JICA 3R RI P R O J E C T
BASWARA Ikhtisar Kebijakan Program 3R Indonesia
Project for Capacity Development of Central and Local Governments for 3R and Domestic Solid Waste Management System in Indonesia
JULI 2016
Sistem Tanggap Darurat
Pengelolaan Sampah
P
asca longsor TPA Luewigajah pada 21 Februari 2005, pemerintah daerahnya saat itu sangat lamban merespon kejadian. Akibatnya, setiap sudut Bandung terjadi penumpukan sampah, bahkan
Godang Tua Jaya dan PT NOEI selaku pengelola, disertai pemblokiran akses oleh masyarakat. Sehingga TNI diminta untuk mengawal truk ke fasilitas TPST Bantar Gebang. Pada Desember 2015 – April 2016, kontrak sewa lahan
hingga menggunung dan sangat mengganggu kesehatan dan estetika kota. Kota cantik itu berubah menjadi lautan sampah. Pemerintah Kota Bandung tidak paham apa yang harus dilakukan, alih-alih memiliki persiapan mengenai sistem tanggap darurat sampah. Di sisi lain, pemerintah pusat pun belum menyusun panduan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pada kondisi tanggap darurat pengelolaan sampah. Setelah kejadian longsor Leuwigajah yang terbesar menelan korban jiwa tersebut, ada sederetan peristiwa lagi yang dialami Indonesia pada sistem pengelolaan sampahnya, bahkan terjadi ketika undang-undang mengenai pengelolaan sampah yakni UU No 18 tahun 2008 telah dikeluarkan. Pada 22 Oktober 2015, terjadi konflik antara Pemerintah Provinsi DKI, Pemerintah dan DPRD Kota Bekasi, PT
TPA Galuga Kabupaten Bogor berakhir. LSM dan ormas kemudian menutup akses jalan dan menuntut operasional TPA dengan alasan air lindi telah mencemari lingkungan sekitar. Sebagian warga sekitar mengeluhkan bau, sumber air yang tercemar, dan kesulitan bercocok tanam. Namun sebagian warga lainnya menginginkan TPA tetap beroperasi agar tetap dapat memulung. Pada 27 Januari 2016, TPA Sumurbatu Kota Bekasi mengalami longsor, satu orang korban meninggal dan satu orang terluka. Tak lama setelah kejadian tersebut, pada 12 Februari 2016, sampah di TPA Cibereum Kota Banjar mengalami longsor dan menimbun sawah serta akses desa.
Undang-undang No 18 Tahun 2008 pada Pasal 9 ayat 3 menyebutkan, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menyusun dan menye lenggarakan sistem tanggap darurat. Sementara, pedoman penyusunan sistem tanggap darurat yang dimaksud akan diatur dengan Peraturan Menteri. Alasan inilah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian mempersiapkan perangkat hukum yang berawal dari penyusunan Naskah Akademis Draf Permen tentang Tata Cara Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Sampah. Gambar 1 adalah pembagian tugas antara peme rintah pusat dan pemerintah kabupaten/ kota dalam mempersiapkan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah berdasarkan amanat UU No 18 Tahun 2008 mengenai Pengelolaan Sampah.
UU No. 18 Tahun 2008 (Pasal 9 Ayat 3)
Perbedaan dengan Panduan BNPB Mengapa KLHK perlu mengeluarkan aturan hukum mengenai panduan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah? Bukankah ini telah menjadi tanggung jawab Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)? Pada 2015 lalu, BNPB memang telah mengeluarkan buku panduan berjudul ‘’Pedoman Pembersihan Lingkungan pada Keadaan Darurat’’. Namun, pedoman ini lebih mengatur pada tata cara pembersihan kondisi lingkungan pada wilayah terdampak bencana seperti pembersihan longsoran, lumpur, sampah, puing-puing dan bahanbahana berbahaya yang ditimbulkan akibat bencana alam.
Pemerintah Pusat
Kabupaten/Kota
Permen panduan pencegahan akibat pengelolaan sampah yang tidak benar
Penyusunan dan penyelenggaraan pencegahan akibat pengelolaan sampah yang tidak benar
Permen panduan penanggulangan akibat pengelolaan sampah yang tidak benar
Penyusunan dan penyelenggaraan penanggulangan akibat pengelolaan sampah yang tidak benar
Gambar 1. Bagan pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota dalam Gambar 1. Bagan tugas antara pemerintah mempersiapkan sistem pembagian tanggap darurat pengelolaan sampah. pusat dan pemerintah kabupaten/kota dalam mempersiapkan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah
Perbedaan dengan Panduan BNPB
Mengapa KLHK perlu mengeluarkan aturan hukum mengenai panduan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah? Bukankah ini telah menjadi tanggung jawab Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)?
