II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Potensi Lahan Kering Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buahbuahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15−30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Tabel 1).
Universitas Sumatera Utara
Masalah Pemanfaatan Lahan Kering untuk Tanaman Pangan Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi. Kesuburan tanah Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Disamping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo, 1990 dalam Suriadikarta et al, 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al, 2002). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi, 1993; Soepardi, 2001). Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al, 2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di
Universitas Sumatera Utara
Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng curam, dan solum dangkal. Topografi Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (15−30%), dengan luas masing -masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Luas lahan kering yang sesuai untuk pertanian Dataran rendah (ha) Tanama n semusim
Tanama n tahunan
Total
Sumater a Jawa
4.899.47 6 925.412
Bali dan Nusa Tenggar a Kalimant an Sulawesi
1.091.87 8
15.848.2 03 3.982.00 8 1.335.46 9
20.747.6 79 4.907.42 0 2.427.34 7
10.180.1 51 1.801.87 7 4.360.31 8
14.340.9 56 3.664.04 0 8.282.80 9
24.521.1 07 5.465.91 7 12.643.1 27
Provinsi
Dataran tinggi (ha) Tanam Tanam an an Total semusi tahunan m 1.103.1 992.05 2.095.2 76 5 31 200.68 484.96 685.64 7 0 7 58.826 201.76 260.58 1 7
592.12 9 70.780
389.52 1 1.134.3 20 233.98 1
981.65 0 1.205.1 00 277.07 5
Total
22.842.9 10 5.593.06 7 2.687.93 4
25.502.7 57 6.671.01 7 12.920.2 02
Maluku 43.094 dan Papua Indonesi 23.259.1 47.453.4 70.712.5 2.068.6 3.436.5 5.505.2 76.217.8 a 12 85 97 92 98 90 87 Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2001) Pengelolaan Kesuburan Tanah Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah. Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level
Universitas Sumatera Utara
yang tinggi. Hasil penelitian (Santoso et al, 1995) menunjukkan pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan, 2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mineral masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka panjang dapat menimbulkan ketidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga menurunkan produktivitas tanaman. Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya baik sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan. Jenis pupuk lain yang mulai berkembang pesat adalah pupuk hayati (biofertilizer) seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu tumbuh dan pengendali hama, dan mikroflora tanah multiguna. Pupuk hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1) melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2) menstimulasi sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3) memacu
Universitas Sumatera Utara
mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, 4) penawar racun beberapa logam berat, 5) metabolit pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator perombak bahan organik. Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produktivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium (Al). Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan menentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan, 2005). B. Pengolahan Tanah Pengolahan tanah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyediakan tempat tumbuh bagi tanaman jagung., sehingga perakaran tanaman dapat berkembang dengan baik. Pengolahan tanah diusahakan agar kondisi air tanah dapat dipelihara dengan baik. Pada tanah – tanah bertekstur berat, pengolahan tanah sebaiknya dilakukan intensif untuk mendapatkan drainase dan aerase yang menunjang pertumbuhan tanaman jagung (Bastari, 2003). Kegiatan pengolahan tanah dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : (1) Tanpa olah tanah (TOT), (2) Pengolahan tanah minimum (OTM), dan (3) Pengolahan tanah sempurna (OTS). 1. Tanpa Olah Tanah (TOT) Tanpa olah tanah (Zero Tillage) sering disebut TOT. Cara yang dimaksud adalah tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa – sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal
Universitas Sumatera Utara
tanaman.
Penanaman
dilakukan
dengan
tugal.
