SKRIPSI
KANDUNGAN MINERAL KALAKAI (Stenochlaena palustris) YANG TUMBUH PADA JENIS TANAH BERBEDA SERTA DIMASAK DENGAN CARA BERBEDA
Oleh : DIAN THURSINA F24050431
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
KANDUNGAN MINERAL KALAKAI (Stenochlaena palustris) YANG TUMBUH PADA JENIS TANAH BERBEDA SERTA DIMASAK DENGAN CARA BERBEDA
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : DIAN THURSINA F24050431
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi
: Kandungan Mineral Kalakai (Stenochlaena Palustris) yang Tumbuh pada Jenis Tanah Berbeda serta Dimasak dengan Cara Berbeda
Nama
: Dian Thursina
NIM
: F24050431
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
(Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M. Agr.)
(Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M. Agr.)
NIP. 19600422 198303 2 003
NIP. 19570610 198103 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pertanian
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP. 19650814 199002 1 001
Tanggal Lulus :
Dian Thursina. F24050431. Kandungan Mineral Kalakai (Stenochlaena palustris) yang Tumbuh pada Jenis Tanah Berbeda serta Dimasak dengan Cara Berbeda. Di bawah bimbingan C. Hanny Wijaya dan Basuki Sumawinata. 2010. RINGKASAN
Kalakai (Stenochlaena palustris) merupakan salah satu sayuran lokal yang umum tersedia di Kalimantan Tengah. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kalakai memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi seperti beta karoten, asam folat, serta beberapa mineral penting. Masyarakat lokal (suku Dayak) di Palangkaraya dan sekitarnya biasa mengkonsumsi kalakai, terutama ibu-ibu paska melahirkan. Kalakai telah dikenal sebagai sayuran penting untuk meningkatkan supplai ASI bagi ibu-abu yang sedang menyusui. Kalakai memiliki keunikan, yaitu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan pada tanah yang miskin unsur hara. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis tanah terhadap kandungan mineral pada kalakai, serta pengaruh proses pengolahan terhadap kandungan mineral tersebut. Pengambilan sampel kalakai dilakukan di lima lokasi dengan jenis tanah yang berbeda yaitu tanah bergambut, tanah sulfat masam, tanah pasir kuarsa, dan tanah aluvial pada bulan Januari dan Februari. Seluruh sampel diberikan empat perlakuan pemasakan yang berbeda yaitu perebusan, penumisan, pengukusan dan segar (tanpa perlakuan). Sampel dianalisis kadar air, abu, dan mineral. Analisis kandungan mineral menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Perkin Elmer 1100B. Jenis tanah yang ditumbuhi kalakai mempengaruhi kandungan mineral yang terdapat pada pucuk daun kalakai. Kalakai yang tumbuh pada tanah bergambut memiliki kandungan mineral Mg, Ca, Zn, Mn cenderung cukup tinggi, yaitu berturut-turut mencapai 5160, 6399, 134.6, dan 158 ppm, sedangkan Fe, Cu, dan Al rendah dengan kadar berturut-turut 117.2, 4.5, dan 20.5 ppm. Tanah bergambut pada penelitian ini memiliki pH 6.08 yang diduga masih cukup banyak mineral yang tersedia untuk diserap oleh tumbuhan. Kalakai yang tumbuh pada tanah sulfat masam mengandung Fe dan Al yang tinggi yaitu 336.4 ppm dan 76.4 ppm. Tingginya mikro mineral Al dan Fe pada tanah sulfat masam disebabkan oleh pH tanah yang cukup rendah. Kalakai yang tumbuh pada tanah pasir kuarsa mengandung mineral Ca, Cu, dan Al yang cukup tinggi, yaitu berturut-turut 6299, 25.1, dan 58.1 ppm sedangkan mineral lain seperti Mg, Fe, Zn, dan Mn kandungannya rendah yaitu berturut-turut 4598, 65, 86.8, dan 65.9 ppm. Pada tanah aluvial ditemukan bahwa kandungan Cu pada kalakai cukup tinggi yaitu 26.7 ppm, sedangkan Fe, Mn, dan Al rendah dengan kadar berturut-turut 52, 63.4, dan 5.3 ppm. Kandungan mineral yang relatif rendah pada kalakai dari tanah pasir kuarsa dan aluvial diduga karena rendahnya unsur hara yang terdapat pada jenis tanah tersebut. Hasil analisis total mineral atau kadar abu kalakai pada berbagai cara pemasakan menunjukkan bahwa kalakai memiliki kandungan total mineral yang berbeda. Total mineral dari yang terendah hingga tertinggi berturut-turut yaitu
kalakai yang dimasak dengan cara direbus, ditumis, dikukus dan segar atau tanpa perlakuan pemasakan. Proses pemasakan memberikan pengaruh terhadap kandungan mineral kalakai. Proses pemasakan dengan cara direbus adalah yang paling tinggi peranannya dalam penurunan jumlah mineral Mg (21-68%), Cu (11-60%), Ca (39%) dan Mn (8-38%). Mineral lain seperti Zn dan Fe mengalami penurunan tertinggi dengan cara ditumis berturut-turut 14-37% dan 9-43%. Kandungan seluruh mineral kecuali Cu, masih pada batas asupan harian yang disarankan jika diasumsikan bahwa satu porsi penyajian sayur kalakai adalah sebesar 50 gram.
Dian Thursina. F24050431. Kalakai (Stenochlaena palustris) Mineral Content which Grow on Different Types of Soil and Cooked by Different Methods. Supervised by C. Hanny Wijaya and Basuki Sumawinata. 2010. ABSTRACT
Kalakai (Stenochlaena palustris) is one of the local vegetables commonly available in the Palangkaraya. Previous research states that kalakai has a relatively high content of nutrients like beta carotene, folic acid, as well as some important minerals. Local communities (Dayak people) in Central Kalimantan and surrounding used to consume kalakai, especially mothers after child-birth.Kalakai has been recognized as an important vegetable to boost milk supplies for mothers who are breast-feeding. Kalakai was unique, because it can grow on various soil types, even on nutrient-poor soil. Therefore, this research aims to determine the effect of different types of soil on the mineral content of kalakai, and influence of processing on the mineral content. The sampling was conducted at five sites with different soil. They are peaty soil, sulphate acid soils, quartz sand soil, and alluvial soil in January and February. All of the samples were given four different treatments, boiling, frying, steaming and fresh (no treatment). Samples were analyzed moisture, ash, and minerals. Analysis of mineral content using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Perkin Elmer 1100B. The type of soil affect the content of minerals in the tip of kalakai leaf. It which grown on peaty soil containing a rather high of mineral Mg, Ca, Zn, Mn, which continuously reach to 5160, 6399, 134.6, 158 ppm, while Fe, Cu, and Al with a low successive level of 117.2, 4.5, 20.5 ppm. The pH of peaty soil in this study was 6.08, allegedly still quite a lot of minerals which can be absorbed by plants. Kalakai which grown on acid-suphate soil contains high Fe and Al i.e. 336.4 and 76.4 ppm. The high micro-mineral Al and Fe in acid-sulphate soils due to soil pH is low. Kalakai grown on quartz sand soil containing high minerals Ca, Cu, and Al, namely 6299, 25.1, and 58.1 ppm, respectively, while other minerals such as Mg, Fe, Zn, and Mn were low, it implies in the amount of 4598, 65, 86.8, and 65.9 ppm, respectively. Kalakai grown on alluvial soil is found that the content of Cu quite high, i.e. 7.26 ppm, whereas Fe, Mn, and Al content were low respectively 52, 63.4, and 5.3 ppm. Relatively low mineral content on kalakai of quartz sand and alluvial soil allegedly because of the low element nutrients contained in these soil types. Results of analysis of total mineral or ash content in various ways of cooking show that kalakai has a different total mineral content. Total minerals from the lowest to the highest were kalakai cooked by boiling, frying, steaming and fresh or without treatment of cooking. Cooking process give an effect to mineral content of kalakai. The process of boiling is the highest role in decreasing Mg (21-68%), Cu (11-60%), Ca (39%) and Mn (8- 38%). Other minerals such as Zn and Fe decreased by frying in the amount of 14-37% and 9-43%, respectively. The whole minerals, except Cu, still
in the recommended daily intake limit, if assumed that one portion of kalakai is 50 gram dry basis.
RIWAYAT HIDUP
Dian Thursina dilahirkan pada tanggal 14 Juni 1988. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan
Muchtar
dan
Isdayuni.
Penulis
memulai
pendidikannya di SD Bhakti Luhur (1993-1999). Pendidikan selanjutnya di SLTP Negeri 13 Jakarta (1999-2002) dan SMA Negeri 6 Jakarta (2002-2005). Saat ini penulis melanjutkan pendidikannya sebagai mahasiswa pada program studi Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP), Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA), Institut Pertanian Bogor. Selama pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif dalam kegiatan keorganisasian di kampus. Beberapa jabatan yang pernah diemban penulis antara lain staf Departemen Kewirausahaan BEM TPB (2005-2006), Sekretaris Departemen Fund Raising BEM FATETA (2006-2007), Sekretaris Organisasi Pecinta Alam LAWALATA-IPB (2007-2009), dan Manager Marketing majalah peduli pangan dan Gizi EMULSI (2008-2009). Penulis juga aktif mengikuti seminar, training, dan konferensi di kampus dan di luar kampus pada tingkat nasional maupun internasional. Diantaranya Seminar Mahasiswa Teknologi Pangan dan Ilmu Gizi (HMPPI) dan Community Development Training oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia). Pada tahun 2009, penulis berkesempatan mengikuti konferensi keanekaragaman hayati se-Asia (Conference of Asian Youth on Biodiversity) di Nagoya, Jepang. Salah satu prestasi penulis selama menjadi mahasiswa adalah menjadi Duta Muda Lingkungan BAYER (BAYER Young Environmental Envoy) 2008. Untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana teknologi pertanian, penulis melakukan penelitian berjudul Kandungan Mineral Kalakai (Stenochlaena palustris) yang Tumbuh pada Jenis Tanah Berbeda serta Dimasak dengan Cara Berbeda. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M. Agr. dan Dr. Ir. Basuki Sumawinata. M. Agr pada tahun 2010.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Selama menyelesaikan tugas akhir ini. banyak pihak yang telah berperan hingga terselesaikannya tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada ; 1.
Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr. selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, nasihat, serta bantuannya.
2.
Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr. selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan nasihat kepada penulis.
3.
Dr. Ir. Yanetri Asi Nion, M.Agr. selaku pembimbing lapang di Palangkaraya yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
4.
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Si. selaku penguji yang telah menyediakan waktu dan memberikan masukan pada penulis.
5.
Mama, ayah, adik-adikku, tante Ika, serta seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan doa.
6.
Teman-teman di Palangkaraya yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu penelitian ini.
7.
Teman-teman satu bimbingan atas semangat dan bantuan yang diberikan.
8.
Teman-teman di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan atas bantuannya.
9.
Keluarga besar LAWALATA-IPB atas semangat dan doa yang diberikan.
10. Teman-teman di Departemen ITP angkatan 41, 42, 43, dan 44 atas semangat dan bantuannya. 11. Sahabat-sahabat ku Dina Larastini, Wardina Humayrah, Khairunnisa NF, Cira A. Gavawidj, Yuanita R.F, Ayu Sinta, Reni Yuliastuti, Tia, Dewi, Yuni D Kartika, Cany Imania Cavandis, Anggun W. Hapsari, Wita Murdiati, Nur Hikmah Utami, Difa Fathona, Mike Marphytilova, Fakhratus, Yelita, Marina, Siyam Suseno, Arya Dharmawan, Bernadetha, dan Bimo Bayuaji atas bantuan, doa, dan semangat yang diberikan.
ii
12. Teman-teman Maharlika BB, Icha, Azizah, Reni, Gina, Titi, Wulan, mba Uci, Ajeng, Ine, mba Poe, mba Yus atas semangat, doa dan bantuannya. 13. M. Farikhin Yanuarefa atas bantuan, motivasi dan semangat yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia, begitu juga dengan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi temanteman mahasiswa, masyarakat sekitar Palangkaraya, dan pihak-pihak lain.
