SISTEM USAHA TANI TANAMAN SAYURAN DI INDONESIA: APRESIASI MULTIFUNGSI PERTANIAN, EKONOMI DAN EKSTERNALITAS LINGKUNGAN Vegetable Farming Systems in Upland Areas of Indonesia: Appreciation for Multifunctionality of Agriculture, Economic and Environmental Externalities
Idha Widi Arsanti dan Michael Boehme Agricultural and Horticultural Faculty Humboldt University of Berlin
Abstract The uplands in Indonesia are distributed in most of all Islands of Indonesia and used not only as agriculture areas in this time, but also as industrial and tourism areas. Vegetable farming system (VFS) in uplands Indonesia includes some commodities, like mustard, cabbage, potato, carrot, and cauliflower. The focus of analysis in this research are: (1) How are multisectors appreciate the multifunctionality of agriculture? (2) How are characteristics of land resources in the study area? and (3) How are economic and environment conditions of VFS in upland areas in Indonesia? This research was conducted by using descriptive analysis, Domestic Resource Cost (DRC), Private Cost Revenue (PCR), Contingent Valuation Method (CVM) and Cost Benefit Analysis (CBA), especially for calculation about economic value and environmental externalities. Based on that, appropriate policy to support multifunctionality of agriculture in upland agriculture can be formulated in promotion of permanent agricultural land and increasing of farmers´ welfare. This research was carried out for 12 months in catchment areas in Bandung (Pangalengan), Wonosobo (Kejajar), and Karo (Berastagi – Simpang Empat) Regencies by using two fields of main vegetable commodities located in each region in order to uniform the physical condition of agroechology. It was then applied a respondent classification based on commodity on these two fields in each region. Respondents were randomly choosen with proportional number at each class. In each field of region, there were 25 respondents, so that the total respondents were 50 farmers. The number of all respondents in all regions is 150 farmers. This research shows that vegetable farming system in upland areas of Indonesia has profit both of financially and economically, comparative and competitive advantages, especially for potato in Kejajar. Value of environmental economic has a negative effect to comparative advantage, because the increase of expenses are not accompanied with the increase of revenues, but VFS is still profitable. Meanwhile, VFS gives social economic benefit in some aspects such as revenue, import substitution, biodiversity, husbandry, development of vegetable industry and technology,
Arsanti dan Boehme
institution, education, risk managanent and tourism. On the other hand it also generates costs, not only in social economics aspect such as expenditure of VFS, opportunity cost and health, but also in physical geography aspects like water contamination in upstream and downstream areas, sedimentation, waterfloods, erosion, water reservoar and degradation of land.
Abstrak Dataran tinggi di Indonesia dijumpai hampir di semua pulau dan digunakan untuk areal pertanian serta areal industri dan wisata. Sistem usaha tani sayuran (vegetable farming system - VFS) di daerah dataran tinggi ini meliputi berbagai komoditas seperti sawi, kol, kentang, wortel, dan kol bunga. Fokus analisis dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah apresiasi multi sektor terhadap multifungsi pertanian? (2) Bagaimanakah karakteristik sumberdaya lahan di lokasi penelitian ? dan (3) Bagaimanakah kondisi ekonomi dan lingkungan dari VFS di daerah dataran tinggi Indonesia? Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode analisis deskriptif, Domestic Resource Cost (DRC), Private Cost Revenue (PCR), Contingent Valuation Method (CVM), dan Cost Benefit Analysis (CBA), khususnya dalam perhitungan nilai ekonomi dan eksternalitas lingkungan. Berdasarkan itu, kebijakan yang layak bagi multifungsi pertanian pada pertanian dataran tinggi dapat diformulasikan dalam mendukung lahan pertanian abadi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan di daerah tangkapan air (catchment area) di Kabupaten Bandung (Pangalengan), Wonosobo (Kejajar), dan Karo (Berastagi – Simpang Empat) dengan menggunakan dua petak lahan petani komoditas sayuran utama di masing-masing daerah untuk mendapatkan keseragaman kondisi fisik agroekologi. Selanjutnya, klasifikasi responden dibuat berdasarkan komoditas di dua petak lahan ini di tiap daerah. Responden dipilih secara acak yang proporsional dengan jumlah responden di tiap kelompok. Di tiap petak lahan di masing-masing daerah, dipilih 25 responden, sehingga jumlahnya 50 responden. Jumlah seluruh responden dari semua daerah adalah 150 petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usaha tani sayuran di daerah dataran tinggi Indonesia menguntungkan secara financial dan ekonomi, komparatif dan kompetitif, khususnya untuk kentang di Kejajar. Nilai ekonomi lingkungan memiliki efek negatif terhadap keuntungan komparatif, sebab peningkatan biaya (produksi) tidak diikuti oleh peningkatan hasil, tetapi VFS masih menguntungkan. Sementara itu, VFS memberikan manfaat (jasa) sosial ekonomi dalam beberapa aspek seperti sumber pendapatan, substitusi impor, keanekaragaman hayati, usaha peternakan, pengembangan industri dan teknologi sayuran, kelembagaan, pendidikan, managemen risiko, dan wisata. Pada bagian lain, VFS juga menimbulkan biaya, tidak hanya dalam aspek ekonomi seperti untuk biaya produksi VFS, alternatif pemanfaatan sumber dana dan kesehatan, tetapi juga pada aspek fisik-geografi seperti tercemarnya air di daerah hilir, sedimentasi, banjir, erosi, cadangan air, dan degradasi lahan.
196
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah yang termasuk dataran tinggi di Indonesia hampir terdapat di semua pulau besar, antara lain di bagian barat Pulau Sumatera: Gayo, Karo, Kerinci, Lampung, di Pulau Jawa: Halimun, Bandung, Garut, Dieng, Batu, Bromo-Arjuna, begitu juga di daerah-daerah lain seperti Pulau Sulawesi, Pulau Bali, NTT, NTB hingga Papua Barat (Irian Jaya). Tanaman yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di dataran tinggi adalah tanaman sayuran. Di beberapa daerah banyak juga diusahakan tanaman buah dataran tinggi ataupun tanaman keras, akan tetapi karena tanaman keras berproduksi dalam jangka waktu lama, maka biasanya diusahakan oleh perusahaan atau petani berskala besar. Namun demikian, tidak semua lahan dataran tinggi menjadi lahan pertanian saat ini, karena desakan dari berbagai sektor dan kepentingan. Pengelolaan lahan pertanian di Indonesia banyak menghadapi kendala, di mana obyek yang dikelola sama, sementara terdapat beberapa institusi atau departemen yang memiliki kepentingan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal inilah yang sering menjadi permasalahan di tingkat lokal dalam menjabarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing departemen itu. Upaya-upaya sinkronisasi mulai dari tingkat perumusan undang-undang, pembahasan di tingkat legislatif sudah dilakukan. Meskipun demikian, masih sering terjadi konflik kepentingan karena masing-masing memiliki dasar hukum yang sama-sama sah berlakunya. Penyelesaian dapat dilakukan di tingkat perundangan yang lebih tinggi. Pada akhirnya sektor non prioritas harus terkalahkan dengan segala konsekuensi yang terjadi di lahan tersebut. Sehingga yang sering terjadi adalah hilangnya hak penggunaan dan pengelolaan lahan sektor-sektor yang mengelola sumberdaya alam atau sektor primer. Untuk itu perlu dikembangkan suatu konsep, yang dapat mengupayakan lahan pertanian terus dapat digunakan sebagai lahan pertanian abadi (LPA), baik melalui upaya-upaya perumusan kebijakan pemerintah maupun dari aspek ekonomi, fisik geografi maupun sosial budaya lahan itu sendiri. Dalam hal ini perlu dilakukan sosialisasi dan apresiasi pentingnya multifungsi lahan pertanian dan LPA kepada semua pihak terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan lahan pertanian abadi, khususnya untuk tanaman sayuran, saat ini masih dalam tataran konsep. Berbagai aspek sudut pandang yang terkait dengan penyusunan kebijakannya meliputi aspek ideologis, aspek teori, aspek
197
Arsanti dan Boehme
praktis serta aspek teknis implementasinya. Semua aspek tersebut didasari atas kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Berbagai unsur yang lebih detail meliputi landasan hukum atas kebijakan lahan pertanian abadi, kajian ilmu pengetahuan multidisiplin, kesiapan sumberdaya manusia (multipihak), serta keberadaan sumberdaya lahan dan lingkungannya. Selain itu juga diperlukan kajian terhadap berbagai komoditas pertanian, termasuk tanaman sayuran, yang akan diusahakan di setiap lahan pertanian abadi (multiproduk) sehingga memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan petani sayuran. Pola-pola pemahaman usaha tani sayuran maupun pengelolahan lahan pertanian tradisional yang pada umumnya hanya berorientasi pada kuantitas produk (tangible factor), akan sangat terbantu jika dilengkapi dengan pemahaman tentang faktor-faktor eksternalitasnya. Eksternalitas dalam hal ini mencakup eksternalitas yang berdampak positif maupun negatif terhadap pengelolaan lahan pertanian abadi untuk sayuran. Hal ini dapat dipahami dengan mengkaji secara mendalam tentang multifungsi lahan pertanian itu sendiri (intangible factor). Di samping itu terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan lahan pertanian abadi tanaman sayuran dataran tinggi di Indonesia, antara lain iklim, vulkanisme, gempa, wabah hama dan penyakit serta konflik sosial. Aspirasi multipihak terhadap eksternalitas usaha tani sayuran terhadap faktor intangible (multifungsi lahan pertanian) tidak dapat terbentuk secara alami, melainkan memerlukan sosialisasi yang berkelanjutan. Dalam rangka meningkatkan apresiasi multifungsi pertanian untuk mensukseskan terciptanya lahan pertanian abadi dan meningkatkan kesejahteraan petani, khususnya bagi komoditas sayuran di dataran tinggi, maka perlu dikaji apresiasi multifungsi pertanian terhadap usaha tani komoditas sayuran, sosial ekonomi masyarakat petani sayuran serta externalitas lingkungan dataran tinggi.
