UNIVERSITAS INDONESIA
SEBARAN BIOMASSA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) DI KECAMATAN SINGINGI, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI, RIAU
SKRIPSI
FRIDA TRI RAHAYU 0806328423
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI GEOGRAFI DEPOK JANUARI 2012
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
SEBARAN BIOMASSA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) DI KECAMATAN SINGINGI, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI, RIAU
SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
FRIDA TRI RAHAYU 0806328423
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI GEOGRAFI DEPOK JANUARI 2012
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
ii
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
iii
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur penulis ucapkan bagi ALLAH SWT, Tuhan alam semesta atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya, serta cobaan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis hingga akhirnya skripsi ini mampu penulis selesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberikan teladan hidup kepada semua umat manusia. Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga penyusunan tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih yang ditujukan kepada: 1. Dr. Ir. Tarsoen Waryono, M.S selaku dosen pembimbing I, dan Dr. Rokhmatulloh, M.Eng selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran, masukan, dan bantuan selama penyusunan skripsi ini, 2. Drs. Sobirin, M.Si selaku penguji 1, dan Dra. Ratna Saraswati, M.S selaku penguji II atas saran dan koreksi yang telah diberikan, 3. Dra. Tuty Handayani, M.S selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan dukungan moral dan spiritual kepada penulis selama masa perkuliahan, 4. Ketua Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia, Dr.rer.nat Eko Kusratmoko, MS beserta seluruh staf pengajar atas ilmu-ilmu yang diberikan selama menjalani masa kuliah. Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dunia dan akhirat, 5. Seluruh Guru yang pernah memberikan pendidikan kepada penulis di TK Pertiwi, SDN 2 Prembun, SMPN 1 Rowokele, SMAN 1 Rowokele, 6. Dian Purnama selaku alumni Geografi UGM yang telah membimbing penulis dalam survey lapang dan pengolahan data, 7. Sesa Wiguna, Satrio Nugroho sebagai rekan mahasiswa Geografi 2008 yang telah memberikan dukungan dan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini, 8. Abdul Hafiz selaku ketua angkatan Geografi 2008 yang telah memberikan dukungan, saran, dan masukan, serta nasihat yang baik bagi penulis, 9. Aulia Ayu Riandini Bulkia, Stevani Anggina, Sigit, Faeyumi, Iis Iswanto, Unaya Fitriyanti, Nurul Farhanah, sebagai teman terbaik penulis selama masa perkuliahan yang telah memberikan doa, semangat, dukungan, dan bantuan kepada penulis, 10. Lilis Chodijah, Avrie Yustianty, Wahyuni, Wika Ristya, Hendarsono, Naufal Zul Fahmi, Miftah Farid, yang membantu mengisi waktu luang dalam Sate Bebek 13 Naga,
iv
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
11. Sahabat Geografi FMIPA UI 2008 yang telah mengisi kebersamaan selama masa perkuliahan, 12. Ibu Sri Mulyani selaku Ibu kos dan Bapak Wijatno selaku Bapak kos, serta Muhammad Rizky Sri Wijatno selaku adik baru di kos yang telah memberikan dukungan moral dan spiritual, serta berbagai bantuan ketika penulis sakit selama tinggal di Jalan Material 25, Ar Rahman 06, 13. Hidayat Chusnul, mahasiswa Administrasi Negara 2008 selaku sahabat kost yang baik yang selalu siap membantu ketika penulis sakit, 14. Mba Desi Hariati dan Mba Retno Dwi selaku teman kost yang telah mendukung dan membantu penulis dengan meminjamkan laptopnya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 15. Keluarga Perhimak yang telah membawa penulis dari SMA hingga diterima di Geografi UI, serta dukungan dan bantuan selama penulis menjalani masa kuliah, 16. Bapak Mufroil, Ibu Sukarsih, Mba Tanti Munifah, Mba Dini Savitrie, Novia Nur Hayati, Yuli Kurniawan, Arina Rahmadani, Arini Rahmadani, Kak Ahmad Fauzan, Mas Sukamto, Ahmad Saifal Islam, Ahmad Hubaib Safaraz, Aisyah Rahma AsySyifa, dan Dian Puji Lestari selaku keluarga besar yang telah memberikan doa, dukungan yang luar biasa kepada penulis sejak lahir, 17. Bapak Paiman, Ibu Tri Silah, Fitri Hardiyanti, dan Akhsan Nur Tri Hantoro selaku keluarga baru yang telah memberikan dukungan kepada penulis, serta 18. The last but not the least, my lovely husband Agung Wahyu Tamtomo, teman hidup setia penulis yang telah memberikan semangat perjuangan, dan kasih sayang yang tulus kepada penulis sejak SMA hingga saat ini. Akhir kata, semoga ALLAH SWT berkenan membalas dan memberikan RahmatNya kepada segala pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan pada proses pembuatan skripsi. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Depok, November 2011
Penulis
v
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
vi
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
ABSTRAK Nama : Frida Tri Rahayu Program studi : Geografi Judul : Sebaran Biomassa Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau Hutan Tanaman Industri (HTI) tidak hanya memberikan keuntungan ekonomis tetapi juga mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan daya fungsi ekologis bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu potensi Hutan Tanaman Industri adalah biomassa. Biomassa mempunyai peran dalam perencanaan hutan dan informasi karbon. Hutan Tanaman Industri menjadi salah satu objek yang potensial karena keberadaan HTI di Indonesia semakin meningkat. Penelitian ini memanfaatkan Citra LANDSAT 7 ETM+ sebagai pendukung dan data suvey lapang, serta menggunakan persamaan allometrik dan uji keterhandalan yang bertujuan untuk mengetahui sebaran HTI dan biomassanya di Sektor Logas Selatan, PT. RAPP. HTI tersebar berdasarkan kompartemenisasi dan sistem tebangan berpola mozaik yang terdapat di berbagai Desa dengan jenis tanaman Acasia mangium, Acasia crassicarpa, dan Eucalyptus dengan didominasi umur tanaman 2 tahun sebesar 43%. Biomassa HTI di Sektor Logas Selatan, Kecamatan Singingi memiliki korelasi sebesar 0,461 atau sebesar 21% dengan NDVI. Biomassa HTI berkisar 0,3 – 250,68 ton/ha yang tersebar seluruh areal Tanaman Pokok Sektor Logas Selatan. Ketinggian wilayah dan lereng tidak mempunyai peran besar dalam besaran biomassa tanaman HTI. Kata kunci
: Biomassa, Hutan Tanaman Industri, persamaan alometrik, NDVI, LANDSAT 7 ETM+ xv + 102 hlm; 43 gambar, 6 tabel, 13 peta Bibiliografi : 35 (1982 – 2011)
vii Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
[Company]
Name Major Title Subdistrict,
ABSTRACT : Frida Tri Rahayu : Geography : Biomass Distribution of Industrial Plantation Forest in Singingi Kuantan Singingi Regency, Riau
Industrial Plantation Forest (HTI) not only giving economic benefits but also be able to contribute in enhancing the ecological functions for the surrounding environment. One of the potensial Timber Estate is biomass. Biomass has a role in forest planning and carbon information. Beside that, Forest Plantation became one of the potensial object due to presence of Industrial. This research using image of LANDSAT 7 ETM+ as a supporter and survey data field, and using allometric equations and detail test to knowing the distribution and biomass plantations in the South Logas Sector, PT. RAPP, Singingi Subdistrict. Industrial Plants Forest be distributed by basic on dividing and felling system pattern mosaic there are various in the village with plant of species Acacia mangium, Acacia crassicarpa, and Eucalyptus with age of 2 years was dominated by 43%. Biomass of Industrial Forest Plantations in the South Logas Sector, Singingi Subdistrict has a correlation of 0,461 or 21% with NDVI and value of biomass crops range from 0,3 to 250,68 tones/ha scattered throughout the area of Principal Crops in the South Logas Sector. Nevertheles, the height and slope areas haven’t a big role in the amount of plant biomass plantations. Keyword: Biomass, Forest Estate, allometric equations, NDVI, LANDSAT 7 ETM+ xv+102 p. Ix; 43 image, 6 tables, 13 maps Bibiliography: 35 (1982 – 2011)
viii Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
[Company]
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................... vi ABSTRAK ........................................................................................................... vii DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR PETA ................................................................................................. xv BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 4 1.3. Batasan Penelitian ............................................................................................ 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6 2.1. Karakteristik Hutan Tanaman Industri ............................................................ 6 2.2. Pengertian Biomassa .......................................................................................10 2.3. Teknik Pengukuran Biomassa ........................................................................ 12 2.4. Karakteristik Citra Optik ............................................................................... 16 2.5. Karakteristik Citra LANDSAT ...................................................................... 21 2.4.1. Sensor Enhanced Thematic Mapper (ETM) ........................................ 22 2.4.2. Sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) ............................. 22 2.6. Penelitian Terdahulu ...................................................................................... 24 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 25 3.1. Daerah Penelitian ........................................................................................... 25 3.2. Alur Pikir Penelitian ...................................................................................... 25 3.3. Prosedur Kerja Penelitian .............................................................................. 26 3.3.1. Cara Pengumpulan Data ..................................................................... 26 3.3.2. Pengolahan Data ................................................................................. 30 3.3.3. Analisis Data ....................................................................................... 32
ix
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
BAB 4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ............................. 33 4.1. Letak dan Luas Daerah Penelitian ................................................................. 33 4.2. Topografi ....................................................................................................... 36 4.3. Geologi dan Jenis Tanah ................................................................................ 39 4.4. Iklim .............................................................................................................. 41 4.5. Penggunaan Tanah ......................................................................................... 41 4.6. Sebaran Hutan Tanaman Industri .................................................................. 44 4.7. Luas Tanaman Hutan Tanaman Industri ....................................................... 45 4.8. Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya Penduduk di Sekitar HTI ....................... 50 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 45 5.1. Nilai Indeks Vegetasi (Tingkat Kehijauan) HTI ........................................... 52 5.2. Estimasi Biomassa Melalui Metode Alometri .............................................. 57 5.2.1. Distribusi Sampel ............................................................................... 57 5.2.2. Diameter Pohon di Lokasi Sampel ...................................................... 59 5.2.3. Tinggi Pohon di Lokasi Sampel .......................................................... 60 5.2.4. Estimasi Biomassa dengan Metode Alometri ................................... 61 5.3. Hubungan Karakteristik Pohon dan Biomassa dengan Tingkat Kehijauan ........................................................................................ 61 5.4. Sebaran Biomassa Hutan Tanaman Industri ................................................. 62 5.4.1. Pendugaan Biomassa HTI .................................................................. 62 5.4.2. Kandungan Biomassa Acacia mangium ............................................ 64 5.4.3. Kandungan Biomassa Acacia crassicarpa ........................................ 65 5.4.4. Kandungan Biomassa Kayu Eucalyptus ............................................. 66 5.5. Sebaran Biomassa Kayu HTI Menurut Kondisi Fisik Wilayah .................... 67 5.5.1. Sebaran Biomassa Acacia mangium ................................................... 69 5.5.2. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa ............................................... 76 5.5.3. Sebaran Biomassa Eucalyptus ............................................................ 82 BAB 6 KESIMPULAN .................................................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 91 LAMPIRAN ....................................................................................................... 94
x
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nama dan Panjang Gelombang pada Landsat ETM+ ......................... 22 Tabel 3.1. Persamaan Allometrik untuk Menaksir Biomassa Tegakan HTI ........ 37 Tabel 4.1. Jenis Geologi dan Jenis Tanah Sektor Logas Selatan .......................... 39 Tabel 4.2. Luas Penggunaan Tanah Sektor Logas Selatan, PT. RAPP ................ 41 Tabel 5.1. Model Penduga Biomassa HTI ............................................................................. 64 Tabel 5.2. Potensi Biomassa Menurut Jenis dan Umur Tanaman HTI ............................. 64
xi
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Tipe Aliran Sistem Penginderaan Jauh Optik ................................ 18
Gambar 2.2. Plot Transmisi Atmosfer dari 0,4 – 30 cm ..................................... 18 Gambar 2.3. Karakteristik Spektrum Vegetasi Tanaman Hijau ......................... 20 Gambar 2.4. Spacecraft Landsat-7 ..................................................................... 23 Gambar 2.5. Scanner ETM+ ............................................................................... 23 Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian ...................................................................... 25 Gambar 3.2. Plot Sampel Tegakan HTI Sektor Logas Selatan .......................... 26 Gambar 3.3. Berbagai cara mengukur diameter pohon setinggi dada ............... 27 Gambar 3.4. Cara mengukur tinggi pohon ......................................................... 27 Gambar 3.5. Alur Kerja Penelitian ..................................................................... 29 Gambar 4.1. Presentase Penggunaan Tanah Sektor Logas Selatan .................... 43 Gambar 4.2. Presentase Luas Tanaman Pokok ................................................... 47 Gambar 4.3. Presentase Luas HTI Menurut Jenis Tanaman .............................. 47 Gambar 5.1. Presentase Luas Sebaran Biomassa HTI ....................................... 67 Gambar 5.2. Luas Sebaran Biomassa HTI ......................................................... 67 Gambar 5.3. Presentase Luas Sebaran Biomassa Acacia mangium ................... 69 Gambar 5.4. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah Berdasarkan Ketinggian Wilayah .......................... 69 Gambar 5.5. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah Berdasarkan Kemiringan Lereng ........................... 70 Gambar 5.6. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah ........................................ 71 Gambar 5.7. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian ........................... 72 Gambar 5.8. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng ............... 72 Gambar 5.9. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 73
xii
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Gambar 5.10. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Ketinggian ............................ 74 Gambar 5.11. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng ................74 Gambar 5.12. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi Berdasarkan Jenis Tanah .......................................... 75 Gambar 5.13. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa ..............
76
Gambar 5.14. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Ketinggian ........................... 76 Gambar 5.15. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng ..............77 Gambar 5.16. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 78 Gambar 5.17. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian ........................... 79 Gambar 5.18. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian ............................ 79 Gambar 5.19. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 80 Gambar 5.20. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Tinggi Berdasarkan Kemiringan Lereng ............................. 81 Gambar 5.21. Presentase Sebaran Biomassa Kayu Eucalyptus ............................ 82 Gambar 5.22. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Ketinggian ........................... 82 Gambar 5.23. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng ............. 83 Gambar 5.24. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah ........................................ 84 Gambar 5.25. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian ............................ 84
xiii
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Gambar 5.26. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng .............. 85 Gambar 5.27. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 86 Gambar 5.28. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Ketinggian ............................ 86 Gambar 5.29. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng .............. 87 Gambar 5.30. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi Berdasarkan Jenis Tanah ......................................... 88
xiv
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
DAFTAR PETA
Peta 1
Administrasi Kecamatan Singingi ...................................................... 34
Peta 2
Estate (Blok Tanam) ........................................................................... 35
Peta 3
Wilayah Kemiringan Lereng .............................................................. 37
Peta 4
Wilayah Ketinggian ............................................................................ 38
Peta 5
Jenis Tanah ......................................................................................... 40
Peta 6
Penggunaan Tanah .............................................................................. 42
Peta 7
Jenis Tanaman HTI ............................................................................. 48
Peta 8
Umur Tanaman HTI ............................................................................ 49
Peta 9
Citra Landsat 7 ETM+, Komposit Band 321 ...................................... 53
Peta 10
Tingkat Kehijauan ............................................................................... 55
Peta 11
Tingkat Kehijauan Menurut Jenis Tanaman HTI ................................ 56
Peta 12
Sebaran Titik Sampel .......................................................................... 58
Peta 13
Sebaran Biomassa ................................................................................ 68
xv
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Tanaman menyimpan energi dalam bentuk biomassa. Biomassa yang terdapat pada tanaman terbentuk dari hasil fotosintesis. Tanaman mengabsorpsi karbon dioksida selama proses fotosintesis dan menyimpannya dalam bentuk biomassa tanaman. Tanaman pada hutan memiliki peran yang penting dalam siklus karbon global dan dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Penyerapan karbon oleh tanaman terjadi melalui proses kimiawi pada aktivitas fotosintesis yang menghasilkan oksigen dan karbohidrat, kemudian terakumulasi menjadi selulosa dan lignin sebagai cadangan karbon. Biomassa hutan menjadi salah satu parameter dalam pendugaan besarnya karbon pada vegetasi hutan karena 50% biomassa tersusun atas unsur karbon. Biomassa tanaman dapat diperkirakan besaran potensinya. Volume besaran biomassa sangat ditentukan oleh kondisi fisik tanaman dan jenis yang dikembangkan.
Tingkat
kesesuaiannya
sangat
dicirikan
oleh
besaran
monosakarida atau dalam bentuk kayu yang secara teoritis dihitung berdasarkan massa kayu, berat kayu, dan yang paling lazim adalah bobot biomassa per satuan luas. Heriansyah (2009) menyatakan bahwa potensi biomassa hutan tanaman berdasarkan kondisi biologis tanaman bervariasi menurut jenis, umur, dan kerapatan tanaman. Sedangkan Kusmana et al. (1992) menyatakan bahwa besaran potensi biomassa tegakan berhubungan erat dengan umur tegakan. Faktor fisik kesesuaian wilayah tempat tumbuh tanaman yang berpengaruh terhadap besaran potensi biomassa tanaman meliputi elevasi (ketinggian wilayah), kelerengan, iklim, jenis tanah. Semakin baik tingkat kesesuaian wilayah pertumbuhan tanaman sesuai dengan umur keekonomisan tanaman, maka akan menunjukan besarnya biomassa yang optimal bagi tanaman untuk bisa ditebang sebagai kayu tebangan.
1
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
2
Indonesia adalah negara terpenting penghasil berbagai kayu bulat tropis dan kayu gergajian, kayu lapis, dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuatan kertas. Lebih dari setengah hutan di negara ini, sekitar 54 juta hektar, dialokasikan untuk produksi kayu, dan ada 4 juta ha lagi untuk hutan tanaman industri yang telah didirikan, yaitu untuk memasok kayu pulp yang nilai PDB nya mencapai 5,5 miliar dolar. Jumlah ini hampir setengah dari nilai ekspor minyak dan gas, dan setara dengan 10% pendapatan ekspor total (Forest Watch Indonesia, 2001). Pasokan kayu bulat yang berasal dari sumber produksi HTI menduduki peringkat ketiga setelah HPH dan Hutan konversi yaitu sebesar 3.779.828 m3 per tahun (Departemen Kehutanan, 2006). Indonesia memiliki sekitar 4 juta hektar areal hutan tanaman industri, atau hanya 1,6% dari areal total yang diklasifikasikan sebagai hutan, sekalipun ada subsidi untuk reforestasi dan pembangunan HTI (Barr et al., 2010). Kementerian Kehutanan menargetkan untuk memperluas areal HTI sebanyak 5 juta hektar sampai pada tahun 2016 (Departemen Kehutanan, 2009). Laju perkembangan hutan tanaman berada di bawah laju yang diharapkan dan tampaknya sulit untuk mencapai target sampai pada tahun 2016. Untuk mencapai target 5 juta hektar ini, seharusnya lebih dari 714.000 hektar lahan sudah mengalami reforestasi setiap tahunnya, yang berarti lebih dari 10 kali lipat kenaikan laju penanaman. Hal ini akan meningkatkan produksi bubur kayu sampai 64 m 3 setiap tahunnya pada tahun 2025. Mengingat produksi bubur kertas (pulp) saat ini bergantung pada pemanenan serat dari hutan alam, peningkatan semacam ini akan menyebabkan industri bubur kertas yang ada saat ini tercukupi kebutuhan seratnya dari hutan tanaman
dan
akan
memungkinkan
peningkatan
kapasitas
lebih
lanjut
(Departemen Kehutanan, 2006). Dalam rangka mengantisipasi pasokan bubur kayu oleh HTI, saat ini Kementerian Kehutanan tengah merencanakan suatu proposal proyek untuk membangun pabrik bubur kertas yang baru, dengan kapasitas produksi baru total mencapai 8 juta ton bubur kertas. Rencana pembangunan tersebut menyebabkan industri pulp dan kertas meningkat. Sejak akhir tahun 1980-an kapasitas produksi meningkat hampir 700%. Kapasitas produksi pulp tahunan indonesia melebihi 4,9 juta ton. Indonesia menjadi produsen pulp terbesar ke-9 dan produsen kertas terbesar ke-11 di dunia
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
3
(Forest Watch Indonesia, 2001). Pembangunan HTI dapat dilaksanakan melalui beberapa skenario. Pembangunan HTI terutama adalah untuk produksi bubur kayu (Departemen Kehutanan, 2009); 75% dari sejumlah ijin yang dikeluarkan untuk konsesi hutan tanaman definitif sampai tahun 2025 adalah untuk konsesi bubur kayu. PT. Riau Andalan Pulp And Paper (PT. RAPP) merupakan salah perusahaan pulp-kertas terbesar di Indonesia dengan salah satu produk andalan Paper One yang diekspor ke 40 negara di dunia (Planning, 2011). PT. RAPP setiap tahun menanam lebih dari 100.000
ha dengan berbagai macam jenis tanaman
monokultur yang dikembangkan seperti Acasia mangium, Acasia crassicarpa, dan Eucaliptus. Dalam perkembangannya, informasi
biomassa tanaman memiliki peran
dalam mitigasi bencana iklim menjadi perhatian masyarakat dunia. Seiring kemajuan teknologi, pengamatan biomassa telah terbantu dengan adanya teknologi penginderaan jauh. Penginderaan jauh optik menjadi teknologi pendukung penelitian biomassa karena mampu merekam data permukaan bumi dalam intensitas yang tinggi melalui pantulan vegetasi, dan dapat menjadi tolok ukur pengestimasian nilai biomassa berdasarkan nilai NDVI (Bombelli et al., 2009) . Penginderaan jauh optik sering digunakan untuk penerapan praktis seperti hasil inventarisasi, klasifikasi penggunaan tanah, dan eksplorasi mineral karena proses pengolahannya mudah. Melalui pengukuran lapang dan crop tutupan vegetasi maka citra optik bermanfaat untuk kegiatan monitoring lahan misalnya dalam estimasi cadangan karbon dan nilai biomassa (Thoma et al., 2004). Estimasi biomassa di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass / AGB) dapat diketahui dengan menguji hubungan antara biomassa hasil pengukuran lapang dan hail estimasi biomassa berdasarkan model formula dengan nilai NDVI hasil pengolahan dengan Citra Landsat 7 ETM+. Hubungan ini memberikan estimasi biomassa di atas permukaan tanah yang diperlukan misalnya untuk perencanaan REDD / Reducing Emission from Deforestation and Degradation (Mitchard et al., 2009).
