskositas suspensi dalam mangkok. Tenaga putaran disampaikan ke tangkai besi baja sesuai dengan besar gaya yang dihasilkan, kemudian dilakukan pencatatan skala acak (Pomeranz dan Meloan, 1994). Pengukuran sifat amilografi meliputi pengukuran suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi dan viskositas maksimum. Gelatinisasi merupakan satu karakteristik terpenting pati untuk industri pangan. Perbedaan varietas juga berpengaruh terhadap sifat gelatinisasi pati tepung ubi jalar. Hasil analisa parameter amilogram dapat dilihat pada Tabel 17. dan rekapitulasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14. Grafik amilograf tepung ubi jalar pada beberapa ulangan dapat dilihat pada Lampiran 15 sampai Lampiran 20.
55
Tabel 17. Hasil analisis amilograf Tepung ubi Parameter jalar merah Suhu awal gelatinisasi (oC) Suhu puncak gelatinisasi (oC) Viskositas Maksimum (BU)
Tepung ubi jalar ungu
Tepung ubi jalar putih
61.5
77.25
77.25
97.13
81
95.25
297.5
89.5
511
Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat viskositas pada kurva amilogram mulai menaik karena terjadinya pembengkakan granula pati (Swinkels, 1985). Menurut Collison (1968), suhu awal gelatinisasi merupakan sifat fisik pati yang kompleks, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran molekul amilosa dan amilopektin, kekompakan granula, serta keadaan pemanasan. Granula pati yang lebih kecil pada umumnya mulai mengalami gelatinisasi pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan granula pati yang lebih besar (Swinkels, 1985). Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh hasil bahwa untuk tepung ubi jalar merah suhu awal gelatinisasinya adalah sebesar 76.5 0
C dan untuk tepung ubi jalar ungu dan putih masing-masing sebesar
77.25 0C. Diantara ketiga jenis tepung ubi jalar, maka yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap gelatinisasi adalah tepung ubi jalar putih dan tepung ubi jalar ungu, karena kedua tepung ini baru akan tergelatinisasi pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ubi jalar merah. Suhu puncak gelatinisasi adalah suhu dimana viskositas maksimum dicapai, sedangkan yang dimaksud dengan viskositas maksimum adalah titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Pada titik ini granula pati yang mengembang mulai pecah yang diikuti dengan penurunann viskositas. Nilai viskositas maksimum berguna untuk mengetahui kemungkinan penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih kecil untuk mencapai viskositas tertentu sehingga biaya produksi dapat ditekan.
56
Pada proses gelatinisasi, terjadi perusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk mempertahankan struktur dan integritas granula pati. Kerusakan integritas granula pati menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi terpisah dan masuk ke dalam medium. Sesudah perusakan granula pati selesai, viskositas pati menurun . Berdasarkan hasil pengukuran, suhu puncak gelatinisasi tepung ubi jalar merah adalah sebesar 97.13 0C, tepung ubi jalar putih 95.25 0
C dan tepung ubi jalar ungu sebesar 81 0C. Sedangkan viskositas
maksimum, untuk tepung ubi jalar merah adalah sebesar 297.5 BU, tepung ubi jalar putih sebesar 511 BU dan untuk tepung ubi jalar ungu sebesar 89 BU. Dari data diatas berarti tepung ubi jalar ungu mengalami
pemecahan
semua
granulanya
lebih
cepat
bila
dibandingkan dengan tepung ubi jalar merah dan putih karena suhu yang diperlukan untuk memecahkan granula pati lebih kecil. Untuk viskositas maksimum, tepung ubi jalar ungu memiliki viskositas maksimum yang lebih rendah dibandingkan kedua tepung ubi jalar lainnya, hal ini disebabkan pemecahan granula pati tepung ubi jalar ungu lebih mudah dibanding pada tepung ubi jalar lainnya sehingga viskositas maksimum tepung ubi jalar ungu lebih cepat tercapai. Untuk
produk atau masakan yang memerlukan cukup
kekentalan seperti sup disarankan menggunakan tepung ubi jalar putih karena memiliki viskositas yang tinggi dan penggunaannya dapat ditambahkan pada kuahnya. Posisi tepung ubi jalar putih ini dapat menggantikan tepung maizena yang sekarang lebih populer digunakan dalam masyarakat. Menurut Jowit (1984), untuk produk ekstruksi memerlukan suhu gelatinisasi sekitar 65-115 0C Untuk tepung ubi jalar merah dan ungu , dapat digunakan untuk produk ekstruksi seperti snack ubi jalar karena produk ini membutuhkan proses gelatinisasi. Pada saat terjadi proses ekstruksi (dalam ekstruder) terjadi pemanasan yang dapat menimbulkan proses gelatinisasi pada pati. Pemanasan di ekstruder terjadi karena adanya gesekan dan tekanan antara bahan dengan alat dan antara bahan dengan bahan. Aplikasi ini dapat
57