Permasalahan 1. Bagaimana apresiasi multipihak terhadap multifungsi pertanian, baik itu pengambil kebijakan pembangunan pertanian dan pengelola sumberdaya lahan, lembaga pendidikan dan institusi penelitian lahan pertanian, investor, pelaku pertanian (stake holder), pasar nasional dan internasional, media massa lokal, nasional dan internasional, serta konsumen? 2. Bagaimana karakteristik sumberdaya lahan pertanian yang meliputi kondisi geografis secara umum, lahan pertanian dataran rendah, dan lahan pertanian dataran tinggi di Pengalengan, Kejajar dan Berastagi?
198
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
3. Bagaimana kondisi ekonomi dan eksternalitas lingkungan sistem usaha tani tanaman sayuran dataran tinggi?
Tujuan 1. Mendeskripsikan apresiasi multipihak terhadap multifungsi pertanian, baik itu pengambil kebijakan pembangunan pertanian dan pengelola sumberdaya lahan, lembaga pendidikan dan institusi penelitian lahan pertanian, investor, pelaku pertanian (stake holder), pasar nasional dan internasional, media massa lokal, nasional dan internasional, LSM, pemuka agama serta konsumen. 2. Memberikan gambaran mengenai karakteristik sumberdaya lahan pertanian yang meliputi kondisi geografis secara umum, lahan pertanian dataran rendah, dan lahan pertanian dataran tinggi di Pengalengan, Kejajar (Dieng) dan Berastagi. 3. Menggambarkan dan melakukan analisis kondisi ekonomi dan eksternalitas lingkungan sistem usaha tani tanaman sayuran dataran tinggi
METODOLOGI Kerangka Berfikir, Metode dan Pengambilan Sampel Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan skema kerangka berfikir dari penulisan makalah ini seperti disajikan dalam Gambar 1. Adapun metode yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam makalah ini adalah : 1. Deskriptif analisis untuk melihat apresiasi multipihak tentang pertanian tanaman sayuran. 2. Deskriptif analisis untuk memberikan gambaran karakteristik sumberdaya lahan pertanian nasional yang mencakup kuantitas dan kualitas lahan pertanian dataran tinggi. 3. Deskriptif analisis, rasio biaya privat (RBP) atau private cost ratio (PCR), biaya sumberdaya domestik (BSD) atau domestic resource cost (DRC), metode nilai kontingensi (MNK) atau contingent valuation method (CVM), metode USLE, dan analisis manfaat biaya (AMB) atau cost benefit analysis (CBA) untuk memaparkan multifungsi sosial ekonomi usaha tani sayuran dataran tinggi dan eksternalitas lingkungan.
199
Arsanti dan Boehme
1. 2. 3. 4. 5.
Iklim Vulkan Gempa Wabah penyakit Sosial (konflik sosial)
Multiproduk Tanaman sayuran dataran tinggi
Multipihak 1. Pengambil kebijakan (legislatif) 2. Pengelola sumberdaya lahan pertanian (eksekutif) 3. Pengelola sumberdaya lahan sektor lain 4. Lembaga pendidikan 5. Institusi penelitian 6. Investor 7. Pelaku pertanian (stake holder) 8. Pelaku pasar nasional/ internasional 9. Pemuka agama 10. LSM 11. Media masa lokal, nasional, dan international 12. Masyarakat konsumen 13. Dll.
Karakteristik Sumberdaya Lahan
Ekternalitas (+)
LPA
Ekternalitas (-)
Tanaman Sayuran Dataran tinggi
Landasan Hukum IP dan Teknologi
Multifungsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Menopang ketahanan pangan Jasa lingkungan Menyediakan lapangan kerja Penghasil devisa Kearifan budaya lokal Media pendidikan Media kelembagaan masyarakat Dll.
LPA = Lahan Pertanian Abadi
Gambar 1. Kerangka berfikir multipihak, multifungsi, dan multiproduk terhadap lahan pertanian abadi (LPA) tanaman sayuran
Penelitian dilaksanakan di tiga sentra produksi sayuran dataran tinggi di Jawa dan Sumatera, yaitu Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung; Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo; serta Kecamatan Berastagi dan Merdeka, Kabupaten Karo. Selanjutnya diambil dua hamparan lahan di masingmasing daerah penghasil komoditas sayuran utama yang terletak dalam satu daerah aliran sungai, yaitu di bagian hulu. Hal ini bertujuan untuk mengungkapkan perbedaan dan persamaan budidaya sayuran pada kondisi fisik agroekologi yang se-wilayah. Penentuan hamparan di masing-masing lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa hamparan-hamparan tersebut mempunyai keragaman potensi komoditas sayuran dan bidang usaha; potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan akses, serta adanya bukti bahwa daerah tersebut telah berkembang sebagai sentra komoditas maupun bidang usaha tertentu. Disamping itu hamparan-hamparan tersebut juga terkait dengan isu konservasi yang sedang marak di 3 lokasi penelitian, yaitu merupakan daerah yang mempunyai potensi tinggi untuk terjadinya gangguan fisik geografis. Informasi mengenai hal tersebut diperoleh dari instansi atau dinas terkait. Dari keenam hamparan terpilih, masing-masing dilakukan klasifikasi responden berdasarkan pola tanam. Setelah kelas terbentuk, selanjutnya dipilih 200
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
responden secara acak dengan jumlah proporsional pada masing-masing kelas. Pada masing-masing hamparan diambil 25 responden, sehingga jumlah sampel penelitian adalah 150 responden. Kriteria penentuan komoditas sayuran utama diambil dengan batasan bahwa komoditas tersebut diproduksi dalam jumlah yang cukup besar.
Penilaian Keunggulan Kompetitif dengan Private Cost Ratio (PCR) Rasio biaya privat (RBP) atau private cost ratio (PCR) adalah salah satu metode untuk menilai apakah suatu produk memiliki keunggulan kompetitif atau tidak (Monke and Pearson, 1995). Adapun persamaan dari PCR adalah sebagai berikut: PCR =
Biaya Domestik (Rp) Nilai Output (US$) – Biaya Asing (US $)
Penilaian keunggulan kompetitif dilakukan dengan melihat besarnya nilai koefesien PCR yaitu perbandingan antara PCR dengan nilai official exchange rate (OER), yang ditulis dalam bentuk: Koefesien PCR (KPCR) =
PCR (Rp/US $) OER (Rp/US $)
Kriteria keunggulan kompetitif adalah : 1. Jika K PCR < 1, aktifitas ekonomi memiliki keunggulan kompetitif atau telah efisien secara finansial dalam pemanfaatan sumberdaya domestik. 2. Jika K PCR > 1 , aktifitas ekonomi tidak memiliki keunggulan kompetitif atau tidak efisien secara finansial dalam pemanfaatan sumberdaya domestik.
Penilaian Keunggulan Komparatif dengan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) atau Domestic Resources Cost (DRC) adalah satu alat untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas (Masyhuri, 1988). BSD dapat mengukur tingkat efisiensi aktivitas ekonomi yang menggunakan sumberdaya domestik untuk menghemat satu satuan devisa (Suryana,1980). Sejalan dengan hal di atas, Monke and Pearson (1995) menyatakan bahwa BSD merupakan ukuran biaya alternatif sosial (social opportunity cost) dari penerimaan satu unit marjinal devisa bersih suatu aktivitas 201
Arsanti dan Boehme
ekonomi, di mana pengukurannya dilakukan dalam bentuk input domestik langsung dan tidak langsung yang digunakan. Rumusan BSD merupakan penurunan dari Keuntungan Sosial Bersih (KSB). KSB mengukur keuntungan dan kerugian bersih atas dasar biaya alternatif sosial dari suatu aktivitas ekonomi. Seluruh output dan input dinilai dalam biaya alternatif sosialnya (Gittinger, 1986). Keunggulan dari rumusan ini adalah mengukur efek eksternalitas yang timbul dari suatu aktivitas ekonomi, yang dinyatakan dalam rumus matematis sebagai berikut :
n
n
KSBj = ∑
O qj Pq - ∑
q=1
m a ij Pi -
∑
f sj Vs + Ej
(1)
s =1
i =1
di mana : O qj Pq aij Pj fsj Vs Ej
= jumlah output ke-q yang dihasilkan dari aktivitas j = harga bayangan tiap satuan output O = jumlah input antara ke-i yang digunakan dalam aktivitas j = harga bayangan input antara ke-i yang digunakan dalam aktivitas j tiap satuan a ij = jumlah input primer ke-s yang langsung digunakan dalam aktivitas j = harga bayangan tiap satuan input primer = efek eksternalitas aktivitas (positif atau negatif)
Apabila nilai KSB lebih besar dari nol, maka suatu negara dinyatakan mempunyai keunggulan komparatif. Persamaan (1) dapat disesuaikan menjadi persamaan (2) apabila output dapat diperdagangkan di pasar internasional (tradable good) dan seluruh input yang digunakan dapat dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan biaya asing.
m KSBj = (Uj - ij - rj ) V1 -
∑
d sj Vs + Ej
(2)
s=2 di mana : Uj ij
202
= Nilai total output dari aktivitas j pada tingkat harga pasar dunia (US $). = Nilai total input antara yang diimpor, baik langsung maupun tidak langsung yang digunakan dalam aktivitas j (US $).
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
rj V1 dsj Vs Ej
= Nilai total penerimaan pemilik input luar negeri yang digunakan dalam aktivitas j baik langsung maupun tidak langsung (US $). = Harga bayangan nilai tukar uang (Rp/US $). = Total input domestik ke-s yang digunakan dalam aktivitas j. = Harga bayangan tiap satuan input primer yang digunakan dalam aktivitas j (Rp). = Efek eksternalitas dari aktivitas j.