Bogor, Juli 2010
Dian Thursina
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….... i DAFTAR ISI........................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….. v DAFTAR TABEL………………………………………………………………... vi DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………... vii I. PENDAHULUAN……………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang……………………………………………………………. 1 B. Tujuan Penelitian…………………………………………………………. 3 C. Manfaat Penelitian………………………………………………………... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………….... 4 A. Kalakai (Stenochlaena palustris) ………………………………………... 4 B. Lahan Gambut…………………………………………………………….. 6 C. Mineral……………………………………………………………………. 6 D. Analisis mineral dengan AAS..…………………………………………… 13 E. Proses Pemasakan....................................................………….…………... 13 III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………........ 15 A. Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………………. 15 B. Bahan dan Alat............................................................................................. 15 C. Metode Penelitian………………………………………………………… 15 1. Penelitian Pendahuluan……………………………………………….. 16 2. Penelitian Utama……………………………………………………… 16 a). Analisis Kadar Air………………………………………………... 17 b). Analisis Kadar Abu..………………………………………………. 17 c). Analisis Kadar Mineral……...…………………………………...... 18 D. Analisis Statistik.......................................................................................... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………..... 20 A. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel Kalakai......................................... 20 B. Kadar Air Kalakai…......…...………………………...…………………… 23 C. Kadar Abu Kalakai....................................................................................... 23 1. Kadar Abu Berdasarkan Jenis Tanah Tempat Tumbuh Kalakai............ 23
iv
2. Kadar Abu Berdasarkan Jenis Pemasakan Kalakai................................ 25 D. Kandungan Mineral Kalakai........................................................................ 26 1. Kandungan Mineral Berdasarkan Jenis Tanah Tempat Tumbuh Kalakai................................................................................................... 26 2. Kandungan
Mineral
Berdasarkan
Jenis
Pemasakan
Kalakai................................................................................................... 31 V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………..… 40 A. Kesimpulan………………………………………………........................... 40 B. Saran………………………………………………………………………. 41 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….…. 42 LAMPIRAN……………………………………………………………………..... 47
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kalakai (Stenochlaena palustris)........................................................... 4 Gambar 2 Kalakai dari berbagai jenis tempat tumbuh........................................... 21 Gambar 3 Lokasi pengambilan kalakai.................................................................. 22 Gambar 4 Grafik persentase mineral dalam air rebusan kalakai............................ 31
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kadar mineral beberapa sayuran lokal di Palangkaraya........................... 5 Tabel 2 Kadar mineral kalakai dari berbagai sumber............................................ 5 Tabel 3 Batas asupan mineral per hari beberapa mineral...................................... 7 Tabel 4 Cara pemasakan kalakai........................................................................... 16 Tabel 5 Data kadar air kalakai (% basis basah)..................................................... 23 Tabel 6 Data kadar abu kalakai (% basis kering).................................................. 24 Tabel 7 Data kadar makro mineral kalakai perlakuan segar................................. 27 Tabel 8 Data kadar mikro mineral kalakai perlakuan segar................................. 27 Tabel 9 Data kadar magnesium............................................................................ 32 Tabel 10 Data kadar kalsium................................................................................ 33 Tabel 11 Data kadar besi....................................................................................... 35 Tabel 12 Data kadar seng...................................................................................... 36 Tabel 13 Data kadar mangan................................................................................. 37 Tabel 14 Data kadar tembaga................................................................................ 38
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Konsentrasi larutan mineral standar.................................................... 48 Lampiran 2 Tepung kalakai.................................................................................... 49 Lampiran 3 Data kadar air kalakai pada berbagai perlakuan................................. 49 Lampiran 4 Hasil analisis sidik ragam untuk pengaruh cara pemasakan terhadap kadar air (mg/100g) kalakai yang tumbuh pada lima jenis tanah.................................................................................................... 50 Lampiran 5 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan untuk pengaruh cara pemasakan terhadap kadar abu (mg/100g) kalakai yang tumbuh pada lima jenis tanah............................................................. 50 Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan untuk pengaruh jenis tanah sampel terhadap kadar abu (mg/100g) kalakai............... 51 Lampiran 7 Kadar pH tanah (pengambilan sampel bulan Januari 2010)............... 54 Lampiran 8 Kadar pH tanah (pengambilan sampel bulan Februari 2010)............. 54
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia memiliki lahan rawa gambut yang sangat luas, yaitu sekitar 20.6 juta ha atau 10.8% dari luas daratan. Lahan rawa gambut tersebut sebagian besar terdapat di empat pulau besar yaitu Sumatera (35%), Kalimantan (32%), Sulawesi (3%), dan Papua (30%) (Suryadiputra et al., 2005).
Lahan gambut memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi
sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan pangan, seperti sayuran. Sayuran merupakan salah satu bahan pangan penting dalam menu sehari-hari masyarakat di Indonesia. Hal ini dikarenakan sayuran memiliki peranan dalam pemenuhan mineral bagi tubuh. Menurut Gibson (1994) di dalam Borah et al. (2008), sayuran berdaun hijau dapat menjadi sumber trace element karena kadar airnya yang tinggi. Selain itu, sayuran juga banyak mengandung vitamin, serat, dan antioksidan. Salah satu sayuran yang tumbuh di lahan gambut adalah kalakai (Stenochlaena palustris). Kalakai merupakan sejenis tanaman paku-pakuan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang mampu meningkatkan ketersediaan Air Susu Ibu (ASI) pada ibu yang sedang menyusui atau paska melahirkan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian et al. (2006), tanaman ini juga memiliki kandungan mineral, vitamin C, asam folat, serta protein yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan sayuran lokal lain di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Berdasarkan Deptan (2009), setiap lahan gambut memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari sifat fisik, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya. Seiring perkembangan waktu, kebakaran hutan, sistem drainase yang tidak terkendali, serta aktivitas di lahan gambut menyebabkan terjadinya penipisan lapisan gambut, sehingga sedimen yang pada awalnya berada di bawah gambut muncul ke permukaan. Sedimen yang rendah kandungan unsur haranya akan mempengaruhi nutrisi tumbuhan yang tumbuh di atasnya, seperti yang terjadi pada kalakai.
9
Kalakai yang tumbuh di Palangkaraya memiliki keunikan. Tanaman tersebut dapat tumbuh subur pada jenis tanah yang berbeda-beda, dalam hal ini di lahan gambut dengan sedimen yang berbeda-beda. Bahkan pada sedimen tanah yang miskin unsur hara, seperti pasir kuarsa. Perbedaan jenis tanah tersebut diduga akan mempengaruhi kandungan nutrisi yang terdapat di dalam kalakai. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan hasil yang berbeda terhadap kandungan nutrisi kalakai. Irawan et al. (2006) menyebutkan bahwa kandungan mineral Ca, Mg, Fe dan Cu berturut-turut adalah 0.49, 0.24, 41.53, dan 4.25 ppm basis kering, sedangkan hasil penelitian Meiri (2005), menunjukkan kadar mineral Ca, Fe, dan Cu berturut-turut adalah 150, 26 dan 1 ppm. Serta hasil penelitian kalakai di tanah sulfat masam oleh Mulyanto et al. (1995), menunjukkan kandungan Ca, Fe, dan Cu berturut-turut adalah 3300, 265, dan 5 ppm. Perbedaan yang cukup besar pada hasil penelitian sebelumnya menimbulkan banyak pertanyaan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mencari tahu pengaruh jenis tanah terhadap kandungan mineral tumbuhan. Mulyanto et al. (1995) juga menyebutkan tingginya kandungan Al pada kalakai yang tumbuh pada tanah sulfat masam, yaitu sebesar 257.3 ppm. Kadar ini sangat berbahaya bagi masyarakat yang mengkonsumsi tumbuhan ini. Beberapa penelitian menujukkan bahwa secara pathology, Al dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada sistem syaraf pusat (Belitz dan Grosch, 1999). Sedangkan Gupta et al. (2005), juga menyebutkan bahwa Al dapat berperan terhadap neurotoxic effect. Informasi mengenai kandungan beberapa mineral baik itu makro mineral, mikro mineral, ataupun logam berat pada kalakai yang tumbuh di tanah yang berbeda, penting untuk diketahui. Selain untuk mengeksplorasi nilai nutrisi penting pada kalakai, juga untuk mengetahui pengaruh jenis tanah terhadap kandungan mineral pada kalakai. Kandungan mineral pada kalakai selain dipengaruhi oleh jenis tanah juga dipengaruhi oleh proses pemasakan. Kalakai sebagai sayuran lokal yang cukup diminati masyarakat di sekitar Palangkaraya, pada umumnya diolah
10
dengan cara direbus dan ditumis. Menurut Jones dan Becket (1995), proses pemasakan dilakukan untuk mengubah taste, tekstur, dan warna melalui penghancuran sel, penghilangan senyawa volatile, reaksi maillard, sehingga menjadi menarik di mata konsumen. Dengan adanya pemasakan sayuran akan mudah dicerna, meningkatkan cita rasa, membunuh mikroorganisme patogen, serta menghilangkan zat-zat berbahaya bagi kesehatan. Namun, proses pemasakan juga dapat memberikan efek yang tidak baik seperti hilang ataupun rusaknya zat gizi tertentu akibat adanya pemanasan. Data mengenai kandungan mineral pada sayuran yang dimasak dengan cara tradisional masih jarang diperoleh. Dengan diketahuinya pengaruh proses pemasakan terhadap kandungan mineral kalakai akan memberikan informasi mengenai pemilihan cara pemasakan yang paling efektif dan berguna bagi masyarakat.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kandungan mineral pada tumbuhan kalakai yang tumbuh di lahan gambut dengan jenis tanah berbedabeda, serta pengaruh proses pengolahan terhadap kandungan mineral tersebut.
C. Manfaat Penelitian Manfaat
penelitian
ini
adalah diketahuinya
pengaruh
metode
pemasakan tradisional pada kalakai yang tumbuh pada jenis tanah yang berbeda terhadap kandungan mineral kalakai. Dengan demikian dapat dipilih metode dan kalakai terbaik yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian, khususnya pada masyarakat lokal yang mengkonsumsi kalakai di Kalimantan Tengah.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kalakai (Stenochlaena palustris) Nama umum kalakai adalah Paku Udang, Pakis Udang, dan Paku Hurang (Anonim, 2008a). Kalakai memiliki pucuk daun yang terbuka atau mengembang dan biasa digunakan secara tradisional sebagai sayuran. Daun yang permukaannya sempit memiliki spora yang biasanya tidak dimakan. Warna ujung daunnya pun berbeda, yaitu berwarna hijau terang, hijau gelap, hingga merah. Daun yang subur dan berwarna merah diproduksi sebagai respon dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti musim kemarau (Anonim, 2008b). Taksonomi dari tumbuhan ini adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Pteridophyta
Kelas
: Polypodiidae
Ordo
: Polypodiidae
Famili
: Blechnaceae (C. Presl) Copel.
Genus
: Stenochlaena J.Sm.
Spesies
: Stenochlaena palustris (Burm.f.) Bedd
Sumber : Anonim (2008b)
Pucuk daun
Gambar 1 Kalakai (Stenochlaena palustris)
5
Kalakai (Stenochlaena palustris) merupakan sejenis tanaman pakupakuan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat lokal di Kalimantan Tengah. Secara tradisional kalakai dikenal sebagai bahan pangan pernting bagi ibu menyusui atau paska melahirkan. Kalakai yang dapat dikonsumsi terditi dari dua jenis yaitu kalakai putih dan kalakai merah. Kalakai merah adalah kalakai hijau dengan warna kemerahan, sedangkan kalakai putih adalah kalakai hijau dengan warna pucat (Irawan et al., 2006). Kalakai memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sayuran lokal lain yang biasa dikonsumsi di Palangkaraya. Berdasarkan hasil penelitian et al. (2006), kalakai memiliki kandungan beta karoten dan asam folat yang cukup tinggi, berturut-turut yaitu 154.1 ppm dan 11.3 ppm. Selain itu, kalakai juga memiliki kandungan mineral yang lebih tinggi dari pada sayuran lain di Palangkaraya (Tabel 1).
Tabel 1 Kadar mineral beberapa sayuran lokal di Palangkaraya Sayuran
Kadar Mineral (ppm bb*) Ca Fe Zn Cu 150 26 2.6 1 Kalakai 263 25 0.6 0.7 Bajey 250 22 0.5 0.4 Senggau 24 9.5 2.2 Pucuk Rotan 756 23 23 td td Sulur Keladi Sumber : Meiri D. (2005) Keterangan : *) ppm basis basah
Kandungan mineral yang cukup tinggi pada kalakai dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada kandungan mineral kalakai (Tabel 2).
Tabel 2 Kadar mineral kalakai dari berbagai sumber Sayuran Kalakai 1 Kalakai 2 Kalakai 3
Kadar Air (g/100g BB) 89.00 89.08 -
Kadar Abu (g/100g BB) 1.30 1.19 -
Kadar Mineral (ppm bb*) Ca Fe Zn Cu Al 150 26 2.6 3300 265 9.5
1 5.0
Sumber : 1 : Meiri D. (2005); 2 : Irawan et al. (2006); 3 : Mulyanto et al. (1998) Keterangan : *) ppm basis basah
257.3
6
B. Lahan Gambut Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari pelapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung sifat dari bahan alami yang terdiri atas sifat fisik, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, salah satunya adalah mengenai kapasitasnya sebagai media tumbuh (Deptan, 2009). Penipisan lahan gambut menyebabkan munculnya lapisan tanah mineral di bawah lapisan gambut ke permukaan. Lapisan tanah mineral ini dapat berasal dari sedimen payau, pasir kuarsa, dan sedimen sungai. Sedimen tersebut
memiliki
unsur
hara
yang
berbeda-beda
sehingga
akan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Suryadiputra et al., 2005)
C. Mineral Semua makhluk hidup membutuhkan zat gizi makro dan mikro. Zat gizi makro terdiri dari karbohidrat, lemak, dan protein. Sedangkan zat gizi mikrro terdiri dari mineral dan vitamin. Berdasarkan peranannya dalam fungsi biologis, mineral terbagi menjadi mineral esensial dan non esensial (Belitz dan Groch, 1999). Mineral esensial merupakan mineral yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan. reproduksi dan kesehatan sepanjang siklus hidup. ketika seluruh nutrien terpenuhi secara optimal (O’Dell dan Sunde, 1997). Mineral terbagi menjadi dua kategori utama yaitu mineral makro dan mineral mikro. Kebutuhan mineral makro yang diperlukan adalah dalam gram per kilo gram diet (g/kg diet), sementara mineral mikro diperlukan dalam mili gram per kilo gram diet (mg/kg diet) bahkan mikrogram per kilo gram diet (µg/kg diet) (O’Dell dan Sunde, 1997). Mineral tidak seperti asam amino ataupun vitamin, yaitu tidak dapat hancur akibat terpapar panas, agen pengoksidasi, pH yang ekstrim, dan
7
faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi nutrisi organik. Mineral bersifat indestructible (Fennema 1996).
