Topik Utama SKEMA ALOKASI DANA KETAHANAN ENERGI UNTUK PENGEMBANGAN EBT KELAUTAN DI INDONESIA Subaktian Lubis Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI)
[email protected] Sari Mengacu pada salah satu skenario pengembangan EBT kelautan pada rancangan KEN tahun 2019, bahwa target kapasitas terpasang energi laut adalah 1 MW; pada tahun 2020 meningkat menjadi 2 MW; pada tahun 2025 mencapai 7 MW dan tahun 2030 berlipat ganda menjadi 365 MW; tahun 2040 diproyeksikan untuk mencapai 1.082 MW, dan meningkat lagi pada tahun 2050 menjadi 1.799 MW, maka akan dibutuhkan peningkatan investasi yang cukup signifikan. Oleh sebab itu, Pemerintah dituntut untuk mengupayakan berbagai terobosan pembiayaan yang potensial, antara lain melalui skema pemanfaatan dana perbankan dalam negeri, public private partnership, perdagangan karbon, dan nature for debt swap atau secara legal disisihkan melalui skema alokasi DKE. Kata Kunci: DKE, EBT, Laut
1. PENDAHULUAN 1.1. Dana Ketahanan Energi Konsepsi Dana Ketahanan Energi (DKE) yang pada awalnya diprakarsai oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), masih terus mengundang pro dan kontra masyarakat konsumen energi. Namun demikian, setelah bergulir menjadi bahan kajian berbagai pihak terkait nampaknya sudah mulai memberikan harapan bahwa konsep ini menjadi penting saat negara mengalami krisis ketersediaan energi, baik akibat merosotnya atau melonjaknya harga minyak dunia. Pengertian ketahanan energi (presilience, resilience) secara umum adalah suatu kondisi di mana kebutuhan masyarakat sebagai konsumen energi dapat dipenuhi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip ketersediaan (availability), keterjangkauan (ac cessibility), dengan tetap menjaga mutu dan harga (acceptability). Oleh karena itu, negara-negara maju seperti AS telah mulai mereposisi kebijakan luar negerinya yang secara
38
khusus menyangkut ketersediaan energi agar dapat menjaga kestabilan atau ketahanan energi nasionalnya. Selain itu, di AS kebijakan ini juga telah dipayungi secara legal, dengan mencantumkan dalam UU Energi mereka, bahwa besarnya Cadangan Penyangga Energi AS harus dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar domestik selama 90 hari. Sementara itu, negara maju lainnya yaitu China sedang ber upaya meningkatkan cadangan penyangganya dari 60 hari menjadi 90 hari. AS juga secara bertahap sudah mulai melakukan diversifikasi energi melalui kebijakan Advanced Energy Initiative yang memberikan arahan yang jelas tentang sasaran pokok kebijakan energi, yaitu bahwa pada tahun 2012 harus sudah dimanfaatkan biofuel, dan pada tahun 2020 kendaraan di AS harus menggunakan bahan bakar hidrogen (Miliken, dkk, 2007). Selanjutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa penghimpunan DKE ini pada awal peman-
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama faatannya ditujukan untuk memberikan subsidi kepada PLN dalam menampung ener gi baru terbarukan (EBT), karena saat ini nilai ke ekonomiannya masih belum kompetitif dibandingkan dengan listrik dari energi fosil. Berbagai skema tentang sumber dana serta pengelolaan DKE terus dimatangkan oleh Pemerintah baik wacana payung hukum maupun sumber-sumber pendanaan tetap, karena konsepsi DKE ini mirip dengan cadangan strategis yang sangat diperlukan untuk melindungi ma syarakat konsumen dari dampak fluktuasi me rosot atau melonjaknya harga minyak dunia. Perkembangan terakhir yang ditegaskan oleh Menteri ESDM, bahwa sumber pendanaan DKE ini tidak berbentuk pungutan dari ma syarakat konsumen, melainkan bersumber dari utang, dana hibah lembaga donor, serta lembaga bilateral yang memiliki misi mengembangkan energi terbarukan. Sebagai contoh, konsep Petroleum Fund di Thailand mulai diberlakukan pada saat terjadi krisis minyak tahun 1973 (Vikitset, 2013). Saat itu, Pemerintah Thailand sebagai negara importir minyak menerbitkan Peraturan Pencegahan Kelangkaan Minyak (Oil Shortage Prevention Act). Isi peraturan ini adalah mewajibkan para trader untuk mengumpulkan dana stabilisator minyak yang besarannya ditentukan pemerintah. Dana tersebut kemudian digunakan sebagai subsidi untuk menstabilkan harga minyak di dalam negeri. Selain itu, konsep DKE ini juga akan menca kup pembangunan infrastruktur energi di desa-desa yang belum menikmati fasilitas listrik, seperti di wilayah perbatasan negara atau pulau-pulau kecil terdepan. Dengan demikian, konsep DKE juga mulai bergulir melebar menjadi misi untuk mengentaskan keterisolasian energi yang diprogramkan dalam bentuk program peningkatan rasio elektrifikasi, terutama di daerah yang tertinggal. Seiring dengan misi Ketahanan Energi untuk melakukan diversifikasi energi dengan cara mengoptimumkan target EBT sebesar 23%, akan diperlukan dana tersendiri, sehingga realisasi ketersediaan DKE semakin dibutuhkan.
