SKPI: Pengembangan Soft Skills dan Karakter Mahasiswa untuk Menyongsong Masa Depan Cerah1 [Development of the Students' Soft Skills and Character for Toward a Bright Future]
Oleh: Asmuni
Pendahuluan Sejak terbit UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Perpres Nomor 8 Tahun 2013 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan Permendikbud Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan KKNI Bidang Pendidikan Tinggi, maka STKIP PGRI Jombang dikategorikan dalam jenis pendidikan akademik, jenjang kualifikasi 6 (enam) setara dengan lulusan diploma 4 atau sarjana terapan, dan sarjana. Perlu diketahui, menurut UU Pendidikan Tinggi (No. 12 Tahun 2012) terdapat 3 (tiga) jenis pendidikan tinggi, yaitu: a. Pendidikan akademik, yaitu pendidikan tinggi program sarjana (S1) dan/atau program pascasarjana (S2, S3) yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. b. Pendidikan vokasi, yaitu pendidikan tinggi program diploma (D1, D2, D3, D4) yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan (S1 Terapan, S2 Terapan, S3 Terapan). c. Pendidikan profesi, yaitu pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus. Misalnya, Pendidikan Profesi Guru (PPG). Dari tiga jenis pendidikan tinggi tersebut lulusan S1 program studi apapun dari STKIP PGRI Jombang bergelar Sarjana Pendidikan, atau disingkat S.Pd, tanpa memperoleh Akta Mengajar IV (karena Akta 4 sudah tidak berlaku lagi). Dengan demikian kalau ingin berprofesi guru (guru profesional), maka harus melanjukan ke jenis pendidikan profesi, yaitu PPG. Namun demikian setelah terbit Permendikbud Nomor 81 Tahun 2014 (pengganti dari Permendikbud Nomor 83 Tahun 2013, dan Permendikbud Nomor 11 Tahun 2014), maka lulusan S1 (termasuk lulusan STKIP PGRI Jombang) diberikan Ijazah yang disertai paling sedikit dengan Transkrip Akademik dan SKPI (Pasal 5 ayat (1)). SKPI adalah Surat Keterangan Pendamping Ijazah, yaitu dokumen yang memuat informasi tentang pencapaian akademik atau kualifikasi dari lulusan pendidikan tinggi bergelar (Pasal l, angka 4). SKPI dapat pula memuat informasi tambahan tentang prestasi lulusan selama berstatus mahasiswa (Pasal 7 ayat (2)). Untuk memenuhi keperluan SKPI lulusan, STKIP PGRI Jombang mengembangkan soft skills dan karakter mahasiswa melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler.
Pentingnya Soft Skills Survey membuktikan, bahwa hasil wawancara Thomas J. Neff dan James M. Citrin (Neff & Citrin, 1999; 2001; Esler, 2012) terhadap 50 orang tersukses di Amerika tentang rahasia kesuksesan mereka, menemukan 10 kiat sukses, yaitu: 1
Recommended citation: Asmuni. (2015). SKPI: Pengembangan Soft Skills dan Karakter Mahasiswa untuk Menyongsong Masa Depan Cerah. Dalam Asmuni dkk. (Eds.), Songsong Masa Depan Cerah bersama STKIP PGRI Jombang, 61-70. Jombang: LP2i STKIP PGRI Jombang
1
1 2 3 4 5. 6 7. 8 9 10
Passion (semangat, atau gairah yang membara) Intelligence and clarity of thinking (kecerdasan dan kejelasan berpikir) Great communication skills (Ketrampilan komunikasi) High energy level (energik) Egos in check (ego terkontrol) Inner peace (hati damai) Capitalizing early life experience (memanfaatkan pengalaman) Strong family lifes (dukungan keluarga yang kuat) Positive attitude (sikap positif) Focus on “doing the right things right” (fokus pada perbuatan yang benar)
Dari 10 rahasia sukses tersebut tak satupun menyebut pentingnya keterampilan teknis (hard skills) sebagai persyaratan untuk sukses di dunia kerja. 50 orang tersebut seolah-olah sepakat bahwa yang paling menentukan kesuksesan mereka bukanlah hard skills melainkan kualitas diri yang termasuk dalam katagori keterampilan lunak (softskills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (people skills), yang sekaligus menjadi karakter mereka (Asmuni, 2014, Asmuni & Hasyim, 2014). Mari kita perhatikan, rahasia sukses ranking pertama “passion” (semangat, gairah yang membara). Orang bijak menterjemahkan semangat sebagai burning desire yang diwujudkan dalam bentuk: “bersedia mencurahkan apapun yang dipunyai untuk apapun yang sedang dikerjakan.” Karena definisinya