Tabel 3 Batas asupan mineral per hari beberapa mineral Mineral
Batas Asupan Harian (mg / hari)
Essensial Fe
15
Zn
6-22
Cu
3.2
Mn
2-9
Sn
4.0
Mo
0.3
Non-Esensial Al
5-35
Br
7.5
Li
2.0
Sumber : Belitz dan Grosch (1999)
1.
Magnesium (Mg) Magnesium (Mg) adalah komponen esensial dari klorofil dan juga berasosiasi dengan banyak protein tumbuhan. Ion magnesium merupakan aktivator alami dari sejumlah enzim yang berperan sebagai substrat dalam fosforilasi (Sutcliffe dan Baker, 1975). Mg diperlukan sebagai pembawa fosfor ke tanaman, sehingga kenaikan kandungan magnesium dalam daun akan diikuti dengan kenaikan kandungan fosfor (Indrarjo, 1986). Gejala defisiensi magnesium adalah klorosis yang diikuti dengan akumulasi pigmen antosianin dan nekrosis. Selain itu juga dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan, kematian premature dari daun, dan dapat menghambat pembuahan (Sutcliffe dan Baker, 1975). Pada tubuh manusia, Mg berperan penting pada fungi syaraf dan hati, serta aktivator banyak enzim. Di samping itu, ion Mg berikat dengan
8
ATP (Adenosin Trifosfat) untuk membentuk ATP aktif. Magnesium berperan dalam metabolisme K dan Ca, jadi kecukupan Mg akan berpengaruh terhadap kesehatan tulang. Secara normal, jumlah magnesium yang dapat diserap tubuh dari bahan pangan adalah sekitar 30% sampai dengan 40%. Namun pada kondisi asupan yang rendah. daya absorpsinya dapat meningkat hingga 80%. Keracunan Mg dapat dilihat dari adanya kegagalan ginjal karena ginjal merupakan organ utama yang mengatur Mg darah. Tingginya kandungan magnesium di dalam darah dapat menyebabkan mudah lelah. Recommended Daily Allowance (RDA) untuk wanita dewasa adalah 320 mg per hari, sedangkan untuk laki-laki dewasa adalah 420 mg per hari. Daily Value yang digunakan pada pelabelan pangan adalah 400 mg (Mardlaw, 1999).
2.
Kalsium (Ca) Kalsium (Ca) merupakan salah satu mineral penting dalam tumbuhan. Ca bersaing dengan mineral lain untuk memasuki tanaman. Apabila unsur hara berada pada jumlah yang lebih rendah dari pada yang lain, maka unsur yang kadarnya lebih rendah sukar diserap (Leiwakabessy et al., 2002). Kehadiran sejumlah besar garam Ca tak larut dari asam organik, seperti asam oksalat, pada banyak tumbuhan diduga memiliki banyak peranan dalam mengatur keasaman sel (Sutcliffe dan Baker, 1975). Umumnya tanah bersifat masam memiliki kandungan kalsium yang rendah. Kalsium ditambahkan untuk meningkatkan pH tanah. Sebagian besar Ca berada pada kompleks serapan dan mudah dipertukarkan. Pada keadaan tersebut Ca mudah tersedia bagi tumbuhan (Soepardi, 1983). Ca merupakan salah satu makro mineral penting bagi tubuh manusia. Fungsi kalsium adalah untuk kekuatan tulang dan gigi, membantu pembekuan darah, transmisi impulse syaraf, kontraksi otot, dan membantu regulasi sel. Absorpsi kalsium dapat berkurang akibat adanya asam oksalat yang biasanya terdapat pada kembang kol, bayam, dan sayuran lain.
9
Recommended Daily Allowance untuk Ca adalah 800 mg per hari (Mardlaw, 1999).
3.
Besi (Fe) Besi merupakan mineral penting bagi tumbuhan. Besi berperan dalam
sintesis
klorofil.
Kekurangan
atau
defisiensi
besi
dapat
menyebabkan klorosis pada daun, khususnya daun muda. Hal ini disebabkan oleh pergerakan besi yang lambat menuju daun-daun tua, sedangkan kelebihan kation logam seperti mangan, tembaga, seng, dan nikel akan mengakibatkan hal serupa seperti pada kondisi kekurangan besi. Hal ini terjadi akibat adanya kompetisi sisi akseptor besi di dalam tumbuhan (Sutcliffe dan Baker, 1975). Besi merupakan mikromineral karena diperlukan dalam jumlah sedikit (Harper et al., 1985). Sekitar 15 % besi disimpan di dalam tubuh dan baru dimobilisasikan ketika asupan harian tidak mencukupi (Aberoumand dan Deokule 2008 di dalam Borah 2008). Recommended Daily Allowance (RDA) untuk besi pada orang dewasa wanita adalah 10 mg per hari. sedangkan untuk orang dewasa laki-laki adalah 15 mg per hari. Sumber bahan pangan yang kaya akan zat besi diantaranya daging merah, daging babi, hati, enrich grain, sereal, dan tiram. (Mardlaw, 1999). Tingkat absorpsi manusia terhadap besi dari asupan bahan pangan memiliki nilai yang berbeda-beda. Absorpsi besi pada orang sehat berkisar antara 5-10%, sedangkan pada orang yang mengalami defisiensi zat besi tingkat absorpsinya berkisar antara 10-20% (Mardlaw, 1999). Peranan besi di dalam tubuh manusia diantaranya dalam sintesis hemoglobin dan mioglobin, mendukung sistem imun, dan metabolisme tubuh (Mardlaw, 1999). Besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin (Hb) yang berfungsi untuk mengangkut oksigen (O2) dari paru-paru dan mendistribusikannya ke sel-sel yang membutuhkan untuk selanjutnya digunakan dalam metabolisme karbohidrat. protein. dan lemak menjadi energi (ATP) (Gaman dan Sherrington, 1992). Defisiensi zat besi pada manusia dapat menyebabkan turunnya sintesis sel darah merah yang akan
10
mengakibatkan anemia. Menurut Shimson (1991), hampir dua per tiga anak-anak dan ibu-ibu di negara berkembang menderita kekurangan besi. Asupan berlebih terhadap zat besi dalam tubuh juga dapat menyebabkan toksisitas. Selain dari asupan berlebih terhadap zat besi. toksisitas besi dapat pula disebabkan oleh genetik atau turunan. Toksisitas besi yang disebabkan oleh penyakit genetik atau turunan biasa disebut juga hemocromatosis. Penyakit ini dapat menyebabkan over absorption sehingga menimbulkan kerusakan hati dan jantung.
4.
Seng (Zn) Zn diabsorpsi oleh partikel tanah liat atau membentuk kompleks dengan materi organik. Mineral ini diserap cepat dalam bentuk ion bivalen (Zn2+). Seperti tembaga, ketersediaan Zn menurun seiring meningkatnya pH, dan dengan peningkatan fosfat (Sutcliffe dan Baker, 1975). Asupan Zn cukup penting untuk mendukung fungsi tubuh manusia. seperti pada sintesis asam nukleat, metabolisme protein, penyembuh luka, fungsi perkembangan imun, perkembangan organ seksual, struktur dan fungsi membran sel, komponen dari superoksida dismutase (SOD) dan tulang, serta mengatur pelepasan dan fungsi insulin (Mardlaw, 1999). Defisiensi Zn di negara berkembang merupakan hal yang perlu diperhatikan karena hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan Zn tidak hanya berkontribusi pada penurunan pertumbuhan tetapi juga meningkatkan keabnormalan. Asupan Zn yang cukup dapat menurunkan penyakit diare yang menjadi penyebab penting kematian di negara berkembang. Recommended Daily Allowance (RDA) Zn untuk wanita dewasa adalah 12 mg per hari, sedangkan untuk laki-laki dewasa adalah 15 mg per hari (Mardlaw, 1999). Zn dapat menimbulkan toksisitas bila jumlah dalam tubuh ± 1000 ppm (NRC, 1980).
11
5.
Mangan (Mn) Mn merupakan mineral esensial bagi tubuh manusia. Manusia jarang mengalami defisiensi mineral ini. Fungsi penting Mn adalah sebagai kofaktor enzim piruvat karboksilase dan superoksida dismutase. Bahan pengan sumber mangan antara lain biji-bijian, buah, dan sayuran. Asupan kebutuhan Mn yang diperlukan tubuh yaitu 2-9 mg per hari.
6.
Tembaga (Cu) Kandungan Cu dalam tanaman tergantung dari jenis tanah tumbuh, spesies tanaman, umur, pemeliharaan tanaman, iklim, dan derajat keasaman dari tanah. Tanah bersifat asam akan meningkatkan kelarutan sehingga ketersediaan logam berat di dalam tanah dapat berlebih (Darmono, 2001). Konsentrasi tembaga pada tumbuhan menurun bersamaan dengan semakin tua umur tumbuhan dan akan rendah kadarnya pada tanah yang bersifat basa (Mc Dowell, 1985). Cu merupakan trace element. Beberapa peranan Cu antara lain, Cu menjadi bagian dari beberapa enzim, memiliki kontribusi dalam aktivitas beberapa enzim, dan membantu metabolisme besi. Sekitar 55-57% tembaga dapat diserap tubuh. Cu merupakan konstituen yang harus ada dalam makanan manusia. Beberapa senyawa yang dapat terganggu penyerapannya ke dalam tubuh akibat keberadaan tembaga antara lain fitat, asam amino tertentu, vitamin C, serat, Zn, dan Fe (Mc Dowell, 1985).
7.
Aluminium (Al) Alumunium (Al) merupakan salah satu unsur mikro mineral non esensial pada manusia. Sekitar 50-150 mg Al terkandung dalam tubuh manusia. Kandungan tertinggi Al dalam tubuh manusia ditemukan pada tubuh orang yang lebih tua. Rata-rata asupan harian alumunium adalah 10-20 mg. Alumunium diserap kembali oleh usus dalam jumlah yang sangat sedikit (dapat diabaikan). Ekskresi alumunium melalui urin kurang dari 0.1 mg per hari. Beberapa penelitian menujukkan bahwa secara pathology alumunium
12
dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada sel pada system syaraf pusat (Belitz dan Grosch, 1999). Berdasarkan Gupta et al. (2005), disebutkan bahwa Al dapat berperan terhadap neurotoxic effect. Pertumbuhan yang buruk pada tanaman sering diasosiasikan dengan keracunan alumunium. Hal ini disebabkan karena pada tanah masam ion alumunium meningkat sehingga mencapai pada taraf yang meracuni tanaman.
Keracunan alumunium
menyebabkan
pertumbuhan akar
terhambat sehingga penyerapan air dan unsur hara berkurang (Kamprath, 1970). Pada tanah masam persaingan mineral lain dengan alumunium perlu diperhitungkan (Havlin et al. 1997 diacu dalam Made 2005). Menurut Soepardi
(1979),
alumunium
yang
tinggi
pada
tanah
masam
menyebabakan ketersediaan unsur hara mikro lain seperti besi, mangan, seng, copper, dan boron juga meningkat sehingga dapat meracuni tanaman, sedangkan ketersediaan molibdenum menurun sehingga mengalami defisiensi. Selain itu. menurut Sutcliffe dan Baker (1975), kelebihan produksi alumunium akan memiliki gejala yang sama dengan defisiensi fosfat karena hal tersebut menyebabkan presipitasi fosfat seperti alumunium fosfat tidak larut di dalam tanah dan jaringan akar. Foy (1974) di dalam Sanchez (1976) menunjukkan bahwa alumunium cenderung ditimbun di akar dan kemudian merintangi penyerapan serta pengangkutan kalsium dan fosfat ke bagian akar tanaman. Sanchez (1976) melaporkan bahwa serapan magnesium berkurang jika pH kurang dari 4.8. Hal ini menunjukkan adanya antagonisme alumunium dengan pengambilan magnesium. Dalam pangan, aluminium merupakan trace element non esensial. Selain itu fungsinya dalam tubuh juga belum banyak diketahui. Konsumsi bahan pangan yang mengandung Al berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Menurut Gupta et al. (2005), Al dapat berkontribusi terhadap neurotoxic effect.
13
D. Analisis Mineral dengan AAS (Atomic Absorption Spectrometry) Salah satu alat yang dewasa ini digunakan untuk mengukur mineral adalah Atomic Absorption Spectrometry (AAS). AAS telah digunakan untuk mengukur sekitar 70 macam mineral karena kemampuannya mengukur kandungan mineral dengan baik. Komponen penting yang terdapat pada AAS terdiri dari sumber radiasi, atomizer, serta sistem optik dan pengukuran. Sumber radiasi pada AAS harus stabil dan konsisten, memberikan intensitas yang cukup dalam area spektrum yang cocok dengan tingkat gangguan serendah mungkin, serta tahan lama. Lampu yang biasa digunakan karena memenuhi karakteristik tersebut adalah lampu hallow cathode. Lampu hallow cathode terdiri dari hallow cathode dan anoda yang mengandung gas murni seperti argon atau neon. Selain itu sering juga digunakan discharge lamps dan electrodeless discharge lamps (Van Loon, 1980). Atomizer merupakan komponen dasar AAS yang bertujuan untuk menghasilkan sebanyak mungkin sampel yang teratomisasi dengan tingkat propagasi yang sangat rendah. Flames merupakan sumber atomisasi yang paling popular. Tipe flame yang digunakan diantaranya udara-asetilen dan N2O-asetilen (Van Loon, 1980).
