Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
Volume I, No. 02, Oktober 2014
SISTEM INTEGRITAS NASIONAL VERSUS FRAUD TRIANGLE PLUS Daryanto Hesti Wibowo Sekolah Tinggi Ilmu AdministrasiMandala indoesia
[email protected] Abstract. This study aims to examine the concept of the National Integrity System (SIN) proposed by the Corruption Eradication Commission (KPK) to the government through the National Development Planning Agency (Bappenas). With the support of the literatures, this concept will be challenged by the Fraud Triangle theory so as to produce a mapping that describes the relevancy of corruption prevention measures, SIN and the motives in eliminating corruption stems. The results of this study prove, SIN must be translated into an action plan that focuses on prevention of corruption since the early stage of the process of corruption. If the intention/motivation corruption can be suppressed, in turns it will decrease the level of corruption. Keywords: National Integrity System, Fraud Triangle, corruption Abstrak. Studi ini bertujuan mengkaji konsep Sistem Integritas Nasional (SIN) yang diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dengan dukungan literatur, konsep ini akan dibenturkan dengan teori Fraud Triangle sehingga menghasilkan pemetaan yang menggambarkan relevansi tindakan pencegahan korupsi, SIN, dan motif dalam mengeliminir tindakan korupsi. Hasil studi ini membuktikan, SIN mesti dijabarkan ke dalam rencana aksi yang terfokus pada pencegahan korupsi sejak awal proses korupsi. Jika niat/motivasi korupsi dapat diminimalkan, dengan sendirinya tingkat korupsi akan menurun. Kata kunci: Sistem Integritas Nasional, Fraud Triangle, korupsi Reformasi birokrasi di Indonesia tidak berjalan mulus. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kualitas birokrasi di Indonesia. KPK menyatakan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia berdasarkan hasil Survei Integritas 2013 menunjukkan rata-rata nilai dari Indeks Integritas Nasional adalah 6,80. Secara nasional terjadi kenaikan rata-rata nilai indeks integritas dibandingkan pada 2012, tetapi masih belum signifikan. Hasil penilaian ini merupakan cerminan persepsi masyarakat sebagai pengguna jasa publik terhadap lembaga publik yang masih belum memuaskan. Survei Doing Business yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2014 menempatkan Indonesia pada posisi 120, turun empat tingkat dibanding tahun sebelumnya, dari 189 negara yang disurvei dalam hal kemudahan mendirikan usaha. Sedangkan menurut Corruption Perception Index 2013 dikeluarkan oleh Transparency International, suatu badan 26
independen internasional untuk pemberantasan korupsi, Indonesia berada di posisi 114 (skor 32) dari 175 negara yang disurvei. Posisi tersebut tidak beranjak dari tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa Indonesia masih tetap tergolong negara yang korup di dunia. Meluasnya partisipasi rakyat dalam proses politik dan meningkatnya praktik demokrasi – kendati masih bersifat prosedural— justru saling berkejaran dengan meluasnya korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan. Perwujudan pemerintahan bebas korupsi mendapat tantangan pula dari adanya pergesekan kepentingan antara korporasi (untuk mendapatkan keuntungan ekonomi maksimal) dengan birokrat (penyelenggara pemerintahan) serta para wakil rakyat di parlemen. Tantangan ini terdapat di berbagai tingkatan. Pergesekan kepentingan semacam ini menciptakan bad governance yang berdampak pada marjinalisasi kepentingan masyarakat, padahal tujuan akhir dari reformasi
Daryanto Hesti Wibowo, Sistem Integritas Nasional Versus Fraud Triangle Plus