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Kementerian ESDM awal tahun 2016 telah meluncurkan Program Indonesia Terang (PIT) dalam rangka memenuhi target peningkatan rasio elektrifikasi nasional dari 85% pada tahun 2015 menjadi 97% pada tahun 2019. PIT juga menjadi bagian dari target pemerintah dalam menyediakan akses penerangan bagi masyarakat Indonesia secara merata melalui program pembangunan pembangkit 35.000 MW, yang tentunya sebagian akan dipasok dari pembangkit listrik EBT walaupun tidak harus terkoneksi (off grid) dengan jaringan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Oleh sebab itu, sebagian alokasi DKE yang dibutuhkan untuk kepentingan ini adalah untuk mendanai pengembangan dan pemanfaatan biofuel, konservasi energi, research and development, dan selisih feed in tariff yang tidak mungkin ditanggung sendiri oleh pihak PLN atau IPP (Independent Power Producer). Research and development yang dimaksud adalah membangun Strategic Petroleum Research Centre yang akan menjadi lembaga “think tanks” pemerintah dalam mengkaji sumber dan alokasi DKE serta tata kelolanya secara berkesinambungan. Sebagai konsekuensi logis untuk mencapai sasaran DKE ini, Pemerintah dituntut agar merancang dan membentuk semacam Badan Pengawas dan Badan Pengelola DKE tersebut, untuk kemudian diajukan dan dibahas oleh Kementerian Keuangan, Badan Anggaran DPR, serta Komisi VII DPR. Selanjutnya, hasil bahasan secara komprehensif ini disusun sebagai payung hukum setingkat Peraturan Pemerintah. Payung hukum ini pada intinya adalah mengatur tata kelola tentang tiap pungutan DKE yang diperoleh dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, seluruh pendapatan dari kegiatan migas akan ditampung dalam wadah semacam Petroleum Fund, yang berperan sebagai dana cadangan Pemerintah yang dapat digunakan untuk membiayai program-program Pemerintah pada saat krisis atau darurat energi. Jika hal ini terwujud maka akan lebih mudah untuk mencapai visi Keamanan Energi
39
Topik Utama dan Kedaulatan Energi yang sampai saat ini masih merupakan wacana. 1.2. Keamanan dan Kedaulatan Energi Secara umum terminologi Keamanan Energi (Energy Security) selalu mengalami perkembangan namun dapat dibedakan menjadi dua hal. Pertama, keamanan energi adalah keter sediaan energi dalam kuantitas yang cukup dan harga yang terjangkau. Pemahaman ini berkembang pada periode tahun 1970-an hingga tahun 2000-an. Kedua, secara lebih luas, keamanan energi diterjemahkan sebagai keberlanjutan lingkungan (sustainability en vironment) energi dan kemudahan akses dalam memanfaatkannya. Dalam keberlanjutan lingkungan ini juga tersirat bahwa kebijakan ini tidak hanya berfokus pada pencarian cadang an baru energi konvensional saja, tetapi juga melakukan inovasi dalam pemanfaatan energi bersih dan terbarukan. Untuk mencapai upaya menciptakan Keamanan Energi ini dibutuhkan dukungan dan jaminan terhadap akses ataupun sumber-sumber energi serta proses konversi dan distribusi energi yang dibutuhkan untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Arti Kedaulatan Energi (sovereignty) suatu negara adalah suatu kemampuan untuk memenuhi keseluruhan kebutuhan dasar produk energi yaitu listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan BBM secara neto tidak ada nilai impor serta tanpa campur tangan pihak asing. Kedaulatan energi Indonesia masih belum jelas terdefinisikan namun secara umum dapat diartikan sebagai hak negara dan bangsa yang secara mandiri untuk menentukan kebijakan pengelolaan energinya dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi. 1.3. Kebijakan Pengembangan EBT Anjloknya harga minyak dunia hingga di bawah US$ 30 per barel yang berlanjut sampai awal Februari 2016 diduga akan berimbas negatif terhadap kelanjutan pengembangkan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, karena
40
biaya pembangkitan EBT akan nampak semakin mahal. Walaupun demikian, Pemerintah Indonesia telah menyatakan akan tetap berkomitmen memajukan pengembangan EBT, sesuai dengan arahan Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi yang selanjutnya dioperasionalkan dengan diterbitkannya PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Oleh sebab itu, diperlukan terobosan kebijakan baru agar selalu tersedia pendanaan yang secara khusus dapat menjamin pengembangan EBT yang dihimpun dari sektor energi terutama sebagian dari pendapatan komodi tas migas. Dengan demikian, sebagian alokasi DKE ini akan disisihkan untuk mempercepat pengembangan EBT yang menjadi andalan dalam target kebijakan bauran energi jangka panjang. Pengembangan EBT adalah suatu keharusan dan bukan pilihan, namun demikian tantangan ke depan adalah bagaimana memperlakukan komoditas EBT ini agar tetap dapat bersaing dengan energi fosil lainnya. Dalam jangka pendek memang dirasakan masih sulit untuk menyebandingkan biaya produksi EBT dengan efisiensi energi fosil yang cenderung semakin murah, tetapi tetap berpeluang untuk melonjak kembali jika produksinya menurun drastis. Namun demikian, pengembangan dan pemanfaatan EBT ini mutlak harus diteruskan karena untuk jangka panjang belum bisa diprediksi apakah harga minyak dunia akan semakin terpuruk atau bahkan akan melonjak kembali karena perubahan gejolak politik dunia. Mengacu pada pernyataan Dirjen EBT Kementerian ESDM, Rida Mulyana (Detikfinace, 16 Februari 2016), bahwa cadang an energi fosil di Indonesia semakin menipis, maka EBT sebagai “harta karun” yang selama ini belum dikelola, harus segera dioptimalkan untuk disandingkan dengan energi fosil. Jika Indonesia masih tetap bergantung pada ener gi fosil, maka dalam 2-3 dekade mendatang akan mengalami krisis energi. Oleh karena itu, salah satu potensi EBT yang layak dikembangkan dan didanai dari DKE adalah energi laut di wilayah perairan pulau-pulau kecil yang belum terjangkau jaringan listrik nasional.
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama 2. SKEMA DKE UNTUK PENGEMBANGAN EBT KELAUTAN Mengacu pada program Kemandirian Energi dan PIT dengan target untuk menjadikan energi sebagai modal pembangunan seperti yang tercantum pada pasal 6 PP No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dan pernyataan Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI) tentang prospek energi laut terpulihkan yang secara teoritis mencapai 734 GW (ASELI, 2011), maka semakin terbuka peluang untuk mengalihkan sebagian alokasi DKE untuk meningkatkan pemanfaatan sumber energi kelautan tersebut untuk mensejahte rakan masyarakat, terutama bagi masyarakat di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil tertinggal yang tidak mungkin dijangkau oleh jaringan listrik PLN. Sekretaris Jenderal Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), Aryo Hanggoro, pada Forum EBT Kelautan di Cirebon tgl 11 Maret 2016 menyebutkan bahwa potensi energi laut sebesar ini merupakan “anuge
rah” sehingga sepatutnya dimanfaatkan untuk mensejahterakan masyarakat kawasan pesisir yang tertinggal. Skema pemanfaatan DKE untuk pengembang an EBT Kelautan mengacu pada prospek berbagai sumber daya kelautan, meliputi ener gi arus laut, energi panas laut, energi gelombang laut, air laut sebagai sumber air tawar, dan sumber daya listrik air laut. 2.1. EBT Arus Laut Prospeksi energi arus laut Indonesia berdasarkan hasil simplifikasi data kecepatan arus pa sang-surut di perairan pantai-pantai Indonesia umumnya kurang dari 1,5 m/detik, kecuali di selat-selat di antara pulau-pulau Sunda Kecil seperti di selat Bali, Lombok, dan selat-selat di Nusa Tenggara Timur, kecepatan signifikannya bisa mencapai 2,5 – 3,4 m/detik. Kecepatan arus sebesar ini jika dimanfaatkan untuk memutar turbin dengan luas sapuan 40 m2, berpotensi membangkitkan listrik 40-150
(Foto: Ai Yuningsih).