digunakan industri pangan untuk memanfaatkan peluang ubi jalar dalam meningkatkan nilai jualnya. b. Uji ketahanan adonan (farinograf) dan kemampuan penyerapan air pada tepung (ekstensograf) Untuk mengetahui kemampuan tepung menyerap air (water absorption) dan menentukan sifat-sifat adonan seperti waktu pengembangan, stabilitas, dan toleransi terhadap pengadukan. Perlu dilakukan uji farinograf. Pengukuran awal farinograf hanya dilakukan pada tepung ubi jalar merah dengan penambahan air sebanyak 60.2% dan 67.6%. Pada penambahan air sebanyak 67.6% pada tepung ubi jalar merah sebanyak 150 gram, lama prosesnya adalah 15 menit. Ketika proses berlangsung, tepung ubi jalar tidak terlalu kalis dan lengket, dan tepung ada sedikit yang keluar dari alat. Hasil yang diperoleh grafik tidak terbaca karena grafik berada diatas 500 BU. Pada penambahan air sebanyak 60.2% yang dilakukan juga pada penambahan tepung ubi jalar merah sebanyak 150 gram, data masih juga tidak dapat terbaca dan grafik masih berada diatas 500 BU. Data hanya dapat terbaca pada saat grafik berada dibawah 500 BU. Data yang tidak dapat terbaca disebabkan karena tepung ubi jalar tidak mempunyai sifat elastis dikarenakan juga tidak mempunyai gluten. Jika dibandingkan dengan tepung terigu yang memiliki gluten, maka tepung terigu memiliki sifat elastis dibandingkan dengan tepung ubi jalar. Daya serap air tepung terigu adalah sebesar 67% (Muharam, 1992). Grafik hasil pengukuran farinograf dapat dilihat pada Lampiran 21 dan Lampiran 22. Uji ekstensograf bertujuan untuk menilai daya tahan adonan terhadap daya tarik agar dapat diketahui ekstensibilitas dan resistensi terhadap peregangan. Uji ekstensograf dilakukan setelah diketahui hasil terbaik dari uji farinograf yaitu diketahuinya jumlah air yang dibutuhkan untuk mencapai konsistensi 500 BU. Uji ini tidak
58
dilakukan, karena pada uji farinograf sebelumnya data tidak dapat dibaca. Tidak adanya gluten marupakan faktor yang menyebabkan tidak dapat dilakukannya uji farinograf dan ekstensograf. Gluten yang dimiliki tepung terigu menunjukkan kualitas dari tepung itu sendiri dan yang membedakan dengan tepung lainnya. Alasan utama yang menyebabkan gluten membentuk sifat elastis adalah adanya matriks yang sama di dalam adonan yang cenderung pada gluten dari protein untuk berinteraksi dan bergabung satu sama yang lain (Inglett, 1974). Gluten adalah protein yang terdapat pada tepung terigu. Protein gluten merupakan protein kompleks yang memiliki residu glutamin dan prolin yang tinggi. Berat molekulnya bervariasi antara 30.000 hingga beberapa juta. Secara sederhana protein gluten terdiri dari dua kelas protein, berdasarkan kelarutan dan berat molekulnya, yaitu gliadin dan glutenin (Bushuk dan MacRitchie, 1989). Gliadin merupakan
protein
dengan
rantai
polipeptida
tunggal
yang
dihubungkan oleh ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Gliadin berberat molekul rendah dan berfungsi untuk meningkatkan kekentalan larutan. Sedangkan glutenin merupakan protein dengan berat molekul tinggi, yang terdiri dari banyak molekul rantai tunggal dan beberapa rantai lainnya yang dihubungkan oleh jembatan disulfida inter polipeptida. Glutenin bertanggung jawab terhadap sifat elastis adonan dengan membentuk ikatan silang thiol-disulfida (Slade, et al., 1989). Protein gluten memiliki sifat istimewa, sebab jika tidak ada pada tepung, maka adonan tidak memiliki sifat elastis dan tidak mempunyai kemampuan memerangkap gas selama fermentasi dan pembuatan adonan. Pada protein terigu, ikatan hidrogen yang terjadi antara glutamin dan residu gugus hidroksil dari polipeptida gluten berkontribusi terhadap gaya adhesi-kohesi (Fennema, 1996). Glutenin memiliki peranan dalam pembentukan visco-elastisitas tepung. Sedangkan menurut Bushuk dan MacRitchie (1989), gliadin dapat
59
berfungsi sebagai plasticizer yang dapat menginduksi sifat reologi yang dimiliki glutenin.
60
V. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pemetaan tepung-tepungan yang telah dilakukan ternyata terlihat beberapa celah penelitian yang masih harus dilakukan, yang berkaitan tentang penggandaan skala produksi tepung ubi jalar dan sifat reologi tepung-tepungan yang secara komprehensif masih jarang dilakukan.
Dari
beberapa
bahan
pangan
yang
potensial
untuk
dikembangkan, dipilih salah satu bahan pangan yang potensial yaitu ubi jalar dengan alasan ubi jalar dapat dijadikan sebagai makanan pokok sumber karbohidrat dan potensi produksi ubi jalar di Indonesia sangat besar. Pada
pembuatan
tepung
ubi
jalar,
untuk
skala
industri,
direkomendasikan digunakan ubi jalar putih untuk dijadikan tepung, karena memiliki nilai rendemen yang tinggi yaitu 30.21%. Hal ini disebabkan ubi jalar putih memilki kadar air yang rendah yaitu 62.59%. Langkah awal penggandaan skala diawali dengan pembuatan air klorinasi dengan berbagai tingkat residu. Langkah selanjutnya adalah pengukuran
TPC
air
Cibungbulang.
Hasil
pengukuran
TPC
air
Cibungbulang tanpa klorinasi adalah sebesar 1.5 x 102 CFU/ml ( 2.18 log CFU/ml) sedangkan air dengan klorinasi (konsentrasi klorin 1.750 g/l) sebesar 1 x 102 CFU/ml ( 2.00 log CFU/ml) dan menghasilkan residu klorin 200 ppm. Kemudian setelah pengukuran air yang telah diklorinasi dilakukan
pembuatan
Chips
ubi
jalar
dengan
menggunakan
air
Cibungbulang terklorinasi Hasil. TPC yang diperoleh untuk chips yang menggunakan air Cibungbulang dengan klorinasi (konsentrasi klorin 1.750 g/l) adalah
4.4 x 104 CFU/gr (2.78 log 10 CFU/gr), sedangkan tanpa
klorinasi adalah 6.0 x 102 CFU/gr (4.64 log 10 CFU/gr). Langkah selanjutnya adalah pengukuran kadar air chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang dengan klorinasi (konsentrasi klorin 1.750 g/l) menghasilkan kadar air sebesar 2.38 %. Pengukuran TPC dan kadar air Chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang dengan klorinasi sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan chips dengan nilai TPC maksimum 103 CFU/gr nilai kadar air maksimal 6%. 61