Pada persamaan (2), (Uj - ij - rj ) V1 adalah keuntungan sosial bersih tradable, sedangkan (∑ d sj Vs + Ej) adalah biaya sumberdaya domestik. Dengan demikian bila keuntungan sosial bersih tradable lebih besar daripada biaya sumberdaya domestik, maka aktivitas ekonomi tersebut mempunyai keunggulan komparatif. Jika nilai KSB sama dengan nol maka berarti bahwa aktivitas ekonomi yang dilakukan akan mendapatkan keuntungan normal, dalam hal ini keuntungan sosial bersih tradable sama dengan sumberdaya domestik. Pada keadaan tersebut, harga bayangan nilai tukar uang sama dengan pengurangan biaya sosial input domestik terhadap eksternalitas dibagi dengan pengurangan total penerimaan sosial terhadap total input asing. Adapun rumusan matematisnya adalah sebagai berikut :
m KSBj = (Uj - ij - rj ) V1 ∑
d sj Vs + Ej
= 0
(3)
s= 2
m (Uj - ij - rj ) V1 =
∑
d sj Vs + Ej
(4)
s=2 m ∑ V1 =
d sj Vs + Ej
s=2
(5)
(Uj - ij - rj ) Rasio persamaan (5) di atas adalah rumus Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Dengan demikian :
m ∑
d sj Vs + Ej
BSDj = s = 2
(6)
(Uj - ij - rj ) 203
Arsanti dan Boehme
Rasio antara nilai BSD dengan harga bayangan nilai tukar uang (V1) disebut koefisien BSD (KBSD), sehingga : Nilai BSD KBSD =
(7) V1
Atas dasar persamaan di atas diperoleh hubungan matematis antara KSB dan BSD pada persamaan (2) dan (6), yang dapat dinyatakan dalam persamaan berikut : KSB1 = (Uj - ij - rj ) V1 - (Uj - ij - rj ) BSD1 KSB1 = (Uj - ij - rj ) (V1 - BSD1)
(8) (9)
Dari persamaan (9), hubungan antara KSB dan BSD adalah sebagai berikut : (a) Jika KSB = 0, maka BSD = V1, sehingga KBSD = 1. (b) Jika KSB > 0, maka BSD < V1, sehingga KBSD < 1. (c) Jika KSB < 0, maka BSD > V1, sehingga KBSD > 1. Seringkali tidak ada rumusan pasti dalam mengkuantifikasi eksternalitas suatu aktivitas ekonomi (E). Penilaian positif atau negatif sangat tergantung dari sudut pandang penilai aktivitas tersebut. Akibatnya banyak didapat nilai eksternalitas, dalam hal ini eksternalitas positif dan negatif yang timbul diasumsikan memiliki nilai yang sama sehingga efeknya saling meniadakan (Haryono,1991). Dengan demikian rumus BSD menjadi :
m ∑ BSDj =
d sj Vs
s=2
(10)
(Uj - ij - rj ) Penggunaan KSB dalam menganalisa keunggulan komparatif sering menimbulkan ambiguity. Hal ini terjadi karena aktivitas ekonomi berskala besar akan memberikan KSB yang besar dan sebaliknya. Untuk menghindarinya digunakan Koefisien BSD, yang mempunyai makna sebagai berikut : (a) Jika KBSD < 1, maka aktivitas ekonomi mempunyai keunggulan komparatif, dalam hal ini aktivitas ekonomi telah memanfaatkan sumberdaya domestik secara efisien. Dengan demikian pemenuhan permintaan domestik akan lebih menguntungkan dengan peningkatan produksi domestik.
204
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
(b) Jika KBSD > 1, maka aktivitas ekonomi tidak memiliki keunggulan komparatif, dalam hal ini aktivitas ekonomi memanfaatkan sumberdaya domestik secara tidak efisien. Dengan demikian pemenuhan permintaan domestik lebih menguntungkan dengan melakukan impor. (c) Suatu aktivitas ekonomi berada pada titik impas (netral) jika KBSD = 1, artinya aktivitas tersebut memiliki daya komparatif yang sama dengan negara lain.
Penilaian Ekonomi Lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM) Contingent Valuation Method (CVM) pada prinsipnya mencari nilai kompensasi yang bersedia dibayarkan petani sayuran atau Willingness to Pay (WTP) dan nilai yang dituntut atau bersedia diterima oleh masyarakat non petani sayuran atau Willingness to Accept (WTA) (European Commission, DG Environment, 2000). Semakin tinggi kesadaran dan banyaknya sorotan terhadap pencemaran lingkungan membawa konsekuensi perlu adanya kajian khusus tentang pencemaran yang timbul dari usaha tani sayuran yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di sekitar lahan. Mengingat usaha tani di Indonesia merupakan usaha tani rakyat yang masih bersifat tradisional, maka kemungkinan terjadi pencemaran lingkungan akibat pestisida maupun obat-obatan pertanian yang digunakan oleh petani tidak dapat dihindari. Terkait dengan penggunaan pestisida di lahan pertanian yang tidak seluruhnya terserap oleh tanaman, maka sebagian ikut mengalir dengan air pengairan yang kemudian masuk ke sungaisungai dan seterusnya sampai ke muara. Dilatarbelakangi adanya kesadaran menangani potensi pencemaran oleh usaha tani di dataran tinggi yang berdampak kepada lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai hingga ke muara ini, maka petani mencoba melakukan penanganan agar tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Tindakan lain yang dilakukan petani yaitu dengan membayar iuran atau sumbangan untuk kegiatan lingkungan. Besarnya biaya penanganan potensi pencemaran diwujudkan dengan nilai WTP, nilai WTP dari petani meliputi biaya sumbangan kegiatan lingkungan, sumbangan pemeliharaan dan perbaikan saluran pengairan lahan, sumbangan membayar listrik untuk penerangan, serta biaya sosial lain seperti sumbangan agustusan, sumbangan masjid, sumbangan hajat, sumbanga keamanan dan lainlain. Penghitungan WTP petani dalam penanganan lingkungan di atas dimasukkan sebagai biaya lingkungan baik dalam analisis finansial maupun 205
Arsanti dan Boehme
analisis ekonomi. Penghitungan dengan memasukkan faktor biaya lingkungan tentu saja berpengaruh terhadap nilai KPCR (keunggulan kompetitif) dan nilai KSBD (keunggulan komparatif) komoditas sayuran tersebut.
Penentuan Wilayah Kelas Erosi melalui Analisis Overlay Peta dan Perhitungan Jumlah Erosi dengan Metode USLE Untuk memperkirakan jumlah yang akan terjadi pada suatu lahan dengan asumsi bahwa pengelolaan tanah tidak mengalami perubahan, dilakukan dengan menggunakan rumus USLE (Wischmeier dan Smith, 1978) yaitu: A= RxKxLSxCxP
(1)
Di mana : A = Jumlah erosi dalam ton/ha/tahun R = Faktor erosivitas hujan K = faktor erodibilitas tanah LS = faktor panjang dan kemiringan lereng C = faktor tanaman (penggunaan tanah) P = faktor teknik konservasi tanah Adapun data pendukung yang diperlukan untuk analisis ini adalah data curah hujan dan peta-peta dasar seperti peta lereng, peta topografi, peta penggunaan tanah, peta curah hujan, dan peta batas administratif. Peta tersebut didapatkan dari data sekunder digital yang kemdudian diolah dengan menggunakan perangkat Sistim Informasi Geografis atau Geographic Information System. Berbagai data keruangan di lokasi penelitian (Pangalengan, Kejajar dan Berastagi), faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang dan kemiringan lereng, faktor tanaman (penggunaan tanah) dan faktor teknik konservasi tanah diolah dengan menggunakan koreksi keruangan dan kemudian di-overlay untuk mendapatkan jumlah dan lokasi erosi dalam ton/ha/tahun. Pengukuran jumlah erosi dilakukan karena erosi merupakan salah satu faktor eksternalitas dari usaha tani tanaman sayuran di tiga lokasi penelitian.
Penilaian Eksternalitas dengan Cost Benefit Analysis (CBA) Konsep eksternalitas dikembangkan dari teori ekonomi kesejahteraan yang bertujuan untuk memaksimumkan kesejahteraan individu dan sosial melalui optimalisasi alokasi sumberdaya. Eksternalitas didefinisikan sebagai biaya atau manfaat yang timbul ketika kegiatan ekonomi atau sosial yang dilakukan oleh
206
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
suatu kelompok masyarakat berdampak pada pihak yang lain, dan kelompok tersebut tidak memperhitungkan dampaknya (ExternE, 1995). Salah satu metode untuk mengukur eksternalitas, di mana pengambilan keputusan didasarkan pada integrasi aspek ekonomi dan lingkungan adalah analisis biaya dan manfaat atau cost-benefit analysis (CBA). Metode ini juga menggunakan konsep WTP yang menggambarkan kesediaan pelaku untuk memperbaiki qualitas lingkungan. Aspek yang sangat penting dalam CBA adalah ketersediaan nilai ekonomi bagi semua barang, jasa, dan juga pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan dilakukannya suatu kegiatan atau kebijakan pemerintah. Penilaian ekonomi terhadap lingkungan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan karena ketidaktersediaan harga pasar. Namun demikian, secara teoritis hal ini dapat diasosiasikan dengan WTP melalui penggunaan berbagai metode penilaian dan selera masyarakat. Alternatif lain untuk menghitung nilai ekonomi dari lingkungan adalah dengan menggunakan metode WTA yang menunjukkan kesediaan menerima kompensasi atas kerusakan qualitas lingkungan. Dalam budidaya tanaman sayuran terdapat eksternalitas yang dapat dikategorikan ke dalam eksternalitas positif yang menimbulkan manfaat serta eksternalitas negatif yang menimbulkan biaya. Eksternalitas positif yang timbul dapat dilihat dari aspek biodiversitas, usaha peternakan, teknologi dan industri yang terkait dengan agribisnis tanaman sayuran, institusi, pendidikan dan pariwisata. Sementara eksternalitas negatif tidak hanya berdampak pada berbagai aspek sosial ekonomi seperti usaha tani tanaman lain dan kesehatan masyarakat, namun juga berdampak pada kondisi fisik geografi dan lingkungan seperti pencemaran air akibat limbah input kimia, banjir, erosi dan penurunan kualitas lahan.
Teori Biodiversitas dan Nilai Lingkungan Biodiversitas atau keanekaragaman merupakan suatu hal yang penting bagi pengembangan pertanian baik on farm maupun ex situ. Dalam hal ini peran petani sangatlah penting karena tanaman yang dibudidayakan merupakan hasil pengelolaan dan seleksi yang dilakukannya (Smith, 1996). Bellon et al. (1997), mengidentifikasi tiga komponen dari keanekaragaan tersebut, yaitu: 1. Penggunaan benih lokal atau bersertifikat. 2. Keputusan memilih varietas. 3. Pemilihan dan pengelolaan benih (bagi petani yang menggunakan benih lokal).
