Sintesis Senyawa Kompleks Ion Logam Mn(II) dengan Ligan 2-Feniletilamin Nourma Safarina*, Fahimah Martak1 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
ABSTRAK Pada penelitian ini telah dilakukan sintesis senyawa kompleks ion logam Mn(II) dengan ligan 2-feniletilamin. Proses sintesis diawali dengan penentuan panjang gelombang maksimum senyawa kompleks dengan perbandingan mol logam dan ligan 1:1. Panjang gelombang maksimum ini digunakan untuk metode variasi kontinu, dari metode variasi kontinu akan diketahui rasio logam dan ligan yang digunakan untuk sintesis logam Mn dan ligan 2-feniletilamin. Sintesis kompleks diawali dengan melarutkan MnCl2.2H2O dan 2-feniletilamin dalam methanol, kedua larutan tersebut direaksikan dengan mencampurkannya hingga terbentuk campuran yang homogen. Larutan ini ditutup dan didiamkan dalam desikator hingga terbentuk kristal senyawa kompleks. Berdasarkan hasil AAS, DTA/TGA, XRD, UV, FTIR, daya hantar listrik, mikrounsur C,H,N, dan suseptibilitas magnetik menunjukkan bahwa hasil sintesis memiliki rumus molekul [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O dengan struktur oktahedral serta nilai momen magnet (μeff) 5,4 BM. Kata Kunci: senyawa kompleks, ligan 2-feniletilamin, suseptibilitas magnetik
*Corresponding author Phone : +6285645144161 e-mail :
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jur Kimia, Fak MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
I. PENDAHULUAN Pentingnya material elektronik dalam kehidupan sehari-hari mengakibatkan banyak penelitian untuk merancang material baru dengan sifat yang lebih baik (Verdaguer, 2001) material dengan sifat yang lebih unggul dapat digunakan untuk display, memory dan saklar molekular (Elmila, 2010). Material elektronik dapat dibangun dari senyawa kompleks. Senyawa kompleks mononuklir umumnya bersifat paramagnetik. Sifat magnetik senyawa dapat ditingkatkan dengan pembentukan kompleks polimer. Kompleks polimer dihasilkan dari ligan multidentat yang berikatan koordinasi dengan ion logam sehingga terjadi interaksi ion logam dan ligan. Interaksi antar ion logam dan ligan pada senyawa kompleks dapat menghasilkan senyawa yang bersifat
feromagnetik atau antiferomagnetik contoh senyawa kompleks yang bersifat feromagnetik adalah kompleks bimetalik oksalat [A][MIIMIII(C2O4)3] dengan A = tetrabutil fosfin (P(C4H9)), MII= Mn2+, Fe2+,Co2+, Ni2+ dan Cu2+ sedangkan MIII = Cr3+ dan Fe3+(Martak, 2008) dan senyawa yang bersifat antiferomagnetik adalah Fe2(pm) dan Mn2(pm) dimana pm=pyromellitate (Kumagai, 2003). Pada kompleks [A][MIIMIII(C2O4)3] terjadi interaksi feromagnetik, namun transisi paramagnetik ke feromagnetik terjadi pada temperatur rendah yaitu 15 K (Martak, 2008) interaksi pada senyawa tersebut adalah interaksi intermolekular. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan interaksi pada senyawa adalah dengan pemilihan ligan yang dapat berinteraksi inter dan intramolekular. Interaksi ini dapat dihasilkan dengan pemilihan ligan yang tepat. Ligan yang digunakan
2-feniletilamin karena ligan 2-feniletilamin memiliki cincin fenil dan gugus amin. Gugus amin pada ligan tersebut dapat diubah menjadi ammonium, sehingga atom hidrogen yang terikat pada ammonium dapat berikatan hidrogen pada ligan yang terkoordinasi pada ion logam. Hal tersebut menyebabkan interaksi inter dan intramolekular senyawa kompleks meningkat (Martak, 2010). Selain itu, gugus fenil pada ligan 2-feniletilamin menyebabkan ikatan polimer yang membentuk lapisan-lapisan kompleks polimer pada senyawa kompleks. Ion logam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ion logam Mn(II). Ion logam Mn(II) memiliki lima elektron tidak berpasangan pada orbital d. Jumlah elektron tidak berpasangan lebih besar dapat meningkatkan sifat magnetik senyawa. 2.2 Sintesis Senyawa Kompleks [M(2fenil-etil ammonium)x]MCl2+x M=Mn2+ Sejumlah 0,7299 gram (0,0045mol) garam 2-fenil etil amin hidroklorida dimasukkan ke dalam beaker glass 100 mL kemudian ditambahkan pelarut methanol, diadukaduk sehingga 2-feniletilamin hidroklorida tersebut larut. Mangan klorida dihidrat sebanyak 0,7807 gram (0,0045 mmol) juga dilarutkan dalam methanol tetes demi tetes sampai melarut ke dalam beaker glass 100 mL. Kedua larutan (larutan mangan dihidrat dan larutan ligan 2-feniletilamin hidroklorida) tersebut dicampur. Campuran ini diaduk apabila terjadi endapan maka endapan tersebut disaring, larutan filtratnya di letakkan dalam desikator dan dibiarkan sampai terbentuk Kristal. Kristal yang sudah terbentuk karena penguapan pelarut pada temperatur ruang akan disaring, selanjutnya dianalisis formula dan strukturnya dengan karakterisasi. 2.3 Karakterisasi Hasil Sintesis 2.3.1 Penentuan Kadar Ion Logam Persiapan larutan standar untuk ion logam besi digunakan: larutan MnCl2.4H2O konsentrasi 1000 ppm. Larutan standar ini dibuat dari 0,7363