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
4
Atas dasar itulah penelitian untuk mengetahui sebaran biomassa di atas permukaan tanah dari tegakan HTI ingin dilakukan. Tegakan hutan tanaman yang hasil produksinya untuk bahan baku pulp dan kertas. Penelitian ini untuk menginformasikan sebaran biomassa kayu tegakan Hutan Tanaman Industri berdasarkan tinggi rendahnya volume kayu yang diprediksi dan dihitung berdasarkan Citra Landsat 7 ETM+ dan cuplikan (plot) di Sektor Logas Selatan, areal kerja PT. RAPP, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau. Adapun alasan penempatan lokasi di Kabupaten Kuantan Singingi yaitu Kabupaten Kuantan Singingi merupakan lokasi pengembangan kawasan tumbuh yang mengawasi kegiatan pemanfaatan hutan, salah satunya adalah Perusahaan Kayu dan PT. RAPP merupakan pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Industri yang terbesar di Kabupaten Kuantan Singingi. 1.2.Rumusan Masalah Masalah dikaji pada penelitian ini adalah:
Bagaimana karakteristik sebaran biomassa tegakan di Sektor Logas Selatan, PT. RAPP, Kecamatan Singingi?
1.3.Batasan Penelitian a.
Biomassa merupakan massa organik benda hidup maupun benda mati (Bombelli et al., 2009). Biomassa adalah total berat / massa kayu (volume kayu) dalam satuan luas (m3/ha). Biomassa yang diteliti adalah biomassa di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass / AGB) yaitu biomassa batang kayu tanaman HTI. Biomassa tegakan yang ditentukan adalah biomassa kayu bulat pada tegakan Hutan Tanaman Industri;
b.
Hutan Tanaman Industri yang kemudian disebut HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh pelaku usaha kehutanan dalam rangka
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan sistem silvikultur dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri hasil hutan;
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
5
c.
Tegakan hutan adalah keseluruhan pohon yang ada di dalam hutan. Jenis tegakan yang diamati adalah Acasia mangium, Acasia crassicarpa, dan Eucalyptus. Umur tegakan yang diteliti adalah umur 1 – 5 tahun berdasarkan daur ekonomis di PT RAPP untuk melakukan penebangan kayu sebagai bahan baku pulp-kertas.
d.
Citra Landsat 7 ETM+ merupakan citra penginderaan jauh optik untuk sumber daya bumi dengan menggunakan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus) yang didesain untuk keberlanjutan dari program Landsat 4 dan 5 yang ditambah dengan dua sistem kalibrasi untuk mengeliminasi gangguan radiasi matahari (dual mode solar calibrator systems) dengan penambahan lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi radiometrik (Lillesand and Kiefer, 1994).
e.
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan suatu nilai hasil pengolahan dari citra satelit band infra merah dan band merah yang menunjukkan tingkat konsentrasi klorofil daun yang berkorelasi dengan kerapatan
vegetasi
berdasarkan
nilai
spektral
pada
setiap
piksel
(Goetz et al., 1985). NDVI dapat digunakan dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi yang berasal dari citra satelit.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Hutan Tanaman Industri Menurut SK Menteri Kehutanan No.10.1/Kpts-II/2008 tanggal 6 November 2000 kriteria Hutan Produksi untuk Hutan Tanaman Industri adalah penutupan vegetasi non hutan (semak belukar, padang, alang-alang, dan tanah kosong) atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5 m3/ha. Berdasarkan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Peraturan Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada Hutan Produksi yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam. Kegiatan Hutan Tanaman Industri yang utama di Indonesia adalah Hutan Tanaman Industri dengan jenis pohon akasia (A. Mangium dan A. Crassicarpa) dan Eucalyptus, terutama untuk kebutuhan bubur kayu. Lebih dari 75% ijin HTI yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan adalah untuk Hutan Tanaman Industri bubur kayu (Departemen Kehutanan, 2009). Hutan tanaman ini umumnya dikelola dengan menggunakan sebuah rotasi pendek selama 6 – 7 tahun. Indonesia memiliki sekitar 4 juta hektar areal hutan tanaman industri, atau hanya 1,6% dari areal total yang diklasifikasikan sebagai hutan, sekalipun ada subsidi untuk reforestasi dan pembangunan HTI (Barr et al., 2010). Departemen Kehutanan menargetkan untuk memperluas areal HTI sebanyak 5 juta hektar sampai pada tahun 2016 (Departemen Kehutanan, 2009). Laju perkembangan hutan tanaman berada di bawah laju yang diharapkan dan tampaknya sulit untuk mencapai target sampai pada tahun 2016. Untuk mencapai target 5 juta hektar ini, seharusnya lebih dari 714.000 hektar lahan sudah mengalami reforestasi setiap tahunnya, yang berarti lebih dari 10 kali lipat kenaikan laju penanaman. Hal ini akan meningkatkan produksi bubur kayu sampai 64 m3 setiap tahunnya pada tahun 2025. Mengingat produksi bubur kertas (pulp) saat ini bergantung pada pemanenan serat dari hutan alam, peningkatan semacam ini akan menyebabkan industri bubur kertas yang ada saat ini tercukupi
6
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
7
kebutuhan seratnya dari hutan tanaman dan akan memungkinkan peningkatan kapasitas
lebih
lanjut
(Departemen
Kehutanan,
2009).
Dalam
rangka
mengantisipasi pasokan bubur kayu oleh HTI, saat ini Kementerian Kehutanan tengah merencanakan suatu proposal proyek untuk membangun pabrik bubur kertas yang baru, dengan kapasitas produksi baru total mencapai 8 juta ton bubur kertas. Pembangunan
HTI
dapat
dilaksanakan
melalui
beberapa
skenario.
Pembangunan HTI terutama adalah untuk produksi bubur kayu (Departemen Kehutanan, 2009); 75% dari sejumlah ijin yang dikeluarkan untuk konsesi hutan tanaman definitif sampai tahun 2025 adalah untuk konsesi bubur kayu. Hutan Tanaman Industri mempunyai potensi ekonomis dan ekologis. Potensi ekologis yang disumbangkan bagi lingkungan adalah ketika tanaman mampu menyimpan cadangan karbon dan biomassa, serta menjadi penyerap karbon dioksida di atmosfer, sehingga mampu mengurangi emisi karbon dioksida melalui proses fotosintesis. Sedangkan potensi ekonomis berupa pengembangan tanaman kayu sebagai bahan baku industri. Jenis tanaman yang dikembangkan sebagai bahan baku pulp dan kertas adalah sebagai berikut: a.
Acasia mangium Acasia mangium termasuk jenis legum yang tumbuh cepat, tidak memerlukan
persyaratan tumbuh yang tinggi dan tidak begitu terpengaruh oleh jenis tanahnya. Kayunya bernilai ekonomi karena merupakan bahan yang untuk finir, perabot rumah, serta bahan bakar (Septiani, 1998). Acasia mangium dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah dan kondisi lingkungan. Acasia mangium dapat tumbuh cepat di lokasi tanah pada tingkat nutrisi yang rendah, bahkan pada tanah-tanah asam dan terdegradasi. Faktor lain yang mendorong pengembangan jenis ini adalah sifat pertumbuhan yang cepat. Pada tanah yang baik, umur 9 tahun telah mencapai tinggi 23 meter dengan rata-rata kenaikan diameter 2 – 3 meter dengan hasil produksi 415 m3/ha.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
8
Jenis Acasia mangium tumbuh secara alami di hutan tropis lembab yang persebarannya terdapat di Maluku dengan jenis Melaleuca leucadendron. Selain itu terdapat pula di pantai Australia bagian utara, Papua bagian selatan (Fak-fak di Aguada (Babo) dan Tomage (Rokas, Kepulauan Aru, Maluku dan Seram bagian barat. Acasia mangium tidak memiliki persyaratan tumbuh yang tinggi, dapat hidup pada lahan miskin hara dan tidak subur. Acasia mangium dapat tumbuh baik pada tanah peka erosi, berbatu, dan tanah aluvial serta tanah yang memiliki pH rendah (±4,2). Tumbuh pada ketinggian antara 30 – 130 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan bervariasi antara 1.000 – 4.500 mm/tahun dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 1.446 mm dan 2.970 mm. Seperti jenis pionir yang cepat tumbuh dan berdaun lebar, jenis Acasia mangium sangat membutuhkan sinar matahari untuk tumbuh dengan baik. Di habitat alaminya, suhu minimum rata-rata berkisar 12-16oC dan suhu maksimum rata-rata berkisar 31-34oC (Malik, 2009). Jenis ini tidak dapat tumbuh terus menerus sepanjang tahun, pertumbuhan tampak lambat atau berhenti sebagai respon terhadap kombinasi curah hujan yang rendah dan suhu dingin. Acasia mangium dapat mengalami kematian jika terkena kekeringan yang parah atau musim dingin berkepanjangan. Angka kematian tinggi pada Acasia mangium berumur 5 tahun setelah mengalami periode waktu dan suhu rendah (sekitar 5-6oC) dengan hujan dingin yang lama. Pohon Acasia mangium dapat digunakan sebagai pohon penaung, ornamen, penyaring, pembatas, dan penahan angin, serta dapat ditanam pada sistem wanatani dan pengendali erosi (Malik, 2009). Jenis ini banyak dikembangkan untuk tujuan peningkatan kesuburan. Pohon
Acasia mangium
mampu
berkompetisi dengan gulma yang agresif, seperti alang-alang (Imperata cylindrica); jenis ini juga mengatur nitrogen udara dan menghasilkan banyak serasah yang dapat meningkatkan aktivitas biologis tanah dan merehabilitasi sifatsifat fisika dan kimia.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
9
Di Indonesia sejak dicanangkan pembangunan HTI pada tahun 1984, kayu mangium telah dipilih sebagai salah satu jenis favorit untuk ditanam di areal HTI. Pada mulanya jenis ini dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kayu HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu serat terutama untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Dengan adanya perubahan-perubahan kondisional baik yang menyangkut kapasitas industri maupun adanya desakan kebutuhan kayu untuk penggunaan lain, tidak tertutup kemungkinan terjadi perluasan tujuan penggunaan kayu Acacia mangium (Malik, 2009). b.
Acasia crassicarpa Acasia crassicarpa. Ex Benth disebut juga sebagai Thick-podded Salwood.
Acasia crassicarpa merupakan tumbuhan berukuran sedang dengan tinggi antara 6 – 25 m dan diameter antara 50 – 60 cm. Batang gelap dengan alur-alur yang cukup dalam. Tejuknya bercabang banyak dan menyebar. Secara alami, Acasia crassicarpa tumbuh di Papua New Guinea, Irian Jaya, dan timur laut Queensland Australia. Jenis ini ditemui mulai dari daerah hangat hingga panas dan lembab dan sub-humid di dataran rendah tropis. Di Australia, ditemui di daerah-daerah yang langsung berbatasan dengan pantai atau dataran pantai (coastal plains) dan kaki bukit. Di Papua New Guinea dan Irian Jaya, jenis ini juga ditemui di daerah dengan kemiringan lereng yang landai hingga sedang pada tanah yang sangat asam dan berdrainase baik dan pada tanah yang drainasenya tidak baik dan terkena dampak banjir pada musim hujan. Jenis ini bisa tumbuh pada jenis tanah yang cukup lebar variasinya. Acasia crassicarpa dapat tumbuh di ketinggian 0 – 200 m di atas permukaan laut. Suhu tahunan ratarata yang dibutuhkan adalah 15oC – 22oC dan 31oC – 34oC. Curah hujan rata-rata tahunan yang sesuai adalah berkisar 500 – 3500 mm (Irwanto, 2003). Kayu Acasia crassicarpa dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Kayunya dapat kering dengan cepat, dan dapat terbakar dengan baik, serta berguna sebagai kayu bakar dan arang. Nilai energi yang dihasilkan adalah 22.600 kJ/kg. Sangat baik untuk industri kraft pulping, dengan hasil pulp tersaring (screened pulp yield) 47%. Kayunya juga bisa dimanfaatkan untuk beragam kayu gergajian.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
10
c.
Eucalyptus Eucalyptus pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar, tingginya
berkisar 60 – 70 m. Batang utamanya berbentuk lurus dengan diameter hingga 200 cm. Permukaan pepagan licin, serat berbentuk papan catur, daun dewasa umunya berseling kadang-kadang berhadapan, tungga, tulang tengah jelas, pertulangan sekunder menyirip atau sejajar, berbau harum bila diremas. Perbungaan berbentuk payung yang rapat, kadang-kadang berupa malai rata di ujung ranting. Buah berbentuk kapsul, kering dan berdinding tipis, biji berwarna cokelat atau hitam. Jenis Eucalypus merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Jenis Eucalyptus termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan sinar matahari. Oleh karena itu, jenis tanaman ini cenderung untuk selalu dikembangkan. Eucalyptus merupakan jenis tanaman yang cepat menghasilkan biomassa. Daerah penyebaran alami Eucalyptus berada di sebelah timur garis Walace, mulai dari 7o LU – 43o39’ LS sebagian besar tumbuh di Australia dan pulau-pulau sekitarnya. Beberapa jenis tumbuh luas di Papua New Guinea dan jenis-jenis tertentu terdapat di Sulawesi, Papua, Seram, Philipina, Nusa Tenggara Timur. Jenis Eucalyptus sesuai pada daerah arid (iklim bermusim) dan daerah beriklim basah dari tipe hutan tropis. Jenis Eucalyptus tidak menuntut persyaratan yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya. Eucalyptus dapat tumbuh pada tanah dangkal, berbatu, lembab, berawa, dan secara periodik digenangi air dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah kurus gersang sampai pada tanah yang baik dan subur. Jenis Eucalyptus dapat tumbuh di daerah beriklim A sampai C dan dapat dikembangkan mulai dari dataran rendah sampai daerah pegunungan yang tingginya per tahun sesuai bagi pertumbuhannya antara 0 – 1 bulan dan suhu rata-rata tahunan 20oC – 32oC. 2.2. Pengertian Biomassa Biomassa didefinisikan sebagai massa organik benda hidup maupun benda mati. Perubahan waktu kandungan biomassa suatu tutupan vegetasi per luasan area (kerapatan biomassa) dapat dijadikan variable iklim yang penting karena biomassa diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan berupa penangkapan
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
11
atau pelepasan karbon antara ekosistem terestrial dan atmosfer. Ketika menggunakan istilah biomassa maka kita berbicara tentang kerapatan biomassa pada suatu tutupan vegetasi yang dilihat dari massa kayu per satuan luas pada tanaman hidup maupun mati. Unit pengukurannya adalah gram/ m 2. Kumpulan karbon pada ekosistem terestrial menyertakan biomassa secara konseptual terbagi dalam biomassa di atas permukaan tanah, biomassa di bawah permukaan tanah, tanaman mati dan serasah (Bombelli et al., 2009). Biomassa di atas permukaan tanah merupakan semua biomassa tanaman yang hidup diatas tanah meliputi batang, tunggul, cabang, kulit kayu, bibit, dan daun-daunan. Sedangkan biomassa di bawah permukaan merupakan semua biomassa hidup yang meliputi akar tanaman yang terdiri atas akar serabut (diameter < 2mm), akar sedang (diameter 2-10 mm), dan akar besar (diameter >10mm). Benda mati (dead mass) meliputi biomassa kayu tak hidup, namun tidak termasuk serasah, tegakan yang lainnya, tetap berada di atas permukaan tanah atau terletak di tanah. Kayu mati terdiri dari kayu yang terletak di atas permukaan tanah, akar mati, dan tunggul yang lebih besar atau diameter >10 cm dan panjang lebih besar dari 1 m. Sedangkan serasah terdiri dari biomassa tak hidup dengan diameter kurang dari diameter minimum yang ditentukan oleh negara (misalnya 10 cm), tanaman mati tak sempurna, pada beberapa negara misalnya pembusukkan di atas mineral maupun tanah organik. Biomassa pada suatu vegetasi merupakan hal yang penting dalam variabel ekologi untuk tegakan dan potensi perubahan sistem iklim. Vegetasi biomassa merupakan penyimpan karbon yang lebih besar dibanding atmosfer, dan perubahan vegetasi biomassa dalam jumlah yang cukup besar berpengaruh pada pengikatan sejumlah karbon, dan potensi yang dimilikinya untuk menangkap karbon pada masa yang akan datang menjadi lebih besar. Tergantung pada kuantitas biomassa dari suatu tutupan vegetasi dapat mempengaruhi secara langsung pada tingkat lokal, regional, maupun iklim global, terutama pada temperatur dan kelembaban udara. Oleh karena itu, penilaian global terhadap biomassa dan dinamikanya merupakan hal yang penting sebagai masukan untuk mengubah model pendugaan dan mitigasi serta strategi adaptasi (Bombelli et. al., 2009).
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
12
2.3. Teknik Pengukuran Biomassa Menurut Mitchard et al (2009) secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass/AGB) dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu: 2.2.1. Teknik Pemanenan a. Pemanenan individu tanaman (destructive sampling) secara in situ Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan individu tumbuhan yang cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh. b. Metode pemanenan kuadrat Metode ini mengharuskan memanen semua individu tumbuhan dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa didapat dengan mengkonversi berat bahan organik tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu unit area tertentu. c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran individu yang seragam. Dengan metode ini, pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameternya dan ditimbang beratnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh. 2.2.2. Teknik Pendugaan Tidak Langsung a. Teknik hubungan allometrik Dalam metode ini, beberapa contoh pohon dengan diameter yang mewakili kisaran kelas-kelas diameter pohon dalam suatu tegakan ditebang dan ditimbang beratnya. Berdasarkan berat dari berbagai contoh organ tanaman, maka dibuat
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
13
persamaan allometrik antara berat suatu organ tanaman dengan dimensi pohon (tinggi dan diameter). Dalam penggunaan persamaan allometrik tersebut, setiap pohon secara keseluruhan dalam suatu unit area diduga beratnya. Nilai total biomassanya diperoleh dengan menjumlahkan semua berat tiap pohon dalam suatu unit areal tertentu (Bombelli et al., 2009). b. Crop meter Pendugaan biomassa dengan metode ini menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik. Secara praktis dua buah elektroda listrik diletakkan di permukaan tanah pada suatu jarak tertentu kemudian biomassa tumbuh-tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dapat dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan pada alat tersebut (Bombelli et al., 2009). c. Penginderaan Jauh Pengukuran dengan penginderaan jauh dengan menggunakan sejumlah band (gelombang mikro), gelombang optik, maupun radiasi inframerah yang dipancarkan atau dipantulkan oleh vegetasi (Bombelli et al., 2009). Radiasi ini dapat dihubungkan berdasarkan perbedaan tingkat biomassa dari suatu tutupan vegetasi melalui hubungan langsung antara respon penginderaan jauh maupun melalui hubungan tidak langsung, dengan jalan pendugaan atribut dari data penginderaan jauh, seperti leaf area index (LAI), struktur tanaman (kanopi dan tinggi tanaman) ataupun fraksi bayangan yang digunakan pada persamaan pendugaan biomassa (Bombelli et al., 2009). d. Model Model yang berbeda-beda telah dibangun untuk memperoleh estimasi biomassa dalam areal yang luas mengikuti data spasial (seperti elevasi dan radiasi), data penginderaan jauh, dan sample di lapangan maupun data inventarisasi hutan. Persamaan allometrik digunakan untuk mengekstrapolasi data sampel dan data sample penginderaan jauh ke area yang lebih luas dan untuk mendapat biomassa dari variabel lainnya (Bombelli et al., 2009). Persamaan ini menghubungkan ukuran satu struktur organisme kepada struktur lainnya pada jenis tanaman yang sama. Oleh karena itu, persamaan ini memungkinkan untuk
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
14
mengestimasi biomassa dari diamater, tinggi, dan umur tanaman, serta memperluas datum ke area yang lebih luas dengan karakteristik yang sama. Penggunaan persamaan allometrik standard yang telah dipublikasikan sering dilakukan tetapi karena koefisien persamaan allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi
dan
spesies,
maka
penggunaan
persamaan
standard
ini
dapat
mengakibatkan gangguan (error) yang signifikan dalam mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Bombelli et al., 2009). Pengukuran in situ merupakan analisa kritis terhadap pemantauan stok karbon terestrial. Dikombinasikan dengan penggunaan tanah (land use) dan tutupan vegetasi yang mengubah estimasi. Sedangkan data in situ dapat diperoleh dari inventarisasi hutan nasional atau dari studi kasus atas sampel representatif ekosistem hutan. Inventarisasi hutan nasional merupakan sumber yang paling dapat dipercaya atas kualitas informasi untuk menghitung stok karbon nasional. Pengukuran in situ, terutama jika distandarisasi dengan akurasi kebutuhan memberikan informasi yang sangat diperlukan untuk validasi data satelit, tetapi dalam kaitannya dengan waktu yang dibutuhkan dan dampak potensial bagi lingkungan mereka tidak dapat digunakan dalam area yang lebih luas. Padahal yang berbeda, data penginderaan jauh memberikan sebuah tampilan ringkas suatu area yang menarik yang mungkin bisa menilai estimasi biomassa yang mewakili area luas tersebut. Ketika
pendekatan
dengan
satelit
untuk
mengestimasi
biomassa
pemanfaatannya menjadi meningkat, mereka masih terbatas terhadap prediksi akurasi dan jarak. Akan tetapi teknologi satelit ketika kalibrasi dengan data dasar (ground data) boleh digunakan untuk keakurasian estimasi biomassa berdasarkan peningkatan frequensi pengukuran biomassa. Lebih lanjut lagi, beberapa metode satelit telah menunjukkan potensi untuk mendapatkan informasi biomassa di atas permukaan tanah secara langsung maupun tidak langsung pada resolusi yang tinggi (dibawah 1 km). Dengan kemajuan kemampuan kombinasi sensor berdasarkan penelitian dan metode sebelumnya, maka diharapkan bahwa satelit dan model dasar estimasi biomassa akan membentuk mekanisme dalam area yang lebih luas untuk pemantauan biomassa.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
15
Tanaman atau biomassa akan mengurangi konsentrasi karbondioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida (CO2) yang diserap untuk tumbuh dan berkembang. Ketika biomassa dibakar, karbon (C) akan diubah kedalam bentuk karbon dioksida dan kembali ke atmosfer. Proses ini berlangsung secara terus menerus sehingga jumlah konsentrasi karbon dioksida di atmosfer akan selalu seimbang jika sejumlah biomassa menyerap sejumlah karbon dioksida. Tetapi bila konsumsi energi fosil menjadi meningkat maka konsentrasi karbon dioksida akan meningkat. Sehingga penambahan biomassa dibutuhkan untuk menyeimbangkan kembali jumlah karbon dioksida yang diserap dan dilepaskan. Data biomassa sangat penting untuk mengetahui karakteristik ekosistem hutan dalam rangka menentukan sistem pengelolaan hutan berdasarkan prinsip kelestarian hasil (Kusmana et al., 1992). Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produksi primer bersih, lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah biomasa dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984). Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagianbagian tertentu seperti kayu yang sudah diekstraksi. Mengukur biomassa vegetasi pohon tidaklah mudah khususnya pada hutan campuran dan tegakan tidak seumur (Murdiarso et al. 1999). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti iklim, curah hujan dan suhu yang akan mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana et al. 1992). Suhu tersebut berdampak pada proses pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktifitas dekomposer (Murdiarso et al. 1999). Sedangkan menurut Satoo dan Madgwick (1982) selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah unsur kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
16
Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon di vegetasi hutan, sebab 50% dari biomassa adalah karbon. Faktor 50% dari biomassa untuk menduga karbon sudah merupakan hal yang umum digunakan oleh banyak, seperti Delaney (1999) dan Powel (1999). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti iklim, curah hujan dan suhu yang akan mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana et al. 1992). Suhu tersebut berdampak pada proses pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktifitas dekomposer (Murdiarso et al. 1999). Sedangkan menurut Satoo dan Madgwick (1982) selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah parameter umur, kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh. 2.4. Karakteristik Citra Optik Manusia melakukan penginderaan jauh untuk memotret permukaan bumi dengan menggunakan instrumen tertentu, selain dengan mata telanjang yang dimulai pada tahun 1859 oleh fotografer Gaspard Tournachon dari balon udara di sebuah desa dekat Paris, Perancis (Goetz et al., 1985). Saat ini telah banyak yang menggunakan citra satelit dengan memanfaatkan spektrum elektromagnetik misalnya gelombang mikro ultraviolet. Citra yang merekam permukaan bumi baik perairan maupun daratan dapat digunakan untuk penelitian dan penerapan pada multi disiplin ilmu seperti eksplorasi sumber daya mineral, perubahan vegetasi, dan estimasi produksi primer lautan. Penginderaan jauh optik menjadi perhatian untuk penerapan praktis seperti hasil inventarisasi, klasifikasi penggunaan tanah, dan eksplorasi mineral. Evolusi penginderaan jauh optik dalam kurun waktu terakhir telah menyediakan informasi tutupan permukaan bumi dalam jangkauan yang luas dan menyeluruh, beserta informasi spektral dan temporal untuk analisis penginderaan jauh (Prasad, 2011). Meskipun ini salah satu kemajuan dalam bidang analisis citra penginderaan jauh optik, namun kualitas dan kuantitas data yang tersedia harus tetap ditingkatkan. Misalnya transisi dari citra multispektral dan hiperspektral membutuhkan pola statistik konvensional klasifikasi algoritma yang dikembangkan untuk mengutip secara efektif informasi yang berguna dari dimensi tinggi tampilan ruang hiperspektral.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
17
Prasad menjelaskan bahwa citra hiperspektral mampu menyediakan banyak respon spektral detail pada setiap piksel, algoritma konvensional dikembangkan dan disempurnakan untuk data multispektral yang kurang optimal untuk data hiperspektral. Dalam kondisi yang baik, citra optik membutuhkan data kerja dalam training area untuk kegiatan analisis, sesuatu yang sering sukar untuk diperoleh dan terlalu mahal harganya. Sebagai hasil, proses signal dan pola pengenalan perhitungan untuk analisis data tersebut juga dikembangkan untuk mengatasi isu dan praktik penggunaannya. Dekade terakhir telah mengalami kemajuan yang berarti pada algoritma yang mewakili visualisasi dan analisis data penginderaan jauh optik. Kemajuan ini memasukkan algoritma baru untuk meringkas secara efektif data citra dimensional untuk penyimpanan dan transmisi; dan teknik baru untuk visualisasi efektif data penginderaan jauh; analisis baru dan teknik klasifikasi untuk analisis dan klasifikasi data citra; dan teknik untuk menggabungkan data citra yang diperoleh secara serempak dari cara penginderaan yang berbeda. Penginderaan jauh optik melibatkan akuisisi dan analisis data optik radiasi elektromagnetik
yang
ditangkap
oleh
penginderaan
modalitas
setelah
mencerminkan secara pasif terhadap area of interest di permukaan tanah. Akuisisi modalitas citra optik telah hadir sejak lama dari citra fotogrametri tingkat abu-abu sampai citra hiperspektral. Kemajuan dalam perangkat keras pencitraan selama beberapa dekade terakhir telah memungkinkan ketersediaan citra spasial tinggi, resolusi spektral dan temporal untuk analis penginderaan jauh. Kemajuan ini telah menciptakan tantangan yang unik bagi para peneliti dalam komunitas penginderaan jarak jauh yang bekerja pada algoritma untuk representasi, eksploitasi dan analisis data tersebut. Sistem penginderaan jauh optik pertama kali mengandalkan sensor multispektral, yang ditandai oleh sejumlah kecil band spektrum yang luas. Meskipun sensor multispektral masih dipekerjakan oleh analis, dalam beberapa tahun terakhir para penghimpun penginderaan jauh telah melihat pergeseran untuk sensor hyperspectral, yang ditandai oleh ratusan band resolusi yang baik sebagai teknologi penginderaan optik dominan. Data tersebut memiliki potensi
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
18
untuk mengungkapkan fenomenologi dasar seperti yang dijelaskan oleh keakuratan karakteristik spektral. Ekstensi tersebut dari citra multispektral sampai hiperspektral tidak berarti bahwa dalam pemrosesan sinyal dan teknik eksploitasi dapat ditingkatkan untuk mengakomodasi dimensi istimewa pada data.
