Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
Volume I, No. 02, Oktober 2014
SISTEM INTEGRITAS NASIONAL SEBAGAI KEBIJAKAN MENCEGAH DAN MEMBERANTAS KORUPSI DI INDONESIA A. H. Rahadian Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia
[email protected] Abstract. The concept of the National Integrity System, to find the best solution both in preventing and combating corruption, the National Integrity System is the nationally accepted system in order to eradicate corruption in an integrated manner involving all the important pillars of the nation. Corruption can be reduced because each pillar has a horizontal accountability, which distributes power so there is no monopoly and policies that can not be accounted for. In line with the theory of Robert Klitgaard (1991), suggests that the occurrence of corruption because of the monopoly power of the leader (monopoly of power) coupled with the high power of the person (discretion of officials) without adequate supervision from regulatory authorities (minus accountability). To be able to run the accountability National Integrity System, then the scope of the pillars and organizations, all need to pay attention to three dimensions, namely the role/contribution (role), transparency and accountability (governance), and capacity (capacity). The National Integrity System as a system that results are not only oriented output but oriented outcomes and impact, the National Integrity system should describe the inputs, the process and its output, and further related outcomes and its impact. Keywords: National Integrity System, Accountability, Governance. Abstrak. Konsep Sistem Integritas Nasional, untuk mencari solusi terbaik baik dalam mencegah dan memberantas korupsi, Sistem Integritas Nasional adalah sistem yang berlaku secara nasional dalam rangka pemberantasan korupsi secara terintegrasi yang melibatkan semua pilar penting bangsa. Korupsi dapat berkurang karena setiap pilar memiliki akuntabilitas horisontal, yang mendistribusikan kekuasaan sehingga tidak ada monopoli dan kebijakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan teori Robert Klitgaard (1991), mengemukakan bahwa terjadinya korupsi karena adanya monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus accountability). Untuk dapat menjalankan akuntabilitas dalam Sistem Integritas Nasional, maka pada ruang lingkup pilar maupun organisasi, semua perlu memperhatikan 3 dimensi yaitu peran/kontribusi (role), transparansi dan akuntabilitas (governance), dan kapasitas (capacity). Sistem Integritas Nasional sebagai suatu sistem yang hasilnya tidak hanya berorientasi output namun berorientasi pada outcome dan impact, maka sistem Integritas Nasional harus menggambarkan input, proses dan output-nya, dan lebih jauh lagi terkait outcomes dan impact-nya. Kata kunci : Sistem Integritas Nasional, Akuntabilitas, Governance.
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga Internasional selalu menempatkan Indonesia dalam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di dunia. Hasil ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya, sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa korupsi di Indonesia tetap
dianggap sebagai endemic, systemic dan widespread (Lubis, 2005, 2). Secara teoritis, korupsi di sebuah negara seperti Indonesia apabila tidak segera diatasi akan dapat menimbulkan dampak yang merusak terhadap produktivitas industri, pertumbuhan serta kemajuan ekonomi dan sosial secara keseluruhan (Mahmood, 2005; 62). Menurut Goolsarran (2006; 61), korupsi 1
Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
menyebabkan sejumlah dampak terhadap perekonomian dimana: (1) barang dan jasa menjadi lebih banyak memakan biaya sehingga merugikan kualitas dan standar kehidupan masyarakat; (2) perdagangan yang terdistorsi karena preferensi lebih diberikan kepada barang dan jasa yang dapat menawarkan tingkat penyuapan yang tinggi; (3) akumulasi tingkat hutang publik jangka panjang yang tinggi akibat dari kecenderungan pemerintahan yang korup untuk memakai dana pinjaman luar negeri dalam membiayai proyek-proyek yang padat modal; serta (4) terjadinya misalokasi sumberdaya yang langka dan tidak diperhatikannya sejumlah daerah yang membutuhkan prioritas pembangunan akibat pejabat yang korup lebih mementingkan daerah lain yang dapat menghasilkan lebih banyak keuntungan pribadi buat dirinya. Dalam konteks Indonesia, menurut Widjajabrata dan Zacchea (2004; 37) korupsi setidaknya telah menyebabkan dua dampak utama terhadap perekonomian, yakni: (1) korupsi merupakan penghambat utama dari pertumbuhan ekonomi akibat dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap investasi dan pertumbuhan sektor swasta; serta (2) menjauhnya dan bahkan larinya investor luar negeri dari Indonesia akibat korupsi yang semakin menjadi di Indonesia selain dikarenakan kolapsnya sejumlah infrastruktur dasar yang penting dalam investasi. Lebih jauh menurut Basyaib, Holloway dan Makarim (2003) korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti kesejahteraan dan demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan. Untuk mencari solusi terbaik mencegah dan memberantas korupsi, dikemukakan konsep Sistem Integritas Nasional. Dalam pembangunan Sistem Integritas Nasional, semua pilar berkolaborasi saling menguatkan integritas dengan pendekatan kesetaraan, diharapkan terbentuk hubungan yang selaras dalam menjalankan program pembangunan Sistem Integritas Nasional. Instansi/Lembaga diharapkan melaporkan dan sharing informasi mengenai upaya-upaya 2