gram MnCl2.4H2O dalam labu takar 250 mL yang kemudian ditambah 2.5 mL HCl 5 M dan aquades hingga tanda batas. Larutan ini disebut larutan induk. Larutan Mn standar 100 ppm diperoleh dari 10 mL larutan induk dimasukkan dalam labu takar 100 mL selanjutnya ditambahkan aquades hingga volume 100 mL. Kemudian diambil 2, 4, 6, 8, dan 10 ml dari larutan standar 100 ppm, dimasukkan kedalam labu takar 100 mL, lalu pada masing-masing larutan ditambah 1 mL HCl 5 M dan ditambahkan aquades hingga tanda batas. Larutan-larutan tersebut memiliki konsentrasi Mn(II) masing-masing sebesar 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm. Setiap larutan standar tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang 278.5 nm. Data yang diperoleh dibuat kurva standar yaitu hubungan antara konsentrasi dengan serapan. Larutan sampel disiapkan dengan metoda sebagai berikut: sebanyak 0.08 gram kompleks dengan formula struktur sementara [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 dilarutkan dalam aquades dan 1 mL HCl 5 M dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambahkan aquades lagi hingga tanda batas. Larutan dengan konsentrasi 100 ppm tersebut diambil 4 mL dan 6 mL dengan menggunakan pipet volume dan dimasukkan masing-masing dalam labu takar 100 mL, selanjutnya ditambahkan aquadest hingga tanda batas. Larutan sampel dengan konsentrasi 4 ppm dan 6 ppm di ukur dengan AAS, hasil absorbansinya akan dibandingkan dengan kurva standar yang telah di buat dan dilakukan analisis kandungan logam Mn dalam sampel sehingga nantinya akan diketahui berapa persen jumlah logam Mn dalam sampel. 2.2.2 Penentuan Kandungan C, H dan N dalam Senyawa Alat untuk analisis mikrounsur C, H, N, S distandarisasi dengan L-Cistina Standard (C6H12N2O4S2, C = 29,99 %, H = 5,03 %, N = 11,66 % S= 26,69 % dan O = 26,63 %) sebelum digunakan. Sebanyak 2.83 mg sampel ditempatkan dalam alumunium foil, kemudian ditambahkan vanadium(V) oksida untuk
menyempurnakan reaksi oksidasi. Sampel tersebut dimasukkan dalam pelat berlubang untuk dilakukan pembakaran dengan gas oksigen. Selanjutnya alat mikrounsur dijalankan dan komposisi C, H, N dan S yang terkandung pada senyawa terbaca pada layar monitor komputer. 2.2.3 Penentuan Gugus Fungsi dengan Spektroskopi Inframerah Karakteristik senyawa kompleks yang telah disintesis dapat dilakukan dengan mengamati gugus fungsi pada spektrum inframerah. Bahan yang digunakam berupa padatan kompleks. Pengukuran dilakukan dengan pembuatan pelet, 1 miligram sampel dicampur dengan 20 miligram KBr, kemudian dimasukkan dalam press holder, ditekan beberapa saat hingga ketebalan 0,01 mm – 0,05 mm. Selanjutnya pelet tersebut diukur spektranya pada bilangan gelombang <400 - 4000 cm-1. 2.2.4 Pengukuran Daya Hantar Listrik Larutan Analisis hantaran dilakukan menggunakan instrumen daya hantar listrik di laboratorium energi ITS. Larutan sampel dibuat dengan konsentrasi 0,01 M dalam pelarut metanol. Larutan standar dibuat pada konsentrasi yang sama dengan larutan sampel. Larutan sampel ditimbang sebanyak 0.022 gram dan ditambahkan metanol hingga tanda batas dalam labu ukur 50 mL. Larutan yang digunakan sebagai standar untuk muatan +1 adalah KCl. Larutan KCl konsentrasi 0,01 M dibuat dengan melarutkan 0,0745 gram KCl dalam 100 mL metanol pada labu takar 100 mL. Adapun larutan standar muatan +2 menggunakan larutan MgCl2.6H2O. Di dalam labu takar 100 mL dimasukkan 0,118 gram MgCl2.6H2O dan dilarutkan dalam 100 mL metanol sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 0,01 M. Untuk larutan standar muatan +3 digunakan larutan FeCl3.6H2O sebanyak 0,2705 gram dan dimasukkan dalam pelarut metanol 100
mL. Prosedur teknisnya akan dijelaskan dalam lampiran. 2.2.5. Penentuan Strukur dengan Difraksi Sinar-X Powder Produk hasil sintesis dikarakterisasi dengan menggunakan difraksi sinar-X powder yang terdapat di reasearch center ITS, dengan sumber radiasi Cu – Kα. Difraksi dilakukan pada sudut 2θ antara 5o sampai 90o (sudut panjang) dengan interval kenaikan sudut sebesar 0,02o. 2.2.6 Pengukuran Suseptibilitas Magnetik Pada Suhu Kamar Penentuan sifat magnetik dilakukan dengan Magnetic Susceptibility Balance. Dari nilai kerentanan magnetik yang terukur dapat diketahui momen magnetik senyawa hasil sintesis pada temperatur ruang. Mula-mula ditimbang berat tabung kosong Magnetic Susceptibility Balance (m0), lalu diukur kerentanan magnetiknya (R0). Pada penelitian ini, massa tabung yang akan digunakan adalah 0,8019 gram dengan nilai R0 = -35. Selanjutnya tabung kosong diisi sampel dan diukur tinggi sampel dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi sampel ditimbang. Selanjutnya tiap tabung yang telah berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat Magnetic Susceptibility Balance untuk ditentukan nilai kerentanan magnetik (R). Dari data ini kemudian dilakukan perhitungan momen magnetik senyawa kompleks pada temperatur ruang. Alat MSB ditempatkan di atas permukaan datar dan penunjuk permukaan (waterpass) berada tepat ditengah lingkaran penunjuk. Kemudian alat dihidupkan dan dibiarkan selama beberapa menit. Ditimbang berat tabung kosong MSB (m0), lalu diukur kerentanan magnetnya (R0). Tabung kosong diisi sample sehingga ketinggian sampel melebihi 1.5 cm dan maksimal 2.5 cm (l). Tabung yang berisi sample ditimbang (m), selanjutnya dimasukkan dalam alat MSB untuk ditentukan nilai kerentanan magnet (R).