Gambar 2.1. Tipe Aliran Sistem Penginderaan Jauh Optik (Sumber: Prasad, 2011)
Gambar 2.2. Plot Transmisi Atmosfer dari 0,4 – 30 cm (Sumber: Goetz et al., 1985)
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
19
Berikut ini merupakan prinsip di mana penginderaan jauh optik didirikan yang meliputi spesifikasi citra optik. a. Spektrum Pertama adalah sumber energi. Energi elektromagnetik tersedia pada penginderaan jauh pasif yaitu energi yang diperoleh dari matahari, pantulan sinar matahari, atau radiasi pancaran panas. Bagian dari energi yang digunakan sebagai gelombang terdapat dalam Gambar 2.2 yang menggambarkan bahwa keterbatasan pengukuran penginderaan jauh optik ditentukan oleh tutupan awan. Bagian kedua adalah efek atmosfer. Pengujian terhadap permukaan bumi melalui emisi atau pantulan radiasi elektromagnetik sangat disulitkan karena pengaruh atmosfer berupa tutupan awan (Vladutescu, 2008). Untuk radiometri multispektral optik, penentuan dan koreksi untuk efek gangguan awan mungkin menjadi prinsip untuk mengurangi gangguan awan (JianGuang et al., 2008). Energi radiasi dan interaksi atmosfer melalui hamburan dan penyerapan, serta jumlah energi yang dibuang ke atmosfer dari emisi atau pantulan ke permukaan bumi dipengaruhi oleh: 1) komponen awan pada atmosfer; 2) garis edar satelit (path length) yang memiliki fungsi sebagai sumber geometri relatif, permukaan, dan sensor; 3) untuk tingkat dua, pantulan permukaan disekitar tempat yang terlihat. b. Interaksi energi elektromagnetik dengan permukaan bumi Radiasi sinar matahari dipancarkan dari permukaan bumi atau diserap dan dipancarkan kembali melalui spektrum panas (Goetz et al., 1985). Proses hamburan dan penyerapan menempati layer paling atas dari permukaan bumi. Hamburan merupakan fungsi geometrik permukaan bumi (dengan kata lain ukuran partikel dan aspeknya) dan koefisien penyerapan. Koefisien penyerapan merupakan fungsi gelombang yang dibawa oleh variasi fenomena fisik seperti getaran intermolekuler dan transisi elektron pada loncatan atom. Energi emisi balik sebagai fungsi gelombang tergantung pada suhu permukaan materi, sifat fisik ukuran dan komposisi partikel. Oleh karena itu, penginderaan jauh spektral memungkinkan untuk memberikan informasi tentang sifat fisik dan komposisi tutupan permukaan bumi.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
20
Pertama, sifat spektral untuk mineral, batuan, dan tanah. Pantulan spektral mineral pada sinar tampak dan sinar matahari memantulkan inframerah merupakan hasil dari fenomena yang berbeda. Tiga proses penting yang berperan untuk pantulan spektral materi merupakan proses elektronik dari pemindahan dan efek hablur tanah, dan proses getaran. Transfer Fe-O menempati spektrum biru dan ultraviolet, serta besi yang tersebar. Namun demikian, pada kenyataannya seluruh mineral dan tanah memiliki refleksi menuju panjang gelombang yang lebih panjang pada spektrum visibel. Kedua, spektral dan sifat hamburan pada vegetasi. Variasi refleksi spektral di antara tipe vegetasi yang berbeda dari 2,5 µm jauh lebih kecil daripada mineral. Tipe kurva pantulan spektral untuk tanaman yang sehat terdapat pada Gambar 2.3. pantulan daun dikontrol pada gelombang visibel 0,7 µm oleh pigmen hijau daun, pada klorofil yang menyerap gelombang biru dan inframerah yang dengan kuat pada spektrum tampak. Penyerapan ini melibatkan transisi elektron pada molekul klorofil pusat mengelilingi komponen magnesium fotoaktif. Pantulan gelombang biru juga merupakan hasil dari transisi elektronik pada pigmen karoten dan efek pigmen ini menjadikan lebih berat ketika kuantitas klorofil pada daun berkurang selama berlangsung.
Gambar 2.3. Karakteristik Spektrum Vegetasi Tanaman Hijau (Sumber: Goetz et al., 1985)
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
21
Dalam bidang pengetahuan, citra optik dapat digunakan untuk menaksir vegetasi persediaan hutan tropis meskipun tidak dilakukan secara langsung. Untuk menaksir potensi hutan (biomassa dan karbon) secara tidak langsung dengan citra satelit tersebut, dilakukan pengembangan hubungan-hubungan statistik antara pengukuran lapang dengan data indeks vegetasi yang ada pada citra satelit. Tetapi metode ini pada umumnya menghasilkan nilai potensi yang underestimate terutama pada hutan tropis, satelit berbasis optik tidak dapat menembus tajuk hutan yang lebat (Wulder, 1998). Sehingga diperlukan bantuan pengukuran lapangan dengan jumlah sampling yang cukup. 2.5. Karakteristik Citra LANDSAT Program Landsat tanpa terkecuali untuk kencenderungan ke arah aplikasi yang sesuai. Beberapa aplikasi nyata hanya jika program sedang berlangsung. (Mack, 1990). Landsat memiliki keunikan tampilan, dan berpotensi untuk aplikasi sebagian besar sumber daya di bumi dalam waktu yang panjang. Landsat memberikan data perekaman yang terlama untuk penggunaan dan perubahan tutupan lahan dan dampak global lingkungannya. NASA meluncurkan Landsat 1 (dengan nama Earth Resources Technology Satellite, or ERTS-1) pada 1972, menginisiasikan lebih dari 30 tahun misi Landsat . Akhir-akhir ini, program Landsat akan datang lebih konsist untuk kesuksesan satelit ke-7 (Landsat 6 tidak pernah orbit, karena bermasalah dengan platform luncuran) melintasi bumi pada orbit kutub, satelit transmisi yang mengumpulkan data dan citra seluruh permukaan bumi. Landsat (Land Satellites) merupakan satelit sumberdaya bumi yang paling sering digunakan. Pada mulanya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite). Pertama kali diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hanya sampai dengan tanggal 6 Januari 1978. Satelit Landsat mengorbit bumi selaras matahari (sunsynchronous). Bersamaan dengan waktu peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space Administration) secara resmi mengubah program ERTS menjadi program Landsat (untuk membedakan dengan program
satelit oseanografi
”Seasat”
yang telah
direncanakan) sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi Landsat -1 dan Landsat-2. Peluncuran Landsat -3 dilakukan pada tanggal 5 Maret 1978.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
22
2.5.1. Sensor Enhanced Thematic Mapper (ETM) Sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper) merupakan pengembangan dari sensor TM (Thematic Mapper). Pengembangan tersebut antara lain berupa : a. Penambahan saluran pankromatik dengan panjang gelombang 0,50 – 0,90 µm. Saluran pankromatik ini mempunyai resolusi spasial sebesar 15 x 15 meter. b. Perbaikan resolusi saluran termal menjadi 60 meter. Sedangkan desain untuk 6 saluran yang lain sama seperti pada sensor TM. Citra ETM seharusnya diperoleh dari Landsat-6, namun satelit tersebut gagal mencapai orbit. Tabel 2.1. Nama dan Panjang Gelombang pada Landsat ETM+ Saluran Nama Gelombang Panjang Gelombang (µm) 1
Biru
0,45 – 0,52
2
Hijau
0,52 – 0,60
3
Merah
0,63 – 0,69
4
Inframerah Dekat
0,76 – 0,90
5
Inframerah Pendek
1,55 – 1,75
6
Inframerah Termal
10,40 – 12,50
7
Inframerah Pendek
2,09 – 2,35
8
Pankromatik
0,50 – 0,90
Sumber : Lopies, 2010 2.5.2. Sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) Desain dan operasi Landsat 7 direncanakan akan membawa dua sensor, yaitu Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) dan High Resolution Multispectral Stereo Imager (HRMSI). ETM+ didesain untuk keberlanjutan dari program Landsat-4 dan 5, dimana sampai saat ini datanya masih dapat diakses atau direkam. Pola orbitnya juga dibuat sama dengan Landsat-4, 5 dan 6, yaitu dengan lebar sapuan/liputan sebesar 185 km. Desain daripada ETM+ sama seperti ETM pada Landsat-6 namun ditambah dengan dua sistem model kalibrasi untuk mengeliminasi gangguan radiasi matahari (dual mode solar callibrator systems) dengan penambahan lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi radiometrik.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
23
Gambar 2.4. Spacecraft Landsat-7 (Sumber: Lopies, 2010)
Gambar 2.5. Scanner ETM+ (Sumber: Lopies, 2010) Transmisi data ke stasiun penerima di bumi dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu : a.
Dikirim menggunakan gelombang radio secara langsung ke stasiun penerima di bumi,
b.
Melalui relay satelit komunikasi TDRSS (Tracking and Data Relay Satellites System) yang akan merekam dan kemudian mengirimkan ke stasiun penerima di bumi,
c.
Data objek permukaan bumi direkam/disimpan lebih dahulu dalam suatu panel (storage on board) atau tipe (wideband tipe recorder), baru kemudian dikirim ke stasiun penerima di bumi.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
24
Satelit Landsat-7 juga akan dilengkapi dengan fasilitas penerima sistem posisi lokasi (Global Positioning System/GPS reciever) untuk meningkatkan ketelitian posisi atau letak satelit di dalam jalur orbitnya. Pada saat ini, Satelite Landsat-7 mengalami gangguan yang akan menghasilkan celah data yang signifikan pada term yang cukup panjang dalam memonitor permukaan bumi, berpengaruh tidak hanya pada penelitian tentang kebumian, tetapi juga konservasi pengguna data (Leimbgruber et al., 2005). 2.6. Penelitian Terdahulu Dahlan (2003) dalam penelitiannya mengenai kajian korelasi estimasi biomassa untuk menentukan stok karbon dengan citra penginderaan jauh Landsat ETM+ dan Spot 5 menyatakan bahwa model terbaik hasil verifikasi adalah menggunakan Landsat ETM+. Hasil lain menyebutkan bahwa model penduga biomassa dan karbon menunjukkan hubungan yang relatif rendah antara dijital number dengan kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. mangium baik dengan menggunakan Landsat ETM+ maupun SPOT-5. Diperoleh nilai r dengan menggunakan Landsat ETM+ sebesar 0,428 dan nilai r sebesar 0,442 dengan menggunakan SPOT-5. Angka tersebut baru menunjukkan keterhandalan model untuk menduga karbon di atas permukaan tanah tegakan Acacia mangium sebesar 18,3% dengan Landsat ETM+ band green visible dan Middle Infra Red (MIRI). Penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Adam et al. (2010) mengenai penggunaan sensor penginderaan jauh multispektral dan hiperspektral pada lahan basah untuk tujuan pendugaan biomassa. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa korelasi pendugaan biomassa dengan data Landsat ETM+ menunjukkan korelasi terbaik dengan nilai koefisien 0,86 dan signifikansi 0,05. Hasil lain menunjukkan bahwa band inframerah dekat dapat digunakan untuk mengestimasi biomassa pada vegetasi lahan basah (wetland).
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Daerah Penelitian Penelitian estimasi biomassa di atas permukaan tanah (Above-Ground Biomass/AGB) yaitu biomassa batang kayu tegakan Hutan Tanaman Industri dilakukan di Sektor Logas Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau dengan letak geografis 0o12’10” – 0o30’01” LS dan 101o10’51” – 101o22’57” BT. 3.2. Alur Pikir Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian terhadap pendugaan potensi biomassa kayu tegakan Hutan Tanaman Industri dan sebarannya berdasarkan karakteristik fisik wilayah. Karakteristik fisik wilayah yang terdiri dari ketinggian wilayah, kemiringan lereng, dan jenis tanah digunakan sebagai variabel spasial yang menjadi indikator besaran biomassa tegakan Hutan Tanaman Indsutri. Sedangkan faktor biologis tanaman berupa jenis dan umur tanaman, berpengaruh utama dalam besaran biomassa yang terdapat dalam karakteristik vegetasi di Hutan Tanaman Industri. Studi biomassa tegakan HTI yang dikaji berdasarkan karakteristik fisik wilayah terdapat dalam alur penelitian pada Gambar 3.1. berikut. HTI PT. RAPP
Vegetasi
Non Vegetasi
Ketinggian
Lereng
Jenis Tanah
Jenis
Umur
Diameter setinggi dada
Tinggi bebas cabang
Biomassa Sebaran Biomassa Kayu berdasarkan Karakteristik Fisik Wilayah Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian
25
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
26
Alur penelitian tentang sebaran biomassa kayu Hutan Tanaman Industri didasarkan pada faktor vegetasi berupa biofisik tanaman yang terdiri dari jenis dan umur tanaman. Data biofisik tanaman yang diperoleh dari hasil survey lapang digunakan sebagai penentu potensi biomassa kayu tegakan Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Data biofisik tanaman yang digunakan untuk menduga potensi biomassa kayu Hutan Tanaman Industri dengan persamaan alometri adalah tiga (3) jenis tanaman HTI dengan 5 tingkat umur (1 – 5 tahun). Sedangkan data fisik wilayah yang digunakan untuk mengetahui karakteristik sebaran biomassa kayu adalah ketinggian wilayah, kemiringan lereng, dan jenis tanah.
3.3. Prosedur Kerja Penelitian 3.3.1. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan data primer. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.3.1.1. Data Primer Data primer meliputi data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran di lapangan. Data primer yang diperoleh dari hasil pengukuran lapang meliputi jenis pohon, umur tanaman. Penentuan sampel pohon dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling acak stratified systematic sampling with random start. Jumlah sampel yang diambil adalah 75 titik sampel berbentuk persegi berukuran 30 m x 30 m berdasarkan ukuran piksel pada Citra Landsat 7ETM+, sehingga setiap titik sampel memiliki luas 900 m2. Setiap plot terdiri dari ±120 tanaman HTI karena jarak tanam yang digunakan adalah 3m x 2,5 m sesuai ilustrasi pada Gambar 3.2. berikut ini.
Gambar 3.2. Plot sampel tegakan HTI Sektor Logas Selatan
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
27
Diameter tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah diameter tegakan setinggi dada yang berikutnya ditentukan sesuai aturan umum yaitu ±130 cm dari setiap sampel tegakan. Berberapa cara pengukuran diameter tegakan tanaman dapat dilihat pada Gambar 3.3 sebagai berikut:
Gambar 3.3. Berbagai cara mengukur diameter pohon setinggi dada (Sumber: Planning, 2011) Pengukuran lapang terhadap tinggi tegakan diukur dengan menggunakan bantuan hypsometer yaitu alat untuk mengukur tinggi pohon.
Adapun cara
pengukuran tinggi tegakan tanaman dapat dilihat pada Gambar 3.4 sebagai berikut:
Gambar 3.4. Cara mengukur tinggi pohon (Sumber: Planning, 2011)
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
28
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat kompartemen (unit tanam terkecil). Pada kegiatan survey lapang dilakukan pengamatan dan pengukuran terhadap tinggi dan diameter tegakan yang sebelumnya telah dibuat plot-plot survey beserta ukuran dan luasan plot sampel yaitu berukuran 30 m x 30 m sebanyak 75 titik sampel secara acak pada jenis tanaman dan tingkat umur. Setiap titik sampel diambil 120 pohon contoh berdasarkan kerapatan dan jarak tanam yaitu 3m x 2,5m untuk mendapatkan data diameter dan tinggi pohon pada hutan tanaman industri untuk keperluan pendugaan biomassa berdasarkan allometri setiap jenis tanaman. Pengukuran dilakukan pada luasan tertentu disesuaikan dengan ukuran piksel pada Citra Landsat 7 untuk tujuan keakuratan nilai NDVI pada setiap piksel sehingga pendugaan terhadap biomassa dapat lebih akurat. 3.3.1.2. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur maupun sumbersumber pendukung seperti instansi pemerintah (Bakosurtanal, Dinas Kehutanan) maupun dari PT. Riau Andalan Pulp and Paper. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peta, citra, persamaan alometrik tiap jenis pohon, data kondisi fisik wilayah, dan data statistik. Data sekunder yang digunakan dijelaskan pada uraian sebagai berikut: a. Data NDVI yang diperoleh dari Citra Landsat 7 resolusi 30 m, path 127 dan row 60, liputan bulan Maret tahun 2011 dari PT SEAMEO BIOTROP; b. Data elevasi dan kemiringan lereng yang diperoleh dari Aster Gdem; c. Data administrasi wilayah penelitian dari Peta RBI Kecamatan Singingi skala 1:50.000 dari Bakosurtanal; d. Data struktur batuan dan jenis tanah dari Peta Land System dan Land Suitability lembar Solok (0815) Skala 1:250.000 dari Bakosurtanal; e. Data kompartemen dan sektor tanam dari Peta Tanam Sektor Logas Selatan Skala 1:50.000 dari PT. RAPP f.