207
Arsanti dan Boehme
Pengambilan keputusan terhadap ketiga komponen tersebut sangatlah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, tingkat kesehatan, status sosial ekonomi, akses terhadap lahan, tenaga kerja dan modal, pola tukar menukar tenaga kerja, kepemilikan tanah, kegiatan-kegiatan sosial, infrastruktur, tingkat perkembangan pasar dan kebijakan pemerintah. Di samping itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik geografis seperti curah hujan, suhu, jenis tanah dan topografi lahan (Gambar 2). Smale dan Bellon (1999) juga mengatakan bahwa proses pemilihan yang dilakukan oleh petani dipengaruhi oleh produk yang diharapkan, pilihan varietas, produksi yang diinginkan, preferensi konsumen dan kebutuhan pasar.
Faktor sosial ekonomi
Faktor Budaya
Kebijakan Pemerintah
Faktor Lingkungan
Pengambilan keputusan oleh petani
Pengetahuan petani
Pengelolaan Keberagaman oleh petani
Struktur Genetik Tanaman Keanekaragaman Tanaman Kendala
Gambar 2. Model konseptual dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman managemen petani
208
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
Secara ekonomi teori biodiversitas di atas dapat dianalisa melalui insentif petani dalam melakukan keanekaragaman, yaitu didekati dengan model karakteristik (utilitas) dan teori impure public goods: Max EU (q│Ω,z), di mana: EU q Q t Ω lainnya
= Utilitas = atribut konsumsi = jumlah konsumsi = output = parameter sosial ekonomi, agroekologi dan faktor-faktor eksogen
Rumah tangga petani menghadapi kendala (Y), pada tingkat pendapatan (I) tertentu: Y
= w’x = I . ρ’(X-Q), di mana :
X- Q ρ w
= menjual atau membeli varietas = harga komponen = biaya
Selain itu, petani juga menghadapi kendala teknologi: F (x,z h │x,r,y) = 0 Bellon et al. (1997), mengekspresikan keanekaragaman sebagai berikut: z h = z h (α,θ́,β), di mana: θ dan β = parameter aliran dan pengelolaan benih xiz = pilihan varietas Keanekaragaman sebagai karakteristik publik dirumuskan sebagai berikut: Z = z (z1,....z h,...... z m ), untuk semua petani h = 1, .... m Sehingga permintaan petani terhadap keanekaragaman adalah: xi=xi(P,wi,Y,I, qi1,....qif, ρi1, ... ρik │Ω,Z)
209
Arsanti dan Boehme
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kondisi Fisik Geografis dan Iklim Pangalengan terletak di sebelah selatan Bandung (14 km), termasuk dalam wilayah Kabupaten Bandung, dan terletak pada koordinat 7°11'06" S, 107°34'24" E. Plato Pangalengan sendiri berada di sebelah tenggara Bandung di ketinggian 1000-2000 m di atas permukaan laut dengan luas 37 km2 dan panjang 10-14 km. Daerah ini merupakan daerah volkanik yang diapit oleh dua gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi yaitu Gunung Wayang dan Gunung Burangrang. Tanah di Pangalengan relatif subur dan mengandung banyak humus, sementara iklim di daerah ini adalah basah hingga kering, yang cocok untuk budidaya tanaman sayuran maupun pembibitan. Permasalahan lingkungan yang sering terjadi di daerah ini adalah erosi dan pencemaran air karena penggunaan input kimia. Etnik Sunda merupakan penduduk asli daerah tersebut (Anonymous, 2004). Dataran tinggi atau Plato Dieng (6° 48'36" S, 107° 37'00" E) dikenal sebagai Plato Wonosobo di Propinsi Jawa Tengah. Secara administratif tidak hanya termasuk dalam wilayah Wonosobo namun juga masuk ke dalam wilayah Temanggung, Magelang dan Banjarnegara. Panjang dari Plato ini adalah 70 km dengan lebar 12-17 km. Terdapat dua gunung berapi yaitu Sindoro (3.136 meter) dan Sumbing (3.371 meter) yang masih aktif. Dieng beriklim dingin dengan musim basah hingga kering, karena terletak di ketinggian 1000-3000 m dpl dan curah hujan rata-rata 2300 - 4500 mm/tahun. Penduduk Dieng adalah suku Jawa. Suhu udara di daerah ini adalah 240-300 C pada siang hari dan 200 C pada malam hari. Pada Bulan Juli dan Agustus akan turun menjadi 120-150 C pada malam hari dan 150-200 C pada siang hari. Adapun permasalahan lingkungan yang sering terjadi di Wonosobo adalah penggundulan hutan dan erosi, karena masyarakat banyak melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha tani sayuran (Anonymous, 2004) . Kabupaten Wonosobo (luas 984,68 km²). berbatasan dengan Kabupaten Kendal dan Batang (utara), sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Magelang, berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan Purworejo (selatan), serta berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kebumen (Barat). Kabupaten ini terletak pada 7°04’11” LS sampai 7°11’13” LS dan 109°43’19” BT sampai 110°04’40” BT, yang memiliki luas wilayah 98.467,975 ha, terdiri dari empat wilayah pembantu bupati dan 13 kecamatan. Berastagi-Simpang Empat terletak 53 km dari Medan, ibukota Propinsi Sumatera Utara, pada koordinat 3 11'05" N, 98 30'58" E, dengan ketinggian 1000 210
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
– 2000 m dpl. Daerah ini merupakan bagian dari Kabupaten Karo secara administratif, di mana juga terdapat dua gunung berapi yaitu Sibayak and Sinabung. Tanah di wilayah ini relatif subur, dengan curah hujan 2.286 and 4.699 mm/tahun, dan iklim lembab. Di samping itu terdapat juga banyak sungai dan sistem pengairan yang baik, sehingga memungkinkan untuk berusaha tani sayuran, seperti kentang, kubis, seledri, sawi, bawang. Suku Batak Karo adalah warga asli daerah ini. Baik pria maupun wanita memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan usaha tani. Kabupaten Karo beribukota Kabanjahe, berlokasi di dataran tinggi Karo (Bukit Barisan Sumatera), terletak sejauh 77 km dari kota Medan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.127,25 km2 dan berpenduduk sekitar 500.000 jiwa. Wilayah Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 sampai 1.400 meter di atas permukaan laut. Karena berada diketinggian tersebut, tanah Karo Simalem mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 160 sampai 170C. Dataran tinggi Karo juga merupakan dataran tinggi terluas di Indonesia. Dataran tinggi Karo ini memiliki ciri khas sebagai daerah penghasil buah dan sayur. Kondisi fisik geografis selengkapnya di ketiga lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 (Anonymous, 2004). Faktor lain yang mendukung perkembangan usaha tani sayuran di tiga daerah ini adalah adanya dukungan infrastruktur dan lembaga koperasi ataupun kelompok tani yang berfungsi sebagai penyedia sarana produksi (input), pembina teknis, pembina usaha, dan penampung hasil produksi. Kondisi Demografi Kecamatan Pangalengan terdiri atas 15 desa. Dengan jumlah penduduk 124.978 jiwa, yang terdiri atas 62.510 pria dan 62.648 wanita. Kepadatan penduduk Kecamatan Pangalengan 531 jiwa per km2. Angkatan kerja penduduknya sejumlah 65.394 orang terdiri atas petani pemilik penggarap 20.775 orang (31,77%), buruh tani 17.625 orang (26,95%), buruh industri 3.681 orang, pengrajin 149 orang, pedagang 1.942, peternak 3.933,montir 57, dokter 7, jasa angkutan 635 orang, PNS atau TNI 197 orang, Pensiunan 197 orang, dan lain-lain 895 orang. Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Pangalengan terdiri atas Sekolah Dasar 63.127 siswa, SLTP 16.293 siswa, SLTA 9.547 siswa, akademi 781 dan perguruan tinggi 297 siswa. Sementara itu penduduk yang tidak tamat SD 2.082 orang, belum sekolah 9.180 siswa dan tidak sekolah 1.245 orang.
211
Arsanti dan Boehme
Tabel 1. Kondisi Fisik Geografis Pangalengan, Kejajar, Berastagi dan Simpang Empat Karakteristik Utama
Pangalengan
Kejajar
Berastagi dan Simpang Empat
Topografi
Datar 15,38%
Datar 0%
Datar hingga Berombak 65%
Datar hingga Berombak 17,23%
Datar hingga Berombak Berombak hingga 4,45% Berbukit 22%
Berombak hingga Berbukit 21,83%
Berombak hingga Berbukit 15,77%
Berbukit hingga Pegunungan 13%
Berbukit hingga Pegunungan Berbukit - Pegunungan 24,80% 35,25%
Kemiringan
Pegunungan 20,75%
Pegunungan 44,53%
25 % - 40 %
25 % - 40 %
> 40%
> 40%
< 25%
Jenis tanah
Latosol, Litosol, Regosol dan Latosol Regosol Tanah Coklat
Andosol Latosol,
PH Tanah
5.0 to 6.0
5.0 to 6.0
5.0 to 6.0.