(m m0 ).10 9
Nilai susebtibilitas magnetik masssa dikonversi menjadi susebptibilitas molar (m) menurut persamaan : m=g.Mr .....................................(2.2) Nilai suseptibilitas molar dikoreksi dengan faktor koreksi diamagnetic, sehingga diperoleh nilai suseptibilitas molar terkoreksi (A) sebagai berikut : A=m-D .......................................(2.3) Nilai momen magnetik effektif (eff) dapat dihitung dengan persamaan : eff=(8A.T)½ ..................................(2.4) Nilai fraksi mol spin tinggi dapat ditentukan berdasar nilai AT atau eff dengan menggunakan persamaan : AT=XHSHS+(1-XHS)LS ..................(2.5) Berdasarkan hubungan terhadap eff yang ditunjukkan pada persamaan (3.4) dan (III.5) dapat ditulis sebagai berikut : (2)T=XHS(2HS)+(1-XHS)(2LS) ..........(2.6) XHS adalah fraksi mol spin tinggi, HS adalah nilai momen magnet spin tinggi besi(II) ditentukan sebesar 5.4 BM dan LS)adalah nilai magnet spin rendah besi(II) sebesar 0.7 BM (Onggo, D. dan Sugiharto, 2001). 2.2.7. Pengukuran DTA/TGA Differential Thermal Analysis (DTA), prinsipnya adalah mengukur perbedaan temperature antara sampel dan materi pembanding inert sebagai fungsi temperatur, jika temperatur keduanya dinaikkan dengan kecepatan sama dan konstan. Proses yang terjadi dalam sampel adalah eksoterm dan endoterm, yang ditampilkan dalam bentuk termogram differensial (Skoog, 1998). Sedangkan Pada analisis termogravimetri, perubahan berat sampel diamati sebagai fungsi temperatur. Informasi yang diperoleh dari metode termografimetri terbatas pada
dekomposisi, reaksi oksidasi dan beberapa proses fisik seperti penguapan, sublimasi dan desorbsi (Skoog,1998). Pengukuran termogravimetri (TG) dilakukan di Laboratorium Energi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, menggunakan mettler toledo TG/DTA. Sebanyak 5–10 mg sampel diletakkan pada cawan alumunium kemudian ditimbang massanya selama pemanasan. Pengukuran dilakukan pada rentang temperatur 20–600°C dengan laju pemanasan 10 °C/menit. 2.2.8 Karakterisasi dengan UV Spektrum UV/Vis sampel diukur menggunakan spektofotometer UV-Vis di research center ITS Surabaya pada daerah panjang gelombang 200–550 nm. Sampel dibuat dalam bentuk larutan 0,01 M dalam pelarut metanol. Lebar kuvet yang digunakan adalah 1 cm. III. HASILPENELITIAN 3.1 Preparasi Sintesis Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan sebelum melakukan sintesis senyawa kompleks untuk mendapatkan rasio yang tepat antara logam dan ligan agar menghasilkan kristal senyawa kompleks yang optimal. Ligan 2-feniletilamin dan logam MnCl2.2H2O dilarutkan dalam pelarut methanol dengan perbandingan mol logam dan mol ligan yaitu 1:1. Serapan kompleks yang paling tinggi diperoleh dari perbandingan logam dan ligan 1:1 pada panjang gelombang maksimum 212 nm dengan absorbansi 1,483 B 1.6 1.4 1.2 1.0
absorbansi
Dari harga kerentanan magnet yang terukur, dihitung nilai susebtibilitas magnetik masssa, dengan persamaan : c.l.( R R0 ) ................................(3.1) g
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 150
200
250
300
350
400
450
500
550
600
panjang gelombang
Gambar3.1 kurva panjang gelombang maksimum logam dan ligan dengan perbandingan 1:1
organik digunakan karena methanol mudah menguap dan tidak ikut bereaksi menjadi ligan. Pelarut tidak menggunakan aquades dikhawatirkan saat pelarutan aquades akan bereaksi menjadi ligan. Kedua larutan antara larutan MnCl2.2H2O dan larutan 2-feniletilamin hidroklorida direaksikan bersama dengan cara diaduk-aduk menggunakan spatula. Pengadukan dilakuka untuk mempercepat reaksi supaya larutan larut sempurna. Larutan yang sudah jadi ditutup dengan alumunium foil dan diletakkan dalam desikator yang tertutup. Desikator mengandung silika yang berfungsi untuk menyerap methanol atau uap air sehingga kristal terbentuk dengan baik. Kristal yang sudah terbentuk dalam desikator juga terlindungi dari kontaminasi udara. Kristal senyawa kompleks yang sudah terbentuk berwarna merah muda ke oranye-oranyean. Warna ini dihasilkan dari warna merah muda MnCl2.2H2O yang bereaksi dengan larutan ligan 2-feniletilamin.
Panjang gelombang maksimum tersebut digunakan untuk metode kontinu. Hasil dari metode kontinu menjadi acuan dalam sintesis senyawa kompleks. Perbandingan mol logam dan ligan yang diperoleh dari metode kontinu adalah 5:5 atau 1:1 yang ditunjukkan pada gambar 4.2. Panjang gelombang senyawa kompleks disekitar 200-300nm bisa disebabkan oleh warna logam mangan hidrat yaitu merah muda agak memudar, saat logam mangan dilarutkan dengan methanol warnanya menjadi jernih.