Hasil analisis kimia menunjukkan kandungan gizi tertinggi adalah karbohidrat baik dalam bentuk segar maupun tepung. Untuk ubi jalar segar putih, merah dan ungu kandungan karbohidratnya masing-masing sebesar 8.84 Kg, 8.82 Kg dan 7.41 Kg (dalam basis kering), sedangkan untuk tepung ubi jalar putih, merah dan ungu masing-masing sebesar 2.67 Kg, 1.75 Kg dan 1.6 Kg (dalam basis kering). Selain itu, kandungan serat makanan yang tertinggi di dalam ubi jalar adalah serat makanan tidak larut, yaitu untuk tepung ubi jalar putih, tepung ubi jalar merah dan tepung ubi jalar ungu masing-masing sebesar 0.33 Kg, 0.22 Kg dan 0.21 Kg (dari berat awal). Analisis fisik berupa uji amilograf pada tepung ubi jalar menghasilkan data yaitu diantara ketiga jenis tepung ubi jalar, maka yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap gelatinisasi adalah tepung ubi jalar putih dan tepung ubi jalar ungu, karena kedua tepung ini baru akan tergelatinisasi pada suhu awal yang lebih tinggi yaitu 77.25 0C. Pada suhu puncak gelatinisasi, tepung ubi jalar merah memiliki nilai yang paling tinggi yaitu 97.13 0C dan untuk viskositas maksimum, tepung ubi jalar putih memiliki nilai yang paling tinggi yaitu sebesar 511 BU. Pada uji farinograf , dilakukan penambahan air sebanyak 60.2% dan 67%, tetapi data tidak dapat terbaca, karena kurangnya sifat elastis yang disebabkan tidak adanya gluten di dalam tepung ubi jalar. Tidak terbacanya data pada uji farinograf juga menyebabkan tidak dapat dilakukannya uji ekstensograf. B. Saran Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan antara lain : 1. Perlu dilakukan analisis sifat fungsional pada ubi jalar lebih khusus lagi 2. Perlu dilakukan scale up (penggandaan skala) chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang yang telah diklorinasi 3. Perlu dilakukan analisis biaya untuk pembuatan chips ubi jalar yang di scale up 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui umur simpan chips ubi jalar yang akan digunakan untuk pembuatan tepung ubi jalar
62
DAFTAR PUSTAKA AACC. 1983. American Association of Cereal Chemists Approved Methods., Volume II. Ahza, A.B. 1983. Tesis. Substitusi Parsial Tepung Gandum (Tririticum aestivum L.) dan Tepung Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench.) dan Tepung Kacang Tunggak (Vigua unguiculata (L.) Wale) Pada Pembuatan Roti. Alaerts, G. dan S.S. Santika.1984. Metode penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Anonim. 1996a. Chlorin. Http:// www. Infeksi.com/protop. [ 25 Mei 2005] Anonim . 1999a. Pectin. Http://www. Isbu.ac.uk/water/ hypwc.html. [25 Mei 2005]. Anonim. 2001a. Memanfaatkan Limbah Dapur dalam Memasak. Http://www.sedap-sekejap.com/artikel/2001/edisi7/files/artikel.htm.[9 Februari 2006]. Anonim. 2005a. Dietary Fiber. Http ://www..Nutricology.org/nutricology/Dietary Fiber Cellulose.htm. [26 Mei 2005] Anonim. 2005b. Amylograph. Http:// www.european baker.com/theory theory en.html.[26 Mei 2005]. Anonim, 2006.a . Sweet Potato. Http://www.freshforkids.com.au/sweetp.htm.[9 Februari 2006].
AOAC International. 1992. FDA Bacteriological Analytical Manual. 7th Edition. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytycal Chemist. Inc., Washington D.C. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, S. Budiyantono. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2005. Food Crops Statistics. http://www.bps.go.id/sector/ Agri/pangan/table 2 shtml. (23 Agustus 2005). Barnes, D. dan F. Wilson. 1983. Chemistry and Unit Operation in Water Treatment. Applied Science Publishers, New York. Brennan, J.G., J.R.Butter, N.D. Cowell dan A.V.E. Lily 1974. Food Engineering Operations. Applied Science Publishers Limited, London.
63
Buckle, K.A, R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1978. Food Science. Australian-Asian Universities Coorporation Scheme, New South Wales, Kensington, Australia. Bushuk, W. dan F. Macritchie. 1989. Wheat Proteins: Aspects of Structure That Determine Breadmaking Quality. Di dalam : Protein Quality and The Effects of Processing. R. Dixon Philips dan Jhon W. Finley (eds.), Marcell Dekker, Inc. New York. Collison, R. 1968. Swelling and Gelation of Starch. Di dalam Starch and it’s Derivatives. J.A. Radely (ed). Chapman and Hall. Ltd, London. Damardjati, D.S. 2003. Penelitian dan Potensi Bahan Serta Produk Untuk Kesehatan dan Kebugaran. Makalah Seminar. Keseimbangan Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Bogor. Davidson, P.M. dan A.L. Branen. 1993. antimicrobials in Foods 2nd Edition Revised and Expanded. Marcel Dekker Inc. New York. DeMan, M.J. 1989. Kimia Makanan, Edisi ke Dua. ITB Bandung. De Leon, S.Y., O.C. Bravo dan L.O. Martirez. 1988. Fruits and Vegetables Dehydration Manual. Kalayan Press Mktg. Ent., Inc. Quizon City. Desrosier, N.W. 1963. The Technology of Food Preservation, 3rd ed. The AVI Publishing Company Inc., Wesport, Connecticut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1993. Daftar Kimposisi Bahan Makanan. Bharata. Jakarta. Dreher,M.L.. 1987. Handbook of Dietary Fiber. Marcel Dekker Inc. New York. Ega,L.2002. Kajian Sifat Fisik dan Kimia serta Pola Hidrolisis Pati Ubi Jalar Jenis Unggul Secara Enzimatis dan asam. Disertasi. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fellows, P.J.2000. Food Processing Techniques; Principles and Practice-2nd Edition. Woodhead Publishing Limited, London. Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. Basel. Frazier, W.C. dan D.C. Westhoof. 1978. Food Microbiology. Mc Graw hill Book Company, New York. .Inglett, G.E. 1974. Wheat Production and Utilization. The AVI Publishing Company.Inc. Westport, Connecticut.