birokrasi adalah untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebagai upaya lanjutan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai road map nya mengajukan Sistem Integritas Nasional (SIN) kepada pemerintah melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). SIN dalam road map KPK 2011 – 2023, adalah sistem yang berlaku secara nasional dalam rangka pemberantasan korupsi secara terintegrasi yang melibatkan semua pilar penting bangsa. Korupsi dapat berkurang karena setiap pilar memiliki akuntabilitas horisontal, yang mendistribusikan kekuasaan sehingga tidak ada monopoli dan kebijakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Organzation for Economic Cooperation Development (OECD) Integritas merupakan fondasi dari tata kelola organisasi (good governance) yang baik. Penegakkan integritas dan pemberantasan korupsi sektor publik akan mendorong kemajuan sektor bisnis dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintahnya. Sedangkan Transparency International, 2012, memandang National Integrity System sebagai suatu kerangka kerja yang disusun untuk membantu efisiensi pengendalian terhadap korupsi. SIN terdiri atas tiga bagian utama, yaitu pondasi, pilar/tiang penyangga, dan atap. Pondasi terdiri atas sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sedangkan pilar atau tiang penyangga terdiri atas badan/lembaga legislatif, eksekutif, kehakiman/peradilan, sektor publik, sektor keuangan, penegak hukum, komisi pemilihan umum, komisi ombustman, badan audit, organisasi anti korupsi, partai politik, media massa, masyarakat madani, dan dunia usaha. Terakhir, atap merupakan hasil akhir yang dicapai berupa integritas nasional. Agar masing-masing pilar dapat berkontribusi secara positif dalam pembangunan SIN, maka semua pilar dalam SIN memperhatikan tiga dimensi yang terdiri atas: a) Peran/kontribusi (role), yaitu memastikan setiap pilar menjalankan tupoksi secara berintegritas dengan berbasiskan keunggulan masing-masing untuk selanjutnya dikolaborasikan dengan pilar
lainnya dalam pembangunan SIN; b) Transparansi dan akuntabilitas (governance), intinya setiap pilar harus menerapkan akuntabilitas dan transparansi, dalam bentuk implementasi sistem integritas, baik komponen utama maupun komponen pendukung, dengan memastikan adanya instrumen, proses, dan struktur; dan c) Kapasitas (capacity), agar dapat membangun sistem integritas dan menjalankan perannya secara berintegritas, maka masingmasing pilar harus memiliki kapasitas untuk menjalankan kedua hal tersebut. Mekanisme akuntabilitas didesain sebagai upaya nasional untuk mengurangi korupsi yang meliputi sistem integritas. Sistem ini juga bertujuan untuk membangun akuntabilitas dari pilar-pilar yang menopang integritas nasional. Hal-hal yang harus dipedomani dalam sistem integritas terbagi dalam dua komponen penting, yaitu komponen utama/inti (core) dan komponen pendukung (complement). Komponen utama meliputi: a) kode etik dan pedoman perilaku; b) pengumuman harta kekayaan; c) kebijakan grafifikasi dan hadiah; d) pengelolaan akhir masa kerja; e) saluran pengaduan dan whistler blower; f) pelatihan/ internalisasi integritas; g) evaluasi eksternal integritas; dan h) pengungkapan isu integritas. Sedangkan komponen pendukung terdiri atas: a) kebijakan rekrutmen dan promosi; b) pengukuran kinerja; c) sistem dan kebijakan pengembangan SDM; dan d) pengadaan dan kontrak dengan efisiensi. SIN versi KPK ini mengadopsi National Integrity System (NIS) yang dikembangkan oleh Organization Economic Cooperation and Development (OECD). METODOLOGI Dari uraian di atas, SIN merupakan upaya pencegahan korupsi yang akan dikembangkan oleh KPK. Namun apakah usaha ini mampu menyentuh kondisi pemicu tindakan korupsi? Bagaimana SIN dapat meredam faktor pendorong seseorang melakukan kecurangan? Studi ini akan menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan konsep Fraud Triangle. Konsep SIN akan dipetakan dalam matriks terhadap elemen fraud triangle. 27
Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
Fraud Triangle Fraud triangle dipakai untuk mengidentifikasikan elemen-elemen yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Dorminey et al (2010) menyebutkan bahwa teori ini dikembangkan oleh Donald Cressey tahun 1973 dalam risetnya tentang kondisi/situasi yang memicu seseorang melakukan kecurangan atau tindakan tidak etis. Riset tersebut kemudian dikenal luas sebagai teori fraud triangle yang terdiri dari tiga elemen: tekanan, kesempatan dan rasionalisasi. Ketiga elemen eksis saat terjadi suatu tindakan kecurangan/korupsi. (lihat Gambar 1) Tekanan Tekanan keuangan merupakan dorongan utama bagi seseorang untuk korupsi, sekitar 95 % (Albrecht et al, 2006). Dorongan yang lain contohnya: keserakahan, gaya hidup dan