SISTEM KELEMBAGAAN INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK DI INDONESIA
PROPOSAL DISERTASI SELEKSI MASUK PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Sri Handiman Supyansuri
JAKARTA, MEI 2016
DAFTAR ISI
1.
Latar Belakang ………………………………………………………………..
1
2.
Pertanyaan Penelitian …………………………………………………….......
14
3.
Tujuan Penelitian ……………………………………………………………..
14
4.
Metodologi…………...………………………………………………………..
14
5.
Signifikansi Penelitian………………………………………………………...
15
6.
Sistematika Penulisan.………………………………………………………...
15
Daftar Pustaka
SISTEM KELEMBAGAAN INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK DI INDONESIA 1.
Latar Belakang Tatanan politik Indonesia berubah signifikan sejak kejatuhan rezim Orde Baru tahun
1998. Bangsa Indonesia memasuki era Reformasi yang demokratis setelah 32 tahun dibawah kekuasaan rezim Orde Baru yang otoriter. Perubahan tatanan politik mengakibatkan proses komunikasi publik yang sebelumnya terpusat saat rezim Orde Baru, beralih ke proses komunikasi publik yang demokratis dan terdesentralisasi di era Reformasi. Indonesia pun sejak era Reformasi menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat (Sudarsono, 2003). Kebebasan pers yang mengemuka sejak kehadiran UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memungkinkan pertukaran informasi melalui media massa berkembang menjadi opini publik. Hampir semua kebijakan dan program pemerintah sangat terbuka untuk didiskusikan di ruang publik.
Sudibyo (2001)
menilai masyarakat tidak dapat memengaruhi proses pengambilan kebijakan tanpa media/pers sedangkan pemerintah tanpa pers sulit menangkap realitas dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Media massa yang kritis terhadap pemerintah di era Reformasi seringkali menghadirkan informasi yang kurang berimbang. Tulung (2014) menilai media massa secara umum kurang tertarik terhadap capaian pembangunan dan lebih memilih untuk menginformasikan kegagalan dan kelemahan pemerintah terhadap pelaksanaan kebijakan. Pencapaian kinerja pemerintah menjadi kurang menonjol gaungnya di ruang publik. Hal itu tidak lepas dari peran media sebagai alat kontrol sosial sehingga timbul pameo bad news is good news. Kebebasan pers yang menempatkan kedudukan pers begitu kuat mendorong segelintir orang yang bermodal kuat untuk menguasai industri penyiaran. Kehadiran UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak mampu mencegah segelintir orang menguasai frekuensi penyiaran yang sebenarnya merupakan hajat hidup orang banyak. Sentralisasi kepemilikan media mengakibatkan opini publik cenderung dikendalikan sesuai agenda setting yang diinginkan pemiliknya. Media merupakan ruang publik sehingga pihak yang mendominasi ruang publik akan memenangi opini publik dan menguasai agenda publik. Pemerintah sangat kesulitan mengontrol agenda setting media. Fakta memperlihatkan bahwa
sebanyak
83%
pemberitaan
media
massa
bersumber
dari
kalangan
1
pemerintahan/kenegaraan, tetapi 67% agenda berita ditentukan atau dibingkai oleh media. Framing atau pembingkaian itu acapkali mengarah kepada penggambaran yang kurang menguntungkan bagi kalangan pemerintah/kenegaraan. Penggambaran yang kurang menguntungkan tersebut dapat menurunkan citra pemerintah di mata masyarakat (Tulung, 2014). Hasil survei lembaga Indo Barometer pada September 2015 menunjukkan bahwa tingkat kepuasan terhadap kinerja para Menteri Kabinet Kerja secara umum sebesar 37,1% sedangkan yang tidak puas mencapai 46,7%. Jika dibandingkan survei 6 bulan sebelumnya, tingkat kepuasan publik terhadap kerja para Menteri Kabinet Kerja semakin turun dari 46.8% menjadi 37.1% atau penurunan sebesar 9,7%. (Indo Barometer, 2015). Ketika informasi disampaikan tidak berimbang, akses informasi untuk masyarakat pada hakikatnya juga berkurang. Kondisi itu akan memengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan negara. Padahal, partisipasi masyarakat merupakan salah satu ciri demokratisasi selain transparansi dan akuntabilitas. Kurangnya informasi yang berimbang mengenai suatu kebijakan akan menyebabkan kurangnya informasi rujukan bagi masyarakat. Ketika media massa, terutama milik swasta, secara serempak mengangkat sebuah isu spesifik dan terus menerus kepada publik, pemerintah juga nampaknya perlu bersama-sama merespon isu media tersebut dalam satu kesatuan sudut pandang sebagai agenda setting pemerintah yang disepakati bersama. Upaya mengimbangi agenda setting di ruang publik sangat dibutuhkan tatkala begitu kuatnya tren penilaian subjektif yang apriori terhadap kinerja pemerintah. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong tumbuhnya jurnalisme positif yakni jurnalisme yang mampu membangkitkan semangat optimisme, khususnya optimisme dalam menghadapi masa depan. Berita yang bagus tidak mesti berasal dari berita yang buruk karena sesuatu yang positif pun dapat menjadi berita yang bagus yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga good news is good news. Dengan menonjolkan sisi positif dan menawarkan alternatif pemecahan, berita dalam jurnalisme positif mampu membangkitkan optimisme dan perilaku positif bagi khalayak luas. Di sisi lain, kebijakan otonomi daerah (desentralisasi) melalui penerbitan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