64
Hammet,H.L., B.F. Barrantine. 1961. Some Effect of Variety, Curing, and Baking Upon The Carbohydrate Content of Sweet Potato Di dalam Woolfe, J.A. 1999. Sweet Potato an Unttapped Food Resource. Chapman and Hall, New York. Hasanuddin, A. dan J. Wargiono. 2003. Research Priorities for Sweet Potato in Indonesia. Di dalam: Fuglie, K.O. (ed). Progress in Potato and Sweetpotato Research in Indonesia. Proceedings of CIP-Indonesia Reserch Revies Workshop. Pp.15-19. International Potato Center (CIP). Bogor. Heldman, D.R. dan R.P. Singh. 1981. Food Process Engineering. The AVI Publishing Co., Westport, Connecticut Hidayati, I. 2002. Mempelajari Karakteristik Pengeringan Cabe Merah (Capsicum annuum L.) Pada Alat Penegering Tipe Kabinet Dengan Bahan Bakar “LPG” . Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Holloway,W.D., J.A. Monro, J.C.Gurnsey, E.W. Pomare, N.H. Stace. 1985. Dietary Fiber and Other constituent of Some Tongan Foods. J. Food Sci. 50 (6): 1756-1757. Huang, P.C. 1982. Nutritive Value of Sweet Potato. Di dalam: Villareal, R.L. dan Griggs, T.D. (eds). 1982. Sweet Potato : Proceedings of The First International Symposium. P.35-36. AVRD Center, Taiwan, R.O.C. Jay, J.M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th edition. Univ. of Toronto Press, Toronto, Ontario, Canada. Jenie, B.S.L. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU-IPB, Bogor Johnson I.T., D.A.T. Southgate. 1994. Dietary Fiber and Related Substances. Chapman and Hall, London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melborne, Madras. Jowitt, R. 1984. Extrusion Cooking Technology. 1984. Elsevier Applied Science Publishers. London and NewYork. Juanda, D. dan B. Cahyono. 2000. Ubi Jalar Budi Daya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. Kadarisman, D dan A. Sulaeman. 1992. Monograph Teknologi Pengolahan Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
65
Kementrian Negara Urusan Pangan dan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Bahan Baku Potensial. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lingga, P, B.Sarwono, I. Rahardi, P.C.Rahardjo, J.J.Afriastini, R.Wudianto, W.H.Apriadji, 1986. Bertanam Umbi-umbian. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Mackay, K.T., M.K. Palomar dan R.T. Sanico. 1989. Sweet Potato Research and Development for Small Farmer. P. 17-32. SEAMEO-SEARCA College, Laguna, The Philippines. Marriot, N.G. 1999. Principles of Food Sanitation. 4th ed. Aspen Publisher, Inc., Publication, New York. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB. Bogor. Muchtadi, D. 2001. Sayuran Sebagai Sumber Serat Pangan untuk Mencegah Timbulnya Penyakit Degeneratif. J. Tek. dan Ind. Pan. 12:61-71. Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T.R. 1997. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muharam, S. 1992. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Singkong (Manihot esculenta Crantz) Dengan Modifikasi Pengukusan, Penyangraian dan Penambahan GMS Serta Aplikasinya Dalam Pembuatan Roti. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Naidu, A.S. dan N. Khanna. Chloro-cides. Di dalam: A.S. Naidu (ed). 2000. Natural Food Antimicrobial System. CRC Press. New York. O'Hair, S. K. 1990. Tropical Root and Tuber Crops. Http://www.hort purdue.edu/newcrop/prooceedings1990/VI-424.html#White Fleshed %20sweet%20potato. [9 Februari 2006] .] Osundahunsi, O.F., N.F. Tayo, K. Ellina, dan S. Eyal. 2003. Comparison of the Physicochemical Properties and Pasting Characteristic of Flour and Starch from Red and White Sweet Potato Cultivar. J. Agric. Food. Chem. 51: 2232-2236. .
66
.Palmer,J.K. 1982. Carbohydrate in Sweet Potato Proc. Di dalam Villareal, R. J., T.D. Griggs (eds). Sweet Potato Proceeding of The 1st International Symposium. AVRDC, Phillipines. . Palmer,J.K.1982.Carbohydrates in Sweet Potato. Asia Vegetable Research and Development Center. shan hua, Tainan, Taiwan. Pomeranz, Y. dan C.E. Meloan. 1994. Food Analysis, Theory and Practice. Chapman and Hall. New York. Priestley, R.J. 1979. Effects of Heating on Foodstuffs. Applied Science Publishers Ltd, London. Rajiv, M. 2003. How Sweet is this Potato? http://www.hinduonnet.com/thehindu/ mp/2003/06/09/stories/htm. [9 Februari 2006] Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. Sediaoetama, A.D. 1987. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Penerbit DIAN RAKYAT, Jakarta Timur. Sipila J, P. Karhuren, G. Brunow. 1999. Lignin. http://www.helsinki.fi/orgkim_ ww/Lignin.html. [25 Mei 2005]. Slade, Louise., Harry Levine dan Jhon, W. Finley. 1989. Protein-Water Interactions: Water as a Plasticizer of Gluten and Other Protein Polymers. Di dalam : Protein Quality and The Effects of Processing. R. Dixon Philips dan Jhon W. Finley (eds.), Marcell Dekker, Inc. New York. Southgate, D.A.T. 1982. Di dalam B.O., Schneeman Dietary Fiber. A Scientific Status Sumary by the Institut of Food Technologist Expert Panel on Food Safety and Nutrition. J. Food Tech., 4(10) : 133-139. Suda, I., 2003. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes
Containing Anthocyanins and Their Utilization Http://www.jircas.affrc.go.jp. [9 Februari 2006].
in
Foods.
Sugiyono. 2003. Teknologi Tepung dan Pati. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Sukirwan, N.Q. 2000. Kurangi Resiko Buta Pada Bayi Anda http://www.kompas.com/health/news/0010/22/541.htm. [25 Februari 2005]. Steinbauer, C.E. dan L.J.Kushman. 1971. Sweet Potato Culture and DiseaseAgriculture Handbook No.388. Agricultural Research Service-United States Department of Agriculture, Washington, D.C.
67
Swinkels, J.J.M. 1985. Source of Starch, It’s Chemistry and Physic. Di dalam G.M.A. Van Beynum dan J.A. Roels. Starch Convertion Technology. Marcel Decker, inc. New York dan Basel. Ukuku, D.O. dan G.M. Sapers. 2001. Effect of Sanitaizer Treatments on Salmonella Stanley Attached to The Surface of Cantaloupe and Cell Transfer to Fresh-Cut Tissues During Cutting Practices. J. Food Prot. 64 (9): 1286-1291. Van den, T. 1989. New Developments in Processing Sweet Potato for food. Di dalam: Mackay, K.T., Palomar, M.K., Sanico, R.T. (eds). 1989. Sweet Potato Research and Development for Small Farmer. p. 17-32. SEAMEO-SEARCA College, Laguna, The Philippines. Van Soest dan J.B. Robertson. 1977. Analytical Problems of Fiber. Di dalam L.F. Hood, E.K. Wardrip, dan G.N. Bollenback (eds.). Carbohydrates and Health. AVI PUBL.Co., Inc., Westport, Connecticut. Villareal, R. J., T.D. Griggs. Sweet Potato Proceeding of The 1st International Symposium. AVRDC, Phillipines. Sultan, W.J. 1981. Practical Baking. Resived Third Edition. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Winarno, F.G dan B.S.L. Jenie. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Peracunan. Departemen Teknologi hasil Pertanian, Fatemeta, IPB, Bogor. Widodo, Y. 1989. Prospek dan Strategi Pengembangan Ubi Jalar Sebagai Sumber Devisa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8 (4): 83-88. Winarno, F.G. dan Jenie, S.L. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Peracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta, IPB. Bogor. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia. Jakarta. Wirakartakusumah,M.A., A.Kamaruddin, A.M. Syarief. 1992. Sifat Fisik Pangan. Depdikbud. PAU-Pangan dan Gizi. IPB. Woolfe, J.A. 1993. Sweet Potato : an Untapped Food Resource. Cambridge University Press, New York. Woolfe,J. A. 1999. Sweet Potato an Untapped Food Resource. Chapman and Hall, New York.