2
Pada 2015 lalu, BNPB memang telah mengeluarkan buku panduan berjudul
Kegiatan pembersihan lingkungan dalam keadaan darurat bencana bertujuan untuk mendukung penyelamatan, evakuasi masyarakat terdampak bencana dan mempercepat pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. Sementara itu, sistem tanggap darurat pengelolaan sampah tidak akan membahas banjir, tanah longsor, maupun bencana alam lainnya yang dapat menyebabkan terganggunya sistem pengelolaan sampah. Namun kajian ini akan mengidentifikasi faktor bencana non alam dan faktor bencana sosial yang berpotensi menyebabkan gangguan secara signifikan terhadap sistem pengelolaan sampah. Dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana non alam didefinisikan sebagai “bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit”. Sedangkan bencana sosial didefinisikan sebagai “bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror’’. Maka itu, nantinya peraturan yang berkenaan dengan panduan sistem tanggap darurat sistem pengelolaan sampah ini akan meliputi hanya pada faktor-faktor yang cukup relevan seperti kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi, konflik sosial antar kelompok, konflik sosial antar komunitas masyarakat dan teror.
Darurat sampah juga mengatur Potensi Kebencanaan rincian tanggap darurat berupa pence- Akibat Pengelolaan Sampah Berikut adalah ilustrasi potensi kegagalan sistem pengelolaan sampah yang bisa gahan, dan pemulihan di Indonesia terjadi penanggulangan, di beberapa TPA di Indonesia: atas resiko bencana akibat pengelolaan Dari beberapa referensi dan kejadian sampah yang mengalami kegagalan yang pernah dialami di Indonesia maupun Berikut adalah ilustrasi potensi kegagalan sistem pengelolaan sampah yang bisa sistem. di negara lain, potensi kebencanaan pada terjadi di beberapa TPA di Indonesia: Gambar 2. llustrasi potensi kegagalan sistem pengelolaan sampah yang bisa terjadi di beberapa TPA di Indonesia.
Ilustrasi Potensi Longsor
Sumber: Joko Heru, 2016
Sumber: Joko Heru, 2016
Ilustrasi Potensi Longsor di TPA
Sumber: Joko Heru, 2016
Sumber: Joko Heru, 2016
Ilustrasi Potensi Kebakaran di TPA
sistem pengelolaan sampah di Indonesia diidentifikasi bisa terjadi di enam jenis fasilitas pengelolaan sampah yakni; 1. Fasilitas pewadahan dan pengum pulan 2. Fasilitas pemindahan dan pengang kutan 3. Tempat Penampungan Sementara (TPS) 4. Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip 3R (TPS 3R) 5. Stasiun Peralihan Antara (SPA) 6. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sedangkan potensi jenis insidennya adalah sebagai berikut: 1. Longsor akibat timbunan sampah yang tidak terkendali 2. Kebakaran 3. Pencemaran cairan berbahaya seperti rembesan lindi 4. Kebocoran dan ledakan gas yang tidak terkendali 5. Penutupan TPA oleh sebab khusus seperti, pemutusan kontrak kerja akibat wan prestasi atau akibat ketetapan hukum yang bersifat mengikat. 6. Penutupan TPA akibat konflik sosial seperti demo dan pemogokan kerja. 7. Aftermath yakni penumpukan sampah pasca insiden. Gambar 2 adalah ilustrasi potensi kegagalan sistem pengelolaan sampah yang bisa terjadi di beberapa TPA di Indonesia:
Sumber: Joko Heru, 2016
3
Sumber: Joko Heru, 2016
Ilustrasi Potensi Migrasi Lindi TPA
Sumber: Joko Heru, 2016
Ilustrasi Potensi Migrasi Lindi TPA
Sumber illustrasi: Joko Heru, Sumber: Joko Heru, 20162016 Sumber foto: Rafianti
Analisa Resiko, Cakupan, dan Koordinasi Tata cara sistem tanggap darurat akan ditentukan melalui analisa resiko pada fasilitas pengelolaan sampah yang sedang terjadi insiden. Akan ada serangkaian kegiatan identifikasi yang nantinya akan menjadi bahan pertimbangan para ahli yang berkompeten dalam hal pengelolaan sampah untuk memutuskan status darurat. Identifikasi itu meliputi; identifikasi sumber insiden, identifikasi insiden, bahaya, dampak, jalur penyebaran dampak, besaran konsekuensi dampak, probabilitas, signifikansi, durasi dampak, dan identifikasi status darurat.
