SISTEM KESELAMATAN KERJA NELAYAN PADA PERIKANAN SOMA PAJEKO (MINI PURSE SEINE) DI BITUNG
SUCI NURHADINI HANDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sistem Keselamatan Kerja Nelayan pada Perikanan Soma Pajeko (Mini Purse Seine) di Bitung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Suci Nurhadini Handayani NIM C451120031
RINGKASAN SUCI NURHADINI HANDAYANI. Sistem Keselamatan Kerja Nelayan pada Perikanan Soma Pajeko (Mini Purse Seine) di Bitung. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO, BUDHI HASCARYO ISKANDAR dan JOHN HALUAN. Kegiatan perikanan tangkap penuh dengan tantangan serta dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian. Faktor-faktor kecelakaan di laut dalam kegiatan penangkapan ikan sebanyak 80 % disebabkan oleh kesalahan manusia (FAO 2009). Jumlah kecelakaan kapal penangkap ikan selama tujuh tahun di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung tercatat sebanyak 40 kali dan cenderung meningkat dari Januari 2007 hingga bulan November tahun 2013. Terdapat kecelakaan dari 6 (enam) jenis kapal penangkap ikan yang tidak tercatat tahun 2010-2013 di Bitung dengan mayoritas kapal soma pajeko (mini purse seine). Penting untuk mempelajari keselamatan nelayan pada operasi penangkapan ikan soma pajeko di Bitung, karena jumlah nelayan yang terlibat cukup banyak. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi aktivitas dan intensitas kerja serta konsekuensi bahaya, menganalisis peluang tingkat risiko terbesar terhadap konsekuensi kegagalan akibat kesalahan manusia (human error) serta merumuskan rekomendasi untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja yang disebabkan oleh human error pada aktivitas pengoperasian soma pajeko di Bitung. Lingkup penelitian dibatasi pada aktivitas pengoperasian perikanan one day fishing soma pajeko menggunakan Perahu Motor Tempel (PMT) panjang <24 meter yang terdaftar di PPS Bitung. Penelitian dilakukan pada bulan November – Desember 2013 di Bitung, Sulawesi Utara. Pendekatan sistem keselamatan kerja nelayan dengan metode Formal Safety Assessment (FSA) untuk mengkaji sistem keselamatan kerja nelayan pada aktivitas pengoperasian soma pajeko di Bitung. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode purposive sampling dengan cara pengamatan dan wawancara langsung kepada awak kapal unit penangkapan ikan soma pajeko. Data sekunder diperoleh dari penelusuran pustaka untuk digunakan sebagai penunjang data primer. Analisis deskriptif digunakan dalam menggambarkan aktivitas pengoperasian soma pajeko dari tahap awal hingga akhir. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengukur peluang risiko kecelakaan yang diakibatkan kesalahan manusia untuk mendapatkan nilai risiko dari aktivitas tersebut. Analisis sistem dilakukan untuk menyusun rekomendasi sistem manajemen keselamatan kerja nelayan soma pajeko. Pengoperasian soma pajeko berpotensi menimbulkan konsekuensi kelelahan, terluka, cedera dan tenggelam. Terdapat 8 tahap dan 58 aktivitas yang harus dilakukan untuk mengoperasikan penangkapan ikan dengan soma pajeko dengan nilai Intensitas Kerja Total (IKT) 563 OA. Nilai Intensitas Kerja Primer (IKP) pada tahap hauling merupakan yang tertinggi (0,297) dengan total intensitas kerja 139 OA (Orang Aktivitas) yang berpotensi lebih tinggi menimbulkan peluang terjadinya kecelakaan kerja dibandingkan aktivitas lainnya. Hasil kajian tingkat risiko dengan metode FSA, menunjukkan bahwa tahap hauling merupakan titik kritis (level tertinggi) dengan nilai Human Error Probability (HEP) sebesar 0,999534 yang membutuhkan prioritas pengendalian risiko akibat potensi terjadinya kecelakaan dengan konsekuensi fatal. Secara
keseluruhan terdapat 14% dari total aktivitas pengoperasian soma pajeko berada pada kriteria tinggi dan memerlukan pengendalian risiko. Pengendalian risiko dilakukan untuk menekan risiko serendah mungkin dengan cara meningkatkan budaya keselamatan, prosedur pemakaian alat perlindungan diri dan cara kerja yang aman pada tiap aktivitasnya. Implementasi dari siklus manajemen keselamatan di laut belum sepenuhnya dilaksanakan di PPS Bitung. Rekomendasi untuk sistem manajemen keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko dititik-beratkan pada identifikasi jenis dan penyebab kecelakaan agar terciptanya sistem pelaporan dan database sebagai umpan balik kepada pemerintah dan lembaga pelatihan untuk perancangan kegiatan pelatihan dan kesadaran. Audit dalam kegiatan proaktif dalam siklus manajemen keselamatan di laut perlu diterapkan untuk menghindari tindakan/prosedur yang berbahaya dan meminimalisir risiko kecelakaan kerja nelayan akibat kesalahan manusia pada pengoperasian soma pajeko di Bitung. Pendekatan sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian kapal ikan ukuran kecil (<24 meter) khususnya soma pajeko di Bitung dapat dilakukan dengan berdasar pada metode FSA-IMO sebagai batasan parameter rancang bangun sistem. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk manajemen pengendalian sistem dengan penilaian biaya-manfaat (cost benefit assessment) sebagai bahan input yang terkontrol untuk mengurangi output yang tidak dikehendaki dalam sistem serta pengembangan pola sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko di Bitung. Kata kunci: Formal Safety Assesment, keselamatan kerja nelayan, risiko, soma pajeko, pendekatan sistem
SUMMARY SUCI NURHADINI HANDAYANI. Occupational Safety System of Fishermen on Soma Pajeko (Mini Purse Seine) Fisheries in Bitung. Supervised by SUGENG HARI WISUDO, BUDHI HASCARYO ISKANDAR and JOHN HALUAN. Fishing activities are full of challenges and exposed to risks and uncertainties. 80% factors of accident at sea in fishing activities were caused by human error (FAO 2009). The number of fishing vessel accidents during seven years in Pelabuhan Perikanan (PPS) Bitung recorded 40 times and tended to increase from January 2007 until November 2013. There are accidents of six types of fishing vessels which not recorded year 2010-2013 which the majority was soma pajeko (mini purse seine) fishing vessel. It is important to study the safety of fishermen on mini purse seine fishing operation in Bitung, because the number of fishermen involved quite a lot. The purpose of this study was to identify activities and the intensity of work as well as consequences of hazards, analyze the risk level of probability failures of consequences caused by human error, and formulate recommendations to reduce the risk of work accidents caused by human error in the operation of mini purse seine activity in Bitung. The scope of the study was limited to one day fishing activity that uses mini purse seine operation which used outboard engine boat with less than 24 meters length that registered in the PPS Bitung. Research was conducted in November-December 2013 in the Bitung, North Sulawesi. Systems approach to fishermen safety with Formal Safety Assessment (FSA) methods to assess occupational safety systems of fishermen on fishing operation activities with mini purse seine in Bitung. Primary data was collected using purposive sampling method by means of observation and interviews directly to the crew members of fishing units. Secondary data were obtained from literature as supporting primary data. The descriptive analysis used to describes mini purse seine fishing activity from the beginning to the end of the stage. The quantitative approach used to measure the risk of accidents caused by human error probability to get the risk level of activities. An analysis system performed to develop a recommendation of fishermen safety management system on mini purse seine fishing activity. Mini purse seine fishing activities has potential consequences of fatigue, wounded, injuries, and drowning. There are 8 stages and 58 activities that should be performed in mini purse seine fishing activities with total work intensity of 563 MA (Men Activity). The greatest primary work intensity is on the 5th stage (hauling) which showed the highest activity level with primary work intensity index of 0,297. Involvement crew on hauling was the highest intensity (139 MA) that could potentially lead to the higher risk probability of accidents than other activities. The results of risk assessment with the FSA method showed that the hauling stage was a critical point (the highest level) with a value of Human Error Probability (HEP) of 0,999534 which require priority control due to the potential risk of accidents with fatal consequences. Overall, there are 14% of total activities in high criteria and require risk control. Risk control performed to reduce the risk
as low as possible by improving safety culture, safety procedures and use of personal protective equipment and also safe behavior on each activity. Implementation of the safety management cycle at sea has not been fully implemented at PPS Bitung. Recommendations for occupational safety management system of fishermen in mini purse seine fishing activity focused on identifying the type and cause of the accident in order to create a reporting and database system as feedback to governments and educational institutions to design training and awareness activities. Audit in the proactive activities in marine safety management cycle a sea needs to be applied seriously to avoid dangerous actions/ procedures to mitigate risk of work accident caused by human error on mini purse seine fishing activity in Bitung. System approach to occupational safety for fishermen in small fishing vessels with length less than 24 meters, especially soma pajeko (mini purse seine) in Bitung could be carried out based on FSA method as a system design parameter limits. Further research needs to be performed to system control management with a cost-benefit assessment to provide controlled input material which reduces unwanted output in system and also development pattern of occupational safety system of mini purse seine fishermen in Bitung . Keywords: Formal Safety Assesment, fishermen safety, risk, mini purse seine, system approach
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
USULAN PENELITIAN
SISTEM KESELAMATAN KERJA NELAYAN PADA PERIKANAN SOMA PAJEKO (MINI PURSE SEINE) DI BITUNG
SUCI NURHADINI HANDAYANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Perikanan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Fis Purwangka, SPi,MSi
PRAKATA Puji syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena hanya atas kehendak dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagaimana mestinya. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah keselamatan kerja, dengan judul ”Sistem Keselamatan Kerja Nelayan pada Perikanan Soma Pajeko (Mini Purse Seine) di Bitung”. Penyelesaian penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi, Dr Ir Budhi Hascaryo Iskandar, MSi, dan Prof Dr Ir John Haluan, MSc selaku komisi pembimbing atas kesediaan dan bimbingannya bagi penulis, dan juga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan inovasi pada penulis. Ucapan terima kasih kepada Dr Iin Solihin, MSi dari Program Studi dan Dr Fis Purwangka, SPi,MSi selaku dosen penguji luar komisi. Penghargaan penulis sampaikan kepada Capt. Erdison “Rodi” Manderos beserta awak kapal PMT.Felicia dan nelayan soma pajeko dari Desa Makawidey, Bapak Gatot Sarwedi, BSc, Bapak Franky Yulian Watung, SSt.Pi beserta staf dari Kantor Syahbandar Perikanan PPS Bitung, Bapak Pung Nugroho Saksono,APi,MM beserta staf Kantor PSDKP Bitung, Bapak Rusdianto beserta staf Kantor KSOP Dishub Bitung, Ibu Juliana Sumampouw, SE selaku Kepala Kantor dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kelas II Bitung dan Bapak CH Marinda dari Tim Rescue KPLP, Mayor Maritim Tri Adi Lumanto dari BAKORKAMLA Kema (Bitung), POLAIR Bitung, Keluarga Yuli-Ida Purwanto di Girian Permai atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan pengumpulan data di Bitung. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Budy Wiryawan Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB beserta staf dan sekretariat Pascasarjana Dept. PSP-IPB Program Studi Teknologi Perikanan Laut selama Penulis mengikuti program pascasarjana ini. Kepala Redaksi Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan (JTPK), Ibu Dr Roza Yusfiandayani, SPi yang telah bersedia menerbitkan tulisan ilmiah penulis dengan judul “Intensitas Kerja Aktivitas Nelayan pada Pengoperasian Soma Pajeko (Mini Purse Seine) di Bitung” yang diterbitkan pada edisi Mei Volume 5 No. 1 tahun 2014 sebagai syarat kelulusan Program Magister Sains SPs-IPB. Terima kasih kepada Tanoto Foundation melalui program beasiswa Tanoto National Champion Scholarship atas bantuan biaya kuliah pada semester 3 dan 4. Teman Sejawat Departemen PSP-FPIK, IPB, dan tim dari Lab. Keselamatan Kerja dan Observasi Bawah Air (Bagian Kapal dan Transportasi Perikanan) Dept. PSPIPB atas dukungannya selama penulis melakukan studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta, orang tua, saudara, seluruh keluarga dan teman-teman serta crew TPL01 (angkatan 2012) atas segala dukungan, doa dan kasih sayang serta kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, amin. Bogor, Agustus 2014 Suci Nurhadini Handayani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
DAFTAR ISTILAH
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 3 4 4
2 AKTIVITAS PENGOPERASIAN SOMA PAJEKO (MINI PURSE SEINE) DI BITUNG 6 Metode Penelitian 7 Hasil dan Pembahasan 10 Kesimpulan 29 Saran 30 3 PENGUKURAN RISIKO KESELAMATAN KERJA NELAYAN PADA PENGOPERASIAN SOMA PAJEKO DI BITUNG Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Kesimpulan Saran
30 32 38 48 48
4 SISTEM KESELAMATAN KERJA NELAYAN PENGOPERASIAN SOMA PAJEKO DI BITUNG Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Kesimpulan Saran
48 49 51 60 61
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
62 62 62
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
67
RIWAYAT HIDUP
104
DAFTAR TABEL 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian 2 Tahapan aktivitas pengoperasian PMT soma pajeko <24 m 3 HTA (Hierarchical Task Analysis) pengoperasian PMT soma pajeko <24 m 4 Jumlah aktivitas primer dan sekunder pengoperasian soma pajeko 5 Intensitas kerja awak kapal soma pajeko 6 Identifikasi kegagalan pada tahap 1 (persiapan) 7 Identifikasi kegagalan pada tahap 2 (loading) 8 Identifikasi kegagalan pada tahap 3 (berlayar ke fishing ground) 9 Identifikasi kegagalan pada tahap 4 (setting) 10 Identifikasi kegagalan pada tahap 5 (hauling) 11 Identifikasi kegagalan pada tahap 6 (penanganan hasil tangkapan) 12 Identifikasi kegagalan pada tahap 7 (berlayar ke fishing base) 13 Identifikasi kegagalan pada tahap 8 (unloading) 14 Kategori Generic Task dalam metode HEART (Williams 1986) 15 Error Producing Condition (Williams 1986) 16 Matriks Risiko 5x5 17 Tingkat Risiko dengan toleransi ALARP 18 Perhitungan HEP pada urutan aktivitas dasar (basic event) pengoperasian soma pajeko 19 Hasil perhitungan FTA pada pengoperasian soma pajeko di Bitung 20 Matriks Tingkat Risiko Aktivitas Pengoperasian Soma Pajeko 21 Prioritas pengendalian risiko pada tabel JSA (Job Safety Analysis) pengoperasian PMT soma pajeko <24m 22 Analisis kebutuhan pelaku sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko 23 Formulasi masalah sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko
8 12 12 16 16 19 20 22 23 25 26 27 28 33 34 37 37 38 40 43 46 53 54
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kecelakaan kapal perikanan 2007-2013 di Bitung dan penyebabnya Persentase kecelakaan kapal penangkap ikan dan jumlah awak kapal Kerangka Pemikiran Peta lokasi penelitian di Bitung Struktur organisasi di atas PMT soma pajeko <24m di Bitung Porsi beban tanggung jawab kerja 4 perwira soma pajeko Persentase porsi tanggung jawab perwira aktivitas soma pajeko HTA tahap 1 (persiapan) HTA tahap 2 (loading) HTA tahap 3 (berlayar ke fishing ground) HTA tahap 4 (setting) HTA tahap 5 (hauling) HTA Tahap 6 (penanganan hasil tangkapan) HTA Tahap 7 (berlayar ke fishing base)
1 2 5 7 10 15 15 19 20 21 22 24 26 27
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
HTA Tahap 8 (unloading) Diagram alir metodologi FSA Langkah kuantifikasi HEART Grafik HEP dari konsekuensi kegagalan pengoperasian soma pajeko FTA kecelakaan kerja hauling pada pengoperasian soma pajeko Komposisi tingkat risiko kriteria ALARP pengoperasian soma pajeko Bentuk dan Konfigurasi Struktur Sistem Struktur pendekatan sistem dengan metodologi FSA Kondisi umum nelayan soma pajeko di PPS Bitung Diagram causal loop sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko Diagram input-output sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko Siklus manajemen keselamatan di laut (Danielsson dalam FAO 2010) Pola keselamatan kerja nelayan soma pajeko PMT<24 m di Bitung
28 31 35 41 42 44 50 51 52 55 56 57 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Identifikasi aktivitas, bahaya dan HEP pengoperasian soma pajeko 68 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 1 (persiapan) 73 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 2 (loading) 74 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 3 (berlayar ke fishing ground) 75 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 4 (setting) 76 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 5 (hauling) 77 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 6 (penanganan hasil tangkapan) 78 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 7 (berlayar ke fishing base) 78 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 8 (unloading) 79 FTA aktivitas tahap 1 (persiapan) 80 FTA aktivitas tahap 2 (loading) 81 FTA aktivitas tahap 3 (berlayar ke fishing ground) 82 FTA aktivitas tahap 4 (setting) 83 FTA aktivitas tahap 5 (hauling) 84 FTA aktivitas tahap 6 (penanganan hasil tangkapan) 85 FTA aktivitas tahap 7 (berlayar ke fishing base) 85 FTA aktivitas tahap 8 (unloading) 86 Kategori likelihood (peluang) dan severity (konsekuensi) bahaya 87 Segitiga ALARP (HSE 2001) 87 Perbandingan berbagai matriks risiko (On Safe 2012) 88 Tabel JSA, penilaian risiko dan pengendalian tingkat risiko kecelakaan kerja pengoperasian PMT soma pajeko <24 m 89 Matriks Implementasi Keselamatan Kerja Nelayan Soma Pajeko dan Rekomendasinya 96 Peraturan nasional yang berhubungan dengan keselamatan kerja nelayan 98 Peraturan internasional yang berhubungan dengan keselamatan kerja nelayan 99 Dokumentasi penelitian 101
DAFTAR ISTILAH Anak Buah Kapal (ABK) : adalah awak kapal selain nakhoda atau pemimpin kapal As Low As Reasonably Practicable (ALARP) : ukuran kriteria tingkatan risiko yang tidak berada pada tingkatan risiko rendah (dapat diabaikan) atau risiko tinggi (tidak dapat ditolerasi). Awak kapal
: adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang ercantum dalam buku sijil;
EPC (Error Producing Condition) : faktor yang mempengaruhi kinerja manusia sehingga kurang dapat diandalkan dan memproduksi kegagalan. Fishing base
: tempat kapal perikanan kembali setelah beroperasi (Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung).
Fishing ground (daerah penangkapan ikan) : suatu perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan daharapkan dapat tertangkap secara maksimal, tetapi masih dalam batas kelestarian sumberdaya Formal Safety Assessment (FSA) : metodologi terstruktur dan sistematis, ditujukan untuk meningkatkan keselamatan maritim, termasuk perlindungan kehidupan, kesehatan, lingkungan laut dan properti, dengan menggunakan analisis risiko dan penilaian biaya manfaat Hauling
: kegiatan penarikan alat tangkap ke atas dek kapal; proses menaikkan alat tangkap ke kapal.
Hierarchical Task Analysis (HTA): adalah metode yang sering digunakan dalam pendekatan dekomposisi task, deskripsi task dalam lingkup operasi (hal yang dilakukan manusia dalam mencapai sasaran), dan rencana (pernyataan/kondisi saat tiap himpunan operasi harus dijalankan untuk mencapai sasaran operasi), mendeskripsikan task dari level atas hingga level dasar yang merupakan level operasi dari individu Human Error Assessment and Reduction Technique (HEART) : Suatu analisis aktivitas/tugas secara rinci dengan mengklasifikasikan suatu aktivitas sebagi cara yang relatif sederhana dalam menentukan probabilitas kesalahan manusia (HEP). Human Error Probability (HEP) : probabilitas kegagalan suatu aktivitas yang disebabkan kesalahan manusia.
Human error
: suatu keputusan atau tindakan yang mengurangi potensial untuk mengurangi efektifitas keamanan performansi suatu sistem.
atau atau
Human Reliability Analysis (HRA) : sebuah proses, yang terdiri dari serangkaian kegiatan dan potensi penggunaan sejumlah teknik tergantung pada tujuan keseluruhan analisis, merupakan suatu metode kualitatif maupun kuantitatif untuk mengukur kontribusi manusia terhadap risiko IKP
: Intensitas Kerja Primer
IKS
: Intensitas Kerja Sekunder
IKT
: Intensitas Kerja Total
Intensitas Kerja : ukuran jumlah awak kapal (orang) yang terlibat dalam 1 (satu) aktivitas. Satuan untuk intensitas kerja ini yang dipakai adalah Orang Aktivitas (OA) Kapten/Nakhoda : adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kecelakaan (Accident) : suatu kejadian yang tidak diinginkan yang melibatkan kematian, cedera, kehilangan atau kerusakan kapal, kerugian harta benda atau kerusakan, atau kerusakan lingkungan Konsekuensi
: keadaan/kondisi yang terjadi akibat pemilihan suatu keputusan.
Loading (Memuat) : proses pemuatan barang-barang pada kapal termasuk awak kapal. Plan
: menjelaskan mengenai urutan dan kondisi suatu aktivitas yang akan dilakukan
Risiko
: ketidakpastian yang bisa diperkirakan atau diukur, ketidakpastian yang telah diketahui tingkat probabilitas kejadiannya, ketidakpastian yang bisa dihitung besaran kerugiannya.
Setting
: kegiatan pemasangan alat penangkap ikan; proses penurunan alat tangkap ke perairan.
Unloading
: proses pembongkaran muatan pada kapal (pendaratan hasil tangkapan, pembongkaran alat tangkap termasuk penurunan awak kapal)
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Penangkapan ikan merupakan salah satu pekerjaan yang paling berbahaya di dunia. Pada tahun 2006, Food Agricultural Organization (FAO) meluncurkan keamanan global di proyek laut untuk perikanan skala kecil di negara berkembang. Tujuan keseluruhan adalah untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat nelayan skala kecil dengan mengurangi jumlah kecelakaan di laut dan dampaknya (FAO, 2009). Kegiatan perikanan tangkap penuh dengan tantangan serta dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian. FAO (2009) memperkirakan bahwa sekitar 30 juta nelayan bekerja pada 4 (empat) juta kapal penangkap ikan yang beroperasi di dunia. Sekitar 98% dari jumlah nelayan tersebut bekerja pada kapal dengan panjang kurang dari 24 meter, dimana untuk ukuran ini tidak tercakup di dalam peraturan internasional. Jumlah kematian global diperkirakan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 1999 menjadi 24.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun (FAO 2009). FAO menambahkan penjelasan mengenai hal tersebut yakni tingkat kematian global tersebut akan lebih tinggi karena terdapat beberapa negara yang tidak memiliki data statistik atau informasi tingkat kematian global. Penyebab utama kecelakaan laut yang berujung pada hilangnya nyawa manusia ini adalah murni kesalahan manusia (human error). Khusus pada kegiatan perikanan, sebanyak 80 persen faktor kecelakaan laut disebabkan oleh kesalahan manusia (human error). Penyebab lainnya adalah pengabaian yang dilakukan oleh penyelenggara transportasi laut dan instansi-instansi terkait, serta perlengkapan keselamatan transportasi laut yang jauh dari memadai (FAO, 2009). Jumlah kecelakaan kapal penangkap ikan yang tercatat dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun (Januari 2007 – November 2013) di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung terjadi sebanyak 40 kali dan cenderung meningkat hingga bulan November tahun 2013 (Gambar 1a). Kecelakaan terbesar mayoritas disebabkan oleh kerusakan mesin (57%), tenggelam (18%), tubrukan kapal (5%) dan lainnya (Gambar 1b.)
Sumber : data sekunder Laporan Kecelakan Kapal Syahbandar Perikanan Bitung (diolah)
Gambar 1 Kecelakaan kapal perikanan 2007-2013 di Bitung dan penyebabnya
2 Gambar 2 (a) dan (b) masing-masing menggambarkan persentase kecelakaan kapal berdasarkan unit penangkapan dan jumlah awak kapal yang ada pada masing-masing unit penangkapan tersebut. Tiga kecelakaan paling banyak terjadi adalah pada jenis kapal tuna hand line (22%), purse seine (13%) dan perahu lampu (15%). jmlh kapal Purse Seine 13% Pole And Line 5%
Tuna Hand Line 22%
Hand Line 10%
(a)
tda 20%
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
jmlh awak kapal 140
125
120 100 71
80 51
44
60
36
40
24 14 0
20
awak kapal (orang)
Pengangkut Ikan 10%
Long Line 5%
kapal (unit)
Perahu Lampu 15%
0
(b)
Sumber : data sekunder Laporan Kecelakan Kapal Syahbandar Perikanan Bitung (diolah)
Gambar 2 Persentase kecelakaan kapal penangkap ikan dan jumlah awak kapal Berdasarkan jumlah ABK (Anak Buah Kapal) yang tercatat di dalam manifest laporan kecelakaan kapal Syahbandar Perikanan PPS Bitung, jumlah kecelakaan tersebut tidak menjelaskan bagaimana kondisi korban jiwa atau cedera dari awak kapal. Jumlah nelayan yang berpotensi menjadi korban kecelakaan terbesar adalah pada jenis kapal purse seine dengan jumlah korban 125 orang. Persentase data kecelakaan kapal yang tidak tercatat jenis kapalnya (tda) sebanyak 20%, selain itu masih ada kecelakaan yang tidak tercatat (tda) oleh Syahbandar Perikanan Bitung pada tahun 2010 – 2013 terjadi pada 6 (enam) kapal ikan jenis pajeko (mini purse seine) dan 1 (satu) kapal tuna longline. Perikanan soma pajeko termasuk ke dalam perikanan mini purse seine yang sampai saat ini masih banyak dioperasikan di perairan Bitung, Sulawesi Utara. Kapal penangkapan yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil adalah kapal yang digunakan untuk mengoperasikan mini purse seine yang menurut istilah nelayan dari Bitung disebut soma pajeko dengan jumlah nelayan berkisar antara 19-22 orang dalam satu kapal soma pajeko (Karman, 2008). Isu penting dalam aspek keselamatan kerja pada perikanan soma pajeko antara lain yaitu kebutuhan untuk memahami bahaya dan risiko serta komunikasi antara badan perikanan pemerintah dan badan-badan maritim pemerintah. Aspek keselamatan kerja di laut dan penanganannya belum disadari secara penuh sebagai bagian integral dari manajemen perikanan. Data dan informasi yang kurang detil perlu didukung dalam hal penyebab dan jumlah kecelakaan di laut. Salah satu yang dapat menentukan besar kecilnya kejadian kecelakaan di laut antara lain minimnya tingkat pengetahuan dan kesadaran nelayan dan keluarga mereka dalam keselamatan di laut. Perkembangan suatu pedoman keselamatan atau standar keselamatan untuk kapal, peralatan dan kru dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan tersebut.
3 Kebutuhan untuk memahami bahaya dan risiko pada perikanan soma pajeko di Bitung sangat penting khususnya tentang keselamatan kerja nelayan. Diperlukan suatu analisis keselamatan kerja nelayan perikanan soma pajeko di Bitung. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui faktor penyebab dan peluang risiko kecelakaan kerja di laut serta solusi untuk menanggulanginya dengan lebih efektif. Perumusan Masalah Kecelakaan dengan jenis perahu motor tempel (PMT) di perairan Bitung telah terjadi sebanyak 6 (enam) kali selama tahun 2013. Salah satu kasus yang pernah dimuat pada harian Tribun Manado (2013) adalah kapal tangkap ikan jenis pajeko di perairan Selat Lembeh terbakar di laut pada tanggal 14 Januari 2013. Kondisi tersebut disebabkan oleh hubungan pendek arus listrik mesin yang menimbulkan percikan api dan menyambar persediaan bahan bakar minyak. Kecelakaan tersebut terjadi pada saat kapal berlayar menuju fishing ground. Berdasarkan latar belakang penelitian dan contoh kasus tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini. Perumusan masalah tersebut antara lain : 1) Kecelakaan kapal penangkap ikan di Bitung cenderung meningkat; 2) Pukat cincin (purse seine) memiliki tingkat kecelakaan ke-2 terbesar dan memiliki awak kapal terbanyak di Bitung; 3) Aktivitas penangkapan ikan dengan soma pajeko di malam hari dengan terbatasnya area dan minimnya peralatan keselamatan dapat berpotensi menimbulkan peluang risiko kecelakaan; dan 4) Belum tersedianya data informasi tentang kecelakaan kerja nelayan di PPS Bitung secara detil dengan keparahan kecelakaan khususnya perikanan soma pajeko menyulitkan penanggulangan dan pengendalian risiko kecelakaan untuk manajemen keselamatan kerja nelayan soma pajeko. Berbagai masalah yang berkaitan dengan sistem manajemen keselamatan kerja pada perikanan soma pajeko di Bitung akan dianalisis dengan metode FSA (Formal Safety Assessment). Pendekatan sistem keselamatan kerja dengan analisis pengukuran peluang dan tingkat risiko digunakan untuk mengkaji sistem keselamatan kerja nelayan perikanan soma pajeko di Bitung. Tujuan Penelitian Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tujuan utama penelitian ini adalah mengenai keselamatan kerja nelayan pada perikanan soma pajeko di Bitung. Secara khusus penelitian ini akan menggali dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi aktivitas dan mengetahui intensitas kerja nelayan dalam pengoperasian soma pajeko yang berpotensi untuk menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja di laut. 2) menganalisis peluang/tingkat risiko terbesar terhadap konsekuensi kegagalan aktivitas akibat kesalahan manusia dan melakukan pengendalian risiko untuk mengurangi tingkat risiko kecelakaan kerja pada pengoperasian soma pajeko di Bitung
4 3) Merumuskan rekomendasi untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja yang disebabkan oleh human error pada aktivitas pengoperasian soma pajeko di Bitung. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat memberikan pengembangan IPTEKS (Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni) pada sistem manajemen keselamatan kerja nelayan soma pajeko. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya serta memberikan informasi yang berguna untuk implementasi keselamatan kerja nelayan bagi semua stakeholder yang terlibat dalam sistem manajemen keselamatan kerja nelayan khususnya perikanan soma pajeko di Bitung. Hasil penelitian berguna sebagai informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengembangkan sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian penangkapan ikan dengan soma pajeko. Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian keselamatan kerja nelayan pada perikanan soma pajeko yang berada di PPS Bitung dibatasi pada aktivitas pengoperasian perikanan soma pajeko yang menggunakan Perahu Motor Tempel (PMT) dengan panjang kapal <24 meter. Sebuah pendekatan sistem dilakukan untuk melakukan investigasi yang berhubungan dengan sistem manajemen keselamatan. Hal pertama yang dilakukan adalah menginventarisasi aktivitas pada pengoperasian soma pajeko dan sumber bahaya yang ada, mengukur peluang/tingkat risiko yang dihasilkan dan menelaah sistem manajemen keselamatan dan elemen-elemen yang terkait serta mendefinisikan sistem manajemen keselamatan itu sendiri. Aspek yang ditelaah dalam penelitian ini adalah aktifitas dan prosedur (kegiatan dan cara melakukan aktivitas pada tempat kerja), latar belakang sumberdaya manusia (tingkat pendidikan, umur, pengetahuan, kesadaran, struktur organisasi dan lain-lain), wilayah kerja dan peralatannya, aturan dan kebijakan (nasional dan internasional) serta organisasi dan koordinasi (pemerintah). Sebuah manajemen keselamatan dibagi menjadi tiga hal berikut: 1) persiapan, 2) di tempat aktivitas dan 3) kesimpulan. Tahap pertama mencakup perencanaan audit, dan mencari informasi latar belakang. Tahap kedua terdiri dari wawancara, observasi dan review dokumen di tempat kerja. Pada tahap terakhir, hasil audit dilaporkan dan rencana tindak lanjut akan disusun. Penilai atau peneliti dapat menyiapkan pertanyaan secara individu untuk setiap sesi, dan juga memungkinkan untuk menggunakan alat penilaian khusus yang meliputi daftar tetap pertanyaan. Beberapa alat ini termasuk fitur tambahan seperti bobot pertanyaan yang berbeda, dan sistem penilaian yang menghasilkan nilai numerik untuk tingkat aktivitas keselamatan. Hasil dari penilaian tersebut digunakan untuk merancang suatu alternatif solusi atas suatu permasalahan, baik dengan aturan, prosedur kerja, tempat kerja ataupun peralatan yang bertujuan meminimalkan risiko. Kerangka pemikiran dalam sistem manajemen keselamatan yang berhubungan dengan penelitian ini disajikan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 3.