68
Zakaria, F. 2003. Aspek Biokimia dan Gizi Pangan Fungsional Prebiotik. Makalah Seminar Keseimbangan Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zuraida, N. 2005. Sweet Potato as an Alternative Food Supplement During Rice Shortage. Http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/jp224-31.htm. [9 Februari 2006]
69
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pemetaan pemanfaatan tepung-tepungan No 1.
Komodi ti Sorghum
Rekayasa (proses) Panen ↓ Perontokan ↓ Penjemuran ↓ Biji kotor kering ↓
Karakteristik
Nilai
Aplikasi
Roti Kandungan Kimia Tepung Sorghum 10.60 % - Air 7.45% - Protein 2.03% - Lipid 0.88% - Abu 89.63% - Karbohidrat 30.13% - Gula pereduksi - Gula non 94.71% - Makana n bayi pereduksi
↓ Pembersihan dengan aspirator ↓ Biji bersih ↓ Penyosohan ↓ Pengayakan ↓ Pengayakan ↓ Beras sorghum giling kepala ↓ Penggilingan ↓ Tepung sorgh Tepung kasar
Mie
kue-kue
Keterangan - untuk produk roti, tepung sorghum digunakan sebanyak 520% dari total tepung yang digunakan - untuk makanan bayi, penggantian tepung terigu dengan tepung sorghum sampai 60% masih dapat diterima. Untuk produk mie,tepung terigu yang digunakan minimal 36%.
↓ Pengayakan ↓ Tepung halus 2.
Jagung
Biji jagung bersih
↓ Tempering ↓ Degerminator ↓ Endosperm ↓ Pengeringan ↓ Pendinginan ↓ Pengayakan ↓ Penggilingan ↓ Tepung
Kandungan Kimia Tepung Jagung -Kadar air -Kadar abu -Kadar protein -Kadar lemak -Kadar serat -Kadar karbohidrat
- Mie jagung 12.03 0.48 - Produk 2.54 ekstruksi 1.14 1.16 - Crackers 78.81
71
Lampiran 1. Pemanfaatan pemetaan tepung-tepungan (Lanjutan) No 3.
Komoditi Singkong (ubi kayu)
Rekayasa (proses) Karakteristik - Derajat putih (yang *Cara 1: menunjukkan daya Ubi kayu segar memantulkan caha↓ yang mengenai Pengupasan dan permukaan suatu pencucian bahan) tepung ↓ singkong Perajangan - Ubi kayu memiliki ↓ kandungan amilosa Pengeringan yang rendah, ↓ mengandung abu Penggilingan dan karbohidrat ↓ yang tinggi Pengayakan sehingga ↓ mengembang pada Tepung singkong suhu yang lebih rendah - Memiliki viskositas *Cara 2: puncak yang tinggi Ubi kayu - Memiliki ↓ kandungan Pengupasan dan karbohidrat tinggi pencucian ↓ Penggilingan ↓ Pemerasan Ampas
Air perasan
Pengeringan
Pengendapan
PencamPuran
Pengeringan
Nilai 82.8 92.6
Aplikasi
-Roti tawar -Roti manis -Mie kering -Biskuit -Cookies
Keterangan Makin tinggi substitusi tepung singkong maka daya serapnya rendah
19.2%
540 BU
Penggili- Pencamngan puran Penggilingan
Tepung singkong
72
Lampiran 1. Pemanfaatan pemetaan tepung-tepungan (Lanjutan) No 4.
Komoditi Ubi jalar
Rekayasa (proses)
Karakteristik Komposisi kimia Ubi jalar 1. Hybrid 65 (bb) : ↓ - protein Pengupasan - lemak ↓ - abu - serat perendaman dalam larutan garam atau - gula sulfite
Penya- Pembuawutan tan chips
perendaman dalam larutan bisulfit 0.3%, 30 menit
2. Hybrid 266 (bb) : - Protein - Lemak - Abu - Serat - Gula
3. Lampeneng - Protein - Lemak - Abu Serat Penirisan - Gula
Pengepresan
Nilai 70.70% 2.80% 2.81% 2.83% 3.80%
Aplikasi Keterangan - Untuk Mie mendapatkan Roti adonan yang pas Flakes dalam Kue pembuatan mie Biskuit ini perlu dicampur dengan tepung terigu
3.00% 0.78% 2.94% 3.90% 7.75%
- Untuk Pembuatan cookies, substitusi tepung ubi jalar mencapai 60%.
2.53% 2.36% 2.43%
Pengeringan
↓ Penepungan
↓ Pengayakan
↓ Tepung
5.
Kentang
Kentang
↓ Disortasi ↓ Dikukus ↓ Dikeringkan dengan drum ↓ Dipisahkan lapisan kentang pada permukaan durum pengering ↓ Didinginkan ↓ Digiling ↓ Diayak ↓
- Roti - Makanan bayi - Cake - Crackers - Pastries
Karakter fisik : - Warna : kecoklatan–kuning - Densitas 0.85-1.059 Kandungan Kimia - Kadar air - Kadar abu - Kalori - Protein - Lemak - Karbohidrat - Kalsium (mg) : - Fosfor (mg) : - Besi (mg) : - Vitamin B (mg) : - Vitamin C (mg) : - Air (g) : - Bagian yang dapat dimakan (%) :
6-8% 4.5% 347 kal 0.30 g 0.10 g 85.60 g 20.00 mg 30.00 mg 0.50 mg 0.04 mg 0.00 mg 13.00 g
Penambahan 2-3 % tepung kentang dalam pembuatan roti (terigu) akan meningkatkan kesegaran roti karena meningkatnya kapasitas air yang dapat diikat (WHC)
100.00%
Tepung
73
Lampiran 1. Pemanfaatan pemetaan tepung-tepungan (Lanjutan) No 6.