Volume I, No. 02, Oktober 2014
yang telah dilakukan dalam mencegah dan memberantas korupsi khususnya melalui penguatan peran, tata kelola dan kapasitas instansinya dalam rangka mendukung implementasi pelembagaan Sistem Integritas Nasional. Perlunya dibangun Sistem Integritas Nasional sebagai solusi mendasar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia sejalan dengan Perpres No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK). Penguatan Sistem Integritas Nasional yang diterapkan di setiap tingkat elemen bangsa dan setiap pemangku kepentingan agar pemberantasan korupsi dapat lebih sistematis, terukur dan komprehensif. Penerapan Sistem Integritas Nasional diharapkan dapat mengatasi sejumlah permasalahan bangsa, salah satunya adalah korupsi, yang saat ini menjadi penghalang terbesar terwujudnya tujuan nasional bangsa kita. Sistem Integritas Nasional merupakan perpaduan antara integritas pribadi, integritas institusi, integritas hubungan antar institusi dan integritas suprastruktur yang memayungi seluruh perangkat pengelolaan negara diharapkan dapat menciptakan tata kelola yang baik (good governance) di tanah air. Pengertian Korupsi Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion). Pengertian korupsi ini tentu saja berbeda dengan pengertian korupsi yang terkandung dalam Undang‐Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang‐Undang No. 20 Tahun 2001. Dalam bahasa hukum positif (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) pengertian korupsi secara umum, adalah perbuatan yang diancam dengan ketentuan pasal‐pasal UU No 31 tahun 1999. Dalam salah satu pasal, korupsi terjadi apabila memenuhi tiga kriteria yang merupakan syarat bahwa seseorang bisa dijerat dengan undang‐undang korupsi, ketiga syarat tersebut adalah: (1) Melawan hukum; (2) Memperkaya
A.H. Rahadian, Sistem Integritas Nasional Sebagai Kebijakan Mencegah Dan Memberantas Korupsi Di Indonesia
diri sendiri atau orang lain atau korporasi; (3) Merugikan keuangan negara atau perkonomian negara. Dengan kriteria tersebut maka orang yang dapat dijerat dengan undang‐undang korupsi, bukan hanya pejabat negara saja melainkan pihak swasta yang ikut terlibat dan badan usaha/korporasi pun dapat dijerat dengan ketentuan undang‐undang korupsi. Pengertian korupsi dapat diperluas dengan perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang karena jabatannya menerima sesuatu (Gratifikasi) dari pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam: (1) Pasal 12 B ayat 1, UU No. 20/2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan (2) Pasal 16 UU No. 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisi korupsi secara lengkap, telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal‐pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal‐pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak piana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi: Kerugian keuangan Negara; Suap menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan; Perbuatan curang; Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan Gratifikasi. Istilah korupsi tentunya sudah bukan hal yang asing lagi ditelinga. Definisi sederhana korupsi adalah "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi." Definisi, dampak, dan motivasi korupsi berbeda-beda. "Korupsi" melibatkan perilaku pihak para pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil. Mereka secara tidak wajar dan tidak sah memperkaya diri sendiri atau orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberi dan
menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait tanggung jawab yang dijalani. Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. (Peter Langseth et al, 1997). Berdasarkan dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara garis besar dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan publik yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri maupun orang-orang yang dekat dengannya. Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu (1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai sebab akibat kebijakan publik tesebut, dan (3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila satu dari ketiga parameter ini tidak terpenuhi, tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi. (Arvin K. Jain; 2001). FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK KORUPSI Faktor Penyebab Pada hakikatnya, awal mula praktik korupsi di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, sekitar tahun 1800-an yaitu pada masa VOC yang kemudian terus berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka. Pada masa Orde Baru, korupsi semakin merajalela di kalangan penguasa di republik ini. Berbagai kasus korupsi menjerat para pemegang kekuasaan publik, hal ini jugalah yang turut menjadi penyebab terjadinya Reformasi 1998. Ini menandakan bahwa korupsi di Indonesia sudah berlangsung begitu lama dan seolah tidak ada tindakan untuk memutus mata rantai korupsi. 3
Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka harus diketahui apa saja pokok permasalahan dan faktor-faktor yang menyebabkan seorang pejabat publik atau aparat pemerintah melakukan korupsi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi, diantaranya sebagai berikut: 1) Rendahnya iman dan moral yang dimiliki seorang pemegang kekuasaan publik sehingga mudah terpengaruh dan tergoda untuk melakukan praktik korupsi; 2) Kurang tegasnya peraturan perundang-undangan menekan atau memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme serta sanksi yang kurang tegas bagi pelaku KKN sehingga tidak menimbulkan efek jera dan tidak mencegah munculnya koruptorkoruptor baru; 3) Lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kinerja aparat negara sehingga memberikan peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan; 4) Gaji yang relatif rendah. Faktor inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang melakukan korupsi, karena ia menganggap bahwa gaji yang ia dapat belum cukup untuk mendapatkan kehidupan yang berkecukupan. Selain itu, tingkat pendapatan juga dianggap tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin kompleks; 5) Rendahnya pengetahuan dan parisipasi masyarakat dalam hal kontrol kinerja aparat pemerintahan serta kebijakankebijakan yang diambil, sehingga rentan penyelewengan kekuasaan oleh oknumoknum yang tidak bertanggung jawab; 6) Budaya korupsi yang sudah berkembang di masyarakat; 7) Warisan budaya korupsi yang sudah ada sejak zaman kolonial yang terus berlanjut hingga masa pasca Indonesia merdeka, bahkan hingga era reformasi menjadikan korupsi semakin sulit untuk diberantas secara menyeluruh; dan 8) Tidak adanya rasa nasionalisme dalam diri pejabat publik yang korupsi, dan lain-lain. Dampak Korupsi Korupsi tentu saja menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kelangsungan sebuah bangsa dan negara. Dampak korupsi antara lain sebagai berikut: 1) Berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah Meningkatnya praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan semakin 4
Volume I, No. 02, Oktober 2014
membuat publik (rakyat) tidak memberikan kepercayaan secara penuh kepada pemerintah. Bahkan kepercayaan dari negara lain pun juga bisa berkurang terhadap pemerintah yang sedang berkuasa di negara tersebut sebagai akibat dari maraknya kasus korupsi di kalangan pemegang kekuasaan publiknya. Hal ini tentu akan membawa dampak yang cukup besar terhadap pembangunan di segala bidang; 2) Berkurangnya kewibawaan pemerintah. Banyaknya aparat di pemerintahan yang melakukan korupsi membuat citra dan kewibawaan pemerintah menjadi berkurang dan bahkan bisa menyebabkan rakyat bersikap apatis terhadap peraturan-peraturan serta himbauan-himbauan yang diberikan pemerintah. Hal ini tentu dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketahanan nasional; 3) Kerugian negara dalam bidang ekonomi. Berbagai pendapatan negara yang sebagian besar berasal dari uang rakyat dan seharusnya juga digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pada kenyataannya uang rakyat banyak yang digelapkan atau dikorupsi oleh pemegang kekuasaan public; dan 4) Menghambat laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Ketika sebuah negara memiliki catatan buruk pada kasus korupsi, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan akan berdampak buruk bagi kondisi perekonomian nasional. Selain itu, birokrasi yang sulit dan lebih mengedepankan uang daripada profesionalisme dan tanggung jawab sebagai birokrat juga menjadikan modal asing berpaling dari Indonesia dan mengalihkan investasi ke negara yang lebih baik birokrasinya, dll. TEORI DASAR TENTANG KORUPSI Beberapa teori dasar tentang Korupsi dikemukakan oleh Vroom (1964), Teori Kebutuhan Maslow (1943) Robert Klitgaard (1991), dan Jack Bologne (1993), sebagai berikut: Teori Vroom Berdasarkan Teori Vroom (1964), kinerja (performance) seseorang tergantung pada tingkat kemampuannya (ability)
A.H. Rahadian, Sistem Integritas Nasional Sebagai Kebijakan Mencegah Dan Memberantas Korupsi Di Indonesia
dikalikan dengan motivasi (motivation). Kemampuan seseorang berbanding lurus dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Jadi, dengan tingkat motivasi yang sama seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Namun, permasalahannya tidak sesederhana itu masih ada rumusan Vroom mengenai motivasi (motivation) seseorang, yaitu:
P = f (A x M)
P = Performance A = Ability M = Motivation
Motivasi tergantung pada harapan (expectation) orang yang bersangkutan dikalikan dengan nilai (value) yang terkandung dalam setiap pribadi seseorang. Jika harapan seseorang adalah ingin kaya, maka ada dua kemungkinan yang akan dia lakukan. Jika nilai yang dimiliki positif maka, dia akan melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum agar bisa menjadi kaya. Namun jika dia seorang yang memiliki nilai negatif, maka dia akan berusaha mencari segala cara untuk menjadi kaya sehingga muncullah korupsi sebagai jalan pintas.