Materi Utama
Aluvium
Aluvium
Aluvium
Tekstur
Pasir, lumpur, dan lempung
Pasir
Pasir dan lempung
Pengairan Internal
Sebagian menggunakan irigasi, sebagian lain memanfaatkan alam
Sistem bagus
Sistem tidak memadai
Banjir
Tidak ada
Sering
Sering
Budidaya Sayuran
Permanen
Permanen
Permanen
Perlakuan Fisik
Tidak ada
Teras tak permanen
Tidak ada
Perlakuan Kimia Penggunaan Pupuk Kimia
Penggunaan Pupuk Kimia
Penggunaan Pupuk Kimia
Ketinggian
1000 - 2000 m dari Permukaan Laut
1000- 3000 m dari Permukaan Laut
1000 – 2000 m dari Permukaan Laut
Kelembaban
80-95%
80-95%
80-95%
Curah Hujan
2500 - 4500 mm/tahun
2300 - 4500 mm/tahun 2286 and 4699 mm/tahun
Lokasi/koordinat 6° 48'36" N, 107° 37'00" E
7° 14’ 59’’ S 109° 56’ 04’’ E
3° 11'05" N, 98° 30'58" E
Suhu
15-20° C
11° - 17°C
15° - 22°C
Sumber: Anonymous (2005b)
212
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
Pertanian rakyat di Kecamatan Pangalengan didominasi usaha tani tanaman sayuran. Beberapa tanaman sayuran yang dibudidayakan, produktivitas, dan harganya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis sayuran, produktivitas, biaya dan harga, Kecamatan Pangalengan, 2005 Jenis Sayuran
Produktivitas (Ton)
Biaya (Rp)
Harga (Rp/kg)
Kentang
18,10
29.767.500
2.500
Kubis
24,50
12.336.000
800
Cabe
6,50
33.891.500
6.000
Tomat
19,50
30.000
2.000
Bawang merah
7,10
21.726.000
4.000
Sawi/petsai
22,70
6.323.500
600
18
6.987.000
1.000
Wortel Sumber: Anonymous (2005b)
Daerah penelitian yang kedua adalah Kecamatan Kejajar, yang terbagi menjadi 15 desa dan satu kelurahan dengan luas 5.762 ha, dengan jenis penggunaan tanahnya pekarangan 156,21 ha dan tegalan 3067,31 ha, kolam 1.668 ha, rawa 2.100 ha, perkebunan 155,85 ha, dan lain-lain 52,69 ha. Jumlah penduduk Kecamatan Kejajar 36.666 orang dengan sex rasio 1,025. Kepadatan penduduk Kecamatan Kejajar 671 jiwa per km2. Penduduk angkatan kerja sejumlah 31.140 orang terdiri atas petani 16.071 orang, buruh tani 6.644 orang dan pengusaha 125 orang, buruh industri 899 orang, buruh bangunan 881 orang, pedagang 1005, jasa angkutan 324 orang, PNS atau TNI 144 orang, pensiunan 82 orang, dan lain-lain 4.965 orang. Penduduk Kecamatan Kejajar menurut tingkat pendidikan terdiri atas tingkat Sekolah Dasar 18.116 siswa, SLTP 2.131 siswa, SLTA berjumlah1.067 siswa, akademi atau perguruan tinggi 179 siswa, tidak tamat SD 7.387 orang, belum tamat SD 5.517 orang dan tidak sekolah 4.457 orang. Pertanian di Kecamatan Kejajar di dominasi usaha tani tanaman sayuran. Tanaman sayuran kentang merupakan tanaman sayuran unggulan yang diikuti sayuran kubis, bawang daun, bawang putih, sawi dan kacang tanah, yang dapat dilihat pada Tabel 3.
213
Arsanti dan Boehme
Tabel 3. Jenis Sayuran, Luas tanah, Luas Panen dan Produksi, Kecamatan Kejajar Jenis Sayuran
Luas tanah (ha)
Luas panen (ha)
Produksi 2000 (ku)
Kentang
2.530
2.503
514.342
Kubis
2.124
1.633
438.478
Bawang daun
315
275
47.873
Bawang putih
188
237
12.621
Sawi/petsai
206
179
47.131
Kacang merah
610
580
20.565
Sumber: Anonymous (2005b)
Sementara itu sentra produksi tanaman sayuran lainnya adalah Kecamatan Berastagi dan Simpang Empat, yang luasnya 255,97 km2 (Berastagi = 30,5 km2 and Simpang Empat 225,47 km2). Penggunaan tanah di Kecamatan Berastagi meliputi lahan sawah berpengairan setengah teknis 119 ha, ladang 1399 ha, pemukiman dan pekarangan 315 ha, kebun 426 ha, tanah basah 4 ha, hutan 272 ha, hutan lindung 169 ha, hutan produksi 96 ha, dan lain-lain 491 ha. Jumlah penduduknya 38.257 orang dengan sex rasio 0,92. Jumlah penduduk Kecamatan Simpang Empat 35.412 orang dengan sex rasio 0,98. Kepadatan penduduk Kecamatan Berastagi dan Simpang Empat masingmasing 1254,33 dan 169,68 jiwa per km2. Penduduk angkatan kerja di Kecamatan Berastagi merupakan pemilik tanah sejumlah 7856 orang, petani penggarap 6432 orang, dan buruh tani 1847 orang. Di luar sektor pertanian terdapat pengusaha besar sebanyak 645 orang, pengrajin industri kecil sebanyak 799 orang, buruh berjumlah 8968 orang, dan buruh bangunan 152 orang. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang pengangkutan 609 orang, PNS 314 orang, dan ABRI 461 orang, dan pensiunan 4812 orang. Jumlah peternak sapi, kerbau, kambing, kuda, babi, ayam, dan itik berjumlah 5299 orang dengan proporsi terbesar adalah peternak ayam (89%) dan babi (5%). Sementara di Kecamatan Simpang Empat penduduk angkatan kerjanya 31.140 orang terdiri atas petani 6.894 orang, PNS atau TNI 333 orang, pedagang 104 orang, dan lain-lain 427 orang (Anonymous, 2005b). Penduduk Kecamatan Berastagi menurut tingkat pendidikan terdiri atas tamatan tingkat Sekolah Dasar 9.779 siswa, SLTP 796 siswa, SLTA 4.156 siswa, akademi dan perguruan tinggi masing-masing 768 dan 497 orang, tidak tamat sekolah dan tidak sekolah sejumlah 386 orang (Anonymous, 2005b).
214
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
Apresiasi Multipihak terhadap Multifungsi Pertanian Tanaman Sayuran Permasalahan pertama yang dibahas dalam makalah ini adalah apresiasi multipihak terhadap multifungsi pertanian tanaman sayuran. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa tujuan pembangunan pertanian untuk mewujudkan lahan pertanian abadi, mencapai ketahanan pangan masyarakat Indonesia, meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia dan menjadikan sistem agribisnis tanaman sayuran sebagai sektor andalan. Isu penting yang akan dibahas mencakup aspek politis, ekonomi dan lingkungan. Pertama-tama siapa yang akan mencari jalan keluar atas tuntutan permasalahan tersebut, tidak lain adalah pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam usaha pertanian tanaman sayuran di Indonesia atau disebut multipihak. Sebagaimana program pembangunan yang lain setiap pelaksanaannya membutukan landasan hukum untuk menjamin “good governance”. Pembuat atau pengambil kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat atas usulan Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian sebagai pengelola sumberdaya lahan pertanian. Kementerian negara yang membidangi sektor primer, termasuk salah satunya sektor pertanian, adalah Menteri Koordinator Bidang Ekuin. Efektifitas dari kebijakan yang dikeluarkan akan optimal jika didukung oleh perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian nasional maupun internasional, sebagai pihak yang mencetak sumberdaya manusia sektor pertanian dan bertanggung jawab dalam penelitian dan pengembangan yang mengungkapkan fakta-fakta kondisi sektor pertanian berdasarkan data dan fakta. Pihak selanjutnya yang terlibat adalah investor tanaman sayuran baik lokal maupun luar negeri, pelaku pertanian di lapangan (stake holder), pelaku pasar tanaman sayuran baik pedagang lokal, regional, nasional dan eksportir, serta pihak lain sebagai pendukung di antaranya media massa, LSM dan pemuka agama. Di samping itu penting juga dianalisis keterlibatan pihak pengguna, pembeli produk dan jasa sektor pertanian tanaman sayuran, dalam hal ini adalah konsumen sayur. Dari keseluruhan pihak-pihak yang terlibat, masing-masing memiliki peran yang penting untuk mensukseskan program-program sektor pertanian tanaman sayuran. Untuk mengetahui apresiasi dan mencari indikator yang tepat memang bukan hal yang mudah, di mana hal ini membutukan penelitian tersendiri. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti tingkat dan latar belakang pendidikan, pengetahuan, usia, jenis kelamin, suku, tingkat kesehatan, status sosial ekonomi, kegiatan-kegiatan sosial dan agama. Salah satu contoh 215
Arsanti dan Boehme
indikator apresiasi pihak tersebut terhadap multifungsi pertanian adalah pihak pengambil kebijakan yaitu DPR. Dari data statistik anggota DPR menurut tingkat pendidikan, sebagian besar berpendidikan S1 dan SLTA, sementara masih ada angggota DPR yang berpendidikan SD. Keberagaman tingkat pendidikan dan keahlian dalam membahas suatu masalah sektoral sering menjadi kendala dalam pengambilan keputusan. Mekanisme penyelesaian yang ditempuh adalah masing-masing fraksi memiliki kelompok staf ahli untuk menjembatani perbedaan pandangan maupun persepsi suatu masalah.