mengakibatkan terhambatnya
komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibandingkan masa Orde Baru yang sentralistik. Karakteristik alur penyampaian informasi setelah era Reformasi berubah drastis dibanding era Orde Baru. 2
Hambatan komunikasi di era Reformasi tidak hanya terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pelayanan informasi di kementerian/lembaga di lingkup pemerintah
pusat pun cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Pemerintah telah kehilangan infrastruktur
utama penyebaran informasi dan komunikasi dengan pembubaran Departemen Penerangan di tahun 1999. Dekonstruksi terhadap sistem kelembagaan informasi dan komunikasi nasional berlangsung melalui pembubaran Departemen Penerangan, tetapi rekonstruksi untuk membangun sistem kelembagaan informasi dan komunikasi yang berbeda dengan model di era Orde Baru, hingga kini belum dibangun dengan optimal. Kewenangan dan peran pemerintah pusat di bidang informasi dan komunikasi publik dalam era Reformasi sangat terbatas sehingga menimbulkan kegamangan dalam penyebaran informasi. Kehadiran Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi tahun 2001 yang telah dua kali berganti nama, terakhir menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam praktiknya belum dapat menyatukan secara optimal kerangka komunikasi pemerintah dalam konteks kelembagaan.
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Alur Penyampaian Informasi Era Orde Baru yang Sentralistik Karakteristik Penyampaian Informasi Kebijakan Publik
1. Departemen Penerangan (Deppen) merupakan leading sector penyampaian informasi publik 2. Deppen sebagai Juru Bicara Pemerintah 3. Menteri Penerangan memberikan keterangan pers seusai Sidang Kabinet
Karakteristik Media Publik
1. RRI dan TVRI menjadi media pemerintah 2. Siaran sentral mudah 3. RRI dan TVRI mudah untuk meminta radio dan TV swasta untuk relay siaran 4. Nuansa pembinaan terhadap keberadaan media
Era Reformasi yang Desentralistik 1. Setiap Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah berwenang sebagai sumber informasi publik 2. Kemenkominfo bermitra dengan Kementerian/Lembaga lain atau Pemda dalam penyampaian informasi 3. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) memfasilitasi penyampaian informasi publik 1. RRI dan TVRI independen dalam pelaksanaan siaran 2. Kemenkominfo menjadi fasilitator siaran kebijakan publik 3. Kemenkominfo menyediakan dana untuk siaran kebijakan publik 4. Nuansa pemberdayaan dan bermitra dengan media
Sumber: Ditjen IKP, 2015 (diolah)
3
Permasalahan mendasar kelembagaan informasi dan komunikasi publik yakni kelembagaan yang ada belum secara optimal dapat melaksanakan pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan bagi warga negara dalam ruang publik. Walaupun telah ada kelembagaan yang menangani urusan informasi dan komunikasi publik, sistem dan mekanisme pemanfaatan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia di bidang informasi dan komunikasi publik belum dibangun secara optimal. Lembaga yang memberikan layanan informasi dan komunikasi tidak hanya berada di tingkat pemerintah pusat, tetapi ada pula di tingkat pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota. Meskipun memiliki perbedaan wewenang dan cakupan layanan, berbagai lembaga informasi dan komunikasi tersebut pada dasarnya memiliki tugas yang sama, yakni melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang informasi dan komunikasi publik. Kelembagaan informasi dan komunikasi publik tersebut perlu didukung sistem yang mampu mendorong terciptanya sharing of information antar lembaga publik. Jalinan sinergi yang lemah antar kementerian/lembaga di tingkat pemerintah pusat, dan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam aktivitas diseminasi program pemerintah yang sebagian besar bersifat lintas sektoral, mengakibatkan informasi yang disampaikan oleh pemerintah menjadi tidak komprehensif dan tidak terintegrasi (scattered) serta seringkali kehilangan momentum. Dunn (1994) mengemukakan bahwa informasi yang sama dan relevan dengan kebijakan seringkali dapat menghasilkan definisi-definisi yang berbenturan