E. Proses pemasakan Kalakai merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Kalimantan terutama oleh suku Dayak. Pengaruh pengolahan akan mempengaruhi kandungan nutrisi yang terdapat pada kalakai. Daya larut mineral serta perlakuan pemanasan saat pengolahan dapat mempengaruhi jumlahnya pada saat dikonsumsi. Beberapa proses pemasakan kalakai yang biasa dilakukan oleh masyarakat Dayak adalah penumisan dan perebusan. Perebusan merupakan proses pemasakan dengan menggunakan air mendidih pada suhu sekitar 100oC dengan menggunakan air sebagai media penghantar panas. Penumisan merupakan proses pemasakan dengan menggunakan minyak. Cara pemasakan lain yang juga umum digunakan
14
adalah pengukusan. Pengukusan merupakan proses pemasakan dengan medium uap air (Williams, 1979). Proses pemasakan pada sayuran dimaksudkan agar sayuran lebih mudah dicerna, meningkatkan dan mengubah cita rasa, membunuh mikroorganisme patogen serta menghilangkan zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan. Namun, proses pemasakan juga dapat berefek merugikan karena dapat menghilangkan daya guna zat gizi. Menurut Belitz dan Grosch (1999), selama proses pemasakan terdapat ion logam yang diperoleh dari bahan pangan itu sendiri atau akibat pengolahan pangan yang mempengaruhi kualitas dan penampakan visual bahan pangan.
III.
METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2010 di Kalimantan Tengah dan Bogor, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan di lima lokasi di kota Palangkaraya dan sekitarnya. Laboratorium yang digunakan terdiri atas Laboratorium Budidaya Pertanian (Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya), Laboratorium ITP (Fakultas Teknologi Pertanian, IPB), dan Laboratorium AAS (Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB). Khusus untuk analisis kandungan mineral aluminum dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor.
B. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kalakai yang tumbuh pada tanah bergambut di kota Palangkaraya dan Tangkiling kecamatan Bukit Batu kotamadya Palangkaraya, kalakai yang tumbuh pada tanah sulfat masam di Anjir kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah, kalakai yang tumbuh di tanah pasir kuarsa Kalampangan kabupaten Sebangau, dan kalakai yang tumbuh di tanah aluvial di Jabiren kabupaten Pulang Pisau. Kelima kalakai tersebut diambil pada bulan Januari dan Februari. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah HNO3, HCl, air demineralisasi, lanthanum klorida, dan HClO4. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah perlengkapan memasak, Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) Perkin Elmer 1100B, oven biasa, tanur listrik, desikator, neraca analitik, gegep, soxhlet, hot plate, gelas beaker, gelas pengaduk, corong kaca, erlenmeyer, gelas piala, cawan aluminium, dan cawan porselen.
C. Metode Penelitian Penelitian ini terbagi menjadi dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.
16
1.
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk menentukan jenis tanah dan lokasi tempat tumbuh kalakai di kota Palangkaraya dan sekitarnya. Jenis tanah dan lokasi terpilih diperoleh melalui informasi dari data sekunder dan wawancara dengan beberapa masyarakat di Palangkaraya.
2.
Penelitian Utama Hasil penelitian pendahuluan diperoleh lima jenis tanah yang ditumbuhi kalakai maka pada penelitian utama dilakukan pengambilan sampel di lima lokasi tersebut. Bagian kalakai yang diambil pada saat sampling adalah pucuk daun kalakai (15 -20 cm dari ujung tangkai daun), dapat dilihat pada Gambar 1. Kalakai yang diperoleh diukur kadar airnya di laboratorium Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya dan diberi perlakuan pemasakan. Perlakuan pemasakan yang diterapkan terdiri dari empat macam, yaitu rebus, tumis, kukus, dan tanpa perlakuan (segar). Pemilihan cara pemasakan ini berdasarkan metode yang biasa dilakukan oleh masyarakat (Tabel 4).
Tabel 4 Cara Pemasakan Kalakai Cara Rebus
Keterangan Kalakai yang telah dicuci kemudian direbus dengan air mendidih selama 2 menit. Perbandingan kalakai dan air rebusan adalah 1:5. Setelah itu kalakai ditiriskan selama 5 menit. Sisa air rebusan (kuah) kalakai disimpan sebagian (sekitar 50 ml) di dalam botol gelap untuk dianalisis kandungan mineral yang terlarut di dalamnya.
Kukus
Kalakai yang telah dicuci kemudian dikukus selama 5 menit. Setelah itu kalakai ditiriskan selama 5 menit.
Tumis
Kalakai yang telah dicuci, kemudian ditumis selama 2 menit menggunakan minyak kelapa sawit (merek Bimoli) yang telah dipanaskan. Perbandingan kalakai dengan minyak adalah 6 : 1. Setelah itu kalakai ditiriskan selama 5 menit.
Segar
Kalakai dicuci menggunakan air keran lalu ditiriskan.
17
Setelah dimasak kalakai tersebut dikeringkan menggunakan oven 70oC (Karim et al., 2007), selama 48 jam hingga kering di laboratorium Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya. Setelah kering, kalakai dihaluskan menggunakan blender kering sehingga diperoleh tepung kalakai. Tepung kalakai diayak menggunakan ayakan 40 mess untuk menyamakan luas permukaan tepung. Setelah itu tepung disimpan dalam wadah plastik polietilen. Sampel tepung dan sisa air rebusan kemudian disimpan di dalam freezer. Seluruh sampel tepung dan air sisa rebusan yang telah siap untuk dianalisis dikirim ke kampus IPB Darmaga. Pengukuran kadar air, abu, dan pembuatan larutan mineral dilakukan di Laboratorium ITP, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, sedangkan pengukuran kadar mineral dengan AAS dilakukan di Laboratorium AAS, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.
a) Analisis Kadar Air (AOAC, 1995) Sebanyak 2 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya, kemudian dikeringkan ke dalam oven 105oC selama 5 jam, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air (% Basis basah) :
𝑥−(𝑦−𝑧) 𝑥
x 100%
Keterangan : x : Bobot awal sampel y : Bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan z : Bobot cawan kosong
b) Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2-5 gram sampel ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan dan isinya diarangkan diatas hotplate selama 30 menit sampai tidak berasap, kemudian sampel diabukan di dalam tanur bersuhu 550oC selama 24 jam.
18
Setelah diabukan cawan berisikan abu sampel disimpan di dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu (% Basis basah) :
𝑦 −𝑧 𝑥
x 100%
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 𝐵𝐵
Kadar abu (% Basis kering) : (1−𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟
𝑎𝑖𝑟 𝐵𝐵 )
x 100%
Keterangan : x : Bobot awal sampel y : Bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan z : Bobot cawan kosong
c)
Analisis Mineral dengan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) (AOAC, 1995) Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 150 ml. Tambahkan 10 ml HNO3 dan aduk secara merata. Tambahkan 3 ml HClO4 60%, lalu panaskan di atas hot plate. Panaskan hingga HNO3 hampir semuanya terevaporasi. Pemanasan terus dilanjutkan hingga terbentuk asap putih. Setelah asap putih muncul sampel didiamkan sejenak hingga sampel tidak panas. Setelah itu tambahkan 10 ml larutan HCl yang ditambahkan air demineral dengan perbandingan 1 : 1. Larutan tersebut ditransfer secara kuantitatif ke dalam labu takar 50 ml, lalu ditera dengan air deionisasi. Pada analisis mineral Ca dan Mg, ditambahkan 5 ml larutan lanthanum klorida 10% ke dalam labu takar 50 ml. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir gangguan ion fosfat pada saat pengukuran. Larutan mineral yang telah dibuat melalui pengabuan basah siap untuk dianalisis menggunakan AAS. Setiap larutan diencerkan hingga kadarnya sesuai dengan kurva standar (Lampiran 1). Setelah itu sampel langsung diinjeksikan ke dalam alat AAS. Kandungan mineral pada larutan sampel akan dihitung pada panjang gelombang yang berbeda tergantung pada jenis mineral yang akan dianalisis. Pengukuran kadar besi, magnesium, kalsium, tembaga, mangan, seng, dan aluminium menggunakan panjang gelombang berturut-
19
turut 284.3 nm, 285.3 nm, 422.7 nm, 324.7 nm, 279.5 nm, 213.9 nm, dan 309.3 nm.
D. Analisis Statistik Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Data hasil pengamatan diolah dengan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Beda Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Data diolah dengan program SPSS untuk mengetahui pengaruh pengaruh ke-i dan kelompok ke-j terhadap kadar air dan kadar abu (mineral total) kalakai pada tingkat kepercayaan 95 %. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + τi + βj + ɛij Dimana : Yij
: Nilai pengamatan
µ
: Nilai tengah umum
τi
: Pengaruh perlakuan ke-i (i = 1,2,3, dan 4)
βj
: Pengaruh kelompok ke-j (j = 1,2,3,4, dan 5)
ɛij
: Galat percobaan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
Kelompok ke-j terdiri dari : 1
: Kalakai dari tanah bergambut 1
2
: Kalakai dari tanah bergambut 2
3
: Kalakai dari tanah sulfat masam
4
: Kalakai dari tanah pasir kuarsa
5
: Kalakai dari tanah aluvial
Perlakuan ke-i terdiri dari : 1
: Tanpa perlakuan pemasakan (segar)
2
: Rebus
3
: Kukus
4
: Tumis
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan Jenis Tanah dan Lokasi Pengambilan Sampel Kalakai Hasil observasi menunjukkan adanya beberapa perbedaan jenis tanah yang ditumbuhi kalakai. Jenis tanah yang berbeda muncul akibat terjadinya perubahan kondisi lahan gambut di Kalimantan Tengah. Tanah bergambut, tanah sulfat masam, tanah pasir kuarsa, dan tanah aluvial adalah empat jenis tanah yang ditetapkan sebagai jenis tanah tempat tumbuh kalakai. Penetapan keempat jenis tanah tempat tumbuh kalakai didasarkan oleh kemudahannya untuk ditemukan dan cukup banyak kalakai yang tumbuh pada tanah tersebut. Sehingga, kalakai dari keempat tanah tersebut digunakan dalam penelitian ini. Keempat jenis tanah tersebut memiliki karakteristik fisik, kimia, dan biologi yang berbeda, sehingga menarik untuk diteliti lebih lanjut pada pengaruhnya terhadap sayuran yang tumbuh di atasnya. Kelima lokasi tempat pengambilan sampel kalakai dari empat jenis tanah ditunjukkan oleh Gambar 2. Kota Palangkaraya untuk kalakai dari tanah bergambut 1, Tangkiling kotamadaya Palangkaraya untuk kalakai dari tanah bergambut 2, Kalampangan kabupaten Sebangau untuk kalakai dari tanah pasir kuarsa, Anjir kabupaten Pulang Pisau untuk kalakai dari tanah sulfat masam, dan Jabiren kabupaten Pulang Pisau untuk kalakai dari tanah aluvial. Pengambilan sampel dilakukan dua kali yaitu pada bulan Januari dan Februari 2010. Kalakai dari berbagai jenis tanah menunjukkan adanya perbedaan warna pucuk daun. Sampel pucuk daun kalakai yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 3. Pada tanah bergambut, pucuk daun kalakai yang umum ditemukan adalah berwarna merah. Pada tanah pasir kuarsa dan sulfat masam pucuk daun kalakai yang umum ditemukan adalah berwarna hijau, sedangkan pada tanah mineral penyebaran warna cukup sama antara warna merah dan hijau.
21
Tanah Bergambut 1 (Kota Palangkaraya)
Tanah Bergambut 2 (Tangkiling kotamadya Palangkaraya)
Tanah Sulfat Masam (Anjir kabupaten Pulang pisau KM 92)
Tanah Pasir Kuarsa (Kalampangan kabupaten Sebangau)
Tanah Aluvial (Jabiren kabupaten Pulang Pisau)
Gambar 2 Lokasi pengambilan kalakai dari berbagai jenis tanah
22
Kalakai yang tumbuh di tanah bergambut 1
Kalakai yang tunbuh di tanah bergambut 2
Kalakai yang tumbuh di tanah sulfat masam
Kalakai yang tumbuh di tanah pasir kuarsa
Kalakai yang tumbuh di tanah aluvial
Gambar 3 Kalakai dari lima lokasi tanah
23
B. Kadar Air Kalakai Hasil analisis kadar air kalakai segar ditunjukkan oleh Tabel 5. Hasil analisis ragam dengan ANOVA untuk pengaruh jenis tanah tempat tumbuh kalakai terhadap kadar air kalakai menunjukkan bahwa jenis tanah tempat tumbuh kalakai tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air kalakai pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 4).