Karakteristik Sumberdaya Lahan Pertanian Permasalahan kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah karakteristik sumberdaya lahan pertanian. Pelaku multipihak usaha tani tanaman sayuran diharapkan memiliki persepsi yang seragam mengenai daya dukung dan potensi lahan di wilayah Indonesia, terutama yang sesuai dengan persyaratan tumbuh komoditas sayuran. Hal ini penting dalam apresiasi multifungsi lahan pertanian. Fakta geografis secara umum menunjukkan bahwa Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang mempunyai iklim basah hingga kering dengan tingkat kelembaban yang tinggi, sehingga merupakan persyaratan tumbuh yang baik bagi tanaman tropis. Indonesia terletak di antara dua benua yang dilewati angin muson tropis secara bergiliran di antara musim hujan dan musim kemarau, selain itu terletak di antara 10º LU dan 10º LS sehingga bebas dari gangguan Taifun yang merupakan salah satu kendala dalam kegiatan usaha tani. Dilihat dari curah hujan, wilayah iklim dibagi menjadi 3, yaitu A, B, C. Pulau Sumatera, Kalimantan, sebagian besar Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi di sisi barat, dikategorikan sebagai wilayah beriklim (A) yang mempunyai puncak musim hujannya jatuh pada bulan Oktober – Desember – Januari, hingga Februari. Pulau Sulawesi di bagian timur, Maluku dan Papua, dikategorikan sebagai wilayah (B) dengan puncak musim hujannya jatuh pada bulan Mei – Juni – Juli, dengan bulan terkering Agustus atau September. Jawa Timur, sebagian Pulau Madura, Pulau Bali, NTB, NTT, dan Papua di bagian paling selatan, dikategorikan sebagai wilayah ( C ), di mana jumlah hujan yang jatuh di wilayah ini lebih singkat, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Usaha tani tanaman sayuran dataran tinggi hendaknya memperhatikan pembagian wilayah tersebut untuk melihat kesesuaian masa tanam. Hal yang secara alami tidak dapat dihindari khususnya dalam kegiatan usaha tani sayuran adalah adanya vulkanisme dan gempa. Gempa disebabkan oleh
216
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
kondisi Kepulauan Nusantara yang merupakan titik temu dari tiga gerakan lempeng muka bumi, yaitu: (1). Gerakan Sistem Sunda di bagian Barat, (2). Gerakan Sistem Pinggiran Asia Timur dan (3). Gerakan Sistem Sirkum Australia(Van Bemmelen, 1949). Sementara vulkanisme disebabkan oleh aktivitas gunung api, di mana gunung api di Indonesia berjumlah lebih dari 100 buah, yang dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu: (1) gunung api padam, (2) gunung api istirahat, dan (3) gunung api aktif. Daerah-daerah yang terletak di sekitar gunung api memiliki tanah yang sangat subur, di mana terjadi pemusatan usaha tani dataran tinggi. Vulkanisme selain berdampak positif yaitu menyuburkan tanah untuk usaha pertanian, meningkatkan mutu batubara, serta sumber panas bumi, juga seringkali menimbulkan efek negatif khususnya pada saat gunung tersebut meletus. Tingkat kesuburan tanah juga sangat tergantung pada sifat batuan induknya, yang dapat digolongkan atas: (1) tanah dengan batuan induk vulkanik, (2) tanah dengan batuan induk non-vulkanik, dan (3) tanah dengan batuan induk organik. Jenis tanah dengan batuan induk vulkanik menyebar di (a). Sumatera, sepanjang Bukit Barisan, (b). Jawa, kecuali di utara Pegunungan Kendeng (Bojonegoro), (c). Kepulauan Bali, (d). Nusa Tenggara Barat, (e). Nusa Tenggara Timur, kecuali Sumba, (f). Maluku, kecuali kepulauan Kai dan Aru, (g). Sulawesi, kecuali beberapa bagian dari Selawesi Tenggara berikut Pulau Muna, Buton dan Kepulauan Tukangbesi. Jenis tanah dengan batuan induk non volkanik, seperti batuan dari zaman tertier terdapat di: (a). Sumatera di sebelah timur rangkaian Bukit Barisan, Kepulauan Riau, Bangka, Belitung, Nias, Mentawai dan Enggano.(b). Jawa, dari Pegunungan Kendeng ke utara dan Pulau Madura, (c). Bali di Bukit Badung dan Nusa Penida, (d). Nusa Tenggara Timur di Sumba dan Timor, (e). Kalimantan dan pulau-pulau sekitarnya, (f). Sulawesi Tenggara dan Sulawasi Tengah bagian timur, (g). Maluku Tenggara dan Papua (Irian Jaya). Jenis tanah organik membentuk rawa-rawa yang luas, seperti yang terdapat di pantai Timur Sumatera mulai dari Asahan (Sumatera Utara) sampai muara Way Pedada (Lampung) yang menempati ketinggian 7 meter ke arah darat. Di Kalimantan, gambut terdapat hampir di sepanjang pesisir di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di Alabio dan beberapa bagian aliran Sungai Barito, terdapat tanah-tanah dengan batuan induk tertier (tanah organik) yang cukup subur untuk tanaman semusim. Di Papua, sekitar Muara Memberamo dan sebelah utara Merauke, juga terdapat lapisan gambut yang tebal. Usaha tani pertanian tanaman sayuran di Indonesia diusahakan baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Lahan pertanian tanaman sayuran 217
Arsanti dan Boehme
dataran rendah di Pulau Jawa dan Sumatera terhampar luas di pesisir utara Pulau Jawa dan di pesisir timur Pulau Sumatera. Komoditas pertanian dataran rendah maupun dataran tinggi sangat beragam. Sementara itu, lahan pertanian tanaman sayuran dataran tinggi banyak terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Di wilayah dataran rendah aksesibilitas usaha tani terhadap sarana dan prasarana cukup bagus, seperti dekat dengan pasar, jalan, sarana transportasi dan pengangkutan lainnya, benih, pupuk, peralatan pertanian dan racun hama. Sedangkan lahan pertanian dataran tinggi memiliki keterbatasan akses terhadap hal-hal di atas. Dataran tinggi juga memiliki karakteristik tersendiri terkait dengan sifat iklim yang berlaku di dataran tinggi tersebut. Komoditas pertanian yang di budidayakanpun adalah tanaman-tanaman yang sesuai dengan persyaratan tumbuh di dataran tinggi. Adapun beberapa komoditas tanaman pertanian dataran tinggi yaitu: tanaman keras, tanaman kehutanan, berbagai tanaman buah dan tanaman sayuran, seperti sawi, kentang, kubis, tomat, bunga kol, daun bawang dan cabe.
Ekonomi dan Eksternalitas Lingkungan Usaha Tani Sayuran Dataran Tinggi Analisis Pendapatan Finansial, Ekonomi dan Biaya Lingkungan Usaha tani sayuran di Pangalengan khususnya untuk komoditas kentang, kubis dan tomat menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Adapun nilai R/C berdasarkan analisis finansial dari masing-masing komoditas tersebut sebesar 1,20, 1,25, dan 1,59 untuk kentang, kubis dan tomat. Sementara nilai R/C untuk analisis ekonomi bagi ketiga komoditas tersebut meningkat, yaitu 1,23 untuk kentang, 3,32 untuk kubis dan 3,74 untuk tomat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya nilai penerimaan akibat harga perbatasan baik FOB atau CIF, yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga produsen di wilayah survei. Adanya penghitungan biaya lingkungan yang dinilai melalui kesediaan membayar (WTP) atau memberikan kompensasi terhadap efek negatif yang ditimbulkan dari usaha tani petani sayuran berakibat pada menurunnya tingkat keuntungan dan nilai R/C. Biaya Lingkungan untuk daerah Pangalengan sebesar Rp. 3.113.194/ha (Tabel 4).
218
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
Tabel 4. Analisis Usaha Tani Tanaman Sayuran, Pangalengan, 2005 Komoditas Kentang A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. Keuntungan D. R/C Kubis A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. Keuntungan D. R/C Tomat A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. R/C
Nilai Finansial (Rp/ha)
Nilai Ekonomi (Rp/ha)
Nilai Ekonomi dan Biaya Lingkungan (Rp/ha)
176.002.574 146.397.198 29.605.375 1,20
157.028.423 127.945.639 29.082.783 1,23
157.028.423 131.058.834 25.969.589 1,20
54.519.288
278.245.337
278.245.337
46.286.405 11.647.588 1,25
83.786.016 194.459.321 3,32
86.899.210 191.346.127 3,20
149.624.537 94.367.958 1,59
362.724.153 97.096.782 3,74
362.724.153 100.209.977 3,62
Sementara itu analisis usaha tani sayuran untuk komoditas kentang, kubis dan cabe di Kejajar dapat dilihat pada Tabel 5. Komoditas kubis dan cabe menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi, namun berbeda halnya dengan kentang yang tidak memberikan keuntungan lagi bagi petaninya. Adapun nilai R/C untuk kentang, kubis dan cabe adalah sebagai berikut 0,92, 2,63, dan 2,07. Nilai R/C untuk analisis ekonomi bagi kubis dan cabe tersebut meningkat juga karena meningkatnya nilai penerimaan akibat harga perbatasan baik FOB atau CIF, yaitu 8,16 untuk Kubis dan 6,48 untuk cabe. Sementara untuk kentang nilai R/C secara ekonomi menurun, yaitu 0,91. Adanya penghitungan biaya lingkungan yang dinilai melalui kesanggupan membayar Petani (WTP) atau memberikan kompensasi terhadap efek negatif yang ditimbulkan dari usaha tani petani sayuran berakibat pada menurunnya tingkat keuntungan dan nilai R/C. Biaya Lingkungan untuk daerah Kejajar sebesar Rp. 5.929.654/ha (Tabel 10). Sementara itu analisis usaha tani sayuran untuk komoditas kentang, kubis dan cabe di daerah Berastagi dan Simpang Empat dapat dilihat pada Tabel 6. Komoditas kubis, bawang pre dan bunga kol menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi, terlihat dari nilai R/C untuk ketiga komoditas tersebut lebih besar dari 1. Nilai R/C untuk analisis ekonomi bagi kentang meningkat karena tingginya harga ekspor kentang (FOB). Namun hal yang berlawanan terjadi pada bawang pre dan bunga kol di mana nilai R/C ekonominya justru menurun. Biaya 219
Arsanti dan Boehme
lingkungan untuk daerah Berastagi dan Simpang Empat sebesar Rp. 2.467.759/Ha (Tabel 11), yang mengurangi tingkat keuntungan ekonomi, namun tetap memberikan nilai yang positif. Tabel 5. Analisis Usaha Tani Tanaman Sayuran, Kejajar, 2005 Komoditas Kentang A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. Keuntungan D. R/C Kubis A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. Keuntungan D. R/C Cabe A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. Keuntungan D. R/C
Nilai Finansial (Rp/ha)
Nilai Ekonomi (Rp/ha)
Nilai Ekonomi dan Biaya Lingkungan (Rp/ha)
92.582.053 100.080.950 -7.498.896 0,92
88.240.573 96.813.346 -8.572.773 0,91
88.240.573 102.743.001 -14.502.428 0,86
24.066.666. 9.150.180 14.916.486 2,63
146.864.945 17.987.490 128.877.454 8,16
146.864.945 23.917.145 122.947.800 6,14
124.031.250 59.841.000 64.190.250 2,07
58.112.887 318.699.513 6,48
376.812.401 64.042.542 312.769.859 5,88
Analisis Keunggulan Kompetitif Lahan Pertanian Tanaman Sayuran Dataran Tinggi Sebagian besar usaha tani komoditas sayuran di dataran tinggi memiliki keunggulan kompetitif, terlihat dari nilai-nilai PCR yang kurang dari satu (Tabel 7). Sementara komoditas kentang di Kejajar tidak memiliki keunggulan kompetitif, yang artinya tidak memiliki efisiensi secara finansial dalam pemanfaatan sumberdaya domestik.