Data penggunaan tanah dari Peta Landuse Sektor Logas Selatan Skala 1:50.000 dari PT. RAPP
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
29
Dari keseluruhan data primer dan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, proses kerja penelitian yang dilakukan, secara rinci disajikan dalam alur kerja penelitian pada Gambar 3.5. berikut ini. Mulai
HTI PT. RAPP
Survey Lapang Vegetasi
Fisik Ketinggian
Lereng
Jenis Tanah
Wilayah Ketinggian
Umur
Jenis
Wilayah Kemiringan Lereng Jenis Tanah
Acacia mangium Acacia crassicarpa
Kelas umur 5 tahun
Eucalyptus
Diameter setinggi dada
Citra Landsat 7 ETM+ Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik NDVI
Tinggi
Tingkat Kehijauan - Rendah - Sedang - Tinggi
Alometri Potensi Biomassa
Sebaran Biomassa berdasarkan Karakteristik Fisik Wilayah
Selesai
Gambar 3.5. Alur Kerja Penelitian
Rangkaian kerja yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan dalam gambar alur kerja penelitian di atas yang dijelaskan lebih lanjut dalam pengolahan data. Secara umum, data fisik wilayah disajikan dalam bentuk peta dasar yang akan digunakan selanjutnya pada proses overlay dengan hasil biomassa kayu HTI. Hasil pengolahan biomassa kayu HTI diperoleh dari persamaan alometri biomassa berdasarkan jenis tanaman. Umur tanaman digunakan sebagai pembanding data
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
30
besaran diameter dan tinggi tanaman tiap jenis pohon. Sedangkan data citra Landsat 7 ETM+ diolah terlebih dahulu melalui proses koreksi radiometrik dan koreksi geometrik, kemudian untuk menghasilkan nilai NDVI yang digunakan dalam output berupa tingkat kehijauan vegetasi Hutan Tanaman Industri. 3.3.2. Pengolahan Data Pengolahan data spasial berupa ketinggian wilayah, lereng, jenis tanah, titik sampel, serta data Citra Landsat 7 ETM+ dilakukan dengan menggunakan software ArcView 3.3, ArcGIS 9.3, Er Mapper 7.0 dan ENVI v.4.5. Sedangkan untuk pengolahan data tabular diolah dengan menggunakan software Ms. Excel, serta SPSS 16 untuk uji statistik. Berikut ini adalah beberapa pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini: 3.3.2.1. Perhitungan Volume Kayu Tegakan HTI Pengukuran volume tegakan dapat dilakukan dengan menggunakan luas bidang dasar tegakan, yaitu jumlah luas penampang melintang seluruh pohon yang diukur atau sering disebut dengan luas bidang dasar total tegakan, rata-rata tinggi, dan faktor bentuk tegakan (Planning, 2011). Salah satu metode penaksiran volume tegakan adalah dengan cara sampling titik. Dengan sampling titik ini, luas bidang dasar tegakan dapat ditaksir dengan cepat. Parameter lain yang diperlukan untuk penaksiran volume tegakan yaitu tinggi pohon dan angka bentuk batang. Kedua parameter ini dapat diperoleh dengan mengukur sejumlah pohon, untuk menduga volume tegakan, digunakan rumus sebagai berikut (Planning, 2011): 1
V = 4𝜋
𝑑 100
2
. 𝑡. 𝑓
(3.2.)
Keterangan: V
= Volume pohon bebas cabang (m3)
D
= diameter setinggi dada (cm)
t
= tinggi bebas cabang (m)
f
= angka bentuk batang (0,7)
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
31
3.3.2.2. Perhitungan Biomassa Kayu Tegakan HTI Pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik berikut ini Tabel 3.1. Persamaan Allometrik untuk Menaksir Biomassa Tegakan HTI No.
Jenis Tanaman
Persamaan Allometrik
Peneliti
1
Acasia crassicarpa
WAG = 0,165 D2,399
Onrizal, 2006
2
Acasia mangium
WAG = 0,0528(D2)1,3612
Heriyansah, 2009
3
Eucalyptus
WAG = 0,0678 D2,5794
Kusmana, 2011
Di mana, D = Diameter tanaman setinggi dada (± 130 cm) Biomassa per hektar dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Planning, 2011): 𝑛
𝑊=
𝑊𝑝𝑖 𝑥 11,1111 𝑖=1
(3.3.)
Di mana, W
= Total biomassa (ton/ha)
Wpi
= biomassa tiap plot (ton/900m2)
n
= jumlah pohon
3.3.2.3. Pendugaan Biomassa Kelas-kelas vegetasi yang telah ditentukan kemudian diubah menjadi informasi distribusi biomassa dengan mengkonversi nilai spketralnya menjadi biomassa tegakan berdasarkan pengukuran contoh/sampel plot di lapangan untuk tipe vegetasi tertentu serta menghubungkannyadengan nilai NDVI. Hubungan nilai NDVI setiap piksel pada citra Landsat 7 ETM+ dengan biomassa hasil pengukuran lapang dapat digunakan sebagai penduga biomassa tanaman di Hutan Tanaman Industri yang tidak dilakukan pengukuran lapang melalui pendugaan tidak langsung yang diperoleh dari model persamaan hasil uji statistik sebagai berikut.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
32
Y=a+bX
(3.4.)
Di mana, Y = biomassa tiap piksel A = konstanta B = koefisien NDVI X = Nilai NDVI setiap piksel 3.3.3. Analisis Data Untuk menjawab pertanyaan penelitian akan dilakukan dua tahapan analisis yaitu sebagai berikut:
Untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana karakteristik sebaran biomassa tegakan di Sektor Logas Selatan, PT. RAPP, Kecamatan Singingi?”, maka analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisa deskriptif untuk menjelaskan wilayah sebaran biomassa yang rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan hasil peta sebaran biomassa kayu HTI. Analisa spasial dengan metode overlay digunakan untuk melihat hubungan keruangan antar variabel, antara nilai biomassa hutan tanaman terhadap ketinggian wilayah, kemiringan lereng, dan jenis tanah.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
BAB 4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Letak dan Luas Daerah Penelitian Berdasarkan Peta Administrasi yang disajikan pada Peta 2, Sektor Logas Selatan PT. Riau Andalan Pulp and Paper masuk ke dalam wilayah Kecamatan Singingi bagian Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Luas Sektor Logas selatan adalah sebesar 21.085 Ha. Sedangkan luas Kecamatan Singingi sebesar 1933,66km2
atau sekitar 25,52% dari keseluruhan luas Kabupaten
Kuantan Singingi. Sektor Logas Selatan hanya 11% dari luas Kecamatan Singingi. Berdasarkan Peta 1, batas-batas wilayah Kecamatan Singingi adalah sebagai berikut: Utara : Kabupaten Kampar Selatan : Kecamatan Kuantan Mudik dan Provinsi Sumatera Barat Barat : Kabupaten Kampar dan Provinsi Sumatera Barat Timur : Kecamatan Kuantan Hilir, dan Kecamatan Benai Ibukota Kecamatan Singingi terletak di Muara Lembu yang terdiri dari 13 desa yang meliputi Desa Pangkalan Indarung, Desa Pulau Padang, Desa Muara Lembu, Desa Logas, Desa Kebun Lado, Desa Simapang Raya, Desa Sungai Buluh, Desa Petai, Desa Kota Baru, Desa Sumber Jaya, Desa Muara Bahan, Desa Suka Damai, Desa Bukit Raya, Desa Sungai Paku, Desa Beringin Jaya, dan Desa Sukamaju. Berdasarkan Administrasi Sektor Logas Selatan yang disajikan dalam Peta 2., Sektor Logas Selatan terletak pada 5 wilayah administrasi desa yaitu Desa Sungai Paku, Desa Kota Baru, Desa Petai, Desa Kebun Lado, dan Desa Pulau Padang. Batas-batas wilayah Sektor Logas Selatan adalah sebagai berikut: Utara : Desa Domo; Selatan : Desa Pulau Padang, Desa Muara Lembu; Barat : Desa Gema; Timur : Desa Gunung Sahilan, Desa Sungai Damai, Desa Bukit Raya, Desa Muara Bahan, Desa Sumber Jaya, Desa Sungcai Buluh, Desa Simapang Raya, dan Desa Muara Lembu.
33
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
34
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
35
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
36
4.2. Topografi 4.2.1. Lereng Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng yang ditampilkan dalam Peta 3, Sektor Logas Selatan terbagi dalam 5 kelas wilayah kemiringan lereng. Sektor Logas Selatan didominasi oleh wilayah dengan kemiringan lereng 8 – 5% yang tersebar hampir di seluruh bagian. Wilayah dengan kemiringan lereng yang cukup terjal tersebar di Sektor Logas Selatan bagian Barat Laut. Wilayah yang hampir datar memiliki luasan paling kecil. Berdasarkan pengolahan data Aster GDEM resolusi 30 meter, klasifikasi wilayah kemiringan lereng disusun dengan metode geometric interval. Klasifikasi lereng di Sektor Logas Selatan disusun berdasarkan klasifikasi: a. Wilayah dengan kemiringan lereng 0 – 2 % dengan luas 1054 ha; b. Wilayah dengan kemiringan lereng 2 – 8 % dengan luas 5756 ha; c. Wilayah dengan kemiringan lereng 8 – 15 % dengan luas 7346 ha; d. Wilayah dengan kemiringan lereng 15 – 25% dengan luas 2474 ha; dan e. Wilayah dengan kemiringan lereng >25% dengan luas 4389 ha; 4.2.2. Ketinggian Wilayah Berdasarkan Peta Wilayah Ketinggian yang ditampilkan dalam Peta 4, Sektor Logas Selatan terdiri dari lahan kering yang memiliki ketinggian wilayah 4 – 388 meter di atas permukaan laut. Sektor Logas Selatan didominasi oleh wilayah dengan kelas wilayah ketinggian 120 – 180 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan pengolahan data Aster GDEM resolusi 30 meter, klasifikasi wilayah ketinggian adalah sebagai berikut: a. Wilayah dengan ketinggian 0 – 60 mdpl dengan luas 1859 ha; b. Wilayah dengan ketinggian 60 – 120 mdpl dengan luas 8024 ha; c. Wilayah dengan ketinggian 120 – 180 mdpl dengan luas 8450 ha; d. Wilayah dengan ketinggian 180 – 240 mdpl dengan luas 2274 ha; dan e. Wilayah dengan ketinggian >240 mdpl dengan luas 412 ha.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
37
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
38
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
39
4.3. Geologi dan Jenis Tanah Berdasarkan Peta 5 yang diperoleh dari Peta Land System and Land Suitability lembar Solok (0815) aspek geologi Tata Lingkungan terdiri dari morfologi dataran dan sebagian besar perbukitan bergelombang lemah hingga kuat elevasi 3 – 80, berada pada zona batuan rapuh, patahan dengan arah N335oBT – N340oBT. Longsor berpotensi terjadi pada tebing jalan menuju pekanbaru, erosi pada tebing sungai, gerakan tanah pada daerah yang memiliki batuan rapun. Struktur Geologi dan Tanah berdasarkan Peta Land System dan Land Suitability lembar Solok (0815) Skala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 4.1. Jenis Geologi dan Jenis Tanah Sektor Logas Selatan No
Simbol dan Deskripsi
1
MBI (Muara Beliti) Dataran dataran sedimen berbatu tufa yang berombak sampai bergelombang
Asosiasi Tanah
Podsolik, kambisol distrik, Oksisol kromik
Gleisol distrik, Aluvial gleiik, Kambisol eutrik Tufit, batu lanau, batu - Podsolik kromik 3 pasir, batu lumpur, tefra - Oksisol kromik berbutir halus Podsolik Podsolik SAR (Sungai Aur) DataranBatu lumpur, batu lanau, kromik, oksisol 4 dataran endapan bertufa yang batu pasir, tufit, tefra kromik, berbukit berbutir halus kambisol distrik BYN (Bukit Ayun) SistemBatu pasir, batu lumpur, Kambisol 5 sistem punggung endapan tufit, tefra berbutir halus, distrik, Podsolik bertufa yang sangat curam batu lanau humik Sumber: Land System dan Land Suitability lembar Solok (0815),Bakosurtanal 2
BKN (Bakunan) Dasar-dasar lembah kecil diantara bukitbukit AHK (Air Hitam Kanan) Punggung-punggung bersisi terjal di atas endapan bertufa
Geologi (Jenis Batuan/Mineral Doiminan Tefra berbutir halus, tufit, batu lumpur, batu lanau, batu pasir, aluvium, sungai muda, pasir tua dan kerikil Aluvium sungai muda
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
40
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
41
4.4. Iklim Klasifikasi iklim di Sektor Logas Selatan, Kecamatan Singingi ( wilayah bagian barat ) berdasarkan klasifikasi Schmidt & Ferguson termasuk dalam tipe A, yaitu curah hujan tinggi dan terjadi hampir sepanjang tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Oktober yaitu sebesar 257 mm, sedangkan surah hujan terendah Bulan Juli yaitu sebesar 114 mm. Temperatur harian rata-rata sebesar 25,6 oC, suhu maksimum sebesar 26,6oC dan suhu minimum 25,6oC. Hasil perhitungan neraca air di wilayah ini adalah sepanjang tahun terjadi surplus kecuali pada Bulan Juli, jumlah air yang berada di tanah yaitu sebesar 300 mm mengalami keseimbangan (Planning, 2011). 4.5. Penggunaan Tanah Berdasarkan data penggunaan tanah yang kemudian disajikan dalam Peta 6, Sektor Logas Selatan memiliki luas wilayah sebesar 21.019 ha dengan rincian penggunaan tanah yang disajikan dalam dalam tabel berikut ini. Tabel 4.2. Luas Penggunaan Tanah Sektor Logas Selatan, PT. RAPP No.
Penggunaan Tanah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rawa Areal Konflik Sarana Prasarana Areal Belum Ditanami Tanaman Kehidupan Tanaman Unggulan Lahan Tidak Terbangun Pertanian Masyarakat Kawasan Lindung Tanaman Pokok
Luas (ha) 173 388 528 914 946 1.349 1.656 1.839 6.367 6.859
Persentase 1% 2% 3% 4% 4% 6% 8% 9% 30% 33%
Jumlah 21.019 100% Sumber: Peta Tanam Sektor Logas Selatan, 2011 Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 4.2., tanaman pokok memiliki luasan sebesar terbesar dari penggunaan tanah yang lainnya. Penggunaan tanah untuk tanaman pokok ini adalah yang digunakan sebagai areal tanam untuk jenis tanaman Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus. Penggunaan tanah untuk tanaman pokok tidak memenuhi ketentuan umum sebesar 70% dari areal konsesi.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
42
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
43
Penggunaan
tanah
untuk
Kawasan
Lindung berupa
wilayah
yang
dikembangkan untuk keperluan konservasi. Kawasan Lindung di Sektor Logas Selatan menjadi salah satu Kawasan Lindung Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Oleh karena itu, penggunaan tanah untuk Kawasan Lindung memiliki luasan yang cukup besar hingga mencapai 30% dari luas total areal konsesi yaitu 6.367 ha. Pada Tabel 4.2., tutupan lahan HTI berupa areal yang belum ditanami menunjukkan bahwa areal ini berupa hutan bekas tebangan (Load Over Area /LOA) yang belum ditanami kembali dengan luasan sebesar 914 ha atau 4% dari luas total Sektor Logas Selatan. Penggunaan tanah lainnya berupa tanaman kehidupan yaitu areal yang digunakan untuk jenis tanaman yang dikembangkan oleh masyarakat yang mempunyai nilai ekonomis tinggi misalnya sayuran, buah-buahan, tanaman karet, dan lainnya. Penggunaan tanah untuk tanaman unggulan terdiri dari tanaman khas wilayah setempat yang tetap dilestarikan. Penggunaan tanah berupa sarana prasarana terdiri dari kantor sektor dan rumah-rumah pekerja hutan. Penggunaan tanah berupa pertanian masyarakat terdiri dari perkebunan kelapa sawit. Penggunaan tanah berupa lahan tidak terbangun terdiri dari areal yang tidak produktif lagi untuk ditanami tanaman HTI. Penggunaan tanah berupa areal konflik merupakan areal yang dianggap bermasalah karena diklaim milik masyarakat maupun overlap dengan perusahaan lain. Areal Konflik 2%
Tanaman Pokok 33%
Rawa 1%
Areal Belum Ditanami Sarana 4% Prasarana Tanaman 3% Kehidupan 4%
Tanaman Unggulan 6%
Lahan Tidak Terbangun 8% Kawasan Lindung 30%
Pertanian Masyarakat 9%
Gambar 4.1. Presentase Penggunaan Tanah Sektor Logas Selatan
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
44
4.6. Sebaran Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri memiliki pola sebaran vegetasi yang berbeda dengan Hutan Alam maupun Hutan Rakyat. Perbedaan tersebut meliputi: jenis tanaman monokultur, variasi struktur vertikal dan horisontal tegakan tunggal. Selain itu, pengaturan dan kompartemenisasi tanaman dan tebangan menyebabkan sistem kawasan menjadi berpola mozaik. Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan tersebar di Desa Petai, Desa Sungai Paku, Desa Kota Baru, Desa Kebun Lado, dan Desa Pulau Padang. Di Desa Petai bagian Barat, Hutan Tanaman Industri tersebar pada wilayah kelerengan yang cukup terjal dan ketinggian antara 140 - 388 meter di atas permukaan laut. Tanaman yang mendominasi di daerah tersebut adalah Acasia mangium. Hampir semua wilayah Sektor Logas Selatan didominasi oleh tanaman Acasia mangium. Berdasarkan keterangan sebelumnya yang disajikan pada Tabel 4.3. bahwa luas seluruh tanaman pokok HTI dengan jeniis Acasia mangium yang ada di Sektor Logas Selatan adalah sebesar 82% dari luas total tanaman pokok yang ada. Di Desa Petai bagian barat banyak dijumpai lahan tidak terbangun yang merupakan lahan sudah tidak produktif lagi untuk ditanami jenis tanaman HTI. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Hutan Tanaman Industri memiliki pola sebaran mozaik akibat dari kompartemenisasi atau pemetakan terhadap areal tanam. Untuk jenis tanah mineral seperti yang terdapat di Sektor Logas Selatan, Hutan Tanaman Industri diatur dalam bentuk kompartemen sebagai unit terkecil pengelolaan yang ditentukan dan dibatasi dengan batas alam berupa sungai, jalan, dan lereng. Hal ini disebabkan karena wilayah yang bertanah mineral memiliki kecenderungan terletak pada wilayah yang memiliki variasi elevasi dan kelerengan yang cukup tinggi. Selain itu, pembuatan petakpetak tanam juga akan sulit jika dibuat berbentuk kotakan-kotakan, karena jenis tanah mineral cenderung lebih keras daripada tanah gambut memiliki bentuk kompartemen berupa kotakan-kotakan yang berukuran seragam. Titik sampel pada penelitian terdiri atas 75 titik sampel pada tegakan Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan dengan 6% titik sampel berada pada wilayah kemiringan lereng 8 - 15%, 37% titik sampel berada pada wilayah
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
45
kemiringan lereng 2 - 8%, sedangkan sisanya sebanyak 56% titik sampel berada pada wilayah kelerengan 0 - 2%. Adapun sebaran titik sampel pada tegakan Hutan Tanaman Industri berdasarkan wilayah ketinggian terdiri atas 6% terletak pada wilayah ketinggian 0 60 mdpl, 11% terletak pada wilayah ketinggian 180 - 240 mdpl, 35% terletak pada wilayah ketinggian 60 - 120 mdpl, dan sisanya sebesar 48% terletak pada wilayah ketinggian 120 - 180 mdpl. Pada umumnya, sebaran Hutan Tanaman Industri pada Sektor Logas Selatan Kecamatan Singingi terletak di antara hutan alam dan pertanian masyarakat hutan, selain itu juga terletak dengan kawasan lindung Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling.
(a) (b) (c) Foto 4.1 (a) Hutan Tanaman Acasia mangium 2 tahun, (b) Hutan Tanaman Eucalyptus umur 3 tahun, (c) Hutan Tanaman Acasia crassiacarpa umur 4 tahun Sumber: Dokumentasi 2011 Hutan Tanaman Industri yang tersebar pada wilayah ketinggian >240 meter di atas permukaan laut memiliki luasan yang relatif sedikit daripada Hutan Tanaman Industri yang terletak pada wilayah ketinggian < 240 meter di atas permukaan laut. Hal ini berpengaruh terhadap pengelolaan tanaman yang lebih mudah pada wilayah yang relatif datar. 4.7. Luas Tanaman Hutan Tanaman Industri 4.7.1. Luas Tanaman Acacia mangium Pada Lampiran 2 yang kemudian disajikan dalam Gambar 4.4. dapat dilihat bahwa luas total tanaman jenis Acacia mangium berdasarkan umur tanaman yang terbagi pada umur tanaman 1 tahun yaitu seluas 1.666, 2 ha atau sebesar 24%, umur tanaman 2 tahun seluas 2.411,2 ha atau sebesar 35%, umur tanaman 3 tahun seluas 682,5 ha atau sebesar 10%, 4 tahun sebesar 11%, umur tanaman 5 tahun sebesar 2% dari keseluruhan areal tanam di Sektor Logas Selatan. Hal ini menggambarkan bahwa Acacia mangium yang berumur 2 tahun mendominasi
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
46
seluruh areal tanam yaitu di Estate (Blok Taman) B, C, D, E, G, H, dan I yang tersebar di Desa Sungai Paku, Kota Baru, Petai, Kebun Lado, dan Pulau Padang. Jenis tanaman Acacia mangium mendominasi di Sektor Logas Selatan karena Sektor Logas Selatan memiliki jenis tanah mineral sehingga tanaman Acacia mangium menjadi tanaman utama untuk tanaman bahan baku utama pulp dan kertas pada jenis tanah mineral. Jenis tanaman Acacia mangium tersebar di semua kelas wilayah ketinggian yaitu 4 -388 mdpl dan kelas lereng 0 - 20% yang terdapat di Sektor Logas Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman Acacia mangium mampu tumbuh optimal pada hampir semua kondisi fisik tempat tumbuh. 4.7.2. Luas Tanaman Acacia crassicarpa Pada Lampiran 3 yang kemudian disajikan dalam Gambar 5.2 dapat diketahui bahwa tanaman jenis Acacia crassicarpa memiliki luasan hanya sebesar 61,6 ha dari luas seluruh tanaman pokok HTI di Sektor Logas Selatan atau hanya sebesar 2% dari total area tanam Sektor Logas Selatan. Untuk jenis tanaman ini presentasenya tidak begitu besar karena jenis tanaman ini hanya sebagai varian untuk jenis tanah mineral agar tidak dilakukan monokultur terhadap jenis Acacia mangium saja. Selain itu, jenis tanaman Acacia crassicarpa lebih diutamakan ditanam pada lahan gambut, namun kenyataannya jenis ini dapat tumbuh optimal pada jenis tanah mineral. 4.7.3. Luas Tanaman Eucalyptus Pada Lampiran 3 yang kemudian disajikan dalam Gambar 4.4. dapat diketahui bahwa tanaman HTI jenis Eucalyptus mempunyai luasan sebesar 1.148,4 ha dengan luasan terbesar pada umur tanaman 2 tahun. Tanaman HTI jenis Eucalyptus memiliki sebaran umur tanaman dari 1 tahun seluas 246,2 ha (4%) di Estate A (Desa Kota Baru dan Sungai Paku); umur 2 tahun seluas 555,3 ha (8%) di Estate D (Desa Petai dan Kota Baru), Estate G (Desa Petai dan Kebun Lado), dan Estate H (Desa Petai, Kebun Lado, dan Pulau Padang); serta umur 3 tahun seluas 346,9 ha (5%) di Estate C dijumpai di Desa Petai dan Kota Baru (Peta 8). Tanaman jenis Eucalyptus tersebar pada kelas ketinggian wilayah antara 4-87 meter di atas permukaan laut dan pada kelerengan wilayah tidak lebih dari 8%. Eucalpytus tersebar di bagian Timur Sektor Logas Selatan.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
47
Dari hasil survey dan pengolahan data, dapat diketahui bahwa sebaran Hutan Tanaman Industri di Logas Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Kecamatan Singingi sekitar 43% lokasi tanam terdapat di Desa Petai, 14% terdapat di desa Sungai Paku, 29% terdapat di Desa Kota Baru, dan 14% terdapat di Desa Kebun Lado.