0.020
absorbansi
0.015
0.010
0.005
0.000
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Persamaan antara logam mangan dan ligan 2-feniletilamin
fraksi mol
Gambar 3.2 kurva perbandingan logam dan ligan terhadap absorbansi
Kurva pada gambar 4.2 menunjukkan perbandingan logam dan ligan 5:5 atau 1:1, puncak paling tinggi terletak pada angka 0,5 yang berarti perbandingan logam dan ligan 5:5 atau 1:1. Kristal senyawa kompleks [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 bisa terbentuk dengan maksimal pada panjang gelombang tersebut. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel 4.1. 3.2 Sintesis Senyawa [M(2-feniletilamin)x(H2O)y]Clz M = Mn2+ Senyawa kompleks ion logam Mn (II) dengan ligand 2-feniletilamin disintesis dari reaksi senyawa mangan klorida dihidrat (MnCl2.2H2O) dengan 2feniletilamin hidroklorida. Rasio antara kedua senyawa adalah 1:1 menggunakan rasio mol dalam pelarut methanol dari hasil metode kontinu. Methanol yang merupakan pelarut
NH2
2
.HCl + MnCl2.2H 2O
[Mn(2-feniletilamin)2(H 2O)4]Cl2.H2O + 2HCl
Methanol
Terbentuknya Kristal dibutuhkan waktu selama tujuh hari. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kristal yaitu panjang gelombang senyawa kompleks, pengadukan saat mencampurkan larutan logam dan ligan, kondisi udara disekitar larutan. Kristal yang sudah terbentuk dilakukan karakterisasi untuk mengetahui komponen kristal senyawa kompleks tersebut. Karakterisasi yang dilakukan antara lain adalah analisis mikrounsur C,H, N, analisis DTA/TGA, analisis AAS, analisis FTIR, analisis XRD, analisis UV, analisis daya hantar listrik, dan analisis suseptibilitas magnetik.
Gambar 3.3 hasil sintesis logam Mn dengan ligan 2-feniletilamin
3.3 Analisa Unsur C, H, N Analisis ini digunakan untuk menentukan komposisi relatif atom karbon, hidrogen, nitrogen dan sulfur yang ada pada senyawa kompleks karena senyawa ini tidak mengandung sulfur maka peresentase sulfur tidak digunakan. Hasil dari analisis mikrounsur tersebut akan dibandingkan dengan perhitungan teoritis untuk mencari rumus molekul yang paling sesuai. Perhitungan teoritis ada di lampiran. Hasil pengukuran sampel dari eksperimen dibandingkan dengan perhitungan teoritis formula senyawa [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 lebih kecil kecuali untuk atom C. Hal ini bisa dikarenakan adanya atom tambahan dalam senyawa koordinasi, misalnya senyawa kompleks terikat dengan pelarut atau air kristal (hidrat). Penambahan inti atom Mn pada senyawa kompleks probabilitasnya sangat kecil karena Mn mempunyai massa atom relatif yang besar sekitar 12,5% dari massa atom relatif [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2. Selain itu, klorin juga dapat mempengaruhi rumus molekul karena klorin terjadi karena hasil samping MnCl2.2H2O tetapi probabilitasnya kecil karena massa atom Cl2 besar yaitu 16,13% dari massa atom relatif [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 . Air kristal atau air hidrat satusatunya yang sesuai sebagai senyawa tambahan dalam senyawa koordinasi [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2. Air kristal bisa berasal dari hasil samping dari reaksi MnCl2.2H2O dan 2-feniletilamin. Sedangkan untuk pelarut methanol,
probabilitasnya kecil karena bila bertambahnya methanol maka akan meningkatkan prosentase C pada sampel hasil sintesis. Jumlah air kristal yang sesuai untuk perbedaan persentase karbon, hidrogen, dan nitrogen tidak lebih dari 1 molekul sehingga sementara rumus molekulnya [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O. Karakterisasi yang lain masih diperlukan karena sangat menentukan rumus molekul sampel yang sebenarnya. 3.4 Analisis dengan DTA/TGA Analisis menggunakan termogravimetri berprinsip pada pengurangan berat sampel sebagai fungsi temperatur atau waktu ketika dilakukan pemanasan. Pada temperatur tertentu akan terjadi dekomposisi senyawa sampel. Berat sampet pada temperatur tersebut akan dibandingkan dengan berat senyawa awal, maka akan dapat diketahui spesi apa yang terdekomposisi maupun yang tersisa. Hasil analisis bisa diplot dalam kurva persen berat sebagai fungsi temperatur yang disebut termogram atau kurva dekomposisi termal. Biasanya disertakan pula kurva turunan pertama termogram terhadap waktu, bernama kurva DTG (Differential Termal Gravity) yang bertujuan untuk memudahkan penentuan temperatur dekomposisi. Sedangkan untuk DTA (Differential Termal Analysis),prinsipnya adalah mengukur perubahan temperatur antara senyawa sampel dengan standar (blanko) selama pemanasan. Kurva DTA dapat digunakan untuk menentukan apakah dekomposisi berlangsung eksotermik atau endotermik. Proses eksotermik akan menghasilkan puncak, sedangkan untuk proses endotermik akan menghasilkan lembah. Kurva pada gambar 3.3 menunjukkan, ketika pada temperatur 900C berat sampel berkurang sebanyak 1,3669% atau 0,1072 mg dan pada temperatur 1800C terjadi pengurangan berat sampel sebanyak 1,1314% atau 88,727 x 10-3 mg, pengurangan berat sampel pada temperatur 900 - 1800C tersebut bisa terjadi karena dekomposisi air sebagai air kristal. Pada temperatur
sekitar 240-3200 C berat sampel berkurang sebanyak 40,6529% setara dengan 3,1882 mg sampel. Hal ini terjadi karena dekomposisi ligan atau dekomposisi atom yang terikat pada senyawa kompleks. Pengurangan berat senyawa kompleks tersebut berasosiasi dengan satu molekul klorin (Cl2), 2 molekul air sebagai ligan dan satu gugus fenil dalam ligan 2-feniletilamin.