220
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
Tabel 6. Analisis Usaha Tani Tanaman Sayuran, Berastagi dan Simpang Empat, 2005 Komoditas
Nilai Finansial (Rp/ha)
Kentang A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. Keuntungan D. R/C Bawang Pre A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. Keuntungan D. R/C Bunga Kol A. Penerimaan Output B. Pengeluaran Input C. Keuntungan D. R/C
Nilai Ekonomi Nilai Ekonomi dan (Rp/ha) Biaya Lingkungan Rp/ha)
168.173.280 94.536.629 73.636.651 1,78
278485698. 122.872.638 155.613.060 2,23
278.485.699 125.340.398 153.145.301 2,22
137.907.618 62.579.002 75.328.616 2,20
110.336.271 72.839.431 37.496.839 1,51
104.371.902 47.460.048 35.029.079 1,47
98.106.000 38.795.149 59.310.850 2,53
104.371.901 44.992.288 59.379.613 2,32
104.371.902 47.460.048 56.911.854 2,20
Tabel 7. Nilai PCR Komoditas Sayuran, 3 Lokasi Penelitian, 2005 No Daerah
Komoditas
Nilai PCR
Artinya
1
Pangalengan Kentang
0,78
Memiliki keunggulan kompetitif
2
Pangalengan Kubis
0,74
Memiliki keunggulan kompetitif
3
Pangalengan Tomat
0,54
Memiliki keunggulan kompetitif
4
Kejajar
Kentang
1,15
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
5
Kejajar
Kubis
0,27
Memiliki keunggulan kompetitif
6
Kejajar
Cabe
0,45
Memiliki keunggulan kompetitif
7
Berastagi
Kentang
0,46
Memiliki keunggulan kompetitif
8
Berastagi
Bawang Prei
0,41
Memiliki keunggulan kompetitif
9
Berastagi
Kol Bunga
0,32
Memiliki keunggulan kompetitif
221
Arsanti dan Boehme
Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Sayuran Lahan Pertanian Dataran Tinggi Salah satu alat untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas adalah Domestic Resources Cost (DRC) atau Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Sejalan dengan hal tersebut bahwa BSD merupakan ukuran biaya alternatif sosial (social opportunity cost) dari penerimaan satu unit marjinal devisa bersih suatu aktivitas ekonomi, di mana pengukurannya dilakukan dalam bentuk input domestik langsung dan tidak langsung yang digunakan. Rumusan BSD merupakan penurunan dari Keuntungan Sosial Bersih (KSB). KSB mengukur keuntungan dan kerugian bersih atas dasar biaya alternatif sosial dari suatu aktivitas ekonomi. Seluruh output dan input dinilai dalam biaya alternatif sosialnya. Penggunaan KSB dalam menganalisa keunggulan komparatif sering menimbulkan ambiguity. Hal ini terjadi karena aktivitas ekonomi berskala besar akan memberikan KSB yang besar dan sebaliknya. Untuk menghindarinya digunakan koefisien BSD. Dari Tabel 8 terlihat bahwa dari sembilan komoditas sayuran yang di uji ternyata 8 di antaranya memiliki keunggulan komparatif. Hanya komoditas kentang Wonosobo yang tidak memiliki keunggulan komparatif dengan nilai KBSD lebih dari 1 yaitu 1,19, yang artinya bahwa kentang yang diusahakan di Wonosobo memanfaatkan sumberdaya domestik secara tidak efisien. Dengan demikian pemenuhan permintaan domestik lebih menguntungkan dengan melakukan impor. Tabel 8. Nilai KBSD Komoditas Sayuran, 3 Lokasi Penelitian, 2005 No Daerah
Komoditas Sayuran
KBSD
Arti
1 Pangalengan Kentang
0,77
mempunyai keunggulan komparatif
2 Pangalengan Kubis
0,16
mempunyai keunggulan komparatif
3 Pangalengan Tomat
0,18
mempunyai keunggulan komparatif
4 Kejajar
Kentang
1,19
tidak memiliki keunggulan komparatif
5 Kejajar
Kubis
0,09
mempunyai keunggulan komparatif
6 Kejajar
Cabe
0,13
mempunyai keunggulan komparatif
7 Berastagi
Kentang
0,27
mempunyai keunggulan komparatif
8 Berastagi
Bawang Prei
0,47
mempunyai keunggulan komparatif
9 Berastagi
Kol Bunga
0,33
mempunyai keunggulan komparatif
222
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
Penilaian Ekonomi Lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM) Perhitungan tuntutan non petani (WTA) dan kesanggupan membayar petani (WTP) terhadap biaya Lingkungan (Rp/Ha/Th) dapat di lihat di Tabel 9, 10 dan 11. Studi kasus dilakukan di lahan usaha tani Kentang di Pangalengan, Kejajar, dan Berastagi – Simpang Empat. Tabel 9. Perhitungan Tuntutan Non Petani (WTA) dan Kesanggupan Membayar Petani (WTP) sebagai Biaya Lingkungan (Rp/Ha/Th), Pangalengan, 2005 No. Jenis Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Biaya Konservasi Tanah Listrik untuk Penerangan Jalan Sumbangan untuk pembangunan jalan Sumbangan duka untuk tetangga Sumbangan hajat untuk tetangga Sumbangan 17 Agustus Sumbangan untuk kegiatan agama Sumbangan untuk keamanan kampung Sumbangan untuk kegiatan kampung, lainnya Jumlah
WTA Non Petani (Rp/ha/th)
WTP Petani (Rp/ha/th)
1.000.000 20.000 500.000 150.000 500.000 100.000 200.000 100.000 700.000 3.270.000
1.064.930 18.894 473.333 135.435 520.761 80.667 163.750 78.757 576.667 3.113.195
Biaya konservasi tanah di Pangalengan mencakup pengapuran, menanam tanaman penguat teras, dan pemberian tambahan pupuk kandang untuk sustitusi pupuk kimia. Kegiatan konservasi lain yang dilakukan adalah melakukan pemberaan selama satu musim tanam. Terdapat selisih yang relatif kecil dalam penghitungan biaya kompensasi yang dibayarkan oleh petani Pangalengan (nilai WTP) dengan kesediaan menerima kompensasi oleh non petani (nilai WTA) yaitu sebesar Rp. 156.805. Hal ini berarti bahwa kemampuan petani untuk memenuhi tuntutan lingkungan dan sosial terpenuhi. Memperhatikan besarnya biaya WTP dan WTA yang tidak berbeda jauh, berdasarkan hasil survey, hal ini dikarenakan masyarakat bukan petani sebenarnya tidak perduli dengan besarnya biaya yang seharusnya mereka tuntut. Sementara itu petani sayuran mengeluarkan biaya tersebut sebenarnya tanpa merasa ada keterkaitan dengan usaha tani mereka. Selain itu, usaha tani sayuran sudah dilakukan secara turun temurun sejak lama serta pembayaran konpensasi juga sudah berjalan dengan sendirinya tanpa disadari dan dianggap sebagai hal yang biasa dalam hidup bermasyarakat sebagai petani di Indonesia.
223
Arsanti dan Boehme
Tabel 10. Perhitungan Tuntutan Non Petani (WTA) dan Kesanggupan Membayar Petani (WTP) sebagai Biaya Lingkungan (Rp/ha/th), Kejajar, 2005 No. Jenis Kegiatan 1 Biaya Konservasi Tanah 2 3 4 5 6 7 8 9
Listrik untuk Penerangan Jalan Sumbangan untuk pembangunan jalan Sumbangan duka untuk tetangga Sumbangan hajat untuk tetangga Sumbangan 17 Agustus Sumbangan untuk kegiatan agama Sumbangan untuk keamanan kampung Sumbangan untuk kegiatan kampung, lainnya Jumlah
WTA Non Petani (Rp/ha/th)
WTP Petani (Rp/ha/th)
5.000.000
10.062.5000
15.000 500.000 200.000 300.000 10.000 100.000 50.000 500.000
112.144 183.333 256.389 821.316 32.500 96.389 173.000 1.223.333
6,675.000
5.929.6545
Sumber: data primer diolah Tabel 11. Perhitungan Tuntutan Non Petani (WTA) dan Kesanggupan Membayar Petani (WTP) berupa Biaya Lingkungan (Rp/ha/th), Berastagi dan Simpang Empat, 2005 No. Jenis Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Biaya Konservasi Tanah Listrik untuk Penerangan Jalan Sumbangan untuk pembangunan jalan Sumbangan duka untuk tetangga Sumbangan hajat untuk tetangga Sumbangan 17 Agustus Sumbangan untuk kegiatan agama Sumbangan untuk keamanan kampung Sumbangan untuk kegiatan kampung, lainnya Jumlah
WTA Non Petani (Rp/Ha/Th)
WTP Petani (Rp/Ha/Th)
1.500.000 30.000 500.000 150.000 500.000 50.000 250.000 -
1.574.118 57.567 106.034 118.194 365.735 23.333 104.333 35.000 83.444 2.467.760
2.980.000
Sumber: data primer diolah
Usaha konservasi yag dilakukan oleh petani sayuran di Wonosobo adalah pengolahan tanah, penggunaan pupuk kandang, pemberian kapur, pemberaan dan penanaman rumput saat bera, serta pergiliran tanaman. Hasil dari studi kasus di kecamatan Kejajar, kompensasi yang bersedia dibayarkan oleh petani sayuran jauh lebih besar dibandingkan kesediaan non petani untuk menerima biaya 224
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
lingkungan. Nilai WTP ini lebih besar dibandingkan dengan nilai WTP di Pangalengan karena biaya yang ditanggung oleh petani dalam melakukan konservasi lahan sangatlah tinggi akibat penggunaan input kimia yang tidak terkendali. Lahan di dataran tinggi Dieng menuntut lebih besar biaya untuk pemeliharannya, misalnya biaya pembuatan teras sederhana dan teras permanen untuk mencegah tanah longsor. Di dataran tinggi Berastagi tuntutan non petani terhadap biaya kompensasi yang di seharusnya dibayarkan oleh petani lebih tinggi dibandingkan kesanggupan petani. Petani hanya mampu membayar 75% dari biaya yang seharusnya diterima oleh masyarakat non petani sayuran. Hal ini terjadi karena petani Berastagi sudah merasa berat menjadi petani dengan keuntungan yang fluktuatif. Sehingga selalu berusaha meminimalisassi pengeluaran di luar kebutuhan produksi. Biaya konservasi petani sayuran di Berastagi meliputi pemberian pupuk kandang atau kompos, pemberaan dan pengendalian gulma. Penentuan Wilayah Kelas Erosi melalui Analisis Overlay Peta dan Perhitungan Jumlah Erosi dengan Metode USLE Di wilayah Pangalengan kejadian erosi tidak seperti yang terjadi Berastagi dan Kejajar Wonosobo yang memang sangat parah. Sebagian besar wilayah Pangalengan memang tetap mengalami erosi dengan volume rendah yaitu < 213 ton/ha/th, hampir seluruh wilayah Kejajar mengalami erosi lebih dari 500 ton/ha/th, beberapa lokasi-lokasi tertentu bahkan mengalami erosi dengan volume mencapai 3000-6000 ton/ha/tahun. Hal ini tentu saja memerlukan perhatian (Gambar 6).