Acacia mangium (2 tahun) 35%
Acacia crassicarpa (4 tahun) 1%
Eucalyptus Acacia (1 tahun) 4% mangium (5 tahun) 2%
Eucalyptus (3 tahun) 5% Eucalyptus(2 tahun) 8% Acacia mangium (3 tahun) 10%
Acacia mangium (1 tahun) 24%
Acacia mangium (4 tahun) 11%
Gambar 4.2. Presentase Luas Tanaman Pokok Pada Gambar 4.3. di bawah ini diketahui bahwa tanaman Acacia mangium memiliki luasan terbesar di antara ketiga jenis tanaman HTI. Sedangkan Eucalyptus menduduki urutan kedua, dan Acacia crassicarpa memiliki presentase luas terkecil.
1%
17% Acacia mangium Acacia crassicarpa 82% Eucalyptus
Gambar 4.3. Presentase Luas HTI Menurut Jenis Tanaman
Berikut ini disajikan Peta 7 (Jenis Tanaman HTI) dan Peta 8 ( Umur Tanaman HTI).
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
48
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
49
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
50
4.8. Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya Penduduk di Sekitar HTI Berdasarkan Kabupaten Kuantan Singingi Dalam Angka 2010, Kecamatan Singingi memiliki 5.223 KK. Jumlah penduduk total Kecamatan Singingi yaitu 21.047 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 11.168 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 9.879 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di sekitar Sektor Logas Selatan adalah bertani, namun pada saat ini ada beberapa masyarakat yang melakukan penebangan liar di kawasan hutan alam sedangkan lahan pertanian yang ada tidak dimanfaatkan. Apabila penebangan pada hutan alam terus berlanjut akan mengakibatkan rusaknya hutan alam. Oleh karena itu dilakukan Program Pemberdayaan Masyarakat Hutan dimana program tersebut merupakan suatu mekanisme layanan sumber daya dukung untuk membantu masyarakat agar dapat mengentaskan dirinya sendiri. Program Pemberdayaan Masyarakat Hutan ini bertolak dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat sendiri, salah satunya adalah alokasi Tanaman Kehidupan sebesar 5% dari luas konsesi. Tanaman Kehidupan ini mencakup tanaman yang bernilai ekonomis seperti sayur-sayuran, durian, karet yang dikelola masyarakat hutan yang hasilnya dapat disalurkan ke unit-unit usaha masyarakat. Dalam bidang perokonomian, saat ini telah terdapat 18 perusahaan dagang dan 33 KUD di Kecamatan Singingi yang dihasilkan dari program Pemberdayaan Masyarakat. Diharapkan dengan adanya program tersebut dapat tercipta masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Selain pertanian, sektor peternakan dan perikanan masuk dalam program pengembangan ekonomi kerakyatan oleh PT. RAPP. Program-program lain seperti pengembangan kelestarian lingkungan di semua faktor, penghijauan, dan kebersihan lingkungan. Kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar sektor Logas Selatan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di sekitar Sektor Logas Selatan, suku-suku yang terdapat di Kecamatan Singingi antara lain suku asli yaitu Melayu, sedangkan suku pendatang adalah suku Minang, Batak, Jawa, Bugis, dan warga keturunan Cina.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
51
Adat istiadat yang menjadi ciri masyarakat secara umum dan langsung melandasi sujud budaya penduduk sebagai anggota masyarakat atau komunitas dalam suatu tatanan sosial adalah nilai agama dan nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tata nilai yang terdapat dalam agama dan warisan nenek moyang mereka yang dianut oleh penduduk secara lagsung melandasi semua perilaku atau setiap gerak hidup penduduk. Pengaruh nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai warisan leluhur tersebut terlihat dalam hal sosialisasi penduduk tentang kehidupan, hubungan manusia dengan manusia lain seperti dalam adat istiadat pernikahan, hajatan-hajatan, serta upacara keagamaan yang masih sering dilaksanakan oleh penduduk. Di Kecamatan Singingi terdapat situs dan benda cagar budaya yaitu jenis makam tua dan pohon sialang. Pohon Sialang adalah pohon di mana tempat bersarangnya lebah madu yang bukan saja digunakan sebagai mata pencaharian masyarakat setempat, tetapi juga merupakan pohon yang dikeramatkan.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Nilai Indeks Vegetasi (Tingkat Kehijauan ) HTI Tingkat kehijauan pada Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan, Kecamatan Singingi berdasarkan hasil pengolahan data NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dari Citra Landsat 7 ETM+ komposit band 321 (Peta 9) disajikan pada Peta 10. Sedangkan tingkat kehijauan menurut jenis tanaman disajikan dalam Peta 11. Tingkat kehijauan tanaman di Sektor Logas Selatan terbagi menjadi tiga (3) yaitu tingkat kehijauan yang termasuk dalam kriteria rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat kehijauan dengan kriteria rendah memiliki nilai -1 < NDVI < -0,08 yang tersebar hanya di sebagian kecil Sektor Logas Selatan yaitu di bagian Barat. Kriteria sedang memiliki nilai -0,08 < NDVI < 0,21 yang tersebar dominan di bagian Utara. Sedangkan di bagian Barat, Tengah dan Timur hanya tersebar sebagian saja. Tingkat kehijauan dengan kriteria tinggi memiliki rentang nilai yaitu 0,21 < NDVI < 1 yang tersebar di bagian Tengah Sektor Logas Selatan. Hampir seluruh tegakan Hutan Tanaman Industri memiliki kriteria tingkat kehijauan yang tinggi karena sebagian besar nilai NDVI di atas 0,21. Tingkat kehijauan dapat dijadikan sebagai indikator bagi kesuburan vegetasi yang dilihat dari tutupan kanopi tanaman HTI. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kehijauan Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan didominasi oleh kriteria tinggi dengan kanopi pohon yang cukup rapat. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi tegakan yang ada didominasi pada tingkat umur 2 tahun dimana pada umur ini tanaman sedang mengalami pertumbuhan yang optimal sehingga membentuk tutupan vegetasi yang cukup lebat. Hasil lain menunjukkan bahwa tingkat kehijauan Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan dibentuk oleh tingkat kerapatan tanaman yang cukup tinggi karena pola tanam diatur berdasarkan jarak tanam yang seragam. Jarak tanam untuk tanaman HTI di Sektor Logas Selatan yang banyak digunakan adalah 3 m x 2,5 m, sehingga dalam 1 hektar lokasi tanam dapat diperkirakan ditumbuhi oleh ±1333 tegakan Hutan Tanaman Industri.
52
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
53
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
54
Tingkat kehijauan Hutan Tanaman Industri menurut jenis tanaman di Sektor Logas Selatan, Kecamatan Singingi, Kabupaten
Kuantan Singingi disajikan
dalam Peta 10. Pada tanaman Acacia mangium tingkat kehijauan tersebar pada semua kriteria (rendah, sedang, dan tinggi). Tingkat kehijauan yang rendah terdapat di bagian Barat dan sebagai sebaran terkecil dari kriteria yang lain. Kriteria tingkat kehijauan yang sedang tersebar di bagian Utara dan tengah pada Acacia mangium umur 1 dan 2 tahun. Sedangkan kriteria tinggi tersebar di bagian Tengah dan Barat pada Acacia mangium umur 2 – 5 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Citra Landsat 7 ETM+ nilai NDVI pada Acacia mangium memiliki rentang dari 0,07 – 0,38. Tingkat kehijauan pada tanaman Acacia crassicarpa umur 4 tahun seluruhnya terdapat pada kriteria yang tinggi dimana nilai NDVI >0,21. Berdasarkan pengolahan
data citra, nilai NDVI Acacia crassicarpa yang
diperoleh berkisar antara 0,27 – 0,38. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat kehijauan tanaman Acacia crassicarpa termasuk dalam kriteria yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena tanaman Acacia crassicarpa yang ada berada pada tingkat umur 4 tahun, sehingga memiliki tingkat kerapatan vegetasi dan tutupan kanopi pohon yang tinggi. Tingkat kehijauan Hutan Tanaman Industri yang areal tanamnya ditumbuhi oleh tanaman Eucalyptus terdapat dalam dua (2) kriteria yaitu sedang dan tinggi. Pada tanaman Eucalyptus tingkat kehijauan kriteria sedang tersebar di bagian Utara yaitu pada tanaman berumur 1 tahun. Kriteria sedang juga tersebar di bagian Tengah pada sebagian Eucalyptus umur 2 tahun. Tingkat kehijauan tanaman Eucalyptus yang termasuk dalam kriteria tinggi tersebar di bagian Tengah Sektor Logas Selatan yang terdiri dari tanaman berumur 2-3 tahun. Dari ketiga jenis tanaman HTI yang ada, tingkat kehijauan memiliki nilai NDVI tertinggi sebesar 0,38 pada Acacia mangium yang dicapai pada usia 4 dan 5 tahun. Nilai NDVI 0,38 pada Acacia crassicarpa yang dicapai pada tanaman berumur 4 tahun, dan nilai NDVI sebesar 0,38 pada Eucalyptus dicapai pada tanaman berumur 2 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pada tanaman Eucalyptus umur 2 tahun memiliki tutupan kanopi yang lebih rapat.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
55
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
56
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
57
5.2.
Estimasi Biomassa Melalui Metode Alometri
5.2.1. Distribusi Sampel Pendugaan biomassa HTI yang dihitung berdasarkan cuplikan data diameter dan tinggi pohon untuk menghitung besarnya nilai NDVI (rendah, sedang, tinggi). Pengambilan sampel berdasarkan nilai NDVI terdiri dari 3 plot sampel pada nilai NDVI kriteria “rendah”, 12 plot sampel pada kriteria “sedang”, dan 50 plot sampel pada kriteria “tinggi”, sehingga jumlah sampel ada 75 plot.Data-data lapangan yang berupa tinggi bebas cabang, dan diameter batang yang kemudian menghasilkan nilai biomassa yang dihitung dengan metode alometri. Kumpulan dan karakteristik data-data yang diambil dalam bentuk sampel dijelaskan dalam uraian sebagai berikut. Sampel yang digunakan untuk pendugaan biomassa
pada jenis tanaman
Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus dengan metode alometri tersebar sebanyak 75 plot atau seluas 6,75 ha (Peta 12). Sampel yang digunakan adalah sebesar 0,1% dari luas total tanaman Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan. Pada jenis tanaman Acacia mangium, sampel yang tersebar pada tingkat umur 1 sampai dengan 5 tahun dengan jumlah 37 plot sampel (3,33 ha). Sampel Acacia mangium umur 1 tahun tersebar di bagian Utara dengan jumlah 8 titik sampel, umur 2 tahun terdapat di bagian Tengah dan Timur sebanyak 8 titik sampel, umur 3 tahun terdapat di Tengah dan Barat sebanyak 8 titik sampel, umur 4 tahun terdapat di bagian Barat sebanyak 8 titik sampel, dan pada umur 5 tahun tersebar di bagian Barat sebanyak 5 titik sampel. Pada jenis tanaman Acacia crassicarpa, sampel yang diambil hanya pada tingkat umur 4 tahun sebanyak 12 titik sampel yang tersebar di bagian Selatan Sektor Logas Selatan. Pada jenis Eucalyptus, sampel tersebar pada tingkat umur 1 – 3 tahun dengan jumlah 26 titik sampel. Sampel tanaman Eucalyptus umur 1 tahun tersebar di bagian Utara Sektor Logas Selatan sebanyak 4 titik sampel, pada umur 2 tahun sampel Eucalyptus tersebar di bagian Selatan sebanyak 9 titik sampel, dan pada umur 3 tahun tersebar di bagian Tengah dengan jumlah sampel sebanyak 13 titik sampel.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
58
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
59
5.2.2. Diameter Pohon di Lokasi Sampel Berdasarkan cuplikan data diameter dan tinggi pohon (Lampiran 1 – 3), hasil survey yang dilakukan pada setiap titik sampel tegakan Hutan Tanaman Industri Sektor Logas Selatan, PT. Riau Andalan Pulp and Paper dengan luasan tiap titik sampel 900 m2 di Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau diperoleh informasi bahwa pada umur tegakan yang sebagian besar terdapat pada umur 2 tahun maka rata-rata besaran diameter yang diperoleh tidak lebih dari 19 cm. Jenis tanaman Acasia mangium berumur 2 tahun mendominasi Sektor Logas Selatan yang memiliki rata-rata diameter batang setinggi dada sebesar 11,7 cm dengan diameter tanaman terbesar adalah 17,2 cm pada tanaman Acacia mangium umur 5 tahun dan diameter terkecil sebesar 6,3 cm pada Acacia mangium umur 1 tahun. Standar deviasi Acacia mangium yaitu sebesar 3,08. Jenis tanaman Acasia crassicarpa hanya tersedia tanaman berumur 4 tahun dengan rata-rata diameter setinggi dada 8,30 cm. Diameter Acacia crassicarpa terbesar yaitu 15,68 cm dan diameter terkecil sebesar 12,4 cm. Standar deviasi menunjukkan angka 2,04 untuk jenis Acacia crassicarpa 4 tahun. Pada jenis tanaman Eucalyptus variasi umur pada 1 - 3 tahun dengan diameter yang lebih kecil dari jenis tanaman Acasia mangium. Rata-rata diameter setinggi dada Eucalyptus adalah sebesar 8,3 cm, dengan nilai terbesar 11,9 cm pada Eucalyptus umur 3 tahun dan nilai rata-rata diameter terkecil 4,1 pada Eucalyptus 1 tahun. Standar deviasi Eucalyptus adalah sebesar 2,0. Pada titik sampel dijumpai bahwa jenis Eucalyptus berumur 3 tahun memiliki rata-rata diameter batang setinggi dada lebih kecil dari diameter batang setinggi dada pada jenis Acasia mangium berumur 2 tahun. Begitu pula Eucalyptus umur 2 tahun memiliki diameter batang yang lebih kecil daripada diameter batang Acasia mangium berumur 1 tahun. Hal ini disebabkan karena Eucalyptus tumbuh pada wilayah ketinggian 120 - 180 mdpl dan kelerengan yang cukup terjal sehingga pertumbuhannya kurang optimal.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
60
Berdasarkan uji korelasi Pearson Product Moment antara diameter setinggi dada dengan nilai NDVI diperoleh hasil bahwa korelasi yang ditunjukkan dengan nilai r sebesar 0,545 atau r2 sebesar 0,297 (29,7%) dengan signifikansi 0,000. Korelasi yang dihasilkan menunjukkan bahwa 29,7% nilai NDVI bisa mewakili besar kecilnya nilai diameter setinggi dada pada tanaman Hutan Tanaman Industri. Besaran diameter pohon sangat dipengaruhi oleh umur suatu tanaman. Hal ini disebabkan karena akumulasi massa
yang biasanya dalam bentuk biomassa
semakin lama semakin banyak sehingga bentuk ukuran batang bertambah besar. Semakin tinggi umur suatu tanaman idealnya akan semakin tinggi pula nilai diameter batang tanaman tersebut. Dalam pembentukkan massa
tersebut,
pertumbuhan tanaman tidak terlepas dari faktor fisik wilayah seperti ketinggian, lereng, kondisi kesuburan tanah, dan kegiatan pemeliharaan terhadap suatu tanaman. Faktor fisik berupa ketinggian wilayah dan lereng dapat berpengaruh pada proses transportasi air dari dalam tanah menuju ke seluruh bagian tubuh tumbuhan khususnya pada proses fotosintesis. Semakin tinggi suatu tempat tumbuh tanaman maka tanaman akan semakin sulit mendapatkan air. Begitu pula pada tingkat kelerengan, semakin terjal suatu lereng maka tanaman akan sulit mendapatkan air. 5.2.3. Tinggi Pohon di Lokasi Sampel Berdasarkan Tabel cuplikan data diameter dan tinggi pohon (Lampiran 1 – 3), tinggi tanaman pada Sektor Logas Selatan memiliki rata-rata nilai tertinggi pada jenis Acasia mangium umur 4 tahun. Namun pada kasus tertentu dijumpai bahwa tinggi tegakan Acasia mangium lebih rendah daripada tegakan Acasia mangium umur 4 tahun. Hal ini dapat terjadi karena faktor fisik tempat tumbuh tanaman misalnya kesuburan tanah, ketinggian wilayah, maupun kemiringan lerengnya. Jenis Acacia mangium memiliki rata-rata tinggi bebas cabang sebesar 5 meter dengan nilai tertinggi 14,2 meter pada tanaman berumur 5 tahun dan nilai terendah pada tanaman berumur 1 tahun sebesar 0,5 meter. Standar deviasi tinggi bebas cabang untuk Acacia mangium memiliki nilai sebesar 3,25.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
61
Jenis Acacia crassicarpa memiliki rata-rata tinggi bebas cabang sebesar 9,16 meter dengan nilai tertinggi sebesar 12,8 meter dan nilai terendah sebesar 3,2 meter. Standar deviasi tinggi bebas cabang untuk Acacia crassicarpa memiliki nilai sebesar 2,73. Jenis Eucalyptus memiliki rata-rata tinggi bebas cabang sebesar 4,99 meter dengan nilai tertinggi sebesar 10 meter pada tanaman berumur tahun dan nilai terendah sebesar 0,9 meter pada tanaman berumur 1 tahun. Standar deviasi tinggi bebas cabang untuk Acacia crassicarpa memiliki nilai sebesar 2,78. Berdasarkan uji korelasi dengan Pearson Product Moment, korelasi besarnya nilai tinggi bebas cabang pada ketiga jenis tanaman ini dengan nilai NDVI diperoleh hasil bahwa korelasi yang ditunjukkan dengan bilai r sebesar 0,429, r2 sebesar 0,184 (18,4%) dengan signifikansi 0,000. Korelasi yang dihasilkan menunjukkan bahwa 18,4% nilai NDVI bisa mewakili besar kecilnya nilai tinggi bebas cabang pada tanaman Hutan Tanaman Industri . 5.2.4. Estimasi Biomassa dengan Metode Alometri Pendugaan biomassa
terbatas pada lokasi sampel dengan menggunakan
data-data biofisik tanaman yaitu jenis dan umur tanaman, serta tingkat kehijauan yang kriterianya ditentukan berdasarkan tinggi rendahnya nilai nilai NDVI. 5.3. Hubungan Karakteristik Pohon dan Biomassa dengan Tingkat Kehijauan Karakteristik pohon dapat dilihat dari besarnya batang, tinggi pohon, maupun kerapatan kanopinya. Karakteristik pohon inilah yang berpengaruh terhadap besar kecilnya tingkat kehijauan suatu vegetasi maupun berpengaruh pada besarnya nilai biomassa
suatu tanaman. Hubungan antara karakteristik
pohon dengan tingkat kehijauan dan nilai biomassa
dapat diketahui dengan
model yang diperoleh dari hasil korelasi nilai NDVI dengan diameter batang dan tinggi pohon.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
62
Berdasarkan hasil pengolahan data karakteristik pohon (diameter dan tinggi batang) dengan metode korelasi maka dapat diketahui korelasi nilai NDVI dengan diameter batang setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada tanaman HTI di Sektor Logas Selatan menunjukkan bahwa nilai NDVI lebih berpengaruh besar terhadap pertumbuhan batang tanaman daripada pertumbuhan tinggi tanaman. Nilai NDVI berpengaruh sebesar 29,7% (nilai r2) terhadap besarnya diameter batang tanaman. Hasil lain menunjukkan bahwa nilai NDVI berpengaruh hanya sebesar 18,4% terhadap besarnya tinggi tanaman HTI. Hal ini menunjukkan bahwa pohon yang batangnya besar menyebabkan tutupan kanopi lebih rapat dibandingkan pohon tinggi tetapi batangnya tidak besar karena kanopinya kurang rapat. Kanopi yang rapat ditunjukkan pada nilai NDVI yang besar. 5.4. Sebaran Biomassa Hutan Tanaman Industri Sebaran biomassa
Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan
diperoleh dari hasil pendugaan dengan metode alometri yang selanjutnya dapat dihasilkan model pendugaan biomassa
untuk mewakili wilayah sekitarnya
berdasarkan piksel citra dengan mengkorelasikan nilai NDVI tiap piksel dengan nilai biomassa dari hasil perhitungan metode alometri. Sebaran biomassa
Hutan Tanaman Industri menurut jenis tanaman
disajikan dalam Peta 12. Sebaran biomassa
berdasarkan uji regresi linier
menunjukkan bahwa sebaran biomassa di Sektor Logas Selatan dibagi dalam tiga (3) kelas yaitu rendah (0 – 40 ton/ha), sedang (40 – 100 ton/ha), dan tinggi (>100ton/ha). 5.4.1. Pendugaan Biomassa HTI Pendugaan biomassa
Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan
menghasilkan model penduga biomassa yang diperoleh dengan melakukan uji statistik menggunakan metode regresi linier dengan melihat hubungan biomassa pada titik sampel dengan Nilai NDVI dari hasil pengolahan Citra Landsat 7 ETM+. Hasil dari uji korelasi dengan regresi linier menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara biomassa
tanaman HTI dengan nilai NDVI yang ditunjukkan
pada tabel 5.1. berikut ini.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
63
Tabel 5.1. Model Penduga Biomassa HTI Model
r
r2
Signifikansi
Y = -22,318 + 251,736 NDVI
0,461
0,212
0,000
Sumber: Pengolahan data, 2011 Berdasarkan model penduga biomassa NDVI dengan biomassa
HTI dapat diketahui korelasi nilai
hasil metode alometri pada tanaman HTI di Sektor
Logas Selatan menunjukkan bahwa nilai NDVI berpengaruh terhadap besar nilai biomassa . Nilai r2 menunjukkan bahwa nilai NDVI berpengaruh sebesar 21,2% terhadap besarnya biomassa
tanaman HTI di Sektor Logas Selatan. Besarnya
nilai NDVI pada setiap piksel Citra Landsat 7 ETM+ dapat mewakili sebesar 21,2% untuk pendugaan biomassa
Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas
Selatan. Potensi kandungan biomassa
Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas
Selatan menurut jenis dan umur tanaman dari hasil pendugaan biomassa disajikan pada Tabel 5.2. berikut ini. Tabel 5.2. Potensi Biomassa Menurut Jenis dan Umur Tanaman HTI Umur Tanaman (Tahun)
Rata-Rata Biomassa (ton/ha) Acacia mangium
Acacia crassicarpa
1 20,20 2 48,07 3 80,40 4 88,43 5 111,41 Sumber: Pengolahan Data, 2011
166,5 -
Tabel 5.2. menunjukkan bahwa potensi biomassa
Eucalyptus 7,90 15,59 33,95 -
HTI umur 1 tahun pada
tanaman Acacia mangium lebih besar dari potensi biomassa tanaman Eucalyptus di mana nilai besaran potensinya memiliki perbedaan yang cukup besar. Begitu pula pada Acacia mangium umur 2 dan 3 tahun memiliki potensi biomassa yang lebih besar dari pada tanaman Eucalyptus.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
64
Hal tersebut menunjukkam bahwa tanaman Acacia mangium jauh lebih berpotensi besar dalam menghasilkan biomassa
daripada jenis tanaman
Eucalyptus. Oleh karena pertimbangan itulah, 82% lokasi tanam di Sektor Logas Selatan digunakan untuk mengembangkan tanaman Acacia mangium. Hasil lain menunjukkan bahwa besaran potensi biomassa Acacia mangium umur 4 tahun lebih rendah dari besaran potensi biomassa
Acacia crassicarpa
yang berumur 4 tahun. Selain itu, besaran potensi biomassa Acacia crassicarpa umur 4 tahun pun lebih besar dari besaran potensi biomassa
Acacia mangium.