demikian, maka tak heran jika 50 orang sukses tersebut menempatkan “semangat” sebagai modal pertama untuk meraih kesuksesan (Sailah, 2008, Asmuni, 2014). Survey membuktikan pula, bahwa jajak pendapat yang dilakukan oleh NACE (National Association of Colleges and Employers) terhadap 457 pengusaha di Amerika Serikat, pada tahun 2002, diperoleh kesimpulan bahwa IP (Indeks Prestasi akademik) hanya urutan 17 dari 20 kualitas yang dianggap penting dari seorang lulusan universitas. Lihat tabel di sebelah kiri, kualitas papan atas (No. 1 – 16) justru hal-hal yang sering dianggap basa-basi dan diabaikan oleh mahasiswa, karena tidak terlihat wujudnya (intangible). Padahal kualitas yang intangible ini sangat diperlukan, dan ini juga yang disebut soft skill. (Putra & Pratiwi, 2005; Sailah, 2008; Budimansyah, dkk., 2010); Asmuni, 2014, Asmuni & Hasyim, 2014)
2
Cerita ini jangan dipahami bahwa hard skills (akademik) tidak penting bagi lulusan, tetapi dari beberapa buku selalu menekankan bahwa di dalam dunia nyata soft skills dan berkarakter sangat menonjol peranannya dalam membawa orang mampu bertahan sampai puncak sukses. Apabila dicermati dari kenyataan, baik dari perbincangan informal maupun hasil penelusuran atau kajian formal, maka rasio kebutuhan soft skills dan hard skills di dunia kerja/usaha berbanding terbalik dengan pengembangannya di perguruan tinggi. Kesuksesan di lapangan kerja yaitu 80% ditentukan oleh mind set (soft skills) yang dimilikinya, dan 20% ditentukan oleh technical skills (hard skills atau akademik). Namun sistem pendidikan nasional kita, termasuk di perguruan tinggi, soft skills yang masuk dalam kurikulum rata-rata hanya 10 – 20 % saja. Untuk itulah kesadaran pentingnya pengembangan soft skills dan karakter bagi mahasiswa harus ditumbuhkembangkan sejak mahasiswa baru, sehingga selama proses pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa bersemangat untuk membekali dirinya dengan hard skills (akademik) dan soft skills. Jadi tidak hanya kuliah terus pulang; besuknya kuliah lagi terus pulang, dan seterusnya tetapi juga membekali dirinya dengan kegiatan-kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Terlebih lagi setelah terbit Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81 Tahun 2014, maka mahasiswa dituntut untuk memperbanyak kompetensi (pendamping kompetensi utama) dalam bentuk hidden curriculum, yang bernama soft skills dan/atau kualifikasi keahlian tertentu, yang akan dituangkan dalam SKPI lulusan. Atribut Soft Skills yang harus dikembangan Mahasiswa Soft skills diartikan sebagai perilaku personal dan interpersonal yang mengembangkan dan memaksimalkan kinerja (human performance) (Berthal dalam Sailah, 2008). Menurut Klaus (2008), soft skills meliputi perilaku personal, sosial, komunikasi, dan manajemen diri. Soft skills mencakup spektrum yang luas dari berbagai kemampuan dan sifat-sifat: sadar diri, amanah (dapat dipercaya), berhati-hati, adaptasi, berpikir kritis, berpendirian, inisiatif, empati, percaya diri, integritas (jujur dan tanggung jawab), pengendalian diri, kesadaran berorganisasi, disukai (karena kemampuannya), wibawa, berani mengambil risiko, memecahkan masalah, kepemimpinan, manajemen waktu, dan sebagainya. Soft skills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Atribut soft skills dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru (Sailah, 2008; Asmuni, 2014). Penelitian di beberapa negara (Inggris, Amerika dan Kanada), disimpulkan terdapat 23 atribut soft skills yang dominan di lapangan kerja. Atribut soft skills di bawah ini didasarkan pada urutan prioritas sesuai dengan kepentingan dunia kerja, yaitu: 1. Inisiatif 2. Etika/integritas 3. Berfikir kritis
13. Manajemen diri 14. Menyelesaikan persoalan 15. Dapat meringkas 3
4. Kemauan belajar 5. Komitmen 6. Motivasi 7. Bersemangat 8. Dapat diandalkan 9. Komunikasi lisan 10. Kreatif 11. Kemampuan analitis 12. Dapat mengatasi stres
16. Berkoperasi 17. Fleksibel 18. Kerja dalam tim 19. Mandiri 20. Mendengarkan 21. Tangguh 22. Berargumentasi logis 23. Manajemen waktu (Sailah, 2008; Asmuni, 2014).
Penulis buku-buku serial manajemen diri, Aribowo (dalam Sailah, 2008; Asmuni, 2014), membagi soft skills (people skills) menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills adalah keterampilan seseorang dalam ”mengatur” diri sendiri. Sedangkan interpersonal skills adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain. Dua jenis keterampilan ini dirinci sebagai berikut: Intrapersonal Skill
Interpersonal Skill
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8
Transforming Character Transforming Beliefs Change management Stress management Time management Creative thinking processes Goal setting & life purpose Accelerated learning techniques
Communication skills Relationship building Motivation skills Leadership skills Self-marketing skills Negotiation skills Presentation skills Public speaking skills
Ichsan S. Putra & Aryanti Pratiwi membuat akronim yang dimodifikasi dari berbagai soft skills penting yang dikategorikan oleh Patrick S. O’Brien sebagai 7 area yang disebut “Winning Characteristics”, yaitu dengan akronim COLLEGE, yakni: 1. Communication Skills 2. Organizational Skills 3. Leadership 4. Logic 5. Effort 6. Group Skills 7. Ethics (Putra & Pratiwi, 2005). Ada sebuah pernyataan yang disampaikan oleh manajemen perusahaan raksasa di bidang perkebunan di Indonesia, bahwa telah terjadi kesenjangan persepsi antara dunia pendidikan tinggi dan industri. Perguruan tinggi memandang bahwa lulusan yang “high competence” adalah lulusan dengan IPK tinggi dan lulus dalam waktu yang cepat (kurang dari 4 tahun). Sedangkan dunia industri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lulusan yang “high competence” yaitu mereka yang memiliki kemampuan teknis (hard skills / akademis) dan sikap yang baik (soft skills / karakter). Di sisi lain, sarjana 4
baru lebih banyak yang memilih bekerja di belakang meja, di perkotaan, dan tidak mau melakukan pekerjaan lapangan dengan tangan kotor, apalagi ditempatkan di pelosok (Sailah, 2008; Asmuni, 2014). Tetapi lulusan STKIP PGRI Jombang sejak dua atau tiga tahun yang lalu ada yang lolos mengikuti program SM-3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), meskipun jumlahnya belum memuaskan. Mereka beruntung, karena mereka mendapat prioritas mengikuti PPG dan segera mendapat sertifikat profesi (guru profesional). Hal ini dapat menepis anggapan bahwa lulusan STKIP PGRI Jombang hanya “jago kandhang”, berlagak “priyayi”, dan tidak berani ‘berlaga’ jauh di luar kampung halaman.
Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Istilah lain tentang karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona dengan memakai konsep karakter baik (good character) dengan merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Aristoteles sebagai berikut “ ... the life of right conduct—right conduct in relation to other persons and in relation to oneself” atau kehidupan berperilaku baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan Yang Maha Esa, manusia, dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri. Kehidupan yang penuh kebajikan (the virtuous life) sendiri oleh Lickona dibagi dalam dua kategori, yakni kebajikan terhadap diri sendiri (self-oriented virtuous) seperti pengendalian diri (self control) dan kesabaran (moderation); dan kebajikan terhadap orang lain (other-oriented virtuous), seperti kesediaan berbagi (generousity) dan merasakan kebaikan (compassion) (Budimansyah, dkk., 2010). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Fungsi dan tujuan pendidikan nasional ini bila dicermati telah terinspirasi dari filusuf Yunani yang hidup 2400 tahun yang lalu, yakni Socrates, yang telah berkata bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah membuat seseorang menjadi “good and smart” (Megawangi, 2011). Karenanya secara implisit pendidikan karakter telah menjadi komitmen Bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut. Menurut Budimansyah, dkk. (2010), secara filosofis Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, juga menyatakan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Maka hakikat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang secara utuh memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual, maupun kecerdasan kinestetika. Dengan demikian apabila disandingkan dengan soft skills maka sesungguhnya atribut karakter baik (good character) identik dengan atribut soft skills. Hal ini menggambarkan sosok manusia yang “good and smart”, serta holistik (utuh) karena memiliki kecerdasan intelektual yang terpadu dengan kecerdasan spiritual, emosional, sosial, dan kecerdasan kinestika. Hal ini, tentu saja, dapat terwujud apabila proses 5
pendidikan dan pembelajaran di kampus, keteladanan dosen dan pimpinan institusi, serta semangat mahasiswa untuk menjadi seorang yang “good and smart” mendukungnya. Untuk inilah dibutuhkan kesadaran semua pihak (sivitas akademika) akan pentingnya karakter baik (good character), baik terhadap diri sendiri, sosial, masyarakat, dan bangsa. Bukankah kita semua punya “hati nurani”? “Ibda’ binafsik”, mulailah pada dirimu sendiri (al hadits).