Komoditi
Rekayasa (proses)
Sagu Potongan pohon sagu
↓ Dibelah dua
↓ Empelur ditokok dengan nani
↓
Karakteristik Karakter fisik : Tepung sagu merupakan butiran berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa
Nilai
Aplikasi - Mie - Biskuit - Produk ekstruksi
Empelur disiram dengan air
Kandungan kimia : Setiap 100 g tepung ↓ sagu mengandung : Air dan suspensi pati - Energi. dipisahkan - Protein ↓ - Lemak Endapan pati sagu - Karbohidrat basah ditambahkan kaporit - Kalsium ↓ - Fosfor Diaduk dan - Besi diendapkan - Vitamin B1 ↓ - Kadar air Dipisahkan tepung sagu dan cairan bening
353 kal 0.79 % 0.29 % 84.79 % 119 mg 13 mg 1.5 mg 0.01 mg 14.0 g
Keterangan Kadar karbohidrat merupakan faktor yang paling berperan dalam sifat khas produk ekstruksi. Diperlukan juga tepung yang mempunyai derajat pengembangan tinggi.
↓ Tepung sagu dicuci dan diaduk
↓ Disaring dan diendapkan
↓ Dikeringkan, digiling, dan diayak
↓ Tepung sagu
7.
Talas
Talas
↓ Dikupas ↓ Dicuci ↓ Dirajang tipis ↓ Perendaman dalam bahan kimia selama 20 menit (natrium metabisulfit, asam sitrat, dan asam askorbat) ↓ pengeringan ↓ Penggilingan ↓ Pengayakan ↓
Kandungan kimia : - Derajat putih - Densitas kamba - Kadar air: - berat basah - berat kering - Kadar abu: - berat basah - berat kering - Protein: - berat basah - berat kering - Lemak: - berat basah - berat kering - Karbohidrat - berat basah - berat kering - Energi: bb
- Biskuit 73.73% - Roti 0.496 g/ml- mie 9.22% 10.16% 1.94% 2.13 %
-Pengukuran derajat putih dibandingkan dengan barium sulfat (BaSO4) sebagai standar karena memiliki derajat putih paling tinggi yaitu 110
4.43 % 4.48% 0.84% 0.92% 83.57% 92.06% 359.56 kkal
Tepung talas
74
Lampiran 1. Pemanfaatan pemetaan tepung-tepungan (Lanjutan) No 8.
Komoditi Garut
Rekayasa (proses) *cara kering Umbi garut ↓ Sortasi umbi ↓ Pengupasan ↓ Pencucian ↓ Perajangan umbi ↓ Penjemuran ↓ Penggilingan ↓ Pengayakan ↓ Tepung gaplek garut *cara basah Umbi garut ↓ Sortasi umbi ↓ Pengupasan ↓ Pencucian ↓ Pemarutan ↓ Pengeringan ↓ Penggilingan ↓ Penyangraian ↓ Tepung kering
9.
Kacang Hijau
Kandungan kimia : Air: Abu ↓ Lemak Disortasi Protein ↓ Pati Direndam dengan Amilosa peren- daman air Amilopektin dan kacang hijau 1:4 Serat selama ±12 jam Kacang hijau
↓ Dijemur (T ±4 0 oC, sampai KA < 10%) ↓ Penyosohan ↓ Digiling dan disaring dengan saringan ½ mm ↓
Karakteristik Kandungan gizi dalam 100 g tepung garut: -Energi -Kalsium -Fosfor -Besi -Rendemen -DSA -Derajat putih -Abu -Air -Lemak -Protein -Karbohidrat -Pati -Serat kasar -Gula -Tanin
Nilai
Aplikasi Mie Roti Kue 355 kal Bisk 8.0 mg uit 22.0 mg 1.5 mg 12.60% 120.64% 74.22% 0.31% 7.02% 1.4% 2.52% 86.87% 46.82% 6.02% 6.58% 3.73%
10.82 % 0.17 % 0.20% 0.28% 99.97% 40.05% 59.72% 0.06%
Keterangan
- Sumber karbohidrat - Bahan penambah pada roti, papais, cendol, - Digunakan untuk meningkatkan tekstur produk
Tepung kacang hijau
75
Lampiran 1. Pemanfaatan pemetaan tepung-tepungan (Lanjutan) No 10.
Komoditi Sukun
Rekayasa (proses)
Karakteristik Nilai Aplikasi Keterangan - Cookies - Mengandung 2 - Warna putih Sukun - Roti asam amino kecoklatan - Kue essensial (lisin ↓ Kandungan serat dan threonin) 6.4 % bk kering Sortir buah dan abu - Kandungan 0.8-1.9% ↓ - Kandungan lemak lemak yang Pengupasan, rendah pencucian, Hasil analisis menyebabkan pemotongan proksimat tepung tepung sukun ↓ sukun tua dan tidak Perendaman tepung sukun muda mempunyai dalam Na2S2O5 1. Tepung sukun tua: masalah 8.68% -Kadar air ↓ ketengikan jika 2.84 % Blansir uap 80 oC, -Protein disimpan 0.37% -Lemak selama 7 menit 0.62% -Kadar abu ↓ 87.49% -Karbohidrat Pengeringan 68.56% -Kadar serat ↓ 2.Tepung sukun Penggilingan muda (disc mill) 4.65% -Kadar air ↓ 0.35% -Protein pengayakan 60 1.56% -Lemak mesh 1.09% -Kadar abu ↓ 92.35% -Karbohidrat Tepung Sukun 77.71% -Kadar serat
11.
Ganyong
Umbi segar ↓ Pengupasan ↓ Pencucian ↓ Perendaman dengan NaCl (3%), Na bisulfit (0.3%), selama 1 jam ↓ Pencucian ↓ Perendaman ↓ Pemarutan ↓ Pencucian dengan penambahan air 1:3.5 Air
Parutan basah
- Rendemen tepung - Absorbsi air - Absorbsi minyak - Densitas kamba
>14 % - Roti 1.40-1.72 - Makanan bayi g/g 0.80-1.14 - Soun g/g ± 0.5
- Konsistensi tepung ganyong termasuk dalam klasifikasi gel lunak (61-100 mm) yang menyatakan tingkat kelunakan gel tepung - Mempunyai kandungan serat tinggi, menyebabkan tepung tidak dapat membentuk gel secara menyeluruh - Peningkatan derajat pengembangan secara tajam pada suhu 60-70 %
Pengendapan ↓ Endapan ↓ Pengeringan ↓ Tepung
76
Lampiran 1. Pemanfaatan pemetaan tepung-tepungan (Lanjutan) No 12.
Komoditi Pisang
Rekayasa (proses) Karakteristik *proses kering - Kadar protein pisang ambon Pisang - kadar abu ↓ Blanching 3-5 menit - nilai derajat putih 80 oC tepung pisang ↓ bervariasi dari Pengupasan 47.0-74.6% (variasi ↓ derajat putih Pengirisan dan tergantung dari zat perendaman anti pencoklatan ↓ yang digunakan). Pengeringan ↓ - Densitas kamba Penghancuran tepung pisang ↓ ambon Pengayakan (70 - Daya serap air mesh) tepung pisang ↓ ambon Tepung
*proses basah Pisang dalam bentuk bubur/pasta ↓ Dikeringkan dengan 1)drum drier, rendemen 13% 2)spray drier, rendemen 8-11% 13.
Talas belitung (kimpul)
Talas belitung
↓ Dicuci dengan air ↓ Diiris dengan ketebalan 0.20 cm ↓ Direndam dalam larutan garam dapur 3% selama 5 menit ↓ Dicuci dengan dengan air ↓ Direndam dalam larutan NaHSO3 0.30 % selama 15 menit ↓ Dicuci dengan air ↓ Ditiriskan ↓ Dikeringkan dengan oven pada suhu 60 oC sampai mudah dipatahkan ↓ Digiling dengan ayakan 60 mesh ↓ Tepung
*Sifat fisik -Suhu awal gelatinisasi -Absorbsi minyak -Absorbsi air -Derajat putih -Rendemen
*Sifat kimia (%bk) -Kadar air -Kadar abu -Kadar serat -Protein - Lemak -Kadar amilosa - Karbohidrat
Nilai Aplikasi Keterangan 3-8%, - Makanan - Protein dominan bayi adalah albumin 2-4 % - Cookies dan globulin - Cake yang memiliki kelarutan minimum pH 5.0 - Komponen gizi yang paling dominan adalah karbohidrat - Semakin matang 0.58-0.65 pisang , densitas g/ml kamba rendah, jika densitas kamba tinggi 1.15 g/g maka biaya transportasi dan ruang rendah - Kemampuan tepung pisang membentuk busa tidak baik karena pada pengujian stabilitas busa, menunjukkan terjadi collapse 100% selama 60 menit ruang rendah - Cookies - Substitusi 79 oC tepung terigu pada cookies 2.90 g/g 2.57 g/g 69.54 % 39.24 % 6.20 % 1.28 % 2.16 % 0.69 % 1.25 % 16.29 % 70.73 %
77
Lampiran 2. Komoditi yang digunakan untuk tepung, Potensi, peluang dan kepercayaan dalam masyarakat No 1.
2.
3.
Komoditi Sorghum
Jagung
Singkong
4.
Ubi Jalar
5.
Kentang
6.
Sagu
7.
Talas
8.
Garut
Potensi dan peluang - Protein tinggi dibandingkan dengan jagung dan beras - Menduduki urutan ke dua dalam hal jumlah energi yang tersedia persatuan bobot diantara serealia lainnya - Sumber karbohidrat - Menghasilkan produk yang renyah dan empuk - Sifat rentah dan empuk dapat dipertahankan meskipun telah meskipun telah mengalami proses pembekuan, thawing maupun pemanasan - Kandungan asam amino tinggi - Sumber karbohidrat - Tepung ubi kayu mengandung kadar HCN rendah - Tepung ubi kayu lebih tahan terhadap serangan serangga kumbang selama penyimpanan - Sifatnya mendekati tepung terigu, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengganti sebagian tepung dalam pembuatan roti dan kue. - Dapat digunakan sebagai bahan baku utama atau campuran produk - Harga lebih murah dari pada tepung terigu - Komposisi zat gizi tidak jauh berbeda dengan tepung terigu kecuali dalam hal jenis dan jumlah proteinnya - Sumber karbohidrat - Kaya akan sumber vitamin B1 dan zat besi - Sumber energi - Kandungan kalorinya relatif sama dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu atau kentang - Daya simpannya lama - Sumber karbohidrat - Mudah dicerna untuk makanan bayi dan orang-orang sakit
Kepercayaan dalam masyarakat ---
---
---
Kandungan karbohidrat mempunyai indeks gliikemia yang rendah sehingga cocok untuk penderita diabetes. ---
----- Sebagai bahan obatobatan garut dapat digunakan untuk mendinginkan perut dan disentri, obat eksim, dan memperbanyak ASI
78
Lampiran 2. Komoditi yang digunakan untuk tepung, Potensi, peluang dan kepercayaan dalam masyarakat (Lanjutan) No
Komoditi
Potensi dan peluang
Kepercayaan dalam masyarakat
10. Sukun
Mempunyai nilai gizi yang baik, yaitu: - Kandungan pati dan gula tinggi - Vitamin C cukup baik - Sumber serat makanan - Mutu karbohidrat lebih baik daripada mutu berbagai jenis --karbohidrat lainnya - Proteinnnya tinggi - Sumber Fe, Ca, dan potassium - Dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu dan tepung tapioca, dan tetepung sukun memiliki rasa yang khas. 11. Ganyong - Sumber karbohidrat pendamping beras dan terigu - Sumber energi dengan - bdd 68% --- L-Luwes,mudah dicampur/diformulasikan dengan bahan lain, awet 12. Pisang - Kandungan Ca,P, Fe, tiamin dan niacin nya tinggi - Dapat disimpan lebih lama dan lebih mudah dilakukan penambahan zat --gizi - Lebih mudah dicerna - Tepung pisang baik untuk pertumbuhan anak-anak dan remaja 13. Talas Belitung - Sumber karbohidrat tinggi Mempunyai sifat basa (Kimpul) sehingga dapat melindungi gigi
79
Lampiran 3. Jenis-jenis Ubi jalar yang digunakan untuk pembuatan tepung
Ubi jalar putih (sukuh)
Ubi jalar merah
Ubi jalar ungu
80
Lampiran 4. Mikrochlorine test yang digunakan untuk mengukur residu klorin
81