Hal ini menunjukkan bahwa Acacia crassicarpa lebih berpotensi besar dalam menghasilkan biomassa
dari jenis Acacia mangium dan Eucalyptus. Namun,
pada kondisi di lapangan tanaman Acacia crassicarpa lebih diutamakan pada jenis tanah gambut karena dapat tumbuh jauh lebih baik dari pada di tanah mineral, sehingga tanaman jenis ini yang dikembangkan di tanah mineral lebih sedikit. 5.4.2. Kandungan Biomassa Acacia mangium Biomassa pada setiap titik sampel Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan, PT RAPP, Kecamatan Singingi menghasilkan nilai yang relatif berbeda berdasarkan parameter jenis dan umur tanaman. Estimasi besarnya nilai biomassa
berdasarkan pengolahan data survey
lapang dengan metode alometri pada tanaman Acacia mangium di setiap lokasi sampel disajikan pada Lampiran 1. Hasil yang diperoleh dari survey lapang dan pengolahan data menunjukkan besaran biomassa tertinggi pada tanaman Acasia mangium berumur 5 tahun dengan nilai biomassa 162,6 ton/ha. Sedangkan biomassa dengan nilai paling rendah sebesar 10,6 ton/ha pada Acasia mangium umur 1 tahun. Standar deviasi pendugaan nilai biomassa
Acacia mangium
sebesar 41,75 dengan nilai rata-rata biomassa pada semua tingkat umur sebesar 66,3 ton/ha. Nilai rata-rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 1 tahun adalah sebesar 20,20 ton/ha. Kandungan biomassa Acacia mangium pada umur 1 tahun memiliki rentang nilai 10,56 – 30,49 ton/ha.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
65
Nilai rata biomassa
Acacia mangium pada tingkat umur 2 tahun adalah
sebesar 48,07 ton/ha. Kandungan biomassa
yang dimiliki terdapat pada rentang
nilai 21,64 – 116,15 ton/ha. Batas bawah nilai biomassa pada umur 2 tahun termasuk dalam rentang nilai biomassa umur 1 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tanaman Acacia mangium yang memiliki nilai biomassa yang rendah meskipun tingkat umurnya lebih tinggi. Nilai rata-rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 3 tahun adalah sebesar 80,40 ton/ha. Kandungan biomassa yang dimiliki Acacia mangium umur 3 tahun memiliki rentang nilai 20,93 – 142, 84 ton/ha. batas terendah pada tingkat umur 3 tahun memiliki nilai yang lebih kecil dari batas bawah nilai biomassa pada umur 2 tahun. Nilai rata-rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 4 tahun adalah sebesar 88,43 ton/ha. Kandungan biomassa
Acacia mangium memiliki rentang
nilai 63,84 – 126,85 ton/ha. Nilai rata-rata biomassa Acacia mangium pada tingkat umur 5 tahun adalah sebesar 111,41 ton/ha dengan kandungan biomassa
nya yang berada dalam
rentang nilai 82,41 – 162,62 ton/ha. Secara umum, besarnya nilai biomassa yang dihasilkan dari kegiatan survey lapang penelitian ini dipengaruhi oleh umur tanaman. Semakin rendah tingkat umur suatu tanaman, maka akan semakin rendah pula nilai biomassa yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat umur suatu tanaman, maka akan semakin tinggi nilai biomassa yang dihasilkan. Namun, tetap dijumpai bahwa tingkat umur tanaman yang tinggi tidak selalu memiliki nilai biomassa yang lebih besar dari tanaman pada tingkat umur yang lebih rendah. 5.4.3. Kandungan Biomassa Acacia crassicarpa Pendugaan biomassa
Acacia crassicarpa hanya dilakukan hanya pada
tanaman berumur 4 tahun. Hal tersebut dikarenakan tanaman yang ada di lokasi tanam berada pada tingkat umur ke-4. Berdasarkan data Lampiran 2, pengukuran nilai biomassa pada 12 sampel, Acacia crassicarpa umur 4 tahun memiliki ratarata sebesar 166,5 ton/ha. Nilai biomassa
terbesar adalah 250,68 ton/ha dengan
besaran diameter 18,8 cm. Sedangkan nilai biomassa
terkecil sebesar 92,37
ton/ha dengan ukuran diameter batang setinggi dada 12,4 cm. Berdasarkan data
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
66
tabel pada Lampiran 1 diketahui bahwa nilai biomassa Acacia crassicarpa pada umur 4 tahun mencapai 250,68 ton/ha. Jika dibandingkan dengan biomassa Acacia mangium 4 tahun maka biomassa
Acacia crassicarpa memiliki tingkat
yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh ukuran rata-rata diameter batang Acacia crassicarpa berumur 4 tahun lebih besar dari ukuran rata-rata diameter Acacia mangium berumur 4 tahun pada Estate E dan F. Hal ini dapat terjadi karena kondisi fisik wilayah yang ada di Estate I sangat berbeda dengan kondisi fisik wilayah di Estate E dan F yang akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya. 5.4.4. Kandungan Biomassa Eucalyptus Pendugaan besaran biomassa Eucalyptus dilakukan pada tanaman berumur 1 sampai dengan 3 tahun. Nilai pendugaan biomassa Eucalyptus disajikan pada data tabel Lampiran 3. Nilai rata-rata biomassa
Eucalyptus dari seluruh tingkat
umur adalah sebesar 19,81 ton/ha. Nilai biomassa
Eucalyptus tertinggi adalah
53,76 ton/ha pada tanaman berumur 3 tahun. Sedangkan nilai terendah terdapat pada tanaman berumur 2 tahun dengan nilai sebesar 3,44 ton/ha. Nilai rata-rata biomassa
Eucalyptus pada tingkat umur 1 tahun adalah
sebesar 7,9 ton/ha dengan kandungan biomassa nya yang berada dalam rentang nilai 3,44 – 14,19 ton/ha. Nilai rata-rata biomassa
Eucalyptus pada tingkat umur 2 tahun adalah
sebesar 15,59 ton/ha dengan kandungan biomassa nya yang berada dalam rentang nilai 7,69 – 22,57 ton/ha. Nilai rata-rata biomassa
Eucalyptus pada tingkat umur 3 tahun adalah
sebesar 33,95 ton/ha dengan kandungan biomassa nya yang berada dalam rentang nilai 21,22 – 53,76 ton/ha. Dari data di atas, batas bawah nilai biomassa termasuk dalam rentang nilai biomassa biomassa
pada setiap tingkat umur
pada tingkat umur dibawahnya. Nilai
yang rendah pada tingkat umur yang lebih tinggi, misalnya pada
tanaman berumur 3 tahun lebih rendah dari nilai biomassa pada tanaman berumur 2 tahun. Jika dilihat dari aspek biofisik tanaman, hal tersebut sangat nampak terlihat dari besaran rata-rata diameter batang tanaman.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
67
5.5. Sebaran Biomassa HTI Menurut Kondisi Fisik Wilayah Berdasarkan tabel hasil pengolahan data pada Lampiran 4, Sebaran biomassa Hutan Tanaman Industri di Sektor Logas Selatan didominasi oleh jenis Acacia mangium kelas sedang dengan luasan 2824,75 ha atau mencakup 50% dari luas total biomassa
semua jenis tanaman. Dari Gambar 5.1. dapat diketahui bahwa
luas sebaran biomassa terkecil terdapat pada jenis Acacia crassicarpa kelas rendah yaitu dengan luasan hanya sebesar 4,39 ha atau presentase sebesar 8% dari seluruh jenis tanaman yang ada. Perbedaan yang besar ini disebabkan karena jenis tanaman yang mendominasi Sektor Logas Selatan adalah Acacia mangium yang mencapai 5.649,5 ha. Sedangkan pada jenis Acacia crassicarpa hanya 61,6 ha, serta pada jenis Eucalyptus seluas 1.148,4 ha.
3000
Luas (ha)
2500 2000 1500 1000 500 0
Acacia mangium Acacia crassicarpa Eucalyptus
Rendah 1581,86
Sedang 2824,75
Tinggi 1242,89
4,93
48,05
8,62
436,39
516,45
195,23
Gambar 5.1. Presentase Luas Sebaran Biomassa HTI
Luas (ha)
4000 3000 2000 1000 0 Luas (ha)
Rendah 2023,18
Sedang 3389,25
Tinggi 1446,74
Gambar 5.2. Luas Sebaran Biomassa HTI
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
68
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
69
5.5.1. Sebaran Biomassa Acacia mangium Sebaran biomassa
Acacia mangium dibagi menjadi 3 kelas yaitu rendah,
sedang, dan tinggi yang disajikan dalam Lampiran 4 serta pada Gambar 5.3. berikut ini.
22%
Rendah
28%
Sedang Tinggi
50%
Gambar 5.3. Presentase Luas Sebaran Biomassa Acacia mangium Sebaran biomassa
Acacia mangium kelas rendah memiliki luasan sebesar
1581,86 ha atau berdasarkan Gambar 5.4 sebesar 28% dari luas total tanaman Acacia mangium. Pada kelas sedang, luas sebaran biomassa
Acacia mangium
memiliki luasan sebesar 2824,75 ha atau 50% dari luas total tanaman Acacia mangium. Sedangkan sebaran biomassa
kelas tinggi memiliki luasan sebesar
1242,89 ha atau 22% dari luas tanaman Acacia mangium. a.
Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah (0 – 40 ton/ha) Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 5, dan
dalam Peta 13, biomassa kelas rendah terdapat di Estate D (Desa Petai), Estate G (Desa Petai), dan Estate H (Desa Petai). Presentase sebaran biomassa berdasarkan ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.4. berikut ini.
10%
5%
10% 20%
55%
0 - 60 mdpl 60 - 120 mdpl 120 - 180 mdpl 180 - 240 mdpl >240 mdpl
Gambar 5.4. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah Berdasarkan Ketinggian Wilayah
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
70
Biomassa Acacia mangium kelas rendah mendominasi pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 870,02 ha, presentase 55%. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian > 240 meter di atas permukaan laut dengan luasan 79,09 ha. Biomassa
kelas rendah juga
tersebar pada wilayah ketinggian 0 - 6 0 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 158,86 ha. Kondisi yang sama terletak pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut. Sedangkan pada wilayah ketinggian 60 120 meter di atas permukaan laut sebesar 316,37 ha. Presentase biomassa
Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.5. berikut ini.
15%
0-2%
10%
2-8% 25%
20%
8 - 15 % 15 - 25 %
30%
>25 %
Gambar 5.5. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah Berdasarkan Kemiringan Lereng Sebaran biomassa
Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 474,56 ha sebesar 30%. Sebaran terkecil pada wilayah lereng 0 - 2% yang hanya memiliki luas sebesar 158,19 ha. Sebaran biomassa Acacia mangium kelas rendah tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 2 - 8% biomassa seluas 395,47 ha, pada lereng 15 - 25% seluas 316,37 ha, dan pada lereng >25% seluas 237,28 ha. Kecenderungan sebaran biomassa
Acacia mangium kelas
rendah terdapat pada kelas lereng sedang. Berdasarkan peta umur tanaman (Peta 8), kelas umur tanaman pada biomassa Acacia mangium kelas rendah adalah pada tanaman berumur 1 tahun yang terletak di Estate D (Desa Petai). Faktor biofisik tanaman sangat berpengaruh pada besaran biomassa
tanaman karena ukuran diameter batang berbanding lurus
dengan biomassa .
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
71
Presentase biomassa Acacia mangium kelas rendah berdasarkan jenis tanah disajikan dalam Gambar 5.6. berikut ini. 5%
1% 2% 22%
MBI AHK SAR BKN
70%
BYN
Gambar 5.6. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah Sebaran biomassa
Acacia mangium kelas rendah berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggunganpunggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 1107,3 ha atau mencakup 70% dari luas total biomassa kelas rendah untuk jenis tanaman Acacia mangium. Biomassa
kelas rendah juga tersebar pada
mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 348,01 ha. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 79,09 ha. Pada mineral BKN yaitu lembah pada aluvium sungai muda dengan jenis tanah gleisol, aluvial glenik, dan kambisol seluas 15,82 ha. Sedangkan pada mineral BYN yaitu endapan bertufa curam yang terdiri dari batu pasir, lumpur dengan jenis tanah kambisol distrik dan podsolik humik seluas 31,64 ha. Sebaran biomassa
kelas
rendah memiliki kecenderungan pada jenis tanah podsolik pada mineral AHK. b.
Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang (40 – 100 ton/ha) Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 5, dan
dalam Peta 13, biomassa kelas sedang terdapat di Estate B bagian Selatan (Desa Kota Baru), Estate D bagian Utara (Desa Kota Baru), Estate F (Desa Petai), Estate G bagian Selatan (Desa Kebun Lado), Estate H bagian Selatan (Desa Petai), dan Estate I (Desa Kebun Lado). Presentase sebaran biomassa
Acacia mangium
berdasarkan ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.7. berikut ini.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
72
3%
0 - 60 mdpl
10%
60 - 120 mdpl
20%
120 - 180 mdpl 40%
27%
180 - 240 mdpl
>240 mdpl
Gambar 5.7. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian Berdasarkan tabel pada Lampiran 5, biomassa Acacia mangium kelas sedang mendominasi pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 1129,9 ha, presentase 40%. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian > 240 meter di atas permukaan laut dengan luasan 84,74 ha. Biomassa kelas rendah juga tersebar pada wilayah ketinggian 0-60 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 282,48 ha. Kondisi yang berbeda terletak pada wilayah ketinggian 180-240 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 564,95 ha atau mencakup 20% dari luas total biomassa Acacia mangium kelas sedang. Sedangkan pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut sebesar 762,68 ha. Presentase biomassa
Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.8. berikut ini. 3%
10%
7%
25%
0-2%
2-8% 8 - 15 % 55%
15 - 25 % >25 %
Gambar 5.8. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng Sebaran biomassa
Acacia mangium kelas sedang berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 1553,61 ha atau sebesar 55% dari total luas biomassa
Acacia mangium kelas
sedang. Sebaran terkecil pada wilayah lereng >25% yang hanya memiliki luas
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
73
sebesar 84,74 ha. Sebaran biomassa
Acacia mangium kelas rendah tersebar di
seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 0 - 2% biomassa
seluas
282,48 ha, pada lereng 2 - 8% biomassa seluas 197,73 ha, dan pada lereng 15 25% seluas 706,19 ha. Kecenderungan sebaran biomassa Acacia mangium kelas sedang terdapat pada kelas lereng sedang. Berdasarkan peta umur tanaman (Peta 8), kelas umur tanaman pada biomassa Acacia mangium kelas sedang adalah pada tanaman berumur 2 dan 3 tahun. Kondisi lereng pada wilayah ini cukup sedang dan tidak terlalu terjal sehingga dengan rentang umur yang cukup pada tanaman, nilai biomassa
yang berada
pada tingkat kemiringan lereng yang sedang cukup tinggi. Presentase biomassa Acacia mangium kelas sedang berdasarkan jenis tanah disajikan dalam Gambar 5.9. berikut ini.
6%
4%
7% 3% MBI
33%
AHK SAR
47%
BKN BYN SPK
Gambar 5.9. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah Sebaran biomassa
Acacia mangium kelas sedang berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggunganpunggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 1129,9 ha atau mencakup 40% dari luas total biomassa kelas sedang untuk jenis tanaman Acacia mangium. Biomassa
kelas sedang juga tersebar pada
mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 847,43 ha. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 169,49 ha. Pada mineral BKN yaitu lembah pada aluvium sungai muda dengan jenis tanah gleisol, aluvial glenik, dan kambisol seluas 197,73 ha. Pada mineral SPK, sebaran biomassa Acacia mangium kelas sedang memiliki luasan sebesar 112,99 ha.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
74
Sedangkan pada mineral BYN yaitu endapan bertufa curam yang terdiri dari batu pasir, lumpur dengan jenis tanah kambisol distrik dan podsolik humik seluas 84,74 ha. Sebaran biomassa
kelas sedang memiliki kecenderungan pada jenis
tanah podsolik pada mineral AHK. c.
Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi (>100 ton/ha) Presentase sebaran biomassa
Acacia mangium kelas tinggi berdasarkan
ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.10. berikut ini.
10%
5%
0 - 60 mdpl
15%
60 - 120 mdpl 25% 45%
120 - 180 mdpl 180 - 240 mdpl >240 mdpl
Gambar 5.10. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Ketinggian Berdasarkan tabel sebaran biomassa
yang disajikan pada Lampiran 4 dan
Peta 13, sebaran biomassa tinggi (>100 ton/ha) tersebar di seluruh Estate E (Desa Petai), sebagian kecil Estate F (Desa Petai), Estate A (Desa Sungai Paku dan Kota baru) dan B (Desa Kota Baru), Estate C bagian Utara (Desa Kota Baru), Estate H bagian Timur (Desa Petai). Luas keseluruhan sebaran biomassa kelas tinggi pada Acacia mangium adalah sebesar 1242,49 ha (22% dari luas tanaman Acacia mangium). Sebaran biomassa
kelas tinggi mendominasi di wilayah ketinggian
120 - 180 meter di atas permukaan laut dengan luas 559,3 ha. Sebaran biomassa paling kecil berada pada wilayah ketinggian >240 meter di atas permukaan laut dengan luasan 62,14 ha. Sedangkan pada wilayah ketinggian 60 -120 meter di atas permukaan laut seluas 310,72 ha menempati urutan ke-2; pada wilayah ketinggian 4-57 meter di atas permukaan laut memiliki luas sebesar 186,43 ha menempati urutan ke-3, dan pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut seluas 124,29 ha menempati urutan ke-4. Presentase sebaran biomassa
Acacia mangium kelas tinggi berdasarkan
wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.11. berikut ini.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
75
5%
0-2% 25%
20%
2-8% 15%
35%
8 - 15 % 15 - 25 % >25 %
Gambar 5.11. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng Berdasarkan wilayah kemiringan lereng, sebaran biomassa
kelas tinggi
tersebar pada wilayah kemiringan lereng 8 - 15% seluas 435,01 ha sebagai wilayah sebaran terluas. Pada wilayah datar ( 0 - 2%) besaran biomassa
kelas
tinggi mempunyai luasan sebesar 310,72 ha sebagai urutan ke-2. Sebaran biomassa tinggi pada wilayah kemiringan >25% memiliki luasan terkecil yaitu sebesar 62,14 ha. Sedangkan pada wilayah kemiringan lereng 15 - 25% memiliki luas sebesar 248,58 ha atau 20% dari luas total biomassa Acacia mangium kelas tinggi. Presentase sebaran biomassa Acacia mangium kelas tinggi berdasarkan jenis tanah disajikan dalam Gambar 5.12. berikut ini.
1% 15%
MBI 25%
AHK
19%
SAR 17% 23%
BKN BYN SPK
Gambar 5.12. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Tinggi Berdasarkan Jenis Tanah Berdasarkan jenis tanah yang ada, sebaran biomassa
kelas tinggi terdapat
pada jenis tanah podsolik pada mineral MBI seluas 310,72 ha, mineral AHK seluas 211,29 ha, mineral SAR seluas 285,86 ha, mineral BKN seluas 186,43 ha,
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
76
mineral BYN seluas 12,43 ha. Biomassa
kelas tinggi mendominasi pada jenis
tanah mineral MBI (podsolik). 5.5.2. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Sebaran biomassa
Acacia crassicarpa berdasarkan kondisi fisik wilayah
Sektor Logas Selatan disajikan pada Lampiran 4 dan presentase sebarannya disajikan pada Gambar 5.13. berikut ini.
8%
14%
Rendah Sedang 78%
Tinggi
Gambar 5.13. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Sebaran biomassa
Acacia crassicarpa dibagi dalam tiga kelas (3) yaitu
biomassa kelas rendah seluas 4,93 ha atau hanya sebesar 8% dari total luas sebaran biomassa, biomassa Acacia crassicarpa; kelas sedang seluas 48,05 ha atau 70%; dan kelas tinggi seluas 8,62 ha atau sebesar 14%. Biomassa
Acacia
crassicarpa didominasi oleh biomassa kelas rendah. a. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Rendah (0 – 40 ton/ha) Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 6, dan dalam Peta 13, biomassa
kelas rendah terdapat di Estate I (Desa Kebun Lado).
Presentase sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas rendah berdasarkan
ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.14. berikut ini. 10%
5% 60 - 120 mdpl 120 - 180 mdpl 85%
180 - 240 mdpl
Gambar 5.15. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Ketinggian
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
77
Berdasarkan tabel pada Lampiran 6, biomassa
Acacia crassicarpa kelas
rendah mendominasi pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 4,19 ha, presentase 85%. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut dengan luasan 0,25 ha. Biomassa kelas rendah juga tersebar pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 0,49 ha. Berbeda dengan kondisi kelas biomassa yang lain, kelas biomassa
Acacia crassicarpa kelas rendah hanya
tersebar pada wilayah ketinggian antara 60 sampai 240 meter di atas permukaan laut. Presentase biomassa
Acacia crassicarpa kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.15. berikut ini.
11%
15%
0-2%
20%
2-8% 25%
8 - 15 % 15 - 25 %
29%
>25 %
Gambar 5.15. Presentase Sebaran Biomassa Acacia mangium Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng Sebaran biomassa
Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 1,43 ha atau sebesar 29% dari total luas biomassa
Acacia crassicarpa kelas rendah.