Tabel 5 Data kadar air kalakai (% basis basah) Jenis tanah tempat tumbuh kalakai Bergambut 1 Bergambut 2 Sulfat masam Pasir Kuarsa Aluvial
Kadar air kalakai (%) 90.70 89.11 89.97 88.98 90.05
C. Kadar Abu Kalakai Kadar abu kalakai yang diperoleh pada penelitian ini tampak pada Tabel 6. Kadar abu kalakai segar yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 0.81% hingga 1.01 %. Hasil tersebut sedikit lebih rendah dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meiri (2005) dan Irawan et al. (2006) mengenai kandungan gizi pada beberapa sayuran lokal di Palangkaraya. Kadar abu pada kalakai menurut Meiri (2005) adalah 1.30% berat basah dan pada penelitian Irawan et al. (2006), sebesar 1.19% berat basah. Perbedaan ini diduga karena perbedaan kondisi lahan tempat tumbuh sampel kalakai yang digunakan pada saat penelitian. Menurut Kawashima et al. (2003), perbedaan jenis tanah merupakan salah satu penyebab berbedanya nilai nutrisi pada sayuran. 1.
Kadar Abu Berdasarkan Jenis Tanah Tempat Tumbuh Kalakai Kadar abu pada kalakai segar tertinggi terdapat pada kalakai yang berasal dari tanah bergambut 1 yaitu 9.26% basis kering, diikuti dengan kalakai yang berasal dari tanah bergambut 2 sebesar 9.25%, sulfat masam yaitu sebesar 9.21%, kalakai segar dari tanah pasir kuarsa sebesar 8.35%, dan kalakai segar dari tanah mineral sebesar 8.12% (Tabel 6).
24
Tabel 6 Data kadar abu kalakai (% basis kering) Sayuran Kalakai dari tanah bergambut 1
Kalakai dari tanah bergambut 2
Kalakai dari tanah sulfat masam
Kalakai dari tanah pasir Kuarsa
Kalakai dari tanah aluvial
Perlakuan Segara Rebusb Kukusc Tumisd Segara Rebusb Kukusc Tumisd Segara Rebusb Kukusc Tumisd Segara Rebusb Kukusc Tumisd Segara Rebusb Kukusc Tumisd
Kadar Abu % BK %BB 9.26 0.86 5.37 0.50 7.96 0.74 6.36 0.59 9.25 1.01 4.99 0.54 7.88 0.86 6.47 0.70 9.21 0.92 4.74 0.48 8.37 0.84 5.93 0.60 8.35 0.92 4.59 0.51 7.39 0.81 6.18 0.68 8.12 0.81 4.67 0.46 7.62 0.76 5.78 0.58
Keterangan : *) tiap sampel yang memiliki huruf yang sama pada perlakuan pemasakan menunjukkan bahwa kadar abu sampel pada berbagai perlakuan pemasakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Hasil uji lanjut Duncan pada pengaruh jenis tanah tempat tumbuh kalakai terhadap kadar abu sampel segar menunjukkan bahwa kadar abu pada kalakai dari tanah bergambut 1, gambut bergambut 2 dan sulfat masam tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 5). Sampel tersebut berbeda nyata terhadap kadar abu dengan sampel dari tanah pasir kuarsa dan tanah aluvial. Tanah gambut memiliki tingkat kesuburan yang beragam (Noor, 2001). Pada penelitian ini tanah bergambut 1 merupakan gambut yang telah mengalami penipisan. Kadar abu yang tinggi pada tanah bergambut 2 diduga disebabkan oleh bertambahnya kandungan mineral di tanah akibat terjadinya kebakaran. Berdasarkan
hasil penelitian Iswanto (2005)
mengenai perubahan fisik dan kimia tanah gambut setelah terbakar
25
mengalami peningkatan fosfor, kalsium, magnesium, natrium, kapasitas tukar kation, dan kadar pH. Baehaqi (2008) juga melaporkan bahwa tanah gambut yang tidak pernah terbakar dan pernah terbakar memiliki karakteristik kimia dan fisik yang berbeda. Kadar abu yang tinggi pada tanah sulfat masam disebabkan oleh kondisi keasaman tanah yang cukup tinggi. Menurut Hardjowigeno (2003), pada tanah yang masam, unsurunsur mikro menjadi mudah larut, sehingga ditemukan jumlah unsur mikro yang banyak.
2.
Kadar Abu Berdasarkan Jenis Pemasakan Kalakai Abu merupakan komponen anorganik, yang tidak hilang selama pemanasan pada suhu tinggi. Oleh karena itu, seringkali kadar abu disebutkan sebagai total mineral. Kadar abu kalakai pada berbagai jenis perlakuan pemasakan ditunjukkan oleh Tabel 6. Kalakai segar memiliki kadar abu tertinggi, diikuti dengan kalakai yang dikukus, ditumis, dan direbus. Hal ini berlaku pada semua kalakai dari lima jenis tanah yang berbeda. Hasil uji Duncan terhadap kadar abu (total mineral) kalakai pada masing-masing perlakuan pemasakan terdapat pada Lampiran 6. Pada kalakai dari tanah bergambut 1, tiap perlakuan pemasakan memiliki kadar abu yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Hal ini berlaku juga pada seluruh kalakai dari empat jenis tanah lainnya. Proses perebusan menyebabkan mineral terlarut bersama air rebusan, sehingga tampak bahwa kalakai dengan proses perebusan memiliki kadar abu yang terendah. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa sebanyak 42-48% mineral hilang akibat perebusan. Menurut Boskow dan Elmadfa (1999), terjadi perubahan yang besar terhadap kandungan mineral selama proses pemasakan, misalnya saja proses perebusan yang menyebabkan larutnya mineral ke dalam air. Proses penumisan mengakibatkan menurunnya kandungan abu kalakai sebanyak 25-31%. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan kehilangan akibat perebusan. Hal ini diduga karena suhu penumisan tidak
26
cukup tinggi untuk menguapkan mineral. Menurut Maroulis dan Saravacos (2002), suhu penumisan bahan pangan adalah 160-180oC. Suhu ini tidak cukup tinggi untuk menguapkan mineral. Mineral dapat menguap pada suhu yang lebih tinggi. Thiers (1957) dalam Pomeranz (1994), menyebutkan bahwa mineral Fe baru dapat menguap dalam bentuk feri klorida (FeCl2) pada suhu 450oC. Selain itu, Apriyantono et al. (1989) juga menyebutkan bahwa Zn dapat menguap pada suhu 450oC. Proses pengukusan tidak menurunkan jumlah mineral sebanyak dua perlakuan lainnya. Hanya 6-14% mineral yang hilang selama proses pengukusan. Hal ini diduga akibat tidak banyak mineral yang terlarutkan bersama uap air.
D. Kandungan Mineral Kalakai Pembahasan kadar mineral yang terkandung pada kalakai dibagi dalam dua bagian, yaitu kandungan mineral kalakai berdasarkan jenis tanah tempat tumbuh kalakai dan kandungan mineral kalakai berdasarkan jenis pemasakan.
1.
Kandungan Mineral Berdasarkan Jenis Tanah Tempat Tumbuh Kalakai Kalakai yang diteliti pada penelitian ini berasal dari empat jenis tanah yang berbeda yaitu tanah bergambut, tanah sulfat masam, tanah pasir kuarsa, dan tanah aluvial. Data pada Tabel 7 menunjukkan kadar makro mineral dan Tabel 8 menunjukkan kadar mikro mineral kalakai dari keempat jenis tanah pada perlakuan segar yang diambil pada bulan Januari dan Februari. Data mineral yang terdapat pada Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan nilai yang berbeda antara kadar mineral di bulan Januari dan bulan Februari. Kandungan mineral Mg, Ca, Fe, Zn, Mn, dan Al pada bulan Februari lebih rendah dari pada bulan Januari, sedangkan kandungan mineral Cu lebih tinggi pada bulan Februari. Penyebab lebih tingginya Cu di bulan Februari tidak diketahui dengan pasti. Perbedaan kandungan
27
mineral kalakai yang diambil pada bulan Januari dan Februari ini diduga akibat perbedaan cuaca yang sedang terjadi pada saat pengambilan sampel.
Tabel 7 Kadar makro mineral kalakai perlakuan segar Sayuran Kalakai Bergambut 1 Kalakai Bergambut 2 Kalakai Sulfat masam Kalakai Pasir Kuarsa Kalakai Aluvial
Bulan Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb
Kadar mineral (ppm basis kering) Mg Ca 5160 4247 1420 3073 5022 6399 1132 1516 6087 5325 1405 1923 4598 6299 1367 2418 5289 4237 1408 1229
Tabel 8 Kadar mikro mineral kalakai perlakuan segar Sayuran Kalakai Bergambut 1 Kalakai Bergambut 2 Kalakai Sulfat masam Kalakai Pasir Kuarsa Kalakai Aluvial
Bulan Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb
Kadar mineral (ppm basis kering) Fe Zn Mn Cu Al 161.1 134.6 158.0 18.3 50.5 82.6 87.3 79.3 25.6 20.5 117.2 127.1 128.3 4.5 43.6 79.4 83.7 79.7 10.7 26.5 336.4 89.7 173.9 21.5 56.9 96.8 87.2 75.6 22.0 76.4 130.9 109.9 113.9 22.7 58.1 65.0 86.8 65.9 25.1 31.6 130.5 112.3 100.8 26.2 5.3 52.0 88.4 63.4 26.7 46.5
Pada pengambilan sampel di bulan Januari, lahan tampak basah akibat hujan, sedangkan pada bulan Februari hujan lebih jarang terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mitchell dan Burridge (1979) bahwa jenis tanah, faktor genetik, kondisi cuaca, penggunaan pupuk, serta waktu pemanenan akan mempengaruhi kandungan mineral yang terdapat di dalam tumbuhan.
28
a.
Tanah Bergambut Kandungan makro mineral Mg dan Ca pada kalakai dari tanah bergambut tidak terlalu berbeda dengan kalakai yang berasal dari ketiga jenis tanah lainnya (Tabel 6). Kalakai yang berasal dari tanah bergambut umumnya memiliki kandungan mikro mineral cukup tinggi. Mikro mineral tertinggi yang ditemukan pada kalakai dari tanah bergambut adalah Zn (134.6 ppm basis kering atau 13.83 ppm basis basah), sedangkan mineral lain seperti Fe, Mn, Cu, dan Al kadarnya lebih rendah. Kandungan Zn yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari kandungan Zn pada kalakai menurut penelitian Mulyanto et al. (1995) yaitu 9.5 ppm. Perbedaan ini diduga akibat perbedaan pH tanah antara penelitian ini dengan penelitian Mulyanto et al. (1995). Pada penelitian ini pH tanah adalah 6.08, sedangkan pH tanah pada Mulyanto et al. (1995) adalah 4.31. Berdasarkan Noor (2004), defisiensi Zn terjadi pada tanah dengan pH kurang dari 6 dan tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Mineral Cu kalakai dari tanah bergambut ditemukan dalam jumlah rendah pada bulan Januari (4.5 ppm) dan bulan Februari (10.7 ppm). Hal ini diduga akibat rendahnya Cu pada tanah bergambut. Berdasarkan Aubert dan Pinta (1977), tanah yang mengalami defisiensi Cu sering terjadi pada tanah bergambut dan tanah pasir kuarsa di wilayah dengan curah hujan tinggi. Hardjowigeno (2003), juga menyebutkan bahwa ikatan antara logam dan bahan organik dapat terjadi, sehingga banyak tanah bergambut yang kekurangan ion Cu. Faktor alam juga sangat mempengaruhi unsur hara yang dapat terserap ke dalam tumbuhan. Kandungan mineral dan trace element pada tumbuhan dipengaruhi oleh kondisi tanah, penggunaan pupuk, dan tingkat kedewasaan tumbuhan pada saat panen (Hattori and Chino, 2001).
29
b. Tanah Sulfat Masam Kandungan makro mineral Mg dan Ca pada kalakai dari tanah sulfat masam tidak terlalu berbeda dengan kalakai yang berasal dari ketiga jenis tanah lainnya. Hanya saja kandungan Mg ditemukan sedikit lebih tinggi yaitu 6087 ppm jika dibandingkan dengan kalakai dari jenis tanah lain (Tabel 6). Mikro mineral tertinggi yang terdapat pada kalakai dari tanah ini adalah Fe dan Al yaitu masing-masing sebesar 336.4 ppm dan 76.4 ppm. Tingginya kandungan Fe dan Al pada tanah ini diduga akibat pH tanah tempat tumbuh kalakai yang cenderung rendah yaitu 5.5. Kandungan Fe pada kalakai yang berasal dari tanah sulfat masam paling tinggi dibandingkan dengan kalakai dari jenis tanah lain yaitu 33.64 mg/100g bk atau 3.37 mg/100g bb. Jumlah ini tidak melebihi batas asupan harian yang disarankan yaitu 15 mg per hari. Bahkan, dapat memenuhi 20% kebutuhan harian Fe. Namun jika kalakai berasal dari tanah sulfat masam dengan pH yang lebih rendah (pH < 3) maka kemungkinan terserapnya Fe ke dalam tumbuhan semakin besar. Jika Fe terserap ke dalam kalakai dalam jumlah besar maka akan berbahaya bagi yang mengkonsumsinya. Al yang diperoleh pada pada penelitian ini tidak sebesar Al yang diperoleh pada penelitian Mulyanto et al. (1995) yaitu sebesar 257.3 ppm pada kalakai yang tumbuh di tanah sulfat masam. Hal ini dikarenakan perbedaan pH tanah sulfat
masam pada saat
pengambilan sampel. Tanah sulfat masam pada penelitian Mulyanto et al. (1995) adalah 4.31, sedangkan pada penelitian ini sebesar 5.5. Menurut Noor (2001), pada tanah yang asam kelarutan mikro mineral semakin tinggi, sehingga lebih banyak yang terserap oleh tumbuhan. Menurut Soepardi (1979), alumunium yang tinggi pada tanah masam menyebabakan ketersediaan unsur hara mikro lain seperti besi, mangan, seng, copper juga meningkat sehingga dapat meracuni
30
tanaman, sedangkan ketersediaan molibdenum menurun sehingga mengalami defisiensi.
c.