Gambar 1. Prototipe Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL) rancangan T-Files ITB menggunakan turbin Gorlov yang telah memperoleh “proven design” sebagai pembangkit skala mikro
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
41
Topik Utama kW per meter panjang pantai (Yuningsih, dkk, 2008). Selat-selat ini merupakan perlintasan arus terpenting di bagian selatan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dan juga merupakan perlintasan utama arus siklus global yang disebut Global Ocean Conveyor Belt (GOCB). Oleh sebab itu, di selat-selat ini terjadi arus berkecepatan relatif kuat, bukan saja akibat Arlindo tetapi juga pengaruh bentuk geometrik dan pasang surut (Lubis dan Mirayosi, 2006). Prototipe pembangkit tenaga arus laut (PLTAL) pertama telah dibangun secara kemitraan oleh Kelompok Teknik T-Files ITB (Gambar 1), di bawah supervisi PT Dirgantara Indonesia de ngan Puslitbang Geologi Kelautan (P3GL) yang mengadopsi dan memodifikasi model turbin Gorlov skala kecil (0,8 kW/cel). Kelompok T-Files ITB selanjutnya mengembangkan jenis pembangkit listrik tenaga arus laut skala kecil menggunakan generator jenis PMG (Per manent Magnet Generator). Gambar 1 memperlihatkan prototipe perangkat pembangkit listrik hasil rakitan perdana yang telah diuji-coba di kolam uji P3GL di Cirebon tahun 2008, dan dilanjutkan dengan uji lapangan tahun 2009 di Selat Nusa Penida sehingga telah berhasil memperoleh “proven design” yang cocok untuk diterapkan pada perairan yang berkarakteristik selat (arus pasang surut). Mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI) pada Kongres II bulan September 2011 di Bandung (Tabel 1), secara hipotesis, total sumber daya energi arus laut nasional cukup berlimpah yaitu mencapai 160 GW. Sedangkan potensi energi
laut yang dapat dimanfaatkan dengan menggunakan teknologi yang tersedia sekarang dan secara praktis memungkinkan untuk dikembangkan sampai Tahap III, berkisar antara 4,8 GW (situs esdm.go.id tanggal 20 September 2011). 2.2. EBT Panas Laut Metodologi konversi energi panas laut OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) adalah menghasilkan energi listrik dengan memanfaatkan perbedaan temperatur antara air laut dalam (deep sea) dan perairan dekat permukaan untuk menjalankan mesin kalor. Seperti pada umumnya efisiensi mesin kalor akan menghasilkan energi yang besar jika perbedaan temperatur pada sistem juga besar. Perairan yang paling berprospeksi di Indonesia menurut Illahude dan Gordon (1996) yaitu yang memiliki karakteristik perbedaan suhu yang relatif tinggi adalah Teluk Tomini karena variasi rata-rata tahunannya yang kecil, dan tidak terpengaruh kejadian Osilasi Selatan atau El-Nino, dengan persentase nilai ΔT minimum 20,5oC mulai kedalaman 600 meter. Rata–rata ΔT pada kedalaman 600 meter sebesar 23,18 o C, sedangkan rata–rata kedalaman 800 meter sebesar 24,73oC, dan rata–rata pada kedalam an 1000 meter sebesar 25,46oC. Jarak perair an dengan kedalaman 1.000 m dan garis pantai adalah sekitar 12 mil laut (sekitar 22 km), sehingga perairan ini telah memenuhi kriteria untuk dikembangkan menjadi kawasan OTEC. Hasil kajian teknik yang dilakukan Kleute (2012) dari TU Delf, berdasarkan hitungan biaya investasi untuk pembangkit OTEC diperkirakan
Tabel 1. Sumber Daya dan Potensi Energi Arus Laut Nasional
Sumber Daya Energi Arus Laut
Sumber Daya Teoritis Tahap I Theoritical Resources 160 GW
Potensi Teknis Tahap II Technical Resources 22,5 GW
Potensi Praktis Tahap III Practical Resources 4,8 GW
(Status potensi diadopsi dari sumber Dublin Institute of Technology, Irlandia). Keterangan: Potensi Akses, Tahap IV: Accessible Resources (lingkungan, konservasi, tata ruang) Potensi Viabel, Tahap V: Viable Resources (ketersediaan infrastruktur keekonomian)
42
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama Tabel 2. Potensi Sumber Daya Energi panas Laut di Indonesia JENIS ENERGI
Panas Laut (OTEC) Potensi
TAHAP I
TAHAP II
TAHAP III
TAHAP IV
TAHAP V
57 GW *
52 GW *
---
---
Teoritik
Teknik
43 GW * 6,08 GW ** Praktik
Asesibel
Viabel
*) Keterangan Luasan Wilayah OTEC: Panjang wilayah teoritis = panjang garis 81.000 km Panjang wilayah teknik 72.980 km Tahap II, 8.540 km Tahap III Jarak wilayah 12 mil dari garis pantai **) Hasil hitungan ulang oleh P3GL dan ITB setelah mempertimbangkan faktor efisiensi mencapai US$ 500-1.000 per kW. Jika diban dingkan dengan biaya investasi geotermal yang mencapai US$ 910 – 1.500 per kW, maka pembangkit OTEC masih lebih efisien. Bahkan, jika biaya investasi dan operasionalnya digabungkan maka harga keekonomian OTEC ini adalah US$ 0,42 per kW untuk jenis pembangkit komersial berkapasitas 10 MW. Potensi sumber daya energi panas laut hasil hitungan pada Konsensus Nasional ASELI ta-