Sebaran terkecil pada wilayah lereng >25% yang hanya memiliki luas sebesar 0,54 ha. Sebaran biomassa
Acacia mangium kelas rendah tersebar di seluruh
kelas wilayah kemiringan lereng, hanya saja luasannya tidak begitu besar. Pada lereng 0 - 2% biomassa
seluas 0,74 ha, pada lereng 2 - 8% biomassa
seluas
1,23 ha, dan pada lereng 15 - 25% seluas 0,99 ha. Kecenderungan sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas rendah terdapat pada kelas lereng yang
sedang.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
78
Berdasarkan peta umur tanaman (Peta 8), kelas umur tanaman pada biomassa Acacia crassicarpa adalah hanya terdapat pada tingkat umur 4 tahun, dan luasannya hanya 61,6 ha. Kondisi ini menyebabkan sebaran biomassa tidak begitu bervariasi berdasarkan tingkat umur, namun biomassa
yang dihasilkan tetap
terbagi menjadi tiga kelas karena memiliki tingkat kehijauan yang berbeda. Presentase biomassa
Acacia crassicarpa kelas rendah berdasarkan jenis
tanah disajikan dalam Gambar 5.16. berikut ini.
25%
MBI 40% AHK
35% SAR
Gambar 5.16. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah berdasarkan jenis tanah mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 1,97 ha atau 40% dari total luas biomassa Acacia crassicarpa kelas rendah. Biomassa
kelas rendah juga tersebar pada
mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 1,73 ha atau mencakup 35% dari luas total biomassa
kelas rendah untuk jenis tanaman Acacia
crassicarpa. Sedangkan pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 1,23 ha atau sebesar 25%. Untuk sebaran biomassa Acacia crassicarpa tidak begitu bervariasi menurut jenis tanah karena luas tanamannya juga tidak mendominasi di Sektor Logas Selatan.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
79 b. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang (40 – 100 ton/ha) Presentase
sebaran
biomassa
Acacia
crassicarpa
kelas
sedang
berdasarkan wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.17. berikut ini.
1%
14% 60 - 120 mdpl
120 - 180 mdpl 85%
180 - 240 mdpl
Gambar 5.17. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian Biomassa Acacia crassicarpa tersebar hanya pada wilayah ketinggian 60 240 meter di atas permukaan laut. Biomassa
Acacia mangium kelas sedang
mendominasi pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 40,84 ha, presentase 85% dari total luas biomassa Acacia crassicarpa. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut dengan luasan 0,48 ha atau hanya sebesar 1%. Sedangkan pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut memiliki luas sebesar 6,73 ha atau sebesar 14%. Presentase
sebaran
biomassa
Acacia
crassicarpa
kelas
sedang
berdasarkan wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.18. berikut ini.
10%
1% 3%
0-2% 36%
50%
2-8% 8 - 15 % 15 - 25 % >25 %
Gambar 5.18. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang Berdasarkan Kemiringan Lereng
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
80
Sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas sedang berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 1,43 ha atau sebesar 29% dari total luas biomassa
Acacia crassicarpa kelas sedang.
Sebaran terkecil pada wilayah lereng >25% yang hanya memiliki luas sebesar 84,74 ha. Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 0 - 2% biomassa seluas 282,48 ha, pada lereng 2 - 8% biomassa seluas 197,73 ha, dan pada lereng 15 - 25% seluas 706,19 ha. Kecenderungan sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas sedang
terdapat pada kelas lereng rendah. Presentase sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas sedang berdasarkan
wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.19. berikut ini.
20%
MBI 10%
AHK
70% SAR
Gambar 5.19. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang berdasarkan jenis tanah mendominasi pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 33,64 ha atau 70% dari luas total biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang. Pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 9,61 ha. Sedangkan pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 4,81 ha atau mencakup 10% dari luas total biomassa
kelas sedang untuk jenis tanaman
Acacia crassicarpa.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
81
c. Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Tinggi (>100 ton/ha) Biomassa
Acacia crassicarpa kelas tinggi tersebar hanya pada wilayah
ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut. Biomassa Acacia crassicarpa kelas tinggi memiliki luasan sebesar 40,84 ha. Karena jumlah tanaman yang relatif sedikit maka sebaran biomassa Acacia crassicarpa juga sedikit luasannya. Presentase sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas tinggi berdasarkan
wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.20. berikut ini. 1% 2%
0-2% 23%
74%
2-8% 8 - 15 % 15 - 25 %
Gambar 5.20. Presentase Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Kelas Tinggi Berdasarkan Kemiringan Lereng Sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas tinggi berdasarkan wilayah
kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 15 - 25% dengan luasan sebesar 6,38 ha atau sebesar 74% dari total luas biomassa
Acacia
crassicarpa kelas tinggi. Sebaran terkecil pada wilayah lereng 2 - 8% yang hanya memiliki luas sebesar 0,09 ha. Sedangkan pada wilayah dengan kemiringan lereng 8 - 15% seluas 1,98 ha. Sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas
tinggi tidak tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng karena hanya tersebar pada wilayah kemiringan 0 - 25%. Sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas tinggi berdasarkan jenis tanah mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 6,03 ha atau 70% dari luas total sebaran biomassa Acacia crassicarpa kelas tinggi. Sisa sebarnnya terdapat pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 2,59 ha atau 30% dari luas total biomassa Acacia crassicarpa kelas sedang. Jumlah keseluruhan luas sebaran biomassa kelas tinggi pada jenis Acacia crassicarpa adalah 8,62 ha.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
82
5.5.3. Sebaran Biomassa Eucalyptus Sebaran biomassa
Eucalyptus berdasarkan kondisi fisik dan wilayah
disajikan dalam tabel Lampiran 4 serta presentase sebarannya disajikan pada Gambar 5.21. berikut ini.
17%
38%
Rendah Sedang
45% Tinggi
Gambar 5.21. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah memiliki luasan sebesar 436,39 ha atau berdasarkan Gambar 5.22 sebesar 38% dari luas total tanaman Eucalyptus. Pada kelas sedang, luas sebaran biomassa
Eucalyptus memiliki luasan sebesar
516,78 ha atau 45% dari luas total tanaman Eucalyptus. Sedangkan sebaran biomassa
kelas tinggi memiliki luasan sebesar 195,23 ha atau 17% dari luas
tanaman Eucalyptus. a. Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah (0 – 40 ton/ha) Berdasarkan tabel sebaran biomassa yang disajikan pada Lampiran 7, dan dalam Peta 13, biomassa
kelas rendah terdapat di Estate G (Desa Petai) dan
Estate H (Desa Petai. Presentase sebaran biomassa
Acacia crassicarpa kelas
rendah berdasarkan ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.22. berikut ini. 15% 20%
60 - 120 mdpl 120 - 180 mdpl 65% 180 - 240 mdpl
Gambar 5.22. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Ketinggian
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
83
Berdasarkan tabel pada Lampiran 10, biomassa
Eucalyptus kelas rendah
mendominasi pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 283,65 ha, presentase 65%. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut dengan luasan 65,46 ha. Biomassa kelas rendah juga tersebar pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 87,28 ha. Kecenderungan sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah terdapat pada ketinggian 60-240 meter di atas permukaan laut. Presentase biomassa
Acacia mangium kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.23. berikut ini.
10% 17%
0-2% 18%
2-8% 8 - 15 %
25% 30%
15 - 25 % >25 %
Gambar 5.23. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan wilayah kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 130,92 ha sebesar 30%. Sebaran terkecil pada wilayah lereng 0 - 2% yang hanya memiliki luas sebesar 43,64 ha. Sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah tersebar di
seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 2 - 8% biomassa
seluas
395,47 ha, pada lereng 15 - 25% seluas 316,37 ha, dan pada lereng >25% seluas 237,28 ha. Kecenderungan sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah terdapat
pada kelas lereng sedang. Berdasarkan peta umur tanaman (Peta 8), kelas umur tanaman pada biomassa Eucalyptus kelas rendah adalah pada tanaman berumur 1 dan 2 tahun yang terletak di Estate G dan H (Desa Petai). Faktor biofisik tanaman sangat berpengaruh pada besaran biomassa
tanaman karena ukuran diameter batang
berbanding lurus dengan biomassa .
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
84
Presentase biomassa
Eucalyptus kelas rendah berdasarkan jenis tanah
disajikan dalam Gambar 5.24 berikut ini.
20%
MBI
10% AHK 70% SAR
Gambar 5.24. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Rendah Berdasarkan Jenis Tanah Sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 240,01 ha. Biomassa
kelas rendah juga
tersebar pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 174,56 ha atau mencakup 70% dari luas total biomassa
kelas rendah untuk jenis tanaman
Eucalyptus. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 21,82 ha. b. Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang (40 – 100 ton/ha) Presentase sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah berdasarkan
ketinggian wilayah disaiikan dalam Gambar 5.25. berikut ini.
5% 3% 0 - 60 mdpl 40% 52%
60 - 120 mdpl 120 - 180 mdpl
180 - 240 mdpl
Gambar 5.25. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Ketinggian
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
85
Berdasarkan tabel pada Lampiran 7, biomassa
Eucalyptus kelas rendah
mendominasi pada wilayah ketinggian 120 - 180 meter di atas permukaan laut dengan luasan 268,73 ha dan presentase sebesar 52%. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian 0 - 60 meter di atas permukaan laut dengan luasan 15,5 ha. Biomassa kelas rendah juga tersebar pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 206,71 ha, presentase 40%. Sedangkan pada ketinggian 180-240 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 25,84 ha dengan presentase sebesar 5%. Kecenderungan sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah terdapat pada ketinggian 0-240 meter di atas permukaan laut, tidak melebihi ketinggian 240 meter di atas permukaan laut. Presentase sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.26. berikut ini. 10%
10% 15%
20%
0-2% 2-8% 8 - 15 %
45%
15 - 25 % >25 %
Gambar 5.26. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan wilayah kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 232,55 ha sebesar 45%. Sebaran terkecil pada wilayah lereng 0 - 2% dan >25% yang hanya memiliki luas sebesar 51,68 ha, presentase 10%. Sebaran biomassa
Eucalyptus
kelas rendah tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 2 8% biomassa
seluas 77,52 ha, dan pada lereng 15 -25% seluas 103,36 ha.
Kecenderungan sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah terdapat pada kelas
lereng sedang. Presentase sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah berdasarkan wilayah
kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.27. berikut ini.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
86
5%
MBI
5%
AHK
35%
55%
SAR BKN
Gambar 5.27. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Sedang Berdasarkan Jenis Tanah Sebaran biomassa
Eucalyptus kelas rendah berdasarkan jenis tanah
mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 284,23 ha, presentase sebesar 55%. Biomassa kelas rendah juga tersebar pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggungan-punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 180,87 ha atau mencakup 35% dari luas total biomassa
kelas
rendah untuk jenis tanaman Eucalyptus. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 25,84 ha. Kondisi yang sama terdapat pada mineral BKN seluas 25,84 ha. c. Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi (>100 ton/ha) Presentase
sebaran biomassa
Eucalyptus kelas tinggi berdasarkan
ketinggian wilayah disajikan dalam Gambar 5.28. berikut ini.
3%
7%
0 - 60 mdpl 10% 60 - 120 mdpl
20%
120 - 180 mdpl 60%
180 - 240 mdpl
>240 mdpl
Gambar 5.28. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Ketinggian
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
87
Berdasarkan tabel pada Lampiran 7, biomassa
Eucalyptus kelas tinggi
mendominasi pada wilayah ketinggian 60 - 120 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 117,14 ha, presentase 60%. Sebaran terkecil terletak pada wilayah ketinggian 180 - 240 meter di atas permukaan laut dengan luasan 5,86 ha. Biomassa kelas tinggi juga tersebar pada wilayah ketinggian > 240 meter di atas permukaan laut dengan luasan sebesar 13,67 ha. Pada wilayah ketinggian 120 180 meter memiliki luas sebesar 39,05 ha. Kecenderungan sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi terdapat pada ketinggian 60 - 240 meter di atas permukaan laut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suatu wilayah maka nilai biomassa nya akan cenderung kecil. Presentase sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi berdasarkan wilayah kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.29. berikut ini.
0% 15%
0-2% 30%
2-8%
20% 8 - 15 % 35%
15 - 25 % >25 %
Gambar 5.29. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi Berdasarkan Wilayah Kemiringan Lereng Sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi berdasarkan wilayah kemiringan lereng mendominasi pada wilayah dengan lereng 8 - 15% seluas 68,33 ha sebesar 35%. Sebaran terkecil pada wilayah lereng >25% yang hanya memiliki luas sebesar 29,28 ha atau hanya sebesar 15%. Sebaran biomassa
Eucalyptus kelas
tinggi tidak tersebar di seluruh kelas wilayah kemiringan lereng. Pada lereng 2 8% biomassa seluas 58,57 ha, dan pada lereng 15 - 25% seluas 39,05 ha. Presentase sebaran biomassa Eucalyptus kelas tinggi berdasarkan jenis tanah disajikan dalam Gambar 5.30. berikut ini.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
88
MBI
5%
AHK
25% 60%
SAR BKN
10%
Gambar 5.30. Presentase Sebaran Biomassa Eucalyptus Kelas Tinggi Berdasarkan Jenis Tanah Sebaran biomassa Eucalyptus kelas rendah berdasarkan jenis tanah mendominasi pada mineral MBI yaitu dataran sedimen berbatu dengan jenis tanah podsolik, kambisol, dan oksisol seluas 117,14 ha, presentase sebesar 60% dari luas total sebaran biomassa
Eucalyptus kelas tinggi. Biomassa
kelas rendah
juga tersebar pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) yaitu punggunganpunggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik seluas 19,52 ha atau mencakup 10% dari luas total biomassa kelas rendah untuk jenis tanaman Eucalyptus. Pada mineral SAR yaitu dataran endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol seluas 48,81 ha dengan presentase sebesar 25%. Sedangkan pada mineral BKN yaitu lembah aluvium dengan jenis tanah gleisol, aluvial, dan kambisol memiliki luasan sebesar 9,76 sebagai presentase terkecil. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka secara umum dapat digambarkan bahwa biomassa semua kelas menyebar hampir di seluruh kondisi fisik wilayah. Faktor ketinggian tidak menjadi faktor utama dalam penentuan besarnya nilai biomassa, karena faktor umur merupakan faktor utama penentu besarnya nilai biomassa suatu tanaman. Hal ini yang menyebabkan dengan bertambahnya nilai ketinggian suatu wilayah tidak selalu berpengaruh terhadap pertambahan nilai biomassa. Pada wilayah ketinggian yang rendah dapat dihasilkan nilai biomassa yang tinggi dikarenakan tingkat umur tanaman yang lebih tinggi, serta sebaliknya, pada ketinggian wilayah yang tinggi dapat dijumpai nilai biomassa yang tinggi jika tingkat umur tanamannya tinggi.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
89
Sebaran biomassa
berdasarkan tingkat kemiringan lereng menunjukkan
bahwa nilai biomassa tanaman lebih besar pada tingkat kelerengan yang relatif berbukit. Hal ini tidak dipengaruhi oleh karena kerapatan tanaman, karena sistem penanaman diatur dengan jarak yang relatif seragam. Namun, pada kondisi di lapangan dijumpai bahwa wilayah yang relatif datar memiliki nilai kerapatan yang tinggi sehingga berpengaruh pada jumlah tanaman dan massa
yang dihasilkan.
Sedangkan pada wilayah yang sedikit curam memiliki tingkat kerapatan yang rendah karena hambatan fisik wilayah dalam kegiatan penanaman. Secara umum, semakin terjal nilai kelerengan maka akan semakin rendah nilai biomassa suatu tanaman terkait dengan kerapatan vegetasi tanaman dan penerimaan cahaya matahari yang menunjang keoptimalan pertumbuhan tanaman. Sebaran biomassa berdasarkan jenis tanah yang terdapat di Sektor Logas Selatan menunjukkan bahwa nilai biomassa yang rendah terdapat seluruhnya pada jenis tanah mineral AHK dan MBI . Mineral AHK (Air Hitam Kanan) berupa punggung-punggung bersisi terjal di atas endapan bertufa. Mineral MBI (Muara Beliti) berupa dataran dataran sedimen berbatu tufa yang berombak sampai bergelombang. Jenis tanahnya berupa podsolik, oksisol, dan kambisol. Jika dilihat dari bentuk medan yang ada, maka kondisi tanah yang berpengaruh rendahnya biomassa adalah dari mudahnya tanah mineral tererosi karena terletak pada punggung-punggung bersisi terjal dan bergelombang sehingga akan mudah tererosi oleh aliran air. Namun, jenis mineral batuan dan tanah yang ada di Sektor Logas Selatan tidak menjadi faktor utama bagi besar kecilnya nilai biomassa. Hal ini dikarenakan bahwa dijumpai jenis tanah podsolik dan oksisol menyebar pada seluruh kelas biomassa.
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
BAB 6 KESIMPULAN
Sebaran biomassa kayu Hutan Tanaman Industri dari jenis Acacia mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kriteria rendah (0 – 40 ton/ha) menyebar di bagian Utara, kriteria sedang (40 – 100 ton/ha) menyebar di bagian Tengah, dan kriteria tinggi menyebar di bagian Barat. Berdasarkan kondisi fisik wilayah Sektor Logas Selatan, sebaran biomassa kayu berdasarkan faktor fisik berupa ketinggian wilayah dan kemiringan lereng, serta jenis tanah menunjukkan bahwa sebaran biomassa tanaman terdapat pada ketinggian 4 – 388 mdpl, dan pada tingkat kemiringan lereng yang landai sampai berbukit yaitu pada 0 – 25%. Berdasarkan jenis tanah, sebagian besar pada mineral AHK (Air Hitam Kanan) berupa punggungan-punggungan bersisi terjal di atas endapan bertufa dengan jenis tanah podsolik, oksisol, dan kambisol. Pada wilayah ketinggian berlaku bahwa dengan bertambahnya nilai ketinggian suatu wilayah tidak selalu berpengaruh terhadap pertambahan nilai biomassa. Pada wilayah kemiringan lereng berlaku bahwa semakin terjal kemiringan lereng maka nilai biomassa akan semakin rendah karena berpengaruh pada tingkat penyerapan air dari dalam tanah dan intensitas penerimaan cahaya matahari. Sedangkan pada kondisi tanah yang terdapat pada medan yang terjal dan berbukit akan cenderung mudah tererosi. Berdasarkan uji korelasi nilai NDVI dengan biomassa kayu HTI diperoleh nilai r sebesar 0,461 dengan signifikansi 0,000. Nilai r2 sebesar 0,212 menunjukkan bahwa besarnya nilai NDVI pada setiap piksel Citra Landsat 7 ETM+ dapat mewakili sebesar 21,2% dalam pendugaan biomassa Hutan Tanaman Industri.
90
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Adam, E., Onisimo M., & Denis R. 2010. Multispectral and Hyperspektral Remote Sensing for Identification and Maping of Wetland Vegetation. Journal of Wetland Ecol Manage, 18, 281 – 296 Barr, C, Dermawan, A., Purnomo H. dan Komarudin,H. 2010. Financial governance and Indonesia's Reforestation Fund during the Soeharto and postSoeharto periods, 1989-2009: A political economic Analysis of lessons for REDD+. Occasional Paper 52. Bogor : CIFOR Bombelli, Antonio, Valerio A., Heiko B. 2009. Biomass; Assesment of The Status of The Development of The Standard For The Terrestrial Essential Climate Variable. Rome: Global Terrestrial Observing System Dahlan. 2003. Estimasi Karbon Tegakan Acasia mangium Menggunakan Citra Landsat ETM+ dan SPOT-5: Studi Kasus di BPKH Parung Panjang KPH Bogor. Bogor: Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB Delaney, M. 1999. Field Test of Carbon Monitoring for Home Gardens In Indonesia. In: Field Tests of Carbon Monitoring Methods in Forestry Project. Forest Carbon Monitoring Program, Winrock International, Airlington, VA, USA. P45-51 Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun 2006 - 2025. Jakarta: Departemen Kehutanan Departemen
Kehutanan.
2009.
Statistik
Kehutanan
Indonesia.
Jakarta:
Departemen Kehutanan Forest Watch Indonesia. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor: FWI Goetz, Alexander F. H., John B. W., William L. B. 1985. Optical Remote Sensing of the Earth. USA: IEEE Heriansyah, I. 2009. Potensi Hutan Tanaman Industri Dalam Mensequester Karbon: Studi Kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus. Bogor: Perum Perhutani Irwanto. 2003. Budidaya Tanaman Kehutanan. Jakarta: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan
91
Universitas Indonesia
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
92
JianGuang, W., LIU Q., XIAO Q., LI X.W. 2008. Modelling the Land Surface Reflectance for Optical Remote Sensing Data in Rugged Terrain. Beijing: Remote Sensing Application of China Academy Kerekes, J. P. 1989. Modeling, Simulation, and Analysis of Optical Remote Sensing. Indiana: Purdue University Kusmana C, Abe K, and Watanabe A. 1992. An Estimation of Above Ground Tree Biomass of Mangrove Forest in East Sumatera. Indonesia. Tropic 1992; vol. 1(4): 243-254 Leimgruber, P., Catherin A.C., Alison L. 2005. The Impact of Landsat Satellite Monitoring on Conservation Biology. UK: University of Kent Lillesand T. M. And R. W. Kiefer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. New York: John Willey and Sons Lopies, R. 2010. Karakteristik dan Spesifikasi Satelit Landsat. Jakarta: Perencanaan Inderaja Mack, P. E. 1990. Viewing the Earth.The Social Construction of the Landsat Satellite System. Cambridge: MIT Press Malik, J. 2009. Sari Hasil Penelitian Mangium.Bogor: CIFOR Mitchard, E. T. A., S. S. Saatchi, I. H. Woodhouse, G. Nangendo, N. S. Ribeiro, M. Williams, C. M. Ryan, S. L. Lewis, T. R. Feldpausch, and P. Meir. 2009. Using Satellite Radar Backscatter to Predict Above-Ground Woody Biomass: A Consistent Relationship Across Four Different Africant Landscapes. New York: Geophysical Research Murdiarso D., Van Noordwijk, Suyanto A. 1999. Modelling Global Change Impact on Soil Environment. Bogor: IC - SCA Report No.6 BIOTROP GCTE/Impact Center For Southeast Asia (IC - SCA) Onrizal. 2006. Allometric Biomass and Carbon Stock Equation of Planted Acacia crassicarpa in North Sumatera. Medan: USU Planning. 2011. Deliniasi Mikro Kabupaten Kuantan Singingi. Riau: Riau Fiber, PT. RAPP
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
93
Powel, M.H. 1999. Effect Of Inventory Precision And Variance On The Estimated Number Of Sample Plots And Inventory Variable Cost: The Noel Kempff Mercado Climate Action Project. Winrock International. Forest Carbon Monitoring Program, Winrock International. Airlington, VA, USA Prasad, S., Lori M. B, Jocelyn C. 2011. Optical Remote Sensing. Berlin Heidelberg: Springer Purwanto, E. 1995. Kelestarian Hutan Tropis. Kehutanan Indonesia. Edisi No.2 1994/1995. Hal. 11-12) Satoo T., Madgwijk HAL. 1982. Forest Biomass. Martinus Jijhoff/DRW. London: Junk Publisher Septiani, Y. 1998. Penanaman Pengayaan Dipterocarps untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar. Duta Rimba 218/XXIII/1998. Hal 10-14 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.lO.l/Kpts-II/2008 tanggal 6 November 2000 tentang Hutan Tanaman Industri Thoma, D.P., S. C. Gupia, M. E. Baurer. 2004. Evaluation of Optical Remote Sensing Models for Crop Residue Cover Assessment. Arizona: Departemen of Soil, Water and Climate University of Minnesotta Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Peraturan Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) Vladutescu, D. V. 2008. Optical Remote Sensing of Properties and Concentration of Atmospheric Trace constituent. New York: The City University of New York Whitten AJ., Damanik J., Hisyam N. 1984. The Ecological of Sumatra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Wulder, M. 1998. Optical Remote Sensing Techniques for the Assessment of Forest
Inventory
and
Biophysical
Parameters.