Endotermis
-1,3669 % -0,1072 mg -1,1314 % -88,7275 x 10-3 mg -18,9442 % -1,4892 mg
-40,6529 % -3,1882 mg
Gambar 3.4 kurva DTA/TGA
Kurva pada gambar 3.4 menunjukkan garis yang menurun tajam (garis berwarna hitam) sampai pada temperatur 3120C. Penurunan garis tersebut bisa disebabkan oleh terdekomposisinya gugus amin dan sisa ligan air (dua molekul air pada senyawa kompleks), sehingga yang tersisa adalah logam mangan dengan satu molekul ligan 2-feniletilamin. Pada temperatur 3200C satu ligan 2-feniletilamin yang masih terikat pada logam mangan mengalami dekomposisi sehingga residu yang tersisa adalah logam mangan dalam bentuk oksida. Proses melepasnya suatu senyawa atau atom yang terikat pada senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 bisa dilihat pada tabel 3.1
Tabel 3.1 data hasil analisis termogravimetri senyawa kompleks [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 Suhu dekom posisi 0 ( C) 0 92,91 151,66 283,37 310,04
% berat sisa
Spesi
100 98,03 96,07 55,89 38,42
[Mn(L)2(H)4]Cl2.H2O [Mn(L)2(H)4]Cl2.0,5H2O [Mn(L)2(H)4]Cl2 [Mn(C10H16N2)(H2O)2] [Mn(C8H11N)]
% berat teoritis 100 98,6337 97,5017 56,8488 37,8546
Pada gambar 3.4 kurva DTA yang ditunjukkan pada garis yang berwarna merah, garis tersebut terus menurun sampai pada suhu 5000C sehingga membentuk lembah. Hal ini menunjukkan proses lepasnya hidrat atau air kristal, ligan air maupun 2-feniletilamin dan atom lain yang terikat pada senyawa kompleks seperti Cl2 adalah proses endotermis. Kalor diperlukan untuk memutus ikatan air Kristal, ikatan koordinasi ligan, Cl2 dan mendekomposisinya. Kesimpulan awal dari kurva DTA diatas menunjukkan bahwa senyawa kompleks [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 mengalami reaksi endotermis, hal ini sesuai dengan grafik pada gambar 3.3 yang membentuk lembah. Hasil analisis termal TGA/DTA bisa menunjukkan jumlah hidrat yang terikat pada senyawa kompleks, pada kasus ini dapat diketahui bahwa terdapat satu molekul air hidrat dalam senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 dan proses pelepasan semua molekul mengalami proses endotermis sehingga rumus molekul sementara yang tepat yaitu [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O. Rumus molekul ini sama dengan hasil perkiraan pengukuran analisis mikrounsur C, H, N tetapi masih ada karakterisasi lain yang harus dilakukan untuk membuktikan apakah rumus molekul sampel senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O benar-benar tepat. 3.5 Analisis Daya Hantar Listrik Daya hantar listrik larutan umumnya menggunakan kemampuan suatu larutan untuk menghantarkan arus
listrik. Faktor yang mempengruhi daya hantar listrik suatu larutan adalah jumlah, ukuran, dan muatan ion-ion yang terdapat dalam larutan itu. Daya hantar listrik berhubungan dengan pergerakan suatu ion dalam larutan, ion mudah bergerak berarti mempunyai daya hantar listrik yang besar sehingga bisa diketahui pergerakan ion senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O. Pada tabel 3.3 menampilkan hantaran molar senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O di dalam pelarut methanol yang diukur pada temperatur kamar. Seluruh larutan baik larutan standar maupun larutan sampel mempunyai konsentrasi 0,01 M dan hantarannya diukur pada temperatur kamar. Larutan standar yang digunakan adalah KCl untuk muatan +1, MgCl2.6H2O dengan muatan +2, dan FeCl3.6H2O untuk muatan +3 Tabel 3.2 Data hantaran molar [Mn(2feniletilamin)2(H2O)]Cl2
Larutan Standar
Methanol KCl 0,01 M MgCl2.6H2O 0,01 M FeCl3.6H2O 0,01 M Cuplikan
Λ (S. cm2 mol−1 )Perbandi ngan elektrolit -7 2,45 x 10 -5 1,702 x 10 1:1 -5 9,6 x 10 2:1 -5 6,13 x10 3:1 -4 1,004 x 10 2:1
Hasil analisis hantaran [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 dalam pelarut methanol menunjukkan senyawa ini termasuk larutan elektrolit dengan perbandingan 2:1 bisa dilihat pada tabel 3.2. Daya hantar listrik larutan elektrolit dapat dinyatakan sebagai daya hantar molar (Λm) yang didefinisikan sebagai daya hantar yang ditimbulkan oleh satu zat mol sesuai dengan persamaan 2.5. Senyawa [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 menunjukkan perbandingan besar muatan kation : anion = 2:1 yang berarti klorida dalam senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 berkedudukan sebagai anion dan 2feniletilamin berperilaku sebagai ligan, dapat diketahui ligan 2-feniletilamin termasuk ligan unidentat karena ligan 2feniletilamin hanya menyediakan satu pasangan elektron bebas pada gugus