Hal itu bukan karena fakta-fakta mengenai hal tersebut tidak konsisten,
melainkan karena para analis kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku kebijakan lain memiliki asumsi-asumsi yang sering bertentangan. Kelemahan jalinan sinergi kelembagaan informasi dan komunikasi publik nampak nyata tatkala Kemenkominfo menggulirkan beragam infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi masyarakat di daerah terdepan, terluar, dan terpencil melalui Program Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation/USO). Dana USO bersumber dari pungutan sebesar 1,25% terhadap pendapatan kotor operator telekomunikasi di Indonesia sebagaimana diatur dalam PP No. 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika. Nilai pungutan dana USO setiap tahunnya mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Berbagai pengadaan TIK melalui dana USO tersebut antara lain meliputi Desa Punya Internet (Desa Pinter) dan Desa Berdering yang terintegrasi dalam Program Desa Informasi. Pengadaan TIK melalui Program Desa Informasi dalam praktiknya bersifat top down yang nyaris tanpa memperhatikan kebutuhan daerah dan tidak berbasis kepada kebutuhan 4
kementerian/lembaga lainnya, serta kelompok masyarakat. Dalam Program Desa Informasi tidak tampak upaya pengembangan ekosistem yang sungguh-sungguh seperti pemberdayaan masyarakat serta pengembangan konten dan aplikasi. Program Desa Informasi lebih menonjolkan determinasi teknologinya dibanding komunikasi sosial dan budayanya. Sektor sosial dan budaya dalam program Desa Informasi bahkan cenderung terabaikan (Wahyono, 2011). Pengadaan TIK tersebut pada akhirnya banyak yang terbengkalai sehingga kurang memberikan nilai tambah dan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah terdepan, terluar, dan terpencil. DPR RI kemudian pada Februari 2014 meminta Kementerian Keuangan memblokir penggunaan dana USO. Nilai dana USO yang belum terpakai oleh Kemenkominfo saat itu sebesar Rp 4,85 triliun (indotelko.com, 19 Februari 2014). Untuk mencegah munculnya potensi kerugian dari berbagai aspek, Kemenkominfo akhirnya setahun kemudian menghentikan layanan USO pada Maret 2015 (kominfo.go.id, 5 Maret 2015). Selain itu, kelemahan jalinan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga nampak ketika Kemenkominfo memberikan bantuan Media Center sejak 2007 kepada berbagai daerah sebagai upaya mengembangkan jaringan pertukaran informasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Pengadaan Media Center melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diharapkan dapat merajut kembali komunikasi yang putus antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sejak era Reformasi. Jumlah bantuan Media Center hingga akhir 2014 telah mencapai 196 Media Center. Namun, data Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi (Ditjen IKP) Kemenkominfo menunjukkan bahwa dari 196 Media Center yang ada tersebut, hanya 110 atau 56,12% yang pernah memberikan kontribusi untuk penyebarluasan informasi oleh Ditjen IKP di tahun 2015. Dengan demikian, hampir sebagian Media Center di tahun 2015 tidak memberikan kontribusi sedikitpun terhadap Kemenkominfo dalam penyebarluasan informasi publik. Kelemahan kelembagaan informasi dan komunikasi publik dapat mengakibatkan suatu kebijakan justru seringkali berpotensi menimbulkan salah pengertian dan kurang mendapat respon dari masyarakat sehingga implementasinya menjadi terhambat. Hambatan itu akan menjadi kendala bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis secara bertahap dan berkesinambungan sebagaimana tujuan dan cita-cita nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Cita-cita nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sedangkan tujuan nasionalnya adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh 5
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kelembagaan informasi dan komunikasi publik yang andal saat ini kian dibutuhkan dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasional seiring bangsa Indonesia tengah menghadapi tiga masalah pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, yakni:
(1) merosotnya kewibawaan negara; (2) melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, dan (3) merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Kehadiran kelembagaan informasi dan komunikasi publik yang efektif diharapkan dapat meningkatkan kewibawaan negara, memperkuat sendi perekonomian bangsa, dan memperbaiki krisis kepribadian bangsa.
Tabel 2. Pengelompokan Tantangan Utama Pembangunan No. Upaya 1. Dalam rangka meningkatkan wibawa negara 2.
Dalam rangka memperkuat sendi perekonomian bangsa
3.