M = f (E x V)
needs) setiap orang. Setelah kebutuhan utama terpenuhi, kebutuhan seseorang akan meningkat kepada kebutuhan penghargaan diri yaitu keinginan agar kita dihargai, berperilaku terpuji, demokratis dan lainya. Kebutuhan paling tinggi adalah kebutuhan pengakuan atas kemampuan kita, misalnya kebutuhan untuk diakui sebagai kepala, direktur maupun walikota yang dipatuhi bawahannya. Lihat gambar 1.
M = Motivation E = Expectation V = Valance/Value
Teori Kebutuhan Maslow Teori Kebutuhan Maslow (1943) tersebut menggambarkan hierarki kebutuhan dari paling mendasar (bawah) hingga naik paling tinggi adalah aktualisasi diri. Kebutuhan paling mendasar dari seorang manusia adalah sandang dan pangan (physical needs). Selanjutnya kebutuhan keamanan adalah perumahan atau tempat tinggal, kebutuhan sosial adalah berkelompok, bermasyarakat, berbangsa. Ketiga kebutuhan paling bawah adalah kebutuhan utama (prime
Gambar 1. Hierarki Motivasi Teori Klitgaard dan Ramirez Torres Menurut Robert Klitgaard (1991), monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus accountability), maka akan terjadi korupsi. Perubahan pola pemerintahan yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi dengan adanya otonomi daerah telah menggeser praktik korupsi yang dahulu hanya didominasi oleh pemerintah pusat kini menjadi marak terjadi di daerah. Hal ini selaras dengan teori Klitgaard bahwa korupsi mengikuti kekuasan. (Klitgaard, R, 2014) Teori Klitgaard: C=M+D–A
C = Korupsi M= Monopoly of Power D= Discretion of official A= Accountability
Korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan 5
Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
hanya sekedar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi tinggi dan lebih besar dari hukuman yang didapat serta kemungkinan tertangkapnya yang kecil. Teori Ramirez Torres: Rc > Pty x Rc = Reward Pty=Penalty Prob Prob=Probability (kemungkinan tertangkap) Teori Jack Bologne (GONE Theory) Pemikir Jack Bologne (1993) mengatakan, akar penyebab korupsi ada empat: Greed, Opportunity, Need, Exposes. Dia menyebutnya GONE theory, yang diambil dari huruf depan tiap kata tadi. Greed atau keserakahan, berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang; Opportunity atau kesempatan, berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan terhadapnya. Needs atau kebutuhan, berkaitan dengan faktor‐faktor yang dibutuhkan oleh individu‐individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar; dan Exposure atau pengungkapan, berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan. Empat akar masalah di atas merupakan halangan besar pemberantasan korupsi. Tetapi, dari keempat akar persoalan korupsi tadi, bagi saya, pusat segalanya adalah sikap rakus dan serakah. Greed. Sistem yang bobrok belum tentu membuat orang korupsi. Kebutuhan yang mendesak tak serta-merta mendorong orang korupsi. Hukuman yang rendah bagi pelaku korupsi belum tentu membikin orang lain terinspirasi ikut korupsi. Pendeknya, perilaku koruptif bermula dari sikap serakah yang akut. Adanya sifat rakus dan tamak tiada tara. Korupsi, meminjam syair Rendra, menyebabkan ada orang yang berlimpah, ada yang terkuras; ada
6
Volume I, No. 02, Oktober 2014
yang jaya, ada yang terhina; ada yang mengikis, ada yang habis. Korupsi paralel dengan sikap serakah. Greed, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opportuniy, sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi. Need, sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Exposes, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain. Secara ringkas pandangan Jack Bologne akar penyebab korupsi, disebut GONE Theory, yaitu: G= O= N= E=
Greedy Opportunity Needs Expose
SISTEM INTEGRITAS NASIONAL Pengertian Integritas Nasional Sebuah sistem yang di dalamnya terdiri atas pilar-pilar para penyelenggaranya sistem kepemerintahan/ keorganisasian, yang mana dalam pelaksanaannya menjunjung tinggi integritas demi tegaknya kewibawaan institusi tersebut. Dari berbagai variasi di seluruh dunia, pilar-pilar integritas,yang paling umum dari suatu masyarakat, meliputi: Pemerintah, DPR, Pengadilan, Pegawai Negeri, Lembaga-lembaga Pengawas (seperti Ombudsman, Komite Akuntan Publik, BPK, BPKP, KPPU, KPTPK, Polisi, dan lainnya), masyarakat sipil, sektor swasta, media massa dan badan-badan internasional. (Transparency International Indonesia 2014). Terdapat beberapa definisi tentang Integritas (Winarno M; 2014), yaitu: 1) Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran; (kamus besar bahasa indonesia); 2) Seseorang berpegang pada apa yang menurut orang tersebut atau dianggap etis (Harcourt 1998); 3) Ketika berbicara tentang integritas, kita berbicara tentang menjadi orang yang utuh,