Forest
Research
Application Pasific Forestry Center Zebua, A. 2008. Validasi Model Alometrik Biomassa di Atas Permukaan Tanah Hutan Tanaman di IUPHHK PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Sumatera Utara. Medan: Skripsi Departemen Kehutanan FAPERTA USU
Universitas Indonesia Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
LAMPIRAN
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
94 LAMPIRAN 1 Tabel 5.1. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Acacia mangium Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot)
Titik Sampel
Koordinat UTM
Lokasi / Desa
Estate (Blok Tanam)
NDVI
Kelas NDVI
Umur (Tahun)
Rata-Rata Diameter Setinggi Dada (cm)
Rata-Rata Tinggi Tegakan (m)
Volume Kayu per Pohon
Volume Kayu (m3/900m2)
Volume Kayu (m3/ha)
Biomassa per Pohon
Biomassa (ton/900m2)
Biomassa (ton/ha)
X
Y
1
752865
9972944
Kota Baru
A
0,30
Tinggi
1
8,1
3,3
0,012
1,43
15,86
15,70
1,88
20,93
2
752830
9973700
Kota Baru
A
0,25
Tinggi
1
6,3
0,5
0,001
0,13
1,45
7,92
0,95
10,56
3
752763
9975153
Sungai Paku
A
0,20
Sedang
1
6,9
0,6
0,002
0,19
2,09
10,15
1,22
13,53
4
752101
9973655
Kota Baru
B
0,27
Tinggi
1
9,2
2,5
0,012
1,40
15,50
22,20
2,66
29,61
5
752130
9972915
Kota Baru
B
0,07
Rendah
1
7,1
2,1
0,006
0,70
7,76
10,97
1,32
14,62
6
752140
9972233
Kota Baru
B
0,29
Tinggi
1
8,0
2,3
0,008
0,97
10,78
15,18
1,82
20,24
7
751385
9971474
Kota Baru
B
0,25
Tinggi
1
9,3
2,3
0,011
1,31
14,57
22,87
2,74
30,49
8
752796
9971474
Kota Baru
B
0,18
Sedang
1
8,2
1,0
0,004
0,44
4,93
16,23
1,95
21,64
9
754283
9969323
Kota Baru
A
0,32
Tinggi
2
9,9
3,3
0,018
2,13
23,70
27,11
3,25
36,15
10
752833
9969338
Kota Baru
B
0,32
Tinggi
2
11,6
3,5
0,026
3,11
34,51
41,74
5,01
55,65
11
752833
9962073
Petai
D
0,30
Tinggi
2
11,3
3,6
0,025
3,03
33,68
38,86
4,66
51,82
12
749933
9967873
Kota Baru
D
0,34
Tinggi
2
8,5
3,2
0,013
1,52
16,94
17,90
2,15
23,87
13
751383
9963523
Petai
D
0,34
Tinggi
2
8,2
3,1
0,011
1,37
15,27
16,23
1,95
21,64
14
751383
9964973
Petai
D
0,27
Tinggi
2
11,2
2,1
0,014
1,74
19,30
37,93
4,55
50,58
15
752833
9959173
Kebun Lado
G
0,36
Tinggi
2
9,1
1,2
0,005
0,66
7,28
21,55
2,59
28,74
16
755733
9959173
Petai
H
0,36
Tinggi
2
15,2
4,8
0,061
7,31
81,25
87,11
10,45
116,15
17
752833
9966423
Kota Baru
C
0,30
Tinggi
3
9,0
1,9
0,008
1,01
11,28
20,92
2,51
27,89
18
753568
9966413
Kota Baru
C
0,36
Tinggi
3
14,8
5,8
0,070
8,38
93,08
81,01
9,72
108,02
19
753546
9965843
Petai
C
0,29
Tinggi
3
16,4
3,9
0,058
6,92
76,85
107,13
12,86
142,84
20
752840
9967114
Kota Baru
C
0,29
Tinggi
3
14,8
8,1
0,097
11,70
129,99
81,01
9,72
108,02
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
95 Tabel 5.1. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Acacia mangium Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot) Lanjutan
NDVI
Kelas NDVI
Umur (Tahun)
Rata-Rata Diameter Setinggi Dada (cm)
Rata-Rata Tinggi Tegakan (m)
C
0,36
Tinggi
3
14,0
6,5
0,070
8,40
93,34
Kota Baru
C
0,07
Rendah
3
12,4
8,5
0,072
8,62
9965383
Petai
C
0,34
Tinggi
3
13,0
8,4
0,078
9,36
747865
9962008
Petai
E
0,15
Sedang
3
8,1
4,5
0,016
750007
9962073
Petai
E
0,36
Tinggi
4
12,9
10,1
0,092
26
750007
9960623
Petai
F
0,34
Tinggi
4
13,9
6,7
0,071
27
750020
9961288
Petai
F
0,34
Tinggi
4
13,6
7,2
28
749217
9961298
Petai
F
0,36
Tinggi
4
12,7
29
750765
9962087
Petai
F
0,36
Tinggi
4
30
753832
9958230
Kebun Lado
G
0,32
Tinggi
31
754293
9958230
Kebun Lado
I
0,38
32
754764
9957733
Kebun Lado
I
33
749933
9964973
Petai
34
749944
9965873
35
750385
36 37
Koordinat UTM Titik Sampel
Lokasi / Desa
X
Y
21
752075
9965843
Petai
22
752075
9966420
23
752068
24 25
Estate (Blok Tanam)
Volume Kayu per Pohon
Volume Kayu (m3/900m2)
Volume Kayu (m3/ha)
Biomassa (ton/900m2)
Biomassa (ton/ha)
69,64
8,36
92,85
95,76
50,05
6,01
66,73
104,01
56,92
6,83
75,89
1,95
21,63
15,70
1,88
20,93
11,08
123,14
55,73
6,69
74,31
8,54
94,84
68,29
8,20
91,06
0,073
8,78
97,57
64,35
7,72
85,81
7,7
0,068
8,19
90,99
53,41
6,41
71,21
15,6
5,5
0,074
8,83
98,07
93,50
11,22
124,66
4
15,7
10,6
0,144
17,23
191,43
95,14
11,42
126,85
Tinggi
4
12,2
2,6
0,021
2,55
28,35
47,88
5,75
63,84
0,30
Tinggi
4
12,6
4,0
0,035
4,19
46,53
52,27
6,27
69,70
D
0,36
Tinggi
5
13,8
9,7
0,102
12,18
135,34
66,96
8,04
89,29
Petai
D
0,30
Tinggi
5
13,4
4,7
0,046
5,56
61,83
61,81
7,42
82,41
9965873
Petai
D
0,38
Tinggi
5
15,5
14,2
0,187
22,50
249,95
91,87
11,02
122,50
749944
9965474
petai
D
0,38
Tinggi
5
14,4
7,2
0,082
9,84
109,39
75,19
9,02
100,25
749483
9965484
Petai
D
0,32
Tinggi
5
17,2
9,2
0,150
17,95
199,41
121,97
14,64
162,62
186,40
1,843
221,19
2457,67
1840,42
220,85
2453,89
Jumlah
434,10
Biomassa per Pohon
Rata-rata
0,30
11,73
5,04
0,050
5,98
66,42
49,74
5,97
66,32
Maksimum
0,38
17,20
14,20
0,187
22,50
249,95
121,97
14,64
162,62
Minimum
0,07
6,30
0,50
0,001
0,13
1,45
7,92
0,95
10,56
Standar deviasi
0,08
3,08
3,25
0,046
5,54
61,55
31,31
3,76
41,75
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
96
LAMPIRAN 2 Tabel 5.2. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Acacia crassicarpa Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot)
Koordinat UTM
Titik Sampel
Lokasi / Desa
Estate (Blok Tanam)
NDVI
Kelas NDVI
Umur (Tahun)
Rata-Rata Diameter Setinggi Dada (cm)
Rata-Rata Tinggi Tegakan (m)
Volume Kayu per Pohon
Volume Kayu (m3/900m2)
Volume Kayu (m3/ha)
Biomassa per Pohon
Biomassa (ton/900m2)
Biomassa (ton/ha)
X
Y
1
754520
9959166
Kebun Lado
I
0,36
Tinggi
4
16,4
9,4
0,139
16,67
185,23
135,49
16,26
180,65
2
754514
9959348
Kebun Lado
I
0,36
Tinggi
4
18,5
11,9
0,224
26,86
298,40
180,90
21,71
241,19
3
754787
9956973
Kebun Lado
I
0,38
Tinggi
4
14,5
11,5
0,133
15,94
177,15
100,83
12,10
134,44
4
754976
9957128
Kebun Lado
I
0,36
Tinggi
4
12,4
8,6
0,073
8,72
96,88
69,28
8,31
92,37
5
755177
9956973
Kebun Lado
I
0,36
Tinggi
4
16,1
9,4
0,134
16,07
178,52
129,62
15,55
172,82
6
754987
9956801
Kebun Lado
I
0,36
Tinggi
4
16,6
10,4
0,157
18,90
209,97
139,48
16,74
185,98
7
755171
9956796
Kebun Lado
I
0,27
Tinggi
4
12,8
3,2
0,029
3,46
38,41
74,76
8,97
99,68
8
755394
9956790
Kebun Lado
I
0,38
Tinggi
4
13,6
6
0,061
7,32
81,31
86,47
10,38
115,29
9
755400
9956596
Pulau Padang
I
0,34
Tinggi
4
16,7
9,8
0,150
18,02
200,25
141,51
16,98
188,68
10
755405
9956380
Pulau Padang
I
0,32
Tinggi
4
18,8
10,3
0,200
24,01
266,72
188,01
22,56
250,68
11
755411
9956203
Pulau Padang
I
0,30
Tinggi
4
16,5
12,8
0,191
22,98
255,32
137,48
16,50
183,30
12
755606
9956203
Pulau Padang
I
0,29
Tinggi
4
15,3
6,6
0,085
10,19
113,20
114,70
13,76
152,93
Jumlah
1,58
189,12
2101,36
1498,52
179,82
1998,02
Rata-rata
0,34
15,68
9,16
0,24
29,10
323,29
124,88
14,99
166,50
Maksimum
0,38
18,8
12,8
1,58
189,12
2101,36
188,01
22,56
250,68
Minimum
0,27
12,4
3,2
0,03
3,46
38,41
69,28
8,31
92,37
Standar deviasi
0,04
2,04
2,73
0,40
48,57
539,63
37,74
4,53
50,32
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
97 LAMPIRAN 3 Tabel 5.3. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Eucalyptus Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot)
Titik Sampel
Koordinat UTM
Lokasi / Desa
Estate (Blok Tanam)
NDVI
Kelas NDVI
Umur (Tahun)
Rata-Rata Diameter Setinggi Dada (cm)
Rata-Rata Tinggi Tegakan (m)
Volume Kayu per Pohon
Volume Kayu (m3/900m2)
Volume Kayu (m3/ha)
Biomassa per Pohon
Biomassa (ton/900m2)
Biomassa (ton/ha)
X
Y
1
754283
9975123
Sungai Paku
A
0,15
Sedang
1
7,1
1,1
0,003
0,37
4,06
10,64
1,28
14,19
2
753475
9975140
Sungai Paku
A
0,20
Sedang
1
5,9
1,4
0,003
0,32
3,57
6,60
0,79
8,80
3
755056
9975127
Kota Baru
A
0,20
Sedang
1
4,1
0,9
0,001
0,10
1,11
2,58
0,31
3,44
4
755030
9975659
Sungai Paku
A
0,18
Sedang
1
4,8
2
0,003
0,30
3,38
3,88
0,47
5,17
5
752833
9963523
Sungai Paku
D
0,15
Sedang
2
6,7
4,3
0,011
1,27
14,14
9,16
1,10
12,22
6
752838
9963119
Petai
D
0,23
Tinggi
2
7,1
5,5
0,015
1,83
20,31
10,64
1,28
14,19
7
752837
9962535
Petai
D
0,18
Sedang
2
5,6
3,2
0,006
0,66
7,35
5,77
0,69
7,69
8
754283
9963523
Petai
H
0,34
Tinggi
2
7,9
5,4
0,019
2,22
24,69
14,01
1,68
18,69
9
754659
9963545
Petai
H
0,38
Tinggi
2
8
4,1
0,014
1,73
19,23
14,48
1,74
19,30
10
755711
9962590
Petai
H
0,15
Sedang
2
7,6
2
0,006
0,76
8,46
12,68
1,52
16,91
11
754283
9957723
Kebun Lado
G
0,15
Sedang
2
8,1
1,1
0,004
0,48
5,29
14,95
1,79
19,93
12
752830
9961737
Petai
G
0,34
Tinggi
2
8,5
7
0,028
3,33
37,05
16,93
2,03
22,57
13
754279
9957297
Kebun Lado
G
0,22
Tinggi
2
5,9
1,5
0,003
0,34
3,83
6,60
0,79
8,80
14
754283
9966423
Kota Baru
C
0,36
Tinggi
3
10,1
5,8
0,033
3,90
43,35
26,41
3,17
35,21
15
752837
9964647
Petai
C
0,29
Tinggi
3
11,9
10
0,078
9,34
103,75
40,32
4,84
53,76
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
98 Tabel 5.3. Pengukuran Diameter dan Tinggi Tegakan Eucalyptus Kelas Umur 5 Tahun ( 120 tegakan/plot) Lanjutan Koordinat UTM
Rata-Rata Diameter Setinggi Dada (cm)
Rata-Rata Tinggi Tegakan (m)
Volume Kayu per Pohon
Volume Kayu (m3/900m2)
9
0,042
5,02
55,81
8,3
7,7
0,029
3,50
8,4
7,3
0,028
3
9,6
5,1
3
10,5
7,4
Tinggi
3
9,7
0,38
Tinggi
3
C
0,07
Rendah
Kota Baru
C
0,34
9967115
Kota Baru
C
9967119
Kota Baru
C
Titik Sampel
Lokasi / Desa
X
Y
16
752846
9964323
Petai
17
752841
9963945
18
753540
19 20
Estate (Blok Tanam)
NDVI
Kelas NDVI
Umur (Tahun)
C
0,34
Tinggi
3
9,2
Petai
C
0,20
Sedang
3
9965000
Petai
C
0,29
Tinggi
3
753859
9965008
Petai
C
0,34
Tinggi
754144
9965012
Petai
C
0,22
Tinggi
21
753863
9964659
Petai
C
0,36
22
753540
9964667
Petai
C
23
754616
9966425
Kota Baru
24
754612
9966758
25
754616
26
754281
Volume Kayu (m3/ha)
Biomassa (ton/900m2)
Biomassa (ton/ha)
20,76
2,49
27,68
38,86
15,92
1,91
21,22
3,40
37,74
16,42
1,97
21,89
0,026
3,10
34,44
23,17
2,78
30,89
0,045
5,38
59,77
29,19
3,50
38,92
4,5
0,023
2,79
31,02
23,80
2,86
31,73
9,3
3,8
0,018
2,17
24,08
21,35
2,56
28,46
3
10,3
5,6
0,033
3,92
43,53
27,78
3,33
37,04
Tinggi
3
11,1
9,1
0,062
7,39
82,15
33,69
4,04
44,92
0,25
Tinggi
3
9,8
8,7
0,046
5,51
61,22
24,43
2,93
32,58
0,27
Tinggi
3
10,3
6,2
0,036
4,34
48,19
27,78
3,33
37,04
0,612
73,48
816,39
459,94
55,19
613,25
Jumlah
Biomassa per Pohon
Rata-rata
0,25
2,35
8,30
4,99
0,024
2,83
31,40
17,69
2,12
23,59
Maksimum
0,38
3,00
11,90
10,00
0,078
9,34
103,75
40,32
4,84
53,76
Minimum
0,07
1,00
4,10
0,90
0,001
0,10
1,11
2,58
0,31
3,44
Standar deviasi
0,09
0,75
2,00
2,78
0,020
2,36
26,27
9,71
1,17
12,95
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
99 LAMPIRAN 4
Luas Sebaran Biomassa Hutan Tanaman Industri Kelas Biomassa Jenis Tanaman
Luas Total
Rendah Luas (ha)
Acacia mangium
Sedang %
Luas (ha)
Tinggi %
Luas (ha)
%
5649,5
1581,86
28
2824,75
50
1242,89
22
61,6
4,93
8
48,05
78
8,62
14
Eucalyptus
1148,4
436,39
38
516,45
45
195,23
17
Jumlah
6859,5
2023,18
29
3389,25
49
1446,74
21
Acacia crassicarpa
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
100 LAMPIRAN 5 Sebaran Biomassa Acacia mangium Acacia mangium - Biomassa Rendah Fisik Wilayah
Ketinggian (mdpl)
Kelas 0 – 60 60 - 120 120 - 180 180 - 240
% 10 20 55 10
ha 158,19 316,37 870,02 158,19
>240
5 100 10 25 30 20 15 100 22 70 5 1 2 100
79,09 1581,86 158,19 395,47 474,56 316,37 237,28 1581,86 348,01 1107,30 79,09 15,82 31,64 1581,86
Jumlah
Lereng (%)
0-2 2-8 8 - 15 15 - 25 >25
Jumlah
Jenis Tanah
Jumlah
MBI AHK SAR BKN BYN
Acacia mangium - Biomassa Sedang Fisik Wilayah
Ketinggian (mdpl)
Kelas 0 – 60 60 - 120 120 - 180 180 - 240
% 10 40 27 20
ha 282,48 1129,9 762,68 564,95
>240
3 100 10 7 55 25 3 100 33 47 6 4 7 3 100
84,74 2824,75 282,48 197,73 1553,61 706,19 84,74 2824,75 932,17 1327,63 169,49 112,99 197,73 84,74 2824,75
Jumlah
Lereng (%)
0-2 2-8 8 - 15 15 - 25 >25
Jumlah
Jenis Tanah
Jumlah
MBI AHK SAR BKN BYN SPK
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Acacia mangium - Biomassa Tinggi Fisik Wilayah
Ketinggian (mdpl)
Kelas 0 – 60 60 - 120 120 - 180 180 - 240 >240
Jumlah
Lereng (%)
0-2 2-8 8 - 15 15 - 25 >25
Jumlah
Jenis Tanah
Jumlah
MBI AHK SAR BKN BYN SPK
% 15 25 45 10
ha 186,43 310,72 559,30 124,29
5 62,14 100 1242,89 25 310,72 15 186,43 35 435,01 20 248,58 5 62,14 100 1242,89 25 310,72 17 211,29 23 285,86 19 236,15 15 186,43 1 12,43 100 1242,89
Universitas Indonesia
101 LAMPIRAN 6 Sebaran Biomassa Acacia crassicarpa Acacia crassicarpa - Biomassa Rendah Fisik Wilayah Kelas % ha 60 - 120 5 0,25 Ketinggian 120 - 180 85 4,19 (mdpl) 180 - 240 10 0,49 Jumlah 100 4,93 0-2 15 0,74 2-8 25 1,23 Lereng (%) 8 - 15 29 1,43 15 - 25 20 0,99 >25 11 0,54 Jumlah 100 4,93 MBI 40 1,97 Jenis Tanah AHK 35 1,73 SAR 25 1,23 Jumlah 100 4,93
Acacia crassicarpa - Biomassa Sedang Fisik Wilayah Kelas % ha 60 - 120 1 0,48 Ketinggian 120 - 180 85 40,84 (mdpl) 180 - 240 14 6,73 Jumlah 100 48,05 0-2 3 1,44 2-8 36 17,30 Lereng (%) 8 - 15 50 24,03 15 - 25 10 4,81 >25 1 0,48 Jumlah 100 48,05 MBI 20 9,61 Jenis Tanah AHK 10 4,81 SAR 70 33,64 Jumlah 100 48,05
Acacia crassicarpa - Biomassa Tinggi Fisik Wilayah Kelas % ha 60 - 120 0 0,00 Ketinggian 120 - 180 100 8,62 (mdpl) 180 - 240 0 0,00 Jumlah 100 8,62 0-2 2 0,17 2-8 1 0,09 Lereng (%) 8 - 15 23 1,98 15 - 25 74 6,38 >25 0 0,00 Jumlah 100 8,62 MBI 70 6,03 Jenis Tanah AHK 0 0,00 SAR 30 2,59 Jumlah 100 8,62
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
102 LAMPIRAN 7 Sebaran Biomassa Eucalyptus Eucalyptus - Biomassa Rendah Fisik Wilayah Kelas % ha 60 - 120 15 65,46 Ketinggian 120 - 180 65 283,65 (mdpl) 180 - 240 20 87,28 Jumlah 100 436,39 0-2 10 43,64 2-8 18 78,55 Lereng (%) 8 - 15 30 130,92 15 - 25 25 109,10 >25 17 74,19 Jumlah 100 436,39 MBI 20 87,28 Jenis Tanah AHK 10 43,64 SAR 70 305,47 Jumlah 100 436,39
Eucalyptus - Biomassa Sedang Fisik Wilayah Kelas % 0 – 60 3 60 - 120 40 Ketinggian (mdpl) 120 - 180 52 180 - 240 5 Jumlah 100 0-2 10 2-8 15 Lereng (%) 8 - 15 45 15 - 25 20 >25 10 Jumlah 100 MBI 55 AHK 35 Jenis Tanah SAR 5 BKN 5 Jumlah 100
ha 15,50 206,71 268,73 25,84 516,78 51,68 77,52 232,55 103,36 51,68 516,78 284,23 180,87 25,84 25,84 516,78
Eucalyptus - Biomassa Tinggi Fisik Wilayah Kelas % ha 0 – 60 10 19,52 60 - 120 60 117,14 Ketinggian 120 - 180 20 39,05 (mdpl) 180 - 240 3 5,86 7 13,6661 >240 Jumlah 100 195,23 0-2 0 0,00 2-8 30 58,57 Lereng (%) 8 - 15 35 68,33 15 - 25 20 39,05 >25 15 29,28 Jumlah 100 195,23 MBI 60 117,14 AHK 10 19,52 Jenis Tanah SAR 25 48,81 BKN 5 25,84 Jumlah 100 516,78
Sebaran biomassa..., Frida Tri Rahayu, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia