Sistem Pengelolaan Pemerintahan Daerah dalam Era Reformasi Said Zainal Abidin *)
I.
Pendahuluan
Diantara beberapa langkah penting yang berhasil diletakkan pemerintah Habibie adalah diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5/74 dan UU No. 5/79. Tuntutan perobahan terhadap kedua UU itu sudah lama timbul, sejalan dengan meningkatnya tuntutan kearah otonomi daerah yang lebih luas. Uniknya, berbeda dengan tuntutan otonomi pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an yang timbul dari daerah-daerah, tuntutan kearah otonomi yang lebih luas itu datang dari pemerintah pusat. Kalau dahulu pemerintah pusat keberatan memberikan otonomi sehingga berakibat pada pemberontakan daerah-daerah, sekali ini justeru inisiatif kearah otonomi datang dari pemerintah pusat dan beberapa daerah bahkan merasa berat untuk menerima otonomi tersebut. Namun demikian, disamping keinginan untuk melimpahkan otonomi tersebut, pemerintah pusat juga masih menyimpan banyak kekhawatiran terhadap daerah, sehingga kebijakan untuk merealisasikannya masih sering menemui hambatan. Pertama, khawatir terhadap kemampuan daerah untuk mengelola pemerintahan secara otonom. Ini berhubungan dengan kecilnya komposisi PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam APBD semua daerah (kecuali DKI Jakarta) selama masa Orde Baru. Memang kekhawatiran itu sebenarnya tidak beralasan, karena PAD pada waktu itu tidak mencerminkan kemampuan yang sesungguhnya dari daerah. Kecilnya komposisi tersebut sebagai akibat dari formula pembagian hasil penerimaan dari daerah diatur sedemikian rupa, sehingga bagian yang menjadi hak daerah menjadi kecil. Keadaan mana merupakan salah satu refleksi dari ketentuan perundang-undangan masa lampau yang dibuat atas pertimbangan kepentingan pusat (sentralistis). Kedua, khawatir terhadap kesetiaan daerah. Pemerintah pusat menyimpan kekhawatiran kalau-kalau daerah masih mempunyai keinginan untuk melepaskan diri. Sebab itu ada kecenderungan untuk membatasi kesempatan dan kekuatan untuk melepaskan diri. Seperti sudah disinggung terdahulu, kekahwatiran ini bersumber dari trauma masa lampau, ketika terjadi pemberontakan daerah-daerah pada akhir tahun 50-an. Pemberontakan mana telah membawa dampak yang cukup besar pada kehidupan bernegara. Selain dari ancaman perpecahan yang hampir menhancurkan negara, pemberontakan itu juga menenggelamkan sejumlah tokoh-tokoh nasional, dan memunculkan dua kekuatan besar yang saling berhadap-hadapan, yaitu PKI dan ABRI pada bagian awal tahun 60-an. Perbenturan diantara kedua kekuatan tersebut terjadi pada tahun 1965, ketika PKI melakukan kudeta yang gagal itu, yang kemudian melahirkan Orde Baru. Suasana batin dari tuntutan kearah otonomi sebagai pengejawantahan dari prinsip demokrasi terlihat dalam rumusan pasal-pasal UU No. 22 tahun 1999 dan PP
*)
Dr. Said Zainal Abidin adalah Staf Ahli Menteri Negara Pembinaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Bidang Kebijakan Publik – red.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
1
No. 25 tahun 2000. Refleksi dari tuntutan masyarakat kearah demokrasi dan desentralissasi dalam era reformasi antara lain nampak dalam konsideran yang berikut: 1. Bahwa UU No.5/74 sudah " …tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah dan perkembangan keadaan". Dengan kata lain bahwa sistem penyelenggaraan otonomi daerah yang diatur dalam UU No.5/74 itu sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan perkembangan keadaan kearah demokrasi. 2. Bahwa ketentuan tentang pemerintahan desa yang diatur dalam UU No.5/1979, "…yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai dengan jiwa UUD1945 dan perlunya mengakui dan menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa". Kedua butir konsideran tersebut memperlihatkan bahwa UU No. 22/1999 dibuat sekaligus sebagai pengganti kedua UU terdahulu itu, dan untuk merealisasikan jiwa dari UUD '45 yang mengakui dan menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Sebab itu maka dalam pasal 122 UU tersebut secara gamblang disebutkan alasan penetapan status dan bentuk keistimewaan dari D.I. Jogyakarta dan D.I. Aceh. Kalau dalam UU No. 5/1974 ada sebutan istimewa, namun hal itu hanya sekedar sebagai "sebutan". Tidak lebih dari itu. Ini bisa dipahami sebagai akibat dari nuansa sentralistis yang cenderung mengabaikan harkat dan martabat daerah pada waktu itu.
II.
Azas-azas Pemerintahan Daerah
Azas-azas yang dipakai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap mengacu pada tiga azas umum yang sama seperti yang ada pada UU No. 5 tahun 1974, yaitu: asas pembantuan, asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi. Namun karena pengertian dan prinsip otonomi daerah yang dijadikan landasan dalam UU No. 22/99 berbeda dengan apa yang dimaksudkan dalam UU No. 5/74, azas-azas tersebut mengandung implikasi yang berbeda. Hal ini terlihat misalnya dalam rumusan tentang desentralisasi. Dalam UU No. 5/74 yang dimaksudkan dengan desentralisasi adalah penyerahan "urusan" pemerintahan, sedangkan dalam UU No. 22/99 dikatakan sebagai penyerahan "wewenang" pemerintahan. Ini adalah dua hal yang berbeda. Dalam hal yang pertama, tugas daerah adalah melaksanakan "urusan" yang diserahkan, sementara "wewenang"nya tetap ada pada pemerintah pusat. Sebab itu asas desentralisasi disini tidak berbeda dengan asas dekonsentrasi. Sekalipun dalam rumusannya diembel-embeli dengan "menjadi urusan rumah tangganya" Uniknya dalam rumusan tentang dekonsentrasi, terdapat pengertian yang sama. Keduanya menyebutkan sebagai pelimpahan "wewenang". Mengapa pengertian dekonsentrasi dalam UU No. 5/74 mencantumkan istilah wewenang padahal istilah tersebut mengandung muatan yang lebih demokratis dibandingkan dengan istilah urusan? Dalam hal ini maksud dari pelimpahan wewenang tersebut dapat dibaca pada posisi dari organisasi yang dilimpahkan wewenang itu, yakni kepada instansi vertical yang ada di daerah. Berarti bahwa wewenang itu hanyalah untuk melaksanakan tugas, bukan wewenang untuk mengatur. Ini menunjukkan bahwa kedudukan pusat dalam hal dekonsentrasi, secara hirarkis berada diatas daerah. Dengan demikian pelimpahan wewenang itu berbeda halnya dengan wewenang seperti yang ada pada otonomi daerah dalam UU No.22/99, dimana otonomi itu bukan karena dilimpahkan tetapi karena
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
2
memang milik daerah. Ini berarti bahwa otonomi daerah yang disebutkan dalam UU No.22/99 itu tidak dapat dicabut oleh pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi yang diatur dalam UU No. 5/74. Perbedaan pengertian tentang otonomi daerah dalam kedua UU tersebut terletak pada prinsip otonomi yang dipakai. Dalam UU No. 5/74 dipakai prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebab itu dalam Penjelasan Umum UU tersebut secara tegas-tegas dinyatakan bahwa "urusan yang diserahkan kepada daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi tetapi tanggung jawab terakhir terhadap urusan-urusan tersebut tetap berada di tangan pemerintah (Pusat). Oleh karena itu maka urusan-urusan yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah itu apabila diperlukan dapat ditarik kembali menjadi urusan pemerintah (Pusat)". Pada bagian lain dari Penjelasa Umum juga disebutkan, bahwa "Sebagai konsekwensi dari prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, UU ini membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah Otonom". Adapun dalam UU No. 22/1999 dikatakan bahwa "pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab." Pengertian "luas" disini diartikan sebagai "…keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain." Selanjutnya dalam penjelasan tentang otonomi yang bertanggung jawab itu dijelaskan sebagai "konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah". Sedangkan dalam hal tugas pembantuan, kedua UU memberikan tekanan pada posisi pemerintah pusat yang secara hirarkis berada diatas pemerintah daerah. Sebab itu terdapat istilah "penugasan" dan "pertanggungjawaban". Ini penting dilihat dari konsekwensi yang dapat timbul dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Bagaimanapun, pemerintah pusat tetap mempunyai kedudukan yang secara hirarkis lebih tinggi dari pemerintah daerah. Sedangkan kedudukan daerah provinsi, kabupaten dan daerah kota dalam pasal 4 ayat 2 UU No. 22/1999 disebutkan "masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkis satu sama lain". Ini suatu konsekwensi dari otonomi daerah di tingkat II. Bisa jadi keadaan ini mengandung berbagai akibat dikemudian hari, yang sekarang menjadi pertimbangan untuk melakukan tinjauan terhadap UU tersebut. Aspek lain yang secara langsung berhubungan dengan ketiga azas tersebut, antara lain adalah tentang pengertian otonomi daerah. Dalam UU No.5/74 dikatakan bahwa otonomi daerah adalah "wewenang dan 'kewajiban' daerah untuk 'mengatur' rumah tangga sendiri 'dengan' peraturan perundang-undangan yang berlaku". Sementara dalam UU No.22/99 disebutkan sebagai "wewenang untuk mengatur dan mengurus 'kepentingan masyarakat setempat' menurut 'prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat' 'sesuai' dengan perundang-undangan". Ini jelas mencerminkan nuansa yang berbeda dari aplikasi azas-azas tersebut diatas. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
3
Definisi-definisi tersebut mengandung pengertian bahwa otonomi yang dimaksudkan oleh UU No.5/74 itu tidak lain dari suatu delegasi (delegation). Yakni kewajiban untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh yang mendelegasikan, untuk kemudian harus mempertanggungjawabkan kepadanya. Jadi secara teoritis, otonomi tersebut belum sampai pada taraf devolution. Sedangkan pada UU No. 22/1999, daerah telah memperoleh kewenangan penuh untuk menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pertanggungjawabannya juga dengan demikian kepada masyarakat setempat. Sebab itu dapat dipahami, mengapa UU No.5/1974 berjudul tentang Pemerintahan di Daerah, sedangkan UU No. 22 tahun 1999 berjudul tentang Pemerintahan Daerah, tanpa ada istilah "di". UU No. 5/74 mengatur pemerintahan pusat yang ada di daerah, sedangkan No. 22/74 mengatur pemerintahan daerah. Dua sisi yang berbeda.
III.
Wujud Pemerintahan Daerah
Wujud pemerintahan daerah dalam era reformasi seperti yang tercantum dalam UU No. 22/1999 adalah otonomi. Seperti sudah disebutkan diatas, wujud pemerintahan yang demikian adalah kewenangan dan tanggung jawab penyelenggraan pemerintahan ada pada daerah. Sebab itu, ada dua tantangan yang segera timbul, yang perlu dijawab oleh daerah-daerah: Pertama, bagaimana bentuk organisasi pemerintahan yang otonom, kedua bagaimana mendapatkan dana untuk membiayai pemerintahan tersebut ? Hakekat dari bentuk pemerintahan daerah otonom, seharusnya tergantung pada masingmasing daerah. Artinya, sekalipun dalam UU No.22/1999 tidak disebutkan adanya keragaman bentuk dari perangkat pemerintahan, namun daerah-daerah sebenarnya mempunyai kewenangan untuk membuat variasi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Dalam pasal 65 UU No. 22/99 hanya disebutkan "Di daerah dapat dibentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan daerah." Sekalipun dalam pasal ini dibatasi pada "lembaga teknis", namun karena wujud pemerintahan daerah adalah spatial sifatnya, yakni tergantung pada "ruang dan waktu", maka pengertian dari lembaga teknis disini dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan daerah, tetapi dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada. Dengan demikian maka bentuk dan jenis organisasi pemerintah daerah perlu diaktualisasikan. Di daerah-daerah yang tidak ada hutan, tidak perlu diadakan dinas kehutanan, di daerah-daerah yang tidak ada pertambangan tentu saja tidak perlu dinas pertambangan dan sebagainya. Besarnya organisasi yang ada juga perlu disesuaikan dengan jenis dan banyak urusan yang diperlukan. Disamping itu daerah perlu mengindahkan prinsip-prinsip tertentu dalam penataan organisasi, antara lain prinsip kesederhanaan (simplicity), mudah dan murah (efficiency), kesamaan fungsi (semilarity) dan koordinasi (coordination). Hal ini dikemukakan karena ada daerah-daerah yang untuk kesederhanaan misalnya, menggabungkan Dinas Pendapatan Daerah dengan Dinas Kebersihan, atau Dinas Pemadam Kebakaran dengan PDAM dan sebagainya. Alasan yang dipakai mungkin karena pada Dinas Kebersihan juga ada pendapatan daerah berupa retribusi kebersihan. Alasan ini tentu saja bertentangan dengan tugas pokok pemerintah adalah memberi pelayanan kepada masyarakat. Termasuk pengadaan kebersihan, keamanan dan lainlain. Prinsip yang dipakai dalam retribusi berbeda sekali dengan prinsip pemungutan pajak atau penerimaan dari penjualan jasa pemerintah lainnya. Tantangan kedua untuk merealisasikan otonomi daerah adalah biaya. Baik untuk keperluan rutin maupun untuk pembangunan. Dengan diserahkannya semua urusan C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
4
pemerintahan menjadi urusan daerah, maka daerah harus mampu menyediakan dana yang lebih besar dari yang selama ini mampu disediakan. Memang benar bahwa penyerahan urusan dimaksud disertai dengan penyerahan P3D, yaitu personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi, tetapi jumlah biaya yang diperlukan dalam kondisi otonomi itu akan menjadi lebih besar dari jumlah yang selama ini ada. Penanganan dari masing-masing urusan dengan tanggung jawab ditangan daerah menimbulkan tambahan biaya baru bagi daerah. Sebab itu diperlukan adanya inisiatif dan kreatifitas dari daerah untuk mencari sumber-sumber penerimaan baru. Di samping itu, karena banyak daerahdaerah yang potensi sumber alamnya kurang dan potensi ekonomi yang baru belum berkembang, ada tanggung jawab bagi pemerintah pusat untuk membantu pembiayaannya. Dari penelitian yang dilakukan Sri Mulyono menunjukkan bahwa dilihat dari segi potensi ekonomi yang ada berdasarkan kedua UU No. 22/1999 dan UU No. 25/ 1999, dari 350 daerah kabupaten dan kota yang ada di 26 propinsi, hanya 20 % atau 40 buah kabupaten dan kota saja yang siap menghadapi penerapan otonomi daerah. Di samping itu seperti yang dikemukakan oleh Hariri Hady bahwa otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan atas dasar haknya daerah, bukan karena kemampuan ekonomi yang dipunyainya. Sebab itu, ketidakmampuan daerah dalam membiayai dirinya tidak dapat menjadi alasan bagi pemerintah pusat untuk mencabut otonomi dari daerah tersebut. Sedangkan kemampuan yang dimaksud lebih terkait dengan kemampuan politik dan sosial ekonomi. Sementara dari segi ekonomi, harus dibantu oleh pemerintah pusat. Bagi Hariri Hady, otonomi bukan saja dari segi penerimaan, tapi juga dari segi pengeluaran. Jadi meskipun sebuah daerah sudah mendapat hak otonomi, dia tetap dapat memperoleh grant dari pemerintah pusat. Dari data yang ada (Tabel 1) dapat ditunjukkan, bahwa lebih dari 50% dari bagian penerimaan pemerintah lokal dinegara-negara Belgia, Denmark, Irlandia dan Inggeris berasal dari grant yang diberikan pemerintah pusatnya (Lihat, Otonomi (daerah) Bukan Otomoney, Perlu Reformasi, Harian Ekonomi Neraca, Rabu, 24 Meri 2000). Berdasarkan pertimbangan atas kemampuan daerah, pada waktu yang lalu pernah ada percobaan untuk menetapkan sebuah daerah percontohan otonomi untuk tiap propinsi. Tetapi pemilihan itu sendiri kemudian dipandang terlalu proforma, karena daerah-daerah yang dipilih terasa dipaksakan, satu untuk tiap propinsi, sekalipun dalam propinsi yang maju terdapat lebih dari satu daerah tingkat II yang layak menjadi daerah otonom dan dalam propinsi yang masih tertinggal (seperti Timor Timur, waktu itu), mungkin tidak ada satu daerahpun yang layak. Di samping itu, sejalan dengan perkembangan demokrasi yang menuntut adanya keadilan perlakuan antar daerah, dan dengan pertimbangan bahwa banyak daerah yang menjadi tertinggal bukan karena kelemahan daerah itu sendiri, tetapi karena sistem pemerintahan masa lampau yang sering merugikan daerah-daerrah tertentu (ingat, daerah–daerah yang kaya sumber daya alam menjadi daerah tertinggal), maka dalam era reformasi ini, pemberian hak otonomi harus diberikan secara merata kepada semua daerah. Untuk kemudian dinilai kemampuannya. Bukan untuk membubarkan, tetapi untuk memberdayakannya. Bila nanti ternyata tidak juga bisa berkembang, barulah dapat diterapkan ketentuan yang ada dalam pasal 6 UU No. 22/1999, yakni menghapus atau menggabungkan dengan daerah lain. Tugas pemerintah pusat dalam hal ini adalah memberdayakan daerah untuk mampu mengemban wewenang otonomi.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
5
Tabel 1 Sumber Penerimaan Pemerintah Lokal di Negara-negara Eropa Barat (%) Negara
Pajak Hibah (taxes) (grants)
Bunga Pungutan Lain-lain (interest) (charges)
Austria (1977) 50,0 12,8 4,0 15,1 18,1 Belgia (1978) 29,3 58,1 9,7 2,8 0,1 Denmark (1978) 32,8 52,6 1,9 -12,7 Perancis (1976) 41,1 43,4 1,5 14,0 Irlandia (1978) 21,0 59,0 20,0 Italia (1978) 10,1 31,3 3,7 46,3 8,6 L'semburg (1976) 47,2 51,3 1,5 Belanda (1978) 5,7 79,2 9,3 5,0 0,8 Norwegia (1972) 54,0 14,9 1,0 26,7 3,4 Portugal (1976) 48,9 51,1 Swedia (1979) 42,4 26,4 1,4 16,8 13,0 Swiss (1972) 58,0 17,9 7,0 16,5 0,6 Jerman Barat (1976) 34,0 29,3 2,9 24,6 9,2 Inggeris (1978) 28,0 57,0 1,3 13,6 -3 ______________________________________________________________ Sumber: Council of Europe (1981) dalam Harian Ekonomi Neraca, 24/5/2000
IV.
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi
Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi memberi uraian secara luas kewenangan dari masing-masing tingkat pemerintahan tersebut. Uraian kewenangan tersebut diasarkan pada "kewenangan lain" seperti yang disebutkan dalam ayat 2 pasal 7 UU No. 22 tahun 1999. Uraiannya dirasakan terlalu luas, sehingga kewenangan pemerintah pusat meluas dari 9 butir yang disinggung dalam ayat 2 pasal 7 tersebut menjadi 212 butir, dan kewenangan propinsi meluas dari 2 kewenangan menjadi 10 dan dielaborasi menjadi 112 butir kewenangan. Akibatnya bisa dipahami kalau kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota menjadi tidak jelas. Dengan demikian kenyataan yang terjadi seperti yang disebutkan dalam uraian dari PP No.25/2000 ini adalah bahwa seluruh kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan pusat dan propinsi, kecuali beberapa kewenangan yang tersisa yang harus dicari dan diidentifikasi sendiri menjadi kewenangan daerah. PP No. 25/2000 cenderung terlalu meluas sehingga berbeda dengan prinsip yang terkandung ada dalam UU No.22 tahun 1999, dimana kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan pemerintahan, kecuali lima kewenangan yang ditentukan dan kewenangan lain. Padahal PP tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 22/1999.
V.
Revisi
Dalam pada itu bersamaan dengan adanya pergantian pemerintahan dari Presiden Habibie kepada Presiden Abdurrahman Wahid, dan baru beberapa bulan setelah kedua UU itu dilaksanakan, timbul keinginan dari kalangan pemerintah pusat
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
6
untuk melakukan revisi terhadap UU No.22/1999. Sebenarnya keinginan untuk merivisi hal-hal yang dirasakan kurang tepat adalah sangat baik. Namun jika sosialisasi tentang keperluan yang perlu direvisi itu tidak dilakukan dengan baik, tindakan ini dapat menimbulkan kecurigaan daerah terhadap ketulusan pemerintah pusat melimpahkan wewenang otonomi itu kepada daerah. Kecurgaan tersebut harus dihindarkan, karena ini dapat menjadi ganjalan dalam penataan pemerintahan daerah dimasa depan. Dipihak lain, mudahnya pemerintah pusat melakukan revisi UU yang terjadi bersamaan dengan pergantian pemerintah, dapat menimbulkan keraguan dan ketidak pastian pada banyak pihak yang terkait dalam urusan pemerintahan dan pembangunan daerah. Disamping itu, inisiatif daerah yang semula mungkin sudah mulai ada untuk mencari terobosan karena ada kebutuhan, tapi dibatasi oleh ketentuan yang ada dalam suatu peraturan perundangundangan menjadi mati. Selanjutnya mereka akan menunggu sampai ada pergantian pemerintah baru, sebab “nanti ‘toh akan ada perubahan baru yang mungkin dapat menghilangkan batasan dari aturan yang lama”. Singkatnya, perubahan kebijakan bersamaan dengan pergantian pemerintah, sama sekali tidak mendidik rakyat untuk mengembangkan kreatifitas dalam batasan aturan yang ada. Beberapa aspek yang sekarang menjadi issue untuk direvisi, antara lain adalah: (1) letak otonomi; (2) asal usul otonomi; (3) wewenang daerah atas wilayah laut ; (4) pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD; (5) kedudukan propinsi dan kabupaten/kota; (6) pembagian sumber daya alam; dan (7) wewenang daerah atas PNS. Letak otonomi daerah di tingkat II memang telah menjadi persoalan sejak awal pembahasan Rancangan UU No.22/99 tersebut. Dari pihak yang menyetujui berpendapat, bahwa letak otonomi di daerah tingkat II dapat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Pelayanan yang lebih dekat tidak hanya menjadi lebih efisien, tetapi juga menjadi lebih efektif, karena dapat mengetahui apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Disamping itu, rakyat dapat langsung mengawasi proses pelayanan itu dari dekat. Sementara dari pihak yang tidak menyetujui menunjukkan adanya beberapa kelemahan. Pertama, penduduk daerah tingkat II secara umum lebih homogen dibandingkan dengan penduduk yang ada di ibu kota propinsi. Sebab itu di daerah tingkat II masih terasa adanya perasaan kedaerahan yang sempit, sehingga cenderung sulit menerima tenaga dari luar daerah dibandingkan dengan sikap mereka yang ada pada tingkat propinsi. Akibatnya, terdapat kesulitan untuk melengkapi tenaga-tenaga yang diperlukan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Sementara di tingkat propinsi, pola pikir pejabat pada umumnya tidak jauh berbeda dengan pejabat pusat. Rasa nasionalisme sudah berkembang. Mereka sudah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan pejabat pada tingkat II. Kedua, secara ekonomis, wilayah tingkat II terlalu sempit untuk kegiatan investasi berskala besar, kecuali jika dapat dilakukan penggabungan dan perpaduan dengan daerah-daerah tingkat II sekitar. Padahal jika otonomi ada di tingkat propinsi, hal yang demikian dapat ditangani secara langsung. Dari segi asal usul otonomi, model otonomi yang dikemukakan oleh UU No.22/1999 dianggap orang terbalik dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Dalam UU tersebut, otonomi seolah-olah berasal dari daerah, bukan dari pusat. Sehingga yang dibatasi bukan kewenangan daerah, tetapi adalah kewenangan pusat (lihat pasal 7 ayat 1 UU No. 22/1999). Pendapat ini berdasarkan pada pertimbangan, bahwa Negara Indonesia berbentuk kesatuan. Atas dasar pendapat ini timbul anggapan bahwa sistem pemerintahan yang cocok untuk negara kesatuan adalah seragam dan sentralistis. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
7
Padahal apa yang tercantum dalam UUD ’45 dan yang berlangsung di Indonesia sejak permulaan kemerdekaan, sistem pemerintahan di Indonesia telah menunjukkan adanya kecenderungan kearah “bentuk sendiri” yang berbeda dengan bentuk negara kesatuan dan berbeda pula dengan bentuk federasi. Ini dapat dilihat pada pengakuan terhadap bentuk-bentuk pemerintahan asli dalam UUD, dan adanya pengakuan terhadap wilayah kerajaan Yogyakarta, keistimewaan D.I. Aceh pada tahun 1956 dan kekhususan DKI Jakarta, sejak sebelum adanya UU No.5/1974. Kecenderungan perkembangan untuk mencari bentuk sendiri ini timbul sebagai akibat dari kenyataan adanya wilayah yang amat luas dan kondisi masyarakat yang majemuk, baik dari dari segi etnis, budaya, maupun tingkat hidup. Karena itu maka bentuk yang sesungguhnya cocok untuk Indonesia bukanlah negara kesatuan. Akan tetapi keperluan yang timbul pada awal kemerdekaan membutuhkan adanya strategi untuk menyusun pemerintahan yang berbentuk kesatuan. Pertama, karena kondisi daerah pada waktu itu masih sangat lemah. Kedua, adanya tantangan yang terlalu besar dalam Era Revolusi Fisik, yang memerlukan pemusatan kekuasaaan dalam satu komando. Kondisi yang demikian sebenarnya dapat disamakan dengan situasi negara dalam keadaan darurat. Sayangnya sesudah kedaulatan kita peroleh, situasi negara juga tidak pernah cukup aman untuk dapat melakukan tinjauan ulang terhadap berbagai hal yang dipesankan oleh pasal Peralihan dari UUD ’45. Tidak adanya waktu untuk melakukan tinjauan ulang terhadap sistem pemerintahan dan tetap diperlakukan sistem yang sentralistis, telah menimbulkan ketidak puasan daerah-daerah yang berakhir dengan berbagai peristiwa daerah yang sangat merugikan segala pihak itu. Peristiwa daerah itu sebenarnya menunjukkan adanya sesuatu yang tidak serasi dalam tatanan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Ini terbukti karena diantara yang melakukan pemberontakan tersebut justeru terdapat orang-orang yang semula secara “konsekuen” menamakan dirinya “kaum republiken”, seperti Tgk. M. Daud Beureueh di Aceh dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lain dari berbagai daerah. Dalam Era Orde Baru, sesungguhnya ada waktu yang cukup baik untuk meninjau ulang yang dipesankan pasal peralihan dari UUD ’45 itu, akan tetapi karena sistem pemerintahan yang sentralistis itu justru dirasakan lebih menguntungkan pihakpihak yang berkuasa, maka pemikiran untuk melakukan evaluasi itu malahan dianggap sebagai pikiran yang “murtad” atau “makar”, yang harus dibasmi. Dalam era tersebut, penataan pemerintahan daerah dilakukan dengan menggunakan pendekatan keamanan (security approach). Yang diperhitungkan bukan bagaimana mengembangkan kemampuan daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri dan bagaimana memberdayakan rakyat daerah untuk mampu mengawasi pemerintahan, tetapi bagaimana menekan “ancaman disintegrasi” dari daerah-daerah, karena daerah dianggap selalu mempunyai niat untuk melepaskan diri dari pusat. Atas dasar pertimbangan tersebut, tuntutan otonomi dipandang sebagai tuntutan “merdeka” yang harus diperangi. Karena itu, daerah tidak boleh mempunyai kekuatan besar yang dapat mengancam kekuatan pemerintah pusat. Konsekwensi dari itu, otonomi hanya dapat dibenarkan pada tingkat II saja. Dengan pertimbangan, jika timbul upaya untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat, dengan mudah dapat dipadamkan. Wewenang daerah atas wilayah laut yang ditentukan sejauh 12 mil untuk propinsi, dan wilayah daerah kabupaten dan kota sepertiga dari batas laut daerah propinsi (pasal 3 dan pasal 10 ayat 3), merupakan topik yang sering dibicarakan dewasa ini. Ketentuan ini dipandang dapat menimbulkan kesulitan, bahkan bisa berkembang menjadi konflik diantara para nelayan yang berlayar tanpa menyadari telah melewati C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
8
wilayah laut daerah lain. Disamping itu, batas laut yang “dikotak” selebar wilayah kabupaten/kota juga dirasakan terlalu sempit untuk kegiatan perikanan, sekalipun untuk skala nelayan miskin tradisional. Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD. Dalam pasal 45 dan 46 UU No. 22/1999 ditentukan adanya kewajiban dari kepala daerah untuk memberi pertanggung jawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran atau untuk hal-hal tertentu atas permintaan DPRD. Kalau pertanggungjawaban itu ditolak, maka dia harus memperbaiki dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari. Kalau ditolak untuk kedua kali, maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden. Ketentuan ini telah membawa ketegangan hubungan antara DPRD dengan kepala daerah. Ketegangan ini timbul karena sistem demokrasi merupakan barang baru di Indonesia. Akibatnya, baik kepala daerah maupun DPRD sama-sama belum terbiasa dengan sistem yang baru ini. Bagi kepala daerah pertanggaungjawaban yang diminta DPRD ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar. Keadaan ini disebabkan karena pada waktu yang lalu kepala daerah adalah Penguasa Tunggal di Daerah yang mempunyai kekuasaan untuk “memutih-hitamkan” daerah. Kedudukan DPRD berada dibawah dan tergantung kepada kepala daerah. Kalau ada anggota DPRD yang dipandang “membangkang”, kepala daerah mempunyai keuasaan untuk meminta kepada partai politik untuk menarik anggota tersebut dari DPRD. Sekalipun kekuasaan itu tidak dicantumkan secara tertulis, namun tidak ada Pimpinan Partai yang berani membuat “persoalan” dengan pemerintah. Pemerintah adalah “orang yang berhak memberi perintah”. Ini tidak hanya berlaku terhadap Golkar sebagai partai pemrintah, tetapi juga terhadap semua partai politik pada waktu itu (PPP dan PDI). Keadaan seperti ini, mengakibatkan kepala daerah dalam era reformasi merasa canggung, begitu ada ketentuan bahwa DPRD mempunyai kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban dari kepala daerah. Apalagi kewenangan untuk mengusulkan pemberhentiannya, bilamana DPRD tidak menerima pertanggungjawaban itu. Sesuatu yang tidak pernah termimpikan pada waktu yang lampau, dan tak ada dalam kamus pemerintahan Orde Baru dan Orde Lama. Sementara itu DPRD juga belum terbiasa dengan hak yang baru ini. Apalagi dengan sistem kepartaian yang baru, yang malalui pemilihan umum yang ‘jurdil’ kemarin itu, banyak anggota DPRD yang terpilih berasal dari mereka yang masih “sangat hijau dengan urusan-urusan yang demikian”. Akibatnya Pertanggungjawaban Tahunan dari kepala daerah diperlakukan sebagai “Sidang Pengadilan” dan kesemptan untuk melepaskan segala “uneg-uneg” yang sudah lama terpendam. Kedudukan daerah propinsi yang secara hirarkis setingkat dengan daerah Kabupaten/Kota juga menjadi salah satu aspek yang banyak dipersoalkan dewasa ini (lihat ayat 1 dan 2 , Pasal 4 UU No. 22/1999). Masalahnya, pertama, ketentuan ini menghilangkan wawenang koordinasi antar daerah kabupaten dan daerah kota pada tingkat propinsi, yang pada gilirannya menimbulkan kesulitan koordinasi pada tingkat pemerintah pusat karena terlalu luas rentang kendali pengawasan. Yang perlu diingat, betapapun adanya otonomi daerah dalam arti besarnya kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, namun daerah adalah bagian dari wilayah negara. Sebab itu selalu diperlukan adanya pengendalian pemerintahan dari pusat, baik langsung maupun secara tidak langsung. Tanpa adanya kedudukan koordinatif secara berjenjang melalui propinsi, pemerintah pusat akan menghadapi permasalahan rentang kendali yang terlalu C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
9
luas, betapun canggihnya teknologi informasi. Ini bisa dimengerti, karena penataan pemerintahan tidak hanya berkenaan dengan masalah-masalah rasional yang dapat ditangani dengan teknologi, tetapi juga memerlukan adanya sentuhan-sentuhan yang bersifat emosional yang tidak terjangkau oleh teknologi. Sebagai contoh dapat disebutkan, dalam keadaan normal dan tidak ada sesuatu hal khusus atau sesuatu bencana, kunjungan seorang kepala negara ke ibu kota sebuah propinsi, dapat dianggap sebagai telah mengunjungi seluruh daerah kabupaten dan kota yang ada dalam propinsi tersebut. Sebab itu gubernur dapat mengundang semua kepala daerah dalam lingkup propinsinya untuk hadir. Tetapi bila propinsi dan daerah-daerah tersebut masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan hierarki, maka kunjungan tersebut tidak dianggap sebagai kunjungan kedaerah-daerah yang bersangkutan, dan gubernur tidak mempunyai wewenangan untuk meminta mereka hadir. Sementara kepala negara tentu saja tidak mungkin dapat mengunjungi semua daerah tingkat II di seluruh Indonesia secara sendiri-sendiri. Formula pembagian hasil dari sumber alam yang ada di daerah antara pemerintah pusat dan daerah juga merupakan aspek yang diperdebatkan dan dituntut untuk ditinjau kembali. Disatu sisi timbul tuntutan dari beberapa daerah yang kaya sumber alam untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari apa yang diatur dalam UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Ada empat daerah yang secara nyaring menuntut bagian yang lebih besar itu, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian. Tuntutan ini cukup beralasan mengingat selama puluhan tahun pusat telah mengeksploitasi hasil alam daerah tersebut tanpa mngembalikan hasilnya secara berarti kepada mereka. Sehingga tidak heran kalau daerah-daerah penghasil sumberalam terbesar itu justeru berada dalam jajaran daerah-daerah termiskin di Indonesia. Sebaliknya, pada tingkat pemerintah pusat ada yang menganggap bahwa pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola sumber daya nasional (hutan dan laut) yang diatur dalam UU No. 22/1999 tidak tepat, karena dapat menimbulkan ekploitasi yang berlebihan oleh daerah untuk mengejar kemanfaatan sesaat sehingga dapat mengganggu kelestarian lingkungan alam setempat. Pendapat ini dalam beberapa hal mungkin ada benarnya, namun jelasnya terlihat ada keangkuhan didalamnya. Pusat selalu menganggap bahwa daerah itu berpandangan picik dan tidak mengerti serta kurang tanggap terhadap kelestarian lingkungan. Padahal selama puluhan tahun, kerusakan lingkungan dan eksploitasi besar-besaran yang terjadi justeru dilakukan atas izin dari pemerintah pusat yang nota bene mempunyai wewenang penuh terhadap semua sumber daya didaerah. Sementara daerah selama masa itu terus menderita akibat dari kerusakan alam yang dilakukan atas izin dari pemerintah pusat itu. Karena kedua pandangan ini bertolak dari pandangan yang tidak sama, kompromi sulit ditemukan. Namun, formula yang baru-baru ini diterapkan terhadap Aceh dengan disahkannya UU NAD diharapkan dapat menjadi dasar pemikiran bagi penyelesaian perbedaan pandangan dalam pemanfaatan sumber daya alam setempat. Satu hal yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan pemanfaatan sumberalam ini adalah pembangunan pusat-pusat pendongkrak pembangunan wilayah di Indonesia untuk daerah-daerah yang jauh dari pusat. Indonesia adalah negara yang amat luas, terbentang sepanjang benua Eropah, dari ujung ke ujung. Dalam wilayah yang amat luas itu, hanya terdapat beberapa kota besar yang dapat dianggap sebagai pusat-pusat pendongkrak pembangunan. Hampir semua kota-kota besar itu terdapat di P. Jawa, kecuali Medan dan Ujung Pandang. Sebab itu Indonesia membutuhkan beberapa pusat pendongkrak baru. Akan tetapi untuk masa sekarang, dengan kondisi C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
10
ekonomi yang belum pulih, pembangunan wilayah pendongkrak yang demikian tidak mungkin dilakukan. Satu hal yang mungkin dapat diperbuat adalah dengan memanfaatkan seluruh penerimaan dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam untuk mengembangkan daerah-daerah tersebut menjadi pusat pendongkrak terhadap daerah-daerah jauh yang selama ini tak mungkin terjangkau dari Jakarta dan Surabaya. Wewenang penataan terhadap PNS. UU No.22/1999 menetapkan kewenangan penataan PNS untuk pemerintah pusat pada tingkat kebijakan umum, dan kewenangan daerah pada tingkat kebijakan implementasi. Artinya, pemerintah pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, menetapkan pensiun, gaji dan kedudukan hukum dari PNS di Daerah dan PNS Daerah (pasal 75 UUNo.22/1999). Sedangkan daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah (pasal 76 UU No.22/1999). Tetapi dalam UU No. 43/1999 dikatakan bahwa kebijakan manajemen PNS yang mencakup kebijakan umum dan kebijakan pelaksanan seperti tersebut diatas berada pada presiden selaku kepala pemerintahan (pasal 13 ayat 2 UU No. 43/1999). Dan “untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan kebijakan manajeman PNS, dibentuk BKN” (pasal 34 UU No. 43/1999). Sebagai akibat dari ketentuan yang ada dalam kedua UU tersebut, terdapat penafsiran yang berbeda dilapangan. Disatu pihak menganggap, sesuai dengan UU No. 22/1999, kebijakan pelaksanaan terhadap PNS daerah ada pada daerah. Sedangkan BKN berpendapat sesuai dengan UU No. 43/1999 bahwa PNS daerah bukan semata-mata hanya aparatur dan perangkat daerah yang hanya melaksanakan tugas di daerah. Mobilitasnya tetap harus dijamin. Selanjutnya pembinaan semua PNS termasuk PNS daerah harus dilakukan seragam dan terintegrasi (Telaahan Atas UU No. 8/1974 jo. UU No. 43/1999). Yang menjadi soal dalam hal ini, UU mana yang harus direvisi ? Apakah UU No. 22/ 1999 yang sifatnya lebih luas, ataukah UU No. 43/1999 yang lebih khusus yang harus direvisi untuk menyesuaikan diri dengan yang lain?
VI.
Penutup
1.
Pengelolaan pemerintahan daerah dalam Era Reformasi yang diatur dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah mencerminkan adanya iktikat untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis, baik dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun dalam tatanan pemerintahan daerah itu sendiri. Sebab itu beberapa rumusan tentang otonomi yang diatur dalam UU tersebut terdapat perbedaan dengan apa yang ada dalam kedua UU sebelumnya, yakni UU No. 5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
2.
Sesuai dengan pengertian otonomi yang dirumuskan dalam UU tersebut, maka sikap pemerintah pusat dalam menerapkan ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 UU No. 22/1999 berkenaan dengan penggabungan dan penghapusan daerah-daerah otonomi yang tidak mampu, tidak semata-mata didasarkan pada kemampuan keuangan, tetapi lebih melihat pada kemampuan administrasi. Disamping itu maka pemerintah pusat, dalam hal ini, sebaiknya tidak bersikap sebagai “juri”, tetapi lebih sebagai pengayom yang mendahului upaya pemberdayaan kemampuan administrasi dan pembangunan dari daerah-daerah.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
11
3.
Berbagai ketentuan yang dirasakan perlu untuk direvisi, harus benar-benar dipertimbangkan ketepatannya, baik dari segi waktu maupun substansinya. Perubahan yang terburu-buru dan bersamaan dengan pergantian suatu pemerintah dapat menimbulkan kesan yang tidak positif dari masyarakat. Disamping itu, perubahan baru yang dibuat sekurang-kurangnya tidak lebih rendah kualitasnya dilihat dari perkembangan demokrasi dan sistem pemerintahan daerah. Bersamaan dengan itu juga sangat perlu untuk dipertimbangkan adanya kecenderungan perkembangan bentuk pemerintahan tersendiri di Indonesia yang berbeda dengan bentuk-bentuk yang ada dan diterapkan dinegara lain.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Said Zainal Abidin.doc
12