Gambar 6. Nilai Erosi di Pangalengan, 2005 225
Arsanti dan Boehme
Sementara pada Gambar 7, terlihat bahwa bahaya erosi serius, karena apabila tidak dilakukan penanganan yang intensif, maka kegiatan ekonomi khususnya usaha tani sayuran tidak akan berkelanjutan di samping juga akan memberikan eksternalitas negatif bagi komunitas di sepanjang daerah aliran Sungai Serayu. Di wilayah Berastagi dan Simpang Empat nilai erosi yang tertinggi terdapat di bagian lahan sebelah utara. Nilai erosinya di bagian ini mencapai 1503-3206 ton/ha/th. Namun dari gambar tersebut di atas juga terlihat bahwa sebagian besar wilayah survey mengalami erosi yang tidak terlalu membahayakan dengan volume berkisar < 652 ton/ha/th (Gambar 8).
Gambar 7. Nilai Erosi di Kejajar, 2005.
Gambar 8. Nilai Erosi di Berastagi dan Simpang Empat, 2005.
226
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
Penilaian ekonomi dan Eksternalitas Lingkungan Usaha Tani Sayuran Dataran Tinggi dengan Cost Benefit Analysis Tabel 12. Analisis Biaya dan Manfaat Usaha Tani Kentang, Pangalengan, 2005 No.
Perhitungan Biaya (Rp/ha/th)
1
Pengeluaran usaha tani
2 3 4 5 6 7 8
Biaya ekonomi dan sosial metode WTA Biaya penanggulangan erosi (pengurukan) Biaya kesempatan kayu hutan Tata air untuk pertanian Tata air untuk rumah tangga Biaya pemeriksaan kesehatan (Colinestrase) Biaya penanaman tanaman penguat teras (Rp/Ha/Th) (Kayu Putih) Total Biaya
Jumlah (Rp/ha/th) 31.058.834 3.270.000 7.839.998 250.000 5.280 11.103 30.000 200.000 142.665.216
Biaya lain yang tidak dikuantifikasi: Biaya pengerukan sedimentasi di daerah hilir Biaya pencemaran air di daerah hulu dan hilir Perhitungan Manfaat 1 2 3
Penerimaan usaha tani Substitusi impor Manafaat penanaman tanaman penguat teras Total Manfaat
157.028.424 440.996.582 3.200.000 601.225.006
Manfaat lain yang tidak dikuantifikasi: Biodiversitas, Pariwisata, Pengelolaan resiko Pengembangan usaha peternakan, Penelitian dan pendidikan Pengembangan teknologi dan industri sayuran Pengembangan institusi pendukung usaha tani sayuran Perbandingan manfaat dan biaya
4,21
227
Arsanti dan Boehme
Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Usaha tani sayuran dataran tinggi, yang merupakan salah satu dari komponen lingkungan, dalam pengelolaannya sebagai suatu aktivitas ekonomi mempunyai potensi memberikan dampak positif, yang menimbulkkan manfaat, atau dampak negatif yang menimbulkan biaya. Manfaat yang diberikan antara lain berasal dari pendapatan usaha tani, substitusi impor, biodiversitas, usaha peternakan, pengembangan teknologi dan industri tanaman sayuran, pengembangan institusi pendukung, pengembangan penelitian dan pendidikan serta pariwisata. Dua manfaat yang pertama akan dicoba dikuantifikasi dalam makalah ini. Sementara itu, usaha tani sayuran dataran tinggi juga memberikan dampak negatif berupa biaya-biaya yang mencakup biaya kesempatan, tata air baik untuk pertanian maupun rumah tangga, erosi, pengerukan sedimentasi daerah hilir banjir, degradasi lahan, pencemaran air baik di daerah hulu maupun hilir, serta kesehatan masyarakat. Beberapa kasus eksternalitas negatif yang terjadi di wilayah usaha tani sayuran dataran tinggi di antaranya adalah: 1. Terjadinya erosi pada lahan pertanian usaha tani sayuran dataran tinggi. Dalam hal ini harus dilakukan upaya untuk memperbaiki atau mereklamasi tanah, dengan memperhitungkan jumlah erosi tertingggi di lahan pertanian sayuran, biaya tenaga kerja untuk bongkar muat dan meratakan atau membuat bedengan baru (Rp. 30.000/hari) serta harga tanah (Rp. 36.667/ton). Perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 12. 2. Terjadinya keracunan ikan di Waduk Mrican (bagian hilir DAS Serayu) akibat air waduk tercampur dengan kandungan input kimia yang berasal dari lahan pertanian sayuran dataran tinggi Dieng. 3. Adanya keracunan ikan di kolam penduduk sekitar lahan pertanian sayuran, akibat air bekas pengairan yang mengalir ke kolam ikan tersebut mengandung unsur-unsur kimia akibat penggunaan input kimia. Dengan demikian pemilik kolam meminta ganti rugi sebesar Rp 150.000,- yang senilai dengan harga jual ikan yang ada di kolam. 4. Pengecekan kandungan pestisida dalam darah (Colinestrase) di Pangalengan, dengan biaya Rp. 10.000/musim/orang, terutama bagi tenaga kerja pemberantasan hama (pria berusia 18-22 tahun). 5. Penelitian di Dieng menyebutkan, bawa air susu ibu mengandung 7 ppm kandungan kimia pupuk kimia, karena ibu terlalu banyak mengkonsumsi sayuran mentah.
228
Sistem Usaha Tani Tanaman Sayuran
Tabel 12 di atas menyajikan contoh kasus perhitungan analisis ekonomi dan eksternalitas lingkungan usaha tani kentang di wilayah Pangalengan dengan metoda Cost Benefit Analysis (CBA). Metode yang sama dapat juga diterapkan untuk komoditas lain dan wilayah. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa usaha tani kentang di Pangalengan memberikan manfaat atau eksternalitas positif lebih dari 4 kali lipat dibandingkan dengan biaya atau eksternalitas negatifnya, dengan demikian maka kegiatan usaha tani kentang di Pangalengan layak untuk dikembangkan (ceteris paribus).
KESIMPULAN 1.
Apresiasi multipihak terhadap multifungsi pertanian tanaman sayuran dataran tinggi sangatlah penting, di mana masing-masing pihak harus melakukan koordinasi lintas sektoral sehingga dapat saling mendukung satu sama lain dan dapat mengoptimumkan perannya dalam mensukseskan program-program usaha tani sayuran. Beberapa faktor yang mempengaruhi apresiasi antara lain adalah tingkat dan latar belakang pendidikan, pengetahuan, usia, jenis kelamin, suku, tingkat kesehatan, status sosial ekonomi serta kegiatan-kegiatan sosial dan agama.
2.
Persepsi yang seragam mengenai karakteristik sumberdaya lahan pertanian nasional, daya dukung dan potensi lahannya, serta faktor-faktor eksternal yang berpengaruh, sangatlah mendukung dalam melakukan apresiasi multifungsi pertanian. Pengetahuan mengenai sejarah, multifungsi lahan, lahan pertanian abadi (LPA), kebijakan dan pentingnya tanaman sayuran dapat membantu menciptakan keseragaman persepsi tersebut. Dengan demikian maka multipihak akan dapat melakukan perannya masing-masing secara optimum dalam rangka menciptakan lahan pertanian abadi dan meningkatkan kesejahteraan petani.
3.
Hasil yang ditunjukkan dalam penilaian usaha tani baik secara finansial maupun ekonomi, hampir semua komoditas memberikan keuntungan kecuali kentang di Kejajar Wonosobo. Penghitungan biaya lingkungan yang didekati dengan konsep Contingent Valuation Method (CVM), masih memberikan keuntungan sosial kepada komoditas-komoditas tersebut kecuali Kentang di Kejajar. Eksternalitas lingkungan pada usaha tani tanaman sayuran dataran tinggi, baik yang memberikan manfaat atau menciptakan biaya, masih memberikan manfaat yang lebih tinggi bagi komoditas kentang di daerah Pangalengan.
229
Arsanti dan Boehme
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2005a. Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo. Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia. __________. 2005b Monografi Kecamatan Pangalengan, Kejajar, Berastagi dan Simpang Empat. __________. 2004. Kabupaten Bandung, Wonosobo dan Karo dalam Angka. Jakarta, Indonesia. Bellon, M.R., Pham, J.L., Jackson, M.T. 1997. Genetic Conservation: A Role for Rice Farmers. Chapmann and Hall, London, UK, pp263-249. ExternE. 1995. ExternE: Externalities of Energie, a Research Project of the European Commission. Vol. I-IX. EU. European Commission, DG Environment. 2000. Final Main Report: A Study on the Economic Valuation of Environmental Externalities from Landfill Disposal and Incineration of Waste. EU. Gittinger, J. P. 1986. Economic Analysis of Agricultural Projects. Second Editions. UI-Press, Jakarta, Indonesia. Haryono, D. 1991. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan pada Produksi Kedelai, Jagung, dan Ubikayu di Propinsi Lampung. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia. Masyhuri 1988. Economic Incentive and Comparative Advantage in Rice Production in Indonesia. PhD Dissertation, University of the Philipines at Los Banos, Philipines. Monke, E.A. and S.R. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca, USA. Smale, M. and M.R. Bellon. 1999. A Conceptual Framework for Valuing Onfarm Genetic Resources. CIMMYT, Mexico DF, Mexico. Smith, K. 1996. Estimating Economic Value for Nature; Method for non Market Valuation. Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, UK. Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghematan Sumberdaya Domestik. Tesis, Program Magister Sain, Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor, Indonesia. Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia. 1st Ed. Overnment Printing Office, The Hague, Washington DC, USA. Wischmeier, W. H. and D. D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses-a Guide to Conservation Planning. U.S. Dept. of Agric. Handbook No. 537. USA.
230