Dalam rangka memperbaiki krisis kepribadian bangsa termasuk intoleransi
Tantangan Utama Tantangan utama pembangunan mencakup peningkatan stabilitas dan keamanan negara, pembangunan tata kelola untuk menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien, serta pemberantasan korupsi Tantangan utama pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, percepatan pemerataan dan keadilan, serta keberlanjutan pembangunan Tantangan utama pembangunan mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengurangan kesenjangan antarwilayah
Sumber: RPJMN 2015-2019
Walau demikian, upaya mengatasi masalah pokok tersebut bukan sesuatu yang mudah bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah Indonesia seluas 1.919.440 km² yang membentang sepanjang 5.120 km dari Timur ke Barat dan 1.760 km dari Utara ke Selatan dengan jumlah pulau lebih dari 17.000. Kebesaran bangsa Indonesia pun tidak sebatas luasan wilayah, tetapi juga jumlah penduduk. Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Sensus Penduduk Tahun 2010 mencatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,64 juta atau nomor empat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Di tengah tantangan yang menghadang, salah satu permasalahan kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia adalah strategi public relations (hubungan masyarakat/humas) tidak ditempatkan sebagai ujung tombak untuk memperlihatkan kinerja pemerintah. Sumber daya manusia yang tidak menunjang merupakan suatu kendala yang 6
mengakibatkan kegiatan kehumasan pemerintah belum berjalan optimal. Lembaga kehumasan pemerintah seringkali hanya menjadi pemadam kebakaran dari debat opini publik di media massa. Bahkan, praktisi kehumasan tidak jarang hanya difungsikan sebagai petugas dokumentasi, protokol, dan pengumpul kliping media massa. Padahal, humas pemerintahan merupakan salah satu simpul penyebaran informasi yang menjadi ujung tombak lembaga publik dalam mengomunikasikan kebijakan publik dan menyerap umpan balik dari publik. Sumber daya manusia yang andal dalam kelembagaan informasi dan komunikasi publik sangat diperlukan di tengah tidak adanya sentralisasi kekuasaan di ruang publik saat ini. Seluruh warga kini dapat menyampaikan aspirasinya melalui saluran komunikasi yang beragam, mulai dari saluran komunikasi media tradisional, media konvensional hingga media baru yang berbasis internet. Cara warga masyarakat telah berubah dalam berinformasi dan berkomunikasi karena perubahan platform dan revolusi TIK. Jarak yang memisahkan ruang publik dan ruang privat semakin menyempit, bahkan kabur akibat perkembangan TIK (Tulung, 2014). Perkembangan TIK memungkinkan terjadinya lautan informasi (information overload) sehingga setiap orang dapat mengakses beragam informasi yang ada. Tantangan bagi pemerintah adalah penyediaan informasi yang tidak membingungkan masyarakat di tengah lautan informasi yang terjadi. Setiap informasi yang disampaikan badan publik seringkali dinilai sebagian warga tidak sama dan senada. Bahkan, ada sebagian yang dinilai dan dipersepsikan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Lembaga negara pun masih ada yang mengedepankan penyebaran informasi searah dan kurang proaktif dalam melibatkan publik. Padahal, perkembangan TIK memungkinkan semua orang berhubungan dengan siapa saja (many to many), di mana saja (mobile media) dan kapan saja (real time) (Ditjen IKP Kemenkominfo, 2011). Selain faktor kelembagaan pemerintah dan penyebarluasan informasi melalui media massa, suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai manfaat positif bagi masyarakat. Nugraha dkk (2007) mengemukakan bahwa kebijakan publik yang diambil pemerintah perlu sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi resistensi dan bahkan mendapat dukungan. Dengan demikian, pemerintah perlu dapat menyampaikan kebijakan secara jelas dan sederhana sehingga mudah dipahami masyarakat. Komunikasi publik bukan sekadar menyampaikan informasi suatu kebijakan atau program, melainkan menjelaskan latar belakang, tujuan, dan nilai manfaatnya (public value) bagi masyarakat sehingga masyarakat
7
bisa memahami, menerima, mendukung, dan berperan serta dalam kebijakan dan program yang digulirkan. Kelembagaan informasi dan komunikasi publik yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat merupakan suatu kebutuhan. Peran informasi dan komunikasi publik di tengah dinamika global dan demokratisasi menjadi semakin penting dalam upaya mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat, membentuk opini, dan menjaring aspirasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehadiran UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah mendorong Bangsa Indonesia memasuki babak baru keterbukaan informasi. Setiap badan publik tidak lagi berwenang menyembunyikan beragam informasi publik kepada warga negara yang membutuhkannya kecuali kategori informasi yang dirahasiakan atau dikecualikan. Dengan memegang prinsip maximum access, limited exemption, akses informasi publik bagi warga negara dibuka seluas-luasnya dengan pengecualian yang terbatas. Penerapan UU KIP diharapkan dapat berdampak baik terhadap pola kerja dan aliran data serta informasi antar unit kerja di masing-masing badan publik. Tanpa adanya koordinasi dan komunikasi dalam kerangka kerja mengelola informasi, badan publik akan sulit memberikan pelayanan informasi publik dengan baik. Pengelolaan informasi yang baik pada gilirannya akan mendukung pengelolaan komunikasi publik yang berkualitas. Seiring dengan semangat keterbukaan informasi, tata kelola pemerintahan yang baik dapat diwujudkan dengan menyediakan saluran komunikasi publik yang efektif agar dapat mendorong keterlibatan publik.