Dengan menentukan luasan dampak insiden yang dilakukan melalui kegiatan identifikasi tadi, barulah ditentukan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) mana yang akan dijalankan. Jika luas dampak insiden masih mencakup lokal (internal kawasan seperti di dalam TPA), maka penanganannya mengacu pada SOP lokal/TPA. Jika luasan dampak mencakup kawasan, maka yang dipakai SOP yang disiapkan oleh dinas teknis seperti Dinas Kebersihan. Jika luas dampak sudah mencakup kota, maka penanganannya mengikuti SOP yang telah disiapkan oleh Kota/Kabupaten. Jika luas dampak sudah meluas hingga lintas kota, maka yang dipakai adalah SOP Provinsi. Sedangkan jika luas dampaknya mencakup lintas provinsi, maka penanganannya memakai SOP Pemerintah Pusat.
4
Untuk itu masing-masing tingkatan manajemen tersebut sudah harus mempersiapkan dokumen SOP untuk tanggap darurat. Gambar di bawah ini adalah manajemen penanganan bertingkat sesuai dengan luasan dampak kejadian
Pada ilustrasi longsor pertama, potensi longsor terjadi pada kondisi gunungan sampah yang dibentuk terasering namun sudah sangat tinggi, dengan masing-masing ketinggian teras 3 meter. Ketika hujan, air berserta tanah urug akan menyatu menjadi massa lumpur yang tidak stabil dan menggulung jatuh siap meruntuhkan bangunan dan fasilitas yang ada di dekatnya dengan jarak minimal 10 meter. Sedangkan pada ilustrasi longsor kedua, kondisi dimana sampah telah menggunung dengan ketinggian 20 meter tanpa sistem terasering. Gunungan sampah yang tidak stabil tersebut sangat berpotensi longsor, meruntuhkan tanggul pembatas dan pemukiman yang berjarak minimal 1 Km. Pada ilustrasi kebakaran di TPA, pemukiman yang termasuk dalam radius akan menerima dampak asap yang mengandung Karbondioksida. Jarak tempuh asap sebanding dengan lama terjadi kebakaran. Dengan kata lain, semakin lama kebakaran terjadi akan semakin jauh pula jarak tempuh dampak asap. Potensi migrasi lindi di TPA akan sangat besar mencemari sumber air rumah penduduk, dan areal persawahan. Kebocoran lindi di TPA diidentifikasi berasal dari rembesan tumpukan sampah di zona dan dari fasilitas pengolahan air lindi.
Analisis Resiko, Cakupan, dan Koordinasi Tata cara sistem tanggap darurat akan berawal dari analisis resiko pada fasilitas pengelolaan sampah yang sedang terjadi insiden. Akan ada serangkaian kegiatan identifikasi yang nantinya akan menjadi bahan pertimbangan para ahli yang berkompeten dalam hal pengelolaan sampah untuk memutuskan status darurat.
Identifikasi itu meliputi; identifikasi sumber insiden, identifikasi insiden, bahaya, dampak, jalur penyebaran dampak, besaran konsekuensi dampak, probabilitas, signifikansi, durasi dampak, dan identifikasi status darurat. Hasil identifikasi menghasilkan pembedaan status darurat menjadi: 1. Darurat Fasilitas Adalah jika insiden yang terjadi masih dalam ruang lingkup fasilitas atau instalasi atau prasarana pengelolaan sampah, seperti TPS 3R, SPA, maupun TPA. Darurat fasilitas juga mencakup insiden yang terjadi terhadap prasarana yang bersifat mobile (bergerak), misalnya truk, saat berada di wilayah kerjanya. 2. Darurat Kawasan Adalah jika insiden menimbulkan dampak yang dirasakan dalam ruang lingkup yang lebih luas, dan durasi (jangka waktu) yang lebih lama, sehingga penanganannya pun membutuhkan koordinasi antara kawasan yang terkena dampak, dan alokasi perlengkapan yang lebih lengkap. 3. Darurat Kota Adalah jika dampak insiden yang terjadi sangat luas dan berlangsung lama, sehingga membutuhkan penanganan langsung dari pimpinan Kota/Kabupaten. 4. Darurat Provinsi Adalah jika dampak insiden yang terjadi melibatkan lebih dari satu kota/ kabupaten dalam satu provinsi sehingga memerlukan penanganan di tingkat provinsi. 5. Darurat Nasional Adalah jika insiden menimbulkan dampak bagi lintas provinsi sehingga penanganannya memerlukan koordinasi di tingkat nasional.
Untuk itu masing-masing tingkatan manajemen tersebut sudah harus mempersiapkan dokumen SOP untuk tanggap darurat. Gambar 3 adalah manajemen penanganan bertingkat sesuai dengan status darurat kejadian. Pada Gambar 3 tersebut menunjukkan bahwa, kondisi darurat teridentikasi ketika luasan dampak kejadian sudah berada di tingkat kota,
Luas Dampak: Lokal
Ya
Tidak
lintas kota, dan provinsi. Panduan sistem tanggap darurat pada level tersebut juga yang selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Menteri Tata Cara Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Sampah.
SOP Lokal
Terselesaikan
Ya
End
Tidak Luas Dampak: Kawasan
Ya
SOP DKK Ya Terselesaikan
Tidak
End
Tidak Luas Dampak: Kota
Ya
SOP Kota
Tidak Luas Dampak: Lintas Kota
Ya
SOP Provinsi Gambar 3. Manajemen penanganan bertingkat sesuai dengan luasan dampak kejadian.
Tidak Luas Dampak: Lintas Provinsi Kota
Ya
SOP Pusat
5
Jenis Fasilitas Pengelolaan Sampah Pada sistem pengelolaan sampah di Indonesia, dikenal beberapa bentuk fasilitas atau sarana persampahan yang dapat dipergunakan dalam kegiatan penanganan sampah. Fasilitas-fasilitas itu adalah Tempat Penampungan Sementara (TPS), Tempat Pengelolaan Sampah dengan Prinsip 3R (TPS 3R), Stasiun Peralihan Sementara (SPA), Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Selain itu ada juga yang disebut dengan Material Recovery Facility (MRF) dan Intermediate Treatment Facility (ITF).
Kondisi Sebagian Besar TPA di Indonesia Penanganan sampah di TPA masih mengalami minimnya penataan lahan, ketersediaan peralatan berat, biaya Operasional dan Perawatan (OP), dan keterbatasan SDM. Dalam praktik pengelolaan di TPA yang sering kali ditemukan di Indonesia, sampah tidak dipadatkan secara teratur, lapisan sampah tidak bahkan jarang ditutup secara rutin dengan alasan kesulitan tanah penutup dan mahal, selain itu petunjuk operasional TPA juga tidak dilaksanakan. Selain itu, banyak TPA yang baru dibangun dan direhabilitasi namun karena tidak dikelola dengan semestinya, fasilitas yang sudah terbangun tersebut rusak kembali. Sementara pada operasional pengendalian air lindi yang umumnya menggunakan sistem kolam stabilisasi, sering kali saluran drainase sudah tidak terlihat lagi karena tertutup oleh sampah sehingga leachate tergenang di sekitar TPA. Kualitas effluent air lindi juga belum memenuhi persyaratan.
Dasar Kebijakan Pengelolaan TPA di Indonesia Dasar kebijakan pengelolaan TPA yang utama adalah Undangundang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Khusus mengenai TPA, undang-undang mengedepankan aspek pengurangan sampah pada pengelolaan sampah di Indonesia, menutup TPA opendumping pada tahun 2014, dan memonitoring kualitas lingkungan pasca penutupan TPA sampai 20 tahun. Selain undang-undang, beberapa peraturan lain seperti PP No
6
16 Tahun 2005 tentang Pengembangkan Sistem Penyediaan Air Minum menyebutkan TPA harus menggunakan metode lahan urug terkendali untuk kota sedang dan kecil; dan menggunakan metode lahan urug saniter untuk kota besar dan metropolitan. Permen PU No. 21/PRT/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan menitikberatkan pada peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan. Terakhir adalah dengan keluarnya peraturan yakni PP No 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang menyebutkan TPA merupakan tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan. Istilah TPA bukan lagi sebagai Tempat Pembuangan Akhir, tapi Tempat Pemrosesan Akhir. Dengan demikian, istilah ‘pembuangan’ tidak ditemukan lagi dari pers pektif pengelolaan sampah yang baru.
Metode Pemrosesan Sampah di TPA 1. Open dumping (pembuangan terbuka) Pada metode ini, sampah dibuang dan dihamparkan di areal terbuka tanpa pengaman dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut penuh. 2. Control landfill (lahan urug terkontrol) Metode ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbum ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan lahan. 3. Sanitary Landfill (lahan urug saniter) Menurut definisi ilmiah sederhana, Sanitary Landfill adalah metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapis per-lapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup dengan tanah penutup setiap hari. n
Sumber foto:korannosstop.co
Pendapat Ahli
Mengapa Sistem Tanggap Darurat pada Sistem Pengelolaan Sampah di Indonesia Perlu Diatur? Mohammad Helmy
Djoko Heru Martono
Tenaga ahli nasional pada JICA 3R Project
Tenaga ahli nasional pada JICA 3R Project
W
K
aktu menyusun Undang-undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, ada 2 peristiwa besar yang terjadi yakni, tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 dan kejadian longsor TPA Leuwigajah di Bandung pada 21 Februari 2005. Dua peristwa yang sangat berdekatan itu memberikan pembelajaran yang penting dalam rangka pengelolaan sampah. Ternyata banyak yang belum diatur, ternyata kita memerlukan tata cara/unsur manajemen baik orang dan peralatan untuk kondisi tanggap darurat. Ini dua hal yang sangat signifikan. Informasi mengenai sampah juga sangat minim pada saat itu. Naskah akademis saat itu sedang dipersiapkan, tapi dipercepat karena beberapa kejadian yang beruntun, gempa di Sumatera pada Maret 2005 dan Yogja pada Mei 2006. KLH pun tidak memiliki panduan teknis. Bantuan yang diberikan biasanya insidental dan bersifat charity atau sosial. Bukan berdasarkan kajian akademis yang berlandaskan ilmu. Sebenarnya, di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengenal istilah emergency response tapi
arena dalam sistem pengelolaan sampah, terutama pada sistem pengolahan terpusat maupun sistem pemrosesan akhir, mempunyai potensi gagal operasi. Terlebih untuk kotakota di Indonesia dimana sistem pengelolaan sampahnya belum establish seperti di negera maju, sangat rawan terjadinya kegagalan sistem. Contoh yang paling memberikan trauma kepada masyarakat kita adalah kejadian longsor di TPA Leuwigajah berdampak pada kondisi Kota bandung, baik itu kesehatan maupun masalah lingkungan. Hampir kota-kota besar di Indonesia hanya memiliki 1 TPA yang rata-rata umurnya melebihi 10 tahun dan tahun-tahun ini merupakan tahun kritis kota-kota tersebut karena TPA-TPA mereka sudah melebihi kapasitas. Di lain pihak, kota-kota tersebut belum berhasil mencari alternatif pengganti lahan sehingga potensi terjadinya darurat sampah sangat besar. n
ruang lingkupnya untuk industri. Ini lebih mudah ditangani dan diawasi karena industri bersifat institusi dan terorganisir. Tapi di luar itu, ketika bencana terjadi, tidak ada yang mengkomandani, tidak ada SOP (Standar Operasional dan Prosedur) yang telah dipersiapkan sebelumnya.n
7
Mengenai Penulis:
Rafianti
adalah staf teknis di Japan International Cooperation Agency (JICA) 3R Project, bertanggung jawab membangun kemitraan dan dukungan teknis pada penyusunan peraturanperaturan terkait pengelolaan sampah baik di tingkat nasional dan daerah sesuai dengan mandat UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sejak tahun 2005 bekerja di bidang pengelolaan sampah di Indonesia. Diantaranya pernah bekerja sebagai konsultan individu di UNIDO dan IGES, di Sustainable Waste Indonesia (SWI) sebuah perusahaan konsultan nasional, dan sebagai Research Associate di Indonesia Solid Waste Association (InSWA). n Jakarta Project Office Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gedung A, Lt. 6 Jl. D.I. Pandjaitan Kav. 24. Kebon Nanas – Jakarta Timur 13410 Telp/fax. +62-(0)21-85911208 Email.
[email protected]
Sumber foto: Rafianti
Ikhtisar Kebijakan Program 3R Inisiatif Indonesia
BASWARA ini disiapkan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) 3R Project yang merupakan bagian dari kegiatan projek. Kegiatan bertujuan untuk mendukung program 3R di Indonesia sebagaimana mestinya sesuai dengan UU No. 18 tentang Pengelolaan Sampah. Opini dan ekspresi yang tertulis dalam artikel dalam media informasi ini tidak mencerminkan pandangan Japan International Cooperation Agency (JICA) maupun Pemerintah Jepang. Website: jica3rri.org
n Palembang Project Office Kantor Dinas Kebersihan Kota Palembang (DKK) Jl. Sukarela No. 129A KM7, Kota Palembang 30152 Telp/fax. +62-(0)711-415130 Email:
[email protected]
n Balikpapan Project Office Kantor Lingkungan Hidup Kota Balikpapan Jl. Ruhui Rahayu 1, Kota Balikpapan 76114 Telp/fax. +62-(0)542-4233332 Email.
[email protected]