Lampiran 5. Pembuatan larutan stok klorin 1 lt Na Hipoklorit 1000 PPM + 1 lt air FITS NaOCl cair 10 % (W/V) = 100000 mg/l = 100000 ppm NaOCl + H2O ↔ HOCl + NaOH Yang aktif dalam larutan sanitaiser adalah HOCl Dalam 100000 PPM NaOCl, terkandung X ppm HOCl X PPM HOCl = 100000 ppm NaOCl X Mr HOCl Mr NaOCl = 100000 ppm x 52.2 74.5 = 70469.80 ppm
Pembuatan 1 lt larutan stock klorin 50000 PPM V1 M1 = V2 M2 X 70469.80 = 1000 . 50000 709.52 ml klorin +
290.48 ml aquades
50000 PPM sebanding dengan 1000 PPM 1000 PPM . 1 lt = 50000 V 1000
=
V
50000 0.02 lt = 20 ml ( larutan stock klorin yang ditambahkan dalam.......lt air) diatur volome stock klorin (20 ml, 22.5 ml, 25 ml, 27.5ml, 30 ml).→(20 ml stock klorin untuk 1 lt air)
82
Lampiran 6 . Perhitungan absolut (g) dan harga klorin Rp/g *Larutan natrium hipoklorit : 10% (w/v) = 100000 mg/l = 100000 ppm = 105 ppm *)Dosis klorin 50000 mg/l = 50 mg/ml 50 mg/ml = X g/20 ml X
= 50 mg/ml x 20 ml = 1000 mg =1g
5
Ö 10 PPM klorin → dalam 1 lt air → Rp 4000 Ö 105 mg/lt x 1 lt = 105 mg = 103 gr 103 g/1g = Rp 4000/x X = 1g/103 g x Rp4000 = Rp 4 *)
50 mg/ml = X g/22.5 ml X
= 50 mg/ml x 22.5 ml = 1125 mg = 1.125 g
103 g/1.125g = Rp 4000/x X = 1.125g/103 g x Rp 4000 = Rp 4.5 *)
50 mg/ml = X g/25 ml X
= 50 mg/ml x 25 ml = 1250 mg = 1.25 g
103 g/1.25g = Rp 4000/x X = 1.25g/103 g x Rp 4000 = Rp 5
83
*)
50 mg/ml = X g/27.5 ml X
= 50 mg/ml x 27.5 ml = 1375 mg = 1.375 g
103 g/1..375g = Rp 4000/x X = 1.375g/103 g x Rp 4000 = Rp 5.5 *)
50 mg/ml = X g/30 ml X
= 50 mg/ml x 30 ml = 1500 mg = 1.5 g
103 g/1.5g = Rp 4000/x X = 1.5g/103 g x Rp 4000 = Rp 6 *)
50 mg/ml = X g/35 ml X
= 50 mg/ml x 35 ml = 1750 mg = 1.75 g
103 g/1.75g = Rp 4000/x X = 1.75g/103 g x Rp 4000 = Rp 7
84
Lampiran 7. Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) air PT.FITS Pengenceran Jumlah mikroba ∑ koloni (CFU/ml) Log10 CFU/ml TBUD 10 -1
TBUD 101
10
-2
10
-3
89
9.5 x 103
3.97
10 8
85
Lampiran 8. Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) air Cibungbulang Pengenceran Jumlah mikroba ∑ koloni (CFU/ml) Log10 CFU/ml -2 2 10 1 10-3 10-4
0 0
1.5 x 102
2.18
0 0
86
Lampiran 9. Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) air Cibungbulang dengan menggunakan residu klorin 200 ppm Pengenceran Jumlah mikroba ∑ koloni (CFU/ml) Log10 CFU/ml 1 10-2 1 10-3
0 0
10-4
1 x 102
2.00
0 3
87
Lampiran 10. Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar dengan menggunakan air PT.FITS Pengenceran Jumlah mikroba ∑ koloni (CFU/gr) Log10 CFU/gr 10-1
51 168
10-2
13 16
10-3
1 8
10-4
4 6
10-5
0 0
1.5 x 103
3.18
88
Lampiran 11. Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar dengan menggunakan air PT.FITS dengan menggunakan residu klorin 200 ppm Volume Pengenceran Jumlah ∑ koloni Log10 CFU/gr (ml) mikroba (CFU/gr) 10-2
46 TBUD
10-3
18 74
10-4
TBUD 19
10-2
164 TBUD
10-3
85 TBUD
10-4
11 TBUD TBUD 102
20
22.5
10-2 10-3
97 134
10-4
100 8
25
27.5
10-2
TBUD TBUD
10-3
85 121
10-2
22 38 TBUD 201
10-3
1 10
10-4
30
10-3
1 1 4 7 1 0
10-4
0 1
10-4 10-2 35
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
1.7 x 105
5.23
1.2 x 105
5.08
5.9 x 103
3.77
5.5 x 102
2.74
Keterangan: TBUD: Terlalu Banyak Untuk Dihitung
89
Lampiran 12. Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang Pengenceran Jumlah mikroba ∑ koloni (CFU/gr) Log10 CFU/gr 10-2 234 TBUD 10-3 10-4
40 46
4.4 x 104
4.64
8 3
90
Lampiran 13. Rekapitulasi Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar menggunakan air Cibungbulang dengan residu klorin 200 ppm. Pengenceran Jumlah mikroba ∑ koloni (CFU/gr) Log10 CFU/gr 10-2 3 9 10-3 10-4
1 0
6 x 102
2.78
0 1
Keterangan : CFU= Colony Form Unit
91
Lampiran 14. Rekapitulasi hasil analisis amilograf tepung ubi jalar SPG (0C) VM (BU) Jenis SAG (0C) tepung ubi
1
2
Putih
76.50
78
Merah
76.50
Ungu
78
χ
1
2
χ
1
2
χ
96
95.25
522
500
511
46.50
61.50 97.50 96.75 97.13
295
300
297.50
76.50
82.50 79.50 82.50
80
99
89.50
jalar 77.25 94.50
81
Keterangan: SAG : Suhu Awal Gelatinisasi SPG : Suhu Puncak Gelatinisasi VM : Viskositas Maksimum
92
Lampiran 15. Kurva amilograf tepung ubi jalar putih pada beberapa kali ulangan
Ulangan pertama
93
Lampiran 16. Kurva amilograf tepung ubi jalar putih pada beberapa kali ulangan (Lanjutan)
Ulangan kedua 94
Lampiran 17. Kurva amilograf tepung ubi jalar merah pada beberapa kali ulangan
Ulangan pertama
95
Lampiran 18. Kurva amilograf tepung ubi jalar merah pada beberapa kali ulangan (Lanjutan)
Ulangan kedua
96
Lampiran 19. Kurva amilograf tepung ubi jalar ungu pada beberapa kali ulangan
Ulangan pertama
97
Lampiran 20.Kurva amilograf tepung ubi jalar ungu pada beberapa kali ulangan (Lanjutan)
Ulangan kedua
98
Lampiran 21. Kurva farinograf dengan beberapa penambahan air
Penambahan air 60.2%
99
Lampiran 22. Kurva farinograf dengan beberapa penambahan air (Lanjutan)
Penambahan air 67%
100