Tanah Pasir Kuarsa Kandungan Mg pada kalakai dari tanah pasir kuarsa di bulan Januari memiliki jumlah yang paling rendah yaitu 4598 ppm (Tabel 6). Sedangkan kandungan Ca hampir sama dengan kalakai dari tanah bergambut yaitu 6399 ppm. Kandungan mikro mineral Fe, Zn, Mn dan Cu pun lebih rendah dari pada kalakai lain (Tabel 7). Hal ini juga terjadi pada bulan Februari. Hanya mineral Al yang ditemukan paling tinggi yaitu 58.1 ppm di bulan Januari. Namun, nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan kalakai dari tanah sulfat masam. Kandungan Fe pada kalakai dari tanah pasir kuarsa pada bulan Januari cenderung rendah yaitu 130.9 ppm dan 65 ppm pada bulan Februari. Jumlah tersebut berbeda cukup jauh jika dibandingkan dengan kandungan Fe dari tanah sulfat masam yang sangat tinggi (336.4 ppm). Berdasarkan hasil penelitian, kandungan mineral pada kalakai dari tanah pasir kuarsa cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan mineral yang terkandung pada kalakai dari tanah lainnya. Menurut Sagiman (2007), gambut di atas pasir kuarsa memiliki kesuburan yang rendah, jika lapisan gambut terkikis, menyusut, dan hilang maka akan muncul tanah pasir yang sangat miskin hara.
d. Tanah Aluvial Kadar Mn dan Al ditemukan paling rendah. Pada bulan Februari, kadar Ca mengalami penurunan, kadar Ca terendah pada kalakai dari tanah aluvial yaitu 1229 ppm. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kalakai dari tanah aluvial memiliki kandungan Ca, Fe, Mn, dan Al yang rendah.
31
Kandungan Mineral Berdasarkan Jenis Pemasakan Kalakai Proses pemasakan mempengaruhi kandungan mineral yang terdapat dalam kalakai. Dari keempat perlakuan pemasakan yang diterapkan, perlakuan pemasakan dengan cara direbus memberikan pengaruh yang paling besar. Proses perebusan paling banyak menyebabkan hilangnya mineral, diikuti oleh proses penumisan, dan pengukusan. Perebusan sayuran menyebabkan terlarutnya mineral ke dalam air. Kelarutan mineral ke dalam air rebusan pada penelitian ini cukup beragam (Gambar 4). Mineral Cu merupakan yang tertinggi kelarutannya, diikuti oleh Fe, Mn, Ca, Mg, dan Zn. Menurut Fennema (1985), kehilangan mineral akibat kontak dengan air melalui pemasakan atau blansir, harus dipertimbangkan. Misalnya saja, pada sayuran bayam kehilangan mineral Mg pada bayam yang diblansir mencapai 36%.
% mineral dalam air rebusan
2.
28.2
30.0
25.0 20.0
16.0
15.0
11.7
10.0 5.0
1.9
3.9 1.4
0.0 Mg
Ca
Fe
Zn
Mn
Cu
Mineral
Gambar 4 Grafik persentase mineral dalam air rebusan kalakai
Kehilangan mineral selama pengukusan dan penumisan tidak sebesar pada saat perebusan. Menurut Boskou dan Elmadfa (1999), penumisan menyebabkan beberapa Fe dan Cu bermigrasi ke dalam minyak goreng, serta mengkatalisasi terjadinya oksidasi pada minyak.
32
Rata-rata jumlah porsi pemasakan sayur kalakai per penyajian tidak jauh berbeda dengan pemasakan sayuran lain. Barminas et al. (1998) menyebutkan rata-rata jumlah daun sayuran yang dimasak adalah sekitar 300 gram daun segar. Maka, jumlah kalakai basis kering yang dikonsumsi sekitar 30 gram basis kering per porsi sajian.
a.
Magnesium (Mg) Kandungan Mg kalakai pada berbagai perlakuan pemasakan tampak pada Tabel 9. Seluruh sampel menunjukkan penurunan kadar
Mg
akibat
perebusan,
pengukusan,
dan
penumisan.
Kandungan Mg pada kalakai cenderung rendah jika dibandingkan dengan sayuran lain. Misalnya saja Mg pada bayam yaitu sebesar 790 ppm bb (Anonim, 2010), sedangkan Mg pada kalakai dari tanah bergambut mencapai 6087 ppm bk atau 610 ppm bb.
Tabel 9 Data kadar magnesium (ppm basis kering) Sayuran
Bln
Kalakai Tanah Bergambut 1 Kalakai Tanah Bergambut 2 Kalakai Sulfat Masam Kalakai Pasir Kuarsa Kalakai Aluvial
Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb
Segar 5160 1420 5022 1132 6087 1405 4598 1367 5289 1408
Kadar Mg (ppm basis kering) Rebus Kukus Tumis 2661 (48) 3917 (24) 3148 (39) 1106 (22) 1378 (3) 1103 (22) 1642 (67) 2712 (46) 3052 (39) 841 (26) 1380 1405 4130 (32) 3532 (42) 3307 (46) 839 (40) 1318 (6) 782 (44) 2572 (44) 3678 (20) 2332 (49) 828 (39) 1250 (9) 939 (31) 3324 (37) 3830 (28) 2660 (50) 847 (40) 1394 (1) 808 (43)
Keterangan : angka didalam kurung merupakan % penurunan kandungan mineral
Seluruh
perlakuan
pemasakan
memberikan
pengaruh
terhadap kandungan Mg. Pemasakan menurunkan antara 7-68% kandungan Mg pada kalakai. Onyeike (2003) menyatakan bahwa heat processing dapat menurunkan kandungan abu, protein, lemak, serta mineral bervalensi dua, sedangkan mineral bervalensi satu mengalami peningkatan. Hal ini didukung juga oleh Gall et al.
33
(1983) yang melaporkan bahwa kandungan Mg fillet ikan rendah lemak menurun ketika diberi perlakuan pemasakan. Perebusan menyebabkan kehilangan Mg sebesar 21-68%. Hasil analisis terhadap kuah sayur menunjukkan bahwa terdapat 0.70-2.82% Mg yang terlarut di dalam kuah sayur (Gambar 4). Penurunan kadar Mg lebih besar jika dibandingkan dengan dua proses pemasakan lainnya yaitu penumisan dan pengukusan. Proses penumisan menurunkan jumlah Mg sebanyak 21-50%, sedangkan pengukusan menurunkan hingga 46%.
b. Kalsium (Ca) Kandungan Ca kalakai pada berbagai perlakuan pemasakan tampak pada Tabel 10. Kandungan Ca pada kalakai cenderung rendah. Misalnya saja Ca pada bayam yaitu 990 ppm bb (Anonim, 2010), sedangkan Ca pada kalakai dari tanah bergambut mencapai 6399 ppm bk atau 697 ppm bb. Namun, Ca yang diperoleh pada penelitian ini tidak terlalu berbeda dengan kandungan Ca pada bayam yang dilaporkan Kawashima dan Soares (2003), yaitu 640 ppm.
Tabel 10 Data Kadar Kalsium (ppm basis kering) Sayuran Kalakai Tanah Bergambut 1 Kalakai Tanah Bergambut 2 Kalakai Sulfat Masam Kalakai Pasir Kuarsa Kalakai Aluvial
Bln Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb
Jan Feb
Segar 4247 3073 6399 1516 5325 1923 6299 2418 4237 1229
Kadar Ca (ppm basis kering) Rebus Kukus Tumis 5544 3033 (29) 4718 2304 (25) 2844 (7) 4217 4765 (26) 4267 (33) 6322 (1) 2056 3674 2480 6259 3861(27) 5360 2329 2193 2855 3861(39) 3878 (38) 5423(14) 1616(33) 1487 (39) 5851
3384 (20) 2070
3729 (12) 1638
5522 3313
Keterangan : angka didalam kurung merupakan % penurunan kandungan mineral
34
Proses pemasakan mempengaruhi kandungan mineral Ca pada kalakai. Sebanyak 2-38% Ca hilang akibat pemasakan. Proses perebusan pada umumnya menurunkan kandungan Ca (Tabel 10). Hasil penelitian Yadav dan Sehgal (1999) menyebutkan bahwa pada daun bathua terjadi penurunan kandungan kalsium sebesar 1536% akibat proses blanching dengan air demineral selama 5-15 menit. Proses blanching berpengaruh nyata terhadap penurunan kandungan Ca. Menurut Kumar et al. (1978), pada saat blanching terjadi interaksi antara daun dan air panas yang dapat memecahkan dinding sel daun dan melepaskan Ca ke dalam medium blanching. Proses pengukusan pada umumnya menyebabkan penurunan kandungan Ca pada kalakai sebanyak 10-38%. Proses penumisan umumnya menyebabkan peningkatan kandungan Ca sebesar 12175%. Peningkatan yang tinggi pada saat penumisan diduga akibat kesalahan dalam pembuatan standar pada saat analisis mineral.
c.
Besi (Fe) Data kandungan Fe pada berbagai perlakuan pemasakan ditunjukkan oleh Tabel 11. Besi dalam bahan pangan penting untuk ibu yang sedang hamil dan menyusui. Kalakai yang berasal dari tanah sulfat masam memiliki kandungan Fe sebesar 336.4 ppm bk. Kandungan ini sedikit lebih rendah dibandingkan Fe pada Amaranthus spinosus yang mencapai 384 ppm bk (Barminas et al., 1998), namun lebih tinggi jika dibandingkan sayuran lokal lain yang ada di Kalimantan Tengah (Irawan et al., 2006). Kandungan Fe tertinggi pada kalakai yang berasal dari tanah sulfat masam sebesar 336.4 ppm bk atau 33.64 mg/100g bk. Jika kalakai dikonsumsi sebanyak 30 gram basis kering per sajian, maka sekitar 10.09 mg/30 gram Fe yang dikonsumsi (per porsi sajian). Recommended Daily Allowance untuk Fe adalah 15 mg per hari (Belitz dan Grosch, 1999). Oleh karena itu, mengkonsumsi satu porsi kalakai yang berasal dari tanah sulfat masam dapat membantu
35
memenuhi asupan Fe harian tubuh sekitar 67%.
Kehilangan
mineral ini pada saat perebusan dapat mencapai 32%. Walaupun demikian kandungannya masih tetap tinggi dan dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan harian.
Tabel 11 Data Kadar Besi (ppm basis kering) Sayuran Kalakai Tanah Bergambut 1 Kalakai Tanah Bergambut 2 Kalakai Sulfat Masam Kalakai Pasir Kuarsa Kalakai Aluvial
Bln Segar Jan 161.1 Feb 82.6 Jan 117.2 Feb 79.4 Jan 336.4 Feb 96.8 Jan 130.9 Feb 65.0 Jan 130.5 Feb 52.0
Kadar Fe (ppm) basis kering) Rebus Kukus Tumis 140.0(13) 165.5 126.3(22) 55.9(32) 58.2 (30) 60.9 (26) 137.0 112.1(4) 105.4(10) 58.9(26) 56.4(29) 45.0 (43) 328.0(2) 401.4 256.8(24) 86.2(11) 65.9(32) 79.6 (18) 144.8 111.4(15) 87.6 (33) 66.2 64.9 58.9(9) 142.9 88.1(32) 100.5(23) 64.4 61.8 59.7
Keterangan : angka didalam kurung merupakan % penurunan kandungan mineral
Proses pemasakan mempengaruhi kandungan Fe yang terdapat pada kalakai. Proses perebusan umumnya menyebabkan penurunan kadar Fe sebesar 2-32%. Hasil analisis terhadap kuah sayur menunjukkan bahwa terdapat 7.17-20.63% Fe yang terlarut di dalam kuah sayur. Persentase mineral Fe yang terlarut cukup tinggi jika dibandingkan mikro mineral lain (Gambar 4). Hal ini diduga karena cukup banyak Fe yang berada dalam bentuk Fe2+ yang mudah larut daripada Fe3+ yang lebih stabil. Menurut Prangdimurti (1992), kompleks yang dibentuk oleh Cr3+, Co3+, dan Fe3+ lebih stabil dari pada ion bentuk valensi dua. Proses pengukusan menyebabkan penurunan kandungan Ca hingga 32%, sedangkan penumisan sebesar 9-43%.
d. Seng (Zn) Data kandungan Zn pada berbagai perlakuan pemasakan ditunjukkan oleh Tabel 12. Kandungan Zn kalakai pada penelitian
36
ini mencapai 134.6 ppm bk (13.46 mg/100g bk) atau 14 ppm bb (1.4 mg/100g bb), nilai tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Zn bayam yang dilaporkan Anonim (2010) yaitu 5 ppm bb (0.5 mg/100g bb). Sebagai contoh, kalakai dari tanah bergambut mengandung Zn 13.64 mg/100g bk, maka jika kalakai dikonsumsi sebanyak satu porsi penyajian per harinya, yaitu sekitar 300 gram basis basah atau 30 gram basis kering, terdapat 4.03 mg Zn/30 gram bk yang dikonsumsi. Zn dari kalakai ini dapat menyumbang 18-67% Zn yang disarankan. Recommended Daily Allowance Zn menurut Belitz dan Grosch (1999), yaitu 6-22 mg per hari.