Pemerintah baik di tingkat pusat maupun derah perlu
menyediakan dan menyinergikan sistem kelembagaan informasi dan komunikasi publik yang memungkinkan masyarakat mengetahui segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan. Semua itu membutuhkan koordinasi antar lembaga informasi dan komunikasi yang ditopang kehumasan pemerintah dalam rangka pelaksanaan program melalui kemitraan, baik bottom up (masyarakat dan pemerintah) maupun horizontal (antar masyarakat). Kehumasan pemerintah pada dasarnya mengandalkan hubungan harmonis antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah di tengah konsolidasi demokrasi yang diwarnai ketidakseimbangan informasi perlu memberikan akses informasi kepada masyarakat serta memfasilitasi pembentukan dan penguatan institusi-institusi penyebarluasan informasi publik. Penyelenggara pemerintahan melalui praktisi kehumasan perlu mampu mengelola informasi untuk kepentingan publik. Manajemen informasi publik harus menjadi sistem yang 8
dapat diandalkan seluruh lembaga publik dalam berkomunikasi dengan publiknya secara sederhana. Manajemen informasi publik adalah proses dan prosedur yang dilakukan lembaga pemerintah dalam menyebarkan informasi yang harus, perlu, dan ingin diketahui publik. (Tulung, 2014). Peran dan fungsi kehumasan pemerintah di era Reformasi yang demokratis ini adalah memberikan layanan informasi sebagai pemenuhan hak tahu publik dan mewujudkan keterbukaan informasi publik. Kehumasan pemerintah juga memberikan alternatif penyeimbang informasi di tengah lautan informasi yang dikembangkan oleh media swasta. Hak untuk memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh konstitusi UUD 1945 pasal 28 F yakni setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Merujuk kepada hal tersebut, pemerintah perlu segera mengoptimalkan jaringan kelembagaan informasi dan komunikasi publik. Sarana dan prasarana komunikasi yang dimiliki pemerintah sudah saatnya dioptimalkan demi mendukung tercapainya komunikasi publik yang efektif. Semua kebijakan dan kinerja pemerintah melalui jaringan tersebut, dipublikasikan seluas-luasnya untuk diketahui kepada masyarakat. Penyebarluasan informasi publik melalui komunikasi publik yang efektif, perlu melibatkan pemanfaatan berbagai sarana dan media komunikasi sehingga masyarakat mengetahui, memahami, dan mendukung program dan kebijakan pemerintah. Komunikasi publik yang efektif akan meningkatkan pengetahuan dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, pemerintah harus membangun kapasitas masyarakat untuk memiliki modal informasi sebagai rujukan untuk berpartisipasi. Pengembangan kemitraan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Dalam konteks kenegaraan, pengelolaan komunikasi publik dibutuhkan karena setiap kebijakan publik senantiasa mendapatkan beragam respon dari khalayak luas. Pemerintah pun melalui komunikasi publik memiliki respon untuk mendapatkan dukungan publik berupa partisipasi publik dalam pelaksanaan pembangunan. Kehadiran kelembagaan komunikasi publik yang andal menjadi aspek yang sangat penting dalam kehidupan di ruang publik di tengah dinamika politik, kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan, perubahan sosial budaya yang belum merata, serta pesatnya perkembangan TIK. Mengingat kondisi pengetahuan masyarakat yang beragam dan jangkauan geografis yang sangat luas, pemerintah perlu secara bertahap mempersiapkan berbagai sarana dan saluran informasi dan komunikasi yang memanfaatkan TIK untuk peningkatan kualitas penyebaran informasi. Sebagaimana amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan 9
Daerah, penyelenggaraan sumber daya dan perangkat informatika menjadi kewenangan pemerintah pusat sedangkan pengelolaan informasi dan komunikasi dilaksanakan secara bertingkat oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Tabel 3. Pembagian Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemda Pemerintah Pusat Penyelenggaraan Pengelolaan penyelenggaraan Sumber Daya sumber daya dan perangkat Informatika informatika Pengelolaan informasi dan Informasi dan komunikasi publik Komunikasi Pemerintah Pusat serta Publik informasi strategis nasional dan internasional
Daerah Provinsi
Daerah Kabupaten/Kota
Pengelolaan informasi dan komunikasi publik Pemerintah Daerah Provinsi.
Pengelolaan informasi dan komunikasi publik Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Sumber: UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (diolah)
Ketersediaan TIK tersebut agar dapat bermanfaat secara luas perlu diiringi dengan penyediaan ruang untuk dapat mengakses informasi yang dibutuhkan. Penyediaan ruang TIK untuk informasi, komunikasi, dan edukasi perlu didukung oleh pengembangan dan pemberdayaan masyarakat melalui advokasi, pengorganisasian komunitas, pengembangan jaringan, dan pengembangan kapasitas. Setiap pembukaan akses informasi dan komunikasi perlu diiringi kolaborasi dengan masyarakat. Khusus untuk pengelolaan informasi dan komunikasi publik di daerah sebagaimana amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diarahkan untuk meningkatkan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan daerah. Dengan demikian, penyelenggaraan informasi dan komunikasi publik perlu memperhatikan karakteristik yang beragam yang tercermin dari keragaman daerah dalam melaksanakan layanan di bidang komunikasi publik. Selaras dengan berbagai uraian sebelumnya, kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia pada hakikatnya mengalami kelemahan mendasar dalam tiga hal yakni (1) kelembagaan komunikasi dan informasi di lingkup internal pemerintahan, (2) relasi dengan pers, dan (3) jalinan kemitraan dengan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran sistem
10
kelembagaan informasi dan komunikasi publik yang andal menjadi suatu keniscayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Lembaga pemerintah yang menjalankan tugas dan fungsi informasi dan komunikasi adalah Kemenkominfo. Tugas dan fungsi tersebut diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2015 tentang Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Peraturan Menkominfo No. 1 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Kemenkominfo mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang
komunikasi dan informatika dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Sementara itu, fungsi Kemenkominfo adalah: 1. perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya dan perangkat pos dan informatika, penyelenggaraan pos dan informatika, penatakelolaan aplikasi informatika, pengelolaan informasi dan komunikasi publik; 2. pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya dan perangkat pos dan informatika,
penyelenggaraan
pos
dan
informatika,
penatakelolaan
aplikasi
informatika, pengelolaan informasi dan komunikasi publik; 3. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan pengelolaan sumber daya dan perangkat pos dan informatika, penyelenggaraan pos dan informatika, penatakelolaan aplikasi informatika, pengelolaan informasi dan komunikasi publik; 4. pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumber daya manusia di bidang komunikasi dan informatika; 5. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika; 6. pembinaan dan pemberian dukungan administrasi di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika; 7. pengelolaan
barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Komunikasi dan Informatika; dan 8. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain itu, Presiden RI pada tanggal 25 Juni 2015 telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik yang bertujuan untuk menunjang keberhasilan Kabinet Kerja, menyerap aspirasi publik dan mempercepat penyampaian informasi tentang kebijakan dan program pemerintah. Melalui Instruksi Presiden tersebut, para Menteri Kabinet Kerja, Sekretariat Kabinet, Kapolri, Jaksa Agung, Panglima Tentara 11
Nasional Indonesia (TNI), Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), para Gubernur, dan para Bupati/Walikota diinstruksikan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka mendukung pelaksanaan komunikasi publik, dengan: 1.
menyampaikan data dan informasi terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi kepada Menkominfo secara berkala;
2.
menyebarluaskan kepada publik narasi tunggal dan data pendukung lainnya yang disusun oleh Kemenkominfo terkait dengan kebijakan dan program pemerintah;
3.
menyampaikan setiap kebijakan dan program pemerintah secara lintas sektoral dan lintas daerah kepada publik secara cepat dan tepat;
4.
menyampaikan informasi melalui berbagai saluran komunikasi kepada masyarakat secara tepat, cepat, obyektif, berkualitas baik, berwawasan nasional, dan mudah dimengerti terkait dengan kebijakan dan program pemerintah. Untuk mengimplementasikan hal tersebut, Presiden menginstruksikan Menkominfo
sebagai berikut: 1.
mengoordinasikan perencanaan, penyiapan dan pelaksanaan komunikasi publik terkait dengan kebijakan dan program pemerintah;
2.
melakukan kajian terhadap data dan informasi yang disampaikan kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian;
3.
melakukan media monitoring dan menganalisis konten media terkait dengan kebijakan dan program pemerintah;
4.
menyusun narasi tunggal terkait dengan kebijakan dan program pemerintah kepada publik sesuai arahan Presiden;
5.
melaksanakan diseminasi dan edukasi terkait kebijakan dan program pemerintah melalui seluruh saluran komunikasi yang tersedia;
6.
melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan komunikasi publik; dan
7.
dapat mengundang dan mengikutsertakan Menteri, Pimpinan LPNK, dan/atau pihak lain dalam merumuskan materi informasi yang akan dikomunikasikan kepada publik. Merujuk kepada Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010, Peraturan Menkominfo No. 1
Tahun 2016, dan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015, Kemenkominfo beserta pemangku kepentingan lainnya baik di tingkat pusat dan daerah, perlu mengembangkan sistem kelembagaan informasi dan komunikasi publik secara nasional. Sistem tersebut terutama 12
perlu diarahkan untuk mengatasi kelemahan utama yang meliputi permasalahan (1) kelembagaan informasi dan komunikasi publik di lingkup internal pemerintah, (2) relasi dengan media massa, dan (3) kemitraan dengan masyarakat. Dalam lampiran Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019 yang substansinya telah diselaraskan dengan Visi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden atau dikenal sebagai Nawa Cita, aspek komunikasi publik berperan sebagai dasar maupun pendukung dalam mewujudkan Nawa Cita. Dari sembilan agenda prioritas pemerintah atau Nawa Cita, setidaknya terdapat empat agenda prioritas yang membutuhkan kebijakan kelembagaan informasi dan komunikasi publik. Dalam agenda kedua Nawacita yakni membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, terdapat aspek keterbukaan informasi publik sebagai basis utama pembangunan tata kelola pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Pendekatan informasi dan komunikasi publik juga dibutuhkan dalam pelaksanaan agenda ketiga Nawacita yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan.
Kebijakan informasi dan komunikasi publik juga diperlukan dalam agenda
keempat Nawacita yakni menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya, serta agenda kesembilan Nawacita yakni memperteguh ke-bhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Selain itu, secara khusus dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
diatur
norma
konstitusi
hubungan
antara
negara
dan
masyarakat.
Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warga negara sehingga perlu diantisipasi dengan baik melalui fungsi pemerintahan yang mencakup pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan terhadap masyarakat. Dengan demikian, kebijakan informasi dan komunikasi publik pada dasarnya bukan saja menyangkut hubungan antar berbagai tingkatan kelembagaan pemerintah atau pertimbangan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi saja, tetapi juga merupakan persoalan mengenai hubungan antara negara dan warga negara. Persoalan-persoalan yang terkait pengelolaan informasi dan komunikasi publik sebagaimana telah diuraikan, mencerminkan bahwa pemerintah belum memiliki suatu model maupun strategi kelembagaan informasi dan komunikasi publik yang dapat mendorong pelaksanaan sistem informasi dan komunikasi strategis dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Oleh karena itu, penelitian ini fokus kepada aspek kelembagaan informasi 13
dan komunikasi publik baik dari sisi kelembagaan secara internal di lingkup pemerintah, relasi pemerintah dengan media massa, dan kemitraan pemerintah dengan masyarakat. 2.
Pertanyaan Penelitian Permasalahan utama penelitian ini adalah kelembagaan informasi dan komunikasi
publik di Indonesia belum berjalan optimal. Kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia mengalami permasalahan mendasar dari sisi kelembagaan informasi dan komunikasi publik di lingkup internal pemerintah, relasi pemerintah dengan pers, dan jalinan kemitraan pemerintah dengan masyarakat.
Dengan demikian, pertanyaan penelitian ini
adalah bagaimanakah kelembagaan informasi dan komunikasi yang sesuai bagi Indonesia ke depan sejalan dengan upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional? Fokus penelitian tersebut kemudian dielaborasi ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana gambaran kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia saat ini?
2.
Bagaimanakah konsep kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia ke depan?
3.
Bagaimanakah grand strategy kebijakan kelembagaan informasi dan komunikasi publik dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional?
3.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini ditujukan untuk
menjawab berbagai pertanyaan penelitian: 1.
Mendeskripsikan gambaran kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia saat ini
2.
Menyusun konsep kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia ke depan
3.
Memformulasikan grand strategy kebijakan kelembagaan informasi dan komunikasi publik dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional
4.
Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berguna untuk menghasilkan
uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dalam suatu konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik. Selaras dengan pendekatan dan jenis data yang dikumpulkan, tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif. 14
Unit analisis penelitian adalah level kebijakan sehingga difokuskan tentang telaah pernyataan kebijakan, dokumen kebijakan, dan implementasi kebijakan di bidang kelembagaan informasi dan komunikasi publik. Fokus telaah kebijakan pada dasarnya untuk mengetahui substansi dan ruang lingkup kebijakan kelembagaan informasi dan komunikasi dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
5. Signifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki signifikansi baik dari sisi akademik dan praktis. 1. Secara akademik: penelitian ini memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran kepada ilmu administrasi dan kebijakan publik, khususnya mengenai konsep dan grand strategy kebijakan kelembagaan informasi dan komunikasi publik yang ditujukan untuk mendukung tercapainya cita-cita dan tujuan nasional. 2. Secara praktis: penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran kepada para pengambil kebijakan di lingkup pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya tentang
konsep dan grand stategy kebijakan kelembagaan
informasi dan komunikasi publik baik dari sisi kelembagaan internal pemerintah, relasi pemerintah dengan media massa, dan kemitraan pemerintah dengan masyarakat.
6. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan signifikansi penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Bab ini mengkaji berbagai literatur berkaitan dengan kebijakan pubik, kebijakan kelembagaan informasi dan komunikasi publik, dan sistem kelembagaan informasi dan komunikasi publik.
BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisi metode penelitian, jenis penelitian, proses dan tahapan penelitian serta keterbatasan penelitian. BAB IV GAMBARAN KELEMBAGAAN INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK DI INDONESIA Bab
ini
memaparkan,
mendeskripsikan,
dan
mengidentifikasi
gambaran
kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia yang terdiri dari
15
gambaran kelembagaan informasi dan komunikasi publik dari masa ke masa dan analisis peraturan perundang-undangan. BAB V
SISTEM KELEMBAGAAN INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK DI INDONESIA Bab ini membahas penyusunan konsep kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia berkaitan dengan kelembagaan informasi dan komunikasi publik di lingkup internal pemerintah, relasi pemerintah dengan pers, dan jalinan kemitraan pemerintah dengan masyarakat.
BAB VI GRAND STRATEGY KEBIJAKAN KELEMBAGAAN INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK DI INDONESIA Bab ini membahas formulasi grand strategy kebijakan kelembagaan informasi dan komunikasi publik di Indonesia dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi tentang kesimpulan hasil penelitian, saran penelitian, dan rekomendasi yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N. (1994). Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall Ditjen IKP Kemenkominfo. (2011). Pedoman Umum Media Center. Jakarta: Ditjen IKP Kemenkominfo Kemenkominfo. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkominfo Nugraha,
Safri dkk. (2007). Hukum Administrasi Negara.
Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ________________. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ________________. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ________________. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ________________. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ________________. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ________________. Undang_Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. ________________. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika ________________. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Kementerian Komunikasi dan Informatika ________________.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan
Komunikasi Publik ________________. Peraturan
Presiden
Nomor
2
Tahun
2015
tentang
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 - 2019 Sudibyo, Agus. (2001). Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Sudarsono, Juwono. (2003, Oktober 29). Tiga Sorotan Luar Negeri Terhadap RI. Kompas. Tulung, Freddy H. (2014).
Berkomunikasi di Ruang Publik: Implementasi Kehumasan
Pemerintah. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika
Wahyono, Sugeng Bayu (2011). “Optimalisasi Desa Informasi Melalui Penguatan Kelembagaan” dalam Jurnal IPTEK-KOM Volume 13, No.2, Desember 2011 Indo Barometer, (2015, Oktober 9) Keberhasilan dan Kegagalan Setahun Pemerintahan Jokowi-JK Data Survei Nasional 14-22 September 2012 dalam http://indobarometer.com/publish/?p=survei Indotelko.com. (2014, Februari 19). Dana USO Rp 4,85 triliun Masih Diblokir dalam http://www.indotelko.com/kanal?c=id&it=Dana-USO-Rp-485-triliun-Masih-Diblokir Kominfo.go.id. (2015, Maret 5). Siaran Pers Tentang Suspensi (Penghentian Sementara) Layanan Kewajiban Pelayanan Universal/ Universal Service Obligation (KPU/USO) dalam http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4532/Siaran-Pers-No-11-PIHKOMINFO-3-2015-tentang-Suspensi--Penghentian-Sementara--Layanan-KewajibanPelayanan-Universal--Universal-Service-Obligation--KPU-USO/0/siaran_pers#.Vrsadhh950s Sensus Penduduk 2010 dalam http://sp2010.bps.go.id