A.H. Rahadian, Sistem Integritas Nasional Sebagai Kebijakan Mencegah Dan Memberantas Korupsi Di Indonesia
yang terpadu, dan seluruh bagian dari diri kita yang berlainan bekerja dengan baik dan berfungsi sesuai rancangan (Henry Cloud, 2007); 4) I = C1 + A + E – C2; I : Integrity, C1: Competency, A: Acountability, E: Ethics, C2: Corruption (Fredrick Galtung); 5) Integritas adalah integrasi dari sifat-sifat dan kemampuan yang dikagumi kedalam sebuah sistem kebijakan yang berfungsi (Puka 2005); dan 6) Brown et al (2005) mendefinisikan integritas dalam perspektif baru bahwa seseorang/institusi dikatakan berintegritas, jika seseorang/institusi tersebut ketika melakukan tindakan konsisten sesuai dengan nilai, tujuan dan tugas yang diemban oleh seseorang/institusi tersebut. Teori-teori membahas integritas tidak hanya dalam konteks individu tetapi berkembang juga dalam konteks lebih luas lagi yaitu organisasi. Meskipun integritas individu dan integritas organisasi saling terkait, dalam mendefinisikan integritas organisasi (vandekerckhove, 2008) berikut disampaikan beberapa difinisi integritas organisasi: 1) Vandekerckhove (2008) mempromosikan integritas sebagai a) usahausaha dan kebijakan organisasi untuk mendukung tercapainya integritas personal/individu; b) bahwa dalam membentuk integritas organisasi harus dilihat juga pengaruh dari interaksi personal/individu satu sama lain; 2) Brown et al (2005) mendefinisikan integritas dimana institusi dikatakan berintegritas, jika institusi tersebut ketika melakukan tindakan konsisten sesuai dengan nilai, tujuan dan tugas yang diemban oleh institusi tersebut; 3) Organisation for Economic Co-operation and Development (2000) mengartikan integritas dalam kerangka institusi layanan publik sebagai: a) Perilaku pemberi layanan yang sejalan dengan tujuan organisasi dimana mereka bekerja; b) Operasi layanan publik sehari-hari dapat diandalkan; c) Warga menerima layanan tanpa pembedaan berdasarkan keadilan dan aspek legalitas; d) Sumberdaya publik digunakan secara efektif, efisien dan tepat; e) Prosedur pengambilan keputusan transparan kepada publik dan pengukuran dilakukan agar publik dapat melihat; 4) Dubinsky dan Richter (2009) mendefinisikan integritas dan etika sebagai sebuah komitmen pada pemikiran dan
tindakan moral disemua aspek mengenai bagaimana organisasi dikelola dan dijalankan; dan 5) Harold Travor (2012) menyatakan bahwa pemberantasan korupsi adalah sarana untuk mencapai tujuan nasional suatu negara. Pemberantasan korupsi untuk kondisi yang sudah sistemik dan merupakan praktik tradisi yang berkelanjutan memerlukan pendekatan yang komprehensif baik dari aspek pribadi, sistem dan budaya. Jeremy Pope (2000) mengilustrasikan Sistem Integritas Nasional dengan gambar bangunan yang bertujuan menopang tatanan hukum, pembangunan berkelanjutan, dan kualitas hidup. Dalam konsep road map KPK bangunan tersebut ditopang oleh pilar-pilar institusi yaitu: Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Legislatif, Layanan Publik, Penegak Hukum, Penyelenggara Pemilu, Ombudsman, Lembaga Audit, KPK, Partai Politik, Media, Masyarakat Sipil, dan Swasta/Bisnis. Pilarpilar di atas pondasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Akuntabilitas horizontal dapat menjaga organisasi dan pilar dari korupsi, sebagaimana rumusan korupsi C = DMA (Korupsi sama dengan dikresi dan monopoli yang minus akuntabilitas) dari Robert Klitgart, kekuasaan tanpa akuntabilitas akan cenderung korup. Untuk dapat menjalankan akuntabilitas dalam Sistem Integritas Nasional, maka pada ruang lingkup pilar maupun organisasi, semua perlu memperhatikan 3 dimensi di bawah ini: 1) Peran/kontribusi (role), yaitu memastikan setiap organisasi ataupun pilar menjalankan tugas pokok dan fungsi secara berintegritas, dengan berbasis keunggulan masing-masing. Untuk selanjutnya dikolaborasikan dengan organisasi ataupun pilar lainnya dalam pembangunan Sistem Integirtas Nasional; 2) Transparansi dan akuntabilitas (governance), setiap organisasi harus menerapkan akuntabilitas dan transparansi, meliputi juga pemenuhan laporan dan pertanggungjawaban, sebagaimana yang telah diamanahkan kepada setiap pilar dalam bentuk implementasi sistem integritas. Dengan akuntabilitas dan transparansi, maka implementasi sistem integritas dalam kerangka pemberantasan 7
Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
korupsi dapat dijalankan secara efektif dan efisien, sehingga tidak menimbulkan korupsi atau perilaku koruptif jenis baru; dan 3) Kapasitas (Capacity), agar dapat membangun sistem integritas, budaya organisasi, dan menjalankan perannya secara berintegritas, maka masing-masing harus memiliki kapasitas untuk menjalankan kedua hal tersebut. Kapasitas yang perlu dibangun masing-masing pilar adalah kapasitas Sumber Daya Manusia, Dana, Teknologi dan Informasi Komunikasi. Dalam sistem integritas, terdapat kata kunci utamanya yaitu integritas. Kata integritas atau integrity dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata integritas dalam bahasa latin yang berarti tidak terpengaruh, utuh, tegak, dapat diandalkan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran. Konsep Sistem Integritas Nasional KPK dalam Road Map Pemberantasan Korupsi di Indonesia tahun 2011-2023 merumuskan Sistem Integritas Internasional, adalah sistem yang berlaku secara nasional dalam rangka pemberantasan korupsi secara terintegrasi yang melibatkan semua pilar penting bangsa. Korupsi dapat berkurang karena setiap pilar memiliki akuntabilitas horisontal, yang mendistribusikan kekuasaan sehingga tidak ada monopoli dan kebijakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sistem Integritas Nasional, sebagai suatu sistem yang hasilnya tidak hanya berorientasi output namun berorientasi pada outcome dan impact, maka sistem Integritas Nasioan harus menggambarkan input, proses dan output-nya, dan lebih jauh lagi terkait outcomes dan impact-nya (Winarno M; 2014). Semua tergambar dalam hasil penting SIN sebagai berikut: 1) Individu, Organisasi dan Pilar-pilar yang berintegritas (Input); 2) Internalisasi integritas, Pembangunan Sistem Integritas dan Budaya Organisasi serta Sinergi upaya pemberantasan korupsi berbasis Integritas (Proses); 3) Integritas Individu, Integritas Organisasi, Integritas Pilar dan 8
Volume I, No. 02, Oktober 2014
Integritas Nasional (output); 4) Kondisi nasional dengan korupsi yang terkendali (outcomes); dan 5) Tujuan nasional tercapai (impact) Proses Selaras dengan pendekatan ruang lingkup integritas, maka proses pembangunan sistem integritas nasional dibagi dalam 4 proses sebagai berikut: a) Proses internalisasi integritas; sebagai upaya untuk menghasilkan integritas pribadi yang tinggi, melalui berbagai strategi dan teknik internalisasi, untuk memastikan bahwa nilai-nilai yang disepakati organisasi dapat terinternalisasi dengan kuat dalam setiap pribadi, dan ditunjukkan dalam perilaku keseharian; b) Proses pembangunan sistem integritas; sebagai upaya untuk menjaga pribadi berintegritas tinggi, yang menggerakkan seluruh elemen organisasi menjadi satu kesatuan untuk mencapai tujuan organisasi; c) Proses penyelarasan atau sinergi pilar; sebagai upaya untuk terjadinya sinergi dari berbagai K/L/O/P pada setiap pilar sehingga terbentuk integritas pilar; dan d) Proses penyelarasan atau sinergi berbagai elemen bangsa, sebagai upaya untuk terjadinya sinergi dari berbagai pilar, sehingga terbentuk kekuatan berupa integritas nasional yang dapat menjadi modal yang bermakna bagi bangsa dalam memberantas korupsi. Input dan Output Pembangunan sistem integritas pada semua ruang lingkup baik individu, organisasi maupun pilar dapat dilakukan secara paralel. Secara konsep, walaupun dilakukan secara paralel pada dasarnya input, proses dan output merupakan rangkaian sistem yang berkelanjutan, sehingga suatu input dapat sekaligus menjadi out put bagi rangkaian selanjutnya, dengan penjabaran sebagai berikut: a) Value, sebagai input untuk proses internalisasi integritas sehingga terbentuk integritas pribadi yaitu integritas sebagai nilai (value) yang menggambarkan keutuhan pribadi. Semua elemen dalam diri seseorang, satu sama lainnya selaras dengan lingkungan yang berintegritas (sistem dan budaya integritas); b) Integritas pribadi, sebagai out put proses internalisasi integritas, juga merupakan input bagi pembangunan sistem
A.H. Rahadian, Sistem Integritas Nasional Sebagai Kebijakan Mencegah Dan Memberantas Korupsi Di Indonesia