utang. Price Waterhouse Coopers (2009) mengungkapkan tindakan kecurangan tidak saja dilakukan secara personal, tetapi dilakukan oleh sekelompok orang dalam perusahaan, misalnya: mempercantik laporan keuangan agar mendapat bonus tahunan. Atau bila perusahaan merasa terancam akan kehilangan pendapatan, pemberian sogokan dianggap sebagai jalan pintas yang dianggap wajar karena perusahaan lain juga melakukannya. Kesempatan Seseorang akan mengambil keuntungan bila ada kesempatan di hadapannya (Kelly & Hartley, 2010). Dalam banyak kasus, semakin kecil kemungkinan tertangkap tangan, semakin besar kemungkinan terjadinya kecurangan. Lemahnya sistem pengendalian dalam suatu organisasi membuka kesempatan terjadinya kecurangan. Turner et al (2003) mengemukakan bilamana seseorang tertekan tetapi tidak memiliki kesempatan, maka tidak akan terjadi kecurangan, contohnya: pembagian tugas/wewenang yang tidak jelas, transaksi yang kompleks, lemahnya sistem pengendalian internal, tidak adanya sistem audit yang rutin. 28
Volume I, No. 02, Oktober 2014
Rasionalisasi Dalam elemen ketiga fraud triangle ini, pelaku kecurangan membuat rasionalisasi moral untuk membenarkan tindakannya. Price Waterhouse Coopers (2009) memberi beberapa ilustrasi rasionalisasi sebagai berikut: a) ―Semua orang memberi sogokan untuk kepentingan bisnis.‖ b) ―Mempercantik laporan keungan bukanlah suatu kecurangan, hal ini sekedar berkelit dari peraturan.‖ c)―Saya berhak atas bonus yang lebih besar dari yang saya terima, jadi bukanlah suatu masalah bila saya melakukan sedikit korupsi.‖ Seiring dengan berkembangnya bisnis, konsep fraud triangle mengalami pengayaan. Bressler & Bressler (2007) mengembangkan konsep ini menjadi empat elemen sehingga berbentuk segi empat yang disebut fraud diamond. Elemen keempat sebagai tambahan adalah kapabilitas/kemampuan. Menurutnya konsep segitiga tidaklah cukup, karena tidak semua orang yang memiliki motivasi/tekanan, kesempatan dan rasionalisasi berani memutuskan untuk korupsi karena tidak punya kemampuan untuk melakukannya atau untuk menyembunyikannya. Sedangkan Mackevicius & Giriunas (2013) berpendapat bahwa hanya orang yang memiliki kemampuan/kecerdasan ekstra sajalah yang mampu memahami sistem pengendalian yang ada, mengidentifikasi kelemahan dan memanfaatkannya untuk berbuat curang. (lihat Gambar 2). PEMBAHASAN Matriks SIN versus Fraud Triangle Plus (FT Plus) SIN diadaptasi dari NIS versi OECD sebagai upaya pencegahan tindakan korupsi. Namun pendekatan ini tidak didasari atas kondisi pemicu seseorang untuk melakukan kecurangan. Untuk mengetahui efektifitas SIN dalam meredam tindakan kecurangan/korupsi sejak dini, komponen utama SIN dihadapkan dengan elemen FT Plus ke dalam matriks sebagai berikut: (lihat Tabel 1)
Daryanto Hesti Wibowo, Sistem Integritas Nasional Versus Fraud Triangle Plus
Tekanan
Rasionalisasi
Kesempatan
Sumber: Cressey (1973) Gambar 1. Teori Fraud Triangle
Tekanan
Tekanan
Kesempatan Kesempatan
Rasionalisasi
Rasionalisasi Kapabilitas Fraud Triangle Plus
Fraud Triangle
Sumber: Mackevicius & Giriunas (2013) Gambar 2. Fraud diamond.
29
Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
Volume I, No. 02, Oktober 2014
Tabel 1. Matriks SIN versus Fraud Triangle Plus (FT Plus)
1
2
3
4
5
6
7
8
Kode etik dan pedoman perilaku
Tekanan
Kesempatan Rasionalisasi Kapabilitas
*
*
Pengumuman harta kekayaan Kebijakan gratifikasi hadiah
dan
Pengelolaan akhir masa kerja
o
*
o o
Evaluasi eksternal integritas Pengungkapan isu integritas
Tekanan Elemen ini dapat diredam terutama dengan Pengelolaan Akhir Masa Kerja. Komponen ini akan memberikan kepastian kepada individu atas kebutuhan hidup di akhir masa kerjanya. Karena
o
*
Pelatihan atau internalisasi integritas
Dari matriks di atas, SIN dapat dianalisis efektifitas SIN dalam meredam kondisi pendorong kecurangan berdasarkan elemenelemen FT Plus sebagai berikut:
30
*
*
Saluran pengaduan dan whistle blower
o
*
o
*
o
*
o
adanya semacam jaminan di hari tua, maka seseorang terbebaskan dari tekanan untuk mempersiapkan bekalnya untuk kehidupan yang akan datang. Disamping itu Kode Etik dan Pedoman Perilaku juga akan menekan gaya hidup seseorang yang boros dan serakah sebagai pangkal tekanan berbuat curang.