5
Keselamatan kerja nelayan pada perikanan soma pajeko (mini purse seine) di Bitung
Permasalahan Trend kecelakakaan kapal penangkap ikan meningkat di Bitung Kecelakaan jenis kapal purse seine ke-2 terbesar dan memiliki jumlah awak kapal (nelayan) terbanyak di Bitung Kurangnya data dan informasi detil kecelakaan kerja di laut menyulitkan koordinasi penanggulangan kecelakaan Risiko aktivitas pengoperasian soma pajeko di malam hari
Ruang Lingkup
Aktivitas pengoperasian soma pajeko PMT < 24 m di PPS Bitung Investigasi aktivitas dan prosedur kerja nelayan pada perikanan soma pajeko Penilaian dan pengendalian kemungkinan bahaya dan risiko nelayan Identifikasi manajemen keselamatan kerja nelayan pada perikanan soma pajeko
Manajemen Pengendalian
Pendekatan Sistem dengan metode FSA
Urutan Aktivitas dan prosedur
SDM (Nelayan)
Area kerja
Peralatan
Identifikasi Bahaya (HTA, Intensitas aktivitas kerja) Pengukuran Tingkat Risiko (HEART) Pengendalian Risiko (Prinsip ALARP) rekomendasi keselamatan kerja nelayan soma pajeko di Bitung
Sistem Keselamatan Kerja Nelayan pada Perikanan Soma Pajeko di Bitung Keterangan :
FSA = Formal Safety Assessment HTA = Hierarchycal Task Analysis HEART = Human Error Assessment and Reduction Technique ALARP = As Low As Reasonably Practicable
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
Solusi
2
AKTIVITAS PENGOPERASIAN SOMA PAJEKO (MINI PURSE SEINE) DI BITUNG
Pukat cincin (purse seine) merupakan alat tangkap ikan yang tergolong berukuran besar, membutuhkan nelayan berjumlah banyak. Persiapan purse seine dengan kelengkapannya (desain, konstruksi, dan alat bantu penangkapan ikan), kemampuan mendeteksi gerombolan ikan secara tepat, dan ketrampilan untuk mengoperasikannya merupakan faktor penting untuk terhindar dari resiko kegagalan dalam setiap operasi penangkapan ikan dengan menggunakan purse seine, mengingat pengoperasian purse seine harus aktif mencari, mengejar, dan mengurung ikan pelagis yang bergerombol dan bergerak cepat dalam jumlah besar atau melalui alat pengumpul ikan (rumpon dan lampu) (Zarochman dan Wahyono 2005). Ayodhyoa (1981) mengemukakan tujuan penangkapan purse seine adalah ikan-ikan yang merupakan pelagic schooly spesies (membentuk kumpulan padat)dan berada dekat permukaan air (sea surface) atau jenis-jenis ikan yang mempunyai sifat tertarik oleh suatu atraktor seperti rumpon dan cahaya lampu. Menurut Josephus (2011), operasi penangkapan ikan dengan pukat cincin dilakukan pada malam hari, dengan menggunakan alat bantu rumpon (rakit) dan perahu lampu. Perahu lampu seperti tipe perahu pelang yang digunakan untuk meletakkan lampu laguna yang menyerupai lampu petromaks berfungsi untuk memikat ikan supaya berkumpul dalam satu area penangkapan. Kapal penangkapan yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil adalah kapal kecil yang menggunakan alat tangkap pukat cincin mini (mini purse seine) yang digunakan untuk mengoperasikan mini purse seine. Menurut istilah nelayan dari Bitung disebut soma pajeko yang mulai populer digunakan sejak pertama kali diperkenalkan ke Bitung pada tahun 1997 (Luasunaung, 1999). Berdasarkan tipe pengoperasiannya mini purse seine di perairan sekitar pulau Mayau baik untuk nelayan lokal (nelayan pulau Mayau) maupun nelayan andon (nelayan dari Bitung) adalah tipe satu kapal (one boat system). Berdasarkan hasil penelitian Marasut (2005) yang diacu dalam Karman (2008), kapal-kapal pukat cincin pada beberapa daerah di Sulawesi Utara (Tumumpa, Belang, Lolak, dan Bitung) memiliki ukuran panjang (L) 14,72 m – 22,50 m, lebar (B) 3,81 m – 4,00 m, dan dalam (D) 1,28 m – 1,80 m; selanjutnya dikatakan bahwa kapal-kapal pukat cincin yang digunakan di beberapa daerah Sulawesi Utara mempunyai kecepatan yang besar dan lebar yang besar dikarenakan pada bagian tengah kapal ditempatkan jaring dan wings hauler. Hasil Penelitian Karman (2008) menyebutkan mini purse seine terdiri dari kantong (bunt), badan jaring, sayap, jaring pada pinggir badan jaring (selvedge), tali ris atas (floatline), tali ris bawah (leadline), pemberat (sinkers), pelampung (floats), dan cincin (purse rings). Jumlah nelayan yang mengoperasikan mini purse seine (soma pajeko) dalam operasi penangkapan relatif sama untuk nelayan mini purse seine lokal (nelayan pulau Mayau) maupun nelayan andon (nelayan dari Bitung) yaitu berkisar antara 18 – 22 orang termasuk “tonaas”. Tonaas adalah orang yang memimpin operasi penangkapan (fishing master). Umumnya operasi penangkapan dilakukan pada malam hari dan dini hari. Tahapan pengoperasian mini purse seine dibagi dalam empat tahap yaitu; (1)
7 persiapan, (2) perjalan perahu lampu ke rumpon (fishing ground), (3) perjalanan kapal penangkap ke rumpon (fishing ground), dan (4) kegiatan operasi penangkapan (Karman, 2008). Perikanan soma pajeko tidak terlepas dari kapal yang memuat personil kerja (nelayan) dan hasil tangkapannya. Pengoperasian alat tangkap soma pajeko yang dilakukan pada malam hari hingga pagi hari di perairan Bitung mempunyai peluang kecelakaan bagi nelayan. Hal ini juga berlaku terhadap keselamatan nelayan pada aktivitas mulai dari persiapan di pelabuhan menuju lokasi fishing ground sampai kembali ke pelabuhan beserta muatan pada kapal. FAO (2009) mengatakan bahwa penyebab utama kecelakaan laut yang berujung pada hilangnya nyawa manusia ini adalah murni kelalaian manusia (human error). Otoritas yang berwenang harus menetapkan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk memungkinkan kemudahan memperoleh informasi yang jelas saat berada di atas kapal agar nelayan dapat bekerja dengan nyaman sesuai dengan hak dan kewajibannya, seperti mengenai kondisi kerja yang ada (Purwangka et al. 2013). Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian terhadap keselamatan kerja nelayan pada aktivitas perikanan soma pajeko (mini purse seine), karena di dalam unit penangkapan ini jumlah nelayan yang terlibat cukup banyak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi aktivitas dan mengetahui intensitas kerja nelayan dalam pengoperasian soma pajeko yang berpotensi untuk menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja di laut. Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan November – Desember 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Bitung, Sulawesi Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi dan deskriptif kuantitatif. Metode observasi dilakukan secara langsung dengan mengikuti trip penangkapan soma pajeko.
Gambar 4 Peta lokasi penelitian di Bitung (diolah menggunakan piranti lunak yang mendukung)
8 Observasi ini dilakukan terhadap unit penangkapan ikan soma pajeko yang beroperasi di Bitung Sulawesi Utara untuk melihat secara langsung aktivitas penangkapan ikan dengan unit soma pajeko. Metode deskriptif kuantitatif digunakan dalam menggambarkan aktivitas pengoperasian soma pajeko dari tahap awal hingga akhir dengan pendekatan kuantitatif untuk mendapatkan nilai dari setiap tahap aktivitas tersebut. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer menurut Sugiyono (2011) dapat dilakukan dengan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (purposive sampling). Jumlah data yang diteliti akan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan jumlah nara sumber (awak kapal) yang banyak dalam 1 (satu) unit soma pajeko. Unit soma pajeko terbatas pada kriteria Perahu Motor Tempel (PMT) dengan panjang <24 meter dengan pengoperasian one day fishing. Jenis dan sumber data yang dikumpulkan disampaikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis Data 1) Unit Penangkapan Soma Pajeko
2) Urutan Aktivitas Pengoperasian Soma Pajeko
3) Perlengkapan Alat Keselamatan di Laut 4) Data informasi kecelakaan kerja soma pajeko di laut
Sumber data Kapal, meliputi dimensi, tonase, kondisi mesin dan kelengkapan surat ijin. Alat, meliputi dimensi kondisi alat, dan metode pengoperasian Nelayan, meliputi jumlah nelayan (termasuk nakhoda dan ABK), umur, pendidikan, Struktur organisasi di atas kapal, Persiapan Loading Pelayaran dari fishing base menuju fishing ground Setting Hauling Penanganan Hasil tangkapan di atas kapal Pelayaran dari fishing base menuju fishing ground Unloading Alat Perlindungan Diri (APD), emergency signal, radio, alat keselamatan di kapal. Dokumen-dokumen yang mendukung
Data dan informasi yang berhubungan dengan aktivitas pengoperasian soma pajeko dapat ditelaah secara mendalam dengan pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya. Hal-hal yang digali dengan wawancara berhubungan dengan pekerja di atas kapal (nakhoda dan ABK), pekerjaan, dan lingkungan kerja pengoperasian unit penangkapan ikan soma pajeko. Data sekunder diperoleh dari penelusuran pustaka untuk digunakan sebagai penunjang data primer. Prosedur teknik pengumpulan data pada penelitian untuk gambaran aktivitas soma pajeko dilakukan dengan pengambilan gambar menggunakan alat ukur kamera video. Data kecelakaan kerja dan informasi lainnya yang mendukung dilakukan dengan wawancara mendalam berdasarkan pedoman wawancara yang sudah disiapkan sebelumnya. Alat pendukung untuk penelitian antara lain Global Positioning System (GPS), kuisioner, dan alat tulis kantor.
9
Analisis Data Analisis data berdasarkan metode Formal Safety Assessment dimana tahapan pertama dari metode tersebut dilakukan identifikasi aktivitas dengan Hierarchical Task Analysis (HTA). Dalam HTA juga dikenal plan yang menjelaskan mengenai urutan dan kondisi suatu aktivitas yang dilakukan (Lane et al. 2008). Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan HTA adalah sebagai berikut : 1) Mengidentifikasi aktivitas utama yang akan dianalisis, dengan menentukan tujuan serta batasannya. 2) Memecah aktivitas utama menjadi sub aktivitas dan membangun plan. 3) Menghentikan sub aktivitas berdasarkan tingkat rinciannya. 4) Melanjutkan proses penguraian aktivitas. 5) Mengelompokkan beberapa sub aktivitas (jika terlalu detail) ke level yang lebih tinggi dari sub aktivitas. Sifat aktivitas dibagi atas aktivitas primer dan sekunder. Aktivitas primer berupa aktivitas yang harus dilakukan sesuai tahap dan urutannya dan tidak dapat dilakukan pada urutan tahap lain, sedangkan aktivitas sekunder dapat dikerjakan pada urutan aktivitas lain. Aktivitas pengoperasian soma pajeko diasumsikan mempunyai bobot pekerjaan yang sama. Untuk perhitungan total aktivitas kerja di atas kapal dijumlahkan dari banyaknya aktivitas primer dan sekunder pada masing-masing tahapan aktivitas. : (
)
sehingga dapat dijabarkan menjadi : ∑ dengan
:
∑
........................... (1)
i = tahap ke – 1,2,…..,n n = jumlah tahap aktivitas
Intensitas kerja (work intensity) sebagian besar diteliti melalui studi kuantitatif dengan menggunakan instrumen survei skala besar dan telah dipahami sebagai serangkaian pengukuran seperti: kecepatan kerja (pace of work); kebutuhan untuk memenuhi tenggat waktu yang ketat; seberapa keras atau seberapa banyak usaha pekerja dimasukkan ke dalam pekerjaan mereka (Hamilton 2007). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intensitas adalah keadaan tingkatan atau ukuran intensnya. Intensitas kerja yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan ukuran jumlah awak kapal (orang) yang terlibat dalam 1(satu) aktivitas. Satuan untuk intensitas kerja ini yang dipakai adalah Orang Aktivitas (OA). Intensitas kerja primer dan sekunder dihitung untuk mendapatkan nilai total intensitas kerja. Kedua intensitas tersebut dirumuskan sebagai berikut: ∑ ∑ dengan :
( ( IKP IKT i n
) ...........(2) )…..…..(3)
ndeks
……….................(4) ta a ke-i= i …..….(5)
= Intensitas Kerja Primer IKS = Intensitas Kerja Sekunder = Total Intensitas Kerja OA = Orang Aktivitas (satuan unit ‘intensitas kerja’) = tahap ke – 1,2,…..,n = jumlah tahap aktivitas
10 Persamaan (2) dan (3) akan menghasilkan Intensitas Kerja Total (IKT). Indeks Intensitas Kerja Primer (IKP) digunakan dalam menentukan ranking. Nilai IKP masing-masing tahap aktivitas diurutkan dari nilai IKP terbesar hingga terkecil. Menurut Silaban (2010), terdapat hubungan yang sangat signifikan (p<0,01) antara jumlah keterlibatan tenaga kerja dengan jumlah kecelakaan kerja. IKP yang paling besar menunjukkan ranking aktivitas paling tinggi dimana keterlibatan awak kapal paling besar. Pada aktivitas dimana keterlibatan awak kapal paling banyak akan memiliki peluang terjadinya risiko kecelakaan yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas lainnya. Hasil dan Pembahasan Perikanan soma pajeko termasuk ke dalam perikanan mini purse seine yang sampai saat ini masih banyak dioperasikan di perairan Bitung, Sulawesi Utara. Kapal penangkapan yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil adalah kapal yang digunakan untuk mengoperasikan mini purse seine yang menurut istilah nelayan dari Bitung disebut soma pajeko (Karman, 2008). Berdasarkan data Syahbandar Perikanan Bitung tahun 2009 panjang kapal (LOA) soma pajeko berkisar antara 11 – 14 meter dengan jumlah ABK kapal sebanyak 9 – 25 orang. Pada umumnya metode pengoperasian soma pajeko dengan jenis PMT (Perahu Motor Tempel) dengan panjang kapal <24 meter melakukan operasi one day fishing dilakukan setiap malam hari. Surat Ijin Berlayar (SIB) dan Surat Layak Operasi (SLO) diurus setiap tiga hari sekali. Area penangkapan ikan (fishing ground) untuk pengoperasian soma pajeko umumnya pada perairan sekitar Batu Putih, Sulawesi Utara, sekitar rumpon pada 30-60 mil atau belakang pulau Lembeh. Observasi dilakukan pada unit penangkapan ikan soma pajeko yang telah memiliki SIB dan SLO dari Syahbandar Perikanan PPS Bitung dengan dimensi panjang kapal (LOA=12 meter), lebar kapal (B=3 meter), dalam (D=1 meter) dengan total awak kapal (nakhoda dan ABK) sebanyak 28 orang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat struktur organisasi di atas kapal untuk PMT soma pajeko dengan ukuran panjang kapal <24 meter terdiri atas 4 (empat) perwira, 2 (dua) operator pendukung operasi penangkapan ikan dan ABK biasa. Kapten/Tonaas
Asisten Kapten
Operator winch
Kepala Kerja
Pengurus (Chief)
Juru Mudi/ Juru Mesin
Anak Buah Kapal (ABK) biasa Sumber : data hasil penelitian
Gambar 5 Struktur organisasi di atas PMT soma pajeko <24m di Bitung
11 Istilah perwira yang digunakan oleh nelayan soma pajeko di Bitung secara normatif untuk menunjukkan jabatan dan fungsi tanggung jawab kerja pada pengoperasian soma pajeko PMT<24 meter di Bitung. Istilah dan pembagian tugas jabatan di atas kapal dari 4 (empat) perwira tersebut adalah dijelaskan sebagai berikut sebagai berikut : (1) Kapten/Tonaas
: sebagai nakhoda kapal yang membuat perencanaan pelayaran, tujuan operasi penangkapan ikan, penentu keputusan, merangkap sebagai tonaas (fishing master) yang menentukan keberhasilan proses penangkapan ikan, bertanggung jawab penuh terhadap keslaikan dan keselamatan kapal dan muatan. (2) Asisten Kapten : membantu kapten dalam kode navigasi pelayaran dan asisten fishing master (3) Kepala Kerja : menyiapkan kegiatan setting, hauling dan penanganan hasil tangkapan. (4) Pengurus (Chief) : administrasi surat – surat ijin berlayar, pencatatan pembelian perbekalan, persiapan, logistik, mengatur penempatan hasil tangkapan pada kapal. Pembagian jabatan di atas kapal pada perikanan soma pajeko dengan panjang kapal <24 meter di PPS Bitung bila dilihat dari pengaturan tanggung jawab perwira menyerupai pengaturan organisasi di kapal ikan pada umumnya. Pada kasus kapal soma pajeko yang berupa PMT <24 meter di Bitung jumlah awak pada unit penangkapan ikan yang diteliti memiliki total awak kapal sebanyak 28 orang dengan pengalaman kerja kapten kapal selama 20 tahun dengan kompentensi SKK-60 Mil. Tanggung jawab kapten kapal soma pajeko sebagai nakhoda sesuai dengan peraturan UU. No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan PP No. 7 tahun 2008 tentang Kepelautan. Pada struktur tersebut (Gambar 5) tidak ada perwira bagian mesin yaitu Kepala Kamar Mesin (KKM) karena kondisi kapal soma pajeko berupa PMT yang tidak memiliki ruang mesin. Juru mudi merangkap sebagai juru mesin kapal (untuk olah gerak kapal). Operator mesin winch hanya bertanggungjawab pada saat proses penangkapan ikan dan perawatan mesin winch sebagai alat bantu operasi penangkapan ikan. Kedua operator tersebut tidak mempunyai wewenang untuk mengatur ABK namun bertanggungjawab langsung kepada kapten/tonaas. Hal ini menunjukkan telah ada pengaturan tanggung jawab sesuai dengan perjanjian kerja laut yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD 395) dengan pemilik kapal/perusahaan. Tahapan Aktivitas Soma Pajeko di Bitung Pekerjaan/aktivitas dalam HTA dibagi menjadi beberapa level. Hal ini juga sangat bermanfaat untuk melihat aktivitas dalam berinteraksi dengan peralatan kerja dan aspek lingkungan kerja. Pekerjaan/aktivitas dibagi atas beberapa level berdasarkan tujuan yang ingin dicapai (Lyons et al. 2004). Level 0 menunjukan aktivitas atau sub-goals yang ingin dicapai. Tahapan aktivitas soma pajeko di PPS Bitung dikelompokkan menjadi 8 (delapan) tahap aktivitas pokok (sub-goal). Tahapan tersebut dijabarkan pada Tabel 2 berikut.
12 Tabel 2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tahapan aktivitas pengoperasian PMT soma pajeko <24 m Tahapan Aktivitas Persiapan di darat Loading Berlayar ke fishing ground Setting Hauling Penanganan hasil tangkapan di atas kapal Berlayar ke fishing base Unloading
Soma pajeko melakukan one day fishing di malam hari. Tahap 3, 4 dan 5 dapat berulang hingga mencapai 4 (empat) kali dalam 1 (satu) kali trip. Dalam HTA juga dikenal plan yang menjelaskan mengenai urutan dan kondisi suatu aktivitas yang dilakukan. Pekerjaan ini dipecah menjadi operasi sampai level paling rendah (Lane et al., 2008). Tiap tahapan akan dirinci lebih lanjut menjadi beberapa sub aktivitas. Penanggungjawab serta keterlibatan awak kapal yang digambarkan pada Gambar 5 ditempatkan berdasarkan tugas dan jabatannya di atas kapal soma pajekeo sesuai dengan aktivitasnya. Intensitas kerja awak kapal meliputi total keterlibatan awak berdasarkan jenis aktivitasnya seperti ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 3 HTA (Hierarchical Task Analysis) pengoperasian PMT soma pajeko <24 m No.
1 2
3 4 5
1 2 3 4 5
1
Aktivitas (plan)
Penanggung Jawab
0. Tahap 1 (Persiapan) Pengurusan dokumen-dokumen SIB (3 hari Chief sekali) Mendata ABK 2.1. Pengecekan kehadiran ABK Chief 2.2. Pembagian tugas ABK Chief 2.3. Pembelian perbekalan kru kapal Chief Pengecekan dan perbaikan alat tangkap Kepala kerja Pengecekan dan pengaturan mesin kapal Chief Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang Chief ikan sub total Tahap 1 : 0. Tahap 2 (Loading) Pengangkutan dan pengisian bensin Chief Pengangkutan dan pengisian es kedalam palka Chief Pengangkutan jerigen air minum Chief Pengangkutan blong dan keranjang tambahan Chief Awak naik ke kapal Chief sub total Tahap 2 : 0. Tahap 3 (Berlayar ke Fishing Ground) Bertolak dari dermaga Kapten 1.1. Melepas tali tambat 1.2. Juru mesin menyalakan motor dan Kapten mengarahkan kapal keluar kolam pelabuhan
Intensitas Kerja (OA = Orang Aktivitas)
jenis aktivitas
1
Primer
1 1 1 3 2 3
Primer Primer Primer Primer Primer Primer
12 OA 6 6 6 6 28 52 OA
Primer Primer Primer Primer Primer
4 2
Primer Primer
13 Tabel 3 No.
2 3 4 5
6 7
1 2
3 4 5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
HTA (Hierarchical Task Analysis) pengoperasian PMT soma pajeko <24 m (lanjutan) Aktivitas
0. Tahap 3 (Berlayar ke Fishing Ground) 1.3. ABK mendorong kapal lain di sisi kanan dan kiri Membuang air di lambung kapal ABK memakan perbekalan ABK mengganti pakaian/ mengenakan jas hujan Persiapan alat tangkap : 5.1. Membuka terpal penutup jaring 5.2. Menyiapkan jaring, pelampung dan cincin ABK mematikan lampu di kapal Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju FG sub total Tahap 3 : 0. Tahap 4 (Setting) 2 ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal lampu Pemasangan alat tangkap 2.1. Menurunkan pelampung tanda 2.2. Mengatur bagian jaring untuk diturunkan 2.3. Menurunkan bagian sayap jaring 1 2.4. Menurunkan bagian badan jaring 2.5. Menurunkan bagian sayap jaring 2 Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring sub total Tahap 4 : 0. Tahap 5 (Hauling) Penyelam mengawasi ikan, jaring dan memberikan kode Operator winch menyalakan mesin ABK memasang tali kolor ke winch Operator megoperasikan winch menaikkan cincin-cincin Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang) ABK bersiap di posisi (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan) ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling Mengatur posisi alat tangkap saat hauling sub total Tahap 5 :
Penanggung Jawab
Intensitas Kerja (OA = Orang Aktivitas)
jenis aktivitas
Kapten
7
Primer
Kepala kerja Chief Chief
2 28 28
Primer Sekunder Sekunder
Kepala kerja Kepala kerja Kepala kerja Kapten
8 6 1 2
Primer Primer Primer Primer
88 OA Asisten Kapten
3
Primer
Kapten Kepala kerja Kapten Kapten Kapten Kapten
4 11 7 7 7 2
Primer Primer Primer Primer Primer Primer
Kapten
2
Primer
Kepala kerja
26
Primer
69 OA Asisten Kapten
3
Primer
Kapten Kapten Kapten
2 5 10
Primer Primer Primer
Kepala kerja
5
Primer
Kepala kerja
28
Primer
Kapten
28
Primer
Chief
28
Primer
Kapten
2
Primer
Kapten
28
Primer
139 OA
14 Tabel 3 HTA (Hierarchical Task Analysis) pengoperasian PMT soma pajeko <24 m (lanjutan) No.
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
1
2 3 4
Aktivitas
Penanggung Jawab
0. Tahap 6 (Penangan Hasil Tangkapan di atas Kapal) Mengangkat ikan dari kantong jaring dengan Kepala kerja alat serok Memasukkan ikan kedalam blong atau palka Chief bila blong penuh Memecahkan es dan memasukkan ke dalam Kepala kerja blong ABK merapihkan bentuk jaring untuk setting Kepala kerja selanjutnya Bila tidak ada setting lanjutan maka ikan Kepala kerja disortir ke dalam keranjang sub total Tahap 6 : 0. Tahap 7 (Berlayar ke Fishing Base) Tonaas mengarahkan arah menuju FB Kapten Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal Kapten ABK merapihkan bentuk jaring untuk Kepala kerja disimpan ABK menyortir ikan ke dalam keranjang Chief ABK istirahat/memakan perbekalan Chief sub total Tahap 7 : 0. Tahap 8 (Unloading) Melabuhkan kapal di kolam TPI 1.1. ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal 1.2. Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh 1.3. Melemparkan tali 1.4. ABK menurunkan hasil tangkapan Juru mudi mengarahkan kapal dari kolam TPI menuju dermaga soma pajeko. ABK turun kapal dengan perlengkapan masing-masing 2 orang ABK piket menjaga kapal dan membersihkan kapal soma pajeko sub total Tahap 8 :
Intensitas Kerja (OA = Orang Aktivitas)
jenis aktivitas
16
Primer
16
Primer
6
Primer
28
Primer
11
Sekunder
77 OA 3 3 28
Primer Primer Primer
11 28
Primer Sekunder
73 OA
Kapten
7
Primer
Kapten Kapten Kapten Kapten
2 5 7 2
Primer Primer Primer Primer
Chief
28
Primer
Chief
2
Primer
53 OA
Porsi Tanggung Jawab Perwira pada Pengoperasian Soma Pajeko Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk pengoperasian soma pajeko teridentifikasi 8 aktivitas pokok dimana terdapat total 58 aktivitas. Setiap aktivitas yang melibatkan jumlah awak kapal, area kerja dan energi akan berisiko menimbulkan bahaya. Berdasarkan Tabel 2 dapat dihitung porsi tanggung jawab kerja dari tiap perwira soma pajeko. Porsi terbesar adalah kapten sebanyak 40 % dari total aktivitas pengoperasian soma pajeko (Gambar 6). Saputra et. al. (2013) menyebutkan bahwa salah satu tanggung jawab nakhoda (kapten kapal) adalah membuat kapalnya layak laut agar tujuan keselamatan dan keamanan kapal, penumpang dan muatan terjamin. Oleh karena itu diperlukan suatu kemampuan dan kecermatan seorang nakhoda dalam memimpin suatu kapal.
15
Gambar 6 Porsi beban tanggung jawab kerja 4 perwira soma pajeko Kapten kapal soma pakejo merangkap jabatan sebagai Tonaas atau fishing master yang menentukan keberhasilan atau tidaknya proses penangkapan ikan. Sesuai dengan tanggung jawabnya, jabatan kapten adalah pemimpin di atas kapal. Nelayan soma pajeko memiliki aturan “1 ka ten, 1 ka al” yang artinya semua tanggung jawab atas keselamatan kapal saat berlayar, keselamatan awak, keselamatan alat tangkap yang dioperasikan. Gambar 7 menunjukkan Porsi beban tanggung jawab kerja dari 4 (empat) perwira soma pajeko di tiap tahapan kerja. Gambar tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan 4 (empat) perwira secara bersamaan terjadi pada tahap aktivitas ke -5 (Hauling). Tahap hauling menunjukkan porsi tanggung jawab terbesar terletak pada Kapten sebesar 60% dari 10 tugas (task). Hal ini menjelaskan pula bahwa Kapten mempunyai beban tanggung jawab terhadap keberhasilan proses operasi penangkapan ikan. Oleh karena itu jelas dibuktikan bahwa nakhoda kapal di kapal penangkap ikan tradisonal khususnya PMT soma pajeko di Bitung dengan ukuran panjang kapal <24 m memiliki 2 (dua) jabatan yaitu kapten kapal ikan merangkap juga sebagai fishing master. Asisten Kapten
Kepala kerja
Chief
Kapten
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
1
2
3
4
5
6
7
8
Tahap aktivitas ke -
Gambar 7 Persentase porsi tanggung jawab perwira aktivitas soma pajeko
16 Intensitas Kerja Nelayan Soma Pajeko Tabel 4 berikut menunjukkan rincian banyaknya jumlah aktivitas pada pengoperasian soma pajeko. Aktivitas terbagi atas aktivitas primer dan sekunder. Aktivitas primer merupakan aktivitas yang harus dilakukan pada urutan tahapannya karena mempengaruhi keberhasilan proses untuk mencapai tujuan. Aktivitas sekunder tidak harus dilakukan sesuai urutannya karena bersifat tidak terikat untuk mencapai tujuan tahap tersebut. Tabel 4 Jumlah aktivitas primer dan sekunder pengoperasian soma pajeko Tahap keprimer 7 5 8 9 10 4 4 7 54
1 2 3 4 5 6 7 8 Total
∑aktivitas Sekunder
Total aktivitas 0 0 2 0 0 1 1 0 4
7 5 10 9 10 5 5 7 58
Pengoperasian soma pajeko mempunyai 54 aktivitas primer dari total aktivitas sejumlah 58 aktivitas. Persentase aktivitas primer sebesar 93,1% dibandingkan aktivitas sekunder yang berjumlah 4 (empat) aktivitas (6,9%). Tahapan aktivitas yang paling berisiko tinggi terhadap keselamatan kerja nelayan adalah tahapan ke-5 yaitu hauling. Pada tahapan ini semua aktivitas bersifat primer dan merupakan aktivitas yang paling tinggi melibatkan semua awak kapal (ABK dan perwira) di atas kapal. Tabel 5 Intensitas kerja awak kapal soma pajeko Tahap ke – (i) 1 2 3 4 5 6 7 8 TOTAL
IKPi (OA) 12 52 32 69 139 66 45 53 468
Keterangan : IKP = Intensitas Kerja Primer IKS = Intensitas Kerja Sekunder
IKSi (OA) 0 0 56 0 0 11 28 0 95
IKTi (OA) 12 52 88 69 139 77 73 53 563
Indeks IKPi
Ranking
0,026 0,111 0,068 0,147 0,297 0,141 0,096 0,113
8 5 7 2 1 3 6 4
IKT = Total Intensitas Kerja OA = Orang Aktivitas (satuan unit ‘intensitas kerja’)
Total Intensitas Kerja Primer (IKP) pada pengoperasian 1 (satu) unit soma pajeko adalah 468 OA dan Total Intensitas Kerja Sekunder (IKS) adalah 95 OA. Intensitas Kerja Total (IKT) pada pengoperasian soma pajeko adalah 563 OA. Hal ini berarti bahwa untuk melakukan aktivitas pengoperasian soma pajeko dari tahapan awal hingga akhir membutuhkan usaha kerja/keterlibatan awak kapal setara dengan 563 orang. Indeks IKP dihitung pada tiap tahap aktivitas. Berdasarkan tabel yang disajikan ranking aktivitas paling tinggi adalah tahap ke-5 (hauling). Tahap
17 aktivitas ke-5 (hauling) memiliki nilai indeks IKP yang terbesar yaitu sebesar 0,297. Tahapan ini mempunyai total 10 aktivitas (17% dari 93,1% aktivitas primer) dan memiliki total IKP tertinggi yaitu sebanyak 139 OA dibanding aktivitas lainnya. Hal ini berarti bahwa untuk mencapai tujuan seluruh aktivitas tahap 5 (hauling) membutuhkan usaha keterlibatan awak kapal setara dengan 139 orang. European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions (2001) menyatakan terdapat hubungan yang sangat kuat antara tingkat intensitas dengan masalah kesehatan di satu sisi, dan dengan akibat kecelakaan di sisi lainnya. Pekerja yang terpapar dengan intensitas tinggi juga lebih cenderung untuk melaporkan posisi yang melelahkan dan menyakitkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Josephus (2011) bahwa purse seine (pukat cincin) merupakan alat penangkapan ikan dengan sistem kerja yang sangat mengandalkan keberadaan dan kekuatan fisik manusia sebab pada saat menarik, cincin dan jaring bertumpuh pada tali sehingga beban tarikan menjadi semakin berat, cepat lelah dan adanya keluhan muskuloskeletal. Keluhan tersebut apabila dibiarkan maka akan menimbulkan kecelakaan dan cedera akibat kerja. Berdasarkan hasil wawancara nelayan soma pajeko, hauling adalah aktivitas yang dirasakan paling berat dan berisiko tinggi terjadinya kecelakaan kerja. Pada tahap ini tetap membutuhkan tenaga manusia untuk menarik jaring walaupun terdapat teknologi winch untuk membantu menarik tali kolor dan cincin-cincin ke atas kapal. Hal ini menyebabkan awak kapal yang bekerja untuk pengoperasian soma pajeko diharuskan memiliki kekuatan fisik dan keterampilan yang memadai untuk kesuksesan terlaksananya aktivitas hauling. ‘ ntensitas kerja tinggi’ (high work intensity) merupakan keseluruhan kontribusi negatif terhadap kualitas pekerjaan intrinsik (pokok) yang mengacu pada intensitas usaha tenaga kerja selama waktu pekerjaannya (Eurofound 2012). Pengoperasian soma pajeko pada tahap setting dan hauling dapat dilakukan minimal 1 (satu) hingga 4 (empat) kali pengulangan. Pengulangan aktivitas tersebut membuat intensitas kerja awak kapal semakin tinggi dan menambah beban kerja bagi awak kapal. Hal ini akan berdampak pada kinerja awak kapal yang semakin menurun akibat kelelahan. Akibat dari kelelahan tersebut berpotensi untuk membuat peluang terjadinya kecelakaan kerja semakin besar yang dapat menimbulkan terjadinya kecelakan di laut karena kesalahan manusia. Tahap aktivitas hauling ini merupakan titik kritis (level aktivitas paling tinggi) dari tahapan keseluruhan pengoperasian soma pajeko yang mempengaruhi keselamatan kerja nelayan soma pajeko. Untuk menghindari kondisi yang makin memperbesar intensitas kerja nelayan soma pajeko, diperlukan distribusi pembagian kerja antara awak kapal dengan kompetensi yang dimiliki sesuai dengan jenis pekerjaannya. Dengan demikian dapat diukur intensitas kerja yang optimal (tidak kurang dan tidak berlebihan) terhadap tiap tahap aktivitas pengoperasian soma pajeko. Identifikasi Bahaya Kecelakaan Kerja pada Pengoperasian Soma Pajeko Pengoperasian alat tangkap soma pajeko yang dilakukan pada malam hari hingga pagi hari di perairan Bitung mempunyai potensi terjadinya kecelakaan bagi nelayan. Hal ini juga berlaku terhadap keselamatan nelayan pada aktivitas mulai dari persiapan di pelabuhan menuju lokasi fishing ground sampai kembali ke
18 pelabuhan beserta muatan pada kapal.Menurut Suma’mur (1995), definisi kecelakaan adalah kejadian tidak terduga dan tidak diharapkan. Dikatakan tidak terduga karena dibelakang peristiwa yang terjadi tidak terdapat unsur kesengajaan atau unsur perencanaan, sedangkan tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan disertai kerugian materil ataupun menimbulkan penderitaan dari skala paling ringan sampai skala paling berat. Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja atau sedang melakukan pekerjaan di suatu tempat kerja. IMO (2007) dalam terminologi dasarnya menyebutkan bahwa bahaya (hazard) adalah sesuatu yang berpotensi mengancam kehidupan manusia, kesehatan, properti atau lingkungan. Menurut Ridley & Channing (1998), bahaya biasanya digambarkan dengan tingkat bahaya dan dapat diperhitungkan. Bahaya adalah sumber risiko atau situasi yang berpotensi menimbulkan kerugian. Penilaian untuk konsekuensi yang ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian soma pajeko terhadap dampaknya kepada keselamatan nelayan dikelompokkan atas 4 (empat) jenis yaitu kelelahan, terluka, cedera dan tenggelam. Istilah kelelahan biasanya menunjukan kondisi yang berbeda-beda pada setiap individu tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka et al., 2004). Istilah terluka yng dimaksud adalah berupa sayatan luka ringan, memar yang dapat ditangani langsung di tempat kejadian tanpa mengurangi hari kerja. Istilah cedera yang dimaksud adalah segala bentuk cedera yang dimaksud dalam maritime glossary (2000) Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yaitu cedera ringan dan berat yang dapat berupa cedera otot, diskolasi tulang, membutuhkan alat untuk meyadarkan diri, perlu perawatan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan sejenis sampai dengan jangka waktu lebih dari 24 jam. Istilah tenggelam yang dimaksud adalah kematian yang disebabkan mati lemas (kekurangan napas) ketika cairan menghalangi kemampuan tubuh untuk menyerap oksigen dari udara. Deskripsi dari Tabel 3 (tabel HTA) menghasilkan urutan kegiatan dengan skenario dan plan sebagai berikut secara bertahap sesuai dengan sub-goal yang ingin dicapai. Pada tahap pertama untuk pengoperasian soma pajeko adalah persiapan. Tahap ini mempunyai 7 (tujuh) kegiatan dengan total 12 OA.
19
0. Persiapan
1. Pengurusan dokumen SIB
2. Mendata ABK
3. Pengecekan dan perbaikan alat tangkap
Plan 2 : do 2.1, 2.2, 2.3 in order then exit
4. Pengecekan dan pengaturan mesin kapal
5. Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan
2.1. Pengecekan kehadiran ABK 2.2 Pembagian tugas ABK
2.3 Pembelian perbekalan awak kapal
Gambar 8 HTA tahap 1 (persiapan) Tahap 1 (persiapan) merupakan tahap awal dari tujuan besar (goal) pengoperasian soma pajeko. Tahap ini dimulai dengan aktivitas pengurusan suratsurat dan kelengkapan ijin berlayar yang dilakukan 3 (tiga) hari sekali. Unit soma pajeko berlayar setiap hari pada malam hari sehingga pengurusan Surat Ijin Berlayar (SIB) dan kelengkapannya tidak dapat dilakukan setiap hari. Hal ini berlaku pada semua unit kapal ikan yang melakukan trip penangkapan one day fishing. Bagan HTA tahap 1 (Gambar 8) menunjukkan adanya plan (rencana) yang harus dilakukan secara berurutan terlebih dahulu pada aktivitas 2 (mendata ABK) sebelum melakukan aktivitas pengecekan dan perbaikan alat tangkap, pengecekan dan pengaturan mesin kapal dan pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan. Tabel 6 Identifikasi kegagalan pada tahap 1 (persiapan) Langkah
Deskripsi Tugas
Deskripsi kegagalan
Konsekuensi kegagalan
0.
Persiapan
1
Surat-surat tidak lengkap, pelanggaran hukum
Kelelahan
2
Pengurusan dokumen-dokumen SIB (3 hari sekali) Mendata ABK
2.1
Pengecekan kehadiran ABK
Kekurangan jumlah ABK
Kelelahan
2.2
Pembagian tugas ABK
Kelelahan
2.3
Pembelian perbekalan kru kapal
3
Pengecekan dan perbaikan alat tangkap
4
Pengecekan dan pengaturan mesin kapal Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan
Tugas dan fungsi ABK tidak sesuai Biaya tidak mencukupi, kurang perbekalan Penggunaan alat perbaikan yang salah mengenai tubuh, terjepit antar kapal Kerusakan mesin, konsleting mesin, terbakar Blong/keranjang rusak, Kekurangan blong dan keranjang
5
Kelelahan Terluka
Terluka Kelelahan
20
Berdasarkan Tabel 6, potensi bahaya yang ditimbulkan dari rangkaian aktivitas untuk tujuan (sub-goal) tahap 1 (persiapan) terdiri atas kelelahan dan terluka. Peluang konsekuensi kelelahan terjadi pada 5 (lima) aktivitas sedangkan konsekuensi terluka terjadi pada 2 (dua) aktivitas yaitu pengecekan perbaikan alat tangkap dan mesin kapal. Kedua aktivitas tersebut memerlukan perhatian dan ketelitian sehingga nelayan yang melakukan aktivitas tersebut harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih dibandingkan lainnya. Kondisi tahap persiapan ini merupakan perencanaan aktivitas pengopersaian soma pajeko, oleh karena itu peluang timbulnya konsekuensi kelelahan akan lebih banyak muncul apabila kegiatan perencanaan ini gagal dilakukan dengan baik. Tahap 2 (loading) yaitu pemuatan pada kapal memiliki 5 aktivitas dengan intensitas kerja sebesar 52 OA . Gambaran HTA tahap 2 pada pengoperasian soma pajeko dapat dilihat pada Gambar 9 berikut. 0. Loading
1. Pengangkutan dan pengisian BBM & oli
2. Pengangkutan dan pengisian es ke dalam palka
3. Pengangkutan jerigen air minum
4. Pengangkutan blong dan keranjang tambahan
5. Awak naik ke kapal
Gambar 9 HTA tahap 2 (loading) Bagan HTA tahap 2 menujukkan bahwa kegiatan pemuatan meliputi barngbarang kebutuhan untuk operasi penangkapan ikan dan juga personil kerja (awak kapal). Pada saat observasi berlangsung terjadi ketidaksesuaian prosedur kerja yang disebabkan oleh ketidakpedulian nelayan dan interaksinya dengan personil kerja lain saat melakukan pengisian BBM ke dalam tempat penampungannya di kapal. Tabel 7 Identifikasi kegagalan pada tahap 2 (loading) Langkah
Task Description
0.
Loading
1
Pengangkutan dan pengisian bensin dan Oli
2
Pengangkutan dan pengisian es ke dalam palka
3
Pengangkutan jerigen air minum
4
Pengangkutan blong dan keranjang tambahan
5
Awak naik ke kapal
Deskripsi kegagalan
Konsekuensi kegagalan
Kerusakan jerigen, BBM/Oli kurang, BBM/Oli jatuh/tumpah, Kerusakan selang bensin BBM bocor, terbakar, Benda jatuh mengenai tubuh Es jatuh ke laut, Kebutuhan Es kurang, Alat ganjo mengenai tubuh, tertimpa es Jerigen terjatuh, benda jatuh mengenai tubuh, Jerigen rusak/bocor Benda jatuh mengenai tubuh, Penempatan blong dan keranjang sembarangan, terbatas area kerja Terpeleset dari papan saat naik perahu, Terjatuh
terluka
Terluka
Cedera Kelelahan
Cedera
21 Berdasarkan Tabel 7, potensi bahaya yang ditimbulkan dari rangkaian aktivitas untuk tujuan (sub-goal) tahap 2 (loading) terdiri atas kelelahan, terluka dan cedera. Peluang konsekuensi kelelahan terjadi pada aktivitas pengangkutan blong dan keranjang tambahan dikarenakan adanya kegagalan terbatasnya area kerja akibat penempatan/penambahan keranjang dan blong tidak benar. Konsekuensi terluka terjadi pada kegiatan pengangkutan dan pengisian BBM dan oli serta pengangkutan dan pengisin es ke dalam palka. Kedua aktivitas tersebut memerlukan perhatian dalam pengerjaannya namun pada kenyataannya terjadi ketidakdisiplinan dari interaksi antar awak kapal yang dapat menimbulkan kerugian baik jiwa dan material. Salah satu kasus kejadian adalah kebiasaan merokok di area pengisian BBM. Peluang konsekuensi cedera terjadi pada saat pengangkutan jerigen air minum dan saat awak kapal naik ke kapal. Plan 0 : do 1 to 7 in sequence
0. Berlayar ke Fishing Ground
1. Bertolak dari dermaga
2. Membuang air di lambung kapal
Plan 1 : do 1.1 first then 1.2 and 1.3
1.1. Melepas tali tambat
4. Mengganti pakaian/ jas hujan
3. Memakan perbekalan
1.2. Juru mesin menyalakan motor dan mengarahkan kapal 1.3. ABK mendorong kapal lain di sisi kanan & kiri
5. Persiapkan alat tangkap
6. Mematikan lampu di kapal
Plan 5 : do 5.1 then 5.2
5.1. Membuka terpal penutup jaring
7. Mengarahkan kapal dengan lampu sorot Menuju Fishing Ground
5.2. Menyiapkan pelampung dan cincin
Gambar 10 HTA tahap 3 (berlayar ke fishing ground) Tahap 3 (berlayar ke fishing ground) memiliki 10 aktivitas dengan intensitas kerja sebesar 88 OA. Gambaran HTA tahap 3 pengoperasian soma pajeko dapat dilihat pada Gambar 10 di atas. Konsekuensi yang teridentifikasi pada tahap ini adalah terluka, cedera, kelelahan dan tenggelam. Identifikasi kegagalan aktivitas pengoperasian soma pajeko di tahap 3 tersaji pada Tabel 8. Potensi bahaya tenggelam terjadi pada aktivitas nomor 7 dengan deskripsi kekagagalannya adalah tubrukan kapal akibat dari ketidak jelasan kode dari Tonaas (fishing master) dalam hal ini kapten merangkap sebagai posisi tersebut. Peluang terjadinya bahaya terluka dan cedera dapat timbul karena Alat Perlindungan Diri (APD) masing-masing awak kapal tidak ada dan tidak memenuhi syarat keselamatan.
22 Tabel 8 Identifikasi kegagalan pada tahap 3 (berlayar ke fishing ground) Langkah
Deskripsi Tugas
0 1 1.1
Berlayar ke Fishing Ground Bertolak dari dermaga Melepas tali tambat
1.2
Juru mesin menyalakan motor mengarahkan kapal keluar kolam pelabuhan ABK mendorong kapal lain di sisi kanan dan kiri Membuang air di lambung kapal ABK memakan perbekalan
1.3 2 3 4 5 5.1 5.2 6 7
Deskripsi kegagalan
Konsekuensi kegagalan
Terpeleset/terjatuh akibat menginjak tali/tersangkut tali Kapal menabrak, mesin terbakar
Terluka
Anggota tubuh terbentur, terjepit, terjatuh ke laut Terjepit tuas pompa, kram tangan
Cedera
Makanan kurang
Kelelahan
ABK mengganti pakaian/ mengenakan jas hujan Persiapan alat tangkap :
Jas hujan rusak, tidak membawa jas hujan sehingga kedinginan
Kelelahan
Membuka terpal penutup jaring Menyiapkan jaring, pelampung dan cincin ABK mematikan lampu di kapal Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju FG
Terpeleset, terjatuh ke laut, tersangkut tali Tersangkut jaring, tertimpa cincin
Cedera
Konsleting listrik, terbakar
Terluka
Tubrukan/kandas kapal akibat tidak jelas kode arah
Tenggelam
Terluka
Kelelahan
Terluka
Tahap selanjutnya adalah tahap 4 (setting) yaitu pemasangan alat tangkap. Tahap ini terdiri atas 9 aktivitas dengan intensitas kerja sebesar 69 OA. HTA pada tahap ini disajikan pada Gambar 11. 0. Setting
1. 2 ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal lampu
2. Pemasangan alat tangkap
2.1. Menurunkan pelampung tanda 2.2. Mengatur bagian jarring untuk di turunkan
3. Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan
Plan 0 : do 1 first, then 2,3,4 then do 5
4. Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring
5. ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring
Plan 2 : do 2.1, 2.2, 2.3, 2.4, 2.5 in sequence
2.3. Menurunkan bagian sayap jaring 1
Gambar 11 HTA tahap 4 (setting)
2.4. Menurunkan bagian badan jaring
2.5. Menurunkan bagian sayap jaring 2
23 Konsekuensi kegagalan tenggelam terjadi pada saat penurunan bagian jaring. Kemungkinan bahaya yang dapat timbul adalah tersangkut pada jaring yang sedang diturunkan karena keadaan saat setting sangat gelap tanpa adanya penerangan di atas kapal. Intensitas kerja yang cukup besar menyebabkan kurangnya perhatian dan kelalaian manusia akibat terbatasnya penglihatan dengan kondisi area kerja saat penurunan alat tangkap. Konsekuensi kegagalan yang ditimbulkan pada aktivitas soma pajeko tahap 4 (setting) adalah cedera, kelelahan dan tenggelam. Identifikasi kegagalan pada tahap 4 (setting) ditunjukkan pada Tabel 9. Saat kapten memberikan instruksi kepada juru mudi untuk menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan, 4 (empat) mesin kapal dinyalakan untuk memberikan kecepatan penuh pada kapal. Hal ini sangat menentukan keberhasilan penangkapan ikan. Apabila terjadi kegagalan pada aktivitas ini maka proses selanjutnya (hauling) dan penanganan hasil tangkapan tidak dapat dilanjutkan dan tahap 3 dan tahap 4 perlu dilakukan ulang. Tabel 9 Identifikasi kegagalan pada tahap 4 (setting) Langkah 0 1
2
Deskripsi Tugas
Deskripsi kegagalan
Konsekuensi kegagalan
Setting 2 ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal lampu Pemasangan alat tangkap
Terkena propeler karena salah turun kapal, anggota tubuh terbentur akibat salah posisi
Cedera
Tersangkut tali pelampung, sehingga terjatuh dari kapal, kesalahan posisi saat membuang pelampung tanda, Kesalahan mengatur bagian jaring menyebabkan setting gagal
Cedera
2.1
Menurunkan pelampung tanda
2.2
Mengatur bagian jarring untuk diturunkan
2.3
Menurunkan bagian sayap jaring 1 Menurunkan bagian badan jaring Menurunkan bagian sayap jaring 2 Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
Manuver salah, kegagalan setting
Kelelahan
Bentuk jaring tidak sempurna, gagal setting
Kelelahan
ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring
Posisi jaring tidak beraturan, tangan tergores karena menahan jaring
Kelelahan
2.4 2.5 3
4 5
Kelelahan
Kegagalan setting akan mengakibatkan pengulangan usaha kembali tanpa adanya kesempatan meraih hasil tangkapan. Hal ini akan menyebabkan kelelahan sehingga kinerja nelayan pun akan semakin menurun untuk melalukan pengulangan setting selanjutnya. Keberhasilan aktivitas setting akan dilanjutkan dengan tahap 5 (hauling) yaitu pengangkatan alat tangkap dan hasil tangkapan. Tahap hauling memiliki 10 aktivitas yang bersifat primer yang artinya harus dilakukan untuk keberhasilan tujuan aktivitas ini.
24 Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa tahap 5 (hauling) merupakan tahap yang memiliki intensitas kerja yang paling besar dibandingkan aktivitas lainnya. Intensitas kerja pada tahap ini sebesar 139 OA. Untuk melakukan tahap hauling membutuhkan keterlibatan manusia setara dengan 139 orang dalam 10 aktivitas. Tahap hauling ini dapatr dilakukan minimal 1 (satu) kali hingga 4 (empat) kali pengulangan sehingga berpotensi menimbulkan peluang kecelakaan kerja yang lebih besar dibandingkan aktivitas lainnya. Urutan aktivitas HTA pada tahap ini disajikan pada Gambar 12. 0. Hauling
Plan 0 : do 1 to 10 in sequence
1. Penyelam mengawasi ikan, jaring dan memberikan kode 2. Operator winch menyalakan mesin 3. ABK memasang tali kolor ke winch 4. Operator mengoperasikan winch menaikkan cincin-cincin 5. Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang) 6. ABK bersiap di posisi masing2 (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan) 7. ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek 8. Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring 9. Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling 10. Mengatur posisi alat tangkap saat hauling
Gambar 12 HTA tahap 5 (hauling) Tahap ini merupakan titik kritis dan penentuan dari keberhasilan pengoperasian soma pajeko. Identifikasi kegagalan terhadap kesalahan manusia pada tahap 5 menimbulkan konsekuensi tenggelam, cedera, terluka dan kelelahan. Aktivitas yang menyebabkan konsekuensi tenggelam adalah pada saat penyelam mengawasi ikan jaring dan memberikan kode. Aktivitas ini dapat berlangsung lama hingga alat tangkap dan hasil tangkapan naik ke dek kapal. Penyebab
25 kegagalan ini antara lain adanya daya tahan tubuh yang semakin berkurang sehingga menyebabkan hypothermia saat di air. Deskripsi kegagalan dan konsekuensi kegagalan pada tiap aktivitas di tahap 5 (hauling) digambarkan pada tabel berikut. Tabel 10 Identifikasi kegagalan pada tahap 5 (hauling) Langkah
Deskripsi Tugas
0
Hauling
1
Penyelam mengawasi ikan, jaring dan memberikan kode
2
Operator winch menyalakan mesin ABK memasang tali kolor ke winch
3
4
Operator megoperasikan winch menaikkan cincin-cincin
5
Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang) ABK bersiap di posisi masing2 (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan) ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek
6
7
8
9 10
Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling Mengatur posisi alat tangkap saat hauling
Deskripsi kegagalan
Konsekuensi kegagalan
Daya tahan kurang, cepat lelah akibat kedinginan, kode tidak benar, Mesin tidak berfungsi, gagal hauling Anggota tubuh tersangkut tali ke winch, tangan tergores karena menahan tali Tertimpa cincin, terlepeset, tersangkut tali, tercebur
Tenggelam
Terjepit, tersangkut bagian jaring
cedera
Terpeleset, terjatuh dari kapal, terbentur bagian kapal
Cedera
Tergores tali saat menarik jaring, posisi anggota tubuh tidak sesuai, terpeleset, terjatuh dari kapal Tertusuk, tergigit, tergores ikan hasil tangkapan
Terluka
Kapal oleng, terbalik, kerusakan mesin Posisi jaring tidak beraturan, kekurangan koordinasi antar kru kapal
Tenggelam
Kelelahan Cedera
Tenggelam
Terluka
Kelelahan
Aktivitas lain yang menimbulkan akibat tenggelam adalah kegagalan penarikan cincin ke atas dek kapal dan pada saat juru mudi mengatur olah gerak kapal saat proses hauling berlangsung. Kondisi nyata pada saat observasi berlangsung bahwa perlengkapan alat perlindungan diri seperti jaket pelampung tidak dipakai walaupun tersedia di kapal. Kebiasaan nelayan pada saat menarik jaring tanpa sarung tangan juga menimbulkan risiko terluka. Minimnya penerangan saat bersiap di posisi starboard (lambung kanan) bagian haluan, tengah dan buritan sehingga kecenderungan kesalahan akibat terpeleset, tersandung sehingga terbentur badan kapal. Tahap 3, 4 dan 5 dapat dilakukan hingga 4 (empat) kali pengulangan dalam 1 (satu) kali trip pengoperasian soma pajeko. Setelah aktivitas hauling terakhir maka akan dilanjutkan tahap 6 yaitu penanganan hasil tangkapan di atas kapal. Urutan aktivitas tahap ini digambarkan pada Gambar 13.
26
0. Penanganan hasil tangkapan di atas kapal Plan: do step5 if no repetition of sub goal setting
Plan 0: do1,2,3,4 in order
1. Mengangkat ikan dari kantong jaring dengan Alat Serok
2. Memasukkan ikan ke dalam blong atau palka bila blong penuh
3. Memecahkan es dan memasukkan ke dalam blong
4. ABK merapihkan bentuk jarring untuk setting selanjutnya
5. Bila tidak ada setting lanjutan maka ikan disortir ke dalam keranjang
Gambar 13 HTA Tahap 6 (penanganan hasil tangkapan) Tahap 6 pada pengoperasian soma pajeko meiliki 5 aktivitas dengan total intensitas kerja sebesar 77 OA. Potensi bahaya yang dapat timbul akibat kelalaian manusia pada tahap 6 adalah cedera, terluka, dan kelelahan. Terdapat kecenderungan untuk melakukan tindakan yang berbahaya pada saat memasukkan ikan ke dalam blong. Nelayan secara bersama-sama mengangkat serok dan ada 1 orang nelayan berdiri di atas bambu paling luar di portside (lambung kiri) kapal untuk menarik tungkai serok agar memudahkan pengangkatan ikan ke blong. Kesalahan posisi tubuh dan keputusan nelayan melakuakan tindakan berbahaya tersebut terjadi tanpa disadari demi keberhasilan sutu kegiatan. Aktivitas sekunder nomor 5 akan dilakukan apabila tidak ada pengulangan subgoal tahap 4 (setting). Identifikasi kegagalan pada tahap ini disajikan pada tabel berikut. Tabel 11 Identifikasi kegagalan pada tahap 6 (penanganan hasil tangkapan) Langkah 0 1
Deskripsi Tugas
Deskripsi kegagalan
Konsekuensi kegagalan
Penanganan Hasil Tangkapan di atas Kapal Mengangkat ikan dari kantong jarring dengan alat serok
Terpeleset, tersandung bagian jaring
Cedera
Terpeleset, tertimpa hasil tangkapan yang terlalu berat, terjatuh dari kapal saat menaikkan HT Kesalahan menggunakan alat pemecah es
Cedera
Posisi badan tidak benar, tergores tali/badan jaring
Cedera
Kesalahan menyortir ikan, keranjang tidak mencukupi
kelelahan
2
Memasukkan ikan ke dalam blong atau palka bila blong penuh
3
Memecahkan es dan memasukkan ke dalam blong
4
ABK merapihkan bentuk jarring untuk setting selanjutnya Bila tidak ada setting lanjutan maka ikan disortir ke dalam keranjang
5
Terluka
27
0. Berlayar ke Fishing Base
1. Tonaas mengarahkan arah menuju FB
2. Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal
3. ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan
4. ABK menyortir ikan ke dalam keranjang
5. ABK istirahat /memakan perbekalan
Gambar 14 HTA Tahap 7 (berlayar ke fishing base) Setelah aktivitas penanganan ikan di atas kapal selesai dilakukan, makan akan dilanjutkan tahap 7 (berlayar ke fishing base). Tahap ini terdiri atas 5 aktivitas dengan intensitas kerja nelayan sebesar 73 OA. HTA pada tahap ini disajikan pada Gambar 14. Konsekuensi kegagalan yang ditimbulkan pada aktivitas soma pajeko tahap 7 adalah cedera dan kelelahan. Identifikasi kegagalan pada perjalanan menuju fishing base ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 12 Identifikasi kegagalan pada tahap 7 (berlayar ke fishing base) Langkah
Deskripsi Tugas
Deskripsi kegagalan
Konsekuensi kegagalan
0
Berlayar ke Fishing Base
1
Tonaas mengarahkan arah menuju FB Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan ABK menyortir ikan ke dalam keranjang
Koordinasi tidak baik, Kesalahan arah kapal, Laju mesin tidak teratur, Kerusakan mesin kapal Posisi badan tidak benar, tergores tali/badan jaring, Kesalahan menyortir ikan, keranjang tidak mencukupi
Kelelahan
ABK istirahat/memakan perbekalan
Perbekalan jatuh ke laut, kekurangan waktu istirahat
Kelelahan
2 3 4 5
Kelelahan Cedera Kelelahan
Konsekuensi kegagalan pada tahap 7 didomianasi oleh potensi terjadinya kelelahan fisik pada 4 (empat) aktivitas. Aktivitas yang memiliki konsekuensi cedera adalah pada saat ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan. Tahap terakhir pada pengoperasian soma pajeko adalah aktivitas unloading (pembongkaran muatan kapal). Tahap ini memiliki 7 aktivitas dengan intensitas kerja sebesar 53 OA.
28 0. Unloading Plan 0: do 1, 2, 3 , 4 in sequence
2. Juru mudi mengarahkan kapal dari kolam TPI menuju dermaga soma pajeko.
1. Melabuhkan kapal di kolam TPI
3. ABK turun kapal dengan perlengkapan masing-masing
4. 2 orang ABK Piket menjaga kapal dan membersihkan kapal soma pajeko
Plan 1: do1.1, 1.2, 1.3, 1.4 in order then exit
1.1 ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal
1.2 Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh
1.3 Melemparkan tali
1.4 ABK menurunkan hasil tangkapan
Gambar 15 HTA Tahap 8 (unloading) Tabel 13 Identifikasi kegagalan pada tahap 8 (unloading) Langkah
Deskripsi Tugas
0
Unloading
1
Melabuhkan kapal di kolam TPI ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh
1.1 1.2
1.3
Melemparkan tali
1.4
ABK menurunkan hasil tangkapan
2
3 4
Juru mudi mengarahkan kapal dari kolam TPI menuju dermaga soma pajeko. ABK turun kapal dengan perlengkapan masing-masing 2 orang ABK piket menjaga kapal dan membersihkan kapal soma pajeko
Deskripsi kegagalan
Konsekuensi kegagalan
Anggota tubuh terbentur, terjepit, Terjatuh ke laut Kesalahan arah dan manuver kapal, menabrak kapal lain atau dermaga Kegagalan menyangkutkan tali, terpeleset, tersandung tali, terbentur dinding dermaga Terpeleset, tersandung, keranjang terjatuh mengenai tubuh/terjatuh ke laut Terbentur badan kapal lain, manuver tidak benar, kapal oleng
Cedera
Terjatuh, tersangkut tali,terbentur
Terluka
Kapal dan alat tangkap tidak terjaga keamanan dan kebersihan
Kelelahan
Cedera
Terluka
Terluka
Terluka
Berdasarkan pada Gambar 15 urutan aktivitas untuk tahap 8 yang pertama adalah menurunkan ikan hasil tangkapan di kolam Tempat Pelelangan Ikan (TPI) PPS Bitung (sub aktivitas no.1.4). Pembongkaran muatan kapal dan awak dilakukan di kolam dermaga soma pajeko. Berdasarkan Tabel 13, konsekuensi
29 kegagalan dalam aktivitas unloading (pembongkaran muatan) terdiri atas cedera, terluka dan kelelahan. Kondisi fisik nelayan yang sudah menurun akibat rangkaian aktivitas tahap sebelumnya akan memperbesar terjadinya potensi kecelakan akibat human error. Pada tahap ini, bahaya terbentur, akibat ketidakhati-hatian dalam melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan peralatan dan muatan di atas kapal. Khusus pada kegiatan perikanan, sebanyak 80% faktor kecelakaan laut disebabkan oleh kelalaian manusia (human error). Penyebab utama kecelakaan dan hilangnya nyawa dalam industri perikanan tidak hanya dari buruknya rancangan, pembuatan, dan perlengkapan kapal, namun juga perilaku manusia yang tidak pantas, terkadang diperparah oleh kesalahan, keteledoran atau ketidaktahuan (FAO 2009). Andi et al. 2005 menjelaskan bahwa pekerja dengan tingkat kompetensi yang baik diharapkan dapat meminimalisir terjadinya risiko kecelakaan kerja dan dapat membantu meningkatkan kompetensi pekerja yang lain terhadap keselamatan kerja. Pada tahapan hauling pengoperasian soma pajeko melibatkan seluruh awak kapal, membutuhkan intensitas kerja yang besar dimana beban tanggung jawab kerja terbesar terletak pada Kapten/Tonaas. Beban kapten sebagai pemimpin tertinggi di atas kapal sangat menentukan keberhasilan misi suatu pelayaran dan bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan kerja nelayan dalam pengoperasian 1 (satu) unit penangkapan soma pajeko (mini purse seine) di Bitung. Tahap 5 (hauling) merupakan sub-goal dari pengoperasian soma pajeko yang memiliki potensi terjadinya risiko kecelakaan kerja terbesar terjadi dikarenakan intensitas kerja yang tinggi, sehingga tahap aktivitas ini merupakan titik kritis (level aktivitas paling tinggi) dari tahapan keseluruhan pengoperasian soma pajeko yang mempengaruhi keselamatan kerja nelayan soma pajeko. Reason (2006) menegaskan bahwa kita tidak bisa mengubah kondisi manusia, tapi kita bisa mengubah kondisi dimana manusia bekerja. Dua pendekatan untuk masalah falibilitas manusia adalah pendekatan sistem dan manusia. Pendekatan manusia berfokus pada kesalahan individu, kesalahan mereka atas kelupaan, kurangnya perhatian, atau kelemahan moral. Pendekatan sistem berkonsentrasi pada kondisi di mana individu bekerja dan mencoba untuk membangun pertahanan untuk mencegah kesalahan atau mengurangi efeknya. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian lebih lanjut untuk mengukur peluang risiko terjadinya kecelakaan akibat kesalahan manusia dengan pendekatan sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko. Kesimpulan Tahapan aktivitas soma pajeko di PPS Bitung diurutkan menjadi 8 (delapan) tahapan aktivitas pokok. Terdapat 58 aktivitas yang harus dilakukan untuk mengoperasikan soma pajeko dari tahap awal hingga akhir. Untuk melakukan pengoperasian soma pajeko dari tahapan awal hingga akhir membutuhkan Intensitas kerja sebesar 563 OA (Orang Aktivitas). Intensitas Kerja Primer (IKP) yang paling besar terjadi pada tahapan ke-5 (Hauling) yang menunjukkan level aktivitas paling tinggi dengan Indeks IKP sebesar 0,297 dari keseluruhan aktivitas pengoperasian soma pajeko.
30 Terdapat potensi terjadinya peluang risiko kecelakaan yang dapat timbul pada aktivitas mulai dari persiapan, pemuatan, pelayaran dari fishing base menuju fishing ground, pengoperasian alat (setting dan hauling), penanganan hasil tangkapan hingga kembali lagi menuju fishing base untuk pembongkaran muatan kapal soma pajeko. Konsekuensi kegagalan yang disebabkan oleh kesalahan manusia pada pengoperasian penangkapan ikan dengan soma pajeko di Bitung memiliki 4 (empat) jenis yaitu kelelahan, terluka, cedera dan tenggelam. Potensi risiko kecelakaan yang menyebabkan tenggelam terjadi pada tahap 5 (hauling), tahap 4 (setting) dan tahap 3 (pelayaran menuju fishing ground). Keterlibatan awak kapal pada tahap hauling adalah yang tertinggi dengan nilai intensitas kerja sebesar 139 OA sehingga memiliki potensi terjadinya risiko kecelakaan kerja yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas lainnya. Saran Perlu dibuat Prosedur Operasional Baku (POB) keselamatan kerja nelayan untuk aktivitas pengoperasian unit penangkapan soma pajeko dengan PMT panjang <24 meter dengan di Bitung sesuai dengan distribusi pekerjaan dan kompetensi setiap awak kapal. Pelatihan untuk meningkatkan kompetensi nelayan dibutuhkan secara berkala untuk meminimumkan kecelakaan kerja pada aktivitas penangkapan ikan dengan soma pajeko di Bitung.
3 PENGUKURAN RISIKO KESELAMATAN KERJA NELAYAN PADA PENGOPERASIAN SOMA PAJEKO DI BITUNG Pengoperasian 1 (satu) unit penangkapan ikan soma pajeko (mini purse seine) di Bitung memiliki jumlah awak kapal yang banyak. Soma pajeko yang beroperasi one day fishing pada malam hari di laut memiliki risiko bahaya kecelakaan tidak hanya dari faktor cuaca yang tidak pasti, namun juga bahaya yang disebabkan oleh kesalahan manusia (human error) saat pengoperasian alat tangkap. IMO pada tahun 2007 telah mengeluarkan panduan penilaian keselamatan Formal Safety Assessment (FSA) yang merupakan metodologi terstruktur dan sistematis, ditujukan untuk meningkatkan keselamatan maritim, termasuk perlindungan kehidupan, kesehatan, lingkungan laut dan properti, dengan menggunakan analisis risiko dan penilaian biaya manfaat (Gambar 16).
31
Pembuat Keputusan (Decision Makers)
Metodologi FSA Langkah 1 Identifikasi bahaya
Langkah 2 Penilaian risiko
Langkah 5 Pengambilan Keputusan
Langkah 3 Pengendalian Risiko
Langkah 4 Penilaian Biaya-Manfaat Sumber IMO (2007, diterjemahkan)
Gambar 16 Diagram alir metodologi FSA FSA dapat digunakan sebagai alat untuk membantu dalam evaluasi peraturan baru untuk keselamatan maritim dan perlindungan lingkungan laut atau dalam membuat perbandingan antara peraturan yang ada dan mungkin ditingkatkan, dengan tujuan untuk mencapai keseimbangan antara berbagai masalah teknis dan operasional , termasuk unsur manusia, dan antara keselamatan maritim atau perlindungan lingkungan laut dan biaya. FSA terdiri dari lima langkah: 1) identifikasi bahaya (daftar semua skenario kecelakaan yang relevan dengan penyebab potensial dan hasil); 2) penilaian risiko (evaluasi faktor risiko); 3) Pilihan pengendalian risiko (merancang regulasi untuk mengendalikan dan mengurangi risiko yang teridentifikasi); 4) penilaian biaya manfaat (menentukan efektivitas biaya dari setiap opsi pengendalian risiko), dan 5) rekomendasi untuk pengambilan keputusan (penyediaan informasi tentang bahaya, risiko yang terkait dan efektivitas biaya pilihan alternatif pengendalian risiko). Pada penelitian ini tahapan FSA yang dilakukan mulai dari langkah 1) identifikasi bahaya, 2) penilaian risiko, sampai tahap 3) pengendalian risiko. Berdasarkan hasil penelitian dari Bab 2 sebelumnya, kesimpulan yang didapat adalah tahap yang mempunyai level aktivitas paling tinggi adalah tahap ke-5 (hauling). Aktivitas hauling mempunyai intensitas kerja yang paling besar (139 OA) dengan nilai indeks 0,297. Pada tahap ini berpotensi menimbulkan peluang risiko kecelakaan kerja akibat kesalahan manusia dengan konsekuensi kegagalan tenggelam yang dapat berpotensi kepada hilangnya nyawa manusia. Hasil identifikasi aktivitas dan bahaya serta konsekuensi kegagalan telah dilakukan pada Bab 2 dengan metode HTA (Hierarcycal Task Analysis). Acuan tersebut merupakan langkah 1 (step 1) dari rangkaian metode FSA. Langkah yang
32 dibutuhkan selanjutnya adalah analisis risiko pada langkah 2 (Step 2) yaitu penyelidikan rinci penyebab dan konsekuensi dari skenario yang lebih penting yang diidentifikasi dalam langkah 1. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan teknik yang sesuai model risiko. Perhatian difokuskan pada daerah berisiko tinggi dan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko kecelakaan kerja akibat kegagalan/kesalahan manusia. Tujuan dari bab ini adalah menganalisis peluang/tingkat risiko terbesar terhadap kegagalan akibat kesalahan manusia dan tingkat konsekuensinya pada pengoperasian soma pajeko di Bitung serta melakukan pengendalian risiko untuk mengurangi tingkat risiko kecelakaan kerja akibat kesalahan manusia. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November – Desember 2013. Lokasi penelitian berada di Bitung, Sulawesi Utara. Metode yang digunakan adalah deskriptif numerik. Analisis data dilakukan di Laboratorium Keselamatan Kerja dan Observasi Bawah Air, Departemen PSP-IPB. Analisis data dengan metode FSA-IMO dilakukan untuk mengetahui hubungan hasil risiko keselamatan kerja dengan kecelakaan kerja yang pernah terjadi pada aktivitas perikanan soma pajeko di Bitung. Untuk menentukan tingkat risiko keselamatan kerja nelayan, dilakukan analisis HRA (Human Reliability Assessment) yang tercakup dalam metode FSA-IMO. HRA adalah sebuah proses, yang terdiri dari serangkaian kegiatan dan potensi penggunaan beberapa teknik tergantung pada tujuan keseluruhan analisis. HRA dapat dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif tergantung pada tingkat FSA (IMO, 2007). Pengukuran HRA pada penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Pengukuran Peluang Risiko Kecelakaan Kerja Nelayan Soma Pajeko Menurut Purwangka (2013), HRA dapat dianggap untuk masuk ke dalam proses FSA keseluruhan dengan tahapan sebagai berikut : 1) Mengidentifikasi tugas/aktivitas utama 2) Menilai risiko, termasuk analisis tugas/aktivitas secara rinci, analisis kesalahan manusia dan kuantifikasi keandalan manusia. 3) Membuat opsi pengendalian risiko. Berdasarkan tahapan tersebut, pada Bab 2 tentang aktivitas pengoperasian soma pajeko di Bitung, telah dilakukan HTA secara rinci dan identifikasi kegagalan serta konsekuensinya. Langkah selanjutnya untuk penilaian peluang/tingkat risiko dilakukan dengan menggunakan Human Error Assessment and Reduction Technique (HEART). Metode ini merupakan salah satu alat untuk mengukur Human Error Probability (HEP) yaitu peluang kesalahan manusia dalam melakukan satu aktivitas yang dikembangkan oleh JC Williams pada tahun 1985 dan dijelaskan oleh Wiliams pada tahun 1986 dan 1988 (Bell dan Holroyd 2009). Metode HEART dan 2 metode lain (THERP dan JHEDI) untuk pengukuran HEP telah divalidasi (Kirwan et al, 1997a). Hasil dari validasi tersebut menunjukan tidak adanya performa yang berbeda untuk mengukur HEP dan metode tersebut sama-sama memiliki level akurasi yang masuk akal (Kirwan et al.
33 1997a). Terdapat 9 kategori kelompok generik (Generic Task) untuk menetapkan nominal peluang kesalahan manusia (NHEP). Tabel 14 Kategori Generic Task dalam metode HEART (Williams 1986) ID
A
Pekerjaan yang benar-benar asing atau tidak dikuasai, dilakukan pada suatu kecepatan tanpa konsekuensi yang jelas
0,55
Uncertainity Bounds (range) (0,35-0,97)
B
Merubah atau mengembalikan sistem ke keadaan yang baru atau awal dengan suatu upaya tunggal tanpa pengawasan dan prosedur Pekerjaan yang kompleks dan membutuhkan tingkat pemahaman dan keterampilan tinggi
0,26
(0,14-0,42)
0,16
(0,12-0,28)
D
Pekerjaan yang cukup sederhana, dilakukan dengan cepat atau membutuhkan sedikit perhatian
0,09
(0,06-0,13)
E
Pekerjaan yang rutin, terlatih, memerlukan keterampilan yang rendah
0,02
(0,0070,045)
F
Mengembalikan atau menggeser sistem ke kondisi semula atau baru dengan mengikuti prosedur, dengan beberapa pemeriksaan Pekerjaan familiar yang sudah dikenal, dirancang dengan baik. Merupakan tugas rutin yang terjadi beberapa kali perjam dilakukan bedasakan standard yang sangat tinggi oleh personel yang telah terlatih dan berpengalaman dengan waktu untuk memperbaiki kesalahan yang potensial, tapi tanpa memanfaatkan alat bantu pekerjaan yang signifikan
0,003
(0,0080,007)
0,0004
(0,000080,009)
0,00002
(0,0000060,00009)
0,003
(0,008-0,11)
C
G
H
M
Generic Task
Menanggapi perintah sistem dengan benar bahkan ada sistem pengawasan otomatis tambahan yang menyediakan interpretasi akurat Pekerjaan lainnya yang tidak ada penjelasan pada kelompok pekerjaan A-H
NHEP
Nilai NHEP tersebut dikoreksi sesuai dengan keberadaan kekuatan dari Error Producing Conditions (EPC). EPC didefinisikan sebagai faktor yang mempengaruhi kinerja manusia sehingga kurang dapat diandalkan dan memproduksi kegagalan. Terdapat 38 EPC yang memiliki nilai pengaruh EPC dinyatakan sebagai Basic Correction Factor (BCF) yang dikelompokkan pada kategori tinggi, sedang dan rendah pada NHEP untuk memberikan pilihan yang representatif. Nilai BCF ini didefinisikan sebagai prediksi nominal maksimum saat keandalan tersebut berubah dari kondisi baik menjadi buruk (Wittingham 2004). Satu aktifitas dapat memunculkan satu atau lebih EPC tersebut pada tingkat kegagalan yang ditimbulkan.
34 Tabel 15 Error Producing Condition (Williams 1986) No. Error Producing Condition (EPC) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Ketidakbiasaan/ tidak memahami terhadap sebuah situasi yang sebenarnya penting namun jarang terjadi Kekurangan waktu untuk mendeteksi kegagalan dan tindakan koreksi batasan rasio kebisingan yang terlalu rendah
BCF for NHEP 17,00 11,00 10,00
Terlalu mudah untuk melakukan penekanan atau penolakan informasi/aturan Tidak adanya alat untuk menyampaikan informasi spasial dan fungsional kepada operator dalam bentuk operator dapat secara siap memahaminya. Ketidaksesuaian antara SOP dan kenyataan dilapangan Tidak adanya cara yang jelas untuk memperbaiki suatu tindakan yang tidak diinginkan Kapasitas overload, terutama disebabkan oleh munculnya informasi yang berlebihan secara serempak Adanya cara kerja yang benar-benar baru, yang prinsip cara kerjanya saling bertolak belakang Kebutuhan untuk mentransfer pengetahuan yang spesifik dari aktivitas ke aktivitas lain tanpa adanya informasi yang hilang Ambiguitas dalam tuntutan/kebutuhan standar kinerja Ketidaksesuaian antara risiko yang dirasakan dengan risiko sebenarnya Tidak sesuai, rancu atau ketidakcocokkan umpan balik sistem Ketidakjelasan konfirmasi yang langsung tepat pada waktunya atas tindakan yang diinginkan dari bagian sistem dimana pengendalian digunakan Operator yang kurang berpengalaman (contoh: baru memenuhi kualifikasi namun tidak ahli) Kualitas informasi yang tidak baik dalam menyampaikan prosedur dan interaksi orang per orang Sedikit atau tidak ada pengecekan independen atau percobaan pada hasil Adanya konflik antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang Tidak adanya keragaman masukan informasi untuk pemeriksaan ketelitian Ketidaksesuaian antara level edukasi yang telah dimiliki oleh individu dengan kebutuhan pekerjaan Adanya dorongan untuk menggunakan prosedur yang berbahaya Sedikit kesempatan untuk melatih pikiran dan tubuh diluar batasan langsung pekerjaan Alat yang tidak dapat diandalkan (cukup bahwa diperhatikan)
9,00
Kebutuhan untuk membuat suatu keputusan yang diluar kapasitas atau pengalaman dari operator Alokasi fungsi dan tanggung jawab yang tidak jelas Tidak adanya kejelasan langkah untuk mengamati kemajuan selama aktivitas Adanya bahaya dari keterbatasan kemampuan fisik Sedikit atau tidak adanya arti penting dari aktivitas Level emosi yang tinggi Adanya gangguan kesehatan khususnya demam Tingkat kedisiplinan yang rendah Ketidakkonsistenan dari tampilan atau prosedur Lingkungan yang buruk atau tidak mendukung
1,60
Siklus berulang-ulang yang tinggi dari pekerjaan dengan beban kerja bermental rendah Terganggunya siklus tidur normal Melewatkan kegiatan karena intervensi dari orang lain Penambahan anggota tim yang sebenarnya tidak dibutuhkan Usia yang melakukan pekerjaan
1,10
8,00 8,00 8,00 6,00 6,00 5,50 5,00 4,00 4,00 4,00 3,00 3,00 3,00 2,50 2,50 2,00 2,00 1,80 1,60
1,60 1,40 1,40 1,40 1,30 1,20 1,20 1,20 1,15
1,10 1,06 1,03 1,02
35
Setelah nilai BCF dari EPC ditentukan maka langkah selanjutnya adalah menentukan Proportion of Affect (PA) dengan proporsi antara 0-1 (0 hingga 100%). Semakin besar nilai PA menunjukan EPC semakin sering terjadi. Nilai HEP suatu aktivitas dapat dihitung setelah nilai Asessed Effect (AE) dari tiap EPC pada suatu aktivitas selesai ditentukan dan dikalikan dengan nilai NHEP dari kategorinya. Langkah mengerjakan analisis HEART (modifikasi dari Kirwan, 1996) disajikan pada Gambar 17.
Mengklasifikasikan Generic Task (Kategori A – H)
Menetapkan Nominal HEP (NHEP)
Mengidentifikasi EPC (tentukan BCF) Menentukan PA tiap EPC Menghitung AE Menghitung HEP akhir
Gambar 17 Langkah kuantifikasi HEART Berdasarkan EPC, maka dilakukan perhitungan Asessed Effect (AE) yang akan terjadi melalui proporsi dari EPC. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumusan sebagai berikut (Wittingham, 2004) : ( dengan
- )
............................................. (6)
: AE = Assessed Effect dari EPC yang diidentifikasi BCF = Basic Correction Factor dari EPC PA = Proportion of Affect (kisaran nilai 0-1)
Nilai AE dari satu aktivitas dapat lebih dari 1 tergantung hasil analisa dari observasi assessor. Perhitungan nilai Human Error Probability (HEP) dari suatu aktivitas dilakukan dengan cara perkalian NHEP dari kategori aktivitas tersebut dengan semua nilai AE yang timbul pada aktivitas tersebut. Rumus perhitungan HEP yang diadaptasi dari Wittingham (2004) adalah sebagai berikut : ( dengan
) .......................... (7)
: HEP = Human Error Probability NHEP = Nominal Human Error Probability pada Generic Task AEi = Assessed Effect ke-i i = banyaknya EPC yang didentifikasi
36 HEP yang telah dihitung pada tiap aktivitas pengoperasian soma pajeko berfungsi sebagai input untuk menentukan pola kegagalan dari suatu aktivitas. Untuk menganalisis pola tersebut dilakukan Fault Tree Analysis (FTA). Fault Tree adalah diagram logika yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara kejadian-kejadian yang muncul secara tunggal atau dalam kombinasi menyebabkan kejadian pada tingkat yang lebih tinggi. Hal ini digunakan di Fault Tree Analysis untuk menentukan probabilitas dari peristiwa puncak (top event), yang dapat berupa jenis kecelakaan atau hasil berbahaya yang tidak diinginkan. Fault Tree Analysis dapat memperhitungkan penyebab umum kegagalan dalam sistem dengan elemen-elemen berlebihan atau standby. Fault Tree dapat mencakup peristiwa kegagalan atau penyebab yang berkaitan dengan faktor manusia (IMO 2007). Dhillon (2005) menyatakan ketika probabilitas terjadinya peristiwa kegagalan dasar (basic fault event) diketahui, probabilitas terjadinya top event dapat dihitung. Hal ini membutuhkan lebih dulu perkiraan kemunculan probabilitas dari output peristiwa kegagalan yang lebih rendah dan menengah seperti gerbang logika (logic gate) AND dan OR. Hasil probabilitas terjadinya peristiwa kegagalan AND-gate dan OR-gate masing-masing dirumuskan sebagai berikut: 1) AND-gate : jika dua atau lebih peristiwa yang lebih rendah (lower event) perlu terjadi untuk menyebabkan peristiwa berikutnya yang lebih tinggi. Peluang terjadinya kegagalan dengan dengan logika AND-gate dirumuskan sebagai berikut : ( ) ∏ ( ) .................................................. (8) dengan : P(E0) = peluang terjadinya output AND-gate dari peristiwa kegagalan, E0 n = jumlah input independen peristiwa kegagalan P(Ei) = peluang peristiwa kegagalan Ei untuk i=1,2,3,...,n
2) OR-gate : jika salah satu dari lower event dapat menyebabkan peristiwa berikutnya yang lebih tinggi. Peluang terjadinya kegagalan peristiwa X dengan logika OR-gate dirumuskan sebagai berikut : (
)
-∏
{ - ( )} ......................................... (9)
dengan : P(X0) = peluang terjadinya output OR-gate dari peristiwa kegagalan, X0 k = jumlah input independen peristiwa kegagalan P(Xi) = peluang peristiwa kegagalan Xi untuk i=1,2,3,...,k
Menurut Purwangka (2013) terdapat empat langkah dasar yang pada umumnya diikuti dalam mengembangkan Fault Tree : 1) Tentukan kejadian yang tidak diinginkan (misalnya, top event) dari sistem, Memahami secara menyeluruh sistem dan aplikasi yang diinginkan. 2) Tentukan tingkatan tertinggi dari fungsi peristiwa kegagalan untuk memperoleh sistem yang telah ditetapkan sebagai penyebab kondisi kesalahan. Selanjutnya, lanjutkan FTA untuk menentukan keterkaitan logis dari peristiwa kegagalan pada tingkat yang lebih rendah.
37 3) Membuat sebuah fault tree yang berisi hubungan logis antara kejadiankejadian kegagalan. 4) Mengevaluasi fault tree. Penilaian Risiko Kecelakan Kerja Nelayan Soma Pajeko Kuantifikasi membuat penggunaan data kecelakaan, kegagalan dan sumber informasi lain ini sesuai dengan tingkat analisis. Jika data tidak tersedia, perhitungan, simulasi atau penggunaan teknik diakui atas penilaian ahli dapat digunakan (Aven, 2008). Pada dasarnya risiko merupakan kombinasi frekuensi/peluang kejadian dan tingkat keparahan dari konsekuensi (IMO 2007). s
obab l t
ons u n
......................... (10)
Konsekuensi mempunyai tingkat keparahan dari dampak yang dihasilkannya. Berikut ini salah satu contoh matriks risiko secara umum digunakan dalam keselamatan dan kesehatan kerja. Tabel 16 Matriks Risiko 5x5 Severity Likelihood (kemungkinan)/peluang (keparahan) 1 2 3 4 Konsekuensi 5 10 15 20 5 4 8 12 16 4 3 6 9 12 3 2 4 6 8 2 1 2 3 4 1 (sumber: diadaptasi dari On Safe, www.risk-assessment.org 2012) Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
5 25 20 15 10 5
Menurut IMO (2006) prinsip As Low As Reasonably Practicable (ALARP) digunakan untuk prosedur penilaian risiko. Risiko harus rendah sebagaimana yang dapat layak dipraktekkan. Hal ini berarti bahwa peristiwa kecelakaan yang risiko berada dalam wilayah ini harus dikurangi kecuali ada biaya yang tidak proporsional dengan manfaat yang diperoleh. Kriteria ALARP yang digunakan oleh IMO tersebut diadaptasi dari Health Safety Executives (2001a) yang menjelaskan tentang kategori toleransi ALARP. Tabel 17 Tingkat Risiko dengan toleransi ALARP Nilai Matriks Risiko Aspek toleransi dalam daerah ALARP 1-8 Secara umum diterima 9 - 15 Dapat ditoleransi 16 - 25 Tidak dapat diterima (sumber: diadaptasi dari On Safe, 2012 www.risk-assessment.org) Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
Tingkat Risiko Low Medium High
38 Evaluasi risiko adalah proses yang digunakan untuk membandingkan hasil analisis risiko dengan kriteria risiko. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menentukan apakah tingkat risiko tertentu dapat diterima ataupun tidak atau ditoleransi sesuai kriteria ALARP yang digunakan dalam acuan untuk mengevaluasi risiko. Evaluasi risiko dilanjutkan dengan pembuatan pilihan dalam pengendalian risiko yang didasarkan pada kondisi nyata yang diamati, dengan mempertimbangkan area kerja, peralatan yang digunakan serta latar belakang sumber daya manusia yang terlibat (IMO 2007). Hasil dan Pembahasan Pengoperasian Perahu Motor Tempel (PMT) soma pajeko (mini purse seine) dilakukan setiap hari (one day fishing) pada malam hari. Aktivitas pengoperasian soma pajeko dimulai dari persiapan di sore hari pukul 17.00 WITA. Perahu soma pajeko mulai berlayar menuju fishing ground sekitar pukul 18.00 WITA. Aktivitas pengoperasian soma pajeko berakhir setelah pembongkaran muatan unit penangkapan soma pajeko selesai dilakukan. Aktivitas ini rata-rata selesai pada pukul 07.00 WITA. Peluang Risiko Kecelakaan Kerja Nelayan Pengoperasian Soma Pajeko Hasil observasi dan identifikasi dengan menggunakan HTA pada Bab 2 sebelumnya menunjukkan bahwa pengoperasian soma pajeko dari tahap awal hingga akhir terdiri atas 8 tahap aktivitas pokok dengan total 58 aktivitas atau disebut juga tugas (task) dalam HTA. Hal tersebut untuk selanjutnya diistilahkan dengan aktivitas dasar (basic event). Penilaian HEP dengan menggunakan HEART pada tiap aktivitas dasar yang telah diidentifikasi pada pengoperasian PMT soma pajeko dengan panjang kapal <24 meter di Bitung disajikan pada tabel berikut. Tabel 18 No.
Perhitungan HEP pada urutan aktivitas dasar (basic event) pengoperasian soma pajeko
Tahap
1
Persiapan
2
Loading
3
Berlayar ke fishing ground
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Aktivitas Pengurusan dokumen-dokumen SIB (3 hari sekali) Pengecekan kehadiran ABK Pembagian tugas ABK Pembelian perbekalan awak kapal Pengecekan dan perbaikan alat tangkap Pengecekan dan pengaturan mesin kapal Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan Pengangkutan dan pengisian bensin dan oli Pengangkutan dan pengisian es ke dalam palka Pengangkutan jerigen air minum Pengangkutan blong dan keranjang tambahan ABK naik ke kapal Melepas tali tambat Juru mesin menyalakan motor mengarahkan kapal keluar kolam pelabuhan ABK mendorong kapal lain di sisi kanan dan kiri Membuang air di lambung kapal ABK memakan perbekalan ABK mengganti pakaian/ mengenakan jas hujan
HEP 0,001123 0,026000 0,027280 0,018000 0,000610 0,006696 0,040320 0,180634 0,178560 0,195840 0,195840 0,038160 0,036000 0,520960 0,093600 0,111600 0,000553 0,000553
39
Tabel 18 No. 3
Perhitungan HEP pada urutan aktivitas dasar (basic event) pengoperasian soma pajeko (lanjutan)
Tahap Berlayar ke fishing ground
19 20 21 22 23
4
Setting
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
5
Hauling
37 38 39 40 41 42
6
Penanganan hasil tangkapan di atas kapal
7
Berlayar ke Fishing Base
8
Unloading
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Aktivitas Membuka terpal penutup jaring Menyiapkan jaring, pelampung dan cincin ABK mematikan lampu di kapal Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju fishing ground 2 orang ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal lampu Menurunkan pelampung tanda Mengatur bagian jarring untuk di turunkan Menurunkan bagian sayap jaring 1 Menurunkan bagian badan jaring Menurunkan bagian sayap jaring 2 Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring Penyelam mengawasi ikan, jarring dan memberikan kode Operator winch menyalakan mesin ABK memasang tali kolor ke winch Operator megoperasikan winch menaikkan cincin-cincin Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang) ABK bersiap di posisi masing2 (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan) ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling Mengatur posisi alat tangkap saat hauling Mengangkat ikan dari kantong jarring dengan alat serok Memasukkan ikan ke dalam blong atau palka bila blong penuh Memecahkan es dan memasukkan ke dalam blong ABK merapihkan bentuk jarring untuk setting selanjutnya Bila tidak ada setting lanjutan maka ikan disortir ke dalam keranjang Tonaas mengarahkan arah menuju FB Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan ABK menyortir ikan ke dalam keranjang ABK istirahat/memakan perbekalan ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh Melemparkan tali ABK menurunkan hasil tangkapan Juru mudi mengarahkan kapal dari kolam TPI menuju dermaga soma pajeko. ABK turun kapal dengan perlengkapan masing-masing 2 orang ABK piket menjaga kapal dan membersihkan kapal soma pajeko
HEP 0,036000 0,005400 0,000592 0,416000 0,433440 0,146286 0,005806 0,188082 0,184599 0,181116 0,864000 0,515840 0,028288 0,851533 0,426240 0,220792 0,808704 0,174960 0,014040 0,810000 0,054560 0,615680 0,346320 0,165888 0,239760 0,165888 0,174960 0,432000 0,515840 0,255744 0,152640 0,449280 0,000561 0,421200 0,520960 0,036000 0,036000 0,352000 0,038160 0,008268
Tabel 18 menunjukkan nilai peluang risiko kegagalan akibat kesalahan manusia (HEP) dari masing-masing aktivitas dasar (basic event) pada
40 pengoperasian soma pajeko di Bitung. Peluang risiko kegagalan yang terkecil adalah pada tahap 3 (berlayar ke fishing ground) saat ABK memakan perbekalan (aktivitas No.17) dan saat ABK mengganti pakaian/mengenakan jas hujan (aktivitas No.18) dengan nilai HEP masing-masing sebesar 0,000553. Peluang risiko kegagalan yang terbesar adalah pada tahap 4 (setting) yaitu pada saat juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan (aktivitas No.29) dengan nilai HEP sebesar 0,864000. Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) yang diacu dalam Nurani (2010), faktor yang memegang peranan penting dalam keberhasilan operasi penangkapan ikan adalah kecepatan melingkari gerombolan ikan, kecepatan tenggelam jaring, dan kecepatan penarikan tali cincin. Pada tahap ini Kapten melakukan pengambilan keputusan yang tepat dalam waktu yang terbatas didukung dengan keterampilan juru mudi dalam melakukan olah gerak kapal untuk mengelilingi ikan. Konsekuensi dari kegagalan aktivitas ini dapat menyebabkan gagalnya tahap 4 (setting) sehingga perlu dilakuakan pengulangan aktivitas setting dari awal dengan konsekuensi kelelahan bagi seluruh awak kapal. Peluang risiko kegagalan kedua terbesar adalah pada tahap 5 (hauling) yaitu pada saat penyelam mengawasi ikan, bentuk jaring dan memberikan kode (aktivitas No.32) dengan nilai HEP sebesar 0,851533. Pada tahap ini terdapat kecenderungan penururan daya tahan tubuh disaat melakukan aktivitas tersebut dalam waktu yang cukup lama dan berulang-ulang dengan konsekuensi paling buruk adalah kehilangan nyawa akibat tenggelam. Tabel 19 Hasil perhitungan FTA pada pengoperasian soma pajeko di Bitung No. 1 2
Tahap Aktivitas Persiapan di darat (HEP : 0,114653) Loading (HEP :0,581359)
3
Berlayar ke Fishing Ground (HEP : 0,792137)
4
Setting (HEP : 0,983320)
5
Hauling (HEP : 0,999534)
6
Penanganan Hasil Tangkapan di atas Kapal (HEP : 0,752131)
7
Berlayar ke Fishing Base (HEP : 0,831939) Unloading (HEP : 0,840733)
8
Konsekuensi kegagalan Kelelahan Terluka Kelelahan Terluka Cidera Kelelahan Cidera Terluka Tenggelam Kelelahan Cidera Tenggelam Kelelahan Terluka Cidera Tenggelam Kelelahan Terluka Cidera Kelelahan Cidera Kelelahan Terluka Cidera
HEP 0,108140 0,007302 0,195840 0,326940 0,226527 0,112583 0,126230 0,540971 0,416000 0,936388 0,516320 0,457867 0,624945 0,820366 0,366148 0,989085 0,432000 0,165888 0,476821 0,801665 0,152640 0,008268 0,420796 0,722732
41
Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
Gambar 18 Grafik HEP dari konsekuensi kegagalan pengoperasian soma pajeko Tabel 19 menunjukkan nilai peluang kesalahan manusia yang memberikan dampak konsekuensi kegagalan terhadap keselamatan nelayan soma pajeko. Nilai tersebut dikelompokkan tiap tahap aktivitas dan jenis dampaknya yang ditimbulkan dari tiap tahap aktivitas tersebut. Peluang kecelakaan kerja terbesar terjadi pada tahap 5 (hauling) dengan nilai 0,999534. Terdapat 4 jenis kecelakaan kerja yang teridentifikasi pada tahap hauling yaitu kelelahan, terluka, cedera dan tenggelam. Gambar 18 mendeskripsikan sebaran konsekuensi bahaya dan nilai peluangnya pada tiap tahap pengoperasian soma pajeko. Potensi bahaya cedera dapat terjadi pada hampir semua tahap pengoperasian soma pajeko kecuali pada tahap 1 (persiapan). Peluang terjadinya jenis kecelakaan dengan kategori fatal hingga menyebabkan hilangnya nyawa manusia adalah tenggelam. Potensi ini dapat timbul pada tahap 3, 4 dan 5 dengan peluang tertinggi yaitu pada tahap 5 (hauling) dengan nilai peluang human error terhadap jenis kecelakaan tenggelam sebesar 0,989085. Sedangkan pada tahap 3 dan 4, peluang terjadinya kecelakaan tenggelam akibat kesalahan manusia mempunyai nilai probabilitas < 0,5. Bagi nelayan soma pajeko, risiko jatuh ke laut sudah sangat biasa. Nelayan melakukan berbagai tugas yang terkait dengan posisi badan yang membungkuk ke arah ke laut, atau menjaga keseimbangan pada area dek perahu yang terbatas licin dan basah. Pada kapal penangkap ikan yang berukuran kecil bibir perahu seringkali sangat rendah tidak ada pagar pembatas atau tali. Risiko itu yang membuat para nelayan soma pajeko yang beroperasi pada malam hari tidak menyadari kondisi risiko yang sebenarnya. Kasus orang jatuh ke laut tanpa diketahui oleh orang lainnya terutama terjadi pada malam hari. Pada saat di air risiko terjadinya hipotermia sangat lambat dan gejalanya tidak jelas. Perenang terbaik akan tenggelam setelah mereka telah kehilangan panas tubuh mereka di dalam air (Ben-Yammi, 2000).
42 Pola kegagalan yang memicu kecelakaan kerja pada tahap hauling disebabkan oleh konsekuensi dari kegagalan aktivitas dasar. Fault Tree Analysis dari konsekuensi masing-masing aktivitas dasar pada tahap hauling ditunjukkan pada Gambar 19. 0. Kecelakaan kerja Hauling
OR
Tenggelam
3. ABK memasang tali kolor ke winch
0,336148
5. Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang)
6. ABK bersiap di posisi (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan)
OR
2. Operator winch menyalakan mesin
0,162000
0,851533
10. Mengatur posisi alat tangkap saat hauling
0,346320
0,014040
0,989085
1. Penyelam mengawasi ikan, jaring dan memberikan kode
0,624945
0,426240
0,197136
OR
Kelelahan
Terluka
Cedera
OR
0,999534
OR
4. Operator mengoperasikan winch menaikkan cincin-cincin
0,808704
9. Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling
0,615680
7. ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek
0,820366
8. Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring
0,810000 0,054560
Gambar 19 FTA kecelakaan kerja hauling pada pengoperasian soma pajeko Diagram FTA untuk aktifitas hauling menjelaskan pada tahap ini merupakan top event (level tertinggi) dari peluang konsekuensi bahaya yang ditimbulkan akibat kesalahan manusia. Basic event (aktivitas dasar) dengan nilai HEP yang terbesar adalah pada aktivitas no. 1 yaitu saat penyelam mengawasi ikan, jaring dan memberikan kode. Sedangkan basic event dengan HEP yang terendah adalah aktivitas no. 6 yaitu saat ABK bersiap di posisinya masingmasing sebelum kegiatan menarik jaring.
43 Nilai HEP terbesar dari lower event yang terbentuk akibat kegagalan dari salah satu peristiwa dasar yaitu tenggelam dengan nilai 0,989085. Top event yang terbentuk pada FTA adalah “kecelakaan kerja hauling” dengan nilai HEP total 0,999534. Nilai HEP pada tahap ini merupakan yang tertinggi dibandingkan top event pada tahap pengoperasian soma pajeko lainnya. Penelitian yang serupa sudah dilakukan oleh Purwangka (2013) pada pengoperasian alat tangkap payang di Palabuhanratu juga menjelaskan bahwa pada tahap pengangkatan alat tangkap (hauling) memiliki peluang risiko yang paling besar. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian Purwangka (2013) pada pengoperasian payang di Palabuhanratu menunjukkan bahwa tahap hauling merupakan peluang kecelakaan terbesar dengan nilai HEP sebesar 0,99978. Hasil penelitian pada Bab 2 sebelumnya juga menunjukkan bahwa dengan perhitungan dasar menentukan indeks Intensitas Kerja Primer (IKP) dapat dibuktikan oleh hasil FTA yang menegaskan bahwa tahap hauling adalah aktivitas yang sangat memerlukan perhatian lebih tinggi dari pada aktivitas lainnya yang berpotensi lebih tinggi menimbulkan kecelakaan kerja pada pengoperasian soma pajeko PMT <24 meter di Bitung. Tingkat Risiko Kecelakaan Kerja Nelayan Soma Pajeko Menurut Ridley (2004) penilaian risiko adalah cara-cara yang digunakan majikan untuk dapat mengelola dengan baik risiko yang dihadapi oleh pekerjanya dan memastikan bahwa kesehatan dan keselamatan mereka tidak terkena risiko pada saat kerja. Penilaian sisiko ditentukan dari konsekuensi dan probabilitasnya. Penilaian risiko dari suatu bahaya yang terjadi ditentukan dari likelihood (kemungkinan) dari peluang dan tingkat keparahan (severity) dari konsekuensinya. Kategori likelihood yang diacu adalah dari IMO (2008) berdasarkan kesempatan munculnya dalam batas waktu (siklus). Nilai likelihood berkisar antara 1% hingga 99% dalam 5 kategori (Lampiran 18 pada halaman 87). Sedangkan untuk severity dari konsekuensi kegagalan dibagi menjadi 5 kategori. Matriks 5x5 yang menunjukkan tingkat risiko pada pengoperasian soma pajeko di Bitung dikombinasikan dari ukuran HEP sebagai probabilitas dan tingkatan konsekuensi kegagalan dari masing-masing 58 aktivitas yang teridentifikasi. Hasil analisis tingkat risiko digambarkan pada matriks 5x5 berikut. Tabel 20 Matriks Tingkat Risiko Aktivitas Pengoperasian Soma Pajeko Severity (Konsekuensi)
Rare (≤1%) 1
Likelihood (peluang kejadian) Unlikely Possible Very Unlikely (>1%-3%) (>3%-10%) (>10%-30%) 2 3 4
5. Fatal 4. Berat 3. Menengah 2. Ringan
20 5; 6; 17; 21; 25
15 31;37
12; 13; 19; 39; 54; 55; 57
26; 27; 28 34 10; 24; 36; 42; 43 8; 9; 44; 45; 49
Almost Certain (>30%-99%) 5 22; 32; 40 35 14; 23; 52; 53; 38; 56
1; 18; 29; 30; 33; 41; 1. Tidak 2; 3; 4 7 11; 16; 48 51; 58 46; 47; 50 berbahaya Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah; Kuning = tingkat risiko sedang; Merah = tingkat risiko tinggi
44
Tujuan evaluasi risiko adalah untuk membuat keputusan, berdasarkan hasil analisis risiko, tentang resiko mana yang memerlukan prioritas penanganan dan pengendalian. Output dari evaluasi risiko adalah daftar prioritas risiko untuk tindakan lebih lanjut (AS/NZS4360: 2004). Berdasarkan Tabel 20 dapat dijelaskan bahwa terdapat total 38 aktivitas yang memiliki tingkat risiko dalam kategori rendah (LOW) dengan kisaran nilai risiko 1-8. Aktivitas dalam kategori ini secara umum masih dapat diterima sesuai dengan kategori ALARP. Pengurangan risiko tidak perlu dilakukan pada aktivitas yang berada pada kriteria ini. Tingkat risiko dengan kriteria menengah (MEDIUM) dengan nilai risiko 9-15 terdiri atas 12 aktivitas, tersebar pada tahap 2 (loading) hingga tahap 8 (unloading) . Aktivitas yang berada pada area ini masih dapat ditoleransi sesuai dengan batasan ALARP. Tingkat risiko menengah hanya bisa ditoleransi untuk jangka pendek bila tidak dapat dilakukan tindakan pengendalian akibat tidak proporsionalnya biaya untuk melakukan perbaikan (Aven et al., 2006). Tindakan pengendalian sementara dilakukan untuk mitigasi risiko yang selanjutnya direncanakan dan diintroduksikan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Berdasarkan Gambar 20, aktivitas yang berada pada kriteria tingkat risiko tinggi (HIGH) dengan nilai risiko berkisar antara 16-25 sebanyak 8 aktivitas. Risiko tinggi pertama kali teridentifikasi pada tahap 3 (perjalanan menuju fishing ground) kemudian pada tahap 4 (setting) dan paling banyak aktivitas berisiko tinggi pada tahap 5 (hauling). Pada kriteria ini risiko tidak dapat ditoleransi sehingga memerlukan pengendalian dengan mengurangi tingkat risiko serendah mungkin hingga dapat memenuhi batasan ALARP yang dapat ditoleransi.
Keterangan warna :
Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
Gambar 20 Komposisi tingkat risiko kriteria ALARP pengoperasian soma pajeko
45 IMO (2007) menegaskan bahwa pada kriteria risiko tinggi (melewati batasan ALARP) tidak dapat dibenarkan dan harus dikurangi terlepas dari perhitungan biaya yang dikeluarkan. Secara keseluruhan 14% dari total aktivitas dasar untuk tercapainya pengoperasian soma pajeko dengan PMT ukuran panjang <24 meter di Bitung berada pada kriteria tinggi. Risiko keselamatan kerja dapat diketahui dengan mengidentifikasi risiko di lingkungan kerja dan pengukuran bahaya di tempat kerja yang memungkinkan terjadinya kerugian. Setelah risiko diidentifikasi, kemudian risiko tersebut dianalisis terlebih dahulu untuk dapat melakukan pengendaliannya (AS/NZS4360: 1999). Pengendalian risiko (risk control) dilakukan dengan cara penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada dengan menggunakan berbagai alternatif metode. IMO (2007) menjelaskan bahwa pemilihan pengendalian risiko mempertimbangkan bagaimana unsur manusia dianggap dalam evaluasi teknis, manusia, lingkungan kerja, personil dan pengendalian terkait pilihan tujuan manajemen risiko. Pengendalian risiko yang paling penting dilakukan adalah pada aktivitas yang berada pada kriteria ALARP tidak dapat ditolerir (tingkat risiko tinggi). Hasil penilaian pengendalian risiko pada aktivitas pengoperasian soma pajeko di Bitung disajikan pada Tabel 21. Tabel tersebut menunjukkan pengendalian aktivitas yang memiliki risiko tinggi terhadap bahaya kecelakaan kerja akibat kesalahan manusia. Risiko yang timbulkan dalam pengoperasian soma pajeko sepenuhnya akan dilakukan pengendalian untuk menekan bahaya yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja (lihat Lampiran 21 pada halaman 89). Risiko keselamatan kerja adalah risiko keselamatan yang ada dalam setiap pekerjaan yang memiliki tingkat probabilitas dan tingkat konsekuensi tinggi. Berdasarkan penelitian Purwangka (2013) tentang keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian payang di Palabuhanratu, diperlukan suatu mitigasi untuk membuat nilai HEP kurang dari 0,1. Aven et al. (2006) menegaskan bahwa suatu aktivitas yang mempunyai konsekuensi hilangnya nyawa manusia nilai probabilitas kegagalan akibat kesalahan manusia tidak boleh melebihi 0,1%. Kirwan (1997b) menyarankan bahwa teknik kuantifikasi tidak digunakan sebagai satu-satunya dasar untuk pengusulan rekomendasi pengurangan kesalahan. Sebaliknya, rekomendasi tersebut harus lebih didasarkan pada analisis kualitatif dari skenario tugas, dan/atau analisis berbasis ergonomi. Whittingham (2004) menyatakan bahwa risiko dari suatu kegiatan tidak dapat dikurangi menjadi nol, tetapi dapat dikurangi ke tingkat yang dianggap bisa diterima ketika ditimbang pada manfaat dari kegiatan tersebut. Berdasarkan Manuel (2010), analisis risiko dan analisis biaya dan manfaat dan adalah alat penting dalam menginformasikan kepada masyarakat tentang risiko yang sebenarnya dan biaya yang bertentangan dengan risiko yang dirasakan dan biaya yang terlibat dalam suatu kegiatan. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian biaya manfaat (langkah ke 4 dalam metodologi FSA) dalam manajemen risiko. Manajemen risiko didefinisikan sebagai semua tindakan dan kegiatan yang dilakukan untuk mengelola risiko. Manajemen risiko dapat diterapkan di setiap level di organisasi. Manajemen risiko dapat diterapkan di level strategis dan level yang spesifik, untuk membantu proses pengambilan keputusan ataupun untuk pengelolaan daerah risiko yang spesifik. Komunikasi dan konsultasi dengan pengambilan keputusan internal dan eksternal dibutuhkan untuk tindak lanjut dan hasil manajemen risiko yang dilakukan.
46 Tabel 21 Prioritas pengendalian risiko pada tabel JSA (Job Safety Analysis) pengoperasian PMT soma pajeko <24m No.
22
26
27
28
Aktivitas Tahap 3 (berlayar ke fishing ground) Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju FG
Tahap 4 (setting) Menurunkan bagian sayap jaring 1 Menurunkan bagian badan jaring Menurunkan bagian sayap jaring 2 Tahap 5 (hauling) Penyelam mengawasi ikan, jarring dan memberikan kode
Deskripsi Kegagalan
Risiko Awal
Pengendalian Risiko
S
P
R
TR
Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan
S
P
R
TR
Kapal menabrak akibat tidak jelas kode arah
Tenggelam
5
5
25
H
Penggunaan teknologi Global Positioning System (GPS) Kerjasama antara Kapten (Tonaas) dengan juru mudi saat memberikan kode Penggunaan radio komunikasi; atau Penambahan orang (asisten kapten) di dek tengah sebagai perantara penyampaian kode dari Tonaas di anjungan ke juru mudi di buritan
3
4
12
M
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
5
4
20
H
3
3
9
M
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
5
4
20
H
3
3
9
M
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
5
4
20
H
Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai alat perlindungan diri (life jacket) Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai alat perlindungan diri (life jacket) Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai alat perlindungan diri (life jacket)
3
3
9
M
3
2
6
L
Daya tahan Tenggelam 5 5 25 H Pastikan kondisi tubuh fit saat aktivitas kurang, cepat Multivitamin dan air hangat untuk meningkatkan daya tahan lelah akibat tubuh kedinginan, Kode memakai alat perlindungan diri (life jacket/pelampung) tidak benar, ada orang pengganti S = Severity (Tingkat Keparahan Konsekuensi); P = Peluang; R = Nilai Risiko; TR = Tingkat Risiko Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi 32
Risiko Residual
Konsekuensi Bahaya
Tabel 21 Prioritas pengendalian risiko pada tabel JSA (Job Safety Analysis) pengoperasian PMT soma pajeko (lanjutan) No.
Aktivitas
34
ABK memasang tali kolor ke winch
35
Operator megoperasikan winch menaikkan cincin-cincin
Deskripsi Kegagalan
Konsekuensi Bahaya
Anggota tubuh tersangkut tali ke winch, tangan tergores karena menahan tali
Cidera
Tertimpa cincin, terlepeset, tersangkut tali, tercebur
Tenggelam
Risiko Awal S 4
P 4
R 16
TR H
Pengendalian Risiko
4
5
20
H
Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan Gunakan baju yang tidak longgar (harus pas badan) untuk menghindari tersangkut ke winch, Berhati-hati saat melakukan prosedur memasang tali ke bagian winch Memakai sarung tangan dan alas kaki tertutup dan tidak licin agar tidak terjatuh/terpeleset saat posisi menahan tali Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Perhatikan tata letak dan peralatan Kerjasama antar operator dan ABK saat pengoperasian winch Memakai alat perlindungan diri (life jacket, sarung tangan, alas kaki tertutup dan tidak licin Pelatihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) untuk operator Pastikan saat pengecekan mesin kapal sudah baik (double check) Pelatihan dan pendidikan (pengalaman terlatih)
Juru mudi Kapal oleng, Tenggelam 5 5 25 H mengatur olah terbalik, gerak kapal saat kerusakan mesin hauling S = Severity (Tingkat Keparahan Konsekuensi); P = Peluang; R = Nilai Risiko; TR = Tingkat Risiko Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi 40
Risiko Residual S 2
P 2
R 4
3
2
6
L
2
4
8
L
47
TR L
48 Kesimpulan Peluang kecelakaan kerja terbesar akibat kesalahan manusia pada pengoperasian soma pajeko di Bitung terjadi pada tahap 5 (hauling). Terdapat 4 jenis kecelakaan kerja yang teridentifikasi pada tahap hauling yaitu kelelahan, terluka, cedera dan tenggelam. Nilai HEP terbesar dari lower event yang terbentuk akibat kegagalan dari salah satu peristiwa dasar yaitu tenggelam dengan nilai 0,989085. Top event yang terbentuk ada FTA adala “kecelakaan kerja hauling” dengan nilai HEP total 0,999534 yang merupakan nilai HEP tertinggi dibandingkan top event pada tahap pengoperasian soma pajeko lainnya. 38 aktivitas yang memiliki tingkat risiko dalam kategori rendah (LOW) secara umum masih dapat diterima sesuai dengan kategori ALARP. Tingkat risiko dengan kriteria menengah (MEDIUM) terdiri atas 12 aktivitas, tersebar pada tahap 2 (loading) hingga tahap 8 (unloading). Aktivitas dengan kriteria tingkat risiko tinggi (HIGH) sebanyak 8 aktivitas. Risiko tinggi pertama kali teridentifikasi pada tahap 3 (perjalanan menuju fishing ground) kemudian pada tahap 4 (setting) dan paling banyak aktivitas berisiko tinggi pada tahap 5 (hauling). Secara keseluruhan terdapat 14% dari total aktivitas pengoperasian soma pajeko berada pada kriteria tinggi dan memerlukan pengendalian risiko. Pengendalian sisiko (risk control) dilakukan dengan cara penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada. Saran Perlu dilakukan cost benefit assessment (penilaian biaya dan manfaat) untuk menentukan pilihan efektif dari segi biaya dalam mengendalikan risiko kecelakaan kerja yang disebabkan oleh kesalahan manusia pada pengoperasian soma pajeko di Bitung. Penetepan standar batasan tingkat risiko pada perikanan mini purse seine dengan panjang kapal <24 meter diperlukan untuk memudahkan penilaian risiko pada penelitian selanjutnya khususnya untuk PMT soma pajeko di Bitung.
4
SISTEM KESELAMATAN KERJA NELAYAN PENGOPERASIAN SOMA PAJEKO DI BITUNG
Sistem pengelolaan perikanan yang berbeda akan mempengaruhi keselamatan di laut dengan cara yang berbeda. Ini telah dibuktikan di beberapa negara bahwa perikanan yang dikelola dengan meningkatkan keamanan bagi nelayan. Otoritas perikanan atau departemen perikanan adalah badan pemerintah yang berurusan dengan pengelolaan perikanan yang berfokus pada sumber daya ikan dan sangat jarang mempertimbangkan keamanan bagi nelayan(FAO 2010). operasi penangkapan ikan yang beragam tidak disertai pelatihan, pengalaman dan keterampilan tradisional adalah salah satu faktor yang mengakibatkan nelayan menjadi pekerjaan paling berbahaya di dunia Berdasarkan PP No.50 tahun 2012, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja agar tercipta tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Pengendalian
49 risiko yang terkait dengan interaksi manusia dengan sistem dapat didekati dengan cara yang sama seperti untuk pengembangan langkah-langkah pengendalian risiko lainnya. Pada pengoperasian soma pajeko (mini purse seine) di Bitung sebanyak 14% dari 58 aktivitas kerja merupakan aktivitas yang memiliki tingkat risiko tinggi. Sebanyak 21% berada pada tingkat risiko menengah yang perlu penanggulangan pengendalian risiko. Tindakan penanggulangan didasarkan pada asumsi bahwa meskipun kita tidak bisa mengubah kondisi manusia, kita dapat mengubah kondisi di mana manusia bekerja (Reason 2006). Langkah-langkah pengendalian risiko untuk interaksi manusia dapat dikategorikan ke dalam empat bidang sebagai berikut: (1) teknik / rekayasa sub-sistem, (2) lingkungan kerja, (3) personil sub-sistem dan (4) organisasi / manajemen sub-sistem. Menurut Manetsch dan Park (1977) yang diacu dalam Eriyatno (2003), sistem didefinisikan sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, sehingga diperlukan suatu kerangka pikir baru yang disebut sebagai pendekatan sistem (system approach). Pembahasan pada bab-bab sebelumnya menjelaskan identifikasi bahaya dan penilaian risiko pada pengoperasian soma pajeko serta pengendalian risiko bahayanya akibat kesalahan manusia (human error). Hal tersebut merupakan salah satu bagian input untuk sistem keselamatan kerja nelayan perikanan soma pajeko di Bitung. Tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan rekomendasi untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja di laut yang disebabkan oleh human error pada aktivitas perikanan soma pajeko di Bitung dengan pendekatan sistem. Analisis pendekatan sistem ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi stakeholders yang terkait dalam sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko di Bitung. Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah pendekatan sistem yang merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal yaitu (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik dalam menyelesaikan masalah, (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno, 2003).
50
Input
BLACK BOX
Output
(a) Operasi konversi Output 1
Input BLACK BOX
Output 2
(b) Operasi logik Input
BLACK BOX
Output
Umpan balik (feed back)
(c) Operasi koreksi
Sumber Eriyatno, 2003
Gambar 21 Bentuk dan Konfigurasi Struktur Sistem Pada Gambar 21 tersebut, konsep Black-Box menyatakan transformasi sebagai “kotak gela ” yang berarti mewakili pengelompokkan dari detail (perncian-perincian). Eriyatno (2003) menjelaskan bahwa beberapa transformasi dan operasi logik dapat dikombinasikan untuk menghasilkan atau menjelaskan sistem yang kompleks. Prinsip kontrol umpan balik (feedback) dapat diterapkan pada kelompok transformasi atau operasi logik. Kegunaan dari setiap operasi dasar tersebut da at ditunjang ole enggunaan “memory” (sim anan data). Tahapan pendekatan sistem yang dilakukan menurut Nurani (2010) terbagi atas dua tahap yaitu 1) analisis, dan 2) permodelan sistem. Analisis sistem digunakan untuk memahami perilaku sistem, mengidentifikasi faktor-faktor penting keberhasilan sistem, permasalahan yang dihadapi dan alternatif solusi yang dapat diajukan untuk mengatasi permasalahan. Nurani (2010) menjelaskan tahapan-tahapan yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Analisis kebutuhan, merupakan permulaan pengkajian sistem. Analisis kebutuhan ditentukan berdasarkan kebutuhan pelaku sistem (stakeholder). Untuk keperluan analisis, terlebih dahulu dilakukan identifikasi pelaku secara selektif melalui pengamatan lapangan secara langsung, selanjutnya dilakukan identifikasi kebutuhan pelaku melalui wawancara semi terstruktur. 2) Formulasi masalah, merupakan permasalahan-permasalahan spesifik yang dihadapi sistem yang menyebabkan sistem tidak dapat bekerja secara optimal. Formulasi masalah dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara semi terstruktur terhadap pelaku sistem. 3) Identifikasi sistem, merupakan gambaran sistem yang memperlihatkan rantai hubungan antara kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Identifikasi sistem digambarkan dalam bentuk struktur sistem, diagram sebab-akibat (causal loop), dan diagram input-output. Pendekatan kualitatif memakai penyimpulan konsep, induktif, model, tematik, dan sebagainya (Musianto 2002). Analisa data kualitatif dapat membentuk teori dan nilai yang dianggap berlaku di suatu tempat. Berdasarkan 3 langkah yang digunakan untuk analisis sistem. tujuan penelitian pada bab ini
51 adalah merumuskan suatu alternatif yang dapat diajukan untuk mengatasi permasalahan. Solusi yang akan dirumuskan berda pada ruang lingkup keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko di Bitung. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian pada Bab 2 dan Bab 3 dilakukan dengan pendekatan FSA IMO. Langkah-langkah yang telah dilakukan mulai dari identifikasi aktivitas dan konsekuensi bahaya, hingga ke penilaian dan pengendalian risiko. Tahap berikutnya mengkaji keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko di Bitung dilakukan dengan pendekatan sistem (system approach). Gambaran suatu sistem secara umum dijabarkan dengan Input-ProsesOutput. Analisis sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko yang dilakukan dengan menggunakan metodologi Formal Safety Assessment (FSA) dari IMO pada penelitian ini digambarkan oleh Gambar 22. Lingkungan (Regulasi terkait)
Input : (Hazard Identification)
Proses Transformasi “BLACK BOX” (Risk Assessment) Pengendalian/“feed back” (Risk Control), Cost Benefit Assesment
Output : (Minim risiko pada pengoperasian soma pajeko)
Gambar 22 Struktur pendekatan sistem dengan metodologi FSA (modifikasi dari Eriyatno, 2003). Metodologi FSA menerapkan 5 langkah untuk penilaian keselamatan. Langkah-langkah tersebut yaitu : 1) identifikasi aktivitas dan konsekuensi bahaya; 2) Penilaian risiko; 3) Pengendalian risiko; 4) Penilaian biaya dan manfaat; dan 5) Rekomendasi untuk pengambilan keputusan. Langkah-langkah untuk meningkatkan keselamatan hanya dapat benar-benar efektif bila terdapat motivasi untuk menerapkannya. Hal pertama yang dilakukan adalah analisis kebutuhan pelaku yang terlibat dalam sistem. Gambar 23 berikut menunjukkan tingkat pendidikan (a) dan pengalaman kerja nelayan (b). Tingkat pendidikan nelayan soma pajeko di PPS Bitung setara SMA/SMK sebanyak 45 %. Menurut Suwardjo et al. (2010), untuk menguasai keahlian atau keterampilan sebagai seorang nakhoda kapal kecil maka seorang nakhoda kapal minimum berpendidikan menengah perikanan atau pendidikan SLTA umum ditambah pelatihan kepelautan meliputi pelayaran dan pengoperasian kapal, keselamatan dan penangkapan ikan. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan kapal ikan tradisional soma pajeko PMT <24 meter seharusnya mempunyai kesempatan untuk memenuhi syarat keahlian/keterampilan sebagai pelaut.
52 pengalaman kerja nelayan
tingkat pendidikan nelayan 22%
12%
32%
45%
16% 40%
33%
SD
SMP
SMA/SMK
(a)
1-5 tahun >10-20 tahun
>5-10 tahun >20 tahun
(b)
Sumber : hasil wawancara terhadap nelayan, diolah
Gambar 23 Kondisi umum nelayan soma pajeko di PPS Bitung Sementara itu menurut Keputusan Menteri Perhubungan KM No. 9 tahun 2005 tentang pendidikan dan pelatihan serta ujian sertifikasi pelaut penangkapan ikan, setiap awak kapal ikan harus memiliki sertifikat yang sesuai dengan tugas dan jabatannya masing-masing. Dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut untuk kapal ikan tradisional dengan ukuran panjang kapal <24 meter. Berdasarkan aturan tersebut juga disebutkan bahwa seluruh awak kapal (nakhoda dan ABK) kapal penangkap ikan diwajibkan memiliki kompetensi keselamatan yang diperoleh melalui Basic Safety Training (BST). Salah satu persyaratan peserta untuk mengikuti pelatihan BST harus lulusan SLTP. Hasil wawancara dari 73 orang nelayan soma pajeko, sebanyak 40% (23 orang) nelayan yang bekerja di perikanan soma pajeko mempunyai pengalaman antara 10 hingga 20 tahun. Berdasarkan salah satu kasus dari penelitian ini, dari 30 orang awak kapal yang terdaftar di 1 (satu) unit kapal soma pajeko hanya ada 2 (dua) orang yang pernah melakukan pelatihan BST yaitu pengurus (Chief) dan 1 (satu) orang ABK. Kompetensi pekerja terhadap keselamatan kerja seringkali dinilai dari pengetahuan, pengertian serta penerapan peraturan dan prosedur keselamatan kerja, juga dari penerapan atas pelatihan keselamatan kerja yang diperoleh (Davies et al. 2001). Pelatihan BST hanya dilakukan 1 (satu) kali pada tahun 2010 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bitung bekerjasama dengan Akademi Perikanan Bitung (APB) dan tidak semua awak kapal mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan tersebut. Hal ini dikarenakan tingginya biaya pendidikan dan pelatihan yang menurut hasil wawancara nelayan dan pemilik kapal yang dianggap menambah biaya operasional pengoperasian soma pajeko PMT <24 m. Walaupun setiap kapten kapal soma pajeko sudah memenuhi syarat kompetensi kecakapan pelaut minimal SKK-60 mil, namun tidak seluruh awak kapalnya mempunyai syarat kompetensi untuk bekerja di atas kapal dalam hal keselamatan di laut. Dengan demikian, kompetensi awak kapal soma pajeko masih belum merata dan hanya berdasar pada pengalaman turun temurun saja.
53 Tabel 22 Analisis kebutuhan pelaku sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko 1.
2.
3.
4.
Pelaku Sistem Nelayan
Pemerintah (Pemerintah Pusat dan daerah, KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan)
Instansi Pelabuhan (PPS Bitung), Syahbandar Perikanan, KSOP Dishub Institusi/Akademisi/ Organisasi Penelitian/Lembaga Pelatihan
5.
6.
Lembaga Pengawasan dan penanggulangan bahaya di laut (TNIAL, POLAIR, KPLP, PSDKP, BAKORKAMLA, BASARNAS ) BMKG daerah
pusat
dan
7.
Pembuat Perahu/ Galangan Kapal
8.
Kelompok Nelayan/ Koperasi/ LSM
9.
Pengusaha/Pemilik Perahu
Kebutuhan Informasi cuaca sebelum melaut Keamanan dan keselamatan saat melaut Penggunaan APD yang nyaman untuk bekerja Jalur koordinasi komunikasi yang cepat dan tepat saat keadaan darurat Pengetahuan dan pemahaman keselamatan kerja di laut Pendidikan dan pelatihan keselamatan Strategi keselamatan di laut untuk kapal perikanan Pengelolaan perikanan yang terintegrasi pengelolaan kesalamatan nelayan Tingkat kecelakaan di laut minim Peningkatan kesejahteraan dan keselamatan nelayan Penangkapan ikan berkelanjutan Sistem informasi keselamatan kapal terpadu Kesesuaian Surat-surat ijin berlayar dan kelengkapannya Registrasi kapal dan awak yang baik dan benar Jalur komunikasi peringatan bencana/cuaca buruk dan saat keadaan darurat Data laporan kecelakaan kapal perikanan Informasi dan data yang valid tentang konsekuensi kecelakaan Informasi yang mendukung untuk mengkaji keselamatan nelayan di laut Pedoman dan acuan keselamatan di laut untuk meminimalkan risiko kecelakaan. Terlibat dalam pelatihan dan pendidikan untuk keselamatan nelayan Kejelasan aturan yang tidak tumpang tindih antar lembaga Jalur koordinasi komunikasi yang cepat dan tepat saat keadaan darurat Regulasi keselamatan dan penegakan hukum Koordinasi yang baik antar lembaga pengelola keselamatan kapal perikanan Biaya operasional memadai Sistem informasi cuaca yang cepat dan akurat untuk penyampaian ke pengguna Jalur koordinasi komunikasi yang cepat dan tepat saat keadaan darurat Bahan material yang aman, kuat, mudah didapat dan mudah dibuat. Informasi terhadap kebutuhan pengguna kapal ikan dengan daya stabilitas kapal dan jarak tempuh pelayaran yang sesuai Prosedur atau pedoman atau standar aturan untuk pembuatan kapal yang aman Sosialisasi aturan dan informasi dari pemerintah dan lembaga terkait yang mudah Koordinasi antar lembaga dari bawah ke atas lebih mudah dan terjalin baik Peningkatan kerjasama antar nelayan Awak kapal yang terlatih dan cakap dalam pengoperasian alat tangkap di laut Keselamatan awak, kapal, alat tangkap dan hasil tangkapan Biaya operasional yang memadai
54 Tabel 23 Formulasi masalah sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko No. 1 2 3 4 5 6
7
8 9
Deskripsi Permasalahan Tren kecelakaan kapal ikan meningkat selama 7 tahun (2007 – November 2013) Pekerjaan menangkap ikan memiliki risiko yang tinggi dan 80% dari kecelakaan tersebut dikarenakan kesalahan manusia. Peluang terjadinya risiko tersebut dapat timbul mulai dari tahap persiapan hingga kembali lagi menuju fishing base untuk pendaratan hasil tangkapan. Terbatasnya area dan kondisi kerja di atas kapal pada pengoperasian malam hari yang cenderung berulang hingga tinggi intensitas kerja nelayan. Pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan kesadaran mengenai keselamatan kerja pada perikanan soma pajeko di Bitung masih sangat minim. Rendahnya budaya selamat (safety culture) di seluruh lapisan masyarakat menyulitkan penanggulangan dan pengendalian risiko kecelakaan untuk manajemen keselamatan kerja nelayan soma pajeko. Data informasi yang minim atas detail pelaporan kecelakaan kapal ikan dan konsekuensinya tentang kecelakaan kerja nelayan di PPS Bitung bagi kapal ikan ukuran panjang <24m khususnya perikanan soma pajeko yang memuat personil kerja cukup banyak. Terbatasnya kemampuan kapal dan awak baik dari segi teknis dan biaya untuk memenuhi standar keselamatan. Adanya aturan yang tumpang tindih menyebabkan sulitnya pengawasan dan proses penanggulanagan kecelakaan oleh lembaga terkait sehingga menimbulkan celah untuk tindakan pengabaian peraturan keselamatan oleh pelaku usaha pengoperasian penangkapan ikan.
Berdasarkan kerangka pikir pada latar belakang permasalahan penelitian serta hasil analisis penilaian risiko dapat rumuskan formulasi masalah yang terkait pada sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko di Bitung (Tabel 23). Tanggung jawab keselamatan di laut harus ditanggung oleh para administrator dan nelayan. Upaya dan bantuan dibagi antara kedua kelompok tersebut untuk memastikan kemitraan yang efektif memungkinkan profesi pekerjaan penangkapan ikan di laut yang lebih aman. Menurut hasil wawancara dengan C.H. Marinda (penanggung jawab tim Rescue L Bitung), “tidak ada laporan dan komunikasi yang baik saat kejadian kecelakaan kapal ikan apalagi yang berukuran kecil karena standar komunikasi radio/signal tidak ada sehingga seringkali tidak terpantau. Pada hakekatnya kami mendapatkan instruksi dar anto pusat (KSO ) B tung”. Kondisi ini dijelaskan pula oleh Marine Inspektor A dari KSOP Dishub Bitung (Andi Mappiwajoi) yang berkewajiban untuk menginspeksi semua kapal mengatakan ba wa “terjadi tumpang tindih antara aturan dan tupoksi antara syahbandar perikanan dengan syahbandar dari Dishub. Pengurusan SIB kapal ikan semua berpusat di syahbandar perikanan, apabila terjadi kecelakaan seringkali kami sering tidak mendapatkan laporannya karena data tidak tercatat d bag an am ”. Hasil penelitian Purwangka (2013) di PPN Palabuhanratu dan Putra (2014) di PPI Batu Karas, Jawa Barat menyebutkan bahwa masih terjadi pula tumpang tindih aturan dan kepentingan antar lembaga yang terkait saat pemberian bantuan pencarian dan keselamatan (SAR) di laut/perairan. Kondisi yang sama terjadi di PPS Bitung mengenai permasalahan tersebut. Permasalahanpermasalahan yang disebutkan akan dicari pemecahannya Identifikasi sistem merupakan hubungan antara pernyataan kebutuhan pelaku dengan pernyataan dari formulasi masalah yang harus dipecahkan untuk mencapai kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko dapat digambarkan dengan diagram sebab-akibat (causal loop) berikut ini.
55
-
+
Risiko Kecelakaan Kerja di laut akibat human error
+
Safety culture : Penggunaan APD, prosedur keselamatan kerja
Konsekuensi kecelakaan fatal
+
Intensitas Aktivitas Kerja Nelayan
Aktivitas Pengoperasian Soma Pajeko
+
Kelembagaan dan kebijakan Pemerintah
+
+
Keterlibatan Tenaga Kerja
+ Pendidikan dan pelatihan Kompetensi Nelayan
+ +
+
-
-
+
+
Pengawasan Keamanan keselamatan pelayaran
UU/Aturan/Standar Pedoman Keselamatan Kerja nelayan
Gambar 24 Diagram causal loop sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko Gambar 24 memberikan hubungan keterkaitan antar elemen-elemen yang mempengaruhi sistem keselamatan kerja pengoperasian soma pajeko di Bitung. Tanda panah menunjukkan arah keterkaitan dan tanda positif (+) menunjukkan adanya dampak positif antar elemen yang saling berpengaruh. Tanda negatif (-) menunjukkan dampak negatif dari elemen yang satu ke elemen lain. Manajemen keselamatan kerja dapat dilakukan apabila tercipta budaya keselamatan (safety culture) seperti penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD) dan prosedur keselamatan kerja yang menyeluruh dalam sistem. Reason (1997) yang diacu dalam Suyono dan Nawawinetu (2013) mengungkapkan bahwa budaya keselamatan kerja yang baik dapat membentuk perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja yang diwujudkan melalui perilaku aman (safety behaviour) dalam melakukan pekerjaan. Secara keseluruhan risiko terhadap keselamatan kerja nelayan soma pajeko dapat diminimalisir dengan adanya peningkatan pengawasan, aturan/standar pedoman keselamatan kerja yang akan berdampak positif terhadap budaya keselamatan. IMO, FAO dan ILO telah menerbitkan panduan keselamatan untuk nelayan dan kapal perikanan bagian A dan B (FAO et al., 2005a dan 2005b) yang meliputi standar keselamatan untuk nelayan, kapal dan pengoperasian alat tangkap. Standar tersebut belum sepenuhnya dapat dilakukan di Indonesia untuk kapal ikan tradisional yang berukuran panjang kapal < 24 meter. Salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan budaya keselamatan dalam ruang lingkup kapal ikan soma pajeko dengan PMT ukuran panjang kapal < 24 meter adalah penerapan standar prosedur kerja yang disetujui bersama antara pemilik kapal dan kapten
+
56 kapal. Oleh karena itu, dengan cara tersebut budaya keselamatan maritim dapat diterapkan dari organisasi yang paling kecil. Suyono dan Nawawinetu (2013) menegaskan bahwa faktor organisasi secara tidak langsung menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja dengan menciptakan faktor lingkungan kerja (enabling factors) yang memicu pekerja untuk melakukan tindakan tidak aman (predisposing factors). Faktor organisasi secara langsung juga dapat merusak keefektifan sistem pertahanan sehingga terjadi kegagalan sistem (reinforcing factors), seperti kurang tegasnya pengaplikasian peraturan dan prosedur K3. Oleh karena itu pentingnya pemahaman keselamatan kerja nelayan sebagai bagian manajemen perikanan tangkap perlu ditingkatkan/disosialisasikan. Diagram input output (Gambar 25) merupakan lanjutan dari diagram causal loop berupa gambaran output yang harus dikeluarkan oleh sistem sesuai dengan tujuan sistem. Output sistem dapat diketahui berdasarkan rekayasa input yang terkendali dan input yang tak terkendali. Pengaruh dari lingkungan dan input tidak terkontrol menyebabkan output yang tidak dikehendaki. Mekanisme pengendalian dalam sistem dibutuhkan untuk mendapatkan input balik (feedback) dari output yang tidak terkontrol yang dikembalikan ke dalam sistem. Input Lingkungan : UU/Aturan/Standar Pedoman Keselamatan Kerja nelayan
Output yang dikehendaki : - Risiko kecelakaan kerja nelayan rendah - Keselamatan kenyamanan kesehatan saat bekerja - Tanggap darurat yang terkoordinasi - Terciptanya budaya keselamatan maritim
Input tidak terkontrol : - Data detail kecelakaan kapal ikan - Tingkat risiko kecelakan kerja nelayan - Kesehatan dan kebugaran (fitness) nelayan
Sistem Keselamatan Kerja Nelayan pada pengoperasian soma pajeko di Bitung Input terkontrol : Intensitas aktivitas kerja nelayan Kompetensi nelayan Kelengkapan surat ijin Peralatan dan perlengkapan keselamatan - Jalur komunikasi tanggap darurat - Kebijakan dan kelembagaan - Prosedur keselamatan kerja -
Parameter Rancang Bangun : -Identifikasi bahaya -Penilaian risiko -Pengendalian risiko
Output yang tidak dikehendaki : - Tinggi HEP (human error probability) - Konsekuensi kecelakaan fatal - Tinggi biaya operasional PMT soma pajeko <24m
Manajemen Keselamatan di laut; SMK3; Cost Benefit Assesment
Gambar 25 Diagram input-output sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko
57 Sifat sistem sangat sering dipengaruhi oleh input lingkungan dimana input lingkungan yang mempengaruhi sistem ini adalah peraturan nasional (Lampiran 23) dan aturan internasional (Lampiran 24) yang terkait dengan keselamatan kerja nelayan. Parameter rancangan sistem menurut Eriyatno (2003) adalah parameterparameter yang mempengaruhi input sampai menjadi (transformasi) output. Input lingkungan berupa aturan-aturan yang dapat mempengaruhi sistem dibatasi oleh parameter rancangan sistem. Parameter rancang bangun dalam sistem yang digambarkan pada Gambar 25, digunakan untuk menetapkan struktur sistem yaitu langkah-1-3 dalam metodologi FSA. SMK3 dan penilaian biaya dan manfaat (cost benefit assessment) yang merupakan langkah ke 4 dalam FSA digunakan pada manajemen pengendalian untuk mengelola output yang tidak dikehendaki agar dapat dimasukkan ke dalam input terkendali. Ketika mempersiapkan analisis biaya dan manfaat adalah hal yang umum untuk mengurangi biaya dan manfaat di masa mendatang (HSE 2001b). Hal ini dilakukan untuk merefleksikan fakta bahwa orang-orang, lebih suka untuk memiliki manfaat sekarang dan membayar untuk mereka nanti. Dengan demikian mereka lebih menghargai manfaat di masa sekarang daripada manfaat yang sama diterima suatu saat nanti. Ukuran untuk kesehatan dan keselamatan dibayar atau di masa sekarang dianggap lebih mahal daripada jika dibayar di masa mendatang sehingga tindakan pencegahan lebih diutamakan. Rekomendasi disusun untuk tercapainya output yang dikehendaki dan mengendalikan output yang tidak dikehendaki dalam sistem. Sistem ini akan berlangsung terus menerus sehingga dapat digambarkan melalui siklus manajemen keselamatan di laut yang dikembangkan Danielsson dalam FAO (2010) pada Gambar 26 berikut.
Gambar 26 Siklus manajemen keselamatan di laut (Danielsson dalam FAO 2010)
58 Siklus ini bertujuan untuk memberikan informasi dari kecelakaan di laut sistem pelaporan untuk memasukkan ke dalam sistem manajemen keselamatan dalam rangka meningkatkan keamanan bagi nelayan. Hal ini juga mencerminkan pendekatan holistik yang penting, yang melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holders). Siklus manajemen keselamatan laut ditandai dengan perbaikan sistem yang berkelanjutan untuk keselamatan nelayan. Siklus ini terdiri dari empat kategori yaitu 1) mitigasi, 2) persiapan, 3) bantuan penyelamatan, 4) rehabilitasi. Tindakan proaktif (sebelum kecelakaan) meliputi mitigasi dan persiapan dimana langkah-langkah ini merupakan langkah yang lebih mudah dan murah dilakukan untuk jangka panjang dibandingkan tindakan reaktif (setelah kecelakaan) terjadi. SISTEM REKOMENDASI Sosialisasi UU/peraturan/ standar keselamatan (6) MITIGASI
Prosedur keselamatan kerja nelayan kapal soma pajeko (7)
SISTEM EKSISTING PERSIAPAN
Persiapan dan perijinan berlayar
Kompetensi awak kapal, pelatihan secara berkala (3)
Audit persiapan sebelum melaut dengan form check list (5) Pengawasan dan penegakan hukum (10)
Aktivitas Pengoperasian Soma Pajeko
PENANGGULANGAN
REHABILITASI
Budaya keselamatan (8)
Tindakan penanggulangan dan/atau pencegahan kecelakaan
Perbaikan & penyusunan jalur komunikasi dan kerjasama instansi (4)
Pelaporan & pencatatan ke Syahbandar Perikanan Bitung
Identifikasi penyebab dan konsekuensi kecelakaan detail (sistem database kecelakaan kapal) (1)
Analisis risiko kecelakaan (FSA-IMO) (2) Konsultasi ahli dan evaluasi sistem (9)
Gambar 27 Pola keselamatan kerja nelayan soma pajeko PMT<24 m di Bitung
59 Penyusunan rekomendasi dapat dilihat dalam matrik perbandingan pada kondisi aktual yang telah diidentifikasi dalam sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko berdasar pada siklus manajemen keselamatan Danielsson (Lampiran 22 disampaikan pada di halaman 95). Berdasarkan lampiran tersebut, implementasi dari siklus manajemen keselamatan di laut belum sepenuhnya dilaksanakan di PPS Bitung. Tindakan mitigasi penting dilakukan untuk meminimalkan resiko kecelakaan kapal ikan yang berukuran kecil (<24m). Jalur komunikasi yang baik dan benar antar lembaga pengawasan dan penanggulangan bencana perlu diperbaiki agar tidak terjadi tumpang tindih aturan yang berlaku. Menurut IMO (1998), tindakan penanganan yang efektif pada kecelakaan laut memerlukan pemahaman yang baik terhadap keterlibatan unsur manusia dalam penyebab kecelakaan. Hal ini ditandai dengan penyelidikan menyeluruh dan analisis sistematis dari penyebab untuk faktor pendukung dan rantai penyebab kejadian. Tindakan reaktif pemberian bantuan pencarian dan keselamatan (SAR) pada misi penyelamatan seringkali dipersulit oleh jalur komunikasi yang buruk. Audit dalam kegiatan proaktif dalam siklus manajemen keselamatan di laut perlu diterapkan untuk menghindari tindakan/prosedur yang berbahaya dan meminimalisir risiko kecelakaan kerja nelayan akibat kesalahan manusia pada pengoperasian soma pajeko di Bitung. Hasil dari matriks tersebut dapat digambarkan sebagai suatu pola keselamatan kerja nelayan soma pajeko di Bitung (Gambar 27). Pola sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian unit penangkapan ikan soma pajeko di Bitung ini menjelaskan sistem existing pada keadaan/kondisi aktual. Perbaikan dan rekomendasi dari hasil analisis yang pada tulisan ini ditempatkan sebagai sistem perbaikan untuk meminimalisir risiko kecelakaan kerja di laut akibat kesalahan manusia pada pengoperasian soma pajeko di Bitung. Rekomendasi yang dapat disusun secara menyeluruh untuk meminimalkan risiko kecelakaan kerja pada pengoperasian soma pajeko di Bitung antara lain adalah sebagai berikut : (1) Identifikasi jenis dan penyebab dan konsekuensi kecelakaan yang mendetail dan terlaporkan dengan baik dan dapat ditelusuri (divalidasi). (2) Analisis/pengkajian tingkat risiko kecelakaan pada pengoperasian kapal ikan ukuran kecil <24m khususnya soma pajeko (mini purse seine). (3) Kompetensi awak kapal dan kesadaran perlu ditingkatkan dengan dilakukan secara pelatihan/pendidikan berkala dan biaya yang terjangkau. (4) Pebaikan dan penyusunan jalur komumikasi yang terstruktur dan jelas antara lembaga pengawas dan penanggulangan bencana dengan kerjasama dan kesesuaian tupoksi. (5) Audit (pemeriksaan kembali) terhadap persiapan sebelum melaut dengan form cheklist yang mudah diaplikasikan nelayan dan pengawas. (6) Sosialisasi Undang-undang/aturan/standar pedoman keselamatan kerja di laut ke seluruh lapisan organisasi. (7) Perlu dibuat prosedur keselamatan kerja nelayan khusus untuk kapal ikan ukuran kecil dengan panjang <24m khususnya soma pajeko. (8) Budaya keselamatan perlu dibangun mulai dari manajemen paling atas hingga manajemen paling bawah. (9) Konsultasi dengan para ahli, evaluasi dan sistem keselamatan kerja nelayan (10) Pengawasan dan penegakan hukum.
60 Keselamatan di laut harus dilihat sebagai bagian integral dari pengelolaan perikanan untuk mengurangi risiko dalam kegiatan penangkapan ikan. Menurut Charles (2001) sistem perikanan tangkap terdiri atas sub sistem Sumberdaya Ikan (SDI), sub sistem Sumberdaya Manusia (SDM) dan sub sistem pengelolaan. Keselamatan kerja nelayan meliputi manusia, teknologi peralatan dan lingkungan aktivitas kerjanya. Oleh karena itu sistem yang digambarkan dalam penelitian merupakan bagian sub sistem SDM dari sistem perikanan tangkap. Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan sistem dengan metodologi FSA. Menurut IMO (2002), tim dalam melakukan studi FSA bisa melibatkan ahli lainnya untuk memberikan pandangan ahli tambahan, evaluasi teknis dan/atau penilaian. Semua ahli yang terlibat dalam penelitian FSA harus memiliki, sejauh mungkin, pengetahuan dasar dan pemahaman tentang metodologi FSA, sebagaimana tercantum dalam Pedoman FSA. Cooper (2001) mengatakan bahwa manajemen keselamatan kerja dapat dilakukan apabila tercipta budaya keselamatan (safety culture) dengan indikator pelaksanaan budaya keselamatan tergantung dari visi dan misi organisasi. Dalam perikanan tangkap khususnya soma pajeko, budaya keselamatan dibentuk oleh komitmen manajemen, peraturan dan prosedur, komunikasi, keterlibatan nelayan, kompetensi, dan lingkungan sosial pekerja yang dapat dilihat dari persepsi nelayan soma pajeko. Seluruh awak kapal harus memiliki mind set safety first. Budaya keselamatan harus diterapkan mulai dari organisasi terkecil (organisasi di atas kapal), komitmen tiap lembaga, hingga ke organisasi yang paling atas yaitu Pemerintah Pusat. Hal ini sesuai dengan FAO (2010) yang menegaskan untuk meningkatkan keselamatan bagi nelayan terdapat sejumlah bidang di mana perbaikan dapat dilakukan pada tingkat nasional seperti penyediaan dan analisis data; mengidentifikasi penyebab kecelakaan; pendidikan dan pelatihan untuk pelatih, penyuluh, nelayan dan pengawas; pengelolaan perikanan, regulasi keselamatan dan penegakan hukum; mengembangkan pedoman keselamatan, peningkatan kerjasama antara nelayan, organisasi nelayan dan pemerintah. Hal ini diperlukan demi berjalannya sistem keselamatan kerja nelayan yang baik untuk meminimalkan risiko kecelakaan kerja di laut akibat kesalahan manusia (human error). Kesimpulan Dalam sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko dibutuhkan kesinambungan antar sub sistem dan komitmen dari seluruh lapisan pelaku untuk menerapkan budaya keselamatan dalam siklus manajemen keselamatan di laut. Keselamatan di laut harus dilihat sebagai bagian integral dari pengelolaan perikanan untuk mengurangi risiko kecelakaan akibat kesalahan manusia dalam kegiatan penangkapan ikan. Budaya keselamatan harus diterapkan mulai dari organisasi terkecil (organisasi di atas kapal), komitmen tiap lembaga, hingga ke organisasi yang paling atas yaitu Pemerintah Pusat. Rekomendasi untuk sistem manajemen keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko dititik-beratkan pada identifikasi jenis dan penyebab kecelakaan agar terciptanya sistem pelaporan dan database sebagai umpan balik kepada pemerintah dan lembaga pelatihan untuk perancangan kegiatan pelatihan
61 dan kesadaran budaya keselamatan tiap lapisan organisasi. Pendekatan sistem keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian kapal ikan ukuran kecil (<24m) khususnya soma pajeko di Bitung dapat dilakukan dengan metode FSA-IMO sebagai batasan parameter rancang bangun sistem. Saran Pengembangan pola keselamatan kerja nelayan pada perikanan soma pajeko dibutuhkan untuk studi lanjutan agar dapat dievaluasi dengan konsultasi ahli. Pelaksanaan rekomendasi untuk penyesuaian peraturan perundang-undangan dan Prosedur Operasional Baku (POB) nasional untuk pengoperasian unit penangkapan ikan dengan panjang kapal <24 meter khususnya soma pajeko (mini purse seine).
5
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian alat penangkap ikan di laut merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Pengkajian keselamatan nelayan soma pajeko dengan Perahu Motor Tempel (PMT) <24m dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dengan metodologi Formal Safety Assessment (FSA) dari IMO sebagai batasan parameter rancang bangun sistem. Terdapat 8 tahap dan 58 aktivitas yang harus dilakukan untuk mengoperasikan penangkapan ikan dengan soma pajeko dengan nilai Intensitas Kerja Total (IKT) 563 OA. Nilai Intensitas Kerja Primer (IKP) pada tahap hauling merupakan yang tertinggi (0,297) dengan total intensitas kerja 139 OA (Orang Aktivitas) yang berpotensi lebih tinggi menimbulkan peluang terjadinya kecelakaan kerja dibandingkan aktivitas lainnya. Pengoperasian pajeko berpotensi menimbulkan konsekuensi kelelahan, terluka, cedera dan tenggelam. Peluang terjadinya kecelakan akibat kesalahan manusia (human error) yang tertinggi adalah pada tahap hauling dengan nilai HEP sebesar 0,999534. Tahap hauling merupakan titik kritis (level tertinggi) yang membutuhkan prioritas pengendalian risiko. Secara keseluruhan terdapat 14% dari total aktivitas pengoperasian soma pajeko berada pada kriteria tinggi dan memerlukan pengendalian risiko. Pengendalian risiko dilakukan untuk menekan risiko serendah mungkin dengan cara meningkatkan budaya keselamatan dan prosedur pemakaian alat perlindungan diri dan cara kerja yang aman pada tiap aktivitasnya Implementasi dari siklus manajemen keselamatan di laut belum sepenuhnya dilaksanakan di PPS Bitung. Terjadi tumpang tindih peraturan dan tupoksi antar lembaga yang menyulitkan aksi penanggulangan kecelakaan di laut. Terdapat 10 (sepuluh) rekomendasi sebagai solusi meminimalkan kecelakaan kerja nelayan di laut pada perikanan soma pajeko di Bitung. Rekomendasi yang terbentuk dari pola sistem manajemen keselamatan kerja nelayan pada pengoperasian soma pajeko dititik-beratkan pada identifikasi jenis dan penyebab kecelakaan agar terbangun sistem pelaporan dan database sebagai umpan balik kepada pemerintah dan lembaga pelatihan untuk perancangan kegiatan pelatihan dan kesadaran. Audit dalam kegiatan proaktif dalam siklus manajemen keselamatan di laut perlu diterapkan untuk menghindari tindakan/ prosedur yang berbahaya dan meminimalisir risiko kecelakaan kerja nelayan akibat kesalahan manusia pada pengoperasian soma pajeko di Bitung. Saran Diperlukan suatu konsultasi ahli dan komunikasi secara menyeluruh pada tiap pelaku (stake holders) berdasar pada rekomendasi yang diusulkan sebagai acuan praktik terbaik (best practices) untuk keselamatan kerja nelayan soma pajeko di Bitung. Penelitian lebih lanjut dalam hal penilaian biaya-manfaat (cost benefit assessment) dan pengembangan pola dalam sistem diperlukan sbagai masukan manajemen pengendalian sistem keselamatan kerja nelayan dengan agar tercapai output yang dikehendaki dalam sistem keselamatan kerja nelayan soma pajeko.
DAFTAR PUSTAKA Andi, Alifen RS, Chandra, A. 2005. Model persamaan struktural pengaruh budaya keselamatan kerja pada perilaku pekerja di proyek konstruksi. Jurnal Teknik Sipil Untar. 12(3):127-136. Aven T, Vinnem JE, Vollen F. 2006. Perspectives on risk acceptance criteria and management for offshore applications – application to a development project. International Journal of Materials & Structural Reliability. No.1(4):15-25. Aven T. 2008. Risk Analysis Assessing Uncertainties beyond Expected Values and Probabilities. Chichester (GB): J Wiley. 194p. Ayodhyoa. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor : Yayasan Dewi Sri. Bell J, Holroyd J. 2009. Review of Human Reliability Assessments. Norwich (GB): Health and Safety Executives. Ben-Yammi, M. 2000. Risks and Dangers in Small-Scale Fisheries: an Overview. Working Paper. Geneva (CH): ILO. 60p Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Oxford (GB): Blackwell Science. Cooper, D. 2001. Improving Safety Culture: A Practical Guide. Hull (GB) : Applied Behaviour Sciences. 259 p. Davies F, Spencer R, Dooley K. 2001. Summary Guide to Safety Climate Tool. Oxford (GB): HSE. 45 p. Dhillon BS. 2005. Reliability, Quality, and Safety for Engineers. Florida (US): CRC Pr. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatakan Mutu dan efektifitas Manajemen. Jilid 1. Bogor (ID):IPB Press. p 7-30. Eurofound. 2012. Trends in job quality in Europe. European Working Conditions Survey. 5(2012):94p.doi:10.2806/35164. European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions. 2001. Third European Survey on Working Conditions 2000. Dublin (IE): Luxembourg.72 p. [FAO] Food Agriculture Organization. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Rome(IT): FAO. 176 p. [FAO] Food Agriculture Organization. 2010. Safety At Sea For Small-Scale Fisheries In Developing Countries. Safety For Fishermen: The Way Forward (GCP/GLO/200/MUL). Field Document No.10. Rome (IT): FAO. 83 p. Hamilton CT. 2007. ‘Work intensity’ and t e life course ers ective: Negotiating boundaries between work and life. Work/Life Intensity: Practices, Patterns and Possibilities. Critical Management Studies; 2007 Jul 11-13; Manchester, Australia. Manchester (AU): Faculty of Business and Enterprise, University of Manchester. 13 p. [HSE] Health and Safety Executives. 2001a. Marine Risk Assessment:Offshore Technology Report 2001/063. Norwich (GB): Health and Safety Executives. [HSE] Health and Safety Executives. 2001b. Reducing Risk, Protecting People: HSE’s D s on-Making Process, Norwich (GB): Health and Safety Executives. [IMO] International Maritime Organization. 1998. Interim Guidelines For The Application of Human Element Analysing Process (HEAP) to the IMO RuleMaking Proces. MSC/Circ.878, MEPC/Circ.346. 1998 Nov 20. London (GB): Maritime Safety Committe
64 [IMO] International Maritime Organization. 2002. Guidance on the Use of Human Element Analysing Process (HEAP) and Formal Safety Assessment (FSA) in the IMO Rule Making Process. MSC/Circ.1022, MEPC/Circ.391. 2002 May 16. London (GB): Maritime Safety Committe. [IMO] International Maritime Organization. 2006. Formal Safety Assessment, Possible Improvement for FSA Guidelines. MSC 82/INF3. 2006 Agu 29. London (GB): Maritime Safety Committe. [IMO] International Maritime Organization. 2007. Formal Safety Assessment. Consolidated text of the Guidelines for Formal Safety Assessment (FSA) for use in the IMO rule-making rocess (MSC/Circ.1023−ME C/Circ.392), London (GB): Maritime Safety Committe. [IMO] International Maritime Organization. 2008. Strategy and Planning, Part b) Risk Management. C100/3(b). 2008 May 12. London (GB): Council. Josephus, J. 2011. Intervensi Ergonomi pada Proses Penangkapan Ikan dengan Pukat Cincin Meningkatkan Kinerja dan Kesejahteraan Nelayan di Amurang Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. [Disertasi]. Bali: Ilmu Kedokteran, Program Pascasarjana, Universitas Udayana. 256 hlm. Karman A. 2008. Pengembangan Perikanan Mini Purse Seine (Soma Pajeko) Berbasis Rumpon Di Sekitar Pulau Mayau, Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 98hlm. [Kepmenhub] Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. 2000. Maritime Glossary [internet]. (2013 [diakses 2014 Juli 02]). Tersedia pada http://www.dephub.go.id/knkt/ntsc_maritime/maritime_glossary.htm. Kirwan B. 1996. The validation of three Human Reliability Quantification techniques - THERP, HEART and JHEDI: Part 1 - technique descriptions and validation issues. Applied Ergonomics. 6(27):359-373. Kirwan B, Kennedy R, Taylor-Adams S, Lambert, B. 1997a. The validation of three human reliability quantification techniques, THERP, HEART and JHEDI: Part II – results of validation exercise. Applied Ergonomics. 28(1):1725. Kirwan B, Kennedy R, Taylor-Adams S, Lambert, B. 1997b. The validation of three Human Reliability Quantification techniques - THERP, HEART and JHEDI: Part III – Practical aspects of the usage of the techniques. Applied Ergonomics. 1(8):27-39. Lane R, Stanton N, Harisson D. 2008. Hierarchical Task Analysis to Medication Administration Errors. Uxbridge (GB): Departemen of Design and Information System, Brunel University. Luasunaung A. 1999. Perikanan Soma Pajeko dengan Rumpon: Interaksi Antara Ikan Malalugis Biru (Decapterus maccarellus) dan Rumpon di Perairan Sekitar Molibagu, Teluk Tomini, Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor: Program. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hal. Lyons M, Adams S, Woloshynowych M, Vincent C. 2004. Human reliability analysis in healthcare: A Review of Technique. International Journal of Risk & Safety in Medicine, 16:223-237. Manetsch TJ, Park GL.1977. Systems Analysis and Simulations with Application to Economic and Social Systems, Part I and II. (US): Michigan State University.
65 Manuele FA. 2010. Acceptable risk: time for SH&E professionals to adopt the concept. Professional Safety. May 2010. p30-38. Marasut DTh. 2005. Analisis Karakteristik Teknis Kapal Pukat Cincin (Small Purse Seiner) pada Beberapa Daerah di SULUT dengan Aplikasi Komputer. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Sam Ratulangi Manado. 63 hal. Musianto LS. 2002. Perbedaan pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kualitatif dalam metode penelitian. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. 2(4): 123 – 136. Nomura M, Yamazaki T. 1977. Fishing Techniques 1. Japan International Corporation Agency. Tokyo. 206p. Nurani, T.W. 2010. Model Pengelolaan Perikanan: Suatu Kajian Pendekatan Sistem. Bogor (ID): Departemen Pemenfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIKIPB. Hal 9-18. On Safe Lines. 2012. Risk Matrix Comparison [internet]. (2013 [diakses 2014 Juli 02]). Tersedia pada http://www.risk-assessments.org/risk-assessment-matrixcomparisons.html. Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.. Jakarta (ID): Sekreteriat Negara RI. Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Kepelautan.. Jakarta (ID): Sekreteriat Negara RI. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan serta Ujian Sertifikasi Pelaut Penangkapan Ikan . Jakarta (ID): Sekreteriat Negara RI. Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta (ID): Sekreteriat Negara RI. Purwangka F, Wisudo SH, Iskandar BH, Haluan J. 2013. Kebijakan internasional mengenai keselamatan nelayan. Bulletin PSP. 21(1):51-65. Purwangka F. 2013. Keselamatan Kerja Nelayan pada Operasi Penangkapan Ikan menggunakan Payang di Palabuhanratu, Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 132hlm. Putra RS. 2014. Identifikasi Keselamatan Kerja Nelayan di PPI Batukaras Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 27hlm. Reason, J. 1997. Managing the Risk of Organizational Accidents. (GB): Ashgate Publishing Limited. Reason J. 2006. Human error: Models and management. BMJ 2000. 320:768770.doi:10.1136/bmj.320.7237.768. Ridley J, Channing J. 1998. Risk Management Safety at Work . ButterworhHeinemann : Elsivier Science Ltd. Ridley J. 2004. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Edisi Ketiga. Jakarta (ID): Erlangga. 45 hal. Saputra L, Adwani, Mahfud. 2013. Tanggung jawab nakhoda kapal cepat angkutan penyeberangan terhadap kelaiklautan kapal dalam keselamatan dan
66 keamanan pelayaran. Jurnal Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala, 2(2):19-28. Silaban G. 2010. Hubungan antara jumlah kepesertaan tenaga kerja, jumlah kecelakaan kerja, dan jumlah jaminan kecelakaan kerja perusahaan kelompok jenis usaha III peserta program JKK pada PT Jamsostek cabang Medan. Berita Kedokteran Masyarakat. 26(1):12-21. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta. hlm 85. Suma’mur. 1995. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja . Jakarta : Gunung Agung. Suwardjo D, Haluan J, Jaya I, Poernomo SH. 2010. Kajian tingkat kecelakaan fatal, pencegahan dan mitigasi kecelakaan kapal – kapal penangkap ikan yang berbasis operasi di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan dan PPS Cilacap. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 10(1):61-72. Suyono KZ, Nawawinetu ED. 2013. Hubungan antara faktor pembentuk budaya keselamatan kerja dengan safety behavior di PT. Dok dan Perkapalan Surabaya unit Hull Construction. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health. Jan-Jun 2013, 1(2): 67–74. Tarwaka, Bakhri H.A S, Sudiajeng L. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: Uniba Pres, hal: 93-143. The Australian Standard/New Zealand Standard 4360: 1999. 1999. Risk Management Guidelines. The Australian Standard/New Zealand Standard 4360: 2004. 2004. Risk Management Guidelines. Tribun Manado. 2013. Pajeko terbakar, Lucky alami kerugian ratusan juta rupiah. http://manado.tribunnews.com/2013/01/17/pajeko-terbakar-lucky-alamikerugian-ratusan-juta-rupiah. [diakses pada tanggal 9 September 2013]. Williams JC. 1986. A proposed Method for Assessing and Reducing Human error. In Proceedings of the 9th Advance in Reliability Technology Symposium, University of Bradford, 1986, pp. B3/R/1 – B3/R/13. Williams JC. 1988. A Data-based method for assessing and reducing Human Error to improve operational experience. In Proceedings of IEEE 4th. Conference on Human Factors in power Plants, Monterey, California, 9 June 1988, pp. 436450. Wittingham RB. 2004. The Blame Machine:Why Human Error Causes Accidents. Oxford (GB): Elsevier Butterworth-Heinemann. 271 p. Zarochman, Wahyono A. 2005. Petunjuk Teknis Identifikasi Sarana Perikanan Tangkap Pukat Cincin (Purse Seine). Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang. 43 hal.
LAMPIRAN
68 Lampiran 1 Identifikasi aktivitas, bahaya dan HEP pengoperasian soma pajeko Langkah
Deskripsi Tugas
0.
Persiapan
1
Pengurusan dokumendokumen SIB (3 hari sekali) Mendata ABK Pengecekan kehadiran ABK Pembagian tugas ABK Pembelian perbekalan awak kapal Pengecekan dan perbaikan alat tangkap
2 2.1 2.2 2.3
3
4
5
Pengecekan dan pengaturan mesin kapal Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan
0.
Loading
1
Pengangkutan dan pengisian bensin dan oli
2
3
4
5
0 1
Deskripsi Kegagalan Surat-surat tidak lengkap, pelanggaran hukum
Konsekuensi kegagalan Kelelahan
Kekurangan jumlah Kelelahan ABK Tugas dan fungsi Kelelahan ABK tidak sesuai Biaya tidak Kelelahan mencukupi, kurang perbekalan Penggunaan alat Terluka perbaikan yang salah mengenai tubuh, terjepit antar kapal Kerusakan mesin, Terluka konsleting mesin, terbakar Blong/keranjang Kelelahan rusak, Kekurangan blong dan keranjang Sub Total Tahap 1 :
Kerusakan jerigen, Terluka BBM/Oli kurang, BBM/Oli jatuh/tumpah, Kerusakan selang bensin BBM bocor, terbakar, Benda jatuh mengenai tubuh Pengangkutan dan Es jatuh ke laut, Terluka pengisian es ke Kebutuhan Es dalam palka kurang, Alat ganjo mengenai tubuh, tertimpa es Pengangkutan Jerigen terjatuh, Cidera jerigen air minum benda jatuh mengenai tubuh, Jerigen rusak/bocor Pengangkutan Benda jatuh Kelelahan blong dan mengenai tubuh, keranjang Penempatan blong tambahan dan keranjang sembarangan, terbatas area kerja ABK naik ke Terpeleset dari Cidera kapal papan saat naik perahu, Terjatuh Sub Total Tahap 2 : Berlayar ke Fishing Ground Bertolak dari dermaga
Intensitas (OA)
Jenis Aktivitas
HEP
1
primer
0,001123
1
primer
0,026000
1
primer
0,027280
1
primer
0,018000
3
primer
0,000610
2
primer
0,006696
3
primer
0,040320
12 OA
0,114653
6
primer
0,180634
6
primer
0,178560
6
primer
0,195840
6
primer
0,195840
28
primer
0,038160
52 OA
0,581359
69 Langkah
Deskripsi Tugas
Intensitas (OA) 4
Jenis Aktivitas primer
0,036000
Terluka
2
primer
0,520960
Cidera
7
primer
0,093600
Kelelahan
2
primer
0,111600
ABK memakan perbekalan ABK mengganti Jas hujan rusak, pakaian/ tidak membawa jas mengenakan jas hujan sehingga hujan kedinginan Persiapan alat tangkap :
Kelelahan
28
sekunder
0,000553
Kelelahan
28
sekunder
0,000553
5.1
Membuka terpal penutup jaring
Cidera
8
primer
0,036000
5.2
Menyiapkan jaring, pelampung dan cincin ABK mematikan lampu di kapal Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju FG
Terpeleset, terjatuh ke laut, tersangkut tali Tersangkut jaring, tertimpa cincin
Terluka
6
primer
0,005400
Konsleting listrik, terbakar Kapal menabrak akibat tidak jelas kode arah
Terluka
1
primer
0,000592
Tenggelam
2
primer
0,416000
1.1
Melepas tali tambat
1.2
Juru mesin menyalakan motor mengarahkan kapal keluar kolam pelabuhan ABK mendorong kapal lain di sisi kanan dan kiri Membuang air di lambung kapal
1.3
2
3 4
5
6 7
Deskripsi Kegagalan Terpeleset/terjatuh akibat menginjak tali/tersangkut tali Kapal menabrak, Mesin terbakar
Konsekuensi kegagalan Terluka
Anggota tubuh terbentur, terjepit, Terjatuh ke laut Terjepit tuas pompa, kram tangan Makanan kurang
Sub Total Tahap 3 : 0
Setting
1
2 ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal lampu
88 OA
HEP
0,792137
Terkena propeler karena salah turun kapal, anggota tubuh terbentur akibat salah posisi Pemasangan alat tangkap :
Cidera
3
primer
0,433440
2.1
Menurunkan pelampung tanda
Cidera
4
primer
0,146286
2.2
Mengatur bagian jarring untuk di turunkan
Kelelahan
11
primer
0,005806
2.3
Menurunkan bagian sayap jaring 1 Menurunkan bagian badan
Tersangkut tali pelampung, sehingga terjatuh dari kapal, kesalahan posisi saat membuang pelampung tanda, Kesalahan mengatur bagian jaring menyebabkan setting gagal Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
7
primer
0,188082
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
7
primer
0,184599
2
2.4
70 Langkah
Deskripsi Tugas
Deskripsi Kegagalan
Konsekuensi kegagalan
Intensitas (OA)
Jenis Aktivitas
HEP
jaring 2.5
3
4
5
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Menurunkan bagian sayap jaring 2 Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring Hauling Penyelam mengawasi ikan, jarring dan memberikan kode Operator winch menyalakan mesin ABK memasang tali kolor ke winch
Operator megoperasikan winch menaikkan cincin-cincin Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang) ABK bersiap di posisi masing2 (56 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan) ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek
Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
7
primer
0,181116
Manuver salah, kegagalan setting
Kelelahan
2
primer
0,864000
Bentuk jaring tidak sempurna, gagal setting
Kelelahan
2
primer
0,515840
26
primer
0,028288
Posisi jaring tidak Kelelahan beraturan, tangan tergores karena menahan jaring Sub Total Tahap 4 :
69 OA
0,983320
Daya tahan kurang, cepat lelah akibat kedinginan, Kode tidak benar, Mesin tidak berfungsi, gagal hauling Anggota tubuh tersangkut tali ke winch, tangan tergores karena menahan tali Tertimpa cincin, terlepeset, tersangkut tali, tercebur Terjepit,tersangkut bagian jaring
Tenggelam
3
primer
0,851533
Kelelahan
2
primer
0,426240
Cidera
5
primer
0,220792
Tenggelam
10
primer
0,808704
cidera
5
primer
0,174960
Terpeleset, terjatuh dari kapal, terbentur bagian kapal
Cidera
28
primer
0,014040
Tergores tali saat menarik jaring, posisi anggota tubuh tidak sesuai, terpeleset, terjatuh dari kapal Tertusuk, tergigit, tergores ikan hasil tangkapan
Terluka
28
primer
0,810000
Terluka
28
primer
0,054560
Kapal oleng, terbalik, kerusakan mesin
Tenggelam
2
primer
0,615680
71 Langkah 10
0 1
2
3
4
5
Deskripsi Tugas
Deskripsi Konsekuensi Kegagalan kegagalan Mengatur posisi Posisi jaring tidak Kelelahan alat tangkap saat beraturan, hauling kekurangan koordinasi antar kru kapal Sub Total Tahap 5 : Penanganan Hasil Tangkapan di atas Kapal Mengangkat ikan Terpeleset, Cidera dari kantong tersandung bagian jarring dengan jaring Alat Serok Memasukkan ikan Terpeleset, tertimpa Cidera ke dalam blong hasil tangkapan atau palka bila yang terlalu berat, blong penuh terjatuh dari kapal saat nenaikkan HT Memecahkan es Kesalahan Terluka dan memasukkan menggunakan alat ke dalam blong pemecah es, ABK merapihkan Posisi badan tidak Cidera bentuk jarring benar, tergores untuk setting tali/badan jaring, selanjutnya Bila tidak ada Kesalahan kelelahan setting lanjutan menyortir ikan, maka ikan disortir keranjang tidak ke dalam mencukupi keranjang Sub Total Tahap 6 :
0
Berlayar ke Fishing Base
1
Tonaas mengarahkan arah menuju FB Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan ABK menyortir ikan ke dalam keranjang
2
3
4
5
0 1 1.1
1.2
ABK istirahat/memakan perbekalan
Koordinasi tidak baik, Kesalahan arah kapal, Laju mesin tidak teratur, Kerusakan mesin kapal
Intensitas (OA) 28
Jenis Aktivitas primer
139 OA
HEP 0,346320
0,999534
16
primer
0,165888
16
primer
0,239760
6
primer
0,165888
28
primer
0,174960
11
sekunder
0,432000
77 OA
0,752131
Kelelahan
3
primer
0,515840
Kelelahan
3
primer
0,255744
28
primer
0,152640
11
primer
0,449280
28
sekunder
0,000561
Posisi badan tidak Cidera benar, tergores tali/badan jaring, Kesalahan Kelelahan menyortir ikan, keranjang tidak mencukupi Perbekalan jatuh ke Kelelahan laut, kekurangan waktu istirahat Sub Total Tahap 7 :
73 OA
0,831939
Unloading Melabuhkan kapal di kolam TPI : ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh
Anggota tubuh terbentur, terjepit, Terjatuh ke laut Kesalahan arah dan manuver kapal, menabrak kapal lain atau dermaga
Cidera
7
primer
0,421200
Cidera
2
primer
0,520960
72 Langkah
Deskripsi Tugas
1.3
Melemparkan tali
1.4
ABK menurunkan hasil tangkapan
2
Juru mudi mengarahkan kapal dari kolam TPI menuju dermaga soma pajeko. ABK turun kapal dengan perlengkapan masing-masing 2 orang ABK Piket menjaga kapal dan membersihkan kapal Soma Pajeko
3
4
Deskripsi Kegagalan Kegagalan menyangkutkan tali, terpeleset, tersandung tali, terbentur dinding dermaga Terpeleset, tersandung, keranjang terjatuh mengenai tubuh/terjatuh ke laut Terbentur badan kapal lain, manuver tidak benar, kapal oleng
Konsekuensi kegagalan Terluka
Intensitas (OA) 5
Jenis Aktivitas primer
0,036000
Terluka
7
primer
0,036000
Terluka
2
primer
0,352000
Terjatuh, tersangkut tali,terbentur
Terluka
28
primer
0,038160
Kapal dan alat tangkap tidak terjaga keamanan dan kebersihan
Kelelahan
2
primer
0,008268
Sub Total Tahap 8 :
53 OA
HEP
0,840733
73 Lampiran 2 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 1 (persiapan) Step
1
2.1
2.2
2.3
3
4
5
Task Description Pengurusan dokumendokumen SIB (3 hari sekali)
Pengecekan kehadiran ABK
Pembagian tugas ABK
Pembelian perbekalan awak kapal
Pengecekan dan perbaikan alat tangkap
Pengecekan dan pengaturan mesin kapal
Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan
Generic Task
G
E
E
E
G
F
E
NHEP
0,0004
0,02
0,02
0,02
0,0004
0,003
0,02
Assesed Effect (AE)
HEP
EPC no.
17
32
BCF
3
1,2
PA
0,8
0,4
AE ke-i
2,6
1,08
EPC no.
20
BCF
2
0,001123
0,026000
PA
0,3
AE ke-i
1,3
EPC no.
25
31
BCF
1,6
1,2
PA
0,4
0,5
AE ke-i
1,24
1,1
EPC no.
24
BCF
0,8
PA
0,5
AE ke-i
0,9
EPC no.
21
33
BCF
2
1,15
PA
0,4
0,6
AE ke-i
1,4
1,09
EPC no.
17
23
BCF
3
1,6
PA
0,4
0,4
AE ke-i EPC no. BCF
1,8 17 3
1,24 32 1,2
PA
0,4
0,6
AE ke-i
1,8
1,12
0,027280
0,018000
0,000610
0,006696
0,040320
Keterangan untuk Lampiran 2 - Lampiran 9 Generic Task dan NHEP (Nominal Human Error Probability) = diperoleh dari Tabel 14 EPC dan BCF = diperoleh dari Tabel 15 PA = Proportion of Affect; Penilaian subjektif dari peneliti terhadap kondisi aktual; rentang nilai 0-1, semakin besar nilai nya menunjukkan semakin sering error terjadi. AEi = Assessed Effect pada kegiatan ke-i ; diperoleh dari penggunaan persamaan rumus (6)
74 Lampiran 3 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 2 (loading) Step
Task Description
1
Pengangkutan dan pengisian bensin dan oli
2
3
4
5
Pengangkutan dan pengisian es ke dalam palka
Pengangkutan jerigen air minum
Pengangkutan blong dan keranjang tambahan
ABK naik ke kapal
Generic Task
D
D
D
D
E
NHEP
0,09
0,09
0,09
0,09
0,02
Assesed Effect (AE)
HEP
EPC no. BCF
21 2
31 1,2
32 1,2
PA
0,6
0,6
0,6
AE ke-i
1,6
1,12
1,12
EPC no.
21
23
2
1,6
PA
0,6
0,4
AE ke-i
1,6
1,24
EPC no.
21
23
2
1,6
PA
0,6
0,6
AE ke-i
1,6
1,36
EPC no.
21
23
2
1,6
PA
0,6
0,6
AE ke-i
1,6
1,36
EPC no.
21
33
2
1,15
PA
0,8
0,4
AE ke-i
1,8
1,06
BCF
BCF
BCF
BCF
0,1806336
0,17856
0,19584
0,19584
0,03816
75 Lampiran 4 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 3 (berlayar ke fishing ground) Step
1.1
1.2
1.3
2
3
4
Task Description
Melepas tali tambat
Juru mesin menyalakan motor mengarahkan kapal keluar kolam pelabuhan
ABK mendorong kapal lain di sisi kanan dan kiri
Membuang air di lambung kapal
ABK memakan perbekalan
ABK mengganti pakaian/ mengenakan jas hujan
Generic Task
E
C
E
D
G
G
NHEP
0,02
0,16
0,02
0,09
0,0004
0,0004
Assesed Effect (AE) EPC no. BCF PA
21 2 0,8
AE ke-i
1,8
EPC no.
15
24
BCF
3
1,6
0,6
0,8
AE ke-i
2,2
1,48
EPC no. BCF PA
16 3 0,8
21 2 0,8
AE ke-i
2,6
1,8
EPC no.
28
BCF
1,4
PA
0,6
AE ke-i
1,24
EPC no.
28
36
BCF
1,4
1,06
PA
0,8
0,8
AE ke-i
1,32
1,048
EPC no. BCF
28 1,4
36 1,06
PA
0,8
0,8
AE ke-i EPC no. BCF PA AE ke-i EPC no.
1,32 21 2 0,8 1,8 21
1,048
2 0,8 1,8 23
Membuka terpal penutup jaring
E
0,02
5.2
Menyiapkan jaring, pelampung dan cincin
F
0,003
BCF PA AE ke-i EPC no.
6
ABK mematikan lampu di kapal
G
0,0004
BCF
1,6
PA
0,8
7
Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju FG
C
0,16
0,036000
PA
5.1
AE ke-i EPC no. BCF PA AE ke-i
1,48 16 3 0,8 2,6
HEP
0,520960
0,093600
0,111600
0,000553
0,000553
0,036000
0,005400
0,000592
0,416000
76 Lampiran 5 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 4 (setting) Step
Task Description
1
2 ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal lampu
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
3
4
5
Menurunkan pelampung tanda
Mengatur bagian jarring untuk di turunkan
Menurunkan bagian sayap jaring 1
Menurunkan bagian badan jaring
Menurunkan bagian sayap jaring 2 Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan
Generic Task
NHEP
Assesed Effect (AE) EPC no.
C
D
F
D
D
D
C
Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring
C
ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring
E
0,16
0,09
0,003
0,09
0,09
0,09
0,16
0,16
0,02
HEP
20
21
33
2
2
1,15
PA
0,4
0,8
0,5
AE ke-i
1,4
1,8
1,075
EPC no.
21
33
34
2
1,15
1,1
PA
0,4
0,5
0,8
AE ke-i
1,4
1,075
1,08
EPC no.
21
33
34
2
1,15
1,1
PA
0,6
0,8
0,8
AE ke-i
1,6
1,12
1,08
EPC no.
21
33
34
2
1,15
1,1
PA
0,8
0,5
0,8
AE ke-i
1,8
1,075
1,08
EPC no.
21
33
34
2
1,15
1,1
PA
0,8
0,5
0,6
AE ke-i
1,8
1,075
1,06
EPC no.
21
33
34
2
1,15
1,1
PA
0,8
0,5
0,4
AE ke-i EPC no. BCF
1,8 15 3
1,075 2 11
1,04
PA
0,4
0,2
AE ke-i
1,8
3
EPC no. BCF
16 3
24 1,6
PA
0,8
0,4
AE ke-i EPC no. BCF
2,6 25 1,6
1,24 34 1,1
PA
0,6
0,4
1,36
1,04
BCF
BCF
BCF
BCF
BCF
BCF
AE ke-i
0,433440
0,146286
0,005806
0,188082
0,184599
0,181116
0,864000
0,515840
0,028288
77 Lampiran 6 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 5 (hauling) Step
1
2
3
4
5
6
7
Task Description Penyelam mengawasi ikan, jarring dan memberikan kode
Operator winch menyalakan mesin
ABK memasang tali kolor ke winch
Generic Task
C
C
D
Operator megoperasikan winch menaikkan cincin-cincin
C
Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang)
D
ABK bersiap di posisi masing2 (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan)
F
ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek
D
NHEP
0,16
0,16
0,09
0,16
0,09
0,003
0,09
8
Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring
E
0,02
9
Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling
C
0,16
10
Mengatur posisi alat tangkap saat hauling
D
0,09
Assesed Effect (AE)
HEP
EPC no.
10
27
30
BCF
5,5
1,4
1,2
PA
0,6
0,6
0,8
AE ke-i
3,7
1,24
1,16
EPC no.
15
23
3
1,6
PA
0,4
0,8
AE ke-i EPC no. BCF PA
1,8 23 1,6 0,8
1,48 25 1,6 0,8
33 1,15 0,8
AE ke-i EPC no. BCF
1,48 15 3
1,48 21 2
1,12 34 1,1
PA
0,8
0,8
0,8
AE ke-i EPC no. BCF
2,6 21 2
1,8 34 1,1
1,08
PA
0,8
0,8
AE ke-i
1,8
1,08
EPC no.
21
16
BCF
BCF
2
3
PA
0,8
0,8
AE ke-i EPC no. BCF
1,8 8 6
2,6 21 2
PA
0,8
0,8
AE ke-i
5
1,8
EPC no. BCF PA AE ke-i EPC no. BCF PA AE ke-i EPC no. BCF PA AE ke-i
19 2,5 0,8 2,2 15 3 0,8 2,6 16 3 0,8 2,6
25 1,6 0,4 1,24 23 1,6 0,8 1,48 25 1,6 0,8 1,48
0,851533
0,426240
0,220792
0,808704
0,174960
0,014040
0,810000
0,054560
0,615680
0,346320
78 Lampiran 7 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 6 (penanganan hasil tangkapan) Generic Task
Step
Task Description
NHEP
1
Mengangkat ikan dari kantong jarring dengan Alat Serok
D
0,09
2
Memasukkan ikan ke dalam blong atau palka bila blong penuh
D
0,09
3
Memecahkan es dan memasukkan ke dalam blong
D
0,09
4
ABK merapihkan bentuk jarring untuk setting selanjutnya
D
0,09
5
Bila tidak ada setting lanjutan maka ikan disortir ke dalam keranjang
D
0,09
Assessed Effect (AE)
HEP
EPC no. BCF PA AE ke-i EPC no. BCF PA AE ke-i
21 2 0,8 1,8 21 2 0,8 1,8
37 1,03 0,8 1,024 23 1,6 0,8 1,48
EPC no.
21
37
BCF PA AE ke-i EPC no. BCF PA AE ke-i EPC no. BCF PA AE ke-i
2 0,8 1,8 21 2 0,8 1,8 8 6 0,4 3
1,03 0,8 1,024 34 1,1 0,8 1,08 20 2 0,6 1,6
0,165888
0,239760
0,165888
0,174960
0,432000
Lampiran 8 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 7 (berlayar ke fishing base) Step
Task Description
Generic Task
NHEP
1
Tonaas mengarahkan arah menuju FB
C
0,16
2
Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal
C
0,16
3
ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan
D
0,09
4
5
ABK menyortir ikan ke dalam keranjang
ABK istirahat/memakan perbekalan
D
G
0,09
0,0004
Assessed Effect (AE)
HEP
EPC no. BCF APOA AE ke-i EPC no. BCF APOA AE ke-i EPC no. BCF APOA AE ke-i EPC no. BCF APOA AE ke-i
16 3 0,8 2,6 24 1,6 0,8 1,48 21 2 0,6 1,6 8 6 0,4 3
24 1,6 0,4 1,24 34 1,1 0,8 1,08 34 1,1 0,6 1,06 20 2 0,6 1,6
34 1,1 0,4 1,04
EPC no. BCF APOA
30 1,2 0,8
33 1,15 0,8
35 1,1 0,8
AE ke-i
1,16
1,12
1,08
0,515840
0,255744
0,152640
0,449280
0,000561
79 Lampiran 9 Generic task dan EPC untuk HEP aktivitas tahap 8 (unloading) Step
Task Description
Generic Task
NHEP
Assessed Effect (AE) EPC no.
1.1
1.2
1.3
1.4
2
3
4
ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal
Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh
Melemparkan tali
ABK menurunkan hasil tangkapan
Juru mudi mengarahkan kapal dari kolam TPI menuju dermaga soma pajeko.
ABK turun kapal dengan perlengkapan masingmasing
2 orang ABK Piket menjaga kapal dan membersihkan kapal Soma Pajeko
D
C
E
E
C
E
F
0,09
0,16
0,02
0,02
0,16
0,02
0,003
BCF
16
21
3
2
APOA
0,8
0,8
AE ke-i
2,6
1,8
EPC no.
15
24
3
1,6
APOA
0,6
0,8
AE ke-i
2,2
1,48
EPC no.
21
BCF
BCF
0,8
AE ke-i
1,8
EPC no.
21
0,520960
0,036000
2
APOA
0,8
AE ke-i
1,8
EPC no.
15
BCF
0,421200
2
APOA
BCF
HEP
0,036000
3
0,352000
APOA
0,6
AE ke-i
2,2
EPC no.
21
33
2
1,15
APOA
0,8
0,4
AE ke-i
1,8
1,06
EPC no.
18
31
35
BCF
2,5
1,2
1,1
APOA
0,8
0,8
0,8
AE ke-i
2,2
1,16
1,08
BCF
0,038160
0,008268
80 Lampiran 10 FTA aktivitas tahap 1 (persiapan) Kecelakaan kerja persiapan soma pajeko
OR
0.114653
Terluka
Kelelahan
OR
1. Pengurusan dokumendokumen SIB (3 hari sekali)
2.1 Pengecekan kehadiran ABK
0.026000 0.0011232
OR
0.108140
2.2 Pembagian tugas ABK
0.027280
0.007302
3. Pengecekan dan perbaikan alat tangkap
4. Pengecekan dan pengaturan mesin kapal
0.000610
0.006696
2.3 Pembelian Perbekalan awak kapal
5. Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan
0.018000 0.040320
81 Lampiran 11 FTA aktivitas tahap 2 (loading) Kecelakaan kerja saat loading muatan kapal soma pajeko
0.581359
OR
Kelelahan
Cidera
OR
3. Pengangkutan jerigen air minum
0.195840
0.226527
5. ABK naik ke kapal
OR
Terluka
0.195840
4. Pengangkutan blong dan keranjang tambahan
OR
1. Pengangkutan dan pengisian bensin dan Oli
0.326940
2. Pengangkutan dan pengisian Es ke dalam palka
0.038160 0.195840
0.180634
0.178560
82 Lampiran 12 FTA aktivitas tahap 3 (berlayar ke fishing ground) Kecelakaan kerja perjalanan ke Fishing Ground
OR
Tenggelam
Cidera
0.126230
OR
1.3. ABK mendorong kapal lain di sisi kanan dan kiri
0.093600 7. Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju FG
0.416000
Kelelahan
0.416000 OR
5.1. Membuka terpal penutup jaring
0.03600 0
0.112583
OR
2. Membuang air di lambung kapal
3. ABK memakan perbekalan
0.111600
0.000553
1.1. Melepas tali tambat
0.036000
0.792137
1.2. Juru mesin menyalakan motor mengarahkan kapal keluar kolam pelabuhan
0.520960
Terluka
0.540971
OR
4. ABK mengganti pakaian/ mengenakan jas hujan
0.000553
5.2. Menyiapkan jaring, pelampung dan cincin
0.005400
6. ABK mematikan lampu di kapal
0.000592
83 Lampiran 13 FTA aktivitas tahap 4 (setting)
Kecelakaan kerja saat Setting soma pajeko
OR
Kelelahan
Cidera
OR
0.983320
OR
0.516320
1. 2 ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal lampu
Tenggelam
0.936388
2.1. Menurunkan pelampung tanda
2.3. Menurunkan bagian sayap jaring 1
0.146286
0.188082
OR
0.457867
2.4. Menurunkan bagian badan jaring)
2.5. Menurunkan bagian sayap jaring 2
0.184599
0.181116
0.433440
2.2. Mengatur bagian jaring untuk di turunkan
0.005806
3. Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan
0.864000
4. Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring
5. ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring
0.028288 0.515840
84 Lampiran 14 FTA aktivitas tahap 5 (hauling) Kecelakaan kerja saat hauling
OR
Tenggelam
Terluka
Cedera OR
3. ABK memasang tali kolor ke winch
Kelelahan
0,336148
5. Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang)
6. ABK bersiap di posisi masing2 (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan)
OR
2. Operator winch menyalakan mesin
0,624945 10. Mengatur posisi alat tangkap saat hauling
0,426240
0,197136 0,162000 OR
0,999534
0,346320
0,014040
0,989085
OR
1. Penyelam mengawasi ikan, jaring dan memberikan kode
4. Operator mengoperasikan winch menaikkan cincin-cincin
9. Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling
0,851533
0,808704
0,615680
7. ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek
0,820366
8. Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring
0,810000 0,054560
85 Lampiran 15 FTA aktivitas tahap 6 (penanganan hasil tangkapan) Kecelakaan kerja penanganan hasil tangkapan di atas kapal soma pajeko
OR
0,752131
Cidera
Terluka
Kelelahan
OR
0,432000
0,476821
1. Mengangkat ikan dari kantong jarring dengan Alat Serok
2. Memasukkan ikan ke dalam blong atau palka bila blong penuh
4. ABK merapihkan bentuk jarring untuk setting selanjutnya
OR
0,165888 5. Bila tidak ada setting lanjutan maka ikan disortir ke dalam keranjang
OR
3. Memecahkan es dan memasukkan ke dalam blong
0,432000 0,165888
0,239760
0,174960
0,165888
Lampiran 16 FTA aktivitas tahap 7 (berlayar ke fishing base) Kecelakaan kerja saat berlayar ke Fishing Base
OR 0.831939 Cidera OR
Kelelahan
0.152640
3. ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan
0.152640
OR
1. Tonaas mengarahkan arah menuju Fishing base
2. Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal
0.515840
0.255744
4. ABK menyortir ikan ke dalam keranjang
0.449280
0.801665 5. ABK istirahat/ memakan perbekalan
0.000561
86 Lampiran 17 FTA aktivitas tahap 8 (unloading)
Kecelakaan kerja saat unloading muatan soma pajeko
0.840733
OR
Cidera
Kelelahan
Terluka
OR
OR
OR
0.722732 1.1. ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal
0.421200
1.2. Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh
0.520960
0.420796
0.008268 4. 2 orang ABK Piket menjaga kapal dan membersihkan kapal Soma Pajeko
0.008268
1.3. Melemparkan tali
1.4. ABK menurunkan hasil tangkapan
0.036000
0.036000
2. Juru mudi mengrahkan kapal dari kolam TPI menuju dermaga soma pajeko.
0.352000
3. ABK turun kapal dengan perlengkapan
0.038160
87 Lampiran 18 Kategori likelihood (peluang) dan severity (konsekuensi) bahaya Likelihood (peluang) 1. Rare (1%) 2. Unlikely (3%) 3. Possible (10%)
4. Likely (30%)
5. Almost Certain (99%)
Severity (konsekuensi bahaya) 1. Tidak berbahaya Tidak ada efek kesehatan 2. Ringan Luka ringan, membutuhkan penanganan langsung 3. Menengah Cedera ringan, membutuhkan penanganan medis dokter/ rumah sakit, membutuhkan waktu penyembuhan 4. Berat Cedera berat/serius, mengakibatkan cacat, membutuhkan waktu penyembuhan hingga tidak masuk kerja 5. Fatal Cacat tetap, dapat berkibat kehilangan nyawa
(modifikasi IMO 2007 dan AS/NZS 4360: 1999)
Lampiran 19 Segitiga ALARP (HSE 2001)
88 Lampiran 20 Perbandingan berbagai matriks risiko (On Safe 2012)
http://www.risk-assessments.org/risk-assessment-matrix-comparisons.html#.UBclOOSz5O
Lampiran 21 Tabel JSA, penilaian risiko dan pengendalian tingkat risiko kecelakaan kerja pengoperasian PMT soma pajeko <24 m No.
Deskripsi Tugas
Tahap 1 (persiapan) 1 Pengurusan dokumen-dokumen SIB (3 hari sekali)
Deskripsi Kegagalan
Konsekuen si Bahaya
S
Risiko Awal P R TR
Surat-surat tidak lengkap, pelanggaran hukum
Kelelahan
1
1
1
L
2
Pengecekan kehadiran ABK
Kekurangan jumlah ABK
Kelelahan
1
2
2
L
3
Pembagian tugas ABK
Tugas dan fungsi ABK tidak sesuai
Kelelahan
1
2
2
L
4
Pembelian perbekalan awak kapal
Biaya tidak mencukupi, kurang perbekalan
Kelelahan
1
2
2
L
5
Pengecekan dan perbaikan alat tangkap
Penggunaan alat perbaikan yang salah mengenai tubuh, terjepit antar kapal
Terluka
2
1
2
L
6
Pengecekan dan pengaturan mesin kapal
Kerusakan mesin, konsleting mesin, terbakar
Terluka
2
1
2
L
7
Pengecekan kebutuhan blong dan keranjang ikan
Blong/keranjang rusak, Kekurangan blong dan keranjang
Kelelahan
1
3
3
L
Pengendalian Risiko Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan Pastikan surat-surat dan kelengkapannya dibawa saat pengurusan dokumen Lakukan sesuai dengan prosedur Multivitamin untuk daya tahan tubuh Pastikan jumlah ABK dengan tepat Data kembali ABK yang siap berangkat dengan keadaan fisiknya Multivitamin untuk daya tahan tubuh Pastikan jumlah ABK dengan tepat Prosedur pembagian tugas sesuai dengan fungsi dan keadaan fisik ABK. Multivitamin untuk daya tahan tubuh Pastikan pendaatan kebutuhan perbekalan sesuai Komunikasi antara Chief dan pengurus di darat harus baik. Multivitamin untuk daya tahan tubuh Lakukan dengan hati-hati, Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Perhatikan tata letak peralatan Lakukan dengan hati-hati dan sesuai prosedur penngecekan Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Laporkan keadaan mesin apabila ada kerusakan dicatat dan diperbaiki, laporkan kembali Lakukan dengan hati-hati, Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Periksa kembali keadaan dan kebutuhan blong/keranjang, laporkan keadaan aktualnya Multivitamin untuk daya tahan tubuh
S
Risiko Residual P R TR
L
1
1
1
L
1
1
1
L
1
1
1
L
L
L
1
2
2
Keterangan : S = Severity (Tingkat Keparahan Konsekuensi); P = Peluang; R = Nilai Risiko; TR = Tingkat Risiko Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
89
L
90 Lampiran 21 Tabel JSA, penilaian risiko dan pengendalian tingkat risiko kecelakaan kerja pengoperasian PMT soma pajeko (lanjutan) No.
Aktivitas
Tahap 2 (Loading) 8 Pengangkutan dan pengisian bensin dan oli
Deskripsi Kegagalan
Konsekuensi Bahaya
S
Kerusakan jerigen, BBM/Oli kurang, BBM/Oli jatuh/tumpah, Kerusakan selang bensin BBM bocor, terbakar, Benda jatuh mengenai tubuh Es jatuh ke laut, Kebutuhan Es kurang, Alat ganjo mengenai tubuh, tertimpa es
Terluka
2
4
8
L
Terluka
2
4
8
L
Cidera
3
4
12
M
Kelelahan
1
4
4
L
Cidera
2
3
6
Terluka
2
3
Terluka
3
9
Pengangkutan dan pengisian es ke dalam palka
10
Pengangkutan jerigen air minum
Jerigen terjatuh, benda jatuh mengenai tubuh, Jerigen rusak/bocor
11
Pengangkutan blong dan keranjang tambahan
12
ABK naik ke kapal
Benda jatuh mengenai tubuh, Penempatan blong dan keranjang sembarangan, terbatas area kerja Terpeleset dari papan saat naik perahu, Terjatuh
Tahap 3 (berlayar ke fishing ground) 13 Melepas tali tambat Terpeleset/terjatuh akibat menginjak tali/tersangkut tali 14 Juru mesin menyalakan Kapal menabrak, Mesin terbakar motor mengarahkan kapal keluar kolam pelabuhan
Risiko Awal P R TR
Pengendalian Risiko Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan
S
Risiko Residual P R TR
Lakukan dengan hati-hati, Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Perhatikan tata letak peralatan
2
2
4
L
Lakukan dengan hati-hati, Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Perhatikan tata letak peralatan Lakukan dengan hati-hati, Penanganan peralatan dengan hati-hati Perhatikan posisi tubuh saat bekerja; Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Perhatikan tata letak peralatan
2
2
4
L
2
3
6
L
1
1
1
L
L
Perhatikan posisi tubuh saat naik ke kapal Lakukan dengan hati-hati Kerjasama yang baik antar personil kerja
1
2
4
L
6
L
1
2
2
L
5
15
M
Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Kerjasama yang baik antar personil kerja Kerjasama antara Kapten (Tonaas) dengan juru mudi saat memberikan kode Penggunaan radio komunikasi; Pelatihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) untuk operator Perhatikan tata letak peralatan dan kapal Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Kapal dipasangkan alat bantu seperti ban karet untuk menahanbenturan antar kapal. Multivitamin untuk daya tahan tubuh, Perhatikan posisi tubuh saat bekerja
3
2
6
L
3
2
6
L
1
2
2
L
15
ABK mendorong kapal lain di sisi kanan dan kiri
Anggota tubuh terbentur, terjepit, Terjatuh ke laut
Cidera
3
3
9
M
16
Membuang air di lambung kapal
Terjepit tuas pompa, kram tangan
Kelelahan
1
4
4
L
Lampiran 21 Tabel JSA, penilaian risiko dan pengendalian tingkat risiko kecelakaan kerja pengoperasian PMT soma pajeko (lanjutan) No.
Aktivitas
Deskripsi Kegagalan
Konsekuensi Bahaya Kelelahan
S 2
Risiko Awal P R TR 1 2 L
Kelelahan
1
1
1
L
17
ABK memakan perbekalan
Makanan kurang
18
ABK mengganti pakaian/ mengenakan jas hujan
Jas hujan rusak, tidak membawa jas hujan sehingga kedinginan
19
Membuka terpal penutup jaring Menyiapkan jaring, pelampung dan cincin
Terpeleset, tersangkut tali
Cidera
2
3
6
L
Tersangkut jaring, tertimpa cincin
Terluka
3
1
3
L
21
ABK mematikan lampu di kapal
Konsleting listrik, terbakar
Terluka
2
1
2
L
22
Tonaas mengarahkan kapal dengan lampu sorot menuju FG
Kapal menabrak akibat tidak jelas kode arah
Tenggelam
5
5
25
H
Cidera
3
5
15
M
Cidera
3
4
12
M
Kelelahan
2
1
2
L
20
Tahap 4 (setting) 23 2 ABK penyelam pengawas ikan turun di dekat kapal lampu 24 Menurunkan pelampung tanda
25
Mengatur bagian jarring untuk di turunkan
Terkena propeler karena salah turun kapal, anggota tubuh terbentur akibat salah posisi Tersangkut tali pelampung, sehingga terjatuh dari kapal, kesalahan posisi saat membuang pelampung tanda, Kesalahan mengatur bagian jaring menyebabkan setting gagal
Pengendalian Risiko Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan Pastikan perbekalan sudah dibeli dan siap tuk dibawa, pastikan perbekalan pribadi disiapkan sebelum berangkat. Multivitamin untuk daya tahan tubuh Periksa kembali jas hujan yang akan dibawa Biasakan membawa baju ganti yang kering untuk dipakai setelah bekerja Multivitamin untuk daya tahan tubuh Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja
Periksa kembali sambungan listrik sebelum berangkat. Lakukan dengan hati-hati Penggunaan teknologi Global Positioning System (GPS) Kerjasama antara Kapten (Tonaas) dengan juru mudi saat memberikan kode Penggunaan radio komunikasi; atau Penambahan orang (asisten kapten) di dek tengah sebagai perantara penyampaian kode dari Tonaas di anjungan ke juru mudi di buritan
Perhatikan posisi tubuh saat turun ke perairan Memakai alat perlindungan diri (life jacket) Pelatihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai alat perlindungan diri (life jacket)
S 1
Risiko Residual P R TR 1 1 L
L
2
2
4
L
2
1
2
L L
3
4
12
M
2
3
6
L
2
2
4
L
Perhatikan dan penanganaan terhadap tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja
L
Keterangan : S = Severity (Tingkat Keparahan Konsekuensi); P = Peluang; R = Nilai Risiko; TR = Tingkat Risiko Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
91
92 Lampiran 21 Tabel JSA, penilaian risiko dan pengendalian tingkat risiko kecelakaan kerja pengoperasian PMT soma pajeko (lanjutan) No.
Aktivitas
26
Menurunkan bagian sayap jaring 1
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
S 5
P 4
R 20
TR H
27
Menurunkan bagian badan jaring
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
5
4
20
H
28
Menurunkan bagian sayap jaring 2
Tersangkut jaring, tercebur
Tenggelam
5
4
20
H
29
Juru mudi menggerakkan kapal melingkari kawanan ikan
Manuver salah, kegagalan setting
Kelelahan
1
5
5
L
30
Tonaas mengatur arah kapal dan mengawasi bentuk jaring
Bentuk jaring tidak sempurna, gagal setting
Kelelahan
1
5
5
L
31
ABK mempertahankan bentuk dan posisi jaring
Posisi jaring tidak beraturan, tangan tergores karena menahan jaring
Kelelahan
2
2
4
L
Daya tahan kurang, cepat lelah akibat kedinginan, Kode tidak benar,
Tenggelam
5
5
25
H
Mesin tidak berfungsi, gagal hauling
Kelelahan
1
5
5
L
Tahap 5 (hauling) 32 Penyelam mengawasi ikan, jarring dan memberikan kode
33
Operator winch menyalakan mesin
Deskripsi Kegagalan
Konsekuensi Bahaya
Keterangan : S = Severity (Tingkat Keparahan Konsekuensi); P = Peluang;
Risiko Awal
Pengendalian Risiko
Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai alat perlindungan diri (life jacket) Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai alat perlindungan diri (life jacket) Perhatikan tata letak peralatan Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai alat perlindungan diri (life jacket) Konsentrasi penuh terhadap momen pergerakan dan instruksi dari Tonaas Pelatihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) Multivitamin untuk daya tahan tubuh Pastikan kondisi tubuh fit saat aktivitas Kerjasama yang baik antara seluruh awak kapal soma pajeko Pelatihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) Multivitamin untuk daya tahan tubuh
Risiko Residual S P R TR 3 3 9 M
3
3 9
M
3
3 9
M
1
2 2
L
1
2 2
L
Kerjasama yang baik antara seluruh awak kapal soma pajeko Multivitamin untuk daya tahan tubuh Memakai sarung tangan dan alas kaki tertutup dan tidak licin agar tidak terjatuh/terpeleset saat posisi menahan bentuk jaring
1
2 2
L
Pastikan kondisi tubuh fit saat aktivitas Multivitamin dan air hangat untuk meningkatkan daya tahan tubuh memakai alat perlindungan diri (life jacket/pelampung) ada orang pengganti Pastikan pengecekan mesin dalam keadaan baik (double check)
3
3
9
M
1
3
3
L
R = Nilai Risiko; TR = Tingkat Risiko
Lampiran 21 Tabel JSA, penilaian risiko dan pengendalian tingkat risiko kecelakaan kerja pengoperasian PMT soma pajeko (lanjutan) No. 34
Aktivitas ABK memasang tali kolor ke winch
Deskripsi Kegagalan Anggota tubuh tersangkut tali ke winch, tangan tergores karena menahan tali
Konsekuensi Bahaya Cidera
S 4
Risiko Awal P R TR 4 16 H
35
Operator megoperasikan winch menaikkan cincincincin
Tertimpa cincin, terlepeset, tersangkut tali, tercebur
36
Menjepitkan sebagian sayap 1 dan 2 di bambu kapal (depan & belakang)
Terjepit,tersangkut bagian jaring
ABK bersiap di posisi masing2 (5-6 haluan, 15 dek tengah, 6-8 buritan) ABK menarik jaring dan menyalakan lampu di dek
Terpeleset, terjatuh dari kapal, terbentur bagian kapal
Cidera
2
2
Tergores tali saat menarik jaring, posisi anggota tubuh tidak sesuai, terpeleset, terjatuh dari kapal
Terluka
2
5
Melepaskan ikan yang tersangkut pada sayap dan/atau badan jaring Juru mudi mengatur olah gerak kapal saat hauling
Tertusuk, tergigit, tergores ikan hasil tangkapan
Terluka
2
3
Kapal oleng, terbalik, kerusakan mesin
Tenggelam
5
Mengatur posisi alat tangkap saat hauling
Posisi jaring tidak beraturan, kekurangan koordinasi antar kru kapal
Kelelahan
1
37
38
39
40
41
Tenggelam
4
5
20
H
cidera
3
4
12
M
4
L
10
M
6
L
5
25
H
5
5
L
Pengendalian Risiko Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan Gunakan baju yang tidak longgar (harus pas badan) untuk menghindari tersangkut ke winch, Berhati-hati saat melakukan prosedur memasang tali ke bagian winch Memakai sarung tangan dan alas kaki tertutup dan tidak licin agar tidak terjatuh/terpeleset saat posisi menahan tali Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Perhatikan tata letak dan peralatan Kerjasama antar operator dan ABK saat pengoperasian winch Memakai alat perlindungan diri (life jacket, sarung tangan, alas kaki tertutup dan tidak licin Pelatihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) untuk operator Memakai alat perlindungan diri (life jacket, sarung tangan, alas kaki tertutup dan tidak licin Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Perhatikan tata letak dan peralatan Lakukan dengan hati-hati Memakai alat perlindungan diri (life jacket, sarung tangan, alas kaki tertutup dan tidak licin Perhatikan tata letak peralatan dan area kapal Memakai alat perlindungan diri (life jacket, sarung tangan, alas kaki tertutup dan tidak licin Perhatikan tata letak peralatan dan area kapal Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai alat perlindungan diri (life jacket, sarung tangan, alas kaki tertutup dan tidak licin Penanganan peralatan dan bahan harus benar Pastikan saat pengecekan mesin kapal sudah baik (double check) Pelatihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) Kerjasama yang baik antara seluruh awak kapal soma pajeko Multivitamin untuk daya tahan tubuh
Risiko Residual S P R TR 2 2 4 L
3
2
3
2
6
L
1
2
2
L
2
3
6
L
1
2
2
L
4
2
1
4
Keterangan : S = Severity (Tingkat Keparahan Konsekuensi); P = Peluang; R = Nilai Risiko; TR = Tingkat Risiko Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
93
6
8
4
L
L
L
94 Lampiran 21 Tabel JSA, penilaian risiko dan pengendalian tingkat risiko kecelakaan kerja pengoperasian PMT soma pajeko (lanjutan) No.
Aktivitas
Deskripsi Kegagalan
Tahap 6 (Penanganan HT di atas kapal) 42 Mengangkat ikan dari kantong Terpeleset, tersandung bagian jarring dengan Alat Serok jaring
Konsekuensi Bahaya
S
Risiko Awal P R TR
Cidera
3
4
12
M
43
Memasukkan ikan ke dalam blong atau palka bila blong penuh
Terpeleset, tertimpa hasil tangkapan yang terlalu berat, terjatuh dari kapal saat nenaikkan HT
Cidera
3
4
12
M
44
Memecahkan es dan memasukkan ke dalam blong
Kesalahan menggunakan alat pemecah es,
Terluka
2
4
8
L
45
ABK merapihkan bentuk jarring untuk setting selanjutnya
Posisi badan tidak benar, tergores tali/badan jaring,
Cidera
2
4
8
L
46
Bila tidak ada setting lanjutan maka ikan disortir ke dalam keranjang
Kesalahan menyortir ikan, keranjang tidak mencukupi
kelelahan
1
5
5
L
Koordinasi tidak baik, Kesalahan arah kapal,
Kelelahan
1
5
5
L
Kelelahan
1
4
4
L
Cidera
2
4
8
L
Tahap 7 (berlayar ke fishing base) 47 Tonaas mengarahkan arah menuju FB
48
Juru mudi mengatur kecepatan mesin kapal
Laju mesin tidak teratur, Kerusakan mesin kapal
49
ABK merapihkan bentuk jaring untuk disimpan
Posisi badan tidak benar, tergores tali/badan jaring,
Keterangan : S = Severity (Tingkat Keparahan Konsekuensi); P = Peluang;
Pengendalian Risiko Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan
Kerjasama yang baik antar personil Perhatikan tata letak peralatan jaring di atas kapal Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Kerjasama yang baik antar personil Perhatikan tata letak peralatan jaring di atas kapal Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Hindari prosedur yang berbahaya Lakukan dengan hati-hati, Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Kerjasama yang baik antar personil Perhatikan tata letak peralatan jaring di atas kapal Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai sarung tangan Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Lakukan dengan hati-hati, Multivitamin untuk daya tahan tubuh
Penggunaan teknologi Global Positioning System (GPS) Kerjasama antara Kapten (Tonaas) dengan juru mudi saat memberikan kode Penggunaan radio komunikasi; Multivitamin untuk daya tahan tubuh Penanganan mesin kapal dengan hati-hati Lakukan dengan hati-hati, Multivitamin untuk daya tahan tubuh Kerjasama yang baik antar personil Perhatikan tata letak peralatan jaring di atas kapal Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Memakai sarung tangan
R = Nilai Risiko; TR = Tingkat Risiko
Risiko Residual S P R TR 2
3
6
L
2
3
6
L
2
2
4
L
2
2
4
L
1
3
3
L
1
3
3
L
1
3
3
L
2
2
4
L
Lampiran 21 Tabel JSA, penilaian risiko dan pengendalian tingkat risiko kecelakaan kerja pengoperasian PMT soma pajeko (lanjutan) No. 50
Aktivitas
Konsekuensi Bahaya Kelelahan
S 1
Kelelahan
1
1
1
L
Anggota tubuh terbentur, terjepit, Terjatuh ke laut
Cidera
3
5
15
M
Juru mudi mengatur kapal untuk berlabuh
Kesalahan arah dan manuver kapal, menabrak kapal lain atau dermaga
Cidera
3
5
15
M
Melemparkan tali
Kegagalan menyangkutkan tali, terpeleset, tersandung tali, terbentur dinding dermaga Terpeleset, tersandung, keranjang terjatuh mengenai tubuh/terjatuh ke laut Terbentur badan kapal lain, manuver tidak benar, kapal oleng
Terluka
2
3
6
L
Terluka
2
3
6
L
Terluka
2
5
10
M
Terjatuh, tersangkut tali,terbentur
Terluka
2
3
6
L
Kelelahan
1
1
1
L
ABK menyortir ikan ke dalam keranjang
51
ABK istirahat/memakan perbekalan Tahap 8 (Unloading) 52 ABK mendorong kapal di kanan dan kiri kapal
53
54
55
ABK menurunkan hasil tangkapan
56
Juru mudi mengarahkan kapal dari kolam TPI menuju dermaga soma pajeko. ABK turun kapal dengan perlengkapan masing-masing
57
58
2 orang ABK Piket menjaga kapal dan membersihkan kapal Soma Pajeko
Deskripsi Kegagalan Kesalahan menyortir ikan, keranjang tidak mencukupi Perbekalan jatuh ke laut, kekurangan waktu istirahat
Kapal dan alat tangkap tidak terjaga keamanan dan kebersihan
Risiko Awal P R TR 5 5 L
Pengendalian Risiko Ukuran keamanan dan tindakan pencegahan Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Lakukan dengan hati-hati, Multivitamin untuk daya tahan tubuh Lakukan dengan hati-hati, Multivitamin untuk daya tahan tubuh
Risiko Residual S P R TR 1 3 3 L
L
Perhatikan tata letak peralatan dan kapal Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Kapal dipasangkan alat bantu seperti ban karet untuk menahan benturan antar kapal. Penanganan mesin kapal dengan hati-hati Lakukan dengan hati-hati, latihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) untuk operator Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Kerjasama yang baik antar personil kerja
2
3
6
L
2
3
6
L
2
2
4
L
1
2
2
L
2
2
4
L
1
2
2
L
Perhatikan posisi tubuh saat bekerja Penanganan peralatan dan bahan dengan hati-hati Memakai alas kaki yang tidak licin Penggunaan teknologi GPS Lakukan dengan hati-hati, latihan dan pendidikan (pengalaman terlatih) untuk operator Perhatikan posisi tubuh saat turun ke kapal Hindari membawa bawaan yang banyak dan berat Lakukan dengan hati-hati Kerjasama yang baik antar personil kerja Kerjasama yang baik antar personil kerja Perbekalan yang cukup untuk piket Multivitamin untuk daya tahan tubuh Siapkan telepon genggam yang selalu menyala dan nomor darurat
L
Keterangan : S = Severity (Tingkat Keparahan Konsekuensi); P = Peluang; R = Nilai Risiko; TR = Tingkat Risiko Keterangan warna : Hijau = tingkat risiko rendah Kuning = tingkat risiko sedang Merah = tingkat risiko tinggi
95
96 Lampiran 22 Matriks Implementasi Keselamatan Kerja Nelayan Soma Pajeko dan Rekomendasinya Tindakan PROAKTIF 1) Mitigasi
Variabel
Implementasi Sudah Belum
Keterangan
√
Rekomendasi
1
MCS/VMS
2
Registrasi kapal
3
Perundang-undangan
√
4
Manajemen perikanan
√
5
Strategi keselamatan di laut
√
6
Standar keselamatan kapal
√
7
Pelatihan, pendidikan, kesadaran
√
8
Mata pencaharian alternatif
√
identifikasi kebutuhan nelayan soma pajeko untuk mata pencaharian alternatif
9
Pedoman keselamatan
√
10
Komite keselamatan laut
√
perlu disusun, disosialisasikan, dipahami dan diterapkan perlu dibentuk khusus bidang perikanan laut sesuai dengan kebutuhan pelaku perikanan tangkap
11
kemauan politik
√
√
hanya terbatas pada kelengkapan surat-surat dan administrasi
dilakukan untuk sekedar kelengkapan surat hanya 1 kali (tahun 2010) dan belum menyeluruh ke semua awak kapal
perlu diaplikasikan pada kapal penangkap ikan ukuran kecil dengan panjang < 24m perlu diadakan evaluasi dan audit dengan benar karena masih ada ketidaksesuaian dengan kondisi nyata perlu dilakukan sosialisasi top - down keselamatan harus menjadi bagian integral dari manajemen perikanan perlu disusun strategi keselamatan di laut sesuai aplikasinya pada kapal penangkap ikan ukuran kecil dengan panjang <24 m perlu audit perlu dilakukan berkala dengan biaya terjangkau
perlu dibangun budaya keselamatan dari semua lapisan organisasi
Lampiran 22 Matriks Implementasi Keselamatan Kerja Nelayan Soma Pajeko dan Rekomendasinya (lanjutan) Tindakan 2)
Persiapan
Variabel 1 2
Alat tangkap dan alat bantu penangkapan Perlengkapan keselamatan
Implementasi Sudah Belum √ √
Keterangan
Rekomendasi
pengecekan dan perbaikan alat untuk kesuksesan operasi penangkapan hanya sebagai kelengkapan surat ijin dan administrasi, masih banyak yang belum sesuai standar
perlu audit dan pengembangan teknologi untuk meminimalisir risiko kecelakaan akibat kerja perlu diaplikasikan dengan sesuai kondisi kenyamanan dan keamanan pekerja, contoh alat P3K, life jacket, pelampung harus selalu ada di kapal.
hanya selebaran tertulis dan vokal dari syahbandar perikanan informasi antar nelayan dari media tv/radio
perlu dibangun fasilitas stasiun/pos komunikasi di pelabuhan perikanan dengan informasi yang berkelanjutan dan akurat
√
4
Peringatan badai, angin topan (cuaca buruk) Prakiraan cuaca
5
Pengoperasian kapal
√
6
Stabilitas kapal
√
1
Penyelamatan diri sendiri
√
perlu ada kesadaran, ketrampilan dan pengendalian diri saat terjadi kecelakaan agar tidak panik dan disorientasi
2
SAR
√
3
Voluntary SAR
√
Jalur komunikasi penanggulangan bencana harus terkoordinasi dengan baik dari bottom up agar tidak terjadi tumpang tindih dan miss-communication
1
Laporan kecelakaan
√
2
Investigasi kecelakaan
√
3
Analisis Kecelakaan
√
perlu ada penelitian dan pengkajian analisis kecelakaan (dianjurkan dengan metodologi FSA-IMO)
4
database kecelakaan
√
perlu dibuat sistem database kecelakaan agar mudah untuk kebutuhan penelusuran dan pengkajian sebagai input sistem manajemen keselamatan kerja nelayan di laut
3
√
perlu audit dan pengembangan teknologi untuk meminimalisir risiko kecelakaan akibat kerja
REAKTIF 3)
4)
Penanggulangan
Rehabilitasi
sudah tercatat namun belum menyeluruh sudah tercatat namun belum detail untuk konsekuensi keparahan
perlu disosialisikan jalur pelaporan yang jelas agar tercatat dengan baik, dan investigasi menyeluruh agar terdokumentasikan dengan detail
97
98 Lampiran 23 Peraturan nasional yang berhubungan dengan keselamatan kerja nelayan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
11. 12. 13.
Peraturan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor Kep.19/Men/2006 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/M En Kesiskiiv/2007 Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.06/Men/2007 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 10 Tahun 2008 Peraturan Kepala Badan Sar Nasional Nomor : Pk. 22 Tahun 2009 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.08/Men/2012
Sumber : Purwangka, 2013
Latar Belakang tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 2004 Tentang perikanan UU ini mengatur tentang pelayaran Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika tentang perkapalan Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Tentang Pengangkatan Syahbandar di Pelabuhan Perikanan Tentang Pedoman Upaya Kesehatan Pelabuhan Dalam Rangka Karantina Kesehatan Tentang , Organisasi Dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan Tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana Tentang Pedoman penyelenggaraan operasi sar. Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah Tentang Kepelabuhanan Perikanan
99 Lampiran 24 Peraturan internasional yang berhubungan dengan keselamatan kerja nelayan No. 1.
Peraturan Protokol Torremolinos 1993
2.
Code of Safety for Fishermen and Fishing Vessels 1975
3.
Voluntary Guidelines for The Design, Construction, and Equipment of Small Fishing Vessels 1980 Panduan Keselamatan untuk Nelayan dan Kapal Perikanan FAO/ILO/IMO 2005, Bagian A Panduan Keselamatan untuk Nelayan dan Kapal Perikanan FAO/ILO/IMO 2005, Bagian B
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pedoman Sukarela untuk Konstruksi, Desain dan Peralatan Kapal Perikanan ukuran Kecil FAO/ILO/IMO 2005 Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F) 1995 Document for Guidance on Training and Certification of Fishing Vessel Personnel FAO/ILO/IMO 2001. Hours of Work (Fishing) Recommendation, 1920 (No 7)
10.
Minimum Age (Fishermen) Convention, 1959 (No 112).
11.
Medical Examination (Fishermen) Convention, 1959 (No 113)
12.
Fis ermen’s Articles of Agreement Convention, 1959 (No 114)
Sumber : Purwangka, 2013
Latar Belakang Konvensi Internasional Torremolinos untuk Keselamatan Kapal Perikanan/The Terremolinos Convention for The Safety of Fishing Vessels (SFV), 1977 Pedoman/petunjuk keselamatan kerja nelayan dan kapal ikan yang dikeluarkan oleh IMO pada tahun 1975 diperuntukkan pada kapal dengan ukuran panjang di atas 12 meter sampai dengan lebih kecil dari 24 meter berkaitan dengan praktek-praktek keselamatan dan kesehatan dan berlaku untuk semua kapal nelayan membahas persyaratan keselamatan dan kesehatan untuk konstruksi dan peralatan dari kapal penangkap ikan dan berlaku untuk kapal penangkap ikan berukuran panjang sama dengan atau lebih dari 24 m yang memiliki deck berlaku untuk kapal penangkap ikan berukuran panjang dari dan lebih dari 12 m tetapi kurang dari 24 m yang memiliki deck konvensi yang mengatur secara internasional tentang persyaratan kecakapan, keahlian dan dinas jaga laut oleh pelaut perikanan (nelayan) mengenai Pedoman Pelatihan dan Sertifikasi awak Kapal Perikanan berisi mengenai batas jam kerja di semua industri usaha, termasuk transportasi melalui laut dan, dalam kondisi yang ditentukan konvensi yang menetapkan bahwa anakanak yang berusia dibawah 15 tahun tidak dipekerjakan pada kapal-kapal nelayan konvensi yang secara umum menetapkan bahwa setiap orang yang bekerja pada kapal-kapal nelayan harus memiliki suatu sertifikat kesehatan badan setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan badan kapal nelayan mencakup semua kapal dan perahu yang ada yang terdaftar atau didokumentasikan, baik oleh pemerintah maupun swasta, yang bergerak di bidang perikanan laut agar membuat perjanjian yang dianggap perlu untuk melindungi kepentingan pemilik kapal penangkap ikan dan nelayan
100 Lampiran 24 Peraturan internasional yang berhubungan dengan keselamatan kerja nelayan (lanjutan) No. 13.
Peraturan Fis ermen’s Com etency Certificates Convention, 1966 (No 125)
14.
Accommodation of Crews (Fishermen) Convention, 1966 (No 126)
15.
Vocational Training (Fishermen) Recommendation, 1966 (No 126)
16.
Convention on the international regulation for preventing collission at sea (1972, COLREGs)
17.
International convention for the safety of life at sea (SOLAS) 1974, Bab V khusus berhubungan dengan nelayan International Convention on Maritime Search and rescue (SAR) 1979 Dokumen mengenai Pedoman Pelatihan dan Sertifikasi Personil Kapal Perikanan, telah disetujui oleh FAO, ILO dan IMO pada tahun 2000 Code of conduct for responsible fisheries (CCRF) tahun 1995, Technical Guidelines for responsible fisheries tahun 1995
18. 19.
20.
Sumber : Purwangka, 2013
Latar Belakang konvensi yang menetapkan standar kemampuan nelayan, yaitu dengan mengeluarkan sertifikat kemampuan bagi bagi nelayan yang memegang jabatan sebagai nakhkoda, mualim atau masinis pada suatu kapal nelayan yang berukuran lebih dari 25 GT mengatur tentang perlunya perencanaan dalam pembuatan kapal ikan terhadap fasilitas ABK (nelayan) konvensi yang berisi rekomendasi pelatihan kejuruan untuk meningkatkan kemampuan/keahlian nelayan selama bekerja pada kapal-kapal perikanan tentang aturan-aturan mengemudi dan aturan-aturan berlayar serta penggunaan penerangan-penerangan (lampu) dan bendabenda yang diisyaratkan untuk keamanan berlayar sehingga tidak terjadi kecelakaan atau tabrakan mengatur tentang keselamatan pelayaran secara umum dan berlaku bagi semua kapal yang melakukan pelayaran tentang pencarian dan pertolongan terhadap musibah pelayaran atau kecelakaan panduan pertama pelatihan maritim internasional bagi nelayan
ketentuan yang menjelaskan mengenai pentingnya tanggung jawab terhadap keselamatan kerja nelayan dan kapal ikan (Bab 1 pasal 6 dan 8)
101 Lampiran 25 Dokumentasi penelitian
(1) Kapal Soma Pajeko & perahu lampu
(2) Mesin Motor tempel Perahu Soma Pajeko
(3) Winch untuk menarik cincin
(4) Generator
(5) Jaring mini purse seine yang sudah dirapihkan
(6) Blong / drum wadah Hasil Tangkapan
Sumber gambar : Handayani, 2013
(7) Drum BBM di Kapal
102 Lampiran 26 Dokumentasi penelitian (lanjutan)
(8) Loading es dan BBM
(9) Perbaikan jaring
(10) Mendorong sisi/badan kapal
(11) Mengarahkan kapal
(12) Menarik tali kolor saat mengangkat cincin-cincin
(13) Penyelam memberikan kode
(14) Menaikkan cincin-cincin ke dek
Sumber gambar : Handayani, 2013
103
Lampiran 26 Dokumentasi penelitian (lanjutan)
(15) Hauling di dek tengah
(16) Hauling di haluan
(17) Hasil tangkapan
Sumber gambar : Handayani, 2013
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Nopember 1983 sebagai putri sulung dari 3 (tiga) bersaudara dari Bapak M. Noerhardin Joebahar dan Ibu Sri Wiranti Saraswati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 2008. Kesempatan untuk melanjutkan studi program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2012. Penulis melanjutkan pendidikannya di Program Studi Teknologi Perikanan Laut, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Tanoto Foundation National Championship Program selama 1 tahun yaitu pada semester 3 dan 4. Semenjak 2003, penulis aktif menjadi asisten mata kuliah di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB. Penulis pernah bekerja sebagai safety diver dan asisten instruktur di PT. Barron Internasional Safety Training Consultant dari tahun 2008 – 2010 untuk materi materi Sea Survival and Helicopter Underwater Escape Trainning. Pada tanggal 25 Juli 2010, penulis menikah dengan Panji Nugraha Darmawangsa, SPi. Semenjak tahun 2010, penulis diterima sebagai tenaga edukatif kontrak di Laboratorium Keselamatan Kerja dan Observasi Bawah Air, Bagian Kapal dan Transportasi Perikanan, Departemen PSP-IPB untuk membantu kegiatan belajar mengajar pada Mata Kuliah Metode Obsevasi Bawah Air, dan Kepelautan. Selama mengikuti program S-2, penulis aktif mengikuti kegiatan seminar seperti Diskusi Nasional Perikanan Tangkap ke5, Workshop Penulisan Karya Ilmiah Internasional. Penulis telah menuliskan sebua artikel berjudul “ ntensitas erja Aktivitas Nelayan ada engo erasian Soma Pajeko (Mini Purse Seine) di Bitung” diterbitkan ada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan pada edisi Mei Volume 5 No. 1 tahun 2014. Karya Ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.