integritas organisasi sehingga menghasilkan integritas organisasi; c) Integritas organisasi, sebagai input untuk proses sinergi pilar, integritas organisasi sekaligus sebagai out put dari pembangunan sistem integritas; d) Integritas pilar, pilar-pilar yang berintegritas selain sebagai input dalam proses sinergi pilar untuk menghasilkan integritas nasional, integritas pilar juga sekaligus sebagai out put dari proses sinergi organisasi-organisasi yang telah terbangun integritasnya;dan e) Integritas nasional: Integritas sebagai sinergi dari berbagai pilar bangsa dan negara untuk mengendalikan korupsi sehingga tujuan nasional tercapai Pengendalian dan Penyelarasan Pilar adalah gabungan beberapa K/L/O/P yang sejenis yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan peran dan fungsi. Baik ruang lingkup K/L/O/P ataupun Pilar, keduanya harus memiliki kapasitas, tata kelola yang baik dan peran yang jelas. Pilar-pilar tersebut harus memiliki kekuatan yang proporsional untuk menopang atap bangunan berupa integritas nasional. Pilar perlu kokoh dan merata integritasnya agar mampu menopang integritas nasional, sehingga pilar harus merupakan kesatuan dari K/L/O/P berintegritas, yang menggunakan kapasitas yang dimilikinya dilengkapi dengan adanya penyelarasan secara proporsional. Pengendalian pada penggunaan kapasitas (SDM, Dana, Teknologi, Informasi dan Komunikasi) akan berjalan secara efektif pada organisasi yang sudah terintegrasi dan selaras pada semua aspek organisasi yaitu Nilai, Visi dan misi, Strategi, Program, dan Kegiatan. Pengendalian terhadap organisasi secara proporsional menyesuaikan dengan tingkat kompleksitas operasional organisasi, dalam hal ini sangat penting untuk adanya pemetaan berdasarkan pengelompokan yaitu Pengendalian Internal, Pengendalian Korupsi, dan Pengendalian aspek strategis. Kapasitas Organisasi Integritas nasional dapat kokoh ketika integritas pilarnya kokoh pula, pilar itu sendiri perlu terdiri dari organisasi-organisasi yang berintegritas. Dalam operasionalisasinya setidaknya organisasi mempunyai kapasitas:
a) Sumber Daya Manusia; b) Keuangan (Pendanaan); c) Teknologi; dan d) Informasi dan Komunikasi. Setiap K/L/O/P harus memastikan kapasitasnya dikelola secara baik dan diutilisasi secara berintegritas. Dalam rangka memastikan semua kapasitas organisasi diutilisasi secara berintegritas, maka diperlukan sistem-sistem khusus untuk menciptakan integritas organisasi. Pendekatan Perilaku, Sistem dan Budaya Kesadaran akan korupsi di Indonesia yang sudah luar biasa, untuk memberantasnya diperlukan modalitas yang besar, maka konsep SIN menggunakan pendekatan yang komprehensif dari seluruh elemen untuk memberantas korupsi, baik aspek perilaku, sistem maupun budaya. Untuk menghasilkan akselerasi dan modalitas yang lebih besar, maka ketiga aspek tersebut dibangun secara paralel dan terintegrasi, dan digunakan pada momentum-momentum yang tepat untuk terjadinya perubahan yang signifikan. Prinsip Strategis Pembangunan Sistem Integritas Nasional Dalam pembangunan Sistem Integritas Nasional, semua pilar berkolaborasi saling menguatkan integritas dengan pendekatan kesetaraan, diharapkan terbentuk hubungan yang selaras dalam menjalankan program pembangunan Sistem Integritas Nasional: a) Partisipatif. Pembangunan Sistem Integritas Nasional didorong atas kebutuhan bersama dari seluruh pemangku kepentingan sehingga semua pihak akan berpartisipasi secara aktif. Hal tersebut berimplikai pada orientasi assesment awal (bukan untuk menilai kesiapan lembaga), melainkan untuk memetakan kekuatan dan peluang agar terbangun aspirasi bersama guna mencapai hasil yang sesuai dengan kebutuhan dan bermanfaat bagi pengembangan integritas organisasi; b) Kontekstual Pembangunan Sistem Integritas Nasional menggunakan pendekatan layanan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan organisasi, sehingga tidak mengarahkan untuk menyeragamkan strategi dan kegiatan, melainkan terbuka terhadap inisiatif-inisiatif yang inovatif dan beragam, sesuai dengan kebutuhan, 9
Prosiding Seminar STIAMI ISSN 2355-2883