Daryanto Hesti Wibowo, Sistem Integritas Nasional Versus Fraud Triangle Plus
Kesempatan Kesempatan berbuat curang menjadi sempit manakala tersedianya sistem atau kebijakan pengendalian, seperti yang tercakup dalam komponen utama SIN: Pengumuman Harta Kekayaan, Kebijakan Gratifikasi dan Hadiah, Saluran Pengaduan/Whistle Blower, Evaluasi Eksternal Integritas dan Pengungkapan Isu Integritas. Dengan diterapkannya kebijakan ini, seseorang akan berpikir berulang kali sebelum berlaku curang karena dia harus mengumumkan kekayaannya, melaporkan bila mendapat hadiah. Pelaku korupsi juga akan merasa tidak tenang karena seseorang dapat mengadukan kecurangan yang dilakukan melalui jalur pengaduan yang dijamin kerahasiaanya. Disamping itu, bila pelaku tertangkap tangan, integritasnya akan diungkap dan dia harus menjalani evaluasi eksternal integritas. Rasionalisasi Penerapan Kode Etik, Pedoman Perilaku dan Pelatihan/Internalisasi Integritas diharapkan dapat meminimalisir rasionalisasi atau pembenaran yang akan dipakai calon koruptor sehingga pada akhirnya dia mengurungkan niatnya. Dengan pemahaman dan internalisasi yang baik atas integritas, tentunya tidak akan ada Robin Hood kesiangan, yang menghalalkan perampokan demi membantu yang kekurangan. Kapabilitas Elemen FT Plus ini merupakan elemen satusatunya yang teredam dengan aplikasi setiap komponen SIN. Kemampuan seseorang tidak akan digunakan untuk berbuat curang bila tidak terpenuhi ketiga kondisi dalam fraud triangle. Meskipun tidak ada komponen yang secara langsung menekan kemampuan seseorang. SIMPULAN Berdasarkan matriks dan pembahasan di atas, SIN melalui komponen-komponennya bisa meredam kondisi pendorong terjadinya tindak
kecurangan/korupsi tercakup dalam fraud triangle. Namun bila ditambah unsur kapabilitas, SIN belum mampu secara khusus mengantisipasinya. Meski keempat elemen FT Plus belum terkunci seluruhnya, SIN diyakini mampu mengeliminir kecurangan apabila dijabarkan ke dalam aksi detil untuk melengkapi sistem pencegahan korupsi yang terintegrasi. DAFTAR PUSTAKA Albrecht, W. S., Hill, N. C., & Albrecht, C. C. 2006. The ethics development model applied to declining ethics in accounting. Australian Accounting Review, 16(1), 30-40. Bressler, M.S, and Bressler, L.A. 2007. A Model for Prevention and Detection Criminal Activity Impacting Small Business. The Entrepreneurial Executive, Vol. 12 Cressey, D.R. 1973. Other’s People Money: A Study in The Social Psychology of Embezellment. Montclair, NJ: PattersonSmith. Dorminey, J., Fleming, A., Kranacher, M., & Riley, R. (2010). Beyond The Fraud Triangle. The CPA Journal, 80(7), 17-23. Kelly, P., & Hartley, C. A. (2010). Casino Gambling and Workplace Fraud: A Cautionary Tale for Managers. Management Research Review, 33(3), 224-239. Mackevicius, J, and Giriunas, L. 2013. Transformational Research of The Fraud Triangle. Ekonomika Vol. 92(4). PriceWaterHouseCoopers. 2009. Fraud in A Downturn: A Review of How Fraud and Other Integrity Risks Will Effect Business. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2011. Road Map KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia 2011-2023 Organization for Economic Cooperation and Development. 2000. Trust in Government: Ethics Measures in OECD Countries. Turner, J. L. et al. 2003. An Analysis of The Fraud Triangle. The University of Memphis Working Paper.
31