Gulma
diberantas
dengan
menggunakan herbisida (Utomo, 2000). Tanpa olah tanah banyak memiliki keunggulan atau kelebihan, diantaranya dapat menghemat tenaga kerja dan biaya serta dapat memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan pori makro. Proses ini terjadi karena dengan tanpa olah tanah, fauna (hewan) tanah seperti cacing menjadi lebih aktif (Tan, 2007). 2. Olah Tanah Minimum (OTM) Pengolahan tanah minimum (Minimum Tillage). Bagian tanah yang diolah hanya pada calon zona perakaran dengan kelembaban dan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pengolahan tanah minimum adalah teknik konservasi tanah dimana gangguan mekanis terhadap tanah diupayakan sesedikit mungkin. Dengan cara ini kerusakan struktur tanah dapat dihindari sehingga aliran permukaan dan erosi berkurang. Teknik ini juga mengurangi biaya dan tenaga kerja untuk pengolahan tanah dan mengurangi biaya / tenaga kerja untuk penyiangan secara mekanik. Pengolahan tanah minimum cukup efektif dalam mengendalikan erosi, dan biasa dilakukan pada tanah – tanah yang berpasir dan rentan terhadap erosi. Pengolahan tanah minimum hanya dapat dilakukan pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat terbentuk sebagai hasil dari penggunaan mulsa secara terus menerus dan / atau pemberian pupuk hijau / pupuk kandang / kompos dari bahan organik yang lain secara terus menerus (Suwardjo, 2001). Pengolahan tanah minimum adalah teknik konservasi tanah dimana gangguan mekanis terhadap tanah diupayakan sesedikit mungkin. Dengan cara ini kerusakan struktur tanah dapat dihindari sehingga aliran permukaan dan erosi berkurang. Teknik
Universitas Sumatera Utara
ini juga mengurangi biaya dan tenaga kerja untuk pengolahan tanah dan mengurangi biaya / tenaga kerja untuk penyiangan secara mekanik. Pengolahan tanah minimum cukup efektif dalam mengendalikan erosi. Pengolahan tanah minimum hanya dapat dilakukan pada dilakukan pada tanah yang gembur. Penerapan teknik pengolahan tanah minimum selalu perlu disertai pemberian mulsa (Tan, 2007). Keuntungan pengolahan tanah minimum yaitu menghindari kerusakan struktur tanah, mengurangi aliran permukaan dan erosi, memperlambat proses mineralisasi, sehingga penggunaan zat – zat hara dalam bahan – bahan organik lebih berkelanjutan, tenaga kerja yang lebih sedikit daripada pengelolaan penuh, sehingga mengurangi biaya produksi, dapat diterapkan pada lahan – lahan marginal yang jika tidak dengan cara ini mungkin tidak dapat diolah (Utomo, 2000). 3. Olah Tanah Maksimum (OTM) Pengolahan tanah sempurna memerlukan biaya yang tinggi, disamping mempercepat kerusakan sumberdaya tanah. Pada umumnya saat dilakukan pengolahan tanah, lahan dalam keadaan terbuka, tanah dihancurkan oleh alat pengolah, sehingga agregat tanah mempunyai kemantapan rendah. Jika pada saat tersebut terjadi hujan, tanah dengan mudah dihancurkan dan terangkut bersama air permukaan (erosi). Untuk jangka panjang, pengolahan tanah yang terus menerus mengakibatkan pemadatan pada lapisan tanah bagian bawah lapisan olah, hal demikian menghambat pertumbuhan akar. Untuk mengatasi kerusakan karena pengolahan tanah, akhir – akhir ini diperkenalkan sistem pengolahan tanah minimum (Minimum Tillage) yang
Universitas Sumatera Utara
diikuti oleh pemberian mulsa dapat meningkatkan produksi pertanian (Suryanta, 2006). Peranan Pengolahan Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung Peranan pengolahan tanah terhadap tanaman jagung untuk menyuburkan tanah supaya akar tanaman mudah menyerap unsur hara dalam tanah dan udara juga bisa masuk kedalam tanah. Pada tanah bertekstur ringan pengolahan tanah secara minimum (Minimum Tillage) dapat dilakukan untuk menghemat tenaga, waktu dan memanfaatkan ketersediaan air tanah. Setelah tanaman jagung tmbh kira – kira 4 – 5 minggu, segera dilakukan pembubunan. Pembubunan, disamping untuk memperbaiki drainase dan aerasi tanah, juga dimaksudkan untuk mengurangi gulma serta untuk menjaga agar tanaman jagung tidak mudah rebah. Pembubunan ini dapat meningkatkan produksi +50%, dibanding pada pertanaman jagung yang semula hanya diolah pada bagian yang ditanami saja (Djauhari, 2008). Pada waktu pengolahan tanah terhadap tanaman jagung, keadaan tanah hendaknya tidak terlampau basah tetapi harus cukup lembab sehingga mudah dikerjakan, dan tidak lengket, sampai tanah menjadi cukup gembur. Pada tanah – tanah berpasir atau tanah ringan tidak banyak diperlukan pengerjaan tanah. Pada tanah – tanah berat dengan kelebihan air, perlu dibuat saluran penuntas air. Pembuatan saluran dan pembubunan yang tepat dapat menghindarkan terjadinya genangan air yang sangat merugikan bagi pertumbuhan tanaman jagung (Effendi, 2006). Adapun peran pengolahan tanah memperbaiki struktur tanah, pada tanah berat pengolahan tanah hendaknya dilakukan dengan olah tanah yang mampu merobah
Universitas Sumatera Utara
tanah tersebut menjadi gembur, pengolahan tanah dapat juga mendorong pertumbuhan mikro dan hara tanaman, mencegah hama dalam tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. C. Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim seperti tanaman pangan (Abdurachman dan Sutono 2005; Kurnia et al, 2005). Hasil penelitian menunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46−351 t/ha/tahun (Sukmana, 1994; 1995). Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan kering. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas toleransi, dengan kisaran antara 1,10−13,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Thompson dalam Arsyad, 2000). Untuk menekan erosi sampai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat diterapkan dengan memperhatikan persyaratan teknis (Agus et al, 1999). Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi proporsi
Universitas Sumatera Utara
tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi. Pengolahan
tanah
secara
intensif
merupakan
penyebab
penurunan
produktivitas lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne, 1982; Suwardjo et al, 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al, 2004). Olah tanah konservasi (OTK) merupakan alternatif penyiapan lahan yang dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al, 1991; Wagger dan Denton, 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan tanah, mengintensifkan penggunaan sisa tanaman atau bahan lainnya sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya. Rehabilitasi lahanlahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi lahan kering, antara lain dengan menanam legume penutup tanah atau tanaman penghasil bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi. Penggunaan Kapur Beberapa jenis kapur telah diproduksi dan digunakan untuk berbagai kepentingan, diantaranya untuk perkebunan rakyat, pertanian dan perikanan darat. Jenis – jenis kapur yang ada dipasaran antara lain adalah dolomite dan kaptan. Kedua jenis kapur ini memiliki kandungan kalsium (Ca) yang cukup tinggi, hanya saja
Universitas Sumatera Utara
dolomit yang mengandung unsur yang lebih lengkap yaitu CaMgO, sedangkan kaptan hanya mengandung unsur Ca dalam bentuk CaCO3. Dolomit merupakan batuan sedimen laut yang terangkat ke permukaan, sedang dikenal dengan sebutan batu gamping. Batu gamping umumnya berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna merah jambu dan abu – abu. Untuk keperluan pertanian, batu gamping dihaluskan serta memiliki unsur campuran antara CaCO3, MgO3, dimana kadar CaCO3 lebih banyak. Dolomit yang dikeluarkan oleh Puskud Sumatera Barat, misalnya mempunyai komposisi MgO 18% dan CaO 30% dan apabila dicelupkan kedalam air maka air tersebut akan memiliki pH 7.5 – 8.0 Kapur dan dolomit sering digunakan sebagai bahan ameliorasi lahan karena : 1) merupakan sumber Ca dan Mg, 2) merupakan salah satu tindakan dalam pemupukan berimbang, dengan perbandingan Ca, Mg, K adalah 75 : 18 : 7 didalam komplek jerapan tanah, dan 3) dapat meningkatkan pH tanah atau menetralkan Al3+ melalui proses sebagai berikut : CaCO3
Ca2+ + CO
MgCO3
Mg2+ + CO
Ion karbonat (CO═) bereaksi dengan air sebagai berikut : CO3 = + H2O
H2CO3 + 2OH-
Ion OH- ini akan bereaksi dengan Al3+ sehingga membentuk senyawa Al(OH)3 dan mengendap. Menurut Sudarsono (1996), untuk keperluan menetralkan Al3+ dalam kompleks jerapan tanah, maka jumlah dolomit yang diperlukan adalah 1 ton / ha untuk setiap me Al3+ yang akan dihasilkan.
Universitas Sumatera Utara
Pendugaan kebutuhan kapur pada tanah masam dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1) pemberian kapur secara bertingkat untuk mendapatkan takaran kapur yang menghasilkan hasil optimum, 2) inkubasi tanah dengan pemberian kapur bertingkat ntuk mencari takaran kapur yang dapat memberikan pH tanah yang diinginkan, 3) titrasi tanah menggunakan larutan basa atau larutan sangga, 4) menggunakan Al dapat tukar sebagai indeks kebutuhan kapur (Sulaeman, 1990). Menurut Kamprat (1970), (Didi Ardi dan Widjaja – Adhi, 1986), takaran kapur yang diberikan kedalam tanah lebih baik didasarkan pada Al dapat tukar, tetapi cara yang paling mudah dan praktis dilakukan dilapangan untuk mengetahui jumlah kapur yang dibutuhkan tiap satuan luas adalah cara inkubasi dan analisis tanah.
Universitas Sumatera Utara