kemampuan, karakteristik organisasi; dan c) Substantif dan Kualitatif. Pembangunan Sistem Integritas Nasional tidak dilakukan dengan pendekatan seremonial, pencitraan, dan pencanangan, melainkan lebih berorientasi pada pencapaian tujuan pokok pembangunan Sistem Integritas Nasional itu sendiri. Indikator keberhasilan pembangunan Sistem Integritas Nasional tidak berbasiskan pada pengisian check list (formalitas), melainkan berbasis kualitatif yaitu terjadinya perubahan kinerja yang dilengkapi dengan catatan pengalaman empirik, inspirasi yang bisa dipetik, pelajaran berharga (lesson learned), dll. PENUTUP Korupsi tumbuh subur karena adanya sistem yang buruk, sumber daya manusia yang tidak berintegritas, dan budaya masyarakat yang menganggap korupsi merupakan hal biasa. Ini adalah tantangan kita bersama. Diperlukan kerjasama dan partisipasi seluruh komponen bangsa untuk bersinergi dan bersama-sama melawan korupsi. Pelembagaan Sistem Integritas Nasional perlu memastikan bahwa sistem integritas menjadi sistem formal baik di lingkungan organisasi maupun dalam lingkup nasional. Setiap individu dan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalankan tugas dan fungsinya di masyarakat, sehingga tujuan organisasi maupun pribadi tercapai dengan cara-cara yang berakhlak mulia. Nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, keadilan, transparan, tanggungjawab, keteladanan dan mengutamakan kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan harus diimplementasikan di Kementerian/Lembaga, organisasi lainnya, dan Pemerintah Daerah. SIN akan berhasil jika keberadaan pemimpin di berbagai lini Institusi mampu mempengaruhi lingkungannya untuk mencapai tujuan Institusi. Dalam konteks ini pemimpin berperan sebagai contoh, teladan bagi lingkungan sekitarnya. SIN juga akan berhasil jika ada komunikasi dan kerjasama yang efektif di masing-masing institusi untuk 10
Volume I, No. 02, Oktober 2014
membangun akuntabilitas horizontal. Program-program di Kementerian/Lembaga terintegrasi dan berjalan beriringan dengan Sistem Integritas Nasional dan yang tidak kalah penting, agar SIN berhasil adalah keberadaan lingkungan yang kondusif, dimana diperlukan upaya untuk menciptakan kondisi yang menjunjung tinggi integritas, baik di level institusi maupun individu. DAFTAR PUSTAKA Arvin K. Jain. 2001. “Corruption: A Review” Concordia University. Journal of Economics Survei, Vol. 15, No. 1. Basyaib, Hamid, Richard Holloway dan Nono Anwar Makarim (Editor). 2002. Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku 1-4, Jakarta: Yayasan Aksara. Bologna, Jack G. dan Robert J. Linquist. 1987, Fraud Auditing and Forensic Accounting New Tools and Techniques. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Goolsarran, Swatantra Anand. 2006. “Corruption: Its Nature, Causes and Effects Suggestions on the Way Forward” The Journal of Government Financial Management. Volume 55, No. 1. Klitgaard, Robert. 2014. Controlling Corruption. Published May 13th 2014 by University of California Press ebook. KPK
RI. 2011. Road Map dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia tahun 2011-2023.
Lubis, Todung Mulya. 2005. Index Persepsi Korupsi Indonesia, (Bahan Presentasi), Jakarta: Transparency International Indonesia. Mahmood, Mabroor. 2005. “Corruption in Civil Administration: Causes and Cures”, Humanomics. Volume 21, No. 3/4. Peter Langseth et al. 1997. The Role of a National Integrity System in Fighting Corruption. The Economic
A.H. Rahadian, Sistem Integritas Nasional Sebagai Kebijakan Mencegah Dan Memberantas Korupsi Di Indonesia
Development Institute of The World Bank. Pope, J. 2000. Confronting Corruption: The Elements of a National Integrity System. TI Source Book (pp.). : Berlin: Transparency International. Perpres No. 55 Tahun 2012. Strategi Nasional Pencegahan & Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang (2012-2025) Dan Jangka Menengah (20122014), Lampiran Penjelasan Perpres Nomor 55 tahun 2012. Maslow, A.H. 1943, “A Theory of Human Motivation”. Psychological Review 50 (4) 370–96. Retrieved from http://psychclassics.yorku.ca/Maslow/ motivation.html
Widjajabrata, Safaat and Nicholas M Zacchea, 2004, “International Corruption: The Republic of Indonesia is Strengthening the Ability of Its Auditors to Battle Corruption”. The Journal of Government Financial Management, Volume 53, No. 3. Winarno, M, 2014, Nasional,
Sistem
Integritas
http://p4tksbjogja.com/index.php?option=com_con tent&view=article&id=427%3Asistem integritasnasional&catid=70%3Aumum&Itemid =192
Vroom V. H. 1964. Work and Motivation. New York: Wiley, Carnegie Institute of Technology, Pittsburgh.
11