amina. Struktur senyawa kompleksnya [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O. 3.6 Analisis dengan AAS Prinsip instrumen AAS didasarkan pada penyerapan energi oleh atom dengan sumber energi berupa lampu katode berongga (Hollow Catode Lamp), serta nyala pembakar berguna untuk mengaktifkan atom-atom logam sebelum menyerap energi. Atom-atom tersebut akan mengalami transissi bila menyerap energi. Energi akan dipancarkan ketika atom tereksitasi kembali ke tingkat energi dasar. Detektor akan mendeteksi energi yang terpancar tersebut (Hendayana, 1996). Cuplikan yang diukur oleh AAS adalah berupa larutan yang jernih karena kekeruhan bisa menyumbat pipa kapiler, pada analisis menggunakan air sebagai pelarut. Larutan cuplikan mengalir ke dalam ruang pengkabutan, karena terisap oleh aliran gas bahan bakar dan oksigen yang cepat. Setiap pengukuran dengan AAS harus menggunakan hollow katode lamp khusus. Hollow katode lamp berfungsi untuk memancarkan energi radiasi, pemancaran energi radiasi disesuaikan dengan energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom. Analisis AAS pada penelitian ini menggunakan HCl 5 M untuk menstabilkan dan memecah sampel agar memudahkan pengukuran dengan AAS. Hasil analisis menggunakan AAS ini menunjukkan kadar logam mangan pada sampel senyawa kompleks [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 adalah sebanyak 11,75% untuk 5ppm sedangkan kandungan logam mangan sebanyak 12,15% untuk larutan sampel dengan konsentrasi 7ppm. Untuk lebih jelas dibuat tabel rumus molekul yang memungkinkan pada tabel 4.7. Berdasarkan perhitungan teoritis dan hasil pengukuran sampel ada tiga rumus molekul yang memiliki selisih tidak sampai 0,5%, maka karakterisasi DTA/TGA dan mikrounsur C, H, N sangat berpengaruh dalam menentukan rumus molekul yang tepat. Perhitungan secara teoritis untuk kandungan logam mangan dengan Mr
[Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 adalah 12,5% hampir mirip dengan hasil eksperimen, tetapi ketika menggunakan rumus molekul tersebut maka ada perbedaan yang cukup besar pada kandungan C dan H dari hasil analisis mikrounsur C, H, N. Selain itu, pada analisis TGA menunjukkan adanya molekul hidrat atau air kristal yang terdekomposisi pada suhu 900C dan 1900C sehingga rumus molekul [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 masih belum tepat. Perhitungan teoritis untuk kandungan mangan dalam larutan [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O menunjukkan kemiripan yaitu 12% kadar mangan sehingga rumus molekul sampel adalah [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O untuk sementara tepat. Data dari karakterisasi sebelumnya yaitu mikrounsur C, H, N dan karakterisasi DTA/TGA juga mendukung rumus molekul [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O tepat. Pada perhitungan teoritis rumus molekul senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.1,5H2O juga terdapat kandungan logam mangan dengan konsentrasi yang hampir mirip yaitu 11,78% tetapi berdasarkan hasil analisis karakterisasi mikrounsur C, H, N kandungan C untuk rumus molekul [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.1,5H2O cukup jauh perbedaannya yaitu 41,11% sedangkan hasil pengukuran mikrounsur C, H, N 42,3287% dan kandungan N pada rumus molekul [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.1,5H2O yaitu 5,99% sedangkan hasil pengukuran mikrounsur C, H, N menunjukka persentase N sebanyak 6,5521%. Analisis DTA/TGA menunjukkan adanya satu molekul hidrat yang terdekomposisi pada suhu 900C dan 1800C sehingga rumus molekul tersebut belum bisa menjadi rumus molekul yang tepat. Tabel 3.3 rumus molekul dari analisa AAS
Komposisi senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2 [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.1,5H2O [Mn(2-feniletilamin)4(H2O)2]Cl2 [Mn(2-feniletilamin)3(H2O)3]Cl2
Mr 440 458 467 646 543
%Mn 12,5 12 11,78 8,5 10,5
3.7 Analisis dengan Suseptibilitas Magnetik Pengukuran momen magnet dengan metode Guoy, yang dilakukan pada penelitian ini berprinsip pada pengukuran perubahan berat sampel karena adanya tolakan diamagnetik dan tarikan paramagnetik tehadap medan magnet yang diberikan. Analisis suseptibilitas magnetik senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O menunjukkan momen magnet sebesar 5,4 BM pada temperatur kamar (perhitungan ada di lampiran). Hal ini menunjukkan ion Mn (II) pada sampel senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O bersifat paramagnetik dan mempunyai spin tinggi. Apabila dibandingkan dengan perhitungan momen magnetik teoritisnya (μs) yaitu 5,9 BM untuk spin tinggi. Perbedaan momen magnet teori dan percobaan bisa disebabkan karena orbital contribution yaitu kontribusi momen magnet oleh bilangan kuantum magnet yang tidak di kompeser. Untuk orbital d harganya dapat +2, +1, 0, -1, -2 sehingga untuk ion d5 ada tambahan momen magnet sebesar enam quanta. Dari momen magnetik bisa diketahui apakah ligan yang digunakan adalah ligan lemah atau ligan kuat, dalam penelitian ini dapat diketahui ligan 2feniletilamin termasuk ligan lemah karena logam Mn pada senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O termasuk spin tinggi, ligan tidak bisa menggeser posisi elektron pada orbital d mangan sehingga pasangan elektron bebas ligan mengisi orbital s, p dan d yang masih kosong. 3.8 Analisis dengan FTIR Analisis dengan FTIR digunakan untuk mendukung penentuan formula senyawa kompleks yang telah dihasilkan. Spektrum ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan gugusgugus fungsi dalam senyawa [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O. Senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O
diukur pada bilangan gelombang 4000300 cm-1. Puncak yang paling tinggi berada disekitar bilangan gelombang 3410,15cm-1 dan 3170,97 - 3116,97cm-1.
Unit cell dari senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O adalah a = 4,905 b = 4,905 c = 19,6782 dan untuk α = 90 β = 90 γ= 90. Hasil uji difraksi sinar X menunjukkan bahwa senyawa kompleks berupa padatan kristalin. Ini tercermin dari tajamnya puncak-puncak difraksi yang muncul pada difraktogram. puncak yang paling tinggi muncu pada 2θ = 9,01145 ; 31,81440 ; 41,25341 dan 13,51574.
Gambar 3.5 data dari pengukuran FTIR
Untuk bilangan gelombang 3410,15 cm-1 menandakan gugus O – H yang berfungsi sebagai ligan dan terikat pada logam Mn. Puncak yang sangat kuat juga terdapat pada bilangan gelombang 3170,97-3116,97 cm-1 ini menunjukkan pada bilangan gelombang tersebut terdapat =C – H sp2 pada benzene. Bilangan gelombang yang menunjukkan adanya gugus amina terdapat pada bilangan gelombang 1327,07 cm-1 dan 1257,59 cm-1. Dalam data inframerah tersebut juga menunjukkan adanya gugus benzene dengan substitusi mono pada panjang gelombang 748,38 cm-1 dan 694,37 cm-1. Alkil halida juga terdapat pada bilangan gelombang 594,08 cm-1. Sedangkan untuk ikatan logam mangan dengan ligan ditunjukkan pada bilangan gelombang 493,78-324,04 cm-1. 3.9 Analisis dengan XRD Hasil XRD menunjukkan senyawa [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O berbentuk kristal, hal ini dilihat dari puncak-puncak yang ada pada gambar 3.6. Data dari XRD diolah dengan software fullprof untuk mengetahui bentuk kristal, space group dan unit cellnya. Hasil dari pengolahan menggunakan software fullprof untuk [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O dapat diketahui bentuk kristalnya yaitu tetragonal dengan space group p4/mmm.
a
b Gambar 3.6 a. Senyawa MnCl22H2O. b Senyawa kompleks Mn(II) dan 2-feniletilamin
3.10.Analisis dengan UV Analisis menggunakan UV memperlihatkan spektrum [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O terdapat dua puncak serapan, masingmasing pada 212 dan 258 nm. Panjang gelombang 212nm menghasilkan puncak yang tinggi dengan absorbansi 2,797 dan untuk panjang gelombang 258nm menghasilkan puncak yang agak rendah dengan absorbansi 0,252. Puncakpuncak serapan tersebut hasil dari transisi intraligan 2-feniletilamin yang
terkoordinasi dengan atom pusat Mn(II). Puncak serapan pada panjang gelombang 212 berada di daerah UV disebabkan karena terjadinya transisi elektron π π* sistem aromatik. Puncak serapan sampel dengan pengukuran panjang gelombang maksimum 1:1 adalah sama pada serapan 212 dan 258 2,797
B
3.0
2.5
absorbansi
2.0
0,252
1.5
1.0
0.5
0.0 200
250
300
350
400
450
500
panjang gelombang
Gambar 3.7 spektra UV senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O
3.11 Prediksi Struktur Berdasarkan dari seluruh rangkaian analisis dan karakterisasi sebelumnya, struktur senyawa koordinasi [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O bisa dipastikan berbentuk oktahedral dan ligan 2-feniletilamin berkoordinasi unidentat. Medan ligan tergolong lemah karena tidak bisa mendorong elektron pada orbital d mangan sehingga menyebabkan [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O mempunyai spin tinggi dan bersifat feromagnetik. Senyawa koordinasi [Mn(2feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O juga mempunyai sifat magnetik yang tinggi dan bisa digunakan untuk aplikasi selanjutnya pada display atau memori. Pada gambar tidak ditunjukkan atom klorin dan air Kristal.
NH HO
OH Mn
HO HN
OH
Gambar 3.7 prediksi struktur senyawa kompleks [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)4]Cl2.H2O
Keterangan untuk gambar tiga dimensi: Warna biru muda = karbon Warna biru tua = Nitrogen Warna merah = oksigen Warna abu-abu = logam mangan IV. KESIMPULAN Senyawa kompleks dari ion logam Mn(II) dengan ligan 2-fenil etil amin telah berhasil disintesis. Sintesis senyawa tersebut dengan perbandingan mol ion logam dan ligan sebesar 1:1 dihasilkan kompleks dengan formula [Mn(2-feniletilamin)2(H2O)]Cl2.2H2O. Karakterisasi dengan FTIR menunjukkan gugus O-H ligan H2O pada bilangan 3410 cm-1, gugus fenil mono substitusi pada bilangan gelombang 748,36-694,37 cm-1, gugus amina pada bilangan gelombang 1388,75-1327,02 cm-1, gugus C-H alifatik ditunjukkan pada bilangan gelombang 2947,43-2515,18 cm-1. Hasil pengukuran DTA/TGA menunjukkan dua molekul air kristal terdekomposisi pada suhu 90-1400C. Pengukuran daya hantar listrik menunjukkan senyawa kompleks bermuatan +2. Analisis momen magnet menunjukkan bahwa senyawa koordinasi ini bersifat paramagnetik dengan nilai momen magnet 5,4 BM. V. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Fahimah Martak atas bimbingannya sampai terselesainya penelitian ini. Orang tua yang tiada henti mendukung dan mendoakan anakanaknya. Bu Yulfi Zetra selaku koordinator TA serta semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini VI. DAFTAR PUSTAKA Basolo, F and R.C Johnson.,(1964), Coordination Chemistry The Chemistry of Metal Complexes, W.A Benjamin Inch, California Batten,
R. S. (2001), Coodination Polymer, Current Opinion in Solid State and Material Science, 5, 107-114.
Chang, Raymond, (2005), Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti, Edisi Ketiga, Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Coronado, E. Galán Mascarós, J.R., Gómez Garzia, C. J. dan Martinez Agudo, J.M. (2001), Layered Molecule-Based Magnets Formed by Decamethylmetallcenium Cations and Two-Dimensional Bimetallic Complexes [MIIRuIII(ox)]- (MII = Mn, Fe, Co, Cu and Zn; ox = oxalate), Journal of Solid State Chemistry, 159, 391- 402.