Tabel 12 Data Kadar Seng (ppm basis kering) Sayuran Kalakai Tanah Bergambut 1 Kalakai Tanah Bergambut 2 Kalakai Sulfat Masam Kalakai Pasir Kuarsa Kalakai Aluvial
Bln Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb
Jan Feb
Segar 134.6 87.3 127.1 83.7 89.7 87.2 109.9 86.8 112.3 88.4
Kadar Zn (ppm basis kering) Rebus Kukus Tumis 115 (15) 121.5(10) 94.7 (30) 91 83.8 (4) 75.4 (14) 81.1 (36) 85.8 (32) 76.1 (40) 67 (20) 76.9 (8) 59.4 (29) 83.7 (7) 82.2 (8) 61.5 (31) 104.2 82.9 (5) 62.4 (28) 97.2 (12) 98.9 (10) 68.7 (37) 95.1 81.4 (6) 60.6 (30) 129.3 98.2 (13) 79.5 (29) 98.1 81.1(8) 58.7 (34)
Keterangan : angka didalam kurung merupakan % penurunan kandungan mineral
Proses pemasakan mempengaruhi kandungan mineral pada Zn. Perebusan menyebabkan penurunan kandungan Zn sebesar 736%. Hasil analisis terhadap kuah sayur menunjukkan bahwa terdapat 0.42-2.64% Zn yang terlarut di dalam kuah sayur. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase kelarutan mikro mineral lain di dalam air rebusan kalakai. Menurut Fennema (1996), setiap mineral memiliki kelarutan yang berbeda-beda di dalam air. Oleh karena itu proses pemasakan menggunakan air memungkinkan terjadinya kehilangan beberapa mineral pada bahan pangan.
37
Proses pengukusan menyebabkan penurunan kandungan Zn sebesar 4-32%, sedangkan penumisan menyebabkan penurunan sebesar 14-37%. Kandungan Zn pada seluruh kalakai pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan beberapa sayuran lain. Bahemuka et al. (1999) melaporkan kandungan Zn pada sayuran selada dan daun kubis berturut-turut yaitu 15.9 ppm dan 37.6 ppm.
e.
Mangan (Mn) Data kandungan Mn pada berbagai perlakuan pemasakan ditunjukkan oleh Tabel 13. Kandungan Mn kalakai pada penelitian ini mencapai 173.9 ppm bk atau 17 ppm bb (1.7 mg/100g bb), nilai tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan Zn bayam yang dilaporkan
Anonim (2010) yaitu 9 ppm bb (0.9 mg/100g bb).
Sebagai contoh, kalakai dari tanah sufat masam mengandung Mn 17.39 mg/100g bk, maka jika kalakai dikonsumsi sebanyak satu porsi penyajian per harinya, yaitu sekitar 300 gram basis basah atau 30 gram basis kering, terdapat 5.2 mg Mn/30 gram bk yang dikonsumsi. Mn dari kalakai ini dapat menyumbang 58% Mn yang disarankan. Recommended Daily Allowance Mn menurut Belitz dan Grosch (1999), yaitu 2-9 mg per hari.
Tabel 13 Data Kadar Mangan Kalakai (ppm basis kering) Sayuran Kalakai Tanah Bergambut 1 Kalakai Tanah Bergambut 2 Kalakai Sulfat Masam Kalakai Pasir Kuarsa Kalakai Aluvial
Bln Segar Jan 158.0 Feb 79.3 Jan 128.3 Feb 79.7 Jan 173.9 Feb 75.6 Jan 113.9 Feb 65.9 Jan 100.8 Feb 63.4
Kadar Mn (ppm basis kering) Rebus Kukus Tumis 97.4 (38) 137.5(13) 115.7(27) 65.6 (17) 78.8 (1) 88.2 98.1 (24) 116.1(10) 103.0(20) 49.5 (38) 58.7 (26) 71.2(11) 122.7(29) 144.4(17) 78 (55) 57.8 (24) 61.6 (19) 73.8 (2) 91.8 (19) 112.9 (1) 78 (32) 45.0 (32) 52.7 (20) 70.9 92.9 (8) 80.8 (20) 81 (20) 47.6 (25) 53.1 (16) 61.9 (2)
Keterangan : angka didalam kurung merupakan % penurunan kandungan mineral
38
Proses pengolahan mempengaruhi kandungan mineral Mn pada kalakai. Proses perebusan menyebabkan penurunan kandungan Mn sebesar 8-38%. Penurunan ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kawashima (2003), yang melaporkan bahwa penurunan akibat proses pemasakan hanya sebesar 7-8% pada sayuran yang diteliti.
f.
Tembaga (Cu) Data kandungan Cu pada berbagai perlakuan pemasakan ditunjukkan oleh Tabel 14. Kandungan Cu kalakai pada penelitian ini mencapai 26.7 ppm bk atau 2.6 ppm bb (0.26 mg/100g bb), nilai tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan Cu bayam yang dilaporkan Anonim (2010) yaitu 1 ppm bb (0.1 mg/100g bb).
Tabel 14 Data Kadar Tembaga (ppm basis kering) Sayuran
Bln
Kalakai Tanah Bergambut 1 Kalakai Tanah Bergambut 2 Kalakai Sulfat Masam
Jan Feb Jan Feb Jan Feb Jan Feb
Kalakai Pasir Kuarsa Kalakai Aluvial
Jan Feb
Kadar Cu (ppm basis kering) Segar 18.3 25.6 4.5 10.7 21.5 22.0 22.7 25.1 26.2 26.7
Rebus Kukus 16.3(11) 18.8
Tumis 11.9(35)
7.2
3.0 (33)
1.6(64)
9.1 (58)
16.5(23) 13.3(38)
17.8(22) 18.7(18) 15.2(33) 20.4(22) 21.3(19) 18.8(28)
Keterangan : angka didalam kurung merupakan % penurunan kandungan mineral
Sebagai contoh, kalakai dari tanah aluvial mengandung Cu 2.67 mg/100g bk, jika kalakai dikonsumsi sebanyak satu porsi penyajian per harinya, yaitu sekitar 300 gram basis basah atau 30 gram basis kering, maka terdapat 8 mg Cu/30 gram bk yang dikonsumsi. Jumlah ini melebihi asupan harian yang disarankan. Recommended Daily Allowance Cu menurut Belitz dan Grosch (1999), yaitu 3.2 mg per hari. Oleh karena itu, mengkonsumsi
39
kalakai yang berasal dari tanah aluvial dapat membahayakan kesehatan.
Selain itu, menurut Mc Dowell (1995), beberapa
senyawa yang dapat terganggu penyerapannya ke dalam tubuh akibat keberadaan tembaga antara lain fitat, asam amino tertentu, vitamin C, serat, Zn, dan Fe. Proses
pengolahan
kandungan mineral kalakai.
memberikan
pengaruh
terhadap
Proses perebusan menyebabkan
penurunan kadar Cu sebesar 11-60%. Sedangkan penumisan dan pengukusan berturut-turut menyebabkan penurunan sebesar 28-64% dan 18-33%.
40 V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Jenis tanah yang ditumbuhi kalakai mempengaruhi kandungan mineral yang terdapat pada pucuk daun kalakai. Kalakai yang tumbuh tanah bergambut memiliki kandungan mineral Mg, Ca, Zn, Mn cenderung cukup tinggi, yaitu berturut-turut mencapai 5160, 6399, 134.6, dan 158 ppm, sedangkan Fe, Cu, dan Al rendah dengan kadar berturut-turut 117.2, 4.5, dan 20.5 ppm. Tanah bergambut pada penelitian ini memiliki pH 6.08 yang diduga masih cukup banyak mineral yang tersedia untuk diserap oleh tumbuhan. Kalakai yang tumbuh pada tanah sulfat masam mengandung Fe dan Al yang tinggi yaitu 336.4 ppm dan 76.4 ppm. Tingginya mikro mineral Al dan Fe pada tanah sulfat masam disebabkan oleh pH tanah yang cukup rendah. Kalakai yang tumbuh pada tanah pasir kuarsa mengandung mineral Ca, Cu, dan Al yang cukup tinggi, yaitu berturut-turut 6299, 25.1, dan 58.1 ppm sedangkan mineral lain seperti Mg, Fe, Zn, dan Mn kandungannya rendah yaitu berturut-turut 4598, 65, 86.8, dan 65.9 ppm. Pada tanah aluvial ditemukan bahwa kandungan Cu pada kalakai cukup tinggi yaitu 26.7 ppm, sedangkan Fe, Mn, dan Al rendah dengan kadar berturut-turut 52, 63.4, dan 5.3 ppm. Kandungan mineral yang relatif rendah pada kalakai dari tanah pasir kuarsa dan aluvial diduga karena rendahnya unsur hara yang terdapat pada jenis tanah tersebut. Hasil analisis total mineral atau kadar abu kalakai pada berbagai cara pemasakan menunjukkan bahwa kalakai memiliki kandungan total mineral yang berbeda. Total mineral dari yang terendah hingga tertinggi berturut-turut yaitu kalakai yang dimasak dengan cara direbus, ditumis, dikukus dan segar atau tanpa perlakuan pemasakan. Proses pemasakan memberikan pengaruh terhadap kandungan mineral kalakai. Proses pemasakan dengan cara direbus adalah yang paling tinggi peranannya dalam penurunan jumlah mineral Mg (21-68%), Cu (11-60%), Ca (39%) dan Mn (8-38%). Mineral lain seperti Zn dan Fe mengalami penurunan tertinggi dengan cara ditumis berturut-turut 14-37% dan 9-43%. Kandungan seluruh mineral kecuali Cu, masih pada batas asupan harian yang disarankan jika diasumsikan bahwa satu porsi penyajian sayur kalakai adalah sebesar 50 gram.
41
B. Saran Saran yang dapat diberikan untuk perbaikan penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut :
Dilakukan penelitian jangka panjang mengenai pengaruh kondisi lahan terhadap kandungan beberapa nutrisi dalam tumbuhan.
Dilakukan uji mengenai bioavailabilitas mineral dari beberapa sayuran yang memiliki jumlah mineral sangat tinggi.
Dilakukan penelitian kandungan mineral kalakai pada lahan yang memiliki keasaman sangat tinggi (pH < 3), karena adanya kemungkinan kadar aluminium pada taraf yang membahayakan.
Dilakukan penelitian mengenai pengaruh iklim terhadap kandungan mineral tumbuhan. Tanaman kalakai bagus dikonsumsi jika tumbuh pada saat musim penghujan.
DAFTAR PUSTAKA
Aberoumand, S., dan S.S. Deokule. 2008. Nutrition Evaluation of Edible Portulaca oleracia as Plant Food. Food Analysis Method Springer Science 2 (3) : 204-207. Anonim a. 2008. http://plantamor.com/spedtail.php@recid=1191 [Diakses tanggal 25 Desember 2008] Anonim b. 2008. http://.doa.sarawak.gov.my/miding_eng.htm [Diakses tanggal 25 Desember 2008] Anonim. 2010. http://nutritiondata.self.com/ [Diakses tanggal 27 Juli 2010] AOAC. 1995. AOCC Official Method of Analysis of AOCC International. Washington DC. Aubert, H. dan M. Pinta. 1977. Trace Minerals in Soils. Elsevier Scientific Publication Company. Amsterdam. Baehaqi, M. 2008. Deskripsi dan Karakteristik Tanah Hutan Gambut Bekas Terbakar dan yang Tidak Pernah Terbakar di HPH PT. Putra Duta Indah Wood [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Barminas, J.T., M. Charles, dan D. Emmanuel. 1998. Mineral Composition of Non-Conventional Leafy Vegetable. Plant Foods for Human Nutrition. Kluwer Academic Publisher 53 : 29-26. Belitz, H.D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Spring Verlag Berlin Heidelberg. German. Borah, S., A.M. Baruah, A.K. Das, dan J. Borah. 2008. Determination of Mineral Content in Commonly Consumed Leafy Vegetables. Food Analytical Method. Springer Science 2(3) : 226-230. Boskou, D. dan I. Elmadfa. 1999. Frying of Food Oxidation, Nutrient, and NonNutrient Antioxidant, Biologically Active Compounds and High Temperature. Technomic Publishing Company. USA. Chai, W. dan M. Liebman. 2005. Effect of Different Cooking Methods on Vegetables Ocalate Content. Journal of Agriculture Food Chemistry 53 (8) : 3027-3030. Connor, W.E. dan S.I. Connor. 1972. The Key Role of Nutrition Factors in The Prevention of Coronary Heart Disease. Di dalam : Bourne, GH. 1985. Minerals in Food and Nutritional Topics. KARGER Basel. Switzerland. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya dengan Toksologi Senyawa Ligan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
43
Departemen Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian No : 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. http://www.deptan.go.id/bdd/admin /p_mentan/Permentan-14-09.pdf. [Diakses tanggal 20 Januari 2010] Fennema, OR. 1996. Food Chemistry 3rd edition. Marcel Dekker Inc. New York. Gaman dan Sherrington. 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Fakultas Teknologi Pertanian. UGM. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Gibson, R.S. 1994. Zinc Nutrition in Developing Countries. Nutrition Research Review 7:151-173. Di dalam : Borah, S., A.M. Baruah, A.K. Das, dan J. Borah. 2008. Determination of Mineral Content in Commonly Consumed Leafy Vegetables. Food Analytical Method Springer Science 2(3) : 226-230. Gilman, S. 1995. Protective Effect of Fruits dan Vegetables on Developments of Stroke in Men. JAMA 273 : 1113. Gupta, V.B., S. Anita, M.L. Hedge, L. Zecca, R.M. Garruto, R. Ravid, S.K. Shanka, P. Shanmugavelu, dan K.S.J. Rao. 2005. Alumunium in Alzheimer’s disease : are we stilt at a crossroad. CMLS. Cell. Mol. Life. Sci 62 :143-158. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Harper, H.A., B.J. Deaton. dan J.A. Driskel. 1985. Pangan Gizi dan Pertanian (terjemahan). UI Press. Jakarta. Hattori, H., M. Chino. 2001. Growth, Cadmium, and Zinc Contents of Wheat Grown on Various Soils Enriched with Cadmium And Zinc. Developments in Plant and Soil Sciences 92: 462–463. Indrarjo, G. 1986. Perbandingan Kiserit dan Dolomit Sebagai Sumber Mg pada Tiga Takaran TSP dengan Parameter Pertumbuhan Kacang Tanah, Serapan Hara, dan Sifat Kimia Latosol Darmaga [Skripsi]. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Irawan, D., C.H. Wijaya. S.H. Limin, Y. Hashidoko, M. Osaki, dan I.P. Kulu. 2006. Ethnobotanical Study and Nurient Potency of Some Local Traditional Vegetable in Central Kalimantan. Di dalam : Mitsuru Osaki et al. (Ed). Prosiding of The International Symposium on Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. Bali, Indonesia, 17-20 September 2002. Tropics Journal 15 (4) : 441-448. Iswanto, S. 2005. Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Gambut pada Lahan Bekas Terbakar di Tegakan Acacia crassicarpa PT. Budidaya Hutan [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
44
Jones, H.F. dan S.T. Beckett. (1995). Fruits and Vegetable. Di dalam : S.T. Beckett. 1995. Physico-Chemical Aspects of Food Processing. Blackie Academic and Professional. London. Kamprath, E.J. 1970. Exchanged Al as A Criterium of Liming Leached Mineral Soils. Soils Science. Sos. Amer. Proc 34 : 252-254 Karim, R.A. et al. 2007. Arsenic and Heavy Metal Concentration in Surface Soil and Vegetables of Feni Districk in Bangladesh. Environment Monitoring Asses 145 : 417-425. Kawashima L.M. dan L.M.V. Soares. 2003. Mineral Profile of Raw and Cooked Leafy Vegetables Consumed in Southern Brazil. Journal of Food Composition and Analysis 16 : 605-611. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan.UI-Press. Jakarta Leiwakabessy, F.M. Suwarno, dan U.M. Wahyudin. 2002. Bahan Kuliah Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Made, I.G. 2005. Evaluasi Ketersediaan Hara Kalium Berdasarkan Hunungan Kuantitas (Q-I) pada Tanah Mineral Masam [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Mardlaw, G.W. 1999. Perspective in Nutrition 4th edition. WCB Mc. Graw Hill. USA. McDowell, L.R. 1992. Mineral in Animal and Human Nutrition. Academic Press. London Meiri D, E. 2005. Mempelajari Kandungan Mineral dan Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Fe secara In Vitro pada Sayuran Lokal Daerah Palangkaraya dan Sekitarnya [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mitchell, R.L. dan J C. Burridge (1979). Trace Elements in Soils and Crops. Di dalam : Bowie, F.R.S. and J.S. Webb. 1976. Environmental Geochemistry and Health., Univ. Cambridge. London. The Royal Society. Hal 169–177. Muchtadi, D. 2007. Sayur-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Mulyanto, B., Suwardi, B. Sumawinata. 1998. Hubungan Asosiasi Vegetasi dengan Sifat-Sifat Tanah dalam Sekuen Suksesi pada Sistem Pengelolaan Lahan Orang Banjar (SPLOB) di Kalimantan Selatan. Gakuryoku 4 (2) : 2433. Noor, M. 2004. Lahan Rawa Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta NRC. 1980. Mineral Tolerance if Domestic Animal. Di dalam : Fennema. OR. 1996. Food Chemistry 3rd edition. Marcel Dekker Inc. New York.
45
Nurhayati, S. Hardjowigeno, B. Mulyanto, dan Subagjo H. 2003. Karakteristik Morfologi Fisik, Kimia, dan Mineralogi Gambut Pedalaman Bersubstrat Pasir dan Liat di Kalimantan Tengah. Forum Pascasarjana 26 (1) : 19-29. O’Dell, B.L. dan Roger A. Sunde. 1997. Handbook of Nutritionally Essential Mineral Elements. Marcel Dekker Inc. New York. Onyeike, E.N., A.C. Ihugba, dan C. George. 2003. Influence of Heat Processing on The Nutrient Composition of Vegetables Leaves Consumed in Nigeria. Plant Food for Human Nutrition 58 :1-11. Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidant from Plant Material. Di dalam : Huang. MT., CT. Ho dan CY. Lee (ed). 1992. Phenolic Compound in Food and Their Effect on Health II. Am. Chem. Society. Washington DC. Sagiman, S. 2007. Pemanfaatan Lahan Gambut dalam Perspektif Pertanian Berkelanjutan. Fakultas Pertanian. Universitas Tanjung Pura. Pontianak. Sanchez, P.A. 1976. Properties and Management of Soil in The Tropics. A Wiley Interscience Publication. New York Schrimshaw, N.S. (1991). Iron deficiency. Di dalam : Fennema, OR. 1996. Food Chemistry 3rd edition. Marcel Dekker Inc. New York. Sehgal, S. dan S.K. Yadav. 1999. Effect of Domestic Processing on Total and Extractable Ca dan Zn Content of Bathua (Chenopodium album) and Fenugreek (Trigonella foenum graecum) Leaves. Plant Food for Human Nutrition 53 : 255-263. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan Bambang Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Subeki. 1998. Pengaruh Cara Pemasakan terhadap Kandungan Antioksidan Beberapa Macam Sayuran serta Daya Serap dan Retensinya pada Tikus Percobaan [Thesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryadiputra, Alue dohong, R.S.B. Waspodo, Lili Muslihat, I.R. Lubis, F. Hasudungan dan I.T.C. Wibisono. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Wetland-InternationalIndonesia Programme and Wildlife Habit Cannada. Bogor. Sutcliffe, J.F. dan D.A. Baker. 1974. Plant and Mineral Salts. Edward Arnold Publishing. London. Suwardi, B. Sumawinata, B. Mulyanto, dan G. Djajakirana. 1999. Peranan Kualitas Air Irigasi untuk Tanaman Padi Sawah pada Tanah Berpotensi
46
Sulfat Masam di Pulau Petak Kalimantan Selatan. Gakuryoku 5 (4) : 282290. Van Loon, J.C. 1980. Analytical Atomic Absorbtion Spectrophotometry. Academic Press, Inc. United States of America. Wahyunto, S. Ritung, H. Subagyo, Suparto. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Wetland-InternationalIndonesia Program. Bogor. Williams, M.C. 1979. Food Fundamentals. John Wiley dan Sons. New York. Yadav, S.K. dan S. Sehgal. 1999. Effect of Domestic Processing on Total and Extractable Calcium and Zinc Content of Bathua (Chenopodium album) and Fenugreek (Trigonella foenum graecum) Leaves. Plant Foods for Human Nutrition 53 : 255-263.
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Konsentrasi larutan mineral standar Mineral Ca Mg Fe Zn Cu Mn
Konsentrasi kurva standar 0,1, 2, 3, 4 ppm 0,1, 2, 3, 4 ppm 0. 5, 10, 15, 20 ppm 0, 1, 2, 3, dan 4 ppm 0, 0.5, 1, 1.5, dan 2.0 ppm 0, 2, 4, 6, dan 8 ppm
49
Lampiran 2 Tepung kalakai
Tepung kalakai
Tepung kalakai
Tepung kalakai
Tepung kalakai
segar
rebus
kukus
Tumis
Lampiran 3 Data kadar air kalakai pada berbagai perlakuan Jenis tanah tempat tumbuh kalakai Bergambut 1
Bergambut 2
Sulfat masam
Pasir Kuarsa
Aluvial
Perlakuan Segar Rebus Kukus Tumis Segar Rebus Kukus Tumis Segar Rebus Kukus Tumis Segar Rebus Kukus Tumis Segar Rebus Kukus Tumis
Kadar air kalakai segar (% BB) 90.70 90.70 90.69 90.70 89.11 89.11 89.11 89.11 89.97 89.97 89.97 89.97 88.98 88.98 88.98 88.98 90.05 90.05 90.05 90.05
50
Lampiran 4 Hasil analisis sidik ragam untuk pengaruh jenis tanah tempat tumbuh sampel terhadap kadar air (g/100g) kalakai Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 4,080(a)
4
Mean Square 1,020
80550,625
1
80550,625
4,080
4
1,020
2,733 80557,437
5 10
,547
6,812
9
jenis_tanah Error Total Corrected Total
df
F 1,866 147382,85 4 1,866
Sig. ,254 ,000 ,254
Lampiran 5 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan untuk pengaruh jenis tanah tempat tumbuh sampel terhadap kadar abu (g/100g) kalakai Source Corrected Model Intercept Sampel Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 2,493(a) 781,279
df 4 1
2,493 ,266 784,038 2,759
Mean Square ,623 781,279
F 11,699 14666,402
Sig. ,009 ,000
,623 ,053
11,699
,009
4 5 10 9
Subset Sampel Aluvial pasir kuarsa sulfat masam bergambut 2 bergambut 1 Sig.
N 2 2 2 2
1 8,1150 8,3550
2
9,2100 9,2550
2
9,2600 ,346
,841
51
Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan untuk pengaruh cara pemasakan terhadap kadar abu (g/100g) kalakai yang tumbuh pada lima jenis tanah Tanah bergambut 1 Dependent Variable: Kadar_abu Type III Sum of Source Squares Corrected ,151(a) Model Intercept 3,632 Perlakuan ,151 Error ,010 Total 3,792 Corrected Total ,161
df
Mean Square
F
Sig.
3
,050
20,431
,007
1 3 4 8 7
3,632 ,050 ,002
1474,726 20,431
,000 ,007
Subset Perlakuan 2 4 3 1 Sig.
N 2 2 2 2
1 ,5000 ,5950
2
,7400 ,8600 ,073
,128
Tanah bergambut 2 Dependent Variable: Kadar_abu Type III Sum of Source Squares Corrected ,239(a) Model Intercept 4,821 Perlakuan Error Total Corrected Total
,239 ,000 5,060 ,239
df
Mean Square 3
,080
1
4,821
3 4 8 7
,080 8,75E-005
F 909,857 55091,57 1 909,857
Subset Perlakuan 2 4 3 1 Sig.
N 2 2 2 2
1 ,5400
2
3
4
,7050 ,8550 1,000
1,000
1,000
1,0050 1,000
Sig. ,000 ,000 ,000
52
Tanah sulfat masam Dependent Variable: Kadar_abu Type III Sum of Source Squares Corrected ,263(a) Model Intercept 4,019 Perlakuan ,263 Error ,021 Total 4,303 Corrected Total ,284
Perlakuan 2 4 3 1 Sig.
N 2 2 2 2
df
Mean Square
F
Sig.
3
,088
16,433
,010
1 3 4 8 7
4,019 ,088 ,005
752,902 16,433
,000 ,010
Subset 1 2 ,4750 ,5950 ,8400 ,9250 ,176 ,309
Tanah pasir kuarsa Dependent Variable: Kadar_abu Type III Sum of Source Squares Corrected ,188(a) Model Intercept 4,278 Perlakuan ,188 Error ,012 Total 4,478 Corrected Total ,200
Perlakuan 2 4 3 1 Sig.
N 2 2 2 2
1 ,5100
df
Mean Square
Sig.
3
,063
21,203
,006
1 3 4 8 7
4,278 ,063 ,003
1443,987 21,203
,000 ,006
Subset 2 ,6800 ,8150
1,000
F
,068
3
,8150 ,9200 ,126
53
Tanah aluvial Dependent Variable: Kadar_abu Type III Sum of Source Squares Corrected ,159(a) Model Intercept 3,393 Perlakuan ,159 Error ,014 Total 3,566 Corrected Total ,172
Perlakuan 2 4 3 1 Sig.
N 2 2 2 2
df
Mean Square
F
Sig.
3
,053
15,515
,011
1 3 4 8 7
3,393 ,053 ,003
994,289 15,515
,000 ,011
Subset 1 2 ,4600 ,5750 ,7600 ,8100 ,120 ,440
54
Lampiran 7 Kadar pH tanah pengambilan sampel bulan Januari 2010 Asal sampel Bergambut 1 Bergambut 2 Sulfat masam Pasir kuarsa Aluvial
pH tanah 1 2 3 6,16 6,05 5,96 5,65 5,57 5,59 -
rata-rata 6,05 5,60 -
Lampiran 8 Kadar pH tanah pengambilan sampel bulan Februari 2010 Asal sampel Bergambut 1 Bergambut 2 Sulfat masam Pasir kuarsa Aluvial
1 5,79 5,79 5,81 5,99 5,9
pH tanah rata-rata 2 3 6,08 6,37 6,08 5,85 5,87 5,84 5,85 4,93 5,53 5,87 5,84 5,90 5,88 5,87 5,88