Simpulan Pengembangan soft skills dan karakter bagi mahasiswa sangatlah penting untuk menuju kesuksesan. Hal ini bukan berarti bahwa pengembangan hard skills tidak penting, tetapi karena paradigma pasar kerja telah bergeser dari tangible asset ke intangible asset, sehingga kesuksesan lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja lebih banyak ditentukan oleh kemampuan soft skills dan karakter daripada kemampuan hard skills, maka mahasiswa mau tidak mau harus merubah paradigma (mind set) dari apatis menjadi aktif terhadap kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, atau aktif berkegiatan apapun yang positif, baik di dalam maupun di luar kampus. Dengan demikian SKPI yang nantinya diberikan bersama ijasah dan transkrip studi tidak sekadar berisi deretan daftar kegiatan yang pernah diikuti selama menjadi mahasiswa, tetapi benar-benar selaras dengan bukti nyata kualitas kinerja (human performance) pemiliknya. Oleh karena itu SKPI harus dipersiapkan mahasiwa sejak mulai masuk di perguruan tinggi, melalui pengembangan atribu-atribut soft skills dan karakter, sehingga sederet kompetensi dan kulifikasi kerja dapat terkumpul. Dengan demikian, mahasiswa selama belajar di perguruan tinggi telah menyongsong masa depan yang cerah.
Referensi Asmuni (2014). Pengembangan soft skills dan karakter mahasiswa. Buku Pedoman OSPEK 2014, Tahun Akademik 2014/2015. Jombang: STKIP PGRI Jombang, 4958. Asmuni, & Hasyim, K. (2014). Students’ analytical ability toward case and policy on teaching profession through the integration of hard skills and soft skills by using problem-based learning strategy. Proceeding of the 7th International Conference on Educational Research: Callenging Education for Future Change. Faculty of Education, Khon Kaen University, Thailand, September 13-14, 2014, 903-909. Budimansyah, D., Ruyadi, Y., & Rusmana, N. (2010). Model pendidikan karakter di perguruan tinggi: Penguatan PKn, layanan bimbingan konseling dan KKN Tematik di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: UPI Press. Esler, G. (2012). Lesson froom the top: The three stories that successful leaders tell. London: Profile Books Ltd. Klaus, P. (2008). The hard truth about soft skills, workplace lessons smart people wish they’d learned sooner. Collins, February 1, 2008, Paperback. HarperCollins ebooks. Megawangi, R. (2011). Pengembangan Program Pendidikan Karakter di Sekolah: Pengalaman Sekolah Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. Neff, T. J., and Citrin, J. M., (2001). Lesson froom the top: The 50 most successful business leaders in America—and what yoe can learn from them. New York, NY: Currency/Doubleday.
6
Peraturan Presiden RI nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebubudayaan RI Nomor 73 Tahun 2013 Tentang Penerapan Krangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebubudayaan RI Nomor 81 Tahun 2014 Tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, dan Sertifikat Profesi Pendidikan Tinggi. Putra, I. S., & Pratiwi, A. (2005). Sukses dengan soft skills. Bandung: Direktorat Pendidikan ITB. Sailah, I. 2008. Pengembangan soft skills di perguruan tinggi. Jakarta: Tim Kerja Pengembangan Soft Skills, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
7