Biopharmaceutic, Volume 74, 281289 Hendayana, S., Kadarohmah, A., Sumarna, A. A. dan Supriatna, A. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Edisi Keatu. IKIP Semarang Press. Semarang. Huheey Y E., (1978), Inorganic Chemistry Principles of Structure and Reactivity, Second Edition, Harper International Edition, New York
Cotton, F.A. (1989), Kimia Anorganik Dasar, Universitas Indonesia – Press, Jakarta
Lee,J.D. 1994.Concise Chemistry.4th edition. and Hall. London.
Decurtins S., Pellaux R., Antorrena G. dan Palacio F. (1999), Multifunctional Coordination Compounds: Design and Properties, Coordination Chemistry Reviews, 190-192, 841-854.
Martak, F., Onggo, D, Ismunandar, Nugroho, A., A., Mufti, N., Yamin, B.M. (2009), Synthesis and Characterization of a Bimetallic Oxalate-Based Magnet: [(C4H9)4P][MCr(ox)3] M = Mn, Fe, Co, Ni, Cu, Fahimah Martak, Djulia Onggo, Ismunandar, A. Agung Nugroho, Nandang Mufti, Bohari M. Yamin, Current Research In Chemistry, 1, 1-7.
Douglas, Bodie., MC Daniel, Darl., Alexander, John. (1994), Concept and Models of Inorganic Chemistry: third edition, John Wiley & sons, Inc, Singapore. Elmila, Izzah, (2010), Peningkatan Sifat Magnetik Kompleks Polimer Oksalat [N(C4H9)4][MnCr(C2O4)3 dengan menggunakan kation organic tetrabutil ammonium”. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Figgis, B.N., Lewis, J.,(1960), The Magnetochemistry of Complex Compounds, In Modern Coordination Chemistry, Interscience Publisher Inc., New York, 400-454 Fischer, (2010), Transport of Phenylethylamine at Intestinal Ephitelial (Caco-2) Cell: Mechanism and Substrate Specificity, European Journal of Pharmaceutics and
Inorganic Chapman
Martak, F., Onggo, D., Ismunandar, Nugroho, A.A., Meetsma, A. (2009), Study Structural Polymeric Complex [Ni(bpy)3][MnMn(ox)3], Proceeding Seminar ITB-UKM. Mathoniere, C., Nurtall, C.,J., Carling, S., G., Day, P. (1996), Ferrimagnetic Mixed-Valency and Mixed Metal Tris(oxalate)iron(III) Compounds: Synthesis, Structure and Magnetism, Inorganic Chemistry, 35, 1201-1206. Ohba, M., Tamaki H., Matsumoto N. dan Okawa H. (1993), Oxalate-Bridge Dinuclear Cr(III)-M(II) (M=Cu, Ni, Co, Fe, Mn) Complexes: Synthesis, Structure, and Magnetism, Inorganic Chemistry, 32, 53855390.
Onggo, D., Sugiyarto, K.H., (2001), Transisi Spin pada Senyawa Kompleks Besi(II) dengan Ligan Bidentat Beratom Donor Nitrogen, Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains, VI, 43-49 Ovanesyan, N.S., Shilov, G.V., Pyalling, A. A., Train C., Gredin, P., Gruselle, M., Kiss, L.F. dan Bottyan, L. (2004), Structural and Magnetic Properties of Two- and Three-dimensional molecule-based magnets (cat)+[MIIMIII(C2O4)3]-, Journal of Magnetism and Magnetic Materials, 272-276, 1089-1090. Pitoyo, (2009), Sintesis dan Karakterisasi Kompleks Krom (III) dan Mangan (II) dengan 8-Hidroksikuinolin Pointilart, F., Train, C., Gruselle, M., Villain, F., Schmale, H.W., Talbot, D., Gredin, P., Decurtins S. dan Verdaguer, M. (2004), Chiral Templating Activity of Tris(bipyridine) ruthenium(II) Cation in Design of Three-Dimensional (3D) Optically Active OxalateBridged [Ru(bpy)3][Cu2xNi2(1(C O ) ] (0 ≤ x ≤ 1; bpy = 2,2’x) 2 4 3 bipyridine): Structural, Optical, and Magnetic Studies, Chemical Materials, 16, 832-841. Rahadjeng S.,(1987), senyawa Koordinasi Struktur, Teori dan Reaksi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Airlangga, Surabaya Rao,
C.N.R., Natarajan, S. dan Vaidhyanathan, R. (2004), Metal Carboxylates with Open Architectures, Angew. Chem. Int. Ed., 43, 1466-1496.
Sibilia, P.,(1996), Guide to Material Characterization ang Chemical Analysis, 2th Edition, John WileyVCH, New York. Singh, M., Aggarwal, V., Sing, U. P. and Singh, N. K. 2009. Synthesis,
Characterization and Spectroscopic Studies of a New Ligand [N’-(2methoxybenzoyl)hydrazinecarbodit hioate] ethyl ester and its Mn(II) and Cd(II) complexes: X-ray structural study of Mn(II) complex. Polyhedron. 107-112. Skoog, A. Douglas., (1996), Fundamental of Analytical Chemistry, Edisi ke tujuh, Sounders College Publishing, USA Susnandar, Djaka, (2008), Sintesis dan Karakaterisasi Senyawa Koordinasi Besi (II) dengan Ligan Basa Schiff N,N’-bis-(2-asetilpirida)etlendiimino dan Tiosianat, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Vogel (1990), Buku Teks Analisa Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro, terjemahan oleh Setiono, L., Pudjaatmaka, A.H., edisi ke lima, PT. Kalman Media Pustaka, Jakarta