hun 2011 di seluruh perairan Indonesia yang mengacu pada kriteria potensi energi baru dari Dublin Institute of Technology, Irlandia, ditunjukkan pada Tabel 2. 2.3. EBT Gelombang Laut Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) BPPT mulai melakukan kajian Hybrid Power Energy dengan mendesain dan membangun
Foto: S. Lubis
Gambar 2. Pembangkit energi gelombang laut dengan sistem Oscilating Water Column (OWC) dibangun oleh BPDP BPPT sejak tahun 2004 di perairan Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul, Yogyakarta
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
43
Topik Utama Tabel 3. Hasil perhitungan potensi energi gelombang laut JENIS ENERGI
TAHAP I
Gelombang Laut Potensi
510 GW * Teoritik
TAHAP II
2 GW * Teknik
TAHAP III
1,2 GW * Praktik
TAHAP IV
--Asesibel
TAHAP V
--Viabel
Sumber: ASELI 2011 *) Keterangan luasan wilayah laut berpotensi Gelombang Laut Panjang wilayah teoritis = panjang garis 81.000 km Panjang wilayah teknik 10.000 km Tahap II,6.000 km Tahap III panjang wilayah praktik 12 mil dari garis pantai
sistem energi gelombang laut dengan sistem Oscilating Water Column (OWC). BPDP sejak tahun 2004 telah berhasil membangun prototipe OWC pertama di Indonesia. Prototipe pembangkit ini dibangun di pantai Parang Racuk, Pantai Baron, Gunung Kidul (Gambar 2). Hasil pemodelan secara semi-empiris, pantai selatan daerah Yogyakarta ini memiliki potensi gelombang 19 kW per meter panjang pantai. Pada tahun 2006 BPDP kembali membangun OWC dengan sistem Limpet atau terapung di tempat yang sama. OWC Limpet dibangun berdampingan dengan OWC 2004 tetapi dengan model yang lebih disempurnakan, dengan harapan lebih efisiensi dari OWC sebelumnya. 2.4. Air Laut Sebagai Sumber Air Tawar Sumber daya alam kelautan Indonesia lain nya yang berpeluang untuk dikembangkan di kawasan pulau-pulau terpencil selain sebagai sumber energi terpulihkan adalah sumber daya listrik (salt water power) dan sumber desalinasi air tawar yang kaya mineral. a. Desalinasi Air Laut Permukaan Desalinasi air laut permukaan menjadi air minum tawar dan sehat menggunakan sistem penyaringan osmosis bertingkat telah diterapkan di Indonesia. Sumber air laut yang digunakan dipompa dari tepian pantai Selat Bali dan diolah menjadi air tawar siap minum dan telah didaftarkan dengan merek Air Megumi. Launching produk perdana air minum dalam kemas an Megumi ini dilakukan oleh Kepala P3GL mewakili Menteri ESDM, disaksikan oleh Bupati Jembrana, Prof. I Gede Wi-
44
nasa pada tanggal 27 November 2004 di lahan Koperasi Megumi, Desa Perancak, Kab. Jembrana, Bali.
Mesin pengolahan air laut menjadi air tawar menggunakan mesin pengolah Daiugin DUS-30D ini berbeda dengan sistem desalinasi yang digunakan pada kapalkapal yang memproses air laut menjadi air tawar. Umumnya, sistem desalinasi pada kapal-kapal besar menggunakan sistem penguapan untuk mendapatkan air tawar, sedangkan sistem Daiugin menggunakan sistem penyaringan bertingkat serta menggunakan aditif ozon. Air laut yang mempunyai kadar salinitas 3,5%, disaring dan dipisahkan dari mineral-mineral berat lainnya menggunakan magnet, sedangkan warna, bau dan bakteri e-coli dinetralkan menggunakan karbon aktif. Dengan demikian, air tawar yang dihasilkan memiliki kandungan mineral dan oksigen yang relatif lebih tinggi dibandingkan air tawar kemasan sejenis ”Aqua” yang berasal dari mata air alami. Produk air tawar yang dihasilkan telah teruji dan memenuhi Standar Kualitas yang tercantum pada pasal 46 UU Air Minum dan Standar Internasional WHO. Mesin pengolah tipe DUS-30D Daiugin yang digunakan ini dapat mengolah 30 ton air tawar selama 22 jam operasi per hari. Bagi daerah-daerah pesisir yang terpencil terutama masyarakat nelayan yang sulit memperoleh air tawar yang bersih, alat pengolah ait laut ini merupakan suatu peluang untuk dipertimbangkan sebagai salah satu program pemberdayaan ma syarakat (Community Development).
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama
(Koleksi: PT Omega Tirta Kyowa)
Gambar 3. Air mineral dalam kemasan bermerek dagang Oceanic yang diproduksi dari sumber air laut dalam (kedalaman 350 m) oleh PT Omega Tirta Kyowa di Bali
b. Desalinasi Air Laut Dalam Beberapa penelitian tentang air laut me nyatakan bahwa air laut dalam (deepsea water) berpotensi menjadi sumber air yang lebih layak dikonsumsi. Air laut dalam (ALD) yang dimaksud adalah air laut yang diambil pada kedalaman antara 300 – 400 meter dengan suhu antara 10-12oC. Kondisi ALD ini berbeda dengan air laut di permukaan (lapisan zona eufotik) yang sangat dipengaruhi oleh proses yang terjadi seperti fotosintesis, pencemaran, suspensi sedimen dan blooming alga. ALD yang telah didesalinasi menjadi air tawar memiliki kandungan mineral yang lebih bersih dibandingkan air laut permukaan. Selain itu, proses desalinasi ALD ini akan menghasilkan produk sampingan yaitu kristal garam berkualitas tinggi.
Jepang merupakan salah satu negara yang merintis pengolahan air laut dalam
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
menjadi air minum kemasan yang sehat. Saat ini sudah lebih dari 13 merek air mi neral laut dalam yang dipasarkan sebagai air minum dalam kemasan (AMDK). Meng acu pada Lubis (2015), salah satu contoh pabrik air mineral laut dalam yang sudah beroperasi di Indonesia adalah pabrik air mineral laut dalam PT. Omega Tirta Kyowa di Bali dengan nama produk “OCEANIC”. Sejak tahun 2009 PT Omega Tirta Kyowa di bawah pengawasan Omega Group Kyowa Jepang merintis uji coba pengolahan air laut menjadi air minum mineral dan garam dalam skala kecil, menggunakan bahan baku air laut yang diambil pada kedalaman 350 m di lepas pantai Amed, Bali Timur. Saat ini telah diproduksi air minum kemasan ukuran 1.000 ml, 500 ml dan 200 ml (Gambar 3) dengan kandungan mine ral Calcium 0,6 mg/l, Magnesium 1,6 mg/l, Sodium 50 mg/l, Potassium 5,4 mg/l, pH 7,8 pada temperatur 20oC, dan telah di
45
Topik Utama pasarkan di Bali, luar Bali, bahkan dieks por ke Jepang dan negara lain. 2.5. Sumber Daya Listrik Air Laut Air laut dapat juga digunakan sebagai elektrolit untuk menghasilkan daya listrik melalui proses elektrolisis. Kandungan air laut memilki potensi menjadi tenaga listrik menggunakan media sel galvanis. Air laut umumnya mengandung senyawa air (H2O) 96,5% dan natrium klorida (NaCI) 3,5%. Bercampurnya NaCI dan H2O menghasilkan Na+ dan CI─. Dalam keadaan terlarut atau cair, garam akan membentuk elektrolit setelah melalui proses elektrolisis dengan reaksi redoks (reduksi-oksidasi spontan). Pro ses elektrolisis garam ini terjadi melalui reaksi pada sel galvanis sebagai sel volta. Sel volta memilki beberapa komponen inti yaitu anoda, katoda, jembatan penghubung antar larutan, dan voltmeter. Anoda dibuat dari logam seng (Zn) dan katoda dibuat dari lempeng logam tembaga (Cu). Anoda dan katoda yang berada pada larutan elektrolit air garam ini akan menimbulkan reaksi oksidasi dan reduksi. Terjadinya proses reaksi kimia ini karena adanya beda potensial dari dua elektroda sehingga arus elektron mengalir membentuk aliran listrik. Reaksi ini akan berlangsung terus-menerus,
sedangkan jembatan garam berfungsi menyeimbangkan ion-ion dalam larutan. Untuk satu pasangan lempeng galvanis pada sistem ini menghasilkan 0,7 volt dengan kekuatan arus 0,6 mA. Jika menggunakan 6 (enam) pasang lempeng, maka akan menghasilkan tegang an 4,0 volt dan arusnya meningkat menjadi 0,65 mA. Proses ini mirip dengan desalinisasi (pemurnian) air laut, namun dengan sistem yang dibalik. Pada proses desalinisasi, sistem membutuhkan listrik. Sementara sistem pada baterai air garam ini menghasilkan listrik. Salah satu pembangkit listrik air garam yang telah berhasil diproduksi di dalam negeri adalah Lentera Air Garam dibuat oleh PT Duta Nichirindo Pratama yang mengeluarkan mo del LGL-E1SWD-3-SVUSB (Gambar 4), yang dilengkapi de ngan port USB (Lubis, 2015). Spesifikasi lantera air garam ini adalah seba gai berikut:: • Logam Fuel Cell Properties: DC 3.4 V • Langkah up: LED DC 3,3 V, USB PORT 5 V • Lampu: LED 1-3 W • Port USB charger: 4.5 VDC Selain lantera air garam buatan dalam negeri, juga banyak dipasarkan lantera buatan luar negeri di antaranya Jepang dan China. Jepang memproduksi lentera air garam jenis Green
(Foto: S. Lubis)
Gambar 4. Lentera air garam buatan dalam negeri yang menggunakan sistem anodakatoda, air garam sebagai elektrolit, dan lampu LED 3V
46
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama House Salt Water Powered LED Lantern (Eco emergency light lamp GH-LED10WBW) menggunakan lampu LED 3W 55 lumens dan char ger 4,5 VDC, sedangkan China memproduksi model Mg-Air Fuel Cell LED Lantern SNE-002 menggunakan 10 buah lampu LED 3W 30 lux dan charger 5,6VDC. 3. PERAN DKE SEBAGAI STABILISATOR KRISIS ENERGI 3.1 Stabilisator Harga Minyak Dunia Secara logis, gejala menurunnya harga mi nyak dunia yang terus-menerus secara kom petitif akan memberikan dampak negatif bagi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Beberapa pengamat perminyakan berpendapat bahwa jatuhnya harga minyak dunia pada akhir tahun 2015 bukan disebabkan oleh ulah spekulan tetapi merupakan konsekuensi yang sederhana dan mendasar, yaitu ketidakseimbangan pasokan dan permintaan. Namun demikian, dibalik faktor sederhana ini juga secara tidak langsung terimbas oleh pene muan teknologi baru shale oil dan shale gas di Amerika Serikat (AS) dan Venezuela. Dalam neraca perdagangan minyak, Amerika Serikat merupakan negara konsumen minyak terbesar di dunia. Dengan adanya temuan teknologi pengolah shale oil ini mengiring AS tidak lagi bergantung pada minyak impor, sehingga permintaan minyak dunia menurun secara drastis, sementara pasokan minyak masih tetap mengikuti kuota produksi. Harga minyak dunia pada awal Februari 2016 anjlok di bawah US$ 32 per barel. Di perdagangan New York, minyak mentah Light Sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk bulan Februari dihargai US$ 31,78 per barel. Di Eropa, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Februari, ditetapkan US$ 33,27 per barel, minyak jenis Basket OPEC ditetapkan US$ 26,37 per barel, sedangkan minyak Indonesia Crude Price (ICP) dipatok sebesar US$ 27,49 per barel (Bisnis Indonesia, 2 Februari 2016).
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Mengamati tren atau pola penurunan harga minyak yang terus merosot ini, maka Interna tional Monetary Fund (IMF) meramalkan bahwa harga minyak akan jatuh ke level US$ 20 per barel. Sebagai konsekuensinya, jika harga minyak jatuh hingga di bawah US$ 20, maka Pemerintah Indonesia tidak akan memperoleh pendapatan negara dari minyak karena tidak adanya keuntungan yang diperoleh dari industri minyak dalam negeri. Selain itu, Pemerintah juga tidak mungkin menghimpun pendapatan negara dari kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi, karena kontraktor dalam kondisi defi sit. Beberapa pengamat perminyakan me nyatakan bahwa produksi minyak dunia saat ini dinilai berada pada level over production (kelebihan produksi), sebagai konsekuensi dari kenaikan harga minyak yang cenderung tidak wajar pada waktu tahun-tahun sebelum nya yang mencapai US$ 130 per barel. Oleh sebab itu, diprediksi bahwa harga minyak rendah ini cenderung akan bertahan dalam waktu yang cukup lama. Kecenderungan merosotnya harga jual minyak dunia yang lebih kecil dari biaya produksinya, akan mengarah pada paradoks dalam persaingan pengusahaan komoditas lainnya. Biaya produksi migas di lepas pantai (offshore) membutuhkan minimum US$ 30 per barel walaupun harga optimum kompetitif sekitar US$ 50 dan di darat (onshore) minimum US$ 20 per barel dengan harga optimum kompetitif sekitar US$ 40. Bahkan hal ini akan menjadi semakin paradox jika dibandingkan dengan komoditas cairan lainnya seperti air tawar dalam kemas an. Jika harga minyak mentah lebih kecil dari US$ 30 per barrel atau sekitar Rp 2.452 per liter, maka harga minyak ini lebih murah dari harga air minum kemasan sejenis Aqua yang dibanderol Rp 3.000 per liter. 3.2. Penyeimbang Paradoks Cetak Biru Bauran Energi Cetak biru (Blueprint) tentang pengelolaan energi nasional yang dituangkan dalam Kebijak an Energi Nasional (KEN) 2005-2025 adalah merinci dan memprediksi perkembangan Baur an Energi (Energy Mix) nasional dan perban
47
Topik Utama dingan capaian target tahun 2005 sampai tahun 2025 atas dasar skenario business as usual (BaU). Mengacu pada skenario Bauran Energi dari Dewan Energi Nasional tahun 2010, masih terlihat adanya informasi yang meragukan atau bahkan paradoks terutama pada skena rio proyeksi kapasitas pembangkit Pembang kit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL). Proyeksi kapasitas pembangkit PLTAL diprediksi akan mencapai 1,74 GW pada tahun 2030, tahun 2040 mencapai 3,96 GW dan tahun 2050 mencapai 6 GW (Gambar 5). Namun demikian, pada proyeksi kapasitas pembangkit PLT Arus dalam satuan prosen (%), nampak adanya kontradiksi yaitu tahun 2030 mencapai 0,8%, tahun 2040 mencapai 1,03%, sedangkan tahun 2050 kembali menurun menjadi 0,91%. Dengan demikian, proyeksi pertumbuhan EBT kelautan ini memperlihatkan adanya inkonsistensi antara kapasitas kumulatif dalam GW dan dalam %. Selain itu, kemampuan teknologi pembangkit PLTAL terbesar di dunia saat ini baru menca-
pai 2,2 MW, sehingga untuk mencapai target proyeksi PLTAL tahun 2030 harus dibangun sedikitnya 790 pembangkit, tahun 2040 sebanyak 1.772 pembangkit, dan tahun 2050 sebanyak 2.727 pembangkit PLTAL berskala komersial. Hal ini dirasakan sebagai sesuatu yang kurang logis dan cukup spektakuler mengingat kendala dan keterbatasan teknologi pembangkit yang tidak dapat digandakan secara linier. Ironi lainnya adalah bahwa potensi energi kelautan yang diperkirakan mencapai 734 GW ini masih belum dimasukkan sebagai bagian dari program Bauran Energi pada rancang an KEN, padahal hasil kajian ASELI tahun 2014 dari berbagai uji coba beberapa prototipe pembangkit energi arus laut oleh BPPT, Kementerian ESDM, Kementerian Perikanan dan Kelautan, serta Kementerian Ristek te lah menghasilkan pengembangan pembang kit listrik yang telah mencapai tingkat Detail Engineering Design (DED). DED merupakan dokumen yang telah berskala pabrikasi, walaupun belum mencapai skala komersial. De
Gambar 5. Rancangan penyediaan bauran energi Kebijakan Energi Nasional tahun 2010 (Dewan Energi Nasional, 2010).
48
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama ngan demikian, pengembangan energi laut ini belum dinyatakan secara spesifik baik besar nya potensi atau program pengembangan nya, sehingga belum terlihat perannya sebagai penyeimbang dalam program Bauran Energi Nasional.
yang terlampau jauh yaitu sekitar US$ 0,17 per kWh. Namun demikian, jika biaya investasi, konstruksi, efisiensi pembangkit, dan transmisi telah diperhitungkan maka kisaran harga lis trik EBT kelautan ini berkisar sekitar US$ 0,43 dengan asumsi setiap pembangkit berskala komersial minimum1 MW.
4. SKEMA INVESTASI PENGEMBANGAN EBT KELAUTAN
Hitungan potensi dan nilai keekonomian pembangkit OTEC untuk wilayah perairan Indonesia saat ini masih memiliki keraguan, karena masih terkesan dihitung secara asumtif. Oleh sebab itulah, harga keekonomian pembang kit EBT kelautan ini tidak dapat dibandingkan “apple to apple” dengan pembangkit berbahan bakar fosil, karena harga keekonomian EBT kelautan akan semakin menurun terhadap kapasitas pembangkit dan waktu operasional (life time) pembangkitnya. Jika life time termasuk faktor yang diperhitungkan, kemungkinan besar dalam jangka panjang harga keekonomian pembangkit EBT kelautan ini berpeluang akan lebih efisien karena tanpa menggunakan bahan bakar.
Hasil hitungan kasar potensi EBT laut Indonesia yang dipublikasikan oleh ASELI (2011) mencapai total 734 GW. Selain itu, hasil produk sampingan lainnya seperti dari OTEC yaitu air tawar destilasi, hidrogen, logam langka lithium, dan sumber udara pendingin ruangan (AC), sebenarnya masih merupakan suatu high expecta tion karena harus diakui bahwa berbagai potensi yang cukup menjanjikan ini masih merupakan potensi hipotesis, sehingga masih belum memperhitungkan risiko-risiko yang mungkin akan muncul seperti perubahan iklim mikro, tingkat korosi bahan metal, tumbuh an tritip, keterbatasan sistem “mooring” dan “platform” kons truksi apung, keausan kons truksi bawah air, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan rentang luasan efektif pembangkit EBT kelautan yang saat ini masih menggunakan konsepsi kerapatan daya, padahal dalam prakteknya untuk membangun lapangan pembangkit (farm), belum ada kajian yang cukup representatif (Yeh and Su, 2004). Oleh sebab itu, berbagai potensi EBT kelautan yang telah dihitung dengan berbagai metode dan berbagai versi ini, masih tetap merupakan hitungan yang spekulatif namun terlalu optimistik. Salah satu hasil hitungan keekonomian teknologi EBT laut yang dilakukan oleh Kleute (2012) TU Delf bekerjasama dengan Bluerise dan Offshore Engineering, mengemukakan bahwa biaya investasi energi EBT kelautan adalah sekitar US$ 500 – 1.000 per kW sedangkan harga pada skala komersial per kWh sebesar US$ 0,45 – US$ 0,6. Dibandingkan dengan hasil-hasil hitungan lainnya se perti Institute of Ocean Energy, Saga University (Jepang), NELHA (Hawaii), dan Kementerian ESDM (DESDM, 2005), terdapat selisih harga
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Mengacu pada salah satu skenario pengembangan energi laut rancangan KEN, pada tahun 2019 kapasitas terpasang energi laut adalah 1 MW, pada tahun 2020 meningkat menjadi 2 MW, pada tahun 2025 mencapai 7 MW dan tahun 2030 berlipat ganda menjadi 365 MW. Pada tahun 2040 diproyeksikan untuk dapat memanfaatkan 1.082 MW, dan meningkat lagi pada tahun 2050 menjadi 1.799 MW. Hal ini tentu saja membutuhkan peningkatan investasi yang cukup signifikan. Oleh sebab itulah, Pemerintah perlu mengupayakan berbagai terobosan pembiayaan yang potensial, antara lain melalui pemanfaatan dana perbankan dalam negeri, skema public private partnership, perdagangan karbon, dan skema nature for debt swap atau secara legal disisihkan melalui skema alokasi DKE. 5. EBT KELAUTAN: DAMBAAN MASYA RAKAT PESISIR TERPENCIL Keberadaan desa-desa terpencil dan tertinggal yang belum berkembang di pulau-pulau
49
Topik Utama kecil (small islands) di Indonesia merupakan entitas daratan tersendiri yang umumnya sama sekali belum menikmati fasilitas listrik. Hal ini dicirikan oleh kerentanan ekonomi dan keterbelakangan pembangunan. Dari segi fisik, desa di pulau-pulau kecil memiliki sumber daya alam daratan yang sangat terbatas sehingga tidak mampu untuk membangkitkan listrik sendiri, sedangkan sumber daya alam laut yang tersedia juga hanya cukup untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari. Oleh sebab itulah, pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terencana, sistematis, dan terpadu, agar kelangsungan hidup masyarakatnya dapat semakin ditingkatkan terutama kebutuhan akan listrik yang nampaknya mulai menjadi kebutuhan dasar dan dambaan saat ini. Berdasarkan tinjauan karakteristik di lapangan, ciri-ciri umum yang ditemukan pada masyarakat desa pulau-pulau kecil terdepan adalah keterbe lakangan teknologi dan informasi yang berujung pada rendahnya tingkat ekonomi. Euforia era teknologi menjadikan hampir semua aktivitas keseharian masyarakat tidak bisa berjalan maksimal tanpa adanya listrik. Dari kebutuhan rumah tangga sampai alat komunikasi telepon selular sederhana pasti memerlukan pasokan listrik, walaupun untuk sekedar mengisi baterai sumber dayanya. Seluruh aktivitas keseharian ini memerlukan listrik walaupun kualitasnya tidak harus setara dengan kualitas listrik PLN. Listrik berkualitas rendah yang merupakan hasil dari rekayasa teknologi sederhanapun akan sangat bermanfaat untuk masyarakat terpencil, karena diyakini bahwa tersedianya listrik akan membawa pengaruh yang signifikan dalam memajukan ekonomi di kawasan pulau-pulau kecil tersebut. Demikian halnya, ditinjau dari sudut pandang keadilan sosial, pengembangan energi laut ini masih selalu terkendala oleh kemampuan Pemerintah dalam menakar harapan dari besar nya potensi energi laut terutama yang ditujukan bagi kemaslahatan masyarakat pulau-pulau terpencil. Hal ini nampak menjadi lebih ironis jika dikaitkan dengan tekad bangsa Indonesia pada setiap kali memperingati Hari Nusantara
50
(Deklarasi Djuanda 1957) yang selalu meng agungkan laut sebagai harapan yang terakhir (promising frontier), namun kenyataan nya tetap menjadi sektor pembangunan yang termarginalkan. Walaupun sudut pandang ini masih merupakan opini namun dapat dijadikan sinyal untuk dipertimbangkan agar lebih memberikan porsi yang seimbang untuk pengembangan EBT kelautan melalui peluang yang ada pada skema alokasi DKE. 6. SKEMA LISTRIK EBT SEBAGAI INFRA STRUKTUR DASAR Di beberapa negara maju, listrik yang dibang kitkan EBT ini telah diperlakukan menjadi dua status yaitu pertama, listrik sebagai infrastruktur dasar dan kedua, listrik sebagai komoditas. Di Indonesia, nampaknya penyediaan tenaga listrik baru sebatas listrik sebagai infrastruktur milik pemerintah dan listrik sebagai komoditas, sedangkan listrik sebagai infrastruktur dasar belum menjadi prioritas. Oleh sebab itulah terkesan, bahwa listrik diperlakukan sebagai infrastruktur pemerintah yang masih sepenuh nya ditanggung dan disubsidi oleh pemerintah. Walaupun dalam Undang-undang Kelistrikan disebutkan bahwa Pemerintah wajib menyediakan listrik yang terjangkau masyarakat, namun telah membawa konsekuensi lain, yaitu bahwa penyediaan listrik ini akan selalu tergantung pada kemampuan keuangan Pemerintah (DESDM, 2005). Dengan demikian, jangkauan pasokannya masih selalu terbatas dan terkonsentrasi pada daerah-daerah yang sudah cukup berkembang dan berkemampuan membayar listrik, sedangkan masyarakat di daerah terpencil yang kurang mampu dan belum berkembang masih belum mendapat giliran. Sebagai akibatnya, maka masyarakat daerah-daerah terpencil ini akan semakin tertinggal dan tetap termarginalkan dalam pembangunan. Sebagai negara berkembang, Indonesia sebaiknya memandang listrik EBT sebagai infrastruktur dasar terutama bagi desa-desa tertinggal. Dengan demikian, pengembangan kelistrikan dapat diperhitungkan sebagai in-
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
Topik Utama vestasi yang dapat mendorong, memicu dan menstimulasi berbagai kegiatan ekonomi dan industri lainnya. Salah satu contoh success story program pemerataan kelistrikan adalah negara China, yang mulai membangun infrastruktur listrik yang cukup dan berkualitas untuk desa-desa tertinggal sebagai awal stimulan pengembangan perekonomiannya. Mengingat bahwa ketersediaan listrik (listrik EBT) ini merupakan stimulus atau pengungkit tingkat perekonomian, maka rasio elektrifikasi di daerah terpencil perlu mendapat prioritas khusus agar tidak semakin tertinggal dalam pembangunan secara nasional. Pasal 4 ayat 3 UU No. 30/2009 tentang Kelistrikan, menyatakan bahwa Pemerintah menyediakan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu dan daerah yang belum berkembang, namun masih terjadi kontradiksi dengan pasal lainnya yang menyebutkan bahwa Pemerintah juga menetapan harga jual (tarif). Hal ini mencirikan bahwa bahwa listrik bukan hanya sebagai infrastruktur pemerintah tetapi juga merupakan komoditas sehingga lebih berorientasi ekono mis ketimbang misi untuk mensejahterakan masyarakat. Pada skenario ini masih nampak bahwa PLN lebih berperan sebagai corporate plan perusahaan listrik ketimbang badan usa ha pemerintah yang berpihak pada program penerataan energi khususnya listrik. Karena kendala letak geografis, desa-desa tertinggal dan terpencil ini umumnya berada di pulau-pulau kecil maka akan sulit dijangkau oleh sistem jaringan transmisi listrik PLN. Untuk mengatasi kendala ini maka perlu diprakarsai pemanfaatan sumber energi lokal yang terpulihkan, seperti EBT kelautan berskala mikro. Pembangkit EBT kelautan dapat diperlakukan sebagai sumber energi alternatif yang murah dan sederhana, serta implementasinya dapat dilaksanakan melalui program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Dae rah Tertinggal (P2IPDT).
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016
7. PENUTUP Jika dikaji secara jujur, maka tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk menunda-nunda pengembangan pembangkit EBT kelautan karena alasan merosot atau melonjaknya harga minyak dunia. Perjalanan sejarah juga mencatat bahwa pada saat harga minyak dunia melonjak sampai sekitar US$ 120 pada tahun 2014, pemerintah tidak bergegas untuk mendorong pengembangan EBT kelautan karena masih membedakan perlakuan energi fosil dan non fosil. Demikian halnya, pada saat anjloknya harga minyak dunia pada akhir tahun 2015, Pemerintah juga tidak secara signifikan mengalokasikan anggaran pengembangan EBT yang proporsional. Suatu kontradiksi, bahwa ketersediaan EBT kelautan yang cukup melimpah mencapai 174 GW, masih terkendala dana pengembangannya. Oleh sebab itu, salah satu langkah elegan yang harus ditempuh Pemerintah adalah melalui peluang skema alokasi DKE serta memperlakukan fasilitas listrik EBT sebagai infrastruktur dasar bagi masyarakat terpencil. Dalam hal ini, masyarakat terpencil yang dimaksud adalah desa-desa pesisir yang belum pernah menikmati fasilitas listrik sejak Indonesia merdeka 71 tahun yang lalu, sehingga tidak menambah keironisan pemerataan energi yang berkepanjangan. Peluang besar yang menjadi harapan baru untuk dijadikan pijakan pengembangan EBT kelautan adalah pernyataan Dirjen EBT, Rida Mulyana bahwa EBT merupakan “harta karun” yang berpotensi cukup menjanjikan sehingga perlu segera dioptimalkan, sementara Sekjen DEKIN, Aryo Hanggoro menyebutkan bahwa EBT kelautan merupakan “anugerah” yang masih disia-siakan. Jika peluang ini digulirkan dan dananya dialokasikan dari DKE maka upa ya memakmurkan bangsa yang diawali dari kelompok masyarakat pesisir yang paling tertinggal ini akan dapat segera diwujudkan.
51
Topik Utama Daftar Pustaka ASELI, 2011. Konsensus Nasional pada Kongres II Asosiasi Energi Laut Indonesia: Ratifikasi Energi Baru Terbarukan Kelautan di Indonesia. ASELI-KESDM, Bandung. Avery, W. H. and Wu Chih. 1994. Renewable energy from the ocean : a guide to OTEC. Oxford University Press, Inc. New York. DESDM, 2005. Diversifikasi Energi: Energi Kelautan sebagai Alternatif Baru. DESDM disampaikan pada Seminar Pembangun an Ekonomi Kemaritiman 15 Maret 2005, Jakarta. Ilahude, A. G., and A. L. Gordon, 1996. Thermocline stratification within the Indonesian Seas, J. Geophys. Res., vol. 101. Kleute B. J., 2012. Ocean Thermal Energy in Indonesia. CiTG Faculty TU Delf. Delf-the Netherlands.
Lubis, S. 2015. Menakar Asa Peringatan Hari Nusantara Tahun 2015. Puslitbang Geologi Kelautan, Bandung. ISBN 978-9793022-28-4. Miliken J, Joseck F, Wang M, and Yuzugullu E. 2007. The Advanced Energy Initiative. Elsevier. Vol. 172. Issue 1, pp 121-131. Vikitset T. 2013. The Role of the Oil Fund in Thailand: Past, Present, and Future. School of Development Economics, National Institute of Development Administration, Bangkok. Yuningsih, A. and Lubis, S., 2011. Nusa Penida Strait, a Prospect Location for Developing Electrical Corrent Power as Reliable Reneable Energy Source. Proceeding International Congress on Ocean Energy and Deep Ocean Water Application. DOWA Japan. Bali, Indonesia.
Lubis, S. and Mirayosi, 2009. Technical Report on The South China Sea – Indonesian Seas Transport/Exchange (SITE) Cruise. Proceeding CCOP 47th Technical Session, Bangkok.
52
M&E, Vol.14, No. 2, Juni 2016